V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Estimasi Berdasarkan pengujian pada ketiga model data panel statis yakni pooled least square (PLS), fixed effect model (FEM) dan random effect model (REM) diperoleh hasil bahwa metode FEM lebih dipilih dibandingkan dua metode lainnya. Hal ini tercermin dari nilai statistik uji Chow sebesar 180,43 (Prob > F = 0,0000) dan uji Hausman sebesar 561,96 (Prob > chi 2 = 0,0000) yang keduanya signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hasil uji Chow tersebut menyimpulkan bahwa metode FEM lebih baik daripada PLS, sedangkan uji Hausman menghasilkan kesimpulan bahwa metode FEM lebih baik daripada REM. Pengujian berbagai asumsi dasar terhadap metode FEM, sebagai model terpilih pada data panel statis, dilakukan untuk memperoleh hasil estimasi yang BLUE (best linear unbiased estimator), khususnya uji homoskedasitas dan uji autokorelasi. Hasil pengujian menyatakan bahwa terdapat pelanggaran asumsi homoskedasitas pada model, yaitu terlihat dari jumlah kuadrat residual (sum square residual) pada weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics. Pengujian berikutnya berupa pendeteksian gejala autokorelasi pada model. Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DWhitung pada unweighted statistics sebesar 0,863 yakni terletak di antara nilai nol dan dL (dL = 1,453 dan dU = 1,831). Hasil ini menandakan adanya autokorelasi positif pada model. Oleh karena itu, estimasi perlu dilakukan menggunakan metode fixed effect GLS dengan cross-section weights dan panel corected standard errors (PCSE) untuk mengatasi kedua pelanggaran asumsi tersebut. Sementara itu, pengujian pada kedua model data panel dinamis yakni first differences-generalized method of moment (FD-GMM) dan system-generalized method of moments (Sys-GMM) tidak menghasilkan suatu metode estimasi yang memiliki validitas instrumen sekaligus konsistensi sesuai harapan. Penggunaan metode FD-GMM menghasilkan estimasi yang valid yakni terlihat dari signifikansi uji Sargan, namun tidak memiliki konsistensi yang baik terutama pada statistik m1. Hasil metode FD-GMM yang tidak konsisten terlihat dari hasil uji statistik Arrelano-Bond m1 dan m2 yang keduanya tidak signifikan pada taraf
nyata 5 persen. Penggunaan metode Sys-GMM menghasilkan estimasi yang tidak valid, yakni terlihat dari statistik uji Sargan sebesar 67,19 (Prob > chi2 = 0,0106) yang signifikan pada taraf nyata 5 persen. Hasil estimasi dari ketiga metode data panel statis dan kedua metode data panel dinamis selengkapnya disajikan pada Tabel 9 di bawah ini. Tabel 9 Hasil estimasi koefisien pada model data panel statis dan data panel dinamis Variabel
Lag LnGDP LnOPEN LnFDI LnFIN LnCPI LnINFRA LnEDU LnTECH LnEMP C R-square Chow F-test
PLS
-
Model Statis FEM
-
REM
-
Model Dinamis FD-GMM SYS-GMM
0,662***
0,959***
(0,111)
(0,049)
--0,527***
0,097***
0,097**
-0,004
-0,017
(0,056)
(0,029)
(0,037)
(0,028)
(0,023)
0,036*
0,008**
0,011*
0,008**
0,013***
(0,020)
(0,004)
(0,005)
(0,004)
(0,004)
-0,083***
-0,019
(0,029)
(0,027)
-0,107**
0,251***
0,038*
-0,023
(0,038)
(0,022)
(0,040)
-0,010
0,074*
0,100
-0,039
(0,135)
(0,044)
(0,062)
(0,066)
(0,046)
-0,046
0,329***
0,329***
0,220***
0,150** (0,066)
(0,121)
(0,068)
(0,076)
(0,076)
-0,035
0,093***
0,077**
-0,031
-0,015
(0,046)
(0,034)
(0,038)
(0,039)
(0,034)
0,249***
0,069***
0,132***
0,119***
0,005
(0,040)
(0,025)
(0,033)
(0,031)
(0,020)
0,144**
0,785***
0,755***
0,126
-0,052*
(0,069)
(0,111)
(0,102)
(0,126)
(0,027)
6,210***
0,151
0,457
0,997**
0,347
(0,664)
(0,357)
(0,612)
(0,396)
(0,318)
0,9927 -
0,9998 180,43
0,9731 -
-
-
561,96
-
-
[0,0000]
Hausman Test
-
-
[0,0000]
Sargan Test
-
-
-
Statistik m1
-
-
-
Statistik m2
-
-
-
45,87 [0,1033] 67,19 [0,0106] -1,2404 [0,2148] -0,1218 [0,9031] -
Keterangan: 1) Variabel takbebas = produk domestik bruto (LnGDP). 2) ***, **, * berturut-turut menunjukkan tingkat signifikansi pada = 1%, 5% dan 10%. 3) Angka dalam kurung ( ) dan [ ] berturut-turut menyatakan simpangan baku dan P-value.
Pada Tabel 10 ditampilkan hasil estimasi metode FEM dengan memasukkan variabel interaksi, yaitu interaksi antara variabel keterbukaan (LnOPEN) dengan variabel bebas lainnya sebagai kontrol variabel. Penggunaan variabel interaksi
dimaksudkan untuk mengkaji dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi secara lebih rinci dan mendalam, dikaitkan dengan variabel-variabel yang secara teori ikut menentukan arah dan besaran dari dampak tersebut. Variabel-variabel tersebut meliputi variabel investasi asing (LnFDI), kesiapan sektor finansial (LnFIN), tingkat inflasi (LnCPI), infrastruktur (LnINFRA), tingkat pendidikan (LnEDU), kemajuan teknologi (LnTECH) dan jumlah pekerja (LnEMP). Tabel 10 Hasil estimasi koefisien pada model interaksi Variabel LnOPEN
Tanpa Interaksi
0,097*** (0,029) LnFDI 0,008** (0,004) LnFIN 0,038* (0,022) LnCPI 0,074* (0,044) LnINFRA 0,329*** (0,068) LnEDU 0,093*** (0,034) LnTECH 0,069*** (0,025) LnEMP 0,785*** (0,111) C 0,151 (0,357) LnOPEN*CV F-test Adj. R-Sq.
Interaksi LnOPEN dengan: LnFDI
0,088*** (0,029) -0,076** (0,029) 0,025 (0,023) 0,118*** (0,042) 0,289*** (0,067) 0,093** (0,036) 0,073*** (0,024) 0,804*** (0,113) 0,209 (0,366) 0,019*** (0,007) 19715,29 20003,41 [0,0000] [0,0000] 0,9997 0,9998
LnFIN
LnCPI LnINFRA LnEDU LnTECH LnEMP
-0,119* (0,070) 0,009** (0,003) -0,094** (0,043) 0,044 (0,038) 0,393*** (0,071) 0,082** (0,035) 0,061** (0,023) 0,737*** (0,112) 1,177** (0,453) 0,028*** (0,008) 21805,38 [0,0000] 0,9998
0,020 0,249** -0,861** -0,145 1,012*** (0,404) (0,113) (0,232) (0,030) (0,098) 0,008** 0,009** 0,008** 0,010*** 0,010** (0,004) (0,004) (0,004) (0,003) (0,004) 0,016 0,034* 0,039 0,043** 0,033 (0,028) (0,020) (0,024) (0,019) (0,025) 0,012 -0,766** 0,070* 0,027 0,031 (0,352) (0,039) (0,051) (0,036) (0,050) 0,329*** 0,162** 0,288*** 0,433*** 0,367*** (0,069) (0,085) (0,063) (0,066) (0,068) 0,066* 0,124*** 0,117*** 0,075** 0,638*** (0,035) (0,037) (0,147) (0,036) (0,041) 0,077*** 0,065*** 0,081*** -0,094*** 0,076*** (0,026) (0,024) (0,024) (0,034) (0,026) 0,612*** 0,747*** 1,105*** 0,756*** 0,881*** (0,142) (0,117) (0,104) (0,101) (0,144) 0,372 -0,251 4,744** 1,295** -0,705* (1,997) (0,611) (0,389) (0,310) (0,505) 0,207** 0,041** -0,116*** 0,030*** -0,042 (0,087) (0,018) (0,030) (0,005) (0,025) 19632,56 19107,57 15206,01 32340,44 16186,19 [0,0000] [0,0000] [0,0000] [0,0000] [0,0000] 0,9998 0,9997 0,9997 0,9997 0,9997
Keterangan: 1) 2) 3) 4)
Variabel takbebas = produk domestik bruto (LnGDP) CV = control variable: LnFDI, LnFIN, LnCPI, LnINFRA, LnEDU, LnTECH, LnEMP ***, **, * berturut-turut menunjukkan tingkat signifikansi pada = 1%, 5% dan 10%. Angka dalam kurung ( ) dan [ ] berturut-turut menyatakan simpangan baku dan P-value.
Selanjutnya, pada Tabel 11 dan Tabel 12 disajikan hasil estimasi metode FEM dengan dummy variable (D1). Penggunaan variabel dummy tersebut dimaksudkan untuk penelusuran lebih lanjut dampak dari setiap variabel pada
masing-masing kelompok negara terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan. Dari delapan negara yang dianalisis dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan tingkat pendapatan per kapita masing-masing negara pada tahun 2008. Kelompok pertama (D1= 0) adalah negara-negara sedang berkembang yang memiliki PDB per kapita kurang dari US$ 20.000 yakni meliputi Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, dan China, yang selanjutnya disebut dengan kelompok NSB. Kelompok kedua (D1=1) adalah negara-negara yang sudah maju dengan PDB per kapita ≥ US$ 20.000 yakni Singapura, Jepang, dan Korea Selatan, selanjutnya disebut dengan kelompok NSM. PDB per kapita yang digunakan merupakan nilai riil pada tahun 2008 dan sudah disesuaikan dengan paritas daya beli internasional (purchasing power parity, PPP) dengan tahun dasar 2005 sehingga bisa dikomparasikan antarnegara (World Bank, 2010). Tabel 11 Hasil estimasi koefisien menurut kelompok negara Variabel Konstanta (C) Keterbukaan perdagangan (LnOPEN) Penanaman modal asing (LnFDI) Kesiapan finansial (LnFIN) Tingkat inflasi (LnCPI) Infrastruktur (LnINFRA) Tingkat pendidikan (LnEDU) Kemajuan teknologi (LnTECH) Jumlah Pekerja (LnEMP) Adj. R-square F-test
NSB
NSM
2,050*** -0,111** 0,013*** 0,044 -0,110** 0,694*** 0,000 0,038 0,513***
2,050*** 0,104*** 0,003 0,034 -0,281 0,200*** 0,387** 0,183** 0,289 0,999846 22362,14
Keterangan: 1) Variabel takbebas = produk domestik bruto (LnGDP). 2) Negara sedang berkembang (NSB) meliputi: Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, dan China; sedangkan negara sudah maju (NSM) meliputi: Singapura, Jepang, dan Korea Selatan 3) ***, **, * berturut-turut menunjukkan tingkat signifikansi pada = 1%, 5% dan 10%.
Tabel 12 Hasil estimasi koefisien variabel interaksi menurut kelompok negara Variabel
NSB
NSM
LnOPEN*LnFDI
0,019***
0,025***
LnOPEN*LnFIN
0,021**
0,026
LnOPEN*LnCPI
0,175**
0,201***
0,024
0,033
LnOPEN*LnEDU
-0,099***
-0,073*
LnOPEN*LnTECH
0,029***
0,030
-0,035
0,001***
LnOPEN*LnINFRA
LnOPEN*LnEMP
Keterangan: 1) Variabel takbebas = produk domestik bruto (LnGDP). 2) Negara sedang berkembang (NSB) meliputi: Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, dan China; sedangkan negara sudah maju (NSM) meliputi: Singapura, Jepang, dan Korea Selatan 3) ***, **, * berturut-turut menunjukkan tingkat signifikansi pada = 1%, 5% dan 10%.
5.2 Dampak Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan hasil estimasi metode FEM sebagai model terpilih diperoleh koefisien variabel keterbukaan (LnOPEN) sebesar 0,097 yang menunjukkan bahwa peningkatan keterbukaan perdagangan sebesar 1 persen akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi (didekati dengan kenaikan PDB) sebesar 0,097 persen, ceteris paribus. Hasil ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti Grossman dan Helman (1992), Frankel dan Romer (1999), Wacziarg dan Welch (2003), Sohn dan Lee (2006), Chen dan Gupta (2006), serta Chang et al. (2009) yang menyimpulkan bahwa perdagangan luar negeri memiliki peran penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi di sebagian besar negara di dunia. Perkembangan pangsa perdagangan terhadap PDB di Kawasan ASEAN+3 selama periode penelitian (1999-2008) mengalami kenaikan sebesar 27,89 persen, sedangkan ekspor neto meningkat sebesar 178,98 persen yakni dari sebesar US$ 188,40 miliar pada tahun 1999 menjadi US$ 525,58 miliar pada tahun 2008. Perkembangan ini menunjukkan semakin lancarnya arus barang dan jasa antarnegara seiring dengan semakin berkurangnya hambatan-hambatan dalam kegiatan perdagangan, baik berupa tarif maupun non-tarif. Perkembangan tersebut menunjukkan pula kinerja perdagangan yang semakin membaik, yaitu terlihat dari nilai ekspor yang semakin dominan dibandingkan dengan nilai impornya.
Peningkatan nilai ekspor dan surplus perdagangan di kawasan ini lebih didominasi oleh China dan Jepang, sebaliknya Philipina terus mengalami defisit dalam perdagangannya sehingga manfaat yang diperoleh dari keterbukaan perdagangan relatif terbatas. 5.3 Dampak Faktor-faktor Pendukung Keterbukaan terhadap Pertumbuhan Ekonomi Hasil estimasi metode FEM pada model tanpa interaksi (Persamaan 3.63) diperoleh koefisien estimasi yang memiliki signifikansi tinggi pada seluruh variabel bebasnya, baik pada variabel keterbukaan (LnOPEN) maupun pada keenam variabel kontrolnya. Variabel penanaman modal asing (LnFDI), kesiapan sektor finansial (LnFIN), infrastruktur (LnINFRA), tingkat pendidikan (LnEDU), kemajuan teknologi (LnTECH), dan jumlah pekerja (LnEMP) memiliki dampak positif terhadap kenaikan PDB di negara-negara ASEAN+3. Hasil ini telah konsisten secara teoretis dan menguatkan simpulan penelitian-penelitian sebelumnya. Secara umum keberagaman tingkat pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+3 dapat dijelaskan secara baik oleh model, dimana jumlah penduduk yang bekerja dan ketersediaan infrastruktur memiliki kontribusi yang relatif besar. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen jumlah penduduk yang bekerja akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,785 persen, ceteris paribus. Hasil ini menunjukkan bahwa keterlibatan penduduk yang luas di berbagai aktivitas ekonomi memiliki manfaat ganda bagi perekonomian, yaitu berguna untuk menghasilkan jumlah output yang lebih banyak dan mengurangi beban tanggungan ekonomi yang ada di masyarakat. Dengan demikian perekonomian dapat tumbuh lebih tinggi dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak positif dari keterlibatan penduduk yang bekerja terhadap kenaikan PDB lebih terasa di kelompok NSB dibandingkan dengan kelompok NSM, yaitu masing-masing elastisitasnya sebesar 0,513 dan 0,362. Kondisi ini menunjukkan bahwa perekonomian di negara-negara sedang berkembang lebih bersifat padat karya (labour intensive industry) daripada perekonomian di negara-negara maju. Ketersediaan infrastruktur akan meningkatkan kemampuan ekonomi suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung,
pembangunan infrastruktur merupakan suatu kegiatan produksi yang menciptakan output dan juga kesempatan kerja. Secara tidak langsung, ketersediaan infrastruktur
akan
mendorong
perkembangan
sektor-sektor
lainnya
dan
memberikan tingkat produktivitas yang lebih tinggi, yaitu melalui penghematan biaya produksi, transportasi, dan telekomunikasi. Berdasarkan hasil estimasi, kenaikan 1 persen ketersediaan listrik di masyarakat akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,329 persen, ceteris paribus. Listrik merupakan salah satu bentuk energi terpenting dalam perkembangan kehidupan manusia dan sudah menjadi barang kebutuhan pokok dewasa ini. Listrik memiliki korelasi yang kuat dengan berbagai aktivitas ekonomi terutama sektor industri, yaitu untuk menggerakkan mesin-mesin produksi, mengoperasikan komputer, pendingin ruangan (AC), dan peralatan
lainnya.
Oleh
karenanya,
pasokan
listrik
yang
cukup
dan
berkesinambungan menjadi jaminan bagi pelaku usaha untuk dapat berproduksi secara ekonomis dan efisien. Dampak positif ketersediaan listrik terhadap kenaikan PDB di kelompok NSB lebih besar dibandingkan dengan kelompok NSM, yaitu berturut-turut elastisitasnya sebesar 0,694 dan 0,200. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan pasokan listrik di negara-negara berkembang seiring dengan pertumbuhan industri yang pesat dan jumlah penduduk yang relatif besar. Menurut data World Bank (2010) bahwa pasokan listrik di kelompok NSB hanya sebesar 3.457 KWh per kapita, sedangkan di kelompok NSM sudah mencapai 8.930 KWh per kapita. Teori investasi pada modal manusia menjelaskan bahwa pertumbuhan dan pembangunan mensyaratkan dua hal, yaitu adanya pemanfaatan teknologi tinggi secara efisien dan adanya sumber daya manusia yang mampu memanfaatkan teknologi tersebut (Hidayat, 2003). Dua hal tersebut di antaranya dapat dipenuhi melalui kegiatan riset dan pengembangan (research and development, R&D) serta jalur perguruan tinggi. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen pengeluaran untuk riset dan pengembangan akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,069 persen, ceteris paribus. Kegiatan riset dan pengembangan, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta, merupakan salah satu upaya untuk mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Pencapaian tersebut diperoleh melalui penggunaan cara-cara yang lebih efisien dalam proses produksi,
serta penciptaan produk-produk baru melalui proses inovasi dan diversifikasi produk. Jalur pendidikan formal merupakan instrumen penting untuk menghasilkan masyarakat yang memiliki produktivitas yang tinggi, karena pendidikan menyiapkan tenaga-tenaga yang siap bekerja pada bidang tertentu. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen jumlah penduduk yang meneruskan pendidikan hingga perguruan tinggi akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,093 persen, ceteris paribus. Peningkatan kualitas modal manusia secara kumulatif akan menghasilkan output yang lebih banyak dan kualitas produk yang lebih baik sehingga dapat memperbaiki harga relatif produk domestik di kancah persaingan global. Dampak positif kemajuan teknologi dan kualitas modal manusia terhadap kenaikan PDB tercatat relatif besar dan signifikan di kelompok NSM, yaitu masing-masing sebesar 0,183 dan 0,387. Sebaliknya, di kelompok NSB dampak dari keduanya relatif kecil dan tidak signifikan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perekonomian di negara-negara maju lebih didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) atau knowledge based economy, serta tersedianya kualitas modal manusia yang lebih baik. Pangsa pengeluaran untuk kegiatan R&D terhadap PDB di kelompok NSM mencapai sebesar 3,17 persen pada tahun 2008, jauh di atas kelompok NSB yang hanya sebesar 0,53 persen. Lebih lanjut, banyaknya mahasiswa perguruan tinggi di kelompok NSM mencapai sebesar 48 orang per 1000 penduduk, sedangkan di kelompok NSB baru sebesar 27 orang per 1000 penduduk pada tahun 2008. Kredit domestik yang disalurkan oleh perbankan memiliki dampak positif terhadap kenaikan PDB, serta nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan dampak dari penanaman modal asing. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen jumlah kredit domestik yang disalurkan oleh perbankan akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,038 persen, ceteris paribus. Penyaluran kredit domestik berguna untuk mendorong tumbuhnya industri-industri lokal, mulai dari yang berskala kecil hingga ke industri besar. Kredit domestik berguna pula untuk mengatasi kesulitan modal yang seringkali dialami oleh usaha kecil dan menengah
(UKM) dalam upaya pengembangan usaha dan pencapaian tingkat efisiensi yang lebih tinggi. Pangsa kredit domestik yang disalurkan oleh perbankan terhadap PDB di negara-negara ASEAN+3 relatif besar, yaitu rata-rata mencapai 134,65 persen pada tahun 2008. Sebagian besar kredit domestik tersebut diberikan ke sektor swasta yakni mencapai 73,11 persen. Lebih lanjut, jumlah perusahaan yang menggunakan jasa perbankan dalam kegiatan investasinya juga mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu dari sebesar 29,60 persen pada tahun 2005 menjadi 48,74 persen di tahun 2008. Kondisi tersebut didukung oleh jumlah bank dan lembaga keuangan lainnya seperti bank perkreditan rakyat (BPR) dan koperasi simpan pinjam yang terus tumbuh setiap tahun sehingga memudahkan jangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen PMA akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,008 persen, ceteris paribus. Keberadaan PMA membawa dampak yang positif bagi perekonomian negara-negara ASEAN+3, namun besarannya tergolong kecil. Hal ini disebabkan oleh relatif kecilnya pangsa PMA terhadap PDB yakni rata-rata hanya sebesar 3,58 persen, begitu pula perannya dalam pembentukan modal tetap bruto (PMTB) yang hanya sebesar 15,01 persen pada tahun 2008. Pola dan sebaran PMA juga tidak merata ke setiap negara, yaitu lebih didominasi oleh China yang mencapai sebesar 69,26 persen dari total PMA pada tahun 2008. Pangsa PMA terhadap PDB yang terbesar dimiliki oleh Singapura yakni mencapai 15,29 persen dan perannya dalam PMTB mencapai 60,59 persen. Sebaliknya, perkembangan PMA di negara ASEAN+3 lainnya cenderung fluktuatif dan pangsanya terhadap PDB tidak mencapai 2 persen. Dampak positif kredit domestik dan penanaman modal asing di kelompok NSB lebih besar dibandingkan dengan kelompok NSM. Kondisi ini menunjukkan pentingnya peran investasi dalam menggerakkan perekonomian di negara-negara berkembang yang umumnya memiliki tingkat kesenjangan yang cukup besar antara kebutuhan investasi dengan kemampuan mengakumulasi tabungan masyarakat (saving-investment gap). Potensi ekonomi yang besar di negaranegara berkembang membutuhkan dukungan permodalan yang besar pula untuk dapat mengolahnya secara maksimal.
Lebih lanjut, kenaikan harga-harga secara umum yang berdampak positif terhadap peningkatan PDB menandakan bahwa inflasi yang terjadi berupa pull demand inflation. Inflasi ini lebih disebabkan oleh tingginya permintaan barang dan jasa di masyarakat, melebihi kapasitas produksi potensialnya. Kondisi tersebut cenderung direspon oleh kalangan pengusaha sebagai sebuah peluang pasar yang baik sehingga akan mendorong peningkatan produksi. Berdasarkan hasil estimasi, peningkatan 1 persen indeks harga konsumen (IHK) akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,099 persen, ceteris paribus. Tingginya permintaan konsumsi di negara-negara ASEAN+3 tercermin dari komposisi PDB yang didominasi oleh konsumsi rumahtangga, yaitu rata-rata sebesar 54,14 persen dari nilai PDB pada tahun 2008. Pangsa konsumsi terbesar dimiliki oleh Philipina yakni mencapai lebih dari 76,94 persen dari PDB-nya, diikuti oleh Indonesia (62,63%), dan terendah adalah China (36,79%).
5.4 Interaksi antara Keterbukaan Perdagangan dengan Faktor-faktor Pendukungnya Hasil estimasi metode FEM pada model interaksi (Persamaan 3.64) sebagaimana disajikan pada Tabel 10 diketahui bahwa interaksi antara keterbukaan perdagangan (LnOPEN) dengan variabel penanaman modal asing (LnFDI), sektor finansial (LnFIN), tingkat inflasi (LnCPI), infrastruktur (LnINFRA), dan kemajuan teknologi (LnTECH) masing-masing memiliki koefisien positif dan signifikan pada taraf 5 persen. Interaksi variabel keterbukaan dengan variabel tingkat pendidikan (LnEDU) di luar dugaan memiliki koefisien bertanda negatif dan signifikan, sedangkan interaksi variabel keterbukaan dengan jumlah pekerja (LnEMP) bertanda negatif tapi tidak signifikan. Hasil estimasi di atas secara umum menggambarkan bahwa keterbukaan perdagangan akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi ketika diikuti oleh kenaikan pada investasi asing, kredit domestik (sektor finansial), harga, infrastruktur publik, dan kemajuan teknologi. Hal ini semakin logis dikaitkan dengan persoalan daya saing perusahaan domestik di kancah persaingan global, yaitu ketika perusahaan domestik beroperasi pada lingkungan yang mudah untuk memperoleh kredit usaha, mudah untuk mengakses berbagai sarana publik,
serta didukung oleh penguasaan teknologi maka perusahaan tersebut menjadi lebih siap untuk berkompetisi di kancah internasional, serta lebih efektif dalam melakukan pengembangan usaha. Sementara itu, interaksi antara keterbukaan perdagangan dengan banyaknya mahasiswa perguruan tinggi dan jumlah pekerja yang bertanda negatif menunjukkan bahwa peningkatan keterbukaan di Kawasan ASEAN+3 tidak banyak menyerap tenaga kerja, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Philipina. Selain itu, peningkatan komponen impor barang modal (capital goods) turut mendorong terjadinya substitusi penggunaan tenaga kerja dengan barang modal. Ditinjau dari nilai elastisitas totalnya, diperoleh hasil bahwa dampak terbesar keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi dimiliki oleh model yang memasukkan interaksi antara variabel keterbukaan dengan tingkat pendidikan (LnOPEN*LnEDU) yakni sebesar 0,928. Elastisitas terbesar kedua dimiliki oleh model interaksi keterbukaan dengan penanaman modal asing (LnOPEN*LnFDI) yakni sebesar 0,123, selengkapnya disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Nilai elastisitas keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi pada model interaksi Elastisitas Total
ASEAN+3
NSB
NSM
Model interaksi 1 (LnOPEN*LnFDI)
0,123
0,102
0,123
Model interaksi 2 (LnOPEN*LnFIN) Model interaksi 3 (LnOPEN*LnCPI)
0,049
0,019
0,082
0,084
-0,008
0,118
Model interaksi 4 (LnOPEN*LnINFRA)
0,070
0,034
0,093
Model interaksi 5 (LnOPEN*LnEDU)
0,928
0,057
0,143
Model interaksi 6 (LnOPEN*LnTECH)
0,045
0,004
0,105
Model interaksi 7 (LnOPEN*LnEMP)
0,100
-0,013
0,133
Keterangan: 1) Variabel takbebas = produk domestik bruto (LnGDP). 2) Negara sedang berkembang (NSB) meliputi: Indonesia, Malaysia, Philipina, Thailand, dan China; sedangkan negara sudah maju (NSM) meliputi: Singapura, Jepang, dan Korea Selatan.
Secara
umum
dampak
positif
keterbukaan
perdagangan
terhadap
pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang sudah maju (kelompok NSM) seperti Singapura, Jepang, dan Korea Selatan lebih besar dibandingkan dengan di negara-negara yang sedang berkembang (kelompok NSB). Hal ini menunjukkan
bahwa negara-negara maju lebih memiliki kesiapan yang baik dalam menghadapi persaingan di tingkat global, khususnya dalam hal permodalan, infrastruktur, penguasaan teknologi, dan kualitas modal manusia. Berikut diuraikan interaksi antara keterbukaan perdagangan dengan faktorfaktor pendukungnya dalam memengaruhi pertumbuhan ekonomi di negaranegara ASEAN+3. 1. Interaksi Keterbukaan Perdagangan dengan Penanaman Modal Asing Dampak keterbukaan perdagangan terhadap kenaikan PDB akan semakin besar ketika didukung oleh penanaman modal asing, yakni dengan elastisitas sebesar 0,123. Elastisitas tersebut mengandung arti bahwa peningkatan keterbukaan perdagangan sebesar 1 persen yang disertai oleh penanaman modal asing akan menyebabkan kenaikan PDB sebesar 0,123 persen, ceteris paribus. Aliran PMA ke dalam negeri akan menambah stok permodalan sehingga dapat mengurangi kesenjangan antara kebutuhan investasi dengan kemampuan mengakumulasi tabungan masyarakat (saving-investment gap) yang umumnya terjadi di negara-negara berkembang. Semakin besar PMA akan menyebabkan akumulasi modal dan transfer teknologi yang tercipta semakin besar pula. Hal ini akan menambah kapasitas produksi nasional, sekaligus mendorong kenaikan produktivitas masyarakat. Investasi asing berupa PMA biasanya disertai dengan hadirnya perusahaanperusahaan multinasional (multinational corporation, MNC) ke negara penerima sehingga berpengaruh terhadap keberlangsungan kegiatan produksi industriindustri lokal di daerah sekitarnya. Keberadaan MNC dengan segala keunggulannya dapat mematikan industri-industri lokal yang berskala kecil. Oleh karenanya jalinan kemitraan usaha dengan perusahan tersebut perlu dilakukan, baik sebagai industri pendukung maupun sekedar pemasok bahan baku, sehingga memunculkan suatu aglomerasi industri yang positif. Selain itu, dampak positif berupa limpahan pengetahuan, teknologi, dan organisasi mutakhir ke daerah sekitarnya menjadi lebih nyata. Dengan demikian diharapkan tingkat efisiensi menjadi lebih tinggi, kegiatan inovatif lebih semarak, dan hambatan masuk bagi perusahaan baru menjadi berkurang.
Keterbukaan perdagangan yang diikuti oleh penanaman modal asing memiliki dampak positif yang lebih besar di kelompok NSM terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan kelompok NSB, yakni berturut-turut elastisitasnya sebesar 0,123 dan 0,102. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan di negara-negara maju didukung oleh investasi asing yang relatif lebih besar. 2. Interaksi Keterbukaan Perdagangan dengan Sektor Finansial Dampak keterbukaan perdagangan terhadap kenaikan PDB akan semakin besar apabila didukung oleh kesiapan di sektor finansial, yakni dengan elastisitas sebesar 0,049. Kesiapan sektor perbankan dalam menyalurkan kredit domestik akan mendorong tumbuhnya industri-industri lokal, mulai dari industri rumah tangga (home industry), usaha kecil dan menengah (UKM), hingga ke industri yang berskala besar. Kredit domestik berguna untuk mengatasi kesulitan modal yang sering dialami oleh industri-industri yang berskala kecil, serta menambah likuiditas modal dalam upaya pengembangan usaha dan pencapaian efisiensi yang lebih tinggi. Pemberdayaan industri-industri lokal akan meningkatkan kapasitas produksi nasional sehingga memperkuat kemandirian untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa di dalam negeri, sekaligus untuk keperluan ekspor. Keterbukaan perdagangan yang diikuti oleh kesiapan di sektor finansial memiliki dampak positif yang lebih besar di kelompok NSM terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan kelompok NSB, yakni berturut-turut elastisitasnya sebesar 0,082 dan 0,019. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan di negara-negara maju didukung oleh kesiapan sektor finansial yang baik sehingga meningkatkan efisiensi dalam pengalokasian dana masyarakat ke sektor-sektor yang produktif. Menurut data World Bank (2010) bahwa rata-rata kredit domestik yang disalurkan oleh perbankan di kelompok NSM mencapai 190,26 persen dari PDB-nya tahun 2008, sedangkan di kelompok NSB hanya sebesar 92,49 persen dari PDB-nya. 3. Interaksi Keterbukaan Perdagangan dengan Inflasi Dampak keterbukaan perdagangan terhadap kenaikan PDB akan semakin besar ketika kondisi perekonomian dan harga-harga tetap prospektif, yakni tingkat
harga yang terjadi masih memberikan insentif bagi produsen dan tidak memberatkan masyarakat sebagai konsumen. Elastisitas total keterbukaan perdagangan terhadap PDB mencapai sebesar 0,084. Kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh tingginya permintaan barang dan jasa oleh masyarakat (demand pull inflation) memberi rangsangan yang positif kepada industri untuk meningkatkan produksinya. Namun demikian, inflasi yang terlampau tinggi akan berdampak buruk bagi perekonomian. Inflasi yang terlampau tinggi menyebabkan penurunan daya beli masyarakat sehingga cenderung mengurangi konsumsinya, terutama terhadap barang-barang sekunder dan tersier. Inflasi yang terlampau tinggi juga menimbulkan tingginya biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat baik industri maupun rumahtangga, yaitu berupa shoe leather cost, menu cost, distorsi pajak, dan inefisiensi dalam pengalokasian sumber daya untuk kegiatan ekonomi. Perusahaan tidak dapat membuat keputusan ketika inflasi berada di luar kontrol pemerintah, serta tidak dapat memberi pelayanan secara efisien jika harus membayar bunga tinggi atas hutang masa lalunya. Singkatnya, perekonomian tidak bisa tumbuh kecuali pada lingkungan makro yang kondusif. Keterbukaan perdagangan yang diikuti oleh kenaikan harga memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di kelompok NSM, sedangkan di kelompok NSB berdampak negatif, yakni berturut-turut elastisitasnya sebesar 0,118 dan -0,008. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan di negara-negara maju didukung oleh kondisi perekonomian dan harga yang kondusif untuk berusaha. Sebaliknya, kondisi perekonomian di kelompok NSB masih diwarnai dengan tingkat inflasi yang relatif tinggi, khususnya di Indonesia dan Philipina. Selama kurun waktu 1999-2008 rata-rata tingkat inflasi di Indonesia tercatat sebesar 10,04 persen dan di Philipina sebesar 5,51 persen. 4. Interaksi Keterbukaan Perdagangan dengan Infrastruktur Dampak keterbukaan perdagangan terhadap kenaikan PDB akan semakin besar ketika didukung oleh ketersediaan infrastruktur yang memadai. Elastisitas total keterbukaan perdagangan terhadap PDB mencapai sebesar 0,070. Infrastruktur listrik merupakan faktor pendorong bagi tumbuhnya sentra-sentra industri lokal, dan sekaligus menjadi faktor penarik bagi investor untuk
melakukan investasi di wilayah tersebut. Ketersediaan listrik yang cukup dan berkelanjutan merupakan jaminan bagi berlangsungnya proses produksi yang lebih efisien dan ekonomis. Sebaliknya, pasokan listrik yang tidak cukup dan sering mengalami gangguan akan menghambat kegiatan produksi barang dan jasa di masyarakat, serta mengurangi produktivitasnya. Hal ini akan berakibat pada penurunan jumlah produk yang dapat dihasilkan dan peningkatan harga produkproduk domestik sehingga akan menurunkan daya saing di kancah internasional. Keterbukaan perdagangan yang didukung oleh ketersediaan infrastruktur memiliki dampak positif yang lebih besar di kelompok NSM terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan kelompok NSB, yakni berturut-turut elastisitasnya sebesar 0,093 dan 0,034. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan di negara-negara maju didukung oleh ketersediaan infrastruktur yang baik sehingga kegiatan produksinya memiliki tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi, serta lebih ekonomis. 5. Interaksi Keterbukaan Perdagangan dengan Modal Manusia Dampak keterbukaan perdagangan terhadap kenaikan PDB akan semakin besar ketika didukung oleh tersedianya kualitas modal manusia yang baik. Elastisitas total keterbukaan perdagangan terhadap PDB mencapai sebesar 0,928 adalah yang terbesar di antara variabel-variabel lainnya. Hal ini sesuai dengan teori pertumbuhan endogen yang lebih menekankan pada peran modal manusia (human capital) dalam perekonomian modern. Banyaknya penduduk yang melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi mencerminkan kualitas modal manusia yang semakin baik, yaitu memiliki pengetahuan dan keahlian tertentu sesuai dengan bidangnya. Penguasaan pengetahuan dan keahlian tertentu memiliki dampak secara langsung terhadap tingkat produktivitas dan kualitas produk yang dihasilkannya sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Keterbukaan perdagangan yang didukung oleh tersedianya kualitas modal manusia memiliki dampak positif yang lebih besar di kelompok NSM terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan kelompok NSB, yakni berturut-turut elastisitasnya sebesar 0,143 dan 0,057. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan di negara-negara maju didukung oleh tersedianya kualitas modal
manusia yang yang bagus sehingga memiliki tingkat produktivitas yang tinggi serta lebih mudah menyesuaikan dengan organisasi dan teknologi mutakhir. 6. Interaksi Keterbukaan Perdagangan dengan Kemajuan Teknologi Dampak keterbukaan perdagangan terhadap kenaikan PDB akan semakin besar ketika didukung oleh penguasaan di bidang teknologi, yakni dengan elastisitas sebesar 0,045. Penguasaan teknologi mendorong pencapaian tingkat produktivitas yang tinggi, baik melalui penggunaan cara-cara yang lebih efisien maupun penciptaan produk-produk baru melalui proses inovasi dan diversifikasi produk. Kegiatan produksi yang melibatkan penggunaan teknologi mutakhir akan menghasilkan produk dalam jumlah yang lebih banyak dan memiliki kualitas relatif lebih baik. Produk-produk tersebut lebih memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif daripada produk sejenis yang dihasilkan dari proses produksi yang masih menggunakan cara-cara tradisional atau dibuat secara manual. Dengan demikian akan memperbaiki harga relatif produk domestik di kancah persaingan global. Keterbukaan perdagangan yang didukung oleh kemajuan teknologi memiliki dampak positif yang lebih besar di kelompok NSM terhadap pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan kelompok NSB, yakni berturut-turut elastisitasnya sebesar 0,105 dan 0,004. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan di negara-negara maju didukung oleh penguasaan di bidang teknologi sehingga memiliki tingkat efisiensi dan produktivitas yang tinggi. Selain itu, kualitas produk yang dihasilkan juga lebih baik sehingga meningkatkan keunggulan produk-produknya di kancah internasional. 7. Interaksi Keterbukaan Perdagangan dengan Jumlah Pekerja Dampak keterbukaan perdagangan terhadap kenaikan PDB akan semakin besar ketika diikuti oleh peningkatan jumlah penduduk yang bekerja, yakni dengan elastisitas sebesar 0,100. Banyaknya penduduk yang terlibat dalam kegiatan ekonomi memiliki korelasi positif dengan banyaknya produk yang dapat dihasilkan. Namun demikian, tingkat penyerapan tenaga kerja tidak terlepas dari kualifikasi dan tingkat kompetensi yang dimilikinya, apakah memenuhi
kebutuhan pasar tenaga kerja atau tidak. Selain itu, bergantung pula pada jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia. Keterbukaan perdagangan yang diikuti oleh ketersediaan tenaga kerja berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi di kelompok NSM, sedangkan di kelompok NSB memiliki dampak negatif, yakni berturut-turut elastisitasnya sebesar 0,133 dan -0,013. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan di negara-negara maju didukung oleh kualifikasi tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan. Sebaliknya, peningkatan keterbukaan di kelompok NSB tidak menyerap banyak tenaga kerja, terutama di Indonesia dan Philipina. Tingkat pengangguran di Indonesia merupakan yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN+3 yakni mencapai sebesar 8,40 persen pada tahun 2008, kemudian Philipina sebesar 7,40 persen, keduanya jauh di atas rata-rata kawasan yang sebesar 4,28 persen. Hal ini disebabkan oleh kondisi ketenagakerjaan yang lebih didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah dan kurang memiliki keterampilan khusus (unskill labour) sehingga relatif sulit diserap oleh industri di era globalisasi seperti sekarang ini.