UNIVERSITAS INDONESIA PERAN GATEKEEPER DALAM MEMBANTU PENCUCIAN UANG HASIL KORUPSI TUGAS KARYA AKHIR

UNIVERSITAS INDONESIA

PERAN GATEKEEPER DALAM MEMBANTU PENCUCIAN UANG HASIL KORUPSI

TUGAS KARYA AKHIR

KARIN SAFIRA PUTRI 1106084356

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK KRIMINOLOGI PARALEL DEPOK JANUARI 2015

Peran Gatekeeper..., Karin Safira Putri, FISIP UI, 2015

UNIVERSITAS INDONESIA

PERAN GATEKEEPER DALAM MEMBANTU PENCUCIAN UANG HASIL KORUPSI

TUGAS KARYA AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kriminologi

KARIN SAFIRA PUTRI 1106084356

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK KRIMINOLOGI PARALEL PENEGAKAN HUKUM DEPOK JANUARI 2015





UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya, penulis bisa menyelesaikan tugas karya akhir (TKA) ini. Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang berperan sangat penting dalam pengerjaan TKA ini. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1) Kedua orang tua dan kakak tercinta, khususnya R. Mira Intan Mustika, SE, ibu paling sempurna bagi penulis, atas kesabaran, pengorbanan, dukungan moril maupun materil yang begitu berharga selama hidup penulis. 2) Ferdinand Andi Lolo, SH, LL.M., Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk membimbing penulis dari awal hingga akhir penulisan TKA ini. 3) Dra. Mamik Sri Supatmi, MS.i selaku ketua sidang, Dr. Mohammad Kemal Dermawan, M.Si selaku penguji ahli, dan Mohammad Irvan Olii, S.Sos., M.Si yang telah membantu pengembangan tulisan dan memberi masukan untuk TKA ini. 4) Seluruh Dosen pengajar Departemen Kriminologi, khususnya Dra. Vinita Susanti M.Si selaku pembimbing akademis penulis dan Dr. Iqrak Sulhin, S.Sos., MS.i yang telah memberikan masukan-masukan untuk penyelesaian TKA ini. Serta kepada seluruh staff Departemen Kriminologi yang banyak membantu penulis selama perkuliahan. 5) Bang Ian Florindo Nugroho S.Sos juga Mas Paku Utama, S.H., LL.M atas seluruh dukungan, bantuan, masukan, ilmu serta bimbingan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan TKA. 6) Teman-teman Kriminologi 2011 yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan maupun dalam penyelesaian TKA, khususnya temanteman Kriminologi Paralel 2011, Dewi Savitri, Nina Indrayakti, Gemala Sanggar, Hendro Tommy dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 7) Sandhi Yoga Prionika yang telah membantu dan memberikan semangat hingga TKA ini berhasil diselesaikan. Harapan penulis adalah, tugas karya akhir ini pada akhirnya bisa memberikan manfaat bagi banyak pihak. Meskipun penulis menyadari tugas karya akhir ini masih jauh dari sempurna dan diperlukan banyak pengembangan.

Depok, Januari 2015

Karin Safira Putri


ABSTRAK Nama Jenis Karya Judul

: Karin Safira Putri : Tugas Karya Akhir : Peran Gatekeeper dalam Membantu Pencucian Uang Hasil Korupsi

Belakangan ini para koruptor kerap memanfaatkan bantuan dari pihak yang lebih mengerti teknik-teknik akses dana dan sistem yang bisa dimanipulasi guna memperlancar praktik pencucian uang mereka. Pihak ini umumnya disebut sebagai gatekeeper pencucian uang. Dari permasalahan ini, penulis selanjutnya berusaha untuk mencari tahu bagaimana peran gatekeeper dalam sudut pandang kriminologi serta apa saja kondisi yang melatarbelakangi gatekeeper terlibat dalam pencucian uang koruptor. Penulisan karya ilmiah ini memanfaatkan datadata sekunder yang didapat melalui studi literatur. Pembahasan akan dijelaskan dengan menggunakan konsep-konsep kejahatan kerah putih serta teori fraud triangle menurut Donald Cressey.

Kata kunci : Korupsi, Pencucian uang, Gatekeeper, Fraud Triangle


ABSTRACT Name Kind of Work Title

: Karin Safira Putri : Tugas Karya Akhir : Gatekeeper Role in Helping Laundering the Proceeds of Corruption

These days corruptors often use the assistance of those who more understand about access funds techniques and system that can be manipulated in order to facilitate their money laundering. They are generally called as the gatekeeper of money laundering. From these problems, the authors trying to figure out about the roles of gatekeepers in criminology standpoint and what are the conditions that causing gatekeeper engaged in corruptors money laundering. This scientific papers is utilizing secondary data obtained through the study of literatures technique. The discussion will be explained by using various concepts of whitecollar crime as well as fraud triangle theory by Donald Cressey.

Keywords : Corruption, Money Laundering, Gatekeeper, Fraud Triangle


DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL .....................................................................................i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...........................................ii HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................iii LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .....................iv KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH ....................................v ABSTRAK ........................................................................................................vi ABSTRACT ......................................................................................................vii DAFTAR ISI .....................................................................................................viii DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................ix BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................1 1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................6 1.3 Gagasan Kreatif .......................................................................................7 1.4. Tujuan Penulisan ....................................................................................7 1.5. Signifikansi Penulisan ............................................................................8 1.5.1. Signifikansi Akademis ....................................................................8 1.5.2. Signifikansi Praktis .........................................................................8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................9 2.1. Kerangka Konsep ....................................................................................9 2.1.1. White Collar Crime..........................................................................9 2.1.2. Occupational Crime ........................................................................9 2.1.3. Professional Occupational Crimes .................................................10 2.1.4 Korupsi ............................................................................................10 2.1.5. Pencucian Uang ..............................................................................11 2.1.6. Gatekeeper ......................................................................................12 2.2. Kerangka Teori .......................................................................................13 2.2.1. Fraud Triangle Theory ...................................................................13 2.3. Literature Review ...................................................................................16 2.4. Review Penelitian/Kajian Terdahulu ......................................................19 2.5. Kerangka Pikir ........................................................................................23 BAB 3 METODE PENULISAN ......................................................................28 3.1. Teknik Pengumpulan Data .....................................................................28 3.2. Hambatan Penulisan ...............................................................................31 3.3. Sistematika Penulisan .............................................................................31 BAB 4 ANALISIS .............................................................................................33 4.1. Fenomena Gatekeeper Pencucian Uang Hasil Korupsi .........................33 4.2. Kondisi yang Mendorong Gatekeeper Membantu Pencucian Uang .......42 BAB 5 PENUTUP .............................................................................................49 5.1. Kesimpulan .............................................................................................49 5.2. Rekomendasi ..........................................................................................50 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................51 LAMPIRAN ......................................................................................................55


DAFTAR SINGKATAN

FATF

: Financial Action Task Force/Badan antar – pemerintah yang bertujuan menetapkan standar Internasional untuk memerangi pencucian uang, pendanaan teroris dan ancaman terkait lainnya untuk integritas sistem keuangan internasional

KPK

: Komisi Pemberantasan Korupsi

MK

: Mahkamah Konstitusi

P2EB

: Penulisan dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis

PPATK

: Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/Lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang

UNODC

: United Nations Office on Drugs and Crime/Kantor PBB untuk obatobatan terlarang dan Tindak Kejahatan

SPBU

: Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum


BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Berdasarkan data yang berhasil dihimpun dari situs Anti Corruption Clearing House Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memperlihatkan bahwa pada tahun 2013 lalu kasus korupsi di Indonesia mencapai angka 7.999 pengaduan kasus korupsi. 1 Hal ini membuktikan bahwa praktik korupsi di Indonesia masih sangat marak terjadi dan menjadi hal yang belum terpecahkan walaupun penegakan hukum terkait korupsi juga terus dilakukan. Pada dasarnya, pencegahan serta penanggulangan kejahatan korupsi bukan tidak mungkin untuk dilakukan, namun tidak dapat dipungkiri bahwa untuk memberantasnya diperlukan waktu dan usaha yang tidak sedikit. Dengan masih banyaknya kasus korupsi di Indonesia ini, tak heran sektor perekonomian Indonesia pun terus merugi. Belum lama ini Penulisan dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada merilis data hasil analisis terkait "Estimasi Biaya Eksplisit Korupsi Berdasarkan Putusan MA 2001-2012". Dari data tersebut dapat dilihat bahwa nilai total hukuman finansial dari 1.842 terdakwa koruptor yang ada selama 2001 hingga 2012 adalah sebesar Rp 15,09 triliun. Namun, jumlah tersebut nyatanya tidak sebanding dengan nilai uang yang dikorupsi yakni sebesar Rp 168,19 triliun. Artinya, jika hukuman tadi terpenuhi seluruhnya maka negara masih merugi sebesar Rp 153,1 triliun.2 Nilai kerugian ini juga kemungkinan besar masih dapat terus membengkak ketika diketahui adanya praktik pencucian uang didalam kejahatan korupsi tersebut. Besarnya angka kerugian yang harus di derita Indonesia kiranya dapat diatasi dengan upaya penegakan hukum atas kejahatan korupsi serta dengan upaya pengembalian aset. 1

Anti Corruption Clearing House. ‘Rekapitulasi Pengaduan Masyarakat’. http://acch.kpk.go.id/statistik (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:03). 2 Addi Mawahibun Idhom. ‘Akibat Korupsi, Uang Negara Menguap Rp 168,19 triliun’. http://www.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996/Akibat-Korupsi-Uang-NegaraMenguap-Rp16819-triliun (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:08).


Dengan pengembalian aset, pelaku dan hasil kejahatan dapat diketahui melalui penelusuran untuk selanjutnya hasil kejahatan tersebut dirampas untuk negara atau dikembalikan kepada yang memiliki hak. Kemudian, jika harta kekayaan hasil kejahatan yang dikuasai oleh pelaku atau organisasi kejahatan dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas. 3 Upaya pengembalian aset ini pun dapat dilakukan dengan melacak aset-aset hasil korupsi. 4 Namun, lagi-lagi permasalahan datang dari praktik pencucian uang. Jika sebelumnya dijelaskan bahwa praktik pencucian uang berpotensi menambah beban kerugian negara, praktik pencucian uang nyatanya juga berpotensi mempersulit upaya pengembalian aset karena dapat membuat aset menjadi sulit terlacak. 5 Sigit Handoyo menjelaskan bahwa korupsi dan praktik pencucian uang merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. 6 Ia juga mengutip Pernyataan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) pada 2006 yang menyebutkan bahwa praktik pencucian uang akan memperkuat praktik korupsi dan kejahatan terorganisir. 7 Dengan dilakukannya praktik pencucian uang ini maka pelaku kejahatan sangat dimungkinkan menyembunyikan asal-usul uang hasil kejahatan yang mereka peroleh, hingga akhirnya uang tersebut dapat digunakan dengan bebas seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang legal. 8 Menurut Paku Utama, hubungan antara Pencucian Uang dan Proses Pengembalian Aset adalah sebagai berikut 9:

3

Anti Corruption Clearing House. ‘UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang’. http://acch.kpk.go.id/uu-no-8-tahun-2010 (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:54). 4 Paku Utama. ‘Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19356/terobosan-uncac-dalamInternasional’. pengembalian-aset-korupsi-melalui-kerjasama-internasional (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:38). 5 Ibid. 6 Sigit Handoyo. (2008). Combating Corruption Relates Money Laundering Activities in Indonesia: A Hope and Reality. SINERGI Vol. 10. Hal 56. 7 Ibid. 8 Indonesia Corruption Watch. ‘Anatomi Tindak Pidana Pencucian Uang’. http://www.antikorupsi.org/id/content/anatomi-tindak-pidana-pencucian-uang (diakses pada 6 April 2014, pukul 17:15). 9 Paku Utama. (2013). Analisis Gatekeeper dalam Skema Korporasi Melihat Aplikasi Special Purposes Vehicle di Wilayah Secrecy Jurisdiction. Paper Focus Group Discussion "Kajian Hukum Atas Perluasan Pihak Pelapor Berdasarkan Pasal 17 Ayat 2 UU TPPU", 27-29 Juni 2013. Journal on Anti-Money Laundering.Hal 7.


1. Korupsi memerlukan pencucian uang untuk menyembunyikan dan mengamankan asal-usul perolehan hasil korupsi 2. Pencucian uang memerlukan gatekeeper dengan pengetahuan khusus mengenai mekanisme keuangan. Selain keahlian mereka, gatekeeper juga diwajibkan bertindak sebagai perantara, menciptakan jarak, dan menghilangkan hubungan antara tindak pidana asal dan perolehan hasil kejahatan (korupsi) 3. Pengembalian aset timbul sebagai respons balik atau upaya perlawanan terhadap pencucian uang dan peran gatekeeper. Istilah gatekeeper yang dimaksud dalam kaitannya dengan pencucian uang ini adalah istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh Financial Action Task Force (FATF) pada tahun 1999 yang memperkenalkan istilah gatekeeper 10 sebagai pihak-pihak

profesional

yang

dilibatkan

dalam

upaya

membantu

dan

memfasilitasi proses pencucian uang. 11 Selain istilah gatekeeper, dalam lingkup internasional istilah vehicle juga kerap digunakan untuk menyebut pihak profesional ini, namun di Indonesia, KPK maupun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) lebih banyak menggunakan istilah gatekeeper. Dalam melakukan pencucian uang, para koruptor perlu menerapkan caracara serumit mungkin agar aset-aset mereka tidak mampu terdeteksi oleh para penegak hukum. 12 Untuk menerapkan cara-cara yang rumit dalam melakukan pencucian diperlukan adanya kemampuan khusus yang juga dilengkapi dengan akses terhadap keuangan maupun sistem di negara mereka. 13 Oleh karena itu, diperlukan bantuan dari pihak lain yang lebih mengerti teknik-teknik akses dana dan sistem yang bisa dimanipulasi guna kepentingan pribadi para koruptor yang akan melakukan pencucian uang tersebut. Pihak-pihak yang tentu saja ahli atau profesional dalam bidang tersebut diantaranya adalah pengacara, notaris, bankir,

10

Bruce Zagaris. (2002). The Gatekeeper Initiative: An Emerging Challenge for Professional Advisors of International Business and Tax Matters. Anti-Money Laundering Audit and Compliance Forum. Hal 3. 11 Paku Utama, Loc. cit. Hal 6-7. 12 Ibid. 13 Ibid. Hal 21.


konsultan pajak, konsultan keuangan, hingga penasehat hukum. 14 Ketika pihakpihak ini terlibat maka mereka inilah yang disebut sebagai gatekeeper. 15 Gatekeeper sendiri berperan untuk menciptakan kondisi dimana para koruptor dapat tetap mempertahankan dan menikmati perolehan hasil korupsinya secara sah dan membuat aset-aset tersebut menjadi tidak terlacak oleh aparat penegak hukum. 16 Selanjutnya, gatekeeper akan menyembunyikan keterlibatan mereka dibalik perlindungan kerahasiaan profesionalitas mereka dan dibalik kode etik kerahasiaan klien mereka. Hal inilah yang mengindikasikan adanya kesulitan dari para penegak hukum dalam menjerat pihak-pihak yang berperan sebagai gatekeeper dalam praktik pencucian uang. Praktik pencucian uang ditambah lagi dengan adanya peran gatekeeper dinilai sebagai salah satu bentuk praktik korupsi yang semakin canggih seiring dengan semakin canggih pula penegakan hukum terkait dengan korupsi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Abraham Samad (Ketua KPK) yang mengatakan bahwa kejahatan pencucian uang merupakan bentuk perubahan wujud korupsi menjadi kejahatan yang lebih canggih, dilakukan orang-orang berpendidikan tinggi, dan sulit terdeteksi hukum biasa. 17 Permasalahan mengenai keterlibatan pihak ahli dalam bidang hukum maupun keuangan atas upaya pencucian uang koruptor ini dapat dikatakan sebagai permasalahan yang serius, mengingat hal ini juga mampu menghambat penegakan hukum atas kejahatan korupsi dalam lingkup pengembalian aset. 18 Dengan masih banyaknya permasalahannya semacam ini maka, proses pengembalian aset hasil korupsi pun kemungkinan akan terus mengalami hambatan. Aset-aset negara yang seharusnya dirampas dari para koruptor dan dikembalikan pada peruntukkannya justru disamarkan bahkan disembunyikan keberadaannya oleh para gatekeeper sebagai penyedia jasa profesional di bidangnya. 19

14

Bruce Zagaris, Loc.cit. Paku Utama, Loc.cit. Hal 7. 16 Ibid. Hal 8 17 Dede Suryana. ‘Abraham Samad: KPK Berhasil Menyelamatkan Rp 1.193 Triliun’. http://berita.plasa.msn.com/nasional/okezone/abraham-samad-kpk-berhasil-menyelamatkanrp1193-triliun (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:44). 18 Paku Utama, Loc.cit. 19 Ibid. 15


Kemunculan peran gatekeeper dalam memfasilitasi pencucian uang di Indonesia dapat dikatakan sebagai fenomena yang tergolong baru dan masih diperlukan banyak analisis. Salah satu contoh kasus penggunaan gatekeeper sebagai pembantu pencucian uang koruptor adalah kasus berikut. Belum lama ini KPK juga mencium adanya peran seorang gatekeeper dalam kasus pencucian uang. Mochtar Effendi yang merupakan pengacara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, terdakwa kasus pencucian uang senilai Rp161,08 miliar tersebut terjadi sejak Oktober 2010 sampai Oktober 2013 20, yang disebut berperan sebagai gatekeeper. Dari situs online Kompas dihimpun bahwa Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menyebut Mochtar Effendi sebagai gatekeeper "Saya sebut gatekeeper saja. Gatekeeper itu salah satunya fungsinya aktif karena layering. Kalau pasif enggak mungkin. Kami menduga dia aktif," terang Bambang. 21 Selain itu, sebelumnya KPK juga mengindikasikan adanya keterlibatan notaris Djoko Susilo dalam menjadi seorang gatekeeper pencucian uang Djoko Susilo. 22 Contoh diatas hanyalah sebagian dari banyaknya kasus yang disinyalir memanfaatkan peran gatekeeper dalam upaya pencucian uang hasil korupsi. Direktur hukum PPATK, Fithriadi Muslim mengatakan angka para koruptor menggunakan jasa gatekeeper meningkat drastis. Menurutnya dari 61 laporan terkait dengan profesi tersebut yang telah tercatat sejak tahun 2010, trennya penggunaan gatekeeper ini naik, ada 22 laporan notaris dan pengacara pada 2012, serta 10 laporan di tahun 2013 bulan Juli. 23 Dengan munculnya indikasi-indikasi keterlibatan peran gatekeeper dalam kasus-kasus pencucian uang belakangan ini tidak dapat dipungkiri akan menghambat proses pengembalian aset korupsi serta penegakan hukum dalam 20

Arief Setyadi. ‘Wow, Dalam 3 Tahun Akil Mochtar Cuci Uang Rp 161 M’. http://news.okezone.com/read/2014/02/20/339/944188/wow-dalam-3-tahun-akil-mochtar-cuciuang-rp161-m (diakses pada 6 April 2014, pukul 18:17). 21 Dian Maharani. ‘KPK Sebut Mochtar Effendi sebagai “Gatekeeper” Kasus Akil’. http://nasional.kompas.com/read/2013/11/30/0907001/KPK.Sebut.Mochtar.Effendi.sebagai.Gat ekeeper.Kasus.Akil (diakses pada 6 April 2014, pukul 18:24). 22 Putri Artika R. ‘Vonis Irjen Djoko akan dipakai KPK usut ‘gate keeper’. http://www.merdeka.com/peristiwa/vonis-irjen-djoko-akan-dipakai-kpk-usut-gate-keeper.html (diakses pada 9 April 2014, pukul 12:24). 23 Dony Aprian. ‘PPATK: Keterlibatan Gatekeeper dalam Kasus Pencurian Uang Meningkat’. http://news.okezone.com/read/2013/08/28/339/857164/ppatk-keterlibatan-gatekeeper-dalamkasus-pencurian-uang-meningkat (diakses pada 6 April 2014, pukul 18:33).


konteks korupsi. Terlebih lagi, hingga kini belum ada catatan terkait pihak-pihak profesional yang terlibat dalam kasus korupsi dijerat hukuman sebagai seorang gatekeeper pencucian uang. Jadi, tidak menutup kemungkinan bahwa pihak profesional yang berperan sebagai gatekeeper pencucian uang akan terus bermunculan di kemudian hari. 1.2. Rumusan Masalah Pihak-pihak profesional dalam seperti pengacara, notaris, bankir, konsultan pajak, konsultan keuangan, hingga penasehat hukum dalam menjalankan

pekerjaannya

memang

sangat

mengandalkan

kemampuan

profesionalnya. Melalui keahlian profesionalnya ini mereka menyediakan jasa membantu, memberikan saran, menyusun dan menjalankan proses-proses jual/beli aset, investasi, keuangan, pembayaran pajak perusahaan dan lain sebagainya. Biasanya, sebelum menjalani profesi sebagai pihak profesional, mereka harus bersumpah terlebih dahulu untuk melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan adanya ketentuan profesional secara jujur, penuh integritas dan bertanggung jawab 24. Selain itu, ke-khasan lain yang dimiliki oleh pihak-pihak profesional ini meliputi adanya ketentuan kerahasiaan dalam hubungannya dengan klien, juga adanya akses ataupun pekerjaan yang hanya bisa dijangkau oleh pihak profesional. Kondisi ini selanjutnya disadari oleh para koruptor untuk bisa disalahgunakan demi memperlancar pencucian uang yang akan mereka lakukan. Koruptor akan berupaya untuk menyewa jasa para profesional untuk menjadi gatekeeper guna membantunya dalam kegiatan pencucian uang. Dengan besarnya upah jasa yang ditawarkan oleh koruptor, tidak menutup kemungkinan bahwa para profesional yang diharapkan bekerja dengan jujur dan bekerja sama dengan penegak hukum justru lebih memilih bekerjasama dengan para koruptor menjadi gatekeeper pencucian uang. Gatekeeper kemudian akan memanfaatkan akses dan jabatan profesinya untuk disalahgunakan dan dikomersialisasi kepada koruptor yang membutuhkan ‘jasa’ curangnya untuk meraup keuntungan pribadi.

24

Muhammad Mustofa. (2010). Kleptokrasi: Persekongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana. Hal 89.


1.3. Gagasan Kreatif Dengan telah jelasnya praktik pencucian uang sebagai kejahatan, sangat disayangkan ketika pihak-pihak profesional justru berada di pihak yang salah, mereka justru ikut membantu atau memfasilitasi koruptor untuk menyembunyikan hasil kekayaan ilegal mereka. Berbagai kajian terkait dengan adanya pihak profesional sebagai gatekeeper pencucian uang mulai bermunculan sejak awal tahun 2000 hingga sekarang. Namun, diantara berbagai kajian tersebut belum ditemukan adanya bahasan spesifik mengenai peran gatekeeper dalam kajian kriminologi, baik dari dalam maupun luar negeri, yang melihat gatekeeper sebagai pelaku pencucian uang, serta hal-hal yang melatarbelakangi gatekeeper membantu pencucian uang hasil korupsi. Mayoritas kajian yang telah ada berkutat pada masalah implementasi hukum dan aturan-aturan pihak profesional agar terhindar dari pencucian uang koruptor. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan mencoba menarik benang merah dari berbagai kajian sebelumnya terhadap bahasan yang lebih spesifik yakni peran gatekeeper di Indonesia dalam sudut pandang kriminologi dimana gatekeeper sebagai pelaku pencucian uang koruptor ditambah dengan kondisi-kondisi yang mampu mendorong para profesional berperan sebagai gatekeeper untuk membantu koruptor dalam melakukan pencucian uang dengan analisis kriminologi. 1.4. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan ini adalah untuk dapat menjelaskan mengenai peran gatekeeper dalam pencucian uang dan kondisi-kondisi penyebab dilakukannya pencucian uang oleh seorang profesional. Penulisan ini akan dilakukan dengan melakukan analisis menggunakan konsep dan teori kejahatan kerah putih terkait dengan kejahatan yang dilakukan profesi untuk menemukan bagaimana kondisi yang mendorong seorang dengan profesi tertentu bisa membantu dalam proses pencucian uang.


1.5. Signifikansi Penulisan 1.5.1. Signifikansi Akademis Diharapkan penulisan ini dapat memberikan kontribusi ilmiah kajian akademis kriminologi kepada masyarakat ilmiah agar mampu menerapkan kajian kriminologi dalam lingkup pencucian uang khususnya yang dilakukan dengan bantuan gatekeeper. 1.5.2. Signifikansi Praktis Penulisan ini akan memberikan kontribusi praktis kepada penegak hukum agar mampu membuat strategi yang lebih efektif dalam menjerat para gatekeeper agar tidak lagi terlibat dalam pencucian uang para koruptor.


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kerangka Konsep 2.1.1. White Collar Crime Definisi white collar crime atau kejahatan kerah putih yang dipaparkan oleh Sutherland adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang terhormat dan memiliki status sosial tinggi dalam pekerjaannya. 25 Sedangkan, definisi white collar crime yang dijelaskan oleh Herbert Edelhertz adalah tindakan ilegal atau rangkaian tindakan ilegal yang dilakukan dengan cara-cara non fisik dan dengan penyembunyian atau penipuan untuk mendapatkan uang atau barang, menghindari pembayaran atau kerugian, atau untuk mendapatkan keuntungan kelompok maupun pribadi. 26 Jadi, white collar crime bisa diartikan sebagai kejahatan yang dilakukan oleh orang dengan status sosial tinggi dalam pekerjaannya yang dilakukan dengan cara-cara non fisik dan dengan penyembunyian atau penipuan dengan motif keuntungan finansial. 2.1.2. Occupational Crime Clinard dan Quinney menjelaskan bahwa white collar crime sendiri terbagi menjadi beberapa tipologi tertentu salah satunya adalah tipologi occupational crime. 27 Keduanya berpendapat bahwa occupational crime merupakan pelanggaran aturan hukum dalam proses kegiatan dalam pekerjaan yang sah. 28 Sementara menurut Mustofa, Occupational Crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang menduduki jabatan terhormat dan kejahatan tersebut terkait dengan jabatan pekerjaannya yang sah. 29 Dari kedua definisi ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa occupational crime merupakan kejahatan yang 25

J. Mitchell Miller (ed). (2009). 21st Century Criminology: A Reference Handbook. California: SAGE Publications, Inc. Hal 549. 26 Ibid. Hal 550. 27 Brian K. Payne. (2013). White-Collar Crime: The Essentials. California: SAGE Publications, Inc. Hal 28. 28 Ibid. 29 Muhammad Mustofa. Loc.cit. Hal 79.


dilakukan oleh seseorang dengan jabatan dimana kejahatan yang dilakukan terkait dengan proses kegiatan dari pekerjaannya yang sah. 2.1.3. Professional Occupational Crimes Dalam

perkembangan

occupational

crime,

Gary

Green

dalam

mengklasifikasi occupational crime kedalam empat jenis. 30 Jenis ketiga occupational crime menurut Green adalah professional occupational crimes. Professional occupational crimes sendiri diartikan sebagai kejahatan-kejahatan oleh individu dalam pekerjaan kelas atas atau profesi tertentu. 31 Dalam penjelasannya, Green mencontohkan kejahatan yang dilakukan seseorang dengan profesi dokter. Misalnya, seorang dokter bisa melakukan kecurangan terhadap pasiennya dengan memberikan pengobatan melalui operasi yang sebenarnya tidak diperlukan oleh pasien tersebut atau hanya rekayasa dokter tersebut. Tentu saja penyakit yang diderita pasien benar-benar nyata, tetapi operasi yang tidak diperlukan biasanya dilakukan seorang dokter dalam kejahatannya bukan untuk tujuan menimbulkan kerusakan fisik pasien melainkan untuk mewujudkan keuntungan finansial. Green melihat bahwa seorang profesional memiliki kesempatan khusus untuk melakukan kecurangan-kecurangan tersebut, juga kesempatan untuk melindungi tindakan mereka dari penuntutan. 32 Green melihat sekalipun dengan alasan medis, pada dasarnya dokter tersebut adalah seorang pelaku kejahatan yang memanfaatkan dan menyalahgunakan kesempatan yang mereka miliki sebagai profesional. 33 Hal ini juga diperparah dengan pernyataan H. Edelhertz yang mengatakan bahwa kejahatan oleh profesi adalah kejahatan jabatan yang paling mengganggu karena pelakunya tidak merasa sebagai penjahat maupun penipu masyarakat. 34 2.1.4. Korupsi Nichols menjelaskan korupsi sendiri dapat didefinisikan sebagai penggunaan

atau

penyalahgunaan

kepercayaan

atau

kewenangan

30

untuk

Brian K. Payne. Loc.cit. Hal 34. Ibid. 32 David O. Friedrichs. (2002). Occupational Crime, Occupational Deviance, and Workplace Crime: Sorting Out The Difference. Criminal Justice Vol. 2(3): 243–256; 025834. Hal 247. 33 Ibid. 34 Muhammad Mustofa. Loc.cit. Hal 106-107. 31


keuntungan pribadi bukan untuk keuntungan sebagaimana kepercayaan atau kewenangan

tersebut

diberikan

pada

seseorang. 35

Sementara,

Mustofa

menjelaskan bahwa korupsi adalah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparat birokrasi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi bagi dirinya pribadi. 36 Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa

korupsi

merupakan

tindakan

penggunaan

atau

penyalahgunaan

kepercayaan atau wewenang yang dilakukan aparat birokrasi dengan tujuan memperoleh keuntungan ekonomi pribadi bukan untuk keuntungan dasar diberikannya kepercayaan maupun kewenangan yang dimaksud. 2.1.5. Pencucian Uang Menurut Shepherd, tindak pencucian uang adalah praktik kejahatan yang meliputi proses penyaringan uang haram atau uang ‘kotor’ melalui serangkaian transaksi; dengan cara ini uang tersebut 'dibersihkan' sehingga dapat dilihat sebagai uang hasil dari kegiatan legal. 37 Sementara, menurut Weld praktik pencucian uang meliputi setiap tindakan yang mampu mengubah uang atau harta lain yang diperoleh melalui aktivitas ilegal menjadi uang atau harta yang sah, sehingga tindakan ini mampu menyembunyikan ketidaksah-an uang atau harta tersebut. 38 Jadi, pencucian uang adalah tindakan mengubah uang hasil kejahatan menjadi seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Menurut Weld, dalam melakukan pencucian uang terdapat tahap-tahap yang terdiri dari tiga yakni placement, layering, dan integration. 1) placement meliputi kegiatan penempatan hasil kejahatan ke dalam sistem keuangan atau sistem transfer tertentu; (2) layering meliputi upaya pelapisan dana sehingga dapat menyembunyikan sumber asli pendapatan mereka; dan (3) integration yakni penggabungan sejumlah dana hasil layering ke dalam pasar keuangan yang sah,

35

Philip M. Nichols. (2012). Is There a Place for Rational Choice Theory in Understanding Corruption? The Wharton School of The University of Pennsylvnia. Hal 3. 36 Muhammad Mustofa, Loc.cit. Hal 96. 37 Kevin L. Shepherd. (2009). Guardians At The Gate: The Gatekeeper Initiative and The RiskBased Approach for Transactional Lawyers. 43 REAL PROPERTY, TRUST AND REAL ESTATE LAW JOURNAL. Hal 613. 38 Jean B. Weld. (2011). Current International Money Laundering Trends And Anti-Money Laundering Co-operation Measures. 146TH INTERNATIONAL TRAINING COURSE VISITING EXPERTS’ PAPER. RESOURCE MATERIAL SERIES No. 83. Hal 37.


seperti bank, perusahaan kredit, dealer broker, real estate, dan lainnya 39 agar semakin tersamarkan dan seolah-olah menjadi dana yang legal. Weld kemudian mengklasifikasi metode-metode pencucian yang mengikuti kemunculan teknologi. Salah satu metode pencucian uang yang dijelaskan adalah mengenai penggunaan gatekeeper. 40 Gatekeeper dimanfaatkan pelaku pencucian uang guna melindungi kepentingan mereka dalam hal menyembunyikan aset dan menyembunyikan keterlibatan gatekeeper itu sendiri di balik adanya perlindungan kerahasiaan profesional mereka. 41 2.1.6. Gatekeeper FATF sejak tahun 1999 telah membuat inisiatif internasional untuk mengembangkan langkah-langkah yang lebih baik dalam upaya kontra pencucian uang dengan bantuan pihak profesional yang disebut gatekeeper, sekaligus mempopulerkan istilah tersebut hingga kini. 42 FATF melihat gatekeeper sendiri pada dasarnya adalah, individu yang melindungi gerbang ke sistem keuangan agar pelaku pencucian uang berhasil melakukan pencucian uang. 43 Keterlibatan berbagai ahli hukum dan keuangan, atau gatekeeper dalam skema pencucian uang ini menurut FATF nampaknya terus terjadi hingga saat ini. Paku Utama mendefinisikan gatekeeper sebagai berbagai profesional di bidang keuangan atau hukum dengan keahlian, pengetahuan, dan akses khusus kepada sistem keuangan global, yang memanfaatkan keahlian mereka untuk menyembunyikan hasil korupsi. 44 Ia menegaskan dalam hal ini bahwa profesiprofesi tersebut sama sekali bukanlah profesi yang tidak sah dan buruk, karena profesi-profesi ini menjadi melanggar hukum sebagai gatekeeper apabila digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana seperti pencucian uang. Ia menambahkan bahwa gatekeeper adalah agen yang membantu dan memfasilitasi proses pencucian uang dan bertanggung jawab atas perbuatan 39

Ibid. Ibid. Hal 40-41. 41 Ibid. 42 Bruce Zagaris, Loc.cit. Hal 2. 43 The Financial Action Task Force. (2011). FATF Report: Laundering the Proceeds of Corruption. France: FATF. Hal 19-20. 44 Paku Utama. (2013). Memahami Asset Recovery dan Gatekeeper. Jakarta; Indonesian Legal Roundtable. Hal 142. 40


kejahatan keuangan itu sendiri setelah menerima hasil kejahatan asal yang dilakukan oleh pelaku lain. 45 Dapat disimpulkan bahwa dalam konteks pencucian uang hasil korupsi, gatekeeper adalah pihak profesional dengan keahlian di bidang hukum atau keuangan yang menyalahgunakan keahlian dan hak khusus yang dimilikinya untuk melakukan pencucian uang klien koruptornya. 2.2. Kerangka Teori 2.2.1. Fraud Triangle Theory

Gambar: Fraud Triangle Sumber: Singleton dan Singleton (2010)

Donald Cressey menggunakan fraud triangle untuk menjelaskan mengapa seseorang dengan jabatan yang terpercaya justru menjadi pelaku kejahatan atas kepercayaan yang diberikannya, atau dengan kata lain melakukan kecurangan atas pekerjaannya. 46 Dalam penelitiannya, Cressey menemukan bahwa umumnya kejahatan kecurangan dilakukan oleh orang-orang dengan jabatan dalam pekerjaannya, dan kejahatan ini didasari oleh tiga hal yakni 1) tekanan finansial, 2) rasionalisasi, dan 3) kesempatan untuk melakukan kejahatan. 47 Tekanan finansial diartikan oleh Cressey sebagai suatu masalah finansial yang terjadi dalam kehidupan pribadi pelaku yang mampu memicu tingkat stres

45

Paku Utama, Ibid. Hal 133. Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. (2010). Fraud Auditing and Forensic Accounting 4th ed. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Hal 44. 47 Ibid. 46


pelaku hingga mendorongnya melakukan kejahatan. 48 Biasanya tekanan yang dialami oleh pelaku ini cenderung akan dirahasiakan. Ketika ditanyakan mengenai masalah finansial yang dihadapi, para pelaku ini akan sangat tertutup, sekalipun orang lain berniat untuk membantu mengatasi masalah tersebut. 49 Menurut Mustofa, hal ini dilakukan oleh pelaku dikarenakan adanya suatu perasaan dari pelaku bahwa masalah dalam bidang finansial yang sedang mereka hadapi bukanlah termasuk masalah dapat diceritakan kepada orang lain. 50 Contoh dari elemen tekanan finansial yang dirahasiakan ini adalah adanya sifat keserakahan, pemenuhan gaya hidup dan lainnya. Dalam lingkup kejahatan kerah putih, kejahatan dilakukan oleh orang-orang dengan keahlian profesi tertentu dan bukan dari kalangan dengan kelas ekonomi yang rendah. 51 Sejalan dengan pernyataan Cressey, Siegel melihat bahwa sebagian orang dapat terlibat dalam kejahatan hanya karena mereka membutuhkan sejumlah uang untuk mendukung gaya hidup mereka juga karena keserakahan. 52 Orang-orang dengan keserakahan ini akan mengambil jalan pintas dengan cara-cara kecurangan menyalahgunakan jabatan untuk meraup kekayaan pribadi. 53 Cressey selanjutnya mendefinisikan rasionalisasi sebagai suatu sikap maupun nilai-nilai etika yang memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan dan bisa melakukan pembenaran atas kejahatan yang dilakukannya. 54 Kebanyakan pelaku kejahatan kerah putih tidak menerima hukuman atas kejahatannya, hal ini biasanya berkaitan dengan kode etik yang dimiliki mereka. Pelaku tidak akan merasa sebagai pelaku kejahatan, mereka akan menjustifikasi kejahatannya bahkan sebelum mereka memutuskan untuk berbuat jahat. 55 Mereka akan berdalih bahwa kejahatan yang mereka lakukan berkaitan dengan tuntutan pekerjaan. Mereka juga akan berdalih bahwa tidak ada korban

48

Ibid. Hal 44-45 Jack W. Dorminey dkk. (2010). ‘Beyond The Fraud Triangle: Enhancing Detterence of Economic Crimes’. The CPA Journal: July 2010. Hal 18. 50 Muhammad Mustofa. Loc.cit.Hal 59. 51 Larry J. Siegel. (2012). Criminology, Eleventh Edition. Belmont: Wadsworth. Hal 466. 52 Ibid. 53 Ibid. 54 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. Hal 46. 55 Jack W. Dorminey. Loc.cit. Hal 19. 49


maupun pihak yang dirugikan dari kejahatan yang mereka lakukan. 56 Dalih-dalih atau rasionalisasi ini memungkinkan pelaku untuk berpikir bahwa kejahatan yang dilakukannya bukanlah hal yang ilegal sehingga pelaku dapat tetap membentuk citra bahwa dirinya adalah orang yang dapat dipercaya. Rasionalisasi inilah yang pada akhirnya membuat apa yang mereka lakukan seolah-olah merupakan hal yang dapat diterima dan sah-sah saja. 57 Menurut Cressey, penjelasan mengenai poin kesempatan adalah pelaku kejahatan ini selalu memiliki keahlian dan kesempatan untuk melakukan kejahatan kecurangan dalam pekerjaan. 58 Kesempatan untuk melakukan kejahatan ini justru didapat dari jabatan yang dimiliki oleh pelaku. 59 Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari Mustofa yang menyebutkan bahwa salah satu faktor dilakukannya kejahatan kerah putih adalah adanya jabatan dalam pekerjaanya. 60 Ia menambahkan bahwa, ketika pelaku kejahatan tidak dalam posisi yang dibutuhkan oleh orang lain, maka ia tidak akan dapat menyalahgunakan jabatan yang dimilikinya untuk keuntungan pribadi. 61 Kondisi lemah atau tidak adanya kontrol akan kejahatan memberikan kesempatan lainnya bagi pelaku. Pelaku biasanya sadar akan adanya kelemahan kontrol dan paham bagaimana cara untuk melakukan kejahatan tersebut. 62 Kebanyakan dari mereka bahkan percaya bahwa mereka tidak akan tertangkap karena kejahatan yang mereka lakukan; mereka percaya bahwa mereka terlalu pintar untuk dideteksi oleh para penegak hukum. 63 Teori ini digunakan dalam penulisan dikarenakan penulis melihat bahwa seorang gatekeeper pencucian uang dalam peran-perannya juga banyak melakukan kecurangan. Kecurangan ini bisa dilakukan oleh gatekeeper dikarenakan adanya kesempatan-kesempatan khusus melakukan kejahatan maupun melakukan pembelaan yang diperoleh dari pekerjaan mereka sebagai pihak profesional seperti pengacara, notaris, bankir, akuntan, konsultan pajak dan 56

Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. Muhammad Mustofa. Loc.cit. 58 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. 59 Ibid. 60 Muhammad Mustofa. Loc.cit. Hal 58. 61 Ibid. 62 Jack W. Dorminey. Loc.cit. 63 Larry J. Siegel. Loc.cit. Hal 108. 57


lainnya. Elemen-elemen dalam teori segitiga kecurangan seperti tekanan finansial karena keserakahan/pemenuhan gaya hidup, adanya rasionalisasi dan kesempatan dari pekerjaannya inilah yang penulis lihat sesuai dengan kondisi dari gatekeeper pencucian uang selaku pihak profesional yang dalam pekerjaannya telah memang telah dilengkapi dengan akses, kemampuan dan kesempatan yang khas. 2.3. Literature Review Upaya pengembalian aset tidak dapat dicapai dengan proses tunggal atau proses yang seragam. Menurut Utama, proses pengembalian aset tidak hanya melibatkan proses hukum, penyitaan, dan proses lainnya yang dilakukan guna mengembalikan aset. Namun, proses ini juga perlu melibatkan berbagai tahap kerjasama lokal dan internasional seperti, kerjasama intelijen lokal dan internasional, proses hukum lokal dan internasional, dan kerjasama dalam mekanisme manajemen ekonomi. 64 Praktik pencucian uang dijalankan para koruptor untuk memisahkan hubungan antara kejahatan yang dilakukannya, dirinya sendiri, dan hasil kejahatan yang menjadi asetnya. Menurut Smith, pencucian uang terjadi di hampir setiap kejahatan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan materil. 65 Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan dari pelaku untuk menyamarkan uang guna menyembunyikan fakta bahwa kekayaan yang mereka miliki berasal dari kejahatan. 66 Menurut Baker dan Ed Shorrock dalam skema pencucian uang, koruptor sering kali menggunakan jasa gatekeeper serta hambatan struktural dalam rangka memutus hubungan tersebut. 67 Jasa gatekeeper dimanfaatkan oleh para koruptor mengingat serangkaian keahlian para gatekeeper dalam upaya pencucian uang. Gatekeeper akan berusaha membuat uang kotor terlihat sebagai uang yang sah hingga dapat ditempatkan ke dalam sistem keuangan, dan mereka juga akan berusaha menghapus hubungan antara kejahatan yang dilakukan kliennya, sehingga agen penegak hukum tidak bisa melakukan upaya ‘follow the money’ 64

Paku Utama. (2011). Gatekeeper, Money Laundering, and Asset Recovery: Piercing The Riddle. Jurnal hukum internasional ”Opinio Juris” Volume 2: pp 2-12. Hal 4. 65 Susan L. Smith. (2001). ‘The Fight Against Money Laundering: The U.S. Perspective’. Resource Material Series No. 58. UNAFEI Tokyo, Japan. Hal 327. 66 Ibid. 67 Paku Utama. Loc.cit. Hal 8.


dan melihat hubungan dalam rangka mendapatkan aset tersebut kembali serta sebagai pembuktian pidana. 68 Penelitian yang dilakukan oleh Paku Utama guna mengidentifikasi hubungan antara pengembalian aset, pencucian uang dan gatekeeper menunjukkan bahwa seorang gatekeeper jelas memainkan peran yang signifikan dan bervariasi dalam melakukan pencucian uang. 69 Menurut Pippel, gatekeeper merupakan pihak profesional yang melayani kliennya dengan menyiapkan, memverifikasi, atau menilai hal-hal yang terkait pencucian uang dan dokumen atas asetnya, gatekeeper juga merupakan pihak dengan posisi profesional untuk mencegah kesalahan yang dilakukan yang dilakukan tanpa persetujuan mereka. 70 Dalam penelitiannya, Pippel berusaha untuk mengeksplorasi sejauh mana pengacara dapat atau harus berfungsi sebagai gatekeeper, dengan tanggung jawab pelindung para klien yang mengandalkan pada kemampuan pengacara mempersiapkan atau setidaknya meninjau hal-hal yang dapat memberatkan mereka termasuk dalam hal transaksi. 71 Pippel menemukan bahwa para pengacara juga ternyata memainkan peran mereka dengan bertindak sebagai teknisi transaksi yang bertugas merancang dan menyelesaikan tujuan klien mereka, tentunya dengan cara-cara yang curang. 72 Para pengacara sebagai gatekeeper ini disewa oleh klien mereka dengan tujuan untuk memberikan penilaian independen dan kritis kepada klien mereka, membantu para klien untuk menjadi sesukses mungkin, sekaligus memastikan bahwa klien mereka tetap pada posisi aman dimata hukum. 73 John C. Coffee, Jr dalam penelitiannya mencoba menemukan contohcontoh dari gatekeeper yang meliputi: 1) auditor yang memberikan sertifikasi bahwa laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum; 2) lembaga debt rating yang mengevaluasi kelayakan kredit; 3) analis sekuritas yang mengkomunikasikan penilaian teknologi korporasi, daya saing, maupun prospek 68

Ibid. Hal 8-9. Ibid. Hal 16. 70 Christoph Pippel. (2004). The Lawyer Gatekeeper: Is There a Need for a Whistleblowing Securities Lawyer? Recent Developments in The US and Australia. Bond Law Review: Vol 6: Iss. 2, Article 4. Hal 2. 71 Ibid. Hal 3. 72 Ibid. Hal 10. 73 Ibid. Hal 38. 69


pendapatan; 4) bankir investasi yang melengkapi "keadilan pendapat" mengenai harga merger; dan 5) pengacara yang memberikan pendapat kepada klien bahwa semua informasi material yang mereka temukan mengenai klien mereka telah diungkapkan dengan benar. 74 Menurutnya, secara struktural gatekeeper adalah seorang profesional yang memiliki kedudukan penting dimana persetujuan mereka akan berdampak pada beberapa transaksi perusahaan bahkan dapat berdampak pada pertahanan status yang menjadi goal perusahaan tersebut. Coffee, Jr. menjelaskan bahwa gatekeeper sedikit banyak akan menerima keuntungan yang diperoleh kliennya jika kliennya terlibat dalam kejahatan, dan keuntungan yang mereka peroleh ini akan lebih mudah dialihkan. 75 John R. Boatright mencoba menjelaskan keadaan-keadaan yang menjadi justifikasi tanggung jawab seorang gatekeeper. Kemudian, dia menemukan bahwa peran sebagai gatekeeper juga merupakan peran yang memerlukan biaya yang cukup besar. 76 Hal ini terkait dengan perlunya seorang gatekeeper mengeluarkan biaya-biaya persyaratan tertentu yang diperlukan untuk mencuci uang kliennya. Terlebih ketika mengingat biaya tersebut bukan hanya dikeluarkan untuk satu tahap namun pada keseluruhan tahap pencucian uang yang sengaja dibuat rumit agar semakin mengamankan posisi klien. Dengan demikian, tidak semua gatekeeper mau membantu pencucian uang kliennya. Biasanya seorang gatekeeper yang terlibat akan memiliki alasan yang cukup kuat untuk membantu dan memfasilitasi pencucian uang koruptor. Mengingat tanggung jawab seorang gatekeeper bukan hanya tanggung jawab hukum tapi juga tanggung jawab moral untuk mempertahankan peran idealnya sebagai profesional. 77 Banyak sumber menjelaskan bahwa untuk mengatasi semakin meluasnya keterlibatan gatekeeper ini, para gatekeeper harus melaporkan ‘transaksi mencurigakan’ yang mereka temukan dalam catatan klien mereka. Namun, jelas hal ini merupakan hal yang cukup berbahaya dan sangat tidak dapat diterima pihak profesional seperti pengacara dan asosiasi pengacara di seluruh dunia. 74

John C. Coffee, Jr. (2003). The Attorney As Gatekeeper. Columbia Law School The Center for Law and Economic Studies. Working Paper No. 221. Hal 8. 75 Ibid. Hal 9. 76 John R. Boatright. (2007). Reluctant Guardians: The Moral Responsibility of Gatekeepers. Business Ethics Quarterly, Volume 17, Issue 4. ISSN 1052-150X pp 613-632. Hal 614. 77 Ibid. Hal 619.


Menurut Lim hal ini dikarenakan adanya pertimbangan etika dan profesional yang mereka emban. Juga, mereka meyakini bahwa pencucian uang tidak dapat secara efektif dikontrol oleh pengacara untuk dilaporkan sebagai transaksi yang dinilai mencurigakan. 78 2.4. Review Penelitian/Kajian Terdahulu Dalam buku Memahami Asset Recovery dan Gatekeeper, Paku Utama menjelaskan bahwa dalam berhadapan dengan standar dan tingkat keamanan antipencucian uang yang semakin canggih dari lembaga keuangan dan penegak hukum, koruptor memerlukan setidaknya seorang konsultan keuangan atau pengacara untuk dapat lolos dari proses-proses tersebut dan berhasil melakukan pencucian uang yang lebih canggih dan kompleks. 79 Situasi ini memaksa para penjahat untuk memanfaatkan profesional hukum, termasuk notaris, konsultan pajak, akuntan, dan profesional lainnya untuk membantu mereka dalam menutupi hasil-hasil tersebut. 80 Menurutnya, saat ini dan di masa mendatang, gatekeeper akan terus menjadi kebutuhan bagi pejabat korup atau pelaku kejahatan yang berusaha mencuci aset mereka secara efektif. 81 Menurut Utama, keberadaan gatekeeper adalah untuk menciptakan suatu ilusi tidak bersalah bagi pihak yang menyewa jasanya, dalam hal ini koruptor. 82 Tugas gatekeeper adalah sebagai arsitek dan pelaku proses pencucian uang yang menciptakan kondisi di mana para koruptor dapat tetap mempertahankan dan menikmati perolehan hasil korupsinya secara sah dan membuat aset-aset tersebut menjadi tidak terlacak oleh aparat penegak hukum. 83 Pengacara, notaris, akuntan, dan profesional lainnya melakukan sejumlah fungsi penting seperti, memberikan saran kepada individu terkait bisnis mengenai investasi, pembentukan perusahaan, trusts dan pengaturan hukum lainnya, serta jasa optimalisasi pajak. 84 Utama selanjutnya merujuk pada temuan Peter McNamee yang mengatakan bahwa 78

Francisco Ed. Lim. (2004). Anti-Money Laundering Initiatives: Ramifications on The Legal Profession. Asean Law Association. Hal 9-10. 79 Paku Utama. Memahami Asset Recovery dan Gatekeeper. Loc.cit. Hal 135. 80 Ibid. Hal 139. 81 Ibid. Hal 145. 82 Ibid. 135. 83 Ibid. 84 Ibid. Hal 155-156.


pengacara dan gatekeeper lainnya sering memanfaatkan kerahasiaan yang diberikan berdasarkan aturan kerahasiaan seperti antara pengacara dan klien sebagai alat dalam skema pencucian uang. 85 Jadi, dengan kata lain, gatekeeper dapat menggunakan aturan atau hak istimewa tersebut sebagai modus untuk melewati aturan pengungkapan atau pelaporan pada berbagai lembaga keuangan. Utama melihat bahwa saat ini, pola pikir aparat penegak hukum di Indonesia pada umumnya masih berorientasi untuk menemukan tersangka. 86 Hal ini tanpa disadari akan berdampak negatif, karena para aparat penegak hukum terkait menjadi tidak berkutik dalam melacak aset dan tersangka saat hubungan sebagaimana dijelaskan di atas telah berhasil diputus oleh adanya gatekeeper. 87 Dalam bukunya tersebut, Utama menjelaskan salah satu contoh kasus pihak profesional di Indonesia yang diidentifikasi sebagai gatekeeper. Ia memberikan contoh kasus Adrian Waworuntu, selaku penasihat investasi Grup Gramarindo yang telah dinyatakan bersalah atas kejahatan korupsi. 88 Kasus ini berawal dari Grup Gramarindo yang merupakan perusahaan ekspor menerbitkan surat permohonan kredit kepada Bank BNI dengan membawa surat jamianan dari beberapa Bank luar negeri. Namun, kemudian setelah disetujuinya permohonan tersebut oleh BNI, barulah diketahui bahwa dokumen kredit ekspor yang dibuat bersifat fiktif.

Total uang sejumlah Rp 1,7 triliun dengan cepat dihilangkan

jejaknya oleh Grup Gramarindo. Namun, karena skema pencucian uang yang digunakan tidak kompleks maka kemudian diketahui aliran dana kredit dari BNI ini terpusat di sekitar Adrian Waworuntu. 89 Adrian memang dinyatakan bersalah atas kejahatan korupsi, tetapi Utama melihatnya dengan cara berbeda, ia melihat bahwa

posisi

Adrian

sebagai

penasihat

Grup

Gramarindo

ini

sangat

memungkinkan untuk menjadikannya sebagai pemain kunci dalam skema pencucian uang hasil penipuan Grup Gramarindo. 90 Menurut Paku Utama dalam makalah Report Gatekeeper 2012, keterlibatan gatekeeper dapat terjadi pada setiap tahap skema pencucian uang, 85

Ibid. Hal 141. Ibid. Hal 135. 87 Ibid. Hal 134. 88 Ibid. Hal 165. 89 Ibid. Hal 170. 90 Ibid. Hal 168. 86


yaitu tahap placement, layering dan integration. 91 Gatekeeper yang dalam melakukan pekerjaannya yang ditunjang dengan kemajuan teknologi dan kedekatannya dengan sistem sejauh ini membuat gatekeeper berada di kecepatan yang sama atau bahkan lebih jauh di depan para penegak hukum. 92 Penggunaan teknologi

memungkinkan

ditingkatkannya

performa

gatekeeper

untuk

memberikan identitas palsu guna menyembunyikan informasi pribadi kliennya, teknologi juga mampu menghapus semua batas-batas dan yurisdiksi antar negara misalnya pada penggunaan sistem transfer yang kini hanya membutuhkan hitungan detik untuk mentransfer uang dari satu benua ke benua lain. 93 Sementara, lembaga penegak hukum sejauh ini belum didukung oleh teknologi atau instrumen yang memadai yang memungkinkan mereka untuk berada di kecepatan yang sama dengan gatekeeper. 94 Kedekatan gatekeeper dengan sistem baik keuangan maupun hukum, membantunya untuk mampu mengidentifikasi kelemahan penegakan hukum dan memanfaatkannya, misalnya seorang akuntan yang sadar akan kelemahan penegak hukum untuk melacak skema pencucian uang yang kompleks akan menciptakan banyak transaksi dan skema palsu yang membuat segalanya terlihat sebagai rangkaian transaksi yang sah. 95 Lain halnya dengan pengacara yang sadar bahwa setiap permasalahan hukum harus dijawab, akan melemparkan banyak masalah hukum dan menggugatnya ke lembaga penegak hukum agar penegak hukum terhambat dalam melakukan pelacakan aset karena telah terjebak dalam perang dokumen. 96 Kemudian dijelaskan Paku Utama bahwa di bawah hak istimewa untuk menutupi kepentingan klien mereka, para gatekeeper memiliki hak untuk tidak mengungkapkan apa yang mereka benar-benar tahu tentang klien mereka. 97 Kondisi ini memperlihatkan bahwa aturan hak istimewa yang dibuat untuk

91

Paku Utama. (2012). Report Gatekeeper 2012. Makalah tidak diterbitkan. Hal 19-20. Ibid. Hal 20. 93 Ibid 94 Ibid. Hal 65. 95 Ibid. Hal 21. 96 Ibid. 97 Ibid. Hal 24. 92


memastikan pihak profesional berintegritas dalam pekerjaannya justru dijadikan alat untuk melakukan justifikasi atas kejahatannya. 98 Untuk mencapai peran idealnya, seseorang dengan profesi khusus seperti gatekeeper harus memiliki hati nurani dan integritas diri dalam melaksanakan tugasnya 99. Tanpa hal itu, peran gatekeeper justru akan berubah menjadi ancaman bagi upaya penegakan hukum. Karena nantinya mereka akan menjadi mitra dari koruptor, dan bukan mitra dari lembaga penegak hukum. Faktor dari hati nurani dan integritas ini akan menjadi permasalahan ketika terdapat sejumlah besar uang yang kerap kali ditawarkan koruptor pada gatekeeper untuk membantu pencucian uang koruptor, pada akhirnya batas antara integritas dan kepentingan klien akan menjadi lebih tipis. Nantinya, gatekeeper akan melihat bahwa uang berbicara bahasa yang lebih universal dibandingkan dengan loyalitas. Mereka cenderung untuk meninggalkan peran yang ideal pertama dari seorang “keeper”, yang memberikan bantuan kepada lembaga penegak hukum dan memastikan bahwa profesi mereka tidak sedang digunakan oleh penjahat. 100 Studi dari FATF dalam FATF Report: Money Laundering and Terrorist Financing Vulnerabilities of Legal Professionals menunjukkan bahwa selain mengidentifikasi kemampuan pihak profesional dalam membantu pencucian uang, koruptor juga mampu mengidentifikasi celah-celah penegakan hukum dalam pekerjaan profesional bidang hukum maupun keuangan yang bisa dieksploitasi dan disalahgunakan. 101 Kemudian, koruptor menyadari penggunaan pihak profesional dalam pencucian uang mereka tidak akan menimbulkan kecurigaan karena profesi mereka yang memberikan kesan kehormatan. 102 Meskipun tidak semua profesional terlibat secara aktif dalam penyalahgunaan hak-hak istimewa untuk memudahkan pencucian uang para koruptor, namun penggunaan pihak profesional untuk membantu menyamarkan hasil kekayaan ilegal nyatanya masih

98

Ibid. Ibid. Hal 26. 100 Ibid. 101 The Financial Action Task Force. (2013). FATF Report: Money Laundering and Terrorist Financing Vulnerabilities of Legal Professionals. France: FATF. Hal 17. 102 Ibid. Hal 34. 99


menarik bagi para koruptor. 103 Pada tahun 2010 lalu FATF menggambarkan gatekeeper telah menjadi elemen ‘umum’ dalam skema pencucian uang yang kompleks, 104 FATF juga melihat hingga kini kemunculan skema pencucian uang yang menyertakan penggunaan pihak profesional atau gatekeeper untuk mencuci uang hasil kejahatan semakin meningkat 105. World Bank menemukan, bahwa gatekeeper merupakan pihak yang terlibat langsung dalam melaksanakan jenis transaksi keuangan tertentu atas nama klien mereka, seperti memegang rekening di lembaga keuangan dan bertindak atas nama klien mereka, untuk memindahkan maupun menyembunyikan hasil kegiatan ilegal kliennya. 106 Tim peneliti dari World Bank juga melihat bahwa ketika aparat penegak hukum berusaha untuk mengakses informasi yang dimiliki oleh gatekeeper, para gatekeeper seringkali menolak dan berusaha untuk membenarkan penolakan mereka untuk membocorkan informasi tersebut dengan menerapkan hak istimewa pengacara-klien (atau "hak istimewa profesional hukum"). 107 2.5. Kerangka Pikir Sebagai upaya untuk menyembunyikan fakta bahwa kekayaan yang mereka miliki berasal dari kegiatan korupsi, para koruptor akan menempuh berbagai cara guna mengamankan kekayaan mereka dari penegak hukum salah satunya melalui praktik pencucian uang. 108 Belakangan ini para koruptor menyadari bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan dan kapasitas yang cukup untuk melakukan pencucian uang hasil korupsi mereka. Sementara di sisi lain, koruptor menyadari kapasitas maupun kemampuan pencucian uang yang mereka butuhkan adalah kemampuan daripada pihak-pihak profesional seperti pengacara, notaris, konsultan, bankir dan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan koruptor akan cenderung memanfaatkan para profesional yang mereka sewa untuk

103

Ibid. Hal 23. Ibid. Hal 20. 105 Stephen Revell. (2009, Mei). Lawyers as “Gatekeepers”: Risk-Based Approach Guidance for Legal Professional. Makalah pada Seminar The Financial Action Task Force, Freshfields Bruckhaus Deringer LLP. 106 Emile van der Does de Willebois dkk. (2011). The Puppet Masters: How Corrupt Use Legal Structures to Hide Stolen Assets and What to Do About It. Washington DC: The World Bank. Hal 265. 107 Ibid. Hal 6. 108 Ibid. 104


membantu mereka melakukan pencucian uang. Koruptor akan memanfaatkan pihak-pihak profesional untuk membantunya menjadi sesukses mungkin dalam pencucian uang, sekaligus memastikan bahwa mereka dan aset-asetnya tetap pada posisi aman dimata hukum. 109 Para profesional yang terlibat inilah yang kemudian disebut sebagai gatekeeper atau orang yang dengan keahlian tertentu membantu dan memfasilitasi secara aktif dalam pencucian uang koruptor. Kejahatan yang dilakukan oleh gatekeeper sebagai profesional yang membantu dan memfasilitasi pencucian uang koruptor bisa dikategorikan sebagai kejahatan kerah putih. Karena upaya gatekeeper untuk membantu dan memfasilitasi pencucian uang koruptor ini merupakan kejahatan non fisik yang memanfaatkan adanya kedudukan atau jabatan yang ditempati oleh pelaku. 110 Gatekeeper yang membantu kliennya dalam melakukan pencucian uang, mereka bisa dikatakan sebagai pelaku pencucian uang. Hal ini mengingat definisi pencucian uang yang diartikan Weld sebagai setiap tindakan yang mampu mengubah uang atau harta lain yang diperoleh melalui aktivitas ilegal menjadi uang atau harta yang sah, sehingga tindakan ini mampu menyembunyikan ketidaksah-an uang atau harta tersebut. 111 Sebagaimana telah dibahas sebelumnya dalam definisi konsep white collar crime bahwa white collar crime terbagi menjadi beberapa tipologi tertentu. Kejahatan gatekeeper dalam membantu atau memfasilitasi kejahatan pencucian uang sendiri dapat dilihat sebagai professional occupational crime sebagaimana dikemukakan oleh Gary Green 112. Hal ini dikarenakan aktor-aktor gatekeeper sendiri merupakan pihak-pihak profesional yang dalam bekerja memiliki hak-hak khusus yang pada akhirnya hak tersebut justru dimanfaatkan dan dilihat sebagai kesempatan melakukan kejahatan dan kecurangan-kecurangan profesi untuk kepentingan pribadi mereka dan klien mereka. Seseorang dengan kemampuan profesional pada dasarnya memiliki berbagai standar operasi profesi serta kode etik dan hak-hak khusus yang

109

Christoph Pippel. Loc.cit. Hal 38. J. Mitchell Miller. Loc.cit. Hal 549. 111 Jean B. Weld. Loc.cit. Hal 37. 112 Brian K. Payne. Loc.cit. Hal 34. 110


melatarbelakangi pekerjaan mereka dan melindungi klien mereka. 113 Namun, nyatanya dalam konteks gatekeeper ini tak hanya klien yang terlindungi, keterlibatan aktifitas pencucian uang yang dilakukan oleh para profesional tersebut juga akan terlindungi oleh kode etik dan standar operasional tersebut. Standar profesi maupun hak-hak khusus yang dimiliki nyatanya bisa disalahgunakan untuk kegiatan-kegiatan curang gatekeeper. 114 Pihak yang harusnya membantu klien dengan keahliannya dan bekerjasama dalam upaya penegakan hukum ini, nantinya justru berada di sisi yang salah dimana keahliannya akan disalahgunakan untuk menyediakan jasa membantu kliennya untuk melakukan kejahatan pencucian uang. Dalam melakukan kejahatannya, pihak-pihak profesional biasanya akan memanfaatkan

kesempatan-kesempatan

khusus

yang

dimilikinya

untuk

melakukan kecurangan-kecurangan demi meraup keutungan finansial juga melindungi tindakan mereka dari penuntutan. 115 Dalam menjelaskan faktor-faktor pendorong kejahatan kecurangan, Cressey menemukan bahwa kejahatan ini didasari oleh tiga poin 116, poin yang pertama adalah tekanan finansial. Dalam lingkup kejahatan kerah putih, kejahatan dilakukan oleh orang-orang dengan keahlian profesi tertentu dan bukan dari kalangan dengan kelas ekonomi yang rendah. 117 Oleh karena itu, elemen tekanan finansial yang dimaksud dalam konteks gatekeeper ini bisa jadi berupa sifat keserakahan, pemenuhan gaya hidup dari gatekeeper. Siegel sependapat bahwa sebagian orang dapat terlibat dalam kejahatan hanya karena mereka membutuhkan sejumlah uang untuk mendukung gaya hidup mereka juga karena keserakahan. 118 Orang-orang dengan keserakahan ini akan mengambil jalan pintas dengan cara-cara kecurangan menyalahgunakan jabatan untuk meraup kekayaan pribadi. Begitu pula dengan pihak profesional seperti gatekeeper, mereka akan memutuskan untuk melakukan kecurangan dalam 113

Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. Hal 48. Brian K. Payne. Loc.cit. 115 David O. Friedrichs. Loc.cit. Hal 247. 116 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. 117 Larry J. Siegel. Loc.cit. 118 Ibid. 114


jabatannya guna memenuhi tekanan finansial yang dihadapi. Motif finansial sejauh ini memang bisa dikatakan menjadi salah satu tujuan dari para gatekeeper ketika mereka memutuskan untuk membantu pencucian uang koruptor. Hal ini sehubungan dengan upah yang pastinya akan lebih mahal jika pihak profesional ini memberikan jasa membantu pencucian uang klien korupnya. 119 Elemen kedua adalah rasionalisasi, pada subbab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Cressey mendefinisikan rasionalisasi sebagai suatu sikap maupun nilai-nilai etika yang memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan dan bisa melakukan pembenaran atas kejahatan yang dilakukannya. 120 Rasionalisasi ini bisa berupa pembenara-pembenaran atas kegiatan kejahatan yang gatekeeper lakukan sebelum memilih untuk melakukan kejahatan. Pelaku tidak akan merasa sebagai pelaku kejahatan, mereka akan menjustifikasi aktivitas kejahatannya. 121 Mereka akan melontarkan dalih-dalih bahwa kejahatan yang mereka lakukan berkaitan dengan tuntutan pekerjaan dan tidak ada korban maupun pihak yang dirugikan dari kejahatannya tersebut. 122 Cressey juga menjelaskan mengenai poin kesempatan sebagai elemen ketiga dalam kecurangan yang dilakukan penjahat kerah putih bahwa pelaku kejahatan kecurangan ini selalu memiliki keahlian dan kesempatan untuk melakukan kejahatan yang diperoleh melalui jabatan profesi yang diembannya. 123 Mustofa menambahkan bahwa ketika pelaku kejahatan tidak dalam posisi yang dibutuhkan oleh orang lain, maka ia tidak akan dapat menyalahgunakan jabatan yang dimilikinya untuk keuntungan pribadi. 124 Kebutuhan orang lain akan kemampuan dari jabatan yang dimiliki pelaku merupakan suatu awal bagaimana pihak gatekeeper ini akhirnya melihat kesempatan untuk meraup keuntungan dari adanya kebutuhan orang lain tersebut. Gatekeeper akan melihat bahwa dengan peran-perannya yang disalahgunakan dalam membantu kegiatan pencucian uang

119

John C. Coffee, Jr. Loc.cit. Hal 9. Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. Hal 46. 121 Jack W. Dorminey. Loc.cit. Hal 19. 122 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. 123 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. 124 Muhammad Mustofa. Loc.cit. Hal 58. 120


nyatanya bisa memberikan gatekeeper keuntungan finansial yang cukup menjanjikan. Faktor kesempatan lainnya juga dijelaskan Cressey bisa muncul dari lemah atau tidak adanya kontrol akan kejahatan memberikan kesempatan lainnya bagi pelaku. 125 Pelaku biasanya sadar akan adanya kelemahan kontrol dan paham bagaimana cara untuk melakukan kejahatan tersebut. 126 Kedekatan gatekeeper dengan sistem keuangan maupun hukum akan membuat gatekeeper lebih mudah mengidentifikasi kelemahan-kelemahan sistem kontrol yang bisa ia salahgunakan. Kebanyakan dari pelaku kejahatan kerah putih termasuk gatekeeper bahkan percaya bahwa mereka tidak akan tertangkap karena kejahatan yang mereka lakukan; mereka percaya bahwa mereka terlalu pintar untuk dideteksi oleh para penegak hukum 127.

125

Jack W. Dorminey. Loc.cit. Ibid. 127 Larry J. Siegel. Loc.cit. Hal 108. 126


BAB 3 METODE PENULISAN

3.1. Teknik Pengumpulan Data Dalam penulisan mengenai pencucian uang korupsi yang melibatkan peran gatekeeper ini, tujuan utamanya adalah untuk menjelaskan mengenai peran pihak profesional atau gatekeeper dalam pencucian uang hasil korupsi dan bagaimana kondisi yang dihadapi para profesional hingga akhirnya melatarbelakangi keterlibatan mereka dalam menjadi seorang gatekeeper pencucian uang koruptor. Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini adalah berupa data-data sekunder yang didapatkan melalui studi literatur dari berbagai hasil penelitian terkait yang sebelumnya pernah dilakukan. Studi literatur mulai dari pencarian data hingga analisis dilakukan mulai dari bulan Maret 2014 hingga November 2014. Kajian mengenai gatekeeper dalam pencucian uang hasil korupsi sendiri nyatanya masih sangat terbatas jumlahnya sehubungan dengan bahasan maupun istilah terkait gatekeeper sendiri masih tergolong baru. Selain dari kajian-kajian gatekeeper yang telah ada, data sekunder juga menggunakan berbagai penelusuran kasus-kasus terkait pihak yang diindikasikan sebagai gatekeeper pencucian uang koruptor di Indonesia. Seperti kasus dari pengacara Akil Mocthar, Notaris Djoko Susilo, Konsultan Pajak dari Asian Agri. Dimana, data-data tersebut paling banyak didapatkan melalui pemberitaan media online. Berbagai regulasi terkait dengan keberadaan gatekeeper dalam pencucian uang korupsi juga menjadi data sekunder dari penulis guna melihat bagaimana posisi aturan-aturan terkait pihak profesional yang memiliki andil dalam pencucian uang koruptor. Regulasi ini terdiri dari berbagai Undang-undang yakni Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang pencucian uang, Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, Undang-undang No 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Berikut adalah matriks berisi rincian data sekunder yang digunakan beserta kegunaannya dalam penulisan ini:


Tabel: Data Sekunder Penulisan No. 1.

Kegunaan

Data Paku Utama. (2013). Memahami Data Asset Recovery dan Gatekeeper.

digunakan

untuk

mengidentifikasi peran, modus, dan definisi gatekeeper. Data

juga

digunakan

mempelajari Waworuntu

untuk

kasus sebagai

Adrian salah

satu

contoh gatekeeper. 2.

Paku

Utama.

(2012).

Report Data

Gatekeeper 2012.

digunakan

untuk

melihat

bagaimana celah-celah penegakan hukum

yang

semakin

melanggengkan

keberadaan

gatekeeper. 3.

The Financial Action Task Force. Data (2013).

FATF

Laundering

Report: and

digunakan

Money bagaimana

untuk

kebutuhan

melihat koruptor

Terrorist untuk melibatkan pihak profesional

Financing Vulnerabilities of Legal dalam kejahatan pencucian uang Professionals. 4.

hasil korupsinya.

Stephen Revell. (2009). Lawyers as Data

digunakan

“Gatekeepers”:

Risk-Based bagaimana

Approach

for

Guidance

Professional.

untuk

melihat

profesi-profesi

yang

Legal termasuk dalam gatekeeper memiliki kesempatan atau hak khusus yang berisiko

dimanfaatkan

koruptor

dalam mendukung pencucian uang.


Tabel: Data Sekunder Penulisan (sambungan) No. 5.

Kegunaan

Data Emile van der Does de Willebois Data

digunakan

dkk (The World Bank). (2011). The bagaimana

untuk

melihat

profesi-profesi

yang

Puppet Masters: How Corrupt Use termasuk dalam gatekeeper memiliki Legal Structures to Hide Stolen kesempatan atau hak khusus yang Assets and What to Do About It.

berisiko

dimanfaatkan

koruptor

dalam mendukung pencucian uang 6.

Linda

Trianita.

‘KPK

Sebut Data digunakan untuk mempelajari

Mochtar Effendi Dekat dengan kasus Mochtar Effendi sebagai salah Akil’. (tempo.com – Desember satu contoh gatekeeper. 2013). 7.

Abdul Qodir. ‘KPK Siapkan Pasal Data digunakan untuk mempelajari Pencucian Uang untuk Muchtar kasus Mochtar Effendi sebagai salah Effendi’. (tribunnews – November satu contoh gatekeeper. 2013).

8.

Sugeng Triono. ‘Notaris Djoko Data digunakan untuk mempelajari Susilo Mengaku Palsukan Akte kasus Erick Maliangkay sebagai Jual-Beli

SPBU’. salah satu contoh gatekeeper.

(news.liputan6.com – Juli 2013). 9.

Irfan Fitrat. ‘Hakim Cecar Notaris Data digunakan untuk mempelajari Soal Rumah Istri Djoko Susilo’ kasus Erick Maliangkay sebagai (republika.co.id – Juni 2013).

10.

Undang-undang No. 2003 tentang Advokat.

18

salah satu contoh gatekeeper. Tahun Data

digunakan

untuk

melihat

apakah ada aturan mengenai hak kerahasiaan profesi dengan klien yang menguntungkan gatekeeper.

11.

Undang-undang No. 2 Tahun 2014 Data digunakan untuk melihat adanya aturan mengenai hak tentang Jabatan Notaris. kerahasiaan profesi dengan klien yang menguntungkan gatekeeper.


3.2. Hambatan Penulisan Dalam melakukan penulisan ini, penulis menemukan berbagai hambatan. Salah satunya adalah ketersediaan sumber literatur. Hal ini mengingat penulisanpenulisan maupun kajian terkait gatekeeper pencucian uang ini masih belum banyak dibuat terutama dalam sudut pandang kriminologi. Berbagai tulisan, penelitian dan kajian yang membahas gatekeeper adalah kajian-kajian hukum dan regulasi mengenai upaya agar pihak profesional terhindar dari pencucian uang koruptor. 3.3. Sistematika Penulisan BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab pertama berisi latar belakang masalah yang berisi penjelasan mengenai perkembangan kasus korupsi di Indonesia hingga dilakukannya pencucian uang. Dalam bab ini juga terdapat rumusan masalah serta gagasan kreatif yang pada akhirnya menjadi dasar dilakukannya penulisan ini. Dan terakhir, bab ini berisi tujuan serta signifikansi penulisan terkait hasil yang akan didapat dari dilakukannya penulisan tersebut. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisi hasil dari studi literatur penulis terkait topik penulisan. Mulai dari kerangka konsep yang membatasi analisis penulisan, kerangka teori yang mendasari analisis hasil temuan data, review penulisan terdahulu serta kerangka pikir yang menjadi alur analisis penulisan. BAB 3 METODE PENULISAN Pada bab ketiga berisi mengenai metodologi penulisan yang berisi mengenai teknik pengumpulan data, keterbatasan penulisan hingga sistematika penulisan.


BAB 4 ANALISIS Bab keempat ini berisi hasil temuan data dari penulisan. Kemudian, hasil penulisan tersebut dianalisis berdasarkan teori, kerangka konsep serta kerangka pikir yang telah dijelaskan pada bab kedua. BAB 5 PENUTUP Pada bab terakhir ini penulis memberikan kesimpulan dari hasil penulisan secara menyeluruh. Kemudian, penulis juga menyertakan rekomendasi yang dianggap perlu untuk melengkapi hasil penulisan tersebut.


BAB 4 ANALISIS

4.1. Peran Gatekeeper dalam Membantu Pencucian Uang Hasil Korupsi Dalam upaya menyembunyikan fakta bahwa kekayaan yang mereka miliki berasal dari kegiatan kejahatan, para koruptor akan menempuh berbagai cara guna mengamankan kekayaan mereka dari penegak hukum melalui praktik pencucian uang. 128 Sebagaimana telah dibahas sebelumnya mengenai definisi kejahatan korupsi oleh Nichols 129 dan Mustofa 130, kejahatan korupsi adalah kejahatan yang termasuk dalam white collar crime dan memliki tujuan keuntungan ekonomi atau finansial didalamnya. Dengan kondisi ini, maka tak mengherankan jika kejahatan korupsi juga pada akhirnya memunculkan kejahatan lainnya lagi yakni pencucian uang. Kejahatan pencucian uang akan dilakukan oleh koruptor guna mampu menggunakan hasil kejahatannya secara lebih leluasa dan untuk bisa menghindarkan aset-aset hasil korupsinya dari perampasan aset oleh penegak hukum. Studi yang dilakukan Paku Utama menunjukkan bahwa sekarang ini standar dan tingkat keamanan anti-pencucian uang dari lembaga keuangan dan penegak hukum sendiri sudah semakin canggih.

131

Kondisi ini kemudian

memaksa para penjahat untuk memanfaatkan pihak-pihak profesional dengan kemampuan dan akses khusus terhadap keuangan dan hukum dalam melakukan upaya pencucian uang hasil korupsinya. 132 Berdasarkan pada temuan Pippel, koruptor menyadari mereka tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk bisa melakukan pencucian uang yang mampu menjamin bahwa mereka dan asetnya akan aman dari canggihnya penegakan hukum. 133 Selanjutnya, mereka menyadari bahwa kapasitas maupun kemampuan pencucian uang yang mereka butuhkan 128

Susan L. Smith. Loc.cit. Philip M. Nichols. Loc.cit. 130 Muhammad Mustofa, Loc.cit. Hal 96. 131 Paku Utama. Loc.cit. Hal 135. 132 Ibid. Hal 139. 133 Christoph Pippel. Loc.cit. Hal 38. 129


adalah kemampuan daripada pihak-pihak profesional seperti pengacara, notaris, konsultan, bankir dan lainnya. Temuan FATF dalam FATF Report: Money Laundering and Terrorist Financing Vulnerabilities of Legal Professionals menunjukkan bahwa selain mengidentifikasi kemampuan pihak profesional dalam membantu pencucian uang, koruptor juga mampu mengidentifikasi celah-celah penegakan hukum dalam pekerjaan profesional. 134 Celah-celah penegakan hukum inilah yang mampu memantapkan pandangan para koruptor bahwa ketika mereka menyewa jasa pihak-pihak profesional untuk menjadi bagian dari elemen pencucian uang yang dilakukan, pihak profesional ini bisa menjamin bahwa pencucian yang dilakukan akan berjalan dengan efektif. Koruptor pun menyadari bahwa penggunaan pihak profesional dalam pencucian uang mereka tidak akan menimbulkan kecurigaan dari penegak hukum karena profesi mereka yang memberikan kesan kehormatan. 135 Pekerjaan dari pihak profesional yang menjunjung tinggi nilai integritas maupun kejujuran membuat penegak hukum tidak akan banyak memberikan perhatian kepada pihak profesional dalam rangka memerangi kejahatan pencucian uang. dari berbagai temuan FATF ini dapat dilihat bahwa umumnya koruptor memerlukan keterlibatan pihak profesional dikarenakan pihak-pihak ini dinilai mampu untuk memastikan bahwa koruptor dan asetnya akan jauh dari deteksi penegak hukum. Dikhawatirkan, hal ini juga akan menambah semakin banyaknya keterlibatan pihak-pihak profesional dalam pencucian uang koruptor. Selanjutnya, dalam

FATF Report: Money Laundering and Terrorist

Financing Vulnerabilities of Legal Professionals, FATF menggambarkan bahwa pihak profesional yang bersedia membantu pencucian uang atau disebut sebagai gatekeeper ini telah menjadi elemen ‘umum’ dalam skema pencucian uang yang kompleks. 136 Selain itu, FATF juga melihat bahwa hingga kini kemunculan skema pencucian uang yang menyertakan penggunaan pihak profesional atau gatekeeper

134

The Financial Action Task Force. Loc.cit. Hal 17. Ibid. Hal 34. 136 The Financial Action Task Force. Loc.cit. Hal 20. 135


untuk mencuci uang hasil kejahatan semakin meningkat. 137 Hal ini sejalan dengan pernyataan dari Direktur hukum PPATK, Fithriadi Muslim yang belum lama ini mengatakan bahwa angka para koruptor menggunakan jasa gatekeeper meningkat drastis. 138 Semakin maraknya penggunaan gatekeeper dalam skema pencucian uang yang kompleks ini menunjukkan kegentingan pihak-pihak penegak hukum untuk lebih memberikan perhatian kepada pihak-pihak profesional dalam upaya pemberantasan maupun pencegahan kejahatan pencucian uang. Secara umum, tugas dari gatekeeper dalam pencucian uang adalah untuk menciptakan suatu ilusi tidak bersalah bagi pihak yang menyewa jasanya, dalam hal ini koruptor. 139 Dalam menjalankan tugas-tugasnya tersebut, gatekeeper perlu memainkan berbagai peran dalam skema pencucian uang yang dijelaskan oleh beberapa peneliti masalah gatekeeper sebelumnya. Paku Utama menjelaskan dengan modal kemampuannya, mereka akan berperan sebagai arsitek dan pelaku proses pencucian uang guna menciptakan kondisi di mana para koruptor yang merupakan kliennya dapat terus mempertahankan dan menikmati perolehan hasil korupsinya secara sah dan membuat aset-aset tersebut tanpa menimbulkan kecurigaan maupun terlacak oleh aparat penegak hukum. 140 Kemudian, Pippel melihat bahwa gatekeeper berperan melayani kliennya dengan menyiapkan, memverifikasi, atau menilai hal-hal yang terkait dengan pencucian uang aset-aset koruptor beserta dengan dokumen-dokumen yang bersangkutan, gatekeeper juga merupakan pihak yang berperan sebagai teknisi transaksi yang bertugas merancang dan menyelesaikan tujuan klien mereka, tentunya dengan cara-cara yang curang. 141 Dengan dasar tersebut dapat dilihat bahwa upaya-upaya memutus hubungan antara koruptor atau klien gatekeeper dengan aset-aset ilegalnya tidak hanya dirancang oleh gatekeeper tetapi juga dijalankan oleh gatekeeper. Dalam menjalankan perannya dalam pencucian uang, gatekeeper akan banyak memanfaatkan penggunaan teknologi serta kedekatannya dengan sistem

137

Stephen Revell. Loc.cit. Donny Aprian. Loc.cit. 139 Paku Utama .Loc.cit. 135. 140 Ibid. 141 Christoph Pippel. Loc.cit. Hal 10. 138


keuangan

maupun

hukum. 142

Penggunaan

teknologi

ini

memungkinkan

gatekeeper meningkatkan kinerjanya dalam memberikan identitas palsu guna menyembunyikan informasi pribadi kliennya, teknologi juga mampu menghapus semua batas-batas dan yurisdiksi antar negara misalnya pada penggunaan sistem transfer yang kini hanya membutuhkan hitungan detik untuk mentransfer uang dari satu benua ke benua lain. 143 Sementara kedekatan gatekeeper dengan sistem akan mempermudah gatekeeper mengidentifikasi kelemahan-kelemahan sistem kontrol yang bisa ia salahgunakan. Kedekatan gatekeeper dengan sistem baik sistem keuangan maupun hukum, membantunya untuk mampu mengidentifikasi kelemahan penegakan hukum dan memanfaatkannya untuk disalahgunakan dalam pencucian uang. 144 Paku Utama mencontohkan seorang akuntan yang sadar akan kelemahan penegak hukum untuk melacak skema pencucian uang yang kompleks akan menciptakan banyak transaksi dan skema palsu yang membuat segalanya terlihat sebagai rangkaian transaksi yang sah. 145 Lain halnya dengan pengacara yang sadar bahwa setiap permasalahan hukum harus dijawab, akan melemparkan banyak masalah hukum dan menggugatnya ke lembaga penegak hukum agar penegak hukum terhambat dalam melakukan pelacakan aset karena telah terjebak dalam perang dokumen. 146 Berbagai contoh

yang dikemukakan ini setidaknya dapat

memberikan gambaran bahwa dalam menjalankan peran-perannya, gatekeeper akan mengidentifikasi terlebih dahulu kelemahan-kelemahan dari penegak hukum yang bisa ia jadikan kesempatan untuk keuntungan pribadi maupun keuntungan kliennya. Seseorang dengan kemampuan profesional seperti gatekeeper pada dasarnya memiliki berbagai standar operasi profesi serta kode etik dan hak-hak khusus yang melatarbelakangi pekerjaan mereka dan melindungi klien mereka. 147 Standar profesi maupun hak-hak khusus yang dimiliki nyatanya bisa 142

Paku Utama. Report Gatekeeper 2012. Op.cit. Hal 20 Ibid. 144 Ibid. 145 Ibid. Hal 21. 146 Ibid. 147 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. Hal 48. 143


disalahgunakan untuk melakukan kecurangan-kecurangan oleh profesi 148 seperti menutupi keterlibatannya dan informasi-informasi mengenai pencucian uang yang diketahuinya atas dasar kerahasiaan. Merujuk pada temuan Peter McNamee, Utama

mengatakan

bahwa

pengacara

dan

gatekeeper

lainnya

sering

memanfaatkan kerahasiaan yang diberikan berdasarkan aturan seperti kerahasiaan antara pengacara dan klien sebagai alat untuk menghindari penegak hukum dalam skema pencucian uang. 149 Sejauh ini gatekeeper pencucian uang akan menyembunyikan kejahatan yang dilakukannya dengan memanfaatkan hak kerahasiaan profesi yang hingga kini belum bisa ditembus oleh penegak hukum. Hal ini kemudian dikhawatirkan akan membuka ruang bagi kejahatan-kejahatan yang mengandalkan kerahasiaan profesional dan kliennya sebagai tameng dari jeratan penegak hukum. Di Indonesia, pihak-pihak profesional seperti pengacara dan notaris juga memiliki hak istimewa kerahasiaan sebagaimana yang dimaksud tersebut. Sebagai contoh berikut adalah aturan yang memperlihatkan adanya hak istimewa kerahasiaan di Indonesia, hal ini terscantum dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, khususnya pasal 19 dijelaskan bahwa: “1) Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. 2) Advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan Klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik Advokat.”

Begitu juga dengan pasal 16 ayat 1 huruf f Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris dijelaskan bahwa: “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;”

Dengan adanya ketentuan ini, nampak bahwa gatekeeper memiliki keuntungan bisa menyembunyikan keterlibatannya melalui perlindungan kerahasiaan klien yang diperoleh dari profesi mereka. 148 149

Brian K. Payne. Loc.cit. Paku Utama. Loc.cit. Hal 141.


Dengan dasar hak istimewa untuk menutupi kepentingan klien mereka, para gatekeeper juga memiliki hak untuk tidak mengungkapkan apa yang mereka benar-benar tahu tentang klien mereka. 150 Tim peneliti dari World Bank juga melihat bahwa ketika aparat penegak hukum berusaha untuk mengakses informasi yang dimiliki oleh gatekeeper, para gatekeeper seringkali menolak dan berusaha untuk membenarkan penolakan mereka untuk membocorkan informasi tersebut dengan menerapkan hak istimewa pengacara-klien (atau "hak istimewa profesional hukum"). 151 Kondisi ini memperlihatkan bahwa aturan hak istimewa yang dibuat untuk memastikan pihak profesional berintegritas dalam pekerjaannya justru berfungsi sebaliknya. Keberadaan aturan ini justru mampu dijadikan alat untuk melakukan justifikasi atas kecurangan-kecurangan yang gatekeeper lakukan atas jabatan profesinya. Jadi, dengan kata lain, gatekeeper dapat menggunakan aturan atau hak istimewa tersebut sebagai modus untuk melewati aturan pengungkapan atau pelaporan pada berbagai lembaga keuangan. Keterlibatan pihak gatekeeper dalam pencucian uang bisa dilihat dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia. Beberapa contoh kasus selanjutnya akan diuraikan secara singkat guna memperjelas peran-peran dalam pencucian uang koruptor. Kasus pertama yang akan dijelaskan adalah kasus pengacara Akil Mochtar yakni Mochtar Effendi. Mochtar diindikasikan sebagai gatekeeper oleh KPK 152. Dalam tribunnews.com dijelaskan bahwa KPK melihat Mochtar merupakan pihak pengendali jaringan pencucian uang hasil korupsi yang dilakukan kliennya yakni Akil Mochtar 153. Dari banyaknya aset-aset yang dimiliki Akil Mochtar, aset-aset mobil miliknyalah yang sejauh ini menjadi bukti paling mencolok untuk melihat upaya pencucian uang dan keterkaitan antara Mochtar Effendi dan Akil. Hal ini dikarenakan dari puluhan mobil milik Mochtar Effendi yang telah disita KPK diduga kepemilikan aslinya adalah milik Akil yang sengaja diatasnamakan orang lain untuk menghilangkan jejak kepemilikan harta hasil

150

Ibid. Hal 24. Emile van der Does de Willebois dkk. Loc.cit. Hal 6. 152 Abdul Qodir. ‘KPK Siapkan Pasal Pencucian Uang Untuk Muchtar Effendi’. http://www.tribunnews.com/nasional/2013/11/30/kpk-siapkan-pasal-pencucian-uang-untukmuchtar-effendi (diakses pada 9 Agustus 2014, pukul 11:01). 153 Ibid. 151


korupsi yang dilakukan Akil 154. KPK memang terkesan sangat yakin dengan peran Mochtar Effendi sebagai gatekeeper pencucian uang Akil, namun nyatanya hingga kini KPK juga masih kesulitan untuk membuktikan keterlibatan Mochtar Effendi tersebut 155. Hal ini memperlihatkan kita bahwa sekalipun penegak hukum sudah

bisa

mencium

pembuktiannya

pun

keberadaan

masih

sulit

gatekeeper dilakukan.

pencucian Kondisi

uang

inilah

namun

yang

bisa

menggambarkan secara nyata bahwa adanya celah-celah penegakan hukum yang diidentifikasi baik koruptor maupun gatekeeper dalam pencucian uang. Kasus lainnya yang bisa memberikan gambaran secara nyata akan peran gatekeeper adalah kasus dari Adrian Waworuntu, selaku penasihat investasi Grup Gramarindo yang telah dinyatakan bersalah atas kejahatan korupsi. 156 Kasus ini berawal dari Grup Gramarindo yang merupakan perusahaan ekspor menerbitkan surat permohonan kredit kepada Bank BNI dengan membawa surat jamianan dari beberapa Bank luar negeri. Namun, kemudian setelah disetujuinya permohonan tersebut oleh BNI, barulah diketahui bahwa dokumen kredit ekspor yang dibuat bersifat fiktif.

Total uang sejumlah Rp 1,7 triliun dengan cepat dihilangkan

jejaknya oleh Grup Gramarindo. Namun, karena skema pencucian uang yang digunakan tidak kompleks maka kemudian diketahui aliran dana kredit dari BNI ini terpusat di sekitar Adrian Waworuntu. 157 Adrian memang dinyatakan bersalah atas kejahatan korupsi, tetapi Utama melihatnya dengan cara berbeda, ia melihat bahwa

posisi

Adrian

sebagai

penasihat

Grup

Gramarindo

ini

sangat

memungkinkan untuk menjadikannya sebagai pemain kunci dalam skema pencucian uang hasil penipuan Grup Gramarindo. 158 Dari uraian singkat mengenai kasus Adrian Waworuntu tersebut, dapat dilihat bahwa seorang penasihat investasi dengan kemampuannya di bidang keuangan memungkinkan orang tersebut untuk menciptakan skema pencucian uang juga ikut menjalankan skema

154

Linda Trianita. ‘KPK Sebut Mochtar Effendi Dekat dengan Akil’. http://www.tempo.co/read/news/2013/12/01/078533759/KPK-Sebut-Mochtar-Effendi-Dekatdengan-Akil (diakses pada 9 Agustus 2014, pukul 11:15) 155 Abdul Qodir. Loc.cit. 156 Paku Utama. Memahami Asset Recovery dan Gatekeeper. Hal 165. 157 Ibid. Hal 170. 158 Ibid. Hal 168.


tersebut. Kemampuan semacam inilah yang bisa dimanfaatkan koruptor juga disalahgunakan oleh gatekeeper untuk memperoleh keuntungan mereka sendiri. Contoh kasus terakhir yang diambil adalah mengenai kasus dengan keterlibatan gatekeeper yang cukup banyak dalam pencucian uang koruptor . Kasus yang dimaksud ini adalah keterlibatan Notaris Djoko Susilo, yakni Erick Maliangkay yang disebut-sebut sebagai pihak kunci kepemilikan harta milik Djoko Susilo. Erick Maliangkay merupakan pihak yang mengurus berbagai pembelian aset-aset Djoko Susilo. Berbagai aset Djoko Susilo dibeli dan langsung diurus berbagai keperluan surat maupun aktanya oleh Erick. Tidak hanya itu, Erick juga diketahui melakukan pemalsuan beberapa akta jual beli Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) milik Djoko Susilo yang terletak di Kapuk Muara, Jakarta Utara dan Jalan Raya Ciawi, Bogor, Jawa Barat 159. Pemalsuan akta ini dilakukan Erick dengan cara memperkecil nilai pembelian aset dalam akta jual beli. Menurut Erick hal ini ia lakukan atas perintah Djoko Susilo160. Erick juga melakukan pemalsuan akta jual beli rumah Istri Djoko Susilo, Dipta Anindita di daerah Jakarta Selatan. Hal ini diperkuat dengan adanya kesaksian dari pihak Notaris lainnya yakni Aswendi Kamuli yang mengatakan bahwa Erick meminta blanko kosong akta jual beli dan kemudian Aswendi menyanggupinya karena menurut Aswendi hal tersebut lazim dilakukan antar notaris 161. Dengan diperolehnya blanko kosong tersebut Erick dapat dengan mudah memalsukan berbagai hal seperti memanipulasi nilai jual beli serta dapat dengan mudah mencantumkan nama pemilik aset tersebut yang sebenarnya seluruh aset adalah milik Djoko Susilo. Selaku notaris yang memiliki akses khusus terhadap pengurusan aset, Erick selanjutnya akan memanfaatkan akses dan keahliannya ini untuk melakukan berbagai kecurangan-kecurangan seperti memanipulasi angka jual beli, memanipulasi kepemilikan aset. Kecurangan ini jelas akan

159

Sugeng Triono. ‘Notaris Djoko Susilo Mengaku Palsukan Akte Jual-Beli SPBU’. http://news.liputan6.com/read/637999/notaris-djoko-susilo-mengaku-palsukan-akte-jual-belispbu (diakses pada 11 Agustus 2014, pukul 10:45). 160 Loc. cit. 161 Irfan Fitrat. ‘Hakim Cecar Notaris Soal Rumah Istri Djoko Susilo’. http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/06/18/molj5m-hakim-cecar-notaris-soalrumah-istri-djoko-susilo (diakses pada 11 Agustus 2014, pukul 15:11)


menguntungkan Djoko Susilo selaku klien koruptornya yang mencoba menutupi berbagai aset ilegalnya. Contoh-contoh kasus yang telah diuraikan secara singkat diatas bisa memberikan gambaran bahwa seorang profesional yang menjadi gatekeeper pencucian uang bisa berperan sangan aktif dalam membantu pencucian uang koruptor. Menurut Paku Utama dalam makalah Report Gatekeeper 2012, keterlibatan gatekeeper dapat terjadi pada setiap tahap skema pencucian uang, yaitu tahap placement, layering dan integration. 162 World Bank menemukan, bahwa gatekeeper merupakan pihak yang terlibat langsung dalam melaksanakan jenis transaksi keuangan tertentu atas nama klien mereka, seperti memegang rekening di lembaga keuangan dan bertindak atas nama klien mereka, untuk memindahkan maupun menyembunyikan hasil kegiatan ilegal kliennya. 163 Selanjutnya, bisa kita lihat dalam kasus Mochtar Effendi, ia diduga oleh KPK membantu Akil dalam menyamarkan aset Akil agar aset-aset ini nampak tidak ada hubungannya Akil Mochtar dengan dengan cara mengatasnamakan aset pada orang-orang terdekat Akil termasuk Mochtar Effendi sendiri. Membantu menyamarkan kepemilikan aset dengan mengatasnamakan orang lain ini bisa dikategorikan sebagai upaya layering yang didefinisikan Weld sebagai upaya pelapisan dana sehingga dapat menyembunyikan sumber asli pendapatan mereka. 164 Kondisi ini tak jauh berbeda dengan contoh kasus Erick Maliangkay, dijelaskan sebelumnya bahwa Erick membantu memanipulasi angka jual beli aset serta kepemilikan aset Djoko Susilo. Hal ini kemudian juga masih termasuk dalam fungsi gatekeeper untuk layering 165 pencucian uang. Dalam kasus Adrian Waworuntu nampak bahwa keterlibatan dalam pencucian uang hasil penipuan Grup Gramarindo sangat mungkin dilakukan oleh Adrian. Selaku penasihat investasi, Adrian kemudian menyediakan jasa membuat skema pencucian uang hingga menjalankan skema tersebut. Dalam kondisi ini dapat dilihat bahwa

162

Paku Utama. Report Gatekeeper 2012 Loc.cit. Hal 19-20. Emile van der Does de Willebois dkk. Loc.cit. Hal 265. 164 Jean B. Weld. Loc.cit. Hal 37. 165 Ibid. 163


Adrian terlibat dua pencucian uang sekaligus. Fungsi placement 166 di jalankan Adrian dengan membuat skema pencucian uang, dan menyiapkan rekeningrekening kerabat terdekat guna menempatkan hasil kejahatannya. Fungsi integration 167 dijalankannya dengan menggunakan uang hasil pencucian uang tersebut untuk investasi bisnis. Sejauh ini dalam ketiga kasus yang dijelaskan tersebut belum ada satu pun pihak yang bisa dijerat atas keterlibatan mereka dalam pencucian uang koruptor. Sejauh ini peran-peran gatekeeper untuk membantu dan memfasilitasi pencucian uang koruptor ini bisa dikategorikan dalam kejahatan dalam dimensi white collar crime sebagaimana definisi yang dijelaskan oleh Miller.

168

Hal ini

dikarenakan kejahatan yang dilakukan oleh gatekeeper pencucian ini dapat dilihat sebagai kejahatan non fisik yang memanfaatkan adanya kedudukan atau jabatan yang ditempati oleh pelaku. Aktor-aktor gatekeeper sendiri merupakan pihakpihak profesional yang dalam bekerja memiliki hak-hak khusus yang pada akhirnya hak tersebut justru dimanfaatkan dan dilihat sebagai kesempatan melakukan kejahatan 169 untuk kepentingan pribadi mereka dan klien mereka. Tersedianya hak-hak khusus dari profesi-profesi sah gatekeeper yang kemudian diartikan sebagai kesempatan tersendiri untuk melakukan kejahatan atau penyalahgunaan untuk melakukan kecurangan-kecurangan profesi menjadikan kejahatan ini selanjutnya dapat dilihat sebagai bagian dari kejahatan jabatan oleh profesi atau Professional Occupational Crimes menurut klasifikasi yang dibuat oleh Gary Green. 170 Jabatan profesional pada dasarnya memiliki berbagai standar operasi profesi dan hak-hak khusus yang melatarbelakangi pekerjaan mereka dan melindungi hak-hak klien mereka. 171 Namun, pada praktiknya, tak hanya klien mereka yang terlindungi, keterlibatan aktifitas pencucian uang yang dilakukan oleh para profesional tersebut juga akan terlindungi oleh hak-hak khusus dan standar operasional tersebut. Hak khusus yang awalnya digunakan untuk

166

Ibid. Ibid. 168 J. Mitchell Miller. Loc.cit. Hal 549. 169 David O. Friedrichs. Loc.cit. Hal 247. 170 Brian K. Payne. Loc.cit. 171 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. Hal 48. 167


menjamin integritas profesional 172 justru disalahgunakan untuk melakukan kecurangan-kecurangan dalam profesi. 4.2. Kondisi yang Mendorong Gatekeeper Membantu Pencucian Uang Menurut Cressey hal-hal yang mendorong seseorang untuk melakukan kecurangan-kecurangan atas jabatannya dikarenakan orang tersebut menemui tiga hal 173, yaitu 1) tekanan finansial, 2) rasionalisasi, dan 3) kesempatan untuk melakukan kejahatan. 174 Cressey menjelaskan poin pertama yang dimaksud sebagai tekanan finansial adalah adanya masalah keuangan dalam kehidupan pelaku yang mendorong pelaku memanfaatkan jabatannya untuk melakukan kecurangan dalam pekerjaannya agar mampu menutupi masalah keuangannya tersebut 175. Dalam lingkup kejahatan kerah putih, kejahatan dilakukan oleh orangorang dengan keahlian profesi tertentu dan bukan dari kalangan dengan kelas ekonomi yang rendah. 176 Sama halnya dengan gatekeeper, gatekeeper yang merupakan pihak profesional dan kejahatannya bisa termasuk dalam dimensi white collar crime kemungkinan besar bukanlah kalangan yang berasal dari kelas ekonomi rendah. Namun, dalam menjelaskan poin ini Cressey mencontohkan bahwa tekanan finansial yang bisa mendorong dilakukannya kejahatan yang dimaksud ini adalah masalah-masalah seperti keserakahan pelaku, juga kebutuhan pemenuhan gaya hidup pelaku. 177 Dalam konteks gatekeeper ini, dalam menjalankan kejahatannya gatekeeper akan didasari oleh adanya tekanan-tekanan finansial. Sebagian orang dalam kejahatan kerah putih dapat terlibat dalam kejahatan hanya karena mereka membutuhkan sejumlah uang untuk mendukung gaya hidup mereka juga karena keserakahan. 178 Orang-orang dengan keserakahan ini akan mengambil jalan pintas dengan cara-cara kecurangan menyalahgunakan jabatan untuk memenuhi kebutuhan finansialnya. Begitu pula dengan pihak profesional 172

Muhammad Mustofa. Loc.cit. Hal 89. Larry J. Siegel. Loc.cit. Hal 466 174 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. Hal 44 175 Ibid. Hal 44-45. 176 Larry J. Siegel. Loc.cit.. 177 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. 178 Larry J. Siegel. Loc.cit.. 173


seperti gatekeeper, meskipun pihak ini bukanlah termasuk dalam kalangan dengan latar belakang ekonomi kelas bawah namun mereka akan memutuskan untuk melakukan kecurangan dalam jabatannya guna memenuhi tekanan finansial yang dihadapi. Motif finansial sejauh ini memang bisa dikatakan menjadi salah satu tujuan dari para gatekeeper. Hal ini sehubungan dengan upah yang pastinya akan lebih mahal jika pihak profesional ini memberikan jasa membantu pencucian uang klien korupnya. 179 Coffee, Jr. menjelaskan bahwa gatekeeper akan menerima keuntungan yang diperoleh kliennya setiap gatekeeper berhasil mensukseskan upaya pencucian uang kliennya 180. Mengingat uang hasil korupsi yang akan dicuci jumlahnya tidak main-main, hal ini seakan memberi gambaran bahwa ketika seorang gatekeeper berhasil melakukan pencucian atas hasil kekayaan ilegal koruptor. Dengan ini, gatekeeper akan memperoleh keuntungan yang jumlahnya mampu memuaskan keserakahannya maupun menutupi kebutuhan pemenuhan gaya hidupnya. Meskipun adanya keuntungan besar yang akan diperoleh ketika seorang profesional menjadi gatekeeper pencucian uang, namun John R. Boatright menemukan bahwa tidak semua gatekeeper mau membantu pencucian uang kliennya. 181 Boatright menambahkan bahwa sebagian pihak-pihak profesional juga dalam menjalankan tugasnya masih menjunjung tanggung jawab moral untuk mempertahankan peran idealnya sebagai profesional. 182 Untuk mencapai peran idealnya, seseorang dengan profesi khusus seperti gatekeeper harus memiliki hati nurani dan integritas diri dalam melaksanakan tugasnya 183. Tanpa hal itu, peran gatekeeper justru akan berubah menjadi ancaman bagi upaya penegakan hukum. Karena nantinya mereka akan menjadi mitra dari koruptor, dan bukan mitra dari lembaga penegak hukum. Faktor dari hati nurani dan integritas ini akan menjadi permasalahan ketika terdapat sejumlah besar uang yang kerap kali ditawarkan koruptor pada gatekeeper untuk membantu pencucian uang koruptor, pada akhirnya batas antara integritas dan kepentingan klien akan menjadi lebih tipis. Pihak-pihak yang pada akhirnya memilih untuk 179

John C. Coffee, Jr. Loc.cit. Hal 9. Ibid. 181 John R. Boatright. Loc.cit. Hal 614. 182 Ibid. Hal 619. 183 Ibid. Hal 26. 180


memenuhi keserakahannya dibandingkan menjunjung nilai-nilai integritas profesi ini akhirnya akan melihat bahwa uang berbicara bahasa yang lebih universal dibandingkan dengan loyalitas. Mereka cenderung untuk meninggalkan peran yang ideal utama dari seorang “keeper”, yang memberikan bantuan kepada lembaga penegak hukum dan memastikan bahwa profesi mereka tidak sedang digunakan oleh penjahat. 184 Meskipun tidak semua profesional terlibat secara aktif dalam penyalahgunaan hak-hak istimewa untuk memudahkan pencucian uang para koruptor, namun penggunaan pihak profesional untuk membantu menyamarkan hasil kekayaan ilegal nyatanya masih menarik bagi para koruptor. 185 Selanjutnya, poin kedua yang dijelaskan oleh Cressey dalam menjelaskan latarbelakang seseorang untuk melakukan kecurangan-kecurangan atas jabatannya adalah rasionalisasi. Dalam bab 2 telah dijelaskan bahwa Cressey mendefinisikan rasionalisasi sebagai suatu sikap maupun nilai-nilai etika yang memungkinkan seseorang untuk melakukan tindakan kejahatan dan bisa melakukan pembenaran atas kejahatan yang dilakukannya. 186 Rasionalisasi sendiri bisa berupa pembenarapembenaran atas kegiatan kejahatan yang gatekeeper lakukan sebelum memilih untuk melakukan kejahatan. Pelaku tidak akan merasa sebagai pelaku kejahatan, mereka akan menjustifikasi aktivitas kejahatannya melalui dalih-dalih. 187 Mereka akan melontarkan berbagai dalih bahwa kejahatan yang mereka lakukan berkaitan dengan tuntutan pekerjaan, juga tidak adanya korban maupun pihak yang dirugikan dari kejahatannya tersebut. 188 Sebagaimana telah disebutkan dalam bagian analisis sebelumnya, Paku Utama melihat bahwa pekerjaan sah gatekeeper dengan pekerjaan curang gatekeeper sama-sama mengandalkan kemampuan dan akses khusus atas sistem keuangan maupun hukum yang dimiliki gatekeeper. 189 Hal ini pada akhirnya memungkinkan gatekeeper untuk merasionalisasi kejahatannya sebagai bagian dari pekerjaan sahnya dan tidak ada yang salah dengan hal tersebut. 184

Ibid. Ibid. Hal 23. 186 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. Hal 46. 187 Jack W. Dorminey. Loc.cit. Hal 19. 188 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. 189 Paku Utama. Report Gatekeeper 2012. Op.cit. Hal 20 185


Dalih-dalih atau rasionalisasi semacam ini memungkinkan pelaku untuk berpikir bahwa kejahatan yang dilakukannya bukanlah hal yang ilegal rasionalisasi inilah yang pada akhirnya justru membuat apa yang mereka lakukan seolah-olah merupakan hal yang dapat diterima dan sah-sah saja. 190 Keberadaan hak-hak khusus seperti hak kerahasiaan antara pihak profesional dengan klien juga bisa berpotensi memunculkan dalih-dalih bagi gatekeeper untuk bisa meloloskan diri dari jeratan penegak hukum. Justifikasi gatekeeper melalui adanya hak-hak khusus kerahasiaan sebenarnya sudah sedikit dibahas dalam analisis sebelumnya dalam menjelaskan modus gatekeeper. Payne sebelumnya telah menjelaskan bahwa standar profesi maupun hak-hak khusus yang dimiliki nyatanya bisa disalahgunakan untuk melakukan kecurangan-kecurangan oleh profesi 191 seperti untuk menutupi keterlibatannya dan informasi-informasi mengenai pencucian uang yang diketahuinya atas dasar kerahasiaan. Dengan dasar adanya hak khusus keahasiaan inilah akhirnya gatekeeper akan mampu menjustifikasi perbuatan bungkamnya jika dilakukan interogasi oleh penegak hukum agar bisa melindungi dirinya sendiri maupun aset-aset kliennya. 192 Mereka akan berdalih bahwa mereka tidak memiliki kapasitas untuk memberikan banyak informasi terkait kliennya karena adanya aturan mengenai kerahasiaan yang harus dijunjung oleh profesional, padahal di sisi lain mereka sedang dalam upaya untuk menutupi informasi kliennya dan berusaha untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Kemudian, poin terakhir mengenai aspek pendorong seseorang untuk melakukan kecurangan-kecurangan atas jabatannya menurut Cressey adalah poin kesempatan. Dalam kecurangan yang dilakukan penjahat kerah putih, pelaku kejahatan selalu memiliki keahlian dan kesempatan untuk melakukan kejahatan yang diperoleh melalui jabatan profesi yang diembannya. 193 Dalam konteks gatekeeper ini, kesempatan yang dimaksud ini sehubungan dengan keahlian, pengetahuan, dan akses khusus kepada sistem keuangan global, yang bisa dimanfaatkan keahlian profesional untuk menyembunyikan hasil korupsi.194 190

Muhammad Mustofa. Loc.cit. Brian K. Payne. Loc.cit. 192 Emile van der Does de Willebois dkk. Loc.cit. 193 Tommie W. Singleton dan Aaron J. Singleton. Loc.cit. 194 Paku Utama. Memahami Asset Recovery dan Gatekeeper. Loc.cit. Hal 142. 191


Kesempatan ini baru akan bisa disalahgunakan oleh gatekeeper ketika adanya kebutuhan koruptor untuk menyalahgunakan kemampuan gatekeeper. Mustofa menambahkan bahwa ketika pelaku kejahatan tidak dalam posisi yang dibutuhkan oleh orang lain, maka ia tidak akan memiliki kesempatan menyalahgunakan jabatan yang dimilikinya untuk keuntungan pribadi. 195 Kebutuhan koruptor akan kemampuan dari jabatan yang dimiliki gatekeeper akhirnya membuat gatekeeper melihat peluang kesempatan untuk meraup keuntungan demi memenuhi tekanan finansialnya sebagaimana dijelaskan sebagai poin utama pendorong dilakukannya kejahatan. Terlebih jika iming-iming upah yang ditawarkan koruptor agar gatekeeper bersedia untuk menyalahgunakan profesi sahnya demi kepentingan pencucian uang koruptor tersebut ditawarkan dalam jumlah yang besar. Faktor kesempatan lainnya juga dijelaskan Cressey bisa muncul dari kondisi kelemahan atau tidak adanya kontrol akan kejahatan memberikan kesempatan lainnya bagi pelaku. 196 Pelaku biasanya sadar akan adanya kelemahan kontrol dan paham bagaimana cara untuk melakukan kejahatan tersebut.197 Kedekatan gatekeeper dengan sistem keuangan maupun hukum akan membuat gatekeeper lebih mudah mengidentifikasi kelemahan-kelemahan sistem kontrol yang bisa ia salahgunakan. Utama melihat bahwa saat ini gatekeeper mengetahuibahwa pola pikir aparat penegak hukum di Indonesia pada umumnya masih berorientasi untuk menemukan tersangka. 198 Para penegak hukum sejauh ini akan lebih fokus untuk menjalankan upaya menemukan tersangka yang kemudian berujung pada penemuan aset dibandingkan menemukan aset untuk kemudian menemukan tersangka 199. Hal ini tanpa disadari akan berdampak negatif, karena para aparat penegak hukum terkait menjadi tidak berkutik dalam melacak aset dan tersangka saat hubungan antara aset, tersangka dan kejahatan yang dilakukan telah lebih dulu berhasil diputus dengan bantuan gatekeeper. 200 Sekalipun pelaku korupsi mampu diidentifikasi oleh penegak hukum, aset-aset

195

Muhammad Mustofa. Loc.cit. Hal 58. Jack W. Dorminey. Loc.cit. 197 Ibid. 198 Utama, Loc. cit. Hal 135. 199 Ibid. 200 Ibid. Hal 134. 196


dari koruptor tersebut masih mungkin berada dalam posisi aman karena kecepatan gatekeeper dalam upaya mencuci aset-aset perolehan korupsi kliennya. Gatekeeper yang dalam melakukan pekerjaannya yang ditunjang dengan kemajuan teknologi dan kedekatannya dengan sistem sejauh ini membuat gatekeeper berada di kecepatan yang sama atau bahkan lebih jauh di depan para penegak hukum. 201 Sementara, lembaga penegak hukum sejauh ini belum didukung oleh teknologi atau instrumen yang memadai, yang memungkinkan mereka untuk berada di kecepatan yang sama dengan gatekeeper. 202 Kebanyakan dari pelaku kejahatan kerah putih termasuk gatekeeper bahkan percaya bahwa mereka tidak akan tertangkap karena kejahatan yang mereka lakukan; mereka percaya bahwa mereka terlalu pintar untuk dideteksi oleh para penegak hukum 203. Untuk

bisa

lebih

efektif

lagi

dalam

melakukan

pencegahan

maupun

pemberantasan pencucian uang, penegak hukum perlu untuk setidaknya bisa berada dalam level yang sama dengan para gatekeeper. Penyertaan penegak hukum dengan teknologi maupun instrumen yang benar-benar bisa diandalkan dalam mengejar ketertinggalannya dari kemampuan gatekeeper juga perlu ditingkatkan. Kondisi ketertinggalan penegak hukum ini akan semakin membuat gatekeeper merasa ‘diatas awan’. Dari penjelasan mengenai analisis kondisi-kondisi yang mendorong dilakukannya kejahatan oleh gatekeeper dengan teori yang dikemukakan Cressey. Dapat disimpulkan bahwa dalam proses melakukan kejahatannya gatekeeper juga menemui kondisi-kondisi pendorong yang dapat dijelaskan dalam 3 aspek yakni tekanan finansial, rasionalisasi, serta kesempatan. Aspek tekanan finansial yang lebih berhubungan dengan sifat serakah dan sebagai pemenuhan gaya hidup gatekeeper akan mendorong gatekeeper untuk tidak lagi mementingkan integritas pekerjaan profesinya dan lebih memilih mementingkan sifat-sifat serakahnya. Aspek rasionalisasi memungkinkan para gatekeeper untuk melakukan justifikasi atas perbuatan curangnya tersebut, seperti dengan menganggap bahwa apa yang dilakukan adalah sebagaimana tugas pekerjaan sahnya. Justifikasi atas kerahasiaan 201

Ibid. Hal 20. Ibid. Hal 65. 203 Larry J. Siegel. Loc.cit. Hal 108. 202


klien dan profesi juga akan dilontarkan oleh gatekeeper ketika mereka dimintai keterangan oleh penegak hukum terkait upaya pemberantasan pencucian uang. Aspek terakhir adalah kesempatan, dalam analisis dijelaskan bahwa kesempatan gatekeeper untuk menyalahgunakan jabatan profesinya justru muncul dari kebutuhan klien koruptornya untuk mencuci uang dengan bantuan gatekeeper serta memberikan tawaran menarik untuk memperkaya gatekeeper. Selain itu, kesempatan yang muncul dari celah-celah penegak hukum juga diketahui oleh gatekeeper juga menjadi aspek pendorong gatekeeper berbuat kejahatan.


BAB 5 PENUTUP

5.1. Kesimpulan Jadi, peran-peran gatekeeper pencucian uang hadir seiring dengan kebutuhan para koruptor untuk mencuci uang hasil kejahatan mereka dengan bantuan profesional. Dalam lingkup kriminologi, peran-peran gatekeeper ini dilihat sebagai bagian dari professional occupational crime. Hal ini dikarenakan pihak-pihak profesional memiliki hak-hak khusus dari profesi-profesi sah gatekeeper yang kemudian diartikan sebagai kesempatan tersendiri untuk melakukan kejahatan atau penyalahgunaan untuk melakukan kecurangankecurangan profesi. Gatekeeper memainkan peran penting dalam segala tahap pencucian uang koruptor mulai dari memberikan saran, merancang skema pencucian uang, membantu menyelesaikan administrasi dengan birokrasi, manipulasi kepemilikan aset hingga hal teknis lainnya hingga membantu menghambat penegak hukum dalam mengudentifikasi pencucian uang yang ia lakukan bersama kliennya. Dalam menyembunyikan keterlibatannya dalam pencucian uang gatekeeper memanfaatkan hak kerahasiaan yang hingga kini belum bisa ditembus oleh penegak hukum. Dalam proses melakukan kejahatannya gatekeeper juga menemui kondisikondisi pendorong yang dapat dijelaskan dalam 3 aspek yakni pertama aspek tekanan finansial adanya kebutuhan yang mempengaruhi gatekeeper untuk memenuhi sifat serakahnya daripada menjunjung integritas profesinya. Yang kedua adanya aspek rasionalisasi, aspek ini bisa dimanfaatkan gatekeeper sebagai pembenaran atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan. Aspek yang terakhir adalah aspek kesempatan. Kemampuan profesional dari seorang gatekeeper seperti kedekatan dan akses terhadap sistem keuangan dan hukum memberikan kesempatan-kesempatan tersendiri untuk bisa disalahgunakan. Selain itu kemampuan gatekeeper untuk bisa mengidentifikasi kelemahan-kelemahan


hukum juga bisa menjadi kesempatan tersendiri bagi gatekeeper untuk semakin mendorongnya melakukan kejahatan. 5. 2. Rekomendasi Dalam melakukan upaya penegakan hukum yang lebih efektif atas praktik pencucian uang dengan bantuan gatekeeper, diperlukan adanya 1) komunitas pengawas profesi khusus yang berbasis anti pencucian uang dan untuk memastikan tidak adanya kejahatan profesi terutama terkait dengan tindak pidana pencucian uang hasil korupsi. 2) Pihak penegak hukum yang lebih tanggap dan didukung dengan teknologi canggih dalam melakukan perampasan aset negara dari tangan koruptor agar para penegak hukum tidak kalah cepat oleh para koruptor dan gatekeeper yang berusaha mencuci uang hasil korupsi mereka menjadi lebih sulit diidentifikasi. Penegak hukum juga perlu dilengkap regulasi yang mengatur sanksi tegas bagi pihak profesional yang terbukti terlibat dalam pencucian uang koruptor. Sebagai penyempurnaan dari penulisan tugas karya ilmiah dengan tema gatekeeper pencucian uang ini, penulisan tugas karya limiah selanjutnya bisa membuat tema-tema lebih spesifik dari macam-macam jenis profesional yang berperan gatekeeper pencucian uang.


DAFTAR PUSTAKA Buku Burke, Roger Hopkins. (2009). An Introduction to Criminological Theory. Oregon: Willan Publishing. Miller, J. Mitchell (ed). (2009). 21st Century Criminology: A Reference Handbook. California: SAGE Publications, Inc. Mustofa, Muhammad. (2010). Kleptokrasi: Persekongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White-Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana. Payne, Brian K. (2013). White-Collar Crime: The Essentials. California: SAGE Publications, Inc. Siegel, Larry J. (2012). Criminology, Eleventh Edition. Belmont: Wadsworth. Singleton, Tommie W. dan Aaron J. Singleton. (2010). Fraud Auditing and Forensic Accounting 4th ed. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. The Financial Action Task Force. (2006). The Misuse of Corporate Vehicles, Including Trust and Company Service Providers. France: FATF. Utama, Paku. (2013). Memahami Asset Recovery dan Gatekeeper. Jakarta; Indonesian Legal Roundtable. Willebois, Emile van der Does de dkk. (2011). The Puppet Masters: How Corrupt Use Legal Structures to Hide Stolen Assets and What to Do About It. Washington DC: The World Bank.

Jurnal Boatright, John R. (2007). Reluctant Guardians: The Moral Responsibility of Gatekeepers. Business Ethics Quarterly, Volume 17, Issue 4. ISSN 1052150X pp 613-632. Coffee, Jr, John C. (2003). The Attorney As Gatekeeper. Columbia Law School The Center for Law and Economic Studies. Working Paper No. 221. Dorminey, Jack W. dkk. (2010). ‘Beyond The Fraud Triangle: Enhancing Detterence of Economic Crimes’. The CPA Journal: July 2010. Friedrichs, David O. (2002). Occupational Crime, Occupational Deviance, and Workplace Crime: Sorting Out The Difference. Criminal Justice Vol. 2(3): 243–256; 025834. Handoyo, Sigit. (2008). Combating Corruption Relates Money Laundering Activities in Indonesia: A Hope and Reality. SINERGI Vol. 10.


Lim, Francisco Ed. (2004). Anti-Money Laundering Initiatives: Ramifications on The Legal Profession. Asean Law Association. Nichols, Philip M. (2012). Is There a Place for Rational Choice Theory in Understanding Corruption? The Wharton School of The University of Pennsylvnia. Pippel, Christoph. (2004). The Lawyer Gatekeeper: Is There a Need for a Whistleblowing Securities Lawyer? Recent Developments in The US and Australia. Bond Law Review: Vol 6: Iss. 2, Article 4. Shepherd, Kevin L. (2009). Guardians At The Gate: The Gatekeeper Initiative and The Risk-Based Approach for Transactional Lawyers. 43 REAL PROPERTY, TRUST AND REAL ESTATE LAW JOURNAL. Smith, Susan L. (2001). ‘The Fight Against Money Laundering: The U.S. Perspective’. Resource Material Series No. 58. UNAFEI Tokyo, Japan. Utama, Paku. (2011). Gatekeeper, Money Laundering, and Asset Recovery: Piercing The Riddle. Jurnal hukum internasional ”Opinio Juris” Volume 2: pp 2-12. Utama, Paku. (2013). Analisis Gatekeeper dalam Skema Korporasi Melihat Aplikasi Special Purposes Vehicle di Wilayah Secrecy Jurisdiction. Paper Focus Group Discussion "Kajian Hukum Atas Perluasan Pihak Pelapor Berdasarkan Pasal 17 Ayat 2 UU TPPU", 27-29 Juni 2013. Journal on AntiMoney Laundering. Weld, Jean B. (2011). Current International Money Laundering Trends And AntiMoney Laundering Co-operation Measures. 146TH INTERNATIONAL TRAINING COURSE VISITING EXPERTS’ PAPER. RESOURCE MATERIAL SERIES No. 83. Zagaris, Bruce. (2002). The Gatekeeper Initiative: An Emerging Challenge for Professional Advisors of International Business and Tax Matters. AntiMoney Laundering Audit and Compliance Forum.

Dokumen/Laporan Revell, Stephen. (2009, Mei). Lawyers as “Gatekeepers”: Risk-Based Approach Guidance for Legal Professional. Makalah pada Seminar The Financial Action Task Force, Freshfields Bruckhaus Deringer LLP. The Financial Action Task Force. (2006). The Misuse of Corporate Vehicles, Including Trust and Company Service Providers. France: FATF. Utama, Paku. (2012). Report Gatekeeper 2012. Makalah tidak diterbitkan.


Peraturan Undang-undang No 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris. Undang-undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Bahan Online Anti Corruption Clearing House. ‘Rekapitulasi Pengaduan Masyarakat’. http://acch.kpk.go.id/statistik (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:03). Anti Corruption Clearing House. ‘UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang’. http://acch.kpk.go.id/uu-no8-tahun-2010 (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:54). Aprian, Dony. ‘PPATK: Keterlibatan Gatekeeper dalam Kasus Pencurian Uang http://news.okezone.com/read/2013/08/28/339/857164/ppatkMeningkat’. keterlibatan-gatekeeper-dalam-kasus-pencurian-uang-meningkat (diakses pada 6 April 2014, pukul 18:33). Artika R, Putri. ‘Vonis Irjen Djoko akan dipakai KPK usut ‘gate keeper’. http://www.merdeka.com/peristiwa/vonis-irjen-djoko-akan-dipakaikpk-usut-gate-keeper.html (diakses pada 9 April 2014, pukul 12:24).Idhom, Addi Mawahibun. ‘Akibat Korupsi, Uang Negara Menguap Rp 168,19 triliun’. http://www.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996/AkibatKorupsi-Uang-Negara-Menguap-Rp16819-triliun (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:08). Center for Problem-Oriented Policing. ‘Use The Problem Analysis Triangle’. http://www.popcenter.org/learning/60steps/index.cfm?stepNum=8 (diakses pada 26 November 2014, pukul 22:30). Fitrat, Irfan. ‘Hakim Cecar Notaris Soal Rumah Istri Djoko Susilo’. http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/06/18/molj5m-hakimcecar-notaris-soal-rumah-istri-djoko-susilo (diakses pada 12 November 2014, pukul 17:46). Idhom, Addi Mawahibun. ‘Akibat Korupsi, Uang Negara Menguap Rp 168,19 triliun’. http://www.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996/AkibatKorupsi-Uang-Negara-Menguap-Rp16819-triliun (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:08). Indonesia Corruption Watch. ‘Anatomi Tindak Pidana Pencucian Uang’. http://www.antikorupsi.org/id/content/anatomi-tindak-pidanapencucian-uang (diakses pada 6 April 2014, pukul 17:15).


Maharani, Dian. ‘KPK Sebut Mochtar Effendi sebagai “Gatekeeper” Kasus Akil’. http://nasional.kompas.com/read/2013/11/30/0907001/KPK.Sebut.Moc htar.Effendi.sebagai.Gatekeeper.Kasus.Akil (diakses pada 6 April 2014, pukul 18:24). Qodir, Abdul. ‘KPK Siapkan Pasal Pencucian Uang Untuk Muchtar http://www.tribunnews.com/nasional/2013/11/30/kpk-siapkanEffendi’. pasal-pencucian-uang-untuk-muchtar-effendi (diakses pada 9 Agustus 2014, pukul 11:01). Setyadi, Arief. ‘Wow, Dalam 3 Tahun Akil Mochtar Cuci Uang Rp 161 http://news.okezone.com/read/2014/02/20/339/944188/wow-dalam-3M’. tahun-akil-mochtar-cuci-uang-rp161-m (diakses pada 6 April 2014, pukul 18:17). Suryana, Dede. ‘Abraham Samad: KPK Berhasil Menyelamatkan Rp 1.193 Triliun’. http://berita.plasa.msn.com/nasional/okezone/abraham-samad-kpkberhasil-menyelamatkan-rp1193-triliun (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:44). Trianita, Linda. ‘KPK Sebut Mochtar Effendi Dekat dengan Akil’. http://www.tempo.co/read/news/2013/12/01/078533759/KPK-SebutMochtar-Effendi-Dekat-dengan-Akil (diakses pada 9 Agustus 2014, pukul 11:15). Triono, Sugeng. ‘Notaris Djoko Susilo Mengaku Palsukan Akte Jual-Beli SPBU’. http://news.liputan6.com/read/637999/notaris-djoko-susilo-mengakupalsukan-akte-jual-beli-spbu (diakses pada 12 November 2014, pukul 16:09). Utama, Paku. ‘Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama Internasional’. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19356/terobosan -uncac-dalam-pengembalian-aset-korupsi-melalui-kerjasama-internasional (diakses pada 6 April 2014, pukul 16:38).


LAMPIRAN

KPK Siapkan Pasal Pencucian Uang untuk Muchtar Effendi Sabtu, 30 November 2013 21:17 WIB Laporan Wartawan Tribunnews.com, Abdul Qodir TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - KPK tengah menelusuri dan mendalami peran seorang saksi bernama Muchtar Effendi dalam rangkaian kasus dugaan korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Akil Mochtar selaku Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terkait penanganan perkara di MK. Sejauh ini, KPK menyimpulkan Muchtar Effendi berperan sebagai gate keeper atau pengendali jaringan atau palang pintu dari TPPU yang dilakukan Akil Mochtar terkait penanganan perkara di MK. "Ini modelnya bagaimana sih gate keeper ini. Jadi, kami akan klarifikasi, apakah dia menjalankan fungsi layering dari TPPU atau sama di-tracing uang hasil tindak pidana korupsi, atau ada juga bagian ME sendiri?" kata Bambang. Menurut Bambang, gencarnya penyidik KPK melakukan penyitaan dan penggeledahan dalam beberapa hari terakhir adalah bagian untuk mengungkap dugaan korupsi dan TPPU dilakukan Akil Mochtar selaku Ketua MK bersama Akil Mochtar. "Kalau dalam TPPU, dia (Muchtar Effendi) bisa menjadi bagian. Tapi kami belum keluarkan Sprindik (Surat Perintah Penyidikan). Kami harus kembangkan dulu. Berdasarkan pengembangan itu, baru nanti diputuskan dinaikkan tahapannya atau sebagai saksi. Kan belum diklarifikasi dan konfirmasi. Kesimpulannya kan dua alat bukti," tegas Bambang. Bambang mengakui, pihaknya sudah mendapatkan bukti petunjuk adanya aliran dana ke Muchtar Effendi terkait Akil Mochtar. Namun, hal itu belum bisa dijadikan dasar bagi penyidik untuk langsung menetapkan Muchtar Effendi sebagai tersangka. Sebab, penyidik perlu mengkonfirmasi dan mengklarifikasi Muchtar Effendi terkait aliran dana dan mobil-mobil yang disita. "Dugaannya seperti itu, tapi masih harus konfirmasi, klarifikasi. Kan masih harus tanya persis. Begitu ada pengembangan diambil dulu, amankan dulu. Biasanya orang-orang seperti ini membangun alibi karena keterangan biasanya enggak didapat sepenuhnya dari dia. Kan dia pasti mengelak tuh," ujarnya. Bambang menegaskan, KPK akan menetapkan Muchtar Effendi sebagai tersangka setelah memiliki dua alat bukti. "Sebaiknya saya tidak spekulasi. Tapi, mudahmudahan nanti penyidik setelah proses penggeledahan dan penyitaan lalu konfirmasi, klarifikasi ke pihak yang bersangkutan, dan menemukan bukti permulaan cukup, baru ditentukan statusnya untuk ME ini. Kalau buktinya cukup


kuat, mudah-mudahan penyidik dalam waktu segera melaporkan ke pimpinan," tukasnya. Sumber: http://www.tribunnews.com/nasional/2013/11/30/kpk-siapkan-pasalpencucian-uang-untuk-muchtar-effendi

Minggu, 01 Desember 2013 | 16:15 WIB

KPK Sebut Mochtar Effendi Dekat dengan Akil TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto mengatakan Mochtar Effendi memiliki kedekatan dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Muhammad Akil Mochtar. “KPK menengarai ME memiliki kedekatan dengan MA,” kata dia melalui pesan singkat, Ahad, 1 Desember 2013. Bambang mengatakan pihaknya saat ini tengah mengklarifikasi sejauh mana kedekatan antara Mochtar dan Akil. “Proses klarifikasi ini sedang terus dilakukan dalam penyidikan,” kata Bambang. Mengenai detail peran Mochtar dengan Akil dalam kasus dugaan korupsi suap penanganan pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi, Bambang enggan membeberkan lebih lanjut. “Untuk sampai pada kesimpulan yang utuh, akan dirumuskan dalam dakwaan.” Sementara itu, Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Prabowo menyebutkan peran Muchtar berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan bekas anggota DPR dari Fraksi Golongan Karya itu. KPK menduga puluhan mobil yang dimiliki Mochtar yang telah disita tadi malam merupakan milik Akil yang sengaja diatas namakan orang lain untuk menghilangkan jejak kepemilikan harta. “Divalidasi dulu, untuk memastikan keterkaitannya dengan Akil,” ujar dia. Sebelumnya, KPK telah menyita 26 mobil yang berkaitan dengan Akil Mochtar dari beberapa tempat yang berbeda. Johan menyebutkan sebagian besar mobil tersebut atas penguasaan Mochtar. Dari mobil-mobil yang disita KPK, ada 3 mobil yang diperoleh dari lelang Negara. “Mobil yang ber-plat merah, jenis Panther dibeli dari lelang,” ujar dia. LINDA TRIANITA Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/12/01/078533759/KPK-SebutMochtar-Effendi-Dekat-dengan-Akil


Notaris Djoko Susilo Mengaku Palsukan Akte Jual-Beli SPBU By Sugeng Triono on Jul 12, 2013 at 20:30 WIB Notaris kepercayaan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, Erick Maliangkay mengaku telah memalsukan akta jual beli Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang terletak di Kapuk Muara, Jakarta Utara dan Jalan Raya Ciawi, Bogor, Jawa Barat. Erick yang menjadi saksi dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait korupsi pengadaan alat Simulator SIM di Korlantas Mabes Polri itu, juga mengaku diperintahkan oleh Djoko Susilo yang kini menjadi terdakwa dalam kasus tersebut.

"Pembelian SPBU Kapuk Muara harganya Rp 11,5 miliar. Tapi di AJB (akte jual beli) cuma Rp 5,34 miliar. Kalau SPBU di Ciawi itu harganya Rp 10 miliar. Tapi di AJB dibuat Rp 1,89 miliar," kata Erick di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (12/7/2013). Ia menambahkan SPBU yang dibeli Djoko dari Nurul Aini Soekirno itu selama ini dikelola oleh mertua Djoko Susilo, Djoko Waskito. "Kalau SPBU di Ciawi itu dibeli (Djoko Susilo) dari Zeppy Sutjipto dan Zefry Sutjipto," kata Erick. Dalam surat dakwaan, jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pemalsuan akte jual beli SPBU, lahan, dan rumah Djoko Susilo sebagai upaya itu untuk menyamarkan asal usul harta kekayaannya diduga dari hasil korupsi. Selain Djoko Susilo, sejumlah politisi Senayan diduga juga ikut terlibat. Saksi Wasis Tripambudi mengakui pernah mengantarkan AKBP Teddy Rusmawan ke Plaza Senayan dan membawa 4 kardus. Operator komputer di Korlantas Mabes Polri itu pun kaget ternyata 4 kardus tersebut berisi uang dan diserahkan ke sejumlah politisi Senayan.

Pernyataan Wasis ini memperkuat kesaksian AKBP Teddy Rusmawan dalam sidang serupa beberapa waktu lalu. Kata Teddy, uang itu diberikan untuk jatah anggota DPR, Muhammad Nazaruddin Cs. Dalam pertemuan itu, hadir pula


beberapa anggota DPR, antara lain Aziz Syamsuddin (Partai Golkar), Herman Heri (PDIP), dan Bambang Soesatyo (Partai Golkar). Uang untuk memuluskan anggaran pendidikan Polri senilai Rp 600 miliar. Keempat politisi tersebut sejauh ini juga pernah diperiksa KPK. Namun, semuanya kompak membantah pernyataan Teddy Rusmawan di persidangan.

Sumber: http://news.liputan6.com/read/637999/notaris-djoko-susilo-mengakupalsukan-akte-jual-beli-spbu

Hakim Cecar Notaris Soal Rumah Istri Djoko Susilo Selasa, 18 Juni 2013, 23:00 WIB REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, mencecar notaris sekaligus Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Aswendi Kamuli. Ini terkait pengurusan akta jual beli rumah Istri Djoko Susilo, Dipta Anindita. Aswendi dinilai menyalahi prosedur karena sudah memberikan blanko kosong akta jual beli kepada notaris lain, Erick Maliangkay. Sekitar 2011, Erick tertarik untuk membeli rumah milik Baharatmo Prawiro Utomo di daerah Jakarta Selatan. Namun kenyataannya setelah membeli, rumah itu diatasnamakan Dipta Anindita. Aswendi mengatakan, Erick sempat memintanya untuk memberikan blanko kosong untuk pengurusan akta jual beli. Ia mengenal Erick sebagai PPAT di Jakarta Pusat. "Saya dapat order dari Erick, sesama rekan. Dia di (Jakarta) Pusat, saya di Selatan," kata Aswendi, saat menjadi saksi bagi terdakwa kasus dugaan korupsi simulator SIM dan tindak pidana pencucian uang, Djoko Susilo, Selasa (18/6). Majelis hakim mempertanyakan Aswendi yang memberikan blanko kosong akta jual beli pada Erick. Padahal, rumah yang dijual berada di wilayah kewenangan PPAT Jakarta Selatan tempat Aswendi bekerja. Aswendi mengetahui secara prosedur profesi tindakannya itu menyalahi aturan. "Dalam praktiknya itu sudah lazim dilakukan," kata dia. Menurut Aswendi, Erick yang mengisi data dalam akta jual beli di Jakarta Pusat. Kemudian, ia melengkapi akta jual beli rumah di Jalan Cikajang Nomor 18, Kelurahan Petogogan, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan itu. Mengenai blanko kosong, Baharatmo juga membenarkan. Ia menyatakan menandatangani akta jual beli dalam keadaan kosong. Itu terjadi ketika pembayaran pembelian rumah seluas 246 meter persegi itu sudah lunas.


Baharatmo mengaku masih awam dalam pengurusan jual beli, sehingga saat itu langsung tanda tangan. "Karena saya sudah terima pembayaran dan sudah memberikan dokumen sah," kata dia. Mengenai nilai uang dalam akta juga sempat dipertanyakan hakim. Dalam akta jual beli, tertulis nilai sebesar Rp 1,9 miliar. Padahal rumah dibeli dengan harga Rp 6,3 miliar. Hakim mencurigai nilai dalam akta jual beli itu karena akan berpengaruh terhadap pembayaran pajak. Baharatmo mengatakan, ia hanya mengikuti hitung-hitungan yang dilakukan Erick. "Asumsi saya, itu dari NJOP (Nilai Jual Objek Pajak)," kata Baharatmo. Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/06/18/molj5mhakim-cecar-notaris-soal-rumah-istri-djoko-susilo


UNIVERSITAS INDONESIA PERAN GATEKEEPER DALAM MEMBANTU PENCUCIAN UANG HASIL KORUPSI TUGAS KARYA AKHIR

Recommend Documents