V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5. 1. Konstruksi Data dan Informasi Ekologi di TNGHS Konstruksi data dan informasi di TNGHS dapat ditinjau dari tiga tahapan, yaitu : -
konsistensi perencanaan (RPTN, RPJM, dan RKT)
-
strategi/aktivitas TNGHS untuk mendapatkan data dan informasi
-
pengelolaan data dan informasi (hasil).
Kerangka sistematika dari konstruksi data dan informasi diatas dapat dilihat pada Gambar 2.
5. 1. 1. Konsistensi Perencanaan dilihat dari RPTN, RPJM, dan RKT Kegiatan identifikasi terhadap spesies-spesies penting dan habitatnya serta pemetaan wilayah habitatnya merupakan data prioritas yang ingin dihasilkan dalam lima tahun pertama. Data dan infromasi tesebut dicapai dalam kerangka kerja kolaboratif dengan berbagai pihak seperti : LIPI, Lembaga Penelitian, Perguruan Tinggi, LSM, Pemda Kabupaten, Pemerintah Desa dan masyarakat lokal (TNGHS 2007c). Data dan informasi prioritas diatas diharapkan menjadi salah satu dasar dalam pembuatan kebijakan, khususnya untuk mencapai salah satu sasaran dalam RPTN
yaitu
terjaganya
keanekaragaman
hayati.
Sasaran
terjaganya
keanekaragaman hayati tersebut berupa : 1. terkendalinya
kerusakan
ekosistem
di
TNGHS.
Program
untuk
mencapainya adalah sebagai berikut : -
pengendalian penggunaan lahan di dalam kawasan
-
pemulihan ekosistem secara berkelanjutan
-
pemantauan dan pengamanan kegiatan illegal
-
pengelolaan dan pemantauan ekositem penting
2. terjaganya populasi spesies penting di TNGHS. Program untuk mencapainya adalah sebagai berikut : -
penyusunan strategi dan rencana aksi konservasi spesies penting
-
pengelolaan dan pemantauan spesies penting
28
PERENCANAAN RPTN (2007-2026) RPJM RKT
STRATEGI/AKTIVITAS Monitoring Umum
Penelitian
Monitoring Khusus
Peneliti (multipihak)
Balai :Proyek (DIPA)
Resort Seksi Database Seksi
Balai Monitoring Umum
Penelitian
Monitoring Khusus
HASIL Database Balai (mulai tahun 2008)
-
Laporan Laporan Keproyekan Laporan Penelitian
Gambar 2 Konstruksi data dan informasi di TNGHS Di dalam Rencana Pengelolaan Jangka Menengah (RPJM) tahun 20072011 pengelolaan data dan informasi dikelola dengan membangun sistem pengolahan data dan informasi yang terintegrasi dalam bentuk database. Database tersebut untuk mengakomodir pengumpulan serta penyajian data dan informasi secara sistematis, lengkap, dan mutakhir sebagai basis pengambilan keputusan. Jika dikaitkan dengan sasaran terjaganya keanekaragaman hayati, beberapa program yang bisa mendukung pengumpulan data dan informasi adalah : -
inventarisasi dan monitoring areal terdegradasi
29
-
rehabilitasi/restorasi di areal terdegradasi
-
monitoring dampak kawasan terhadap keanekaragaman hayati
-
inventarisasi ekosistem penting
-
pengkajian status jenis spesies penting
-
monitoring spesies penting
-
survey keanekaragaman hayati di koridor TNGHS
-
monitoring keanekaragaman hayati di koridor
Konsistensi rencana dalam jangka panjang dan menengah dapat dicermati pada rencana jangka pendeknya. RKT 2007 sampai dengan 2009 kegiatan monitoring habitat dan spesies yang direncanakan adalah: -
monitoring owa jawa
-
monitoring macan tutul
-
monitoring elang jawa
-
monitoring plot permanen
-
monitoring keanekaragaman hayati.
Kegiatan tersebut dilakukan masing-masing sebanyak 3 lokasi dalam setahun untuk masing-masing kegiatan, kecuali untuk monitoring plot permanen dan monitoring keanekaragaman hayati. Berdasarkan
uraian
diatas
dapat
dilihat
bahwa
pengelolaan
keanekaragaman hayati untuk tiga tahun pertama (tahun 2007, 2008, dan 2009) konsisten antara RPTN, RPJM dan RKT. Fokus pengelolaan database pada lima tahun pertama ditekankan pada identifikasi spesies dan habitatnya yang didukung dengan kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati, dimana kegiatankegiatannya ditekankan pada monitoring spesies kunci. Anggaran untuk pembangunan database dan sistem informasi manajemen dalam DIPA 29 masuk dalam pengelolaan Taman Nasional Model (salah satu mata anggaran dalam DIPA 29), sedangkan kegiatan-kegiatan monitoring spesies merupakan bagian dari pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Alokasi anggaran untuk kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati relatif sedikit (sekitar Rp. 200 juta), namun tiap tahun tersedia dalam jumlah yang relatif tetap. Ada konsistensi antara rencana anggaran dan realisasinya, khusus pada tahun 2008 dan 2009 dimana realisasinya mencapai diatas 98% (lihat Gambar 3).
30
Rp. 211.982.500,-
Pagu
Rp. 214.070.000,-
Realisasi
Rp. 216.405.000,-
Pagu
Rp. 219.000.000,-
2008
2009
Realisasi
Rp.60.570.000,-
2007
Realisasi
Pagu
Rp. 321.820.000,-
Gambar 3 Anggaran DIPA 29 untuk pengelolaan keanekaragaman hayati (Sumber : TNGHS 2010) Anggaran untuk pengelolaan keanekaragaman hayati relatif paling sedikit alokasi anggarannya jika dibandingkan dengan anggaran lainnya (lihat Gambar 4).
Kehati
Kebakaran
Jaslink
DIPA 69 DIPA 29 Rp.251.630.000,-
Rp.265.595.000,-
Rp.681.656.666,Rp.454.455.000,-
Rp.1.091.853.333,Pamhut
Gambar 4 Rata-rata anggaran TNGHS tahun 2007-2009 (Sumber : TNGHS 2010) Data diatas mengindikasikan bahwa prioritas pemerintah untuk kegiatan keanekaragaman hayati masih rendah, jika dilihat dari alokasi anggaran.
31
5. 1. 2. Strategi dan aktvitas Strategi TNGHS untuk memperoleh data dan informasi dalam rangka penyusunan database dan Sistem Informasi Manajemen (SIM) terbagi dalam tiga aktivitas utama, yaitu : -
monitoring umum/rutin
-
monitoring khusus
-
kegiatan penelitian
Tiga aktivitas diatas merupakan sumber data dan informasi utama TNGHS untuk membangun database dan sistem informasi manajemen.
a. Monitoring Umum Monitoring umum merupakan aktivitas harian atau rutin yang dilakukan petugas di resort sebagai bagian dari pekerjaan pokoknya. TNGHS membagi wilayah kerjanya menjadi 14 resort yang terdiri dari resort Gn. Bedil, resort Cibedug, resort Gn. Bongkok, resort Cisoka, resort Gn. Talaga, resort Gn. Kencana, resort Gn. Botol, resort Gn. Butak, resort Gn. Salak I, resort Gn Salak II, resort Kawah Ratu, resort Gn. Kendeng, resort Cimantaja, dan resort Gn. Bodas. Setiap resort rata-rata terdiri dari tiga orang petugas, yang dirancang untuk melakukan aktivitas patroli secara rutin. Petugas resort masing-masing dibekali tally sheet yang berisi panduan data-data yang perlu dicatat selama kegiatan monitoring (Gambar 5). Tally sheet ini berfungsi untuk memudahkan pencatatan dan menyamakan format data dan informasi. Data yang dihasilkan dari kegiatan monitoring umum meliputi: data gangguan kawasan, data spesies, data pemanfaatan jasa lingkungan dan data potensi wisata. Data spesies yang didapat dari kegiatan monitoring umum ini berupa data perjumpaan satwa yang terdiri dari koordinat perjumpaan, jumlah, umur, dan aktivitasnya. Selain itu juga dideskripsikan kondisi habitat sekitar perjumpaan satwa tersebut (biasanya dilengkapi dengan foto)1. Fokus utama kegiatan monitoring umum adalah pengamanan kawasan. Jalur monitoring lebih banyak di sekitar kampung-kampung di dalam dan sekitar 1
Hasil wawancara dan dokumen tally sheet database resort
32
Data dan Informasi Spesies
Jasa Lingkungan
Ekowisata
Gangguan Kawasan
Metode : Perjumpaan selama patroli pengamanan rutin oleh petugas Pelaksana Kegiatan Resort Resort Resort Resort
Resort Resort Resort Resort Resort Resort
Resort Resort Resort Resort
SPTN I
SPTN II
SPTN III
Database seksi
Database seksi
Database seksi
Balai Database Balai Data Spesies Satwa (mamalia, burung, reptile, amfibi) Struktur umur (dewasa, remaja bayi) Tumbuhan (pohon tinggi, sub tinggi, semak, tumbuhan merambat, anggrek, paku2an) populasi, luas berbunga, berbuah, lainnya Data Jasa Lingkungan Pemanfaat air Nama Luas wilayah usaha Jumlah/kapasitas produksi Pemanfaat tumbuhan Nama Jenis tumbuhan Jumlah/kapasitas produksi
-
Pemanfaat satwa Nama Jenis satwa Jumlah/kapasitas produksi
Data Ekowisata Obyek wisata Deskripsi kondisi potensi kawasan untuk ekowisata Sarana wisata yang telah ada Data Gangguan Penebangan liar (ha,batang, m3), Peti (ha,lubang, org/group), konstruksi illegal (ha), koleksi liar (spcm), Kebakaran, bencana, perburuan liar Barang bukti, tersangka & penindakan Deskripsi kondisi ekosisten
Gambar 5 Monitoring umum di TNGHS
33
kawasan. Monitoring umum tidak menggunakan prosedur khusus untuk pengamatan terhadap flora dan fauna 2. Data spesies (flora dan fauna) merupakan data hasil perjumpaan tidak sengaja (accidentally) selama kegiatan patroli pengamanan. Lewis (1970) mengemukakan bahwa inventarisasi satwa perlu memperhatikan sifat dan perilaku satwa, seperti : pola penggunaan ruang, penyebaran yang bersifat acak dan mengelompok, dan sifat mobilitas satwa. Penghitungan satwa tanpa memperhatikan hal tersebut dapat berakibat kepada terjadinya kesalahan penghitungan berupa penghitungan lebih (overcount) dan penghitungan kurang (undercount). Santosa (2006) mengemukaan bahwa tidak samanya peluang setiap satwa untuk terhitung dapat berakibat terjadinya bias yang besar terhadap dugaan parameter populasi. Data hasil monitoring umum tidak dapat menggambarkan dugaan populasi yang akurat, sehingga lebih tepat sebagai pendugaan habitat indikatif dan persebaran dari satwa tersebut. Data spasial dari monitoring umum menghasilkan beberapa peta tematik, yaitu : peta jalur, peta batas kawasan, peta spesies, peta potensi jasa lingkungan, peta potensi ekowisata dan peta gangguan kawasan.
Gambar 6 Peta gangguan kawasan hasil monitoring umum tahun 2009 2
Hasil wawancara dengan petugas resort dan staff teknis
34
Gambar 7 Peta batas kawasan hasil monitoring umum tahun 2009
Gambar 8 Peta jalur hasil monitoring umum tahun 2009
35
Berdasarkan jumlah tanggal (tanggal yang sama dalam suatu bulan dihitung satu) masuknya data ke database, dapat dilihat bahwa intensitas kegiatan monitoring ini tidak sama tiap bulan dalam setahun (Gambar 9). 9,5
Rata-rata
16,67
6
Desember
19 14
November
23
12
Oktober
17
7 8
September
11
Agustus
Tahun 2009
15
Juli
4
17
Juni
4
17 8
Mei
19
April
11
Maret
11
Februari
10
Januari
10 0
Tahun 2008
5
10
22 20 13 16 15
20
25
Jumlah Tanggal
Gambar 9 Jumlah tanggal masuknya data monitoring umum ke database Tidak samanya intensitas monitoring tersebut merupakan indikasi belum adanya tata waktu dan pola monitoring oleh setiap petugas di tingkat resort. Kemungkinan lainnya adalah belum terbiasanya petugas dalam mengisi tally sheet3, sehingga data yang masuk menjadi sedikit. 800 700
675
755
600 500 400
Jumlah Titik Pengamatan (turun 10,59%) Jumlah Hari (turun 43%)
300 200
114
200 100 0 2008
2009
Tahun Gambar 10 Intensitas monitoring dalam (berdasarkan jumlah tanggal/hari masuknya database) tahun 2008 dan 2009 Data-data yang dihasilkan oleh tiap resort selanjutnya dikumpulkan oleh masing-masing kepala resort, untuk selanjutnya disampaikan kepada kantor seksi wilayah. Kantor seksi wilayah merekapitulasi data dan informasi dari tiap resort ke dalam database kantor seksi, untuk selanjutnya dikirim ke database di Balai.
3
Hasil wawancara dengan petugas di seksi dan resort
36
Tidak ada anggaran khusus untuk kegiatan monitoring rutin. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin/aktivitas harian petugas di resort. Dalam RKT ada anggaran untuk kegiatan survey partisipatif, yaitu anggaran yang digunakan untuk kegiatan monitoring selama sebulan sekali untuk masing-masing resort. Dana ini awalnya dimaksudkan sebagai insentif bagi petugas resort untuk melakukan kegiatan harian tersebut4.
b. Monitoring Khusus Monitoring khusus merupakan kegiatan keproyekan yang didanai dari anggaran pemerintah (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran/DIPA). Ada lima kegiatan monitoring khusus yang dilakukan secara rutin tiap tahun yaitu monitoring tiga spesies kunci (elang jawa, owa jawa dan macan tutul), monitoring permanen plot dan monitoring keanekaragaman hayati (Gambar 11). b.1. Monitoring Owa Jawa Metode monitoring untuk owa jawa adalah metode transek line. Data yang diambil meliputi data perjumpaan langsung dan tidak langsung. Selain data populasi juga dilakukan pengamatan/deskripsi terhadap kondisi habitat pada plot pengamatan tersebut (TNGHS 2009d). Data yang dihasilkan dari kegiatan monitoring Owa Jawa meliputi jumlah spesies, struktur umur (dewasa, remaja, dan bayi), aktivitas, spesies lain yang dijumpai (khususnya spesies pesaing) dan deskripsi kondisi habitat. Menurut Aswan (2009) metode inventarisasi paling efektif untuk pendugaan owa jawa di TNGHS adalah metode line transek. Metode ini merupakan metode yang paling banyak digunakan dalam pendugaan ukuran populasi primata (Wilson et al. 1996, Nijman dan Menken 2005). Iskandar (2007) mengemukakan bahwa frekuensi aktivitas owa jawa mencari makan dan berpindah tempat pada pagi hari lebih tinggi daripada sore hari. Owa jawa yang sedang beraktivitas mencari makan dan berpindah tempat memiliki peluang tertinggi untuk dideteksi/dihitung. Monitoring owa jawa di TNGHS dilakukan pada pagi dan sore hari, sehingga dapat menyebabkan pendugaan populasi yang lebih rendah dari yang sebenarnya. Krebs (1998) 4
Hasil wawancara dengan staff perencanaan
37
mengemukakan bahwa kesalahan penghitungan berupa penghitungan lebih (overcount) atau penghitungan kurang (undercount) dapat menghasilkan kesalahan penghitungan (counting error). Santosa (2006) menguatkan hal ini, bahwa tidak samanya peluang setiap satwa untuk terhitung dapat menghasilkan bias yang besar terhadap dugaan parameter populasi. Waktu pengamatan sangat berpengaruh terhadap pendugaan populasi owa jawa. Lewis (1970) mengemukakan bahwa permasalahan kegiatan inventarisasi satwa berkaitan dengan sifat dan perilaku satwa seperti pola penggunaan waktu. Iskandar (2007) menyebutkan bahwa owa jawa memiliki daerah jelajah yang lebih luas pada musim kemarau dibandingkan pada musim penghujan. Kegiatan monitoring owa jawa di TNGHS tidak mengikuti pola waktu yang konsisten tiap tahunnya, sebagai contoh pada tahun 2008 pengamatan dilakukan pada bulan Nopember sedangkan pada tahun 2009 monitoring dilakukan pada bulan Maret. Hal ini dapat menghasilkan pendugaan populasi yang bias karena perbedaan peluang terdeteksinya satwa yang disebabkan oleh tidak konsistennya waktu pengamatan. Waktu monitoring di TNGHS dipengaruhi oleh waktu turunnya anggaran dari pemerintah (DIPA)5. Tabel 7 Monitoring khusus owa jawa 2006
Tahun Cikaniki* Kawah Ratu Sutet Cisoka* Gn Bodas*
2007
2008
2009
D
R
A
K
D
R
A
K
D
R
A
K
D
R
A
K
-
-
-
-
-
-
-
-
8
5
2
0,1
10
5
2
0,05
-
-
-
-
26
10
0,058
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
2
1
-
-
-
-
0,05"
-
-
-
0,07"
1
5
27
5
4
0,48
28
10
3
0,07
19
4
2
-
-
-
-
-
0,04
?
?
?
?
0,08
13
5
3
0,17
Ket : D=dewasa, R=Remaja, A=Anak, * monitoring khusus tiap tahun, “perjumpaan tidak langsung, ?=data meragukan Sumber : Laporan Manoitoring khusus
Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa ada beberapa data yang tidak lengkap, seharusnya tiap tahun minimal ada tiga lokasi pengamatan. Hal ini terjadi karena kegiatan monitoring khusus ini masih merupakan kegiatan keproyekan (laporan hasilnya merupakan laporan keproyekan) sehingga masih parsial atau bagian per
5
Hasil wawancara dengan staff teknis TNGHS
38
Data dan Informasi Macan Tutul
Plot Permanen
Survey Kehati
Metode :
Metode : sensus
Metode : Petak ukur
Lokasi: Plot I Gn. Botol
Lokasi : -
Ketua Pelaksana
Ketua Pelaksana
Owa Jawa
Elang Jawa
Metode : Line transect
Metode : Lad libitum (cooperative method)
Deteksi non deteksi dan kamera jebak
Lokasi : Cikaniki, Cisoka, Gn. Bodas
Lokasi: Cikaniki’ Cisoka, Tapos
Lokasi: Cikaniki’ Cisoka, KHS
Pelaksana Kegiatan Ketua Pelaksana
Ketua Pelaksana
Ketua Pelaksana Balai Laporan
Data populasi spesies Owa Jawa Jumlah Spesies Struktur umur (dewasa, remaja bayi) Aktivitas spesies selama pengamatan Spesies lain yang dijumpai (jumlah spesies) Deskripsi kondisi habitat (jenis spesies flora pakan dan dominan) Data populasi spesies Macan Tutul Jumlah Spesies Struktur umur (dewasa, remaja bayi) Aktivitas spesies selama pengamatan Spesies sejenis lain yang dijumpai (jumlah spesies) Tipe habitat jelajah Deskripsi kondisi habitat (jenis spesies flora pakan dan dominan)
Gambar 11 Monitoring khusus di TNGHS
Data populasi spesies Elang Jawa Jumlah Spesies Struktur umur (dewasa, remaja bayi) Home range Aktivitas spesies selama pengamatan Spesies sejenis lain yang dijumpai (jumlah spesies) Tipe habitat jelajah Deskripsi kondisi habitat (jenis spesies flora pakan dan dominan) Data Plot Permanen Basal area pohon-pohon berlabel Pohon-pohon yang mati Pohon-pohon baru (telah mencapi keliling > 15 cm)
Data survey potensi -tergantung tema kegiatan
39
bagian dan belum ada pengelolaan terhadap data ini lebih lanjut. Hal ini terjadi juga untuk monitoring elang jawa (Tabel 7) dan macan tutul (Tabel 8). b.2. Monitoring Elang Jawa Metode yang digunakan untuk monitoring elang jawa adalah metode lad libitum (long watches). Metode ini merupakan metode pengamatan jarak jauh terhadap obyek, dimana pada beberapa titik dilakukan pengamatan secara bersama terhadap obyek yang sama (cooperative methods). Pengamat/peneliti ditempatkan pada beberapa titik yang berbeda namun mengamati bagian hutan yang sama dari beberapa sudut pandang. Setiap peneliti yang berada di masing-masing stasiun mengamati dan mencatat obyek serta mengonfirmasi kepada stasiun lain dengan menggunakan alat komunikasi. Wilayah jelajah ditentukan dengan metode sel berpetak (grid cell method) yaitu menghitung jumlah grid (kotak dalam peta) seluas 250 m2 atau 500 m2 yang masuk dalam jalur terbang elang jawa. Sebelum menghitung luas jelajah ditentukan jumlah kotak untuk setiap jalur terbang, dan dihitung frekuensinya dengan mengikuti jalur terbangnya. Pengamatan juga dilakukan terhadap kondisi habitat berupa struktur vegetasi dan kondisi pakan (baik mangsa dan pemangsa) berdasarkan pengamatan visual selama kegiatan monitoring (TNGHS 2008b). Data yang dihasilkan meliputi jumlah spesies, struktur umur (dewasa, remaja, bayi), home range, aktivitas, spesies lain (khususnya pesaing), tipe habitat jelajah, dan deskripsi kondisi habitat. Metode paling ideal untuk pendugaan populasi elang jawa adalah dengan menemukan/pengamatan sarang. Metode yang saat ini digunakan di TNGHS efektif jika melihat kondisi medan di TNGHS yang berbukit dan sulit untuk dijangkau. Metode lad libitum (long watches) menghasilkan peluang besar terjadinya penghitungan ganda (double count), yaitu apabila suatu satwa diidentifikasi berbeda oleh kelompok lain (kejelian dan pengalaman peneliti sangat berpengaruh terhadap hasil penghitungannya). Jika dilihat dari susunan tim pelaksana kegiatan monitoring khusus tersebut (sebagian bukan merupakan staff teknis) maka kualitas hasil dari kegiatan tersebut masih dipertanyakan. Tidak ditemukannya sarang dapat memperkecil peluang ditemukannya anak elang
40
jawa, hal ini dapat dilihat dari hasil pengamatan pada tahun 2006 sampai dengan 2009 hanya sekali teridentifikasi adanya anak elang jawa 6. Tabel 8 Monitoring khusus elang jawa Tahun
2005 D
Cikaniki* Tapos* Sutet Cisoka/lebak* Gn Bodas
R
2006 A
D
R
2007 A
D
R
2008
2009
A
D
R
A
D
R
A
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
1
-
8
1
-
-
-
-
10
-
1
-
-
-
-
-
-
3
1
-
-
-
-
-
-
-
1
-
-
-
-
-
3
1
-
5
1
-
9
-
-
-
-
-
5
1
-
3
1
-
5
-
1
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Ket : D=dewasa, R=Remaja, A=Anak, * monitoring khusus tiap tahun Sumber : Laporan Manoitoring khusus
b.2. Monitoring Macan Tutul Metode monitoring macan tutul adalah penggabungan beberapa metode yaitu : metode deteksi non deteksi, pemasangan kamera jebak (camera trap) dan wawancara terstruktur dengan masyarakat sekitar lokasi. Metode deteksi non deteksi berupa pencatatan pertemuan langsung dan tidak langsung (tanda-tanda yang ditinggalkan seperti jejak, kotoran, tanda telapak, bekas makan dan tandatanda lainnya). Lokasi pemasangan kamera jebak dipilih berdasarkan informasi dan tanda-tanda yang ditinggalkan macan tutul atau hasil survey sebelumnya. Kamera yang digunakan adalah kamera tahan air tipe autobody D5 dan Prima As1, Cannon ukuran lensa 32 mm dengan fokus otomatis (TNGHS 2008a). TNGHS saat ini hanya memiliki 10 buah kamera jebak dan yang berfungsi dengan baik sebanyak 5 buah7. Data macan tutul yang dihasilkan meliputi jumlah spesies, struktur umur (dewasa, remaja, dan bayi), spesies lain (pesaing, mangsa), tipe habitat, dan deskripsi kondisi habitat. Monitoring macan tutul di TNGHS terkendala oleh sedikitnya jumlah kamera jebak (hanya ada lima kamera yang kondisinya siap pakai). Permasalahan inventarisasi satwa seperti macan tutul adalah sifat satwa ini yang sulit untuk dideteksi (suka sembunyi). Santosa (2006) mengemukakan bahwa kesulitan mendeteksi satwa secara statistik dapat diartikan bahwa peluang satwa tersebut terhitung 6 7
tidaklah sama. Menurut Krebs (1998) semua individu harus terlihat
Berdasarkan data monitoring elang jawa yang dapat ditemukan peneliti Hasil wawancara dengan staff teknis
41
dengan jelas dan dihitung dengan tepat. Penggunaan kamera jebak yang terbatas dan waktu yang singkat (5-7 hari) menyebabkan peluang macan tutul tertangkap kamera menjadi rendah. Hasil monitoring macan tutul dari tahun 2006 sampai dengan 2009 menunjukan bahwa kamera jebak berhasil menangkap macan tutul hanya pada satu lokasi. Tabel 9 Monitoring khusus macan tutul 2006
Cikaniki* Cidahu Lebak Cisoka* Gn Butak-KHS*
2007
2008
2009
L
TL
DP
L
TL
DP
L
TL
DP
L
TL
DP
-
-
-
-
-
-
-
3
?
-
4
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
5
-
4
?
-
-
-
-
4
?
-
5
-
16
?
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9
-
4 ? 5 ?
Ket : D=dewasa, R=Remaja, A=Anak, * monitoring khusus tiap tahun, L =kamera jebak,TL =perjumpaan tidak langsung, DP=Dugaan Populasi Sumber : Laporan Manoitoring khusus
b.4. Monitoring Plot Permanen Metode monitoring untuk plot permanen adalah sensus dengan mengukur keliling batang pada pohon-pohon yang telah ditentukan (berlabel). Pohon yang dicatat adalah pohon yang memiliki keliling lebih atau sama dengan 15 cm, pohon yang mati, dan kondisi khusus seperti banir, batang yang patah tapi tetap hidup, atau pohon yang tumbang tapi tetap hidup (TNGH 2003b). Data yang dihasilkan dari monitoring plot permanen meliputi basal area dari pohon-pohon yang berlabel, pohon-pohon baru (keliling lebih dari atau sama dengan 15 cm), dan pohon-pohon yang mati. Plot permanen yang dimiliki oleh TNGHS (sebelumnya masih TNGH) pada mulanya terdiri dari tiga lokasi , yaitu : -
Plot I dibuat pada tanggal 5-16 Agustus 1996, berada pada Blok Gunung Botol dengan ketinggian 1700 mdpl
-
Plot II dibuat pada tahun 19-30 Agustus 1996, berada pada Blok Gunung Kendeng dengan ketinggian 1100 mdpl
-
Plot III dibuat pada bulan oktober 1997, didekat plot II.
Plot permanen yang sampai saat ini masih terus diamati adalah Plot I, sedangkan dua plot lainnya sudah tidak diamati karena rusak.
42
Plot permanen di TNGHS perlu ditambah lagi untuk tipe ekosistem TNGHS yang lain.
Gunung Halimun merupakan kawasan dengan dua tipe
ekosistem yaitu : tipe hutan tropis dataran rendah dan hutan tropis pegunungan, sedangkan kawasan hutan Salak terdiri dari ekosistem hutan hujan dataran rendah, hutan dataran tinggi (zona sub-montana dan zona montana) dan hutan lumut atau elfin. Plot permanen yang saat ini diamati belum mampu menggambarkan dinamika dari keseluruhan ekosistem TNGHS.
b.4. Monitoring Keanekaragaman Hayati Kegiatan
monitoring
keanekaragaman
hayati
ini
berbeda
topik
penelitiannya tiap tahun. Sebagai contoh pada tahun 2009 judul kegiatannya adalah : -
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat Dan Burung Di Sekitar Suaka Elang (Raptor Sanctuary)
-
Monitoring
Keanekaragaman
Hayati
Palahler
(Dipterocarpus
basseltii). Hasil kegiatan ini berupa survey potensi keanekaragaman hayati yang ada di TNGHS. Tidak seperti monitoring khusus lainnya, kegiatan ini tidak menghasilkan data yang berkelanjutan (time series). Laporan hasil kegiatan-kegiatan monitoring khusus saat ini belum masuk dalam database balai. Rencana mengintegrasikan data monitoring khusus dengan database baru akan dimulai pada tahun 2010 8. Dokumen hasil kegiatan ini tersimpan di balai TNGHS di Urusan Bina Cinta Alam (BCA), yaitu salah satu kelompok kerja dalam organisasi Balai TNGHS. Saat ini data-data tersebut masih dalam bentuk laporan keproyekan yang terpisah-pisah dan belum ada rekapitulasi terhadap data hasil kegiatan tersebut.
c. Kegiatan Penelitian Berbagai kegiatan penelitian telah banyak dilakukan di TNGHS meliputi berbagai topik penelitian seperti flora, fauna, sosial dan manejemen kawasan (lihat gambar 12). Kegiatan penelitian yang dilakukan di TNGHS direncanakan 8
Hasil wawancara dengan staff teknis dan perencanaan
43
sebagai bagian dari sumber data untuk database. JICA bersama TNGHS dalam proyek Gunung Halimun Salak National Park Management Project (GHSNP-MP) telah mendokumentasikan hasil-hasil penelitian di TNGHS (sampai dengan 2006) dalam Bibliografi Hasil-Hasil Penelitian di Taman Nasional Halimun-Salak. Laporan kegiatan-kegiatan penelitian yang dilakukan tersebut banyak yang tidak terdokumentasi di TNGHS atau berada di TNGHS, dari 144 kegiatan penelitian di TNGHS hanya 12 kegiatan penelitian yang terlacak laporan hasil penelitiannya (TNGHS 2008c). Data-data dari hasil kegiatan penelitian masih bersifat parsial dan sulit untuk ditelusuri dokumen hasil penelitian tersebut 9. Kesulitan utamanya adalah tidak ada mekanisme yang mampu mendorong para peneliti tersebut untuk menyerahkan hasil penelitiannya ketika telah selesai melakukan penelitian 10. Beberapa hasil penelitian terdokumentasi di urusan Bina Cinta Alam (BCA) namun belum ada format khusus yang memudahkan untuk mengakses data dan informasi penelitian tersebut. 66 55 Jumlah .
47 35 26 9
27
22
10
10
14
11
10
11
Khamir
Bakteri
Geologi
Spasial/GIS
Sosial Budaya
Manajemen Kawasan
Manajemen Spesies
Mamalia
Primata
Burung
Serangga
herpetofauna
Fauna
Jamur
.
Arthropoda
Flora
3
.
.
.
.
.
.
.
.
Topik
Gambar 12 Bibliografi Hasil-Hasil Penelitian Di TNGHS (2006) Protokol penelitian telah disahkan melalui SK Kepala Balai TNGHS No. SK 681/Kpts/IV-T.13/Peg/2008 pada tanggal 29 Agustus 2008. Protokol ini memuat prosedur yang lebih mendorong hasil-hasil penelitian dapat berguna bagi
9
Hasil observasi Hasil observasi dan wawancara
10
44
manajemen TNGHS. Implementasi protokol ini sampai dengan tahun 2009 adalah : -
studi flora Gunung Endut pada tahun 2007-2008 kerjasama dengan Puslit Biologi-LIPI bidang Botani, GHSNP-MP JICA dan Balai TNGHS
-
studi flora dan fisiognomi vegetasi Gunung Salak pada bulan februari 2008 kerjasama dengan Puslit Biologi-LIPI bidang Botani, GHSNPMP JICA dan Balai TNGHS
-
studi fauna (mammalia, burung, herpetofuna dan serangga) Gunung Salak pada bulan November-Desember 2008 kerjama dengan Puslit Biologi-LIPI bidang Botani, GHSNP-MP JICA dan Balai TNGHS
-
studi pada beberapa aspek ekologi hutan, rehabilitasi Koridor Halimun-Salak (KHS) dan dampak kerusakan lingkungan durasi lima tahun (2008-2012)
dengan
kerjasama dengan Univesitas
Kagoshima Jepang. d. Kegiatan Penunjang lainnya Selain kegiatan yang terdapat dalam kegiatan monitoring umum dan khusus diatas, ada beberapa kegiatan lain yang berkaitan dengan pengelolaan keanekaragaman hayati. Kegiatan-kegiatan tersebut ada yang merupakan bagian dari kegiatan rutin dan dianggarkan secara khusus dalam DIPA ataupun bentuk partisipasi masyarakat dan beberapa lembaga lainnya.
d. 1. Penutupan Lahan Setiap tahun TNGHS melakukan analisis citra landsat mulai dari tahun 1989 sampai dengan 2008, kecuali untuk tahun 2005 dan 2006 menggunakan citra aster. Kelas penutupan lahan berdasarkan interpretasi citra tersebut dibagi dalam 13 jenis penutupan lahan (Prasetyo et al. 2007; TNGHS 2010). Data yang dihasilkan dari interprestasi citra ini berupa luasan (dalam satuan ha) untuk setiap jenis penutupan lahan. Selain itu setiap tahun (khususnya mulai tahun 2008) TNGHS membuat peta tematik yang terdiri dari : peta
45
topografi, peta hidrologi, peta tanah adat/ruang kelola, peta pemukiman penduduk dan peta distribusi kelimpahan spesies penciri11. Kelebihan citra landsat adalah mempunyai resolusi spasial dan resolusi spektral yang baik. Resolusi spasialnya 30m x30m dengan lebar sapuan (Swath width) 185 km serta mempunyai resolusi radiometri 8 bit (256 variasi gray level) dan fokus penginderaan informasi yang berkaitan dengan vegetasi (Mulyanto 2004). Citra TM landsat mempunyai saluran gelombang infra merah tengah sangat peka terhadap kelembaban air di daun dan di tanah (Dmiyati dan Dmiyati 1998; Schowengerd 1983 diacu dari Mulyanto 2004). Hasil interprestasi tutupan lahan pada tahun 2008 memperlihatkan bahwa data yang tidak dapat di interpretasi adalah 0,002% atau 2,16 ha dari luas TNGHS (berdasarkan digitasi System Informasi Geografis /SIG luasnya 107.254,50 ha). Data interpretasi tutupan lahan selengkapannya dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 10 Tanggal Pengambilan Citra Landsat TNGHS (1989-2004) Citra
Tanggal
LandsatTM
11 September 1990 25 Mei 1991 27 Mei 1992 19 September 1993 22 Septemebr 1994 05 Juni 1995 28 Juli 1997 16 Agustus 1998 27 Agustus 1999 16 Agustus 2001 29 April 2002 10 Januari 2003 23 Juli 2004
Landsat ETM
Sumber : Prasetyo dkk. (2007) Data penutupan lahan merupakan
salah satu data prioritas dalam
perencanaan TNGHS, dari RKT 2007-2009 updating data ini selalu tercantum dalam perencanaan dan memiliki anggaran khusus. Data penutupan lahan dikelola secara khusus oleh bagian Urusan Perencanaan, Data Evaluasi dan Pelaporan di TNGHS yang juga mengelola database balai12.
11 12
Hasil observasi dan wawancara dengan staff perencanaan Hasil observasi
46
Tahun 2007
Tahun 2008
Gambar 13 Landsat Image TM 2007 dan ETM 2008 Path 122/Row 65 (TNGHS)
47
Tabel 11 Tutupan Lahan TNGHS Tahun 1989-2008
Luas (dalam Ha) 1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1997
1998
2001
2003
2004
2007
2008
84.066,4
82.778,6
81.480,8
80.263,5
78.520,0
76.156,3
74,795,8
72.336,2
69.923,3
67.100,0
62.537,9
62.480,3
60.316,7
60.180,2
Hutan Tanaman
2.934,1
1.788,3
3.020,6
4.417,7
4.037,8
4.019,0
2.133,1
4.748,3
4.209,8
5.726,0
2.305,7
3.986,3
3.848,5
3.771,4
Kebun Campuran
3.198,2
4.639,4
6.109,7
756,0
3.698,6
5.265,0
6.867,7
4.654,7
4.742,3
6.365,7
9.634,7
4.708,6
8.984,4
7.369,1
Kebun Karet
2.194,3
4.098,1
2.243,3
2.365,8
6.125,4
5.678,4
1.594,4
5.930,1
6.163,2
2.743,8
4.591,8
5.531,4
5.347,8
4.806,7
322,6
672,3
651,5
991,4
605,1
898,5
1.366,6
1.301,8
1.207,3
788,9
2.611,6
2.649,0
2.643,9
4.144,8
Semak
5.328,3
5.503,4
5.941,2
8.994,0
5.697,2
5.312,8
6.300,2
7.648,3
10.428,9
12.199,3
11.835,5
16.386,0
7.875,3
8.836,3
Rumput
1.311,5
467,6
569,3
799,5
605,6
1.018,4
228,3
947,6
964,8
972,8
590,6
824,8
81,0
738,1
Sawah
2.781,7
5.687,1
5.538,3
3.203,6
2.260,2
2.243,1
2.534,9
2.308,6
2.062,8
4.945,1
2.895,4
2.958,8
2.861,2
3.122,2
Ladang
5.000,0
1.214,4
1.453,5
5.051,8
5.247,2
5.246,7
10.706,9
5.746,3
5.830,4
5.299,7
6.905,4
6.365,9
8.658,9
8.705,7
217,0
497,0
324,5
456,8
464,9
1.205,8
497,3
1.295,9
1.204,4
477,5
2.620,7
586,8
3.324,2
1.902,8
16,6
25,7
39,8
64,1
94,7
332,4
349,6
448,6
614,5
754,3
844,7
874,8
2.844,8
3.280,7
Badan air
9,8
8,6
7,8
16,0
23,6
3,7
4,5
12,7
26,5
4,9
4,0
25,4
591,8
396,5
Tidak ada data
0,8
0,8
0,9
0,99
1,08
1,08
1,53
2,16
2,16
2,16
2,16
2,16
2,16
2,16
Kelas Penutupan Lahan
Hutan
Kebun Teh
Lahan Kosong Lahan Terbangun
Sumber : Prasetyo dkk. 2006, Prasetyo dkk. 2009 diacu dalam Statistik TNGHS 2009
d. 2. Rehabilitasi dan Restorasi Kegiatan rehabilitasi/restorasi dilaksanakan dengan melibatkan beberapa pihak seperti masyarakat, pemerintah daerah, lembaga donor, lembaga swadaya masyarakat dan anggaran internal/DIPA ( TNGHS 2008d). Data tentang kegiatan rehabilitasi dan restorasi ini terdapat di Bagian Urusan Masyarakat dan Hubungan masyarakat (Kerjasama). Data rehabiltasi dan restorasi yang dimonitor dan dilaporkan berupa: lokasi, luas lahan, jumlah bibit, jenis bibit yang ditanam dan pelaksana kegiatan.
d. 3. Gangguan Kawasan Kegiatan monitoring terhadap gangguan kawasan merupakan bagian dari kegiatan monitoring rutin TNGHS,
selain
itu ada beberapa
kegiatan
patroli/pengamanan khusus yang didanai oleh pemerintah. Kegiatan pengamanan khusus dilakukan secara rutin tiap tahun (diluar monitoring umum) dengan melibatkan masyarakat, kepolisian dan pihak-pihak lainnya13. Patroli pengamanan khusus kegiatannya berupa operasi polisional/penegakan hukum14. Data-data yang dihasil dalam kegiatan monitoring gangguan kawasan meliputi (TNGHS 2008d): -
daftar lokasi penebangan liar (m3, batang dan jumlah pohon)
-
daftar lokasi pemukiman dan perambahan liar (luas dalam ha dan jumlah pelaku)
-
daftar lokasi lahan kosong (lokasi, blok, luas, dan penyebab)
-
daftar lokasi penambangan emas tanpa ijin (luas dalam ha dan jumlah pelaku)
-
daftar lokasi enclave (Blok enclave dan luas)
Khusus untuk data hasil monitoring gangguan kawasan (diluar monitoring umum) berada di Urusan Perlindungan Dan Pengendalian Kebakaran Hutan.
13 14
Hasil wawancara dan observasi Hasil wawancara
49
5. 1. 3. Karakteristik Data dan Informasi (Hasil) di TNGHS Berdasarkan kondisi konstruksi data di TNGHS dapat dianalisis beberapa data yang layak dan tidak layak untuk dapat dijadikan sumber data dan informasi bagi penilaian kinerja pengelolaan Taman Nasional. Kelayakan data dan informasi di TNGHS adalah sebagai berikut: 1. Data perjumpaan satwa hasil dari kegiatan monitoring umum kurang sesuai untuk digunakan sebagai data untuk menduga populasi tiga spesies kunci yang terdapat di TNGHS. Data tersebut lebih tepat digunakan sebagai informasi habitat indikatif dan persebaran dari tiga spesies kunci tersebut. 2. Data satwa hasil monitoring khusus dapat digunakan sebagai data untuk menduga populasi tiga spesies kunci dengan tetap memperhatikan bahwa akurasi data tersebut masih rendah. Data dan informasi hasil kegiatan monitoring khusus ini lebih tepat sebagai pelengkap dari baseline data dan informasi (habitat indikatif dan persebaran), masih diperlukan penelitian lebih seksama untuk dapat mengetahui dugaan populasi secara lebih akurat. 3. Monitoring plot permanen di plot 2 yang terletak di Cikaniki
dapat
digunakan sebagai penilai karakteristik habitat, karena telah teramati secara rutin tiap tahun. Data tentang ini perlu ditambah dengan menambah jumlah plot permanen untuk tipe hutan yang lainnya. 4. Data tutupan lahan hasil dari citra satelit (landsat dan aster) dapat digunakan untuk melihat kondisi dan perubahan tutupan lahan yang ada di TNGHS. Data tutupan lahan terbarui sepanjang tahun dan telah ada mekanisme untuk interpretasinya. Peta-peta tematik juga telah terbarui datanya setiap tahun sehingga dapat digunakan sebagai sumber data dan informasi15. 5. Data gangguan terhadap kawasan dapat digunakan sebagai sumber data dan informasi tentang kondisi gangguan kawasan di TNGHS. Data ini terbarui setiap tahun melalui mekanisme pengamanan baik rutin maupun
15
Hasil observasi
50
khusus, sehingga relatif telah menjangkau kawasan-kawasan yang rawan gangguan di seluruh kawasan TNGHS. 6. Data kegiatan rehabilitasi dan restorasi juga telah terbarui setiap tahun seperti: luas lahan dan jenis yang ditanam, sehingga dapat diperkirakan luas lahan yang telah terehabilitas/terestorasi. Kekurangan data rehabilitasi dan restorasi adalah tidak lengkapnya data perkembangan hasil dari kegiatan rehabilitasi dan restorasi tersebut. Selain data-data diatas ada beberapa data yang dibutuhkan untuk penilaian terhadap standar kinerja ini yang tidak secara rutin dikerjakan oleh TNGHS, seperti : data hidroorologi (debit air, curah hujan, kualitas air, kualitas udara dan data erosi).
5.2. Ketersediaan Data untuk Tiap Indikator Ketersediaan data untuk penilaian kinerja ini akan dibahas setiap indikator dengan mengacu pada kualitas data yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya.
5. 2. 1. Indikator I Terbentuknya zona yang menjamin terpeliharanya prosesproses ekologis secara efektif. a. Data Yang Dibutuhkan Menurut Skala Intensitas Pada Tipologi D (Sedang) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah zona-zona yang telah ditetapkan agak sesuai untuk menjamin keberlangsungan proses-proses ekologis secara alamiah di dalam kawasan. Data yang dibutuhkan untuk mampu menilai kinerja pada indikator ini adalah adanya peta Citra Landsat/photo udara, peta tutupan lahan, peta topografi, peta hidrologi, peta ruang kelola masyarakat dan pemukiman, peta dokumen pusat pertumbuhan ekonomi wilayah, dan peta distribusi serta kelimpahan spesies penciri yang terbarui setiap tahun b. Ketersediaan Data Yang Ada di Taman Nasional Penataan zonasi di TNGHS saat ini masih dalam tahap konsultasi publik, sehingga zonasi yang ada saat ini masih bersifat indikatif. Luas TNGHS yaitu 113.357 ha terbagi menjadi sembilan zona.
51
Tabel 12 Zona Indikatif Dan Tutupan Lahan Tahun 2008 Zona indikatif (ha) Inti Rimba Budaya Enclave Rehabilitasi Tradisional Pemanfaatan Zona lain
30.192,60 24.732,30 3,1 7145,60 13.031 3.052 662,6 35.176,60
Tutupan Lahan Tahun 2008 (ha) Hutan Hutan tanaman kebun campuran kebun karet kebun teh semak rumput sawah ladang lahan kosong lahan terbangun badan air tidak ada data
60.180,21 3.771,36 7.369,11 4.806,72 4.144,77 8.836,29 738,09 3.122,19 8.705,70 1.902,78 3.280,68 396,45 2,16
Sumber : TNGHS 2007c Peta tutupan lahan yang dimiliki TNGHS selalu terbarui tiap tahun (19892008) menggunakan interpretasi citra landsat. Peta tematik yang terdapat di TNGHS yang diperbaharui setiap tahun adalah: peta tutupan lahan dan peta distribusi spesies penting.
Gambar 14 Peta zonasi indikatif TNGHS (RPTN 2007-2026)
52
Gambar 15 Peta vegetasi
Gambar 16 Peta distribusi spesies tahun 2009 Pada sub bab sebelum telah diperlihatkan peta-peta tematik yang bersumber dari data monitoring umum (hal. 33). Peta tersebut cukup
53
menggambarkan distribusi spesies dan habitat penting di TNGHS, meskipun untuk menduga kelimpahan populasi tingkat akurasinya masih rendah. Intensitas pengamatan terhadap satwa (monitoring umum) tidak merata tiap bulan, dengan rata-rata hari perjumpaannya dibawah 13,09 hari tiap bulannya (tahun 2008 dan 2009). Meskipun demikian kegiatan tersebut telah menjadi mampu menghasilkan peta distribusi satwa (lihat hasil monitoring umum untuk spesies). Selain itu monitoring umum juga telah menghasilkan peta pemukiman dan peta ruang kelola masyarakat adat. Peta tematik seperti topografi dan hidrologi tidak menuntut diperbarui tiap tahun, karena perubahan kondisi topografi dan hidrologi relatif stabil. Peta tematik yang menuntut diperbarui tiap tahun adalah peta tutupan lahan. Data tutupan lahan TNGHS hasil citra satelit yang dapat menimbulkan perbedaan pada akurasi data adalah data tahun 2005 dan 2006, karena keduanya menggunakan citra aster bukan landsat seperti yang lainnya 16. Selain tutupan lahan dan distribusi spesies, data yang menuntut diperbarui tiap tahun adalah dokumen pertumbuhan ekonomi. Dokumen pertumbuhan ekonomi yang dimiliki oleh TNGHS menunjukkan bahwa data tersebut tidak terbarui tiap tahun, dan ketersediaannya kurang lengkap. c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator satu adalah seperti pada Tabel 13 dibawah ini. Tabel 13 Ketercukupan Data Ekologi di TNGHS pada Indikator I Kebutuhan Data
Ketersediaan Data SB SB SB SB SB SB S J
Kualitas data B B B B B B S J
Ketercukupan Data B B B B B B S J
Peta citra landsat/photo udara Peta tutupan lahan Peta distribusi spesies Peta ruang kelola/pemukiman Peta topografi Peta hidrologi Peta RTRWP/K Dokumen pusat pertumbuhan ekonomi Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS). 16
Wawancara dengan staf perencanaan bahwa citra landsat tersebut kualitasnya jelek (striping)
54
Data dan informasi di dalam Tabel 13 memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Data utama untuk indikator satu adalah data tutupan lahan dan distribusi spesies penting. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Hasil penilaian ketercukupan data dan informasi untuk indikator satu adalah Baik. Berdasarkan penilaian tersebut maka data yang tersedia di TNGHS telah mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator I. Nilai baik pada indikator I disebabkan oleh baiknya kondisi pengelolaan data-data spasial di TNGHS terutama data citra dan tutupan lahan. Hasil penilaian terhadap kedua data tersebut adalah baik. Pemerintah Indonesia dan Jepang melalui proyek Gunung Halimun Salak National Park Management Project (GHSNP-MP) menekankan pada pengelolaan data dan informasi berbasis spasial (TNGHS 2009). Peta persebaran/distribusi spesies penting di TNGHS memiliki nilai baik, hal ini disebabkan oleh adanya kegiatan pengamatan secara rutin melalui monitoring umum. Catatan penting pada data persebaran spesies ini adalah kurang memadainya data dan informasi untuk menduga kelimpahan dari spesies tersebut, meskipun cukup memadai untuk menduga persebaran/distribusi spesies tersebut. Data RTRWP/K dan dokumen pusat pertumbuhan ekonomi memiliki nilai sedang, baik pada ketersediaan dan kualitas datanya. Kedua data tersebut dihasilkan oleh instansi lain yaitu pemerintah daerah dan propinsi. Kelemahan data tersebut terjadi karena beberapa pemerintah daerah belum menyelesaikan RTWP/K, hal ini terkait adanya pemekaran daerah (khususnya setelah Propinsi Banten lepas dari propinsi Jawa Barat).
55
5. 2. 2. Indikator II Terkendalikannya pemanfaatan haram terhadap sumberdaya alam secara efektif.
a. Data yang dibutuhkan menurut skala intensitas pada tipologi D (Baik) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah ada pemanfaatan haram sumberdaya alam dengan skala kecil dan jenisjenis sumberdaya alam yang dimanfaatkan tidak termasuk dalam kategori jenis endemik/langka/ dilindungi. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator kinerja ini meliputi laporan tahunan penyuluhan/sosialisasi, laporan tahunan kegiatan patroli, laporan tindakan hukum pelanggar batas, dokumen partisipasi aktif masyarakat, dokumen kerjasama dengan para pihak, dan SOP.
b. Ketersediaan Data Yang Ada di Taman Nasional TNGHS melakukan kerjasama dengan beberapa pihak untuk kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan (TNGHS 2009c), kerjasama tersebut antara lain adalah: -
Perjanjian kerjasama dengan PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas), dengan jangka waktu lima tahun (03 Oktober 2005 sampai dengan 02 Oktober 2009). Dokumennya adalah
No: SKB. 1325/IV-
T.13/Kerjasama/2005; No: 448/0075/KUE/2005 tanggal 03 Oktober 2005. -
Perjanjian Kerjasama Antara Balai TNGHS dengan PT. PLN (Persero) Proyek Induk Pembangkit dan Jaringan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara tentang Pelestarian dan Pengamanan TNGHS, dengan jangka waktu lima tahun (06 Oktober 2006 sampai dengan 05 Oktober 2010). Dokumennya adalah :No. S.1845/IV-T.13/KH/2006 tanggal 06 Oktober 2006.
-
Perjanjian Kerjasama Antara Balai TNGHS dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi, dengan jangka waktu tiga tahun (28 September 2007 sampai dengan 28 September 2007). Dokumennya adalah : No. 0888/IV-T.13/KH/2007; September 2007.
No.
0660/PS.28.A-Huk/2007
Tanggal
28
56
-
Kerjasama dengan masyarakat dalam bentuk Model Kampung Konservasi (MKK) yang didukung oleh pemerintah daerah khususnya pemda Sukabumi dan Bogor melalui Sistem Dukungan (SISDUK) masyarakat hulu. Program SISDUK mensyaratkan masyarakat penerima dana ini untuk
melakukan kegiatan observasi partisipatif (OP) setidaknya 2 kali dalam sebulan mulai 2006 hingga Oktober 2008, namun kegiatan ini terputus semenjak dana JICA tidak ada lagi. Ada beberapa kelemahan dalam program ini ketika diimplementasikan yaitu: tidak adanya data dan informasi yang pasti dan tercatat mengenai jadwal patroli, waktu patroli, individu yang terlibat, temuan selama patroli tidak tercatat dan terdokumentasi dalam suatu sistem yang baku (Syaf dkk. 2009). Data gangguan kawasan di dalam statistik TNGHS merupakan kompilasi data monitoring umum dan pengamanan khusus 17. 8000
7396,47
7396,47
7396,47
3307
3307
3307
2006
2007
2008
Luas (ha)
7000
Pelaku (org)
6000 5000 4000 3000 2000 1000
1162 564 289,254 786,555
1394 916,24
0 2003
2004
2005
Gambar 17 Pemukiman liar di TNGHS pada tahun 2008 (Sumber : Statistik Balai TNGHS 2008) Data perambahan dan pemukiman pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2008 tidak mengalami perubahan, hal ini berbeda dengan data perambahan hasil monitoring umum pada tahun 2008, dimana terjadi penambahan luas yaitu 158,29 ha. Perbedaan angka tersebut mengindikasikan belum terintegrasinya data yang
17
Hasil wawancara dengan staf yang penyusun statistik di TNGHS
57
masuk dari kegiatan montoring umum (database) dengan data dari urusan perlindungan dan pengendalian kebakaran hutan. Data lahan kosong menurut statistik 2008 adalah 1139 ha, berbeda dengan data tutupan lahan hasil interpretasi citra yang luasnya 1.902,78 ha. Perbedaan ini kemungknan terjadi sebagai akibat dari tingkat ketelitian dalam interpretasi citra landsat yang memiliki batasan akurasi (akurasi ketelitian yang dapat di terima adalah 85% 18, maka ada kemungkinan selisih data luas ± 285,417 ha) demikian juga adanya kemungkinan salah penafsiran ukuran luas oleh petugas di lapangan.
1200
1139,3
1000 849,3
Ha
800
600
400
200
163
127
0 Seksi I (Lebak)
Seksi II ( Bogor)
Seksi III (Sukabumi)
Total
Gambar 18 Lahan kosong di TNGHS pada tahun 2008 2500 2011 2000 Luas (Ha) 1500
Pelaku (org) 1168 862
1000
489
604
628
500 56,8
58,55
180 64,8
38,5
99
108,7
58,205
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
0
Gambar 19 Penambangan emas tanpa ijin (PETI) di TNGHS pada tahun 2008 (Sumber : Statistik Balai TNGHS 2008) 18
USGS (United Stated Geological Survey) menyatakan interpretasi citra dapat di terima dengan akurasi di atas 85%.
58
Data PETI menurut statistik tahun 2008 adalah 58,205 ha sedangkan menurut hasil monitoring umum adalah sebesar 30,66 ha. Jumlah pelaku menurut data statistik adalah 1168 orang sedangkan hasil monitoring umum (database) jumlah pelakunya adalah 147 orang. Ini menunjukan bahwa database di TNGHS belum terintegrasi dengan data-data hasil pengamanan khusus (proyek DIPA dan kerjasama lainnya). Data statistik merupakan kompilasi dari data monitoring umum (rutin) dan data keproyekan hasil kegiatan pengamanan khusus. Data hasil monitoring umum belum terintegrasi dengan data hasil pengamanan khusus, sehingga database TNGHS masih belum memperlihatkan keseluruhan aktivitas illegal yang ada di TNGHS. Data yang dihasilkan dari kegiatan pengamanan khusus masih parsial atau terpisah-pisah. Belum terintegrasinya data merupakan salah satu kelemahan dalam pengelolaan data gangguan kawasan, meskipun dokumentasi gangguan kawasan terbarui setiap tahun. Kegiatan pengamanan kawasan merupakan prioritas utama dalam RPTN 2007-2026 sehingga alokasi sumberdaya manusia dan dana banyak disediakan untuk kegiatan ini. Alokasi anggaran yang disediakan untuk kegiatan pengamanan kawasan adalah anggaran terbesar dibandingkan dengan kegiatan lainnya. Jumlah polisi kehutanan 45 orang atau hampir separuh jumlah pegawai TNGHS. Jumlah petugas fungsional (Polisi Hutan/Polhut, Penyuluh dan Pengendali Ekosistem Hutan/PEH) di TNGHS adalah 64 orang dengan 50 orang petugas berada di seksi wilayah (TNGHS 2009c). Luas TNGHS adalah 113.357 ha maka tiap petugas fungsional di tingkat resort ini memiliki beban tanggung jawab rata-rata seluas 2267,14 ha. Intensitas patroli yang dilakukan oleh petugas lapangan berbeda untuk tiap bulannya, dan rata-rata tiap bulan patroli yang dilakukan sebanyak 13,09 hari
19
.
Penurunan jumlah hari pengamatan dari tahun 2008 ke 2009 cukup tinggi yaitu 43% sedangkan jumlah titik pengamatannya turun sebesar 10,59 %. Kegiatan penyuluhan juga merupakan kegiatan yang selalu ada tiap tahun dalam RKT, namun bentuk laporan dan materi penyuluhan belum dilaporkan dengan baik dan terpola. 19
Asumsi tiap patroli berhasil memperoleh data baik data batas kawasan, ekowisata, gangguan kawasan, jalur, jasa lingkungan dan spesies
59
SOP pengaman kawasan yang telah dibuat di TNGHS adalah sebagai berikut : -
kegiatan perlindungan hutan dan penanggulangan kebakaran hutan
-
penggunaan dan pengamanan senjata api
-
patroli `
SOP untuk kegiatan perlindungan dan pengamanan relatif paling lengkap dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lainnya.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator dua adalah seperti pada Tabel 14 dibawah ini. Tabel 14 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator II Kebutuhan Data
Keter sediaan Data S
Kualitas data S
Keter cukupan Data S
Laporan kegiatan patroli
B
B
B
Laporan tindakan hukum pelanggar batas
B
B
B
Dokumen partisipasi masyarakat
B
B
B
Dokumen kerjasama
B
B
B
SOP
SB
SB
SB
Laporan penyuluhan dan sosialisasi
Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS). Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Data utama untuk indikator ini adalah laporan kegiatan patroli. Ketercukupan data dan informasi untuk penilaian kinerja pada indikator dua adalah Baik. Berdasarkan penilaian tersebut maka data dan informasi yang tersedia di TNGHS telah mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator dua.
60
Aktivitas patroli di TNGHS telah menjangkau setiap kawasan di TNGHS. Setiap resort terdiri minimal tiga orang petugas yang melakukan kegiatan patroli secara rutin (aktivitas harian). Selain itu telah dikembangkan Model Kampung Konservasi (MKK) dimana salah satu aktivitasnya adalah membantu kegiatan pengemanan kawasan (patroli). Dua aktivitas rutin ini yang mendukung terbentuknya kondisi pengamanan kawasan yang relatif baik di TNGHS. Pengamanan dan perlindungan kawasan merupakan prioritas tinggi dalam pengelolaan, hal ini dapat dilihat dari jumlah personil polisi hutan dan anggaran yang tersedia setiap tahuannya (lihat pembahasan pada konstruksi data dan informasi hal. 30).
5. 2. 3. Indikator III Terpeliharanya struktur dan fungsi ekosistem alam di dalam kawasan.
a. Data yang dibutuhkan menurut Skala intensitas pada tipologi D (Baik) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah struktur dan fungsi ekosistem di dalam kawasan agak terganggu, tetapi efek dari gangguan tersebut tidak mengganggu struktur dan fungsi ekosistem dan dapat terpulihkan secara alamiah. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator ini adalah adanya laporan rutin pemantauan penutupan lahan dan laporan rutin pemantauan flora dan fauna. Data ini dibutuhkan untuk melihat kestabilan ataupun perubahan kondisi struktur dan fungsi ekosistem, sehingga data tersebut harus kontinyu (time series).
b. Ketersediaan Data di Taman Nasional Data tutupan lahan memperlihatkan bahwa kondisi hutan primer di TNGHS saat ini berkisar antara 60.180,21 ha atau 56,11 % dari luas kawasan TNGHS (TNGHS 2009c). Penurunan hutan primer dari Tahun 2003 sampai dengan 2008 adalah berkisar antara 3,77% (0,75 %/tahun). Sedangkan laju penurunan dari tahun 1989 sampai dengan 2003 adalah 25,61% (1,83%/tahun).
61
90,0 80,0 70,0
%
60,0 50,0 40,0
78,3 77,1 75,9 74,7 73,1 70,9 69,7 67,4 65,1 62,5 58,2 58,2 56,2 56,1 Luas Hutan Alam
30,0 20,0 10,0 0,0 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1997 1998 2001 2003 2004 2007 2008 Tahun
Gambar 20 Persentase luas penutupan lahan hutan alam di TNGHS Data statistik menunjukkan beberapa tingkat gangguan terhadap kawasan yang terjadi pada tahun 2008 tidak lebih dari 8% total luas kawasan TNGHS (Tabel 15). Tabel 15 Gangguan Terhadap Kawasan Tahun 2008 Jenis Gangguan
48,99 m3
Persentase Terhadap Luas Kawasan (113.357 ha) -
Pemukiman/Perambahan
7396,47 ha
6,52 %
Lahan Kosong
1139,3 ha
1,001%
PETI
58,205 ha
0,05%
Penebangan Liar
Total
Satuan
7,57%
Sumber : Statistik TNGHS (2008) Data pemantauan flora dapat dilihat dari interpretasi terhadap citra landsat untuk melihat beberapa perubahan penutupan lahan yang terjadi selama tahun 1989 sampai dengan 2008. Data penutupan lahan Tabel 16 menunjukan bahwa terjadi penurunan terhadap luas hutan alam (28,41%) dan semak (43,72%) antara tahun 1989-2008. Pada kurun waktu yang sama, kenaikan luas kebun adalah yang paling tinggi yaitu 1184,80 %. Pengelolaan kawasan oleh TNGHS pada tahun 2003-2008 telah menunjukan bahwa penurunan hutan alam hanya 3,77% lebih kecil dibandingkan penurunan tiap lima tahun sebelumnya.
62
Tabel 16 Perubahan Tutupan Lahan TNGHS 1989-2008 Tahun
Kelas Penutupan Lahan 1989-1994
1994-1998
1998-2003
2003-2008
1989-2008
Hutan Alam
-9,41
-8,18
-10,56
-3,77
-28,41
Hutan Tanaman
36,98
4,75
-45,23
63,57
28,54
Kebun Campuran
64,62
-9,93
103,17
-23,51
130,41
Kebun Karet
158,78
8,54
-25,50
4,68
119,05
Kebun Teh
178,52
34,37
116,32
58,71
1184,80
Semak
-0,29
96,30
13,49
-25,34
65,84
Rumput
-22,35
-5,26
-38,79
24,97
-43,72
Sawah
-19,36
-8,04
40,36
7,83
12,24
Ladang
4,93
11,13
18,44
26,07
74,11
Sumber : Statistik TNGHS 2009 Data resmi flora yang ada di TNGHS masih sangat terbatas. Kegiatankegiatan yang dilakukan oleh TNGHS sendiri belum terkumpul datanya dengan baik, demikian juga dengan hasil-hasil penelitian. Tabel 17 Data Flora di TNGHS No.
1
2
Jenis Flora
Jumlah
Jumlah
Famili
Jenis
Anggrek
Keterangan
247 50
92
16
117
Tumbuhan Obat
3
Tumbuhan Hias
36
70
4
Jamur
10
35
Sumber : Statistik TNGHS 2009
Plot Tumbuhan Obat Cikaniki (2008) Areal Gunung Salak (2003) Plot Tumbuhan Obat Cikaniki (2008) -
63
Tabel 18 Data Fauna di TNGHS No.
Jenis Fauna
Jumlah
Jumlah
Famili
Jenis
Burung
38 (hasil Penelitain 2002), 224 (hasil 38
1
Keterangan
224
penelitian 2006 pada kawasan perluasan)
- Elang 17 Mamalia
23
3
71 16
- Macan Tutul Herpetofauna
77
Hasil
penelitian
s.d
2006
pada
kawasan perluasan Hasil penelitian s.d 2002 di areal perluasan Gn. Salak, 2 sub spesies (hasil penelitian tahun 2002) Hasil penelitian 2006 (pada areal perluasan)
Reptil
49
Penelitian 2002
10
Penelitian 2006
Ampibi
27
Penelitian 2006
Kura-kura
9
Penelitian 2006
3
4
Mollusca
16
36
Penelitian 1999/2000
5
Ikan
13
37
Penelitian 1999/2000
6
Primata
7
Serangga
4 124
- Kupu-kupu
Penelitian 1999/2000
77
Penelitian 1999/2000
Sumber : Statistik TNGHS 2009 Data fauna memperlihatkan bahwa data-data terbaru adalah data tahun 2006 dan merupakan data-data untuk kawasan perluasan atau data setelah tahun 2003 (ststistik 2009). Data statistik flora dan fauna Tabel 17 dan 18 menunjukan bahwa datadata yang dimiliki untuk data spesies masih sangat terbatas, dan tidak terbarui secara rutin. Untuk tiga spesies kunci (macan tutul, owa jawa, dan elang jawa) telah dilakukan monitoring secara rutin, namun masih terbatas pada tiga lokasi prioritas yaitu : elang jawa (Cikaniki, Cisoka, Dan Tapos), macan tutul (Cikaniki, Cisoka, dan KHS), dan owa jawa (Cikaniki, Cisoka dan Gn Bodas), sehingga
64
belum dapat menggambarkan populasi seluruh kawasan TNGHS. Monitoring khusus (seperti telah di bahas pada sub bab sebelumnya) menunjukan masih rendahnya akurasi data untuk pendugaan populasi spesies tersebut.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator tiga adalah seperti pada Tabel 19 dibawah ini. Tabel 19 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator III Kebutuhan Data
Ketersediaan Data SB
Kualitas data B
Ketercukupan Data B
Pemantauan flora
J
JS
JS
Pemantauan fauna
B
S
S
Pengelolaan lahan terganggu
B
S
S
Pengelolaan populasi satwa
JS
JS
JS
Pengelolaan vegetasi
JS
JS
JS
Pemantau penutupan lahan
Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS). Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Data utama untuk inidkator ini adalah pemantauan tutupan lahan, flora dan fauna. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4.
Hasil penilaian
ketercukupan data dan informasi untuk penilaian kinerja pada indikator tiga adalah Jelek. Berdasarkan penilaian tersebut maka data yang tersedia di TNGHS telah belum mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator tiga. Nilai jelek pada indikator tiga disebabkan rendahnya pemantauan terhadap flora dan fauna. Khusus pemantauan flora, ketercukupan datanya sangat rendah atau jelek sekali. Rendahnya nilai pemantauan flora disebabkan kurang
65
lengkapnya data dan informasi hasil monitoring secara rutin yang berkaitan dengan flora. Monitoring khusus dalam setahun hanya mengamati satu plot permanen, yang tidak mewakili berbagai tipe hutan yang ada di TNGHS. Data flora hasil kegiatan Biodiversity Conservation Project (BCP) kerjasama dengan JICA cukup banyak khususnya di kawasan sebelum perluasan, namun data tersebut
tidak
diperbaharui
secara
baik
dalam
aktivitas
pengelolaan
keanekaragaman hayati di TNGHS. Untuk pemantauan fauna relatif memiliki nilai sedang, hal ini disebabkan oleh ketersediaan datanya yang memiliki nilai sedang dilihat dari kelengkapan dan kemudahan diperoleh datanya. Kualitas data yang dihasilkan memiliki kekurangan pada metode, khususnya pada penerapan atau pelaksanaan kegiatannya.
5. 2. 4. Indikator IV Terpeliharanya habitat spesies penciri (flagship species) Taman Nasional.
a. Data yang dibutuhkan menurut Skala intensitas pada tipologi D (Baik) Indikator IV adalah terpeliharanya habitat spesies penciri (flagship species) taman nasional. Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah habitat spesies penciri taman nasional mengalami gangguan, tetapi gangguannya tergolong kecil dan tidak menyebabkan penurunan populasi spesies penciri taman nasional tersebut. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator ini adalah laporan tahunan hasil pemantauan sistem penyangga kehidupan (flora, fauna, kualitas air, kualitas udara, hidrologi, dan laporan relevan lainnya).
b. Ketersediaan Data di Taman Nasional TNGHS menetapkan tiga spesies penciri yaitu elang jawa, owa jawa dan macan tutul. Monitoring terhadap ketiganya dilakukan dengan melalui monitoring umum dan monitoring khusus (penjelasan lihat sub bab 2 dari bab V). Data-data seperti kualitas air, kualitas udara, dan hidrologi tidak termonitor secara rutin dalam aktivitas TNGHS atau tidak ada kegiatan rutin. Sehingga tidak ada rekapitulasi data untuk kualitas air, kualitas udara dan
66
hidrologi yang rutin tiap tahun di TNGHS. Data ini sebagian ada di Balai Pendayagunaan Sumber Daya Air di tiap kabupaten, seperti data debit air. Seddangkan data kualitas air, kualitas udara dan hidrologi dalam kawasan masih belum banyak informasi yang didapat. Berdasarkan hasil monitoring umum tahun 2008-2009 intensitas perjumpaan satwa secara langsung rendah (tabel 19 dan 20). Monitoring umum lebih fokus kepada kegiatan pengamanan kawasan sehingga data tentang speseis masih belum banyak memberikan informasi tentang perubahan kondisinya di alam. Tabel 20 Perjumpaan spesies penciri hasil monitoring umum tahun 2008 NO
Jumlah Perjumpaan
Nama Spesies
Langsung 1
Tidak Langsung 21
1
Macan tutul
2
Owa jawa
13
28
3
Elang jawa
14
2
Sumber : database TNGHS tahun 2008 Tabel 21 Perjumpaan spesies penciri hasil monitoring umum tahun 2009 NO
Jumlah Perjumpaan
Nama Spesies
Langsung 0
Tidak Langsung 13
Owa jawa
11
22
Elang jawa
11
1
1
Macan tutul
2 3
Sumber : database TNGHS tahun 2009 Rendahnya intensitas monitoring umum tersebut ada dua kemungkinan yaitu kurangnya kegiatan monitoring oleh petugas atau masih belum terbiasanya petugas melakukan pencatatan dengan tally sheet20 sehingga data yang masuk menjadi sedikit. Data monitoring flora di TNGHS masih sangat terbatas, penelitian hasil BCP 2003 banyak yang belum terbarui atau termonitor melalui aktivitas rutin manajemen. Lima tahun pertama manajemen TNGHS masih memprioritaskan untuk melakukan identifikasi terhadap ekosistem-ekosistem penting (khususnya di 20
Hasil wawancara
67
daerah perluasan dan KHS). Data fauna hasil monitoring yang berkelanjutan sudah dilakukan (tiga spesies kunci) namun akurasi data untuk dugaan populasinya masih rendah. TNGHS belum melakukan tindakan manajemen yang efektif untuk mendapatkan data-data sistem penyangga kehidupan seperti kualitas air, kualitas udara, dan hidrologi bahkan pada habitat-habitat satwa penciri. Monitoring untuk kualitas udara, air dan hidrologi jarang dilakukan dan bukan merupakan aktivitas rutin. Tidak ada tindakan manajemen yang secara khusus diarahkan untuk melengkapi data ini, meskipun beberapa kegiatan keproyekan telah melakukan pengambilan data yang berkaitan dengan kualitas air dan hidrologi (kegiatan yang berkaitan dengan jasa lingkungan). Kegiatan rutin seperti monitoring umum tidak mensyaratkan pengumpulan data ini, demikian juga tidak ada kegiatan monitoring khusus yang secara spesifik untuk mendapatkan data ini.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator empat adalah seperti pada Tabel 22 dibawah ini. Tabel 22 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator IV Kebutuhan Data
Kualitas data
Pemantauan flora
Keter sediaan Data J
JS
Keter cukupan Data JS
Pemantauan fauna
B
S
S
Pemantauan kualitas air
JS
JS
JS
Pemantauan kualitas udara
JS
JS
JS
Pemantauan hidrologi
JS
JS
JS
Pengelolaan habitat spesies penciri
JS
JS
JS
Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS). Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk
68
indikator. Data utama untuk indikator empat adalah pemantauan flora dan fauna. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Penilaian ketercukupan data dan informasi untuk penilaian kinerja pada indikator empat adalah Jelek. Berdasarkan penilaian tersebut maka data yang tersedia di TNGHS belum mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator empat. Nilai jelek pada indikator empat disebabkan rendahnya nilai pemantauan flora di TNGHS. Selain itu beberapa data seperti pemantauan kualitas air, udara dan hidrologi tidak tersedia dengan cukup. Data-data tersebut tidak tersedia dengan memadai karena tidak dikerjakan sebagai bagian aktivitas rutin di TNGHS. Beberapa kegiatan pemantauan kualitas air, udara dan hidrologi pernah dilakukan akan tetapi tidak dalam suatu pola yang rutin. Pemantauan terhadap tiga kondisi fisik tersebut menuntut suatu pola pemantauan yang rutin dan tetap dalam suatu skala waktu (Lee 1990).
5. 2. 5. Indikator V Terpeliharanya fungsi hidroorologis kawasan
a. Data yang dibutuhkan menurut Skala intensitas pada tipologi D (Sedang) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah fungsi hidroorologis kawasan telah mengalami gangguan dan membutuhkan tindakan pengelolaan yang relatif kecil untuk memulihkannya. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator ini adalah laporan rutin untuk pemantauan aliran sungai, tingkat erosi tanah, pola rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, dan pemantauan dari Stasiun Pemantauan Aliran Sungai.
b. Data yang ada di Taman Nasional Taman Nasional Gunung Halimun-Salak memiliki 12 Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan 32 Sub DAS yang terdiri dari puluhan sungai dan anak sungai. Muara sungai tersebut ada yang ke Samudra Indonesia dan ada juga yang ke Laut Jawa (TNGHS 2007b). TNGHS pernah melakukan kegiatan untuk mengetahui kondisi fisik, kimia, dan biologi di hulu sungai Cikaniki desa Citalahap pada tahun 2002
69
(Harahap 2006). Pada tahun 2006 dilakukan survey potensi air bersih untuk mengukur debit air dan kualitas air (TNGHS 2006). Pada tahun 2007 dilakukan inventarisasi pemanfaatan jasa lingkungan yang didalamnya berisi kegiatan pemanfaatan aliran sungai di dalam kawasan oleh masyarakat sekitar kawasan (TNGHS 2007a). Data-data tersebut bersifat keproyekan dan hanya dilakukan pada beberapa lokasi saja, serta tidak dalam suatu tatanan waktu yang teratur (monitoring). Tidak masuknya data-data tersebut dalam bagian dari monitoring rutin dan kegiatan-kegiatan yang direncana pada RPJM dan RKT, membuat data ini tidak memiliki karakteristik (ketersediaan dan kualitas) sebagai data yang cukup untuk menggambarkan kondisi hidroorologis kawasan dengan baik. Sebagai contoh data klasifikasi sungai (Tabel 23) tidak dapat dijadikan sebagai klasifikasi permanen, karena untuk menentukan klasifikasi/golongan sungai di perlukan data dasar yang dilakukan secara serentak dan berulang. Komposisi air alami beragam menurut waktu dan tempat, maka pengambilan sample harus diulang untuk mendapatkan informasi sehubungan dengan variabilitas kualitas air, atau kualitas rata-rata (Lee 1990). Klasifikasi sungai hasil dari laporan survey potensi air bersih ini dilakukan dengan tidak mengikuti prosedur diatas, seperti tidak ada ulangan sample untuk tiap sungai (TNGHS 2007e). Tabel 23 Klasifikasi Sungai Kajian Berdasarkan PP 82 Tahun 2001 No
Nama Sungai
Gol.Sungai
Parameter yang tidak memenuhi persyaratan klasifikasi I 1 Ciherang III BOD, Fosfat 2 Cinangneng III Fosfat 3 Cipasung IV Fosfat 4 Cikuwulung IV BOD, COD, Fosfat 5 Ciampea III Fosfat, 6 Cihideung III Fosfat, BOD 7 Cibojong IV Khrom, COD, CI, Fe 8 Cisukawayana IV BOD, Fosfat, Nitrat, Nitrit, CU, Fe 9 Cimantaja III Khrom, BOD 10 Cibareno IV BOD, Khrom, Tembaga 11 Citarik III BOD 12 Cipanas III BOD Sumber : Laporan Survey Potensi Air Bersih (TNGHS 2007e)
70
Dalam tally sheet yang menjadi pegangan tiap petugas resort ketika melakukan kegiatan monitoring umum, data-data tentang hidrologi juga tidak terdapat di dalamnya. Tally sheet yang berhubungan dengan data hidrologi adalah data tentang pemanfaatan air yang terdiri dari informasi tentang pemanfaat/pelaku usaha, luas wilayah usaha, dan jumlah/ kapasitas produksi.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator lima adalah seperti pada Tabel 24 dibawah ini. Tabel 24 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator V Kebutuhan Data
Dokumen pemantauan aliran sungai Dokumen pemantauan erosi tanah Dokumen
pola
rehabilitasi
lahan
dan
Keter sediaan Data JS
Kualitas data JS
Keter cukupan Data JS
JS
JS
JS
S
S
S
JS
JS
JS
konservasi tanah Laporan pemantauan SPAS
Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS). Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Data utama untuk indikator ini adalah pemantauan pemantauan aliran sungai dan erosi. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Ketercukupan data dan informasi untuk penilaian kinerja pada indikator lima adalah Jelek. Berdasarkan penilaian tersebut maka data yang tersedia di TNGHS telah belum mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator lima. Nilai jelek untuk ketercukupan data pada indikator lima disebabkan oleh tidak adanya aktivitas rutin untuk mendapatkan data tersebut. Pemantauan terhadap aliran sungai, erosi dan SPAS tidak terdapat dalam aktivitas rutin
71
pengelolaan di TNGHS. Nilai dari empat data yang dibutuhkan untuk penilaian kinerja semuanya memiliki nilai jelek sekali, kecuali dokumen pola rehabilitasi lahan dan konservasi tanah yang memiliki nilai sedang. Jika dilihat dalam perencanaan jangka menengah dan pendek, aktivitas pengelolaan data pemantauan aliran sungai, erosi dan SPAS bukan merupakan kegiatan rutin yang direncanakan untuk dilaksanakan, setidaknya sampai dengan tahun 2009.
5. 2. 6. Indikator VI Terpulihkannya fungsi ekosistem yang yang terdegradasi
a. Data yang dibutuhkan menurut Skala intensitas pada tipologi D (Baik) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah ekosistem kawasan unit manajemen taman nasional yang terdegradasi telah 60 – 80 % pulih kembali akibat tindakan manajemen yang dilakukan oleh pihak unit manajemen. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator ini adalah dokumen program pemulihan fungsi ekosistem, laporan tahunan hasil pemantauan sistem penyangga kehidupan (flora, fauna, kualitas air, kualitas udara, hidrologi, dan laporan relevan lainnya), dan laporan pemantauan tindakan pengelolaan oleh unit manajemen dalam rangka pemulihan ekosistem kawasan.
b. Data yang ada di Taman Nasional Dalam zonasi indikatif luas zona rehabilitasi adalah 13.031 ha dari total kawasan TNGHS (TNGHS 2007c). Beberapa kegiatan rehabilitasi/restorasi telah dilaksanakan selama kurun waktu 2006-2010 (Tabel 25). Tabel 25 Luas Wilayah Rehabilitasi/Restorasi di TNGHS 2006-2010
Seksi Pengelolaan TN Wilayah I Lebak
Luas (ha) 32
Seksi Pengelolaan TN Wilayah II Bogor
68,45
83438
398,25
317840
498,7
439778
Seksi Wilayah
Seksi Pengelolaan TN Wilayah III Sukabumi Total
Jumlah Bibit (Batang) 38500
72
Sumber : Rekapitulasi Kegiatan Rehabilitasi/Restorasi TNGHS 2010 Dari data Tabel 25 dapat dikatakan bahwa kawasan yang memerlukan kegiatan rehabilitasi/restorasi adalah 13.031 ha dan baru 498, 7 ha yang telah dilaksanakan kegiatan rehabilitasi/restorasi atau baru 3,83% . Ada perbedaan antara luas zona rehabilitasi indikatif dan luas lahan areal rencana rehabilitasi tahun 2010. Data tutupan lahan tahun 2008 menunjukkan bahwa luas lahan kosong, semak dan ladang lebih luas dari luas yang ada pada rencana diatas. Total data tutupan lahan untuk lahan kosong (1.902,78 ha), semak(8.836,29 ha) dan ladang (8.705,70 ha) adalah 19.444,77 ha, sedangkan rencana rehabilitasi untuk tahun 2010 adalah 8.323,50 ha atau 42,81 % dari data tutupan lahan. Jika mengacu pada zonasi rehabilitasi indikatif (2007) seluas 13.031 ha maka rencana rehabilitasi (8.705,70 ha) ini menjangkau 63,87% dari luasan yang seharusnya di rehabilitasi, sedangkan tahun 2010 luas yang direncanakan untuk kegiatan rehabilitasi/restorasi baru seluas 471,90 ha.
Koridor Gn. Halimun – Gn. Endut
Malas ari
T enjolaya Gn. Bunder
T amans ari
Parengrang
Kawah Ratu
C ijarab C ius ul Pondok Injuk Gn. malang
Gambar 21 Rencana rehabilitasi/restorasi tahun 2010
73
Tabel 26 Tutupan lahan di lokasi rencana rehabilitasi TNGHS Lokasi
Luas Kondisi Areal (ha) Lahan Semak Ladang Jumlah Kosong Belukar Total
SPTN Wilayah I Lebak Blok Parengrang 37,40 662,60 Blok Koridor Gn. Halimun-Gn. 215 630,80 Endut Blok Ciusul 655,40 Blok Cijarab 97,60 881,30 Jumlah 350,30 2.830,10 SPTN Wilayah II Bogor Blok Tamansari 25,50 178,20 Blok Tenjolaya 16,70 551,80 Blok Gn. Bunder 7,10 422,10 Blok Malasari 16,70 551,80 jumlah 66,00 1.703,90 SPTN III Wilayah Sukabumi Blok Pondok Ijuk 55,60 792,00 Blok Gn. Malang 617,50 Blok Kawah Ratu 212,10 Jumlah 55,60 1.621,60 Total 471,90 6.155,60 Sumber : Urusan Perencanaan dan Program TNGHS 2010
271,70 -
971,70 846,10
271,70
655,40 978,90 3.452,10
56,50 388,20 56,50 501,20
203,70 625,00 817,40 625,00 2.271,10
389,30 487,30 46,50 923,10 1.696,00
1.236,90 1.104,80 258,60 2.600,30 8.323,50
Dalam rencana jangka menengah (2007-2011) rencana rehablitasi/restorasi yang direncanakan dalam lima tahun pertama ini adalah ± 1000 ha, sedangkan kegiatan rehabilitasi sampai dengan tahun 2010 awal adalah ± 498,7 atau 49,87% dan menyisakan 501,3 ha untuk 2 tahun kedepan. Data diatas memperlihatkan bahwa telah ada rencana dan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi/restorasi kawasan terdegradasi. Data yang masih kurang untuk dapat dilakukan penilaian kinerja adalah data yang berkaitan dengan pemantauan kondisi fisik kawasan seperti kualitas air, udara dan hidroorologi.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator enam adalah seperti pada Tabel 27.
74
Tabel 27 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator VI Kebutuhan Data Pemantauan flora
Ketersediaan Data J
Kualitas data JS
Ketercukupan Data JS
Pemantauan fauna
B
S
S
Pemantauan kualitas air
JS
JS
JS
Pemantauan kualitas udara
JS
JS
JS
Pemantauan hidrologi
JS
JS
JS
Dokumen program pemulihan
JS
JS
JS
JS
JS
JS
fungsi ekosistem Pemantauan tindakan manajemen dalam rangka pemulihan ekosistem kawasan Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS). Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Data utama untuk indikator ini adalah pemantauan flora, fauna, kualitas air, kualitas udara dan hodrologi. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Ketercukupan data dan informasi untuk penilaian kinerja pada indikator enam adalah Jelek. Berdasarkan penilaian tersebut maka data yang tersedia di TNGHS belum mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator enam. Nilai jelek untuk ketercukupan data pada indikator enam disebabkan jeleknya nilai ketercukupan data untuk pemantauan flora, fauna, kualitas air, udara, dan hidrologi. Penjelasan tentang data tersebut telah dibahas pada sub bab sebelumnya. Dokumen program pemulihan ekosistem dan pemantauan tindakan manajemen dalam rangka pemulihan ekosistem kawasan nilainya jelek sekali, hal ini disebabkan belum adanya dokumen yang secara khusus tentang pemulihan fungsi ekosistem di TNGHS. Ada dokumen perencanaan dan rencana aksi (contoh rencana
aksi
Koridor
Halimun Salak
KHS)
untuk
pemulihan
fungsi
75
ekosistem namun masih terbatas jika dilihat dari representatif luas kawasan dan ekosistem yang terdegradasi di TNGHS.
5. 2. 7. Indikator VII Terpeliharanya eksistensi ekosistem-ekosistem unik di `dalam kawasan.
a. Data yang dibutuhkan menurut Skala intensitas pada tipologi D (Baik) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah ekosistem-ekosistem unik di dalam kawasan telah terganggu, tetapi dapat pulih kembali secara alamiah. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator ini adalah laporan tahunan pemantauan penutupan lahan di dalam kawasan, laporan tahunan pemantauan flora dan fauna, laporan pengelolaan lahan terganggu, laporan pengelolaan populasi satwa dan laporan pengelolaan vegetasi.
b. Data yang tersedia di TNGHS Kegiatan memonitor ekosistem unik di TNGHS bukan merupakan aktivitas yang rutin dilaksanakan. Monitoring keanekaragaman hayati yang saat ini dilakukan lebih ditekankan kepada identifikasi ekosistem penting (hal ini sejalan dengan RPTN). Sebagai contoh kegiatan survey keanekaragaman hayati pada
tahun
2009,
dilakukan
untuk
mengidentifikasi
potensi
Pahlaler
(Dipterocarpus basseltii) di Gunung Bongkok dan keanekaragaman tumbuhan obat dan burung di dekat suaka elang (raptor sanctuary). Interpretasi citra landsat yang dimiliki oleh TNGHS menampilkan perubahan tutupan lahan secara time series. Perubahan terhadap kelas penutupan lahan tersebut telah dibahas pada sub bab sebelumnya. Pemantauan flora dan fauna telah dideskripsikan pada sub bab sebelumnya, dimana keakuratan data dan representatifnya masih rendah. Pemantauan terhadap flora dan fauna lebih difokuskan untuk mengidentifikasi keberadaan ekosistem penting tersebut. Data tutupan lahan dan pemantauan flora serta fauna telah dilakukan dan merupakan bagian dari tindakan manajemen yang rutin. Informasi ini cukup
76
terbarui tiap tahun didalam database TNGHS. Data flora dan fauna masih terbatas, jika dilihat dari intensitas dan metode monitoringnya. Pemantauan yang dilakukan juga belum secara spesifik memantau ekosistem yang dikategorikan unik tersebut.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator tujuh adalah seperti pada Tabel 28 dibawah ini. Tabel 28 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator VII Kebutuhan Data
Ketersediaan Data SB
Kualitas Data B
Ketercukupan Data B
Pemantauan flora
J
JS
JS
Pemantauan fauna
B
S
S
Pengelolaan lahan terganggu
B
S
S
Pengelolaan populasi satwa
JS
JS
JS
Pengelolaan vegetasi
JS
JS
JS
Pemantauan penutupan lahan
Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS). Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Data utama untuk indikator ini adalah pemantauan tutupan lahan, flora, dan fauna. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Hasil penilaian ketercukupan data dan informasi untuk penilaian kinerja pada indikator tujuh adalah Jelek. Berdasarkan penilaian tersebut maka data yang tersedia di TNGHS telah belum mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator tujuh. Nilai jelek pada indikator tujuh disebabkan oleh rendahnya nilai ketercukupan data pada pemantauan flora, populasi satwa dan vegetasi. Pengelolaan satwa dan vegetasi nilainya jelek karena belum adanya kegiatan yang secara khusus dilakukan untuk pengelolaan satwa dan vegetasi. Fokus untuk
77
kedua kegiatan tersebut sebatas pemantauan secara rutin, dimana dalam pembahasan sub bab sebelumnya masih belum baik hasilnya. 5. 2. 8. Indikator VIII Terpeliharanya populasi “viable” spesies penting di dalam kawasan
a. Data yang dibutuhkan menurut Skala intensitas pada tipologi D (Sedang) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah populasi seluruh spesies penting di dalam kawasan taman nasional berada di sekitar batas ambang minimalnya dengan kondisi demografi populasi yang sesuai untuk dapat berkembang secara alamiah dalam jangka panjang, dan pihak unit manajemen belum mengimplementasikan sistem pemantauan faktorfaktor penekan pertumbuhan populasi spesies penting tersebut, seperti pesaing, predator, dan lain-lain, yang dapat mengganggu pertumbuhan populasi spesies penting. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator ini adalah laporan tahunan pemantauan kerapatan flora dan kelimpahan populasi jenis fauna di dalam kawasan.
b. Data yang ada di Taman Nasional Pada pembahasan sub bab sebelumnya, keakuratan data dari kegiatan monitoring spesies kunci masih rendah, khususnya untuk dapat menduga populasi satwa tersebut (lihat pembahasan sub bab 2 tentang monitoring umum dan monitoring khusus). Pendugaan populasi hanya dapat digunakan untuk menggambarkan trend dari populasi di areal monitoring, tetapi bukan populasi kelimpahan mutlak spesies kunci tersebut.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator delapan adalah seperti pada Tabel 29 dibawah ini.
78
Tabel 29 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator VIII Kebutuhan Data Pemantauan kepadatan flora
Ketersediaan Data J
Kualitas data JS
Ketercukupan Data JS
B
S
S
Pemantauan kelimpahan fauna
Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS). Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Data utama untuk indikator ini adalah pemantauan kepadatan flora dan kelimpahan fauna. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Ketercukupan data dan informasi untuk penilaian kinerja pada indikator delapan adalah
Jelek.
Berdasarkan penilaian tersebut maka data yang tersedia di TNGHS telah belum mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator delapan. Nilai jelek ketercukupan data dan informasi pada indikator delapan disebabkan oleh rendahnya nilai ketercukupan data pada pemantauan flora. Kombinasi hasil penilaian kedua data tersebut
menghasilkan penilaian
ketercukupan data yang jelek. Penilaian ketercukupan data fauna pada penelitian ini adalah sedang, dimana nilai sedang dalam penilaian ini dalam ukuran yang lebih mendekati jelek, sehingga ketika dikombinasikan dengan pemantauan flora yang sangat jelek menghasilkan nilai ketercukupan data jelek. Pada pembahasan pada sub bab sebelumnya rendahnya nilai ketercukupan tersebut disebabakan oleh kualitas dan representatif data tersebut.
79
5. 2. 9. Indikator IX Terkendalikannya integritas ekosistem sumberdaya alam yang dimanfaatkan
a. Data yang dibutuhkan menurut Skala intensitas pada tipologi D (Baik) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah ekosistem dimana pemanfaatan dilakukan mengalami perubahan, tetapi perubahan ini dapat kembali ke bentuk semula apabila ada tindakan manajemen yang relatif kecil. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator ini adalah laporan rencana pemanfaatan sumberdaya alam, laporan potensi sumberdaya alam hayati, dan laporan pemantauan dan evaluasi ekosistem di daerah-daerah yang dimanfaatkan sumberdaya alamnya.
b. Data yang ada di Taman Nasional Dokumen Model Pengembangan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam di TNGHS dibuat pada tahun 2006. Dalam dokumen tersebut ada 4 jasa lingkungan yang utama yaitu : air, karbon, sumberdaya alam hayati, dan wisata. Dalam rencana jangka menengah (lima tahun pertama) kegiatan yang direncanakan masih sebatas pada upaya pembuatan rencana aksi dan penggalian potensi terhadap kawasan (TNGHS 2007d). Lokasi prioritas kegiatan wisata alam di TNGHS adalah Sukagalih-Cikaniki-Ciptalahap, Curug Cibadak-Loji-Cijeruk, Pangguyangan-Ciptarasa-Ciptagelar, Cisoka-Cibedug, Tahurhalang-Sukamantri. Dokumen rencana aksi yang telah tersusun adalah Rencana Aksi untuk lokasi Gunung Bunder (Resort Gunung Salak I) dan lokasi wisata Cidahu (Resort Kawah Ratu). Data pemanfaatan jasa lingkungan termonitor secara rutin oleh aktivitas TNGHS melalui kegiatan monitoring umum. Data tersebut berupa data potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam. Evaluasi tentang dampak pemanfaatan terhadap jasa lingkungan dan ekowisata belum pernah dilakukan di TNGHS, maka rencana kegiatan lima tahun pertama
(RPJM
2007-2011)
fokus
kegiatan
lebih
kepada
80
pembuatan rencana aksi dan penggalian potensi yang dapat dikembangkan di TNGHS.
Gambar 22 Peta potensi ekowisata tahun 2009
Gambar 23 Peta pemanfaatan jasa lingkungan tahun 2009
81
Beberapa data yang dibutuhkan untuk penilaian indikator kinerja ini telah dilakukan oleh TNGHS, seperti data rencana pemanfaatan, laporan potensi, dan pemantauan ekosistem di daerah-daerah yang dimanfaatkan sumberdaya alamnya, namun data yang paling utama seperti dampak dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam belum ada. Belum adanya laporan khusus tentang dampak pemanfaatan sumberdaya alam berakibat sulitnya untuk menilai seberapa jauh perubahan sumberdaya alam yang dimanfaatkan, dan tindakan yang telah manajemen lakukan untuk mengelolanya. Perubahan ekosistem akibat kegiatan pemanfaatn sumberdaya alam belum menjadi bagian prioritas dari tindakan manajemen, karena saat ini lebih difokuskan kepada identifikasi potensi ekowisata dan jasa lingkungan yang dapat dikembangkan. Data aktual dan kebutuhan data untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pada indikator ini memperlihatkan bahwa ada kesenjangan yang mengakibatkan tidak cukupnya data TNGHS untuk dapat menilai kinerja pengelolaan pada indikator ini.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator sembilan adalah seperti pada Tabel 30 dibawah ini. Tabel 30 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator IX Kebutuhan Data
Pemantauan dan evaluasi ekosistem yang dimanfaatkan Laporan rencana pemanfaatan sumberdaya alam Laporan potensi sumberdaya alam hayati Laporan realisasi pemanfaatan sumberdaya alam SOP
Keter sediaan Data JS
Kualitas data JS
Keter cukupan Data JS
S
S
S
S
S
S
S
S
S
JS
JS
JS
Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS).
82
Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Data utama untuk indikator sembilan adalah pemantauan dan evaluasi ekosistem yang dimanfaatkan. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Penilaian ketercukupan data dan informasi untuk indikator sembilan adalah Jelek. Berdasarkan penilaian tersebut maka data yang tersedia di TNGHS telah belum mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator sembilan. Nilai jelek pada ketercukupan data dan informasi untuk indikator sembilan ini disebabkan oleh nilai ketercukupan data utamanya yaitu pemantauan dan evaluasi ekosistem yang dimanfaatkan sangat jelek. Nilai tersebut disebabkan oleh belum adanya kegiatan yang secara khusus memantau dan mengevaluasi ekosistem yang dimanfaatkan. Dalam rencana pengelolaan (RPTN, RPJM, dan RKT) kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam lebih ditekankan pada penggalian potensi dan promosi. Didalam latar belakang RPTN disebutkan bahwa taman nasional belum memberi manfaat yang nyata terhadap kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS belum banyak dan mungkin dipandang belum perlu dilakukan evaluasi terhadap dampak pemanfaatannya. Hal tersebut mungkin menyebabkan evaluasi dampak kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam belum dievaluasi secara baik, meskipun pada kenyataan kegiatan pemanfaatan yang mungkin berdampak kepada kelestarian sumberdaya alam cukup banyak seperti: penambangan emas, ekowisata, air dan sebagainya.
5. 2. 10. Indikator X Tersedianya sistem manajemen di bidang kelestarian fungsi ekosistem
a. Data yang dibutuhkan menurut Skala intensitas pada tipologi D (Sedang) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah sistem manajemen memiliki kebijakan, mekanisme kerja, struktur
83
organisasi dan SOP agak sesuai bagi kepentingan operasional bidang kelestarian fungsi ekosistem. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator ini adalah ketersedian dokumen kelembagaan unit manajemen, program kerja, kegiatan yang telah dilakukan, sarana dan prasarana, serta mitra kerja yang bertanggung-jawab terhadap kelestarian ekosistem, jenis dan genetik.
b. Data yang ada di Taman Nasional Struktur organisasi di Taman Nasional Halimun-Salak sesuai dengan SK Kepala Balai No. 320/Kpts/IV-T.13/Peg/2007 tanggal 30 Maret 2007, terdiri dari tiga seksi wilayah. Tiap seksi terdiri dari beberapa resort, dimana jumlah resort ini disesuaikan dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh tiap seksi, tiga seksi tersebut adalah : seksi wilayah Bogor (6 buah resort ), seksi wilayah lebak (4 buah resort), dan seksi wilayah Sukabumi (4 buah resort). Selain itu ada beberapa jabatan fungsional seperti fungsional polisi hutan, fungsional pengendali ekosistem hutan, dan jabatan fungsional penyuluh kehutanan. Program kerja yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem telah tersusun dalam RPTN tahun 2007, RPJM tahun 2007 dan RKT. Dokumen yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati yang dimiliki oleh TNGHS adalah : -
Rencana Aksi Endangered Spesies tahun 2003 (rencana revisi pada tahun 2009)
-
Rencana Aksi Koridor Halimun Salak (2009-2013)
-
Manual Monitoring Endangered Spesies (2008)
-
Protokol Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan di TNGHS (2008)
-
SOP Protokol Sistem Pengelolaan Data dan Informasi TNGHS
Selain dokumen-dokumen diatas, TNGHS juga membuat kesepakatan dengan beberapa mitra untuk mendukung pengelolaan keanekaragaman hayati. Dokumen kerjasama antara balai TNGHS dengan mitra terdokumentasi dalam bentuk MOU maupun perjanjian lainnya seperti : -
Upaya-upaya Konservasi Kawasan TNGHS (kerjasama dengan PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas) : No: SKB. 1325/IV-
84
T.13/Kerjasama/2005; No: 448/0075/KUE/2005 tanggal 03 Oktober 2005, dengan jangka waktu lima tahun (03 Oktober 2005 sampai dengan 02 Oktober 2009) -
Perjanjian Kerjasama Antara Balai TNGHS dengan PT. PLN (Persero) Proyek Induk Pembangkit dan Jaringan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara tentang Pelestarian dan dan Pengamanan TNGHS: No. S.1845/IVT.13/KH/2006 tanggal 06 Oktober 2006, dengan jangka waktu lima tahun (06 Oktober 2006 sampai dengan 05 Oktober 2010)
-
Perjanjian Kerjasama Antara Balai TNGHS dengan Pemerintah Daerah Kabupaten
Sukabumi
:
No.
0888/IV-T.13/KH/2007;
No.
0660/PS.28.A-Huk/2007 Tanggal 28 September 2007 , dengan jangka waktu tiga tahun (28 September 2007 sampai dengan 28 September 2007) -
Perjanjian kerjasama antara Balai TNGHS dengan pemerintah daerah Kabupaten Lebak Banten tentang upaya-upaya konservasi (draf)
-
Perjanjian kerjasama antara Balai TNGHS dengan Tirta Investama tentang pemberdayaan masyarakat melalui program MKK di Kampung Manglid Desa Cidahu (draf)
-
Nota Kesepahaman tentang kemitraan untuk konservasi Burung Pemangsa di Taman Nasional Halimun-Salak tanggal 21 November 2007.
Dalam struktur organisasi TNGHS ada kelompok jabatan fungsional (Pengendali Ekosistem Hutan atau PEH) yang menurut TUPOKSI –nya merupakan jabatan fungsional khusus untuk mengelola ekosistem kawasan. TNGHS pada tahun 2008 memiliki 15 orang dengan 4 orang untuk tingkat sarjana dan 3 orang untuk sarjana muda serta sisanya setingkat sekolah lanjutan atas. Fungsi jabatan fungsional ini secara umum adalah sebagai pengelola Kawasan Suaka Ala m dan Kawasan Pele st ar ian Ala m , Pengelo laan keanekaragaman hayati, Pemanfaatan keanekaragaman hayati, Pengembangan Wisata Alam dan Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Cinta Alam, Pemantauan,
85
evaluasi dan pelaporan21. Jabatan khusus ini sebenarnya merupakan jabatan keteknisan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, namun sebagian pejabat fungsional difungsikan pada kegiatan administrasi kantor22. Menurut D seorang pejabat fungsional, bahwa spesialisasi terkendala masalah terbatasnya jumlah pejabat fungsional dan penganggaran (sumber dana), khususnya anggaran DIPA. Jumlah PEH yang terbatas menyulitkan dalam pembentukan tim spesialis spesies, khususnya untuk mendukung kegiatankegiatan DIPA. Selain itu tidak adanya sistem insentif yang jelas, membuat proyek-proyek DIPA seperti monitoring satwa difungsikan sebagai insentif secara tidak langsung. Pada kenyataannya, tim untuk kegiatan-kegiatan monitoring keanekaragaman hayati tidak hanya terdiri dari pejabat fungsional PEH tetapi juga Polhut dan pegawai non struktural/struktural lainnya.
lainnya
42
Fungsional PEH
15
Struktur Pegaw ai TNGHS
Fungsional Polhut
45
Gambar 24 Jumlah jabatan fungsional PEH dengan jabatan lainnya di TNGHS pada tahun 2008 (Sumber : Statistik TNGHS 2008) Data yang dimiliki oleh TNGHS seperti dokumen kelembagaan unit manajemen, program kerja, kegiatan yang telah dilakukan, sarana dan prasarana, serta mitra kerja yang bertanggung-jawab terhadap kelestarian ekosistem, jenis dan genetik telah terdata dengan cukup baik. Data tersebut telah dapat menggambarkan kondisi manajemen yang ada di TNGHS, meskipun data tersebut belum
tertata
dengan
baik.
terdokumentasi
dalam
bentuk
21 22
Kerjasama MOU
dengan maupun
beberapa
pihak
telah
kesepakatan-kesepakatan.
Petunjuk Teknis Tugas pokok dan fungsi pejabat fungsional PEH 2004 Hasil wawancara
86
TNGHS telah memiliki bagian/unit kerja yang khusus mengelola bidang kelestarian fungsi ekosistem meskipun masih terbatas kapasitas dan kuantitasnya. SOP tentang kegiatan monitoring spesies perlu dibuat untuk menghasilkan standar hasil (akurasi data) yang sesuai.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator sepuluh adalah seperti pada Tabel 31 dibawah ini. Tabel 31 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator X Kebutuhan Data
Dokumen kelembagaan unit kerja
Keter sediaan Data SB
Kualitas Keter data cukupan Data SB SB
Dokumen program kerja
B
S
S
Laporan kegiatan yang telah dilakukan
B
S
S
Dokumen sarana dan prasarana
SB
B
B
Dokumen mitra dalam bidang ekologi
SB
SB
SB
Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS). Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Data utama untuk indikator sepuluh adalah kelembagaan unit manajemen, program kerja dan kegiatan yang telah dilakukan. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Hasil penilaian ketercukupan data dan informasi untuk indikator sepuluh adalah Baik. Berdasarkan penilaian tersebut maka data yang tersedia di TNGHS telah mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator sepuluh. Nilai baik pada ketercukupan data dan informasi untuk indikator sepuluh ini disebabkan data dan informasi yang dibutuhkan untuk penilaian tersebut merupakan aktivitas rutin pengelolaan taman nasional. Pengelolaan TNGHS
87
menurut RPTN 2007-2026 menekankan pada pengembangan kelembagaan dan kemitraan dalam pengelolaan, perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya di kawasan TNGHS. Hal tersebut yang membuat data kelembagaan dan kemitraan di TNGHS cukup lengkap, seperti terlihat pada pembahasan ketersediaan data dan informasi untuk indikator ini.
5. 2. 11. Indikator XI Tersedianya tenaga profesional di bidang kelestarian spesies penting
a. Data yang dibutuhkan menurut Skala intensitas pada tipologi D (Sedang) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah unit manajemen bidang kelestarian ekosistem dikelola oleh tenaga profesional dengan kualifikasi dan jumlah yang agak sesuai. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator ini adalah laporan tahunan kepegawaian, dokumen kepegawaian, dan ketersediaan SOP.
b. Data yang ada di Taman Nasional Rasio antara jumlah tenaga kerja dengan luas areal hutan yang dikelola menjadi perdebatan klasik di bidang kehutanan, demikian juga dengan TNGHS. Tahun 2008 TNGHS memiliki jumlah pegawai tetap sebanyak 95 orang, pegawai honorer sebanyak 3 orang dan pegawai upah/magang/kontrak sebanyak 4 orang. Kawasan yang dikelola oleh TNGHS adalah 113.357 ha, maka berdasarkan jumlah pegawai pada tahun 2008, rasio antara jumlah pegawai dan luas kawasannya adalah 102 : 113.357 atau 1 : 1111,34. Perbandingan pegawai yang berpendidikan kehutanan (di TNGHS ada 33 orang) dengan luas kawasan adalah 33 : 113.357 atau 1 : 3.435,06. Jaminan kesehatan di TNGHS masih dalam standar jaminan kesehatan pegawai negeri pada umumnya yaitu melalui Asuransi Kesehatan (ASKES). Saat ini TNGHS belum mengupayakan asuransi kesehatan diluar ASKES tersebut. Jaminan Keselamatan Kerja belum ada. Asuransi Wana Arta pernah ada tapi di ambil dari gaji pegawai. Asuransi ini pada akhirnya tidak berjalan.
88
Jaminan jenjang karir sampai saat ini masih mengikuti standar penjenjangan sesuai dengan aturan pegawai negeri sipil. TNGHS belum menerapkan sistem penilaian dengan format khusus selain penilaian menurut format yang telah ada yaitu DP3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan), dan khusus tenaga fungsional (POLHUT dan PEH) menggunakan sistem angka kredit. SD 4 SLTP 3
SLTA
53
15
Non Kehutanan Kehutanan
Sarjana Muda 4 7 Sarjana 13 S2 S3
1
Jumlah Pegawai
Gambar 25 Tingkat pendidikan pegawai balai TNGHS tahun 2008 (Sumber : Statistik TNGHS 2008) Dalam laporan akhir proyek pengelolaan TNGHS (kerjasama dengan JICA) juga tercatat berbagai kegiatan pelatihan yang diikuti oleh pegawai TNGHS. (TNGHS 2009a). Dalam laporan tahunan TNGHS, rekapitulasi data kegiatan pelatihan yang dikuti oleh pegawai TNGHS tercatat dengan baik dalam statistik TNGHS. Beberapa kegiatan/aktivitas di TNGHS telah memiliki Standar Operation Procedur (SOP), seperti : 1. Kegiatan Perlindungan hutan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan 2. Penggunaan dan Pengamanan Senjata Api 3. Penggunaan alat komunikasi 4. Ijin memasuki kawasan Taman Nasional Gn. Halimun-Salak 5. Ijin pengambilan atau Penangkapan Specimen tumbuhan dan satwa liar di Taman Nasional Gn. Halimun-Salak 6. Ijin Pengambilan atau Penangkapan Specimen Tumbuhan dan Satwa Liar di Taman Nasional Gn. Halimun-Salak
89
7. Pendakian Gunung Salak dan Kawah Ratu Taman Nasional Gn. Halimun-Salak 8. Protokol Sistem Pengelolaan Data dan Informasi Taman Nasional Gn. Halimun-Salak 9. Penyusunan Rancangan dan Laporan Kegiatan Lingkup Balai Taman Nasional Gn. Halimun-Salak 10. Tata Persuratan Dinas Balai Taman Nasional Gn. Halimun-Salak 11. Penggunaan dan Pengembalian Kendaraan Dinas Operasional Balai Taman Nasional Gn. Halimun-Salak Data kepegawaian yang disyaratkan dalam indikator kinerja ini seperti laporan tahunan kepegawaian,
dokumen kepegawaian, dan ketersediaan SOP
telah cukup lengkap tersedia di TNGHS. Beberapa SOP pun telah dibuat seperti yang telah diuraikan diatas yang mampu memberikan arah terhadap kegiatan yang harus dilakukan, namun SOP untuk bidang kelestarian fungsi ekoistem masih belum lengkap. SOP yang belum dimiliki oleh TNGHS adalah SOP untuk kegiatan monitoring flora dan fauna dan monitoring data biofisik (kualitas udara, air dan hidroorologi lainnya). Data yang dibutuhkan oleh indikator ini merupakan data adminstratif/rutin yang tiap tahun selalu diperbaharui, sehingga dapat terlihat kondisi sumber daya manusia yang dimiliki oleh TNGHS baik itu tingkat pendidikan maupun kualifikasi pelatihan yang telah diikutinya.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator sebelas adalah seperti pada Tabel 32 dibawah ini. Tabel 32 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator XI Kebutuhan Data
Ketersediaan Data SB
Kualitas data SB
Ketercukupan Data SB
Dokumen Kepegawaian
SB
SB
SB
SOP
B
S
S
Laporan kepegawaian
Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS).
90
Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Data utama untuk indikator ini adalah laporan kepegawaian. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Penilaian ketercukupan data dan informasi untuk penilaian kinerja pada indikator sebelas adalah
Baik. Berdasarkan penilaian
tersebut maka data yang tersedia di TNGHS telah mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator sebelas. Nilai baik pada ketercukupan data dan informasi untuk indikator sebelas disebabkan data dan informasi yang dibutuhkan tersebut merupakan bagian dari aktivitas rutin pengelolaan taman nasional. Data kepegawaian seperti kualifikasi pendidikan dan kegiatan pelatihan yang diikuti cukup lengkap tersaji di TNGHS, sehingga memudahkan dalam penilaian kesesuaian kualifikasi keprofesionalan pengelola bidang kelestarian spesies penting.
5. 2. 12. Indikator XII Kecukupan alokasi dana untuk menjamin kelestarian ekosistem, jenis dan genetik di dalam kawasan
a. Data yang dibutuhkan menurut Skala intensitas pada tipologi D (Sedang) Skala intensitas suatu Taman Nasional menurut tipologi D pada indikator ini adalah unit manajemen bidang kelestarian ekosistem didukung oleh dana yang agak memadai untuk menjamin kelestarian ekosistem, jenis dan genetik di dalam kawasan. Data yang dibutuhkan untuk menjawab indikator ini adalah dokumen rencana kegiatan dan anggaran unit manajemen dan laporan akuntan publik.
b. Data yang ada di Taman Nasional Anggaran DIPA yang dikelola oleh TNGHS terdiri dari anggaran rutin, pengamanan
dan
perlindungan,
pengelolaan
keanekaragam
hayati,
jasa
lingkungan dan pariwisata, perencanaan, dan pengelolaan Taman Nasional Model. Tahun 2008 alokasi anggaran yang terealisasi adalah Rp. 6.499.609.395,- dari
91
pagu anggaran sebesar 7.859.434.000,- atau 82,70%. Khusus untuk pengelolaan keanekargaman hayati dan ekosistemnya realisasi anggaran pada tahun 2008 adalah Rp. 216.405.000,- atau 98,82% dari pagu anggaran. Jika dilihat persentase anggaran keanekaragaman hayati (Gambar 26), maka kegiatan keanekaragaman hayati bukan merupakan kegiatan prioritas dalam pengelolaan TN, kegiatan pengamanan mendapatkan porsi yang jauh lebih besar. Namun dari pagu dan realisasi anggaran (Gambar 27), dapat dilihat bahwa perencanaan maupun pelaksanaan kegiatan keanekaragaman hayati capaian realisasi anggarannya cukup baik atau efisien (RKT 2008-2009). Kapasitas Kelembagaan
7,01
Pengelolaan Taman Nasional Model Perencanaan Jasa Lingkungan dan Pariwisata Pengelolaan Kehati Pengamanan dan Perlindungan
22,23 3,55 1,38 2,79 17,58
Rutin
45,47
Gambar 26 Persentase realisasi anggaran balai TNGHS tahun 2008 di luar anggaran rutin Rp. 7.450.910.567,-
2009
Realisasi Rp.780.5274.000,Pagu Rp.6.499.609.395,-
2008
Realisasi Rp.7.859.434.000,Pagu Rp.8.978.705.016,-
2007
Realisasi Rp.13.202.529.000,Pagu
Gambar 27 Pagu dan Realisasi Anggaran TNGHS Rencana Pengelolaan telah dibuat pada tahun 2007, terdiri dari rencana pengelolaan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Sedangkan laporan akuntabilitas yang dimiliki oleh TNGHS masih berupa format standar dari pemerintah, meskipun demikian dokumen-dokumen tersebut cukup untuk menjawab kebutuhan data indikator 12. Gambaran prioritas kegiatan dan alokasi
92
dana yang direncanakan dan tersedia dapat dilihat dalam dokumen-dokumen tersebut. Kelemahan dari data aktual alokasi dana di TNGHS adalah belum adanya laporan akuntabilitas publik yang sifatnya independen, laporan akuntabilitas yang ada masih bersifat internal pemerintah.
c. Analisis Ketercukupan Data Berdasarkan kriteria ketercukupan data dan informasi (Lampiran 3), maka penilaian terhadap kecukupan data pada indikator 12 adalah seperti pada Tabel 33 dibawah ini. Tabel 33 Ketercukupan data ekologi di TNGHS pada indikator XII Kebutuhan Data
Ketersediaan
Kualitas
Ketercukupan
Data
data
Data
Dokumen rencana kegiatan
SB
SB
SB
Anggaran unit manajemen
SB
SB
SB
Laporan akuntan publik
JS
JS
JS
Ket : Skala penilaian ketercukupan data diatas adalah Sangat Baik (SB), Baik (B), Sedang (S), Jelek (J) dan Jelek Sekali (JS). Data dan informasi diatas memiliki bobot pengaruh yang berbeda terhadap ketercukupan data dan informasi secara total. Interaksi atau pengaruh tiap data menghasilkan penilaian ketercukupan data dan informasi secara utuh untuk indikator. Data utama untuk indikator ini adalah dokumen rencana kegiatan dan anggaran. Penilaian selengkapnya dapat dilihat pada matrik ketercukupan data dan informasi untuk tiap indikator pada Lampiran 4. Penilaian ketercukupan data dan informasi untuk penilaian kinerja pada indikator 12 adalah Baik. Berdasarkan penilaian tersebut maka data yang tersedia di TNGHS telah mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja pada indikator 12. Nilai baik pada ketercukupan data dan informasi untuk indikator 12 disebabkan data dan informasi yang dibutuhkan untuk penilaian tersebut merupakan aktivitas rutin pengelolaan taman nasional. Data rencana kegiatan dan anggaran yang tersedia serta realisasi dapat dilihat dalam laporan tahunan maupun laporan akuntabilitas, dimana laporan tersebut memang secara rutin harus dibuat dan dilaporkan TNGHS. Data yang tidak lengkap adalah data laporan akuntan
93
publik, dimana sampai dengan saat penelitian ini dilakukan belum pernah ada kegiatan tersebut.
5. 3. Ketercukupan Data Untuk Tiap Indikator Secara Keseluruhan Berdasarkan pembahasan sub bab sebelumnya (5.2), maka secara ringkasan penilaian ketersediaan data di TNGHS dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34 Ketercukupan data untuk setiap indikator No.
Indikator
Nilai Ketercukupan Data
Ketercukupan Data
1
Indikator 1
Baik (B-)
cukup
2
Indikator 2
Baik (B)
cukup
3
Indikator 3
Jelek (J+)
tidak cukup
4
Indikator 4
Jelek (J-)
tidak cukup
5
Indikator 5
Jelek (J-)
tidak cukup
6
Indikator 6
Jelek (J-)
tidak cukup
7
Indikator 7
Jelek (J+)
tidak cukup
8
Indikator 8
Jelek (J)
tidak cukup
9
Indikator 9
Jelek (J-)
tidak cukup
10
Indikator 10
Baik (B)
cukup
11
Indikator 11
Baik (B+)
cukup
12
Indikator 12
Baik (B-)
cukup
Ket: dikatakan cukup jika nilainya lebih besar atau sama dengan Sedang (S) Prinsip kelestarian fungsi ekologi terdiri dari 12 indikator, dan berdasarkan fakta aktual ketersediaan data yang dimiliki oleh TNGHS, hanya pada lima indikator yang datanya mencukupi untuk dapat dilakukan penilaian kinerja. Ada dua penyebab utama ketidakcukupan data di TNGHS, yaitu : -
tidak adanya aktivitas/kegiatan yang diarahkan untuk menghasilkan data tersebut (dan tidak direncanakan untuk dilakukan setidaknya untuk lima tahun pertama, baik dalam RPTN, RPJM dan RKT).
-
telah ada aktivitas untuk menghasilkan data tersebut namun hasilnya belum cukup baik.
Tabel 35 memperlihatkan beberapa kegiatan yang telah dilakukan dan belum dilakukan oleh TNGHS dan capaian hasilnya.
94
Tabel 35 Pelaksanaan Kegiatan dan Capaian Hasil Capaian
Baik
Belum baik
Kegiatan Dilakukan
Data tutupan lahan
Data flora
Data anggaran
Data fauna
Data kepegawaian Data kelembagaan Data gangguan kawasan
Belum dilakukan
Data hidroorologi Data pemulihan fungsi ekosistem
Data dampak pemanfaatan sumberdaya alam
Kegiatan pengumpulan data kelimpahan flora dan fauna serta data hidroorologi telah dilakukan oleh TNGHS, namun capaian hasilnya belum sesuai kebutuhan untuk penilaian kinerja. Berdasarkan pembahasaan sub bab 5.2 sebelumnya, dapat di rangkum beberapa hal yang menyebabkan data-data tersebut tidak mencapai hasil seperti yang diharapkan, yaitu : -
Pelaksanaan kegiatan monitoring terbatasi oleh penyediaan anggaran dan sumberdaya manusia.
-
Belum terintegrasi dengan baik peran para pihak (lembaga penelitian, perguruan tinggi, LSM, dan swasta) dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, khususnya untuk mendukung peningkatan kualitas data dan informasi ekologi.
-
Sistem pengelolaan data dan informasi yang belum maksimal, khususnya hasil-hasil penelitian yang dilakukan institusi lain.
-
Kegiatan pengambilan data hidroorologi belum secara khusus menjadi bagian integral dengan pengelolaan keanekaragaman hayati (bagian dari pengelolaan jasa dan lingkungan).
Peningkatan data flora, fauna dan hidroorologi TNGHS dapat ditempuh dengan beberapa kegiatan, seperti :
95
-
Pembuatan SOP untuk pelaksanaan kegiatan monitoring flora dan fauna. Dalam SOP ini sebaiknya diatur tentang prosedur standar monitoring, waktu pelaksanaan, dan kualifikasi pelaksana.
-
Meningkatkan peran lembaga penelitian (LIPI), perguruan tinggi, LSM, dan swasta. Implementasi protokol penelitian seperti kerjasama dengan LIPI dan Universitas Kagoshima, perlu dikembangkan dengan
lebih
meningkatkan peran perguruan tinggi lokal. Kerjasama paling strategis (melihat kedekatan
lokasi) adalah dengan melibatkan Universitas
Indonesia, Institut Pertanian Bogor atau universitas lokal lainnya. Kurangnya data pemulihan fungsi ekosistem dan dampak pemanfaatan sumberdaya alam disebabkan belum maksimalnya data flora, fauna dan hidroorologi. Peningkatan kualitas ketiga data tersebut secara langsung dapat meningkatkan capaian dari data pemulihan fungsi ekosistem dan dampak pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam RPTN dan RPJM (2007-2011) monitoring dampak pemanfaatan sumberdaya alam tidak ditekan untuk dilakukan dalam lima tahun pertama. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam lebih diarahkan kepada inventarisasi, promosi dan peningkatan kapasitas pelaku ekowisata dan jasa lingkungan. Prioritas perencanaan di atas berangkat dari kondisi pemanfaatan sumberdaya alam di TNGHS yang belum intensif, sehingga belum terlalu mendesak dilakukannya kegiatan monitoring dampak pemanfaatan sumberdaya alam (hasil analisis RPTN). Meskipun kenyataannya pemanfaatan sumberdaya alam di dalam kawasan TNGHS telah memberikan dampak perubahan fungsi ekologis di beberapa lokasi (contoh: kasus pembuatan villa di dalam kawasan/Lokapurna) Dengan melihat kondisi pemanfaatan dan prioritas TNGHS dalam pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam, maka solusi peningkatan capaian kualitas data untuk dampak pemanfaatan sumberdaya alam adalah : -
Mulai menekankan monitoring dampak pemanfaatan sumberdaya alam dalam aktivitas monitoring keanekaragaman hayati.
-
Kegiatan monitoring umum perlu ditambahkan data mengenai dampak kegiatan ekowisata dan jasa lingkungan, dan diikuti dengan monitoring
96
khusus untuk lokasi-lokasi yang teridentifikasi mengalami perubahan fungsi ekologis sebagai akibat pemanfaatan sumberdaya alam. Statistik kehutanan (yang dikeluarkan Departemen Kehutanan) merupakan salah satu sumber informasi penting tentang kehutanan, namun tidak menampilkan data dan informasi tentang dugaan populasi tumbuhan dan satwa di setiap taman nasional di Indonesia (Dephut 2009). Data dan informasi tentang dugaan populasi ini masih sangat terbatas. Pusat Informasi Konservasi Alam (PIKA) pun tidak memiliki data yang memadai tentang dugaan populasi tumbuhan
dan
satwa,
demikian
juga
dengan
Direktorat
Konservasi
Keanekaragaman Hayati (KKH) di Dirjen PHKA 23. Basis informasi PIKA yang diharapkan berasal dari data dan informasi di tiap Unit Pelaksana Teknis (UPT) di setiap daerah pun sampai saat ini belum terealisasi24. Lemahnya
data-data
ekologi
di
setiap
UPT
Taman
Nasional
mengakibatkan lemahnya pengelolaan data dan informasi ekologi secara nasional. Tidak ada data dan informasi resmi yang cukup akurat dari pemerintah tentang dugaan populasi baik flora dan fauna (hasil inventarisasi mandiri) merupakan tantangan besar bagi pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia. Pemerintah seharusnya memiliki data dan informasi ekologi yang terbarui setiap tahun, mengingat di setiap UPT selalu tersedia anggaran rutin untuk kegiatan pengelolaan keanekaragaman hayati (khususnya untuk nventarisasi tumbuhan dan satwa penting yang dilindungi). Data dan informasi ini penting, salah satunya untuk justifikasi dalam kuota pemanfaatan tumbuhan dan satwa. Justifikasi dugaan populasi yang scientifik menghindarkan terjadinya kegiatan pemanenan berlebihan ataupun kurang (tidak optimal). Kebijakan pengelolaan yang tepat untuk spesies memerlukan data dugaan populasi yang baik. Departemen Kehutanan perlu segera mengesahkan standar kinerja pengelolaan taman nasional, dan diikuti dengan aturan/kewajiban setiap pengelola taman nasional untuk menyediakan data dan informasi yang memadai. Tidak adanya
standar
kualitas
data
dan
informasi
serta
mekanisme
untuk
mengevaluasinya, menyebabkan pengelolaan data dan informasi ini hanya sekedar memenuhi kelengkapan administrasi (keproyekan) semata. 23 24
Hasil wawancara dengan PIKA dan KKH Hasil wawancara dengan PIKA