V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden Semua karakteristik responden yang menjadi parameter endogen dan eksogen dibahas pada masing-masing pengujian dalam bab berikutnya. Karakteristik responden yang diulas di dalam sub-bab merupakan parameter tambahan sebagai pelengkap analisis jika sewaktu-waktu diperlukan dan dapat dilihat pada Lampiran 8-B. 5.2
Analisis Kebijakan Kehutanan, Pengelolaan Lingkungan Hidup, Agraria, Tata Ruang, Dan Otonomi Daerah Terkait Dengan Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kehutanan Di Daerah
5.2.1 Definisi Kawasan Hutan Bahasan ini dimulai dengan menjabarkan definisi tentang kawasan hutan berdasarkan undang-undang tentang kehutanan yang berlaku di Indonesia. Seperti tercantum dalam pasal 1 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Menurut Santoso (2002), pengertian wilayah tertentu yang “ditunjuk” oleh Pemerintah sebagai hutan tetap, prosesnya dilaksanakan melalui kegiatan penunjukan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan yang dalam prakteknya meliputi 2 (dua) macam yaitu : •
Penunjukan kawasan hutan wilayah propinsi; dan
•
Penunjukan kawasan hutan partial per kelompok hutan.
Sedangkan pengertian wilayah tertentu yang “ditetapkan” Pemerintah sebagai hutan tetap, dalam pelaksanaannya melalui suatu proses yang disebut pengukuhan kawasan hutan yang didalam pasal 15 ayat 1 UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mencakup kegiatan-kegiatan: a.
Penunjukan kawasan hutan.
b.
Penataan batas kawasan hutan dan pemetaan kawasan hutan, yang dilaksanakan oleh Panitia Tata Batas kawasan hutan yang diketuai Bupati/Walikota dan dituangkan ke dalam Berita Acara Tata Batas (BATB) kawasan hutan; dan
120
c.
Penetapan kawasan hutan, berupa pengesahan BATB tersebut butir b di atas dengan surat keputusan Menteri Kehutanan. Istilah “hutan negara” mengacu pasal 5 UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, mengenai klasifikasi hutan berdasarkan statusnya terdiri dari : a.
Hutan negara, adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah; dan
b.
Hutan hak, adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
5.2.2 Kebijakan Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Setempat A. Evolusi Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Setempat di Dalam Desain Kebijakan Kehutanan Nasional 5 Tahun Menjelang Otda (1995-2000) Dalam semangat desentralisasi dan otonomi daerah, prinsip-prinsip demokrasi, keterbukaan, dan keinginan politis untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang baik (good governance) menjadi landasan Pemerintah dalam melakukan
reformulasi
kebijakan
pengelolaan
kehutanan.
Hal
tersebut
diwujudkan dengan terjadinya perubahan paradigma pembangunan kehutanan yaitu: (1) Pergeseran penekanan dari aspek ekonomi (orientasi pada laba/keuntungan) kepada suatu orientasi dengan penekanan keseimbangan aspek sosial, ekologis, dan ekonomi hutan; (2) Pergeseran dari kebijakan dan pengembangan hutan dengan penekanan pada pengelolaan hasil kayu, kepada suatu orientasi dengan penekanan pada pengelolaan hutan multiguna yaitu bahwa, selain kayu, hutan dapat memberikan keuntungan lain seperti pengaturan hidrologis, produk hutan non-kayu lainnya, rekreasi, dan pengaturan iklim mikro; dan (3) Memberikan penekanan pada pembangunan kehutanan berbasis masyarakat (Community Based Forestry) untuk memperkuat perekonomian daerah dan memberdayakan masyarakat setempat/lokal (Hutabarat, 2001). Selain itu, pemerintah amat menyadari bahwa pengelolaan hutan yang berkesinambungan (sustainable forest management) tidak akan tercapai dengan baik tanpa partisipasi masyarakat setempat dalam segala aspek pengelolaan hutan. Perubahan paradigma secara konkrit dituangkan ke dalam berbagai
121
produk kebijakan dan peraturan yang secara evolutif mengatur desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat 1/. Perubahan
paradigma
pembangunan
kehutanan
nasional
menuju
pengelolaan sumberdaya hutan yang bertumpu pada masyarakat desa telah mendorong Pemerintah mengembangkan kebijakan hutan kemasyarakatan sejak awal dekade 90-an. Selama lima tahun terakhir menjelang tahun 2000, konsep dan kebijakan hutan kemasyarakatan (HKm) telah mengalami reformulasi dari model partisipasi rakyat dalam kegiatan reboisasi dan rehabilitasi hutan (1995), kemudian model pemberian hak pengusahaan hutan kemasyarakatan kepada koperasi (1998),
lantas model pemberian ijin pemanfaatan hutan kepada
kelompok-kelompok masyarakat setempat (1999) dan akhirnya menjadi model pengelolaan hutan desa oleh masyarakat setempat secara mandiri atau model pengelolaan hutan bersama masyarakat desa di kawasan hutan negara yang dikuasakan kepada swasta atau badan otorita lainnya (2000). Kebijakan HKm pada Tahun 1995.
Legitimasi kebijakan HKm pada
tahun tersebut diawali dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.622 Kpts-II/95 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan (HKm). HKm didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan berdasarkan fungsinya dengan mengikutsertakan masyarakat. Tujuan kebijakan HKm yaitu untuk: (1) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam hutan; (2) meningkatkan mutu dan produktivitas hutan sesuai dengan fungsi dan peruntukkannya; dan (3) Menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup. Definisi masyarakat yang dilibatkan di dalam kebijakan tersebut adalah orang yang sumber kehidupannya dari hutan atau kawasan hutan yang secara sukarela berperan aktif dalam kegiatan HKm. Peserta adalah mereka yang ditunjuk oleh Dinas Kehutanan Dati I. Mereka dapat secara individual, kelompok, atau koperasi.
1
Desentralisasi dapat diartikan sebagai pelimpahan wewenang dan tanggung jawab fungsi publik dari Pemerintah (pusat) kepada pemerintah daerah (Propinsi dan/atau Kabupaten/kota) atau organisasi pemerintah semi independen atau sektor swasta (Word Bank Institute, 1999). Hutabarat (2001) menyatakan bahwa tipe desentralisasi yang paling luas adalah devolusi, yaitu tipe desentralisasi yang dicirikan oleh pelimpahan wewenang secara otonom. Diberikannya sejumlah kewenangan oleh Pemerintah kepada Propinsi dan Kabupaten/Kota seperti adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah merupakan suatu contoh devolusi dan telah membentuk tatanan pemerintahan baru, termasuk dalam kebijakan dan peraturan pengelolaan kehutanan.
122
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan HKm mulai dari perencanaan, penanaman,
pemeliharaan,
pemasaran.
Jenis
perlindungan,
pohon
dan
pemungutan,
tanaman
yang
pengolahan,
ditanam
adalah
dan jenis
pohon/tanaman serbaguna yang dapat menghasilkan buah-buahan, getahgetahan, dan sebagainya yang bermanfaat bagi peserta. Luas maksimum areal hutan yang diijinkan untuk dikelola adalah 4 hektar per orang atau dikalikan jumlah anggota bagi kelompok atau koperasi pengelola. Peserta hanya diijinkan mengambil hasil hutan bukan kayu (HH-BK). Seluruh hasil non-kayu yang diangkut keluar dari areal hutan tersebut harus dilengkapi dengan dokumen yang menyertai pengangkutan dan masing-masing peserta wajib membayar iuran hasil hutan bukan kayu (IHH-BK) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Di tingkat lapang, pelaksanaan kebijakan tersebut menghadapi dilema terutama berkaitan dengan hasil hutan yang boleh diangkut oleh masyarakat. Peraturan untuk menanam jenis pohon multi purposes tree species (MPTS) menyulitkan para petani kawasan yang pola pertaniannya amat beragam sesuai dengan kebutuhan subsisten (termasuk kayu rakyat) dan/atau pasar lokal. Terminologi
“penunjukan”
yang
dipergunakan
oleh
Pemerintah
dalam
menetapkan siapa peserta HKm yang memenuhi syarat, menunjukkan subjektivitas dan hegemoni kepentingan Pemerintah dalam mengelola hutan tertimbang mengedepankan kebutuhan masyarakat lokal. Kebijakan HKm pada Tahun 1998.
Perubahan pradigma kebijakan
HKm terjadi pada tahun 1998 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Kehutanan
dan
Perkebunan
No.677/Kpts-II/1998
tentang
Hutan
Kemasyarakatan. Definisi HKm adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan
kepentingan
menyejahterakan
masyarakat.
Masyarakat
pengelola HKm adalah kelompok-kelompok orang yang tinggal dalam di dalam atau disekitar hutan dengan ciri komunitas. Beberapa perubahan mendasar dalam SK yang dikeluarkan pada tahun 1998 dibandingkan dengan SK sebelumnya. Namun demikian, implementasinya masih menemui berbagai kendala. Perubahan pada SK tahun 1998 dan kendala yang dihadapi tersebut diantaranya yaitu: •
Masyarakat pengelola HKm adalah kelompok dalam bentuk koperasi dan bukan perorangan. Keharusan dalam bentuk koperasi, pada beberapa kasus
123
mengakibatkan praktik birokratisme dan praktik KKN dalam perijinan pendirian koperasi. •
Masyarakat melalui koperasinya mengusulkan permohonan untuk mendapat hak pengusahaan atas kawasan hutan yang disebut dengan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm). Model ini mendapat kritik dari pemerhati kehutanan terutama kalangan LSM yang menyatakan bahwa HKm adalah bentuk HPH baru berkamuflase atas nama masyarakat. Model ditengarai dapat semakin mempercepat kerusakan hutan. Apalagi di dalam SK tersebut pengusahaan hutan didefinisikan sebagai kegiatan pemanfaatan hutan yang didasarkan atas azas kelestarian fungsi dan azas perusahaan.
•
Kepala Kantor Wilayah menetapkan kelayakan permohonan tersebut, tidak seperti SK sebelumnya yaitu pemerintah (Dinas Kehutanan Dati I) menunjuk kelompok pengelola. Artinya, terjadi penarikan (sentralisasi) kemenangan kembali ke pusat, semula kewenangan berada di daerah (Dinas Kehutanan Dati I) kini menjadi Kanwil Kehutanan.
•
Tidak ada batasan maksimum areal pengelolaan seluas 4 hektar per orang.
•
Kontrak pengelolaan HKm memiliki tenggang waktu selama maksimum 35 tahun.
•
Definisi HKm sebagai hutan negara yang “dicadangkan” dan “ditetapkan” oleh Pemerintah untuk dikelola masyarakat telah mendorong aparat kehutanan di daerah untuk melakukan “modifikasi” zona pengelolaan hutan dan berlomba mencadangkan areal hutan untuk HKm, contohnya di Propinsi Lampung (Lampiran 1). Hal ini terjadi diduga karena program HKm dipandangan memiliki peluang untuk “dijadikan proyek HKm”. Kebijakan HKm pada tahun 1999.
Model HKm tahun 1998 banyak
mendapat kritik dari para pemerhati kehutanan terutama dari kalangan perguruan tinggi dan LSM. Kritik terutama ditujukan pada hal-hal sebagai berikut: •
Persyaratan memperoleh hak pengelolaan yang demikian rumit menyulitkan masyarakat calon pengelola dan berkonsekuensi biaya tinggi. Misalnya pemetaan hamparan, proposal yang “layak”, dll.
•
Azas perusahaan mendapat kritik yang amat keras karena azas tersebut justru menutup peluang masyarakat lokal untuk turut mengelola.
•
Hegemoni Pemerintah demikian kuat dalam mengontrol kegiatan HKm.
124
Atas beberapa kritik tersebut, pata tahun 1999 dikeluarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.865/Kpts-II/1999 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Di dalam SK yang baru tersebut, terdapat beberapa kemajuan, namun juga terdapat beberapa kemunduran yang fundamental. Beberapa kemajuan tersebut diantaranya: •
Penghapusan azas perusahaan sebagai salah satu azas pengelolaan HKm, yang selanjutnya pengelolaannya berdasarkan azas kelestarian.
•
Pengubahan istilah dari “pengusahaan” menjadi “pemanfaatan” hutan kemasyarakatan.
•
Rencana pemanfaatan tidak hanya dinilai oleh Pemerintah, tetapi juga dinilai oleh lembaga kemasyarakatan lain dan masyarakat umum. Hal ini amat konstruktif
terutama
dalam
mengurangi
hegemoni
dan
subjektifitas
Pemerintah. •
Masyarakat menentukan sistem dan kelembagaan, sementara Pemerintah hanya sebagai fasilitator dan pemantau.
Dengan demikian, tidak ada
keharusan bagi masyarakat untuk berkelompok dalam bentuk lembaga koperasi, bagi Pemerintah yang terpenting kelompok tersebut eksis, akuntabel, dan memiliki ikatan komunitas yang layak sebagai sebuah kelompok pengelola. •
Hak dan kewajiban ditentukan Pemerintah bersama masyarakat; hal ini berbeda dengan SK-SK sebelumnya yaitu Pemerintah menetapkan hak dan kewajiban masyarakat pengelola secara sepihak tanpa mengindahkan konteks lokal. Satu kemunduran kebijakan HKm di dalam SK No.865 adalah
pengubahan istilah “Hak” Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan menjadi “Ijin” Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan.
Beberapa kalangan menganggap
penggunaan kata “ijin” mengaburkan “konsep negara” dalam definisi hutan negara. Dengan meminjam definisi negara merupakan kesatuan antara teritorial/wilayah-rakyat/masyarakat-Pemerintah, maka hutan negara haruslah memiliki pengertian fundamental bahwa masyarakat memiliki hak terhadap hutan.
Penggunaan
kata
“ijin”
merupakan
indikasi
sisa-sisa
hegemoni
Pemerintah yang masih dipertahankan di dalam pengelolaan HKm, demikian pandangan yang berkembang saat itu.
125
Kebijakan HKm pada tahun 2001. Terjadinya reformasi sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih ke arah desentralisasi telah melahirkan undang-undang otonomi daerah yaitu UU RI No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom. Kedua UU dan PP tersebut harus
diikuti
dengan
perubahan
UU
dan
peraturan
pengelenggaraan
pemerintahan termasuk sektor-sektor pembangunan yang diantaranya adalah sektor kehutanan. Dalam rangka memenuhi semangat otonomi daerah tersebut, dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan.
Beberapa perubahan penting
diantaranya adalah: •
HKm adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya.
•
HKm diselenggarakan dengan azas kelestarian fungsi hutan, kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan, pengelolaan sumberdaya alam yang demokratis, keadilan sosial, akuntabilitas publik, serta kepastian hukum.
•
Desentralisasi
pengelolaan
HKm,
yang
semula
perijinan
menjadi
kewenangan Kanwil Kehutanan Propinsi dilimpahkan menjadi kewenangan Bupati/Walikota. Demikian pula kawasan HKm adalah kawasan yang diusulkan oleh Bupati/Walikota melalui Gubernur untuk ditetapkan oleh Menteri. •
Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan nonkayu, pemungutan hasil hutan kayu, dan pemungutan hasil hutan non kayu; sepanjang tidak mengganggu fungsi pokok hutan tersebut.
•
Dibentuknya Forum Pemerhati Kehutanan dan terdiri dari unsur Pemerintah, organisasi profesi kehutanan, tokoh masyarakat, pemerhati kehutanan, serta Forum Hutan Kemasyarakatan.
•
Format Rencana Pengelolaan HKm yang diusulkan oleh masyarakat lebih sederhana dari peraturan sebelumnya. Terlepas dari berbagai kemajuan, terutama apakah hasil hutan kayu
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, SK No.31/Kpts-II/2001 masih menyimpan kelemahan bahkan bagi sebagian kalangan semakin mengaburkan kapastian
126
hukum masyarakat pengelola HKm.
Indikasi tersebut ditemukan dengan
pengubahan istilah “Ijin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan” menjadi “Ijin Kegiatan Hutan Kemasyarakatan”. Perkembangan terakhir, legitimasi SK No.31/Kpts-II/2001 dipertanyakan oleh banyak kalangan terutama praktisi hukum lingkungan karena jika dikaitkan dengan TAP MPR No.III/MPR/2001 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, SK tersebut tidak memiliki kekuatan mengatur. Menyadari hal tersebut, kemudian Pemerintah (dalam hal ini Departemen Kehutanan) mempersiapkan reformulasi naskah hukum HKm minimal dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang hingga saat tersebut “belum selesai”. Tabel 5.2.1. Perbandingan akses masyarakat tempatan terhadap sumberdaya hutan dalam evolusi kebijakan HKm nasional. No Isu Kebijakan HKm dan Perubahannya SK No:622 SK SK SK . kebijakan Kpts-II/1995
No:677/KptsII/1998
No.865/KptsII/1999
No.31/KptsII/2001 Kayu (pada blok budidaya Hkm di Hutan Produksi) Ijin Kegiatan Hutan Kemasyarakatan
1
Pemanfaatn hasil hutan kayu
Tidak ada akses
Tidak ada akses
Tidak ada akses
2
Askes pemanfatan kawasan
(Penunjukkan) Ijin HKm
Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (35 tahun)
Ijin Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan
B. Pemanfaatan Kawasan Hutan Oleh Masyarakat Kebijakan Kehutanan Indonesia 2001 – 2010.
Setempat
dalam
Reformulasi kebijakan pada periode ini ditandai dengan ditempatkan isu akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan ke dalam kerangka kebijakan Pemberdayaan Masyarakat di sekitar hutan.
Pada tahun 2004,
Menteri Kehutanan mengeluarkan Permenhut No.P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat Di Dalam Dan Atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry.
Keluarnya permenhut ini sempat mengundang
pertanyaan besar dari pemerhati kebijakan kehutanan nasional yang menengarai bahwa saat tersebut terjadi pergulatan konsep pemikiran di dalam Departemen Kehutanan
tentang social forestry versus hutan kemasyarakan. Hal tersebut
terbukti dikemudian hari ketika diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 6
127
Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan 2/, serta Pemanfaatan Hutan sebagai penyempurnaan dari PP No.34 Tahun 2002, yang kemudian drevisi lagi melalu PP No.3 Tahun 2008 tentang Revisi atas PP No.6 Tahun 2007 tersebut. Di dalam PP ini tertulis bahwa pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masyarakat setempat oleh
pemerintah diatur dalam 3 bentuk
kebijakan yaitu: 1) Kemitraan, merupakan pengaturan akses masyarakat setempat terhadap kawasan hutan yang sudah dibebani ijin pemanfaatan di atasnya. Bentuk ini misalnya perlaku pada kawasan hutan yang dikelola oleh BUMN bidang kehutanan misalnya Perhutani di Pulau Jawa, 2) Hutan Kemasyarakan, sebagai penegasan kembali dari kebijakan terkait yang telah berevolusi sebelumnya, dan 3) Hutan Desa, kawasan hutan yangdikelola untuk masyarakat setempat oleh lembaga desa. Dari ketiga bentuk kebijakan tersebut, pertanyaan besar para pemerhati kehutanan tentang adanya kontra konsep pemikiran antara social forestry dan hutan kemasyarakatan terbukti! Apalagi pada perkembangan selanjutnya, fokus pengembangan turunan PP tersebut lebih diberikan pada Hutan Kemasyarakatan (dengan terbitnya Permenhut No.3 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan yang kemudian direvisi kembali melalui Permenhut No.18 Tahun 2009) dan Hutan Desa (dengan terbitnya Permenhut No.49 Tahun 2008 tentang Hutan Desa). Yang menarik adalah, hingga saat ini formulasi kebijakan tentang Hutan Adat masih belum rampung padahal hal ini secara tertulis diamanatkan di dalam UU Kehutanan No 41 Tahun 1999. Apabila kondisi tersebut terus berlangsung, dikhawatirkan
isu-isu
yang
berkaitan
dengan
penyelesaian
konflik
di
pembangunan sektor kehutanan dikhawatirkan tidak memperoleh porsi perhatian yang memadai.
2
Pada periode ini struktur peraturan perundang-undangan merujuk kepada Undang Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (yang kemudian diganti Undang Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Dalam UU No 10 Tahun 2004 tersebut, dinyatakan bahwa setelah Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, hirarki berikutnya adalah Peraturan Pemerintah. Menyesuaikan dengan UUU No.10 Tahun 2004, Departemen Kehutanan melakukan pembenahan tata peraturan sektoral. Dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan merupakan respon pembenahan tidak hanay payung kebijakan HKm, juga payung kebijakan hutan desa dan kemitraan.
128
5.2.3
Kebijakan Yang Berkaitan Dengan Pengelolaan Konflik Lingkungan Terkait Dengan Pemanfaatan Kawasan Hutan oleh Masyarakat Tempatan.
A. Pengertian Sengketa Lingkungan Hidup dalam UUPLH No.23/1997. Seperti diuraikan pada Bab-2, konflik atau sengketa dapat diartikan dari berbagai sudut pandangan. Demikian juja konflik atau sengketa lingkungan hidup. Namun pengertian sengketa lingkungan yang dikemukakan di sini adalah menurut hukum positif yang berlaku.
Menurut Pasal 1 angka 19 UUPLH,
sengketa lingkungan hidup adalah “perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup”. Meskipun menurut penjelasan otentik pasal tersebut disebutkan “cukup jelas”, namun di sini perlu diberi beberapa penjelasan berkaitan dengan pengertian sengketa lingkungan hidup itu. Pertama, sengketa adalah perselisihan, konflik atau kontroversi yang berkaitan dengan suatu tuntutan atau hak. Sengketa di sini ada kaitannya dengan perbedaan kepentingan.
Sengketa lingkungan hidup muncul sebagai
perselisihan akibat tuntutan orang akan hak-hak mereka yang “ditolak” oleh pihak lain. Misalnya dalam Pasal 5 ayat (1) UUPLH disebutkan, bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Maka ketika ada pencemaran lingkungan misalnya, hak orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat itu telah dilanggar (baca: ditolak, tidak dihiraukan oleh pelaku pencemaran). Kedua, siapakah yang dimaksud dengan dua pihak atau lebih itu?. Yang dimaksud dengan dua pihak atau lebih itu adalah pihak pencemar dan/atau perusak lingkungan (pelaku) serta pihak korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Secara teoritis, pihak pelaku itu bisa orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum (ini sesuai dengan pengertian “orang” menurut Pasal 1 angka 24 UUPLH). Sementara itu pihak korban adalah manusia dan lingkungan hidup.
Seperti dikemukakan di atas, manusia yang menjadi
korban adalah manusia yang kehilangan haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain manusia, yang juga menjadi korban ialah lingkungan hidup itu sendiri.
Apakah lingkungan hidup itu?. Menurut Pasal 1 angka 1 UUPLH,
lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
129
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Terlepas dari kemungkinan bahwa definisi itu masih dapat diperdebatkan, yang jelas yang menjadi korban pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup itu sangat luas. Bahkan dengan mengutip definisi lingkungan hidup tersebut, kawasan hutan merupakan suatu ruang yang memenuhi unsur-unsur lingkungan hidup, sehingga sejatinya dapat ditafsirkan bahwa konflik status dan pemanfaatan kawasan hutan dapat menjadi salah satu yang diatur di dalam UUPLH. Lingkungan hidup memang tidak dapat menuntut “hak”nya seperti halnya manusia, atau berperkara sendiri di pengadilan, karena sifatnya yang inanimatif. Namun kepentingannya diwakili oleh Organisasi Lingkungan Hidup. Organisasi Lingkungan Hidup inilah yang menurut Pasal 38 UUPLH bertindak untuk dan atas nama atau mewakili lingkungan hidup yang menjadi korban itu. Organisasi Lingkungan Hidup mempunyai hak untuk mengajukan gugatan untuk mewakili kepentingan lingkungan hidup, meskipun bukan class action seperti halnya masyarakat. Di samping pihak-pihak yang disebutkan di atas, masih ada yang disebut sebagai “pihak-pihak yang berkepentingan”. Dalam penjelasan Pasal 31 UUPLH disebutkan, bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui perundingan di
luar
pengadilan
dilakukan
secara
sukarela
oleh
para
pihak
yang
berkepentingan (stakeholder), yaitu para pihak yang mengalami kerugian, yang mengakibatkan kerugian, instansi pemerintah yang terkait dengan subjek yang disengketakan serta dapat melibatkan pihak yang mempunyai kepedulian terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Keterlibatan instansi pemerintah yang dimaksud dapat saja menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas sebagai syarat yang diutamakan oleh UUPLH sendiri. Sekedar catatan saja, soal definisi itu sebenarnya dapat membingungkan pemahaman orang mengenai lingkungan hidup. Yang disebut lingkungan hidup menurut UUPLH sendiri tidak hanya soal pencemaran dan perusakan saja (tidak hanya soal daya dan keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia sendiri). Maka seharusnya sengketa lingkungan hidup mencakup semuanya itu, termasuk soal kewenangan atau bahkan kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup. Pembatasan yang ada dalam definisi di atas itu hanya akan menimbulkan “kekacauan” pada pemahaman teoritis mengenai pengertian lingkungan hidup itu sendiri.
130
B. Pengertian Penyelesaian Konflik Lingkungan Hidup dalam UUPLH
Dalam UUPLH tidak disebutkan pengertian penyelesaian sengketa atau konflik lingkungan hidup.
Walaupun demikian yang dimaksud dengan
penyelesaian sengketa di sini adalah prosedur yang dilalui untuk mencari atau mendapatkan keputusan, solusi atau penyelesaian atas sengketa lingkungan hidup (karena pencemaran dan/atau perusakan), baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan. Prosedur yang dimaksud di sini adalah tahapantahapan tertentu yang mesti dilalui sebelum sampai pada hasil akhirnya. Hasil akhir itu dapat berupa keputusan hakim (perdata), sanksi pidana (untuk proses peradilan pidana), dan kesepakatan (untuk penyelesaian di luar pengadilan). UUPLH mengenal dua jalur penyelesaian sengketa lingkungan, yaitu melalui pengadilan yang diatur dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39, serta di luar pengadilan yang diatur dalam Pasal 31 s/d Pasal 33. Khusus untuk penyelesaian di luar pengadilan, UUPLH menentukan bentuk-bentuk alternatif, misalnya melalui mediasi, arbitrase, negosiasi, dan lain-lain. Sebagai catatan, dalam Pasal 30 ayat (1) UUPLH disebutkan bahwa penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan itu dilakukan berdasarkan pada pilihan sukarela dari pihak yang bersengketa. Pilihan sukarela tersebut hanya berlaku untuk perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang bersifat keperdataan.
Untuk tindak pidana
lingkungan hidup tidak ada pilihan lain, selain harus melalui pengadilan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 30 ayat (2) UUPLH yang menegaskan, bahwa penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UUPLH sendiri. Tidak mungkin seseorang yang telah diduga atau disangka melakukan tindak pidana lingkungan, atau yang sedang disidik oleh penyidik lalu meminta agar tindak pidana itu diselesaikan di luar pengadilan saja, misalnya melalui negosiasi atau mediasi.
Penyelesaian di luar pengadilan hanya berlaku bagi kasus-kasus
lingkungan hidup yang bersifat perdata. Selanjutnya Pasal 30 ayat (3) UUPLH menyatakan, bahwa apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh, apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh dalah satu atau para pihak yang bersengketa. Ini
131
berarti, bagi penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan masih terbuka kemungkinan untuk diselesaikan lagi melalui pengadilan, kalau dalam penyelesaian di luar pengadilan itu tidak tercapai kata sepakat.
Boleh juga
dikatakan, bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tidak bersifat final, jika salah satu atau para pihak yang sebelumnya memilih jalur itu menyatakan penyelesaian tersebut tidak berhasil. Pasal-pasal yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan itu adalah Pasal 31, Pasal 32 dan Pasal 33 UUPLH. Dengan hanya tiga pasal itu, sebenarnya UUPLH sangat sedikit mengatur penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan.
Padahal, sering
disebutkan dalam berbagai pustaka, bahwa penyelesaian di luar pengadilan ini lebih menguntungkan para pihak sendiri, terutama pihak yang menderita kerugian. Dengan kekurangan pengaturan itu sebenarnya agak menghambat penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan. Karena kekurangan pengaturan itu pula, maka dibutuhkan berbagai peraturan pelaksanaan agar pasal-pasal tersebut dapat dipergunakan, di antaranya: (1) Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2000 Tentang Lembaga Jasa Penyedia Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkunagn Hidup Di Luar Pengadilan (2) Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 77 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan (LPJP2SLH) Pada Kementerian Lingkungan Hidup (3) Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 78 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Pengelolaan Permohonan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Di Luar Pengadilan Pada Kementerian Lingkungan Hidup (4) Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 19 Tahun 2004 Tentang Pedoman Pengelolaan Pengaduan Kasus Pencemaran Dan Atau Perusakan Lingkungan Hidup
C. Penyelesaian Konflik Lingkungan dalam UU No.41/1997 Tentang Kehutanan dan UU Pokok No.5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria Sumberdaya hutan merupakan unsur yang meniasi bagian dari sistem lingkungan, oleh karenanya penyelesaian sengketa lingkungan secara teoritis mancakup
penyelesaian
sengketa
sumberdaya
hutan.
Mengenai
jalur
132
penyelesaian sengketa tersebut juga dapat terdapat di dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Pasal 74 ayat (1) UU itu menyebutkan, bahwa
penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Demikian juga, bahwa penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Kehutanan itu (Pasal 75 ayat (1)). Selanjutnya dinyatakan pada Pasal 75 ayat (2) bahwa penyelesaian sengketa
kehutanan
di
luar
pengadilan
dimaksudkan
untuk
mencapai
kesepakatan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti-rugi, dan atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan. Tidak ada satupun pasal yang memuat pengaturan tentang sengketa status lahan di dalam kawasan hutan, hal-hal yang berkaitan dengan topik tersebut lebih banyak diatur dalam UU Pokok Agrararia beserta peraturanperaturan yang menyertainya. Namun pada praktek yurisdiksi di lapang, masalah sengketa status tanah di dalam kawasan hutan seringkali sulit dilaksanakan. Ada resistensi kebijakan Departemen Kehutanan untuk mempertahankan luas kawasan hutan yang walau secara hukum pertanahan, kebijakan tersebut masih lemah. Menurut Harsono (1997), seharusnya dari pandangan hukum pertanahan, sebidang tanah yang tumbuh hutan di atasnya, pengusaan tanahnya diatur oleh Hukum Tanah (UUPA). Pengelolaan haknya diberikan kepada Departemen Kehutanan seperti yang dimandatkan dalam Undang-undang Kehutanan. Dalam hal ini pemberian dan pengakuan hak-hak atas tanah akan diterbitkan oleh BPN dengan menggunakan Hukum Pertanahan. Di sisi lain Sumardjono (2001) dan Fay dan Sirait (2004) pada saat proses revisi Undang Undang Pokok Kehutanan No.
5
tahun
1967
menyatakan
bahwa
ruang
lingkup
(Rancangan)
Undangundang Kehutanan seharusnya dibatasi pada pengaturan tentang pemanfaatan sumber daya hutan. Penentuan kawasan hutan diperlukan untuk membatasi luasnya kewenangan pengelolaan pemanfaatan sumber daya hutan dan tidak dimaksud untuk memberikan wewenang untuk mengatur tentang penguasaan tanah di dalam kawasan hutan tersebut. Pemberian hak untuk memanfaatkan kawasan hutan (HPH & HPHTI) dilakukan oleh Departemen Kehutanan, sedangkan pemberian hak atas tanah, misalnya HGU dan lain-lain dilakukan oleh BPN.
133
Dengan pemahaman dua argumentasi pakar hukum pertanahan tersebut maka Departemen Kehutanan hanya dapat memberikan hak pengusahaan dan hak pemungutan hasil hutan, sedangkan segala proses yang berkaitan dengan penguasaan atas tanah dilakukan oleh instansi lain (BPN). Berbeda halnya dengan UUPLH, Undang-undang Kehutanan tidak mengatur adanya lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 75 ayat (3) menyatakan bahwa dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk bersama oleh para pihak dan atau pendampingan organisasi non-pemerintah untuk membantu penyelesaian sengketa kehutanan. Dengan demikian ada ruang hukum bagi LSM berperan dalam berbagai penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, namun ayat ini belum dilanjutkan dengan pembuatan peraturan yang melengkapinya. Akibatnya, ketika terdapat LSM yang mencoba melakukan mediasi sengketa kawasan hutan acapkali eksistensi hukum sebagai mediator “resmi” selalu dipertanyakan bahkan tidak jarang dianggap sebagai “provokator” terutama ketika pada kegiatan fact finding dalam proses mediasi tersebut ditemukan justri kebijakan kehutananlah yang menjadi penyebab sengketa. D. Isu Penyelesaian Konflik dalam Pemberdayaan Masyarakat Setempat di Sektor Kehutanan. Sejauh ini amat disayangkan tidak ada turunan dari UU Kehutanan No.41 yang secara spesifik mengatur bagaimana penyelesaian konflik status dan pemanfaatan kawasan hutan yang timbul dari sebuah pelaksanaan kebijakan sektor kehutanan diselesaikan, termasuk mekanisme pengaduan apabila klaim/tuntutan datang dari masyarakat setempat dari dalam dan atau sekitar kawasan hutan. Pada tahun 2008 dikeluarkan Permenhut No.48 tapi hanya mengatur tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Manusia dengan Satwa Liar. Ada kesan bahwa pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan, meletakkan
upaya
penyelesaian
sengketa/konflik
ditempuh
melalui
jalur
peradilan formal yang sulit diakses oleh masyarakat setempat, baik secara individu maupun kelompok, apalagi masyarakat di dalam dan/atau di sekitar hutan yang pada umumnya lemah secara sosial-politik. Dalam kemunduran
pelaksanaan yang
amat
kebijakan signifikan
hutan
bagaimana
kemasyarakatan, Departemen
terjadi
Kehutanan
134
memberikan perhatian dalam penyelesaian konflik yang terjadi. Baik di dalam Permenhut No. 37 Tahun 2007 tentang Hutan Kemasyarakatan dan Permenhut No. 18 Tahun 2009 tentang Perubahan atas PP No.37 Tahun 2007, tidak ada satupun pasal yang mengatur bagaimana konflik diselesaikan oleh masyarakat setempat dan bagaimanai masyarakat luar bisa melakukan pengawasan publik. Padahal, dibandingkan dengan SK Menhut No.31 Tahun 2001 tentang Hutan Kemasyarakatan yang lahir di awal deade reformasi nasional, walau dirasa masih amat terbatas, diatur bahwa: 1) Dalam rangka kesiapan kelembagaan masyarakat setempat, terbentuknya kelompok Hutan Kemsyarakatan setidaknya memiliki aturan-aturan internal kelompok yang mengikat dalam pengambilan keputusan, penyelesaian konflik, dan aturan lainnya dalam pengelolaan organisasi (Pasal 12 Ayat 1.a). 2) Apabila pengelolaan hutan kemasyarakatan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum dari segi lingkungan hidup, masyarakat luas dapat melakukan gugatan perwakilan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, dan; Apabila gugatan perwakilan diterima maka dapat dilakukan peninjauan kembali atas izin kegiatan hutan kemasyarakatan atau perubahan rencana pengelolaan (Pasal 54 Pengawasan oleh Masyarakat Luas, Ayat 1 dan Ayat 2). Implikasi dari pasal ini, masyarakat luas dapat melakukan kontrol publik, tidak hanya kepada masyarakat kelompok hutan kemasyarakatan namun juga kepada Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah selaku penyelenggara kebijakan, termasuk kontrol terhadap penyelesaian konflikkonflik yang ditimbulkan. Permasalahan pembangunan kehutanan secara umum disebabkan oleh lemahnya kapasitas Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, masyarakat termasuk dunia usaha. Juga belum tersedianya pra-syarat pemungkin seperti kepastian hak atas sumberdaya hutan, infrastruktur ekonomi, dan lain-lain. Untuk itu, Dewan Kehutanan Nasional (DKN) yang terbentuk pada September 2006 melalui Kongres Kehutanan Indonesia IV dengan 4 perangkat presidium yang terdiri dari lima kelompok konstituen yaitu, pemerintah, bisnis, masyarakat, LSM, dan akademisi pada tanggal bulan Mei tahun 2007 telah menginisisasi konsolidasi para pihak untuk mempercepat restrukturisasi kehutanan. Pada akhir tahun 2007, DKN dalam laporan tahunannya merancang berbagai gagasan bagaimana konflik kehutaan di Indonesia akan diselesaikan (DKN, 2007). Di
135
dalam 4 agenda DKN (Hutan dan Tata Kepemerintahan, Hutan dan Ekonomi, Hutan dan Kemiskinan, dan Hutan dan Lingkungan), isu-isu yang berkaitan dengan
penyelesaian
konflik
(pendataan,
pengembangan
metodelogi,
penyelesaian, dan transformasi kelembagaan) menjadi salah satu prioritas dalam masing-masing agenda tersebut. Sebagai langkah lanjut, pada tahun 2009 DKN membentuk Desk Resolusi Konflik untuk melaksanakan agenda tersebut. Kehadiran DKN dan Desk Resolusi Konflik memberikan secercah harapan bagi khalayak kehutanan tentang terselesaikannya konflik-konflik kehutanan yang banyak terbengkalai hingga saat ini. Walaupun keterlibatan pemerintah dalam lahirnya dan bagaimana DKN bekerja cenderung dominatif sehingga banyak pihak meragukan apakah DKN mampu mengemban prinsip-prinsip netralitas dalam penyelesaian konflik kehutanan, namun publik menunggu hasil-hasilnya. E. Penyelesaian Konflik Di Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah Di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, penyelesaian sengketa/konflik terdapat dalam Pasal 198 Ayat : (1)
Apabila terjadi perselisihan dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, Gubernur menyelesaikan perselisihan dimaksud.
(2)
Apabila
terjadi
perselisihan
antarprovinsi,
antara
provinsi
dan
kabupaten/kota di wilayahnya, serta antara provinsi dan kabupaten/kota di luar wilayahnya, Menteri Dalam Negeri menyelesaikan perselisihan dimaksud. (3)
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final. Pasal tersebut menggunakan istilah perselisihan dan yang diatur lebih
pada fungsi pemerintahan. Selain itu pula ia mengandung makna bahwa yang diselesaikan lebih pada perselisihan kewenangan antar tataran pemerintah dan/atau lembaga pemerintah. Namun demikian, apabila di dalam perselisihan terdapat materi yang menyangkut pengaduan masyrakat, dapat ditafsirkan bahwa pasal ini dapat menjadi landasan hukum oleh masyarakat sebagai dasar untuk menyampaikan pengaduan dan penyelesaian konflik, terutama yang berkaitan dengan tumpang tindih kewenangan
antar sektor (misalnya antara
Departemen Kehutanan dan BPN dalam kasus status tanah di kawasan hutan) maupun antar tataran pemerintah (misalnya batas fisik di lapang antara kawasan hutan konservasi dengan wilayah administrasi pemerintah setempat). Hanya
136
mekanisme penyelenggaraannya di daerah, hingga kini tidak pernah jelas! Kebuntuan upaya penyelesaian konflik terbentur pada: 1) Tidak tersedianya mekanisme pengaduan dan penyelesaian konflik melalu jalur non-peradilan yang diterapkan oleh instansi pemerintah daerah paling terkait yaitu Bapedalda, Dinas Kehutanan, dan Kantor BPN, baik secara sektoral maupun lintas sektoral. 2) Terjadinya pluralisme penafsiran oleh instansi eksekutif pemerintah dan yudikatif di daerah dalam menilai bahwa apakah suatu peristiwa konflik disebabkan oleh tumpang tindih antar-kebijakan atau muncul dari sebuah klaim oleh masyarakat, atau murni disebabkan oleh pelanggaran hukum. Contohnya, sekelompok masyarakat yang memanfaatkan lahan di dalam kawasan karena keyakinannya bahwa lahan itu milik mereka, ditengarai sebagai perambah dan murni menjadi subyek pelanggaran hukum. 3) Kondisi butir (1) dan butir (2) tersebut mengakibatkan masyarakat melihat lembaga
legislatif
sebagai
pintu
alternative
bagi
mereka
dalam
menyampaiakn tuntutan serta upaya penyelesaian konflik lingkungan yang dihadapi. Banyak kasus diadukan ke DPRD, seperti kasus konflik status kawasan hutan lindung Registes 45B Sumberjaya kabupaten Lampung Barat yang telah diuraikan pada Bab-4, tapi kemudian itupun tidak menghasilkan opsi-opsi penyelesaian yang permanen dan bahkan hanya menjadi konsumsi kepentingan infrastruktur politik semata.
F. Penyelesaian Konflik Di Dalam UU Tata Ruang Orientasi penyelenggaraan tata ruang dipengaruhi oleh ideologi hukum tata ruang yang memayunginya (McAuslan, 1980) yaitu: 1) Private Interest Ideology – keberadaan hukum untuk melindungi hak dan kemerdekaan individual (common law perspective) 2) Public Interest (Orthodox public administration) Ideology – keberadaan hukum untuk memfasilitasi pengamblan keputusan oleh birokrasi (statutory perspective), dan 3) Public Participation Ideology – keberadaan hukum untuk menyediakan partisipasi publik secara lebih luas dalam pembuatan keputusan penataan ruang.
137
Konsensus pilihan terhadap salah satu ideologi hukum penataan ruang tersebut akan berimplikasi pada jawaban atas “apa, kenapa, bagaimana, kapan, dan oleh siapa” yang dipertanyakan dalam penataan ruang. Menurut Andi Oetomo (2006), secara hukum, di Indonesia, khususnya untuk ‘ruang darat/tanah’ berangkat dari “public interest ideology” (kepentingan umum di atas kepentingan privat), sehingga: •
Selain UUPA (UU No. 5/60) juga terdapat UU No. 20/1961 tentang “Pencabutan Hak Hak Tanah Dan Benda Benda Yang Ada Diatasnya”, disertai dengan Inpres No. 9 tahun1973 yang kemudian diganti dengan Keppres No 55 tahun 1993 dan akhirnya diganti kembali dengan Perpres 36 tahun 2005.
•
UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang juga menganut “public interest ideology”, termasuk dengan kelengkapannya seperti PP No. 69 Tahun 1996 Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang dan Permendagri No. 8 Tahun 1998 Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah. Berdasarkan hal tersebut yang di atas, nampak bahwa kebijakan
penataan ruang di Indonesia secara de jure mengindikasikan pemihakan pada “public interest ideology”. Namun dalam fakta penyelenggaraan penataan ruang yang justru dapat berjalan selama ini adalah apabila dilaksanakan secara “partisipatif” dan hal ini dapat dibuktikan dengan adanya PP No.69 Tahun 1996. Walaupun di dalam PP tersebut partisipasi masyarakat masih terbatas sebagai penyedia indormasi, secara de facto dapat dinyatakan bahwa kebijakan penataan ruang Indonesia menuju pada ideologi ke tiga, yaitu public participation ideology dimana pada prinsipnya digunakan proses negosiasi dan musyawarah dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang (kepentingan publik dan privat dari masyarakat sama-sama dipertimbangkan). Wacana konflik penataan ruang perlu ditinjau dari tipologi konflik di sektor ini. Menurut (Minnery, 1985), tipologi konflik dalam penataan ruang terdiri atas: 1) Konflik terhadap (over) penataan ruang; mencakup konflik dalam dimensi manusia, konflik dalam konteks sosial, dan konflik dalam konteks negarabangsa, 2) Konflik mengenai (of) penataan ruang; mencakup metoda (pendekatan), sistem dan desain, dan aspek politik,
138
3) Konflik dalam (in) penataan ruang; mencakup konflik sumber daya (alam, fisik, informasi, dll)), dan 4) Konflik melalui (through) penataan ruang; mencakup konflik akibat profesi, konflik antar organisasi (pemerintah versus organisasi profesional, dll.), konflik akibat alat dan teknik. Berdasarkan tipologi konflik tersebut, dapat diidentifikasi bahwa konflik lingkungan di dalam penataan ruang kawasan hutan di Indonesia mencerminkan semua tipologi, contohnya: •
Konflik hutan adat dan wilayah masyarakat adat merupakan contoh tipologi konflik terhadap penataan ruang dalam konteks pranata sosial kelembagaan masyarakat adat. Di dalam UU No.41 tentang Kehutanan, masyarakat adat diakui apabila kelembagannya masih berlangsung dan diakui oleh peraturan daerah. Hal ini tentunya amat absurd untuk didapati di lapang karena kelembagaan masyarakat adat sudah terleburkan oleh keluarnya Undangundang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Selain itu, peraturan derah tentang masyarakat adat pada umumnya berisi dinamika masyarakat adat dalam hal budaya (customary ceremony) dan bukan dalam hal hak atas sumberdaya alam. Di Propinsi Lampung misalnya, pada tahun 1978 terjadi “penyerahan” secara masal oleh Kepala Negeri untuk melaksanan sistem penyelenggaraan pemerintah desa dan meninggalkan sistem pemerintahan negeri. Hal ini kemudian memicu konflik batas desa yang telah memecah unit social masyarakat adat secara geografi termasuk negeri-negeri yang berada di sekitar kawasan hutan.
•
Tumpang tindih klaim atas kawasan hutan yang dipicu karena perbedaan antara metode teknis penunjukkan kawasan (iklim, fisik lahan, kepentingan stratgeis) yang dipakai oleh Departemen Kehutanan dengan pendekatan sejarah dan batas-batas alam yang dipakai secara tradisional oleh masyarakat setempat, merupakan contoh dari konflik mengenai penataan ruang.
•
Tipologi konflik dalam tata ruang dapat dicontohkan oleh konflik yang terjadi karena kompetisi terhadap penguasaan sumberdaya alam dan ini kerap terjadi pada sector-sektor pembanguan berbasis lahan sekala besar seperti pembukaan perkebuna kelapa sawit oleh swasta.
•
Konflik melalui tata ruang yang ditimbulkan dari perbedaan kepentingan profesi dan lembaganya dapat dicontohkan bagaimana saat ini terdapat
139
banyak konflik yang terjadi antara sektor pertambangan dan sektor kehutanan. Penyelesaian konflik penataan ruang di dalam kawasan hutan pada dasarnya sudah menjadi agenda politis oleh siapa saja yang memimpin kedua sektor tersebut. Pada tahun 2003 pada Rapat Kerja Nasional Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah selaku Ketua Tim BKTRN menyatakan bahwa dalam melaksanakan otonomi daerah dijumpai berbagai isu dan permasalahan pembangunan yang bersifat strategis yang membutuhan suatu pendekatan atau instrumen yang mampu menterpadukan kebijakan dan strategi pembangunan, serta mensinergikan pemanfaatan sumberdaya secara optimal bagi kepentingan masyarkat luas. Beberapa isu dan permasalahan dimaksud antara lain (1)
terjadinya konflik
penataan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, (2) terjadinya percepatan kerusakan lingkungan hingga taraf yang mengkhawatirkan, (3) terjadinya kesenjangan tingkat perkembangan antar wilayah di berbagai bagian wilayah nasional, serta (4) lemahnya koordinasi dalam penyelenggaraan penataan ruang, baik di pusat dan daerah. Sementara itu, Menteri Kehutanan Kabinet Bersatu Jilid-2. Zulkifli Hasan, menegaskan, dalam Program 100 Hari kepemimpinannya, pihaknya akan segera menyelesaikan konflik tata ruang kehutanan (Tempo interaktif, 16 November 2009) Komitmen-momitmen
serupa
acapkali
dilakukan
namun
sejarah
menunjukan bahwa yang diselesaikan hanya simpton-simpton dari suatu peristiwa konflik tanpa diikuti perubahan kebijakan secara sistemik dan siginifikan yang menjadi penyebabnya. Dengan mengambil contoh penetapan TGHK (Tata Guna Hutan Kesepakatan), sejauh ini yang bersepakat hanya kepentingan antar sektor dan/atau antara tataran pemerintah, tanpa kesertaan masyarakat secara aktif apakah mereka menjadi bagian yang turut menyepakati TGHK tersebut. Pengaturan penyelesaian konflik penataan ruang sedikit sekali disinggung di dalam undang-undang Penataan Ruang yang terbaru yaitu UU NO.26 Tahun 2007. Di dalam Pasal 67 tentang Penyelesaian Sengketa hanya dijelaskan bahwa: 1) Penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat (Ayat 1). 2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian
140
sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Ayat 2). Namun pada kenyataannya, apabila masyarakat tidak menyepakati pelaksanaan kebijakan penataan ruang, pada kasus pembebasan tanah misalnya, maka pemerintah cukup meninggalkan kompensasi uang ganti rugi di Pengadilan Negeri setempat yang dihitung perdasarkan estimasinya sendiri, sementara di lapangan pengambil alihan lahan dan pencabutan hak masyarakat atas tanah yang akan dijadikan untuk kepentingan umum terus dilakukan dan bahkan secara paksa 3/. Artinya, ketika pemerintah menafsirkan kepentingan publik atas perspektif development right, maka kebijakan pemerintah cenderung menganut public interest ideology dimana pembangunan adalah domain publik (pemerintah) dan ia berhak mengambil hak privat. Padahal, di dalam suatu kewenangan dimana didalamnya hak dan kewajiban melekat satu sama lain (Bagir Manan dalam Ridwan HR, 2006), maka pemerintah wajib menghargai hak privat warga negara terutama jika hak privat tersebut sebelumnya sudah diakui oleh negara. Apabila kecenderungan tersebut terus berlangsung, maka konflik penataan ruang termasuk kawasan hutan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan akan terus terjadi. Ke depan, selain dibutuhkan perubahan kebijakan secara sistemik, ideologi hukum penataan hutan yang sepatutnya ditempuh dengan public participation ideology secara utuh. . G. Pengaduan Perselisihan di Dalam UU Pelayanan Publik Seluruh lembaga pemerintah, bahkan termasuk badan usaha milik pemerintah, berdasarkan sudut pandang peningkatan pelayanan publik sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia wajib memiliki mekanisme mengelola pengaduan dan penyelesaian konflik seperti yang tertuang dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 18 Juli 2009. Undang-undang ini penting karena umumnya konflik lingkungan yang terjadi di dalam pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 2: 3
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
141
1) Kelompok pertama: Konflik yang muncul karena ditetapkan dan atau dilaksanakannya suatu peraturan dan/atau kebijakan pemerintah ternyata tidak mampu menjawab isu-isu yang baitan atas klaim masyarakat tempatan atas sumberdaya suatu kawasan hutan Negara. Misalnya klaim tanah oleh masyarakat adat, klaim kepemilikan tanah oleh masyarakat tempatan atau suatu kebijakan perluasan dan/atau penunjukkan kawasan hutan, 2) Kelompok kedua: Konflik yang muncul murni disebabkan oleh pelangaran yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok masyarakat tempatan dan murni menjadi subjek KUHP. Misalnya pembalakkan liar, perburusan satwa lindung, dan lain-lain. Konflik yang tergolong ke dalam kelompok pertama tersebut adalah konflik-koflik yang sejatinya masuk ke dalam mekanisme pengaduan yang dimaksud di dalam undang-undang tersebut. Dalam
Undang-undang
No.25
Tahun
2009
tersebut,
setiap
penyelenggara pemerintahan (bahkan termasuk didalamnya adalah BUMN) diwajibkan untuk membangun mekanisme untuk mengelola pengaduan. Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa tidak ada alasan bagi sebuah lembaga pemerintah untuk tidak membangun kelembagaan pengaduan dan penanganan konflik atas sebuah kewenangan yang diberikan kepadanya. Undang-undang ini penting untuk diselenggarakan oleh instansi sektoral. Untuk lebih jelasnya tentang bagaimana UU No. 25 tahun 2009 mengatur tentang kelembagaan pengaduan ini dapat dilihat dalam pasal-pasal yang terdapat dalam Kotak-1 halaman berikut. 5.2.4
Pentingnya Kebijakan Afirmatif dan Kebijakan Responsif untuk Penyelesaian Konflik Lingkungan di dalam Kawasan Hutan Kebijakan afirmatif (affirmative policy) adalah kebijakan yang memberikan
kepastian
untuk
bertindak,
kemudahan-kemudahan,
atau
memberikan
pengecualian, termasuk jika payung hukum yang lebih tinggi belum tersedia. Hasil wawancara (pada saat penelitian ini berlangsung) dengan seorang praktisi hukum sumberdaya alam lembaga HuMA, Ricardo Sinamarta, menyatakan bahwa kebijakan afirmatif merupakan hasil dari kewenangan diskresioner, yaitu kewenangan untuk “menyimpang” dari struktur undang-undang karena beberapa hal yaitu: 1) Jika peraturan perundangan yang lebih tinggi tidak tersedia.
142
2) Jika peraturan dan perundangan yang mengatur tentang subjek tidak jelas. 3) Disusun untuk orientasi kemanfaatan dan kepentingan umum dan bukan orientasi kepastian karena kasus empirik memerlukan kebijakan segera, misalnya kelestarian lingkungan. Kotak-5.1 Mekanisme Pengaduan dan Penyelesaian di Dalam UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik.
(1) (2)
(3) (4)
Pasal 36 Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan Pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan. Penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang berasal dari penerima pelayanan, rekomendasi ombudsman, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu. Penyelenggara berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Penyelenggara berkewajiban mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang disediakan.
Pasal 40 (1) Masyarakat berhak mengadukan penyelenggaraan pelayanan publik kepada Penyelenggara, ombudsman, dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. (2) Masyarakat yang melakukan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijamin hak-haknya oleh peraturan perundang-undangan. (3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: a. Penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan; dan b. Pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan.
Kewenangan diskresioner diberikan kepada pejabat atau badan tata usaha negara, dan dipergunakan untuk hal-hal yang “konkrit”. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut oleh Pemerintah Daerah, badan tata usaha di daerah memiliki kewenangan atributis yaitu kewenangan yang diberikan untuk membuat perda seperti halnya diatur dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lihat halaman 13 UU32/2004). Selain kebijakan afirmatif, dalam penyelanggaran ketata negaraan, pembuatan kebijakan responsif (responsive regulation) dapat dilakukan. Kebijakan responsif merupakan peraturan dan perundangan yang akomodatif terhadap kebutuhan empiris. Implikasinya bisa saja menyimpang secara struktural dari Tata Urutan Peraturan dan Perundang-undangan namun secara normatif masih berpijak kepada kepentingan umum yang menjadi tanggung-
143
jawab
pemerintah
untuk
melayaninya.
Oleh
karenanya,
bentuk-bentuk
penyelesaian konflik secara alternative (Arternative Dispute Resolution) diluar payung kebijakan yang mengatur untuk itu, dapat dibenarkan sepanjang para pihak yang berkonflik menyepakati untuk menempuhnya dan sepanjang kesepakatan yang dihasilkan adalah untuk kepentingan umum dalam arti luas. Fasilitasi pelaksanaan ADR tersebut dapat dilakukan oleh individu atau lembaga independen walau yang bersangkutan tidak memiliki sertifikasi sebagai seorang mediator misalnya. 5.3
Hasil dan Pembahasan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya suatu konflik ada yang
tunggal dan ada yang majemuk dan bahkan bertingkat berbentuk seperti pohon masalah. Pada penelitian ini, faktor-faktor yang menjadi akar konflik adalah majemuk terdiri dari 26 faktor (akar konflik) yang selanjutnya di dalam analisis jalur disebut sebagai peubah eksogen dan kemudian dikelompokkan ke dalam 9 sub-model. Penanganan konflik merupakan serangkaian upaya untuk menciptakan perdamaian. Dengan pertimbangan skala prioritas penyelesaian konflik, maka tentunya tidak semua akar konflik diselesaikan secara bersamaan, melainkan secara bertahap utamanya terlebih dahulu pada akar konflik yang paling peka dan paling berpengaruh terhadap terjadinya konflik. Di dalam penanganan konflik, penanganan yang bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang bersengketa melalui penyelesaian akar konflik yang paling dominan disebut sebagai Pengelolaan Konflik (Fisher et al, 2001). Pengelolaan konflik (conflict management) berangkat dari pemahaman bahwa tidak semua konflik dapat diselesaikan
(conflict
settlement,
conflict
resolution),
konsekuensinya
penggunaan terminolgi conflict management mengandung makna bahwa pengendalian konflik tidak selamanya mensyaratkan sebuah penyelesaian sebagai hasil akhir namun dapat berupa perubahan situasi ke arah yang lebih baik dan konstruktif (Solberg dan Miina, 1997). Implikasinya terhadap analisis statistika yang dilakukan di dalam penelitian ini adalah, pada masing-masing model tidak akan dilihat seberapa nyata (significance) masing-masing peubah eksogen (peubah penyebab) berpengaruh terhadap peubah endogen (peubah akibat), melainkan lebih diutamakan untuk mengetahui dari seluruh peubah
144
eksogen yang ada, peubah eksogen yang manakah yang paling berpengaruh terhadap peubah endogen dengan cara mengetahui koefisien jalur yang memiliki nilai terbesar. 5.3.1
Faktor-Faktor Eksternalitas
Yang
Mempengaruhi
Konflik
Dalam
Submodel
Pada submodel eksternalitas, peubah endogen motivasi keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) dipengaruhi oleh peubah-peubah eksogen bencana alam antropogenik (X1), penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden (X2), informasi pasar (X3), pengaruh pasar (X4), dan sarana pendukung (X5). Dari hasil analisis jalur diperoleh koefisien pengaruh masing-masing peubah eksogen seperti pada Persamaan (21) dan Gambar 5.1 berikut.
X6 = - 0,058*X1 – 0,024*X2 + 0,041*X3 + 0.049*X4 + 0.036*X5 ……
(21)
Keterangan: X6 = peubah akibat keputusan konversi lahan kawasan oleh responden X1 = peubah bencana alam antropogenik X2 = peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden X3 = peubah informasi pasar X4 = peubah pengaruh pasar X5 = peubah sarana pendukung
Bencana alam antropogenik (X1)
Penerimaan Kotor (X2)
-0,024
Informasi pasar (X3)
0,041
-0,058
Pengaruh Pasar (X4)
-0,049
Sarana pendukung (X5)
0,036
Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6)
Gambar 5.1. Diagram Jalur Sub-model Eksternalitas.
Dari kelima peubah eksogen yang dianalisis, peubah bencana alam antropogenik (X1) berpengaruh negatif sebesar 0,058 dan jika dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang paling tinggi mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan
145
hutan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Bencana alam antropogenik diukur dari ragam bencana akibat ulah manusia yang pernah dihadapi responden dalam mengolah lahan garapan mereka di luar kawasan. Di dalam penelitian ini, bencanabencana tersebut adalah: (1) kebakaran hutan, (2) erosi dan longsor, (3) banjir dan penggenangan, dan (4) serangan penyakit dan hama tanaman. Berpengaruh negatif menunjukkan bahwa semakin beragam bencana yang mereka hadapi di luar kawasan, maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan akan semakin rendah. Berdasarkan hasil analisis deskriptif peubah eksogen X1, sebesar 70 persen responden menyatakan menghadapi 3 jenis bencana alam antropogenik (Tabel 5.3.1).
Sementara responden yang menyatakan menghadapi 4 jenis
bencana adalah sebesar 16 persen, sedangkan responden yang menyatakan menghadapi setidaknya 1 hingga 2 jenis bencana adalah sebesar 13 persen. Tabel 5.3.1. Analisa deskriptif peubah bencana alam antropogenik (X1) Peubah Eksogen
X1
Skor
Frekuensi
Persen
,00
1
1,00
0
0
2,00
2
2,0
3,00
11
11,0
4,00
70
70,0
5,00
16
16,0
Total
100
1,0
Deskripsi Skor SKOR = 1, jika responden menyatakan tidak pernah ada bencana antropogenik. SKOR = 2, jika responden memilih satu buah bencana antropogenik. SKOR = 3, jika responden memilih dua buah bencana antropogenik. SKOR = 4, jika responden memilih tiga buah bencana antopogenik . SKOR = 5, jika responden memilih empat buah bencana antropogenik.
100,0
Bencana antropogenik: (1) Kebakaran hutan, 2) Erosi dan longsor, 3) Banjir dan penggenangan, 4) Serangan penyakit dan hama tanaman. Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.
Berdasarkan analisis deskriptif tersebut dapat dinyatakan bahwa semakin banyak bencana alam yang dihadapi oleh responden di luar kawasan (yang dicerminkan oleh nilai skor yang semakin tinggi) maka motivasi keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan akan semakin surut/rendah. Hubungan terbalik tersebut dapat ditafsirkan bahwa responden memiliki perhitungan kehawatiran akan terjadinya bencana serupa jika membuka lahan dan bertani di dalam kawasan hutan. Rendah tingginya motivasi responden dalam mengkonversi lahan dicerminkan oleh ragam motivasi yang dimiliki
146
responden. Semakin beragam motivasi responden, semakin tinggi nilai skornya (Tabel 5.3.2). Penyelesaian konflik yang akan dilakukan adalah dengan mengintervensi akar konflik yang memiliki pengaruh terbesar baik berupa saran, rekomendasi, atau opsi. Di dalam sub-model ini, akar konflik X1 memiliki koefisien jalur X1 Æ X6 sebesar – 0,058 dan merupakan yang terbesar dibandingkan dengan koefisien jalur peubah eksogen lainnya. Temuan tersebut bukan berarti menganjurkan agar bencana lebih banyak terjadi sehingga responden bermotivasi rendah dalam mengkonversi lahan. Temuan ini lebih mengartikan bahwa bencana alam antropogenik yang pernah dialami oleh responden merupakan faktor penghalang bagi responden untuk masuk dan dalam mengkonversi lahan kawasan hutan. Semakin beragam bencana yang dihadapi, semakin rendah motivasi mereka, maka akan semakin kecil investasi yang akan mereka curahkan ke lahan garapan di dalam kawasan. Dalam kondisi demikian maka perlu dilihat faktor eksogen lainnya yang pengaruhnya setingkat di bawah peubah X1, yaitu peubah pengaruh pasar X4. Tabel 5.3.2. Analisa deskriptif peubah motivasi responden dalam memutuskan mengkonversi lahan hutan kawasan (X6) Peubah Endogen
X6
Skor
Frukensi
Persen
,00
2
2,0
1,00
43
43,0
2,00
29
29,0
3,00
7
7,0
4,00
14
14,0
5
5,0
Deskripsi Skor SKOR = 5, jika responden memilih 1, 2, dan 3. SKOR = 4, jika responden memilih 1 dan 2. SKOR = 3, jika responden memilih 1 dan 3. SKOR = 2, jika responden memilih 2 dan 3 SKOR = 1, jika responden memilih 2
Ragam motivasi atau yang melatar-belakangi responden dalam mengkonversi lahan ke dalam Total bentuk penggunaan saat ini. (1) Untuk dijual (berorientasi pasar) 100 100,0 (2) Untuk keperluan sendiri/keluarga (subsisten) (3) Atas saran/ajakan keluarga/kerabat/tetangga. Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11. 5,00
Peubah pengaruh pasar (X4) berpengaruh positif sebesar 0,049 dan jika dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang berada pada posisi terbesar kedua dalam mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya. Pengaruh pasar di dalam hal ini diukur oleh banyaknya jumlah pembeli/penampung komoditas utama yang dihasilkan responden dari lahan garapan mereka di dalam kawasan.
147
Berpengaruh positif menunjukkan bahwa semakin banyak pasar komoditas maka akan semakin besar motivasi responden dalam mengkonversi lahan kawasan. Analisis deskriptif menghasilkan bahwa sebesar 95 persen responden menyatakan komoditas hasil utama mereka, yang pada umumnya adalah kopi, dijual kepada pedagang pengumpul atau pasar desa (Tabel 5.3.3).
Mereka
menyatakan bahwa perbedaan harga jual yang diterima dari pedagang pengumpul lebih rendah sebanyak Rp.100,- per kilogram kopi dibandingkan jika mereka menjual langsung ke pasar desa. Kecenderungan menjual kepada pedagang
pengumpul
lebih
disebabkan
oleh
biaya
transportasi
untuk
mengangkut kopi mereka dari dalam kawasan ke pasar desa. Pada dasarnya responden dapat menjual sendiri ke pasar namun mereka tetap tidak memperoleh nilai tambah karena biaya transportasi tersebut, bahkan responden kehilangan waktu yang dipergunakan untuk membawa dan menjual kopi ke pasar. Selain itu antar responden dengan pedagang pengumpul telah memiliki hubungan sosial-ekonomi yang relatif lama. Tidak jarang berbagai sarana produksi
pertanian
dan
bahkan
kebutuhan
rumah
tangga
responden
dibeli/diperoleh dari pinjaman tunai dan/atau inatura dari pedagang pengumpul. Tabel 5.3.3. Analisa deskriptif peubah pengaruh pasar (X4) Peubah Eksogen
Skor
Frekuensi
Persen
,00
1
1,0
1,00
95
95,0
2,00
3
3,0
3,00
0
0
4,00
1
1,0
5,00
0
0
X4
Total
100
100,0
Deskripsi Skor SKOR = 5 (Pengaruh pasar amat kuat, regional, dan banyak pilihan pembeli), jika responden memilih keempatnya (1, 2 , 3 dan 4). SKOR = 4 (Pengaruh pasar amat kuat dan regional), jika responden memilih angka 1, 2, dan 3. SKOR = 3 (Pengaruh pasar kuat dan regional), jika responden memilih angka 1 dan 2. SKOR = 2 (Pengaruh pasar amat kuat namun lokal), jika responden memilih angka 2 dan 3. SKOR = 1 (Pengaruh pasar kuat namun lokal), jika responden memilih angka 2 atau 3 saja. SKOR = 0 Tidak menjawab.
Para-pihak berpengaruh dan yang selama ini membeli/menampung komoditas utama: (1) Perusahan, (2) Pasar Desa, (3) Pedagang pengumpul, (4) Lainnya. Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.
Hanya sebesar 3 persen yang menjual kepada pedagang pengumpul dan pasar desa. Pada umumnya lokasi lahan mereka relatif dekat dengan jalan desa.
148
Sebesar 1 persen di antara mereka menjual kopinya kepada perusahaan, pedagang pengumpul, dan pasar desa. Responden tersebut ternyata selain sebagai petani kawasan, juga menerima/membeli kopi dari petani lainnya. Sehingga apabila volume kopi yang akan dijual relatif banyak, maka ia akan menjualnya langsung ke perusahaan bermodal besar untuk menerima kopi dalam partai besar. Pelaku pasar seperti perusahan, pasar desa, dan pedagang pengumpul yang membeli hasil-hasil perkebunan, terutama kopi, dari lahan kawasan merupakan aset pembangunan ekonomi perdesaan. Tentunya amat naif apabila dalam upaya menekan motivasi responden mengkonversi lahan kawasan maka para penampung/pembeli hasil perkebunan tersebut dikurangi jumlahnya, apalagi fakta sejarah memaparkan bahwa: (1) Sejarah produksi kopi di Propinsi Lampung sama tuanya dengan sejarah pembentukan wilayah tersebut sejak masih berupa Kresidenan Lampung pada jaman kolonial Belanda hingga menjadi Propinsi Lampung pada tahun 1964. (2) Demikian pula wilayah Sumberjaya, sejak jaman Belanda tahun 1933 merupakan bagian dari daerah sentra produksi kopi yang membentang dari selatan yaitu Kecamatan Kota Agung, Wonosobo, Talang Padang, Pulau Panggung, lalu menuju ke utara melewati Kecamatan Suoh, Sekincau, dan Sumberjaya, kemudian ke utara lagi hingga Kabupaten Way Kanan Propinsi Lampung hingga ke Perbatasan Propinsi Sumatera Selatan (Verbist, B. dan G. Pasya, 2004). (3) Pada tahun 2003, Presiden Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri, mendeklarasikan bahwa Propinsi Lampung merupakan Beranda Kopi Nasional Indonesia. (4) Demikian pula di dalam aspek kebijakan. Atas pertimbangan sejarah bahwa selain lada, produksi kopi adalah identitas mata pencaharian khas masyarakat Lampung, maka buah kopi di dalam kawasan hutan mendapat pengecualian dan diklasifikasikan sebagai Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan tertuang di dalam Perda Propinsi Lampung No.7 Tahun 2000 tentang Iuran Hasil Hutan Bukan Kayu. Adanya fakta sejarah tersebut bukan berarti sama sekali tidak tersedia upaya yang patut dipertimbangkan untuk ditempuh untuk mengintervensi X4 agar
149
motivasi mengkonversi lahan dapat ditekan. Beberapa upaya yang patut dipertimbangkan adalah sebagai berikut: (1) Pada tahun 2005, pasar kopi internasional hampir memboikot kopi asal Indonesia karena kopi-kopi tersebut ditengarai ditanam di dalam kawasan hutan sehingga menjadi salah satu penyebab degradasi hutan Indonesia saat itu. Walau hingga kini data statistik belum tersedia, kuat dugaan para pemerhati masalah kopi kawasan di Lampung menyatakan bahwa sebagian besar kopi Lampung berasal dari kawasan hutan. Pemboikotan tersebut akhirnya tidak terjadi, namun demikian ke depan resiko tersebut perlu diperdulikan. Salah satu langkah yang dapat ditempuh, yaitu melalui pengembangan dan penerapan sistem sertifikasi semacam green labelling terhadap produksi kopi. Khusus terhadap kopi yang berasal dari kawasan hutan, pasar dikondisikan agar hanya menerima kopi yang sistem tanamnya benar-benar
tidak
mengganggu
fungsi
kawasan
hutan
sesuai
peruntukkannya. Hal tersebut memerlukan dukungan pemerintah dalam regulasi tata niaga kopi. Menariknya, hasil wawancara pakar dengan WWF Lampung bahwa mereka sejak awal 2006 sudah mulai mempromosikan upaya tersebut dan secara positif direspon oleh pembeli (buyers) regional dan international untuk membeli kopi secara lacak produk yaitu tidak membeli kopi dari dalam kawasan terutama kawasan konservasi dan berupaya meyakini kopi yang dibeli berasal dari zona penyangga (buffer zone) kawasan hutan. Di samping itu, para pembeli dihimbau untuk berperan serta mendukung program-program pengentasan kemiskinan di zona penyangga sehingga secara ekonomis masyarakat tidak termotivasi masuk ke dalam kawasan. (2) Pemberian hak akses (access right) berupa ijin mengelola lahan kawasan hutan bisa menjadi opsi yang baik. Di dalam hak akses biasanya selalui disertai dengan tanggung jawab dan sanksi. Tanggung jawab seperti wajib menerapkan teknik konservasi tanah, jarak tanam ideal, dan sistem tanam kopi multi-tajuk berkombinasi dengan MPTS (Multi Purposes Tree Species), dan lainnya, bisa menjadi pilihan sistem tanam kopi yang secara bersamaan dapat
menyangga
fungsi
lindung
sebuah
kawasan.
Sanksi
berupa
pencabutan ijin dapat menjadi alat penegakkan hak dan tanggung jawab tersebut.
Bentuk hak akses yang dapat dipergunakan saat ini di dalam
kebijakan Kehutanan Indonesia misalnya Ijin Hutan Kemasyarakatan (HKm)
150
yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan yang memungkinkan masyarakat memperoleh manfaat HHBK dari kawasan hutan lindung. (3) Secara simultan kedua upaya di atas perlu disinergikan dengan penguatan manajemen kawasan sehingga tidak terjadi perluasan areal deforestasi. Khusus areal yang sudah terdeforestasi perlu dilakukan upaya restorasi (tidak hanya flora namun bahkan fauna) melalui berbagai skema baik dengan dan/atau tanpa peran serta masyarakat. Pemberian hak akses seperti diuraikan sebelumnya, merupakan contoh skema restorasi dengan peran serta masyarakat reforestasi kawasan hutan. Peubah informasi pasar (X3) berpengaruh positif sebesar 0,041 dan jika dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, merupakan akar konflik yang berposisi ketiga paling mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan. Berpengaruh positif menunjukkan bahwa semakin banyak sumber informasi pasar maka akan semakin beragam keputusan responden dalam mengkonversi lahan kawasan. Sebesar 51 persen reponden memperoleh informasi harga pasar dari satu sumber saja, sementara sebesar 39 persen memperoleh dari 2 sumber informasi (Lampiran 8-A Tabel 1). Sumber-sumber informasi harga pasar tersebut adalah 1) perusahaan, (2) pedagang pengumpul, (3) pasar desa, dan (4) kerabat/tetangga. Pedagang pengumpul dan kerabat/tetangga merupakan dua sumber utama yang menjadi referensi responden dalam memperoleh informasi harga pasar. Hal tersebut diduga menunjukkan adanya hubungan kepercayaan yang telah terjalin relatif lama antara mereka dengan sumber informasi. Peubah sarana pendukung
(X5) berpengaruh positif sebesar 0,036
terhadap motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan hutan lindung. Sarana pendukung diukur dengan jenis jalan untuk menuju lahan garapan di dalam kawasan. Pada umumnya jalan masuk menuju lahan garapan di kawasan adalah kombinasi (1) jalan desa yang bisa dilalui dalam segala cuaca bahkan oleh kendaraan roda empat, (2) jalan kering yang pada musim penghujan hanya bisa dilewati oleh ojeg dan (3) jalan setapak yang harus ditempuh dengan berjalan kaki. Namun demikian terkadang jalan setapak tersebut tetap bisa dilalui oleh ojeg yang umumnya adalah motor trail, walaupun di musim penghujan. Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 60 persen responden menyatakan bahwa jalan masuk ke lahan garapan mereka adalah
151
kombinasi dari ketiga jenis jalan tersebut, sebesar 20 persen hanya jalan kering, dan sebesar 7 persen jalan segala cuaca (Lampiran 8-A Tabel 2). Berdasarkan
modal
transportasi
yang
sering
dipergunakan
oleh
responden khususnya dan masyarakat setempat pada umumnya, variasi jenis jalan dengan tingkat kesulitannya masing-masing tidaklah menjadi hambatan utama karena hampir semua lahan garapan yang telah memiliki jalan setapak dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua terutama ojeg motor trail yang mampu membawa beban hampir mencapai 400 kilogram kopi sekali angkut (Gambar 5.2.).
Gambar 5.2.a., Tahun 2003
Gambar 5.2.b., Tahun 2005
Gambar 5.2. Kendaraan berpenggerak roda 4 seperti pada Gambar 5.2.a adalah jenis yang umumnya melayani transportasi hingga ke tepi bahkan hingga ke dalam kawasan hutan (Sumber photo: Kusworo). Sedang Gambar 5.2.b adalah ojeg motor trail yang mampu mengangkut kopi keluar dari lahan yang berada di jantung kawasan hutan (Sumber photo: Peneliti).
Peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden (X2) berpengaruh negatif sebesar - 0,024 dan merupakan akar konflik yang paling rendah mempengaruhi motivasi responden memutuskan untuk mengkonversi lahan hutan kawasan. Namun demikian, peubah ini penting untuk dianalisis lebih seksama mengingat pengaruhnya yang justru negatif dapat ditafsirkan bahwa setiap kenaikan 100 persen penerimaan kotor reponden dari komoditas utama di dalam kawasan akan menurunkan motivasi responden untuk mengkonversi lahan sebesar 2,4 persen. Hal tersebut diduga disebabkan oleh beberapa hal yaitu:
152
(1) Status lahan garapan yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis walau bagaimanapun juga adalah lahan kawasan hutan milik1 negara. (2) Sepanjang lahan tersebut adalah milik negara, maka responden tidak memiliki kepastian alas hak pemilikan atas lahan (land title) yang digarap mereka. (3) Atas kondisi tersebut diduga setiap manfaat atau keuntungan yang diperoleh responden dari dalam kawasan akan diinvestasikan olehnya di luar kawasan. Berdasarkan hasil perhitungan, sebesar 63% responden memperoleh penerimaan kotor senilai lebih besar dari total konsumsi beras rumah tangga per tahun (Lampiran 8-A Tabel 3). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya sebesar 63% responden berpeluang memperoleh kepastian cadangan pangan (food stock security) dari lahan kawasan yang dikelolanya, sehingga dapat dikatakan bahwa hal tersebutlah yang menjadi faktor penyebab mengapa responden makin termotivasi mengkonversi lahan. Disebut berpeluang karena masih ada beberapa informasi yang perlu diungkap lebih tuntas yaitu: (1) Peubah eksogen tersebut masih berupa penerimaan kotor dan belum dikurangi biaya produksi. (2) Nilai peubah yang diperoleh tidak mencerminkan produktifitas lahan per hektar. (3) Adanya lahan responden yang belum berproduksi, dan (4) Memang karena nilai penerimaan kotornya lebih rendah dari nilai konsumsi beras rumah tangga. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa sebesar 34% responden memperoleh nilai penerimaan kotor komoditas utama lebih rendah dari nilai total konsumsi beras rumah tangga per tahun. Terhadap keempat hal tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih mendalam. Sebagai informasi pelengkap, umumnya komoditas utama yang diusahakan oleh responden di dalam mengkonversi lahan kawasan adalah dengan menaman kopi (Coffea robusta). Ditemui hanya satu responden yang menanam cabai (Fructesen Sp) dan itupun hanya seluas 0,04 hektar, penerimaan kotor reponden yang bersangkutan ternyata lebih besar dari nilai konsumsi berasnya. Harga kopi yang diterima di tingkat responden bervariasi antara Rp.3.900,- hingga Rp. 4.500,- per kilogram. Sedangkan harga beras yang
1
Ada pemahaman bahwa apabila lahan kawasan hutan statusnya belum dikukuhkan maka kawasan tersebut belum resmi disebut sebagai kawasan hutan negara.
153
dikonsumsi oleh responden berkisar antara Rp.2.800,- hingga Rp.3.600,- per kilogram.
5.3.2
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi dan Ketimpangan Struktural
Konflik
Dalam
Submodel
Pada sub model persepsi dan ketimpangan struktural, terdapat dua persamaan jalur secara paralel, yang pertama yaitu sub-model ketimpangan struktural yang ditujukan untuk mengukur tingkat ordinasi responden (X10) dengan melihat pengaruh dari peubah eksogen tingkat partisipasi responden (X7), tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) dan tingkat keberdayaan responden (X9) seperti terlihat pada Persamaan (22) dan Gambar 5.3. X10 = 0,12*X7 + 0,18*X8 – 0,029*X9 ……….………….
(22)
Keterangan: X10 = peubah akibat tingkat ordinasi responden X7 = peubah tingkat partisipasi responden X8 = peubah tingkat kesejahteraan sosial responden X9 = peubah tingkat keberdayaan responden
Berdasarkan hasil analisis jalur diperoleh bahwa tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) berpengaruh positif sebesar 0,18 terhadap tingkat ordinasi responden (X10). Artinya semakin tinggi tingkat kesejahteraan sosial responden maka akan semakin tinggi pula tingkat ordinasi responden. Tingkat ordinasi dinyatakan tinggi apabila dalam setiap perundingan, responden diajak bicara dan kepentingannya diperhatikan/dipenuhi oleh pemerintah atau pihak lain yang menjadi lawan konflik (Lampiran 8-A Tabel 6).
Tingkat ordinasi responden (X10)
Tingkat keberdayaan responden (X9)
-0,029
0,12
0,18
Tingkat partisipasi responden (X7)
Tingkat kesejahteraan sosial responden (X8)
Gambar 5.3. Diagram Jalur Sub-model Tingkat Ordinasi Responden.
154
Tingkat kesejahteraan sosial responden diukur dengan menggunakan baku pengukuran tingkat kesejahteraan sosial yang dipergunakan oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) yang menggolongkan kesejahteraan ke dalam kelompok: (1) Keluarga Pra Sejahtera, (2) Keluarga Sejahtera Tahap I, (3) Keluarga Sejahtera Tahap II, (4) Keluarga Sejahtera Tahap III, dan (5) Keluarga Sejahtera Tahap III Plus. Pada Tabel 5.3.4 terlihat bahwa hanya sebesar 12 persen responden masuk ke dalam kelompok Keluarga Pra-sejahtera, sisanya sebesar 88 persen adalah Keluarga Sejahtera.
Tabel 5.3.4. Analisis deskriptif peubah tingkat kesejahteraan sosial responden (X8) Peubah eksogen
Skor
Frekuensi
Persen
1,00
12
12,0
2,00
50
50,0
3,00
31
31,0
4,00
7
7,0
Total
100
100,0
X8
Deskripsi Skor
SKOR = 1, jika responden adl Keluarga Pra Sejahtera SKOR = 2, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap I SKOR = 3, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap II SKOR = 4, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap III SKOR = 5, jika responden adl Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Sumber: Wawancara, data diolah dengan program SPSS 11.
Semakin
tinggi
status
sosial
responden
semakin
tinggi
pula
kepentingannya diperhatikan oleh pihak lain. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa di dalam polarisasi konflik posisi tawar mereka akan cenderung bergeser manjadi pihak/kelompok yang powerful atau yang berkuasa. Kondisi tersebut merupakan suatu kekuatan/modal sosial yang dapat dipergunakan dalam memperjuangkan kepentingan mereka dalam setiap perundingan. Lalu bagaimana dengan mereka yang status sosialnya rendah (dalam kasus ini adalah 12 persen responden yang masuk dalam kelompok Prasejahtera)? Apalagi kelompok tersebut umumnya powerless (lemah) dicirikan oleh berbagai karakter seperti (1) umumnya adalah kelompok yang marjinal dan rentan secara sosial-ekonomi, (2) hak untuk bersuaraa (right to voice) lemah dan cenderung diabaikan oleh pihak yang kuat (powerfull), dan (3) terbatasnya ruang politik bagi mereka untuk mewujudkan kepentingannya. Disinilah peran para responden yang masuk dalam kelompok Keluarga Sejahtera dan powerfull.
155
Responden yang powerfull dan powerless pada dasarnya memiliki keterikatan kepentingan yang sama, yaitu sama-sama sebagai kelompok masyarakat yang memiliki lahan garapan di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Sebagai sebuah kelompok yang saling berketerikatan, maka responden yang powerless akan menempatkan dirinya sebagai bagian dari responden yang powerfull dalam mencapai kepentingan bersama, sebaliknya responden yang powerfull setidaknya memegang posisi mewakili kepentingan responden powerless. Pada interaksi yang demikian akan terjadi kesepakatankesepakatan sosial seperti adanya (1) keterwakilan (representativeness), (2) mandatasi, dan (3) kekuatan monolitik sebuah kelompok untuk memperjuangkan kepentingan bersama dalam menghadapi konflik dengan pihak lain (Isenhart dan Spangle, 2000; Moore, 1996). Sebaliknya, apabila posisi responden yang powerless terlepas dari ikatan kepentingan bersama dengan yang powerfull, maka peluang mereka untuk berhasil memperjuangkan kepentingannya akan kecil bahkan gagal. Hal tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Robinson (1998) bahwa satuan organisasi masyarakat lapisan bawah (gassroot communities) harus berbentuk kelompok sebab komunitas masyarakat perdesaan tidak dapat berfungsi sebagai individual yang otonom. Ketika individu-individu direnggangkan dari komunitasnya (baik sosial dan lingkungan alam) mereka menjadi mudah digoyahkan oleh kekuatan luar sehingga menurunkan efektifitas mereka dalam mencapai kegiatan dan kepentingan kolektif yang pada akhirnya posisi tawar yang bersangkutan dalam memperjuangkan kepentingannya akan melemah. Di Peubah tingkat partisipasi responden (X7) berpengaruh positif 0,12 terhadap tingkat ordinasi responden (X10). Artinya semakin tinggi tingkat partisipasi responden akan semakin tinggi tingkat ordinasi mereka. Tingkat partisipasi dinilai dari tipologi partisipasi secara kualitatif yang selama ini selama ini diperankan oleh responden. Di dalam penelitian ini, tingkat kualitas tipologi partisipasi dari buruk ke baik secara hirarkis terdiri atas tujuh macam (Pretty dan Ward, 2000) yaitu (1) partisipasi manipulatif dan dekoratif, (2) partisipasi pasif, (3) partisipasi memberi informasi dan konsultasi, (4) partisipasi insentif material, (5) partisipasi fungsional, (6) partisipasi interaktif, dan (7) partisipasi selfmobilization/mandiri.
Partisipasi manipulatif dan dekoratif yaitu keberadaan
kelompok masyarakat atau perorangan dibentuk oleh pemerintah dan untuk kepentingan sesaat oleh pemerintah, misalnya kelompok dibentuk karena ada bantuan/distribusi bibit dari pemerintah dan kelompok hanya eksis selama proyek
156
berlangsung). Partisipasi self-mobilization/mandiri yaitu kegiatan diinisiasi oleh masyarakat sendiri; hubungan kerja dengan lembaga pemerintah dibangun oleh masyarakat berdasarkan kebutuhan mereka; pengelolaan sumberdaya alam (hutan) secara otonom diatur oleh masyarakat. Berdasarkan hasil analisis deskriptif (Lampiran 8A Tabel 4), sebesar 41% responden bentuk partisipasinya adalah partisipasi insentif material. Responden berpartisipasi hanya dalam tahap pelaksanaan dengan memperoleh insentif material. Mereka disertakan untuk berpartisipasi menyediakan tenaga kerja dan untuk partisipasi tersebut mereka mendapat insentif berbentuk upah kerja atau bibit. Selain dari tahap pelaksanaan, mereka tidak disertakan dalam tahap perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian. Pada saat penelitian berlangsung setidaknya ada 3 buah kegiatan proyek pemerintah yang mencerminkan tipologi tersebut yaitu: (1) Proyek Pengelolaan Lingkungan Hidup PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Way Besay. Proyek ini adalah proyek insentif yang disediakan bagi masyarakat oleh PLTA Way Besay untuk perlindungan bantaran sungai Way Besay yang bersumber di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Jumlahnya berkisar Rp.150 juta – Rp.200 juta per tahun. Proyek diserahkan ke Dinas Kehutanan dan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat untuk kemudian dialokasikan ke masyarakat. Oleh Dinas kemudian dana tersebut diberikan kepada masyarakat berupa bibit dan upah kerja. Penerima umumnya masyarakat yang lahan garapannya berada di bantaran sungai. (2) Proyek Perlindungan DAS Way Besay. Proyek ini adalah proyek dekonsentrasi
yang
sumber
dananya berasal dari BPDAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) Seputih - Sekampung. Jumlah dana berkisar Rp.75 juta per tahun yang pengelolaannya dilaksanakan Kehutanan
oleh dan
Dinas
Sumberdaya
Alam Kabupaten Lampung Barat. Dana
tersebut
dialokasikan
ke
kemudian masyarakat
Gambar 5.4. Kelompok petani hutan memperoleh insentif material berupa pupuk dari Proyek Perlindungan DAS Way Besay. Petani kemudian menebarkan pupuk tersebut ke tanaman raboisasi di lahan garapan dalam kawasan dan untuk itu mereka memperoleh upah kerja. Lokasi: Dusun Rigis Jaya, Desa Gunung Terang, Sumberjaya, 3 Desember 2004. (Sumber photo: Peneliti)
157
berupa bibit, pupuk, dan upah kerja.
(3) Proyek GNRHL (Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan). Proyek ini dicanangkan sejak tahun 2003. Tahap-1 Penanaman di tahun 2004, kelompok memperolah insentif senilai Rp.2.600.000,- per hektar untuk dipergunakan pengadaan pupuk, transportasi, dan upah tanam (Tabel 5.3.5). Seluruh insentif diberikan kepada kelompok melalui mekanisme BLM (Bantuan Langsung ke Masyarakat), namun kemudian pada pelaksanaan di lapangan banyak didapati kasus bahwa insentif untuk pengadaan pupuk, transportasi pupuk, transportasi bibit dan biaya perawatan bibit diambil-alih oleh oknum aparat lapangan yang persentasenya yang cukup besar yaitu 58,46 persen (dari Rp.2.600.000,- per hektar). Pada Tahap-2 Perawatan dan Penyulaman, total nilai insentif adalah Rp.700.000,- per hektar. Pada pelaksanaan proyek GNRHL tersebut sebenarnya kelompok calon penerima BLM turut partisipasi di dalam tahap perencanaan kebutuhan bibit terutama spesies tanaman yang diminta, yaitu spesies tanaman yang sesuai dengan persyaratan tumbuh dan kesesuaian terhadap agro-ekosistem lokal. Namun dalam pelaksanaannya, bibit yang dialokasikan berbeda dengan apa yang diusulkan. Belum diketahui mengapa hal ini bisa terjadi. Sebagai catatan, dengan dalih baku mutu bibit dalam proyek masih
tersebut
pengadaan
menjadi
bibit
kewenangan
Departemen Kehutanan, sedangkan pengendalian
kualitas
bibit
yang
diberikan dilakukan oleh perguruan tinggi Universitas Lampung (UNILA). Ironisnya, hasil pengendalian kualitas bibit oleh UNILA hanya 60% bibit yang layak mutu, selebihnya tidak layak. Setiap hektar lahan GNRHL mendapat insentif berupa sebanyak 1100 bibit tanaman.
Di
dalam
sub-model
perbedaan
Gambar 5.5. Insentif GNRHL berupa bantuan bibit yang diterima oleh kelompok HKm – MWLS sedang ditranspor menuju hamparan lahan di dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis. Lokasi: Desa Tugusari Sumberjaya, 20 Januari 2005. (Sumber photo: Peneliti)
struktural
ini,
peubah
tingkat
keberdayaan responden (X9) memiliki pengaruh terendah terhadap peubah
158
tingkat ordinasi responden (X10)
dan bahkan pengaruhnya adalah negatif
ditunjukkan oleh koefisien jalur yang dihasilkan yaitu – 0,029. Walapun pengaruhnya relatif kecil, namun hal ini perlu dicermati karena logikanya, semakin berdaya sebuah kelompok maka akan semakin baik tingkat ordinasinya. Tingkat keberdayaan kelompok diukur dari keragaman responden dalam memperoleh (1) pendampingan hukum, (2) pengorganisasian kelompok, dan (3) penguatan usaha ekonomi rumah tangga baik yang diselenggarakan oleh LSM, perguruan tinggi, maupun instansi pemerintah. Berdasarkan hasil analisis deskriptif
pada (Lampiran 8A Tabel 5) ditemukan bahwa hanya sebesar 31
persen responden yang pernah mendapat ketiga jenis pendampingan tersebut. Sebesar 29 persen pernah mendapat dua jenis pendampingan, dan sebesar 20 persen hanya pernah mendapat satu jenis pendampingan. Yang mengejutkan yaitu sebesar 20 persen responden tidak pernah mendapat pendampingan sama sekali yang setelah diteliti lebih jauh ternyata: (1) Responden tersebut tidak menjadi anggota kelompok berkepentingan tertentu, misalnya menjadi anggota kelompok HKm dan kelompok tani lainnya. Tabel 5.3.5. Daftar insentif material dan upah kerja dalam pelaksanaan Proyek GNRHL di Sumberjaya, 2004.
No
Tahap
1
Tahap I Penanaman - Pupuk - Transportasi pupuk - Upah kerja penanaman - Upah kerja pemupukan - Upah kerja pelubangan - Upah kerja pelorongan - Biaya angkut bibit - Biaya perawatan bibit - Pembuatan papan naman - Pembangunan gubug kerja
Insentif yang tetap dikelola oleh kelompok penerima BLM – GNRHL (*)
Bagian yang diambil kembali dan dikerjakan oleh aparat Dinas Kabupaten (**) XX XX
X X X X XX XX X X
2
Tahap II Perawatan dan Penyulaman - Upah kerja perawatan X - Upah kerja penyulaman X - Upah mandor X Sumber: Wawancara dengan responden yang juga adalah anggota Kelompok HKm penerima bantuan GNRHL.
(2) Ada juga responden yang tidak pernah ikut dalam pendampingan karena selama ini diwakili oleh pengurus kelompoknya.
159
Pengaruh negatif peubah X9 terhadap peubah X10 tersebut amat penting sebagai
bahan
refleksi
bagi
para
pihak
yang
sering
melaksanakan
pendampingan di wilayah setempat diantaranya yaitu WATALA, ICRAF, YACILI, UNILA, dan beberapa unit teknis Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (seperti Dinas Kehutanan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Perindustrian dan Koperasi), terutama adanya kemungkinankemungkinan terdapatnya berbagai kelemahan pendamping/pendampingan yaitu: (1) Pendampingan tidak pernah didahului oleh kegiatan analisa kebutuhan (need assessement)? Jika pernah, apakah analisa kebutuhan tersebut kontekstual? (2) Adanya indikasi bahwa kegiatan pendampingan tersebut bersifat project driven oleh para pendamping. (3) Materi pendampingan belum bisa dicerna oleh masyarakat baik secara budaya maupun bahasa. (4) Kegiatan pendampingan tidak mampu mengantisipasi apakah responden pada tahap selanjutnya memiliki keberdayaan (sosial, ekonomi, dan politik) untuk menindak lanjuti hasil-hasil pendampingan. (5) Proses pendampingan yang kurang memperhatikan kemungkinan kelompok masyarakat yang didampingi di kemudian hari menjadi lebih powerfull dari pihak lain yang menjadi lawan konflik sehingga melakukan gaya mengelola konflik secara represif (menekan pihak/lawan konflik)2. Dari kemungkinan-kemungkinan tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih jauh tentang efisiensi dan efektifitas kegiatan pendampingan yang dilakukan selama ini. Persamaan kedua di dalam sub model persepsi dan ketimpangan struktural adalah sub-model persepsi yang ditujukan untuk mengetahui pengaruh antara kelompok peubah eksogen
yang terdiri atas tingkat pendidikan
responden (X16), lama tinggal di kawasan (X17), dan kosmopolitansi responden (X18) terhadap kelompok peubah endogen yang terdiri atas persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14) sebagaimana terdapat pada Persamaan 23 dan Gambar 5.6. 2
Pada kondisi demikian, pendampingan dalam penanganan konflik perlu dilakukan kepada semua pihak yang secara aktual di dalam konflik tersebut sehingga terlebih dahulu tercipta kondisi dimana semua pihak memiliki kesetaraan posisi dan kepentingan.
160
X12 = 0.24*X16 - 0.075*X17 + 0.41*X18 X13 = 0.23*X16 - 0.14*X17 + 0.36*X18 X14 = 0.26*X16 - 0.10*X17 + 0.36*X18
…………… (a23) .…………… (b23) …………….. (c23)
Keterangan: X12 = peubah akibat persepsi tentang status kawasan hutan negara X13 = peubah akibat persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan X14 = peubah akibat persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan X16 = peubah tingkat pendidikan responden X17 = peubah lama tinggal di kawasan X18 = peubah kosmopolitansi responden
Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12)
0,24 0,23 0,26
Tingkat pendidikan pesponden (X16)
- 0,075 Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13)
-0,14 -0,10
Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14)
0,36 0,36
Lama tinggal di kawasan (X17)
0,41 Kosmopolitansi responden (X18)
Gambar 5.6. Diagram Jalar Sub-model Persepsi Berdasarkan perncematan terhadap persamaan a23, b23 dan c23, diperoleh keserupaan pola pengaruh peubah eksogen terhadap peubah endogen, yaitu: (1) Peubah eksogen kosmopolitansi responden (X18) memiliki nilai koefisien jalur yang paling tinggi dan positif terhadap ketiga peubah endogen yaitu 0,41 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), 0,36 terhadap persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan 0,36 terhadap persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14). (2) Peubah eksogen tingkat pendidikan responden (X16), memiliki nilai koefisien jalur pada posisi kedua dan positif terhadap ketiga peubah endogen yaitu 0,24 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), 0,23
161
terhadap persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan 0,26 terhadap persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14). (3) Peubah eksogen lama tinggal di kawasan (X17), memiliki nilai koefisien jalur terendah dan negatif terhadap ketiga peubah endogen yaitu -0,075 terhadap persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12), - 0,14 terhadap persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13), dan – 0,10 terhadap persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14). Peubah eksogen kosmopolitan responden (X18)
diukur dengan
keragaman sumber informasi dan pengetahuan responden dalam memahami Otonomi, status dan fungsi kawasan hutan lindung Bukit Rigis, yaitu bersumber dari
(1)
media
masa/buku
yang
didapat
secara
mandiri,
(2)
teman
dekat/tetangga/tokoh masyarakat setempat, (3) pendamping, (4) lembaga penelitian/perguruan tinggi/dinas pemerintah, atau (5) tidak pernah memperoleh informasi.
Hasil analisis jalur menunjukkan bahwa semakin kosmopolitan
responden, maka semakin baik persepsi dan pemahaman mereka tentang status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Hasil analisis deskriptif, hanya 7 persen responden yang menyatakan tidak/belum memiliki sumber informasi tentang status kawasan, fungsi hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Walau persentasi tersebut relatif kecil, hal tersebut tidak boleh diabaikan begitu saja. Ketidak-tahuan masyarakat mengenai ketiga hal tersebut justru yang mungkin menjadi penyebab benih-benih konflik pada di masa lalu, saat ini, dan bahkan di masa yang akan datang. Peubah endogen X12, X13 dan X14 selanjutnya juga dipengaruhi secara positif oleh peubah eksogen tingkat pendidikan responden (X16). Berarti dapat ditafsirkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal responden, akan semakin baik persepsi dan pemahaman mereka tentang status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Peubah eksogen X16 tersebut diukur dengan lamanya pendidikan formal yang ditempuh dengan deskripsi seperti tertulis pada Lampiran 8A Tabel 10. Dari deskripsi tersebut, respoden terbesar berlatar pendidikan formal lulus Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah, atau setidaknya pernah mengenyam pendidikan formal tingkat dasar walau tidak tamat; yaitu sebesar 7 persen. Sebesar
16
persen
responden
tamat
pendidikan
formal
SLTP
Umum/Kejuruan/Madrasah Tsanawiyah atau pernah drop out. Lalu, sebesar 6
162
persen responden tamat pendidikan formal SMU/kejuruan/Madrasah Aliyah atau pernah drop out. Peubah eksogen lama tinggal di kawasan (X17) meliputi kondisi-kondisi sebagai berikut yaitu: (1) adalah lamanya mereka menetap di dalam kawasan, (2) lamanya mereka menguasai lahan garapan di dalam kawasan walaupun mereka tidak menetap di sana melainkan menetap di desa sekitar kawasan. Peubah tersebut diukur dalam satuan tahun, kemudian diberi skor yang nilainya mencerminkan periode-periode penting berkaitan sejarah mobilisasi penduduk setempat yang dapat mempengaruhi status lahan mereka seperti terlihat pada Lampiran 8 A Tabel 11. Periode-periode penting tersebut yaitu: (1) Apabila berdasarkan lama tinggal mereka didapat bukti sejarah bahwa mereka mulai tinggal disana pada masa Transmigrasi BRN tahun 19511953, (Skor = 2). (2) Mereka yang mulai tinggal disana setelah masa Transmigrasi BRN (setelah tahun 1954) hingga tahun 1994 pada saat patok tata batas kawasan hutan lindung Register 45B mulai dikonstruksi (Skor = 3). (3) Mereka yang mulai tinggal disana setelah tahun 1994, yaitu tahun ditetapkannya Berita Acara Tata Batas (BATB) Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis (Skor = 4). Peubah eksogen lama tinggal di kawasan (X17) berpengaruh negatif terhadap peubah endogen X12, X13 dan X14. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa semakin tinggi nilai skor X17 maka semakin rendah persepsi dan pemahaman mereka terhadap status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan. Semakin tinggi nilai skor X17, mencerminkan semakin singkat lama tinggal responden di dalam kawasan dan kondisi demikian amat memungkinkan menjadi penyebab bahwasanya pemahaman responden terhadap status kawasan hutan negara, fungsi lingkungan dari hutan, dan desentralisasi pengelolaan kawasan hutan pun akan semakin lemah. Sejarah lama tinggal merupakan salah satu indikator penting terhadap menguat atau melemahnya status lahan garapan responden di dalam kawasan. •
Apabila responden menguasai lahan tersebut setelah BATB kawasan hutan lindung Register 45B ditetapkan, maka peluang status lahan garapan untuk diklasifikasikan sebagai lahan yang dapat di-enclave-kan adalah nil (=0). Berdasarkan fakta di lapangan, contoh lahan seperti ini adalah lahan yang
163
terletak di sekitar “Hutan Pinus” di Desa Sukapura yang konversinya terjadi pada era reformasi di awal tahun 2000-an. Bahkan disinyalir lahan-lahan yang terletak di tepi jalan raya tersebut adalah milik oknum pejabat pemerintah. Perlu penelitian lebih lanjut tentang ini. (Gambar 5.6.a) •
Apabila responden menguasai lahan tersebut antara masa transmigrasi BRN hingga saat sebelum BATB ditetapkan, atau, mereka menguasai lahan sejak masa transmigrasi BRN 1951-1953, maka lahan tersebut berpeluang untuk diklasifikasikan sebagai lahan yang dapat di-enclave-kan sehingga statusnya yang semula dikuasai berpeluang menjadi dikuasai dan dimiliki. Contohnya adalah beberapa bagian wilayah Desa Sukapura Kecamatan Sumberjaya (Gambar 5.7.b).
Gambar 5.7.a
Gambar 5.7.b
Gambar 5.7. Areal penghijauan yang dahulunya dikenal dengan “Hutan Pinus” (Gambar 5.7.a, Juli 2006) kini telah terkonversi ke dalam bentuk penggunaan lain (Sumber photo: Nurka C. Ningsih, asisten peneliti). Gambar 5.7.b (Januari 2005) adalah rona fisik pemukiman penduduk Desa Sukapura yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, mereka adalah bagian dari Transmigrasi BRN tahun 1951-1953 (Sumber photo: Peneliti).
Pada beberapa kasus tidak selamanya semakin singkat lama tinggal semakin lemah persepsi dan pemahaman responden.
Sering juga ditemui
sebaliknya justru semakin lama masa tinggal semakin lemah persepsi dan pemahaman responden tentang status dan fungsi kawasan hutan. Indikasi ini misalnya terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan di Tahura (Taman Hutan Rakyat) Wan Abdul Rahman – Gunung Betung, Propinsi Lampung. Hasil wawancara dengan beberapa pakar kehutanan di Propinsi Lampung, terjadinya kasus tersebut memperkuat teori weapon of the weak (senjatanya orang-orang yang kalah) (Scott, 1985; Peluso, 1992): (1) Mereka pada dasarnya memiliki persepsi dan pemahaman yang baik, namun diduga berpura-pura tidak mengerti semata-mata untuk menghindari jeratan
164
hukum. Termasuk diantaranya pura-pura tidak tahu letak batas kawasan dan bukan kawasan hutan, merusak tanaman reboisasi karena mereka tidak memperolah manfaatnya, dan lain-lain. Tindakan-tindakan semacam itu merupakan contoh illustrasi visual seperti pada Gambar 5.8. (2) Mereka semula memiliki persepsi dan pemahaman yang baik, namun
kemudian berubah menjadi melemah dan bahkan kebingungan. Misalnya kasus di Dusun Pemerihan Desa Sukamarga Kecamatan Bengkunat Kabupaten Lampung Barat. Dusun tersebut berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Masyarakat semula mengerti bahwa lahan mereka berada dalam kawasan dan tidak boleh menggarap di dalamnya.
Namun ada sebagian anggota masyarakat yang dengan
tenaganya tetap menggarap karena disinyalir ternyata mereka memberi iuran tak resmi kepada oknum lapang. Akibatnya, kelompok masyarakat yang pertama jika ditanya apakah mereka paham tentang status lahan garapan mereka, mereka hanya menjawab dengan apatis “Embuhlah, aku ora ngerti!” (Bahasa Jawa yang artinya: “Entahlah, saya tidak tahu!”).
Gambar 5.8. Contoh “Weapon of the Weak” di Tahura Wan Abdul Rahman, Desember 2002. Pohon Sonokeling hasil reboisasi dikerat pangkal batangya oleh orang tidak dikenal hingga akhirnya pohon tersebut mati secara perlahan. Semakin subur pohon tersebut, maka tanaman bertajuk rendah dibawahnya perlahan-lahan menjadi tidak produktif. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab. (Sumber Photo: Peneliti)
(3) Selain itu banyak kasus terjadinya “penghilangan” atau penggeseran (kedalam atau keluar) patok batas kawasan hutan yang dilakukan oleh
165
orang-orang yang tidak dikenal sebagai reaksi atas ketidakpuasan terhadap proses konstruksi tata batas kawasan hutan. Pada tahap selanjutnya, sub-model Persepsi dan Ketimpangan Struktural kemudian dibangun dengan memadukan persamaan (22) dan (23) serta dengan penambahan peubah eksogen baru yaitu peubah tindakan represif oleh pemerintah (X11), Pada Sub-model ini, yang semula X10, X12, X13, dan X14 adalah peubah endogen kemudian berubah menjadi peubah eksogen terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) seperti terlihat pada Gambar 5.9 dan persamaan (24). X15 = - 0.038*X10 + 0.25*X12 + 0.19*X13 – 0.078*X14 + 0.19*X11…(24) Keterangan: X15 = peubah akibat keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi X10 = peubah akibat tingkat ordinasi responden X11 = peubah tindakah represif oleh pemerintah X12 = peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara X13 = peubah persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan X14 = peubah persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12)
0,25
0,19 Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15)
-0,078
0,19 -0,038
Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13)
Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14)
Tindakan represif oleh pemerintah (X11)
Tingkat ordinasi responden (X10)
Gambar 5.9. Diagram jalur Submodel Persepsi dan Ketimpangan Struktural Berdasarkan hasil analisa jalur, dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya, peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12) memiliki
166
koefisien jalur tertinggi dan berpengaruh positif terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) yaitu sebesar 0,25. Demikian pula peubah persepsi tentang fungsi lingkungan kawasan hutan negara (X13) berpengaruh positif terhadap peubah X15 yaitu sebesar 0,19 walaupun kekuatan pengaruhnya berada pada posisi kedua setelah peubah X12. Oleh karenanya dapat ditafsirkan bahwa semakin baik persepsi responden tentang status dan fungsi lingkungan kawasan hutan maka semakin intensif keterlibatan mereka di dalam peristiwa-peristiwa dialog dan negosiasi.
Hasil
analisis deskriptif, sebesar 49 persen responden menyatakan pernah terlibat dalam dialog dan negosiasi, keterlibatannya beragam dari amat jarang hingga amat sering (Lampiran 8A Tabel 13). Sedangkan lainnya sebesar 50 persen belum pernah terlibat dlaam dialog dan negosiasi, namun demikian berdasarkan catatan lapangan kepetingan mereka diperjuangkan oleh para wakil kelompok mereka serta adanya prose internalisasi hasil dialog oleh wakil ke dalam kelompok masing-masing. Jika ditinjau berdasarkan keterlibatan para pihak, pada saat ini bentuk dialog dan negosiasi yang berlangsung di lapang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) dialog bipatriat yang hanya melibatkan responden dengan pihak pemerintah, khususnya unit teknis sektor kehutanan seperti Dinas Kehutanan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat, Dinas Kehutanan Propinsi, atau BP DAS Seputih Sekampung; pada umumnya dialog dan negosiasi ini lebih banyak diprakarsai oleh unit teknis pemerintah, dan (2) dialog dan negosiasi multipihak yang melibatkan berbagai pihak berkepentingan, baik mereka yang kepentingannya terkait secara aktual maupun potensial; dan pada umumnya dialog dan negosiasi diprakarsai atas kepentingan dan kebutuhan bersama. Melalui dialog dan negosiasi multipihak tersebut dihasilkan berbagai prakarsa kebijakan setempat (Kotak 5.1) yang dapat diklasifikasikan sebagai kebijakan afirmatif.
Pada pola konvensional, substansi kebijakan
umumnya disusun bersama antara lembaga eksekutif dan legislatif. Sementara pada kasus Perda Kabupaten Lampung Barat Nomor: 11 Tahun 2004, subtansi disusun bersama wakil masyarakat non-parlemen secara partisipatif dan merupakan kebijakan responsif pemerintah kabupaten (Ayres dan Braithwaite, 1992) melalaui kewenangan atributis dan kewenangan diskresioner yang dimiliki. Pembahasan rancangan perda lebih sebagai proses ratifikasi di tingkat legislatif dan eksekutif.
167
Kotak 5.2 Beberapa Platform Dialog dan Negosiasi Multipihak Di Kabupaten Lampung Barat Di kabupaten Lampung Barat saat ini terdapat beberapa platform yang menjadi tempat dialog dan negosiasi kepentingan secara multipihak, diantaranya yaitu: (1) Tim Kajian Kebijakan – Tata Ruang dan Guna Lahan (TKK-TRGL) Kabupaten Lampung berbasis masyarakat (community based organisation/CBO), lembaga swadaya masyarakat baik lokal, regional, maupun internasional, unit teknis pemerintah kabupaten, perguruan tinggi, dan sektor swasta. Eksistensi TKKTRGL dinaungi oleh Surat Keputusan Bupati Kabupaten Lampung Barat No:B/37/KPTS/02/2001. Sejak terbentuknya tim tersebut, tercatat beberapa output kebijakan penting yang secara substantif isinya merupakan kesepakatankesepakatan kepentingan antar pihak, diantaranya: a. Prakarasa tersusunnya Perda Kabupaten Lampung Barat No. 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat. b. Surat Keputusan Bupati Lampung Barat Nomor: 11 Tahun 2004 Tentang Panduan Teknis Indikator dan Kriteria Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Program Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Lampung Barat. c. Telaah Kebijakan (policy memo) tertanggal 20 Agustus 2001 tentang penundaan pemberlakuan Perda Propinsi Lampung No. 7 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Pemungutan Terhadap Pengambilan Hasil Hutan Buka Kayu di Kawasan Hutan di Wilayah Kabupaten Lampung Barat. (2) Forum Dialog Pengelolaan Sumberdaya Alam – DAS Way Besay, pembentukan forum tersebut diprakarsai sejak tahun 2002 dan kemudian secara institusional keberadaannya dinaungi oleh Surat Keputusan Bupati Kabupaten Lampung Barat Nomor:B/252/Kpts/IV.05/2003 tentang Pembentukan Forum Dialog Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Das Way Besay Kabupaten Lampung Barat. Fokus kegiatan forum pada pengelolaan sumberdaya hutan dikaitkan dengan perlindungan fungsi DAS dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Forum ini merupakan wujud nyata dari keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. (3) Waremtahu (Wadah Rembug Petani Hutan) Bukit Rigis – Sumberjaya. Wadah tersebut terbentuk pada tahun 2002 dan merupakan forum diskusi antar sesama kelompok HKm di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis – Sumberjaya. Didalam forum tersebut para anggota saling berdialog tentang halhal yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan HKm baik dari aspek kebijakan maupun teknis.
Pencapaian-pencapaian dalam dialog dan negosiasi multipihak tersebut memperkuat pandangan Chevalier (2001) tentang pentingnya multi-stakeholders capital dalam penangan konflik. Secara khusus Chevalier memisahkan multistakeholders capital dari social capital yang lebih luas. Dia menyatakan bahwa didalam ekosistem sosial terhadap berbagai komunitas atau kelompok atau bahkan fraksi yang masing-masing memiliki kepentingan. Apabila perbedaaan kepentingan antar kelompok bisa dikelola secara konstruktif, maka masingmasing kelompok tersebut memperoleh manfaat.
Hal tersebut penting
mengingat bahwa selama ada interaksi manusia dengan alam dan/atau antar
168
manusia, maka konflik akan selalu hadir ditengah-tengahnya (Wijardo et al, 2001), dan menurut Solberg dan Miina (1997) konflik terjadi hampir di semua jaringan sosial (social setting). Konflik dapat menciptakan perubahan dan konflik selalu memiliki dua sisi inheren yaitu potensi resiko (yang muncul akibat destruktif konflik) dan potensi manfaat (yang muncul akibat konstruktif konflik), konflik menjadi produktif dan positivism apabila konflik yang terjadi adalah konstruktif konflik. Pada peubah persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14), pengaruh yang terjadi justru sebaliknya yaitu berpengaruh negarif terhadap X15 sebesar – 0,078 dan berada pada posisi ke empat, peubah X14 seyogyanya memberikan pola pengaruh yang sama seperti hanya peubah X12 dan X13 berpengaruh positif terhadap X15.
Pengaruh negatif tersebut diduga
disebabkan oleh temuan-temuan berikut: (1) Sebesar 66 persen responden memiliki persepsi bahwa dalam desentralisasi pengelolaan
kawasan
hutan
merupakan
hal
dan
tanggung
jawab
masyarakat, pemerintah, pemerintah propinsi dan kabupaten (Lampiran 8A Tabel 9). Namun ketika diwawancara lebih jauh, diperoleh kesan bahwa mereka masih merasa tidak jelas secara konkrit apa hak dan tanggungjawab mereka.
Mereka memberi contoh diantaranya yaitu: masyarakat diminta
berpartisipasi untuk turut mengamankan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis, namun di sisi lain mereka mengetahui adanya berkubik-kubik kayu hasil pembalakan liar yang dikawal oleh oknum polisi keluar dari kawasan hutan tersebut dan ketika peristiwa tersebut dilaporkan ke pihak yang berwenang (Dinas Kehutanan dan PSDH Kabupaten Lampung Barat) tidak pernah terdengar tindak lanjutnya. Contoh lainnya adalah pada pelaksnaan GNRHL,
beberapa
komponen
kegiatan
ditanggungjawabkan
kepada
masyarakat, namun kemudian ditarik kembali oleh oknum Dinas Kehutanan (Lihat Tabel 5.3.5).
Konsistensi/inkonsistensi pelaksanaan peraturan dan
ketauladanan aparat di tingkat lapang merupakan faktor penting di dalam kasus tersebut. (2) Sebesar
32
persen
responden
menyatakan
tidak
paham
tentang
desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan, termasuk tidak mengerti apa hak dan tanggungjawab mereka.
Ketidakpahaman tersebut dapat
disebabkan oleh terbatasnya akses informasi responden tentang hal-hal yang
berkaitan dengan desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan.
169
Lazimnya di daerah perdesaan, informasi penting yang berkaitan dengan peraturan perundangan umumnya terakumulasi di tangan-tangan aparat desa, tokoh masyarakat dan individu yang menjadi elit kelompok masyarakat tertentu. Peubah tindakan represif oleh pemerintah (X11) berpengaruh positif sebesar 0,19 terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15) dan merupakan peubah yang pengaruhnya berada pada posisi ketiga. Pengaruh positif tersebut dapat ditafsirkan bahwa semakin represif tindakan pemerintah yang dialami responden, maka responden akan semakin aktif terlibat dalam dialog dan negosiasi. Pola pengaruh tersebut sangat kasuistik.
Dikatakan kasuistik karena
pada penyelenggaraan sistem pemerintahan yang tirani, diktatorian, dan sentralism kecenderungan yang terjadi justru semakin represif tekanan dari pemerintah, maka semakin pasif masyarakat yang powerless terlibat di dalam dialog dan negosiasi karena tidak adanya kesetaraan posisi, tidak tersedianya ruang politik, dan pemandulan hak bersuara (marginalizing right to voice), artinya apabila kondisi tersebut diadopsi ke dalam model ini, maka pengaruh X11 terhadap X15 seharusnya negatif. Penelitian ini diselenggarakan pada suatu era reformasi yang sedang gencar-gencarnya menyelenggarakan sistem pemerintahan secara desentralistik dan otonomi. Prinsip-prinsip transparansi, partisipatif, keterwakilan merupakan beberapa contoh prinsip yang menjadi bagian kelengkapan dari proses penyelengaraan desentralisasi dan otonomi tersebut. Tersedianya ruang politik alternatif seperti platform-platform multipihak sebagaimana telah diuraikan sebelumnya merupakan bagian dari upaya antisipasi apabila terjadi kasus kemandulan-kemandulan perjuangan politik pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan melalui jalur formal konvensional, misalnya kemandulan DPRD dalam memperjuangkan suara rakyat (lihat bab 4, bagaimana tim-tim penyelesaian sengketa tanah yang pernah dibentuk oleh Komisi A baik di DPRD kabupaten dan DPRD propinsi pada tahun 1994 tetap tidak menghasilkan sesuatu terhadap penyelesaian kasus sengketa status lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis).
Oleh karenanya, pada kondisi demikian,
pengaruh positif X11 terhadap X15 yang dibuktikan melalui model ini dapat saja terjadi dan secara logika dapat diterima.
170
Peubah tingkat ordinasi responden (X10) berpengaruh negatif sebesar 0.038 terhadap peubah endogen keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15). Artinya, semakin ordinasi atau semakin powerfull responden maka keterlibatannya secara aktif untuk berdialog dan bernegosisasi semakin rendah. Fakta ini mendukung teori penanganan konflik, bahwa ada beberapa prakondisi yang perlu terpapar (exposed) sebelum suatu perundingan dapat dengan sukses diselenggarakan dan memberikan manfaat, diantaranya yaitu: (1) Adanya mutual trust (rasa saling percaya) pada masing-masing pihak yang berkonflik
bahwa
satu
sama
lain
akan
memperoleh
manfaat
dari
penanganan konflik yang akan dilakukan baik melalui dialog, negosiasi, media atau bentuk penyelesaian konflik secara alternatif lainnya (Pretty dan Ward, 2001) (2) Adanya keseimbangan kekuatan antar pihak yang berkonflik sehingga dapat mendorong pihak-pihak tersebut ke meja perundingan. Apabila salah satu pihak amat ordinasi atau superior, maka pihak tersebut cenderung akan: (1)
berperilaku agitatif dan refresif dalam mencapai tujuannya dengan menghilangkan hak
dan kepentingan pihak lain, baik melalui
perundingan maupun tindakan fisik di lapang, atau (2)
akan mengabaikan kepentingan pihak lawan konflik, misalnya tidak mau diajak berunding.
Seperti telah dibahas sebelumnya, dalam penelitian ini ada tiga faktor yang mempengaruhi ordinasi responden yaitu tingkat keberdayaan responden, tingkat kesejahteraan sosial responden, dan tingkat partisipasi responden (Lihat Persamaan 5.3). Selain dari ketiga faktor tersebut perlu juga dilihat hal-hal yang dapat membuat responden memiliki superioritas “semu/sesaat” misalnya faktor kedekatan dirinya dengan pusat kekuasaan dalam pemerintahan (pejabat tertentu) atau partai politik yang sedang berkuasa pada saat itu (Borrini dan Feyerabend,
2000).
Faktor
yang
terakhir
tersebut
dapat
penyelenggaraan perundingan secara multipihak untuk diwujudkan.
mempersulit
171
5.3.3. Faktor-Faktor Kelangkaan
yang
Mempengaruhi
Konflik
Dalam
Submodel
Seperti dinyatakan oleh Buckles (1999), bahwa peningkatan kelangkaan sumberdaya alam (yang diantaranya disebabkan oleh terjadinya perubahan lingkungan, pertumbuhan penduduk dan peningkatan permintaan, serta pola pendistribusian yang tidak merata) merupakan penyebab timbulnya konflik pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan. Berdasarkan teori tersebut, submodel kelangkaan dikembangkan ke dalam persamaan jalur yang dapat dibangun sebagaimana terdapat pada Gambar 5.10 dan persamaan (25). Pemilihan keempat peubah di dalam persamaan tersebut sehingga menjadi peubah-peubah yang akan diteliti dilakukan dengan wawancara pakar sebelum penelitian ini dilaksanakan.
Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan (X22)
0,15
0,31
Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan (X19)
Status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20)
- 0,10 Pendapatan Rumahtangga Responden Di Luar Kawasan (X21)
Gambar 5.10. Diagram Jalur Sub-model Kelangkaan
X22 = 0.15*X19 + 0.31*X20 – 0.10*X21 …………………….(25) Keterangan: X19 = peubah penguasaan lahan pertanian di luar kawasan X20 = peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan X21 = peubah pendapatan rumah tangga responden di luar kawasan X22 = peubah akibat persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan
Berdasarkan hasil analisis jalur, peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20) memiliki pengaruh positif 0,31 terhadap peubah akibat persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan (X22) dan merupakan koefisien jalur tertinggi dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya.
Artinya, semakin lemah atau semakin tidak jelas status
kepemilikan lahan pertanian responden di luar kawasan, maka persepsi kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan semakin tinggi. Berdasarkan hasil
172
analisis deskriptif (Lampiran 8B Tabel 15) diperoleh fakta bahwa sebesar 36 persen responden tidak memiliki lahan pertanian di luar kawasan, memiliki lahan tapi tidak dilengkapi surat kepemilikan sebesar 2 persen, hanya dilengkapi dengan surat jual beli, bukti girik, atau pajak PBB sebesar 19 persen, telah dilengkapi dengan SKT (Surat Keterangan Tanah) sebesar 12 persen, dilengkapi dengan Akte Tanah sebesar 2 persen, dan telah memiliki sertifikat hak milik sebesar 29 persen. Hubungan pengaruh positif X20 terhadap X22 yang ditunjukkan oleh semakin lemahnya status kepemilikan tanah pertanian, maka semakin kuat persepsi mereka untuk memiliki lahan garapan di dalam kawasan hutan memperkuat pernyataan sejarawan Kuntowijoyo (1992) bahwa “jika negara tidak bertindak secara hati-hati dalam mendukung model, yaitu dengan alasan pembangunan tetapi tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan spesifik dari tanah atas pemiliknya, krisis legitimasi pasti terjadi. Sama halnya dengan krisiskrisis legitimasi di masa lampau, ketika negara dan modal melakukan eksploitasi atas tanah dan tenaga kerja”. Hal tersebut terbukti di dalam kasus penelitian ini, kelangkaan status kepemilikan lahan telah menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan legitimasi lahan kawasan hutan menjadi lemah sehingga lahanlahan tersebut diduduki oleh masyarakat. Pada perspektif lainnya, kelangkaan status kepemilikan lahan tersebut merupakan bukti dari adanya ketimpangan struktur agraria yang tidak hanya berupa ketimpangan penguasaan lahan antara masyarakat miskin dan kapitalis (Fauzi, 2000). Selanjutnya, peubah penguasaan lahan pertanian di luar kawasan (X19) adalah peubah pada posisi kedua yang berpengaruh secara positif terhadap X22 yaitu sebesar 0,15. Artinya semakin luas penguasaan lahan pertanian di luar kawasan semakin tinggi persepsi kebutuhan lahan garapan di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Pola hubungan tersebut sepertinya mementahkan asumsi teori ketimpangan penguasaan lahan saat ini yaitu semakin besar penguasaan lahan oleh masyarakat, maka seyogyanya semakin kecil kemungkinan mereka untuk menduduki lahan-lahan negara. Sebenarnya tidaklah demikian, ada faktor-faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam kasus penelitian ini yaitu: (1) Fakta adanya ketimpangan-ketimpangan distribusi penguasaan lahan pertanian.
Pada saat Departemen Transmigrasi masih ada, standar
penyediaan lahan bagi setiap keluarga transmigran adalah seluas 2 hektar
173
(terdiri atas 0,5 hektar untuk rumah dan pekarangan dan 1,5 hektar untuk lahan pertanian). Dengan luas lahan tersebut diasumsikan kebutuhan hidup setiap keluarga transmigran dapat tertopang dengan layak. Hasil analisis deskriptif terhadap X19 menunjukkan bahwa sebesar 10 persen responden yang memiliki lahan pertanian seluas ≥ 1,51 hektar, sebesar 9 persen memiliki 1,1 – 1,5 hektar, sebesar 18 persen memiliki 0,51 – 1 hektar. Ironisnya, diperoleh fakta bahwa sebesar 36 persen tidak memiliki lahan pertanian di luar kawasan dan mereka bahkan tinggal di dalam kawasan, lalu sebesar 27 persen pemilik lahan antara 0 - 0,5 hektar.
Berdasarkan
kenyataan ini, distribusi penguasaan lahan memiliki pengaruh penting terhadap persepsi responden atas kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan.
Gambar 5.11. Salah satu profil responden transmigran BRN yang saat ini tinggal dan bertani di dalam kawasan hutan lindung lokasi penelitian. Asisten peneliti diterima di “ruang tamunya” yang juga merangkap sebagai tempat tidur dan dapur, Maret 2005 (Sumber photo: Peneliti).
(2) Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 31/KptsII/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, akses mayarakat setempat untuk dapat mengelola kawasan hutan lindung menjadi terbuka, walaupun implementasinya masih memerlukan berbagai penyesuaian terutama pada lahan-lahan yang secara historis sudah digarap oleh masyarakat sejak jaman sebelum kemerdekaan dan masa transmigrasi BRN.
174
(3) Ketidakpastian akan masa depan diantaranya seperti pergulatan politik kekuasaan nasional dan lokal yang berimplikasi terhadap berubah-ubahnya kebijakan (termasuk kebijakan kehutanan, lingkungan, dan pertanian), kondisi perekonomian negara yang tidak kunjung pulih diindikasikan oleh inflasi dan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi, serta inkonsistensi pelaksanaan kebijakan di tingkat lapang. Faktor yang terakhir (faktor ketidakpastian masa depan) tersebut juga diduga
merupakan
faktor
yang
menjadi
penyebab
mengapa
peubah
pendapatan rumah tangga responden di luar kawasan (X21) berpengaruh negatif terhadap peubah X22 dengan koefisien jalur sebesar -0.10 yang artinya semakin meningkat pendapatan rumah tangga responden yang diperoleh di luar kawasan semakin menurun persepsi responden tentang kebutuhan lahan garapan di dalam kawasan hutan.
Seyogyanya semakin tinggi pendapatan
semakin rendah keinginan untuk menduduki lahan kawasan hutan negara. Namun demikian hasil penelitian ini menemukan fakta bahwa, ternyata sebesar 70 persen responden berpendapatan minus artinya pengeluaran per bulan lebih besar dari pendapatan yang diterima, lalu sebesar 4 persen responden pendapatan dan pengeluaran per bulannya impas, dan hanya sebesar 26 persen responden yang pendapatannya surplus artinya lebih besar dari pengeluaran per buannya.
Pandangan lain yang patut untuk dipertimbangkan sebagai faktor
penyebab adalah bahwa kawasan hutan negara adalah public good (good atau benda dalam penelitian ini adalah lahan kawasan hutan negara) dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya dimanfaatkan oleh masyarakat luar, tanpa mensegmentasi
manfaatnya
untuk
kelompok
sebagaimana sebuah private good disediakan. ditafsirkan
secara
sempit
sehingga
dalam
tertentu
secara
ekslusif
Seringkali paham tersebut paraktiknya
hutan
negara
“dimanfaatkan” oleh pengguna (masyarakat, perusahaan, dan lain-lain) dengan anggapan apabila terjadi kerusakan merupakan tanggungjawab pemerintah untuk memulihkannya. Apabila kondisi tersebut berlangsung, maka kemudian yang terjadi adalah sebuah contoh nyata dari public land conflict dalam pengelolaan sumberdaya alam (Solberg dan Miina, 1997).
175
5.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Etik Lingkungan Di dalam teori ekologi prinsipal (radical ecology), etik lingkungan adalah salah satu paham (mashab, pemikiran) yang berkembang yang memiliki rantingranting yaitu etik egosentris (juga dikenal dengan etik antroposentris), etik homosentris, dan etik ekosentris (Merchant, 1992). Dalam perspektif lingkungan, paham etik antroposentris dipakai untuk mengartikulasikan bahwa secara individu manusia “diijinkan atau dimungkinkan” untuk mengektraksi sumberdaya alam bagi kesejahteraan dirinya atau komunitasnya namun
terbatas pada
tetangga dekat. Sementara pada etik homosentris sumberdaya alam diekstraksi untuk kepentingan komunal, misalnya seperti pada suatu komunitas sosial yang tata kehidupannya masih lekat diatur oleh institusi adat.
Sedangkan etik
ekosentris didasarkan pada pemahaman kosmotik yang didalamnya semua benda mati dan benda hidup (termasuk manusia) terikat dalam kesatuan tata nilai dan interaksi yang saling berketergantungan sehingga etik ini dipergunakan untuk mengartikulasikan bahwa ekstraksi sumberdaya alam oleh manusia harus menempatkan kepentingan makhluk lainnya. Oleh Buckles (1999), manifestasi etik lingkungan tersebut berpengaruh terhadap perilaku manusia dalam mengelola sumberdaya alam, termasuk konflik-konflik yang ditimbulkan. Di dalam penelitian ini, etik lingkungan yang akan diteliti adalah etik antroposentris dan etik ekosentris.
Etik homosentris belum diperhitungkan
mengingat masyarakat wilayah Sumberjaya adalah masyarakat plural terdiri dari berbagai suku, budaya, dan agama. Atas pertimbangan tersebut, sub-model etik lingkungan dibangun ke dalam sebuah persamaan model seperti pada persamaan (26) dan Gambar 5.12.
X25 = 0.064*X23 + 0.073*X24 ……………………………….(26) Keterangan: X25 = peubah akibat manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik X23 = peubah etik antroposentris X24 = peubah etik ekosentrik
176
Etik Antroposentris (X23)
Etik Ekosentris (X24)
0,064
0,073
Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik (X25)
Gambar 5.12. Diagram jalur Sub-model Etik Lingkungan
Berdasarkan hasil analisis jalur menunjukkan bahwa peubah etik ekosentrik (X24) memiliki koefisien jalur terbesar dan berpengaruh positif 0.073 terhadap peubah etik lingkungan (X25).
Artinya semakin tinggi keyakinan
responden terhadap paham ekosentris, semakin baik etik lingkungan yang dimanifestasikan oleh responden dalam mengelola lahan garapannya (Lihat deskripsi skor pada Lampiran 8A Tabel 18).
Sementara itu peubah etik
ekosentris (X23) juga memberikan pengaruh positif sebesar 0.064 terhadap peubah X25. Artinya semakin responden tidak meyakini dan bahkan menolak paham antroposentris semakin baik etik lingkungan yang dimanifestasikan oleh mereka (Lihat deskripsi Skor pada Lampiran 8A Tabel 17).
Kedua peubah
eksogen (X23 dan X24) sama-sama berpengaruh positif terhadap peubah endogen manifestasi etik lingkungan (X25) dan walaupun kekuatan pengaruhnya berbeda namun nilai koefisien jalurnya relatif berdekatan. Manifestasi etik lingkungan responden (X25) adalah perilaku/praktik (berdasarkan paham dan keyakinan responden tentang keterkaitan antara tata sosial seseorang/kelompok terhadap kelestarian lingkungan hidup disekitarnya) yang dilihat dari kegiatan mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Di
dalam penelitian ini, kegiatan-kegiatan responden yang diamati adalah (1) topografi, kemiringan lahan yang diusahakan, (2) usaha pencegahan erosi, (3) jenis tanaman yang ditanam, (4) cara membersihkan lahan (land clearing), (5) cara mengolah lahan, (6) penggunaan pupuk, (7) pengunaan pestisida, dan (8) golongan pestisida kimiawi yang digunakan (Lihat Lampiran 2 Tabel Pengukuran peubah etik lingkungan (X25)). Gambar 5.13.
Contoh visual di lapang seperti terlihat pada
177
Gambar 5.13.b
Gambar 5.13.a
Gambar 5.13. Pada Gambar 5.13.a (Desember 2004) terlihat bagaimana petani menggunakan teknik natural vegetatif strip dalam usaha mencegah erosi permukaan pada kebun kopi monokultur tua di dalam kawasan (Sumber photo: Agus Fahrmudin). Sementara itu Gambar 5.13.b (Mei 2005) menunjukkan bagaimana teknik polikultur diterapkan oleh petani dengan kombinasi kopi, kayu gelam (Glirisidae spi), dan pohon kemiri di lahan garapan mereka dalam kawasan hutan lindung Bukit Rigis; lima tahun yan lalu tutupan lahan di hamparan tersebut masih berupa alang-alang dan tanah terbuka (Sumber photo: Peneliti)
5.3.5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Submodel Eskalasi Konflik Konflik dapat mengalami eskalasi (peningkatan intensitas) dan dapat pula
sebaliknya mengalami deskalasi (peredaan ketegangan).
Eskalasi konflik
didefinisikan sebagai peningkatan tindakan kekerasan atau pemaksaan dan pada kondisi kasus tertentu disertai peningkatan keterlibatan pihak-pihak yang berkonflik, sebaliknya deskalasi konflik adalah penurunan perjuangan destruktif dan terkadang disertai penurunan kekerasan dan keterlibatan para pihak tersebut (Kiesberg, 1998).
Deskalasi konflik selanjutnya menjadi konflik
tersembunyi (laten) atau bahkan akhirnya tidak ada konflik. Dalam konstruktif konflik, eskalasi konflik tidak selalu identik dengan peningkatan kekerasan namun wujudnya lebih berupa peningkatan kegiatan perundingan-perundingan yang berakhir dengan tercapainya kesepakatan antar pihak yang berkonflik. Konflik bukanlah sesuatu yang harus ditakuti karena konflik pada dasarnya bisa dikelola (Borrini dan Feyerabend, 2000). Di dalam penelitian ini, sub-model eskalasi konflik dibangun dari gabungan persamaan jalur beberapa sub-model sebelumnya yaitu sub-model eksternalitas (persamaan 21), sub-model persepsi dan ketimpangan struktural (persamaan 22 dn 24), sub-model kelangkaan (Persamaan 25), dan sub-model etik lingkungan (Persamaan 26).
Pada rumusan persamaan jalur sub-model
eskalasi konflik, peubah endogen X6, X10, X15, X22, dan X25 dari kelima sub-model
178
sebelumnya berubah menjadi peubah eksogen terhadap peubah endogen eskalasi konflik (X26) sehingga menghasilkan Persamaan (27) dan grafis model sebagaimana ditayangkan pada Gambar 5.14.
X26 = 0.37*X6 + 0.066*X10 + 0.26*X15 + 0.16*X22 – 0.15*X25……(27) Keterangan X26 = peubah akibat eskalasi konflik X26 = peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responde X26 = peubah tingkat ordinasi responde X26 = peubah keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan bernegosiasi X26 = peubah persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan X26 = peubah manifestasi etik lingkungan responden dalam penangan konflik
Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6)
Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15)
0,37 Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik (X25)
0,26 -0,15
Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan (X22)
0,16 0,066 ESKALASI KONFLIK (X26)
Tingkat ordinasi responden (X10)
Gambar 5.14. Digram Jalur Sub-model Eskalasi Konflik
Berdasarkan hasil analisis jalur, peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) adalah peubah yang paling kuat mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik (X26) yaitu berpengaruh positif sebesar 0,37. Semakin tinggi motivasi responden mengkonversi lahan kawasan semakin eskalasi konflik yang terjadi.
Eskalasi konflik diukur dengan peningkatan ketegangan karena
perbedaan kepentingan dan keselarasan perilaku (gaya mengelol konflik) antar pihak, yang dimulai dari situasi tanpa konflik, potensi konflik, konflik laten, konflik permukaan, hingga menjadi konflik terbuka (Lampiran 84A Tabel 20).
179
Pola pengaruh X6 terhadap X26 tersebut selaras dengan sejarah konflik lahan pertanian yang terjadi di dalam kawasan hutan lindung Register 45 Bukit Rigis yang sebagian besar telah diuraikan sebelumnya pada Bab 4 penelitian ini. Peristiwa-peristiwa penyulut konflik yang berkaitan penggarapan lahan kawasan hutan lindung oleh masyarakat diantaranya adalah: • Era tahun 1951-1953; Pada era tersebut transmigrasi BRN ditempatkan di lahan-lahan yang pada saat ini termasuk dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis.
Sebagian sudah berupa pemukiman, sebagian
lainnya berupa kebun kopi • Era tahun 1973-1986; terjadi gelombang migrasi spontan ke wilayah yang subur tersebut. Dalam satu dekade, penduduk yang semula berjumlah 37.557 jiwa meningkat menjadi dua kali lipat menjadi 57.598 jiwa (Gambar 4.7 Bab 4). Pada saat itu terjadi konversi kawasan hutan secara besar-besaran menjadi kebun kopi rakyat. Pada tahun 1973 kebun kopi di dalam kawasan semula luasnya 883 hektar, meningkat menjadi 3.390 hektar pada tahun 1986 (hasil interpretasi foto citra satelit LAND SAT oleh ICRAF, Tabel 4.11 Bab 4). Perkembangan tersebut menimbulkan kegemparan di Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung. • Era tahun 1990 – 1997: Eskalasi konflik terjadi. Pada awal era ini pemerintah mempersiapkan rencana tapak pembangunan PLTA Way Besay. Pada tahun 1994-1996 penduduk yang bertani di dalam kawasan “diturunkan” (diusir) keluar kawasan yang dikenang penduduk setempat dengan nama “Operasi Gajah”. Bahkan aparat kanwil Kehutanan menyebut Sumberjaya dengan kata lain yaitu “sumber bencana” • Era tahun 1997 – 2000: era ini adalah era transisi antara puncak eskalasi dan awal deskalasi konflik. Departemen Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan
(HKm)
yang
memungkinkan
masyarakat
setempat
mengelola kawasan hutan lindung yaitu memanfaatkan hasil hutan bukan kayu.
Karena sebagian besar sejak dahulunya kawasan hutan lindung di
Daerah Lampung sudah berupa kopi, kebun-kebun tersebut dikecualikan untuk tetap bisa dikelola oleh masyarakat dan pengecualian ini ditegaskan dalam Perda Propinsi Lampung No. 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pemungutan Terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu Di Kawasan Hutan. Adanya kebijakan tersebut dan seiring dengan awal era reformasi
180
tahun 1999, penduduk yang semula diusir masuk kembali ke dalam kawasan untuk mengelola kebun-kebun kopi yang dahulu mereka tinggalkan. Kejadiaan tersebut mengkhawatirkan pihak Pemerintah Kabupaten Lampung Barat akan kemungkinan timbulnya erosi permukaan yang bisa menimbulkan pendangkalan Sungai Way Besay dan mendisfungsikan turbin PLTA Way Besay.
Sebuah penelitian erosi permukaan terhadap 6 macam teknik
tanaman kopi dilakukan oleh ICRAF di kebun kopi masyarakat dilakukan dengan teknik pengukuran secara langsung. Hasilnya menunjukkan sedimen permukaan maksimum yang ditimbulkan dari kebun kopi monokultur berusia 3 tahun tersebut yaitu 3 ton/hektar/tahun dan masih berada dibawah kemampuan dekomposisi tanah secara alami yaitu 15 ton/hektar/tahun (Dariah et al, 2004). Beberapa peneliti ICRAF membangun hipotesis baru bahwa sumber sedimen di DAS Way Besay diduga berasal dari jalan setapak dan jalan desa yang permukaan tanahnya terkupas. Hasil penelitian tersebut oleh masyarakat dijadikan sebagai lahan negosiasi kepada pemerintah kabupaten yang memiliki kewenangan mengeluarkan ijin HKm.
Persepsi
Pemerintah Kabupaten Lampung Barat yang semula mentengarai kebun kopi masyarakat adalah sumber utama sedimentasi di Sungai Way Besay, secara perlahan mulai berkurang. • Era tahun 2001-2006: Pada era ini deskalasi konflik terus berlangsung, masyarakat diijinkan untuk tetap mengelola kebun kopinya (tanpa ada perluasan konversi lahan) di kawasan hutan lindung Bukit Rigis dengan menerapkan teknik konservasi lahan (konservasi lahan dan teknik tanam kopi multi
tajuk).
Hal
tersebut
secara
eksplisit
diindikasikan
dengan
dikeluarkannya 5 buah ijin HKm untuk lahan seluas 1968,7 hektar pada tahun 2000-2002 (Tabel 4.12 Bab 4).
Pada bulan Juni tahun 2006, kembali
dikeluarkan sebanyak 12 ijin HKm untuk lahan seluas 2964,5 hektar di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45 Bukit Rigis (Lampiran 10). Ijin diberikan berdasarkan kewenangan yang dimiliki Bupati kabupaten yang diatur oleh SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm. Berdasarkan peristiwa-peristiwa eskalasi dan deskalasi konflik yang terjadi, maka secara in situ dapat dinyatakan bahwa deskalasi konflik yang timbul akibat dari adanya konversi lahan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis dapat dilakukan dengan cara:
181
(1) Pemberian hak akses kepada masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan diyakini dapat mendeskalasi konflik, sekaligus mewujudkan “hutan lestari masyarakat sejahtera, sebuah visi Departemen Kehutanan. Dalam pidato politiknya tahun 2000 di hadapan DPRD Propinsi Lampung, Gubernur Lampung menyatakan bahwa “jangan berharap hutan akan lestari jika masyarakat tidak memperoleh manfaat darinya”.
Di Kawasan Hutan
Lindung Register 45B Bukit Rigis saat ini ada sekitar 2000 KK yang bermukim/bergubug di dalamnya, tentunya suatu hal yang beresiko untuk mengusir mereka mengingat biaya sosial yang ditimbulkan amat tinggi. Mengijinkan mereka untuk tetap merawat kebun kopinya sekaligus menjaga fungsi hutan lindung dapat menjadi kebijakan yang secara berkelanjutan mendorong deskalasi konflik akses lahan di dalam kawasan hutan di lokasi penelitian ini. (2) Mereka yang memperoleh hak akses merupakan aset sosial untuk menjaga hutan yang masih tersisa sekaligus berpartisipasi dalam reforestasi arealareal yang secara fisik diklasifikasikan sebaga areal perlindungan, sehingga tidak terjadi perluasan areal konversi. Peubah eksogen yang pengaruhnya pada posisi kedua adalah peubah keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan bernegosiasi (X15) yaitu berpengaruh positif sebesar 0,26 terhadap peubah eskalasi konflik (X26). Dengan demikian semakin aktif responden terlibat dalam perundingan baik melalui dialog maupun negosiasi, semakin meningkat eskalasi konflik yang terjadi.
Pola
pengaruh tersebut bukanlan suatu hal yang mustahil, pola-pola tersebut memang justru sering terjadi pada bentuk-bentuk konflik yang konstruktif (constructive conflict). Menurut Borrini dan Feyerabend (2000) konflik destruktif terjadi pada kondisi konflik tidak ditangani dengan arif sehingga menimbulkan perilaku yang menjurus saling tidak percaya, perseteruan, bahkan kekerasan (fisik/non fisik), sedangkan konflik konstruktif terjadi ketika konflik ditangani secara persuasif dengan mengedepankan azas manfaat yang akan diperoleh para pihak. Menurut Kriesberg (1998), di dalam konflik konstruktif biasanya dicirikan oleh: (1) Konflik diselesaikan
tanpa
kekerasan, lebih mengedepankan
upaya
persuasif, memaparkan azas manfaat di setiap perundingan, saling mengakui entitas legitimasi (legitimate entities) satu sama lain, dan tidak mengancam eksistensi pihak lain.
Para pihak berinteraksi dalam rangka
182
memecahkan masalah yang sedang mereka hadapi bersama, yaitu konflik antar mereka dan selalu menciptakan outcome yang saling menguntungkan. (2) Outcome konstruktif yang dapat diterima oleh semua pihak selalu menjadi tujuan, termasuk di dalamnya adalah menciptakan dan menjaga hubungan baik, sehingga jika konflik terulang lagi di masa mendatang tetap bisa dikelola secara konstruktif. Suatu konflik destruktif atau konstruktif dapat terjadi di suatu lokasi yang sama namun biasanya pada waktu yang berbeda. Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2005 ini berlangsung pada masa dimana konflik konstruktif di kawasan hutan lindung register 45B Sumberjaya.
Dengan menggunakan
gambar tersebut, beberapa penjelasan penting yang perlu dipaparkan berkaitan dengan keterlibatan/partisipasi masyarakat di dalam perundingan (terutama dialog dan negosiasi) yaitu: (1) Dialog konflik konstruktif, akhir tahun 2000: Berlangsung dialog lingkungan di Desa Tambakjaya.
Bupati Lampung Barat akhirnya membolehkan
masyarakat untuk tetap merawat kopinya sepanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dialog dihadiri oleh lebih dari 80 orang petani
kawasan hutan, belum termasuk Bupati, unit teknis pemerintah Propinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Barat, dan LSM (Yacili dan Watala) (2) Dialog konflik konstruktif, Mei 2002: Dilaksanakan lokakarya penyusunan teknis Kriteria dan Indikator Monev HKm Lampung Barat. Dihadiri oleh 49 petani kawasan hutan, belum termasuk unit teknis pemerintah Propinsi Lampung dan Kabupaten Lampung Barat, LSM (Yacili, Watala, LSPPM), lembaga penelitian (puslitanak Bogor dan ICRAF), dan perguruan tinggi (Universitas Lampung dan Institut Pertanian Bogor) (3) Dialog konflik konstruktif, desember 2002:
Dilaksanakan lokakarya
penyusunan naskah hukum Petunjuk Tehnis Kriteria dan Indikator Monev HKm Lampung Barat. Dihadiri oleh 10 orang yang mendapat mandat dari lokakarya sebelumnya
183
Hingga awal tahun 2000, terjadi konflik antara masyarakat dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat: Kebun kopi masyarakat di dalam kawasan hutan lindung ditengarai sebagai sumber utama sedimen Sungai Way Besay
Dialog konflik konstruktif, akhir tahun 2000: Berlangsung dialog lingkungan di desa Tambakjaya. Bupati Lampung Barat akhirnya membolehkan masyarakat untuk tetap merawat kopi sepanjang sesuai dengan peraturan yang berlaku. (Peneliti pada saat ini menjadi fasilitator dialog)
Outcome konstruktif, AprilAgustus 2002: Berdasarkan SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm, Bupati mengeluarkan 4 buah ijin HKm Muncul konflik baru, akhir 2002: Masyarakat berkeberatan menanan 1000 batang pohon MPTS di kebun, karena akan mematikan tanaman kopi mereka
Dialog konflik konstruktif, Mei 2002 Dilaksanakan lokakarya penyusunan teknis Kriteria dan Indikator Monev HKm Lampung Barat Dialog konflik konstruktif, Mei 2002 Dilaksanakan lokakarya penyusunan naskah hukum Petunjuk Teknis Kriteria dan Kriteria dan Indikator Monev HKm Lampung Barat
Outcome konstruktif Pebruari 2004: Diterbitkan SK Bupati Lampung Barat No. 11/2004 tentang Petunjuk Teknis Kriteria dan Indikator Monev HKm Lampung Barat untuk lahan garapan di dalam kawasan yang sudah berupa kebun kopi hanya disyaratkan menanam tenaman MPTS sebanyak 400 batang sehingga kopi bisa tetap produktif Muncul Konflik baru, Mei 2005: Masyarakat masih belum memiliki land tenure security karena peta pencadangan areal HKm Kabupaten Lampung Barat belum tersedia. Areal pencadangan adalah kewenangan Departemen, namun belum ada indikasi mereka akan merespon hal tersebut.
Gambar 5.15. Adopsi Alur Konflik Konstruktif Kiersbeg (1998) Pada Sejarah Singkat Konflik Konstruktif Hak Akses (Hutan Masyarakat) di Kawasan Hutan Lindung Resgister 45B Sumberjaya, Tahun 2000-2005
184
Pada Gambar 5.15 tersebut terekam bagaimana keterlibatan aktif para pihak yang berkonflik untuk duduk bersama menyelesaikan konflik, mencapai outcome yang konstruktif, dan bagaimana para pihak dapat menjaga hubungan baik untuk untuk tetap berdialog menyelesaikan konflik yang muncul di kemudian. Kehadiran lembaga penelitian dan perguruan tinggi adalah bagian dari upaya agar azas manfaat dan saling menguntungkan selalu tetap eksis. Peubah
eksogen
persepsi
tingkat
kebutuhan
lahan
pertanian
tambahan (X22) adalah peubah terkuat ketiga yang mempengaruhi eskalasi konflik (X26) dan berpengaruh positif sebesar 0,16.
Semakin tinggi tingkat
kebutuhan lahan pertanian yang ingin digarap di dalam kawasan maka semakin eskalasi konflik yang terjadi. Pola pengaruh tersebut merupakan pola yang pada umumnya terjadi di hampir setiap kawasan hutan negara di Indonesia. Kekhawatiran pemerintah akan laju deforestasi yang semula pada tahun 1970an hanya 300.000 hektar/tahun lalu pada tahun 2000-an meningkat menjadi 2 juta hektar/tahun (data sebagaimana diulas pada Sub-bab 2.2), tentunya amat dimaklumi apabila setiap ada aksi deforestasi (terutama oleh pihak yang tidak bertanggung jawab) maka akan menimbulkan reaksi dari pemerintah khususnya Departemen Kehutanan. Pertanyaannya apakah reaksi tersebut akan menyulut konflik atau tidak? Hal tersebut amat tergantung bagaimana penanganannya di lapang. Agar tidak terjadi konflik di lapang, harus dipahami terlebih dahulu apakah suatu peristiwa deforestasi merupakan akibat dari suatu konflik lingkungan (environmental conflicts/disputes) atau disebabkan oleh kejahatan lingkungan (environmental crimes). Deforestasi di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Sumberjaya merupakan contoh nyata bagaimana konflik lingkungan terjadi. Deforestasi menjadi kebun kopi di kawasan tersebut sudah terjadi sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda, bahkan jauh sebelum tahun 1937 ketika para migran etnik Semendo datang dari Sumatera Selatan.
Oleh karenanya
penanganan deforestasi akibat konflik harus dibedakan dengan deforestasi akibat kejahatan lingkungan. Pada deforestasi akibat konflik perlu diketahui akar konfliknya, perbedaan kepentingan yang ada, lalu upaya-upaya penyelesaian yang bisa diterima oleh para pihak yang berkonflik termasuk manfaat-manfaat yang ingin dicapai. Sedangkan deforestasi oleh kejahatan lingkungan, misalnya pembalakkan liar, harus diselesaikan secara hukum formal tanpa diskriminasi sehigga masyarakat luas bisa melihat bahwa setiap warga negara memiliki posisi
185
yang sama di mata hukum tanpa dipengaruhi oleh latar belakang sosial, ekonomi, dan politik yang bersangkutan. Peubah manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konfik (X25) adalah peubah terkuat keempat yang mempengaruhi eskalasi konflik (X26) dan berpengaruh negatif sebesar – 0,15.
artinya semakin baik etik
lingkungan
eskalasi
dipraktikan
oleh
responden
maka
konflik
semakin
berkurang/menurun, atau dengan kalimat lain dapat dinyatakan bahwa semakin baik etik lingkungan maka konflik akan semakin deskalasi. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, manifestasi etik lingkungan dilihat dari praktik responden melalui indikator-indikator kemiringan lahan yang diusahakan, usaha pencegarah erosi, jenis tanaman yang ditanam, cara membersihkan lahan (land clearing), cara mengolah tanah, penggunaan pupuk, penggunaan pestisida dan golongan pestisida kimiawi yang digunakan. Semakin baik manifestasi etik lingkungan responden, semakin baik pula praktik pengolahan lahan pertanian mereka di dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Apabila manifestasi etik tersebut terus dilakukan dengan baik, tentunya resistensi pemerintah tidak akan terjadi dan konflik pun tidak perlu mencuat karena pada dasarnya manifestasi etik lingkungan tersebut secara implisit memang disyaratkan di dalam SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm.
Tabel 5.3.6.
menunjukkan beberapa indikator manifestasi etik lingkungan yang terdapat di dalam SK Menhutbun tersebut.
Tabel 5.3.6. Penelusuran indikator manifestasi etik lingkungan di SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 tentang HKm No Indikator manifestasi etik SK Menhutbun No. 31/Kpts-II/2001 lingkungan yang tentang Hutan Kemasyarakatan dipergunakan 1 2 3 4 5 6 7 8
Kemiringan lahan yang diusahakan Usaha pencegahan erosi Jenis tanaman yang ditanam Cara membersihkan lahan (land clearing) Cara mengolah lahan Penggunaan pupuk Penggunaan pestisida Golongan pestisida kimiawi yang digunakan
Bagian Kedua PENATAAN AREAL KERJA Pasal 27 ayat (1) Bagian Keempat PEMANFAATAN Pasal 38 ayat (4.a) Bagian Keempat PEMANFAATAN Pasal 38 ayat (3.b); Pasal 39 ayat (3.a) Bagian keempat PEMANFAATAN Pasal 38 ayat (3.a); Pasal 39 ayat (3.a) Bagian Keempat PEMANFAATAN Pasal 38 ayat (4.a); Pasal 39 ayat (4.a) Diatur di dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan baku mutu kualitas lingkungan
186
Peubah eksogen yang pengaruhnya terlemah dibandingkan dengan peubah eksogen lainnya adalah peubah tingkat ordinasi responden (X10), yaitu berpengaruh positif 0.066 terhadap peubah eskalasi konflik (X26). Dalam pola pengaruh tersebut, semakin ordinasi atau superior suatu pihak,semakin eskalasi konflik yang terjadi. Menurut Moore (1996) pola pengaruh tersebut utamanya terjadi pada konflik yang berakar dari perbedaan atau ketimpangan struktural yang diantaranya disebabkan oleh: (1) Bentuk-bentuk interaksi atau perilaku destruktif para pihak. Sejarah konflik destruktif seperti “Operasi Gajah” oleh Departemen Kehutanan untuk mengusir penduduk keluar dari Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis pada tahun 1994-1997 adalah “baik” dalam kasus ini. (2) Ketimpangangan pemilikan, penguasaan, dan distribusi atas sumberdaya alam. Saat ini petani HKm hanya diijinkan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu (pengecualian buat kopi) dari kawasan hutan lindung. Dalam rencana kerja kelompok HKm, dikenal blok perlindungan dan blok budidaya. Ada hasrat petani HKm untuk diperbolehkan memanfaatkan kayu terutama dari pohon yang mereka tanam di blok budidaya.
Hasrat pemanfaatan kayu
itupun semata-mata untuk keperluan subsisten dan bukan untuk komersial. Apalagi Kabupaten Lampung Barat yang lebih dari 70 persen wilayahnya adalah kawasan hutan lindung dan konservasi, akan mengalami defisit kayu. (3) Ketimpangan
kekuasaan
dan
kewenangan.
Sebagian
besar
urusan
pengelolaan hutan masih menjadi kewenangan Pemerintah. Ketika terjadi konflik sosial (terutama yang berakhir dengan kerusuhan) antara pemerintah dengan masyarakat sekitar, pemerintah di daerah (Kabupaten atau Propinsi) menjadi lembaga terdepan untuk menyelesaikannya. Tidak jarang hal tersebut menimbulkan sentimen daerah yang tersirat dari ungkapan pernyatan mereka seperti “Kami selalu menjadi pihak yang memadamkan kebakaran”. Contoh lainnya, kewajiban untuk mensejahterakan masyarakat di sekitar hutan selalu dibebankan ke daerah, sementara sebagian besar penerimaan/devisa
negara
dari
sumberdaya
hutan
menjadi
porsi
Pemerintah. (4) Adanya faktor fisik dan geografis yang dapat menghalangi berlangsungnya kerjasama. Tertundanya penyelesaian konflik yang terjadi di Sumberjaya tidak terlepas dari faktor ini.
Kasus konflik status lahan Desa Sukapura
seluas 302,5 hektar yang berada di dalam Kawasan Hutan Lindung Register
187
45B Bukit Rigis misalnya, belum kunjung selesai karena kewenangan penetapan desa enclave berada di Departemen Kehutanan – Jakarta. Berbagai upaya dialog oleh masyarakat di tingkat propinsi belum bisa memberikan kepastian bagi lebih dari 250 KK yang sudah menetap sejak tahun 1951-1953 dan menginginkan enclave tersebut. Beberapa kali wakil masyarakat menempuh perjalanan panjang dari Sumberjaya mendatangi Gubernur Lampung di Bandar Lampung dan Departemen Kehutanan di Jakarta, namun hingga kini belum ada respon. Menurut Moore (1996), penyelesaian konflik yang berakar pada ketimpangan struktural dapat ditempuh melalui upaya-upaya berikut: (1) Mendefinisikan dan menyeimbangkan peran para pihak secara jelas dan transparan. (2) Mengubah pola perilaku destruktif dalam setiap penyelesaian konflik (3) Merelokasi kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam untuk lebih adil dan merata. (4) Mengembangkan proses pengambilan keputusan secara lebih adil dan dapat diterima oleh semua pihak (5) Mengubah proses negosiasi dari perundingan berbasis posisi menjadi berbasis kepentingan. (6) Memodifikasi cara suatu pihak dalam mempengaruhi pihak lain yaitu dengan meningkatkan cara persuasif dan mengurangi cara pemaksaan. (7) Mengubah hubungan kedekatan lingkungan dan fisik para pihak dari semula cenderung berjauhan menjadi lebih berdekatan terutama secara sosial. (8) Mengubah keterbatasan waktu. Penyelesaian konflik adalah proses, ia tidak bisa ditargetkan harus selesai dalam waktu singkat, oleh karenanya para pihak dituntut kesabarannya dalam menyelesaikan ketimpangan struktural tersebut.
5.3.6
Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung dan Analisis Kebaikan Model.
5.3.6.1 Analisis Keragaan Model Secara Holistik Berdasarkan hasil analisis jalur terhadap 9 sub model yang ada, maka struktur hubungan antara submodel secara sederhana dapat dibangun seperti pada Gambar 5.16. Berdasarkan analisis jalur yang telah dilakukan sebelumnya,
188
maka dapat disimpulkan bahwa submodel eskalasi konflik (diwakili oleh peubah X26) yang terjadi dalam pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis amat kuat dipengaruhi oleh Sub-model eksternalitas yang diwakili oleh peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6) dengan nilai koefisien jalur X6 Æ X26 sebesar 0,37. Artinya untuk meredam eskalasi konflik yang terjadi tanpa bermaksud mengabaikan nilai penting peubah-peubah eksogen yang terdapat di dalam sub model lainnya, pengendalian terhadap konversi lahan kawasan dapat diprioritaskan terlebih dahulu. Di dalam sub-model eksternalitas, terdapat 5 peubah eksogen yang berpengaruh terhadap peubah endogen keputusan konversi lahan kawasan oleh responden (X6). Dari kelimanya, peubah eksogen pengaruh pasar (X4) adalah akar konflik yang perlu mendapat intervensi.
Seperti telah dijelaskan
sebelumnya pada sub-bab 5.3.1, beberapa intervensi yang bisa dilakukan terhadap pengaruh pasar agar keputusan untuk mengkonversi lahan kawasan hutan tidak meningkat, diantaranya melalui: (1) Pengembangan dan penerapan sistem sertifikasi semacam green labelling terhadap produksi kopi. Khusus terhadap kopi yang berasal dari kawasan hutan, pasar dikondisikan agar hanya menerima kopi yang sistem tanamnya benar-benar tidak mengganggu fungsi kawasan sesuai peruntukannya. (2) Sebagai pelaku pasar, para pembeli dihimbau untuk berperan serta mendukung program-program pengentasan kemiskinan di zona penyangga sehingga secara ekonomis masyarakat tidak termotivasi masuk ke dalam kawasan.
Dana itu bisa diambil dari hasil penerimaan retribusi yang
dibebankan kepada AEKI, yaitu sebanyak Rp. 50,- untuk pembelian setiap 1 kilogram kopi rakyat. (3) Pemberian hak akses (access right) berupa ijin mengelola lahan kawasan hutan bisa menjadi opsi yang baik. Di dalam hak akses biasanya selalu disertai dengan tanggungjawab dan sanksi. Tanggungjawab seperti wajib menerapkan teknik konservasi lahan, jarak tanam ideal, dan sistem tanam kopi multi-tajuk berkombinasi dengan MPTS (Multi Purposes Tree Species), dan lainnya, bisa menjadi pilihan sistem tanam kopi yang secara bersamaan dapat menyangga fungsi lindung sebuah kawasan. (4) Secara simultan kedua upaya di atas perlu disinergiskan dengan penguatan manajemen kawasan, sehingga tidak terjadi perluasan areal deforestasi.
189
Sub-model Eksternalitas X6 = - 0.058*X1 – 0.024*X2 + 0.041*X3 + 0.049*X4 + 0.036*X5
Sub-model Persepsi X12 = 0.24*X16 – 0.075*X17 + 0.41*X18 X13 = 0.23*X16 – 0.14*X17 + 0.36*X18 X14 = 0.26*X16 – 0.10*X17 + 0.36*X18
Sub-model Ketimpangan Struktural
Sub-model Persepsi dan Ketimpangan Struktural X15 = - 0.038*X10 + 0.25*X12 + 0.19*X13 – 0.078*X14 + 0.19*X11
Sub-model Kelangkaan X22 = 0.15*X19 + 0.31*X20 – 0.10*X21
Sub-model Eskalasi Konflik X26 = 0.37*X6 + 0.066*X10 + 0.26*X15 + 0.16*X22 – 0.15*X25
X10 = 0,12*X7 + 0,18*X8 – 0,029*X9
Sub-model Etik Lingkungan X25 = 0,064*X23 + 0.073*X24
Gambar 5.16 Struktur Diagram Jalur yang Disederhanakan Berdasarkan Hubungan Antar Sub-Model 1 Apabila dalam meredam eskalasi konflik juga akan dilakukan terhadap sub-model lainnya, maka peubah yang menjadi target intervensi adalah peubah yang paling berpengaruh di masing-masing model seperti dinyatakan pada Tabel 5.3.7. Apabila semua peubah pada setiap sub-model akan diitervensi, maka nilai koefisien setiap jalur masing-masing model secara hirarkis dapat dipergunakan sebagai panduan untuk memprioritaskan mana yang kemudian akan diintervensi (Gambar 5.17).
1
X1 = peubah bencana alam antropogenik, X2 = peubah penerimaan kotor komoditas utama yang dihitung setara dengan beras yang dikonsumsi responden, X3 = peubah informasi pasar, X4 = peubah pengaruh pasar, X5 = peubah sarana pendukung, X6 = peubah keputusan konversi lahan kawasan oleh responden, X7 = peubah tingkat partisipasi responden, X8 = peubah tingkat kesejahteraan sosial responden, X9 = peubah tingkat keberdayaan responden, X10 = peubah tingkat ordinasi responden, X11 = peubah tingkat represif oleh pemerintah, X12 = peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara, X13 = peubah akibat persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan, X14 = peubah persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan, X15 = peubah keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan bernegosiasi, X16 = peubah tingkat pendidikan responden, X17 = peubah lama tinggal di kawasan, X18 = peubah kosmopolitan responden, X19 = peubah penguasaan lahan pertanian di luar kawasan, X20 = peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan, X21 = peubah pendapatan rumah tangga responden di luar kawasan, X22 = peubah persepsi tingkat kebutuhan lahan pertanian tambahan, X23 = peubah etik entroposentris, X24 = peubah etik ekosentrik, X25 = peubah manifestasi etik lingkungan responden dalam penangana konflik dan X26 = peubah akibat Eskalasi Konflik
190
Bencana alam antropogenik (X1)
-0,058
Harga komoditi (X2)
Informasi pasar (X3)
Pengaruh Pasar (X4)
-0,049
0,041
-0,024
Keputusan Konversi Lahan Kawasan Oleh Responden (X6)
Etik Antroposentris (X23)
Etik Ekosentris (X24)
0,37 0,064 Manifestasi etik lingkungan responden dalam penanganan konflik (X25)
0,073
-0,15
Penguasaan lahan Pertanian di luar kawasan (X19)
0,31 Status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan (X20)
0,24
Persepsi tentang status kawasan hutan negara (X12)
0,036
0,23
0,25
0,19
Keterlibatan aktif responden dalam berdialog dan negosiasi (X15)
-0,075
Persepsi tentang fungsi lingkungan dari hutan (X13)
-0,14
Persepsi tentang desentralisasi pengelolaan kawasan hutan (X14)
Lama tinggal di kawasan (X17)
0,41 0,36
0,26 Tindakan represif oleh pemerintah (X11)
-0,038
Tingkat pendidikan pesponden (X16)
0,26
-0,10 -0,078
0,19
Persepsi Tingkat Kebutuhan Lahan Pertanian tambahan (X22)
0,15
Sarana pendukung (X5)
0,36
Kosmopolit ansi responden (X18)
0,16 0,10
Pendapatan Rumahtangga Responden Di Luar Kawasan (X21)
ESKALASI KONFLIK (X26)
0,066
Tingkat keberdayaan responden (X9)
Tingkat ordinasi responden (X10)
-0,029
0,12
0,18
Tingkat partisipasi responden (X7)
Tingkat kesejahteraan sosial responden (X8)
Gambar 5.17. Hasil Analisis Jalur Model Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Berkaitan Dengan Fungsi Lingkungan dari Hutan
191
Tabel 5.3.7 Peubah yang paling berpengaruh pada masing-masing sub-model Sub-model
Peubah yang paling berpengaruh
Sub-model Eksternalitas X6 = - 0,058*X1 – 0,024*X2 + 0,041*X3 + 0,049*X4 + 0,036*X5 Sub-model Persepsi Sub-model Persepsi dan X12 = 0,24*X16 – 0,075*X17 + Ketimpangan Struktural X15 = - 0,038*X10 + 0,25*X12 + 0,41*X18 0,19*X13 – 0,078*X14 + X13 = 0,23*X16 – 0,14*X17 + 0,19*X11 0,36*X18 X14 = 0,26*X16 – 0,10*X17 + 0,36*X18 Sub-model Ketimpangan struktural X10 = 0,12*X7 + 0,18*X8 – 0,029*X9 Sub-model Kelangkaan X22 = 0,15*X19 + 0,31*X20 – 0,10*X21
X4 = peubah pengaruh pasar X12 = peubah persepsi tentang status kawasan hutan negara, X18 = peubah kosmopolitan responden
Sub-model Etik Lingkungan X25 = 0,064*X23 + 0,073*X24
X25 = peubah etik ekosentrik
X8 = peubah tingkat kesejahteraan sosial responden X20 = peubah status kepemilikan lahan pertanian yang dikuasai di luar kawasan
5.3.6.2 Analisis Kebaikan Model
Seperti telah dinyatakan di dalam Bab 3 Metodologi, analisis jalur merupakan analisis yang bersifat confirmatory, dimana model dibangun sebelum data diperoleh dan dianalisis dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana kesesuaian model dengan data yang digunakan (Bollen, 1989).
Untuk
kepentingan tersebut, penelitian ini menggunakan analisis Goodness of Fit Index (GFI) guna menilai kesesuaian model dengan data yang dipergunakan. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh nilai GFI untuk model ini sebesar 0,83. Beberapa referensi menyatakan bahwa model dinyatakan baik dan sesuai dengan data yang dipergunakan apabila nilai GFI minimal 0,90, bahkan Sharma (1996) menyatakan nilai minimal GFI adalah 0,95. Namun demikian menurut pengalaman para peneliti, dalam penelitian ilmu sosial nilai GFI minimal 0,80 sudah cukup untuk menyatakan bahwa model sudah baik dan model sesuai dengan data yang dipergunakan. Selain GFI, juga terdapat alat analisis kebaikan model lainnya yaitu Adjusted Goodness of Fit Index (AGFI). Dengan tetap menggunakan peubah yang ada, struktur hubungan pengaruh/lintasan dapat dibangun kembali sehingga menghasilkan beberapa model yang baru.
Dari beberapa model
tersebut kemudian dilakukan analisis AGFI. Model yang memiliki AGFI yang terbesar adalah model yang memiliki struktur yang paling baik. Model yang dipergunakan di dalam penelitian ini memiliki nilai AGFI sebesar 0.63. Apabila
192
model tersebut direstruktur dengan tetap mempergunakan peubah yang sama dan kemudian memperoleh nilai AGFI > 0,63, maka struktur model yang baru tersebut dapat dinyatakan lebih baik.
Oleh karenanya, untuk kepentingan
intervensi optimal dalam rangka menekan eskalasi konflik, perlu dilaksanakan penelitian lanjutan melalui restrukturisasi model yang dipergunakan sekarang sehingga dapat diketahui struktur model yang mana yang dapat memberikan nilai AGFI tertinggi.
5.4.
Analisis Gaya Mengelola Konflik Dan Polarisasi Konflik. Menurut Harris dan Reilly (2000), secara teoritis suatu konflik akan
melewati tahapan-tahapan tertentu yaitu: (1) tahap perdebatan atau perbedaan antar pihak pada kepentingan-kepentingan yang menjadi akar konflik, (2) tahap para
pihak
bersikap
terhadap
akar
konflik,
sikap
tersebut
kemudian
dimanifestasikan melalui gaya mengelola konflik, (3) tahap polarisasi yang dicirikan oleh adanya para pihak yang memiliki kepentingan yang sama akan membangun posisi berseberangan dan mengambil jarak dengan pihak lain, dan (4) tahap ledakan konflik yang sesungguhnya yang dapat bersifat destruktif atau konstruktif. Di dalam bagian sub-bab ini, bagaimana para pihak mensikapi akar konflik akan dianalisis melalui gaya mengelola konflik. Analisis gaya mengelola konflik dalam praktiknya diperlukan diantaranya untuk: (1) Mengambil keputusan apakah suatu perundingan bisa diselenggarakan dan dihadiri para pihak. Kehadiran para pihak yang berkonflik dipengaruhi oleh gaya
konflik
yang
terbangun
dari
kombinasi
sikap
mementingkan
kepentingan pihak lain (kooperatif) dan sikap mementingkan kepentingan pihaknya sendiri (asertif). Keputusan ini bisa dilaksanakan apabila pihakpihak yang berkonflik setidaknya menunjukkan gaya mengelola konflik secara akomodatif, kompromi, atau kolaborasi. (2) Mengambil keputusan apakah perundingan belum bisa dilaksanakan karena pihak-pihak yang berkonflik menunjukkan gaya mengelola konflik secara menghindar, atau represif. Apabila gaya mengelola konflik yang ditunjukkan utamanya adalah represif (saling menekan dan kompetisi destruktif) dan menghindar tidak ingin saling bertemu, maka pada kondisi tersebut perlu dilakukan upaya intensifikasi konflik. Intensifikasi konflik tidak identik dengan
193
eskalasi konflik. Intensifikasi konflik mengandung arti peningkatan frekuensi peristiwa konflik secara konstruktif dan dimaksud untuk mengungkap konflik-konflik laten/tersembunyi sehingga makin jelas terlihat
apa
saja
akar
konflik
yang
terjadi
untuk
dicarikan
penyelesaiannya.
5.4.1
Gaya Mengelola Konflik Para Pihak Dalam penelitian ini, beberapa responden wakil dari masyarakat yang
bertani di dalam kawasan hutan lindung Register 45B diambil untuk keperluan analisis. Kemudian dengan mempergunakan teknik snow bowling, mereka diwawancara siapa saja pihak lain (individu ataupun lembaga) yang dianggap sebagai pihak lawan baik lawan aktual maupun potensial. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, para pihak dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu: (1) Pihak masyarakat yang bertani di dalam kawasan hutan. (2) Pihak LSM, perguruan tinggi, ataupun lembaga penelitian yang memiliki kepentingan dengan kasus konflik yang terjadi atau yang memiliki kegiatan yang terkait dengan konflik tersebut. (3) Pihak aparat kecamatan, desa (pekon), atau lembaga swasta yang berada di lokasi sekitar konflik. (4) Pihak kabupaten yang diasumsikan memilik kepentingan terhadap konflik yang terjadi. Pada Bab 3 Metodologi direncanakan akan diambil sebanyak 30 responden yang mewakili keempat pihak tersebut. Namun berdasarkan perkembangan penelitian di lapang, jumlah tersebut meningkat menjadi 41 responden. Perkembangan tersebut tetap diakomodasi untuk dijadikan subjek analisis atas dasar pertimbangan keterwakilan secara multi stakeholders, hak untuk bersuara, dan kepentingan
penanganan
konflik
secara
lebih
komprehensif.
Komposisi
responden yang telah berubah tersebut seperti ditulis dalam Tabel 5.4.1. Gaya
mengelola
konflik
masing-masing
pihak
diukur
dengan
menggunakan pernyataan responden yang mewakili gaya-gaya yang akan dianalisis
dalam
penelitian
ini
yaitu:
(1)
menghindar,
(2)
kompetisi/represif/menekan, (3) akomodatif, (4) kompromi, dan (5) kolaborasi. Masing-masing gaya kemudian diberi skor sebagaimana ditulis dalam Tabel 3.12 dalam Bab 3. Pada penelitian lapang, semua responden diwawancara untuk mengetahui perbedaan gaya mengelola konflik masing-masing pihak terhadap 3
194
buah topik konflik di kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis yaitu: (1) konflik status lahan, (2) konflik penataan batas, dan (3) konflik hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan. Hasil wawancara kemudian dianalisis dengan uji perbandingan berpasangan (pairwise comparison) antar nilai tengah (mean). Tabel 5.4.1 Komposisi Para Pihak Yang Dipilih Dalam Analsis Gaya Mengelola Konflik. Jumlah Responden Rencana Pelaksanaan No. Pihak Jumlah Jumlah Individu/Lembaga
1
LSM+PT+Litbang
7
10
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1. 2. 3.
2
Kabupaten
7
7
3
Masyarakat
8
9
4
Kecamatan dan Pekon
9
15
4. 5. 6. 7. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
TOTAL
30
41
Watala Bandar Lampung LPB Yacili ICRAF WCS Watala Sumberjaya Unila, Fakultas Hukum Unila, Fakultas Pertanian LSPPM ICRAF, Fasilitator HKm ICRAF, Fasilitator Pemberdayaan Masyarakat Kabid RRL, Dishut & PSDA Kabupaten Bapeda Kabupaten Bagian Organisasi dan Hukum Kabupaten BPLH Kabupaten BPN Kabupaten Ketua DPRD Kabid PSDA, Dishut & PSDA Kabupaten Waremtahu KMPH MWLS Kelompok Tani Semarang Jaya KPPSDA Setia Wana Bhakti KPPSDA Setia Wana Bhakti KMPH Rigisjaya II KMPH Rigisjaya II KMPH Bina Wana KMPH Bina Wana Pemangku Dusun Rigisjaya II Peratin Pekon Gn. Terang Sekretaris Pekon Gn. Terang Peratin Pekon Tribudisyukur Camat Kecamatan Sumberjaya Sekcam Kecamatan Way Tenong Kepala UPTD Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis Peratin Pekon Simpangsari Manager Operasional PLTA Way Besay Peratin Pekon Semarangjaya Katua LHP Pekon Tribudisyukur Kaur Pemerintahan Pekon Sukapura Peratin Pekon Sukapura Wakil LHP Pekon Gunung Terang Penyuluh Lapangan UPTD Bukit Rigis
195
a. Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Status Lahan Berdasarkan hasil analisis nilai tengah, keempat pihak menyatakan bahwa mereka akan bersikap kompromi dan kolaborasi dalam menyelesaikan konflik status lahan di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis. Para pihak yang akan bersikap gaya mengelola konflik secara kolaborasi adalah (1) pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang, dan (2) pihak kabupaten. Kedua pihak tersebut memiliki nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing sebesar 5,44 dan 5,31 atau dapat dinyatakan bahwa pihak LSM-perguruan tinggi-litbang bersikap lebih kolaboratif dari pihak kabupaten (Tabel 5.4.2). Selain itu, kedua pihak tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam menghadapi konflik status lahan, mereka akan membawa kepentingan semua pihak dalam iklim kerjasama yang terbuka untuk menghasilkan jalan keluar bersama . Tabel 5.4.2 Hasil Analisis Statistik Perbedaan Nilai Tengah Para Pihak Terhadap Konflik. Pengelompokan Uji T–Scheffe (Nilai tengah yang memiliki notasi yang sama adalah secara statistik dinyatakan tidak berbeda nyata)
Nilai Tengah
n
Pihak
10 7 9 15
LSM+PT+Litbang Kabupaten Masyarakat Kecamatan dan Pekon
10 7 15 9
LSM+PT+Litbang Kabupaten Kecamatan dan Pekon Masyarakat
Konflik status lahan B B B
A A A
5.4400 5.3143 4.2889 4.2267
Konflik Penataan Batas B B B
A A A
5.5111 4.8571 4.4800 4.2444
Konflik hak masyarakat atas akses pengelolaan lahan kawasan hutan A A A A
5.3714 5.2133 5.0600 5.0444
7 15 10 9
Kabupaten Kecamatan dan Pekon LSM+PT+Litbang Masyarakat
Para pihak yang akan bersikap kompromi adalah (1) pihak masyarakat yang bertani di dalam kawasan, dan (2) pihak kecamatan-pekon yang memiliki nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing sebesar 4,29 dan 4,23 atau pihak masyarakat lebih kompromistis dari pada pihak kecamatan-pekon. Selain itu, kedua pihak tersebut dapat dinyatakan bahwa dalam menghadapi konflik status lahan, mereka akan berupaya menghindari kebuntuan, serta mengusulkan
196
jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan suatu pihak terhadap pihak lain. Seperti diuraikan sebelumnya, baik sikap kompromis maupun kolaboratif merupakan modal sosial untuk memulai suatu perundingan guna menyelesaikan konflik secara konstruktif. Upaya intensifikasi konflik dapat dikatakan relatif sedikit diperlukan terutama agar gaya kompromis berubah menjadi gaya kolaborasi. Upaya konkrit yang bisa ditempuh adalah dengan melalui pemberian pemahaman tentang manfaat-manfaat apa saja yang bisa diraih dan diterima oleh para pihak yang berkonflik jika konflik status lahan ditangani. Dari hasil analisis, yang menarik justru adalah secara statistik perbedaan yang nyata antara gaya konflik pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang terhadap gaya konflik pihak kecamatan-pekon. Perbedaan yang nyata tersebut didapat ketika dilakukan pengelompokkan nilai tengah, pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang memiliki notasi nilai tengah “A” dan pihak kecamatanpekon memiliki notasi “B”. Artinya gaya konflik kedua belah pihak secara statistik berbeda nyata (taraf uji 5 persen). Di lapang, hal tersebut dapat disebabkan oleh: (1) Tataran pemerintahan terdepan yang memiliki kewenangan mengelola urusan-urusan yang terkait dengan penetapan kawasan hutan, perubahan status dan fungsi kawasan hutan, serta penetapan status pemilikan tanah adalah tataran pemerintah kabupaten. Setiap terjadi penyelesaian konflik yang berkaitan dengan urusan perubahan status kawasan hutan, LSMperguruan tinggi-lembaga litbang lebih banyak berhubungan ke kabupaten dan amat jarang berhubungan dengan pihak kecamatan-pekon. Hal ini membuat partisipasi pihak kecamatan-pekon relatif termarjinalkan sehingga mereka amat sedikit mengetahui tentang urusan tersebut yang kelanjutannya berdampak pada perbedaan gaya pengelolaan konflik secara nyata. Menurut Kriesberg (1998), membaiknya gaya konflik suatu pihak memang dipengaruhi oleh sikap asertif dan kooperatif mereka, namun selain itu, juga dipengaruhi oleh kualitas pemahaman mereka terhadap akar masalah penyebab terjadinya konflik yang diantaranya diperoleh melalui keikutsertaan mereka dalam diskusi, dialog, dan perundingan. Konflik status wilayah Pekon (desa) Sukapura yang berada di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis adalah contoh menarik untuk diketahui (Lihat Kotak 2).
197
Kotak 5.3 Peran Serta Pihak Kecamatan (dan Desa) dalam Proses Kajian Perubahan Status Kawasan Hutan, Kasus Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya. Sebagian wilayah Pekon Supakura Kecamatan Sumberjaya yaitu seluas 302,5 berada di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis dan masyarakat meminta agar wilayah tersebut dikeluarkan dari “statusnya” sebagai kawasan hutan. Upaya penyelesaian kasus ini difasilitasi oleh sebuah LSM Yayasan Watala yang pendanaannya didukung oleh MFP-DFID melalui Yayasan Kemala. Fasilitasi upaya penyelesaian dimulai pada tahun 2002 dengan melakukan pemetaan partisipatif terhadap lahan yang statusnya berkonflik. Dengan dukungan kelembagaan dari ICRAF Asia tenggara, hasil pemetaan kemudian didialogkan ke instansi kabupaten yaitu Dinas Kehutanan dan PSDA, Kantor BPN, Kantor BPLH, dan Bagian Tata Pemerintahan Kabupaten Lampung Barat. Sebagai tindak lanjut dialog, pada bulan November tahun 2003 terbitlah Surat Keputusan Bupati Kabupaten Lampung Barat No.B/231/Kpts/01/2003 tentang Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah Di Hutan Lindung (Reg 45B) Sekitar Pekon Sukapura yang anggota Tim Kerjanya terdiri atas: • Ketua : Sekretaris Daerah Lampung Barat • Wk. Ketua : Assisten I Bupati • Sekretaris : Kepala Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat • Wk. Sekretaris : Kabag. Tata Pemerintahan • Anggota : - Dinas Kehutanan Propinsi Lampung - UPTD IPH Propinsi lampung - BPLH Lampung Barat - Bapeda Lampung Barat - Kepala Kantor BPN lampung Barat - Kabid Perlindungan Hutan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat - Kabag Organisasi dan Hukum - Kasubag Pemerintahan Umum dan Organisasi - Bagian Pemerintahan Sekdakab - Kasubag Pemerintahan Pekon dan Kelurahan - Kasubag Lanwilda dan Tatakota - Kasi Pemerintahan Kecamatan Sumberjaya - Kasi Ekbang Kecamatan Sumberjaya - UPTD PHL Bukit Rigis 1. - Peratin Sukapura - Universitas Lampung - WATALA - Suparman (tokoh masyarakat) Tim tersebut dibentuk berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan dinyatakan pada Pasal 6 ayat (2.a) bahwa penetapan kawasan hutan dilakukan diawali proses penyampaian Berita Acara Tata Batas (BATB) dan peta tata batas yang telah ditandatangani oleh PTB (Panitia Tata Batas). Penyampaian BATB dan peta tata batas juga diberlakukan pada perubahan status kawasan hutan. Penunjukkan PTB adalah kewenangan Bupati/Walikota. Permohonan perubahan status juga harus didahului dengan studi kelayakan perubahan status yang dilaksanakan oleh sebuah Tim Terpadu yang ditetapkan oleh Bupati. Dengan demikian sudah tepat bahwa Bupati memiliki dasar untuk membentuk Tim. Permasalahannya, di dalam SK tersebut tampak jelas, bahwa dari 18 anggota Tim Terpadu, hanya 2 orang (dari tataran kecamatan dan pekon) yang diperan sertakan dalam studi kelayakan.
(2) Adanya proses perguliran kekuasaan dan pemekaran wilayah yang demikian cepat dan dinamis. Sejak September 2000 hingga Juli 2006 sudah terjadi pergantian Camat Kepala Wilayah Kecamatan Sumberjaya sebanyak 5 kali yaitu: Khotob, Paksi Marga, Irhan Jailan, Mulyono, dan Basis. Pada awal
198
jabatannya, Mulyono sebagai Camat mulai tahun 2005 menyatakan ketidak pahamannya tentang kegiatan fasilitasi yang dilakukan oleh pihak LSMperguruan tinggi-lembaga litbang di Sumberjaya. Hal tersebut merupakan petunjuk tidak terjadinya internalisasi penguasaan masalah status lahan di dalam struktur organisasi pemerintahan kecamatan. Selain itu, Kecamatan Sumberjaya yang pada tahun 2000 wilayah administratifnya meliputi seluruh DAS Way Besay dan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis, tahun 2003 dimekarkan menjadi dua yaitu Kecamatan Sumberjaya di bagian timur dan Kecamatan Way Tenong di bagian barat. Pada tanggal 14 Agustus 2006, baru saja berlangsung pemekaran kecamatan baru yaitu Kecamatan Gedung Surian yang menempati wilayah utara kedua kecamatan sebelumnya. Kecamatan baru tersebut dipimpin oleh Muchlisin. Penyempurnaan sistem rentang kendali (span of control) pemerintahan yang semula ditujukan untuk memperlancar pelayanan pemerintah dan pembangunan wilayah berubah menjadi penomena “berbagi kekuasaan”, yang disertai dengan perubahan struktur pemerintahan yang baru tersebut, telah menyulitkan pihak LSMperguruan tinggi-lembaga litbang dalam mentransformasi pemahaman tentang upaya-upaya penyelesaian konflik status lahan. Akibatnya interaksi pihak LSM-perguruan tinggi-litbang terhadap kecamatan-pekon menjadi relatif lemah dan lebih banyak berinteraksi dengan tataran pemerintah kabupaten yang memang berkewenangan atas sebagian urusan administrasi status tanah dan lahan kawasan hutan. b. Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Tata Batas Kawasan Hutan Analisis gaya konflik juga dilakukan terhadap konflik tata batas kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis. Pada analisis ini dihasilkan bahwa hanya pihak
LSM-perguruan
tinggi-lembaga
litbang
yang
bersikap
kolaboratif
(ditunjukkan oleh nilai tengah sebesar 5,51) dan menyatakan bahwa dalam menghadapi konflik tata batas kawasan hutan, mereka akan membawa kepentingan
semua pihak dalam iklim
kerjasama
yang terbuka
untuk
menghasilkan jalan keluar bersama (Tabel 5.4.2). Sementara ketiga pihak lainnya menunjukkan sikap kompomi dengan nilai tengah masing-masing yaitu pihak kabupaten sebesar 4,86, pihak kecamatan-pekon sebesar 4,48, dan pihak masyarakat sebesar 4,24; dengan demikian pihak kabupaten adalah pihak yang paling kompromis dan menyatakan bahwa dalam menghadapi konflik tata batas,
199
mereka akan berupaya menghindari kebuntuan, serta mengusulkan jalan keluar yang sama-rata dan seimbang antara harapan suatu pihak terhadap pihak lain. Fakta bahwa pihak kabupaten bersikap kompromi diduga merupakan bagian dari langkah “kehati-hatian” mereka menyangkut keutuhan tata batas kawasan yang apabila “temu gelang” patok tata batas kawasan bisa dipertahankan maka luas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis akan tetap 8295 hektar. Hal tersebut sejalan dengan kebijakan prioritas pembangunan Departemen Kehutanan tahun 2005-2009 tentang tata guna hutan kawasan yang “clean and clear”. Berbeda halnya pada konflik status lahan, pihak kabupaten memiliki gaya kolaboratif. Hal tersebut diduga oleh adanya pemahaman yang mendasar tentang sejarah terjadinya konflik-konflik status lahan di Kabupaten Lampung Barat yang sebagian besar disebabkan oleh “kelalaian” pemerintah dalam administrasi pertanahan, contohnya kasus Pekon Sukapura. Hal-hal yang berkaitan dengan akibat “kelalaian” pemerintah, nampaknya akan menjadi prioritas penanganan oleh kabupaten untuk dilakukan dan jika perlu melalui mengembalian hak-hak masyarakat atas tanah. Di dalam analisis gaya mengelola konflik tata batas, diperoleh temuan bahwa pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang memiliki gaya konflik yang secara statistik berbeda nyata dengan pihak masyarakat yang tinggal atau memilik lahan garapan di dalam kawasan. Hal tersebut ditunjukkan oleh gaya konflik kolaboratif pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang bernotasi “A”, sementara gaya konflik masyarakat adalah kompori bernotasi “B” (Tabel 5.4.2). Pola perbedaan ini memiliki faktor penyebab yang relatif sama dengan gaya konflik status lahan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Hal tersebut dapat dimaklumi karena urusan status dan tata batas kawasan hutan merupakan satu kesatuan yang diatur di dalam SK Menteri Kehutanan No.70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan,
Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan.
Hanya secara operasional, penataan batas lebih diatur di dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria Dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan, terutama pada Bab IV Bagian Kedua tentang Penataan Batas Kawasan Hutan, Pasal 8 yang menegaskan bahwa Panitia Tata Batas (PTB) areal yang ditata batas sebagai kawasan hutan dibentuk, diketuai, dan disyahkan oleh Bupati/Walikota. Akibat dari kedua peraturan tersebut, kecenderungan pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang semakin kuat untuk
200
menyampaikan pandangan-pandangan tentang penanganan konflik status dan tata batas kepada pihak kabupaten. Faktor lainnya adalah, indepedensi pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang dalam penyelesaian konflik tata batas ibarat “pisau bermata dua”. Di satu sisi apabila terjadi rekonstruksi tata batas dan menghasilkan penyusutan luas kawasan maka akan mengundang reaksi Departemen Kehutanan, apalagi di dalam UU No.41/1999 tentang Kehutanan dinyatakan bahwa sebesar 30 persen wilayah propinsi harus dipertahankan sebagai kawasan hutan. Sebaliknya jika hasilnya ternyata justru memperluas kawasan maka akan mengundang reaksi dari pihak masyarakat karena berkemungkinan mengurangi luasan lahan-lahan budidaya yang berlokasi di sekitar kawasan hutan. Bagi pihak masyarakat, apabila kondisi yang kedua tersebut terjadi, maka ada sebagian masyarakat yang akan “dirugikan” dalam arti menurunnya luas lahan garapan yang merupakan modal utama dalam bermatapencaharian di sektor pertanian. Untuk menghadapi resiko tersebut, diperlukan upaya-upaya yang bisa membangun pemahaman bahwa setiap penyeselaian tata batas melalui rekonstruksi sematamata untuk menyediakan kepastian pemilikan dan/atau penguasaan lahan (land tenure security) kepada semua pihak, baik pihak pemerintah maupun pihak masyarakat. Dengan demikian, kebijakan “clear and clean” dapat ditafsirkan secara lebih luas, tidak hanya untuk mempertahankan kawasan hutan negara seluas 30 persen wilayah, tetapi juga untuk mencegah terjadinya berbagai biaya sosial yang mungkin muncul akibat konflik yang berlarut-larut. Dari sudut pandang penanganan konflik, gaya konflik yang bersifat kompromis dan kolaboratif merupakan aset sosial yang bisa dijadikan petunjuk bahwa penyelesaian konflik tata batas kawasan bisa dilakukan dengan partisipasi semua pihak yang berkonflik dan melaksanakannya dengan cara-cara yang konstruktif. Kekhasan kedua gaya tersebut yang dicirikan dengan adanya keinginan untuk bekerjasama, saling menghargai kepentingan semua pihak, serta selalu berupaya mencari jalan keluar yang terbaik dan bermanfaat bagi semua pihak, dapat menjadi asupan untuk mengurangi perbedaan-perbedaan kepentingan yang terjadi. Apalagi persoalan tata batas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis adalah persolaan nyata. Berdasarkan dokumen Berita Acara Tata Batas yang telah disyahkan oleh Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan tanggal 24 Maret 1994, penataan batas kawasan tersebut merupakan satu kesatuan dengan kawasan hutan lindung Register 43B Krui
201
Utara dan Register 44B Way Tenong Kenali. Sementara, tata batas antar register belum dikonstruksi sehingga dapat dinyatakan bahwa tata batas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis secara ekslusif belum temu gelang. Persoalan-persoalan tata batas tersebut di atas tidak hanya dapat menyulut konflik antara pihak pemerintah kabupaten dengan pihak masyarakat, namun lebih jauh bahkan dapat menyulut konflik antar pemerintah kabupaten. Potensi tersebut dapat dibuktikan dengan dokumen-dokumen ijin HKm yang dikeluarkan pada bulan Juni tahun 2006 seperti pada Tabel 5.4.3. Di dalam tabel tersebut, dari 19 ijin kelompok HKm yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Barat (Lihat Lampiran 9), terdapat 5 buah ijin yang lokasinya berdasarkan TGHK Propinsi Lampung tahun 1991 berada di kabupaten lainnya dengan penjelasan sebagai berikut: (1) Kelompok HKm penerima ijin yang seluruh atau sebagian hamparannya berlokasi di kawasan hutan lindung register 34 Tangkit Tebak Kabupaten Lampung Utara (berbatasan dengan wilayah timur Kabupaten Lampung Barat). (2) Kelompok HKm penerima ijin yang seluruh hamparannya berlokasi di kawasan hutan lindung register 39 Kota
Agung
Tanggamus
Utara
Kabupaten
(berbatasan
dengan
wilayah selatan Kabupaten Lampung Barat). Kasus ijin HKm tersebut dapat diklasifikasikan sebagai suatu kebijakan yang melampaui kewenangan (beyond jurisdiction) penyelenggaraan
terutama
dalam tugas-tugas
pemerintahan yang berkaitan dengan urusan pengelolaan wilayah administratif kabupaten dan terjadi sebagai akibat dari (1) belum tuntasnya penataan batas antar register kawasan hutan, dan (2) belum tuntasnya penataan batas antar wilayah administratif kabupaten yang
Gambar 5.18. Konflik tata batas kawasan hutan hutan Register 33 Kota Agung Utara sudah terjadi sejak lama dan tak kunjung selesai. Pada bulan Maret 2003, peneliti memfasilitasi dialog lapangan antara Kepala Kantor TN Bukit Barisan Selatan, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Tanggamus, Kepala Bagian RRL Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Barat, aparat Pekon Trimulyo, dan kelompok HKm Tri Buana (Sumber Photo: Peneliti).
202
seharusnya menjadi kewenangan Pemerintah Propinsi Lampung. Saat ini sedang dirintis negosiasi penataan batas kawasan hutan antara Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Lampung Utara terutama batas antara kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigisi Kabupaten Lampung Barat dengan kawasan hutan lindung Register 34 Tangkit Tebak Kabupaten Lampung Utara. Apabila upaya tersebut dapat tuntas dilakukan, maka manfaatnya tidak hanya bagi kedua tataran pemerintah, namun juga bagi kepastian akses masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan dari kawasan hutan lindung. Tabel 5.4.3 Daftar Ijin HKm (Juni 2006) yang Lokasinya Berpotensi Menimbulkan Konflik Tata Batas Kawasan Hutan Antar Kabupaten. No
Nama Klp HKm
No SK
Lokasi Hamparan
KMPH Abung Jaya, HL,Reg 45B Bukit Rigis Pekon Pura jaya, 503.522/523/IV.05.2/2006 dan Reg 34 Tangkit Kec. Sumberjaya Tebak Lampung Utara 2 KMPH Wana Mulya, HL, Reg 39 Kota Agung Pekon Ciptawaras, 503.522/516/IV.05.2/2006 Utara Kec. Sumberjaya 3 KMPH Wana Jaya, HL, Reg 39 Kota Agung Pekon Mekarjaya, 503.522/518/IV.05.2/2006 Utara Kec. Sumberjaya 4 KMPH Wana Makmur, HL, Reg 34 Tangkit Pekon Purawiwitan, 503.522/519/IV.05.2/2006 Tebak Kec. Sumberjaya 5 KMPH Ribang Alam, HL, Reg 39 Kota Agung Pekon Muarajaya I, 503.522/513/IV.05.2/2006 Utara Kec. Sumberjaya Sumber: Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat, data diolah.
Luas (Ha)
1
2077,9
367,64
721
1576,82
3535,56
c. Gaya Para Pihak Mengelola Konflik Akses Dengan menggunakan definisi akses yang beralas hak (access based right) menurut Ribot dan Peluso (2003) seperti diuraikan di dalam Bab 4, dapat dinyatakan hak masyarakat atas akses mengelola lahan kawasan hutan adalah kemampuan (ability) masyarakat untuk memperoleh manfaat melalui pengelolaan lahan di dalam kawasan hutan yang diatur oleh hukum (hukum positif dan hukum adat) serta peraturan dan perundangan yang terkait lainnya. Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa akses beralas hak juga mencakup tanggungjawab dan sanksi yang diterapkan. Definisi ini sengaja diulas kembali untuk memberikan pengertian dasar tentang hak akses dalam membahas gaya konflik di sub-bab ini.
203
Berdasarkan hasil analisis gaya konflik para pihak terhadap hak akses masyarakat dalam mengelola lahan dalam kawasan hutan, diperoleh fakta bahwa semua pihak bersikap kolaboratif dengan nilai tengah masing-masing yaitu pihak kabupaten sebesar 5,37, pihak kecamatan-pekon sebesar 5,21, pihak LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang sebesar 5,06, dan pihak masyarakat sebesar 5,04 (Tabel 5.4.2). Dengan membandingkan nilai tengah keempat pihak, kabupaten adalah pihak yang paling kompromistis. Selain itu, seluruh pihak tersebut tidak memiliki perbedaan gaya konflik yang nyata ditunjukkan oleh nilai tengah yang semuanya bernotasi “A”. Pihak kabupaten yang bersikap amat kolaboratif untuk membawa kepentingan semua pihak bekerjasama secara terbuka untuk menghasilkan jalan keluar terkadap konflik hak akses tidak terlepas dari beberapa hal sebagai berikut: (1) Dari total luas wilayah Kabupaten Lampung Barat 474.989 hektar, sebesar 77,76 persen wilayahnya adalah kawasan hutan dan tidak satupun peruntukkannya adalah kawasan hutan produksi. Kalaupun ada yaitu kawasan hutan produksi terbatas (HPT) berupa repong damar di pesisir barat kabupaten yang pada tahun 2000 ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai Kawasan Dengan Tujuan Istimewa (KDTI) yang secara hukum hanya boleh untuk disadap getah damarnya. Terbatasnya kawasan budidaya (yaitu hanya 22,24 persen dari total luas wilayah daratan) memotivasi pemerintah kabupaten untuk mengoptimalkan pengelolaan kawasan hutan, khususnya
pengelolaan
pengurusannya
sudah
kawasan dilimpahkan
yang kepada
sebagian pemerintah
kewenangan kabupaten,
diantaranya HKm. (2) Keinginan yang kuat pemerintah Kabupaten Lampung Barat
untuk
membangun wilayahnya berbasis sumberdaya hutan tercermin dari visi Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten Lampung Barat Tahun 20032007 yaitu “Terwujudnya Masyarakat Lampung Barat Yang Madani Berbasis Pertanian, Kehutanan, Kelautan, dan Pariwisata“. Pada berbagai kesempatan dialog penanganan konflik pengelolaan hutan yang pernah terjadi, I Wayan Dirpha - Bupati Lampung Barat yang terdahulu, acapkali menegaskan bahwa dalam konteks pelaksanaan otonomi daerah, kesejahteraan masyarakat adalah prioritas kesatu di atas kepentingan peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Walaupun berbeda asal partai politik, Bupati penerusnya saat
204
ini – Erwin Nizar, tetap melanjutkan kebijakan pembangunan kehutanan yang telah dirintis oleh bupati sebelumnya. (3) Adanya kebijakan Departemen Kehutanan tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang diatur di dalam Surat Keputusan Menteri No.31/Kpts-II/2001 yang memberikan kewenangan kepada kabupaten dalam memberikan ijin HKm bagi masyarakat setempat dijadikan peluang emas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat berbasis pengelolaan sumberdaya hutan. Sejak Tahun 2001 hingga Juni 2006, Kabupaten Lampung Barat telah menerbitkan sebanyak 24 ijin HKm meliput areal kawasan hutan lindung seluas 13.897,81 hektar yang memberi hak akses terhadap 6.535 keluarga petani hutan untuk mengelola areal HKm tersebut (Data diolah dari Tabel 4.12 dan Lampiran 9). Pemberian ijin tersebut menempatkan Kabupaten Lampung Barat termasuk sebagai kabupaten yang paling proaktif dalam melaksanakan kebijakan HKm di daerah. (4) Pemberian hak akses mengelola areal kawasan hutan lindung tersebut didukung
oleh
kebijaksanaan
Bupati
yaitu
untuk
sementara
belum
menerapkan pelaksanaan Perda Propinsi Lampung No.7/2000 tentang Retribusi Izin Pemungutan Terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu Di Kawasan Hutan hingga kesejahteraan masyarakat benar-benar dapat tertopang oleh kegiatan HKm mereka. Padahal di dalam perda tersebut dinyatakan bahwa dari penerimaan retribusi, 50 persen untuk pemerintah kabupaten, dan sisanya 50 persen disetorkan kepada pemerintah Propinsi Lampung (Pasal 10 ayat (1)). (5) Kebijakan kabupaten dalam mengeluarkan ijin HKm dan kebijaksanaan mereka dalam menunda penerapan Perda Propinsi Lampung No.7/2000 tidak terlepas dari dukungan analisis mitra kabupaten terutama LSM. Lembaga litbang, dan perguruan tinggi. Setidaknya tercatat beberapa LSM, lembaga litbang, dan perguruan tinggi yang memberikan analisis pendukung pengambilan keputusan diantaranya Watala, Yacili, WWF Lampung, LATIN, Beguwai Bejama, PMPRD, ICRAF Asia Tenggara, Puslitanak Bogor, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, dan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. (6) Sebagai wujud tanggung jawab, pelaksanaan kebijakan HKm oleh Kabupaten Lampung Barat disertai dengan mekanisme pengendalian yang diatur di dalam Keputusan Bupati Lampung Barat Nomor: 11 Tahun 2004 Tentang
205
Panduan Teknis Indikator Dan Kriteria Monitoring Dan Evaluasi Pelaksanaan Program Hutan Kemasyarakatan Di Kabupaten Lampung Barat. Mekanisme tersebut menuai sukses. Bahkan pada tanggal 11 Agustus 2006, kelompok HKm Mitra Wana Lestari Pekon Simpangsari Kecamatan Sumberjaya memperoleh penghargaan dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan sebagai kelompok “Inisiator Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat” yang telah berhasil mengubah padang alang-alang kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis seluas 250 hektar menjadi sistem wanatani kebun kopi multi tajuk yang secara teknis dapat menyangga fungsi hidroorologis kawasan hutan tersebut. Penghargaan tersebut hanya diberikan kepada 10 inisiator terbaik se-Indonesia.
d. Pemanfaatan Hasil Analisis Gaya Konflik Untuk Penanganan Konflik Selanjutnya Walaupun secara statistik terdapat perbedaan nilai tengah gaya mengelola konflik masing-masing pihak, besarnya nilai tengah pada semua konflik yang diuji (status, tata batas, dan hak akses) masih berkisar antara 4,23 hingga 5,51. Artinya semua pihak bersikap ingin mengelola konflik baik secara kompromi atau kolaborasi. Sebagaimana telah diuraikan pada awal sub-bab ini, kedua gaya tersebut sudah dapat dipergunakan sebagai petunjuk awal untuk dilakukannya penyelesaian-penyelesaian konflik konstruktif melalui perundingan baik berupa dialog, negosiasi dan bentuk-bentuk penyelesaian konflik alternatif lainnya. Sebelum gaya konflik tersebut diuji secara statistik interveren, pengujian secara deskriptif tabulatif nilai tengah telah terlebih dahulu dilakukan pada saat penelitian lapang dilaksanakan. Hal tersebut dibutuhkan untuk meyakini apakah negosiasi (yang dikemas dalam bentuk Semiloka Pengembangan Model Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis dan merupakan bagian dari pendekatan partisipatif dalam penelitian ini) dimungkinkan untuk dilaksanakan. Pengujian secara deskriptif tabulatif tersebut juga merupakan bagian dari upaya pengambilan keputusan peneliti untuk masuk kembali (re-entry) ke dalam situasi konflik sebagaimana telah diuraikan pada teknik CAPS (Collaborative Analytical, Problem-solving Process or Approach) yang dipergunakan dalam penelitian ini (Gambar 3.3, Bab 3 Metodologi). Untuk memastikan keinginan responden berpartisipasi dalam semiloka tersebut,
206
mereka juga diminta mengisi borang (form) konfirmasi kehadiran (Lampiran 11). Selain itu dalam rangka melengkapi analisis konflik yang terjadi, sebelum memasuki tahap semiloka, juga dilakukan analisis polarisasi konflik sebagaimana akan dibahas dalam sub-bab berikut.
5.4.2 Polarisasi Konflik Ketika konflik akan meletus, hubungan antara pihak berlawanan cenderung mengeskalasi pertikaian terutama pada konflik destruktif. Ada tiga perubahan fundamental yang biasanya terjadi pada situasi tersebut (Kriesberg, 1998) yaitu: (1) Para pihak yang berlawanan semakin sering terlibat dalam perdebatan yang saling menjatuhkan baik melalui media masa, pertemuan-pertemuan, bahkan unjuk rasa. Dalam kondisi ini, tidak jarang materi perdebatan menjadi tidak masuk logika karena para pihak terjebak dalam emosi kemarahan (the logic on contentious interaction). (2) Terjadinya perluasan akar konflik (the expansion of the issues), dari semula akar konfliknya hanya beberapa kemudian jadi bertambah banyak 1/. (3) Terjadinya ketidak seimbangan tegangan menimbulkan polarisasi hubungan dan keberpihakan (polarization of relations) dimana pihak-pihak yang memiliki kepentingan sama akan cenderung berdiri pada satu kutub (standing point), sedangkan hubungan dengan pihak-pihak yang berbeda kepentingan menjadi regang (segregasi). Analisis polarisasi penting dilakukan dalam rangka untuk mengetahui pihak-pihak
mana
yang
saling
berseberangan,
untuk
mengelompokkan
perbedaan kepentingan, dan untuk memisahkan pihak mana yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam berkonflik2/. Teknik kualitatif sederhana yang sering dipergunakan untuk menganalisis polarisasi konflik adalah teknik 1
2
Pada tahun 2004, di Desa Colo, Pulau Flores, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur pernah terjadi pengusiran penduduk keluar dari kawasan hutan lindung karena mereka berkebun kopi di dalamnya. Pada peristiwa pengusiran terjadi perlawanan sehingga timbul korban jiwa di pihak masyarakat akibat tindakan represif pihak keamanan, disinyalir sebanyak 4 jiwa penduduk desa tewas sia-sia. Kejadian tersebut menghentak Pemerintah di Jakarta sehingga menurunkan Tim Komnas HAM ke lokasi, mengusut kejadian, dan memperadilankan Bupati Manggarai yang hingga kini prosesnya belum selesai. Akar konflik meluas dari semula berakar pada adanya kebun kopi di dalam kawasan hutan kemudian bertambah dengan pelanggaran hak azasi manusia. Pada Tahun 2005, peneliti pernah memediasi konflik pengelolaan areal HKm Kopontren Darrussadiqien seluas 1024 hektar di Kabupaten Lombok Barat. Terdapat 25 pihak yang terlibat dalam konflik, dan hanya 8 pihak diantaranya yang merupakan pekonflik aktual yang kemudian menandatangani Naskah Kesepakatan Penyelesaian Konflik.
207
pemetaan polarisasi pihak-pihak yang berkonflik serta perbedaan kepentingan yang terjadi dengan menggunakan diagram (Fisher at al, 2001). Berdasarkan pengalaman peneliti, untuk mempermudah pelaksanaanya dilakukan dengan tahap-tahap berikut 3/: (1) Tahap pertama berdasarkan hasil teknik snow bowling, para pihak dipetakan ke dalam kisi-kisi yang memiliki dua sumbu pihak, lalu masing-masing kotak kuadran diisi dengan perbedaan kepentingan (Lampiran 12). Pada tahap ini pernyataan responden yang bersifat miskomunikasi antar pihak, tidak dimasukkan ke dalam kisi-kisi. (2) Tahap kedua yaitu memindahkan perbedaan tersebut ke dalam sebuah diagram peta konflik (Gambar 5.19) dan mengelompokkan para pihak berdasarkan kesamaan sesuai dengan masing-masing isu konflik (Tabel 5.4.4). Berdasarkan hasil analisis kualitatif polarisasi pada konflik status lahan, posisi para pihak Bappeda Lampung Barat, masyarakat, perguruan tinggi, Watala, ICRAF, dan Kecamatan/pekon beregangan dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat dengan menyatakan bahwa dinas tersebut tidak menyelesaikan masalah konflik status lahan di dalam kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis (Tabel 5.4.4). Pernyataan tersebut dilandaskan pada penyelesaian kasus konflik status lahan seluas 302,5 hektar di Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya yang belum selesai. Dengan menggunakan tabel yang sama, analisis polarisasi pada konflik tata batas memperoleh perbedaan-perbedaan sebagai berikut: •
Posisi para pihak Bappeda Lampung Barat, BPN Lampung Barat, masyarakat, perguruan tinggi, Watala, dan ICRAF beregangan dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat dengan menyatakan bahwa dinas tersebut tidak menyelesaikan masalah tata batas kawasan. Hal ini didasari oleh tidak tuntasnya konflik tata batas lahan pengganti pembangunan infrastruktur PLTA Way Besay seluas 50 hektar, dan konflik tata batas kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Barat dengan kawasan hutan lindung Register 34 Tangkit Tebak Kabupaten Lampung Utara, dan batas dengan kawasan hutan lindung Register 39A Kota Agung Utara Kabupaten Tanggamus sebagaimana diuraikan sebelumnya.
3
Tehnik sederhana ini dikembangkan oleh peneliti pada saat mediasi konflik pengelolaan HKm di Kabupaten Lombok Barat. Teknik ini dapat dilakukan baik secara Participatory Appraisal (PA) maupun Rapid Appraisal (RA).
208
Tidak menjaga kelestarian lingkungan
Tidak menyelesaikan tata batas dan status
Bapeda Lambar
Tata batas tidak tuntas.
• Penyelesaian masalah status, akses, tata batas hanya untuk kepentingan Dishut. • Tidak menyelesaikan kasus penebangan liar. • Tidak ada kepastian tentang HKm definitif
Lemah persepsi tentang akses
DPRD Lambar
Diskan
Tidak tuntas menyelesaian tata batas, status, dan akses
Masyarakat Petani
Dishut Propinsi
Tidak mendukung akses bagi masyarakat
Tidak peduli dengan ketersediaan air masyarakat. Aparat kecamatan dan pekon tidak pernah memberikan bimbingan.
ICRAF
Oknum Polri/TNI melakukan illegal logging.
Penyalah gunaan PAD/ retribusi
BPLH Lambar
Pungli kepada petani HKm terutama yang ijinnya belum terbit.
Status lembaga ini tidak jelas.
Oknum Dinas melakukan illegal logging.
Akses hanya kepentingan Dishut Dishut tidak menyelesaikan tata batas
Watala
Yacili
LSM hanya oportunis Tidak mendukung penyelesaian tata batas
PLTA
Tata batas lahan pengganti PLTA tidak jelas dan menduduki tanah marga Oknum Polri/TNI melakukan illegal logging.
Gambar 5.19
Departemen Kehutanan
Propinsi dan Pusat kurang mendukung akses bagi masyarakat. Sistem tanam GERHAN tidak sesuai dengan kondisi Sumberjaya.
Melanggar tata batas
Lembaga Kecamatan dan Pekon Disperi ndag
Dishutkab Lampung Barat
Perguruan Tinggi
Tidak membantu pembangunan ekonomi masyarakat
Polisi/TNI
Oknum Polri/TNI melakukan illegal logging.
UPTD Bukit Rigis BPN
Peta Perbedaan Kepentingan Antar Pihak Dalam Konflik Status, Tata Batas, dan Akses Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis Kabupaten Lampung Utara.
209
Tabel 5.4.4. Pengelompokkan Perbedaan Para Pihak Berdasarkan Pernyataan Mereka Terhadap Masing-masing Isu Konflik Pernyataan Pihak Bappeda Lampung Barat, masyarakat, perguruan tinggi, Watala, ICRAF, Kecamatan/pekon Dishut Lampung Barat tidak menyelesaikan masalah konflik status lahan di dalam kawasan
Isu Å Konflik Æ
Pernyataan Pihak
Status Å Lahan Æ
Dishut Lampung Barat
Bappeda Lampung Barat, BPN Lampung Barat, masyarakat, perguruan tinggi, Watala, ICRAF. Dishut Lampung Barat tidak menyelesaikan masalah tata batas kawasan
BPN LSM (Yacili, Watala, ICRAF) hanya opportunist
Dishut Lampung Barat Petani/masyarakat melanggar tata batas
Tata Å Batas Æ Kawasan
Kecamatan dan Pekon
ICRAF BPN tidak mendukung penyelesaian tata batas
PLTA Way Besay, BPN Lampung Darat
Tata batas lahan pengganti PLTA tidak jelas dan menduduki tanah marga
Dishut Kabupaten
Yacili Akses hanya kepentingan Dishut Kabupaten
Status lembaga Yacili tidak jelas
Dishut Lampung Barat, Watala, ICRAF
Dishutprop, Departemen Kehutanan
Propinsi dan Pusat kurang mendukung akses bagi masyarakat.
Dishut Lampung Barat, masyarakat, Kecamatan/pekon, UPTD Bukit Rigis
Polisi/TNI
Oknum polisi/TNI melakukan illegal ligging.
DPRD Lampung Barat
Masyarakat
Masyarakat lemah persepsi tentang akses
UPTD Bukit Rigis
Dishut Lampung Barat
Oknum Dishut melakukan illegal logging
UPTD Bukit Rigis PLTA tidak membantu pembangunan ekonomi masyarakat
Masyarakat Petani Aparat kecamatan dan pekon tidak pernah memberikan bimbingan
PLTA Way Besay Å Akses Æ Kecamatan dan Pekon
Masyarakat Petani PLTA tidak perduli dengan kebutuhan air masyarakat
PLTA Way Besay
Masyarakat Petani Tidak memberikan kepastian tentang ijin HKM definitif
Dishut Lampung Barat
Masyarakat Petani Oknum polisi pungli kepada petani terutama yang ijinnya belum terbit
BPLH Lampung Barat, Kecamatan dan Pekon Dishut menyalah gunakan PAD/retribusi hasil hutan
Polisi/TNI
Dishut Lampung Barat
Sumber: Wawancara, data diolah.
•
Posisi pihak kecamatan dan pekon beregangan dengan Kantor PLTA Way Besay Lampung Barat. Pihak kecamatan/pekon menyatakan bahwa tata batas lahan pengganti PLTA tidak jelas dan menduduki tanah masyarakat. Kasus ini berawal ketika pembangunan PTLA Way Besay dimulai pada tahun 1994. Pada saat itu, untuk membangun infrastruktur diperlukan lahan
210
kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis seluas 50 hektar tepatnya di Pekon Sukapura. Karena tujuannya adalah untuk pembangunan infrastruktur strategis, pihak kehutanan mengijinkan pemakaian lahan tersebut dengan mekanisme “tukar pakai”. Pihak PLTA diwajibkan mencari lahan pengganti dengan luasan yang sama. Selama tenggat waktu 1994-2000, pihak PLTA berupaya memenuhi kewajiban tersebut dengan membeli lahan masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan. Pembelian, pembebasan, dan sertifikasi
lahanpun
dilakukan.
Hamparan
lahan
tersebut
letaknya
berkelompok di Dusun Bodong, Pekon Sukajaya, Kecamatan Sumberjaya. Pada akhir tahun 2000, sertifikasi selesai dilakukan dilanjutkan dengan serah terima lahan pengganti tersebut dari pihak PLTA Way Besay kepada Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. Proses pembebasan lahan tersebut masih meninggalkan masalah tata batas yaitu: (1) tata batas antara lahan yang dibebaskan dengan lahan masyarakat di lapang masih tidak tuntas, bahkan masyarakat merasa tidak mendapat harga ganti rugi yang pantas (2) dengan masuknya lahan pembebasan ke dalam kawasan hutan lindung, tata batas kawasan hutan yang baru belum direkonstruksi. Akibat kedua hal tersebut, hingga saat ini banyak masyarakat yang masih mengelola bahkan mendiami lahan yang telah dibebaskan tersebut. •
Posisi pihak Kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional) Lampung Barat beregangan dengan pihak LSM (Yacili, Watala, ICRAF). Pihak BPN menyatakan bahwa dalam konflik-konflik tata batas yang terjadi, LSM hanyalah lembaga-lembaga yang opportunist yaitu mencari peluang untuk kepentingan sendiri. Sebaliknya, ICRAF menyatakan justru BPN Lampung Barat adalah lembaga yang saat ini secara operasional belum mendukung penyelesaian tata batas di lapang. Polarisasi pada konflik akses pengelolaan lebih beragam dibandingkan
dengan konflik status dan tata batas (Tabel 5.4.4). Pada konflik akses terjadi keregangan hubungan terjadi pada kepentingan-kepentingan berikut: •
Keregangan hubungan terjadi antara LSM Yacili (Yayasan Cinta Alam) dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat. Pihak Yacili menyatakan bahwa hak akses masyarakat dalam mengelola kawasan hutan hanyalah untuk kepentingan dinas dalam rangka memperoleh retribusi hasil hutan semata. Sebaliknya pihak dinas menyatakan bahwa Yacili adalah LSM yang “statusnya” tidak jelas.
211
Sebagaimana LSM lainnya (Kotak 3), Yacili adalah LSM yang turut meramaikan kegiatan pendampingan masyarakat petani dalam memperoleh ijin HKm di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis. Gaya pendampingannya yang konfrontatif membuat lembaga tersebut kurang disukai oleh pihak lain terutama instansi pemerintah. Namun demikian, hingga kini lembaga tersebut masih aktif. Kotak 5.4 Beberapa LSM yang Melakukan Pendampingan Masyarakat Petani di Sekitar Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat. • •
•
• • • •
FP3KLB (Forum Peduli Petani “Perambah” Kawasan Lampung Barat). Berdiri tahun 1998. Dipimpin oleh Sobran dan beralamat di Pekon Pura Jaya. Mereka memfasilitasi 4 kelompok tani untuk memperoleh ijin HKm. MPKH (Masyarakat Peduli Kawasan Hutan). Berdiri tahun 1999. Dipimpin oleh Banan, bekas Peratin Pekon Purajaya. Mereka memfasilitasi Pekon Tribudisyukur dan Simpang Sari untuk memperoleh ijin HKm. Sebanyak 8 kelompok diantaranya berasal Pekon Tribudi Sukur. Yacili (Yayasan Cinta Alam). Berdiri tahun 2000. Dipimpin oleh Rahmat. Alamat di Dusun Suka Raja Pekon Way Tenong, Kecamatan Sumberjaya. Pada tahun 2003 mendampingi masyarakat melakukan penghijauan di Hutan Kalpataru. Hutan tersebut adalah hutan rakyat yang pada tahun 1985 mendapat penghargaan Kalpataru oleh Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Hutan tersebut merupakan sumber air irigasi Pekon Way Tenong di daerah hilir. Sementara lokasi hutan berada di wilayah lain di hulu yaitu di Dusun Talang Tegajul Pekon Padang Tambak, yang setelah terjadi pemekaran menjadi Pekon Tambak Jaya. Lokasi tersebut berbatasan dengan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis dan Taman Nasional Bukit Barisan. Pada tahun 2002 terjadi konversi hutan Kalpataru oleh masyarakat Tambak Jaya yang umumnya adalah suku Sunda dan Jawa. Peristiwa tersebut menyulut kemarahan masyarakat Pekon Way Tenong yang umumnya Suku Semendo karena hutan tersebut merupakan sumber air irigasi mereka. Hampir terjadi konflik antar etnis. Pada tahun yang sama, dilakukan mediasi oleh Yacili dan Lembaga Konservasi Abada 21 (LK21) dari Bandar Lampung. Instansi pemerintah juga turut memediasi diantaranya Bapedalda Propisi Lampung, Bupati Lampung Barat, dan Dinas Kehutanan Lampung Barat. Dharma Putra. Berdiri tahun 1998. Melakukan pendampingan di Pekon Fajar Bulan. Kegiatannya kurang terpublikasi. TUL (Tunas Utama Lampung). Mereka adalah LSM dari Bandar Lampung. Datang ke Pekon Sukapura bulan Januari 2000. Mereka mengumpulka uang dari petani untuk “menguruskan” ijin HKm. Mereka kemudian diusir oleh Kepala Pekon Sukapura. Bina Usaha Tani (BUT). Berdiri tahun 1999 di Pekon Purajaya. Mereka memasok kebutuhan pupuk dan pestisida bagi petani yang pada umumnya petani kawasan hutan. WATALA. Berdiri tahun 1978. Sebuah LSM yang cukup mapan dan beralamat di Bandar Lampung. Datang ke Sumberjaya tahun 1995 dan melakukan pendampingan terhadap masyarakat petani yang lahan pertaniannya terbenam oleh reservoir DAM PLTA Way Besay. Mereka mendampingi hingga tahun 1999 terutama pendampingan alih mata pencaharian dari pertanian lahan kering ke perikanan air tawar. Kemudian sejak bulan Juni tahun 1999 mereka aktif mefasilitasi kelompok tani untuk memperoleh ijin HKm dan turut aktif melakukan mediasi konflik di Sumberjaya.
212
•
Yang menarik adalah keregangan yang terjadi antara pihak-pihak Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat, Watala, dan ICRAF terhadap Dinas Kehutanan
Propinsi
Lampung
dan
Departemen
Kehutanan.
Mereka
menyatakan bahwa propinsi dan departemen di tingkat lapang kurang mendukung pemberian hak akses bagi masyarakat di sekitar kawasan hutan. Hal tersebut terutama berkaitan dan pencadangan areal HKm Kabupaten Lampung Barat yang hingga kini prosesnya terkatung-katung. Ketidak tegasan kebijakan Departemen Kehutanan tentang keberlanjutan kebijakan HKm juga menjadi faktor penyulut lainnya. Sebagai contoh, alas hukum kebijakan HKm tidak ternaungi di dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan sehingga terjadi status quo pelaksanaan HKm di daerah. (Sebagai catatan, saat ini sedang berlangsung revisi PP tersebut dan sudah pada bulan Agustus 2006 sudah mencapai tahap pembahasan naskah revisi ke-43). •
Keregangan lainnya terjadi antara pihak-pihak Dishut Lampung Barat, masyarakat, Kecamatan/pekon, UPTD Bukit Rigis terhadap pihak POLRI/TNI. Mereka menyatakan bahwa di hutan lindung Register 45B Bukit Rigis terjadi pembalakan liar yang dilakukan oleh oknum aparat oknum polisi/TNI. Sudah pernah dilaporkan tetapi tidak ada proses hukum yang ditegakkan.
•
Keregangan terjadi antara UPTD (Unit Pelaksana Teknid Daerah) Kawasan Hutan Lindung Bukit Rigis terhadap Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat. Mereka menyatakan bahwa pembalakan liar dilakukan oleh oknum polisi hutan dinas tersebut.
•
Keregangan juga terjadi antara pihak masyarakat terhadap oknum polisi/TNI yang kerapkali melakukan pungutan liar terutama kepada petani kawasan yang proses perijinannya belum selesai. Pada kasus ini nampak sekali bahwa ketika petani tidak memiliki kepastian hak akses akan menjadi objek pemerasan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
•
Pihak masyarakat petani beregangan dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat. Mereka menyatakan bahwa dinas tidak memberikan kepastian tentang ijin HKm denitif yang berlaku untuk 25 tahun. Hal tersebut menimbulkan ketidak pastian terhadap kelompok yang masa berlaku ijin sementara 5 tahunnya sudah habis.
213
Di samping para pihak yang terlibat konflik secara aktual, juga terdapat para pihak yang potensial terlibat konflik yaitu Dinas Perikanan dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Lampung Barat.
Pihak aktual seperti Dinas
Kehutanan dan PSDA Lampung Barat, BPLH (Badan Pengendalian Lingkungan Hidup) Lampung Barat mentengarai bahwa tekanan penduduk terhadap kawasan sehingga menimbulkan konflik akan dapat dikurangi apabila kedua pihak potensial tersebut serius melaksanakan peningkatan kesejahteraan masyarakat petani sekitar kawasan terutama melalui pemberdayaan ekonomi rumahtangga. Kasus ini memberi petunjuk lemahnya koordinasi pembangunan lintas sektoral di tataran Pemerintah Kabupaten Lampung Barat. Dalam suatu peristiwa konflik, sering didapati bahwa secara internal suatu pihak mengalami perpecahan kepentingan yang menjurus kepada konflik intern. Di dalam kasus ini perpecahan justru terjadi antara UPTD Bukit Rigis dengan Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat yang berada dalam satu garis hirarki, yaitu UPTD Bukit Rigis mentengarai adanya oknum dinas yang melakukan pembalakkan liar. Kepentingan yang tidak monolitik di dalam suatu pihak sering menjadi faktor penghambat penanganan-penanganan konflik ketika pihak tersebut berhadapan dengan pihak luar (Isenhart dan Spangle, 2000).
5.4.3 Kebersediaan Responden dan Preferensi Bentuk Perundingan
Polarisasi hubungan dan keberpihakan dalam konflik status, tata batas, dan akses yang terjadi antar pihak tidak seharusnya menjadi ancaman bagi penyelesaian konflik. Seperti telah dianalisis sebelumnya, semua pihak yang menjadi responden penelitian ini memiliki gaya konflik yang kompromis dan kolaboratif. Hal tersebut merupakan petunjuk penting bahwa mereka memiliki keinginan untuk menyelesaikan koflik secara konstruktif. Keinginan para pihak untuk menyelesaikan konflik juga ditentukan oleh bagaimana pihak tersebut mencitrakan peran diri/lembaganya dalam proses penyelesaian tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, sebesar 64,4 persen menyatakan bahwa dirinya atau lembaganya memiliki tugas pokok dan fungsi yang turut bertanggungjawab terhadap penyelesaian konflik (Tabel 5.4.5), sebesar 14,6 persen menyatakan tidak sesuai, dan sebesar 22 persen tidak menjawab. Mereka yang tidak menjawab memberi alasan bahwa (1) mereka
214
merasa kesulitan mencitrakan peran tersebut, (2) pencitraan diri/lembaga merupakan tugas dari wakil kelompok/pihak yang akan ikut dalam perundingan.
Tabel 5.4.5 Pernyataan Responden Tentang Kesesuaian Tupoksi Lembaganya Terhadap Penyelesaian Konflik Pernyataan Responden Valid
Frekuensi
Tidak sesuai dengan tupoksi
Missing
Persen
6
14,6
Sesuai dengan tupoksi
26
63,4
Total
32
78,0
Tidak menjawab
Total
9
22,0
41
100,0
Sumber: Wawancara, data dioleh dengan SPSS.
Penelusuran lebih jauh dilakukan dengan mewawancarai responden yang menyatakan tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi lembaga mereka. Temuan yang cukup mengejutkan adalah, 2 responden diantaranya yaitu (1) Kepala Bidang Reboisasi hutan dan Rehabilitasi Lahan (RRL) Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat dan (2) Kepala Biro Hukum Sekretariat Kabupaten Lampung Barat menyatakan bahwa penyelesaian konflik bukan menjadi bagian dari tugas mereka. Lebih mengenaskan lagi, dengan alasan tersebut Kepala Biro Hukum menyatakan tidak berkeinginan hadir di dalam negosiasi penyelesaian konflik yang akan diselerenggarakan melalui penelitian ini. Berbeda halnya dengan Kepala Bidang RRL, responden tersebut menyatakan kesediaannya untuk hadir. Tabel 5.4.6 menunjukkan persentase kesediaan responden untuk menghadiri perundingan.
Sebesar 68,3 persen responden menyatakan akan
hadir langsung termasuk di dalamnya adalah Ketua DPRD Kabupaten Lampung Barat
dan
sebesar
17,1
persen
akan
diwakili
oleh
anggota
lembaga/kelompoknya. Sebesar 9,8 persen menyatakan tidak akan hadir dengan alasan mereka sudah berapa kali berdialog namun tidak pernah ada penyelesaian yang dihasilkan. Terhadap sikap responden yang terakhir tersebut, perlu
dilakukan
intensifikasi
konflik
secara
persuasif
dengan
memberi
pemahaman tentang manfaat yang bisa diperoleh oleh semua pihak apabila konflik diselesaikan, serta didahului dengan rekonstruksi saling percaya bahwa semua pihak mau menyelesaikannya secara konstruktif .
215
Tabel 5.4.6 Kebersediaan Responden Untuk Hadir dalam Perundingan Pernyataan kesediaan hadir dalam perundingan Valid
Tidak bersedia Bersedia hadir langsung Bersedia hadir diwakili Total
Missing
Tidak menjawab
Total
Frekuensi
Persen
4
9,8
28
68,3
7
17,1
39
95,1
2
4,9
41
100,0
Berdasarkan hasil analisis gaya konflik dan kebersediaan responden untuk berunding, selanjutnya melalui wawancara dilakukan analisis kualitatif preferensi responden tentang bentuk perundingan yang diinginkan. Seperti telah diuraikan pada Bab 2, beberapa bentuk perundingan yang sering dipergunakan dalam penyelesaian konflik yaitu negosiasi, mediasi, fasilitasi, arbitrasi, dan proses hukum (ligitasi). Pada analisis preferensi ini, 1 bentuk lainnya yaitu konsiliasi ditambahkan ke dalam pilihan, sehingga total menjadi 6 pilihan (Kotak 4). Sebelum memilih preferensinya, responden diberi kesempatan untuk memahami definisi bentuk-bentuk tersebut. Kotak 5.5 Preferensi Bentuk Perundingan Yang Mencerminkan Oleh Pernyataan Responden
(1) Saya merasa sulit untuk memulai KOMUNIKASI karena masing-masing pihak sulit untuk
(2)
(3)
(4) (5)
(6)
saling bertemu untuk mengetahui perbedaan yang terjadi. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu menjembatani komunikasi agar penyelesaian perbedaan bisa dimulai. (KONSILIASI). Saya merasa sulit untuk melakukan pertemuan dengan pihak lain untuk menyampaikan perbedaan yang saya miliki. Saya memerlukan pihak ketiga yang netral untuk membantu memfasilitasi PERTEMUAN termasuk menyusun agenda waktu dan tempat, bentuk pertemuan, peran masing-masing pihak, dan mempersiapkan agar jika mungkin pertemuan tersebut bisa menghasilkan kesepakatan. (FASILITASI) Saya menginginkan masing-masing pihak secara sukarela untuk bertatap muka langsung untuk sama-sama mengidentifikasi perbedaan, saling memahami perbedaan kepentingan dan kebutuhan, mencoba untuk menemukan berbagai pilihan penyelesaian konflik, dan saling menawarkan syarat, kondisi, dan manfaat dari setiap kesepakatan yang ingin dicapai. (NEGOSIASI). Saya merasa sudah tidak bisa lagi bertemu dengan pihak lain karena perbedaan kepentingan yang terjadi sudah terlalu parah. Saya memerlukan pihak yang netral yang bisa memediasi tapi tidak mencampuri proses pengambilan keputusan. (MEDIASI) Saya ingin perbedaan ini diselesaikan secara hukum tapi dilakukan diluar proses peradilan umum. Saya membutuhkan seorang ahli hukum (Arbiter) yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri tapi harus bisa diterima oleh semua pihak yang berbeda kepentingan, untuk memberikan putusan mengenai konflik yang terjadi yang kemudian penyelesaiannya melalui arbitrase. (ARBITRASE). Saya amat meyakini kebenaran kepentingan saya, dan saya melihat tidak ada jalan lain bahwa perbedaan dengan pihak lain harus diselesaikan melalui jalur Peradilan Umum. Saya memerlukan pengacara dan saksi ahli yang bisa mendukung dan memperjuangkan kepentingan saya.(LIGITASI).
Sumber: Moore (1996); Kriesberg (1998); Isenhart dan Spangle (2000); dan Margono (2000).
216
Berdasarkan
hasil
wawancara,
preferensi
para
pihak
untuk
menyelesaikan konflik yang paling tinggi adalah dengan cara bernegosiasi yaitu sebesar 58,5 persen untuk konflik status lahan, 46,3 persen untuk konflik tata batas, dan 56,1 persen untuk konflik hak akses (Tabel 5.4.7). Sedangkan cara fasilitasi adalah merupakan preferensi yang kedua yaitu konflik status lahan sebesar 26,8 persen, konflik tata batas sebesar 22 persen, dan konflik hak akses sebesar 29,3 persen.
Tabel 5.4.7 Preferensi Responden Terhadap bentuk Perundingan Preferensi bentuk bentuk perundingan yang diinginkan responden Konflik status lahan Valid Konsiliasi
Frekuensi
Persen 2
4,9
Fasilitasi
11
26,8
Negosiasi
24
58,5
Mediasi
3
7,3
Arbitrase
1
2,4
41
100,0
Total Konflik tata batas Valid Konsiliasi
8
19,5
Fasilitasi
9
22,0
Negosiasi
19
46,3
Mediasi
3
7,3
Arbitrase
2
4,9
41
100,0
Total Konflik hak akses Valid Konsiliasi
3
7,3
Fasilitasi
12
29,3
Negosiasi
23
56,1
Mediasi Total
3
7,3
41
100,0
Sumber: Wawancara, data diolah dengan SPSS.
Dalam persentase yang relatif kecil, ada preferensi responden yang memilih penyelesaian konflik status lahan dan konflik tata batas diselesaikan melalui arbitrase, yaitu masing-masing sebesar 2,4 persen dan 4,9 persen. Hal tersebut menjadi petunjuk bahwa ada sebagian kecil responden yang menginginkan konflik status lahan dan tata batas diselesaikan secara hukum tapi dilakukan di luar proses peradilan umum dengan cara menggunakan jasa seorang ahli hukum (arbiter) yang ditunjuk oleh Pengadilan Negeri serta diterima oleh semua pihak yang berbeda kepentingan, untuk memberikan putusan mengenai konflik yang terjadi yang kemudian penyelesaiannya melalui arbitrase.
217
Responden yang menginginkan arbitrase adalah masyarakat petani dan LSM. Alasan mereka yaitu selama ini sudah sering dilakukan upaya penyelesaian konflik status dan tata batas melalui perundingan ataupun berupa dialog, namun tidak ada keputusan yang berkekuatan mengikat semua pihak agar hasil kesepakatan dialog dilaksanakan. Oleh karenanya arbitrase menjadi pilihan sehingga semua pihak terikat oleh keputusan tersebut, namun keterikatannya tidak diperoleh melalui peradilan formal. Hal yang terakhir tersebut dapat dibuktikan bahwa berdasarkan hasil wawancara tak satupun responden yang memiliki preferensi terhadap bentuk ligitasi dalam menyelesaikan konflik status, tata batas, dan hak akses di kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis. Pada dasarnya sebagian besar responden baik secara individual maupun antar kelembagaan pernah menyatakan perbedaan kepentingannya kepada pihak lawan berkonflik dalam rangka menyelesaikan konflik status, tata batas, dan hak akses . Pada masing-masing konflik, responden mendapat tanggapan yang berbeda-beda yaitu (Tabel 5.4.8): (1) Pada konflik status lahan dan tata batas, jumlah responden terbanyak adalah mereka yang pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan (Skor=4). Masing-masing yaitu sebesar 46,3 persen pada konflik status lahan dan sebesar 41,5 persen pada konflik tata batas. Bahkan jumlah responden yang menyatakan bahwa perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian secara nyata serta para pihak yang berbeda kepentingan tidak berinisiatif untuk berunding (Skor=1), menempati posisi kedua yaitu sebesar 26,8 persen pada konflik status lahan dan sebesar 34,1 persen pada konflik tata batas. (2) Pada konflik hak akses, tanggapan terhadap perbedaan kepentingan justru relatif lebih baik dibandingkan dengan konflik status lahan dan tata batas. Jumlah responden terbanyak adalah mereka yang pernah menyatakan perbedaan kepentingan dan mendapat tanggapan penyelesaian yang memuaskan dari pihak lain (Skor=5), yaitu sebesar 46,3 persen. Lalu jumlah responden yang mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan (Skor=4) sebesar 39 persen. Berdasarkan analisis kualitatif tersebut dapat dinyatakan bahwa para pihak dalam menyelesaikan konflik hak akses hasilnya relatif lebih memuaskan dibandingkan penyelesaian-penyelesaian yang dilakukan pada konflik status lahan dan tata batas kawasan hutan.
218
Tabel 5.4.8 Upaya Responden Dalam Menyatakan Perbedaan Kepentingan dalam konflik Status Lahan, Tata Batas, dan Hak Akses. Upaya yang pernah dilakukan responden dalam menyatakan perbedaan kepentingan Konflik Status Lahan Valid
Missing
11
2,00
4
9,8
4,00
19
46,3
5,00
6
14,6
Total
40
97,6
1
2,4
41
100,0
14
34,1
Total
Missing
1,00
3
7,3
4,00
17
41,5
5,00
4
9,8
Total
38
92,7
3
7,3
41
100,0
1,00
2
4,9
2,00
3
7,3
4,00
16
39,0
5,00
19
46,3
Total
40
97,6
1
2,4
Total
Missing
26,8
2,00
Tidak menjawab
Konflik Hak Akses Valid
Persen
1,00
Tidak menjawab
Konflik Tata Batas Valid
Frekuensi
Tidak menjawab
Total
41 100,0 Keterangan: (1) Perbedaan tersebut tidak berkesudahan dan belum dilakukan penyelesaian yang nyata; baik saya maupun pihak lain yang berbeda kepentingan tidak berinisiatif untuk berunding. (2) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut (misal: secara lisan, tertulis, atau melakukan unjuk rasa) namun tidak mendapat tanggapan yang dapat menyelesaikan. (3) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut namun mendapat tanggapan yang menekan dan anarkis. (4) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian tetapi tidak memuaskan. (5) Saya pernah menyatakan perbedaan tersebut dan mendapat tanggapan penyelesaian dan memuaskan. Sumber: Wawancara, data diolah dengan SPSS
Tingginya preferensi para pihak untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi dan fasilitasi (Tabel 5.4.7), cukup untuk dijadikan landasan yang kuat dalam pengambilan keputusan untuk memenuhi tujuan keempat penelitian ini yaitu mengembangkan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif berdasarkan pada pengalaman yang diperoleh para pihak yang berkonflik dan akan dilakukan melalui Semiloka Pengembangan Model Konflik Lingkungan
219
Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Untuk tujuan tersebut, responden kembali diwawancara tentang komitmennya untuk tetap hadir selama semiloka. Hasilnya menunjukkan bahwa sebesar 75,6 persen responden menyatakan bersedia (“ya”), dan sebesar 14,6 persen menyatakan ragu-ragu (Tabel 5.4.9). Keragu-raguan dalam menjawab karena kehadirannya mungkin akan diwakilkan, atau akan hadir pada hari pertama dan hari berikutnya diteruskan oleh wakilnya. Selain itu tidak semua responden secara psikologis siap memasuki perundingan terbuka. Kondisi tersebut adalah konsekuensi yang harus diterima oleh sebuah penelitian partisipatif. Responden adalah subjek penelitian dan bukanlah semata-mata objek penelitian. Mereka berperan serta secara sukarela dan melakukannya berdasarkan manfaat yang bisa mereka peroleh. Tabel 5.4.9 Komitmen Responden Untuk Tetap Hadir Selama Perundingan Komitmen Responden Untuk Tetap Hadir Selama Perundingan Valid
Missing
Ragu-ragu
Frekuensi
Persen 6
14,6
Ya
31
75,6
Total
37
90,2
Tidak menjawab
Total
4
9,8
41
100,0
Sumber: Wawancara, data diolah dengan SPSS.
5.5. Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik Berdasarkan analisis gaya mengelola konflik, diperoleh kepastian bahwa keempat kelompok pihak (kabupaten, LSM-perguruan tinggi-lembaga litbang, masyarakat, kecamatan-pekon) bersikap kolaboratif dan kompromis dalam menghadapi perbedaan kepentingan atas hak akses ke dalam kawasan, status lahan, dan tata batas. Kedua sikap tersebut merupakan landasan yang cukup untuk melakukan pengembangan model penanganan konflik lingkungan secara kognitif didasarkan kepada pengalaman yang diperoleh para pihak yang bersengketa; dengan cara mempertemukan keempat pihak kedalam suatu dialog penyelesaian konflik. Menurut Wilson dan Morren (1990), kognisi adalah wujud aksi dari pengetahuan (the action of knowing) seseorang atau suatu proses manusia mengkonversi persepsinya tentang dunia dan kehidupannya ke dalam suatu ilmu pengetahuan. Kognisi adalah bagian/elemen dari jiwa manusia yang mengolah
220
informasi, pengetahuan, pengalaman, dorongan, perasaan, dan sebagainya, baik yang datang dari luar maupun dari dalam diri sendiri sehingga terjadi simpulansimpulan yang selanjutnya menghasilkan prilaku (Sarwono, 1999). Di dalam kognisi sosial, elemen-lemen tersebut saling berhubungan antar-individu dan/atau antara individu dengan kelompok1/. Pengembangan model penanganan konflik secara kognitif dimaksudkan sebagai sebuah pendekatan membangkitkan elemen-elemen tersebut secara langsung terutama berdasarkan kognisi konsonansi para pihak agar diperoleh hasil yang konstruktif. Seperti
diuraikan
pada
Bab-3
Metodologi
pengembangan
model
penanganan konflik lingkungan secara kognitif dilakukan dengan pendekatan analisa sistem lunak (soft system analysis) secara partisipatoris. Penggunaan analisis sistem tersebut merupakan jawaban atas kelemahan analisis sistem keras (hard system analysis) yang cenderung reduksionis (Checkland dan Scholes, 1990). Metode Sistem Analisis Sosial (Social Analysis System = SAS) yang dikembangkan oleh Chevalier (2003) yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan analisis sistem lunak.
Dalam penelitian ini, penggunaan SAS
tersebut didukung oleh: 1) Teknik
CAPS
(Collaborative
Analytical,
Problem-solving
Process
or
Approach) yaitu teknik berintervensi dalam situasi konflik melalui fasilitasi dialog, konsultasi pihak ketiga yang independen, penanganan konflik interaktif, dan proses diskusi berupa lokakarya (workshop). Dalam penelitian ini, dialog tersebut dikemas berupa Semiloka Penanganan Model Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang diselenggarakan selama 4 hari (pada tanggal 24 – 27 Mei 2005) di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat. 2) Dialog
intensif
selama
semiloka
berlangsung
dilakukan
dengan
menggunakan Metode Delphi. Salah satu kelemahan metode ini adalah para
1
Di dalam Teori Disonansi Kognitif (The Theory of Cognitive Dissonance) yang dikembangkan oleh Festinger pada tahun 1957, bentuk hubungan antar elemen ada 3 macam yaitu: (1) hubungan yang tidak relevan karena antar elemen tidak saling mempengaruhi, (2) hubungan disonansi yaitu hubungan menjadi tidak relevan karena antar elemen saling bertentangan dan menimbulkan konflik, dan (3) hubungan konsonansi yaitu hubungan antar elemen relevan dan tidak saling bertentangan sehingga mendorong deskalasi konflik (Sarwono, 1999). Teori Disonansi Kognitif adalah salah satu teori yang sering dipergunakan dalam analisis psikologis sosial terutama mengapa konflik menjadi eskalasi atau deskalasi. Disonansi kognitif merupakan salah satu penghalang psikologis yang membuat konflik tidak bisa diselesaikan (Arrow et al, 1995). Perbedaan kepentingan (divergence interests) yang destruktif merupakan output dari sebuah spiral konflik yang terjadi karena disonansi kognitif (Rubin et al, 1994). Dalam bentuk yang berlawanan, konsonansi kognitif merupakan fator psikologi sosial yang berkontribusi kepada proses pergerakan deskalasi konflik (Kriesberg, 1998).
221
peserta yang terlibat dalam mengartikulasikan pendapatnya kemungkinan berlebihan sehingga berpotensi kehilangan argumentasi ilmiah karena keinginannya
kuat
untuk
memperjuangkan
kepentingannya.
Untuk
mengeliminasi potensi tersebut, dalam melaksanakan metode ini juga dihadirkan beberapa pakar yang dianggap relevan yaitu: •
A. Kusworo, PhD. (Spesialis Antropologi, WWF Lampung)
•
Armen Yaser, SH, MH (Ahli Hukum Tata Negara, Universitas Lampung)
•
Ir. Martua Sirait, MS (Ahli Kebijakan Publik, Sumberdaya Alam dan Agraria, ICRAF Asia Tenggara - Bogor)
•
Ir. Ubaidillah, MS (Ahli Tata Guna Hutan, Badan Planologi Departemen Kehutanan)
•
Ir.
Asripin,
MS
(Ahli
Kebijakan
Pembangunan
Regional,
Pusat
Pengendalian Hutan (Pusdalhut) Regional I - Departemen Kehutanan) •
Ir. Mujiono (Ahli Perpetaan dan Sertifikasi Tanah - BPN Kabupaten Lampung Barat), dan
•
Ir. Warsito (Ahli Kehutanan, Kepala Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat).
Gambar 5.20. Semiloka Model Penanganan Konflik Lingkungan Dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis yang diselenggarakan selama 4 hari (pada tanggal 24 – 27 Mei 2005) di Kecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat (Sumber photo: Rozi, asisten peneliti).
222
3) Sebelum semiloka diselenggarakan, pelatihan mini (mini training) Sistem Analisis Sosial dilakukan bagi calon fasilitator semiloka. Selain peneliti, mereka adalah: •
Ir. Agus Mulyana, MS (Ahli Antropologi dan Metode Resolusi Konflik, CIFOR – Bogor)
•
Ir. Suwito (Ahli pemberdayaan masyarakat, Working Group Tenure)
•
Ir. Nurka C. Ningsih (Ahli pemberdayaan masyarakat, asisten peneliti, ICRAF Asia Tenggara – Bogor)
Selain pelatihan SAS, terhadap fasilitator juga dilakukan pengenalan situasi konflik yang terjadi. Kegiatan ini diselenggarakan selama 2 hari sebelum semiloka. Sebagaimana peruntukkannya bahwa Metode SAS dirancang untuk dapat dipergunakan dalam situasi heterogenitas budaya, bahasa, dan disparitas pengetahuan responden pemakainya (Chevalier, 2001), maka notasi ukuran kualitatif/kuantitatif
yang
dipergunakan
antar-kelompok
diskusi
Delphi
berkemungkinan berbeda, misalnya sekala sekor. Dalam kondisi tersebut yang terpenting adalah adanya kesepakatan para peserta untuk memaknai setiap sekor atau notasi kualitatif yang dipergunakan selama semiloka. Sesuai dengan pemilahan pokok konflik yang dilakukan pada analisis gaya konflik, selama semiloka para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok dialog yaitu, (1) dialog konflik status lahan, kasus Desa Sukapura, (2) dialog konflik tata batas, dan (3) dialog konflik akses. Namun pada penelitian ini, hanya pembahasan hanya disajikan hanya mengenai konflik status lahan kasus Pekon (Desa) Sukapura. 5.5.1 Tahapan Sistem Analisis Sosial Selama 3,5 hari efektif dan bahkan dilanjutkan dengan malam hari, Sistem Analisis Sosial (SAS) dipergunakan langsung oleh para pihak dan pelaksanaannya dibagi ke dalam 3 tahap secara berangkai2/. Pada masingmasing tahap dipergunakan beberapa alat analisis yaitu sebagai berikut (Gambar 5.21): 2
(1) Sebelum ketiga tahap SAS dimulai, terdapat tahap pendahuluan yang menggunakan beberapa alat analisis untuk mengukur harapan, persamaan/perbedaan pengertian tentang konflik, dan simulasi (game) kompetisi sumberdaya alam. Tahap pendahuluan tersebut ditujukan untuk mengurangi ketegangan psikologis antar-pihak agar diskusi (FGD) selama Semiloka bisa berlangsung secara kondusif dan konstruktif. (2) Selain itu, atas persetujuan para pihak, Tahap Analisis Posisi Para Pihak (dengan Teknik Analisis Posisi, Kepentingan, dan Kebutuhan) tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan waktu. Pembatalan ini diasumsikan tidak mengurangai kualitas Metode SAS yang dipergunakan.
223
Tahap 1: Analisis Dasar Masalah •
Analisis Pohon Masalah
•
Analisis Faktor Pemacu
•
Analisis Rentang Waktu
Tahap 2: Analisis Profil Para Pihak •
Analisi Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimiasi.
•
Analisis Pihak Kuat-Lemah
Tahap 3: Analisis Upaya Penanganan Konflik •
Analisis Skenario Ideal Diurai
•
Analisis Sekario Pilihan
•
Analisis Mengukur Dukungan
Setiap analisis terdiri dari seperangkat langkah-langkah penggunaan seperti tercantum dalam Lampiran 13. Beberapa deskripsi operasional penting yang dipergunakan di dalam analisis tersebut perlu diurai terlebih dahulu untuk mempermudah memahami hasil analisis.
Tahap 1: Analisis Dasar masalah • Rekonstruksi Pohon Masalah • Faktor Pemacu • Rentang Waktu
Tahap 2: Analisis Profil Para Pihak • Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimiasi. • Analisis Pihak KuatLemah
Tahap 3: Analisis Upaya Penanganan Konflik • Skenario Ideal Diurai • Sekario Pilihan • Mengukur Dukungan
Gambar 5.21 Tahap-tahap Sistim Analisis Sosial Dalam Pengembangan Model Kognitif Pengelolaan Konflik Lingkungan (Chevalier, 2003).
Beberapa deskripsi operasioanl SAS yang dipergunakan yaitu sebagai berikut (Chevalier, 2003): •
Pemangku Kepentingan (stakeholder): adalah mereka/pihak yang sangat berpengaruh atau dipengaruhi oleh persoalannya.
•
Kekuatan (Power): kemampuan untuk memenangkan kepentingannya dengan menggunakan kekuatan ekonomi dan keuangan, politik, fisik dan
224
daya paksa, informasi dan komunikasi yang dimiliki.
Disarankan untuk
melihat kekuatan dalam konteks potensi spesifik yang bersangkutan. Misalnya NGO biasanya mempunyai kekuatan di bidang komunikasi dan informasi.
Jika
kemampuan
komunikasi
dan
informasi
itu
sangat
mempengaruhi situasi, baru bisa dikatakan sebagai kekuatan. •
Kepentingan (Interest): mengindikasikan tinggi rendahnya dampak yang mungkin timbul dari situasi atau kegiatan terhadap kepentingan para pemangku
kepentingan.
Tambahkan
tanda
(+)
atau
(-)
untuk
mengindikasikan apakah dampak keseluruhan dapat digolongkan positif (menguntungkan) atau negatif (merugikan). Jika kepentingannya rendah (I=Low), maka tidak usah diberi (+) atau (-). •
Legitimasi/keabsahan: adalah pengakuan dari pihak lain atas status, respect/penghargaan, dan klaim (yang bisa diaplikasikan pada situasi tertentu) yang ada pada suatu pemangku kepentingan.
•
Pada masing-masing kekhasan (P, I, dan L) terdapat beberapa indikator yang melekat seperti terdapat dalam Gambar 5.2.2.
KEKHASAN (SALIENCY)
INDIKATOR POWER (P) Mencakup kepemilikan seperangkat sumberdaya yang dapat dipergunakan suatu pemangku untuk melawan pemangku lain dalam rangka mewujudkan kepentingannya.
• •
• •
INTEREST (I) Merupakan peluang keuntungan/kerugian yang diterima pemangku apabila dia mempertahankan kepentingannya; diukur dari selisih kualitatif antara manfaat – biaya selama mempertahankan kepentingannya. LEGITIMACY (L)
•
•
• • • •
Kekuatan finansial dan ekonomi Kewenangan politis (kantor, peran dan organisasinya diakui secara kelembagaan dan perundangan yang berlaku) Kemampuan untuk menggunakan kekuatan dan tekanan kepada pihak lain yang menjadi korban Penguasaan informasi dan komunikasi Beri indikator kualitatif “I-“ apabila biaya sosial mempertahankan kepentingan tinggi, sementara manfaat sosial rendah. Beri indikator kualitatif “I+“ apabila manfaat sosial mempertahankan kepentingan tinggi, sementara biaya sosial rendah. Status diakui Respektasi diperolah dari pihak lain Memiliki prestise. Hak dan tanggungjawabnya diakui.
Gambar 5.22. Indikator Kekhasan Power, Interest, dan Legitimacy (Chevalier, 2003).
•
Para pemangku kepentingan memiliki kombinasi kekhasan seperti terdapat pada Tabel 5.5.1 berikut.
225
Tabel 5.5.1. Indeks Kekhasan (saliency) Pemangku Kepentingan. Tingkat
Kombinasi PIL
Mempunyai Power yang sangat kuat, Interest terpengaruh, dan Legitimasi tinggi. Mempunyai Power yang sangat kuat, Interest terpengaruh, tetapi Legitimasi/klaim lemah atau tidak diakui. Tingkat 2 Mempunyai Power yang sangat kuat, Legitimasi tinggi, namun Interest tidak terpengaruh. Tidak mempunyai Power atau sangat lemah, Interest terpengaruh, dan Legitimasi/klaim tinggi atau diakui. Tingkat 3 Mempunyai Power yang sangat kuat, tapi Interest tidak terpengaruh, dan Legitimasi rendah atau tidak diakui. Power sangat lemah, Interest terpengaruh, namun Legitimasi/klaim tidak diakui. Tingkat 4 Tidak mempunyai Power atau sangat lemah, Interest terpengaruh, dan Legitimasi/klaim tidak diakui pemangku kepentingan yang tidak Tingkat 5 mempunyai ketiganya (Power, Interest, dan Legitimasi). Sumber: Chevalier, 2003. Tingkat I
•
Posisi
Tipologi Kekhasan
Klasifikasi
PIL
Dominan
PI
Bertenaga
PL
Berpengaruh
IL
Rentan
P
Dorman/ Tidur
L
Berperhatian
I
Marginal Lain-lain
didefinisikan sebagai upaya memperjuangkan hasil atau rencana
tertentu untuk memenuhi tuntutan/kebutuhan seketika.
Posisi cenderung
lebih konkrit, jelas, dan kurang fleksibel. •
Aliansi didefinisikan sebagai hubungan persatuan antara individu, kelompok, atau entitas lainnya yang biasanya ditujukan untuk berkorporasi karena memiliki kepentingan bersama (common interests). Aliansi berkonotasi formal dibandingkan dengan koalisi walaupun kedua istilah tersebut memiliki arti serupa (Yarn, 1999).
5.5.2
Model Pengelolaan Konflik Status Lahan; Kasus Status Wilayah Pekon (Desa) Sukapura Yang Berada di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Pengembangan model kognitif pengelolaan konflik status lahan di dalam
kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis dilaksanakan secara FGD (focussed group discussion). Diskusi kelompok ini didampingi oleh: •
Ahli Antropologi dari WWF Lampung
•
Ahli hukum tata tegara dari Fakultas Sosial Politk Universitas Lampung, dan
•
Ahli tata guna hutan dari Badan Planologi Departemen Kehutanan.
226
Secara keterwakilan, pihak-pihak yang berperan serta dalam kelompok ini adalah: 1) Bappeda Kabupaten Lampung Barat. 2)
Dinas Kehutanan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Kabupaten Lampung Barat.
3)
Peratin (Kepala) Pekon Sukapura.
4)
Tokoh Masyarakat Pekon Sukapura
5)
LSM Watala
6)
Badan Planologi Departmen Kehutanan
7)
Fakultas Sosial Politik – Universitas Lampung
8)
Kantor BPN Kabupaten Lampung Barat
9)
Kecamatan Sumberjaya
10)
DPRD Kabupaten Lampung Barat
11)
BPLH Kabupaten Lampung Barat
5.5.2.1 Analisis Dasar Masalah Konflik Status Lahan Pada tahap ini, dengan menggunakan tehnik analisis pohon masalah para pihak melakukan rekonstruksi akar masalah yang menyebabkan terjadinya konflik status lahan yang hasilnya seperti ditayangkan pada Gambar 5.24. Dalam menulis akar masalah, adalah akar yang hingga saat ini belum ditangani atau sedang tapi sulit ditangani. Berdasarkan hasil diskusi, para pihak sepakat untuk membahas konflik status lahan di Pekon Sukapura sebagai subjek yang akan dicarikan pemecahannnya. Dari sekian akar masalah, beberapa diantaranya merupakan akar yang relevan dengan kasus bahasan yaitu: •
Lahan Pekon Sukapura dibuka oleh masyarakat sudah dengan ijin pada saat Transmigrasi BRM 1951-1952.
•
Penetapan kawasan hutan (TGHK) tahun 1991 tidak atas dasar kesepakatan dengan masyarakat setempat, dan
•
Terjadi pengambilalihan lahan oleh pemerintah dan juga oleh masyarakat dengan landasan yang berbeda yaitu fungsi lindung versus pendapatan.
Dampak dari akar masalah tersebut adalah: •
Ketidak jelasan penangaan konflik status lahan dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang tidak bertanggungjawab untuk terus membuka dan/atau
227
menduduki lahan. Misalnya kasus pembukaan Hutan Pinus, kasus pendirian menara telpon seluler, dan sebagainya. •
Tidak adanya jaminan pengelolaan lahan bagi masyarakat dan tidak adanya kepastian hukum atas status lahan yang mereka tempati. Apabila bagan rekonstruksi pohon masalah Gambar 5.24 disandingkan
dengan alur model faktor-faktor yang menyebabkan konflik lingkungan seperti telah diuraikan dalam sub-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesamaan faktor penyebab diantaranya, kelangkaan lahan, status lahan, dan pendapatan rumah tangga. Hal tersebut merupakan petunjuk adanya keserupaan sistem berpikir yang dikembangkan antara model yang dibangun secara hard system analysis dengan model pohon masalah yang dibangun secara soft system analysis.
5.5.2.2. Faktor Pemacu dan Peredam Konflik
Analisis ini dipergunakan untuk memahami pandangan para pihak tentang faktor pemacu yang memperkeruh status
masalah/konflik
lahan.
Selain
itu,
juga
bertujuan mengurai hal-hal yang dapat meredam konflik sehingga tidak berkembang semakin buruk. Faktor
pemacu
menimbulkan
yang
dapat
dampak
negatif
dapat
dibatasi
kadang-kadang
Gambar 5.23. FGD Kelompok Status Lahan tentang Rekonstruksi Pohon Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. (Sumber Photo: Nurka C Ningsih)
oleh faktor peredam yang mampu memberikan berlawanan,
dampak misalnya
yang dampak
positif
yang
bisa
menghetikan
masalah
berkembang menjadi semakin buruk. Para pihak bisa memiliki pandangan yang berbeda
tentang
faktor
pemacu
dan
faktor
peredam
terjadinya
suatu
masalah/konflik, dalam kondisi demikian apabila perbedaan tersebut tidak dapat disepakati maka fakor-faktor tersebut cukup dikumpulkan.
228
Tidak adanya kemantapan kawasan Hutan Lindung
Dimanfaatkan pihak ketiga
Tidak ada jaminan pengelolaan bagi masyarkat
Fungsi Lindung kawasan hutan menurun
Tidak ada kepastian hukum
Rusaknya SD Air dan ekologi
Lingkungan terancam rakyat tidak aman (rawan bencana)
Kawasan/hutan semakin rusak
Konflik Status Lahan
Pengambilalihan lahan
Masyarakat perlu lahan untuk pendapatan
Lahan sudah dibuka penduduk dengan ijin Pemda ingin fungsi lindung
Penetapan kawasan hutan tidak atas dasar kesepakatan berbagai pihak
Tidak lengkap administrasi desa
Kurangnya ketaatan terhadap hukum
Tidak memiliki alasan hak
Kurangnya penegakan hukum
Terbatasnya Tidak lengkap data & informasi wilayah Kurang sosialissi
Penduduk bertambah, lahan makin langka
Gambar 5.24. Bagan Rekonstruksi Pohon Masalah Penyebab dan Dampak Konflik Status Lahan di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat.
229
Berdasarkan analisis faktor pemacu dan peredam, diperoleh beberapa faktor yang memacu terjadinya konflik status lahan di Pekon Sukapura yaitu: •
Faktor-faktor yang amat kuat (skor=5) memacu konflik adalah adanya reformasi, biaya hidup semakin tinggi, keinginan masyarakat untuk meningkatkan status lahan, dan pertambahan jumlah penduduk.
•
Faktor-faktor yang kuat (skor=4) memacu konflik adalah alternatif mata pencaharian sangat terbatas, nilai ekonomi lahan tinggi, dan adanya advokasi/pendampingan masyarakat.
•
Faktor-faktor yang berkekuatan sedang (skor=3) memacu konflik adalah terjadinya rawan bencana alam akibat kerusakan hutan dan adanya upaya penertiban oleh pemerintah secara represif. Faktor pemacu yang lemah (skor=2) adalah adanya tanaman tumpangsari di dalam kawasan hutan. 5
5
5
5
5
Reformasi
Aji mumpung (Status Quo)
4
Pertambahan jumlah penduduk
4
Alternatif mata pencaharian sangat terbatas
Biaya hidup semakin tinggi
Adanya advokasi, pendampingan Kondisi masyarakat yang relatif terdidik
2 Adanya tanaman tumpangsari di wilayah hutan
Adanya keinginan masyarakat untuk meningkatkan status lahan Penyuluhan Lingkungan
1
3
Upaya penertiban oleh pemerintah
2
3 Terjadinya rawan bencana alam akibat kerusakan hutan
FAKTOF PEMACU
3
4
Nilai ekonomi lahan tinggi
4 4
5
4
3
4
5
Keterangan: Sekor 1 = Amat lemah, 2 =: Lemah, 3 = Sedang, 4 = Kuat, dan 5 = Amat kuat
Gambar 5.25. Faktor Pemacu dan Peredam Konflik Status Lahan
Dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat (SK Tim)
4
3
Keinginan untuk bermusyawarah
3
2
Menjaga Hutan secara ketat
2
Komoditas yang diinginkan petani
1
Adanya Pertanian Konservatif (Intensifikasi, Diversifikasi usaha tani berwawasan konservasi)
0
FAKTOR PEREDAM
•
5
230
Dengan analisis yang sama, para pihak juga menyepakati beberapa faktor yang dapat meredam laju konflik status lahan di Pekon Sukapura, yaitu: •
Faktor yang amat kuat dapat meredam konflik status adalah (1) Dukungan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat yang telah mengeluarkan Surat Keputusan Bupati Kabupaten Lampung Barat No.B/231/Kpts/01/2003 tentang Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah Di Hutan Lindung (Reg 45B) Sekitar Pekon Sukapura, dan (2) adanya praktik pertanian berwawasan konservasi yang dilakukan oleh masyarakat yang bertani di dalam kawasan.
•
Keinginan para pihak untuk bermusyawarah dan adanya penyuluhan lingkungan disepakati para pihak sebagai faktor-faktor yang secara kuat meredam konflik.
•
Kondisi masyarakat yang relatif terdidik dan niat baik untuk menjaga kawasan disepakati sebagai faktor-faktor yang berpengaruh sedang dalam meredam konlfik.
5.5.2.3 Sejarah Konflik Status Lahan Pekon Sukapura (Analisis Rentang Waktu) Pekon Sukapura berada di pinggir jalan raya antara kota Bandar Lampung dengan kota Liwa ibu kota Kabupaten Lampung Barat, tepatnya dari titik kilometer 175 sampai dengan kilometer 180; sepanjang 5 km. Wilayah Pekon Sukapura, seluruhnya seluas 1.350 ha dengan batas-batas sebagai berikut. •
Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Dwikora Kabupaten Lampung Utara
•
Di sebelah selatan berbatasan dengan Pekon Simpang Sari dan Pekon Way Petai
•
Di sebelah timur berbatasan dengan kawasan hutan lindung Bukit Rigis Register 44B.
•
Di sebelah barat berbatasan dengan bukit Benatan/ gunung Benatan (Gunung Remas) Semula merupakan lokasi pemukiman baru bagi penduduk yang berasal
dari Kabupaten Dati II Tasik Malaya, Propinsi Jawa Barat, melalui transmigrasi Biro Rekonstruksi Nasional (BRN). Para transmigran datang ke daerah pemukiman baru tersebut terdiri atas 2 rombongan yang diberangkatkan dari Jawa Barat pada tahun 1951 dan 1952, dengan jumlah keseluruhan sebanyak
231
250 kepala keluarga (KK) dand anggota keluarga sebanyak 680 jiwa. Jadi jumlah keseluruhan adalah 930 jiwa. Kedua rombongan tersebut dipimpin oleh bapak R.E. Sukrawinata, Bapak Tanu Wijaya, dan bapak E. Kanta Atmaja, sebagai ketua umum adalah bapak Ahmad Bandaniji Suja’i dan ibu Hj.Siti Mulyati, pada saat ini kelima pimpinan tersebut sudah meninggal dunia (Rusyandi dan Endang, 2000). Sejak pendaftaran, persiapan, pemberangkatan, penempatan, dan semua pengaturan-pengaturanya, para anggota transmigrasi dipimpin/diselenggarakan oleh sebuah organisasi LOBA Pembangun 3/. Organisasi ini bergerak di bidang pertanian, perikanan, koperasi, dan bidang-bidang lainnya. Berdasarkan hasil penelusuran di lapang, saat penelitian berlangsung masih terdapat beberapa saksi hidup yang mengetahui sejarah mobilisasi transmigran BRN ke Pekon Sukapura (Tabel 5.5.2). Pekon Sukapura resmi sebagai sebagai desa administratif pada tanggal 20 Januari 1954, sejak tanggal itu pula ia resmi menjadi desa definitif yang mempunyai pemerintahan sendiri dan dipimpin oleh seorang tokoh LOBA Pembangunan yaitu A. Bandaiji Suja’i. Diberi nama Sukapura diambil dari nama desa asal pemimpin LOBA tersebut yaitu desa Sukapura Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Tasik Malaya jawa Barat. Setelah menjadi desa definitif sepenuhnya, maka untuk lancarnya roda pemerintahan didesa, ditentukan wilayah kerja yaitu pembagian kedusunan yang pada awalnya terdiri atas 2 dusun yaitu Dusun Rasamaya
dan
Dusun
Tirtadaya.
Sehubungan
dengan
perkembangan
pembangunan pemukiman dan selalu bertambahnya jumlah penduduk, saat ini mekar menjadi 3 dusun. Dusun terakhir (ke-3) diberi nama Dusun Galunggung. Pada awal pendudukan dan pendirian Pekon Sukapura sejak tahun 19511952, tanah pekarangan telah diatur/diukur dan setiap KK diberi satu kapling tanah berukuran 20x20m2. Tetapi sejak penataan batas kawasan hutan lindung register 45B Bukit Rigis yang dialksanakan pada tahun 1994, Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung menyatakan bahwa dari luas keseluruhan pekon yaitu 1.350 ha, yang masuk kawasan hutan negara seluas ± 500 ha. Adanya ketentuan batas kawasan tersebut menimbulkan keresahan warga pekon. Bentuk dan
3
LOBA adalah akronim dari Loe Orang Bangsa Apa. Berdasarkan wawancara dengan saksi hidup sejarahnya, LOBA dahulunya adalah unit-unit tentara rakyat yang bergrilya di daerah Tasik Malaya hingga wilayah pantai selatan Ciamis Propinsi Jawa Barat sebelum tahun 1952. Unit-unit tersebut kemudian direkrut oleh TNI ke dalam Badan Rekonstruksi Nasional (BRN). Menurut sejarahnya, entitas LOBA tidak berbeda dengan Tentara Pelajar (TP) hanya yang terakhir ini berasal dari kalangan pemuda dan pelajar.
232
komposisi penggunaan lahan Pekon Sukapura pada tahun 2004 seperti terdapat dalam Tabel 5.5.3. Tabel. 5.5.2. Daftar Nama Transmigran BRN Tahun 1951-1952 Yang Masih Hidup Sebagai Saksi Sejarah Pekon Sukapura. No
Nama
Umur (tahun)
1 Odo Rusyandi 74 2 Djalil Suyandi 78 3 Sarli 79 4 Juhana 88 5 Supri Supardi 68 6 Saja 76 7 Suliman 71 8 Karwan 73 9 Madnan 80 10 Emen 75 11 Sarkasih 76 12 Hari Kusnadi 70 13 E.Rohama 72 14 Sarjan 72 15 Ija 78 16 Jeki Mustari 71 17 Sumarya 72 18 Suparman 71 19 Dawami 76 20 Sarmad 74 21 U.Husnan 84 22 Ojo Satori 72 23 Sayadi 95 24 Sukma 88 25 Oji Rosidi 86 26 Rainan 91 27 Jarkasih 87 28 Samud 77 29 Sulasdin 71 30 Sarja 74 31 Juhandi 72 32 Sapjan 72 33 Ganda 71 Sumber: Wawancara dan penelusuran lapang.
Pekerjaan
Keterangan
Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani Mantan Petani
Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif Sudah tidak produktif
Tabel 5.5.3. Penggunaan lahan Pekon Sukapura, 2004. No
Penggunaan Lahan
Luas (Ha)
Pekarangan/Pemukiman Perkebunan Perladangan Sawah Kolam Tanah Desa Hutan kawasan/LPH Jumlah Sumber: Monografi Pekon Sukapura 2005.
75 630 100 19,25 15 6,50 504,75 1350
1 2 3 4 5 6 7
233
Dari
frontier
pahlawan
pembangunan
menjadi
perambah
hutan.
Keresahan warga Pekon Sukapura tersebut tidak terlepas dari konflik status lahan pekon yang berada di dalam kawasan hutan lindung. Mereka yang dahulunya adalah frontier-frontier pembuka wilayah dan oleh pemerintah disebut sebagai pahlawan pembangun wilayah Pekon Sukapura khususnya dan Kecamatan Sumberjaya umumnya, kini disebut sebagai perambah yang menduduki kawasan hutan negara secara ilegal. Sebuah sebutan yang identik dengan pelaku kriminal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Berbagai pristiwa penting terjadi sejak berdirinya pekon hingga saat ini. Berdasarkan hasil analisis rentang waktu oleh para pihak, diperoleh 26 peristiwa penting yang berkaitan dengan konflik yang terjadi seperti dirangkum di dalam Tabel 5.5.4. Berdasarkan hasil analisis rentang waktu tersebut terdapat beberapa peristiwa penting yang menjadi perdebatan panjang antar pihak yaitu: •
Pengwajiban IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) pada tahun 1952 dianggap oleh masyarakat sebagai pengakuan langsung atas penguasaan mereka atas lahan yang mereka tempati di dalam kawasan hutan.
•
Penurunan masyarakat pada tahun 1994/1995 dengan Operasi Gajah merupakan tindakan represif sepihak oleh pemerintah tanpa melihat asal-usul penguasaan lahan oleh masyarakat yang secara resmi ditempatkan oleh pemerintah di wilayah tersebut. Diharapkan kejadian serupa tidak terulang.
•
Pembukaan dan pendudukan lahan di areal Hutan Pinus pada tahun 1999 yang disinyalir diantara pelakunya adalah pejabat pemerintah kabupaten merupakan bentuk diskriminasi terhadap masyarakat. Demikian pula halnya dengan pendirian menara telpon selular pada tahun 2002 dan 2003 yang menurut Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat terjadi tanpa seijin mereka melainkan atas ijin Camat. Kasus terakhir adalah bentuk ikonsistensi pemerintah daerah atas penanganan status lahan di wilayah setempat. Pembentukan Tim Pengkajian Permohonan Pelepasan Kawasan Hutan di Pekon Sukapura oleh Bupati Lampung Barat pada tahun 2003 dinilai baru berupa perhatian politis Kabupaten Lampung Barat karena pelaksanaannya di lapang belum konkrit. Banyak faktor-faktor non-teknis yang bisa diatasi namun tidak dilakukan. Misalnya, pada bulan Desember 2005 Tim tersebut yang diwakili oleh Asisten 2 Bupati, Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten, Biro Tata Pemerintahan, Camat Wilayah Kecamatan Sumberjaya, difasilitasi
234
Tabel 5.5.4. Analisis Rentang Waktu Beberapa Peristiwa Penting Yang berkaitan dengan Konflik Status Lahan Pekon Sukapura di Dalam Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kecamatan Sumberjaya. Tahun 1951 1952
Peristiwa Transmigrasi Masyarakat melalui BRN Transmigrasi Masyarakat melalui BRN Sudah dikenakan IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah), yang kemudian menjadi PBB (Th 1980-an)
1953
20 Jan 1954
Pemecahan Penduduk Sukapura ke dua tempat, sebagian ke Pekon Tribudi Syukur Kecamatan Sumberjaya, dan sebagian ke Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan Sukapura Menjadi Desa definitif
1965
Pemberian izin tumpangsari {Pekon Tribudi Syukur} oleh Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung.
1979
Pembangunan SD Inpres
1982
Wakil masyarakat Sukapura menghadap ke DepHut untuk mengajukan pembebasan lahan.
1983
Pemasangan jalur listrik ke Pekon Sukapura oleh PLN atas program pemerintah
1994
Pembangunan PLTA Way Besay Penetapan Batas Defenitif (BATB)
1994/1995
Operasi Gajah, penurunan masyarakat dari kawasan oleh pemerintah
1996
Rencana membeli tanah untuk mengganti lahan kawasan yang ada pekon Sukapura dengan lahan yang ada di Biha.
1998
Pengajuan status tanah Pekon Sukapura saat kepala desa Bapak Amilin dilengkapi dengan buku sejarah pekon kepada Departemen, tapi tidak digubris.
1999
Mengajukan proposal izin pemanfaatan lahan (HKm) {Pekon Tribudi Syukur} Terjadi pendudukan dan pembukaan lahan di areal Hutan Pinus
2000
Keluar izin HKm awal 3 (tiga) tahun yang dikeluarkan oleh Kanwil Kehutanan Propinsi Lampung
2000
Peninjauan ulang terhadap pelepasan kawasan di Desa Sukapura, Kecamatan Sumberjaya
2002
Pembangunan 1 buah menara telpon seluler Indosat. Pemetaan partisipatif lahan yang diajukan untuk pelepasan.
2003 a.
Dibentuk Tim Pengkajian Permohonan Pelepasan Kawasan Hutan di Pekon Sukapura oleh Bupati Lampung Barat dan APBD
2003 b.
Diskusi PEMDAKAB (Camat + UPTD IPH) tentang status lahan.
2003 c.
Pembangunan 2 (dua) menara telpon seluler Telkomsel dan Pro-XL di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis.
2004 d.
Camat Sumberjaya mengirim surat permohonan pelepasan kawasan di Pekon Sukapura kepada Bupati Lampung Barat
2004 Jan - 2005
Silaturahmi dan dialog Sekjen DepDagri dengan masyarakat Pekon Sukapura, Anggota DPRD. Harus disertai dukungan politik dari DPRD Kabupaten.
Semiloka Pengembangan Model Penangananan Konflik Lingkungan Dalam pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis. Sumber: Hasil diskusi para pihak dalam Semiloka.
Mei-2005 •
Proyek GNRHL di lahan garap (kebun) Pekon Sukapura, sementara di pekarangan tidak dilakukan.
235
oleh LSM Watala dan Working Group Tenure untuk berdialog dengan Menteri Kehutanan cq Badan Planologi. Hasilnya adalah: (1) Departemen Kehutanan menilai masalah status lahan Pekon Sukapura adalah masalah penting yang memerlukan penyelesaian, (2) Pemerintah Kabupaten diminta mengajukan surat kepada Menteri Kehutanan untuk menurunkan Tim Terpadu Pusat yang terdiri atas Departemen Kehutanan, Kementrian Lingkungan Hidup, LIPI, Departemen Dalam Negeri, Badan Pertanahan Nasional, dan Perguruan Tinggi setempat. Surat tersebut hingga kini belum ditindaklanjuti oleh kabupaten dengan alasan tidak ada biaya untuk menanggung logistik Tim Terpadu Pusat tersebut. Hal tersebut berpotensi menyulut pesimisme masyarakat Pekon Sukapura atas upaya penyelesaian status lahan, padahal berdasarkan hasil wawancara ulang paska penelitian lapang, masyarakat bersedia bergotong-royong untuk memikul biaya tersebut. •
Para pihak sepakat bahwa dialog dengan Sekjen Depdagri dan beberapa cendikiawan dari Institut Pertanian Bogor pada tanggal 14 Januari 2005 merupakan bagian dari sejarah upaya deskalasi konflik status lahan Pekon Sukapura. Hal yang terpenting dalam dialog tersebut yaitu upaya masyarakat perlu ditempuh melalui jalur politik terutama dukungan dari legislatif, DPRD Kabupaten Lampung Barat.
•
Kegiatan
Semiloka
Pengembangan
Model
Penangananan
Konflik
Lingkungan Dalam pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Register 45b Bukit Rigis yang dilaksanakan pada bulan Mei 2005 disepakati oleh para pihak sebagai bagian dari upaya mencari jalan keluar penyelesaian konflik status lahan. 5.5.2.4 Profil Para Pihak Dalam Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Analisis Profil Para Pihak sering juga disebut dengan tehnik Analisis Stakeholder (pemangku kepentingan) atau Teknik Analisis PIL (Power, Interest, Legitimacy, atau Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimasi). Tehnik tersebut akan melihat kekhasan (saliency) dan posisi para pemangku kepentingan, dan berdasarkan kekhasan dan posisi yang dimiliki mereka akan dilakukan konstruksi terhadap kekhasan itu. Tujuan teknik tersebut adalah: (1) memberikan gambaran bagi para pemangku kepentingan yang nyata (aktual) maupun potensial untuk terlibat dalam situasi atau rencana tertentu, dan (2) menggunakan indeks kekhasan (saliency) sebagai kriteria pelibatan pemangku kepentingan dalam
236
menyelesaikan konflik. Selama semiloka, terdapat 11 pihak yang dianalisis konstruksi kekhasannya seperti dalam Tabel 5.5.5. Tabel 5.5.5. Analisa Kekuatan, Kepentingan, dan Legitimasi Para Pihak Yang Berkonflik Dalam Kasus Status Lahan Pekon Sukapura No
Para pemangku Kepentingan
Kekuatan (Power-P)
1 Dishut dan PSDA Lambar Kuat 2 Bapeda Lambar Lemah 3 Baplan Dephut Kuat 4 Watala Kuat 5 DPRD Lambar Kuat 6 BPLH Lambar Kuat 7 Kecamatan Sumberjaya Lemah 8 Pekon Sukapura Kuat 9 BPN Lambar Lemah 10 Masyarakat Lemah 11 Perguruan Tinggi Lemah Sumber: Para pihak dalam Semiloka, data diolah.
Kepentingan (Interest-I)
Legitimasi (L)
I-Positif I-Negatif I-Negatif Netral I-Positif Netral I-Positif I-Positif Netral I-Positif Netral
L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat L-Kuat
Kategori P, I+, L I-, L P, I , L P, L P, I+, L P, L + I ,L P, I+, L L + I ,L L
Berdasarkan hasil analisis profil dengan melihat kombinasi kekuatan, kepentingan, dan legitimasi para pihak, diperoleh beberapa tingkat kekhasan para pihak dalam sengketa status lahan yaitu sebagai berikut (Gambar 5.26): •
Kekhasan Tingkat 1: Adalah kelompok dominan yang mempunyai kekuatan yang sangat kuat, kepentingan terpengaruh, dan legitimasi tinggi. Mereka adalah Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1), Badan Planologi Departemen Kehutanan (3), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5), dan Peratin Pekon Sukapura (8).
•
Kekhasan Tingkat 2: Adalah kelompok berpengaruh yang mempunyai kekuatan yang sangat kuat, legitimasi tinggi, namun kepentingan tidak terpengaruh. Mereka adalah LSM Watala (4) dan BPLH Lampung Barat (6).
•
Kekhasan Tingkat 3: Adalah kelompok rentan yang tidak mempunyai kekuatan atau sangat lemah, kepentingan terpengaruh, dan legitimasi/klaim tinggi atau diakui. Mereka adalah Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2) dan masyarakat Pekon Sukapura (10).
•
Kekhasan Tingkat 4: Adalah kelompok berperhatian yaitu mereka yang memiliki
power
sangat
lemah,
kepentingan
terpengaruh,
namun
legitimasi/klaim tidak diakui. Mereka adalah Kantor Kecamatan Sumberjaya ( 7), Kantor BPN Lampung Barat (9), dan Universitas Lampung (11).
237
Kekuatan
Kepentingan P, Dorman/Tidur
I, Marjinal PI, Bertenaga
PIL, Dominan 1+, 3-, 5+, 8+ PL, Berpengaruh 4, 6
IL, Rentan 2-, 10+
L, Berperhatian 7, 9, 11
Legitimasi Gambar 5.26. Diagram Venn Kekhasan (saliency) ke-12 Pihak dalam proses penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura dalam kawasan hutan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis. Keterangan: 1 = Dinas Kehutanan dan PSDA Lambar; 2 = Bappeda Lambar; 3 = Badan Planologi Departemen Kehutanan; 4 = LSM Watala; 5 = DPRD Kabupaten Lampung Barat; 6 = BPLH Lampung Barat; 7 = Kecamatan Sumberjaya; 8 = Peratin Pekon Sukapura; 9 = Kantor BPN Lampung Barat; 10 = Wakil Tokoh Masyarakat; dan 11 = Perguruan Tinggi Universitas Lampung.
Seperti diuraikan sebelumnya, pada kelompok dominan terdapat 4 pihak yaitu Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1), Badan Planologi Departemen Kehutanan (3), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5), dan Peratin Pekon Sukapura (8). Walaupun keempatnya memiliki kekhasan yang sama, namun berdasarkan hasil diskusi selama semiloka, terdapat perbedaan di dalam kepentingan (Interests) yaitu: •
Kepentingan
pihak
Badan
Planologi
Departemen
Kehutanan
akan
-
terpengaruh secara negatif (“-“) ditunjukkan oleh notasi “ I “. Secara aktual artinya apabila konflik status lahan terselesaikan dan klaim masyarakat dipenuhi, maka pihak Badan Planologi akan kehilangan aset kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis seluas 302,5 hektar.
238
•
Kepentingan pihak-pihak Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat, DPRD Kabupaten Lampung Barat, dan Peratin Pekon Sukapura terpengaruh secara positif (“+”) ditunjukkan oleh notasi “I+”. Secara aktual artinya apabila konflik status lahan terselesaikan dan klaim masyarakat dipenuhi, maka: o
Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat akan memperoleh manfaat yaitu: biaya sosial yang ditimbulkan oleh konflik bisa dicegah, meningkatnya kawasan budidaya seluas 302,5 hektar dan hal tersebut akan menyediakan ruang tambahan baru bagi pembangunan wilayah non kawasan Kabupaten Lampung Barat yang 77,76% luas daratannya adalah kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.
o
DPRD Kabupaten Lampung Barat akan memperoleh manfaat berupa stabilitas politik kawasan Sumberjaya, khususnya Pekon Sukapura, melalui penyediaan kepastian penguasaan lahan terutama bagi konstituen infra struktur politik di daerah.
o
Peratin Pekon Sukapura akan memperoleh manfaat yaitu; semakin jelasnya
wilayah
definitif
pekon
akan
semakin
memastikan
perencanaan dan pelaksanakan program pembangunan pekon termasuk pengelolaan sumber-sumber Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Pekon (APPKP) terutama yang berasal dari sumberdaya lahan. Selain itu, kepastian penguasaan lahan akan memberikan stabilitas
sosial
dan
ekonomi
bagi
warga
pekon
dalam
bermatapencarian. Masyarakat Pekon Sukapura (10) dan Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2) adalah pihak yang kekhasannya masuk ke dalam kelompok rentan. Kelompok ini dicirikan sebagai kelompok yang memiliki kepentingan dan legitimasi namun tidak memiliki kekuatan. Berdasarkan hasil analisis para pihak selama semiloka, keduanya berada dalam satu kelompok, tetapi memiliki kepentingan yang berbeda: •
Bappeda Kabupaten Lampung Barat secara struktural tidak memiliki otoritas sebagai kekuatan penentu dalam penetapan dan perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan termasuk perubahan status lahan di dalam kawasan. Namun demikian lembaga tersebut adalah lembaga yang memiliki legitimasi sebagai sebuah lembaga koordinatif pembangunan daerah.
239
Kepentingannya notasi “ I
-
akan terpengaruh secara negatif (“-“) ditunjukkan oleh
“. Hingga pada saat penelitian, secara aktual lembaga tersebut
masih berpijak bahwa Tata Ruang Kabupaten Lampung Barat adalah instrumen kebijakan yang harus dipatuhi oleh semua pihak, termasuk dalam penyelesaian konflik status lahan di Pekon Sukapura. •
Masyarakat Pekon Sukapura secara formal tidak memiliki kekuatan penentu dalam penetapan dan perubahan peruntukkan dan fungsi kawasan hutan termasuk perubahan status lahan di dalam kawasan. Namun demikian, legitimasinya atas klaim status lahan diakui oleh pihak lain walaupun pengakuan tersebut belum disertai dengan pelepasan kawasan hutan. Pengakuan pihak lain tersebut terjadi karena adanya bukti-bukti sejarah bahwa konflik status lahan di Pekon Sukapura memang terjadi karena kelalaian pemerintah masa lalu yang mentransmigrasikan BRN ke wilayah tersebut tanpa ditindak lanjuti dengan administrasi sertifikasi lahan. Kepentingan masyarakat akan terpengaruh secara positif (“+“) ditunjukkan oleh
notasi
“I+“,
artinya
mereka
akan
memperoleh
manfaat
atas
terselesaikannnya konflik status lahan dengan dimungkinkannya sertifikasi lahan sehingga diperoleh kepastian status penguasaan lahan dalam bentuk hak milik atas tanah atau hak-hak lainnya. 5.5.2.5 Analisis Hubungan Antara Yang Kuat dan Lemah Menurut Chevalier (2003), berdasarkan hasil analisis PIL tersebut, potensi para pihak untuk saling beraliansi dan/atau bekerjasama serta sebaliknya yaitu potensi untuk saling berkonflik dapat dianalisis. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan indikator interest sebagai indikator penentu. Penggunaan indikator tersebut atas argumentasi bahwa konflik dapat terjadi apabila ada perbedaan kepentingan antar-pihak dimana ketika kepentingan (+) dari suatu pihak mengakibatkan kepentingan pihak lainnya menjadi (-). Pada saat kapan konflik atau kerjasama berpotensi terjadi adalah sebagai berikut (Chevailer, 2003): 1) Jika pada hasil analisis PIL terdapat dua pihak memiliki kekhasan yang sama (misalnya keduanya sama-sama memiliki kepentingan positif (+) atau keduanya sama-sama memiliki kepentingan (-)), maka aliansi dan kerjasama berpotensi terjadi.
240
2) Jika pada hasil analisis PIL terdapat dua pihak memiliki kekhasan yang berbeda (misalnya suatu pihak (+) dan yang lainnya (-)), maka konflik berpotensi terjadi. Berdasarkan Tabel 5.5.5 dan Gambar 5.26, pada kasus konflik status lahan di Pekon Sukapura, maka dapat diperkirakan siapa saja yang berpotensi dapat bekerjasama dan siapa saja yang berpotensi untuk berkonflik, yaitu sebagai berikut (Gambar 5.27): •
Diagram Hubungan 1: Konflik antar-pihak yang dominan dapat terjadi antara masing-masing Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5+), dan Peratin Pekon Sukapura (8+) terhadap Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−).
•
Diagram Hubungan 2: Hubungan aliansi dan kerjasama antara pihak kuatlemah (Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5+), Peratin Pekon Sukapura (8+), dan Masyarakat Pekon Sukapura (10+)) berkemungkinan terjadi lalu berkonflik dengan pihak kuat lainnya (Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−)). Demikian pula sebaliknya, aliansi pihak kuat-lemah (Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−) dan Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2−)) berkemungkinan terjadi lalu berkonflik dengan pihak kuat lainnya (masingmasing yaitu Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5+), dan Peratin Pekon Sukapura (8+)).
•
Diagram Hubungan 3: Konflik kepentingan berpotensi terjadi antara pihak yang lemah (rentan). Dalam hal ini yaitu antara Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2−) dan Masyarakat Pekon Sukapura (10+).
•
Diagram Hubungan 4: Konflik perbedaan kepentingan berpotensi terjadi antara pihak yang kuat/dominan (masing-masing Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5+), Peratin Pekon Sukapura (8+), dan Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−)) terhadap dan pihak yang lemah/rentan (masing-masing Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2−) dan Masyarakat Pekon Sukapura (10+)).
•
Diagram Hubungan 5: Konflik perbedaan kepentingan terjadi antara aliansi pihak kuat-lemah (yaitu Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat (5+), Peratin Pekon Sukapura
241
(8+), dan Masyarakat Pekon Sukapura (10+)) dengan pihak lemah/Rentan (yaitu Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2−). No
Diagram Hubungan
Deskripsi hubungan Potensi Aliansi dan/atau konflik antara yang Konflik kuat dan yang lemah Konflik perbedaan kepentingan ANTAR pihak yang kuat (Dominan, Bertenaga)
Elit horizontal. 1+ ↔ 3− 5+ ↔ 3− 8+ ↔ 3−
Konflik perbedaan kepentingan ANTARA aliansi pihak kuat (dan diantaranya memiliki aliansi dengan pihak lemah) DENGAN pihak kuat lainnya (Dominan, Bertenaga) Konflik perbedaan kepentingan ANTAR pihak lemah (Rentan, Marjinal)
Elit horizontal, terkadang menyeret kelompok lapisan bawah (1+, 5+, 8+) ↔ 3− (1+, 5+, 8+; 10+) ↔ 3− (3−; 2−) ↔ 1+ (3−; 2−) ↔ 5+ (3−; 2−) ↔ 8+ Horizontal antar lapisan bawah 10+ ↔ 2−
4
Konflik kepentingan pihak kuat pihak lemah
5
Konflik perbedaan kepentingan ANTARA aliansi pihak kuat dan pihak lemah DENGAN pihak lemah (Rentan, Marjinal)
Vertikal antara elite dengan lapisan bawah. 1+ ↔ 2− 5+ ↔ 2− 8+ ↔ 2− 3− ↔ 10+ Vertikal antara aliansi elitlapisan bawah dengan lapisan bawah (1+, 5+, 8+; 10+) ↔ 2− − − + (3 ; 2 ) ↔ 10
6
Konflik perbedaan kepentingan ANTAR aliansi pihak kuat-lemah.
1
2
3
perbedaan ANTARA DENGAN
Horizontal, total dan multiclass. (1+, 5+, 8+; 10+) ↔ (3−; 2−)
Gambar 5.27. Diagram Analisis Hubungan Antara yang Kuat dan yang Lemah dalam Kasus Konflik Status Lahan Pekon Sukapura (Sumber: Diskusi selama semiloka, mengadopsi mengadopsi Matriks Analisis Hubungan Kuat-Lemah - Chevalier (2003).
•
Diagram hubungan 6: Konflik perbedaan kepentingan terjadi antar aliansi pihak kuat-lemah, yaitu aliansi pihak berkepentingan positif (Dinas Kehutanan dan PSDA Kabupaten Lampung Barat (1+), DPRD Kabupaten Lampung Barat
242
(5+), Peratin Pekon Sukapura (8+), dan Masyarakat Pekon Sukapura (10+)) dengan aliansi pihak berkepentingan negatif (yaitu Bappeda Kabupaten Lampung Barat (2−) dan Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−)). Secara aktual diagram hubungan tersebut terbukti bahwa hingga saat ini para pihak (1+), ( 5+), ( 8+), dan (10+) adalah pihak-pihak di kabupaten yang tidak saling bertentangan dalam memposisikan dirinya terhadap kasus stasus lahan Pekon Sukapura, keempatnya sama-sama menginginkan penyelesaian kasus tersebut dan bahkan melakukan upaya kolektif untuk menegosiasikan pelepasan areal kepada pihak Badan Planologi Departemen Kehutanan (3−). Di sisi lain, pihak Bappeda Kabupaten Lampung Barat memiliki kepentingan bernotasi negatif (2−), merupakan cermikan dari sikapnya yang memposisikan bahwa revisi tata ruang kabupaten dapat dilakukan apabila pelepasan areal sudah terlebih dahulu mendapat persetujuan Departemen Kehutanan. 5.5.2.6 Analisis Cara Penanganan Konflik A. Mengurai Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan Analisis Mengurai Skenario Ideal dimaksudkan untuk melihat dan mempertajam
beberapa
isu-isu
penting
yang
berkaitan
erat
dengan
upaya/sekario ideal dalam menyelesaikan masalah konflik status lahan. Pada kasus Pekon Sukapura, para pihak melakukan ramifikasi4/ terhadap hubungan sebab-akibat akar konflik yang paling relevan berdasarkan Gambar 5.23. Hubungan sebab-akibat dan ramifikasi tersebut diperti ditayangkan dalam Gambar 5.28.
4
Ramifikasi adalah pengambilan berbagai skenario/upaya sebagai implikasi upaya pemecahan akar konflik.
243
Skenario Penyelesaian Konflik 1) Pelepasan kawasan 2) Relokasi penduduk 3) Mengukur ulang ulang Reg 45 B Bukit Rigis; 4) Revisi tata ruang wilayah kabupaten Lampung Barat
Tidak adanya kemantapan kawasan Hutan Lindung
Tersedianya kepastian hukum status lahan
Tidak ada kepastian hukum Ramifikasi
Penyelesaian Konflik Status Lahan
Konflik Status Lahan
Penetapan kawasan hutan yang legitimate berdasarkan kesepakatan berbagai pihak
Penetapan kawasan hutan tidak atas dasar kesepakatan berbagai pihak Hubungan sebab-akibat Akar Konflik Status
Skenario Penyelesaian Konflik dan Dampak Yang Diharapkan
Gambar 5.28. Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura Bedasarkan Ramifikasi Terhadap Hubungan Sebab-Akibat Akar Konflik.
Berdasarkan Gambar 5.28 tersebut, para pihak memutuskan untuk menilai 4 buah skenario penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura yaitu: 1) Melalui pelepasan kawasan dengan dua buah pilihan yaitu: a. Pelepasan perdasarkan prosedur yang berlaku dengan mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No.70/Kpts-11/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan b. Tukar
menukar
lahan,
lahan
dilepaskan
namun
masyarakat
disyaratkan menyediakan lahan pengganti, beban biaya pengadaan lahan baru ditanggung oleh masyarakat. 2) Relokasi penduduk, beban biaya pengadaan lahan dan infra struktur ditanggung oleh pemerintah 3) Mengukur ulang luasan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis; gagasan ini bersifat spekulatif dengan asumsi : a. Apabila setelah dikurangi luas areal yang dilepaskan ternyata luas kawasan tidak berubah, maka tidak perlu proses pelepasan. b. Apabila setelah dikurangi luas areal yang dilepaskan ternyata luas kawasan menjadi berkurang, maka perlu proses pelepasan.
244
4) Melakukan revisi tata ruang wilayah Kabupaten Lampung Barat dengan memasukkan areal yang diklaim menjadi areal non kawasan hutan. Gagasan ini muncul dari asumsi bahwa secara tata urutan peraturan dan perundangundangan, Perda Kabupaten yang memayungi tata ruang memiliki status sumber hukum yang lebih kuat dari sebuah Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.256/Kpts-II/2000 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung. Berdasarkan 4 skenario tersebut, para pihak kemudian melakukan pemeringkatan dengan mempergunakan matriks Analisis Mengurai Skenario Ideal (Chevalier, 2003). Dalam analisis tersebut, perkalian faktor kepentingan dan faktor kemungkinan dipergunakan sebagai dasar perhitungan. Hasilnya seperti terdapat pada Tabel 5.5.6. Tabel 5.5.6
Pemeringkatan Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura
Skenario ideal
Pemeringkatan Pentingnya Elemen (1=rendah, 10=tinggi)
Kondisi utama yang harus dipenuhi Uraian Prakondisi Tingkat yang diperlukan Kemungkinan untuk mencapai prakondisi tujuan tersebut (Satu per elemen) terpenuhi (%)
A (1) 1. Pelepasan kawasan hutan yang diklaim
(2)
(3)
Tingkat Kepentingan Elemen & Nilai Kelayakan
B
AxB
(4)
(5)
Dukungan para pihak tingkat 9 100 kabupaten dan (Peringkat 1) masyarakat Kesediaan 2. Relokasi 1,2 4 masyarakat untuk 30 penduduk (Peringkat 4) dipindahkan Dukungan Dinas Kehutanan Lampung Barat bahwa tata batas kawasan 3. Pengukuran hutan lindung Reg 6 ulang luas 6 100 45B yang belum ( Peringkat 3) kawasan hutan temu gelang merupakan peluang rekalkulasi luas kawasan Saat ini Revisi Tata 4. Revisi Tata Ruang Kabupaten 6,4 Ruang 8 sedang berlangsung 80 ( Peringkat 2) Kabupaten dan belum diperdakan Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Matriks Analisis Mengurai Skenario Ideal – Chevalier (2003).
Berdasarkan
9
Tabel
5.5.6,
pemeringkatan sebagai berikut:
para
pihak
sepakat
terhadap
hasil
245
1) Peringkat 1: Pelepasan kawasan hutan seluas 302,5 dengan nilai sekor 9. 2) Peringkat 2: Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 6,4. 3) Peringkat 3: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 6. 4) Peringkat 4: Relokasi penduduk dengan nilai sekor 1,2.
B. Memilih Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan Langkah selanjutnya, para pihak kembali menguji keempat sekenario untuk kemudian dipilih sebagai skenario yang akan dilaksanakan. Langkah tersebut dilakukan dengan mengadopsi Teknik Memilih Skenario (Chevalier, 2003) dengan mempergunakan kriteria pengambilan keputusan yang masingmasing diberi sekor relatif dalam sekala tertentu. Sebanyak 4 buah kriteria disepakati untuk dipergunakan yaitu: 1) Perkiraan biaya yang diperlukan; semakin banyak biaya yang diperlukan, semakin rendah sekornya. 2) Perkiraan waktu penyelesaian; semakin lama waktu penyelesaian, semakin rendah sekornya. 3) Perkiraan ketersediaan sumberdaya manusia pelaksana penyelesaian; semakin banyak tersedia, semakin tinggi sekornya. 4) Perkiraan keberlanjutan dukungan; semakin tinggi dukungan, semakin tinggi sekornya. Untuk melakukan perhitungan tersebut, para pihak kemudian mengembangkan sekor bagi masing-masing kriteria seperti ditayangkan pada Tabel 5.5.7. Tabel 5.5.7
Kriteria Biaya (Rp.juta) Waktu (bln) Ketersediaan SDM Keberlanjutan (dilihat dari dukungan semua pihak)
Penetapan Kriteria, Sekala, dan Sekor Masing-masing Skenario Penyeselaian 1
2
≥ 200
Sekor dan Sekala (dapat bervariasi) 3 4 5 6 7 15l-200
101-500
≥ 24
0-24
0-21
0-18
0-15
Langka
Sedikit
Cukup
Banyak
Berlebihan
Tidak Menduk ung
Tidak menduk ung, tapi tidak mengh alangi
Ragu-ragu
8
51-100 0-12
0-9
Setuju bersyar at
9 l-50
0-6
0-3
Mendu kung Penuh
Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Matriks Prefered Options – Chevalier (2003).
246
Dengan mempergunakan kriteria dan sekor sebagaimana tertulis di dalam Tabel 5.5.7, para pihak kemudian menguji sebanyak 5 buah skenario dari semula 4 buah yang ditetapkan. Penambahan menjadi 5 buah skenario adalah sebagai akibat dari adanya 2 buah opsi pelepasan yaitu (1) pelepasan berdasarkan prosedur yang mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan No.70/Kpts11/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, dan (2) pelepasan melalui tukar menukar lahan (atau sering dikenal dengan istilah ”tukar pakai”). Berdasarkan kriteria biaya, waktu, dan ketersediaan
SDM
sebagaimana
disepakati
sebelumnya,
para
pihak
menghasilkan kesepakatan tingkat lanjut sebagai berikut: 1) Peringkat ke 1: Pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur dengan nilai sekor 14. 2) Peringkat ke 2: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 13. 3) Peringkat ke 3: Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 9. 4) Peringkat ke 4: Pelepasan dengan tukar menukar lahan dan Relokasi, masing-masing nilai sekor 6. Secara rincik perhitungan peringkat tersebut tertulis pada Tabel 5.5.8. Dalam tabel tersebut terbaca bahwa kriteria biaya yang banyak dan waktu penyelesaian yang lama mengakibatkan skenario pelepasan dengan tukar menukar lahan dan skenario relokasi menempati peringkat terakhir. Tabel 5.5.8 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, dan Ketersediaan Sumberdaya Manusia. Skenario/Opsi yang diinginkan (Prefered options) KRITERIA Biaya (Rp.juta) Waktu (bulan) Ketersediaan SDM Keberlanjutan (dilihat dari dukungan semua pihak)
TOTAL PERINGKAT
5 6 3 -
Pelepasan dengan tukar menukar lahan 1 1 4 -
14 1
6 4
Pelepasan Sesuai Prosedur
Relokasi
Pengukuran Ulang
Revisi Tata Ruang
1 1 4 -
5 6 2 -
1 5 3 -
6 4
13 2
9 3
Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Matriks Prefered Options – Chevalier (2003).
247
C.
Analisis Mengukur Dukungan Terhadap Skenario Ideal Penyelesaian Konflik Status Lahan Analisis Mengukur Dukungan dilakukan untuk menentukan tingkat
dukungan yang layak/pantas dar para pihak yang hasilnya diperlukan untuk mewujudkan pelaksanaan skenario pilihan (Chevalier, 2003). Kecenderungan dukungan masing-masing pihak dipetakan ke dalam skala yang dipilih dapat dihitung dengan menggunakan satu dari empat metoda yaitu: 1) Dengan mengangkat tangan tanda setuju atau mendukung. 2) Pernyataan verbal (tanpa diskusi) disampaikan secara langsung kepada pihak lain. 3) Penunjukkan kartu (card display), misalnya kartu merah untuk menolak dan kartu hijau untuk mendukung. 4) Perhitungan suara rahasia (secret ballot), dilakukan pada situasi konflik dimana masih terdapat kesungkanan pihak lemah kepada pihak kuat. Pada kasus konflik status lahan Pekon Sukapura, pengukuran dukungan dilakukan perhitungan suara rahasia yang hasilnya disajikan berupa gradient polling.
Jika ada indikasi bahwa pernyataan dukungan para pihak ingin
dirahasiakan, maka pada saat penayangan, dilakukan kodifikasi terhadap masing-masing pihak sehingga identitasnya tidak diketahui oleh pihak lain (yang tahu hanya fasilitator/peneliti dan kerahasiaannya dijamin). Sebelum
melakukan
perhitungan
akhir
terhadap
dukungan
yang
diputuskan, para pihak terlebih dahulu menyepakati penggunaan sekor dan sekala dukungan terhadap skenario seperti ditayangkan pada Tabel 5.5.9. Tabel 5.5.9
Sekor Dukungan Masing-masing Penyelesaian Konflik Status Lahan
DUKUNGAN
Pihak
SEKOR DUKUNGAN 5
1
3
Menolak
Tidak suka, tetapi tidak akan meng halangi
Ragu-ragu
Terhadap
7 Setuju dengan catatan
Skenario
9 Mendukung
Dari 11 pihak yang berpartisipasi dalam penghitungan dukungan terhadap skenario penyelesaian konflik status lahan, pihak DPRD Kabupaten Lampung Barat berhalangan hadir dan menyerahkan dukungannya kepada Dinas Kehutanan dan PSDA Lampung Barat sebagai lembaga teknis kabupaten yang terkait langsung. Adapun hasil perhitungan secara rahasia seperti ditayangkan pada Gambar 5.30.
248
Berdasarkan perhitungan
hasil
dukungan
seperti
ditayangkan pada Gambar 5.30 dan Lampiran 14, selanjutnya para pihak melakukan dukungan
penghitungan kolektif
semua
tingkat pihak
dengan cara menghitung nilai ratarata dukungan (X) = (Jumlah total nilai dukungan)/jumlah pihak. Lalu masukkan nilai rata-rata dukungan “X” tersebut ke dalam Tabel 5.5.10. kemudian disekor ulang.
Gambar 5.29. Peneliti sedang memandu penghitungan hasil Analisis Gradient Pooling secara secret ballot terhadap skenario penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura di Kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis, Kabupaten Lampung Barat. (Sumber Photo: Nurka C Ningsih)
Hasil perhitungan di dalam Tabel 5.5.10 tersebut menunjukkan bahwa nilai sekor dukungan kolektif untuk pelepasan sesuai prosedur adalah 9 (mendukung), revisi tata ruang sekornya 7 (setuju dengan catatan), relokasi dan pengukuran ulang luas kawasan masing-masing sekornya 5 (ragu-ragu), dan pelepasan dengan tukar menukar lahan sekornya 1 (menolak). Nilai sekor dukungan kolektif tersebut kemudian dijumlahkan dengan nilai sekor indikator lainnya seperti tertulis di dalam Tabel 5.5.8 sebelumnya. Hasilnya dapat dilihat pada Tabel 5.5.11, bahwa dengan adanya penambahan kriteria dukungan para pihak, maka diperoleh peringkat baru yang disepakati oleh para pihak yaitu: 1) Peringkat ke 1: Pelepasan kawasan hutan sesuai prosedur dengan nilai sekor 23. 2) Peringkat ke 2: Pengukuran ulang luas kawasan hutan dengan nilai sekor 18. 3) Peringkat ke 3: Revisi Tata Ruang Kabupaten dengan nilai sekor 16. 4) Peringkat ke 4: Relokasi dengan nilai sekor 11. 5) Peringkat ke 5: Pelepasan dengan tukar menukar lahan dengan nilai sekor 7.
249
7
Pelepasan Sesuai Prosedur
Sekor Dukungan
Sekor Dukungan
Pengukuran Ulang Luas Kaw asan 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
7
5
3
5
5
5
3
1 1
2
3
1
4
5
6
7
8
9
10
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9
9
7
7
7
7
7
5
1
Pihak Yang Berkonflik
9
2
5
3
4
5
6
7
8
9
10
Pihak Yang Berkonflik Relokasi
Tukar Lahan
7 6 5 4 3
7
7
3
3
7
Sekor Dukungan
Sekor Dukungan
10 9 8 7
3
3
2 1 0
1 1
2
3
4
5
1 6
7
8
9
10
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
5
3
1 1
Pihak Yang Berkonflik
3
1 2
3
4
1 5
3
3
1 6
1 7
8
9
10
Pihak Yang Berkonflik
Sekor Dukungan
Revisi Tata Ruang 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9
7
7
5
5
7
5
5
Keterangan Sekor Dukungan: 1 = Menolak 2 = Tidak Suka tetapi tidak mengganggu 3 = Ragu-ragu 4 = Setuju dengan catatan 5 = Mendukung
5
3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Pihak Yang Berkonflik
Gambar 5.30. Grafik Gradient Pooling Hasil Perhitungan Secara Rahasia Tentang Dukungan Para Pihak Terhadap Beberapa Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura. (Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Teknik Gradient Polling– Chevalier (2003); Notasi para pihak pada Lampiran 14).
250
Tabel 5.5.10 Sekor Dukungan Kolektif Semua Pihak Terhadap Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan.
SKENARIO PENYELESAIAN
Pelepasan Sesuai Prosedur Pelepasan dengan tukar menukar lahan
SEKOR DUKUNGAN KOLEKTIF 3 5 7 2,6-4 4,1-5,5 5,6-7
1 1-2,5 Menolak
Tidak suka, tetapi tidak akan meng halangi
Ragu-ragu
9 7,1-9
Setuju dengan catatan
Mendukung
7,2 (Sekor = 9) 2,2 (Sekor = 1) 4,2 (Sekor = 5) 4,2 (Sekor = 5)
Relokasi Pengukuran Ulang
5,8 (Sekor = 7) Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Teknik Gradient Polling– Chevalier (2003); Lampiran 14). Revisi Tata Ruang
Tabel 5.5.11 Pemilihan Skenario Penyelesaian Konflik Status Lahan Berdasarkan Kriteria Kebutuhan Biaya, Waktu, Ketersediaan Sumberdaya Manusia, dan Dukungan Para Pihak. Skenario/Opsi yang diinginkan (Prefered options) KRITERIA Biaya (Rp.juta) Waktu (bulan) Ketersediaan SDM Keberlanjutan (dilihat dari dukungan semua pihak)
TOTAL PERINGKAT
5 6 3 9
Pelepasan dengan tukar menukar lahan 1 1 4 1
23 1
7 5
Pelepasan Sesuai Prosedur
Relokasi
Pengukuran Ulang
Revisi Tata Ruang
1 1 4 5
5 6 2 5
1 5 3 7
11 4
18 2
16 3
Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka dengan mengadopsi Matriks Prefered Options – Chevalier (2003).
D.
Pengambilan Keputusan Skenario Terpilih dan Penyusunan Upaya Ke Depan Untuk Penyelesaian Konflik Status Lahan Pekon Sukapura. Berdasarkan seluruh rangkaian analisis selama semiloka yang dilakukan
oleh para pihak khususnya oleh kelompok diskusi konflik status lahan, memutuskan bahwa upaya penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura Kecamatan Sumberjaya yang berada di dalam kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis akan ditempuh melalui usulan pelepasan areal kawasan sesuai dengan prosedur peraturan dan perundangan yang berlaku. Hal tersebut
251
diperkuat dengan pertimbangan kualitatif yang berkembang selama diskusi bahwa: 1) Apabila status areal yang diklaim diubah melalui skenario revisi tata ruang tanpa
menunggu
proses
pelepasan
kawasan
dikhawatirkan
akan
menimbulkan polemik baru yaitu benturan kewenangan pusat-daerah dan benturan-benturan peraturan perundangan lainnya yang dapat berpotensi mengeskalasi konflik. 2) Skenario pengukuran ulang luas kawasan amat spekulatif dan dikhawatirkan hasilnya tidak bisa mengakomodir kepentingan semua pihak. 3) Skenario relokasi/bedol desa, pemindahan masyarakat ke daerah yang mempunyai
kondisi
geografis
yang
memungkinkan
untuk
dijadikan
pemukiman, memilik resiko waktu yang lama serta belum adanya kepastian tataran pemerintah yang mana yang akan menanggung biaya relokasi. Selain itu pengalaman relokasi melalui program transmigrasi lokal penduduk kawasan hutan lindung tersebut pada tahun 1994-1996 dari Pekon Dwi Kora (yang bertetanggaan dengan Pekon Sukapura) ke daerah Mesuji Kabupaten Tulang Bawang menyisakan sejarah buruk tentang gagalnya mereka beradaptasi dengan agroekosistem baru (berupa lahan rawa-rawa) di daerah tujuan. 4) Skenario tukar menukar lahan amat tidak populer di mata masyarakat karena keberadaan mereka di areal tersebut sudah lebih dari 2 generasi dan kedatangan awal mereka adalah atas program transmigasi BRN yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat berprinsip bahwa kondisi tersebut adalah akibat dari kelalaian pemerintah yang tidak melakukan administrasi sertifikasi kepemilikan lahan sejak ketika pertama kali mereka ditempatkan. Beranjak dari pilihan atas skenario tersebut, para pihak kemudian mengembangkan 6 tahap penting yang perlu ditempuh dalam proses pelepasan sesuai prosedur yaitu sebagai berikut (Gambar 5.31): 1) Tahap permohonan ulang pelepasan areal yang diklaim oleh masyarakat kepada Bupati Lampung Barat. 2) Bupati merespon permohonan tersebut dan sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Bupati No. B/231/Kpts/01/2003 menugaskan Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah di Hutan Lindung Register 45B Sekitar Pekon Sukapura untuk melakukan kajian pendukung. Beberapa peraturan teknis yang direkomendasikan untuk dipergunakan sebagai dasar kajian diantaranya: (1)
252
Surat Keputusan Direktorat Jenderal Inventarisasi dan Tata Guna Hutan No.724/A/VII-2/94 tentang Petunjuk Pelaksana/Teknis Penyelesaian Enclave Dalam Kawasan Hutan; (2) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.70/KptsII/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Status dan Fungsi Kawasan Hutan; (3) Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.32/KptsII/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan hutan; dan (4) Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan
No.48/Menhut-II/2004
tentang
Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No.70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Status dan Fungsi Kawasan Hutan. 1. Permohonan masyarakat
2. Pengkajian oleh Tim Terpadu Kabupaten
3. Surat Permohonan dari Bupati kepada Menteri Kehutanan cq Baplan dilampiri Persetujuan DPRD Kabupaten dan Hasil Kajian Tim Daerah 5. Dukungan institusi dan kegiatan lapang oleh masyarakat dan pemda
4. Kunjungan Lapang oleh Tim Terpadu Pusat
6 Hasil Kajian Tim Terpadu Pusat
Pembahasan lintas Dirjen di dalam Departemen Kehutanan
Pelepasan areal dan Penunjukan Ulang Kawasan Hutan
Rekonstruksi Tata Batas
Penetapan Ulang Kawasan Hutan
Gambar 5.31. Skema Tahap-tahap Penting Dalam Skenario Pelepasan Lahan Kawasan Sesuai Prosedur (Sumber: Diskusi para pihak selama semiloka).
3) Penyampaian permohonan pelepasan oleh Bupati kepada Menteri kehutanan dilampiri persetujuan DPRD Kabupaten dan Hasil Kajian Tim Terpadu. Perlunya persetujuan DPRD Kabupaten sempat memunculkan perdebatan. Berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Kehutanan
No.70/Kpts-II/2001
persetujuan tersebut memang disyaratkan, namun berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.48/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan No.70/Kpts-II/2001, persetujuan tersebut tidak
253
disyaratkan lagi (perubahan pada Pasal 16 ayat 4). Namun demikian akhirnya para pihak memutuskan bahwa bagaimanapun juga dukungan politik dari DPRD Kabupaten tetap diperlukan, oleh karenanya walaupun tidak disyaratkan, persetujuan dari DPRD Kabupaten akan tetap disertakan. Hal tersebut selaras dengan arahan Sekretaris Jenderal Menteri Dalam Negeri dalam kunjungan lapangnya ke lokasi. 4) Tim Terpadu Pusat melakukan kunjungan dan kajian lapang. Tim terpadu Pusat adalah tim gabungan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan terdiri dari lembaga pemerintah terkait Pusat dan Daerah yang mempunyai kompetensi dan otoritas ilmiah, bersifat independen dan okyektif dalam melaksanakan tugasnya. 5) Pemerintah Kabupaten dan masyarakat memberikan dukungan institusi dan kegiatan lapang terhadap Tim terpadu Pusat yang melakukan kajian. 6) Berdasarkan hasil kajian Tim Terpadu Pusat, hasil kajian tersebut dibahas dari aspek hukum dan teknis oleh Eselon I lingkup Depatemen Kehutanan untuk kemudian disampaikan sebagai saran/pertimbangan teknis kepada Menteri Kehutanan. Berdasarkan saran/pertimbanagn teknis tersebut, Menteri Kehutanan dapat memberikan persetujuan pelepasan areal dan melakukan penunjukan ulang kawasan yang diikuti dengan rekonstruksi tata batas yang dilaksanakan oleh Panitia Tata Batas (PTP). PTB kemudian membuat Berita Acara Tata Batas (BATB) dan Peta Tata Batas yang baru untuk kemudian oleh Menteri dijadikan sebagai dasar Penetapan Ulang Kawasan Hutan. Sebagai catatan dialog, kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis saat ini berstatus ”penunjukkan” sesuai dengan Keputusan Menteri
Kehutanan
dan
Perkebunan
No.256/Kpts-II/2000
tentang
Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Lampung seluas ± 1.004.735 hektar. Menurut Undang-Undang No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (atau sering disingkat dengan UUPA), sebenarnya hal tersebut dapat memberi peluang bahwa sepanjang masyarakat dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah (domain verklaring), maka mereka tidak menjadi objek penunjukkan/penetapan kawasan. Dualisme Undang-undang Kehutanan dan UUPA tersebut yang diduga menyebabkan saat ini terdapat adanya 11 buah sertifikat hak milik di dalam kawasan hutan linsung Register 45B Bukit Rigis.
Namun demikian, atas
dasar semangat penyelesaian konflik secara konstruktif, para pihak sepakat
254
untuk memenuhi UU No.41/199 tentang Kehutanan terutama Pasal 1 Ayat (3) yaitu ” Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap ” walapun pada Ayat (4) dinyatakan bahwa ” Hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah ”. Untuk
itu
para
pihak,
khususnya
masyarakat,
tetap
berkeinginan
menyelesaikan konflik status lahan melalui skenario pelepasan lahan sesuai “prosedur”. Berdasarkan
kesepakatan
para pihak, keenam tahap yang akan
ditempuh
dalam
skenario
tersebut dimandatkan kepada Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah di Hutan Lindung Register 45B sekitar Pekon Sukapura sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Lampung
Barat
No.B/231/Kpts/01/2003. langkah
yang
Langkah-
direkomendasikan
kepada Tim tersebut diantaranya
Gambar 5.32. Nara sumber dari Fakultas Sosial Politik - Universitas Lampung memberikan analisis hukum dalam pengembangan tahap penting skenario pelepasan lahan kawasan hutan secara prosedural (Sumber photo: Peneliti)
yaitu: •
Tim membentuk kelompok kerja (Pokja) yang bertugas mengkaji: (1) Pokja I mengkaji aspek sosial – ekonomi (termasuk aspek hukum) (2) Pokja II mengkaji aspek fisik lahan.
•
Di tingkat Pekon Sukapura: (1) Pelibatan aparat pekon, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta mereka yang pernah terlibat dalam penyusunan proposal pengajuan pelepasan kawasan sejak tahun 1994-an (sebelum terbentuknya tim terpadu kabupaten). (2) Pemetaan partisipatif dalam pengajuan status pelepasan lahan difasilitsi oleh LSM Watala. (3) Pendataan penduduk dibantu oleh masyarakat dan difasilitasi oleh LSM, aparat pekon dan aparat kecamatan. Pengukuran tingkat dukungan para pihak yang berkonflik terhadap
skenario terpilih merupakan faktor penentu. Tanpa dukungan para pihak maka
255
sebaik apapun skenario yang dipilih dalam penyelesaian konflik akan sulit diwujudkan. Jika dianalisis lebih dalam, walapun dukungan kolektif terhadap sekenario pelepasan sesuai prosedur memiliki sekor = 9 yaitu didukung oleh semua pihak, namun jika dilihat dukungan secara individual terdapat beberapa pihak yang masih ragu-ragu. Hasil perhitungan secara rahasia (secret ballot) yang ditayangkan pada Gambar 5.33 menunjukkan bahwa terdapat dua pihak yaitu pihak ke-2 dan pihak ke-9 yang menyatakan ragu-ragu (sekor = 5) dalam mendukung skenario pelepasan. Kedua pihak tersebut adalah Peratin (Kepala) Pekon Sukapura dan LSM Watala (Lampiran 14). Selama proses analisis dilakukan hingga kini, kedelapan
Pelepasan Sesuai Prosedur
pihak yang lain tidak mengetahui kedua
Kerahasian untuk
pihak
tersebut.
tersebut
mengatasi
Sekor Dukungan
identitas
ditujukan hambatan-
hambatan psikologis agar dialog tetap
berlangsung
secara
konstruktif dan para pihak tidak
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9
9
7
7
7
7
7
5
1
saling menyalahkan satu sama lain.
9
2
5
3
4
5
6
7
8
9
10
Pihak Yang Berkonflik
Bagi peneliti yang secara tidak
Gambar 5.33. Grafik Gradient Polling dukungan para pihak terhadap skenario pelepasan lahan sesuai prosedur Pekon Sukapura
langsung juga melakukan mediasi
konflik, indikasi keragu-raguan dari kedua pihak tersebut merupakan informasi yang
teramat
penting
untuk
melakukan
intensifikasi
konflik
melalui
wawancara/dialog terpisah. Teknik wawancara terpisah tersebut dikenal dengan sebutan sebagai systematic client consultation (World Bank, 1995). Setelah semiloka, dilakukan wawancara ulang terhadap kedua pihak tersebut dengan hasil-hasil sebagai berikut: 1) Peratin Pekon Sukapura merasa ragu-ragu karena pada dasarnya selama ini beberapa tokoh masyarakat telah berulang kali mencoba mendialogkan upaya penyelesaian konflik status lahan kepada instansi pemerintah terkait terutama sektor kehutanan. Upaya tersebut bahkan sudah dimulai sejak pelaksanaan konstruksi tata-batas yang kontraversial yang dilakukan pada tahun 1994, namun tidak ada hasil yang konkrit. Penyelesaian konflik status lahan hingga kini masih status quo. 2) Keragu-raguan serupa juga datang dari LSM Watala mengacu kepada pelaksanaan Surat Keputusan (SK) Bupati No.B/231/Kpts/01/2003 tentang
256
Tim Terpadu Pengkajian Permohonan Tanah di Hutan Lindung Register 45B Sekitar Pekon Sukapura. Sejak dikeluarkannya SK tersebut, hingga dilangsungkannya semiloka belum ada langkah-langkah konkrit bahwa Tim akan bekerja secara intensif. Disinyalir hal tersebut diantaranya disebabkan oleh tidak adanya dukungan dari DPRD Kabupaten Lampung Barat terhadap kebutuhan anggaran bagi operasional kerja tim. Tercatat bahwa sudah dua Tahun Anggaran (TA) kabupaten yaitu TA 2004 dan TA 2005, usulan kebutuhan anggaran kandas dalam rapat anggaran antara pihak eksekutif dan legislatif Kabupaten Lampung Barat (TA 2004), sedangkan pada TA 2005 anggaran keluar pada bulan November 2005 sehingga tidak dapat dipergunakan. Untuk menghadapi sikap keragu-raguan tersebut, selain melalui upaya intensifikasi konflik, juga perlu dilakukan upaya rekonstruksi rasa saling percaya (Pretty dan Ward, 2001). Upaya yang terakhir tersebut merupakan modal sosial yang penting terutama dalam mewujudkan kegiatan kolaboratif yang amat diperlukan bagi penyelesaian konflik status lahan Pekon Sukapura. Selain itu, tentunya komitmen dari pihak aktual lainnya amat diperlukan. Aspek lainnya yang tidak kalah penting adalah melakukan intervensi terhadap faktor femacu dan peredam konflik terutama faktor-faktor yang paling relevan dengan pencapaian keberhasilan skenario penyelesaian. 5.6 Pengembangan Model Penanganan Konflik Lingkungan Berdasarkan Integrasi Hasil Analisis
5.6.1
Konstruksi Model Penelitian Penanganan Konflik Seperti telah diruraikan pada Bab 2 sebelumnya, batasan konflik
lingkungan pengelolaan hutan yang dipergunakan di dalam penelitian ini adalah hubungan antara dua pihak atau lebih yang memiliki dan/atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan dalam pengelolaan hutan karena adanya perbedaan-perbedaan hubungan/komunikasi sosial, kepentingan, data dan informasi, nilai, dan struktural, yang terjadi di dalam suatu ruang, sehingga fungsi lingkungan dari hutan menjadi terganggu. Berdasarkan kerangka pemikiran model yang akan dikembangkan sebagamana dipaparkan pada Gambar 1.3 di Bab -1, fokus penelitian diberikan pada; Bagaimanakah peta konflik di lokasi studi (hal ini mencakup akar/faktor penyebab konflik, gaya konflik, polarisasi konflik); Pendekatan penanganan dan metode seperti apa yang
257
menjadi pilihan para pihak yang berkonflik; dan Bagaimanakah umpan balik terhadap kebijakan penyelesaian konflik. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian dijawab dengan melakukan: 1) Analisis faktor penyebab konflik; memetakan akar konflik dan para pihak yang berkonflik. . 2) Analisis gaya mengelola konflik; Memilih bentuk alternatif penyelesaian konflik. 3) Pelaksanaan alternatif penyelesaian terpilih Secara diagram alur, kegiatan tersebut kemudian menghasilkan model kegiatan penelitian yang dilakukan (Gambar 5.34). 1) Analisis Faktor Penyebab Konflik; Memetakan akar konflik dan para pihak yang berkonflik. Analisis faktor penyebab konflik di dalam penelitian ini beranjak dari informasi awal bahwa di lokasi terjadi konflik lingkungan di dalam kawasan hutan. Informasi tersebut kemudian dideskripsikan menjadi berbagai peubah (faktor) penyebab konflik melalui wawancara pakar, yaitu para pihak atau orangorang yang dianggap mengetahui tentang konflik yang terjadi. Proses informasi awal tersebut apabila diaplikasikan ke dalam proses administrasi sebuah mekanisme pengaduan penyelesaian perselisihan, dapat disebut sebagai “Tahap Penerimaan Pengaduan”. Terkait dengan penelitian ini, berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap faktor-faktor penyebab konflik, hasil penelitian menunjukkan bahwa sub-model eksternalitas yang diwakili oleh peubah konversi lahan memiliki koefisien jalur terbesar. Hal tersebut memperkuat kesimpulan teori empiris yang dinyatakan oleh Buckles (1999) bahwa konflik sumberdaya alam terjadi oleh karena adanya eksternalitas negatif, dimana sebuah aktivitas manusia yang mengubah keseimbangan ekosistem di suatu wilayah mengakibatkan masalah lingkungan di wilayah lainnya1/.
1
Konversi lahan yang terjadi di dalam kawasan Hutan Lindung Register 45 Bukit Rigis telah memicu terjadinya erosi permukaan, baik yang bersumber dari lahan hutan yang terkonversi ke dalam bentuk lain seperti pertanian kopi monokultur tanpa pendekatan teknis konservasi tanah, maupun dari jalan tanah yang menghubungi kebun kopi monokultur di dalam hutan kawasan. Penelitian ini tidak mengkuantifikasi volume erosi permukaan, tetapi secara fisik dilaporkan oleh unit pembangkit listrik DAM Way Besay bahwa proses pendangkalan akibat sedimentasi erosi. permukaan terjadi di badan sungai Way Besay yang membentang mengelilingi kawasan hutan tersebut.
258
2) Mengidentifikasi Gaya Konflik dan Memilih Alternatif Penyelesaian Mengidentifikasi Gaya Konflik
Keinginan dan Komitmen Untuk Memulai ADR
Alternatif Penyelesaian
1) Memetakan Akar Konflik dan Para Pihak Yang Berkonflik
Gambar 5.34. Model Penelitian Penanganan Konflik Lingkungan yang Dihasilkan.
3) Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Terpilih a.
Pemetaan Ulang Akar Konflik Secara Kolaboratif
b. Ramifikasi dan Pengembangan Proposal Penyelesaian
d. Membuat Kesepakatan/Keputusan
c. Mengurai dan Memilih Proposal Ideal
Pelaksanan Kesepakatan/Keputusan
Monitoring dan Evaluasi, serta Pembelajaran
259
Kegiatan analisis tersebut, baik dengan menggunakan alat analisis yang dipakai, atau alat analisis lain yang sesuai dengan kebutuhan, dalam administrasi dapat disebut sebagai “Tahap Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian”. 2) Analisis gaya mengelola penyelesaian konflik.
konflik;
Memilih
bentuk
alternatif
Ketika hasil analisis faktor penyebab konflik kemudian dikembalikan kepada para pihak yang berkonflik, mereka kemudian mengkaitkannya dengan konflik-konflik yang umumnya terjadi dalam pengelolaan suatu kawasan hutan di lokasi penelitian, yaitu
konflik status lahan kawasan, konflik tata batas, dan
konflik akses pengelolaan kawasan. Terhadap ketiga jenis konflik pengelolaan kawasan tersebut, analisis jenis gaya mengelola konflik yaitu saling menghindar, akomodatif, kompromistis, kompetitif, dan kolaborasi, kemudian diujikan. Yang menarik adalah hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya konflik yang dominan dimanivestasikan oleh para pihak yaitu gaya kolaborasi dan kompromi. Hal tersebut bertolak belakang tengan pernyataan Harris dan Reilly (2000) bahwa perbedaan kepentingan di dalam suatu konflik akan menyulut ledakan sosial yang destruktif. Pada kasus yang diteliti, hal tersebut tidak terjadi. Sejak tahun 2000, ruang dialog sudah amat terbuka sehingga konflik-konflik di lokasi penelitian diselesaikan secara konstruktif walau tidak semuanya berakhir dengan sebuah kesepakatan. Hal tersebut merupakan sebuah temuan empiris dan menjadi sebuah aset sosial bagi upaya penyelesaian konflik ke depan. Walapun konflik telah mempolarisasikan bentuk-bentuk hubungan sosial para pihak berdasarkan kesamaan kepentingan, penelitian ini menemukan bahwa semua pihak beritikad untuk menyelesaikan konfliknya melalu negosiasi dan fasilitasi. Tak satupun dari mereka yang ingin menempuh jalur hokum formil (litigasi) dan ini
merupakan
indikasi
bahwa
bentuk-bentuk
ADR
(alternative
dispute
rersolutuon) yang mengusung keharmonisan hubungan jangka panjang menjadi prioritas utama. Hasil tersebut amat penting dalam menentukan plihan ADR yang akan diambil kemudian (Gamal dan Sirait, 2011). Pengujian selanjutnya menunjukkan bahwa dalam rangka penyelesaian konflik status lahan, semua pihak memilih fasilitasi sebagai pilihan ADR yang akan ditempuh. Hal tersebut selaras dengan Pilihan-pilihan Bentuk Penanganan Sengketa Secara Alternatif (Alternative Dispute
Resolution)
Berdasarkan
Gaya
Bersengketa
dikembangkan oleh Gamal dan Sirait (2011). Lihat Kotak-5.
Para
Pihak
yang
260
Kotak-5.6 Pilihan-pilihan Bentuk Penanganan Sengketa Secara Alternatif (Alternative Dispute Resolution) Berdasarkan Gaya Bersengketa Para Pihak . Apabila ditemui gaya sengketa (setidaknya salah satu pihak) adalah agitasi (menyerang), maka ini dapat dikategorikan sebagai gaya destruktif. Ada dua hal yang bisa dilakukan dalam kondisi ini: Pertama, para pihak ditawarkan menyelesaikan sengketanya melalui jalur hukum formal (ligitasi); Kedua, mediator mengambil inisiatif melakukan upaya de-eskalasi (penurunan) tegangan persengketaan, melalui diplomasi setengah kamar (shuttle diplomacy) dan parsial kepada masingmasing pihak, mengajak para pihak secara persuasif untuk meninggalkan gaya agitasi destruktif, hingga mencapai suatu kondisi dimana gaya bersengketa mereka berubah ke gaya-gaya lainnya. Masih serumpun dalam gaya ini, apabila gaya bersengketa adalah kompetisi dan konstruktif, maka para pihak dapat ditawarkan untuk menempuhnya melalui proses mediasi atau arbitrasi. Apabila ditemui gaya bersengketanya adalah kolaborasi, maka penanganan penyelesaian melalui perundingan (negosiasi) dapat ditawarkan. Gaya kolaborasi memiliki ciri penting bahwa selain ingin memperjuangkan kepentingannya, pihak tersebut juga memahami dan menerima urgensi kepentingan pihak lawan. Kondisi ini merupakan modal para pihak (multi-stakeholders capital) yang amat penting untuk dimulainya (gear up) sebuah proses kerjasama. Apabila ditemui gaya bersengketanya adalah akomodasi, maka ada dua bentuk penangana penyelesaian sengketa yang dapat ditawarkan yaitu mediasi atau fasilitasi. Kekhasan gaya ini untuk mengorbankan kepentingannya demi kepentingan pihak memiliki dua implikasi: Pertama, apabila pengorbanannya adalah mutlak tanpa syarat dan tidak berdampak buruk kepada pihak yang mau berkorban, maka yang ditawarkan adalah fasilitasi pertemuan/dialog; Kedua, apabila pengorbanannya bersyarat atau setidaknya kelak akan berdampak tidak baik bagi salah satu pihak, terutama pihak yang berkorban, maka yang ditawarkan adalah sebuah proses mediasi, dimana mediator membantu para pihak melakukan analisis resiko dari sebuah pengorbanan yang akan diberikan. Apabila gaya bersengketa adalah kompromi, maka bentuk penanganan penyelesaian yang dapat ditawarkan adalah fasilitasi. Kekhasan gaya ini adalah para pihak pengambil jalan tengah tanpa mepermasalahkan lagi siapa yang dimenangkan atau siapa yang dirugikan. Di dalam budaya melayu Sambas, Kalimantan Barat, hal ini dikenal dengan “belah semangka”, artinya objek sengketa dibagi sama rata tanpa melihat lagi siapa seharusnya yang berhak mendapat bagian lebih besar atau lebih kecil. Dalam gaya ini, tidak dikenal istilah kemenangan sejati dari sebuah perjuangan kepentingan. Oleh karenanya, penanganan melalui fasilitasi dialog untuk mematerialkan hasil kompromi adalah sebuah tawaran penyelesaian yang patut dipertimbangkan. Gaya bersengketa yang menghindar merupakan gaya sengketa yang miskin akan social capital ataupun multi-stakeholder capital. Pada gaya ini, pihak terebut tidak memiliki kepedulian atas kepentingannya dan kepentingan pihak lain. Apatis adalah ciri pihak yang memilik gaya ini. Konflik laten adalah sebuah kondisi yang kerap kali menjadi ciri utama, dan berkemungkinan besar setiap saat bisa meledak tidak terkendali. Tidak ada pilihan penanganan penyelesaian sengketa yang sebaiknya ditawarkan pada saat tersebut, terkecuali upaya intensifikasi konflik, dimana mediator membantu para pihak refleksi untuk melihat hal-hal yang menjadi perbedaan (jika ada), agar para pihak memahami apa perbedaan yang sedang terjadi dan bagaimana pentingnya perbedaan tersebut untuk dicarikan penyelesaiannya. Pada akhirnya upaya intensifikasi ini ditujukan agar pihak yang bersangkutan bersikap kolaborasi, atau setidaknya kompromi atau akomodasi. Sumber: Gamal dan Sirait, 2011.
. Di dalam praktek pelaksanaan ADR, melaksanakan analisis gaya mengelola konflik kerapkali terlupakan. Padahal hal tersebut amat penting untuk mengetahui bagaimana keinginan para pihak menyelesaikan konfliknya. Tidak jarang, pihak ketiga yang ingin membantu penyelesaian konflik serta merta menawarkan mediasi, sementara gaya konflik para pihak adalah agitasi dan/atau
261
mengindar. Ketika hal itu terjadi, biasanya pelaksanaan pilihan ADR yang ditawarkan menjadi tidak efektif, mengulang insiatif proses penyelesaian dari awal, atau bahkan gagal membantu para pihak menyelesaikan perselisihannya. Rangkaian analisis yang dimulai dari analisis gaya mengelola konflik dan memiliih bentuk alternatif penyelesaian, di dalam proses adminitrasi pengaduan dan penyelesaian perselisihan dapat disebut sebagai “ Tahap Keputusan Untuk Merespon Pengaduan dan Penentuan Pendekatan Penyelesaian “. Tentunya, untuk memperkuat keyakinan para pihak bahwa semua berniat dan bersedia memasuki proses penyelesaian yang sesungguhnya, masih memerlukan indikator-indikator kepastian. Di dalam penelitian ini, setelah semua pihak setuju memilih fasilitasi sebagai pilihan ADR yang akan ditempuh, kemudian dilakukan pengukuran kebersediaan berperan-serta yang menghasilkan bahwa sebesar 85,5% responden akan menghadiri proses fasilitasi. Pada beberapa kasus, seringkali kebersediaan tersebut dimaterialkan ke dalam sebuah kesepakatan awal, misalnya, para pihak kemudian membangun Naskah Kesepahaman Untuk Memulai Perundingan yang kemudian dapat diikuti oleh Kesepakatan tentang Aturan Main atau Tata Laksana Perundingan. 3) Pelaksanaan Alternatif Penyelesaian Terpilih Alternatif penyelesaian yang dipilih oleh para pihak yang berkonflik adalah dengan menempuh penyelesaian melalui fasilitasi. Fasilitasi adalah suatu proses yang di dalamnya terdapat seseorang fasilitator yang netral dan tidak memiliki otoritas pengambil keputusan, yang diterima oleh semua kelompok yang berkonflik untuk memimpin diskusi tentang penyelesaian konflik yang terjadi, melalui seperangkat prosedur yang disepakati (Isenhart dan Spangle, 2000). Terkadang sulit membedakan antara fasilitasi dan mediasi. Namun kondisi psikologis yang paling mendasar membedakan keduanya adalah, mediasi dilakukan ketika para pihak yang berkonflik tidak dapat lagi berdialog secara langsung dan memerlukan pihak ketiga (mediator), sementara pada pendekatan fasilitasi, para pihak masih bisa berdialog secara langsung, hanya dalam rangka untuk memperoleh penyelesaian yang lebih efektif diperlukan pihak ketiga selaku fasilitator. Di dalam model penelitian ini, fasilitasi dilaksanakan melalui sebuah lokakarya. Seperangkat prosedur ditawarkan dan disepakati oleh para pihak yang berkonflik bahwa, dalam rangka memutuskan kesepakatan, akan ditempuh melalui tahap-tahap:
262
1) Pemetaan Ulang Akar Konflik Secara Kolaboratif. 2) Ramifikasi dan Pengembangan Proposal Penyelesaian. 3) Mengurai dan Memilih Proposal Ideal. 4) Membuat Kesepakatan/Keputusan. Pilihan tentang teknis dan cara bagaimana melaksanakan keempat tahap tersebut tentunya amat beragam. Namun di dalam penelitian ini, cara-cara yang mempromosikan pendekatan partisipatif dalam menganalisis konfik yang terjadi, data dan informasi yang diperlukan, pengembangan usulan penyelesaian, memprioritaskan usulan penyelesaian yang akan ditempuh terlebih dahulu, hingga kemudian memutuskan untuk melaksanakannya, amatlah diutamakan. Pendekatan partisipatif yang dilakukan adalah pendekatan partisipatif mandiri dimana para pihak turut terlibat hingga pengambilan keputusan dan memahami kemungkinan-kemungkinan resiko dan manfaat di kemudian hari atas keputusan yang diambil.
5.6.2
Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan, Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan, dan Umpan Balik. Menurut Andi (2005), hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup,
regulasi perundang-undangannyapun ada keterkaitan antara undang-undang pengelolaan lingkungan hidup dengan undang-undang kehutanan. “UndangUndang Kehutanan merupakan undang-undang sektoral yang dinaungi oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup karena pada bagian “mengingat” dalam konsideransnya tertulis Undang-Undang Lingkungan Hidup”. Penyelesaian sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang kehutanan
mengadopsi
sebagian
ketentuan
penyelesaian
sengketa
sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat dilihat dan dibandingkan antara ketentuan Pasal 30 UndangUndang No. 23 Tahun 1997 dengan ketentuan Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 pada tabel di bawah ini.
263
Tabel 5.6.1
Perbandingan antara UU Kehutanan dan UU Pengelolaan Lingkungan Hidup tentang Penyelesaian Sengketa.
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 30
Pasal 74
1.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
1.
Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa.
2.
Sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
2.
3.
Telah dipilih upaya penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.
Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan, maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang bersengketa. Pasal 75 ayat (1)
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku bagi tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini.
Berdasarkan perbandingan kedua undang-undang tersebut, maka Model Pengananan Konflik Lingkungan di Dalam Kawasan Hutan, secara yuridis merujuk kepada Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup termasuk peraturan-peraturan yang terkait dengan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Diluar Pengadilan, yang di dalam lingkungan hidup yang terbaru, yaitu UU No.32/2009
tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup
(UUPPLH), dinyatakan bahwa “Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup” (Pasal 85 Ayat 3). Mengkaitkan penanganan konflik lingkungan dengan penyelesaian sengketa di luar pengadilan karena di dalam UUPPLH bagian penjelasan umum disebutkan bahwa sebagai penunjang hukum administrasi, diberlakukannya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas subsidiaritas yaitu bahwa hukum pidana hendaknya didayagunakan apabila sanksi pada bidang hukum lain seperti (1) sanksi administrasi, dan (2) sanksi perdata, dan (3) alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan tidak efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat perbuatannya relatif besar dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Dengan demikian penggunaan hukum pidana dalam ketentuan undang-undang pengelolaan
264
lingkungan hidup merupakan “upaya terakhir” (ultimum remedium) sebagaimana terkandung di dalam asas subsidiaritas. Berdasarkan uraian tersebut sebelumnya, maka konsetualisasi Model Kelembagaan
Penanganan
Konflik
Lingkungan,
termasuk
mekanisme
pengaduan yang dikembangkan di dalam penelitian ini merujuk secara hirarkis kepada peraturan dan kebijakan Lingkungan Hidup khususnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan, Mediasi (di bidang pertanahan), dan Arbitrase. Selain itu, hal lainnya yang menjadi bahan pertimbangan adalah kenyataan bahwa berdasarkan latar belakang kelembagaan para pihak yang berkonflik, polarisasi konflik lingkungan dapat dipilah-pilah sebagai berikut: 1) Konflik antar-kelompok masyarakat. 2) Konflik antara masyararakat dengan swasta. 3) Konflik antara masyarakat dengan pemerintah 4) Konflik antar-lembaga swasta. 5) Konflik antara swasta dan lembaga pemerintah 6) Konflik antar-lembaga pemerintah. Undang-undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman menyiratkan bahwa objek perselisihan yang ranah penyelesaiannya melalui lembaga ini adalah objek-objek yang terkait dengan maladministrasi (yaitu perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan). Artinya polarisasi konflik yang menyeret lembaga pemerintah menjadi salah satu pihak terlapor, maka proses penyelesaian perselisihan tersebut dapat menjadi hal yang diurus oleh ORI (Ombudsman Republik Indonesia). Dengan demikian, penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan juga dapat ditempuh melalui ORI (atau kantor ombudsman di daerah). Selain itu, di dalam UU PPLH, pemerintah telah memperluas siapa-siapa saja yang dapat melakukan mediasi, yaitu dengan menyertakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang minimal berpengalaman kerja selama 2 tahun di bidang lingkungan hidup dapat menjadi mediator sepanjang mereka memiliki tenaga mediator dan diminta oleh para pihak yang berkonflik. Lalu bagaimana halnya dengan pilihan ADR lainnya seperti konsiliasi dan fasilitasi? (Negosiasi dalam hal ini tidak dimasukan karena
265
pada
kondisi
tersebut
menyelesaikannya
semua
sendiri
pihak secara
yang
berkonflik
langsung
masih
melalui
mampu proses
perundingan/musyawarah). Pengembangan Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan juga mencakup sebuah mekanisme pengaduan dalam satu kesatuan. Agar kelembagaan yang memuat mekanisme pengaduan dan penanganan konflik cukup kredibel maka dalam rancangannya perlu memperhatikan enam prinsip dasar yang dianjurkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (CAO, 2008). Enam prinsip itu adalah sebagai berikut: 1) Legimate: Struktur tata kelola penyelenggaraan mekanisme harus jelas, transparan, dan cukup independen untuk menjamin agar proses pengelolaan pengaduan dapat menjamin setiap pihak yang berkoflik dapat diperlakukan secara adil dan setara tanpa peluang adanya intervensi dari pihak tertentu 2) Accessible: Mekanisme pengaduan semestinya dapat diketahui secara luas terutama oleh pihak-pihak yang kemungkinan berkepentingan untuk dapat mengaksesnya. Termasuk di dalamnya adalah tersedia cara untuk membantu mereka yang karena satu atau lain hal kemungkinan memiliki hambatan untuk mengaksesnya. Hambatan ini dapat disebabkan oleh faktor bahasa, kemampuan baca-tulis, kesadaran, keuangan, jarak, atau rasa takut akan adanya pembalasan dari pihak yang diadukan. 3) Predictable:
Mekanisme harus jelas dan prosedurnya diketahui dengan
adanya kejelasan waktu untuk setiap tahapnya, jelas untuk setiap tipe dari proses dan kejelasan dari outcome (keluaran hasil) yang dapat (ataupun tidak dapat) diberikan dan tersedianya cara yang jelas untuk memantau outcome. 4) Equitable: Mekanisme ini mestilah menjamin bahwa pihak yang mengadu mendapatkan akses yang cukup pada sumber informasi, advis, dan keahlian yang diperlukan agar dapat terlibat secara setara dan mendapatkan perlakukan adil dalam proses penyelesaian ketidaksepahaman. 5) Rights-compatible: mekanisme mestilah menjamin bahwa keluaran hasil dan penyelesaiannya sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui secara internasional.
266
6) Transparent: mekanisme ini mestilah memastikan adanya transparansi dalam proses dan keluaran untuk memenuhi kebutuhan dan kepedulian publik dan mestilah
mengupayakan
sedapat
mungkin
prinsip
transparansi
ini.
Mekanisme yang melibatkan aktor bukan negara tidak dapat ditawarkan lagi harus lebih transparan terkait dengan penerimaan pengaduan dan elemenelemen kunci dalam keluaran hasilnya. 5.6.2.1 Konseptualisasi
Model
Kelembagaan
Penanganan
Konflik
Lingkungan Sebelum para pihak yang berkonflik masuk ke dalam sebuah proses ADR, terkait dengan keberadan peraturan dan perundangan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan, para pihak perlu terlebih dahulu memastikan apakah konflik yang terjadi karena kasus maladministrasi atau bukan. Hal tersebut diperlukan agar para pihak memperoleh pelayan/bantuan dari pihak ketiga yang berkompeten. Apabila kasusnya adalah maladministrasi, maka penyelesaian perselisihan dapat didaftarkan kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang memiliki mandat berdasarkan UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman. Setelah itu, barulah kemudian para pihak memasuki proses ADR didahului dengan penndaftaran pengaduan (Lihat Gambar 5.35). Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan sepertti terlihat pada Gambar 5.35 tersebut, terdiri dari beberapa tahapan umum sebagai berikut: 1. Registrasi dan Penerimaan Pengaduan Pada tahap ini harus tersedia sistem yang transparan dalam registrasi dan penerimaan pengaduan. Agar para pihak dapat mudah menyampaikan komplain maka pengaduan awal dapat dilakukan lewat berbagai cara (missal fax, surat dengan alamat P.O. Box khusus untuk menerima pengaduan, serta dapat juga lewat website/email yang khusus untuk pengaduan). Jika memungkinkan sebaiknya pengaduan disampaikan langsung. Untuk mengakomodir kepentingan mereka yang tidak dapat baca tulis maka pelapor/pengadu (complainant) dapat menunjuk orang yang mereka percaya untuk mewakili kepentingan mereka. Disini harus jelas, kewenangan apa saja yang bisa diperankan oleh wakil tersebut. Seluruh pengaduan yang masuk dicatat dan masing-masing diberi nomor registrasi. Setelah itu, disampaikan konfirmasi kepada pihak mengajukan komplain dilakukan lewat telpon, surat, atau pun email dengan menyebutkan nomor registrasinya. Nomor registrasi ini diperlukan pihak yang mengajukan
267
pengaduan untuk mengecek perjalanan registrasi kasusnya. Informasi tentang tata cara pengajuan pengaduan sepatutnya disebar-luaskan melalui media yang ada. Tentukan Lembaga Penyelesaian non-maladministrasi
maladministrasi
Lembaga Swadaya Masyarakat, Penyedia Jasa Mediasi, Tim Adhoc Sektoral, Arbiter
Ombudsman Republik Indonesia
Penerimaan dan Registrasi Pengaduan
Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian
Menentukan Keputusan Untuk Merespon Pengaduan
Pengaduan ditolak
Karena kasus pidana murni
Pengaduan Diputuskan Untuk Ditangani
Karena kasus tidak eligible
Tentukan Pendekatan
Pelaksanaan Pendekatan
Komunikasikan Keputusan
Selesai?
Tidak selesai?
Pemantauan Evaluasi, dan Pembelajaran
Menimbang ulang Pilihan Penyelesaian
LITIGASI
Mengulang ADR tetapi dengan Revisi
Gambar 5.35. Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan
268
2. Seleksi, Klasifikasi, dan Pengkajian Dilakukan seleksi untuk mengklasifikasi/mengkodifikasi jenis-jenis atau tipe komplain yang diterima. Pengkajian dilakukan untuk menetapkan apakah konflik yang diadukan masuk dalam ruang lingkup mandat dari mekanime pengaduan serta apakah pihak pelapor dianggap eligible untuk mengajukan keberatan.
Selanjutnya dilakukan penentuan keputusan terhadap setiap
pengaduan yang masuk. 3. Keputusan untuk Merespon Pengaduan Semua keputusan terhadap proses dan langkah apa yang akan dilakukan terhadap setiap komplain harus dikomunikasikan kembali kepada pihak yang mengajukan komplain. Bila diputuskan karena satu dan lain hal pengaduan ditolak, maka penjelasan tentang alasannya perlu disampaikan secara rinci dan jelas. Informasi tentang keputusan, proses, dan tahapan dari setiap aduan dapat dicek oleh pihak pelapor setiap saat lewat media yang tersedia. 4. Menentukan Pendekatan dan mengimplementasikannya Untuk komplain yang diputuskan untuk ditangani lewat mekanisme penanganan sengketa, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membentuk tim untuk melakukan evaluasi terhadap komplain. Kegiatan ini intinya adalah melakukan proses klarifikasi atas persoalan dalam materi aduan, mengumpulkan informasi yang lebih lengkap tentang bagaimana pandangan berbagai pihak tentang situasi tersebut, dan mengidentifikasi bagaimana persoalan itu dapat diselesaikan. Penanganan materi aduan dapat dilakukan dengan memilih cara-cara sebagai berikut: (a). Penyelesaian dilakukan dengan membentuk tim bersama (joint-team) dimana pengadu dan pihak terlapor terlibat dalam dialog untuk memecahkan konflik secara bersama-sama; (b). Dengan mengundang pihak ke-tiga yang independen yang dapat membantu proses mediasi. Setidaknya ada empat proses yang dapat dipertimbangkan untuk menentukan pendekatan ini : a. Pihak terlapor mengusulkan penyelesaiannya; b. Pelapor dan terlapor menentukan secara bersama-sama; c. Pelapor dan terlapor mengusulkan pihak ke-tiga yang independen untuk melakukan mediasi; d. Pelapor dan terlapor sepakat menggunakan proses penyelesaian secara adat istiadat setempat (CAO, 208). Tidak ada rumus baku untuk menentukan mana
269
cara yang paling tepat digunakan untuk setiap persoalan karena setiap masalah biasanya punya karakteristiknya sendiri. Sehingga dalam penanganan satu masalah salah satu atau bahkan dua dari tiga cara tersebut dapat dipilih baik digunakan secara bergantian maupun digunakan secara paralel untuk suatu aspek dalam masalah yang kompleks. Untuk itu kunci utamanya adalah kemampuan untuk mengkaji akar persoalan dan memilah-milahnya secara tepat untuk menentukan mana pendekatan yang tepat digunakan untuk setiap aspek dari persoalan. Terkait dengan membangun kesepakatan dengan menggunakan proses penyelesaian secara adat istiadat setempat, ketika kesepakatan tersebut mengani hak-hak tertentu, maka yang perlu diperhatikan adalah perbedaan kekhasan antara hak positif dan hak normatif (Stone, 2001). Penyelesaian secara adat biasanya lebih mengedepankan hak-hak normatif, sehingga dalam hal ini penggunaan peraturan dan perundangan secara kaku sebagai dasar pertimbangan penyelesaian perselisihan sebaiknya dihindari, terutama konflik perdata, administrasi, dan kebijakan. Tabel 5.6.2 Perbedaan antara Hak Positif dan Hak Normatif (Stone, 2001) Hak Positif
Hak Normatif
•
Hak adalah sesuatu yang bisa diklaim kembali oleh kekuasaan negara.
•
•
Hak berasal dari kekuasaan pemerintah
•
•
Orang dapat memiliki hak hanya kepada hal-hal yang mereka klaim dan untuk mana negara mendukung mereka.
•
Hak adalah apapun yang mampu dilakukan, dimiliki, atau diharapkan oleh seseorang dalam suatu masyarakat tertentu yang berasal dari sesama warga negara dan dari pemerintah. Hak berasal dari beberapa sumber lain selain kekuasaan, misalnya dari moralitas, agama, rasionalitas, atau hukum alam. Orang dapat memiliki hak untuk hal-hal yang secara aktif tidak mereka klaim, dan untuk mana negara tidak mendukung mereka.
5. Melakukan Pendokumentasian dan Penelusuran Setiap langkah-langkah penanganan komplain dan konflik serta apapun hasilnya perlu secara rinci terdokumentasi dan disimpan dengan rapih. Semua kesepakatan penyelesaian yang dicapai oleh pihak yang berkonflik harus tercatat dengan baik. Sehingga mereka dan tim evaluasi dapat setiap saat melakukan
270
penelusuran tentang proses penanganan perselisihan atau komplain untuk setiap kasus yang masuk. 6. Evaluasi, Monitoring, dan Pembelajaran Evaluasi dan monitoring perlu secara berkala dilakukan untuk mengetahui apakah kesepakatan penyelesaian yang dicapai oleh para pihak telah dipenuhi, terutama oleh pihak penyepakat yang berkewajiban untuk itu. Apakah kesepakatan juga telah dilakukan dengan sesuai dengan prosedur dan sejalan dengan prinsip-prinsip dasar dari mekanisme pengaduan. Hasil ini tidak saja berguna baik pihak penyepakat dan pihak-pihak terkait lainnya, tapi juga diperlukan sebagai umpan balik bagi penyempurnaan proses dan prosedur dari mekanisme pengaduan dan penanganan konflik yang dipergunakan. Melengkapi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan, diperlukan berbagai prosedur penilaian (assessment) dan alat analisis yang dipergunakan di setiap tahap di dalam model tersebut. Sejauh ini, dari UUPPLH, UU Ombudsman, UU Arbitrase, dan peraturan tentang Mediasi, belum tersedia prosedur dan alat analisis, baik baku maupun pilihan, yang bisa dijadikan sebagai bahan rujukan. Beberapa Prosedur Penilaian (assessment) dan Alat Analisis yang Perlu dipersiapkan tersebut diantaranya (CAO, 2008): •
Prosedur
Assessment
(siapa
yang
melakukan
assessment
dan
bagaimana cara melakukannya) •
Prosedur untuk menentukan siapa individu di pihak terlapor yang paling tepat
untuk
diminta
menangani
complain
yang
terkait
dengan
kewenangannya •
Prosedur untuk menentukan apa langkah penanganan perselisihan yang paling tepat untuk suatu komplain yang dilaporkan (dengan juga berkonsultuasi dengan pihak pelapor)
•
Prosedur untuk membuat keputusan tentang usulan kesepakatan penyelesaian masalah (termasuk misalnya penyelesaian ganti rugi dan kompensasi)
•
Prosedur tentang kerangka waktu yang tepat untuk setiap langkah dari proses penanganan pengaduan (termasuk waktu untuk pemilihan ADR, screening pengaduan, assessment, dan resolusi)
•
Prosedur tentang penjelasan tentang eligibility, hasil assessment, usulan penyelesaian dan hal lainnya yang dianggap perlu
271
5.6.2.2 Peluang Aplikasinya di dalam Konteks Kebijakan.
Penting untuk dikaji berikutnya adalah bagaimana peluang aplikasi Konseptualisasi Model Kelembagaan Penanganan Konflik Lingkungan dalam penyelesaian konflik lingkungan dalam pengelolaan kawasan hutan lindung dikaitkan dengan kebijakan yang ada, terutama dikaitkan dengan peluang kebijakan yang ada sebagai prakondisi penentu depat terlaksananya model kelembagaan tersebut. Setidaknya kajian ini dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, diantaranya yaitu: 1. Demokrasi dan hak untuk bersuara. Dalam hal ini, semua pihak pelapor memiliki hak untuk menyampaikan aspirasinya (right to voice) atas semua ketidak puasan atau konflik yang dirasakan tanpa perasaan takut. Demikian pula sebaliknya pihak terlapor memilik hak untuk memberikan tanggapan. Akan halnya tipologi konflik yang terjadi antara mayarakat/swasta terhadap pemerintah, maka demokrasi dan hak untuk bersuara merupakan spirit dalam menghadapi tantangan (barier) ketika konflik yang terjadi memiliki kekhasan adanya hegemoni Negara yang kerapkali prinsip-prinsip impartial sulit ditegakkan.
Undang-Undang No.9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan
Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum dapat menjadi alas hukum yang menjamin hak bagi setiap warga Indonesia untuk bersuara. 2. Hak untuk memperoleh informasi. Transparansi merupakan salah satu kunci
utama agar penyelesaian konflik dapat terselenggara. Transparansi penting bagi sebuah upaya penyelesaian konflik. Tanpa adanya transparansi (keterbukan) terhadap akses informasi kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk sumbersaya hutan, maka akan sulit dibangun kerangka penyelesaian bagi sebuah konflik. Undang-undang No.14 Tahun 2008
tentang
Keterbukaan
Informasi
Publik
menjamin
bahwa
hak
memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan Negara yang baik 3. Penyelesain konflik adalah bagian dari Pelayanan Publik yang harus disediakan oleh pemerintah. Dalam Undang-undang No.25 Tahun 2009 tersebut, setiap penyelenggara pemerintahan (bahkan termasuk didalamnya adalah BUMN) diwajibkan untuk membangun mekanisme untuk mengelola
272
pengaduan. Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa tidak ada alasan bagi sebuah lembaga pemerintah untuk tidak membangun kelembagaan pengaduan dan penanganan konflik atas sebuah kewenangan yang diberikan kepadanya. Undang-undang ini penting untuk diselenggarakan oleh instansi sektoral. Bahkan Menteri Penertiban Aparatur Negara teah memerintahkan semua lembaga pemerintah untuk membuat mekanisme pengaduan.
5.6.2.3 Umpan Balik Terhadap Kebijakan-kebijakan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Pada dasarnya, penelitian yang dilakukan ini adalah sebuah peniltian empiris beranjak dari realita konflik yang terjadi di lapang. Realita tersebut termasuk pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan penanganan konflik lingkungan. Menurut Hempel (1996), beberapa pelaksanaan kebijakan memberikan implikasi yuridis berupa: 1) Kebijakan tetap dilaksanakan dengan justifikasi, misalnya dengan menambah beberapa kebijakan turunan sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi regulatif kebijakan induk. 2) Dilakukan penyesuaian ulang (reformulasi) dan reformasi kebijakan, terutama jika terdapat sebagian dari materi kebijakan yang tidak mampu menjawab permasalahan. 3) Kebijakan dihentikan dan memulainya dari tahap awal kembali, terutama ketika kebijakan tersebut secara menyeluruh tidak dapat difungsikan sebagai regulatory instrument. Dari undang-undang dan peraturan penanganan konflik lingkungan yang diatur di dalam UUPPLH, UU Kehutanan, UU Ombudsman, UU Arbitrase dan perturan Mediasi (pertanahan khususnya), penangan konflik merupakan salah satu unsur batang tubuh kebijakan tersebut, sehingga apabila diperlukan penyempurnaan unsur/pasal yang mengatur penyelesaian konflik ridak mengharuskan seluruh substansi batang tubuh dibatalkan. Merujuk kepada pemikiran Hempel (1996), maka tindakan yuridis material yang perlu dilakukan adalah sebatas reformulasi kebijakan dan/atau melakukan justifikasi melalui formulasi kebijakan turunan terhadap kebijakan induknya. Di dalam penanganan konflik lingkungan di kawasan hutan, Perbuatan melawan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang lingkungan hidup
273
dan undang-undang kehutanan dapat dikenai sanksi administrasi, ganti kerugian dan sanksi pidana, sehingga penegakannya dapat melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Tetapi dalam penggunaan instrumen hukum pidana ada ketentuan prinsipil dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diadopsi oleh undang-undang kehutanan yaitu keberlakuan asas subsidiaritas (asas yang menyatakan bahwa hukum pidana seyogyanya digunakan sebagai langkah akhir). Undang-undang kehutanan tidak menganut asas subsidiaritas dalam penggunakan instrumen hukum pidana untuk penyelesaian perkara pidana di bidang kehutanan, undang-undang kehutanan juga tidak mengatur mekanisme proses perkara pidana tersendiri, oleh karena itu proses perkara pidana pengangkutan hasil hutan kayu secara ilegal misalnya diselenggarakan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sesuai ketentuan Pasal 284 ayat (2) yang menyatakan bahwa dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada “undang-undang tertentu”, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Undang-undang Kehutanan adalah salah satu yang dimaksud sebagai “undang-undang tertentu” tersebut. Permasalahan di lapangan adalah apabila aktifitas illegal logging tersebut misalnya adalah implikasi dari sebuah kasus beli tentang tidak jelasnya status lahan kawasan atau tumpang tindih klaim lahan atas sebuah kawasan? Pada kondisi demikian, UU Kehutanan perlu ditinjau kembali khususnya terkait dengan penerapan asas subsidiaritas pada kasus-kasus yang terlanjur “dipidanakan” padahal kasus belie nya terjadi karena kegagalan kebijakan kehutanan. Dalam kasus konflik, untuk ketenangan publik, hukum harus memberikan perlindungan substansial bagi seseorang atau sekelompok orang (Stone, 2001).