Urban-Led Development Strategy Sebuah Gagasan untuk Diskusi Kebijakan Pembangunan Kerjasama Forum Kajian pembangunan Program Studi Pengembangan Perkotaan-UI dan Partnership for Governance Reform Wicaksono Sarosa Jakarta, 12 Juli 2011
Kerangka Penyajian Latar Belakang: pertumbuhan perkotaan di Indonesia Belajar dari China dan negara lain dalam memanfaatkan kota sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi Kemungkinan dan tantangan dalam penerapannya sebagai kebijakan perkotaan di Indonesia Beberapa masalah untuk diskusi Penutup
Latar Belakang Secara statistik Indonesia telah menjadi “bangsa kota” tetapi tidak mempunyai “strategi/kebijakan pengembangan perkotaan yang jelas Kota-kota di Indonesia dan masyarakatnya bagaikan “lost in translation”: norma-norma masyarakat perdesaan yang baik sudah ditinggalkan, tapi tata-aturan bermasyarakat di kota moderen yang padat belum dibangun/dipatuhi Kota-kota menjadi “amburadul” dan kehilangan peluang untuk menjadi motor penggerak pembangunan
Latar Belakang Sudah lebih banyak penduduk yang tinggal di kawasan perkotaan daripada yang tinggal di kawasan perdesaan statistically an “urban nation” urbanisasi > 50%
Latar Belakang Harus memiliki kebijakan dan strategi perkotaan yang dapat menjadi panduan pembangunan, baik di tingkat nasional dan lokal (kota) Ada pembelajaran dari beberapa negara lain, di mana pengembangan kota secara sengaja (“deliberate”) digunakan sebagai bagian utama dari strategi pembangunan ekonomi (peningkatan kesejahteraan dan pengurangan kemiskinan)
Belajar dari China Mengapa belajar dari China? Pertumbuhan ekonomi yang luar biasa selama 30 tahun terakhir Pengurangan kemiskinan: 30 tahun yang lalu, hanya 16% penduduk China yang berada di atas garis kemiskinan – sekarang hanya 16% yang masih berada di bawah garis kemiskinan Memang ada masalah-masalah HAM, demokrasi, lingkungan dan ketimpangan sosial-ekonomi Tapi strategi pembangunan berbasis kota di China tetap pantas untuk dipelajari
Belajar dari China Ketika Deng Xiao Ping di akhir 1970an berkehendak untuk “membuka tirai besi” China, dia menemukan sebuah bangsa yang banyak penduduknya yang masih sangat miskin – sebagian besar di perdesaan (sisa-sisa “Revolusi Kebudayaan”) Sistem kota-kotanya didominasi oleh Beijing dan Shanghai yang padat, polusi dan memiliki berbagai masalah lingkungan perkotaan lainnya Memutuskan untuk membangun pusat-pusat perkotaan baru yang sekaligus zona ekonomi khusus
Belajar dari China Tapi, dalam membangun SEZ dan pusat pertumbuhan baru, China tidak menyebarkannya di seluruh negeri, melainkan awalnya dikonsentrasikan di beberapa titik prioritas sepanjang Pantai Timur 1978 mulai dengan 4 – 5 pusat pertumbuhan baru (Shantou, Shenzhen, Zuhai, Xiamen dll.) 1984 membuka lagi 14 pusat pertumbuhan baru (a.l Dalian, Tianjin, Shanghai, Guangzhou) 1992 semua ibukota propinsi + 53 SEZs baru (termasuk pedalaman)
Keunggulan dan Tantangan Pendekatan China Dengan mengkonsentrasikan sumberdaya yang masih sedikit (waktu itu), maka infrastruktur yang dibangun di pusat-pusat pertumbuhan baru jauh lebih baik dibanding jika dana yang sedikit itu disebar luas daya tarik bagi investor asing Diimbangi dengan revitalisasi bagianbagian kota tua/lama + amenities Kendali negara atas lahan/tanah Tantangan ketimpangan regional di tahap-tahap awal (Pantai Timur v/s pedalaman) Sistem hokou yang mengatur ketat perpindahan penduduk
Pelajaran Lain dari Brazil Pertumbuhan perkotaan juga terkonsentrasi di Pantai Timur, Upaya mengurangi disparitas regional kurang berhasil dan berhenti pada tahun 1980-an Yang kemudian dilakukan adalah mendorong kota-kota menjadi menarik, nyaman ditinggali, secara ekonomi kompetitif dan secara sosial partisipatif Brazil sudah mencapai “urbanization equilibrium” – migrasi desa-kota minimum Walau kota-kota masih ditandai dg kontras sosial-ekonomi yg tinggi, sektor perkotaan berkontribusi besar thd ekonomi Brazil (80%?)
Pelajaran Lain dari Singapore Negara kota ini menerapkan strategi “adaptable vision” Clean and green center for service industry
Regional transportation hub
Regional Manufacturing center
Started as a country “without natural resource” but good location
World-class cosmopolitan and cultured place to live
Namun negara ini juga dikaruniai pemimpin yang visioner serta birokrasi yang bersih dan kapable
Sustainable and livable Singapore
Pelajaran yang Dapat Diambil Kota/perkotaan sangat berpotensi untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan bahkan pengentasan kemiskinan “Added value” dari kegiatan ekonomi perkotaan umumnya lebih besar daripada nilai tambah yang bisa diambil dari kegiatan ekonomi non-perkotaan (terkecuali kegiatan ekonomi ekstraktif maupun rente) Urbanisasi tidak bisa (tidak perlu) dicegah – dalam beberapa situasi malah perlu didorong, asalkan manusianya siap/disiapkan Manusia harus siap dan adaptif tinggal di kawasan perkotaan dengan segala “aturan main” (masyarakat tradisional pun memiliki aturan main…yang seringkali “gamang” adalah masyarakat “transisional”…
Gagasan untuk Kebijakan Perkotaan di Indonesia Dari dulu sebenarnya sudah ada kebijakan perkotaan (NUDS-1 tahun 1980-an, dan NUDS-2 tahun 2000) – lebih banyak bersifat “macan kertas” “Generasi ke-3” mulai dibahas tahun 2008 dan terus bergulir dan didiskusikan hingga ke daerah-daerah, namun belum juga menjadi sebuah kebijakan resmi (catatan: saya sempat menjadi team leader 2008-2009, namun belakangan saya kurang mengikuti dg seksama) Beberapa tantangan: (1) kurang kesadaran pentingnya kebijakan perkotaan, (2) desentralisasi/otonomi daerah, (3) kebutuhan akan distribusi pembangunan spasial ‘yang merata’, (4) kurang koordinasi antar sektor, (5) kurang ‘motor penggerak’….dll.
Gagasan untuk Kebijakan Perkotaan di Indonesia Usulan 8 Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
‘Urban-led development’ ‘Decentralized concentration’ Pengedepanan dimensi sosbud & kependudukan Pemanfaatan ekonomi lokal Pemenuhan sar-pras & perkim + ‘urban amenities’ Kendali ‘urban-sprawl’ Lingkungan kota Promosi tata-kelola yg baik
K-1: Urban-led development Promosi yang gencar, konsisten dan terpadu di berbagai sektor dan tingkatan akan pentingnya peran kota dalam pembangunan beserta berbagai konsekuensinya. Kota sebagai suatu “spatial entity”—lengkap dengan “urban amenities”nya—bukan hanya sektor-sektor di dalamnya. Urbanisasi bukan hal yang ditakuti tapi harus diantisipasi (termasuk kesiapan tata-cara bermasyarakat di ruang tinggal bersama yang padat) Sinergi antar berbagai sektor perkotaan (termasuk sektor non-ekonomi) Mendorong “clusters” kegiatan ekonomi yang mencakup kegiatan ekonomi di perkotaan dan kegiatan ekonomi di perdesaan/non-perkotaan (pertanian, kelautan, kehutanan) sehingga terwujud sinergi optimalisasi pemanfaatan sumberdaya yang saling menyejahterakan
K-2: Decentralized Urban Concentration
1 Sekarang: Sangat terpusat/terkonsentrasi
atau
2
Pilihan Masa Datang 2: Sangat tersebar/terdesentralisasi
Pilihan Masa Datang 1: Konsentrasi-konsentrasi yang tersebar (“decentralized concentrations”) Biaya investasi lebih sedikit Secara lingkungan lebih tidak merusak daripada Pilihan Masa Datang 2
Bagaimana dikaitkan dengan Kebijakan Enam Koridor Ekonomi?
Sama sekali tidak bertentangan bahkan bisa disinergikan dengan mendorong 1-2 pusat perkotaan di setiap koridor
Beberapa Jenis ‘City-Clusters’ Urban Corridor: Tokyo-OsakaKyoto urban corridor Megacitydominated Corridor: Jabodetabek, Bangkok Metropolitan Area Subnational City Cluster: Pearl River Delat Trans-border City Cluster: Sijori
Beberapa Masalah untuk Diskusi Pembangunan terkonsentrasi atau persebaran pembangunan yang merata (sejak sekarang)? Pembangunan wilayah (spasial) atau pembangunan manusia? Dimensi waktu: bisakah kita meminta sebagian dari kita untuk menunggu (dibantu/diprioritaskan pusat)? Bagaimana menyiapkan manusia untuk menjadi bagian dari ‘bangsa urban’, termasuk masyarakat desa yang hendak bermigrasi ke kota agar bisa keluar dari kemiskinan
Terima Kasih Semoga Bermanfaat bagi Pewujudan Kota-Kota Indonesia yang Adil, Sejahtera, Mandiri, Berdayasaing dan Berkelanjutan