40
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Geomorfologi Interpretasi geomorfologi G. Guntur melalui studi bentuklahan didasarkan pada aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi serta struktur dan litologi penyusunnya. G. Guntur merupakan kerucut termuda kompleks G. GunturGandapura yang terletak di sebelah baratlaut-tenggara. Kompleks gunung api ini terdiri dari beberapa pusat erupsi antara lain Windu-Malang-Putri, Kancing, Gandapura, Randukurung, Putri-Katomas-Cikakak, Pasir Malang, Gajah, Agung, Cidadali, Ayakan-Wayu-Laja, dan Picung termasuk beberapa lubang Cileungsing, Pasir Panggulaan, Pasir Laku, Masigit dan yang terkecil yaitu Batususun dan Guntur (Purbawinata 1990). Banyak kerucut vulkanik yang terbentuk di sekitar G. Guntur yang membuktikan bahwa erupsi gunungapi ini tidak selalu terjadi pada lokasi yang sama (Sutawidjaja et al., 1998). G. Guntur adalah gunungapi yang berumur kuarter (1,8 juta tahun lalu) dan letusan yang tercatat mengalami erupsi pertama kali adalah letusan tahun 1690. Erupsi G. Guntur menghasilkan produk vulkanik antara lain berupa kerucut vulkanik dan kawah beserta aliran yang dihasilkan pada setiap aktivitasnya. Kebanyakan produk dari G. Guntur seperti aliran lava dan pyroklastik mengalir ke arah tenggara (Purbawinata, 1990). Di bagian bawah yaitu pada lereng-lereng kaki G. Guntur yang landai tersusun oleh deposit lahar yang terbentang luas. Dataran lahar ini tersusun atas blok-blok lava andesit dan basaltik baik yang berukuran kerakal hingga bongkahbongkah, membentuk sudut yang tumpul dengan ukuran sedang hingga kecil dan tertanam dalam matriks pasir kasar. Deposit lahar berasal dari abu yang jatuh dari puncak pada saat terjadinya erupsi atau yang meluncur pada lereng yang terjal saat musim hujan. Menurut Purbawinata (1990) lahar yang terdapat di bagian sisi selatan kerucut G. Guntur sebenarnya berasal dari abu G. Galunggung saat terjadi letusan pada tahun 1982. Gunungapi ini berlokasi 60 km di sebelah tenggara dan lahar yang dihasilkan bercampur dengan material piroklastik G. Guntur. Lokasi deposit lahar saat ini dimanfaatkan sebagai pemukiman dan lokasi wisata oleh penduduk sekitar G. Guntur.
41
G. Guntur bagian barat bersebelahan dengan G. Putri-Katomas dimana hasil letusan G. Guntur berupa pyroklastik dan material lainnya menutupi bagian puncak dari gunungapi ini. Selain itu, bagian selatan G. Guntur bersebelahan dengan G. Kabuyutan. Pada bagian timur G. Guntur dapat ditemukan endapan aluvial yang tersusun atas fragmen batuan beku dalam dengan matriks pasir yang bersifat lepas. Daerah ini terdapat di sepanjang aliran sungai Citiis, Cimanuk kawah Gandapura dan danau Pangkalan. Morfologi komplek G. Guntur memiliki kemiringan yang sangat bervariasi antara 2° - 75°. Kemiringan landai 10° sampai 30° umumnya terdapat pada dareah pemukiman seperti kota Garut, Kadung Ora, Leles, Taragong dan Cipanas sedangkan untuk kemiringan terjal terdapat disekitar puncak G. Guntur Analisis geomorfologi menjadi aspek penting dalam identifikasi bentuklahan melalui interpretasi citra. Identifikasi bentuklahan pada citra didasarkan pada aspek morfologi terkait dengan bentuk dan ukuran dari obyek yang terdapat di G. Guntur. Sebagai contoh, bentuklahan aliran lava dapat ditentukan berdasarkan bentuk aliran lava yang memanjang menyerupai lidah yang mungkin bertampalan dan berselang-seling dan berasosiasi dengan kawah Gunungapi. Lava yang kental akan membentuk aliran yang tebal dengan tepi yang terjal dan menonjol sedangkan lava cair membentuk aliran yang tipis kurang dari 15 m. selain melalui bentuk, identifikasi bentuklahan lava pada citra dapat didasarkan pada warna/rona yang ditampilkan citra. Secara umum, rona pada aliran lava baru yang belum lapuk dan belum tertutup vegetasi akan berwarna gelap. Aspek morfogenesis didominasi oleh proses-proses vulkanik, sedangkan aspek morfokronologi lebih memperlihatkan kronologi aliran-aliran lava mengikuti struktur atau susunan lava dari atas hingga dibawahnya termasuk yang diketahui umurnya melalui tahun letusan. Untuk aspek litologi lebih didominasi oleh batuan lava basaltik produk dari aktivitas G. Guntur. Intrepretasi geomorfologi ini dapat dilakukan secara visual menggunakan citra yang beresolusi tinggi, yaitu citra Optik IKONOS yang dipadukan dengan data hasil pengamatan langsung di lapang. Interpretasi visual citra IKONOS yang diunduh dari perangkat lunak Google Earth menghasilkan 17 jenis bentuklahan, yaitu 3 bentuklahan kawah, 1
42
Gambar 18. Citra IKONOS Google Earth G. Guntur, Garut
43
Gambar 19. Peta Bentuklahan G. Guntur Hasil Analisis Citra IKONOS Google Earth
44
bentuklahan kubah lava, 9 bentuklahan aliran lava, 3 bentuklahan tubuh kerucut, dan 1 bentuklahan terdegradasi. Citra IKONOS Google Earth yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 18 dan hasil interpretasi disajikan pada Gambar 19.
5.1.1. Kawah (Crater) Kawah G. Guntur merupakan hasil dari erupsi eksplosif yang terjadi berkali-kali dengan tipe letusan strombolian (tampak lebih dominan) yang dicirikan dengan banyaknya endapan lapilli berbentuk skori. Pada gunungapi ini terdapat 3 bentuklahan kawah yaitu Crater 1, Crater 2, dan Crater 3. Untuk Crater 1 hasil dari letusan G. Guntur yang lebih tua dibandingkan dengan kawahkawah lainnya dan terletak di sebelah barat dari puncak kerucut. Bentukan ini ditandai oleh tekstur dinding kawah yang lebih halus dan telah ditumbuhi oleh vegetasi berupa semak belukar. Bentuk kawah ini sudah tidak lagi berbentuk lingkaran sempurna karena tertutup oleh bentukan kawah baru lainnya. Crater 2 merupakan bentukan hasil letusan berikutnya setelah kawah 1 terbentuk. Kawah ini terletak di bagian utara puncak kerucut dan ditandai dengan tekstur dinding kawah yang agak halus namun hanya ditumbuhi oleh vegetasi berupa rumputrumputan. Crater 3 merupakan bentukan hasil letusan terbaru sehingga bentukan lingkar kawah sangat terlihat dengan jelas. Kawah ini ditandai dengan tekstur batuan pada dinding kawah yang masih sangat kasar dan membentuk cekungan yang agak dalam. Bagian dalam dari cekungan tersebut telah ditumbuhi oleh beberapa jenis vegetasi seperti semak dan rumputan. Menurut Direktorat Vulkanologi Indonesia (1998), di bentuklahan kawah G. Guntur terdapat beberapa titik solfatara dan fumarol yang mengeluarkan CO2, H2O dan oksida belerang (SO2 dan SO3). Gambar kawah (crater) G. Guntur disajikan pada Gambar 20. 5.1.2. Kubah Lava (Lava Dome) Bentuklahan ini merupakan hasil akumulasi lava di dalam kawah gunungapi. Citra memperlihatkan bahwa tekstur pada batuan dinding kubah agak kasar dan telah ditumbuhi oleh vegetasi jenis semak di bagian tengah kubah. Menurut Direktorat Vulkanologi Indonesia (1998) di kubah lava G. Guntur ditemukan batuan berkomposisi gelas pada bagian tepi tubuh kubah lava. Hal ini juga terlihat pada
45
citra yang ditunjukkan oleh garis setengah melingkar dengan rona terang dan bertekstur halus yang terletak pada tepi kubah.
(a)
(b)
Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur
(c)
(d)
Gambar 20. Kawah G. Guntur (a), crater 1 (b), crater 2 (c), dan crater 3 (d) pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : 13.800
Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur
Gambar 21. Kubah Lava G. Guntur pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : 13.800
46
5.1.3. Lereng Bawah Kerucut Vulkanik Terdegradasi (Degraded Lower Slope Volcanic Cone) Pada awalnya bentuklahan ini berasal dari aliran lava yang didominasi oleh tipe lava basalt bersifat porfiritik dengan mineral-mineral olivin, augit, hipersten, plagioklas dan magnetit sebagai fenokris dalam masadasar gelas. Namun
selanjutnya
bentuklahan
ini
mengalami
degradasi
oleh
proses
antropogenik berupa kegiatan penambangan yang lebih dikenal dengan istilah galian C atau penambangan sirtu (pasir dan batu) yang berasal dari batuan beku (andesit-basaltis), tanah lempung (hasil pelapukan batuan vulkanik), pasir sungai (Suhadi et al., 2001) sehingga bentukan asli telah berubah. Pada citra, diatas bentuklahan ini terlihat sangat jelas ditandai dengan jalur transportasi yang dibuat oleh manusia untuk mempermudah pengangkutan bahan galian. Gambar bentuklahan Degraded Lower Slope Volcanic Cone G. Guntur disajikan pada Gambar 22.
Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur
Gambar 22. Degraded Lower Slope Volcanic Cone G. Guntur pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : 13.800 5.1.4. Aliran Lava (Lava Flow) Aliran lava merupakan bentuklahan yang mendominasi tubuh G. Guntur sebagai hasil erupsi vulkanik yang berasal dari magma yang keluar ke permukaan bumi. Berdasarkan hasil pengamatan lapang, sebagian besar merupakan lava basaltik tipe pahoehoe dan aa, dan sebagian tipe aliran lava bongkah (blocky lava flows) yaitu lava yang relatif kental, berkomposisi basalt andesit dengan tekstur permukaan kasar berbongkah-bongkah kecil (Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1998). Pada G. Guntur, dapat diidentifikasi 9 bentuklahan aliran lava yang masih dapat diamati secara jelas yaitu aliran lava 1(lava flow 1), aliran lava 2 (lava flow
47
2), aliran 3 (lava flow 3), aliran lava 4 (lava flow 4), aliran lava 5 (lava flow 5) aliran lava 6 (lava flow 6), aliran lava (1840), aliran lava (1847), dan aliran lava tua (older lava flow). Aliran lava 1 (lava flow 1) merupakan aliran lava yang posisinya berada di atas aliran lava 3. Aliran lava ini berbentuk membundar seperti kipas pada bagian ujung dan mengalir ke arah selatan. Aliran lava berada pada lereng yang agak landai dan memiliki struktur berbongkah dengan sudut tajam dan berongga (vesicular). Bentuklahan ini telah ditumbuhi oleh vegetasi jenis semak. Pada citra telihat garis-garis melengkung pada permukaan aliran lava yang menunjukkan massa lava mengalir mengikuti arah kontur sehingga permukaan aliran lava tampak bergelombang. Aliran lava 2 (lava flow 2) merupakan bentuklahan dengan ujung aliran yang membundar membentuk seperti kipas dan mengalir ke arah selatan pada lereng yang agak curam. Aliran lava 3 (lava flow 3) merupakan aliran yang terletak di kaki kerucut G. Guntur. Aliran ini berbentuk memanjang dengan ujung membundar. Melihat bentuk dan ukurannya, aliran lava 1 tampaknya berasal dari magma yang encer atau volume yang besar sehingga mengalir jauh mencapai kaki kerucut hingga lereng yang agak landai. Aliran lava ini mempunyai struktur berbongkah dengan sudut tajam dan berongga (vesicular). Aliran lava 4 (lava flow 4) merupakan aliran yang memanjang ke sebelah selatan dari kawah. Pada bagian tengah aliran menyempit membentuk lembah dikarenakan pusat aliran lava berada di bagian tengah dari aliran ini. Aliran lava ini memiliki struktur berbongkah dengan sudut tajam dan vesicular. Aliran lava 5 (Lava Flow 5) merupakan bentuklahan yang memanjang hingga kaki kerucut dan mengarah ke arah tenggara. Berdasarkan pengamatan di lapangan, bentuklahan ini berwarna kehitaman dengan tekstur pasir kasar. Daerah sekitar bentuklahan ini telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai tegalan dan kebun campuran. Aliran Lava 6 (Lava Flow 6) merupakan bentuklahan yang berada paling bawah dan tertutupi bentuklahan lainnya. Berdasarkan pengamatan, lapangan lava ini menyerupai lidah dengan tekstur pasir kasar, berwarna agak kehitaman, dan terdiri atas batuan andesit. Menurut Purbawinata (1990) kandungan SiO2 pada bentuklahan ini sebesar 59,12%. Keenam aliran lava ini berkomposisi basal, porfiritik dengan mineral olivin, augit, hipersten, plagioklas dan magnetit sebagai fenokris dalam
48
masadasar gelas (Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1998). Gambar aliran lava (lava flow) G. Guntur disajikan pada Gambar 23.
(a)
(c)
(b)
(d)
Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur
(e)
(f)
Gambar 23. Aliran lava 1 (a), Aliran lava 2 (b), Aliran lava 3 (c), Aliran lava 4(d), Aliran lava 5 (e), dan Aliran lava 6 (f) pada Citra IKONOS Goole Earth Skala 1 : 13.800. Aliran lava tua (older lava flow) merupakan aliran lava yang usianya relatif lebih tua dibandingkan dengan aliran-aliran lava lainnya yang disebutkan di atas. Stratigrafi aliran lava ini berada di urutan bawah dan tertutupi oleh aliran-aliran lava muda dan endapan piroklastik. Aliran lava ini tersebar di sebelah tenggara tubuh gunungapi. Aliran lava tua berbentuk kipas yang memanjang pada bagian
49
atasnya dimana dan pada bagian tepi terdapat aliran yang membentuk cabang kecil yang terlihat mulai lapuk berdasarkan pengamatan lapang. Aliran lava tua berada pada ketinggian 500-750 m dan tersusun atas lava dengan matrik pasir kasar coklat kekuningan. Aliran lava (1840) merupakan aliran lava hasil erupsi pada tahun 1840 yang mengalir dari kawah G. Guntur ke arah tenggara. Aliran ini membentuk morfologi lidah memanjang dan sempit namun di bagian ujungnya melebar seperti tapal kuda sebagai akumulasi aliran lava yang berasal dari lereng atasnya. Aliran ini berada pada ketinggian 1.000-1.250 m dpl dan berujung di daerah Cipanas sekitar 400 m sebelah utara lokasi pemandian Cipanas. Lembah membentuk cekungan huruf V dengan kedalaman 20-50 m dan keimiringan lereng berkisar antara 30°-45°. Pada bagian tengah tubuh aliran lava terdapat percabangan aliran lava ke arah tenggara. Menururut Direktorat Vulkanologi Indonesia (1998) aliran lava ini berkomposisi basalt (SiO2 51,56%) dengan low-K tholeiite dan blok lava berwarna gelap, porfiritik dengan mineral-mineral olivin, augit, hipersten, plagioklas dan magnetit sebagai fenokris dalam masadasar gelas (Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1998). Bentuk aliran lava tergantung pada kekentalan lava yang mengalir, semakin tinggi kandungan silikat (SiO2) dan Alumunium (Al2O2) pada lava maka semakin tinggi kekeantalannya. Lava yang paling cair adalah lava basaltik dengan kandungan silikat dan alumunium sekitar 65% (Lillesand dan Kiefer, 1990). Berdasarkan hasil pengamatan lapang, pada ujung bagian tenggara aliran, dibangun suatu tanggul pada kedua ujungnya oleh penduduk setempat setinggi 30 m sejauh 400 m untuk menanggulangi aliran lahar jika hujan lebat terjadi di atas gunungapi ini. Aliran lava (1847) merupakan aliran lava hasil erupsi terakhir pada tahun 1847. Aliran lava ini menutupi bagian puncak kerucut hingga lereng tengah bagian selatan tubuh. Aliran lava ini membentuk beberapa cabang aliran memanjang yang bersambungan dan berujung pada bagian leher kerucut. Aliran lava ini berada pada ketinggian di atas 1.750 m. Hasil erupsi terakhir ini berkomposisi basaltis (SiO2 51,29%), porfiritik dengan mineral-mineral olivin, augit, hipersten, plagioklas dan magnetit sebagai fenokris dalam masadasar gelas (Direktorat Vulkanologi Indonesia, 1998). Aliran lava ini mempunyai kemiringan
50
lereng 35°-50° dengan struktur permukaan berbongkah bersudut tajam dan vesikular. Gambar aliran lava ini disajikan pada Gambar 24
(a)
(b)
Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur
(c) Gambar 24. Aliran lava tua (a), Aliran lava 1840 (b), dan Aliran lava 1847 (c) di G. Guntur pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : 13.800 5.1.5. Tubuh Kerucut Vulkanik Kerucut vulkanik merupakan tubuh gunungapi yang secara umum berbentuk kerucut yang dihasilkan dari erupsi vulkanik dan memiliki lereng bervariasi dari agak miring hingga sangat curam. Kerucut ini tersusun atas blokblok lava dengan tekstur dominan pasir berwarna cokelat kekuningan dan aliran piroklastik berupa susunan blok-blok lava yang memiliki tekstur pasir kasar. Pada tubuh kerucut G. Guntur dapat diidentifikasi empat bentuklahan yaitu (1) Lereng atas
tubuh kerucut (upper slope volcanic cone), (2) Lereng tengah kerucut
vulkanik (middle slope volcanic cone), (2) Lereng bawah kerucut vulkanik (lower slope volcanic cone), dan (3) Kaki lereng vulkanik (volcanic foot slope).
51
Lereng atas tubuh kerucut (upper slope volcanic cone) meliputi kawah dan aliran lava (1847). Lereng tengah kerucut vulkanik (middle slope volcanic cone) merupakan bentuklahan yang berada pada bagian tengah tubuh kerucut G. Guntur. Bentuklahan ini terbentuk dari aliran lava dan material pyroklastik dan ditandai oleh lereng yang miring hingga terjal dan merupakan bidang luncur untuk aliran lava dan aliran pyroklastik. Lereng tengah kerucut tersusun atas blok-blok lava dan bom vulkanik dengan matriks pasir kasar berwarna abu kehitaman hingga kecokelatan karena proses pelapukan. Blok lava basalt berwarna kehitaman, dengan ukuran bervariasi sekitar 5-20 cm dan berstruktur skori (scorea). Lereng bawah kerucut vulkanik (lower slope volcanic cone) merupakan bentuklahan yang berada di bagian bawah dari lereng tengah kerucut vulkanik. Bentuklahan ini mengarah ke arah barat kerucut dan pada bagian ujungnya berbentuk kipas pada lereng yang agak landai. Berdasarkan pengamatan lapang, bentuklahan ini tersusun atas fragmen lava basaltik dan andesitik serta bom vulkanik dengan struktur skori berukuran bervariasi sekitar 5-10 cm dan berwarna abu-abu kehitaman. Bentuklahan ini telah dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk lahan pertanian. Kaki lereng vulkanik (volcanic foot slope) merupakan bentuklahan yang berbentuk seperti kipas, berada pada bagian paling dari bawah kerucut vulkanik, sehingga umumnya mempunyai lereng landai hingga sangat landai. Proses geomorfik yang terjadi pada bentuklahan ini adalah proses deposisi. Bentuklahan ini telah dimanfaatkan sebagai lahan pertanian dan pemukiman oleh masyarakat sekitar gunungapi. Gambar tubuh kerucut disajikan pada Gambar 25. 5.2. Interpretasi Geomorfologi dari Citra PALSAR Dalam ilmu penginderaan jauh dikenal ada 2 sistem penginderaan, yaitu penginderaan jauh pasif dan aktif. Pada penginderaan jauh pasif, informasi dikirim melalui gelombang elektromagnetik yang berasal dari energi matahari, sedangkan penginderaan jauh aktif, gelombang elektromagnetik berasal dari perangkat radar yang digunakan. Pada penginderaan jauh ini, gelombang elektromagnetik sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan, sifat dielektrik dan efek geometri permukaan bumi. Oleh karena itu informasi yang direkam oleh sensor merupakan hasil pengukuran dari hamburan balik (backscatter) yang
52
diterima sensor. Pada penelitian ini, data penginderaan jauh pasif yang digunakan adalah citra IKONOS Google Earth dapat telah dijelaskan sebelumnya pada subbab 5.1. sedangkan untuk penginderaan jauh aktif digunakan citra PALSAR.
(a)
(b)
Sumber : Citra IKONOS Google Earth G. Guntur
(c) Gambar 25. Lereng tengah kerucut vulkanik (middle slope volcanic cone) (a), Lereng bawah kerucut vulkanik (lower slope volcanic cone) (b), dan Lereng kaki vulkanik (volcanic foot slope) (c) G. Guntur pada Citra IKONOS Google Earth Skala 1 : 13.800.
Citra PALSAR yang digunakan pada penelitian ini adalah citra ALOS PALSAR CEOS IA L1.1, mempunyai panjang gelombang 24,0 cm pada spektrum gelombang mikro dan memakai frekuensi band-L (1270 MHz). Dengan panjang gelombang ini diharapkan akan dapat meminimalkan efek serapan (absorption) atmosferik sehingga pengaruhnya terhadap komposisi spektral radiasi tidak terlalu besar selama dilakukan transmisi sinyal. Band-L pada sistem radar bekerja pada panjang gelombang yang maksimal sehingga memungkinkan untuk pencitraan radar dan memiliki potensi sangat baik dalam menembus obyek vegetasi (Sabins, 2007).
53
Selain panjang gelombang, sifat khas transmisi sinyal sistem radar dipengaruhi oleh polarisasi yang digunakan. Pada citra PALSAR ini digunakan polarisasi linier yang terdiri dari tiga kombinasi polarisasi transmisi dan penerimaan untuk menghasilkan citra komposit. Citra PALSAR polarisasi penuh memiliki 4 polarisasi linier yaitu HH, HV, VH dan VV. Dikarenakan berlakunya teori reciprocity pada akuisisi tunggal, dimana HV=VH maka kombinasi linier yang dapat digunakan adalah kombinasi band HH, band HV dan band VV yang dimasukkan secara berurutan kedalam kanal merah, hijau dan biru. Proses filtering yang dilakukan dengan menggunakan JS Lee Filter dengan ukuran jendela 5x5 menghasilkan piksel pada citra yang relatif lebih homogen dibandingkan sebelum proses filtering (Gambar 26). Hal ini dikarenakan proses filter berfungsi untuk mengurangi derau (noise) pada citra. Pada citra yang belum dilakukan proses filter (Gambar 26a), terlihat adanya variasi piksel yang beragam sehingga tekstur pada kenampakan citra menjadi lebih kasar dan rona pada obyek masih beragam. Hal ini mengakibatkan identifikasi obyek pada citra menjadi agak sulit dan berpengaruh terhadap tingkat ketelitian klasifikasi citra. Sedangkan pada citra yang telah dilakukan proses filtering (Gambar 26b), piksel pada citra menjadi lebih homogen dengan tekstur yang lebih halus sehingga batas antar obyek menjadi lebih jelas. Ukuran filter ini juga digunakan oleh Joyce et al. (2009) dalam pemanfaatan tipe data dan teknik penginderaan jauh untuk mendeteksi aliran lahar pada Gunung Ruapehu, New Zeland. Hasil penelitian Riansyah (2008) menunjukkan bahwa filter JS Lee Refined Filter menghasilkan citra yang lebih baik dibandingkan filter lainnya. Interpretasi citra PALSAR seperti halnya interpretasi pada citra lainnya juga didasarkan pada unsur interpretasi, antara lain rona/warna, tekstur, bentuk dan ukuran. Secara umum, kategori penutupan lahan dibagi menjadi hutan, vegetasi non-hutan, dan non-vegetasi. Interpretasi dilakukan pada citra komposit dengan kombinasi HH, HV dan VV pada kanal merah, hijau dan biru. Tabel 8 menunjukkan hasil interpretasi penutupan lahan pada citra PALSAR.
54
Sumber : Citra ALOS PALSAR CEOS IA L1.1 Tahun 2009 (a) (b) Gambar 26. Citra PALSAR G. Guntur Sebelum Filter (a) dan Sesudah Filter (b). Tabel 8. Interpretasi Penutupan Lahan pada Citra PALSAR G. Guntur Tahun 2009 Kategori Penutupan Lahan
Karakteristik Fisik
Interpretasi warna hijau terang
hutan hujan tropis
Hutan
tekstur sedang memiliki batas tidak teratur berada di perbukitan dengan lereng sedang hingga terjal warna hijau terang
hutan ditanami berbagai jenis tanaman tertentu
tekstur lebih halus
terbentuk setelah penebangan hutan
warna campuran merah dan hijau dengan rona terang
semak belukar merupakan campuran antara rumput, semai, serta anakan bambu dan pohon
warna hijau terang dan bercampur merah biasanya terlihat kenampakan warna putih yang tersebar
Vegetasi Non-Hutan
Gambar
55
Tabel 8. Lanjutan terdapat pada berbagai kemiringan lereng landai hingga terjal tekstur kasar warna hijau dan rona gelap jika dalam kondisi tergenang air sawah
tekstur halus bentuk teratur biasanya berbentuk pesegi terdapat pada lereng miring hingga landai dan berada dekat dengan pemukiman warna campuran merah muda dan hijau tekstur kasar
tegalan
berada pada lereng miring hingga landai bentuk tidak teratur
air/danau/situ/sungai
memiliki rona gelap berbentuk tidak beraturan atau memanjang dan berkelok-kelok
tekstur halus warna merah muda dengan rona terang NonVegetasi
pola teratur dan memusat pemukiman/perumahan
lahan kosong
tekstur kasar dengan bentuk persegi seragam berada pada lereng yang landai
warna merah dan memiliki rona gelap jika tanah tergenang air
56
Interpretasi penggunaan lahan sangat penting untuk proses interpretasi bentuklahan (landform), karena seringkali terdapat hubungan yang erat antara penggunaan lahan dan bentuklahan (Tjahjono et al., 2009b). Oleh karena itu, kunci interpretasi di atas dapat digunakan sebagai penunjang dalam identifikasi bentuklahan. Menurut Musyarofah et al. (2010) kombinasi band yang paling sesuai untuk identifikasi obyek seperti vegetasi, daerah pemukiman, sawah, lahan terbuka dan ladang adalah kombinasi HH, HV, HH-HV. Sedangkan untuk identifikasi obyek dengan tekstur permukaan horizontal yang halus, kombinasi polarimetri yang dapat digunakan adalah kombinasi HH, HV, HH/HV atau kombinasi HH, HV, HH+HV. Interpretasi bentuklahan yang dilakukan pada G. Guntur juga didasarkan pada unsur-unsur interpretasi yang telah disebutkan sebelumnya. Pada G. Guntur dapat diidentifikasi 2 bentuklahan utama berupa kawah dan aliran lava yang dapat dipilahkan menjadi 7 bentuklahan yang lebih detil (Gambar 27). Kawah ditunjukkan dengan rona gelap dan berbentuk elips dengan bagian tengah membentuk cekungan. Rona gelap pada bentuklahan kawah disebabkan oleh bayangan pada dinding kawah. Bagian sisi tepi kawah ditunjukkan dengan warna hijau disebabkan vegetasi berupa semak yang tumbuh disekitar kawah. Kawah memiliki tekstur yang halus. Sedangkan aliran lava ditunjukkan dengan warna keunguan dan membentuk serangkaian aliran seperti lidah memanjang. Lava kental (andesit) memebentuk aliran tebal dengan tepi yang terjal dan menonjol sedangkan lava cair (basalt) membentuk aliran tipis dengan tepi yang berbentuk kipas. Rona aliran lava yang belum lapuk dan tidak tertutupi vegetasi berwarna gelap untuk (basalt) dan berwarna agak terang untuk andesit. Rona aliran lava terbaru lebih gelap dibandingkan dengan yang telah lapuk dan bervegetasi. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 27g yang merupakan aliran lava hasil letusan pada tahun 1840. Aliran lava muda memiliki tekstur yang kasar dan belum ditutupi oleh vegetasi. Hasil Interpretasi citra PALSAR G. Guntur disajikan pada Gambar 27.
57
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
58
Sumber : Citra ALOS PALSAR CEOS IA L1.1 Tahun 2009 (g) (h) Gambar 27. Hasil training area PALSAR G. Guntur (a), Kawah (b), Aliran Lava 1(c), Aliran Lava 2 (d), Aliran Lava 3 (e), Aliran Lava Termuda (f), Aliran Lava Muda (g), dan Aliran Lava Tua (h) G. Guntur. Berdasarkan hasil interpretasi ini, jika dibandingkan dengan hasil interpretasi sebelumnya (citra IKONOS) maka dapat diketahui bahwa pada Citra PALSAR hanya dapat diidentifikasi sebanyak 1 kelas kawah dan 6 kelas aliran lava berdasarkan interpretasi visual. Seperti diketahui pada citra IKONOS dapat diidentifikasi 3 kelas kawah, 1 kelas kubah lava, 9 kelas aliran lava, 3 kelas tubuh kerucut, dan 1 kelas bentuklahan terdegradasi. Perbedaan hasil interpretasi tersebut disebabkan karena perbedaaan resolusi spasial dari masing-masing citra yang berpengaruh terhadap kedetilan kenampakan dan ketajaman interpretasi. Citra PALSAR memiliki ukuran piksel 19,41 x 14,94 m sedangkan citra IKONOS 4 x 4 m pada mulitispektral dan 1 m pada pankromatik. Ukuran sel dalam hal ini menentukan keakuratan kenampakan obyek (Barus dan Wiradisastra, 2000). Oleh karena itu, pada citra IKONOS lebih banyak obyek yang dapat diidentifikasi dibandingkan dengan obyek pada citra PALSAR karena semakin tinggi resolusi spasial akan semakin rinci informasi yang dapat ditangkap oleh sistem sensor. Dierking and Haack (1998) juga memperlihatkan bahwa SAR polarimetri dapat digunakan untuk memisahkan aliran lava dengan tipe bentuklahan lainnya karena radar sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan dan sifat dielektrik. Gambar 28 dibawah ini menunjukkan kekasaran permukaan lava pada G. Guntur.
59
Gambar 28. Kekasaran permukaan aliran lava G. Guntur, Garut (27 September 2010) 5.3. Keterpisahan Spektral Keterpisahan
spektral
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
Transformed Divergence (TD). Metode Transformed Divergence (TD) ini memiliki tolok ukur kuantitatif. Data jarak Transformed Divergence (TD) antara 6 kelompok bentuklahan aliran lava dan 1 kelas kawah yang ditetapkan sebagai data training ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Ukuran Transformed Divergence (TD) Bentuklahan G. Guntur Bentuklahan (Landform) Kawah Aliran Lava 1 Aliran Lava 2 Aliran Lava 3 Aliran lava Tua Aliran Lava Termuda Aliran Lava Muda
Aliran Aliran Aliran Kawah Lava 1 Lava 2 Lava 3 2,000 2,000 2,000 1,240 1,072 1,607 -
Aliran Lava Tua 2,000 1,364 1,253 0,600 -
Aliran Aliran Lava Lava Termuda Muda 2,000 2,000 1,350 0,856 1,732 1,193 1,981 1,485 1,984
1,550
-
1,826 -
Tabel 9 menunjukkan tingginya keterpisahan (mendekati 2) antara kelompok piksel yang ditetapkan sebagai data training. Tabel 9 juga menunjukkan bahwa bentuklahan kawah dapat diidentifikasi dengan mudah dan memiliki keterpisahan yang cukup baik terhadap bentuklahan aliran lava di sekitarnya. Hal ini terlihat pada nilai yang cukup tinggi (mendekati 2). Bentuklahan aliran lava 1 terpisah cukup baik terhadap aliran lava lainya kecuali bentuklahan aliran lava muda
60
(mendekati 0). Nilai ini dihasilkan oleh keterpisahan pencirian yang sangat lemah disebabkan oleh kesalahan pada kombinasi band dan pengambilan data pembangun (training area) yang memiliki nilai spektral bervariasi dan memiliki kedekatan nilai dengan kelas-kelas lainnya (Richards, 2006) atau dengan kata lain kombinasi sensor dan polarisasi linier belum bisa memisahkan bentuklahanbentuklahan tersebut. Begitu juga bentuklahan aliran lava 2, secara garis besar memiliki keterpisahan cukup baik (mendekati 2). Sedangkan bentuklahan aliran lava 3 tidak terpisah secara baik terhadap aliran lava tua (mendekati 0). Selain faktor kesalahan yang disebutkan sebelumnya, keterpisahan spektral ini disebabkan oleh perbedaan umur batuan (morfokronologi) yang mempengaruhi tekstur permukaan aliran lava. Tekstur permukaan lava sangat berkaitan dengan kekasaran permukaan lava yang mempengaruhi besarnya nilai hamburan balik. Perbedaan kekasaran permukaan kemungkinan dihasilkan oleh jenis lava dan pelapukan yang terjadi pada masing-masing permukaan lava. Aliran lava menunjukkan perbedaan kekasaran permukaan yang signifikan (skala cm hingga m) baik pada aliran tunggal maupun aliran lainnya (Rodriguez et al., 2001). 5.4. Analisis Keterpisahan Statistik Keterpisahan spektral dapat dieksplorasi secara statistik yang disajikan dalam bentuk boxplot. Gambar 29 menyajikan nilai statistik deskriptif dari bentuklahan kawah dan berbagai jenis aliran lava pada masing-masing polarisasi. Pada ketiga polarisasi, bentuklahan ALA menunjukkan nilai hamburan yang paling bervariasi dibandingkan bentuklahan aliran lava lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pada bentuklahan tersebut terjadi penyebaran nilai hamburan yang sangat tinggi yang kemungkinan disebabkan oleh atenuasi vegetasi di atas permukaan lava. Secara umum, polarisasi HH dan polarisasi VV menunjukkan kemiripan pada tiap bentuklahan aliran lava. Pada polarisasi HH, bentuklahan yang memiliki nilai rataan paling tinggi ditunjukkan oleh bentuklahan AL2. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh bentuklahan AL2 pada polarisasi VV. Pada kedua polarisasi ini mempunyai nilai rataan hamburan paling rendah yang ditunjukkan oleh bentuklahan K. Hal ini disebabkan karena bentuklahan K memiliki kekasaran permukaan yang sangat berbeda dengan bentuklahan aliran lava.
61
POLARISASI VV
POLASRISASI HH 450000
400000
400000
350000
350000
300000
VV
HH
300000 250000
250000 200000
200000 150000
150000 Median 25%-95% Non-Outlier Range Outliers
100000 AL 1
AL 2
AL 3
ALA Kelas
ALM
ALT
Median 25%-95%
100000
Non-Outlier Range Outliers
AL 1
K
AL 2
(a)
AL 3
ALA Kelas
ALM
ALT
K
(b) Keterangan :
POLARISASI HV 150000
K AL 1 AL2 AL 3 ALA ALM ALT
125000
HV
100000
75000
Median 25%-95% Non-Outlier Range
50000
Outliers
AL 1
AL 2
AL 3
ALA Kelas
(c)
ALM
ALT
= Kawah = Aliran Lava 1 = Aliran Lava 2 = Aliran Lava 3 = Aliran Lava Termuda = Aliran Lava Muda = Aliran Lava Tua
K
Gambar 29. Perbandingan Nilai Polarisasi Aliran Lava G. Guntur (a) polarisasi HH, (b) polarisasi HV, dan (c) polarisasi VV Selain itu, hal ini disebabkan juga karena bentuklahan ini direpresentasikan dengan daerah cekungan yang memiliki rona gelap pada bayangan radar yang dihasilkan oleh topografi yang membelakangi sensor. Bentuklahan AL3 pada polarisasi HH menunjukkan nilai hamburan yang relatif homogen. Sedangkan pada polarisasi VV nilai hamburan yang relatif homogen ditunjukkan oleh bentuklahan K walaupun pada bentuklahan ini terdapat beberapa nilai ekstrim. Pada polarisasi HH, bentuklahan AL1, AL3, dan ALT memiliki kedekatan nilai rataan sehingga dapat diketahui bahwa ketiga aliran lava ini memiliki karakteristik tekstur permukaan dan fragmen penyusun batuan (sifat dielektrik) yang hampir sama. Sedangkan pada polarisasi VV, kedekatan nilai ini ditunjukkan oleh bentuklahan ALT dengan ALM dan AL1 dengan AL3. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh polarisasi HV. Pada polarisasi ini bentuklahan AL3 memiliki nilai hamburan yang relatif seragam sedangkan nilai
62
hamburan dengan variasi yang tinggi ditunjukkan oleh bentuklahan ALA. Bentuklahan ALA ini juga menunjukkan nilai rataan paling tinggi dibandingkan bentuklahan aliran lava lainnya sehingga dapat diketahui bahwa ALA dengan polarisasi HV
memiliki nilai hamburan yang relatif tinggi. Hal ini
mengindikasikan kontribusi tanaman penutup lava (tanaman perdu dan rumputrumputan) masih cukup signifikan. Nilai rataan paling rendah dan beberapa nilai ekstrim ditunjukkan oleh bentuklahan K. Kedekatan nilai rataan ditunjukkan oleh bentuklahan AL3 dan ALT. Pada ketiga polarisasi tersebut dapat diketahui bahwa polarisasi searah (parallel polarization) yaitu polarisasi HH dan VV memperlihatkan karakteristik nilai hamburan yang hampir sama pada setiap bentuklahan aliran lava dan kawah. Hal ini juga ditunjukkan oleh Dierking and Haack (1998) yang menyatakan bahwa beda fase (phase) dan amplitudo antara komponen VV dan HH saja sudah cukup menyediakan informasi tentang tanaman penutup lahan pada permukaan lava. Sebaliknya karakteristik berbeda yang sangat jelas ditunjukkan oleh polarisasi silang (cross polarization). Hal ini memperlihatkan bahwa jenis polarisasi sangat mempengaruhi hasil identifikasi objek di permukaan bumi, selain ditentukan juga oleh kekasaran permukaan. Hal menarik yang dapat ditunjukkan oleh ketiga jenis polarisasi tersebut adalah bahwa bentuklahan ALA memiliki nilai variasi paling tinggi dibandingkan bentuklahan lainnya. Hal ini disebabkan karena ALA merupakan aliran lava paling muda dari G. Guntur yaitu letusan pada tahun 1847. Material yang dikeluarkan pada saat letusan dapat berupa batuan, kerikil ataupun abu gunungapi yang belum mengalami pelapukan ataupun erosi yang lanjut sehingga tekstur permukaan material masih sangat kasar yang mempengaruhi nilai hamburan balik (backscatter) obyek. Dengan demikian dapat diketahui bahwa proses pelapukan (weathering) belum banyak berpengaruh nyata pada aliran lava tersebut. Hal ini diperkuat oleh penelitian Dierking dan Haack (2008) yang menunjukkan bahwa nilai hamburan pada aliran lava sangat bervariasi. Aliran lava muda dan paling kasar dapat diidentifikasi dengan mudah pada citra karena memiliki intensitas hamburan balik yang besar dengan polarisasi silang. Selain itu Lilliesand dan Kieffer (1990) juga menyatakan bahwa sinyal
63
balik tinggi adalah yang diterima dari lereng yang menghadap sensor, obyek yang kasar, dan obyek dengan kelembaban tinggi. Identifikasi bentuklahan ini, selain dapat ditunjukkan melalui analisis keterpisahan statistik, dapat juga ditunjukkan dengan analisis visual melalui keterpisahan spektral. Analisis keterpisahan visual disajikan dalam bentuk diagram pencar (Gambar 30). Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa bentuklahan kawah dan aliran lava dari ketiga diagram memiliki keterpisahan yang cukup baik. Hal ini dikarenakan morfologi dari kawah dan aliran lava sangat berbeda
sehingga
mempengaruhi
hamburan
balik
pada
gelombang
elektromagnetik yang dipancarkan. Hamburan balik tersebut sangat sensitif terhadap kekasaran permukaan. Hal ini juga ditunjukkan pada analisis keterpisahan statistik (Gambar 29). Diagram pencar juga menunjukkan keterpisahan pada tiap aliran lava. Aliran lava yang dapat diidentifikasi terdiri dari aliran lava 1, aliran lava 2, aliran lava 3, aliran lava tua, aliran lava muda dan aliran lava termuda. Dari peta geologi dapat diketahui bahwa aliran lava muda merupakan hasil letusan tahun 1840 sedangkan aliran lava termuda hasil letusan tahun 1847. Pada kombinasi HH-VV terlihat bahwa aliran lava 1, aliran lava 3 dan aliran lava muda tidak dapat dipisahkan secara baik. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh kombinasi polarisasi VV-HV dan HH-HV. Sedangkan untuk aliran lava 2, aliran lava termuda, dan aliran lava tua dapat dipisahkan secara baik pada ketiga kombinasi polarisasi. Kombinasi yang menunjukkan keterpisahan terbaik dari seluruh kombinasi adalah kombinasi VV-HV sehingga dapat diketahui bahwa identifikasi aliran lava menggunakan polarisasi dual polarization (dual-pol) telah cukup memadai. Selain itu, hal ini memperlihatkan bahwa polarisasi silang (cross-polarization) dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan membedakan jenis aliran lava. Penelitian pendahulu menunjukkan bahwa intensitas citra pada polarisasi HV atau pada kombinasi HV-HH-VV dengan band L dan polarisasi silang (cross-polarization) yang diperoleh pada sudut kemiringan (incident angle) besar sangat optimal untuk interpretasi geologi (Dierking dan Haack 2008). Selain itu, Rodriguez et al. (2001) menunjukkan bahwa nilai polarisasi silang (cross-polarization) pada data
64
Kombinasi HH dan VV Kawah
VV (ribuan)
400 350 300 250 200 150 100 50 0
Aliran Lava 1 Aliran Lava 2 Aliran Lava 3 Aliran Lava Tua 0
100
200
300
400
500
Aliran Lava Termuda Aliran Lava Muda
HH (ribuan)
(a) Kombinasi VV dan HV Kawah
VH (ribuan)
300 250
Aliran Lava 1
200
Aliran Lava 2
150
Aliran Lava 3
100
Aliran Lava Tua
50 0 0
100
200
300
Aliran Lava Termuda 400 Aliran Lava Muda
VV (ribuan)
(b)
HH (ribuan)
Kombinasi HV dan HH Kawah
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Aliran Lava 1 Aliran Lava 2 Aliran Lava 3 Aliran Lava Tua Aliran Lava Termuda 0
50
100
150
200Aliran Lava Muda
VH (ribuan)
(c) Gambar 30. Analisis Visual Kombinasi Polarisasi (a) kombinasi HH dan VV, (b) kombinasi VV dan HV, dan (c) kombinasi HV dan HH Citra PALSAR G. Guntur.
65
SIR-C dengan polarisasi HV dapat meningkat seiring dengan peningkatan usia aliran lava. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa jenis polarisasi selain dapat digunakan untuk identifikasi aliran lava dapat juga digunakan untuk estimasi usia aliran lava. 5.5. Klasifikasi Data hasil pengamatan yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mengetahui apakah sensor dapat berperan baik dalam pengidentifikasian aliran lava. Analisis yang dilakukan yaitu dengan pengujian melalui analisis klasifikasi numerik. Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing, yaitu klasifikasi pohon keputusan (decision tree). Adapun algoritma yang digunakan adalah algoritma QUEST (Quick, Unbiased, Efficient Statistical Trees). Gambar 31 dibawah ini merupakan hasil kontruksi pohon keputusan yang diturunkan dari algoritma QUEST.
Gambar 31. Klasifikasi Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra PALSAR G. Guntur.
66
Gambar tersebut menunjukkan bahwa kontruksi algoritma QUEST menghasilkan struktur sebanyak 7 cabang. Secara teoritis, kesederhanaan struktur ini menunjukkan bahwa implementasi algoritma QUEST dapat dilakukan dengan cepat. Hal ini juga dapat ditemukan pada penelitian sebelumnya pada pemantauan daerah pesisir (Panuju et al., 2010). Kesederhanaan struktur tersebut pada segi komputasi berdampak positif dengan tingginya kecepatan pemrosesan. Hal ini tentu saja sangat penting bagi pengolahan data pada wilayah yang luas (Tjahjono et al., 2009a). Band 2 yang merupakan polarisasi HV berperan dalam pemisahan awal dan pembeda berbagai bentuklahan aliran lava yang ditetapkan sebagai data training. Polarisasi HV ini juga yang berperan untuk pemisahan bentuklahan ALA dan ALT dengan bentuklahan aliran lava lainnya sehingga hasilnya dapat mengidentifikasi ALA dan ALT dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Dierking and Haack (2008) yang menyatakan bahwa HV cukup potensial dalam proses pemisahan obyek. Sedangkan band 3 atau polarisasi VV dapat menjadi pemisah utama atau pembeda dari berbagai bentuklahan aliran lava yang ada. Polarisasi VV berperan dalam pencirian bentuklahan K, AL2, ALT, AL1 serta AL3. Selain itu, polarisasi ini juga dapat berperan sebagai pembeda antara kelas ALT dan AL3. Pada algoritma QUEST ini, polarisasi HH memberikan peranan yang cukup lemah dimana hanya berperan sebagai pemisah antara bentuklahan AL1 dan ALA. Hal ini menunjukkan bahwa untuk pencirian aliran lava dengan menggunakan polarisasi HH dengan algoritma ini kurang berperan penting. Pada algoritma ini, sebagian besar komponen cabang menggunakan polarisasi VV dan HV sebagai penciri, sehingga dapat diketahui bahwa hamburan balik (backscatter) tersebut cukup sensitif terhadap bentuklahan aliran lava dan kawah serta cukup mampu berperan sebagai diskriminator untuk pengidentifikasian aliran lava dan kawah. Pohon keputusan yang dibangun dengan menggunakan algoritma QUEST dapat diimplementasikan untuk citra PALSAR dengan menggunakan polarisasi HV dan VV untuk pemetaan geomorfologi gunungapi. Citra PALSAR G. Guntur disajikan pada Gambar 32 (a), sedangkan hasil klasifikasi menggunakan algoritma ini disajikan pada Gambar 32 (b).
67
Sumber : Citra ALOS PALSAR CEOS IA L1.1 Tahun 2009 (a) (b) Gambar 32. Citra ALOS PALSAR G. Guntur (a) dan Hasil Klasifikasi Pohon Keputusan Algoritma QUEST Citra PALSAR G. Guntur (b) : kawah (merah), aliran lava 1 (hijau), aliran lava 2 (biru), aliran lava 3 (kuning), aliran lava tua (cyan). aliran lava teratas (sienna), dan aliran lava muda (chartreuse).
Gambar 33. Hasil Klasifikasi Maximum Likelihood Citra PALSAR G. Guntur : kawah (merah), aliran lava 1 (hijau), aliran lava 2 (biru), aliran lava 3 (kuning), aliran lava tua (cyan). aliran lava termuda (sienna), dan aliran lava muda (chartreuse) Pada penelitian ini, selain dilakukan klasifikasi pohon keputusan dengan algoritma QUEST juga dilakukan klasifikasi Maximum Likelihood yang digunakan sebagai data pembanding. Hal ini dilakukan agar dapat diketahui efektivitas klasifikasi pohon keputusan dalam pengidentifikasian aliran lava
68
dengan menggunakan citra PALSAR. Gambar 34 menyajikan hasil klasifikasi citra menggunakan klasifikasi Maximum Likelihood.
5.6. Akurasi Pengujian
tingkat
akurasi
sangat
diperlukan
untuk
memperoleh
kesimpulan kuantitatif dari algoritma yang digunakan. Pada penelitian ini tingkat akurasi dianalisis dengan menggunakan data penguji (testing) agar bias yang dihasilkan dalam menarik kesimpulan dapat diminimalkan. Tingkat akurasi dianalisis dengan menggunakan confusion matrix yang menggambarkan jumlah persen piksel dari masing-masing kelas pada suatu kelompok atau cluster. Confusion Matrix yang digunakan didasarkan pada Region of Interest (ROI) dari masing-masing piksel kelas aliran lava dan kawah. Hasil analisis akurasi menggunakan algoritma QUEST disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Akurasi Klasifikasi Algoritma QUEST Citra PALSAR G. Guntur
Kawah 100,00
Aliran Lava 1 8,00
Data Testing (%) Aliran Aliran Aliran Lava Lava 2 Lava 3 Tua 2,67 8,00
-
25,33
17,33
18,67
-
13,33
13,33
-
5,33
-
Aliran Lava Termuda -
Aliran Lava Muda -
4,00
18,67
9,33
-
8,00
1,33
6,67
18,67
56,00
16,00
6,67
4,00
6,67
13,33
16,00
56,00
2,67
2,67
-
1,33
9,33
-
-
53,33
28,67
-
40,00
25,33
9,33
8,00
17,33
58,67
Kelas
Data Training
Kawah Aliran Lava 1 Aliran Lava 2 Aliran Lava 3 Aliran Lava Tua Aliran Lava Termuda Aliran Lava Muda
Tabel 10 di atas menunjukkan secara lebih detil ukuran kuantitatif dari kenampakan visual yang disajikan pada Gambar 33(b). Pada tabel tersebut, bentuklahan K menunjukkan akurasi yang tinggi (100%). Hal ini menunjukkan bahwa algoritma QUEST mampu mengklasifikasikan jenis kelas tersebut dengan sangat baik. Pada bentuklahan AL1, nilai akurasi yang dihasilkan cukup rendah, yaitu 25,33%. Hal ini disebabkan adanya kesalahan klasifikasi yang cukup besar,
69
yaitu 40% data pembangun yang seharusnya masuk ke dalam bentuklahan AL1, diklasifikasikan sebagai bentuklahan ALM. Selain itu, kondisi ini dapat dijelaskan juga melalui keterpisahan spektral secara visual (Gambar 31) dan keterpisahan spektral pada metode TD (Tabel 9) yang menunjukkan bahwa bentuklahan AL1 tidak dapat diidentifikasi atau dipisahkan secara sempurna. Kesalahan klasifikasi ini juga ditunjukkan oleh AL2, yaitu sebesar 25,33 % dari data pembangun yang termasuk kedalam AL2 namun diklasifikasikan sebagai bentuklahan ALM. Sedangkan nilai akurasi pada AL2 yang dihasilkan juga cukup rendah, yaitu sebesar 13,33 %. Hal ini menunjukan bahwa bias yang dihasilkan pada klasifikasi bentuklahan aliran lava ini cukup besar karena sebagian besar data pembangun pada bentuklahan ini diklasifikasikan ke dalam bentuklahan aliran lava lainnya. Dengan demikian algoritma QUEST kurang mampu untuk dapat memisahkan antara bentuklahan AL1 dan AL2 dengan bentuklahan ALM. Nilai hamburan balik (backscatters) pada kelas aliran lava ini dapat menjadi penyebabnya karena nilainya hampir mendekati dengan nilai hamburan balik dari bentuklahan aliran lava lainnya. Pada bentuklahan AL3, ALM,ALA dan ALT menghasilkan nilai akurasi yang hampir sama, yaitu sekitar 50%. Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi dengan menggunakan algoritma QUEST telah cukup baik untuk memisahkan kelas aliran lava. Hasil akurasi total dari klasifikasi pohon keputusan menggunakan algoritma QUEST adalah 51.80 % dengan nilai koefisien kappa sebesar 0.43. Hal ini menunjukkan bahwa klasifikasi pohon keputusan memiliki tingkat kepercayaan yang cukup baik. Hasil akurasi dari klasifikasi ini disajikan pada Tabel 10 dan dapat dilihat bahwa akurasi total yang dihasilkan sebesar 50,28% dengan nilai koefisien kappa sebesar 0,42. Hal ini menunjukkan hasil yang hampir sama dengan hasil klasifikasi yang ditunjukkan oleh klasifikasi pohon keputusan (Decision Tree). Kemiripan nilai akurasi ini juga ditunjukkan pada detil parameter kuntitatif pada bentuklahan AL1, yaitu sebesar 13,33% dan pada AL2 sebesar 20%. Dengan demikian kedua kelas ini memiliki nilai bias yang cukup tinggi. Rendahnya nilai akurasi hasil klasifikasi dapat disebabkan oleh resolusi spasial yang dimiliki citra. Pada citra dengan resolusi tinggi, klasifikasi objek
70
lebih sulit dilakukan bila menggunakan metode klasifikasi yang standar seperti klasifikasi pembanding ini. Tabel 11. Akurasi Klasifikasi Maximum Likelihood Citra PALSAR G. Guntur
Kelas
Data Training
Kawah Aliran Lava 1 Aliran Lava 2 Aliran Lava 3 Aliran Lava Tua Aliran Lava Termuda Aliran Lava Muda
Data Testing (%) Aliran Aliran Aliran Lava Lava 2 Lava 3 Tua 2,67 4,00 24,00 9,33 13,33 20,00 22,67 28,00 72,00
Aliran Lava Termuda 18,67 6,67 8,00
Aliran Lava Muda 17,33 6,67 9,33
Kawah 97,33 -
Aliran Lava 1 13,33 13,33 13,33
2,67
18,67
2,67
14,67
48,00
4,00
-
-
4,00
9,33
-
-
48,00
13,33
-
37,33
18,67
4,00
6,67
14,67
53,33
Dengan demikian nilai akurasi yang dihasilkan tidak cukup baik ini mengindikasikan bahwa jumlah band polarisasi linier yang terbatas mengalami kesulitan dalam memetakan obyek-obyek yang kompleks seperti aliran lava sehingga polarisasi linier kurang memberikan proses pemisahan kelas yang optimal. Jumlah band dan jumlah kelas yang digunakan dalam klasifikasi sangat mempengaruhi nilai akurasi yang dihasilkan. Beberapa penelitian pendahulu (Handayani et al., 2011; Syafril, 2010) menunjukkan bahwa jumlah kanal (band) yang digunakan berbanding lurus dengan jumlah kelas yang diklasifikasikan sehingga nilai akurasi yang dihasilkan dapat menunjukan nilai yang tinggi. Sedangkan pada penelitian ini jumlah band yang digunakan adalah 3 polarisasi untuk mengidentifikasi obyek sebanyak 7 kelas. Hal ini menyebabkan nilai akurasi yang dihasilkan tidak terlalu tinggi. Namun demikian, hasil yang diperoleh cukup relevan untuk digunakan dalam identifikasi awal dan pencirian aliran lava.