V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pembuatan Prototipe
5.1.1. Modifikasi Rangka Utama Untuk mempermudah dan mempercepat waktu pembuatan, rangka pada prototipe-1 tetap digunakan dengan beberapa modifikasi. Rangka utama dipotong sehingga tampak seperti pada Gambar 31. Kemudian dibuat sambungan yang terbuat dari bahan yang sama yaitu plat besi dengan tebal 6 mm. Bentuknya disesuaikan dengan potongan rangka dan posisi poros metering device (Gambar 32). Plat tersebut ditempelkan pada kedua sisi potongan rangka utama dengan cara pengelasan (Gambar 33). Rangka utama dipasang di atas tutup rotary pada bagian ujungnya dipasang pada titik gandeng traktor menggunakan baut dan mur.
Gambar 32. Rangka utama setelah pemotongan
Gambar 33. Besi plat penyambung rangka utama
Gambar 34. Rangka setelah disambung
5.1.2. Penjatah Pupuk Penjatah pupuk dibuat dari bahan yang tidak mudah berkarat dan mudah dalam pembuatannya. Penjatah ini dibuat dari bahan poros stainless steel dengan diameter 22 mm dan plat stainless steel dengan tebal 2 mm (Gambar 34). Poros sepanjang 70 mm dilubangi agar poros penggerak dengan diameter 12 mm dapat masuk. Untuk bagian lubang pengunci metering device, 10 mm dari bagian poros dibubut sehingga diameternya menjadi 18 mm. Kemudian bagian tersebut dibuat lubang dan ulir untuk baut M5 (diameter 5 mm). Dudukan sirip dibuat sepanjang metering device sedalam 2 mm. Plat dengan tinggi 8 mm di pasang pada celah-celah tersebut kemudian di las pada ujung-ujungnya seperti pada Gambar 35.
(a) (b) Gambar 35. Poros (a) dan plat (b) stainless steel
Selubung rotor metering device pupuk (tipe geser) dibuat dari silinder polietilen berdiameter 35 mm yang dibentuk sesuai dengan bentuk metering device. Poros polietilen diberi lubang sesuai dengan ukuran diameter poros rotor metering device pupuk, kemudiaan dibuat celah agar sirip metering device bisa masuk. Bentuk pengatur dosis pupuk yang berbentuk selubung ini dapat dilihat pada Gambar 36.
33
Gambar 36. Metering device pupuk
Gambar 37. Selubung rotor metering device pupuk
5.1.3. Hopper Pupuk Sebelum dilakukan pemotongan plat, dibuat dahulu polanya untuk mengetahui pola yang paling mudah dan efisien pada saat perangkaian hopper. Pola tersebut kemudian dipakai sebagai acuan. Pembuatan model bertujuan untuk mendapatkan gambaran sebenarnya dari desain yang telah dibuat. Model dibuat dari kertas karton dengan perbandingan dimensi 1:1. Hopper pupuk dibuat dari bahan plat stainless steel agar tidak mudah berkarat. Tebal plat yang digunakan adalah 1 mm dengan sudut kemiringan dinding hopper 45. Proses pengerjaan plat dilakukan dengan cara dipotong, ditekuk dan dilas. Pemotongan plat dilakukan berdasarkan pola dan model yang telah dibuat menggunakan alat pemotong plat dan gerinda potong. Beberapa potonganpotongan plat dapat dilihat pada Gambar 37. Setelah potongan-potongan plat disatukan menggunakan las listrik, dilakukan penghalusan dan pendempulan. Penghalusan dilakukan untuk merapikan bagian yang disambung menggunakan las listrik menjadi lebih rapi. Sedangkan pendempulan dilakukan untuk menutup lubang-lubang kecil pada sambungan-sambungan plat tersebut. Bentuk hopper pupuk dapat dilihat pada Gambar 38. Pada bagian bawah, tempat masuknya metering device dan pengatur dosis ditambahkan karet (seal). Seperti tampak pada Gambar 39, hal ini untuk mencegah pupuk keluar dari celah antara hopper dan selubung rotor metering device pupuk. Karena keterbatasan ruang hopper pupuk hanya mempunyai volume 5063.96 cm3.
34
Gambar 38. Potongan-potongan plat
Gambar 39. Hopper pupuk
Gambar 40. Penggunaan karet (seal) pada metering device pupuk
35
5.1.4. Modifikasi Roda Penggerak Silinder roda penggerak pada prototipe-2 dibuat dari plat baja dengan ketebalan 3 mm dengan diameter 300 mm dan lebar 100 mm. Agar roda dapat berputar pada poros roda dengan gesekan kecil ditambahkan bearing yang terbuat dari modifikasi nap sepeda. Pada ujung nap dipasang sproket dengan jumlah gigi 14 buah. Ditambahkan plat besi pada tepi roda (sirip radial) seperti tampak pada Gambar 40 dan 12 sirip pada roda diganti dengan plat yang lebih lebar sebanyak 16 buah. Sirip berbentuk trapesium menyesuaikan tambahan plat pada tepi roda penggerak.
Gambar 41. Roda penggerak hasil modifikasi
5.1.5. Saluran Penempatan dan Pembuka Alur Benih
Gambar 42. Pembuka alur benih
36
Bagian-bagian penanam yang lain perlu disesuaikan karena posisi hopper benih berada di tengah. Bagian-bagian tersebut adalah saluran penempatan dan pembuka alur benih. Saluran dan penempatan benih masih terbuat dari bahan yang sama dengan prototipe-1. Saluran benih menggunakan selang plastik diameter 19 mm dan pembuka alur menggunakan plat baja setebal 1 mm (Gambar 41). Posisi pembuka alur terletak 10 cm di depan alat pembuat guludan. Kedalaman pembuka alur dapat diatur karena besi penahan pembuka alur terbuat dari poros berulir. Cara pengaturannya adalah dengan memutar mur pengencang yang ada pada ujung poros.
5.1.6. Saluran Penempatan dan Pembuka Alur Pupuk Dari hopper, pupuk disalurkan menggunakan pipa baja menuju pembuka alur. Pembuka alur pupuk menggunakan plat stainless steel dengan tebal 1 mm. Pipa baja digunakan sebagai saluran pupuk sekaligus sebagai tangkai pembuka alur. Pipa baja yang digunakan adalah pipa dengan diameter dalam 22 mm dan tebal 2 mm. Saluran pupuk (Gambar 42) disesuaikan dengan posisi alat pembuat guludan yang terletak tepat di bawah hopper pupuk.
Gambar 43. Pembuka alur pupuk
5.1.7. Sistem Transmisi
(a) (b) Gambar 44. Sproket metering device (a) dan roda penggerak (b)
37
Jenis transmisi yang digunakan adalah rantai, sproket dan bevel gear. Sesuai dengan rancangan, sistem transmisi yang digunakan adalah rantai nomor 40, seproket dengan jumlah gigi 14 buah untuk poros roda penggerak dan 18 buah untuk poros metering device. Jumlah rantai yang digunakan adalah 78 mata rantai. Untuk memutar metering device benih digunakan sepasang bevel gear dengan jumlah gigi 14 buah. Sistem transmisi yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 43 dan Gambar 44.
Gambar 45. Penggunaan bevel gear untuk penjatah benih
5.2. Hasil Modifikasi Prototipe Mesin Penanam dan Pemupuk Jagung Prototipe-2 mesin penanam dan pemupuk jagung terintegrasi merupakan penyempurnaan desain dari prototipe sebelumnya. Unit penanam, pemupuk, dan pembuat guludan, semua unit tersebut terintegrasi pada traktor roda dua dan unit pengolah tanah rotary. Modifikasi yang dilakukan adalah merubah beberapa bagian pada unit penanam dan pemupuk. Secra keseluruhan, hasil modifikasi mesin ini dapat dilihat pada Gambar 45. Hopper benih terletak di bagian tengah rangka utama dan hopper pupuk terletak di samping kiri dan kanan hopper benih Bentuk dan posisi hopper benih dan pupuk dapat dilihat pada Gambar 46 dan Gambar 47. Saluran benih hasil modifikasi lebih lurus dibandingkaan dengan prototipe sebelumnya karena lubang pengeluaran benih berada di depan (Gambar 48). Posisi pembuka alur pupuk sedikit ke belakang agar tidak mengganggu mekanisme pengatur guludan (Gambar 49). Hasil modifikasi rangka utama mengakibatkan posisi dudukan pegas bergesar ke belakang. Bergesernya dudukan pegas tersebut membuat roda penggerak tidak dapat berputar. Oleh sebab itu poros roda penggerak juga digeser ke belakang (Gambar 50). Dengan modifikasi ini berat roda berkurang 3 kg dari roda penggerak prototipe-1. Berat roda penggerak prototipe-1 adalah 5 kg.
38
(a) (b) Gambar 46. Perbandingan prototipe-1 (a) dan prototipe-2 (b)
Gambar 47. Hopper pupuk dan hopper benih prototipe-1
Gambar 48. Hopper pupuk dan hopper benih prototipe-2
39
(a) (b) Gambar 49.Perbandingan saluran benih dan pembuka alur benih prototipe-1 (a) dan prototipe-2 (b)
(a) (b) Gambar 50. Perbandingan saluran dan pembuka alur pupuk prototipe-1 (a) dan prototipe-2 (b)
(a) (b) Gambar 51. Perbandinagan roda penggerak sebelum (a) dan sesudah (b) modifikasi
40
5.3. Kinerja Unit Penanam dan Pemupuk 5.3.1. Kemacetan Roda Penggerak Besar kemacetan roda penggerak rata-rata adalah 31% dalam kondisi hopper terisi dan 15% dalam keadaan kosong. Besarnya kemacetan roda penggerak tersebut disebabkan oleh gesekan pupuk dengan metering device dan kurangnya torsi yang dihasilkan roda penggerak. Dari hasil pengamatan, pupuk TSP yang menyebabkan kemacetan pada rotor metering device karena ukuran butiran pupuk yang besar dan keras. Kemacetan pada metering device ini diilustrasikan pada Gambar 52. Untuk mengatasinya, pupuk TSP dihaluskan sebelum diaplikasikan, memasangkan karet pada dinding hopper supaya butiran pupuk tidak tersangkut, atau menggunakan tipe penjatahan lain yang memiliki tingkat gesekan dengan butiran pupuk dan dinding hopper lebih kecil.
Gambar 52. Kemacetan metering device pupuk
Guludan yang terbentuk adalah tanah gembur hasil dari rotary tiller yang memiliki tahanan geser yang rendah sehingga cengkeraman dengan permukaan roda penggerak kurang. Untuk mengatasinya, roda penggerak dapat ditempatkan di permukaan tanah dasar (lembah) guludan seperti pada Gambar 53. Pada bagian ini, besar tahanan geser lebih besar dan tanah lebih padat sehingga torsi yang yang dihasilkan lebih besar.
Gambar 53. Alternatif penempatan roda penggerak metering device
41
5.3.2. Kinerja Penanaman Jarak tanam benih diukur dari tempat jatuhnya benih-benih jagung setelah penanaman. Jarak tanam benih yang dihasilkan masih bervariasi yaitu 22 cm sampai 32 cm dengankoefisien keseragaman 10.35%. Jarak tanam yang bervariasi tersebut karena slip roda penggerak yang cukup besar. Kedalaman penanaman benih berkisar antara 1 sampai 3 cm, sedangkan kedalaman benih yang diharapkan adalah 5 cm. Hasil penanaman ini dilakukan pada panjang tangkai pembuka alur maksimum. Agar tercapai kedalamn yang diharapkan, tangkai pembuka alur dapat diganti dengan ukuran yang lebih panjang. Pengujian prototipe di lapangan menghasilkan jumlah benih tiap lubang berkisar antara 1 sampai 2 benih dengan rata-rata 1.53 butir benih. Banyaknya benih tiap lubang tanam dipengaruhi oleh ukuran benih dan tingkat keseragaman benih. Celah metering device akan terisi oleh satu benih yang berukuran besar. Sedangkan benih yang berukuran kecil dapat mengisi celah metering device lebih dari satu butir benih. Hasil lahan setelah pengujian kinerja mesin dapat dilihat pada Gambar 54.
Gambar 54. Hasil penanaman dan pemupukan
5.3.3. Kinerja Pemupukan Pengujian dosis pemupukan di lapangan dapat dilihat pada Gambar 55. Jarak antara alur benih dan alur berkisar antara 11 cm sampai 12 cm. Untuk alur pupuk urea, jarak rata-rata dari alur benih adalah 11 cm sedangkan untuk alur campuran pupuk TSP dan KCl adalah 10.8 cm. Data lengkap hasil pengujian jarak alur benih dan pupuk disajikan pada Lampiran 5. Kedalaman pupuk masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Seperti yang terlihat pada Gambar 56, saluran pupuk kurang masuk ke dalam tanah sehingga pupuk jatuh di atas permukaan tanah setelah alur pupuk menutup. Saluran pupuk perlu dibuat dengan panjang yang sesuai dengan kedalaman pembuka alur sehingga pupuk dapat masuk ke dalam tanah.
42
Gambar 55. Pengujian dosis di lahan
Gambar 56. Penempatan pupuk di lapangan
Dosis (g/m)
20 15 10 5 0 30
42
45
60
Bukaan Metering Device (cm) Pengujian Stasioner
Pengujian Lapangan
Perhitungan Teoritis
Gambar 57. Dosis pengeluaran pupuk urea
43
Perbandingan jumlah pupuk urea yang dikeluarkan dapat dilihat pada Gambar 57. Hasil dari pengujian stasioner pupuk urea sudah mendekati perhitungan teoritis. Tetapi hasil dari pengujian lapangan menunjukkan jumlah yang lebih rendah. Pada pengujian unit pemupuk di lapangan terjadi kemacetan roda penggerak, sehingga metering device tidak berputar seperti seharusnya. Sifat pupuk yang higroskopis membuat pupuk cepat menggumpal serta melekat pada dinding hopper dan metering device. Dosis pupuk urea yang direncanakan adalah 150 kg/ha atau 8.09 g/m alur dengan bukaan metering device 42 mm. Dilihat dari data pengujian pada Lampiran 4, panjang alur terbuka rotor metering device yang paling mendekati kebutuhan pemupukan urea adalah 60 mm, yaitu dengan dosis 168.70 kg/ha atau 12.65 g/m alur. Walaupun terjadi kemacetan roda penggerak, dosis pupuk pada pengujian stasioner, pengujian lapangan dan perhitungan teoritis campuran pupuk TSP dan KCl tidak jauh berbeda (Gambar 58). Misalnya pada bukaan metering device 45 mm, dosis pupuk pada pengujian stasioner 19.91 g/m, pengujian lapangan 21.58 g/m, dan perhitungan teoritis 18.26 g/m. Campuran pupuk TSP dan KCl tidak lengket dan tidak mudah menggumpal seperti pupuk urea. Pupuk KCl juga memiliki ukuran butiran yang halus sehingga lebih mudah jatuh ke dalam saluran penempatan pupuk ketika mesin mulai dihidupkan.
Dosis (g/m)
40 30 20 10 0 30
45
56
60
Bukaan Metering Device (mm) Pengujian Stasioner
Pengujian Lapangan
Perhitungan Teoritis
Gambar 58. Dosis pengeluaran campuran pupuk TSP dan KCl
5.3.4. Kapasitas Lapangan Prototipe-2 mesin penanam dan pemupuk jagung mempunyai kapasitas lapangan teoritis sebesar 1618.50 m2/jam (0.16 ha/jam) pada kecepatan maju rata-rata 0.60 m/s dan kapasitas lapangan efektif 1327.87 m2/jam (0.13 ha/jam). Dengan nilai kapasitas lapangan teoritis dan efektif tersebut, prototipe ini memiliki efisiensi lapangan sebesar 82.04%. Efisiensi lapangan ini masih bisa ditingkatkan dengan mempercepat waktu belok.
44
5.3.5. Perbandingan Kinerja Prototipe-1 dan Prototipe -2 Data kinerja prototipe-1 dan prototipe-2 dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perbandingan kinerja prototipe-1 dan prototipe -2 Prototipe-1 Protitpe-2 1.
Volume Hopper: a). Urea
1.18 kg
3.62 kg
2.66 kg
5.45 kg
7.69 g/m
3.76 - 12.65 g/m
15.39 g/m
16.13 - 33.85 g/m
Jarak Tanam
18 - 31 cm
22 - 32 cm
(koefisien keragaman)
(10.35%)
(17.47%)
4.
Kedalaman Tanam
6 - 8 cm
1 - 3 cm
5.
Jarak Alur Benih dan Pupuk
10-13 cm
10 - 12 cm
6.
Kemacetan Roda Penggerak
38%
31%
7.
Kapasitas Lapangan teoritis
0.13 ha/jam
0.16 ha/jam
8.
Kapasitas Lapangan efektif
0.11 ha/jam
0.13 ha/jam
9.
Efisiensi Lapangan
85.31%
82.04%
b). TSP + KCl 2.
Dosis Pemupukan: a) Urea b). TSP + KCl
3.
45