Bab V KESIMPULAN
Dalam analisis politik perdagangan internasional, peran politik dalam negeri sering menjadi pendekatan tunggal untuk memahami motif suatu negara menjajaki perjanjian perdagangan. Jiro Okamoto menggunakan istilah hubungan negara-masyarakat (statesociety relations) untuk menggambarkan signifikansi peran interaksi antaraktor politik dalam negeri yang berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi luar negeri Australia. Sejalan dengan Okamoto, Ann Capling menekankan bahwa arah kebijakan ekonomi luar negeri Australia bergantung pada perubahan struktur dan profil pemerintahan eksekutif. Di tengah pendekatan tersebut, pada penelitian ini telah dijelaskan motif Australia dalam melakukan inisiasi AANZFTA yang tidak hanya didasarkan pada dinamika politik dalam negeri Australia. Melalui pendekatan proses pembuatan kebijakan politik luar negeri yang digagas oleh Coplin dan Kegley, penelitian ini telah mengetengahkan peran konteks internasional sebagai faktor eksternal yang turut memiliki pengaruh vital dalam mendorong Australia menentukan arah kebijakan perdagangan selain dua faktor internal lain, yaitu politik dalam negeri serta kekuatan ekonomi dan militer negara tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Bab I, dengan berdasar pada pendekatan Coplin dan Kegley penelitian ini telah menawarkan gagasan bahwa di tengah kalkulasi ekonomi AANZFTA yang tidak begitu menguntungkan bagi Australia, inisiasi Australia atas AANZFTA merupakan bagian dari agenda politik luar negeri Australia dalam upaya pendekatan regional terhadap ASEAN yang tengah meningkatkan sentralitasnya. Dalam hal peran politik dalam negeri Australia yang diuraikan dalam Bab II, penelitian ini telah mengungkap dua faktor yang mendorong pemerintah Australia menginisiasi AANZFTA. Pertama, hubungan pemerintah dan sektor swasta yang diwarnai dengan agenda liberalisasi perdagangan yang terfokus pada kawasan Asia Pasifik. Proses kebijakan liberalisasi perdagangan Australia terlihat sejak periode kepemimpinan Bob Hawke yang sekaligus dimaknai sebagai pintu masuk transformasi arah kebijakan ekonomi luar negeri Australia. Liberalisasi menjadi prioritas bagi Australia untuk meningkatkan daya saing dan ketahanan ekonomi setelah proteksionisme yang sebelumnya diterapkan terbukti gagal dalam menciptakan daya saing ekonomi. Hawke memulai transformasi tersebut dengan menciptakan interaksi intensif bersama para pelaku industri dan buruh
108
untuk memastikan agar liberalisasi tetap menjamin kesejahteraan sektor swasta. Hasil dari interaksi tersebut adalah rekomendasi sektor swasta yang diwakili oleh ACTU dan TDC untuk menerapkan reformasi struktural. Rekomendasi yang tertuang dalam dokumen The Australia Reconstructed tersebut menjadi sejarah perubahan cara pandang sektor swasta di Australia terhadap liberalisasi ekonomi. Sejak momentum tersebut, liberalisasi perdagangan menjadi bagian prioritas utama kebijakan ekonomi Australia. Terbentuknya APEC dan Cairns Group merupakan simbol keseriusan pemerintah dalam menjadikan liberalisasi perdagangan sebagai agenda utama dalam kebijakan ekonomi luar negeri. Dampak positif liberalisasi ekonomi yang dirasakan pasca penerapan kebijakan tersebut juga berperan dalam meyakinkan pemerintah maupun sektor swasta bahwa ekonomi Australia berjalan dalam arah yang aman. Dengan kemajuan tersebut, agenda liberalisasi terus menjadi prioritas bagi Australia, terlepas dari pergantian pemerintahan. Pada masa pemerintahan Paul Keating, John Howard, Kevin Rudd hingga Julia Gillard, liberalisasi perdagangan diterapkan dengan beragam strategi dan instrumen. Inisiasi pemerintah Australia atas AANZFTA sebagai perjanjian plurilateral digagas sejak periode Howard di tengah kebijakan yang lebih mengarah pada perjanjian perdagangan bilateral. Melalui kerangka kerja AFTA-CER dan pembentukan ACBC sebagai forum konsultasi bisnis antara negara-negara ASEAN, Australia dan Selandia Baru, perumusan AANZFTA dinilai sebagai bentuk kerja sama ekonomi yang strategis antara ketiga pihak tersebut. Meskipun dianggap strategis, AANZFTA banyak mendapatkan catatan dan kritik dari berbagai sektor industri di Australia, khususnya hortikultur dan agrikultur. Penerapan tarif masuk yang lebih tinggi dibanding perjanjian bilateral Australia dengan negara-negara ASEAN dipandang oleh sektor industri hortikultur sebagai kondisi yang tidak efektif dan merugikan pertumbuhan sektor tersebut. AANZFTA juga dinilai meninggalkan penilaian dampak sosial, lingkungan serta budaya yang mungkin timbul. Selain itu, sektor manufaktur melalui AMWU juga menilai AANZFTA tidak akan mampu membawa dampak positif bagi kenaikan volume ekspor Australia dalam sektor tersebut. Penilaian terhadap implementasi AANZFTA juga dilakukan pemerintah melalui dokumen National Interest Analysis yang berisi beberapa catatan penting yang perlu dilakukan dalam negosiasi AANZFTA, khususnya dalam hal pengaturan tarif, mekanisme negosiasi serta masukan pertimbangan tentang perlindungan lingkungan, hak asasi manusia dan standar hidup buruh. Melihat posisi pemerintah federal yang relatif tidak mendapatkan dukungan penuh dari sektor swasta terhadap AANZFTA, dapat disimpulkan bahwa inisiasi atas 109
AANZFTA didasarkan pada pertimbangan yang lebih luas dari sekadar interaksi pemerintah dengan sektor swasta. Kedua, hal utama yang mendorong AANZFTA selain interaksi pemerintah dengan swasta dan agenda liberalisasi adalah pengaruh ideologi dan politik bipartisan dalam dinamika parlemen Australia. Pengaruh ideologi tidak lagi berdampak signifikan dalam proses pembuatan kebijakan dalam Partai Buruh maupun Partai Liberal. Kedua partai yang memiliki ideologi yang berbeda tersebut telah menghadapi ujian keberpihakan kebijakan partai pada agenda liberalisme. Demokrasi sosial yang menjadi ideologi Partai Buruh terlihat tidak menjadi prioritas jika dilihat dari kebijakan liberalisasi yang justru digagas oleh Hawke. Demikian pula halnya dengan proteksi pasar yang semestinya tidak menjadi kebijakan bagi Partai Liberal, namun justru diterapkan pada periode kepemimpinan Malcolm Fraser maupun Howard. Melemahnya peran ideologi dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan dalam partai politik telah mendorong terjadinya politik bipartisan dalam parlemen Australia. Politik bipartisan tersebut terjadi dalam ruang lingkup kebijakan politik keamanan, sosial maupun ekonomi. Dalam konteks ekonomi, politik bipartisan sangat jelas terlihat dalam kebijakan liberalisasi ekonomi dalam negeri serta peningkatan inisiasi Australia terhadap perjanjian perdagangan bebas yang menjadi prioritas bagi kedua partai dalam tiga dekade terakhir. Meskipun sektor swasta memiliki banyak catatan terhadap AANZFTA, dengan komitmen bipartisan di antara kedua partai, inisiasi Australia atas AANZFTA relatif lancar dan tidak menemukan kendala berarti dalam level prosedural parlemen. Berdasar pada realitas dalam parlemen tersebut, dapat disimpulkan bahwa inisiasi AANZFTA tidak hanya didasarkan pada kalkulasi ekonomi, melainkan juga membawa agenda pendekatan regional terhadap kawasan ASEAN. Sementara itu, mengenai peran kekuatan ekonomi dan militer Australia yang diuraikan dalam Bab III, penelitian ini telah menjelaskan dua faktor. Pertama, bahwa perubahan komposisi ekspor yang mendorong resiko kerentanan ekonomi memiliki pengaruh besar terhadap inisiasi AANZFTA. Perubahan dinamika ekonomi global yang ditandai dengan munculnya industrialisasi dan urbanisasi di negara-negara Asia Timur, khususnya Cina, dalam beberapa dekade terakhir telah mendorong lonjakan permintaan ekspor bahan baku untuk mendukung kebutuhan sektor manufaktur. Australia menjadi salah satu negara yang paling diuntungkan atas fenomena ini, di mana ekspor bahan baku seperti batu bara dan biji besi mengalami lonjakan permintaan yang signifikan dari Cina. Lonjakan ekspor tersebut berdampak signifikan terhadap perekonomian Australia sehingga 110
mempengaruhi
komposisi
ekspor
Australia
yang
kini
didominasi
oleh
sektor
pertambangan. Dengan terminologi “resource boom”, Australia melihat lonjakan ekspor tersebut sebagai dampak positif dari industrialisasi yang terjadi di Asia Timur. Namun di sisi lain, lonjakan ekspor tersebut juga berdampak terhadap ketergantungan Australia atas permintaan ekspor dari Cina. Bahkan, lonjakan ekspor tersebut berisiko mendekatkan Australia pada kerentanan ekonomi ketika daya tahan perekonomian Australia saat ini justru lebih bergantung dari permintaan ekspor. Berdasar atas kondisi tersebut, gagasan AANZFTA dinilai sebagai instrumen penting untuk mendukung diversifikasi produk ekspor agar Australia tidak hanya mengandalkan sektor pertambangan sebagai komoditas ekspor. Hal ini dianggap relevan karena neraca perdagangan antara Australia dan ASEAN dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan peningkatan permintaan di sektor non-pertambangan, seperti manufaktur dan agrikultur. Terciptanya komposisi ekspor yang beragam dan seimbang menjadi tujuan bagi Australia untuk meningkatkan daya tahan ekonomi negara tersebut. Dalam konteks ini telah disimpulkan bahwa AANZFTA juga berperan dalam mendorong pemerintah untuk melakukan reformasi domestik, khususnya untuk meningkatkan daya saing industri pada sektor agrikultur. Hal ini juga yang menjelaskan mengapa interaksi pemerintah dengan sektor swasta, khususnya agrikultur dan hortikultur, cenderung menghadapi kendala dalam mencapai kesepakatan negosiasi AANZFTA. Meskipun demikian, agenda diversifikasi ekspor dan reformasi domestik tidak dapat diterjemahkan sebagai faktor terpenting dalam mendorong inisiasi AANZFTA karena kedua agenda tersebut juga diterapkan dalam perjanjian perdagangan lainnya yang digagas oleh Australia. Kedua, kondisi militer Australia yang diwarnai oleh evolusi strategi pertahanan yang semakin menekankan pentingnya stabilitas kawasan dinilai sebagai faktor yang mendorong inisiasi AANZFTA. Stabilitas keamanan kawasan Asia Tenggara merupakan prioritas bagi pertahanan Australia, sebagaimana tercantum dalam dokumen Kertas Putih Pertahanan. Dengan kondisi tersebut, pengerahan kekuatan militer bukan menjadi pilihan bagi Australia, melainkan justru merupakan bagian dari penjajakan kerja sama antara Australia dan ASEAN di berbagai bidang, khususnya bidang ekonomi. Peran AANZFTA dalam menjalin kerja sama tersebut sangat penting untuk mendukung kondisi keamanan Asia Tenggara yang stabil dan berkelanjutan. Selain itu, perkembangan strategi pertahanan Australia menunjukkan bahwa aliansi keamanan dengan Amerika Serikat tidak lagi sepenuhnya mampu menjamin keberlanjutan keamanan Australia. Meskipun aliansi 111
tersebut masih berjalan hingga kini, telah dijelaskan bahwa AANZFTA adalah bentuk upaya Australia untuk meningkatkan kapabilitas pertahanan secara mandiri melalui diplomasi ekonomi luar negeri yang terfokus pada penjajakan perjanjian perdagangan bebas antara Australia dan ASEAN. Lebih lanjut, tentang peran konteks internasional yang dijelaskan dalam Bab IV, telah ditemukan dua hal penting. Pertama, dinamika ekonomi politik kawasan Asia Tenggara yang mengindikasikan proliferasi perjanjian perdagangan bebas dalam dua dekade terakhir turut mempengaruhi Australia untuk menggagas AANZFTA. Keputusan Australia untuk menjajaki perjanjian perdagangan bebas dengan ASEAN merupakan langkah diplomatis untuk mengirim sinyal kepada kawasan bahwa Australia tetap memiliki komitmen serius terhadap liberalisasi perdagangan, sekaligus sebagai bentuk pendekatan regional. Tanpa kehadiran AANZFTA, Australia melihat potensi munculnya risiko untuk dikesampingkan dalam agenda kerja sama ekonomi kawasan, khususnya bila tidak ikut serta menjadi salah satu aktor di dalam proliferasi perjanjian tersebut. Hal ini semakin dikuatkan dengan temuan bahwa negara-negara mitra dagang yang bekerja sama dengan ASEAN merupakan mitra dagang terpenting bagi Australia, seperti Cina, Jepang, India dan Korea Selatan. Proliferasi perjanjian perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara menunjukkan meningkatnya peran ASEAN sebagai aktor yang memiliki pengaruh dalam menentukan arah kerja sama ekonomi kawasan. Hal ini merupakan bagian dari sentralitas ASEAN yang juga terjadi pada ruang lingkup kerja sama yang lain. Selain bidang ekonomi, sentralitas ASEAN juga terlihat dalam bidang politik dan keamanan, sebagaimana terlihat melalui terbentuknya ARF dan EAS. Menguatnya sentralitas ASEAN ini dipahami oleh Australia sebagai momentum untuk menguatkan agenda pendekatan regional, salah satunya melalui kerja sama perdagangan. Hal ini dianggap penting karena pada saat yang sama Australia menemukan banyak hambatan dalam menjalankan agenda APEC di kawasan. APEC yang semula berperan signifikan terhadap skema kerja sama ekonomi kawasan dalam beberapa tahun terakhir kini justru tidak mendapat perhatian sebanyak sentralitas ASEAN. Kondisi ini terjadi karena karakter APEC yang merupakan forum kerja sama yang tidak mengikat dan beranggotakan negara-negara dengan keberagaman ekonomi yang tinggi. Di satu sisi, karakter tersebut memiliki keuntungan dalam menciptakan ketergantungan antara negaranegara anggota APEC, namun di sisi lain karakter tersebut juga menjadi penjelasan utama mengapa Bogor Goals yang menjadi agenda utama APEC hingga kini tidak sepenuhnya tercapai. Melihat dinamika tersebut, AANZFTA dipahami sebagai bentuk respon proaktif 112
Australia terhadap pengembangan kerja sama ekonomi kawasan Asia Tenggara di tengah fenomena sentralitas ASEAN serta menguatnya hambatan dalam menjalankan agenda APEC. Kedua, perimbangan kekuatan dan pengaruh antara AS dan Cina di Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir semakin menegaskan motivasi Australia dalam menggagas AANZFTA. Kontestasi pengaruh kedua negara besar tersebut terjadi di bidang ekonomi, di mana pertumbuhan ekonomi Cina yang signifikan mendorong pengaruh yang lebih besar terhadap kawasan Asia Tenggara. Terjalinnya perjanjian perdagangan bebas dalam skema ACFTA merupakan bentuk pengaruh Cina yang dimaksud. Pertumbuhan pengaruh Cina tersebut disikapi oleh AS dengan penjajakan kerja sama perdagangan dengan ASEAN melalui jalur bilateral maupun plurilateral. Perjanjian USSFTA dan TPP dilihat sebagai instrumen yang strategis bagi AS, meskipun ukuran dari kedua perjanjian tersebut berada di bawah ACFTA. Untuk mengimbangi pengaruh Cina, AS juga menguatkan arus PMA langsung di Asia Tenggara sehingga selama beberapa dekade terakhir ia menjadi salah satu negara sumber PMA asing terbesar di kawasan tersebut. Kondisi ini semakin relevan untuk melihat rivalitas AS-Cina jika dihadapkan realitas di bidang perdagangan, di mana Cina merupakan mitra dagang terbesar ASEAN. Selain bidang ekonomi, rivalitas kedua negara besar tersebut juga terlihat dalam bidang politik dan keamanan, khususnya pada kasus sengketa Laut Cina Selatan. Posisi Cina yang bersikukuh untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur bilateral serta kecenderungan sikap asertif Cina dalam menyelesaikan sengketa tersebut menjadi pemicu AS untuk menegaskan komitmennya terhadap stabilitas keamanan di ASEAN. Diplomasi AS melalui ARF yang disikapi Cina sebagai bentuk intervensi yang tidak perlu semakin menguatkan ketegangan antara kedua negara tersebut dalam hal kontestasi pengaruh di Asia Tenggara. Berdasar pada perkembangan rivalitas AS-Cina di bidang ekonomi dan politik-keamanan tersebut, penelitian ini telah mengungkap bahwa AANZFTA merupakan bagian dari upaya Australia untuk melakukan harmonisasi hubungan antara Australia, ASEAN, Cina dan AS. Posisi sebagai mitra aliansi keamanan AS dan mitra dagang Cina menuntut Australia untuk mampu memainkan peran strategis dengan baik. AANZFTA diharapkan mampu berperan menjadi jembatan dialog bagi Australia dan ASEAN dalam menghadapi berbagai perkembangan isu ekonomi dan keamanan kontemporer, khususnya terkait kontestasi AS-Cina. Penting untuk kembali ditegaskan bahwa temuan dalam Bab IV yang menjelaskan upaya Australia dalam mendukung sentralitas ASEAN dan memprioritaskan stabilitas 113
keamanan kawasan telah menguatkan argumen bahwa inisiasi Australia atas AANZFTA dipicu oleh perkembangan kawasan, yang dalam pendekatan Coplin dan Kegley disebut dengan konteks internasional. Temuan tersebut sekaligus menguatkan gagasan bahwa interaksi politik dalam negeri dan kalkulasi ekonomi tidak selalu menjadi penentu utama dalam menjelaskan alasan suatu negara menjajaki perjanjian perdagangan bebas. Dalam konteks AANZFTA, peran konteks internasional justru memiliki pengaruh yang besar bagi Australia, di mana perkembangan dinamika ekonomi maupun politik dan keamanan Asia Tenggara telah menjadi prioritas pertimbangan bagi pemerintah Australia dalam inisiasi AANZFTA. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa konteks internasional memiliki peran yang lebih penting dari kedua faktor lain. Ketiga pertimbangan, baik politik dalam negeri, kekuatan ekonomi dan militer serta konteks internasional memiliki peran dan kontribusi yang saling berkesinambungan dan berpengaruh dalam membentuk arah kebijakan perdagangan. Dengan demikian, sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang kini lebih dipengaruhi pada industrialisasi di kawasan Asia, dapat dilihat bahwa Australia menjadikan AANZFTA sebagai pendekatan regional dan bagian dari prioritas kebijakan ekonomi luar negeri. Implikasi dari kebijakan tersebut adalah realitas bahwa perjanjian perdagangan bebas tidak hanya membawa misi kerja sama ekonomi, melainkan juga berfungsi sebagai alat diplomasi untuk merespon dinamika kawasan di berbagai bidang, sebagaimana yang telah ditunjukkan dalam inisiasi AANZFTA.
114