V. 5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Alternatif Komoditas Unggulan Daerah Penentuan atau identifikasi alternatif komoditas unggulan Kabupaten
Sumbawa menjadi sangat penting, karena komoditas unggulan diharapkan menjadi komoditas penggerak utama (prime mover) perekonomian di Kabupaten Sumbawa. Widodo (2006) menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi akan lebih optimal apabila didasarkan pada keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage). Pengertian unggul di sini didasarkan dalam bentuk perbandingan dengan wilayah yang lebih tinggi. Keunggulan komparatif suatu komoditas adalah jika produktivitas yang dimiliki suatu komoditas lebih unggul secara relatif terhadap komoditas sejenis di wilayah yang lebih tinggi. Sedangkan keunggulan kompetitif merupakan kemampuan suatu komoditas menembus pasar yang diapresiasi dengan penerimaan yang lebih tinggi. Adanya spesialisasi komoditas sesuai dengan keunggulan yang dimiliki, memungkinkan pemusatan pengusahaan di daerah yang akan mempercepat pertumbuhan daerah (Aswandi dan Kuncoro 2002). Lebih lanjut dikatakan bahwa ekonomi spesialisasi telah memungkinkan terbentuknya jaringan perdagangan antarindividu dan antarnegara yang lebih luas, mendorong proses pertukaran sesuai kebutuhan masing-masing. Analisis Location Quotient (LQ) produksi (Tabel 7) menunjukkan bahwa komoditas kacang hijau, sawo, mangga, jagung, dan pepaya memiliki nilai LQ lebih dari satu (LQ>1). Nilai LQ lebih dari satu mengindikasikan bahwa komoditas-komoditas tersebut terkonsentrasi secara relatif pengusahaannya di Kabupaten
Sumbawa.
Semakin
besar
nilai
LQ
menunjukkan
semakin
terkonsentrasinya pengusahaan suatu komoditas di Kabupaten Sumbawa. Derajat konsentrasi (basis) inilah yang mengindikasikan bahwa suatu komoditas berpotensi untuk menjadi komoditas unggulan. Untuk komoditas padi dengan nilai LQ sama dengan satu, mengindikasikan bahwa pengusahaan komoditas padi secara relatif sama dengan rata-rata Nusa Tenggara Barat atau dapat dikatakan menyebar secara merata. Sedangkan ubi kayu, kedelai, kacang tanah, cabe rawit, ubi jalar, bawang merah, dan pisang menjadi komoditas nonbasis dengan LQ kurang dari satu. Nilai LQ kurang dari satu mengindikasikan bahwa pengusahaan komoditas tersebut tidak terkonsentrasi di Kabupaten Sumbawa.
38 Tabel 7
Nilai LQ produksi tanaman pangan di Kabupaten Sumbawa tahun 2004-2007
No.
Komoditas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kacang Hijau Sawo Mangga Jagung Pepaya Padi Ubi Kayu Kedelai Kacang Tanah Cabe Rawit Ubi Jalar Bawang Merah Pisang Total
Produksi (ton) Sumbawa NTB 30.262 39.274 1.894 3.878 21.310 71.615 28.818 98.077 2.574 10.042 269.034 1.478.700 12.715 89.147 10.846 93.809 4.144 42.374 2.424 35.302 1.210 18.100 4.556 83.617 722 53.375 390.509 2.117.010
LQ 4,18 2,65 1,61 1,59 1,39 0,99 0,77 0,63 0,53 0,37 0,36 0,30 0,07
Sumber: Dinas Pertanian NTB dan Kab. Sumbawa (diolah) Nilai LQ produksi yang tinggi bukan semata-mata mencerminkan bahwa produksi komoditas tersebut tinggi, tetapi merupakan cerminan nilai relatif terhadap share komoditas dalam daerah acuan provinsi (Hendayana 2003). Seperti sawo dan pepaya dengan produksi yang lebih kecil dari ubi kayu dan kedelai memiliki nilai LQ kurang dari satu. Demikian juga dengan nilai LQ yang rendah, belum tentu komoditas tersebut tidak banyak diusahakan di Kabupaten Sumbawa. Seperti padi dengan produksi tertinggi di Kabupaten Sumbawa yaitu 269.034 ton memiliki nilai LQ sama dengan satu, begitu juga dengan ubi kayu dan kedelai dengan produksi tinggi tetapi nilai LQ kurang dari satu. Data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Sumbawa menunjukkan bahwa pada tahun 2005 komoditas dengan nilai LQ kurang dari satu banyak dipasarkan ke luar daerah seperti kacang tanah sebanyak 1.675 ton, kedelai sebanyak 4.967 ton, dan gabah sebanyak 15.767 ton. Keunggulan komoditas yang ditentukan dengan metode LQ produksi merupakan keunggulan basis yang bersifat relatif. Artinya bahwa suatu komoditas akan menjadi unggul bila produksi yang dimiliki suatu wilayah berperan besar dalam menentukan besarnya total produksi pada daerah acuan yang lebih tinggi. Dan nilai LQ produksi hanya mencerminkan keunggulan dari
39 sisi keberlimpahan potensi yang ada untuk memenuhi kebutuhan terhadap komoditas tersebut secara relatif. Sedangkan sisi permintaan dalam bentuk apresiasi konsumen terhadap produk tersebut belum terlihat. Produk yang dihasilkan bisa saja tidak mempunyai daya saing di pasaran (keunggulan kompetitif) yang disebabkan oleh karakteristik komoditas tersebut, seperti mudah rusak atau preferensi konsumen di wilayah lain rendah sehingga komoditas tersebut hanya mampu dipasarkan di wilayah sendiri. Sebagai upaya mengatasi kelemahan yang dimiliki oleh metode LQ, maka dalam penelitian ini komoditas unggulan Kabupaten Sumbawa ditentukan dengan
memperhatikan
aspek
sumberdaya
lahan
untuk
berproduksi
(produktivitas) dikaitkan dengan nilai ekonomi yang diapresiasi konsumen terhadap komoditas tersebut (harga). Karena pengusahaan komoditas maupun usaha tani pada umumnya haruslah berorientasi pasar. Kedua aspek tersebut dapat dianalisis secara simultan dengan metode tipologi Klassen. Indikator utama yang digunakan dalam Klassen pada penelitian ini adalah tingkat produktivitas suatu komoditas pangan dan nilai ekonomi komoditas tersebut di pasar Kabupaten Sumbawa maupun di Nusa Tenggara Barat. Data rata-rata produktivitas dan nilai ekonomi komoditas pangan di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi Nusa Tenggara Barat disajikan dalam Tabel 8. Tabel 8
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Rata-rata produktivitas dan nilai ekonomi komoditas tanaman pangan di Kabupaten Sumbawa dan Provinsi NTB tahun 2004-2007
Komoditas Padi Jagung Kedelai Kacang Hijau Kacang Tanah Ubi Kayu Ubi Jalar Bawang Merah Cabe Rawit Mangga Pepaya Pisang Sawo
Produktivitas (ton/ha) Sumbawa 4,53 2,53 1,24 0,84 1,22 11,59 11,39 9,56 8,00 7,37 31,79 4,96 6,59
NTB 4,55 2,49 1,19 0,83 1,25 11,61 11,36 8,62 4,97 11,59 74,51 55,24 11,88
Nilai Ekonomi (Rp Juta/ton) Sumbawa NTB 1,64 1,94 1,72 1,48 4,24 3,35 5,63 5,34 8,82 7,50 1,60 0,86 1,64 0,95 5,17 5,93 12,99 7,59 3,56 3,08 2,82 2,32 4,07 2,24 5,38 3,23
Sumber: Dinas Pertanian NTB dan Kab. Sumbawa (diolah)
40 Berbagai komoditas tersebut selanjutnya dianalisis ke dalam matriks yang terbagi menjadi empat kuadran. Kuadran I diisi dengan komoditas-komoditas yang memiliki tingkat produktivitas dan nilai ekonomi di Kabupaten Sumbawa lebih besar atau sama dengan rata-rata Nusa Tenggara Barat. Kuadran II merupakan komoditas dengan tingkat produktivitas lebih tinggi atau sama dengan rata-rata Nusa Tenggara Barat namun nilai ekonominya lebih rendah. Kuadran III merupakan komoditas-komoditas yang memiliki tingkat produktivitas lebih rendah tetapi nilai ekonominya lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata Nusa Tenggara Barat. Sedangkan kuadran IV merupakan komoditas dengan tingkat produktivitas dan nilai ekonomi yang lebih rendah dari rata-rata di Nusa Tenggara
Barat.
Tabel
9
menyajikan
posisi
masing-masing
komoditas
berdasarkan tipologi Klassen. Tabel 9
Posisi masing-masing komoditas tanaman pangan di Kabupaten Sumbawa berdasarkan tipologi Klassen Nilai Ekonomi
Psbw ≥ Pntb
Psbw < Pntb
Produktivitas
Wsbw ≥ W ntb
Jagung Kedelai Kacang Hijau Ubi Jalar Cabe Rawit
Bawang Merah
Wsbw < W ntb
Kacang Tanah Ubi Kayu Mangga Pepaya Pisang Sawo
Padi
keterangan: Psbw
= nilai ekonomi komoditas i di Kabupaten Sumbawa
Pntb
= nilai ekonomi komoditas i di daerah acuan NTB
Wsbw
= produktivitas komoditas i di Kabupaten Sumbawa
Wntb
= produktivitas komoditas i di daerah acuan NTB
Dari analisis tersebut dapat ditentukan beberapa alternatif komoditas unggulan Kabupaten Sumbawa yaitu komoditas-komoditas dengan produktivitas dan nilai ekonomi komoditas tersebut di Kabupaten Sumbawa lebih besar atau sama dengan daerah acuan Nusa Tenggara Barat. Komoditas-komoditas
41 tersebut ditunjukkan dalam kuadran I, terdiri dari jagung, kedelai, kacang hijau, ubi jalar, dan cabe rawit. Artinya bahwa pengusahaanya selama rentang waktu 2004-2007,
mampu
memberikan
kontribusi
yang
pesat
terhadap
total
penerimaan dengan tingkat efisiensi usaha yang tinggi dan pertumbuhan yang cepat. Hal ini memungkinkan komoditas tersebut menjadi penggerak dalam usaha tani di Kabupaten Sumbawa. Pertumbuhan yang cepat pada komoditas unggulan tersebut menghasilkan efek pengganda (multiplier effects) yang tinggi karena pertumbuhan pada komoditas tersebut mendorong pertumbuhan yang pesat pada sektor-sektor perekonomian lainnya, misalnya di sektor pengolahan (agro-processing) dan jasa pertanian (agro-services) (Daryanto 2009). Walaupun efek pengganda tersebut dinikmati oleh wilayah lain di luar Kabupaten Sumbawa, tetapi pergerakan pemasaran menjadi semakin luas. Komoditas bawang merah yang masuk ke dalam kuadran II dengan indikator mempunyai produktivitas lebih tinggi akan tetapi nilai ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata
Provinsi
Nusa Tenggara Barat,
mengindikasikan bahwa komoditas bawang merah termasuk komoditas dengan karakterisitik spesifik lokasi. Dan di pasar lokal komoditas bawang merah belum banyak diapresiasi oleh para pelaku pasar. Hal ini ditunjukkan dari hasil survey lapang yang menunjukkan bahwa bawang merah hanya diusahakan di Kecamatan Plampang dan beberapa kecamatan lain yang bersifat sporadis pada musim kering I dan II (MK I dan II) oleh petani penyewa dari luar daerah yaitu Kabupaten Dompu dan Kabupaten Bima. Pada musim hujan (MH) lahan yang ada diusahakan untuk tanaman padi oleh pemilik lahan. Data luas panen menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 2004-2007 bawang merah hanya dipanen seluas 457 Ha, jauh di bawah rata-rata provinsi seluas 9.702 Ha. Dengan demikian, harga hanya diapresiasi oleh petani penyewa dan produksi yang dihasilkan lebih banyak dibawa ke luar Kabupaten Sumbawa yaitu ke Kabupaten Dompu dan Bima. Pada kuadran III dengan indikator tingkat produktivitas yang lebih rendah tetapi nilai ekonomi lebih tinggi daripada rata-rata Nusa Tenggara Barat terdapat komoditas kacang tanah, ubi kayu, mangga, pepaya, pisang dan sawo. Komoditas-komoditas ini mempunyai peluang besar (potensial) untuk dapat dikembangkan apabila produktivitas mampu untuk ditingkatkan karena nilai ekonomi sudah tinggi. Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan peningkatan intensifikasi skala usaha tani. Survey lapang menunjukkan bahwa
42 komoditas-komoditas tersebut belum diusahakan secara penuh oleh petani. Kacang tanah dan ubi kayu baru sebatas sebagai tanaman sela pada lahanlahan marjinal atau pada petakan-petakan kecil saja. Mangga masih belum dilakukan peremajaan. Sedangkan sawo lebih banyak sebagai tanaman pekarangan. Sedangkan pada kuadran IV dengan indikator tingkat produktivitas dan nilai ekonomi di bawah rata-rata provinsi Nusa Tenggara Barat terdapat komoditas padi. Tingkat produktivitas yang dimiliki padi hampir sama dengan produktivitas rata-rata di Nusa Tenggara Barat (Tabel 9), namun dari sisi nilai ekonomi masih tertekan walaupun padi sebagai komoditas politis sudah ditentukan harga dan standar kualitas oleh pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa standar operasional produksi padi belum diterapkan secara maksimal sehingga apresiasi harga di pasaran hanya mengikuti kualitas yang ditawarkan. Biasanya petani menjual langsung sebagian besar hasil panennya masih dalam keadan basah atau kadar air tinggi. Alasan mereka karena tidak mempunyai sarana penjemuran seperti lantai jemur maupun sarana penyimpanan. Walaupun demikian, komoditas padi tetap menjadi komoditas utama untuk diusahakan pada musim hujan mengingat keterkaitan sosial budaya yang dimilikinya masih besar. Masuknya
padi
sebagai
komoditas
inferior
bukan
karena
sedikit
pengusahaannya di Kabupaten Sumbawa, tetapi lebih disebabkan karena standar operasional yang belum terpenuhi. Komoditas padi merupakan komoditas yang tetap berperan penting dalam usaha tani di Kabupaten Sumbawa. 5.2
Prioritas Komoditas untuk Dikembangkan Pengambilan kebijakan pengembangan wilayah harus mempertimbangkan
berbagai segi seperti kondisi ekonomi, sosial, maupun isu-isu politik. Dengan demikian setiap kriteria dan aktor yang berperan di dalamnya harus diperhitungkan. Terdapat berbagai alat analisis untuk menentukan formula kebijakan pengembangan. Analisis yang banyak digunakan adalah analythical hierarchy process (AHP) (Dinc et al. 2002). AHP mampu mengintegrasikan model kuantitatif dengan faktor-faktor kualitatif. Kriteria-kriteria dan alternatif yang berperan dalam menentukan prioritas komoditas unggulan diberikan skor berdasarkan tingkat kepentingan oleh
43 responden pakar (expert) yang berasal dari pemerintah daerah, DPRD, pengusaha, dan petani. Responden expert tersebut dipilih secara sengaja berdasarkan hubungan langsung mereka terhadap pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Sumbawa. Iqbal (2007) menegaskan bahwa seyogianya peran stakeholders yang terkena dampak program baik positif maupun negatif diwujudkan melalui persamaan persepsi, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas dalam menunjang kelancaran program pertanian. Kehidupan masyarakat yang semakin heterogen dan individualis menyebabkan mereka kurang respons terhadap berbagai kegiatan bersama membangun desa. Dalam kondisi seperti ini,
hanya
upaya
semipartisipatif
dan partisipatif
yang
mungkin untuk
pertimbangan
(judgments)
dilaksanakan (Jamal 2009). Responden
memberikan
dalam
membandingkan setiap kriteria yang ada. Perbandingan berpasangan (pairwise comparation) diberikan satu skala absolut dari angka 1 hingga 9 yang menunjukkan berapa kali lebih besar satu kriteria lebih penting dari kriteria lainnya. Prosedur ini diulang untuk semua elemen dalam struktur, menghasilkan ranking preferensi atas pertimbangan seluruh expert (Oddershede et al. 2007). Setiap responden diwawancarai secara terpisah pada waktu yang berbeda. Pertemuan dimulai dengan wawancara informal untuk menggali informasi secara umum tentang apa yang akan ditanyakan. Selanjutnya, responden diminta untuk memberikan pertimbangan atau penilaian secara eksplisit
pada setiap
perbandingan berpasangan. Hasil pertimbangan responden yang berasal dari unsur pemerintah daerah dan DPRD tidak dapat langsung diambil setelah wawancara. Karena agenda kerja mereka cukup padat sehingga hasil baru diketahui keesokan harinya bahkan beberapa hari kemudian. Dari pengamatan hasil setelah responden menyerahkan kuesioner ke peneliti, ada beberapa pertimbangan responden yang menunjukkan gejala inkonsistensi. Pertimbangan tersebut ditanyakan kembali dengan memperhatikan hasil wawancara informal sebelumnya tanpa merubah esensi dasar pertimbangan yang telah diberikan, sehingga objektivitas pertimbangan tetap dipertahankan. Namun sebagian besar responden merupakan expert yang mengetahui lebih banyak tentang berbagai kriteria yang diperbandingkan, sehingga tingkat inkonsistensi yang didapat bisa diperkecil.
44
Skor 0,30 0,24 0,20
0,18 0,09
Lahan
Nilai tambah
Pasar
Modal
Preferensi
Kriteria
Gambar 9
Skor masing-masing kriteria dalam penentuan prioritas komoditas unggulan daerah.
Gambar 9 menunjukkan bahwa kriteria pasar yang diindikasikan dengan tingginya peluang permintaan pasar yang ada lebih dipentingkan dari kriteria yang lainnya. Pasar memiliki skor sebesar 0,30. Kriteria kedua adalah modal yang diperlukan dalam berproduksi relatif kecil dengan skor sebesar 0,24. Lahan dengan tingkat keseuaian yang optimal mempunyai skor sebesar 0,20. Sedangkan kriteria nilai tambah dengan indikasi banyaknya peluang memberikan manfaat lainnya mempunyai skor sebesar 0,18. Untuk kriteria preferensi atau tingkat kesukaan terhadap komoditas yang diusahakan tidak terlalu diapresiasi oleh expert, skornya hanya sebesar 0,09. Pasar memainkan peranan paling penting dalam pengusahaan komoditas unggulan
daerah
Kabupaten
Sumbawa.
Hal
ini
dimungkinkan
karena
pengusahaan suatu komoditas pertanian akan berkembang dengan baik bila ditunjang oleh kelancaran pemasaran baik untuk kepentingan domestik maupun internasional. Kurangnya permintaan dari komoditas yang dikembangkan menyebabkan terjadi penumpukan hasil panen dan penyimpanan yang cukup lama yang akhirnya menurunkan kualitas dan kuantitas komoditas tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Walker et al. (Budirohman 2006) yang menyatakan bahwa inovasi baru harus memikirkan pasar terlebih dahulu sebelum memikirkan jumlah produk. Faktor modal dalam berproduksi menjadi prioritas kedua setelah pasar. Modal menjadi penting karena setiap aspek dalam usaha pertanian dewasa ini
45 sudah dihargai dengan modal. Mulai dari penyiapan bibit/benih, pemupukan, hama penyakit, pengairan, tenaga kerja, bahkan sampai jasa pascapanen. Setiap usaha pertanian yang berorientasi pasar dan bersifat rasional untuk memperoleh manfaat ekonomi sebesar-besarnya dikenal dengan agribisnis (Sudaryanto et al. 2005). Sementara itu, sebagian besar petani di Kabupaten Sumbawa tergolong sebagai petani dengan modal terbatas dan akses terhadap permodalan juga masih kurang. Hasil survey lapang menunjukkan bahwa petanipetani yang mempunyai akses ke instansi pemerintah yang menjalankan program pemberdayaan masyarakat seperti Dinas Pertanian, Dinas Sosial, Badan Ketahan Pangan dan sejenisnya mampu mengelola usaha taninya dengan baik. Prioritas ketiga adalah kesesuaian lahan yang optimal. Semakin optimal tingkat kesesuaian lahan maka akan semakin memberikan keleluasaan dalam menentukan opsi komoditas apa yang akan diusahakan. Secara rata-rata kondisi kesesuaian lahan di Kabupaten Sumbawa dibatasi oleh faktor ketersediaan air yang minim. Irigasi teknis yang masih mampu dimanfaatkan sangat terbatas di beberapa lokasi saja seperti di Kecamatan Unter Iwis, Labuhan Badas dan Sumbawa, juga di Kecamatan Lopok dan Lape. Alih fungsi lahan semakin memperparah kondisi irigasi. Hasil survey lapang menunjukkan bahwa sumbersumber mata air semakin berkurang sehingga debit air di beberapa bendungan yang sudah ada sangat terbatas. Data BPS menunjukan bahwa rata-rata curah hujan selama lima tahun pada bulan Juli sebesar 0,22 mm, Agustus sebesar 2,42 mm, sedangkan pada bulan September sebesar 0,98 mm. Nilai tambah berupa banyaknya peluang memberikan manfaat untuk sektor lain atau peluang untuk menghasilkan produk turunan juga cukup diprioritaskan setelah lahan, modal, dan pasar. Sudaryanto et al. 2005 menjelaskan bahwa pengusahaan suatu komoditas tidak terlepas dengan tiga dimensi utama, yaitu vertikal, horisontal, dan spasial. Dan nilai tambah dapat dipandang sebagai dimensi vertikal seperti industri pengolahan hasil dan pedagang (distributor) produk-produk yang dihasilkan, serta dimensi horisontal yang muncul melalui sumberdaya khususnya lahan maupun melalui pasar (konsumsi). Sedangkan dimensi spasial berkaitan dengan lokasi atau sebaran regional komoditas tersebut. Kriteria atau indikator yang paling kecil peranannya adalah preferensi atau tingkat kesukaan terhadap komoditas untuk diusahakan. Artinya bahwa
46 preferensi bersifat relatif dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti kestabilan harga, introduksi teknologi, maupun kebijakan pemerintah. Dari in depth interview dengan petani terlihat juga bahwa budaya dan keamanan dari hewan pengganggu berpengaruh dalam menentukan preferensi terhadap komoditas yang akan diusahakan. Di Kabupaten Sumbawa sampai dengan saat ini masih berlangsung budaya melepas ternaknya setelah musim panen. Ditambah lagi dengan hewan pengganggu liar lainnya seperti babi hutan. Kondisi-kondisi tersebut akan berpengaruh dalam pola pengusahaan komoditas.
Skor 0,33
0,23 0,19
0,16 0,09
Jagung
Kedelai
Kacang Hijau
Ubi Jalar
Cabe Rawit
Komoditas Unggulan
Gambar 10 Skor masing-masing alternatif dalam penentuan prioritas komoditas unggulan daerah. Hasil analisis AHP pada struktur alternatif (Gambar 10) menunjukkan bahwa jagung lebih diprioritaskan untuk diusahakan dengan skor 0,33. Prioritas komoditas selanjutnya berturut-turut adalah kacang hijau dengan skor 0,23, kedelai dengan skor 0,19, cabe rawit dengan skor 0,16, serta ubi jalar dengan skor 0,09. Secara lengkap hasil analisis AHP untuk menentukan prioritas komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa disajikan dalam hirarki pada Gambar 11.
47
Menentukan Prioritas Komoditas Unggulan
Tujuan
Kriteria
Lahan 0,20
Nilai Tambah 0,18
Pasar
Modal
Preferensi
0,30
0,24
0,09
Ubi Jalar 0,09
Cabe Rawit 0,16
Alternatif
Jagung 0,33
Kedelai 0,19
Kacang Hijau 0,23
Gambar 11 Hirarki skor prioritas kriteria dan alternatif penentuan komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa. Komoditas jagung menjadi prioritas utama untuk dikembangkan di Kabupaten Sumbawa, terutama disebabkan oleh tingginya peluang permintaan pasar dan tingkat kesesuaian lahan yang optimal (lihat sintesis detil dalam Lampiran 9). Begitu juga dengan peluang peningkatan nilai tambah sehingga memperbesar preferensi untuk diusahakan. Prospek pasar jagung baik ditingkat domestik maupun dunia masih terbuka lebar, mengingat sampai saat ini Indonesia hanya mampu sekitar sembilan puluh persen memenuhi kebutuhannya dari produksi sendiri (Deptan 2007). Berdasarkan data tahun 2004-2007, trend rata-rata luas panen jagung di Kabupaten Sumbawa terus mengalami kenaikan, berturut-turut seluas 9.110 ha di tahun 2004, 12.240 ha tahun 2005, 13.075 ha tahun 2006, dan 11.004 ha pada tahun 2007. Kondisi tersebut didukung oleh kebijakan pemerintah pusat yang berupaya untuk swasembada jagung dengan melaksanakan berbagai program kegiatan di daerah seperti perluasan areal tanam dan sekolah lapang penerapan teknologi tepatguna (SLPTT). Sedangkan dilihat dari sisi peluang nilai tambah, saat ini jumlah penggunaan jagung untuk industri pakan lebih dari lima puluh persen, dan sisanya untuk industri pangan, konsumsi langsung, dan penggunaan lainnya (Deptan 2007).
48 Prioritas kedua adalah kacang hijau. Hal ini dapat dilihat dari peluang pasar yang stabil, tidak terlalu bergejolak di setiap musim. Berdasarkan data harga pasar tahun 2004-2007, rata-rata harga kacang hijau terus menunjukkan kenaikan dari Rp 4.875/kg di tahun 2004 sampai dengan Rp 7.120/kg tahun 2007. Kestabilan harga ini memacu peningkatan preferensi petani untuk mengusahakan komoditas kacang hijau. Komoditas kedelai menjadi prioritas ketiga setelah jagung dan kacang hijau. Prioritas ini lebih besar disebabkan karena peluang peningkatan nilai tambah. Namun dari segi kestabilan pasar yang diapresiasi dengan harga, terlihat bahwa selama tahun 2004-2007, harga kedelai mengalami fluktuasi dengan trend linear tetap pada kisaran harga Rp 4.300/kg. Secara nasional, pengembangan kedelai terus digalakkan karena persentase pemenuhan kebutuhan dalam negeri baru sekitar tiga puluh lima persen dan sisanya diimpor (Deptan 2007). Prioritas keempat adalah cabe rawit. Pengusahaan cabe rawit berdasarkan analisis AHP menunjukkan kriteria apresiasi pasar yang rendah, dan data harga selama tahun 2004-2007 menunjukkan fluktuasi yang sangat besar. Data harga pada tahun 2004 adalah Rp 18.500/kg, tahun 2005 Rp 9.167/kg, tahun 2006 15.050/kg, dan tahun 2007 turun menjadi 9.230/kg. Sementara modal produksi yang diperlukan juga cukup besar. Sedangkan komoditas ubi jalar menjadi prioritas terakhir karena dari segi lahan ubi jalar biasanya ditanam pada lahanlahan kritis, apresiasi pasar rendah, dan diperlukan modal besar dalam pengusahaannya, sehingga preferensi petani untuk mengusahakannya kecil. 5.3
Wilayah Pengembangan Komoditas Pengembangan komoditas terkait erat dengan kemampuan suatu wilayah
dalam berproduksi baik dilihat dari keberlimpahan sumberdaya (luas panen dan produksi) maupun dari karakteristik biogeofisik lahan yang dimiliki, serta orientasi pasar sebagai daya tarik dalam berproduksi. Terkait dengan pemasaran produk yang dihasilkan, maka kemampuan menawarkan produk (supply side) harus mampu mengimbangi besarnya permintaan (demand side) pada komoditas tersebut.
49 Wilayah Pengembangan Jagung Kabupaten Sumbawa dengan suhu rata-rata tahunan 26-27oC dan curah hujan rata-rata dapat mencapai 1.212 mm/tahun sesuai untuk pengembangan jagung. Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyebutkan suhu >26-30oC kelas kesesuaian lahannya adalah S2 (sesuai) yang ditunjang dengan curah hujan 900-1.200 mm/tahun. Kesesuaian lahan ini memacu peningkatan produksi hampir di setiap wilayah kecamatan (Gambar 12).
Gambar 12 Sebaran produksi jagung di Kabupaten Sumbawa tahun 2008. Produksi jagung di Kabupaten Sumbawa tahun 2008 telah mencapai 58.396 ton. Wilayah yang berperan penting dalam produksi jagung adalah Kecamatan Labangka mencapai 28.244 ton dengan luas panen 7.549 ha. Diikuti oleh Kecamatan Lunyuk sebesar 6.226 ton dengan luas panen 1.761 ha, Plampang sebesar 4.867 ton dengan luas panen 1.353 ha, dan Utan sebesar 4.702 ton dengan luas panen 1.333 ha. Sedangkan kecamatan-kecamatan lainnya memiliki luas panen di bawah 1.000 ha (lampiran 10). Luas panen di atas 1.000 ha diharapkan akan mampu menyerap tenaga kerja yang lebih banyak sehingga keunggulan sosial dapat lebih dirasakan manfaatnya oleh lebih banyak petani. Disamping itu efisiensi ekonomi maupun pengawasan dari segi pengendalian hama dapat lebih efektif. Untuk itu,
50 kecamatan-kecamatan yang dapat dijadikan sentra pengembangan jagung di Kabupaten Sumbawa adalah Labangka, Plampang, Lunyuk, dan Utan. Wilayah Pengembangan Kacang Hijau Kelas kesesuaian lahan untuk pengembangan kacang hijau di Kabupaten Sumbawa berdasarkan suhu rata-rata tahunan 26-27oC adalah S1 (sangat sesuai). Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyebutkan bahwa suhu ratarata tahunan 25-27oC, bulan kering 4-8 bulan, dan curah hujan 600-1.500 mm/tahun termasuk ke dalam kelas kesesuaian lahan S1 untuk komoditas kacang hijau. Kesesuaian lahan ini diprediksi menjadi pemacu peningkatan jumlah produksi kacang hijau terutama di wilayah-wilayah kecamatan bagian timur dengan suhu yang lebih tinggi dari wilayah bagian barat. Sebaran produksi kacang hijau di Kabupaten Sumbawa tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 13 Sebaran produksi kacang hijau di Kabupaten Sumbawa tahun 2008. Pengusahaan kacang hijau saat ini menyebar di semua kecamatan dengan luas areal panen bervariasi. Produksi kacang hijau tahun 2008 di Kabupaten Sumbawa mencapai 26.169 ton. Wilayah dengan produksi tinggi adalah Kecamatan Moyo Hilir sebesar 4.815 ton dengan luas panen 5.048 ha, Empang sebesar 3.601 ton dengan luas panen 3.864 ha, Lopok sebesar 3.648 ton
51 dengan luas panen 3.871 ha, dan Plampang sebesar 3.075 ton dengan luas panen 3.236 ha. Sedangkan Kecamatan lainnya memiliki luas panen masingmasing di bawah 2.000 ha. Luas panen di atas 2.000 ha diharapkan mampu mencapai skala pengusahaan optimal karena produktivitas yang hanya sebesar 0,94 ton/ha. Dengan demikian, empat kecamatan tersebut dapat dijadikan wilayah sentra produksi yaitu Kecamatan Moyo Hilir, Empang, Lopok, dan Plampang. Wilayah Pengembangan Kedelai Dilihat dari segi kesesuaian lahan untuk kedelai, iklim di Kabupaten Sumbawa dengan suhu rata-rata tahunan 26-27oC termasuk S2 (sesuai) dan curah hujan 1.212 mm/tahun termasuk S1 (sangat sesuai). Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) menyebutkan karakteristik suhu >25-28oC termasuk kelas kesesuaian lahan S2 dan curah hujan 1.000-1.500 mm/tahun termasuk S1. Pada tahun 2008, produksi kedelai di Kabupaten Sumbawa hanya sebesar 7.893 ton dengan luas areal panen 6.692 ha dan produktivitas 1,18 ton/ha. Sementara pengusahaannya menyebar di sebagian besar wilayah kecamatan dengan luas panen yang relatif kecil. Sebaran produksi kedelai tahun 2008 dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14 Sebaran produksi kedelai di Kabupaten Sumbawa tahun 2008.
52 Gambar 14 menunjukkan bahwa kedelai lebih banyak diproduksi di kecamatan-kecamatan bagian barat, bagian selatan dan ujung timur Kabupaten Sumbawa, sedangkan bagian tengah tidak begitu mengapresiasi komoditas kedelai.
Kecamatan-kecamatan
yang
berpotensi
untuk
dijadikan
sentra
pengembangan adalah kecamatan-kecamatan dengan luas areal panen saat ini lebih dari 100 ha. Hal ini mengingat tingkat produktivitas rata-rata hanya 1,18 ton/ha (Lampiran 12). Dengan areal yang lebih dari 100 ha diharapkan skala manajemen produksi maupun pengawasan terhadap hama penyakit dan kendala lain dapat lebih efektif. Kecamatan tersebut adalah Utan, Alas Barat, Alas, Lantung, Buer, Empang, Ropang, Rhee, Lenangguar, Tarano, serta Lunyuk. Wilayah Pengembangan Cabe Rawit Kondisi iklim Kabupaten Sumbawa juga mendukung untuk pengembangan cabe rawit. Cahyono (2003) menyatakan bahwa agar dapat berproduksi dengan baik, cabe rawit memerlukan suhu tahunan rata-rata 18oC-30oC dengan curah hujan berkisar 600-1.250 mm/tahun. Namun demikian cabe rawit memiliki toleransi yang tinggi terhadap suhu udara panas (daerah kering) maupun udara dingin (daerah curah hujan tinggi).
Gambar 15 Sebaran produksi cabe rawit di Kabupaten Sumbawa tahun 2008.
53 Gambar 15 menunjukkan bahwa saat ini cabe rawit lebih banyak diusahakan di Kecamatan Buer dengan luas areal panen 186 ha dan mampu berproduksi sebesar 1.258 ton, tetapi produktivitasnya masih kecil (6,76 ton/ha). Kemudian diikuti oleh Kecamatan Batu Lanteh dengan luas areal panen 30 ha dan produksi sebesar 417 ton dengan produktivitas 13,90 ton/ha. Selanjutnya Kecamatan Plampang dengan produksi 248 ton, Tarano dengan produksi 210 ton, dan Labangka dengan produksi sebesar 150 ton (lampiran 13). Peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dapat diupayakan dengan meningkatkan produktivitas dan perluasan areal panen di wilayah-wilayah tersebut. Wilayah Pengembangan Ubi Jalar Kabupaten Sumbawa dengan suhu rata-rata tahunan 26-27oC termasuk sesuai (S2) untuk pengembangan ubi jalar. Namun bulan kering selama 6 bulan termasuk ke dalam sesuai marjinal (S3). Kondisi iklim yang kurang sesuai ini menyebabkan produksi ubi jalar saat ini masih sangat terbatas.
Gambar 16 Sebaran produksi ubi jalar di Kabupaten Sumbawa tahun 2008. Pada tahun 2008 Kabupaten Sumbawa hanya mampu berproduksi sebesar 656 ton. Bila dibandingkan dengan proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat tahun 2025 yang mencapai 13.476 ton maka peluang
54 untuk menawarkan produksi masih besar. Sebaran produksi ubi jalar tahun 2008 (Gambar 16) menunjukkan bahwa 13 dari 24 kecamatan tidak memproduksi ubi jalar sama sekali. Hal ini mengindikasikan bahwa pengusahaan ubi jalar masih memerlukan
upaya
yang
lebih
intensif
untuk
meningkatkan
preferensi
masyarakat (lihat hasil analisis AHP). Saat ini, ubi jalar banyak diusahakan di Kecamatan Labuhan Badas dengan luas areal panen 12 ha dan mampu berproduksi sebanyak 136 ton, diikuti oleh Batu Lanteh dengan luas areal panen 10 ha dengan jumlah produksi sebesar 116 ton. Kemudian Sumbawa dengan luas areal panen 8 ha dengan produksi 93 ton dan Buer dengan luas areal panen 6 ha dengan produksi sebesar 69 ton. Sedangkan kecamatan lainnya luas panennya di bawah 5 ha (lampiran 14). Dengan demikian Batu Lanteh, Labuhan Badas, Sumbawa, dan Buer dapat dijadikan sentra pengembangan ubi jalar di Kabupaten Sumbawa. 5.4
Arahan Strategis Pengembangan Sebagai bentuk perencanaan ke depan, kebijakan pengembangan
komoditas unggulan daerah agar dapat memenuhi permintaan pasar baik pasar nasional maupun pemenuhan kebutuhan sendiri
secara regional
perlu
dirumuskan. Berbagai faktor dipertimbangkan secara komprehensif baik itu potensi yang dimiliki, target yang harus diraih, sinergitas program secara nasional, permasalahan yang dihadapi, maupun implikasi dari permasalahan yang ada. Pengembangan sektor pertanian terkait dengan target pembangunan Kabupaten Sumbawa sebagai daerah agribisnis berdaya saing. Upaya yang dilakukan adalah percepatan transformasi dari pola produksi yang hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten) ke arah peningkatan produksi dan nilai tambah yang berorientasi pasar. Terkait juga dengan sasaran jangka panjang sektor pertanian yang diorientasikan pada: 1) Terwujudnya sistem pertanian industrial yang berdayasaing, 2) Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri, 3) Terciptanya kesempatan kerja penuh bagi masyarakat pertanian, dan 4) Terhapusnya masyarakat pertanian dari kemiskinan (Deptan 2007). Tingkat permintaan pasar diestimasi dengan besarnya konsumsi langsung penduduk terhadap masing-masing komoditas. Sedangkan permintaan untuk kebutuhan di luar konsumsi penduduk seperti industri pakan, industri pengolahan
55 hasil, kebutuhan benih, maupun besarnya stok penyimpanan tidak menjadi bagian yang diperhitungkan dalam penelitian ini. Orientasi atau target pasar yang dituju adalah pemenuhan kebutuhan konsumsi penduduk regional Nusa Tenggara Barat pada tahun 2025. Target ini merupakan akhir masa rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). 5.4.1
Tingkat Konsumsi dan Kebutuhan Lahan Besarnya permintaan terhadap komoditas unggulan dapat didekati dengan
mengalikan konsumsi perkapita terhadap jumlah penduduk. Dalam penelitian ini konsumsi perkapita diambil dari survey sosial ekonomi nasional (SUSENAS) tahun 2007. Sedangkan jumlah penduduk merupakan proyeksi jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2025. Tabel 10 Proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Provinsi Nusa Tenggara Barat tahun 2025 terhadap komoditas unggulan Kabupaten Sumbawa
No.
Komoditas
Konsumsi perkapita 2007 (kg/kap/tahun)
Proyeksi jumlah penduduk 2025 (orang)
Proyeksi konsumsi 2025 (ton/tahun)
1.
Jagung
4,2
5.390.500
22.640
2.
Kacang Hijau
0,6
5.390.500
3.234
3.
Kedelai
8,6
5.390.500
46.358
4.
Cabe Rawit
1,5
5.390.500
8.140
5.
Ubi Jalar
2,5
5.390.500
13.476
Sumber: SUSENAS 2007 dan BPS, 2009 (diolah) Tabel 10 menyajikan proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Provinsi Nusa
Tenggara
Barat
terhadap
komoditas-komoditas
unggulan
daerah
Kabupaten Sumbawa pada tahun 2025 berdasarkan data konsumsi perkapita tahun 2007. Berdasarkan proyeksi konsumsi tersebut maka dapat diketahui kemampuan pemenuhan oleh Kabupaten Sumbawa dengan melihat tingkat produksi yang ada saat ini. Kemampuan pemenuhan dihitung dengan indeks kecukupan yang didefinisikan dengan cara membagi jumlah produksi terhadap tingkat konsumsi masing-masing komoditas (Cowell dan Parkinson 2003).
56 Tabel 11 Indeks kecukupan produksi komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa (2008) terhadap kebutuhan konsumsi NTB (2025)
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Komoditas Jagung Kacang Hijau Kedelai Cabe Rawit Ubi Jalar
Proyeksi konsumsi NTB 2025 (ton/tahun)
Produksi 2008 (ton)
22.640 3.234 46.358 8.140 13.476
58.396 26.169 7.893 3.260 656
Indeks kecukupan 2,58 8,09 0,17 0,40 0,05
Tabel 11 menunjukkan bahwa kemampuan daerah Kabupaten Sumbawa sampai dengan saat ini untuk memenuhi proyeksi kebutuhan pangan penduduk Nusa Tenggara Barat tahun 2025 berbeda-beda untuk setiap komoditas unggulan yang ada. Produksi kedelai, ubi jalar, dan cabe rawit masih berpeluang untuk terus dikembangkan dengan memacu peningkatan produktivitas maupun perluasan areal panen, karena dengan kondisi produksi saat ini belum mampu untuk mencukupi kebutuhan konsumsi regional (indeks kurang dari satu). Sedangkan untuk jagung dan kacang hijau sudah mampu melebihi kebutuhan konsumsi secara regional (indeks lebih dari satu). Jagung dan kacang hijau masih menjadi unggulan untuk dikembangkan walaupun indeks kecukupan sudah lebih dari satu. Hal ini untuk mempertahankan kecukupan serta mengantisipasi terjadinya perubahan permintaan pasar yang sangat dinamis. Selain itu, keberlimpahan produksi yang ada dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan di luar konsumsi langsung penduduk maupun pemenuhan permintaan pasar secara nasional. Berdasarkan tingkat konsumsi dan produktivitas lahan yang ada maka dapat dihitung kebutuhan lahan untuk memenuhi target produksi. Formula yang digunakan adalah dengan membagi tingkat konsumsi komoditas dengan produktivitas (Cowell dan Parkinson 2003).
𝐴=
𝐶 𝑌
dimana:
𝐴 = luas areal lahan yang dibutuhkan (ha/tahun) 𝐶 = kebutuhan konsumsi (ton/tahun) 𝑌 = tingkat produktivitas (ton/ha)
57 Tabel 12 Kebutuhan lahan di Nusa Tenggara Barat untuk memenuhi tingkat konsumsi 2025 berbagai komoditas unggulan Kabupaten Sumbawa
No.
Komoditas
1.
Jagung
2.
Kacang Hijau
3.
Kedelai
4.
Cabe Rawit
5.
Ubi Jalar
Konsumsi NTB 2025 (ton/tahun)
Produktivitas 2004-2007 (ton/ha)
Luas areal dibutuhkan (ha/tahun)
22.640
2,49
9.092
3.234
0,83
3.897
46.358
1,18
39.287
8.140
4,97
1.638
13.476
11,35
1.187
Jumlah
55.101
Tabel 12 menunjukkan total luasan areal yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas yang menjadi unggulan di Kabupaten Sumbawa seluas 55.101 ha. Areal tersebut dapat dipenuhi dengan memanfaatkan lahan potensial untuk pertanian lahan kering berdasarkan ZAE Kabupaten Sumbawa dengan luas mencapai sekitar 87.428 ha serta pertanian lahan basah dengan luasan potensial mencapai sekitar 108.171 ha. Pemanfaatan lahan potensial baik lahan kering maupun lahan basah tergantung kepada budaya dan tingkat teknologi yang digunakan. Namun demikian, diharapkan lahan yang sudah dimanfaatkan sebagai sawah harus tetap dipertahankan fungsinya. Hal ini mengingat struktur dan kriteria untuk kesesuaian sawah sangat terbatas. Undang-undang nomor 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan menyebutkan bahwa bahwa guna menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional maka lahan untuk pangan pokok harus dilindungi dan dikembangkan secara konsisten. Lahan sawah baik beririgasi maupun tidak beririgasi merupakan lahan yang menghasilkan pangan pokok nasional yaitu beras. Apabila lahan tersebut ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan maka dilindungi dan dilarang untuk dialihfungsikan. Persentase penggunaan lahan saat ini di Kabupaten Sumbawa terhadap kebutuhan lahan di Nusa Tenggara Barat ditunjukkan pada Tabel 13.
58 Tabel 13 Persentase penggunaan lahan (2008) untuk komoditas unggulan di Kabupaten Sumbawa terhadap kebutuhan lahan di NTB (2025)
No.
Komoditas
Areal dibutuhkan NTB (ha)
Areal digunakan Sumbawa (ha)
Persentase penggunaan (%)
1.
Jagung
9.092
16.063
177
2.
Kacang Hijau
3.897
27.956
717
3.
Kedelai
39.287
6.692
17
4.
Cabe Rawit
1.638
349
21
5.
Ubi Jalar
1.187
57
5
55.101
50.990
93
Jumlah
Sampai dengan saat ini, Kabupaten Sumbawa hanya mampu memenuhi kebutuhan lahan untuk jagung dan kacang hijau sedangkan kedelai, cabe rawit, dan ubi jalar masih relatif terbatas. Hal ini juga ditunjukkan oleh nilai LQ jagung dan kacang hijau yang lebih dari satu yang mengindikasikan bahwa kedua komoditas tersebut menjadi basis di Kabupaten Sumbawa. Sedangkan kedelai, cabe rawit, dan ubi jalar, nilai LQ masih kurang dari satu yang artinya bahwa saat ini ketiga komoditas tersebut secara relatif tidak berbasis di Kabupaten Sumbawa. Dengan demikian, diperlukan upaya peningkatan luasan lahan untuk meningkatkan produksi kedelai, cabe rawit, dan ubi jalar. Hal ini masih dimungkinkan karena luasan total untuk pertanian di Kabupaten Sumbawa mencapai lebih dari 200.000 ha (Tabel 6). 5.4.2
Zona Agroekologi Potensial untuk Tanaman Pangan Berdasarkan kemampuan produksi saat ini dan kebutuhan lahan maka
diperlukan perencanaan wilayah pengembangan masing-masing komoditas dalam rangka memenuhi target produksi yang sesuai dengan kemampuan wilayah.
Penentuan
wilayah
pengembangan
harus
disesuaikan
dengan
karakteristik biogeofisik lahan. Karakteristik biogeofisik lahan dapat dilihat dalam peta zona agroekologi (ZAE) yang telah dikembangkan oleh Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) Bogor. Peta ZAE merupakan peta lahan yang telah dibagi ke dalam zona-zona berdasarkan keseragaman karakteristik yang sesuai untuk pengembangan suatu komoditas.
59
Gambar 17 Sebaran zona agroekologi di Kabupaten Sumbawa. Di Kabupaten Sumbawa terdapat tujuh zona agroekologi (Gambar 17) dengan keterangan masing-masing zona dapat dilihat pada Lampiran 9. Zona agroekologi tersebut, terdiri dari: 1. Zona I dengan kemiringan lereng >40% merupakan zona dengan sistem kehutanan dengan vegetasi alami dengan luas sekitar 338.342 ha. 2. Zona II dengan kemiringan lereng 16-40% merupakan zona dengan sistem perkebunan (budidaya tahunan), terdapat sub-Zona IIay dengan kelompok komoditas utama yang direkomendasikan adalah tanaman keras penghasil minyak, getah, dan buah-buahan dataran rendah dengan luasan sekitar 48.819 ha. 3. Zona III dengan kemiringan lereng 8-15% merupakan zona dengan sistem wana tani, terdapat sub-Zona IIIay dengan kelompok komoditas utama yang direkomendasikan adalah pepohonan dan perdu, palawija, dan padi ladang dengan luasan sekitar 68.012 ha. 4. Zona III dengan sub-Zona IIIby, kelompok komoditas utama yang direkomendasikan adalah
pepohonan dan perdu, serta sayur-sayuran
dataran tinggi dengan luasan sekitar 13.624 ha.
60 5. Zona IV dengan kemiringan <8%, terdapat sub-Zona IVax1 dengan drainase buruk merupakan zona dengan sistem pertanian lahan basah dengan komoditas utama adalah padi sawah sekitar 94.200 ha. 6. Zona IV sub-Zona IVax2 dengan drainase baik dan kelembaban lembab, merupakan sistem pertanian lahan kering dengan kelompok komoditas utama adalah sayur-sayuran dataran tinggi, serealia, kacang-kacangan, dan umbiumbian sekitar 33.853 ha. 7. Zona IV sub-Zona IVay2, karakteristik sama dengan sub-Zona IVax2 hanya berbeda pada kelembaban yang agak kering dengan luas sekitar 67.550 ha. Zona agroekologi yang sesuai untuk tanaman pangan adalah Zona IVax2, Zona IVay2, dan Zona IIIay serta Zona IVax1. Luasannya diperkirakan mencapai 263.615 ha. Pada Gambar 18 terlihat zona-zona tersebut menyebar di setiap kecamatan.
Gambar 18 Sebaran zona potensial pengembangan komoditas unggulan daerah Kabupaten Sumbawa. Berdasarkan penelitian Suratman dan Sudarta (2005), zona potensial tersebut terdapat pada lahan dengan relief datar hingga bergelombang, sebagian berbatu, utamanya di dataran volkan. Penyebarannya dijumpai pada landform aluvial,
fluvio-marin,
antar
perbukitan,
kaki
volkan,
dan
di
dataran
61 tektonik/struktural. Komoditas tanaman pangan yang dapat dikembangkan antara lain kacang hijau, kedelai, jagung, ketela, kacang tanah, bawang merah, cabai, tomat, dan kacang panjang. Namun demikian, zona potensial belum sepenuhnya dapat dikembangkan sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Penggunaan lahan saat ini atau kondisi eksisting lahan juga mempengaruhi arah pengembangan ke depan. Bila diperhatikan pola penggunaan lahan di Kabupaten Sumbawa saat ini (Gambar 19), terdapat wilayah-wilayah yang potensial tetapi masih berupa hutan lahan kering primer maupun sekunder seperti terdapat di Kecamatan Ropang, Lantung, Lunyuk, Orong Telu, Plampang, dan Empang. Juga terdapat wilayah-wilayah non potensial
yang
diperuntukkan
bagi
kehutanan
dan
perkebunan
sudah
termanfaatkan untuk pertanian lahan kering dan campuran semak belukar, seperti terlihat di kecamatan Moyo Hulu, Batu Lanteh, dan Tarano.
Gambar 19 Pola penggunaan lahan di Kabupaten Sumbawa berdasarkan citra Landsat tahun 2006. Berdasarkan zona potensial dan pola penggunaan lahan saat ini yang menyebar hampir disetiap wilayah kecamatan, maka domain spasial yang dipergunakan dalam perencanaan wilayah pengembangan menggunakan pendekatan regional. Wilayah perencanaan yang digunakan adalah batas
62 wilayah administrasi kecamatan, karena bentuk perencanaan di pemerintah daerah menggunakan domain kecamatan sebagai lokasi suatu kegiatan yang akan dilaksanakan. 5.4.3
Rumusan Strategi Berbagai faktor dan analisis yang telah dilakukan melahirkan beberapa
arahan strategis pengembangan sektor pertanian Kabupaten Sumbawa berbasis komoditas unggulan daerah. Arahan strategis tersebut dirumuskan sebagai berikut: a. Pengembangan komoditas jagung Produksi jagung di Kabupaten Sumbawa tahun 2008 telah mencapai 58.396 ton. Jumlah produksi tersebut sudah melampaui proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat pada tahun 2025 yang hanya sebesar 22.640 ton. Artinya bahwa terjadi kelebihan produksi untuk konsumsi sekitar 35.000 ton (lihat Tabel 11). Kelebihan produksi jagung dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi pangan masih bisa diserap oleh sektor lain seperti industri pakan ternak maupun industri olahan tepung yang tidak dipertimbangkan dalam penelitian ini. Namun demikian, diperlukan upaya untuk menjaga kestabilan pasar terutama harga agar tidak mengalami penurunan terutama pada saat panen raya. Langkah yang diperlukan oleh pemerintah daerah sebagai fasilitator adalah menjalin kontrak kerjasama penjualan dan pemasaran antara pengusaha sebagai mitra dan petani sebagai pemilik lahan, serta meningkatkan aksesibilitas pemasaran ke luar daerah. Pengembangan jagung juga harus mengantisipasi kondisi-kondisi yang tidak terduga seperti perubahan iklim, gagal panen karena hama penyakit, bencana alam, maupun adanya perubahan pola konsumsi dan permintaan pasar global. Sehingga diperlukan upaya untuk mengamankan jumlah produksi yang ada. Hal ini terkait dengan implikasi kebijakan pengelolaan dan pengawasan produksi di lapangan. Maka pengusahaan komoditas jagung lebih diarahkan untuk dipusatkan di wilayah kecamatan yang saat ini menjadi sentra pengembangan. Wilayah yang
dijadikan sentra pengembangan adalah
Kecamatan
Labangka (7.549 ha), Lunyuk (1.761 ha), Plampang (1.353 ha), dan Utan (1.333 ha). Total luas penggunaan lahan di empat kecamatan tersebut seluas 11.996 ha, atau 137 persen dari kebutuhan lahan 9.092 ha. Artinya bahwa luasan
63 penggunaan lahaan saat ini tetap dipertahankan untuk memenuhi areal lahan yang dibutuhkan dengan berupaya untuk meningkatkan produktivitas. Produktivitas yang masih rendah (sekitar 2,5 ton/ha) dapat ditingkatkan melalui intensifikasi berupa penggunaan benih unggul dan penerapan paket teknologi tepat guna. Untuk itu, sinkronisasi dengan program pemerintah pusat berupa bantuan langsung benih unggul (BLBU) dan sekolah lapang penerapan teknologi tepat guna (SLPTT) jagung diharapkan menjadi pengikat kontrak kerjasama dengan petani karena petani mendapatkan stimulus modal produksi. b. Pengembangan komoditas kacang hijau Produksi kacang hijau di Kabupaten Sumbawa saat ini mampu melampaui proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat tahun 2025. Tahun 2008 Kabupaten Sumbawa memproduksi kacang hijau sebanyak 26.169 ton sedangkan proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat tahun 2025 hanya sebesar 3.234 ton. Hal ini karena konsumsi perkapita kacang hijau sangat kecil hanya 0,6 kg/kap/tahun. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemasaran kacang hijau masih relatif stabil dengan tingkat preferensi masyarakat yang tinggi. Kondisi ini mengindikasikan permintaan pasar di luar konsumsi pangan secara langsung maupun permintaan pasar secara nasional cukup tinggi. Upaya penting yang diperlukan dalam menyerap tingginya produksi yang ada adalah mengembangkan aksesibilitas pemasaran ke luar daerah. Kontrak kerjasama dengan industri pengolahan pangan di luar daerah perlu difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten Sumbawa. Hal ini dikarenakan saat ini industri pengolahan hasil di Kabupaten Sumbawa belum berkembang secara baik. Untuk memenuhi standar industri maka kualitas produk penting untuk diperhatikan. Dengan
demikian
pengawasan
terhadap
proses
produksi
harus
lebih
diintensifkan. Upaya yang dapat dilakukan adalah intensifikasi pengawasan mutu produksi dalam kawasan sentra pengembangan. Wilayah yang dapat dijadikan sentra pengembangan adalah Kecamatan Moyo Hilir (5.048 ha), Empang (3.864 ha), dan Lopok (3.871 ha), dan Plampang (3.236 ha). Apabila luas penggunaan lahan pada empat kecamatan tersebut tetap dipertahankan maka akan mampu memenuhi 411 persen dari kebutuhan lahan untuk kacang hijau yang hanya sebesar 3.897 ha.
64 c. Pengembangan komoditas kedelai Produksi kedelai di Kabupaten Sumbawa saat ini masih terbatas dalam memenuhi proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat pada tahun 2025. Pada tahun 2008 Kabupaten Sumbawa hanya mampu memproduksi kedelai sebanyak 7.893 ton sedangkan proyeksi kebutuhan konsumsi sebanyak 46.358 ton, sehingga masih berpeluang untuk meningkatkan jumlah produksi sekitar lebih dari 38.000 ton sampai dengan tahun 2025. Pengembangan kedelai mencakup wilayah yang lebih luas dibandingkan dengan komoditas lainnya. Karena luas areal panen di masing-masing wilayah tersebut masih kecil, maka diperlukan upaya lebih intensif untuk meningkatkan preferensi petani dalam mengusahakannya. Misalnya dengan menerapkan pola tumpang sari dengan tanaman lain seperti jagung maupun cabe rawit (Suparto et al. 2007). Peningkatan areal panen masih dimungkinkan dengan ekstensifikasi. Produktivitas yang masih rendah juga perlu ditingkatkan dengan intensifikasi penggunaan
benih
unggul
dan
penerapan
teknologi
budidaya
seperti
penggunaan mulsa jerami untuk mempertahankan kelembaban tanah serta menggalakkan sistem pompa air baik untuk air permukaan maupun air tanah karena keterbatasan ketersediaan air. Wilayah pengembangan kedelai meliputi Kecamatan Utan (1.130 ha), Alas Barat (835 ha), Alas (814 ha), Lantung (704 ha), Buer (701 ha), Empang (530 ha), Ropang (495 ha), Rhee (473 ha), Lenangguar (224 ha), dan Tarano (210 ha). Total luas penggunaan untuk kedelai pada sepuluh kecamatan tersebut sebesar 6.116 ha atau 15,7 persen dari kebutuhan areal di Nusa Tenggara Barat yang mencapai 39.287 ha. d. Pengembangan komoditas cabe rawit Cabe rawit sampai dengan saat ini masih berpotensi untuk dikembangkan, mengingat proyeksi kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat tahun 2025 sebesar 8.140 ton belum terpenuhi secara maksimal jika hanya mengandalkan luas areal panen yang ada sekarang ini. Pada tahun 2008 Kabupaten Sumbawa hanya mampu berproduksi sebesar 3.260 ton, sehingga ada peluang untuk mengisi kesenjangan kebutuhan cabe rawit sekitar 5.000 ton. Wilayah pengembangan cabe rawit di Kabupaten Sumbawa meliputi Kecamatan Buer (186 ha), Batu Lanteh (30 ha), Plampang (13 ha), Tarano (4 ha), dan Labangka (12 ha). Total luas areal panen pada lima kecamatan tersebut
65 adalah 245 ha atau hanya 15 persen dari kebutuhan lahan untuk pengembangan cabe rawit di Nusa Tenggara Barat yang mencapai 1.638 ha. Dengan demikian upaya peningkatan luas areal panen dengan meningkatkan areal tanam dapat dilakukan pada masing-masing kecamatan tersebut karena potensi lahan pertanian yang tersedia masih besar. Produktivitas yang masih kecil juga dapat ditingkatkan dengan menerapkan teknologi usaha tani yang lebih baik, sehingga sangat diperlukan kerjasama usaha dalam suatu kelompok tani untuk mengoptimalkan skala usaha tani. Pola tanam tumpang sari dengan jagung ataupun komoditas lain dapat diterapkan untuk memaksimalkan sumberdaya lahan. Upaya lain yang tidak bisa diabaikan adalah pengaturan waktu tanam terutama untuk mengantisipasi lonjakan permintaan pada musim-musim tertentu seperti lebaran dan akhir tahun. e. Pengembangan komoditas ubi jalar Produksi ubi jalar di Kabupaten Sumbawa saat ini masih sangat terbatas. Produksi pada tahun 2008 hanya sebesar 656 ton, terpaut jauh dari kebutuhan konsumsi penduduk Nusa Tenggara Barat tahun 2025 yang mencapai 13.476 ton. Hal ini lebih disebabkan karena kendala biogeofisik lahan berupa iklim yang terlalu panas dengan bulan kering yang panjang. Wilayah pengembangan ubi jalar meliputi Kecamatan Labuhan Badas (12 ha), Batu Lanteh (10 ha), Sumbawa (8 ha), dan Buer (6 ha). Sementara potensi lahan yang tersedia di Kabupaten Sumbawa masih besar. Namun demikian, pengembangan ubi jalar masih terkendala secara teknis seperti teknik budidaya dan akses modal untuk sarana prasarana produksi. Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan areal panen antara lain mengembangkan sumber air berupa sumur bor di kawasan pengembangan. Karena modal produksi yang bertambah dengan penerapan teknologi, maka diharapkan pengusahaan ubi jalar dilaksanakan secara berkelompok agar dapat lebih efektif. Pemberdayaan kelompok tani juga mempermudah dalam akses terhadap permodalan. Peran lembaga keuangan mikro menjadi semakin penting. Untuk itu, perlu menumbuhkembangkan lembaga keuangan mikro yang langsung bersentuhan dengan petani di daerah-daerah sentra pengembangan.
66