Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
SEJARAH DAN MODUS OPERANDI MAFIA PERADILAN DI INDONESIA1 Frans Hendra Winarta2 (Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan) ABSTRACT Do you really care about justice in Indoneisa? We have laws requiring judges and prosecutors to produce justice, but there is no enforcement to make them obey the law. Judicial defects and corruption that convicts innocent people instead of criminals means more criminal walking free, more crime and more risk to you and me. The same miscarriage of justice atrocities happen in civil court and it can rob you of every thing you own. Corruption is systemic when a government agency only supplies a public good or service if an otherwise unwilling transfer of wealth takes place from an individual or firm to the public sector through bribery extortion, fraud or embrezzlement. Rose-Ackerman states that "wide spread corruption is a sympton that the state is functioning, poorly" Do you agree ? Keywords: Justice, Judges, prosecutors, just law, judicial, corruption, justice, atrocities, criminals, innocent people, miscarriage.
' Disampaikan pada seminar "Sejarah, Modus Operandi dan Gagasan Penghapusan Mafia Peradilan" yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata pada hari Sabtu, 24 Agustus 2002 di Kampus Unika Soegijapranata, Jl. Pawiyatan Luhur IV/1. Bendan Duwur, Semarang. 2 Frans H. Winata adalah advokat di Jakarta daaanggota Komisi Hukum Nasional. 50
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
Pendahuluan Salah satu bentuk korupsi yang telah begitu mendarah daging di negara kita adalah korupsi dalam lembaga peradilan atau dikenal dengan istilahyW/cia/ corruption. Praktek-praktek judicial corruption ini dilakukan oleh para aparat penegak hukum itu sendiri (law enforcement agencies) dan secara kolektif mereka dikenal dengan sebutan mafia peradilan. Daniel S.Lev, seorang pengamat politik hukum Indonesia, mengatakan bahwa: "The mafia peradilan is after all a working system that benefits all its participants. In some ways, in fact, for advocates, who otherwise are excluded from the collegial relationships of judges and prosecutors, it works rather better and more efficiently than the formal system".3 Dari penelitian yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) pada pertengahan tahun 2002 terungkap 3
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Advokat Indonesia Indonesia Mencari Legitimasi: Studi tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta:2001), hal. 11.
bahwa mafia peradilan merupakan korupsi yang sistematik yang melibatkan seluruh pelaku yang berhubungan atau berkaitan dengan lembaga peradilan, yaitu mulai dari polisi, jaksa, advokat, panitera, hakim sampai kepada petugas di lembaga pemasyarakatan. Dasyatnya korupsi di lembaga peradilan Indonesia juga dapat dilihat dari catatan Daniel Kaufmann dalam laporan Bureucratic an Judiciary Bribery pada tahun 1998 yang mengatakan bahwa tingkat korupsi di peradilan Indonesia adalah yang paling tinggi di antara negara-negara Ukraina, Venezuela, Rusia, Kolombia, Yordania, Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan dan Singapura.4 Salah satu alasan sulitnya memberantas mafia peradilan Indonesia adalah karena masih bersemayamnya ideology judicial corruption. Menurut deklarasi International Bar Association (IBA) pada konferensi dua tahunan (17-22 September 2000) di Amsterdam, berdasarkan rekomendasi para hukum Center For the Independence of Judges 4
Hukumonline.com, "Mafia Peradilan I", Agustus, 2002.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002
51
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
and Lawyers (CIJL), disimpulkan bahwa judicial corruption terjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisijaksa, advokat, dan hakim). Khususnya kalau hakim atau pengadilan mencari atau menerima berbagai macam keuntungan atau janji berdasarkan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman atau perbuatan lainnya, seperti suap, pemalsuan, penghilangan data atau berkas pengadilan, perubahan dengan sengaja berkas pengadilan, pemanfaatan kepentingan umum untuk keuntungan pribadi, sikap tunduk kepada campur tangan luar dalam memutus perkara karena adanya tekanan, ancaman, nepotisme, conflict of interest, favoritisme, kompromi dengan pembela (advokat), pertimbangan keliru dalam promosi dan pernsiun, prasangka memperlambat proses pengadilan, dan tunduk kepada kemauan pemerintah dan partai politik. Adanya judicial corruption dan sulitnya memberantas judicial corruption adalah karena selama ini institusi hukum kita seperti polisi, jaksa, advokat, dan khusunya para hakim bekerja 52
dalam situasi yang tidak kondusif untuk mengembangkan sikap judicial discretion, yaitu sikap imparsial dan independen dalam memutus suatu perkara. Yang dimaksud dengan judicial discretion adalah: "Enlightened by intelligence and learning, controlled by sound principles of law, of firm courage coned with the calmness of a cool mind, free from partiality, not swayed by sympathy nor warped by prejudice, not moved by any kind of influence save alone the overwhelming passion to do that which is just..." ("Inteligensi dan kemauan belajar, kontrol oleh prinsip-prinsip hukum, didukung keberanian dan pikiran yang dingin, bebas dari pengaruh luar dan tidak goyah karena simpati ataupun prasangka, pengaruh atau campur tangan dari luar, kecuali oleh keinginan besar untuk menegakkan keadilan". Sejarah Timbulnya Peradilan
Mafia
Jika ditarik akar permasalahan yang melatarbelakangi timbulnya judicial corruption dan tidak adanya sikap judicial discretion
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
dalam lembaga hukum kita adalah bahwa kondisi tersebut sebenarnya merupakan akibat langsung dari politik hukum negara kita yang secara sistematis telah membatasi bahkan mengekang ruang gerak lembaga hukum kita. Pemerintah kita memilih untuk menerapkan Herziene Indonesisch Reglement (HIR) sebagai sebagai hukum acara perdata kita daripada Reglement op de Rechtsvordering (Rv), hukum acara yang berlaku untuk orang atau peradilan Eropa.
panitera pengadilan. Akibatnya, seringkali mereka yang berpekara di pengadilan harus tampil membela dirinya sendiri dari segala tuduhan yang diarahkan kepada mereka atau dibantu oleh pokrol bambo (zaakwaarnemer5) yang tidak memiliki ilmu pengetahuan hukum yang memadai untuk berpekara. Hakim di satu sisi dituntut untuk bertanggung jawab menciptakan keadilan bagi pihak yang berpekara, namun disisi lain oleh 5
Apabila kita telaah lebih jauh dapat dikatakan bahwa pengaturan dalam HIR kurang dituntut persyaratan yang ketat bagi para hakim dan jaksa, serta kurang memberikan perlindungan kepada para terdakwa. Jaksa di Landraad (pengadilan negeri bagi golongan pribumi) adalah pejabat yang rendah bila dibandingkan dengan officier van justitie di Raad van Justitie (pengadilan tingkat banding bagi golongan Eropa) dan berpendidikan rendah. Selanjutnya, HIR mengatur bahwa pihak-pihak yang berpekara dapat tampil sendiri dalam sidang pengadilan dan untuk selanjutnya memperoleh segala bantuan yang mereka perlukan dari hakim atau
Pada awalnya fungsi pokrol bambo dan advokat professional secara esensial tidak jauh berbeda, yakni untuk menjembatani kepentingan hukum masyarakat yang oleh politik hukum pemerintah Hindia Belanda diharuskan untuk menempuh prosedur dan mekanisme peradilan pemerintah. Yang membedakan keduanya adalah prasyarat yang harus dimiliki untuk menjalankan fungsinya tersebut dan kelompok masyarakat mana yang menjadi target pemberian jasa mereka. Apabila advokat harus merupakan Meester in de Rechten (sarjana hukum) yang diawasi oleh hakim Raad van Justitie dan hanya menangani perkara-perkara yang melibatkan orang-orang Eropa saja, maka kedudukan pokrol bambo {procureuff yang hanya dapat mewakili dan membela perkara sipil bagi golongan pribumi di pengadilan Landraad, dapat diisi oleh siapa saja, tidak perlu sarjana hukum dan diawasi sepenuhnya oleh pengadilan.
Law Review, Fakiiltas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002
53
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
HIR diberikan kesempatan untuk dapat juga memberikan bantuan bagi mereka. Kondisi ini jelas akan berpotensi menciptakan conflict of interest antara hakim dan hak terdakwa dalam mengambil keputusan demi keadilan bagi kasus tersebut. Hal tersebut diatas jelas berbeda dengan sistem peradilan bagi orang-orang Eropa dimana mereka telah mengenal lembaga advokat dalam kultur hukum Eropa. Ketentuan mengenai peran advokat untuk memberikan bantuan hukum diatur secara jelas dalam hukum acara peradilannya, yakni adanya ketentuan mengenai kewajiban legal representation by a lawyer, baik di dalam perkara perdata maupun perkara pidana. Dalam kondisi yang demikian maka tentunya profesi advokat dapat tumbuh dan berkembang bagi advokat-advokat Belanda yang beracara dalam pengadilan eropa. Sedangkan di pengadilanpengadilan pribumi, peran advokat dalam membantu mereka yang berpekara dikecilkan sehingga eksistensi advokat dianggap seakan tidak penting dan tidak berkembang. Pada masa itu Belanda jelas menilai pengacara pribumi sebagai sumber korupsi 54
karena kegemarannya berpekara, potensinya menyalahgunakan hukum serta sikap-sikap lainnya yang dinilai dapat menimbulkan keributan dan memperluas kekacauan sosial budaya. Di sisi lain, pokrol bambo yang tidak mempunyai kualitas memadai dan tersebar di wilayah pedesaan, lebih mengutamakan kedekatan tertentu dengan pejabat-pejabat dilingkungan peradilan untuk melaksanakan fungsinya, yakni menjadi penghubung antara masyarakat tradisional dengan pengadilanpengadilan pemerintah. Malahan, komersialisasi pendampingan hukum juga jauh lebih hidup dalam praktek pokrol bambo, dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat serta menyalahgunakan hubungan dengan para pejabat peradilan, sehingga pendekatan lobby lebih dikuasai oleh pokrol bambo dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang ditangani daripada mengemukakan argumentasiargumentasi hukum. Setelah kemerdekaan RI, kondisi advokat Indonesia sebagaimana pada masa penjajahan Belanda, terus berlanjut. Hal ini akibat
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. 11, No.2, November 2002
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
pilihan konstitusi kita, yaitu Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku semala belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini". Dengan adanya Aturan Peralihan tersebut di atas maka peraturan yang diberlakukan pada pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia sebelum kemerdekaan tetap berlaku selama belum ada penggantinya, sehingga peraturan seperti HIR tetap menjadi pedoman beracara dalam hukum positif Indonesia. Kebijakan untuk mempertahankan sistem hukum dan sistem peradilan yang lama, diawali oleh terbitnya Undang-undang No.l Tahun 1946 mengenai Peratuaran Hukum Pidana, yang menetapkan bahwa untuk hukum pidana Indonesia berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942. Ketentuan hukum berikutnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pasca kemerdekaan adalah Undang-undang No.l Tahun 1950 tentang Susunan dan
kekuasaan Jalannya Pengadilan Mahakamah Agung Indonesia. Di dalamnya ditentukan bahwa Mahkamah Agung memegang pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan, sehingga tingkah laku perbuatan pengadilan-pengadilan dan para hakim di pengadilan mendapat pengawasan yang cermat dari Mahakamah Agung. Kemudian, Undang-undang mengenai Mahakamah Agung tersebut terus berlanjut dan mengalami beberapa kali dengan pejabat-pejabat di lingkungan peradilan untuk melaksanakan fungsinya, yakni menjadi jembatan penghubung antara masyarakat tradisional dengan pengadilan-pengadilan pemerintah. Malahan, komersialisasi pendampingan hukum juga lebih hidup dalam praktek pokrol bambo, dengan memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat serta menyalahgunakan hubungan dengan para pejabat peradilan, sehingga pendekatan lobby lebih dikuasai oleh pokrol bambo dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang ditangani daripada mengemukakan argumentasiargumentasi hukum. Setelah kemerdekaan RI, kondisi advokat Indonesia
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002
55
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
sebagaimana pada masa penjajahan Belanda, terus berlanjut. Hal ini akibat pilihan konstitusi kita, yaitu Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini". Dengan adanya Aturan Peralihan tersebut di atas maka peraturan yang diberlakukan pada pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia sebelum kemerdekaan tetap berlaku selama belum ada penggantinya, sehingga peraturan seperti HIR tetap menjadi pedoman beracara dalam hukum positif Indonesia. Kebijakan untuk mempertahankan sistem hukum dan sistem peradilan yang lama, diawali oleh terbitnya Undang-undang No. 1 Tahun 1946 mengenai Peraturan Hukum Pidana, yang menetapkan bahwa untuk hukum pidana Indonesia berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942. Ketentuan hukum berikutnya yang dikeluarkan oleh pemerintah pasca kemerdekaan 56
adalah Undang-undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Jalannya Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. Di dalamnya ditentukan bahwa Mahkamah Agung memegang pengawasan tertinggi atas jalannya peradilan, sehingga tingkah laku perbuatan pengadilan-pengadilan dan para hakim di pengadilan mendapat pengawasan yang cermat dari Mahakamah Agung. Kemudian, Undang-undang mengenai Mahakamah Agung tersebut terus berlanjut dan mengalami beberapa kali perubahan, antara lain lewat Undang-undang No. 13 Tahun 1965 yang khusu dikeluarkan dalam rangka mendukung politik hukum rejim Soekarno, guna memastikan bahwa Mahakamah Agung sebagai pemegang kekuasaa kehakiman tidak lepas dari intervensi Presiden dan tunduk kepada Presiden sebagai pelaksana revolusi. Perubahan selanjutnya atas Undang-undang mengenai Mahakamah Agung dilakukan masih tetap dalam konteks politik pembenaran atas campur tangan Presiden terhadap soal-soal pengadilan demi kepentingan revolusi, yakni melalui Undang-undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Modus Operandi Peradilan
Walaupun kemudian UU No. 19 Tahun 1964 tersebut diubah kembali dengan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana didalamnya diatur mengenai prinsip-prinsip peradilan modern, seperti dimulainya penghargaan akan independensi dan imparsialitas lembaga peradilan serta prinsip jaminan hak asasi manusia dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, namun hal tersebut sebenarnya tidak menghasilkan pembaharuan yang memadai karena asih terganjalnya kemandirian peradilan secara kelembagaan dan otonomi hakim secara fungsional oleh sistem dua atap yang terus dipertahankan. Itulah sebabnya mengapa hingga kini dalam sistem peradilan dan hukum kita timbul judicial corruption dan tidak adanya sikap judicial direction dalam diri aparat penegak hukum kita, yang kemudian menimbulkan praktekpraktek mafia peradilan dalam lembaga hukum kita.6
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mafia peradilan merupakan korupsi yang sistematik yang melibatkan mulai dari polisi, panitera, advokat, jaksa, hakim, petugas di lembaga permasyarakatan sampai petugas parkir di pengadilan pun tidak ketinggalan. Demikian pila dengan peran pers yang ikut berperan dalam praktek para mafia peradilan. Para pelaku korupsi di pengadilan, khusunya para advokat, ada yang mempunyai "hubungan baik" dengan para jurnalis agar namanya selalu dimuat dalam kolom berita di Koran tersebut sehingga masyarakat hanya tahu namanama mereka saja. Hal ini pun dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi putusan hakim yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap dan membuat putusan hakim yang mengandung judicial corruption tersebut memperoleh legitimasi melalui liputan media-media massa besar.
6
PSHK,ibid.,ha\. 57-59.
Mafia
Selanjutnya, mari kita lihat modus operandi yang dilakukan oleh mafia peradilan dalam peradilan pidana yang melibatkan antara lain
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002
57
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
mulai dari polisi, panitera, advokat, jaksa, hakim, serta petugas di lembaga permasyarakatan. Dalam perkara pidana umum misalnya, praktek korupsi yang dilakukan oleh mafia peradilan di tingkat penyelidikan akan mencegah suatu kasus meningkat statusnya menjadi penyidikan (kepolisian). Uang "damai" yang diberikan oleh seorang tersangka kepada penyidik (polisi) akan membuat kasusnya tidak sampai pada tingkat penuntutan (kejaksaan). Demikian pula jaksa akan memperpanjang proses penyidikan sambil menunggu uang "pelicin" yang harus diberikan oleh tersangka memberikan sejumlah uang. Dalam modus operandi seperti ini tidak hanya melibatkan jaksa dan tersangka saja, tapi juga advokat yang mendampinginya selama pemeriksaan. Sedangkan dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi misalnya, jaksa yang memiliki wewenang untuk mengubah status saksi menjadi tersangka, dapat merubah status untuk meringankan tersangka, misalnya menjadi saksi saja, terdakwa saja atau terdakwa yang berstatus tahanan kota, 58
tahanan rumah atau tidak ditahan sama sekali. Salah satu modus yang juga paling banyak digunakan adalah melepaskan tersangka dengan cara menghentikan penyidikan.7 Ketika akhirnya tersangka sampai juga diajukan kemeja hijau, maka tersangka akan dihadapkan dengan masalah adanya uang "proses" dibagian administrasi pengadilan dan mengenai masalah pemilihan majelis hakim yang dalam hal ini dapat "diatur" oleh pengacara yang sudah memiliki hubungan baik dengan kalangan kehakiman. Lalu, ketika perkara sudah sampai pada putusan maka tidak tertutup kemungkinan untuk menentukan jumlah uang yang harus disediakan oleh pengacara atau terdakwa. Modus yang 7
Menurut survei nasional tentang korupsi di Indonesia yang dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, Partnership for Governance Reform in Indonesia, pada bulan Oktober 2001 dikatakan bahwa badan yudikatif dan kejaksaan Indonesia dianggap sebagai lembaga publik yang pailing korup, hanya sedikit lebih sedikit baik dibandingkan dengan polisi lalu lintas dan aparat bea cukai. Lihat: Survei Nasional tentang Korupsi di Indonesia, Ringkasan Eksekutif, Jakarta, 20 Oktober 2001.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
dilakukan sangat beragam, bisa melalui jaksa, panitera atau langsung dengan hakimnya sendiri. Selain itu, jalannya sidang juga dapat diselenggarakan pada pukul 08.00 pagi saat pengadilan masih sepi, tapi kemudian vonis sudah dijatuhkan dan berita acara langsung ditandatangani oleh hakim, jaksa, panitera dan pengacara. Lain lagi di dalam lembaga permasyarakatan dimana ternyata ada biaya "tidak resmi" yang seolah-olah terstandarisasi, misalnya untuk 1 kali kunjungan maka pihak lembaga permasyarakatan akan memasang tarifmulaidariRp. 10.000 sampai dengan Rp. 50.000. Para sipir penjara pun turut memperdagangkan kewenangannya, misalnya dengan memberikan sejumlah uang secara rutin kepada sipir penjara maka seorang napi dapat keluar untuk menunjungi istrinya atau dapat memperoleh fasilitas istimewa di dalam penjara. Demikian juga dalam peradilan perdata, pada koruspsi yang dilakukan oleh para mafia peradilanya pun tidak jauh berbeda, misalnya, saat mendaftarkan perkara, pihak
panitera tidak memberikan rincian seluruh biaya yang harus dibayar oleh para pihak. Untuk mendapatkan majelis hakim yang "favorable ", para pengacara harus berlomba menghubungi Ketua Pengadilan Negeri yang mempunyai wewenang untuk menentukan komposisi majelis hakim, atau biasanya pihak yang bersengketa lebih memilih pengacara yang umumnya telah memiliki hubungan baik dengan kalangan hakim. Selain itu, modus lainnya adalah dalam menentukan diterima atau tidaknya suatu alat bukti terantung kepada jumlah uang yang diberikan oleh para pihak. Putusan juga tidak lagi dijatuhkan atas dasar hukum dan rasa keadilan, tetapi lebih berdasarkan kepada "kedekatan" (lobby) dan uang. Dengan imbalan sejumlah uang, maka hakim tidak lagi ragu untuk menjatuhkan putusan yang menguntungkan pihak yang memberikan uang yang lebih besar daripada pihak lainnya. Pola lainnya yang digunakan untuk membayar hakim adalah dengan mengundang hakim yang bersangkutan sebagai pembicara dalam sebuah seminar hukum.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002
59
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat
Menurut ICW, ada hakim di Jakarta yang menerima honor sebagai pembicara sebuah seminar sebesar Rp. 300 juta. Dengan demikian, seminar hukum hanya digunakan sebagai kedok dan biasanya seminar tersebut pun diselenggarakan oleh firma hukum atau LSM yang dimiliki oleh pengacara yang bersangkutan. Teknik lainnya untuk membayar hakim sebagai imbalan karena memenangkan perkaranya adalah beruapa "sumbangan" untuk perkawinan anak hakim. Kemudian, agar putusan yang dijatuhkan tidak menimbulkan kecurigaan, maka beberapa pengacara menjalin hubungan yang erat dengan kalangan jurnalis dengan memberikan suatu imbalan tertentu. Proses banding, kasasi dan peninjauan kembali hingga suatu putusan memiliki kekuatan hukum tetap, masih sering dimanfaatkan untuk berkolusi oleh ketua Pengadilan Negeri, juru sita dan pengacara. Dalam hal dilakukan sita pun, maka juru sita akan "memainkan" obyek sitaan atau melakukan bermacam manipulasi.8 8
Hukumoline.om, "Mafia Peradilan I," Agustus 2002. 60
lam Melakukan Pengawasan Peradilan
Kesimpulan Timbulny a judicial corruption dan tidak adanya sikap judicial discretion yang kemudian menimbulkan praktek mafia peradilan pada lembaga hukum kita adalah tidak terlepas dari sejarah dan budaya sistem hukum negara kita selama ini. Sebagaimana kita ketahui bahwa sistem hukum kita selama ini lebih banyak diintervensi oleh kepentingan politik dan ekonomi sehingga keadilan tidak lebih dari sekedar barang komoditas yang diperjualbelikan. Lembaga pengadilan sebagai instrumen utama penegakan hukum telah dijadikan "Pasar" untuk memperjualbelikan keadilan dan menjadi sumber korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Demikian pula nilai-nilai keadilan telah dicampuradukkan dengan berbagai bentuk intervensi kekuasaan maupun intervensi komersial. Ukuran menguntungkan atau tidak menguntungkan suatu perkara dipandang hanya dari kacamata politis dan ekonomis. Dan terlebih lagi, yang membuat keadaan hukum kita semakin parah adalah bahwa praktek-praktek yang curang dan koruptif tersebut di atas dilakukan
Law Review, Fakultas Hukum Universi Pelita Harapan, Vol. U, No.2, November 2002
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
secara sistematis oleh para aparat penegak hukum itu sendiri dengan sebutan "mafia peradilan". Praktek-praktek koruptif yang sering mereka lakukan dapat dikategorikan sebagai "judicial corruption'''' sesuai dengan deklarasi IBA tersebut di atas. Tidak dapat dipungkiri advokat pun secara langsung maupun tidak langsung turut menciptakan terjadinya mafia peradilan dan judicial corruption. Padahal, posisi advokat dalam sistem hukum kita mempunyai peran yang sangat vital dan krusial, hanya advokatlah yang memiliki akses menuju keadilan dan penghubung antara masyarakat dengan negara melalui institusi hukumnya. Namun yang terjadi adalah sekarang profesi advokat lebih dikenal sebagai "broker" perkara yang berdiri tepat di antara kliennya dan aparat penegak hukum (hakimjaksa dan polisi) sebagai pembeli dan penjual keadilan. Peran advokat yang seharusnya memberikan jasa hukum dan mewakili kliennya perlahan diganti dengan peran "mendekati" aparat penegak hukum agar perkara yang ditanganinya dapat dimenangkan dengan cara apa pun. Advokat yang seharusnya berperan secara
konsisten menjembatani kepentingan masyarakat dalam sistem peradilan , justru turut terlibat dan menjadi bagian dari mafia peradilan dan judicial corruption. Keadaan tersebut didukung pula oleh iklim budaya hukum masyarakat Indonesia dimana mereka lebih menghendaki agar perkaranya dapat dimenangkan dengan cara apa pun tanpa mempedulikan nilai keadilan dan kebenaran yang terkandung di dalamnya. Celakanya, budaya ini telah tertanam dalam kehidupan masyarakat Indonesia berpuluhpuluh tahun lamanya. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa pers (wartawan) dan media massa secara tidak langsung turut berperan bagi terciptanya keadaan tersebut di atas. Wartawan lebih cenderung untuk memuat beritaberita yang menonjolkan para advokat yang terlibat dalam mafia peradilan dm judicial corruption sehingga akibatnya masyarakat lebih mengenal para advokat yang melakukan praktek-praktek curang dan koruptif tersebut ketimbang para advokat yang tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai keadilan dan kebenaran.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002
61
Winarta : Peran Advokat dan Masyarakat dalam Melakukan Pengawasan Peradilan
Demikianlah gambaran secara umum sejarah dan modus operandi yang sering dilakukan oleh para mafia peradilan di lembaga peradilan. Kiranya hal tersebut di atas dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua untuk mengetahui dan memberantas segala trik-trik dan modus operandi yang sering dilakukan oleh para mafia peradilan agar anda sebagai generasi muda harapan bangsa tidak ikut terlibat dalam praktek-praktek koruptif sebagaimana diuraikan tersebut di atas.
62
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.2, November 2002