V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil 5.1.1 Karakteristik Habitat Macan Tutul Jawa 5.1.1.1 Struktur dan Komposisi Vegetasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan pegunungan bawah sekunder paling banyak ditemukan tanda-tanda keberadaan macan tutul jawa. Hal ini diduga karena hutan ini memiliki tumbuhan bawah yang melimpah akibat bekas perambahan. Tumbuhan bawah tersebut merupakan pakan satwa-satwa herbivora yang menjadi mangsa macan tutul jawa. Macan tutul jawa akan mengikuti keberadaan satwa mangsanya. Tabel V-1. Deskripsi tipe habitat macan tutul jawa KR macan tutul jawa (ind/km2)
Ʃ tanda keberadaa n macan tutul jawa
Ʃ jenis satwa mangsa
Tipe habitat
Struktur habitat
Komposisi habitat
Hutan pegunungan bawah sekunder
Strata B didominasi pasang batu. Strata C-D didominasi kiriung anak. Strata E didominasi cariu dan ki lampeni.
63 jenis semai dan tumbuhan bawah, 37 jenis pohon. Pohon didominasi Entada phaseoloides, Schima walichii, Castanopsis acuminatisima, dan Quercus sundaica. Kerapatan lantai hutan didominasi oleh rotan dan ki lampeni. Pohon tidak terlalu rapat, namun memiliki keliling rata-rata 150 cm.
0.09
21
7
Strata B-D didominasi kiriung anak. Strata E didominasi hariang dan cariang.
28 jenis semai dan tumbuhan bawah, 6 jenis pohon. Didominasi oleh kiriung anak, Begonia hirtella, Quercus sundaica, Castanopsis argentea, dan Homalomena rubra. Kerapatan lantai hutan didominasi oleh kokopian dan hariang. Jarak antar pohon renggang dan memiliki keliling rata-rata 150 cm.
0.31
20
15
Strata B-D didominasi saninten dan pasang. Strata E didominasi ki tales dan hariang.
22 jenis semai dan tumbuhan bawah, 23 jenis pohon. Didominasi oleh Begonia hirtella, Notaphoebe umbelliflora, Castanopsis argentea, dan Quercus sundaica. Kerapatan lantai hutan didominasi oleh hariang. Jarak antar pohon rapat dan memiliki keliling rata-rata 120 cm.
0.08
12
13
Hutan pegunungan bawah primer
Hutan pegunungan tengah
23
Pada habitat hutan sekunder, ditemukan penutupan tumbuhan bawah yang sangat melimpah. Hal ini dikarenakan habitat ini sedang mengalami pemulihan setelah perambahan manusia. Dari hasil pengamatan, sebagian besar strata lantai hutan didominasi oleh tumbuhan bawah dari jenis rotan (Daemonorops melanochaetes) dengan kerapatan relatif 25,95% dan ki lampeni (Ardisia humilis) dengan kerapatan relatif 14,29%. Akar-akar ki lampeni merupakan pakan bagi babi hutan, yang merupakan satwa mangsa macan tutul jawa. Babi hutan memakan akar, batang, dan cacing , yang berada di sekitar ki lampeni tersebut.
Gambar V-1 Hutan pegunungan bawah sekunder yang ditata masyarakat setelah terjadi perambahan.
Penutupan
tajuk
pohon
besar
seperti
kiriung
anak
(Castanopsis
acuminatisima), pasang (Quercus sundaica), dan puspa (Schima walichii) juga mempunyai peranan penting bagi macan tutul di hutan sekunder ini. Macan tutul jawa membutuhkan thermal cover baginya untuk melindungi diri dari sinar matahari. Kanopi hutan di wilayah ini di dominasi oleh ketiga jenis tersebut. Cakaran macan tutul jawa di pohon (scratch) puspa pada jalur pengamatan wilayah ini, mengindikasikan bahwa wilayah ini merupakan daerah jelajah macan tutul jawa. Adapun hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah dapat dilihat pada tabel V-2.
24
Tabel V-2. Hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan pegunungan bawah sekunder Jalur
Koridor
Gunung Endut
No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Nama lokal Rotan Cariu Ki buluh Malaya Ki tai Ki lampeni Kiriung anak Harendong bulu Ki suit Cariu
Jenis Nama Ilmiah Daemonorops melanochaetes Entada phaseoloides Gironniera subaequalis Dysoxylum amooroides Ardisia humilis Castanopsis acuminatisima Clidemia hirta Entada phaseoloides
Σ
KR
FR
INP
47 35 26 30 17 18 14 11 9 7
14.29 10.64 7.90 9.12 5.17 14.29 11.11 8.73 7.14 5.56
11.67 5 6.67 5 1.67 8.62 6.90 6.90 6.90 3.45
25.95 15.64 14.57 14.12 6.83 22.91 18.01 15.63 14.04 9.00
Berdasarkan hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan sekunder, ditemukan sebanyak 63 jenis tumbuhan. Jenis semai dan tumbuhan bawah yang memiliki frekuensi relatif tertinggi adalah rotan (Daemonorops melanochaetes) dengan nilai 11,67 % dan ki lampeni (Ardisia humilis) dengan nilai FR 8,62 %. Hal ini menerangkan bahwa ketersediaan (availability) pakan satwa herbivora cukup baik dengan tersedianya tumbuhan bawah yang tersedia hampir di seluruh plot pengamatan. Pada tingkat pancang, ditemukan 53 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan hasil analisis vegetasi yang mendominasi dengan INP tertinggi adalah ki buluh (Gironniera subaequalis) dengan nilai 27,2 %, sedangkan KR tertinggi adalah kiriung anak (Castanopsis acuminatisima) dengan nilai 16,97 %. Tabel V-3. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di hutan pegunungan bawah sekunder Jalur
Koridor
Gunung Endut
No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Nama lokal Ki buluh Ki kawat Rengang Malaya Saray Kiriung anak Puspa Kopo Huru hejo Ki lampeni
Jenis Nama Ilmiah Gironniera subaequalis Gareinia rostrata
Caryota mitis Castanopsis acuminatisima Schima walichii Eugenia cymosa
Actinodaphne sp Ardisia humilis
Σ
KR
FR
20 7 7 8 8 28 22 13 10 8
16.39 5.74 5.74 6.56 6.56 16.97 13.33 7.88 6.06 4.85
10.81 8.11 5.41 2.70 2.70 8.62 10.34 6.90 5.17 3.45
INP 27.2 13.85 11.14 9.26 9.26 25.59 23.68 14.78 11.23 8.30
Pada tingkat tiang ditemukan 30 jenis yang didominasi oleh kiriung anak (Castanopsis acuminatisima) dengan INP sebesar 82,27 %.
25
Tabel V-4. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang di hutan pegunungan bawah sekunder Jalur
No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Koridor
Gunung Endut
Jenis Nama Ilmiah Castanopsis acuminatisima Gironniera subaequalis Macaranga rhizinoides Turpinia pomifera Actinodaphne areolata Castanopsis acuminatisima Evodia latifolia
Nama lokal Kiriung anak Ki buluh Mara Ki bancet Huru payung Kiriung anak Ki sampang Tali ketan Kalapa cuing Rengang
Cocos sp
KR
FR
DR
INP
27.59 10.34 6.90 3.45 3.45 30 10 6.67 6.67 6.67
12.5 12.5 8.33 4.17 4.17 13 13 8.7 8.7 8.7
28.38 8.11 7.00 5.42 5.23 39.22 11.49 6.08 4.12 3.80
68.47 30.95 22.23 13.03 12.84 82.27 34.53 21.44 19.48 19.16
Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan sekunder ditemukan 37 jenis yang didominasi oleh kiriung anak (Castanopsis acuminatisima) dengan nilai DR 36,93 % dan puspa (Schima walichii) dengan nilai DR 46,91%. Tabel V-5. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan pegunungan bawah sekunder Jalur
No
Koridor
Gunung Endut
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Nama lokal Puspa Kiriung anak Rasamala Pasang batu Pasang Kiriung anak Pasang Saninten Puspa Ki mokla
Jenis Nama Ilmiah Schima walichii Castanopsis acuminatisima Altingia excels Quercus blumeana Quercus sundaica Castanopsis acuminatisima Quercus sundaica Castanopsis argentea Schima walichii Knema laurina
KR
FR
DR
INP
14.46 28.92 10.84 4.82 3.61 56.38 11.7 5.32 3.19 2.13
8.33 10.42 12.5 8.33 6.25 22.22 15.56 11.11 6.67 4.44
46.91 21.02 5.50 5.24 5.58 36.93 49.54 3.28 1.02 1.03
69.7 60.36 28.84 18.4 15.45 115.5 76.8 19.72 10.88 7.60
Vegetasi hutan sekunder yang mendominasi adalah kiriung anak (Castanopsis
acuminatisima),
ki
buluh
(Gironniera
subaequalis),
mara
(Macaranga semiglobosa), ki bancet (Turpinia Montana), huru payung (Neonauclea calycina), ki sampang (Evodia latifolia), tali ketan, kalapa cuing (Cocos sp), dan rengang. Hutan pegunungan bawah tersebar di hampir seluruh wilayah Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, biasanya ditandai dengan adanya perkebunan teh. Analisis vegetasi dilakukan di hutan pegunungan bawah primer di daerah Cikaniki.
26
Tabel V-6. Hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan pegunungan bawah primer Jalur
No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Gunung Kendeng
Wates
Nama lokal Kokopian Kiriung anak Cantigi Bubukuan Huru hiris Hariang Cariang Bingbin Bubukuan Ki uncal
Jenis Nama Ilmiah Plectronia didyma Castanopsis acuminatisima Vaccinium varingifolium Strobilanthes cernua Litsea javanica Begonia hirtella Homalomena rubra Impomoea pescaprae Strobilanthes cernua Tristaniopsis whiteana
Σ
KR
FR
INP
33 35 14 19 8 12 7 8 7 5
22.92 24.31 9.72 13.19 5.56 14.81 8.64 9.88 8.64 6.17
17.54 14.04 12.28 7.02 8.77 6.67 8.89 6.67 6.67 8.89
40.46 38.34 22 20.21 14.33 21.48 17.53 16.54 15.31 15.06
Hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan pegunungan bawah, ditemukan sebanyak 28 jenis tumbuhan. Jenis semai dan tumbuhan bawah yang memiliki tingkat penyebaran tertinggi hampir di seluruh plot pengamatan adalah kokopian (Plectronia didyma ) dengan nilai FR 17,54 %. Tabel V-7. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di hutan pegunungan bawah primer Jalur
No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Gunung Kendeng
Wates
Jenis Nama local Kiriung anak Huru hiris Gompong Pasang Ipis kulit Ki kawat Ki haji Kopo Ki uncal Sirowar
Nama Ilmiah Castanopsis acuminatisima Litsea javanica Polyscias sp Quercus sundaica Decaspermum priticosum Gareinia rostrata Dysoxylum macrocarpum Eugenia cymosa Tristanopsis whiteana
Σ
KR
FR
INP
28 18 11 9 6 12 5 4 2 2
33.73 21.69 13.25 10.84 7.23 34.29 14.29 11.43 5.71 5.71
19.57 19.57 13.04 15.22 13.04 26.09 13.04 13.04 8.70 8.70
53.3 41.25 26.3 26.06 20.27 60.37 27.33 24.47 14.41 14.41
Pada tingkat pancang, ditemukan 15 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan hasil analisis vegetasi yang mendominasi dengan KR tertinggi adalah ki kawat (Gareinia rostrata) dengan nilai KR 34,29 %. Tabel V-8. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang di hutan pegunungan bawah primer Jalur
Gunung Kendeng
Wates
No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Jenis Nama local Kiriung anak Puspa Pasang Huru hiris Gompong Rasamala Kopo Huru gemblung Pasang Saninten
Nama Ilmiah Castanopsis acuminatisima Schima walichii Quercus sundaica Litsea javanica Polyscias sp Altingia excels Eugenia cymosa Litsea resinosa Quercus sundaica Castanopsis argentea
KR
FR
DR
INP
50 27.78 11.11 5.56 5.56 13.64 13.64 13.64 9.09 9.09
35.7 35.7 14.3 7.14 7.14 13.6 13.6 13.6 9.09 9.09
48.44 26.78 17.6 3.99 3.19 16.78 12.2 11.09 12.71 10.6
134.2 90.27 43 16.69 15.88 44.06 39.47 38.37 30.89 28.78
27
Pada tingkat tiang ditemukan 15 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan hasil analisis vegetasi di hutan pegunungan bawah yang mendominasi adalah kiriung anak (Castanopsis acuminatisima) dengan nilai KR sebesar 48,44 %. Tabel V-9. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan pegunungan bawah primer Jalur Gunung Kendeng
Wates
No 1 2 3 1 2 3 4 5
Nama lokal Kiriung anak Pasang Puspa Pasang Saninten Rasamala Puspa Kopo
Jenis Nama Ilmiah Castanopsis acuminatisima Quercus sundaica Schima walichii Quercus sundaica Castanopsis argentea Altingia excels Schima walichii Eugenia cymosa
KR
FR
DR
INP
54.55 18.18 27.27 21.43 28.57 21.43 21.43 7.14
42.86 28.57 28.57 25 25 25 16.67 8.33
45.04 33.16 21.8 34.74 23.93 26.81 10.24 4.282
142.4 79.91 77.64 81.17 77.5 73.24 48.33 19.76
Dari hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan pegunungan bawah ditemukan 6 jenis tumbuhan. Jenis pohon yang memiliki FR tertinggi adalah kiriung anak (Castanopsis acuminatisima) dengan nilai 42,86 %.
Gambar V-2 Hutan alam yang mengelilingi kebun teh di hutan pegunungan bawah primer.
Hutan pegunungan tengah tersebar hampir di seluruh kawasan Salak, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, karena di wilayah ini terdapat banyak puncak gunung yang mempunyai ketinggian rata-rata 1.200-1.500 mdpl. Pengambilan sampling plot dilakukan di jalur Cibogo dan jalur Kawah Ratu. Hutan pegunungan tengah didominasi oleh tumbuhan tinggi menjulang seperti pasang (Quercus sundaica). Hutan ini memiliki banyak sungai-sungai kecil yang mengalir, namun sebagian masih didominasi batuan-batuan vulkanik besar di sepanjang jalur pengamatan dan sungai-sungainya.
28
Tabel V-10. Hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan pegunungan tengah Jalur
No
Cibogo
Kawah Ratu
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Jenis Nama local Ki tales Cacabean Tepus Cariuh Hariang Hariang Bawang-bawangan Harendong bulu Cacabean Kirinyuh
Nama Ilmiah Notaphoebe umbelliflora Jussieua erecta Achasma megalochilos Entada phaseoloides Begonia hirtella Begonia hirtella Scirpus erectus Clidemia hirta Jussieua erecta Eupatorium pallescens
Σ
KR
FR
INP
152 106 63 55 46 70 55 23 18 30
32.07 22.36 13.29 11.6 9.70 29.91 23.5 9.83 7.69 12.82
11.32 18.87 13.21 13.21 13.21 14.29 14.29 17.86 10.71 3.571
43.39 41.23 26.5 24.81 22.91 44.2 37.79 27.69 18.41 16.39
Hasil analisis vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah di hutan pegunungan tengah, ditemukan sebanyak 22 jenis tumbuhan. Jenis semai dan tumbuhan bawah yang memiliki KR tertinggi adalah ki tales (Notaphoebe umbelliflora) sebesar 32,07 %. Tabel V-11. Hasil analisis vegetasi tingkat pancang di hutan pegunungan tengah Jalur
Cibogo
Kawah Ratu
No 1 2 3 4 5 1 2
Nama local Puspa Ki sireum Ki manjeul Mumuncangan Mara Ki sireum Pasang
Jenis Nama Ilmiah Schima walichii Eugenia clavimyrtus Gordonia excels Ostodes sp Macaranga rhizinoides Eugenia clavimyrtus Quercus sundaica
Σ
KR
FR
INP
3 4 3 1 1 1 4
25 33.3 25 8.3 8.3 20 80
33.33 16.67 16.67 16.67 16.67 50 50
58.33 50 41.67 25 25 70 130
Pada tingkat pancang, ditemukan 6 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan hasil analisis vegetasi yang mendominasi dengan FR tertinggi adalah Puspa (Schima walichii) dengan nilai 33,33 %. Tabel V-12. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang di hutan pegunungan tengah Jalur
Cibogo
Kawah Ratu
No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Nama local Beleketebe Ki sireum Mumuncangan Puspa Ki hujan Ki hujan Ki ronyok Ki huut Ki wates Ki sampan
Jenis Nama Ilmiah Sloanea sigun Eugenia clavimyrtus Ostodes sp Schima walichii Engelhardia serata Engelhardia serata Cordyline sp Glochidion obscurum Eurya japonica Evodia latifolia
KR
FR
DR
INP
23.81 19.05 9.52 9.52 9.52 23.53 17.65 17.65 17.65 11.76
20 15 15 10 10 20 20 20 10 10
20.81 18.48 15.43 15.89 10.55 26.37 21.9 18.45 12.83 14.93
64.62 52.53 39.95 35.42 30.08 69.9 59.55 56.1 40.48 36.69
29
Pada tingkat tiang ditemukan 15 jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan hasil analisis vegetasi di hutan pegunungan tengah yang mendominasi adalah ki hujan (Engelhardia serata) dengan nilai DR sebesar 26,37 %. Tabel V-13. Hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan pegunungan tengah Jalur
Cibogo
Kawah Ratu
No 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Jenis Nama lokal Saninten Pasang Beleketebe Mumuncangan Puspa Pasang Ki ronyok Ki huut Puspa Ki wates
Nama Ilmiah Castanopsis argentea Quercus sundaica Sloanea sigun Ostodes sp Schima walichii Quercus sundaica Cordyline sp Glochidion obscurum Schima walichii Eurya japonica
KR
FR
DR
INP
21.33 10.67 12 17.33 5.33 42.86 8.57 17.14 8.57 8.57
16.33 10.2 14.29 10.2 6.12 33.33 8.33 20.83 8.33 8.33
33.66 22.07 9.58 1.58 6.33 29.83 33.9 7.2 22.79 2.00
71.32 42.94 35.87 29.12 17.79 106 50.81 45.18 39.69 18.9
Dari hasil analisis vegetasi tingkat pohon di hutan pegunungan tengah ditemukan 23 jenis tumbuhan. Jenis pohon yang memiliki FR tertinggi adalah pasang (Quercus sundaica) dengan nilai FR sebesar 33,33 %. Hutan pegunungan tengah memiliki tanda aktivitas dan kelimpahan relatif macan tutul jawa yang paling kecil. Hal ini diduga karena ketersediaan tumbuhan bawah yang lebih sedikit dan jarak antar pohon rapat sehingga mempersulit mobilitas serta pakan satwa mangsa di lantai hutan. Ketersediaan satwa mangsa yang ditemukan sangat berpengaruh terhadap kelimpahan relatif macan tutul jawa di habitat tersebut. 5.1.1.2 Ketersediaan Cover Hasil observasi langsung selama penelitian terdapat empat fungsi habitat macan tutul jawa, yaitu tempat berburu mangsa, tempat berlindung, tempat istirahat, dan tempat mengasuh anak (tabel V-14).
30
Tabel V-14. Fitur habitat macan tutul jawa Fungsi habitat Tempat berburu (mengintai mangsa)
Fisik Mdpl Goa 560Tidak 1200 ada
Tempat berlindung
6001200
Tidak ada
Kerapatan pohon besar yang lebar (21.3342.86%).
Tempat istirahat
1100
Ada
Tempat mengasuh anak
850
ada
Kerapatan Pohon besar (>50%), bambu. Tidak ada ciri khusus kerapatan vegetasi.
Pohon Kerapatan pohon tidak terlalu rapat (14.46- 56.38%).
Vegetasi Tumbuhan bawah Semak dan tumbuhan bawah lainnya rapat (>14.29), terdapat areal yang sedikit lebih terbuka dari areal lainnya. Tidak ada ciri khusus untuk tumbuhan bawah yang digunakan.
Kerapatan tumbuhan bawah tinggi (>32.07%) dan sedikit tertutup. Tidak ada ciri khusus tumbuhan bawah yang digunakan
Jenis dominan Tidak ada jenis dominan tertentu
Quercus blumeana, Castanopsis acuminatisima, Schima walichii. Bamboosa sp, Quercus sundaica. Tidak ada jenis dominan tertentu.
Cover merupakan salah satu komponen habitat penting bagi macan tutul jawa, yaitu untuk bersembunyi dan mengintai mangsanya (Bailey 1984 dalam Gunawan 2010). Cover yang dapat teridentifikasi adalah tajuk pohon, goa, semak, rumpun bambu, dan batang pohon seperti rasamala, puspa, dan pasang. Macan tutul jawa dapat hidup dengan baik di hutan alam maupun hutan tanaman (Gunawan 1988). Hal ini menunjukkan bahwa macan tutul jawa tidak memilih jenis apa yang menjadi komposisi dari suatu area hutan, tetapi macan tutul lebih memanfaatkan kebutuhan vegetasi yang melindungi dirinya dari panas matahari. Vegetasi yang menjadi faktor pendukung habitat utama bagi macan tutul jawa adalah tumbuhan bawah dan tingkat strata pohon. Tumbuhan bawah secara langsung akan berhubungan dengan kebutuhan pakan macan tutul jawa di habitat tersebut, karena sebagian besar satwa mangsa macan tutul merupakan satwa herbivora. Lebar atau tidaknya tajuk dalam suatu vegetasi sangat mempengaruhi habitat macan tutul jawa. Kebutuhan akan pelindung terik sangat besar bagi macan tutul jawa untuk beritirahat (Gunawan 2010). Vegetasi juga sangat besar peranannya sebagai faktor pendukung aktivitas mengintai satwa mangsa bagi macan tutul jawa.
31
a
b
c
d
Gambar V-3 a) Tajuk pohon merupakan cover thermal yang sangat penting untuk satwa; b) Batang pohon kiriung anak (Castanopsis acuminatisima) yang berlubang pada bagian bawahnya; c) Semak tempat ditemukannya jejak macan tutul jawa dan babi hutan; dan d) Aliran sungai menuju Goa Macan di hutan pegunungan bawah primer.
Tempat berburu (mengintai mangsa) bagi macan tutul jawa memiliki ciri khas terdapat tumbuhan bawah yang rapat tapi dengan kerapatan pohon yang tidak terlalu rapat. Hal ini memudahkan macan tutul jawa untuk bergerak memburu mangsanya. Tempat berlindung bagi macan tutul jawa memiliki ciri khas penutupan tajuk yang lebar untuk keperluan berteduh sementara dari terik sinar matahari dan hujan. Tempat istirahat bagi macan tutul jawa memiliki ciri khas suatu wilayah yang tertutup dan aman dari gangguan. Tempat istirahat macan tutul jawa memiliki kerapatan tumbuhan bawah yang tinggi. Vegetasi yang dipilih biasanya adalah rumpun bambu karena rimbun dan tertutup sehingga dapat terhindar dari gangguan di sekitarnya. Tempat mengasuh anak memiliki ciri khas tempat yang lebih tinggi seperti punggungan bukit, yang sulit dijangkau oleh satwa dan macan tutul jawa lainnya (Gunawan 1987). Biasanya tempat mengasuh anak banyak dilakukan di goa yang dekat dengan aliran sungai. 5.1.1.3 Ketersediaan Mangsa
32
Satwa mangsa bagi macan tutul jawa di Taman Nasional Gunung HalimunSalak yang ditemukan selama penelitian adalah sebanyak 17 jenis. Pada hutan sekunder ditemui 8 jenis, pada hutan pegunungan bawah ditemui 15 jenis, dan pada hutan pegunungan tengah ditemukan 13 jenis. Adapun tingkat perjumpaan satwa mangsa macan tutul jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dapat dilihat pada tabel 16. Tabel V-15. Tingkat perjumpaan satwa mangsa di berbagai tipe habitat Nama lokal Anjing hutan Ayam hutan Babi hutan Tupai Kancil Kijang Kucing hutan Landak Lingsang Lutung Musang luwak Owa jawa Puyuh gonggong Sigung Surili Tikus duri jawa Trenggiling *) Keterangan: J= Jejak kaki S= Sungkuran
Nama Ilmiah Cuon alpinus Gallus gallus Sus scrofa Tupaia javanica Tragulus javanicus Muntiacus muntjak Prionailurus bengalensis Hystrix javanica Prionodon linsang Tracypithecus auratus Paradoxurus hermaproditus Hylobates moloch Arbrophilla javanica Mydaus javanensis Presbytis comata Maxomys bartelsii Manis javanica K= Korehan L= Perjumpaan langsung
Encounter rate (ind/km) Hutan Hutan Hutan pegunungan pegunungan sekunder bawah tengah 0.12 0.27 2.79 1.49 2.33 0.71 0.35 0.27 0.93 0.12 0.70 0.35 0.81 1.16 0.71 0.47 0.23 0.27 1.63 0.82 1.86 0.59 0.14 0.23 0.47 1.40 0.35 1.86 0.47 0.47 0.47 0.23 0.27 0.70 0.12 F= Kotoran R= Sarang
Ket*) J JSKLF JRL L J JF J JS J LB JFB LB JK JL L J JS
B= Sisa makanan
Menurut Anonim (1978) dalam Ahmad (2007), jenis mangsa yang dimakan oleh macan tutul jawa adalah sigung, kelelawar, lutung, surili, kijang, ayam hutan, merak, pelanduk, kancil dan satwa mangsa lain. Jenis satwa mangsa yang paling sering dijumpai di ketiga tempat tersebut adalah babi hutan (Sus scrofa). Babi hutan merupakan salah satu satwa mangsa macan tutul yang mudah dijumpai di setiap lokasi penelitian.
33
Tingkat Perjumpaan Satwa Mangsa di TNGHS
Encounter rate
3 2.5 2 1.5
Hutan Pegunungan Bawah Sekunder
1 0.5 Anjing hutan Ayam hutan Babi hutan Bajing Kancil Kijang Kucing hutan Landak Lingsang Lutung Musang Owa jawa Puyuh gonggong Sigung Surili Tikus Trenggiling
0
Hutan Pegunungan Bawah Primer Hutan Pegunungan Tengah
Satwa Mangsa
Gambar V-4 Tingkat perjumpaan satwa mangsa di TNGHS.
Macan tutul jawa, seperti halnya kucing besar lainnya merupakan satwa yang oportunis, yaitu satwa yang menggunakan peluang ketika memangsa pakan yang tersedia pada saat itu juga. Hal ini menyebabkan semakin mudahnya suatu mangsa ditemukan, kemungkinan besar itu adalah satwa mangsa yang sering menjadi pakan macan tutul. Tabel V-16. Pengelompokan perjumpaan satwa mangsa di berbagai tipe habitat Tipe Habitat Hutan pegunungan bawah sekunder
Hutan pegunungan bawah primer
Hutan pegunungan tengah
Selang kelas 0.14-0.63 0.74-1.23 1.34-1.83 0.23-1.12 1.13-2.02 2.03-2.92 0.12-0.41 0.42-0.71 0.72-1.01
Frekuensi jenis 5 1 1 8 5 2 6 6 1
Kelompok kelas Rare Easy Common Rare Easy Common Rare Easy Common
Berdasarkan data tingkat perjumpaan, masing-masing satwa mangsa dapat dikelompokkan menjadi tiga kelas yaitu rare (jarang ditemukan), easy (mudah ditemukan), dan common (biasa ditemukan). Pada hutan sekunder, rata-rata tingkat perjumpaan satwa mangsa adalah 0,21 individu per kilometer. Satwa mangsa di hutan sekunder yang termasuk ke dalam tingkat rare adalah ayam hutan (Gallus gallus), kancil (Tragulus javanicus), lutung (Tracypithecus auratus), owa jawa (Hylobates moloch), dan trenggiling (Manis javanica), sedangkan untuk
34
tingkat easy terdapat kucing hutan (Prionailurus bengalensis) serta pada tingkat common terdapat babi hutan (Sus scrofa). Di hutan pegunungan bawah, rata-rata tingkat perjumpaan satwa mangsa adalah 1 individu per kilometer. Satwa mangsa di hutan sekunder yang termasuk ke dalam tingkat rare adalah kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak), landak (Hystrix javanica), lingsang (Prionodon linsang), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), tikus duri jawa (Maxomys bartelsii), dan trenggiling (Manis javanica), sedangkan untuk tingkat easy terdapat kucing hutan (Prionailurus bengalensis), lutung (Tracypithecus auratus), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), puyuh gonggong (Arbrophilla javanica), dan sigung (Mydaus javanica), serta pada tingkat common terdapat ayam hutan (Gallus gallus) dan babi hutan (Sus scrofa). Di hutan pegunungan tengah, rata-rata tingkat perjumpaan satwa mangsa adalah 0,33 individu per kilometer. Satwa mangsa di hutan sekunder yang termasuk ke dalam tingkat rare adalah anjing hutan/ajak (Cuon alpinus), tupai (Tupaia javanica), kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak), trenggiling (Manis javanica) dan puyuh gonggong (Arbrophilla javanica), sedangkan untuk tingkat easy terdapat babi hutan (Sus scrofa), kucing hutan (Prionailurus bengalensis), musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus), owa jawa (Hylobates moloch), sigung (Mydaus javanica), dan surili (Presbytis comata) , serta pada tingkat common terdapat lutung (Tracypithecus auratus).
35
a
b
c
d
Gambar V-5 Tanda-tanda keberadaan satwa mangsa macan tutul jawa: a) Jejak kaki kucing hutan (Prionailurus bengalensis); b) Kotoran musang luwak (Paradoxurus hermaphroditus); c) Sisa makanan surili (Presbytis comata); dan d) Sarang babi hutan (Sus scrofa).
Pada kotoran macan tutul di hutan pegunungan bawah ditemukan substrat kotoran berupa rambut babi hutan, rambut (duri) landak, dan gigi primata. Satwasatwa mangsa ini tersebar di seluruh lokasi penelitian dan merupakan mamalia darat sehingga akan memudahkan macan menangkapnya. Di hutan sekunder ditemukan kotoran macan berisi substrat rambut babi hutan. Hal ini mendukung data penelitian juga karena babi hutan merupakan satwa mangsa yang paling banyak ditemukan di lokasi tersebut dan beberapa jejak kelompok babi hutan di sepanjang jalur pengamatan juga terdapat jejak macan tutul secara bersamaan. Selama penelitian diketahui bahwa satwa yang benar-benar diketahui menjadi pakan macan tutul jawa adalah babi hutan (Sus scrofa), landak (Hystrix javanica), dan surili (Presbytis comata). Tabel V-17. Hubungan antara indeks keanekaragaman (H’) satwa mangsa dengan kepadatan relatif (KR) macan tutul jawa Tipe Habitat Hutan pegunungan bawah sekunder Hutan pegunungan bawah primer Hutan pegunungan tengah
Jumlah jenis mangsa potensial
H'
Mangsa utama (Karanth & Mervin 1995)
KR macan tutul jawa
7
1.62
4 (babi hutan, kancil, lutung, owa jawa)
0.09
15
2.46
6 (babi hutan, kancil, kijang, lutung, owa jawa, surili)
0.31
13
2.42
6 (babi hutan, kancil, kijang, lutung, owa jawa, surili)
0.08
36
Dari Tabel V-17 tampak tidak adanya hubungan antara keanekaragaman jenis dan kekayaan jenis satwa mangsa dengan kelimpahan relatif macan tutul jawa di suatu tipe habitat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970) bahwa macan tutul akan membunuh dan makan apa saja yang mudah ditangkapnya. Faktor penting yang mempengaruhi kelimpahan relatif macan tutul jawa berarti adalah ketersediaan (availability) satwa mangsa di suatu tipe habitat. Semakin mudah dan melimpah satwa tersebut dijumpai bisa menjadi indikasi keberadaan macan tutul di suatu tempat. Hal ini dikarenakan macan tutul termasuk satwa oportunis, artinya dia akan menggunakan peluang mendapatkan mangsa dari apa yang paling melimpah terdapat di daerah tersebut. Tabel V-18. Perbandingan kepadatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan availability (A) satwa mangsa di masing-masing tipe habitat No
Nama satwa mangsa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Cuon alpinus Gallus gallus Sus scrofa Tupaia javanica Tragulus javanicus Muntiacus muntjak Prionailurus bengalensis Hystrix javanica Prionodon linsang Tracypithecus auratus Paradoxurus hermaproditus Hylobates moloch Arbrophilla javanica Mydaus javanensis Presbytis commata Maxomys bartelsii Manis javanica
Hutan pegunungan bawah sekunder KR 0.09 0.5 0.09 0.27 0.09 0.05 0.09
FR 12.48 37.45 6.24 18.73 6.24 6.24 12.48
A 12.57 37.95 6.332 19 6.332 6.287 12.57
Tipe habitat Hutan pegunungan bawah primer KR FR A 0.93 12.82 13.8 0.78 12.82 13.6 0.31 7.69 8 0.23 2.56 2.8 0.39 7.69 8.08 0.16 2.56 2.72 0.08 2.56 2.64 0.54 5.13 5.67 0.62 7.69 8.31 0.08 5.13 5.21 0.47 10.26 10.7 0.62 12.82 13.4 0.16 5.13 5.28 0.08 2.56 2.64 0.23 2.56 2.8
Hutan pegunungan tengah KR 0.04 0.24 0.12 0.04 0.12 0.24 0.28 0.2 0.16 0.12 0.16 0.16 0.04
FR 4.17 16.67 4.17 4.17 12.5 4.17 4.17 16.67 8.33 4.17 4.17 12.5 4.17
A 4.207 16.91 4.287 4.207 12.62 4.407 4.447 16.87 8.493 4.287 4.327 12.66 4.207
Menurut Seidensticker (1976) dalam Gunawan (1988), macan tutul lebih sering memangsa satwa ungulata dan primata dengan ukuran berat badan antara 25-50 kg. Satwa ungulata yang tersedia melimpah di TNGHS adalah babi hutan, kancil, dan kijang, sedangkan primata yang tersedia melimpah adalah lutung, surili, dan owa jawa. Berdasarkan perbandingan tiga tipe habitat sebagai lokasi pengambilan contoh, juga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara semua pasangan H’ satwa mangsa yang diperbandingkan.
37
Tabel V-19. Rekapitulasi uji t perbandingan indeks keanekaragaman (H’) satwa mangsa macan tutul jawa Tipe Habitat
Hutan Pegunungan Bawah Sekunder
Hutan Pegunungan Bawah Sekunder Hutan Pegunungan Bawah Primer Hutan Pegunungan Tengah
Hutan Pegunungan Bawah Primer -5.50092463*
Hutan Pegunungan Tengah -5.441039* 0.5586362*
Keterangan: *) non-significant
Berdasarkan tabel V-19, tidak ada perbedaan yang signifikan antara keanekaragaman jenis satwa mangsa macan tutul jawa di semua tipe habitat. Hal ini berarti macan tutul jawa tidak memiliki preferensi terhadap jenis satwa tertentu, artinya macan tutul jawa dapat memakan jenis satwa mangsa apa saja. Kenyataan tersebut didukung pula oleh perhitungan indeks kesamaan jenis (similiarity index) dengan menggunakan indeks kesamaan Sorensen. Tabel V-20. Rekapitulasi indek kemiripan komunitas (IS) satwa mangsa macan tutul jawa Tipe Habitat
Hutan Pegunungan Bawah Sekunder
Hutan Pegunungan Bawah Sekunder Hutan Pegunungan Bawah Primer Hutan Pegunungan Tengah
Hutan Pegunungan Bawah Primer 0.636
Hutan Pegunungan Tengah 0.700 0.393
Nilai indeks kemiripan komunitas yang rendah menunjukkan adanya perbedaan yang struktur jenis-jenis penyusun suatu komunitas (Gunawan 2010). Hal ini berarti macan tutul jawa dapat memakan jenis apa saja, selama satwa mangsa tersebut tersedia dan mudah didapat. 5.1.1.4 Ketersediaan Air Macan tutul jawa memanfaatkan sumber air untuk berburu mangsa karena mangsanya umumnya berkumpul di sekitar sumber air. Di lokasi penelitian terdapat tujuh sumber air yang terdapat pada lintasan jalur pengamatan. Sumber air yang ditemukan berbentuk sungai, rawa, air terjun, dan rembesan goa.
38
Tabel V-21. Sumber air di TNGHS Sumber air
Bentuk sumber air
Ketersediaan sumber air Tidak Tersedia tersedia sepanjang sepanjang tahun tahun
Sungai Cikaniki
Sungai
-
Sungai Pameungpeuk
Sungai
-
Curug macan
Air terjun, rembesan goa
-
Sungai Cibogo
Sungai
-
Parit Ciparay
Aliran parit
-
Rawa Cibeunteur
Rawa
-
-
Sungai Ciherang Sungai Keterangan : (ada)
Tipe habitat
Hutan pegunungan bawah primer Hutan pegunungan tengah Hutan pegunungan bawah primer Hutan pegunungan tengah Hutan pegunungan bawah sekunder Hutan pegunungan bawah sekunder Hutan pegunungan tengah
- (tidak ada)
Sungai Cikaniki, Sungai Pameungpeuk, Sungai Ciherang, Sungai Cibogo, dan Sungai Ciparay termasuk ke dalam sumber air yang tersedia sepanjang tahun. Hal ini karena sumber air tersebut berada di kawasan hulu yang curah hujannya cukup tinggi. Sungai-sungai tersebut masih terlindungi karena berada di kawasan rimba yang tumbuhan sekitarnya masih terjaga.
a
b
c
d
Gambar V-6 Sumber air TNGHS di lokasi penelitian: a) Curug Macan; b) Aliran menuju rawa Cibeunteur; c) Sungai Pameungpeuk; dan d) Sungai Cibogo.
Curug macan merupakan sumber air yang tidak tersedia sepanjang tahun. Curug macan menjadi sumber air ketika musim penghujan, yang merupakan
39
tampungan dari rembesan air hujan dari atas goa dan luapan sungai Cikaniki yang berarus deras selama musim penghujan. Penelitian di hutan pegunungan bawah sekunder menemukan jejak kaki kucing hutan dan babi hutan di sepanjang tepi aliran parit. Di hutan pegunungan bawah primer ditemukan jejak kaki macan tutul jawa berukuran 5 cm x 4 cm dan 7 cm x 6 cm beriringan, yang diduga merupakan jejak kaki macan tutul jawa betina dan anaknya. Perilaku mengasuh anak oleh macan tutul jawa di sekitar sumber air diduga karena di tempat tersebut akan dengan mudah mengintai buruan untuk memberi makan anak macan tutul jawa tanpa meninggalkan anaknya lebih jauh ketika berburu. 5.1.1.5 Gangguan Habitat Gangguan habitat yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak selama tahun 2007-2009 adalah penambangan emas tanpa ijin, penebangan liar, perambahan hutan, pengambilan kayu bakar, pendakian tanpa ijin, pencurian tumbuhan khas, dampak wisata alam yang tidak terorganisir dengan baik, dan penggembalaan ternak di kawasan hutan. Menurut Ahmad (2007) perburuan, kebakaran hutan, kegiatan pariwisata, dan kegiatan lain di dalam hutan juga dapat mengganggu macan tutul jawa. Tabel V-22. Gangguan habitat di TNGHS Hutan No Jenis gangguan pegunungan bawah sekunder 1 Penambangan emas tanpa ijin 2 Penebangan liar 3 Perambahan hutan 4 Pengambilan kayu bakar 5 Pendakian tanpa ijin 6 Pencurian tumbuhan khas 7 Dampak wisata alam massal 8 Penggembalaan hewan ternak Keterangan : (ada) - (tidak ada)
Tipe habitat Hutan pegunungan bawah primer -
Hutan pegunungan tengah -
Selama penelitian, ditemukan gangguan terhadap hutan di setiap lokasi. Di hutan sekunder Cisoka ditemukan pembukaan lahan oleh masyarakat dengan cara mematikan beberapa pohon yang akan ditebang (di blok Gunung Pari menuju Gunung Endut). Masyarakat Cisoka menggembalakan ternaknya setiap pagi dan sore hari melewati hutan. Hal ini menyebabkan kerusakan tumbuhan bawah di sekitar jalur lalu lintas satwa serta menyebabkan tanah menjadi gembur dan
40
sedikit berair. Bentuk topografi hutan sekunder Cisoka memiliki lereng-lereng terjal yang gundul sehingga apabila tidak direhabilitasi akan terjadi erosi tanah. Longsor hebat pernah terjadi di Cisoka pada tahun 2001 dan 2009. Di hutan pegunungan bawah primer Cikaniki-Citalahab ditemukan kayu gelondongan yang belum sempat diangkut. Di sekitar Gunung Kendeng ditemukan tonggak bekas tebangan. Hutan Cikaniki-Citalahab merupakan kawasan yang dikelilingi oleh beberapa perkampungan dan kebun teh, sehingga memiliki akses yang mudah bagi masyarakat untuk masuk ke hutan.
a
b
c
d
Gambar V-7 Gangguan hutan di TNGHS: a) Wisata alam yang tidak terorganisir dengan baik; b) Penebangan liar; c) Perambahan hutan; dan d) Penggembalaan liar.
Di hutan pegunungan tengah blok Kawah Ratu ditemukan tonggak bekas tebangan pohon sebanyak lima buah yang berdiameter ± 25 cm. Blok Kawah Ratu merupakan daerah wisata alam yang ramai dikunjungi wisatawan lokal, terutama pada hari libur. Gangguan habitat yang utama bagi macan tutul jawa adalah perambahan hutan dan wisata alam secara massal. Perambahan hutan menyebabkan luas habitat bagi satwaliar semakin menyempit (Lestari 2006). Wisata alam secara massal menciptakan keramaian yang menyebabkan macan tutul jawa semakin terdesak ke dalam hutan yang lebih sepi, hal ini dikarenakan macan tutul jawa termasuk satwa yang sensitif terhadap kehadiran manusia. Pada hutan pegunungan tengah ditemukan jejak kaki macan tutul yang membelok dari lintasan jalur
41
menuju semak dan ditemukannya bekas jejak kaki macan tutul jawa yang terinjak oleh sepatu pengunjung. Hal ini membuktikan bahwa habitat macan tutul jawa telah dimasuki aktivitas manusia yang dapat mengganggunya. 5.1.2 Tingkat Perjumpaan dan Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa 5.1.2.1 Tingkat Perjumpaan Macan Tutul Jawa Di seluruh lokasi pengamatan ditemukan tanda-tanda keberadaan macan tutul jawa berupa jejak kaki, kotoran, suara, cakaran di tanah, dan cakaran di batang pohon. Identifikasi jejak kaki menghasilkan jumlah individu yang ditemukan di setiap tipe habitat yang diamati (tabel V-23). Tabel V-23. Jumlah individu macan tutul jawa di masing-masing tipe habitat No
Tipe vegetasi dan jalur
Jumlah kontak
Individu/jalur
A. Hutan Pegunungan Bawah Sekunder 1
Koridor
17
2 ekor
2
Gunung Endut-Pari
4
1 ekor
B. Hutan Pegunungan Bawah Primer 1
Gunung Kendeng
13
2 ekor
2
Wates
7
2 ekor
C. Hutan Pegunungan Tengah 1
Cibogo
8
1 ekor
2
Kawah Ratu
4
2 ekor
53
8 individu berbeda
Jumlah
*Pengidentifikasian individu Panthera pardus melas sederhana berdasarkan pada perbedaan ukuran jejak kaki dan wilayahnya
Hasil identifikasi jejak kaki menemukan delapan individu macan tutul yang berbeda. Identifikasi dilakukan melalui perbedaan ukuran jejak kaki dan jarak wilayah penelitian yang satu dengan yang lainnya. Di hutan pegunungan bawah sekunder ditemukan jejak kaki berukuran 6 cm x 5 cm dan berukuran 8 cm x 7 cm. Di hutan pegunungan bawah primer terdapat empat buah jejak kaki, yaitu 6 cm x 5,5 cm, 7 cm x 6 cm, 8 cm x 7 cm, dan 5 cm x 4 cm. Di hutan pegunungan tengah ditemukan dua buah jejak kaki, yaitu 6,5 cm x 6 cm dan 9,5 cm x 8,5 cm.
42
Gambar V-8 Jejak kaki macan tutul jawa di jalur Koridor Cisoka.
Menurut panjang jalur yang digunakan, tingkat perjumpaan macan tutul tertinggi di hutan pegunungan bawah primer yaitu di blok Cikaniki-Citalahab. Sementara itu, tingkat perjumpaan macan tutul terendah di hutan pegunungan tengah yaitu di daerah blok Cidahu. Tabel V-24. Tingkat perjumpaan dan kelimpahan relatif macan tutul jawa Tipe Habitat Hutan Pegunungan Bawah Sekunder Hutan Pegunungan Bawah Primer Hutan Pegunungan Tengah
Encounter rate (ind/km) 0.27 0.93 0.24
Kepadatan relatif (ind/km2) 0.09 0.31 0.08
Selain jejak kaki, selama penelitian juga ditemukan tanda-tanda aktivitas macan tutul jawa lainnya yaitu kotoran dan bekas cakaran. Menurut Eisenberg dan Lockhart
(1972)
tanda
tersebut
merupakan
cara
macan
tutul
jawa
mempertahankan daerah teritori.
a
b
c
Gambar V-9 Tanda aktivitas macan tutul jawa: a) Scrape (cakaran di tanah); b) Kotoran; dan c) Scratch (cakaran di batang pohon).
Untuk mengetahui wilayah territorial macan tutul digunakan tanda-tanda pada aktivitas membuang kotoran, scrape (cakaran di tanah) dan scratch (cakaran di batang pohon).
43
Untuk mencari ada atau tidaknya keterkaitan tersebut digunakanlah uji statistik chi square. Hipotesis yang digunakan adalah: Ho
Tidak ada hubungan antara tanda-tanda aktivitas macan tutul jawa dengan tipe habitat
H1
Ada hubungan antara tanda-tanda aktivitas macan tutul jawa dengan tipe habitat Pengujian dilakukan dengan melibatkan tiga tipe habitat, aktifitas yang
teramati, dan penggunaan proporsi areal pengamatan selama penelitian. Tabel V-25. Frekuensi harapan tanda-tanda aktivitas macan tutul jawa di berbagai tipe habitat Tipe habitat Hutan Sekunder Hutan Pegunungan Bawah Hutan Pegunungan Tengah Jumlah
Jumlah aktivitas teramati (ni=oi) 21 20 12 53
Proporsi areal pengamatan (ai) 0.224 0.261 0.515 1
Harapan jumlah aktivitas (Σ ni. ai = ei) 11.885 13.812 27.303 53
oi-ei 9.115 6.188 -15.303
(oi-ei)2/ei 6.991 2.772 8.577 18.340
Pengujian statistik chi square tersebut menghasilkan keputusan untuk menerima Ho dan menolak H1, berarti aktifitas yang dilakukan oleh macan tutul tidak dapat dipengaruhi oleh tipe habitatnya. Berdasarkan hasil uji chi square menunjukkan bahwa χ2hitung lebih kecil daripada χ2tabel (21,026). Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa tipe habitat tertentu tidak dipilih macan tutul jawa untuk tipe aktivitas tertentu. Tabel V-26. Aktivitas teritorial macan tutul jawa No
Tipe habitat
A. Hutan Pegunungan Bawah Sekunder 1 Koridor 2 Gunung Endut-Pari B. Hutan Pegunungan Bawah Primer 1 Gunung Kendeng 2 Wates C. Hutan Pegunungan Tengah 1 Cibogo 2 Kawah Ratu Jumlah
Jenis aktivitas yang ditemui Kotoran Scrape Scratch 1 1
3 2
1 0
4 1
2 2
1 0
0 0 7
3 0 12
0 0 2
Berdasarkan tabel V-26, dapat dilihat bahwa seluruh tipe habitat penelitian terdapat aktifitas teritorial bagi macan tutul. Hal ini menunjukkan bahwa habitat tersebut sering digunakan oleh macan tutul dan akan selalu dipertahankan sebagai wilayah teritorialnya.
44
Tabel V-27. Frekuensi penemuan jejak kaki macan tutul jawa No Tipe habitat A. Hutan Pegunungan Bawah Sekunder 1 Koridor 2 Gunung Endut-Pari B. Hutan Pegunungan Bawah Primer 1 Gunung Kendeng 2 Wates C. Hutan Pegunungan Tengah 1 Cibogo 2 Kawah Ratu Jumlah
Jumlah jejak kaki 10 1 6 4 4 4 29
Menurut Santiapillai dan Ramono (1992), wilayah jelajah macan tutul pada habitat yang belum terganggu seluas 10 km2 per individu. Eisenberg dan Lockhart (1972) menyatakan bahwa macan tutul jantan dan betina dapat mendiami daerah perburuan yang sama. Penghitungan jejak kaki di hutan pegunungan bawah sekuder lebih tinggi karena lokasi ini merupakan koridor antara Gunung Pari dan Gunung Tenggek, sehingga lalu lintas satwa mangsa khususnya babi hutan. Macan tutul berburu mengikuti wilayah jelajah mangsanya. Penghitungan jejak terendah berada di hutan pegunungan tengah karena jalur pengamatan merupakan jalur pendakian atau lalu lintas manusia, sehingga banyak aktifitas jelajah macan tutul yang terganggu. Penelitian ini belum meneliti mengenai perhitungan luas jelajah macan tutul di TNGHS. 5.1.2.2 Sebaran Spasial Macan Tutul Jawa Pola sebaran macan tutul di TNGHS berdasarkan sebaran scrape, scratch, kotoran, suara, dan jejak kaki yang disajikan pada tabel V-28. Tabel V-28. Analisis pola sebaran macan tutul jawa di TNGHS Metode Analisis Data Indeks Dispersion (ID) a. Hutan pegunungan bawah sekunder b. Hutan pegunungan bawah primer c. Hutan pegunungan tengah
Nilai
Bentuk sebaran
ID= 0,16 ID= 0 ID= 0,16
Homogen Homogen Homogen
Analisis data sebaran aktifitas tersebut menggunakan pendekatan nilai indeks dispersion (Majid 2009). Perhitungan menggunakan index of dipersion menunjukkan bahwa macan tutul jawa di masing-masing tipe habitat menyebar homogen. Penyebaran macan tutul jawa yang homogen diduga karena satwa ini memiliki sifat soliter dan mempunyai teritori masing-masing. Individu macan tutul jawa yang sudah memiliki teritori akan mempertahankan wilayahnya dan
45
berusaha untuk tidak memasuki wilayah teritori macan tutul jawa lainnya, sehingga akan terbentuk suatu pola penyebaran yang homogen. Penyebaran maupun keberadaan macan tutul tidak ditentukan oleh tipe habitat tertentu melainkan ditentukan oleh masing-masing komponen habitat yang dibutuhkannya (tempat berlindung, berburu, dan lain-lain). Macan tutul jawa dapat hidup di mana saja asalkan mempunyai cover, satwa mangsa, dan aman dari gangguan manusia.
Gambar V-10 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari sungai di hutan pegunungan bawah sekunder.
Berdasarkan jaraknya dari sumber air utama berupa sungai, keberadaan macan tutul jawa dibedakan pada selang 500 meter dari sungai, dan terdapat empat selang jarak dari sungai. Kemudian, jumlah perhitungan aktivitas tersebut diuji menggunakan uji statistik regresi linier. Tabel V-29. Jumlah jejak macan tutul jawa dan satwa mangsa yang ditemukan berdasarkan jarak dari sungai Jarak dari sungai 0-100 m 100-250 m 250-500 m >500 m
Jejak kaki macan tutul jawa 31 15 23 2
Jejak satwa mangsa 8 8 11 1
Jarak 250-500 meter dari sungai merupakan lokasi ditemukannya jumlah jejak kaki macan tutul jawa dan satwa mangsanya dalam jumlah yang tertinggi.
46
Nilai pertemuan tanda-tanda aktivitas macan tutul jawa dan satwa mangsanya yang paling sedikit berada pada selang jarak diatas 500 meter. Semakin menjauhi sungai, maka aktivitas macan tutul jawa maupun satwa mangsanya akan semakin sedikit. Namun, jarak paling sering ditemukan tanda-tanda keberadaan macan tutul jawa terdapat di selang jarak 250-500 meter.
Gambar V-11 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari sungai di hutan pegunungan bawah primer.
Untuk mengetahui keterkaitan antara jarak sungai dan satwa mangsa terhadap keberadaan macan tutul jawa dilakukan uji statistik regresi linier dan menghasilkan Y= -5,29a + 1,45b + 20,8 dimana y= jejak kaki macan tutul jawa, a = jarak dari sungai dan b = jejak satwa mangsa. Perpaduan jarak sungai dan jumlah jejak satwa mangsa memiliki keterkaitan terhadap jumlah jejak kaki macan tutul jawa yang sangat erat karena nilai r = 0,85, namun pada taraf nonsignifikan karena berada pada P > 0,05 (Nugroho 2005). Hal ini menunjukkan, adanya hubungan yang sangat erat antara perpaduan jarak sungai dan satwa mangsa, namun tidak termasuk yang paling berpengaruh terhadap keberadaan macan tutul jawa.
47
Gambar 21 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari sungai di hutan pegunungan tengah.
Macan tutul jawa akan mengikuti jalur yang dilewati oleh satwa mangsanya agar bisa mendapatkan makanannya. Macan tutul akan mencari daerah yang memiliki semak tinggi untuk bersembunyi mengintai mangsa. Sumber air juga merupakan tempat yang disukainya untuk berburu ketika musim kemarau, karena satwa mangsa secara bergantian akan mendatangi tempat ini.
Gambar V-13 Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari pemukiman di hutan pegunungan bawah sekunder.
48
Macan tutul jawa sensitif terhadap aktivitas manusia, karena macan tutul jawa merupakan jenis satwa yang pemalu dan cenderung menghindar dari manusia. Macan tutul jawa memang sering ditemukan memasuki pemukiman masyarakat sekitar, namun aktivias macan tutul jawa sebenarnya selalu terpusat di dalam hutan dimana terdapat cover dan satwa mangsa yang melimpah.
Gambar V-14
Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari pemukiman di hutan pegunungan bawah primer.
Berdasarkan jarak dari pusat gangguan yaitu pemukiman masyarakat, maka jaraknya dibedakan dalam selang 500 m sehingga ada empat selang jarak dari pemukiman. Dari jumlah jejak satwa mangsa dan jarak dari pemukiman dilakukan uji regresi linier keterkaitan antara jumlah jejak kaki macan tutul jawa dengan jarak dari pusat pemukiman. Tabel V-30. Jumlah jejak macan tutul jawa dan satwa mangsa yang ditemukan berdasarkan jarak dari pemukiman Jarak dari pemukiman 0-500 m 500-1000 m 1000-2000 m >2000 m
Jejak kaki macan tutul jawa 0 0 19 10
Jejak satwa mangsa 0 2 29 42
Berdasarkan tabel V-30, macan tutul jawa dan satwa mangsa tidak ditemukan pada jarak 500 meter dari pemukiman, namun pada jarak 500-1.000 meter ditemukan jejak satwa mangsa. Satwa mangsa terbanyak berada di jarak lebih jauh dari 2 km dari pemukiman. Jejak kaki macam tutul jawa terbanyak
49
ditemukan pada jarak 1-2 km. Hal ini diduga karena keberadaan satwa mangsa juga tinggi di selang jarak tersebut.
Pemukiman
Gambar V-15
Peta distribusi macan tutul jawa dan satwa mangsa pada jalur pengamatan berdasarkan jarak dari pemukiman di hutan pegunungan tengah.
Untuk mengetahui keterkaitan antara jarak sungai dan satwa mangsa terhadap keberadaan macan tutul jawa dilakukan uji statistik regresi linier dan menghasilkan Y= 4,7a + 0,629 b – 16,1 dimana y= jejak kaki macan tutul jawa, a = jarak dari pemukiman dan b = jejak satwa mangsa. Perpaduan jarak sungai dan jumlah jejak satwa mangsa memiliki keterkaitan terhadap jumlah jejak kaki macan tutul jawa yang erat karena nilai r = 0,65, namun pada taraf non-signifikan karena berada pada P > 0,05. Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara perpaduan jarak pemukiman dan satwa mangsa, namun tidak termasuk yang paling berpengaruh terhadap keberadaan macan tutul jawa. 5.2 Pembahasan 5.2.1 Karakteristik Habitat Macan Tutul Jawa 5.2.1.1 Struktur dan Komposisi Vegetasi Pada inventarisasi tingkat perjumpaan macan tutul jawa menunjukkan bahwa hutan pegunungan bawah sekunder merupakan tipe habitat yang paling banyak ditemukan aktivitas macan tutul jawa di dalamnya berupa kotoran, scrape (cakaran di tanah), dan scratch (cakaran di pohon). Hal ini dikarenakan hutan
50
pegunungan bawah sekunder di Koridor maupun Gunung Endut memiliki bentuk vegetasi yang sebagian besar merupakan hutan-hutan yang tersisa dari perambahan. Selain itu, di wilayah ini banyak dijumpai tumbuhan-tumbuhan bawah yang tumbuh pasca perambahan seperti pakis-pakisan, cariu (Entada phaseoloides), dan ki tai (Dysoxylum amooroides). Tumbuhan bawah merupakan tumbuhan yang menjadi pakan satwa-satwa mangsa macan tutul jawa. Di lokasi pengamatan, terdapat bekas-bekas sungkuran dan korehan dari satwa mangsa seperti babi hutan, ayam hutan, maupun trenggiling. Hutan pegunungan bawah sekunder juga memiliki karakteristik wilayah peralihan antara hutan tertutup dan hutan terbuka yang menjadi tempat ideal bagi macan tutul jawa untuk mengintai mangsanya. Hutan pegunungan bawah primer TNGHS berbatasan langsung dengan perkebunan teh Nirmala Agung. Perkebunan teh kerap kali menjadi habitat dan lalu lintas rutin bagi satwa-satwa mangsa seperti babi hutan, sigung, dan musang. Di dalam hutan primernya, hutan pegunungan bawah memiliki topografi terjal yang di bawahnya terdapat sungai dan air terjun. Vegetasi tidak terlalu rapat dan sedikitnya tumbuhan bawah memungkinkan satwa mangsa terlihat lebih jelas oleh macan tutul jawa. Pada hutan pegunungan bawah sekunder tidak terdapat pohon berdiameter besar atau berbanir sehingga peluang menemukan cover untuk berlindung semakin kecil, namun di tempat ini terdapat banyak tumbuhan bawah yang tumbuh sepanjang aliran sungai yang merupakan tempat strategis bagi macan tutul jawa mencari mangsanya. Tajuk pohon yang masih rapat, lebar, dan tinggi menjadi tempat mencari makan bagi kelompok primata seperti lutung, owa, dan surili di hutan pegunungan tengah. Hutan pegunungan tengah juga memiliki banyak cover untuk macan tutul jawa berupa kerapatan pohon yang tinggi, dan terdapat areal yang memiliki rumpun bambu di ketinggian 1100 mdpl, namun perjumpaan dengan satwa mangsa sangat sulit, mengingat daerah ini merupakan daerah wisata yang banyak dikunjungi oleh manusia.
51
5.2.1.2 Ketersediaan Cover A. Tempat Berlindung Macan tutul jawa membutuhkan vegetasi untuk melindungi dirinya dari terik matahari. Tajuk pohon yang memiliki kerapatan tinggi sangat disukai oleh macan tutul jawa (Afnan 2009) karena ini dapat melindungi macan tutul jawa dari panas matahari. Kerapatan tajuk pohon mempengaruhi intensitas cahaya matahari yang menyentuh lantai hutan, sehingga fungsi utama dari cover tajuk pohon adalah sebagai thermal cover. Cover thermal ditemukan di seluruh lokasi penelitian. Sebagian besar tumbuhan tinggi, rimbun, dan besar yang menjadi pelindung panas bagi macan tutul jawa adalah jenis kiriung anak (Castanopsis acuminatisima). Kiriung anak merupakan salah satu jenis yang dominan dan ditemukan di seluruh lokasi penelitian. Kiriung anak juga memiliki batang besar dan tinggi sehingga memudahkan macan tutul jawa untuk bersembunyi dan scratching, sebagai tanda teritorinya. B. Tempat Istirahat (Sheltering) Batang pohon besar berbanir dipilih macan tutul jawa sebagai tempat istirahat dan menyembunyikan sisa makanannya dari satwa lain (Gunawan 2010). Di daerah pegunungan hanya sedikit pohon yang memiliki banir lebar, sehingga menjadi faktor yang sangat penting bagi hidup macan tutul. Batang pohon yang besar dapat membantu macan tutul jawa bersembunyi ketika mengintai satwa mangsanya. Di pohon yang besar juga macan tutul jawa dapat menandai wilayahnya dengan menggarukkan scratch di pangkal batang. Pohon yang besar dan tinggi dapat menjadi tempat istirahat macan tutul jawa dan mudah untuk dipanjat. Pohon-pohon pegunungan yang besar diantaranya pasang (Quercus sundaica),
puspa
(Schima
walichii),
dan
kiriung
anak
(Castanopsis
acuminatisima). Rumpun bambu selama penelitian hanya ditemukan di hutan pegunungan tengah. Macan tutul jawa senang menggunakan rumpun bambu sebagai cover karena bambu tumbuh berkelompok rapat dalam satu rumpun sehingga menjadi tempat bersembunyi dan beristirahat yang aman dan nyaman (Ahmad (2007).
52
C. Tempat Berburu Mangsa Tumbuhan bawah, semai, dan pancang yang rimbun merupakan tempat aman bagi satwa untuk bersembunyi. Bagi macan tutul jawa, vegetasi tersebut digunakan sebagai tempat bersembunyi dari mangsanya ketika mengintai dalam perburuan. Di hutan pegunungan bawah sekunder, semak rimbun diduga digunakan macan tutul jawa untuk mengintai mangsanya. Hal ini diindikasikan oleh adanya jejak kaki macan tutul jawa dan babi hutan di jalur pengamatan Koridor-Gunung Tenggek. Hutan pegunungan bawah sekunder memiliki cover semak yang baik untuk macan tutul jawa karena bentunya yang tinggi dan rapat. Di hutan pegunungan bawah sekunder pula, terdapat suatu area yang digunakan macan tutul jawa diduga untuk mengejar mangsanya yang memiliki karakteristik area terbuka yang lebih luas dari sekitarnya dan ditumbuhi semak yang tinggi. Tampak banyak jejak kaki macan tututl jawa dan babi hutan yang tidak beraturan di area tersebut dengan arah yang sama dan berdekatan. Rumpun bambu dan batang pohon besar digunakan macan tutul jawa untuk beristirahat karena bentuknya yang lebar dan rimbun sehingga aman dan teduh. Masing-masing tipe habitat memuliki tipe cover yang berbeda-beda karakteristiknya. Jadi, macan tutul jawa tidak memilih tipe habitat tertentu untuk hidup, namun lebih memilih tempat yang aman dari gangguan manusia maupun satwa lainnya untuk memelihara anak-anaknya, dan menyediakan banyak peluang untuk mendapatkan satwa mangsa dan tempat istirahat. D. Tempat Mengasuh Anak Goa di TNGHS terdapat di hutan pegunungan bawah sekunder dan hutan pegunungan bawah primer. Goa secara umum berfungsi sebagai tempat istirahat, melahirkan, dan mengasuh anak macan tutul jawa. Goa juga secara jelas dapat mengindikasikan bahwa di daerah tersebut kemungkinan besar terdapat macan tutul jawa khususnya macan tutul jawa betina dan anak-anaknya yang masih kecil (Afnan 2009). Karakteristik goa di masing-masing lokasi penelitian sangat berbeda. Goa di hutan pegunungan bawah sekunder merupakan goa di tengah-tengah kerapatan hutan yang tinggi, yang sebagian besar merupakan batu kapur yang dinamakan
53
Cadas Putih, namun goa yang terdapat di hutan pegunungan bawah primer merupakan goa yang terletak di dekat sungai yang memiliki air terjun yang dinamakan Curug Macan. Penemuan jejak kaki macan tutul di hutan menuju Goa Macan cukup sering dan termasuk ke dalam jejak-jejak kaki macan tutul jawa yang baru tercetak. Hal ini menunjukkan bahwa goa ini diduga sering dilewati oleh macan tutul jawa. Goa di hutan pegunungan bawah primer besar diduga sudah jarang dipakai lagi sebagai tempat istirahat karena keadaan goa itu sekarang sering terendam air sungai yang meluap saat hujan turun. Hutan pegunungan bawah primer relatif aman terhadap gangguan manusia maupun satwa karnivora pesaing lainnya, seperti ajak (Cuon alpinus), yang tidak ditemukan tanda keberadaannya selama penelitian. Hal ini memungkinkan macan tutul jawa di hutan pegunungan bawah dapat dengan mudah mencari alternatif tempat mengasuh anak di wilayah tersebut. Goa di hutan pegunungan bawah sekunder juga mempunyai indikasi masih digunakan oleh macan tutul jawa karena terdapat bekas-bekas aktivitas macan tutul jawa di sekitarnya berupa jejak kaki dan scratch. Goa di hutan pegunungan bawah sekunder berupa batuan kapur yang membentuk lubang. Di daerah ini pula terdengar suara macan tutul jawa di pagi hari. Goa ini terletak jauh dari jalur utama sehingga memungkinkan menjadi persembunyian yang aman bagi macan tutul jawa. 5.2.1.3 Ketersediaan Mangsa Ketersediaan mangsa merupakan salah satu komponen yang penting bagi satwaliar. Makanan juga menjadi faktor pembatas (Alikodra 2002), artinya makanan harus selalu tersedia baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Sebaran satwa karnivora akan mengikuti sebaran satwa mangsanya (Bailey 1984 dalam Gunawan 2010). Dengan demikian, dimana satwa mangsa melimpah, di daerah tersebut satwa karnivora juga diduga akan melimpah. Satwa mangsa di hutan pegunungan bawah primer yang berada pada kelas common (biasa dijumpai) adalah babi hutan (Sus scrofa) dan ayam hutan (Gallus gallus). Pada kotoran yang ditemukan di hutan pegunungan bawah primer, macan tutul jawa diduga memangsa landak (Hystrix javanica), babi hutan (Sus scrofa), dan surili (Presbytis comata). Hal ini didukung oleh data inventarisasi bahwa di
54
hutan pegunungan bawah primer ditemukan babi hutan, landak, dan surili serta pernyataan Hart et al (1996) bahwa komposisi makanan macan tutul terdiri atas 53,5% ungulata dan 25,4% primata. Macan tutul jawa menyukai jenis ungulata diduga karena satwa ungulata beraktivitas di lantai hutan yang memungkinkan macan tutul jawa akan dengan mudah menyergap ketika memangsa satwa tersebut. Hutan pegunungan bawah sekunder mempunyai tingkat perjumpaan babi hutan terbesar. Hal ini dikarenakan kawasan hutan langsung berbatasan dengan perkebunan masyarakat yang menyediakan banyak makanan untuk babi hutan. Keadaan hutan yang dipenuhi tumbuhan bawah yang merupakan makanan utama babi juga tersedia melimpah. Babi hutan merupakan salah satu satwa mangsa paling banyak dimakan oleh macan tutul jawa walaupun ukuran tubuhnya lebih besar dibandingkan dengan jenis satwa mangsa yang lain. Pada kotoran macan tutul jawa yang ditemukan juga terdapat rambut babi hutan. Menurut Lestari (2006), rambut babi hutan memiliki karakteristik warna bulu yang bervariasi dari hitam sampai keputihan dan warna yang paling dominan adalah warna hitam. Bentuk rambut agak besar/tebal dan terdapat percabangan (2-3 cabang). Menurut Seidensticker (1976) dalam Gunawan (1988), macan tutul lebih sering memangsa satwa dengan ukuran berat badan antara 25-50 kg, yaitu satwa yang memiliki ukuran setengah hingga sama dengan ukuran badan macan tutul. Babi hutan menjadi salah satu mangsa yang disukai macan tutul jawa (Afnan 2009) karena mudah dijumpai di berbagai tipe habitat. Satwa mangsa yang paling banyak dijumpai di hutan pegunungan tengah adalah jenis lutung (Tracypithechus auratus). Lutung juga termasuk ke dalam mangsa yang sering diincar oleh macan tutul jawa (Anonim 1978 dalam Ahmad 2007). Lutung memiliki kebiasaan unik yang menguntungkan macan tutul jawa dalam memangsanya. Lutung hidup dalam kelompok, yang apabila terdapat ancaman mereka akan berlari tidak beraturan dan seringkali bergegas turun ke lantai hutan. Dalam situasi seperti inilah, peluang macan tutul untuk mendapatkan lutung sebagai mangsanya semakin besar. Selain memangsa satwa yang ada di hutan, macan tutul jawa kerapkali turun ke perkampungan masyarakat dan memangsa ternak-ternak mereka. Hal ini sering terjadi di hutan pegungan bawah sekunder dan hutan pegunungan tengah yang
55
berbatasan langsung dengan pemukiman warga yang memelihara ternak. Ternak yang menjadi mangsa macan tutul jawa adalah kambing. Beberapa kasus pemangsaan ini sering dilaporkan masyarakat dalam kurun waktu 2008 ke belakang terjadi lebih dari 42 kasus penyergapan ternak oleh macan tutul jawa. Setelah itu masyarakat biasanya membuat kandang ternak terpusat dekat rumahnya dengan memelihara anjing penjaga atau mereka menjual kambingkambingnya dengan beralih menjadi pekebun. Tingkat perjumpaan satwa mangsa berpengaruh terhadap keberadaan macan tutul jawa di suatu tipe habitat. Semakin mudah dan melimpah satwa tersebut dijumpai menandakan semakin mudahnya mengetahui keberadaan macan tutul di suatu tempat. Hal ini dikarenakan macan tutul akan menggunakan energi yang seminimal mungkin untuk menemukan dan mengejar mangsa. Macan tutul jawa juga termasuk satwa oportunis, artinya dia akan menggunakan peluang mendapatkan mangsa dari apa yang paling melimpah terdapat di daerah tersebut. Indeks kemiripan komunitas menunjukkan bahwa ketiga tipe habitat yang menjadi lokasi penelitian memiliki kesamaan jenis yang tidak berbeda jauh. Hal ini menguntungkan bagi macan tutul jawa karena macan tutul jawa dapat memperoleh jenis-jenis tersebut di berbagai tipe habitat tempatnya hidup. Indeks keanekaragaman jenis satwa mangsa juga menunjukkan angka yang non-signifikan,
artinya
tidak
adanya
perbedaan
yang
berarti
antara
keanekaragaman jenis di suatu tipe habitat dengan habitat lainnya. Hal ini sangat menguntungkan bagi macan tutul jawa karena pilihan pakan bagi macan tutul jawa juga banyak. Hal ini berarti keanekaragaman dan kekayaan jenis tidak berpengaruh nyata terhadap keberadaan macan tutul jawa di suatu daerah, melainkan mudah atau tidaknya satwa mangsa tersebut ditemukan sesuai pernyataan Prater (1965) dalam Hoogerwerf (1970) bahwa macan tutul akan membunuh dan makan apa saja yang mudah ditangkapnya. Faktor yang paling berpengaruh bagi macan tutul jawa adalah ketersediaan (availability) satwa mangsa. Kepadatan relatif dan frekuensi relatif satwa mangsa sangat mempengaruhi ketersediaan satwa mangsa di alam. Dengan begitu, semakin melimpah dan frekuensi ditemukannya satwa mangsa itu semakin mudah,
56
kemungkinan akan menyebabkan ketersediaan satwa mangsa bagi macan tutul jawa di alam akan semakin melimpah. 5.2.1.4 Ketersediaan Air Kebanyakan satwa memenuhi kebutuhan airnya dengan minum dari air permukaan (Shaw 1985 dalam Gunawan 2010). Di hutan pegunungan bawah sekunder sumber air sebagian besar adalah parit yang akan membentuk sungai di kawasan yang lebih rendah dan rawa-rawa di genangan bekas perambahan lahan yang ditumbuhi rumput-rumput serta vegetasi bambu. Daerah pegunungan mempunyai daerah aliran air yang masih terjaga dengan baik karena merupakan daerah hulu. Berbagai sumber air dapat ditemukan di daerah ini. Sumber air yang ditemukan selama penelitian adalah sungai, air terjun, rembesan goa, aliran parit, dan rawa. Sungai merupakan salah satu sumber air yang paling banyak ditemukan di daerah pegunungan. Sungai memiliki arus dan kedalaman yang bervariasi. Kebanyakan sungai-sungai di hutan pegunungan bawah primer, merupakan jenis sungai dengan arus deras dan lebar. Sungai Cikaniki merupakan sungai besar yang terdapat di hutan pegunungan bawah. Di sungai ini terdapat goa yang dulu sering digunakan oleh macan tutul. Sungai tersebut juga memiliki air terjun di dekat goa. Kualitas fisik sumber air ini sangat baik dilihat dari kejernihan dan tidak ada sampah di dalamnya. Beberapa jejak kaki macan tutul banyak ditemukan di pinggir sungai ini. Hal ini diduga bahwa macan tutul jawa seringkali melewati daerah ini. Kenyataan ini didukung pula oleh keterangan masyarakat yang tidak sengaja melihat macan tutul jawa di sekitar daerah ini. Menurut Amir (komunikasi pribadi 2010), laporan masyarakat yang melihat macan tutul jawa di subuh dan malam hari beberapa kali menunjukkan mereka menemukannya di daerah ini. Sungai di hutan pegunungan tengah merupakan sungai kecil yang mengalir dari arah kawah yang di daerah lebih rendahnya lagi akan menjadi sungai lebih besar yang digunakan masyarakat dan pengelola wisata sekitar untuk memenuhi kebutuhan air mereka. Terdapat beberapa air terjun, yang menjadi salah satu karakteristik bentuk air di daerah pegunungan. Sungai di daerah hutan sekunder sangat terbatas. Sungai kerapkali ditemukan hanya dalam bentuk aliran parit dan air rawa. Aliran parit ini
57
digunakan masyarakat untuk kebutuhan air mereka sehari-hari sedangkan daerah rawa banyak terdapat di daerah terbuka. Macan tutul jawa merupakan kucing besar yang tidak terlalu banyak memanfaatkan air untuk minum. Macan tutul jawa juga tidak berenang seperti yang terjadi pada harimau. Macan tutul memenuhi asupan air melalui daging satwa mangsanya yang masih mengandung darah. Jadi, macan tutul hanya menggunakan sumber air sebagai tempat untuk mencari dan memangsanya. Satwa mangsa menggunakan sumber air untuk minum dan membersihkan diri. Pada musim kemarau, macan tutul jawa akan lebih mudah menemukan mangsa karena diduga aktivitas satwa mangsa berada di sekitar sumber air. Hal ini didukung oleh oleh pernyataan Bailey (1984) dalam Gunawan (2010) bahwa salah satu respon satwa terhadap kelangkaan air adalah satwa akan berkumpul di sekitar sumber air selama musim kering. 5.2.1.5 Gangguan Habitat Menurut Marker dan Dickman (2005), macan tutul akan menghindari aktivitas manusia. Untuk itulah, umumnya macan tutul akan menyukai daerah berlereng curam dan di dekat patahan tebing atau puncak punggung bukit untuk berlindung karena sulit dijangkau oleh manusia. Sumber gangguan utama bagi macan tutul jawa adalah manusia, karena bila keluar kawasan hutan dan masuk kampung, macan tutul dianggap musuh oleh masyarakat serta akan diburu dan dibunuh (Guggisberg 1975 dalam Gunawan 2010). Penebangan, pengambilan kayu bakar, dan perambahan hutan secara liar dan tanpa ijin mempunyai pengaruh yang paling besar dalam kerusakan hutan alam. Dengan mengambil sumberdaya hutan berupa kayu-kayu pohon akan mengurangi kerapatan dan jumlah individu maupun jenis pohon yang ada. Kebutuhan satwa mangsa untuk mencari sumber pakan alami mereka di hutan akan semakin berkurang. Hal ini berpengaruh juga bagi kecukupan pakan macan tutul jawa dan hilangnya cover tajuk-tajuk pohon yang sangat dibutuhkan macan tutul jawa untuk melindungi diri dari panas matahari. Semai-semai bakal pohon yang tak ternaungi pun akan mati dan regenerasi pohon akan terhambat. Pendakian tanpa ijin menimbulkan banyak masalah diantaranya masalah kawasan dan masalah sosial. Pendakian tanpa ijin dapat membahayakan nyawa
58
pendaki yang berakibat pada pertanggung jawaban taman nasional. Pendakian tanpa ijin juga akan menimbulkan gangguan terhadap keberlangsungan satwaliar di dalamnya. Pendakian yang membuka-buka jalur baru tentu saja akan merusak vegetasi-vegetasi yang dilewatinya. Hal ini tentu berdampak pada sumber pakan satwa mangsa macan tutul. Pendakian yang tidak diketahui oleh petugas sekitar juga dapat membuat satwa menjadi tidak nyaman, karena petugas sebenarnya sudah menentukan jalur-jalur mana saja yang boleh dipakai untuk pendakian resmi sehingga aktivitasnya tidak menggangu keberadaan dan kenyamanan satwa di sekitarnya. Wisata alam adalah suatu bentuk wisata yang memanfaatkan alam sebagai obyeknya. Wisata alam dinilai efektif sebagai sumber ekonomi yang berbasis alam berkelanjutan. Namun, pada prakteknya, bila wisata alam tidak dikelola dengan baik maka akan timbul dampak yang jauh lebih besar daripada keuntungan ekonominya. Para pengunjung yang tidak mempunyai kesadaran dan pengetahuan mengenai pentingnya menjaga alam akan dengan mudahnya menyebabkan gangguan-gangguan. Gangguan yang terjadi adalah dengan menimbulkan kebisingan di dalam hutan, membuang sampah sembarangan, memetik bunga, mematahkan ranting pohon, mencabuti tumbuhan bawah, merokok, atau bahkan melukai satwa dengan menangkapnya atau melemparinya. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mempunyai pekerjaan utama bercocok tanam. Untuk menggarap sawah atau kebunnya, sebagian besar masih menggunakan cara tradisional dengan menggunakan sapi atau kerbau untuk menggarapnya. Kerbau dan sapi yang digembalakan di padang rumput dalam hutan memang tidak begitu banyak mengganggu hutan, namun jika hal tersebut berlanjut dan semakin banyak masyarakat yang menggembalakan ternaknya di dalam hutan maka lama-kelamaan hutan tersebut juga akan mengalami gangguan. Gangguan yang terjadi adalah pengurangan tumbuhan bawah sebagai sumber pakan utama satwa mangsa macan tutul, merusak tekstur tanah yang akan menimbulkan penyerapan air dan erosi, serta menimbulkan ketidaknyamanan satwaliar-satwaliar di dalamnya oleh aktivitas penggembalaan yang padat.
59
5.2.2.1 Tingkat Perjumpaan Macan Tutul Jawa Kepadatan relatif macan tutul jawa terbesat berada di hutan pegunungan bawah primer. Hal ini dikarenakan dengan banyaknya ketersediaan satwa mangsa yang beranekaragam jenisnya yang mudah ditemukan dalam luasan yang tidak terlalu besar berada di tipe hutan ini. Di hutan pegunungan bawah primer juga terdapat sungai dengan tumbuhan bawah yang tumbuh subur di sekitar sungai, yang menyebabkan satwa terkonsentrasi di daerah ini. Jejak kaki baru dari macan tutul jawa juga ditemukan pada selang waktu dua hari pergantian dalam jumlah yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa daerah ini diduga sering dilewati oleh macan tutul jawa. Kegiatan mengasuh anak diduga juga dilakukan macan tutul jawa di daerah ini karena terdapat goa dan lingkungan yang jauh dari keramaian lalu lintas manusia. Terdapat jejak macan tutul jawa yang masih kecil diikuti jejak macan tutul jawa dewasa yang terdapat disepanjang jalur pengamatan di pinggir sungai hutan pegunungan bawah primer. Macan tutul jawa mengasuh anaknya di tepian sungai diduga karena daerah tersebut sangat berpotensi bagi macan tutul jawa dewasa untuk mendapatkan mangsa lebih mudah tanpa meninggalkan anaknya terlalu jauh ketika berburu. Kepadatan relatif terendah terdapat di hutan pegunungan tengah. Hal ini dikarenakan macan tutul jawa terdesak akibat aktivitas kegiatan pengunjung yang mengunjungi daerah tersebut. Hutan pegunungan tengah Cidahu termasuk daerah wisata alam. Banyak pengunjung menuju Kawah Ratu dan pendaki-pendaki yang menuju Puncak Salak I melewati jalur ini. Jalur ini merupakan jalur yang dilewati oleh macan tutul jawa karena di sepanjang jalur selalu ditemukan jejak kaki macan tutul jawa beserta satwa mangsanya seperti kijang dan babi hutan. Namun, ketika pengamatan dilakukan pagi hari, banyak jejak kaki macan tutul jawa yang rusak terinjak oleh pengunjung. Hal ini menunjukkan bahwa malam harinya macan tutul tersebut diduga melewati jalur tersebut. Beberapa jejak kaki yang ada di sepanjang jalur terbuka juga mengarah masuk ke dalam hutan yang lebih tertutup, kemungkinan besar macan tutul jawa segera bersembunyi ke dalam hutan tersebut ketika mengetahui jika ada gangguan di dekatnya.
60
Selama penelitian, ditemukan 52 aktivitas macan tutul jawa terdiri dari 29 jejak kaki, 7 kotoran, 12 scrape (cakaran di tanah), 2 scratch (cakaran di batang pohon), dan 2 kali bersuara. Aktivitas-aktivitas tersebut menandakan bahwa daerah-daerah tersebut merupakan wilayah jejalah dari masing-masing individu macan tutul jawa tersebut untuk mencari satwa mangsa dan melakukan aktivitas lainnya. Tempat-tempat itu sering digunakan dan dilewati macan tutul jawa sebagai homerange seperti yang dijelaskan Boghey (1973) bahwa homerange adalah wilayah yang dikunjungi secara tetap karena dapat mensuplai makanan, minum, serta mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung atau bersembunyi, tempat tidur, dan tempat jelajah. Aktifitas yang dilakukan oleh macan tutul tidak dapat dipengaruhi oleh tipe habitatnya. Dengan kata lain, faktor yang mempengaruhi keberadaan macan tutul jawa adalah ketersediaan pakan, air, maupun cover di tiap tipe habitatnya. Aktivitas terbanyak macan tutul jawa berada di hutan pegunungan bawah sekunder, hal ini dikarenakan hutan pegunungan bawah sekunder Cisoka memiliki suplai satwa mangsa yang melimpah, memiliki sumber air yang sedikit sehingga satwa mangsa akan terkonsentrasi di sumber air itu saja untuk kebutuhan minumnya, dan memiliki bentuk hutan dengan kerapatan tinggi berisi punggungan dan daerah peralihan terbuka yang menyediakan banyak ruang macan tutul untuk mencari satwa mangsa dengan bersembunyi di semak-semak pinggiran daerah peralihan tersebut. 5.2.2.2 Pola Sebaran Macan Tutul Jawa Alikodra (2002) menyatakan bahwa organisme atau kumpulan organisme tersebar di permukaan bumi sesuai dengan kemampuan pergerakannya atau kondisi lingkungan seperti adanya pengaruh luas kawasan, ketinggian tempat, dan letak geografis. Penyebaran satwaliar dipengaruhi oleh tingkat ketersediaan sumberdaya cover, pakan, dan air, fasilitas penunjang reproduksi, predasi, kondisi cuaca, maupun degradasi lingkungan. TNGHS memiliki desa yang hampir tersebar di seluruh pinggiran hutan, sebagian besar terdapat enclave di dalamnya. Wilayah-wilayah yang terbagi ini mendesak macan tutul jawa untuk terkonsentrasi di beberapa wilayah saja yang masih terjaga hutannya dan masih tersedia komponen-komponen habitat yang
61
cukup bagi macan tutul jawa tersebut. Ahmad (2007) juga menjelaskan bahwa wilayah penyebaran macan tutul juga dapat berkurang akibat aktivitas manusia secara langsung. Bertambah sempitnya wilayah jelajah macan tutul jawa ini dikarenakan kewaspadaannya alamiahnya terhadap perjumpaan dengan manusia dan terganggunya sejumlah aktivitas makan dan berburu karena satwa mangsa yang juga ikut menyingkir karena keberadaan manusia. Aktivitas reproduksi macan tutul jawa juga akan terganggu dengan keberadaan manusia yang akan mendesak daerah teritorinya. Hal ini akan semakin mempersulit macan tutul jawa jantan untuk menemui betina pasangannya. Pola penyebaran macan tutul jawa di TNGHS memiliki pola penyebaran homogen. Hal ini dikarenakan sifat macan tutul jawa yang soliter. Satwa soliter yang memiliki teritorial seperti macan tutul jawa, akan berusaha mempertahankan teritorinya dari satwa lain sehingga aktivitas macan tutul jawa akan terkonsentrasi di wilayah teritorinya saja. Pola penyebaran macan tutul jawa diduga dapat berubah karena satwa ini mengikuti pola pergerakan satwa mangsanya atau adanya musim berbiak. Pola penyebaran macan tutul jawa akan menjadi acak apabila di daerah tersebut terjadi perbedaan kelimpahan dan frekuensi satwa mangsa yang sangat besar. Macan tutul jawa akan memiliki homerange yang lebih besar apabila di daerah tersebut terdapat kelimpahan satwa mangsa yang kecil (Bailey 1984 dalam Gunawan 2010). Perbedaan pola penyebaran juga akan terjadi pada musim kawin, karena pergerakan macan tutul jawa jantan akan mengikuti pergerakan macan tutul jawa betina yang sedang dikawininya. Pola penyebaran macan tutul jawa yang homogen namun hanya terdapat di dalam hutan ini akan sangat rentan terhadap kepunahan, karena dengan wilayah yang hanya ada di titik tertentu saja dan dengan perkembangan perluasan daerah menjadi kawasan non-hutan yang kian mendesak wilayah jelajah macan tutul jawa ini maka semakin lama macan tutul jawa akan kesulitan dalam mencari makan dan tidak lagi memperoleh cover yang sesuai untuk melindungi dirinya dari panas matahari, sehingga akan terus terdesak dan terfragmentasi. Dampak jangka panjang dari krisis ini adalah sulitnya macan tutul jawa jantan dan betina bertemu sehingga reproduksi akan terganggu.