1
MELACAK SEJARAH GENEALOGI RADIKALISME ISLAM DI INDONESIA Muhammad Rais
Abstract: This paper discusses the genealogy of Islamic radicalism in Indonesia. By reviewing the literature and text analysis, tracking the movements starting from the emergence of DI/TII/NI Kartosuwiryo some time after independence. The emergence of this movement occurs sporadically from one place to another. although stems from dissatisfaction with the system of government, this movement moves into a movement that spread commitment and berbenih today. Various motions were polarized into a political movement, a religious jihad movement, and so on, which is indicative of the movement originated genealogisnya SM Kartosuwiryo in post-independence Indonesia West Java, then extended in some areas, such as in South Sulawesi, Kalimantan, Sumatra and Aceh. All these movements prove radicalism keagaman which he believed, although there berabagai political interests and dissatisfaction against the system of government established. Key Words: Radicalism, Islamic State of Political Islam.
Pendahuluan Seiring pemberitaan media cetak dan elektronik, bahwa beberapa warga negara Indonesia telah bergabung dengan ISIS, dan beberapa diantaranya telah tertangkap di Turki dan di Indonesia sendiri, semakin meneguhkan kenyataan bahwa Indonesia masih berpotensi besar terhadap berkembangbiaknya ideologi radikal dan militan. Bahkan sebelum pemberitaan ini merebak, gejolak ideologi radikal dan militan ini telah menampakkan wajahnya di Indonesia dengan berbagai aksi dan gerakan yang membuat mata dunia tertuju kepada Indonesia. Taruhlah contoh kasus bom Bali dan Hotel Marriot Jakarta, atau penangkapan teroris yang diwarnai dengan proses baku tembak dan saling menyerang di beberapa titik. Merebaknya aksi teror dan gerakan tersebut tidak terlepas dari sebuah pemahaman keagamaan yang sangat radikal dan militan, baik secara personal maupun instititusi dan melembaga. Jadi, gerakan radikalisme memang tidak lepas dari akar persoalan politik, agama, ekonomi, dan aspek lain yang mendorong terciptanya tindakan kekerasan semakin subur di tengah kompleksitas persoalan bangsa. Isu sentral yang berkembang adalah munculnya gerakan Islam yang menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam memperjuangkan cita-cita mendirikan “negara Islam”. Bahkan penggerebekan sekelompok teroris di Ciputat, Banten, baru-baru ini, menunjukkan adanya gerakan Dosen
tetap STAIN Sorong, Papua Barat. Email:
[email protected].
“radikalisme agama” yang menjadi sebuah kekuatan laten, muncul tiba-tiba dan berbahaya bagi keamanan masyarakat sekitar. Kekerasan atas nama agama mengakibatkan situasi ketika agama kini sedang mengalami kecaman bertubi-tubi, dan pengujian sejarah secara kritis oleh banyak kalangan, terutama dunia Barat. Sebenarnya, fenomena radikalisme sudah sangat lama terjadi, dan ancaman terorisme semakin merajalela. Bahkan, radikalisme sering dijadikan alat ampuh untuk memenuhi keinginan beberapa individu atau kelompok terhadap masalah yang begitu kompleks.1 Berdasarkan kenyataan itulah, maka radikalisme yang terjadi saat ini, sebenarnya memiliki akar sejarah yang sangat panjang di Negara Indonesia, bahkan di Nusantara sebelum terbentuknya Negara Indonesia ini. Dengan demikian, ditulisnya penelitian ini diharapkan memperoleh gambaran secara mendalam tentang sejarah dan perkembangan awal munculnya gerakan radikalisme dan militansi di Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca kemerdekaan, tanpa menafikan riak-riak bahkan fenomena yang terjadi sesungguhnya sebelum Indonesia terbentuk.2 Oleh sebab itu, maka tulisan ini lebih spesifik melihat genealogi radikalisme Islam di Indonesia sesaat terbentuknya Negara kesatuan Republik Indonesia ini, sehingga kajian ini menemukan signifikansinya. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang fokus penelitiannya menggunakan data dan informasi dengan bantuan berbagai macam material yang terdapat di ruang perpustakaan, seperti: buku-buku, majalah, naskah-naskah, catatan, kisah sejarah, dokumen-dokumen, dan lain-lain.3 Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang dapat menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau kuasa verbal dari orang-orang dan perilaku yang menjadi objek penelitian.4 Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka dalam mengumpulkan data, penulis membagi sumber data menjadi dua bagian: Sumber data primer, yaitu tentang sejarah radikalisme di Indonesia, dan sumber data sekunder, mencakup referensi lainnya tentang pengertian dan karakteristik/tipologi radikalisme sebagai bahan pijakan dan tolak ukur dalam menganalisis sejarah radikalisme di Indonesia. Selanjutnya, pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis, yaitu model penelitian yang berupaya mendeskripsikan, mencatat, menganalisa dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang ada.5 Dalam hal ini, 1http://www.sinarharapan.co/news/read/30592/genealogi-radikalisme-agama 2Salam
satu kajian mendalam tentang genealogi radikalisme Islam sebelum Negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk adalah tulisan Abd A’la tentang Genealogi Radikalisme Muslim Nusantara dengan melihat fenomena yang terjadi di Minangkabau, dari pemikiran Kaum Padri. Untuk lebih jelasnya lihat Abd A’la, ”Genealogi Radikalisme Muslim Nusantara: Akar dan Karakteristik Pemikiran dan Gerakan Kaum Padri dalam Perspektif Hubungan Agama dan Politik Kekuasaan,” Pidato Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah Pemikiran Politik Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008). 3Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, (Cet. 7; Bandung: Mandar Maju,1996), h. 33. 4Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Cet. 11; Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), h. 3. 5Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), h. 26.
2
penulis akan berusaha mendeskripsikan secara sistematis sejarah radikalisme di Indonesia. Kemudian penulis akan mencoba menganalisanya, baik dalam kerangka teoritis atau dalam dimensi praksis. Sebagai alat untuk menganalisis (tool of analysis) data, penulis memakai hermeneutika sosial kritis. Ini dimaksudkan untuk menganalisa secara jernih rangakaian sejarah radikalisme di Indonesia. Analisa ini berupaya menembus apa yang ada di balik fungsi permukaan, sehingga akan tersingkap perannya sebagai instrumeninstrumen politik, dominasi dan manipulasi sosial. Pada akhirnya alat semacam kritik 6 akan sangat membantu untuk mengetahui lebih detail kepentingan-kepentingan yang ada di balik sejarah tersebut. Radikalisme: Sebuah Pemahaman Awal Radikal dalam kamus bahasa Indonesia berarti perubahan mendasar. Secara istilah, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan pembaharuan tatanan sosial politik secara mendasar dengan berbagai cara termasuk kekerasan. Senada dengan defenisi tersebut, kamus Ilmiah Populer menerangkan bahwa “radikalisme” ialah faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan.7 Dalam perkembangannya, radikalisme tidak melulu berarti perombakan besar-besaran dan menggunakan cara kekerasan, tetapi sebagai gerakan mengubah ideologi atau sistem nilai dari tatanan yang ada sekarang menjadi ideologi yang baru atau mengembalikan ideologi yang pernah dijalankan di masa lalu berdasarkan pemahaman agama tertentu.8 Istilah radikalisme ini juga identik dengan fundamentalisme, yang di kalangan Barat mulai populer dengan terjadinya revolusi Iran pada tahun 1979, yang memunculkan kekuatan muslim Syi'ah radikal dan fanatik yang siap mati melawan the great satan, Amerika Serikat. Meski istilah fundamentalisme Islam baru populer setelah peristiwa historik ini, namun dengan mempertimbangkan beberapa prinsip dasar dan karakteristik, maka fundamentalisme telah muncul jauh sebelumnya, sebagai sebuah kebangkitan Islam yang muncul dalam berbagai bentuk intensifikasi penghayatan dan pengamalan Islam yang diikuti dengan pencarian dan penegasan kembali nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan.9 Fundamentalisme dalam bingkai Islam adalah sebagai suatu keyakinan kepada alQur'an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif yang mengandung norma-norma politik ekonomi, sosial kebudayaan untuk menciptakan masyarakat yang baru. 10 Mengutip pendapat Musa Kaelani, Yusril mendefinisikan fundamentalisme sebagai 6Istilah
kritik dalam hal ini mencoba menguji sahih tidaknya klaim-klaim pengetahuan tanpa prasangka dengan menggunakan rasio. Lihat Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 48. 7Pius A. Partanto dan M, Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994). 8Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995). 9A. Rafiq Zainul Mun’im, “Fundamentalisme Islam dan Perkembangannya di Dunia Sunni dan Syiah,” dalam Academia Jurnal Pemikiran, Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 1, No. 2 (September 2006), h. 78. lihat juga Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 107-109. 10Jan Hjarpe, Politik Islam (Stockholm: Skeab Forlag, 1983), h. 42.
3
gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada "prinsipprinsip Islam yang fundamental", kembali kepada kemurnian etika dengan cara mengintegrasikannya secara positif dengan doktrin agama, kembali kepada keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, dengan masyarakat, dan manusia dengan kepribadiannya sendiri.11 Dalam hal ini, Binder mengemukakan pengertian yang hampir sama tetapi menambahkan unsur "romantisme ke zaman lampau". Menurut Leonard Binder, sebagai "aliran keagamaan", fundamentalisme adalah aliran yang bercorak romantis kepada Islam periode awal. Mereka berkeyakinan bahwa doktrin Islam adalah lengkap, sempurna dan mencakup segala macam persoalan. Hukum Tuhan diyakini telah mengatur seluruh alam semesta tanpa ada masalah-masalah yang luput dari perhatiannya.12 Berbeda dengan beberapa definisi di atas, Hassan Hanafi menilai beberapa fundamentalisme Islam bukanlah ortodoksi, romantisme sejarah masa lalu, ataupun sikap apriori terhadap modernitas. Ia bukanlah ekstremisme atau eksklusifisme dan bukan pula gerakan bawah tanah. Dan juga ia bukan gerakan yang menyerukan pada pendirian negara Islam atau aplikasi syariat Islam. Sebaliknya, fundamentalisme Islam adalah gerakan pembebasan dari kaki tangan penjajah yang telah lahir sepanjang sejarah Islam dengan latar historis, sosiologis, psikologis, dan pemikiran tersendiri.13 Jadi, berdasarkan beberapa definisi dan pengertian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat lebih dipertegas lagi bahwa radikalisme Islam tidak ubahnya dengan fundamentalisme Islam, sebagai sebuah kebangkitan Islam yang mengajak kembali pada prinsip-prinsip Islam yang fundamental dengan melakukan romantisme ke masa lampau dan melakukan penolakan terhadap segala hal yang baru. Namun istilah radikalisme untuk menyebut kelompok garis keras dipandang lebih tepat ketimbang fundamentalisme, karena fundamentalisme sendiri memiliki makna yang interpretable dibanding istilah radikalisme itu sendiri. Radikalisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang dirugikan oleh fenomena sosio-politik dan sosio-historis. Gejala praktik kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam itu, secara historissosiologis, lebih tepat sebagai gejala sosial politik ketimbang gejala keagamaan meskipun dengan mengibarkan panji-panji keagamaan. Fenomena radikalisme yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat Islam, oleh pers Barat dibesar-besarkan, sehingga menjadi wacana internasional dan terciptalah opini publik bahwa Islam itu mengerikan dan penuh dengan kekerasan. Akibatnya tidak jarang image-image negatif banyak dialamatkan kepada Islam sehingga umat Islam terpojokkan sebagai umat perlu dicurigai. Hal yang demikian terjadi karena masyarakat Barat mampu menguasai pers yang dijadikan instrumen yang kuat guna memroyeksikan kultur dominan dari peradaban global. Apa yang ditangkap masyarakat dunia adalah apa yang 11Yusril
Ihza Mahendra, Modenisme dan Fundamentalisme dalam politik Islam, terj. Mun'im A. Sirry (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 16-17. 12Leonard Binder, Religion and Politic in Pakistan (Berkeley and Los Angeles: The universioty of California Press, 1961), h. 71. 13Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As'ad Irsyadi dan Mufliha Wijayati (Yogyakarta: Islamika, 2003), h. 107-111.
4
didefinisikan dalam media-media Barat. Label Islam untuk menyebut gerakan fundamentalis sangat menyenangkan bagi pers Barat ketimbang label Tamil di Srilangka, militan Hindu di India, IRA (kelompok bersenjata Irlandia Utara), militan Yahudi sayap kanan, sekte kebatinan di Jepang atau bahkan musuh lamanya, komunis-marxis yang tidak jarang menggunakan jalan kekerasan sebagai solusi penyelesaian masalah. Karena terlalu mengkaitkan kata-kata radikalisme, fundamentalis, atau gerakan militan dengan Islam, seringkali media Barat mengabaikan perkembangan praktik kekerasan yang ditopang keyakinan keagamaan yang dilakukan oleh kalangan non-Islam atau pun yang ditopang oleh ideologi “kiri.” Contoh yang sangat jelas adalah aksi tutup mulut para elit politik Barat atau aksi bicara dalam kepura-puraan ketika melihat praktik kekerasan yang dilakukan oleh ekstrimis Yahudi atau pun serdadu Israel atas orang-orang Arab Palestina. Apa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pelaku kekerasan ini secara faktual sama dengan apa yang dilakukan oleh kelompok pelaku garis keras “radikalisme Islam.” Tetapi sebutan radikalisme lebih kental ditujukan kepada gerakan Islam. Hal inilah yang ditolak oleh gerakan negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam) dalam pertemuannya di Kuala Lumpur Malaysia tanggal 1–3 April 2002.14 Realitas historis-sosiologis tersebut merupakan bukti betapa Barat menggunakan standar ganda dan bersikap tidak adil terhadap Islam. Ketika masjid dan Mullah dilihat sebagai simbol radikalisme atau ketika gejala-gejala kultural Muslim diproyeksikan sebagai bentuk fanatisme dan ekstrimisme, terjadilah pengekangan dan pemenjaraan peradaban Islam. Masyarakat Barat telah memberikan klaim peradaban atas Islam, sementara proses peradaban Islam sedang membentuk jati dirinya. Hal yang demikian tidak berarti pembenaran perilaku radikalisme yang dilakukan umat Islam, karena apapun alasannya praktik kekerasan merupakan pelanggaran norma keagamaan sekaligus pelecehan kemanusiaan. Dengan demikian, jelas bahwa label radikalisme yang dialamatkan oleh Barat kepada Islam merupakan pelecahan agama karena di dalam Islam tidak ada perintah menuju kekerasan. Istilah salah kaprah itu sesungguhnya tidak perlu terjadi jika Barat mau mengkaji Islam secara objektif bahwa Islam normatif terkadang tidak diimplementasikan oleh sekelompok Muslim dalam konteks historis-sosiologis. Islam berbeda dengan perilaku Muslim, artinya kebrutalan (radikalisme) yang dilakukan oleh sekelompok Muslim tidak dapat dijadikan alasan untuk menjadikan Islam sebagai biang keladi radikalisme. Sebaliknya, kelompok-sekolompok kecil umat Islam yang fanatik dan mengarah kepada benturan dan kekerasan juga menjadi bahaya besar bagi masa depan peradaban manusia. Gerakan radikalisme yang dilakukan oleh sekelompok orang, termasuk Muslim, merupakan kanker rohani yang kronis yang mengancam manusia dan kemanusiaan. Di luar itu semua, praktik-praktik arogansi Barat dan hegemoninya atas dunia Islam harus juga disadari sebagai faktor yang dapat menimbulkan reaksi dalam bentuk radikalisme anti-Barat yang dilakukan oleh sebagian komunitas Muslim.15 14Sun Choirol Ummah, “Akar Radikalisme Islam di Indonesia,” Humanika (No. 12/September 2012), h. 115. 15Ibid., h. 116.
5
Setidaknya terdapat beberapa karakteristik yang dapat diidentifikasi mengapa sebuah kelompok layak disebut sebagai “Islam Radikal.” Pertama, mereka masih sering menunjukkan mentalilatas “perang salib.” Dalam konteks sekarang, hegemoni dunia barat, khususnya Amerika Serikat terhadap bangsa-bangsa lain sering dianggap sebagai salah satu bentuk “penjajahan baru” (neocolonialism). Sementara itu, ide-ide mengenai adanya konspirasi dunia barat, termasuk didalamnya gerakan zionisme Yahudi yang menentang Islam dan dunia Islam tetap berkembang dalam kelompok ini. Kedua, penegakan hukum Islam yang juga kerap diupayakan dengan keras oleh kalangan “revivalis” dan “fundamentalis” muslim tidak lagi dianggap sebagai sebuah jalan alternatif, melainkan sudah menjadi suatu keharusan. Dengan kata lain, tidak ada lagi jalan yang sah didalam membentuk sebuah komunitas muslim yang benar-benar tunduk kepada Tuhan, melainkan dengan jalan menjadikan Islam sebagai landasan bagi segalanya, termasuk didalamnya kehidupan agama, sosial, dan politik. Ketiga, terdapat sebuah kecenderungan untuk melakukan perlawanan terhadap pamerintah, berikut sistem-sistemnya yang mapan tapi dianggap tidak ‘’sah’’, khususnya karena kurangnya perhatian terhadap masalah ‘’penyakit sosial’’ masyarakat yang mereka identifikasi sebagai ‘’maksiat’’ dan ‘’kemungkaran’’. Karena itu, sebagian di antara kelompok ini tidak lagi mempercayai lembaga-lembaga hukum pemerintah guna menalunggangi dan memerangi penyakit sosial itu sendiri dan tentu saja dengan cara-cara mereka sendiri tanpa mengindahkan ruang publik (public sphere) yang menjadi milik masyarakat luas. Keempat, semangat untuk menegakkan agama sebagai lambang supremasi kebenaran ajaran Tuhan di dunia dengan jalan ‘’jihad’’ dengan sendirinya mendapat tempat yang sangat terhormat. Bahkan melakukan ‘’jihad’’ dengan segenap aspeknya melawan kebatilan, kemungkaran dan musuh yang membenci ’’Islam’’ yang mereka yakini merupakan tugas keagamaan yang suci. Bahkan terdapat kesan yang kuat bahwa jihad lebih dimaknai sebagai sebuah usaha fisik untuk memerangi musuhmusuh Islam. Kelima, dengan pengalaman menyaksikan hubungan antara Islam dan Yahudi dalam persengkataan antara kelompok Muslim dan Yahudi di kawasan Palestina yang kian hari semakin memburuk, dan masalah pertentangan dan pertikaian antara Islam dan Kristen yang masih kuat di beberapa kawasan, termasuk Indonesia, serta isu klasik kristenisasi, hubungan antara Islam dan Kristen ini secara signifikan mempengaruhi persepsi kelompok-kelompok Islam radikal. Dalam konteks ini, kaum Yahudi dan Kristen tidak lagi layak dianggap sebagai kelompok yang di dalam alQur’an disebut sebagai Ahli Kitab, melainkan sudah jatuh sebagai kaum kafir karena sejarah kedua agama tersebut identik dengan kolonialisme Barat dan Zionisme. Kedua pemeluk agama ini secara umum dianggap sebagai memiliki kesatuan tujuan dalam melakukan konspirasi melawan Islam dan Dunia Islam.16
16Jamhari dan Jajang Jahroni (Penyunting), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 6-8
6
Radikalisme di Indonesia: Pasang Surut Pemahaman Keagamaan Radikalisme atau fundamentalisme tidaklah muncul dari ruang hampa. Dalam teori sosial, radikalisme adalah sebuah gerakan yang terkait atau disebabkan oleh fakta lain. Dalam pandangan kaum fakta sosial bahwa ada tiga asumsi yang mendasari keseluruhan cara berpikirnya, yaitu terdapat keajegan atau terdapat keteraturan sosial (social order), terdapat perubahan sekali waktu dan tidak ada fakta yang berdiri sendiri kecuali ada fakta penyebabnya,17 begitu pula dengan radikalisme Islam di Indonesia yang memiliki nalar kesejarahan secara genalogis dari masa kini hingga awal kemerdekaan Negara Indonesia diproklamirkan. Sejak ditandatanganinya perjanjian Relville, Kartosuwiryo telah bersikap menolak keras dan menyatakan bahwa Amir Syarifuddin telah melucuti rakyat Jawa agar tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ia ingin tetap mempertahankan Jawa Barat bersama sejumlah pimpinan Hisbullah/Sabilillah diwilayah itu. Untuk ini diadakan konferensi di cisayong, tasikmalaya pada 10-11 Februari 1948, diikuti oleh para pemimpin Hisbullah/Sabilillah dan pemimpin umat Islam. Konferensi ini menyepakati berdirinya Majelis Islam dan mengubah Hisbullah/Sabilillah menjadi Tentara Islam Indonesia (TII) dan Kartosuwiryo menjadi ketuanya. Dua bulan berikutnya, diadakan konferensi lagi dimana mereka sepakat membubarkan Majelis Islam, membentuk Dewan Imamah dan memilih Kartosuwiryo menjadi imam.18 Dalam perkembangan berikutnya, TII memperlebar pengaruhnya ke wilayahwilayah lain di Jawa Barat dan kedudukan Kartosuwiryo sebagai imam semakin diperkuat. Lambat laun pasukan di bawah pengaruh Kartosuwiryo itu berkembang menjadi suatu gerakan tersendiri. Dengan demikian, Kartosuwiryo masih dapat diterima sebagai pemimpin Islam yang tidak setuju dengan kebijaksanaan pemerintah dalam menghadapi Belanda dan berusaha mempertahankan Jawa Barat dengan caranya sendiri. Selama tahun 1948, Kartosuwiryo masih memperlihatkan pengakuan terahadap RI sebagai negara dan pemerintahnya sendiri, dan melihat dirinya sebagai warga negara. Tetapi ketika Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda pada agresi kedua bulan Desember 1948, dan Soekarto, Hatta, dan pemimpin Republik lainnya ditangkap, Kartosuwiryo meyakini bahwa RI telah hapus. Dalam pandangannya, Indonesia harus tetap ada, dan usaha-usaha yang telah ia lakukan dapat diwujudkan menjadi sebuah negara dan pemerintahan yang nyata. Lalu didirikanlah Negara Islam Indonesia (NII) sebagai kelanjutan proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi berdirinya NII terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949.19 Terdapat dugaan bahwa gerakan DI-TII menjalin kerjasama dengan Westerling dengan menggerakkan beberapa pemberontak dan pengacau di Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan terakhir di Jawa Barat dengan membentuk Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Tentara APRA berusaha menguasai Bandung dan ingin mengambil alih pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta. Dalam usaha kudeta terhadap pemerintahan RIS, Westerling bekerja sama dengan salah seorang Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II yang berasal dari Negara Bagian 17Sun
Choirol Ummah, “Akar Radikalisme, h. 118. Abdullah dan Mohamad Hisyam (Editor), Sejarah Umat Islam Indonesia, Majelis (Jakarta: Ulama Indonesia dan Yayasan Pustaka Utama, 2002), h. 266. 19Ibid., h. 267. 18Taufik
7
Kalimantan. Kapten Westerling sengaja disusupkan oleh Belanda untuk mengacau RIS, agar Belanda bisa berdalih pada dunia internasional bahwa bangsa Indonesia tidak dapat mengatur sendiri negaranya. Maka tidak mustahil, Kartosuwiryo yang awalnya bermaksud baik setelah diintervensi Westerling, berbalik menjadi pengacau kedaulatan Republik Indonesia.20 Gerakan DI yang muncul untuk pertama kalinya di Jawa Barat pada tahun 1949 (Proklamasi Negara Islam Indonesia terjadi tanggal 7 Agustus 1949), pada tahun berikutnya menjalar ke daerah-daerah lain, seperti: Jawa Tengah bagian barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Masing-masing gerakan DI di beberapa tempat sebenarnya mempunyai latar belakang dan penyebab yang berbedabeda, tetapi dalam perkembangannya, hubungan-hubungan dijalin antara DI-TII di luar Jawa dengan DI di Jawa Barat sehingga menyerupai sebuah rencana pembentukan Negara Islam Indonesia yang meliputi seluruh Republik Indonesia. Di Sulawesi Selatan, gerakan DI dipimpin oleh Abdul Qahhar Muzakkar. Bermula dari rasa kecewa yang mendalam dari para bekas gerilyawan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) yang tergusur akibat demobilisasi sesudah tahun 1950. Meskipun Kartosuwiryo telah megajak Muzakkar untuk menjadi Panglima Tentara Islam Indonesia (TII) Sulawesi pada Juni tahun 1952, tetapi baru pada bulan Agustus ia menyatakan secara resmi bahwa wilayah yang dipimpinnya menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII). Bersamaan dengan itu, pasukan tentara Muzakkar menjadi bagian dari TII. Sejak itu, DI Sulawesi Selatan mulai menjalankan pengaruhnya setelah beberapa daerah dikuasainya. 21 Bahkan dalam catatan Gereja Toraja, kelompok Kahar Muzakar melakukan pembantaian terhadap orang-orang Kristen Toraja yang menolak masuk Islam sebagaimana dikutip oleh Daulay: Tahun 1952, terjadilah pengislaman massal di Pantilang, Ranteballa; gerombolan menunggu orang di jalan, di sungai, di pasar dan disuruh mengucapkan kalimat syahadat, kalau tak dapat mengucapkannya berarti ia belum Islam dan harus diislamkan dengan memercikkan air kepada mereka... Bulan september-Oktober 1953, pengislaman massal di Rongkong dan Seko. Mula-mula pemimpin-pemimpinnya (Pendeta, Guru Injil, pengantar Jemaah, dan lain-lain) yang berpengaruh diasingkan dari anggota biasa kemudian disiksa amat sangat sampai mengaku bahwa ia akan masuk Islam... yang tidak mau menyangkali Yesus Kristus sebagai Tuhannya, disiksa sampai mati. Yang mengaku masuk Islam disuruh kembali ke tengah Jemaat untuk menganjurkan supaya mereka itu masuk Islam. Mereka itu hanya berharap bahwa Tuhan akan melepaskan mereka.22 Pemberontakan DI di Kalimantan Selatan timbul oleh sebab yang hampir sama dengan yang terjadi di Sulawesi Selatan. Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV adalah inti gerakan DI di daerah ini. ALRI Divisi IV yang dibentuk pada masa revolusi merupakan pasukan gerilya Republik yang paling kuat di Kalimantan 20Ibid. 21Ibid.,
h. 268-269. M. Daulay, Agama & Politik di Indonesia Umat Kristen di Tengah Kebangkitan Islam (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015), h. 240. 22Richard
8
Selatan. Setelah penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada RI, usaha demobilisasi dilakukan juga di Kalimantan Selatan. Para gerilyawan didaftar kembali untuk dipilih siapa-siapa yang memenuhi syarat untuk tetap dalam TNI dan siapa yang tidak. Anggota gerilya yang tidak memenuhi syarat akan dikembalikan kedalam masyarakat. Banyak di antara anggota ALRI Divisi IV terpaksa diberhentikan karena tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan. Orang-orang yang seperti inilah bersama dengan sebagian yang sebenarnya diterima menjadi anggota TNI, tetapi karena merasa pengaruhnya dilucuti oleh campur tangan TNI yang dikendalikan dari Jakarta merasa kecewa. Dalam tubuh ALRI Divisi IV, terdapat seorang perwira bernama Ibnu Hajar yang tidak termasuk dalam golongan yang didemobilisasi, tetapi ia bersimpati dengan kelompok yang “dikembalikan ke masyarakat”. Bersama dengan sejumlah orang yang menolak masuk TNI dan orang-orang yang terkena demobilisasi, Ibnu Hajar masuk hutan dan melakukan pemberontakan terhadap RI. Ibnu Hajar menamai pasukannya dengan Kesaturan Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT), yang pada tahun 1950 hanya terdiri dari 60 orang, pada akhir tahun bertambah jumlahnya setelah melakukan serangan terhadap satuan-satuan TNI. Tindakan mereka selalu mengatasnamakan demi Islam, sehingga ada kesamaan dengan DI. Banyak anggapan bahwa KRIyT dipengaruhi oleh DI di Jawa, tetapi KRIyT baru menyatakan diri sebagai bagian dari DI-TII setelah Abdul Qahhar Muzakar di Sulawesi Selatan mendahului menyatakan diri sebagai bagian dari DI-TII dna NII di akhir tahun 1954, dan Ibnu Hajar memperoleh tawaran Kartosuwiryo untuk menduduki kursi menteri tanpa partofolio dalam NII.23 Pemberontakan DI di Aceh bermula dari tuntutan otonomi Aceh dan ketidakpuasan rakyat Aceh atas status daerah Aceh yang hanya dijadikan bagian dari Provinsi Sumatera Utara, dan campur tangan pemerintah yang terlampau banyak serta konflik yang tajam antara dua kelompok sosial yang bertentangan di daerah ini, yakni antara elit tradisional yang biasa disebut uleubalang dan pemimpin agama atau kaum ulama. Ketidakpuasan semakin memuncak ketika sejumlah pemimpin Aceh yang dianggap tidak loyal pada pemerintah pusat ditangkap. Keadaan menjadi tambah ruwet dan puncak ketegangan terjadi ketika Daud Beureueh mengumumkan pada bulan September 1953 bahwa Aceh menjadi bagian dari NII. Pengumuman itu tampaknya telah disiapkan secara matang setelah Daud Beureueh melakukan hubungan dengan Kartosuwiryo di Jawa Barat.24 Selain faktor ketidakpuasan, demobilisasi, perubahan struktur kepemilikan tanah, konflik internal daerah, faktor agama memainkan peranan penting dalam pemberontakan DI. Dalam setiap pemberontakan yang mengatas namakan agama Islam sejak zaman kolonial, selalu ditekankan bahwa perlawanan terhadap kaum kafir dan orang-orang yang tidak setia menjalankan syariat Islam adalah hukum yang harus ditegakkan. Prinsip ini bukanlah penyebab mengapa pemberontakan DI ini muncul, melainkan upaya pembenaran dari tindakan perlawanan. Kepercayaan rakyat pedesaan seperti mengenai akan datangnya Ratu Adil dan benda-benda magis atau jimat dan keramat banyak dimanfaatkan dalam gerakan DI. Hal ini juga menjadi 23Ibid.,
24Ibid.,
h. 268-269. h. 269-270.
9
faktor yang menyebabkan rakyat pedesaan membantu DI. Kecenderungan heterodoksi dari DI bisa pula dilihat dari tindakan mereka terhadap orang-orang Islam yang saleh. Mereka menjadi sasaran serangan DI kalau sekiranya tidak mau mendukung cara-cara DI. Hal ini memperkuat dugaan bahwa ke-Islam-an bukanlah faktor yang terpenting dalam pemberontakan DI.25 Merunut Genealogi Gerakan Dalam pandangan Richard M. Daulay, kendati semua pemberontakan DI/TII ini dapat dipadamkan oleh Tentara Nasional Indonesia di beberapa tempat, tetapi ideologinya untuk membentuk negara Islam Indonesia tidak pernah padam. Kalangan Islam membentuk partai politik untuk berjuang mewujudkan impian mengubah Indonesia dari negara Pancasila yang dianggap berjiwa sekuler menjadi negara Islam, dimana hukum syariat Islam dilaksanakan dan dijalankan oleh negara.26 Disisi lain, melakukan gerakan “bawah tanah” yang berkaitan dengan gerakan DI/TII, semisal kelompok Jamaah Islamiah (JI) yang melakukan berbagai teror bom yag terjadi pasca Orde Baru, termasuk bom natal, bom Bali I, bom Bali II, dan lain-lain. Gerakan DI/TII/NII dalam wujud kelompok terorisme Jamaah Islamiah yang pernah berkolaborasi dengan kelompok Osama bin Laden dan terus mendapat suntikan ideologis dari Ikhwanul Muslimin (Mesir) yang ingin memperjuangkan Islam Salafiah (murni dan ortodoks), tetap eksis sampai saat ini, terus dalam pengejaran aparat, khsuusnya Densus 88. Cita-cita kelompok Islam garis keras ini ialah memperjuangkan kembali cita-cita Islam politik supaya Indonesia kembali kepada dasar negara Islam.27 Maksud dari Islam politik disini adalah kelompok Islam yang mewarisi perjuangan untuk mendirikan negera Islam Indonesia yang secara historis antara lain diinspirasi oleh perjuangan S.M. Kartosuwiryo. Setelah tiga dekade bergerak di bawah tanah, Islam Politik bangkit sesudah Soeharto tidak berkuasa lagi. Gerakan dan aksiaksi mereka sangat beragam, dan organisasinya juga bermacam-macam. Ada gerakan yang rajin melakukan sweeping terhadap tempat-tempat yang mereka anggap maksiat, ada gerakan yang melakukan jihad demi membela sesama umat Islam, kendati ada juga gerakan politik yang berjuang melalui jalur demokrasi untuk merebut kekuasaan.28 Menyikapi persoalan ini, Abd A’la memaparkan bahwa kompleksitas persoalan yang melekat pada radikalisme, semisal adanya keterkaitan tapi sekaligus diskontinuitas, meniscayakan untuk menyikapinya dengan penuh kearifan. Setiap pemikiran fundamentalisme, atau radikalisme keagamaan, memiliki keunikan nuansa dan tujuan yang berbeda yang sulit menjadi satu gerakan yang solid. Dengan demikian, ketakutan berlebihan terhadap fundamentalisme dan radikalisme menjadi kurang beralasan. Namun pada saat yang sama, harus tetap waspada karena walaupun tercerai berai dan bersifat sporadis, radikalisme dengan kekerasan –dalam pengertian luas –yang nyaris melekat mengancam eksistensi kemanusiaan, dan kehidupan umat manusia. 25Ibid.,
h. 271-272. M. Daulay, Agama & Politik di Indonesia, h. 109-110.
26Richard 27Ibid.
28Ibid.,
h. 163
10
Realitas memperlihatkan, kekerasan tidak bisa dilawan dengan kekerasan. Karena itu, benih, apalagi terjadinya kekerasan, harus dihindari oleh siapa pun dan kelompok apa pun. Kenyatan ini meniscayakan semua untuk “segera” kembali kepada moralitas luhur yang dianut masing-masing. Pada satu pihak, umat beragama mutlak untuk membaca Teks-teks suci dengan pendekatan moral sehingga ajaran-ajaran moral dan nuansa spiritualitas yang sejatinya menjadi kandungan utama Teks suci akan tampak secara kuat dan menerangi kehidupan. Pada pihak lain, para pengamat pemikiran dan gerakan keagamaan, terutama yang menekuni fundamentalisme, juga harus melakukan yang serupa. Obyektivitas dan kritisisme, yang dibingkai rasa keadilan serta jauh dari sikap prejudice dan prakonsepsi perlu dijadikan dasar untuk mengkaji dan mengamati fenomena radikalisme dan fundamentalisme dengan segala dampaknya. Di atas semua itu, agama harus dilepaskan dari politik kekuasaan, dan dijadikan alat justifikasi. Agama perlu dikembalikan kepada eksistensinya sebagai sumber moralitas luhur yang selalu membimbing umatnya dan umat manusia secara keseluruhan dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Melalui pendekatan moral, langit harapan akan tampak lebih cerah. Kekerasan tidak dihadapkan dengan kekerasan yang lain. Justru, masing-masing pihak diharapkan akan kembali kepada eksistensinya sebagai manusia yang mengemban moralitas luhur dalam bentuk pembumian kedamaian, keadilan, kesetaraan dan sejenisnya, serta pengendalian diri.29 Penutup Berbagai gerakan yang dilakukan oleh Umat Islam ini sebagai gambaran dari keyakinan keagamaan dan bergumul dengan realitas dan fisik mereka terhadap fenomena yang ada. Berdasarkan kenyataan itulah, maka berbagai gerakan yang mengatasnamakan agama dapat ditemukan di Indonesia, baik gerakan damai maupun gerakan penuh dengan kekerasan. Apabila dirunut berdasarkan genealoginya, maka secara ideologis gerakan ini telah terjadi pada masa Kartosuwiryo memproklamirkan Negara Islam sebagai pengganti dari negara Pancasila pasca kemerdekaan. Gerakan yang mereka lakukan pada masa itu berdasarkan catatan sejarah, disinyalir penuh dengan tindakan fisik dan angkat senjata. Hal ini membuktikan bahwa keyakinan keagamaan yang dianut telah bersinergi dengan gerakan yang mereka lakukan, kendati agama dalam beberapa paparan di atas telah dijadikan sebagai justifikasi dan alasan pembenar dari keinginan yang ingin dicapai. Ghalibnya, gerakan dengan penuh kepentingan ini dilakukan oleh beberapa orang dengan melibatkan sekelompok masyarakat atau pengikut yang nota-bene adalah masyarakat awam dan tidak berpendidikan. Dengan dalih menghormati dan patuh kepada pimpinan, mereka melakukan gerakan secara radikal, kendali harus berlawanan dengan pemerintahan yang ada.
29Abd
A’la, Genealogi Radikalisme, h. 20.
11
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd. ”Genealogi Radikalisme Muslim Nusantara: Akar dan Karakteristik Pemikiran dan Gerakan Kaum Padri dalam Perspektif Hubungan Agama dan Politik Kekuasaan,” Pidato Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah Pemikiran Politik Islam pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2008. Abdullah, Taufik dan Mohamad Hisyam (Editor), Sejarah Umat Islam Indonesia, Majelis. Jakarta: Ulama Indonesia dan Yayasan Pustaka Utama, 2002. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Postmodernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. Binder, Leonard. Religion and Politic in Pakistan. Berkeley and Los Angeles: The universioty of California Press, 1961. Daulay, Richard M. Agama & Politik di Indonesia Umat Kristen di Tengah Kebangkitan Islam. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015. Hanafi, Hassan. Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, terj. Kamran As'ad Irsyadi dan Mufliha Wijayati. Yogyakarta: Islamika, 2003. Hardiman, Francisco Budi. Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Hjarpe, Jan. Politik islam. Stockholm: Skeab Forlag, 1983. http://www.sinarharapan.co/news/read/30592/genealogi-radikalisme-agama Jamhari dan Jajang Jahroni (Penyunting). Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2004. Kartini, Pengantar Metodologi Riset Sosial, cet. 7. Bandung: Mandar Maju,1996. Mahendra, Yusril Ihza. Modenisme dan Fundamentalisme dalam politik Islam, terj. Mun'im A. Sirry. Jakarta: Paramadina, 1999. Mardalis, Metode Penelitian: Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta : Bumi Aksara, 1996. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, cet 11. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000. Mun’im, A. Rafiq Zainul. “Fundamentalisme Islam dan Perkembangannya di Dunia Sunni dan Syiah,” dalam Academia Jurnal Pemikiran, Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 1, No. 2. September 2006. Partanto, Pius A. Dan M, Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994. Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995. Ummah, Sun Choirol. “Akar Radikalisme Islam di Indonesia,” Humanika. No. 12/September 2012 .
12