V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Identifikasi Penutupan Lahan Pada bab ini akan diulas mengenai hasil dan pembahasan mengenai karakteristik RTH kota penelitian yang bersumber dari data dan informasi yang diperoleh dan diolah dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, informasi yang dihasilkan berupa jenis-jenis penutupan lahan dan distribusi (land cover) di tiga kota, yaitu Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan. Dalam penelitian ini, digunakan citra Landsat-TM tahun 2009 untuk kota Banjarmasin (path 118 row 062) dan Kota Yogyakarta (path 120 row 065), serta tahun 2008 untuk kota Medan (path 129 row 057). Klasifikasi citra dilakukan dengan menggunakan pendekatan klasifikasi terbimbing (supervised classification) dengan berbasis pada informasi objek. Klasifikasi penutupan lahan terbatas oleh jenis kenampakan umum yang terlihat di permukaan wilayah. Untuk memperoleh informasi mengenai jenis-jenis penutupan lahan eksisiting yang terdapat di ketiga kota tersebut diperlukan kemampuan interpretasi foto udara yang baik. Selanjutnya, dari hasil klasifikasi citra-citra tersebut dilakukan analisis spasial untuk melihat luasan penutupan lahan oleh ruang terbuka hijau yang ada. Kelas-kelas penutupan lahan dalam penelitian ini antara lain ruang terbangun (RTB), ruang terbuka hijau (RTH), dan badan air. Ruang terbangun meliputi bangunan (rumah, kantor, gedung), serta infrastruktur kota (jalan, jembatan, pelabuhan); ruang terbuka hijau meliputi areal hutan, sawah, kebun, tegalan, sawah, semak belukar, dan mangrove; dan badan air meliputi sungai dan danau.
5.1.1 Penutupan Lahan Kota Banjarmasin Dari hasil klasifikasi citra tahun 2009, ruang terbuka hijau di kota Banjarmasin masih mendominasi seluruh wilayah kota karena jumlah ruang terbuka hijau yang ada masih lebih besar jika dibandingkan dengan ruang terbangun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8.
45
Tabel 7. Persentase P Penutupan n Lahan Ko ota Banjarm masin Tahu un 2009 Luasan
Jenis Pen nutupan Lah han
Ha
%
Ruang Teerbangun
3278,1 16
45,53
Ruang Teerbuka Hijauu
3517,2 20
48.85
Badan airr
402,48
5.59
Tidak Terrklasifikasi
2,16
0.03
Total
0 7200
100
Sumber: Haasil Klasifikasii Citra Landsaat TM Kota Baanjarmasin Taahun 2009
Luass Badan Air, 5.59%
tidaak terklasiifikasi 0.03 3%
Luas RTB, 45.53% %
Luas RTH, 48.85%
Gambar 11. Grafik Presentase Penutupan Lahan L Kotaa Banjarmassin Tahun 2009 2 B n Tahun 200 09) (Sumbeer: Hasil Klaasifikasi Cittra Landsat TM Kota Banjarmasin
G Gambar 12. Peta P Penutuupan Lahan Kota Banjaarmasin Tahhun 2009 (Sumbeer: Hasil Klaasifikasi Cittra Landsat TM Kota Banjarmasin B n Tahun 200 09)
46
30.00% 25.00% 20.00% 15.00% 10.00%
Luas RTB
5.00%
Luas RTH
0.00%
Luas Badan Air
Gambar 13. Grafik Presentase Penutupan Lahan Kota Banjarmasin Per Kecamatan Tahun 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Banjarmasin Tahun 2009)
Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, persentase ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan adalah 30% dari total luas wilayah kota. Dari hasil pengolahan citra Kota Banjarmasin tahun 2009 diketahui bahwa persentase ruang terbuka hijau Kota Banjarmasin pada tahun 2009 adalah sebesar 48,85%, sedangkan persentase ruang terbangun Kota Banjarmasin pada tahun 2009 adalah sebesar 45,53%. Hal ini menunjukkan bahwa penutupan lahan berupa ruang terbuka hijau di Kota Banjarmasin masih mendominasi wilayah kota dan masih berada dalam standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan data yang diperoleh, RTH di Kota Banjarmasin terdiri atas areal persawahan, lahan kosong (semak belukar), hutan, kebun, lapangan olahraga, pekarangan rumah, taman-taman kota, jalur hijau jalan, pemakaman umum, DAS sungai-sungai yang melalui Kota Banjarmasin, baik sungai besar maupun sungai kecil, serta lahan pasang surut. Lapangan olahraga merupakan RTH yang tengah dikembangkan oleh pemerintah Kota Banjarmasin sebagai taman interaktif sosial, artinya masyarakat dapat menggunakan lapangan tersebut sebagai sarana olahraga sekaligus sebagai tempat bersantai dan berkumpul dengan sesama anggota masyarakat. Daerah sempadan sungai pun dapat berfungsi sebagai ruang terbuka hijau sekaligus sebagai tempat resapan air, tetapi daerah sempadan sungai ini semakin lama semakin habis karena adanya kecenderungan dari
47
masyarakat sekitar yang membangun permukiman di daerah sempadan sungai, bahkan terdapat beberapa rumah panggung yang dibangun tepat di badan sungai. Penutupan lahan oleh ruang terbangun di Kota Banjarmasin masih tinggi di Kecamatan Banjarmasin Tengah dengan persentase 10,48%. Ruang terbangun di Kecamatan Banjarmasin Tengah ini umumnya adalah permukiman, pergudangan, dan industri. Ruang terbangun dengan porsi paling tinggi bagi kecamatannya berada di Kecamatan Banjarmasin Tengah (94,87%) dan Kecamatan Banjarmasin Barat (76,24%). Kedua kecamatan ini merupakan pusat Kota Banjarmasin sehingga di dominasi oleh ruang terbangun, yang terdiri atas pusat pemerintahan, kawasan permukiman. kawasan pendidikan, kawasan industri, dan kawasan komersial. Berikut adalah peta penyebaran penutupan ruang terbangun Kota Banjarmasin tahun 2009 (Gambar 14).
Gambar 14. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbangun Kota Banjarmasin Tahun 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Banjarmasin Tahun 2009)
Tingginya aktivitas di pusat kota menjadikan lahan-lahan menjadi semakin sempit dan bahkan berkurangnya ruang-ruang terbuka yang berfungsi sebagai penyeimbang ekologis kawasan menjadi kawasan pusat kota menjadi penuh dan
48
sesak. Pada awalnya, kawasan perukiman tumbuh secara alami karena adanya pengaruh dari sungai yang merupakan jalur transportasi yang sangat penting di Banjarmasin. Namun, seiring
perkembangan kota yang cukup pesat,
berkembanglah jaringan jalan untuk transportasi darat yang mendorong pembentukkan kawasan-kawasan permukiman baru di luar sungai dan melebar ke daerah-daerah sekitarnya.
Gambar 15. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbuka Kecamatan Tahun 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Banjarmasin Tahun 2009)
Dari peta di atas (Gambar 14) dapat diketahui bahwa kecamatan yang memiliki persentase luas ruang terbuka hijau paling tinggi bagi Kota Banjarmasin adalah Kecamatan Banjarmasin Selatan dengan persentase luas ruang terbuka hijau 26,53% dan kecamatan yang memiliki persentase luas ruang terbuka hijau paling rendah adalah Kecamatan Banjarmasin Tengah dengan persentase luas ruang terbuka hijau sebesar 0,2% dari luas wilayah kota. Di Kecamatan Banjarmasin Selatan memang masih banyak terdapat penutupan lahan berupa vegetasi, seperti Kecamatan Banjarmasin Selatan sebelah barat yang masih banyak terdapat lahan pertanian karena masih dipengaruhi oleh S. Barito dan S. Martapura. Pemerintah kota setempat pun hingga saat ini masih
49
mempertahankan lahan-lahan pertanian masyarakat sebagai usaha untuk memenuhi kebutuhan ruang terbuka hijau kota. Di Kecamatan Banjarmasin Selatan pun terdapat daerah rawa (karena adanya pengaruh pasang surut air laut dari Laut Jawa) yang dipenuhi oleh vegetasi rawa, seperti mangrove, selain itu masih banyak terdapat lahan-lahan kosong di kecamatan ini. Begitu pula di Kecamatan Banjarmasin Timur masih banyak dijumpai areal persawahan dan lahan-lahan kosong bervegetasi yang saat ini diarahkan sebagai kawasan resapan air, wisata, dan olahraga. Kecamatan Banjarmasin Tengah merupakan pusat kota sebagai pusat pemerintahan, perkantoran, perdagangan, dan permukiman penduduk yang mendorong tumbuhnya ruang-ruang terbangun. Untuk skala kecamatan, kecamatan-kecamatan yang memiliki porsi besar pada penutupan lahan RTH bagi kecamatannya adalah Kecamatan Banjarmasin Selatan, yaitu 94,66% dan Banjarmasin Timur, yaitu 89,78%. Kemudian diikuti oleh Kecamatan Banjarmasin Barat (29,93%), Kecamatan Banjarmasin Barat (8,58%), dan Kecamatan Banjarmasin Tengah (1,08%). Kecamatan Banjarmasin Selatan, Banjarmasin Timur, dan Banjarmasin Barat masih memiliki luas RTH sesuai dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, yaitu lebih besar dari 30% dari luas kecamatan, sedangkan untuk Kecamatan Barat dan Tengah luasan RTH belum memenuhi standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan peningkatan kuantitas dan kualitas RTH di Kecamatan Banjarmasin Tengah dan Kecamatan Banjarmasin Barat. Karena kondisi kedua kecamatan tersebut sudah sangat padat dengan ruang terbangun maka disarankan untuk meningkatkan kualitas RTH pada taman-taman umum, taman-taman kantor, dan jalur hijau jalan dengan menanam lebih banyak pohon. Distribusi RTH Kota Banjarmasin memiliki pola memusat (radial) pada tepi kota (Gambar 15), namun semakin menuju pusat kota luasan RTH terlihat semakin berkurang. Hal ini dikarenakan penutupan lahan oleh ruang terbangun di pusat kota sangat tinggi dan saat ini pembangunan wilayah Kota Banjarmasin pun masih terkonsentrasi di pusat kota. Hal tersebut sangat tidak mendukung bagi keadaan ekologis di Kota Banjarmasin, terutama di pusat kota. Terlebih lagi Kota Banjarmasin dilalui oleh banyak sungai, terutama dua sungai besar, yaitu Sungai Barito dan Sungai Martapura yang memberikan pengaruh besar terhadap iklim
50
kota. Sinar matahari yang jatuh ke permukaan air akan dipantulkan kembali ke kota. Permukaan air yang luas juga menyebabkan proses penguapan air tinggi sehingga kelembapan udara kota akan meningkat Panas dan lembab menyebabkan suasana kota sangat tidak nyaman. Oleh karena itu, pembangunan RTH diharapkan dapat menciptakan rasa nyaman.
Gambar 16. Kawasan Ruang Terbuka Hijau sempadan sungai di Banjarmasin (kiri); Kawasan Permukiman Pinggir Sungai
5.1.2 Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami pembangunan dan perkembangan kota yang sangat pesat. Dengan segala potensi sumber daya alam dan buatan yang dimilikinya, Kota Yogyakarta menjadi sebuah kota dengan beberapa fungsi sekaligus, yaitu Kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan, pariwisata/budaya, perdagangan, dan pendidikan. Perkembangan kota yang semakin pesat itulah yang telah menyebabkan dilaksanakannya pembangunan fisik secara besar-besara, sehingga di wilayah ini sangat sulit dijumpai ruang terbuka, bahkan di tepi kota, lahan-lahan pertanian banyak yang sudah berubah fungsi menjadi kawasan permukiman. Dari hasil analisis citra Kota Yogyakarta tahun 2009, terlihat bahwa Kota Yogyakarta didominasi oleh ruang terbangun, yaitu sebanyak 80% dari total penutupan lahan Kota Yogyakarta dengan Kecamatan Umbulharjo (18,85%) dan Gondokusuman (13.17%) yang memiliki jumlah luas ruang terbangun yang tertinggi diantara kecamatan-kecamatan lainnya. Hal ini dikarenakan kedua kecamatan tersebut adalah kecamatan yang sangat dekat dengan pusat kota. Kedua kecamatan ini merupakan pusat perdagangan di Kota Yogyakarta. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 8.
51
Tabel 8. Persentase Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Luasan Jenis Penutupan Lahan
Ha
%
Ruang Terbangun
2598,68
79,46
Ruang Terbuka Hijau
519,97
16
Badan air
48,65
1,5
Tidak Terklasifikasi
82,55
2,54
Total
3250
100
Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Yogyakarta Tahun 2009
Gambar 17. Peta Penutupan Lahan Kota Yogyakarta Tahun 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Yogyakarta Tahun 2009)
Berdasarkan hasil pengolahan citra, presentase penggunaan lahan di Kota Yogyakarta pada tahun 2009 didominasi oleh keberadaan ruang terbangun, yaitu sebesar 80%, sementara RTH kota hanya sebesar 16% dari keseluruhan luas wilayah Kota Yogyakarta. Hal ini berarti persentase RTH kota tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 30% dari total luas wilayah kota. Persentase kelas penutupan lahan tahun 2009 dapat dilihat pada Gambar 19.
52
1% 3%
80%
16% RTH R R RTB B Badan Air u unclassified
Gambarr 18. Grafik Persentase Penutupan Lahan Kotaa Yogyakarrta Tahun 20 009 (Sumbeer: Hasil Kllasifikasi Ciitra Landsatt TM Kota Yogyakarta Y a Tahun 200 09)
Di bawah b ini merupakan m p presentase penutupan p laahan per keecamatan di Kota Medan berrdasarkan hasil h olahan citra Landssat-TM Kotta Yogyakarrta tahun 20 009.
20.00% 18.00% 16.00% 14.00% 12.00% 10.00% 8.00% 6.00% 4.00% 2.00% 0.00%
Luas RTB Luas RTH Luas Badan Air
009 Gambarr 19. Grafik Presentase Penutupan Lahan Kotaa Yogyakarrta Tahun 20 (Sumbber: Hasil Klasifikasi K C Citra Landsaat TM Kotaa Yogyakartta Tahun 20 009)
53
Gambar 20. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbangun Kecamatan, 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Yogyakarta Tahun 2009)
Dari peta diatas dapat diketahui bahwa kecamatan-kecamatan yang memberikan porsi terbesar terhadap penutupan lahan oleh ruang terbangun bagi Kota Yogyakarta adalah Kecamatan Umbulharjo (18,85%) dan Kecamatan Gondokusuman (13,17%). Sedangkan pada skala kecamatan, secara umum, hampir seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta memiliki persentase diatas 75%, yaitu Kecamatan Mergangsan (93,32%), Pakualaman (94,29%), Kraton (78,68%), dan Ngampilan (86,58%). Hal ini dikarenakan kecamatan-kecamatan tersebut merupakan pusat perekonomian dan perdagangan di Kota Ygyakarta sehingga didominasi oleh ruang terbangun. Bangunan-bangunan fisik yang terdapat di kawasan Kota Yogyakarta adalah kompleks pertokoan, sekolah-sekolah, rumah sakit, kawasan perumahan, hotel, rumah makan, perkantoran, kawasan perdagangan, tempat-tempat ibadah, dan sebagainya. Hasil penelitian Subaryono, et al. (2004) menyebutkan bahwa ruang terbangun di Kota Yogyakarta didominasi oleh kawasan permukiman dengan jumlah hampir 50% dari luas wilayah kota. Semakin berkembangnya Kota Yogyakarta memicu terjadinya pemekaran kota ke wilayah pinggiran kota (urban sprawl) berupa permukiman-permukiman baru. Hal ini dikarenakan adanya
54
keterbatasan lahan di pusat Kota Yogyakarta sehingga tidak dapat memenuhi tempat tinggal bagi penduduk baru dan adanya peningkatan pada pelayanan transportasi Kota Yogyakarta. Kondisi ruang terbangun di Kota Yogyakarta sangat padat. Kepadatan bangunan ini terutama bangunan perumahan menyebabkan ketidakteraturan tata letak bangunan, seperti tidak teraturnya pola hadap rumah serta tidak memiliki halaman yang baik sehingga cenderung terlihat berdesak-desakkan. Pola permukiman juga ada yang mengelompok di sepanjang tepi Sungai Gajah Wong, Code, dan Winongo. Kawasan ini merupakan kawasan permukiman yang relatif padat, terutama di sepanjang tepi Sungai Code.
Gambar 21. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbuka Hijau per Kecamatan Tahun 2009 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Yogyakarta Tahun 2009)
Dari peta di atas dapat diketahui bahwa kecamatan-kecamatan yang memberikan porsi terbesar terhadap penutupan lahan oleh ruang terbuka adalah Kecamatan Umbulharjo (3,57%), Gondokusuman (2,90%), Tegalrejo (2,40%), dan Kota Gede (1,64%). Kecamatan-kecamatan lainnya hanya memiliki terbuka hijau dibawah 1% dari total luas penutupan lahan, sedangkan kecamatan-
55
kecamatan yang memberikan porsi ruang terbuka yang cukup besar bagi kecamatannya adalah Kecamatan Tegalrejo (26,80%), Gondokusuman (23,63%), Jetis (19,78), Kota Gede (19,73 %), dan Gondomanan (17,15%). Sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya hanya memberikan porsi di bawah 15%. Dari uraian diatas, dapat dinyatakan bahwa luasan RTH di Kota Yogyakarta tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan yaitu 30% dari luas kota, baik dalam skala kota maupun skala kecamatannya. Oleh karena itu diperlukan upaya peningkatan kuantitas dan kualitas RTH untuk dapat menjaga keberlangsungan fungsi ekologis kota. Untuk Kota Yogyakarta disarankan untuk menambah jumlah RTH pada halaman/pekarangan rumah, mengingat kawasan Kota Yogyakarta ini didominasi oleh kawasan permukiman. Perkembangan lahan terbangun sangat mempengaruhi keberadaan tata guna lahan di sekitarnya, terutama RTH kota. Berdasarkan hasil analisis pada hasil klasifikasi citra landsat dapat terlihat adanya pola sebaran RTH di Kota Yogyakarta. Pada pusat kota dengan kepadatan bangunan yang tinggi, jenis RTH yang mendominasi adalah RTH dengan bentuk jalur hijau jalan, alun-alun kota, taman lingkungan, taman pulau jalan, pekarangan rumah, kebun binatang, Taman Makam Pahlawan, serta pemakaman umum. Beberapa taman kota yang berada di Kota Yogyakarta antara lain Taman Devider Jalan Mangkubumi, Taman Trotoar Jalan Sudirman, Taman Trotoar Jalan Ipda Tut Harsono, Taman Median Jalan Suroto, dan Taman Pot Jalan Urip Sumoharjo. Namun, saat ini keberadaan dan kondisinya sangat memprihatinkan. Beberapa taman masih dirawat secara serius, tetapi sebagian besar tampak terbengkalai, bahkan beberapa telah beralih fungsi sebagai shelter bus atau kawasan bagi pedagang kaki lima (PKL). Saat ini alun-alun kota merupakan RTH yang masih dipertahankan dan masih berfungsi sebagai tempat masyarakat berinteraksi sosial. Di luar pusat kota Yogyakarta, masih terdapat RTH pertanian meskipun jumlahnya tidak banyak, karena sebagian kecil masyarakat masih hidup dengan cara bertani.
56
Gambar 22. Ruang Terbangun di Kota Yogyakarta: Kawasan Perdagangan (kiri); (b) Kawasan Perkantoran (kanan)
Gambar 23. Kawasan Ruang Terbuka Hijau di Kota Yogyakarta: Taman Sudut Kota (kiri); Jalur Hijau Jalan (kanan)
5.1.3 Penutupan Lahan Kota Medan Kota Medan merupakan salah satu kota yang telah mengalami perkembangan sangat pesat, bahkan telah menjadi salah satu kota metropolitan di Indonesia. Secara geografis, letak Kota Medan memang sangat strategis, karena kota ini dilalui oleh Sungai Deli dan Sungai Babura. Keduanya merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai. Keberadaan Pelabuhan Belawan di Selat Malaka yang sangat ramai menjadikan Kota Medan sebagai pintu gerbang Indonesia di bagian barat. Kondisi Kota Medan yang sangat ramai dan strategis inilah yang menjadikan Kota Medan sebagai kota metropolitan. Hal ini memicu peningkatan laju urbanisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan menjadi ruang terbangun untuk memenuhi kebutuhan penduduk akan sarana dan prasarana dalam menunjang aktivitas penduduk yang sangat beragam.
57
Berdasarkan hasil identifikasi dengan menggunakan citra Landsat-TM tahun 2008 diketahui bahwa penutupan lahan Kota Medan lebih dari separuh didominasi oleh ruang terbangun, yaitu sebesar 51,86% dan ruang terbuka hijau (RTH) sebesar 29,17%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 9
Tabel 9. Persentase Penutupan Lahan Kota Medan Jenis Penutupan Lahan
Luasan Ha
%
Ruang Terbangun
13748,08
51,86
Ruang Terbuka Hijau
7732,97
29,17
Badan air
4464,25
16,84
Tidak Terklasifikasi
564,7
2,13
Total
25610
100
Sumber: Pengolahan data Citra Landsat Kota Medan Tahun 2008
Permasalahan yang terjadi pada perkembangan Kota Medan yang merupakan pusat perdagangan nasional dan internasional adalah pertumbuhan bangunan-bangunan baru untuk mengembangkan kegiatan perdagangan dan tekanan perkembangan penduduk yang sangat tinggi karena meningkatnya laju urbanisasi. Tingginya laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan fisik di Kota Medan memberikan konsekuensi logis berupa tingginya kebutuhan akan penyediaan kawasan permukiman beserta seluruh fasilitas umum dan sosial pendukungnya. Dari keseluruhan luas lahan terbangun di Kota Medan (53,69%), sebagian besar berada di Kecamatan Medan Deli, yaitu 6,52% Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, Proporsi RTH pada wilayah kota minimum 30% dari total luas wilayah kota. Proporsi RTH Kota Medan pada tahun 2008 hampir mendekati luas minimum menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2007, yaitu hanya 29,17% dari total luas wilayah Kota Medan. Dari keseluruhan luas RTH di Kota Medan, berada di Kecamatan Medan Labuhan yaitu 7,87%
58
Gambarr 24. Penutuupan Lahan Kota Medaan Tahun 20008 (Sum mber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kotta Medan Tahun 2008)
1,5 58% RTH 16,84%
29,72 2%
RTB Badan Air Tidak Terklasifik kasi
51,86%
Gaambar 25. Grafik G Perseentase Penuttupan Lahann Kota Meddan, 2008 (Sum mber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kotta Medan Tahun 2008)
Beriikut ini merrupakan preesentase peenutupan lahhan per keccamatan di Kota Medan berrdasarkan hasil h olahan citra Landssat-TM Kotta Medan tahun 2008.
59
9.00% 8.00% 7.00% 6.00% 5.00% 4.00% 3.00% 2.00% 1.00% 0.00%
RTH RTB Badan Air
Gambar 26. Grafik Persentase Penutupan Lahan per Kecamatan Kota Medan, 2008 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Medan Tahun 2008)
Kecamatan-kecamatan yang memberikan porsi ruang terbuka hijau terbesar bagi Kota Medan adalah Kecamatan Medan Labuhan (7,87%), Kecamatan Medan Marelan (4,8%), dan Kecamatan Medan Kota Belawan (3,46%). Di Kecamatan Medan Labuhan terdapat usaha bidang pertanian di bidang perkebunan kelapa genjah dan kelapa sawit. Selain sebagai usaha pertanian, perkebunan-perkebunan ini memberikan kontribusi sebagai ruang terbuka hijau bagi Kota Medan. Sedangkan di pusat kota, Kota Medan hanya memiliki beberapa taman, seperti Taman Beringin, Taman Ahmad Yani, Lapangan Merdeka, dan Taman Teladan, sedangkan sisanya merupakan taman-taman kecil yang dikelola oleh pihak swasta.
60
Gambar 27. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbuka Hijau per Kecamatan Tahun 2008 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Medan Tahun 2008)
Gambar 28. Peta Penyebaran Penutupan Ruang Terbangun per Kecamatan Tahun 2008 (Sumber: Hasil Klasifikasi Citra Landsat TM Kota Medan Tahun 2008)
61
Ruang Terbangun terlihat mendominasi penutupan lahan di Kota Medan. Ruang terbangun tersebut dapat berupa permukiman penduduk, perusahan industri, serta perdagangan dan jasa yang cukup banyak di Kota Medan. Kecamatan-kecamatan yang memberikan porsi terbesar ruang terbangun pada bagi Kota Medan adalah Kecamatan Medan Deli (6,52%) dan Kecamatan Medan Amplas (4,84%). Sedangkan kecamatan-kecamatan yang memiliki porsi ruang terbangun yang sangat besar dalam penutupan lahan kecamatannya adalah Kecamatan Medan Kota (92,16%), Medan Perjuangan (88,56%), Medan Petisah (88,03%), Medan Timur (86,40%), dan Medan Baru (85,97%). Kecamatan Medan Deli yang terletak di bagian utara Kota Medan memiliki ruang terbangun yang cukup besar, yaitu sebesar 6,52%. Hal ini dikarenakan kecamatan tersebut merupakan pusat kawasan industri Kota Medan (Kawasan Industri Medan), sehingga banyak bangunan-bangunan industri besar yang berdiri disana. Selain, industri-industri besar, terdapat pula industri-industri rumah tangga yang dikembangkan oleh masyarakat sekitar. Berpusatnya kawasan industri di daerah ini, baik industri besar maupun industri kecil telah memicu berdirinya gudang-gudang untuk menyimpan bahan baku industri dan hasil produksi di sekitar kawasan tersebut. Kecamatan lainnya adalah Medan Amplas. Meskipun bukan merupakan pusat industri, Kecamatan Medan Amplas memiliki beberapa pabrik-pabrik besar, seperti pabrik moulding dan komponen bahan bangunan, minuman keras, makanan ternak, makanan ringan, dan sebagainya. Oleh karena itulah, Kecamatan Medan Amplas memiliki porsi ruang terbangun yang cukup besar, yaitu 4,84%. Kota Medan merupakan kota yang berkembang pesat karena kegiatan perdagangannya,
karena
itulah
Kota
Medan
didominasi
oleh
kegiatan
perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor industri pengolahan. Kota Medan memiliki banyak sekali pusat-pusat perdagangan dan industri. Kedua sektor ini merupakan sektor yang banyak menarik tenaga kerja. Salah satu pusat perdagangan di Kota Medan adalah Pelabuhan Laut Belawan yang berjarak 26 Km dari pusat kota. Pelabuhan ini tidak hanya berperan penting bagi perekonomian Kota Medan, namun juga bagi Provinsi Sumatera Utara. Kegiatan ekspor dan impor Kabupaten/Kota lain dilakukan di pelabuhan ini yang dapat
62
dilihat dari aktivitas bongkar.muat barang setiap harinya. Karena itulah, masyarakat banyak yang mendekati kawasan ini, sehingga dampaknya adalah berkembangnya
permukiman-permukiman
di
sekitar
kawasan
Pelabuhan
Belawan. Permukiman penduduk umumnya tumbuh di sekitar pusat aktivitasaktivitas penting di suatu kota. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh kemudahan dalam pencapaian pusat aktivitas tersebut. Kini, permukimanpemukiman tersebut, baik permukiman resmi maupun tidak resmi, mulai dibangun di tepian Sungai Belawan, begitu pun di tepian Sungai Deli dan Sungai Babura. Hal ini menyebabkan rusaknya daerah aliran sungai (DAS) yang tidak lagi mampu berfungsi dengan baik sebagai daerah serapan air, sehingga terjadilah banjir yang sering melanda Kota Medan.
Gambar 29. Ruang Terbangun di Kota Medan: Pusat Perdagangan Jalan MT. Haryono (kiri); (b) Ruas Jalan Kota Medan (Kanan)
Gambar 30. Ruang terbuka hijau di Kota Medan: Lapangan berumput Markas Batalyon Kota Medan (kiri); (b) Hutan Kota Taman Beringin (kanan)
63
5.2. Karakteristik Umum Lanskap Kota Dataran Rendah 5.2.1 Karakteristik Aspek Fisik Kota Dataran Rendah Bentukan lahan atau landform adalah bentukan alam di permukaan bumi khususnya di daratan yang terjadi karena proses pembentukan tertentu melalui serangkaian evolusi tertentu pula (Marsoedi, 1996 dalam Sugiyanta, 2002). Keadaan morfologi kota-kota di dataran rendah umumnya relatif datar dengan kemiringan lahan bervariasi antara 0 – 15 % dengan ketinggian hingga 400 meter diatas permukaan laut (dpl). Kota Banjarmasin memiliki kemiringan lahan 0 – 2%, Kota Yogyakarta memiliki kemiringan lahan 0,5 – 3% (kecuali di daerah pinggiran sungai), dan Kota Medan memiliki kemiringan 0 – 2% ke arah utara. Berdasarkan Tabel 10, ketiga kota tersebut memiliki kemiringan lahan yang sangat datar sehingga memiliki kestabilan lereng yang cukup baik. Selanjutnya dilihat dari aliran drainase sedang, tingkat pengikisan tanah rendah dan ketersediaan air melimpah. Berdasarkan kemampuan lahannya maka ketiga kota tersebut sangat memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan terbangun. Tabel 10. Kriteria Satuan Kemampuan Lahan (Berdasarkan Kondisi Permukaan Tanah) Kemiringan dan Morfologi Daratan 0-10% (Landai) 10-25% (Bergelombang) 25-45% (berbukit)
Kestabilan Lereng
Drainase
Erosivitas
Bencana Alam
Ketersediaan Air Tanah
Stabil
Sedang
Rendah
Aman
Banyak
Agak Stabil
Sedang
Rendah
Aman
Cukup
Tidak Stabil
Baik
Sedang
Waspada
Sedikit
Sumber: Balai Penelitian Tanah, 2003
Dilihat dari aspek geologi, Kota Banjarmasin dan Kota Medan terbentuk dari endapan tanah alluvial, yaitu endapan tanah yang terbawa oleh air sungai. Pengikisan di daerah dataran rendah ini masih relatif kecil dan tata airnya cukup baik, karena merupakan endapan alluvial hasil erosi yang diangkut sungai yang berhulu di daerah vulkanis (gunung api). Oleh karena itu, kawasan ini memiliki kesuburan yang cukup tinggi sehingga sangat baik untuk dijadikan lahan pertanian, perkebunan, perkebunan, permukiman, dan industri. Sedangkan Kota Yogyakarta mengandung tanah regosol atau tanah vulkanik muda, yang
64
disebabkan oleh letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi. Namun, tanah ini pun termasuk tanah yang memiliki kesuburan yang baik sehingga memungkinkan bila ditanami oleh tanaman pertanian dan perdagangan. Kota Banjarmasin juga memiliki tanah rawa. Daerah rawa memiliki tanah yang tidak subur karena terlalu lama tergenang air, sehingga unsur haranya telah habis tercuci. Kota dataran rendah umumnya dialiri oleh sungai, contohnya Kota Banjarmasin yang dialiri oleh Sungai Barito dan Martapura, Kota Yogyakarta yang dialiri oleh Sungai Code, Sungai Winongo, dan Sungai Gajah Wong, serta Kota Medan yang dialiri oleh Sungai Babura dan Sungai Deli. Keberadaan sungai-sungai tersebut di dalam kota menyebabkan terpenuhinya kebutuhan air tawar untuk pertanian, perumahan, dan industri. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dekat dengan aliran sungai memiliki penduduk yang relatif padat. Kota Banjarmasin merupakan memiliki tanah rawa. Daerah rawa memiliki tanah yang tidak subur karena terlalu lama tergenang air, sehingga unsur haranya telah habis tercuci. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam pembangunan Kota Banjarmasin, baik pembangunan ruang terbangun maupun pembangunan RTH. Untuk mendirikan bangunan harus menggunakan bahan yang tidak mudah lapuk karena air sehingga diperlukan biaya yang cukup tinggi, sedangkan untuk pembangunan RTH diperlukan vegetasi-vegetasi yang tahan terhadap genangan air dan memiliki daya evapotranspirasi yang tinggi. Jika dilihat dari aspek iklim, iklim di kota dataran rendah di Indonesia tergolong ke dalam iklim tropis basah yang memiliki curah hujan tinggi, suhu udara umumnya berada diatas toleransi kenyamanan, radiasi matahari yang menyengat, kelembapan tinggi, serta aliran udara yang relatif lambat. Suhu udara di pada ketiga kota tersebut rata-rata mencapai lebih dari 27 °C, bahkan untuk Kota Medan bisa mencapai 36 °C pada siang hari. Kondisi seperti ini akan mengganggu kenyaman manusia dan dapat berimbas pada menurunnya kondisi kesehatan manusia. Oleh karena itu, diperlukan suatu RTH kota yang dapat memperbaiki kestabilan iklim mikro dengan menanam vegetasi yang bertajuk masif dan lebar sehingga dapat memberikan keteduhan dan mengurangi radiasi matahari.
65
Kota-kota di Indonesia memiliki tingkat curah hujan yang cukup tinggi, yaitu dapat 300 mm/bulan. Kondisi curah hujan yang tinggi sering tidak diimbangi oleh kondisi saluran drainase kota, baik primer maupun sekunder, ditambah lagi sedikitnya keberadaan ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air di kawasan perkotaan, khususnya di kota dataran rendah. Di Kota Banjarmasin, Sungai Barito dan Sungai Martapura merupakan dua sungai besar yang berfungsi juga sebagai drainase utama kota. Namun, tumbuhnya permukiman-permukiman penduduk di sepanjang pinggiran sungai menyebabkan berkurangnya lahan untuk resapan air, apalagi ditambah dengan kondisi Kota Banjarmasin sangat dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena itu, seringkali banjir terjadi di Kota Banjarmasin. Tidak jauh berbeda dengan kondisi sungai di Kota Yogyakarta dan Medan, daerah sempadan sungainya dipenuhi oleh permukiman penduduk yang menyebabkan semakin kecilnya daerah resapan air hujan sehingga terjadi aliran permukaan yang cukup besar dan mengakibatkan luapan air sungai ke daerah permukiman penduduk tersebut.
5.2.2 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Demografi Kota-kota di dataran rendah umumnya adalah kota yang sudah berkembang dan maju. Oleh karena itu, penduduk kota di dataran rendah adalah penduduk dengan berbagai macam suku, agama, dan ras, atau disebut juga multi etnis. Mayoritas penduduk kota yang berada di dataran rendah umumnya adalah pendatang/migran dari daerah lain yang ingin bekerja dan menetap di kota tersebut. Jika dilihat dari jenis pekerjaannya, maka sektor yang banyak menyerap tenaga kerja adalah industri, jasa, perdagangan, hotel dan restoran, serta sebagian kecil yang bekerja di bidang pertanian. Penduduk di daerah dataran rendah cenderung memiliki mata pencaharian yang beragam. Adanya keanekaragaman mata pencaharian ini disebabkan oleh kondisi alam daerah datar cocok digunakan untuk berbagai keperluan. Tanah di daerah dataran rendah sangat subur dan stabil. Tanah di daerah rendah sangat subur dan stabil. Oleh karena itu, pusat pertumbuhan kota terjadi di daerah dataran rendah. Hal ini mendorong jumlah penduduk perkotaan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Urbanisasi merupakan fenomena yang terjadi seiring dengan perubahan struktur ekonomi
66
masyarakat. Perubahan yang terjadi dari ekonomi berbasis pertanian ke ekonomi berbasis industri dan selanjutnya ke ekonomi berbasis jasa berimplikasi terhadap perubahan yang terjadi pada struktur ruang yang mewadahi kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat. Konsentrasi penduduk cenderung pada terjadi pada daerah-daerah yang topografinya relatif datar, tanahnya subur, dan dekat dengan sumber air. Sebagai contoh, Kota Banjarmasin yang dilalui oleh dua sungai besar, yaitu Sungai Barito dan Martapura, pola permukiman masyarakatnya mendekati sungai. Di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tumbuh permukiman-permukiman masyarakat, bahkan ada yang membangun rumahnya di atas sungai. Kota Yogyakarta pun demikian, daerah aliran Sungai Code dipenuhi oleh permukiman-permukiman kumuh, bahkan sepertinya hampir tidak ada lahan yang tersisa untuk membangun RTH sempadan sungai. Namun, pertambahan penduduk di suatu kota tidak bisa dihentikan begitu saja. Pertambahan penduduk akan terus-menerus berlangsung, tetapi keterbatasan lahan di pusat kota serta adanya konsep pengembangan kota baru mengakibatkan kota-kota besar mengalami perluasan dan melebar serta mendesak kawasan pedesaan di pinggiran kota. Hal ini tentu saja akan memicu perubahan penggunaan lahan di daerah penggiran dan memunculkan kantong-kantong aktivitas baru. . 5.3. Karakteristik Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Dataran Rendah 5.3.1 Ketersediaan RTH di Kota Dataran Rendah Pada tahun 1970-an ruang terbuka hijau di Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan masih relatif banyak. Taman-taman berfungsi semestinya dan jalur hijau masih banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Jumlah kendaraan bermotor dan industri pun belum sebanyak sekarang. Namun semua itu kini sudah berubah sejalan dengan tuntutan kehidupan di kota besar. Jumalah penduduk di ketiga kota tersebut semakin berlimpah yang mengakibatkan kebutuhan lahan untuk perumahan penduduk jadi meningkat, belum lagi kebutuhan lahan untuk kegiatan ekonomi. Penambahan jumlah kendaraan bermotor akibat bertambah padatnya penduduk pun menuntut penambahan kuantitas jalan. Semua itu akan mengubah
67
fungsi sebagai lahan yang tadinya terbuka dan hijau menjadi bangunan gedung, perumahan, dan jalan. Pembangunan tersebut sering tidak diikuti dengan kesiapan dan dukungan infrastruktur yang memadai sehingga dapat menurunkan daya dukung dan kualitas lingkungan perkotaan, oleh karena itu lahan terbuka yang ditumbuhi berbagai tanaman, besar dan kecil, semakin berkurang. Padahal, ruangan terbuka dengan tetumbuhan menghijau sangat diperlukan bagi kehidupan itu sendiri. Jika dilihat berdasarkan hasil interpretasi serta analisis dari proporsi ruang terbuka hijau yang berada di wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan Medan yang masing-masing mempunyai luasan 48,85%, 16%, dan 29,17% dari total luas wilayah kota, maka luasan ruang terbuka hijau yang ada di Kota Banjarmasin sudah memenuhi standar pemerintah sesuai UU No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang yang menyatakan bahwa alokasi RTH sebanyak 30 % dari luas kota, tetapi dua kota lainnya yaitu Kota Yogyakarta dan Medan belum memenuhi standar tersebut. Persentase diatas menunjukan adanya ruang terbuka hijau yang saat ini sangat jarang ditemukan di wilayah perkotaan dataran rendah, khususnya di pusat kota. Lahan yang ada habis untuk gedung parkir atau areal parkir yang diaspal. Halaman kantor dan bahkan rumah pun umumnya sangat sempit dan amat jarang yang dibiarkan terbuka dengan tumbuhan. Kebanyakan halaman yang ada justru disemen tanpa memberi kesempatan air meresap ke dalam tanah atau tanaman tumbuh menghijau. Padahal sesuai aturan setiap mendirikan bangunan ada syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan tata ruang terbuka ini. Kecenderungan pertumbuhan kota, kondisi dan sifat morfologi kota, sifat iklim dan pencemaran kota, penduduk dan penyebarannya, pada hakekatnya merupakan kondisi yang dinilai strategis dan pentingnya untuk mewujudkan pembangunan dan pengembangan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan seperti halnya kota-kota besar lainnya, dalam pertumbuhannya menghadapi dua fenomena yaitu: (a) menurunnya lingkungan fisik kritis perkotaan, dan (b) masalah sosial seperti urbanisasi, tumbuh berkembangnya permukiman kumuh, lunturnya budaya asli serta gejala sosial lainnya.
68
Mencermati atas kenyataan-kenyataan pembangunan fisik pada ketiga kota dataran rendah tersebut, sudah saatnya untuk lebih ketat mengendalikan kecenderungan-kecenderungannya untuk mencapai efisiensi penggunaan ruang sebaik-baiknya. Terdesaknya kawasan ruang terbuka hijau, baik untuk kepentingan pemukiman maupun pembangunan pusat-pusat fasilitas kota sehingga menyebabkan terganggunya habitat dan sanctuary satwa liar. Demikian halnya dengan tidak terkontrolnya laju pemanfaatan air tanah dangkal dan penerapan
teknologi
pancang
bangunan
tinggi
sehingga
menyebabkan
terganggunya sirkulasi dan sistem tata air tanah (hidrologis).
Gambar 31. RTH untuk Tujuan Fungsi Kenyamanan Kota
Ketidaksiapan kota dalam menampung arus perpindahan penduduk akan menimbulkan masalah sosial seperti kemiskinan, pengangguran, kriminalitas meningkat dan selanjutnya dapat menimbulkan ketidakstabilan politik. Secara keseluruhan masalah tersebut dapat menimbulkan gangguan kejiwaan bagi penduduk perkotaan karena mengalami tekanan yang terus menerus. Maka, wajar kalau masyarakat kota akan kehilangan fungsi ekologis, biologis, dan psikologis dari ruang terbuka hijau. Ciri iklim di Kota memerlukan jasa ruang terbuka hijau (RTH) untuk menjadikan lingkungan kehidupan lebih nyaman dalam hal suhu, akibat tekanan udara, dan kelembabannya. Semakin meningkatnya pencemaran udara, kondisi iklim yang kurang nyaman menjadi meningkat sehingga memerlukan jasa tangkal dan peredamnya dalam bentuk RTH kota.
69
Gambar 32. RTH Meeredam Peniingkatan Peencemaran U Udara Mennurunnya daaya dukung lingkungan n hidup sebaagai akibat dari pencem maran udara yanng bersumber dari kenndaraan berrmotor dan industri, nampaknya dapat diatasi seccara alamiahh dengan haadirnya pem mbangunan ruang terbuuka hijau (R RTH). Hal ini mengingat m b bahwa jasa dan poten nsi biologiss tumbuhann dinilai mampu mengendaalikan dan menangkal m polusi lim mbah padat dan udara yang bersu umber dari kendaaraan bermootor serta melindungi m pusat-pusat p kegiatan koota dan kaw wasankawasan pemukiman p disekitarnyya. Menncermati
u uraian
diaatas,
keceenderungan
semakin
meningk katnya
lingkungaan fisik kritis di wilaayah kota, khususnya kota datarran rendah akan menjadi malapetaka m d degradasi liingkungan kota, k apabilla keberadaan tersebut tidak segera diaatasi. Menddasari atas berbagai pengalaman p yang pernnah dialami oleh negara-neggara indusstri besar Eropa dan n sekitarnyya, nampaaknya kehaadiran pembanguunan ruang terbuka hijau kini men njadi strategis untuk ddikembangk kan di kota datarran rendah, seperti Koota Banjarm masin, Yogyyakarta, dann Medan karena k peranan daan fungsinyya.
5.3.2 Disttribusi, Stru uktur RTH H, dan Fung gsi RTH dii Kota Dataaran Renda ah Disttribusi suatuu RTH jugaa turut mem mpengaruhi fungsi ekologis suatu kota, misalnya dalam d hal kenyamanan k n. Di Kota Banjarmasin B n, RTH terddistribusi deengan pola mem musat pada tepi kota saja s dengan n vegetasi berupa sem mak belukarr dan tanaman rawa, r sedangkan di bagian b pusaat kota jum mlahnya ceenderung seedikit (Gambar 14). Begituu pula denggan kondissi RTH di Kota Medaan dimana RTH
70
terdistribusi dengan pola memusat pada daerah tepi kota, terutama di bagian utara kota dengan jenis RTH berupa lahan peranian, sedangkan di pusat kota jumlah RTH jumlah RTH sangat sedikit (Gambar 26). Lain halnya dengan Kota Yogyakarta yang hanya memiliki RTH sedikit (kurang dari 30%), namun RTH terdistribusi menyebar merata ke seluruh kota (Gambar 20). Hal ini akan mempengaruhi fungsi dan manfaat yang dihasilkan oleh RTH tersebut. Menurut Sujarto (1993), semakin merata dan menyebar suatu RTH maka manfaat yang dapat diberikan ke seluruh kota akan semakin besar. Sehingga dapat dikatan bahwa, RTH pada Kota Yogyakarta dengan pola menyebar dan merata ke seluruh kota lebih baik jika dibandingkan dengan pola distribusi RTH Kota Banjarmasin dan Kota Medan yang hanya terpusat di tepi kota meskipun persentase lebih luas jika dibandingkan dengan Kota Yogyakarta. Jika dilihat dari bentuknya, RTH pada ketiga kota secara umum terdiri atas RTH linear dan RTH kawasan. Yang termasuk RTH linear adalah RTH jalur hijau jalan dan jalur sempadan sungai, sedangkan yang termasuk RTH kawasan adalah taman rumah/pekarangan, halaman perkantoran, taman lingkungan, taman kota, pemakaman umum, kebun binatang, dan RTH kawasan industri. Di pusat Kota Banjarmasin terdapat beberapa RTH kawasan berupa taman kota seperti Taman Siring, Pelataran Masjid Sahbilal Muhtadin, Taman Agrowisata Banjar Bungas Banjarmasin, Taman Agrowisata Mantuil, beberapa lapangan olahraga berumput, dan beberapa RTH privat yang berupa pakarangan rumah dan perkantoran. Di tepi kota RTH kawasan berupa kawasan pertanian dan RTH lahan kosong yang ditumbuhi oleh semak belukar. Walaupun masih cukup luasannya dalam skala wilayah kota, namun kurang mampu memberikan manfaat optimal untuk menjaga kualitas lingkungan kota. Hal ini dikarenakan vegetasi RTH tersebut hanya berupa semak belukar (strata rendah) dan beberapa tanaman rawa. Irwan (2005) menyebutkan bahwa RTH yang mampu mengurangi kebisingan dan menyerap CO2 dengan baik adalah RTH dengan vegetasi berstrata banyak. Beberapa ruas jalan di Kota Banjarmasin sudah memiliki jalur hijau jalan, seperti Jalan Pierre Tendean, Jalan Sudirman, Jalan Jenderal Ahmad Yani, dan sebagainya. Jalur hijau jalan raya ini merupakan RTH pembentuk ruang kegiatan
71
transportasi
yang
ditata
dengan
mengakomodasikan
fungsi
arsitektural
(penyangga, keteduhan, keteraturan, keindahan, pengarah, identitas, pembentuk karakter kota), dan fungsi biofisik (biofilter yang mereduksi bahan pencemar udara dan kebisingan dan kenyamanan). Kota Banjarmasin dilalui banyak sungai, baik sungai besar (Sungai Barito dan Sungai Martapura), maupun sungai-sungai kecil. Diketahui bahwa lahan bervegetasi atau RTH di tepian sungai dapat berfungsi untuk mengurangi bahaya erosi, mencegah longsor tebing, menjaga kestabilan saluran dan kualitas air serta memiliki nilai-nilai lain yang terkait dengan kebutuhan hidup manusia. Jalur hijau tepi sungai merupakan area yang sangat potensial untuk menyumbang peningkatan kualitas lingkungan wilayah kota, tetapi tidak semua tepi atau bantaran sungai di Kota Banjarmasin yang tetutup oleh vegetasi. Ada beberapa bagian sungai yang tidak tertutupi oleh vegetasi tetapi justru digunakan segai area permukiman dan industri. Posisi sungai-sungai dan anak-anak sungainya yang membelah kota merupakan lahan potensial untuk memperbaiki kualitas lingkungan dalam kota. Karena itu, penghijauan jalur tepi atau bantaran sungai, melalui kegiatan konservasi, revegetasi, dan penambahan areal RTH sangat disarankan di Kota Banjarmasin.
Gambar 33. Bentuk RTH Kota Banjarmasin; Kawasan: Lapangan Masjid Sahbilal Muhtadin (kiri); Bentuk RTH linear/jalur: Daerah Sempadan sungai (kanan)
72
RTH di Kota Yogyakarta pun merupakan kombinasi antara RTH linear dan RTH kawasan. Saat ini, alun-alun Kota Yogyakarta merupakan RTH yang masih sering digunakan oleh masyarakat sebagai tempat bersosialisasi, selain itu terdapat Kebun Binatang Gembira Loka yang memiliki vegetasi yang cukup rapat sehingga dapat berfungsi sebagai pengatur iklim mikro bagi lingkungan sekitarnya. Alun-alun kota merupakan jenis RTH kawasan yang masih dipertahankan dan menjadi kebanggaan masyarakat hingga saat ini. Permukiman merupakan jenis ruang terbangun yang banyak dijumpai di Kota Yogyakarta. Dalam hal ini, lahan-lahan yang tersisa di kawasan permukiman berpotensi untuk dikembangkan sebagai RTH dan diharapkan akan terwujud iklim mikro yang nyaman di kawasan tersebut. Di beberapa ruas jalan pun terdapat jalur hijau, seperti Taman Devider Jalan Mangkubumi, Taman Trotoar Jalan Sudirman, Taman Trotoar Jalan Ipda Tut Harsono, Taman Median Jalan Suroto, dan Taman Pot Jalan Urip Sumoharjo. Umumnya taman-taman jalur hijau di Kota Yogyakarta ditata dengan desain yang menarik sehingga dapat memperindah bagian kota. Hal ini sejalan dengan arah pembangunan Kota Yogyakarta sebagai kota pariwisata dan budaya. Selain jalur hijau jalan, di Kota Yogyakarta terdapat RTH jalur sempadan sungai, seperti salah satu ruas sempadan Sungai Code yang masih terdapat vegetasi untuk menjaga ekosistem sungai, meskipun di beberapa bagian lainnya tidak memiliki vegetasi dikarenakan dibangun permukiman penduduk.
Gambar 34. Bentuk RTH Kota Yogyakarta; Kawasan: Alun-alun Kota (kiri); Bentuk RTH linear/jalur: sempadan Sungai Code (kanan)
73
Kota Medan juga memiliki RTH linear dan kawasan. Beberapa RTH kawasan yang terdapat di Kota Medan adalah Hutan Kota Beringin, Taman Ahmad Yani, Lapangan Merdeka, dan Taman Teladan. Taman-taman ini berada di pusat kota dan untuk RTH kawasan yang berada di tepi kota umumnya merupakan lahan pertanian dan perkebunan. Untuk RTH berbentuk jalur, terdapat di sepanjang Sungai Deli dan Sungai Babura, Jalan H. Adam Malik, dan Jalan Putri Hijau.
Gambar 35. Bentuk RTH Kota Medan; Kawasan Lapangan Benteng (kiri); Bentuk RTH linear/jalur: sempadan Sungai Deli (kanan)
5.3.3 Vegetasi Ruang Terbuka Hijau Tanaman merupakan elemen utama pembentuk suatu ruang terbuka hijau (RTH) kota. Umumnya kualitas tanaman yang digunakan di kawasan ini akan dan diharapkan dapat mengikuti dan menunjang kualitas bagian/ ruang kota tersebut. Kualitas yang dimaksud adalah kualitas lingkungan fisik yang baik dan menjamin kenyaman bagi setiap warga kota serta dapat meningkatkan nilai estetika dari ruang-ruang kotanya. Jenis tanaman yang ditanam di kawasan perkotaan tergantung pada fungsi tanaman dan lokasi dimana tanaman tersebut dapat ditanam. Tanaman yang dipergunakan adalah dari kelompok pohon, perdu, semak, dan penutup tanah. Kota Banjarmasin dengan kondisi tanah di bebeapa bagian kota merupakan tanah berawa-rawa maka tanaman yang umumnya digunakan merupakan tanaman-tanaman yang tahan terhadap genangan air serta memiliki daya
74
evapotranspirasi yang tinggi. Contoh tanaman-tanaman tersebut antara lain Rengas (Gluta wallichi), jeruju (Acanthus Ilicifolius), kayu galam (Malaleuca cajuputi), Meranti (Dipterocorpus spesi), Kayu Ulin (Eusidetoxilon zwageri), dan bakau (Rhizopora sp.). Tanaman-tanaman di atas merupakan vegetasi endemik Propinsi Kalimantan Selatan yang merupakan tanaman pengisi RTH daerah sempadan sungai. Menurut RDTRK Kota Banjarmasin, penutupan RTH terbesar di Kota Banjarmasin merupakan lahan kosong berupa semak belukar dan tanaman-tanaman rawa yang tersebar di tepi kota. Tetapi menuju pusat kota, vegetasi yang ditanam merupakan vegetasi peneduh dan penyerap polutan yang banyak terdapat di kawasan permukiman dan jalur hijau jalan. Kota Yogyakarta memiliki kekhasan dalam komposisi vegetasi karena masih sangat dipengaruhi oleh kebudayaan daerah. Penanaman vegetasi pada kawasan permukiman lebih cenderung kepada pertimbangan mistis dan kultur filosofis. Misalnya, masyarakat Yogyakarta percaya yang menanam pohon sawo kecik di lingkungan tempat tinggalnya percaya bahwa dengan menanam pohon tersebut maka diliputi dengan keberuntungan dan kebaikan. Begitu juga pada pemilihan vegetasi untuk RTH, selain mempertimbangkan faktor fungsi ekologis dan estetika, juga dipertimbangkan filosofi/makna yang terkandung pada vegetasi teresbut. Berikut adalah beberapa vegetasi yang sering digunakan pada RTH Kota Yogyakarta asam jawa (Tamarindus indica), angsana (Pterocarpus indicus), beringin (ficus benjamina), beringin putih (Ficus elastica), glodokan tiang (Polyalthea longifolia), kacapiring (Gardenia augusta), sawo kecik (Manilkara kauki), tanjung (Mimusops elengi). Pohon beringin mendominasi kawasan Jalan HOS Cokroaminoto, Selanjutnya Jalan Margotomo dan Margomulyo sepanjang jalannya ditanami pohon asem. Beberapa taman juga ditanami dengan kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis), cengkir gading (Cocos nucifera), dan nusa indah (Mussaenda sp.). Tanaman-tanaman merupakan tanaman-tanaman yang mampu menyerap polusi udara. Bagian utara Kota Medan sangat rentan terhadap intrusi air laut karena posisi Kota Medan yang bersinggungan langsung dengan air laut. Oleh karena itu, vegetasi yang mendukung untuk kondisi seperti itu adalah vegetasi yang memiliki daya evaporasi yang rendah dan tahan terhadap kandungan garam yang relatif
75
tinggi, yaitu tanaman formasi mangrove seperti Avicenia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp, Bruguiera spp, Lumnitzera spp, Excoecaria spp, Xylocarpus spp, Aegiceras sp, dan Nypa sp. Lalu menuju pusat Kota Medan, vegetasi diutamakan vegetasi yang dapat tumbuh dengan cepat dan mampu mengurangi pencemaran udara kota, seperti glodokan tiang (Polyalthia longifolia), asam kranji (Pithecolobium dulce), mahoni (Switenia mahogani), tanjung (Mimusops elengi), dan kiara payung (Felicium decipiens). Secara umum, vegetasi yang banyak digunakan pada kota dataran rendah adalah vegetasi yang memiliki kemampuan mereduksi polutan yang ditimbulkan dari industri dan kendaraan bermotor dengan baik. Vegetasi tersebut memiliki bulu dan permukaan kasar, memiliki trikoma dan stomata yang rapat, dan berlekuk, bersifat evergreen, bertajuk masif dan tinggi pohon lebih dari 10 meter.
5.4. Analisis Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Undang-
Undang No. 26 Tahun 2007 Ruang Terbuka Hijau merupakan bagian dari penataan ruang. Hal ini terlihat adanya aturan undang-undang penataan ruang yang mengatur tentang RTH ini. Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tersebut, rencana penyediaan dan pemanfaatan RTH merupakan bagian dari perencanaan tata ruang wilayah kota. Proporsi RTH pada wilayah kota diatur pada pasal 29 ayat 1, proporsi RTH paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Didasari oleh standar perhitungan menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tersebut maka untuk luasan RTH minimum untuk kota Banjarmasin adalah 2.160 Ha, tetapi pada saat ini Kota Banjarmasin masih memiliki luasan RTH sebesar 48,85%, yaitu sebesar 3517,2 Ha. Untuk Kota Yogyakarta, luasan RTH minimumnya adalah 975 Ha dan saat ini Kota Yogyakarta hanya memiliki luasan RTH sebesar 16% dari luas wilayah kota, yaitu hanya sebesar 519,97 Ha. Oleh karena itu, bagi Kota Yogyakarta diperlukan penambahan RTH sebesar 455,03 Ha. Selanjutnya untuk Kota Medan, luasan RTH minimumnya adalah 7683 Ha, sedangkan luasan RTH yang ada pada saat ini hanya sebesar 29,17%, yaitu 7732,96 maka diperlukan penambahan RTH di Kota Medan sebesar 220.04 Ha.
76
Kota Banjarmasin masih memenuhi persyaratan luas RTH menurut UndangUndang No. 26 Tahun 2007, sebesar 48,85%. Meskipun demikian, keberadaan RTH ini harus dapat tetap dipertahankan. Sedangkan untuk Kota Yogyakarta dengan RTH sebesar 16% saat ini berada dalam kondisi kritis karena proporsi RTH saat ini masih jauh dari standar yang telah ditetapkan dan untuk Medan dengan RTH sebesar 29,72% hampir memenuhi standar yang telah ditetapkan, namun harus tetap ada upaya penambahan RTH.
5.5. Upaya Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau memiliki banyak manfaat diantaranya adalah meningkatka
kondisi
air
tanah,
meningkatkan
sistem
hidrologi
kota,
meningkatkan jumlah dan kualitas air satwa liar, mengurangi keadaan iklim mikro yang ekstrim, serta mengurangi polusi udara perkotaan (Sulistyantara, 2002). Kota Banjarmasin memiliki luasan RTH yang berada dalam standar luas RTH kota yang ditetapkan pemerintah, yaitu 30% dari luas wilayah kota. Namun, tidak demikian dengan Kota Yogyakarta dan Kota Medan. Luasan RTH kedua kota tersebut masih berada di bawah standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas RTH, terutama peningkatan jumlah RTH di bagian pusat kota. Kota Banjarmasin memang memiliki persentase RTH terluas diantara ketiga kota. Namun, jika dilihat dari pola distribusi RTH yang hanya terpusat di tepi kota dan jenis vegetasi yang dominan pada RTH tersebut berupa semak belukar (berstrata rendah), maka Kota Banjarmasin pun harus meningkatkan kualitas RTH nya agar ekosistem kota tetap terjaga. RTH kota yang sudah ada harus ditingkatkan keberadaannya dengan cara pemilihan tanaman yang tepat dan sesuai dengan kondisi lingkungan Kota Banjarmasin. Kota Banjarmasin merupakan kota yang memiliki banyak sungai , kondisi tanah berawa-rawa, serta berada lebih rendah dari permukaan laut, sangat berpotensi menyebabkan penggenangan saat air pasang dan banjir, maka tanaman yang ditanam merupakan tanaman-tanaman yang tahan terhadap genangan air dan memiliki daya evapotranspirasi tinggi. Jenis tanaman yang mempunyai jumlah daun banyak sehingga memiliki stomata yang banyak pula, seperti nangka (Artocarpus heterophylla), akasia (Acacia
77
auliculiformis), jati (Tectona grandis), Ki Hujan (Samanea saman), dan mahoni (Swietenia macrophylla). Banjarmasin merupakan kota seribu sungai, namun kondisi sungai di kota ini sangat memprihatinkan, terutama daerah sempadan sungai. Di Kota Banjarmasin daerah sempadan sungai, termasuk bantaran sungai mulai ditutupi oleh area terbangun, baik permukiman, industri, pelabuhan, dan sebagainya. RTH yang seharusnya berada di daerah sempadan sungai tersebut sangat sedikit sekali sehingga mulailah terjadi bencana banjir di kawasan tersebut. Masalah tersebut mulai muncul sejak manusia bermukim dan melakukan berbagai kegiatan di kawasan yang berupa daerah bantaran sungai (flood plain) suatu sungai. Kondisi lahan di kawasan ini pada umumnya subur serta menyimpan berbagai potensi dan kemudahan sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi untuk dibudidayakan. Oleh karena itu, kota-kota besar serta pusat-pusat perdagangan dan kegiatan-kegiatan penting lainnya seperti kawasan industri, pariwisata, prasarana perhubungan dan sebagainya sebagian besar tumbuh dan berkembang di kawasan ini. Seiring dengan laju pertumbuhan pembangunan di dataran banjir maka potensi terjadinya kerusakan dan bencana tersebut mengalami peningkatan pula dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, RTH di daerah sempadan sungai sangat diperlukan untuk menjaga kelestarian fungsi ekologis dan hidrologis sempadan sungai tersebut. Adapun kriteria tanaman yang dipergunakan pada RTH daerah sempadan sungai adalah memiliki system perakaran yang kuat, tumbuh baik pada tanah padat, tahan terhadap genangan, system perakaran masuk ke dalam tanah, kecepatan tumbuh bervariasi, tahan terhadap hama dan penyakit, rindang dan kompak, serta dapat mengundang burung. Contoh tanaman yang dapat digunakan antara lain bungur (lagerstromia speciosa), tanjung (mimusops elengi), Ki hujan (Samanea saman), lamtoro (Leucaena glauca), beringin (Ficus benjamina), johar (Cassia siamea), sawo kecik (Manilkara kauki), asam (Tamarindus indica), dan sebagainya. Diharapkan dengan mengoptimalkan kondisi sempadan sungai Kota Banjarmasin, baik sungai besar maupun sungai kecil maka kualitas RTH kota akan meningkat. Perkembangan Kota Banjarmasin saat ini yang sedang fokus pada pembangunan infrastruktur jalan sebagai penghubung antara pusat kota dengan
78
daerah suburban nya, maka pembangunan RTH Kota Banjarmasin dapat dilakukan dengan mengembangkan jalur hijau jalan sebagai RTH Kota dengan menanam tanaman-tanaman peneduh dan mampu mereduksi polutan, sehingga iklim mikro yang sehat dapat tercipta dan pencemaran udara karena polutan kendaraan dapat diminimalisasi. Peningkatan kuantitas RTH bagi kota yang memiliki luasan RTH di bawah 30%, yaitu Kota Yogyakarta dan Medan diupayakan agar mampu meningkatkan luasan RTH di kecamatan masing-masing dengan menyediakan taman kota atau taman lingkungan sehingga selain dapat digunakan untuk keindahan kota juga dapat mengakomodir keinginan masyarakat untuk mendapatkan udara segar terutama yang tinggal di kawasan kumuh. Bagian pusat kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi baik di Kota Banjarmasin, Kota Yogyakarta, dan Kota Medan umumnya telah didominasi oleh lahan terbangun yang digunakan untuk kawasan permukiman, perdagangan, maupun industri. Oleh karena itu, upaya peningkatan kuantitas dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan terbangun yang sudah ada. Cara ini dianggap cukup sesuai dengan kondisi kota-kota tersebut yang sudah cukup padat, terutama di pusat kota, dengan kawasan terbangun dan sangat tidak memungkinkannya untuk diadakan konversi lahan dari lahan terbangun menjadi RTH. Contoh RTH yang dapat dibangun dalam lingkungan-lingkungan yang sudah cukup padat adalah pengadaan taman kota dengan memanfaatkan lapangan olahraga yang sudah ada di pusat kota. Upaya ini sedang dilakukan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin untuk memenuhi kebutuhan RTH di pusat kota, sekaligus dapat dijadikan area bersosialisasi bagi masyarakat sekitar. Contoh lain yaitu Pemanfaatan kebun dan halaman permukiman sebagai wilayah hijau dan produktif. Sepertinya, upaya ini cocok untuk diterapkan di Kota Yogyakarta mengingat lahan di Kota Yogyakarta semakin berkurang dan tergantikan oleh bangunan, terutama permukiman maka keberadaan tanaman di kebun maupun halaman rumah merupakan sarana yang cukup efektif untuk menghijaukan Kota Yogyakarta. Selain itu, dapat juga mengoptimalkan ruang terbangun yang ada dengan membangun roof garden ataupun vertical garden.
79
Peningkatan jalur hijau jalan pun nampaknya sesuai untuk diterapkan di ketiga kota tersebut terutama bagian pusat kota, karena di kawasan pusat kota, aktivitas
masyarakakat
cenderung
tinggi
(industri,
permukiman,
pusat
pemerintahan, perdagangan, dan sebagainya) dan arus transportasi cukup padat. Bentuk RTH jalur hijau jalan ini diharapkan mampu mereduksi masalah polusi perkotaan, baik itu polusi industri maupun polusi kendaraan, sehingga dapat meningkatkan kenyamanan bagi makhluk hidup yang berada di lingkungan tersebut. Setelah upaya peningkatan kualitas dan kuantitas RTH suatu kota dilaksanakan, maka harus diiringi dengan pengelolaan RTH yang baik dari semua stakeholder, baik pemerintah maupun masyarakat agar RTH yang sudah ada dapat dikelola dan dimanfaatkan dengan baik.