V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Identifikasi Kawasan Permukiman Kumuh di Wilayah Jakarta Timur Di wilayah Provinsi DKI Jakarta, Kota Jakarta Timur merupakan salah satu wilayah yang mempunyai berbagai keunikan baik secara geografis, demografis serta hidrologis. Dari sisi geografis, Kota Jakarta Timur merupakan wilayah yang terluas dan terdiri dari beberapa perkampungan. Dari sisi demografisnya, Jakarta Timur memiliki jumlah penduduknya terbanyak dibandingkan dengan wilayah Jakarta lainnya. Sementara itu, dari sisi hidrologis, Jakarta Timur dilewati oleh beberapa sungai dan kanal antara lain: Cakung Drain, Kali Ciliwung, Kali Malang, Kali Sunter, dan Kali Cipinang. Menurut BPS pada tahun 2000 dalam rangka pembangunan wilayah DKI Jakarta, Kota Jakarta Timur diarahkan menjadi daerah pengembangan untuk permukiman penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi terutama industri pengolahan dan pariwisata. Banyaknya lapangan pekerjaan di wilayah ini telah mendorong proses migrasi dan menetap, sehingga kebutuhan perumahan menjadi sangat tinggi. Untuk migran yang tidak terdidik dengan pekerjaan yang terbatas, maka wilayah permukiman kumuh menjadi pilihan. Gambar 6 menyajikan distribusi permukiman kumuh di tingkat kecamatan Jakarta Timur.
Gambar 6. Sebaran Lokasi Kumuh di Jakarta Timur
Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa wilayah yang memiliki KK kumuh paling banyak adalah Kecamatan Jatinegara dengan jumlah KK kumuh sebesar 8023 KK, sedangkan untuk wilayah yang mempunyai KK kumuh paling sedikit adalah Kecamatan Ciracas dengan jumlah sebesar 144 KK. Informasi tersebut memberikan gambaran bahwa ketimpangan perekonomian dan kondisi
22
lingkungan di Jakarta Timur sangat besar. Hal ini tentu saja membawa dampak yang serius dan membutuhkan mekanisme penataan ruang yang baik. Berdasarkan informasi di atas, penelitian ini memfokuskan pada kawasan kumuh yang berada di Kecamatan Jatinegara karena kawasan ini mempunyai jumlah KK tertinggi secara relatif dibandingkan dengan kecamatan yang lain. Kecamatan Jatinegara ini mempunyai 8 kelurahan yaitu Kelurahan Cipinang Muara, Cipinang Besar Selatan, Cipinang Besar Utara, Cipinang Cempedak, Rawa Bunga, Bidara Cina, Balimester, Kampung Melayu. Setiap kelurahan mempunyai KK kumuh yang berbeda-beda. Tabel 7 menyajikan data jumlah KK kumuh di Kecamatan Jatinegara. Seperti yang terlihat pada tabel tersebut bahwa jumlah KK kumuh paling banyak terdapat pada Kelurahan Kampung Melayu, sedangkan jumlah KK kumuh Kelurahan Balimester adalah 0. Namun demikian, berdasarkan data evaluasi RW Kumuh DKI 2004 dan data dari Kelurahan Balimester, kelurahan tersebut masih mempunyai KK kumuh. Tabel 7. Jumlah KK Kumuh di Kecamatan Jatinegara Kelurahan Bali Mester Bidara Cina Cipinang Besar Selatan Cipinang Besar Utara Cipinang Cempedak Kampung Melayu Rawa Bunga
KK Kumuh 2008 0 209 215 3027 300 3233 1039
KK Kumuh 2004 869 1262 2014 4094 64 1991 1544
Sumber Data : BPS dalam Evaluasi RW Kumuh DKI 2008
Lokasi kawasan kumuh di Kecamatan Jatinegara umumnya tersebar pada daerah bantaran sungai (Gambar 7). Hal ini cukup relevan mengingat bahwa Kecamatan Jatinegara dibatasi oleh sungai Ciliwung dan Kali Sunter, serta dilalui oleh Kali Cipinang. Disamping itu, terdapat juga sungai buatan yaitu Kali Malang yang digunakan sebagai pengendalian banjir dan irigasi serta untuk instalasi air minum.
23
Gambar 7. Sebaran Lokasi Kumuh di Kecamatan Jatinegara Berdasaran Data Evaluasi RW Kumuh DKI 2008
5.1.1. Distribusi Spasial Permukiman Kumuh Kelemahan mendasar dari data BPS tentang permukiman kumuh adalah ketiadaan batas yang jelas pada masing-masing lokasi yang ditetapkan sebagai permukiman kumuh, sehingga penetapan luas serta analisis spasial lanjutan tidak dapat dilakukan. Hal ini dapat dimengerti mengingat data tersebut diperoleh dari hasil pendataan lapangan oleh dinas. Untuk mengurangi kelemahan tersebut, penelitian ini menggunakan citra resolusi tinggi Quickbird tahun pengamatan 2006. Kunci interpretasi untuk menentukan kenampakan kawasan kumuh pada citra adalah dengan melihat pola dari permukiman. Pola pemukiman teratur menunjukkan kenampakan lebih rapi dan dapat diidentifikasinya jarak antar rumah serta dapat dibedakan jelas antara jalan dengan rumah. Menurut Kusumawati (2006) pola permukiman tidak teratur menunjukkan 2 kemungkinan yaitu permukiman kumuh atau bukan permukiman kumuh. Ciri-ciri pemukiman kumuh yang nampak pada citra adalah berpola tidak teratur, ukuran rumah kecil-kecil, rapat tidak ada jarak antara rumah yang satu dengan yang lainnya, sebagian besar rumah beratapkan asbes atau seng dan sebagian kecil beratapkan genteng (Gambar 8). Atap seng pada citra Quickbird umumnya terlihat berwarna hitam (pada Citra ditandai dengan huruf a), untuk asbes berwarna putih keabu-abuan (pada citra dengan huruf c) sedangkan untuk genteng umumnya berwarna oranye (pada citra terlihat dengan huruf b). Kenampakan pada citra tersebut sangat berbeda dengan kenampakan pada perumahan teratur seperti tersaji pada Gambar 9.
24
Gambar 8. Pola Pemukiman Tidak Teratur Yang Merupakan Daerah Kumuh: Atap Seng(a), Atap Genteng (b), dan Atap Asbes(c): Kenampakan Citra Quickbird Pada Daerah Kumuh Yang Terletak di Kelurahan Cipinang Besar Utara
Gambar 9. Pola Permukiman Teratur di Kelurahan Cipinang Besar Selatan Pada Citra Quickbird: Pola Teratur dan Tampak Rapi Antara Rumah dan Jalan Dapat di Bedakan
Hasil identifikasi citra pada wilayah kumuh menunjukkan bahwa wilayah kumuh mempunyai pola yang tidak teratur, sebagian besar rumah beratapkan asbes atau seng. Sejalan dengan informasi yang diperoleh dari data statistik, lokasi pemukiman kumuh umumnya berada di sekitar sungai. Pengecekan lapang dilakukan pada setiap lokasi yang diidentifikasi memiliki permukiman kumuh. Data geografis direkam dengan memanfaatkan GPS dan pada setiap titik yang diamati, beberapa gambar diambil untuk dokumentasi lapang (Gambar 10).
25
a.
b. Koordinat (106.86°,-6.22°)
Gambar 10. (a) Permukiman Kumuh Yang Terletak di Dekat Sungai Ciliwung, Dekat Pasar Mester Atau Pasar Jatinegara, (B) Pemukiman Kumuh Yang Terletak di Dekat Sungai Ciliwung
5.2. Karakterisasi Permukiman Kumuh di Wilayah Jakarta Timur 5.2.1. Karakteristik Lokasi Berdasarkan hasil interpretasi citra Quickbird 2006, terlihat bahwa kenampakan permukiman kumuh secara spasial umumnya berasosiasi dengan kedekatannya terhadap sungai dan jalan lokal. Beberapa permukiman kumuh ditemui berlokasi di sekitar jalur rel kereta api, jalan tol, jalan kolektor serta jalan arteri seperti tersaji pada Gambar 11. Kenampakan permukiman kumuh dari citra Quickbird tersebut, dilengkapi dengan foto lapangan, pada berbagai lokasi disajikan pada Gambar 13 sampai dengan Gambar 15.
Gambar 11. Frekuensi Jumlah Permukiman Kumuh Terhadap Lokasi Permukiman di Jakarta Timur
Hasil interpretasi citra Quickbird pada seluruh wilayah Jakarta Timur disajikan pada Gambar 12. Luas permukiman kumuh berdasarkan hasil klasifikasi
26
pada citra Quicbird dapat dilihat pada Tabel 8. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa setiap Kecamatan di Jakarta Timur mempunyai luas permukiman kumuh yang relatif beragam. Luas permukiman kumuh yang terluas terdapat pada Kecamatan Jatinegara yaitu sekitar 15,97 Ha, sedangkan luas permukiman kumuh yang terkecil berada pada Kecamatan Cipayung yaitu sekitar 0,58 Ha. Total keseluruhan luas permukiman kumuh di Jakarta Timur yaitu sekitar 36,81 Ha. Tabel 8. Luas Sebaran Permukiman Kumuh Hasil Klasifikasi Citra Quickbird Kecamatan Cakung Cipayung Ciracas Duren Sawit Jatinegara Kramat Jati Makasar Matraman Pasar Rebo Pulogadung Total
Kumuh 2.41 0.58 1.09 1.74 15.97 1.62 1.08 1.80 1.60 8.92 36.81
Tidak Kumuh 4135.96 2838.35 1728.30 2129.25 1296.96 1217.58 2399.91 473.97 1397.16 1447.51 19064.95
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sebagian besar (66%) kawasan kumuh berada di dekat sungai dan hanya sekitar 8% berada di sekitar pasar. Kawasan kumuh yang berada di dekat sungai adalah kawasan kumuh berat, kumuh sedang, dan kumuh ringan, dan yang berada di dekat pasar adalah kumuh sangat ringan dan sebagian kumuh sedang.
27
106°51'
106°54'
JAKARTA UTARA
JAKARTA PUSAT
Pulogadung
6°12'
Matraman
Duren Sawit Jatinegara
6°15'
Makasar
JAKARTA SELATAN
KODYA BEKAS
PETA SEB
Kramat Jati
100
6°18'
LEG
Ciracas Cipayung
a.
b. Koordinat ( 106.95°,-6.20°)
Gambar 13. (a) Penampakan Obyek Permukiman Kumuh Yang Terlihat Dari Citra Berada di Sekitar Jalan Tol,(b) Penampakan Obyek Foto Lokasi Permukiman Kumuh di Sekitar Jalan Tol
a.
b. Koordinat (106.88°,-6.19°)
Gambar 14.
(a) Penampakkan Obyek Permukiman Kumuh Yang Terlihat Dari Citra Berada di Sekitar Jalan Arteri, (b) Penampakan Obyek Foto Lokasi Permukiman Kumuh di Sekitar Jalan Arteri
Gambar 15.
(a) Penampakkan Obyek Permukiman Kumuh Yang Terlihat Dari Citra Berada di Sekitar Jalur Kereta Api, (b) Penampakan Obyek Foto Lokasi Permukiman Kumuh di Sekitar Jalur Kereta Api
a.
b. Koordinat (106.89°,-6.21°)
29
Gambar 16. Lokasi Permukiman Kumuh Reponden di Kecamatan Jatinegara
Secara umum lokasi permukiman kumuh ini dipilih oleh penghuni pada lokasi yang tidak jauh dari tempat-tempat strategis dalam mencari pekerjaan. Misalnya Kelurahan Cipinang Besar Utara yang berada di tengah Kota Jakarta Timur, kawasan ini dibatasi oleh dua jalan arteri utama, yaitu Jl. D.I Panjaitan dan Jl. Bekasi Timur Raya sehingga memudahkan masyarakat kawasan kumuh mengakses berbagai fasilitas kota termasuk akses ke lapangan kerja di sektor informal. Kelurahan Kampung Melayu, Kelurahan Bali Mester, Kelurahan Rawa Bunga serta Kelurahan Bukit Duri berada di dekat Pasar Jatinegara. Lokasi pasar yang dekat dengan permukiman kumuh memudahkan para ibu rumah tangga dalam berbelanja kebutuhan sehari-hari, serta memudahkan dalam mencari pekerjaan. Hal ini berdampak langsung pada efisiensi waktu dan biaya perjalanan. Gambar 17 menyajikan peta sebaran pemukiman kumuh hasil delineasi menggunakan citra Quickbird dan pengamatan lapang di wilayah studi. . 5.2.2. Deskripsi Rumah Masyarakat di Permukiman Kumuh Berdasarkan hasil penarikan contoh di wilayah Kecamatan Jatinegara, umumnya masyarakat yang tinggal di kawasan kumuh berat, kumuh sedang, dan kumuh ringan mempunyai atap rumah berupa asbes (83%), sedangkan rumah yang beratapkan genteng dari seluruh kawasan kumuh sekitar 17%. Persentase jenis atap dan kenampakkan obyek di permukiman kumuh pada empat kelas tingkat kekumuhan disajikan pada Gambar 18 dan Gambar 19.
30
106°51'
106°52'
106°53'
106°54'
6°12'
PETA SEBARAN PERMUKIMAN KUMUH KECAMATAN JATINEGARA
6°12'
U Cakung
Pulogadung Matra m an
6°13'
6°13'
500
0
500
1000 M
LEGENDA Kawasan Kumuh Kecamatan Jatinegara
Jatinegar a
JAKARTA SELATAN
Kecamatan Lain
6°14'
Duren S aw it
Jalan Tol Jalan Lokal Jalan Kolektor Kereta api Jalan Arteri Sungai
6°14'
LA LA UT UT
Maka sar
JAKAR TA U TA RA
BE BE K AS ASII Kram a t J ati
JAKAR TA BAR AT
JAKAR TA PU SAT
TAN TAN GG GGE RA RA NG NG
JAKAR TA SEL ATAN
6°15'
JAKAR TA TIMUR
6°15'
BO G O OR R
106°51'
106°52'
106°53'
106°54'
Gambar 17. Sebaran Pemukiman Kumuh Kecamatan Jatinegara 31
Gambar 18. Jenis Atap di Pemukiman Kumuh
a.
b.
Gambar 19. Foto Jenis Atap di Permukiman Kumuh (a) Atap Genteng di Kelurahan Rawa Bunga, dan (b) Atap Seng di Kelurahan Cipinang Besar Utara
Jenis lantai di permukiman kumuh disajikan pada Gambar 20. Gambar tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar (60%) rumah yang berada di lokasi kawasan kumuh berlantai keramik dan terletak di dekat sungai dan daerah rawan banjir. Alasan utama penggunaan keramik adalah agar mudah dibersihkan sewaktu banjir usai. Menurut Rashid et al (2007) masyarakat di permukiman kumuh umumnya tetap memilih tinggal di lokasi banjir karena berharap mendapat insentif ekonomi khususnya pada saat relokasi daripada mempertimbangkan aspek kesehatan lingkungan seperti di lokasi-lokasi yang bebas banjir. Kondisi permukiman kumuh yang berada di dekat sungai umumnya mempunyai 2 lantai. Hal ini dilakukan agar pada saat banjir bisa menyelamatkan barang-barang berharga yang dimiliki. Rumah tingkat umumnya berbahan kayu seperti yang terlihat pada Gambar 21a.
32
Gambar 20. Jenis Lantai di Pemukiman Kumuh
a.
Gambar 21.
b.
(a) Jenis Rumah Kumuh Berlantai 2 Yang Rata-Rata Terletak di Dekat Sungai, (b) Jenis Rumah Kumuh Yang Berlantai Tanah, Lokasi Terletak di Kelurahan Cipinang Besar Utara
Jenis dinding di permukiman kumuh berat, kumuh sedang, kumuh ringan dan kumuh sangat ringan adalah sebagai berikut: 58% berdinding tembok dan 28% berdinding semi permanen, yaitu ½ tembok dan ½ triplek atau ½ tembok dan ½ seng (Gambar 22). Rumah di permukiman kumuh ini umumnya berupa rumah petakanpetakan kecil yang luasnya sudah dibagi-bagi berdasarkan jumlah kepala rumah tangga.
33
Gambar 22. Jenis Dinding di Pemukiman Kumuh
Luas hunian tempat tinggal di pemukiman kumuh sangat bervariasi, dari luas yang terkecil 3 m2 sampai yang terbesar 165 m2, dan rata-rata luas tempat tinggal adalah 20,4 m2. Secara umum, rumah yang berada di permukiman kumuh ini tidak memiliki halaman rumah. Lebar jalan rata-rata yang terdekat dengan rumah adalah sekitar 1m (Tabel 9). Tabel 9.Rata-Rata Luas Rumah dan Lebar Jalan di Setiap Kategori Kumuh Kategori Kumuh Kumuh Berat Kumuh Sedang Kumuh Ringan Kumuh Sangat Ringan
Gambar 23.
Luas rumah (m2) 10,18 26,86 19,50 25,00
Lebar jalan (m) 0,76 1,18 0,82 0,98
Lokasi Rumah Yang Dimanfaatkan Sebagai Warung di Kelurahan Cipinang Besar Utara
Jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain sangat dekat, berupa lorong, dan tidak menyisakan ruang untuk bermain anak-anak. Beberapa rumah tangga memanfaatkan rumah mereka sebagai warung harian seperti yang terlihat
34
pada Gambar 23. Kawasan berkategori kumuh berat memiliki rata-rata luas rumah 10,18 m2 dan lebar jalan terdekat dengan rumah adalah 0,76 m. Berdasarkan hasil penarikan contoh, sebanyak 49% responden di permukiman kumuh umumnya tinggal di rumah sewaan dan sebanyak 51% tinggal di rumah sendiri. Pada umumnya masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh yang menyewa ini adalah para migran yang datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Dengan cara menyewa ini mereka dapat berpindah-pindah lokasi sesuai dengan kebutuhannya, jarak lokasi pekerjaan serta harga sewa rumah. Sewa rumah berdasarkan hasil wawancara dengan responden umumnya berkisar Rp. 200.000/ bulan. Jika nilai sewa terlalu tinggi umumnya migran akan mencari sewa rumah yang lebih murah. Umumnya rumah yang mereka tempati belum mempunyai fasilitas MCK sehingga pada lokasi ini terdapat MCK umum. Walaupun sebagian telah mempunyai kamar mandi sendiri namun tidak dilengkapi dengan jamban, sehingga mengharuskan penghuni permukiman kumuh untuk menggunakan fasilitas MCK bersama (Gambar 24).
a.
Gambar 24.
b.
MCK Umum (a) Terletak di Kelurahan Kampung Melayu, (b) Terletak di Kelurahan Rawa Bunga
Buruknya kondisi rumah tinggal serta kepadatan bangunan yang sangat tinggi menyebabkan rumah-rumah tidak memiliki sistem pertukaran udara segar atau ventilasi yang baik sehingga ruang-ruang di dalamnya tidak mendapatkan sinar matahari dan cenderung lembab. Berdasarkan data survei lapang, rata-rata rumah yang memiliki ventilasi yaitu sekitar 1.31 atau kurang dari 2 jendela. Bentuk ventilasi juga bermacam-macam, diantaranya berupa ventilasi kawat atau seng sesuai dengan dinding rumah. Contoh ventilasi di permukiman kumuh disajikan pada Gambar 25.
35
Gambar 25. Jenis Ventilasi yang Terletak di Lokasi Kelurahan Cipinang Besar Utara
5.2.3. Karakteristik Pendidikan dan Jenis Pekerjaan Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh umumnya adalah kaum pendatang yang tidak terdidik. Berdasarkan hasil wawancara, sekitar 8 % masyarakat di daerah kumuh tidak sekolah. Sebagian besar pemukim (42%) adalah tamatan SD, sedangkan lulusan SMP sekitar 18%. Masyarakat berpendidikan SMA dan tingkat yang sederajat sejumlah kurang lebih 30%, dan hanya 1% yang menamatkan perguruan tinggi ( Gambar 26). Menurut Frota (2008) masyarakat miskin yang tinggal di permukiman kumuh tidak memiliki pengetahuan, kemampuan keuangan dan keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang lebih baik, karena keterbatasan itu masyarakat miskin banyak bekerja di sektor informal. Pekerjaan yang dipilih pada umumnya adalah buruh harian serta pedagang informal (Gambar 27a).
Gambar 26. Tingkat Pendidikan Responden di Permukiman Kumuh di Daerah Penelitian
36
a.
Gambar 27.
b.
(a) Jenis Pekerjaan Dan (B) Total Pendapatan di Permukiman Kumuh di Daerah Penelitian
Kirmanto (2001) menyatakan bahwa sebagian besar pekerjaan penghuni lingkungan permukiman kumuh adalah sektor informal yang tidak memerlukan keahlian tertentu, misalnya sebagai buruh kasar atau kuli bangunan. Oleh karena itu, tingkat penghasilan pemukim sangat terbatas dan tidak mampu menyisihkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan permukiman. Akibatnya terjadi degradasi kualitas lingkungan yang pada gilirannya memperluas area permukiman kumuh. Pendapatan masyarakat di permukiman kumuh yang tertinggi adalah sebesar Rp 25.970.000 per tahun, dihasilkan oleh penduduk yang berprofesi sebagai supir, sedangkan pendapatan paling rendah sebesar Rp. 10.100.000 per tahun dihasilkan oleh masyarakat yang berprofesi sebagai pemulung (Gambar 27b). Rata-rata ibu rumah tangga pada permukiman kumuh bekerja sebagai buruh cuci dan buruh setrika. Lokasi pekerjaan mereka berada di sekitar lingkungan tempat tinggal.
5.3. Faktor Penciri Kekumuhan Identifikasi penciri kekumuhan ditelaah dengan menggunakan sembilan peubah yaitu: asal, pendidikan, pekerjaan, lokasi rumah, cara buang sampah, skor kualitas rumah, skor polusi, luas rumah, dan lebar jalan terdekat dengan rumah, hasil analisis faktor penciri kekumuhan dapat dilihat pada Lampiran 3. Peubah tersebut dipilih sesuai dengan penciri kekumuhan yang dirumuskan oleh Dinas Perumahan DKI Jakarta. Untuk mengetahui faktor penciri pemukiman kumuh tersebut digunakan metode analisis Kuantifikasi Hayashi II. Dari proses analisis didapatkan hasil bahwa peubah yang memiliki nilai yang nyata adalah peubah asal, lokasi rumah, luas rumah, dan lebar jalan terdekat dengan rumah dengan eta-square yang diperoleh sebesar 0,805 pada selang kepercayaan 95%. Berikut adalah ringkasan hasil analisis faktor penciri kekumuhan yang disajikan pada Tabel 10.
37
Tabel 10. Ringkasan Hasil Analisis Kuantifikasi Hayasi II Peubah Asal
Lokasi Rumah Luas Rumah Lebar Jalan
Koefisien Skor Kategori Positif Negatif Jabodetabek Banten Luar Jawa Jawa Yogyakarta Dekat Pasar Dekat Sungai Dekat Jalan Raya 26-52 m2 0-26 m2 >52 m2 >1 0-1
Berdasarkan nilai skor kategori peubah asal daerah, diketahui bahwa orang yang berasal dari Banten, Jawa, dan Yogyakarta berada di kawasan kumuh berat, dan orang yang berasal dari luar Jawa seperti dari Sumatera tinggal di kawasan kumuh sedang. Hasil identifikasi lapang menunjukkan bahwa rata- rata masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh adalah pendatang yang sudah tinggal di permukiman tersebut selama kurang lebih 24 tahun. Berdasarkan nilai korelasi parsial yang terlihat pada Lampiran 3, peubah lokasi rumah adalah peubah yang paling berpengaruh terhadap faktor penciri kekumuhan. Lokasi kumuh berat berasosiasi dengan kedekatan terhadap sungai. Kondisi rumah yang berada di dekat sungai umumnya rumah bersifat semi permanen. Sedangkan kondisi rumah yang lebih baik berada di dekat jalan raya. Kategori luas rumah juga berpengaruh nyata terhadap tingkat kekumuhan. Dari sebaran nilai skor kategori, terindikasi bahwa semakin sempit luas rumah maka kecenderungan berada di kawasan permukiman kategori kumuh berat. Ukuran rumah yang terkecil yang ditempati oleh masyarakat di permukiman kumuh adalah rumah dengan ukuran 3x3 m2 yang berupa rumah petakan. Kategori lebar jalan sebagaimana dihipotesiskan teruji terkait erat dengan tingkat kekumuhan. Semakin kecil lebar jalan lingkungan dimana satu rumah berada, maka semakin besar peluang rumah tersebut berada di kawasan berkategori kumuh berat. Dalam hal ini lebar tersempit adalah sekitar 0-1 meter. Sebaliknya di kawasan kumuh ringan sampai dengan sedang kondisi jalan terdekat dengan rumah sudah cukup baik yaitu lebih dari 1 m. 5.4. Mobilitas Masyarakat di Permukiman Kumuh Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat di permukiman kumuh dapat diketahui bahwa tingkat mobilitas masyarakat di pemukiman kumuh relatif
38
rendah. Hal ini terlihat dari semua aktivitas yang mereka lakukan tidak jauh dari lokasi tempat tinggal. Penduduk permukiman umumnya melakukan aktivitas seharihari seperti belanja, bekerja, pendidikan formal maupun informal di kawasan dekat tempat tinggal. Sebagian dari masyarakat pemukiman kumuh yang tinggal di Kecamatan Jatinegara melakukan aktivitas di sekitar Kecamatan Jatinegara (367 perjalanan dari total 863 perjalanan), demikian juga dengan masyarakat pemukiman kumuh yang berada di Kelurahan Bukit Duri. Mobilitas yang paling jauh dilakukan adalah keluar wilayah Jabodetabek, masyarakat di permukiman kumuh melakukan mobilitas ini untuk tujuan silaturahmi atau mudik saat lebaran tiba. Peta mobilitas masyarakat di permukiman kumuh dapat dilihat pada Gambar 28 serta jumlah perjalanan dapat dilihat pada Lampiran 2. 690000
695000
700000
705000
710000
715000
9325000
9325000
Peta Mobilitas Masyarakat Permukiman Kumuh
U JAKARTA UTARA 9320000
9320000
2000 0 20004000 M JAKARTA BARAT
JAKARTA PUSAT
9315000
9315000
Keterangan Jalan Arteri/Utama Jalan Kereta Api Jalan Tol Nasional Jalan Kolektor
9310000
9310000
JAKARTA SELATAN
JAKARTA TIMUR
TANGERANG
BEKASI
9305000
9305000
Mobilitas dari Jatinegara ke Jakarta Timur Lainya Mobilitas dari Jatinegara ke Jakarta Selatan Mobilitas dari Jatinegara ke Jakarta Pusat Mobilitas dari Jatinegara ke Jakarta Barat
9300000
9300000
BOGOR
9295000
9295000 690000
695000
700000
705000
Mobilitas dari Jatinegara ke Jakarta Utara Mobilitas dari Jatinegara ke Bodetabek Mobilitas dari Jatinegara ke Jawa dan Luar Jawa
710000
715000
Gambar 28. Peta Mobilitas Masyarakat di Permukiman Kumuh Kecamatan Jatinegara
5.4.1. Faktor Yang Mempengaruhi Mobilitas Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi mobilitas masyarakat di permukiman kumuh, digunakan metode analisis Kuantifikasi Hayashi I. Dari analisis tersebut didapatkan nilai R2 sebesar 0,605. Hal ini menunjukkan bahwa peubah yang digunakan dapat menjelaskan 60,5% keragaman data frekuensi kegiatan yang ada di
39
kawasan permukiman kumuh. Disamping itu, hasil tersebut juga menunjukkan masih terdapat kurang lebih 39,5% ragam yang tidak dapat dijelaskan dari metode yang digunakan. Hal tersebut dapat bersumber dari adanya beberapa faktor penting lainnya yang belum dapat diintegrasikan dalam penelitian ini. Hubungan antara peubah tujuan dengan peubah penjelas dapat dilihat dari nilai skor kategori. Apabila nilai skor kategori peubah penjelas bertanda negatif maka hal tersebut menunjukkan bahwa peubah penjelas tersebut berkorelasi negatif terhadap peubah tujuan dan mengindikasikan bahwa peubah penjelas tersebut mempunyai frekuensi kegiatan yang rendah. Sebaliknya, apabila nilai skor kategori peubah penjelas bertanda positif maka peubah penjelas tersebut berkorelasi positif terhadap peubah tujuan dan menggambarkan bahwa skor kategori pada peubah penjelas mempunyai frekuensi kegiatan yang tinggi. Nilai skor kategori dari peubahpeubah penjelas terhadap frekuensi kegiatan disajikan pada Lampiran 4. Tabel
11
menyajikan
ringkasan
hasil
analisis
Hayashi
I
untuk
mengidentifikasi peubah yang secara statistik nyata pada α= 0,05 mempengaruhi mobilitas penduduk di permukiman kumuh. Peubah-peubh tersebut adalah jumlah kegiatan, pendidikan, alat transportasi, tujuan kegiatan, lokasi kegiatan, pekerjaan dan pekerjaan lain. Seluruh peubah tersebut memiliki nilai korelasi parsial lebih tinggi dari nilai kritis yaitu sebesar 0,231. Pada α= 0,1 peubah yang nyata adalah peubah asal daerah. Peubah-peubah tersebut memiliki korelasi parsial lebih tinggi dari nilai kritis yaitu sebesar 0,195. Tabel 11. Ringkasan Hasil Analisis Kuantifikasi Hayashi I Keterangan Nyata Pada α= 0,05
Nyata Pada α= 0,1 R2
Peubah Jumlah kegiatan Pendidikan Alat transportasi Tujuan kegiatan Lokasi kegiatan Pekerjaan Ada/tidak pekerjaan lain Asal daerah 0,621
5.4.1.1.Keterkaitan Karakteristik Pelaku Dengan Mobilitas Masyarakat Permukiman Kumuh Masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh umumnya adalah masyarakat miskin yang tak terdidik. Mayoritas penghuni permukiman kumuh tersebut adalah pendatang yang mencari pekerjaan. Tingkat pendidikan masyarakat pemukim ini
40
rendah, yaitu mayoritas tingkat SD, bahkan ada yang tidak pernah sekolah. Rendahnya pendidikan masyarakat mengakibatkan terbatasnya alternatif pekerjaan. Pilihan pekerjaan untuk masyarakat berpendidikan rendah tersebut adalah sektor informal seperti buruh. Oleh karena itu, sebagaimana disampaikan pada bagian sebelumnya sedikit diantara penghuni permukiman kumuh yang mempunyai pekerjaan lebih dari satu jenis. Gambar 29 menjelaskan hubungan antara tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, ada tidaknya pekerjaan lain serta asal daerah terhadap frekuensi kegiatan masyarakat di permukiman kumuh berdasarkan hasil wawancara dengan responden.
(a).
(b).
(c).
(d).
Gambar 29. Hubungan Antara Kategori (A) Tingkat Pendidikan, (B) Jenis Pekerjaan, (C) Pekerjaan Lain, (D) Asal Daerah Dengan Rataan Frekuensi Kegiatan
Berdasarkan hasil analisis Kuantifikasi Hayashi 1, peubah tingkat pendidikan berkorelasi posisif dengan frekuensi kegiatan. Hal tersebut ditunjukkan oleh tingkat pendidikan SD, SMP, S1 yang berkorelasi positif dengan frekuensi kegiatan, sedangkan tingkat pendidikan SMA dan tidak sekolah berkorelasi negatif dengan frekuensi perjalanan. Jika dilihat pada Gambar 29a terlihat bahwa penduduk dengan tingkat pendidikan SMA dan tidak sekolah memiliki rata-rata mobilitas tahunan terendah dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnya. Dilihat dari jumlah frekuensi responden di wilayah contoh, diketahui bahwa mayoritas penduduk (112 responden) berpendidikan SD.
41
Pada hasil analisis selanjutnya ditunjukkan bahwa kelompok penduduk ibu rumah tangga dan pemulung mempunyai nilai skor yang berkorelasi negatif dengan frekuensi kegiatan. Fenomena tersebut menunjukkan fakta bahwa ibu rumah tangga dan pemulung secara relatif lebih sedikit melakukan aktivitas. Dari data responden yang ditunjukkan pada Gambar 29b terlihat bahwa ibu rumah tangga mempunyai frekuensi kegiatan yang paling kecil. Aktifitas ibu rumah tangga umumnya dilakukan di sekitar rumah seperti berbelanja atau beberapa diantaranya bekerja sebagai buruh cuci di lingkungan tempat tinggal. Berdasarkan hasil analisis, jenis pekerjaan dengan aktivitas terbanyak adalah sekolah karena dilakukan setiap hari. Peubah pekerjaan lain berkorelasi positif dengan frekuensi kegiatan. Dari nilai skor, diketahui bahwa adanya pekerjaan lain berkorelasi positif dengan frekuensi kegiatan, sedangkan tidak adanya pekerjaan lain akan berkorelasi negatif. Hasil tersebut menunjukkan bahwa adanya pekerjaan lain menyebabkan masyarakat banyak melakukan aktivitas setiap harinya, sedangkan tidak adanya pekerjaan lain menyebabkan sedikitnya aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat di permukiman kumuh. Selanjutnya, peubah asal daerah berkorelasi positif terhadap frekuensi kegiatan. Sebagian besar responden adalah penduduk asli Jakarta (98 responden) dan migran Jawa Tengah (87 responden). Berdasarkan pola aktifitas responden berdasarkan asal daerah yang ditunjukkan pada Gambar 29d, terlihat bahwa masyarakat yang berasal dari Sumatera, Jawa Timur dan Yogyakarta lebih aktif melakukan kegiatan dibandingkan dengan penduduk yang berasal dari daerah lain.
5.4.1.2.Aktivitas Masyarakat Permukiman Kumuh dan Moda Transportasi Dari hasil analisis kuantifikasi Hayashi I yang ditunjukkan pada Tabel Lampiran 3, diketahui bahwa peubah jumlah kegiatan paling berpengaruh nyata terhadap frekuensi kegiatan. Pada nilai skor kategori ditunjukkan bahwa penduduk yang melakukan mobilitas lebih dari tiga kali dalam sehari cenderung mempunyai frekuensi kegiatan yang tinggi yaitu 102. Hal ini diduga disebabkan oleh jenis kegiatan yang lebih beragam. Dari hasil wawancara yang disajikan pada Gambar 30a terlihat bahwa semakin banyak jumlah kegiatan maka semakin banyak frekuensi kegiatan yang dilakukan. Selanjutnya dari Tabel Lampiran 4 diketahui bahwa aktifitas rekreasi berkorelasi negatif dengan frekuensi kegiatan. Kegiatan berekreasi jarang dilakukan oleh masyarakat di permukiman kumuh, namun dilakukan oleh hampir seluruh responden. Pada Gambar 30b terlihat bahwa frekuensi kegiatan rekreasi paling rendah
42
dibandingkan dengan frekuensi kegiatan yang lain. Hal ini karena terbatasnya penghasilan dan tidak adanya waktu untuk melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan rekreasi ini dilakukan setahun sekali pada saat libur sekolah atau libur nasional seperti hari raya. Lokasi yang dipilih untuk rekreasi ini adalah lokasi yang biayanya terjangkau seperti Kebun Binatang Ragunan, Monumen Nasional, Taman Mini Indonesia Indah, serta Pantai Ancol.
a.
b.
c.
d.
Gambar 30. Hubungan Antara (a) Jumlah Kegiatan, (b) Tujuan Kegiatan, (c) Lokasi Kegiatan, (d) Alat Transportasi Dengan Rataan Frekuensi Kegiatan
Berikutnya, dari nilai skor diketahui bahwa kegiatan belanja paling berpengaruh terhadap peningkatan frekuensi kegiatan. Kegiatan belanja dilakukan oleh hampir seluruh responden. Jika dilihat dari data responden pada Gambar 30b terlihat bahwa rata-rata frekuensi belanja sekitar 239 kali. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden hanya sebagian ibu rumah tangga yang melakukan kegiatan ini setiap harinya. Beberapa diantara ibu rumah tangga melakukan kegiatan belanja seminggu 3 kali, bahkan ada yang melakukannya hanya sebulan sekali. Frekuensi belanja ibu rumah tangga tersebut menyesuaikan dengan kondisi keuangan rumah tangganya. Selanjutnya dilakukan analisis karakterisasi masyarakat permukiman kumuh berdasarkan tujuan kegiatan. Berdasarkan hasil identifikasi diketahui bahwa tujuan lokasi kegiatan dengan frekuensi tertinggi adalah Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah).
43
Fenomena ini menunjukkan banyaknya masyarakat memilih Jawa sebagai tujuan kegiatan yang terkait dengan asal dari penduduk di permukiman contoh. Jika dilihat dari nilai skor kategori maka Jawa berkorelasi negatif dengan frekuensi kegiatan. Indikasi ini menunjukkan bahwa tujuan ke daerah tersebut sangat jarang dilakukan, umumnya dilakukan hanya satu kali dalam setahun pada saat mudik lebaran. Pada Gambar 30c ditunjukkan lokasi yang sering menjadi tujuan kegiatan adalah lokasi yang terdekat dengan tempat tinggal seperti di daerah kecamatan Jatinegara atau beberapa kecamatan lain di wilayah Jakarta timur. Alat transportasi berkorelasi positif dengan frekuensi kegiatan. Dalam hal ini jenis alat transportasi sepeda dan jalan kaki merupakan yang terbanyak. dikarenakan lokasi kegiatan penghuni umumnya di sekitar lokasi tempat Terdapat masyarakat di permukiman kumuh yang mempunyai mobil Kendaraan tersebut merupakan sarana usaha catering dan dijadikan
Hal ini tinggal. sendiri. sebagai
kendaraan sewaan. Beberapa diantaranya juga memiliki sepeda motor untuk ojek.
5.4. Rencana Tata Ruang Wilayah dan Sebaran Permukiman Kumuh Rencana tata ruang wilayah merupakan wadah spasial dari seluruh aspek pembangunan termasuk ekonomi dan sosial budaya. Dengan kata lain penataan ruang merupakan rencana implementasi dari keterpaduan pembangunan di berbagai bidang. Menurut Direktur Jendral Penataan Ruang, jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota. Oleh karena itu, penataan ruang kota perlu mendapatkan perhatian yang khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum, dan sosial serta ruang-ruang terbuka publik di perkotaan. Kawasan bangunan umum merupakan kawasan yang diarahkan dan diperuntukkan bagi pengembangan perkantoran, perdagangan jasa, pemerintahan dan fasilitas umum atau fasilitas sosial beserta penunjangnya dengan koefisien dasar bangunan lebih besar dari 20%. Sedangkan kawasan bangunan umum kepadatan rendah adalah kawasan bangunan umum yang secara keseluruhan koefisien dasar bangunannya maksimum 20%. Berdasarkan hasil operasi tumpang tindih antara sebaran permukiman kumuh di wilayah Jakarta Timur dan RTRW wilayah tersebut diketahui bahwa di area peruntukkan kawasan bangunan umum sebagaimana disajikan pada Tabel 12, terdapat kurang lebih 1,30 hektar lahan yang dimanfaatkan untuk permukiman kumuh, dan sekitar 5,34 hektar lahan pada peruntukan bangunan umum kepadatan rendah ditempati oleh permukiman kumuh. Secara keseluruhan
44
kawasan kumuh adalah sebesar 36,81 hektar yang menyebar di seluruh peruntukan lahan perkotaan. Arahan pembangunan perumahan dalam RTRW Jakarta Timur Tahun 2010 terbagi atas perumahaan, perumahan kepadatan rendah serta campuran perumahan dengan bangunan umum. Dari Tabel 12 terlihat bahwa kawasan permukiman kumuh (11,14 Ha) terletak pada peruntukan lahan untuk kawasan perumahan yang merupakan suatu kawasan yang diarahkan dan diperuntukkan bagi pengembangan permukiman dengan koefisien dasar bangunan lebih besar dari 20%. Perumahan dengan kepadatan rendah merupakan kawasan yang memiliki fungsi konservasi sehingga kepadatan rendah dan ketinggian bangunannya dibatasi untuk mengakomodasi fungsi resapan air, fungsi daerah penyangga, dan fungsi ruang terbuka hijau. Tabel 12. Luas Permukiman Kumuh Pada Berbagai Peruntukan Lahan Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta Timur Tahun 2010. Penggunaan Lahan Pada RTRW Bangunan Umum Bangunan Umum dan Perumahan Bangunan Umum Kepadatan Rendah Industri dan Pergudangan Perumahan Perumahan Kepadatan Rendah Ruang Terbuka Hijau Total
Kumuh (Ha) 1,30 1,15 5,34 2,19 11,14 1,35 14,34 36,81
Tidak Kumuh (Ha) 896,33 322,19 1430,39 1754,89 7301,84 2103,14 5256,17 19064,95
Permukiman kumuh terbanyak berada pada peruntukkan lahan ruang terbuka hijau yaitu sekitar 14,34 hektar. Ruang terbuka hijau merupakan suatu kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana kota/lingkungan, dan atau pengaman jaringan prasarana dan atau budidaya pertanian yang difungsikan sebagai peresapan air dan menghasilkan oksigen. Kawasan permukiman kumuh, yang lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang, berada di kawasan perumahan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk dan bangunan yang sangat tinggi. Penanganan yang sesuai dilakukan untuk kasus tersebut adalah program peremajaan seperti yang dijelaskan pada undang-undang tata ruang yang terkait dengan UU No 4 tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman. Kemudian untuk kawasan kumuh yang berada di daerah yang tidak
45
sesuai dengan rencana tata ruang, berada di lokasi yang berbahaya/ terlarang seperti di ruang terbuka hijau, bantaran kali, dan rel kereta api, penangannya dilakukan dengan program re-lokasi ke rumah susun terdekat dari lokasi semula, ganti rugi yang layak, program transmigrasi, dan dikembalikan ke daerah asal. Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam peremajaan kawasan permukiman kumuh menurut dinas tata kota DKI Jakarta adalah sebagai berikut : Mengupayakan dan mengakomodasikan serta dapat mengembangkan keberagaman lapangan kerja di sektor formal maupun sektor informal secara proporsional.
Kedekatan dengan tempat kerja/berusaha Menciptakan rasa tempat (sense of place) dengan cara mempertahankan karakter lokal, baik yang menyangkut aspek alamiah (pantai, topografi) maupun aspek lingkungan binaan (bangunan atau bersejarah, landmark)
Pemenuhan kebutuhan fasilitas sosial, fasilitas umum, ruang terbuka, tempat
bermain sebagai sarana untuk kontak sosial atau interaksi sosial penghuni. Pembenahan sistem transportasi, jejaring infrastruktur. Untuk mengurangi penduduk musiman yang mencari nafkah di DKI Jakarta diusulkan agar perlu disediakan bangunan rumah susun sewa yang murah sebagai upaya mengantisipasi tumbuh dan berkembangnya kawasan-kawasan permukiman kumuh yang baru.
Isu dan permasalahan yang teridentifikasi dalam penataan ruang terkait dengan pembangunan perumahan dan permukiman yang dikemukakan oleh Idris (2004) adalah Pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman belum sepenuhnya mengacu pada RTRW, serta masih berorientasi pada pengembangan yang sifatnya horizontal seperti pada kasus kota metropolitan dan kota besar sehingga
cenderung menciptakan urban spraw dan inefisiensi pelayanan prasarana dan sarana. Izin lokasi pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman melebihi kebutuhan nyata, sehingga meningkatkan luas area lahan tidur (vacant land). Pola pemanfaatan lahan perumahan dan permukiman belum memberikan rasa keadilan kepada penduduk berpenghasilan rendah, sehingga selalu tersingkir keluar kota dan jauh dari tempat kerja. Sementara tuntutan pemberdayaan dan keberpihakkan pada masyarakat tersebut semakin besar. Pemanfaatan ruang untuk perumahan dan permukiman belum serasi dengan pengembangan kawasan fungsional lainnya (seperti kawasan kritis, nelayan,
46
rawan, terbelakang, dsb) atau dengan program-program sektor/ fasilitas pendukung lainnya. Ketidakseimbangan pembangunan desa–kota, serta meningkatnya urbanisasi
yang mengakibatkan permukiman kumuh dan berkembangnya masalah sosial di kawasan perkotaan. Gambar 31 menyajikan peta rencana tata ruang wilayah studi dan lokasi permukiman kumuh pada peruntukkan lahan dalam rencana tata ruang wilayah tahun 2010.
47
706000
708000
710000
712000
71400
JAKARTA UTARA
JAKARTA PUSAT
9310000
9312000
9314000
9316000
9318000
704000
9308000
JAKARTA SELATAN
PETA KOT
9304000
9306000
KODYA BEKASI
302000
1
L