Makna Jilbab Pada Komunitas Hijabers Gorontalo Agustina A. Sugeha, Sumarjo, dan Zulaeha Laisa
Makna Jilbab Pada Komunitas Hijabers Gorontalo 1
Agustina A. Sugeha, 2Sumarjo, 3Zulaeha Laisa
1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, 2,3Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo e-mail:
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstrak Jilbab pada masa modernisasi ini penggunaan jilbab sudah tidak lagi sesuai dengan syari’at Islam. Komunitas hijabers adalah suatu aktivitas ciri khas suatu kelompok wanita berhijab, yang pertukaran simbol yang diberi makna melalui interaksi sosial, yang menciptakan aturanaturan yang ada dalam suatu komunitas dengan belajar dari pengalaman sebelumnya. Metode yang digunakan adalah metode penelitian fenomenologi dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam dan analisis dokumen. Hasil Penelitian ini menunjukkan: (1). Anggota hijabers memaknai jilbab dari kesadaran diri mereka, melalui pengalaman yang mereka alami melalui buka lepas jilbab dan memaknai jilbab tidak lagi hanya sebatas perintah agama, namun juga sebagai simbol wanita muslimah yang fashionable; (2). Hijabers Gorontalo mempunyai gaya hidup tersendiri, merujuk pada status dimana komunitas HG dilihat sebagai komunitas yang punya gaya tersendiri. Gaya dalam berpakaian ini khususnya menampakkan ciri komunitas yang berbeda dengan komunitas fashion style lainnya. Identitas sosial yang dibentuk komunitas HG adalah identitas diri dan identitas komunitas yang bersifat ekslusif. Image yang ditampakkan HG sebagai komunitas jilbab kontemporer yang menjadi patron gaya berjilbab di Gorontalo. Kata Kunci: hijabers, gaya hidup, identitas, makna Abstract This modernization headscarf during the use of the veil is no longer in accordance with the Shari'ah. Community hijabers is an activity characteristic of a group of veiled women, the exchange of symbols given meaning through social interaction, which creates rules that exist within a community to learn from previous experiences. The method used is the phenomenological research method with data collection by observation, in-depth interviews and document analysis. The data have been obtained was then collected, and classified. The results of this study indicate: (1). Hijabers members interpret the veil of consciousness themselves, through their experiences through open off the veil and interpret hijab is no longer only a religious order, but also as a symbol of Muslim women are fashionable; (2). Hijabers Gorontalo has its own life-style, which refers to the status of HG community is seen as a community that has its own style. The style of dress is especially revealing characteristics of different communities with other style fashion community. Social identity is formed HG community identity and community identity and exclusive. Image that is displayed as a community HG contemporary veil became patron style headscarf in Gorontalo. Keywords: hijabers, lifestyle, identity, meaning
72 | Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo
ARTIKEL ILMIAH Vol. 1, No. 1, Januari 2015 www.kimkomunikasi.ung.ac.id
Pendahuluan Perbincangan masalah aurat memang tak pernah lekang dan memang tidak boleh disepelekan. Berbicara mengenai aurat, Islam mewajibkan kaum hawa untuk menutup auratnya. Imam Tsa’aliby (AnNur, 2006:10) mendefinisikan aurat sebagai berikut : Tiap-tiap sesuatu yang memalukan manakala terbuka itu adalah Aurat. Adapun Aurat menurut istilah hukum Islam berarti batas minimal dari bagian tubuh yang wajib ditutup karena perintah Allah Ta’ala Seperti yang sudah tercantum dalam surat AlAhzab ayat 59 yang artinya: “Hai Nabi, katakanlah pada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Ada beberapa syarat dalam berjilbab yang bisa dijadikan standart mode jilbab, yaitu: (1). Menutup seluruh tubuh, selain bagian yang dikecualikan(2). Bukan untuk berhias; (3). Tebal; (4). Longgar; (5). Bahannya juga sebaiknya modelnya tidak terlepas mewah dan berlebihan atau mencolok mata, dengan warna yang anehaneh hingga menarik perhatian orang. Apalagi jika sampai menimbulkan rasa angkuh dan sombong (Fitri dan Khasanah, 2013:17). Jika pada awalnya jilbab digunakan untuk menutup aurat dan melindungi wanita dari gangguan yang membahayakan mereka, kini jilbab menjadi mode yang tak kalah sepi di pasaran. Dalam bentuk berpenampilan rapi, fashionable, stylish dan menarik, termasuk dalam berbagai aktivitas. Kini banyak kaum hawa yang mulai memakai jilbab, kalau dahulu kebanyakan orang yang memakai jilbab adalah orang tua, kini banyak anak muda yang juga sudah mulai memakai jilbab, seperti para kaum hawa yang berhijab yang sering mereka sebut para hijabers. Dian Pelangi adalah orang yang memperkenalkan pakaian muslimah yang modis serta jilbab yang fashionable dan stylish pada pagelaran
Jakarta Fashion Week 2009 lalu adalah anak muda Indonesia yang bekerja sebagai fashion designer ini merupakan pendiri komunitas hijabers dan menjadi ikonnya hijabers. Menurutnya istilah hijabers itu sendiri digunakan agar terlihat lebih internasional, karena di luar negeri jilbab itu disebut hijab. Pada saat ini di Indonesia sudah ada komunitas para kaum hawa yang berhijab yang dinamakan Komunitas Hijabers, Komunitas ini menjadi suatu trending topic dikalangan masyarakat dengan kemunculan trend baru dalam berhijab bagi para kaum hawa. Berbusana muslimah yang fashionable dan stylish dengan berbagai kreasi-kreasi jilbab. Perkembangan Komunitas Hijabers ini begitu cepat dan mempunyai cabang komunitas Hijabers dibeberapa kota besar di Indonesia seperti di kota Gorontalo yang dinamakan komunitas Hijabers Gorontalo yang disingkat HG. Komunitas ini membuktikan bahwa pemakaian jilbab tidak menjadikan wanita menjadi terkekang, sebaliknya dengan jilbab ini seorang wanita bisa berbuat untuk memberi manfaat bagi orang lain. Banyak acara-acara yang dilakukan oleh komunitas ini, seperti adanya lomba model jilbab, bakti sosial, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan pemakaian jilbab tidak bisa dijadikan alasan kekangan bagi kaum wanita. Pemakaian jilbab tetap bisa menunjukkan citra seorang wanita yang cerdas dan tidak ketinggalan jaman. Munculnya komunitas semacam ini memuat esensi dari hijab atau jilbab mengalami kekurangan, yang dulunya menjadi sebuah ajaran dan perintah bagi wanita muslim sekarang menjadi sebuah budaya konsumerisme yang tidak bisa dijangkau oleh seluruh kalangan dan juga hanya mencitrakan fashion belaka. Rumusan Masalah antara lain: Bagaimana makna jilbab dari perspektif komunitas hijabers Gorontalo dan Bagaimana makna identitas hijabers dari gaya berjilbab.
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo | 73
Makna Jilbab Pada Komunitas Hijabers Gorontalo Agustina A. Sugeha, Sumarjo, dan Zulaeha Laisa
Kajian Pustaka Teori Fenomenologi Schutz dikenal sebagai ahli teori fenomenologi yang paling menonjol, dan yang membawa fenomenologi ke dalam ilmu sosial, fenomenologi menjadi ciri khas bagi ilmu sosial hingga saat ini. Bagi Schutz, tugas fenomenologi adalah menghubungkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengalaman sehari-hari dan dari kegiatan di mana pengalaman dan pengetahuan itu berasal. Dengan kata lain mendasarkan tindakan sosial pada pengalaman, makna dan kesadaran. Schutz memusatkan perhatiannya kepada struktur kesadaran yang diperlukan untuk terjadinya saling bertindak atau interaksi dan saling memahami antar sesama manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa interaksi sosial terjadi dan berlangsung melalui penafsiran dan pemahaman tindakan masing-masing baik anta r individu maupun antar kelompok. Teori Fenomenologi dari Alfred Schutz menyatakan bahwa orang secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberi tanda dan arti tentang apa yang mereka lihat. Interpretasi merupakan proses aktif dalam menandai dan mengartikan tentang sesuatu yang diamati, seperti bacaan, tindakan atau situasi bahkan pengalaman apapun. Lebih lanjut, Schutz menjelaskan pengalaman inderawi sebenarnya tidak punya arti. Semua itu hanya ada begitu saja obyekobyeklah yang bermakna. Semua itu memiliki kegunaan-kegunaan, nama-nama, bagian- bagian, yang berbeda-beda dan individu-individu itu memberi tanda tertentu mengenai sesuatu, misalnya menandai orang yang mengajar adalah seorang guru (Kuswarno, 2008:17). Teori Interaksionisme Simbolik George Ritzer (dalam Mulyana, 2010:73), meringkaskan teori interaksi simbolik kedalam prinsip-prinsip berikut: (1). Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir; (2). Kemampuan berpikir itu
dibentuk oleh interaksi sosial; (3). Dalam interaksi sosial orang belajar makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni berpikir; (4). Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi yang khas manusia; (5). Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi; (6). Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena, antara lain, kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya; (7). Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalinmenjalin ini membentuk kelompok masyarakat. Makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna, selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi. Mead (Dalam Ritzer & Goodman, 2011 : 274), menyatakan ada empat tahapan tindakan yang dilakukan oleh seseorang hingga ia mengambil keputusan untuk dilakukan, yaitu: (1). Impuls adalah dorongan hati yang meliputi stimuli atau rangsangan spontan yang berhubungan dengan indra dan reaksi aktor terhadap rangsangan. Rangsangan semacam ini didapatkan ketika seseorang melakukan interaksi dengan orang lain. Interaksi ini mampu menghasilkan sauatu keadaan baru yang sama sekali belum pernah dirasakan oleh seseorang. Implus juga bisa didapatkan dari dalam diri individu sendiri ketika melakukan proses berfikir mengenai tindakan yang akan dikerjakanya. Dalam berpikir tentang reaksi, manusia tidak hanya mempertimbangkan situasi terkini tapi juga pengalaman masa lalu dan mengantisipasi akibatnya di masa depan; (2). Persepsi merupakan reaksi yang dilakukan oleh seseorang untuk menanggapi rangsangan tersebut. Setelah manusia mendapatkan
74 | Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo
ARTIKEL ILMIAH Vol. 1, No. 1, Januari 2015 www.kimkomunikasi.ung.ac.id
rangsangan maka manusia itu akan bergerak menanggapi rangsang tersebut. Melalui indra ini mereka mengkombinasikan pemikiran-pemikiran yang akan dilakukanya nanti. Aktor tidak secara spontan menanggapi stimuli dari luar, tetapi memikirkannya sebentar dan menilainya melalui bayangan mental. Dalam tahap persepsi, manusia tidak hanya tunduk pada satu alternatif tetapi bebas memilih dan menentukan tindakan yang akan diambilnya. Hal ini juga yang membedakan antara manusia dengan hewan yaitu keampuan berfikirnya yang mampu membayangkan hal-al yang akan terjadi dimasa depan sebelum seseorang melakukan tindakan tersebut; (3). Manipulasi adalah tahap dimana seseorang setelah mempresepsikan tindakan kembali berfikir lagi dalam beberapa waktu untuk memikirkan alternatif tindakan yang lebih baik artinya setelah manusia bereaksi dengan adanya rangsangan tersebut, manusia dengan proses berpkirnya masih bisa memanipulasi tindakanya. Setelah tahap presepsi dilakukan maka seseorang akan memiliki waktu jeda untuk memikirkan lagi tidakan yang dilakuakan; (4). Konsumsi adalah merupakan proses dimana seseorang sudah menentukan tindakan apa yang akan dia ambil dan dia pilih dengan berbagai konsekuensinya. Teori interaksionisme simbolik menjelaskan bahwa suatu hubungan yang terjadi secara alami antara manusia dalam masyarakat dan hubungan masyarakat dengan individu. Interaksi yang terjadi antar individu berkembang melalui symbolsimbol yang mereka ciptakan.Interaksi yang dilakukan oleh individu itu berlangsung secara sadar dan berkaitan dengan gerak tubuh, vokal, suara, dan ekspresi tubuh
yang kesemuanya itu memiliki maksud tertentu yang disebut dengan simbol (Kuswarno, 2008:22). Metode Penelitian Metode penelitian ini menggunakan pendekatan studi fenomenologi yaitu suatu pendekatan yang menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya. Penelitian ini ditujukan agar dapat mempelajari secara mendalam dan mendetail. Penelitian ini menganut metode deskriptif kualitatif dimana penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran nyata, dan penjelasan dengan dianalisis secara deskriptif, secara sistematis dan faktual di lapangan. Seperti yang dikemukakan oleh Creswell (2013 : 45) bahwa Penelitian kualitatif merupakan metode-metode untuk mengekplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan. Penentuan informan peneliti mengikuti prosedur fenomenologi yaitu 10 informan yang mampu menceritakan kembali kisah mereka berjilbab secara terbuka. Latar atau lokasi dari penelitian ini dilakukan di Kota Gorontalo, tepatnya di Jl. Makassar No. 2, Kelurahan Dulalowo. Alasan peneliti mengambil lokasi ini, karena di lokasi ini merupakan Sekretariat Hijabers Cabang Gorontalo. Namun tidak menutup kemungkinan jika lokasi penelitian bertambah, karena banyak kegiatan komunitas hijabers ini berada diluar Sekretariat Hijabers. Teknik pengumpulan data yang dilakukan mengikuti prosedur penelitian fenomenologi, yang dikemukakan oleh Creswell (Talani, 2013: 109):
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo | 75
Makna Jilbab Pada Komunitas Hijabers Gorontalo Agustina A. Sugeha, Sumarjo, dan Zulaeha Laisa
Gambar 1. Sirkulasi Pengumpulan Data Fenomenologi Sumber: diadaptasi, dimodifikasi, dan direproduksi dari Figure 7.1 Data Collection Activities (Creswell, 1998: 110) dikutip dari Talani (2013:109).
Sirkulasi pengumpulan data dimulai dari kegiatan penentuan lokasi dan individu, kemudian akses dan menjalin hubungan, kemudian tujuan pemilihan partisipan, setelah memilih partisipan kemudian pengumpulan data, setelah itu merekam informasi yang diberikan informan, kemudian memecahkan isu lapangan, dan terakhir menyimpan data. Pengumpulan data antara lain : (1). Observasi Terus Terang atau Tersamar Dalam hal ini, peneliti melakukan observasi terlebih dahulu dengan bertemu salah satu anggota komunitas hijabers, kemudian peneliti dalam melakukan pengumpulan data menyatakan terus terang kepada sumber data, bahwa peneliti sedang melakukan penelitian. Jadi mereka yang diteliti mengetahui sejak awal sampai akhir tentang aktivitas peneliti. Tetapi dalam suatu saat peneliti juga tidak terus terang atau tersamar dalam observasi, hal ini untuk menghindari kalau suatu saat data yang dicari merupakan data yang masih dirahasiakan; (2). Wawancara. Teknik wawancara yang dilakukan dengan melakukan tanya jawab langsung kepada informan atau anggota Komunitas Hijabers Gorontalo yang berdasarkan pada tujuan penelitian. Teknik wawancara yang dilakukan peneliti adalah dengan cara mencatat berdasarkan pedoman pada daftar
pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya sehubungan dengan pertanyaan penelitian. Kemudian menyediakan rekaman visual dan audiovisual agar datadata yang di inginkan terpenuhi dan lebih lengkap. Wawancara ini dilakukan beberapa kali sesuai dengan keperluan peneliti yang berkaitan dengan kejelasan dan kemantapan masalah yang dijelajahi; (3) Analisis Dokumen. Dokumen yang peneliti dimaksudkan bisa berbentuk tulisan, visual, dan audiovisual. Analisis Data. Dari hasil penelitian ini di analisa secara kualitatif. Artinya data-data yang telah diperoleh itu kemudian dikumpulkan, dan diklasifikasi. Setelah itu dianalisis secara kualitatif dengan berpedoman pada kerangka pikiran yang telah disajikan guna memberikan gambaran yang jelas dari fenomena yang diteliti. Hasil dan Pembahasan Konsep Pemaknaan JIlbab Saat ini fenomena kerudung/jilbab tidak cukup lagi hanya dipahami sematamata sebagai ungkapan taqwa. Akan tetapi, bagi sebagian kalangan orang modern, busana muslimah itu sendiri tak ubahnya seperti pergantian mode berpakaian saja. Hampir semua wanita yang memakai busana muslim merasa yakin bahwa dirinya adalah Muslim yang lebih baik daripada
76 | Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo
ARTIKEL ILMIAH Vol. 1, No. 1, Januari 2015 www.kimkomunikasi.ung.ac.id
sebelumnya. Meski tidak berarti mereka selalu lebih shaleh daripada wanita yang tidak memakai busana muslim (Subandy, 2008:249). Di abad gaya hidup, penampilan adalah segalanya. Perhatian terhadap urusan penampilan sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam sejarah. Penampilan diri itu justru mengalami estetisasi,” estetisasi kehidupan sehari-hari” dan bahkan tubuh/diri (bodyself) pun justru mengalami estetisisasi tubuh. Tubuh/diri/atau kehidupan sehari-hari pun menjadi sebuah proyek, benih penyamaian gaya hidup. “kamu bergaya maka kamu ada!” adalah ungkapan mungkin cocok untuk melukiskan kegandrungan manusia modern akan gaya. Itulah sebabnya industri gaya hidup untuk sebagian besar adalah industri penampilan. Dalam ungkapan Chaney, “penampakan luar” menjadi salah satu situs yang penting daripada substansi. Gaya dan desain menjadi lebih penting daripada fungsi. Gaya menggantikan substansi. (Dalam Chaney, 2008 : 15). Gaya hidup adalah suatu cara terpola dalam penggunaan, pemahaman, atau penghargaan artefak-artefak budaya material untuk menegosiasikan permainan kriteria status dalam konteks sosial yang tidak diketahui namanya. Jelas bahwa peredaran gaya hidup merupakan makna simbolik dari artefak-artefak tersebut. Yaitu apa yang terlihat merepresentasikan tentang dan melebihi identitas yang lebih kompleks. Pendekatan ini juga memberi kita suatu cara menangkap modernitas gaya hidup berbeda dengan formasi sosial sebelumnya. Pada masyarakat tradisional sementara para anggotanya jelas menggunakan atau memahami atau menghargai budaya material dengan caracara yang khusus, mereka mau tidak mau juga ambil bagian dalam kelompokkelompok yang tidak diketahui namanya. Arti anoniminitas berasal dari situasi, di mana makna simbolik dianggap dapat diketahui, dijalani, dan diterima secara luas dalam suatu komunitas yang stabil. Dalam lingkungan orang-orang asing yang
mencirikan kehidupan sosial perkotaan modern, makna simbolik bisa dinegosiasikan secara tak terbatas dan secara terus-menerus diciptakan kembali. Gaya hidup selanjutnya merupakan caracara terpola dalam menginvestasikan aspekaspek tertentu kehidupan sehari-hari dengan nilai sosial atau simbolik, tapi ini juga berarti bahwa gaya hidup adalah cara bermain dengan identitas. Islam telah mengajarkan para wanita muslimah untuk memakai jilbab yang sesuai dengan syari’at Islam dengan memaknai jilbab sebagai suatu representasi spiritual, suatu ketaatan kepada Allah, sebagai identitas seorang muslimah, melindungi wanita dari berbagai macam fitnah, dan demi kemaslahatan wanita muslimah. Pemaknaan akan selalu muncul dalam setiap pembuatan pesan, penerimaan pesan dan proses yang berlangsung di dalamnya. Pembuatan dan penerimaan pesan dapat dimaknai dari berbagai perspektif termasuk individual. Pembuatan pesan berurusan dengan bagaimana pesanpesan dihasilkan yang bermuara pada produk pesan. Baik pembuatan maupun penerimaan pesan, berkutat di seputar bagaimana manusia memahami, mengorganisasikan dan menggunakan informasi yang terkandung dalam pesan. Sebagaimana diketahui bahwa komunikasi merupakan proses yang fokus pada pesan yang dibangun oleh berbagai informasi. Makna dan pemaknaan ini sesungguhnya harus dilakukan terhadap apa atau siapa, sehingga bisa diperoleh kebenaran. Konsep pemaknaan yang peneliti maksudkan yaitu jilbab adalah sebuah objek dan anggota komunitas hijabers adalah sebuah subjek. Jadi bagaimana pemaknaan jilbab menurut komunitas hijabers dalam segi syari’at, karena mereka yang merubah paradigma atas jilbab dulu dan jilbab sekarang sehingga paradigma mereka menjadi populer dan bahkan booming hampir diseluruh dunia.
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo | 77
Makna Jilbab Pada Komunitas Hijabers Gorontalo Agustina A. Sugeha, Sumarjo, dan Zulaeha Laisa
Makna Jilbab dari Perspektif Komunitas Hijabers Gorontalo Setiap wanita yang berhijab mempunyai kisah masing-masing asal mula berjilbab atau pengalaman yang membuat mereka sadar akan berhijab termasuk para wanita-wanita yang tergabung dalam komunitas Hijabers Gorontalo (HG) ini. Berdasarkan wawancara dengan sepuluh informan. Informan pertama menyatakan bahwa mulai dari kebiasaan berjilbab dari sekolah yang membuat dia semakin nyaman menggunakan jilbab dan sampai sekarang tetap berjilbab. Secara tidak langsung dia sudah melaksanakan aturan Allah yang tertera dalam firman Allah. Memakai jilbab bukan hanya sekedar pakai lepas-pakai lepas, karena berdosalah jika wanita yang telah mengenakan jilbab, tapi masih saja pakai lepas-pakai lepas. Karena ketika kita mengenakan jilbab, sebenarnya kita telah membangun konsolidasi dengan Allah dengan menutup aurat yang dianjurkan Allah kepada kaum hawa. Informan kedua dan ketiga menyatakan bahwa ketika kita ingin berjilbab sungguh-sungguh harus ada kesadaran diri dari kita untuk berjilbab. Tapi itu semua tidak bisa dipungkiri bahwa setiap manusia membutuhkan interaksi sosial untuk menyampaikan pesan dan penerima pesan, agar pesan dapat diterima dengan baik. Dengan kemampuan berpikir manusia yang dibentuk oleh interaksi sosial, maka simbol jilbab ini diberi makna sehingga timbul adanya tindakan yang akan dilakukan manusia dengan mengenakan jilbab itu semua hasil dari interaksi yang dilakukan. Jilbab sesungguhnya menunjukkan simbol agama Islam. Mengenakan jilbab memiliki banyak fungsi dan manfaat untuk kaum hawa, seperti pelindung dari godaan orang-orang jahat, bisa mengontrol kita berbuat-buat maksiat atau hal-hal yang buruk. Makna yang dapat disimpulkan dari ketiga informan ini adalah jilbab suatu perintah Allah yang wajib dilaksanakan dan dari pengalaman yang mereka alami ada kesadaran diri dari mereka, yang membuat mereka berpikir serta melakukan
tindakan dengan berjilbab. Informan ke empat sampai kesepuluh menyatakan bahwa bahwa makna jilbab sekarang mengalami perubahan dalam segi berpenampilan. Jilbab dulu hanya monoton itu-itu saja bentuknya seperti model topi, segi empat dan tidak fashionable. Melalui komunitas hijabers Gorontalo ini menginspirasikan banyak wanita untuk berhijab. Makna jilbab ini telah dibangun komunitas HG Komunitas ini adalah mereka melihat bahwa perkembangan gaya busana sudah semakin banyak mengalami perubahan. Busana wanita muslim yang seharusnya menjadikan jati diri dari wanita muslim mulai bergeser dan menurun peminatnya karena anggapan mereka bahwa busana muslim tersebut tidak bisa mengikuti perkembangan gaya berbusana terkini. Persepsi, manusia tidak hanya tunduk pada satu alternatif tetapi bebas memilih dan menentukan tindakan yang akan diambilnya. Hal ini juga yang membedakan antara manusia dengan hewan yaitu kemampuan berfikirnya yang mampu membayangkan hal-al yang akan terjadi dimasa depan sebelum seseorang melakukan tindakan tersebut. Dengan busana muslimah yang modis maka komunitas HG mampu membangun simbol dalam masyarakat bahwa wanita bisa tampil modis tanpa harus melepaskan jilbabnya yang menunjukan sebagai jati diri wanita muslim yang anggun. Dalam HG setelah menentukan bahwa jilbab bisa dimodifikasi dengan busana terkini yang mampu menghasilkan trend fashion baru, sebagai suatu komunitas yang berlabelkan Islam maka mereka menambah dengan berbagai tindakan yang menunjukan kalau mereka itu komunitas Islam. Komunitas HG menentukan tindakan agar jilbab tetap memiliki eksistensinya dalam masyarakat dengan cara mengkeasikan jilbab tersebut dengan gaya busana terkini dan juga tata rias yang menarik.
78 | Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo
ARTIKEL ILMIAH Vol. 1, No. 1, Januari 2015 www.kimkomunikasi.ung.ac.id
Identitas dan Gaya Berjilbab Hijabers Busana muslimah kian “up to date”, begitu kesan yang muncul, dan menandakan bahwa dunia fashion pada akhirnya melirik busana muslimah sebagai alternatif gaya dan merupakan upaya adaptasi busana muslimah yang dahulu diidentikkan dengan pakaian kaum pinggiran kepada kalangan atas, dan sebagaimana lazimnya peragaan busana lainnya, hanya sekitar 30% saja dari busana yang diperagakan dapat dipakai, selebihnya hanyalah untuk menarik perhatian saja. Umumnya para wanita muslim lebih memilih memakai jilbab modern/modifikasi karena mereka tertarik dengan berbagai macam model jilbab sekarang. Selain itu ada diantara mereka yang memakai jilbab modern untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sedangkan yang lainnya memakai jilbab modern karena tidak ingin dianggap kuno. Disini bisa dilihat bahwa para wanita muslim tersebut tidak ingin menjadi terasing dari lingkungannya, oleh sebab itu mereka memutuskan untuk memakai jilbab modifikasi karena lingkungan sekitar mereka juga memakai jilbab yang sama. Mengomunikasikan identitas diri menggunakan medium fashion adalah hal umum yang dilakukan oleh banyak orang. Salah satu pilihan fashion tersebut adalah jilbab. Penutup kepala ini telah berkembang menjadi satu identitas sosial bagi pemakainya. Jilbab sekarang ini memiliki banyak varian corak dan model. Seperti yang berlaku dalam komunitas hijabers Gorontalo. Ciri utama yang ditonjolkan oleh komunitas ini lebih menekankan konsep fashionable yang selalu menjadi sayang untuk tidak diikuti muslimah penikmat mode. Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup adalah pola hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktivitas, minat dan opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam
berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya hidup juga menunjukkan bagaimana orang hidup, bagaimana membelanjakan uangnya, dan bagaimana mengalokasikan waktu dalam kehidupannya, juga dapat dilihat dari aktifitas sehari-harinya dan minat apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Dua informan menyatakan bahwa orang-orang yang memakai jilbab ala Hijabers akan terlihat lebih Stylish dan tidak kolot. Komunitas ini menunjukkan bahwa mereka sangat kreatif dan unik. Karena tidak semua pakaian mereka di beli di pusat pertokoan. Misalnya butik ataupun distro. Mereka menjahit pakaian mereka sendiri. Bahkan menurut penuturan salah satu informan ada juga pakaian yang mereka jahit itu mereka jual dengan label nama mereka sendiri. Banyak orang berpendapat bahwa jilbab dan kerudung itu adalah pakaian orang kampung yang masih kolot, seperti orang yang hidup di zaman dahulu dan sudah kuno. Oleh karena itu jilbab dan kerudung tidak lagi cocok untuk dipakai di masa modern seperti saat ini. Dan orang masih memakainya adalah orang yang fanatik dan ekstrim terhadap agamanya saja. Namun, kini sepertinya pernyataan itu mulai terkikis dengan lahirnya banyak mode kerudung. Sebelumnya memang jarang orang yang berkerudung, Baik anak muda maupun orang tua. Namun dengan munculnya mode kerudung yang beraneka ragam tersebut banyak muslimah yang kini memakai jilbab. Walaupun tidak semuanya murni lahir dari diri sendiri atau hanya ingin mengikuti mode saja, mode jilbab yang kini semakin beraneka ragam bisa mengubah masyarakat yang awalnya beranggapan bahwa kerudung itu menyeramkan menjadi menyukainya. Wanita berhijab yang tergabung dalam HG berupaya untuk selalu tampil maksimal dengan kreasi jilbab kontemporer atau jilbab kekinian di Indonesia. Chaney (Ibrahim, 2007) mengatakan tentang lookism atau tampangisme atau wajahisme yang kini mulai menjadi persoalan untuk
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo | 79
Makna Jilbab Pada Komunitas Hijabers Gorontalo Agustina A. Sugeha, Sumarjo, dan Zulaeha Laisa
selalu tampil menarik yang tidak hanya dalam dunia fashion tetapi juga kehidupan sehari-hari. Menurut dua informan lainnya menyatakan bahwa hijabers berusaha memadupadankan mode jilbab dan kerudung ala mereka yakni sesuatu yang tidak monoton dari segi warna dan potongan kain baju. Aksesoris jilbab yang unik dan minimalis seperti ciput ninja (kain
sebagai pelapis dalaman jilbab yang berbentuk seperti penutup kepala seorang ninja namun terbuka untuk keseluruhan wajah) dengan beragam motif pun menjadi sesuatu yang disayangkan untuk tidak dipadukan. Dapat dilihat bahwa ciri jilbab ala HG yakni selalu berwarna, dipakai dengan metode berjilbab yang tidak biasa dan dipadankan dengan pakaian yang juga fashionable.
Gambar 2. Gaya Jilbab Hijabers Gorontalo Sumber: Dokumentasi anggota Hijabers Gorontalo
Ciri khas jilbab kontemporer tersebut menandakan gaya hidup tersendiri dari komunitas Hijabers. Mengingat, persoalan gaya hidup juga menyangkut apa yang dikenakan seseorang termasuk kerudung, pakaian, dan aksesoris pendukung penampilan. Selain dari gaya hidup berpakaian yang kemudian melahirkan ciri khas tersendiri, HG juga menampilkan gaya hidup yang lain. Dalam menciptakan identitas diri maupun identitas komunitas, komunitas bisa saja menitikberatkan pada pilihan busana dan gaya hidup. Seperti halnya HG Ekslusifitas dirasa lahir dari gaya berbusana mereka. Eksklusifitas itu pula yang melekatkan identitas sosial pada komunitas jilbab kontemporer ini. John Berger (Ibrahim, 2007) mengatakan Pakaian kita, model rambut, dan seterusnya adalah sama tingkatannya dan digunakan untuk menyatakan identitas kita‟ Menurut Chaney (Ibrahim 2007) dalam kajian kasus HG ini, setiap perilaku baik individu atau kelompok akan membentuk suatu identitas sosial. Terlepas apakah identitas tersebut sifatnya positif atau negatif. Maksudnya, ada fungsi dan
identitas baik yang ingin ditampakkan HG namun juga terjadi fungsi dan identitas yang tidak diinginkan. Simpulan dan Saran Simpulan antara lain: (1). Anggota Hijabers memaknai jilbab sebagai kewajiban yang harus ditaati oleh semua wanita muslim, sebagai petunjuk jati diri sebagai wanita Islam melalui kesadaran dari diri mereka dengan adanya suatu pengalaman yang mereka alami, seperti pengalaman pakai lepas jilbab dan berinteraksi dengan teman mereka yang telah berjilbab lebih dulu, menjadikan mereka berpikir bahwa buka lepas jilbab adalah perbuatan dosa dan membuat mereka sadar serta bertindak untuk mengenakan jilbab yang sebenar-benarnya. Dan memaknai jilbab tidak hanya sekedar suatu representasi spiritual kepada Allah, tetapi juga jilbab sekarang sebagai bentuk dari fashion baru seperti tren mode busana muslim dan kreasi jilbab yang lucu dan menarik. Penggunaan jilbab tidak lagi hanya sebatas perintah agama, namun juga sebagai simbol wanita muslimah yang fashionable; (2). Identitas sosial yang
80 | Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo
ARTIKEL ILMIAH Vol. 1, No. 1, Januari 2015 www.kimkomunikasi.ung.ac.id
dibentuk komunitas HG adalah identitas diri dan identitas komunitas yang bersifat ekslusif. Dalam menciptakan identitas diri maupun identitas komunitas, komunitas bisa saja menitikberatkan pada pilihan busana dan gaya hidup. Seperti halnya HG Ekslusifitas dirasa lahir dari gaya berbusana mereka. Eksklusifitas itu pula yang melekatkan identitas sosial pada komunitas jilbab kontemporer ini. Saran antara lain: (1). Diharapkan kepada para perempuan muslimah yang tergabung dalam komunitas jilbab
kontemporer atau Hijabers agar mengindahkan sisi religiutas sebuah hijab dan bukan hanya karena fashion semata. Sebab penilaian masyarkat berbeda-beda. Ada yang postif dan negatif terhadap komunitas Hijabers Gorontalo ini; (2). Diharapkan kepada masyarakat yang menilai negatif untuk tidak menilai suatu komunitas secara negatif dari tampilan luar suatu komunitas, termasuk kumpulan wanita–wanita berhijab yang disebut Hijabers Gorontalo.
Daftar Pustaka An-Nur. 2006. Fenomena Jilbab. Manado: Majelis Jalsatul Itsnain. Chaney, David. 2007. Lifestyle Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra Creswell, John W. 2013. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ritzer, G. dan D.J. Goodman. 2008. Teori Sosiologi Modern Edisi Keenam. Terj. Alimandan. Jakarta: Kencana. Fitri, Idatul dan Nurul Khasanah. 2012. 110 Kekeliruan dalam Berjilbab. Jakarta: Al Msaghfiroh. Ibrahim, Idi Subandy. 2007. Budaya Populer Sebagai Komunikasi (Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia
Kontemporer). Yogyakarta: Jalasutra. Kuswarno, Engkus. 2008. Fenomenologi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Mulyana, Deddy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Talani, Noval S. 2013. Fenomena Pengelolaan Kesan Facebookers Dalam Akun “Funco Comics”: Studi Fenomenologi Tentang Pengelolaan Kesan Pengguna Situs Jejaring Sosial Facebook (Facebookers) Dalam Akun Pecinta Komik “Funco Comics”. Tesis Magister Ilmu Komunikasi. Bandung: Program Pascasarjana UNISBA.
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo | 81