V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Interpretasi Visual Penggunaan Lahan Melalui Citra Landsat Interpretasi visual penggunaan lahan dengan menggunakan citra Landsat kombinasi band 542 (RGB) pada daerah penelitian menghasilkan 15 (lima belas) kelas, yaitu badan air, hutan, kebun campuran, kebun coklat, kebun karet, kebun jati, kebun tebu, kebun teh, ladang, mangrove, pemukiman, sawah, semak, sungai, dan tambak. Deskripsi masing-masing penggunaan lahan berdasarkan hasil analisis citra dan pengecekan lapang disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Kenampakan Penggunaan Lahan Di Citra dan Lapangan Unsur Interpretasi
Kenampakan Citra
Kenampakan Lapang
Penggunaan/penutupan Lahan
Lokasi di daerah
Badan air
cekungan, bentuk
Di lapangan badan air berupa
tidak teratur, pola
waduk atau danau. Volume air
menyebar, ukuran
berubah-ubah tergantung pada
kecil, warna biru
musim, sebab sumber utama
terang - gelap, dan
air danau adalah air hujan.
tekstur halus. Berada di daerah
Hutan
pegunungan,
Di
bentuk tak teratur,
dijumpai adalah hutan hujan
pola
menyebar,
tropis dengan didominasi oleh
warna hijau tua
jenis tanaman pinus. Dikelola
gelap,
tekstur
oleh Dinas Perhutani. Potensi
relatif kasar, dan
hasil hutan dapat berupa kayu
ukuran luas.
dan non kayu.
Lokasi ditemukan
Kebun campuran
menyebar, bentuk
Di lapangan, kebun campuran
tak beraturan, pola
di temui menyebar. Tanaman
menyebar, warna
yang dijumpai antara lain
hijau kekuningan,
pisang,
lapangan,
hutan
kelapa,
yang
bambu,
tekstur kasar dan
singkong,
salak,
durian,
ukurannya
pisang, mangga, dan lain-lain.
beranekaragam. Bentuk
tidak
Kebun coklat
beraturan,
pola
Di lapang, kebun ini dijumpai
bergerombol,
dalam ukuran cukup luas.
warna hijau muda
Tanaman ini memiliki tajuk
sampai tua, tekstur
yang rapat dan berdaun lebar.
sedang,
Daun antar tanaman
saling
ukurannya relatif
tumpang
Tinggi
luas.
tanaman ± 4 m, dan jarak
serta
tindih.
tanam 3 x 3 m2. Bentuk
tidak
Kebun jati
beraturan,
pola
Di lapangan, varietas tanaman
menyebar, warna
yang dijumpai berbeda-beda,
hijau
ada varietas jati lokal dan jati
terang
kemerahan,
super. Jarak tanam 2,5 x 2,5
tekstur kasar dan
m2. Tinggi tanaman mencapai
ukuran yang luas.
± 10 m. Keberadaan kebun ini tersebar dan ukurannya luas.
Bentuk
tidak
Kebun karet
beraturan,
pola
Di lapang, kebun karet di
bergerombol dan
temukan dengan kondisi yang
sedikit
beragam, ada yang relatif lebih
memanjang,
muda sampai tua. Hal ini
warna hijau gelap,
tampak
dari
tekstur
tajuknya.
Jarak
dan
sedang, ukurannya
penutupan tanamnya 2
adalah 3 x 7 m . Tinggi tanaman ± 15 m.
relatif luas. Bentuk
tidak
Kebun tebu
beraturan,
pola
Di
lapangan,
kebun
tebu
menyebar, warna
ditemui dalam kondisi yang
hijau
beragam,
terang
ada
yang
baru
sampai hijau tua,
ditanam dan ada yang baru
tekstur kasar, dan
saja dipanen. Pola tanam ini
ukurannya relatif
rapat dan berlarik. Tinggi
besar.
tanaman bisa mencapai ± 3 m.
Berada di daerah
Kebun teh
pegunungan,
Di lapang dijumpai kebun teh
bentuk tak teratur,
dengan ukuran yang sangat
pola bergerombol,
luas, terawat, dan di antara
warna hijau muda,
tanaman teh ditanam sejenis
tekstur
halus
pohon
sampai
sedang,
berfungsi sebagai peneduh.
ukurannya
Pola tanam berlarik, jarak
dan
petai-petaian
yang
tanam ± 1 m di dalam larikan,
luas.
dan 1,2 m jarak antar larik. Lokasi menyebar
Ladang
merata,
Penggunaan
bentuk
lahan
tidak
beraturan,
dikelompokkan
pola
menyebar
peenggunaan lahan pertanian
warna hijau terang
lahan kering, dan ditanami
dan
dengan
kemerahan,
ke
ini
jenis
dalam
tanaman
tekstur kasar, dan
musiman, seperti jagung dan
ukuran beragam.
tanaman hortikultura lainnya.
Bentuk beraturan,
Mangrove dan Tambak
pola teratur dan
Di lapangan, tipe penggunaan
bergerombol, dan
ini berada di sekitar daerah
berada di daerah
bibir
sepanjang pantai,
garis
a. Mangrove
berwarna
hijau gelap,
dengan
berbatasan
biru
jenis
dengan
tambak.
Pola dan bentuk yang teratur
tekstur
tersebut
halus, dan ukuran beragam.
dijumpai
Mangrove
tanaman beragam. Mangrove
terang
bergaris
pantai.
adalah
tambak,
sedangkan tanaman mangrove b. Tambak
menjadi
pembatas
antar
petakan tambak. Bentuk
tidak
Pemukiman
beraturan
tetapi
Di lapangan, dijumpai tipe
spesifik,
pola
pemukiman
bergerombol,
antara a. pegunungan
yang
daerah
berbeda
pegunungan,
warna
merah
terang
sampai
daerah pantai.
pink,
tekstur
bangunan
kasar,
ukuran
lebih baik pemukiman yang
dataran (bukan pantai) dan dan
Dari segi keteraturan,
beragam dari kecil
ada di daerah dataran (bukan
sampai luas dan
pantai)
menyebar merata
lainnya. secara
di seluruh bagian b. dataran (bukan pantai)
DAS.
dibandingkan
yang
Di
pegunungan,
umum
pemukiman
dijumpai dengan pola tidak teratur, dominan berada di sekitar jalan utama dan pusat aktivitas pasar, jarak antar rumah
berjauhan,
dan
pekarangan yang sempit. Di c. daerah pantai
daerah dataran dan pantai, pola pemukiman lebih teratur, menyebar merata, jarak antar pemukiman relatif dekat, dan pekarangannya luas.
Bentuk pola
teratur,
Sawah
menyebar,
Kenampakan di lapang, sawah
warna hijau cerah,
dijumpai dalam ukuran yang
biru terang sampai
sangat luas dan menyebar di
gelap,
tekstur
halus, dan ukuran
a. utara (dataran pantai)
bagian utara sampai ke selatan. Di
bagian
utara
dengan
beragam dari kecil
topografi relatif datar, sawah
di daerah dataran
terlihat apik dan indah, tampak
tinggi
datar
sampai
bak
permadani.
Di
sangat luas dan
daerah ini penggunaan sawah
dataran rendah.
sangat b. dataran (bukan pantai)
intensif.
Ukuran
petakan sawah sangat luas. Sawah di bagian utara banyak dikelola oleh Balai Besar Padi Nasional. Di bagian selatan, umumnya merupakan sawah terasering.
Hal
ini
terkait
dengan topografi daerah yang bergelombang-berbukit. c. selatan (pegunungan)
Sistem irigasi yang digunakan adalah irigasi teknis. Intensitas penggunaan
intensif, setiap
dua kali panen padi diselingi
oleh palawija. Ukuran petakan relatif kecil. Bentuk tak teratur,
Semak
pola
menyebar,
Pada kondisi lapang, semak
warna
hijau
yang dijumpai lebih kepada
terang,
tekstur
lahan yang dibiarkan setelah
kasar,
ukuran
penggunaan tertentu atau lebih
yang relatif luas,
cenderung
ditemukan
lebih
penggunaan lahan satu ke
banyak di daerah
bentuk penggunaan lainnya.
pegunungan.
Sehingga alang-alang
peralihan
ditumbuhi
oleh
atau
jenis
tumbuhan semak lainnya. Bentuk tak teratur,
Sungai
pola
memanjang
Di
dan
meliuk-liuk,
ditemukan
dengan
memanjang
dan
warna
biru
tua,
lapangan,
sungai pola
berkelok-
tekstur halus, dan
kelok di daerah dataran, dan
ukurannya kecil.
relatif lurus di pegunungan. Lebar sungai ± 10 m.
5.2 Penggunaan Lahan pada Tahun 1990, 2000 dan 2008 Penggunaan lahan pada daerah penelitian didominasi oleh sawah, baik pada tahun 1990, 2000, dan 2008 yaitu sekitar 45% dari luas daerah penelitian itu sendiri. Sedangkan bagian yang lain merupakan kombinasi dari beberapa tipe penggunaan lahan lainnya yang terdapat di wilayah tersebut. Gambar 19, 20, dan 21 menyajikan peta penggunaan lahan DAS Cipunagara dan sekitarnya tahun 1990, 2000, dan 2008. Pada peta penggunaan lahan baik pada tahun 1990, 2000, maupun 2008 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan sawah menyebar di seluruh bagian DAS, pada daerah dataran lebih dominan dibandingkan di daerah pegunungan. Di daerah dataran sawah ditemukan sangat luas dan menyebar merata hampir di seluruh bagian, sedangkan di daerah pegunungan ukuran sawah relatif lebih kecil dan menyebar. Berbeda dengan mangrove dan tambak yang hanya berada di daerah pinggir pantai, yaitu Kecamatan Blanakan dan Pamanukan.
Gambar 5 Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara dan Sekitarnya Tahun 1990
Gambar 6 Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara dan Sekitarnya Tahun 2000
Gambar 7 Peta Penggunaan Lahan DAS Cipunagara dan Sekitarnya Tahun 2008 Hutan menyebar di bagian selatan sampai daerah tengah DAS (dataran bukan pantai). Meskipun pada daerah dataran bukan pantai luas hutan cenderung lebih kecil dibandingkan bagian selatannya. Hutan lebih dominan berada di Kecamatan Jalancagak, Cisalak, dan Tanjungsiang. Kebun jati menyebar di bagian tengah DAS, dan paling besar berada di Kecamatan Buahdua, Indramayu. Sedangkan semak, dalam penyebarannya berada di sekitar hutan dan kebun jati, juga sawah. Pemukiman menyebar merata dari bagian utara sampai bagian selatan DAS, dan cenderung lebih padat di bagian tengah. Sedangkan kebun karet, kebun teh dan kebun tebu letaknya cenderung terpusat pada satu daerah tertentu. Proporsi luasan masing-masing tipe penggunaan lahan pada tahun 1990, 2000, dan 2008 disajikan pada Gambar 22. Dari Gambar 22 dapat diketahui bahwa penggunaan lahan pada tiga titik tahun pengamatan, sawah masih menjadi penggunaan lahan yang dominan. Pada tahun 1990 luasnya mencapai 46,6% dari luas total penggunaan lahan, pada tahun 2000 mencapai 45,1%, dan pada tahun 2008 mencapai 44,6%. Luas total DAS sendiri cenderung meningkat dari satu tahun ke tahun berikutnya. Pada tahun 1990 luasnya adalah 171.230 ha, pada
tahun 2000 mencapai 171.430 ha dan pada tahun 2008 menjadi 171.630 ha. Hal ini terkait dengan penimbunan bahan-bahan sedimen yang terbawa oleh air sungai sampai ke daerah muara (hilir) membentuk sebuah daratan yang disebut delta.
Gambar 8 Luas Penggunaan Lahan Tahun 1990, 2000, dan 2008 Ket : angka di atas diagram menunjukkan persentase luas terhadap total BDA : badan air KCK : kebun coklat KTB : kebun tebu MRV : mangrove HTN : hutan KJT : kebun jati KTH : kebun teh PMK : pemukiman KCP : kebun campuran KKR : kebun karet LDG : ladang SWH : sawah
SMK SNG TMB
: semak : sungai : tambak
Penggunaan lahan dominan kedua pada masing-masing tahun pengamatan berbeda, pada tahun 1990 ditempati oleh tipe penggunaan lahan hutan yaitu sebesar 13,6%, dan pada tahun 2000 bergeser menjadi kebun jati dengan luasan 12,6%, dan 2008 kembali ditempati oleh kebun jati yang mencapai 10,5% dari luas total. Sedangkan penggunaan lahan badan air, kebun coklat, kebun tebu, kebun teh, ladang, mangrove, sungai dan tambak termasuk penggunaan lahan dengan luas yang kecil, dengan masing-masing proporsi < 5% dari luas total daerah penelitian. Badan air dan sungai merupakan penggunaan lahan dengan luasan yang dianggap tetap meski memiliki luasan yang berbeda pada masing-masing tahun pengamatan. Hal ini dikarenakan volume badan air dan sungai sangat dipengaruhi oleh intensitas hujan sebagai sumber utama ketersediaan airnya. Sehingga ketika perekaman data pada musim hujan akan menghasilkan badan air yang lebih luas dibandingkan pada saat musim kemarau.
5.3 Perubahan Penggunaan Lahan pada Periode Tahun 1990 - 2000 dan 2000 - 2008 Pada peta penggunaan lahan tahun 1990, 2000, dan 2008, dapat dilihat bahwa telah terjadi beberapa perubahan bentuk maupun luasan penggunaan lahan. Hasil proses overlay (tumpang-tindih) masing-masing peta penggunaan lahan menunjukkan luas perubahan penggunaan lahan. Proporsi perubahan luas penggunaan lahan yang terjadi dalam periode tahun 1990 - 2000 dan tahun 2000 – 2008 disajikan pada Gambar 23. Pada tahun 1990 - 2000 besar perubahan penggunaan lahan sekitar 14.840 ha sedangkan pada tahun 2000 - 2008 perubahan yang terjadi sebesar 20.020 ha. Dari Gambar 23 diketahui bahwa pada periode tahun 1990 - 2000 tipe penggunaan lahan yang mengalami perubahan luasan terbesar adalah hutan yaitu penurunan luasan sebesar 26,8% dari total perubahan luasan yang terjadi. Artinya telah terjadi pengalihan fungsi hutan menjadi tipe penggunaan lahan lainnya. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat pentingnya fungsi hutan dalam sistem tata air sampai ke hilir. Kemudian perubahan ini diikuti oleh penambahan luasan kebun jati sebesar 17,9%, dan penurunan luasan sawah sebesar 16,7%.
Gambar 9 Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Peroide Tahun 1990 - 2000 dan 2000 - 2008 Ket : angka di atas diagram menunjukkan persentase luas terhadap total BDA : badan air KCK : kebun coklat KTB : kebun tebu MRV : mangrove HTN : hutan KJT : kebun jati KTH : kebun teh PMK : pemukiman KCP : kebun campuran KKR : kebun karet LDG : ladang SWH : sawah
SMK SNG TMB
: semak : sungai : tambak
Pada periode pengamatan selanjutnya yaitu tahun 2000 - 2008 telah terjadi perubahan tipe penggunaan lahan dengan pola yang berbeda dari periode sebelumnya. Dapat diketahui bahwa pada periode ini perubahan luasan terbesar terjadi pada pemukiman, yaitu penambahan luasan sebesar 36,6%, penambahan ini sekitar tiga kali lipat dari penambahan luas pada periode sebelumnya yang hanya berkisar 12,5% dari total perubahan luas penggunaan lahan. Perubahan luas terbesar kedua adalah kebun jati yang mengalami penurunan luasan sebesar 18,1% dari luas total perubahan, dan diikuti penurunan luasan kebun campuran sebesar 16,3%. Mengingat penambahan pemukiman sampai tiga kali lipat dari perubahan luas pada periode sebelumnya, tidak menutup kemungkinan bahwa peningkatan ini berhubungan dengan penurunan luas penggunaan lahan lainnya seperti kebun campuran dan penggunaan lahan lain. Peningkatan luas pemukiman ini berkaitan dengan jumlah penduduk yang selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1990 - 2000, pertumbuhan penduduk di daerah penelitian rata-rata 0,42 sedangkan pada tahun 2000 - 2008 mencapai 0,84. Gambar 23 juga memperlihatkan beberapa pola perubahan yang sama dari periode pertama yaitu pada tahun 1990 - 2000 dan periode selanjutnya yaitu tahun 2000 - 2008. Misalnya hutan dan sawah memiliki pola yang sama yaitu mengalami penurunan, dan penurunan luasan ini sekitar sepertiga dari penurunan luasan pada periode sebelumnya. Kebun campuran dan kebun jati juga memiliki pola yang sama, yaitu meningkat di periode 1990 - 2000, kemudian menurun di periode 2000 - 2008. Kebun tebu, pemukiman dan semak juga memiliki pola yang sama, yaitu selalu meningkat dari tahun ke tahun berikutnya. Sedangkan beberapa penggunaan lahan lainnya terlihat sangat sedikit sekali perubahan yang terjadi yaitu < 5% dan bahkan ada yang tidak berubah. Table 5 dan Tabel 6 menunjukkan matriks perubahan penggunaan lahan pada masing-masing periode. Tabel 5 menunjukkan perubahan luasan penggunaan lahan terbesar pada tahun 1990 - 2000 terjadi pada hutan yaitu penurunan luasan sebesar 26,8%. Perubahan ini meliputi penggunaan lahan hutan berubah menjadi semak (1,1%), kebun jati (0,8%) dan sisanya menjadi ladang dan sawah. Semak merupakan suatu bentuk peralihan dari satu penggunaan lahan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Misalnya, hutan yang akan dialih fungsikan menjadi
ladang. Sebelum digunakan sebagai ladang, ada fase-fase dimana lahan tersebut tidak dimanfaatkan, seperti pada saat penebangan hutan, pengeringan lahan untuk mengatur kelembaban tanah, dan persiapan lahan lainnya. Oleh sebab itu luas hutan yang terkonversi menjadi semak sangat tinggi. Gambar 23 juga menunjukkan bahwa penambahan luas pemukiman pada periode tahun 2000 - 2008 mencapai 36,6%, yang merupakan perubahan luasan penggunaan lahan terbesar. Tabel 6 menunjukkan bahwa penambahan luas pemukiman tersebut berasal dari sawah (2,3%), dan kebun campuran (0,7%) serta beberapa penggunaan lahan lainnya dengan proporsi masing-masing < 0,5%. Pada periode ini, hampir semua tipe penggunaan lahan berubah menjadi pemukiman, kecuali badan air, sungai dan tambak.
5.4 Faktor Sosial dan Ekonomi yang Mempengaruhi Perubahan Luasan Penggunaan Lahan Periode Tahun 1990 - 2000 dan 2000 - 2008 Dari 15 (lima belas) tipe penggunaan lahan, tujuh diantaranya tidak dapat dianalisis dengan metode Analisis Regresi Berganda (Multiple Regression Analysis) karena beberapa alasan, yaitu pertama luasan penggunaan lahan relatif tetap karena sangat dipengaruhi oleh keberadaan volume air yang terekam pada saat perekaman data oleh satelit seperti pada badan air dan sungai. Ketika musim hujan, dengan intensitas hujan yang lebih tinggi akan menyebabkan volume air meningkat, tetapi ketika musim kemarau, dengan intensitas hujan yang sedikit akan menyebabkan volume air menurun. Kedua karena populasi data sebagai syarat dilakukannya analisis tidak mencukupi, yaitu jumlah data kurang dari jumlah peubah yang digunakan. Hal ini terjadi pada lima penggunaan lahan lainnya yaitu kebun coklat, kebun karet, kebun teh, mangrove dan tambak. Kelima penggunaan lahan ini memiliki pola yang mengumpul dan juga tidak terjadi perubahan luasan yang nyata dari tahun ke tahun. Analisis statistika tahun 1990 - 2000 (per kecamatan) menghasilkan beberapa persamaan yang disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Persamaan Regresi, Koefisien Determinasi, Nilai F hitung, Nilai F tabel dan Nilai Probabilitas Kritis Analisis Tahun 1990 - 2000 (per Kecamatan) Persamaan Regresi
R2
F F hitung tabel
P
Y1 = - 0,730 + 2,370X3 - 36,30X5 + 352X6 + 1,390X8
0,63
2,55 3,48 0,15
Y2 = 0,026 + 0,053X2 + 0,400X5 + 8,20X6 + 0,009X7 + 0,401X8
0,43
1,65 2,85 0,23
Y3 = 0,248 + 0,004X2 + 36,70X5 + 989X6
0,95 20,19 4,76 0,02
Y4 = - 0,003 + 0,010X1 - 0,001X7 + 0,114X8
0,86
2,01 6,59 0,47
Y5 = 0,0449 + 0,151X2 - 4,27X5 - 0,001X7 + 0,227X8
0,24
0,63 3,26 0,65
Y6 = - 0,003 + 0,0126X2 + 0,0302X3 + 13,3X6 - 0,009X7 + 0,186X8
0,41
2,05 2,71 0,13
Y7 = 0,293 + 0,104X2 + 0,751X3 + 0,32X5 + 58X6 - 0,043X7
0,22
0,86 2,71 0,53
Y8 = - 0,025 + 0,360X3 + 3,2X5 - 0,036X7 + 0,91X8
0,36
0,69 3,63 0,63
Sumber : hasil analisis dengan Minitab
Dari delapan model yang diperoleh, model dengan persamaan yang memiliki hubungan erat atau yang paling baik adalah model persamaan perubahan luas kebun jati, dengan nilai R2 0,95. Artinya model mampu menerangkan 95% variasi yang terjadi. Nilai P persamaan dalam Analysis of Variance < 95% (selang kepercayaan model). Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan semua
peubah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Sedangkan model dengan persamaan paling buruk adalah perubahan luas sawah dengan nilai R2 hanya 0,22. Dalam hal ini, perubahan yang terjadi pada sawah masih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya, seperti faktor fisik dan teknologi yang berkembang. Pada analisis tahun 2000 - 2008 (per kecamatan), juga menghasilkan delapan persamaan yang disajikan oleh Tabel 9. Berbeda dengan hasil analisis pada periode sebelumnya, pada periode ini persamaan yang memiliki hubungan erat atau yang paling baik adalah model persamaan perubahan luas kebun tebu, dengan nilai R2 yaitu 0,95 dimana model mampu menerangkan 95% variasi yang terjadi. Nilai P persamaan ini dalam Analysis of Variance sama dengan selang kepercayaan yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan semua peubah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Model dengan persamaan paling buruk adalah perubahan luas pemukiman dengan nilai R2 hanya 0,06. Hal ini karena masih banyak faktor lain yang mempengaruhinya, seperti faktor kelembagaan ataupun regulasi. Tabel 9 Persamaan Regresi, Koefisien Determinasi, Nilai F hitung, Nilai F tabel dan Nilai Probabilitas Kritis Analisis Tahun 2000 - 2008 (per Kecamatan) Persamaan Regresi
R2
F hitung
F tabel
P
Y1 = 1,17 + 0,047X3 - 21,9X5 - 0,0267X7 + 6,35X8
0,50
1,49
3,48
0,31
Y2 = 0,035 + 0,031X3 - 0,094X5 + 4,98X6 - 0,004X7 + 0,490X8
0,30
0,87
2,90
0,53
Y3 = 0,074 + 0,646X2 + 0,138X3 - 90X5
0,63
1,69
4,76
0,34
Y4 = 0,010 + 0,039X2 + 0,052X8
0,95
18,73
6,94
0,05
Y5 = 0,001 + 0,004X2 + 7,33X5 - 0,010X7 + 0,312X8
0,40
1,84
3,06
0,19
Y6 = 0,11 + 0,001X2 + 0,009X3 + 0,407X5 - 0,006X7 + 0,047X8
0,06
0,21
2,71
0,96
Y7 = 0,819 + 0,005X2 + 0,040X3 - 0,0337X7 + 1,21X8
0,08
0,33
2,90
0,85
Y8 = 0,235 + 8,9X5 + 20X6 - 0,045X7
0,14
0,33
3,86
0,80
Sumber : hasil analisis dengan Minitab
Analisis tahun 2000 - 2008 per desa juga menghasilkan delapan model persamaan yang disajikan pada Tabel 10. Model yang paling baik adalah model persamaan perubahan luas kebun tebu, dengan nilai R2 yaitu 0,58. Artinya model mampu menerangkan 58% variasi yang terjadi. Nilai P persamaan ini dalam Analysis of Variance < 95% (selang kepercayaan yang digunakan). Hal ini
menunjukkan bahwa secara keseluruhan semua peubah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Model dengan persamaan yang paling buruk adalah perubahan luas sawah dengan nilai R2 hanya 0,04. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak faktor lain yang lebih berperan dalam mempengaruhi perubahan luas sawah, seperti faktor fisik dan teknologi. Tabel 10 Persamaan Regresi, Koefisien Determinasi, Nilai F hitung, Nilai F tabel dan Nilai Probabilitas Kritis Analisis Tahun 2000 - 2008 (per Desa) R2
Persamaan Regresi
F hitung
F tabel
P
Y1 = 0,353 + 0,067X3 + 0,47X4 + 0,0X6
0,06
1,00
2,76
0,34
Y2 = 0,093 + 0,0119X3 + 0,214X4 + 0,044X5 + 0,095X8
0,05
1,39
2,45
0,24
Y3 = 0,451 + 0,098X1 + 0,013X3 + 6,96X5 + 0,269X8
0,06
0,66
2,61
0,62
Y4 = 0,122 + 0,283X2 + 0,256X8
0,58
7,55
3,81
0,01
Y5 = 0,113 + 0,003X1 + 0,332X5 + 4,73X6 + 0,111X8
0,05
0,93
2,53
0,45
Y6 = 0,072 + 0,027X2 + 0,009X3 + 0,162X5 + 1,08X6 + 0,259X8
0,18
7,81
2,21
0,00
Y7 = 0,616 + 0,015X2 + 0,719X4 + 0,126X5 + 5,23X6
0,04
1,69
2,37
0,16
Y8 = 0,293 + 0,172X2 + 106X6 + 0,077X8
0,12
2,37
2,76
0,08
Sumber : hasil analisis dengan Minitab
Secara umum, dilihat dari jumlah peubah muncul di semua persamaan perubahan luas penggunaan lahan di DAS Cipunagara dan sekitarnya analisis per kecamatan pada rentang periode tahun 1990 - 2000 dan tahun 2000 - 2008, dipengaruhi aksesibilitas (jarak ke pasar dan kerapatan jalan). Sedangkan menurut hasil analisis desa pada tahun 2000 - 2008 faktor yang secara umum menyebabkan perubahan penggunaan lahan adalah aksesibilitas (kerapatan jalan). Adapun model persamaan perubahan luas penggunaan lahan untuk masing-masing penggunaan lahan adalah sebagai berikut : a. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan hutan Model persamaan perubahan penggunaan lahan hutan pada analisis kecamatan tahun 1990 - 2000 yaitu Y1 = - 0,730 + 2,37X3 - 36,3X5 + 352X6 + 1,39X8 (Tabel 8) dengan R2 cukup besar yaitu 0,63, artinya model tersebut mampu menerangkan 63% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000 - 2008 model persamaannya menjadi Y1 = 1,17 + 0,047X3 - 21,9X5 - 0,0267X7 + 6,35X8 (Tabel 9), dengan R2 0,50. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel
dan nilai P > 95%, hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000 - 2008 persamaannya menjadi Y1 = 0,353 + 0,067X3 + 0,47X4 + 0,0X6 (Tabel 10), dengan R2 0,06 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%. Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990 2000 peubah perubahan kerapatan penduduk (X3) merupakan peubah yang berpotensial mempengaruhi perubahan luas hutan dengan nilai P 0,06. Pada analisis tahun 2000 - 2008 per kecamatan faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan adalah keratapatan jalan (X8) dengan nilai P 0,06. Dan pada analisis tingkat desa faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan adalah perubahan kerapatan penduduk (X3) dan kerapatan jalan (X8) dengan nilai P mendekati tingkat kepercayaan yang digunakan yaitu 95% (Lampiran 2). b. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan kebun campuran Model dengan perubahan penggunaan lahan kebun campuran pada analisis kecamatan pada tahun 1990 - 2000 yaitu Y2 = 0,026 + 0,053X2 + 0,400X5 + 8,20X6 + 0,009X7 + 0,401X8 (Tabel 8), dengan R2 0,43 dimana model tersebut hanya mampu menerangkan 43% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000 - 2008 model persamaannya menjadi Y2 = 0,035 + 0,031X3 - 0,094X5 + 4,98X6 0,004X7 + 0,490X8 (Tabel 9), dengan R2 0,30. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000 - 2008 yang sama persamaannya menjadi Y2 = 0,093 + 0,0119X3 + 0,214X4 + 0,044X5 + 0,095X8 (Tabel 10), dengan R2 hanya 0,05 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%.
Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990 – 2000 dan 2000 - 2008 tidak ada peubah yang memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan luas kebun campuran. Begitu pula pada analisis per desa tahun 2000 - 2008. c. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan kebun jati Model dengan perubahan penggunaan lahan kebun jati pada analisis kecamatan pada tahun 1990 - 2000 yaitu Y3 = 0,248 + 0,004X2 + 36,70X5 + 989X6 (Tabel 8). Model ini memiliki R2 0,95, artinya model tersebut mampu menerangkan 95% variasi yang terjadi dengan nilai F hitung > F tabel dan nilai P < 95%. Pada tahun 2000 - 2008 model persamaannya menjadi Y3 = 0,074 + 0,646X2 + 0,138X3 - 90X5 (Tabel 9), dengan R2 0,63 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P >. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model pada tahun 1990 - 2000 cukup bagus dan semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan luasan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan model tahun 2000 - 2008 secara keseluruhan baik, tetapi tidak semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000 - 2008 persamaannya menjadi Y3 = 0,451 + 0,098X1 + 0,013X3 + 6,96X5 + 0,269X8 (Tabel 10), dengan R2 hanya 0,06 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%. Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990 2000 peubah yang berpotensial mempengaruhi perubahan luas kebun jati secara nyata adalah jumlah pasar (X5). Hal ini ditunjukkan oleh nilai P 0,05 yang sama dengan tingkat kepercayaan yang digunakan (Lampiran 2). Pada analisis tahun 2000 - 2008 per kecamatan maupun per desa, tidak ada faktor yang secara nyata mempengaruhi perubahan.
d. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan kebun tebu Model dengan perubahan penggunaan lahan kebun tebu pada analisis kecamatan pada tahun 1990 - 2000 yaitu Y4 = - 0,003 + 0,010X1 - 0,001X7 + 0,114X8 (Tabel 8). Model ini memiliki R2 cukup besar yaitu 0,86, artinya model tersebut mampu menerangkan 86% variasi yang terjadi. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Pada tahun 2000 - 2008 model persamaannya menjadi Y4 = 0,010 + 0,039X2 + 0,052X8 (Tabel 9), dengan R2 0,95 dan nilai F hitung > F tabel serta nilai P = 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan pada analisis tahun 1990 - 2000 tidak semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan luasan yang terjadi, sedangkan pada tahun 2000 - 2008 peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000 - 2008 persamaannya menjadi Y4 = 0,122 + 0,283X2 + 0,256X8 (Tabel 10), dengan R2 0,58 dan nilai F hitung > F tabel serta nilai P < 95%. Artinya secara umum model ini cukup baik, dan semua peubah bebas yang digunakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990 2000 tidak ada peubah yang berpotensial mempengaruhi perubahan luas kebun tebu. Pada analisis per kecamatan tahun 2000 - 2008 faktor ketersediaan lahan lain yang mungkin berubah menjadi kebun tebu (X2) merupakan faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan dengan nilai P 0,03. Begitu pula pada analisis tingkat desa pada tahun 2000 - 2008 faktor yang sama juga berpotensi mempengaruhi perubahan yang terjadi (Lampiran 2). e. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan ladang Model dengan perubahan penggunaan lahan ladang pada analisis kecamatan pada tahun 1990 - 2000 yaitu Y5 = 0,0449 + 0,151X2 - 4,27X5 0,001X7 + 0,227X8 (Tabel 8). Model ini memiliki R2 hanya 0,24, artinya model tersebut hanya mampu menerangkan 24% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000 2008 model persamaannya menjadi Y5 = 0,001 + 0,004X2 + 7,33X5 - 0,010X6 +
0,312X8 (Tabel 9), dengan R2 0,40. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model kurang baik dan semua peubah bebas tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000 - 2008 persamaannya menjadi Y5 = 0,113 + 0,003X1 + 0,332X5 + 4,73X6 + 0,111X8 (Tabel 10), dengan R2 hanya 0,05 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%. Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990 2000 tidak ada peubah yang berpotensial mempengaruhi perubahan luas ladang. Pada analisis tahun 2000 - 2008 per kecamatan faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan luas ladang adalah kerapatan jalan (X7) sedangkan pada analisis tingkat desa tidak terdapat faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan luas ladang itu sendiri (Lampiran 2). f. Faktor yang pemukiman
mempengaruhi
perubahan
luas
penggunaan
lahan
Model dengan perubahan penggunaan lahan pemukiman pada analisis kecamatan pada tahun 1990 - 2000 yaitu Y6 = - 0,003 + 0,0126X2 + 0,0302X3 + 13,3X6 - 0,009X7 + 0,186X8 (Tabel 8). Model ini memiliki R2 0,41 dimana model tersebut hanya mampu menerangkan 41% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000 2008 model persamaannya menjadi Y6 = 0,11 + 0,001X2 + 0,009X3 + 0,407X5 0,006X7 + 0,047X8 (Tabel 9), dengan R2 hanya 0,06. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan tidak semua peubah bebas memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000 - 2008 persamaannya menjadi Y6 = 0,072 + 0,027X2 + 0,009X3 + 0,162X5 + 1,08X6 + 0,259X8 (Tabel 10), dengan R2 0,18 dan nilai F hitung > F tabel serta nilai P < 95%. Artinya
secara umum model ini kurang baik, namun peubah bebas yang digunakan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990 2000 peubah bebas jarak ke pasar (X6) merupakan peubah yang berpotensi mempengaruhi perubahan luas pemukiman. Hal ini ditunjukkan oleh nilai P (0,07) yang mendekati tingkat kepercayaan yang digunakan (0,05). Pada analisis tahun 2000 - 2008 per kecamatan tidak ada faktor yang secara nyata mempengaruhi perubahan. Dan pada analisis tingkat desa faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan adalah kerapatan jalan (X7) dengan nilai P (0,00) lebih kecil dari tingkat kepercayaan yang digunakan. g. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan sawah Model dengan perubahan penggunaan lahan sawah pada analisis kecamatan pada tahun 1990 - 2000 yaitu Y7 = 0,293 + 0,104X2 + 0,751X3 + 0,32X5 + 58X6 - 0,043X7 (Tabel 8). Model ini memiliki R2 hanya 0,22 dimana model tersebut hanya mampu menerangkan 22% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000 - 2008 model persamaannya menjadi Y7 = 0,819 + 0,005X2 + 0,040X3 0,0337X7 + 1,21X8 (Tabel 9), dengan R2 hanya 0,08. Namun berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikasi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model yang dihasilkan kurang baik, dan semua peubah bebas tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun yang sama persamaannya menjadi Y7 = 0,616 + 0,015X2 + 0,719X4 + 0,126X5 + 5,23X6 (Tabel 10), dengan R2 hanya 0,04 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%. Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan kurang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990 2000 dan 2000 - 2008 tidak ada peubah yang secara nyata mempengaruhi perubahan luas sawah. Sebangkan pada analisis tingkat desa faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan adalah jumlah pasar (X6) dengan nilai P 0,08 (Lampiran 2).
h. Faktor yang mempengaruhi perubahan luas penggunaan lahan semak Model dengan perubahan penggunaan lahan semak pada analisis kecamatan pada tahun 1990 - 2000 yaitu Y8 = - 0,025 + 0,360X3 + 3,2X5 0,036X7 + 0,91X8 (Tabel 8). Model ini memiliki R2 0,36 artinya model tersebut hanya mampu menerangkan 36% variasi yang terjadi. Pada tahun 2000 - 2008 model persamaannya menjadi Y8 = 0,235 + 8,9X5 + 20X6 - 0,045X7 (Tabel 9), dengan R2 hanya 0,14. Berdasarkan Analysis of Variance yang menunjukkan uji signifikansi secara menyeluruh, kedua model memiliki nilai F hitung < F tabel dan nilai P > 95%. Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan model yang dihasilkan kurang baik dan semua peubah bebas tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi dengan tingkat kepercayaan 95%. Sedangkan pada analisis per desa pada tahun 2000 - 2008 persamaannya menjadi Y8 = 0,293 + 0,172X2 + 106X6 + 0,077X8 (Tabel 10), dengan R2 0,12 dan nilai F hitung < F tabel serta nilai P > 95%. Artinya secara umum model ini kurang baik, dan peubah bebas yang digunakan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan yang terjadi. Berdasarkan nilai koefisien regresi, pada analisis kecamatan tahun 1990 2000 dan 2000 - 2008 tidak terdapat peubah yang berpotensial mempengaruhi perubahan luas semak. Sedangkan pada analisis tingkat desa faktor yang berpotensi mempengaruhi perubahan adalah jumlah pasar (X6) dengan nilai P 0,03 (Lampiran 2).
5.5 Kajian Umum Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Perubahan Penggunaan Lahan Secara garis besar, dari semua model persamaan yang diperoleh dari hasil Analisis Regresi Berganda hanya beberapa persamaan yang mempunyai nilai R2 ≥ 0,50 dan terjadi pengulangan pada tipe penggunaan lahan yang sama, yaitu hutan, kebun jati dan kebun tebu. Tipe penggunaan tersebut dapat dirangkum dalam Tabel 11. Selain itu nilai koefisien peubah juga mencerminkan hubungannya terhadap perubahan yang terjadi. Nilai yang positif berarti hubungan bersifat linier antara peubah bebas dengan respon, sedangkan nilai yang negatif mencerminkan hubungan bersifat kebalikan.
Tabel 11 Model Perubahan Penggunaan Lahan dengan Nilai R2 ≥ 0,50 Faktor yang Mempengaruhi Tipe Penggunaan Analisis Kecamatan Analisis Kecamatan Analisis Desa Lahan 1990 - 2000 2000 - 2008 2000 - 2008 Hutan +X3, -X5, +X6, +X8 +X3, -X5, -X7, +X8 Kebun Jati +X2, +X5, +X6 +X2, +X3, -X5 Kebun Tebu +X1, -X7, +X8 +X2, +X8 +X2, +X8 Keterangan : Peubah yang bercetak tebal memiliki nilai koefisien yang paling tinggi dalam persamaan
Peubah penduga perubahan berpengaruh besar terhadap perubahan penggunaan lahan ditandai dengan nilai koefisien yang besar pula (Iriawan, 2007). Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa pada tahun yang berbeda faktor yang mempengaruhi perubahan pada hutan dan kebun jati adalah sama, yaitu X5 (jumlah fasilitas pendidikan) dan X6 (jumlah pasar), sedangkan pada kebun tebu faktor yang mempengaruhi adalah X2 (luas lahan lain yang mungkin berubah menjadi penggunaan lahan tertentu) dan X8 (kerapatan jalan). Dalam hal ini pengelolaan kebun jati berada dibawah Dinas Perhutani daerah setempat. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan pada penggunaan lahan non komersial yaitu hutan dan kebun jati lebih dipengaruhi oleh jumlah fasilitas pendidikan dan jumlah pasar. Sedangkan perubahan pada penggunaan lahan komersial yaitu kebun tebu, perubahannya lebih dipengaruhi oleh ketersediaan lahan lain yang mungkin berubah menjadi kebun tebu dan kerapatan jalan.