Working Paper Series No. Bulan 20..
Tingkat Kesesuaian Standar Akreditasi Terhadap Strategi Dan Rencana Pengembangan Pelayanan Instalasi Gawat Darurat Studi Kasus Di RSUD Cut Meutia Aceh Utara Arief Budiman Putera, Tjahjono Kuntjoro, Retna Siwi Padmawati
Abstract Background: Immediate, good and professional service with satisfying result is the expectation of all societies particularly customers of health service in hospitals in general and emergency installation in particular. Patients and families of patients face some problems of service at emergency installation due to the service that has not met the expected standard. To fulfill needs of patients for standard service at emergency installation, service at emergency installation has to be accredited. In 1999 and 2004 standard of accreditation has been implemented but it has not met the standard specified. The implementation last only for a couple of months but after that it has not been implemented until today. The researcher wants to find out relevance of standard implemented at emergency installation. Objective: To identify relevance of standard based on seven standards of accreditation with the strategy and planning of emergency installation service development at Cut Meutia Hospital. Method: This was a case study. Data were analyzed quantitatively and qualitatively. Data were obtained from indepth interview and supported by the result of calculation from answers of staff of emergency installation as respondents. Result: There was difference in the result of assessment of accreditation standard between staff of emergency installation and the researcher. Out of seven standards of accreditation only the standard of philosophy and objective that fulfilled the requirement (93%) whereas the other six standards did not meet the standard of accreditation (<60%). Standard of accreditation that had the lowest score was standard 6, i.e. development of staff and educational program (10%). Efforts for development strategy and planning had to be made; there should be commitment from all staff at emergency installation and stakeholders; program for quality improvement had to be initiated; documents of standard (standard operational procedure) had to be made; drugs and facilities had to be completed; program of training, monitoring and evaluation had to developed. Conclusion: Emergency installation of Cut Meutia Hospital Aceh Utara had not met standard of accreditation of the Ministry of Health. Therefore there should be commitment of the director, medical committee, accreditation committee and all staff at the emergency installation in order to improve service according to accreditation standard. Keywords: accreditation standard, strategy planning, service development PENDAHULUAN Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2004 mengenai standar pelayanan publik, mengatur prosedur pelayanan, waktu penyelesaian, biaya pelayanan, produk pelayanan, sarana dan prasana, kompetensi petugas, pemberi palayanan serta pelaksanaan UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yang menjelaskan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi, pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengembangkan system jaminan sosial.(1) Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Aceh Utara merupakan rumah sakit tipe C yang berada di Buket Rata, dengan lahan seluas 79, 912 m2, dengan luas bangunan 78,130,60 m2. Rumah sakit ini dibangun dengan dana bantuan ADB III, dengan kapasitas tempat tidur sebanyak 1
165 tempat tidur. Jumlah ketenagaan keseluruhan di RSUD Cut Meutia sebanyak 420 orang dibagi dalam empat katagori: tenaga medis 42 orang, tenaga paramedik 204 orang, tenaga teknis medis, 70 orang, tenaga non medis 104 orang.(2) Instalasi gawat darurat RSUD Cut Meutia memiliki ketenagaan sebanyak 26 orang terbagi tenaga dokter 8 orang, tenaga perawat 14 orang dan tenaga administrasi 4 orang. Jumlah kunjungan pasien di instalasi gawat darurat pada tahun 2007 sebanyak 6,047 orang, terdiri dari jumlah pasien kasus bedah sebanyak 1,299 orang, pasien non bedah 4,748 orang dengan angka kematian sebanyak 380 orang (sumber rekam medik RSUD Cut Meutia 2008). Mendapatkan pelayanan dengan cepat, baik, dan profesional dengan hasil yang memuaskan merupakan dambaan semua masyarakat, penerima pelayanan kesehatan di rumah sakit umumnya dan IGD khususnya. Oleh karena merupakan pelayanan awal, tidak jarang pasien yang masuk IGD dalam keadaan panik, emosi, merasa kehilangan dan ketidaksabaran yang tinggi. Masalah yang sering timbul di IGD RSUD Cut Meutia dari hasil observasi penulis pada Februari 2009 adalah tenaga IGD yang belum terampil/profesional, sistem rujukan yang lambat, tidak ada dokter on site di IGD, tata ruang yang tidak nyaman, fasilitas dan alat yang kurang memadai, stadar operasional prosedur (SOP) tidak lengkap serta pelaksanaannya yang belum berjalan dengan baik, petugas kurang disiplin, sistem pengantian jam dinas yang tidak tepat waktu, terbatasnya obat life saving yang tersedia di IGD dan tidak adanya perencanaan tertulis setiap tahun untuk pelatihan tenaga IGD. Pelayanan gawat darurat tetap berjalan, petugas IGD tidak mengetahui apakah pelayan yang diberikan telah memenuhi mutu pelayanan atau tidak. Oleh karena itu diperlukan Instalasi gawat darurat yang memenuhi standar pelayanan, yang diakui oleh publik pelayanan kesehatan, dan yang mampu meningkatkan mutu pelayanan. Apabila pelayanan telah dilakukan dengan baik sesuai dengan standar maka hal tersebut dapat menimbulkan efek positif berupa mengurangi tingkat kesalahan, mempercepat pelayanan terhadap pasien, mengurangi angka kesakitan dan kematian, meningkatnya jumlah kunjungan pasien, meningkatnya pendapatan rumah sakit, meningkatnya kesejahteraan karyawan, biaya pengobatan lebih murah, administrasi atau pelaporan akan terkelola dengan baik, dan banyak hal-hal positif lainnya yang dapat diambil. Akreditasi rumah sakit tersebut tidak sebatas pada pengakuan bahwa rumah sakit telah memenuhi standar, tetapi lebih merupakan sistem yang merangsang profesi untuk berperan serta di dalam pengembang mutu pelayanan kesehatan. Akreditasi standar dasar rumah sakit ada 5 pelayanan yaitu 1. Pelayanan medis, 2. Pelayanan keperawatan, 3. Pelayanan gawat darurat, 4. Pelayanan administrasi dan menajemen, 5. Rekam medik.(3) Penilaian standar akreditasi pernah dilakukan di IGD pada tahun 1999 dengan melakukan self assessment secara internal oleh staf instalasi gawat darurat, namun akreditasi tidak berjalan dengan baik. Pada tahun 2004 dilakukan lagi penilaian standar akreditasi di IGD. Dari penilaian tersebut IGD mendapat nilai 43,2% namun pelaksanaan akreditasi hanya beberapa bulan saja setelah itu tidak berjalan lagi hingga sampai saat ini. Pelayanan gawat darurat sebagai pelayanan terdepan rumah sakit selalu melayani masyarakat di dalam mencari layanan kesehatan dan tidak jarang pasien/ masyarakat walaupun tidak gawat datang ke instalasi gawat darurat untuk mendapatkan pertolongan. Disinilah dibutuhkan kemampuan petugas untuk mengenal pasiennya, dengan berbagai tingkah laku dan watak yang berlainan, dalam situasi yang bermacam-macam (kepanikan, ketakutan dan emosional), hal ini yang sangat dibutuhkan oleh petugas IGD disetiap harinya, yang semua itu telah diatur didalam standar akreditasi pelayanan gawat darurat. Instalasi Gawat darurat juga merupakan salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat memberikan pelayanan darurat standar tinggi kepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan.(4)
2
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian studi kasus. Data dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Cara pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen kuesioner self assesment petugas instalasi gawat darurat. berupa hasil hitungan dari jawaban responden pada kuesioner. Observasi juga dilakukan untuk melihat keberadaan dan kelengkapan data/dokumen, SOP, fasilitas dan alat di instalasi gawat darurat. Data yang diperoleh tersebut untuk mendukung wawancara secara mendalam, didalam menggali hal-hal yang berhubungan dengan standar akreditasi pelayanan instalasi gawat darurat dan strategi rencana pengembangan pelayanan gawat darurat. Tujuan penelitian; untuk mengetahui tingkat kesesuaian tujuh standar akreditasi terhadap strategi dan rencana pengembangan pelayanan IGD di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia. Lokasi penelitian adalah di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Aceh Utara. Waktu penelitian dilaksanakan dari tanggal 23 Juni sampai dengan 23 September 2009. Subjek penelitian adalah semua tenaga perawat dan dokter yang bekerja di IGD sebanyak 22 orang, dan 5 orang subjek kunci yang tidak bekerja di instalasi gawat darurat Sampel diambil secara total populasi yaitu seluruh tenaga perawat dan dokter yang bekerja di Instalasi gawat darurat RSUD Cut Meutia Aceh Utara. Variabel penelitian terbagi dua, Variabel dependen, yaitu strategi rencana pengembangan pelayanan di IGD. Variabel independen yaitu tingkat kesesuaian tujuh standar akreditasi di IGD yang terdiri dari falsafah dan tujuan, administrasi dan pengelolaan, staf dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur, pengembangan staf dan program pendidikan, evaluasi dan pengendalian mutu Instrumen penelitian adalah kuesioner yaitu daftar pertanyaan yang terstruktur untuk mendapatkan informasi tentang tingkat kesesuaian pelaksanaan tujuh standar akreditasi di instalasi gawat darurat, dan observasi serta wawancara mendalam, kepada direktur rumah sakit, kepala perawatan, kepala bidang rekam medik, kepala seksi pelayanan medik, kepala IGD, kepala perawat IGD, perawat dan dokter IGD. Analisa data, hasil jawaban responden dari masing masing pertanyaan pada tiap standar dilihat jawaban yang banyak keluar (modus), setiap masing masing pertanyaan tersebut dijumlahkan (jumlah nilai). Jumlah nilai dikalikan 100% dibagi jumlah parameter yang nilai dikali 5, sehingga didapat rata rata persentase pencapaian standar. Hasil tersebut dibandingkan dengan hasil yang didapat oleh peneliti, kemudian dilakukan wawancara mendalam dan memeriksa dokumentasi yang ada di IGD untuk membahas tingkat kesesuai standar akreditasi. Menyajikan secara naratif data yang diperoleh dari setiap focus penelitian, selanjutnya menarik kesimpulan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dari hasil tersebut peneliti membandingkan dengan hasil yang peneliti dapatkan dari observasi, dokumen, catatan, laporan dan wawancara ternyata terjadi gap antara hasil skor akreditasi yang dilakukan petugas IGD dengan peneliti. Ada pun hasil tersebut dapat kita lihat pada Tabel 1. Tabel 1. Persentasi pencapaian nilai akreditasi petugas IGD dengan penilaian peneliti di Instalasi Gawat Darurat RSUD Cut Meutia Aceh Utara No
Standar pelayanan IGD
1
Falsafah dan tujuan Administrasi dan pengelolaan Staf dan
2 3.
Penilaian Petugas IGD
Standar Kinerja IGD % Pencapaian Penilaian % Pencapaian Peneliti
Jumlah Item
14
93%
14
93%
3
13
86,6%
7
46,6%
3
17
68%
13
52%
5 3
4 5 6
7.
pimpinan Fasilitas dan peralatan Kebijakan dan prosedur Pengembangan staf dan program pendidikan Evaluasi dan pengendaliaan mutu Skor Akreditasi dan rata-rata pencapaian.
17
68%
13
52%
5
10
50%
10
50%
4
3
10%
1
3,3%
6
11
44%
8
32%
5
85
54,8%
66
42,5%
31x(5) =155
Berdasarkan Tabel 1 terdapat kesenjangan penilaian antara penilaian sendiri staf IGD dengan penilaian yang peneliti lakukan, dimana hasil skor peneliti lebih rendah dari nilai skor yang diperoleh staf IGD. Nilai skor tertinggi falsafah dan tujuan 93%, dan nilai terendah pengembangan staf dan program pendidikan 3,3%. Hasil skor staf IGD ini peneliti ambil dari jawaban kuesioner yang peneliti bagikan. Dari jawaban tersebut peneliti mengambil jawaban yang sering muncul yaitu nilai modus, dari setiap standar pelayanan mulai dari falsafah dan tujuan hingga evaluasi dan pengendalian mutu. Nilai perbedaan skor antara staf IGD dan peneliti meliputi seluruh standar akreditasi pelayanan di IGD. Kecuali falsafah dan tujuan yang sudah memenuhi standar akreditasi, oleh karena itu perlu dibenahi dari ketujuh standar akreditasi ini. Nilai standar akreditasi, penilaian diri sendiri staf IGD dengan skor 85 (54,8%), sedangkan nilai akreditasi yang peneliti peroleh dengan skor 66 (42,5%). Untuk lebih jelas mengapa terjadinya perbedaan penilaian petugas IGD dengan peneliti dapat dilihat deskripsi penyebab terjadinya perbedaan antara penilaian standar akreditasi petugas IGD dengan penilaian peneliti pada tiap standar akreditasi yaitu pada falsafah dan tujuan, administrasi dan pengelolaan, staf dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur, pengembangan staf dan program pendidikan serta evaluasi dan pengendalian mutu pada Tabel 2. Tabel 2. Deskripsi perbedaan penilaian antara standar akreditasi petugas IGD dengan peneliti. Standar akreditasi Falsafah dan tujuan Administrasi dan pengelolaan S2.P1 : bagan organisasi
Skor petugas IGD 93%
Skor peneliti 93%
86,6%
46,6%
Deskripsi sebab terjadi perbedaan Tidak terjadi perbedaan Salah persepsi petugas IGD menganggap bahwa bagan yang dulunya ada sekarang sedang diperbaiki dianggap bahwa bagan organisasi ada, disamping itu petugas IGD tidak menginginkan skornya kurang akibat bagan yang dulu pernah ada dinilai tidak ada. Namun hal ini telah penulis jelaskan bahwa penilaian ini dilakukan dengan sebenarbenarnya, sesuai dengan standar akreditasi bila pada observasi dan telaah dokumen tidak 4
ada berarti memang bagan dikatakan tidak ada dan ini jelas dapat dilihat pada DO pada kuesioner penelitian. S2.P2: tidak ada prosedur
Hal ini disebabkan karena sebagian besar petugas IGD menganggap prosedur kerja sama dengan pembagian jadual jaga, sebenarnya hal ini salah bahwa prosedur kerja bukan saja mengatur jadual jaga saja tetapi juga mengatur kedisiplinan dinas, ketentuan-ketentuan yang berlaku di IGD, termasuk sangsi apabila melanggar peraturan baik sangsi administrasi maupun sangsi pemotongan insentif.
Staf dan pimpinan 68% S3.P1: Tugas paruh waktu kepala IGD
52%
68%
52%
Fasilitas dan peralatan S4.P2 : R. Observasi dan R. tunggu pasien
S4.P3 : Pengadaan obat dan peralatan
S4.P4 : Sistem komunikasi
Hal ini disebabkan bahwa sebagian besar petugas IGD menganggap Kepala IGD telah memenuhi standar karena telah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan, memiliki sertifikat pelatihan, adanya SK Direktur.dan siap dipanggil atau konsultasi bila diperlukan. Namun susuai DO yang ada pada standar akreditasi bila kepala IGD memiliki tugas rangkap berarti tugas paruh waktu, bukan purna waktu. Hal ini disebabkan karena persepsi sebagian besar petugas IGD menganggap ruang yang biasa digunakan observasi pasien yang telah mendapatkan tindakan adalah ruang observasi, sebenarnya ruang tesebut adalah ruang tindakan, dimana sebelum pasien dirujuk keruangan, atau menunggu selesainya administrasi. Hal ini disebabkan karena sebagian petugas IGD menganggap ruang yang biasa di gunakan pasien menunggu keluarganya adalah ruang tunggu sebenarnya tempat itu adalah tempat parkir ambulan bila menurunkan pasien masuk. Hal ini disebakan karena petugas mengatakan obat dan peralatan cukup, tetapi pada pelaksanaan nya selama peneliti melakukan observasi ternyata obat dan peralatan tidak cukup dan tidak lengkap, ada beberapa obat live saving yang tidak tersedia, demikian juga dengan alat. Perbedaan penilaian ini terjadii karena petugas IGD mengganggap bahwa system komunikasi cukup baik walaupun 5
Kebijakan dan prosedur Pengembangan staf dan program pendidikan S6.P6 : Pelatihan perawat mahir
50%
50%
10%
3,3%
Evaluasi dan pengendalian mutu S7.P3 : Ketentuan dan formulir informed consent
44%
32%
S7.P4 Indikator klinik, di analisis dan evaluasi.
Skor akreditasi rata rata
komunikasi keluar harus melalui operator, tetapi sesuai DO standar akreditasi komunikasi yang baik bila hubungan keluar langsung tanpa melalui operator. Tidak ada perbedaan Perbedaannya bahwa petugas IGD mengatakan adanya program pelatihan perawat mahir dimana adanya pengiriman tenaga untuk mengikuti pelatihan bila ada instasi lain melakukan pelatihan dan diminta tenaga dari rumah sakit untuk mengirim tenaga untuk dilatih, setelah peneliti melihat dokumentasi dan wawancara ternyata tidak ada program yang dibuat oleh rumah sakit/ instalasi gawat darurat untuk mengembangkan kemampuan petugas IGD. Hal ini disebabkan tidaka adanya dana. Petugas IGD mengatakan ada prosedur dan formulir informed consent, yang ditetapkan oleh IGD, tetapi belum dilaksanakan, tetapi setelah peneliti melakukan observasi dan telaah dokumentasi ternyata tidak ada prosedur informed consent dan formulirnya Petugas IGD mengatakan ada mengumpulkan indikator klinik, akan tetapi tidak teratur tetapi setelah penelitian melakukan observasi dan telaah dokumentasi tidak ada pengumpulan data indikator klinik.
54,8%
42,5%
6
Perbedaan penilaian dari setiap standar akreditasi Berdasarkan hasil dokumen, observasi serta wawancara, selama penelitian berlangsung terdapat hal hal yang menyebabkan perbedaan antara penilaian sendiri staf IGD dengan peneliti antara lain sebagai berikut: Pada standar falsafah dan tujuan tidak ada perbedaan nilai skor antara petugas IGD dengan peneliti. Administrasi dan pengelolaan, ada bagan organisasi lengkap ditetapkan pimpinan rumah sakit disertai uraian tugas, pembagian kewenangan dan mekanisme hubungan kerja dengan unit kerja lain (nilai skor 5). Menurut perawat IGD bahwa bagan organisasi dulunya ada, yaitu pada tahun 2005, tetapi karena terjadi kesalahan nama, uraian tugas, dan pembagiaan wewenang, sehingga bagan tersebut dikembalikan ke bagian sarana untuk diperbaiki, namun hingga kini belum selesai juga. Petugas IGD menganggap bahwa bagan itu ada, cuma saat ini saja tidak ada, disamping itu juga petugas IGD tidak ingin skornya rendah oleh karena bagan dulunya ada tetapi dianggap tidak ada, tetapi setelah peneliti melakukan observasi ternyata bagan organisasi tidak ada, sesuai dengan standar akreditasi bagan dikatakan ada apabila nampak jelas ditempelkan di IGD. Dari standar staf dan pimpinan, ada dokter sebagai penangung jawab, bekerja purna waktu dan sudah ada SK pimpinan rumah sakit; pernah mengikuti pelatihan penanggulangan kegawatdaruratan dengan memperoleh sertifikat (nilai skor 5). Dari hasil observasi dan wawancara dengan petugas IGD dan Direktur, benar bahwa kepala IGD adalah seorang dokter yang sudah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan yaitu ATLS/ ACLS, dan memiliki sertifikat pelatihan, serta adanya SK penempatan tugas di IGD dari Direktur, tetapi karena kepala IGD memiliki tugas rangkap di THT dan IGD hal ini yang membuat nilai skor rendah, karena termasuk tugas paruh waktu, walaupun petugas IGD menganggap bahwa tugas rangkap itu di masukan ke purna waktu, dengan alasan, karena dokternya bertanggung jawab penuh bila dibutuhkan dan kurangnya tenaga, namun sesuai dengan ketentuan standar akreditasi, bila memiliki tugas rangkap berarti tergolong paruh waktu bukan purna waktu. Fasilitas dan peralatan, pemeriksaan dan tindakan untuk kasus medikal dan bedah terpisah, ruangan ruangan lain lengkap, fungsi berjalan baik (nilai skor 5), tetapi setelah peneliti melakukan observasi ternyata ruang observasi, ruang tunggu keluarga tidak ada. Ada obat, ada alat cukup (nilai skor 3), tetapi setelah peneliti melakukan observasi, dan melihat laporan pemakaian alat ternyata obat dan alat ada tetapi tidak lengkap. Sarana komunikasi cukup baik, ada prosedur lengkap tetapi belum berfungsi baik (nilai skor 4), tetapi setelah peneliti melakukan wawancara ternyata sarana komunikasi cukup memadai; instalasi gawat darurat mempunyai telepon intern dan extern. Hubungan keluar IGD melalui telepon sentral rumah sakit, jadi bukan langsung. Tidak ada perbedaan nilai skor antara petugas IGD dengan peneliti pada standar kebijakan dan prosedur. Pengembangan staf dan program pendidikan, jumlah dan kualifikasi tenaga perawat belum memenuhi syarat, ada program pelatihan perawat mahir (nilai skor 2). Tetapi setelah peneliti melihat dokumentasi tidak ada daftar tenaga perawat yang bekerja purna waktu di IGD dan, program pelatihan dan pelaporannya, serta dokumen evaluasi program pelatihan. Jumlah dan kualifikasi tenaga perawat belum memenuhi syarat, tidak ada program pelatihan perawat mahir. Evaluasi dan pengendalian mutu, ada prosedur dan formulir IC, ditetapkan sendiri oleh IGD, tetapi belum dilaksanakan (nilai skor 2), tetapi setelah peneliti melihat dokumentasi, tidak ada SK direktur RS, SOP, IC, hasil evaluasi dan laporan, juga tidak ada prosedur, formulir Informed Consent. Ada pengumpulan data indikator klinik, akan tetapi tidak teratur, (nilai skor 1), tetapi pada dokumentasi tidak ada kerangka acuan, pembentukan unit pelaksana, dokumentasi analisis rekomendasi dan tindak lanjut. Yang dimaksud dengan indikator klinik adalah indikator yang tercantum dalam buku petunjuk pelaksana indikator mutu pelayanan rumah sakit, salah satu 7
indikator klinik yang harus dikumpulkan, diolah dan dianalis dalam standar ini angka keterlambatan pelayanan pertama gawat darurat (Emergency Response Time Rate) atau disingkat KPPGD. Analisis harus dilakukan secara berkala 3 bulan sekali secara terus menerus. Yang harus disimpulkan dari analisis ini adalah kecenderungan dari Keterlamabatan Pelayanan Pertama Gawat Darurat (KPPGD). Tidak ada pengumpulan data indikator klinik. PEMBAHASAN Falsafah dan tujuan, hampir semua responden mengetahui standar falsafah dan tujuan ini terbukti petugas mampu memilah-milah pasien yang akut dan gawat yang berkunjung di Instalasi gawat darurat, serta pelayanan yang diberikan 24 jam terus menerus. Kekurangan yang dimiliki oleh petugas IGD yaitu tidak melakukan evaluasi. Evaluasi adalah kegiatan untuk membandingkan antara hasil yang dicapai dengan rencana yang telah ditentukan.(5) Berdasakan hasil penelitian bahwa bagan di instalasi gawat darurat tidak ada, dikarenakan adanya kesalahan dalam penulisan. Selama ini petugas IGD menganggap bahwa walaupun bagan organisasi tidak ada di pajang di IGD tidak berarti tidak ada, karena dulunya bagan organisasi ada, disamping itu juga petugas IGD tidak ingin skor penilaian menjadi lebih rendah, persepsi ini salah karena didalam penilaian standar akreditasi apabila pada observasi dan pemeriksaan dokumentasi tidak ada, berarti bagan organisasi memang tidak ada. tetapi hal ini tidak semua petugas IGD berpikiran seperti ini, karena sebelumnya peneliti telah memberikan penjelasan tentang cara menjawab kuesioner penelitian, peneliti telah menyampaikan cara menjawab kuesioner sesuai dengan DO dari setiap item pertanyaan, sehingga mempermudah responden untuk menjawab dengan demikian nilai yang didapat akan lebih valid, peneliti sebelumnya pernah bertugas di IGD, jadi tidak ada niat dari peneliti untuk memberikan nilai lebih rendah dari petugas IGD tetapi sesuai dengan objektif penilaian memang ini hasilnya, sebagai langkah awal untuk pembenahan standar akreditasi instalasi gawat darurat. Dari hasil wawancara pihak IGD telah merencanakan membuat bagan organisasi tersebut, dalam beberapa hari ini akan selesai. Bagan organisasi sangat penting, karena dari bagan tersebut kita mengetahui nama, jabatan, tugas, wewenang, dan tanggung jawab atas pekerjaannya. serta ada koordinasi antara jabatan satu, dengan jabatan yang lain, dan memiliki satu arah dan tujuan yang sama di dalam memajukan suatu organisasi. Struktur organisasi mengambarkan alokasi (pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang kepada jabatan-jabatan serta hubungan suatu jabatan dengan yang lain secara menyeluruh).(6) Kepala intalasi gawat darurat adalah seorang dokter yang bertanggung jawab atas pelayanan gawat darurat, dan sudah mengikuti pelatihan kegawatdaruratan, memiliki sertifikat pelatihan. Namun dokter tersebut bekerja paruh waktu karena selain bertugas di IGD, beliau juga bertugas di poliklinik THT. Semua persyaratan menjadi kepala IGD telah terpenuhi namun sesuai DO pada item kuesioner pertanyaan, jelas diterangkan bahwa dokter IGD tidak boleh tugas rangkap tetapi harus bekerja purna waktu hal ini sesuai dengan standar Dep.Kes yang menyatakan bahwa unit gawat darurat harus dipimpin oleh dokter, dibantu tenaga medis keperawatan dan tenaga lainnya yang telah mendapat pelatihan penanggulangan gawat darurat (PPGD). Salah satu strategi pengembangan SDM adalah menciptakan kondisi kerja yang demokrasi dan mendorong kreativitas individu melalui kegiatan pemberdayaan pegawai, berupa pemberian wewenang, kekuasaan, dan fasilitas kepada karyawan untuk mengambil keputusan.(7) Fasilitas dan peralatan, ruangan yang ada di instalasi gawat darurat tidak lengkap, sebagaimana yang telah ditentukan standar akreditasi Dep. Kes. Ruangan yang tidak ada adalah ruang tunggu bagi pasien dan ruang observasi. Hal ini disebabkan karena luas bangunan IGD yang kecil, tata letak ruangan yang kurang baik. Lingkungan fisik instalasi rumah sakit yang dirancang dengan benar akan memberikan pengalaman pelayanan yang menyenangkan baik bagi konsumen maupun penyedia jasa kesehatan.(8) Dalam menciptakan lingkungan fisik rumah sakit 8
yang baik diperlukan suatu manajemen logistik dalam lingkungan rumah sakit sebagai suatu proses pengolahan secara strategis terhadap pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pemantauan persediaan bahan yang diperlukan bagi produksi jasa rumah sakit. (9) Kebijakan dan prosedur, instalasi gawat darurat belum mempunyai kebijakan dalam proses penyusunan SOP sehingga prosedur pasien di IGD dilaksanakan hanya berdasarkan rutinitas saja. Begitu juga SOP untuk mengatur tentang pengunaan obat life saving belum ada sehingga pencatatan pengunaan obat dan alat merupakan pekerjaan rutinitas. Standar seharusnya berupa dokumen formal tertulis yang dipahami oleh semua pelaksana dan ditetapkan dalam kegiatan sehari hari di rumah sakit.(10) Pengembangan staf dan program pendidikan, pelayanan perawatan di IGD diberikan oleh perawat mahir, tetapi jumlah dan kualifikasi tenaga perawat belum memenuhi syarat, hal ini disebabkan tidak adanya program pelatihan perawat mahir dan kurangnya dana untuk pengembangan tenaga perawat mahir di IGD. Pelatihan merupakan wadah lingkungan bagi karyawan, dimana mereka memperoleh atau mempelajari sikap. kemampuan, keahlian, pengetahuan, dan prilaku spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan.(11) Evaluasi dan pengendalian mutu, tidak ada ketentuan tentang Informed Consent (IC) yang telah dilaksanakan oleh staf medis dan perawat, tidak ada formulir Informed Consent di instalasi gawat darurat. Yang mana Informed Consent ini sangat penting, sebagai persetujuan dari pasien/ keluarga atas tindakan yang dilakukan petugas IGD terhadap pasien. Regulasi pelayanan kesehatan merupakan upaya publik untuk memberi pengaruh secara langsung atau tidak langsung terhadap perilaku dan fungsi organisasi maupun perorangan yang menyediakan pelayanan kesehatan.(12) Evaluasi diperlukan untuk mengetahui pelayanan IGD selama ini, apakah mengalami kemajuan atau kemunduran. Palmer mengatakan program menjaga mutu adalah suatu usaha proses yang mencakup kegiatan mengukur mutu pelayanan yang diselengarakan, menganalisis berbagai kekurangan, menetapkan dan melaksanakan tindakan perbaikan serta menilai hasil yang dicapai yang dilaksanakan secara sistematis, berdaur ulang serta berdasarkan standar yang telah ditetapkan.(13) Strategi dan rencana pengembangan pelayanan IGD Manajemen strategi adalah suatu proses dimana manajemen proses menetapkan pengarahan jangka panjang dari kinerja dari organisasi dengan menjamin formulasinya yang hati-hati, implementasi yang tepat dan evaluasi terus menerus dimana strategi dibuat. Proses manajemen sangat membantu menyediakan bahwa seluruh bagian-bagian organisasi bekerja ke arah tujuan dan maksud yang sama.(5) Untuk menuju instalasi gawat darurat memenuhi standar akreditasi yang pertama harus dibenahi adalah pengembangan staf dan program pendidikan yang mana skornya sangat kecil. Disini dibutuhkan perencanaan program pendidikan yang berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan pelayanan, stakeholder rumah sakit harus mampu melihat sumber dana yang bisa mendukung pendidikan dan pelatihan bagi staf IGD dalam memberikan pertolongan pertama, BTLS/ACLS, ATLS/ACLS, baik itu dana dari pemerintah maupun dari donator. Adanya transfer ilmu dari yang telah mengikuti pelatihan kepada staf lainnya, Dilakukannya evaluasi kompetensi seluruh staf secara bergilir sesuai dengan ilmu dan pendidikannya. Melengkapi segala catatan, pelaporan, dokumentasi, protap, SK Direktur, serta evaluasi semua kegiatan yang dilakukan di instalasi gawat darurat, yang termasuk kedalam ke tujuh standar akreditasi gawat darurat. Dari hasil mengumpulkan data dan informasi yang bersifat faktual, signifikan dan relevan melalui pemeriksaan, pengukuran dan penilaian secara sistematis, objektif dan terdokumentasi, maka diperlukan strategi dan rencana pengembangan pelayanan instalasi gawat darurat untuk mencapai kesesuaian standar akreditasi. Upaya pemenuhan standar pelayanan ini dapat dilaksanakan secara bertahap mengingat kondisi fisik konstruksi, peralatan, sumber daya manusia, pembiayaan serta kondisi kemampuan 9
dari pemiliknya tidak sama. Rumah sakit harus segera mempersiapkan dan menyesuaikan diri dengan standar yang telah ditetapkan Dep.Kes RI dengan menyusun strategi dan rencana peningkatan mutu pelayanan rumah sakit dalam rencana jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang( berupa dokumen tertulis), dengan demikian terdapat kejelasan arah pengembangan dan peningkatan rumah sakit. Dasar hukum Keputusan Menteri Kesehatan nomor 436/Menkes/SK/VI/1993. Keputusan ini diperkuat lagi dengan keputusan Dirjen Pelayanan Medik nomor HK.00.06.0.5.00788/1995 tentang pelaksanaan akreditasi Rumah Sakit, serta UU Nomor 23/1992 pasal 59 telah mensyaratkan mutu pelayanan sebagai kriteria untuk memberi izin. UU Nomor 8/1999 tentang perlindungan konsumen perlu menjadi Rumah Sakit.(10) Dengan melakukan upaya diatas diharapkan pelayanan gawat darurat di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia memenuhi standar akreditasi. Banyak manfaat yang dapat dipetik dengan terakreditasinya rumah sakit. Status akreditasi dapat dijadikan alat untuk memasarkan pada masyarakat, sebagai simbol bagi rumah sakit dan dapat meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat atas rumah sakit. Diketahuinya kekurangan dibandingkan dengan standar yang ada, rumah sakit dapat mengunakannya untuk kepentingan pengajuan anggaran dan perencanaan/pengembangan rumah sakit kepada pemilik (pemberi bantuan). Masyarakat dapat mengenal dengan melihat sertifikat akreditasi yang biasanya dipajang di rumah sakit yang pelayananya telah memenuhi standar, sehingga dapat membantu mereka memilih rumah sakit yang dianggap baik pelayanan dan merasa aman. Petugas (medis, paramedis, non medis) merasa lebih senang dan aman serta terjamin bekerja pada rumah sakit yang telah terakreditasi.(10) KESIMPULAN DAN SARAN Tingkat kesesuaian pelaksanaan standar akreditasi pelayanan instalasi gawat darurat belum memenuhi standar akreditasi, sesuai dengan standar akreditasi yang telah ditetapkan oleh Dep.Kes RI, kecuali standar falsafah dan tujuan yang sudah memenuhi standar akreditasi. Strategi dan rencana pengembangan pelayanan untuk tercapai standar akreditasi harus adanya komitmen, penyusunan program, sosialisasi program, pemenuhan dokumen, SOP/protap, SK Direktur, melengkapi sarana dan prasarana, melakukan program pelatihan, melakukan monev serta perbaikan yang diperlukan. Pelaksanaan pelayanan gawat darurat selama ini dilaksanakan hanya kegiatan rutinitas saja tidak ada suatu target untuk meningkatkan pelayanan kesehatan bagi pasien/masyarakat. Tidak ada evaluasi yang dilakukan sehingga petugas tidak mengetahui apakah pelayanan yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pasien atau belum, dan juga tidak mengetahui apakah pelayanan yang diberikan telah memenuhi standar akreditasi atau belum. Pihak rumah sakit harus melengkapi segala catatan, pelaporan, dokumentasi, protap, Sk Direktur, serta pemahaman dan penerapan standar. Peran Pemerintah Daerah sangat diperlukan dalam memberikan dukungan dana untuk pengembangan dan peningkatan petugas kesehatan khususnya IGD di dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Perlu dilakukan evaluasi dari seluruh standar akreditasi, secara berkala dan berkesinambungan sekurangkurangnya satu tahun sekali dengan melihat pelaksanaan pelayanan, dan telaah dokumentasi terhadap standar akreditasi yang telah ditetapkan. DAFTAR PUSTAKA 1. Ratminto & Septi Winarsih, A. (2008). Manajemen pelayanan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2. Rumah Sakit Umum Daerah Cut Meutia Aceh Utara, (2008). Profil RSUD Cut Meutia, Aceh Utara. 3. Departemen Kesehatan RI, (1999). Standar pelayanan rumah sakit, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Jakarta
10
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Luwiharsih, (2002). Persiapan rumah sakit untuk diakreditasi, Naskah tulisan untuk buku, (In progress) Wijono, D. (1999). Manajemen mutu pelayanan kesehatan, teori, strategi dan aplikasi, vol. 1, Airlangga University Press. Ruky, A.S. (2006). SDM berkualitas mengubah Visi menjadi realitas. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Sulistiyani, A.T. (2004). Memahami good governance dalam perspektif sumber daya manusia, Gava Media, Yogyakarta. Purwanto, B. M. (2000). Persepsi konsumen akan citra RS berdasarkan penampilan fisik. Yogyakarta. Aditama, T.Y. (2003) Manajemen administrasi rumah sakit. Universitas Indonesia, Jakarta. Wijono, D. (2008) Manajemen puskesmas kebijakan dan strategi, CV. Duta Prima Airlangga Rachmawati, I.K. (2008) Manajemen sumbar daya manusia. Penerbit Andi Yogyakarta. Koentjoro. T. (2007) Regulasi kesehatan di Indonesia. C.V. Andi Offset. Yogyakarta. Azwar, A. (1996) Pengantar administrasi kesehatan. Binarupa Aksara, Jakarta.
11