48
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Uji Kestasioneritasan Data Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel yang digunakan pada
model. Langkah ini digunakan untuk menghindari masalah regresi lancung (spurious regression) karena data yang digunakan pada penelitian ini adalah data time series. Data time series umumnya tidak stasioner karena mengandung unit root pada tingkat level. Uji stasioneritas ini dilakukan pada tingkat level dan first difference dengan menggunakan Augmented Dickey Fuller (ADF) test. Jika nilai ADF test lebih kecil dari nilai kritisnya, maka data tersebut stasioner. Nilai kritis yang dipakai pada penelitian ini adalah 5 persen. Tabel 5.1. Hasil Uji Stasioneritas Level Variabel ADF-Statistik t-statistik (5%)
First Diffrence ADF-Statistik
t-statistik (5%)
CRD
1.432862
-2.915522
-6.658755**
-2.916566
IR
-2.019345
-2.916566
-3.594928**
-2.916566
PYD
-0.008691
-2.915522
-4.891885**
-2.916566
-3.274322**
-2.915522
-6.884884
-2.918778
PLS
-2.013306
-2.918778
-11.79131**
-2.917650
SBI
-2.502072
-2.916566
-3.833385**
-2.916566
SBIS
-3.017490
-2.915522
-6.070852**
-2.917650
MARGIN
Keterangan : ** = Signifikan pada nyata 5 persen Dari hasil uji stasioneritas variabel Kredit UMKM, Suku Bunga Kredit, Pembiayaan UMKM, Profit and Loss Sharing, Suku Bunga SBI dan Bonus SBIS stasioner pada tingkat first different. Sedangkan variabel Margin Pembiayaan stasioner pada tingkat level.
49
5.2
Hasil Uji Kausalitas Granger Berdasarkan hasil Uji Kausalitas Granger terdapat beberapa hubungan
antara variabel, tetapi tidak terdapat hubungan sebab akibat diantara variabel. Pada Model I, kredit UMKM memengaruhi suku bunga kredit, dan suku bunga kredit memengaruhi besarnya suku bunga SBI dan bonus SBIS. Sedangkan pada Model II, profit dan loss sharing memengaruhi besarnya suku bunga SBI dan pembiyaan UMKM memengaruhi besarnya margin pembiayaan. Hasil Uji Kausalitas Granger dirangkum dalam Tabel 5.2 berikut : Tabel 5.2. Hasil Uji Kausalitas Granger Hipotesis
Probability
Kesimpulan
MODEL I CRD does not Granger Cause IR
0.0484* CRD
IR
IR does not Granger Cause SBIS
0.0631** IR
SBIS
IR does not Granger Cause SBI
0.0071* IR
SBI
0.0711* PLS
SBI
0.0880** PYD
MARGIN
MODEL II PLS does not Granger Cause SBI PYD does not Granger Cause MARGIN
5.3
Penetapan Lag Optimum Penetapan lag optimum bertujuan untuk menunjukan berapa lama reaksi
suatu variabel terhadap variabel lainnya serta menghilangkan masalah autokorelasi dalam sebuah sistem VAR (Firdaus, 2011). Pengujian panjang lag ditentukan berdasarkan kriteia Akaike Information Criterion (AIC)dan Schwarz Criterion (SC) yang terkecil. Pada penelitian ini model VAR diestimasi dengan tingkat lag yang berbeda-beda kemudian dibandingkan nilai AIC-nya. Nilai AIC terkecil dipakai sebagai acuan nilai lag optimal. Berdasarkan hasil pengujian lag
50
optimum yang terdapat pada Tabel 5.3 bahwa Model I dan Model II optimum pada lag kedua. Tabel 5.3. Hasil Pengujian Lag Optimum AIC
Lag Model I
Model II
0
34.59488
35.72875
1
23.94378
29.29504
2
23.57957*
29.18349*
Keterangan : * = nilai AIC terkecil
5.4
Uji Stabilitas VAR Dari hasil uji stabilitas VAR, dapat disimpulkan bahwa sistem VAR bersifat
stabil karena root yang diuji memiliki kisaran kurang dari satu, yatu berkisar antara 0.398319- 0.759231 pada Model I dan berkisar antara 0.251941 -0.966520 pada Model II. Tabel 5.4. Hasil Uji Stabilitas VAR pada Model I Root 0.727885 - 0.215907i 0.727885 + 0.215907i 0.034432 - 0.584167i 0.034432 + 0.584167i -0.196964 - 0.464653i -0.196964 + 0.464653i -0.068859 - 0.392321i -0.068859 + 0.392321i
Modulus 0.759231 0.759231 0.585181 0.585181 0.504675 0.504675 0.398319 0.398319
51
Tabel 5.5. Hasil Uji Stabilitas VAR pada Model II Root 0.966520 0.837030 0.775247 - 0.230579i 0.775247 + 0.230579i 0.407425 - 0.456512i 0.407425 + 0.456512i -0.46734 0.147684 - 0.389766i 0.147684 + 0.389766i 0.251941
5.5
Modulus 0.966520 0.837030 0.808810 0.808810 0.611881 0.611881 0.467340 0.416807 0.416807 0.251941
Uji Kointegrasi Johansen Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah uji kointegrasi. Uji
Kointegrasi dilakukan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang tidak stasioner pada level terkointegrasi atau tidak. Uji Kointegrasi mengimplikasikan bahwa dalam sistem persamaan mengimplikasikan bahwa dalam sistem tersebut terdapat error correction model yang menggambarkan adanya dinamisasi jangka pendek secara konsisten dengan hubungan jangka panjangnya. Koitegrasi mempresentasikan hubungan keseimbangan jangka panjang (Firdaus, 2011). Uji kointegrasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Johansen dengan membandingkan trace statistic dengan nilai kritis sebesar 5 persen. Jika nilai trace statistik lebih besar dibandingkan nilai kritisnya maka terdapat kointegrasi dalam sistem persamaan tersebut. Hasil uji kointegrasi pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.2. Berdasarkan hasil uji kointegrasi maka dapat dilihat bahwa kedua model terkointegrasi sehingga model yang digunakan adalah model VECM.
52
Tabel 5.6. Hasil Uji Kointegrasi Johansen pada Model I Hipotesa Trace Statistic 5 % Critical Value None*
67.63257
47.85613
At most 1
27.02358
29.79707
At most 2
12.60481
15.49471
At most 3
0.884772
3.841466
Tabel 5.5. menunjukan bahwa terdapat minimal satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen, yang berarti terdapat minimal satu persamaan kointegrasi yang mampu menerangkan keseluruhan Model I. Tabel 5.7. Hasil Uji Kointegrasi Johansen pada Model II Hipotesa Trace Statistic 5 % Critical Value None*
71.32552
69.81889
At most 1
38.78936
47.85613
At most 2
18.60038
29.79707
At most 3
5.809156
15.49471
At most 4
0.422953
3.841466
Tabel 5.6. menunjukan bahwa terdapat minimal satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen, yang berarti terdapat minimal satu persamaan kointegrasi yang mampu menerangkan keseluruhan Model II. Tabel 5.8. Rangkuman Hasil Uji Kointegrasi Model Rank
Kesimpulan
I
1
Terkointegrasi, model VECM
II
1
Terkointegrasi, model VECM
53
5.6
Hasil Estimasi VECM Dari hasil uji kointegrasi sebelumnya terbukti bahwa terdapat kointegrasi
pada kedua model. Untuk itu digunakanlah model VECM untuk menganalisis responsivitas kredit dan pembiayaan UMKM terhadap instrumen moneter. Dengan analisis VECM dapat diketahui hubungan jangka pendek dan jangka panjang antar variabel. Dalam penelitian ini, digunakan signifikansi dengan taraf nyata lima persen. Tabel 5.9. Hasil Estimasi VECM Model I Jangka Panjang Variabel Koefisien IR(-1)
Tanda
956664.44
(-) minus
SBIS(-1)
235707.2**
(-) minus
SBI(-1)
454426.8**
(-) minus
Coef
6946859
Keterangan: **= signifikan pada taraf nyata 5 persen Dari hasil uji estimasi VECM pada Model I dapat dijelaskan bahwa pada jangka pendek tidak ada variabel yang signifikan mempengaruhi kredit UMKM. Hal ini terjadi karena model dalam penelitian ini adalah model transmisi moneter sehingga suatu variabel membutuhkan waktu atau lag untuk bereaksi pada variabel lain sehingga umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang. Dari hasil estimasi jangka panjang, suku bunga SBI dan bonus SBIS memiliki pengaruh yang signifikan dan memiliki hubungan yang negatif terhadap kredit UMKM. Ketika terjadi kenaikan suku bunga SBI atau bonus SBIS maka perbankan akan lebih tertarik untuk mengalokasikan dananya di SBI karena
54
menjanjikan return yang tinggi. Hal inilah yang menyebabkan jumlah dana kredit UMKM yang disalurkan akan menurun. Di samping itu, terdapat satu variabel yang tidak signifikan mempengaruhi kredit UMKM yaitu suku bunga kredit. Hal ini terjadi karena struktur kredit UMKM di Indonesia masih didominasi oleh penawarannya yang lebih besar dari permintaannya. Jika permintaannya sangat kecil maka suku bunga tidaklah menjadi variabel utama dalam penyaluran kredit UMKM. Permintaan yang rendah tercermin dari jumlah UMKM yang menerima sumber dana dari perbankan. Pada tahn 2010 UMKM yang menerima dana perbankan baru mencapai 21,35 persen dan 49,18 persen menyatakan tidak berminat mendapatkan pembiayaan dari perbankan. Selain itu, berdasarkan studi sebelumnya penawaran kredit UMKM dari perbankan dipengaruhi oleh faktor lain seperti rentabilitas bank, tingkat profitabilitas bank dan keadaan makro ekonomi. Tabel 5.10. Hasil Estimasi VECM Model II Jangka Panjang Variabel PLS(-1) MARGIN(-1) SBI(-1) SBIS(-1)
Koefisien 190.5207 116.4096** 1102.075** 1092.085**
Tanda - (minus) + (positif) + (positif) - (minus)
C 3468.55 Keterangan: **= signifikan pada taraf nyata 5 persen Begitu juga dengan hasil uji estimasi VECM pada Model II, pada jangka pendek tidak ada variabel yang signifikan mempengaruhi pembiayaan UMKM. Hal ini terjadi karena suatu variabel membutuhkan waktu atau lag untuk bereaksi
55
pada variabel lain sehingga umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang. Dari hasil estimasi jangka panjang, suku bunga SBI, bonus SBIS dan tingkat margin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembiayaan UMKM melalui bank syariah.
Margin memiliki pengaruh yang positif terhadap
pembiayaan UMKM, apabila tingkat return atau margin keuntungan meningkat maka perbankan akan mendapat keuntungan yang lebih besar dari pembiayaan sehingga akan menaikan jumlah pembiayaan yang disalurkan. Lain halnya dengan variabel bonus SBIS. Dari hasil estimasi terdapat hubungan negatif antara bonus SBIS dan pembiayaan UMKM. Hal ini terjadi karena apabila terjadi kenaikan bonus SBIS maka perbankan syariah akan lebih tertarik menyalurkan dana dengan pembelian SBIS karena memberikan return yang lebih tinggi dan menghadapi resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan menyalurkan pembiayaan ke sektor UMKM. Selain itu, variabel suku bunga SBI memiliki hubungan yang positif terhadap penyaluran pembiayaan UMKM dari perbankan syariah. Hal ini terjadi karena ketika terjadi kenaikan suku bunga SBI maka bank konvensional akan mengalihkan penyaluran dananya ke SBI sehingga kredit yang mereka tawarkan akan menurun. Kondisi ini dimanfaatkan oleh perbankan syariah dengan memberikan pembiayaan UMKM yang lebih besar karena bank konvensional sebagai saingannya sedang menurunkan penyaluran kreditnya. Akan tetapi variabel PLS atau tingkat bagi hasil tidak signifikan mempengaruhi jumlah pembiayaan UMKM yang disalurkan. Hal ini terjadi karena pembiayaan dengan akad bagi hasil memiliki porsi yang lebih rendah
56
dibandingkan dengan pembiayaan dengan akad jual beli. Porsi pembiayaan dengan akad bagi hasil (musyarakah dan mudharabah) hanya sebesar 35,29 persen dari pembiayaan total. Sedangkan porsi pembiayaan dengan akad jual beli (murabahah ) mencapai 55,76 persen.
5.7
Simulasi Impulse Response Function (IRF) Simulasi ini digunakan untuk melihat respon suatu variabel apabila ada
guncangan pada variabel lain serta melihat pengaruh lamanya guncangan suatu peubah endogen yang diakibatkan oleh shock atau guncangan peubah endogen lain. Berikut adalah hasil simulasi IRF untuk masing-masing model: a.
Model I
Response of CRD to Cholesky One S.D. Innovations 1,000
0
-1,000
-2,000
-3,000
-4,000
-5,000 5
10
15
20
25 SBIS
30
35
40
45
50
SBI
Gambar 5.1 Respon Kredit UMKM terhadap Guncangan SBIS dan SBI
Guncangan pada suku bunga SBI sebesar satu standar deviasi belum di respon oleh kredit UMKM pada periode pertama. Pada periode kedua, guncangan tersebut direspon positif dengan
kenaikan
kredit UMKM sebesar 337 juta
Rupiah. Akan tetapi kredit terus mengalami fluktuasi sampai dengan periode kelima. Guncangan pada SBI mulai direspon negatif pada periode keenam dan
57
terjadi
penurunan terus menerus sampai dengan periode ke enam belas.
Penurunan yang terjadi mencapai 1,7 juta miliar dari kondisi awal dan kredit akan stabil kembali pada periode ke 45. Akan tetapi, ketika terjadi guncangan pada bonus SBIS maka kredit UMKM yang disalurkan akan langsung turun pada periode kedua secara drastis dan penurunanya mencapai 4,1 miliar juta Rupiah dan akan stabil pada periode ke 47. Disisi lain, ketika terjadi guncangan pada SBI maka suku bunga kredit baru akan memberikan respon negatif pada periode kedua dan pada akhirnya memberikan respon positif dimulai dari periode ketiga dan seterusnya. Kenaikan suku bunga kredit tertinggi
mencapai angka 0.0579
persen dan akan stabil
kembali pada periode ke 47. Tetapi apabila terjadi guncangan pada SBIS respon suku bunga kredit cenderung langsung mengalami penurunan dari periode kedua dan terus menurun hingga mencapai penurunan tertinggi sebesar 0.123 persen dan akan stabil pada periode ke 50.
Response of IR to Cholesky One S.D. Innovations .08
.04
.00
-.04
-.08
-.12
-.16 5
10
15
20
25 SBIS
30
35
40
45
50
SBI
Gambar 5.2 Respon Suku Bunga Kredit terhadap Guncangan SBIS dan SBI
58
b.
Model II Terlihat pada Gambar 5.3. guncangan pada suku bunga SBI sebesar satu
standar deviasi belum direspon oleh pembiayaan UMKM pada periode pertama. Guncangan SBI direspon negatif pada periode kedua. Awalnya pembiayaan UMKM mengalami penurunan, tetapi setelah periode ketiga pembiayaan UMKM terus mengalami kenaikan hingga mencapai 86 juta Rupiah dan akan stabil kembali pada periode ke 27. Disisi lain, ketika terjadi guncangan pada SBIS sebesar satu standar deviasi tidak langsung direspon oleh pembiayaan UMKM pada periode pertama. Respon dimulai pada periode kedua dengan adanya penurunan pembiayaan UMKM. Penurunan pembiayaan UMKM terbesar terjadi pada periode kelima dengan penurunan mencapai 165 juta Rupiah dan juga stabil pada periode ke 27. Response of PYD to Cholesky One S.D. Innovations 100
50
0
-50
-100
-150
-200 5
10
15
20 SBI
25
30
35
40
SBIS
Gambar 5.3 Respon Pembiyaan UMKM terhadap Guncangan SBIS dan SBI
Dapat dilihat pada gambar 5.4 guncangan pada SBI sebesar satu satuan standar deviasi direspon dengan sangat fluktuatif oleh PLS.
Penurunan PLS
dapat mencapai 2 persen. Sedangkan guncangan pada SBIS langsung direspon
59
oleh bagi hasil pembiayaan pada periode pertama. Guncangan pada SBIS juga direspon cukup fluktuatif oleh PLS, sehingga pada akhirnya PLS mengalami penurunan sekitar 0,01 persen dan akan stabil pada periode ke 30.
Response of PLS to Cholesky One S.D. Innovations .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 -.16 -.20 5
10
15
20 SBI
25
30
35
40
SBIS
Gambar 5.4 Respon Profit dan Loss Sharing terhadap Guncangan SBIS dan SBI
Dapat dilihat pada Gambar 5.5 guncangan pada SBI sebesar satu satuan standar deviasi tidak langsung direspon oleh margin murabahah pada periode pertama, guncangan pada SBI menyebabkan margin murabahah mengalami penurunan hingga mencapai 2,2 persen. Sedangkan guncangan pada SBIS justru direspon positif oleh margin murabahah dengan adanya kenaikan margin sampai dengan lima persen.
Response of MARGIN to Cholesky One S.D. Innovations
6 5 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 5
10
15
20 SBI
25
30
35
40
SBIS
Gambar 5.5. Respon Margin Keuntungan terhadap Guncangan SBIS dan SBI
60
Dari hasil simulasi Impulse Response Function pada Model I dan Model II maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain: 1. Terlihat dari hasil simulasi pada Model I dan Model II guncangan moneter akan berpengaruh dengan cepat pada pembiayaan UMKM dari perbankan syariah dan kredit UMKM dari perbankan konvensional. Akan tetapi, saat terjadi guncangan moneter pembiayaan UMKM dari perbankan syariah akan lebih cepat stabil dibandingkan dengan kredit UMKM dari perbankan konvensional. Pembiayaan UMKM dari perbankan syariah stabil pada peeriode ke 27 dan kredit UMKM stabil pada periode ke 45. Hal ini mengindikasikan daya tahan perbankan syariah yang baik ketika adanya guncangan moneter karena seluruh pembiayaan dan produk perbankan syariah berbasiskan sektor riil. 2. Terlihat dari hasil simulasi pada Model I dan moneter akan berpengaruh juga kepada return
Model II guncangan penyaluran dana
perbankan, yaitu suku bunga kredit pada perbankan konvensional, profit loss sharing serta margin murabahah pada perbankan syariah. Saat terjadi guncangan moneter maka return dari perbankan syariah (PLS dan Margin) lebih cepat stabil dibandingkan dengan suku bunga kredit. Hal ini terjadi karena jumlah pembiayaan UMKM dari perbankan syariah dari masih jauh lebih kecil dari perbankan konvensional sehingga apabila terjadi guncangan moneter maka perbankan syariah akan lebih cepat mengalami penyesuaian. 3. Dari hasil simulasi pada Model II,
terdapat perbedaan respon ketika
terjadi guncangan moneter pada variabel PLS dan Margin. Guncangan
61
moneter direspon cukup fluktuatif oleh PLS dibandingkan dengan respon Margin yang relatif stabil. Hal ini terjadi karena penentuan besaran margin murabahah adalah tetap, sedangkan penentuan besaran PLS tergantung dari kondisi ekonomi. Maka dari itu ketika ada guncangan ekonomi yang dicerminkan oleh
guncangan moneter maka pengaruhnya terhadap
variabel PLS akan lebih besar dibandingkan dengan variabel Margin.
5.8
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) a. Pembiayaan UMKM Bank Syariah Dari hasil pengujian FEDV pada Model I, Pembiayaan UMKM dari
perbankan syariah
sebagian besar dipengaruhi oleh pembiayaan itu sendiri.
Faktor lain yang mempengaruhi pembiayaan adalah margin murabahah dengan porsi sekitar 4,5 persen, bagi hasil pembiayaan dengan porsi sekitar 1,5 persen dan bonus SBIS dengan porsi 3 persen. Pengaruh SBI dalam mempengaruhi besarnya pembiayaan UMKM dapat dikatakan kecil karena porsinya hanya satu persen. Hal ini mengindikasikan bahwa dalam jangka panjang pengaruh SBI terhadap pembiayaan UMKM akan semakin kecil dan pengaruh SBIS terhadap pembiayaan akan semakin besar. Hal ini dikarenakan pembiayaan UMKM dari perbankan syariah mendapatkan pengaruh langsung dari SBIS sebagai salah satu instrumen moneter syariah pada saat transmisi moneter.
62
Gambar 5.6 Hasil FEDV pada Pembiayaan UMKM Bank Syariah
b. Kredit UMKM Bank Konvensional Dari hasil pengujian FEDV pada Model II kredit UMKM dari perbankan konvensional dipengaruhi oleh kredit itu sendiri. Faktor lain yang mempengaruhi kredit UMKM adalah suku bunga kredit dengan porsi 12,5 persen, SBIS dengan porsi 13 persen dan SBI dengan porsi 0.35 persen. Dalam jangka panjang pengaruh SBIS semakin signifikan tetapi lain halnya dengan SBI. Hal ini mengindikasikan bahwa peran SBI semakin lama semakin tidak efektif dalam transmisi moneter melalui jalur kredit.
Gambar 5.7 Hasil FEDV pada Kredit UMKM Bank Konvensional
63
Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Amaluddin (2005) yang menyatakan bahwa kebijakan moneter di Indonesia dengan menggunakan SBI semakin lama semakin kurang efektif. Dalam penelitiannya dijelaskan bahwa pengaruh perubahan pada SBI terhadap suku bunga kredit sangat kecil sehingga tidak efektif dalam proses transmisi moneter.