INSIGHT
Ayang Utriza, DEA., Ph.D:
Menguak Fakta Baru Sejarah Peradilan Islam di Indonesia
Sekitar medio Juli 2014, tim redaksi Majalah Peradilan Agama bertandang ke kampus Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Maksudnya untuk mewawancari Dekan FSH yang pada waktu itu masih dijabat oleh Dr. J.M. Muslimin. Di area parkiran, tim redaksi bertemu dengan Prof. Mark Cammack, guru besar Southwestern Law School, Los Angeles, California, Amerika Serikat. Prof. Mark ini dikenal sebagai pemerhati hukum Islam dan peradilan agama di Indonesia. Ia banyak meneliti dokumen-dokumen putusan pengadilan agama tempo dulu. Karena sudah saling mengenal dan bahkan akrab satu sama lain, tim redaksi pun kemudian ngobrol tentang berbagai hal dengan professor nyentrik yang selalu mengikat rambut panjangnya ini. Sampai kemudian percakapan menyentuh tentang kajian p e ra d i l a n a g a m a b e rd a s a r k a n
98
dokumen masa lalu. Dengan sangat antusias Prof. Cammack menyinggung tentang adanya kajian baru atas manuscript peradilan agama dari zaman Kesultanan Banten. Yang mengkaji adalah Doktor lulusan Perancis asal Indonesia, namanya Ayang Utriza. Hasil kajiannya bagus sekali, kata Prof. Cammack waktu itu. Kemudian sekitar akhir Februari 2016, tim redaksi membaca artikel tulisan tokoh yang dibicarakan Prof. Cammack tersebut di Jurnal Studia Islamika Vol. 22, Number 3, 2015. Judulnya, “The Register of the Qadi Court Kiyahi Peqih Najmuddin of the Sultanate of Banten, 1754-1756 CE.” Tulisan setebal 35 halaman itu merupakan intisari hasil riset Dr. Ayang Utriza di University of Oxford, Inggris dan Harvard University, Amerika dalam kurun waktu 20122 0 1 3 . Aya n g U t r i z a s e n d i r i menyelesaikan S2 dan S3 di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris, masing-masing pada tahun 2005 dan 2013. Hasil penelitian Ayang Utriza atas Arsip Kadi Kesultanan Banten abad ke18 itu mengungkapkan banyak fakta dan sejarah yang belum banyak diketahui tentang qadi yang merupakan cikal bakal peradilan agama di Indonesia. Misalnya tentang jenis perkara yang menjadi kompetensi absolut qadi, tempat pelaksanaan sidang, hukum acara dan materil yang digunakan, dan lain sebagainya. Kajian Doktor Sejarah Hukum Islam dan Hukum Adat yang juga alumni UIN Jakarta ini merupakan kajian yang diambil dari sumber primer referensi tertua yang berasal dari Indonesia. Seperti diakui Ayang
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
Utriza, catatan pengadilan (sijill/buku register perkara) yang diterima dari C. Snouck Hurgronje dan tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda ini merupakan dokumen tertua di Asia Tenggara. Hal ini terkonfirmasi dengan kenyataan bahwa pada umumnya, bahan kajian sejarah hukum dan peradilan agama di Indonesia diambil dari sumbersumber pada abad ke-19 atau ke-20. Dr. Ayang Utriza yang mahir berbahasa Inggris, Arab, Perancis dan jago membaca teks bahasa Belanda, Jerman, dan sedikit Persia ini di selasela kesibukannya berkenan menerima tim redaksi untuk dimintai tanggapannya tentang kajian-kajian yang menjadi concern-nya selama ini. Berikut adalah petikan wawancaranya: Fokus kajian disertasi Bapak menggunakan ilmu Sejarah dan Filologi. Bisa diceritakan kenapa tertarik di bidang tersebut? Jika mau jujur, sebenarnya saya masuk jurusan sejarah dan filologi itu merupakan “kecelakaan sejarah”. Saat saya di Kairo, saya ditawarkan masuk jurusan kajian naskah (ilm almakhtutat) di Universitas Liga Arab, tetapi saya menolak karena saya pikir ilmu pernaskahan itu ilmu “kurang keren.” Tetapi, justeru saat saya belajar di Prancis, malah saya masuk jurusan sejarah yang di dalamnya saya belajar filologi, epigrafi, arkeologi, bahkan belajar juga antropologi, etnologi, dan sosiologi. Di kampus saya di EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales) adalah kampus ilmu-ilmu sosial dan kemanusian yang menggunakan pendekatan
INSIGHT
interdisiplin. Jadi, kita belajar semua disiplin ilmu sosial dan kemanusiaan dengan sejarah sebagai pendekatan utama. Ini adalah mazhab Fernand Braudel dengan l'histoire totale (sejarah menyeluruh). Saat belajar Sejarah di S-2 dan belajar Filologi saat S-3, saya juga belajar hukum Islam. Jadi, selama belajar 7 tahun di Prancis, saya tetap kuliah hukum Islam di EHESS itu juga, tepatnya di lembaga yang bernama IISMM (Institut d'etudes de l'Islam et des societes du monde musulman). Jadi, saya belajar sejarah, filologi, dan h u k u m I s l a m s e k a l i g u s . S aya bersyukur telah belajar Sejarah dan Filologi untuk memperkuat ilmu dasar saya, yaitu hukum Islam (fikih/syariah). Hal ini memperkaya cara pandang saya dalam melihat hukum Islam. Mengapa Bapak memilih mengkaji sejarah hukum Kesultanan Banten abad ke-17 dan ke-18? Mengapa tidak memilih sejarah hukum Kesultanan lainnya? Saat menulis tesis master tentang sejarah hukum Islam di Asia Tenggara abad ke-14 sampai abad ke-17, saya telah mempelajari historiografi Indonesia dan Asia Tenggara dengan membaca hampir 500 buku dan artikel, dan saya temukan sedikit bahan untuk menulis tema tersebut. Dari sana, saya hanya dapat menulis tentang kesultanan Samudera-Pasai, Terengganu, Kesultanan Melaka, dan Kesultanan Aceh. Adapun kesultanan yang lain hampir tidak ada bahan untuk menuliskannya dan kalaupun ada, itu hanya serpihan-serpihan informasi. Namun, berkat informasi dari pembimbing saya: Prof. Claude Guillot, saya diberitahu bahwa ada satu kesultanan yang meninggalkan sumber penting tentang qadi, yaitu kesultanan Banten. Saya pun dikirim, saat S-2 pada 2004, ke Universitas Leiden untuk melacak naskah-naskah Banten itu dan ternyata benar adanya. Ini adalah sumber luar biasa yang
belum disentuh oleh para pengkaji hukum Islam. Setelah selesai S-2 pada Juni 2005, saya pun disarankan untuk melanjutkan S-3 dengan fokus kajian pada naskah-naskah Banten itu. Karena naskah itu cukup banyak dan s u l i t , m a k a p e m b i m b i n g s aya menyarankan membahas 1 naskah saja, yaitu Undhang-Undhang Banten (UUB). Subhanallah, kajian naskah atas UUB menjadi jalan akademik saya dan membuka jalan ke Universitas Oxford (2012) dan Universitas Harvard (2013) untuk melakukan penelitian hukum Islam dengan membahas naskah qadi Banten yang lain dan di sana status saya sebagai visiting fellow. Banyak peneliti hukum Islam di Eropa yang tertarik dengan catatan hukum qadi Banten dari abad ke-18 ini. Oiya, Bapak juga memperoleh penghargaan tertinggi (summa cum laude) untuk disertasinya. Kira-kira faktor apa yang membuat Bapak memperoleh predikat tersebut? Kuncinya apa? Saya butuh waktu 5 tahun untuk menulis disertasi tersebut. Saya pikir pencapaian itu berkat ketekunan, kerja-keras, dan kedisiplinan yang tinggi. Siapapun yang pernah menulis
disertasi doktor di luar negeri akan menyetujui pendapat saya. Hasil yang diraih adalah perjalanan panjang keilmuan. Saya menulis sesuatu yang kecil, tetapi sangat dalam dan teliti, dan yang paling penting memberikan sumbangsih keilmuan pada bidang kajian dan tema kajian kita. Saya tentu sangat puas dari kerjakeras saya dan itu diganjar dengan penghargaan tersebut. Kuncinya tidak lain adalah ketekunan dan kerja-keras yang tak kenal lelah. Jadi secara garis besar, apa yang dapat diambil sebagai pelajaran bagi masyarakat Islam di Indonesia, khususnya Peradilan Agama, dari hasil penelitian Bapak seperti yang tertuang dalam disertasi Bapak? Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kajian disertasi saya, antara lain bahwa satu hukum itu sangat dipengaruhi oleh agama yang dianut oleh penguasa. Saat Jawa dikuasai oleh raja-raja beragama Hindu dan Budha, maka hukumnya pun dipengaruhi banyak oleh ajaran dan sistem agama tersebut, seperti kitab hukum Agama dari masa Majapahit atau Kutaramanawa Dharmasastra dan kitab hukum lainnya. Selanjutnya, saat islamisasi Jawa yang dimulai pada abad ke-15, maka hukum baru pun
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
99
INSIGHT
diperkenalkan, yaitu hukum Islam, dan lambat laun memengaruhi hukum setempat. Di sana mulai terjadi pengenalan hukum Islam, lalu campuran antara hukum adat yang berbau Hindu dan Budha (sebagai hukum lama) dengan hukum Islam (sebagai hukum baru). Saling memengaruhi dalam hukum terjadi begitu alamiah dan diterima dan disesuaikan dengan adat setempat. Dalam konteks Banten, misalnya, sudah ada kemajemukan hukum atau pluralisme hukum, yaitu hukum adat-Jawa, hukum Islam, dan hukum Eropa. Menurut hasil penelitian Bapak, sumber hukum di Banten berdasarkan UUB adalah hukum adat, hukum Islam, dan hukum Eropa. Apa benar demikian? Berdasarkan penelitian disertasi doktor saya terhadap satu naskah dari Banten yang tersimpan di Universitas Leiden, yaitu Undhang-Undhang Banten (UUB) dari abad ke-17 dan ke18, menunjukkan bahwa hukum di Banten bersumber dari tiga hukum: hukum adat, hukum Islam, dan hukum “Eropa”. Jelasnya, 80 persen isi dari UUB bersumber dari hukum adat, 15 persen, dan 5 persen dari hukum Eropa. Hukum adat berkait dengan seluruh aspek hukum (perdata, pidana, publik), sementara hukum Islam hanya menyangkut aspek hukum keluarga Islam (nikah, cerai, dan waris), adapun hukum Eropa terkait dengan hukum perjanjian antara Banten dengan Belanda. Apakah pluralisme sumber hukum yang sekarang berlaku di Indonesia mempunyai kaitan erat dengan pluralisme hukum pada masa lalu di Indonesia? Kemajemukan (pluralisme) hukum di Indonesia saat ini sesungguhnya adalah cermin dan warisan budaya hukum Nusantara pada masa lampau. Pluralisme hukum lahir dari rahim budaya masyarakat Nusantara dan
100
bukan gagasan yang diimpor dari luar Nusantara. Masyarakat Indonesia sejak dulu sudah terbiasa dengan ragam hukum yang berbeda untuk mengatur masyarakat yang beragam pula. Nah, penjajah Belanda sangat jeli, cerdik, dan pintar. Mereka tahu pluralisme hukum yang sudah ada di Nusantara dan mereka gunakan untuk kepentingan politik hukum mereka. Belanda memasukkan khazanah pluralisme hukum di tengah masyarakat kita ke dalam hukum positif Hindia-Belanda, yaitu di dalam Indische Staatregeling, semacam UUD Hindia-Belanda. Di dalam pasal 131 dan pasal 163 dinyatakan tiga hukum berlaku untuk tiga golongan, yaitu hukum adat bagi Bumiputera (pribumi Islam maupun Kristen), hukum Eropa bagi golongan Eropa (Belanda dan Jepang), dan hukum negara asal mereka bagi golongan Timur-Asing (Tionghoa, India, dan Arab). Bagaimana posisi hukum Islam dibandingkan dengan dua sumber hukum lainnya tersebut pada masa Kesultanan Banten? Bagaimana jika ada pertentangan antara ketiganya dalam persoalan yang sama? Sumber hukum apa yang didahulukan? Hukum Islam di Banten berlaku untuk soal-soal kekeluargaan, seperti nikah, cerai, rujuk, dan waris. Semua persoalan hukum keluarga diatur oleh hukum Islam. Adapun bidang hukum yang lain diatur oleh hukum Adat, sementara bidang hukum yang terkait dengan soal p o l i t i k d a n e ko n o m i diatur oleh Sultan. Menariknya semua aspek hukum di Banten diurus dan merupakan kewenangan Qadi (hakim agama) yang bergelar Kiyahi Peqih Najmuddin. Kompetensi absolut Qadi di Banten adalah semua bidang hukum, kecuali soal hukum tata-negara (peralihan kekuasaan)
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
merupakan wilayah kewenangan Sultan dan hukum ekonomi wilayah kewenangan Syahbandar. Hukum pidana, perdata, perjanjian, publik dan lainnya adalah wilayah kewenangan Qadi. Jadi, Pengadilan Qadi di Banten menerima semua kasus hukum yang terjadi di tengah masyarakat Banten. Pengadilan Qadi adalah satu-satunya pengadilan yang ada dan diakui di Kesultanan Banten. Jika terjadi pertentangan antara hukum Islam dan hukum adat, maka Qadi lebih memilih hukum adat. Kok bisa begitu? Mengapa hukum adat yang lebih dipilih? Pengadilan Qadi Kiyahi Peqih Najmuddin di Banten tidak membedakan antara kasus perdata, pidana, keluarga, dan lainnya. Hukum adat yang diambil dan dijadikan salah satu sumber hukum oleh Qadi adalah bentuk pengejawantahan dari salah satu konsep di dalam Usul Fikih (Filsafat Hukum Islam), yaitu al-'âdat al-muhakkamah yang berarti adat adalah sumber hukum sepanjang tidak bertentangan dengan Alquran dan Hadis. Walaupun ia berasal dari hukum adat, ia telah 'di-islam-kan' oleh Qadi dan diterima sebagai bagian dari hukum Islam. Qadi Banten menjadikan hukum adat sebagai sumber utama perundangan dan keputusan hukum, karena Qadi paham betul konsep hukum Islam dan mengerti adat-istiadat dan budaya setempat.
INSIGHT
Di dalam kinerja Qadi, ia m e n g e r t i ko n s e p i j t i h a d ya n g memberikan kebebasan qadi untuk melakukan penafsiran dan penelaahan hukum atas soal hukum yang dihadapinya. Karena Banten a d a l a h m a sya ra ka t J awa ya n g berasaskan budaya dan adat Jawa, maka qadi Banten mengambil budaya dan adat Jawa sebagai bagian dari ijtihad hukumnya. Di dalam filolosofi budaya jawa adalah istilah “rasa” (baca: roso), yaitu segala sesuatu harus dirasakan oleh hati jika hal itu sudah baik, benar, dan patut. Nah, qadi Banten juga didorong oleh filsafat budaya Jawa “roso” ini, sehingga setiap keputusan hukumnya telah sesuai dengan adat dan istiadat masyarakat Banten saat itu. Ini adahal yang luar biasa untuk masa itu. Para hakim di Pengadilan Agama di seluruh Indonesia atau bahkan semua hakim
Kedudukan Qadi di Kesultanan Banten merupakan kedudukan tertinggi, setelah Sultan dan Perdana Menteri. Tegasnya, Qadi adalah penanggung jawab tertinggi di dalam bidang hukum. Kalau di dalam sejarah hukum Islam, ia seperti Qâdi al-Qudât (Hakim Agung) di masa Khilafah Umayyah dan Khilafah Abbasiyyah. Qadi Kiyahi Peqih Najmuddin adalah Menteri Kehakiman, Hakim Agung, dan Kadi dan Hakim sekaligus. Kiyahi Peqih Najmuddin juga memiliki pegawai atau staf atau wakil dalam menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu: jaksa, paliwara, hakim, pangulu, dan lainnya. Qadi memiliki struktur hingga ke pedesaan di seluruh wilayah Kesultanan Banten. Pangulu adalah wakil Qadi yang tersebar di daerahdaerah yang jauh dari pusat kekuasaan Kesultanan Banten. Jadi, Qadi di masa Kesultanan
di semua pengadilan harus belajar dari Qadi Banten bahwa mengambil keputusan harus mempertimbangkan budaya dan adat setempat dan rasa kemanusiaan yang tinggi.
Banten dapat dikatakan sebagai bentuk dan contoh pengadilan agama modern yang administrasinya cukup maju pada masanya.
Baik. Selanjutnya, bagaimana kedudukan qadi (hakim agama) pada masa Kesultanan Banten?
Menurut Bapak, sejak kapan hakimhakim Peradilan Agama di Indonesia 'murni' menggunakan hukum Islam yang bersumber dari
kitab-kitab fiqh? Kalau yang dimaksud hukum Islam “murni” dalam arti hukum yang bersumber dan merujuk pada kitabkitab fikih, maka sudah sejak awal para hakim di peradilan agama di Indonesia merujuk pada kitab-kitab fikih. Kalau kita membaca putusan-putusan hakim agama di PA, sebelum adanya Kompilasi Hukum Islam Inpres RI no. 1 tahun 1991 atau bahkan sebelum adanya UU Perkawinan no. 1/1974, maka para hakim merujuk langsung pada kitab-kitab fikih, bahkan mengutipkan ibarat atau teks dari kitab-kitab tersebut disertai nama pengarang, nama kitab, juz dan halaman yang dikutip. Dengan demikian, kita dapat menilai pemahaman fikih dan kemampuan membaca kitab klasik para hakim agama dulu itu sangat baik. Setelah adanya KHI, para hakim merujuk pada KHI 1991 dan UU no. 1/1974 dan peraturan perundangan lainnya. Para hakim menjauh dari tradisi fikih klasik. Di satu sisi ini bagus, karena tidak semua persoalan yang terjadi pada masa kini dapat dijumpai atau dikiyaskan dengan apa yang sudah dibahas oleh para fukaha di dalam kitab-kitab fikih tersebut. Di sisi lain, keunikan para hakim agama yang dulu biasanya merujuk pada kitab klasik itu tidak ada lagi. Semua sudah ada di perundang-undangan. Jadi, UU Perkawinan no. 1/1974 dan KHI yang pada awalnya dianggap s e b a ga i p e n g e j awa n t a h a n d a n turunan dari hukum Islam, maka proses yang terus terjadi sekarang telah menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif seperti hukum lainnya. Apakah Bapak mengikuti perkembangan Peradilan Agama di Indonesia? Bagaimana pandangan pribadi Bapak mengenai Peradilan Agama dahulu dan kini? Saya mengikuti perkembangan Peradilan Agama sejak saya menjadi mahasiswa di IAIN Ciputat. Saya
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
101
INSIGHT
menilai bahwa Peradilan Agama dulu, seperti pada Qadi Kiyahi Peqih Najmuddin di Kesultanan Banten memiliki wewenang yang lebih luas. Semua aspek hukum masuk ke dalam kompetensi absolut Pengadilan Qadi. Hal ini dapat dipahami, karena bentuk 'negara' Banten saat itu adalah ke s u l t a n a n . D a l a m p a n d a n ga n pemikiran politik Islam klasik, kesultanan salah satu corak dari sistem pemerintahan Islam. Jadi, cukup wajar jika wewenang Pengadilan Qadi di Banten saat itu sangat luas. Keadaan ini berbalik setelah Indonesia merdeka, pengadilan agama hanya salah satu dari 4 peradilan yang diakui. Lebih sedih lagi, nasib Pengadilan Qadi yang ada di seluruh HindiaBelanda saat penjajahan. Peradilan Kadi dan Mahkamah Agama semasa penjajahan “ditundukkan dan direndahkan” oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi pengadilan kelas dua, bahkan kelas tiga. Politik hukum Belanda ini terus berjalan hingga kemerdekaan Indonesia. Bahkan, setelah merdeka pun keputusan pengadilan agama harus mendapatkan kekuatan hukum dari pengadilan negeri. Ini tragis sekali! Baru 30 tahun belakangan ini, Peradilan Agama bisa menunjukkan marwahnya setelah keluar UU Peradilan Agama no. 7 tahun 1989. Untuk terus meningkat kewibawaan PA, maka para hakim dan semua jajaran harus bekerja keras untuk m e n g e m b a l i k a n ke j aya a n d a n kemuliaan peradilan agama seperti pada masa kesultanan di Nusantara dulu. Apakah Bapak sering mengkaji putusan-putusan hakim Peradilan Agama? Menurut Bapak, bagaimana kualitas putusan-putusan tersebut? S aya s u d a h m e m b a c a d a n mempelajari ratusan hukum keputusan hakim agama dan saya menilai keputusan-keputusannya cukup ringkas, sederhana, dan mudah
102
dipahami. Kritik pedas bagi hakim agama di Pengadilan Agama dari para hakim di pengadilan lainnya dan para pengamat hukum adalah bahwa keputusan para hakim agama belum menunjukkan kemampuan maksimal dalam memberikan alasan/argumentasi hukum dalam keputusan hukum yang dibuat. Selain mengutip perundangan di Indonesia yang berlaku, menurut saya para hakim agama seyogyanya juga tetap merujuk pada Alquran, Hadis, dan kitab-kitab fikih klasik dari 4 mazhab dan harus merujuk pada buku, artikel, bahkan hukum internasional untuk memperkuat hujjah hukum di dalam keputusan, sehingga argumentasinya kaya dan ilmiah. Saya ingin sekali bekerjasama dengan Badilag untuk melakukan pelatihan para hakim agama yang masih muda dalam peningkatan kemampuan argumentasi hukum di dalam keputusan, terutama dengan melakukan kunjungan dan pelatihan ke berbagai negara-negara muslim di Afrika Utara dan Timur-Tengah. Menurut Bapak, apa yang harus dilakukan Peradilan Agama terkait pengembangan hukum Islam di Indonesia? Peradilan Agama harus dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan para hakim di dalam pengambilan keputusan dengan
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
memperkaya keputusan dengan rujukan-rujukan buku, artikel, dan perbandingan keputusan dengan pengadilan lain dari negara-negara muslim. Dengan demikian, PA dapat dikatakan mengembangkan hukum Islam dalam aspek peradilan. PA t i d a k m e l u l u h a n y a menerapkan dan merujuk kepada keputusan Mahkamah Konstitusi, misalnya, dalam kasus “asal-usul anak” yang merujuk pada kasus Machicha Mukhtar. Para hakim di PA harus mampu juga memberikan alasan hukum yang diambil dari khazanah fikih klasik dan kontemporer dan juga dari konsepkonsep Usul Fikih, seperti Maqashid al-Syariah dari Imam Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi. Harus tetap mengambil dari kekayaan khazanah dan metodologi Usul Fikih. Jika para hakim di PA dapat melakukan itu, dapatlah dikatakan PA telah memberikan sumbangsih bagi pengembangan hukum Islam karena sudah memperkaya dan memberikan pijakan ilmiah dan yudisial sekaligus. Saran & masukan Bapak untuk h a k i m p e n g a d i l a n agama/mahkamah syar'iyah di Indonesia? Saya menyarankan para hakim di pengadilan agama/mahkamah syar'iyyah di seluruh Indonesia untuk terus belajar, baik belajar secara formal hingga jenjang doktor maupun belajar secara non-formal baik melalui pelatihan resmi dan kunjungan, maupun belajar sendiri dengan jalan membaca. Belajar terus adalah sangat penting bagi hakim supaya para hakim tidak mandek dalam memberikan penalaran hukum dalam keputusan mereka. Dengan terus belajar, maka para hakim tidak hanya menjadi “alat dan mesin” pengadilan agama, tetapi menjadi “pengembang dan penemu” hukum Islam melalui lembaga PA. |Achmad Cholil, Mahrus, Rahmat Arijaya|
INSIGHT
Ayang Utriza, DEA., Ph.D:
Kecewa di Kairo, Lulus Summa Cum Laude di Paris Setelah menggondol ijazah sarjana dari fakultas syariah UIN Jakarta pada tahun 2001, Ayang Utriza Yakin langsung bertolak ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan S2 di Universitas Al-Azhar. Tapi hanya bertahan setahun. Ia mengaku kecewa karena tidak menemukan sistem pembelajaran yang ia bayangkan seperti di Eropa dan Amerika. Merasa tidak puas dengan gaya belajar yang kurang membuka dialog dan pemikiran kritis, Riza, sebutan lain dari Ayang, mulai membangun mimpi kuliah di Eropa. Negara Perancis pun ia lingkari di peta dunia yang ia tempelkan di dinding kamarnya. Tekadnya sudah bulat, harus kuliah di Paris. Alasannya, karena banyak cendekiawan muslim yang alumni Perancis. Kemampuan bahasa Arab dan Inggris pun makin ia tingkatkan. Tidak hanya itu, Ayang juga mengikuti banyak tarekat di Mesir sambil menimba doa dari para ulama Mesir agar hasratnya kuliah di Eropa bisa terkabul. Akhirnya, setelah melalui jalanan terjal dan berliku, mimpinya untuk kuliah di negeri menara Eiffel terwujud. Dengan mengantongi beasiswa dari Pemerintah Perancis ia meraih gelar Master (DEA) 2003-2005. Sedangkan gelar Doktor (Ph.D) diselesaikan atas bantuan beasiswa dari perusahaan minyak dan gas Perancis TOTAL E&P, 2008-2013. Keduanya didapatkan dari kampus Ecole des Hautes Etudes en Sciences S o c i a l e s ( E H E S S ) Pa r i s . G e l a r Doktornya diraih dengan predikat penghargaan tertinggi (with highest honor), summa cum laude.
Kini, tidak mudah menemui sosok kelahiran Jakarta, 1 Juni 1978 ini. Jadwalnya begitu pada setiap hari. Selain mengajar di FSH dan Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, Ayang juga menjabat Wakil Ketua LTM-PBNU 2015-2020, Direktur Indonesian Sharia Watch, Direktur Yayasan ArRaudhah, Managing Editor Jurnal Studia Islamika PPIM UIN Jakarta, SMRC Fellow di PPIM UIN Jakarta, Associate Editor pada Directory of Open Access Journal (DOAJ-Universita Lund, Swedia), Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Banten, Dewan Editor di berbagai jurnal, yaitu Jurnal Ijtihad (IAIN Salatiga), Jurnal Ulumuna (IAIN Mataram), Jurnal At-Tahrir (STAIN Ponorogo), Jurnal Madania (IAIN Bengkulu), Jurnal Ar-Raniry (UIN Banda Aceh), dan Jurnal Heritage (Puslitbang Lektur-Kemenag RI). Ayang juga produktif menulis. Buah pemikirannya baik yang berbentuk essay, journal article, hasil penelitian dan buku tersebar di berbagai media. Tidak hanya dalam edisi bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa Arab, Inggris dan Perancis. Tahun 2015 lalu ia meneliti putusan salah satu PA di Jadebotabek tentang kasus perceraian karena murtad. Hasil penelitiannya ia tulis dalam publikasi yang berjudul “The Judicial Practice in Indonesian Religious Courts in the Field of Divorce: the Case of Fasakh for the Ground of Apostasy”. Dari penelitian itu ia temukan fakta bahwa ternyata hakim memiliki cara kerjanya sendiri. Berbeda antara law in the book dengan law in action.
Ia berpendapat, hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan dan adat masyarakat setempat, tetapi hakim juga harus mendukung peraturan (la bouche de la loi). |Achmad Cholil|
Ia berpendapat, hakim harus mempertimbangkan rasa keadilan dan adat masyarakat setempat, tetapi hakim juga harus mendukung peraturan (la bouche de la loi).
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 9 | Juni 2016
103