UNIVERSITAS INDONESIA
MODUS OPERANDI PELARIAN DARI LAPAS : KAJIAN UNTUK PENCEGAHAN PELARIAN PENGHUNI
TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial
MUHAMMAD FAUZY 0806463675
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN KRIMINOLOGI DEPOK JUNI, 2012
1
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Muhammad Fauzy
NPM
: 0806463675
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 20 Juni 2012
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
iii
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
iv
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMAKASIH Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah SWT, karena berkat rahmat-Nya, tugas karya akhir ini dapat terselesaikan. Penulisan tugas karya akhir ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Departemen Kriminologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, maka sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: 1.
Buya, Umi, bang Iwan beserta kak Iar, Kak Ipit beserta Bang Buyung, Kak Dewi beserta Bang Yus dan Bang Ilyas beserta Kak Fifi. Terima kasih khususnya pada Umi dan Buya atas dukungannya dan Kak Dewi sebagai sponsor dalam pembuatan tugas karya akhir ini;
2.
Drs. Dadang Sudiadi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tugas karya akhir ini;
3.
Pihak Subdit Pencegahan dan Penindakan Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, khususnya pada Pak Toro, Mas Arif, dan bu Norma ;
4.
Drs. Nadzif Ulfa, M.Si. selaku penguji ahli yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk menguji skripsi ini.
5.
Seluruh dosen Departemen Kriminologi, khususnya Mas Kisnu Widagso, S.Sos, M.T.I. selaku pembimbing akademis, Prof. Roni Nitibaskara, Prof. Adrianus Meliala, Prof. Bambang Widodo Umar, dan Yogo Tri Hendiarto, S.Sos yang mengajar di kelas metode penelitian (LPK dan Seminar), Moh. Irvan Olii, S.Sos, M.Si yang sudah membimbing selama proses magang dan seluruh staff di Departemen Kriminologi, khususnya Mas Arief yang telah membantu dalam masalah administrasi dan seluruh staff di FISIP UI;
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
v
6.
Maharani Sulistyaningrum. Terima kasih atas bantuan, semangat dan dukungannya selama penulis menyelesaikan tugas karya akhir ini.
7.
Teman seperjuangan yang telah banyak membantu menyelesaikan tugas karya akhir ini, Obet sebagai mentor, Irzan, Yogi, Prima, Heri, Ari dan Nicko (kawan bareng nongkrong di Perpustakaan Pusat UI);
8.
Krim 2008, Agam, Ajhe, Anya, Dipta, Ipin, Arifana, Arum, Asiska, Atta, Popy, Bob, Echi, Dian, Byan, Efricko, Vira, Esa, Feri, Firas, Franz, Raka, Indra, Sisil, Kevin, Lilies, Momoth, Hepi, Nicko, Nur, Oshin, Rama, Radit, Rima, Abe, Roland, Siska, Tari, Usman ben Kumoring, Mamang, Stevi, Wahyu, Yani. Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga tugas karya akhir ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Jakarta, 20 Juni 2012 Penulis
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Muhammad Fauzy NPM : 0806463675 Program Studi : S1 Reguler Departemen : Kriminologi Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jenis karya : Tugas Karya Akhir demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : MODUS OPERANDI PELARIAN DARI LAPAS : KAJIAN UNTUK PENCEGAHAN PELARIAN PENGHUNI beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia /formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 20 Juni 2012
Yang menyatakan
(Muhammad Fauzy)
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
vii
ABSTRAK Nama : Muhammad Fauzy Program Studi : Kriminologi Judul : Modus Operandi Pelarian dari Lapas : Kajian Untuk Pencegahan Pelarian (Depok, 2012, xvii + 131 halaman + 5 halaman daftar referensi: 8 buku, 13 Jurnal, 4 karya ilmiah, 7 artikel berita, 20 berita acara pemeriksaan pelarian di Lapas) Penelitian ini membahas mengenai modus operandi pelarian dari Lembaga Pemasyarakatan dengan rentang waktu antara tahun 2010-2012. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Data mengenai modus operandi ini didapat dari berita acara pemeriksaan terhadap kasus pelarian yang terhadi di UPT Pemasyarakatan. Setelah modus operandi pelarian di Lembaga Pemasyarakatan ini didapatkan, maka selanjutnya dilakukan kajian untuk pencegahan pelarian dengan pendekatakan pencegahan kejahatan situasional (situational crime prevention)
Kata kunci : modus operandi, pelarian, pencegahan kejahatan situasional (situatioanl crime prevention)
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
viii
ABSTRACT Name : Muhammad Fauzy Study Programme : Criminology Title : Modus Operandi of Prison Escape: Study for Prison Escape Prevention (Depok, 2012, xvii + 131 pages + 5 pages of list reference : 8 books, 13 journal, 4 scientific paper, 7 news article, 20 investigastion report) The main objective of this research is to understand modus operandi of prison escape which it’s happen from 2010 until 2012. This research used qualitative approach method. Data of this research come from investigation report of prisoner escape which is happened in Indonesia’s prison. After then we analyses to get conclusion for prevention escape the prisoner by situational crime prevention method.
Keywords: Modus operandi, prison escape, situational crime prevention
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................ ............................ HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI................................ .......................... KATA PENGANTAR................................... .................................................... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN............................................. ABSTRAK ......................................................................................................... DAFTAR ISI ..................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................ DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ DAFTAR SKEMA ........................................................................................... DAFTAR DENAH ............................................................................................
ii iii iv v vi vii ii xii xiv xv xvi
1.
PENDAHULUAN ...................................................................................... I.1. Latar Belakang Masalah .................................................................... I.2. Permasalahan ...................................................................................... I.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... I.4. Signifikansi Penelitian ....................................................................... KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN TEORI … .......................................... II.1. Kajian Pustaka ................................................................................... II.2. Kerangka Teori .................................................................................. II.2.1. Definisi Konsep ...................................................................... II.2.1.1. Lembaga Pemasyarakatan ............................................ II.2.1.2. Warga Binaan Pemasyarakatan .................................... II.2.1.3. Pelarian ......................................................................... II.2.1.4. Modus Operandi ........................................................... II.2.1.5. Situational Crime Prevention ....................................... II.2.2. Kerangka Pemikiran ................................................................ II.2.2.1.Pelarian ...................................................................................... II.2.2.2.RationalChoice .......................................................................... II.2.2.3.Modus Operandi dan Situational Crime Prevention ................. II. 2.2.4. Situational Prison Control ......................................................
1 1 6 7 8 9 9 22 22 22 22 22 23 23 23 23 26 26 37
3.
TEKNIK PENGUMPULAN DATA ........................................................ III.1.Teknik Pengumpulan Data .................................................................. III.2.Teknik Analisis Data ........................................................................... III.3.Sistematika Penulisan .........................................................................
42 42 42 43
4.
TEMUAN DATA LAPANGAN .............................................................. IV.1.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Sanana .................................... IV.2.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Cianjur .................................... IV.3.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Jambi ...................................... IV.4.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Nabire ..................................... IV.5.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Cianjur ....................................
44 45 48 51 53 56
2.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
x
IV.6.Laporan pelarian dari Lapas Klas I Batu Nusakambangan ................. IV.7.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Kendari ................................... IV.8.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Singkawang ............................ IV.9.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Manokwari ............................. IV.10.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Cibinong ............................... IV.11.Laporan pelarian dari Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar . IV.12.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Manado ................................. IV.13.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Bukittinggi ........................... IV.14.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Tabanan ................................ IV.15.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Manado ................................ IV.16.Laporan pelarian dari Lapas Terbuka Jakarta …… ........................... IV.17.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Lhokseumawe ...................... IV.18.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Bengkulu .............................. IV.19.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Luwuk Sulawesi Tengah ...... IV.20.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Sidoarjo ................................ ANALISIS ................................................................................................. V.1.Pola Modus Operandi ........................................................................... V.2.Upaya Pencegahan Pelarian .................................................................
59 61 64 67 70 72 74 76 79 81 84 88 90 94 98 101 101 122
BAB VI. KESIMPULAN .................................................................................
130
5.
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
xi
DAFTAR TABEL Tabel 1.1
Data Kapasitas dan Rekapitulasi Jumlah Penghuni Lapas/ Rutan/Cab. Rutan di Seluruh Indonesia Bulan Maret 2011..................3
Tabel 1.2
Rekapitulasi Jumlah Pelarian Narapidana/Tahanan 2006-2011 ..........4
Tabel 2.1
Perbandingan modus operandi dari Mayor L.W. Atcherley, Robert D. Keppel dan William J. Birnes, dan Rachel Boba ................32
Tabel 4.1
Rekapitulasi Jumlah Pelarian pada Lapas/Rutan Januari – DesemberTahun 2010 ..........................................................................44
Tabel 4.2
Rekapitulasi Jumlah Pelarian pada Lapas/Rutan Januari – Desember Tahun 2011 .........................................................................45
Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Sanana ...............................47 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Cianjur … ..........................50 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Jambi ……… ....................52 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Nabire … ........................... 55 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Cianjur … ..........................57 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas I Batu Nusakambangan ...........60 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Kendari .............................63 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Singkawang … ..................65 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Manokwari ........................68 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Cibinong ...........................71 Modus Operandi Pelarian Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar Sumatera Utara ……… ...........................................73
4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 4.11 4.12 4.13
Tabel 4.14 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Manado .............................75 Tabel 4.15 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Bukittinggi Sumatera Barat … .................................................................................78 Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel Tabel
4.16 4.17 4.18 4.19 4.20 4.21 4.22 5.1 5.2 5.3 5.4
Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Tabanan Bali … .................80 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Manado ……… .................82 Modus Operandi Pelarian Lapas Terbuka Jakarta … ........................... 87 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Lhokseumawe Aceh .........89 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Bengkulu ……… .............. 92 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Luwuk Sulawesi Tengah 95 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Sidoarjo Jawa Timur ...... 99 Point of Escape (titik pelarian) ......................................................... 101 Methods of Escape (Cara Melakukan Pelarian) …… ........................ 103 Kind of Tools ………………………… ................................................. 105 Time of Escape ………….................................................................... 106
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
xii
Tabel 5.5 Tabel 5.6
Type of Location (titik awal pelarian) ……… ................................... 109 Hubungan antara point of escape (titik pelarian) dengan methods of escape (cara melakukan pelarian) ……........................ 111
Tabel 5.7
Hubungan antara point of escape (titik pelarian) dengan time of escape (waktu pelarian) ................................................................ 114 Tabel 5.8 Hubungan antara time of escape (waktu pelarian) dengan methods of escape(cara melakukan pelarian) ................................... 116 Tabel 5.9 Hubungan antara time of escape (waktu pelarian) dengan kind of tools (alat yang digunakan untuk melakukan pelarian) ................ 118 Tabel 5.10 Hubungan antara time of escape (waktu pelarian) dengan type of location (titik awal pelarian) ................................................. 120
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
xiii
DAFTAR GAMBAR Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar
2.1 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5
Model Penjara Sing-Sing, New York … ............................................11 Ilustrasi Pelarian Lapas Klas IIA Manado, 4 Februari 2012 … .........83 Temuan Alat Bantu Pelarian di Lapas Klas IIB Luwuk ....................96 Reka Ulang Pengecekan Blok Hunian di Lapas Klas IIB Luwuk .....96 Reka Ulang Pengecekan di Blok III Lapas Klas IIB Luwuk .............97 Pagar kawat pembatas yang dirusak … ..............................................97
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
xiv
Skema
DAFTAR SKEMA Model Kontrol Situasional Penjara ………………………………… 38
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
xv
DAFTAR DENAH Denah 4.1 Denah 4.2 Denah 4.3
Alur Pelarian WBP X di Lapas Klas IIB Singkawang …………….. 66 Alur Pelarian Tahanan X (Lapas Klas IIA Bengkulu) ……………... 93 Denah Pelarian Tahanan X Lapas Klas IIA Sidoarjo …………….. 100
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Bagi para terpidana, Lembaga Pemasyarakatan (kemudian disebut sebagai Lapas) sebagai institusi reintegrasi sosial seharusnya menjadi tempat untuk memperbaiki diri agar di kemudian hari dapat kembali bersosialisasi di tengah masyarakat
seperti
sediakala sebelum
mereka melakukan kesalahan
yang
menyebabkannya masuk penjara. Ini selaras dengan apa yang termaktub dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995; “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab” (Sibatangkayu, 2008). Berdasarkan UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pada pasal 1 ayat (2) dikatakan bahwa “Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”. Sedangkan dalam buku cetak biru pembaharuan pelaksanaan sistem pemasyarakatan (2008), dinyatakan bahwa tujuan dari pembinaan adalah untuk mencegah terjadinya prisonisasi (proses pembelajaran dalam kultur penjara) yang justru dapat membuat kondisi seseorang (narapidana) lebih buruk dari pada sebelum ia masuk ke dalam Lapas (Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2008 hal: 7).
1
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
2
Untuk menunjang pembinaan tersebut, tentunya dibutuhkan suasana yang kondusif dalam Lembaga Pemasyarakatan. Untuk menciptakan suasana kondusif ini, dubutuhkan keadaan yang aman dan tertib. Ketika terjadi gangguan keamanan dan ketertiban dalam Lapas, maka kegiatan pembinaan ini akan terganggu. Mengutip dari Sanusi dan Wiranta (2003) yang menyatakan bahwa dalam konteks Lapas dan Rutan, pemeliharaan keamanan merupakan faktor yang sangat penting dalam lingkungan lembaga dan para penghuninya agar tidak terjadi peristiwa yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban di dalam Lapas. Oleh sebab itu, aspek keamanan bukan hanya menjadi prasyarat utama dalam pembinaan narapidana, melainkan juga dalam sistem pemasyarakatan secara keseluruhan. Masalahnya, ketika rasa aman mengalami ketidaknyamanan, maka akan berpengaruh terhadap pola pembinaan yang telah dibuat dan dijadwalkan. Akibatnya, tidak tertutup kemungkinan adanya ancaman terhadap pembinaan dan kelangsungan sistem pemasyarakatan itu sendiri (Rahayu, 2007 hal:5). Untuk melaksanakan pembinaan, selain keamanan, dibutuhkan keadaan yang kondusif. Namun pada kenyataannya, Lapas di Indonesia memiliki banyak masalah. Salah satu masalahnya berada pada manajemen dari Lapas itu sendiri. Buruknya manajemen lembaga pemasyarakatan di Indonesia sudah bukan rahasia lagi. Berbagai masalah yang muncul terus berlangsung tanpa pernah ditemukan solusi yang tepat meski pada saat bersamaan selalu mendapat kritikan dari berbagai elemen masyarakat (Sibatangkayu, 2008 hal:2). Beberapa masalah yang ada pada Lapas anatara lain: 1. Overcrowding. Berdasarkan
data
dari
Direktorat
Bina
Kamtib
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan, diketahui bahwa per bulan Maret 2011, seluruh Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyrakatakan sudah mengalami kelebihan kapasitas sejumlah 32.447 orang. Data tersebut bisa dilihat dari tabel berikut:
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
3
Tabel 1.1 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN JL. VETERAN NO. 11 JAKARTA DATA KAPASITAS DAN REKAPITULASI JUMLAH PENGHUNI LAPAS/RUTAN/CAB. RUTAN DI SELURUH INDONESIA BULAN MARET 2011
NO. (1)
NAMA UPT
(2)
KAPASITAS (3)
JUMLAH ISI (4)
OVER / UNDER KAPASITAS (5)
1
KANWIL ACEH
2607
3433
-826
2
KANWIL SUMATERA UTARA
8720
15194
-6474
3
KANWIL SUMATERA BARAT
1969
2448
-479
4
KANWIL KEPULAUAN RIAU
1817
1996
-179
5
KANWIL R I A U
1903
1903
0
6
KANWIL SUMATERA SELATAN
4144
6187
-2043
7
KANWIL JAMBI
1061
2103
-1042
8
KANWIL KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
879
969
-90
9
KANWIL LAMPUNG
2887
4312
-1425
10
KANWIL BANTEN
3367
4542
-1175
11
KANWIL DKI JAKARTA
4888
10921
-6033
12
KANWIL BENGKULU
730
1298
-568
13
KANWIL JAWA BARAT
8893
15206
-6313
14
KANWIL D.I YOGYAKARTA
907
1241
-334
15
KANWIL JAWA TENGAH
11064
9805
1259
16
KANWIL JAWA TIMUR
10476
15513
-5037
17
KANWIL KALIMANTAN BARAT
2335
2523
-188
18
KANWIL KALIMANTAN TENGAH
1142
1711
-569
19
KANWIL KALIMANTAN SELATAN
1589
3716
-2127
20
KANWIL KALIMANTAN TIMUR
2284
3814
-1530
21
KANWIL SULAWESI UTARA
1871
1539
332
KANWIL SULAWESI TENGAH
1410
1576
-166
22
KANWIL GORONTALO
480
566
-86
23
KANWIL SULAWESI SELATAN
5335
3717
1618
24
KANWIL SULAWESI BARAT
650
400
250
25
KANWIL SULAWESI TENGGARA
1724
1498
226
26
KANWIL PAPUA
1666
1199
467
27
KANWIL IRIAN JAYA BARAT (PAPUA BARAT)
436
401
35
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
4
NO. (1)
NAMA UPT
(2)
KAPASITAS (3)
JUMLAH ISI (4)
OVER / UNDER KAPASITAS (5)
28
KANWIL B A L I
914
1712
-798
29
KANWIL MALUKU
1110
772
338
30
KANWIL NUSA TENGGARA BARAT
1169
1616
-447
31
KANWIL MALUKU UTARA
1600
554
1046
32
KANWIL NUSA TENGGARA TIMUR
2739
2828
-89
JUMLAH
94766
127213
-32447
Sumber: Laporan Data Kapasitas dan Rekapitulasi Jumlah Penghuni Lapas/Rutan/Cab. Rutan di Seluruh Indonesia Bulan Maret 2011Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
2. Pelarian Pelarian merupakan hal yang kerap terjadi di UPT Pemasyarakatan di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi fluktuasi jumlah pelarian. Namun berdasarkan data yang ada, dapat dilihat bahwa pelarian yang dilakukan narapidana selalu lebih banyak daripada yang dilakukan tahanan. Untuk melihat tren pelarian, dapat dilihat dari tabel berikut : Tabel 1.2 Rekapitulasi Laporan Pelarian Narapidana/Tahanan 2006-2011 Tahun 2006
2007
2008
2009
2010
2011
Kejadian
114
84
77
84
82
69
Narapidana
173
243
90
91
113
107
Tahanan
100
28
31
76
45
41
60
46
19
26
25
40
Tertangkap Kembali
Sumber : Rekapitulasi Pelarian Lapas/Rutan 2006-2011 Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
5
3. Penemuan Narkoba Kasus lainnya yang menjadi masalah di Lapas yaitu adanya penemuan narkoba di dalam Lapas. Berdasarkan data dari beberapa media, diberitakan terdapat penemuan narkoba di beberapa Lapas di Indonesia selama tahun 2012. Kasus penemuan tersebut antara lain terjadi di Lapas Khusus Narkotika Cipinang dimana barang yang ditemukan sabu-sabu seberat 3,2 gram (kompas.com, 11 Januari 2012). Selanjutnya penemuan narkoba juga terjadi di Lapas Narkotika Cirebon berupa dua paket besar putaw (twibunnews.com, 8 April 2012). Untuk kasus terbaru adalah penemuan narkoba di Lapas Madiun. Berdasarkan berita yang ada, dikatakan bahwa temuan narkoba di Lapas Klas I Madiun meningkat. Jika pada tahun 2011 pihak kepolisian menemkan narkoba hampir 70 gram, maka pada 2012 sampai dengan Juni saja, sudah ditemukan 50 gram sabu dan pil double L hampir 15 ribu butir (rri.co.id, 16 Juni 2012).
4. Kerusuhan Masalah berikutnya yang ada di Lapas adalah kasus kerusuhan. Berdasarkan pemberitaan dari media, pada 27 Juni 2011 terjadi kerusuhan di Lapas Kerobokan, Denpasar, Bali dengan total kerugian hampir Rp. 3 Milliar (Kompas, Juni 2011). Sebenarnya, permasalahan yang ada di penjara di Indonesia masih banyak, seperti kasus kekerasan baik antar narapidana maupun antar narapidana dengan petugas. Namun, keempat kasus diatas merupakan kasus utama yang jumlahnya besar dan menjadi perhatian dari berbagai pihak. Mengutip pendapat dari Andi Gunawan (2005) yang menyatakan bahwa kegiatan narapidana di dalam Lapas merupakan kegiatan yang sangat kompleks yang melibatkan berbagai aspek. Aspek yang sangat dominan dalam kegiatan Lapas adalah aspek pembinaan dan aspek keamanan, aspek pebinaan dan aspek keamanan ini merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan pembinaan narapidana. Di dalam peraturan Penjagaan Lapas disebutkan bahwa “Keamanan dan Ketertiban yang mantap di dalam Lapas adalah merupakan syarat mutlak berhasilnya upaya pembinaan”. Dengan kata lain, pembinaan narapidana akan berjalan dan berhasil
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
6
dilakukan sangat bergantung pada terciptanya kondisi keamanan dan ketertiban di dalam Lapas (Rahayu, 2007). Dalam Prosedur Tetap (Protap) Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan, disebutkan bahwa jenis-jenis gangguan Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) di Lapas meliputi : a. Pencurian, pemerasan, dan pengancaman. b. Perkelahian antar Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan (didalam kamar atau di luar kamar). c. Pemberontakan dan perlawanan terhadap petugas. d. Kebakaran. e. Unjuk rasa dan mogok makan. f. Pelarian perorangan maupun massal. g. Bencana alam (banjir, gempa bumi, angin topan). h. Penyerangan dari luar Lapas. i. Lain-lain gangguan keamanan dan ketertiban.
Dari bentuk-bentuk gangguan kamtib diatas, penulis mencoba mengambil kasus mengenai pelarian. Pelarian akan dilihat dalam bentuk modus operandi yang dilakukan oleh Warga Binaan Pemasyarakatan yang melakukan pelarian tersebut. Dalam Protap, pelarian merupakan salah satu bentuk gangguan Kamtib. Untuk mencegah hal itu, selain diatur dalam Protap, juga dapat dilakukan pencegahan dengan melakukan tindakan pengamanan. Tindakan ini ditujukan untuk melakukan pencegahan terhadap pelarian.
I.2. Permasalahan Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat dimana orang yang bersalah menurut hukum menjalani hukumannya. Namun pada kenyataannya, Lapas sendiri mempunyai berbagai masalah. Masalah yang munculnya ini khususnya mengenai gangguan keamanan dan ketertiban. Ketika masalah gangguan keamanan dan
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
7
ketertiban ini muncul, ada asumsi bahwa kegiatan pembinaan terhadap para narapidana tidak akan berjalan dengan baik. Salah satu permasalahan gangguan keamanan dan ketertiban yang ada di Lapas adalah banyaknya kasus pelarian yang terjadi dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir. Kasus ini cukup menjadi perhatian, terutama dari media massa dan masyarakat. Yang menjadi perhatian, terutama pihak Lapas, karena mereka dianggap pihak yang paling bertanggung jawab terhadap peristiwa pelarian tersebut. Meskipun upaya pengamanan sudah dilakukan, misalnya dengan membuat standar pengamanan, membentuk regu pengamanan, menciptakan pembatas fisik bangunan (kesemuanya diatur dalam Protap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan) hingga pemasangan CCTV di tempat tertentu untuk mengawasi pergerakan para narapidana, namun pada kenyataannya tindakan pelarian dari Lapas masih tinggi. Hal ini yang pada akhirnya menjadikan studi mengenai pelarian ini menjadi menarik untuk dikaji. Dari permasalahan ini, kemudian mengerucut menjadi dua pertanyaan, yaitu: 1. Bagaimana modus operandi pelarian dari Lapas? 2. Bagaimana strategi pencegahan pelarian dengan mendasarkan pada modus operandinya?
I.3. Tujuan Penulisan Tujuan dari dilakukannya penelitian kali ini adalah untuk mengetahui bagaimana modus operandi pelarian dari dalam Lapas. Modus ini diperlukan untuk membuat kebijakan dalam hal pencegahan pelarian dari Lapas. Dalam hal pencegahan pelarian ini, penulis akan menggunakan pendekatan pencegahan kejahatan situasional atau Situational Crime Prevention (SCP).
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
8
I.4. Signifikansi Penulisan I.4.1. Signifikansi akademis Signifikansi akademis dari penulisan ini adalah untuk menambah wawasan pemikiran dan menambah referensi tentang pencegahan kejahatan secara situasional khususnya dalam lembaga pemasyarakatan. I.4.2. Signifikansi praktis Signifikansi praktis yang diharapkan dari tulisan ini adalah agar dapat menjadi masukan bagi pihak petugas Lapas di Indonesia dalam hal pencegahan terhadap pelarian.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
9
BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN DAN TEORI
II.1. Kajian Pustaka Pada bab ini, penulis mencoba menggambarkan mengenai perkembangan pemikiran dari hal yang terkait dengan tema penulisan, yaitu mengenai modus operandi (M.O), pelarian dari penjara dan pencegahan kejahatan situasional (situational crime prevention) Perkembangan kajian mengenai modus operandi sudah berlangsung sejak abad ke-19. Berdasarkan literatur yang didapat, dalam jurnal The Modus Operandi System in the Detection of Criminals (1915) oleh Raymond B. Fosdick, dikatakan bahwa deteksi kejahatan sebagai suatu ilmu pengetahuan sedang berkembang. Hal ini adalah aspek terakhir dari pekerjaan polisi untuk menerima perhatian dari pihak intelijen. Pada tahun 1829 Sir Robert Peel memimpin penemuan dari organisasi polisi modern, penangkapan penjahat sebagai sebuah fungsi yang berbeda yang dijalankan kelompok terpisah yang dilatih khusus untuk pekerjaan mereka. Tidak sampai akhir abad 19, biro detektif diselenggarakan di Eropa dan Amerika dan bahkan dari hari ke hari, dengan beberapa perbaikan di bidang teknik dan personil, seni menghubungkan kejahatan dan penjahat masih mentah dan belum berkembang. Namun akhirnya hal ini masih terus dikembangkan dan terus berkembang, meski dengan berbagai hambatan. Teknologi awal yang digunakan seperti sidik jari dan rekam jejak para pelaku kejahatan mulai dilakukan untuk memudahkan penyelidikan. Dalam
pembahasan
selanjutnya,
dikatakan
bahwa
setiap
kejahatan
menandakan individualitasnya pada kejahatannya. Pelanggaran yang sukses pada orang yang sama akan dikenali sebagai hal yang serupa. Hampir tanpa terkecuali kebiasaan kejahatan meninggalkan beberapa petunjuk jelas, mungkin sangat kecil, dimana menandakan dia berbeda dari teman-temannya, sehingga dengan pengamatan yang terlatih dan klasifikasi rasional dari kejahatan, yang dibuat atas prinsip yang tepat, pelaku tertentu dapat ditempatkan dalam kelas kecil, atau mungkin mendeteksi pelaku tersebut sendiri. Metode baru melibatkan studi intensif dari operasi metode
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
10
kejahatan, sebuah analisis tepat terhadap jejak yang ditinggalkan penjahat tersebut. Secara kasar, ada 3 cara mendeteksi pelaku kejahatan (Fosdick, 1915), yaitu : 1. Pengakuan saksi mata 2. Dalam kasus pencurian, dengan cara menelusuri jejak barang curiannya 3. Melihat jejak yang ditinggalkan dibelakang pelaku. Dikatakan juga bahwa metode dari kejahatan, diketahui atau tidak. Telah diklasifikasi secara akurat untuk digunakan sebagai referensi langsung. Pada perkembangan selanjutnya, dikatakan bahwa perencanaan yang bersifat paling menyeluruh dari pengklasifikasian kejahatan dengan sebuah metode telah dikenalkan oleh beberapa tempat di England. Mengacu pada “M.O” atau modus operandi sistem, yang ditemukan oleh Mayor W.L. Atcherley, kepala polisi di West Riding Yorkshire. Sistem yang dibuatnya ini lebih dari sebuah indeks untuk sebuah departemen tunggal, yang merupakan sebuah pengaturan kerjasama, dimana kebiasaan atau perjalanan kejahatan dapat ditelusuri dari satu masyarakat ke masyarakat dengan perbandingan dari metode kerja mereka. Studi selanjutnya membahas mengenai penjara. Perkembangan studi mengenai penjara ini sejalan dengan sejarah penghukuman itu sendiri. Hal ini dikarenakan penjara ini sendiri merupakan bentuk penghukuman. Dalam jurnal Prison Architecture, Robert L. Davison (1931) menjelaskan bahwa desain penjara pada zaman dulu begitu terbelakang dan banyak preseden buruk muncul. Di banyak negara hanya bangunan yang tetap berada di area “perkebunan koloni” yang tentu tidak dirancang sebagai penjara. Para arsitek mulai memulai dengan mengunjungi penjara yang sudah ada dan kemudian hal ini hanya membuat imajinasi terhambat. Penggunaan hal nyata hanya bisa dibuat jika mereka mengecek pada rencana baru setelah membuat dasar yang baru, dan tidak mengacu pada cetak biru lama namun mengacu pada analisis statistik. Seperti analisis pada populasi penjara Massachusetts pada satu hari di tahun terakhir mengindikasikan bahwa hanya sekitar 30% dari narapidana yang membutuhkan pengamanan ketat dalam hal melarikan diri.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
11
Arsitek dan komite bangunan mengunjungi penjara terbaru dan terbaik dari jenis yang mereka pikir diperlukan. Di sini mereka juga berbicara dengan sipir dan penjaga, sejak tugas pertama dari orang-orang ini, yaitu untuk menjaga para narapidana sampai akhir jabatan mereka, tidak peduli dalam kondisi apa dan kemudian kembali ke masyarakat, hampir semua faktor mereka menekankan pada keharusan terhadap peralatan keamanan untuk penahanan. Terdapat banyak perbaikan yang dirancang oleh para arsitek, seperti perbaikan terhadap sanitasi, perbaikan pada pencahayaan, membuat ventilasi mekanik dan perbaikan lain dalam hal desain bangunan, khususnya terhadap sel para narapidana. Hal ini dicontohkan pada penjara penjara di Sing Sing. Gambar 1 Model Penjara Sing-Sing, New York
Sumber: jstor.org Ketika ditanyakan bagaimana kebutuhan keamanan di penjara, jawabannya adalah hal ini bergantung pada tipe populasi di penjara tersebut. Terdapat berbagai jenis narapidana, dengan hubungannya dengan kekuatan mereka dan potensi melarikan diri, dan tingkat efisiensi dalam percobaan pelarian. Dalam analisa terhadap para narapidana, didapat data bahwa sepertiga dari total narapidana dijaga dengan pengamanan maksimum, sepertiga tidak membutuhkan tindakan pengamanan,
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
12
dan sepertiga sisanya diberi tindakan pengamanan terbatas. Apabila dirancang penjara dengan pengamanan maksimum, maka hal ini tidak akan berguna karena tidak sesuai dengan kebutuhan. Dalam mendesain penjara, digunakan pendekatan rasional. Meskipun para desainer ini bukan ahli pidana, namun dengan pendekatan rasional ini, desain yang efektif bisa didapatkan. Para ahli penghukuman (penologis) juga mencurahkan perhatian mereka terhadap hal ini. Studi mengenai desain penjara terus berlanjut. Dalam literatur lain, dijelaskan bahwa kejahatan dapat dikurangi dengan desain bangunan yang tepat. Meskipun tidak spesifik pada bangunan penjara, namun pada prinsipnya hal ini bisa diterapkan dalam desain penjara. Dalam jurnal Correctional Philosophy and Architecture (1962), Howard Gill menyatakan bahwa filosifi dari pengamanan penjara memiliki 7 (tujuh) prinsip dasar, yaitu : 1. Keamanan merupakan hal utama dalam urusan penjara; namun bukan merupakan tujuan utama. 2. Keamanan berhadapan langsung dengan 3 (tiga) hal utama yaitu pelarian, penyelundupan dan kerusuhan. 3. Maksimum, medium dan minimum merujuk secara khusus pada pengamanan dan tidak seharusnya dikaitkan dengan klasifikasi treatmen (perlakuan) pada para narapidana. 4. Keamanan adalah hal yang khusus seperti perlakuan berdasarkan kasus yang ada dan harus dipandang dalam administrasi penjagaan penjara, peralatan dan arsitektur penjara. Hal itu tidak perlu dicampur dengan treatment terhadap narapidana. Keamanan diperlakukan khusus ketika pasukan khusus dari pengawal penjara dilatih dalam aturan pengamanan dan berlatih sebagai polisi dalam komunitas penjara. 5. Penempatan dari pengamanan harus ditempatkan sebagai yang utama dan bukan sebagai hal yang insidental atau hal yang mendominasi sebuah operasi dalam penjara. Keamanan harus merupakan divisi yang
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
13
bekerjasama dengan bagian administrasi, professional dan bagian pembinaan dalam organisasi penjara. 6. Pengamanan dapat beroperasi secara efektif dari sebuah pusat kontrol diluar lingkup penjara, dengan pos bantuan pada titik yang sepatutnya menjadi strategis. Hal ini seperti pusat kontrol yang menempatkan gudang senjata, pusat kendali telepon, pusat kunci, peralatan darurat, inspeksi dari semua surat masuk keluar dan orang ataupun benda yang masuk dan keluar penjara, dan hal lain terkait keamanan. 7. "Pembagian dan peran" adalah prinsip keamanan dan pelengkap dari kelompok kecil yang menjadi dasar pembinaan. Hal ini diaplikasikan dalam perencanaan keamanan, terutama dalam penempatan para penghuni penjara dalam kelompok kecil untuk tujuan pembinaan.
Dalam jurnal Less Crime, by Design (1995), Ekblom menjelaskan mengenai cakupan strategi desain dalam pencegahan kejahatan, dan memberi definisi pencegahan kejahatan sebagai intervensi dalam mekanisme terhadap penyebab peristiwa kejahatan. Model pencegahan yang dibangun pada definisi ini fokus pada keberadaan terdekat dari peristiwa kejahatan. Keberadaan terdekat ini dapat dijelaskan untuk tiap peristiwa kejahatan dalam terminologi interaksi antara kecondongan pelaku potensial dan situasi dimana kejahatan terjadi. Jika mengadopsi pendekatan aktivitas rutin, peristiwa kejahatan dapat terjadi ketika ada hubungan tertentu dari suatu peristiwa, pada satu sisi, kesiapan, keinginan, kesanggupan pelaku dan situasi dimana elemennya adalah : -
Target kejahatan -barang atau orang- dimana hal tersebut rentan atau menarik
-
Ketiadaan dari keinginan dan keberadaan modulator, dimana ini merupakan orang yang mungkin atau tidak mungkin menjadi korban dari kejahatan atau siapa yang bisa mengambil tindakan untuk mencegah tindakan tersebut, menghalangi, atau bereaksi setelah hal tersebut terjadi
-
Lingkungan fisik dan sosial yang kondusif untuk kejahatan dalam hal ini mengenai aspek logistik (misalnya fasilitas untuk melarikan diri, dan
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
14
merintangi pengejaran), dan aspek motivasi (misalnya dinding antar tetangga yang berjajar. Tindakan pencegahan kejahatan saat ini hadir dan melibatkan penerapan rangkaian rasional dari tindakan sebagai proses pencegahan. Hal ini meliputi : -
Pengumpulan informasi tentang asal kejahatan, misalnya, rekaman kejahatan lokal yang berasal dari polisi atau agensi lainnya
-
Menganalisa informasi untuk mengungkap pola, seperti “hot spot” dimana berbagai macam kejahatan terjadi, misalnya pasar dimana banyak pencopetdan menginterpretasi pola ini dalam pemikiran untuk pencegahan, pengetahuan lokal, kunjungan tempat dan wawancara dengan pelaku.
-
Merencanakan tindakan pncegahan untuk menggasak masalah kejahatan yang ditentukan dalam konteks spesifik
-
Menerapkan tindakan, dan
-
Evaluasi dampak dari kejahatan, ketakutan, membuat penyesuaian terhadap kebutuhan atau menunda kegagalan. Studi terbaru yang didapat dari jurnal Taxonomic Anxieties : Axis I and Axis II
in Prison,
Rhodes (2000) menyatakan bahwa transparansi merupakan prinsip
arsitektur mengenai visibilitas yang membuat setiap narapidana dapat diawasi. Semua aspek manajemen penjara, mulai dari perekaman komputerisasi sampai dengan inspeksi pada tiap surat para narapidana, bergantung pada pencarian sebelumnya dari para pegawai penjara dan dalam hal eliminasi terhadap “zona kegelapan”. Setiap sel harus dapat dikontrol secara terpusat dan tiap pergerakan dapat diawasi siang dan malam. Setelah membahas mengenai desain penjara, maka pembahasan dilanjutkan mengenai pengamanan penjara itu sendiri. Dalam jurnal prison perimeter costeffectiveness, Dessent (1987), menyatakan bahwa secara konseptual, tidak ada batasan terhadap pengukuran tindakan yang diambil untuk meningkatkan perimeter pengamanan. Tapi pengukuran perimeter pengamanan, baik untuk penjara ataupun institusi lain, adalah hal yang mahal dan melewati titik tertentu, dalam law of
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
15
diminishing return (hal dimana kepuasan semakin lama akan semakin menurun) akan datang. Home Office Prison Department memberi perhatian untuk menemukan keseimbangan yang benar, untuk memastikan bahwa level keamanan yang dibutukan untuk menghadapi ancaman tercapai dan untuk memenuhi keadaan dari pencapaian pembiayaan yang efektif. Perimeter keamanan menyajikan hambatan (dinding, pagar), kamera dan sistem alarm dan response force (petugas penjara, anjing patroli). Biaya dan efektivitas untuk uang dimana tiap elemen merepresentasikan kebutuhan yang terpisah untuk dinilai dan dinilai ulang (sebagai bagian konfigurasi batasan total) dalam kombinasi yang berbeda dengan elemen lain. Tugas ini kemudian dipersulit dengan kombinasi tipe pembatas dengan elemen lain dalam jumlah besar. The Home Office Scientific Research and Development Branch (SRDB) telah mempelajari efektifitas biaya dari batasan penjara ini dalam beberapa tahun. Sebuah model komputer telah dikembangkan dan saat ini digunakan untuk memberi nasihat pada Home Office Prison Department mengenai berbagai hal terkait pembatas keamanan. Model komputer berdasar pada model matematika dari perimeter. Model matematika berdasar pada pandangan tradisional dari perimeter, dimana pemilihan pada keberadaan dari tiga elemen utama, yaitu batasan, kamera dan alarm, dan kekuatan respon (response foce). Rintangan, jika mereka tidak takut atau kalah, untuk mecegah pelarian; kamera dan alarm untuk mendeteksi percobaan pelarian yang dibuat; dan kekuatan respon untuk menahan pelari potensial. Kemudian, dalam jurnal Tagging and Tracking System for Prisons and Correctional Facilities–A Design Roadmap (2008), Catherine Louise Mulholland et al fokus untuk memberi gambaran mengenai desain yang potensial dalam hal pembaharuan dalam sistem pemenjaraan. Makalah ini ditujukan untuk memberi masukan mengenai bagaimana sistem yang dapat diterapkan dalam manajemen pengamanan di penjara dan fasilitas koreksional lainnya. Jurnal ini juga memberi masukan terhadap penggunaan teknologi untuk mereka data mengenai narapidana yang ada yang akan dijelaskan dibawah.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
16
Dalam pembahasan mengenai pengamanan fisik, dijelaskan bahwa dalam hal ini, dipilih menggunakan pendekatan baru dalam sistem pelacakan, pertimbangan harus diberi pada penggunaan perangkat keras yang digunakan. Namun, dikatakan juga bahwa penggunaan teknologi digunakan untuk mendapatkan keuntungan secara finansial. Untuk penggunaan alat, diharapkan sistem peralatan yang digunakan tidak hanya bisa melacak, namun juga memungkinkan terjadinya komunikasi dinamis antara tag yang digunakan dan pembaca tag (tag disini merupakan semacam alat) dan dapat menyimpan sejumlah data pada tag, dan juga memberi ketrerangan akurat mengenai lokasi dan memberi fitur keamanan serta solusi hybrid yang dapat diterapkan. RFID (Radio Frequency Identification) digunakan untuk penyimpanan data dan pertukaran pada tag. Near-Field Electromagnetic Ranging (NFER ®)akan digunakan untuk menentukan lokasi ang sebenarnya. Tag ini dibutuhkan untuk menyimpan data yang terdiri dari catatan narapidana untuk kemudahan perpindahan daya antar penjara ketika narapidana dipindahkan. Catatan ini diunduh pada tag sebelum pindah dari penjara lama dan diunggah pada penjara baru ketika sudah tiba. RFID yang aktif menampung data yang diperlukan yang dibutuhkan untuk komunikasi, menyimpan data yang terkirim dari transceiver atau alat pembaca. NFER adalah sebuah teknologi baru yang memiliki sejumlah keunggulan dibanding sistem lokasi real time sebelumnya, yaitu : -
Tidak membutuhkan modulasi sinyal, sehingga memanfaatkan bandwitch kecil
-
Alat pembaca tunggal dapat mengkalkulasi jarak yang diukur
-
Frekuensi rendah yang digunakan lebih tajam daripada frekuensi tinggi yang dapat membias di sekitar tubuh manusia untuk menemukan antenna tag. Resolusinya berkisar antara 30cm sampai dengan 300m (pada jarak 300m receiver dapat dapat menemukan tag dengan akuraasi 30cm).
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
17
Dalam jurnal Unintended Consequences: Experimental Evidence for the Criminogenic Effect of Prison Security Level Placement on Post-Release Recidivism, Gaes dan Camp (2009) menjelaskan bahwa satu dari pilar profesi pemenjaraan adalah menempatkan narapidana dengan tingkat resiko keamanan yang sama pada penjara yang sama. Prosedur keamanan dari penjara didesain untuk menyeimbangkan dengan resiko yang didapat untuk menghadapi para narapidana. Klasifikasi skor resiko didasarkan pada perilaku kejahatan dan kebiasaan institusi, jadi narapidana dengan latar belakang kejahatan dan kekerasan lebih serius ditempatkan pada penjara dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi. Setidaknya, ada 3 (tiga) alasan utama mengapa klasifikasi terhadap narapidana digunakan, yaitu : 1. Narapidana dengan resiko tinggi dipisahkan dari narapidana dengan resiko rendah (resiko tinggi disini dimaksudkan bahwa narapidana mempunyai resiko yang besar untuk menimbulkan gangguan keamanan). Jadi, yang datang lebih dulu tidak akan memeras, menyerbu atau mengintimidasi narapidana yang datang setelahnya (diharapkan tidak ada senioritas berdasarkan lama tinggal). 2. Petugas penjara dapat menggunakan metode prosedural dan teknologi untuk membebani hambatan besar untuk menekan kekerasan pada narapidana dengan resiko besar. 3. Dengan membatasi metode keamanan ekstra hanya pada narapidana beresiko tinggi, maka keseluruhan sistem akan lebih efisien dan pengelola tidak perlu menghamburkan sumber daya yang sedikit jumlahnya untuk narapidana yang tidak memerlukan prosedur tambahan pengamanan.
Dalam studi mengenai masalah yang terdapat di penjara, dikatakan bahwa masalah yang dihadapi antara lain mengenai kepadatan dalam penjara. Dalam jurnal Prison Populations: A System out of Control? (1988), Alfred Blumstein menjelaskan bahwa terdapat 3 cara pokok dalam menghadapi keadaan kondisi penjara yang penuh.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
18
Pertama adalah melibatkan pemindahan orang pada bentuk hukuman lain selain penjara (pendekatan "front-door"). Pendekatan "front door" mencoba mencarai alternatif lain selain penjara. Hal ini tidakberlaku untuk pelanggaran yang bersifat serius, atau melakukan kejahatan yang sadis, atau untuk orang dimana kehadirannya menimbulkan resiko serius dalam masyarakat.namun, masalah dalam pengembangan dari penghukuman diluar penjara ini adalah membangun aturan yang dapat memuaskan juri, korban dan masyarakat terhadap tingkat hukuman yang seimbang dan ada beberapa harapan bahwa hukuman akan mengurangi kemungkinan pelanggar
akan
melakukan
pengulangan
pelanggaran.
Hukuman
percobaan merupakan cara yang umum dan hal ini kini ditawarkan pada mayoritas hukuman pada pelanggar yang baru pertama kali melakukan pelanggaran.
yang kedua adalah melibatkan pengurangan masa hukuman (pendekatan "back-door). pendekatan "back-door", mencakup penambahan tingkat kebebasan dengan mempersingkat waktu oleh mereka yang masuk penjara. dalam kemunculannya untuk mengurangi kapasitas total penjara, dapat menjadi pilihan antara mengirim banyak orang ke penjara untuk waktu singkat, atau lebih sedikit orang dipenjara untuk waktu yang lama. penelitian secara konsisten mendukung posisi hukuman "keras" (seperti lamanya hukuman) memiliki efek jera rendah daripada "kepastian" (kemungkinan untuk dipenjarakan). Disinilah dimana pembebasan bersyarat telah dilakukan selama beberapa tahun, dan hal ini telah dipraktekkan sampai saat ini dan berkontribusi dalam hal mengurangi kepadatan penjara.
ketiga, melakukan pembangunan penjara untuk menyediakan tambahan kapasitas. hal ini tentu saja menimbulkan banyak biaya, dan menimbulkan kekhawatiran bahwa pemikiran untuk penambahan kapasitas penjara akan terus dilakukan pada masa yang akan datang, meskipun tingkat kejahatan menurun. penambahan kapasitas ini sering mengalami penundaan, bahkan
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
19
hingga 4-7 tahun dari perencanaan awal sebelum kapasitas tambahan ini dapat dioperasikan. Mengingat sulitnya meramalkan populasi penjara di masa yang akan datang, dimana mungkin tidak tersedia kapasitas yang memadai, hingga penambahan kapasitas tidak lagi dibutuhkan. Selanjutnya, terdapat pembahasan mengenai pencegahan kejahan situasional (SCP). Seperti yang diketahui bahwa pemikiran mengenai SCP ini digunakan untuk melakukan pencegahan kejahatan dengan cara mengurangi kesempatan untuk melakukan kejahatan. Pemikiran ini dipelopori oleh Ronald V. Clarke (1983). Seperti yang dijelaskan dalam jurnal Situational Crime Prevention: Its Theoretical Basis and Practical Scope (1983), dikatakan bahwa SCP merupakan upaya untuk mengurangi kesempatan pada kategori kejahatan spesifik dengan meningkatkan resiko suatu kejahatan untuk dilakukan, serta mengurangi reward akibat dari perbuatan itu. Situational crime prevention dapat dikategorikan sebagai alat pengukuran (1) secara langsung mengenai bentuk kejahatan secara spesifik (2) meliputi manajemen, desain, atau manipulasi lingkungan terdekat sebagai jalan permanen dan terdekat jika memungkinkan (3) untuk mengurangi kesempatan melakukan kejahatan dan meningkatkan resiko dalam pandangan pelaku. Beberapa informan memiliki kepercayaan bahwa pengurangan kejahatan secara signifikan dapat dicapai dengan penyesuaian dasar yang disamakan dan dapat dipraktekkan dan secara etis layak dilakukan dalam hubungannya dengan kebijakan inkapasitasi, penjeraan atau rehabilitasi. Penelitian terbaru juga memberi sedikit alasan untuk memikirkan solusi untuk menjadi kebijakan kriminal menjadi lebih baik dari yang ada sebelumnya, setidaknya dengan mengurangi kesempatan dengan ketersediaan teknologi dan kondisi ekonomi terkini. Clarke menjelaskan bahwa kejahatan dapat dikurangi atau dicegah dengan melaukan beberapa hal (Clarke, 1983), yaitu: a. Pengawasan b. Rancangan : penguatan target c. Manajemen lingkungan
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
20
Kajian ini mengalami perkembangan. Dalam jurnal Environmental Design, Crime, and Prevention: An Examination of Community (1986), Taylor dan Stephen menjelaskan bahwa paling tidak terdapat 3 level dari pemilihan target, yaitu lingkungan sekitar (perumahan), blok jalan dan tempat yang spesifik. Informasi mengenai karakteristik fisik lingkungan, seperti kemudahan masuk atau keluar, jumlah batasan internal yang membatasi kemudahan sirkulasi (keluar-masuk), dan keberadaan penjagaan, dijadikan pertimbangan bagi pelaku untuk menetapkan resiko, peluang dan waktu yang tepat. Kerangka berfikir ini digunakan untuk memahami hubungan antara pelaku dan lingkungan fisik untuk menyediakan tipologi untuk mengevaluasi penelitian terhadap desain lingkungan dan pencegahan kejahatan, khususnya penelitian mengenai teori defensible-space, perspektif territorial, dan tesis kasar
(incivilities
thesis).
Tesis
kasar
ini
menyatakan
bahwa
pelanggar
mempertimbangkan aspek sosial dan fisik secara kasar saat memutuskan untuk memilih suatu lingkungan sebagai target kejahatan. Kemudian, dijelaskan dalam jurnal Crime Placement, Displacement, and Deflection (1990), Robert Barr and Ken Pease menjelaskan bahwa ketika kesempatan untuk berbuat kejahatan terhalang, maka calon pelanggar akan melakukan hal lain. Alternatif ini mungkin tidak dijelaskan dalam teori. Jika hal itu dijelaskan, hasilnya akan dikenali sebagai “pengurangan kejahatan”. Jika penjelasannya diluar teori, hasilnya dikenal sebagai :pemindahan kejahatan”. Hakim and Rengert (1981), yang mengikuti dan memodifikasi tulisan Reppetto (1976), mengidentifikasi 5 (lima) tipe pemindahan kejahatan, yaitu : o temporal : melakukan kejahatan pada waktu lain; o spatial : melakukan kejahatan pada tempat lain; o tactical : melakukan kejahatan dengan metode yang berbeda; o target : melakukan kejahatan yang ditujukan untuk berbagai jenis target, o crime type or functional: melakukan kejahatan dari niatnya. Pada dasarnya, tipe pemindahan ini terukur dengan mengubah pengalaman viktimisasi dan self-report dari pelaku. Kesempatan melakukan kejahatan memaksa
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
21
pelaku yang berbeda selalu siap melakukan kejahatan. Cornish and Clarke (1986, p. 3) menghubungkan pada asumsi dari pemindahan total sebagai hal yang mempengaruhi “melumpuhkan pesimisme pada kasus ekstrim”. Heal dan Laycock (1986, p.123) berpendapat bahwa “ada sedikit poin dalam pembuatan kebijakan menyelidiki sumber dan usaha kepada pencegahan kejahatan situasional jika dengan melakukannya dia dapat menggeser kejahatan dari satu area ke area lain namun tidak dapat menghilangkannya. Svensson (1986, hal. 122) menyimpulkan kajian pencegahan kejahatan di Swedia dengan menekankan bahwa "khususnya, kita perlu memastikan bahwa pencegahan situasional tidak hanya menggantikan dalam hal waktu atau ruang." Heal dan Laycock (1988, hal. 239) menyatakan bahwa "argumen yang paling sering dikemukakan mengenai pencegahan, terutama pencegahan sitasional adalah bahwa ia akan menggantikan kejahatan dari satu tempat ke yang berikutnya, atau dari satu jenis kejahatan kepada yang lain. Jika ini memang terjadi, batas untuk pencegahan cukup besar”. Trasler (1986) mengambil pandangan bahwa kita masih jauh dari pemahaman pola penukaran kejahatan dengan cara yang akan memudahkan penilaian perpindahan kejahatan. Dalam jurnal Effects of Closed-Circuit Television on Crime (2003), Welsh dan Farrington menjelaskan Closed-circuit television (CCTV) memberi berbagai fungsi dan digunakan baik pada seting publik atau privat. Pada ruang publik, ditujukan sebagai pencegahan pada kejahatan terhadap individu atau properti. Sebagai bentuk intervensi yang ditujukan pada kejahatan, CCTV merupakan bentuk pencegahan kejahatan situasional atau situational crime prevention (SCP). Merujuk pada Clarke dan Homel (1997) mengenai klasifikasi dari SCP, CCTV dipandang sebagai sebuah teknik dari “pengawasan formal”. Dalam hal ini, kamera CCTV dipandang untuk meningkatkan atau mengambil peran sebagai personil pengamanan. Dikatakan juga bahwa CCTV mungkin dapat membuat pelaporan dan kejahatan sebenarnya meningkat. Dicontohkan bahwa CCTV mungkin mendorong peningkatan laporan pada polisi dan perekaman oleh polisi. Kehadiran CCTV mungkin juga memberi rasa aman yang palsu dan menyebabkan mereka berhenti
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
22
melakukan tindakan pencegahan yang harus mereka lakukan jika intervensi ini (CCTV) tidak ada, seperti tidak memakai perhiasan atau berjalan sendiri di malam hari. Hal ini dapat menyebabkan kejahatan menjadi berpindah ke lokasi, waktu atau korban lain. Hasil penelitian yang dilakukan di Inggris, mengungkapkan bahwa CCTV memberi efek signifikan yang diharapkan dalam kejahatan, walau secara keseluruhan pengurangan kejahatan kurang dari 4 persen. Perkembangan terbaru, didapat dari tulisan Schneider. Dalam buku Crime Prevention and Built Development, dijelaskan bahwa kondisi fisik dari lingkungan dapat dimanipulasi untuk mengurangi kemungkinan melakukan kejahatan. Semenjak zaman industri maju seperti saat ini, banyak pembangunan yang dirancang dengan fokus utama adalah pencegahan kejahatan yang dialamatkan dengan proses perancangan lingkungan (Schneider, 2007)
II.2. Kerangka Pemikiran II.2.1. Definisi Konsep II.2.1.1. Lembaga Pemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang no.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, dalam pasal 1ayat (3) dikatakan bahwa adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
II.2.1.2. Warga Binaan Pemasyarakatan Berdasarkan Undang-Undang no.12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan, dalam pasal 1ayat (5) dikatakan bahwa Warga Binaan Pemasyarakatan adalah narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Klien Pemasyarakatan.
II.2.1.3. Pelarian Julius Paath (2005) yang menyatakan bahwa pelarian adalah peristiwa larinya seseorang atau lebih tahanan dan/atau narapidana dari Rutan dan/atau Lapas ataupun peristiwa lepasnya sesorang atau lebih tahanan dan/atau narapidana dari pengawalan ataupun pengawasan petugas yang sedang bertugas saat itu dalam kurun waktu 1x24
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
23
jam sejak peristiwa lari atau lepasnya tahanan dan/atau narapidana tersebut (Rahayu, 2007).
II.2.1.4. Modus Operandi Keppel (2009) mengutip definisi dari Hazelwood dan Warren (2004) yang menyatakan bahwa “the term of modus operandi is used to encapsulate all of the behaviors that are requisite to a particular offender successfully perpetrating a crime” yang dalam terjemahan bebas, dapat diartikan sebagai “kata modus operandi digunakan untuk merangkum berbagai perilaku kejahatan seorang pelaku kejahatan setelah berhasil melakukan kejahatan.
II.2.1.5. Situational Crime Prevention Clarke (1983) menjelaskan bahwa Situational Crime Prevention dapat dikategorikan sebagai alat pengukuran yang : (1)secara langsung mengenai bentuk kejahatan secara spesifik; (2) meliputi manajemen, desain, atau manipulasi lingkungan terdekat sebagai jalan permanen dan terdekat jika memungkinkan ; (3) untuk mengurangi kesempatan melakukan kejahatan dan meningkatkan resiko dalam pandangan pelaku.
II.2.2. Kerangka Pemikiran II. 2.2.1. Pelarian Dalam bukunya, Wortley juga mencoba memberi definisi mengenai istilah pelarian. Dikatakan bahwa : The term of „escape‟ is used to describe any unlawful absence from custody. However, some jurisdictions make a distinction between escapes from secure institutions (not necessarily maximum security) and walkaways from open institutions (Wortley, 2004 hal:173) Dalam terjemahan bebas, dapat diartikan bahwa kata “melarikan diri” digunakan untuk menjelaskan ketidakhadiran secara tidak sah dalam tahanan.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
24
Bagaimanapun, beberapa keputusan hukum membuat perbedaan antara melarikan diri dari institusi yang aman (tidak harus selalu pada pengamanan maksimum) dan tidak hadir dari institusi terbuka. Pelarian juga memiliki pola tertentu. Dalam pembahasan lanjutan, dikatakan bahwa kebanyakan dari tahanan melakukan pelarian sendiri. Gorta dan Sillavan (1991) menemukan fakta bahwa 2/3 (dua pertiga) pelarian dilakukan oleh seorang tahanan. Michael (1992) menemukan data bahwa 68% dari pelarian dilakukan sendiri, 22% oleh 2 (dua) orang dan 9% oleh 3(tiga) orang. Peristiwa pelarian secara berkelompok dengan banyak orang banyak ditemukan pada institusi penjara anak daripada penjara dewasa. Hal ini diasumsikan karena narapidana muda lebih mempunyai ketergantungan yang besar pada kelompoknya. Secara umum, narapidana yang lari juga cepat untuk ditangkap kembali setelah pelarian. Gorta dan Sillivan menemukan bahwa 28% pelarian di New South Wales ditangkap kembali pada hari yang sama atau satu hari kemudian (ibid, pp 174) Kemudian, dijelaskan juga bahwa kebanyakan pelarian dilakukan secara impulsif (mendadak/tiba-tiba). Dalam sebuah studi di Australia, Thompson (1992) menemukan bahwa 64% dari napi yang melarikan diri merencanakan pelarian kurang dari 1 (satu) hari, 20% merencanakan kurang dari 1 minggu dan hanya 17% yang melakukan perencanaan pelarian lebih dari 1 minggu (ibid, pp 175). Dijelaskan juga bahwa kebanyakan pelarian dilakukan di penjara dengan lowsecurity ataupun medium-security. Dari data yang ada, Lyons (1997) menggambarkan bahwa di New York, 92% pelarian ditemukan pada penjara dengan level keamanan minimum atau medium. Sedangkan Herrick (1989) melaporkan bahwa dari data yang ada pada tahun 1988, dari seluruh penjara di Amerika Serikat (US), ditemukan hanya ada 6% kasus pelarian yang berasal dari penjara dengan maximum atau medium security (ibid,174-175). Wortley mengutip pendapat dari Clarke membahas mengenai kontrol penjara situasional (situational control prison). Dalam buku itu dijelaskan bahwa perspektif pilihan rasional secara spesifik diformulasikan sebagai penjelasan terhadap perilaku kejahatan. Perspektif ini bukanlah sebuah teori yang terpisah, namun sebagai suatu
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
25
kemampuan pemilihan model dalam menggambarkan pendekatan umum situasional terhadap kejahatan. Dikatakan bahwa pelaku melakukan suatu kejahatan untuk mendapatkan keuntungan. Pelaku atau pelanggar digambarkan sebagai pembuat keputusan yang aktif yang melakukan analisa untung-rugi dalam memunculkan kesempatan sutau tindak kejahatan dan mengambil pilihan mengenai apakah pelaku akan melakukan tindak kejahatan atau tidak. Pelaku diasumsikan mencari keuntungan untuk dirinya sendiri dalam sebuah tindak kejahatan (ibid, pp.32). Clarke menambahkan bahwa langkah penting dalam mencegah kejahatan adalah dengan memahami tujuan yang kemudian memotivasi pelaku kejahatan. Pencegahan situasional berdasarkan perspektif pilihan rasional melibatkan bagaimana memanipulasi lingkungan dalam rangka meningkatkan rasio biaya dan manfaat yang berhubungan dengan perasaan yang dirasakan pelaku potensial. Pendekatan untuk pencegahan seperti ini sering disebut sebagai mereduksi-kesempatan (opportunity – reduction) (ibid, pp.33). Menurut Clarke dan Homel (1997), keputusan untuk terlibat dalam perilaku tertentu dibuat dengan mengacu empat dimensi biaya-manfaat, yaitu :
Rasa keterlibatan (bagaimana kesulitan untuk melakukan suatu tindakan? ),
Perasaan beresiko ketika terlibat (apakah ada kemungkinan tindakan diketahui dan kemudian dihukum?),
Bagaimana mengantisipasi hukuman (seberapa besar hasil dari kejahatan?)
Perasaan bersalah dan mengantisipasi malu (seberapa menyusahkan secara sosial maupun psikologis akan terlibat dalam perilaku kejahatan ini?).
Dapat dikatakan bahwa penjara sebagai hal yang tentu saja sudah melakukan banyak tindakan untuk mengurangi kesempatan (opportunity-reduction) dalam bentuk tembok tinggi, kunci, sistem pengawasan sistem dan sebagainya (ibid).
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
26
Mungkin, cara yang secara jelas mengurangi pelarian dari penjara adalah dengan memperkuat penghalang yang memisahkan narapidana dengan dunia luar. Namun, meskipun penghalang dalam bentuk tembok ini secara jelas merupakan sarana penghambat dari pelarian, banyak penelitian yang mementahkan hal ini. Namun, berdasarkan pendapat McManus dan Conner (1994), yang menyatakan bahwa : Effective perimeter security should possess three features. First, It should appear so daunting that most prisoners will not even consider the Possibility that it can be breached. Second, it should in fact be difficult and Time-consuming to penetrate. Third, it should allow staff to monitor activity within the precincts of the perimeter. Dalam terjemahan bebas, dapat diartikan bahwa perimeter keamanan yang efektif harus memiliki tiga fitur. Pertama, hal itu akan menjadi begitu menakutkan bahwa tahanan kebanyakan bahkan tidak akan mempertimbangkan kemungkinan bahwa hal itu dapat dilanggar. Kedua, harus menjadi kenyataan bahwa hal itu akan menjadi
sulit
dan
memakan
waktu
untuk
menembusnya.
Ketiga,
harus
memungkinkan staf untuk memantau aktivitas dalam wilayah pembatas (ibid, pp 181). Definisi lainnya mengenai pelarian dikemukaan oleh Julius Paath (2005) yang menyatakan bahwa pelarian adalah peristiwa larinya seseorang atau lebih tahanan dan/atau narapidana dari Rutan dan/atau Lapas ataupun peristiwa lepasnya sesorang atau lebih tahanan dan/atau narapidana dari pengawalan ataupun pengawasan petugas yang sedang bertugas saat itu dalam kurun waktu 1x24 jam sejak peristiwa lari atau lepasnya tahanan dan/atau narapidana tersebut (Rahayu, 2007 hal:18)
II. 2.2.2. Rational Choice Siegel (2011) dalam bukunya Criminology: the Core , menjelaskan bahwa teori pilihan rasional berakar dari kriminologi klasik yang dikembangkan oleh Cesare Beccaria, dimana pendekatan utilitarian dengan kuat mempengaruhi sistem peradilan pidana dan diterima di seantero Eropa dan Amerika. Pada kenyataannya, hal ini masih juga berkembang hingga saat ini. Pada awal tahun 1960-an, ahli kriminologi
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
27
merangkum ide klasik, menghasilkan buku yang menerangkan bahwa pelaku kejahatan adalah aktor rasional yang merencanakan kejahatannya, dapat dikontrol dengan ketakutan dan penghukuman dan pantas dihukum karena perbuatan buruknya itu. Berdasarkan teori pilihan rasional kontemporer, perilaku pelanggaran hukum adalah hasil dari pemikiran dan perencanaan yang hati-hati. Pelanggar memilih kejahatan setelah mempertimbangkan faktor personal (misalnya uang, balas dendam, dan hiburan) dan faktor situasional (seerti ketersediaan target, dan kehadiran polisi). Sebelum melakukan kejahatan, pelaku melakukan evaluasi mengenai resiko, keuntungan potensial, kemungkinan sukses, dan keuntungan melakukan kejahatan yang dipilihnya (ibid, hal :85).
II. 2.2.3. Modus Operandi dan Situational Crime Prevention Dalam buku Serial Violence : Analysis of Modus Operandi and Signature Characteristics of Killers, Keppel (2009) mengutip definisi dari Hazelwood dan Warren (2004) yang menyatakan bahwa “the term of modus operandi is used to encapsulate all of the behaviors that are requisite to a particular offender successfully perpetrating a crime” yang dalam terjemahan bebas, dapat diartikan sebagai “kata modus operandi digunakan
untuk merangkum berbagai perilaku
kejahatan seorang pelaku kejahatan setelah berhasil melakukan kejahatan. Dalam buku ini, disebutkan pula bahwa pionir di kepolisian yang menggunakan modus operandi adalah Mayor L.W. Atcherley, yaitu seorang kepala polisi di West Riding Yorkshire, England. Dia membuat arsip mengenai modus operandi di Scotland Yard pada 1896 yang mencatat mengenai metode dari berbagai kejahatan yang dapat dilacak dari distrik kek distrik. Dia membangun 10 (sepuluh) kategori yang berkaitan dengan modus operandi penjahat, yaitu :
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
28
1. Classword- bentuk penyerangan terhadap properti (misalnya rumah, hotel, dan lainnya) 2. Entry- titik masuk seorang penjahat (misalnya dari jendela, pintu belakang) 3. Means- peralatan yang digunakan (misalnya tangga, linggis) 4. Object- jenis properti yang diambil/dicuri 5. Time- tidak hanya waktu dalam siang atau malam, tapi juga waktu kebaktian, hari pasar, jam makan dan lainnya. 6. Style- bagaimana penjahat menggambarkan dirinya (misalnya sebagai sales, mekanik, agen dan sebagainya) untuk mendapat akses melakukan kejahatan. 7. Tale- pengungkapan profesi sehingga dapat melakukan kejahatan 8. Pals- apakah kejahatan dapat dilakukan bersama-sama 9. Transport- apakah sepeda atau endaraan lain dapat digunakan dalam hubungannya dengan kejahatan tersebut 10. Trademark- apakah melakukan kejahatan dengan tindakan yang tidak biasa dalam hubungannya dengan kejahatan (misalnya dengan meracuni anjing, mengganti pakaian, meninggalkan catatan kepada pemilik, dan lainnya) Sutherland (1947) mendefinisikan modus operandi sebagai “principle that a criminal is likely to use the same technique repeatedly, and that any analysis and record of the technique used in every serious crime will provide a means of identification in a particular crime”. Dimana hal ini dapat diartikan modus operandi adalah sebagai dasar bahwa sebuah kejahatan sepertinya menggunakan teknik yang sama berulang kali dan bahwa beberapa analisis mencatat teknik yang digunakan dalam tiap kejahatan serius yang menyediakan metode identifikasi dalam kejahatan tertentu (ibid, hal:3).
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
29
Hazelwood dan Warren (2004) menyusun karakteristik kejahatan umum yang diasosiasikan dengan modus operandi (ibid, hal:5), yaitu : 1. Usia korban, gender, dan ras 2. Cara pelaku berjalan (menggunakan kenadaraan atau berjalan kaki) 3. Memindahkan tubuh korban untuk dibuang 4. Waktu melakukan kejahatan 5. Tipe bangunan yang akan dimasuki 6. Hari untuk melakukan kejahatan 7. Lokasi melakukan kejahatan 8. Penggunaan senjata 9. Jumlah pelaku dan pendekatan pada korban 10. Faktor yang memfasilitasi kejahatan 11. Alat yang digunakan untuk mengikat korban 12. Memakai topeng
Selanjutnya, Hazelwood dan Burgess menyatakan bahwa modus operandi memiliki tiga tujuan utama (ibid) , yaitu : o Melindungi identitas o Memastikan kesuksesan o Memfasilitasi pelarian
Dalam buku Crime Analysis and Crime Mapping, Boba (2003) memberi definisi mengenai modus operandi (methods of crime) sebagai “how the crime occurred, such as the point of entry, method of entry, weapon used, suspect‟s actions. (p.81)”. Dalam terjemahan bebas, dapat diartikan sebagai: bagaimana kejahatan terjadi, seperti cara masuk, metode masuk, penggunaan senjata dan tindakan terduga. Modus operandi (MO) adalah kata dari bahasa Latin yang dapat diartikan sebagai “method of procedure”, yang mengacu pada metode dari suatu kejahatan, dan elemen kunci dari peristiwa kejahatan itu sendiri (Boba, 2003 hal:126)
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
30
Boba menjelaskan karakteristik dalam melihat modus operandi, yaitu:
What: tipe dari kejahatan (misalnya pencurian di wilayah komersial, pencurian di wilayah pemukiman, atau perkosaan)
How:
bagaimana
kejahatan
dilakukan
(berbagai
bentuk
kejahatan).
Karakteristiknya seperti dijelaskan dibawah ini, namun tidak terbatas hanya seperti ini, yang meliputi: Point of entry: darimana tersangka (suspect) memasuki properti (rumah) (misalnya dari pintu depan, atap atau cara lain), khususnya pada kejahatan terhadap harta benda; Methods of entry : bagaimana tersangka memasuki lokasi (misalnya dengan menendang pintu atau membongkar jendela) khususnya pada kejahatan terhadap harta benda; Suspect‟s actions : apa yang tersangka lakukan selama melakukan kejahatan (misalnya memukul korban, mengikat korban, dan sebagainya) khususnya pada kejahatan pada individu; Action against property : apa yang tersangka lakukan pada properti (misalnya dibakar, dirampok dan sebagainya); Object of attack: tipe orang atau properti yang diserang (misalnya mesin kasir, pelayan took, pejalan kaki); Method of departure: bagaimana tersangka meninggalkan (misalnya dengan mobil atau berjalan kaki, khususnya pada kejahatan perorangan Weapon type : tipe senjata yang digunakan (misalnya senapan, pipa dan sebagainya) Property taken: barang yang dicuri saat kejahatan (misalnya perhiasan, uang kontan, TV)
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
31
Where : dimana kejahatan terjadi. Karakteristiknya dijelaskan sebagai berikut : Address: alamat lengkap dimana suatu kejahatan terjadi, termasuk apartemen, kamar, atau nomor kamar hotel Address name: jika memungkinkan, nama komersial dari tempat dimana kejahatan terjadi (misalnya ValueMart, Garden Apartement) Type of Location: kategori dari lokasi dimana kejahatan terjadi ( misalnya apartemen, salon kecantikan, dan lainnya) Area: area dimana kejahatan terjadi (misalnya reporting district, beat, grid, section)
When : kapan suatu kejahatan terjadi. Karakteristiknya dijelaskan sebagai berikut: Exact time and date of the crime : digunakan saat waktu dan tanggal diketahui dengan tepat (biasanya untuk kejahatan terhadap individu) First date and time : tanggal dan waktu awal kemungkinan terrjadinya kejahatan (periode awal). Khususnya pada kejahatan terhadap properti yang tidak ada saksi. Last date and time : tanggal dan waktu akhir kemungkinan kejahatan terjadi (periode akhir).
Nurhakim (2011, hal 28) memberi perbandingan modus operandi dari Mayor L.W. Atcherley, Robert D. Keppel dan William J. Birnes, dan Rachel Boba. Perbandingan tersebut digambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut :
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
32
Tabel 2.1 Perbandingan modus operandi dari Mayor L.W. Atcherley, Robert D. Keppel dan William J. Birnes, dan Rachel Boba.
No
Atcherley
No
Keppel dan Birnes
1 2
Classword Entry
1 2
3
Means
3
4
Object
4
5
Time
5
6 7 8 9 10
Style Tale Pals Transport Trademark
6 7 8 9 10
Usia Korban, Jenis Kelamin, dan Ras 1 Cara Perjalanan Pelaku 2 A B C D E F G H Mengangkut Tubuh Korban Untuk 3 Dibuang A B C D Waktu Melakukan Pelanggaran 4 a b c Jenis Bangunan yang Dipilih untuk Masuk Hari Melakukan Pelanggaran Lokasi Pelanggaran Senjata yang digunakan Jumlah pelaku Cara pendekatan kepada korban
11 12 13
No
Boba What How Point of Entry Methods of Entry Suspect‟s Action Action Against Property Object of Attack Methods of Departure Weapon Type Property Taken Where Address Address name Type of location Area When Exact Time and Date of the Crime First Date and Time Late Date and Time
Faktor-faktor yang memfasilitasi kejahatan Apa yang digunakan untuk mengikat korban Memakai topeng
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
33
Untuk kasus pelarian WBP dari Lapas, penulis menggunakan metode Modus Operandi dari Rachel Boba (2003). Dalam tulisannya, Boba menjelaskan karakteristik dalam melihat modus operandi, namun ada beberapa hal yang diubah dan disesuaikan dengan konteks pelarian. Hal itu dirubah menjadi seperti penjelasan beikut:
What: tipe dari kejahatan (dalam tulisan ini dibahas mengenai kasus pelarian)
How:
bagaimana
kejahatan
dilakukan
(berbagai
bentuk
kejahatan).
Karakteristiknya seperti dijelaskan dibawah ini, namun tidak terbatas hanya seperti ini, yang meliputi: Point of escape: darimana WBP (suspect) melakukan pelarian Methods of escape : bagaimana WBP melakuan pelarian Object of attack:
serangan seperti apa yang dilakukan untuk
melakukan pelarian (apabila WBP melarikan diri dengan melakukan tindakan kekerasan); Kind of tools: tipe alat yang digunakan untuk melakukan pelarian (misalnya dengan sarung, tali, atau gergaji)
Where : dimana kejahatan terjadi. Karakteristiknya dijelaskan sebagai berikut : Address: Lokasi Lapas tempat terjadinya pelarian Type of Location: dari titik mana pelarian terjadi (misalnya dari tembok, dalam sel, atau kamar mandi)
When : kapan suatu kejahatan terjadi. Karakteristiknya dijelaskan sebagai berikut: Exact time and date of the crime : digunakan saat waktu dan tanggal diketahui dengan tepat (biasanya untuk kejahatan terhadap individu) First date and time : tanggal dan waktu awal kemungkinan terjadinya kejahatan (periode awal). Last date and time : tanggal dan waktu akhir kemungkinan kejahatan terjadi (periode akhir).
Sedangkan Situational crime prevention, mengutip dari Ronald V. Clarke dalam jurnalnya yang berjudul “ Situational crime prevention :its theoretical basis
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
34
and practical scope (1983) menjelaskan bahwa situational crime prevention dapat dikategorikan sebagai alat pengukuran (Clarke,1983): 1. secara langsung mengenai bentuk kejahatan secara spesifik 2. meliputi manajemen, desain, atau manipulasi lingkungan terdekat sebagai jalan permanen dan terdekat jika memungkinkan 3. untuk mengurangi kesempatan melakukan kejahatan dan meningkatkan resiko dalam pandangan pelaku. Beberapa informan memiliki kepercayaan bahwa pengurangan kejahatan secara signifikan dapat dicapai dengan penyesuaian dasar yang disamakan dan dapat dipraktekkan dan secara etis layak dilakukan dalam hubungannya dengan kebijakan inkapasitasi, penjeraan, atau rehabilitasi. Penelitian terbaru juga memberi sedikit alas an untuk memikirkan solusi untuk menjadi kebijakan kriminal menjadi lebih baik dari yang ada sebelumnya, setidaknya dengan mengurangi kesempatan dengan ketersediaan teknologi dan kondisi ekonomi terkini. Kejahatan dapat dikurangi atau dicegah dengan melakukan beberapa hal (Clarke,1983), yaitu : a. Pengawasan b. Rancangan : penguatan target c. Manajemen lingkungan Ukuran pencegahan situasional telah menunjukkan efektivitasnya dalam beberapa konteks dan menjamin pembangunan
dan percobaan yang lebih jauh.
Dalam jurnal ini juga dijelaskan bahwa teori kriminologi sebelumnya tidak menyediakan jawaban yang bagus untuk pertanyaan yang muncul mengenai pencegahan kejahatan yang lebih baik untuk menurunkan angka kejahatan. Kebanyakan teori mencari bagaimana menujeaskan kenapa beberapa individu atau kelompok lahir dengan, datang, atau ditakdirkan mejadi pelaku kejahatan. Penjelasan mungkin dicari pada perbedaan geneits dari fungsi psikologis, dalam faktor kepribadian psikologis faktor pengasuhan, atau pengaruh sosiologis (misalnya tori anomie, subkultural, dan labeling). Namun kesemua itu banyak menemui kesulitan ketika akan diterapkan, seperti seberapa banyak faktor psikologi
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
35
dan sosial yang harus diterapkan, seperti apakah bisa membuat orang tua, bagaimana membuat rasa cinta tumbuh, dan sebagainya. Pada akhirnya, untuk menjabarkan dalam hal keputusan untuk melakukan pelanggaran, diperlukan untuk mendapat informasi mengenai kondisi dan sejarah personal dari pelanggar meliputi data mengenai: 1. Motif dan tujuan terkini 2. Perasaan dan suasana hati 3. Pertimbangan moral mengenai tindakannya dan “teknik netralisasi moral (Matza,1964) 4. Tanggapan mengenai kesempatan kejahatan dan kemampuan mengambil keuntungan, atau membuat suatu peristiwa kejahatan, dan 5. Penilaian resiko yang diambil dan memahami konsekuensinya Kemudian, dijelaskan juga mengenai model pilihan (choice model). Dikatakan bahwa keuntungan utama dari model “pilihan” ini adalah pada penekananya terhadap konteks situasional terhadap kejahatan yang membantu untuk fokus pada upaya pencegahan pada kategori spesifik dari pelanggaran dibanding pada kejahatan secara umum; hal ini kemudian mendorong analisa yang cermat mengenai kesempatan menjatuhkan korban pada kejahatan tertentu sebagaimana biaya dan manfaat dari tindakan pencegahan. Hal ini juga menyediakan teori rasional yang kuat untuk menambah resiko untuk melakukan pelanggaran dan mengurangi kesempatan, dimana ini adalah inti dari pencegahan “situasional”. Terdapat tiga kategori utama dari intervensi ini, yaitu pengawasan (surveillance), desain dan manajemen lingkungan, yang akan digunakan, namun tidak selalu dibedakan secara tajam, seperti yang digunakan Newman untuk mencapai “defensible space” dengan desain untuk pengawasan. Hal yang menjadi perhatian adalah bahwa untuk mengurangi kesempatan melakukan kejahatan, maka hal ini harus dihalangi atau “target harden” yaitu untuk meningkatkan keamanan fisik dari target pencurian dengan memberi gerendel, memperkuat material, dan mengunci target agar tidak bisa dipindahkan.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
36
Kemudian, dijelaskan mengenai pemindahan (displacement). Mengutip pendapat dari Reppetto (1976) dan Gabor (1978), dikatakan bahwa pemindahan ini dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, dan biasanya dibagi dalam 5 (lima) tipe utama (Clarke,1983), yaitu: 1. Geographical displacement ( pelaku mungkin dapat melakukan kejahatan di tempat lain) 2. Temporal displacement (pelaku dapat melakukan kejahatan di waktu lain) 3. Tactical displacement (pelaku melakukan perubahan pada modus operandi) 4. Target displacement (pelaku memilih calon korban lain) 5. Activity-related displacement (mengalihkan perhatian pada tipe kejahatan yang berbeda) Untuk melihat hubungan antara modus operandi dan situational crime prevention, penulis mengutip pendapat dari Clarke dan Felson (1998) dalam tulisan yang berjudul Opportunity Makes the Thief: Practical theory for crime prevention. Dalam tulisan ini, Clarke dan Felson menyatakan bahwa “modus operandi is a central concern of rational choice theory in criminology. This theory and research is closely linked to situational crime prevention, which is explicitly designed to reduce crime opportunities”. Dalam terjemahan bebas, dapat diartikan bahwa modus operandi adalah perhatian pusat dari teori pilihan rasional di kriminologi. Teori dan penelitian ini berhubungan erat dengan pencegahan kejahatan situasional, dimana hal ini secara eksplisit dirancang untuk mengurangi kesempatan dari kejahatan. Dalam tulisan lain, Wortley dan Mazerolle (2008) menyatakan bahwa “Identifying the modus operandi used by an offender in furtherance of a particular crime has long been recognised as an important aspect of both crime detection and crime prevention”. Dalam terjemahan bebas, dapat diartikan: “mengidentifikasi modus operandi yang digunakan oleh pelanggar sebagai kelanjutan dari kejahatan tertentu telah lama dikenal sebagai aspek penting dari deteksi kejahatan dan pencegahan kejahatan”. Dari pernyataan Clarke dan Felson, serta Wortley dan Mazerrole diatas, dapat disimpulkan bahwa dengan mengetahui modus operandi dari suatu kejahatan, maka
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
37
pencegahan kejahatan dapat dibuat. Pembuatan pencegahan ini dengan mendasarkan pada modus operandi yang ada sebelumnya. Pada akhirnya, kedua hal ini saling berhubungan terutama dalam hal upaya mengurangi kesempatan untuk melakukan kejahatan. Upaya pencegahan ini dibuat dengan mendasarkan pada data yang ada dari modus operandi kejahatan yang pernah terjadi. Ketika hal ini dikaitkan dengan kajian mengenai pelarian dari Lapas, maka modus operandi pelarian narapidana ini digunakan untuk merumuskan kebijakan untuk pencegahan pelarian dari Lapas. Dengan mendasarkan pada modus operandi yang ada, diharapkan agar kebijakan pencegahan pelarian menjadi lebih efektif.
II. 2.2.4. Situational Prison Control Dalam buku Situational Prison Control, Wortley (2004) menyatakan bahwa dalam kriminologi, perspektif rational choice merupakan model dominan untuk menjelaskan hubungan antara situasi dan perilaku pelanggaran. Dikatakan bahwa pelanggar potensial mempertimbangkan biaya dan keuntungan dari perilaku melanggar hukum. Perspektif rational choice menyediakan rasionalitas dari pendekatan pengurangan kesempatan pada situational crime prevention. Dengan pendekatan ini, pencegahan kejahatan dilihat dalam hubungannya pada peningkatan biaya dan mengurangi keuntungan melakukan perilaku kejahatan sehingga perilaku criminal mungkin dapat dinilai sebagai pilihan yang tidak menarik oleh pelanggar potensial. Dalam pembahasannya mengenai control situasional penjara, Wortley membuat dua tahap pemodelan. Pemodelan ini pada akhirnya menyarankan 4 (empat) strategi luas untuk mengontrol penyebab situasional –mengontrol penyebab, mengontrol tekanan, mengurangi perizinan, dan mengurangi provokasi- dimana masing-masing melibatkan 4 (empat) teknik. Hal ini dapat dilihat dari bagan berikut :
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
38
Skema Model Kontrol Situasional Penjara
Ketika membicarakan mengenai pencegahan pelarian dari Lapas, maka penulis mengutip dari tulisan Wortley (2004). Dalam tulisan ini, Wotrley mejelaskan bahwa untuk pengendalian terhadap pelarian narapidana dari Lapas, maka diperlukan beberapa hal, yaitu:
Lingkungan fisik, meliputi : Unit fungsional Penurunan pelarian kemudian menjadi keuntungan lain untuk unit fungsional. King (1991:150) mencatat bahwa tidak pernah terjadi pelarian serius yang
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
39
terjadi dalam generasi baru dari penjara Oak Park Heights (Minneapolis) dalam kurun waktu 9 (sembilan) tahun masa operasi. Dijelaskan juga bahwa kita mungkin berspekulasi bahwa faktor penting untuk mencegah pelarian adalah dengan meningkatkan hubungan antara narapidana dan petugas dan diberi kesempatan yang lebih untuk menangani masalah yang mereka hadapi (biasanya dengan cara konseling) Perimeter (pembatas) keamanan Hal nyata yang dapat dilakukan untuk mengurangi pelarian dari penjara adalah dengan memperkuat pembagian pembatas antara narapidana dengan dunia luar. McManus dan Conner (1994:142) menjelaskan bahwa pembatas keamanan yang efektif harus memiliki 3 (tiga) hal, yaitu: (1). Pengamanan itu harus membuat kesan menakutkan sehingga kebanyakan narapidana tidak akan memilih untuk melakukan pelarian. (2). Pada kenyataannya, pelarian harus menjadi sulit dan memakan waktu untuk dilakukan. (3). Pengamanan harus memungkinkan staf untuk mengawasi aktivitas di segala tempat.
Karakteristik populasi Kepadatan Efek dari kepadatan di penjara terhadap pelarian dikatakan masih ambigu. Ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kepadatan populasi di penjara memberi berdampak terhadap terjadinya pelarian dari suatu penjara, namun ada penelitian lainnya yang menyatakan bahwa kepadatan penjara tidak memiliki dampak apapun terhadap pelarian dari penjara. Namun
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
40
terdapat satu hal yang pasti, bahwa penerapan standar pengamanan tinggi akan diberlakukan pada kondisi penjara yang padat.
Rezim penjara Disiplin penjara Dalam beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa penjara (khususnya penjara untuk remaja), ditemukan fakta bahwa semakin ketat suatu lembaga, maka kemungkinan bisa melarikan diri semakin kecil. Pencegahan umum Jika dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa kebanyakan pelarian dilakukan oleh satu orang, maka penelitian oleh Clarke menemukan fakta bahwa para pelaku pelarian menularkan (mengajak) narapidana lainnya untuk melakukan pelarian bersama, dimana dalam konteks ini dikatakan sebagai sesuatu yang menular. Berdasarkan penelitiannya, Clarke (1980) menemukan fakta bahwa melarikan diri adalah keputusan yang rasional yang dapat dipengaruhi oleh aplikasi pencegah yang sesuai dan, lebih umum, bahwa sifat dari rezim kelembagaan merupakan penentu penting dari tingkat melarikan diri. Implikasinya adalah bahwa pelarian dapat dikurangi jika para narapidana dibuat lebih sadar akan konsekuensi dari perilaku tersebut. Perlindungan dan pertukaran narapidana Ancaman dan tekanan dari narapidana lain secara konsisten diidentifikasi sebagai penyebab utama dari pelarian.
Gorta dan Sillavan (1991:217)
mencatat bahwa kehadiran data dalam jumlah signifikan dari permintaan narapidana yang melakukan pelarian akan perlindungan (namun kebanyakan permintaan ditolak). Thompson (1992:12) menemukan bahwa hampir satusetengah pelarian dari semua pelaku pelarian mengklaim bahwa mereka tidak
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
41
akan melarikan diri jika mereka dipindahkan sesuai dengan permintaan mereka. Ketersediaan program Beberapa narapidana menyatakan bahwa mereka melarikan diri karena mereka merasa bosan dan ketiadaan program di penjara. Program dalam konteks ini adalah kegiatan harian seperti pekerjaan atau pelatihan Konseling Dalam konteks ini, kata “konseling” digunakan untuk menghubungkan beberapa komunikasi signifikan antara narapidana dan staf mengenai hal yang terkait dengan alasan yang memungkinkan untuk melarikan diri. Dalam hal ini, konseling dapat dipandang sebagai intervensi situasional yang tujuannya mengatasi tekanan dari narapidana. Kunjungan dan cuti mengunjungi keluarga (CMK) Keluarga dan tekanan hubungan dari luar penjara telah ditemukan secara konsisten sebagai alasan utama dari pelarian dari penjara, dimana dalam beberapa studi dihitung menjadi lebih dari dua pertiga dari alasan untuk semua kasus pelarian. Thompson (1992:7) menemukan bahwa beberapa alasan narapidana melarikan diri adalah karena masalah keluarga yang kronis, dan karena beberapa kabar buruk dari rumah. Clarke dan Martin (1975) menemukan fakta bahwa pelarian dari penjara remaja bertambah ketika para remaja tersebut kembali dari kunjungan rumah (dalam konteks Indonesia disebut CMK atau Cuti Mengunjungi Keluarga). Mereka mengatakan bahwa kembali ke penjara membuat mereka tidak bahagia. Nampaknya, staf harus lebih memperhatikan suasana hati para narapidana sekembalinya mereka dari cuti tersebut.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
42
BAB III TEKNIK PENGUMPULAN DATA
III.1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian kali ini adalah dengan mendasarkan dari data sekunder. Data sekunder ini didapat dari Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Data yang diambil adalah data yang terkait dengan kasus pelarian. Data yang dikumpulkan pada penulisan ini berasal dari data yang berada di Subdit Pencegahan dan Penindakan Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dalam pengumpulan data ini, penulis mendapatkan data dari Laporan Pelarian dari UPT Pemasyarakatan dari seluruh wilayah Indonesia. Rentang waktu data yang didapat adalah 3 (tiga) tahun, yaitu tahun 2010, 2011 dan 2012. Dalam pengumpulan data kali ini, penulis mendapatkan 20 (dua puluh) dokumen yang lengkap berkenaan dengan modus operandi pelarian dari Lapas di UPT Pemasyarakatan.
III.2. Teknik Analisis Data
Untuk melakukan analisa data pada penulisan kali ini, penulis mendasarkan pada 20 (dua puluh) dokumen dari Subdit Pencegahan dan Penindakan yang didapatkan. Selain itu, untuk melengkapi data itu, penulis juga mencari data dari media untuk lebih memperdalam lagi mengenai kasus pelarian dari 20 dokumen tersebut. Untuk melakukan analisa, penulis membenturkan data yang didapat dengan kerangka pemikiran yang terdapat pada bab 2, yaitu mengenai modus operandi dan situational crime prevention. Untuk membuat pencegahan pelarian, maka dilihat bagaimana modus operandi, untuk kemudian dibuat pencegahannya berdasarkan tulisan dari Wortley mengenai pencegahan pelarian dengan mendasarkan pendekatan situasional.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
43
III.3. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian kali ini, sistematika penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I
Pendahuluan
BAB II
Kajian Kepustakaan dan Teori
BAB III
Teknik Pengumpulan Data
BAB IV
Temuan Data Lapangan
BAB V
Analisa
BAB VI
Kesimpulan
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
44
BAB IV TEMUAN DATA LAPANGAN
Dalam penelitian kali ini, penulis mengambil data pelarian dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus pelarian. Data didapat dari Subdit Pencegahan dan Penindakan
Direktorat
Bina
Kamtib
Direktorat
Jenderal
Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Data mengenai pelarian ini dikumpulkan dari seluruh Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan di wilayah Indonesia. Pada penulisan kali ini, data difokuskan pada pelarian dari Lapas. Data pelarian ini dikumpulkan dari tindakan pelarian yang terjadi pada rentang waktu 2010 sampai dengan 2012. Mengenai data pelarian tahun 2012, data yang ada terbatas hanya hingga bulan Maret 2012. Hal ini disesuaikan dengan data yang masuk dari UPT Pemasyarakatan. Secara umum, data yang didapat mengenai pelarian dari UPT Pemasyarakatan di Indonesia pada tahun 2010 dan 2011 adalah sebagai berikut : TABEL 4.1 REKAPITULASI JUMLAH PELARIAN PADA LAPAS/RUTAN JANUARI – DESEMBER TAHUN 2010
NO 1 2 3
KEADAAN PENGHUNI MELARIKAN DIRI TERTANGKAP KEMBALI PERSENTASE TERTANGKAP KEMBALI
NARAPIDANA
TAHANAN
JUMLAH
113
45
18 16%
7 16%
158 25 16%
Pelarian : 82 kasus sampai dengan 31 Desember 2010
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
45
TABEL 4.2 REKAPITULASI JUMLAH PELARIAN PADA LAPAS/RUTAN JANUARI – DESEMBER TAHUN 2011 KEADAAN PENGHUNI
NO 1 2 3
NARAPIDANA
TAHANAN
JUMLAH
107 28 26 %
41 12 28 %
148 40 27 %
MELARIKAN DIRI TERTANGKAP KEMBALI PERSENTASE TERTANGKAP KEMBALI
Pelarian : 69 Kasus sampai dengan 27 Desember 2011
Sumber Data:
Subdit Pencegahan dan Penindakan Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Selain statistik diatas, data yang didapat juga berupa dokumen mengenai pelarian dari UPT Pemasyarakatan di Indonesia. Dokumen ini terbatas dari tahun 2010 sampai dengan bulan Maret 2012. Data terbatas samapi dengan Maret 2012 karena berdasarkan dokumen yang ada, data pada bulan Maret tersebut merupakan data terakhir yang ada. Selanjutnya, data yang berasal dari Laporan pelarian ini akan dibahas berdasarkan waktunya serta dipaparkan kronologis pelariannya. Data tersebut adalah sebagai berikut : IV.1.Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Sanana Pada kasus pelarian yang pertama, yaitu pelarian yang dilakukan oleh seorang tahanan atas nama X. Kejadian ini terjadi pada 21 Juni 2010 pada pukul 10.30 WIT. Kronologis kejadian adalah sebagai berikut :
Pada hari Senin tanggal 21 Juni, sekitar pukul 10.30 WIT tahanan an. X meminta izin kepada komandan regu jaga A untuk membeli supermi diluar Lapas.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
46
Pada saat kejadian, Ka.Lapas sedang tidak berada di tempat karena sedang menjemput keluarga di Subang, Jawa Barat dan sudah mendapat izin Ka. Kanwil Maluku Utara. Namun sebelum meninggalkan tempat, Ka.Lapas sudah menginstruksikan untuk melarang mengeluarkan penghuni Lapas tanpa seizing Ka.Lapas serta Surat Perintah Pembentukan Tim Pelaksana Tugas Harian Kepala Lembaga Pemasyarakatan Sanana terdiri dari 3 Kepala Seksi yang diketuai oleh Kepala Seksi Pembinaan Dan Anak Didik.
Bahwa tidak berselang terlalu lama, pada pukul 11.00 WIT tahanan tersebut tidak kembali diduga melarikan diri. Kemudian komandan regu jaga yaitu A melakukan pengecekan ke dalam areal Lapas, dan ternyata tahanan tersebut tidak ditemukan. Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan
menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
47
Tabel 4.3 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Sanana What :
Pelarian tahanan an. X
How: Point of escape:
Pintu P2U
Methods of escape :
Mengelabui petugas
Object of attack: Kind of tools :
Where : Address:
Lapas Klas IIB Sanana
Type of Location:
Pintu P2U
When : Exact time and date of 21 Juni 2010 the crime : First date and time :
Pukul 10.30 WIT
Last date and time :
Pukul 11.00 WIT
Analisis : Kasus pelarian ini terjadi karena kelalaian dari petugas jaga. Seperti disebutkan dalam kronologisnya, bahwa Ka. Lapas melarang untuk mengeluarkan tahanan/narapidana selama dirinya sedang berada di Jakarta. Namun, petugas jaga memberi izin tahanan tersebut untuk keluar Lapas. Dalam laporan yang ada, tahanan tersebut juga keluar tanpa pengawalan. Hal ini kemudian justru dimanfaatkan oleh tahanan tersebut untuk melarikan diri dan tidak ditemukan di areal Lapas. Berdasarkan laporan yang ada, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu :
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
48
-
Petugas kurang waspada dan terlalu mempercayai tahanan untuk kemudian memberi izin tahanan tersebut keluar Lapas
-
Tahanan ini dibiarkan untuk keluar Lapas tanpa pengawalan dari petugas
IV.2. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Cianjur
Kasus pelarian kedua dilakukan oleh narapidana X. Lokasi berada di Lapas Klas IIB Cianjur. Kejadian terjadi pada tanggal 3 September 2010. Kronologis kejadian adalah sebagai berikut :
Pukul 06.00 : pembukaan kamar korve kebersihan, untuk membersihkan halaman kantor dan blok hunian.
Pukul 07.00 : pelaksanaan apel penghuni (penghitungan penghuni) dilaksanakan petugas regu pagi
Pukul 07.20 : pembukaan seluruh pintu kamar penghuni
Pukul 08.50 : sebanyak 6 (enam) orang warga binaan pemasyarakatan (WBP) yang asimilasi keluar Lapas untuk dipekerjakan di halaman depan luar Lapas, dikawal 3 orang petugas yaitu A,B, dan C.
2 (dua) orang dikerjakan ditempat parkir.
3 (tiga) orang WBP, termasuk Sdr. X dikerjakan di bagian kebersihan halaman dan membuang sampah.
1 (satu) orang dikerjakan di halaman rumah dinas pegawai. -
Setelah berada diluar Lapas masing-masing melaksanakan pekerjaannya.
-
Yang bagian kebersihan halaman akan membuang sampah, 1 orang sdr. X disuruh petugas P2U (D) untuk mengambil carger miliknya di motor yang berada di tempat parkir, sehingga yang membuang sampah hanya 2 orang.
-
Sdr X yang disuruh oleh petugas (D) kembali menyerahkan carger kepada petugas P2U (D)
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
49
-
Setelah WBP yang 2 orang kembali membuang sampah langsung ke tempat pencucian mobil dan motor untuk mecuci gerobak sampah, petugas C menanyakan kepada 2 orang WBP, mana satu orang lagi (sdr. X) dan kedua orang itu menjawab tidak tahu.
-
Menurut keterangan seorang WBP Y yang sedang menyiram tanaman di halaman rumah dinas, sdr. X lewat dengan membawa sapu, WBP Y menegurnya mau kemana kamu kesitu? Sdr. X menjawab mau membantu pekerjaan di Rumah Dinas Belakang Lapas
-
Setelah selesai menyiram tanaman WBP Y pergi ke tempat pencucian dan disitu bertemu dengan petugas B dan C yang sedang mengawasi dua orang WBP yang sedang mencuci gerobak sampah, WBP Y menginformasikan kepada petugas bahwa dirinya melihat sdr. X lewat ke depan rumah dinas katanya mau membantu pekerjaan di rumah dinas belakang Lapas
-
Setelah mendapat infornasi dari WBP Y, petugas C dan WBP Y mencari melalui jalan yang sdr. X lewati tadi, ternyata sdr. X sudah tidak ada, pencarian terus dilakukan.
-
Sedang melakukan pencarian dijalan (gang) yang menuju ke jalan raya, ditemukan kaos WBP yang sdr. X pakai dari dalam Lapas, maka dari situ dapat diambil kesimpulan bahwa sdr.
X telah
melarikan diri.
Pukul 10.00 : Ka.Lapas menginstruksikan kepada seluruh jajaran pegawai untuk segera mencari pelarian
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
50
Tabel 4.4 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Cianjur What :
Pelarian narapidana an. X
How: Point of escape:
Asimilasi luar Lapas
Methods of escape :
Memanfaatkan kelalaian petugas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas IIB Cianjur
Type of Location:
Asimilasi
Where :
When : Exact time and date 3 September 2010 of the crime : First date and time :
08.30 WIB
Last date and time :
10.00 WIB
Analisis : Kasus pelarian ini terjadi pada saat narapidana an. X sedang menjalani asimilasi bersama 6 (enam) narapidana lainnya di luar Lapas. Namun, petugas yang mengawasi hanya berjumlah 3 (tiga) orang. Selain itu, kurang ketatnya penjagaan yang dilakukan oleh petugas akhirnya menghasilkan celah dimana narapidana ini melarikan diri dengan berdalih membantu pekerjaan di rumah dinas. Namun pada
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
51
kenyataanya narapidana ini justru melarikan diri melalui gang belakang dekat rumah dinas untuk kemudian langsung ke jalan raya. Sebelum melarikan diri, narapidana ini juga menanggalkan kaos WBP-nya agar tidak mudah dikenali. Dari kasus ini, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : -
Narapidana berhasil melarikan diri dari Lapas pada saat asimilasi di luar Lapas karena kurangnya pengawasan dari petugas
-
Petugas mengetahui bahwa terjadi pelarian dari laporan narapidana asimilasi lain yang merasa curiga karena narapidana an. X tidak menjalankan tugasnya sebagaimana seharusnya membersihkan halaman dan membuang sampah, namun justru berdalih membantu pekerjaan di rumah dinas.
-
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa rumah dinas tersebut tidak diawasi oleh petugas.
-
Lokasi rumah dinas yang dekat dengan jalan raya akhirnya memudahkan narapidana ini untuk melarikan diri.
IV.3. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Jambi
Pelarian ini dilakukan oleh narapidana X. Kejadian berlangsung pada tanggal 6 Desember 2010 pada pukul 10.35 WIB. Dalam laporan yang ada, tidak disebutkan secara jelas kronologisnya, namun hanya berupa hasil pemeriksaan petugas. Dari hasil itu, didapat beberapa fakta, yaitu:
Narapidana tersebut melarikan diri dengan menyelinap melalui sisi ornames,kemudian masuk ke areal pintu gerbang utama.
Lalu melintas pintu ornames yang tidak dikunci.
Kemudian memanjat pos 1 yang sedang dalam perbaikan,
Kemudian meloncat ke luar Lapas.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
52
Pada saat itu, pos jaga sedang diperbaiki, sehingga petugas jaga bernama A berjaga di pos bawah di depan gedung Bimpas.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut : Tabel 4.5 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Jambi What :
Pelarian narapidana X
How: Point of escape:
Pos jaga atas I
Methods of escape :
Memanjat Pos I atas,
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas IIA Jambi
Where :
Jl. Kapitan Pattimura Km.8 Jambi Type of Location:
Pos Jaga Atas I
When : Exact time and date 6 Desember 2010 pukul 10.35 WIB of the crime : First date and time : Last date and time :
Analisis :
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
53
Kasus pelarian kali ini terjadi karena adanya kesempatan yang longgar, yaitu pada saat adanya perbaikan gedung, terutama di Pos I tempat terjadinya pelarian dalam Lapas ini. Hal ini menyebabkan Pos I tidak diisi oleh petugas jaga waktu itu, yaitu A (Anggota Regu Jaga I). Petugas tersebut justru berjaga di pos bawah depan gedung Bimpas. Pada saat yang bersamaan, yaitu pukul 100.00, ada kegiatan pembagian rangsum (makan siang) di pos depan ruang Bimpas. Selain itu, di dekat ruang dapur terdapat pintu ornames yang belum dikunci karena sedang dalam pengerjaan. Dari beberapa hal di atas , dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : -
Penjagaan lemah karena pada saat itu sedang berlangsung pembagian makan siang
-
Penjaga pos I tidak berada di posisi semestinya, dimana pos I justru kosong dan hal ini dimanfaatkan untuk melarikan diri
-
Narapidana ini melarikan diri dengan memanfaatkan satu pintu gerbang ornames yang tidak terkunci
-
Pintu ini sengaja tidak dikunci karena masih adanya pengerjaan, dan karena adanya petugas yang lalu lalang untuk perbaikan pos I.
IV.4. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Nabire
Pelarian ini dilakukan oleh tahanan X dari Lapas Klas IIB Nabire. Pelrian ini terjadi pada hari minggu, 8 Mei 2011 setelah peribadatan gereja. Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut:
Pada pukul 11.15 ketika peribadatan gereja selesai, tahanan an. Xmeminta izin pada komandan jaga untuk dipertemukan dengan keluarga. Namun ditolak karena hari itu bukan hari besuk.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
54
Tidak lama kemudian tahanan ini dating lagi dengan maksud yang sama namun dengan nada mengancam.
Pada saat itu terjadi keributan di diantara portir 1 dan 2, tiba-tiba pintu portir 1 diketuk dari luar dengan suara keras, dan kemudian diintip oelh petugas jaga. Ternyata, pintu tersebut diketuk adalah beberapa orang dari keluarga tahanan tersebut.
Atas inisiatif komandan, pintu dibukakan dan dikatakan pada para pembesuk bahwa hanya boleh dibesuk oleh 1 orang perwakilan saja, dan dibawah pengawalan petugas jaga.
Namun hal ini tidak ditanggapi dengan baik. Dengan gerakan tiba-tiba, tahanan langsung menyerobot keluar pintu, tapi berhasil ditangkap kembali
Namun, ada beberapa orang bersenjata yang menghalangi hal tersebut dan akhirnya tahanan lepas kembali dan langsung dilindungi beberapa orang bersenjata.
Setelah kejadian itu, tahanan dan gerombolan tersebut langsung melarikan diri menuju jalan dan langsung kearah bukit.
Menurut keterangan beberapa saksi, dikatakan bahwa gerombolan orang tersebut datang dari dari samping Lapas, membawa senjata tajam, dan terdapat 2-3 orang membawa senjata api. Karena kekauatan yang tidak seimbang, maka tidak ada perlawanan berarti
Sebagai catatan, pada saat itu petugas berjumlah 6 orang, sedangkan Lapas tersebut tidak mempunyai senjata api.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
55
Tabel 4.6 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Nabire What :
Pelarian Tahanan an. X
How: Point of escape:
Pintu P2U
Methods of escape :
Menyerang petugas
Object of attack:
-
Kind of tools :
Senjata tajam dan senjata api
Address:
Lapas Klas IIB Nabire
Type of Location:
Pintu P2U
Where :
When : Exact time and date 8 Mei 2011 pukul 11.30 of the crime : First date and time : Last date and time :
Analisis : Pelarian ini disebabkan karena adanya bantuan orang dari luar yang berjumlah sekitar 20 orang yang kemudian membawa senjata tajam, bahkan ada 2-3 orang yang membawa senjata api. Pada saat kejadian, kekuatan petugas keamanan Lapas dalam hal jumlah tidak seimbang dengan kelompok yang membantu pelarian ini (petugas hanya berjumlag 6 orang termasuk petugas piket dan P2U). Selain itu, Lapas ini ternyata tidak memiliki senjata api. Hal ini tentu saja menyebabkan kekuatan tidak berombang dan pada akhirnya narapidana tersebut berhasil melarikan diri dengan bantuan kelompoknya.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
56
Dari kasus ini, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : -
Kekuatan petugas pengamanan Lapas dan kekuatan yang menyerang dari luar Lapas tidak berimbang. Hal ini menyebabkan pihak pengamanan Lapas sulit melakukan perlawanan
-
Lapas ini tidak mempunyai simpanan senjata api. Padahal, hal ini penting untuk mengendalikan situasi tidak terduga, seperti ketika ada kerusuhan.
IV.5. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Cianjur Pelarian ini dilakukan oleh 6 orang tahanan X dan kawan-kawan pada 6 Mei 2011. Adapun keronologisnya adalah sebagai berikut:
Sebelum melakukan pelarian, pelaku X sudah menyiapkan gergaji yang didapat melalui anaknya yang dimasukkan ke dalam dengan mengelabui petugas jaga sehingga lolos dari pemeriksaan.
Pada pukul 21.00, para tahanan yang ikut kabur, yaitu P,Q dan R secara bergantian menggergaji lubang angin.
Penggergajian berhenti ketika ada petugas kontrol yang lewat, yaitu A (pukul 22.00) dan B (pukul 23.30). Namun setelah petugas tersebut lewat, penggergajian dimulai kembali.
Sekitar pukul 03.00, penggergajian selesai dan mereka keluar bergantian.
Alat bantu dalam pelarian ini adalah sarung yang disambung
Selanjutnya, mereka menuju arah pos 3, yang ternyata dalam keadaan kosong
Kemudian, mereka keluar melalui jendela pos dengan kain sarung menuju ke bawah langsung ke jalan raya.
Karena berpegangan tidak kuat, maka ada tahanan yaitu X jatuh dan pahanya patah, sehingga dibantu kawannya untuk melarikan diri ke jalan. Namun akhirnya keenam tahanan tersebut berhasil melarikan diri.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
57
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut : Tabel 4.7 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Cianjur What :
Pelarian 6 orang tahanan an. X dan kawan-kawan
How: Point of escape:
Pos atas III
Methods of escape :
Memanjat pos jaga atas III
Object of attack:
-
Kind of tools :
Gergaji
Address:
Lapas Klas IIB Cianjur
Type of Location:
Blok Hunian
Where :
When : Exact time and date of 6 Mei 2011 pukul 03.00 WIB the crime : First date and time : Last date and time :
Analisis: Kasus pelarian ini sudah direncanakan 2(dua) hari sebelumnya, yaitu pada 4 Mei 2012. Pelarian ini sudah dipersiapkan dengan cara memasukkan gergaji besi dari luar Lapas dengan menitipkan pada saat besuk. Kemudian, dengan mengelabui petugas, gergaji itu dapat dimasukkan untuk kemudian digunakan untuk menggergaji lubang angin.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
58
Pelarian ini direncanakan oleh keenam tahanan ini dan mereka bekerja sama untuk melarikan diri. Selain bekerja sama dalam menggergaji lubang angin, mereka juga bekerja sama ketika hendak melarikan diri keluar tembok Lapas. Ketika ada salah satu tahanan yang mengalami patah pada pahanya (X) maka yang lain membantu untuk kemudian membawa tahanan tersebut mencari ojek dan membawa ke rumah istrinya. Pelarian ini dapat terjadi dengan cara memanfaatkan kesempatan dan mencari celah dari kelengahan petugas jaga malam pada saat itu. Selain itu, terdapat pula pos yang kosong, yaitu pos 3 sehingga celah itu dimanfaatkan oleh para tahanan untuk melarikan diri dari pos tersebut untuk kemudian langsung turun dan melarikan diri ke jalan raya. Dari hal diatas, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : -
Kurang ketatnya pengawasan terhadap barang yang dibawa oleh orang yang membesuk di Lapas ini, sehingga tahanan ini dapat memasukkan gergaji dengan memanfaatkan kelengahan petugas jaga
-
Penjagaan yang agak longgar dimanfaatkan oleh para tahanan ini, serta adanya pos kosong yang justru dimanfaatkan para tahanan diri untuk melarikan diri dari pos tersebut.
-
Hendaknya, pada saat apel malam dan penghitungan jumlah penghuni kamar, diadakan pemeriksaan terhadap barang yang ada di dalam sel blok tahanan atau narapidana di Lapas ini.
-
Lapas Klas IIB Cianjur termasuk Lapas yang rawan tindak pelarian narapidana/ tahanan. Karena tidak sampai berselang 1 (satu) tahun, terdapat pelarian kembali meskipun dengan modus yang berbeda (yang pertama terjadi pada 3 September 2010)
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
59
IV.6. Laporan pelarian dari Lapas Klas I Batu Nusakambangan
Pelarian ini dilakukan oleh narapidana X. Pelarian ini terjadi pada 12 September 2011. Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut:
Jam 06.00 : narapidana X dikeluarkan pengawal narapidana asimilasi sdr. Siswanto
Jam 06.15 : Narapidana X melakukan pembersihan kandang sapid an kambing di lahan peternakan.
Jam 12.30 : narapidana mencari rumput di area persawahan Lapas Batu.
Jam 15.00 : pengawal narapidana sdr. A mengecek ke kandang ternyata Narapidana X tidak berada di tempat dan hanya meninggalkan pakaiannya.
Jam 15.10 : sdr. A berupaya mencari napi yang bersangkutan di lokasi pertanian dan peternakan, namun napi yang bersangkutan tidak ditemukan.
Jam 18.00 : sdr. A beserta petugas piket KPLP sdr. B menghadap Ka.Lapas batu dan Ka. Bid Kegiatan Kerja Lapas Batu untuk melaporkan bahwa Narapidana X pergi meninggalkan gubug pertanian/peternakan dan belum ditemukan.
Jam 18.30 : Ka.Lapas Batu memerintahkan kepada seluruh pejabat dan staf Lapas Klas I Batu untuk melakukan koordinasi pencarian terhadap narapidana X.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
60
Tabel 4.8 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas I Batu Nusakambangan What :
Pelarian narapidana an. X
How: Point of escape:
Asimilasi
Methods of escape :
Memanfaatkan kelalaian petugas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas I Batu Nusakambangan
Type of Location:
Asimilasi
Where :
When : Exact time and date 13 September 2011 of the crime : First date and time :
Pukul 12.30
Last date and time :
Pukul 14.30
Analisis: Kasus pelarian kali ini terjadi di luar Lapas, yaitu pada saat narapidana sedang menjalani kegiatan asimilasi di kebun Lapas. Dalam melakukan kegiatan di luar Lapas, narapiana ini tidak mendapatkan penjagaan dari petugas. Petugas hanya melakukan pengecekan pada waktu tertentu. Narapidana ini melarikan diri dengan melepaskan pakaian WBP-nya dan bermodalkan arit. Kemudian narapidana ini bersembunyi pada malam hari di goa dan pada pagi harinya mencari orang untuk diminta diseberangkan. Dari hal ini dapat
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
61
digambarkan bahwa terdapat kelemahan dalam pengawasan terhadap narapidana yang melakukan asimilasi di luar Lapas. Meskipun Lapas ini terdapat di Nusakambangan, namun di pulau ini masih terdapat penduduk sehingga dapat dimanfaatkan untuk melakukan pelarian dengan menyeberangkan narapidana ini ke Cilacap. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : -
Pelarian narapidana pada saat kegiatan asimilasi dapat dikatakan terjadi dengan mudah ketika petugas pengawalan tidak mengawasi narapidana yang melakukan asimilasi
-
Kewaspadaan para petugas terhadap narapidana yang sedang melaksanakan asimilasi dapat dikatakan tidak terlalu tinggi, karena sebelum mendapatkan izin melakukan asimilasi, narapidana ini sudah melewati beberapa tahap pemeriksaan seperti keterangan berkelakukan baik dari petugas dan beberapa WBP sehingga diasumsikan bahwa narapidana akan berkelakuan baik dan dapat dipercaya berkegiatan di luar Lapas.
IV.7. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Kendari
Pelarian ini dilakukan oleh narapidana X pada 29 September 2011. Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut :
Sekitar pukul 08.45 WITA, narapidana tersebut diizinkan keluar keluar dari Lapas klas IIA Kendari oleh Ka. KPLP yang saat itu selaku Ketua Tim Pelaksana Harian Ka. Lapas Klas IIA Kendari karena pada saat itu Ka.Lapas sedang menghadiri acara pisah sambut Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan pengarahan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan yang baru di Jakarta.
Pukul 10.00 Ka. KPLP mengontrol melalui handphone kepada petugas yang mengawal pada saat itu tentang kondisi keberadaan narapidana tersebut dan jawabannya aman.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
62
Pukul 13.00 Ka. KPLP mengontrol kembali menanyakan keadaan narapidana tersebut kepada pengawalnya, karena pengawal tersebut harus kembali untuk melaksanakan tugas siang, dan jawabannya aman, sudah mau pulang sama-sama.
Pukul 14.00 Ka. KPLP kembali mengontrol menanyakan posisi narapidana yang dikawal kepada pengawalnya karena dianggap sudah lama di perjalanan, dan jawaban dari pengawal adalah kami sedang diperjalanan, istrinya sedang singgah beli makanan.
Sekitar pukul 14.25 Ka. KPLP kembali menelepon pengawalnya karena merasa khawatir sudah terlalu lama di perjalanan dan jawabannya saya naik motr, dia bersama istrinya boncengan dan saya kehilangan jejaknya.
Kemudian Ka. KPLP bertanya posisi pengawal berada dimana pada saat itu karena sudah merasa curiga namun pengawal tersebut menjawab saya ada di Balai Kota di rumah keluarganya tapi narapidana tersebut tidak ada, lalu Ka. KPLP menyampaikan kepada pengawalnya agar menunggu ditempat untuk mencari keberadaan narapidana tersebut, namun tidak juga ditemukan dan akhirnya dinyatakan melarikan diri.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
63
Tabel 4.9 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Kendari What :
Pelarian WBP X
How: Point of escape:
Luar Lapas (Cuti Mengunjungi Keluarga)
Methods of escape :
Memanfaatkan kelalaian petugas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas IIA Kendari Sulawesi Tenggara
Type of Location:
Luar Lapas
Where :
When : Exact time and date 3 Oktober 2011 pukul 14.25 WITA of the crime : First date and time :
-
Last date and time :
-
Analisis : Narapidana an. X ini melarikan diri pada saat sedang melakukan kunjungan keluarga di luar Lapas. Narapidana ini melarikan diri dengan cara mengelabui petugas pada saat berada di jalan ketika hendak pulang. Ketika hendak pulang dengan menaiki motor, narapidana tersebut langsung melarikan diri dan tidak dapat dikejar lagi oleh pengawal. Dari kronologisnya, dapat dikatakan bahwa pengawalan untuk narapidana yang izin keluar di Lapas ini kurang ketat karena pengawal hanya 1 orang dan
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
64
menggunakan motor yang berbeda dari motor yang digunakan WBP. Hal ini dapat dikatakan beresiko untuk pengawasan sehingga WBP dapat melarikan diri. Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa: -
Pengawalan yang kurang ketat terhadap WBP ketika berada di luar Lapas mengakibatkan WBP tersebut dapat melarikan diri karena luput dari pengawalan dan pengawasan.
IV.8. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Singkawang
Pelarian ini terjadi pada 20 November 2011 pada pukul 02.00 WIB. Pelakunya adalah seorang narapidana X . Kronologisnya adalah sebagai berikut :
Pada hari minggu tanggal 20 November 2011 pukul 07.00 regu pengamanan mengadakan apel penghuni, jumlah penghuni adalah 261 orang.
Setelah apel, diketahui bawa ternyata jumlah penghuni hanya 260 orang.
Setelah dilakukan pengecekan kembali ternyata WBP an. X tidak ditemukan baik di kamarnya maupun di ruangan Ka. KPLP (sehari-hari X bekerja di ruang Ka. KPLP mengoperasikan Laptop di ruangan tersebut).
Setelah kejadian tersebut, petugas melapor kepada Ka. KPLP dan Kapalas, untuk kemudian melakukan penyisiran dan pengamatan pada pagar tembok keliling, namun tidak ditemukan tanda atau bekas pijakan kaki ada pagar tembok keliling.
Pada pukul 09.00 narapidana tersebut mengirimkan sms kepada Ka. KPLP yang intinya meminta maaf terpaksa melarikan diri karena mencari bukti baru perkaranya guna mengadakan PK (peninjauan kembali) kasusnya.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
65
Berdasarkan komunikasi dari SMS, narapidana tersebut mengakui melarikan diri pada pukul 02.00 melalui pos atas IV menggunakan tali tambang plastik.
Setelah dilakukan pengecekan di sekitar pos IV atas maka ditemukan tali tambang plastik di dalam parit dekat pos IV atas.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Tabel 4.10 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Singkawang What :
Pelarian WBP an X
How: Point of escape:
Pos atas IV
Methods of escape :
melarikan diri melalui pos atas IV menggunakan tali tambang plastik
Object of attack:
-
Kind of tools :
Tali/tambang
Address:
Lapas Klas IIB Singkawang
Where :
Jalan tanjung Batu no.33 Kalimantan Barat Type of Location:
Pos atas IV
When : Exact time and date 20 November 2011 pukul 02.00 WIB of the crime : First date and time :
-
Last date and time :
-
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
66
Analisis : Berdasarkan laporan pelarian yang didapat, dapat dikatakan bahwa narapidana yang melarikan ini merupakan narapidana yang istimewa. Hal ini dikarenakan narapidana ini dalam kesehariannya berada di ruang Ka. KPLP dan bukan di sel narapidana. Selain itu, narapidana ini juga dekta dengan para petugas. Hal ini kemudian menjadikan pengawasan terhadap narapidana ini longgar. Berdasarkan laporan ini, dapat dilihat bahwa petugas tidak mengetahui bagaimana dan darimana narapidana ini melarikan diri. Hal ini mengindikasikan bahwa pengawasan terhadap narapidana ini lemah, dan kepercayaan yang tinggi terhadap narapidana ini yang menyebabkan pengawasannya lemah. Hal ini kemudian dimanfaatkan untuk melarikan diri. Denah pelarian narpaidana ini dapat dilihat pada peta berikut : Denah 4.1 Alur Pelarian WBP x di Lapas Klas IIB Singkawang
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
67
Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa pelarian ini melewati beberapa ruangan, antara lain ruang Kamtib, gudang Bimker, serta melewati depan dari Ruangan P2U dan kemudian berjalan menuju pos atas IV. Jarak dari ruang Ka. KPLP ke pos atas IV cukup jauh, dan berdasarkan laporan yang ada, pelarian ini luput dari pengawasan petugas jaga. Dari bahasan diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu: -
Kepercayaan yang tinggi terhadap narapidana ini pada akhirnya dimanfaatkan oleh narapidana ini untuk melarikan diri.
-
Kepercayaan yang tinggi seharusnya masih harus diberikan dengan pengawasan dan kewaspadaan, karena sudah terbukti bahwa kepercayaan yang diberikan tidak dibayar dan justru dimanfaatkan.
IV.9. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Manokwari
Pelarian ini dilakukan oleh 1 orang narapidana wanita X pada 22 November 2011 pukul 19.00 Wit. Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut :
Karena mengeluh sakit bekas operasi cesar dan susah buang air kecil, pada pukul 10.00 wit narapidana dikeluarkan dari Lapas dengan pengawalan seorang petugas medis Lapas (A) dan seorang petugas wanita (B) untuk dilakukan pemeriksaan di dokter ahli kandungan
Pada pukul 17.00 wit, setelah pemeriksaan dokter, bersama pengawal ke rumah napi untuk menengok anak napi namun ada kebaktian di rumahnya.
Pukul 19.00, setelah ibadah, napi bersama pengawal kembali ke Lapas
Saat turun di Lapas, pengawal turun lebih dulu sedangkan napi masih di dalam mobil
Saat itu, mobil langsung jalan, dan napi tersebut melarikan diri.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
68
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut : Tabel 4.11 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Manokwari
What :
Pelarian 1 orang narapidana wanita an. X
How: Point of escape:
Luar Lapas (izin berobat ke luar Lapas)
Methods of escape :
Memanfaatkan kelalaian petugas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas IIB Manokwari
Type of Location:
Luar Lapas
Where :
When : Exact time and date 22 November 2011 pukul 19.00 WIT of the crime : First date and time : Last date and time :
Analisis : Kasus pelarian kali ini terjadi di luar Lapas, yaitu pada saat narapidana sedang izin keluar dan akan kembali masuk ke Lapas. Namun yang terjadi berdasarkan laporan adalah narapidana ini melarikan diri ketika para pengawal turun dan narapidana itu melarikan diri dengan mobil. Hal ini dapat dikatakan bahwa
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
69
pengawasan yang lemah. Selain itu, narapidana ini berhasil mengelabui petugas untuk dapat melarikan diri dari Lapas ini. Namun, ada dugaan bahwa narapidana ini sengaja dibiarkan kabur. Seperti dikutip dari dua berita (komisikepolisianindonesia.com dan bintangpapua.com) dimana mengutip pernyataan salah satu penghuni Lapas ini,yaitu Y, yang menyatakan bahwa diduga Petugas LP khususnya Kepala Pembinaan N dan Suster A di bagian Perawatan LP Manokwari telah melarikan narapidana Ratu Narkoba wanita dengan hukuman 6 tahun penjara atas nama X dari LP Klas IIB Manokwari pada sore hari akhir bulan November 2011, atas ijin dan persetujuan Ka.Lapas LP Manokwari. Hal tersebut sudah menjadi cemohan di Masyarakat Propinsi Papua Barat meminta supaya Menteri Hukum dan Ham memecat Ka.Lapas dan Kakanwil Hukum dan HAM Propinsi Papua Barat dari jabatan mereka masing-masing. Lanjut Y, narapidana Narkoba penjara 6 tahun X dalam pengakuannya di pelarian kepada orang dekatnya mengaku dia bukan lari tapi dilarikan dengan bayaran tertentu kepada Ka.Lapas dan sejumlah bawahannya dengan nilai yang cukup fantastis. Yaitu dengan alasan
berobat
di
Rumah
Sakit
kemudian
saya
disuruh
lari
(komisikepolisanindonesia.com, 9 Desember 2011, bintangpapua.com, 9 Desember 2011). Dugaan ini yang dikutip dari beberapa sumber diatas tentu saja bisa menjadi catatan tersendiri dalam kasus ini dimana ada dugaan bahwa narapidana ini sengaja melarikan diri dengan membayar sejumlah uang kepada petugas. Dari uraian diatas dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : -
Pelarian terjadi karena adanya kelengahan petugas sehingga dimanfaatkan oleh narapidana untuk melarikan diri
-
Adanya pemberitaan yang menyatakan bahwa narapidana ini sengaja dibiarkan melarikan diri harus dilakukan penyelidikan, dan jika terbukti benar, maka petugas yang terlibat seharusnya mendapatkan sanksi.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
70
IV.10. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Cibinong
Pelarian ini dilakukan oleh narapidana X, dimana pelarian terjadi pada 20 November 2011 pukul 16.00 WIB. Adapun kronologisnya sebagai berikut :
Sekitar pukul 14.00, sdr. A (wakil komandan regu pengamanan/ rupam) dimintai tolong oleh sdr. B (Kepala Urusan Umum) untuk membuka pintu karena akan memasukkan kendaraan operasional. Namun sdr. A tidak langsung membuka pintu melainkan menyuruh dan menyerahkan kunci pada tamping (tahanan pendamping) X. untuk membuka pintu tersebut karena dia sedang sendiri di posko sedangkan sdr. C (Karupam) berada di blok melakukan kontrol.
Kemudian sdr B memasukkan kendaraan operasional tersebut ke area belakang parkir dapur tanpa mengecek apakah pintu gerbang sudah terkunci dengan benar. Pada saat turun dari kendaraan, sdr B hanya melihat dari kaca tanpa melihat dengan jelas apakah pintu gerbangnya sudah terkunci dengan benar.
Setelah berada di dalam sdr B melihat WBP an X. kembali ke posko Regu Pengamanan untuk menyerahkan kunci tanpa mengecek ulang apakah pintu gerbang I dan II sudah dalam keadaan terkunci atau belum.
Sekitar pukul 16.30 dilakukan apel serah terima dan pengecekan WBP oleh regu malam.
Pada saat melaksanakan apel sdr. D (Wakarupam III) melihat pintu gerbang area dapur I dan II sudah dalam keadaan terbuka, lalu segera memberitahu sdr. A dan baru diketahui bahwa WBP an. X sudah melarikan diri dan dapat dipastikan melalui gerbang area dapur.
Pelarian terjadi karena WBP an. X. disuruh membuka pintu oleh sdr. A tanpa didampingi petugas dan sdr. B membiarkan WBP tersebut menutup pintu gerbang I dan II tanpa melakukan pengecekan kembali.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
71
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut : Tabel 4.12 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Cibinong What :
Pelarian narapidana an. X
How: Point of escape:
Pintu gerbang area dapur I dan II
Methods of escape :
Memanfaatkan kelalaian petugas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas IIA Cibinong
Type of Location:
Gerbang belakang
Where :
When : Exact time and date 20 November 2011 of the crime : First date and time :
pukul 16.00 WIB
Last date and time :
pukul 16.30 WIB
Analisis : Pelarian ini terjadi karena petugas yang tidak cermat dalam mengawasi perilaku narapidana dan percaya kepada narapidana, sehingga tidak memeriksa hasil pekerjaan narapidana, yaitu dengan mengecek apakah pintu sudah terkunci kembali dengan benar atau tidak. Hal ini kemudian menyebabkan narapidana ini berhasil melarikan diri melalui pintu tidak dikunci ini.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
72
Dari kasus ini dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : -
Pelarian terjadi karena kelengahan petugas yang tidak memeriksa kembali ketika narapidana selesai mengunci pintu.
-
Kurangnya pengawasan petugas terhadap narapidana menyebabkan pelarian narapidana ini tidak diketahui oleh petugas. Pelarian baru diketahui ketika diadakan apel sore.
IV.11. Laporan pelarian dari Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar
Pelarian ini dilakukan oleh empat orang napi pada 16 November 2011. Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut :
Pada pukul 18.30, mesin genset mati dan air bersih tidak dapat mengalir, komandan jaga an. A memerintahkan 4 narapidana diatas untuk menghidupkan genset dan menyalurkan air bersih kedalam blok hunian.
Setelah diperiksa kembali kembali oleh komandan jaga, keempat narapidana tersebut sudah tidak ada.
Komandan jaga segera melaporkan hal tersebut kepada Ka. KPLP Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar.
Berdasarkan laporan, pelarian dilakukan dengan cara naik ke lantai 2 ruang besuk dan keluar melalui jendela yang tidak memiliki jerajak besi di ruang tersebut.
Penjagaan belum bisa optimal karena Lapas ini kekurangan petugas pengamanan, serta kondisi blok hunian yang masih dalam tahap penyempurnaan.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
73
Tabel 4.13 Modus Operandi Pelarian Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar Sumatera Utara What :
Pelarian 4 narapidana
How: Point of escape:
Ruang besuk lantai 2
Methods of escape :
Memanfaatkan kelalaian petugas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar Sumatera
Where :
Utara Type of Location:
Ruang Besuk
When : Exact time and date 16 November 2011 pukul 18.30 WIB of the crime : First date and time : Last date and time :
Analisis : Pelarian kali ini terjadi karena kelalaian dari petugas, serta kurangnya jumlah petugas keamanan dan kondisi Lapas yang masih dalam perbaikan di beberapa titik. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh para narapidana yang melarikan diri dengan menanfaatkan titik- titik yang bisa digunakan untuk melarikan diri. Pelarian kali ini dapat dikatakan sudah direncanakan karena waktu pelarian yang memanfaatkan
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
74
waktu dimana para narapidana tersebut ditugaskan menghidupkan genset dan mengalirkan air ke dalam blok. Dari hal diatas, dapat disimpulkan bahwa : -
Kondisi Lapas yang masih dalam perbaikan memudahkan pelarian terjadi
-
Kurangnya jumlah petugas pengamanan mengakibatkan penjagaan terhadap narapidana ini tidak maksimal, sehingga pelarian terjadi
IV.12. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Manado Pelarian ini dilakukan oleh 3 (tiga) orang narapidana pada 19 Agustus 2011. Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut :
Berdasarkan BAP petugas bernama A (anggota Rupam III), diketahui bahwa sekitar pukul 17.00 WITA, A melakukan apel penghuni Blok A.
Namun, yang bersangkutan menolak tugas tersebut mengingat statusnya masih CPNS
Hasil apel adalah bahwa jumlah penghuni lengkap.
Dalam pengakuan petugas ini, diketahui bahwa penguncian kamar dilakukan oleh narapidana (tamping/pemuka) sehingga yang bersangkutan tidak tahu secara pasti apakah penguncian kamar sudah sudah sempurna
Sekitar pukul 17.55 WITA, yang bersangkutan diperintahkan Wakarupam mengecek brandgang berdasarkan informasi via HT sdr. B (pos III) karena ada yang mencurigakan.
Sampai di brandgang yang bersangkutan melihat ada rangka besi tenda yang bersandar di tembok Lapas. Kemudian yang sdr. A berinisiatif lari keluar Lapas melakukan pengejaran tapi narapidana tersebut sudah lebih dulu pergi.
Berdasarkan BAP dari sdr. X (napi yang melarikan diri kemudian tertangkap kembali pada 14 September 2011), didapat data bahwa cara
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
75
melarikan diri adalah yang bersangkutan pada saat itu minta izin Tamping an. N untuk mandi.
Tapi, kesempatan tersebut digunakan untuk keluar Blok A menuju dapur di samping bengkel bersama dua napi lainnya yang sudah ditunggu di belakang dapur.
Setelah itu, mereka bertiga menaiki tembok dengan bantuan tangga besi untuk melompat keluar.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut : Tabel 4.14 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Manado What :
Pelarian 3 (tiga) orang narapidana
How: Point of escape:
Tembok Lapas
Methods of escape :
Memanjat tembok Lapas
Object of attack:
-
Kind of tools :
Tangga Besi
Address:
Lapas Klas IIA Manado
Type of Location:
Dapur
Where :
When : Exact time and date 19 Agustus 2011 of the crime : First date and time :
Pukul 17.00 WITA
Last date and time :
Pukul 18.00 WITA
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
76
Analisis : Pelarian di Lapas ini terjadi dengan memanfaatkan kelengahan petugas, yaitu setelah mengadakan apel sore dan pada saat itu jumlah narapidana masih lengkap. Namun setelah itu, karena penguncian pintu blok dilakukan oleh pemuka blok/tamping, dan narapidana yang melarikan diri ini meminta izin mandi di luar blok pada tamping di bloknya. Hal ini dimanfaatkan untuk melarikan diri melalui dapur, dimana hal ini sudah direncanakan oleh ketiga narapidana tersebut dank arena kurangnya pengawasan, pelarian dapat terjadi. Dari hal diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : -
Pelarian ini merupakan hal yang sudah direnacanakan
-
Pelarian dapat terjadi karena kurangnya pengawasan terhadap gerak gerik WBP di Lapas ini
-
Di Lapas ini, kunci beberapa ruangan dipercayakan pada narapidana. Hal ini dikatakan sudah menjadi tradisi. Hal ini seharusnya diawasi dan tetap dilakukan penjagaan karena dikhawatirkan dapat dimanfaatkan narapidana tersebut untuk melakukan pelarian.
IV.13. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Bukittinggi
Pelaku pelarian kali ini adalah dua orang narapidana, dimana pelarian terjadi pada 17 Desember 2011 jam 11.53 WIB. Adapun kronologisnya sebagai berikut:
Jam 08.26 WIB, 5 (lima) orang narapidana keluar wisma mawar untuk bekerja kebersihan (pengecatan kamar hunian) di Wisma Anggrek, dengan pengawalan Pegawai A dan langsung ke Wisma Anggrek untuk melakukan pengecatan kamar. (Buku Bon Kerja ditanda tangani oleh A dan Ka. KPLP Yosi Yulia, SH)
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
77
Pegawai A memberikan arahan kepada ke lima narapidana tersebut, 2 (dua) orang mencat kamar 05 dan 2 (dua) orang mencat kamar 06, 1 (satu) orang memperbaiki pintu kamar 04.
Kira-kira jam 09.30 WIB. Petugas A masuk wisma anggrek untuk melihat narapidana yang bekerja dan narapidana sedang bekerja mencat kamar 05 da 06 wisma Anggrek.
Jam 11.30 WIB Petugas A mengecek narapidana yang bekerja. Jumlah mereka masih lengakap sebanyak 5 (lima) orang. Karena turun hujan lebat dan jumlah narapidana yang sedang bekerja cukup dan aman maka Petugas A keluar meninggalkan narapidana yang sedang bekerja.
Diperkirakan jam 11.50 WIB kedua narapidana yang bertugas mengecat kamar 06, melarikan diri dengan cara memanjat atap kamar 06 Wisma Anggrek dan dengan cara melompat dari atas atap dibelakang turun diantara tembok pagar pembatas dengan wisma Anggrek, kemudian berlari kearah Pos 1,setelah sampai di dekat Pos I kedua narapidana tersebut memanjat tembok pagar pembatas belakang dan melarikan diri. (Terekam di CCTV jam 11.53 WIB).
Diperkirakan melarikan diri ke arah pemukiman penduduk.
Jam 12.00 WIB pegawai Sayfrinal Andri melaporkan kejadian tersebut dan berusaha mencari sendiri keluar Lapas.
Jam 12.00 WIB seluruh petugas Lapas Bukit tinggi yang berada disekitar Lapas berusaha mencari kedua narapidana tersebut.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
78
Tabel 4.15 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Bukittinggi Sumatera Barat
What :
Pelarian 2 narapidana
How: Point of escape:
Tembok Lapas
Methods of escape :
Memanjat Tembok Lapas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas IIA Bukittinggi
Where :
Jl. Raya Bukittinggi – Payakumbuh Km. 08 Bukittinggi Sumatra Barat Type of Location:
Blok Hunian
When : Exact time and date of 17 Desember 2011 Pukul 11.53 WIB the crime : First date and time : Last date and time :
Analisis: Kasus pelarian ini terjadi ketika para narapidana ini sedang melaksanakan tugas kebersihan (mengecat kamar blok). Kemudian, hujan turun. Hal ini dimanfaatkan para narapidana ini untuk melakukan pelarian dengan memanjat atap kamar 06 di Wisma Anggrek tersebut. Kemudian mereka melarikan diri melalui pos atas I. Dari kronologisnya, dapat dikatakan bahwa pos ini tidak diisi oleh petugas jaga sehingga bisa dimasuki narapidana ini untuk kemudian melarikan diri ke luar Lapas.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
79
Meskipun Lapas ini memiliki CCTV, namun hal ini tidak menghalangi pelarian tersebut dan hanya bisa merekam pelaria tersebut Dari hal ini, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : -
Pengawasan narapidana yang kurang ketat dan tidak adanya penjaga di pos I dimanfaatkan untuk melakukan pelarian oleh narapidana ini
-
Pelarian terekam oleh CCTV, namun pelarian tidak bisa dicegah. Dari hal ini dapat diasumsikan bahwa tidak ada pengawas monitor CCTV sehingga pelarian masih tetap berlangsung.
-
Keberadaan teknologi pengawasan (CCTV) masih tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk mengawasi perilaku para narapidana
IV.14. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Tabanan
Pelarian ini dilakukan oleh seorang tahanan bernama X pada 2 Februari 2012 Pukul 08.30 WITA. Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut :
Pada awalnya, tahanan yang bersangkutan ke kamar mandi/WC pegawai.
Setelah di kamar mandi/ WC pegawai, tahanan ini menjebol plafon kamar mandi, kemudian menuju ke arah gudang di utara kamar mandi.
Kemudian, tahanan ini membuka genteng dan mendekati tembok pengaman Lapas, lalu melompat ke tembok untuk selanjutnya loncat/turun ke bawah disebelah utara Lapas
Kemudian tahanan tersebut berlari kearah barat menuju sungai yang ada di sebelah barat laut Lapas.
Sekitar pukul 09.30, tahanan tersebut tertangkap kembali.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
80
Tabel 4.16 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Tabanan Bali What :
Pelarian Tahanan an. X
How: Point of escape:
Tembok Lapas
Methods of escape :
Memanjat Tembok Lapas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas IIB Tabanan
Where :
Jl. Gunung Agung no.21 Tabanan Type of Location:
Kamar Mandi
When : Exact time and date 2 Februari 2012 pukul 08.30 WITA of the crime : First date and time : Last date and time :
Analisis: Pelarian ini terjadi saat tahanan sedang membersihkan kamar mandi. Hal ini dimanfaatkan dengan cara masuk ke kamar mandi untuk kemudian menjebol plafon kamar mandi dan melarikan diri ke arah gudang dan menuju gudang untuk kemudian menuju tembok dan ke luar Lapas. Ketika pelarian ini diketahui, langsung diadakan pengecekan dan menyuruh seluruh penghuni Lapas masuk dalam blok. Setelah itu,
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
81
pengejaran dilakukan dan setengah jam kemudian tahanan tersebut berhasil tertangkap kembali. Dari hal diatas, dapat diambil kesimpulan, yaitu : -
Pelarian dilakukan pada saat kegiatan membersihkan Lapas.
-
Narapidana memanfaatkan ketika dirinya tidak diawasi untuk melarikan diri dengan menjebol plafon kamar mandi
-
Karena tanggapan yang cepat dari para petugas, dan karena jarak waktu yang tidak terlalu lama diman pelarian langsung diketahui sehingga pengejaran masih dapat dilakukan.
-
Karena respon yang cepat, petugas pada akhirnya dapat menangkap kembali tahanan yang melarikan diri tersebut.
IV.15. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Manado
Pelarian ini dilakukan oleh 3 orang narapidana pada 4 Februari 2012 sekitar pukul 03.00-04.00 WITA. Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut :
Sekitar pukul 03.00-04.00 WITA, ketiga narapidana ini melakukan aksi pelarian dengan cara memanjat tembok dalam masjid Lapas.
Setelah berhasil, para narapidana ini kemudian memanjat tembok luar Lapas untuk kemudian melarikan diri.
Pelarian ini dilakukan dengan alat bantu berupa 2 utas kain yang sudah dibuat tali tanpa anyaman masing-masing panjangnya berkisar antara 4-5 meter.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
82
Tabel 4.17 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Manado What :
Pelarian 3 orang WBP
How: Point of escape:
Tembok Lapas
Methods of escape :
Memanjat tembok Lapas
Object of attack:
-
Kind of tools :
Kain
Address:
Lapas Klas IIA Manado, Jalan M.H. Thamrin no.52
Where :
manado Sulawesi Utara Type of Location:
Tembok masjid (tembok dalam)
When : Exact time and date 4 Februari 2012 of the crime : First date and time :
pukul 03.00 WITA
Last date and time :
pukul 04.00 WITA
Analisis: Pelarian ini dapat terjadi terjadi karena kelengahan petugas jaga malam sehingga para narapidana berhasil melarikan diri. Pelarian dilakukan pada dini hari sekitar pukul 03.00-04.00 WITA dengan melawati pos jaga yang ada di samping kiri dan kanan. Pelarian sudah direncanakan sebelumnya, karena ditemukannya alat bantu yaitu 2 utas kain yang sudah dibuat tali. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari ilustrasi berikut :
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
83
Gambar 4.1 Ilustrasi Pelarian Lapas Klas IIA Manado, 4 Februari 2012
Sumber : manadopost.co.id Dari uraian diatas, dapat diambil kesimpulan : -
Pelarian terjadi karena kelengahan petugas dalam mengawasi pergerakan para WBP
-
Lapas ini termasuk Lapas rawan pelarian karena dalam kurun waktu 6 bulan sudah terjadi 2 kali pelarian
-
Berdasarkan pemberitaan dari manadopost.com, dikatakan bahwa tidak ada pengawasan yang ketat terhadap para narapidana yang ada di Lapas ini. Bahkan, dikatakan bahwa kamar di Lapas ini tidak pernah dikunci, sehingga memudahkan para narapidana melarikan diri
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
84
-
Kewaspadaan perlu ditingkatkan dalam hal pengawasan terhadap para narapidana di Lapas ini.
IV.16. Laporan pelarian dari Lapas Terbuka Jakarta
Pelarian ini dilakukan oleh narapidana an. X, dimana pelarian terjadi pada 25 Februari 2012. Adapun kronologisnya sebagai berikut:
Berdasarkan surat pemohonan dari keluarganya dalam hal ini adalah saudara sepupunya an. Y pada tanggal 21 Februari 2012 tentang permohonan ijin asimilasi.
Berdasarkan surat permohonan pihak keluarga Kepala Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta mengeluarkan Surat Perintah untuk melaksanakan survey ke alamat penanggung jawab (penjamin) kepada 2 (dua) orang petugas an. M dan N, Surat perintah di keluarkan pada tangga 22 Februari 2012, dengan nomor : W7.ER-PK.01.04.206 tentangg perintah untuk melaksanakan survey.
Berdasarkan surat perintah survey pada tanggal 22 Februari 2012 petugas an. M dan N melakukan survey ke alamat penanggung jawab (penjamin) dimana WBP an. X akan melaksanakan asimilasi. Selanjutnya Tim Survey membuat laporan hasil survey sebagai bahan pertimbangan dalam siding Tim Pengamatan Pemasyarakatan.
Pada hari Sabtu, tanggal 25 Februari 2012 WBP an. X di keluarkan oleh Bpk. Andrian Ibrahim selaku kasi Binapi Giatja dan Bpk J selaku Plh. Ka. KPLP dengan menggunakan bon kerja untuk berkonsultasi pengajuan bekerja pada pihak ketiga dengan petugas pengawalan an. A, WBP an. X dengan petugas bernama A keluar lembaga Permasyarakatan jam 07.35 WIB.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
85
Mereka menuju Pondok Indah karena WBP an X janji bertemu dengan pemilik perusahaan dimana tempat pengajuan pihak ketiga, pukul 09.00 WIB,
Mereka tiba di Pondok Indah, tiba-tiba rencana berubah, karena pemilik perusahaan ada rapat mendadak sehingga di tunda hingga pukul 13.00
Kemudian mereka pergi menuju rumah penanggung jawab (penjamin) an. Y dengan alamat JL. Pluit Dalam Rt.005/008, Kel. Penjaringan, Kec. Penjaringan, Jakarta Utara pada pukul 10.00 WIB, X menelepon Y memberitahkan akan ke rumahnya Y.
Pukul 12.00 WIB, mereka tiba di rumah penanggung jawab (Penjamin).
Kemudian Petugas an. A meminta di tujukan musholah/masjid terdekat kepada Y guna melaksanakan sholat Dzhur.
Setelah menunjukan jalan menuju musholh/masjid, Y pun kembali ke rumahnya dan mendapati WBP. An. X sedang menelepon.
Karena rumah dalam keadaan berantakan, Y pun membersihkan rumahnya, WBP an. X lalu keluar sambil menelpon, tanpa curiga penjamin membiarkan WBP, an. X tersebut.
15 menit kemudian 12.15 WIB, petugas A kembali ke rumah Y setelah sholat Dzuhur, petugas pun kaget, karena di rumah tersebuut hanya didapi Y selaku Penangung Jawab (Penjamin) WBP tersebut.
Petugas an. A pun menanyakan kepada Y dimana keberadaan WBP an. X, yang sedang menelepon d luar, mereka bersama-sama keluar untuk mengecek WBP. An. X tersebut.
Ternyata WBP. An X sudah tidak ada. Petugas An. A pun mencoba menelpon WBP, an. X, lalu diangkat katannya menemui Pemilik perusahaan di Menara Imperium Penanggng Jawab (penjamin) pukul 14.00 WIB.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
86
Namun di tunggu hingga pukul 14.00 WIB, WBP, an. Xn tidak juga tiba, akhirnya petugas pun mencoba menelpon WBP, an. X kembali, ternyata Handphone sudah tidak aktif atau dimatikan.
Pada saat itu juga petugas an. A melaporkan kepada komanda RUPAM IV Pukul 14.15 WIB, petugas an. A dan penanggung jawab (penjamin) melaporkan WBP, an X dimana bertemu dengan pemilik perusahaan pihak ketiga di menara imperium pada pukul 17.00, WBP an. X tidak ditemukan.
Pada pukul 18.00 WIB petugas an. A melaporkan kepada atasannya yaitu PLH. Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Terbuka Jakarta Hendrawan bahwa WBP. An X tidak dapat dihubungi dan tidak kembali ke rumah penanggung jawab (penjamin). Setelah menerima laporan PLH. Ka. KPLP beserta beberapa staff menuju alamat penanggung jawab (penjamin) untuk memastikan keberadaan WBP an X.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
87
Tabel 4.18 Modus Operandi Pelarian Lapas Terbuka Jakarta
What :
Pelarian narapidana an X
How: Point of escape:
Asimilasi (Luar Lapas)
Methods of escape :
Memanfaatkan kelengahan petugas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Terbuka Jakarta
Type of Location:
Asimilasi
Where :
When : Exact time and date 25 Februari 2012 of the crime : First date and time :
Pukul 12.05 WIB
Last date and time :
Pukul 12.30 WIB
Analisis: Pelarian ini disebabkan karena petugas yang mengawasi WBP ini terlalu percaya dan meninggalkan WBP tersebut tanpa pengawalan. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh WBP tersebut untuk melarikan diri. Upaya pengejaran juga tidak dilakukan karena informasi yang diketahui petugas nampaknya sedikit dan cenderung percaya pada keterangan WBP ini, sehingga pelarian ini dapat terjadi. Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa: -
Pelarian terjadi karena narapidana ini luput dari pengawasan petugas pengawal
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
88
-
Petugas pengawal yang member kepercayaan tinggi pada WBP justru dimanfaatkan untuk melarikan diri oleh WBP
-
Sebaiknya, ketika WBP melakukan asimilasi di luar Lapas, maka harus ada lebih dari 1 (satu ) petugas untuk memudahkan pengawasan, meskipun dalam hal ini ada penjamin, namun pelarian tetap saja terjadi.
IV.17. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Lhokseumawe
Pelaku pelariannya adalah narapidana an. X, dimana pelarian terjadi pada 2 Maret 2012 sekitar pukul 14.30 WIB. Adapun kronologisnya sebagai berikut:
Pelarian tersebut terjadi pada waktu interfal serah terima Regu Jaga antara Penjagaan regu B dengan Komandan Jaga Saudara A ke penjagaan Regu A dengan Komandan jaga saudara B
Melarikan diri tidak menggunakan alat bantu karena pada saat serah terima penjagaan narapidana tersebut memamfaatkan kesempatan serah terima penjagaan.
Terjadinya pelarian tersebut disebabkan Petugas P2U kurang hati-hati terhadap narapidana yang dipekerjakan sebagai tamping dalam Lapas.
Narapidana tersebut merupakan tamping dalam Lapas membantu pegawai
Kepada pegawai yang bersangkutan telah diperintahkan untuk mencari dan menangkap kembali narapidana tersebut.
Pelarian tersebut terjadi pada tanggal 02 Maret 2012, hari Jumat pada pukul 14.30.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
89
Tabel 4.19 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Lhokseumawe Aceh What :
Pelarian WBP an. X
How: Point of escape:
Pintu P2U
Methods of escape :
memanfaatkan kelengahan petugas pada saat serah terima penjagaan
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas IIA Lhokseumawe Aceh
Type of Location:
Pintu P2U
Where :
When : Exact time and date 2 Maret 2012 pukul 14.30 of the crime : First date and time :
-
Last date and time :
-
Analisis : Pelarian ini memanfaatkan waktu interfal pergantian petugas jaga, sehingga fokus dari petugas menjadi berkurang. Hal ini dimanfaatkan narapidana ini untuk melarikan diri melalui pintu P2U. Narapidana ini bisa lolos karena petugas yang tidak terlalu memperhatikan terhadap narapidana ini ketika keluar.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
90
Dari hal ini, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu : -
Kelengahan petugas pada akhirnya dimanfaatkan narapidana ini untuk melakukan pelarian
-
Petugas P2U sebaiknya lebih teliti lagi dan melakukan pemeriksaan terhadap orang yang melewati pintu tersebut untuk menghindari WBP yang melarikan diri dari pintu tersebut
IV.18. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Bengkulu
Pelaku pelariannya adalah tahanan an. X, dimana pelarian terjadi pada 27 Februari 2012 sekitar pukul 08.00 WIB. Pelarian terjadi di luar Lapas ketika tahanan ini sedang menjalani perawatan di RSUD M. Yunus Bengkulu. Adapun kronologisnya sebagai berikut:
Kamis sore jam 14.30 WIB tanggal 23 Februari 2012 Tahanan an. X mengeluh sakit perut terus menerus dan pingsan sebanyak 2 kali.
Dipanggil perawat dan konsultasi dengan dokter, kemudian dilakukan pemeriksaan hasilnya diagnosa dokter apendic kronis.
Dikarenakan keterbatasan alat di klinik Lapas kelas II A Bengkulu, dan pasien dalam keadaan darurat (pasien pingsan terus). Pasien dirujuk kerumah sakit atas perintah dokter Lapas.
Pihak Lapas menelepon pihak yang menahan (Pengadilan Negeri Bengkulu), sekitar pukul 16.30 WIB, saran pihak yang menahan segera dibawa kerumah sakit.
Pada pukul 17.00 WIB tahanan an. X dibawa ke RSUD M. Yunus Bengkulu.
Dirumah sakit dokter Lapas berkonsulatasi dengan dokter bedah, tindakan harus dilakukan operasi apendic.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
91
Operasi dilaksanakan Jumat 24 Februari 2012 setelah mendapat izin dari pihak yang menahan (Hakim Binsar menelepon dokter Raymon) agar segera dilaksanakan operasi.
Surat pemberitahuan tahanan sakit an. X dikirim ke Pengadilan Negeri Kelas I Bengkulu, Jumat tanggal 24 Februari 2012 pagi (surat terlampir)
Koordinasi dengan pihak yang menahan untuk masalah pengawalan tahanan an. X (via telepon), tetapi pihak yang menahan tidak mengiriman petugas pengawalan sampai dari senin tanggal 27 Februari 2012.
Pihak Lapas mengambil kebijaksanaan untuk memerintahkan petugas pengawalan untuk mengawal tahanan an. X.
Pada hari Senin tanggal 27 Februari 2012 pukul 07.00 WIB petugas Lapas an. A melaksanakan tugas pengawalan di RSUD M. Yunus. Sekitar pukul 08.00 WIB sdr. A ke Lapas untuk melaporkan bahwa tahanan sudah bisa pulang. Saat itu sdr. A tidak membawa HP sementara pihak Rumah Sakit sudah mendesak bahwa tahanan sudah bisa pulang. Pukul 09.00 WIB sdr. A kembali ke RSUD M. Yunus namun tahanan sudah tidak berada di tempat.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
92
Tabel 4.20 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Bengkulu What :
Pelarian Tahanan an. X
How: Point of escape:
Luar Lapas (Izin Berobat)
Methods of escape :
Memanfaatkan kelengahan petugas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas IIA Bengkulu
Where :
Jl. Brig.Jend. Berlian no.556 Bengkulu Type of Location:
Luar Lapas
When : Exact time and date 27 Februari 2012 pukul 08.00 WIB of the crime : First date and time : Last date and time :
Analisis : Pelarian ini terjadi di luar Lapas, yaitu di rumah sakit ketika tahanan ini telah selesai menjalani perawatan pasca operasi. Pelarian terjadi pada saat petugas pengawal sedang pergi kembali ke Lapas. Hal ini dimanfaatkan tahanan tersebut untuk melarikan diri karena tidak adanya pengawasan dari petugas, dan berdasarkan laporan bahwa saat itu penjaganya hanya ada 1 (satu) petugas. Hal ini dengan mudah
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
93
dimanfaatkan oleh tahanan ini untuk melarikan diri. Alur pelarian tahanan ini dapat dilihat dari denah berikut : Denah 4.2 Alur Pelarian Tahanan X (Lapas Klas IIA Jambi)
Kesimpulan : -
Pelarian terjadi karena tahanan ini tidak dijaga oleh petugas
-
Lokasi kamar yang tidak terlalu jauh dari puntu keluar memudahkan pelarian, selain karena tidak adanya pengawasan dan penjagaan.
-
Untuk mencegah pelarian seperti ini, sebaiknya dalam penjagaan narapidana yang sedang berada di luar Lapas, jumlah petugas harus lebih dari 1 (satu) untuk memudahkan fokus dalam pengawasan.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
94
IV.19. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIB Luwuk Sulawesi Tengah
Kasus pelarian kali ini dilakukan oleh dua narapidana. Keduanya adalah narapidana dari Lapas Klas IIB Luwuk, Sulawesi Tengah. Pelarian terjadi pada 15 Maret 2012. Adapun kronologisnya adalah sebagai berikut :
Pada pukul 19.00 WITA, pada saat apel pengecekan narapidana, kedua narapidana ini masih ada, namun posisi posisi tidak di dalam blok, melainkan dihitung di luar blok, sedangkan narapidana lain berada di dalam blok.
Sekitar pukul 20.00, narapidana tersebut melarikan diri melawati atas pos II
Sebelumnya, para narapidana ini telah membuat lubang seukuran badan pada kawat pembatas dalam tepat dibelakang blok 2 (dua).
Setelah itu, para narapidana ini menaiki pos II atas dengan memanjat potongan pohon ketapang sepanjang ± 3 meter
Kemudian, mereka turun dengan menggunakan rangkaian ikatan sarung yang diduga sudah dipersiapkan sebelumnya.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
95
Tabel 4.21 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIB Luwuk Sulawesi Tengah What :
pelarian 2 Narapidana
How: Point of escape:
Pos Jaga Atas II
Methods of escape :
Memanjat Pos Jaga Atas II
Object of attack:
-
Kind of tools :
Sarung
Address:
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Luwuk, Jalan Pulau
Where :
Kalimantan No.267 Luwuk Sulawesi Tengah Type of Location:
Blok hunian
When : Exact time and date 15 Maret 2012 pukul 20.00 WITA of the crime : First date and time :
-
Last date and time :
-
Analisis : Pelarian ini merupakan pelarian yang sudah direncanakan karena peralatan yang digunakan untuk melakukan pelarian sudah dipersiapkan sebelumnya, yaitu rangkaian ikatan sarung. Selain itu, narapidana ini juga berhasil melubangi pagar kawat pembatas dalam tepat di belakang blok dua. Sebelum pelarian, para narapidana ini masih sempat mengikuti apel malam. Jika dilihat, maka hal ini digunakan untuk menghindari kecurigaan petugas meskipun para narapidana ini mengikuti apel namun posisi di luar blok hunian. Hal ini untuk
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
96
memudahkan pelarian sebelum dilakukan penguncian blok pada malam hari. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dari gambar berikut: Gambar 4.2 Temuan Alat Bantu Pelarian Lapas Klas IIB Luwuk
Gambar 4.3 Reka ulang pengecekan Blok Hunian di Lapas Klas IIB Luwuk
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
97
Gambar 4.4 Reka ulang pengecekan di Blok III Lapas Klas IIB Luwuk
Gambar 6 Pagar kawat pembatas yang dirusak Lapas Klas IIB Luwuk
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
98
Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa pelarian ini memang sudah direncanakan dan dipersiapkan sebelumnya, dan juga memanfaatkan situasi dimana petugas sedang lengah. Dari beberapa hal, dapat diambil kesimpulan bahwa: -
Pelarian ini sudah dipersiapkan sebelumnya
-
Perencanaan pelarian ini sudah matang karena pelaku sampai bisa melubangi pagar kawat Lapas
-
Dalam apel berikutnya, sebaiknya petugas tidak membiarkan ada WBP yang berada di luar blok dan langsung mengunci blok setelah dilakukan apel
IV.20. Laporan pelarian dari Lapas Klas IIA Sidoarjo
Pelarian ini dilakukan oleh tahanan an. X. Pelarian dilakukan pada 25 Maret 2012 sekitar pukul 09.45. adapun kronologisnya adalah sebagai berikut :
Tahanan melarikan diri dengan cara naik pagar di depan kamar anak
Kemudian, tahanan ini naik ke atap poliklinik menuju atap genteng ruangan Kamtib
Kemudian, tahanan ini turun ke ruang pendaftaran kunjungan, dan loncat ke halaman Lapas dan melarikan diri.
Untuk melihat modus operandi pada pelarian kali ini, dapat dibahas dengan menggunakan tabel berikut :
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
99
Tabel 4.22 Modus Operandi Pelarian Lapas Klas IIA Sidoarjo Jawa Timur What :
Pelarian Tahanan an. X
How: Point of escape:
Atap Lapas
Methods of escape :
Menyusuri Atap Lapas
Object of attack:
-
Kind of tools :
-
Address:
Lapas Klas IIA Sidoarjo
Where :
Jl. Sultan Agung No.32 Sidoarjo Type of Location:
Blok Hunian
When : Exact time and date 25 Maret 2012 pukul 09.45 of the crime : First date and time :
-
Last date and time :
-
Analisis: Pelarian kali ini terjadi karena lemahnya pengawasan dari petugas. Hal ini bisa dilihat dari tahanan yang bisa memanjat ke atap poliklinik dan kemudian menuju atap genteng ruang Kamtib dan turun ke ruang kunjungan. Seharusnya, hal ini bisa terlihat oleh petugas, terutama petugas pos jaga atas. Apabila hal ini diketahui lebih cepat, maka pelarian ini bisa dicegah. Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
100
-
Pelarian ini terjadi karena kelengahan petugas dalam mengawasi tahanan sehingga dapat dimanfaatkan celah pengawasan untuk melarikan diri
-
Narapidana ini bisa melarikan diri tanpa bantuan alat apapun. Hal ini dapat diartikan bahwa pelarian murni karena kelengahan petugas.
Adapun denah pelarian adalah sebagai berikut : Denah 4.3 Denah Pelarian Tahanan X di Lapas Klas IIA Sidoarjo
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
101
BAB V ANALISIS V.1. Pola Modus Operandi Berdasarkan data dari Subdit Pencegahan dan Penindakan Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dimana terdapat 20 (dua puluh) laporan pelarian dari Lapas dalam jangka waktu 2010-2012, dapat digambarkan sebagai berikut : Tabel 5.1 Point of Escape (titik pelarian) No
Titik pelarian
Jumlah Kasus
1
Pintu P2U
3
2
Tembok Lapas
4
3
Pos Jaga Atas (I,II,III,IV)
4
4
Asimilasi
3
5
Luar Lapas (Berobat, Mengunjungi Keluarga)
3
6
Pintu gerbang belakang Lapas
1
7
Atap Lapas
1
8
Ruang Besuk
1
Total
20
Dari tabel ini, dapat digambarkan bahwa titik pelarian sangat beragam. Namun, terdapat titik-titik tertentu yang banyak dimanfaatkan untuk melakukan pelarian, yaitu dari tembok Lapas dan pos jaga atas, yaitu sebanyak empat kasus. Kedua titik ini dimanfaatkan karena kurang ketatnya penjagaan dari petugas jaga, terutama pada kasus pelarian dari pos jaga atas, dimana pada saat terjadinya pelarian, justru tidak ada petugas yang berjaga pada pos tersebut. Begitu pula pada pelarian
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
102
yang melewati tembok Lapas, dimana pelarian ini bisa terjadi karena WBP ini luput dari penjagaan petugas sehingga bisa dimanfaatkan untuk melarikan diri. Selanjutnya, titik pelarian terbanyak terjadi dari pintu P2U, saat asimilasi, dan di luar Lapas, yaitu sebanyak tiga kasus. Untuk kasus pelarian dari pintu P2U, asimilasi dan luar Lapas, pelarian bisa terjadi karena faktor kelalaian petugas, dimana petugas tidak melakukan penjagaan secara cermat terhadap WBP, sehingga bisa melarikan diri. Kasus ini terjadi pada pelarian WBP dari Lapas Klas IIA Kendari, dimana petugas kehilangan jejak WBP ketika sedang berada di luar Lapas, kemudian pada kasus pelarian WBP dari Lapas Klas IIB Manokwari dimana petugas membiarkan WBP tinggal sendiri di mobil tanpa pengawalan, untuk kemudian melarikan diri dengan mobil tersebut, dan pelarian WBP dari Lapas Klas IIA Bengkulu, dimana tahanan tidak dijaga ketika di rumah sakit. Sedangkan untuk kasus pelarian pada saat asimilasi, hal ini juga terjadi karena petugas yang lalai menjaga WBP yang sedang berada di luar Lapas, yaitu pada kasus pelarian WBP dari Lapas Klas IIB Cianjur dan Lapas Klas I Batu Nusakambangan, dimana pada saat melakukan asimilasi dengan bekerja di luar tembok Lapas, petugas tidak menjaga WBP tersebut, melainkan hanya mengontrol pada saat-saat tertentu. Sehingga ketika tidak dikontrol, WBP ini bisa melarikan diri. Untuk kasus pelarian WBP dari Lapas Terbuka Jakarta, hal ini terjadi ketika sedang melakukan asimilasi mencari pekerjaan pada pihak ketiga, dimana pada saat itu, pengawal dari WBP ini pergi meninggalkan WBP untuk solat zuhur. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh WBP untuk melarikan diri. Namun, terdapat dua kasus pelarian dari pintu P2U yang menjadi pengecualian, yaitu pada kasus pelarian tahanan di Lapas Klas IIB Sanana, dimana pada pelarian tersebut tahanan mengelabui petugas. Sedangkan pada kasus pelarian di Lapas Klas IIB Nabire, pelarian terjadi karena adanya penyerangan dari sekelompok orang yang membawa senjata tajam dan senjata api, dimana Lapas ini sendiri tidak memiliki senjata api. Selain itu, jumlah petugas pengamanan tidak berimbang denga
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
103
jumlah kelompok penyerang (penyerang berjumlah sekitar 20 orang, sedangkan petugas jaga hanya berjumlah 6 orang). Hal ini yang kemudian menyebabkan pelarian bisa terjadi. Tabel 5.2 Methods of Escape (Cara Melakukan Pelarian) No
Methods
Jumlah Kasus
1
Mengelabui petugas
1
2
Memajat tembok Lapas
4
3
Memanjat Pos Atas
4
4
Menyusuri atap Lapas
1
5
Menyerang Lapas/Petugas
1
6
Memanfaatkan kelalaian Petugas
9
Total
20
Dari tabel ini, dapat dilihat bahwa sebagian besar pelarian (9 kasus) terjadi dengan cara memanfaatkan kelalaian petugas. Kelalaian disini dapat diartikan bahwa petugas tidak bekerja sesuai dengan Protap yang ada, ataupun petugas luput ketika menjaga WBP sehingga pergerakan WBP tidak terpantau, dan pada akhirnya WBP ini berhasil melarikan diri dari Lapas. Dalam beberapa kasus, kelalaian ini justru terjadi pada pelarian di luar Lapas, yaitu pada saat asimilasi ataupun pada saat keluar Lapas, baik untuk berobat ataupun CMK. Kasus pelarian yang terjadi karena kelalaian petugas, terutama pada saat asimilasi, terjadi pada pelarian oleh WBP dari Lapas Klas IIB Cianjur, Lapas Klas I Batu Nusakambangan, serta Lapas Terbuka Jakarta. Pelarian ini terjadi karena petugas yang luput menjaga WBP yang sedang menjaga WBP tersebut. Misalnya pada kasus asimilasi di Lapas Terbuka Jakarta, dimana pada saat pelarian ini petugas
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
104
justru tidak menjaga WBP ini karena sedang solat zuhur. Untuk kasus pelarian pada saat asimilasi lainnya, terjadi karena petugas yang tidak mengawasi WBP yang sedang berada di luar tembok Lapas, sehingga WBP ini bisa melarikan diri. Kasus ini terjadi pada pelarian dari Lapas Klas I Batu, Nusakambangan, dimana petugas hanya mengecek pada waktu tertentu saja terhadap keberadaan WBP yang sedang asimilasi di Ladang di sekitar Lapas. Hal ini dimanfaatkan oleh WBP untuk melarikan diri. Selain itu, pelarian lain karena kelalaian petugas dalam menjaga WBP yang sedang asimilasi terjadi di Lapas Klas IIB Cianjur, dimana petugas yang berjumlah 2 orang mengawasi WBP yang berjumlah 6 orang. Pada pelarian ini, WBP yang melarikan diri memanfaatkan saat dimana petugas tidak mengawasinya untuk berdalih membantu pekerjaan temannya yang ada di perumahan pegawai Lapas. Setelah berada di perumahan tersebut, WBP ini melihat celah dan langsung melakukan pelarian. Hal ini tidak lepas karena ketiadaan penjagaan dari petugas pengamanan Lapas. Cara berikutnya yang dilakukan WBP untuk melakukan pelarian adalah dengan masuk ke pos jaga atas (4 kasus) untuk kemudian turun ke luar Lapas. Pos jaga atas ini bisa dimanfaatkan untuk melarikan diri karena tidak adanya petugas jaga di pos tersebut. Cara berikutnya yang dilakukan WBP adalah dengan memanjat tembok Lapas. Para WBP yang melarikan diri bisa memanjat tembok Lapas karena tindakan tersebut luput dari penjagaan petugas pengamanan Lapas. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, misalnya karena kurang siaganya petugas, seperti pada kasus pelarian dari Lapas Klas IIA Manado (4 Februari 2012), dimana pelarian ini sudah direncanakan dengan matang karena peralatan untuk melakukan pelarian sudah dipersiapkan, serta pada kasus berikutnya dengan memanfaatkan situasi tertentu, misalnya pada saat hujan deras, seperti pada kasus pelarian dari Lapas Klas IIA Bukittinggi.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
105
Tabel 5.3 Kind of Tools No
Kind of Tools
Jumlah Kasus
1
Sarung
1
2
Kain (selain sarung)
1
3
Tangga
1
4
Tali/Tambang
1
5
Gergaji
1
6
Senjata Tajam
1
7
Tanpa Alat Bantu
14
Total
20
Dari tabel ini, dapat digambarkan bahwa sebagian besar pelarian justru digunakan tanpa alat bantu, yaitu hanya bermodalkan kemampuan diri saja, atau karena mengelabui petugas. Pada masing-masing pelarian, peralatan yang digunakan tidaklah sama. Hal ini karena pengaruh dari akses terhadap keberadaan benda yang dapat membantu pelarian itu sendiri. Salah satu contoh kasus terjadi pada pelarian yang menggunakan gergaji. Pelarian ini terjadi di Lapas Klas IIB Cianjur pada tahun 2011. Gergaji ini bisa didapat oleh tahanan yang hendak melarikan diri dengan memesan melalui anaknya dan masuk ke Lapas melalui pintu besuk. Gergaji ini tidak terdeteksi keberadaannya karena pada saat itu tahanan ini melakukannya dengan cepat sehingga petugas tidak terlalu memperhatikan dan hanya memeriksa makanan yang diberikan anaknya saja. Selain itu, peralatan yang digunakan untuk melakukan pelarian berasal dari dalam Lapas, seperti sarung, kain ataupun tali/tambang. Peralatan tersebut digunakan untuk memanjat tembok keliling Lapas, seperti pada kasus pelarian di Lapas Klas IIA
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
106
Manado pada Februari 2012. Sedangkan pada kasus lainnya dimana pelarian menggunakan senjata tajam, terjadi pada kasus pelarian dari Lapas Klas IIB Nabire, dimana senjata tajam ini berasal dari kelompok yang menyerang Lapas dan berasal dari Luar Lapas. Penyerangan ini dilakukan dengan tujuan membebaskan salah satu tahanan, yaitu Jhon Magay Yogi. Sedangkan untuk kasus pelarian menggunakan tangga dan tali, tidak dijelaskan darimana WBP tersebut mendapatkan peralatan itu untuk melakukan pelarian. Namun, sebagian besar kasus pelarian tidak mengandalkan pada peralatan, melainkan pada kesempatan untuk melakukan pelarian.
Tabel 5.4 Time of Escape No
Waktu
Jumlah kasus
1
00.01-06.00
3
2
06.01-12.00
8
3
12.01-18.00
5
4
18.01-00.00
4
Total
20
Dari tabel ini, dapat dilihat bahwa pelarian paling banyak justru terjadi pada waktu pagi hari, yaitu pada rentang waktu pukul 06.01-12.00. Hal ini kemudian menjadi menarik untuk dibahas, karena berdasarkan logika yang ada, pada jam tersebut justru petugas tidak banyak yang absen, dan keadaan lingkungan tidak gelap. Namun, hal ini justru dimanfaatkan untuk melakukan pelarian. Terdapat 8 kasus pelarian yang terjadi pada rentang waktu ini, yaitu pada pelarian dari Lapas Klas IIB Sanana, Lapas Klas IIB Cianjur (2010), Lapas Klas IIA
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
107
Jambi, Lapas Klas IIB Nabire, Lapas Klas IIA Bukittinggi, Lapas Klas IIB Tabanan, Lapas Klas IIA Bengkulu, dan Lapas Klas IIA Sidoarjo. Cara mereka melarikan diri juga beragam. Namun, dari 8 (delapan) kasus ini, yang dominan adalah karena kelalaian petugas (2 kasus) dan 2 kasus dilakukan dengan cara memanjat tembok. Sedangkan sisanya dilakukan dengan cara mengelabui petugas, menyerang petugas, memanjat pos atas dan menyusuri atap. Berdasarkan data diatas, faktor kelalaian petugas dan adanya kesempatan WBP untuk memanjat tembok merupakan faktor dominan terjadinya pelarian. Hal ini tidak lepas dari kurangnya kesiagaan petugas dalam melakukan pengawasan terhadap pergerakan dari para WBP. Sebenarnya, hal ini bisa dicegah apabila petugas lebih siaga lagi dan dapat memantau pergerakan dari para WBP. Contoh pelarian yang terjadi dalam waktu ini adalah pada pelarian di Lapas Klas IIB Cianjur, dimana pelarian terjadi pada saat asimilasi di luar Lapas. Pada saat itu, petugas luput untuk mengamati WBP ini. Kasus selanjutnya pada pelarian WBP dari Lapas Klas IIA Bengkulu, dimana pelarian terjadi karena petugas pengawal yang tidak ada di tempat. Dari dua kasus ini, dapat dilihat bahwa pelarian pada rentang waktu 06.01-12.00 ini yang terjadi karena kelalaian petugas terjadi di luar Lapas dan karena WBP luput dari pengawasan petugas. Selanjutnya, pada jam ini juga terjadi 2 pelarian dengan memanjat tembok Lapas. Kasus ini terjadi pada pelarian dari Lapas Klas IIA Bukittinggi dan Lapas Klas IIB Tabanan. Kedua pelarian ini terjadi di dalam tembok Lapas. Pelarian dari Lapas Klas IIA Bukittinggi terjadi dengan memanfaatkan keadaan yang sedang hujan, sehingga penjagaan menjadi kurang dan WBP melarikan diri dengan memanjat tembok Lapas. Sedangkan pada pelarian di Lapas Klas IIB Tabanan, pelarian terjadi dengan menjebol atap kamar mandi untuk kemudian menyusuri atap dan memanjat tembok Lapas. Kedua pelarian ini memiliki pola yang sama, yaitu terjadi setelah jam kerja di Lapas. Pada kasus di Bukittinggi, WBP bertugas memperbaiki blok hunian, sedangkan pada kasus di Tabanan, WBP bertugas membersihkan Lapas.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
108
Waktu pelarian yang terbanyak berikutnya terjadi pada rentang waktu pukul 12.01-18.00. terdapat 5 kasus. Pelarian ini terjadi di Lapas Klas I Batu Nusakambangan, Lapas Klas IIA Kendari, Lapas Klas IIA Cibinong, Lapas Terbuka Jakarta dan Lapas Klas IIA Lhokseumawe. Semua pelarian ini terjadi dengan memanfaatkan kelalaian petugas. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa pada saat ini, petugas Lapas sedang kurang berkonsentrasi dalam mengawasi pergerakan WBP di Lapas. Hal ini kemudian menyebabkan adanya pelarian di Lapas. Pelarian pada rentang waktu ini kebanyakan terjadi pada saat asimilasi. Pelarian pada saat asimilasi ini terjadi karena petugas yang mengawasi WBP pada saat asimilasi justru tidak menjalankan tugasnya. Misalnya pada kasus pelarian di Lapas Terbuka Jakarta yang disebabkan karena petugas pengawalan justru meninggalkan WBP tanpa pengawalan dan pada kasus di Lapas Klas I Batu Nusakambangan petugas hanya melakukan pengecekan pada waktu tertentu saja. Kasus pelarian selanjutnya pada rentang waktu ini terjadi dengan cara melarikan melalui pintu P2U. Hal ini dapat terjadi karena petugas yang lengah, karena pada saat itu sedang terjadi pergantian regu jaga (kasus Lapas Klas IIA Lhokseumawe). Kasus berikutnya karena petugas yang tidak memeriksa kembali pintu yang dikunci oleh WBP, sehingga dimanfaatkan WBP untuk melarikan diri (kasus Lapas Klas IIA Cibinong), dan pelarian yang terjadi ketika WBP melakukan CMK (kasus dari Lapas Klas IIA Kendari). Sedangkan, pelarian paling sedikit justru terjadi pada dinihari, yaitu antara pukul 00.01-06.00. Pada rentang waktu itu, pelarian hanya terjadi tiga kali. Pelarian pada saat ini dilakukan dengan cara memanjat Pos jaga atas (kasus Lapas Klas IIB Cianjur dan Lapas Klas IIB Singkawang) yang tidak ditempati oleh petugas (baik karena absen ataupun sebab lain) sebanyak 2 kasus dan memanjat tembok Lapas (kasus Lapas Klas IIA Manado pada 4 Februari 2012). Hal ini justru mengherankan karena ada anggapan bahwa kebanyakan pelarian dilakukan pada saat malam hari
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
109
pada interval waktu ini. Namun, berdasarkan data yang didapat ini, justru pelarian banyak terjadi pada pagi hari. Tabel 5.5 Type of Location (titik awal pelarian) No
Type of Location
Jumlah kasus
1
Pintu P2U
3
2
Asimilasi
3
3
Pos Jaga Atas (I,II,III,IV)
2
4
Blok hunian
4
5
Luar Lapas (CMK, izin berobat)
3
6
Gerbang Belakang
1
7
Ruang besuk
1
8
Dapur
1
9
Kamar mandi
1
10
Tembok Lapas
1
Total
20
Dari tabel ini, dapat dilihat bahwa sebagian besar pelarian dilakukan dari blok hunian. Pelarian yang berasal dari blok hunian ini bisa terjadi karena kurangnya pengawasan dari petugas, atau karena petugas yang tidak menjalankan tugas sebagaimana seharusnya yang diatur dalam Protap. Kasus ini terjadi pada pelarian di Lapas Klas IIB Cianjur, dimana para tahanan yang melarikan diri terlebih dahulu menggergaji lubang angin yang ada di kamar WBP tersebut. Hal ini berhasil dilakukan karena mereka berhasil menutupi aksinya dari petugas.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
110
Selanjutnya, pelarian dari blok hunian juga pada Lapas Klas IIA Bukittinggi. Pelarian terjadi dengan memanfaatkan kesempatan dimana narapidana yang melakukan pelarian pada awalnya bertugas membersihkan kamar hunian di blok anggrek. Namun mereka memanfaatkan keadaan yang sedang hujan untuk melakukan pelarian. Kasus selanjutnya terjadi di Lapas Klas IIB Luwuk dimana pada awalnya WBP yang melarikan diri berada di blok untuk mengikuti apel malam, namun berada di luar kamar hunian, sedangkan penghuni lain berada di dalam. Setelah mengikuti apel malam, mereka segera melarikan diri melalui celah yang sudah dipersiapkan untuk kemudian memanjat tembok. Kasus selanjutnya merupakan pelarian dari Lapas Klas IIA Sidoarjo, dimana pelarian berasal dari blok anak, untuk kemudian memanjat tembok di depan blok anak, kemudian memanjat atap untuk kemudian meloncat ke halaman Lapas. Berdasarkan beberapa metode analisa diatas, dapat dilakukan beberapa upaya pengecekan silang untuk mengetahui hubungan antara beberapa hal, yaitu point of escape (titik pelarian), methods of escape (cara melakukan pelarian), kind of tools (peralatan yang digunakan untuk melakukan pelarian), time of escape (waktu pelarian), dan type of location (titik awal pelarian). Dari beberapa poin diatas yang digunakan untuk mengetahui modus operandi, maka dapat dibuat semacam persilangan antara dua pin untuk dapat dilakukan analisa, yaitu sebagai berikut:
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
111
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
112
Berdasarkan data yang ada, diketahui bahwa titik yang paling sering dimanfaatkan untuk melakukan pelarian adalah dari dua titik, yaitu tembok Lapas dan pos jaga atas (masing-masing 4 kasus). Kedua titik ini dimanfaatkan karena kurang ketatnya penjagaan dari petugas jaga, terutama pada kasus pelarian dari pos jaga atas, dimana pada saat terjadinya pelarian, justru tidak ada petugas yang berjaga pada pos tersebut. Begitu pula pada pelarian yang melewati tembok Lapas, dimana pelarian ini bisa terjadi karena WBP ini luput dari penjagaan petugas sehingga bisa dimanfaatkan untuk melarikan diri. Setelah mengetahui titik pelarian, maka hal yang dilihat berikutnya adalah mengenai cara melakukan pelarian. Dalam kasus pelarian ini, sebagian besar pelarian (9 kasus) terjadi dengan cara memanfaatkan kelalaian petugas. Kelalaian disini dapat diartikan bahwa petugas tidak bekerja sesuai dengan Protap yang ada, ataupun petugas luput ketika menjaga WBP sehingga pergerakan WBP tidak terpantau dan pada akhirnya WBP ini berhasil melarikan diri dari Lapas. Dalam beberapa kasus, kelalaian ini justru terjadi pada pelarian di luar Lapas, yaitu pada saat asimilasi ataupun pada saat keluar Lapas, baik untuk berobat ataupun CMK. Dari beberapa kasus pelarian dengan memanfaatkan kelalaian petugas, maka dapat dilihat bahwa beberapa kasus terjadi ketika sedang melakukan asimilasi, yaitu pada kasus pelarian di Lapas Klas IIB Cianjur, Lapas Klas I Batu Nusakambangan dan Lapas Terbuka Jakart. Sedangkan beberapa kasus terjadi pada saat izin keluar Lapas, yaitu pada kasus di Lapas Klas IIA Kendari, Lapas Klas IIB Manokwari dan Lapas Klas IIA Bengkulu. Sedangkan kasus pelarian berikutnya yang terjadi karena kelalaian petugas, pelariannya berasal dari gerbang belakang (Lapas Klas IIA Cibinong), ruang besuk (Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar) dan melalui pintu P2U (Lapas Klas IIA Lhokseumawe). Untuk melihat hubungan antara titik pelarian dengan cara melakukan pelarian, maka dapat dilihat bahwa untuk titik pelarian tertentu, terdapat cara tertentu pula untuk melakukan pelarian. Seperti yang dijelaskan bahwa pada titik pelarian yang
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
113
paling banyak dilalui, yaitu melalui tembok Lapas dan pos jaga atas, maka cara yang dilakukan adalah dengan cara memanjat tembok Lapas dan memanjat pos atas. Sedangkan untuk titik pelarian melalui asimilasi, luar Lapas, pintu gerbang belakang Lapas, ruang besuk, dan pintu P2U (khusus pada kasus pelarian di Lapas Klas IIA Lhokseumawe), kesemuanya memiliki modus pelarian dengan cara memanfaatkan kelalaian petugas. Dapat disimpulkan bahwa untuk menghubungkan kedua poin ini (titik pelarian dengan cara melakukan pelarian), maka perlu dilihat dari kasus pelariannya. Karena pada dasarnya, yang terjadi adalah bahwa untuk titik pelarian tertentu, pelarian dilakukan dengan cara tertentu pula.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
114
Hubungan antara point of escape (titik pelarian) dengan time of escape (waktu pelarian) Tabel 5.7 Hubungan antara point of escape (titik pelarian) dengan time of escape (waktu pelarian) TIME OF ESCAPE 00.01- 06.01-
12.01-
18.01-
06.00
18.00
00.00
Pintu P2U
POINT OF ESCAPE
TOTAL
12.00 2
1
3
Tembok Lapas
1
2
1
4
Pos Jaga Atas
2
1
1
4
(I,II,III,IV) Asimilasi
1
2
Luar Lapas
1
1
Pintu gerbang
3 1
3
1
1
belakang Lapas Atap Lapas
1
1
Ruang besuk TOTAL
3
8
5
1
1
4
20
Untuk melihat hubungan antara titik pelarian dengan waktu pelarian, maka dapat dilakukan pembagian antara waktu pelarian dengan titik pelarian. Untuk pelarian antara pukul 06.01-12.00, dimana terdapat 8 kasus pelarian, terdapat 2 kasus pelarian dari pintu P2U (Lapas Klas IIB Sanana dan Lapas Klas IIB Nabire), 2 kasus pelarian dari tembok Lapas (Lapas Klas IIA Bukittinggi dan Lapas Klas IIB Tabanan), 1 kasus pelarian pada saat asimilasi (Lapas Klas IIB Cianjur,2010), 1 kasus pelarian dari pos jaga atas (Lapas Klas IIA Jambi), 1 kasus pelarian dari luar Lapas (Lapas Klas IIA Bengkulu), dan 1 pelarian dari atap Lapas (Lapas Klas IIA Sidoarjo).
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
115
Untuk kasus pelarian antara pukul 12.01-18.00, dimana terdapat 5 kasus pelarian, 2 kasus terjadi saat asimilasi (Lapas Klas I Batu Nusakambangan dan Lapas Terbuka Jakarta), 1 kasus pada ketika di Luar Lapas (Lapas Klas IIA Kendari), 1 kasus pelarian dari gerbang belakang (Lapas Klas IIA Cibinong), dan 1 kasus pelarian dari pintu P2U (Lapas Klas IIA Bukittinggi). Untuk pelarian antara pukul 18.01-00.00, dimana terdapat 4 kasus, 1 kasus pelarian dari luar Lapas (Lapas Klas IIB Manokwari), 1 kasus pelarian dari ruang besuk (Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar), 1 kasus pelarian dari Tembok Lapas (Lapas Klas IIA Manado, 2011), dan 1 pelarian dari Pos Jaga Atas (Lapas Klas IIB Luwuk). Sedangkan untuk pelarian antara pukul 00.01-06.00, dimana terdapat 3 kasus pelarian, 2 kasus pelarian dari Pos Jaga Atas (Lapas Klas IIB Cianjur 2011 dan Lapas Klas IIB Singkawang), dan 1 kasus pelarian dari tembok Lapas (Lapas Klas IIA Manado 2012). Terdapat hal yang menarik, dimana terdapat 2 kasus pelarian dengan cara memanjat tembok Lapas dan terjadi di Lapas yang sama, yaitu Lapas Klas IIA Manado dalam rentang waktu yang berbeda dan waktu pelarian yang berjarak 6 bulan, yaitu pada Agustus 2011 (antara pukul 18.01-00.00) dan Februari 2012 (antara pukul 00.01-06.00). Untuk kasus pelarian pada Lapas Klas IIA Manado, dapat dilihat bahwa pelarian ini terjadi melalui titik yang sama, yaitu melalui tembok Lapas pada kurun waktu yang hampir berdekatan, yaitu 6 bulan. Hal ini kemudian harus menjadi perhatian untuk dilakukan pengamanan yang lebih ketat lagi, terutama dalam mengawasi pergerakan WBP yang akan melarikan diri dan memperkuat penjagaan terutama pada sekitar tembok Lapas, karena dalam 2 kali pelarian selalu terjadi dari titik ini, meskipun pada rentang waktu berbeda.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
116
Hubungan antara time of escape (waktu pelarian) dengan methods of escape (cara melakukan pelarian) Tabel 5.8 Hubungan antara time of escape (waktu pelarian) dengan methods of escape
METHODS OF ESCAPE
(cara melakukan pelarian)
TOTAL
Mengelabui petugas Memanjat tembok Lapas Memanjat Pos Jaga Atas Menyusuri atap Lapas Menyerang Petugas/Lapas Memanfaatkan kelalaian petugas
TIME OF ESCAPE TOTAL 00.01- 06.01- 12.01- 18.0106.00 12.00 18.00 00.00 1 1 1 2 1 4 2
1
1
4
1 1 2 3
8
1 1 5
2
9 20
Dari tabel diatas, diketahui bahwa pelarian paling banyak terjadi pada waktu antara pukul 06.01-12.00 yaitu sebanyak 8 kasus. Cara melakukan pelarian dalam rentang waktu ini adalah dengan memanfaatkan kelalaian petugas (kasus di Lapas Klas IIB Cianjur 2010 dan Lapas Klas IIA Bengkulu), memanjat tembok Lapas (kasus di Lapas Klas IIA Bukittinggi dan Lapas Klas IIB Tabanan), memanjat pos jaga atas (kasus di Lapas Klas IIA Jambi), menyerang petugas jaga (kasus di Lapas Klas IIB Nabire), mengelabui petugas (kasus di Lapas Klas IIB Sanana) dan menyusuri atap (kasus di Lapas Klas IIA Sidoarjo). Untuk pelarian yang terjadi antara pukul 12.01-18.00, dimana terdapat 5 kasus, cara yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan kelalaian petugas (kasus pelarian
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
117
di Lapas Klas I Batu Nusakambangan, Lapas Klas IIA Kendari, Lapas Klas IIA Cibinong, Lapas Terbuka Jakarta dan Lapas Klas IIA Lhokseumawe). Sedangkan untuk pelarian yang terjadi antara pukul 18.01-00.00, cara yang dilakukan untuk melakukan pelarian adalah dengan memanfaatkan kelalaian petugas (kasus Lapas Klas IIB Manokwari dan Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar), memanjat tembok Lapas (kasus Lapas Klas IIA Manado, 2011), dan memanjat Pos Jaga Atas (kasus Lapas Klas IIB Luwuk). Selanjutnya, untuk pelarian yang terjadi antara pukul 00.01-06.00, cara yang digunakan untuk melakukan pelarian adalah dengan memanjat Pos Jaga Atas (kasus Lapas Klas IIB Cianjur, 2011, dan Lapas Klas IIB Singkawang), serta memanjat tembok Lapas (kasus Lapas Klas IIA Manado, 2012). Dapat dikatakan bahwa sebagian besar pelarian dengan memanfaatkan kelalaian petugas terjadi antara pukul 12.01-18.00 (5 kasus). Hal ini bisa terjadi karena petugas yang kurang siaga dalam melakukan penjagaan sehingga memungkinkan pelarian terjadi. Sedangkan antara pukul 00.01-06.00, tidak terjadi pelarian karena kelalaian petugas. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi petugas dalam menjaga agar tidak terjadi pelarian justru lebih baik pada waktu tersebut dibanding pada pagi sampai dengan siang hari. Untuk melihat hubungan antara kedua poin ini (waktu pelarian dengan cara melakukan pelarian), maka dapat dilihat berdasarkan rentang waktu yang ada. Untuk waktu pelarian yang paling sering terjadi, yaitu antara pukul 00.01-12.00, maka cara yang sering dilakukan adalah dengan memanfaatkan kelalaian petugas dan memanjat tembok (masing-masing 2 kasus), mengelabui petugas, memanjat pos atas, menyerang petugas dan menyusuri atap.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
118
Hubungan antara time of escape (waktu pelarian) dengan kind of tools (alat yang digunakan untuk melakukan pelarian) Tabel 5.9 Hubungan antara time of escape (waktu pelarian) dengan kind of tools (alat yang digunakan untuk melakukan pelarian) TIME OF ESCAPE
TOTAL
00.01- 06.01-
12.01-
18.01-
06.00
18.00
00.00
12.00
Sarung
1
KIND OF TOOLS
Kain (Selain Sarung)
1
1 1
Tangga
1
1
Tali/Tambang
1
1
Gergaji
1
1
Senjata Tajam
1
Tanpa Alat Bantu
7
5
2
14
8
5
4
20
3
TOTAL
1
Dari tabel diatas, dapat digambarkan bahwa pelarian yang menggunakan peralatan sebagai alat bantu sebagian besar terjadi pada malam hari (antara pukul 00.01-06.00) yaitu sebanyak 3 kasus, kemudian antara pukul 18.01-00.00 sebanyak 2 kasus dan antara pukul 06.01-12.00 sebanyak 1 kasus. Sedangkan untuk pelarian antara pukul 12.01-18.00, tidak ada yang menggunakan peralatan apapun untuk membantu pelariannya. Jika melihat paparan data ini, maka dapat dilihat bahwa sebagian besar pelarian justru terjadi tanpa menggunakan alat bantu (14 kasus). Hal ini mengindikasikan
bahwa
sebagian
besar
pelarian
dilakukan
dengan
cara
memanfaatkan kesempatan yang ada, yaitu pada saat penjagaan sedang tidak ketat.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
119
Hal yang kemudian menjadi menarik adalah bahwa pelarian dengan menggunakan alat bantu justru terjadi pada malam hari, yaitu antara pukul 18.0106.00 (sebanyak 5 kasus). Sedangkan 1 kasus pelarian dengan alat bantu yang terjadi antara pukul 06.01-12.00, terjadi karena adanya serangan dari sekelompok orang yang hendak membebaskan tahanan X di Lapas Manokwari dengan cara melakukan penyerangan dari luar Lapas. Jika melihat paparan dari data diatas, dapat dikatakan bahwa pelarian dengan menggunakan alat bantu sebagain besar terjadi pada malam hari (antara pukul 18.0106.00) yaitu sebanyak 5 kasus. Berdasarkan laporan pelarian yang ada, diketahui bahwa pelarian yang terjadi pada waktu tersebut (antara pukul 18.01-06.00) dilakukan dengan cara memanjat pos jaga atas (3 kasus) dan memanjat tembok (2 kasus). Pelarian yang digunakan tanpa alat bantu ini justru mengindikasikan bahwa WBP di Lapas pandai memanfaatkan kesempatan yang ada, misalnya di saat petugas lengah ataupun sedang ada kegiatan tertentu, seperti sedang menjalankan asimilasi, ataupun dengan memanfaatkan saat pergantian petugas jaga. Hal ini yang kemudian harus
menjadi
perhatian
untuk
dibuat
pencegahannya,
misalnya
dengan
menambahkan personil pengamanan sehingga pengawasan terhadap pergerakan WBP bisa lebih optimal, serta menyeimbangkan perbandingan jumlah antara petugas pengamanan dan WBP, misalnya 1 Petugas Pengamanan mengawasi 20 WBP dan hal ini harus diterapkan di setiap Lapas. Karena sebagaian besar pelarian terjadi tanpa menggunakan alat bantu dan hanya mengandalkan kesempatan yang ada untuk melarikan diri, maka upaya yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan adalah dengan meningkatkan kewaspadaan dan meningkatkan pengawasan kepada para WBP di Lapas, khususnya mengenai pergerakan dari para WBP agar dapat dilakukan upaya pencegahan yang lebih awal. Selain itu, karena sebagian besar pelarian terjadi pada pagi sampai sore
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
120
hari (antara pukul 06.01-18.00), maka pengawasan terhadap pergerakan WBP pada waktu ini harus lebih ketat lagi untuk mencegah terjadinya pelarian.
Hubungan antara time of escape (waktu pelarian) dengan type of location (titik awal pelarian) Tabel 5.10 Hubungan antara time of escape (waktu pelarian) dengan type of location (titik awal pelarian)
TYPE OF LOCATION
Pintu P2U Asimilasi Pos Jaga Atas (I,II,III,IV) Blok Hunian Luar Lapas (CMK,Izin Berobat) Gerbang Belakang Ruang Besuk Dapur Kamar Mandi Tembok Lapas
TOTAL
TOTAL TIME OF ESCAPE 00.01- 06.01- 12.01- 18.0106.00 12.00 18.00 00.00 2 1 3 1 2 3 1 1 2 1 2 1 4 1 1 1 3 1 1 1 1 1 3
8
5
4
1 1 1 1 1 20
Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa sebagain besar pelarian berawal dari blok hunian (4 kasus), kemudian berasal dari pintu P2U, asimilasi, dan luar Lapas (CMK atau izin berobat) (masing-masing sebanyak 3 kasus). Sedangkan mengenai waktu pelarian, sebagain besar pelarian terjadi antara pukul 06.01-12.00 (8 kasus) dan antara pukul 12.01-18.00 (5 kasus).
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
121
Untuk melihat hubungan antara waktu pelarian dan titik awal pelarian, maka hal ini dapat dibagi berdasarkan waktu pelarian. Untuk pelarian antara pukul 06.0112.00, terdapat 2 kasus pelarian yang mempunyai titik awal di pintu P2U (Lapas Klas IIB Sanana dan Lapas Klas IIB Nabire), 2 Kasus dari blok hunian (Lapas Klas IIA Bukittinggi dan Lapas Klas IIA Sidoarjo), 1 kasus pada saat asimilasi (Lapas Klas IIB Cianjur 2010), 1 kasus pelarian dari pos jaga atas (Lapas Klas IIA Jambi), 1 kasus pelarian dari kamar mandi (Lapas Klas IIB Tabanan), dan 1 kasus pelarian dari luar Lapas (Lapas Klas IIA Bengkulu). Untuk pelarian yang terjadi antara pukul 12.01-18.00, dimana terdapat 5 kasus, terdapat 2 kasus pelarian dengan titik awal ketika asimilasi (Lapas Klas I Batu Nusakambangan dan Lapas Terbuka Jakarta), 1 kasus pelarian dengan titik awal dari luar Lapas (Lapas Klas IIA Kendari), 1 pelarian dari gerbang belakang Lapas (Lapas Klas IIA Cibinong), dan 1 kasus pelarian dari pintu P2U (Lapas Klas IIA Lhokseumawe). Jadi untuk titik awal pelarian dalam jangka waktu ini, pelarian paling banyak terjadi pada saat asimilasi. Untuk pelarian yang terjadi antara pukul 18.01-00.00, dimana terdapat 4 kasus, 1 kasus berawal dari blok hunian (Lapas Klas IIB Luwuk), 1 kasus dari luar Lapas (Lapas Klas IIB Manokwari), 1 kasus dari ruang besuk (Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar), dan 1 kasus dari dapur (Lapas Klas IIA Manado,2011). Sedangkan untuk pelarian antara pukul 00.01-06.00, dimana terdapat 3 kasus, 1 kasus berawal dari blok hunian (Lapas Klas IIB Cianjur, 2011), 1 kasus dari pos jaga atas (Lapas Klas IIB Singkawang), dan 1 kasus dari tembok Lapas (Lapas Klas IIA Manado, 2012). Untuk kasus pelarian yang berawal dari pintu P2U, terdapat 2 kasus yang terjadi antara pukul 06.01-12.00, yaitu pada kasus pelarian di Lapas Klas IIB Sanana dan Lapas Klas IIB Nabire. Sedangkan 1 kasus terjadi antara pukul 12.01-18.00 di Lapas Klas IIA Lhokseumawe. Beberapa catatan untuk pelarian yang terjadi dari pintu P2U ini, bahwa pelarian ini terjadi karena kesalahan petugas, yaitu karena
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
122
tahanan yang bisa mengelabui petugas (Lapas Klas IIB Sanana) dan memanfaatkan waktu pergantian regu jaga (Lapas Klas IIA Lhokseumawe). Sedangkan untuk kasus pelarian di Lapas Klas IIB Nabire terjadi karena penyerangan oleh sekelompok orang dari luar Lapas. Dari hal ini dapat dilihat bahwa 2 dari 3 pelarian yang berawal dari pintu P2U terjadi antara pukul 12.01-18.00 dan tidak ada pelarian dari pintu P2U yang terjadi antara pukul 18.01-00.00 dan 00.01-06.00. Untuk kasus pelarian dimana titik awal pelariannya dari luar Lapas (baik karena CMK ataupun berobat), hal ini terjadi karena kelengahan dari petugas yang melakukan pengawalan. Sedangkan waktu pelarian yang terjadi dari luar Lapas ini, sebanyak 1 kasus terjadi antara pukul 06.01-12.00 (Laporan dari Lapas Klas IIA Bengkulu), 1 kasus terjadi antara pukul 12.01-18.00 (Laporan dari Lapas Klas IIA Kendari), dan 1 kasus terjadi antara pukul 18.01-00.00 (Laporan dari Lapas Klas IIB Manokwari).
V.2. Upaya Pencegahan Pelarian Setelah diketahui polanya, maka tindakan pencegahan dapat dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Cohen dan Felson (1998) yang menyatakan bahwa “modus operandi is a central concern of rational choice theory in criminology. This theory and research is closely linked to situational crime prevention, which is explicitly designed to reduce crime opportunities”. Dalam terjemahan bebas, dapat diartikan bahwa modus operandi adalah perhatian pusat dari teori pilihan rasional di kriminologi. Teori dan penelitian ini berhubungan erat dengan pencegahan kejahatan situasional, dimana hal ini secara eksplisit dirancang untuk mengurangi kesempatan dari kejahatan. Ketika modus operandi diketahui, maka tindakan pencegahan dapat dibuat. Dalam hal ini, pencegahan yang dilakukan merupakan pencegahan situasional. Yang berfokus untuk mengurangi kesempatan melakukan kejahatan. Dalam hal ini, kejahatan dimaksud adalah spesifik, yaitu pelarian narapidana dari Lapas.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
123
Ketika membicarakan mengenai pencegahan pelarian dari Lapas, maka penulis mengutip dari tulisan Wortley (2004). Dalam tulisan ini, Wortley menjelaskan bahwa untuk pengendalian terhadap pelarian narapidana dari Lapas, maka diperlukan beberapa hal, yaitu:
Perimeter (pembatas) keamanan Untuk melakukan pencegahan pelarian, jika disesuaikan dengan konteks
situasional, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan membuat pembatas fisik pengamanan untuk mencegah pelarian yang dilakukan oleh para narapidana dari Lapas. Pembuatan perimeter ini bisa diterapkan pada fisik bangunan Lapas. Dalam beberapa kasus pelarian, misalnya pada kasus pelarian di Lapas Tabanan, dimana WBP melarikan diri dengan cara menjebol plafon kamar mandi, maka hal ini harusnya dapat dicegah. Salah satu caranya dengan cara membuat agar plafon itu menjadi sulit dijangkau (dibuat menjadi lebih tinggi dan sulit dipanjat), ataupun dengan membuat plafon dari material yang kuat sehingga sulit untuk dirusak. Atau pada kasus lainnya, yaitu pada narapidana yang melarikan diri dengan memanjat tembok Lapas. Untuk hal ini, dapat dibuat beberapa hal, dengan mengambil 2 prinsip pengamanan efektif dari McManus dan Conner (1994:142), yaitu pada poin 1 dan 2. Pada tembok Lapas itu, dapat dibuat pagar berduri yang berasal dari bahan baja yang sulit dijebol serta kokoh dan jika perlu dialiri listrik bertegangan tinggi agar apabila ada WBP yang mencoba melarikan diri, maka akan mengalami luka fisik. Ketika tembok sudah berhasil dilewati, maka WBP yang melarikan diri akan langsung berada di luar Lapas dan bisa melarikan diri ke sekitar Lapas, misalnya ke arah jalan atau perumahan penduduk. Hal ini tentu saja sangat tidak diharapkan. Untuk pencegahannya, maka di sekitar tembok luar Lapas, dapat dibuat parit atau saluran air yang dalam dan diisi dengan air kotor. Hal ini ditujukan agar WBP yang berhasil melewati tembok Lapas tetap sulit untuk melakukan pelarian. Sedangkan untuk pelarian dari pos jaga atas, dimana pada saat melakukan pelarian melalui titik ini, pos tersebut selalu dalam keadaan kosong, maka hal yang
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
124
harus dilakukan adalah dengan tidak pernah membiarkan ada pos jaga yang kosong. Ataupun, pelarian bisa dilakukan melalui pos jaga dan langsung menuju ke luar Lapas, karena pos jaga yang berada tepat di sudut Lapas dan langsung berbatasan dengan tembok tanpa ada pembatas lagi untuk menuju ke luar Lapas, maka hal yang perlu dilakukan adalah melakukan desain ulang dan membangun lagi pos jaga tersebut agar tidak langsung menempel dengan tembok Lapas sehingga meskipun pos jaga tersebut dapat dimasuki, namun pelarian tidak bisa langsung terjadi, yaitu harus melewati halangan tembok Lapas terlebih dahulu. Hal lain yang dapat dilakukan untuk melakukan pencegahan pelarian dari tembok Lapas ini adalah dengan cara membuat bagaimana pos jaga ini menjadi sulit untuk dimasuki oleh narapidana yang akan melakukan pelarian. Selain itu, pada poin 3, yaitu bahwa pengamanan harus memungkinkan staf untuk mengawasi aktivitas di segala tempat, dapat diterapkan dengan cara memasang CCTV pada titik strategis dimana WBP beraktivitas, atau pada titik dimana sering terjadi pelarian. Namun, CCTV ini harus dilengkapi monitor dan diawasi oleh petugas, sehingga jika terjadi suatu tindakan yang potensial menimbulkan pelarian ataupun ada gerakan mencurigakan dari WBP yang akan melarikan diri, maka petugas pengawas CCTV dapat memperingatkan regu pengamanan untuk mengambil tindakan.
Hal ini terutama berkaca pada pelarian di Lapas Bukittinggi, dimana
pelarian terekam oleh CCTV, namun tidak dapat dilakukan tindakan pencegahan karena tidak adanya pengawasan, melainkan hanya direkam saja. Untuk pencegahan pelarian ketika sedang dilakukan asimilasi, dimana terdapat 3 kasus, maka pihak Lapas dapat memanfaatkan teknologi RFID (Radio Frequency Identification), dimana teknologi ini digunakan untuk penyimpanan data dan pertukaran pada tag (semacam kalung atau chip yang ditanam). Near-Field Electromagnetic Ranging (NFER ®) akan digunakan untuk menentukan lokasi yang sebenarnya. Tag ini dibutuhkan untuk menyimpan data yang terdiri dari catatan narapidana untuk kemudahan perpindahan data antar penjara ketika narapidana dipindahkan. Catatan ini diunduh pada tag sebelum pindah dari penjara lama dan
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
125
diunggah pada penjara baru ketika sudah tiba. RFID yang aktif menampung data yang diperlukan yang dibutuhkan untuk komunikasi, menyimpan data yang terkirim dari transceiver atau alat pembaca. NFER adalah sebuah teknologi baru yang memiliki sejumlah keunggulan dibanding sistem lokasi real time sebelumnya, antara lain alat ini dapat mengkalkulasi jarak antara tag dengan receiver. Sehingga, ketika WBP yang sedang melakukan asimilasi di luar Lapas tidak diawasi langsung oleh petugas, dapat dilakukan pengawasan dengan alat pelacak yang dimiliki. Tentunya, alat ini harus tidak mudah dilepaskan oleh WBP, sehingga keberadaan WBP tetap dapat terpantau oleh petugas pengamanan Lapas. Untuk melakukan hal ini, kalung atau tag dapat dibuat menjadi sulit untuk dilepaskan dari tubuh WBP, sehingga keberadaan WBP tetap dapat terpantau. Kepadatan Sebagian besar Lapas di Indonesia mengalami kepadatan penghuni. Berdasarkan data tahun 2011, kelebihan kapasitas di UPT Pemasyarakatan di Indonesia mencapai 32.447 orang. Bila ditilik lagi, hal ini tentu saja akan menyulitkan
dalam pengawasan terhadap para WBP. Dalam beberapa kasus,
kepadatan WBP tidak diimbangi dengan jumlah petugas, sehingga pelarian dapat terjadi karena kurangnya pengawasan dari petugas yang jumlahnya sedikit. Contoh dari kasus ini adalah pada pelarian di Lapas Narkotika Pematang Siantar. Dalam laporan pelarian, dikatakan bahwa Lapas ini kekurangan petugas pengamanan sehingga kesulitan dalam mengawasi WBP yang ada di Lapas ini. Selain itu, dalam sejumlah kasus dimana pelarian dilakukan dari pos atas ketika pos ini tidak diisi oleh petugas, maka tempat ini bisa dijadikan titik pelarian oleh para WBP. Sebenarnya, masalah kepadatan di dalam Lapas ini bukan menjadi perhatian utama. Namun, yang menjadi perhatian justru adalah efek dari kepadatan ini sendiri. Karena, ketika di suatu Lapas terjadi kepadatan, maka akan menimbulkan berbagai masalah di dalam Lapas, dimana ketika hal ini tidak dapat diatur dengan baik, maka akan menimbulkan masalah baru di Lapas, seperti timbulnya keresahan di kalangan
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
126
penghuni Lapas sendiri. Kepadatan di dalam Lapas tentu makin menimbulkan gesekan antar penghuni Lapas dimana jarak personal menjadi semakin berkurang dan narapidana semakin kehilangan privasinya. Selain itu, kepadatan di Lapas ini juga akan semakin menyulitkan para petugas dalam mengawasi narapidana yang ada di dalam Lapas. Dari hal ini, dapat dikatakan bahwa kepadatan penghuni Lapas, apabila tidak diimbangi oleh jumlah petugas yang sesuai, maka akan menimbulkan gangguan keamanan, khususnya pelarian, dimana petugas dengan jumlah yang terbatas akan mengalami kesulitan dalam mengawasi para WBP. Untuk penambahan jumlah ini, harus ada perimbangan antara jumlah yang diawasi (WBP di Lapas) dengan jumlah yang mengawasi (Petugas Pengamanan). Misalnya, jumlah ideal antara WBP yang diawasi dengan jumlah petugas adalah 20:1, maka seharusnya dalam setiap Lapas memiliki perbandingan jumlah petugas pengamanan dengan jumlah WBP seperti ini. Disiplin penjara Dalam beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa penjara (khususnya penjara untuk remaja), ditemukan fakta bahwa semakin ketat suatu lembaga, maka kemungkinan bisa melarikan diri semakin kecil. Disiplin yang ketat dalam hal ini bisa diartikan pada disiplin terhadap peraturan yang ada. Para petugas menjalankan tugas mereka sesuai dengan prosedur. Ketika hal ini dijalankan dengan benar, maka pencegahan dapat dilakukan. Namun ketika aturan tidak dijalankan secara disiplin, maka dapat dimanfaatkan dan dapat dijadikan celah untuk melakukan pelarian. Contoh dari kasus ini adalah pada kasus pelarian di Lapas Klas IIA Manado, dimana pada aturan yang ada, yaitu bahwa unit kerja yang bertanggung jawab terhadap penguncian dan pembukaan kamar-kamar hunian adalah Karupam dan petugas keamanan. Pada kasus ini, yang terjadi adalah penguncian pintu kamar hunian dilakukan oleh WBP, bukan petugas. Hal ini kemudian bisa dimanfaatkan. Sehingga, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, sudah terjadi 2 (dua) kasus pelarian. Hal ini sebenarnya dapat dicegah apabila
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
127
aturan dijalankan dengan disiplin, yaitu penguncian pintu dilakukan petugas, kemudian kunci diserahkan ke petugas untuk disimpan di rumah Ka.Lapas atau Ka. KPLP. Contoh berikutnya adalah pada kasus pelarian di Lapas Klas IIB Manokwari, dimana berdasarkan laporan yang ada dikatakan bahwa pelarian ini terjadi karena petugas yang lalai karena meninggalkan WBP yang dalam pengawalan sendiri untuk membuka pintu Lapas, dan kemudian keberadaan ini dimanfaatkan untuk melakukan pelarian. Hal ini tentu saja tidak seharusnya dilakukan. Namun, berdasarkan berita dari media elektronik, ada kabar bahwa pelarian ini sebenarnya sengaja dibiarkan dan sudah diketahui oleh Ka.Lapas di Lapas ini. Pelarian ini bisa terjadi karena pelaku dikatakan sudah membayar sejumlah uang kepada Ka.Lapas. Hal ini harusnya kemudian menjadi perhatian, karena apabila hal ini terus berlanjut, maka pelarian akan terus bisa terjadi. Dari kasus ini, dapat dikatakan bahwa uang bisa mempengaruhi kedisiplinan petugas Lapas, dimana karena uang pula, petugas Lapas bisa tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan Protap. Hal ini perlu menjadi pertimbangan, untuk kemudian dilakukan investigasi. Apabila terbukti ada petugas yang melanggar aturan yang ada dan menerima suap, maka sanksi tegas harus diberikan. Hal ini juga sebagai salah satu upaya penjeraan agar petugas lain tidak melanggar peraturan yang ada. Pencegahan umum Jika dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa kebanyakan pelarian dilakukan oleh satu orang, maka penelitian oleh Clarke menemukan fakta bahwa para pelaku pelarian menularkan (mengajak) narapidana lainnya untuk melakukan pelarian bersama, dimana dalam konteks ini dikatakan sebagai sesuatu yang menular. Hal ini dapat dilihat dari kasus pelarian pada Lapas Cianjur pada tahun 2011, dimana pelarian dilakukan bersama oleh 6 (enam) orang tahanan. Pelarian berhasil dilakukan dengan bekerjasama antara 6 (enam) tahanan ini untuk menggergaji lubang angin di Lapas ini. Selain itu, pada kasus pelarian di Lapas Manado (2011), hal yang
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
128
sama juga terjadi, dimana narapidana salah satu narapidana (X) sudah ditunggu oleh kedua rekannya, yaitu Y dan Z untuk secara bersama-sama melakukan pelarian. Hal ini berarti bahwa pelarian dilakukan dengan ajakan sesama narapidana. Pencegahan dari hal ini adalah dengan membuat penjeraan dan membuat narapidana ini sadar akan konsekuensi dari perilakunya ini. Misalnya dengan memberi hukuman yang berat ketika narapidana yang melarikan diri tersebut tertangkap kembali (misalnya dimasukkan ke dalam sel isolasi atau dicabut hak remisinya). Hal berikutnya yang harus dilakukan untuk menimbulkan efek jera baik untuk pada pelaku maupun para pelaku potensial, maka ketika ada narapidana yang melarikan diri dan tertangkap kembali, hukuman harus benar-benar diberikan pada narapidana atau tahanan yang melarikan diri tersebut, dan penghukuman ini diketahui oleh narapidana lainnya di Lapas tersebut sehingga kemudian menimbulkan efek jera. Pertukaran narapidana Ancaman dan tekanan dari narapidana lain secara konsisten diidentifikasi sebagai penyebab utama dari pelarian. Contoh dari kasus ini adalah pada pelarian di Lapas Batu, Nusakambangan. Dalam laporan, dikatakan bahwa narapidana ini melarikan diri karena terlibat hutang terhadap sesama WBP dan takut kepada mereka karena tidak mampu membayar. Hal ini dapat dikategorikan sebagai faktor pendorong melakukan pelarian. Jika mengutip pendapat dari Gaes dan Camp (2009), yang mengatakan bahwa narapidana dengan resiko tinggi harus dipisahkan dari narapidana dengan resiko rendah (resiko dalam hal ini dimaksudkan pada resiko gangguan keamanan). Selain itu, pengelompokan ini juga dilakukan untuk membuat sistem lebih efisien dan pengelola Lapas tidak perlu menghamburkan sumber daya yang ada. Jadi, dapat dikatakan dengan pengelompokan narapidana berdasarkan tingkat resikonya, maka petugas dapat dikonsentrasikan pada Lapas dimana narapidananya beresiko tinggi, sedangkan untuk Lapas yang memiliki resiko rendah, maka petugas disesuaikan dengan kebutuhan.
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
129
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pertukaran narapidana ini merupakan salah satu upaya pencegahan terhadap kemungkinan gangguan keamanan dan ketertiban yang akan terjadi di Lapas. Salah satu gangguan keamanan yang akan terjadi di Lapas adalah pelarian. Hal ini disebabkan karena ketika seseorang merasa tidak nyaman dengan keadaan di Lapas, maka orang tersebut akan berusaha melarikan diri. Selain itu, upaya pertukaran narapidana ini ditujukan untuk memudahkan pengawasan, karena ketika narapidana sudah dikelompokkan berdasarkan tingkat resikonya, maka pengawasan terhadap narapidana tersebut akan menjadi lebih mudah sehingga petugas keamanan dapat dikonsentrasikan pada satu titik (titik dimana banyak narapidana dengan resiko tinggi) dibanding titik lain (titik dimana banyak narapidana dengan resiko rendah). Hal utamanya dari hal ini adalah bahwa pertukaran narapidana berdasarkan tingkat resikonya adalah untuk meningkatkan pengawasan dan mengurangi terciptanya peluang untuk melakukan pelarian.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
130
BAB VI KESIMPULAN
Berdasarkan data yang ada dan analisis terhadap kasus pelarian yang terjadi di beberapa Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:
1.
Modus operandi pelarian yang paling sering terjadi selama tahun 20102012 adalah dengan memanfaatkan kelalaian petugas jaga. Sedangkan titik yang paling sering dimanfaatkan melakukan pelarian adalah melalui tembok Lapas dan Pos Jaga Atas.
2.
Selama tahun 2010 sampai dengan 2012, waktu pelarian yang paling sering terjadi justru pada pagi sampai dengan sore hari, yaitu antara pukul 06.0118.00. Pelarian justru tidak terlalu sering terjadi pada malam hari jika dibanding dengan siang hari. Sedangkan untuk pelarian pada malam hari, paling sering menggunakan alat bantu seperti sarung, kain, ataupun tangga.
3.
Titik-titik rawan pelarian ini harus diperkuat penjagaannya, terutama dengan membuat perimeter keamanan yang lebih baik daripada sebelumnya. Selain itu, harus dilakukan upaya untuk membuat pengawasan terhadap narapidana menjadi lebih mudah, yaitu dengan memasang CCTV dan mengoptimalkan keberadaan CCTV untuk pengawasan terhadap para WBP.
4.
Kerentanan terjadinya pelarian dari Lembaga Pemasyarakatan dapat diantisipasi atau dicegah dengan cara membuat perimeter keamanan yang lebih baik, kemudian menekan kemungkinan terjadinya over kapasitas atau kepadatan, kemudian meningkatkan kapasitas dan kapabilitas sumber daya mananusia
petugas
pengamanan
untuk
memudahkan
pengawasan,
penerapan aturan serta penjeraan secara tegas dan proporsional, serta
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
131
penciptaan situasi agar narapidana merasa terlindungi dan adanya inisiatif untuk melakukan pertukaran narapidana dalam kerangka pengamanan dan pembinaan agar menjadi lebih baik.
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
132
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku Boba, Rachel. 2002. Crime Analysis and Crime Mapping. Thousand Oaks: SAGE Publication. Prosedur Tetap Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan. 2003. Jakarta : Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Wortley, Richard. 2004. Situational Prison Control: Crime Prevention in Correctional Institutions. Cambridge: Cambridge University Press Schneider et al.2007. Crime Prevention and Built Development. New York : Routledge Button, Mark. 2008. Doing Security : Critical Reflection and an Agenda for Change. London : Plagrave Macmillan Wortley, Richard dan Lorraine Mazerolle. 2008. Environmental Criminology and Crime Analysis. Mill Street :William Publishing Keppel, Robert D dan William J. Birnes. 2009. Serial Violence : Analysis of Modus Operandi and Signature Characteristics of Killers. Boca Raton: Taylor & Francis Group, LLC Siegel, Larry J. 2011. Criminology: the Core (Fourth Edition). Belmont: Wadsworth, Cengage Learning
Daftar Jurnal Fosdick, Raymond B. 1915. The Modus Operandi System in the Detection of Criminals. http://www.jstor.org/stable/1132736 .Accessed: 05/03/2012 00:26 Davison. Robert L. 1931. Prison Architecture. http://www.jstor.org/stable/1018578 Accessed: 13/03/2012 05:57
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
133
Howard B. Gill. 1962. Correctional Philosophy and Architecture. http://www.jstor.org/stable/1141466 Accessed : 23/08/2011 01:37 Ronald V. Clarke. 1983. Situational Crime Prevention: Its Theoretical Basis and Practical Scope. http://www.jstor.org/stable/1147510 .Accessed: 23/08/2011 01:48 Taylor, Ralph B dan Stephen Gottfredson. 1986. Environmental Design, Crime, and Prevention: An Examination of Community Dynamics. http://www.jstor.org/stable/1147433. Accessed: 21/02/2012 00:22 Dessent. G.H. 1987. Prison Perimeter Cost-Effectiveness. http://www.jstor.org/stable/2582659 Accessed: 13/03/2012 05:37 Blumstein, Alfred. 1988. Prison Populations: A System out of Control?http://www.jstor.org/stable/1147406 . Accessed: 23/08/2011 01:44 Barr, Robert dan Ken Pease. 1990. Crime Placement, Displacement, and Deflection. http://www.jstor.org/stable/1147441 .Accessed: 3/5/2012 00:32 Ekblom, Paul. 1995. Less Crime, by Design. http://www.jstor.org/stable/1048400 Accessed: 21/02/2012 00:24 Lorna A. Rhodes. 2000. Taxonomic Anxieties : Axis I and Axis II in Prison. http://www.jstor.org/stable/649503 Accessed: 23/08/2011 02:03 Welsh, Brandon C. dan David P. Farrington.2003. Effects of Closed-Circuit Television on Crime. http://www.jstor.org/stable/1049950. Accessed: 21/02/2012 00:19 Mulholland. Catherine L. et al. 2008. Tagging and Tracking System for Prisons and Correctional Facilities –A Design Roadmap. http://ieeexplore.ieee.org/stamp/stamp.jsp?tp=&arnumber=4488296. accessed 13/03/2012 17.02 Gaes, Gerald G & Scott D. Camp. 2009. Unintended consequences: experimental evidence for the criminogenic effect of prison security level placement on post-release recidivism) http://www.springerlink.com/content/7kk3379447274010/fulltext.pdf. Accesses 7/3/2012 15:34
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
134
Karya Ilmiah Clarke, Ronald V. dan Marcus Felson.1998. Opportunity Makes the Thief: Practical theory for crime prevention.Police Research Series Paper 98. http://www.popcenter.org/library/reading/pdfs/thief.pdf Rahayu, Mulyani.2007. Strategi Pencegahan Pelarian Narapidana dari Dalam Lapas (Studi Kasus Lapas Klas I Cipinang Jakarta). Tesis. Universitas Indonesia. Sibatangkayu, Diapari. 2008. Privatisasi Lembaga Pemasyarakatan Sebagai Alternatif Pemberdayaan Narapidana. Tesis. Universitas Indonesia. Nurhakim, Arif. 2011. Modus Operandi Kejahatan di Perumahan. Karya Akhir. Universitas Indonesia.
DAFTAR BERITA MEDIA Lapas Kerobokan Rugi Hampir Rp 3 Miliar (29 Juni 2011) kompas.com. http://regional.kompas.com/read/2011/06/29/15493099/Lapas.Kerobokan.Rug i.Hampir.Rp.3.Miliar Diduga Praktek Kasus Gayus Tambunan Terjadi di Lapas Manokwari (10 Desember 2011). Bintangpapua.com. http://bintangpapua.com/papua-barat/17749diduga-praktek-kasus-gayus-tambunan-terjadi-di-lapas-manokwari Dua
3
napi korupsi, bebas berkeliaran. (9 Desember 2011) komisikepolisianindonesia.com.http://www.komisikepolisianindonesia.com/ main.php?page=ruu&id=3559
Napi Lapas Tuminting Kabur (5 Februari 2012) manadopost.co.id. http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=109223
Sabu-sabu juga ditemukan di Lapas Cipinang (11 Januari 2012). kompas.com. http://regional.kompas.com/read/2012/01/11/20272715/Sabusabu.juga.Ditemukan.di.Lapas.Cipinang
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
135
Dua paket besar putaw di Lapas Narkotika Cirebon (8 April 2012) tribunnews.com. http://www.tribunnews.com/2012/04/08/dua-paket-besar-putaw-di-lapasnarkotika-cirebon Pengungkapan dan temuan narkoba di Lapas Klas I Madiun Meningkat (16 Juni 2012) rri.co.id. http://rri.co.id/index.php/detailberita/detail/21202#.T-lKjdN4Gzo
Data Data Pelarian Narapidana dan Tahanan Tahun 2010 Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 15 Desember 2010 Laporan Rekapitulasi Temuan Narkoba di Lapas/Rutan tahun 2010 Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 23 Desember 2010 Data Kapasitas dan Rekapitulasi Jumlah Penghuni Lapas/Rutan/Cab. Rutan di Seluruh Indonesia Bulan Maret 2011Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 11 Maret 2011 Laporan Pelarian Lapas Klas IIB Sanana Maluku Utara, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2 Agustus 2010 Laporan Pelarian Lapas Klas IIB Cianjur Jawa Barat, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 6 September 2010 Laporan Pelarian Lapas Klas IIA Jambi, Provinsi Jambi, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 27 Desember 2010 Laporan Pelarian Lapas Klas IIB Nabire Papua, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,11 Mei 2011 Laporan Pelarian Lapas Klas IIB Cianjur Jawa Barat, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,23 Juni 2011 Laporan Pelarian Lapas Klas I Batu Nusakambangan, Jawa Tengah, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 15 September 2011 Laporan Pelarian Lapas Klas IIA Kendari Sulawesi Tenggara, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 3 Oktober 2011 Laporan Pelarian Lapas Klas IIB Singkawang Kalimantan Barat, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 21 November 2011
Universitas Indonesia
Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012
136
Laporan Pelarian Lapas Klas IIA Cibinong Jawa Barat, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 23 November 2011 Laporan Pelarian Lapas Klas IIB Manokwari Papua Barat, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 23 November 2011 Laporan Pelarian Lapas Narkotika Klas IIA Pematang Siantar Sumatera Utara, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 24 November 2011 Laporan Pelarian Lapas Klas IIA Manado Sulawesi Utara, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 5 Desember 2011 Laporan Pelarian Lapas Klas IIA Bukittinggi Sumatera Barat, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 18 Desember 2011 Laporan Pelarian Lapas Klas IIB Tabanan Bali, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,2 Februari 2012 Laporan Pelarian Lapas Klas IIA Manado Sulawesi Utara, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 4 Februari 2012 Laporan Pelarian Lapas Terbuka Jakarta DKI Jakarta, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 27 Februari 2012 Laporan Pelarian Lapas Klas IIA Bengkulu Provinsi Bengkulu, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 15 Maret 2012 Laporan Pelarian Lapas Klas IIA Lhokseumawe Nangroe Aceh Darussalam, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 5 Maret 2012 Laporan Pelarian Lapas Klas IIB Luwuk Sulawesi Tengah, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 16 Maret 2012 Laporan Pelarian Lapas Klas IIA Sidoarjo Jawa Timur, Direktorat Bina Kamtib Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 26 Maret 2012
Universitas Indonesia Modus operandi..., Muhammad Fauzy, FISIP UI, 2012