23
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Geomorfologi di Daerah Penelitian Kondisi geomorfologi daerah penelitian berkaitan erat dengan sejarah geologi
yang
berkembang
di
wilayah
tersebut,
dimana
proses-proses
geomorfologis endogen dan eksogen seperti proses-proses tektonik, vulkanik, dan denudasional mendominasi kenampakan geomorfologi di daerah penelitian. Hal ini dapat merujuk pada jenis batuan yang menyusun daerah penelitian dan kenampakan morfologi yang ada secara aktual. Berdasarkan jenis batuan dan umurnya seperti tersebut di sub-Bab Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian, maka secara umum dapat dikatakan bahwa bentuklahan pegunungan yang terbentuk di bagian hulu daerah penelitian, tersusun oleh batuan vulkanik, mempunyai umur yang relatif lebih muda dibandingkan dengan bentuklahan pegunungan yang ada di bagian tengah daerah penelitian, meskipun kedua bentuklahan tersebut tersusun oleh jenis batuan yang sama, yakni batuan vulkanik Tersier. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas vulkanisme masa lalu di wilayah penelitian dan sekitarnya secara bertahap mengalami pergerakan dari Selatan ke Utara dan meninggalkan bentuklahan pegunungan yang pada saat ini telah mengalami proses denudasi yang telah lanjut. Proses yang belakangan ini ditunjukkan oleh banyaknya lembah-lembah hasil proses pengikisan erosi maupun longsor dan tidak menyisakan lagi bentuk kerucut gunungapi yang umumnya terbentuk di kompleks gunungapi Kuarter. Aspek-aspek bentuklahan dan geomorfologi daerah penelitian yang diuraikan berikut ini mencakup morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan litologi (batuan).
5.1.1 Morfologi Dalam analisis morfologi terdapat dua aspek, yakni aspek morfografi dan morfometri. Morfografi merupakan aspek deskriptif dari suatu bentuklahan yang ada di permukaan bumi, sedangkan morfometri merupakan aspek kuantitatif dari suatu bentuklahan, seperti lereng (kemiringan, bentuk, panjang, arah) dan ketinggian. Morfografi daerah penelitian terdiri atas daerah dataran, perbukitan,
24
pegunungan, tebing, dan lembah sungai. Gambaran morfografi ini dan persebarannya dapat dilihat pada Gambar 4, yang menunjukkan bahwa morfografi perbukitan dan pegunungan tampak paling dominan. Gambaran morfometri daerah penelitian dapat dilihat dari aspek kemiringan lereng dan ketinggian bentuklahan yang masing-masing disajikan dalam bentuk peta kemiringan lereng (Gambar 5) dan peta ketinggian (Gambar 6). Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa kemiringan lereng 0-3% (datar) dan 3-8% (landai) tersebar di bagian Utara dan sedikit di bagian Selatan DAS, kemiringan lereng 8-15% (agak curam) tersebar juga sedikit di bagian Utara dan Selatan DAS, sedangkan kemiringan lereng 15-30% (curam) tersebar hampir di seluruh wilayah DAS. Adapun kemiringan lereng >30% (sangat curam) tersebar di bagian tengah dan sedikit di bagian Utara DAS. Melihat persebaran kelas lereng di atas dan luasannya (Tabel 4) memastikan bahwa daerah penelitian terletak di daerah atas (upland areas) yang berupa perbukitan dan pegunungan, sehingga cukup wajar jika proses denudasi menjadi lebih dominan bekerja di atas batuan yang berumur Tersier dan tidak terdapat lagi aktivitas vulkanik yang baru.
Tabel 4. Luas masing-masing kemiringan lereng di DAS Cimadur No
Kemiringan
Keterangan
Lereng
Luas Area Ha
%
1
0-3%
Datar
1822
8,67
2
3-8%
Landai
3359
15,98
3
8-15%
Agak curam
2640
12,56
4
15-30%
Curam
8534
40,60
5
>30%
Sangat curam
4667
22,20
21022
100
Luas Total
Untuk aspek ketinggian (Gambar 6), terlihat bahwa semakin ke arah Utara DAS angka ketinggian tampak semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pegunungan dan perbukitan ini secara umum mempunyai kemiringan dari Utara ke Selatan sesuai dengan aliran sungai Cimadur yang mengalir atau bermuara ke Laut Selatan Jawa.
25
Samudera Indonesia
Gambar 4. Gambaran morfologi DAS Cimadur dari Citra SRTM
26
Gambar 5. Peta Kemiringan Lereng DAS Cimadur
27
Gambar 6. Peta Ketinggian DAS Cimadur
28
Secara spasial morfologi dataran di daerah penelitian lebih banyak tersebar di bagian Utara daripada di bagian Selatan DAS, hal ini sangat menarik karena terletak di daerah hulu yang seharusnya lebih banyak mempunyai lereng yang curam. Jika dilihat lebih rinci morfologinya, maka pada daerah ini dijumpai suatu cekungan besar, berbentuk melingkar, berdiameter 8000 meter dibatasi oleh tebing, dan tersusun oleh endapan abu dan batuapung. Seperti diketahui bahwa endapan abu-batu apung merupakan hasil letusan vulkanik tipe Plinian atau letusan besar yang seringkali menghasilkan kaldera seperti kaldera BromoTengger, kaldera Tambora, kaldera Sunda-Tangkuban Perahu dan sebagainya. Kaldera adalah kawah besar berdiameter lebih dari 2000 meter sebagai hasil proses runtuhan tubuh puncak gunungapi akibat kekosongan dapur magma, sehingga kaldera secara morfologis dibatasi oleh dinding yang terjal berbentuk melingkar. Berdasarkan karakteristik kaldera ini, maka dapat diduga bahwa bentuklahan tebing yang berbentuk hampir melingkar atau berbentuk huruf āUā (Gambar 4) dapat diinterpretasikan sebagai suatu tebing kaldera hasil letusan gunungapi pada zaman Tersier, dimana hipotesis ini diperkuat oleh adanya endapan abu-batuapung (ignimbrite) di sekitarnya atau di tengah kaldera yang membentuk morfologi dataran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompleks pegunungan di wilayah ini dahulunya merupakan suatu kompleks gunungapi, meskipun pada saat sekarang morfologi vulkanik seperti bentukbentuk kerucut sudah tidak ditemui lagi, hal ini disebabkan proses eksogenik denudasi telah berjalan cukup lama, sejak jaman Tersier, atau sejak terhentinya aktivitas vulkanik di wilayah ini. Berdasarkan uraian di atas, maka morfologi perbukitan yang terletak di bagian tengah DAS dapat dikatakan merupakan bagian lereng bawah dari kompleks gunungapi dimaksud, sedangkan perbukitan struktural berbatuan sedimen dimungkinkan sebagai batuan dasar (basement rock) dari tubuh-tubuh gunungapi yang tumbuh di atasnya pada zaman Tersier. Untuk morfologi dataran di bagian Selatan luasannya relatif sangat kecil merupakan bentuklahan hasil proses fluvial (deposisi)
dan merupakan
bentuklahan termuda karena terbentuk pada zaman Kuarter dibandingkan dengan umur morfologi-morfologi lain yang telah disebutkan sebelumnya.
29
5.1.2 Morfogenesis Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa morfogenesis bentuklahan di daerah penelitian lebih didominasi oleh proses denudasional terhadap morfologi yang dihasilkan oleh proses geomorfik sebelumnya, seperti pengangkatan, baik yang berbatuan vulkanik maupun sedimen. Oleh karena itu nama-nama bentuklahan sebagian besar berupa bentuklahan denudasional vulkanik dan sebagian yang lain berupa denudasional struktural dan bentuklahan fluvial. Bentuklahan asal proses denudasional vulkanik tersebar dari bagian tengah ke hulu daerah penelitian, sedangkan bentuklahan asal proses denudasional struktural tersebar di bagian Selatan daerah penelitian, seperti perbukitan lipatan yang telah mengalami erosi lanjut, hal ini dicirikan dengan batuan-batuan yang menyusun bentuklahan tersebut, yang terdiri dari batupasir (Anggota Batupasir), konglomerat (Anggota Konglomerat), batukapur (Limestone Member), dan batulempung (Formasi Cimanceuri). Batupasir dan konglomerat umumnya lebih resisten terhadap erosi sehingga menghasilkan bentuklahan igir-igir perbukitan, sedangkan batukapur sebagian berbentuk igir-igir atau bukit namun sebagian yang lain terlarut membentuk lembah/cekungan. Sedangkan batulempung karena lebih lunak maka cenderung membentuk morfologi lembah-lembah. Bentuklahan asal proses fluvial terdapat di bagian Selatan daerah penelitian, memiliki relief datar dengan batuan penyusun utama Aluvium, dan menempati elevasi terendah (0-300 m dpl) sebagai wilayah yang lebih didominasi oleh proses-proses deposisi.
5.1.3 Morfokronologi Berdasarkan Peta Geologi yang disajikan dalam Gambar 7, maka semua bentuklahan di daerah penelitian terbentuk pada zaman Tersier (Eosen, Oligosen, Miosen, dan Pliosen), hanya bentuklahan Lembah sungai (F) yang terbentuk pada zaman Kuarter (Holosen). Secara spasial dapat diperhatikan pula bahwa wilayah DAS bagian Utara tersusun oleh batuan vulkanik yang terbentuk pada zaman Tersier: Miosen-Pliosen, pada wilayah DAS bagian tengah tersusun oleh batuan vulkanik dan sedimen Tersier lebih tua: Eosen-Miosen, sedangkan wilayah DAS
30
Gambar 7. Peta Geologi DAS Cimadur
31
bagian selatan mempunyai batuan penyusun Kuarter: Holosen sebagai hasil proses pengendapan sungai. Dengan demikian, berdasarkan morfokronologinya dapat disimpulkan bahwa secara umum morfokronologi bentuklahan di daerah penelitian mempunyai umur lebih muda ke arah Utara seiring dengan kondisi morfometrinya berupa elevasi yang semakin meningkat.
5.1.4 Litologi (batuan) Berdasarkan Peta Geologi (Gambar 7) dan seperti diuraikan pada sub-Bab Kondisi Geologi dan Geomorfologi Daerah Penelitian, jenis batuan induk di daerah penelitian terdiri dari 10 Formasi berumur Tersier, yakni: Formasi Cimapag (Tmc), Tufa Citorek (Tpv), Formasi Cikotok (Temv), Anggota Batugamping (Tojl), Formasi Cicarucup (Tet), Anggota Batupasir (Toj), Formasi Cimanceuri (Tpm), Limestone Member (Tebm), Anggota Batugamping (Tmtl), Anggota Konglomerat (Teb), dan 1 Formasi berumur Kuarter, yaitu Aluvial (Qa). Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1.
Formasi Cimapag (Tmc) Batuan Sedimen Miosen Awal: disusun oleh batuan sedimen klastik, breksi, koarsa yang berasal dari endapan vulkanik.
2.
Tufa Citorek (Tpv) Batuan Gunungapi Pliosen: tuf, tuf berbatu apung, tuf breksi, batupasir, dan batulempung tufan.
3.
Formasi Cikotok (Temv) Batuan Gunungapi Eosen-Miosen: disusun oleh batuan ektrusif intermedier, lava yang berasal dari endapan vulkanik.
4.
Anggota Batugamping (Tojl) Batuan Karbonat Oligosen: berasal dari endapan sedimen yang disusun oleh batuan sedimen klastik, limestone (batukapur).
5.
Formasi Cicarucup (Tet) Batuan Sedimen Eosen: batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa, batulempung, serpih, batusabak yang berasal dari endapan sedimen.
6.
Anggota Batupasir (Toj)
32
Batuan Sedimen Oligosen: batupasir, konglomerat, tuf dan bersisipan batulempung, berasal dari endapan sedimen. 7.
Anggota Batugamping (Tmtl) Batuan Karbonat Miosen Awal: disusun oleh batuan sedimen klastik, limestone (batukapur), berasal dari endapan sedimen.
8.
Anggota Konglomerat (Teb) Batuan Sedimen Eosen: batupasir kuarsa, konglomerat kuarsa, batulempung, serpih, batu sabak yang berasal dari endapan sedimen.
9.
Aluvial (Qa) Batuan Sedimen Holosen: disusun oleh batuan yang berbahan aluvium yang diendapkan di lingkungan sungai.
10. Formasi Cimanceuri (Tpm) Batuan Pliosen Akhir: bercirikan sedimen klastika yang kaya akan fosil molusca, kuarsa dan konglomerat. 11. Limestone Member (Tebm) Batuan Karbonat Eosen: disusun oleh batuan sedimen klastik.
5.2 Identifikasi Bentuklahan di Daerah Penelitian Berdasarkan hasil analisis geomorfologi yang telah dikemukakan di atas dan hasil interpretasi citra, bentuklahan-bentuklahan di daerah penelitian dapat diklasifikasikan menjadi 8 macam, yakni: Lembah Sungai (F), Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1), Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2), Perbukitan denudasional vulkanik tua (DV3), Tebing denudasional vulkanik (DV4), Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5), Perbukitan denudasional struktural dewasa (DS1), dan Perbukitan denudasional struktural tua (DS2) seperti yang disajikan pada Gambar 8, sedangkan untuk gambaran dan interpretasi bentuklahan dari Citra SRTM dapat dilihat pada Gambar 9. Luas dari masing-masing bentuklahan disajikan pada Tabel 5.
33
Gambar 8. Peta Bentuklahan DAS Cimadur
34
Samudera Indonesia
Gambar 9. Gambaran dan interpretasi bentuklahan DAS Cimadur dari Citra SRTM
35
Tabel 5. Luas masing-masing bentuklahan di DAS Cimadur No
Simbol
Bentuklahan
Luas Area Ha
%
61
0,29
1
F
Lembah sungai
2
DV1
Pegunungan denudasional vulkanik dewasa
5837
27,76
3
DV2
Pegunungan denudasional vulkanik tua
4209
20,02
4
DV3
Perbukitan denudasional vulkanik tua
2641
12,56
5
DV4
Tebing denudasional vulkanik
3941
18,75
6
DV5
Dataran vulkanik bermaterial tufa
1406
6,69
7
DS1
Perbukitan denudasional struktural dewasa
1334
6,35
8
DS2
Perbukitan denudasional struktural tua
1593
7,58
21022
100
Luas Total
Lembah sungai (F). Bentuklahan ini terletak di bagian ujung Selatan daerah penelitian yang mempunyai morfologi lembah dengan kemiringan lereng 0-3% (datar) dan 3-8% (landai). Batuan yang menyusun bentuklahan ini adalah Aluvium (Qa), suatu batuan sedimen klastik yang diendapkan di lingkungan sungai. Bentuklahan ini merupakan bentuklahan paling muda di daerah penelitian yang terbentuk pada zaman Kuarter berumur Holosen. Bentuklahan ini mempunyai luasan 61 Ha dengan persentase 0,29% dari total luas daerah penelitian. Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1). Bentuklahan ini terletak di bagian Utara dan tengah daerah penelitian yang mempunyai morfologi pegunungan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam). Batuan yang menyusun DV1 adalah sebagai basement rock yang terdiri dari Formasi Cimapag (Tmc), atau batuan sedimen yang terbentuk pada zaman Tersier berumur Miosen Awal dan Formasi Tufa Citorek (Tpv), batuan gunungapi zaman Tersier berumur Pliosen. Pada bentuklahan ini kerucut-kerucut gunungapi hampir tidak tampak lagi karena sudah mengalami erosi yang sangat lanjut. DV1 merupakan bentuklahan paling luas dengan total luasan sebesar 5.837 Ha atau menempati 27,76% dari total luas daerah penelitian. Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2). Bentuklahan ini terletak di bagian tengah daerah penelitian yang mempunyai morfologi pegunungan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam). Batuan
36
penyusunnya terdiri dari: Formasi Cikotok (Temv), atau batuan gunungapi zaman Tersier berumur Eosen sampai Miosen; Formasi Cicarucup (Tet) atau basement rock berbatuan sedimen zaman Tersier berumur Eosen, dan Anggota Batugamping (Tojl) yang berupa batuan karbonat zaman Tersier berumur Oligosen. Pada bentuklahan ini kerucut-kerucut gunungapi juga sudah tidak tampak lagi, hanya berupa tebing-tebing dengan lereng yang curam karena telah mengalami erosi lanjut seperti yang dibuktikan dengan banyaknya torehantorehan memanjang yang tampak pada citra SRTM. Bentuklahan ini menempati luasan sebesar 4.209 Ha atau 20,02% dari total luas daerah penelitian. Perbukitan denudasional vulkanik tua (DV3). Bentuklahan ini terletak di bagian tengah daerah penelitian, tepatnya di bawah bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2) dan di atas Perbukitan denudasional struktural dewasa dan tua (DS1 dan DS2). Bentuklahan DV3 ini mempunyai morfologi perbukitan dengan kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam). Tersusun dari Formasi Cikotok (Temv) berbatuan vulkanik dan Anggota Batugamping (Tojl) yang keduanya dari zaman Tersier berumur Eosen sampai Miosen. Bentuklahan ini mempunyai luas 2.641 Ha atau menempati 12,56% dari total luas daerah penelitian. Tebing denudasional vulkanik (DV4). Bentuklahan ini terletak di bagian Utara daerah penelitian berupa tebing (kaldera) yang curam yang telah mengalami erosi lanjut dan berbentuk melingkar seperti tapal kuda atau huruf āUā. DV4 mengelilingi Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) yang berada di bawahnya. Bentuklahan ini mempunyai kemiringan lereng 15-30% (curam) dan >30% (sangat curam) serta mempunyai batuan yang keras seperti lava atau perselingan lava dan piroklastik, namun dalam peta geologi dimasukkan ke dalam Formasi Cimapag (Tmc), terdiri dari batuan sedimen klastik, breksi, dan kuarsa yang berasal dari endapan vulkanik berumur Miosen Awal. Bentuklahan ini mempunyai luas sebesar 3.941 Ha atau menempati 18,75% dari total luas daerah penelitian. Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5). Bentuklahan ini terletak di bagian Utara daerah penelitian, mempunyai kenampakan morfologi datar berombak seperti terlihat dari citra SRTM, atau secara umum berupa
37
cekungan/kawah dengan bentuk lingkaran sangat besar, berdiameter 8000 meter, dan kemiringan lereng 0-3% (datar). Formasi batuan yang menyusun bentuklahan ini adalah Tufa Citorek (Tpv), merupakan batuan gunungapi berumur Pliosen atau termuda untuk zaman Tersier. Material penyusun utama dari bentuklahan ini adalah tuf berbatuapung, atau material hasil letusan gunungapi yang besar, yang sering menghasilkan kaldera (tipe plinian). Dengan demikian dapat diduga bahwa DV5 sebenarnya merupakan dasar dari suatu kaldera gunungapi tua. Bentuklahan ini mempunyai luas 1.406 Ha yang menempati 6,69% dari total luas daerah penelitian. Perbukitan denudasional struktural dewasa (DS1). Bentuklahan ini terletak di bagian Selatan daerah penelitian yang mempunyai morfologi perbukitan dengan kemiringan lereng 8-15% (agak curam) dan 15-30% (curam). DS1 sudah tidak menunjukkan lagi topografi struktur lipatan seperti tahap awal, karena telah mengalami erosi yang lanjut yang dicirikan dengan adanya kontrol struktural dan kekerasan batuan yang tercermin dari detil topografi. Batuan-batuan dengan tingkat kekerasan yang tinggi seperti batupasir dan konglomerat umumnya lebih resisten terhadap erosi menghasilkan bentuklahan igir-igir perbukitan, sedangkan batuan-batuan dengan tingkat kekerasan yang lebih rendah seperti batulempung cenderung tererosi dan membentuk bentuklahan lembah-lembah. Batukapur mempunyai kekerasan tinggi tetapi mudah larut oleh air sehingga sebagian membentuk igir dan sebagian lagi membentuk lembah atau cekungan akibat proses pelarutan oleh air hujan dan air aliran permukaan. Secara umum batuan yang menyusun bentuklahan ini terdiri dari Formasi: Anggota Batugamping (Tojl) dari zaman Tersier berumur Oligosen, Limestone Member (Tebm) Neogene berbahan batugamping terumbu yang terbentuk pada zaman Tersier berumur Miosen Akhir sampai Pliosen Awal, dan Formasi Cimanceuri (Tpm) berupa batuan sedimen klastik yang kaya akan fosil molusca, kuarsa dan konglomerat yang terbentuk pada zaman Tersier berumur Pliosen Akhir. Bentuklahan ini mempunyai luas 1.334 Ha atau menempati 6,35% dari total luas daerah penelitian. Perbukitan denudasional struktural tua (DS2). Bentuklahan ini terletak di bagian Selatan daerah penelitian, mempunyai morfologi perbukitan dengan
38
kemiringan lereng 8-15% (agak curam) dan 15-30% (curam). Batuan yang menyusun DS2 adalah dari Formasi: Anggota Batupasir (Toj) yaitu batuan sedimen zaman Tersier berumur Oligosen, kemudian Anggota Batugamping (Tmtl) yang merupakan batuan karbonat zaman Tersier berumur Miosen Awal, dan Anggota Konglomerat (Teb) yang merupakan batuan sedimen zaman Tersier berumur Eosen yang sering dijumpai pada struktur lipatan. Bentuklahan ini mempunyai luasan 1.593 Ha
yang menempati 7,58% dari total luas daerah
penelitian.
5.3 Identifikasi Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian Peta penutupan/penggunaan lahan dibuat melalui perangkat lunak ArcGIS 9.3 dengan melakukan interpretasi visual terhadap citra Google Earth tahun 2011 dan citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tahun 2009. Citra yang terakhir ini berfungsi sebagai citra komposit apabila kenampakan pada citra Google Earth tertutup awan, kemudian disesuaikan dengan hasil pengamatan lapang agar memberikan
tingkat
ketepatan
yang
lebih
baik
terhadap
peta
penutupan/penggunaan lahan yang dihasilkan. Berdasarkan hasil interpretasi dan cek lapangan, penutupan/penggunaan lahan di daerah penelitian
dapat
diklasifikasikan menjadi 6 macam, yakni: sawah, permukiman, semak/tegalan, kebun campuran, hutan, dan tanah terbuka serta selebihnya adalah sungai. Peta penutupan/penggunaan lahan yang dihasilkan disajikan pada Gambar 10, sedangkan ilustrasi kenampakan jenis penggunaan lahan pada citra Google Earth dan kondisi di lapang dapat dilihat dalam Tabel 6.
39
Gambar 10. Peta Penutupan/Penggunaan Lahan DAS Cimadur
40
Tabel 6. Kenampakan jenis penggunaan lahan pada citra dan kondisi di lapang beserta luas tiap penggunaan lahan di DAS Cimadur No
Jenis
Kenampakan Pada
Penggunaan
Citra
Kondisi di Lapang
Luas
Luas
(Ha)
(%)
7284
34,65
90
0,43
221
1,05
Lahan 1
Hutan
2
Sungai
3
Permukiman
4
Sawah
3691
17,56
5
Kebun
8952
42,58
campuran
41
6
Semak/tegal
744
3,54
40
0,19
21022
100
an
7
Tanah terbuka
Luas Total
Hutan (H). Pada citra dicirikan oleh teksturnya yang kasar, berwarna hijau tua, dan bentuk yang homogen. Hutan tersebar di bagian Utara dan tengah daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan >30% (sangat curam) yang mempunyai luas sebesar 7.284 Ha atau menempati 34,65% dari total luas daerah penelitian. Kebun campuran (Kc). Kenampakan dari penggunaan lahan ini pada citra dapat dilihat dari bentuknya yang bergerombol dengan pola yang tidak teratur dan memiliki warna hijau tua dengan tekstur yang agak kasar sampai kasar yang biasanya
berasosiasi dengan permukiman. Penggunaan lahan ini
mendominasi bagian tengah dan Selatan daerah penelitian dengan luas sebesar 8.952 Ha atau menempati 42,58% dari total luas daerah penelitian. Penggunaan lahan ini secara dominan tersebar pada kemiringan lereng 15-30% (curam). Permukiman (P). Pada citra dapat dilihat dengan bentuknya yang mengelompok, tekstur halus, pola yang tidak teratur, memiliki warna merah tua, biasanya berasosiasi dengan jalan atau sungai. Permukiman tersebar di bagian Utara dan Selatan daerah penelitian yang mempunyai kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) dengan luas sebesar 221 Ha atau 1,05% dari total luas daerah penelitian. Sawah (Sa). Penggunaan lahan ini pada citra dicirikan dengan bentuk petak-petak segi empat dan setiap petaknya dipisah oleh kenampakan garis pematang yang polanya teratur. Warna sawah terlihat hijau tua (untuk sawah yang berair atau baru tanam), hijau keabu-abuan, serta cokelat (untuk sawah yang baru
42
dipanen) dengan tekstur halus. Penggunaan lahan ini terletak di bagian Utara dan Selatan daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar). Penggunaan lahan ini mempunyai luas sebesar 3.691 Ha atau menempati 17,56% dari total luas daerah penelitian. Semak/tegalan (Se). Pada citra memiliki kenampakan rona yang cerah, berwarna hijau muda dengan tekstur agak kasar sampai kasar, dan pola yang tidak teratur. Semak/tegalan tersebar di bagian Utara dan tengah daerah penelitian dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam) yang mempunyai luasan 744 Ha atau menempati 3,54% dari total luas daerah penelitian. Sungai (Su). Kenampakan dari penggunaan lahan ini pada citra dicirikan dengan pola aliran yang berkelak-kelok pada wilayah yang datar, berwarna putih atau krem, serta memiliki tekstur yang halus. Penggunaan lahan ini mempunyai kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) dengan luasan 90 Ha atau menempati 0,43% dari total luas daerah penelitian. Tanah terbuka (Tb). Pada citra dicirikan dengan kenampakan pantulan tanahnya yang berwarna cokelat dengan tekstur halus. Penggunaan lahan ini sedikit sekali penyebarannya karena daerah penelitian merupakan kawasan konservasi yang dilindungi oleh Pemerintah, dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam) yang mempunyai luas sebesar 40 Ha atau menempati 0,19% dari total luas daerah penelitian. Berdasarkan
uraian
di
atas,
dapat
disimpulkan
bahwa
penutupan/penggunaan lahan kebun campuran merupakan tipe yang paling dominan di DAS Cimadur dengan total luasan sebesar 8.952 Ha. Fenomena ini dapat dipahami mengingat penggunaan lahan kebun campuran tidak mempunyai kendala terhadap morfologi, sehingga dapat berkembang pada berbagai bentuklahan dan kemiringan lereng, dan didukung dengan akses jalan yang ada di daerah penelitian yang memungkinkan manusia untuk mengintervensi lahan. Sebaliknya, tanah terbuka merupakan tipe penggunaan lahan terkecil atau sebesar 40 Ha, dikarenakan sebagian kawasan DAS Cimadur masuk ke dalam kawasan Taman Nasional yang dilindungi oleh Pemerintah.
43
5.4 Analisis Kelas TWI di Daerah Penelitian Analisis TWI dalam penelitian ini menghasilkan data TWI yang bersifat kontinu (continuous). Selanjutnya, data TWI direklasifikasi menjadi 3 kelas dengan interval nilai 5 untuk masing-masing kelas, yakni kelas 1 atau nilai TWI rendah jika nilai TWI <5, kelas 2 atau nilai TWI sedang jika nilai TWI antara 5 hingga 10, dan kelas 3 atau nilai TWI tinggi jika nilai TWI >10. Sistem pengkelasan ini dilakukan secara arbitrer tanpa ada referensi awal. Hal ini disebabkan oleh sangat terbatasnya acuan baku yang dapat digunakan untuk reklasifikasi. Adapun reklasifikasi ini sendiri dimaksudkan untuk memudahkan mengetahui titik-titik dugaan dari permukaan lahan yang mempunyai konsentrasi air. Dalam hal ini kelas TWI rendah (= kelas 1) menggambarkan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang rendah, sehingga dapat diasumsikan bahwa pada wilayah ini potensi untuk menggenangkan air juga rendah. Sebaliknya kelas TWI tinggi (= kelas 3), menggambarkan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang tinggi, sehingga dapat diasumsikan bahwa wilayah ini memiliki peluang tinggi untuk terjadinya genangan air ditinjau dari variasi topografi lokal. Adapun untuk kelas TWI sedang (= kelas 2) menggambarkan suatu potensi yang berada di antaranya, atau mengindikasikan suatu wilayah dengan potensi genangan air yang sedang, artinya jumlah genangan air pada wilayah ini masih tergolong tidak rendah dan tidak pula tinggi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa pada wilayah ini potensi untuk menyimpan air masih dapat diharapkan. Hasil pemetaan sebaran kelas TWI untuk daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 11. Mengingat bahwa ketersediaan air sangat erat kaitannya dengan aliran permukaan (sungai), maka keterkaitan kelas TWI perlu pula dikaji hubungannya dengan order dari setiap jaringan sungai seperti yang sudah diklasifikasikan dengan menggunakan metode Strahler. Hasil klasifikasi order sungai DAS Cimadur dengan metode Strahler menunjukkan bahwa order sungai tertinggi Sungai Cimadur adalah order 6. Untuk melihat keterkaitan nilai TWI dengan order sungai, maka dalam penelitian ini order 3 ditetapkan sebagai order terendah karena mempertimbangkan banyaknya percabangan sungai di DAS Cimadur, sedangkan order 6 ditetapkan sebagai order tertinggi, artinya bahwa aliran sungai yang mengalir pada order 6 merupakan aliran sungai utama di dalam DAS
44
Cimadur. Gambar 12 di bawah menunjukkan hasil tumpangtindih antara kelas TWI dan order sungai di DAS Cimadur. Jika dalam Gambar 11 terlihat bahwa kelas TWI yang persebarannya paling dominan adalah kelas sedang (= kelas 2), maka pada Gambar 12 terlihat pula bahwa kelas TWI kelas sedang ini terdapat di semua sub-DAS order sungai, mulai dari sub-DAS order 3, 4, 5, hingga 6. Untuk Kelas TWI tinggi (= kelas 3) persebarannya hampir merata juga di sub-DAS order sungai 3, 4, 5, dan 6, namun sedikit agak dominan di sub-DAS order 3. Sedangkan untuk kelas TWI rendah (= kelas 1) persebarannya hanya di beberapa titik di bagian tengah, yaitu pada subDAS order sungai 3 dan 4, meskipun secara dominan berada di sub-DAS order 3. Hal ini cukup wajar yang disebabkan sub-DAS order 3 umumnya selalu berada pada elevasi yang lebih tinggi daripada sub-DAS order yang lebih besar dan umumnya mempunyai kemiringan lereng yang lebih besar pula. Namun menarik untuk disimak pula apabila dapat dilihat hubungan antara kelas TWI dengan panjang total segmen sungai dari masing-masing order (Tabel 7). Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa panjang total segmen sungai pada setiap kelas TWI yang terbesar adalah berada pada sub-DAS order sungai 3, hal ini mungkin disebabkan sub-DAS order sungai 3 ini meliputi juga sub-DAS order sungai-sungai yang lebih kecil, yaitu order 1 dan order 2, sehingga pada sub-DAS order sungai 3 ini mempunyai lebih banyak variasi kemiringan lereng.
45
Gambar 11. Peta Kelas TWI DAS Cimadur
46
Gambar 12. Peta Hasil Kelas TWI dan Order Sungai Cimadur
47
Tabel 7. Klasifikasi Kelas TWI dan order sungai terhadap panjang segmen sungai di DAS Cimadur No
Kelas TWI
Order sungai
Total panjang segmen sungai (m)
1
1
3
39
4
13
3
336.806
4
4
251.612
5
5
297.179
6
6
235.917
3
2.479
8
4
1.987
9
5
1.011
10
6
1.712
2 3
7
2
3
Gambaran yang bisa diambil pada Tabel 7 ini adalah bahwa sub-DAS sungai-sungai order 3 ini sesungguhnya perlu mendapat perhatian khusus atau perlu mendapat pengelolaan yang baik, karena sub-DAS sungai-sungai order 3 ini berpotensi tinggi untuk dapat menahan atau menyimpan air. Potensi menyimpan air yang tinggi juga dapat diartikan berpotensi melahirkan suatu gangguan atau bencana, seperti banjir atau kekeringan di daerah hilirnya atau yang terkait dengan pemanfaatan air sungai, baik di hulu maupun di hilir. Sebagai contoh, untuk kasus di daerah penelitian adalah pemanfaatan air sungai untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Gambar 13.a berikut adalah instalasi mikrohidro yang ada di dalam DAS Cimadur, tepatnya berada di Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten. Lebih rincinya, mikrohidro ini digerakkan oleh aliran Sungai Ciambulawung yang mempunyai luas sub-DAS sebesar 554 Ha dengan penutupan/penggunaan lahan yang bervariasi di dalam sub-DAS tersebut, namun utamanya adalah hutan (Gambar 13.b), kebun campuran, dan sebagian digunakan sebagai areal persawahan (Gambar 13.c).
48
a). Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro
b). Hutan
c). Areal Persawahan
Gambar 13. Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (a), penggunaan lahan hutan (b) dan areal persawahan (c) di Sungai Ciambulawung, Banten Debit sungai merupakan salah satu faktor utama dalam pengoperasian mikrohidro. Dengan semakin besar debit sungai yang mengalir maka semakin stabil energi yang dihasilkan untuk memutar turbin mikrohidro tersebut. Namun demikian, kendala utama dalam pengoperasian mikrohidro di wilayah ini adalah pada saat musim kemarau dimana debit aliran sungai menjadi sangat kecil (Tabel 8). Kecilnya debit pada musim kemarau ini banyak menghambat aktivitas pertanian berupa pengairan irigasi pada areal persawahan sehingga menyebabkan tanah pada areal persawahan ini menjadi kering dan berimbas pada gagalnya panen. Hal lainnya adalah matinya listrik karena tidak berfungsinya mikrohidro sehingga menghambat aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat seharihari.
49
Tabel 8. Perbandingan nilai debit musim hujan dan musim kemarau di Sungai Ciambulawung berdasarkan pengukuran di lapangan Titik
Koordinat Geografis x
y
Ketinggian
Lebar Sungai (m)
Debit Air (l/s)
(m)
Hujan
Kemarau
Hujan
Kemarau
A
650748
9249837
537
7,00
4,63
242,71
36,10
B
650696
9249880
552
4,27
3,65
153,60
28,54
C
650765
9249874
582
7,00
7,06
39,45
16,20
D
651123
9249875
574
4,40
4,09
66,15
15,96
E
651104
9249814
567
1,90
2,80
26,03
4,55
F
651053
9249858
564
7,00
4,76
39,30
13,05
G
650844
9249890
548
6,12
5,98
118,23
51,38
H
650717
9249972
570
5,70
6,05
206,10
35,21
I
650642
9249939
565
1,20
2,35
112,38
49,25
J
650594
9249899
562
0,72
1,33
30,38
104,73
K
651038
9250542
630
-
5,78
-
72,73
L
651066
9250492
634
-
5,50
-
20,83
M
651011
9250490
629
-
3,24
-
47,64
N
650426
9249871
560
-
17,60
-
47,60
Sub-DAS Ciambulawung jika dikaitkan dengan kelas TWI-nya (Gambar 11 dan 12) maka terlihat berada pada kelas sedang (= kelas 2) yang merupakan kelas TWI paling dominan di sub-DAS ini. Hal ini berarti bahwa pada daerah ini potensi untuk menyimpan air berada dalam kondisi cukup/sedang pada order sungai 3. Jika dilihat dari Peta Bentuklahan (Gambar 8) dan Peta Kemiringan lereng (Gambar 5), maka daerah ini terletak pada bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1) dan Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2) dengan kemiringan lereng dominan >30% (sangat curam), kondisi lereng seperti ini berimplikasi terhadap kapasitas menahan/menyimpan airnya yang rendah, sehingga pada musim-musim kemarau rentan terhadap potensi kekeringan. Oleh karena itu, untuk pembangunan instalasi mikrohidro seperti ini, selain data kelas TWI dan order sungai, diperlukan juga data penunjang lain seperti bentuklahan, kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan data lainnya yang diperlukan untuk kelangsungan berfungsinya mikrohidro tersebut.
50
5.5 Analisis Ekologi Bentanglahan di Daerah Penelitian Salah satu yang dapat dipetik dari pengertian ekologi bentanglahan adalah kaitan antara bentanglahan dan unsur kehidupan yang berada di atasnya yang saling terkait dan ketergantungan sehingga membentuk suatu sistem kehidupan yang mempunyai karakteristik tertentu. Kondisi bentanglahan dalam hal ini lebih ditekankan pada unit geomorfologi yang direpresentasikan dalam bentuklahannya, sedangkan kehidupan dalam penelitian ini hanya dibatasi pada aktivitas manusia di atas lahan yang dicerminkan dalam bentuk penggunaan lahan yang dihasilkan. Dalam konsep ekologi bentanglahan, semua bentuk aktivitas dan parameter yang berada di atas suatu bentanglahan, seperti: penggunaan lahan, kemiringan lereng, dan kelas TWI untuk dianalisis dengan mendasarkan pada bentuklahan sebagai unit analisisnya sehingga diharapkan dapat memberikan informasi tentang karakteristik persebaran wilayah-wilayah yang mempunyai potensi untuk menyimpan air.
5.5.1 Hubungan Bentuklahan dan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan hasil aktivitas manusia di atas bentuklahan, oleh sebab itu hubungan antara keduanya perlu dikaji lebih dalam terkait dengan potensinya dalam menyimpan air. Tabel 9 dan Gambar 14 menunjukkan luasan penggunaan lahan di atas bentuklahan yang ada di dalam DAS Cimadur.
Tabel 9. Luas penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS Cimadur No
Bentuklahan
Penggunaan Lahan (Ha) Su
H
Kc
P
Sa
Se
Tb
1
F
9
0
24
3
23
1
1
2
DV1
1
4432
701
0
627
70
6
3
DV2
23
899
2585
26
485
167
23
4
DV3
25
0
2078
62
450
19
9
5
DV4
0
1796
1132
0
694
318
0
6
DV5
0
157
148
43
925
134
0
7
DS1
16
0
961
44
290
23
2
8
DS2
16
0
1323
43
196
13
0
90
7284
8950
221
3690
745
41
Luas Total
51
Gambar 14. Grafik luasan penggunaan lahan di atas bentuklahan di DAS Cimadur
Pada Tabel 9 dan Gambar 14 dapat dilihat bahwa penggunaan lahan kebun campuran merupakan penggunaan lahan yang paling banyak terdapat di daerah penelitian dengan total luas 8.952 Ha. Kebun campuran tersebar di semua jenis bentuklahan. Hal ini sangat wajar mengingat penggunaan lahan kebun campuran tidak mempunyai kendala morfologi pada berbagai bentuklahan. Keberadaan kebun campuran terluas adalah di atas bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2), yaitu menempati areal seluas 2.585 Ha. Hal ini disebabkan oleh bentuklahan ini menempati luasan terbesar kedua di daerah penelitian dengan akses jalan yang masih memungkinkan untuk manusia dapat mengintervensi lahan. Penggunaan lahan hutan juga merupakan penggunaan lahan terluas kedua setelah kebun campuran dengan total luas 7.284 Ha. Hutan tersebar di bagian Utara dan tengah daerah penelitian, menempati bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5), Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1), Pegunungan denudasional vulkanik tua (DV2), dan Tebing denudasional vulkanik (DV4). Keberadaan hutan terluas adalah di atas bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1), yang menempati luas 4.432 Ha. Hal ini
52
disebabkan wilayah di atas bentuklahan ini merupakan kawasan Taman Nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai Kawasan Hutan. Penggunaan lahan sawah menempati urutan terluas ketiga setelah kebun campuran dan hutan dengan total luas 3.690 Ha. Keberadaan sawah terluas terletak di atas bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) yang mempunyai luasan 925 Ha. Hal ini sangat wajar, mengingat sawah merupakan jenis tanaman yang tumbuh dengan baik pada daerah dengan relief datar dan dialiri oleh air yang cukup. Penggunaan lahan semak/tegalan mempunyai total luasan 745 Ha dan tersebar di semua jenis bentuklahan dengan bentuklahan terluas adalah pada Tebing denudasional vulkanik (DV4) seluas 318 Ha. Penggunaan lahan semak/tegalan ini ditemui tidak mempunyai kendala morfologi pada berbagai bentuklahan. Penggunaan lahan permukiman mempunyai total luasan 221 Ha dimana keberadaannya tersebar pada morfologi dataran dan perbukitan. Hal ini sangat wajar mengingat daerah permukiman selalu berasosiasi dengan sungai dan jalan yang terletak pada relief datar sampai landai. Penggunaan lahan sungai dan tanah terbuka berturut-berturut memiliki total luasan 90 Ha dan 41 Ha.
5.5.2 Hubungan Bentuklahan dan Kemiringan Lereng Kemiringan lereng merupakan salah satu parameter yang digunakan oleh manusia untuk melakukan aktivitas di atas suatu bentuklahan. Hubungan antara bentuklahan dan kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 15.
Tabel 10. Luas kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS Cimadur No
Bentuklahan
Kemiringan Lereng (Ha) 0-3%
3-8%
8-15%
15-30%
>30%
34
11
5
9
2
1
F
2
DV1
757
46
549
2590
1895
3
DV2
470
11
267
1963
1498
4
DV3
325
28
308
1239
741
5
DV4
584
80
358
1763
1156
6
DV5
798
199
220
168
22
53
7
DS1
339
109
418
384
84
8
DS2
305
62
357
714
154
Luas Total
3612
546
2482
8830
5552
Gambar 15. Grafik luasan kemiringan lereng di atas bentuklahan di DAS Cimadur
Dalam Tabel 10 dan Gambar 15 dapat dilihat bahwa kemiringan lereng 15-30% (curam) merupakan kemiringan lereng yang paling dominan di daerah penelitian dan keberadaan terluas pada bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1). Kemiringan lereng >30% (sangat curam) merupakan kemiringan lereng terluas kedua yang juga menempati bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1). Kemiringan lereng curam dan sangat curam merupakan kemiringan lereng yang paling mendominasi di daerah penelitian, hal ini sangat wajar karena daerah penelitian merupakan bagian dari kompleks gunungapi yang mempunyai morfologi pegunungan. Selanjutnya, kemiringan lereng terluas ketiga ditempati oleh kemiringan lereng 0-3% (datar) yang berada di atas bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5). Kemiringan lereng 3-8% (landai) dan 8-15% (agak curam) menempati semua jenis bentuklahan yang ada di daerah penelitian.
54
5.5.3 Hubungan Bentuklahan dan Kelas TWI TWI merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk analisis bentuklahan terhadap potensi menyimpan atau genangan air. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab Tinjauan Pustaka bahwa TWI ini sangat erat kaitannya dengan kemiringan lereng, karena merupakan data turunan yang dihasilkan dari data ketinggian yang relatif permanen (steady state) dengan menggunakan fungsi akumulasi aliran dan kemiringan lereng. Selain itu lereng adalah juga bagian terkecil dari permukaan bentuklahan yang relatif seragam. Oleh karena itu hubungan antara kelas TWI dan bentuklahan serta kelas TWI dan kemiringan lereng perlu dikaji lebih dalam terkait potensinya dalam menyimpan air. Tabel 11 dan Gambar 16 menunjukkan luasan kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur. Tabel 12 dan Gambar 17 menunjukkan luasan kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur.
Tabel 11. Luas Kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur No
Bentuklahan
Kelas TWI (Ha) 1
2
3
1
F
0
60
1
2
DV1
1
5816
8
3
DV2
0
4195
2
4
DV3
0
2633
1
5
DV4
0
3925
16
6
DV5
0
1393
22
7
DS1
0
1329
18
8
DS2
0
1588
14
1
20939
82
Luas Total
55
Gambar 16. Grafik luasan Kelas TWI di atas bentuklahan di DAS Cimadur
Tabel 12. Luas Kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur No
Kemiringan
Kelas TWI (Ha)
Lereng
1
2
3
1
0-3%
0
3549
52
2
3-8%
0
543
24
3
8-15%
0
2465
24
4
15-30%
0
8801
29
5
>30%
1
5525
8
1
20883
137
Luas Total
56
Gambar 17. Grafik luasan Kelas TWI dan kemiringan lereng di DAS Cimadur
Pada Gambar 11 yang telah disajikan sebelumnya dalam sub-Bab Analisis Kelas TWI di Daerah Penelitian, terlihat bahwa kelas TWI tinggi (= kelas 3) tersebar di bagian Utara dan Selatan daerah penelitian. Hal ini disebabkan pada daerah penelitian bagian Utara didominasi oleh bentuklahan Dataran vulkanik bermaterial tufa (DV5) dengan kemiringan lereng dominan 0-3% (datar) yang ditunjukkan dalam Tabel 11 dan 12 di atas, sedangkan pada daerah penelitian bagian Selatan didominasi oleh bentuklahan Perbukitan denudasional struktural dewasa (DS1) dengan kemiringan lereng dominan 8-15% (agak curam). Kelas TWI rendah (= kelas 1) memiliki penyebaran sangat sedikit, yakni di bagian tengah daerah penelitian, tepatnya pada bentuklahan Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1) dengan kemiringan lereng dominan 15-30% (curam). Adapun kelas TWI sedang (= kelas 2) merupakan kelas yang paling mendominasi karena menempati hampir keseluruhan daerah penelitian dari bagian Utara sampai Selatan dengan bentuklahan yang paling dominan adalah Pegunungan denudasional vulkanik dewasa (DV1) dengan luas sebesar 5.816 Ha dan kemiringan lereng 15-30% (curam) yang mempunyai luas 8.801 Ha. Hal ini berarti daerah penelitian masih termasuk dalam kelas TWI berpotensi genangan air kondisi aman. Namun demikian, kapasitas dalam menahan/menyimpan air
57
cukup rendah karena terletak pada bentuklahan pegunungan dan kemiringan lereng yang curam, sehingga saat musim hujan air mudah untuk diloloskan dan saat musim kemarau rentan terhadap potensi kekeringan.