BAB I MENYINGKAP KONTESTASI MAKNA PARA HIJABERS
A. Latar Belakang Ini adalah studi kontestasi makna diantara pemakai hijab dan adu kuasa dibalik interaksi diantara pemakai hijab. Studi ini merujuk pada interaksi didalam komunitas hijabers Yogyakarta yang menamai diri sebagai Hijabers Community Yogyakarta. Perbedaan pandangan yang diteliti bersifat personal di dalam satu komunitas HC tersebut. Ada yang memakai hijab atas dasar kepatuhan dan langkah awal penegakan syariat. Dan oleh karenanya, HC dianggap oleh mereka sebagai media yang mengawasi tata cara berhijab dan bertingkah laku selayaknya muslimah. Pandangan ini akan dibahasakan dengan istilah logika syariat. Di sisi lain, ada pula yang memandang hijab sebagai media promosi produk-produk yang mereka jual. Mereka yang ada di sisi ini melakukan tindakan yang berorientasi bisnis. Sehingga HC diasumsikan sebagai pasar, tempat berkumpul dan bertemunya penjual dan pembeli. Komoditasnya tentu saja: hijab. Sebagai sebuah komunitas, Hijabers Community bisa jadi adalah sebuah medium pelembagaan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat modern. Dalam medium ini warga komunitas ini mengusung nilai tertentu, yaitu keutamaan menutup aurat dan pada saat yang bersamaan mengusung nilai estetika yang didiktekan oleh industri mode sedemikian rupa sehingga mengesankan tidak ketinggalan zaman. Kedua nilai yang biasanya jarang disangkut-pautkan, yakni menutup aurat dan mengikuti tren, nyatanya bisa dikaitkan secara simultan. Hasilnya, adalah tren berbusana muslim. Fenomena berhijab yang dulunya adalah sesuatu yang masih sangat jarang dan langka, sekarang menjadi sesuatu yang 1
sangat mudah ditemui. Fenomena yang dulunya hanya urusan orang-orang tua, sekarang justru menjadi tren dikalangan remaja putri. Memang, sejauh ini belum bisa disepakati apakah ada kaitannya dengan semangat menghijabkan remaja putri dengan pendekatan fashion ala HCataukah memang remaja putri Indonesia semakin taat pada agamanya. Yang jelas kiprah HC memberikan sebuah pemahaman baru yang tampaknya dapat diterima oleh kalangan remaja. Bahwa persoalan menutup aurat bukanlah hal yang menjauhkan mereka dari fashion, semangat mengikuti tren dan kesan trendi. Dengan semangat hijab modis, Hijabers Community hadir sebagai sebuah semangat baru sekaligus fenomena mengejutkan di seluruh pelosok Indonesia. Fenomena berhijab belakangan menjadi sebuah fenomena yang banyak diperbincangkan. Bukan hanya karena bentuk berhijabnya yang unik, tapi juga jumlahnya yang kian bertambah. Sebenarnya, meneliti orang yang berhijab bukanlah sesuatu yang tabu di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Data BPS tahun 2010 hampir 85 persen penduduk Indonesia beragama Islam (www.bps.go.id). Tidaklah aneh jika kemudian dengan mudah ditemui simbol-simbol maupun identitas keislaman yang ditunjukkan masyarakatnya. Masjid semakin banyak dibangun, pun tidak jauh berbeda dengan identitas keislaman yang diekspresikan penduduk muslimnya dengan berbagai cara. Memakai Jilbab salah satunya. Sebagai sebuah bentuk manfestasi dari kewajiban menutup aurat, benda ini berkembang dengan pesatnya sekarang. Dihampir tiap sudut keramaian dapat dengan mudah kita temui remaja perempuan, Ibu-Ibu bahkan balita yang mengenakannya. Baik secara
2
formal maupun casual. Walaupun telah banyak simbol-simbol keislaman yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya, Indonesia bukanlah Negara islam. Ekspresi keislaman yang ditunjukkan salah satunya dengan berjilbab ternyata mengalami pergeseran makna, bahkan cenderung dipertarungkan. Seiring perkembangan zaman, informasi yang begitu mudah didapat, sosial media yang beragam menyebabkan cara pemakaian jilbab menjadi lebih fashionable. Jilbab tidak hanya terpasang dan terbungkus tapi juga diberi aksesoris, ditambah topi, bermotif dan kadang berlapis-lapis. Bahkan, si pemakai Jilbab mengkampanyekan jilbab layaknya model. Mereka juga memiliki perlombaan sendiri. Tentu saja pesertanya harus memakai jilbab. Di beberapa daerah termasuk Yogyakarta, mereka mendeklarasikan diri sebagai komunitas yang mendapat perhatian luas: Hijabers. Anggotanya tentu saja mereka yang memakai Jilbab. Mereka saling memotivasi dan menggiatkan semangat berjilbab. Bagi yang telah berjilbab, mereka akan saling bertukar informasi tentang cara memvariasikan pemakaian jilbab. Jilbab tidak akan menghalangi orang untuk berekspresi dan berkreasi. Disisi lain, HC yang tumbuh pesat, justru ditanggapi dingin oleh komunitas muslim lain. Respon ini tidak diartikulasikan orang-orang yang berbeda agama, melainkan justru dari internal islam sendiri. Keanehan semakin nyata terlihat. Para perempuan dengan ideologi islam yang kuat dan ditengarai radikal seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang tentu saja berjilbab, justru tidak menjadi bagian dari komunitas Hijabers tersebut. Para perempuan HTI mengkonservasi diri dengan tetap berjilbab dengan „gaya lama‟. Tanpa aksesoris,
3
polos, simple, kebanyakan dari mereka memilih berjilbab hingga menutupi dada bahkan perut. Berbeda dengan anggota komunitas Hijabers, para perempuan HTI jauh lebih sederhana dalam mengekspresikan caranya memakai Jilbab. Sehingga tidak jarang para perempuan HTI justru tidak mau disamakan dengan komunitas Hijabers. Padahal mereka sama-sama sedang mengekspresikan keislamannya. Jilbab adalah identitas yang membedakan antara aku dan dia, antara kita dan mereka. Disini kita menyaksikan jilbab sebagai bentuk pertarungan identitas. Jilbab sebagai salah satu instrumen keislaman nyatanya mengalami pertarungan makna. Dengan kata lain, jika memang jilbab adalah simbol identitas keislaman yang diwajibkan dan telah ada sejak dulu mengapa ekspresinya kini berbeda-beda. Ada masyarakat yang mewakili pemakaian jilbab dengan gaya konservatif atau gaya lama. Ada juga sebagian masyarakat yang mewakili pemakaian jilbab modern. Perebutan makna ini tidak hanya diekspresikan melalui fashion, tapi juga melalui media, baik media cetak maupun elektronik. Di satu sisi, ada majalah yang mengatakan kalau jilbab yang benar adalah gaya lama, selain
daripada
itu
bukanlah
jilbab.
Bahkan
artikel
dalam
majalah
Ummimengatakan bahwa mereka yang memakai jilbab tidak mentupi dada sama dengan telanjang. Di sisi yang lain ada pula majalah yang mengkhususkan pembahasannya pada cara memakai jilbab yang gaul, dan lebih merepresentasikan fashion, bahkan di internet sangat mudah ditemui tutorial pemakaian jilbab dengan cara-cara kreatif tadi. Fenomena ini seolah-olah menegaskan bahwa jilbab telah
dikontestasikan
maknanya,
diperebutkan
secara
terbuka
dengan
menggunakan media-media yang ada. Jilbab adalah arena pertarungan makna
4
dimana para pejuangnya sama-sama memiliki interpretasi sendiri terhadap pemaknaannya atas cara memakai jilbab. Jauh sebelum jilbab mengalami perkembangan sepesat sekarang, jilbab dulunya sempat dilarang. Zaman orde baru-lah yang menerapkan peraturan tersebut. Sekolah melarang siswinya yang memakai jilbab untuk bersekolah di sekolah negeri. Mereka yang sebelumnya memakai jilbab diberi pilihan antara tetap bersekolah di sekolah negeri dengan melepas jilbab, atau tetap memakai jilbab namun harus pindah sekolah yang mentolerir pemakaian jilbab yang tidak lain adalah sekolah bernuansa islam. Oleh karenanya, jilbab masa itu adalah symbol perlawanan terhadap Negara1. Hanya mereka yang mempunyai keinginan yang kuat untuk tetap mempertahankan ekspresi keislamannya-lah yang gigih berjilbab. Sebelum orde baru tumbang, ternyata Soeharto turut memberi andil dalam pertumbuhan islam seperti sekarang ini. Sepolitis apapun alasannya, tetap saja
memberikan
dampak
yang
signifikan
terhadap
pertumbuhan
dan
perkembangan islam. Andil itu diawali dengan menyusutnya legitimasi terhadap dirinya. Didirikannya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) pada tahun 1990 menjadi awal kebangkitan islam sekaligusdianggap sebagian kalangan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan ditengah susutnya legitimasi itu. Seolah-olah ingin memperlihatkan rasa empatinya terhadap islam yang telah di perkosanya –melalui pelarangan penggunaan jilbab- maka ICMI adalah antiklimaks dalam menjawab hal tersebut. Bahkan anaknya yang akrab disapa Tutut
1
Lies Marcoes, 2004, Symbol of Defiance or Symbol of Loyalty?(http://www.qantara.de/webcom/show_article.php/_c-549/_nr-5/_p-1/i.html) dilihat pada 17 April 2013, pukul 21.45.
5
menjadi sering terlihat tampil di media televisi dengan menggunakan penutup kepala yang menyerupai jilbab2. Tidak berlebihan kemudian jika penulis menyebut bahwa sebelum orde baru tumbang, jilbab telah bisa diterima oleh rezim tersebut. Bergeser ke pasca reformasi, tidak ada yang melarang pemakaian jilbab. Ekspresi keislaman menjadi seolah-olah hal yang biasa ditemui. Wanita yang memakai jilbab belakangan tumbuh pesat. Namun perkembangan jilbab tidaklah statis, ia dinamis kadang juga cenderung politis. Peristiwa 11 September 2001 misalnya, ternyata berdampak keseluruh penjuru negeri. Terlepas dari isu konspirasi licik yang diduga sengaja dilakukan oleh Amerika Serikat, nyatanya Negeri Paman Sam mampu membuat dunia secara tidak langsung membenci islam. Pasalnya, pelaku serangan tersebut diduga orang islam garis keras, yang memiliki hubungan langsung dengan Al-Qaeda, jaringan yang pasca peristiwa 9/11 menjadi musuh besar Amerika Serikat. Jilbab sebagai ekpsresi keislaman tidak lepas dari ancaman rekonstruksi makna ini. Maka timbullah persepsi bahwa orang-orang yang berjilbab apalagi jilbab besar dan bercadar, adalah teroris. Pemaknaan ini terjadi begitu saja pasca peristiwa 9/11. Indonesia sendiri tidak lepas dari serangan teroris. Peristiwa Bom Bali tahun 2002 dan 2005 adalah dua rangkaian peristiwa besar dan menjadikannya bersejarah bahkan diperingati setiap tahunnya. Diluar dua peristiwa itu, bom di hotel JW Marriot dan kedubes Australia juga tidak bisa dipisahkan dari jaringan teroris. Ironisnya, Si pelaku utama yang telah dieksekusi ternyata memiliki istri 2
Elizabeth Raleigh, 2004, Jurnal: Busana Muslim dan Kebudayaan Populer di Indonesia: Pengaruh dan Persepsi, Universitas Muhammadiyah Malang.
6
dengan karakteristik memakai jilbab besar menutupi dada bahkan perut, bahkan menggunakan cadar dengan warna yang tidak begitu mencolok, biasanya hitam atau hijau tua. Hal ini seolah-olah menegaskan bahwa mereka yang berjilbab besar cenderung dekat dengan jaringan teroris baik nasional maupun internasional. Pasca reformasi pula, terutama pasca keluarnya UU No 33 2004 dalam ranah yang lebih lokal, masing-masing daerah diberi kewenangan untuk mengelola daerahnya sendiri. Dalam bahasa lain, sering disebut juga desentralisasi. Daerah mengeluarkan PERDA yang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Tidak terkecuali daerah dengan basis Islam yang kuat. Maka pasca reformasi, daerah seperti NAD, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan terbilang produktif dan aplikatif merancang perda syariat. Salah satu poin pentingnya adalah bagaimana
perda
tersebut
juga
mengatur
tata
cara
berbusana
masyarakatnya, yang tentu saja berdasarkan syariat islam. Jilbab menjadi kewajiban bagi penduduk setempat, karena telah disahkan secara hukum, dan sanksi bagi pelanggar aturan tersebut adalah sebuah keniscayaan. Dalam bidang pendidikan, Kampus-kampus yang bernuansa islam nyatanya mewajibkan mahasiswinya untuk memakai jilbab. Padahal memakai jilbab atau tidak adalah hak asasi, tepatnya hak untuk berekspresi. Namun lagi-lagi jilbab menjadi alat untuk pemaksa yang digunakan kampus terhadap mahasiswinya. Paksaaan ini termanifestasikan kedalam perilaku mahasiswinya yang terpaksa memakai jilbab karena kewajiban kampus. Jilbab bukan lagi simbol kepatuhan terhadap agama. Jilbab adalah kewajiban kampus yang diberikan kepada mahasiwinya. Sepulang
7
dari kampus, jilbab tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya. Jilbab tak ada bedanya dengan topi sekolah yang wajib dipakai ketika upacara. Jadilah jilbab itu dipakai seadanya, atau justru dengan mengada-ada. Kadang ada yang memakai jilbab namun poninya juga tidak mau ditutupi, sehingga justru rambutnya keluar. Hal ini menarik mengingat pada orde baru, kampus maupun sekolah, justru melarang pemakaian jilbab. Bendanya sama, Jilbab. Namun untuk urusan benda yang satu ini, pemerintah ternyata juga andil dalam mengkonstruksi. Orde Baru melarang, reformasi justru mewajibakan. Dulu Jilbab dilarang, sekarang jilbab diwajibkan. Jilbab adalah sebuah benda yang sarat akan makna nyatanya. Beberapa peristiwa diatas setidaknya cukup memberikan gambaran kepada kita bahwa secara sadar ataupun tidak, pemaknaan orang terhadap jilbab terus berubah seiring waktu. Pemaknaan atas suatu benda, baik berupa benda budaya atau simbol agama mengalami proses transformasi makna. Proses transformasi makna sendiri adalah hal yang tidak bisa dihindari karena manusia adalah makhluk yang tidak pernah berhenti berinteraksi satu sama lain (homo sapiens). Sedangkan dunia individu atau dunia manusia tadi adalah dunia yang dikonstruksi oleh aktivitas manusia. Dan oleh karenanya, prosesnya menjadi tidak stabil, cenderung dinamis, dan selalu berubah. Itulah sebabnya pemaknaan terhadap sesuatu terus dihasilkan dan dihasilkan kembali3. Proses
transformasi
sosial
semacam
ini
bukanlah
proses
yang
sembarangan. Menurut Ensiklopedia nasional Indonesia transformasi sosial adalah
3
Peter L Berger & Thomas Luckmann, 1991, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterjemahkan dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono) Jakarta: Pustaka LP3ES.
8
“Perubahan sosial yang menyeluruh dalam bentuk, rupa, sifat, watak, dan sebagainya, dalam hubungan timbal balik antar manusia baik sebagai individu-individu maupun kelompok-kelompok. Seringkali istilah transformasi sosial diartikan sama dengan perubahan sosial”4
Jelasnya, transformasi sejatinya adalah serentetan perubahan yang terjadi secara simultan yang menghasilkan bentuk, rupa, sifat serta watak baru. Sehubungan dengan hal itu, studi ini dilakukan atas dasar asumsi bahwa Hijabers Community (HC) adalah transformasi dari berbagai hal yang telah disebutkan diatas. Terbentuknya, dan dalam diri HC, telah terjadi serangakaian perubahan sosial. Perubahan ini melibatkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah “Timbunan kebudayaan, kontak dengan kebudayaan lain, penduduk yang heterogen, kekacauan sosial dan perubahan sosial itu sendiri”5.
Dalam transformasi sosial yang dialami HC terlibat berbagai dinamika, termasuk penduduk, teknologi, nilai-nilai kebudayaan dan gerakan sosial6. Menurut Agus Salim (2002) dalam perubahan sosial berlangsung dua proses, yaitu reproduksi dan transformasi7. Reproduksi diartikan sebagai proses mengulang-ulang, melahirkan kembali segala hal yang diterima sebagai warisan yang dibuat oleh individu terdahulu. Lahir dan berkembangnya HC niscaya melibatkan kedua hal itu. Di balik berkembangnya HC niscaya juga melahirkan dua aspek perubahan, yaitu material seperti benda dan teknologi, serta immaterial seperti nilai, norma, adat yang lebih bersifat non-benda. Sebagai bagian dari transformasi warga HC 4
Ensiklopedia Nasional Indonesia, 1991, Jilid 16, PT Cipta Adi Pustaka: Jakarta. H:422 Ibid 6 Mushlihin Al-Hafizh, 2012, Pengertian Transformasi Sosial,(http://www.referensimakalah.com/2012/11/pengertian-transformasi-sosial-html) dilihat pada 24 Mei 2013 pukul 07.05 pm. 7 Agus Salim, 2002, dalam Mushlihin Al Hafizh, 2012, Agus Salim, 2002, Perubahan Sosial, Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi Kasus Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana. 5
9
pasti terlibat dalam proses penciptaan sesuatu yang baru, yang juga dimungkinkan oleh ilmu pengetahuan atau teknologi. Menggejalanya HC menandakan adanya proses transformasi dalam keberagaman muslim di Indonesia. Proses transformasi ini nyatanya menyentuh bagian-bagian dan lini kehidupan manusia. Tidak terkecuali agama. Berangkat dari pemahaman Berger (1991), bahwa agama adalah lembaga sosial yang paling legitimate, aktualisasi keberagaman melalui hijab pasti mempertaruhkan legitimasi pula. Lebih dari itu, keberagaman itu sendiri melibatkan proses objektivasi, yakni proses pelembagaan segala aktivitas manusia baik fisis maupun mentalnya8. Artinya manusia menyadari bahwa sebagai makhluk yang dinamis mereka senantiasa berubah dan berkembang mengikuti perkembangan zaman. Kedinamisan itu juga dilakukan dalam rangka mempertahankan eksistensinya. Dan oleh karenanya, nilai-nilai yang mereka yakini benar harus dilembagakan. Yang didalam HC proses objektivasi itu diterjemahkan sebagai sebuah nilai baru: Hijab. Dimana berhijab dapat diterjemahkan berupa cara menutup aurat dengan gaya dan model kekinian. Transformasi yang dijalani ummat Islam dalam konteks ini terlihat tidak seragam. Dalam berhijab, terjadi objektivasi yang penampakan dan pemaknaanya berbeda. Adanya beragam bentuk orang mengekspresikan caranya beragama ini menarik untuk dikaji. Terlebih perbedaan itu tidak melibatkan komunitas yang berbeda, melainkan justru datang dari satu komunitas yang sama: HC. Perbedaan pemaknaan terhadap hijab itu datang dari masing-masing warga yang dinaungi 8
Peter L Berger & Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari) Jakarta: LP3ES.
10
HC. Pertama, mereka yang menganggap berhijab dengan gaya yang dipopulerkan HC adalah sarana menuju hijab yang lebih sempurna dan syar‟i. Dan oleh karena itu, bergabungnya mereka kedalam HC adalah sarana memperkuat keislaman sekaligus meningkatkan rasa percaya diri untuk konsisten berhijab. Disisi lain, ada pula mereka yang menganggap fenomena berhijab ala HC adalah fenomena baru yang menjanjikan keuntungan ekonomis. Fenomena baru ini dekat dengan dunia fashion, yang mau tidak mau mengikuti perkembangan zaman agar terkesan trendi dan modis. Hasil pemikiran dari mereka yang ada pada sisi ini melahirkan dampak yang berorientasi bisnis. Konkretnya, mereka masuk kedalam HC –atau turut mendirikan
HC-
demi
menjual
produk
yang
mereka
tawarkan
yang
termanifestasikan lewat pendirian butik hijab. Jika begitu, kalaulah didalam sebuah komunitas muslim saja telah terjadi objektivasi yang berbeda, apalagi jika ditelaah dalam skala yang lebih luas. Tentulah agak naif jika kita memaksakan bahwa hanya ada satu ekspresi religi dalam satu agama. Menariknya, jilbab tidak hanya berubah maknanya karena proses „alami‟ tapi juga karena otoritas-otoritas tertentu atau ideologi-ideologi tertentu yang memang kaitannya hampir tidak ada dengan masalah agama, dan tidak lebih dari sekedar motif ekonomi Negara kapitalis. Hal ini dibuktikan dengan menjamurnya industri fashion hijab di tanah air. Menurut Dirjen Industri Kecil Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian, Euis Saidah, terdapat 20 juta penduduk Indonesia yang menggunakan hijab. Hal ini selaras dengan peningkatan industri
11
fashion muslim tujuh persen setiap tahun9. Dalam hal ini, Pemerintah melalui Kementrian Perindustrian mendorong para remaja putri untuk mengembangkan bisnis ini. Salah satu bentuknya adalah dengan mengadakan kegiatan “Hijab Fashion Week” Bahkan dalam Visi jangka panjangnya, Indonesia di gadanggadang akan menjadi pusat sekaligus mode hijab di seluruh dunia10. Masih dalam perkembangan industri fashion, penggiat tren berhijab sekaligus desainer hijab yang sudah terkenal, Dian Pelangi juga menambahkan hal yang sama. Bahwa acara-acara yang diadakan semisal “Hijab fashion Week” adalah langkah untuk mendukung program pemerintah menjadikan Indonesia sebagai kiblat fashion berhijab. Tidak hanya pada level Asia, melainkan juga dunia. Tentu saja hal ini lebih mudah mengingat Indonesia sebagai Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia11. Maraknya kiprah HC adalah bagian dari proses transformasi sosial yang lebih luas, yang melibatkan hal-hal yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan agama. Hal-hal yang oleh kelompok lain dibenturkan satu sama lain, oleh HC justru dipertemukan. Berkembangnya HC sejalan dengan berkembangnya watak akomodatif para muslimah dalam mengekspresikan berbagai nilai yang mengepungnya. Dalam penelitian ini, peneliti membidik hal yang lebih spesifik: akomodasi. Penelitian ini berangkat dari dua titik yang saling bersebrangan lalu perlahan-lahan mengalami pergeseran sebelum akhirnya dipertemukan. Pertemuan 9
(http://www.kemenperin.go.id/artikel/4051/Mimpi-Indonesia:-Kiblat-Fashion-Muslim-Dunia), dilihat pada 11 Juni 2014 pukul 10.30 10 Ibid. 11 (http://female.kompas.com/read/2013/02/18/11093347/Hijab.Fashion.Week..Impian.untuk.Busan a.Muslim), dilihat pada 11 Juni 2014 pukul 10.45
12
itu dikuatkan dan dikembangkan menjadi sebuah fenomena baru, dan nilai-nilai didalamnya direproduksi secara simultan. Penelitian ini menarik karena seringkali kita hanya berhenti sampai pada tahap menyebutkan varian pemaknaan. Tidak jarang kita hanya puas sampai pada tahap pertentangan. Namun seringkali kita melupakan bahwa tahap akomodasi justru dilahirkan dari dua perbedaan kepentingan. Disinilah letak politis penelitian ini. Penelitian ini berangkat dari dua titik yang berbeda dan seolah-olah terpisah. Kedua hal tersebut kemudian mengalami pergeseran nilai yang justru melahirkan fenomena sosial baru dan menjadi poin penting kajian ini. Bahwa syariat dan bisnis adalah dua hal yang bisa dipertemukan dalam suatu titik: Hijabers Community. Apa yang dilakukan oleh HC dalam mengakomodasi dua perbedaan pemaknaan terhadap hijab itu adalah hal kadang tidak diperhitungkan.
B. Rumusan Masalah Sehubungan dengan berlangsungnya kontestasi makna hijab tersebut diatas, maka permasalahan yang hendak dijawab melalui penelitian ini adalahh: Bagaimana Hijabers Community mengakomodasi dua perbedaan pemaknaan antara logika bisnis dengan logika syar’I didalam tubuh HC sendiri ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan akar perbedaan pandangan dan pemaknaan orang terhadap hijab di dalam tubuh Hijabers Community. Perbedaan pemaknaan hijab itu disatu sisi terkait dengan bisnis, sedangkan disisi lain berpangkal agenda penegakan syariat. Melalui telaah konstruksi sosial
13
penelitian ini akan diperlihatkan bahwa komunitas Hijabers Community mampu menjadi jawaban sekaligus solusi atas perbedaan pemaknaan terhadap hijab, dan pada saat yang sama Hijabers Community mampu mengakomodasi kedua perbedaan tersebut. Diatas semua penjelasan itu, studi ini menunjukkan proses akomodasi yang terjadi merupakan alasan yang memungkinan individu melakukan konformiti.
D. Manfaat Penelitian Bagi peneliti, penelitan ini diharapkan mampu mengembangkan wawasan dan cara berfikir keilmuan yang telah didapatkan sebelumnya. Melalui penelitian ini, bisa tergambar bagaimana bekerjanya teori konformitas yang bisa saling bersinergi dengan watak akomodatif suatu kelompok atau lingkungan tertentu. Secara akademis penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran terhadap fenomena sosial baru yang ada di Indonesia soal semakin banyaknya orang yang berjilbab. Beberapa penelitian terdahulu terbilang telah membahas jilbab, namun hanya sebatas menjelaskan ragam dan variannya, tidak pada pertarungan dan akomodasi diantaranya. Bagi masyarakat luas, penelitian ini diharapkan bisa menambah perbendaharaan wawasan terkait soal pemaknaan orang terhadap jilbab. Sekaligus bisa menjawab pertanyaan yang mungkin diajukan terkait perbedaan cara dalam memaknai jilbab. Harapannya melalui penelitian ini, dapat ditarik benang merah bahwa setiap kontestasi selalu melahirkan akomodasi. Dan seperti itulah cara orang Indonesia menyelesaikan masalah.
14
E. Kerangka Teori Konformitas: E.1 Kontestasi dan Akomodasi Makna Watak akomodatif terjadi setidaknya karena ingin merangkul pihak-pihak yang bertentangan dan bersebrangan. Dari kedua hal tersebut diambil titik terdekatnya, lalu perlahan dipersatukan. Corak serta watak akomodatif bisa tergambar dari perilaku individu maupun kelompok yang diikutinya. Misalnya, individu yang memiliki watak akomodatif cenderung lebih terbuka terhadap halhal baru. Mereka cenderung tidak konservatif. Sementara itu, watak akomodatif kelompok biasanya terjadi untuk tujuan serta kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya dari kelompok yang tertutup dan eksklusif berubah menjadi kelompok yang terbuka dan inklusif. Tujuannya bermacam-macam, diantaranya, pertama ingin dianggap kelompok yang mewakili semua golongan. Kedua, ingin mendapatkan legitimasi dari kedua belah pihak yang bertentangan. Atau bisa juga watak akomodatif kelompok muncul karena benar-benar ingin mengakhiri perbedaan dan sepakat pada pembangunan persamaan. Akomodasi juga bisa jadi adalah wujud kepandaian kelompok dalam mengelola perbedaan kepentingan. Kepandaian ini dikerjakan baik secara sadar dan sengaja maupun sebaliknya. Kepandaian akomodasi oleh kelompok juga bisa menghasilkan nilai-nilai baru yang biasanya menimbulkan dampak. Namun begitu, watak akomodatif juga sering dianggap sebagai bentuk nyata inkonsistensi suatu kelompok. Dikatakan demikian karena kelompok yang memiliki watak akomodatif biasanya muncul hanya untuk menyatukan dua kepentingan yang berbeda. Atau dengan kata lain, kelompok yang lahir untuk mengakomodasi hanya sibuk mencampur-adukan nilai-nilai yang memang sebenarnya bukan untuk
15
disatukan. Salah satu ciri dari kelompok yang akomodatif adalah dengan melihat pola perekrutannya. Pola perekrutan yang terbuka dan mempersilahkan siapapun untuk turut terlibat merupakan ciri kelompok yang akomodatif12 Untuk memahami dan menggejalanya Hijabers Community, studi ini mengacu pada pendekatan fenomenologis yang dikembangkan oleh Peter Berger. Dari kerangka berfikir ini, dibalik menggejalanya suatu praktek sosial, dalam hal ini berhijab, senantiasa berlangsung silang menyilang antar tiga hal, yakni: internalisasi, objektivasi dan eksternalisasi. Hal ini hanya akan dapat dipahami jika proposisi awal dari metodologi ini adalah bahwa, kenyataan adalah hasil konstruksi (reality is socially construction).
E.2 Hijab dan Hijaber dalam Konstruktivisme Studi ini memahami kontestasi makna diantara para pemakai hijab dengan mengacu pada metodologi konstruktivis. Adalah Peter L Berger salah seorang sosiolog modern yang mengembangkan teori soal konstruksi sosial. Berger (1990) berpendapat bahwa realitas adalah hasil konstruksi sosial. Karenanya apa yang kita anggap sebagai sebuah realitas, sebenarnya adalah bentuk dari penafsiran manusia terhadap aktivitas sehari-harinya. Dunia manusia yang dibentuk tadi, tidak lepas dari pemaknaan oleh manusia. Proses pemaknaan ini bersifat subjektif. Artinya makna benar akan dianggap benar sebagaimana yang dipersepsi oleh manusia. Pada dasarnya setiap makhluk hidup selalu berusaha untuk mempertahankan keberadaannya. Tidak
12
Affan Gaffar, 1991, Bab 8: Demokrasi Empiris Dalam Era Orde Baru, dalam Alfian (ed), 1991, Profil Budaya Politik Indonesia, Pustaka Utama: Jakarta, h: 155.
16
terkecuali manusia. Karena manusia dibekali akal sedangkan makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan tidak, maka pemikiran manusia menjadi jauh lebih kompleks. Proses survival-nya pun menjadi lebih beragam dan terus berkembang. Satu cara telah berhasil dilewati, maka akan muncul cara-cara baru untuk melewatinya. Intinya manusia makhluk yang dinamis dan akan terus berkembang. Manusia yang dari tadi sedang kita bicarakan ini ternyata tidak lupa akan kodratnya untuk bersosialisasi. Sebagai makhluk sosial (homo sapiens), maka manusia akan selalu menghasilkan kolektifitas yang berujung pada realitas sosial13.Bagi Berger masyarakat merupakan pembentuk individu dan sebaliknya, individu adalah pembentuk masyarakat. Dalam perkembangannya, Berger membagi proses konstruksi sosial menjadi tiga kategori. Yaitu proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Proses eksternalisasi adalah pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya 14. Artinya apa yang dianggap sebagai realitas sosial tidak lepas dari upaya untuk mengekspresikan pemahaman manusia terhadap sebuah realitas. Pada tahap ini, manusia dianggap sebagai makhluk yang senantiasa berubah, dinamis, dan tidak stabil. Karenanya, realitas yang dihasilkan juga tidak jauh berbeda dari kesan tersebut. Proses kedua adalah proses objektivasi. Proses objektivasi adalah proses pelembagaan aktivitas fisis maupun mental manusia. Dalam proses ini, manusia sadar bahwa aktivitas manusia yang senantiasa berubah adalah sesuatu yang rawan sehingga perlu 13
Peter L Berger & Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari) Jakarta: LP3ES. 14 Peter L Berger & Thomas Luckmann, 1991, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterjemahkan dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono) Jakarta: Pustaka LP3ES.
17
dilembagakan. Pelembagaan ini yang selanjutnya disebut Berger sebagai proses objektivasi. Dalam proses ini pula, manusia membentuk lembaga-lembaga sosial untuk mengatur aktivitas manusia. Lembaga-lembaga sosial tersebut terlihat hingga sekarang dalam bentuk adat, agama, nilai dan norma juga kebudayaan. Kehadirannya juga bisa diklaim sebagai jawaban atas keresahan manusia terhadap rasa aman dan ancaman yang mungkin timbul akibat proses eksternalisasi. Menurut Berger, agama merupakan lembaga sosial yang paling legitimate dan tahan lama. Yang terakhir adalah proses internalisasi. Proses internalisasi adalah sebuah pemahaman atau penafsiran individu secara langsung atas peristiwa objektif sebagai pengungkapan makna. Berger dan Luckmann 15 menyatakan, dalam internalisasi, individu mengidentifikasikan diri dengan berbagai lembaga sosial atau organisasi sosial dimana individu menjadi anggotanya. Internalisasi merupakan peresapan kembali realitas oleh manusia dan mentransformasikannya kembali dari struktur-struktur dunia objektif ke dalam struktur-struktur kesadaran subjektif16.
15
Peter L Berger & Thomas Luckmann, 1990:87. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari) Jakarta: LP3ES. 16 Peter L Berger & Thomas Luckmann, 1991, Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial (diterjemahkan dari buku asli Sacred Canopy oleh Hartono) Jakarta: Pustaka LP3ES.
18
Objektivasi: Ajaran agama
Hijab/Hijabers Community
Eksternalisasi: - Ekspresi Berhijab - Mendirikan butik hijab
Internalisasi: - gaya berfikir - cara memaknai hijab
Gambar 1.1 Proses bekerjanya konstruksi sosial (Sumber:Putu Dika Arlita, 2014, Skripsi: Gerakan Setengah Hati)
Ketiga proses yang dijelaskan oleh Berger tadi tidak lepas dari relasi antara manusia dan dunianya. Mereka senantiasa melahirkan satu sama lain dan proses itu adalah proses tanpa henti. Dalam proses tersebut, kemampuan manusia untuk bertahan menjadi dipertaruhkan. Manusia yang dikatakan Berger (1990) sebagai makhluk yang senantiasa berubah cenderung akan mencari realitas baru agar kelestariannya dan generasi setelahnya tetap terjaga. Maka munculah realitas-realitas baru yang sesuai kehendak manusia dan dunianya. Dalam proses ini, sosialisasi adalah instrumen utama pembentuknya. Sosialisasi ini dibagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi awal yang didapatkan manusia sejak bayi hingga masa kanak-kanak dan yang berperan dalam tahap ini adalah keluarga. Sedangkan sosialisasi sekunder adalah sosialisasi
19
tahap lajutan setelah adanya sosialisasi primer dan aktornya bisa sekolah dan lingkungan. Sosialisasilah yang kemudian aktif „membentuk‟ manusia17. Internalisasi yang diikuti sosialisasi didalamnya adalah proses yang tidak terjadi sekali dan tidak pernah tuntas18. Bersamaan dengan itu, munculnya makna baru, mulai dari yang paling sederhana seperti bahasa hingga yang paling kompleks seperti nilai atau norma, yang terjadi secara otomatis dan sangat wajar. Walaupun begitu, sosialisasi mulai menemukan jalan terjal dalam perjalanannya. Heterogenitas dan perbedaan kemampuan individu menjadi kendala proses sosialisasi. Jika sudah begini, proses internalisasi menjadi terhambat dan berakibat pada gagalnya masyarakat membentuk dan mempertahankan tradisi, jaminan akan kelestarian masyarakat itu sendiri juga akan terancam.
E.3 Embrio Pertentangan Makna Suatu versi pemaknaan yang diajukan, tidak begitu saja diterima oleh orang lain. Kehendak satu individu tidak selalu sejalan dengan individu lain. Kemampuan yang dimiliki individu sangat berbeda satu sama lain. Begitu pula dengan kelompok kelompok yang dibentuk oleh individu tersebut. Dalam banyak hal pertarungan itu kemudian menjadi lebih terlembaga dengan latar belakang tertentu. misalnya perbedaan cara seseorang yang memiliki latar belakang religius dengan yang berlatar belakang ekonomis dalam memaknai hijab. Cara pandang religius cenderung akan menginternalisasinya sebagai sebuah kewajiban.
17
18
Ibid Peter L Berger & Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan (diterjemahkan dari buku asli The Social Construction of Reality oleh Hasan Basari) Jakarta: LP3ES.
20
Sementara itu, orang yang menganut cara pandang ekonomistik menginternalisasi makna dengan cara bisnis. Yang dibacanya adalah peluang-peluang bisnis. Dalam hal ini cara pandang religius dan ekonomistik hanya beberapa cara dalam membaca dan memaknai sesuatu. Cara pandang masing-masing, dipengaruhi oleh proses sosialisasi yang didapat oleh masing-masing individu. Sosialisasi sendiri terbagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi utama yang didapat secara langsung dan secara terus menerus misalnya sosialisasi oleh keluarga. Keluarga dalam hal ini turut memberikan pijakan sudut pandang dalam memaknai sesuatu. Selain sosialisasi primer, ada pula yang namanya sosialisasi sekunder. Sosialisasi sekunder adalah sosialisasi tambahan yang didapat secara langsung maupun tidak langsung oleh individu misalnya sosialisasi oleh sekolah dan lingkungan individu yang bersangkutan. Sekolah dengan latar belakang religius atau yayasan religius cenderung mewajibkan siswinya untuk berjilbab, hal ini tentu saja tidak ditemukan pada sekolah Negeri. Perbedaan ini sedikit banyak turut mempengaruhi individu dalam memaknai sesuatu. Selain sekolah, lingkungan individu juga turut mempengaruhi cara pandangnya. Misalnya lingkungan religius tertentu, tentu akan berbeda memandang sesuatu dibanding dengan individu yang memiliki lingkungan tempat tinggal di lingkungan bisnis.
21
Internalisasi Sosialisasi Sekunder:
Sosialisasi Primer: -
-
Keluarga
Sekolah Lingkungan
Heterogenitas Pertentangan Makna
Gambar 1.2 Proses pertentangan makna (Sumber: Data peneliti, 2013)
E.4 Konformiti Sebagai bagian dari kehidupan sosial, manusia sebagai makhluk sosial juga tidak mau terlibat jauh dalam pertentangan makna yang berujung konflik. Dalam tahap ini, manusia melembagakan diri dan pikirannya untuk terus berkompromi dengan banyak hal. Terutama agar bisa diterima dan diakui oleh kehidupan sosialnya. Manusia juga menjadi patuh terhadap aturan, norma, dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat baik yang tertulis maupun tidak. Mereka sadar bahwa keteraturan manusia akan tercipta jika semua hal bersepakat. Kesepakatan itu lahir baik disadari ataupun tidak. Setidaknya, kesepakatan itu mampu mengakomodasi perbedaan kepentingan. Dalam tahap ini, teori konformitas mampu menjawabnya. Teori konformitas menurut Baron dan Byrne (2005) adalah suatu pengaruh sosial dimana individu mengubah sikap dan tingkah
22
laku mereka sesuai dengan norma sosial yang ada 19. Sementara menurut Sarwono (2005) konformitas hadir seiring usaha terus menerus yang dilakukan individu untuk selalu selaras dengan norma sosial20. Menurut sarwono, konformitas terbagi menjadi dua bentuk yaitu menurut (compliance) dan penerimaan (acceptance). Menurut (compliance) adalah bentuk konformitas yang dilakukan secara terbuka dan terlihat oleh umum walaupun hatinya tidak setuju. Jika perilaku ini didasari atas perintah, maka ia tidak lagi disebut menurut, tapi ketaatan (obedience). Misalnya perintah atasan kepada karyawan untuk lembur. Sementara penerimaan atau acceptance adalah bentuk konformitas yang disertai dengan rasa kepercayaan yang sesuai dengan nilai sosial, misalnya berganti agama atau mengikuti ajakan teman untuk membolos21. Konformiti hanya akan dapat terjadi jika sebuah lingkungan atau kelompok mampu menyediakan lima faktor penyebab terjadinya konformiti. Menurut Sarwono (2005) kelima faktor tersebut adalah: rendahnya percaya diri, ketakutan akan celaan sosial, ukuran kelompok, kepercayaan terhadap kelompok serta keterpaduan.
1. Rendahnya Rasa Percaya Diri Semakin rendah kadar percaya diri individu dalam suatu hal, maka semakin besar pula keinginannya untuk melakukan penyesuaian (konformiti)
19
Mutia, 2013 , Konsep diri dan konformitas pada komunitas hijabers, Jurnal Vol. 01 No 01 Fakultas Psikologi UMM: Malang 20 Ibid. 21 Ibid.
23
terhadap suatu kelompok tertentu. Individu yang memiliki kadar rasa percaya diri yang rendah biasanya berawal dari latar belakang masing-masing individu.
2. Ketakutan Akan Celaan Sosial Faktor ini dilatar belakangi karena pada dasarnya individu cenderung tidak mau terlihat berbeda dari kebanyakan orang. Mereka akan dengan senang hati melakukan konformitas agar dapat diterima oleh kelompoknya. Lingkungan sosial mampu mempengaruhi individu untuk melakukan konformiti. Lingkungan sosial yang dimaksud adalah lingkungan tempat tinggal individu. Lingkungan tempat individu dibesarkan. Biasanya celaan ini muncul akibat dari nilai atau norma yang dipegang oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Jika ada individu yang melanggar atau tidak mengikuti norma yang ada, maka individu tersebut cenderung akan merasa tidak nyaman. Perasaan tidak nyaman inilah yang dimunculkan sebagai akibat dari ketakutan akan celaan sosial. Untuk menghindari itu, maka individu kerap melakukan konformiti.
3. Ukuran kelompok Faktor besar kecilserta sebaran suatu kelompok turut mempengaruhi konformitas yang dilakukan individu. Semakin besar dan tersebar suatu kelompok, maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap konformitas yang dilakukan individu. Misalnya saja kelompok beragama sekelas NU dan Muhammadiyah yang telah dikenal banyak orang. Kelompok tersebut akan dengan mudah membuat individu melakukan konformiti. Namun begitu,
24
kelompok kecil dengan kadar penanaman nilai yang intensif juga bisa mempengaruhi individu untuk melakukan konformiti. Misalnya saja, kelompok pengajian tertutup.
4. Kepercayaan Terhadap kelompok Semakin tinggi kepercayaan individu tersebut terhadap suatu kelompok sebagai sumber informasi, maka semakin besar pula kadar konformitasnya. Kepercayaan ini lahir sebagai akibat dari nilai yang dibawa kelompok tersebut. Tingkat kepercayaan individu terhadap kelompok dipengaruhi langsung oleh ukuran kelompok tersebut.
5. Keterpaduan Keterpaduan dapat diartikan sebagai perasaan yang muncul karena adanya persamaan. Perasaan itu dapat diartikan sebagai semangat „kekitaan‟. Proses munculnya perasaan kekitaan itulah yang kemudian menandai bahwa proses konformiti berada dijalurnya. Artinya, individu tidak hanya menyesuaikan diri dengan kelompoknya tapi juga turut menyesuaikan diri dengan individu lain di dalam kelompok tersebut. Munculnya perasaan ini akibat dari kesamaan pandangan individu terhadap nilai tertentu, misalnya ajaran agama soal menutup aurat. Individu yang melakukan konformiti biasanya akan menerima nilai-nilai yang dibawa oleh kelompoknya, menyesuaikan diri dengan kelompok dan anggota mayoritas, serta mengakui hasil pemikiran serta perbuatan kelompok
25
sebagai sebuah kebenaran22. Konformiti yang dilakukan individu ini merupakan ekspresi dari intensifnya nilai-nilai yang ditanamkan kepada mereka sejak dini. Budaya dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat Indonesia secara umum, dan Yogyakarta sebagai lokus penelitian adalah budaya yang mengedepankan adab kekeluargaan. Nilai kekeluargaan itu pula yang kemudian diadposi oleh HC . Hal ini dikonstruksi bersamaan dengan didekonstruksinya budaya menumbuhkan konflik. Karenanya sebisa mungkin individu dijauhkan dari konflik23. Untuk menghindar
dari
konflik,
individu
kerap
melakukan
konformiti
atau
penyesuaian24. Dengan begitu mereka menjadi lebih merasa aman dan nyaman.
E.5 Konformiti dan Akomodasi Syarat terjadinya konformiti bagi individu adalah jika kelima hal yaitu, rendahnya percaya diri, ketakutan akan celaan sosial, ukuran kelompok, kepercayaan terhadap kelompok serta keterpaduan tersebut telah terpenuhi. Sejalan dengan itu, sebuah kelompok haruslah mampu menyediakan kelima hal tersebut sebagai modal untuk membuat individu melakukan konfomiti. Dalam hal ini, HC harus menjadi kelompok yang akomodatif dan menciptakan lingkungan yang kondusif agar memungkinkan individu melakukan konformiti.
22
Robbins, 1996, Perilaku Organisasi, Konstruksi, Kontroversi, Aplikasi, ed. Bahasa Indonesia, Jilid I. 23 Yahya Muhaimin, 1991, Bab 3: Persoalan Budaya Politik Indonesia dalam Alfian (ed), Profil Budaya Politik Indonesia, Pustaka Utama: Jakarta. h: 54. 24 Bierbrauer Ross, et al. (1976). "The role of attribution processes in conformity and dissent." American Psychologist. vol. 31: p. 148-157.
26
1. Tingkat kepercayaan diri 2. Celaan sosial Konformiti (oleh Individu)
3. Ukuran kelompok
Akomodasi
4. Kepercayaan
(Oleh kelompok)
terhadap
kelompok 5. Keterpaduan
Gambar 1.3 Bekerjanya konformiti dan akomodasi (Sumber: Data peneliti, 2014)
Hijabers Community
Bisnis
Konformiti
Hijabers Community Bisnis
Syar‟I
Syar‟I
Gambar 1.4 Proses konformiti individu terhadap kelompok (Sumber: Data peneliti, 2014)
Masuknya individu kedalam lingkungan HC, menyesuaikan dan meyakini nilai yang dibawa HC itulah yang kemudian dinamakan konformiti. Proses masuknya itu tidaklah terjadi dengan sembarangan dan instant. Proses itu melibatkan rekonstruksi simultan terhadap makna hijab dan hijabers community.
27
Sampai akhirnya masing-masing individu menyimpulkan bahwa mereka harus menyesuaikan dengan nilai dalam kelompoknya. Kejadian konformiti juga harus didahului adanya watak akomodatif suatu kelompok. Watak akomodatif tersebut dijadikan modal yang memungkinkan individu didalamnya melakukan penyesuaian dengan nilai yang dibawa kelompok. HC harus mampu meningkatkan rasa percaya diri, melindungi individu dari celaan sosial, mampu meyakinkan individu, mampu menjadi pusat informasi, serta mampu menciptakan kesamaan perasaan antar anggota sebagai modal.
F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode ini dinilai mampu menyelami fenomena serta realitas yang ada. Kualitatif mementingkan kedalaman penelitian dibanding sebarannya. Disamping itu, dalam penelitian ini tidak terdapat jarak antara peneliti dengan yang ditelitinya. Dalam metode penelitian kualitatif sendiri, terdapat beberapa jenis penelitian, namun peneliti memilih menggunakan metode penelitian kualitatif jenis fenomenologi. Fenomenologi berkembang menjadi sebuah metode untuk meneliti gejala sosial. Seiring waktu, fenomenologi yang dikembangkan oleh Edmund Husserl mampu menjawab berbagai gejala sosial yang sebelumnya tidak mampu dijawab. Fenomenologi
hadir
dengan
asumsi
dasar
bahwa
manusia
senantiasa
menginterpretasikan pengalamannya, mencari tahu, lalu mencoba memaknai gejala yang dialaminya secara aktif dan berkelanjutan25.
25
Stephen Littlejohn, 2008, Theories Of Human Communication, Ninth Edition, USA: Lyn Uhl.
28
Menurut Cresswell (2007), fenomenologi adalah penelitian sosial untuk mengungkap suatu gejala sosial. Ciri khas metode penelitian kualitatif dengan pertanyaan „apa‟ dan „bagaimana‟ juga menjadi komponen dalam fenomenologi. Artinya fenomenologi cocok dengan tema penelitian ini yang berusaha memaknai proses kontestasi jilbab itu sendiri. Pertimbangan lain adalah karena penelitian ini nantinya lebih mengutamakan analisa dan pemaknaan data. Penelitian ini berlokasi di Yogyakarta. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa Yogyakarta adalah daerah yang dinamis dan heterogen. Dinamis dalam artian bahwa Yogyakarta sangat terbuka terhadap perkembangan zaman namun pada saat yang bersamaan juga masih paham akan pentingnya menjaga kelestarian budaya dan nilai-nilai lokal. Hal ini memiliki konsekuensi logis dan sejalan dengan munculnya keberagaman cara pandang dan komunitas serta kelompok yang ada. Komunitas yang ada di Yogyakarta terbilang beragam dengan berbagai macam latar belakang dan ideologinya. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan penelitian pada segelintir orang dari salah satu komunitas yang ada di Yogyakarta. Komunitas yang diwakili oleh segelintir orang ini terbilang cukup terkenal dengan ideologi dan cara pandangnya tersendiri dalam melihat fenomena jilbab. Hal ini dilakukan untuk melihat bentuk perbedaan cara pandang dalam memaknai jilbab. Tidak terlepas dari itu, komunitas ini diharapkan mampu memberikan informasi dan pemahaman tentang cara bekerjanya konstruksi sosial dan konformitas. Komunitas tersebut adalah Hijabers Community (HC) Yogyakarta yang diwakili oleh saudari Nuna dan Fitria.
29
Alasan memilih Hijabers Community adalah pada basis anggota dan lingkupnya. HC menjadi salah satu wadah resmi para pemakai hijab yang tidak mengesampingkan fashion, bahkan mengutamakan fashion dalam ekspresinya berjilbab di wilayah Yogyakarta. HC juga bisa dikatakan otonom dan tidak memiliki afiliasi dengan kelompok dengan ideologi tertentu. artinya HC adalah jawaban sekaligus respon terhadap perkembangan zaman. HC sendiri telah mengalami dinamika perubahan cara pandang dan orientasi dalam berorganisasi yang berdampak pada kegiatannya. HC juga merupakan pintu masuk bagi „penganut‟ cara pandang bahwa wanita yang berjilbab juga bisa tampil modis. HC gencar melakukan kampanye dengan memanfaatkan media-media sosial melalui internet dan televisi untuk tutorial berjilbab dan tutorial ber-make up. Lokasi HC sendiri berada di kawasan Demangan Baru, Sleman, Yogyakarta. Disinilah semua kegiatan HC dirumuskan dan didiskusikan. Unit analisis dari penelitian ini adalah fokus pada proses serta akomodasi yang dilakukan HC terhadap dua perbedaan pandangan terhadap hijab.Bagaimana kemudian akomodasi tersebut mampu membuat individu mau melakukan penyesuaian. Penelitian ini juga menganalisis dinamika yang terjadi didalam proses akomodasi tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti membutuhkan dua narasumber utama dan dua narasumber pendukung dalam satu komunitas sama yang memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap hijab. Narasumber utama dibutuhkan untuk membangun kerangka argumen, sedangkan narasumber pendukung dibutuhkan untuk melakukan kroscek data. Hal ini sesuai dengan tujuan dari penelitian ini
30
yaitu ingin menunjukkan bahwa watak akomodatif HC serta perilaku konformiti individu dalam membingkai perbedaan pemaknaan. Narasumber itu kemudian didapatkan sesuai dengan tujuan penelitian ini. Yang menjadi dasar memilih kedua narasumber itu adalah pada perbedaan masing-masing dari mereka dalam memaknai hijab. Hal itu juga akan dikaitkan dengan latar belakang keluarga, sekolah serta lingkungannya. Narasumber pertama adalah Fitria yang masih terdaftar sebagai anggota Hijabers Community (HC). Sedangkan Narasumber kedua adalah Nuna yang terdaftar sebagai alumni Hijabers Community namun masih sering mengikuti kegiatan HC. Alasan memilih Fitria adalah karena Ia adalah anggota aktif HC. Ia memiliki latar belakang dan pengalaman menarik soal berhijab. Ia pernah lepaspakai hijab semasa sekolah. Pernah dipaksa secara halus oleh orang tuanya untuk menutup aurat. hingga akhirnya sekarang memutuskan untuk konsisten berhijab, salah satunya karena motivasi dari komunitas HC. Fitria juga merupakan komite, yaitu anggota inti dalam komunitas HC yang bertanggung jawab terhadap jalannya roda komunitas tersebut. Pemikirannya terhadap hijab juga dipengaruhi oleh latar belakang keluarganya yang masih keturunan langsung salah satu pendiri muhammadiyah, yaitu KI Bagus Hadikusomo. Sehingga ia dibesarkan dengan nuansa kemuhammadiyahan yang kental. Sedangkan alasan memilih Nuna adalah karena ia merupakan alumni dari komunitas HC. Walaupun sekarang hanya sebagai alumni dan tidak terlibat langsung mengurusi HC dari dalam, ia tetap aktif mengikuti kegiatan HC, terutama kegiatan bazzar. Nuna adalah salah satu dari mantan anggota lama HC
31
generasi pertama, saat pertama kali HC berdiri pada tahun 2011. Sebelum resmi berdiri, Nuna juga menjadi bagian dari komunitas yang awalnya bernama Hijabi Community tersebut. Alasan lain memilih Nuna karena ia memilik butik yang menjual busana serta aksesoris hijabers. Nuna dirasa mampu membaca peluang bisnis dari fenomena hijaber yang melanda beberapa tahun belakangan. Untuk melengkapi dan kroscek data, peneliti juga melakukan wawancara dengan dua orang dari HC Yogyakarta. Kedua orang tersebut adalah Kiki Paramita selaku ketua HC Yogyakarta dan Safitri Aulia selaku staf divisi event. Pemilihan Kiki sebagai narasumber pendukung dikarenakan wawasan dan pengetahuannya tentang HC sangat membantu dalam rangka pengumpulan data secara komprehensif. Dan pada saat yang bersamaan dilakukan kroscek antar narasumber. Sementara wawancara yang dilakukan kepada Safitri dilakukan untuk kroscek terhadap kegiatan HC yang dibawahi oleh divisinya yaitu Divisi event. Kategori Narasumber
Nama Narasumber
Jabatan/Status Alasan dan Tujuan 1. Untuk membangun argumen dari Komite HC logika syar'i. 2. Melihat latar belakangnya yang unik. 1. Untuk membangun argumen dari logika Alumni HC bisnis. 2. Melihat ketertarikannya di dunia bisnis yang kuat.
Fitria
Utama
Nuna
32
Pendukung
1. Untuk memahami data secara Kiki Ketua HC komprehensif. 2. Untuk kroscek data 1. Untuk mengetahui kegiatan-kegiatan Safitri Komite HC HC 2. Untuk Kroscek data Tabel 1.1 Alasan pemilihan narasumber (Sumber: Data peneliti, 2014)
Untuk menunjang dan menjawab berbagai pertanyaan yang muncul sebelumnya, maka peneliti membutuhkan sedikitnya dua jenis data untuk kemudian diolah dan ditampilkan. Kedua jenis data itu ialah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat secara langsung oleh peneliti baik melalui wawancara dengan bertatap langsung dengan narasumber ataupun dengan mengobservasi kegiatan serta lingkungan sosial narasumber. Sementara itu, sumber data yang kedua adalah data sekunder. Data ini berasal dari buku, jurnal, majalah, surat kabar, maupun website yang dianggap berhubungan, mendukung dan mampu membangun argumen peneliti. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam berdasarkan pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. Namun, tidak menutup kemungkinan akan ada pertanyaan tambahan yang muncul secara spontan jika memang dianggap perlu dipertanyakan. Selain itu, wawancara yang dilakukan menggunakan tidak hanya sekali pada satu informan, akan tetapi disesuaikan dengan kebutuhan peneliti. Sekaligus untuk menerapkan teknik triangulasi data.
33
Yaitu teknik yang dipakai untuk mengecek kebenaran paparan wawancara antara satu informan dengan informan lainnya. Selain wawancara, observasi juga dilakukan untuk membandingkan data yang didapat dengan hasil pengamatan oleh peneliti. Observasi yang dilakukan berupa observasi pasif dengan mengamati segala bentuk kejadian selama wawancara, maupun pada saat ada kegiatan yang dilakukan komunitas tersebut. Dalam wawancara misalnya, peneliti akan sebisa mungkin mengamati ekspresi wajah, bahasa tubuh serta cara informan menjawab pertanyaan yang diajukan. Untuk melengkapi data, maka peneliti mendokumentasikannya lewat catatan, pengambilan foto, serta tulisan ataupun undangan yang berkaitan dengan komunitas. Setelah data terkumpul, maka data akan dipilah sesuai kebutuhan lalu selanjutnya akan dilakukan analisis dengan memahami makna dari suatu ucapan, pernyataan, serta tindakan sesuai dengan konteks ruang dan waktu 26.
G. Sistematika Bab Tulisan ini diawali dengan pemaparan bahwa pemaknaan orang terhadap hijab terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Tidak hanya berubah, diawal juga dijelaskan bahwa pemaknaan itu cenderung dipertarungkan maknanya, tidak dari kelompok agama lain tapi justru dari sesama pemeluk agama islam. Pada bagian awal ini juga dijelaskan rumusan masalah, teori serta metode yang dipakai untuk mengantar skripsi ini pada tahap akhir. Bab II didedikasikan untuk menceritakan standar nilai yang dibawa oleh HC, yaitu nilai islam. Bab ini 26
Abdul Khafidz, 2005, Skripsi: Gerakan Politik Islam (Studi Atas Gerakan Majelis Mujahiddin Indonesia dalam Penegakan Syariat Islam), Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM, h:62.
34
merupakan gambaran umum Hijabers Community (HC). Aspek yang ditinjau adalah sudut pandang dan ideologi dari HC sendiri terhadap fenomena jilbab dan perkembangannya. Dalam bab ini juga dijelaskan berbagai lapisan kepengurusan serta pendanaan dalam komunitas HC. Bab III bercerita soal pemaknaan hijab dan Hijabers Community yang dilakukan oleh Fitria. Dimana pada bab ini akan diuraikan cara bekerjanya teori konstruksi sosial, dari sudut pandang Fitria yang memaknai hijab sebagai kewajiban agama serta memaknai Hijabers Community sebagai wadahnya mengembangkan keagamaannya.. Bab IV merupakan pemaknaan hijab dan Hijabers Community ditinjau dari sisi Nuna. Dalam bab ini pula akan dijelaskan bagaimana Nuna memaknai hijab tidak hanya sebagai kewajiban agama, tapi juga peluang bisnis. Nuna juga memaknai Hijabers Community sebagai wadahnya untuk berbisnis hijab. Bab V bercerita soal bentuk akomodasi Hijabers Community terhadap kedua perbedaan pemaknaan tersebut. Akan dijelaskan pula bahwa akomodasi yang dilakukan Hijabers Community memungkinkan Fitria dan Nuna melakukan konformiti dengan cara menyesuaikan diri terhadap nilai yang dibawa oleh HC. Bab VI adalah bab penutup yang merupakan endapan dari sari-sari yang telah didapatkan dari bab sebelumnya sekaligus penegasan jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah.
35