99
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi eksisting perairan Teluk Youtefa Evaluasi terhadap kondisi eksisting di perairan laut Teluk Youtefa dilakukan dengan cara membandingkan hasil analisis parameter fisik dan kimia air dari sampel air laut yang diambil dengan kriteria mutu kualitas air yang berlaku yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut, maka berdasarkan keputusan tersebut dalam penelitian ini sebagai pembanding digunakan kriteria mutu air untuk biota laut. Nilai yang dipergunakan merupakan hasil tabulasi dari nilai rata-rata pada kondisi pasang dan surut. Baku mutu acuan yang digunakan mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk biota laut. Data lengkap nilai rata-rata kualitas air perairan Teluk Youtefa pada saat pasang (P) dan surut (S) dapat dilihat pada gambar 26 – 33 dan lampiran 1. 5.1.1. Suhu air Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh penutupan awan, suhu udara, sirkulasi udara, dan kedalaman air. Suhu air memiliki efek langsung dan tidak langsung dihampir semua aspek ekologi perairan serta mempunyai kaitan erat dengan kualitas perairan. Peningkatan suhu menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air (Haslam, 1995 diacu dalam Effendy, 2003). Suhu perairan yang tinggi akan meningkatkan kelarutan senyawa senyawa kimia dan mempengaruhi dampak polutan pada kehidupan akuatik. Suhu perairan juga dapat berpengaruh terhadap kecepatan reaksi reaksi kimia yang berlangsung dalam air, tutupan vegetasi dan kekeruhan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai suhu perairan Teluk Youtefa pada saat pasang berkisar antara 25,4 – 280C. Nilai suhu tertinggi ditemukan di stasiun 5 dan 6, nilai terendah di stasiun 3. Pada saat surut nilai suhu hampir sama disemua lokasi sampling yaitu 32 0C (gambar 26). Hal tersebut terjadi diduga pada saat sampling kondisi cuaca sangat cerah antara pukul 12.00-14.00. Nilai rata-rata suhu pada saat pasang dan surut berkisar antara 28,50C -30 0C, dengan nilai rata-rata keseluruhan 26,18 0C (lampiran 1). Hasil pengukuran suhu ini sesuai dengan hasil
100
penelitian kerjasama antara Universitas Negeri Papua dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua (2006) bahwa rentang suhu perairan Teluk Youtefa 29 0C– 32, 8 0C atau rata-rata 31,21 0C dengan 10 titik pengamatan Hal ini sesuai dengan pendapat Romimohtarto dan Juwana (2011) yang menyatakan bahwa suhu air laut bisa mencapai suhu 33 0C. Perbedaan suhu pada setiap stasiun pengamatan dipengaruhi oleh suhu udara, tutupan vegetasi, intensitas cahaya matahari, dan cuaca pada saat pengukuran.
0
C
Lokasi pengamatan
Gambar 26 Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter suhu pasang surut Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa memenuhi kriteria mutu air (KMA) yang dapat digunakan untuk perikanan laut. 5.1.2. Total padatan tersuspensi (TSS) Padatan tersuspensi total (total suspended solid atau TSS) adalah bahan bahan tersuspensi (diameter >1µm). TSS terdiri atas lumpur, bahan organik dan anorganik, pasir halus serta jasad jasad renik, yang terutama disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai total padatan tersuspensi air di perairan Teluk Youtefa pada saat pasang berkisar antara 45 – 236 mg/l (gambar 27) dengan nilai rata-rata keseluruhan adalah 142,11 mg/l. Nilai TSS tertinggi ditemukan di stasiun pantai abe 236 mg/l dan nilai terendah di stasiun 2 entrop 45 mg/l. Kemudian nilai padatan tersuspensi pada saat surut berkisar antara 133-348 dengan nilai rata-rata keseluruhaan adalah 241,56 mg/l. Nilai tertinggi ditemukan di stasiun 4 pantai abe, nilai terendah ditemukan di stasiun 2 entrop. Nilai TSS pada saat
101
pasang dan surut berkisar antara 45 mg/l-348 mg/l dengan rata-rata 191,72 mg/l. Nilai tersebut telah melampaui baku mutu air laut untuk biota laut. Hal ini berarti dapat menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga bisa menyebabkan produksi primer perairan menurun. Menurut Whardhana. (2001) bahwa air yang mengandung bahan buangan disertai dengan warna gelap, akan mengurangi penetrasi sinar matahari ke dalam air. Kemudian menurut Adedokun et al. (2008) diacu dalam Suwari. (2010), bahwa padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi biota diperairan dan mengurangi pasokan oksigen terlarut dalam badan air. Abel (1989) mengemukakan bahwa peningkatan kekeruhan perairan akan mengurangi atau mencegah potosintesis maupun produktifitas tanaman. Banyaknya kadar TSS di Teluk Youtefa disebabkan banyaknya partikel-partikel tersuspensi yang terdiri dari pasir, lumpur, pasir halus maupun jasad renik terutama akibat adanya kikisan tanah atau akibat erosi yang terbawa ke badan air melalui beberapa sungai yang bermuara ke Teluk Youtefa. Hal ini sesusi dengan pendapat Effendi (2003) bahwa TSS terdiri dari lumpur dan pasir halus. Hal yang sama juga dikemukakan Saeni (1989) bahwa tingginya kadar padatan tersuspensi disebabkan buangan industri yang belum mengalami pengolahan. Untuk mengurangi kadar TSS diperairan dapat dilakukan dengan memanfaatkan biomassa yang ada. Seperti yang dilakukan Cossellu M, (2010), bahwa pemanfaatan serat alga dapat mengurangi sedimen dan bahan organik di beberapa teluk. Hasil pengukuran TSS perairan Teluk Youtefa ditunjukkan pada gambar 27
mg/l
BM = 20
Lokasi pengamatan
Gambar 27 Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter TSS pasang surut
102
5.1.3. Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter penting dalam penentuan kualitas air. pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Senyawa amonium yang dapat terionisasi banyak ditemukan pada perairan yang memiliki pH rendah. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Toksisitas logam memperlihatkan peningkatan pada pH rendah. Nilai pH menunjukkan tingkat keasaman atau kekuatan asam dan basa dalam air. Besarnya pH mempengaruhi kelarutan dan bentuk senyawa kimia dalam badan air serta pH juga mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia. Perubahan pH dalam air akan mempengaruhi perubahan dan aktivitas biologis. Menurut Adeyemo et al (2008) diacu dalam Suwari, (2010), bahwa pertumbuhan organisme perairan dapat berlangsung dengan baik pada kisaran pH 6,5-8,2. Kategori pH dikatakan buruk jika hasil uji laboratorium mendekati nilai ≤ 6 (bersifat asam) atau mendekati nilai ≥ 9 (bersifat basa) Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pH air pada saat pasang di perairan Teluk Youtefa berfluktuasi disetiap stasiun. Nilai terendah 7,2 di stasiun 4 dan 7 abe pantai dan pantai abe, nilai tertinggi 7,5 di stasiun 2,3,8,9, dan nilai pH rata-rata adalah 7,4. Kemudian nilai pH pada saat surut berkisar antara 7,1-7,6. Nilai tertinggi di stasiun 3 entrop adalah 7,6, nilai terendah di stasiun 4 pantai abe adalah 7,2. Nilai tersebut masih sesuai dengan baku mutu air laut untuk biota laut yaitu 7 – 8,5. Nilai pH perairan Teluk Youtefa pada sembilan stasiun pada saat pasang dan surut berkisar antara 7,1 – 7,6 (gambar 28). Nilai rata-rata pada saat pasang dan surut adalah 7,4. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Teluk Youtefa masih berada dalam kisaran yang dapat ditolerir untuk organisme akuatik.
103
BM = 7,58,5
Lokasi pengamatan
Gambar 28 Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter pH pasang surut
Fluktuasi nilai pH dapat dipengaruhi beberapa hal antara lain akibat limbah organik yang dapat membebaskan karbon dioksida jika mengalami proses penguraian. Kemudian juga dapat disebabkan pengaruh masukan pencemar yang bersifat fluktuatif. 5.1.4. Kandungan oksigen terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan parameter penting yang dibutuhkan oleh semua organisme, seperti ikan. Penurunan oksigen dalam perairan akan sangat berbahaya bagi kehidupan organisme akuatik. Kebanyakan ikan pada beberapa perairan tercemar mati bukan karena daya racun bahan buangan secara langsung, akan tetapi karena kekurangan oksigen dalam perairan akibat digunakan untuk proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme. Connel dan Miller. (1995) diacu dalam Selanno (2009), mengemukakan bahwa sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Lee et al. (1978) mengemukakan bahwa kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan.
104
BM>5
mg/l
Lokasi pengamatan
Gambar 29. Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter DO Pasang surut Hasil penelitian menunjukkan bahwa oksigen terlarut pada sembilan stasiun di perairan Teluk Youtefa pada saat pasang berkisar antara 2,60 mg/l – 6,00 mg/l (gambar 29) dengan nilai rata-rata 5,17 mg/l atau sesuai dengan baku mutu. Nilai kandungan oksigen terlarut di perairan Teluk Youtefa pada sembilan stasiun lebih tinggi di stasiun delapan (5,80 mg/l), sedangkan nilai terendah terdapat di stasiun empat (2,60 mg/l). Nilai rata-rata pada saat pasang dan surut adalah 4,89 mg/l (lampiran 1). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian UNIPA (2006) yaitu 2,20 mg/l pada stasiun yang sama (stasiun 4). Kemudian nilai DO pada saat surut berkisar antara 1,67 mg/l - 5,75 mg/l dengan rata-rata 4,61 mg/l. Nilai tertinggi terdapat di stasiun 7 (5,75 mg/l, nilai terendah terdapat di stasiun 4 (1,67 mg/l). Rendahnya nilai oksigen terlarut diduga akibat pengaruh limbah (effluent) organik yang berasal dari limbah domestik yang masuk ke dalam perairan teluk melalui dua sungai (sungai acai dan sungai siborghoni) yang secara geografis sangat berdekatan muaranya (± 50 m). Hal ini sesuai dengan pendapat Saeni (1989) bahwa oksigen terlarut berkurang akibat digunakan dalam penghancuran bahan organik. Kemudian penurunan kadar oksigen terlarut dapat terjadi karena adanya penambahan beban pencemaran organik dalam jumlah besar, yang disebabkan oleh buangan limbah cair yang melebihi kemampuan self purification teluk dan adanya bahan kimia yang dapat teroksidasi oleh oksigen. Kandungan oksigen terlarut yang rendah menunjukkan bahwa kondisi sungai secara umum telah tercemar oleh bahan organik. Limbah domestik, pertanian, sampah yang dibuang ke sungai dan menuju
105
teluk menjadi penyebab utama tingginya tingkat pencemaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Emily et al (2010) bahwa kadar oksigen terlarut 2, 0 mg/l di Teluk Greenwich Rhode Island USA sangat rendah akibat limbah, pellet dan peningkatan sedimen. Kemudian menurut Lee et al, (1978) bahwa tingkat pencemaran perairan akibat bahan buangan organik dapat dievaluasi berdasarkan konsentrasi oksigen terlarut dan BOD5. Sedangkan menurut Clark (2003) bahwa konsentrasi bahan organik yang tinggi di perairan akan menyebabkan tingginya pemakaian oksigen terlarut diperairan menurun 5.1.5. Kandungan oksigen biokimia (BOD) BOD merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu 200C selama lima hari dalam keadaan tanpa cahaya. BOD digunakan sebagai cara untuk mengindikasikan pencemaran organik di perairan. Semakin banyak bahan organik yang terdapat dalam perairan, maka semakin besar nilai oksigen yang dibutuhkan, sehingga nilai BOD semakin besar yang mengindikasikan tingginya tingkat pencemaran.
BM 20 mg/l
Lokasi pengamatan
Gambar 30. Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter BOD pasang surut Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai BOD pada saat pasang berkisar antara 7,92 mg/l - 21,0 mg/l (gambar 30) dengan nilai rata-rata keseluruhan 9,7 mg/l. Nilai tertinggi terdapat di stasiun 4 (21,0 mg/l), nilai terendah terdapat di stasiun 7
106
(7,92 mg/l). Kemudian pada saat surut berkisar antara 8,21 mg/l – 28 mg/l. Nilai tertinggi terdapat di stasiun 4, terendah di stasiun 7. Nilai rata-rata pada saat pasang dan surut adalah 10,33 mg/l (lampiran 1). Berdasarkan baku mutu kualitas air nilai ambang batas BOD untuk biota laut adalah 20 mg/l (Keputusan Mennteri Lingkungan Hidup RI nomor 51 tahun 2004) masih berada dibawah ambang batas atau baku mutu. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003) bahwa perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 20 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran. Nilai BOD yang tinggi secara tidak langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang tersuspensikan. Nilai BOD yang rendah mencerminkan rendahnya kegiatan mikroorganisme di dalam air. Kandungan nilai BOD di perairan Teluk Youtefa diduga dipengaruhi bahan buangan organik dan aktivitas organisme pengurai, dipengaruhi oleh suhu, keberadaan mikroba, serta jenis dan kandungan bahan organik. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yetti et al, (2011) bahwa peningkatan kadar BOD di perairan dapat disebabkan banyaknya sampah organik yang mencemari perairan. Kemudian menurut Lee et al (1978) bahwa indikator BOD merupakan indikator penting dalam menentukan tingkat pencemaran perairan. 5.1.6.
Nitrat dan amonia Nitrat adalah bentuk utama nitrogen diperairan alami dan merupakan
nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman. Nitrat dihasilkan dari proses oksidasi senyawa nitrogen di perairan. Pembuangan kotoran biasanya mengandung nitrat dalam jumlah yang besar. Unsur ini merupakan nutrien bagi tanaman, sehingga meningkatkan kelimpahan fitoplankton di perairan. Pengkayaan ini akan menguntungkan zooplankton dan memperbanyak jumlah rantai-rantai makanan lainnya (Clark, 1986). Dijelaskan bahwa jika bahan buangan organik dirombak oleh bakteri tidak hanya karbondioksida dan air, tetapi juga nitrogen dilepaskan sebagai bahan anorganik yang secara alami terkandung dalam komponen protein hewan dan tanaman.
107
mg/l
BM 0,008
Lokasi pengamatan
Gambar 31. Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter NO3 pasang surut Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar nitrat di perairan Teluk Youtefa pada saat pasang 0,004 mg/l – 0, 026 mg/l (gambar 31). Nilai nitrat tertinggi terdapat pada stasiun empat (0,026 mg/l) dan terendah pada stasiun satu (0,004) dengan nilai rata-rata keseluruh an 0,27 mg/l. Kemudian kadar nitrat pada saat surut berkisar antara 0,004 mg/l-0,34 mg/l. Nilai tertinggi terdapat di stasiun 4 (0,34 mg/l), nilai terendah terdapat di stasiun 6 (0,004 mg/l dengan nilai rata-rata 0,05 mg/l. Nilai rata-rata pada saat pasang dan surut adalah 0,012 mg/l (lampiran 1). Nilai tersebut telah melampaui baku mutu air laut untuk biota laut. Kelimpahan nutrien di suatu perairan, akan menimbulkan masalah terjadinya blooming populasi mikroorganisme yang dapat mengurangi kadar oksigen dalam perairan. Aktifitas masyarakat dan tekanan penduduk dalam memanfaatkan teluk sebagai tempat penampungan limbah berpotensi meningkatkan nilai nitrat di perairan.
mg/l
BM 0,3
Lokasi pengamatan
Gambar 32. Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter NH3 pasang surut
108
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar amonia perairan Teluk Youtefa pada saat pasang berkisar antara 0,03 mg/l - 0,24 mg/l dengan nilai rata-rata 0,08 mg/l. Nilai tertnggi terdapat di lokasi 4 (0,24 mg/l), nilai terendah terdapat di lokasi 7 (0,03 mg/l). Kemudian pada saat surut nilai amoniak berkisar antara 0,05 – 0,26 mg/l (gambar 32). Nilai tertinggi terdapat di lokasi 4 (0,26 mg/l), nilai terendah terdapat di lokasi 7 (0,05 mg/l). Nilai rata-rata antara pasang dan surut adalah 0,087 mg/l (lampiran 1). Amonia bebas yang tidak terionisasi bersifat toksik bagi organisme akuatik. Menururt Effendi (2003), toksisitas amonia terhadap organisme akuatik dipengaruhi oleh pH, kadar oksigen terlarut, dan suhu. Pada pH rendah amonia bersifat racun jika jumlahnya banyak, sedangkan pada kondisi pH tinggi amonia akan bersifat racun meskipun kadarnya rendah. Abel (1989) mengemukakan bahwa amonia sangat beracun bagi organisme. Secara umum, kadar amonia di perairan Teluk Youtefa belum melampaui nilai baku mutu yang mensyaratkan nilai amonia maksimum 0,3 mg/l. Maka dapat disimpulkan
bahwa perairan Teluk Youtefa mengindikasikan tidak terjadi
pencemaran air oleh amonia. 5.1.7. Kadar fospat Senyawa fosfat merupakan anion yang tidak dikehendaki dalam suatu perairan karena bisa menjadi faktor pembatas eutrofikasi dan dapat mengakibatkan efek negatif bagi proses kehidupan akuatik. Kandungan fosfat yang tinggi dalam perairan dapat menyebabkan eutrofikasi yakni meningkatnya pertumbuhan alga dan menurunkan kadar oksigen terlarut dalam air. Senyawa fosfor di perairan dapat bersumber dari buangan hewan, pelapukan tumbuhan, erosi tanah, limbah industri, limbah domestik, dan limbah pertanian.
mg/l
Lokasi pengamatan
Gambar 33 Kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan parameter PO4 pasang surut
109
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar fosfat (P-PO4) di perairan Teluk Youtefa pada saat pasang berkisar 0,001 mg/l – 0,3 mg/l (gambar 33), nilai tertinggi terdapat di lokasi 4 (0,3 mg/l), nilai terendah terdapat di lokasi 2 (0,001 mg/l), dengan nilai rata-rata keseluruhan 0,21 mg/l. Kemudian nilai fosfat pada saat surut berkisar antara 0,03 mg/l – 0,5 mg/l. Nilai tertinggi terdapat di stasiun 4 (0,5 mg/l), nilai terendah terdapat di stasiun ,7,dan 8 masing-masing 0,03 mg/l. Nilai rata-rata antara pasang dan surut adalah 0,08 mg/l (lampiran 1). Berdasarkan KMA baku mutu air laut untuk biota laut yang mempersyaratkan kadar fosfat maksimum 0,015, maka dapat disimpulkan bahwa dari 9 stasiun pengamatan perairan Teluk Youtefa pada saat pasang dan surut tidak memenuhi baku mutu. Sumber P-PO4 di perairan Teluk Youtefa diduga bersumber dari limbah domestik terutama detergen dan kotoran manusia, dan limbah pertanian. Hal ini sesuai dengan pendapat Garcia, (2010) bahwa di teluk Lorenzo Spayol Utara terjadi proses eutrofikasi sehingga menghasilkan ganggang akibat peningkatan fosfat. Fosfat dapat masuk ke perairan Teluk Youtefa melalui saluran sungai.
Gambar 34. Muara Sungai Sibhorgoni (Kondisi Air Laut Surut)
Gambar 36. Tumpukan sampah di Sungai Acai bermuara di perairan Teluk Youtefa
Gambar 35. Muara Sungai Acai Kondisi Air Laut Pasang
Gambar 37. WC penduduk yang bermukim di atas perairan Teluk Youtefa
110
Gambar 34 memperlihatkan kondisi air berwarna kemerah-merahan akibat banyaknya sedimen dari hulu. Kemudian gambar 35 memperlihatkan kondisi air berwarna hitam akibat tingginya pasokan limbah domestik dari hulu. Mukhtasor. (2007) mengemukakan bahwa pencemaran dapat membahayakan ekosistem laut karena ekosistem dan biota perairan sangat rentan terhadap bahan pencemar. 5.2. Status mutu air dan indeks pencemaran perairan Teluk Youtefa 5.2.1. Metode indeks storet Pendekatan menggunakan metode indeks storet digunakan untuk menganalisis status pencemaran yang sebenarnya telah terjadi di Teluk Youtefa. Nilai maksimum, minimum, dan rata-rata yang dipergunakan merupakan hasil tabulasi dari nilai rata-rata setiap lokasi/stasiun pada saat pasang dan surut. Menentukan status kualitas air atau indeks mutu lingkungan perairan Teluk Youtefa adalah menggunakan metode STORET. Indeks kualitas air – STORET (IKA-STORET) adalah suatu nilai yang dapat menggambarkan tentang kondisi kualitas air dari data mentah tentang kualitas air yang kemudian ditransformasikan menjadi suatu indeks. Metode indeks STORET dapat menggambarkan secara menyeluruh tentang kondisi umum kualitas air Teluk Youtefa. Data parameter fisika dan kimia air berdasarkan hasil pengamatan dibandingkan dengan nilai baku mutu air laut untuk biota laut yang mencakup nilai minimum, rata-rata, dan maksimum setiap parameter yang kemudian diberi skor penilaian dan disesuaikan dengan tingkat pencemarannya. Baik buruknya kualitas perairan dapat diketahui dengan melihat parameter-parameter yang tidak memenuhi baku mutu sesuai dengan yang ditetapkan. Hasil evaluasi kualitas air Teluk Youtefa berdasarkan indeks Storet disajikan pada lampiran 2, sedangkan
status mutu
perairan Teluk Youtefa menururt sistem STORET disajikan pada tabel 16 dan gambar 38. Tabel 16. Status mutu kualitas air menururt sistem nilai STORET Teluk Youtefa. No 1 2 3
Lokasi/Stasiun Entrop Pantai abe Abepantai/Nafri
Skor -26 -33 -17
Klasifikasi Tercemar sedang Tercemar berat Tercemar sedang
111
Berdasarkan
representasi
masing-masing
parameter
pada
tabel
16
memperlihatkan kondisi status mutu perairan Teluk Youtefa menurut sistem nilai storet tidak dapat ditolerir lagi oleh biota laut atau perairan ini dalam status tercemar. Kondisi tersebut bagi kegiatan perikanan dan budidaya yang sering dilakukan pada perairan ini adalah sangat beresiko. Oleh karena itu, kondisi ini akan menjadi perhatian semua pihak pengguna teluk untuk lebih berhati-hati memanfaatkan sumberdaya laut di dalamnya. Tingginya pemanfaatan ruang perairan teluk seperti saat ini, tentu mengindikasikan adanya pencemaran di Teluk Youtefa. Kondisi dan kenyataan seperti ini, memacu semua pihak untuk berupaya melakukan penanganan secara serius pendekatan kelembagaan dan teknologi yang tepat untuk penanganan masalah pencemaran harus dilakukan dengan komitmen yang jelas dan tegas.
Abepantai
Entro p
Pantai abe
Gambar 38. Skor indeks STORET perairan Teluk Youtefa Kondisi mutu air untuk pantai abe cendrung menururn dibanding mutu air di entrop dan abepantai (gambar 38), dengan status mutu air bervariasi mulai dari tercemar ringan hingga tercemar berat. Nilai indeks STORET di lokasi entrop adalah -26 (lampiran 2), lokasi pantai abe adalah -33 (lampiran 2-a), dan lokasi abepantai adalah -17 (lampiran 2-b). Parameter yang memberikan kontribusi rendahnya nilai indeks STORET di lokasi abepantai adalah fosfat, TSS, dan nitrat. Kemudian di lokasi pantai abe yang memberikan kontribusi rendahnya nilai indeks STORET adalah fosfat, nitrat, TSS, DO, dan BOD. Sedangkan yang memberikan
112
kontribusi bagi rendahnya nilai indeks STORET di lokasi entrop adalah fosfat, nitrat, DO, dan TSS. Berdasarkan nilai indeks STORET, jika parameter yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat pencemaran kurang dari 10 parameter, maka sudah cukup untuk menyatakan bahwa perairan Teluk Youtefa dalam kondisi buruk jika terdapat tiga parameter kimia yang nilai konsentrasi minimum, maksimum dan rataratanya telah melampauai baku mutu. 5.2.2. Indeks pencemaran Teluk Youtefa Pada penelitian ini tingkat pencemaran air Teluk Youtefa relatif terhadap parameter kualitas air yang diijinkan sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004 didasarkan pada hasil analisis parameter fisik dan kimia yakni total padatan tersuspensi, derajat keasaman, amoniak total, kandungan oksigen biokimia, kandungan oksigen terlarut, nitrat, dan fospat. Hasil analisis kualias air kemudian dibandingkan dengan baku mutu air sesuai dengan peruntukannya menggunakan langkah-langkah penentuan indeks pencemaran. Perairan akan semakin tercemar untuk suatu peruntukan (j) jika nilai (Ci/Lij)R dan atau (Ci/Lij)M lebih besar dari 1,0. Tingkat pencemaran suatu badan air akan semakin besar jika nilai maksimum Ci/Lij dan atau nilai rata-rata Ci/Lij makin besar. Perhitungan indeks pencemaran air Teluk Youtefa dapat dilihat pada lampiran 3 dan rangkuman hasil perhitungan indeks pencemaran disajikan pada tabel 17. Tabel 17. Indeks pencemaran Teluk Youtefa pada sembilan titik pengamatan No
Stasiun
Ci/Lij
IP
Kategori
1 Entrop 1
Rerata 2,91
Maks 6,25
4,87
Cemar ringan
2 Entrop 2
1,67
3,15
2,51
Cemar ringan
3 Entrop 3
2,24
6,09
4,58
Cemar ringan
4 Pantai Abe 1
3,84
7,27
5,81
Cemar sedang
5 Pantai abe 2
1,99
5,15
3,90
Cemar ringan
6 Pantai abe 3
2,11
6,33
48,8
Cemar ringan
7 Abepantai 1
1,92
6,63
4,88
Cemar ringan
8 Abepantai 2
1,73
5,76
4,25
Cemar ringan
9 Abepantai 3
3,05
6,21
4,89
Cemar ringan
113
Berdasarkan hasil perhitungan indeks pencemaran pada tabel 17 di atas dan nilai indek pencemaran Sumitomo dan Nemerow, menunjukkan bahwa perairan Teluk Youtefa telah mengalami pencemaran pada tingkat ringan hingga sedang oleh beberapa parameter fisika dan kimia. Kondisi ini berbeda dengan status mutu air berdasarkan indeks STORET. Parairan Teluk Youtefa berdasarkan indeks STORET berada dalam tercemar sedang dan tercemar berat. Perbedaan
ini menunjukkan
bahwa indeks pencemaran Sumitomo dan Nemerow memiliki toleransi yang cukup besar terhadap pencemaran. Tabel 17 juga menunjukkan bahwa untuk zona entrop 2 tingkat pencemaran paling rendah dengan nilai indeks pencemaran 2,51. Nilai indeks pencemaran tertinggi berada pada zona pantai abe 1 dengan nilai indeks pencemaran 5,81 (tercemar sedang). Tingkat pencemaran air di perairan Teluk Youtefa kategori cemar ringan dan cemar sedang. Tingkat pencemaran tertinggi berada pada stasiun 4 yaitu pantai abe. Hal tersebut terjadi diduga disebabkan pada stasiun 4 ada dua muara sungai yang bermuara (Sibhorgoni dan Acai) ke perairan Teluk Youtefa jaraknya relatif berdekatan yaitu ± 50 meter, dan pada daerah aliran sungai tersebut banyak menerima masukan limbah domestik, pertanian, dan dampak galian C. 5.3. Beban pencemaran, kapasitas asimilasi, flushing time perairan Teluk Youtefa 5.3.1 Beban pencemaran muara sungai di sekitar Teluk Youtefa Beban pencemaran menggambarkan suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau air limbah. Sumber pencemar di Teluk youtefa adalah air limbah domestik, dan air limbah pertanian. Bahan pencemar tersebut masuk ke Teluk Youtefa melalui beberapa cara pengalirannya seperti saluran drainase kemudian ke sungai dan selanjutnya terbawa ke Teluk Youtefa. Beban pencemaran dihitung untuk mengetahui dan mengidentifikasi sumber pencemar, jenis pencemar dan besarnya nilai beban pencemar yang masuk ke perairan Teluk Youtefa. Kemudian dilanjutkan dengan menghitung debit air sungai dengan konsentrasi parameter kualitas air yang diteliti. Beban pencemaran
114
yang diamati adalah beban pencemaran mulai tahun 2008 – 2011 pada masing masing sungai (Tabel 18 dan Lampiran 4-7.) Tabel 18. Beban pencemaran sungai tahun 2008 sampai tahun 2011 (ton/bulan Parameter TSS BOD COD NH3 NO3 PO4
2008 442,61 61,41 150,93 3,03 5,64 3,89
2009 959,71 104,84 279,49 5,32 10,14 8,29
2010 1329,77 121,27 501,72 6,45 15,87 9,12
2011 1626,17 144,40 700,36 8,53 23,33 16,56
5.3.2. Kapasitas asimilasi perairan Teluk Youtefa Gambaran umum kondisi perairan sungai dan perairan Teluk Youtefa dengan pendekatan beberapa parameter, baik parameter pendukung maupun parameter indikator, ternyata belum dapat memastikan bagaimana kondisi kualitas lingkungan perairan Teluk Youtefa yang sebenarnya. Oleh karena itu analisis beban pencemaran dan analisis kapasitas asimilasi diharapkan dapat menjawab permasalahan lingkungan yang telah terjadi selama ini, khususnya di perairan Teluk Youtefa. Analisis kapasitas asimilasi didasarkan pada analisis hubungan antara kualitas air dengan beban limbahnya. Nilai kapasitas asimilasi diperoleh berdasarkan grafik hubungan antara konsentrasi masing-masing parameter bahan pencemar di perairan pesisir Teluk Youtefa dengan beban pencemaran tersebut di muara sungai yang bermuara ke Teluk Youtefa. Kemudian nilai hasil perhitungan dari beban limbah dan konsentrasi masing-masing parameter dibandingkan dengan nilai baku mutu untuk biota laut dan budidaya laut. No
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tabel 19. Kapasitas asimilasi perairan Teluk Youtefa Tahun 2011 Parameter Fungsi y R2 Beban Kapasitas Pencemaran Asimilasi (ton/bln) (ton/bln) PO4 y = 0,008 + 0,103x 0,92 16.16 12 BOD y = 0,0481 + 0.668x 0,93 144.40 27 NH3 y = 0,009 + 0,013x 0,95 8.53 54 COD y = 0,0938 + 53.069x 0,94 700.36 286 NO3 y = 0,0011 + 0,0034x 0,99 23.33 9087 TSS y = 0,0344 + 30,98x 0,92 1626.27 2354
115
Hasil analisis perhitungan regresi menggunakan minitab 14 dapat dilihat pada lampiran 8 5.3.2.1. Kandungan oksigen biokimia (BOD). Penyebab utama tingginya konsentrasi BOD di dalam perairan adalah bahan-bahan buangan seperti kotoran hewan, kotoran manusia, tanaman-tanaman yang mati, limbah domestik, dan pemotongan daging. Hasil analisis beban pencemaran BOD atau kebutuhan oksigen biologi dari sungai bervariasi masing masing sungai. Beban pencemaran terbanyak bersumber dari sungai Acai dibanding sungai Siborgoni, sungai PTC entrop dan sungai Hanyaan
Y Y2== 0,0481x+0,668 0,0481X + 0,668 R 0,935 R2 ==0,935
Gambar 39. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di Teluk Youtefa dengan indikator BOD Tahun 2008 - 2011 Hasil perpotongan garis regresi (gambar 39) dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan nilai kapasitas asimilasi sebesar 27 ton/bulan. Hasil analisis hubungan konsentrasi BOD di laut dengan beban pencemaran organik indikator BOD di sungai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 = 0,935 atau 93 % variasi sampel konsentrasi BOD dijelaskan oleh beban BOD. Persamaan regresinya adalah Y = 0,0481 + 0.668x (dimana P-value = 0,033 < α = 0,05, mean square error (MSE) atau varian residual (S2 sebesar 0,2992 dan standart deviasi (s) = 0,546, yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan data yang ada (signifikan). Variasi sampel konsentrasi BOD dijelaskan oleh beban BOD, artinya bahwa besarnya akumulasi beban BOD di laut merupakan kontribusi dari sungaisungai yang bermuara ke perairan Teluk Youtefa. Akan tetapi bila analisis
116
dilanjutkan dengan grafik pendugaan beban pencemaran dengan kapasitas asimilasi ternyata dari indikator BOD, perairan Teluk Youtefa belum tercemar karena nilai kapasitas asimilasinya belum terlampaui. 5.3.2.2. Total padatan tersuspensi (TSS) Berbagai aktivitas manusia di darat dapat memberikan masukan partikel ke laut yang kemudian larut dalam kolom air dan akan terukur sebagai total suspended solid. Hasil analisis beban pencemaran total suspended solid atau padatan tersuspensi total dari sungai bervariasi masing masing sungai. Beban pencemaran terbanyak bersumber dari sungai Acai dibanding sungai Sibhorgoni, sungai PTC dan sungai Hanyaan. Hasil analisis hubungan konsentrasi padatan tersuspensi total di laut dengan beban pencemaran organik indikator padatan tersuspensi total di sungai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 = 0,924 atau atau 92,4 % variasi sampel konsentrasi TSS dijelaskan oleh beban TSS. Persamaan regresinya adalah Y = 0,0344 + 130,98x (dimana P-value = 0,039 < α = 0,05, mean square error (MSE) atau varian residual (S2 sebesar 37,97 dan standart deviasi (s) = 6,16, yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan data yang ada (signifikan).
Y = 0,0344X+130,98 R2 = 0,924
Gambar 40. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di Teluk Youtefa dengan indikator TSS tahun 2008 - 2011
117
Variasi sampel konsentrasi TSS dijelaskan oleh beban TSS, artinya bahwa beban pencemaran di perairan Teluk Youtefa merupakan implementasi dari masukan beban pencemaran organik TSS dari sungai. Hal ini memperkuat simpulan dari Kartahadimadja dan Pariwono (1994) bahwa padatan tersuspensi perairan Teluk Pelabuhan ratu diduga karena semakin banyaknya padatan tersuspensi yang dibawa oleh air sungai ke muara yang kemudian disebarkan oleh gerakan aliran di muara dan arus arus laut ke perairan pantai serta daerah laut yang lebih jauh. Berdasarkan perhitungan (gambar 40) diperoleh perpotongan garis regresi dengan garis baku mutu menghasilkan perpotongan kapasitas asimilasi sebesar 2.354 ton/bulan. Selanjutnya analisis pendugaan kapasitas asimilasi ternyata berada di atas baku mutu, sehingga pendekatan parameter TSS untuk menduga pencemaran organik dapat menjelaskan bahwa pengaruh masukan dari darat konsentrasi bahan-bahan pencemar di laut sudah terlihat menunjukkan hubungan yang signifikan. Berdasarkan grafik pendugaan beban pencemaran dengan kapasitas asimilasi ternyata dari indikator TSS, perairan Teluk Youtefa telah tercemar karena nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. 5.3.2.3. Amonia (NH3) Amonia bersifat mudah larut dalam air, banyak digunakan dalam proses produksi urea, industri bahan kimia, serta industri bubur kertas. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat di dalam tanah dan air yang berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia. Amonia yang terdapat dalam mineral masuk ke badan air melalui erosi tanah.
118
Y = 0,009 x + 0,013 R2 = 0,95
Gambar 41. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di Teluk Youtefa dengan indikator NH3 Tahun 2008 - 2011 Hasil analisis hubungan konsentrasi amoniak di laut dengan beban pencemaran organik indikator amoniak di sungai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 = 0,954 atau 95,4 % variasi sampel konsentrasi amoniak dijelaskan oleh beban amoniak. Penentuan nilai kapasitas asimilasi digunakan persamaan regresi Y= 0,009 + 0,013x (dimana P-value = 0,024 < α = 0,05, mean square error (MSE) atau varian residual (S2 sebesar 0,00003 dan standart deviasi (s) = 0,005, yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan data yang ada (signifikan). Nilai koefisien determinasi model regresi (R2 = 95,4) artinya 95,4 % variasi sampel konsentrasi NH3 dijelaskan oleh beban NH3 Grafik pendugaan nilai kapasitas asimilasi (gambar 41) memperlihatkan bahwa kondisi perairan Teluk Youtefa belum tercemar dengan indikator amoniak karena nilai kapasitas asimilasinya belum terlampaui (54). Kondisi ini memperlihatkan bahwa perairan Teluk Youtefa belum tercemar bahan organik amoniak karena nilai kapasitas asimilasinya belum terlampaui 5.3.2.4. Nitrat (NO3) Untuk mengetahui berapa besar beban pencemaran organik dengan indikator NO3 yang masuk ke perairan Teluk Youtefa melalui perairan sungai yang bermuara ke teluk dilakukan analisis beban pencemaran. Hasil analisis beban pencemaran nitrat dari sungai bervariasi masing masing sungai. Beban pencemaran terbanyak bersumber dari sungai Acai dibanding sungai Sibhorgoni, sungai PTC dan sungai Hanyaan
119
Y = 0,0011 x + 0,0034
R2= 0,99
Gambar 42. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di Teluk Youtefa dengan indikator NO3 tahun 2008 - 2011 Hasil analisis hubungan konsentrasi nitrat di laut dengan beban pencemaran organik indikator nitrat di sungai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 = 0,99 atau 99 % variasi sampel konsentrasi nitrat dijelaskan oleh beban nitrat. persamaan regresi Y = 0,0011 + 0,0034x (dimana P-value = 0,004< α = 0,05, mean square error (MSE) atau varian residual (S2 sebesar 0,00000087 dan standart deviasi (s) = 0,00093, yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan data yang ada (signifikan). Grafik pendugaan nilai kapasitas asimilasi (gambar 42) memperlihatkan bahwa kondisi perairan Teluk Youtefa telah tercemar dengan indikator Nitrat karena nilai kapasitas asimilasinya telah terlampaui. Kondisi ini memperlihatkan bahwa perairan Teluk Youtefa telah tercemar bahan organik. Kondisi seperti ini kemungkinan bisa mengakibatkan terakumulasinya limbah domestik di perairan Teluk Youtefa. Aktifitas penggunaan pupuk untuk kegiatan pertanian oleh penduduk sekitar bantaran sungai juga berpotensi dalam menyumbangkan nitrat di perairan. Ketersediaan nitrogen yang diperlukan untuk mensintesa protein tumbuhan diketahui berasal dari senyawa organik maupun dari anorganik termasuk nitrat. 5.3.2.5. Fosfat (PO4) Posfat merupakan anion yang tidak diinginkan dalam air, karena keberadaannya menjadi faktor pembatas eutrofikasi dan menimbulkan efek negatif
120
bagi kehidupan ekosistem akuatik. Effendi (2003) mengemukakan bahwa posfat merupakan fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan
Y = 0,008 x + 0,103
R2 = 0,92
Gambar 43. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di Teluk Youtefa dengan indikator PO4 tahun 2008 - 2011 Hasil analisis hubungan konsentrasi posfat di laut dengan beban pencemaran organik indikator posfat di sungai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 = 0,92 atau 92 % variasi sampel konsentrasi posfat dijelaskan oleh beban posfat. Persamaan regresinya adalah Y = 0,008 + 0,103x (dimana P-value = 0,039 < α = 0,05, mean square error (MSE) atau varian residual (S2 sebesar 0,00026 dan standart deviasi (s) = 0,016, yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan data yang ada (signifikan). Nilai koefisien determinasi model regresi (R 2 = 92,4) artinya 92,4 % variasi sampel konsentrasi PO4 dijelaskan oleh beban PO4. Dari gambar 43 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Youtefa telah tercemar dengan parameter fosfat karena kapasitas asimilasinya telah terlampaui (12). 5.3.2.6. Kebutuhan oksigen kimiawi COD Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O.
121
Y = 0,093+53,06 R2 = 0,93
Gambar 44. Grafik pendugaan beban pencemaran dan kapasitas asimilasi di Teluk Youtefa dengan indikator COD tahun 2008-2011 Hasil analisis hubungan konsentrasi COD di laut dengan beban pencemaran organik indikator COD di sungai menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Hubungan tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi model regresi R2 = 0,93 atau 93 % variasi sampel konsentrasi COD dijelaskan oleh beban COD. Persamaan regresinya adalah Y = 0,093 + 53,06x (dimana P-value = 0,032 < α = 0,05, mean square error
(MSE) atau varian residual
(S2 sebesar 52,2 dan
standart deviasi (s) = 7,22 yang berarti ada kesesuaian model regresi dengan data yang ada (signifikan). Nilai koefisien determinasi model regresi (R2 = 93) artinya 93 % variasi sampel konsentrasi COD dijelaskan oleh beban COD. Dari gambar 44 terlihat bahwa kondisi perairan Teluk Youtefa telah tercemar dengan parameter COD karena kapasitas asimilasinya telah terlampaui (286). 5.3.3. flushing time (Waktu dirus) Waktu dirus atau flushing time adalah waktu pembilasan dari massa air tawar oleh air laut, merupakan sala satu aspek dari proses pencampuran yang penting untuk mengetahui penyebaran dari
suatu bahan yang dibuang atau ditimbun
diperairan pantai atau perairan laut, dengan asumsi laju air tawar yang didirus sama dengan limpasan sungai. Maka untuk kasus tertentu, seperti perairan teluk atau perairan semi tertutup lainnya, perairan tersebut dapat dianggap sebagai baskom yang sederhana, dimana pada bagian hulunya limpasan air tawar dari sungai yang masuk, sedangkan pada bagian hilirnya terjadi aliran dua lapis yaitu massa air dari perairan teluk mengalir ke laut lepas dilapisan permukaan dan massa air laut mengalir masuk ke teluk dilapisan bawah permukaan (Dahuri, 2008).
122
Laut memiliki luas dan volume air yang sangat besar, sehingga biasanya dijadikan sebagai tempat pembuangan bahan-bahan yang tidak berguna. Begitu juga dengan daerah estuari selalu digunakan untuk tempat penampungan berbagai jenis limbah khsusnya limbah cair dari daerah hulu maupun sekitarnya. Oleh karena itu selama perkembangan penduduk serta industri yang semakin bertambah, bisa menimbulkan masalah serius terhadap badan perairan.
Oleh karena itu untuk
pengelolaan ekosistem estuari sangat diperlukan dengan pendekatan konsep flushing time, (Tomezak, 2000 diacu dalam Selanno, 2009). Konsep flushing time digunakan untuk mengevaluasi dimana, bagaimana dan berapa kuantitas substansi yang dapat terbuang ke laut lepas. Kemudian dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menangani kecelakaan tumpahan minyak atau bahan racun. Berdasarkan hasil analisis, bahwa nilai flushing time total ke empat sungai yang ada di Teluk Youtefa adalah 7,69 jam, sedangkan rata-ratanya adalah 1,92 jam (tabel 20). Maka dengan demikian dalam waktu 7,69 jam massa air laut dapat membilas massa air tawar dari sungai-sungai tersebut. Demikian halnya dengan nilai flushing time sungai PTC sangat kecil (0,58 jam) dibanding dengan sungai lainnya. Oleh karena itu dengan nilai waktu dirus yang kecil tersebut, maka penyebaran bahan-bahan buangan yang berasal dari setiap muara sungai ke laut akan relatif cepat. Hal ini dapat dilihat pada penyebaran nilai tertinggi maupun terendah parameter yang diukur ternyata menyebar pada beberapa tempat yang berbeda-beda. Tabel 20. Nilai flushing time menggunakan pendekatan Dahuri, et al (2008) Nama Sungai
t2 V(S2-S1)/S2R (detik)
t2 V(S2-S1)/S2R
t2 V(S2-S1)/S2R
(jam)
(jam)
3074,62
0,85406
0,85
18.469,62
5,13046
5,13
S. PTC
2.118,15
0,58837
0,58
S. Hanyaan
4.027,50
1,11875
1,11
27.689,89
7,69163
7,69
6.922,47
1,92
S. Acai S. Sibhorgoni
Total FT Rerata
1,92
123
Keterangan: S2 = Rata-rata salinitas air laut tiap musim S1 = Rerata salinitas air sungai tiap musim R atau Q = debit rerata tiap musim untuk tiap sungai V (m3) = Vol air DAS dari perkalian luas penampang (m2) x kedalaman segmen DAS (m). 5.3.3.1. Pengaruh flushing time (waktu dirus) terhadap sedimentasi Sedimen yang masuk ke dalam kolom air penyebarannya dipengaruhi oleh faktor-faktor oseanografi perairan misalnya kecepatan arus. Apabila kecepatan arus dalam teluk besar, maka akan membantu membawa atau memindahkan partikel sedimen menjauhi sumber. Partikel-partikel sedimen akan tersebar secara horizontal dan vertikal pada kolom air, tergantung pada kecepatan arus yang mengatur proses pencampuran massa air. Kemudian sebaliknya jika kecepatan arusnya rendah, maka partikel sedimen tersebut cendrung mengendap pada muara-muara sungai atau pada pantai. Pendekatan lain untuk melihat seberapa cepat kemungkinan partikelpartikel sedimen yang masuk ke laut itu menyebar, dapat dijelaskan menggunakan perhitungan waktu dirus (flushing time). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa makin kecil nilai waktu dirus maka semakin cepat bahan partikel halus akan terbawa ketempat lain. Faktor lain yang cukup berpengaruh juga adalah karakteristik sungai. Secara umum sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Youtefa merupakan sungai-sungai kecil, sehingga volume air yang masuk ke laut dengan cepat dapat terbilas, khususnya untuk bahan sedimen melayang akan mudah ketempat lain, tetapi bahan sedimen besar secara gravitasi akan tenggelam dan mengendap pada dasar badan air. 5.3.3.2. Pengaruh flushing time (waktu dirus) terhadap kapasitas asimilasi Nilai flushing time dapat digunakan sebagai petunjuk bagaimana bahan yang masuk dari sungai dapat dengan cepat terbilas dan terbawa menjauh dari sumbernya. Dalam hubungannya dengan kemampuan suatu ekosistem untuk menerima limbah, maka nilai waktu dirus ini juga sangat mempengaruhi. Makin kecil nilai waktu dirus, maka makin cepat juga bahan atau bahan pencemar tercanpur di perairan. Maka dengan demikian kapasitas asimilasi suatu perairan juga makin besar.
124
Kemudian kemungkinan terakumulasi bahan pencemar dalam kolom air juga akan terus bertambah karena peningkatan kegiatan di perairan Teluk Youtefa. Oleh karena itu, semakin besar kemampuan teluk untuk mengasimilasi bahan-bahan pencemar yang masuk bukan berarti memberikan kesempatan untuk membuang bahan pencemar ke dalam teluk, tetapi informasi ini menjadi masukan bagi pengembangan wilayah perairan Teluk Youtefa dengan kegiatan pengelolaan limbah sehingga memenuhi baku mutu suatu peruntukan, sehingga beban masukan dapat dikendalikan dan tidak melebihi kapasitas asimilasinya.
Tinggi (cm)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Waktu (jam) : Waktu pengambilan sampel.
: Pasang dan surut
Gambar 45. Kondisi pasang surut dan waktu pengembilan sampel air laut Kondisi pasang surut (gambar 45) memperlihatkan bahwa pada waktu pengambilan sampel pagi hari (antara jam 6.00-7.00) menunjukkan pasang tertinggi (amplitudo) antara 120 -130 cm, dan surut terendah terjadi antara jam 12.00-14.00 5.4. Strategi pengendalian pencemaran Teluk Youtefa Hasil analisis menggunakan metode Storet dan metode Indeks Pencemaran, bahwa status perairan Teluk Youtefa telah tercemar ringan sampai berat. Hal ini menandakan bahwa kapasitas asimilasi ekosistem Teluk Youtefa telah terlampaui oleh sebagian beban pencemaran (pollution lood) yang masuk ke dalam teluk. Strategi pengurangan terhadap bertambahnya beban pencemaran menjadi alternatif pilihan yang harus dilakukan.
125
5.4.1. Pendekatan kelembagaan Kelembagaan
adalah
wadah
kerjasama
antar
stakeholder
untuk
pengendalian pencemaran perairan Teluk Youtefa. Kelembagaan pengendalian pencemaran perairan bertujuan untuk mempersiapkan bentuk kelembagaan yang lebih tepat dalam kaitannya dengan implementasi otonomi daerah, meningkatkan koordinasi antar sektor/dinas Kota Jayapura dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pengendalian pencemaran tidak bersifat parsial dan sektoral. Pengurangan beban pencemaran memiliki peran yang cukup penting secara kelembagaan. Pendekatan ini lebih pada koordinasi lintas instansi terkait dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam pengawasan lingkungan. Tugas pengelolaan lingkungan perairan dari setiap instansi terkait meliputi penyusunan dan perencanaan kebijakan, kesamaan visi dan kordinasi lintas sektoral, pembangunan prasarana pengolahan limbah, pemantauan dan evaluasi, pengaturan perizinan, dan pengaturan denda. Pengawasan terhadap lingkungan hidup di wilayah Kota dilaksanakan secara langsung atau tidak langsung oleh pejabat pengawas lingkungan hidup untuk mengetahui tingkat ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundangan dibidang lingkungan hidup 5.4.2. Pendekatan hukum Mengatasi permasalahan degradasi lingkungan hidup akibat pencemaran dapat dilakukan melalui pendekatan hukum. Status perairan Teluk Youtefa yang tercemar ringan sampai berat membutuhkan instrumen-instrumen untuk mengurangi beban pencemaran. Instrumen yang bisa digunakan dalam pendekatanm hukum yaitu 1) Menggunakan baku mutu air laut, sehingga mutu air limbah yang dibuang ke badan perairan tidak melebihi baku mutu peruntukannya; 2) Penerapan penggunaan baku butu air limbah (buangan) untuk menilai kualitas parameter fisik, parameter kimia, dan parameter biologi air sebelum dibuang ke badan perairan sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. 5.4.3. Komitmen dan dukungan pemerintah daerah dalam penegakan hukum. Komitmen pemerintah daerah untuk penegakan hukum merupakan salah satu aspek utama dalam peningkatan pentaatan selain pemanfaatan instrumen-
126
instrumen lainnya. Hal ini dapat dilakukan melalui sistem pengawasan pembuangan limbah cair/padat yang lebih ketat dan penegakan hukum. Pemerintah daerah perlu melakukan pengawasan pembuangan air limbah ke badan perairan, dan melakukan pemantauan secara berkala. 5.4.4. Pendekatan sosial budaya Pendekatan sosial budaya penting diperhatikan untuk mengurangi beban pencemaran yang masuk kedalam perairna Teluk Youtefa. Metode pendekatan ini dilakukan berdasarkan pada pemikiran bahwa hubungan manusia dan lingkungan salah satu kunci untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Persepsi masyarakat terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup sangat membantu memulihkan kondisi lingkungan hidup dari degradasi dan penanggulangan pencemaran. Pendekatan sosial budaya untuk mengurangi beban pencemaran dapat dilakukan dengan menyadarkan masyarakat tentang bahaya pencemaran bagi manusia, organisme, serta kerugian ekonomi yang bisa terjadi, dan penurunan nilai estetika, melakukan gerakan bersih pantai secara berkelanjutan. 5.4.5. Pendekatan ekonomi Mengurangi beban pencemaran dapat dilakukan dengan metode pendekatan ekonomi yaitu 1) insentif positif berupa subsidi, keringanan pajak, kemudahan untuk mengakses bank sehingga bisa memacu aktifitas ekonomi berwawasan lingkungan. Insentif dapat diberikan untuk mencegah aktivitas yang merusak lingkungan hidup, 2) Disinsentif yaitu kebijakan yang menghasilkan pendapatan atau pajak dan pungutan untuk mencegah aktivitas yang tidak berwawasan lingkungan. Kemudian penetapan pajak dan pungutan sebagai harga atas terjadinya pencemaran lingkungan sebagai cerminan pelayanan masyarakat terhadap kerusakan lingkungan hidup. 5.4.6. Pendekatan penataan ruang wilayah Teluk Youtefa secara terpadu Metode pengendalian bahan pencemar/mengurangi beban pencemaran di perairan Teluk Youtefa dapat dilakukan melalui pendekatan penataan ruang terpadu serta arah pengembangan wilayah yang sesuai termasuk langkah-langkah pengendalian
terhadap
pencemaran
lingkungan
hidup.
Brackhahu
(2001)
mengemukakan bahwa rencana tata ruang merupakan alat yang dapat digunakan
127
untuk koordinasi antar pemerintah lokal, provinsi, serta sektor, dan para pemangku kepentingan. Dalam rangka pengembangan Kota Jayapura khsusnya perairan Teluk Youtefa, dan untuk menghindari tumpang tindih pemanfaatan ruang teluk, maka pemerintah daerah menyusun rencana tata ruang wilayah yang lebih menekankan pada sektor perikanan dan pariwisata sehingga arahannya lebih mengarah pada perlindungan ekosistem perairan. 5.4.7. Pembuatan zonasi Teluk Youtefa Pengendalian pencemaran perairan Teluk Youtefa dapat dilakukan dengan pendekatan penetapan kawasan yaitu: 1) memberikan perlindungan bagi kawasan bagian bawah, 2) kawasan pelindung sempadan pantai yang proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat, kemudian kawasan sumber air atau daerah aliran sungai, kawasan bencana alam, dan kawasan lindung. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tahun 2002 menyebutkan 3 kriteria khusus penetapan kawasan lindung yaitu: 1. Aspek sosial terdiri dari unsur; a) tingkat dukungan masyarakat terhadap kawasan lindung yang direncanakan; b) kesehatan masyarakat, sejauh mana kawasan lindung mengatasi dampak pencemaran; c) rekreasi; d) estetika; e) konflik kepentingan; f) keamanan; g) aksesibilitas; h) kesadaran publik 2. Aspek ekologis terdiri dari: a) keragaman hayati; b) kealamian; c) ketergantungan spesies terhadap lokasi; d) keterwakilan; e) keunikan; f) integritas; g) produktivitas; h) kerentanan. 3. Aspek ekonomi terdiri dari: a) spesies penting; b) kepentingan perikanan; c) manfaat ekonomi dan pariwisata; d) ancaman. Berdasarkan hasil penelitian bahwa kualitas perairan Teluk Youtefa dapat menurun bukan hanya berdampak pada penurunan kualitas air saja, tetapi dapat berdampak pada ekosistem teluk secara umum. Kriteria lain yang bisa digunakan adalah penetapan kawasan budidaya perikanan misalnya KJA untuk budidaya jenis biota tertentu dengan beberapa pertimbangan seperti arus pantai, faktor keamanan, pasang surut, salinitas, suhu,
128
kandungan oksigen terlarut, kandungan logam berat, substrat, kecerahan, dan batimetri, mudah akses ke pasaran mudah dijangkau dengan transportasi. 5.4.8. Pengendalian limbah rumah tangga Pengendalian pencemaran tidak tuntas apabila hanya menerapkan satu metode saja, tetapi harus menggunakan berbagai metode. Pengendalian pencemaran yang bersumber dari aktivitas rumah tangga dapat dilakukan dengan berbagai metode yang dikenal dengan sistem pengelolaan sampah terpadu. Sistem ini mengkombinasikan pendekatan pengurangan sampah (reduce), daur ulang (recycle) dan penggunaan kembali (reuse), pembakaran (inceneration), pengkomposan, dan pembuangan akhir (landfilling) Pengelolaan ssampah terpadu dapat dilakukan pada sumbernya yaitu pemilahan (sorting) dengan cara memilah sampah organik, anorganik, dan sampah B3. Sampah dapat dimanfaatkan kembali, didaur ulang, sampah organik dapat memilki nilai ekonomis dijadikan kompos maupun pakan ternak. Sedangkan sampah berbahaya harus ditangani secara khusus. Selain pengendalian sampah, limbah cair merupakan limbah pemicu pencemaran. Limbah ini dapat ditangani melalui instalasi pengolah limbah untuk permukiman, restoran, dan hotel. 5.4.9. Pengendalian limbah industri Supaya air buangan dari industri memenuhi baku mutu, dapat menggunakan teknologi bersih (clean technology) diantaranya: 1) melakukan penghematan terhadap bahan baku, 2) minimalisasi limbah, 3) pencegahan melalui kelayakan lingkungan, 4) daur ulang (recycle), 4) Penggunaan (reuse), 5 Recovery, pemungutan bahan-bahan buangan yang masih mempunyai nilai ekonomnis lalu diproses kembali untuk tujuan tertentu, 6) Instalasi pengolahan air limbah. 5.4.10. Pengendalian limbah pertanian Limbah pertanian yang tidak terkendali dapat menurunkan kualitas lingkungan akibat tingginya konsentrasi nitrat dan fosfat. Supaya tidak terjadi peningkatan bahan pencemar dari limbah pertanian maka dapat dilakukan strategi pengurangan pemanfaatan pupuk N dan P. Kemudian menjadikan limbah ternak
129
menjadi pupuk sebagai pengganti pupuk kimia, serta mendaur ulang sisa atau limbah hayati 5.5. Elemen kunci model kelembagaan pengelolaan Teluk Youtefa Pengembangan model kelembagaan pengelolaan Teluk Youtefa didasarkan atas hasil analisis kelembagaan dengan menggunakan metode Interpretative structural modelling. Analisis terhadap model kelembagaan ini pada dasarnya untuk menyusun hierarki setiap sub elemen pada elemen yang dikaji. Elemen elemen dan sub elemen yang dipilih dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa ini adalah berdasarkan hasil diskusi dari beberapa ahli seperti dari pemerintah, perguruan tinggi, dan masyarakat. Adapun elemen dan sub elemen yang teridentifikasi dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa adalah sebagai berikut 5.5.1. Elemen kendala dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Pengelolaan Teluk Youtefa perlu memperhatikan secara menyeluruh dari berbagai aspek, yaitu aspek ekologi, ekonomi, dan aspek sosial budaya. Pengelolaan aspek tersebut diperlukan secara terpadu dengan pendekatan sistem yang melibatkan masyarakat umum, lembaga masyarakat adat, ondoapi, kepala suku, pemerintah, pengusaha, dan nelayan. Pemahaman mengenai Teluk Youtefa tidak hanya sebagai tempat eksploitasi saja karena memiliki nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna, atau hanya sebagai tempat penampungan bahan buangan dari teluk maupun dari hulu, serta hanya menampung limpahan air melalui media sungai, tetapi harus dilestarikan, dilindungi, dan diberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran hukum. Elemen kendala dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa baik langsung maupun tidak langsung diidentifikasi 10 sub elemen seperti disajikan pada tabel 21. Kemudian analisis hirarki disajikan pada gambar 46, dan gambar 47 dikelompokkan 4 sektor yaitu autonomous, dependent, linkage, dan independent. Hasil olahan Interpretative Structural Modelling (ISM) disajikan pada lampiran 9.
130
Tabel 21. Elemen kendala dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Sub Elemen: 1. Kurangnya komitmen stakeholder mengenai pengelolaan lingkungan (KKSPL) 2. Perbedaan tujuan antar stakeholder (PTS) 3. Program kerja yang tidak terpadu (PKTT) 4. Kualitas sumberdaya manusia yang terbatas (KSMT) 5. Kurang kordinasi dengan baik mengenai program kerja antara stakeholder (KKMPKS) 6. Lemahnya kerjasama dalam penanganan limbah (LKPL) 7. Penegakan hukum lingkungan yang lemah (PHLL) 8 Konflik kepentingan (KK) 9. Dukungan masyarakat kurang (DMK) 10. Kurangnya dukungan LMA, Ondoapi, Kepala suku
Elemen kunci kendala utama dalam pengembangan model pengelolaan Teluluk Youtefa (gambar 46) adalah Kurangnya komitmen stakeholder mengenai pengelolaan lingkungan (1), Adanya perbedaan visi antar stakeholder (2), Program kerja yang tidak terpadu (3), Konflik kepentingan (8), Kurangnya dukungan LMA, ondoapi, kepala suku pada program pembangunan (10), Level - 1
Level - 2
Level - 4
1 (KKSPL)
5 (KKMPKS)
4 (KSMT)
Level- 3
Level - 5
9 (DMK)
2 (PTS)
7 (PHLL)
6 (LKPL)
3 (PKTT)
8 (KK)
10 (KPLMAOKS)
Gambar 46. Diagram hirarki subelemen kendala utama dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
Diagram hirarki gambar 46 menggambarkan bahwa sesuai dengan pendapat pakar, yang menjadi kendala utama dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa dimulai dari Kurangnya komitmen stakeholder mengenai pengelolaan lingkungan (1), adanya perbedaan visi antar stakeholder (2), Dukungan masyarakat kurang (3), Konflik kepentingan (8), Kurangnya dukungan LMA,
131
ondoapi, kepala suku pada program pembangunan (10). Sub elemen level tersebut (level 5) menjadi elemen penggerak utama dan mempengaruhi sub elemen berikutnya. Menurut Dahuri, (2005) bahwa permasalahan yang terjadi di pesisir tidak hanya disebabkan aktifitas di pesisir saja, tetapi juga disebabkan aktifitas di hulu. Oleh sebab itu, untuk pengelolaan pesisir harus dilakukan secara terpadu dan bersama-sama dari berbagai aspek dengan pendekatan perencanaan, satu sistem manajemen, artinya bahwa diperlukan persamaan visi, komitmen pengelolaan, dukungan masyarakat untuk menghindari konflik, serta dukungan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia. Elemen kendala lainnya yang menjadi elemen kunci dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa adalah lemahnya kerjasama dalam penanganan limbah pada level ke-4. Bentuk pelanggaran hukum atau lemahnya penegakan peraturan di sekitar Teluk Youtefa adalah adanya pembuangan limbah padat dan limbah cair ke teluk melalui 4 sungai yang bermuara ke Teluk Youtefa tanpa diolah. Hal tersebut sangat bertentangan dengan Undang Undang nomor 32 tahun 2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup (UPPLH). Berdasarkan wawancara pakar dan fakta dilapangan, bahwa Teluk Youtefa dibagian timur semakin berkembang permukiman ke arah laut yang didahului melalui penimbunan. Kemudian banyak permukiman di kawasan teluk yang tidak sesuai dengan tata ruang Kota Jayapura. Gambar 47 dikelompokkan sub elemen berdasarkan Driver power (DP) dan Dependent (D) terdiri dari 10 sub elemen dan dikelompokkan kedalam 4 sektor. Dari gambar tersebut terlihat bahwa yang masuk dalam sektor dependent adalah kualitas sumberdaya manusia yang terbatas, kurang Kordinasi dengan baik mengenai program kerja antara stakeholder, lemahnya kerjasama dalam penanganan limbah, penegakan hukum lingkungan yang lemah, dukungan masyarakat kurang. Hal ini memberikan makna bahwa kelima sub elemen dependent tersebut sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar atau kekuatan penggeraknya lemah, atau kelima sub elemen tersebut merupakan variabel tak bebas yang akan dipengaruhi sub elemen lainnya dalam sistem.
132
Kurangnya komitmen stakeholder mengenai pengelolaan lingkungan, Perbedaan tujuan antar stakeholder, program kerja yang tidak terpadu, konflik kepentingan, kurangnya dukungan LMA, ondoapi, kepala suku berada pada sektor independent, sub elemen ini memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam mengkaji kendala pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa. Sektor ini tidak dipengaruhi oleh sistem tetapi mempengaruhi. Sub elemen ini hampir mendekati garis batas sektor independent dan linkage. Oleh sebab itu selain memiliki penggerak yang besar dalam mengkaji kendala pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa, ada indikasi bisa masuk dalam sektor linkage. 11
Driver Power
KKSPL PTS
101, 2, 3, 8, 10 9
PKTT
8
KK 0
1
KPLMAOKS 2
3
4
7 6 5 5 4 3 2 1 0
6
6
7
8
9
10
4, 7
KKMPKS
LKPL KSMT
PHLL
11
5
DM K
9
Dependenc Gambar 47. Matriks diver power edan dependence elemen kendala utama dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa 5.5.2. Elemen tujuan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Elemen tujuan dibutuhkan oleh pemerintah sebagai arah kebijakan dibidang pengelolaan Teluk Youtefa supaya pengelolaannya sesuai dengan tujuan. Adapun tujuan pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa terdiri dari 12 sub elemen seperti terlihat pada tabel 22. Hasil olahan Interpretative Structural Modelling (ISM) disajikan pada lampiran 9-A.
133
Tabel 22. Elemen tujuan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa .
Sub Elemen
1. Komitmen yang tegas pengelolaan Teluk Youtefa dan anti pencemaran (KPTYAP) 2. Kesamaan tujuan pengendalian pencemaran Teluk Youtefa (KTPPTY) 3. Meningkatkan dukungan masyarakat berbasis LMA, Ondoapi, Kepala suku (MDLMAOKS) 4. Meningkatkan kerjasama dalam penanganan limbah (MKPL) 5. Membangun kordinasi yang baik dengan masyarakat (MKDM) 6. Semua elemen masyarakat dan Pemerintah mentaati aturan (SEMPMA) 7. Konservasi di hulu dan di teluk (KHTY) 8. Pengendalian bahan pencemar dari kegiatan antropogenik (PBPKA) 9. Memperluas wilayah perbaikan lingkungan (MWPL) 10. Terbentuknya desa percontohan pelestari teluk (TDPPT) 11. Memperpendek jalur bahan pencemar (MJBP) 12. Pengembangan sistem informasi (PSI)
Struktur hierarki disajikan dalam gambar 48 terdiri dari 4 level. Sebagai elemen kunci dari tujuan pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa adalah komitmen yang tegas pengelolaan Teluk Youtefa dan anti pencemaran (1), kesamaan persepsi pengelolaan Teluk Youtefa (2), meningkatkan dukungan masyarakat berbasis LMA, Ondoapi, Kepala suku (3), meningkatkan kerjasama dalam penanganan limbah (4), membangun kordinasi yang baik dengan masyarakat (5) pada level ke-4. Hal ini berarti bahwa perlu diawali oleh komitmen yang tegas. Sub elemen level ke-4 ini menjadi penggerak utama dan mempengaruhi sub elemen level berikutnya. Isnugroho, (2001) yang diacu dalam Walukow AF, (2009) mengemukakan bahwa untuk pengendalian air supaya tidak tercemar dapat dilakukan melalui penanggulangan pencemaran untuk menghindari meluasnya pencemaran, dan pencegahan kerusakan sumberdaya yang dilakukan melalui penetapan perijinan pembuangan air limbah cair berdasarkan suatu rencana induk kualitas air menuju kualitas air sesuai baku mutu. Berbagi keahlian maupun pengalaman ditujukan untuk memperoleh partisipasi masyarakat dalam pengembangan sumberdaya air. Kemudian menurut Swanson RL, (2010), bahwa pengurangan bahan pencemaran supaya tidak meluas dapat dilakukan mulai dari titik peralihan secara agresif. Metode lain yang dapat digunakan adalah Instrumen regulasi (pengaturan) sebagai salah satu metode yang dapat digunakan untuk waktu yang akan datang
134
Level - 1
7 (KHTY)
Level -2
8 (PBPKA)
9 (MWPL)
Level - 3
1 (KPTYAP) Level -4
12 (PSI)
11 (MJBP)
10 TDPPT)
6 (SEMPMA)
2 (KTPPTY)
3 (MDMLMAOKS)
4 (MKPL)
5 (MKDM)
Gambar 48. Diagram hirarki subelemen tujuan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
sebagai kontrol terhadap pencemaran dan dapat digunakan/mencari petunjuk yang sama dari bagian lain (Takahiro Hosono T, et al. 2010) Savanije (1997) dalam Walukouw (2009) mengemukakan bahwa aspek keberlanjutan dalam pengelolaan sumberdaya air dapat meliputi keberlanjutan aspek sosial yakni masyarakat memiliki rasa tanggung jawab. Kemudian sub elemen kunci berikutnya adalah
semua elemen masyarakat dan pemerintah
menaati aturan.
Driver Power
13
KPTYAP KTPPTY MDMLMAOKS MKPL MKDM
1, 2, 123, 4, 5 11 10 9
SEMPMA
8 76
0
1
2
3
4
5
6 6 5
7
8
9
7, 8, 9, 10, 11 11 12 13
10
4
TDPPT
3 2 1
KHTY
PBPKA
MJBP
MWPL PSI
12
0
Dependence Gambar 49. Matriks driver power dan dependence elemen tujuan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
135
Gambar 49 memperlihatkan bahwa sub elemen tujuan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa berdasarkan driver power dan dependence ke 12 sub elemen yang masuk kedalam sektor dependent adalah konservasi di hulu dan di teluk (7), pengendalian bahan pencemar dari kegiatan antropogenik (8), memperluas wilayah perbaikan lingkungan (9), terbentuknya desa percontohan pelestari
teluk
(10),
memperpendek
jalur
bahan
pencemar
(11),
dan
pengembangan sistem informasi (12). Hal ini memberikan makna bahwa ke enam sub elemen tujuan pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar, atau ke enam sub elemen tersebut merupakan variable tak bebas yang akan dipengaruhi sub elemen lainnya dalam sistem. Sub elemen komitmen yang tegas pengelolaan Teluk Youtefa dan anti pencemaran (1), kesamaan persepsi pengelolaan Teluk Youtefa (2), meningkatkan dukungan masyarakat berbasis LMA, Ondoapi, Kepala suku (3), meningkatkan kerjasama dalam penanganan limbah (4), membangun kordinasi yang baik dengan masyarakat (5), semua elemen masyarakat mentaati aturan (6) berada di sektor independent, berarti sub elemen ini memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam mendukung tujuan pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa (tabel 22). Malone (1994), mengemukakan suatu tujuan dapat tercapai apabila ada interaksi berbagai aktor (pemerintah dan masyarakat) yang terlibat selalu ada kordinasi.
5.5.3. Elemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Tolok ukur diperlukan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa agar dapat diketahui perkembangan pembangunan dan permasalahan dalam meningkatkan pembangunan secara berkelanjutan. Perkembangan dan permasalahan pembangunan diharapkan dapat diinformasikan secara berkala dan terbuka kepada masyarakat khususnya masyarakat Kota Jayapura. Sub elemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa terdiri dari 16 sub elemen, struktur hierarki dijabarkan pada gambar 50. Pada gambar terlihat bahwa yang menjadi elemen kunci dalam
136
tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa adalah peningkatan pola pikir masyarakat (6), Dukungan yang kuat dari LMA, ondoapi, kepala suku (8), managemen transfortasi teluk yang baik (11), terlaksananya kesamaan tujuan di lapangan (14), stabilitas politik lokal yang kondusif (15), managemen pengolahan limbah (16). Sub elemen level ke-5 ini menjadi sub elemen kunci dan mempengaruhi sub elemen pada level berikutnya. Hasil olahan Interpretative Structural Modelling (ISM) disajikan pada Lampiran 9-B Tabel 23. Elemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Elemen: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Keragaman biota dan tumbuhan laut (KBTL) Menurunnya jumlah bahan pencemar cair yang melebihi baku mutu (MJBPMBM) Menurunnya laju erosi dan sedimen teluk (MLEST) Managemen wisata yang baik (MWB) Menurunnya komplik kepentingan (MKK) Peningkatan pola pikir masyarakat (PPPM) Peningkatan pendapatan masyarakat (PPM) Dukungan yang kuat dari LMA, ondoapi, dan kepala suku (DKLMAOKS) Fasilitas TPA yang memadai (FTPAM) Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk (PTPKP) Manajemen transportasi teluk yang baik (MTTB) Pengolahan limbah cair pemukiman (PLCP) Adanya pengolahan limbah padat dari sumber (APLPS) Terlaksananya kesamaan tujuan di lapangan (TKTL) Stabilitas politik lokal yang kondusif (APLK) Manajemen pengolahan limbah (MPL)
Sub elemen level berikutnya sebagai elemen kunci tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa adalah keragaman biota dan tumbuhan laut (1), menurunnya jumlah bahan pencemar cair yang melebihi baku mutu (2), menurunnya laju erosi dan sedimen teluk (3), Manajemen wisata yang baik (4), menurunnya konflik kepentingan (5).
137
7 (PPM)
Level -1
1 (KBTL)
Level -4
6 (PPPM) Level -5
Level -2
9 (FTPAM)
Level -3
12 (PLCP)
2 (MJBPMBM)
8 (DKLMAOKS)
11 (MTJB)
10 (PTPKP)
13 (APLPS)
3 (MLEST)
14 (TKTL)
5 (MKK)
4 (MWB)
15 (SPLK)
16 (MPL)
Gambar 50. Diagram hirarki subelemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa Sub elemen dikelompokkan kedalam 4 sektor yaitu autonomous, dependent,
independent, dan linkage. Berdasarkan nilai driver porwer dan dependence, pada gambar 51 bahwa sub elemen yang masuk dalam sektor dependence adalah sub elemen peningkatan pendapatan masyarakat (7), Fasilitas TPA yang memadai (9), Pengaturan terhadap penyebaran dan kepadatan penduduk (10), pengolahan limbah cair pemukiman (12), adanya pengolahan limbah padat dari sumber (13). Hal ini memberikan makna bahwa ke lima sub elemen pada sektor dependence ini lebih banyak dipengaruhi oleh sistem kekuatan penggeraknya lemah. Sub elemen yang masuk dalam sektor linkage adalah keragaman biota dan tumbuhan laut (1), menurunnya jumlah bahan pencemar cair yang melebihi baku mutu (2), menurunnya laju erosi dan sedimen teluk (3), manajemen wisata yang baik (4), menurunnya konflik kepentingan (5). Sub elemen ini sangat dipengaruhi elemen-elemen lain, sifatnya labil, harus dikaji secara hati-hati dalam mengkaji tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengeloklaan Teluk Youtefa karena akan memberikan dampak terhadap lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak tersebut. Sub elemen yang masuk dalam sektor independent adalah perubahan pola pikir masyarakat, dukungan yang kuat dari LMA, ondoapi, kepala suku, kemudian
138
mengurangi vahan pencemar yang melebihi baku mutu, terlaksananya kesamaan tujuan di lapangan, dan pengolahan limbah cair permukiman. Sub elemen ini memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam sistem, tidak dipengaruhi tapi mempengaruhi
sistem
dalam
mencapai
tolok
ukur
yang
kuat
MLEST
MWB MKK
dalam
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa.
Driver Power
PPP DKLMA M
OKS MTJB TKTL
0
1
2
3
SPLK
4
5
17 6, 8, 11, 14, 15, 16 16 15 KBTL 14 13 12 11 MPL 10 9 8 6 7 8 9 10 7 6 5 4 3 2 1 0
MJBPMBM
1, 2, 3, 4, 5 11
12
13
PLCP
14
16
17
12, 13
APLPS FTPAM
15
9, 10
PTPKP PPM
7
Dependence Gambar 51. Matriks driver power dan dependence elemen tolok ukur keberhasilan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa 5.5.4. Elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Kartodiharjo, et al (1999) diacu dalam Walukow AF, (2009) mengemukakan bahwa kelembagaan adalah seperti organisasi atau wadah, yang mengandung pengertian tentang norma-norma, tata cara, aturan, atau prosedur yang mengatur hubungan antar manusia, bahkan kelembagaan merupakan sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak. Sehingga perlu dianalisis mengenai lembaga yang terlibat dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Elemen
lembaga
yang
terlibat
dalam
pengembangan
model
pengelolaan Teluk Youtefa terdiri dari 19 sub elemen seperti terlihat pada Tabel 24. Kemudian diagram hirarki disajikan pada gambar 52. Hasil olahan Interpretative Structural Modelling (ISM) disajikan pada Lampiran 9-C.
139
Tabel 24. Elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa.
Sub Elemen: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Dinas Pariwisata (DP) Dinas pekerjaan umum (DPU) Balai konservasi sumber daya alam (BKSDA) Masyarakat umum (MU) Dinas Perindustrian (DIP) Pengusaha (hotel, keramba, restauran, budidaya, dll) (P) Tokoh agama (TA) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Perguruan Tinggi (PT) Dinas Kebersihan (DK) Dinas Kesehatan (DKES) Lembaga masyarakat adat, ondoapi, kepala suku (LMAOKS) Dinas Pertanian (DEPTAN) Pengusaha (P) Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Mamberamo (BPDASM) Camat/Lurah/RT (CLRT)
Lembaga yang terlibat dan menjadi elemen kunci dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa adalah Dinas kelautan dan perikanan, Badan perencanaan pembangunan daerah, Badan lingkungan hidup daerah, Dinas pekerjaan umum, dan Balai konservasi sumberdaya alam. Menurut Mochtar, (2001) diacu dalam Walukow AF, (2009) bahwa pengelolaan air maupun sumber-sumber air belum ada suatu bentuk badan pengelolaan yang baku. Dalam Undang-Undang Sumberdaya Air nomor 7 tahun 2004, bahwa Pengelolaan sumber daya air diperlukan penetapan setiap wilayah sungai yang menjadi acuan dalam perencanaan tata ruang meliputi perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, pengelolaan kualitas air, dan pengendalian pencemaran. Pengelolaan sumber daya air agar dapat memberikan kualitas pelayanan yang baik, maka diperlukan suatu kelembagaan dan peraturan dibidang pengelolaan air dan sumber air. Kemudian memerlukan data dan informasi air dan sumber air yang lengkap dan akurat. Upaya pengaturan kuantitas dan kualitas air diperlukan aspek non fisik yaitu aspek kelembagaan, karena aspek kelembagaan memiliki wewenang
140
dalam pengaturan dan kebijakan. Sistem pengelolaan air dan sumber air pada masa yang akan datang, selain menyangkut masalah fisik, pendanaan, juga masalah kelembagaan seperti peraturan, sumber daya manusia, pelatihan akan semakin berperan dan diperlukan guna pemanfaatan air dan sumber air secara benar, dan efisien. Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi diperlukan persiapan untuk menanggulangi permasalahan sumber air yaitu mengembangkan perangkat hukum dan keterpaduan pengelolaan secara berkelanjutan. 6 (DIP)
7 (P)
8 (TA)
12 (PT)
13 (DK)
19 (CLRT)
Level -1 Level -2
10 (LSM))
14 (DKES)
Level -3 2 (DP)
3 (DPU)
4 (BKSDA)
5 (MU)
16 (DEPTAN)
18 (BPDASM)
Level -4 1 (DKP)
9 (BAPPEDA)
11 (BLHD)
15 (LMAOKAS)
17 (P)
Gambar 52. Diagram hirarki subelemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa Hasil penelitian menunjukkan (Gambar 52) bahwa sub elemen dari lembaga yang terlibat dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa dimulai dari Dinas kelautan dan perikanan (1), Badan perencanaan pembangunan daerah (9), Badan lingkungan hidup daerah (11), LMA, ondoapi, kepala suku (15), dan pengusaha (17). Sub elemen (level ke-4) menjadi elemen kunci dan mempengaruhi sub elemen pada level berikutnya. Kemudian sub elemen yang terlibat lainnya juga merupakan elemen kunci dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa adalah Dinas pariwisata (2), DPU (3), Balai konservasi sumberdaya alam (4), masyarakat umum (5), Dinas pertanian (16), dan Balai pengelolaan daerah aliran sungai mamberamo (level ke-3) Pengelolaan Teluk Youtefa oleh masyarakat yang bermukim di teluk dapat dilakukan dalam bentuk partisipasi masyarakat adat, Ondoapi, dan Kepala suku, dimana kelompok konservasi dapat berada dalam pengawasan adat. Tujuannya adalah untuk menghindari teluk dari pencemaran dan kerusakan. Hal ini diperkuat
141
oleh Maragos, (1995) diacu dalam Dahuri, (2008) mengemukakan bahwa program pengelolaan wilayah pesisir di Hawai Amerika Serikat melibatkan partisipasi masyarakat dengan proyek-proyek husus seperti Community based management planning diutamakan yang dibiayai oleh Negara bagian Hawai. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat dan survey lapang, bahwa di pesisir Teluk Youtefa banyak ditemukan sampah plastik di dasar perairan dan terapung. Sampah sampah tersebut sangat mengganggu transportasi karena sering melilit di ujung mesin terutama pada saat air surut. Oleh karena itu, masyarakat merasa sangat dirugikan dengan peristiwa peristiwa tersebut.
Driver Power
DKP BAPPEDA DKP BLHD DKP
0
1
2
20 1, 9, 11, 15, 17 19 MU DP DPU BKSDA 18 17 16 DP DPU BKSDA MU DP 2, 3, 4, 5, 16, 15 14 18 LMAOKS P 13 12 DEPTAN BPDASM 11 10 DEPTAN CLRT 3 4 5 6 7 8 9 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 8 10, 14 N 7 6, 7, 8, 12, 13, 6 LSM 19 5 4 DKES 3 DIP 2 TA PT DK CLRT P 1 0
Dependence
Gambar 53. Matriks diver power dan dependence elemen lembaga yang terlibat dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa Pada Gambar 53 di atas dikelompokkan berdasarkan Driver Power (DP) dan Dependence (D) yang terdiri dari 19 sub elemen, dikelompokkan kedalam 4 sektor. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa yang masuk dalam Dependence adalah delapan sub elemen yaitu Dinas perindustrian, Pengusaha, Tokoh agama, Lembaga swadaya masyarakat, Perguruan tinggi, Dinas kebersihan, Dinas kesehatan, dan camat/Lurah/RT. Sub elemen tersebut memberikan makna sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar, lebih banyak dipengaruhi perilaku sistem (driver power relatif rendah atau lemah) dibanding sektor Independent dan sektor linkage. Sub elemen pada sektor linkage terdiri dari 6 sub elemen yaitu Dinas pariwisata, DPU, Balai konservasi sumberdaya alam, masyarakat umum, Dinas pertanian, dan Balai pengelolaan daerah aliran sungai. Sub sub elemen linkage ini harus dikaji secara hati hati dalam mengkaji lembaga yang terlibat dalam
142
pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa, karena rentan dipengaruhi yang lain, sifatnya labil, sangat dipengaruhi elemen-elemen lain, tingkat dependence di atas rata-rata (tinggi) tapi juga mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap sistem. Sub elemen dinas kelautan dan perikanan, badan perencanaan pembangunan daerah, Badan lingkungan hidup daerah, LMA, ondoapi, kepala suku, dan pengusaha berada pada sektor Independent. Sub elemen ini memiliki kekuatan penggerak yang besar, tidak dipengaruhi, tapi mempengaruhi sistem dalam mencapai pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa. 5.5.5. Elemen kebutuhan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Pengelolaan Teluk youtefa memerlukan dukungan berbagai elemen agar pengelolaan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah. Sub elemen kebutuhan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa terdiri dari delapan sub elemen seperti terlihat pada tabel 25. Hasil analisis interpretative stuctural modelling disajikan pada Lampiran 9-D. Tabel 25. Elemen kebutuhan program dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa
1 2 3 4 5 6 7 8
Sub Elemen: Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (MKSDM) Stabilitas politik lokal yang kondusif (SPLK) Manajemen usaha perikanan yang pro rakyat (MUPPR) Pendanaan dari pemerintah dan swasta (PPS) Dukungan kuat dari LMA, ondoapi, kepala suku (DLMAOKS) Obyek wisata yang baik dan transfortasi teluk (OWBTT) Ketegasan pengendalian pencemaranTeluk Youtefa (KPPTY) Kebutuhan keterpaduan program (KKP)
Gambar 54 menunjukkan bahwa sub elemen kebutuhan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa diawali dari aspek stabilitas politik lokal yang kondusif pada level ke-4. Sub elemen ini merupakan sub elemn kunci dan mempengaruhi sub elemen level berikutnya. Kemudian yang menjadi sub elemen kunci berikutnya adalah dukungan kuat LMA, ondoapi, kepala suku. Obyek wisata serta transportasi teluk yang tersedia. Membutuhkan ketegasan pengendalian pencemaran teluk dan kebutuhan keterpaduan program.
Menurut wawancara
143
langsung dengan dinas perikanan dan kelautan, bahwa selain sebagai transportasi dan obyek wisata juga sebagai daerah pengembangan perikanan. Level -1
1 (MKSDM)
Level -2
5 (DLMAOKS)
Level -3
3 (MUPPR)
4 (PPS)
6 (OWBTT)
Level -4
8 (KKP)
7 (KPPTY)
2 (SPLK)
Gambar 54 Diagram hirarki sub elemen kebutuhan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Menurut dinas kelautan dan perikanan Kota Jayapura (20110), bahwa jumlah keramba jaring apung mengalami pertambahan secara signifikan tahun 2009 sebanyak 208, dan tahun 2010 sebanyak 290. Peningkatan tersebut karena adanya sumbangan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) untuk para petani nelayan di Teluk Youtefa. Berdasarkan driver power dan dependence pada gambar 55 bahwa sub elemen meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, manajemen usaha perikanan yang pro rakyat, dan pendanaan dari pemerintah dan swasta masuk dalam sektor dependent. Hal ini memberikan makna bahwa sub elemen pada sektor dependent ini sangat tergantung pada sistem dan tidak mempunyai kekuatan penggerak yang besar (kekuatan penggeraknya lemah) atau sub elemen tersebut merupakan variabel tak bebas yang akan dipengaruhi sub elemen lainnya dalam sistem 7
DLMAOKS
OWBTT
Driver Power
2 5, 6
SPLK 0
1
2
KPPT Y
3
6
7, 8
5
KKP
4 4 3
5
2 1
6
7
8
9
1, 4
MKSDM
PPS
MUPPR
3
0
Dependence Gambar 55. Matriks driver power dan dependence elemen kebutuhan dalam pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa Pengembangan Model Pengelolaan Teluk Youtefa
144
Sub elemen stabilitas politik lokal yang kondusif, butuh dukungan kuat dari LMA, ondoapi, kepala suku, obyek wisata yang baik dan transportasi teluk, membutuhkan ketegasan pengendalian pencemaran teluk, serta kebutuhan keterpaduan program berada pada sektor independent. Hal ini berarti bahwa sub elemen tersebut memiliki kekuatan penggerak yang besar dalam sistem, tidak dipengaruhi tapi mempengaruhi sistem dalam kebutuhan pengembangan model pengelolaan Teluk Youtefa. 5.6. Pemodelan sistem pengelolaan Teluk Youtefa Pemodelan sistem merupakan penyederhanaan dari sebuah obyek atau situasi untuk menemukan peubah-peubah penting dan tepat serta hubungan antar peubah dalam sistem berdasarkan hasil pendekatan kotak gelap (black box). Pada diagram kotak gelap sistem pengelolaan Teluk Youtefa (Gambar 6) tampak bahwa dalam sistem tersebut masukan/input yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan Teluk Youtefa adalah input lingkungan, input terkontrol, dan input tak terkontrol. Input lingkungan mencakup peraturan perundangan. Input terkontrol merupakan input yang dapat dikendalikan pelaksanaan manajemennya dalam sistem untuk menghsilkan output yang dikehendaki, sedangkan input tidak terkontrol merupakan masukan yang tidak dapat dikontrol. Output yang dikehendaki dari pelaksanaan sistem yaitu teluk lestari, kualitas air memenuhi baku mutu, beban pencemaran menurun. Kemudian output yang tidak dikehendaki adalah kualitas air terus menururn, jumlah beban limbah meningkat, kesehatan masyarakat menururn kualitas dan kuantitas tangkapan ikan menurun. Model pengelolaan Teluk Youtefa disusun oleh beberapa sub model yaitu 1) Su model dinamik sumber pencemar, 2) Sub model dinamik beban pencemaran, dan 3) Sub model dinamik kualitas air. Simulasi dilakukan selama periode 30 tahun mulai tahun 2006-2036 dan terdiri dari skenario medel sebagai berikut; Melakukan suatu kebijakan untuk penurunan fraksi pertambahan jumlah penduduk yang berdampak pada berkurangnya limbah KJA, limbah ternam babi, limbah ternak sapi, limbah fases manusia, jumlah limbah padat, jumlah beban limbah cair BCOD. Kemudian menurunkan fraksi total beban pencemaran untuk menurunkan limbah.
145
Tujuan utama penelitian ini adalah membangun model dinamik pengelolaan Teluk Youtefa secara terpadu. Model ini disusun merdasarkan tiga sub model yaitu 1) Model sumber pencemar yaitu bersumber dari kegiatan di hulu yang masuk ke Teluk Youtefa melalui empat sungai dan kegiatan di atas teluk, 2) sub model beban pencemar, dan 3) Sub model kualitas air Teluk Youtefa. Gambaran hubungan umum ketiga sub model tersebut disajikan pada Gambar 56 sebagai berikut:
Sub Model Sumber Pencemar (SMSP)
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Penduduk & sampah Penduduk & beban BCOD Limbah ternak babi Limbah ternak Sapi Limbah KJA Limbah fases manusia
Kapasitas Asimilasi TY Sub Model Beban Pencemar (SMBP)
BOD, COD, TSS, NH3-N, NO3N, PO4-P
Sub Model Kualitas Air TY (SMKA-TY
BOD, COD, TSS, NH3-N, NO3N, PO4-P
Gambar 56. Model sumber pencemar, beban pencemar, dan kualitas air Teluk Youtefa 5.6.1. Model Model sumber pencemar perairan Teluk Youtefa terdiri dari sub model limbah ternak sapi, sub model limbah ternak babi, sub model limbah padat, sub model limbah cair (beban BCOD), sub model KJA, dan sub model limbah faeses manusia. Sub sub model tersebut dibuat secara parsial, kemudian diintegrasikan menjadi satu model pencemar perairan Teluk Youtefa yang merupakan sebagai total akumulasi sumber pencemar yang masuk ke Teluk Youtefa. Sub model dalam sistem pengelolaan Teluk Youtefa merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui variabel-variabel lingkungan seperti jumlah populasi, permasalahan limbah dan pencemaran Teluk Youtefa terhadap keberlanjutan sistem.
146
Hubungan variabel-variabel lingkungan tersebut kemudian disajikan dalam diagram sub model seperti ditunjukan pada gambar 57.
FR_BABI FR_SAPI
LBH_TIAP_BABI
JM_PDD_EX_39
LBH_BABI_EX
LBH_TIAP_SAPI
LAJU_4 INDEKS_BABI
LBH_SAPI_EX
FAK_KR_3
INDEK_SAPI FRAK_PDD_3 INDEKSW_3 LUAS_LHN_TIPA_RMH_3 KEB_BANGUNAN_4
FR_LBH_PADAT_4
LBH_PADAT_4
LAHAN_TERP_4
FPENG_LAHAN_3 FRAK_LBHCAIR_3 LUAS_LAHAN_4 FRAK_PENC_4
FR_TINJAA
LBH_TINJA_EX
INJA_ORG
PENC_4
FR_KJA
LBH_CAIR_4
LBH_KJA_EX LBH_EKOR
INDEKS_PDTY
INDEK_KJA
Gambar 57 Diagram sub model pengelolaan Teluk Youtefa Berdasarkan diagram sub model pengelolaan Teluk Youtefa (Gambar 57) diketahui bahwa total beban pencemaran Teluk Youtefa merupakan akumulasi dari beban pencemaran limbah padat penduduk, limbah cair penduduk, limbah ternak sapi, limbah ternak babi, limbah KJA, dan limbah faeses manusia yang bermukim di atas teluk. Peningkatan beban pencemaran limbah domestik sangat dipengaruhi oleh peningkatan volume limbah yang besarnya sangat dipengaruhi tingkat pemakaian air dan aktivitas membuang limbah domestik oleh masyarakat yang bermukim disekitar Teluk Youtefa. Kemudian beban pencemaran ternak sangat dipengaruhi oleh jumlah ternak sapi dan ternak babi. Sedangkan limbah KJA sangat dipengauhi oleh jumlah ikan dan pakan yang diberikan pada ikan. Secara keseluruhan total beban pencemaran Teluk Youtefa akan sangat mempengaruhi kapasitas asimilasi Teluk Youtefa atau kemampuan Teluk Youtefa mereduksi beban pencemaran akibat pembuangan limbah domestik, limbah ternak
147
sapi dan ternak babi, limbah KJA, maupun limbah faeses manusia yang bermukim di atas perairan Teluk Youtefa. 5.6.2. Analisis trend sistem Tahap analisis trend sistem dilakukan untuk mengeksplorasi perilaku sistem dalam jangka panjang ke depan (2006-2036) melalui simulasi model. Perilaku simulasi ditetapkan selama 30 tahun, dalam kurun waktu simulasi disajikan perkembangan yang mungkin terjadi pada variabel-variabel yang akan dikaji. Variabel-variabel yang akan disimulasikan adalah trend penduduk. Jumah penduduk
JM_PDD_EX
dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk secara alami diantaranya adanya kelahiran
100,000 90,000 80,000 70,000 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
TAHUN
Gambar 58. Trend populasi penduduk Pada Gambar 58 kurva pertumbuhan penduduk memperlihatkan trend pertumbuhan positif (positive growth) naik mengikuti kurva sigmoid pada tahun simulasi 2006 sampai tahun 2036 (30 tahun yang akan datang). Hal ini disebabkan laju tingkat kelahiran lebih besar dibanding dengan laju tingkat kematian. Namun demikian, laju pertambahan penduduk ini akan diimbangi oleh adanya kematian dan migrasi sehingga dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan negative (negative growth). Pada tahun 2006, penduduk abepura dan sekitarnya berjumlah 65.769 jiwa dan meningkat menjadi 102.262,57 jiwa pada tahun 2019 (Tabel 26). Pada tahun 2020 sampai akhir simulasi tahun 2036 pertumbuhan penduduk mulai mencapai keseimbangan tertentu.
Laju pertumbuhan penduduk ini sangat mempengaruhi
kebutuhan lahan untuk penggunaan tertentu seperti lahan untuk pemukiman, lahan pertanian, lahan fasilitas dan penggunaan lainnya. Melihat laju pertumbuhan penduduk dan tingkat ketersediaan lahan yang semakin berkurang (gambar 59), serta kebutuhan
lahan
yang
semakin
meningkat
(Gambar
60)
setiap
tahun,
148
mengindikasikan bahwa pada suatu saat, laju pertumbuhan penduduk tersebut akan menuju pada suatu titik keseimbangan tertentu (stable equilibrium) dan selanjutnya mengalami penurunan. Fenomena model ini dapat disebut mengikuti pola dasar (archetype) limit to growth dalam sistem dinamik (Meadon, 1897 diacu dalam Thamrin, 2009). Pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan pertumbuhan kebutuhan penggunaan lahan, dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik positif (positive feetback) antara pertumbuhan penduduk dan kebutuhan lahan melalui proses reinforcing. Namun karena keterbatasan luas lahan menyebabkan pertambahan luas lahan pada suatu waktu tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, sehingga ketersediaan lahan untuk suatu penggunaan tertentu dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, namun ketersediaan lahan untuk penggunaan lainnya mengalami penurunan sebagai akibat terjadinya konversi lahan. Ini terlihat pada hasil simulasi model dimana pertumbuhan luas lahan untuk kebutuhan pemukiman terjadi penurunan ketersediaan. Fenomena ini memperlihatkan adanya hubungan timbal balik negatif (negative feetback) melalui proses balancing. Dalam hal ini komponen daya dukung lingkungan akan menjadi faktor pembatas yang dapat menekan laju peningkatan kebutuhan lahan. Hasil simulasi disajikan pada gambar 59 berikut. LHN_TSD
1.400
Time
1.200 1.000 800 600 400 200 01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
LHN_TSD
01 Jan 2006
1.344,08
01 Jan 2016
804,75
01 Jan 2026
481,83
01 Jan 2036
288,49
Gambar 59. Trend lahan tersedia Peningkatan jumlah penduduk akan memberikan tekanan terhadap lingkungan yaitu terjadinya peningkatan kebutuhan lahan untuk tujuan penggunaan lahan untuk pemukiman, lahan fasilitas, dan pemanfaatan lainnya. Hal ini akan berdampak terhadap penurunan daya dukung lingkungan dan peningkatan kerusakan lingkungan. Hubungan ini merupakan hubungan timbal balik (negative feetback
149
melalui proses balancing. Terjadinya kerusakan lingkungan akan berpengaruh terhadap keberlanjutan perairan Teluk Youtefa.
LHNMUKIMTHN
65
Time
LHNMUKIMTHN
52
01 Jan 2006
13,44
39
01 Jan 2016
22,10
01 Jan 2026
36,35
01 Jan 2036
59,77
26 13 01 Ja n 2006 01 Ja n 2016 01 Ja n 2026 01 Ja n 2036
Gambar 60. Trend pengunaan lahan Tabel 26. Populasi penduduk dan jumlah sumber pencemar tahun 2006 – 2036 Time 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011 2,012 2,013 2,014 2,015 2,016 2,017 2,018 2,019 2,020 2,021 2,022 2,023 2,024 2,025 2,026 2,027 2,028 2,029 2,030 2,031 2,032 2,033 2,034 2,035 2,036
JM_PDD_EX LBH_PADAT_EX LBH_CAIR_EX LBH_BABI_EX LBH_SAPI_EX LBH_KJA_EX LBH_TINJA_EX 65,769.00 1,973.07 1,302.23 646.65 3,136.10 6.91 5.00 68,169.89 2,045.10 1,346.29 670.26 3,250.59 7.16 5.19 70,798.20 2,123.95 1,394.39 696.10 3,375.91 7.43 5.39 73,672.99 2,210.19 1,446.87 724.37 3,512.99 7.74 5.60 76,664.46 2,299.93 1,501.32 753.78 3,655.64 8.05 5.83 79,777.37 2,393.32 1,557.82 784.39 3,804.07 8.38 6.07 82,934.82 2,488.04 1,614.97 815.43 3,954.63 8.71 6.31 86,132.17 2,583.96 1,672.67 846.87 4,107.09 9.04 6.55 89,346.76 2,680.40 1,730.53 878.47 4,260.38 9.38 6.80 92,571.36 2,777.14 1,788.42 910.18 4,414.14 9.72 7.04 95,589.60 2,867.69 1,842.46 939.85 4,558.06 10.04 7.27 98,373.00 2,951.19 1,892.19 967.22 4,690.78 10.33 7.48 100,612.09 3,018.36 1,932.10 989.24 4,797.55 10.56 7.65 102,262.57 3,067.88 1,961.48 1,005.46 4,876.25 10.74 7.78 103,352.97 3,100.59 1,980.87 1,016.19 4,928.24 10.85 7.86 103,861.60 3,115.85 1,989.90 1,021.19 4,952.50 10.91 7.90 104,266.25 3,127.99 1,997.09 1,025.17 4,971.79 10.95 7.93 104,565.57 3,136.97 2,002.40 1,028.11 4,986.06 10.98 7.95 104,822.87 3,144.69 2,006.97 1,030.64 4,998.33 11.01 7.97 105,037.81 3,151.13 2,010.78 1,032.75 5,008.58 11.03 7.99 105,253.19 3,157.60 2,014.60 1,034.87 5,018.85 11.05 8.01 105,469.01 3,164.07 2,018.43 1,036.99 5,029.14 11.07 8.02 105,685.28 3,170.56 2,022.27 1,039.12 5,039.45 11.10 8.04 105,901.99 3,177.06 2,026.11 1,041.25 5,049.79 11.12 8.06 106,119.15 3,183.57 2,029.96 1,043.38 5,060.14 11.14 8.07 106,336.74 3,190.10 2,033.82 1,045.52 5,070.52 11.17 8.09 106,554.79 3,196.64 2,037.68 1,047.67 5,080.92 11.19 8.11 106,773.28 3,203.20 2,041.56 1,049.81 5,091.33 11.21 8.12 106,992.22 3,209.77 2,045.44 1,051.97 5,101.77 11.23 8.14 107,211.61 3,216.35 2,049.32 1,054.12 5,112.24 11.26 8.16 107,431.45 3,222.94 2,053.22 1,056.29 5,122.72 11.28 8.17
5.6.3. Validasi 5.6.3.1. Validasi struktur Menurut Muhammadi, (2001) bahwa pengujian validasi dilakukan untuk memperoleh kenyakinan sejauh mana keserupaan struktur model mendekati strukur nyata. Secara empirik bahwa pertambahan total sumber pencemar dipengaruhi beberapa sumber pencemar yang bersumber dari limbah timbulan sampah, limbah
150
faeses manusia yang bermukim di teluk, limbah ternak babi, limbah ternak sapi, limbah KJA, dan limbah cair BCOD penduduk. Peningkatan jumlah sumber pencemar akan meningkatkan total beban pencemar pada perairan Teluk Youtefa. Berdasarkan hasil simulasi terhadap sub model dinamik sumber pencemar memperlihatkan bahwa peningkatan jumlah penduduk diikuti oleh peningkatan total beban pencemar secara eksponensial (Tabel 26). Penelitian ini memperkuat simpulan dari Cornwel, (1998) bahwa sumber titik pencemar dapat bersumber dari limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, dan limpasan limbah perkotaan. 5.6.3.2. Validasi kinerja/(output model) Validasi kinerja/output model adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh kenyakinan sampai sejauh mana kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta atau bisa diterima secara akademik. Validasi kinerja dilakukan dengan membandingkan data hasil keluaran model yang dibangun dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris. Barlas (1996) mengemukakan bahwa validasi kinerja atau output model bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauh mana kinerja model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Metode pengujian validasi kinerja dapat dilakukan menggunakan uji statistik antara lain absolute mean error (AME), absolute variation error (AVE) dengan batas penyimpangan < 10 % (Muhammadi et al, 2001). AME adalah penyimpangan nilai rata-rata hasil simulasi terhadap nilai aktual, sedangkan AVE adalah penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap aktual. Validasi kinerja dilakukan terhadap model sumber pencemar (co model) yaitu total sumber pencemar dan jumlah penduduk yang menjadi sumber utama terjadinya pencemaran, serta model beban pencemaran (main model) yaitu total beban pencemar. Hasil simulasi terhadap ketiga model menunjukkan adanya kemiripan antara hasil simulasi dengan data empiris (aktual).
151
Hasil validasi kinerja/output model sumber pencemar untuk variabel jumlah penduduk dengan menggunakan rumus AME, AVE, masing-masing adalah 0,0188 (1,88 %), 0,0185 (1,85 %), dengan demikian nilai-nilai tersebut berada pada batas kriteria pengujian <10 % (Gambar 61)
2006
2007
2008 2009 TAHUN
2010
2011
Gambar 61. Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk hasil simulasi dengan kondisi eksisting Gambar 61 menunjukkan bahwa trend pertumbuhan penduduk sejak tahun 2006 hingga tahun 2011 antara data simulasi dengan data faktual relatif sama. Jika dilihat dari nilai AME dan AVE yang sangat rendah, maka dapat dikatakan bahwa dinamika pertumbuhan jumlah penduduk dalam model telah dapat menggambarkan dinamika pertumbuhan penduduk secara aktual di lapangan. Validasi kinerja pada model total sumber pencemar untuk variable total sumber pencemar dengan menggunakan rumus AME adalah 0,035 (3,5 %) dan AVE adalah 0,021 (2,1 %), dengan demikian nilai-nilai tersebut berada pada batas kriteria pengujian Hasil simulasi dan aktual untuk variabel total sumber pencemar disajikan pada Gambar 62.
152
8,500
1 12
8,000
12 1 2
7,500 1 7,000 1
2
1 2
N ilai_Faktuali N ilai_Simulas il
2
2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011
TAHUN
Gambar 62 Grafik perbandingan total sumber pencemar hasil simulasi dan aktual Gambar 62 simulasi perbandingan total sumber pencemar periode tahun 2006 hingga periode tahun 2011 perilaku kurva relatif sama antara nilai faktual dengan nilai simulasi, serta nilai AME dan AVE yang rendah. Hal tersebut menggambarkan dinamikan sumber pencemar dalam model telah dapat menggambarkan dinamika pertumbuhan sumber limbah di lapangan dan model total sumber pencemar berdasarkan validasi kinerja dikatakan valid. Kemudian hasil validasi kinerja model beban pencemar khususnya variabel total beban pencemar dengan menggunakan rumus AME adalah 0,06 (6,0 %), AVE adalah 0,07 (7 %), dengan demikian nilai-nilai tersebut berada pada batas kriteria pengujian. Hasil simulasi dan aktual untuk variabel total beban pencemar ditujukan pada gambar 63 1,900
1
1,800 1,700 1,600 1
1 1 1
1 2
2
2 2 2 2,006 2,007 2,008 2,009 2,010 2,011
1 2
Nilai_Faktuali Nilai_s imulas il
TAHUN
Gambar 63. Grafik perbandingan total beban pencemar hasil simulasi dan aktual Gambar 63 menunjukkan bahwa trend perbandingan total beban pencemaran pada awal tahun 2006 dan tahun 2007 relatif sama antara data faktual dan data simulasi. Pada tahun 2007 hingga tahun 2010 menunjukkan perilaku kurva
153
yang cukup berbeda antara simulai dan dan data faktual, dimana data simulasi cendrung lebih rendah dibandingkan dengan data faktual. Namun demikian pada tahun 2011 jumlah total beban pencemaran hasil simulasi relatif sama dengan total beban pencemaran faktual, walaupun pada beberapa titik ada perbedaan, akan tetapi jika dilihat pada nilai AME dan AVE yang rendah, dinamika total beban pencemar dalam model telah dapat menggambarkan dinamika pertumbuhan beban pencemar faktual dilapangan. 5.6.4. Verifikasi model 5.6.4.1. Verifikasi model total sumber beban pencemar Pada total sumber pencemar dilakukan verifikasi model dengan tujuan untuk mengetahui perilaku sistem model sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan (policy) sehingga bisa melakukan langkah-langkah strategis berkaitan dengan pengelolaan pesisir Teluk Youtefa. Hasil simulasi (gambar 64 dan lampiran 10) selama periode 30 tahun mendatang (2006-2036) terjadi peningkatan jumlah penduduk. Hal tersebut akan menyebabkan peningkatan jumlah limbah. Fraksi pertumbuhan jumlah penduduk selama ini adalah 4,1 %. Penurunan fraksi pertumbuhan jumlah penduduk dari 4,1 % menjadi 3,5 % memberikan pengaruh penurunan yang nyata terhadap level (stock) dan laju (rate). Hasil
simulasi
menunjukkan
bahwa
dengan
menurunkan
fraksi
pertumbuhan jumlah penduduk ternyata dapat menurunkan jumlah penduduk dari 107.431,45 jiwa menjadi 95.452,38 jiwa pada tahun 2036 gambar 64.a). Jika tidak ada intervensi kebijakan terhadap pembatasan pertambahan penduduk maka hasil simulasi menunjukkan pertumbuhan yang pesat selama periode simulasi. Jika tidak ada upaya untuk menurunkan jumlah penduduk, maka pertambahan penduduk akan terus meningkat maka bisa menyebabkan overshoot. Peningkatan jumlah penduduk tersebut akan menemui masalah dalam penanganan limbah, hal ini memberikan petunjuk bahwa masalah limbah memiliki bentuk struktur archetype tragedy of the commons yaitu banyak pelaku yang berlomba tapi akhirnya menemui masalah
154
1 1 1 1 1 1 1 1 12 12 121 100,000 3,000 1 1 2 2 2 2 2 90,000 1 2 2 22 2 2 1 2 JM_PDD_AKTUAL LBH_PADAT_EX 2,500 1 2 1 80,000 2 12 1 JM_PDD_SIMULASI 2,000 2 70,000 2 LBH_PADAT31 2 2 1 1 Peningkatan jumlah limbah padat diakibatkan peningkatan jumlah penduduk 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036 a b TAHUN TAHUN
Gambar 64 Trend penduduk dan limbah padat berdasarkan fraksi Peningkatan jumlah limbah padat diakibatkan peningkatan jumlah penduduk periode 2006 – 2036. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah limbah padat meningkat dari 2.143,02,10 ton menjadi 3.422,15 ton pada akhir simulasi, namun karena adanya penurunan fraksi penduduk maka jumlah limbah padat berkurang dari 3.222,94 ton menjadi 3.054,48 ton pada akhir simulasi artinya limbah padat berkurang sebanyak 167,92 ton (gambar 64.b)
2,500
a
2,000
LBH_CAIR_EX
3,000
2,000 1,800 1,600
b
1,400
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
TAHUN
TAHUN
1,000 900 800
c
700
LBH_SAPI_EX
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
5,000 4,500 4,000
d
3,500
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
TAHUN
TAHUN
11 10 9
e
8
LBH_TINJA_EX
LBH_KJA_EX
LBH_BABI_EX
LBH_PADAT_EX
Trend total sumber pencemar disajikan pada gambar 65 dan lampiran 11
8 7 6
f
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
5 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
TAHUN
TAHUN
7
Gambar 65. Trend total sumber pencemar 1. Trend total sumber pencemar limbah padat Limbah padat yang semakin meningkat disebabkan oleh meningkatnya jumlah penduduk. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah limbah padat
155
mengalami peningkatan dari 1.973,07 ton menjadi 3.222,94 ton pada akhir simulasi (gambar 65.a / lampiran 11). Semakin meningkat jumlah limbah padat, akan berdampak buruk pada ekosistem Teluk Youtefa. Berdasarkan fakta di lapangan, bahwa banyak sampah padat yang terapung maupun tenggelam di perairan Teluk Youtefa. Hal ini menjadi keluhan-keluhan dari para nelayan maupun pengguna teluk. Berdasarkan fakta juga pada saat peneliti melakukan pengambilan sampel air menggunakan jasa transportasi perahu tempel, sering berhenti karena limbah terutama limbah plastik terlilit di putaran mesin perahu. 2. Trend total sumber pencemar limbah cair Ditjen Cipta Karya, (2006) dalam (Suwari (2009) mengemukakan bahwa kebutuhan air setiap orang per hari adalah 144 liter. Sedangkan air buangan adalah 80 % pemakaian air atau 115,2 liter/orang/hari. Sehingga total debit air buangan penduduk di wilayah kali acai, sibhorgoni, hanyaan dan PTC Kota Jayapura adalah 9.129,95 m3/hari. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada periode 2006 – 2016 beban pencemaran limbah cair BCOD meningkat dari 1.302,23 ton menjadi 1.892,67 ton. Nilai pencemaran limbah cair BCOD terus mengalami peningkatan sampai ahir simulasi yaitu 2.127,14 ton (gambar 65.b / lampiran 11) 3. Trend total sumber pencemar limbah ternak babi Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya jumlah peternak babi, jumlah babi, maupun limbah tinja babi. Menurut Setiawan (2007) bahwa kotoran dari seekor ternak babi dewasa terdiri dari 1,59 kg/hari, dan 2,72 kg/hari kotoran padat. Hasil simulasi menunjukkan limbah babi meningkat dari 646,65 ton menjadi 1.056,29 ton (gambar 65.c / lampiran 11) 4. Trend total sumber pencemar limbah ternak sapi Setiawan (2007) mengemukakan bahwa jumlah kotoran dari seekor ternak sapi dewasa terdiri dari 23,59 kg/hari kotoran padat dan sebanyak 9,07 kg/hari kotoran cair. Berdasarkan hasil simulasi diperoleh bahwa jumlah limbah sapi meningkat dari 3.136,10 ton menjadi 5.122,72 ton pada akhir simulasi (gambar 65.d / lampiran 11)
156
5. Trend total sumber pencemar limbah KJA Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan meningkatnya KJA dan limbah KJA. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah limbah KJA meningkat dari 6,91 ton menjadi 11,28 ton. (gambar 65.e / lampiran 11). Limbah tersebut dapat dikurangi dari pakan ikan yang mengandung nutrien. Hongguang M, et al. 2010. mengemukakan bahwa untuk mengurangi limbah di perairan dapat diatasi dengan mengurangi masukan nutrient, atau menggunakan model jaringan penggabungan bagian sistem fisik dan biologi sehingga kualitas air tetap terkelola dengan baik. 6. Trend total sumber pencemar limbah tinja manusia Peningkatan jumlah penduduk disekitar Teluk Youtefa disertai juga peningkatan jumlah limbah faeses di Teluk Youtefa. Menurut Sasimartoyo (2001) diacu dalam Walukow (2009) bahwa rata-rata massa limbah faeses manusia setiap hari 1.141 gram atau sebanding dengan 0,4164 ton/tahun. Limbah tersebut terdiri dari 85 gram tinja, dan 1.055 gram urine. Hasil simulasi menunjukkan bahwa jumlah limbah faeses meningkat dari 5,00 ton menjadi 8,17 ton pada akhir simulasi pada tahun 2036 (gambar 65.f /lampiran 11). Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat yang bermukim di teluk, bahwa semua membuang limbah tinja ke teluk. Kondisi ini bisa meningkatkan limbah tinja dan menurunkan nilai estetika teluk.
157
FR_SAPI LBH_TIAP_SAPI
JM_PDD_EX_39 LAJU_4 LBH_SAPI_EX
INDEK_SAPI
FAK_KR_3 FRAK_PDD_3
FR_BABI INDEKSW_3 LUAS_LHN_TIPA_RMH_3 KEB_BANGUNAN_4 LBH_TIAP_BABI
FR_LBH_PADAT_4
LBH_PADAT_4
LBH_BABI_EX LAHAN_TERP_4
FPENG_LAHAN_3
FR_KJA
INDEKS_BABI
FRAK_LBHCAIR_3 LUAS_LAHAN_4 FRAK_PENC_4
PENC_4
LBH_EKOR
LBH_KJA_EX
LBH_CAIR_4
INDEK_KJA
FR_TINJAA
LBH_TINJA_EX
INJA_ORG
TBSP
LBH_PADAT_EX
LBH_TINJA_EX LBH_CAIR_EX LBH_SAPI_EX LBH_BABI_EX
INDEKS_PDTY
LBH_KJA_EX
Gambar 66 Sub model penduduk dan total sumber pencemar 5.6.4.2. Verifikasi model beban pencemar Semakin meningkat total beban sumber pencemar, akan meningkatkan beban pencemaran BOD. Hasil simulasi pada periode 2006 – 2036 menunjukkan bahwa beban pencemaran BOD meningkat dari 54,16 ton menjadi 964,75 ton. Nilai ini berada di atas nilai kapasitas asimilasi BOD 27, artinya bahwa pada periode tersebut air di perairan Teluk Youtefa tidak mampu menerima beban pencemaran BOD dan telah menurunkan kualitas air sesuai dengan peruntukannya. Kondisi ini tentu sangat mengganggu keseimbangan ekologi perairan Teluk Youtefa, sehingga dibutuhkan penanganan terhadap sumber pencemar BOD melalui intervensi kebijakan dan penguatan kelembagaan (gambar 67 lampiran 12). Supriharyono (2000) mengemukakan bahwa tingkat kerusakan akibat pencemaran dapat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pencemar, jenis dan sifat kimia, serta kepekaan suatu ekosistem terhadap pencemar
158
1.000
8.000
860 720
6.000
580
BP_BOD_1
440
KONKAPAASIMi_3
300
4.000
BP_NO3_1 KONKAPAASI_5
2.000
160 20 01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
a
0 01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
b
Gambar 67. Nilai kapasitas asimilasi dan perkembangan beban pencemaran BOD, dan NO3 Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman maupun alga (Effendi 2003). Semakin meningkat total sumber pencemaran, maka akan mempengaruhi peningkatan beban pencemaran nitrat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa beban pencemaran nitrat pada periode 2006 - 3036 meningkat dari 2,96 ton menjadi 380,22 ton (gambar 67.b/lampiran 12). Nilai ini masih di bawah nilai kapasitas asimilasi nitrat yaitu 9087 ton. Hal tersebut menandakan bahwa pada periode tersebut air di perairan Teluk Youtefa masih mampu menerima pencemaran limbah yang masuk tanpa terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Posfat merupakan anion yang tidak diinginkan dalam air, karena keberadaannya menjadi faktor pembatas eutrofikasi dan menimbulkan efek negatif bagi kehidupan ekosistem akuatik. Effendi (2003) mengemukakan bahwa posfat merupakan fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan. Fosfor banyak terdapat sebagai pupuk, sabun atau detergen, bahan industri keramik, minyak pelumas, produk minuman dan makanan dan sebagainya. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menimbulkan perkembangan algae di perairan. Total beban sumber pencemar dapat mempengaruhi peningkatan beban pencemaran PO4. Hasil simulasi menunjukkan bahwa beban pencemaran PO4 pada periode 2006 – 2009 meningkat dari 9,40 ton menjadi 12,03 ton. Nilai ini belum terlampaui nilai kapasitas asimilasi, artinya bahwa pada periode tersebut perairan Teluk Youtefa masih mampu menerima beban pencemaran fosfat. Tetapi pada periode 2010 sampai akhir simulasi beban pencemaran meningkat menjadi 110,02
159
ton. Artinya bahwa pada periode tersebut perairan Teluk Youtefa tidak mampu lagi menerima beban pencemaran posfat. (gambar 68.a/lampiran 12).
100
KA= 12 BP_PO4_1
50
KONKAPAASIM
100 80 60 40
KA= 54 BP_NH3_1 KONKAPAASIM1
20 0 01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
a
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
b
Gambar 68 Nilai kapasitas asimilasi dan perkembangan beban pencemaran PO4 dan NH3 Senyawa amoniak banyak digunakan dalam proses industri kimia, proses produksi urea. Sumber amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik, dan hasil limbah tinja dari biota akuatik. Kemudian sumber lain adalah reduksi gas nitrogen yang bersumber dari proses difusi udara atmosfer, dan limbah domestik masuk ke dalam air melalui erosi tanah (Effendi 2003). Peningkatan total sumber pencemar akan mempengaruhi peningkatan beban pencemar amonik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa beban pencemaran amoniak pada periode 2006-2030 meningkat dari 2,58 ton menjadi 48,17 ton. Nilai tersebut masih berada di bawah nilai kapasitas asimilasi. Artinya bahwa perairan Teluk Youtefa masih mampu menerima beban limbah amoniak. Tetapi pada periode 2031 hingga akhir simulasi menjadi 100,17 ton (gambar 68.b/lampiran 12). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa perairan Teluk Youtefa tidak mampu menerima beban pencemaran limbah hingga akhir simulasi, sehingga menurunkan kualitas air yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya. COD merupakan komponen kimia yang memiliki sumbangan beban pencemaran ke dalam perairan Teluk Youtefa. COD atau kebutuhan oksigen kimiawi menggambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimia, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi menjadi karbon dioksida dan air. Peningkatan total beban sumber pencemar akan mempengaruhi peningkatan beban pencemar COD. Hasil simulasi menunjukkan bahwa beban pencemaran COD periode 2006-2036 meningkat dari 471,32 ton menjadi 1465,04 ton. Nilai tersebut
160
berada di atas nilai kapasitas asimilasi, artinya bahwa perairan Teluk Youtefa tidak mampu menerima beban pencemaran COD pada periode tersebut. (gambar 69.a/lampiran 12). sehingga terjadi penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya. Hal tersebut berdampak pada penurunan daya dukung perairan Teluk Youtefa, sehingga dibutuhkan intervensi kebijakan. 1.600
KA = 286
1.200 800
KA = 2354 2.000 BP_TSS_2
BP_COD_1 KONKAPAASIM_1
1.500
KONKAPAASI
400 01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
a
01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
b
Gambar 69 Nilai kapasitas asimilasi dan perkembangan beban pencemaran COD, dan TSS Padatan tersuspensi terdiri atas partikel partikel tersuspensi berupa pasir, lumpur halus serta jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan dari tanah yang terangkut ke dalam air. Peningkatan total sumber pencemar akan mempengaruhi peningkatan beban pencemar padatan tersuspensi. Hasil simulasi menunjukkan (gambar 69.b/lampiran 12) bahwa beban pencemaran padatan tersuspensi pada periode 2006 -2036 meningkat dari 1.089,55 ton menjadi 1.783,32 ton. Nilai tersebut masih berada di bawah nilai kapasitas asimilasi, artinya bahwa perairan Teluk Youtefa masih mampu menerima beban pencemar TSS pada periode tersebut tanpa menurunkan kualitas air sesuai dengan peruntukannya.
161
JMTSS_vs_TOTSP_2 TBSPENCEX
TBSPENCEX JMCOD_vs_TOTSP_1
LJTSSS
COD
LJCOD FRTSS_VS_TOSP
BP_TSS_2
BP_COD_1
FRCOD_vs_TOTSP_ 1
KAPAASIM KONKAPAASI
KAPAASIM_1
TSS
TBSPENCEX JMBOD_vs_TOTSP_1 LJBOD
TB_Penc
BP_BOD_1 KAPAASIM_2
FRBOD_vs_TOTSP_1
KONKAPAASIM_1
TBSPENCEX JMNO3_vs_TOTSP_1 LJNO3 BP_NO3_1
NO3
FRNO3_vs_TOTSP_1
KAPAASIM_4 KONKAPAASIMi_3
KONKAPAASI_5
BOD
NH3
TBSPENCEX JMPO4_vs_TSP_1
TBSPENCEX JMNH3_vs_TOTSP_1 LJNH3 BP_NH3_1 Fr_NH3_vs_TOTSP_ 1
LJPO4 FRPO4_vs_TSP_1
KONKAPAASIM
BP_PO4_1 KAPAASIM_6
KAPAASIM1
PO4 PO4
KONKAPAASIM1
Gambar 70 Sub model beban pencemaran 5.6.4.3. Verifikasi model kualitas air Teluk Youtefa Total beban sumber pencemar mempengaruhi peningkatan beban pencemaran posfor di perairan Teluk Youtefa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi posfor pada periode 2006 – 2036 terjadi peningkatan posfor dari 0,72 mg/l menjadi 8,44 mg/l. (gambar 71.a/lampiran 13). Nilai konsentrasi posfor mulai dari awal simulasi sampai akhir simulasi berada diatas baku mutu yaitu 0,015 8
1.250
BM = 0,015
BM = 20
1.050
6
850 KUA_PO4
4
KONBAMU_PO4 2
650
KUA_TSS
450
KONBAMU_TSS
250
0 01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
a
50 01 Jan 2006
01 Jan 2026
Gambar 71. Trend konsentrasi dan nilai baku mutu PO4, dan TSS
b
162
Pertambahan total beban pencemaran akan mempengaruhi peningkatan konsentrasi TSS di Teluk Youtefa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi TSS pada periode 2006 – 2036 meningkat dari 140 mg/l menjadi 1.244,95 mg/l, telah melampaui baku mutu TSS (gambar 71.b/lampiran 13). Kondisi ini menurunkan kualitas perairan Teluk Youtefa. Semakin meningkat konsentrasi beban pencemaran TSS akan memperburuk kondisi perairan Teluk Youtefa. Peningkatan konsentrasi beban pencemaran COD dipengaruhi oleh total sumber pencemar yang masuk ke perairan Teluk Youtefa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi COD pada periode 2006-2025 meningkat dari 1,30 mg/l menjadi 65,18 mg/l (gambar 72.a/lampiran 13). Nilai ini berada di bawah nilai baku mutu COD yaitu 80 mg/l. Tetapi pada periode tahun 2026 sampai akhir simulasi meningkat dari 80,11 mg/l menjadi 629,88 mg/l. Nilai ini berada di atas nilai baku mutu. Peningkatan total sumber pencemar mempengaruhi semakin meingkatnya total beban pencemar amoniak di perairan Teluk Youtefa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada periode 2006-2018 konsentrasi amoniak meningkat dari 0,0051 mg/l menjadi 0,03 mg/l (gambar 72.b/lampiran 13). Nilai ini masih dibawah nilai baku mutu amoniak yaitu 0,3 mg/l. Konsentrasi amoniak terus mengalami peningkatan pada periode 2019 sampai akhir simulasi dari 0,04 menjadi 0,58 mg/l. 600
BM = 80
500
0,5
BM = 0,3
0,4
400 300
KUA_COD
0,3
KUA_NH3
200
KONBAMU_COD
0,2
KONBAMUNH3
100
0,1
0 01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
a
0,0 01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
b
Gambar 72. Trend konsentrasi dan nilai baku mutu COD dan NH3 Total sumber pencemar yang semakin meningkat mempengaruhi peningkatan total beban pencemar Teluk Youtefa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada periode 2006 – 2018 konsentrasi BOD meningkat dari 4,89 mg/l menjadi 18,47 mg/l. Nilai ini masih dibawah nilai baku mutu BOD yaitu 20 mg/l. Nilai konsentrasi
163
BOD terus meningkat melebihi baku mutu pada periode akhir simulasi yaitu menjadi 135,621mg/l (gambar 73.a/lampiran 13). Semakin meningkat total sumber pencemar akan mempengaruhi peningkatan konsentrasi total beban pencemar nitrat di teluk. Hasil simulasi menunjukkan pada periode 2006 – 2011 rata-rata konsentrasi nitrat meningkat dari 0,0022 mg/l menjadi 0,0075 mg/l (gambar 73.b/lampiran 13). Nilai ini berada di bawah nilai baku mutu nitrat yaitu 0,008 mg/l, artinya bahwa Teluk Youtefa masih mampu menerima beban pencemar nitrat. Tetapi pada periode sampai akhir simulasi konsentrasi nitrat meningkat menjadi 3,08 mg/l. Nilai ini berada di atas baku mutu nitrat yaitu 0,008 mg/l, artinya bahwa Teluk Youtefa tidak mampu lagi menerima beban pencemaran nitrat, sehingga kualitas air akan terus memburuk sehingga tidak sesuai dengan peruntukannya. 3
BM = 20
100
BM = 0,008 2
KUA_BOD 50
KONBAMU_BOD
0 01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
a
KUA_NO3 1
KONBAMUNO3
0 01 Jan 2006 01 Jan 2016 01 Jan 2026 01 Jan 2036
b
Gambar 73 Trend konsentrasi dan nilai baku mutu BOD dan NO3
Hasil simulasi pada gambar 73 di atas menunjukkan bahwa rata-rata nilai konsentrasi kualitas air perairan Teluk Youtefa pada periode 2006 sampai akhir simulasi cendrung berada di atas nilai baku mutu air laut untuk biota laut dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 51 tahun 2004. Hal tersebut membuktikan bahwa kondisi total sumber pencemar harus selalu dikontrol melalui intervensi kebijakan, penguatan kelembagaan, sehingga tidak menurunkan kondisi perairan Teluk Youtefa. Brush MJ (2010) mengemukakan bahwa model dinamik yang digunakan dapat berhasil untuk memprediksi kualitas air di Teluk Narragansett, RI (USA) berdasarkan kontribusi makroalga, dan menguji sensivitas individu.
164
LJTSS_TOTSP
LJCOD_TOTSP
COD
TSS JMTSS_vs_TOTSP_3
FRTSS_vs_TOTSP_3
JMCOD_vs_TOTSP_2
BP_COD_1
KUA_TSS
FRCOD_vs_TOTSP_ 2
KUA_COD KONBAMU_COD
BAMU_TSS
BP_TSS_2
KONBAMU_TSS
BAMU_COD
LJBOD_TOTSP
LJNO3_TSP
BOD JMBOD_vs_TOTSP_2
FRBOD_vs_TOTSP_2
KONBAMU_BOD
TB_Penc
KUA_BOD
BAMUBOD
BP_BOD_1
JMNO3_vs_TOTSP_2
BP_NO3_1
KUA_NO3
BAMUNO3
FRNO3_vs_TOTSP_2
NO3
KONBAMUNO3
LJNH3_TOTSP
NH3
PO4
LJPO4_TOTSP
JMNH3_vs_TOTSP_2 JMPO4_vs_TOTSP_2 KUA_PO4 FRPO4_vs_TOTSP_2
FRNH3_vs_TOTSP_2
KUA_NH3
BaAMU_NH3 KONBAMU_PO4
BP_PO4_1 KONBAMUNH3
BAMU_PO4
BP_NH3_1
Gambar 74 Sub model kualitas air
Pertambahan penduduk mempengaruhi peningkatan total sumber pencemar dan total beban pencemar. Hal ini akan berdampak buruk bagi keberlanjutan perairan Teluk Youtefa atau daya dukung teluk ( gambar 75).
DAYA_D TY
1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 01 Ja n 2006
01 Ja n 2016
01 Ja n 2026
01 Ja n 2036
Gambar 75 Hubungan populasi penduduk dengan daya dukung lingkungan
5.6.5. Penyusunan skenario pengelolaan Teluk Youtefa. Hasil identifikasi dan pembagian sumber pencemar berdasarkan pengaruhnya dalam pembentukan sistem dianalisis lebih lanjut dengan bantuan pakar untuk mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam
165
pengelolaan Teluk Youtefa dalam bentuk skenario. Pembentukan skenario didasarkan pada kondisi atau keadaan pada identifikasi pakar dan stakeholders. Berdasarkan total
sumber pencemar
yang teridentifikasi
dalam
pengelolaan Teluk Youtefa dapat diidentifikasi beberapa skenario yang mungkin bisa terjadi pada masa yang akan datang. Diperoleh tiga skenario dalam pengelolaan Teluk Youtefa yaitu (1). skenario pesimis/SP, (2). skenario moderat/SM, (3). skenario optimis/SO. Skenario yang disusun dihubungkan dengan model, dilakukan interpretasi kondisi faktor kedalam variabel model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada variabel tertentu dalam model sehingga skenario dapat disimulasikan. Tabel 27 Skenario intervensi parameter model Sub model Penduduk
Limbah cair
Kondisi eksisting Laju pertumbuhan Penduduk 4,1 % Kondisi eksisting
Limbah padat Kondisi eksisting Limbah babi
Kondisi eksisting
Limbah sapi
Kondisi eksisting
Skenario pesimis Laju pertumbuhan penduduk 4,6 % Laju peningkatan 5% Laju peningkatan 5% Laju peningkatan 5% Laju peningkatan 5%
Skenario moderat Laju pertumbuhan penduduk 3,8% Laju pengurangan 10 % Laju pengurangan 10 % Laju pengurangan 15 % Laju pengurangan 10 %
Skenario optimis Laju pertumbuhan penduduk 3,3 % Laju pengurangan 50 % Laju pengurangan 60 % Laju pengurangan 50 % Laju pengurangan 60 %
Berdasarkan tabel 27 di atas, bahwa skenario optimis merupakan keadaan yang mungkin baik dan terjadi pada masa depan yang perlu diperhitungkan dengan penuh pertimbangan sesuai dengan keadaan dan sumber daya yang ada, serta didukung dengan kenyakinan, komitmen, dukungan semua pihak dalam pengelolaan Teluk Youtefa dapat seimbang antara aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Skenario optimis dibangun berdasarkan keadaan (state) sumber pencemar kunci tersebut sudah berjalan dengan skala baik untuk skenario optimis. Skenario moderat dengan skala cukup baik. Kemudian skenario pesimis dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing condition), dengan pengertian bahwa walaupun sudah melakukan usaha pengelolaan tetapi belum mengutamakan faktor-faktor penting yang seharusnya terlebih dahulu dilaksanakan sehingga tidak memiliki arah pengelolaan Teluk Youtefa yang memiliki visi jauh kemasa yang akan datang.
166
5.6.6. Skenario intervensi model Analisis kebijakan dilakukan dengan cara melakukan perubahan-perubahan terhadap parameter sistem dalam model. Analisis kebijakan merupakan bagian dari uji sensivitas model yaitu refleksi atau respon kinerja model terhadap suatu stimulus kebijakan. Stimulus kebijakan diberikan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau struktur model. Jika trend kinerja model masih terkendali dan mantap, bukan berarti tidak diperlukan intervensi, karena lingkungan sistem masa datang terus berubah. Dampak perubahan intervensi kebijakan bersifat dinamis dan bersifat non linier. Analisis kebijakan juga dimaksudkan untuk memahami pola kebijakan ataupun perubahan faktor eksternal yang menjadi masukan sistem. Dalam analisis kebijakan ini, akan dilihat bagaimana pengaruh perubahan-perubahan parameter atau kebijakan terhadap perkembangan variabel-variabel yang dikaji Uji sensivitas model yaitu dengan membuat skenario-skenario model untuk pengembangan perencanaan dan agenda kebijakan kedepan. Semua skenario tersebut disimulasikan, kemudia dilakukan penajaman untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan. Hasil analisis simulasi tiap skenario akan dipakai untuk membuat peringkat skenario yang mencerminkan urutan skenario yang lebih tepat dan menjadi pilihan dalam menyusun suatu kebijakan. Penyusunan skenario bertujuan untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi pada masa yang akan datang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Skenario dikembangkan dengan melakukan simulasi intervensi terhadap variabel penduduk, limbah cair, limbah padat, dan limbah ternak babi, serta limbah sapi. Skenario yang dikaji adalah berbagai alternatif intervensi yang dapat dikategorikan sebagai skenario pesimis, moderat, dan optimis. 5.6.6.1. Intervensi fungsional 5.6.6.1.1. Beban limbah cair BCOD Simulasi model dilakukan terhadap skenario di atas (tabel 27), untuk mengetahui perilakunya masing-masing. Kajian dilakukan terhadap peubah yang dianggap menentukan arah kebijakan pengelolaan Teluk Youtefa pada masa yang akan datang yaitu hasil simulasi beban limbah cair BCOD Teluk Youtefa dari tiga skenario. Ke tiga skenario memberikan hasil yang berbeda pada peubah yang
167
dikaji, secara umum perbedaan antar skenario mulai tampak berbeda sampai ahir simulasi. Hasil simulasi skenario beban limbah cair BCOD Teluk Youtefa disajikan pada gambar 76 dan lampiran 14.
2,200 2,000 1,800 1,600
2
1
2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 2 1 3 3 3 3 4 4 4 213 4 4 4 4 4 4 34
1 2 3
34
1,400 2 1 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
4
LBH_CAIR_EXI LBHCAIRSP46 LBHCAIRSM38 LBHCAIRSO33
TAHUN
Gambar 76. Prediksi jumlah limbah cair BCOD di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036 Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah cair BCOD Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa terjadi perbedaan diantara ke tiga skenario yang digunakan. Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting. Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1. Skenario Pesimis (SP) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah cair BCOD Teluk Youtefa adalah 1.302,23 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.095,95 ton, tahun 2024 adalah 2.194,54 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.255,90 ton. Peningkatan total sumber pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. 2. Skenario Moderat (SM) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah cair BCOD Teluk Youtefa adalah 1.302,23 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.932,10
168
ton, tahun 2024 adalah 2.006,97 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.053,22 ton. Peningkatan total sumber pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan skenario optimis. 3. Skenario Optimis (SO) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah cair BCOD Teluk Youtefa adalah 1.302,23 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.835,74 ton, tahun 2024 adalah 1.897,40 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.935,32 ton. Peningkatan total sumber pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan skenario model adalah rendah jika dibandingkan dengan skenario moderat. 5.6.6.1.2. Limbah KJA Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah KJA Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa tidak terjadi perbedaan yang mencolok diantara ke tiga skenario yang digunakan mulai simulasi sampai tahun 2036. Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (gambar 77 dan lampiran 15). 12
2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 3 3 3 3 213 4 4 4 4 44 4 4 23
11
2
10 9 8 71
2
2 ,0 0 6
3
14 4
1 2 3 4
2 ,0 1 2 2 ,0 1 8
2 ,0 2 4 2 ,0 3 0
L BH _KJA_ EX L BH KJASP46 L BH KJASM38 L BH KJASO33
2 ,0 3 6
T AHUN
Gambar 77. Prediksi jumlah beban limbah KJA di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036
169
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1. Skenario pesimis (SP) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran KJA Teluk Youtefa adalah 6,91 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 11,11 ton, tahun 2024 adalah 11,64 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 11,96 ton. Peningkatan total sumber pencemar KJA di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. 2. Skenario moderat (SM) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran KJA Teluk Youtefa adalah 6,91 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 10,25 ton, tahun 2024 adalah 10,64 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 10,89 ton. Peningkatan total sumber pencemar KJA di Teluk Youtefa skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan skenario pesimis 3. Skenario optimis (SO) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran KJA Teluk Youtefa adalah 6,91 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 9,74 ton, tahun 2024 adalah 10,06 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 10,26 ton. Pengurangan total sumber pencemar KJA di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan skenario lainnya. 5.6.6.1.3. Limbah ternak babi Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah ternak babi Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa tidak terjadi perbedaan yang mencolok diantara ke tiga skenario yang digunakan mulai simulasi sampai ahir simulasi tahun 2036. Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (78 dan lampiran 16).
170
1,100 1,000 900 21
800 700
2
2 2 2 2 1 221 1 1 3 3 3 3 3 213 4 4 4 4 34
1 2 3
34
1 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
4
LBH_BABI_EX LBHBABISP46 LBHBABISM38 LBHBABIS033
TAHUN
Gambar 78 Prediksi jumlah beban limbah babi di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036 Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1. Skenario pesimis (SP) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah ternak babi Teluk Youtefa adalah 646,65 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.040,79 ton, tahun 2024 adalah 1.089,76 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.120,22 ton. Peningkatan total sumber pencemar limbah ternak babi di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan keduga skenario lainnya. 2. Skenario moderat (SM) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah ternak babi Teluk Youtefa adalah 646,65 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 959,44 ton, tahun 2024 adalah 996,61 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.019,58 ton. Peningkatan total sumber pencemar limbah ternak babi di Teluk Youtefa skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan skenario optimis. 3. Skenario optimis (SO) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah ternak babi Teluk Youtefa adalah 646,65 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 923,62 ton, tahun 2024 adalah 942,20 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 961,03 ton.
171
Pengurangan total sumber pencemar limbah babi di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan skenario pesimis dan moderat. 5.6.6.1.4. Limbah ternak sapi Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah ternak sapi Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa tidak terjadi perbedaan yang mencolok diantara ke tiga skenario yang digunakan mulai simulasi sampai akhir simulasi tahun 2036. Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (79 dan lampiran 17). 5,500 5,000 4,500 4,000 3,500
2 4 3
1
2 2 2 22 22 2 1 1 1 2 1 1 3 3 3 3 4 213 4 4 4 4 34
1 2 3
2 1 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
4
LBH _SAPI_EX LBH SAPISP46 LBH SAPISM LBH SAPISO33
TAHUN
Gambar 79 Prediksi jumlah beban limbah sapi di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036 Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1. Skenario pesimis (SP) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah sapi Teluk Youtefa adalah 3.136,10 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 5.047,59 ton, tahun 2024 adalah 5.285,04 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 5.432,80 ton. Peningkatan total sumber pencemar limbah sapi di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. 2. Skenario moderat (SM)
172
Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah ternak sapi Teluk Youtefa adalah 3.136,10 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 4.653,01 ton, tahun 2024 adalah 4.833,30 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 4.944,69 ton. Peningkatan total sumber pencemar limbah ternak sapi di Teluk Youtefa skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan skenario optimis 3. Skenario optimis (SO) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah sapi Teluk Youtefa adalah 3.136,10 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 4.420,95 ton, tahun 2024 adalah 4.569,43 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 4.660,76 ton. Pengurangan total sumber pencemar limbah ternak sapi di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan skenario pesimis dan moderat. 5.6.6.1.5. Limbah padat Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah padat Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa tidak terjadi perbedaan yang mencolok diantara ke tiga skenario yang digunakan mulai simulasi sampai akhir simulasi tahun 2036. Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (gambar 80 dan lampiran 18). 3,500 3,000 2,500 2,000 1 2
3
2 4
1
2 2 2 2 2 1 221 1 1 3 3 3 3 213 4 4 4 4 34
1 2 3 4
LBH _PAD AT_EX LBH PADATS46 LBH PADATSM38 LBH PADATSO33
2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
TAHUN
Gambar 80 Prediksi jumlah beban limbah padat di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036 Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario adalah sebagai berikut:
173
1. Skenario pesimis (SP) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah padat Teluk Youtefa adalah 1.973,07 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 3.175,67 ton, tahun 2024 adalah 3.325,07 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 3.418,03 ton. Peningkatan total sumber pencemar limbah padat di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. 2. Skenario moderat (SM) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah padat Teluk Youtefa adalah 1.973,07 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.927,43 ton, tahun 2024 adalah 3.040,86 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 3.110,94. Peningkatan total sumber pencemar limbah padat di Teluk Youtefa skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan skenario optimis 3. Skenario optimis (SO). Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah padat Teluk Youtefa adalah 1.973,07 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.818,16 ton, tahun 2024 adalah 2.874,85 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.932,30 ton. Pengurangan total sumber pencemar limbah padat di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan skenario pesimis dan moderat. 5.6.6.1.6. Tinja Penduduk Berdasarkan simulasi model total sumber pencemaran limbah tinja penduduk Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa tidak terjadi perbedaan yang mencolok diantara ke tiga skenario yang digunakan mulai simulasi sampai akhir simulasi tahun 2036. Skenario pesimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan skenario optimis. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (gambar 81 dan lampiran 19).
174
8
2
2 1
1 34 2 3 4
7 6 3
2 2 2 2 1 1 1 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 2
2
1
14 4
1 2 3
2 5 1 2 ,0 0 6 2 ,0 1 2 2 ,0 1 8 2 ,0 2 4 2 ,0 3 0 2 ,0 3 6
4
L BH _TINJA_ EX L BH TIN JASP4 6 L BH TIN JASM3 8 L BH TIN JASO3 3
TAHUN
Gambar 81. Prediksi jumlah beban limbah tinja penduduk di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036 Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1. Skenario pesimis (SP) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah tinja penduduk di Teluk Youtefa adalah 5,00 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 8,05 ton, tahun 2024 adalah 8,43 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 8,67 ton. Peningkatan total sumber pencemar limbah tinja di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. 2. Skenario moderat (SM) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah tinja penduduk di Teluk Youtefa adalah 5,00 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 7,42 ton, tahun 2024 adalah 7,71 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 7,89 ton. Peningkatan total sumber pencemar limbah tinja penduduk di Teluk Youtefa skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan skenario optimis. 3. Skenario optimis (SO) Pada tahun 2006 total sumber pencemaran limbah tinja penduduk di Teluk Youtefa adalah 5,00 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 7,05 ton, tahun 2024 adalah 7,29 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 7,44 ton. Peningkatan total
175
sumber pencemar limbah tinja di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan skenario model adalah rendah jika dibandingkan dengan skenario pesimis dan moderat. Hasil simulasi model total sumber beban pencemar menunjukkan bahwa skenario optimis berdampak terhadap penurunan limbah cair BCOD pada kondisi eksisting dari 2.127,14 ton menjadi 1.935,32 ton, limbah KJA pada kondisi eksisting berkurang dari 11,28 ton menjadi 10,89 ton, limbah ternak babi pada kondisi eksisting berkurang dari 5.122,72 ton menjadi 4.660,76 ton, dan limbah sapi pada kondisi eksisting berkurang dari 5.122,72 ton menjadi 4.660,76 ton, limbah padat pada kondisi eksisting berkurang dari 3.222,94 ton menjadi 2.932,30 ton, limbah tinja penduduk pada kondisi eksisting berkurang dari 8,17 ton menjadi 7,74 ton. 5.6.6.2. Intervensi struktural 5.6.6.2.1. Limbah cair BCOD Berdasarkan simulasi model beban pencemaran limbah BCOD Teluk Youtefa untuk setiap skenario bahwa terjadi perbedaan yang mencolok antara skenario moderat dengan skenario optimis yang digunakan mulai simulasi sampai tahun 2036. Skenario optimis dan skenario moderat memberikan tingkat pencemaran yang rendah dibandingkan dengan skenario pesimis. Skenario optimis berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (gambar 82 dan lampiran 20).
21 12 12 21 3 3 3 3 213 213 1,500 2 4 4 4 4 4 4 4 4 3 1 4 4 1,000 4 4 4 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036 2,000
1 2 3 4
LBH_CAIR_EXI INTSTRUKSP5_1 INTERSTRUKSM10_1 INSTRCAIR50
TAHUN
Gambar 82 Prediksi jumlah beban limbah BCOD di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036 Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario adalah sebagai berikut:
176
1. Skenario pesimis (SP) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah cair BCOD di Teluk Youtefa adalah 1.367,34 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.057,23 ton, tahun 2024 adalah 2.2140,60 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.192,25 ton. Peningkatan total beban pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. 2. Skenario moderat (SM) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah cair BCOD di Teluk Youtefa adalah 1.172,01 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.861,90 ton, tahun 2024 adalah 1.945,27 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.996,92 ton. Peningkatan total beban pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan skenario optimis. 3. Skenario optimis (SO) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah cair BCOD di Teluk Youtefa adalah 651,12 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.341,01 ton, tahun 2024 adalah 1.424,38 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.476,03 ton. Pengurangan total beban pencemar limbah cair BCOD di Teluk Youtefa skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan pesimis. 5.6.6.2.2. Limbah padat Berdasarkan simulasi model beban pencemaran limbah padat untuk setiap skenario bahwa terjadi perbedaan yang mencolok antara skenario moderat dan skenario optimis yang digunakan mulai simulasi sampai tahun 2036. Skenario optimis memberikan tingkat pencemaran yang rendah dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (gambar 83 dan lampiran 21).
177
2 12 12 12 12 2 1 3 3 3 3 1 3 3 2,500 2 3 1 3 2,000 1 2 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 1,500 4 4 1,000 4 4 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036 3,000
1 2 3 4
LBH_PADAT_EX INTERSTRUKSP5 INTERSTRUKSM10 INTERSTRUKSO60
TAHUN
Gambar 83 Prediksi jumlah beban limbah padat di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036 Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1. Skenario pesimis (SP) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah padat adalah 2.071,72 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 3.117,01 ton, tahun 2024 adalah 3.243,34 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 3.321 ton (gambar 83/lampiran 21). Peningkatan total beban pencemar limbah sampah skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. 2. Skenario moderat (SM) Pada tahun 2006 tot98al beban pencemaran limbah padat di Teluk Youtefa adalah 1.652,75 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.698,04 ton, tahun 2024 adalah 2.824,37 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.902,62 ton (gambar 83/lampiran 21). Peningkatan total beban pencemar limbah padat skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan skenario optimis. 3. Skenario optimis (SO) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah padat adalah 789,23 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.834,52 ton, tahun 2024 adalah 1.960,85 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 2.039,10 ton (gambar 83/lampiran 21). Pengurangan
178
total beban pencemar limbah padat skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. 5.6.6.2.3. Limbah ternak babi Berdasarkan simulasi model beban pencemaran limbah babi untuk setiap skenario bahwa terjadi perbedaan yang mencolok antara skenario moderat dan skenario optimis yang digunakan mulai simulasi sampai tahun 2036. Skenario optimis memberikan tingkat pencemaran yang rendah dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. Skenario optimis memiliki proyeksi tingkat pencemaran yang rendah dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (gambar 84/lampiran 22). 2 12 12 12 1 2 1 3 3 3 1 33 3 2 800 1 3 4 2 3 4 4 4 4 4 4 4 600 1 3 3 4 4 400 4 4 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
1,000
1 2 3 4
LBH _BABI_EX_2 INTER SRU K_SP5 INTSTR UKSM15_1 INSTR UKSO_50
TAHUN
Gambar 84 Prediksi jumlah beban limbah babi di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036 Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1. Skenario pesimis (SP) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah babi adalah 678,65 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 1.021,24 ton, tahun 2024 adalah 1.062,62 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 1.088,29 ton. Pengurangan total beban pencemar limbah babi skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling rendah jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. 2. Skenario moderat (SM) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah babi di Teluk Youtefa adalah 549,65 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 892,24 ton, tahun 2024 adalah 931.11 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 959,29 ton. Pengurangan total
179
beban pencemar limbah babi skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling rendah jika dibandingkan dengan skenario optimis. 3. Skenario optimis (SO) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah babi adalah 323,32 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 665,91 ton, tahun 2024 adalah 707,31 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 731,96 ton. Pengurangan total beban pencemar limbah babi skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. Untuk mengurangi limbah dari ternak babi dapat dilakukan mulai dari sumbernya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Swanson RL, et al. (2010) bahwa untuk pengelolaan limbah dapat dilakukan mulai titik peralihan (seperti sungai) dan pemerintah harus secara agresif mengurangi atau membatasi bahan pencemar dari ternak. Lebih lanjut disebutkan bahwa pemerintah akan mengalami kegagalan membatasi bahan pencemar apabila tidak dilakukan pengurangan mulai dari titiktitik peralihan. Pemerintah mempunyai tanggung jawab melakukan pengelolaan secara berkesinambungan, harus mampu melakukan tindakan secara spontan, dan Secara sosial tidak diperlukan perdebatan, pertengkaran untuk melakukan pengelolaan. 5.6.6.2.4. Limbah ternak sapi Berdasarkan simulasi model beban pencemaran limbah sapi untuk setiap skenario bahwa terjadi perbedaan yang mencolok antara skenario moderat dan skenario optimis yang digunakan mulai simulasi sampai tahun 2036. Skenario optimis memberikan pengurangan tingkat pencemaran yang tinggi dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. Skenario optimis memiliki proyeksi penurunan tingkat pencemaran yang tinggi dan berada dibawah tingkat pencemaran kondisi eksisting (gambar 85/lampiran 23). 5,000 4,000 3,000 1
23
2,000 4
1
4
23 4
1
2
3
12
3
123 12 1
4
4 4 4 4 4 4 44
2 3
4 2,006 2,012 2,018 2,024 2,030 2,036
4
LBH_SAPI_EX_2 INSTRSP5 INSTRSM10 INSTRKSO60
TAHUN
Gambar 85 Prediksi jumlah beban limbah sapi di Teluk Youtefa hasil simulasi skenario sampai tahun 2036
180
Gambaran umum proyeksi beban pencemaran masing-masing skenario adalah sebagai berikut: 1. Skenario pesimis (SP) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah sapi adalah 3.292,91 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 4.954,36 ton, tahun 2024 adalah 5.155,14 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 5.279,53 ton. Pengurangan total beban pencemar limbah sapi skenario pesimis berdasarkan skenario model adalah yang paling sedikit jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. 2. Skenario moderat (SM) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah sapi adalah 2.822,49 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 4.483,94 ton, tahun 2024 adalah 4.684,72 ton. Total sumber pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 4.809,11 ton. Pengurangan total beban pencemar limbah sapi skenario moderat berdasarkan skenario model adalah yang paling sedikit jika dibandingkan dengan skenario optimis. 3. Skenario optimis (SO) Pada tahun 2006 total beban pencemaran limbah sapi adalah 1.254,44 ton, dan mengalami peningkatan pada tahun 2018 adalah 2.915,89 ton, tahun 2024 adalah 3.116,87 ton. Total beban pencemaran terus mengalami peningkatan hingga akhir simulasi tahun 2036 yaitu 3.241,06 ton. Pengurangan total beban pencemar limbah sapi skenario optimis berdasarkan skenario model adalah tinggi jika dibandingkan dengan kedua skenario lainnya. Jika dibandingkan antara intervensi fungsional terhadap pertumbuhan penduduk dan intervensi struktural terhadap beban pencemaran memberikan hasil yang sangat berbeda terhadap pengurangan beban pencemaran dari kondisi eksisting ke skenario optimis yaitu 1. Limbah cair BCOD dengan melakukan intervensi fungsional hingga ahir simulasi berkurang dari 2.127,14 ton menjadi 1.935,32 ton, sedangkan intervensi struktural berkurang dari 2.127 ton menjadi 1.476,03 ton.
181
2.
Limbah babi dengan melakukan intervensi fungsional hingga ahir simulasi berkurang dari 1.056,29 ton menjadi 961,03 ton, sedangkan intervensi struktural berkurang dari 1.056,29 ton menjadi 732,96 ton.
3. Limbah sapi dengan melakukan intervensi fungsional hingga ahir simulasi berkurang dari 5.122,72 ton menjadi 4.660,76 ton, sedangkan intervensi struktural berkurang dari 5.122,72 ton menjadi 3.241,06 ton. 4. Limbah padat dengan melakukan intervensi fungsional hingga ahir simulasi berkurang dari 3.222,94 ton menjadi 2.932,30 ton, sedangkan intervensi struktural berkurang dari 3.222,94 ton menjadi 2.039,10 ton. 5.7. Analisis kebijakan alternatif pengelolaan Teluk Youtefa Berdasarkan hasil analisis kondisi eksisting terhadap parameter fisikkimia perairan Teluk Youtefa menunjukkan bahwa beberapa parameter seperti TSS, NO3 telah melampaui ambang batas KMA untuk biota air laut. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa pencemaran bahan organik dari limbah domestik menjadi sumber pencemar utama yang perlu mendapat prioritas penanganan dalam upaya pengelolaan Teluk Youtefa. Hasil analisis status kualitas perairan juga menunjukkan bahwa perairan Teluk Youtefa berada dalam kondisi tercemar sedang sampai tercemar berat, maka memerlukan upaya penurunan total sumber pencemar dan total beban pencemara. Oleh sebab itu untuk mengurangi total sumber pencemaran dan beban pencemaran serta pemulihan perairan Teluk Youtefa perlu dirumuskan beberapa strategi kebijakan dalam upaya pengelolaan Teluk Youtefa. Ada beberapa strategi kebijakan pengelolaan Teluk Youtefa, namun yang penting adalah mengurangi atau mereduksi total sumber pencemar dari sumbernya, cara pengumpulan, maupun pembersihan limbah domestik. Strategi kebijakan pengelolaan Teluk Youtefa disesuaikan dengan hasil skenario berdasarkan expert judgment dan disesuaikan dengan hasil simulasi model yang ada. Oleh sebab itu kebijakan yang diambil adalah diprioritaskan skenario optimis, karena skenario tersebut dapat menggambarkan keberlanjutan perairan Teluk Youtefa pada masa yang akan datang. Adapun strategi kebijakan pengelolaan Teluk Youtefa berdasarkan prioritas pada masing-masing faktor pengungkit (leverage factor) sebagai berikut. 1. Kebijakan penyebaran penduduk
182
Distribusi penduduk antar wilayah kecamatan seyogyanya diatur dalam Perda RTRW Kota Jayapura. Untuk mewujudkan optimalisasi rencana pemanfaatan ruang sesuai daya dukung lingkungan, maka model strategi penyebaran penduduk di Kota Jayapura sampai tahun 2036 syogyanya dibatasi. Asumsi pertumbuhan penduduk 4,1 % pada skenario pesimis diprediksi pada tahun 2036 berjumlah 107.431 jiwa atau sekitar 3.545 jiwa pertahun. 2. Kebijakan pengendalian laju pertumbuhan penduduk Kebijakan pengendalian laju pertumbuhan penduduk bisa dilaksanakan seperti metode di RRC dengan cara paksa bahwa satu anak cukup dan wajib sterilisasi, tetapi di Indonesia kebijakan keluarga berencana masih bersifat persuasif. Melakukan pemberian layanan keluarga berencana dan jaminan persalinan secara gratis untuk 2 anak, menunda masa perkawinan, program yustisi kependudukan dan mengaktifkan kembali program transmigrasi. Kebijakan lain adalah dukungan program penciptaan lapangan kerja baru di daerah pedesaan dan antar pemerintah di daerah. Kemudian diperlukan program terpadu sehingga pertumbuhan ekonomi antar wilayah tidak timpang sehingga distribusi migrasi penduduk lebih proporsional, program tersebut dilakukan pada 30 tahun kedepan. Mendukung kebijakan nasional untuk menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Kebijakan ini layak atau dapat dilaksanakan karena secara teoritis dan historis, terbukti Indonesia telah berhasil menurunkan laju pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,5% pertahun pada periode 1930 – 1961; kemudian 2,1% per tahun periode 1961 – 1971 dan 2,3% per tahun periode 1971 – 1980, serta 1,3% periode 1980 sampai sekarang. (Soerjani et al 2008). Menurut Menteri kordinator kesehatan keseharan rakyat dengan adanya revitalisasi program keluarga nasional, angka itu diharapkan bisa ditekan menjadi 1,1% per tahun. Program keluarga berencana pada era pemerintahan Presiden Soeharto mengalami kesuksesan dan diakui dunia Internasional. Hal tersebut dibuktikan, program keluarga berencana Indonesia mendapat penghargaan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kemudian Indonesia sebagai tempat belajar delegasi Internasional dalam pengelolaan program keluarga berencana, seperti delegasi dari Vietnam, Kamboja, Yaman, Kenya dan Etiopia. Tahun 1988 hingga 2008 sedikitnya
183
5000 peserta dari negara asing pernah belajar pengelolaan program keluarga berencana di Indonesia. 3. Kebijakan minimasi limbah Kebijakan minimasi limbah dapat dilakukan dengan cara implementasi peraturan mengenai pencemaran. Pengurangan total sumber pencemar dan total beban pencemaran dari sumbernya dapat dilakukan melalui penerapan peraturan pencemaran air oleh para stakeholders. Upaya yang bisa dilakukan adalah reduksi beban pencemaran melalui penetapan daya tampung beban pencemaran, membuat peraturan daerah agar penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dapat ditegakkan dengan konsisten; mewajibkan penegakan hukum terhadap usaha-usaha yang terbukti nyata menimbulkan pencemaran terhadap Teluk Youtefa; mewajibkan usaha yang membuang air limbah ke Teluk Youtefa untuk memiliki kelayakan lingkungan; dan rencana tata ruang wilayah kota untuk bangunan disesuaikan dengan kesesuaian lahan. Kemudian adanya komitmen yang tegas dari pemerintah daerah. Berdasarkan hasil analisis bahwa status kualitas air perairan Teluk Youtefa kategori tercemar sedang dan berat, artinya bahwa membutuhkan perhatian dari pemerintah daerah untuk melaksanakan upaya pengendalian pencemaran perairan Teluk Youtefa secara baik, dan konsisten. Dukungan pemerintah daerah dapat berupa: memperketat sistem perijinan pembuangan limbah; penegakan hukum yang dapat dilakukan melalui sistem pengawasan pembuangan limbah cair domestik ke badan air/saluran dengan cara memasang meteran air untuk menghindari pembuangan air limbah yang berlebihan serta memberi sanksi secara tegas kepada pengusaha yang mencemari perairan. Pengetatan baku mutu limbah cair untuk kegiatan komersial. Dalam hal ini dukungan pemerintah daerah dapat berupa bantuan teknologi pengolahan limbah, pengadaan sarana dan prasarana kerja operasional dalam sistem informasi pengendalian pencemaran air, fasilitas pengolahan limbah cair, instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal, MCK umum, dan fasilitas sanitasi lainnya. Kemudian melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala perubahan mutu air Teluk Youtefa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menetapkan kualitas parameter fisik, kimia dan biologi pencemar air melalui
184
monitoring terhadap konsentrasi pencemar. Selanjutnya melakukan program kerja pengendalian pencemaran air jangka pendek, menegah, dan jangka panjang. Kebijakan lain adalah sistem dan kapasitas kelembagaan, diperlukan koordinasi yang efektif agar setiap sektor dalam menyusun program yang dibuat tidak bersifat parsial dan sektoral, sehingga menghindari terjadi tumpang tindih bahkan yang saling tidak mendukung (dalam pemberian ijin antara perindusrian pemberi ijin dan badan lingkungan hidup daerah pemberi ijin pembuangan limbah cair). Strategi kebijakan terkait sistem dan kapasitas kelembagaan adalah meningkatkan keterpaduan pengelolaan melalui peningkatan koordinasi antar sektor yang terkait yaitu: memperbaiki kualitas kinerja badan lingkungan hidup Kota Jayapura dan instansi terkait dalam kegiatan pemantauan kualitas limbah industri/domestik dan sumber air. Pembentukan forum koordinasi yang melibatkan seluruh dinas terkait kegiatan pengelolaan perairan Teluk Youtefa untuk menyusun kerangka
keberlanjutan kelembagaan meliputi visi, misi, tujuan, sasaran, serta
strategi pengelolaan, termasuk didalamnya program implementasi kebijakan dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang; Pemberdayaan masyarakat melalui kerjasama dengan lembaga adat, ondoapi, perguruan tinggi, dan dunia usaha; Pengembangan sistem monitoring dan evaluasi penncemaran air yang diintegrasikan dengan sistem informasi lingkungan Teluk Youtefa dari aspek biofisik dan sosial ekonomi masyarakat untuk acuan dalam pengambilan keputusan pengelolaan Teluk Youtefa. Kebijakan lain agar dimensi pembangunan berkelanjutan Teluk Youtefa dapat terlaksana diperlukan perhatian pada dimensi ekologis, bahwa sumberdaya yang ada dikelola agar total dampaknya tidak melebihi kapasitas. Teluk Youtefa yang berfungsi juga sebagai penerima limbah dari berbagai ekosistem memerlukan peningkatan kemampuan dalam menyerap limbah dari kegiatan manusia sehingga menjadi suatu kondisi yang aman. Salah satu syarat yang dapat menjamin tercapainya keberlanjutan Teluk Youtefa adalah keharmonisan spasial, kapasitas asimilasi, dan pemanfaatan berkelanjutan. Kemudian dimensi sosial ekonomi, menyajikan informasi tentang daya dukung Teluk Youtefa bahwa pembangunan harus dikelola sehingga total permintaan (demand) terhadap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak
185
melampaui kemampuan suplai. Oleh karena itu, selain mengendalian jumlah penduduk, kebijakan yang mendesak dilakukan adalah mengurangi kesenjangan kesejahteraan masyarakat, artinya bahwa secara sosial
ekonomi konsep
pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan suatu wilayah diprioritaskan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain dimensi ekologi dan sosial ekonomi, diperlukan dimensi sosial politik, hukum dan kelembagaan. Pada umumnya pihak yang menderita akibat kerusakan bukanlah pembuat kerusakan melainkan pihak lain atau masyarakat miskin dan lemah dan dampak dari suatu kerusakan atau pencemaran biasanya muncul setelah beberapa waktu. Oleh karena itu, kondisi politik yang demokratis dan transparan mutlak diperlukan. Pada akhirnya pelaksanaan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan pengendalian diri setiap warga Kota Jayapura untuk tidak merusak Teluk Youtefa. Persyaratan yang bersifat personal ini dapat dipenuhi melalui penerapan sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan konsisten, serta diikuti dengan penanaman etika pembangunan berkelanjutan pada setiap warga masyarakat.