V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Penutupan Lahan Tahun 2009 Peta penutupan lahan dihasilkan melalui metode Maximum Likelihood dari klasifikasi terbimbing yang dilakukan dengan arahan (supervised) (Gambar 14). Kriteria pengelompokkan kelas ditetapkan berdasarkan penciri kelas yang diperoleh dari analisis melalui pembuatan training area yang telah dibuat pada proses sebelumnya. Seperti penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Syartinilia, 2004), kelas penutupan lahan terdiri dari tujuh kelas kategori penutupan lahan, yaitu hutan, perkebunan, semak belukar, sawah, ladang, pemukiman, dan badan air. Namun pada penelitian ini ditambahkan satu kelas yang tidak terklasifikasi sebagai penutupan lahan yaitu awan. Kelas ini tidak mengandung informasi mengenai penutupan lahan, namun pada proses pengolahannya kelas ini tetap dilibatkan karena akan berpengaruh pada proses serta hasil klasifikasi. Kelas hasil klasifikasi diberi label (nama kelas) sesuai dengan penutupan lahan dimana piksel-piksel dalam kelas tersebut tersebar. Tujuh kelas penutupan lahan tersebut memiliki nilai rata-rata keterpisahan sebesar 1.999,82 serta keterpisahan terendah sebesar 1.996,25. Nilai keterpisahan terendah tersebut terdapat di antara kelas penutupan lahan yang memiliki kemiripan yaitu sawah dan ladang. Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan sawah dan ladang dalam satu lahan dalam satu periode tertentu. Pada citra LANDSAT ETM+ yang direkam pada tanggal 22 Desember 2002 (musim hujan) lahan sedang digunakan sebagai sawah, sedangkan pada citra AVNIR-2 yang direkam pada tanggal 19 Juli 2009 penggunaan lahan tersebut berupa ladang (JuliOktober). Kemudian pada saat dilakukan ground check pada tanggal 24 Maret dan 9 April 2011, lahan tersebut sedang dimanfaatkan sebagai sawah. Walaupun terdapat nilai keterpisahan terendah antara sawah dan ladang, namun dengan nilai rata-rata keterpisahan sebesar 1.999,82 memiliki makna bahwa kelas-kelas tersebut dapat dipisahkan dengan sangat baik. Matrik nilai keterpisahan antar kelas hasil klasifikasi terbimbing disajikan dalam Tabel 16.
43
Tabel 16. Matrik nilai keterpisahan antar kelas penutupan lahan hasil klasifikasi terbimbing Penutupan Lahan
1
2
3
4
5
6
7
1. Hutan
0
2000
2000
2000
2000
2000
2000
2. Perkebunan
2000
0
2000
2000
2000
2000
2000
3. Semak belukar
2000
2000
0
1999.98
2000
2000
2000
4. Sawah
2000
2000
1999.98
0
1996.25
2000
2000
5. Ladang
2000
2000
2000
2000
0
2000
1999.98
6. Pemukiman
2000
2000
2000
2000
2000
0
2000
7. Badan air
2000
2000
2000
2000
1999.98
2000
0
Xmin = 1996,25
Xmaks = 2000
Xrata-rata = 1999,82
Berdasarkan Peta Penutupan Lahan Kawasan Puncak tahun 2009 (Gambar 14), dapat diketahui bahwa penutupan lahan yang terluas di lokasi ini adalah hutan yaitu sebesar 5.041,29 Ha atau sekitar 27,29% dari total luas lokasi penelitian. Selain badan air (353,97 Ha), perkebunan memiliki luas yang paling kecil jika dibandingkan dengan kelas penutupan lahan lain yaitu sebesar 1.380,07 Ha atau hanya 7,47% dari luas total. Gambaran lebih jelas mengenai luas masingmasing kelas pada peta penutupan lahan disajikan pada Tabel 17.
Tabel 17. Luas Hasil Klasifikasi Penutupan Lahan 2009 No.
Penutupan Lahan
Luas (ha)
Luas (%)
1
Hutan
5.041,29
27,29
2
Perkebunan
1.380,07
7,47
3
Semak belukar
1.536,98
8,32
4
Sawah
2.743,81
14,86
5
Ladang
3.931,23
21,29
6
Pemukiman
3.366,77
18,23
7
Air
353,97
1,92
8
Awan (No data)
114,68
0,62
18.468,80
100,00
Total
44
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua Kec. Ciawi
Gambar 14. Peta Penutupan Lahan Tahun 2009 (AVNIR-2 19 Juli 2009 Resolusi 10x10 m)
45
Di antara kelas-kelas penutupan lahan yang terdapat pada peta penutupan lahan, terdapat kelas yang mewakili penutupan awan dan bayangan awan yaitu sebesar 114,68 ha (0,62%). Penutupan awan menyebabkan informasi mengenai tipe penutupan lahan hilang sebesar 0,62%. Penutupan tipe ini tidak dimasukkan ke dalam kelas klasifikasi penutupan lahan tahun 2009 karena tidak mengandung informasi mengenai penutupan lahan, tetapi dalam proses pengklasifikasiannya tetap dilibatkan karena akan berpengaruh pada hasil klasifikasi. Hasil klasifikasi dievaluasi menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix) atau matrik kontingensi yang dibuat melalui proses klasifikasi piksel yang diwakili oleh titik pada training area. Matriks akurasi dapat dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Pendugaan Akurasi dari Penggunaan dan Penutupan Lahan Tahun 2009 Kelas
Data Acuan
Total Baris
UA (%)
1
2
3
4
5
6
7
1
70
3
0
0
0
0
0
73
95,89
2
0
116
0
0
0
0
0
116
100,00
3
0
0
98
0
0
0
0
98
100,00
4
0
0
0
71
1
7
0
79
89,87
5
0
0
1
0
116
2
24
143
81,12
6
0
0
0
19
0
93
0
112
83,04
7
0
0
0
0
0
0
62
62
100,00
Total Kolom
70
119
99
90
117
102
86
683
100 97,48 98,99 PA (%) Overall Accuracy (%) 91,67
78,89
99,15
91,18
72,09
Kappa Accuracy (%)
90,22
Ket : 1 = Hutan; 2 = Perkebunan ; 3 = Semak belukar; 4 = Sawah; 5 = Ladang; 6 = Pemukiman; 7 = Badan air UA = User’s Accuracy; PA = Producer’s Accuracy
Matrik kesalahan tersebut memberikan informasi mengenai penyimpangan klasifikasi yang berupa kelebihan jumlah piksel dari kelas yang lain atau emisi (omission) dan kekurangan jumlah piksel pada masing-masing kelas atau komisi (comission). Kesalahan emisi (omission error) dikenal juga dengan istilah akurasi pembuat (producer’s accuracy) yaitu akurasi yang diperoleh dengan membagi piksel yang benar dengan jumlah total piksel dari data acuan per kelas.
46
Dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa nilai akurasi pembuat terendah terdapat pada kelas penutupan lahan badan air sebesar 72,09%, sedangkan nilai akurasi tertinggi sebesar 100% terdapat pada kelas penutupan lahan hutan. Akurasi lainnya adalah akurasi pengguna (user’s accuracy), yaitu akurasi yang diperoleh dengan membagi jumlah piksel yang benar dengan total piksel yang dikelaskan ke dalam kelas tersebut, akurasi ini dikenal juga dengan istilah kesalahan komisi (comission error). Nilai akurasi pengguna terendah terdapat pada kelas penutupan lahan ladang yaitu sebesar 81,12%, sedangkan nilai akurasi pengguna tertinggi terdapat pada kelas penutupan lahan perkebunan dan semak belukar belukar yaitu sebesar 100%. Besarnya akurasi hasil klasifikasi keseluruhan dapat diukur menggunakan akurasi umum (overall accuracy) dan akurasi kappa. Akurasi umum adalah akurasi yang dihitung berdasarkan jumlah piksel yang dikelaskan dengan benar pada seluruh kelas, dibagi dengan jumlah total piksel yang digunakan. Akurasi ini akan menghasilkan pengukuran yang cenderung over estimate karena dalam proses perhitungannya, akurasi umum hanya melibatkan piksel-piksel yang dikelaskan dengan benar saja. Untuk saat ini selain akurasi umum, evaluasi hasil klasifikasi sangat disarankan menggunakan akurasi kappa. Piksel-piksel yang terlibat dalam perhitungan akurasi kappa adalah seluruh piksel yang digunakan sebagai acuan untuk pengukuran akurasi hasil klasifikasi, sehingga jika dibandingkan dengan akurasi umum, perhitungan akurasi kappa akan lebih akurat dalam mengevaluasi hasil klasifikasi. Nilai akurasi umum hasil klasifikasi terbimbing dalam penelitian ini adalah sebesar 91,67%, sedangkan akurasi kappa yang diperoleh sebesar 90,22%. 5.2 Perbandingan Luas Penutupan Lahan Tahun 2002 dan Tahun 2009 Perbandingan luas penutupan lahan dilakukan antara peta penutupan lahan tahun 2002 (LANDSAT ETM+2002/12/22) (Syartinilia, 2004) (Gambar 3 dan Tabel 4) dengan peta penutupan lahan tahun 2009 (AVNIR-2 19 Juli 2009) (Gambar 14 dan Tabel 17) yang diperoleh dari hasil klasifikasi dengan metode terbimbing. Peta tahun 2009 dengan resolusi 10 x 10 meter yang dihasilkan dari metode klasifikasi terbimbing memiliki akurasi lebih besar jika dibandingkan dengan peta
47
tahun 2002 dengan resolusi 30 x 30 meter yang juga dihasilkan dari metode klasifikasi terbimbing. Perbandingan ini dilakukan untuk mendapat gambaran mengenai perubahan luas yang terjadi dari kelas-kelas penutupan lahan hasil klasifikasi citra AVNIR-2. Perbandingan luas penutupan lahan tahun 2002 dengan penutupan lahan tahun 2009 disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Diagram perbandingan luas penutupan lahan tahun 2002-2009 Berdasarkan hasil klasifikasi citra AVNIR-2 tahun 2009 resolusi 10 x 10 meter, lokasi penelitian mengalami perubahan penutupan lahan pada setiap tipe penutupan lahannya. Dalam kurun waktu 2002-2009 telah terjadi peningkatan dan penurunan luas wilayah penutupan lahan yang terdapat di wilayah tersebut. Berdasarkan Gambar 15 hampir semua tipe penutupan lahan mengalami peningkatan luas, seperti hutan, perkebunan, sawah, pemukiman, dan badan air. Sedangkan penutupan lahan semak belukar dan ladang mengalami penurunan luas penutupan lahan. Dari semua tipe penutupan lahan, yang mengalami peningkatan luas paling tinggi yaitu pemukiman yang semula (tahun 2002) memiliki luas 1.196,3 ha kemudian pada tahun 2009 meningkat menjadi 3.366,77 ha atau meningkat sebesar 2170,47 ha (11,75%) dengan laju peningkatan sebesar 1,68% per tahun (Tabel 19). Hal ini dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan lahan.
48
Selain itu, ketiga lokasi ini merupakan kawasan wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan dari luar kota, lokal, maupun internasional. Keadaan ini mendorong masyarakat untuk terus membangun area komersial seperti area perdagangan, villa, hotel, dan lain-lain. Oleh sebab itu, konversi lahan oleh masyarakat di tiga kecamatan ini terus-menerus dilakukan.
Tabel 19. Perbandingan luas penutupan lahan tahun 2002 dan tahun 2009 No.
Kelas
2002
2009
Δ Luas
Luas (ha)
Luas (ha)
(ha)
Peningkatan Laju/thn Luas (%)
(%)
1
Hutan
4.956,6
5.041,29
84,69
0,45
0,06
2
Perkebunan
1.188,0
1.380,07
192,07
1,04
0,15
3
Semak belukar
2.489,0
1.536,98
-952,02
5,16
0,74
4
Sawah
2.322,1
2.743,81
421,71
2,29
0.33
5
Ladang
6.293,8
3.931,23
-2.362,57
12,79
1.83
6
Pemukiman
1.196,3
3.366,77
2.170,47
11,75
1,68
7
Badan air
23,2
353,97
330,77
1,80
0,26
Pada penelitian ini, hutan mengalami peningkatan luas paling kecil selama kurun waktu 2002-2009, yaitu sebesar 84,69 ha atau 0,45% dari total luas hutan dengan laju peningkatan hanya sebesar 0,06% per tahun. Perubahan tipe penutupan lahan perkebunan, semak belukar, sawah, ladang, pemukiman, dan badan air menjadi hutan yang mengakibatkan luas hutan bertambah dapat disebabkan karena adanya perbedaan resolusi citra yang digunakan sehingga terjadi distorsi luas hutan. Citra dengan resolusi 10x10 meter seperti AVNIR-2 akan menyimpan informasi lebih banyak bila dibandingkan dengan citra dengan resolusi 30x30 meter seperti LANDSAT ETM+. Peningkatan luas selanjutnya terjadi pada sawah yaitu sebesar 2,29%. Peningkatan jumlah dan kepadatan penduduk telah mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk digunakan sebagai lahan-lahan budidaya. Lahan pertanian yang terdesak oleh pemukiman yang biasanya terjadi di wilayah perkotaan juga dapat mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk dijadikan lahan pertanian.
49
Peningkatan luas penutupan lahan juga terjadi pada badan air yaitu sebesar 330,77 ha atau sekitar 1,8% dari luas awal di tahun 2002. Hal ini juga dapat disebabkan oleh penggunaan citra dengan resolusi yang berbeda pada kedua peta. Peta yang dihasilkan dari klasifikasi AVNIR-2 dengan resolusi 10 x 10 meter mempunyai informasi yang lebih banyak bila dibandingkan dengan citra LANDSAT ETM+ dengan resolusi 30 x 30 meter. Jadi, penampakkan badan air yang mempunyai luas kurang dari 30 meter tidak bisa terlihat di peta 2002 namun bisa terlihat di peta 2009. Kelas yang mengalami penurunan terbesar dari semua tipe penutupan lahan yaitu ladang. Tahun 2002 luas ladang mencapai 6.293,8 ha yang kemudian menurun menjadi 3.931,23 ha pada tahun 2009 atau menurun sebesar 12,79% (2362,57 ha) dari luas ladang tahun 2002. Hal ini dapat disebabkan karena kondisi lokasi penelitian yang memiliki curah hujan tinggi, sehingga pertanian lahan kering kurang cocok diterapkan di kawasan ini yang mengakibatkan berkurangnya minat masyarakat untuk berladang. Penurunan luas yang besar ini juga dapat terjadi karena terjadinya peningkatan luas tipe penutupan lahan yang lain terutama pemukiman. 5.3 Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 – 2009 Pada proses deteksi perubahan penutupan lahan dengan menggunakan metode Post Comparison Classification, diperoleh nilai-nilai baru yang mengandung informasi mengenai perubahan penutupan lahan periode 2002-2009 seperti yang disajikan pada Tabel 20 dan Tabel 21. Tabel 20. Nilai penutupan lahan yang tetap/tidak berubah periode 2002-2009 Nilai
Penutupan Lahan
11
Tetap Hutan
36
Tetap Perkebunan
65
Tetap Semak belukar
98
Tetap Sawah
135
Tetap Ladang
160
Tetap Pemukiman
187
Tetap Badan Air
50
Tabel 21. Nilai penutupan lahan yang mengalami perubahan periode 2002-2009 Nilai
Dari
Menjadi
Nilai
Dari
Menjadi
12
Hutan
Perkebunan
105
Sawah
Ladang
13
Hutan
Semak belukar
112
Sawah
Pemukiman
14
Hutan
Sawah
119
Sawah
Badan air
15
Hutan
Ladang
99
Ladang
Hutan
16
Hutan
Pemukiman
108
Ladang
Perkebunan
17
Hutan
Badan Air
117
Ladang
Semak belukar
33
Perkebunan
Hutan
126
Ladang
Sawah
39
Perkebunan
Semak belukar
144
Ladang
Pemukiman
42
Perkebunan
Sawah
153
Ladang
Badan air
45
Perkebunan
Ladang
110
Pemukiman
Hutan
48
Perkebunan
Pemukiman
120
Pemukiman
Perkebunan
51
Perkebunan
Badan air
130
Pemukiman
Semak belukar
55
Semak belukar Hutan
140
Pemukiman
Sawah
60
Semak belukar Perkebunan
150
Pemukiman
Ladang
70
Semak belukar Sawah
170
Pemukiman
Badan air
75
Semak belukar Ladang
121
Badan air
Hutan
80
Semak belukar Pemukiman
132
Badan air
Perkebunan
85
Semak belukar Badan air
143
Badan air
Semak belukar
77
Sawah
Hutan
154
Badan air
Sawah
84
Sawah
Perkebunan
165
Badan air
Ladang
91
Sawah
Semak belukar
176
Badan air
Pemukiman
Selama kurun waktu 2002-2009, tidak semua lahan di lokasi penelitian mengalami perubahan penutupan lahan, selain ada yang mengalami perubahan ada juga yang tetap atau tidak mengalami perubahan (Gambar 16). Luas penutupan lahan yang mengalami perubahan mencapai 11.339,7 ha atau sebesar 63,30% dari luas seluruh kawasan, sedangkan penutupan lahan yang tetap hanya sebesar 6.576,03 ha atau sebesar 36,70% dari luas seluruh kawasan (Tabel 22).
51
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua Kec. Ciawi
Gambar 16. Peta Penutupan Lahan yang Tetap dan Mengalami Perubahan dalam Periode 2002 – 2009
52
Tabel 22. Penutupan lahan yang tetap dan berubah periode 2002-2009 Tetap Hutan
Luas (ha) 3.153,24
%
Berubah
Luas (ha)
47,95 Hutan
%
1.375,45
12,13
857,07
7,56
Perkebunan
308,97
4,70 Perkebunan
Semak belukar
371,16
5,64 Semak belukar
2.059,02
18,16
Sawah
581,85
8,85 Sawah
1.728,54
15,24
27,03 Ladang
4.489,56
39,59
808,47
7,13
21,6
0,19
11.339,7
100,00
Ladang Pemukiman Badan Air Total A
1.777,77 381,60 1,44 6.576,03
5,80 Pemukiman 0,03 Badan Air 100,00
Total B
Tetap = Total A : (Total A + Total B) x 100% = 36,70 % Berubah = Total B : (Total A + Total B) x 100% = 63,30%
Berdasarkan Tabel 22, penutupan lahan di lokasi penelitian yang paling besar tetap/tidak mengalami perubahan yaitu hutan (47,95%). Hal ini berkaitan dengan tiga fungsi utama hutan, yaitu fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi. Fungsi lindung hutan yaitu sebagai perlindungan sistem dan penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, menyerap air hujan, mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan memelihara kesuburan tanah. Fungsi konservasi, hutan memiliki peran dalam menjaga keanekaragaman satwa dan ekosistemnya. Oleh sebab itu, hutan sangat dijaga keberadaannya agar kemampuannya untuk memperbaharui diri sendiri selalu terpelihara. Kelas penutupan ladang paling banyak mengalami perubahan dalam periode 2002 – 2009 (39,59%). Ketiga kecamatan ini memiliki rata-rata hari hujan yang tinggi pada tahun 2009, yaitu Kecamatan Ciawi 15,83 hari, Megamendung 17,5 hari, dan Kecamatan Cisarua 18 hari. Dengan kondisi seperti itu, pertanian lahan kering mungkin kurang cocok diterapkan di daerah ini. Selain itu, peningkatan luas pemukiman juga bisa menyebabkan penurunan luas ladang. Informasi mengenai perubahan penutupan lahan menjadi penutupan lahan lainnya dapat di lihat pada Tabel 23 serta Gambar 17 dan Gambar 18.
53
Tabel 23. Persentase kecenderungan perubahan penutupan lahan menjadi penutupan lahan lain di seluruh lokasi penelitian M
D
1
1
2
3
4
5
6
7
Total
41,21
19,54
11,41
12,80
13,92
1,12
100
17,50
4,46
10,40
14,09
0,27
100
12,55
26,40
10,99
0,79
100
43,47
36,38
4,50
100
36,97
3,62
100
6,95
100
2
53,28
3
38,19
11,08
4
5,37
1,72
8,56
5
11,54
4,67
12,42
30,78
6
5,83
3,06
4,17
36,25
43,74
7
0,42
0,00
1,25
27,08
39,17
32,08
100
Ket : D = Dari; M = Menjadi ; 1 = Hutan; 2 = Perkebunan ; 3 = Semak belukar; 4 = Sawah; 5 = Ladang; 6 = Pemukiman; 7 = Badan air
Berdasarkan Tabel 23, hutan banyak berubah menjadi perkebunan. Hal ini dapat disebabkan karena lokasi penelitian merupakan kawasan pariwisata dengan background perkebunan. Panorama alam yang dimiliki oleh lokasi ini serta udara sejuk yang dimiliki oleh lokasi ini mengundang wisatawan untuk datang ke lokasi ini. Dari tahun 2002, tempat wisata berbasis perkebunan mengalami peningkatan jumlah penduduk. Jumlah wisatawan di Wisata Agro Gunung Mas sebanyak 69.798 jiwa (Syartinilia, 2004), meningkat menjadi 275.222 jiwa pada tahun 2009. Jumlah wisatawan di Panorama Alam Riung Gunung pada tahun 2002 sebanyak 5.480 jiwa, sedangkan pada tahun 2009 wisatawan yang berkunjung sebanyak 12.990. Berdasarkan data tersebut, area rekreasi perkebunan menjadi pilihan untuk kegiatan wisata, sehingga luas perkebunan terus bertambah. Informasi perubahan penutupan lahan akan dijelaskan di tiap kecamatan.
54
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua Kec. Ciawi
Gambar 17. Peta Kelas Penutupan Lahan yang Tetap (Tidak Mengalami Perubahan) dalam Periode 2002 – 2009
55
Kawasan Puncak AVNIR-2 19 Juli 2009 (Resolusi 30 x 30 meter)
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua Kec. Ciawi
Gambar 18. Peta Perubahan Kelas Penutupan Lahan dalam Periode 2002 - 2009
56
5.4 Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 Tiap Kecamatan Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Kecamatan Cisarua merupakan tiga kecamatan di kawasan DAS Ciliwung Hulu dan Bogor-Puncak-Cianjur yang diprioritaskan dalam usaha rehabilitasi fungsi kawasan. Selain itu, kawasan ini juga merupakan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya karena merupakan kawasan konservasi air. Namun, dengan adanya perubahan yang terjadi berupa perkembangan pembangunan yang pesat dan kurang terkendali, maka fungsi sebagai area resapan air hujan di kawasan hulu tidak berjalan dengan baik. Perubahan penutupan lahan di kawasan ini dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 Tiap Kecamatan No. Kecamatan
Tetap (ha)
Berubah (ha)
Total (ha)
1.
Ciawi
1.849,41
2.577,79
4.427,20
2.
Megamendung
2.073,96
4.306,56
6.380,52
3.
Cisarua
2.687,76
4.727,79
7.415,55
Berdasarkan Tabel 24, kecamatan yang banyak mengalami perubahan yaitu Kecamatan Cisarua. Lahan seluas 4.727,79 ha telah mengalami perubahan. Perubahan lahan yang cukup besar juga terjadi di Kecamatan Megamendung, yaitu sebesar 4.306,56 ha. Kegiatan pariwisata, jasa dan perdagangan mulai berkembang di dua kecamatan ini. Potensi pemandangan dan udara sejuk yang dimiliki Megamendung dan Kecamatan Cisarua mendorong pembangunan tempat wisata, vila, dan hotel di lokasi ini. Hal ini menyebabkan pembangunan terusmenerus yang mengakibatkan perubahan atau alih fungsi berbagai kelas penutupan lahan menjadi kelas penutupan lainnya, terutama dari lahan terbuka hijau menjadi ruang terbangun. Dibandingkan kecamatan lainnya, Kecamatan Ciawi mengalami perubahan lahan terendah yaitu sebesar 2.577,79 ha. Uraian kelas penutupan lahan yang tetap/tidak mengalami perubahan di ketiga kecamatan tersebut dapat di lihat pada Tabel 25.
57
Tabel 25. Penutupan Lahan yang Tetap/Tidak Berubah Periode 2002 – 2009 tiap Kecamatan No.
Kelas
Ciawi (ha)
Megamendung (ha)
Cisarua (ha)
972,90
632,79
1.557,00
2,34
34,47
273,15
1.
Tetap Hutan
2.
Tetap Perkebunan
3.
Tetap Semak belukar
142,74
184,14
47,16
4.
Tetap Sawah
142,38
292,41
153,09
5.
Tetap Ladang
473,85
824,67
493,56
6.
Tetap Pemukiman
115,02
104,49
163,53
7.
Tetap Badan Air
0,18
0,99
0,27
1.849,41
2.073,96
2.687,76
Total
Seperti yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, hutan memiliki fungsi yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Berdasarkan Tabel 25, lokasi yang masih memiliki banyak hutan yaitu Kecamatan Cisarua. Di lokasi ini banyak terdapat hutan lindung yang harus dijaga keberadaannya. Selain itu, lokasi ini merupakan hulu dari DAS Ciliwung, jadi keberadaan hutan sangat penting untuk mencegah banjir. Untuk mengetahui detail informasi perubahan penutupan lahan tiap kecamatan, maka akan disajikan perjenis penutupan lahan sebagai berikut: 1.
Hutan
Gambar 19. Perubahan hutan menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009
58
Berdasarkan Gambar 19, perubahan hutan banyak terjadi di Kecamatan Cisarua. Seluas 395,19 ha hutan (72,58%) berubah menjadi perkebunan. Sebagian besar tempat wisata di kecamatan ini berupa perkebunan teh seperti Wisata Agro Gunung Mas, Paralayang, kebun teh di sekitar Telaga Warna, dan Riung Gunung. Di Kecamatan Ciawi hutan seluas 168,3 ha (40,58%) berubah menjadi semak belukar, sedangkan hutan di Megamendung banyak berubah menjadi ladang (241,2 ha atau 38,64%). Perubahan besar dari hutan menjadi perkebunan, semak belukar, ladang, sawah, dan pemukiman menunjukkan adanya penebangan dan perambahan kawasan hutan. Lokasi penelitian memiliki fungsi utama sebagai area resapan air hujan, oleh karena itu lahan seluas 15.556,8 ha merupakan kawasan lindung. Namun pada tahun 2002 kawasan yang masih dilindungi hanya 7.052 ha (Syartinilia, 2004) dan kini kawasan hutan hanya tersisa 5.041,29 ha. Hal tersebut menunjukkan adanya perambahan kawasan hutan. Kegiatan budidaya seperti perkebunan, sawah, ladang, bahkan pemukiman yang seharusnya berada pada kawasan non-lindung tetapi kini banyak yang dibangun di kawasan lindung yang seharusnya tidak boleh digunakan. Hutan yang berubah menjadi perkebunan banyak terjadi di sebelah timur dan selatan Kecamatan Cisarua (Gambar 28). Berdasarkan RTRW sampai dengan tahun 2025, lokasi tersebut merupakan kawasan hutan lindung. Perubahan hutan menjadi ladang banyak terjadi di bagian utara Kecamatan Megamendung (Gambar 27). Di lokasi ini memiliki drainase yang baik dan jenis tanahnya adalah latosol coklat yang cocok untuk kegiatan pertanian. Perubahan hutan menjadi semak belukar banyak terjadi di selatan Kecamatan Ciawi (Gambar 26), dalam RTRW hingga tahun 2025 di lokasi ini merupakan kawasan hutan konservasi (taman nasional dan taman wisata alam). 2. Perkebunan Perubahan perkebunan banyak terjadi di Kecamatan Cisarua (Gambar 20). Seluas 337,14 ha perkebunan (66,73%) berubah menjadi hutan dan banyak terjadi di bagian timur Kecamatan Cisarua (Gambar 28). Hal serupa juga terjadi di Kecamatan Megamendung, seluas 70,02 ha perkebunan berubah menjadi hutan. perubahan dari perkebunan menjadi hutan dapat disebabkan adanya perbedaan
59
resolusi yang dimiliki oleh kedua citra dan adanya kemiripan penampakan antara hutan dan perkebunan sehingga terjadi distorsi luas hutan dan perkebunan.
Gambar 20. Perubahan perkebunan menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Selain menjadi hutan, di Kecamatan Cisarua juga perkebunan banyak berubah menjadi pemukiman (88,74 ha). Menurut Lisnawati dan Wibowo (2007), perubahan perkebunan menjadi penutupan lahan lain terjadi karena adanya konversi menjadi ladang dan pemukiman. Perkebunan yang dikonversi ke ladang oleh sebagian petani penggarap kemudian diperjualbelikan dengan status oper alih garapan, yang kemudian hari banyak berkembang menjadi lahan pemukiman. Selain itu kecamatan ini merupakan pusat kegiatan pariwisata. Panorama alam serta udara sejuk yang dimiliki lokasi ini menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke lokasi ini. Maka dibangunlah kawasan pemukiman berupa vila-vila atau hotel-hotel yang dihuni hanya pada waktu tertentu. Di bagian utara Kecamatan Ciawi perkebunan banyak berubah menjadi semak belukar (62,82 ha atau 35,67%) (Gambar 26), di lokasi ini merupakan kawasan hutan konservasi (RTRW sampai dengan tahun 2025) . Hal ini dapat disebabkan karena lahan perkebunan yang sudah tidak produktif ditinggalkan begitu saja dan tidak digarap dalam waktu yang lama, sehingga ditumbuhi oleh semak belukar.
60
3. Semak belukar Perubahan semak belukar banyak terjadi di Kecamatan Megamendung. Seluas 347,31 ha semak belukar (35,73%) berubah menjadi ladang dan seluas 326,16 ha berubah menjadi hutan (Gambar 21).
Gambar 21. Perubahan semak belukar menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Perubahan semak belukar menjadi kelas penutupan lahan lainnya menunjukkan bahwa lahan yang sebelumnya belum dimanfaatkan sekarang telah dimanfaatkan. Perubahan dari semak belukar ke ladang atau ke sawah berkaitan dengan kebutuhan perekonomian yang semakin meningkat. Hal ini menuntut masyarakat untuk membuka usaha berupa pertanian lahan kering ataupun lahan basah yang hasilnya dapat dinikmati sendiri atau dijual ke pihak lain. Perubahan semak belukar menjadi ladang banyak terjadi di bagian utara Kecamatan Megamendung, berdekatan dengan lahan hutan yang berubah menjadi ladang (Gambar 27). Di bagian ini memiliki drainase yang baik dan memiliki jenis tanah latosol coklat dan kemerahan. Di Kecamatan Cisarua, semak belukar yang berubah menjadi hutan tersebar di bagian timur dan selatan Kecamatan Cisarua (Gambar 28). 4. Sawah Sawah banyak berubah menjadi pemukiman di semua kecamatan (Gambar 22). Perubahan sawah menjadi pemukiman di Kecamatan Ciawi, Megamendung,
61
dan Cisarua berturut-turut sebesar 160,29 ha, 214,29 ha, dan 258,66 ha. Hal ini menunjukkan
adanya peningkatan jumlah penduduk yang besar di ketiga
kecamatan. Perubahan dari ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun seperti pemukiman akan mengurangi area resapan air hujan. Area yang awalnya mampu menyerap kelebihan air hujan kini menjadi kedap, sehingga dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Gambar 22. Perubahan sawah menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Selain menjadi pemukiman, sawah juga banyak yang berubah menjadi ladang. Hal ini bisa terjadi karena adanya sistem penggunaan lahan sawah bergantian dengan ladang pada waktu tertentu. Pada masa setelah panen, lahan sawah di berakan terlebih dahulu sebelum ditanami padi kembali. Hal ini bertujuan untuk mengembalikkan kesuburan dan unsur hara tanah. Selama diberakan, lahan sawah digunakan untuk berladang (Juli - Oktober). Perubahan sawah menjadi pemukiman banyak terjadi di sepanjang jalan utama (dari jalan raya Ciawi sampai jalan raya Puncak) yaitu bagian selatan Ciawi, bagian barat Megamendung, dan bagian selatan Kecamatan Cisarua (Gambar 26, 27, dan 28). Hal ini disebabkan karena daerah tersebut lebih dekat dengan aktivitas ekonomi ataupun lebih dekat dengan perkotaan. Berdasarkan RTRW hingga tahun 2025, lokasi tersebut merupakan kawasan sempadan sungai, sekitar danau, sekitar mata air, kawasan gerakan tanah tinggi, kawasan resapan
62
air, pertanian lahan kering dan basah, perkebunan, serta kawasan pemukiman perdesaan hunian jarang dan rendah. 5. Ladang
Gambar 23. Perubahan ladang menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Ladang merupakan salah satu kelas penutupan lahan yang mengalami penurunan luas paling besar. Berdasarkan Gambar 23, ladang banyak berubah menjadi pemukiman di semua kecamatan. Perubahan ladang menjadi pemukiman di Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua berturut-turut sebesar 301,59 ha, 558,09 ha, dan 810 ha. Selama kurun waktu 7 tahun, pemukiman merupakan penutupan lahan yang paling banyak mengalami peningkatan luas lahan. Faktor utama penyebab peningkatan ini akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan ekonomi masyarakat. Hal tersebut menyebabkan kebutuhan lahan sebagai tempat tinggal dan lahan untuk membuka usaha berupa area perdagangan, hotel, villa pun meningkat. Selain menjadi pemukiman, ladang juga banyak berubah menjadi sawah. Hal ini juga dapat disebabkan karena adanya sistem penggunaan lahan ladang menjadi sawah. Penggunaan ladang sekitar bulan Juli – Oktober dengan sistem rotasi tanaman, yaitu sistem penanaman bergilir antara padi dengan tanaman palawija atau sayuran. Tanaman yang biasanya dirotasikan yaitu 1) sayuran – sayuran – bera, 2) palawija – sayuran – bera, 3) padi – palawija – bera. Seperti
63
perubahan yang terjadi pada sawah, perubahan ladang menjadi pemukiman juga banyak terjadi di pusat-pusat kegiatan bermukim, perdagangan, dan jasa (Gambar 26, 27, dan 28). 6. Pemukiman
Gambar 24. Perubahan pemukiman menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Sebagian besar mata pencaharian penduduk di lokasi penelitian ini adalah di bidang pertanian. Berdasarkan Gambar 24, pemukiman yang berubah menjadi ladang banyak terjadi di Kecamatan Ciawi. Seluas 137,79 ha (55,65%) pemukiman di kecamatan ini berubah menjadi ladang. Di Kecamatan Megamendung dan Cisarua perubahan pemukiman menjadi ladang berturut-turut seluas 126,54 ha (44,72%) dan 90,09 ha (32,16%). Selain menjadi ladang, pemukiman juga banyak berubah menjadi sawah. Hal ini disebabkan karena ekonomi dan terbatasnya lahan yang dapat digunakan sebagai lahan pertanian. Di Megamendung lahan pemukiman seluas 122,76 ha berubah menjadi sawah, di Kecamatan Cisarua 88,11 ha dan di Kecamatan Ciawi seluas 83,25 ha lahan pemukimannya berubah menjadi sawah. Perubahan pemukiman menjadi penutupan lahan lain dimungkinkan pemukiman yang berubah sifatnya semi permanen atau tidak permanen yang sudah tidak digunakan dalam jangka waktu yang relatif lama, sehingga memungkinkan terjadinya pengalihgunaan lahan oleh masyarakat untuk dijadikan penutupan lahan lain
64
sepert sawah atau ladang. Perubahan ini banyak terjadi di bagian bawah masingmasing kecamatan (Gambar 26, 27, dan 28). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, di lokasi ini memiliki jenis tanah yang baik untuk pertanian dan berdrainase baik. Hal ini memudahkan dalam proses irigasi dan sesuai denga RTRW yang telah dibuat, bahwa di lokasi tersebut merupakan kawasan sempadan sungai, pertanian lahan kering dan basah, serta perkebunan. 7. Badan air
Gambar 25. Perubahan badan air menjadi 6 kelas lainnya periode 2002- 2009 Berdasarkan Gambar 25, badan air paling banyak berubah menjadi ladang di Megamendung (4,86 ha), menjadi sawah di Megamendung (3,15 ha), dan menjadi pemukiman di Kecamatan Cisarua (2,97 ha). Perubahan ini bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama karena adanya perbedaan musim antara tahun 2002 dengan tahun 2009. Pada tahun 2002 terjadi musim hujan, sedangkan pada tahun 2009 terjadi musim kemarau. Selama musim kemarau tersebut, terjadi kekeringan di pinggir atau tepi badan air. Faktor lain juga bisa disebabkan karena perbedaan resolusi pada kedua peta yang mempengaruhi kedetailan penampakkan penutupan lahan berupa badan air di citra. Citra dengan resolusi 30x30 meter tidak dapat merekam badan air yang memiliki luas kurang dari 30x30 meter.
65
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua
Kec. Ciawi
Gambar 26. Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 – 2009 Kecamatan Ciawi
66
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua
Kec. Ciawi
Gambar 27. Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 Kecamatan Megamendung
67
Kec. Megamendung
Kec. Cisarua
Kec. Ciawi
Gambar 28. Peta Perubahan Penutupan Lahan Periode 2002 - 2009 Kecamatan Kecamatan Cisarua
68
5.5 Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan dan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan yang terjadi di lokasi penelitian dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Secara umum, faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu faktor alam dan faktor manusia. 5.5.1 Faktor Alam Faktor alam yang mempengaruhi perubahan penutupan lahan di suatu wilayah biasanya berupa bencana alam. Bencana alam juga bisa terjadi karena faktor manusia atau bencana yang terjadi karena faktor alam. Di tiga kecamatan ini, jarang terjadi bencana alam yang benar-benar terjadi karena alam seperti gempa bumi atau letusan gunung berapi. Bencana alam yang biasanya terjadi di lokasi ini berupa banjir, longsor, atau kebakaran yang disebabkan oleh perilaku manusia. Terjadinya bencana tersebut dapat menyebabkan perubahan penutupan lahan di lokasi yang terkena bencana. Seperti yang terjadi pada tanggal 4 Februari 2007, longsor menimpa Megamendung yang disebabkan karena ambrolnya tebing di Megamendung akibat hujan deras yang melanda kawasan puncak. Kemudian pada tanggal 17 januari 2010 kontur tanah yang gembur mengakibatkan rumpun pohon bambu seluas 500 meter persegi pada ketinggian 50 meter menimpa pemukiman di Desa Tugu, Kecamatan Cisarua. Hal ini juga diakibatkan oleh hujan deras yang terjadi di kawasan puncak (Pos Kota, 2010). Selain longsor, pada tanggal 12 Februari 2010 lalu, banjir bandang melanda Kecamatan Cisarua (Desa Cisarua, Desa Citeko, Desa Cilember dan Leuwimalang), Kecamatan Megamendung (Desa Megamendung, Cipayung Girang, Desa Kuta dan Sukaresmi). Banjir bandang di lokasi tersebut disebabkan oleh meluapnya sejumlah anak sungai Ciliwung termasuk Sungai Cibeureum akibat hujan deras di daerah puncak. Hal ini mengakibatkan ratusan rumah rusak dan terbawa arus (Andri, 2010). Bencana alam banjir, longsor, dan kebakaran kemungkinan akan mengubah berbagai tipe penutupan lahan menjadi lahan terbuka dan semak belukar. Sebenarnya bencana alam yang terjadi di lokasi penelitian seperti banjir disebabkan karena pola DAS itu sendiri. Karakterisitik DAS Ciliwung Hulu
69
mempunyai bentuk daerah hulu dan tengah dengan kelerengan terjal. Sedangkan daerah tengah sampai hilir sangat datar dan luas. Bentuk DAS seperti ini begitu hujan jatuh maka air hujan dari daerah hulu langsung mengalir ke bawah dengan waktu konsentrasi yang singkat. Sehingga banjir bandang sering terjadi di lokasi ini, ditambah lagi adanya perubahan penutupan lahan di sekitar DAS. Selain perubahan yang terjadi akibat bencana alam, terdapat pula mekanisme alam atau proses suksesi alam yang dapat merubah suatu penutupan lahan menjadi penutupan lahan yang lain. Misalnya, pada lahan kosong yang sudah tidak digarap oleh manusia mendorong tumbuhnya semak belukar ataupun tanaman perdu lainnya, sehingga yang awalnya lahan tersebut merupakan lahan kosong/lahan terbuka berubah menjadi lahan dengan hamparan semak belukar. Lahan budidaya seperti lahan pertanian ataupun perkebunan, apabila tidak digarap dalam waktu yang lama akan berubah menjadi semak belukar. 5.5.2 Faktor Manusia Manusia merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap perubahan penutupan lahan pada suatu kawasan. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun mendorong penduduk untuk melakukan perubahan-perubahan dalam kehidupannya termasuk perubahan dalam mengelola sumberdaya alam yang ada yang berdampak pada perubahan penutupan lahan yang ada. Faktor dari manusia yang dapat mempengaruhi perubahan penutupan lahan
diantaranya adalah
pertumbuhan penduduk, mata pencaharian, aksesibilitas dan fasilitas, serta kebijakan pemerintah. 5.5.2.1 Pertumbuhan Penduduk Meningkatnya jumlah dan kepadatan penduduk di suatu wilayah akan diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan, sehingga akan terjadi konversi lahan di kawasan yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi. Periode 1997 – 2009 di tiga kecamatan ini mengalami peningkatan jumlah penduduk tiap tahunnya, yaitu dari 221.309 jiwa di tahun 1997, menjadi 230.510 jiwa (2000), 293.379 jiwa (2007), 293.560 jiwa (2008), dan akhirnya meningkat menjadi 295.307 jiwa di tahun 2009. Tingginya peningkatan tersebut akan mengakibatkan manusia membuka lahan baru yang digunakan sebagai pemukiman ataupun lahan
70
pertanian. Pada kawasan DAS Ciliwung Hulu telah terbukti bahwa dari tahun 2002 sampai tahun 2009 luas yang mengalami peningkatan paling tinggi yaitu pemukiman. Hal ini menunjukkan adanya pertumbuhan penduduk yang terus berkembang yang menyebabkan penutupan lahan lain berubah menjadi pemukiman. Pertumbuhan penduduk juga menyebabkan meningkatnya lahan pertanian. Lahan pertanian yang terdesak oleh pemukiman yang biasanya terjadi di wilayah perkotaan juga dapat mendorong penduduk untuk membuka lahan baru untuk dijadikan lahan pertanian. 5.5.2.2 Mata Pencaharian Mata pencaharian di wilayah Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Kecamatan Cisarua sebagian besar di bidang pertanian dan jasa rata-rata 5.468 jiwa dan 7.856 jiwa (BPS tahun 2000), baik itu pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, maupun perkebunan. Semakin banyak penduduk yang bekerja di bidang pertanian dan jasa, maka kebutuhan lahan untuk budidaya dan area komersil semakin meningkat dan kegiatan konversi lahan pun akan terus terjadi. Pada penelitian ini telah terbukti bahwa selain konversi lahan menjadi pemukiman, perubahan lahan juga banyak yang menjadi sawah, ladang, dan perkebunan. 5.5.2.3 Aksesibilitas dan Fasilitas Aksesibilitas dan fasilitas merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia karena menyangkut kenyamanan hidup manusia pada lokasi tertentu. Kecamatan Cisarua dan Megamendung merupakan kawasan pusat pemukiman, kegiatan pariwisata, jasa, dan perdagangan. Aksesibilitas dan fasilitas di lokasi ini lebih lengkap dari Kecamatan Ciawi. Badan Pusat Statistik tahun 2010 mencatat bangunan permanaen, semi permanen, dan tidak permanen yang ada di Kecamatan Megamendung dan Kecamatan Cisarua adalah sebanyak 23.536 bangunan dan 19.492 bangunan. Jumlah bangunan tersebut lebih banyak dibandingkan dengan Kecamatan Ciawi. Tempat rekreasi dan wisata pun banyak yang terletak di dua kecamatan ini, seperti Taman Safari Indonesia, Wisata Agro Gunung Mas, Telaga Warna, Panorama Alam Riung Gunung, Curug Cilember, dan Taman Bunga Melrimba. Pada tahun 2002, wisatawan yang berkunjung ke
71
Wisata Agro Gunung Mas sebanyak 69.798 jiwa sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 275.222 jiwa. Di Panorama Alam Riung Gunung wisatawan yang berkunjung sebanyak 5.480 jiwa namun pada tahun 2009 meningkat menjadi 12.990 jiwa. Dengan bertambahnya wisatawan yang datang ke tempat rekreasi tersebut, maka akan terus menambah fasilitas, sarana dan prasarana, serta kemudahan dalam aksesibilitas. Data tersebut menunjukkan bahwa di wilayah ini akan mengalami perkembangan pembangunan yang lebih pesat dan lebih banyak mengalami perubahan penutupan lahan bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya. 5.5.2.4 Kebijakan Pemerintah Kebijakan pemerintah baik yang berasal dari pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat memiliki peranan yang penting dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam. Kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam berpengaruh langsung terhadap perubahan penutupan lahan pada wilayah tersebut. Kebijakan yang paling berpengaruh terhadap perubahan penutupan lahan yaitu kebijakan mengenai tata ruang wilayah. Kebijakan mengenai tata ruang wilayah memberikan arahan pembangunan dan pola tata ruang di wilayah tersebut. Perubahan-perubahan tata ruang dalam rangka pembangunan di wilayah Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Kecamatan Cisarua harus berpedoman pada kebijakan-kebijakan yang berlaku. Kebijakan pemerintah mengenai tata ruang yang berlaku di kawasan Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Kecamatan Cisarua adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 tahun 1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Apabila semua pihak menjalankan peraturan tersebut tentu akan memberikan dampak positif terhadap penutupan lahan. Bagian terpenting dari DAS Ciliwung Hulu adalah hutan. Secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Menurut Undang-undang tersebut, Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan,
72
yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan kawasan hutan lebih lanjut dijabarkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, yaitu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Berpedoman pada undang– undang tersebut, maka di kawasan hutan tidak semestinya terdapat area pemukiman karena akan mengurangi fungsi hutan. Namun dalam pelaksanaannya masih ada pihak yang membangun pemukiman di sekitar hutan bahkan masih ada yang tidak memiliki IMB. Di Kecamatan Cisarua terdapat 1046 unit villa dan hanya 804 unit yang memiliki IMB, di Kecamatan Megamendung terdapat 669 unit villa dan hanya 36 unit yang memiliki IMB, dan di Kecamatan Ciawi ada 6 unit villa yang dibangun di tanah milik negara (Syartinilia, 2004). Hal ini dapat disebabkan karena masih lemahnya hukum yang berlaku di kawasan ini.
73
5.6 Implikasi Perubahan Penutupan Lahan terhadap Lanskap Lanskap merupakan totalitas karakter baik abiotik maupun biotik serta proses yang berlangsung diantaranya. Dalam proses terbentuknya lanskap, prosesnya terjadi tidak statis namun dinamis, setiap waktu lanskap mengalami perubahan. Untuk dapat mengelola lanskap dengan baik, kita mengenal tiga faktor penting didalam manajemen lanskap yaitu struktur, fungsi dan perubahan. Struktur merupakan hubungan spasial antara ekosistem, fungsi merupakan interaksi antara elemen spasial, sedangkan perubahan adalah berubahnya struktur dan fungsi. Pada penelitian di Kawasan Puncak, Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Peningkatan kebutuhan lahan ini merupakan implikasi dari semakin beragamnya fungsi di kawasan tersebut seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa serta industri yang disebabkan oleh keunggulannya dalam potensi yang dimiliki oleh lokasi tersebut sehingga mampu menarik berbagai kegiatan untuk terus dikembangkan. Perubahan tersebut cenderung terjadi dari area terbuka menjadi area terbangun yang akan berimplikasi pada kondisi ekologis lingkungan, karena salah satu akibat dari pemanfaatan sumberdaya alam secara maksimal berupa limbah yang mampu mencemari lingkungan. Berkaitan dengan perkembangan pembangunan yang terjadi di Kawasan Puncak, persaingan penggunaan lahan akan mengarah pada terjadinya perubahan penutupan lahan dengan intensitas yang semakin tinggi. Akibat yang ditimbulkan adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi pusat kegiatan di Kawasan Puncak ke daerah pinggiran Puncak. Adanya fenomena semakin berkurangnya lahan terbuka hijau karena perluasaan lahan terbangun yang terjadi pada daerah yang mengalami urbanisasi memberikan konsekuensi bahwa semakin besar perubahan lahan hutan, pertanian dan daerah resapan air menjadi pemukiman (non-pertanian) memberikan dampak terhadap kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang terjadi adalah penurunan jumlah dan mutu lingkungan diantaranya penurunan mutu dari keberadaan sumberdaya alam seperti, tanah, tata air dan keanekaragaman hayati, menurunnya produksi pertanian dan lain-lain.