V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Sumber-sumber Pencemaran di Teluk Jakarta Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, jumlah penduduk, sistem pertanian, kemiskinan, dan kondisi lingkungan hidup saling berkaitan. Pertambahan jumlah penduduk memerlukan lahan untuk perumahan dan pertanian, yang seringkali berkaitan pada pengurangan lahan hutan dan perambahan hutan.
Pertambahan penduduk juga akan menstimulasi aktivitas
industri yang mempunyai korelasi kuat dengan terjadinya pencemaran perairan. Dalam penelitian ini sumber pencemaran air di DKI Jakarta yang berasal dari landbased disebabkan oleh tiga kategori limbah antara lain limbah domestik, limbah industri dan limbah pasar. Selain itu adanya penurunan debit sungai menyebabkan pengenceran atau daya perbaikan sungai tidak berlangsung secara baik dan berkesinambungan, serta kegiatan di sepanjang Pantai Pantura Jakarta. Penumpukan limbah padat (sampah) merupakan akibat pencemaran dari darat, seperti terlihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Sampah-sampah di sekitar muara sungai
Adapun kontribusi dari masing-masing sumber pencemar berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat pada skema kontribusi sumber pencemar terhadap Teluk Jakarta pada Gambar 15.
54
Gambar 15. Skema kontribusi sumber pencemar terhadap Teluk Jakarta 5.1.1. Sumber Pencemar dari Landbased 5.1.1.1. Limbah Rumah Tangga (Domestik) A. Jumlah Limbah Rumah Tangga Laporan timbulan sampah di DKI Jakarta didapatkan berdasarkan laporan Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) yang merupakan hasil survei Produksi dan komposisi Sampah yang dilaksanakan oleh WJEMP 3-11 pada bulan Desember 2004 dan Januari 2005. Timbulan sampah pada bulan Desember 2004 dan Januari 2005 adalah sebesar 2,97 lt/kapita/hari atau 0,64 kg/kapita/hari. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Perkiraan timbulan sampah berdasarkan hasil survei tahun 2005 Sumber Sampah Pemukiman Pasar Sekolah Perkantoran/ Fasum Industri
Timbulan Sampah Sumber
Satuan
Jumlah Sumber
Satuan
1,36 9,82 0,40 3,36
Liter/orang/hari Liter/pedagang/hari Liter/murid/hari Liter/pekerja/hari
7.456.931 76.350 2.386.687 2.535.680
Jiwa Pedagang Murid Pegawai
2,76
Liter/buruh/hari Total
688.098
buruh
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Total Produksi Sampah (m3/hari) 10.141 750 955 8.520 1.899 22.265
55 Untuk lebih mudah dalam melihat perbandingan jumlah total produksi sampah dari berbagai sumber data disajikan dalam bentuk histogram pada Gambar 16.
12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 Sumber Sampah
Pemukiman
Pasar
Sekolah
Perkantoran
Industri
10141
750
955
8520
1899
Gambar 16. Produksi sampah dari berbagai sumber sampah
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa timbulan sampah di wilayah DKI Jakarta didominasi oleh sampah domestik. Dalam kategori sampah domestik antara lain sampah yang berasal dari pemukiman, sekolah dan perkantoran. Sampah domestik merupakan limbah padat yang merupakan sisa dari aktivitas domestik (seperti rumah tangga, perkantoran dan sekolah) yang tidak terpakai baik bersifat organik maupun non-organik yang apabila tidak dikelola akan mengganggu kesehatan manusia dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan serta kerawanan sosial (BPLHD, 2004). Berdasarkan data di atas sampah domestik sangat besar dan mendominasi timbulan sampah di DKI Jakarta. Timbulan dari pemukiman total produksinya mencapai 10.141 (m3/hari), sekolah 955 (m3/hari), dan perkantoran 8.520 (m3/hari).
Jika dihitung dari ketiga limbah padat tersebut berjumlah 19.616
(m3/hari) atau mendominasi sekitar 88% dari limbah domestik yang ada. Hal tersebut sangat sesuai apabila melihat tingkat kepadatan penduduk dan jumlah sekolah serta perkantoran yang ada di Jakarta.
Dari hasil laporan Dinas
Kebersihan DKI Jakarta tercatat penggunaan lahan di DKI Jakarta pada tahun
56 2003, terdiri dari 67% (perumahan), 6% (industri), 6,4% (perkantoran) dan 16% (taman).
Keadaan tersebut diperkuat juga dengan jumlah dan kepadatan
penduduk DKI Jakarta tahun 2004 berjumlah total 8.725.600 (jiwa) dengan tingkat kepadatan 13.195 (jiwa/km2).
Kepadatan pemukiman di DKI Jakarta
dapat terlihat dari foto udara yang disajikan pada Gambar 17.
Jarak ± 100 meter
Gambar 17. Kepadatan pemukiman di DKI Jakarta
Umumnya sekitar ±100 meter kanan kiri sungai yang membuang limbah rumah tangga (domestik) ke sungai, seperti yang terlihat pada gambar dengan garis berwarna kuning. Kondisi data di atas baru didasarkan atas kondisi jumlah penduduk yang berada di seluruh wilayah DKI Jakarta yang meliputi Jakarta pusat, utara, selatan, barat dan timur. Padahal sebetulnya sampah yang masuk ke Teluk Jakarta tidak hanya berasal dari aktivitas penduduka Jakarta namun juga disebabkan oleh penduduk dari luar Jakarta. Untuk memudahkan perhitungan perkiraan jumlah timbulan sampah ke depan, maka jumlah timbulan sampah diwakilkan dalam nilai besaran per-jiwa penduduk DKI Jakarta (liter/jiwa/hari) atau (kg/jiwa/hari) seperti tercantum dalam Tabel 10 di bawah ini.
57 Tabel 10. Perkiraan timbulan sampah DKI Jakarta tahun 2005 Sumber Sampah Pemukiman Pasar Sekolah Perkantoran/Fasum Industri Total
Liter/jiwa/hari 1,36 0,10 0,13 1,14 0,25 2,97
Kg/jiwa/hari 0,34 0,03 0,03 0,18 0,06 0,64
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Tabel 10 di atas semakin memperjelas bahwa diperkirakan setiap jiwa di Jakarta mengeluarkan sampah sebesar 1,36 (liter/jiwa/hari) atau setara dengan 0,34 (kg/jiwa/hari) untuk pemukiman, 0,03 (kg/jiwa/hari) untuk sekolah dan 0,18 (kg/jiwa/hari) untuk perkantoran. Dari ketiga golongan tersebut timbulan sampah domestik lebih banyak dihasilkan dari pemukiman.
Kondisi tersebut
membutuhkan penanganan yang serius dari pemerintah untuk menata kembali jumlah penduduk yang ada di DKI Jakarta. Aktivitas urbanisasi dan banyaknya komuterian (komunitas yang berprofesi di Jakarta tetapi tinggalnya tidak di Jakarta) harus dibatasi dan diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan bagi pembangunan di Jakarta sendiri. Sedangkan berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah juga menunjukkan nilai yang berbeda-beda seperti tertera dalam Tabel 11.
Tabel 11. Berat jenis sampah dari berbagai sumber sampah Sumber Sampah Pemukiman Pasar Sekolah Perkantoran/ Fasum Industri Total Sampah
Berat Jenis Sampah (Kg/liter) 0,25 0,30 0,27 0,15 0,23 0,21
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
B. Komposisi Sampah Domestik Komposisi terhadap sampah berubah sepanjang waktu, sampah domestik dimana komposisinya lebih banyak plastik, kertas, logam dan beling, dan sedikit kayu/daun, garbage dan batu. Kandungan air diproyeksikan menurun dari 54% pada tahun 1986 menjadi 48% pada tahun 2005 (Tabel 12).
58 Tabel 12. Proyeksi komposisi sampah domestik (kondisi kering) Jenis/Komponen Sampah Plastik Kertas Tekstil Kayu/daun Garbage Lain-lain Sub Total Logam Beling Batu Sub Total Total Kandungan air Volatile Kandungan abu C/N ratio Nilai kalori rendah
1986 10 17 5 12 23 15 82 4 4 10 18 100 54 28 18 32 1,100
Persentase (%) 1995 10 19 5 11 21 14 82 5 5 8 18 100 51 30 19 33 1,300
2005 14 21 5 10 19 12 81 7 6 6 19 100 48 32 20 35 1,500
Pertumbuhan/ Tahun (%) 2 1 0 -1 -1 5 3 3 -3 -
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Dari hasil data di atas terlihat bahwa komponen sampah domestik dalam kondisi kering lebih banyak berasal dari jenis kertas, garbage dan plastik. Hal itu disebabkan karena banyaknya pemukiman dan perkantoran di Jakarta dan sekitarnya. Sampah-sampah di atas merupakan jenis sampah non-biodegredable (tidak dapat diurai) sehingga pengelolaannya harus dilakukan dengan teknologi tertentu. Produksi kertas, plastik dan garbage dalam jangka panjang jika tidak dikelola dengan baik akan lebih berbahaya dengan jenis sampah lainnya. Hal tersebut membutuhkan kejelian dan keseriusan pemerintah setempat (DKI Jakarta) dalam pengelolaannya.
Sedangkan mengenai komposisi sampah berdasarkan
persentase pemukiman, komersial, dan pasar data disajikan pada Tabel 13.
59 Tabel 13. Komposisi sampah dari beberapa sumber pencemar di DKI Jakarta No
Komponen
1 2
Organik (sisa makanan, daun,dll) Anorganik 2.1. Kertas 2.2. Plastik 2.3. Kayu 2.4. Kain/tekstil 2.5. Karet/kulit tiruan 2.6. Logam/metal 2.7. Gelas/kaca 2.8. Sampah bongkahan 2.9. Sampah B3 2.10. Lain-lain (batu,pasir,dll) Total
Persentase (%) Pemukiman Komersial 62,27 9,84 37,73 90,16 13,43 58,42 13.50 14,69 0,07 0 0,85 0 0,19 0,28 0,95 2,02 1,26 5,68 1,00 0,63 1,21 3,65 5,27 4,79 100 100
Pasar 83,69 16,31 5,15 9,66 0,12 0 0,14 0,29 0 0 0,12 0,82 100
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Berdasarkan data di atas dilihat dari komponen organik dan anorganik dari jenis sampah yang ada terlihat bahwa untuk sampah organik, pemukiman 62,27%, komersial 9,84% dan pasar 83,69%.
Hasil ini menunjukkan bahwa sampah
organik didominasi oleh pasar karena di dalamnya berasal dari daun, sisa makanan dan bahan-bahan yang dapat diurai lainnya.
Berbeda dengan jenis
sampah anorganik, terlihat komposisinya antara lain pemukiman (37,73%), komersial (90,16%) dan pasar (16,31%).
Sampah anorganik lebih banyak
dihasilkan dari kegiatan komersial termasuk di dalamnya kegiatan perkantoran, industri dan sekolah. Sedangkan untuk pemukiman sendiri lebih kecil karena memang dari pemukiman jarang dihasilkan limbah padat anorganik, begitu halnya dengan pasar. Kondisi tersebut didukung dengan fakta bahwa di Jakarta jumlah perkantoran sangat padat dan banyak dengan berbagai aktivitas yang hampir kesemuanya menghasilkan sampah berupa plastik, kertas dan lainnya. Dari total sampah yang ada (organik dan anorganik) dilakukan dua mekanisme pengolahan yaitu didaur ulang dan dibuang. Untuk sampah organik dari total sampah 55,37% (pemukiman, komersial dan pasar) tidak ada yang didaur ulang dan semuanya dibuang (55,37%). Hal ini berarti belum tercipta kesadaran di masyarakat bahwa sampah organik dapat didaur ulang sehingga mempunyai nilai lebih yang bermanfaat dan mengurangi degradasi lingkungan dan kesehatan. Disinilah pentingnya penyadaran melalui proses sosialisasi dan
60 pendampingan oleh pihak terkait seperti pemerintah daerah, LSM maupun swasta untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya proses daur ulang sampah. Namun fakta tak terbantahkan bahwa saat ini proses penyadaran tersebut sangat kurang sehingga masyarakat juga tidak sepenuhnya dapat disalahkan.
Data
mengenai persentase komposisi sampah baik yang di daur ulang maupun dibuang langsung ke lingkungan dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Komposisi sampah dari beberapa sumber pencemar di DKI Jakarta No
Komponen
1 2
Organik (sisa makanan, daun,dll) Anorganik 2.1. Kertas 2.2. Plastik 2.3. Kayu 2.4. Kain/tekstil 2.5. Karet/kulit tiruan 2.6. Logam/metal 2.7. Gelas/kaca 2.8. Sampah bongkahan 2.9. Sampah B3 2.10. Lain-lain (batu, pasir,dll) Total
Dibuang 55,37 24,68 13,15 6,40 0 0 0 0 0 0 1,52 4,65 80,05
Persentase (%) Daur ulang 0 19,95 7,32 6,85 0,07 0,61 0,19 1,06 1,91 0,81 0 0 19,95
Total 55,37 44,63 20,57 13,25 0,07 0,61 0,19 1,06 1,91 0,81 1,52 4,65 100
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Berbeda dengan sampah anorganik, terlihat bahwa dari total jumlah 44,63% dari berbagai sumber, 19,95% di daur ulang dan 24,68% dibuang. Dalam kasus ini, masyarakat menyadari pentingnya proses daur ulang bagi sampah anorganik mengingat keberadaannya lebih berbahaya dibandingkan dengan sampah organik. Namun itupun terhitung sangat rendah karena masih banyak yang dibuang dibandingkan yang didaur ulang. Lagi-lagi proses penyadaran dan kebijakan yang tegas akan pentingnya pengelolaan limbah anorganik dilakukan oleh pihak-pihak yang berkewajiban seperti Dinas Kebersihan, Dinas Lingkungan Hidup dan pemangku kepentingan lainnya. Data di atas menunjukkan bahwa tingkat kesadaran belum tercipta sepenuhnya di masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah.
Kesadaran
tersebut dapat bersumber dari dalam masyarakat sediri melalui peningkatan pengetahuan dan membangun budaya bersih atau tercipta dari luar melalui kebijakan dan program yang jelas dari pemerintah daerah maupun pihak terkait
61 lainnya. Peluang inilah yang harusnya diambil oleh pemerintah daerah di tengahtengah semakin semrawutnya Jakarta dan semakin tercemarnya Teluk Jakarta untuk menjadikan Jakarta sebagai kota ”zero waste”. Semboyan tersebut sering kali menjadi slogan dibanding kenyataan.
C. Karakter Sampah Domestik Karakteristik
sampah
sangat
penting
untuk
menentukan
teknologi
pengurangan dan pemusnahan sampah yang harus digunakan seperti misalnya insinerator maupun proses komposting. Sampah yang terlalu basah dengan nilai kalor yang rendah sangat mustahil untuk direduksi melalui sistem pembakaran (insenerator) sedangkan sampah yang terlalu kering memerlukan perlakuan khusus dalam proses pengkomposan. Pada tabel di bawah ini dapat kita lihat hasil analisis laboratorium terhadap besarnya nilai kalor, kadar air dan kadar abu sampel berbagai jenis sampah DKI Jakarta pada Tabel 15. Tabel 15. Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber Sumber Sampah Industri Pasar Modern Perkantoran Pasar Sekolah Pemukiman Pendapatan Tinggi Pemukiman Pendapatan Menengah Pemukiman Pendapatan Rendah Rata-rata
Perhitungan Karakteristik Nilai Kalor Kadar Air Kadar Abu (Kkal/Kg) (%) (%) 3.553 23,73 11,93 2.102 36,59 17,13 2.434 23,17 17,60 1.778 56,58 10,26 3.248 31,31 13,92 2.332 47,40 16,43 2.795 44,81 16,03 2.149 45,85 16,27 2.531 36,22 14,51
Sumber: Hasil Analisa Laboratorium Balai Pelatihan Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (2005)
Dari data di atas terlihat bahwa nilai kalor terendah adalah pasar 1778 (Kkal/Kg), pemukiman rata-rata 2425 (Kkal/Kg), perkantoran 2434 (Kkal/Kg), sekolah 3248 (Kkal/Kg), dan industri 3553 (Kkal/Kg). Nilai kalor terendah sulit direduksi dengan sistem pembakaran (insenerator).
Begitu juga sebaliknya
sampah dengan nilai kalor tertinggi sulit direduksi dengan sistem komposting. Dari data di atas terlihat bahwa sampah pasar dan pemukiman lebih mudah
62 dikelola dengan sistem komposting. Sedangkan sampah sekolah dan industri lebih tepat dikelola dengan sistem pembakaran.
Sebagian dari sampah
pemukiman dan perkantoran sebetulnya juga lebih mudah dikelola dengan sistem pembakaran tergantung dari komposisi sampah yang ada. Jika melihat pada data komposisi sampah sebelumnya, pemukiman lebih banyak didominasi oleh sampah organik. Artinya pengelolaan dapat dilakukan dengan sistem komposting. Meski jika terdapat jenis sampah anorganik disarankan untuk mereduksinya dengan pembakaran. Di bawah ini (Tabel 16) ditunjukkan masing-masing nilai kalor, kadar abu dan kadar air bagi masing-masing sumber sampah. Tabel 16. Perkiraan karakteristik rata-rata sampah di DKI Jakarta Karakteristik Sampah Nilai Kalor Kadar Air Kadar Abu Kemungkinan Insenerasi Karakteristik Sampah Nilai Kalor Kadar Air Kadar Abu Kemungkinan Insenerasi
Industri 3.804 27,13 5,03% *** Sekolah 2.090 39,72 6,38 % ***
Pasar Modern 1.646 39,91 7,22% **
Tinggi 2.795 49,55 8,55 % **
Perkantoran
Pasar
1.786 27,85 5,53% ***
1.184 59,88 9,27% *
Pemukiman Sedang 2.332 51,71 8,49 % **
Rendah 2.149 48,61 8,35 % **
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005) Keterangan : * ** = sangat baik ** = baik * = kurang baik
Dari hasil penelitian komposisi sampah di Jakarta dan perkiraan karakteristik sampah Jakarta. Seperti Tabel 16 di atas, maka nilai kalor sampah Jakarta dari segala sumber memenuhi persyaratan untuk pengolahan dengan dibakar pada instalasi pembakaran sampah. Maka bahan yang paling baik untuk dibakar adalah sampah yang berasal dari wilayah komersial seperti perkantoran, sekolah, pasar modern dan lain-lain serta sampah yang berasal dari industri barang dari kain (konveksi). Sampah dari pasar merupakan sampah yang kurang baik untuk direduksi dengan teknologi pembakaran karena kadar air yang tinggi dan nilai kalor yang relatif rendah dibandingkan sumber lainnya.
63 Untuk timbulan sampah rumah tangga, berdasarkan dari komposisi maupun karakteristiknya, ternyata mengalami perubahan apabila dibandingkan dengan komposisi dan karakter timbulan sampah 20 tahun lalu. Jika dilihat dari persyaratan dalam penerapan teknologi pembakaran sampah, perubahan tersebut menuju kearah perubahan yang lebih baik yaitu terjadi peningkatan pada nilai kalor dan penurunan air yang cukup signifikan, ini terjadi karena penurunan komposisi organik dan kenaikan pada komponen kertas dan plastik, sehingga pada saat ini karakteristik sampah rumah tangga dapat dikatagorikan dalam kriteria dapat diolah dengan menggunakan insenerasi/pembakaran. Dari hasil pengamatan dan wawancara diperoleh bahwa sebagian besar masyarakat disekitar sungai yaitu 100 m kiri kanan sungai membuang limbah domestiknya ke sungai sehingga volume limbah terutama limbah domestik di badan sungai relatif cukup besar.
D. Alasan Masyarakat Membuang Limbahnya ke Sungai Alasan kecenderungan masyarakat di sekitar sungai untuk membuang limbah langsung ke sungai adalah: •
Tidak adanya TPS di beberapa desa yang ada di sekitar DAS.
•
Lokasi TPS atau bak penampung limbah relatif lebih jauh daripada jarak ke sungai.
•
Menurut masyarakat bahwa membuang sampah ke sungai lebih cepat, murah dan tidak berdampak langsung bagi pembuang atau masyarakat yang membuang.
•
Tidak tegasnya pelaksanaan sanksi terhadap pembuangan sampah di badan sungai. Secara sepintas hal tersebut menandakan bahwa kesadaran dan kepedulian
masyarakat disekitar sungai relatif rendah terhadap kondisi sungai. Mungkin saja rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat tersebut disebabkan karena kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang rendah juga. Akibat dari buangan sampah tersebut menyebabkan pencemaran air, pencemaran tanah dan pencemaran udara. Di beberapa daerah yang menjadi tempat menumpuknya sampah, mengeluarkan bau yang tidak sedap karena terjadi
64 pembusukan sampah, warna sungai menjadi hitam berminyak seperti warna kertas film, dan tanah di sekitar buangan atau tempat penumpukan menjadi labil atau rentan terhadap erosi. Secara langsung dan tidak langsung hal tersebut akan menyebabkan gangguan bagi manusia atau masyarakat sendiri. Terbukti dengan tingginya jumlah penderita demam berdarah, muntaber, dan penyakit kulit dan penyakit saluran pernapasan, terutama di daerah-daerah kota di sekitar sungai.
5.1.1.2. Limbah Industri A. Jenis-jenis Limbah Industri di Perairan Teluk Jakarta Berbeda halnya dengan air buangan rumah tangga, air buangan industri mempunyai karakteristik yang sangat bervariasi antara satu jenis industri dengan jenis industri lainnya. Bahkan untuk industri yang menghasilkan produk yang sama akan tetapi menggunakan bahan baku atau proses yang berbeda dapat menghasilkan air buangan dengan karakteristik yang berbeda, terutama konsentrasi bahan yang terkandung di dalamnya. Bahan polutan yang terkandung di dalam air buangan menurut Prapto (1992), secara umum dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu bahan terapung, bahan tersuspensi dan bahan terlarut. Selain dari ketiga kategori tersebut, ada polutan lain yaitu panas, warna, rasa dan bau, serta radioaktif. Menurut sifatnya ketiga kategori bahan polutan tersebut dapat dibedakan sebagai yang biodegradable (mudah terurai secara biologi) dan yang nonbiodegradable. Berdasarkan studi yang telah dilakukan diketahui bahwa terdapat delapan kelompok besar penghasil limbah B3, tujuh diantaranya kelompok industri skala menengah dan besar, serta satu kelompok rumah sakit yang juga memiliki potensi menghasilkan limbah B3.
1. Industri tekstil dan kulit Air buangan tekstil pada umumnya mempunyai warna yang pekat, pH, BOD, temperatur dan bahan tersuspensi yang tinggi.
Kandngan BOD
bervariasi antara 50 sampai 10.000 mg/l tergantung pada macam atau jenis tekstil yang dihasilkan. Sumber utama limbah B3 pada industri tekstil adalah penggunaan zat warna. Beberapa zat warna dikenal mengandung Cr, seperti
65 senyawa Na2Cr2O7 atau senyawa Na2Cr3O7. Industri batik menggunakan senyawa naftol yang sangat berbahaya. Senyawa lain dalam kategori B3 adalah H2O2 yang sangat reaktif dan HClO yang bersifat toksik. Industri kulit menghasilkan air buangan yang mengandung padatan total, garam, sulfida, ion khrom, BOD dan kesadahan yang tinggi.
BOD air
buangan ini bervariasi antara 500 sampai 5.000 mg/l. Beberapa tahap proses pada industri kulit yang menghasilkan limbah B3 antara lain washing, soaking, dehairing, lisneasplatting, bathing, pickling, dan degreasing. Tahap selanjutnya meliputi tanning, shaving, dan polishing.
Proses tersebut
menggunakan pewarna yang mengandung Cr dan H2SO4. Hal inilah yang menjadi pertimbangan untuk memasukkan industri kulit dalam kategori penghasil limbah B3.
2. Pabrik kertas dan percetakan Sumber limbah padat berbahaya di pabrik kertas berasal dari proses pengambilan kembali (recovery) bahan kimia yang memerlukan stabilisasi sebelum ditimbun. Sumber limbah lainnya ada pada permesinan kertas, pada pembuangan (blow down) boiler dan proses pematangan kertas yang menghasilkan residu beracun.
Setelah residu tersebut diolah, dihasilkan
konsentrat lumpur beracun.
Produk samping proses percetakan yang
dianggap berbahaya dan beracun adalah dari limbah cair pencucian rol film, pembersihan mesin, dan pemrosesan film. Proses ini menghasilkan konsentrat lumpur sebesar 1-4 persen dari volume limbah cair yang diolah. Industri persuratkabaran yang memiliki tiras jutaan eksemplar ternyata memiliki potensi sebagai penghasil limbah B3. Industri kertas dan percetakan mempunyai air buangan dengan kandungan warna, bahan tersuspensi, bahan koloid, padatan terlarut dan bahan pengisi anorganik yang tinggi. Derajat keasaman (pH) air dapat tinggi dan rendah tergantung proses yang digunakan.
BOD air buangan ini dapat
mencapai 25.000 mg/l, namun tidak mudah terurai dengan proses biologi konvensional karena adanya refractory contaminant yang sangat toksik terhadap mikroorganisme air.
66 3. Industri kimia besar Industri kimia menghasilkan air buangan dengan karakteristik yang bervariasi menurut bahan kimia yang dihasilkan dan bahan baku yang dipergunakan.
Air buangan pabrik asam misalnya, mempunyai pH yang
rendah dan kandungan bahan organik yang rendah.
Pabrik detergen
menghasilkan air buangan dengan BOD dan surfaktan (MBAS) tinggi. Air buangan
pabrik insektisida mengandung bahan organik, benzena struktur
cincin dengan konsentrasi yang tinggi, bersifat asam dan sangat toksik terhadap bakteri dan ikan. Sementara, timbulnya limbah beracun dari industri pestisida bergantung pada jenis proses pada pabrik tersebut, yaitu apakah ia benar-benar membuat bahan atau hanya memformulasikan saja. Limbah cair pabrik resin yang sudah diolah menghasilkan lumpur beracun sebesar 3-5 persen dari volume limbah cair yang diolah. Pembuatan cat menghasilkan beberapa lumpur cat beracun, baik air baku (water-base) maupun zat pelarut (solvent-base). Sedangkan industri tinta menghasilkan limbah terbesar dari dari pembersihan bejana-bejana produksi, baik cairan maupun lumpur pekat. Kelompok industri ini masuk dalam kategori penghasil limbah B3, yang antara lain meliputi pabrik pembuatan resin, pabrik pembuat bahan pengawet kayu, pabrik cat, pabrik tinta, industri gas, pupuk, pestisida, pigmen, dan sabun.
4. Industri farmasi Kelompok indusrti farmasi terbagi dalam dua subkelompok, yaitu subkelompok pembuat bahan dasar obat dan subkelompok formulasi dan pengepakan obat. Umumnya di Indonesia adalah subkelompok kedua yang tidak begitu membahayakan.
Tetapi limbah industri farmasi yang
memproduksi antibiotik memiliki tingkat bahaya cukup tinggi. Limbah industri farmasi umumnya berasal dari proses pencucian peralatan dan produk yang tidak terjual dan kadaluarsa. Industri farmasi umumnya menghasilkan air buangan yang mempunyai kandungan bahan organik terlarut dan tersuspensi dengan konsentrasi yang tinggi, termasuk vitamin-vitamin.
67 5. Industri logam dasar Industri logam dasar non-besi menghasilkan limbah padat dari pengecoran, percetakan, dan pelapisan, yang mengahasilkan limbah cair pekat beracun sebesar 3 persen dari volume limbah cair yang diolah. Industri logam untuk keperluan rumah tangga menghasilkan sedikit cairan pickling yang tidak dapat diolah di lokasi pabrik dan memerlukan pengolahan khusus. Selain itu juga terdapat cairan pembersih bahan dan peralatan, yang konsentratnya masuk kategori limbah B3.
6. Industri perakitan kendaraan bermotor Kelompok ini meliputi perakitan kendaraan bermotor seperti mesin, diesel, dan pembuatan badan kendaraan (karoseri). Limbahnya lebih banyak bersifat padatan, tetapi dikategorikan sebagai non B3. Yang termasuk B3 berasal dari proses penyiapan logam (bondering) dan pengecatan yang mengandung logam berat seperti Zn dan Cr.
7. Industri baterai kering dan aki Limbah padat baterai kering yang dianggap bahaya berasal dari proses filtrasi. Sedangkan limbah cairnya berasal dari proses penyegelan. Industri aki menghasilkan limbah cair yang beracun, karena menggunakan H2SO4 sebagai cairan elektrolit.
8. Rumah sakit Rumah sakit menghasilkan dua jenis limbah padat maupun cair, bahkan juga limbah gas, bakteri, maupun virus. Limbah padatnya berupa sisa obatobatan, bekas pembalut, bungkus obat, serta bungkus zat kimia. Sedangkan limbah cairnya berasal dari hasil cucian, sisa-sisa obat atau bahan kimia laboratorium dan lain-lain. Limbah padat atau cair rumah sakit mempunyai karateristik dapat mengakibatkan infeksi atau penularan penyakit. Sebagian juga beracun dan bersifat radioaktif. Dalam kehidupan yang dinamis ini, saat limbah industri yang semakin bertambah maka perubahan tersebut sangat perlu untuk diperhitungkan.
68 Menurut Shuval (1977), setiap pertambahan limbah industri akan memerlukan penanganan yang lebih karena energi yang dikeluarkan oleh limbah industri terutama yang memberikan dampak negatif maka biaya yang dikeluarkan untuk penanganannya akan semakin besar karena termasuk didalamnya biaya penanganan untuk dampak sosial, karena selama ini banyak dari pihak industri tidak pernah memperhitungkan secara detil kerugian yang ditimbulkan dari dampak sosial tersebut, sehingga dalam hal ini dampak penanganan merupakan salah satu faktor yang harus dievaluasi secara hati-hati. Selama ini sangat sulit mengetahui secara persis, berapa jumlah limbah B3 yang dihasilkan suatu industri, karena pihak industri enggan melaporkan jumlah dan karakter limbahnya. Padahal, kejujuran pihak industri untuk melaporkan secara rutin jumlah dan karakter limbahnya merupakan informasi berharga untuk menjaga keselamatan lingkungan bersama.
Keengganan
mereka berawal dari biaya pengolahan limbah yang terlampau mahal, sehingga yang terjadi adalah menghindari keharusan melakukan pengolahan. Untuk itu diperlukan kebijaksanaan yang tidak terlampau menekan industri, agar industri terangsang untuk mengolah limbahnya sendiri.
B. Industri dan Sumber Dampak Munculnya
konsep
ekonomi
berkelanjutan
ataupun
pembangunan
berkelanjutan tidak lain didasari pada berbagai dampak yang telah dimunculkan terhadap lingkungan akibat berbagai aktivitas manusia. Kenyataan bahwa pembangunan tidak selalu memberikan keuntungan bagi umat manusia dan lingkungan terus dirasakan. Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan No 1.
Jenis Kegiatan Kimia
Dampak Pada Air Penggunaan proses pengolahan air dan colling water. Emisi dari kimia organik, logam berat (cadmium, mercury), suspensi-suspensi padat, bahan-bahan organik dan PCBs, dan resiko tumpahan-tumpahan produk kimia tertentu.
2.
Pulp dan Kertas
Penggunaan air proses. Emisi dari suspensi padat, bahan-bahan organik, chloronated organik substance, toxins (dioxins)
69 Tabel 17 (lanjutan). Dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan No 3.
Jenis Kegiatan Penambangan logam dan mineral
Dampak Pada Air Kontaminasi terhadap air permukaan dan tingginya kandungan asam air akibat kontaminasi dari berbagai logam berbahaya (arsenic, timah, cadmium). Kontaminasi penggunaan bahan kimia dalam proses ekstraksi logam.
4
Besi dan baja
Penggunaan air proses. Emisi dari material organik tars dan minyak, suspensi-suspensi padat, logam, benzena, fenol, asam sulfit, sulfat, trioktan, trisulfat, fluorida, timah seng (scruber effluent)
5
Logam-logam non-besi Air-air pencucian yang telah terkontaminasi logam, gas-gas efluen, bahan-bahan padat dan hidrokarbon
6
Kulit dan penyamakan
Proses yang menggunakan air. Efluen dari berbagai penggunaan bahan-bahan toksik yang mengandung suspesi padat, sulfat dan krom.
7
Industri farmasi
Limbah industri farmasi yang memproduksi antibiotik memiliki tingkat bahaya cukup tinggi. Limbah industri farmasi umumnya berasal dari proses pencucian peralatan dan produk yang tidak terjual dan kadaluarsa.
8
Industri perakitan kendaraan bermotor
Limbahnya lebih banyak bersifat padatan, tetapi dikategorikan sebagai non-B3. Yang termasuk B3 berasal dari proses penyiapan logam (bondering) dan pengecatan yang mengandung logam berat seperti Zn dan Cr.
9
Industri baterai kering Industri aki menghasilkan limbah cair yang dan aki beracun, karena menggunakan H2SO4 sebagai cairan elektrolit.
70 Tabel 17 (lanjutan). Dampak-dampak aktivitas industri terhadap lingkungan No 10
Jenis Kegiatan Rumah sakit
Dampak Pada Air menghasilkan dua jenis limbah padat maupun cair,bahkan juga limbah gas, bakteri, maupun virus. Limbah padatnya berupa sisa obatobatan, bekas pembalut, bungkus obat, serta bungkus zat kimia. Sedangkan limbah cairnya berasal dari hasil cucian, sisa-sisa obat atau bahan kimia laboratorium dan lain-lain. Limbah padat atau cair rumah sakit mempunyai karateristik bisa mengakibatkan infeksi atau penularan penyakit. Sebagian juga beracun dan bersifat radioaktif.
Sumber : World Healt Organization (1977)
5.1.1.3. Limbah Pasar A. Komposisi dan Karakteristik Sampah Pasar Karakterisasi sampah pasar pada bagian hilir khususnya di wilayah DKI Jakarta pada umumnya buangan limbah hasil kegiatan pasar tidak ada perlakuan lagi.
Pembuangan limbah ke sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta akan
berpengaruh pula pada kualitas air Teluk Jakarta (Gambar 18).
SUNGAI
PASAR
TELUK JAKARTA
Gambar 18. Alur pencemaran Teluk Jakarta
Peningkatan komposisi sampah pasar dan komersial lainnya selengkapnya tersaji pada Tabel 18.
71 Tabel 18. Proyeksi komposisi sampah pasar dan komersial tahun 2005 Jenis Sampah Plastik Kertas Tekstil Kayu/daun Garbage Lain-lain Subtotal Logam Beling Batu Subtotal Total Kandungan air Volatine Kandungan abu C/N ratio Nilai kalori rendah (kcal/kg)
Persentase (%) 1986 1995 2005 17 15 13 30 27 25 3 3 3 5 6 7 21 25 28 9 12 14 90 88 85 4 5 7 5 6 7 1 1 1 10 12 15 100 100 100 48 46 43 36 37 39 16 17 18 35 36 37 1,600 1,700 1,800
Pertumbuhan/10 Tahun (%) 2 1 0 -1 -1 5 3 -3 -
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Peningkatan komposisi sampah pasar dan komersial lainnya berupa bahan plastik mengalami peningkatan sekitar 2% dalam kurun waktu 10 tahun, dimana pada tahun 1986 berkisar 13%, 15% pada tahun 1995 dan meningkat menjadi 17% pada tahun 2005, yang berarti bahwa volume bahan pencemar plastik mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Hal ini dapat disebabkan oleh semakin
banyaknya bahan makanan kemasan instan yang menggunakan plastik sebagai pembungkus makanan dan bahan komersial lainnya. Hal tersebut juga seiring dengan peningkatan kuantitas dan kualitas hidup masyarakat kota yang lebih praktis, simpel dan cepat. Kondisi yang demikian secara langsung memberikan kontribusi terhadap peningkatan volume bahan pencemaran. Bahan lainnya yang juga mengalami peningkatan yakni berupa kertas sebanyak 1% dalam kurun waktu 10 tahun, dimana pada tahun 1986 volume bahan pencemar dari kertas sekitar 25% bertambah menjadi 27% pada tahun 1995 dan sekitar 30% pada tahun 2005. hal tersebut dapat terjadi seiring peningkatan kebutuhan masyarakat kota besar yang berbanding lurus dengan jumlah sampah/sisa bahan tersebut. Sedangkan untuk bahan seperti tekstil, kayu, garbage dan bahan lainnya tidak mengalami peningkatan dan bahkan ada beberapa bahan yang mengalami penurunan volume. Hal ini, dapat disebabkan semakin praktisnya
72 kehidupan masyarakat kota, sehingga penggunaan bahan-bahan seperti tekstil, kayu dan bahan lainnya tidak lagi memberikan sisa/garbage, dengan demikian mengurangi beban pencemaran dari bahan-bahan tersebut. Untuk bahan pencemar seperti logam dan beling juga mengalami peningkatan yang cukup berarti, hal ini dapat dilihat dengan bertambahnya volume bahan pencemar, yakni pada tahun 1986 berkisar 4%, dan 5% pada tahun 1995, serta pada tahun 2005 meningkat menjadi 7%, dan untuk bahan beling pada tahun 1986 sekitar 5%, pada tahun 1995 sekitar 6% dan pada tahun 2005 meningkat menjadi 7%. Hal tersebut, disebabkan oleh banyaknya penggunaan kedua bahan tersebut, sehingga sisa bahan yang digunakan akan memberikan kontribusi terhadap pencemaran. Namun bila melihat komposisi sampah yang terjadi di DKI Jakarta, maka dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan komposisi untuk bahan-bahan seperti plastik, kertas, kayu dan garbage yakni pada tahun 1986 nilai komposisinya sekitar 90%, pada tahun 1995 sekitar 88%, dan menurun hingga menjadi 85% pada tahun 2005. Hal sebaliknya justru terjadi peningkatan pada komposisi bahan pencemaran seperti logam, beling dan batu yang mengalami peningkatan komposisi yakni pada tahun 1986 hanya berkisar 10%, pada tahun 1995 menjadi 12%, dan meningkat secara tajam pada tahun 2005 yakni berkisar 15%. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa terjadi pergeseran pemanfaatan dan penggunaan bahan-bahan kebutuhan masyarakat, yang semula banyak mengkonsumsi bahanbahan seperti kayu berganti ke arah bahan-bahan logam dan beling. Namun khusus untuk kertas dan plastik tidak mengalami penurunan, tapi bahkan mengalami peningkatan yang cukup berarti. Penggunaan bahan-bahan seperti plastik, kertas, logam dan beling merupakan karakteristik masyarakat kota yang cenderung praktis, simpel dan instan.
Perbandingan persentase proyeksi dan
komposisi sampah pasar di DKI Jakarta dari tahun 1986, 1995 dan 2005 dapat dilihat pada Gambar 19.
73
Persentase Proyeksi Komposisi Sampah Pasar DKI Jakarta 2005 31.01%
34.88%
Tahun 2005
Tahun 1986
Tahun 1995
34.11%
Persentase Proyeksi Komposisi Sampah Pasar (Logam, Beling, Batu) di DKI Jakarta 40.54% 27.03% Tahun 2005
Tahun 1986
Tahun 1995
32.43%
Gambar 19. Perbandingan persentase proyeksi dan komposisi sampah pasar di DKI Jakarta dari tahun 1986, 1995 dan 2005 Komposisi rata-rata sampah yang bersumber dari pasar yang didasarkan pada 2 (dua) penggolongan seperti terlihat pada Tabel 19 yakni bahan organik (seperti; sisa makanan, daun dll) sekitar 83,69% dan bahan anorganik (seperti; kertas, kayu, plastik, kain, karet, logam, beling, sampah bongkahan dan sampah B3) sekitar 16,31%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa betapa bahan-bahan
pencemaran sangat didominasi oleh bahan organik seperti sisa makanan dan daundaunan yang jatuh.
Hal ini mengindikasikan bahwa konsumsi masyarakat
perkotaan sangat tinggi, terutama konsumsi bahan makanan.
Kondisi yang
demikian didorong oleh pilihan hidup yang lebih praktis dengan banyaknya restoran, hotel dan rumah makan yang dibuka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, sehingga secara langsung akan memberikan beban pencemar berupa sisa-sisa makanan.
74 Tabel 19. Komposisi sampah rata-rata dari sumber pasar di DKI Jakarta tahun 2005 No. Komponen 1 Organik (sisa makanan, daun, dll) 2 Anorganik 2.1. Kertas 2.2. Plastik 2.3. Kayu 2.4. Kain/tekstil 2.5. Karet/kulit tiruan 2.6. Logam/metal 2.7. Gelas/kaca 2.8. Sampah bongkahan 2.9. Sampah B3 2.10. Lain-lain (batu, pasir dll) Total
Pasar (%) 83,69 16,31 5,15 9,66 0,12 0,14 0,29 0,12 0,82 100
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Gambar 20 memperlihatkan bahwa komposisi rata-rata sampah pasar di DKI Jakarta tahun 2005 tersebut lebih banyak berasal dari bahan organik yaitu sebesar 86,69%, sedangkan sampah yang bersumber dari bahan anorganik sebesar 16,31%. Sampah organik ini paling banyak merupakan sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga/domestik berupa sisa makanan/dedaunan yang diangkut dan dibuang ke pasar maupun sisa hasil pertanian yang tidak terjual (Tabel 20).
Komposisi Sampah Rata-Rata dari Sumber Pasar di DKI Jakarta 2005
86.69 % Bahan Organik Bahan Anorganik
16.31%
Gambar 20. Komposisi rata-rata sampah pasar di DKI Jakarta tahun 2005
75 Tabel 20. Komposisi sampah rata-rata di DKI Jakarta No. 1 2
Komponen Organik (sisa makanan, daun, dll) Anorganik 2.1. Kertas 2.2. Plastik 2.3. Kayu 2.4. Kain/tekstil 2.5. Karet/kulit tiruan 2.6. Logam/metal 2.7. Gelas/kaca 2.8. Sampah bongkahan 2.9. Sampah B3 2.10. Lain-lain (batu, pasir dll) Total
Total 55,37 44,63 20,57 13,25 0,07 0,61 0,19 1,06 1,91 0,81 1,52 4,65 100
Persentase (%) Daur Ulang Dibuang 55,37 19,95 24,68 7,32 13,15 6,85 6,40 0,07 0,61 0,19 1,06 1,91 0,81 1,52 4,65 19,95 80,05
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Komposisi sampah pasar dari bahan-bahan anorganik rata-rata yang mengalami proses daur ulang (recycle) hanya berkisar 19,95%, sedangkan sampah yang berasal dari bahan-bahan organik seperti makanan dan dedaunan tidak ada yang mengalami proses daur ulang, tetapi semuanya langsung dibuang yakni sekitar 55,37%, dan untuk bahan anorganik yang dibuang sekitar 24,68%. Namun bila dihitung secara keseluruhan, sesungguhnya sampah-sampah yang mengalami proses daur ulang sangat sedikit yakni hanya sekitar 19,95%, bila dibandingkan dengan sampah-sampah yang langsung dibuang dan menjadi pencemar mencapai 80,05%. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya pencemaran baik berupa bau, sanitasi maupun gangguan kesehatan lainya.
Untuk lebih mudah melihat
gambaran komposisi jumlah sampah total di DKI Jakarta tahun 2005 data disajikan pada Gambar 21.
76
Komposisi Sampah Total Sumber di DKI Jakarta 2005
24.68 % 55.37 %
Bahan Organik
Bahan Anorganik
Gambar 21. Komposisi jumlah sampah total di DKI Jakarta Tahun 2005 Gambar 21 di atas memperlihatkan bahwa jumlah jenis sampah organik tetap paling besar yaitu sebesar 55,37% bila dibandingkan dengan sampah anorganik yang sebesar 24,68% dari seluruh sampah yang dibuang di wilayah DKI Jakarta. Sampah organik ini paling banyak merupakan sampah yang berasal dari kegiatan rumah tangga/domestik dan pasar berupa sisa makanan/dedaunan maupun hasil pertanian tanaman pangan yang tidak dikonsumsi (Tabel 21). Tabel 21. Nilai kalor dan kadar air sampah dari berbagai sumber pencemar Hasil Analisa Sumber Sampah Pasar Modern Pasar Tradisional Pemukiman Perkantoran Industri Sekolahan
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
36,59 56,58 45,93 23,17 23,73 31,31
17,13 10,26 16,24 17,60 11,93 13,92
Nilai Kalor (kkal/kg) 2102 17,78 2072 2434 3553 3248
Sumber: Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Berdasarkan Tabel 21, untuk sumber pencemar yang berasal dari pasar baik pasar tradisional maupun pasar modern seperti pertokoan dan mall, diperoleh hasil analisa laboratorium dan lapangan bahwa nilai kalor dan kadar air sampah mengalami perbedaan. Nilai kadar air dan kadar abu diamati dalam pencemaran dikarenakan kedua kadar tersebut dapat larut di dalam air. Untuk pasar modern kadar airnya sekitar 36,59% lebih kecil bila dibandingkan dengan kadar air sampah yang berasal dari pasar tradisional.
Hal ini dapat dimaklumi dan
77 dipahami bahwa pada umumnya sampah-sampah yang berasal dari pasar-pasar tradisional lebih didominasi oleh bahan-bahan makanan pokok yang tidak mengalami perlakuan teknologi yang baik, sehingga kandungan airnya akan melimpah menjadi sampah. Pada tabel tersebut terlihat tidak seluruh persentase mencapai 100% karena sisa dari persentase yang tidak termasuk dapat berupa plastik, besi dan lain-lain. Seperti pada pasar modern (mall) umumnya wadah makanan berupa plastik atau sejenisnya. Sedangkan untuk pasar tradisional jarang sekali penggunaan bahan-bahan tersebut sehingga kadar airnya lebih banyak. Kegiatan aktivitas di pasar tradisional dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Aktivitas kegiatan di pasar tradisional
Hal ini berbeda dengan pasar-pasar modern seperti mall atau swalayan, dimana bahan makanan tersebut mengalami perlakuan teknologi yang baik seperti freezer, kulkas maupun pemanas. Sedangkan untuk nilai kalor sampah yang berasal dari pasar modern lebih tinggi yakni berkisar 2102 kkal/kg,
bila
dibandingkan dengan nilai kalor sampah yang bersumber dari pasar tradisional yakni hanya berkisar 17,78 kkal/kg. Hal ini disebabkan oleh mutu atau kualitas bahan-bahan makanan yang bersumber dari pasar-pasar modern lebih baik, dibandingkan dengan mutu bahan makanan yang bersumber dari pasar tradisional, sehingga sisa-sisa bahan makanan tersebut yang menjadi sampah juga mengalami
78 perbedaan kualitas terutama dari segi kalori. Data komposisi sampah pada pasar tradisional dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Komposisi sampah pasar tradisional No. 1 2
Komponen Organik (sisa makanan, daun, dll) Anorganik 2.1. Kertas 2.2. Plastik 2.3. Kayu 2.4. Kain/tekstil 2.5. Karet/kulit tiruan 2.6. Logam/metal 2.7. Gelas/kaca 2.8. Sampah bongkahan 2.9. Sampah B3 2.10. Lain-lain (batu, pasir dll) Total
Total 83,69 16,31 5,15 9,66 0,12 0,14 0,29
Persentase (%) Daur Ulang Dibuang 83,69 8,67 7,63 3,06 2,09 5,06 4,60 0,12 0,00 0,14 0,29 -
0,12 0,82
-
0,12 0,82
100
8,67
91,32
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Komposisi timbulan sampah pasar tradisional yang berasal dari bahan organik (seperti; sisa makanan, dedaunan dan lain-lain) berkisar 83,69%, dan sekitar 16,31% yang merupakan timbulan sampah anorganik berupa kertas, plastik, kayu, kain/tekstil, karet, logam, kaca, sampah bongkahan dan sampah B3 (bahan berbahaya dan beracun). Berdasarkan komposisi sampah yang telah mengalami proses atau daur ulang, baru sekitar 8,67% dan masih terdapat sekitar 91,32% sampah baik bahan organik maupun anorganik belum mengalami proses daur ulang. Kondisi ini memberikan dampak yang buruk terutama bagi kesehatan lingkungan dan manusia. Apabila kapasitas asimilasi (assimilation capacities) lingkungan telah mencapai batas toleransi, maka timbulan-timbulan sampah tersebut akan menjadi pencemar. Untuk melihat perbandingan antara sampah yang di daur ulang dan yang dibuang pada pasar tradisional dapat dilihat pada Gambar 23.
79
Pengelolaan Sampah Pasar Tradisional di DKI Jakarta
8.67% di daur ulang di buang 91.32 %
Gambar 23. Pengelolaan sampah pasar modern di DKI Jakarta Komposisi sampah yang berasal dari pertokoan modern seperti mall, plaza, restauran dan rumah makan, terdiri dari bahan organik (sisa makanan, dedaunan dan lain-lain) sekitar 45,5% dan bahan anorganik sekitar 54,5%.
Hal ini
menunjukkan bahwa komposisi sampah yang bersumber dari pertokoan modern lebih didominasi oleh bahan anorganik seperti kertas 26,06%, plastik 12,10%, gelas 7,24%, kayu 4,03%, batu, kerikil dan pasir 2,61%, kain/tekstil 1,49%, logam/metal 0,82% dan B3 sekitar 0,15%. Komposisi tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 23. Tabel 23. Komposisi sampah pertokoan modern No. 1 2
Komponen Organik (sisa makanan, daun, dll) Anorganik 2.1. Kertas 2.2. Plastik 2.3. Kayu 2.4. Kain/tekstil 2.5. Karet/kulit tiruan 2.6. Logam/metal 2.7. Gelas/kaca 2.8. Sampah bongkahan 2.9. Sampah B3 2.10. Lain-lain (batu, pasir dll) Total
Sumber : Dinas Kebersihan DKI Jakarta (2005)
Total 45,5 54,5 26,06 12,10 4,03 1,49 0,82 7,24 0,15 2,61 100
Persentase (%) Daur ulang Dibuang 0,00 45,5 39,04 15,46 16,72 9,34 8,74 3,36 4,03 0,00 1,49 0,82 7,24 0,00 0,15 0,00 2,61 39,04 60,96
80 Sedangkan komposisi sampah pertokoan yang telah mengalami prosessing atau pendaurulangan sekitar 39,04% dan masih ada sekitar 60,69% yang belum di daur ulang. Apabila kondisi ini terus dibiarkan, maka tidak mungkin kesehatan lingkungan dan manusia akan terganggu dengan semakin bertambahnya volume sampah setiap harinya. Untuk melihat perbandingan antara sampah yang di daur ulang dan yang dibuang pada pasar modern dapat dilihat pada Gambar 24.
Pengelolaan Sampah Pasar Modern di DKI Jakarta
39.04% di daur ulang di buang 60.96%
Gambar 24. Pengelolaan sampah pasar modern di DKI Jakarta
5.1.2. Sumber di Sepanjang Pantai Pantura Jakarta Kualitas perairan Teluk Jakarta selain dipengaruhi oleh kualitas air sungai yang bermuara di Teluk Jakarta juga dipengaruhi oleh kegiatan di sepanjang pantai utara Jakarta. Aktivitas kegiatan di pantai utara Jakarta seperti banyaknya pelabuhan-pelabuhan di DKI Jakarta memberikan kontribusi juga terhadap pencemaran Teluk Jakarta. Kegiatan aktivitas pelabuhan di pantai utara Jakarta dapat dilihat pada Gambar 25, dan kegiatan aktivitas nelayan di pantai utara Jakarta dapat dilihat pada Gambar 26.
81
Gambar 25. Kegiatan aktivitas pelabuhan di pantai utara Jakarta
Gambar 26. Kegiatan aktivitas nelayan di pantai utara Jakarta
Berikut ini (Tabel 24) adalah kegiatan, kondisi lingkungan dan sumber pencemaran yang terjadi di kawasan Pantura Jakarta yang dimulai dari Pantai Indah Kapuk sampai Kawasan Marunda yang merupakan salah satu kegiatan dari Bapedalda DKI Jakarta (1999). Tabel 24. Jenis kegiatan yang menyebabkan pencemaran di Teluk Jakarta Lokasi/Kegiatan Pantai Wisata Marunda (Rumah Si Pitung dan Mesjid Si Pitung)
-
Kondisi terjadi abrasi pantai pemukiman kumuh sanitasi buruk perubahan lingkungan di sekitar muara sungai (perumahan, tambak)
Sumber Pencemaran - limbah MCK dan limbah padat dari pemukiman (plastik, perahu rusak dan kayu) - Kali Blencong
82 Tabel 24 (lanjutan). Jenis kegiatan yang menyebabkan pencemaran di Teluk Jakarta Lokasi/Kegiatan Kondisi Sumber Pencemaran Pelabuhan - kegiatan bongkar muat kayu, - limbah MCK sekitar pelabuhan Marunda minyak goreng dan pasir laut - kelembagaan berada di bawah - kegiatan bongkar muat dan oli kapal serta kayu-kayu adpel Sunda Kelapa, pengelolaannya Kawasan Berikat Nusantara cabang Marunda Kawasan Berikat Nusantara
- diperuntukkan sebagai kawasan pergudangan - kegiatan yang dominan adalah angkutan barang dari dan ke kawasan - penghijauan sudah baik
- limbah MCK dari perkantoran dan pergudangan - pencemaran udara dari kegiatan transportasi
Kawasan sekitar Muara Cakung Drain
- sebagai Muara Cakung Drain yang mengatasi hempasan air di kawasan Jakarta Timur - merupakan pelabuhan perahu layar motor dari nelayan, hal ini menyebabkan aliran air sungai terhambat
- oli bekas dari kapal perahu nelayan yang dibuang ke sungai/perairan laut - sampah dari pemukiman dibuang langsung ke laut - penimbunan pasir laut di sepanjang Kanal Cakung Drain
Kawasan Pantai Cilincing
- limbah MCK dari pemukiman - lokasi pemukiman nelayan - limbah industri yang berlokasi yang cukup padat dan tidak di hulu Kalibaru teratur - mata pencaharian sebagai peternak kerang hijau (200KK)
Pelabuhan Tanjung Priok
- sebagian pelabuhan untuk bongkar muat barang dan sebagai pelabuhan transportasi antar pulau - pengelola pelabuhan yaitu adpel Tanjung Priok - pelabuhan II sudah mempunyai dokumen amdal, RKL, RPL - kondisi fisik perairan berwarna kehitam-hitaman dan masih terlihat sampah
Pelabuhan Sunda Kelapa
- pelabuhan untuk kapal motor, - sisa-sisa oli dan minyak dari kegiatan kapal kapal layar bermotor dan - limbah cair dan padat dari kapal penumpang kegiatan pemukiman - di sekitar pelabuhan terdapat pemukiman kumuh dan padat - limbah padat dan cair yang terbawa oleh aliran Kali Opak
- kegiatan bongkar muat, pencucian tangki kapal - limbah dari kegiatan domestik industri di sekitar pelabuhan - limbah yang terbawa sungai yang masuk ke pelabuhan
83 Tabel 24 (lanjutan). Jenis kegiatan yang menyebabkan pencemaran di Teluk Jakarta Lokasi/Kegiatan Kondisi - pelabuhan untuk kapal motor, Pelabuhan kapal layar bermotor dan perikanan kapal perikanan samudra di Samudera Muara sekitar pelabuhan terdapat Baru pengolahan hasil tangkapan perikanan samudra
Sumber Pencemaran - sisa-sisa oli dan minyak dari kegiatan kapal - limbah cair dan padat dari kegiatan pelabuhan
Pelelangan Ikan Muara Angke
- tempat kegiatan pelelangan ikan dan pasar - pemukiman nelayan
- limbah MCK penduduk sekitar pelanggan - limbah cair pencucian kegiatan pelelangan - limbah dari pasar ikan
Cagar Alam Muara Angke
- lokasinya berada di sebelah timur PIK dan sebelah barat Kali Angke - umumnya ditumbuhi mangrove yang tumbuhnya tidak terlalu baik - masih ditemukan satwa seperti ular, biawak dll - secara visual kondisi lingkungan tercemar
- limbah MCK dari perkampungan nelayan di sepanjang Kali Angke - berkurangnya lebar Kali Angke karena dipakai untuk sandar perahu nelayan sehingga aliran Kali Angke terganggu - limbah padat dan limbah cair yang terbawa Kali Angke - rusaknya hutan mangrove disebabkan banyak limbah plastik tertahan di mangrove
Pantai Indah Kapuk (PIK)
- kawasan seluas 800 ha, sudah - limbah padat dan cair yang terbawa oleh aliran terbangun seluas 400 ha Cengkareng Drain yang - lokasinya di sebelah utara Jl. berasal dari luar kawasan Tol Bandara dan sebelah barat bermuara di PIK Cengkareng Drain - adanya pembuatan tanggul - lahan yang terbangun untuk dan pengurugan tambak lapangan golf, perumahan, menyebabkan rusaknya hutan rumah sakit, sarana mangrove pengolahan air limbah dan air bersih - sudah melaksanakan amdal, RKL, RPL
Pelabuhan Kalibaru
- merupakan pelabuhan kapal motor dan kapal layar motor yang memuat kayu dan barang-barang lainnya - kondisi fisik lautnya sudah berwarna hitam dan dipenuhi sampah
Sumber : Aboejowono (2000)
- sampah dari kegiatan bongkar muat belum ditangani dengan baik - sampah dan limbah MCK dari pemukiman sekitar pelabuhan - tumpahan minyak dan oli dari kapal dan kegiatan perbaikan kapal di pelabuhan
84 Selain itu pantai utara Jakarta sebagian besar dimanfaatkan oleh aktivitas pelabuhan, yang kemudian diikuti pemanfaatan lahan oleh perumahan nelayan. Sedangkan untuk aktivitas lainnya seperti hutan lindung/mangrove, PLTGU, perumahan, industri dan rekreasi. Untuk lebih jelasnya pemanfaatan pantai utara Jakarta oleh berbagai aktivitas dapat dilihat pada Gambar 27.
Oleh : IRMAN FIRMANSYAH P052040261
Sumber Peta : BPLHD DKI Jakarta
Gambar 27. Pemanfaatan pantai utara Jakarta
85 5.2. Status Kualitas Perairan, Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi 5.2.1. Status Kualitas Muara Sungai dan Perairan Teluk Jakarta Penentuan status kualitas muara sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta dan perairan Teluk Jakarta dilakukan dengan cara membandingkan konsentrasi berbagai parameter kualitas air muara sungai dan juga kualitas perairan Teluk Jakarta dengan baku mutu yang berlaku di Indonesia, untuk kualitas muara sungai baku mutu yang digunakan adalah Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 582 Tahun 1995 tentang Penetapan Peruntukan dan Baku Mutu Air Sungai/Badan Air serta Baku Mutu Limbah Cair di Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta sedangkan untuk kualitas perairan Teluk Jakarta baku mutu yang digunakan adalah Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Data beberapa parameter kualitas muara sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Status kualitas muara sungai di Teluk Jakarta Parameter Fisik DHL TDS TSS DO Suhu Kekeruhan
Satuan
Baku Mutu
Lokasi Titik Pengamatan 42
22
6
27
32
µhos/cm mg/L mg/L mg/L 0C NTU
1.000 1.000 200 3
696,10 701,22 45,00 29,28 41,04
940,98 2405,34 38,49 29,85 59,61
295,67 173,63 19,33 0,95 28,37 19,67
6856,27 4422,51 33,02 31,75 30,24
26730,39 18087,91 16,34 31,25 75,18
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
0,0005 2 1 6,0-8,5 0.5 1 100 0,1 0,5 25
0,0009 0,34 0,30 8,02 1,79 0,115 128,72 * 1,93 92,73
* 0,67 0,86 6,82 1,12 0,02 74,86 * 1,12 28,53
0,0008 0,72 0,26 6,43 1,21 0,035 20,88 * 0,13 22,25
* 0,29 1,73 6,77 2,21 0,02 172,14 * 2,20 91,86
* 0,15 0,48 7,14 1,47 0,02 718,89 * 0,92 62,25
mg/L mg/L mg/L
20 30 50
63,01 134,46 253,30
29,36 78,59 223,14
13,42 34,84 35,66
69,41 267,58 948,79
52,24 193,46 1105,65
Mikrobiologi Coliform
Jmlh/100ml
2,00E+04
3,03E+07
8,98E+07
1,10E+07
2,99E+09
3,29E+08
Fecal Coli
Jmlh/100ml
4,00E+04
1,83E+07
1,58E+07
2,48E+06
8,43E+08
1,50E+08
Kimiawi Hg Besi (Total) Mn pH PO4 Zn SO4 Cu MBAS KMnO4 BOD COD Natrium
86 Tabel 25 (lanjutan). Status kualitas muara sungai di Teluk Jakarta Parameter Fisik DHL TDS TSS DO Suhu Kekeruhan Kimiawi Hg Besi (Total) Mn pH PO4 Zn SO4 Cu MBAS KMnO4 BOD COD Natrium
Satuan
Baku Mutu
Lokasi Titik Pengamatan 30
34
13
38
38 A
µhos/cm mg/L mg/L mg/L 0C NTU
1.000 1.000 200 3
2757,50 1889,33 12,33 0,29 31,82 48,33
2717,25 2118,26 161,56 0,23 30,60 106,94
1888,31 1052,25 123,35 33,00 29,20 27,39
3575,20 1832,13 40,83 0,04 32,65 24,02
29450,00 20800,00 10,00 30,80 20,25
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
0,0005 2 1 6,0-8,5 0,5 1 100 0,1 0,5 25
0,0006 0,265 0,30 7,27 1,84 0,06 137,62 0,01 1,74 31,30
0,00085 0,185 1,46 7,27 2,47 0,03 72,19 * 2,04 82,04
0,0010 0,45 2,40 6,71 1,67 0,02 102,48 * 1,39 66,75
0,001 0,485 1,77 7,20 1,76 0,03 74,20 * 1,32 84,63
* 0,120 0,22 7,50 0,50 0,03 1457,04 * 0,81 89,23
mg/L mg/L mg/L
20 30 50
21,00 73,72 654,55
80,02 135,12 230,05
49,52 96,86 363,35
67,85 124,10 1044,55
33,00 263,58 -
Mikrobiologi Coliform
Jmlh/100ml
2,00E+04
1,56E+07
5,14E+08
9,36E+10
3,02E+09
6,75E+05
Fecal Coli
Jmlh/100ml
4,00E+04
7,23E+06
2,31E+08
4,72E+09
1,75E+09
4,25E+05
Sumber : BPLHD, 2005
Berdasarkan data pada Tabel 25 dapat dilihat bahwa pada umumnya 65,48% parameter kualitas air pada seluruh lokasi pengamatan sudah melampaui baku mutu air sungai/badan air serta baku mutu limbah cair di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Data Kualitas air muara sungai seluruh lokasi pengamatan dari tahun 2000-2005 dapat dilihat pada Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 10. Untuk parameter-parameter yang digunakan dalam penghitungan kapasitas asimilasi antara lain TDS, TSS, Mn, PO4, Zn, SO4, MBAS, KMnO4, BOD, dan COD ditentukan karena kelengkapan data yang ada secara time series mulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2005. Dari data di atas dapat dilihat pada parameter COD semua lokasi titik pengamatan sudah melampaui baku mutu; untuk parameter PO4, MBAS, KmnO4, dan BOD yang sudah melebihi baku mutu yang ditentukan yaitu sebanyak sembilan titik lokasi pengamatan dari sepuluh titik
87 lokasi yang diamati; untuk parameter TDS yang melebihi baku mutu sebanyak delapan dari sepuluh titik lokasi pengamatan; untuk parameter SO4 yang melebihi baku mutu sebanyak enam dari sepuluh titik lokasi pengamatan; sedangkan untuk Mn hanya empat dari sepuluh titik lokasi pengamatan; dan untuk TSS belum ada yang melebihi baku mutu yang ditentukan. Untuk kualitas perairan Teluk Jakarta sendiri dibagi menjadi tiga stasiun pengamatan antara lain stasiun 1, diambil dengan jarak dari pantai sekitar 50 m, hal ini dianggap dapat mewakili kualitas perairan yang masih sangat tinggi dipengaruhi oleh aktivitas dari darat, baik dari kualitas perairan sungai maupun kegiatan yang ada di sekitar pantai utara Jakarta; stasiun 2, diambil dengan jarak 500 m dari pantai, kualitas perairan yang ada di posisi ini dianggap dapat mewakili atau perpaduan kualitas perairan yang dipengaruhi oleh perairan pinggir pantai dan perairan laut sendiri; sedangkan stasiun 3, diambil pada jarak 1 km dari pantai, hal ini diharapkan kualitas perairan yang ada tidak begitu terpengaruh dari aktivitas darat dan kegiatan sekitar pantai tetapi hanya dipengaruhi oleh aktivitas di laut sendiri. Berdasarkan data pada Tabel 26 dapat dilihat bahwa pada umumnya setiap parameter yang diamati di setiap stasiun menunjukkan nilai konsentrasi yang sudah melampaui ambang batas baku mutu yang diperbolehkan untuk perairan pelabuhan berdasarkan Kep-Men LH 51/2004, kecuali suhu air, salinitas, TSS, pH, BOD dan NH3 yang masih di bawah baku mutu (stasiun 1); suhu air, salinitas, pH, BOD, COD, NH3 dan TSS (stasiun 2), sedangkan di stasiun 3 yang masih di bawah baku mutu yaitu suhu air, salinitas, pH, BOD, COD, NH3, TSS dan kekeruhan. Melihat dari keadaan tersebut dapat dinyatakan pencemaran yang terjadi di perairan Teluk Jakarta disebabkan oleh berbagai sumber baik dari limbah domestik (limbah organik), dari limbah industri (limbah anorganik), maupun dari erosi tanah. Pencemaran yang ditimbulkan oleh limbah domestik dicerminkan berupa tingginya nilai Nitrat dan Fosfat, pencemaran akibat limbah industri dicerminkan oleh tingginya konsentrasi Timbal, dan pencemaran akibat erosi tanah ditunjukkan oleh tingginya konsentrasi TSS. TSS pada stasiun 2 dan 3 masih dibawah baku mutu karena pencemaran akibat erosi di landbase tidak begitu tinggi sehingga
88 dampak dari erosi tersebut terhadap kualitas air laut tidak sampai pada stasiun 2 dan 3. Status kualitas perairan pada masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Status kualitas perairan Teluk Jakarta Parameter
Baku Mutu
Stasiun 1
Baku Mutu
Stasiun 2
Stasiun 3
Kedalaman (m) Suhu Air (°C) Kecerahan (m) Kekeruhan (NTU) Salinitas (‰) TSS (mg/L) pH DO (mg/L) BOD (mg/L) TOM (mg/L)
28-32 >3 5 33-34 80 6,5-8,5 >5 10 < 30
4,044444 30,80556 1,314167 11,75035 30,03704 24,56294 7,528056 5,113926 4,38 179,734
28-32 >6 5 33-34 20 7-8,5 >5 10 < 30
5,361111 30,80556 1,629444 6,361303 30,10185 17,41783 7,739444 5,369222 5,177778 190,6883
6,666667 30,72222 2,006944 4,444792 30,21296 13,50478 7,898333 5,44487 5,105556 180,8366
NO3 (mg/L)
0,008
0,156494
0,008
0,198197
0,192375
NH3 (mg/L)
0,3
0,201642
0,3
0,205575
0,206833
PO4 (mg/L) Total Pospat (mg/L)
0,015 0,015
0,133344 0,1131
0,015 0,015
0,109511 0,078372
0,102997 0,0735
H2S (mg/L) Pb (air) Cd (air) Pb (sedimen) Cd (sedimen) COD
0,03 0,05 0,01 0,05 0,01 200
7,020333 0,093708 0,031267 12,24156 0,286333 220,1044
0,03 0,005 0,002 0,005 0,002 200
10,30017 0,101142 0,032831 17,00417 0,309667 193,408
21,1 0,093258 0,030876 21,79538 0,360833 198,12
5.2.2. Analisis Beban Pencemaran Teluk Jakarta Beban pencemaran dihitung untuk mengetahui dan mengidentifikasi sumber pencemaran, jenis pencemar dan besarnya beban pencemaran yang masuk ke dalam perairan Teluk Jakarta. Secara umum sumber pencemaran yang masuk ke dalam perairan laut dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu : limbah rumah tangga (domestik), limbah industri dan limbah pasar. Beban pencemaran dihitung berdasarkan perkalian antara debit air sungai dengan konsentrasi parameter kualitas air yang diteliti.
Sedangkan yang
dimaksud dengan beban pencemaran total yang berasal dari darat (landbased sources) yang berasal dari 10 muara sungai yang berada di DKI Jakarta yang mengalir ke Teluk Jakarta. Beban pencemaran yang diamati adalah beban pencemaran mulai dari tahun 2000-2005 pada masing-masing sungai (Lampiran
89 11-Lampiran 21), sedangkan untuk total beban pencemaran disajikan pada Tabel 27. Tabel 27. Beban pencemaran di Teluk Jakarta tahun 2000-2005 Total BP (ton/bulan) 2001
Parameter
Satuan
I. Fisik 1. Zat Padat Terlarut ( TDS ) 2. Zat Padat Tersuspensi (TSS)
mg/L mg/L
1780848,066 24399,02477
1640655,214 15046,63776
1977111,582 20208,82608
II. Kimiawi 3. Mangan (Mn) 4. Phosphat (PO4) 5. Seng (Zn) 6. Sulfat (SO4) 7. Surfaktan ( MBAS ) 8. KMnO4 9. BOD ( 20o C, 5 hari ) 10. COD ( Dichromat )
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
139,7629728 369,417024 6,2021376 293790,5075 337,2757056 17343,43644 13614,75553 21090,70276
149,4562752 422,5561344 5,5017792 54859,02656 505,6375104 12084,95817 7979,674954 21272,5878
116,6651424 499,995504 8,8073568 165607,5907 1470,160627 21532,34949 14604,92208 25183,20067
2000
2002
Tabel 27 (lanjutan). Beban pencemaran di Teluk Jakarta tahun 2000-2005 Total BP (ton/bulan) 2004
Parameter
Satuan
I. Fisik 1. Zat Padat Terlarut ( TDS ) 2. Zat Padat Tersuspensi (TSS)
mg/L mg/L
2258902,158 18676,00152
1958781,261 13534,33147
2313609,072 17016,78469
II. Kimiawi 3. Mangan (Mn) 4. Phosphat (PO4) 5. Seng (Zn) 6. Sulfat (SO4) 7. Surfaktan ( MBAS ) 8. KMnO4 9. BOD ( 20o C, 5 hari ) 10. COD ( Dichromat )
mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
168,9923088 1214,309362 7,9571808 168755,7927 1385,284032 20194,90782 16090,71124 27892,28766
143,080964 378,5184225 6,678334656 117076,4673 608,4695713 14380,28588 8887,965641 32179,16332
418,3038806 518,8544294 10,6195536 141610,1083 441,8716432 23785,43305 16369,05335 52983,15476
2003
2005
Beban pencemaran di 10 muara sungai pada tahun 2005 yang paling tinggi setelah diperbandingkan dengan baku mutu yang ada yaitu Zat Padat Terlarut (Total Dissolved Solid/TDS), dimana muara yang paling banyak memberikan kontribusi beban pencemaran terbesar sebesar 1.540.311,55 ton/bulan adalah Kali Blencong dengan titik pengamatan 38 A, berada di Pantai Maruda. Perubahan jumlah TDS di perairan Teluk Jakarta dapat dilihat pada Gambar 27.
90
Zat Padat Terlarut ( TDS ) 2500000
2000000
1500000 Zat Padat Terlarut ( TDS) ) 1000000
500000
0 2000
2001
2002
2003
2004
2005
Gambar 27. Perubahan jumlah TDS di perairan Teluk Jakarta tahun 2000-2005 Dari Gambar 27 di atas dapat dilihat terjadi peningkatan jumlah TDS di perairan Teluk Jakarta dimana pada tahun 2000 sebesar 1.780.848,066 ton/bulan menjadi 2.313.609,072 ton/bulan pada tahun 2005. TDS merupakan bahan-bahan terlarut (diameter < 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 – 10-3) berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,45 µm. Penyebab TDS biasanya bahan anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan seperti disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Bahan anorganik ion-ion di perairan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Major Ion (1,0 – 1000 mg/l) Sodium (Na) Kalsium (Ca) Magnesium (Mg) Bikarbonat (HCO3) Sulfat (SO4) Klorida (Cl-)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Secondary Ion (0,01 – 10,0 mg/l) Besi (Fe) Strontium (St) Potassium (K) Karbonat ( CO3) Nitrat (NO3) Fluorida (F) Boron (B) Silika (SiO2)
Sumber : Todd (1970) dalam Effendi (2000)
Tingginya nilai TDS menggambarkan perairan tersebut sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri).
Bahan-bahan tersuspensi dan terlarut pada
91 perairan alami tidak bersifat toksik, akan tetapi jika jumlahnya berlebihan, terutama TSS dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air dan akhirnya berpengaruh pada proses fotosintesis di perairan. Air laut memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia yang juga akan mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Sedangkan yang paling rendah setelah diperbandingkan dengan baku mutu yang ada yaitu Seng (Zn) sebesar 10,62 ton/bulan dimana muara yang paling sedikit memberikan kontribusi beban pencemaran sebesar 0.2 ton/bulan adalah Sungai Kamal dengan titik pengamatan 42, berada di muara Sungai Kamal. Sumber alami utama zinc adalah calamine (ZnCO3), sphalerite (ZnS), smithsonite (ZnCO3), dan wilemite (Zn2SiO4) (McNelly et al., 1979 dalam Effendi, 2000). Zinc digunakan pada industri baja, cat, karet, tekstil, kertas, dan bubur kertas. Zinc termasuk unsur esensial bagi mahluk hidup, berperan dalam membantu kerja enzim. Zinc diperlukan dalam fotosintesis sebagai agen bagi transfer hidrogen dan berperan dalam pembentukan protein. Zinc tidak bersifat toksik bagi manusia, akan tetapi pada kadar yang tinggi, zinc dapat menimbulkan rasa pada air. Berdasarkan data dari hasil pengamatan parameter kualitas air sungai yang memberikan sumbangan terbesar terhadap beban pencemaran adalah muara Kali Blencong dan yang memberikan sumbangan terkecil adalah muara Sungai Kamal. Beban pencemaran total dihitung dari penjumlahan beban pencemaran dari sepuluh muara sungai yang diamati (Gambar 28), yaitu: •
Sungai Kamal (titik pengamatan 42,--Muara Kamal)
•
Sungai Cengkareng Drain (titik pengamatan 22--Jl. Kapuk Muara)
•
Sungai Ciliwung (titik pengamatan 6--Jemb. PIK-Muara Angke)
•
Sungai Grogol (titik pengamatan 27--PLTU Pluit)
•
Sungai Ciliwung (titik pengamatan 32--Jl. Pompa Pluit)
•
Sungai Ciliwung (titik pengamatan 30--Jl. Ancol Marina)
•
Sungai Kalibaru Timur(titik pengamatan 34--Jl. Ancol)
•
Kali Sunter (titik pengamatan 13--Bogasari)
•
Sungai Cakung Drain (titik pengamatan 38--Cilincing)
•
Kali Blencong (titik pengamatan 38A--Pantai Marunda)
92
SEDANG (51-70) BURUK (26-50)
Lokasi Pemantauan Muara Sungai Sumber Peta : BPLHD DKI Jakarta Oleh : IRMAN FIRMANSYAH P052040261
Gambar 28. Lokasi Pemantauan muara sungai di DKI Jakarta
Semakin tinggi nilai beban pencemaran untuk parameter yang tergolong limbah domestik, industri, pelapukan batuan/limpasan dari tanah, maka beban yang harus diterima oleh teluk semakin besar sehingga pada batas toleransi tertentu akan terjadi akumulasi polutan dan sebaliknya nilai beban pencemaran yang rendah dapat membuat teluk membersihkan sendiri setiap polutan yang masuk. Kemampuan untuk membersihkan sendiri suatu perairan terhadap setiap polutan yang masuk di sebut kapasitas asimilasi suatu perairan.
5.2.3. Analisis Kapasitas Asimilasi Perairan Teluk Jakarta Kapasitas asimilasi suatu perairan ditentukan oleh morfologi dan dinamika perairan tersebut serta jenis dan jumlah limbah (total pollutant load) yang masuk ke dalam perairan tersebut.
Dalam hal ini, perhitungan kapasitas asimilasi
dilakukan secara tidak langsung (inderect approach) yaitu dengan metode hubungan antara kualitas air dan beban limbahnya.
Nilai kapasitas asimilasi
diperoleh dari grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter bahan pencemar di perairan pesisir dengan total beban bahan pencemar tersebut di
93 muara sungai, untuk kemudian dianalisis dan membandingkannya dengan baku mutu air laut yang diperuntukkan untuk biota dan budidaya laut berdasarkan KepMen KLH No. 51/Men LH/2004. Belum
terlampaui
kapasitas
asimilasi
menunjukkan
bahwa
beban
pencemaran yang masuk masih rendah, kemudian nilai ambang batas baku mutunya pun lebih tinggi dari kondisi konsentrasi saat ini. Berarti bahan-bahan yang masuk dapat mengalami proses-proses difusi dan lain-lain di dalam lingkungan perairan yang lebih baik dari pada parameter lain yang sudah melampaui kapasitas asimilasinya. Beberapa parameter yang diuji untuk mengetahui kapasitas asimilasi Teluk Jakarta adalah TDS, TSS, Mn, PO4, Zn, SO4, MBAS, KMnO4, BOD, dan COD. Dimana sampel kualitas perairan yang ada dimulai dari tahun 2000 hingga 2005, sehingga regresi yang terbentuk merupakan hubungan kapasitas asimilasi Teluk Jakarta terhadap bahan pencemar dalam jangka 6 tahun.
Data perhitungan
regresi (fungsi y), beban pencemaran, dan kapasitas asimilasi tahun 2005 dapat dilihat pada Tabel 29. Tabel 29. Kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta No
Parameter
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
TDS TSS Mn PO4 Zn SO4 MBAS KMnO4 BOD COD
2
Fungsi y
R
0,00173x+811 0.00281x-1,81 0,00216x+0,0782 0,00296x+0,0264 0,0024x+0,03 0,00173x+45,7 0,00283x+0,184 0,00239x+9,72 0,00252x+6,64 0,00234x+13,7
0,62 0,912 0,99 0,995 0,093 0,994 0,988 0,974 0,972 0,971
Beban Pencemaran Tahun 2005 (ton/bulan) 2.313.609,07 17.016,78 418,3 518,85 10,62 141.610,11 441,87 23.785,43 16.369,05 52.983,15
Kapasitas Asimilasi (ton/bulan) 109.249 71.819 426,8 160 404,2 31.387 112 6.393 5.602 6.966
Untuk mempermudah dalam melihat kapasitas asimilasi yang terbentuk dari regresi hubungan antara beban pencemaran dan konsentrasi bahan pencemar, maka akan ditampilkan dalam bentuk gambar (Gambar 29 – Gambar 38), dan analisis perhitungan regresi dapat dilihat pada Lampiran 22.
94
TDS Concentration (mg/l)
6000
109249
5000
4000
3000
2000
y = 0,00173x + 811 R2 = 0,62
1000
1000 0
500000
1000000 1500000 Load TDS (ton/month)
2000000
2500000
Gambar 29. Analisis regresi antara beban pencemar TDS di muara dengan konsentrasi TDS di Teluk Jakarta dari tahun 2000-2005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk TDS dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00173x + 811 dengan R2 = 0,62. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 109.249 (ton/bulan). Dari Gambar 29 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar TDS.
71819 200
200
TSS Concentration (mg/l)
175
y = 0,00281x - 1,81 R2 = 0,912
150 125 100 75 50
10000
20000
30000
40000 50000 60000 Load TSS (ton/month)
70000
80000
Gambar 30. Analisis regresi antara beban pencemar TSS di muara dengan konsentrasi TSS di Teluk Jakarta dari tahun 20002005
95 Penentuan kapasitas asimilasi untuk TSS dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00281x - 1.81 dengan R2 = 0,912. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 71.819 (ton/bulan). Dari Gambar 30 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Jakarta masih belum tercemar dengan parameter TSS karena masih di bawah nilai kapasitas asimilasinya.
426.8 1.0
Mn Concentration (mg/l)
0.9 0.8
1
y = 0,00216x + 0,0782 R2 = 0,99
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 100
150
200
250 300 Load Mn (ton/month)
350
400
450
Gambar 31. Analisis regresi antara beban pencemar Mn di muara dengan konsentrasi Mn di Teluk Jakarta dari tahun 20002005
Penentuan kapasitas asimilasi untuk Mn dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00216x + 0,0782 dengan R2 = 0,99. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 426,8 (ton/bulan). Dari Gambar 31 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Jakarta masih belum tercemar dengan parameter Mn karena masih di bawah nilai kapasitas asimilasinya.
96
4.0
160
PO4 Concentration (mg/l)
3.5
y = 0,00296x + 0,0264 R2 = 0,995
3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
0.5 200
400
600 800 Load PO4 (ton/month)
1000
1200
Gambar 32. Analisis regresi antara beban pencemar PO4 di muara dengan konsentrasi PO4 di Teluk Jakarta dari tahun 20002005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk PO4 dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00296x + 0,0264
dengan R2 = 0,995. Hasil perpotongan garis
regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 160 (ton/bulan).
Dari Gambar 32 terlihat bahwa nilai kapasitas
asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar PO4.
404.2
Zn Concentration (mg/l)
1.0
0.8
1
y = 0,00240x + 0,0300 R2 = 0,093
0.6
0.4
0.2
0.0 0
100
200 Load Zn (ton/month)
300
400
Gambar 33. Analisis regresi antara beban pencemar Zn di muara dengan konsentrasi Zn di Teluk Jakarta dari tahun 20002005
97 Penentuan kapasitas asimilasi untuk Zn dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00240x + 0,0300
dengan R2 = 0,093. Hasil perpotongan garis regresi
dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 404,2 (ton/bulan). Dari Gambar 33 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Jakarta masih belum tercemar dengan parameter Zn karena masih di bawah nilai kapasitas asimilasinya.
31387
SO4 Concentration (mg/l)
600
500
y = 0,00173x + 45,7 R2 = 0,994
400
300
200
100
100 0
50000
100000 150000 200000 Load SO4 (ton/month)
250000
300000
Gambar 34. Analisis regresi antara beban pencemar SO4 di muara dengan konsentrasi SO4 di Teluk Jakarta dari tahun 20002005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk SO4 dilakukan dengan persamaan regresi y = 0.00173x + 45.7 dengan R2 = 0,994. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 31.387 (ton/bulan). Dari Gambar 34 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar SO4.
98
112
MBAS Concentration (mg/l)
5
4
y = 0,00283x + 0,184 R2 = 0,988
3
2
1 0.5 0 0
200
400
600 800 1000 Load MBAS (ton/month)
1200
1400
1600
Gambar 35. Analisis regresi antara beban pencemar MBAS di muara dengan konsentrasi MBAS di Teluk Jakarta dari tahun 2000-2005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk MBAS dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00283x + 0,184 dengan R2 = 0,988. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 112 (ton/bulan). Dari Gambar 35 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar MBAS.
KMnO4 Concentration (mg/l)
70
6393
y = 0,00239x + 9,72 R2 = 0,974
60
50
40
30 25 20 5000
10000
15000 Load KMnO4 (ton/month)
20000
25000
Gambar 36. Analisis regresi antara beban pencemar KMnO4 di muara dengan konsentrasi KMnO4 di Teluk Jakarta dari tahun 2000-2005
99 Penentuan kapasitas asimilasi untuk KMnO4 dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00239x + 9,72 dengan R2 = 0,974. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 6.393 (ton/bulan). Dari Gambar 36 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar KMnO4.
50
5302
BOD Concentration (mg/l)
45
y = 0,00252x + 6,64 R2 = 0,972
40 35 30 25 20
20 5000
7500
10000 12500 Load BOD (ton/month)
15000
17500
Gambar 37. Analisis regresi antara beban pencemar BOD di muara dengan konsentrasi PO4 di Teluk Jakarta dari tahun 20002005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk BOD dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00252x + 6,64 dengan R2 = 0,972. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 5.302 (ton/bulan). Dari Gambar 37 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar BOD.
100
6966
COD Concentration (mg/l)
140 120
y = 0,00234x + 13,7 R2 =0,971
100 80 60 40 30 20 10000
20000 30000 40000 Load COD (ton/month)
50000
Gambar 38. Analisis regresi antara beban pencemar COD di muara dengan konsentrasi COD di Teluk Jakarta dari tahun 2000-2005 Penentuan kapasitas asimilasi untuk COD dilakukan dengan persamaan regresi y = 0,00234x + 13,7 dengan R2 = 0,971. Hasil perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 6.966 (ton/bulan). Dari Gambar 38 terlihat bahwa nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Hal ini menggambarkan bahwa perairan Teluk Jakarta telah tercemar bahan pencemar COD.
101
5.3. Struktur Elemen Kunci dalam Model Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta Metode ISM digunakan untuk menganalisa keterkaitan dan ketergantungan antar elemen yang membentuk struktur model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Dari Hasil diskusi ahli teridentifikasi empat faktor penting yang perlu dikaji, yaitu peran pemerintah, tujuan pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta, Kendala dalam pengelolaan, dan tolok ukur daya dukung lingkungan (Teluk Jakarta).
5.3.1. Peran Pemerintah dalam Pengembangan Model Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta Ada 4 elemen peran pemerintah yang terlibat dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta baik langsung maupun tidak langsung, yang dijabarkan lagi menjadi 11 subelemen seperti terlihat pada Tabel 30. Interpretasi dalam bentuk hierarki disajikan pada Gambar 39 dan pada Gambar 40 subelemen dikelompokkan kedalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 23.
Tabel 30. Elemen peran pemerintah dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Elemen I. Tata ruang
1. 2. 3. 4.
Subelemen Tata ruang DKI Jakarta Pemetaan tata ruang Evaluasi kesesuaian lahan Reklamasi Teluk Jakarta
II. Kebijakan
5. Penerapan Kebijakan antar stakeholder (pencemaran, tata ruang dan yang terkait dengan pencemaran Teluk Jakarta) 6. Ketegasan penegakan hukum terhadap pelanggaran 7. Kajian kebijakan
III. Renstra
8. Prioritas rencana strategis 9. Realisasi penerapan renstra
IV. Koordinasi daerah
10. Koordinasi antar wilayah administrasi 11. Prinsip integrasi lintas sektoral
102
Dari Tabel 30 terlihat bahwa peran pemerintah yang merupakan elemen kunci dalam pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah penerapan kebijakan antar stakeholder, ketegasan penegakan hukum, koordinasi antar wilayah, dan prinsip integrasi lintas sektoral. Keempat peran pemerintah ini berada
di dalam sektor independent Gambar 39, yang berarti bahwa dalam
pengembangan model pengendalian pencemaran laut berperan sebagai peubah bebas yang mempunyai kekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem.
3. Evaluasi kesesuaian lahan
7. Kajian kebijakan
4. Reklamasi Teluk Jakarta
5. Penerapan kebijakan antar stakeholder
1. Tata ruang DKI Jakarta
2. Pemetaan tata ruang
8. Prioritas rencana strategis
9. Realisasi penerapan renstra
6. Ketegasan penegakan hukum
10. Koordinasi antar wilayah administrasi
11. Prinsip integrasi lintas sektoral
Gambar 39. Diagram hierarki dari subelemen peran pemerintah dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa peran pemerintah dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta diawali oleh penerapan kebijakan antar stakeholder, ketegasan penegakan hukum, koordinasi antar wilayah, dan prinsip integrasi lintas sektoral, berarti diawali oleh perlunya strategi kebijakan dan hukum serta prinsip kerjasama yang harmonis.
103
Peran pemerintah lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah prioritas rencana strategi dan realisasi penerapan renstra. Selain mempunyai kekuatan penggerak besar, kedua peran pemerintah mempunyai ketergantungan besar pada sistem. Kajian atas kedua peran pemerintah ini perlu dilakukan secara hati-hati karena setiap tindakan pada peubah yang ada dalam sektor linkage akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Prioritas rencana strategi dan realisasi penerapan renstra menyambungkan empat peran pemerintah di sektor independent dengan lima peran pemerintah yang berada di sektor dependent yaitu tata ruang DKI Jakarta, pemetaan tata ruang, reklamasi Teluk Jakarta, evaluasi kesesuaian lahan, dan kajian kebijakan. Hasil analisis ini memberikan makna bahwa kelima peran pemerintah yang terakhir sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar.
Dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta posisinya akan mengikuti peran pemerintah lainnya yang berada di sektor linkage dan independent. (5,6,10,11)
11 10 D9 r8 i v7 e6 r 5 P4 o w3 e 2 r 1 0
(8,9)
(1,2) (4)
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Catatan 1. Tata ruang DKI Jakarta 2. Pemetaan tata ruang 3. Evaluasi kesesuaian lahan 4. Reklamasi Teluk Jakarta 5. Penerapan Kebijakan antar stakeholder (pencemaran, tata ruang dan yang terkait dengan pencemaran Teluk Jakarta) 6. Ketegasan penegakan hukum terhadap pelanggaran 7. Kajian kebijakan 8. Prioritas rencana strategis 9. Realisasi penerapan Renstra antar wilayah (3,7) 10. Koordinasi administrasi 11. Prinsip integrasi lintas sektoral
10 11
Gambar 40. Matriks DP-D untuk elemen peran pemerintah dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
104
Perlu dicermati bahwa posisi peran pemerintah tata ruang DKI Jakarta hampir berada pada garis batas antara sektor dependent dengan linkage, yang berarti bahwa kekuatan penggeraknya dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta relatif tinggi dibandingkan reklamasi Teluk Jakarta. Evaluasi kesesuaian lahan dan kajian kebijakan berada pada posisi paling bawah, berarti bahwa hal ini dianggap relatif kurang perlu dibandingkan peran pemerintah yang lainnya selama kegiatan dari peran pemerintah tersebut dapat dilakukan dengan baik.
5.3.2. Tujuan dalam Pengembangan Model Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta Teridentifikasi ada 4 tujuan pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang terdiri dari 13 subelemen, seperti terlihat dalam Tabel 31. Interpretasi dalam bentuk hierarki disajikan pada Gambar 41 dan pada Gambar 42 subelemen dikelompokkan ke dalam empat sektor yakni autonomous, dependent, linkage dan independent. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 24. Tabel 31. Elemen tujuan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Elemen I. Perbaikan Teluk Jakarta
II. Meningkatkan daya dukung lingkungan
Subelemen 1. Mengamankan bahan pencemar 2. Memperpendek jalur bahan pencemar 3. Meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar 4. Meningkatkan sarana dan prasarana sosial 5. Memperluas wilayah perbaikan lingkungan 6. Menurunkan resiko ekologi
III. Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran
7. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan 8. Mempermudah akses pada sumber pencemar 9. Mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah
IV. Menambah kekuatan stakeholder
10. Sosialisasi pengetahuan 11. Berbagi keahlian dan pengalaman penanganan limbah 12. Informasi bersama 13. Menggabungkan research and development
105
Dari Tabel 31 terlihat bahwa tujuan-tujuan yang merupakan elemen kunci dalam pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah sosialisasi pengetahuan, berbagi keahlian dan pengalaman penanganan limbah, informasi bersama, serta menggabungkan research and development. Keempat tujuan ini berada di dalam sektor independent Gambar 42, yang berarti bahwa dalam pengembangan model pengendalian pencemaran laut berperan sebagai peubah bebas yang mempunyai kekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem.
4. Meningkatkan sarana dan prasarana sosial
5. Memperluas wilayah perbaikan lingkungan
6. Menurunkan resiko ekologi
1. Mengamankan bahan pencemar
2. Memperpendek jalur bahan pencemar
3. Meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar
7. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan
10. Sosialisasi pengetahuan
11. Berbagi Keahlian dan Pengalaman penanganan limbah
8. Mempermudah akses pada sumber pencemar
12. Informasi bersama
9. Mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah
13. Menggabungkan Research & Development
Gambar 41. Diagram hierarki dari subelemen tujuan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa tujuan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta diawali oleh sosialisasi pengetahuan, berbagi keahlian dan pengalaman penanganan limbah, informasi bersama, serta menggabungkan research and development, berarti diawali oleh perlunya strategi untuk melakukan kebersamaan dalam membuka wawasan baik pengetahuan, penelitian, serta keahlian dalam menangani pencemaran Teluk Jakarta.
106
Tujuan-tujuan lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan
model
pengendalian
pencemaran
Teluk
Jakarta
adalah
mempermudah akses pada pengawas lingkungan, mempermudah akses pada sumber pencemar, dan mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah. Selain mempunyai kekuatan penggerak besar, ketiga tujuan tersebut mempunyai ketergantungan besar pada sistem. Kajian atas ketiga tujuan ini perlu dilakukan secara hati-hati karena setiap tindakan pada peubah yang ada dalam sektor linkage akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan, mempermudah akses pada sumber pencemar, dan mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah menyambungkan empat tujuan di sektor independent dengan enam tujuan yang berada di sektor dependent yaitu mengamankan bahan pencemar, memperpendek jalur bahan pencemar, meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar, meningkatkan sarana dan prasarana sosial, memperluas wilayah perbaikan lingkungan, serta menurunkan resiko ekologi. Hasil analisis ini memberikan makna bahwa keenam tujuan yang terakhir sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta posisinya akan mengikuti tujuan-tujuan lainnya yang berada di sektor linkage dan independent. Perlu dicermati bahwa posisi tujuan mengamankan bahan pencemar, memperpendek jalur bahan pencemar, meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar hampir berada pada garis batas antara sektor dependent dengan linkage, yang berarti bahwa kekuatan penggeraknya dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta relatif tinggi dibandingkan meningkatkan sarana dan prasarana sosial, memperluas wilayah perbaikan lingkungan, serta menurunkan resiko ekologi yang berada pada posisi paling bawah, berarti bahwa hal ini dianggap relatif kurang perlu dibandingkan tujuan-tujuan yang lainnya selama tujuan-tujuan tersebut dapat direalisasikan.
107
(10,11,12,13) 13 Catatan 1. Mengamankan bahan pencemar 2. Memperpendek jalur bahan pencemar 3. Meningkatkan sistem penanganan bahan pencemar 4. Meningkatkan sarana dan prasarana sosial 5. Memperluas wilayah perbaikan lingkungan 6. Menurunkan resiko ekologi 7. Mempermudah akses pada pengawas lingkungan 8. Mempermudah akses pada sumber pencemar (1,2,3) 9. Mempermudah akses pada teknologi penanganan limbah 10. Sosialisasi pengetahuan keahlian dan (4,5,6) 11. Berbagi pengalaman penanganan limbah 12. Informasi bersama 13. Menggabungkan research and development
12 11 D 10 r i 9 v 8 e r7
(7,8,9)
P6 o5 w e4 r3 2 1 0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13
Gambar 42. Matriks DP-D untuk elemen tujuan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta 5.3.3. Kendala dalam Pengembangan Model Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta Kendala dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dibagi kedalam kendala yang bersifat konsepsional, behavioral, manajerial dan lingkungan, dengan subelemen sebanyak 10 yang terlihat pada Tabel 32. Hierarki kendala terlihat pada Gambar 43 dan pada Gambar 44 subelemen kendala dikelompokkan kedalam sektor-sektor autonomous, dependent, linkage dan independent. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 25.
108
Tabel 32. Elemen kendala dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Elemen I. Konsepsional
Subelemen 1. Kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan (stakeholder) 2. Perbedaan tujuan antar stakeholder 3. Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi
II. Behavioral
4. Konsistensi arah kerjasama antar stakeholder 5. Konsistensi arah kerjasama antar wilayah administrasi 6. Karakter dan etika dalam kerjasama
III. Manajerial
7. Kekuatan manajemen (perencanaan, pengawasan, hubungan antar stakeholder dan antar wilayah serta arahan strategis) 8. Dukungan peraturan
IV. Lingkungan
9. Persaingan kebutuhan 10. Peraturan
Kendala yang paling mendasar yang harus terlebih dahulu ditangani dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta menurut penelitian ini adalah kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan (stakeholder), perbedaan tujuan antar stakeholder, perbedaan tujuan antar wilayah administrasi, dukungan peraturan, persaingan kebutuhan dan peraturan. Kendala tersebut harus dikaji secara hati-hati karena berada dalam sektor linkage. Apabila kendalakendala tersebut telah teratasi maka kendala lainnya yaitu karakter dan etika dalam kerjasama serta konsistensi arah kerjasama antar stakeholder, konsistensi arah kerjasama antar wilayah administrasi dan kekuatan manajemen (perencanaan, pengawasan, hubungan antar stakeholder dan antar wilayah serta arahan strategis) yang berada pada sektor independent akan lebih mudah teratasi.
109
7. Kekuatan manajemen
5. Konsistensi arah kerjasama
4. Konsistensi arah kerjasama
6. Karakter dan etika dalam kerjasama
8. Dukungan peraturan
9. Persaingan kebutuhan
3. Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi
10. Peraturan
2. Perbedaan tujuan antar stakeholder
1. Kurangnya visi dan misi
Gambar 43. Diagram hierarki dari subelemen kendala dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
110
(1,2,3,8,9,10)
10 D r i v e r
9 8 7 6 5
P o w e r
(6)
4
(4)
3
(5)
Catatan 1. Kurangnya visi dan misi pengelolaan lingkungan (stakeholder) 2. Perbedaan tujuan antar stakeholder 3. Perbedaan tujuan antar wilayah administrasi 4. Konsistensi arah kerjasama antar stakeholder 5. Konsistensi arah kerjasama antar wilayah administrasi 6. Karakter dan etika dalam kerjasama 7. Kekuatan manajemen 8. Dukungan peraturan 9. Persaingan kebutuhan 10. Peraturan
2 (7)
1 0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gambar 44. Matriks DP-D untuk elemen kendala dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
5.3.4. Tolok Ukur Keberhasilan dalam Model Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta Didalam analisis ini elemen tolok ukur keberhasilan
dijabarkan dalam
subelemen seperti pada Tabel 33 Interpretasinya tolok ukur keberhasilan dalam bentuk hierarki pada Gambar 45 dan pada Gambar 46 elemen keberhasilan dikelompokkan ke dalam sektor-sektor autonomous, dependent, linkage dan independent. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 26.
111
Tabel 33. Elemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Elemen I. Kualitas perairan Teluk Jakarta
Subelemen 1. Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu 2. Menurunnya jumlah limbah padat (sampah) di Teluk Jakarta 3. Keragaman biota dan tumbuhan laut
II. Penduduk
4. Perubahan pola pikir masyarakat (pendidikan) 5. Peningkatan pendapatan 6. Fasilitas TPA yang memadai 7. Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk
III. Industri
8. Manajemen industri 9. Penggunaan peralatan yang ramah lingkungan 10. Teknik pengolahan limbah (IPAL industri) 11. Meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan PROPER
IV. Pasar
12. Manajemen pengolahan limbah pasar 13. Teridentifikasinya pasar (terutama pasar tumpah, dan juga pasar tradisional serta pasar modern) 14. Jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan (AMDAL atau UKL-UPL)
V. Pelabuhan
15. Jumlah pelabuhan yang memenuhi standar internasional pelabuhan 16. Keteraturan transportasi laut 17. Pengolahan limbah pelabuhan
Dari Tabel 33 terlihat bahwa tolok ukur keberhasilan yang merupakan elemen kunci dalam pembentukan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah perubahan pola pikir masyarakat, manajemen industri, meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper, manajemen pengolahan limbah pasar, jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan, jumlah pelabuhan yang memiliki standar internasional, dan keteraturan transportasi laut. Ketujuh tolok ukur keberhasilan ini ini berada di dalam sektor independent Gambar 46, yang berarti bahwa dalam pengembangan model pengendalian pencemaran laut
112
berperan sebagai peubah bebas yang mempunyai kekuatan penggerak besar namun tidak tergantung kepada sistem.
6. Fasilitas TPA yang memadai
5. Peningkatan pendapatan
9. Penggunaan peralatan yang ramah lingkungan
10. Teknik pengolahan limbah (IPAL industri)
1.Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu
7. Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk
17. Pengolahan limbah pelabuhan
13. Teridentifikasinya pasar
2. Menurunnya jumlah limbah padat (sampah) di Teluk Jakarta
4. Perubahan pola pikir masyarakat (pendidikan)
3. Keragaman biota dan tumbuhan laut
16. Keteraturan transportasi laut
8. Manajemen industri
15. Jumlah pelabuhan yang memenuhi standar
11. Meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper
14. Jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan 12. Manajemen pengolahan limbah pasar
Gambar 45. Diagram hierarki dari subelemen tolok ukur dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Hasil analisis ini menggambarkan pendapat para ahli bahwa tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta diawali oleh perubahan pola pikir masyarakat, manajemen industri,
113
meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper, manajemen pengolahan limbah pasar, jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan, jumlah pelabuhan yang memiliki standar internasional, dan keteraturan transportasi laut, berarti diawali oleh perlunya strategi untuk meningkatkan kepedulian lingkungan dari stakeholder yang terlibat dalam pencemaran Teluk Jakarta. Tolok ukur keberhasilan lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan
model
pengendalian
pencemaran
Teluk
Jakarta
adalah
menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu, menurunnya jumlah limbah padat (sampah) di Teluk Jakarta, dan keragaman biota dan tumbuhan laut.
Selain mempunyai kekuatan penggerak besar, ketiga tujuan
tersebut mempunyai ketergantungan besar pada sistem. Kajian atas ketiga tujuan ini perlu dilakukan secara hati-hati karena setiap tindakan pada peubah yang ada dalam sektor linkage akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu, menurunnya jumlah limbah padat (sampah) di Teluk Jakarta, serta keragaman biota dan tumbuhan laut menyambungkan tujuh tolok ukur keberhasilan di sektor independent dengan tujuh tolok ukur keberhasilan yang berada di sektor dependent yaitu penggunaan peralatan yang ramah lingkungan, teknik pengolahan limbah (IPAL industri), teridentifikasinya pasar, pengolahan limbah pelabuhan, meningkatkan pendapatan, fasilitas TPA yang memadai, serta pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk. Hasil analisis ini memberikan makna bahwa ketujuh tolok ukur keberhasilan yang terakhir sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar. Dalam pengembangan model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta posisinya akan mengikuti tolok ukur keberhasilan lainnya yang berada di sektor linkage dan independent.
114
(4, 8, 11,12, 14,15,16)
15 16 15 14 13 D r i v e r
12 11
(1,2,3)
10 9
8 P o 7 w 6 e r 5
(9,10,13,17)
4 (5,6,7)
3 2 1 0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17
Gambar 46. Matriks DP-D untuk elemen tolok ukur dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Catatan 1. Menurunnya jumlah bahan pencemar yang melebihi baku mutu 2. Menurunnya jumlah limbah padat (sampah) di Teluk Jakarta 3. Keragaman biota dan tumbuhan laut 4. Perubahan pola pikir masyarakat (pendidikan) 5. Peningkatan pendapatan 6. Fasilitas TPA yang memadai 7. Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk 8. Manajemen industri 9. Penggunaan peralatan yang ramah lingkungan 10. Teknik pengolahan limbah (IPAL industri) 11. Meningkatnya jumlah industri yang mendapatkan proper 12. Manajemen pengolahan limbah pasar 13. Teridentifikasinya pasar (terutama pasar tumpah, dan juga pasar tradisional serta pasar modern) 14. Jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan (AMDAL atau UKL-UPL) 15. Jumlah pelabuhan yang memenuhi standar internasional pelabuhan 16. Keteraturan transportasi laut 17. Pengolahan limbah pelabuhan
115
Perlu dicermati bahwa posisi tolok ukur keberhasilan penggunaan peralatan yang
ramah
lingkungan,
teknik
pengolahan
limbah
(IPAL
industri),
teridentifikasinya pasar, serta pengolahan limbah pelabuhan berada di atas tolok ukur keberhasilan meningkatkan pendapatan, fasilitas TPA yang memadai, serta pengaturan
terhadap
penyebaran
dan
kepadatan
penduduk.
Hal
ini
menggambarkan empat tolok ukur keberhasilan tersebut relatif lebih penting dibandingkan tiga tolok ukur yang berada pada posisi paling bawah, berarti bahwa hal ini dianggap relatif kurang perlu dibandingkan tolok ukur keberhasilan yang lainnya.
5.3.5. Struktur Tingkat Kepentingan antara Subelemen pada Empat Faktor Penting dalam Sistem Pengendalian Pencemaran Teluk Jakarta Berdasarkan pendapat responden yang memahami wilayah penelitian (expert), dapat diinventarisasikan faktor penting yang dianggap menentukan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Menurut responden, terdapat 14 faktor penting yang harus diprioritaskan karena akan menentukan efektivitas sistem pengendalian pencemaran tersebut, yaitu: (1) Tata ruang, (2) Penegakan hukum, (3) Prioritas rencana strategi daerah, (4) Koordinasi daerah, (5) Peningkatan fasilitas sosial, (6) Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, (7) Memperkuat hubungan antar stakeholder, (8) Persamaan visi, misi dan tujuan terhadap perbaikan lingkungan, (9) Kompromi tingkat kebutuhan, (10) peningkatan pola pikir masyarakat, (11) Pengaturan penduduk (transmigrasi), (12) Penerapan IPAL industri dan pasar, (13) Peningkatan program penilaian peringkat kinerja perusahaan (PROPER), (14) Kewajiban dokumen lingkungan untuk industri dan pasar. Berdasarkan analisis dapat dipilih faktor penentu sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta.
Faktor yang dipilih adalah faktor yang memiliki
tingkat kepentingan paling utama dari faktor yang lainnya, sedangkan faktor yang lain sangat tergantung faktor terpilih tersebut. Hasil analisis pemilahan faktor penentu disajikan pada Gambar 47 dan 48. Untuk analisis ISM data disajikan pada Lampiran 27.
116
Dari Gambar 48, terlihat bahwa faktor-faktor penentu dapat dikelompokkan dalam tiga sektor, yaitu sektor 2; weak driver-strongly dependent variabels (Dependent), dengan subelemen peningkatan fasilitas umum dan sosial, umumnya subelemen yang masuk dalam sektor ini adalah subelemen yang tidak bebas; sektor 3;
strong driver- strongly dependent variabels (Lingkage).
Dengan
subelemen Tata ruang, prioritas rencana strategi daerah, memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, peningkatan pola pikir masyarakat, pengaturan jumlah penduduk, penerapan IPAL Industri, peningkatkan program proper, mewajibkan adanya dokumen lingkungan (untuk industri dan pasar), subelemen yang masuk dalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antara elemen tidak stabil.
Setiap tindakan pada subelemen akan memberikan dampak terhadap
subelemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak; dan sektor 4; strong driver-weak dependent variabels (Independent). Dengan subelemen penegakan hukum, memperkuat hubungan antar stakeholder, koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, serta persamaan visi, misi dan tujuan, subelemen yang masuk dalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Hasil analisis menggambarkan pendapat para ahli bahwa pembentukan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta diawali oleh kebutuhan adanya kepastian hukum yang dapat mengakomodasi semua kebutuhan stakeholder hal ini diantisipasi oleh penegakan hukum, memperkuat hubungan antar stakeholder hal berikutnya yang berperan dalam pengendalian pencemaran, dan diikuti oleh faktor koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, serta persamaan visi, misi dan tujuan. Faktor lainnya yang juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta adalah
tata ruang, prioritas
rencana strategi daerah, memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, peningkatan pola pikir masyarakat, pengaturan jumlah penduduk, penerapan IPAL Industri, peningkatkan program proper, mewajibkan adanya dokumen lingkungan (untuk industri dan pasar).
Selain mempunyai kekuatan besar, faktor-faktor
tersebut mempunyai ketergantungan besar pada sistem karena masuk ke dalam sektor linkage. Faktor-faktor pada sektor linkage menyambungkan lima faktor di
117
sektor independent dengan faktor yang berada di sektor dependent yakni peningkatan fasilitas umum dan sosial. 5. Peningkatan Fasilitas Sosial
11. Pengaturan jumlah penduduk
10. Pola pikir masyarakat
12. Penerapan IPAL industri
6. Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran
13. Peningkatan program proper
3. Prioritas renstra
14. Kewajiban dokumen lingkungan
1. Tata ruang
8. Persamaan Visi, Misi dan Tujuan
9. Kompromi tingkat kebutuhan
4. Koordinasi daerah
7. Memperkuat hubungan antar stakeholder
2. Penegakan hukum
Gambar 47. Diagram hierarki dari tingkat kepentingan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
118
(2)
14 (7)
13 D r i v e r
(4)
12
(9)
11 (8)
10
(1,3,6,10,11,12,13,14)
9
8 P o 7 w 6 e r 5 4 3 2
(5)
1 0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14
Gambar 48. Matriks DP-D untuk tingkat kepentingan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta Keterangan : 1. Tata ruang 2. Penegakan hukum 3. Prioritas rencana strategi daerah 4. Koordinasi daerah 5. Peningkatan fasilitas sosial 6. Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran 7. Memperkuat hubungan antar stakeholder 8. Persamaan visi, misi dan tujuan 9. Kompromi tingkat kebutuhan 10. Peningkatan pola pikir masyarakat 11. Pengaturan jumlah penduduk 12. Penerapan IPAL Industri 13. Meningkatkan program proper 14. Mewajibkan adanya dokumen lingkungan (untuk industri dan pasar)
119
5.4. Pendekatan Sistem 5.4.1. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dalam pendekatan sistem, dan sangat menentukan kelayakan sistem yang dibangun. Dalam tahap ini, dilakukan inventarisasi kebutuhan segenap pelaku (stakeholder) yang terlibat, sebagai masukan dalam model.
Masing-masing pelaku memiliki kebutuhan dan
pandangan terhadap peningkatan kualitas lingkungan khususnya perbaikan kualitas perairan Teluk Jakarta, dan dapat saling bertentangan.
Pelaku yang
terlibat adalah meliputi masyarakat yang tinggal di sekitar Teluk Jakarta, pengusaha yang terlibat dalam aktivitas perekonomian, dan pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. 1) Masyarakat di sekitar Teluk Jakarta •
Terjaganya kondisi kesehatan masyarakat
•
Kondisi hutan mangrove tidak tercemari sehingga ikan dan mahluk hidup lainnya dapat hidup dan berkembang biak (bertelur) sehingga nelayan bisa memperoleh ikan di laut tanpa tercemari.
•
Ketersediaan lahan yang tidak tercemar.
•
Perluasan kesempatan kerja
2) Aktivitas ekonomi (industri dan pasar) •
Peningkatan investasi
•
Pertumbuhan industri (pangsa pasar)
•
Profit yang maksimal
3) Pemerintah •
Pengendalian pencemaran laut akibat pemukiman, industri, transportasi dan pelabuhan laut, rumah sakit, industri perikanan serta perdagangan dan jasa melalui regulasi
•
Memberikan perlindungan kepada masyarakat dan lingkungan.
•
Peningkatan devisa negara.
•
Pemanfaatan sumberdaya lingkungan secara optimal.
•
Tidak terjadi pencemaran lingkungan khususnya laut.
•
Kesejahteraan masyarakat
•
Lingkungan tidak rusak sehingga aman bagi mahluk hidup lainnya.
120
•
Kondisi lahan dan air yang tidak tercemari sehingga mampu mempertahankan keseimbangan ekologisnya.
•
Adanya upaya kelestarian.
•
Adanya upaya perbaikan habitat. Kebutuhan dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk
Jakarta dilakukan dengan metode interpretatif structural modelling (ISM) berdasarkan tingkat kepentingan faktor-faktor yang ada yang dipilah dari struktur elemen kunci berdasarkan pendapat pakar. Dari metode tersebut didapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis yang berperan dalam pengendalian pencemaran Teluk Jakarta sebagai kebutuhan para pelaku (stakeholder) yang terlibat didalam pemanfaatan Teluk Jakarta tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Penentu faktor kunci dan tujuan strategis tersebut adalah sangat penting, dan sepenuhnya harus merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli (expert) mengenai pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Berdasarkan hasil responden seperti yang telah di bahas sebelumnya faktorfaktor penting dalam pengembangan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yaitu (1) Tata ruang, dalam tata ruang sangatlah penting untuk mengetahui penggunaan lahan yang tepat dan ideal dalam pemanfaatannya pada sebuah perkotaan (2) Penegakan hukum, menjadi dasar dalam kelancaran suatu kegiatan agar dapat mengikuti aturan yang sesuai dan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap kerusakan lingkungan (3) Prioritas rencana strategi daerah, merupakan acuan dalam mengembangkan prioritas pembangunan suatu wilayah dengan memperhatikan berbagai aspek-aspek terkait (4) Koordinasi daerah, sangatlah penting untuk dapat bersama-sama mengatasi permasalahanpermasalahan yang terjadi khususnya permasalahan pencemaran sungai karena terkait pada beberapa wilayah, dampak dari kegiatan di bagian hulu sungai dapat dirasakan juga pada bagian hilir sungai (5) Peningkatan fasilitas sosial, sangat menjamin kelancaran pengelolaan sampah khususnya limbah domestik dan pemukiman-pemukiman yang jauh dari TPS (6) Memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, dapat menjadi faktor pendukung yang dapat meningkatkan kualitas air apabila kegiatan-kegiatan yang membuang limbahnya ke daerah
121
pengaliran sungai (DPS) dapat teridentifikasi (7) Memperkuat hubungan antar stakeholder, dapat menjaga keharmonisan dan keseimbangan lingkungan dalam mengelola lingkungan (8) Persamaan visi, misi dan tujuan terhadap perbaikan lingkungan, merupakan suatu pandangan yang dapat memahami arti pentingnya lingkungan yang tidak tercemar sehingga dapat merasakan manfaatnya secara bersama-sama (9) Kompromi tingkat kebutuhan, merupakan suatu ikatan yang dapat membentuk kepedulian terhadap stakeholder lain dari dampak yang dikeluarkan (10) peningkatan pola pikir masyarakat, merupakan suatu usaha yang dapat memberi pengertian pada masyarakat akan pentingnya lingkungan di sekitar kita, yang harus dijaga secara bersama-sama untuk kepentingan generasi yang akan datang (11) Pengaturan penduduk, merupakan usaha untuk dapat mengelola keberlanjutan suatu daya dukung kawasan terhadap banyaknya penduduk, hal ini dapat dilakukan dengan cara transmigrasi (12) Penerapan IPAL industri dan pasar, dilakukan untuk mengurangi jumlah limbah industri dan pasar (13) Peningkatan program proper, sebagai pemacu untuk dapat bersaing secara positif khususnya industri-industri, sehingga dapat mengurangi dampak kegiatan industri tersebut terhadap lingkungan (14) Kewajiban dokumen lingkungan untuk industri dan pasar, merupakan kepatuhan pihak industri dan pasar untuk dapat menjalankan kegiatannya sesuai dengan prosedur yang ramah terhadap lingkungan sehingga dampak terhadap lingkungan dapat diminimalisasikan. Dari hasil ISM di dapat lima faktor utama pada sektor independent antara lain penegakan hukum, hubungan antar stakeholder, koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan serta persamaan visi, misi dan tujuan. Namun terdapat delapan faktor lainnya yang termasuk penting dan tidak boleh diabaikan karena setiap tindakan pada peubah yang masuk dalam sektor linkage ini akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain tata ruang, prioritas rencana strategi daerah, memperkuat pengawasan terhadap pencemaran, peningkatan pola pikir masyarakat, pengaturan jumlah penduduk, penerapan IPAL Industri, peningkatkan program proper, mewajibkan adanya dokumen lingkungan (untuk industri dan pasar). Dalam sistem ini akan dibahas lima faktor yang dianggap sebagai faktor utama dalam sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta.
122
5.4.2. Formulasi Masalah Formulasi permasalahan merupakan aktivitas merumuskan permasalahan sistem yang dikaji. Dalam hubungannya dengan pengendalian pencemaran Teluk Jakarta, permasalahan sistem merupakan gap antara kebutuhan pelaku dengan kondisi yang ada. Dengan demikian, formulasi permasalahan sistem merupakan kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan para pelaku sebagaimana yang dirumuskan dari teknik ISM, dan pada kondisi nyata terjadi di wilayah DKI Jakarta. Kebutuhan pelaku terhadap peningkatan daya dukung lingkungan khususnya perbaikan kualitas perairan Teluk Jakarta adalah bersifat pemuasan terhadap masing-masing stakeholder. Sedangkan kondisi daya dukung lingkungan dan kualitas perairan Teluk Jakarta saat ini tidak memenuhi kebutuhan para pelaku tersebut. Terjadinya konflik kepentingan antara para stakeholders, merupakan masalah yang membutuhkan solusi agar sistem dapat bekerja secara konstruktif dalam rangka mencapai tujuan.
Adapun permasalahan dasar tersebut, secara
sistematis diuraikan sebagai berikut : 1. Penegakan hukum, yang ditunjukkan oleh perangkat perencanaan terhadap pengendalian pencemaran Teluk Jakarta tidak operasional dan dilanggar stakeholder. 2. Hubungan
antar
stakeholder
yang
kurang
harmonis
karena
masih
mengutamakan kepentingan masing-masing sehingga belum terjalin hubungan yang dapat menyeimbangkan antara ekonomi, sosial dan lingkungan. 3. Koordinasi daerah, yang ditunjukkan masih sendiri-sendirinya program pengelolaan suatu DAS sehingga tidak mengetahui kebutuhan pada masingmasing wilayah (khususnya wilayah DAS antara hulu, tengah dan hilir) 4. Kompromi tingkat kebutuhan masih rendah sehingga masing-masing stakeholder tidak mengetahui permasalahan dan kebutuhan dari stakeholder lainnya. Seperti meningkatnya jumlah pemukiman yang tidak tertata, industri, transportasi dan pelabuhan laut, rumah sakit, industri perikanan serta perdagangan dan jasa akan menyebabkan meningkatnya jumlah bahan pencemar yang diakibatkan pembangunan dan teknologi. 5. Persamaan visi, misi dan tujuan terhadap perbaikan lingkungan belum ada.
123
5.4.3. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Hal ini digambarkan dalam
bentuk
diagram
sebab-akibat
(causal-loop),
yang
selanjutnya
diinterpretasikan ke dalam konsep kotak gelap (black box) sebagai diagram inputoutput (I/O). Variabel yang terlibat dalam membangun causal loop adalah meliputi variabel state dan non-state. Variabel state merupakan penentu jalannya sistem, yang menunjukkan akumulasi energi, materi dan informasi dari sistem, serta proses transformasi input menjadi output.
Dalam membangun sistem
pengendalian pencemaran laut khususnya Teluk Jakarta, komponen utama perkotaan, yaitu populasi, aktivitas ekonomi termasuk didalamnya industri dan pasar, dan penggunaan ruang. lainnya
adalah
meliputi
:
Hasil inventarisasi dan identifikasi variabel pertambahan
penduduk,
imigrasi,
kelahiran,
pengurangan penduduk, emigrasi, kematian, angkatan kerja, jumlah industri, jumlah limbah industri, jumlah pasar, jumlah limbah pasar, teknologi penanganan limbah dan dokumen lingkungan, pendidikan, dan kerusakan lingkungan (laut). Setelah diidentifikasi berbagai variabel yang terlibat, kemudian ditentukan hubungan yang logis diantara variabel tersebut. Dari hubungan tersebut diketahui apakah hubungan tersebut bersifat positif atau negatif. Dengan demikian, dapat di bangun loop umpan balik (causal loop) antar dua atau lebih variabel yang membentuk rantai tertutup. Secara ringkas diagram lingkar (causal loop) sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 49. Menurut Eriyatno (2003) secara garis besar ada 3 kelompok variabel yang mempengaruhi kinerja suatu sistem, antara lain : (1) Peubah input, (2) peubah output dan (3) parameter-parameter yang membatasi struktur sistem.
124
Angkatan Kerja
+
Jumlah Pasar
+ +
+
Jumlah Industri
+
+
+
- + Limbah Industri
+ +
+
Pertambahan Penduduk
Lapangan Kerja
+
-
Pengurangan Penduduk
Kematian
Teknologi penanganan limbah dan dokumen lingkungan
Limbah Pasar
+
Emigrasi
Imigrasi
+
+
Populasi
+ +
Kelahiran
Kerusakan Lingkungan (Laut)
+ Pendidikan
Limbah Domestik
+
-
Gambar 49. Diagram sebab akibat (causal loop) model pengendalian pencemaran laut (Teluk Jakarta) Berdasarkan interpretasi diagram sebab akibat (causal loop) yang dikaitkan dengan hasil analisis kebutuhan, kemudian dibangun konsep kotak gelap (black box) diagram input-output (I/O). Diagram I/O memberikan gambaran mengenai input lingkungan, input terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tidak dikehendaki, dan manajemen pengendalian. Adapun parameter rancang bangun sistem dipresentasikan sebagai kotak gelap (black box) yang menunjukkan terjadinya proses (transformasi) input menjadi output. Input terdiri dari dua golongan yaitu yang berasal dari luar sistem (eksogen) atau input lingkungan dan ‘overt input’ yang berasal dari dalam sistem. ‘overt input’ adalah peubah endogen yang ditentukan oleh fungsi dari sistem. Input yang terkontrol dapat divariasikan selama operasi untuk menghasilkan perilaku sistem yang sesuai dengan yang diharapkan. Input terkendali merupakan faktor yang didapatkan dari analisis kebutuhan. Faktor yang berpengaruh (kebutuhan pelaku) merupakan input terkendali pada diagram I/O, yang meliputi penegakan hukum, hubungan antar stakeholder, koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, serta persamaan visi, misi dan
125
tujuan. Input tidak terkendali merupakan faktor di dalam sistem, tetapi tidak dapat dikendalikan secara langsung. Output terdiri dari dua golongan yaitu variabel output yang dikehendaki (desirable output), yang ditentukan berdasarkan hasil dari adanya pemenuhan kebutuhan yang ditentukan secara spesifik pada waktu analisa kebutuhan, dan variabel output yang tidak dikehendaki, merupakan hasil sampingan atau dampak yang ditimbulkan
bersama-sama dengan output yang diharapkan, misalnya
berupa bahan-bahan buangan (waste) yang tinggi sehingga menyebabkan pencemaran laut yang mungkin membahayakan kesehatan dan menyebabkan polusi. Output yang dikehendaki antara lain dapat mengurangi dampak negatif pencemaran laut terhadap manusia dan lingkungannya, meningkatkan daya dukung lingkungan (kapasitas asimilasi) Teluk Jakarta
dan minimisasi biaya
penanganan pencemaran. Adapun output tak dikehendaki merupakan negasi dari output yang dikehendaki, yang berfungsi sebagai umpan balik bagi evaluasi dan manajemen pengendalian pencemaran laut. Parameter rancang bangun sistem menentukan proses transformasi input menjadi output, secara ringkas diagram input-output (I/O) sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 50.
126
Input Lingkungan • Kebijakan Pemerintah • Kapasitas Hukum/PP Output yang diinginkan
Input tak terkontrol • • • •
Jumlah Penduduk Permukiman Penduduk Jaringan dan Debit Air Jenis dan konsentrasi Limbah
• Mengurangi dampak negatif dari pencemaran laut terhadap manusia dan lingkungannya • Meningkatkan Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Jakarta • Minimisasi biaya penanganan pencemaran Peningkatan Kemampuan Asimilasi dengan Model Pengendalian Pencemaran Laut
Input terkontrol • • • • •
Penegakan hukum Hubungan antar stakeholder Koordinasi daerah Kompromi tingkat kebutuhan Persamaan visi, misi dan tujuan
Output yang tidak diinginkan Tingkat Pencemaran Laut Sangat Tinggi
Evaluasi dan Manajemen Pengendalian Pencemaran Laut
Gambar 50. Diagram black box (input-output) sistem pengendalian pencemaran pencemaran laut 5.4.4. Simulasi Model Sebuah model merupakan suatu abstraksi dari realitas. Ini merupakan deskripsi formal dari elemen-elemen penting pada suatu masalah. Suatu perencanaan merupakan sebuah realita permasalahan dan oleh karena itu dapat dimodelkan. Karena elemen-elemen penting dari suatu masalah tersebut merupakan hal yang kita definisikan di dalam sistem yang sedang kita pelajari, kita dapat menganggap suatu model sebagai deskripsi formal dari sistem yang dipelajari. Melalui model maka sistem dapat dipelajari atau diperkirakan dari waktu ke waktu dalam suatu proses yang disebut simulasi. Simulasi adalah suatu proses yang menggunakan suatu model untuk menirukan, atau menelusuri tahap demi tahap, perilaku dari suatu sistem yang kita pelajari. Model simulasi disusun dari suatu perhitungan dan operasi logis yang
127
secara bersama-sama menyajikan struktur (keadaan) dan perilaku (perubahan keadaan) dari sistem yang kita pelajari. Model yang dibangun untuk kajian sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dilakukan dengan perangkat lunak (software) komputer Visual Basic. Model secara umum menggambarkan interaksi antara komponen populasi, industri, dan pasar yang merupakan sumber pencemaran yang berasal dari darat (landbased sources). Masing-masing komponen saling terkait pada satu atau lebih peubah tertentu. Oleh karena itu, model disusun secara kompleks yang tergambar pada diagram forester dari sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang disajikan pada Gambar 51. [L] [M] [E] [I] [Ind]
[Psr]
[DLP]
[DLI]
[P]
Pind
Pop
Ppsr LD LP
LI KLD
LDA
KLI
KLP
[LLD]
LIA LPA [LP] PLD
PD
PP
PTJ
Gambar 51. Diagram forester model pengendalian pencemaran Teluk Jakarta
128
Keterangan diagram forester: Pop = Populasi LD = Limbah domestik L = Tingkat kelahiran M = Tingkat kematian E = Emigrasi I = Imigrasi LDA = Limbah domestik akhir KLD = Kepedulian lingkungan domestik P = Pendidikan Pind = Pertambahan industri Ind = Jumlah industri LI = Limbah industri LIA = Limbah industri akhir KLI = Kepedulian lingkungan industri DLI = Jumlah industri yang memiliki dokumen lingkungan dan IPAL Ppsr = Pertambahan pasar Psr = Jumlah pasar LP = Limbah pasar LPA = Limbah pasar akhir KLP = Kepedulian lingkungan pasar DLP = Jumlah pasar yang memiliki dokumen lingkungan dan IPAL PLD = Pencemaran luar daerah LLD = Limbah luar daerah PD = Pencemaran Teluk Jakarta yang bersumber dari darat (landbased sources) PP = Pencemaran pelabuhan LP = Limbah pelabuhan PTJ = Pencemaran Teluk Jakarta
5.4.5. Validasi Model Validasi model dilakukan untuk mengetahui validitas model yang telah dibangun, sehingga model dapat dianggap layak untuk digunakan. Proses validasi yang dilakukan berdasarkan validasi struktur model.
Menurut Sushil (1993),
validasi struktur model merupakan pengujian apakah model tidak bertentangan dengan mekanisme yang terjadi di dalam sistem nyata. Oleh karena itu, validasi struktur berhubungan dengan informasi dari literatur mengenai mekanisme sistem nyata.
Proses validasi struktur dilakukan dengan uji kesesuaian struktur dan
konsistensi dimensi.
A. Kesesuaian Struktur Model Model yang menggambarkan interaksi antara komponen populasi, pertambahan industri, pertambahan pasar, dan tingkat pencemaran di Teluk Jakarta, haruslah sesuai dengan kondisi sistem nyata.
Dalam sistem yang
demikian, hubungan antar peubah populasi dan beban pencemaran, jumlah industri dan beban pencemaran, serta limbah pasar dan beban pencemaran harus
129
lah bersifat positif, dan sebaliknya beban pencemaran dan kapasitas asimilasi haruslah bersifat negatif. Dalam model yang dibangun, sifat hubungan antar peubah tersebut harus dapat dibuktikan bersesuaian dengan mekanisme sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta. Perubahan jumlah beban pencemaran
Beban Pencemaran (ton/bulan)
dari parameter contoh dapat dilihat pada Gambar 52.
35000 30000 25000 KMNO4
20000
BOD
15000
COD
10000 5000 0 2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 52. Perubahan jumlah beban pencemaran KMNO4, BOD dan COD Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata, seperti terlihat pada Gambar 52 secara umum terjadi peningkatan beban pencemaran dari masing-masing parameter khususnya yang terkait dengan limbah domestik, industri dan pasar. Adapun terjadi penurunan jumlah beban pencemaran hal ini disebabkan semakin meningkatnya jumlah industri dan pasar yang mulai memberikan hasil limbahnya untuk dipantau oleh BPLHD DKI Jakarta, serta mulai terjadinya peningkatan kesadaran masyarakat untuk memperbaiki kualitas lingkungan. Tetapi secara keseluruhan tetap terjadi peningkatan jumlah beban pencemaran dari sumber pencemar tersebut. Berdasarkan uji tersebut, disimpulkan bahwa struktur model dapat digunakan untuk mewakili kerja sistem nyata. Peningkatan jumlah populasi disajikan pada Gambar 53, sedangkan industri maupun pasar disajikan pada Gambar 54. Untuk data perkembangan penduduk,
130
industri, pasar, dan kepedulian lingkungan masing-masing sumber pencemar data disajikan pada Lampiran 28 – Lampiran 31.
Jumlah Penduduk (jiwa)
8800000 8700000 8600000 8500000
Populasi
8400000 8300000 8200000 2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 53. Peningkatan jumlah penduduk DKI Jakarta
600
Jumlah (unit)
500 400 Industri
300
Pasar
200 100 0 2001
2002
2003
2004
Tahun
Gambar 54. Peningkatan jumlah industri dan pasar di DKI Jakarta Hasil pengujian menunjukkan bahwa model yang dibangun dapat memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi sistem nyata. Berdasarkan uji tersebut, disimpulkan bahwa struktur model dapat digunakan untuk mewakili sistem nyata.
131
B. Konsistensi Dimensi Uji konsistensi dimensi merupakan pemeriksaan atas semua persamaan matematis yang dibuat di dalam model, agar tidak terdapat kesalahan antara kedua sisi persamaan tersebut.
Uji konsistensi dilakukan berulang-ulang, dan telah
dilaksanakan secara simultan dalam proses pengembangan model.
5.4.6. Analisis Kecenderungan Sistem Analisis kecenderungan sistem ditunjukkan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang ke depan, melalui simulasi model yang telah dibangun.
Periode simulasi ditetapkan selama 25 tahun, dimulai tahun 2005
sampai dengan 2030. Perkembangan jumlah penduduk, jumlah industri, jumlah pasar, serta kepeduliannya terhadap lingkungan data disajikan pada Lampiran 28. Pemilihan kurun waktu tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa kurun waktu 25-30 tahun merupakan jangka waktu panjang untuk pelaksanaan perbaikan dan pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang signifikan, dan beberapa asumsi: 1) Kecenderungan sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta apabila didasarkan pada tingkat pertumbuhan penduduk dengan kesadaran masyarakat dimana kepedulian masyarakat terhadap perbaikan lingkungan akan meningkat sesuai dengan persamaan regresi yang ada dimana kontribusi terhadap pencemaran Teluk Jakarta sebesar 27,09 % maka pada tahun 2013 jumlah limbah domestik dapat teratasi, tetapi hal ini tidak terlepas dari dukungan kebijakan dan penataan ruang wilayah yang ada. Grafik perkembangan populasi dan kesadaran masyarakat terhadap pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 55. 2) Untuk kecenderungan pada industri di Kota Jakarta dengan kontribusi pencemaran terhadap Teluk Jakarta sebesar 14,01 % pada tahun 2001 akan dapat teratasi pada tahun 2014, karena kepedulian lingkungan industri (seperti penerapan dokumen lingkungan baik amdal maupun UKL-UPL) semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas pula dengan penerapan dari industri sendiri terhadap dokumen lingkungan tersebut serta pengawasan dari pihak pengawas lingkungan. Grafik perkembangan jumlah industri
132
dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta disajikan pada Gambar 56.
Jumlah Populasi (Jiwa)
12000000 10000000 8000000 6000000 4000000 2000000 0 2001
2004
2007
2010
2013
2016
2019
2022
2025
2028
Tahun Jumlah Populasi
Kesadaran Masyarakat
Pertambahan Populasi Æ y = -1310x 2 + 233729x – 901129 Kesadaran Masyarakat Æ y = -20076x 2 + 970346x - 1931516
Gambar 55. Perkembangan populasi dan kesadaran masyarakat terhadap pencemaran Teluk Jakarta (2001-2030)
Jumlah Industri (unit)
600 500 400 300 200 100 0 2001
2004
2007
2010
2013
2016
2019
2022
2025
2028
Tahun Jumlah Industri
Kepedulian Lingkungan
Pertambahan Industri Æ y = - 1,500x2 + 17,10x + 445,5 Kepedulian Lingkungan Æ y = 1,500x 2 + 2,100x + 175,5
Gambar 56. Perkembangan jumlah industri dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta (2001-2030)
133
3) Pada limbah pasar di Kota Jakarta kecenderungan kontribusi terhadap pencemaran akan semakin menurun dari 4,67 % pada tahun 2001 akan dapat teratasi pada tahun 2016, karena kepedulian lingkungan pasar (seperti penerapan dokumen lingkungan baik amdal maupun UKL-UPL) semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas pula dengan penerapan dari pasar sendiri terhadap dokumen lingkungan tersebut serta pengawasan dari pihak pengawas lingkungan. Grafik perkembangan jumlah pasar dan tingkat kepedulian lingkungan
terhadap pencemaran Teluk Jakarta
disajikan pada Gambar 57.
Jumlah Pasar (unit)
350 300 250 200 150 100 50 0 2001
2004
2007
2010
2013
2016
2019
2022
2025
2028
Tahun Jumlah Pasar
Kepedulian Lingkungan
Pertambahan Industri Æ y = -1,250x 2 + 21,95x + 223,2 Kepedulian Lingkungan Æ y = 1,000x 2 + 2,000x + 54,00
Gambar 57. Perkembangan jumlah pasar dan tingkat kepedulian lingkungan terhadap pencemaran Teluk Jakarta (2001-2030)
134
5.5. Analisis Kebijakan 5.5.1. Penyusunan Skenario Analisis kebijakan dilakukan melalui kajian empat skenario yang disusun berdasarkan hasil ISM.
Dari analisis tersebut diketahui bahwa terdapat lima
faktor yang paling berpengaruh terhadap pencemaran Teluk Jakarta, yang juga merupakan kebutuhan para pelaku (stakeholder) dalam sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta, antara lain : (1) Penegakan hukum, (2) Hubungan antar stakeholder, (3) Koordinasi daerah, (4) Kompromi tingkat kebutuhan, (5) Persamaan visi, misi dan tujuan. Dari perkiraan mengenai kondisi (state) faktorfaktor tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun skenario yang mungkin terjadi di wilayah Teluk Jakarta. Perkiraan responden mengenai kondisi faktor di masa datang dan kombinasi faktor untuk skenario disajikan pada Tabel 34. Dari perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor di masa yang akan datang, selanjutnya dilakukan kombinasi yang mungkin antar kondisi faktor, dengan membuang kombinasi yang tidak sesuai (incompatible). Dari kombinasi antara kondisi faktor, didapatkan empat skenario, yang dinamai: (1) Skenario Optimis, (2) Skenario Moderat, (3) Skenario Pesimis, dan (4) Skenario Sangat Pesimis. Secara ringkas, penamaan dan susunan skenario disajikan pada Tabel 35. Untuk mengaitkan skenario yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor ke dalam peubah model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah tertentu di dalam model, sehingga skenario yang bersangkutan dapat disimulasikan.
135
Tabel 34. Perkiraan responden mengenai kondisi masa yang akan datang Faktor 1A
Kondisi (state) di masa yang akan datang 1B
Tetap buruk (seperti saat ini), karena penegakan hukum memerlukan biaya besar
Penegakan hukum
Hubungan antar stakeholder
2A
2B
Semakin buruk, karena lebih mengutamakan kepentingan masingmasing
Lebih baik, karena semakin meningkatnya kesadaran menjalin hubungan stakeholder
3A
3B
Buruk, karena lebih mementingkan pengelolaan daerahnya
Koordinasi daerah
4A
Kompromi tingkat kebutuhan
Menurun, karena lebih mengutamakan kebutuhannya
5A
Persamaan visi, misi dan tujuan
Meningkat, karena semakin kuatnya kontrol masyarakat. LSM, dan lembaga legislatif
Tidak ada, karena merasa lingkungan cukup dikelola pemerintah
Baik, karena perlunya pengelolaan bersama terutama DAS.
4B Tetap (seperti sekarang), karena kondisi saat ini merasa sudah mencukupi kebutuhannya
4C Meningkat, karena menyadari kebutuhan masingmasing dan stakeholder lainnya.
5B Ada, karena memiliki kesadaran bahwa lingkungan perlu dikelola bersama sehingga perlu menyamakan persepsi
Tabel 35. Skenario dan kombinasi kondisi faktor No. 1. 2. 3. 4.
Skenario Optimis Moderat Pesimis Sangat Pesimis
Kombinasi Kondisi Faktor 1B/2B/3B/4C/5B 1B/2B/3B/4B/5B 1A/2A/3A/4B/5A 1A/2A/3A/4A/5A
136
Tabel 36. Interpretasi kondisi masa yang akan datang Faktor 1A
Penegakan hukum
Kondisi (state) di masa yang akan datang 1B
Laju peningkatan limbah dari masingmasing sumber pencemar meningkat sampai 1 % 2A
Hubungan antar stakeholder
Laju peningkatan limbah dari masingmasing sumber pencemar meningkat sampai 0,5 % 3A
Koordinasi daerah
Kompromi tingkat kebutuhan
Persamaan visi, misi dan tujuan
Laju peningkatan limbah dari luar daerah meningkat sampai 1 %
Limbah dari masingmasing sumber pencemar dapat ditekan hingga 1 %
2B Limbah dari masingmasing sumber pencemar dapat ditekan hingga 0,5 %
3B Limbah dari luar daerah dapat ditekan hingga 1 %
4A
4B
4C
Laju peningkatan limbah dari masingmasing sumber pencemar meningkat sampai 0,5 %
Limbah dari masingmasing sumber pencemar tidak mengalami perubahan yang signifikan dari keadaan sekarang
Limbah dari masingmasing sumber pencemar dapat ditekan hingga 0,5 %
5A
5B
Laju peningkatan limbah dari masingmasing sumber pencemar meningkat sampai 0,5 %
Limbah dari masingmasing sumber pencemar dapat ditekan hingga 0,5 %
5.5.2. Simulasi Skenario Simulasi model dilakukan terhadap skenario di atas, untuk mengetahui perilaku masing-masing. Kajian dilakukan terhadap sumber-sumber pencemar. Perilaku antar skenario ternyata menunjukkan perbedaan pada berbagai peubah yang dikaji, akibat adanya perbedaan kombinasi faktor. Hasil simulasi disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 58.
Pencemaran Teluk Jakarta (%)
137
250 200 150 100 50 0 2004
2007
2010
2013
2016
2019
2022
2025
2028
Tahun Optimis
Moderat
Pesimis
Sangat Pesimis
Gambar 58. Skenario-skenario persentase pencemaran Teluk Jakarta Berdasarkan Gambar 58 menunjukkan bahwa keempat skenario memberikan hasil yang berbeda pada peubah pencemaran yang ada di Teluk Jakarta, sehingga apabila dilihat dari skenario tersebut maka dapat dijelaskan bahwa pencemaran Teluk Jakarta dapat dipurifikasi atau tidak melampaui kemampuan asimilasinya dapat diketahui. Pada grafik yang terbentuk terlihat cenderung linear, namun sebenarnya grafik yang terbentuk adalah kuadratik tetapi regresi tersebut sangat kecil. Hal ini disebabkan regresi yang dibuat berdasarkan hubungan skenario dengan regresi perkembangan serta kepedulian lingkungan dari masing-masing sumber pencemar sangat kecil. Regresi pada pertumbuhan penduduk mulai dari tahun 2004 semakin kecil tingkat pertumbuhan yang ada, untuk pertumbuhan industri pada tahun 2009 hampir stagnan karena tidak tersedianya lahan untuk industri kecuali adanya perubahan penggunaan lahan, sedangkan pasar hampir sama dengan perkembangan industri.
Untuk hasil skenario masing-masing
sumber pencemar data dapat dilihat pada Lampiran 32 – Lampiran 41. Berdasarkan dari keempat skenario memberikan hasil yang berbeda pada peubah pencemaran di Teluk Jakarta antara lain:
TDS masih melebihi kapasitas asimilasi sampai tahun 2030 baik pada skenario moderat maupun optimis.
138
PO4 pada skenario moderat tahun 2021 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 157,65 ton/bulan, sedangkan pada skenario optimis tahun 2019 dengan beban pencemaran 152,83 ton/bulan.
SO4 pada skenario moderat tahun
2027 tidak melampaui kemampuan
asimilasi dengan beban pencemaran 30.849,65 ton/bulan, sedangkan skenario optimis tahun 2024 dengan beban pencemaran 29.854,50 ton/bulan.
MBAS pada skenario moderat masih melampaui kemampuan asimilasi sampai tahun 2030, sedangkan untuk skenario optimis baru tahun 2027 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 100,85 ton/bulan.
KMnO4 pada skenario moderat tahun 2020 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 6.356,08 ton/bulan, sedangkan untuk skenario optimis tahun 2018 dengan beban pencemaran 6.233,85 ton/bulan.
BOD pada skenario moderat sudah tidak melampaui kemampuan asimilasinya pada tahun
2014 dengan beban pencemaran 5.288,34 ton/bulan, untuk
skenario optimis pada tahun 2013 dengan beban pencemaran sebesar 5.175,02 ton/bulan.
COD pada skenario moderat sudah tidak melampaui kemampuan asimilasinya pada tahun 2029 dengan beban pencemaran 6.838,07 ton/bulan, sedangkan untuk skenario optimis baru tahun 2026 tidak melampaui kemampuan asimilasi dengan beban pencemaran 6.291,03 ton/bulan.
Sedangkan untuk bahan pencemar TSS, Mn, dan Zn pada kondisi pesimis maupun sangat pesimis masing-masing bahan pencemar tersebut belum melampaui kapasitas asimilasi Teluk Jakarta sampai tahun 2030.
5.6. Penggunaan Perangkat Lunak yang Dikembangkan 5.6.1. Perangkat Lunak Model Pengendalian Pencemaran Laut (MoPPeL) A.
Konfigurasi Program Program didesain menggunakan bahasa pemrograman visual basic 6.0,
dalam bentuk Sistem Pengendalian Pencemaran.
Secara garis besar program
terdiri dari empat subsistem, yaitu subsistem-subsistem basis data, input data, kondisi skenario. Model-model yang dibangun dalam program ini adalah model pengendalian pencemaran. Sedangkan input data didesain untuk mensimulasikan
139
berbagai kondisi sumber-sumber pencemaran, seperti sumber pencemaran dari DKI Jakarta (domestik, industri, dan pasar), sumber pencemaran dari lintas wilayah/sektoral, pelabuhan dan udara.
B.
Keperluan Hardware Program Model Pengendalian Pencemaran Laut (MoPPeL) memerlukan
perangkat keras komputer minimal pentium 100 Mhz dan memori minimal 16 MB, dengan space di hard disk diperkirakan 1 MB dan resolusi monitor 32 MB.
C.
Keperluan Software Program Model Pengendalian Pencemaran Laut (MoPPeL) dapat dijalankan
dalam sistem operasi Windows 98 atau versi yang lebih tinggi.
Meskipun
program ini didesain dengan bahasa pemrograman visual basic 6.0, tetapi program dapat langsung dijalankan tanpa memerlukan adanya software tersebut karena sudah didesain dalam suatu file executetable.
D.
Instalasi Untuk menjalankan program ini, pengguna dapat melakukan langkah-
langkah sebagai berikut : (1) Pindahkan terlebih dahulu folder MoPPeL ke direktori “C:\MoPPeL”. (2) Membuat
shortcut
program
MoPPeL
untuk
“C:\MoPPeL\MODELLINGKUNGAN.exe”.
mengeksekusi Adapun
tahapan
program untuk
membuat shortcut tersebut antara lain : ¾ Klik kiri mouse pada folder MoPPel tersebut, kemudian terdapat berbagai macam file seperti terlihat pada Gambar 59, dan klik kanan pada file “MODELLINGKUNGAN.exe.”, kemudian copy file tersebut ke layar monitor atau tampilan windows komputer.
140
Gambar 59. Tampilan pembuatan shortcut ¾ Jika pekerjaan di atas dilakukan dengan benar, maka di layar monitor akan muncul shortcut MODELLINGKUNGAN.exe.
E.
Pengoperasian Untuk menjalankan program Model Pengendalian Pencemaran Laut
(MoPPeL) tersebut pengguna tinggal mengklik ganda shortcut tersebut. Tampilan awal pada saat program dijalankan dapat dilihat pada Gambar 60.
141
Model Pengendalian Pencemaran Laut dalam Meningkatkan Daya Dukung Lingkungan Teluk Jakarta
Gambar 60. Tampilan awal program MoPPeL
Selanjutnya setelah masuk ke tampilan awal dari program, maka tinggal meng-klik “MASUK”, sehingga akan muncul tampilan “HALAMAN UTAMA” yang berisikan kondisi umum Jakarta dan Teluk Jakarta, seperti terlihat pada Gambar 61. Dalam mensimulasikan sumber-sumber pencemaran untuk mengetahui keadaan beban pencemaran masing-masing parameter yang diamati sampai tahun 2030 maka pengguna terlebih dahulu masuk ke menu ”INPUT DATA”. Menu ”SKENARIO MODEL” belum dapat di klik atau dijalankan apabila data simulasi yang akan dilakukan belum di input.
142
HALAMAN UTAMA
Gambar 61. Tampilan menu untuk halaman utama
Dalam mensimulasikan sumber-sumber pencemaran untuk mengetahui keadaan beban pencemaran masing-masing parameter yang diamati sampai tahun 2030 maka pengguna terlebih dahulu masuk ke menu ”INPUT DATA”, yang kemudian akan muncul tampilan awal ”INPUT DATA” seperti terlihat pada Gambar 62, dimana pada tampilan tersebut akan terlihat data awal sumber pencemar dengan kondisi tahun 2004 dan kapasitas asimilasi dari Teluk Jakarta serta kapasitas asimilasi yang diperbolehkan dari sumber pencemar landbased. Menu ”SKENARIO MODEL” belum dapat diklik atau dijalankan apabila data simulasi yang akan dilakukan belum diinput.
143
Gambar 62. Tampilan menu untuk input data
Setelah data diinput maka perlu meng-klik ”RUN” agar dapat diketahui besarnya beban pencemaran dari masing-masing parameter dan selisihnya terhadap kapasitas asimilasi sehingga pengguna akan mengetahui masing-masing parameter yang belum melampaui dan yang sudah melampaui kapasitas asimilasi Teluk Jakarta dengan munculnya tulisan berwarna hitam ”Belum Melampaui K. Asimilasi” dan tulisan berwarna merah ”Sudah Melampaui K. Asimilasi”. Tampilan dari hasil simulasi pada halaman input data dapat dilihat pada Gambar 63.
144
Gambar 63. Tampilan menu untuk hasil simulasi input data
Selanjutnya kita dapat mengetahui beban pencemaran masing-masing parameter sampai tahun 2030 dengan meng-klik menu ”SKENARIO MODEL”, sehingga akan muncul tampilan menu skenario model seperti terlihat pada Gambar 64. Pada tampilan tersebut akan terlihat grafik kapasitas asimilasi dan skenario-skenario yang ada (optimis, moderat, pesimis, dan sangat pesimis), sehingga dapat diketahui pada kondisi yang mana dan pada tahun berapa parameter pencemar tersebut berada di atas kapasitas asimilasi atau di bawah kapasitas asimilasi. Selain grafik pada halaman tersebut juga dapat diketahui keterangan mengenai bahan pencemar, dampak bahan pencemar dan sumber dari bahan pencemar tersebut. Untuk mengetahui parameter yang diinginkan maka pilihlah parameter yang diinginkan dengan meng-klik box parameter pada kolom bawah, serta untuk memilih tahun yang diinginkan tentukan simulasi tahun dan pilihlah tahun pada kolom yang ada. Untuk hasil pemilihan tersebut dapat dilihat pada Gambar 65.
145
Gambar 64. Tampilan menu skenario model
Gambar 65. Tampilan menu skenario model hasil simulasi
146
Pada menu desain sistem berisikan informasi tambahan dari Model Pengendalian Pencemaran Laut (MoPPeL), yang menampilkan tentang informasi causal loop, diagram forester, black box, dan skenario model dari Sistem Pengendalian Pencemaran Laut.
Tampilan masing-masing informasi tersebut
dapat dilihat pada Gambar 66 - Gambar 69. Pada submenu causal loop memberikan informasi mengenai hubungan sebab akibat dari elemen-elemen yang ada pada sistem tersebut, pada submenu diagram forester memberikan informasi mengenai aliran dalam sistem pencemaran Teluk Jakarta, pada submenu black box memberikan informasi mengenai faktor-faktor yang ada dalam input terkontrol dan input tak terkontrol, serta tujuan yang diinginkan dalam model pengendalian pencemaran laut, sedangkan pada submenu skenario memberikan informasi tentang proses simulasi sampai tahun 2030, dimana telah ditentukan berdasarkan kesepakatan pendapat para pakar (expert) dalam pengendalian pencemaran Teluk Jakarta.
Gambar 66. Tampilan submenu causal loop
147
Gambar 67. Tampilan submenu diagram forester
Gambar 68. Tampilan submenu black box
148
Gambar 69. Tampilan submenu skenario
5.7. Strategi dan Arahan Kebijakan Elemen-elemen negara yang meliputi pemerintah (government), Dewan Perwakilan Rakyat (people’s representative), maupun lembaga peradilan (judiciary) harus berfungsi dan menciptakan proses check and balances yang mampu mengawasi satu sama lainnya. Masyarakat sipil (civil society) juga harus mampu menjalankan peranannya sebagai penyalur aspirasi rakyat dan menjalankan fungsi public control. Sedangkan sektor swasta dalam menjalankan kegiatan ekonominya harus diberikan jaminan bahwa kegiatannya dapat berjalan dengan baik dan lancar serta menyadari terdapat rambu-rambu sosial dan hukum untuk ditaati. Dengan demikian, good governance yang diupayakan dalam era reformasi saat ini dapat berjalan. Pembaruan kebijaksanaan di bidang sumberdaya alam harus sejalan dengan pembaruan dalam sistem politik dan hukum kita yang mengarah kepada good governance. Untuk dapat mewujudkan good governance menurut Santosa (2001), maka dalam melaksanakan pembangunan dan kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya
149
alam maka perlu diterapkan dua puluh prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkugan (Lampiran 42). Seperti pada bagian sebelumnya bahwa pengendalian pencemaran Teluk Jakarta haruslah mengindahkan kepentingan dan tingkat kebutuhan dari para pelaku (stakeholder). Dengan terakomodasinya kepentingan tersebut, maka beban pencemaran dapat dijadikan instrumen yang perlu ditaati oleh para pelaku karena menyangkut kepentingannya. Dari analisis ISM telah diketahui kebutuhan para pelaku terdiri dari penegakan hukum, hubungan antar stakeholder, koordinasi daerah, kompromi tingkat kebutuhan, dan persamaan visi, misi dan tujuan. Jika kebutuhan tersebut terakomodasi maka dengan sendirinya sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta akan memberikan output berupa mengurangi dampak negatif dari pencemaran laut terhadap manusia dan lingkungannya, meningkatkan daya dukung lingkungan perairan Teluk Jakarta, dan minimisasi biaya penanganan pencemaran. Arahan kebijakan berdasarkan permasalahan-permasalahan pada faktor utama dari sistem yang ada yaitu : penegakan hukum, memperbaiki hubungan yang harmonis antar stakeholder, meningkatkan hubungan antar daerah khususnya dalam pengelolaan DAS, kompromi tingkat kebutuhan, menyamakan visi, misi dan tujuan dalam pengelolaan lingkungan. Agar semua permasalahan yang ada dapat teratasi berdasarkan arahan kebijakan maka perlu juga penerapan kaidah FASE yaitu : •
Focus (fokus) yaitu melihat urgensi permasalahan disesuaikan dengan kemampuan diri.
•
Accountability (tanggung jawab) yaitu pertanggung jawaban yang jelas bagi semua pelaksana.
•
Simplification (simplifikasi) yaitu penyederhanaan sumber permasalahan agar memudahkan untuk mengatasinya.
•
Enforcement (penegakan) yaitu penyelesaian permasalahan secara tuntas.
150
5.7.1. Penegakan Hukum Penegakan hukum dalam penerapan Undang-undang harus benar-benar ditegakkan karena merupakan prinsip utama dalam pelaksanaan Undang-undang tersebut secara tegas dan konsisten. Hal ini dapat dilaksanakan jika dalam proses perumusannya, masyarakat yang menjadi objek hukum terlibat untuk memperkuat sistem pemerintahan yang bersih dan berwibawa, serta terjaminnya rasa keadilan dan keamanan masyarakat. Adanya penegakan hukum bagi masyarakat akan mendorong iklim yang kondusif dimana masyarakat bersedia mengikuti dan mentaati hukum. Selain itu perlunya pengawasan, pemantauan untuk memaksimalkan penegakan hukum. Pemantauan ditujukan untuk memantau aktivitas-aktivitas di perairan Teluk Jakarta sehingga diperoleh informasi yang jelas baik mengenai penyebab dari pencemaran maupun kualitas perairan.
Pemantauan tersebut
dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidangnya.
Upaya
pengawasan difokuskan pada pengendalian sumber pencemar baik yang berada di sepanjang pesisir maupun lautan. Sedangkan untuk upaya penegakan hukum yaitu dengan memberikan sanksi yang berat kepada para pelaku pencemaran atau industri-industri agar para pelaku tersebut menjadi jera dan mengindahkan kaidah yang berlaku dan telah ditetapkan oleh pemerintah. Di samping itu, upaya lain yang dilakukan yaitu dengan memberikan insentif kepada pihak-pihak yang melakukan usaha penanggulangan pencemaran.
5.7.2. Memperbaiki Hubungan yang Harmonis antar Stakeholder Dalam penerapan pengendalian pencemaran Teluk Jakarta perlunya hubungan yang harmonis antar stakeholder, sehingga dalam hal ini masingmasing
stakeholder
perlu
memperhatikan
dampak
dari
kegiatan
yang
dilakukannya terhadap stakeholder lainnya, Jika dampak negatif terjadi akibat kepentingan masing-masing maka sudah mempunyai antisipasi terhadap dampak tersebut agar hubungan tetap terjalin dengan baik.
151
5.7.3. Meningkatkan
Hubungan
antar
Daerah
Khususnya
dalam
Pengelolaan DAS Dalam meningkatkan hubungan antar daerah khususnya dalam pengelolaan DAS sangatlah penting dalam terwujudnya sistem pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang efektif dan efisien. Peningkatan hubungan tersebut dapat dilakukan dengan prinsip keterpaduan, dimana keterpaduan yang dimaksud antara lain keterpaduan antara ekosistem darat dan laut, keterpaduan antar wilayah administrasi, keterpaduan antar sektor, serta keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan manajemen. A. Keterpaduan antara ekosistem darat dan laut Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, dengan memperhatikan kemampuan dari ekosistem darat untuk dieksploitasi dan memperhatikan kemampuan pesisir untuk menerima dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tersebut. Misalnya pembukaan lahan pertanian atau pemukiman akan menimbulkan sedimentasi baik pada badan sungai maupun di perairan pantai, sehingga dalam suatu perencanaan diperlukan keterpaduan antar ekosistem. B. Keterpaduan antar wilayah (Administrasi) Sungai merupakan suatu sistem terbuka dan mengalir dari daerah hulu ke hilir sehingga dampak aktivitas dari wilayah administrasi di bagian hulu akan berdampak pada masyarakat di wilayah hilir, sehingga dalam pengelolaan limbah terutama domestik perlu adanya keterpaduan wilayah baik ditingkat desa, kecamatan, kabupaten ataupun pusat. Sebagai contoh DAS Ciliwung yang melalui Kota Bogor, Depok, Jakarta dan lain-lain (Gambar 70). C. Keterpaduan antar sektor Besarnya dampak dan banyaknya aspek kehidupan yang ditimbulkan oleh limbah maka dalam pengelolaannya perlu adanya keterpaduan antar sektorsektor yang terkait dengan hal tersebut, misalnya Departemen Pertanian. Departemen Kehutanan, Departemen Perkerjaan Umum, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, Dinas Kebersihan, serta Dinas Kelautan dan Perikanan.
152
D. Keterpaduan antara ilmu pengetahuan dengan manajemen Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, perlu didasarkan pada input data dan informasi ilmiah yang memberikan berbagai alternatif rekomendasi bagi pengambilan keputusan yang relevan sesuai dengan kondisi karakteristik sosial-ekonomi, budaya, kelembagaan dan bio-geofisik lingkungannya.
JAKARTA UTARA KODYA TANGERANG JAKARTA BARAT KODYA TANGERANG JAKARTA PUSAT TANGERANG JAKARTA SELATAN TANGERANG JAKARTA TIMUR BOGOR BOGOR BOGOR DEPOK
BOGOR
KODYA BOGOR
CIANJUR CIANJUR SUKABUMI
Gambar 70. Sungai Ciliwung yang melalui beberapa wilayah administrasi
E. Kompromi tingkat kebutuhan Perlu dibentuk wadah diskusi yang dapat mempertemukan masing-masing stakeholder dalam merencanakan pengelolaan Teluk Jakarta, khususnya dalam pengendalian pencemaran yang terjadi sehingga mengetahui tingkat permasalahan yang dirasakan akibat dampak dari masing-masing kepentingan serta untuk mengetahui tingkat kebutuhan dari masing-masing stakeholder. Termasuk didalamnya partisipasi masyarakat untuk turut aktif dalam suatu proses kegiatan bagi siapapun yang terlibat dan berkepentingan atau berkaitan dengan proses yang bersangkutan. Pemberdayaan masyarakat dan peningkatan
153
partisipasi masyarakat sebagai salah satu upaya dalam pengelolaan dan penanggulangan pencemaran di Teluk Jakarta.
Adanya kerjasama yang baik
antara pihak pemerintah dan masyarakat (masyarakat lokal, LSM, dunia usaha dan akademis) melalui pengamatan dan evaluasi serta pencarian solusi dalam rangka peningkatan kualitas perairan Teluk Jakarta. keterbukaan secara demokrasi di dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk memahami bahwa perundang-undangan yang ditetapkan oleh pemerintah pada dasarnya dibuat untuk kepentingan masyarakat; memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk
berpartisipasi
dalam
menyampaikan
aspirasi
dan
kepentingannya untuk dapat dibuat dalam naskah RUU, serta ikut berperan dalam melakukan pemantauan sekaligus pengendalian dalam pelaksanaan perundangundangan tersebut. Partisipasi masyarakat dapat berkembang setelah adanya keterbukaan dari pihak yang memprakarsai, dalam hal ini pemerintah. Keterbukaan pemerintah menginformasikan draft rumusan aturan-aturan, kebijakan dan rencana kegiatan sebelum ditetapkan oleh pihak yang berwenang merupakan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyampaikan pandangan, keberatan, serta usul perubahan ataupun gagasan lain yang berangkat dari aspirasi dan persepsi masyarakat. Keterbukaan, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menambah wawasan dan ikut dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah, sehingga kebijakan atau kegiatan tersebut dapat mengurangi potensi konflik pemanfaatan atau konflik yuridiksi yang diakibatkan oleh kesalahan prosedur penetapan kebijakan.
5.7.4. Menyamakan Visi, Misi dan Tujuan dalam Pengelolaan Lingkungan Perlunya membangun visi dan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan ekologi dan lingkungan dengan menjadikan permasalahan pencemaran limbah sebagai masalah penting yang harus ditanggapi secara serius. Persamaan dalam pandangan perbaikan kualitas lingkungan khususnya Teluk Jakarta seperti pemulihan secara bertahap dimana kegiatannya difokuskan pada upaya
154
rehabilitasi, konservasi dan pengendalian sumber-sumber pencemar dari daratan (landbased sources) yang masuk melalui sungai. Kewajiban dalam pengelolaan lingkungan khususnya yang berdampak pada pencemaran Teluk Jakarta perlu dilakukan bagi masing-masing stakeholder sehingga dalam hal ini setiap stakeholder terkait dengan pencemaran Teluk Jakarta wajib memasukkan salah satu visi, misi dan tujuan pengelolaan lingkungan khususnya pengendalian pencemaran Teluk Jakarta dalam rencana pengembangan pada kegiatan masing-masing. Tidak terlepas juga pada wilayah administrasi yang lintas sektoral, perlunya penerapan dalam menyamakan visi, misi dan tujuan khususnya yang dilalui oleh aliran DAS sehingga dapat mewujudkan perbaikan kualitas perairan Teluk Jakarta seperti yang diharapkan dalam sistem pengendalian pencemaran laut ini.
5.8. Rencana Pengelolaan terhadap Sumber Pencemaran Teluk Jakarta 5.8.1. Rencana Pengelolaan terhadap Sumber Pencemar A. Untuk Limbah Domestik
Inventarisasi sumber-sumber pencemaran limbah domestik terutama yang memberikan kontribusi terhadap pencemaran sungai yaitu sekitar 100 meter kanan dan kiri sungai.
Peningkatan
pelayanan
pengangkutan
sampah
dimulai
dari
unit
lingkungan terkecil sampai ke kawasan perkotaan melalui pola pengelolaan sampah terpadu
Meningkatkan kualitas pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang pencemaran limbah (logam berat, B3, red tide) serta peran serta masyarakat
Peningkatan kesadaran publik (public awareness) dan mobilisasi partisipasi masyarakat dalam usaha penanggulangan pencemaran.
Hal
tersebut dimaksudkan agar mengingatkan kepada masyarakat terhadap perilaku mereka yang tidak ramah lingkungan.
Perilaku masyarakat
demikian itu telah menyebabkan tingginya tingkat pencemaran dan gagalnya berbagai program yang telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan pencemaran di Teluk Jakarta.
155
Pengadaan atau pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan limbah (waste water treatment) sebagai salah satu syarat agar proses atau berbagai aktivitas industri ataupun rumah tangga dapat berjalan dengan tidak semakin menambah beban pencemaran pada Teluk Jakarta dan sekitarnya.
Perlu perbaikan dalam sistem manajemen pengelolaan sampah secara keseluruhan; Untuk mencapai keberhasilan, maka perlu didukung oleh faktor-faktor input berupa sarana, prasarana dan kelembagaan produksi, distribusi, pemasaran, pengolahan dan lainnya.
Pemanfaatan
bahan
kompos
untuk
taman
kota
dalam
bentuk
kampanye penghijauan dengan contoh-contoh hasil nyata sebagai upaya promosi pada masyarakat luas;
B. Untuk Limbah Industri
Inventarisasi industri di sekitar DAS yang bermuara di Teluk Jakarta terutama yang diindikasikan berpotensi penghasil limbah di kawasan Teluk Jakarta
Setiap industri harus mempunyai dokumen amdal yang dilengkapi dengan sistem pengelolaan sampah secara internal.
Pengkajian UKL dan UPL pada industri-industri yang telah terbangun dengan pelengkapan sarana pengelolaan sampah internal.
Penerapan teknologi proses zero waste discharge atau teknologi yang berupaya meminimalkan limbah atau bahkan meniadakan limbah dari setiap proses industri.
Upaya tersebut dimaksudkan guna mengurangi
beban limbah yang masuk ke Teluk Jakarta.
Penerapan metode reuse, recycle, dan reduce pada berbagai aktivitas industri yang berada di sekitar Teluk Jakarta atau yang berada di sekitar DAS, dengan demikian maka jumlah dari limbah atau bahan pencemar yang masuk dapat dikurangi.
Pengelolaan masalah pencemaran limbah industri menurut Soemantojo dan Endrawanto (1992), sebaiknya dilakukan dengan menggunakan pendekatan teknologi, lingkungan, dan administratif. Bagan pengelolaan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 43.
156
C.
Untuk Limbah Pasar
Inventarisasi pasar-pasar yang ada terutama yang dekat ke sungai baik pasar modern, pasar tradisional maupun pasar yang muncul saat-saat tertentu atau sering disebut pasar tumpah.
Untuk bangunan dengan tujuan komersial harus mempunyai dokumen amdal yang dilengkapi dengan sistem pengelolaan sampah secara internal.
Pengkajian UKL dan UPL pada bangunan komersial yang telah terbangun dengan pelengkapan sarana pengelolaan sampah internal.
Pembangunan pasar induk dibuat sesuai dengan RTRW, dengan syarat lahan yang digunakan antara lain adalah tidak pada kawasan resapan air (catchment area), tidak dekat dengan jalan besar dan pusat keramaian, lokasi di perbatasan kota yang dilengkapi dengan sarana infrastruktur yang memadai dan memiliki teknologi pengelolaan limbah internal, dibangun pada lahan tidur atau lahan yang tidak termanfaatkan yang bukan merupakan lahan sengketa.
Setiap pasar induk dilengkapi dengan peralatan pengolahan limbah selain untuk menampung dan mengolah sampah dari hasil kegiatan pasarnya juga menampung limbah dari pasar-pasar tradisional/pasar tumpah/pasar kaget di sekitarnya.
5.8.2. Rencana Pengelolaan Limbah secara Umum o RTRW kota untuk bangunan dibuat berdasarkan kesesuaian lahan. o Pendidikan dan penyuluhan lingkungan hidup sejak usia dini. o Pendidikan dan pelatihan lingkungan hidup pada semua aparat pemerintahan sejak mulai bekerja yang dibekali dengan buku saku panduan pengelolaan lingkungan hidup. o Meningkatkan pengawasan DAS oleh tim pengawas independen DAS yang dibentuk dari berbagai elemen masyarakat. o Zonasi terpadu dari hulu ke hilir selain memperhatikan aspek komersial juga dengan memperhatikan aspek lingkungan.
157
o Penanganan pengelolaan sampah tidak hanya dibebankan pada layanan Dinas Kebersihan tetapi juga dikelola mulai dari wilayah administratif terkecil dengan pembuatan sub-sub tempat pembuangan akhir (TPA). o Penanganan pembuangan air limbah dilakukan secara terpadu dan perlu dipisahkan dengan pengeluaran air hujan pada masing-masing sumber pencemar. o Sampah yang telah ditimbun pada TPA mengalami proses lanjutan. Teknologi yang digunakan dalam proses lanjutan yang umum digunakan adalah : 1) Teknologi pembakaran (incenarator). Dengan cara ini dihasilkan produk samping berupa logam bekas (skrap) dan uap yang dapat dikonversikan menjadi energi listrik.
Keuntungan lainnya dari penggunaan alat ini
adalah : a) Dapat mengurangi volume sampah ± 75% - 80% dari sumber sampah tanpa proses pemilahan, b) Abu atau terak dari sisa pembakaran cukup kering dan bebas dari pembusukan dan dapat langsung dibawa ke tempat penimbunan pada lahan kosong, rawa ataupun daerah rendah sebagai bahan pengurug, dan c) Pada instalasi yang cukup besar dengan kapasitas ± 300 ton/hari dapat dilengkapi dengan pembangkit listrik sehingga energi listrik (± 96.000 MWH/tahun) yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk menekan biaya proses. 2) Teknologi komposting yang menghasilkan kompos untuk digunakan sebagai pupuk maupun penguat struktur tanah. 3) Teknologi daur ulang yang dapat menghasilkan sampah potensial, seperti: kertas, plastik logam dan kaca/gelas.
158
5.8.3. Rencana Pengelolaan Pencemaran Sungai o Pembuatan penyaringan sampah padat (waste trap) pada titik pengamatan outlet sungai sesuai wilayah administratif, bahkan wilayah administratif terkecil yang dikelola oleh masyarakat juga difasilitasi oleh pemerintah. o Pengadaan dan penguatan kelembagaan untuk pengelolaan sampah yang melewati sungai. o Inventarisasi sumber-sumber pencemaran di sekitar sungai yang mengalir ke Teluk Jakarta, terutama sumber-sumber pencemaran yang berasal dari limbah domestik, limbah industri, dan limbah pasar. o Menghidupkan wisata air. o Peningkatan kegiatan PROKASIH.
5.8.4. Rencana Pengelolaan Teluk Jakarta Kondisi lingkungan pesisir dan Perairan Teluk Jakarta cenderung mengalami penurunan kualitas.
Hal ini terlihat dari timbulnya pencemaran
lingkungan perairan, berkurangnya hutan mangrove serta rusaknya terumbu karang.
Penurunan kualitas lingkungan ini akan mengurangi fungsi yang
menunjang pembangunan dan kesejahteraan penduduk yang mendapatkan manfaat darinya. Keadaan ini disebabkan oleh sering terjadinya pencemaran baik yang berasal dari kegiatan di daratan maupun kegiatan di perairan itu sendiri, sehingga dalam hal ini perlunya melakukan penyusunan informasi lingkungan yang dilakukan melalui kegiatan : 1. Pemantauan kualitas air sungai di DKI Jakarta 2. Pemantauan kualitas muara, perairan Teluk Jakarta dan Kep. Seribu 3. Inventarisasi kegiatan sepanjang kawasan pantura Jakarta 4. Inventarisasi kondisi hutan mangrove dan terumbu Jepang Agar fungsi lingkungan pesisir dan perairan Teluk Jakarta dapat ditingkatkan kembali maka dilakukan upaya-upaya pengendalian pencemaran dengan melibatkan semua pihak yaitu pemerintah, swasta maupun masyarakat. Adapun kegiatan rencana kelola yang dilakukan untuk pengendalian pencemaran di Teluk Jakarta ini antara lain adalah:
159
o Peningkatan kegiatan Program Laut Lestari Program laut lestari yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan pesisir dalam hal ini lingkungan pantai dan lingkungan daratan pantai. Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah mengendalikan pencemaran dan kerusakan lingkungan pesisir dan air laut dengan cara mengurangi beban pencemaran yang masuk, mengendalikan pencemaran dan kerusakan terumbu karang dan hutan bakau khususnya di daerah dengan resiko tinggi, meningkatkan sumberdaya kelembagaan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengendalian pencemaran dan perusakan lingkungan perairan pesisir dan laut. o Peningkatan kegiatan Pantai Wisata Pantai wisata yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan kerusakan di wilayah pantai yang merupakan tujuan wisata. Sasaran dari kegiatan ini adalah terwujudnya kondisi dan pelayanan pariwisata yang andal dalam keseluruhan sistem dan tercapainya serta terjaganya perairan pantai sesuai dengan baku mutunya. Sumber pencemar dan perusakan untuk kegiatan pantai wisata yang akan ditangani adalah limbah-limbah dari kegiatan-kegiatan di sepanjang pantai yang diduga dapat merusak lingkungan seperti hotel, restoran, pemukiman, industri, dan rumah sakit. o Peningkatan kegiatan Bandar Indah Bandar indah yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan kerusakan di wilayah pelabuhan.
Sasarannya adalah terwujudnya
pelabuhan berwawasan lingkungan yang selain sesuai dengan fungsinya juga memenuhi : 1) baku mutu untuk air kolam pelabuhan; 2) baku mutu industri di dalam pelabuhan; dan 3) keindahan untuk estetika kawasan darat pelabuhan. Sumber pencemar dan perusakan yang akan ditangani untuk kegiatan ini adalah limbah padat dan cair dari kegiatan-kegiatan di dalam area pelabuhan baik di wilayah daratan maupun perairan.
160
o Peningkatan kegiatan Taman Lestari Taman lestari yaitu program kerja pengendalian pencemaran dan kerusakan hutan bakau (mangrove) dan terumbu karang di wilayah pesisir.
Sasarannya adalah terkendalinya pencemaran dan kerusakan
terumbu karang serta mangrove berdasarkan kriteria pencemaran dan kerusakannya melalui pola kemitraan dengan meningkatkan kemampuan masyarakat pantai. Sumber pencemaran yang akan ditangani adalah pencemaran dan perusakan terumbu karang dengan menggunakan bom penangkapan ikan yang menggunakan bahan kimia, minimisasi penggunaan jangkar serta penambangan hutan bakau secara liar. o Peningkatan sistem P3LE (pemantauan, pengecekan, pengamatan lapangan dan evaluasi. Sistem P3LE yaitu program kerja pengawasan secara rutin yang tidak hanya sekedar dalam bentuk laporan namun harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah pembinaan atau penegakan hukum bagi pelanggaranpelanggaran yang ditemukan. Adapun tujuan dari program P3LE antara lain : 1) menurunkan beban pencemaran yang masuk ke kawasan pesisir dan laut terutama dari sumber pencemar yang membuang limbah langsung ke laut seperti kegiatan industri, perhotelan, pertambangan, PLTU/PLTA/PLTG dan kegiatan kapal di pelabuhan; 2) meningkatkan kapasitas sistem informasi dan basis data (data base) mengenai kegiatan yang membuang limbahnya ke laut; 3) meningkatkan kapasitas kelembagaan, tatalaksana pengawasan, kemampuan personil dan dukungan pemerintah daerah dalam kegiatan yang dilaksanakan. Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas untuk pengembangan pantai, Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu, maka perlu beberapa kebijakan pokok antara lain: a. Konservasi. Mempertahankan daerah penghijauan yang masih mungkin dipertahankan, sekaligus mengurangi tingkat pencemaran khususnya di daerah pesisir pantai, Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu.
161
b. Preservasi Meningkatkan lingkungan-lingkungan yang memiliki nilai-nilai historis untuk kepentingan peningkatan aspek-aspek edukatif dan rekreasi. c. Pembangunan Memberikan ruang gerak terhadap pembangunan yang memiliki nilai khusus dalam konteks kepentingan nasional (Pelabuhan Tanjung Priok atau proyekproyek khusus lainnya), tanpa menambah beban pencemaran baru pada lingkungan sekitarnya serta mengembangkan sarana-sarana rekreasi bagi kepentingan umum (Pluit, Ancol, Kapuk dan sebagainya). d. Peningkatan kegiatan pariwisata dan kegiatan perikanan Konservasi atau pelestarian alam dan biota laut dalam konteks Taman Laut Nasional serta meningkatkan pariwisata dan kegiatan kenelayanan.
Dari permasalahan pencemaran Teluk Jakarta yang paling dominan dari limbah domestik terutama sampah padat, maka strategi yang perlu dilakukan antara lain : Program Jangka Pendek (tahunan), meliputi :
Optimalisasi pengoperasian TPA dan pembangunan TPA baru bila dibutuhkan;
Pembangunan prasarana guna mengamankan lokasi calon TPA baru;
Pembangunan incenarator skala kecil di kelurahan-kelurahan;
Pengembangan program 3R (reuse, recycle, reduce);
Pengolahan sampah terpadu dengan pendekatan zero waste;
Penyusunan studi paradigma baru pengelolaan sampah dari cost center menjadi profit center; dan
Pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta, meliputi : 1. Pembangunan TPA dengan sistem sanitary landfill; 2. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem biomass product; 3. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem pirolisis; dan 4. Pembangunan unit pengolahan sampah dengan sistem ATAD.
162
Program Jangka Menengah (3 tahunan), meliputi :
Pelaksanaan program sinergis sampah dan pasir;
Pembangunan calon TPA sebagai lokasi pengolahan sampah dengan teknologi tinggi yang dilengkapi dengan sistem sanitary lanfill;
Pelaksanaan pemilahan sampah di dalam kawasan atau tempat penampungan sementara (TPS);
Pelaksanaan kerjasama dengan pihak swasta lainnya dengan penekanan kepada teknologi yang mengolah sampah organik dan pembangunan unitunit daur ulang;
Pengembangan korporasi pengolahan sampah dan kerjasama antar daerah yang lebih luas;
Pelaksanaan evaluasi masterplan sampah pada daerah yang lebih luas (misalnya : se-Jabodetabek);
Pelaksanaan kampanye massal mengenai 3R (reuse, recycle dan reduce) kepada masyarakat;
Pelaksanaan evaluasi pada kelembagaan instansi teknis pengelola sampah;
Pelaksanaan evaluasi total terhadap sistem pengelolaan retribusi sampah dalam rangka meningkatkan perolehan retribusi; dan
Penyusunan dan sosialisasi perangkat-perangkat hukum yang berkaitan dengan tata cara pengelolaan kebersihan.
Program Jangka Panjang (5 tahunan), meliputi :
Pendirian korporasi pengelola sampah antar daerah;
Pelaksanaan pemilahan sampah sejak di sumber sampah;
Pengembangan home composting di masyarakat;
Pengembangan incenerator skala besar;
Pengembangan kampanye massal mengenai 3R (reuse, recycle dan reduce) kepada masyarakat;
Pelaksanaan restrukturisasi instansi teknis pengelola sampah;
Pelaksanaan penegakan hukum secara tegas terhadap pelanggaranpelanggaran kebersihan; dan
Pencanangan “Kota Bebas Masalah Sampah”.