UNIVERSITAS INDONESIA
PEMAKNAAN JILBAB SEBAGAI SIMBOL MELALUI MIND, SELF DAN SOCIETY OLEH ANGGOTA HIJABERS COMMUNITY
MAKALAH NON SEMINAR
DISUSUN OLEH RIANA DEWI (0906524753) RINI AYUNINGTIAS (0906524766) RR. ERINDIA DEVIANA (0906561603)
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA JURUSAN ILMU KOMUNIKASI FEBRUARI 2013 i Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
ii Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
iii Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
iv Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
v Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
vi Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan Semesta Alam yang telah memberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi kelompok berjudul Pemaknaan Jilbab sebagai Simbol melalui Mind, Self dan Society oleh anggota Hijabers Community (Studi Kasus Anggota Hijabers Community di Jakarta). Skripsi kelompok ini ditulis sebagai tugas akhir Mata Kuliah Metodologi Komunikasi 2 (MPK 2) yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Univeritas Indonesia. Dalam penyusunannya, banyak pihak yang telah membantu sehingga makalah non seminar ini dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1) Dr. Billy Sarwono, MA. yang merupakan dosen mata kuliah MPK 2 sekaligus pembimbing akademik kami dalam menyelesaikan skripsi kelompok ini. Ilmu dan bantuan yang beliau berikan sangat berarti dan bermanfaat bagi kami; 2) Drs. Awang Ruswandi, M.Si yang selama tiga setengah tahun ini menjadi pembimbing akademik kami. Terima kasih atas arahan, perhatian serta bantuannya sehingga kami dapat menjalani studi kami di kekhususan Jurnalisme dengan baik; 3) Orang tua kami, yang telah senantiasa mendoakan kesuksesan kami dan kelancaran dalam mengerjakan skripsi kelompok ini. Mereka yang senantiasa tak pernah lupa mengingatkan untuk menjaga kesehatan di saat kami harus selalu begadang menyelesaikan skripsi kelompok ini; 4) Teman-teman satu program studi atau kekhususan Jurnalisme angkatan 2009 yang selalu berbagi suka dan duka karena dikejar berbagai deadline selama tujuh semester ini. Kita telah akrab dengan deadline dan berbagai tugas produksi. Pun ketika mengerjakan skripsi kelompok ini, tugas-tugas lapangan dan deadline tugas tak pernah absen. Terima kasi untuk setiap canda, tawa, dan marah yang mewarnai hari-hari.
vii Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
5) Teman-teman jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI angkatan 2009 yang telah bersamasama mengarungi samudera Ilmu Komunikasi dan berjuang menyelesaikan skripsi kelompok ini bersama-sama. 6) Pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun karena keterbatasan tak dapat kami sebutkan satu persatu. Terima kasih untuk kalian semua.
Kami berharap skripsi kelompok ini dapat bermanfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan di Indonesia. Kami juga berharap penelitian ini dapat terus dikembangkan. Meski demikian, kami sadar bahwa skripsi kelompok ini masih memiliki banyak kekurangan. Untuk itu, kami sangat berharap ada kritik dan saran dari berbagai pihak sehingga penelitian ini dapat disempurnakan. Amin.
Depok, Februari 2013
Riana Dewi, Rini Ayuningtias, dan Rr. Erindia Deviana
viii Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
ABSTRAK
Nama
: Riana Dewi
Nama
Rini Ayuningtias
Nama
Rr. Erindia Deviana
Program Studi
: Jurnalisme
Judul
: Pemaknaan Jilbab sebagai Simbol melalui Mind, Self dan Society oleh anggota Hijabers Community
Jilbab dalam perkembangannya ternyata tidak hanya dimaknai sebagai simbol kepatuhan umat Muslim terhadap tuntunan agama. Jilbab juga dimaknai secara berbeda, yaitu sebagai simbol fashion, khususnya oleh anggota komunitas Hijabers di Jakarta. Perkembangan fashion di bidang jilbab telah membuat komunitas ini menyebarkan pemaknaan simbol baru mengenai jilbab.
Kata Kunci : jilbab, simbol, pemaknaan
ix Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
ABSTRACT
Name
: Riana Dewi
Nama
Rini Ayuningtias
Nama
Rr. Erindia Deviana
Study Program
: Jurnalisme
Title
: The Meaning of Hijab As A Symbol Through Mind, Self, and Society byThe Members of Hijabers Community
Veil in its development is not only meant as a symbol of Muslim adherence to their religious beliefs. Veil is also interpreted differently, specifically as a symbol of fashion, by members of the Hijabers Community in Jakarta. The developments of fashion in veil has made this community spread the meaning of the new symbol of the veil.
Keywords: hijab, symbols, meanings
x Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS...................................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................... iii KATA PENGANTAR .............................................................................................................. iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................................. vi ABSTRAK ................................................................................................................................ ix ABSTRACT ................................................................................................................................ x DAFTAR ISI ............................................................................................................................. xi PENDAHULUAN ................................................................................................................... 1 Latar Belakang .......................................................................................................................... 1 Permasalahan ............................................................................................................................ 2 KERANGKA TEORITIS ....................................................................................................... 3 Teori Interaksionisme Simbolik ............................................................................................... 3 Pikiran (Mind) ...................................................................................................................... 3 Diri (Self) ............................................................................................................................. 4 Masyarakat (Society) ........................................................................................................... 5
xi Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
ANALIS DAN INTERPRETASI ........................................................................................... 5 Diri (Self) dalam Memaknai Jilbab ........................................................................................ 5
Pikiran (Mind) dalam Memaknai Jilbab ........................................................................ 8 Masyarakat (Socitety) dalam Memaknai Jilbab ............................................................. 11 Mind, self dan society dalam memaknai jilbab sebagai simbol ..................................... 17 KESIMPULAN ............................................................................................................. 20 IMPLIKASI AKADEMIS ............................................................................................ 21 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 22
xii Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Pemaknaan Jilbab sebagai Simbol melalui Mind, Self dan Society oleh anggota Hijabers Community (Studi Kasus Anggota Hijabers Community di Jakarta) Jilbab dalam perkembangannya ternyata tidak hanya dimaknai sebagai simbol kepatuhan umat Muslim terhadap tuntunan agama. Jilbab juga dimaknai secara berbeda, yaitu sebagai simbol fashion, khususnya oleh anggota komunitas Hijabers di Jakarta. Perkembangan fashion di bidang jilbab telah membuat komunitas ini menyebarkan pemaknaan simbol baru mengenai jilbab. Kata kunci: jilbab, simbol, pemaknaan Komunikasi manusia berlangsung melalui pertukaran simbol serta pemaknaan simbolsimbol. Berbagai simbol dipertukarkan oleh manusia dalam interaksi sosialnya. Jilbab sebagai sebuah simbol telah mengalami perkembangan yang pesat dasawarsa ini Tradisi berjilbab merupakan fenomena yang kaya makna dan penuh nuansa meminjam istilah dari Geertz (Geertz, 1992). Jilbab telah menjadi keyakinan dan pegangan hidup. Ia juga dianggap merupakan bagian dari the great tradition yang ada dalam Islam. Jilbab sebagai simbol dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang signifikan. Mulai dari dekade 60an dan 70an, pandangan publik Muslim terhadap simbol Islam seperti jilbab atau melaksanakan ibadah salat di perkantoran, dianggap kurang begitu positif. Jilbab pada dekade-dekade itu bahkan dipandang sebagai simbol tradisionalisme dan kemunduran umat Islam. 1 Pada dekade itu, kota-kota besar di sejumlah negeri Muslim cenderung berwatak “sekular”. Jilbab belum merupakan mode di kalangan umat. Jilbab hanya dikenakan oleh kalangan Islam tradisional yang tinggal di perkampungan. Sementara di kalangan terpelajar Muslim di perkotaan, jilbab kurang begitu lazim dikenakan. 1
http://islamlib.com/id/artikel/islamisasi-ruang-publik
1 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Keadaan berubah total setelah kemenangan Revolusi Iran pada 1979. Sejak itu, gairah beragama di kalangan anak-anak muda Muslim di seluruh dunia Islam meruap. Gairah ini ditandai oleh antusiasme yang tinggi di kalangan anak-anak muda itu untuk belajar agama Islam kembali, serta menonjolkan dengan seluruh rasa bangga simbol-simbol keislaman yang kasat mata. Inilah era yang disebut sebagai revivalisme atau kebangkitan kesadaran Islam (dalam bahasa Arab disebut al-shahwa al-Islamiyya).2 Perkembangan penggunaan jilbab yang sangat pesat telah membawa perubahan dalam pemaknaan dari memakai jilbab itu sendiri. Jika awalnya memakai jilbab menjadi pengejawantahan
ketaatan
seseorang
terhadap
peraturan
terhadap
Tuhan,
perkembangannya memakai jilbab mencapai sisi lain dari fungsi berpakaian dalam Islam.
dalam 3
Permasalahan Sekarang ini, ruang publik di kota besar mengalami perubahan yang mencolok: jika dulunya simbol-simbol dalam keagamaan (dalam hal ini simbol agama Islam) kurang atau sama sekali absen, sekarang simbol-simbol itu berhamburan di ruang publik. Penelitian ini memilih untuk mengambil kasus di Jakarta karena di Jakarta, pemandangan serupa juga kita lihat. Di mall-mall yang mewah di Jakarta, kita sudah tak asing lagi dengan pemandangan perempuan berjilbab. Bahkan berjilbab telah berbaur dengan gaya hidup kelas menengah kota yang lain, seperti nongkrong di Starbucks atau bahkan di tempat karaoke keluarga seperti Inul Vista, misalnya. Pemandangan perempuan berjilbab yang bekerja di sektor profesional yang berkantor di Jalan Sudirman atau Thamrin, juga sudah menjadi santapan kita sehari-hari. Kini, jilbab pun dilihat sebagai simbol yang turut menjadi tren dalam dunia mode dengan berbagai sentuhan modifikasi. Jenis mode jilbab yang semakin beragam dengan corak, model dan aksesori pendukung menjadi daya tarik tersendiri bagi wanita muslimah. Gaya memakai jilbab menjadi lebih variatif. Memakai jilbab tidak lagi hanya sekadar menggunakan kain panjang yang menutupi sebagian atau seluruh tubuh. 2 3
http://islamlib.com/id/artikel/islamisasi-ruang-publik Rufaidah, Anne. Anggun berkerudung di Segala Kesempatan. Halaman 11. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Di Jakarta juga terdapat sebuah komunitas yang aktif mempertukarkan simbol jilbab yang dimodifikasi tersebut dalam interaksinya yaitu Hijabers Community. Komunitas muslimah yang dibentuk pada tanggal 27 November 2010 di Jakarta ini seringkali bertukar informasi mengenai cara
memodifikasi penggunaan jilbab sehingga menjadi lebih trend dan tidak ketinggalan
zaman. Mereka juga aktif melakukan kelas tutorial jilbab kepada masyarakat luas dengan harapan menghapus pandangan sebagian besar masyarakat yang selama ini menganggap bahwa wanita pemakai jilbab dicitrakan kuno, tua, kampungan. 4 Wadah komunitas wanita muslimah ini didirikan oleh 30 wanita berjilbab dengan latar belakang profesi dan kehidupan yang berbeda. Penelitian ini lebih lanjut ingin mencoba melihat bagaimana simbol jilbab yang dipertukarkan dalam interaksi dimaknai oleh anggota Hijabers Community melalui mind, self dan societynya. KERANGKA TEORITIS Teori Interaksionisme Simbolik Titik tolak pemikiran interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada didalamnya. Pada hakikatnya tiap manusia bukanlah “barang jadi” melainkan barang yang “akan jadi” karena itu teori interaksi simbolik membahas pula konsep mengenai “diri” (self) yang tumbuh berdasarkan suatu “negosiasi” makna dengan orang lain. Menurut George Herbert Mead, cara manusia mengartikan dunia dan dirinya sendiri berkaitan erat dengan masyarakatnya. Mead melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain dan masyarakatnya (society). Pikiran (Mind) Mead mendeskripsikan pikiran (mind) sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, dan Mead percaya bahwa manusia harus 4
http://analisis.vivanews.com/news/read/237510--berjilbab-bukan-berarti-kampungan-
3 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
mengembangkan pikiran melalui interaksi dengan orang lain. Dengan adanya interaksi, orang akan belajar mengenai norma dan aturan-aturan sosial yang berlaku di masyarakat. ada proses timbal balik yang berlangsung sepanjang masa antara pikiran (mind) dan masyarakat (society). Terkait erat dengan konsep pikiran (mind) adalah pemikiran (thought) yang dinyatakan oleh Mead sebagai percakapan dalam diri sendiri untuk mengatur makna dan mempertahankan pemikiran. Diri (Self) Mead mendefinisikan diri (self) sebagai kemampuan untuk merefleksikan diri kita sendiri dari perspektif orang lain. Diri (self) berkembang karena kita terus menerus melakukan lookingglass self, yakni membayangkan gambaran diri kita sendiri di mata orang lain. Cooley (1972) meyakini tiga prinsip pengembangan yang dihubungkan dengan cermin diri: 1. Kita membayangkan bagaimana kita terlihat di mata orang lain 2. Kita membayangkan penilaian mereka mengenai penampilan kita 3. Kita merasa tersakiti atau bangga berdasarkan perasaan pribadi ini Cermin diri ini memiliki implikasi terhadap konsep diri dan perilaku serta menimbulkan apa yang disebut dengan efek pygmalion yang merujuk pada harapan-harapan orang lain yang mengatur tindakan seseorang. Konsep diri (self concept) merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari makhluk hidup lainnya. Keunikan konsep diri pada setiap individu pun relatif berbeda-beda karena antara individu satu dengan individu lainnnya mempunyai pola pikir yang berbeda. Konsep diri terbentuk dan dapat berubah karena interaksi dengan lingkungannya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Menurut Mead, tubuh bukanlah diri dan baru menjadi diri ketika pikiran telah berkembang. Sementara disisi lain bersama refleksivitasnya, diri adalah sesuatu yang mendasar bagi perkembangan pikiran. Tentu saja mustahil memisahkan pikiran dari diri, karena diri adalah 4 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
proses mental. Namun, meskipun kita bisa saja menganggapnya sebagai proses mental, diri adalah proses sosial. Mekanisme umum perkembangan diri adalah refleksivitas atau kemampuan untuk meletakkan diri kita secara bawah sadar ditempat orang lain serta bertindak sebagaimana mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu menelaah dirinya sendiri sebagaimana orang lain menelaah dia (Ritzer, 2004). Masyarakat (Society) Mead mendefinisikan masyarakat sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Individu-individu terlibat di dalam masyarakat melalui perilaku yang mereka pilih secara aktif dan sukarela. Mead membagi masyarakat menjadi dua bagian penting yang mempengaruhi
diri
others dan generalized
dan
pikiran
seseorang.
others. Particular
Dua
others merujuk
bagian pada
itu
adalahparticular
individu-individu
dalam
masyarakat yang signifikan bagi seseorang. Sedangkan generalized others merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. ANALISIS DAN INTERPRETASI Diri (self) dalam Memaknai Jilbab Konsep diri berdasarkan Latar Belakang Partisipan Konsep diri sangat berperan bagi partisipan dalam memaknai jilbab. Diri menurut Mead adalah kemampuan untuk merefleksikan diri dari perspektif orang lain. Sedangkan menurut Brook (Rahmat, 1985), konsep diri merupakan persepsi mengenai diri sendiri, baik yang bersifat sosial maupun psikologis, yang diperoleh melalui pengalaman individu dalam interaksinya dengan orang lain. Penjelasan berikutnya akan mencoba memaparkan diri partisipan yang terbentuk akibat latar belakang partisipan. Konsep diri berdasar usia Diri bisa dipelajari dari cara orang lain melihat, memperlakukan dan melabeli diri partisipan. Berdasarkan konsep tersebut, partisipan sebagai pribadi yang berusia 24 tahun juga dilihat, diperlakukan dan dilabeli orang lain (khususnya oleh teman-teman dekatnya di Hijabers Community) sebagai pribadi yang seharusnya gemar mengikuti perkembangan zaman. Jika 5 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
partisipan tidak mengikuti perkembangan sesuai usianya tersebut, kritik dari temannya pun datang. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Partisipan saat ia memakai jilbab yang tak sesuai dengan perkembangan mode saat ini. “Cie Partisipan pake jilbabnya kaya embak-embak”...” “Bagi mereka tuh pakai ciput kaya gini tuh udah old school banget, udah jaman dulu banget gitu,” Konsep diri berdasar pekerjaan Diri juga muncul karena adanya pengharapan dari orang lain terhadap dirinya (pygmalion effect). Partisipan kini bekerja sebagai officer di bagian Human Resource Development (HRD) TOTAL. TOTAL merupakan perusahaan multinasional yang bergerak di bidang perminyakan dan gas. Berdasarkan pekerjaannya, orang lain mengharapkan diri partisipan sebagai pribadi yang dapat dengan mudah berinteraksi dan menjalani hubungan baik dengan orang lain karena posisinya sebagai HRD. Selain sibuk mengurusi urusan kantor, partisipan memiliki butik yang pengelolaanya dikerjakan secara bersama dengan temannya yang merupakan lulusan ESMOD. Partisipan ikut membantu dalam bidang marketing butik tersebut. Dalam butik tersebut, terdapat beberapa clothing line. Partisipan sendiri mempunyai clothing line bernama Mainland Heritage dengan konsep edgy. Clothing line miliknya lebih banyak menghasilkan produk baju muslim, seperti atasan, cardigan, dan celana. Ia sengaja memilih konsep edgy karena memang menyukainya, dan ingin beda dari yang sudah kebanyakan (soft dan motif bunga). “Edgy. Ya jadi edgy itu beda... lebih gothic, lebih agak maskulin sih jatohnya. Bukan yang bunga-bunga warna soft gitu... Kesibukan partisipan sebagai pemilik butik tersebut juga melatarbelakangi konsep diri partisipan. Sebagai pemilik butik, orang lain melihat, memperlakukan dan melabeli diri partisipan sebagai orang yang memiliki minat tinggi terhadap fashion dan selalu mengikuti dan memperhatikan perkembangan fashion yang ada. 6 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Konsep diri terkait pendidikan partisipan Selama partisipan mengenyam pendidikan, ia pernah tergabung dalam pendidikan keagamaan dan pendidikan non keagamaan. Mead (Pudjigjoyanti, 1988) menyatakan bahwa konsep diri (self) merupakan produk sosial yang dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman-pengalaman psikologis. Diri partisipan dibentuk melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman psikologis di pesantren dan di ITB. Saat di pesantren ia dibentuk sebagai orang yang harus taaat terhadap perintah agama. Lingkungan pesantren (particular others) mengharapkan diri partisipan mengenakan jilbab yang longgar, berwarna gelap, tidak transparan, mengenakan kaos kaki dan tidak membentuk badan. Hal ini dinyatakan oleh partisipan dalam wawancara. “...kalau di pesantren jilbabnya panjang, nutupin badan, harus longgar, pakai kaos kaki, ya warnanya jangan terlalu ngejreng.” Sementara itu, selama mengenyam pendidikan di ITB, partisipan tidak membatasi pergaulannya sehingga ia berteman dengan beragam kalangan. Namun, kebanyakan teman partisipan merupakan orang dari kalangan menengah hingga menengah ke atas. Pertemanannya dengan mereka membuat partisipan dilihat, diperlakukan dan dilabeli sebagai seseorang yang memiliki gaya hidup yang mengunjungi tempat-tempat kalangan menengah ke atas. Pemaknaan jilbab terkait konsep diri berdasar usia Partisipan di usianya yang ke-24 dilihat sebagai orang yang harus mengikuti dan memperhatikan perkembangan pakaian dan jilbab sesuai umur. Berdasarkan refleksi orang lain terhadap dirinya ini (looking glass-self), jilbab sebagai simbol pun dimaknai partisipan harus dapat disesuaikan dengan usia si pemakai. Jika pemakainya masih muda, seharusnya menggunakan jilbab yang sesuai dengan umurnya. Jilbab sebagai simbol dimaknai tidak boleh membuat pemakainya terlihat lebih tua daripada usia yang sesungguhnya. Berdasarkan pandangan dari orang lain tersebut, muncullah pemaknaan jilbab sebagai simbol yang tetap harus mengikuti perkembangan zaman yang ada dan tidak membatasi penggunanya, sehingga membuat terlihat tua atau old school.
7 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Pemaknaan jilbab terkait konsep diri berdasar pekerjaan Pekerjaan yang menuntut partisipan untuk menjadi pribadi yang bisa mudah berinteraksi dan menjalin hubungan baik dengan orang lain tersebut juga turut melatarbelakangi bagaimana partisipan memaknai simbol jilbab yang dikenakannya. Harapan orang lain (pygmalion effect) terhadap dirinya itu membuatnya memaknai jilbab sebagai simbol yang seharusnya dapat diterima dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas (particular others). Ia menganggap lingkungan pekerjaannya akan melihat dirinya sebagai orang yang aneh jika ia memaknai bahwa jilbab sebagai simbol harus diasosiasikan dengan menggunakan baju gamis, warna baju selalu gelap dan kerudung panjang. Maka, partisipan mulai memaknai bahwa jilbab haruslah tampak modis dan tetap rapi, juga bisa diterima oleh lingkungan pekerjaannya.
Pemaknaan jilbab terkait konsep diri berdasar pendidikan Harapan lingkungan pesantren terhadap partisipan (pygmalion effect) untuk dapat menjadi pribadi yang dapat mengenakan jilbab yang longgar, berwarna gelap, tidak transparan, mengenakan kaos kaki dan tidak membentuk badan ini turut melatarbelakangi pemaknaan partisipan mengenai jilbab. Saat itu, partisipan memaknai simbol jilbab sebagai suatu pakaian yang harus tertutup, tidak berwarna-warni, harus memakai kaos kaki dan tidak membentuk badan. Sementara itu, cara lingkungan di ITB melihat diri partisipan sebagai orang yang memiliki gaya hidup yang mengunjungi tempat-tempat kalangan menengah ke atas melatarbelakangi pemaknaan partisipan bahwa jilbab seharusnya tidak boleh membatasi ruang gerak partisipan. Bahwa pemakai jilbab seharusnya bisa bergaul dengan bebas kemana saja tanpa merasa jilbab yang dikenakannya tidak sesuai dengan tempat tersebut, termasuk ke tempat yang sering dikunjungi partisipan, yaitu tempat kalangan menengah ke atas. Karena tempat kalangan menengah ke atas biasanya diisi dengan orang yang biasanya memakai pakaian sesuai perkembangan zaman, maka partisipan pun merasa ia harus memaknai jilbab sebagai simbol fashion yang dinamis.
8 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
MIND (PIKIRAN) DALAM MEMAKNAI JILBAB Mind menurut Mead diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama. Dalam menggunakan simbol tersebut, individu harus mengembangkan pikiran mereka, dengan cara berinteraksi dengan individu lainnya. Cara partisipan berinteraksi dengan individu satu dan lainnya melatarbelakangi mind yang terbentuk mengenai simbol jilbab. Berdasarkan interaksi yang tercipta diantara lingkungan partisipan (particular others dan generalized others), partisipan kemudian melakukan simbolisasi mengenai jilbab dalam mindnya. Jilbab yang dikenakan partisipan sehari-harinya dianggap partisipan sebagai simbol agama dan juga simbol fashion.
Jilbab sebagai simbol kepatuhan terhadap kewajiban agama Partisipan menganggap bahwa jilbab merupakan simbol kepatuhan agama yang harus dijalankan oleh setiap wanita pemeluk agama Islam. Jilbab juga dirasakan oleh partisipan sebagai keharusan. Meskipun ia berada dalam sebuah acara penting yang mengharuskan ia untuk menggunakan jilbab, partisipan tetap akan mempertahankan jilbabnya. Begitupun juga saat partisipan berada dalam lingkungan dimana tidak banyak orang menggunakan jilbab. Partisipan tetap akan mempertahankan jilbab yang dikenakannya. Ini karena partisipan merasa jilbab merupakan kewajiban yang harus ditaatinya. Berdasarkan tuntutan agama yang ia pegang, jilbab juga bukan hanya sekedar menjadi alat untuk penutup rambut, tapi juga menjadi alat untuk menjilbabi hati dari segala perbuatan yang tidak baik. Seseorang seharusnya tidak hanya menjilbabi dirinya saja, tapi juga hatinya. Karenanya, menurutnya orang yang menggunakan jilbab seharusnya berperilaku baik menurut tuntunan agama Islam. Dalam berpakaian dan merias diri, orang yang mengenakan jilbab, tambah partisipan, seharusnya tidak boleh terlalu berlebihan. Orang yang mengenakan jilbab yang baik menurut 9 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
partisipan seharusnya menggunakan pakaian dengan warna-warna gelap dan harus benar-benar tertutup, memakai kaos kaki, tidak boleh menggunakan pakaian ketat ataupun legging. Pengetahuannya mengenai cara berpakaian ini didapatkan partisipan dari keluarganya dan didikan pesantren. “sebenernya pake jilbab itu tuh nggak boleh yang gonjreng-gonjreng, gitu… nggak boleh. Harusnya tuh yang item, jadi ada hadistnya… namanya apa ya? Jadi, jadi perempuan jangan berlebih-lebihan lah, dalam berpakaian, dalam berdandan, terus kalo aku ketemu tanteku „aduh kamu udah belajar masih aja kayak gini‟” “...kalau di pesantren jilbabnya panjang, nutupin badan, harus longgar, pakai kaos kaki, ya warnanya jangan terlalu ngejreng.” Jilbab sebagai fashion Dalam perkembangannya, partisipan ternyata tidak hanya menganggap jilbab sebagai sebuah simbol agama yang harus dipatuhi wanita pemeluk agama Islam saja. Pada awalnya, partisipan mengakui pengguna jilbab pada mulanya „kampungan‟ dan juga tidak gaul. Orang yang memakai jilbab juga biasanya terkucilkan dari pergaulan. Selain itu, menurut partisipan model-model jilbab yang ada dulu juga tidak bervariasi dari mulai motif dan warnanya, tidak mengikuti perkembangan fashion yang ada. Ini didukung dengan pernyataan partisipan saat wawancara. “...dulu kan kaya siapa sih orang pakai jilbab kan kaya dulu orang bukan kaya mengucilkan juga tapi kaya orang...Ya kampungan juga tapi tanda kutip gitu ya kita tuh kaya... Ya gak gaul gitu...” “Eeee, dulu tuh jilbab nggak bervariasi macemnya, dari motifnya, warnanya, kotak, atau motifnya segitiga terus gitu gitu kan… hanya itu.” Namun kini, partisipan menganggap bahwa sekarang orang yang mengenakan jilbab tidak perlu malu untuk datang ke acara fashion show, karena motif, warna dan pilihan jilbab saat ini sangat variatif dan membuat pemakainya merasa percaya diri untuk mengenakannya di berbagai kesempatan. 10 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
“...Kalau sekarang kan kita bisa cantik juga kok pakai jilbab dengan banyaknya pilihan baju yang ada, macem-macem warnanya gitu. Kalau menurut aku sekarang orang pakai jilbab udah pede banget udah sangat pede gitu. Dengan dia pakai jilbab dia nggak ngerasa minder kalau menurutku...” “...Kalo pandanganku sekarang itu dari motif, harga, terus warna itu lebih berani kalo menurutku, sekarang tuh kita mau ke mana ya, acara fashion show gitu, itu sekarang udah nggak malu…, karena sekarang pilihan jilbabnya udah ada yang motifnya edgy gitu, tinggal pake sepatu boots gitu-gitu. Sekarang, sekarang udah banyak variasinya, jadi tuh untuk setiap occasion tuh udah disediakan lah dari yang ada head piecenya, yang manik-manik, pokoknya kalo ke kondangan tuh udah ada piliha and jilbabnya kayak gini. Kalo menurutku itu sih pandanganku antara yang dulu ama sekarang, dulu nggak variatif.” Melihat perkembangan jilbab yang ada saat ini, partisipan menilai bahwa pemakai jilbab tetap harus memperhatikan tuntunan agama yang ada. Saat ini partisipan sendiri belum bisa mengikuti tuntutan agama secara keseluruhan seperti menggunakan pakaian yang gelap, menggunakan gamis, ataupun kaos kaki. Namun, menurutnya jilbab juga harus mengikuti fashion yang ada agar penggunanya dapat diterima dengan baik oleh lingkungan. “Kalo dari aku sih yang penting jangan ketat dulu aja, jangan pakai legging, menutup badan. Itu aja menurutku baju udah longgar menurutku, udah cukup.. gitu…Dan kita seiring berjalannya waktu, mulai pakai kaos kaki, pakai rok, jilbab panjang, kayak gitu…” “Ya kalau di pesantren jilbabnya panjang, nutupin badan, harus longgar, pakai kaos kaki, ya warnanya jangan terlalu ngejreng. Ya aku sadar kayak aku belum bisa dengan lingkungan aku ya, aku kayaknya masih belom bisa yaa udahlah ikutin lingkungan aja..” SOCIETY DALAM MEMAKNAI JILBAB Mead (1934) mendefinisikan masyarakat atau society sebagai jejaring hubungan sosial yang diciptakan manusia. Masyarakat, yang terdiri dari individu-individu ini, menurut Mead dibedakan menjadi dua bagian penting yang mempengaruhi pikiran dan diri seseorang, 11 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
yakni particular others dan generalized others. Particular others merujuk pada individuindividu
dalam
masyarakat
yang
signifikan
bagi
seseorang.
Sedangkan generalized
others merujuk pada cara pandang dari sebuah kelompok sosial atau budaya sebagai suatu keseluruhan. Dalam konteks ini, ada empat kelompok yang melatarbelakangi partisipan dalam pemaknaanya tentang jilbab. Kelompok pertama yaitu merupakan particular others bagi partisipan adalah Hijabers Community dan keluarga partisipan. Sementara itu, kelompok kedua adalah generalized others merupakan lingkungan pesantren dan lingkungan pergaulan partisipan sewaktu SMA dan kuliah.
Partisipan dengan particular others Partisipan dan Hijabers Community Partisipan merupakan pendiri sekaligus commitee Hijabers Community (HC). Terdapat 30 orang wanita muda yang menjadi pendiri HC. Mereka berkumpul karena memiliki kegemaran dan minat yang sama sebagai sesama fashion blogger muslim. Berawal dari buka puasa bersama, para fashion blogger ini kemudian melanjutkannya dengan obrolan-obrolan di grup Blackberry dan akhirnya lahirnya HC pada awal tahun 2011. Latar belakang pendiri HC sangat beragam. Namun, sebagian besar foundernya berprofesi sebagai fashion designer. Sedangkan partisipan yang bekerja sebagai karyawan perusahaan TOTAL ini juga mengakui bahwa kesamaan hobbi dan minat pada dunia fashion pada akhirnya menggiring anggota founder HC kemudian juga merangkap pekerjaan sampingan sebagai fashion designer dan memiliki bisnis butik atau clothing line. HC sendiri berpusat di Jakarta dan sejauh ini hanya memiliki dua cabang resmi yakni di Bandung dan Jogjakarta dengan pengurusnya masing-masing. Meski banyak tiruan model komunitas HC, namun hal ini tidak membuat anggota dan founder HC gelisah. Bagi mereka asal tidak menggunakan nama HC maka hal itu tidak menjadi masalah.
12 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Partisipan merasa HC merupakan pelopor bagi komunitas berjilbab dan trendsetter jilbab modis masa kini. Salah satu tujuan HC adalah mensyiarkan islam lewat fashion yang syari namun tidak ketinggalan zaman. Partisipan menilai bahwa sebagai anggota HC harus memberi contoh yang baik, memakai busana yang modis tapi tetap memperhatikan kesopanan dan kepantasan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh partisipan: “...mereka (Hijabers Community) nggak ada yang pake legging atau kaos yang benerbener ketat, tapi pake rok, pake gamis, yang menurutku sih masih santun, gitu. Asal nggak ketat, nggak nerawang, aku yakin kok temen-temen aku udah belajar untuk pake jilbab dengan bener, aku tau banget mereka selalu pengen lebih baik dari berpakaian.” Partisipan mengakui bahwa seiring dengan ketenaran HC, di masyarakat berkembang stigma negatif tentang HC yang dianggap sebagai “komunitas sosialita berjilbab”. Partisipan menganggap bahwa hal itu tidak sesuai dengan HC, karena kegiatan HC bukan sekedar “perkumpulan para sosialita” Partisipan mengakui bahwa selain hijab tutorial, HC memiliki banyak kegiatan sosial misalnya pengajian dan charity.Untuk itu mulai tahun ini, HC ingin menghapus stigma itu dengan memperbanyak pengajian dan charity. HC dan partisipan tidak terlalu menghiraukan tanggapan negatif tersebut. Partisipan menilai setiap orang punya pendapatnya masing-masing, jadi wajar jika ada perbedaan cara pandang. Partisipan tidak terlalu menghiraukan pendapat negatif tentang HC selagi ia merasa yakin yang dilakukan ia ataupun HC adalah hal yang positif. Di HC sendiri, diakui oleh partisipan ada semacam “tuntutan halus” untuk selalu modis dalam berjilbab. Ada ledekan dari teman-teman saat mengenakan jilbab konvensional. Bagi teman-teman partisipan di HC, jilbab konvensional sudah sangat ketinggalan zaman. Saat partisipan mengenakan jilbab yang konvensional tersebut, ia juga diledek seperti „mbak-mbak‟ “iya ini kan jadul banget, bagi mereka tuh pakai ciput kaya gini tuh udah old school banget, udah jaman dulu banget gitu...” Oleh karena itu, jilbab-jilbab konvensional hanya dikenakan oleh partisipan ketika di kantor saja. Ketika sedang berkumpul dengan rekan-rekan di HC, partisipan pun akan mengikuti gaya berjilbab yang modis untuk menyesuaikan diri dengan rekan-rekannya. 13 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Selain itu, partisipan mengakui bahwa keberadaan HC sangat signifikan dalam hidup partisipan. Ia merasa bahwa rekan-rekan di HC sudah menjadi semacam saudara baginya, bukan hanya sekedar rekan kerja di komunitas saja. Misalnya ketika partisipan baru saja mengalami patah hati, rekan-rekan HC lah yang menghibur dan menemani partisipan agar melupakan kesedihannya. Uuuh berharga bangeeet...bener deh gak tau deh kaya kemaren pas aku ada masalah mereka yang ngehibur...ya mereka bener-bener tulus ngehiburnya gitu padahal kan kita kaya baru kenal juga kan baru setahun tapi udah kaya saudaraku sendiri gitu. Ya mereka tulus lah mau bantuin aku kaya mau nemenin kemarin, karaoke bareng pas aku baru diputusin.
Partisipan dan Keluarga Partisipan memiliki keluarga yang cukup harmonis dan berpengaruh signifikan dalam kehidupannya. Selain itu partisipan juga bertasal dari keluarga ekonomi menengah atas. Orang tua partisipan tinggal di Jakarta. Partisipan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dan merupakan anak perempuan satu-satunya di keluarganya Partisipan memiliki latar belakang keluarga yang religius. Orang tua partisipan berusaha menanamkan nilai-nilai agama sejak kecil. Ketika SMP, orang tua memasukkan partisipan ke pesantren modern karena ingin memberikan landasan agama pada hidup ananknya. Selain itu partisipan juga mengakui bahwa pertemanannya dengan artis-artis cilik dan aktivitas sosialnya kala itu, misalnya ikut menjadi artis video klip, mendorong orang tuanya merasa perlu untuk membatasi pergaulannya. Eee..kalo masuk pesantrennya disuruh orangtuaku. Disuruh karena eee..nggak tau ya, ngeliat.. nggak tau sih mungkin pandangan orangtua pergaulan di Jakarta sebenernya nggak jelek-jelek juga, sih.. Tapi, kayak pengen dilandasin agama dulu mungkin. Jadi, yaudah masukin pesantren dulu.. getoo..
14 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Dari pesantren ini pula, partisipan akhirnya memakai jilbab. Meski awalnya merasa terpaksa dan ogah-ogahan yang ditunjukkan dengan kebiasaan lepas-pakai, namun akhirnya saat SMA partisipan telah yakin bahwa jilbab bukanlah sekedar penutup kepala namun identitas sebagai muslimah, sejak saat itulah partisipan merasa nyaman dan tidak lagi merasa terpaksa. Selain keluarga inti, keluarga besar partisipan pun merupakan keluarga besar yang religius dimana seorang wanita memakai jilbab itu dianggap sangat penting. Jadi, ketika ada salah satu anggota keluarga (tante) yang tidak memakai jilbab maka ia dianggap sebagai „anak bandel‟. Eeee……. Kalo background keluarga emang dari kakek-nenek eee… agamanya kuat.. Terus, emang ada yang bandel satu, tanteku.. Itu emang cuma dia yang ga pake jilbab. Yang lainnya tuh jilbabnya lebar-lebar, gitu.. Dan..oom aku yang celananya yang..cingkrang-cingkrang gitu, loh. Jadi emang harus, gitu. Emang cuma dia doang yang aneh sendiri. Masuknya sekolah Kristen, hehe.. gitu-gitu.
Meski keluarga besar partisipan tergolong dalam islam konservatif dengan ditandai jilbab-jilbab lebar yang dikenakan oleh mayoritas wanita dalam keluarga besarnya, namun hal ini tidak membuat keluarga besarnya menentang keberadaan partisipan di HC. Bagi keluarganya selama apa yang dikenakan partisipan tidak menerawang, tidak ketat, dan menutup aurat maka hal itu tidak menjadi masalah. Keluarga besarnya mendukung partisipan di HC bahkan beberapa saudara partisipan ada yang ingin bergabung dengan HC. “.. saudaraku dateng pas launching HC, sepupuku jadi pengen ikutan gitu.” Baik keluarga maupun Hijabers Community sebagai particular others sama-sama melatarbelakangi pemaknaan simbol jilbab pada diri partisipan. Keluarga dan Hijabers Community sebagai particular others juga turut mewarnai mind and self partisipan. Keluarga partisipan yang cukup religius, yang menanamkan nilai-nilai agama sejak dini membuat partisipan akhirnya berjilbab dan menyadari fungsi jilbab yang lebih dari sekedar tuntutan agama. Sementara HC sebagai sebuah komunitas tempat partisipan berkecimpung menanamkan
15 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
bahwa jilbab sebagai simbol tidak boleh menjadi halangan untuk terus berkreasi, terutama di bidang fashion. Partisipan dengan generalized others Generalized others menyediakan informasi mengenai peraturan, peran dan sikap dari seluruh masyarakat, juga memberi informasi kepada kita bagaimana cara orang lain bereaksi terhadap kita dan ekspektasi sosial secara luas. Dalam hal ini generalized others yang melatarbelakangi pemaknaan jilbab partisipan yaitu lingkungan pesantren, lingkungan SMA, lingkungan kuliah dan lingkungan masyarakat secara luas. Partisipan dengan lingkungan pesantren Partisipan pernah mengikuti pesantren sewaktu ia SMP, yaitu pesantren modern di Kuningan, Jawa Barat sewaktu SMP. Pesantren tersebut mencetak banyak penghafal Quran. Lingkungan pesantren partisipan untuk menyedikan informasi kepada partisipan berupa peraturan, peran dan sikap untuk menjadi orang Islam yang taat. Hal ini dilakukan dengan mengajarkan tata cara menggunakan baju dan jilbab yang benar sesuai tuntunan ajaran agama Islam. Partisipan dengan lingkungan pergaulan SMA dan kuliah Setelah lulus dari pesantren, partisipan mengikuti pendidikan non beragama. Ia masuk ke SMA negeri dan kuliah di ITB. Pergaulannya di SMA dan kuliah ini memberikan informasi beruapa peraturan dan ekspektasi sosial bahwa jilbab harus dimaknai sebagai simbol yang modis agar dirinya bisa diterima oleh lingkungan SMA dan kuliah tersebut. Partisipan dengan lingkungan masyarakat luas Setelah mengikuti Hijabers Community, partisipan mendapat reaksi beragam dari masyarakat luas. Banyak masyarakat yang merespons secara positif dan tak banyak juga yang merespons negatif. Respons positif membuat partisipan menguatkan pemaknaan jilbab yang sudah terbentuk ketika ia bergabung di HC bahwa jilbab adalah simbol fashion yang dinamis.
16 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Sementara itu respons negatifnya memberikan pemaknaan bahwa jilbab sebagai simbol fashion harus tetap menjunjung prinsip-prinsip dasar Islam, seperti menutup dada, tidak membentuk badan, tidak memakai legging saat perkumpulan HC. Ada juga respons negatif yang beranggapan bahwa HC hanyalah sekumpulan sosialita yang berjilbab. Demi menghapus anggapan ini, kemudian membentuk pemaknaan baru mengenai jilbab sebagai simbol bahwa jilbab harus dimaknai tak sekedar menjilbabi diri, tapi juga hati. Penggunanya harus berperilaku sesuai tuntunan agama Islam. Karenanya, partisipan pun aktif tergabung dalam divisi charity di HC yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat luas, seperti memberikan sumbangan pada penderita kanker. Mind, self dan society dalam memaknai jilbab sebagai simbol Mind, self dan society saling terkait satu sama lain dalam pemaknaan simbol jilbab oleh partisipan. Dalam rangka mencari tahu mengenai simbol jilbab (mind), lingkungan pergaulannya (society) memberi kontribusi yang sangat besar. Mind
tercipta karena interaksinya dengan
society tersebut. Konsep diri (self) juga terbentuk karena society dan turut menyumbang mind partisipan mengenai simbolisasi jilbab. Pemaknaan jilbab sebagai simbol oleh partisipan terkait mind, self dan society terjadi dalam enam tahapan: 1. Partisipan memaknai jilbab sebagai simbol kepatuhan agama yang harus dijalani oleh pemeluk agama Islam Dalam membangun pemaknaan ini, partisipan mengembangkan mind dengan
cara
melakukan interaksi dengan society, dalam hal ini yaitu keluarga inti (particular others). Keluarga juga memberikan kontribusi berupa konsep diri (self) bahwa partisipan sebagai perempuan dilihat, dilabeli, diperlakukan dan diharapkan untuk menggunakan jilbab, karena jilbab adalah sebuah keharusan menurut keluarga intinya. Interaksi melalui looking glass self dan pygmalion effect yang ada dalam keluarga inti partisipan menghasilkan pemaknaan bahwa jilbab adalah simbol kepatuhan agama yang wajib dijalani.
2. Partisipan memaknai jilbab sebagai pakaian dimana pemakainya tidak boleh terlalu banyak merias diri
17 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Dalam membangun pemaknaan ini, partisipan mengembangkan mind dengan berinteraksi dengan lingkungan pesantren (generalized others). Interaksi yang tercipta di dalam lingkungan pesantren menghasilkan pengetahuan baru mengenai simbol dalam mind yaitu tata cara berpakaian ketika menggunakan jilbab (harus berwarna gelap, tidak boleh ketat, tidak boleh legging, harus longgar tidak boleh menerawang dan harus menutupi dada). Tata cara berjilbab tersebut juga diharapkan oleh lingkungan pesantren (pygmalion effect) agar partisipan memaknai jilbab sebagaimana apa yang telah mereka ajarkan tersebut.
3. Partisipan memaknai jilbab sebagai simbol yang kuno, kampungan dan tidak gaul Pemaknaan ini terjadi karena interaksi yang tercipta ketika partisipan keluar dari lingkungan pesantren dan masuk ke lingkungan SMA (generalized others). Jilbab ternyata dimaknai sebagai simbol yang melambangkan orang yang kampungan, kuno, tidak gaul, tidak bisa bersosialisasi sebagaimana mestinya dalam lingkungan. Partisipan saat itu juga dilihat orang lain (looking glass self) sebagai diri yang tidak gaul karena baju yang ia kenakan merupakan baju sesuai tuntunan pesantren.
Hal ini turut
mengembangkan mind partisipan bahwa jilbab merupakan simbol yang kuno, kampungan dan tidak gaul.
4. Pemaknaan jilbab sebagai fashion
Perkembangan pikiran (mind) partisipan mengenai simbol jilbab sebagai fashion pada mulanya karena konsumsi informasi mengenai jilbab dan fashion dari dunia maya (fashion blog). Saat itu, partisipan melihat simbol jilbab dimaknai tidak boleh konservatif, namun dinamis, mengikuti perkembangan fashion yang ada.
Agar mendapat penerimaan sosial dari lingkungan yang lebih luas (particular others), partisipan pun lebih memilih untuk mengadopsi pemaknaan jilbab yang ada di dalam fashion blog tersebut.
18 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
Setelah melihat fashion blog tersebut, partisipan mulai mengubah gaya jilbabnya. Ia pun ikut pula menjadi fashion blogger. Ia mempertukarkan pemahaman simbol jilbabnya yang baru itu dengan cara mengunggah fotonya saat menggunakan pakaian dengan jilbab yang stylish di blog pribadinya. Ia juga melakukan interaksi melalui sesama fashion blogger. Dari interaksi ini simbol jilbab pun ternyata dimaknai secara sama oleh sesama fashion blogger. Mereka memaknai jilbab tidak hanya sebagai simbol kepatuhan beragama, namun juga harus tetap memperhatikan perkembangan mode yang ada.
5. Pemaknaan jilbab sebagai simbol keaktifan yang tak mengekang pemakainya Interaksi melalui sesama fashion blogger tersebut pun akhirnya diwujudkan tidak hanya secara virtual. Mereka pun melakukan kopi darat (bertemu secara langsung) dan akhirnya dari pertemuan tersebut terciptalah Hijabers Community (HC). Komunitas yang diikuti partisipan ini bertujuan untuk mengubah paradigma wanita berjilbab yang dipandang kuno, tidak gaul, atau kampungan menjadi wanita berjilbab yang aktif, modis dan dapat bersosialisasi dengan bebas layaknya wanita yang tak berjilbab. Karena tujuan HC ini pula yang membentuk mind dan self partisipan juga sama seperti apa yang diharapkan HC kepadanya. Mulai sejak itu, partisipan pun ikut memaknai simbol jilbab sebagaimana yang dimaknai dan dipertukarkan oleh teman-temannya di HC.
6. Pemaknaan jilbab sebagai simbol yang tak hanya menutupi tubuh tapi juga hati Pemaknaan jilbab sebagai simbol yang juga harus menutupi hati ini tercipta karena adanya interaksi dengan masyarakat bahwa jilbab harus dimaknai tak sekedar menjilbabi diri, tapi juga hati. Terdapat respons negatif bahwa HC hanyalah merupakan kumpulan sosialita berjilbab. Semenjak itu, HC ingin mengubah paradigma tersebut dan menjalankan tujuan bahwa di HC tak hanya sekedar menjilbabi diri tapi juga hati. HC sebagai particular others partisipan memberi sumbangsih yang besar dalam pembentukan mind dan self partisipan bahwa pengguna jilbab seharusnya tidak hanya menjilbabi dirinya tapi juga hatinya dengan cara berperilaku baik sesuai dengan tuntunan agama Islam.
19 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
KESIMPULAN Pemaknaan simbol yang dilakukan oleh individu tidak terlepas dari pengaruh pikiran (mind), konsep diri (self), dan juga lingkungan (society). Ketiganya berperan sangat penting dalam mengkonstruksi pemahaman terhadap beragam simbol komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, dalam hal ini simbol jilbab yang dikenakan oleh anggota Hijabers Community (HC), Wulandari Sofwan. Melalui pikiran, partisipan dapat memahami apa keyakinan dan pandangan pribadinya tentang jilbab dan bagaimana sikap yang seharusnya ia lakukan terhadap jilbab berdasarkan keyakinan yang ia pegang itu. Dengan kata lain, jika partisipan memiliki keyakinan bahwa menggunakan jilbab adalah perintah Tuhan, maka ia akan terus menggunakan simbol tersebut selama hidupnya. Partisipan juga mempersepsikan dirinya sesuai dengan pengalaman-pengalaman yang ia alami bersama orang lain. Dari beragam pengalaman yang dilatarbelakangi oleh usia, pendidikan, dan pekerjaan itu, ia membentuk pemahaman mengenai apa yang diharapkan atau tidak diharapkan orang lain kepada dirinya sehingga terbentuklah suatu pemaknaan baru terhadap simbol jilbab yang ia gunakan. Jilbab, bagi partisipan, tak lagi dikenakan dengan apaadanya, melainkan harus menyesuaikan dengan pandangan orang lain yang beranggapan bahwa jilbab haruslah mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, melalui lingkungan partisipan juga menciptakan jejaring sosial yang pada akhirnya akan turut mempengaruhi pikiran dan konsep dirinya. Dalam hal ini, tekanan sosial yang berasal dari lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanan berperan besar dalam membentuk penyesuaian nilai-nilai diri yang dianut oleh partisipan terhadap lingkungannya. Meski konsep-konsep ini terkadang bertentangan, ketiganya saling berhubungan erat dalam memaknai simbol komunikasi. Pada kenyataan di lapangan, manusia selama hidupnya akan terus berusaha menciptakan kondisi ideal di mana pikiran, konsep dirinya, dan lingkungannya menjadi sejalan.
20 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
IMPLIKASI AKADEMIS Dengan menggunakan teori interaksi simbolik, penelitian ini memberikan implikasi pada teori diri (self) dalam sudut pandang konsep diri. Artinya, individu belajar untuk memahami diri dengan menggunakan sebuah teori yang mendefinisikannya, sehingga pemikiran seseorang tentang diri sebagai person merupakan sebuah konsep yang diturunkan dari gagasan-gagasan tentang personhood yang diungkapkan melalui proses komunikasi. Namun, interaksi simbolik juga dianggap tidak cukup heuristik dalam menyelesaikan suatu permasalahan secara sistematis, sehingga memunculkan pemahaman yang minim. Para peneliti interaksi simbolik dianggap kurang terlibat dalam suatu proses penelitian, sehingga dalam menjelaskan konsep-konsep kunci dari observasi, teori ini pada akhirnya akan menyulitkan peneliti dalam melakukan revisi dan elaborasi. Interaksi simbolik dalam proses penelitian dianggap meremehkan ataupun mengabaikan variabel-variabel penjelas yang sebenarnya cukup penting, seperti emosi individu yang diteliti. Teori sosiologikal modern (Modern Sociological Theory) menurut Francis Abraham (1982) dalam Soeprapto (2007), menjabarkan teori interaksi simbolik ini sebagai perspektif yang bersifat sosial-psikologis. Teori peran (Role Theory) merupakan implikasi selanjutnya dari interaksi simbolik menurut pandangan Mead, di mana, salah satu aktivitas paling penting yang dilakukan manusia setelah proses pemikiran (thought) adalah pengambilan peran (role taking). Teori peran menekankan pada kemampuan individu secara simbolik dalam menempatkan diri diantara individu lainnya ditengah interaksi sosial masyarakat.
21 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA West, Richard & Turner, Lynn H. 2007. Introduction Communication Theory Analysis and Aplication, third edition, New York, McGraw-Hill. Rakhmat, Jalaludin. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Hennink, Monique, Inge Hutter, Ajay Bailey. Qualitative Research Methods. London:2011 Mulyana, Deddy dan Solatun, (ed.), 2007. Metode Penelitian Komunikasi; Contoh-contoh Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis. Remaja Rosdakarya, Bandung. EM Griffin. 2003 A First Look At Communication Theories. New York: Mc Graw-Hill. El Guindi, Fadwal. 1999. Jilbab: Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan. Jakarta: Penerbit Serambi.
Jurnal Dadi Ahmadi dan Nova Yohana. Konstruksi Jilbab sebagai Simbol Keislaman. 2005. Jakarta: DIKTI Yuyun W.I Surya. Citra Perempuan Islam Kontemporer: Representasi Perempuan Islam Dalam Sinetron Ramadhan. 2008. Surabaya: Universitas Airlangga.
Skripsi Herlambang Saleh. Jilbab sebagai Keyakinan: Sikap Pelajar SMA Negeri 14 Jakarta Terhadap Pelarangan Penggunaan Jilbab 1982-1991. 2010. Depok: FIB UI. Artikel Internet http://islamlib.com/id/artikel/islamisasi-ruang-publik
22 Pemaknaan jilbab ..., Riana Dewi et.al. ; FISIP UI, 2013