UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENATAAN PERMUKIMAN KUMUH (Studi Kasus Permukiman Kumuh di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung)
RIAWATI PRIHATINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRACT
RIAWATI PRIHATINI, The effort to enhance community participation in the ordering of slum areas program (Case study of slum area at Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Bandung city). Advised by SOERYO ADIWIBOWO as chairman, CAROLINA NITIMIHARDJO as a member of Adviser Commission. One of the problems faced by the city government in conducting development is the rapid growth of the population which is not in balance with the availability of land in the city. The imbalance, in turn, creates other problems, among athers is the slum areas. One of the slum areas in Bandung city is Kelurahan Cicadas, district of Cibeunying Kidul, which has an area of 55 Ha. Its population is 12.886. This means that the density is about 234 per ha. The government has implemented various programs to deal with the problem. Efforts and strategies are needed to promote community participation by looking at the internal and external factors underlying their behaviour to participate. In order to support the implementation of the slum area development program, it is necessary to use the participatory approach involving the community from planning to implementation and to evaluation stages of the program. Based on the observation, interviews and Focused Group Discussion (FGD) cunducted by the writer, the low level of participation was caused mainly by the lack of local institutional and leadership roles of the RT and RW. They had not provided opportunities and supports to involve the community in the programs, so that they became reluctant and unmotivated to be involved in any development programs. Having no experience in participating in development programs, the community do not have ability to participate voluntarily in labor or finacially. Based on another FGD conducted by the writer with the community, we have designed some programs to promote people participation in the slum area development. The Programs are : (1) Enhancement of the quality of the RW and RT officials, (2) Enhancement of economic condition. (3) Partisipative improvement of housing infrastructure, (4) Improvement of the quality of community life Keywords : slum area, participation, leaderships.
RINGKASAN
RIAWATI PRIHATINI. Upaya Meningkatkan Partisipasi Masyarakat dalam Program Penataan Permukiman Kumuh. (Studi Kasus Permukiman Kumuh di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung). Dibimbing Oleh SOERYO ADIWIBOWO dan CAROLINA NITIMIHARDJO. Sistem pemerintahan yang desentralistik menggunakan pendekatan yang sifatnya bottom up dimana rencana pembangunan yang disusun meliputi program yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, atau dengan kata lain program dirancang oleh, dari dan untuk masyarakat. Masyarakat bukan lagi sebagai objek tetapi sebagai subjek yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi hidup mereka. Untuk meningkatkan kesadaran, membangun kepercayaan dan kemampuan kerjasama masyarakat ditempuh melalui pendekatan partisipasi warga masyarakat dalam proses pembangunan. Hasil pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini, terutama di kotakota besar selain menghasilkan pertumbuhan ekonomi juga menyebabkan kepadatan penduduk karena penduduk luar kota datang untuk mencari pekerjaan ke kota. Kota besar menjadi faktor penarik (pull factor) bagi penduduk karena banyaknya pembangunan yang ada di wilayah tersebut. Tingkat pertumbuhan penduduk di kota besar terjadi peningkatan dari tahun ke tahun, akibatnya daya dukung kota menjadi tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk perkotaan. Kondisi tersebut mendorong tumbuhnya daerah-daerah kumuh (slum) diperkotaan. Kota Bandung sebagai kota besar tidak terlepas dari permasalahan permukiman kumuh dengan kepadatan penduduknya yang kian hari kian terasa dimana dengan luas wilayah kota Bandung yang hanya 16.000 ha dihuni oleh kurang lebih 2,8 juta jiwa. Idealnya dengan luas wilayah tersebut didiami oleh 300.000 – 400.000 jiwa saja. Pada saat ini sekitar 146 jiwa mendiami tiap hektar, padahal menurut standar WHO idealnya hanya 96 jiwa di setiap hektar. Sehingga tidaklah heran jika banyak ditemukan kawasan kumuh yang menghiasi sebagian wilayah kota Bandung seperti wilayah Jamika, Sadang Serang, Cicadas, Tamansari, Kiaracondong dll. Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul merupakan salah satu Kelurahan yang tergolong kumuh di Kota Bandung. Dengan luas wilayah yang hanya 55 ha dihuni oleh sekitar 12.886 jiwa, sehingga di Kelurahan Cicadas setiap hektarnya dihuni oleh 234 jiwa atau dihuni oleh 23.429 jiwa/Km2. Kepadatan penduduk di Kelurahan Cicadas mengakibatkan permukiman-permukiman hampir disetiap RW menjadi kumuh. Upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan kawasan kumuh telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk program seperti program perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur kawasan kumuh serta program rehabilitasi rumah kumuh. Berdasarkan data dan informasi hasil Pemetaan Sosial (PL I) yang
dilaksanakan pada tanggal 31 Januari sampai 20 Februari 2008 dan Evaluasi Program (PL II) yang dilaksanakan pada tanggal 22 Mei sampai 6 Juni 2008, program-program tersebut tampaknya belum dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas dari permukiman kumuh terutama di Kelurahan Cicadas. Permasalahan yang dihadapi adalah seberapa jauh program-program yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh dapat melibatkan partisipasi masyarakat di Kelurahan Cicadas serta bagaimana karakteristik komunitas permukiman kumuh dan faktor-faktor apa yang menyebabkan partisipasi masyarakat aktif dan tidak aktif dalam program penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas ? Tujuan kajian ini adalah untuk mengidentifikasi tingkat partisipasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh dan merumuskan strategi pengembangan partisipasi masyarakat di Kelurahan Cicadas di masa yang akan datang. Kajian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu pemetaan sosial (PL I), evaluasi program (PL II) dan kajian lapangan dengan fokus mengidentifikasi tingkat partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh dan merancang strategi dan program peningkatan partisipasi masyarakat di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan pendekatan PRA (Participatory Rural Appraisal) dilakukan dengan cara : Wawancara Mendalam, Observasi Langsung dan Focussed Group Discussion (FGD). Sumber data di dapatkan dari hasil wawancara, pengamatan, FGD dan dokumentasi. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan cara : reduksi data, penyajian data dan kesimpulan atau proses menemukan makna data. Hasil kajian menunjukkan bahwa Dari 15 RW yang ada di Kelurahan Cicadas, 10 RW tergolong kumuh yaitu di RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 11, RW 12, RW 14 dan RW 15. Karakteristik masyarakat permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas terdiri dari 277 Kepala Keluarga dengan jumlah jiwa sebesar 1753 terdiri dari 877 laki-laki dan 876 perempuan. Tingkat Pendidikan masyarakat permukiman kumuh sebagian besar adalah SD (50%) dan SMP (48%), dimana keseluruhan penghuni permukiman kumuh bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini menyebabkan mereka tidak mampu memiliki rumah dengan kondisi yang sehat dan layak huni. Terkadang rumah juga dijadikan tempat usaha/gudang seperti usaha warung dan barang rongsokan yang menjadikan kondisi lingkungan sekitar rumah menjadi kotor dan berantakan. Tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang masih rendah juga menunjang kekumuhan dari permukiman di Kelurahan Cicadas ditambah dengan status kepemilikan lahan yang sebagian besar merupakan milik Angkatan Darat (okupasi tanpa kejelasan) yang menyebabkan sebagian warga masyarakat enggan untuk memperbaiki kondisi rumah mereka. Masih banyak sarana dan prasarana pada permukiman kumuh yang belum memadai seperti sarana MCK dan sarana air bersih. Tingkat partisipasi masyarakat dalam program penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas, hanya dua RW yang menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat aktif dalam pelaksanaan program-program pembangunan yaitu di RW 11 dan RW 12. Delapan RW lainnya yaitu RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14 dan RW 15 tingkat partisipasi masyarakatnya
tidak aktif. Peran kepemimpinan lokal dari ketua RT dan RW (faktor lingkungan) yang mempunyai insiatif tinggi dalam berinteraksi dan meyakinkan masyarakat untuk berperan serta dalam setiap program pembangunan merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam meningkatkan partisipasi masyarakat di Kelurahan Cicadas. Masyarakat akhirnya mau dan mampu (faktor internal) untuk berpartisipasi dalam program pembangunan khususnya yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh. Strategi pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas adalah : (1) Peningkatan kualitas pengurus RW dan RT, (2) Peningkatan taraf ekonomi masyarakat, (3) Perbaikan sarana dan prasarana permukiman yang partisipatif, (4) Peningkatan kualitas hidup sehat masyarakat.
UPAYA MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENATAAN PERMUKIMAN KUMUH (Studi Kasus Permukiman Kumuh di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung)
RIAWATI PRIHATINI
Tugas akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PRAKATA
Do
cNui C
ww troo ww.wp Pm wd .n D fiwtroip FPD zdaf.rc T F dom.c riaT om l r
i al
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penulisan Kajian Pengembangan Masyarakat (KPM) sebagai lanjutan dari kajian lapangan yang dilaksanakan di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung. Penulisan kajian ini tidak tedepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak, sehingga dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih, terutama kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan saran dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan kajian ini. 2. Ibu Dr. Carolina Nitimihardjo, MS, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan kesabarannya telah memberikan dorongan moril dalam rangka penyelesaian kajian ini. 3. Departemen Sosial Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menambah pengetahuan di bidang Pengembangan Masyarakat melalui proses pembelajaran di Magister Profesional Pengembangan Masyarakat kerjasama Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. 4. Segenap Pimpinan dan civitas akademika Magister Profesional Pengembangan Masyarakat Institut Pertanian Bogor. 5. Segenap Pimpinan dan civitas akademika Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. 6. Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS, selaku Dosen Penguji Luar Komisi yang telah memberikan saran dan masukan guna perbaikan kajian ini 7. Camat Cibeunying Kidul, Lurah beserta staf dan Masyarakat Kelurahan Cicadas yang telah membantu penulis dalam melaksanakan Kajian Pengembangan Masyarakat. 8. Suami tercinta, Yoyo Sumarno dan putri tersayang Rifa Nur Khalisah beserta orang tua tercinta dan seluruh keluarga penulis atas segala doa dan dorongan morilnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi. 9. Seluruh sahabat dan teman-teman penulis, khususnya mahasiswa Magister Profesional Pengembangan Masyarakat angkatan V Bandung, serta seluruh pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi selama proses perkuliahan. Penulis menyadari bahwa kajian lapangan ini masih sangat jauh dari sempuma dikarenakan ada keterbatasan dan kemampuan penulis dalam membahas dan melakukan analisa data. Namun harapan penulis semoga apa yang telah dilakukan dapat menjadi langkah awal yang baik untuk proses selanjutnya. Semoga kajian ini bermanfaat dan semoga Alloh SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua. Amin.
Bogor,
Februari 2009
RIAWATI PRIHATINI
RIWAYAT HIDUP
Do
cNui C
ww troo ww.wp Pm wd .n D fiwtroip FPD zdaf.rc T F dom.c riaT om l r
i al
Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 31 Agustus 1965 dari Ayah Irawan Soehartono dan Ibu Ramlah. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Tahun 1983 penulis lulus dari SMA Negri 7 Bandung dan pada tahun yang sama melanjutkan Ke Fakultas Psikologi Universitas Islam Bandung sampai tingkat Sarjana Muda. Tahun 1994 menyelesaikan studi ke jenjang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Wisnuwardhana Malang. Penulis sampai saat ini bekerja sebagai Kasie Pemerintahan di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung dan berkesempatan melanjutkan studi ke jenjang Pascasarjana pada Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat kerjasama Institut Pertanian Bogor dan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung atas bantuan beasiswa dari Departemen Sosial. Penulis telah menikah dengan Yoyo Sumarno dan dikaruniai 1 (satu) orang putri yang bernama Rifa Nur Khalisah (5 tahun).
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………
xv
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………
xvi
GLOSSARY ………………………………………………………..
xvii
I.
PENDAHULUAN …………………………………………. 1.1. Latar Belakang ………………………………………… 1.2. Perumusan Masalah ……………………………………... 1.3. Tujuan Kajian ………………………………………….. 1.4. Manfaat Kajian …………………………………………
1 1 3 5 6
II.
TINJAUAN TEORITIS ……………………………………. 2.1. Pendekatan Holistis dalam Manajemen Kota ………….. 2.2. Permukiman Kumuh …………………………………… 2.3. Partisipasi dalam Pembangunan ……………………….. 2.3.1. Definisi Partisipasi ……………………………… 2.3.2. Tipologi Partisipasi ……………………………… 2.3.3. Bentuk Partisipasi ……………………………….. 2.3.4. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat ……… 2.4. Kelembagaan …………………………………………… 2.4.1. Modal Sosial ……………………………………... 2.5. Kepemimpinan ………………………………………….. 2.6. Kerangka pemikiran ……………………………………..
7 7 8 12 14 17 19 22 24 27 29 31
III.
METODE KAJIAN …………………………………………. 3.1. Batas-Batas Kajian ……………………………………… 3.2. Lokasi dan Waktu Kajian ……………………………….. 3.3. Tehnik Pengumpulan Data ……………………………… 3.4. Jenis dan Sumber Data ………………………………….. 3.5. Pengolahan dan Analisis Data …………………………...
33 33 34 35 37 39
IV.
PETA SOSIAL MASYARAKAT KELURAHAN CICADAS.. 4.1. Lokasi …………………………………………………….. 4.2. Kondisi Permukiman di Kelurahan Cicadas ……………… 4.3. Kependudukan ……………………………………………. 4.4. Struktur Mata Pencaharian ………………………………... 4.5. Struktur Ekonomi ………………………………………… 4.6. Struktur Komunitas ………………………………………. 4.7. Organisasi dan Kelembagaan …………………………….. 4.8. Sumberdaya Lokal ……………………………………….. 4.9. Masalah-Masalah Sosial …………………………………..
41 41 43 45 48 50 52 54 55 56
\
V.
VI.
VII.
TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT……………………………………………… 5.1. Deskripsi Kegiatan ……………………………………….. 5.2. Latar Belakang Program Bawaku Makmur ………………. 5.3. Prosedur Pelaksanaan Program Bawaku Makmur ………... 5.4. Latar Belakang Program Rehab Rumah Kumuh …………. 5.5. Prosedur Pelaksanaan Program Rehab Rumah Kumuh …… 5.6. Tinjauan Program dalam Kaitannya dengan Pengembangan Ekonomi Lokal …………………………………………… 5.7. Tinjauan Program dalam Kaitannya dengan Modal Sosial Dan Gerakan Sosial ………………………………………. PERMUKIMAN KUMUH: KARAKTERISTIK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT ……………………………… 6.1. Karakteristik Komunitas Permukiman Kumuh …………… 6.2. Kondisi Permukiman Kumuh ……………………………… 6.3. Status kepemilikan Lahan dan Rumah …………………….. 6.4. Relasi Sosial Masyarakat Kumuh ………………………….. 6.5. Tingkat Partisipasi Masyarakat Permukiman Kumuh ………
58 58 59 61 63 64 66 68
72 72 74 77 80 82
RANCANGAN PROGRAM PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT ……………………………………………….. 7.1. Latar Belakang Rancangan Program ………………………. 7.2. Rancangan Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat….. 7.3. Program Pelatihan dan Sosialisasi Peningkatan Peran Ketua RW dan RT ……………………....................... 7.4. Program Peningkatan Taraf Ekonomi Masyarakat ………… 7.4.1. Sub Program Pelatihan Ketrampilan ………............... 7.4.2. Sub Program Pelatihan Manajemen Koperasi ……….. 7.5. Program Perbaikan Sarana dan Prasarana Permukiman Yang Partisipatif …………………………………………… 7.5.1. Sub Program Kerja Bakti …………………………….. 7.5.2. Sub Program Penyediaan sarana air bersih …………… 7.5.3. Sub Program Penyediaan sarana MCK ………………. 7.5.4. Sub Program Renovasi Rumah kumuh ………………. 7.6. Program Peningkatan Kualitas Hidup Sehat Masyarakat ….
98 98 99 99 101 101
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……………………… 8.1. Kesimpulan ………………………………………………… 8.2. Rekomendasi ……………………………………………….
103 103 105
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………..
108
LAMPIRAN …………………………………………………………….
111
VIII.
90 90 92 96 97 97 97
DAFTAR TABEL Halaman 1. Tabel Kelengkapan Metode ……………………………………
38
2.
Penggunaan Tanah Kelurahan Cicadas …………………………..
42
3.
Komposisi Penduduk Kelurahan Cicadas berdasarkan Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Kewarganegaraan …………
45
Jumlah Penduduk Kelurahan Cicadas berdasarkan Mobilitas/ Mutasi Penduduk …………………………………………………
47
Komposisi Penduduk Kelurahan Cicadas berdasarkan Tingkat Pendidikan, Jenis Kelamin dan Kewarganegaraan ………
48
6.
Jumlah Lembaga Ekonomi/Jenis Usaha …………………………..
50
7.
Kelembagaan/Organisasi ………………………………………….
54
8.
Karakteristik Masyarakat Permukiman Kumuh Menurut Jumlah Kepala Keluarga, Jumlah Jiwa, Tingkat pendidikan dan Pekerjaan ..
72
Karakteristik Masyarakat Permukiman Kumuh Menurut Jumlah Kepala Keluarga, Jumlah Jiwa dan Kelompok Umur ………………
74
4.
5.
9.
10. Karakteristik Masyarakat Permukiman Kumuh Menurut Jumlah Kepala Keluarga serta Kepemilikan Lahan dan Bangunan ………… 78 11. Perbandingan Tingkat Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Faktor yang Mempengaruhinya …………………………………
87
12. Rancangan Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat ………
93
DAFTAR GAMBAR Halaman
1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran …………………………………
32
2. Piramida Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Umur …………
46
3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian …………..
49
4. Analisis Pohon Masalah …………………………………………..
91
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan paradigma pembangunan pada masa orde baru, dari sistem sentralistik ke sistem desentralistik bertujuan untuk memberikan pelimpahan wewenang kepada otonomi daerah dalam menyelenggarakan dan mengatur pemerintahan di daerah sesuai dengan aspirasi masyarakat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sistem pemerintahan yang desentralistik menggunakan pendekatan yang sifatnya bottom-up dimana rencana pembangunan yang disusun meliputi program yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, atau dengan kata lain program tersebut dirancang oleh, dari dan untuk masyarakat. Diperlukan suatu kemampuan inisiatif dan partisipatif yang tinggi dari masyarakat untuk mengurus dan mengembangkan potensinya dalam pembangunan tersebut. Masyarakat bukan lagi sebagai objek tetapi sebagai subjek yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumberdaya dan mengarahkan proses yang mempengaruhi hidup mereka. Untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pembangunan, meningkatkan ketrampilan, membangun kepercayaan dan kemampuan kerjasama masyarakat ditempuh melalui pendekatan partisipasi warga atau masyarakat dalam proses pembangunan. Pembangunan harus dilaksanakan untuk segenap lapisan, golongan dan tingkatan masyarakat. Oleh karena itu dituntut adanya partisipasi sosial dari segenap lapisan masyarakat secara aktif agar tercapai tujuan pembangunan baik di pedesaan
maupun
perkotaan.
Partisipasi
sosial
masyarakat
pembangunan dewasa ini, merupakan elemen yang menentukan
dalam
era
cepat atau
lambatnya pencapaian tujuan pembangunan, artinya keinginan, kemauan, keikutsertaan, kesanggupan dan kesadaran
setiap warga masyarakat sangat
menentukan tercapainya suatu kondisi kesejahteraan masyarakat. Prinsip peran serta masyarakat dalam pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan dan memanfaatkan unsur-unsur lokal dalam bentuk sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sosiokultural yang ada. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan yang dimulai dari saat perencanaan, pelaksanaan hingga monitoring dan evaluasi diwujudkan melalui berbagai bentuk partisipasi
2
baik secara langsung (misalnya dengan memberikan sumbangan pemikiran, ide ataupun biaya dan tenaga)
maupun tidak langsung (misalnya dengan cara
memelihara dan merawat). Keterlibatan tersebut selain akan mempererat rasa keterikatan masyarakat dalam pembangunan, juga akan menumbuhkan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap pelaksanaan proses pembangunan yang sedang atau telah berjalan. Hasil pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini, terutama di kotakota besar selain menghasilkan pertumbuhan ekonomi
juga menyebabkan
kepadatan penduduk karena penduduk luar kota datang untuk mencari perkerjaan ke kota. Kota besar menjadi faktor penarik (pull factor) bagi penduduk karena banyaknya pembangunan yang ada di wilayah tersebut. Menurut Sadyohutomo (2008), tingkat pertumbuhan penduduk di perkotaan pada tahun 1980 adalah 22,3 %, terjadi peningkatan pada tahun 1990 sebesar 30,9 % dan pada tahun 2000 mengalami peningkatan yang pesat yaitu 42,0 %. Akibatnya daya dukung kota menjadi tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk perkotaan yang rata-rata mencapai angka 5,5 % per tahun. Seiring meningkatnya penduduk di perkotaan yang disebabkan arus urbanisasi tersebut
menimbulkan laju pertumbuhan penduduk yang tidak
seimbang dengan ketersediaan luas lahan di perkotaan. Bagi sebagian penduduk pendatang yang memiliki keterbatasan dalam ekonomi, ketrampilan dan pendidikan, mereka memaksakan diri untuk tinggal di perkotaan dengan kondisi apa adanya dan bahkan seringkali tinggal berdesakan di permukiman padat penduduk yang tidak layak huni. Kemampuan mereka yang terbatas serta tingginya harga perumahan di perkotaan menyebabkan mereka hanya mampu mengakses lingkungan kumuh di kota. Hal ini diperburuk dengan kurang memadainya pelayanan penyediaan prasarana dan sarana dasar lingkungan. Rendahnya kualitas kehidupan di lingkungan permukiman kumuh ini pada gilirannya juga dapat menghambat potensi produktivitas dan kewirausahaan para penghuninya. Mereka hanya mampu mengakses perekonomian informal kota, yang utamanya dicirikan oleh status hukum yang lemah dan tingkat penghasilan yang rendah. Kondisi-kondisi tersebut daerah kumuh (slum) diperkotaan.
yang mendorong
tumbuhnya daerah-
Kota Bandung sebagai kota besar tidak
3
terlepas dari permasalahan permukiman kumuh dengan kepadatan penduduknya yang kian hari kian terasa dimana dengan luas wilayah kota Bandung yang hanya 16.000 ha dihuni oleh kurang lebih 2,8 juta jiwa. Idealnya dengan luas wilayah tersebut didiami oleh 300.000 – 400.000 jiwa saja. Pada saat ini sekitar 146 jiwa mendiami tiap hektar, padahal menurut standar WHO idealnya hanya 96 jiwa di setiap hektar. Sehingga tidaklah heran jika banyak ditemukan kawasan kumuh yang menghiasi sebagian wilayah kota Bandung seperti wilayah Jamika, Sadang Serang, Cicadas, Tamansari, Kiaracondong dll. (Pikiran Rakyat, 18 September 2007). Upaya Pemerintah Kota Bandung dalam mengatasi permasalahan di atas telah dituangkan dalam Perda No. 02 tahun 2004-2013 tentang Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) Kota Bandung yang bertujuan untuk mewujudkan pemerataan pertumbuhan, pelayanan dan keserasian perkembangan kegiatan pembangunan antar wilayah dengan mempertahankan keseimbangan lingkungan dan ketersediaan sumberdaya daerah. Menurut Kepala Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, salah satu cara untuk mengurangi jumlah kawasan kumuh di Kota Bandung yaitu dengan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), program rutin perbaikan 1000 rumah kumuh serta perbaikan infrastruktur pada kawasan kumuh. Pemerintah Kota Bandung mengharapkan pembangunan rumah kumuh dan perbaikan sarana infrastruktur selain mendapatkan dukungan dana dari APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) Kota Bandung juga berharap masyarakat dapat meningkatkan partisipasinya dengan pemberdayaan masyarakat melalui dana swadaya untuk perbaikan rumah kumuh. Keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan diharapkan dapat menumbuhkan rasa memiliki dari masyarakat sekitarnya.
1.2. Perumusan Masalah Permasalahan kawasan kumuh merupakan masalah yang kompleks baik dilihat dari penyebabnya maupun dampak sosial yang ditimbulkannya. Selain pertumbuhan penduduk yang sangat pesat dengan terbatasnya luas lahan di perkotaan, faktor penyebab lainnya
adalah rendahnya kualitas dan kuantitas
prasarana dan sarana permukiman yang tidak menunjang terbentuknya struktur
4
permukiman dan sistem pengelolaan lingkungan serta rendahnya tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan lingkungan. Dampak
dari banyaknya kawasan kumuh adalah munculnya
permasalahan-permasalahan sosial yang sangat kompleks dalam masyarakat, seperti : •
Kondisi kesehatan yang buruk.
•
Sumber pencemaran.
•
Sumber penyebaran penyakit.
•
Lingkungan yang kotor.
•
Rumah yang tidak sehat dan tidak layak huni.
•
Sarana MCK yang terbatas dan tidak memadai.
•
Rawan kejahatan
•
Rawan kebakaran. Berdasarkan data tentang sebaran lokasi kawasan kumuh di Kota Bandung
pada tahun 2000 menunjukkan bahwa hampir disetiap kelurahan terdapat kawasan permukiman kumuh, baik yang bersatus kampung kota maupun permukiman liar. Menurut data kawasan kumuh di Kota Bandung yang telah dikeluarkan oleh Puslitbang Permukiman Departemen Kimpraswil, terlihat bahwa hampir di setiap kecamatan terdapat kawasan kumuh, berdasarkan proporsi dan komposisi jumlah keluarga dalam peringkat pra sejahtera di wilayah kota Bandung. Peringkat tertinggi adalah Kecamatan Cicadas (27%), Kecamatan Regol (25%), Kecamatan Bandung Kulon (15%).). Sebaran kawasan kumuh dari 139 kelurahan yang ada di kota Bandung, kelurahan yang dikategorikan tidak kumuh hanya berjumlah 17 saja atau (12%), berarti sebanyak 122 atau (88%) kelurahan dikategorikan kumuh. (www.bandung,go.id). Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul merupakan salah satu kawasan kumuh di Kota Bandung. Dengan luas wilayah yang hanya 55 ha dihuni oleh sekitar 12.886 jiwa, sehingga di Kelurahan Cicadas setiap hektarnya dihuni oleh 234 jiwa. Kepadatan penduduk di Kelurahan Cicadas mengakibatkan permukiman-permukiman hampir disetiap RW menjadi kumuh (berdasarkan hasil pemetaan sosial (PL I) yang dilaksanakan dari tanggal 31 Januari sampai 20
5
Februari 2008 dan evaluasi program (PL II) yang dilaksanakan dari tanggal 22 Mei sampai 6 Juni 2008). Upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan kawasan kumuh telah dilaksanakan dalam berbagai bentuk program seperti program perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur kawasan kumuh serta program rehabilitasi rumah kumuh. Berdasarkan data dan informasi hasil Pemetaan Sosial (PL I) dan Evaluasi Program (PL II) yang dilakukan pengkaji, program-program tersebut tampaknya hanya sebatas pada bagaimana program dapat dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan
belum terlihat bagaimana keterlibatan masyarakat dalam
pelaksanaan program. Mengingat hal tersebut maka permasalahan yang dihadapi adalah : 1. Seberapa jauh program-program yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh dapat melibatkan partisipasi masyarakat di Kelurahan Cicadas ? 2. Bagaimana karakteristik komunitas permukiman kumuh dan faktor-faktor apa yang menyebabkan partisipasi masyarakat aktif dan tidak aktif dalam program penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas ? Dari gambaran latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka kajian ini berkaitan dengan : “Upaya meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam program penataan
permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung”.
1.3. Tujuan Kajian Berdasarkan uraian rumusan masalah, maka tujuan dari kajian ini adalah : 1. Mengidentifikasi
tingkat
partisipasi
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam program penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas. 2. Merumuskan strategi pengembangan partisipasi masyarakat di Kelurahan Cicadas di masa yang akan datang.
6
1.4. Manfaat Kajian Manfaat Praktis yang diharapkan dari kajian ini adalah : 1. Memberikan masukan bagi Pemerintah Kota Bandung dan instansi terkait tentang kebijakan dan program yang aspiratif dan partisipatif dalam penataan kawasan kumuh. 2. Bagi masyarakat komunitas kawasan kumuh akan tercipta suatu tempat bermukim yang bersih, sehat, teratur dan peduli akan lingkungan. 3. Memberikan pengembangan
masukan
alternatif
masyarakat
bagi
teknis
dan
elemen
yang
model peduli
partisipatif terhadap
pengembangan masyarakat. Manfaat Teoritis yang diharapkan dari kajian ini adalah : 1. Diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang aspek kemauan, kemampuan dan kesempatan dalam berpartisipasi. 2. Dapat menambah pengetahuan tentang faktor-faktor yang mendorong dan menghambat tingkat partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh.
II. TINJAUAN TEORITIS
2.1. Pendekatan Holistis dalam Manajemen Kota Dalam pengelolaan kota dan wilayah, diperlukan pemecahan masalah secara menyeluruh (holistik). Menurut Sadyohutomo (2008) pendekatan menyeluruh merupakan pendekatan multidimensi kesisteman agar penyelesaian masalah dapat dilakukan secara tuntas sampai pada akar permasalahannya dan bukan pemecahan masalah yang bersifat semu atau pemecahan yang hanya tertuju pada tingkat gejala masalah (simtomatik). Pendekatan holistik mempunyai pilar-pilar sebagai berikut : 1. Secara Ekonomi menguntungkan. Aspek penting yang perlu dipedomani dalam pengelolaan kota dan wilayah antara lain sebagai berikut : a. Pembangunan
ekonomi
berkelanjutan
(berwawasan
jangka
panjang) b. Peningkatan pendapatan masyarakat c. Peningkatan lapangan pekerjaan d. Pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan e. Pembangunan berbasis ekonomi atau sumber daya lokal, tetapi berorientasi ekspor ke tingkat regional, nasional dan global. Pengembangan ekonomi mengintegrasikan antara aktor lokal dengan penggerak dari luar. 2.
Ramah terhadap lingkungan. Aspek penting yang perlu dipedomani dalam pengelolaan kota dan wilayah antara lain sebagai berikut : a. Konservasi dan pengawetan tanah dan lingkungan. b. Efisiensi penggunaan sumberdaya, pergeseran dari penggunaan sumberdaya yang sekali pakai menuju ke penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui, misalnya daur ulang bahan industri dan pemakaian sumber energi tidak bertumpu pada energi fosil, tetapi ditunjang energi biomasa (pengolahan limbah untuk energi,
8
biodiesel dsb), energi air, energi matahari, energi angin dan energi nuklir. c. Mengurangi dan memanfaatkan limbah. d. Teknologi yang sesuai (tepat guna) dan selalu berkembang. 3.
Secara sosial dan politik diterima masyarakat dan sensitif terhadap budaya. Penggunaan aspek-aspek sosial, politik, dan budaya setempat akan merangsang partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengelolaan tata ruang. Dalam menangani permasalahan permukiman kumuh, diperlukan strategi
komprehensif
meliputi pilar-pilar di atas, dengan konteks penekanan kepada
peran serta masyarakat (komunitas) permukiman kumuh. Hal inipun dikemukakan oleh Budihardjo dan Hardjohubojo (1993) bahwa salah satu pertimbangan dalam perencanaan kota adalah dengan menyerap aspirasi masyarakat. Beberapa hal yang akan dibahas secara teoritis dalam kajian upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas adalah pengertian tentang permukiman kumuh, partisipasi dalam pembangunan, definisi partisipasi, bentuk partisipasi masyarakat, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, kelembagaan serta kepemimpinan.
2.2. Permukiman kumuh Adisasmita (2006) mengemukakan istilah permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman Pasal 1, Butir 1 dinyatakan bahwa Rumah atau Permukiman selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian yang digunakan manusia untuk berlindung dari gangguan iklim dan gangguan mahluk hidup lainnya,
merupakan
pula
tempat
untuk
menyelenggarakan
kegiatan
bermasyarakat, maka penataan ruang dan kelengkapan prasarana dan sarana lingkungan dan lainnya, dimaksudkan agar lingkungan tersebut menjadi lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.
9
Permukiman menurut Sadyohutomo (2008) merupakan suatu kelompok hunian pada suatu areal atau wilayah beserta prasarana yang ada di dalamnya. Permukiman kumuh menunjukkan keadaan permukiman padat yang tidak teratur dan tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana
yang memadai,
terutama jalan dan saluran pembuangan air limbah. Menurut Wikipedia Indonesia, kawasan kumuh adalah sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. (www.wikipedia.org , diakses Juli 2008) Menurut
Departemen
Permukiman
Dan
Prasarana
Wilayah
(Depkimpraswil) (www.ciptakarya.pu.go.id, diakses Juli 2008), permukiman kumuh (slum) dapat diklasifikasikan ke dalam dua klasifikasi yaitu : 1.
Fisik : a.
Berpenghuni padat > 500 orang/Ha
b.
Tata letak bangunan kondisinya buruk dan tidak memadai
c.
Konstruksi bangunan kondisinya buruk dan tidak memadai
d.
Ventilasi tidak ada, kalau ada kondisinya buruk dan tidak memadai
e.
Kepadatan bangunan kondisinya buruk dan tidak memadai
f.
Keadaan jalan kondisinya buruk dan tidak memadai
g.
Drainase tidak ada dan kalau ada kondisinya buruk dan tidak memadai
h.
Persediaan air bersih tidak tersedia, kalau tersedia kualitasnya kurang baik dan terbatas, tidak/kurang lancar.
i.
Pembuangan limbah manusia dan sampah tidak tersedia, kalau tersedia kondisinya buruk atau tidak memadai.
2.
Non Fisik : a.
Tingkat kehidupan Sosial ekonomi rendah
b.
Pendidikan didominasi SLTP ke bawah
c.
Mata pencaharian bertumpu pada sektor informal
d.
Disiplin warga rendah
e.
Dll. Menurut Direktur Jendral Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negri
(www.demandiri.or.id, diakses Juli 2008), ciri-ciri permukiman atau daerah
10
perkampungan kumuh dan miskin dipandang dari segi sosial ekonomi adalah sebagai berikut : 1. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah, serta memiliki sistem sosial yang rentan. 2. Sebagaian besar penduduknya berusaha atau bekerja di sektor informal. Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya di bawah standar minimal sebagai tempat bermukim, misalnya memiliki: a) Kepadatan penduduk yang tinggi > 200 jiwa/km2 b) Kepadatan bangunan > 110 bangunan/Ha. c) Kondisi prasarana buruk (jalan, air bersih, sanitasi, drainase, dan persampahan). Kondisi fasilitas lingkungan terbatas dan buruk, terbangun < 20% dari luas persampahan. d) Kondisi bangunan rumah tidak permanen dan tidak memenuhi syarat minimal untuk tempat tinggal. e) Permukiman rawan terhadap banjir, kebakaran, penyakit dan keamanan. f)
Kawasan permukiman dapat atau berpotensi menimbulkan ancaman (fisik dan non fisik ) bagi manusia dan lingkungannya.
Menurut Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, karakteristik kawasan kumuh sebagai berikut : 1. Kepadatan bangunan yang tinggi. 2. Kondisi prasarana dan sarana yang buruk secara kuantitatif dan kualitatif. 3. Kondisi lingkungan yang tidak didukung oleh sistem drainase dan pembuangan sampah yang memadai. 4. Tidak memiliki keteraturan struktur permukiman. 5. Permukiman dibantaran sungai. 6. Areal yang terpengaruh secara fisik oleh adanya pengelolaan limbah pabrik disekitarnya. Pemenuhan kebutuhan perumahan pada saat ini sangat sulit untuk dipenuhi oleh sebagian penduduk yang disebabkan rendahnya kemampuan ekonomi dan tingginya biaya pembangunan perumahan. Keterbatasan tersebut mengakibatkan kondisi perumahan yang dibangun kurang memenuhi persyaratan
11
bagi perumahan yang layak huni dan lingkungan yang sehat. Kondisi perumahan yang buruk dapat menimbulkan masalah-masalah seperti padatnya penghuni perumahan, rendahnya tingkat kesehatan, rawan bahaya kebakaran dan sebagainya. Sebagai akibat kurangnya fasilitas lingkungan permukiman seperti air minum, saluran pembuangan air, pembuangan sampah dan lainnya maka timbullah masalah lingkungan permukiman kumuh yang tidak sehat. Penataan lingkungan merupakan faktor sangat penting dalam usaha perbaikan
permukiman.
Sebagus
apapun
perbaikan
permukiman
tanpa
memperhatikan penataan lingkungan akan sia-sia. Sekalipun tempat tinggal, jalan, penerangan dan lain-lain sudah memadai, akan tetapi apabila faktor lingkungan diabaikan, maka permukiman akan terlihat kotor dan berkesan jorok bahkan yang sudah tertata rapi akan menjadi kumuh kembali. Selain itu lingkungan yang buruk menyebabkan timbulnya berbagai penyakit. Penataan lingkungan baik secara individuil seperti sistem sanitasi di rumah-rumah (tersedianya saluran pipa air bersih , MCK), maupun penataan lingkungan dalam skala yang lebih luas seperti penyediaan air bersih, saluran pematusan (drainase), pembuangan air limbah serta pembuangan sampah adalah sangat penting. Oleh karena itu salah satu indikator berhasil atau tidaknya perbaikan permukiman adalah peningkatan kualitas lingkungan yang dapat diukur dengan ada atau tidak serta baik atau buruknya fasilitas-fasilitas sanitasi tersebut di atas. Dari pengertian di atas, permukiman selain terdiri dari rumah tinggal, juga merupakan tempat kegiatan penghuni dalam berinteraksi dengan penghuni lainnya yang membentuk satu komunitas. Menurut Zastrow (2004:29) yang dikutip oleh Nitimihardjo (2007) ada beberapa perspektif teoritis untuk memahami komunitas yaitu : 1. Perspektif struktural menjelaskan bagaimana individu merasa tepat dan nyaman secara keseluruhan berada di dalam organisasi, dan menekankan pada bagaimana seseorang dihubungkan dengan struktur pemerintahan melalui komunitas. 2. Perspektif sosiopsikologis meliputi bagaimana perasaan anggota-anggota komunitas mengenai diri mereka dan bagaimana mereka berinteraksi.
12
3. Perspektif ekologi manusia dengan
lingkungannya.
memusatkan pada hubungan penduduk
Pendekatan
ekologi
mempertimbangkan
bagaimana lingkungan mempengaruhi perkembangan manusia, interaksi dan kualitas hidup. 4. Teori sistem sosial berisikan konsep-konsep yang menekankan pada interaksi dan hubungan diantara berbagai sistem, termasuk individu, keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas. Teori sistem digabungkan dengan perspektif ekologi melahirkan teori ekosistem yang menjelaskan bahwa manusia secara konstan berada dalam interaksi dengan berbagai sistem dalam suatu lingkungan. Permasalahan yang dihadapi dalam program penataan permukiman kumuh adalah terbatasnya ruang gerak pelaksanaan yang disebabkan oleh kondisi fisik tata bangunan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Bangunan-bangunan fisik yang sudah ada dan cukup padat menyebabkan penataan perumahan tidak mudah. Oleh karena itu program penataan permukiman kumuh harus didukung oleh masyarakat setempat dengan prinsip partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Caranya dengan melibatkan masyarakat secara langsung sejak dari tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan.
2.3. Partisipasi dalam Pembangunan Salah satu tujuan pembangunan adalah meningkatkan kemampuan partisipasi masyarakat. Menurut Gunardi, Agung S , Purnaningsih dan Lubis (2007, 43), partisipasi merupakan konsep yang sulit untuk dilaksanakan terutama pada masyarakat perkotaan yang lebih bersifat individualistis dan bersikap skeptis terhadap pembangunan. Masalah ini terutama muncul dikalangan masyarakat yang sering dikecewakan oleh program-program pembangunan sebelumnya, sehingga mereka cenderung curiga terhadap program-program yang hanya menguntungkan sekelompok orang saja. Penegakan prinsip partisipasi masyarakat merupakan upaya yang tidak mudah dan memerlukan waktu yang panjang. Pengalaman program-program pembangunan sebelumnya, yang merepresentasikan peran yang dominan ditangan aparat pemerintah, banyak berpengaruh terhadap melemahnya daya prakarsa
13
masyarakat. Sementara itu ditingkat pemerintahanpun secara umum terdapat kecenderungan kuat untuk bersikap menunggu dan meneruskan keputusan dari tingkat yang lebih tinggi, daripada mengambil inisiatif untuk merespons tuntutan dari bawah (Jurnal Analisis Sosial, 2002). Menurut Siagian (1999), keberhasilan kegiatan pembangunan akan lebih terjamin apabila seluruh warga masyarakat membuat komitmen untuk turut berperan sebagai pelaku pembangunan dengan para anggota elite masyarakat sebagai panutan, pengarah, pembimbing dan motivator. Dengan perkataan lain, partisipasi masyarakat luas mutlak diperlukan oleh karena mereka itulah yang pada akhirnya melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan tersebut. Agar masyarakat mau dan tertarik untuk berpartisipasi, perlu kiranya menciptakan kondisi agar pembangunan yang dilaksanakan memenuhi kriteria : 1. Menguntungkan masyarakat. 2. Harus dipahami maksudnya oleh masyarakat. 3. Dilaksanakan sesuai maksudnya secara jujur, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. 4. Harus melibatkan masyarakat dalam pelaksanaannya. Pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan dikemukakan juga oleh Sudriamunawar (2006) : 1. Dengan peranserta masyarakat akan lebih banyak hasil kerja yang dicapai. 2. Dengan peranserta masyarakat pelayanan atau servis dapat diberikan dengan biaya murah. 3. Peranserta masyarakat memiliki nilai dasar yang sangat berarti dalam menjalin persatuan dan kebersamaan dalam masyarakat. 4. Peranserta masyarakat
merupakan
katalisator untuk kelangsungan
pembangunan selanjutnya. 5. Peranserta masyarakat dapat menghimpun dan memanfaatkan berbagai pengetahuan di masyarakat. 6. Peranserta masyarakat lebih menyadarkan masyarakat itu sendiri terhadap penyebab dan kemiskinan sehingga menimbulkan kesadaran untuk mengatasinya.
14
2.3.1. Definisi Partisipasi Partisipasi mempunyai beberapa pengertian seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Safi’i (2007), kata partisipasi berasal dari bahasa latin partisipare yang mempunyai arti dalam bahasa Indonesia mengambil bagian atau turut serta. Selanjutnya partisipasi menurut Sastrodipoetra dalam Safi’i (2007) adalah “keterlibatan yang bersifat spontan yang disertai kesadaran dan tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama”. Menurut Adisasmita (2006) partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program/proyek pembangunan yang dikerjakan di masyarakat lokal. Partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan merupakan aktualisasi dari ketersediaan dan kemauan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam implementasi program/proyek yang dilaksanakan. Syahyuti (2006) mengemukakan istilah partisipasi sebagai proses dimana seluruh pihak dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisiatif pembangunan. Pembangunan yang partisipatif (participatory development) adalah proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. Sudriamunawar (2006) mengutip istilah partisipasi menurut Direktur Jendral Pengembangan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negri,
partisipasi
masyarakat sebagai keikutsertaan masyarakat dengan sadar dalam suatu program atau kegiatan untuk mencapai hasil yang telah ditetapkan. Kesadaran timbul karena adanya kepentingan yang dapat dicapai melalui kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama. Dilihat dari pengertian partisipasi di atas, bahwa seseorang atau sekelompok orang akan terlibat dalam partisipasi tergantung kepada kesadaran, kemauan dan dorongan (motif) dalam dirinya untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Faisal (tanpa tahun) kemauan dapat diartikan sebagai perbuatan psikis yang mengandung usaha aktif berhubungan langsung dengan pelaksanaan suatu tujuan. Kemauan dilihat dari proses tumbuhnya kebutuhan pribadi individu,
15
adanya kesadaran akan tujuan, adanya pelaksanaan tujuan yang disertai tingkah laku. Menurut Panjaitan, Nitimihardjo dan Fachrudin (2007), motif adalah sesuatu yang ada dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu. Pada dasarnya motif terbentuk karena adanya kebutuhan pada diri manusia (biological need dan psychological need). Harapan cenderung mempengaruhi motif atau kebutuhan. As’ad (1981) mengemukakan istilah motif sebagai dorongan atau tenaga yang merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat, sehingga motif tersebut merupakan suatu driving force yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempunyai tujuan tertentu. Menurut Walgito (1983), tingkah laku manusia dipengaruhi oleh tiga kemampuan kejiwaan yang merupakan satu kesatuan dan tidak bisa terlepas satu dengan yang lain, yaitu : 1. Kognisi, yang berhubungan dengan pengenalan. Menurut Irwanto (1994), dalam kognisi ada proses evaluatif, membandingkan, menganalisis atau mendayagunakan pengetahuan yang ada untuk memeriksa suatu rangsang. 2. Emosi (Afeksi), yang berhubungan dengan perasaan. Menurut Irwanto (1994), dalam emosi ada perasaan senang dan tidak senang serta perasaan emosional lain sebagai akibat/hasil dari proses evaluatif yang dilakukan. Perasaan ini berpengaruh kuat terhadap prilaku seseorang. 3. Konasi, yang berhubungan dengan kemauan, yaitu kecenderungan untuk bertingkah laku tertentu. Menurut Direktorat Penyuluhan dan Bimbingan Sosial (1980), untuk menggerakkan setiap orang supaya mau berpartisipasi maka perlu diciptakan perasaan kepentingan bersama, saling ikut memiliki dan bertanggung jawab dan berusaha menghilangkan jarak sosial serta prasangka sosial. Di dalam menciptakan perasaan adanya kepentingan bersama dan saling ikut memiliki serta tanggung jawab maka perlu dicari motivasi dalam kebutuhan hidup manusia. Menurut Irwanto, Elia, Hadisoepadma, Priyani, Wismanto dan Fernandes (1994) motivasi adalah penentu (determinan) perilaku. Terdapat tiga determinan penyebab terjadinya perilaku, yaitu :
16
1. Determinan yang berasal dari lingkungan (kegaduhan, bahaya dari lingkungan, desakan guru dan lain-lain) 2. Determinan dari dalam diri individu (harapan/cita-cita, emosi, keinginan dan lain-lain) 3. Tujuan/insentif/nilai dari suatu objek. Faktor-faktor ini berasal dari dalam diri individu (kepuasan kerja, tanggung jawab dan lain-lain) atau dari luar individu (status, uang dan lain-lain). Dalam memandang perilaku manusia yang merupakan hasil interaksi dengan sistem lingkungan sosialnya, terdapat tiga sistem yang mendasar seperti yang dikemukakan oleh Nitimihardjo (2007), yaitu : 1. Sistem mikro, yaitu berkenaan dengan individu yang terdiri atas sistem biologis, psikologis dan sosial,
dimana ketiga sistem tersebut saling
berinteraksi dan saling berpengaruh. 2. Sistem mezo, yaitu berkenaan dengan kelompok kecil, seperti keluarga, kelompok kerja dan kelompok-kelompok sosial lainnya. 3. Sistem makro, yaitu berkenaan dengan sistem yang lebih besar dari kelompok kecil. Orientasi makro memusatkan pada kondisi dan kebijakan sosial, politik dan ekonomi yang mempengaruhi kualitas hidup manusia. Dalam partisipasi konsep yang penting diperhatikan dalam diri individu adalah konsep kebutuhan manusia, kesadaran dan kemauan akan motif serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan yang merupakan pendorong utama dibalik tingkah laku manusia dalam konteks komunitas. Dari penjelasan tentang motif dan tingkah laku di atas maka motif akan merangsang seseorang bertingkah laku untuk pencapaian tujuan. Selain tingkah laku disebabkan oleh rangsangan motif, harapan dan kebutuhan juga disebabkan oleh rangsangan situasi yang berlaku pada saat itu. Oppenheim (1966) mengemukakan formula untuk menganalisis tingkah laku yaitu B = f (P,E) : “behavior is a function of the interaction between P (all the person’s inner determinats, such as temperament, attitude, or character traits) and E (all the environmental factors, as perceived by the individual). Tingkah laku adalah interaksi antara manusia (seperti temperamen, sikap atau karakter) dan lingkungannya (semua faktor-faktor dari lingkungan yang diterima oleh individu).
17
Menurut Sumardjo dan Saharudin (2007) terdapat dua hal yang dapat mendukung partisipasi dalam masyarakat yaitu : (1) ada unsur yang mendukung untuk berprilaku tertentu pada diri seseorang (person inner determinant) dan (2) terdapat iklim atau lingkungan (environtmental factors) yang memungkinkan terjadinya prilaku tertentu itu. Untuk mengembangkan partisipasi perlu kiranya memperhatikan kedua aspek tersebut. Faktor-faktor atau prasyarat yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah : 1. Adanya kesempatan yaitu adanya kesadaran
dari seseorang tentang
suasana atau kondisi lingkungan yang memberikan peluang berpartisipasi. 2. Adanya kemauan yaitu adanya dorongan yang menumbuhkan minat dan sikap untuk berpartisipasi, misalnya adanya manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasi tersebut. 3. Adanya kemampuan, yaitu adanya kesadaran dan keyakinan bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi baik itu berupa pikiran, waktu, tenaga, atau sarana dan material lain. Sudriamunawar (2006) mengemukakan tentang persyaratan partisipasi sebagai berikut : 1. Aspek partisipasi yang paling mendasar adalah luasnya pengetahuan dan latar belakang yang memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasikan sebagai prioritas dan melihat berbagai masalah dalam konteksnya yang tepat. 2. Adanya kemampuan untuk belajar secara lebih cepat tentang berbagai masalah sosial dalam pengambilan keputusan. 3. Kemauan untuk bertindak secara lebih efektif. Seseorang akan berpartisipasi apabila terpenuhi faktor-faktor atau prasayarat diatas. Jika salah satu faktor dari ketiga faktor tersebut tidak terpenuhi, maka hampir dapat dipastikan bahwa partisipasi tidak akan pernah terjadi.
2.3.2. Tipologi Partisipasi Menurut Sumardjo (2007), Hobley membagi tipe partisipasi sebagai berikut :
18
Partisipasi Manipulatif yaitu partisipasi semu dimana masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. Menurut Gunardi, et al (2007, 45), pada partisipasi ini ada wakil-wakil masyarakat dalam kepanitiaan atau kepengurusan tetapi tidak mempunyai kekuasaan atau terpilih. Partisipasi Informatif yaitu masyarakat hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian untuk proyek, masyarakat tidak mendapat kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses penelitian. Akurasi penelitian tidak dibatasi bersama masyarakat. Orang berpartisipasi setelah diberitahu hasil keputusan, tanpa menghiraukan respon masyarakat. Informasi dimiliki oleh profesional dari luar. Partisipasi
Konsultatif
yaitu
masyarakat
berpartisipasi
dengan
cara
berkonsultasi, dimana orang luar mendengarkan, menganalisa masalah dan pemecahannya. Tidak ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama, para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. Partisipasi Insentif yaitu masyarakat memberikan korbanan/jasanya untuk memperoleh imbalan berupa insentif/upah. Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan. Partisipasi Fungsional yaitu masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek, pembentukan kelompok biasanya setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya. Partisipasi Interaktif yaitu masyarakat berperan dalam analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Partisipasi ini cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
19
Partisipasi Mandiri yaitu masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain
untuk mendapatkan bantuan-bantuan/dukungan-dukungan
teknis dan
sumberdaya yang diperlukan. Masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan.
2.3.3. Bentuk Partisipasi Masyarakat Dalam pelaksanaan partisipasi, seseorang, kelompok, atau masyarakat dapat memberikan kontribusi atau sumbangan dalam berbagai bentuk atau jenis partisipasi yang disesuaikan dengan kemauan dan kemampuan mereka untuk menunjang keberhasilan pembangunan. Bentuk partisipasi yang diperinci dalam jenis-jenis partisipasi menurut rumusan Direktur Jendral Pengembangan Masyarakat Desa Departemen Dalam Negri yang dikutip oleh Sudriamunawar (2006) sebagai berikut : 1. Partisipasi Buah Pikiran Partisipasi disini memiliki arti bahwa seseorang atau kelompok masyarakat itu turut serta menyumbangkan ide-ide bagi pembangunan masyarakat. Contohnya adalah kegiatan anjang sono, rapat desa, musyawarah desa yang dilaksanakan oleh Lembaga Masyarakat Desa. 2. Partisipasi Tenaga dan Fisik Partisipasi yang bersifat aktif yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat
dengan
terjun langsung dalam
pelaksanaan
kegiatan
pembangunan. Dalam kehidupan masyarakat desa perkembangan peran serta tenaga dan fisik ini tampak pada pekerjaan gotong royong dalam perbaikan jalan, jembatan, sarana ibadah, pendidikan dan sebagainya. 3. Partisipasi Ketrampilan dan Kemahiran Partisipasi yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat dalam bentuk kemahiran
dan
ketrampilan
yang
dimilikinya
untuk
keperluan
pembangunan desanya. Misalnya dalam kegiatan peringatan hari Kemerdekaan, warga desa mengerahkan masyarakatnya yang memiliki
20
kemampuan dalam seni untuk menghias dan menata desa dengan sebaik dan seindah mungkin. 4. Partisipasi Harta Benda Partisipasi yang dilakukan warga masyarakat dalam bentuk sumbangan baik berupa barang maupun benda. Hal ini biasanya dilakukan seseorang bila dia tidak mampu untuk berpartisipasi langsung dalam kegiatan pembangunan. Tidak bisanya untuk ikut berperan serta secara aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di desa biasanya karena sudah uzur, sedang sakit atau sedang ada kepentingan yang tidak dapat ditinggalkan. Contohnya menyumbang makanan untuk masyarakat yang sedang melakukan kerja bakti/gotong royong, memberikan sumbangan berupa makanan, minuman atau uang. Hamijoyo dan Iskandar yang dikutip oleh Huraerah (2007 : 103) menambahkan bentuk partisipasi selain yang dikemukakan di atas yaitu partisipasi sosial berupa partisipasi yang diberikan orang sebagai tanda keguyuban, misalnya turut arisan, koperasi,
melayad dalam peristiwa kematian, kondangan dalam
peristiwa pernikahan. Dengan memperhatikan pembagian partisipasi masyarakat diatas, dapat terlihat luasnya kemungkinan-kemungkinan yang dapat digunakan orang, kelompok atau masyarakat jika akan berpartisipasi. Dalam pelaksanaan partisipasi sosial tidak hanya keikutsertaan setiap orang saja yang diperlukan tetapi juga peranan aktif apa yang bisa diperbuat serta disumbangkan perlu mendapat perhatian. Soetrisno mengemukakan tentang ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan, tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayah mereka. Tinggi rendahnya partisipasi rakyat adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu (Huraerah, 2007:97).
21
Partisipasi atau peran serta masyarakat yang tumbuh dan berkembang dengan baik dalam suatu aktivitas masyarakat dalam pembangunan, dapat diukur dengan kriteria-kriteria sebagai berikut (Sudriamunawar, 2006) : 1. Adanya pemimpin yang mampu menggerakkan masyarakat secara aktif dan dinamis. 2. Adanya objek pembangunan sehingga peran serta masyarakat akan terlihat aktif dan dinamis. 3. Ketertarikan dan keeratan hubungan yang harmonis baik antara sesama anggota masyarakat maupun masyarakat itu sendiri dengan pemimpinnya. 4. Adanya tujuan hidup dan kebutuhan yang sama dimana hal ini merupakan kekuatan dan modal yang besar untuk melakukan kegiatan bersama dalam kehidupan bermasyarakat. 5. Adanya kemampuan masyarakat itu sendiri dalam menyesuaikan dirinya dengan alam dan lingkungan sekitarnya. 6. Adanya iklim yang memungkinkan timbulnya peran serta masyarakat. Menurut Najib yang dikutip oleh Huraerah (2007), keberhasilan partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh : 1. Siapa penggagas partisipasi; apakah pemerintah pusat, pemerintah daerah atau LSM 2. Untuk kepentingan siapa partisipasi itu dilaksanakan: apakah untuk kepentingan pemerintah atau untuk masyarakat. Jika untuk kepentingan warga maka program kemiskinan dengan pendekatan partisipasi masyarakat akan lebih berlanjut. 3. Siapa yang memegang kendali: apakah pemerintah pusat, pemerintah daerah atau lembaga donor. Jika pemerintah daerah atau LSM yang memegang kendali cenderung lebih berhasil, karena pemerintah daerah atau LSM cenderung lebih mengetahui permasalahan, kondisi dan kebutuhan daserah atau masyarakatnya dibanding pihak luar. 4. Hubungan pemerintah dengan masyarakat: apakah ada kepercayaan dari masyarakat kepada pemerintahnya, jika hubungan ini baik, partisipasi akan lebih mudah dilaksanakan.
22
5. Kultural: daerah yang masyarakatnya memiliki tradisi dalam berpartisipasi (proses pengambilan keputusan melalui musyawarah) cenderung lebih mudah dan berlanjut. 6. Politik: kepemerintahan yang stabil serta menganut sistem yang transparan, menghargai keberagaman dan demokratis. 7. Legalitas: tersedianya (diupayakan) regulasi yang menjamin partisipasi warga dalam pengelolaan pembangunan (terintegrasi dalam sistem kepemerintahan di daerah). 8. Ekonomi : adanya mekanisme yang menyediakan akses bagi warga miskin untuk terlibat atau memastikan bahwa mereka akan memperoleh manfaat (langsung maupun tidak langsung) setelah berpartisipasi. 9. Kepemimpinan: adanya kepemimpinan yang disegani dan memiliki komitmen untuk mendorong serta melaksanakan partisipasi, dapat dari kalangan pemerintah, LSM, masyarakat itu sendiri atau tokoh masyarakat. 10. Waktu: penerapan partisipasi tidak hanya sesaat, tetapi ditempatkan pada kurun waktu yang cukup lama. 11. Tersedianya jaringan yang menghubungkan antara warga masyarakat dan pemerintah (forum warga)
2.3.4. Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan dan partisipasi merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembangunan di masyarakat. Huraerah (2007) mengatakan bahwa konsep pemberdayaan termasuk dalam pengembangan masyarakat dan terkait dengan konsep-konsep: kemandirian (self-help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking) dan pemerataan (equity). Menurut Hikmat (2006) yang mengutip pendapat Paul (1978), pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini, pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Salah satu agen international, Bank Dunia misalnya percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau
23
masyarakat termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri sendiri. Ife
(2002)
memberikan
defenisi
pemberdayaan
sebagai
berikut:
“empowerment aims to increase the power of the disadvantaged”, pemberdayaan adalah peningkatan kekuasaan kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung. Menurut Sumodiningrat (2007), pemberdayaan sebagai konsep alternatif pembangunan, dengan demikian menekankan otonomi pengambilan keputusan suatu kelompok masyarakat yang berlandaskan pada sumberdaya pribadi, partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengalaman langsung. Sedangkan menurut Suharto (2005) yang mengutip pendapat Parsons (1994), mengemukakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagi pengontrolan atas dan mempengaruhi
terhadap
kejadian-kejadian
mempengaruhi
kehidupannya.
Pemberdayaan
serta
lembaga-lembaga
menekankan
bahwa
yang orang
memperoleh ketrampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain
yang menjadi
perhatiannya. Haeruman dan Eriyatno (2001), mengemukakan konsep pemberdayaan sebagai alternatif bagi pembangunan ekonomi wilayah. Pada hakekatnya, konsep ini memuat upaya mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan ekonomi wilayah. Ciri pokok konsep pemberdayaan adalah pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan, partisipasi aktif, demokratis dan berdasar pada isu pokok dan sumberdaya lokal. Selanjutnya
Syaroni dalam Jurnal Analisis Sosial (2002) menyatakan
tentang substansi dari pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya sebuah kesadaran
kritis dan
konstruktif
pada
segenap
komunitas menghadapi
eksistensinya dan masalah-masalah yang muncul baik pada masa sekarang maupun mendatang. Dari pengertian-pengertian diatas tentang partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua konsep yang saling berkaitan dan dapat dikatakan ibarat dua sisi mata uang yang saling terkait dan berhubungan. Untuk menumbuhkan partisipasi
24
masyarakat
diperlukan
upaya
berupa
pemberdayaan.
Dengan
model
pemberdayaan ini diharapkan partisipasi masyarakat akan meningkat. Artinya masyarakat yang berdaya adalah masyarakat yang dinamis dan aktif berpartisipasi di dalam membangun diri mereka sendiri. Tidak mengharapkan bantuan dari orang lain, mampu berfikir kreatif dan inovatif, mempunyai wawasan yang luas dan mampu bekerja sama dengan pihak lain. Hal inipun dikemukakan oleh Suharto (2005) pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan.
2.4. Kelembagaan Salah satu strategi untuk mencapai tujuan pengembangan masyarakat lokal yang partisipatif adalah mengembangkan kelembagaan yang ada di dalam komunitas lokal. Menurut Haeruman dan Eriyatno (2001) pengembangan kelembagaan berarti suatu proses menuju ke arah perbaikan hubungan antara orang atau kelompok orang dalam masyarakat, yang pada gilirannya dapat membentuk kelembagaan yang dikehendaki, dalam proses tersebut melibatkan unsur norma dan tingkah laku. Menurut Nasdian dan Dharmawan (2007), kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah social institution. Akan tetapi adapula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk istilah social institution tersebut, yang menunjuk
pada
adanya
unsur-unsur
yang
mengatur
prilaku
warga.
Koentjaraningrat (1964) mengatakan pranata sosial adalah “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam masyarakat”.
25
Tujuan dibentuknya kelembagaan adalah untuk memenuhi kebutuhankebutuhan pokok manusia, maka Koentjaraningrat (1979) yang dikutip oleh Nasdian dan Dharmawan (2007) mengkategorikan kelembagaan sebagai berikut : 1. Kelembagaan kekerabatan/Domestik, memenuhi kebutuhan kekerabatan. Contoh pelamaran, poligami, perceraian dll . 2. Kelembagaan Ekonomi, memenuhi pencaharian hidup, memproduksi, menimbun,
mendistribusikan
harta
benda.
Contohnya
pertanian,
peternakan, industri, koperasi, perdagangan, sambatan dan lain-lain. 3. Kelembagaan
Pendidikan,
memenuhi
kebutuhan
penerangan
dan
pendidikan manusia agar menjadi anggota masyarakat yang berguna. Contoh : pendidikan dasar/menengah/tinggi, pers dan lain-lain. 4. Kelembagaan
Ilmiah, memenuhi kebutuhan
ilmiah manusia
dan
menyelami alam semesta. Contoh : pendidikan ilmiah, penelitian, metode ilmiah. 5. Kelembagaan
Estetika
dan
Rekreasi,
kebutuhan
manusia
untuk
menyatakan rasa keindahannya dan rekreasi. Contoh : senirupa, seni suara, seni gerak, kesusasteraan dan lain-lain. 6. Kelembagaan
keagamaan,
memenuhi
kebutuhan
manusia
untuk
berhubungan dengan Tuhan atau alam gaib. Contoh : upacara, selamatan, pantangan dan lain-lain. 7. Kelembagaan Politik, memenuhi kebutuhan manusia untuk mengatur kehidupan kelompok secara besar-besaran atau kehidupan bernegara. Contoh : pemerintahan, kepartaian, demokrasi, kepolisian, kehakiman dan lain-lain. 8. Kelembagaan
Somatik, memenuhi
kebutuhan jasmaniah manusia.
Contoh: pemeliharaan kesehatan, pemeliharaan kecantikan dan lain-lain. Masih terdapat bentuk-bentuk kelembagaan lain yang ada di komunitas selain pengkategorian di atas. Hal tersebut disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan manusia yang tidak pernah ada batasnya. Misalnya kelembagaan berdasarkan kesamaan profesi, kelembagaan berdasarkan kesamaan hobi dan lain sebagainya.
26
Menurut Kolopaking dan Nasdian (2007:26), pengembangan kelembagaan di dalam masyarakat lokal pada dasarnya dirancang untuk mengembangkan komunitas-komunitas dalam sebuah kawasan yang bertujuan untuk : 1. Mendorong pembangunan ekonomi komunitas yang memiliki fokus sesuai kapasitas ruang dan potensi komunitas. 2. Memfasilitasi munculnya pusat-pusat pertumbuhan antar komunitas. 3. Memberdayakan komunitas agar dapat menggali, mendayagunakan dan melestarikan
potensi-potensi
yang
ada
untuk
kemakmuran
dan
kesejahteraan masyarakat komunitas. 4. Mendorong usaha-usaha ekonomi rakyat yang memiliki linkage yang kuat dengan basis dan potensi kawasan perkomunitasan dan memfasilitasi manajemen usaha ekonomi rakyat dan kelembagaan keuangan mikro kawasan perkomunitasan. 5. Memfasilitasi
penguatan
partisipasi
pemerintah
komunitas
dan
kelembagaan masyarakat komunitas serta masyarakat dalam proses kebijakan publik lokal dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan kawasan pedesaan. Masih menurut Kolopaking dan Nasdian (2007:30) , diperlukan pedoman umum kebijakan untuk pengembangan kelembagaan pembangunan
yang
berlandaskan pada prinsip-prinsip sebagai berikut : Prinsip pertama adalah “partisipatif”, yakni prosesnya dimulai dengan suatu proses perencanaan partisipatif di aras mikro berupa profil dan program pembangunan komunitas yang dilakukan bersama masyarakat dengan melibatkan pemerintah desa, lembaga-lembaga di desa dan pemangku kepentingan lainnya, yakni lembaga swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Kedua, prinsip “keseimbangan” antara pembangunan di aras mikro dan pembangunan di aras makro. Dalam mengimplementasikan kedua aras tersebut perlu melibatkan pemerintah lokal dalam bentuk kebijakan pemerintah, maupun pihak swasta. Partisipasi dari pihak pemerintah lokal dalam hal ini, antara lain memberikan kemudahan dalam mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki.
27
Ketiga, prinsip “keterkaitan” sosial, ekonomi dan ekologis. Prinsip ini menekankan pentingnya bahwa dalam kelembagaan dan komunitas-komunitas pusat pertumbuhan dan komunitas-komunitas disekitarnya yang mendukung pusat pertumbuhan tersebut memiliki keterkaitan dalam konteks struktur sosial dan kultural; local ecology, yakni secara ekologis diantara kelompok-kelompok masyarakat di dalam komunitas dan antar komunitas memiliki pola adaptasi ekologi dalam menghadapi dinamika dan perubahan sosial ekonomi yang sedang berlangsung; dan collective action yaitu suatu aksi-aksi kolektif dalam bentuk kapital sosial dan kelembagaan sebagai wadah proses kehidupan dan pembangunan di kawasan perkomunitasan. Keempat, dalam pengembangan kelembagaan perlu berlandaskan pada prinsip “sinergis”, artinya perlu dilakukan upaya-upaya yang mensinerjikan lintas stakeholder, sektor publik, swasta dan masyarakat yang dimanifestasikan dalam bentuk rencana pembangunan daerah jangka menengah. Terakhir, prinsip “transparansi”, proses pengembangannya dilaksanakan dengan semangat keterbukaan sehingga seluruh warga komunitas dan pemangku kepentingan lainnya memiliki akses yang sama terhadap informasi tentang rencana dan pengembangan aksi.
2.4.1. Modal Sosial Modal sosial merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembangunan selain modal ekonomi atau modal finansial (financial capital) dan modal manusia (human capital). Menurut pandangan Francis Fukuyama yang dikutip Hasbullah (Huraerah, 2007:57), modal sosial memegang peranan penting dalam memfungsikan dan memperkuat masyarakat modern. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kemiskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Menurut Colletta dan Cullen yang dikutip oleh Nasdian dan Dharmawan (2007:43), kapital sosial didefenisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi seperti pandangan umum (wordview), kepercayaan (trust), pertukaran timbal balik (reciprocity), pertukaran
28
ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompokkelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasiasosiasi yang melengkapi kapital lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan
terjadinya
tindakan
kolektif,
pertumbuhan
ekonomi
dan
pembangunan. Kapital sosial memiliki empat dimensi yaitu : 1. Integrasi yaitu ikatan yang kuat antar anggota keluarga dan keluarga dengan tetangga sekitarnya. 2. Pertalian (linkage) yaitu ikatan dengan komunitas lain diluar komunitas asal. 3. Integritas Organisasional yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peraturan. 4. Sinergi (sinergy) yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas. Menurut Huraerah (2007), modal sosial (social capital) dapat dikategorikan dalam dua kelompok. Pertama menekankan jaringan hubungan sosial (social network), sedangkan kelompok kedua lebih memfokuskan karakteristik (traits) yang melekat pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial. Pendapat kelompok pertama mengatakan bahwa modal sosial adalah jaringan kerjasama diantara warga masyarakat yang menfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka. Modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif diantara manusia: rasa percaya, saling pengertian, kesamaan nilai dan prilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama. Pandangan kelompok pertama memfokuskan pada aspek jaringan hubungan sosial yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, kesamaan nilai dan saling mendukung. Modal sosial akan semakin kuat jika sebuah komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik secara internal komunitas/organisasi atau hubungan kerjasama yang bersifat antar komunitas/organisasi. Jaringan kerjasama sinergistik yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama. Pendapat
29
pakar dari kelompok kedua, modal sosial adalah serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.
2.5. Kepemimpinan Unsur utama dalam pembangunan ditentukan sekali oleh adanya kepemimpinan dan kualitas kepemimpinan. Kepemimpinan menjadi penentu utama
dari
bisa
atau
tidaknya
proses
pembangunan
terselenggara
(Tjokroamidjoyo, 1974). Budiman yang dikutip Tjokroamidjoyo (1974: 226) mengemukakan
bahwa
dalam
menggerakkan
partisipasi
rakyat
untuk
pembangunan diperlukan pemimpin-pemimpin formil yang mempunyai legalitas dan pemimpin-pemimpin informil yang memiliki legitimitas Menurut Syahyuti (2006) keberhasilan suatu usaha pembangunan di pedesaan semata-mata merupakan andil dari seorang tokoh. Banyak kelembagaan di desa, misalnya koperasi atau kelompok tani, mencapai kemajuan yang baik bukan karena mereka berhasil membangun sistem organisasi dengan baik, namun lebih karena peran seorang pengurusnya belaka. Menurut Sudriamunawar (2006) pemimpin adalah seorang yang memiliki kecakapan tertentu yang dapat mempengaruhi para pengikutnya untuk melakukan kerjasama ke arah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Effendi (1986) memberikan istilah kepemimpinan adalah suatu proses kegiatan seseorang dalam memimpin, membimbing, mempengaruhi atau mengontrol pikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain. Menurut Stogdill yang dikutip Sudriamunawar (2006), seorang pemimpin harus memiliki kelebihan-kelebihan yaitu : 1.
Kapasitas, kecerdasan, kemampuan berbicara, kemampuan menganalisis dan kewaspadaan yang menyeluruh.
2.
Prestasi (achievement), memiliki gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, berprestasi dalam bidang olah raga/seni dan lain-lain.
3.
Tanggung jawab, berinisiatif, mandiri, percaya diri dan bermotivasi untuk maju.
30
4.
Partisipasi; bersosiabilitas yang tinggi, mampu berkomunikasi/bergaul, suka bekerja sama dan mudah menyesuaikan diri serta humoris.
5.
Status, meliputi kedudukan sosial ekonomi yang baik dan dikenal masyarakat luas.
6.
Situasi meliputi mental, status, ketrampilan, kebutuhan, interest,objektif dan sebagainya. Sedangkan Siagian
yang dikutip oleh Sudriamunawar (2006:31)
mengemukakan sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah : 1.
Memiliki kondisi fisik yang sehat sesuai dengan tugasnya.
2.
Berpengetahuan yang luas.
3.
Mempunyai keyakinan bahwa organisasi akan berhasil mencapai tujuan yang telah ditentukan melalui dan berkat kepemimpinannya.
4.
Mengetahui dengan jelas sifat hakiki dan kompleksitas dari tujuan yang hendak dicapai.
5.
Memiliki stamina (daya kerja) antusiasme yang besar.
6.
Cepat dan tepat mengambil keputusan.
7.
Objektif dalam arti menguasai emosi dan lebih banyak menggunakan rasio. Syahyuti (2006) mengemukakan dua kunci penting bagi kepemimpinan
yang efektif, yaitu : 1. Kepercayaan (trust) dan keyakinan diri (confidence) 2. Komunikasi yang efektif Davis mengemukakan ada tiga ketrampilan kepemimpinan seperti yang dikutip oleh Effendy (1985:139) yakni “technical skill”, “human skill” dan “conceptual skill”. Meskipun ketiga jenis ketrampilan itu dalam prakteknya terkaitkan satu sama lain, namun dapat juga dibedakan sebagai berikut : Technical Skill (Ketrampilan teknis) Ketrampilan teknis menunjukkan bahwa seseorang memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam setiap jenis proses atau tehnik. Misalnya ketrampilan yang dipelajari oleh akuntan, juru mesin, juru tik dan lain sebagainya.
31
Human Skill (ketrampilan manusiawi) Ketrampilan manusiawi adalah kemampuan untuk bekerja dengan orang lain secara efektif dan untuk membina kerjasama. Pada setiap organisasi apapun tidak mungkinlah seorang pemimpin melepaskan diri dari persyaratan memiliki ketrampilan manusiawi. Conseptual Skill (Ketrampilan konseptual) Ketrampilan konseptual adalah kemampuan untuk berfikir dalam istilah yang berkaitan dengan perencanaan jangka panjang. Misalnya kerangka kerja, model dan sebagainya. Ketrampilan konseptual berkaitan dengan gagasan-gagasan, sedangkan ketrampilan manusiawi menyangkut manusia dan ketrampilan teknis berhubungan dengan sarana.
2.6. Kerangka Pemikiran Oppenheim (1966) mengemukakan bahwa tingkah laku adalah interaksi antara manusia (all person’s inner determinants) dan lingkungannya (all the environtmental factors). Menurut Sumardjo dan Saharudin (2007) terdapat dua hal yang mendukung partisipasi masyarakat yaitu ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu dalam diri seseorang (faktor internal) dan terdapat iklim atau lingkungan yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu (faktor lingkungan). Partisipasi adalah salah satu bentuk tingkah laku dimana individu atau masyarakat ikut berperan serta dalam suatu kegiatan pembangunan. Individu atau masyarakat dalam melakukan aktivitas partisipasi, tanpa ada paksaan dari siapapun, jadi partisipasi dilakukan dengan didasari oleh kesadaran individu atau masyarakat. Menurut hipotesa peneliti, faktor penentu internal (internal determinants) yang mempengaruhi seseorang dalam berpartisipasi adalah adanya kemauan yang didasari oleh motif, kebutuhan, harapan dan adanya kemampuan yaitu adanya kesadaran atau keyakinan pada dirinya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi baik itu partisipasi pikiran, ide, tenaga, materi dan lainnya. Selain faktor internal, seseorang dalam berpartisipasi juga ditentukan oleh faktor lingkungan (environtmental factors) yaitu kesempatan dan dukungan dari lingkungan sekitarnya seperti kesempatan yang diberikan oleh kelembagaan dan
32
kepemimpinan untuk berpartisipasi terhadap program pemerintah yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh. Atas dasar tersebut di atas, maka penulis berupaya untuk mengkaji strategi peningkatan parrtisipasi masyarakat Kelurahan Cicadas dalam penataan permukiman kumuh. Apabila partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh meningkat, diharapkan dapat tercipta lingkungan permukiman yang bersih, sehat dan teratur. Untuk menggerakkan partisipasi masyarakat di komunitas permukiman kumuh diupayakan untuk memberdayakan mereka dengan pendekatan yang bersifat bottom-up yaitu menggali permasalahan dan kebutuhankebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat permukiman kumuh serta membuat perencanaan dan pelaksanaan penataan kawasan kumuh. Adapun kerangka pemikiran dapat dilihat dalam gambar skema sebagai berikut :
Faktor Internal : Kemauan : motif, harapan, kebutuhan. Kemampuan
Faktor Lingkungan : Kesempatan yg diberikan oleh kelembagaan dan kepemimpinan
STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT TINGKAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM PENATAAN PERMUKIMAN KUMUH
PROGRAM PEMERINTAH
Dikembangkan dari Oppenheim (1966) dan Sumardjo & Saharudin (2007).
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran
PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT DLM PROGRAM PENATAAN PERMUKIMAN KUMUH
III. METODE KAJIAN 3.1 Batas-Batas Kajian Kajian komunitas adalah proses pencarian pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang berbagai aspek sosial komunitas, dengan bertumpu pada kaidah-kaidah dan prosedur kerja ilmiah. Dengan komunitas dimaksudkan adalah suatu satuan sosial yang merupakan sistem sosial yang terintegrasi atas dasar satu atau lebih basis ikatan sosial, misalnya kekerabatan, terotorial, atas desa dan kepentingan sosial (Sitorus dan Agusta, 2007). Kajian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Moleong (1988) metode penelitian kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Tujuan dari kajian ini adalah kajian komunitas eksplanasi yaitu pencarian pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang berbagai aspek sosial komunitas melalui
penjelasan
faktor
penyebab
atau
kejadian/gejala
sosial
yang
dipertanyakan, atau mengidentifikasi jaringan sebab akibat berkenaan dengan suatu kejadian atau gejala sosial. Model kajian menggunakan aras kajian subjektif-mikro, yaitu sebagai upaya memahami sikap, pola perilaku dan upaya-upaya yang ada kaitannya dengan masalah yang dipertanyakan dalam kajian. Strategi yang digunakan adalah strategi studi kasus. Studi kasus merupakan pilihan yang relevan untuk mengkaji suatu komunitas, karena karakter pengembangan masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan konteks lokal dan karena instrumen yang digunakan dalam kajian adalah manusia maka disebut studi kasus instrumental yang bersifat deskriptif terhadap permasalahan partisipasi masyarakat dalam program penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung.
34
3.2. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini di lakukan di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung dengan pertimbangan sebagai berikut : 1. Berdasarkan data monografi tahun 2007, kepadatan penduduk di Kelurahan Cicadas berkisar 234 jiwa/Ha atau 23.429 jiwa/Km2, padahal standar WHO adalah 96 jiwa/Ha. Artinya tingkat kepadatan penduduk di Kelurahan Cicadas cukup tinggi. 2. Menurut data dari Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya Kota Bandung, Kelurahan Cicadas merupakan salah satu Kelurahan yang termasuk kategori kumuh. 3. Kelurahan Cicadas merupakan salah satu pusat perdagangan yang ada di Kota Bandung, sehingga mempunyai potensi untuk mengembangkan perekonomian di wilayah ini. 4. Berdasarkan data dari Badan Keluarga Berencana (BKB) Kota Bandung, yang tergolong Keluarga sejahtera I alasan ekonomi sebanyak 954 Keluarga atau 40 % dari 2375 Keluarga, artinya masih banyak keluarga yang tergolong miskin di Kelurahan Cicadas. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas, maka kajian dilakukan di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung. Waktu kajian dimulai dengan tahap pertama yaitu pemetaan sosial (PL I) yang dilaksanakan pada tanggal 31 Januari sampai 20 Februari 2008. Kegiatan ini bertujuan memperoleh gambaran tentang profil masyarakat Kelurahan Cicadas dan permasalahan-permasalahan sosial yang ada di Kelurahan Cicadas. Tahap kedua, pelaksanaan evaluasi program pengembangan masyarakat (PL II) yang dilaksanakan pada tanggal 22 Mei sampai 6 Juni 2008, kegiatan ini bertujuan mengenali, mengevaluasi dan menganalisis program pengembangan masyarakat yang pernah dilaksanakan di Kelurahan Cicadas. Tahap ketiga, adalah kajian pengembangan masyarakat dimulai dari usulan penelitian yang dituangkan dalam penulisan proposal dan kolokium yang dilaksanakan pada tanggal 30 – 31 Agustus 2008. Pengumpulan data yang diperlukan dalam kajian ini dilaksanakan selama bulan September sampai dengan bulan November 2008, dilanjutkan
35
dengan pengolahan data serta penulisan laporan hasil kajian pengembangan masyarakat. Setelah melalui proses bimbingan dan konsultasi dengan komisi pembimbing serta telah mendapat persetujuan, maka hasil kajian pengembangan masyarakat ini
dapat dilanjutkan pada tahap seminar yang rencananya
dilaksanakan pada bulan Februari 2009.
3.3. Tehnik Pengumpulan Data Tehnik pengambilan data yang dipergunakan adalah menggunakan metode PRA (Participatory Rural Appraisal) dilakukan dengan cara : 1. Wawancara Mendalam Wawancara dilakukan melalui kegiatan temu muka antara peneliti dengan tineliti (informan) untuk mendalami pandangan masyarakat tentang hidupnya, pengalamannya dan situasi sosialnya. Subjek yang akan diwawancarai terdiri dari Informan dan Responden. Informan terdiri dari Aparat Kelurahan, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, masyarakat yang tidak tinggal dipermukiman kumuh tapi berada disekitar permukiman kumuh. Responden terdiri dari masyarakat yang berada di permukiman kumuh. Wawancara kepada informan dan responden bertujuan untuk menggali karakteristik komunitas yang ada di permukiman kumuh, seperti rata-rata usia yang tinggal dipermukiman kumuh, rata-rata pendidikan komunitas permukiman kumuh, tingkat pendapatan dan pekerjaan mereka, kondisi rumah dan kepemilikan rumah komunitas permukiman kumuh serta pola relasi diantara sesama komunitas permukiman kumuh dan relasi komunitas permukiman kumuh dengan komunitas di luar permukiman kumuh. Tujuan lain dari wawancara adalah menelaah
tingkat
partisipasi
masyarakat
dan
mengidentifikasi dan faktor-faktor
yang
mempengaruhinya terhadap program penataan permukiman kumuh. Dari hasil wawancara ini diharapkan dapat menyusun strategi pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi mereka terhadap permukiman kumuh. Responden yang telah diwawancara sebanyak 10 orang masyarakat permukiman kumuh dan 16 orang informan yang terdiri dari Aparat Kelurahan, Ketua RT dan RW, Tokoh masyarakat dan
36
masyarakat yang berada di sekitar permukiman kumuh. Untuk memudahkan pengkaji dalam tehnik ini digunakan pedoman wawancara yang telah disusun terlebih dahulu. (Terlampir). 2. Observasi Langsung Observasi langsung merupakan metode perolehan informasi yang mengandalkan pengamatan langsung dilapangan, baik yang menyangkut objek, kejadian, proses, hubungan maupun kondisi masyarakat dan lingkungannya. Aspek yang akan diobservasi meliputi kondisi lingkungan permukiman kumuh, kondisi rumah, kondisi MCK umum, kondisi sarana dan prasarana seperti air bersih, sarana jalan, sarana pembuangan air limbah. aktivitas keseharian masyarakat permukiman kumuh, interaksi antara sesama masyarakat permukiman kumuh dan interaksi antara masyarakat permukiman kumuh dengan masyarakat sekitarnya. Pedoman Observasi terlampir. 3. Focussed Group Discussion (FGD) Menurut Sumardjo dan Saharudin (2007), FGD merupakan suatu forum yang dibentuk untuk saling membagi informasi dan pengalaman diantara peserta diskusi dalam satu kelompok untuk membahas satu masalah khusus yang telah terdefenisikan sebelumnya. Sasaran dari FGD adalah aparat Kelurahan, instansi terkait (dinas perumahan, dinas pertamanan, dinas kesehatan), Tokoh masyarakat, Tokoh Agama, masyarakat permukiman kumuh, masyarakat di sekitar permukiman kumuh. Tujuan yang ingin dicapai dari FGD adalah menggali permasalahan, kebutuhan dan potensi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh, menggali aspek kemampuan, kemauan dan kesempatan dalam berpartisipasi terhadap kegiatan/program sehingga dapat disusun suatu program untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh (Pedoman FGD terlampir). Teknik yang digunakan dalam FGD adalah : 1. Pemetaan wilayah dan potensi sumberdaya fisik dan sumberdaya sosial.
37
2. Diagram
alir
(sebab
akibat)
keterkaitan
antar
permasalahan
permukiman kumuh. 3. Rencana program terpadu FGD dilakukan kepada dua kelompok yaitu kelompok masyarakat permukiman kumuh yang memiliki status lahan dan bangunan milik sendiri dan kelompok masyarakat dengan status lahan bukan milik. FGD pada kelompok pertama dilaksanakan pada tanggal 20 November 2008, bertempat di rumah salah seorang warga RW 01. Peserta yang hadir sebanyak 12 orang merupakan perwakilan dari masyarakat RW 01, RW 02 dan RW 09. FGD pada kelompok kedua yaitu kelompok masyarakat yang memiliki status lahan bukan milik terdiri dari status lahan sewa diatas lahan milik perorangan, sewa di atas lahan milik Pemerintah Kota dan status lahan okupasi tanpa kejelasan milik Angkatan Darat.
FGD
dilaksanakan pada tanggal 11 Desember 2008 bertempat di rumah salah seorang warga RW 14. Peserta yang hadir sebanyak 16 orang merupakan perwakilan dari RW 03, RW 10, RW 12, RW 14 dan RW 15. Masingmasing FGD dilaksanakan satu kali selama kurang lebih 2 jam yaitu dari jam 10.00 sampai jam 12.00 WIB. Disebabkan oleh sesuatu hal, dinas instansi terkait lainnya yang diundang berhalangan hadir, sehingga FGD yang dilaksanakan hanya dihadiri oleh Sekretaris Kelurahan.
3.4. Jenis dan Sumber Data Data yang dipergunakan dalam kajian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari Informan, responden dan hasil pengamatan lapangan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari data statistik, literatur, laporan atau publikasi yang diperoleh dari instansi-instansi terkait serta data pendukung yang ada di Kelurahan seperti : data monografi Kelurahan, data kependudukan, daftar isian potensi desa, laporan tahunan, laporan pelaksanaan program rehab rumah kumuh dan dokumen lain yang diperlukan dalam kajian ini. Cara pengumpulan data dan sumber data yang diperoleh, dapat dilihat dalam tabel berikut
38
Tabel 1 Tabel Kelengkapan Metode
No
Tujuan Kajian
1.
Mengetahui dan mendalami karakteristik komunitas permukiman kumuh
Variabel - Usia
- Pendidikan
- Pekerjaan dan Pendapatan
- Kondisi rumah
- Kepemilikan rumah
-Relasi sosial antar masyarakat kumuh dan masyarakat tdk kumuh.
2.
Mengidentifikasi dan menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat.
- Faktor Kemampuan (faktor internal)
- Faktor Kemauan (faktor internal)
Parameter
Sumber data
-Rata-rata usia masyarakat yg tinggal di permukiman kumuh. -Rata-rata lama sekolah/rata-rata pendidikan yg dicapai. -Jenis pekerjaan -Pekerjaan tetap atau tidak tetap -Rata-rata pendapatan KK Per minggu /perbulan - Istri ikut bekerja -Lama bekerja dalam satu hari. -Kondisi rumah permanen atau tdk permanen - Jml penghuni - kepemilikan sewa atau milik sendiri -Hubungan sosial antara sesama masy kumuh dan masy sekitarnya.
-Informan (aparat Kelurahan, Toma, Toga, Masyarakat disekitar permukiman kumuh) - Responden (Masyarakat permukiman kumuh)
- Kemampuan menyumbang ide,pemikiran, tenaga, uang atau materi lain. -Kesediaan/motif untuk berpartisipasi dalam kegiatan. - Harapan-harapan yang diinginkan dalam kegiatan partisipasi. - Kebutuhankebutuhan yang diinginkan dalam kegiatan partisipasi
Informan (aparat Kelurahan, Toma, Toga, Masyarakat disekitar permukiman kumuh) - Responden (Masyarakat permukiman kumuh
Instrumen Wawancara
Observasi Wawancara
Observasi Wawancara
Wawancara Observasi FGD
wawancara Observasi FGD
39
No
Tujuan Kajian
Variabel Faktor Kesempatan (faktor lingkungan)
3.
Strategi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
Pemberdayaan Masyarakat
Parameter - Peluang dan dukungan dari pimpinan dan kelembagaan untuk berperan serta dalam program Penggalian masalah dan kebutuhankebutuhan dari masyarakat tentang penataan kawasan kumuh.
Sumber data
Instrumen Wawancara Observasi FGD
Informan (aparat Kelurahan, Toma, Toga, Masyarakat disekitar permukiman kumuh) - Responden (Masyarakat permukiman kumuh - Instansi terkait (Puskesmas, Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya, Dinas Koperasi)
Wawancara Observasi FGD
3.5. Pengolahan dan Analisis Data Menurut Nasution (1992), analisis adalah proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data berarti menggolongkannya dalam pola, tema atau kategori. Tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna kepada analisis, menjelaskan pola atau kategori, mencari hubungan antara berbagai konsep. Pengolahan data kualitatif dilakukan dengan cara mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dari hasil pengamatan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori dan disusun kedalam suatu pola yang mudah dipahami. Analisis data dilakukan dengan cara : 1. Reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Jadi laporan lapangan sebagai bahan “mentah” menurut Nasution (1992) disingkatkan, direduksi, disusun
40
lebih sistematis, ditonjolkan pokok-pokok yang penting, diberi susunan yang lebih sistematis, sehingga lebih mudah dikendalikan. 2. Penyajian data adalah sekumpulan data informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Agar dapat melihat gambaran keseluruhan dan bagian-bagian tertentu dari penelitian harus diusahakan membuat berbagai macam matriks, grafik, network dan chart. 3. Kesimpulan adalah proses menemukan makna data, bertujuan memahami tafsiran dalam konteksnya dengan masalah secara keseluruhan.
IV. PETA SOSIAL MASYARAKAT KELURAHAN CICADAS 4.1. Lokasi Kelurahan Cicadas merupakan salah satu Kelurahan dari enam Kelurahan di Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung, memiliki luas wilayah sebesar 55 ha dengan ketinggian 700 meter dari permukaan laut dan termasuk daerah dataran. Jarak antara Kelurahan ke kantor Kecamatan sekitar 1 Km, sedangkan jarak menuju kantor Kota Bandung kurang lebih 3 Km. Letak kantor Kelurahan Cicadas yang berlokasi di Jalan Sukamulus no. 257 Bandung berada di tengah-tengah perumahan penduduk tepatnya berlokasi di RW 01 Kelurahan Cicadas. Jarak tempuh ke Kecamatan relatif dekat, cukup ditempuh dengan jalan kaki yang memakan waktu kurang lebih 20 menit atau dengan kendaraan motor dapat ditempuh hanya lima menit, sehingga memudahkan
masyarakat
untuk
mendapatkan
pelayanan
yang
bersifat
administratif. Secara geografis wilayah Kelurahan Cicadas berbatasan dengan beberapa wilayah, meliputi : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Cihaurgeulis Kecamatan Cibeunying Kaler. 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Kebon Waru Kecamatan Batununggal. 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Sukamaju Kecamatan Cibeunying Kidul. 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Cikutra Kecamatan Cibeunying Kidul. Hampir keseluruhan jalan yang ada di Kelurahan Cicadas merupakan jalan aspal, hanya beberapa jalan yang perlu perbaikan. Sebagian perumahan penduduk dapat dilalui oleh kendaraan roda empat yaitu sebagian RW 01, RW 05, RW 06, RW 07, RW 11, RW 13. Sedangkan RW lainnya berupa gang kecil yang hanya bisa dilewati oleh kendaraan roda dua dan terdapat gang yang hanya cukup dilalui oleh pejalan kaki saja. Jarak antara jalan raya menuju permukiman kurang lebih 2 Km, sehingga masyarakat Kelurahan Cicadas sering menggunakan fasilitas kendaraan umum yaitu beca atau ojeg.
42
Penggunaan lahan tanah di Kelurahan Cicadas dapat diketahui dari tabel berikut : Tabel 2 Penggunaan Tanah Kelurahan Cicadas Tahun 2007 No
Penggunaan Tanah
1.
Permukiman
40,5
73,63
2.
Pertokoan/Perdagangan
2,0
3,64
3.
Perkantoran
0,5
0,91
4.
Taman
2,0
3,64
5.
Prasarana Umum
10
18,18
55
100,00
Total
Luas (Ha)
Persentase (%)
Sumber : Data Monografi Kelurahan Cicadas, tahun 2007.
Berdasarkan data penggunaan area lahan tanah Kelurahan Cicadas diketahui bahwa 73,63 % dari luas wilayah Kelurahan Cicadas dipergunakan sebagai area permukiman. Sedangkan area pertokoan dan perdagangan sebesar 3,64 % yang terdiri dari 224 buah toko, kios dan warung, lima minimarket dan pasar pagi yang berlokasi di jalan Awibitung. Area perkantoran hanya 0,91 % terdiri dari kantor Angkatan Darat dan Bank cabang BNI. Sedangkan yang termasuk dalam area taman dan prasarana umum sebesar 3,64 % dan 18,18 % adalah berupa taman, jalan umum, lapangan olah raga dan sekolah yang sebagian besar berada di komplek Angkatan Darat (PPI) RW 13. Fasilitas di bidang kesehatan yang ada di Kelurahan Cicadas adalah Rumah Sakit Al Islam yang melayani praktek dokter umum, dokter gigi, dokter penyakit dalam dan rumah bersalin. Terdapat juga lima praktek dokter umum yang tersebar di wilayah Kelurahan Cicadas dan dua praktek bidan. Jumlah apotik yang ada di wilayah Kelurahan Cicadas sebanyak dua buah. Fasilitas dibidang pendidikan, terdapat empat Taman Kanak-Kanak, dua buah SD Negri dan satu SD Swasta, satu SMP Negri dan satu SMA Negri. Di bidang industri, terdapat industri kecil dengan jumlah pegawai kurang lebih sebanyak 25 orang yaitu pabrik handuk yang berlokasi RW 02 dan industri konveksi yang berlokasi di RW 01.
43
4.2. Kondisi Permukiman di Kelurahan Cicadas Wilayah
Kelurahan
Cicadas
secara
keseluruhan
merupakan
area
permukiman, dari luas wilayah 55 ha, sebanyak 20 ha merupakan area permukiman milik Angkatan Darat (PPI) yang berlokasi di RW 13. Sisanya merupakan area permukiman penduduk biasa. Jumlah penduduk di RW 13 yang merupakan
kompleks
perumahan
Angkatan
Darat
berdasarkan
laporan
kependudukan tahun 2007 adalah sebanyak 2027 jiwa atau 15,73 % dari keseluruhan jumlah penduduk di Kelurahan Cicadas. Dibandingkan dengan jumlah penduduk pada RW-RW yang lain yang ada di Kelurahan Cicadas, jumlah penduduk RW 13 adalah terbanyak. Walaupun jumlah penduduknya tergolong cukup banyak dan padat, RW 13 tidak termasuk dalam wilayah kumuh, karena perumahan disini merupakan perumahan kompleks yang tertata cukup rapih. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat kelurahan dan tokoh masyarakat, lokasi permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas tersebar di 10 RW yaitu di RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 11, RW 12, RW 14 dan RW 15. Lima RW yang tergolong tidak kumuh adalah RW 05, RW 06, RW 07, RW 08 dan RW 13. Jumlah penduduk di lima RW tersebut cukup padat, akan tetapi bangunan rumah tersusun cukup rapi, lingkungan rumah rata-rata bersih dan terdapat tanaman penghijauan sehingga terlihat cukup asri. Menurut aparat Kelurahan T (44 Thn), Kelurahan Cicadas termasuk wilayah yang padat dan kumuh. “Kelurahan Cicadas termasuk Kelurahan yang sangat padat, karena warganya banyak yang ekonomi menengah ke bawah serta bekerja disektor informal, seperti kuli bangunan, tukang beca, tukang sumur, pedagang maka banyak daerah yang kumuh, rumahnya rata-rata kecil kurang lebih ukuran 2 x 4 m anggota keluarga banyak antara 5 orang lebih malah sampai 10 atau 12 orang dalam satu rumah. MCKnya masih rame-rame, rumahnya berdempetan dan tidak teratur, kondisi bangunannya tidak memadai dan tidak sehat”. Sedangkan menurut Y (47 Thn), kader yang aktif di RW14 maupun aktif di PKK Kelurahan Cicadas, mengemukakan : “Ciri-ciri suatu daerah kumuh adalah lingkungan kotor, rumahnya kondisinya tidak layak huni, tidak ada ventilasi, sempit, tidak ada pembagian ruang seperti memasak, tidur, ruang tamu itu ruangannya bersatu”.
44
Kondisi kekumuhan di Kelurahan Cicadas terlihat dari bangunan yang berhimpitan, ukurannya kecil, kondisi bangunan tidak memadai seperti dinding rumah yang kusam dan kotor, ventilasi rumah tidak ada, atap dari seng atau genteng yang sudah tua, jika hujan terjadi bocor. Keadaan rumah pengap, lembab dan gelap. Permukiman kumuh terletak di gang-gang sempit. Tidak ada sarana ruang terbuka bagi anak-anak untuk bermain. Setiap rumah tidak terdapat pembagian ruang seperti ruang tamu, dapur atau kamar tidur. Seringkali untuk sarana memasak dilakukan di depan rumah dengan menyimpan kompor dan ditutupi triplek seadanya. Sarana untuk menjemur pakaianpun di lakukan didepan rumah. Hal ini menambah kesemrawutan dan ketidakteraturan lingkungan disekitar permukiman kumuh. Kondisi ini terdapat hampir di semua RW yang kondisinya kumuh. Sarana MCK (Mandi Cuci Kakus) dipakai bersama-sama dengan penghuni lainnya dan seringkali kondisinya tidak memadai.
Di RW 02 sarana MCK
terdapat didepan rumah dan kondisinya setengah terbuka, sedangkan
sarana
kakus yang ada di RW 01 berada di atas sungai kecil, kondisi bangunan kakus setengah terbuka, tidak ada atap penutup, tidak terdapat sarana air bersih dan tidak ada penerangan, sehingga jika malam hari kondisinya sangat gelap. Status kepemilikan rumah pada permukiman kumuh sebagian besar adalah rumah sewa atau kontrak yang berada di RW 03, RW 04, RW 09, dan RW 14, mereka pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang. Kondisi rumah sewa atau kontrak ini merupakan bangunan yang berhimpitan yaitu ruangan yang berukuran kurang lebih 2 x 3 meter, rata-rata kondisi bangunan berdinding kusam, tidak terdapat ruang tidur dan MCK merupakan milik umum. Status kepemilikan tanah permukiman kumuh di RW 02, merupakan tanah milik perorangan tapi telah ditempati selama beberapa tahun oleh penghuni permukiman kumuh, kondisi bangunan pada umumnya sama dengan permukiman kumuh lainnya. Di RW 12, RW 14, dan RW 15 sebagian besar permukiman kumuh berada di atas lahan milik Angkatan Darat, dengan kondisi bangunan dan lingkungan yang tidak memadai. Sedangkan status kepemilikan rumah milik sendiri pada permukiman kumuh berada di RW 01, sebagian RW 12 dan RW 14.
45
4.3. Kependudukan Data kependudukan di Kelurahan Cicadas sampai bulan Desember 2007 adalah 12.886 jiwa terdiri atas 6537 orang laki-laki (50,73%) dan 6349 orang perempuan (49,27%), dengan rasio jenis kelamin (RJK) sebesar 102 artinya dalam setiap 100 penduduk perempuan terdapat 102 penduduk laki-laki. Kepadatan penduduk Kelurahan Cicadas berkisar 234 jiwa/Ha atau 23.429 jiwa/Km2. Komposisi penduduk berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat dalam tabel berikut : Tabel 3 Komposisi Penduduk Kelurahan Cicadas Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2007
No
Jumlah
Umur Lk
Pr
Jml
1
0-4
685
794
1479
2
5-9
778
783
1561
3
10 - 14
807
777
1584
4
15 - 19
746
761
1507
5
20 - 24
718
680
1398
6
25 - 29
688
660
1348
7
30 - 34
399
379
778
8
35 - 39
352
297
649
9
40 - 44
375
337
712
10
45 - 49
268
246
514
11
50 - 54
253
228
481
12
55 - 59
185
156
341
13
60 - 64
140
134
274
14
65 ke atas
143
117
260
JML
6537
6349
12886
50,73 % 49,27% 100 % Persentase Sumber : Laporan kependudukan bulan Desember tahun 2007
Apabila digambarkan dalam bentuk piramida penduduk, maka komposisi penduduk Kelurahan Cicadas berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin adalah sebagai berikut :
46
LK
65 ke atas
Pr
60 - 64 55 - 59 50 - 54 45 - 49 40 - 44 35 - 39 30 - 34 25 - 29 20 - 24 15 - 19 10 - 14 5-9 0-4
1000
800
600
400
200
0
200
400
600
800
1000
Gambar 2 Piramida Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Umur di Kelurahan Cicadas Tahun 2007 Jika dilihat dari piramida penduduk Kelurahan Cicadas pada gambar 2, kelompok umur 0 – 4 tahun sampai dengan kelompok umur 25 – 29 tahun melebar di bandingkan kelompok umur 30 tahun sampai 65 tahun ke atas baik pada penduduk laki-laki maupun penduduk perempuan, hal ini mengindikasikan bahwa di Kelurahan Cicadas termasuk ke dalam penduduk muda atau sebagian besar penduduknya berada pada umur muda. Menurut Rusli, Wahyuni dan Sunito (2007), besarnya ratio beban tanggungan (RBT) penduduk merupakan perbandingan antara jumlah penduduk yang digolongkan bukan usia kerja / bukan usia produktif (usia dibawah 15 tahun dan usia 65 tahun ke atas) terhadap jumlah penduduk usia kerja / usia produktif (usia 15 – 64 tahun). Hasil perhitungan ratio beban tanggungan (dependency ratio) penduduk Kelurahan Cicadas adalah sebesar 61, artinya setiap 100 orang yang produktif di Kelurahan Cicadas harus menanggung 61 orang yang tidak produktif.
47
Berdasarkan data laporan tahunan kependudukan tentang mobilitas/mutasi penduduk di Kelurahan Cicadas pada tahun 2007, dapat dilihat dalam tabel di bawah ini : Tabel 4 Jumlah Penduduk Kelurahan Cicadas berdasarkan Mobilitas/Mutasi Penduduk Tahun 2007 No
Mutasi
Lk
Pr
Jumlah
1
Lahir
40
37
77
2
Meninggal
39
35
74
3
Pendatang
331
306
637
4
Pindah
207
176
383
Sumber : Monografi Kelurahan Cicadas tahun 2007
Angka kelahiran (fertilitas) sebanyak 77 orang pertahun, angka kematian sebanyak 74 orang pertahun, angka migrasi masuk sebanyak 637 orang pertahun dan migrasi keluar sebanyak 383 orang pertahun. Jika dihitung reit perkembangan penduduk Kelurahan Cicadas adalah sebesar 2,18 % pertahun atau sebanyak 253 orang pertahun yang masuk ke wilayah Kelurahan Cicadas. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk tahunan di Kelurahan Cicadas relatif cukup tinggi, karena berada pada level di atas 1 %. Beberapa faktor yang menjadi penyebab, diantaranya adalah lokasi Kelurahan Cicadas termasuk daerah perkotaan sehingga menjadi faktor penarik (pull factor) bagi orang-orang dari daerah di luar kota Bandung untuk tinggal di wilayah Kelurahan Cicadas. Faktor lain yang juga besar pengaruhnya pada tingkat mobilitas penduduk di Kelurahan Cicadas adalah lokasi RW 13 yang merupakan kompleks Angkatan Darat, dimana perpindahan tugas anggota TNI dan keluarganya dari luar daerah ke Kota Bandung cukup besar, sehingga migrasi masuk di Kelurahan Cicadas cukup tinggi. Selain anggota TNI, anggota masyarakat umum juga banyak yang masuk ke wilayah Kelurahan Cicadas, baik itu untuk menetap sebagai penduduk Cicadas maupun sebagai penduduk musiman. Alasan mereka tinggal di Kelurahan Cicadas kebanyakan untuk mencari pekerjaan atau melanjutkan studi di perkotaan. Hal ini dapat dilihat dari data mutasi penduduk Kelurahan Cicadas sebagai berikut :
48
Menurut tingkat pendidikan penduduk Kelurahan Cicadas, baik Warga Negara Indonesia (WNI), WNI Keturunan maupun Warga Negara Asing (WNA) lulusan SLTA ke atas berjumlah 3025 orang atau sekitar 23,48%. Sedangkan yang tidak tamat SD, tamat SD dan SMP sebanyak 6040 orang atau
sekitar 46,87%
lebih banyak dibandingkan lulusan SLTA ke atas. Hal ini mengindikasikan bahwa taraf pendidikan penduduk di Kelurahan Cicadas pada umumnya masih rendah. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 5 Komposisi Penduduk Kelurahan Cicadas berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Tahun 2007 NO
1
PENDIDIKAN UMUM
Tdk/belum
JUMLAH LK
PR
JML
1064
1073
2137
Sekolah 2
Tdk tamat SD
893
878
1771
3
Belum tamat SD
881
803
1684
4
Tamat SD
1078
1088
2166
5
SLP
1070
1033
2103
6
SLA
986
966
1952
7
Akademi/Sarjana
393
385
778
172
123
295
6537
6349
12886
Muda 8
Sarjana JUMLAH
Sumber : Laporan Kependudukan bulan Desember tahun 2007
4.4. Struktur Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk Kelurahan Cicadas tergolong sangat heterogen, hal ini dapat dilihat dari data berikut :
49
PNS; 648 atau 5 %
Lain-Lain;
ABRI; 820 atau 6 %
5244 atau
Peg. Swasta; 1972 atau
42 %
15 %
Dagang; 1576 atau Pensiunan; 598 atau 5 %
Mahasiswa; 683 atau 5 %
Pelajar;
12 %
1345 atau 10 %
Gambar 3 Komposisi Penduduk Kelurahan Cicadas berdasarkan Mata Pencaharian pada Tahun 2007 Dari data di atas, yang dimaksud mata pencaharian lain-lain adalah yang tidak termasuk penggolongan mata pencaharian dalam diagram. Seperti mata pencaharian yang tergolong dalam bidang jasa, pertukangan, buruh atau yang sering disebut sebagai mata pencaharian sektor informal. Kelompok bukan usia kerjapun termasuk dalam golongan lain-lain. Sehingga dari data di atas yang termasuk mata pencaharian lain-lain cukup besar yaitu sebanyak 5244 atau sekitar 40,70%. Tingginya jumlah mata pencaharian yang tergolong lain-lain, dapat mengindikasikan bahwa di wilayah Kelurahan Cicadas masih banyak penduduk yang bekerja di sektor informal, seperti tukang ojeg, tukang becak, buruh bangunan, kuli serabutan dan juga yang termasuk dalam pengangguran atau yang sedang mencari pekerjaan. Pendapatan atau upah yang didapat dari pekerjaan sektor informal pada umumnya tidak mencukupi untuk kebutuhan minimal. Jika dikaitkan dengan tingkat pendidikan, bahwa mereka yang termasuk dalam pengangguran dan yang bekerja disektor informal tersebut rata-rata tingkat pendidikannya rendah yaitu SMP, SD dan tidak tamat SD. Hal ini dinyatakan juga oleh informan ( K, 34 tahun) : “Yang tergolong masyarakat miskin di Kelurahan Cicadas pada umumnya mereka yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, upahnya rendah, tingkat pendidikan juga rendah yaitu SMP, SD”
50
Mata pencaharian lain yang termasuk dalam sektor informal adalah mata pencaharian sebagai pedagang sebanyak 1576 atau sekitar 12,23%. Cukup banyaknya masyarakat yang mempunyai mata pencaharian pedagang dikarenakan Kelurahan Cicadas terletak di kawasan pusat perdagangan Cicadas. Mata pencaharian sebagai Pegawai Negeri, ABRI dan pegawai swasta atau yang disebut sebagai sektor formal sebanyak 3440 orang atau sekitar 26,70%. Tingginya mata pencaharian di sektor formal di Kelurahan Cicadas disebabkan adanya kompleks Angkatan Darat (PPI) di RW 13 dimana mayoritas penduduknya adalah ABRI dan Pegawai Negeri. Jika dilihat dari data kependudukan, jumlah angkatan kerja di Kelurahan Cicadas cukup tinggi yaitu sebesar 8002 atau sekitar 62% dari keseluruhan jumlah penduduk. Hal ini merupakan sumber potensi Human Capital jika diimbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan serta pendidikan/ketrampilan
yang
memadai.
4.5. Struktur Ekonomi Jenis usaha ekonomi Lokal di Kelurahan Cicadas pada tahun 2007, dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 6 Jumlah Lembaga Ekonomi/Jenis Usaha di Kelurahan Cicadas Tahun 2007 N0
LEMBAGA EKONOMI/JENIS USAHA
1 Pasar Pagi (Pasar tanpa bangunan permanen) 2 Toko, kios, warung
JUMLAH (BUAH) 1 224
3 Minimarket
5
4 Warung makan
9
5 Wartel, kios phone
6
6 Warnet
1
7 Bank
1
8 Industri Pakaian (kecil)
2
9 Industri Makanan (kecil)
1
Jumlah Sumber : Monografi Kelurahan Cicadas tahun 2007
250
51
Dilihat dari data jenis usaha ekonomi lokal, jenis usaha toko, kios dan warung merupakan jenis usaha yang terbanyak di wilayah Kelurahan Cicadas. Hal ini dapat dilihat sebagai potensi sumber daya di Kelurahan Cicadas. Wilayah Cicadas sendiri dikenal sebagai pusat perdagangan yang terpadat di Kota Bandung. Cicadas tidak hanya Kelurahan Cicadas akan tetapi termasuk juga beberapa wilayah lain seperti Kelurahan Padasuka, Kelurahan Sukamaju, Kelurahan Kebon Waru dan Kelurahan Kiaracondong. Masyarakat umum sering menyebut wilayah tersebut sebagai Cicadas. Usaha perdagangan tersebut, sebenarnya merupakan alternatif usaha untuk menambah pendapatan dari masyarakat, akan tetapi usaha tersebut tidak banyak memberikan pengaruh kepada ekonomi masyarakat. Masih banyak warga masyarakat yang hidup dalam kondisi miskin. Jarak antara warung / toko yang berdekatan serta munculnya beberapa minimarket disekitar permukiman penduduk di Kelurahan Cicadas diduga menjadi penyebab tingkat persaingan yang tinggi diantara para pelaku ekonomi lokal. Berdirinya minimarket yang berjumlah lima buah dan berada ditengah-tengah permukiman penduduk dan didekat pasar pagi, juga memberikan imbas kepada persaingan ekonomi lokal yaitu kepada kios dan warung kecil yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Hal ini dikemukakan oleh Ketua RW 04 Bapak Haji S (66 Thn) yang juga sebagai pemilik kios serba ada : “Semenjak ada minimarket, kios saya jadi berkurang pendapatannya. Masyarakat lebih senang pergi ke minimarket karena harganya mungkin lebih murah dan bisa memilih barang-barang sendiri”. Pelaku ekonomi yang menguasai perdagangan di tempat-tempat strategis seperti dipinggir jalan Raya Ahmad Yani, sebagian besar bukan masyarakat lokal Kelurahan Cicadas, akan tetapi merupakan masyarakat dari wilayah lain. Sehingga sumber daya alam yang berkaitan dengan lahan sebagai potensi ekonomi belum termanfaatkan secara maksimal bagi masyarakat lokal. Sebab lain yang juga merupakan kendala untuk meningkatkan ekonomi pada usaha perdagangan /jasa adalah permodalan dan ketrampilan. Masyarakat kesulitan untuk membuka usaha karena tidak mempunyai modal dan ketrampilan yang memadai seperti usaha jahit, salon, sablon kaos dan lainnya. Berkaitan dengan hal ini, sebenarnya Pemerintah Kota Bandung telah memberikan beberapa bantuan pinjaman modal dengan bunga relatif ringan seperti Usaha Peningkatan
52
Pendapatan Keluarga (UP2K), Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Jaring Pengaman sosial (JPS) dan Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE). Program yang baru-baru ini diluncurkan adalah Program Bawaku Makmur yaitu pemberian secara hibah bantuan
modal untuk usaha kecil
yang berkisar antara
Rp. 500.000 –
Rp. 2.000.000 per orang. Usaha industri yang ada di Kelurahan Cicadas sebanyak 3 buah merupakan industri kecil, yaitu industri pakaian, industri handuk, dan sektor industri makanan yaitu pabrik roti. Tenaga kerja pada industri ini hanya sebagian kecil yang memanfaatkan tenaga kerja dari masyarakat lokal. Industri handuk dan pakaian jadi banyak memanfaatkan tenaga kerja dari luar wilayah Kelurahan Cicadas yaitu berasal dari Kabupaten Bandung dengan alasan tenaga kerja dari Kabupaten dapat dibayar dengan upah rendah. Tidak adanya koperasi di Kelurahan Cicadas menyebabkan masyarakat yang membutuhkan pinjaman uang baik itu untuk modal usaha maupun untuk keperluan lainnya menggunakan jasa rentenir dan jasa Bank dengan mengajukan syarat berupa jaminan
sertifikat tanah atau rumah dan surat keterangan
mempunyai usaha yang diberikan oleh Kelurahan. Hal ini dikemukakan oleh aparat Kelurahan C (44 Thn) : “Akhir-akhir ini banyak masyarakat Kelurahan Cicadas yang meminta surat serbaguna keterangan usaha untuk melengkapi persyaratan pinjaman ke Bank. Kebetulan ada beberapa Bank yang menawarkan pinjaman dengan kredit lunak, sehingga sangat banyak warga yang meminta surat keterangan serbaguna. Mungkin karena di kelurahan Cicadas tidak ada koperasi, sehingga mereka antusias jika ada penawaran dari bank, selama ini ada juga masyarakat yang meminjam uang dari rentenir dengan bunga yang cukup tinggi”. 4.6. Struktur Komunitas Komunitas masyarakat Kelurahan Cicadas dicirikan oleh adanya sistem pelapisan sosial yang didasarkan pada : 1. Jabatan formal seperti ketua RW dan ketua RT,sangat dihargai dan dikenal oleh masyakat Kelurahan Cicadas. Dalam 3 tahun terakhir ini, jabatan ketua RW dan ketua RT dipilih secara langsung oleh masyarakat, sehingga jabatan ketua RW dan ketua RT merupakan kepercayaan dari masyarakat
53
langsung. Masyarakat memberi dukungan dan kepercayaan yang tinggi bagi pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi masyarakat. Selain ketua RW dan ketua RT, di sebagian masyarakat Kelurahan Cicadas juga menghargai adanya sesepuh yang ada di masyarakat lokal. Dari beberapa RW terdapat juga Tokoh Agama yang dihargai seperti di RW 08 dan RW 09. Peran Lurah tidak terlalu berpengaruh secara langsung kepada masyarakat Kelurahan Cicadas, karena Lurah ditunjuk langsung oleh Walikota. Sehingga dalam beberapa kali penggantian Lurah, tidak ada pengaruhnya secara langsung kepada masyarakat di Kelurahan Cicadas. 2. Jenis pekerjaan seperti anggota komunitas yang bekerja di pemerintahan seperti PNS, TNI, Pegawai Swasta pada level manager dan pengusaha adalah orang-orang yang juga dihargai oleh masyarakat. 3. Kekayaan yang dimiliki. Masyarakat lokal Kelurahan Cicadas akan merasa hormat dan segan kepada seseorang yang memiliki kekayaan apabila orang tersebut mempunyai kepedulian sosial yang sangat tinggi kepada masyarakat disekitarnya. Orang yang memiliki kekayaan tersebut sering dijadikan donatur apabila ada kegiatan-kegiatan di masyarakat. Dari sistem pelapisan sosial ini, maka kepemimpinan lokal seringkali muncul berdasarkan kepada tiga aspek terebut di atas. Jejaring sosial yang dibangun oleh komunitas di Kelurahan Cicadas terbentuk melalui jejaring baik yang sifatnya formal maupun informal. Dalam bentuk formal dilaksanakan melalui musyawarah di tingkat RW dalam membahas permasalahan-permasalahan yang ada dilingkungan masyarakat lokal tersebut. Hasil dari musyawarah kemudian diangkat ke tingkat Kelurahan dalam bentuk Rapat Koordinasi (Rakor) yang dihadiri oleh para RW seKelurahan Cicadas, LPM, Forum RW, instansi terkait, Tokoh Agama. Dari tingkat Kelurahan kemudian diteruskan ke tingkat Kecamatan yang dihadiri oleh para RW seKecamatan Cibeunying Kidul, LPM tingkat Kecamatan, forum RW tingkat Kecamatan dan instansi terkait. Dalam kegiatan-kegiatan tertentu, ketua RW dapat membangun jejaring sosial baik yang sifatnya formal maupun informal dengan sektor swasta (misalnya dalam permohonan bantuan dana) baik itu yang
54
ada dilingkungan masyarakat Kelurahan Cicadas maupun yang ada di luar lingkungan Kelurahan Cicadas. Selain faktor swasta, ketua RW pun membangun jejaring sosial dengan sektor pemerintah yaitu dengan instansi terkait misalnya Dinas Perumahan, Dinas Bina Marga, Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) dan lain sebagainya.
4.7. Organisasi dan Kelembagaan Berdasarkan penggolongan dari kelembagaan-kelembagaan di Kelurahan Cicadas dapat terlihat bahwa kelembagaan di Kelurahan Cicadas sebagian besar merupakan kelembagaan yang didasarkan atas prakarsa dari Pemerintah, hanya sebagian kecil pembentukan kelembagaan berdasarkan atas prakarsa masyarakat seperti Group Band, Calung, Pencak silat dan PKL (Pedagang Kaki Lima). Hal ini dapat di lihat dalam tabel berikut : Tabel 7 Kelembagaan/Organisasi di Kelurahan Cicadas Tahun 2007
LEMBAGA
BENTUK / NAMA KELEMBAGAAN
Pemerintahan
Kantor Kelurahan, Kantor Pussenif (TNI-AD)
Keagamaan
DKM, Kelompok Pengajian
Politik
Organisasi Partai Politik
Kesehatan
Rumah Sakit Al Islam, Posyandu
Pendidikan
Taman Kanak-Kanak, SD, SMP. SMA, Yayasan Madrasah, PAUD
Keuangan
Bank BNI, Koperasi Primkopad
Kesenian
Group Band, Calung, Pencak Silat
Kemasyarakatan
LPM, RW, RT, Forum RW, PKK, Karang Taruna
Sosial
Arisan
Ekonomi
UP2K (Usaha peningkatan Pendapatan Keluarga). P2KP (Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan), UED-SP (Usaha Ekonomi Desa), PKL (Pedagang Kaki Lima)
Sumber : Monografi Kelurahan Cicadas tahun 2007
Pada masa otonomi daerah kelembagaan baru yang terbentuk di Kelurahan Cicadas adalah Forum RW yang dibentuk atas inisiatif para ketua RW dengan tujuan menampung aspirasi-aspirasi para ketua RW se-Kelurahan Cicadas.
55
Kelembagaan ini terbentuk pada tahun 2005. Aktivitas kelembagaan ini belum berfungsi secara optimal karena diantara para ketua RW sering berbeda pendapat, sehingga forum RW tidak mewakili aspirasi seluruh RW yang ada di Kelurahan Cicadas. Perbedaan pendapat ini seringkali terjadi akan tetapi tidak menjadikan suatu konflik yang serius. Kelembagaan ekonomi seperti UP2K, P2KP dan UED-SP semasa pemerintahan orde baru aktivitasnya masih berjalan, setelah masa pasca reformasi dengan adanya penggantian kepengurusan dari kelembagaan tersebut, aktivitasnya dapat dikatakan tidak ada. Kelembagaan LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) sebagai kelembagaan mitra Lurah juga belum berfungsi secara optimal dan belum terlihat aktivitasnya secara rutin dan nyata. Kegiatan LPM bersifat insidentil, jika ada program dari Pemerintah Daerah. Masyarakat Kelurahan Cicadas belum sepenuhnya mengetahui fungsi dari kelembagaan LPM ini. Hanya komunitas tertentu saja yang mengetahui kelembagaan LPM ini seperti Ketua RW dan RT, ibu-ibu PKK yang biasanya aktif di Kelurahan sedangkan masyarakat biasa tidak terlalu mengenal kelembagaan LPM. Kelembagaan yang aktif dan secara rutin melaksanakan pertemuan sebulan sekali adalah kelembagaan PKK tingkat Kelurahan dan PKK tingkat RW, dimana seluruh anggotanya terdiri dari ibu-ibu.
4.8. Sumberdaya Lokal Sumberdaya lokal yang dimiliki oleh wilayah Kelurahan Cicadas adalah : Lahan Lahan yang dimiliki oleh komunitas merupakan aset bagi masyarakat karena lahan yang dimiliki tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi di perkotaan. Akses ke pusat kota dan pusat perdagangan relatif cukup dekat cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Tidak jarang sebagian masyarakat Kelurahan Cicadas menjual lahannya walaupun hanya sedikit tapi mempunyai nilai ekonomi yang tinggi sehingga dia bisa membeli lahan yang lebih luas walaupun agak jauh dari perkotaan. Bagi sebagian masyarakat yang memiliki tempat tinggal untuk
56
disewakan, hal inipun dapat menjadikan aset dengan harga sewa yang cukup tinggi.
Tenaga Kerja Ketersediaan tenaga kerja jika dilihat dari jumlah usia kerja (15-64 Th) di keluarahan Cicadas sebanyak 8002 atau sekitar 62% dari keseluruhan jumlah penduduk. Ketersediaan tenaga kerja ini merupakan potensi jika diimbangi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan dan tenaga kerja yang trampil. Untuk itu diperlukan penciptaan lapangan pekerjaan dan pelatihan ketrampilan bagi tenaga kerja yang akan bekerja di sektor informal.
Modal Modal berkaitan dengan modal ekonomi dan modal sosial yang dimiliki masyarakat. Modal ekonomi menyangkut asset produksi yang dimiliki oleh para pelaksana kegiatan ekonomi lokal serta dana bagi invenstasi. Akses penduduk terhadap modal dan upaya-upaya pengembangan usaha difasilitasi melalui bantuan modal seperti program JPS, BLT, P2KP, UP2K dan Bawaku Makmur. Modal sosial yang dimiliki oleh masyarakat Kelurahan Cicadas adalah berupa perkumpulan dan kelompok-kelompok yang terbentuk karena adanya kepercayaan, kerjasama dan jaringan kerja. Seperti kelompok arisan, kelompok pengajian ibu-ibu di tiap-tiap RW.
4.9. Masalah-Masalah Sosial Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat Kelurahan dan tokoh masyarakat di Kelurahan Cicadas serta hasil studi dokumentasi diperoleh beberapa permasalahan sosial sebagai berikut : 1. Perbandingan antara jumlah populasi manusia dengan luas lahan yang ada di Kelurahan Cicadas dapat dikatakan telah melebihi batas daya dukung (carrying capacity). Dampak dari kelebihan populasi terhadap luas lahan adalah padatnya penduduk yang menyebabkan kekumuhan di suatu wilayah (ekosistem). Masalah terbatasnya lahan untuk penghijauan, sehingga menyebabkan minimnya daya serap air, sanitasi lingkungan
57
yang tidak bersih yang menyebabkan rawan penyakit. Masyarakat terutama yang tinggal di permukiman padat akan sulit untuk mengakses sistem sumberdaya yang terdapat di lingkungannya. Keadaan ini dipersulit lagi dengan kondisi ekonomi yang kurang, sehingga akan memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan padat penduduk. Mereka akan mudah terkena berbagai macam penyakit karena lingkungan yang kotor, dengan kondisi ekonomi yang kurang mereka tidak mampu untuk berobat kerumah sakit. 2. Masih banyaknya masyarakat yang tergolong miskin di Kelurahan Cicadas, seperti yang diungkapkan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) yang tergolong masyarakat miskin pada tahun 2007 terbagi menjadi : Hampir Miskin
: 354 KK
Miskin
: 174 KK
Sangat Miskin
: 48 KK
Jumlah
: 576 KK atau 24% dari 2375 KK
Sedangkan data dari Badan Keluarga Berencana (BKB) Kota Bandung, yang termasuk Keluarga Sejahtera I Alasan Ekonomi sebanyak 954 KK atau 40% dari 2375 KK. Permasalahan yang sering dihadapi oleh masyarakat miskin adalah faktor ekonomi dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya pendidikan untuk anak-anak sekolah dan biaya pengobatan jika mereka sakit. 3. Data penyandang cacat fisik sebanyak 38 orang dan cacat mental (idiot, gila) sebanyak 23 orang. Rata-rata para penyandang cacat fisik maupun cacat mental berasal dari keluarga miskin. Upaya yang dilakukan dalam penanganan kepada mereka adalah memberikan prioritas Askeskin agar mereka mendapatkan kemudahan dalam pelayanan kesehatan. 4. Masalah pengangguran di Kelurahan Cicadas masih tergolong tinggi berdasarkan hasil pendataan oleh Kasie Kemasyarakatan pada tahun 2007 jumlah pengangguran yang terdata sebanyak 364 orang.
V. TINJAUAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT 5.1. Deskripsi Kegiatan Program-program pembangunan yang selama ini terdapat di Kelurahan Cicadas pada umumnya masih didominasi program yang berasal dari Pemerintah seperti Program Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin), Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K), Pemberdayaan Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam (UED-SP), Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin), Bantuan Walikota Khusus untuk Peningkatan Kemakmuran (Bawaku Makmur), Bantuan Walikota Khusus untuk Sekolah (Bawaku Sekolah) dan Program Rehab Rumah Kumuh. Belum tampak adanya program yang bersifat “Bottom Up” atau program yang muncul atas prakarsa dan kebutuhan dari masyarakat Kelurahan Cicadas. Pelaksanaan Praktek Lapangan II (PL II)
dilaksanakan di Kelurahan
Cicadas dengan tujuan untuk menganalisis dan mengevaluasi program (proyek) pengembangan masyarakat yang ada (sedang dan sudah berlangsung) di komunitas, serta sejauh mana telah menerapkan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat dalam pelaksanaannya. Program pengembangan masyarakat yang diambil untuk dianalisis dan di evaluasi adalah : 1. Program Bantuan Walikota Khusus untuk Peningkatan Kemakmuran (Bawaku Makmur) yaitu program Pemerintah Kota Bandung dengan tujuan untuk mengembangkan kegiatan usaha kecil/menengah serta individu/kelompok masyarakat yang memiliki jiwa kewirausahaan dan /atau akan/sedang melakukan perintisan usaha melalui pemberian fasilitas bantuan dana hibah. 2. Program rehabilitasi rumah kumuh dan perbaikan infrastruktur kawasan kumuh yaitu program pemerintah Kota Bandung dengan tujuan untuk mengurangi jumlah kawasan kumuh di Kota Bandung, yang disebabkan
59
daya dukung Kota tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk perkotaan. Wilayah yang terpadat penduduknya di Kota Bandung adalah Jamika, Sadang Serang, Cicadas, Taman Sari dan Kiaracondong. Alasan mengapa program Bawaku Makmur dan Rehab rumah kumuh yang dianalisis dan dievaluasi oleh pengkaji adalah karena kedua program tersebut mengarah kepada pemberdayaan masyarakat dan peranserta masyarakat, sehingga pengkaji merasa tertarik untuk melihat apakah dengan pemberian kedua program tersebut, masyarakat Kelurahan Cicadas dapat diberdayakan dan dapat meningkatkan peranserta atau partisipasi mereka dalam pembangunan. Alasan lain dari pengkaji adalah Kelurahan Cicadas merupakan pusat perdagangan di Kota Bandung dan mata pencaharian sebagai pedagang sebesar 12,23 %, sehingga ingin mengetahui apakah program bantuan Bawaku Makmur dapat menciptakan lapangan pekerjaan dan peningkatan pendapatan bagi masyarakat terutama masyarakat yang tidak mampu (miskin). Alasan mengapa Program rehabilitasi rumah kumuh yang dianalisis dan dievaluasi adalah Kelurahan Cicadas termasuk sebagai Kelurahan yang padat dan kumuh di Kota Bandung, sehingga pengkaji ingin mengetahui apakah dengan program rehabilitasi rumah kumuh, tingkat partisipasi dan swadaya masyarakat dapat meningkat sehingga dapat mengurangi kualitas dan kuantitas dari permukiman kumuh yang ada di Kelurahan Cicadas.
5.2. Latar Belakang Program Bawaku Makmur Dalam konteks pembangunan, perekonomian merupakan sektor yang menjadi salah satu indikator keberhasilan suatu negara, wilayah maupun pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut, Pemerintah Kota Bandung telah menetapkan sebuah visi pembangunan kedepan untuk mewujudkan Kota Bandung sebagai Kota Jasa yang Bermartabat (Bersih, Makmur, Taat dan Bersahabat) dengan salah satu misinya untuk mewujudkan suatu perekonomian kota yang adil, kuat yang berbasiskan pada potensi daerah dalam kerangka meningkatkan pendapatan
masyarakat,
mencipatakan
lapangan
kerja
dan
memperluas
kesempatan usaha. Potensi Usaha Kecil Menengah di Kota Bandung yang jumlahnya relatif sangat besar terdiri dari Koperasi = 2.226 unit dan Usaha Kecil Menengah =
60
73.207 unit belum mampu menjadi penopang serta daya dorong untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi kota guna mewujudkan pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat. Salah satu faktor penghambat pertumbuhan usaha kecil menengah di Kota Bandung selain keterbatasan
kualitas dan kuantitas
sumber daya manusia juga terbatasnya permodalan serta akses ke perbankan. Atas dasar hal tersebut di atas, dibuatlah Peraturan No : 321 Tahun 2007,
Walikota Bandung
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyaluran/Pemberian
Program Bantuan Peningkatan Kemakmuran. Program bantuan peningkatan kemakmuran atau yang dikenal di masyarakat sebagai program Bawaku Makmur (Bantuan Walikota Khusus Kemakmuran) tahun anggaran 2007, merupakan program pemerintah Kota Bandung dalam upaya mengembangkan Koperasi Usaha Kecil Menengah serta kepada individu masyarakat yang memiliki jiwa kewirausahaan dalam bentuk pemberian fasilitas bantuan dana (hibah) masyarakat yang memenuhi kualifikasi persyaratan dan ketentuan serta melalui proses survey dan seleksi yang transparan serta objektif. Dana hibah ini bersifat pemberian yang tidak perlu ada pengembalian dari masyarakat. Program ini lebih memfokuskan pada konteks pembangunan dan pengembangan kegiatan usaha kecil menengah serta daya dorong bagi individu masyarakat yang memiliki jiwa wirausaha dan/atau yang akan melakukan perintisan usaha khususnya dalam penguatan aspek permodalan, dan lebih mengarah pada upaya penciptaan kemandirian, partisipasi, daya inovasi dan kreatifitas pelaku usaha. Dalam hal ini Pemerintah Kota Bandung berfungsi sebagai motivator dan fasilitator. Sasaran
penyaluran/pemberian
Program
Bawaku
Makmur
adalah
kelompok masyarakat maupun perorangan yang tengah melakukan kegiatan ekonomi produktif maupun yang sedang melakukan perintisan usaha yang berada di wilayah kerja Pemerintah Kota Bandung yang memerlukan bantuan dana sesuai dengan syarat yang berlaku. Komposisi anggaran diberikan kepada masyarakat calon wirausahawan sebesar Rp.500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah) sampai dengan Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah). Bagi Usaha Kecil menengah diberikan sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratu Ribu rupiah) sampai dengan Rp. 15.000.000 (Lima Belas Juta Rupiah)
61
dan bagi Koperasi diberikan sebesar Rp. 5.000.000 (Lima Juta Rupiah) sampai Rp. 15.000.000 (Limabelas Juta Rupiah).
5.3. Prosedur Pelaksanaan Program Bawaku Makmur Masyarakat Kelurahan Cicadas mengetahui program Bawaku Makmur bersumber dari media massa, kemudian berkembang dari mulut ke mulut. Pada awalnya aparat Kelurahan Cicadas tidak mengetahui adanya program tersebut dan merasa kebingungan dengan banyaknya masyarakat yang mengajukan proposal dikarenakan tidak adanya koordinasi dari Pemerintah Kota Bandung. Hal ini dikemukakan oleh Sekretaris Lurah dan Kasi Ekonomi Pembangunan : “Pada tahun 2007, awalnya kami tidak mengetahui adanya program Bawaku Makmur, tiba-tiba masyarakat banyak yang datang untuk menandatangani proposal. Setelah kami baca koran dan menanyakan langsung kebagian ekonomi Kota Bandung, baru kami mengetahui adanya program tersebut. Mungkin dari pihak Pemkot kurang sosialisasi kepada aparat Kelurahan dan langsung memberitakan ke media massa.” Untuk mendapatkan bantuan dana hibah Bawaku Makmur, syarat yang harus dipenuhi adalah membuat proposal tentang kegiatan ekonomi yang akan atau sedang dijalani oleh masyarakat serta dilampiri dengan identitas diri. Antusias masyarakat terutama Kelurahan Cicadas dalam mengajukan bantuan dana hibah Bawaku Makmur ternyata sangat besar, berdasarkan data proposal yang masuk ke Kelurahan Cicadas sebanyak 400 orang. Setelah melalui proses seleksi di lapangan yang dilakukan oleh tim dari Kota Bandung maupun aparat Kelurahan, akhirnya yang mendapatkan bantuan dana hibah Bawaku Makmur sebanyak 344 orang terbagi dalam tiga tahap. Tahap I sebanyak 103 orang, tahap II sebanyak 230 orang dan tahap III sebanyak 11 orang dengan total anggaran sebesar Rp. 195.550.000,- (Seratus sembilan puluh lima juta, lima ratus lima puluh ribu rupiah). Masyarakat Kelurahan Cicadas yang menerima dana hibah Bawaku Makmur mendapatkan bantuan
bervariasi antara Rp. 500.000
(Lima ratus ribu rupiah) sampai dengan Rp. 4.000.000 (Empat juta rupiah), akan tetapi hampir 70 % masyarakat menerima bantuan sebesar Rp. 500.000 (Lima Ratus Ribu Rupiah). Penerima bantuan sebesar Rp. 500.000,- adalah mereka yang mengajukan
usaha
secara perorangan sedangkan penerima bantuan
62
sebesar
Rp. 2.000.000,- ke atas adalah mereka yang mengajukan usaha secara
kelompok. Proses pencairan dana hibah Bawaku Makmur langsung ditangani oleh Pemerintah Kota Bandung bagian perekonomian, mereka yang telah disetujui proposalnya pada saat pencairan dengan waktu yang telah dijadwalkan oleh Pemerintah Kota Bandung dapat mengambil bantuan tersebut kepada Bagian Ekonomi Pemerintah Kota Bandung yang berada di jalan Wastukencana Bandung. Banyaknya masyarakat Kelurahan Cicadas yang mengajukan bantuan dana Bawaku Makmur, terkait dengan potensi Kelurahan Cicadas dimana mata pencaharian dari sektor informal yaitu sebagai pedagang cukup tinggi yaitu sebesar 1576 orang atau 12,23 %. Potensi lain yang cukup menunjang untuk mata pencaharian pedagang adalah kawasan Cicadas merupakan salah satu kawasan pusat perdagangan di Kota Bandung. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden baik itu tokoh masyarakat maupun masyarakat penerima langsung bantuan dana Bawaku Makmur, ternyata program tersebut dirasakan banyak manfaatnya untuk permodalan yang akan berusaha maupun penambahan modal bagi yang telah menjalankan usahanya. Hal senada diungkapkan oleh ibu Dian sebagai tokoh masyarakat di RW 11 : “Program Bawaku Makmur sangat bermanfaat, sebagian masyarakat memang ada yang betul-betul digunakan untuk berusaha yang tadinya tidak punya usaha sekarang jualan bakso, jualan gorengan. Tapi ada juga yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hari raya, karena saat pembagian dana tersebut bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. Bantuan dana tersebut tidak digunakan untuk usaha tapi untuk konsumtif”. Bapak Mira, sebagai tokoh masyarakat (Ketua RT) dari RW 03, mengemukakan hal yang sama : “Program Bawaku Makmur bermanfaat bisa membantu permodalan bagi yang belum berusaha dan bisa menambah modal bagi yang sudah berusaha. Tapi ada juga sebagian masyarakat yang tidak memanfaatkan untuk usaha, biasanya mereka bingung mau usaha apa”. Menurut aparat Kelurahan, sebagian masyarakat dapat memanfaatkan program bantuan tersebut, tetapi masih banyak juga warga masyarakat yang belum memanfaatkan bantuan dana tersebut dengan sungguh-sungguh. Menurut beberapa narasumber, program-program dalam bentuk pemberian uang belum
63
sepenuhnya membantu perekonomian masyarakat, sebagian dari masyarakat cenderung menggunakan bantuan tersebut untuk keperluan konsumtif. Hal ini terlihat dari hasil evaluasi yang diberikan kepada mereka, ternyata sebagian besar masyarakat kebingungan untuk mengisi rincian anggaran yang telah digunakan dari bantuan dana tersebut. Kebanyakan mereka menjawab bahwa bantuan dana sebesar Rp. 500.000 tidak mencukupi untuk permodalan usaha. Bantuan yang pernah dirasakan besar manfaatnya oleh masyarakat Kelurahan Cicadas adalah Program Padat Karya, yaitu penciptaan lapangan kerja. Akan tetapi program tersebut tidak berlanjut. Hal ini dikemukakan oleh Ketua RW 01, K (34 Thn) : “Program-program Pemerintah yang selama ini diberikan kepada masyarakat dalam bentuk uang, tidak membantu taraf kesejahteraan masyarakat. Bantuan yang diberikan dibelanjakan secara konsumtif. Yang dirasakan paling bermanfaat program dari pemerintah adalah program padat karya, dimana yang menganggur mendapatkan pekerjaan dan diberi upah”. Program lain yang dirasakan besar manfaatnya oleh masyarakat Kelurahan Cicadas adalah program perbaikan jalan umum, pembuatan sumur resapan, pembuatan sumur untuk kebutuhan sehari-hari, pembuatan MCK, seperti yang di kemukakan oleh Tokoh RW 09, K (65 thn) sebagai berikut : “Program-program yang diberikan Pemerintah banyak membantu masyarakat seperti Askeskin, Raskin, JPS dalam bentuk pembangunan fisik seperti membuat MCK, sumur untuk air bersih, perbaikan jalan. Tapi jika bantuan berupa uang langsung, biasanya tidak sesuai untuk peruntukan, tidak dijadikan modal usaha, tapi untuk keperluan konsumtif”. 5.4. Latar Belakang Program Rehabilitasi Rumah Kumuh Dominasi kaum miskin diperkotaan menciptakan banyak kendala bagi pengadaan rumah diperkotaan. Penyediaan lahan untuk mendirikan rumah yang layak huni dan terjangkau, menjadi hal yang sulit diwujudkan. Belum lagi kemampuan masyarakat atas kepemilikan rumah yang saat ini dibanderol dengan harga selangit oleh pembangun. Realistis saja, jika mereka terpaksa lebih mendahulukan isi perut daripada tempat berlindung. Alhasil,
permukiman
padat
penduduk
menjadi
identik
dengan
permukiman kumuh yang dipenuhi masyarakat miskin, lingkungan kotor,
64
prasarana dan infrastruktur terbatas seperti air bersih, saluran pembuangan air, listrik, sarana bermain anak dan tidak tersedianya ruang terbuka. Karena keterbatasan ini, banyak masyarakat yang memanfaatkan sungai untuk MCK (Mandi, Cuci, Kakus), mengambil air dan juga membuang sampah. Salah satu upaya Pemerintah Kota Bandung
untuk mengurangi
permasalahan diatas adalah dengan program Rehabilitasi rumah kumuh dan perbaikan infrastruktur kawasan kumuh. Diantaranya, dengan perbaikan dan peningkatan jalan gang, penyediaan sarana air bersih dan pembangunan drainase. Selain dukungan dari dana APBD Kota Bandung, diharapkan masyarakat dapat meningkatkan partisipasinya dengan pemberdayaan masyarakat melalui dana swadaya untuk perbaikan rumah kumuh dan perbaikan infrastruktur kawasan kumuh.
5.5. Prosedur Pelaksanaan Program Rehab Rumah Kumuh Pada tahun 2006, Pemerintah Kota Bandung dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) telah menganggarkan bantuan lantainisasi bagi rumahrumah penduduk yang masih memiliki lantai dari tanah. Berdasarkan data keluarga Pra-sejahtera alasan ekonomi dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Kota Bandung , maka setiap Kecamatan yang ada di Kota Bandung mendapatkan bantuan lantainisasi dua buah rumah dimana setiap rumah mendapatkan bantuan sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah). Dari beberapa Kelurahan yang ada di Kecamatan Cibeunying Kidul, hanya Kelurahan Cicadas yang memberikan data rumah berlantaikan tanah sebanyak dua rumah yang berlokasi di RW 01. Lurah Cicadas mendapatkan data tentang rumah berlantaikan tanah berasal dari Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) setempat. Prosedur pengajuan data tidak berdasarkan hasil musyawarah dari Ketua RT dan ketua RW. Berdasarkan keterangan dari aparat Kelurahan, data tersebut diminta secepat mungkin oleh pihak Kecamatan selama jangka waktu dua dari sehingga tidak memungkinkan untuk proses musyawarah dari tiap-tiap Ketua RW. Akhirnya berdasarkan data yang ada di Kelurahan Cicadas, pada tahun 2006, pengajuan program rehab rumah kumuh diberikan kepada RW 01 Kelurahan Cicadas.
65
Anggaran dana tahun 2006 yang turun pada bulan Desember menyebabkan jangka waktu yang cukup sempit dalam menyelesaikan program rehab rumah kumuh. Akhirnya pihak Kecamatan dan Kelurahan mengambil inisiatif untuk segera melaksanaan rehab rumah kumuh di RW 01 tanpa melibatkan institusi RW, RT dan masyarakat setempat, sehingga tidak ada swadaya dari masyarakat baik itu berupa bantuan dana maupun tenaga. Tenaga kerja yang digunakan adalah dua orang yang tinggal disekitar rumah yang akan direhab dengan upah standar sebagai kuli bangunan. Alasan tim Kecamatan dan Kelurahan tidak melibatkan institusi RW maupun RT disebabkan program ini harus
cepat
selesai
dan
harus
segera
memberikan
laporan
pertanggungjawabannya kepada pihak Kecamatan yang akan diteruskan ke tingkat Kota Bandung. Pada tahun 2007 dan tahun 2008, Pemerintah Kota Bandung menambah jumlah pemberian bantuan rehab rumah kumuh sebanyak empat buah rumah tiap Kecamatan, dan tiap Kecamatan mengajukan data rumah yang akan direhab berdasarkan laporan dari Kelurahan. Hasil rapat minggon antara Camat dengan para Lurah disepakati untuk tahun 2007, Kelurahan Cicadas mendapatkan jatah dua buah rumah yang akan di rehab, sisanya dibagi untuk dua Kelurahan lain yang ada di Kecamatan Cibeunying Kidul. Dalam proses mendapatkan data tentang rumah kumuh, pihak Kelurahan menghubungi tiap-tiap Ketua RT dan Ketua RW untuk mengajukan data rumah kumuh. Masing-masing Ketua RT dan RW akan menentukan rumah warga masyarakat yang diusulkan untuk direhab berdasarkan fakta yang terlihat dari kondisi rumah serta tingkat ekonomi penghuninya. Penentuan
rumah
yang akan
direhab tidak berdasarkan
musyawarah dengan masyarakat. Pelaksanaan rehab rumah kumuh pada tahun 2007, dialokasikan kepada RW 08 dan RW 11. Pihak Kecamatan dan Kelurahan menyerahkan bantuan dalam bentuk
uang secara utuh kepada ketua RW untuk masing-masing
rumah sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah). Pelaksanaan program rehab rumah kumuh di RW 08, ketua RW tidak membentuk tim khusus dalam program rehab rumah kumuh. Ketua RW yang mengatur dan membelanjakan anggaran program tersebut sampai rehab rumah selesai dilaksanakan. Tidak ada swadaya
66
dari masyarakat lain baik dalam bentuk uang maupun tenaga. Anggaran rehab rumah kumuh disesuaikan dengan jumlah yang diterima dari Pemerintah Kota. Pelaksanaan rehab rumah kumuh di RW 11 melibatkan seluruh aspek masyarakat, dimana ketua RW membentuk tim khusus dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Partisipasi masyarakat di RW 11 ada yang berbentuk sumbangan bahan bangunan (semen, batu bata bekas), konsumsi (makanan) dan tenaga kerja. Tim bekerja sama dengan masyarakat dalam proses perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi. Anggaran yang digunakan keseluruhan dalam rehab rumah kumuh di RW 11 sebesar Rp. 6.000.000,- (Enam Juta rupiah). Swadaya masyarakat yang terkumpul dalam bentuk uang sebesar Rp. 1.000.000,(Satu Juta Rupiah) Pada tahun 2008, Kecamatan hanya memberikan jatah satu buah rumah di Kelurahan Cicadas untuk di rehab. Pihak Kelurahan mengajukan data rumah kumuh berdasarkan usulan langsung dari salah seorang warga
masyarakat
di
RW 12 tanpa persetujuan dari Ketua RW dan Ketua RT setempat. Dengan setengah memaksa dan mengancam, warga yang mengaku dari salah satu Parpol besar tersebut meminta untuk direhab rumahnya. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya pihak Kelurahan mengusulkan warga RW 12 tersebut untuk direhab rumahnya. Dalam proses pemberian bantuan yang berbentuk uang sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah), pihak Kecamatan memberikan secara langsung kepada warga tersebut dengan disaksikan oleh Lurah dan Ketua RW 12. Pada akhirnya, pelaksanaan rehab rumah kumuh di RW 12 dilaksanakan oleh pemiliknya sendiri, tidak ada proses pengawasan maupun keterlibatan dari ketua RT dan ketua RW serta tidak ada swadaya dari masyarakat.
5.6. Tinjauan Program dalam Kaitannya dengan Pengembangan Ekonomi Lokal Program pemberian dana hibah Bawaku Makmur, bertujuan untuk meningkatkan perekonomian dari sektor informal. Peran Pemerintah Kota Bandung hanya sebagai motivator dalam pemberian modal, diharapkan masyarakat yang berperan aktif dalam mengembangkan usahanya. Masyarakat sebagai subjek dalam mengembangkan usaha perekonomian, sehingga diperlukan
67
suatu kemampuan wirausaha yang tinggi dan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas dari masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, pemberian modal Bawaku Makmur oleh Pemerintah adalah agar dapat didayagunakan oleh masyarakat sebagai pelaksana dan pengelola (acceptable), dapat dikelola oleh masyarakat secara terbuka dan dapat dipertanggung jawabkan (accountable), memberikan pendapatan yang memadai dan mendidik masyarakat untuk mengelola secara ekonomis (profitable) dan hasilnya dapat dilestarikan oleh masyarakat sendiri sehingga menciptakan pemupukan modal dalam wadah lembaga sosial ekonomi setempat (suistanable). Jika dilihat dari
hasil pelaksanaan program pemberian dana Bawaku
Makmur, kendala yang dihadapi sebagian masyarakat adalah mereka yang belum mempunyai usaha yang jelas (calon wirausahawan), sehingga banyak dari mereka yang telah mendapatkan bantuan dana, kebingungan akan dipergunakan untuk apa dana tersebut. Hal ini berkaitan dengan kesiapan dan kemampuan masyarakat (Sumber Daya Manusia) dalam menerima dan mendayagunakan dana bantuan Bawaku Makmur. Berdasarkan hasil evaluasi tim dari Pemerintah Kota Bandung dan Aparat Kelurahan Cicadas, hanya 40 % masyarakat Kelurahan Cicadas yang memanfaatkan bantuan dana program Bawaku Makmur untuk usaha, sedangkan sebanyak 60 % masyarakat hanya digunakan untuk kebutuhan yang sifatnya konsumtif. Program Bawaku Makmur kurang berhasil mengangkat perekonomian di Kelurahan Cicadas, terlihat dari tidak adanya peningkatan
kesejahteraan
masyarakat yang telah diberikan bantuan. Penambahan modal sebesar Rp. 500.000,- tidak membawa dampak bagi peningkatan hasil usaha, maupun penciptaan lapangan pekerjaan. Menurut Haeruman (2001), kemungkinan lain belum berhasilnya program Bawaku Makmur, disebabkan rendahnya tingkat ketrampilan dan pengetahuan masyarakat, yang mengakibatkan rendahnya kemampuan
masyarakat
untuk
memperoleh
dan
memanfaatkan
akses
sumberdaya yang tersedia. Penyebab lain kurang berhasilnya program bawaku makmur adalah waktu pemberian/pencairan dana di saat menjelang hari raya idul fitri, sehingga
68
masyarakat lebih memanfaatkan dana tersebut untuk keperluan hari raya daripada menggunakannya untuk permodalan. Program rehabilitasi rumah kumuh dan perbaikan infrastruktur secara langsung tidak berkaitan dengan pengembangan ekonomi lokal, akan tetapi dampak dari perbaikan infrastruktur terutama di wilayah yang termasuk kumuh, dapat meningkatkan perekonomian lokal, misalnya dengan perbaikan sarana jalan atau gang yang dapat dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat dapat menumbuhkan usaha warung/toko karena lancarnya pendistribusian barang dari agen ke warung/toko. Hal ini dapat memotivasi masyarakat untuk meningkatkan usaha ekonomi produktif. Menurut narasumber yaitu Ketua RW 01, Ketua RW 09 dan aparat Kelurahan jika bantuan-bantuan yang selama ini diberikan kepada masyarakat Kelurahan Cicadas masih bersifat top down, tidak melibatkan masyarakat lokal, maka hasil pembangunan tidak akan terasa dampaknya. Akan lebih tepat jika bantuan-bantuan yang diberikan kepada masyarakat Kelurahan Cicadas dalam bentuk barang, tidak berupa uang tunai, karena dari beberapa pengalaman ternyata pemberiaan dalam bentuk uang tunai tidak efektif, lebih banyak dimanfaatkan untuk keperluan konsumtif. Hal ini dikemukakan oleh aparat Kelurahan J (49 Thn) : “Tingkat kesejahteraan masyarakat Kelurahan Cicadas akan tetap pada masa yang akan datang, jika bantuan-bantuan yang diberikan selama ini dalam bentuk pemberian uang atau modal karena masyarakat banyak menggunakannya untuk konsumtif. Bantuan tidak membawa dampak untuk kesejahteraan masyarakat, apalagi jika harga-harga kebutuhan pokok mahal, lapangan pekerjaan sulit. Lebih baik mereka diberi bantuan berupa peralatan untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keahlian mereka, misalnya mesin las, mesin jahit”. 5.7. Tinjauan Program dalam Kaitannya dengan Modal Sosial dan Gerakan Sosial Dengan merujuk
konsep modal sosial menurut Colletta & Cullen
(Nasdian dan Dharmawan, 2007) maka dalam proses kegiatan Program Bawaku Makmur sudah terdapat potensi modal sosial diantara anggota masyarakat di Kelurahan Cicadas, dimana mereka saling berinteraksi dan memberikan informasi tentang adanya Program Bawaku Makmur dan dengan antusias secara bersama-
69
sama mengajukan permohonan proposal ke tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan sampai pada tingkat Pemerintah Kota Bandung. Adanya interaksi dan ikatan yang kuat antar anggota komunitas Kelurahan Cicadas merupakan modal sosial yang sangat penting untuk mengembangkan program selanjutnya. Hal ini diungkapkan oleh warga RW 12 ketika ditanyakan tentang informasi Program Bawaku Makmur : “Saya tau ada bantuan dana Bawaku Makmur dari mulut ke mulut, dari tetangga, teman yang membuat dan mengajukan proposal untuk minta bantuan dana. Saya juga langsung buat. Saya juga beritahukan kepada teman atau tetangga yang belum tahu”. Akan tetapi modal sosial tersebut tidak berkelanjutan sampai pada suatu gerakan sosial untuk memanfaatkan bantuan dana hibah Bawaku Makmur. Setelah bantuan dana tersebut diterima oleh masing-masing masyarakat, mereka memanfaatkan bantuan dana tersebut secara sendiri-sendiri (perorangan) yang pada akhirnya ada masyarakat yang memanfaatkan dana untuk usaha tapi sebagian masyarakat tidak menggunakan dana tersebut untuk usaha tetapi untuk keperluan konsumtif. Jika dilihat dari aspek Psikologi Sosial, tujuan Pemerintah Kota Bandung memberikan bantuan dana Bawaku Makmur adalah sebagai upaya daya dorong (motivasi) bagi individu masyarakat untuk melakukan suatu usaha. Menurut Panjaitan et al (2007), dalam memandang perilaku manusia perlu dilihat dari berbagai perspektif. Jika di lihat dari perspektif kognitif, tingkah laku manusia tergantung pada bagaimana mereka mempersepsikan dan berfikir tentang lingkungannya atau dengan kata lain sebagai proses mental individu yang menentukan baik respon aktual maupun potensial dari setiap orang dalam dunia sosialnya. Sedangkan menurut perspektif interaksionis, manusia adalah agen aktif dalam menentukan tingkah lakunya sendiri dan menetapkan harapan-harapan sosialnya. Jelaslah, mengapa stimulus yang diberikan Pemerintah Kota Bandung sama yaitu berupa bantuan dana usaha, tetapi respon yang diberikan oleh masyarakat ternyata berbeda-beda seperti yang dijelaskan di atas, ada sebagian masyarakat yang menggunakan bantuan tersebut secara sungguh-sungguh tapi ada sebagian masyarakat yang tidak menggunakan secara sungguh-sungguh.
70
Hal ini berkaitan dengan bagaimana proses mental individu dalam memberikan respon untuk mengelola bantuan dana hibah Bawaku Makmur. Program rehab rumah kumuh dan perbaikan infrastruktur kawasan kumuh bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan partisipasi dan swadaya masyarakat lokal. Dalam upaya meningkatkan partisipasi dan swadaya masyarakat tersebut diperlukan empat dimensi modal sosial seperti yang dikemukakan oleh Colletta dan Cullen (Nasdian dan Dharmawan, 2007) yaitu adanya integrasi yang kuat antar anggota keluarga dan tetangga, ikatan dengan komunitas luar, keefektifan dan kemampuan institusi dalam menjalankan fungsinya serta hubungan yang sinergis antara pimpinan dan komunitas. Dalam pelaksanaan program rehabilitasi rumah kumuh dan perbaikan infrastruktur kawasan kumuh, modal sosial sangat diperlukan untuk memperkuat kerjasama (sinergis) antar institusi dalam pelaksanaan program tersebut. Modal sosial yang kuat antar insititusi seperti Kecamatan, Kelurahan, RW, RT dan masyarakat dapat menjadikan dasar gerakan sosial dalam pelaksanaan program tersebut. Kenyataan yang terjadi di Kelurahan Cicadas, modal sosial dan gerakan sosial relatif masih rendah. Jika dilihat dari prosedur pelaksanaan program yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Kota, Kecamatan maupun Kelurahan, masih
bersifat top-down. Program rehab kumuh sepertinya
belum memperlihatkan
program yang berasal dari usulan masyarakat tapi masih berupa anggaran yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota, hal ini terlihat dimana Pemerintah Kota memberikan bantuan anggaran yang sama rata kepada setiap Kecamatan yang ada di Kota Bandung. Jangka waktu yang relatif sempit antara pelaksanaan program dengan turunnya dana membuat pelaksana program sulit untuk mengembangkan swadaya masyarakat disebabkan program rehab rumah kumuh yang harus segera diselesaikan. Kondisi ini dapat saja menjadikan penyebab Ketua RT dan Ketua RW enggan untuk mengajak masyarakat terlibat, sehingga tidak ada swadaya dan partisipasi masyarakat dalam program rehab rumah kumuh. Peran ketua RT dan ketua RW sebagai pemimpin di tengah-tengah masyarakat sangat berpengaruh dalam melaksanakan setiap program. Diperlukan kemampuan inisiatif dan peningkatan kapasitas kepemimpinan para ketua RT, ketua RW serta tokoh
71
masyarakat lainnya, sehingga dapat mengajak, mempengaruhi dan melibatkan masyarakat dalam setiap program, seperti yang diperlihatkan oleh tokoh-tokoh masyarakat di RW 11 Kelurahan Cicadas.
VII. RANCANGAN PROGRAM PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT
7.1. Latar Belakang Rancangan Program Memperhatikan kondisi dan tingkat partisipasi masyarakat permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas, sangatlah diperlukan adanya suatu strategi pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh.
Bentuk rancangan program peningkatan
partisipasi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas kondisi permukiman kumuh kearah yang lebih baik.
Kegiatan perancangan
program pengembangan masyarakat dilakukan secara partisipatif bersama-sama dengan masyarakat setempat dengan harapan agar apa yang direncanakan dapat terlaksana,
mendapat
dukungan
dari
semua
pihak
dan
berkelanjutan.
Keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perencanaan ini akan meningkatkan kemauan, kemampuan dan kesempatan masyarakat untuk senantiasa berusaha dan saling bekerja sama dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi. Guna mendukung proses perancangan program perlu dilakukan analisis stakeholder yang berkaitan dengan upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh. Stakeholder yang dimaksud adalah ketua RT, ketua RW, Lurah Cicadas, Camat Cibeunying Kidul, Unsur Dinas Kesehatan/Puskesmas, Unsur Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya,
Tokoh
Masyarakat, unsur Swasta (Pengusaha) dan Masyarakat yang tergolong mampu yang berada disekitar permukiman kumuh. Berdasarkan hasil wawancara, pada prinsipnya stakeholder yang ada sangat mendukung
upaya meningkatkan
partisipasi masyarakat pada penataan permukiman kumuh dengan harapan jika program-program tersebut dilaksanakan dengan baik dan berkelanjutan dapat mengurangi tingkat kekumuhan baik secara kualitas maupun kuantitas di Kelurahan Cicadas serta dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan warga masyarakat pada umumnya. Identifikasi permasalahan yang telah dilakukan melalui FGD kemudian dilanjutkan dengan penggalian inti permasalahan dengan menggunakan alat analisis pohon masalah. Alasan digunakan alat analisis ini adalah secara sederhana dapat menggali permasalahan inti, faktor penyebab dan
10791
akibat yang ditimbulkannya dimana masyarakat dapat mengemukakan pendapat mereka sesuai dengan kemampuan mereka dan dilakukan secara partisipatif. Berikut adalah hasil alat analisis pohon masalah :
Faktor lingkungan : Lingkungan sekitar permukiman kotor, kumuh, sering banjir, Faktor internal : Tidak ada usulan, ide, sumbangan materi dan tenaga sukarela dari warga jika ada program pembangunan
Faktor Internal: Masyarakat enggan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
AKIBAT
Partisipasi masyarakat tidak aktif dalam program penataan permukiman kumuh
MASALAH INTI PENYEBAB Faktor lingkungan : Ketua RT dan RW hanya melibatkan orang-orang tertentu saja dalam pelaksanaan program
Faktor lingkungan : Ketua RT dan RW jarang mensosialisasikan ttg penataan permukiman kumuh
Faktor lingkungan : Tidak ada keterbukaan dan kepercayaan dari ketua RT dan RW kepada masyarakat tentang anggaran dan rencana program Faktor lingkungan : Tidak pernah ada kerja bakti
Gambar 4 Hasil Analisis Pohon Masalah
Faktor internal : Tidak ada kepercayaan antara masyarakat dan i i Faktor Internal : Bagi sebagian masyarakat ada yg tdk mau berpartisipasi karena sibuk bekerja dan tdk mau memberi sumbangan materi dgn alasan faktor ekonomi
10792
7.2. Rancangan Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dari permasalahan yang telah digambarkan dalam alat analisis pohon masalah, didapatkan upaya-upaya pemecahan masalah yang dapat dituangkan dalam
bentuk
rancangan
program
menurut
skala
prioritas
dan
akan
direkomendasikan di dalam kebijakan lokal melalui pemerintahan Kelurahan, pemerintahan Kecamatan, pemerintahan Kota serta pihak-pihak yang terkait dalam bidang permukiman kumuh. Diperlukan rancangan program yang bersifat menyeluruh (holistik) dan partisipatif yang mencakup pada asas tribina (bina lingkungan, bina manusia dan bina ekonomi) sehingga tercipta lingkungan permukiman yang bersih, sehat, indah dan teratur.
Terdapat empat rancangan
program dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas, dimana rancangan program tersebut bertujuan untuk meningkatkan faktor internal (dorongan, motif dan kebutuhan dari masyarakat) dan faktor lingkungan (kelembagaan dan kepemiminan) yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan Cicadas. Rancangan program peningkatan partisipasi masyarakat yaitu : (1) Peningkatan kualitas pengurus RW dan RT, (2) Peningkatan taraf ekonomi masyarakat (3) Perbaikan sarana dan prasarana permukiman yang partisipatif dan (4) Peningkatan kualitas hidup sehat masyarakat. Rancangan program terbagi ke dalam sub program yang dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 12 Rancangan Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Penataan Permukiman Kumuh PENANGGUNG PROGRAM
SUB PROGRAM
KEGIATAN
TUJUAN
SASARAN
JAWAB
PENINGKATAN KUALITAS PENGURUS RW DAN RT
Pelatihan dan sosialisasi peningkatan peran Ketua RW dan RT yang tergolong tidak aktif dalam pelaksanaan program
Pelatihan manejemen kepemimpinan
Meningkatkan peran dan kemampuan ketua RT dan RW (faktor lingkungan) dalam bidang kepemimpinan (Leadership) yg berorientasi kpd pengembangan program penataan permukiman kumuh yang partisipastif.
Ketua RW dan Ketua RT yang tidak aktif (RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15)
-Pemerintah Kota
PENINGKATAN TARAF EKONOMI MASYARAKAT
1.Pelatihan
-Ketrampilan
-Menambah dan
-Masyarakat
Ketrampilan (skill) bagi masyarakat yang tingkat partisipasinya tidak aktif
kewirausahaan -Ketrampilan menjahit -Ketrampilan Sablon -Ketrampilan teknisi pompa air -Ketrampilan pembuatan kompos dari sampah rumah tangga.
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (faktor internal) sehingga dapat meningkatkan taraf ekonomi. Diharapkan dengan peningkatan taraf ekonomi juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap program
permukiman kumuh yang tingkat partisipasinya tidak aktif (RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14 dan RW 15)
-Camat -Lurah -Ketua RW dan RT
-Camat -Lurah
SUMBER BIAYA -RAK Kecamatan dan Kelurahan
-RAK Kecamatan dan Kelurahan
93
Tabel 12 Lanjutan PROGRAM
PERBAIKAN SARANA DAN PRASARANA PERMUKIMAN YANG PARTISIPATIF
SUB PROGRAM
KEGIATAN
TUJUAN
SASARAN
PENANGGUNG JAWAB
SUMBER BIAYA
2.Pelatihan Menejemen Koperasi Bagi masyarakat yang tingkat partisipasi aktif dan tidak aktif
-Pembentukan Koperasi simpan pinjam di RW 12, RW 14 dan RW 15.
.-Membantu masyarakat (faktor internal) yang tingkat partisipasinya aktif dan tidak aktif dalam memperoleh akses permodalan bagi usaha kecil. Bagi RW yang tingkat partisipasinya aktif dapat memberikan contoh dan dorongan kepada masyarakat yang tingkat partisipasinya tidak aktif.
- Anggota koperasi RW 12, RW 14 dan RW 15
-Camat -Lurah -Ketua RW dan RT -Dinas Koperasi
-Bantuan Pemkot (Bawaku Makmur) -Simpan pinjam anggota
1. Kerja bakti bagi masyarakat yang tingkat partisipasinya tidak aktif
-Membersihkan lingkungan sekitar permukiman. -Membersihkan saluran air kotor / selokan. -Gerakan penghijauan dengan menanam bunga dan pohon dihalaman - Membuat sumur bor
Program perbaikan sarana dan prasarana permukiman yang partisipatif (faktor lingkungan dan internal) yaitu dapat merangsang dan melibatkan partisipasi masyarakat, Pemerintah dan pihak swasta atau stakeholder lainnya dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi pelaksanaan program.
-Masyarakat dan Tokoh masyarakat (RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15)
- Ketua RW dan RT
-Swadaya masyarakat
- Warga permukiman kumuh RW 01
-Camat -Lurah -Ketua RW dan RT
-RAK Kecamatan
2. Penyediaan sarana air bersih bagi masyarakat yang tingkat partisipasinya tidak aktif
dan Kelurahan - Swadaya masyarakat - Pihak swasta
94
PENINGKATAN KUALITAS HIDUP SEHAT MASYARAKAT
3. Penyediaan sarana MCK bagi masyarakat yang tingkat partisipasinya tidak aktif maupun tidak aktif
- Merenovasi MCK di RW 01 - Membangun MCK baru di RW 12
4. Renovasi rumah kumuh
- Merehab rumah semi permanen menjadi permanen - Pengecatan rumah - Membuat ventilasi
Sosialisasi hidup sehat bagi RW yang tidak aktif
-Penyuluhan dan percontohan tentang rumah sehat, air bersih, MCK sehat dan kebersihan lingkungan sekitarnya.
Melibatkan partisipasi antara masyarakat yang tergolong mampu, Pemerintah dan pihak swasta untuk membantu merenovasi rumah warga yang tidak layak huni. Partisipasi yang diharapkan adalah berupa uang, bahan bangunan dan tenaga kerja sukarela. -Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat (faktor internal) akan kebersihan, kesehatan dan keindahan serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program penataan permukiman kumuh
-Warga permukiman RW 01 dan RW 12
-Camat -Lurah -Ketua RW dan RT
-RAK Kecamatan
-Keluarga pemilik rumah tidak layak huni dengan prioritas status kepemilikan lahan milik sendiri (RW 01, RW 02, RW 09, RW 10, RW 14) -Masyarakat permukiman kumuh yang tingkat partisipasinya tidak aktif (RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14 dan RW 15)
- Camat - Lurah -Ketua RW dan RT
RAK Kecamatan dan Kelurahan -Swadaya masyarakat -Pihak swasta
-Camat -Lurah -Puskesmas -Ketua RW dan RT -Kader Kesehatan/PKK
-RAK Kecamatan
dan Kelurahan - Swadaya masyarakat - Pihak swasta
dan Kelurahan -Swadaya masyarakat -Pihak swasta
95
10796
7.3. Program Peningkatan Kualitas Pengurus RW dan RT Kelembagaan yang dimulai dari Kecamatan, Kelurahan, RW dan RT memegang peranan penting dalam membangun dan menggerakkan masyarakat, terutama pada masyarakat perkotaaan.
Diperlukan suatu Kelembagaan yang
didalamnya terdapat kepemimpinan seperti Ketua RW dan Ketua RT yang mampu membentuk hubungan yang sinergis dan selaras dengan masyarakat. Belajar dari pengalaman pelaksanaan program pembangunan selama ini, bahwa peranan Kelembagaan dan Kepemimpinan yang ada belum terlihat sinergis dengan masyarakat sehingga program pembangunan yang telah dilaksanakan belum dapat melibatkan masyarakat sesuai dengan prinsip desentralisasi. Pendekatan yang digunakan masih bersifat top down, dan mencari keuntungan pribadi
dibalik
setiap
program.
Diperlukan
perubahan
paradigma
dari
Kelembagaan yang dimulai dari Ketua RW dan Ketua RT yang meliputi partisipasi langsung dari warga dalam pengawasan terhadap Pemerintahan serta menjamin agar kepedulian Kelembagaan sesuai dengan kepedulian masyarakat lokal serta dapat meningkatkan kepekaan aparat pemerintahan, RW dan RT untuk lebih melibatkan masyarakat. Melihat permasalahan tersebut di atas, rancangan program yang muncul dari masyarakat adalah pentingnya peningkatan peran kepemimpinan dari Ketua RW dan RT (faktor lingkungan) dalam menjalankan tugasnya
yang
berhubungan
dengan
masyarakat
sehingga
mempunyai
kemampuan untuk menggerakkan masyarakat yang partisipatif. Peran Ketua RW dan Ketua RT yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat maupun sebagai fasilitator perlu ditingkatkan dalam hal ketrampilan khusus sebagai Pengembang Masyarakat (PM). Mereka diharapkan dapat berperan sebagai pekerja / pengembang masyarakat yang dapat mendampingi warganya dalam kegiatan pembangunan. Kegiatan ini dapat menggunakan momen pertemuan atau pada saat sosialisasi Ketua RW/RT tingkat Kecamatan dan Kelurahan dengan menggunakan sumber biaya dari Rencana Anggaran Kegiatan Kecamatan dan Kelurahan. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Camat dan Lurah.
10797
7.4. Program Peningkatan Taraf Ekonomi Program peningkatan taraf ekonomi bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat permukiman kumuh yang rata-rata mempunyai pendapatan yang rendah. Untuk menggerakkan masyarakat dalam berpartisipasi diperlukan upaya perbaikan aspek ekonomi masyarakat terlebih dahulu. Masyarakat tidak akan berpartisipasi jika kondisi ekonomi mereka masih kurang, mereka akan mendahulukan kebutuhan ekonomi mereka daripada kebutuhan sosial (partisipasi). Program peningkatan taraf ekonomi (faktor internal) terdiri dari dua sub program yaitu pelatihan ketrampilan (skill) dan Pelatihan Manajemen Koperasi. 7.4.1. Sub Program Pelatihan Ketrampilan (skill) Program pelatihan ketrampilan bagi masyarakat permukiman kumuh yang rata-rata hanya berpendidikan SD dan SMP dengan tujuan meningkatkan sumberdaya manusia. Dengan berbekal pelatihan yang telah diberikan diharapkan mereka dapat menambah ketrampilan dan menambah penghasilan/pendapatan yang dapat meningkatkan taraf ekonomi mereka. Kegiatan ini dapat dilaksanakan ditingkat Kecamatan maupun Kelurahan dengan menjalin kerjasama dengan bagian Perekonomian Pemerintah, Dinas instansi terkait serta pihak swasta yang dapat menunjang dalam bidangnya untuk mengadakan pelatihan ketrampilan. Jenis-jenis ketrampilan yang dapat diberikan dengan melihat potensi lokal yang ada di Kelurahan Cicadas seperti ketrampilan kewirausahaan, ketrampilan menjahit, ketrampilan sablon, ketrampilan teknisi dalam bidang mesin pompa air dan ketrampilan membuat kompos dari sampah rumah tangga.
7.4.2 Sub Program Pelatihan Manajemen Koperasi di RW 12, RW 14 dan RW 15. Kondisi ekonomi dan pendapatan yang tidak menentu merupakan masalah yang sering dihadapi pada masyarakat permukiman kumuh. Kondisi ini dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk memberikan jasa pinjaman uang dengan bunga yang cukup tinggi. Masih banyak warga masyarakat yang dengan terpaksa
10798
memanfaatkan jasa tersebut baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak maupun untuk permodalan usaha. Sub program pelatihan manajemen Koperasi diharapkan dapat mendorong warga RW 12, RW 14 dan RW 15 dapat membentuk Koperasi Simpan Pinjam dikarenakan lokasi ketiga RW tersebut cukup berdekatan. Tujuan dibentuknya Koperasi simpan pinjam ini adalah untuk mempermudah akses warga masyarakat dalam mendapatkan pinjaman uang dengan bunga yang rendah dan terjangkau. Modal awal Koperasi ini adalah pengajuan kepada
Dinas Koperasi dan Pemerintah Kota melalui
program Bawaku Makmur dan simpanan anggota Koperasi . Dengan adanya Koperasi ini diharapkan ikatan antara warga masyarakat terutama di RW 12, RW 14 dan RW 15 dapat terjalin erat, saling membantu serta dapat meningkatkan taraf ekonomi dari warga masyarakat. Penanggung Jawab Koperasi ini adalah Dinas Koperasi, Lurah, Ketua RW dan RT serta Pengurus Koperasi.
7.5. Perbaikan Sarana dan Prasarana Permukiman yang Partisipatif. Diperlukan program yang berkaitan langsung dengan penanganan permukiman kumuh yaitu program perbaikan sarana dan prasarana yang ada di permukiman kumuh. Dalam pelaksanaan program tersebut diharapkan dapat melibatkan seluruh stakeholder agar program bersifat partisipatif (faktor lingkungan dan faktor internal). Program tersebut terdiri dari empat sub program :
7.5.1. Kerja Bakti Upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terutama pada masyarakat
permukiman
kumuh
adalah
melalui
kegiatan
kerja
bakti
membersihkan lingkungan disekitar permukiman. Latar belakang munculnya program ini karena masyarakat merasa bahwa kegiatan kerja bakti tidak pernah lagi dilakukan selama beberapa tahun ini. Program Jumsih (Jumat Bersih) yang selama ini digalakkan oleh Pemerintah Kota Bandung tidak pernah lagi dilaksanakan. Masyarakat mengharapkan Ketua RT dan Ketua RW yang menggerakkan warga masyarakatnya untuk kegiatan kerja bakti seperti membersihkan gorong-gorong (saluran air kotor), membersihkan lingkungan disekitar permukiman, gerakan penghijauan dengan menanam bunga atau pohon
10799
di tiap-tiap rumah. Seluruh masyarakat diharapkan terlibat dalam kegiatan ini, bentuk partisipasi warga bisa dalam bentuk tenaga, materi dan usulan-usulan kegiatan. Hasil dari FGD telah dilaksanakan kegiatan kerja bakti di RW 01 pada tanggal 7 Desember 2008 dengan kegiatan membersihkan gorong-gorong yang melewati rumah penduduk di RT 02 dan RT 03. Kegiatan kerja bakti ini direncanakan akan dilaksanakan secara rutin setiap satu bulan sekali pada minggu pertama. Hampir semua masyarakat terlibat dalam kegiatan ini, bagi mereka yang tidak ikut serta turut menyumbang dalam bentuk uang maupun bahan bangunan seperti semen. Kegiatan kerja bakti ini selain dapat menggerakkan partisipasi masyarakat juga dapat menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan bebas banjir. Penanggung jawab kegiatan kerja bakti adalah Ketua RW dan RT di masing-masing wilayah.
7.5.2. Penyediaan Sarana Air Bersih Sarana air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok pada masyarakat. Sarana air bersih ini belum dapat terpenuhi oleh warga permukiman kumuh di RW 01 Kelurahan Cicadas karena keterbatasan ekonomi warga masyarakat yang tidak bisa memasang saluran air PDAM. Rencana program untuk memenuhi kebutuhan akan sarana air bersih adalah dengan membuat sumur bor di sekitar permukiman warga yang kemudian ditampung dalam penampungan dan dialirkan melalui pipa-pipa ke rumah warga masyarakat yang membutuhkan. Sumber biaya pembuatan sumur bor ini dianggarkan dari bantuan Pemerintah (RAK Kelurahan Tahun 2009) sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah), sisanya adalah swadaya dari masyarakat, pihak swasta dan stakeholder lain. Pembangunan sarana air bersih ini selain dapat memenuhi kebutuhan akan kesehatan dan kebersihan juga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bentuk pembayaran iuran listrik setiap bulannya yang dipakai untuk menarik air dari sumur ke penampungan yang kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Aparat Kelurahan, RW dan RT setempat.
100 107
7.5.3. Penyediaan sarana MCK Pada umumnya, masyarakat permukiman kumuh tidak memiliki sarana MCK sendiri di tiap-tiap rumah karena keterbatasan lahan dan ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka menggunakan sarana MCK (Mandi Cuci Kakus) umum yang digunakan secara bersama-sama dengan penduduk lain. Sebagian besar kondisi MCK di permukiman kumuh tidak memadai, walaupun tersedia sarana MCK, jumlah MCK yang terbatas tidak sesuai dengan jumlah masyarakat yang menggunakannya. Akibatnya mereka harus antri
jika
menggunakan MCK. Sarana Mandi Cuci Kakus (MCK) yang ada di RW 01 Kelurahan Cicadas kondisinya tidak memadai, tidak ada sarana air bersih, tidak terdapat sarana kloset sehingga pembungan tinja langsung ke saluran drainase. Kondisi bangunan MCK dalam keadaan terbuka tanpa atap penutup dan pintu. Rencana Program yang muncul pada masyarakat permukiman kumuh di RW 01 adalah sarana MCK
merenovasi
yaitu dengan membuat kloset, menyediakan sarana air bersih,
membuat atap dan pintu. Sarana MCK yang ada di RW 14, kondisinya sudah cukup memadai hanya jumlah MCK yang ada selama ini belum dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang cukup banyak. Rencana program yang muncul pada masyarakat permukiman kumuh di RW 14 adalah membuat sarana MCK baru. Kendala yang masih dihadapi oleh warga RW 14 adalah lahan untuk pembangunan MCK yang belum tersedia. Rencana yang akan dilaksanakan terlebih dahulu adalah Ketua RT, Ketua RW , aparat Kelurahan bersama-sama masyarakat akan mencari lahan yang dapat dijadikan sarana MCK. Sumber biaya untuk renovasi dan pembangunan
MCK selain dari bantuan
Pemerintah juga diharapkan swadaya dari masyarakat, pihak swasta dan stakeholder lain dengan tujuan
untuk menumbuhkan tingkat partisipasi
masyarakat sesuai dengan kemampuan masing-masing warga masyarakat. Pembangunan dan renovasi MCK selain untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kebersihan dari warga masyarakat juga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan swadaya masyarakat baik yang dimulai pada saat perencanaan, pelaksanaan
101 107
sampai pada pemeliharaan MCK. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Aparat Kelurahan , RW dan RT.
7.5.4. Renovasi Rumah Kumuh Rumah yang layak huni merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya sebagai manusia. Faktor Ekonomi dan pendapatan yang tidak menentu menjadi faktor penyebab bagi masyarakat permukiman kumuh tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah yang layak huni. Mereka lebih mementingkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian dan kesehatan daripada memperbaiki rumah. Kondisi seperti ini akhirnya memunculkan banyak rumah yang tidak layak huni dan tidak memenuhi standar kesehatan seperti rumah yang kotor dan lembab karena tidak ada ventilasi, dinding terbuat dari bilik dan seng bekas, lantai masih tanah, bocor, atap terbuat dari seng. Masih banyaknya kondisi rumah yang tidak layak huni menjadikan permukiman menjadi kumuh. Upaya untuk menata permukiman kumuh, maka dirasakan masih perlunya program renovasi rumah kumuh yang sifatnya terus-menerus (berkelanjutan) dan bergilir bagi warga yang tidak mampu memperbaiki kondisi rumahnya. Dengan renovasi dan perbaikan rumah-rumah yang tidak layak huni diharapkan dapat mengurangi kualitas dan kuantitas permukiman kumuh. Program ini diharapkan dapat meningkatkan aspek sosial dan kepedulian masyarakat lain yang tergolong mampu, Pemerintah, pihak swasta dan stakeholdern lain untuk membantu baik dalam bentuk tenaga, bahan bangunan maupun materi lainnya. Penanggung jawab kegiatan ini dimulai dari Camat, Lurah, Ketua RW dan Ketua RT.
7.6.
Program Peningkatan Kualitas Hidup Sehat Masyarakat Kesadaran dan pengetahuan akan kesehatan serta kebersihan lingkungan
masih tampak rendah pada warga permukiman kumuh. Hal ini terlihat dari lingkungan sekitar permukiman yang masih kotor, tidak tertata dengan baik, kurangnya penghijauan dari tanaman. Penataan lingkungan merupakan faktor yang sangat penting dalam usaha perbaikan permukiman kumuh. Upaya untuk menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan akan kesehatan dan kebersihan
102 107
lingkungan adalah melalui program sosialisasi kepada masyarakat secara terus menerus dan berkesinambungan. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan penyuluhan dan modelling (percontohan) yang dapat dilakukan oleh Puskesmas, aparat Kelurahan, Ketua RW dan RT, kader kesehatan, dan PKK tentang pentingnya hidup sehat yang mencakup pada kesehatan lingkungan seperti sarana air bersih, sarana MCK, kebersihan rumah dan halamannya. Keberhasilan program ini tergantung kepada partisipasi yang dimulai dari masyarakat, Tokoh Masyarakat, Pemerintah dan pihak swasta serta stakeholder lain.
108 107
111 107
109 107
VI. PERMUKIMAN KUMUH : KARAKTERISTIK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT 6.1. Karakteristik Komunitas Permukiman Kumuh Berdasarkan hasil kajian di lapangan, dengan menggunakan tehnik wawancara dan observasi dari 15 RW yang ada di Kelurahan Cicadas, 10 RW termasuk dalam permukiman kumuh.
Karakteristik komunitas permukiman
kumuh yang berada di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul seperti yang tergambar dalam tabel berikut :
Tabel 8 Karakteristik Masyarakat Permukiman Kumuh Menurut Jumlah Kepala Keluarga, Jumlah Jiwa , Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan
NO
RW
PENDIDIKAN TERAKHIR KK
JUMLAH JIWA
Pekerjaan KK
JUMLAH KK PERMUKIMAN KUMUH
LK
PR
JML
SD
SMP
SMA
Formal
Informal
1
0
21
1
RW 01
21
74
73
147
12
8
2
RW 02
15
37
41
78
7
8
0
15
3
RW 03
11
33
34
67
5
6
0
11
4
RW 04
25
85
81
166
9
14
0
25
5
RW 09
19
48
54
102
8
11
0
19
6
RW 10
21
83
79
162
9
12
0
21
7
RW 11
6
18
20
38
2
4
0
6
8
RW 12
88
276
265
541
49
36
0
88
9
RW 14
42
130
134
264
20
22
0
42
10
RW 15
29
93
95
188
18
11
0
29
JUMLAH
277
877
876
1753
139
132
0
277
2
3
6
Jika dilihat dari tabel di atas terdapat 277 Kepala Keluarga yang tinggal dipermukiman kumuh Kelurahan Cicadas. Jumlah jiwa keseluruhan para penghuni permukiman kumuh adalah sebanyak 1753 jiwa, terdiri dari 877 lakilaki dan 876 perempuan. Dalam satu rumah rata-rata dihuni oleh lima sampai sembilan orang (jiwa), terkadang satu rumah ditempati oleh 12 orang dengan ukuran rumah kurang lebih hanya 25 meter persegi.
73
Sebagian
besar
tingkat
pendidikan
kepala
keluarga
masyarakat
permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas hanya lulusan SD dan SMP, kepala keluarga yang tamat SD sebanyak 139 KK atau 50%, tamat SMP sebanyak 131 KK atau 48%, sedangkan yang tamat SMA hanya enam KK atau 2%. Berdasarkan mata pencaharian, keseluruhan masyarakat permukiman kumuh bekerja di sektor informal seperti tukang beca (pendapatan Rp 25.000/hari), tukang sumur bor (pendapatan Rp. 3.000.000/borongan/4-5 orang), pedagang (pendapatan Rp. 50.000/hari), kuli bangunan (Rp. 50.000/hari). Pendapatan tersebut tidak tetap setiap harinya, terkadang bagi kuli bangunan dan tukang sumur bor jika tidak ada pekerjaan mereka menjadi pengangguran. Bagi sebagian keluarga permukiman kumuh, mereka mendapatkan tambahan penghasilan dari anggota keluarga lain seperti istri yang mempunyai usaha warung atau anak-anak mereka yang sudah bekerja dan memberikan sebagian penghasilannya kepada orang tua.
Hal ini dikemukakan
oleh ketua
RW
14 S (76 Thn) yang juga diungkapkan senada oleh Sekretaris RW 12, ketua RW 10, dan ketua RW 01. “Rata-rata pekerjaan masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh serabutan, tidak menentu kadang kerja kadang tidak, ada yang pedagang, tukang sumur bor, kuli bangunan, tukang beca. Kalau yang kerja sebagai pegawai justru bisa dihitung, sekitar 80 % pekerjaannya rata-rata tidak tentu sehingga penghasilannya juga tidak menentu, paling mereka terbantu oleh istrinya yang punya usaha dagang atau anaknya yang bekerja. Inipun tidak banyak hanya sedikit saja”. Penghuni permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas, terdiri dari balita, anak-anak, remaja, dewasa dan lansia. Pembagian kelompok umur masyarakat permukiman kumuh berdasarkan lokasi RW di Kelurahan Cicadas, dapat di lihat dalam tabel berikut :
74
Tabel 9 Karakteristik Masyarakat Permukiman Kumuh Menurut Jumlah Kepala Keluarga, Jumlah Jiwa dan Kelompok Umur
NO
RW
JUMLAH KK PERMUKIMAN KUMUH
Umur ( tahun )
JUMLAH JIWA
LK
PR
JML
Balita (0-4 thn)
Anak-anak (5-9 thn)
Remaja (10-19 thn)
Dewasa (20-55 thn)
Lansia ( 55 thn ke atas)
1
RW 01
21
74
73
147
3
12
41
74
17
2
RW 02
15
37
41
78
5
6
23
36
8
3
RW 03
11
33
34
67
2
11
18
27
9
4
RW 04
25
85
81
166
7
21
38
78
22
5
RW 09
19
48
54
102
6
17
27
36
16
6
RW 10
21
83
79
162
9
12
27
96
18
7
RW 11
6
18
20
38
0
5
9
19
5
8
RW 12
88
276
265
541
28
65
97
302
49
9
RW 14
42
130
134
264
21
37
66
123
17
10
RW 15
29
93
95
188
19
22
37
96
14
JML
277
877
876
1753
100
208
383
887
175
Berdasarkan tabel di atas dari hasil penelusuran pengkaji terhadap Kartu Keluarga yang diperoleh dari Ketua RT yang berada di permukiman kumuh, Usia para penghuni permukiman kumuh berkisar antara 0 – 65 tahun ke atas. Mereka terdiri dari balita sebanyak 100 orang atau 6% , anak-anak sebanyak 208 orang atau 12% , remaja sebanyak 383 orang atau 22%, dewasa sebanyak 887 orang atau 51% dan lansia sebanyak 175 orang atau 10%. Dari data di atas terlihat bahwa mayoritas penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang berumur remaja dan dewasa.
6.2. Kondisi Permukiman Kumuh Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pengkaji, kondisi permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas, terdiri dari bangunan yang permanen dan sebagian besar kondisi bangunan di RW 12, RW 14 dan RW 15 merupakan bangunan yang setengah permanen. Kondisi bangunan setengah permanen merupakan bangunan dimana setengah bangunan tembok dan setengah bangunan bagian atas terdiri dari
75
dinding yang terbuat dari bilik atau seng. Jika hujan terjadi bocor dan kadangkadang banjir. Menurut S (56 Thn) salah seorang warga RW 12 mengatakan : “Kami tidak bisa memperbaiki rumah karena faktor keuangan, kebutuhan sehari-hari sudah sangat sulit, apalagi untuk memperbaiki rumah. Belum lagi dengan status tanah milik PPI (Angkatan Darat) yang sebenarnya melarang mendirikan rumah permanen, jadi ya kondisinya seperti ini”. Bangunan yang permanen terdapat di RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10 kondisinya tidak jauh berbeda dengan kondisi bangunan setengah permanen walaupun seluruh bangunan sudah terbuat dari tembok. Dinding yang kotor dan kusam, kurangnya ventilasi rumah untuk pencahayaan dan sirkulasi udara di dalam rumah, tidak terdapat pembagian ruang untuk kamar tidur, ruang penerima tamu dan ruang memasak. Dinding rumah dan atap rumah terkadang terbuat dari seng yang telah tua dan dipasang seadanya. Tidak ada jarak antara dinding rumah satu dengan dinding rumah yang lain, dinding rumahnya berhimpitan dan sebagian besar bangunan tidak teratur secara rapih. Untuk masuk ke permukiman kumuh harus melewati gang-gang kecil yang terkadang hanya cukup dilewati oleh satu orang saja. Terdapat beberapa rumah yang terletak dibelakang rumah yang lainnya, dengan kondisi pada siang hari, jalan menuju kerumah gelap karena tertutup oleh bangunan rumah yang lain. Kondisi rumahpun dalam keadaan gelap walaupun disiang hari dan sangat lembab. Keadaan lingkungan disekitar permukiman kumuh sangat kotor, dibagian depan rumah penduduk terdapat banyak barang-barang rongsokan karena rumah mereka dijadikan juga sebagai tempat usaha. Ada juga rumah yang merangkap menjadi warung. Beberapa rumah penduduk ada yang berhadapan dengan MCK Umum dan tempat mencuci. Hampir tidak ada ruang terbuka untuk bermain bagi anak-anak, mereka bermain di gang-gang sempit yang juga merupakan akses jalan bagi penduduk. Lingkungan rumah permukiman penduduk hanya beberapa rumah saja yang terdapat tanaman dalam pot. Di RW 01 hampir semua permukiman kumuh tidak terdapat tanaman di halaman rumah. Ketika pengkaji menanyakan kenapa tidak terdapat tanaman hidup disekitar halaman, mereka mengemukakan banyak tikus
76
dan anak-anak yang sering merusak tanaman sehingga mereka malas untuk menanamnya. Kondisi MCK umum di RW 01 berada di atas kali, dengan kondisi dinding bangunan yang sudah berlumut, tidak ada atap untuk penutup dan tidak terdapat sarana air bersih. Pembuangan tinja langsung ke kali. Kondisi MCK di RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 11 dan RW 15 sudah terdapat sarana kloset dan air bersih hanya kondisi bangunan kusam dan kotor. Kondisi MCK di RW 14 yang berjumlah dua buah kondisinya cukup memadai yaitu terdapat sarana kloset dan sarana air bersih, serta dinding terbuat dari keramik yang cukup bersih. MCK ini direhab pada bulan November 2008 atas bantuan dari sebuah yayasan Saung Kadeudeuh yang berada di Kota Bandung sebesar Rp. 15.000.000 (Lima Belas Juta Rupiah), tidak ada swadaya dari masyarakat dalam pembangunan MCK ini. MCK yang ada di RW 12
seluruhnya berjumlah delapan buah yang
tersebar di empat RT, sebagian MCK telah mendapatkan program perbaikan sehingga kondisinya cukup memadai, sudah terdapat sarana kloset dan air bersih hanya dinding masih terlihat kotor. Jumlah MCK ini masih belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang berjumlah 758 jiwa, seperti yang dikemukakan ketua RT 01 RW 12 G (50 Th) : “Kondisi MCK sudah cukup bagus setelah ada bantuan dari pemerintah, tapi karena jumlahnya sedikit sedangkan yang pakai banyak, maka kalau pagi-pagi antri juga, ini merepotkan bagi masyarakat yang akan kerja, ada satu MCK yang gorong-gorongnya kecil jadi sering meluap jika hujan, perlu diganti oleh gorong-gorong yang besar, kami mengharapkan bantuan lagi dari pemerintah, untuk swadaya masyarakat nanti kami bisa atur dan mengadakan pertemuan dengan warga. Biasanya warga disini bisa diajak untuk kerjasama, mereka tidak sulit jika ketua RW dan RT yang mengajak”. Kondisi sarana air bersih di RW 03, RW 04, RW 09, RW 10 dan RW 11 permukiman kumuh merupakan sarana air sumur yang bisa diambil langsung oleh masyarakat dan diangkut kerumah-rumah. Di RW 01 hanya terdapat satu sumur pompa untuk memenuhi kebutuhan air pada permukiman kumuh dengan kondisi air yang tidak jernih dan tidak dapat dipergunakan untuk memasak dan minum. Untuk keperluan memasak dan minum, mereka meminta kepada tetangga terdekat yang mempunyai sumber air bersih.
77
Di RW 12, RW 14, dan RW 15 masyarakat menggunakan sarana air bersih dengan menggunakan mesin
jet pump yang ditampung kedalam
penampungan
kerumah-rumah
kemudian
dialirkan
penduduk
dengan
menggunakan pipa selang dan paralon. Masyarakat ditarik iuran untuk pembayaran listrik sebesar Rp. 10.000 per bulannya. Jika ada kelebihan dari pembayaran tersebut disimpan oleh salah seorang warga yang dipercaya untuk mengelola keuangan, hal ini untuk menanggulangi apabila ada kerusakan pada mesin jet pump sehingga tidak perlu menarik pembayaran kembali kepada masyarakat.
6.3. Status Kepemilikan Lahan dan Rumah Status kepemilikan lahan dan rumah permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas terbagi menjadi: 1. Permukiman kumuh milik sendiri, yaitu lahan dan bangunan merupakan milik sendiri dan ditempati sendiri oleh pemiliknya. 2. Permukiman kumuh bukan milik, terdiri dari status sewa/kontrak rumah, sewa diatas lahan Pemerintah Kota Bandung (Hak Guna Bangunan), sewa diatas lahan perorangan dan okupasi tanpa kejelasan diatas lahan milik Angkatan Darat (PPI). Data yang diperoleh tentang status kepemilikan lahan dan bangunan, dapat dilihat dalam tabel berikut :
78
Tabel 10 Karakteristik Masyarakat Permukiman Kumuh Menurut Jumlah Kepala Keluarga serta Status Kepemilikan lahan dan Bangunan
NO
RW
1
RW 01
2
RW 02
3
RW 03
4
RW 04
5
RW 09
6
RW 10
7
RW 11
8
RW 12
9
RW 14
10
RW 15 JUMLAH
JUMLAH KK PERMUKIMAN KUMUH
Status Kepemilikan Lahan dan Bangunan Bukan Milik
Milik Sendiri 1
2
3
4
Jml
21
13
8
0
0
0
8
15
4
4
7
0
0
11
11
0
3
8
0
0
11
25
0
9
16
0
0
25
19
13
6
0
0
0
6
21
15
2
0
0
6
6
2
4
0
0
0
4
88
0
12
0
0
76
88
42
22
3
0
0
17
20
29
8
5
0
0
16
21
277
77
56
31
4
109
200
Persentase
28%
20%
11%
1%
40%
72%
4
Ket. Bukan Milik : 1 = Sewa/kontrak rumah 2 = Tanah milik perorangan, bangunan milik sendiri 3 = Tanak milik Pemerintah Kota, bangunan milik sendiri 4 = Tanah milik Angkatan Darat (PPI), bangunan milik sendiri
Hanya terdapat 77 bangunan atau 28% permukiman kumuh dengan status milik sendiri dan ditempati sendiri oleh pemiliknya. Sebanyak 200 bangunan atau 72% permukiman kumuh dengan status lahan kepemilikan bukan milik sendiri yang terdiri atas status sewa/kontrak sebesar 20%, status lahan milik perorangan sebesar 11%, status lahan milik Pemerintah Kota Bandung sebesar 1% dan yang terbanyak adalah status lahan milik Angkatan Darat (PPI) yaitu sebesar 40%. Permukiman kumuh dengan status milik sendiri dan ditempati oleh pemiliknya berada di sebagian RW 01, RW 02, RW 09, RW 10, RW 11, RW 14 dan RW 15, sedangkan permukiman kumuh dengan status sewa/kontrak rumah berada di setiap RW. Pada umumnya mereka menyewa untuk satu atau dua tahun dengan biaya sewa atau kontrak satu rumah sebesar Rp. 200.000 – Rp. 300.000
79
sebulan. Terdapat juga penyewa yang telah bertahun-tahun, mereka biasanya mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang. Permukiman kumuh dengan status lahan sewa milik perorangan tetapi bangunan milik sendiri berada di RW 02 , RW 03 dan RW 04. Mereka telah menempati rumah diatas lahan sewa selama puluhan tahun dengan biaya sewa lahan perbulan bervariasi antara Rp.2000 – Rp. 20.000. Terdapat surat perjanjian antara pemilik lahan dan penyewa lahan. Di RW 10, permukiman kumuh berada di atas lahan milik Pemerintah Kota Bandung dengan biaya sewa bervariasi antara Rp. 40.000 – Rp. 80.000 dan dibayar setahun sekali. Penduduk permukiman kumuh di RW 10 mempunyai surat ijin untuk mendirikan bangunan (Hak Guna Bangunan) di atas lahan Pemerintah Kota dengan perjanjian kontrak 1 tahun. Status kepemilikan rumah kumuh diatas lahan milik instansi Angkatan Darat (PPI) terdapat di RW 12, RW 14 dan RW 15. Permukiman ini telah dibangun kurang lebih 20 tahun yang lalu, dimiliki secara turun temurun dari orang tua dan ada juga yang diperjual belikan. Semula permukiman di tiga RW tersebut hanya sedikit, tetapi lama kelamaan bangunan tersebut bertambah. Para penghuni permukiman kumuh yang berada di atas lahan milik Angkatan Darat ini memiliki rasa was-was karena sewaktu-waktu dapat saja mereka di usir dari rumah mereka, jika lahan yang mereka tinggali akan digunakan oleh instansi tersebut. Setiap pergantian pimpinan pada instansi tersebut, selalu ada surat peringatan mengenai status lahan, tapi tidak ada tindak lanjutnya. Ibu T (43 Thn) mengemukakan kondisi yang dirasakannya : “Sebenarnya kami sering merasa was-was, apabila ada pergantian komandan di PPI pasti akan ada peringatan tentang status tanah disini. Tapi dengan sendirinya akan tenang lagi karena surat tersebut hanya peringatan saja tapi tidak ada tindak lanjutnya. Kami sih meminta bantuan kepada aparat Kelurahan agar bisa menjembatani kami dengan PPI, tapi sampai saat ini tidak pernah ada. Mungkin dengan kondisi seperti ini, banyak rumah-rumah disini tidak terlalu bagus, membangun seadanya karena mereka takut diusir”. Dari keseluruhan status kepemilikan lahan dan bangunan di Kelurahan Cicadas, baik itu milik sendiri maupun bukan milik sendiri, mereka setiap
80
tahunnya dikenakan biaya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang wajib dibayarkan kepada Pemerintah Kota Bandung. Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan FGD (format hasil FGD terlampir), dapat diketahui bahwa faktor penyebab permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas adalah : 1. Faktor ekonomi yang disebabkan oleh penghasilan atau pendapatan yang tidak tetap dan tidak menentu, sehingga mereka tidak mampu mengakses rumah layak huni. 2. Masih rendahnya tingkat
kesadaran dan pengetahuan dari warga
masyarakat akan pentingnya segi kesehatan, kebersihan, keindahan rumah dan lingkungan sekitarnya serta sarana MCK dan sarana air bersih. 3. Sarana MCK bagi sebagian masyarakat permukiman kumuh belum menjadikan kebutuhan penting dari segi kesehatan dan kebersihan khususnya bagi warga di RW 01 Kelurahan Cicadas karena mereka sudah terbiasa dengan kondisi MCK tersebut selama bertahun-tahun. 4. Bagi masyarakat permukiman kumuh dengan status lahan bukan milik sendiri, dapat menimbulkan perasaan tidak tenang dan was-was dikarenakan ada rasa takut jika sewaktu-waktu lahan mereka tergusur. Status lahan tersebut juga menyebabkan sebagian masyarakat enggan untuk memperbaiki / memperindah kondisi rumah mereka. 5. Rumah selain sebagai tempat tinggal juga dijadikan tempat usaha seperti warung dan tempat penyimpanan (gudang) barang rongsokan, sehingga menjadikan lingkungan rumah menjadi kotor dan berantakan.
6.4. Relasi Sosial Masyarakat Kumuh Masyarakat permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas merupakan bagian dari komunitas sebuah RT dan sebuah RW. Mereka hidup berdampingan dengan sesama komunitas permukiman kumuh dan juga komunitas lain yang permukimannya tergolong tidak kumuh. Relasi sosial yang terbentuk antara sesama masyarakat permukiman kumuh dapat dikatakan cukup erat, karena jarak rumah mereka yang cukup berdekatan, tidak terhalang oleh pembatas seperti pagar rumah sehingga komunikasi yang terjadi diantara mereka cukup lancar.
81
Bagi masyarakat permukiman kumuh, mereka dapat saling membantu jika tetangga mereka sedang mendapatkan kesulitan. Terdapat juga sisi negatif dari kedekatan jarak rumah di permukiman kumuh yaitu tingkat persaingan diantara mereka yang cukup tinggi, hal ini terlihat jika tetangga mereka mendapatkan bantuan, maka yang lainpun ingin mendapatkan hal yang sama. Beberapa program bantuan Pemerintah seperti Rehab rumah kumuh, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program dana hibah Bawaku makmur seringkali ketua RT maupun ketua RW dijadikan sasaran pertanyaan atau protes dari penduduk yang tidak mendapatkan bantuan. Relasi sosial antara masyarakat permukiman kumuh dengan masyarakat permukiman yang tidak kumuh terdapat jarak sosial dikarenakan adanya status sosial ekonomi yang berbeda di antara mereka. Bagi masyarakat permukiman kumuh, mereka mempunyai perasaan rendah diri, sungkan dan malu kepada mereka yang tergolong ekonomi kaya. Hal ini dikemukakan oleh Ibu W (51 Thn) warga RW 01 : “Kami hanya kenal saja dengan tetangga didepan sana, tidak terlalu dekat hubungannya karena malu, kami mah orang ga punya. Tapi kalau diantara kami ada yang kena musibah, mereka suka membantu juga seperti nyumbang uang atau beras. Pernah beras Raskin juga gratis, tidak usah beli tapi disumbang oleh mereka.Tapi sekarang beli lagi engga tau kenapa. Kalau untuk rehab tumah kumuh ke Pa Maman dan Pa Komar, kami tidak ikut nyumbang karena kami juga tidak punya uang. Setau saya juga tidak ada sumbangan dari warga lain”. Ibu E (45 Thn) warga RW 01 yang tinggal
dipermukiman tidak kumuh
mengatakan sebagai berikut : “Sebagai warga masyarakat, kita wajib untuk saling kenal dan saling menolong apalagi kepada mereka yang tidak mampu. Hanya mungkin kita tidak terlalu dekat hubungannya dengan mereka, karena walaupun kita ada arisan RT, mereka tidak ikut serta, ga tau kenapa. Mungkin mereka terbatas ya keuangannya sehingga tidak ikutan, padahal kita juga suka ajakin mereka, sewaktu rehab rumah kumuh Pa Maman dan Pa Komar di RT 02, kami tidak diminta sumbangannya oleh Pa RT maupun Pa RW”. Ibu I (40 Thn) Ketua RT di RW 11 mengemukakan : “Sewaktu Rehab rumah kumuh di RW kami diadakan, kami sebagai tim meminta bantuan kepada warga yang tergolong mampu untuk menyumbang. Ternyata mereka mau memberikan sumbangannya seperti bahan bangunan
82
yaitu semen, batu bekas bongkaran rumah, keramik, konsumsi dan tenaga yang tidak dibayar. Kalau hubungan sosial antara masyarakat kumuh dengan yang tidak kumuh mungkin biasa-biasa saja, tidak terlalu dekat karena jarak rumah mereka cukup jauh. Tapi kalau diantara masyarakat permukiman kumuh ya cukup dekat karena jarak rumah mereka berdekatan”. Relasi antara masyarakat permukiman kumuh dengan masyarakat di luar permukiman kumuh, dapat terjalin dalam hubungan yang saling menguntungkan. Masyarakat di luar permukiman kumuh dengan kondisi ekonomi tinggi terkadang membutuhkan tenaga kerja untuk menjadi pembantu rumah tangga atau tenaga kuli bangunan. Hal ini dapat membantu menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan ekonomi bagi masyarakat permukiman kumu
6.5. Tingkat Partisipasi Masyarakat Permukiman Kumuh Seseorang dalam berpartisipasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor lingkungan. Faktor internal yaitu adanya kemauan dan kemampuan dari individu untuk berpartisipasi seperti kesediaan untuk berpartisipasi yang didasari oleh harapan dan kebutuhannya serta didukung oleh tingkat kemampuan individu seperti kemampuan memberikan materi, tenaga atau ide-ide (usulan). Faktor lingkungan yaitu kesempatan atau dukungan dari pimpinan dan kelembagaan dalam meningkatkan kemauan dan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan. Berdasarkan hasil pengamatan, wawancara dan FGD (format hasil FGD terlampir), tingkat partisipasi aktif masyarakat terhadap program penataan permukiman kumuh terjadi pada masyarakat RW 11 dan RW 12,
sedangkan masyarakat RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10,
RW 14 dan RW 15 belum menunjukkan tingkat partisipasi aktif terhadap program penataan permukiman kumuh. Partisipasi masyarakat terlihat aktif di RW 11 pada saat pelaksanaan program rehab rumah kumuh. Ketua RT dan RW melibatkan masyarakat dengan membentuk tim khusus dan mengajak seluruh masyarakat untuk turut serta menyumbang sesuai dengan kemampuan masing-masing masyarakat dalam pelaksanaan rehab rumah kumuh salah seorang warga masyarakat RW 11 yang tergolong tidak mampu. Adanya keterbukaan dari ketua RW dan RT serta tim
83
tentang anggaran yang diperoleh dari bantuan Pemerintah Kota Bandung yaitu sebanyak Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah) dapat memancing swadaya masyarakat dalam bentuk uang sebesar Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah), usulan tentang rencana pembangunan dan materi lain berbentuk batu bata bekas, semen serta bantuan tenaga sukarela. Partisipasi masyarakat terlihat aktif di RW 12 pada saat Pemerintah Kota memberikan bantuan dana untuk pembangunan sebesar Rp. 10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah). Alokasi anggaran tersebut dipergunakan untuk merehab mesjid, perbaikan sarana air bersih serta merenovasi MCK. Masyarakat terlibat aktif dalam pelaksanaan program-program tersebut dengan memberikan bantuan uang, materi (konsumsi, bahan bangunan) dan tenaga sukarela. Jika di lihat dari hasil pelaksanaan program pembangunan yang berkaitan dengan permukiman kumuh, maka
faktor-faktor penyebab tingkat partisipasi
aktif dari masyarakat adalah : 1. Ketua RT dan RW mempunyai inisiatif dan interaksi yang tinggi sehingga mampu berperan aktif menggerakkan masyarakat untuk bekerja sama. 2. Ketua RT dan RW memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada masyarakat untuk terlibat dalam pelaksanaan program dimana masyarakat dilibatkan penuh dimulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi dari kegiatan pembangunan. 3. Komunikasi yang terbuka antara ketua RT dan RW dengan masyarakat dalam pelaksanaan program sehingga muncul rasa saling percaya antara masyarakat dan pimpinannya. Faktor-faktor diatas mendorong masyarakat RW 11 dan RW 12 mau dan mampu untuk terlibat dalam pelaksanaan program.
Bentuk partisipasi yang
diberikan masyarakat adalah dalam bentuk materi (uang), partisipasi tenaga, dan partisipasi buah pikiran (ide, usulan). Bentuk-bentuk partisipasi yang diberikan masyarakat
berbeda-beda
tergantung
kepada
kemampuan
mereka.
Ada
masyarakat yang mampu memberikan sumbangan materi dalam bentuk uang atau bahan bangunan serta ide atau usulan tentang rencana kegiatan pembangunan dan ada juga yang hanya memberikan bantuan tenaga yang tidak dibayar. Hal ini dikemukakan oleh salah seorang warga RW 12, T (42 Thn) :
84
“Sebagai warga masyarakat kita harus gotong royong dalam pembangunan apa saja, karena hasilnya untuk masyarakat juga. Masyarakat disini mah harus digerakkan oleh RT dan RWnya jadi mereka akan malu kalau tidak ikutan. Kalau tidak bisa nyumbang uang ya mereka bisa nyumbang tenaga aja, yang penting ikut kerjasama”. Ibu Dian, tokoh masyarakat di RW 11 yang terlibat dalam tim program rehab rumah kumuh, mengemukakan tentang partisipasi masyarakat : “Ada partisipasi masyarakat sewaktu program rumah kumuh dilaksanakan, partisipasinya berbentuk uang, sumbangan bahan bangunan, konsumsi dan tenaga kerja. Di RW saya tidak sulit mengerahkan masyarakat untuk berpartisipasi”. Dalam mekanisme pemberian bantuan rehab rumah kumuh yang diberikan kepada RW 11, pihak Kecamatan maupun Kelurahan memberikan secara langsung bantuan tersebut kepada Ketua RW dan RT sehingga Ketua RW membentuk tim khusus yang akhirnya dapat merealisasikan peran serta masyarakat. Sedangkan mekanisme pemberian bantuan untuk program rehabilitasi rumah kumuh di RW 12, pihak Kecamatan dan Kelurahan tidak memberikan bantuan tersebut kepada Ketua RW dan RT melainkan langsung kepada warga calon penerima bantuan. Ketua RW maupun RT akhirnya tidak dapat melibatkan masyarakat lain untuk berpartisipasi membantu rehabilitasi rumah kumuh seperti yang telah dipaparkan pada Bab V hal 66, tentang prosedur pelaksanaan program rumah kumuh. Berdasarkan hasil wawancara pengkaji dengan Tokoh formal (Ketua RT, Ketua RW), Tokoh informal (Sesepuh, Tokoh Agama) dan masyarakat menunjukkan bahwa dalam setiap pelaksanaan program yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh seperti perbaikan sarana jalan, sarana MCK, sarana air bersih serta rehabilitasi rumah kumuh di
RW 01, RW 02, RW 03, RW 04,
RW 08, RW 09, RW 10, RW 14 dan RW 15 belum terlihat partisipasi aktif dari masyarakat. Pelaksanaan program perbaikan MCK di RW 14, Ketua RT dan RW hanya melibatkan orang-orang tertentu saja, tenaga kerja yang dipakai dari masyarakat lokal diberi upah sesuai dengan upah standar kuli bangunan. Tidak ada bantuan berupa sumbangan uang atau bahan materi lain dari masyarakat.
85
Program pembuatan sarana air bersih sumur jet pump yang pernah dilaksanakan di RW 04 atas bantuan Pemerintah Kota, kondisinya saat ini tidak dapat dipakai oleh masyarakat. Mesin dalam kondisi rusak dan tidak ada upaya untuk perbaikan. Sedangkan pembuatan sarana air bersih sumur jet pump di RW 15 dilaksanakan sepenuhnya oleh sebuah yayasan dan tidak melibatkan masyarakat. Program rehab rumah kumuh di RW 01 dan RW 08, tidak melibatkan masyarakat. Ketua RW 08 melaksanakan program tersebut seorang diri sedangkan pelaksanaan di RW 01 dilaksanakan oleh aparat Kelurahan dan Kecamatan sehingga tidak ada keterlibatan masyarakat. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap pelaksanaan program yang berkaitan dengan permukiman kumuh,
maka faktor yang menjadi penyebab tingkat
partisipasi masyarakat belum aktif adalah : 1. Ketua RT dan ketua RW tidak melibatkan masyarakat dalam program, mereka hanya melibatkan orang-orang tertentu saja. 2. Tidak ada keterbukaan dari Ketua RT dan RW tentang rencana dan anggaran program. 3. Interaksi antara ketua RT dan RW dengan masyarakat belum sinergis, belum ada rasa saling percaya dalam pelaksanaan program pembangunan. 4. Masih ada sebagian masyarakat yang tidak mau berpartisipasi dengan alasan sibuk bekerja. 5. Masih ada sebagian masyarakat yang tidak mau berpartisipasi dengan alasan faktor ekonomi. Faktor-faktor di atas menyebabkan
masyarakat tidak mempunyai
kesempatan untuk memberikan usulan-usulan atau ide-ide tentang rencana pembangunan, mereka enggan untuk
memberikan bantuan tenaga secara
sukarela dan memberikan sumbangan dalam bentuk materi terutama dalam pelaksanaan program yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh. Di bawah ini beberapa pendapat dari Ketua RW maupun masyarakat : Pendapat Ketua RW : Ketua RW 08 D (57 Thn) mengemukakan tentang program rehab rumah kumuh : “Saya tidak membentuk tim untuk rehab rumah kumuh karena takut jika melibatkan banyak orang akan jadi rumit, program ini harus cepat
86
diselesaikan dan dilaporkan ke Kelurahan, jadi saya sendiri yang mengatur rehab rumah kumuh tersebut. Masyarakat disini sulit untuk diminta bantuan berupa uang atau tenaga, apalagi untuk rehab rumah seorang warga, karena kebanyakan mereka juga ekonominya kurang, kalau tenaga sukarela sulit, biasanya mereka minta dibayar juga. Tapi kalau untuk kepentingan umum seperti mesjid atau jalan, biasanya sih mereka mau menyumbang semampunya mereka”. Ketua RW 14, S (76 Thn) mengemukakan pendapatnya tentang pembangunan MCK: “Kami tidak menarik sumbangan dari masyarakat untuk pembangunan MCK ini karena kondisi ekonomi masyarakat yang sulit, terus saya juga tidak mengharapkan bantuan tenaga kerja dari masyarakat karena takut akan jadi berantakan jika dikerjakan oleh banyak orang. Pembangunan MCK ini dikerjakan oleh 3 orang tenaga kerja yang tinggal disekitar MCK dan mereka di bayar sesuai dengan upah pada umumnya”. Pendapat masyarakat : Pendapat salah seorang warga yang tidak dilibatkan dalam pembangunan MCK di RW 14, Ny T (44 Thn) mengemukakan sebagai berikut : “Pak RW tidak mengajak masyarakat lain untuk pembangunan MCK, ga tau kenapa, jadi kami juga tidak ikut gotong royong. Hanya beberapa orang aja yg ikut terlibat. Seandainya warga diajak saya yakin mereka mau membantu sesuai kemampuan mereka, misalnya tenaga yang tidak usah dibayar atau mungkin bisa menyumbang konsumsi”. Berdasarkan hasil kajian di atas, perbandingan tingkat partisipasi masyarakat aktif dan tidak aktif dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu faktor internal dan faktor lingkungan, disajikan dalam tabel berikut :
87
Tabel 11 Perbandingan Tingkat Partisipasi Masyarakat Berdasarkan Faktor yang Mempengaruhinya Faktor Lingkungan
Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat
Faktor Internal Status kepemilikan lahan milik sendiri Status kepemilikan lahan bukan milik Faktor Internal Kemauan (motif, harapan,kebutuhan) -Ada dorongan dan kebutuhan untuk melaksanakan program dan menjalin kerjasama dengan sesama masyarakat dan Ketua RT dan RW. -Mempunyai harapan bahwa hasil pembangunan ditujukan untuk masyarakat
Kelembagaan aktif Lembaga RT dan RW mampu memfasilitasi hubungan kerja antara Pemerintah dan Masyarakat
Kepemimpinan aktif Ada inisiatif, interaksi, keterbukaan dan kepercayaan dari Ketua RT dan RW dalam pelaksanaan program kepada masyarakat
RW 11
Kelembagaan tidak aktif Lembaga RT dan RW belum mampu memfasilitasi hubungan kerja antara Pemerintah dan Masyarakat
Kepemimpinan tidak aktif Tidak ada inisiatif, interaksi, keterbukaan dan kepercayaan dari Ketua RT dan RW dalam pelaksanaan program kepada masyarakat
RW 01, RW 02, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15
RW 12
RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15
RW 11 RW 12
RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15
88
Tabel 11 Lanjutan
Faktor Lingkungan
Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Partisipasi Masyarakat
Faktor Internal Kemampuan (memberikan usulan, ide, tenaga, uang dan materi dan waktu) -Ada bantuan tenaga secara sukarela, bantuan materi dan waktu. -Ada usulan dan ide-ide saat merencanakan program -Tidak ada bantuan tenaga sukarela, uang dan materi. -Masyarakat enggan untuk bekerjasama, tidak ada usulan atau ide dalam perencanaan program
Kelembagaan aktif Lembaga RT dan RW mampu memfasilitasi hubungan kerja antara Pemerintah dan Masyarakat
Kepemimpinan aktif Ada inisiatif, interaksi, keterbukaan dan kepercayaan dari Ketua RT dan RW dalam pelaksanaan program kepada masyarakat
Kelembagaan tidak aktif Lembaga RT dan RW belum mampu memfasilitasi hubungan kerja antara Pemerintah dan Masyarakat
RW 11 RW 12
_
Kepemimpinan tidak aktif Tidak ada inisiatif, interaksi, keterbukaan dan kepercayaan dari Ketua RT dan RW dalam pelaksanaan program kepada masyarakat
_
RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15
Kesimpulan dari hasil perbandingan tabel diatas adalah : 1. Status kepemilikan lahan menjadi faktor penentu bagi tingkat partisipasi masyarakat. Berkat kelembagaan dan kepemimpinan yang aktif, untuk kasus di Kelurahan Cicadas yaitu
masyarakat RW 12 yang status
kepemilikan lahan bukan milik justru menunjukkan tingkat partisipasi aktif terhadap pelaksanaan program. Pada masyarakat RW 11 yang status kepemilikan lahan milik sendiri juga dapat menunjukkan tingkat
89
partisipasi aktif terhadap program karena adanya kesempatan dan dorongan dari kelembagaan dan kepemimpinan yang aktif. 2. Faktor internal : Pada masyarakat yang tingkat partisipasinya aktif maupun tidak aktif memiliki dorongan, harapan dan kebutuhan yang sama untuk berpartisipasi, akan tetapi pada RW 11 dan RW 12 mereka dapat merealisasikan kemampuannya dalam bentuk partisipasi materi, tenaga dan usulan. Pada masyarakat dimana tingkat partisipasinya tidak aktif (RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 12 dan RW 15), mereka enggan untuk merealisasikan kemampuan mereka dalam berpartisipasi baik itu berupa usulan, materi maupun tenaga sukarela. 3. Faktor lingkungan : Lembaga dan kepemimpinan pada RW 11 dan RW 12 memiliki hubungan kerja yang sinergis dengan Pemerintah dan masyarakat. Mereka mempunyai inisiatif dan interaksi yang tinggi serta mampu berperan aktif menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan program penataan permukiman kumuh. Mereka memiliki
keterbukaan
dan
kepercayaan
kepada
kemampuan
masyarakatnya. Komunikasi yang terbuka antar RT dan RW kepada masyarakat dapat menciptakan saling percaya antara masyarakat dan pimpinannya. Peran tersebut dapat mendorong warga masyarakat untuk mau dan mampu berpartisipasi dalam program penataan permukiman kumuh. Kelembagaan dan kepemimpinan yang tidak aktif, akhirnya tidak dapat
mendorong
masyarakat
untuk
merealisasikan
kemampuan
masyarakat dalam berpartisipasi seperti tidak adanya usulan ataupun ideide, tidak ada bantuan materi dan tenaga secara sukarela. Hasil kajian yang telah dilaksanakan berdasarkan wawancara mendalam, pengamatan berperan serta dan FGD, menjadi dasar dalam perumusan program upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung.
VII. RANCANGAN PROGRAM PENINGKATAN PARTISIPASI MASYARAKAT
7.1. Latar Belakang Rancangan Program Memperhatikan kondisi dan tingkat partisipasi masyarakat permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas, sangatlah diperlukan adanya suatu strategi pemberdayaan masyarakat dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh.
Bentuk rancangan program peningkatan
partisipasi masyarakat diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas kondisi permukiman kumuh kearah yang lebih baik.
Kegiatan perancangan
program pengembangan masyarakat dilakukan secara partisipatif bersama-sama dengan masyarakat setempat dengan harapan agar apa yang direncanakan dapat terlaksana,
mendapat
dukungan
dari
semua
pihak
dan
berkelanjutan.
Keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan perencanaan ini akan meningkatkan kemauan, kemampuan dan kesempatan masyarakat untuk senantiasa berusaha dan saling bekerja sama dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi. Guna mendukung proses perancangan program perlu dilakukan analisis stakeholder yang berkaitan dengan upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh. Stakeholder yang dimaksud adalah ketua RT, ketua RW, Lurah Cicadas, Camat Cibeunying Kidul, Unsur Dinas Kesehatan/Puskesmas, Unsur Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya,
Tokoh
Masyarakat, unsur Swasta (Pengusaha) dan Masyarakat yang tergolong mampu yang berada disekitar permukiman kumuh. Berdasarkan hasil wawancara, pada prinsipnya stakeholder yang ada sangat mendukung
upaya meningkatkan
partisipasi masyarakat pada penataan permukiman kumuh dengan harapan jika program-program tersebut dilaksanakan dengan baik dan berkelanjutan dapat mengurangi tingkat kekumuhan baik secara kualitas maupun kuantitas di Kelurahan Cicadas serta dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan warga masyarakat pada umumnya. Identifikasi permasalahan yang telah dilakukan melalui FGD kemudian dilanjutkan dengan penggalian inti permasalahan dengan menggunakan alat analisis pohon masalah. Alasan digunakan alat analisis ini adalah secara sederhana dapat menggali permasalahan inti, faktor penyebab dan
10791
akibat yang ditimbulkannya dimana masyarakat dapat mengemukakan pendapat mereka sesuai dengan kemampuan mereka dan dilakukan secara partisipatif. Berikut adalah hasil alat analisis pohon masalah :
Faktor lingkungan : Lingkungan sekitar permukiman kotor, kumuh, sering banjir, Faktor internal : Tidak ada usulan, ide, sumbangan materi dan tenaga sukarela dari warga jika ada program pembangunan
Faktor Internal: Masyarakat enggan untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan
AKIBAT
Partisipasi masyarakat tidak aktif dalam program penataan permukiman kumuh
MASALAH INTI PENYEBAB Faktor lingkungan : Ketua RT dan RW hanya melibatkan orang-orang tertentu saja dalam pelaksanaan program
Faktor lingkungan : Ketua RT dan RW jarang mensosialisasikan ttg penataan permukiman kumuh
Faktor lingkungan : Tidak ada keterbukaan dan kepercayaan dari ketua RT dan RW kepada masyarakat tentang anggaran dan rencana program Faktor lingkungan : Tidak pernah ada kerja bakti
Gambar 4 Hasil Analisis Pohon Masalah
Faktor internal : Tidak ada kepercayaan antara masyarakat dan i i Faktor Internal : Bagi sebagian masyarakat ada yg tdk mau berpartisipasi karena sibuk bekerja dan tdk mau memberi sumbangan materi dgn alasan faktor ekonomi
10792
7.2. Rancangan Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dari permasalahan yang telah digambarkan dalam alat analisis pohon masalah, didapatkan upaya-upaya pemecahan masalah yang dapat dituangkan dalam
bentuk
rancangan
program
menurut
skala
prioritas
dan
akan
direkomendasikan di dalam kebijakan lokal melalui pemerintahan Kelurahan, pemerintahan Kecamatan, pemerintahan Kota serta pihak-pihak yang terkait dalam bidang permukiman kumuh. Diperlukan rancangan program yang bersifat menyeluruh (holistik) dan partisipatif yang mencakup pada asas tribina (bina lingkungan, bina manusia dan bina ekonomi) sehingga tercipta lingkungan permukiman yang bersih, sehat, indah dan teratur.
Terdapat empat rancangan
program dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas, dimana rancangan program tersebut bertujuan untuk meningkatkan faktor internal (dorongan, motif dan kebutuhan dari masyarakat) dan faktor lingkungan (kelembagaan dan kepemiminan) yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan Cicadas. Rancangan program peningkatan partisipasi masyarakat yaitu : (1) Peningkatan kualitas pengurus RW dan RT, (2) Peningkatan taraf ekonomi masyarakat (3) Perbaikan sarana dan prasarana permukiman yang partisipatif dan (4) Peningkatan kualitas hidup sehat masyarakat. Rancangan program terbagi ke dalam sub program yang dapat dilihat dalam tabel berikut :
Tabel 12 Rancangan Program Peningkatan Partisipasi Masyarakat Dalam Penataan Permukiman Kumuh PENANGGUNG PROGRAM
SUB PROGRAM
KEGIATAN
TUJUAN
SASARAN
JAWAB
PENINGKATAN KUALITAS PENGURUS RW DAN RT
Pelatihan dan sosialisasi peningkatan peran Ketua RW dan RT yang tergolong tidak aktif dalam pelaksanaan program
Pelatihan manejemen kepemimpinan
Meningkatkan peran dan kemampuan ketua RT dan RW (faktor lingkungan) dalam bidang kepemimpinan (Leadership) yg berorientasi kpd pengembangan program penataan permukiman kumuh yang partisipastif.
Ketua RW dan Ketua RT yang tidak aktif (RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15)
-Pemerintah Kota
PENINGKATAN TARAF EKONOMI MASYARAKAT
1.Pelatihan
-Ketrampilan
-Menambah dan
-Masyarakat
Ketrampilan (skill) bagi masyarakat yang tingkat partisipasinya tidak aktif
kewirausahaan -Ketrampilan menjahit -Ketrampilan Sablon -Ketrampilan teknisi pompa air -Ketrampilan pembuatan kompos dari sampah rumah tangga.
meningkatkan kualitas sumber daya manusia (faktor internal) sehingga dapat meningkatkan taraf ekonomi. Diharapkan dengan peningkatan taraf ekonomi juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap program
permukiman kumuh yang tingkat partisipasinya tidak aktif (RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14 dan RW 15)
-Camat -Lurah -Ketua RW dan RT
-Camat -Lurah
SUMBER BIAYA -RAK Kecamatan dan Kelurahan
-RAK Kecamatan dan Kelurahan
93
Tabel 12 Lanjutan PROGRAM
PERBAIKAN SARANA DAN PRASARANA PERMUKIMAN YANG PARTISIPATIF
SUB PROGRAM
KEGIATAN
TUJUAN
SASARAN
PENANGGUNG JAWAB
SUMBER BIAYA
2.Pelatihan Menejemen Koperasi Bagi masyarakat yang tingkat partisipasi aktif dan tidak aktif
-Pembentukan Koperasi simpan pinjam di RW 12, RW 14 dan RW 15.
.-Membantu masyarakat (faktor internal) yang tingkat partisipasinya aktif dan tidak aktif dalam memperoleh akses permodalan bagi usaha kecil. Bagi RW yang tingkat partisipasinya aktif dapat memberikan contoh dan dorongan kepada masyarakat yang tingkat partisipasinya tidak aktif.
- Anggota koperasi RW 12, RW 14 dan RW 15
-Camat -Lurah -Ketua RW dan RT -Dinas Koperasi
-Bantuan Pemkot (Bawaku Makmur) -Simpan pinjam anggota
1. Kerja bakti bagi masyarakat yang tingkat partisipasinya tidak aktif
-Membersihkan lingkungan sekitar permukiman. -Membersihkan saluran air kotor / selokan. -Gerakan penghijauan dengan menanam bunga dan pohon dihalaman - Membuat sumur bor
Program perbaikan sarana dan prasarana permukiman yang partisipatif (faktor lingkungan dan internal) yaitu dapat merangsang dan melibatkan partisipasi masyarakat, Pemerintah dan pihak swasta atau stakeholder lainnya dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi pelaksanaan program.
-Masyarakat dan Tokoh masyarakat (RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14, RW 15)
- Ketua RW dan RT
-Swadaya masyarakat
- Warga permukiman kumuh RW 01
-Camat -Lurah -Ketua RW dan RT
-RAK Kecamatan
2. Penyediaan sarana air bersih bagi masyarakat yang tingkat partisipasinya tidak aktif
dan Kelurahan - Swadaya masyarakat - Pihak swasta
94
PENINGKATAN KUALITAS HIDUP SEHAT MASYARAKAT
3. Penyediaan sarana MCK bagi masyarakat yang tingkat partisipasinya tidak aktif maupun tidak aktif
- Merenovasi MCK di RW 01 - Membangun MCK baru di RW 12
4. Renovasi rumah kumuh
- Merehab rumah semi permanen menjadi permanen - Pengecatan rumah - Membuat ventilasi
Sosialisasi hidup sehat bagi RW yang tidak aktif
-Penyuluhan dan percontohan tentang rumah sehat, air bersih, MCK sehat dan kebersihan lingkungan sekitarnya.
Melibatkan partisipasi antara masyarakat yang tergolong mampu, Pemerintah dan pihak swasta untuk membantu merenovasi rumah warga yang tidak layak huni. Partisipasi yang diharapkan adalah berupa uang, bahan bangunan dan tenaga kerja sukarela. -Meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat (faktor internal) akan kebersihan, kesehatan dan keindahan serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program penataan permukiman kumuh
-Warga permukiman RW 01 dan RW 12
-Camat -Lurah -Ketua RW dan RT
-RAK Kecamatan
-Keluarga pemilik rumah tidak layak huni dengan prioritas status kepemilikan lahan milik sendiri (RW 01, RW 02, RW 09, RW 10, RW 14) -Masyarakat permukiman kumuh yang tingkat partisipasinya tidak aktif (RW 01, RW 02, RW 03, RW 04, RW 09, RW 10, RW 14 dan RW 15)
- Camat - Lurah -Ketua RW dan RT
RAK Kecamatan dan Kelurahan -Swadaya masyarakat -Pihak swasta
-Camat -Lurah -Puskesmas -Ketua RW dan RT -Kader Kesehatan/PKK
-RAK Kecamatan
dan Kelurahan - Swadaya masyarakat - Pihak swasta
dan Kelurahan -Swadaya masyarakat -Pihak swasta
95
10796
7.3. Program Peningkatan Kualitas Pengurus RW dan RT Kelembagaan yang dimulai dari Kecamatan, Kelurahan, RW dan RT memegang peranan penting dalam membangun dan menggerakkan masyarakat, terutama pada masyarakat perkotaaan.
Diperlukan suatu Kelembagaan yang
didalamnya terdapat kepemimpinan seperti Ketua RW dan Ketua RT yang mampu membentuk hubungan yang sinergis dan selaras dengan masyarakat. Belajar dari pengalaman pelaksanaan program pembangunan selama ini, bahwa peranan Kelembagaan dan Kepemimpinan yang ada belum terlihat sinergis dengan masyarakat sehingga program pembangunan yang telah dilaksanakan belum dapat melibatkan masyarakat sesuai dengan prinsip desentralisasi. Pendekatan yang digunakan masih bersifat top down, dan mencari keuntungan pribadi
dibalik
setiap
program.
Diperlukan
perubahan
paradigma
dari
Kelembagaan yang dimulai dari Ketua RW dan Ketua RT yang meliputi partisipasi langsung dari warga dalam pengawasan terhadap Pemerintahan serta menjamin agar kepedulian Kelembagaan sesuai dengan kepedulian masyarakat lokal serta dapat meningkatkan kepekaan aparat pemerintahan, RW dan RT untuk lebih melibatkan masyarakat. Melihat permasalahan tersebut di atas, rancangan program yang muncul dari masyarakat adalah pentingnya peningkatan peran kepemimpinan dari Ketua RW dan RT (faktor lingkungan) dalam menjalankan tugasnya
yang
berhubungan
dengan
masyarakat
sehingga
mempunyai
kemampuan untuk menggerakkan masyarakat yang partisipatif. Peran Ketua RW dan Ketua RT yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat maupun sebagai fasilitator perlu ditingkatkan dalam hal ketrampilan khusus sebagai Pengembang Masyarakat (PM). Mereka diharapkan dapat berperan sebagai pekerja / pengembang masyarakat yang dapat mendampingi warganya dalam kegiatan pembangunan. Kegiatan ini dapat menggunakan momen pertemuan atau pada saat sosialisasi Ketua RW/RT tingkat Kecamatan dan Kelurahan dengan menggunakan sumber biaya dari Rencana Anggaran Kegiatan Kecamatan dan Kelurahan. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Camat dan Lurah.
10797
7.4. Program Peningkatan Taraf Ekonomi Program peningkatan taraf ekonomi bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat permukiman kumuh yang rata-rata mempunyai pendapatan yang rendah. Untuk menggerakkan masyarakat dalam berpartisipasi diperlukan upaya perbaikan aspek ekonomi masyarakat terlebih dahulu. Masyarakat tidak akan berpartisipasi jika kondisi ekonomi mereka masih kurang, mereka akan mendahulukan kebutuhan ekonomi mereka daripada kebutuhan sosial (partisipasi). Program peningkatan taraf ekonomi (faktor internal) terdiri dari dua sub program yaitu pelatihan ketrampilan (skill) dan Pelatihan Manajemen Koperasi. 7.4.1. Sub Program Pelatihan Ketrampilan (skill) Program pelatihan ketrampilan bagi masyarakat permukiman kumuh yang rata-rata hanya berpendidikan SD dan SMP dengan tujuan meningkatkan sumberdaya manusia. Dengan berbekal pelatihan yang telah diberikan diharapkan mereka dapat menambah ketrampilan dan menambah penghasilan/pendapatan yang dapat meningkatkan taraf ekonomi mereka. Kegiatan ini dapat dilaksanakan ditingkat Kecamatan maupun Kelurahan dengan menjalin kerjasama dengan bagian Perekonomian Pemerintah, Dinas instansi terkait serta pihak swasta yang dapat menunjang dalam bidangnya untuk mengadakan pelatihan ketrampilan. Jenis-jenis ketrampilan yang dapat diberikan dengan melihat potensi lokal yang ada di Kelurahan Cicadas seperti ketrampilan kewirausahaan, ketrampilan menjahit, ketrampilan sablon, ketrampilan teknisi dalam bidang mesin pompa air dan ketrampilan membuat kompos dari sampah rumah tangga.
7.4.2 Sub Program Pelatihan Manajemen Koperasi di RW 12, RW 14 dan RW 15. Kondisi ekonomi dan pendapatan yang tidak menentu merupakan masalah yang sering dihadapi pada masyarakat permukiman kumuh. Kondisi ini dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk memberikan jasa pinjaman uang dengan bunga yang cukup tinggi. Masih banyak warga masyarakat yang dengan terpaksa
10798
memanfaatkan jasa tersebut baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biaya sekolah anak maupun untuk permodalan usaha. Sub program pelatihan manajemen Koperasi diharapkan dapat mendorong warga RW 12, RW 14 dan RW 15 dapat membentuk Koperasi Simpan Pinjam dikarenakan lokasi ketiga RW tersebut cukup berdekatan. Tujuan dibentuknya Koperasi simpan pinjam ini adalah untuk mempermudah akses warga masyarakat dalam mendapatkan pinjaman uang dengan bunga yang rendah dan terjangkau. Modal awal Koperasi ini adalah pengajuan kepada
Dinas Koperasi dan Pemerintah Kota melalui
program Bawaku Makmur dan simpanan anggota Koperasi . Dengan adanya Koperasi ini diharapkan ikatan antara warga masyarakat terutama di RW 12, RW 14 dan RW 15 dapat terjalin erat, saling membantu serta dapat meningkatkan taraf ekonomi dari warga masyarakat. Penanggung Jawab Koperasi ini adalah Dinas Koperasi, Lurah, Ketua RW dan RT serta Pengurus Koperasi.
7.5. Perbaikan Sarana dan Prasarana Permukiman yang Partisipatif. Diperlukan program yang berkaitan langsung dengan penanganan permukiman kumuh yaitu program perbaikan sarana dan prasarana yang ada di permukiman kumuh. Dalam pelaksanaan program tersebut diharapkan dapat melibatkan seluruh stakeholder agar program bersifat partisipatif (faktor lingkungan dan faktor internal). Program tersebut terdiri dari empat sub program :
7.5.1. Kerja Bakti Upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terutama pada masyarakat
permukiman
kumuh
adalah
melalui
kegiatan
kerja
bakti
membersihkan lingkungan disekitar permukiman. Latar belakang munculnya program ini karena masyarakat merasa bahwa kegiatan kerja bakti tidak pernah lagi dilakukan selama beberapa tahun ini. Program Jumsih (Jumat Bersih) yang selama ini digalakkan oleh Pemerintah Kota Bandung tidak pernah lagi dilaksanakan. Masyarakat mengharapkan Ketua RT dan Ketua RW yang menggerakkan warga masyarakatnya untuk kegiatan kerja bakti seperti membersihkan gorong-gorong (saluran air kotor), membersihkan lingkungan disekitar permukiman, gerakan penghijauan dengan menanam bunga atau pohon
10799
di tiap-tiap rumah. Seluruh masyarakat diharapkan terlibat dalam kegiatan ini, bentuk partisipasi warga bisa dalam bentuk tenaga, materi dan usulan-usulan kegiatan. Hasil dari FGD telah dilaksanakan kegiatan kerja bakti di RW 01 pada tanggal 7 Desember 2008 dengan kegiatan membersihkan gorong-gorong yang melewati rumah penduduk di RT 02 dan RT 03. Kegiatan kerja bakti ini direncanakan akan dilaksanakan secara rutin setiap satu bulan sekali pada minggu pertama. Hampir semua masyarakat terlibat dalam kegiatan ini, bagi mereka yang tidak ikut serta turut menyumbang dalam bentuk uang maupun bahan bangunan seperti semen. Kegiatan kerja bakti ini selain dapat menggerakkan partisipasi masyarakat juga dapat menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan bebas banjir. Penanggung jawab kegiatan kerja bakti adalah Ketua RW dan RT di masing-masing wilayah.
7.5.2. Penyediaan Sarana Air Bersih Sarana air bersih merupakan salah satu kebutuhan pokok pada masyarakat. Sarana air bersih ini belum dapat terpenuhi oleh warga permukiman kumuh di RW 01 Kelurahan Cicadas karena keterbatasan ekonomi warga masyarakat yang tidak bisa memasang saluran air PDAM. Rencana program untuk memenuhi kebutuhan akan sarana air bersih adalah dengan membuat sumur bor di sekitar permukiman warga yang kemudian ditampung dalam penampungan dan dialirkan melalui pipa-pipa ke rumah warga masyarakat yang membutuhkan. Sumber biaya pembuatan sumur bor ini dianggarkan dari bantuan Pemerintah (RAK Kelurahan Tahun 2009) sebesar Rp. 5.000.000,- (Lima Juta Rupiah), sisanya adalah swadaya dari masyarakat, pihak swasta dan stakeholder lain. Pembangunan sarana air bersih ini selain dapat memenuhi kebutuhan akan kesehatan dan kebersihan juga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam bentuk pembayaran iuran listrik setiap bulannya yang dipakai untuk menarik air dari sumur ke penampungan yang kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Aparat Kelurahan, RW dan RT setempat.
100 107
7.5.3. Penyediaan sarana MCK Pada umumnya, masyarakat permukiman kumuh tidak memiliki sarana MCK sendiri di tiap-tiap rumah karena keterbatasan lahan dan ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, mereka menggunakan sarana MCK (Mandi Cuci Kakus) umum yang digunakan secara bersama-sama dengan penduduk lain. Sebagian besar kondisi MCK di permukiman kumuh tidak memadai, walaupun tersedia sarana MCK, jumlah MCK yang terbatas tidak sesuai dengan jumlah masyarakat yang menggunakannya. Akibatnya mereka harus antri
jika
menggunakan MCK. Sarana Mandi Cuci Kakus (MCK) yang ada di RW 01 Kelurahan Cicadas kondisinya tidak memadai, tidak ada sarana air bersih, tidak terdapat sarana kloset sehingga pembungan tinja langsung ke saluran drainase. Kondisi bangunan MCK dalam keadaan terbuka tanpa atap penutup dan pintu. Rencana Program yang muncul pada masyarakat permukiman kumuh di RW 01 adalah sarana MCK
merenovasi
yaitu dengan membuat kloset, menyediakan sarana air bersih,
membuat atap dan pintu. Sarana MCK yang ada di RW 14, kondisinya sudah cukup memadai hanya jumlah MCK yang ada selama ini belum dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang cukup banyak. Rencana program yang muncul pada masyarakat permukiman kumuh di RW 14 adalah membuat sarana MCK baru. Kendala yang masih dihadapi oleh warga RW 14 adalah lahan untuk pembangunan MCK yang belum tersedia. Rencana yang akan dilaksanakan terlebih dahulu adalah Ketua RT, Ketua RW , aparat Kelurahan bersama-sama masyarakat akan mencari lahan yang dapat dijadikan sarana MCK. Sumber biaya untuk renovasi dan pembangunan
MCK selain dari bantuan
Pemerintah juga diharapkan swadaya dari masyarakat, pihak swasta dan stakeholder lain dengan tujuan
untuk menumbuhkan tingkat partisipasi
masyarakat sesuai dengan kemampuan masing-masing warga masyarakat. Pembangunan dan renovasi MCK selain untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kebersihan dari warga masyarakat juga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan swadaya masyarakat baik yang dimulai pada saat perencanaan, pelaksanaan
101 107
sampai pada pemeliharaan MCK. Penanggung jawab kegiatan ini adalah Aparat Kelurahan , RW dan RT.
7.5.4. Renovasi Rumah Kumuh Rumah yang layak huni merupakan salah satu kebutuhan pokok yang sangat penting bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya sebagai manusia. Faktor Ekonomi dan pendapatan yang tidak menentu menjadi faktor penyebab bagi masyarakat permukiman kumuh tidak dapat memenuhi kebutuhan rumah yang layak huni. Mereka lebih mementingkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum, pakaian dan kesehatan daripada memperbaiki rumah. Kondisi seperti ini akhirnya memunculkan banyak rumah yang tidak layak huni dan tidak memenuhi standar kesehatan seperti rumah yang kotor dan lembab karena tidak ada ventilasi, dinding terbuat dari bilik dan seng bekas, lantai masih tanah, bocor, atap terbuat dari seng. Masih banyaknya kondisi rumah yang tidak layak huni menjadikan permukiman menjadi kumuh. Upaya untuk menata permukiman kumuh, maka dirasakan masih perlunya program renovasi rumah kumuh yang sifatnya terus-menerus (berkelanjutan) dan bergilir bagi warga yang tidak mampu memperbaiki kondisi rumahnya. Dengan renovasi dan perbaikan rumah-rumah yang tidak layak huni diharapkan dapat mengurangi kualitas dan kuantitas permukiman kumuh. Program ini diharapkan dapat meningkatkan aspek sosial dan kepedulian masyarakat lain yang tergolong mampu, Pemerintah, pihak swasta dan stakeholdern lain untuk membantu baik dalam bentuk tenaga, bahan bangunan maupun materi lainnya. Penanggung jawab kegiatan ini dimulai dari Camat, Lurah, Ketua RW dan Ketua RT.
7.6.
Program Peningkatan Kualitas Hidup Sehat Masyarakat Kesadaran dan pengetahuan akan kesehatan serta kebersihan lingkungan
masih tampak rendah pada warga permukiman kumuh. Hal ini terlihat dari lingkungan sekitar permukiman yang masih kotor, tidak tertata dengan baik, kurangnya penghijauan dari tanaman. Penataan lingkungan merupakan faktor yang sangat penting dalam usaha perbaikan permukiman kumuh. Upaya untuk menumbuhkan kesadaran dan pengetahuan akan kesehatan dan kebersihan
102 107
lingkungan adalah melalui program sosialisasi kepada masyarakat secara terus menerus dan berkesinambungan. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan penyuluhan dan modelling (percontohan) yang dapat dilakukan oleh Puskesmas, aparat Kelurahan, Ketua RW dan RT, kader kesehatan, dan PKK tentang pentingnya hidup sehat yang mencakup pada kesehatan lingkungan seperti sarana air bersih, sarana MCK, kebersihan rumah dan halamannya. Keberhasilan program ini tergantung kepada partisipasi yang dimulai dari masyarakat, Tokoh Masyarakat, Pemerintah dan pihak swasta serta stakeholder lain.
VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
8.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dan disesuaikan dengan tujuan kajian, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut : 1. Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul merupakan salah satu Kelurahan yang tergolong kumuh yang ada di Kota Bandung dengan tingkat kepadatan penduduk sebanyak 234 jiwa/Ha atau 23.429 jiwa/Km2. Dari 15 RW yang ada di Kelurahan Cicadas, 10 RW tergolong kumuh dilihat dari kondisi sarana dan prasarana permukiman yang tidak memadai, seperti sarana air bersih, sarana MCK, banyaknya rumah tidak layak huni dan tidak tertata rapih serta lingkungan permukiman yang kotor dan tidak terdapat penghijauan. Kondisi ekonomi, rendahnya pengetahuan dan kesadaran dari warga masyarakat serta status lahan yang tidak jelas merupakan penyebab munculnya permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas. Upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program penataan permukiman kumuh merupakan salah satu strategi untuk memberdayakan masyarakat agar tercipta lingkungan permukiman yang bersih, sehat dan teratur. 2. Tingkat partisipasi masyarakat dalam penataan permukiman kumuh di Kelurahan Cicadas, hanya dua RW yang menunjukkan tingkat partisipasi aktif dari masyarakat dalam pelaksanaan program-program penataan permukiman kumuh yaitu di RW 11 dan RW 12. Peran kepemimpinan lokal yaitu ketua RT dan RW dengan inisiatif dan adanya kepercayaan yang tinggi, akhirnya dapat melibatkan dan menggerakkan masyarakat dalam
program
penataan
permukiman
kumuh
seperti
program
penyediaaan sarana air bersih, program perbaikan MCK dan program rehab rumah kumuh. Kepemilikan lahan dengan status lahan bukan milik sendiri ternyata tidak mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat menjadi rendah, hal ini terlihat pada masyarakat di RW 12 yang hampir keseluruhan lahan dari masyarakat adalah milik instansi Angkatan Darat (PPI) akan tetapi masyarakatnya dapat menunjukkan tingkat partisipasi
104
yang cukup aktif. Hal ini berkat kesempatan dan dorongan yang diberikan oleh kelembagaan dan kepemimpinan yang aktif. Delapan RW lainnya belum terlihat tingkat partisipasi masyarakatnya secara aktif. Berdasarkan hasil pengamatan, wawancara dan FGD yang dilakukan pengkaji, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat di delapan RW yang ada di Kelurahan Cicadas terhadap program-program yang berkaitan dengan penataan permukiman kumuh disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor internal yaitu : Faktor lingkungan : kurangnya kesempatan dan dukungan yang diberikan berbagai pihak seperti Kecamatan, Kelurahan, Ketua RT dan ketua RW untuk melibatkan masyarakat dalam program penataan permukiman kumuh. Kesempatan hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja yang menyebabkan hubungan antara masyarakat dengan tokoh-tokoh kepemimpinan lokal belum terbina dengan baik, sehingga menimbulkan rasa saling curiga dan tidak percaya antara pemimpin dan masyarakatnya terhadap pelaksanaan program pembangunan. Faktor penentu internal : kurang kemauan/kesediaan
untuk melibatkan
diri dalam pelaksanaan program pembangunan, yang pada akhirnya masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk memberikan usulanusulan rencana pembangunan, tidak mampu memberikan
sumbangan
materi maupun tenaga sukarela yang disebabkan kurangnya kesempatan dan dukungan dari kepemimpinan lokal (Camat, Lurah, ketua RT dan RW) . 3. Dalam rangka upaya memberdayakan masyarakat dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program penataan permukiman kumuh sangat diperlukan peran stakeholders yang ada serta peran aparat Kelurahan
yang
berkaitan
langsung
dengan
masyarakat
sebagai
pengembang/pekerja masyarakat. 4. Program
yang
dirancang
memberdayakan dan
bersama
meningkatkan
masyarakat partisipasi
dalam
masyarakat
rangka dalam
penataan permukiman kumuh adalah : (1) Peningkatan kualitas pengurus RW dan RT, (2) Peningkatan taraf ekonomi masyarakat (3) Perbaikan
105
sarana dan prasarana permukiman yang partisipatif dan (4) Peningkatan kualitas hidup sehat masyarakat. Keterlibatan, partisipasi dan swadaya masyarakat dalam program dimulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi sangat diperlukan dan harus dilakukan secara konsekwen. Keterlibatan masyarakat ini merupakan tonggak awal dari keberhasilan sebuah program. Dukungan dari semua pihak termasuk para pemegang kebijakan merupakan sarana agar program tersebut dapat berkesinambungan dan bermanfaat bagi masyarakat tidak hanya masyarakat permukiman kumuh tetapi seluruh masyarakat di Kelurahan Cicadas Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung.
8.2. Rekomendasi Belajar dari proses perencanaan dan pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang pernah dilaksanakan di Kelurahan Cicadas, merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi berbagai pihak terutama yang berkepentingan dalam program pengembangan masyarakat. Mengacu pada paradigma pembangunan yang desentralistik dan menggunakan pendekatan pembangunan
yang sifatnya bottom up
dimana rencana pembangunan yang
disusun meliputi rencana yang betul-betul dibutuhkan oleh masyarakat, pelaksanaan dan hasilnyapun ditujukan untuk masyarakat. Berkaitan hal tersebut, terdapat beberapa upaya yang perlu menjadi perhatian bagi pihak terkait, agar program ini benar-benar dapat berjalan sesuai dengan harapan bersama, yaitu :
Pengembangan Konsep Oppenheim (1966) dan Sumardjo & Saharudin (2007) Menurut Oppenheim, tingkah laku adalah fungsi dari interaksi antara manusia dan lingkungannya. Faktor manusia (faktor internal yang ada dalam diri manusia seperti temperamen, sikap atau karakter) akan saling terkait dengan lingkungan disekitarnya sehingga memunculkan perilaku tertentu (dalam penelitian ini dibatasi pada variabel partisipasi). Penelitian ini mempertajam apa yang telah dikemukakan oleh Oppenheim serta Sumardjo dan Saharudin. Upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam program penataan permukiman kumuh di Kelurahan
106
Cicadas, memberikan sumbangan pemikiran bahwa faktor internal ternyata tidak hanya berkaitan dengan temperamen, sikap atau karakter individu tetapi juga berkaitan dengan status kepemilikan lahan individu yang bersangkutan. Adapun faktor lingkungan yang menjadi penentu dalam konteks studi ini adalah variabel kelembagaan dan kepemimpinan.
Pemerintah Kota Bandung, Kecamatan, Kelurahan dan Instansi Terkait 1. Lebih meningkatkan Peran aparat Pemerintahan dalam pengawasan kebijakan tata ruang dan pemanfaatan lahan yang tepat. 2. Meningkatkan
peran
aparat
Pemerintahan
sebagai
Pengembang
Masyarakat (PM) dimulai dari Kecamatan sampai Kelurahan tentang pentingnya
melibatkan
peran
masyarakat
dalam
setiap
program
pembangunan. 3. Meningkatkan peran instansi terkait lainnya seperti Puskesmas, Dinas Pertamanan, Dinas Tata Ruang dan Cipta Karya untuk bersama-sama mensosialisasikan tentang pentingnya penataan permukiman kumuh. 4. Mengetahui secara mendalam karakteristik serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal
agar lebih mudah untuk menggerakkan partisipasi
masyarakat. 5. Memperbaiki sarana dan prasarana infrastruktur permukiman kumuh disertai perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya dalam bentuk penciptaan lapangan kerja. 6. Meremajakan secara bertahap permukiman kumuh serta rumah tidak layak huni yang berbasiskan pada masyarakat, untuk mengurangi kuantitas dan kualitas rumah yang tidak layak huni menjadi rumah sehat dan layak huni. 7. Memfasilitasi masyarakat yang menempati status lahan bukan milik sendiri dengan pihak-pihak terkait dan bersama-sama mencari solusi pemecahannya.
107
Kelembagaan RT dan RW 1. Meningkatkan kualitas kepemimpinan dari ketua RT dan RW dalam menggerakkan masyarakat tanpa adanya perbedaan di dalam kelompok masyarakat. 2. Memperluas jaringan sosial dengan Kelembagaan dan stakeholder lain dalam upaya mengembangkan masyarakat lokal.
Pihak Swasta 1. Lebih meningkatkan kepedulian dan rasa sosial dalam membantu program penataan permukiman kumuh, bahwa program tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Masyarakat dan pihak Swasta. 2. Membantu memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan usaha dan meningkatkan pendapatan.
DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan. Graha Ilmu. Jogjakarta. Arifin & Haswinar. 2002. Jurnal Analisis Sosial Demokratisasi Dan Kemiskinan. Akatiga. Bandung As’ad, Moh. 1981. Psikologi Industri. Liberty. Yogjakarta. Budihardjo, Eko & Hardjohubojo, Sudanti. 1993. Kota Berwawasan Lingkungan. Alumni. Bandung. Direktorat Penyuluhan dan Bimbingan Sosial. 1980. Pembinaan Partisipasi Sosial. Departemen Sosial. Jakarta. Effendi, Onong Uchyana. 1986. Kepemimpinan dan Komunikasi. Alumni. Bandung. Faisal, Sanapiah & Mappiare, Andi. Tanpa Tahun. Dimensi-Dimensi Psikologi. Usaha Nasional. Surabaya. Gunardi, Agung, Sarwititi S, Purnaningsih, Ninuk & Lubis, Djuara P. Pengantar Pengembangan Masyarakat. Departemen (2007). Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Haeruman, Herman & Eriyatno. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal. Yayasan Mitra Pembangunan Desa Kota dan Business Innovation Center of Indonesia. Jakarta. Hamudy, Moh. Ilham A. Permukiman Kumuh di Bandung. http://pps.fisip.unpad.ac.id/?q. dikunjungi Sabtu 5 Juli 2008. Hikmat, Harry. 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora. Bandung. Huraerah, Abu. 2007. Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat. Humaniora. Bandung. Http://www.kadinbandung.org/. diakses tanggal 19 Oktober 2008 Jam 18.30 WIB. Http://www.ciptakarya.pu.go.id/ diakses bulan Juli 2008 Jam 19.00 WIB. Http://www.demandiri.or.id/ diakses bulan Juli 2008 Jam 19.30 WIB
Ife, Jim. 2002. Community Development. National Library. Australia. Irwanto, Elia, Herman, Hadisoepadma, Antonius, Priyani, MJ Retno, Wismanto, Yohanes Bagus & Fernandes, Cosmas. 1994. Psikologi Umum. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Kantor Litbang dengan PT Mapalus Menggala Engineering. 2004. Kajian Penataan Rumah Kumuh di Kota Bandung. http://www.bandung.go.id/images/ragaminfo/rumah-kumuh.pdf. dikunjungi sabtu 5 Juli 2008. Kolopaking, M Lala & Nasdian, Fredian Tonny. 2007. Pengembangan Masyarakat dan Kelembagaan Pembangunan. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Moleong, Lexy J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya. Bandung. Nasdian, Fredian Tonny & Dharmawan, Arya Hadi. 2007. Sosiologi untuk Pengembangan Masyarakat. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Nasution, S. 1997. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Tarsito. Bandung. Nitimihardjo, Carolina. 2007. Tingkah Laku Manusia dan Lingkungan Sosial. Pustaka Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Bandung. Oppenheim, A.N. 1966. Questionnaire Design And Attitude Measurement. Heinemann Educational Books Ltd. London. Panjaitan, Nurmala, Nitimihardjo, Carolina & Fahrudin, Adi. 2007. Prilaku Manusia dalam Lingkingan Sosial. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Peraturan Walikota Bandung. 2007. Petunjuk Pelaksanaan Penyaluran/Pemberian Program Bantuan Peningkatan Kemakmuran. Pemerintah Kota Bandung. Pikiran Rakyat. Edisi 18 September 2007. Kawasan Kumuh Sampai Kapan?. Bandung.
Rusli, Said, Wahyuni, Ekawati Sri & Sunito, Melani A. 2007. Kependudukan. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Sadyohutomo, Mulyono. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah. Realita dan Tantangan. Bumi Aksara. Jakarta. Safi’I, H.M. 2007. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah. Averroes Press. Malang Siagian, Sondang P. 2000. Administrasi Pembangunan. Bumi Aksara. Jakarta Sitorus, MT Felix & Agusta, Ivanovich. 2007. Metodologi Kajian Komunitas. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Sudriamunawar, Haryono. 2006. Kepemimpinan. Peran Serta dan Produktivitas. Mandar Maju. Bandung. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayan Rakyat. Refika Aditama. Bandung. Sumardjo & Saharudin. 2007. Metode-metode Partisipatif dalam Pengembangan Masyarakat. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB dan Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Sumodiningrat, Gunawan. 2007. Pemberdayaan Sosial. Kompas. Jakarta. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT Rena Pariwara. Jakarta Tjokroamidjoyo, Bintoro. 1974. Pengantar Administrasi Pembangunan. LP3ES. Jakarta. Walgito, Bimo. 1983. Psikologi Umum. Fakultas Psikologi UGM. Yogyakarta. Wikipedia Indonesia ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia. Kawasan Kumuh. http://id.wikipedia.org/wiki/kawasan kumuh. dikunjungi Kamis 3 Juli 2008. Zastrow, Charles H & Ashman, Karen K. Kirst. 2004. Understanding Human Behavior. Thomson Learning Inc. USA.
GLOSSARY
APBD Askeskin Bawaku Makmur Bawaku Sekolah BKKBN BLT BPM FGD JPS LPM MCK PDMDKE PKK PKL PLKB PPI PRA P2KP Raskin RKA RT RW RTRW Toma Toga UED-SP UP2K
= Anggaran Pendapatan Belanja Daerah = Asuransi Kesehatan Untuk Masyarakat Miskin = Bantuan Khusus Walikota untuk Peningkatan Kemakmuran = Bantuan Khusus Walikota untuk Sekolah = Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional = Bantuan Langsung Tunai = Badan Pemberdayaan Masyarakat = Focussed Group Discussion = Jaring Pengaman Sosial = Lembaga Pemberdayaan Masyarakat = Mandi Cuci Kakus = Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi = Peningkatan Kesejahteraan Keluarga = Pedagang Kaki Lima = Petugas Lapangan Keluarga Berencana = Pusat Pelatihan Infanteri = Participatory Rural Appraisal = Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan = Beras untuk Masyarakat Miskin = Rencana Kerja Anggaran = Rukun Tetangga = Rukun Warga = Rencana Tata Ruang Wilayah = Tokoh Masyarakat = Tokoh Agama = Usaha Ekonomi Desa-Simpan Pinjam = Usaha peningkatan Pendapatan Keluarga
Lampiran : Dokumentasi
Gambar 1. Kondisi Permukiman Kumuh di Kelurahan Cicadas
Kondisi MCK di RW 01
Kondisi MCK di RW 01
Kondisi MCK di RW 01
Kondisi MCK di RW 12
Kondisi MCK di RW 12
Gambar 2. Kondisi MCK di Kelurahan Cicadas
Kondisi MCK di RW 14 yang telah di Rehab pada bulan November 2009
Gambar 3. Kondisi MCK di Kelurahan Cicadas
Suasana FGD
Gambar 4. FGD di RW 01, RW 12, RW 14 dan RW 15
Kerja Bakti di RW 01
Gambar 5. Kerja Bakti
Lampiran : Dokumentasi
Gambar 1. Kondisi Permukiman Kumuh di Kelurahan Cicadas
Kondisi MCK di RW 01
Kondisi MCK di RW 01
Kondisi MCK di RW 01
Kondisi MCK di RW 12
Kondisi MCK di RW 12
Gambar 2. Kondisi MCK di Kelurahan Cicadas
Kondisi MCK di RW 14 yang telah di Rehab pada bulan November 2009
Gambar 3. Kondisi MCK di Kelurahan Cicadas
Suasana FGD
Gambar 4. FGD di RW 01, RW 12, RW 14 dan RW 15
Kerja Bakti di RW 01
Tabel Hasil FGD pada Kelompok Status Lahan dan Bangunan Milik Sendiri dengan Status Lahan Bukan Milik Sendiri
MASALAH Rumah tidak layak huni.
LAHAN DAN BANGUNAN MILIK SENDIRI ( RW 01, RW 02, RW 09) PENYEBAB AKIBAT UPAYA
-Faktor Ekonomi -Pendapatan tdk menentu
- Sering bocor, banjir, kotor, dinding rumah kusam, kurang ventilasi, lembab, kurang udara segar dan pencahayaan. - Tidak punya MCK sendiri/MCK umum
-Memperbaiki kebocoran dgn biaya sendiri. -Membersihkan gorong-gorong supaya tidak banjir -Mengharapkan bantuan Pemerintah untuk memperbaiki rumah.
LAHAN BUKAN MILIK SENDIRI ( RW 03, RW 10, RW 12, RW 14, RW 15) PENYEBAB AKIBAT UPAYA
-Faktor Ekonomi -Status kepemilikan lahan yg tidak jelas -Kurang kesadaran dari warga masyarakat -Kurang sosialisasi dari Ketua RT dan RW
-Rumah semi
-Meningkatkan
permanen terbuat dari bilik dan seng.
kesadaran warga akan pentingnya kebersihan dan keindahan rumah.
-Sering timbul penyakit seperti sesak nafas, batuk, diare, demam berdarah. -Hidup tidak nyaman dan tidak tenang -Sering bocor dan banjir, lingkungan disekitar rumah kotor. -Bangunan tdk teratur dan berhimpitan, penghuni banyak sedangkan rumah kecil.
Hasil Olah FGD bulan November dan Desember 2008
-Meningkatkan peran ketua RT dan RW untuk mensosialisasikan dan mengajak warga masyarakat dalam menjaga dan membersihkan lingkungan. -Memperbaiki sendiri kebocoran/kerusakan rumah sesuai dgn kemampuan ekonomi. -Mengharapkan bantuan Pemerintah untuk renovasi rumah
Tabel Lanjutan LAHAN DAN BANGUNAN MILIK SENDIRI
LAHAN BUKAN MILIK SENDIRI
( RW 01, RW 02, RW 09)
( RW 03, RW 10, RW 12, RW 14, RW 15)
MASALAH PENYEBAB
AKIBAT
UPAYA
PENYEBAB
AKIBAT Karena faktor ekonomi, banyak warga sering dijadikan sasaran rentenir untuk meminjam uang
UPAYA
-Mengharapkan bantuan Pemerintah Kota, Kecamatan, Kelurahan untuk kejelasan kepemilikan lahan. -Mendirikan Koperasi untuk menekan jumlah rentenir.
Lingkungan sekitar rumah kotor dan berantakan
-Kurang kesadaran dari warga untuk menata dan menjaga lingkungan . -Halaman rumah dijadikan usaha menyimpan rongsokan -Ketua RT dan RW jarang mengajak kerja bakti
-Kotor, tidak ada penghijauan, banyak tikus, sering banjir. -Sering timbul penyakit seperti sesak nafas, batuk, diare, demam berdarah.
Hasil Olah FGD bulan November dan Desember 2008
-Meningkatkan kesadaran warga tentang pentingnya lingkungan yang bersih yg disampaikan oleh instansi terkait seperti Puskesmas, aparat Kelurahan, Ketua RT dan RW, Tokoh Masyarakat -Gotong royong membersihkan saluran air kotor (goronggorong)
- Kurang kesadaran dari warga. - Ketua RT dan RW tidak mengajak kerja bakti. - Rumah dijadikan usaha seperti warung
- Kotor, berantakan, sering banjir, tidak enak dipandang mata.
- Ketua RT dan RW mengajak warga untuk membersihkan lingkungan
Tabel Lanjutan LAHAN DAN BANGUNAN MILIK SENDIRI
LAHAN BUKAN MILIK SENDIRI
( RW 01, RW 02, RW 09)
( RW 03, RW 10, RW 12, RW 14, RW 15)
MASALAH
Sarana MCK tidak memadai dan jumlahnya terbatas Tidak tersedia sarana air bersih
PENYEBAB
AKIBAT
-Tidak ada keinginan warga untu memperbaiki sarana MCK.
-Kondisi MCK yang buruk, tidak sehat, tidak ada sarana air bersih, tidak ada kloset, tidak ada penerangan untu malam hari, MCK tidak mempunyai atap dan pintu.
-Tidak ada upaya dari Ketua RT dan RW untuk memperbaiki MCK. -Tidak ada lahan yg strategis untuk membangun MCK
Hasil Olah FGD bulan November dan Desember 2008
UPAYA -Meningkatkan kesadaran warga masyarakat akan pentingnya sarana MCK yang memenuhi syarat kesehatan. -Memperbaiki MCK dan membuat sarana air bersih dengan bantuan dari program Pemerintah dan swadaya masyarakat.
PENYEBAB -Tidak seimbang antara jumlah MCK dengan jumlah warga yang menggunakannya.
AKIBAT -Harus antri lama jika akan ke MCK -Menghambat aktivitas karena sering kesiangan.
UPAYA - Menambah / membangun MCK baru dengan bantuan program pemerintah dan swadaya masyarakat.
Tabel 12 Lanjutan LAHAN DAN BANGUNAN MILIK SENDIRI
LAHAN BUKAN MILIK SENDIRI
( RW 01, RW 02, RW 09)
( RW 03, RW 10, RW 12, RW 14, RW 15)
MASALAH
Program rehab rumah kumuh dan program lainnya tidak melibatkan kerjasama masyarakat.
PENYEBAB
AKIBAT
Aparat Kecamatan dan Kelurahan tidak melibatkan ketua RT dan RW
-Tidak ada partisipasi masyarakat baik dalam bentuk usulan/saran, materi, tenaga.
Ketua RT dan RW tidak terbuka dan tidak melibatkan masyarakat
-Tidak ada kerjasama antara masyarakat dengan ketua RT dan RW.
UPAYA -Kordinasi dari pihak Kecamatan maupun Kelurahan kepada ketua RT dan RW dalam prosedur pemberian bantuan program rehab rumah kumuh. -Ketua RT dan RW melibatkan masyarakat dalam rehab rumah kumuh. -Ada partisipasi masyarakat dalam bentuk usulan, uang maupun tenaga sukarela.
Hasil Olah FGD bulan November dan Desember 2008
PENYEBAB
AKIBAT
UPAYA
-Pihak Kecamatan dan Kelurahan tidak konsisten dalam memberikan bantuan rehab rumah kumuh, ada yang diberikan kepada ketua RW tapi ada yang langsung diberikan kepada warga penerima bantuan.
-Masih ada RW dan RT yang tidak bisa melibatkan masyarakat untuk berpartisipasi
- Kordinasi antara ketua RT dan RW kepada pihak Kecamatan dan Kelurahan untuk menetapkan sistem pemberian bantuan program rehab rumah kumuh.
Ketua RT dan RW tidak melibatkan masyarakat
Masyarakat enggan untuk menyumbang uang atau materi lain maupun memberikan tenaga sukarela
Ada keterbukaan kepada masyarakat untuk melibatkan masyarakat tanpa membeda-bedakan masyarakat.