MOZAIK ISLAM INDONESIA MENANGKAL RADIKALISME MEMBINGKAI NASIONALISME Indah Wahyuni Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Lamongan E-mail :
[email protected]
Abstract: The emergence of various social problems after the Indonesian independence and the rise of violence in such regions as West Java, Ambon, Poso, and Timika, have increasingly reinforced the thesis and concerns of intellectuals and community leaders of the importance of efforts to always be alert to maintain harmony, faith, humanity, civilization, unity, sense of responsibility, as well as social justice evenly for all members of society, all of which are pillars of peace in promoting mutual compassion on the basis of mutual grindstones and loving each other. All the values have long been crystallized in the mosaic frame of Indonesian Islam, especially in the noble values of Pancasila as the philosophy for the harmony and peace of the Indonesian nation. Although the nation's welfare platform is already available, when the leaders and members of communities are hit by unfair competition, seizure of power; ambitions to control the country; stealing cookies of justice and welfare and robbing the prosperity capital, the ethno-religious foundation increasingly becomes very weak and brittle. The domination of interest of an ethno-religious group would rip the efforts to build a nation, both internally and externally as happened after the Indonesian reform in 1998. The foundation of the nation state having been long standing for 53 years is directly questioned again following conflicts and violence at the level of civil society. On this stand, the concept of multicultural citizenship is expectedly taken into consideration, envisaging the formation of civil society that has a larger role in managing diversity based on culture, religion, ethnicity, gender and other social ideologies that can be used as a social and cultural capital for the realization of democracy. Keywords: Islamic mosaic, Radicalism, nationalism, Indonesia Pendahuluan Islam sebagai agama sempurna (kaffah), disamping menebar kedamaian bagi sekalianalamsemesta (rahmatan lil ‘alamin), secara teologis Islam sebagai sistem nilai ajaranyangbersifat Ilahiah, melekat erat dalam setiap nafas makhluk hidup (imanen) sekaligus merangkai segala macam kendali alam semesta yang bersifat universal dengan cakupan takterhingga (transenden), walaupun secara geografis Islam merupakan fenomena peradaban yang muncul dari wilayah jazirah Arab (peradaban lokal)1 dengan kultur dan realitas sosial dengan sejumlah doktrin yang unik, secara spirit Islam bersifat global, kontemporer, moderen, menzaman dan menjagat raya (universal), secara sosiologis Islam merasuk mengejawantah bermanifes dalam berbagai institusi ekonomi, sosial, politik,budaya, negara, bangsa, yang selalu serasi selaras seimbang dipengaruhi oleh situasi kondisi domisili dalam dinamika ruang dan waktu. 1
Sebagai agama peradaban, Islam membawa rahmat bagi semesta alam. Dengan misi ini Allah mengutus RasulNya, Muhammad Saw. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah, “Dan tiadalah Kami mengutus kamu,melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (Al Qur’an, 21: 107)
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
31
Islam telah berjasa dalam membangun peradaban dunia, memberi kontribusi bagi terciptanya perdamaian global, menawarkan makna hidup hakiki bagi tercapainya ketenteraman lahir-batin. Namun Islam juga telah dipahami oleh pemeluknya secara sepihak, secara fanatik-egoistis, secara kebenaran individualistik, bahkan kebenaran individual justifikatif, dari yang terakhir inilah banyak ditemukan indikasi munculnya faham yang menyebabkan munculnya tragedi pertumpahan darah, sikap saling menghujat, menghakimi orang lain atas nama Tuhan, suatu kenyataan sosio-psikologis yang mengerikan. Rasulullah mengajarkan kepada umat manusia, agar tangan dan lisannya senantiasa mendatangkan kedamaian dan keselamatan, Rasul melarang umat manusia mencelakakan orang lain, sebaliknya rasul memberi tauladan berbudi pekerti baik agar bisa bermanfaat bagi orang lain, senantiasa menyebarkan perdamaian, kasih saying bagi lingkungan, menghilangkan kesedihan kepedihan segala penyebab timbulnya rasa sesak di dada.2 Islam mengajarkan bahwa setiap individu hendaknya memiliki dasar penghayatan beragama yang toleran,3 moderat,4 dan akomodatif.5 Muslim yang sempurna selalumenya dari akan eksistensi dirinya terkait erat dengan eksistensi wilayah dimana mereka berpijak dan menggantungkan hidup, karena itulah Islam mengajarkan cinta tanah air adalah sebagian dari indikator seseorang itu beriman, hub al-wathon min al-iman, melalui ajaran ini berkembanglah berbagai faham dilingkungan umat Islam, pertama, pentingnya kesadaran terhadap masalah kemanusiaan universal pada era global (humanity), kenyataan bahwa manusia sekarang mau tidak mau adalah sebagai warga dunia (worldcitizenship). Kedua, masalah pemahaman kebangsaaan dan keindonesiaan di tanah air (nationality), walaupun manusia adalah penduduk bumi, mau tidak mau mereka mestiberdomisili dalam suatu negara tertentu. Ketiga, kenyataan bahwa setiap manusia itu mempunyai unsur spiritual, akan selalu resah dan gelisah jika tanpa dilandasi dengan pedoman penghayatan pemahaman serta pengamalan keislaman yang komprehensif, kontemporer dalam merespon kedua masalah tersebut di atas (Islamicity), baik dalam ranah sosial, politik. pendidikan, dakwah, hukum, ilmu pengetahuan dan keilmuan studi keislaman, inilah pentingnya sebuah pengayatan akan kesadaran diri terhadap pesan, bahwa Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, danmenjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa, sesungguhnya Allah maha Mengetahui dan maha Mengenal, QS.Al-Hujurat ayat13. Perbedaan socio-culture, socio-politic dan socio-religius umat Islam menginspirasikan munculnya ide pembaharuan agama. Dalam pemetaan Azyumardi Azra setidaknya ada empat 2
Komaruddin Hidayat, Psikologi Agama Menjadikan Hidup Lebih Nyaman dan Santun (Jakarta: Hikmah, 2007), 16. 3 Toleransi, yang dalam bahasa Arab disebut (al-tasāmuh) merupakan salah satu ajaran inti Islam yang sejajardengan ajaran lain,seperti kasih (rahmat), kebijaksanaan (hikmat), kemaslahatan universal (maslahat `āmmat),dan keadilan (`adl). Beberapa ajaran inti Islam tersebut merupakan suatu – yang meminjam istilah ushul fikih –qath`iyyāt, yakni tak bisa dibatalkan dengan nalar apa pun, dan kulliyāt, yaitu bersifat universal, melintasi ruangdan waktu (shālih li kulli zamān wa makān). Pendeknya, prinsip-prinsip ajaran intiIslam itu bersifat transhistoris,trans-ideologis, bahkan trans-keyakinan-agama. Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama:MembangunToleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), hlm. 215. Nabi Muhammad Saw. menyatakan bahwaagama yang paling dicintai Allah adalah “alhanafiyah al-samhah” (semangat kebenaran yang toleran). Luthfi Assyaukanie, Islam Benar versus Islam Salah (Depok: KataKita, 2007), 74. 4 Menurut kelompok moderat, pluralisme memiliki landasan yang kuat dalam Islam, karena AL-Qur’ansendiri sangat menghargai perbedaan-perbedaan di kalangan manusia.Bahkan Al-Qur’an menyerukan umat Islamuntuk menjadi umat pertengahan, ummatan wasathan. Lihat Q.S. Al-Baqarah (2): 143. 5 Said Agil Siraj, Kata Pengantar dalam Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya UlamaKlasik: Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi, cet. ke-2 (Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2011), 9.
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
32
tipe orientasi ideologis dalam gerakan pembaruan Islam, yaitu: 1). Konservatif-Tradisionalis 2). Modernis-Reformis 3). Modernis-Sekuler 4). Puritan-Fundamentalis.6 Selanjutnya, kelompok radikal, puritan, dan militan juga turut serta menghiasi keragaman pemahaman keberagamaan di muka bumi ini. Kelompok radikal sadar bahwa mereka tengah terlibat dalam “perang ide” untuk meyakinkan umat Islam di seluruh dunia, bahwa ideologi mereka yang ekstrem adalah satu-satunya interpretasi yang benar tentang Islam. Mereka memahami Islam secara monolitik dan menolak varian-varian Islam local dan spiritual seperti diamalkan umat Islam umumnya, sebagai bentuk pengamalan Islam yang salah dan sesat karena sudah tercemar dan tidak murni. Strategi kelompok gerakanIslam ini berusaha untuk membuat umat Islam menjadi radikal dan keras.7 Tulisan ini akan menjelaskan tentang akar historis radikalisme Islam, bagaimana pandangan Islam terhadap radikalisme dan solusinya di Indonesia, serta bagaimana agar Islam dalambingkai keindonesiaan dan kemanusiaan dapat membantu terciptanya negara yang baltatunthoyyibatun warabbun ghofur? Akar Historis Radikalisme Islam Radikalisme menurut Khaled Abou El Fadl adalah sebutan lain puritan.Namun, puritan menurutnya, dalam banyak hal, cenderung menjadi puris dan tidaktoleran dalam memandang realitas pluralitas.8 Selain itu kaum puritan juga menolak mistisisme, doktrin perantara, rasionalisme, intelektualisme, sektarianisme dan filsafat.9 Secara umum, kaum puritan menampilkan panorama Islam yang garang, eksklusif dan tidak humanistik. Asal-usul radikalisme Islam diawali munculnya gerakan Wahhabi yang didirikan oleh Muhammad ‘Abd al-Wahhab (1703-1791 M), berasal dari Nejd di Arabia pada abadke-19 M. PembaharuIslam Sunni yang radikal-fundamental10 beranggapan bahwa padatingkatinternal Muslim telah terjadi dekadensi, mengendornya hukum Islam dan teologi,11 dan pencemaran tauhid oleh penganut tarekat-tasawuf.12 Dasar-dasar teologi Wahhābī,13 dengan semangat puritannya atas dukungan keluarga 6
Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga PostModernisme (Jakarta: Paramadina, 1996). Lihat Juga Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: ArRuzz, 2006), 257-267 7 Abdurrahman Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (Jakarta: PT. Desantara Utama Media, 2009), 43. 8 padahal para imam madzhab klasik yang sangat alim pun menerima perbedaan dengan lapangdada: Syafii berbeda 6 ribu pandangan dengan Imam Malik dan Imam Malik berbeda13 ribu dengan Imam Hanafi. Lihat Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman (Jakarta:Paramadina, 2002), 62. Sikap para Imam mazhab ini diekspresikan dalam sebuah sloganterkenal yang dikatakan oleh Ibn HajarAl-Haitami: Mazhabunā al-awāb yatamilu al-khaā. Wamazhabu gayrinā khaā yatamilu al-awāb: Mazhab kami benar, namun mengandung kekeliruandan mazhab selain kami keliru, namun mengandung kebenaran. Rakhmat, Dahulukan Akhlak, 57. Bandingkan kelapangan dada para Imam mazhab ini dalam Asy-Syarastani, Almilal waal-Nihal, terj. Asywadie Syukur (Surabaya: Bina Ilmu, 2006), 188. 9 Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa (Jakarta: PT. SerambiIlmu Semesta, 2006), 61-64. 10 Annemarie Schimmel, Islam Interpretatif: Upaya Menyelami Islam dari Inti Ajaran, Aliran-Aliran sampaiRealitas Modernnya, terj. M. Chairul Annam (Depok: Inisiasi Press, 2003), 106. 11 Ibrahim Abu-Rabi’ “A Post-September 11 Critical Assessment of Modern Islamic History” dalam IanMarkham dan Ibrahim M. Abu-Rabi’ (eds.), 11 September: Religious Perspective on The Causes and Consequences (Oxford: Oneworld Publications, 2002), 25. 12 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. ke-14 (Jakarta: Bulan Bintang, 2003), 15. 13 Qomar ul-Huda menyangkal perkataan Khaled Abou El Fadl yang memberikan label yang konsistenterhadap gagasangagasanekstrimis puritan sebagai sebuah “teologi”.Menurut Qomar ul-Huda, Al-Qaeda-nyaOsama bin
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
33
Sa’ud dari Arab, menyerukan agar Muslim kembali kepada kemurnian dan kesucian pokokpokok agama Al-Qur’an dan Hadis,14 dan kembali kepada tradisi Hanbaliyah. Wahhabi juga menolak rasionalisme; ajaran Syiah; merokok15 serta banyak praktek lain yang dinilainya sebagai inovasi bid’ah.16 Juga, Wahhabi mengkafirkan umat Kristen, Yahudi, dan Ahl AlKitab dengan dalih bahwa Nabi membuat perbedaan yang jelas antara mereka dan umat Islam. Umat Kristen, Yahudi, dan Ahl Al-Kitab memiliki pandangan yang agak tepat tentang sifat Tuhan, tetapi pandangan tersebut tidak menyelamatkan mereka dari neraka.17 Radikalpuritan-Wahhābī juga mengabaikan suku atau tingkatan dalam masyarakat, dan menurut mereka orang-orang Arablah yang harus mengendalikan ummah.18 Pada level teoritis, mereka tidak mengakui atau menafsirkan lagi semua rujukan yang mempropagandakan ajaran mereka.19 Di sisi lain, ‘Abd al-Wahhab juga dengan sangat fanatik membenci kaum non muslim, dengan menegaskan bahwa Muslim seharusnya tidak mengikuti kebiasaan atau berteman dengan nonmuslim.20 Namun ia tidak mempersoalkan bagaimana sikap non muslim Laden dan kelompok-kelompok jihad Wahhābī lainnya mendorong gerakan-gerakan reformasi dengansebuah suntikan slogan-slogan religius yang reduktif; mereka tidak memiliki teologi dalam pengertian klasik.Lebih jauh, Qomar ul-Huda menambahkan di dalam Islam, ada sebuah tradisi yang terkenal di dalam studi teologisistematik (kalām) di mana iman diperkaya oleh penggunaan kecerdasan dan jiwa untuk pemahaman yang lebihbaik hubungan seseorang dengan Ilahi, seperti di dalam maq-lah fi’l Aql (Tentang Akal)-nya al-Kindi (wafat tahun 866 M). Qomar ul-Huda, “Tradisi-Tradisi Yang Plural”, dalam Khaled Abou El Fadl, Toleransi Islam, terj. KomunitasEam (Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, 2006), 92. 14 Pengaruh Wahhābisme untuk pemurnian dan kesucian pokok-pokok agama juga telah merambah keIndonesia, yang dibawa olehHaji Miskin atau yang lebih dikenal dengan Imam Bonjol dan kawan-kawannyadari Hijaz yang menyulut api Perang Padri. Lihat Nurcholish Madjid, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalamPembangunan di Indonesia, cet. ke-1 (Jakarta: Paramadina, 1997), 124. 15 Ian Almond mengatakan bahwa kaum Wahhābī hanya mengenal dua dosa besar: memiliki Tuhan selainTuhan kaum Wahhābī dan merokok (yang mereka sebut cara yang keji dari minuman keras; the infamous way ofdrinking). Ian Almond, The New Orientalis: Postmodern Representations of Islam from Foucault to Baudrillard(London: I.B. Tauris and Co. Ltd, 2007), 13. 16 Schimmel, Islam Interpretatif, hlm.74-75. 17 Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar (Bandung: Mizan,2005), 111-112. 18 Karen Amstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk (Jakarta: PT. Serambi Ilmu semesta,2007), hlm. 743. 19 Muhammad ‘Ata Al-Sid, Sejarah Kalam Tuhan, terj. Ilham B. Saenong (Bandung: Teraju, 2004), 281. 20 Pembincangan mengenai kebebasaan beragama, sesungguhnya setiap orang bebas untuk beragama.Agamasudah pasti menjadi sesuatu yang mengangkat manusia di atas kehidupan hewan.Beragama adalah khas manusia.Agama – apakah Kristen, Yahudi atau Islam – harus dilindungi dari setiap tindakan agresif.Dengan hukum-hukumnya Islam telah melindungi kebebasan beragama. Allah berfirman: “Tidak ada paksaan dalam beragama.Sudah jelas kebenaran dari kesesatan. Islam melarang fitnah dalam agama dan menganggap fitnah lebih kejamdari pembunuhan”.Fitnah yang dimaksud di sini adalah gangguan terhadap kehidupan umat dan kebebasanberagama. Gangguan itu dapat ditujukan pada lima jenis kebebasan beragama dalam Islam: 1. urriyat ikhtiyāral-‘aqīdah (kebebasan memilih agama). 2.urriyat itinaq al-‘aqīdah (kebebasan memeluk agama). 3.urriyat amāral-‘aqīdah (kebebasanmenyembunyikan agama). 4.urriyat ihār al-‘aqīdah (kebebasan menampakkan agama). Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Al-Quran Menyikapi Perbedaan (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), 269-270. Wawasan kemanusiaan agama, papar Nurcholish Madjid, merupakan wawasanyang menjadi dasar ajaran agama-agama yang amat berpengaruh pada umat manusia,yaitu agama-agama Semitik:Yahudi, Nasrani dan Islam, yang juga sering disebut agama-agama Ibrahimi (dalam bahasa Inggris, Abrahamicreligions). Wawasan Ibrahim itu, lanjut Cak Nur (sapaan untuk Nurcholish Madjid) ialah wawasan kemanusiaanberdasarkan konsep dasar bahwa manusia dIlahirkan dalam kesucian, yaitu konsep yang terkenal dengan istilahfirah.Karena firah -nya itu manusia memiliki sifat dasar kesucian, yang kemudian harus dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik kepada sesamanya. Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisidan Visi Baru Islam Indonesia, cet. ke-2 (Jakarta: Paramadina, 2003), 178-179.
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
34
memandang Muslim. Yang terpenting menurutnya bahwa orang kafir itu bukan hanya Kristen atauYahudi, melainkan juga Muslim, yang lantaran keyakinan dan tindakannya,telah (dalam dugaannya) menjadi murtad.‘Abd al-Wahhab bersikeras bahwa Muslim yang murtad lebih buruk dari pada orang Kristen dan Yahudi karena keyakinan danprilaku bid’ah lebih menghancurkan iman. Kelompok radikal berikutnya adalah Salafi. Salafisme adalah sebuah ideologi yang menganjurkan untuk kembali kepada teladan orang-orang terdahulu, biasanya merujuk kepada Nabi dan para Sahabatnya. Baik dalam ucapan tindakan terutama dalam uniform serta penampilan fisik (performance). Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf. Kata as-salaf sendiri secara bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita.21 Adapun makna terminologis As-Salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw.dalam hadisnya, “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) dimasaku, kemudian yang mengikutimereka (tābi’īn), kemudian yang mengikuti mereka (tābi’ attābi’īn).” (HR. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadis ini, maka yang dimaksud dengan as-Salaf adalah para sahabat nabi Saw., kemudian tābi’īn (pengikut Nabi setelah sahabat), lalu tābi’ at-tābi’īn (pengikutNabi setelah tābi’īn, termasuk di dalamnya para Imam Mazhab karena mereka semua hidup di tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah Saw.). Oleh karena itu, ketiga kurun ini kemudian dikenal juga dengan sebutan Al-Qurūn al-Mufadhdhalah (kurun-kurun yang mendapat keutamaan).22 Sampai di sini, tampak jelas bahwa sebenarnya tidak ada masalah dengan arti salafi ini, karena pada dasarnya setiap Muslim akan mengakui legalitas kedudukan para sahabat Nabi Saw. dan dua generasi terbaik umat Islam sesudahnya; tābi’īn dan tābi’at-tābi’īn.Atau dengan kata lain seorang Muslim mana pun sebenarnya sedikit banyak memiliki kadar “ke-salafi-an” dalam dirinya, meskipun ia tidak pernah menggembar-gemborkanpengakuan bahwa ia seorang salafi. Sebab,maksud dari salafi itu sendiri adalah Islam. Siapa sebenarnya kelompok yang mengklaim sebagai ‘Salafi’ yang akhir-akhir ini mulai marak? Kelompok yang sekarang mengaku-aku Salafi ini, dahulunya dikenal dengan Wahabi. Tidak ada perbedaan antara Salafi ini dengan Wahabi. Pada hakekatnya, mereka bukanlah Salafi atau para pengikut Salaf. Mereka lebih tepat disebut Salafi-Wahabi, yakni pengikut Muhammad Ibnu Abdul Wahab.23 Wahabi berganti baju menjadi Salafi atau terkadang“Ahlussunnah” – yang seringnya tanpa diikuti “wal Jamaah” -, karena merasa risih dengan penisbatan tersebut dan mengalami banyak kegagalan dalam dakwahnya. Sayyid Qutbh, seorang salafi menuangkan pikirannya dalam risalah Ma΄ālim fī alarīq.Risalah ini mendeskripsikan bahwa masyarakat Islam adalah satu-satunya masyarakat yang memiliki iman murni dan iman Islam sejati. Namun, dalam kenyataannya, buku Qutbh tak lebih sekedar upaya penambahan lapisan islami pada konstruksi ideologis yang sangat fasis.24 Dalam konteks perbincangan radikal-puritan kontemporer difokuskan pada isu terorisme – pasca tragedi pemboman WTC dan Pentagon – yang pelopori oleh Osama bin Laden Ayman al-Zahiri,25 Taliban, dan kebanyakan Muslim ekstremis. Kebanyakan pemikir 21
Abu al-Fadhi Muhammad ibnu Manzhur, Qamus Lisan al-Arab, cet. ke-1, Jilid VI (Beirut, Lebanon: DarasShadir, 1410 H), 330. 22 Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Ulama, cet. ke-7 (Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2011), 24-25. 23 Ibid., 26-27. 24 El Fadl, Selamatkan Islam, 101-102. 25 Usamah bin Muhammad bin Awwad bin Ladin, sering dipanggil Usamah bin Ladin (atau Osama bin Laden
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
35
Islam menuding tindakan ini semata-mata alasan jihād. Komentar ini bukan tanpa alasan, seperti terlihat dalam kutipan berikut yang disampaikan Osama bin Laden:Jihād is the way to attain truth and abolish falsehood. Therefore, the youth… who love the religion and sacrifice (themselves) for Allah must pay no attention to these civil servants (bin Laden’s term for clerics who disagree with his viewpoint) and to those who refrain (from waging jihād)… The land is occupied in the full sense of the word. Yet despite this, people are busy with all sorts of (other) rituals. We must focus on making the starting-point jihād for the sake of Allah, guarding against those who refrain (from exile; hijrah) and Jihād for Allah. All these are obligatory in the present situation in order to establish the truth and abolish falsehood.26 Terjemahan bebasnya adalah jihad menurut Osama, adalah cara untuk meraih keimanan dan menghapus kesalahan. Oleh karena itu, pemuda yang mencintai agama dan mengorbankan diri mereka demi Allah semata hendaknya tidak perlu memperdulikan penduduk sipil dan orang-orang yang menahan diri dari perang jihad. Bumi disiapkan penuh dengan arti kata. Namun, meskipun demikian, orang-orang sibuk dengan semua jenis ritual. Kita harus mulai dengan jihad karena Allah semata, bersiap untuk menentang orang-orang yang keluar dari jihad karena Allah. Semua ini adalah kewajiban pada saat ini untuk menegakkan kebenaran dan menghapus kekeliruan. Lebih pentingnya lagi, pesan moral jihad teroris ini juga telah berani mendahului hak Tuhan bahwa mereka telah dijamin untuk masuk surga, seperti yang di kutip Gunawan Muhamad selanjutnya ditulis F. Budi Hardiman dalam bukunya “Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma: Pada malam menjelang 21 September itu, demikian disebut (dalam dokumen berbahasa Arab), kau harus bersumpah untuk mati. Cukurlah rambut yang berlebihan. Gunakan minyak pewangi tubuh. Mandi. Bacalah dua surat dalam Qur’an (dan “ingat semua hal yang dijanjikan Allah untuk para syuhada”). Salat. Murnikan sukmamu dari semua hal yang najis. Lepaskan seluruhnya yang disebut “dunia ini”. Asahlah pisaumu. Jika membunuh, jangan sampai si koran kesakitan. Menjelang naik pesawat, eratkan tali sepatumu. Kau harus tenang secara penuh, sebab “saat antara kamu dan perkawinan kamu (di surga) sangat pendek. Setelah itu, akan muncul hidup yang berbahagia …”27 dalam ejaan Inggris), dilahirkan pada tanggal 28 Juni1957. Ia adalah pendiri Al Qaeda. dilahirkan di Jeddah, Arab Saudi, kawasan pantai Laut Merah.Usamah adalah anak ke-17 dari 52 bersaudara. Ayahandanya yang bernama Muhammad bin Ladin, adalah seorang petani miskin dari Yaman yang kemudian bermigrasi ke Arab Saudi setelah Perang Dunia II. Di tempat yang baru ini Muhammad bin Ladin memulai dengan usahanya yang baru bergerak dalam bidang bisnis pembangunan. Pada akhirnya ia memenangkan banyak kontrak bagi pembangunan masjid-masjid dan istana-istana yang sangat bernilai dari pemerintah Arab Saudi. Oleh karena itu ia telah mengembangkan tali persahabatan yang sangat akrab dengan keluarga Kerajaan Saudi. Muhammad bin Ladin kemudian telah menjadi salah seorang yang paling kaya di Arab Saudi, yang diperkirakan memiliki keuntungan miliaran dolar Amerika Serikat. Dari keuntungannya ini diperkirakan Muhammad bin Ladin memiliki saham sebesar hampir 300 miliar dolar Amerika. Usamah bin Ladin mulai membangun jaringan komunikasinya pada tahun 1979 ketika ia berangkat ke Afganistan bergabung dalam milisi perang kaum pejuang Afgan yang dikenal sebagai kaum mujahidin yang tetap bertahan dan bertempur melawan Soviet. Usamah menggalang dana melalui jalur-jalur kekayaan dan relasi-relasi koneksi keluarganya bagi gerakan pertahanan Afgan, dan membantu kaum Mujahidin dengan bantuan logistik dan bantuan kemanusiaan. Usamah juga terlibat mengambil bagian dalam beberapa pertempuran selama perang fganistan. Ketika peperangan melawan Soviet hampir berakhir, Usamah mendirikan gerakan Al Qaeda, sebuah organisasi para mantan/eks pejuang Mujahidin dan para pendukung lainnya yang membantu menyalurkan baik dana maupun para pejuang bagi gerakan pertahanan Afgan. 26 Ricard, Jihād From Qur’an to bin Laden (Great Britain: Antony Rowe Ltd, Chippenham and Eastbourne, 2004), 223. 27 F. Budi Hardiman, Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma (Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara, 2005), 54.
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
36
Budi Hardiman menegaskan bahwa di dalam jantung hati terror itu ada mistik. Di dalam mistik itu kematian telah kehilangan cirinya yang menakutkan dan menjelma menjadi sebuah sarana untuk sebuah tujuan suci. Orang berpaling ke arah batinnya sendiri, ke dalam dunia suara-suara dari bawah sadarnya. Dengan jalan itu rangsagan spiritual timbul dari unsur-unsur primitif dari kodratnya, Unsur purba dari thanatos, dari nafsu penghancuran-diri, menampakkan diri di hadapannya sebagai aura spiritual sebuah ibadah.28 Thanamos, kematian, itu tidak lagi menggentarkan, melainkan memesona. Dan, manusia pun dimampukan untuk menegaskan-diri di hadapannya. Seperti diduga banyak kalangan, serangan teroris 11 September 2001 yang menghantam gedung menara kembar World Trade Center (WTC) dan Pentagon telah mengubah banyak skenario tatanan dunia baru. Kendati tidak seburuk yang digambarkan Samuel P. Huntington sebagai “benturan peradaban”,29 namun tragedi kemanusiaan itu setidaknya banyak menyebabkan dis-artikulasi isu-isu kerjasama, pola kesetaraan hubungan, dan koeksistensi terutama antara Islam dan Barat. Profesor Sulayman Nyang dari Howard University menyebutkan radikalismepuritanisme –terutama pasca pengeboman 11 September 2001– sebagai “pengawetan (mummification), pengerasan (ossification), dan fosilisasi (fossilization) Islam.” Lagi, Nyang menegaskan “Kebanyakan kelompok ini –yang ia sebut fundamentalis– memiliki sebuah ide yang rigid bahwa segala sesuatu dikaitkan dengan konkrit dan tidak ada elastisitas dalam reinterpretasi. Nyang menyarankan agar umat Islam perlu menyuntik kehidupan kaum puritan dan membuka pemikiran kepada penjelasan realitas-realitas yang baru. Menurutnya, pemikir Islam semisal Khaled merupakan seorang yang telah menyalakan sebuah cara baru dalam Islam di era kontemporer.30 Lain halnya dengan Azyumardi Azra yang menjelaskan munculnya radikalisme antara lain: pertama, Kegagalan negara-negara Muslim dalam mengembangkan model pembangunan politik dan ekonomi yang variabel untuk memperbaiki kesejahteraan warga. Kondisi seperti ini mendorong tidak hanya kekecewaan, apatisme dan alienasi, tapi juga perlawanan terhadap rezim-rezim penguasa Muslim dan sekaligus Dunia Barat pendukung mereka. Kedua, Structural anti Westernisme/Amerika (Sikap anti-Barat/ Amerika strutural). Menurut konsep ini, kemarahan kalangan Muslim terhadap Barat/ Amerika semula berakar dalam struktur-struktur sosial dan politik sebagian negara Muslim sendiri dan bahwa oposisi terhadap kebijakan tertentu Amerika memberikan isi dan kesempatan yang bagi ekspresi kemarahan tersebut.31 Jihad tidak dimaknai perang melawan Non-Muslim semata, namun jihad harus dimaknai secara luas. Dalam konteks ke-Indonesia-an, jihad dapat dilakukan dengan merubah (change) masyarakat di Indonesia dari kondisi lapar menjadi kenyang, bodoh menjadi pintar, penganggur menjadi pekerja, sakit menjadi sembuh, tuna wisma menjadi orang yang memiliki tempat tinggal. Selanjutnya, pembela orang yang tertindas, pelestari lingkungan, dan seluruh tindakan positif yang mengandung nilai ibadah dapat dikategorikan jihad. Pandangan Islam terhadap Radikalisme dan Solusinya Komaruddin
Hidayat
membagi
radikalisme
menjadi
radiaklisme-eskapis
28
dan
Ibid. Samuel P. Huntington,The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York: Simon and Schuster, 1996). 30 Teresa Watanabe, “Battling Islamic Puritans,” dalamLos Angeles Times, 2 Januari 2002 31 Azyumardi Azra, Jejak-Jejak Kaum Muslim: Dari Australia hingga Timur Tengah (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2007), 110-111. 29
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
37
radikalisme teologis-ideologis.32 Pertama, radiaklisme-eskapis, berusaha melepaskan kehidupan duniawi, hidup bertapa, membebaskan diri dari berbagai kenikmatan duniawi yang dianggap racun dan bersifat maya. Kedua, radikalisme teologis-ideologis, membangun komunitas ekslusif sebagai wadah dan identitas kelompok vis a vis dunia sekitarnya yang dianggap dekaden, sebuah dunia iblis yang harus dimusnahkan. Mereka meyakini dirinya paling benar, paling dekat ambang pintu Tuhan. Berperang melawan orang kafir adalah kebajikan, sedangkan kematian berarti take off menuju rumah primordial, rumah surgawi. Bagi mereka kehidupan adalah pintu gerbang kehidupan abadi. Sikap radikalisme teologisideologis semacam inilah yang tiap saat melahirkan bencana sosial-politik, yang akan menimbulkan fitnah bagi umat seagama yang katanya diperjuangkan. Bagaimana Islam menawarkan solusi agar umat Islam tidak terjebak di dalam radikalisme-puritanisme? 1. Rethinking Rukun Islam Kata Islam telah sering diterjemahkan sebagai “ketundukan, kepatuhan, kepasrahan, dan penyerahan” (submission) kepada Tuhan atau “masuk ke dalam kedamaian” Tuhan.33 Ketundukan kepada Tuhan akan bermakna hanya jika seseorang berusaha menginternalisasi dan menghasilkan kembali sifat-sifat yang membuat Tuhan layak atas rasa syukur kita itu. Sifat-sifat tersebut adalah sifat yang sama dengan nilai-nilai yang dibebankan kepada manusia untuk disebarkan dimuka bumi: keadilan, kasih sayang, dan keindahan.34 Lima rukun Islam ini dipandang sebagai jantung dan urat nadi Islam, dan tidak jarang ditegaskan bahwa meyakini dan menerimanya sebagai pasal mendasar iman yang akan membedakan antara seorang Muslim dan nonmuslim. Kelima pilar keyakinan tersebut adalah syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji.35 Pertama, syahadat. Pengakuan keesaan Tuhan (Tauhid)36 ini dapat dipilah menjadi “tauhid ucapan dan tauhid perbuatan.” Kalimat syahadat yang pertama, “Tiada Tuhan selain Allah” mengandung dua persoalan pokok. Pertama, peniadaan, yaitu pernyataan “tiada Tuhan”, dan kedua, penetapan, yaitu ungkapan “kecuali Allah”. Selain itu, tauhid itu juga mengandung dua tindakan: tindakan yang bersifat meniadakan, di dalamnya bekerja perasaan yang fungsional dan praktis di dalam meniadakan segala bentuk pemenuhan modern yang menimbulkan krisis. Dengan tindakan meniadakan, seseorang hendaklah membebaskan kemanusiaan dari berbagai bentuk pemaksaan, penganiayaan, otoriterianisme, dan kekejaman. Tindakan
32
Lihat Komaruddin Hidayat, Politik Panjat Pinang: Di mana Peran Agama?, cet. ke-1 (Jakarta: Kompas, 2006), 151 33 Tariq Ramadhan, Western Muslims and The Future of Islam (New York: Oxford University Press, 2005), 11; Rakhmat, Islam dan Pluralisme. 34 Abou El Fadl, Selamatkan Islam,162. 35 Ibid., 139-153. 36 Kuntowijoyo mengatakan bahwa tauhīd harus diaktualisasikan: pusat keimanan memang Tuhan, tapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan demikian, menurutnya, Islam menjadikan tauhīd sebagai pusat dari dari semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam itu disebut ramatan li al-‘alamīn, rahmat untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan. Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 2008), 275. Sedangkan Murtadha Muthahhari membagi tauhīd, yang menurutnya tergolong tauhīd yang lebih tinggi, menjadi: tauhīd naarī (tauhid nalar)yang masuk dalam wilayah pengetahuan, sedangkan tauhīd ibadah termasuk tauhīd ‘amalī (tauhid amal) yang masuk dalam wilayah alam (al-kaynūnah) dan sebab akibat (al-syayrūrah). Murtadha Muthahhari dan Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah: Selami Makna, Raih Kematangan Batin, terj. Asy’ari Khatib (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), 55.
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
38
peniadaan37 membebaskan manusia dari segala bentuk kekerasan sedangkan tindakan penetapan38 menanamkan perasaan bebas, kreatif, dan pencipta. Kalimat syahadat yang kedua, “bahwa sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah” hanyalah merupakan pernyataan tentang kesempurnaan wahyu, dan berakhirnya kenabian. Tahapan akhir dari kalimat syahadat yang kedua ini terwujud di dalam sebuah sistem dan terbentuk dalam sebuah negara. Maka, tidak mungkin kembali kepada tahapan pertama, karena sejarah tak pernah kembali kepada tahapan pertama atau mundur ke belakang. Kemajuan merupakan substansi kesadaran kemanusiaan, dinamika sejarah dan gerak perkembangan. Manusia dengan kemampuan akalnya yang mandiri dan kehendak bebasnya mampu mencapai gerak sejarah, dan senantiasa dalam kemajuan dengan kreativitasnya yang khas sehingga dapat mewarisi kenabian dan khazanah para nabi. Kaum intelektual adalah pewaris para Nabi, sementara ijtihad merupakan jalan wahyu, oleh karenanya intelektualitas merupakan warisan kenabian.39 Alih-alih membekali diri dengan bekal intelektual, ilmu pengetahuan (seperti sosiologi, antropologi, ekonomi, dan sebagainya), kaum Wahhābī menginginkan hidup seperti zaman permulaan Islam. Kelompok Wahhābī ini terjerembab ke dalam apa yang disebut Ibnu Rusyd “jejak yang tak terbaca”.Ajaran Islam, yang terikat pada keimanan akan keesaan Tuhan (tauhid) didasarkan pada “prinsip keadilan” – yang dalam setiap keadaan, baik itu sepihak maupun berlawanan dengan orang Muslim – harus dijunjung tinggi. Kehidupan hati, emosi, atau kasih sayang harus diarahkan dan dikendalikan oleh kaidah-kaidah yang memungkinkan orang untuk hidup bersama.40 Bagi seorang Muslim, iman sejati harus dibarengi dengan pemahaman kedua sumber (Al-Qur’an dan Sunnah) dan konteks tempat ia hidup. Tanggung jawab setiap Muslim didasarkan pada aspek “pemahaman” ganda, yakni: mengkaji secara bersamaan “pesan dari teks” dan “pesan dari konteks” untuk mencari jalan agar tetap dapat selaras dengan ajaran-ajaran Islam.41 Dalam konsep syahadat, umat Islam diperintahkan untuk meyakini bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah Allah, demikian juga agama Kristen dan Yahudi. Alasan logisnya, Al-Qur’an menyebut kaum tābi’īn42 (Kristen dan Yahudi) sebagai agama yang 37
Tindakan peniadaan membebaskan manusia dari sikap mengikuti saja nilai-nilai dan berbagai pemikiran yang mapan pada zamannya. 38 Tindakan penetapan menjadikan manusia memeluk nilai-nilai baru dan terikat dengan prinsip-prinsip kemanusiaan universal. 39 Hasan Hanafi, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail, Suadi Putro, dan Abdul Rouf (Jakarta: Paramadina, 2003), xxvi. 40 Tariq Ramadhan, Teologi Dialog Islam-Barat Pergumulan Muslim Eropa, terj. Abdullah Ali (Bandung: Mizan, 2002), 230. 41 Ibid., 209. 42 Tābi’īn ialah orang-orang yang mengikuti syari’at Nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-dewa.Lihat Q.S. 2:62; Djohan Effendi, “Kedewasaan Beragama”, dalam Hasan M. Noer (ed.), Agama di Tengah Kemelut, (Jakarta: Mediacita, 2001), 15. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Salman bertanya kepada Nabi SAW tentang penganut agama yang pernah ia anut bersama mereka. Ia terangkan cara shalatnya dan ibadahnya. Maka turunlah ayat tersebut di atas (Q.S. 2: 62) sebagai penegasan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan berbuat shaleh akan mendapat pahala dari Allah SWT. (Diriwayatkan oleh Ibnu Hatim dan al-Adni dalam musnadnya dari Ibnu Abi Najih yang bersumber dari Mujahid.) Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ketika Salman menceritakan kepada Rasulullah kisah teman-temannya, maka Nabi SAW bersabda: “Mereka di neraka.” Salman berkata: “Seolah-olah gelap gulitalah bumi bagiku. Akan tetapi setelah turun ayat ini (Q.S. 2: 62) seolah-olah terang-benderang dunia bagiku.” (Diriwayatkan oleh al-Wahidi dari Abdullah bin Katsir yang bersumber dari Mujahid.) Dalam riwayat lain juga dikemukakan bahwa ayat ini (Q.S. 2: 62) turun tentang teman-teman Salman al-Farisi. (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari As-Suddi).
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
39
menyembah kepada-Nya. Ketiga religi (Yahudi, Kristen, dan Islam) ini merupakan ajaranajaran Ibrahimi (Abrahamic religions)43 yang mengandung inti ajaran moral dan spiritual.44 Seperti halnya nabi-nabi Ibrani, Muhammad menyiarkan sebuah etika yang bisa kita sebut sosialis sebagai konsekuensi dari penyembahan kepada satu Tuhan. Tak ada doktrin-doktrin tentang Tuhan yang bersifat wajib: bahkan, Al-Qur’an sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai anna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun.45 Khaled juga mengkritisi cara kaum Wahhābī memaknai syahadat selama ini. Menurutnya, tradisi Syahadat (testimony of faith) telah dilupakan di era modern ini. Ada jurang pemisahan yang besar dalam cara menganut agama Islam dan cara mengatasi kehidupan.46 Kedua, Sholat. Sholat yang diawali dengan takbiratul ihram hingga salam memutuskan hubungan manusia dengan manusia lainnya dan alam sekitarya, karena manusia sedang berdialog dengan Sang Pencipta, Allah. Selanjutnya, setelah mengakhiri salam dengan menoleh ke kanan dan ke kiri, menandakan bahwa manusia harus memperdulikan kehidupan sosial. Sholat yang diterima oleh Allah sesungguhnya memiliki ciri: merendahkan diri, menahan nafsu, banyak berzikir, dan solidaritas sosial.47 Ketiga, Puasa. Ramadhan adalah bulan ketika umat Islam memusatkan diri pada disiplin diri, termasuk menahan diri dari amarah, menfitnah, dan semua bentuk kebiasaan buruk lainnya. Puasa memberikan efek kesehatan fisik, mental dan kesalehan sosial. Ibadah puasa dapat menjadi aset dan elemen pembangunan bangsa, karena ibadah puasa mengandung pesan sosial yang mencegah manusia dari sifat konsumtif, ulet menghadapi tantangan, senantiasa menaruh empati pada problem orang lain, mengedepankan moral dan nurani sebagai pendangan hidup dan selalu merasa dekat dengan Tuhan.48 Keempat, Zakat. Zakat adalah persentase tertentu (mulai dari 2,5 persen hingga 20 persen, tergantung mazhabnya) dari kekayaan yang setiap tahunnya dibagikan kepada sekelompok orang yang berhak menerimanya. Selain zakat, umat Islam dianjurkan memberikan sedekah, yang masing-masing tergantung pada kekayaan dan kemampuannya. Secara subyektif, tujuan zakat memang diarahkan untuk “pembersihan harta” dan “pemebersihan jiwa” kita. Namun, sesungguhnya sisi obyektif tujuan zakat pada intinya adalah tercapainya kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial itulah yang menjadi sasaran obyektif dikeluarkannya ketentuan untuk berzakat.49 Al-Qur’an menyebut sekelompok orang tertentu yang berhak menerima zakat: orang miskin, anak yatim, kerabat yang 43
Lihat Jerald F. Dirks, Abrahamic Faths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi, terj.Santi Indra Astuti (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006); Jerald F. Dirks, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, terj. Satrio Wahono, cet. ke-2 (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006). 44 Khaled Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004), 141-144. 45 Karen Amstrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-Orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun, terj. Zaimul Am, cet. ke-6 (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 199-200. 46 Raheel Reza, “Calling for Islamic Reformation” Scholar is Critical of Fellow Muslims Status of Woman Needs Examinition,” http://scholarofthehouse.stores.yahoo.net/caltorstar11.html, diunduh 25 Juli 2009. 47 Jalaluddin Rakhmat, Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-Renungan Sufistik (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 26-31. 48 Komaruddin Hidayat, Psikologi Ibadah: Menyibak Arti Menjadi Hamba dan Mitra Allah di Bumi (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008),.112-116. 49 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, 474.
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
40
membutuhkan, musafir, dan orang asing di daerah itu, dan tahanan perang atau orang lain yang tidak memiliki ruang kebebasan.50 Kelima, haji. Menunaikan haji di Mekkah sekali seumur hidup bagi kaum Muslim yang sanggup menempuh perjalanan dan kesehatannya memungkinkan. Haji merupakan simbol kesatuan umat Islam dan simbol kesejajaran mendasar seluruh umat Islam.51 Ritus-ritus yang dikerjakan pada saat berhaji dimaksudkan untuk menggarisbawahi tidak saja kesatuan dasar keyakinan-keyakinan Ibrahim. Tawaf yang dilakukan umat Islam mengelilingi Ka’bah melambangkan berputarnya alam semesta dan semua makhluk di sekeliling Tuhan. Demikian juga, pakaian berwarna putih yang dikenakan oleh laki-laki dan perempuan melambangkan tidak adanya perbedaan antara si kaya (the have) dan si miskin (the have not). Dalam kaitannya dengan masalah rukun Islam dan kelompok radikal Islam, kelompok radikal harus sungguh-sungguh dan memeriksa bukti secara menyeluruh dalam menganalisis apakah ada cara untuk mendamaikan suara hatinya dengan perintah teks-teks suci Al-Qur’an. Sebelum meninggalkan salah satu bagian dari perintah tertulis, seorang pembaca Al-Qur’an pertama-tama akan menyelidiki semua kemungkinan interpretasi rasional terhadap teks yang mungkin dapat menyelesaikan pertentangan antara suara hatinya dan perintah tertulis itu.52 2. Memahami Tuhan dan Tujuan Penciptaan Tidak ada perbedaan pendapat mengenai hubungan antara Tuhan dan manusia, baik kelompok radikal-puritan, moderat maupun konservatif, dan lainnya bahwa Tuhan tidak memiliki sekutu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, Maha Pengasih (rahman) dan Maha Penyayang (rahim), Baik, Lembut, Pemelihara, Pelindung, dan sebagainya. Sementara Tuhan satu-satunya tujuan penyembahan. Tuhan Maha Unggul dan Tertinggi, dan manusia harus mendekati Tuhan dengan ketundukan, rendah hati, dan penuh rasa syukur. Namun, apa sesungguhnya yang menjadi keganjilan bagi orang-orang radikalpuritan? Menurut persepsi sederhana mereka manusia diciptakan untuk tunduk pada Tuhan melalui ibadah saja.53 Praktek ritual adalah bukti yang menunjukkan ketuntundukan total 50
El Fadl, Selamatkan Islam, 147. Khaled menambahkan bahwa banyak sarjana Muslim yang tidak membedakan antara memberi sedekah kepada kaum Muslim atau nonmuslim. Termasuk dalam hal ini adalah memberikan sedekah kepada tahanan perang nonmuslim atau orang lain yang menderita tekanan perbudakan. Namun, orang-orang puritan menegaskan bahwa sedekah harus diberikan hanya kepada Muslim. 51 Untuk mengetahui bagaimana sejarah, kewajiban, dan manfaat haji dapat dilihat, misalnya Nurcholish Madjid, Umrah dan Haji Perjalanan Religius, cet. ke-3 (Jakarta: Paramadina, 2008); Rakhmat, Membuka Tirai Kegaiban; M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. ke-26 (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 331-337; Ali Syariati, Makna Haji, terj. Burhan Wirasubrata (Jakarta: Zahra, 2007). 52 Ibid., 199. 53 Murtadha Muthahhari mengatakan bahwa jika seorang Muslim meninggalkan kenikmatan dunia demi meraih kenikmatan akhirat bukanlah seorang ahli ibadah yang hatinya terhubung mantap dengan Allah. Bahkan bisa dikatakan, ia lebih serakah dibandingkan orang yang menghambakan dirinya kepada dunia, sebab orang yang menghambakan diri kepada dunia sudah merasa puas dengan kenikmatan materi yang terbatas. Sementara orang yang menghambakan diri kepada Allah demi surga mengharapkan kenikmatan yang tak terhingga – untuk tidak menyebut tak terbatas. Murtadha Muthahari dan Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah: Selami Makna, Raih Kematangan Batin, terj. Asy’ari Khatib (Jakarta: Serambi, 2007), 85-86. Lebih jauh ‘Ali ibn Abī Thālib menyatakan ada tiga tingkatan ibadah: pertama, ibadahnya orang yang takut api neraka. Ibadah ini adalah ibadahnya seorang budak. Kedua, ibadahnya orang yang ingin surga.Ibadah ini adalah ibadahnya pedagang. Kedua ibadah ini tidak mesti jelek, melainkan itu merupakan tingkatan-tingkatan dalam ibadah. Tingkatan yang ketiga adalah ibadahnya orang yang cinta kepada Allah. Orang seperti ini tidak dapat hidup tanpa Allah, persis seperti kekasih yang tidak bisa hidup tanpa kekasihnya. Haidar Bagir, “Membumikan Tasawuf, dalam”, Hasan
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
41
pada Tuhan, dan dengan begitu kesempurnaan praktek ritual adalah tujuan tertinggi. Dalam konsepsi kaum radikal-puritan, aturan-aturan ketundukan dapat ditemukan dalam syariat. Karenanya, syariat harus terperinci dan pasti dalam banyak hal. Syariat harus terdiri atas aturan-aturan menyangkut ketundukan dalam susunan yang terperinci, tepat, dan pasti.54 Bagi kaum puritan, manusia tidak bertanggung jawab untuk memikirkan dan merefleksikan sifat dasar kasih dan sayang Tuhan – atau implikasi dari kedua sifat Tuhan tersebut. Dalam pikiran orang-orang puritan, semua manusia perlu mengkaji hukum, sebab hukum adalah merupakan bangunan yang sarat kasih dan sayang.55 Dengan kata lain, hukum Tuhan sangat Ilahiah, sehingga tidak ada ruang untuk menilai atau mengevaluasi dampak nyata dari penerapan hukum tersebut. Yang lebih menarik lagi dalam paradigma radikal-puritan, hubungan manusia dengan Tuhan bersifat formal dan berjarak; hubungan kaku antara Yang Superior dan yang inferior. Tuhan harus ditakut-takuti dan ditaati, dan ketakutan akan balasan Tuhanlah yang menentukan kesalehan sejati. Tuhan itu sangat bermoral dan etis, dalam arti bahwa Tuhan juga memiliki penilaian, pengalaman, dan perasaan yang sama dengan manusia menyangkut standar objektif kebaikan, moralitas, dan keindahan. Manusia dihadirkan ke dunia dengan tujuan memberadabkan bumi. Memberadabkan bumi dapat diartikan berupaya menyebarkan sifat-sifat Tuhan seperti adil, kasih sayang, baik, indah, ke seluruh permukaan bumi. Sebaliknya, menghancurkan bumi menyebarkan kekerasan, kebencian, balas dendam, dan keburukan berarti gagal memahami kewajiban seseorang kepada Tuhan. Perintah untuk menerapkan asas keadilan (‘adl) dan keseimbangan (qis), terutama yang bersifat substantif, bukan prosedural, memperkuat subjektifitas yang diharapkan AlQur’an. Subjektivitas hukum hanyalah terdiri dari keadilan dan keseimbangan yang merupakan tujuan tertinggi yang cenderung memberikan ruang gerak yang sangat luas kepada wakil Tuhan untuk melakukan penalaran kreatif. 3. Memahami Sifat Dasar Hukum dan Moralitas Al-Qur’an dan sunnah sudah tidak diragukan lagi menempati posisi otoritatif yang sangat tinggi di dalam keyakinan Islam, dan bahwa keduanya merupakan sumber tak terbatas bagi pemikiran tentang etika, moralitas, hukum, dan kearifan.56 Syariat adalah hukum yang abadi, tetap, tidak berubah, jalan kebenaran dan keadilan, dan hukum ideal sebagaimana ia ada dalam pikiran Tuhan. Pada dasarnya, syariat adalah hukum ideal sebagaimana seharusnya ia berada di ranah Tuhan, dan dengan begitu tentu syariat tidak diketahui oleh umat manusia di muka bumi. Sebaliknya, fikih adalah hukum manusia – ia adalah upaya manusia untuk mencapai dan memenuhi hukum abadi sebagaimana yang ada dalam benak Tuhan.57 Jadi, fikih bukanlah Tuhan itu sendiri, sebab ia adalah produk manusia. Fikih, berbeda dengan syariat: tidak abadi, tidak ajeg, atau berubah. Fikih per se bersifat manusiawi dan karena itu mungkin keliru, dapat diubah, dan kondisional. Bahkan dalam hukum Islam kita mengenal beberapa mazhab.58 Secara teoritis M. Noer (ed.), Agama di Tengah Kemelut (Jakarta: Mediacita, 2001), 105. 54 Secara agak tidak konsisten, orang-orang puritan sependapat bahwa pada beberapa persoalan atau pada sejumlah kecil persoalan, syari’at tidak perlu akurat dan jelas, dan pada persoalan atau poin tertentu, umat Islam sah berbeda pendapat satu sama lain. 55 El Fadl, Selamatkan Islam, 156-157. 56 Dahulu, para ahli hukum Islam juga menggunakan prinsip-prinsip seperti keseimbangan (qis) dan kepentingan publik (maālih al-mursalah) dalam rangka menjadikan hukum bersifat responsif terhadap lingkungan dan kondisi yang berubah. 57 El Fadl, Selamatkan Islam, hlm. 182; Rakhmat, Dahulukan Akidah, 92-107. 58 Ibid. Imam al-Syafi’i berkata: “Pendapat kita benar tetapi masih ada kemungkinan salah; pendapat mereka
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
42
orang-orang radikal-puritan mengaburkan makna hukum, selektif dan opotunis, dan menutup pintu ijtihad. 4. Memahami Pendekatan atas Sejarah dan Modernitas Mohammed Arkoun pernah menyatakan bahwa kebudayaan Islam senantiasa didera problem berkaitan dengan “yang tak terpikirkan” (l’impensí/unthought) dan “yang terpikirkan” (l’impensable/unthinkable).59 Para elite Muslim harus merekonstruksi kajian “studi keislaman’ (Islamic Studies) atas nama otentisitas dengan perspektif kritis untuk memperolah rahmat kehidupan yang religius, sistem kepercayaan dan norma-norma transsosial dan trans-historis (trans-social and trans-historical beliefs and norms).60 Arkoun menganggap bahwa turā61 (tradisi) dan modernitas adalah baik untuk menyeret pemikiran Islam radikal-puritan keluar dari pemikiran ahistoris. Menyikapi keduanya (turā dan modernitas) hendaknya adil dan bijak, karena kedua-duanya bukan milik kita; turā milik orang lampau dan dan modernitas milik orang Barat. Dalam konteks modernisasi, peran yang dimainkan oleh tradisi sangat signifikan. Bagi Arkoun, tradisi memiliki dua pengertian: tradisi dengan t kecil dan Tradisi dengan T besar. Yang pertama memiliki arti umum dan kuno, archaīque, yang terdapat pada semua masyarakat manusia sebelum datangnya agama-agama wahyu. Sedangkan tradisi dalam arti yang ideal adalah Tradisi Ilahi yang tidak dapat diubah oleh manusia. Tradisi ini merupakan pengungkapan kenyataan abadi yang mutlak. Tradisi yang terakhir ini selama dua puluh tahun di Mekkah dan Madinah telah bergumul dalam kancah sosial dan budaya yang menentangnya, setelah itu menjelma menjadi tradisi Islam yang berkembang dengan sejarahnya sendiri.62 Tradisi (dengan T) kedua, lanjut Arkoun, pada mulanya dalam (orang lain) salah tetapi masih ada kemungkinan benar”. Komentar al-Syafi’i ini sejalan dengan adagium para penganjur demokrasi, Voltaire, yang mengatakan: “Kami tidak setuju dengan pendapat anda, tetapi hak anda untuk mengatakannya akan kami bela sepenuhnya. Mun’im A. Sirry, “Kata Pengantar,” dalam, Robert Spencer, Islam Ditelanjangi: Pertanyaan-Pertanyaan Subversif Seputar Doktrin dan Tradisi Kaum Muslim, terj. Mun’im A. Sirry (Jakarta: Paramadina, 2004), hlm, viii. 59 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Question, Uncommon Answer, trans. Robert D. Lee (Boulder: Westview Press, 1994). Di antara banyaknya masalah yang tak terpikirkan itu dalam wacana Islam tradisionalis dan konservatif, kata filosof Algeria Mohammed Arkoun, adalah merefleksikan alam Al-Qur’an secara analisis sebelum ia menjadi sebuah korpus yang telah ditentukan. Bahkan untuk mengajukan pertanyaan sehubungan dengan formasi sejarah sebuah korpus terbuka adalah pembicaraan mengenai Tuhan, oleh karenanya, untuk membicarakan hal ini akan memberikan sebuah waktu dalam sejarah Islam ketika Al-Qur’an “yang tanpa batas” tidak dapat diketahui dan ditangani oleh Muslim (nonmuslim) dewasa ini, yaitu, sebuah teks Tuhan yang total, ditentukan, dan tertutup. Mohammed Arkoun,The Unthought in Contemporary Islamic Thought (London: Saqi, 2002), khususnya Bab 1, “A Critical Introduction to Qur’anic Studies”, hlm. 37-65; Abu-Rabi΄, A PostSeptember 11 Critical, 143. 60 Ibid., 33. 61 “Tradisi” dalam makna ini jangan pula dikacaukan dengan turā Islam, suatu istilah yang biasa diterjemahkan sebagai “tradisi” dan digunakan untuk menunjukkan keseluruhan pengalaman Islam. Pemikir-pemikir Arab kontemporer, termasuk Hasan Hanafi dari Mesir, menggunakan istilah turā untuk menyatakan konsep evolusi tradisi agama yang menentukan norma-norma, tetapi tidak selalu mencerminkan dokumen-dokumen tertulis atau praktek-praktek kehidupan sehari-hari; ia berada dalam proses pembentukan yang terus menerus. Penggagas ide turā mencoba membebaskan ketergantungan Islam pada hadis, yang biasa dinamakan “tradisi” atau perkataan Nabi dan sahabat-sahabat dekatnya. Lihat misalnya Hasan Hanafi, Al- Turā wal tajdīd (Kairo: Al-markaz al΄Arabī lil baths wal nasyr, 1980); Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritik Arkoun,terj. Ahmad Baiquni, cet. ke-2 (Bandung: Mizan, 2000), 16; Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), 121124. 62 Ruslani, dalam kata pengantar Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj. Ruslani, cet. ke-2 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), xvii.
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
43
kelompok tiga agama monoteis: Yahudi, Kristen, dan Islam– tampak sebagai sebuah “modernitas” aktual karena ia meletakkan semua tradisi sebelumnya dalam kungkungan kebodohan dan kekacauan.63 Demikian juga menurut Muhammad ‘Abid al-Jābirī, tradisi (al-turā) adalah “seruan yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu, apakah itu masa lalu kita atau masa lalu orang lain, ataukah masa lalu tersebut adalah masa lalu yang jauh maupun yang dekat”.64 Ada dua hal yang penting untuk diperhatikan dari definisi ini: Pertama, bahwa tradisi adalah sesuatu yang menyertai kekinian kita, yang tetap hadir dalam kesadaran atau ketidaksadaran kita. Kehadirannya tidak sekedar dianggap sisa-sisa masa lalu melainkan sebagai masa lalu dan masa kini yang menyatu dan bersenyawa dengan tindakan dan cara berpikir kaum Muslim. Maka tradisi bukan hanya yang tertulis dalam buku-buku karya para pemikir yang tersusun di rak-rak perpustakaan, melainkan realitas sosial kekinian kaum Muslim itu sendiri.65 Kedua, tradisi yang mencakup tradisi kemanusiaan yang lebih luas seperti pemikiran filsafat dan sains. Yang kedua ini disebut al- Jābirī sebagai al-turā al-insānī.66 Kenyataannya, orang radikal-puritan Islam hanya mengidolakan “zaman keemasan Islam” (thegolden age of Islam) di mana zaman ini dianggap sebagai premis fundamental iman dan keadilan dan kejujuran yang sempurna sungguh-sungguh terealisasi. Ironisnya, orang-orang puritan menginginkan umat Islam untuk kembali kepada zaman keemasan Islam di mana masyarakatnya jujur dan adil, tapi mereka tidak menerapkan sifat-sifat tersebut, bahkan mereka menerapkan despotisme ganas di beberapa negara Muslim.67 Jika bentuk negara yang diinginkan kelompok radikal-puritan adalah penerapan syariah, bagaimana meletakkan hukum syariah dalam sebuah negara yang demokratis? Dalam hal ini, Khaled Abou El Fadl menegaskan agar tercapainya tujuan hukum Islam (maqāsid al-syari’ah)68, setiap individu harus menyelamatkan agama (al-dīn), jiwa (al- nafs), intelektual (al-aql), kekayaan (al-māl) dan keturunan (al-nasl). Kelima kepentingan ini tercantum di dalam a sarjana klasik menyusun tiga kategorisasi, dengan menegaskan bahwa isu-isu yang arūriyyāt (kemendesakkan yang mendasar), ājiyyāt (kebutuhan mendasar), dan tasīniyyāt (kemewahan atau pemerindah).69 Selanjutnya, langkah-langkah yang dilakukan umat Islam agar terhindar dari jebakan 63
Ibid., xvii-xviii. Muhammad ‘Abid al-Jābirī, Al-Turā wa al-Hadatsah, Dirasah wa Munaqasah (Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hlm. 45. Lihat juga Muhammad ‘Abid al-Jābirī, Post Tradisionalisme Islam,terj. Ahmad. Baso (Yogyakarta: LKiS, 2000), 24. 65 Pengertian al-turā seperti ini juga dikemukakan oleh Hasan Hanafi dalam al-Turā wa al-Tajdīd, mauqifunā min al-turā al-Qadīm (Kairo: al-Muassah al-Jāmi’iyyah, 1992), 14-21. 66 Muhammad ‘Abid al-Jābirī, “al-turā Tharīqunā al-Wahīd ila al-‘Ashr” dalamMuhammad ‘Abid al-Jābirī dan Hasan Hanafi, Hiwār al-Masyriq wa al-Maghrib (Beirut: al Muassah al-‘Arabiyyah Li al-Dirāsāt wal-Nasyr, 1990), 3. 67 El Fadl, Selamatkan Islam, hlm. 198-199. Untuk menyebut beberapa, Khaled memberikan contoh negaranegara yang tergolong rezim despotik: Arab Saudi, Mesir, Suriah, Yordania, Aljazair, Tunisia, Sudan, Mauritania, Pakistan, Uzbekistan, dan Indonesia, dan mereka mempunyai catatan atas prestasi hak asasi manusia yang buruk; dan semua negara ini telah menghasilkan banyak puritan dalam jumlah yang sangat signifikan.Ibid., 367. 68 Fadl, Atas Nama Tuhan, hlm. Dalam menyebutkan lima kepentingan terlindungi yang dalam khasanah klasik lazim disebut al-arāriyyāt al-khamsah ini secara agak mengherankan Abou El Fadl memasukkan “agama” (dīn, religion) dan terkadang menggantinya dengan “nama baik atau reputasi” (reputation). Dengan merujuk pada beberapa kitab karya fukaha klasik dan kontemporer, Abou El Fadl memasukkan “agama” di daftar pertama. Selengkapnya: agama (dīn, religion), kehidupan (nafs, life), akal (‘aql, intellect), keturunan (nasl, lineage), dan harta (māl, property). 69 Abou El Fadl, Selamatkan Islam, 227. 64
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
44
radikalisme-puritanisme adalah:Pertama, umat Islam harus membongkar struktur nalar komisi fatwa yang dikeluarkan Lembaga Pengkajian Ilmiah dan Fatwa CRLO (Council For Scientific Research and Legal Opinions; al-Lajnah al-Dā’imah lī al-Buhū al-‘Ilmiyyah wa al-Iftā’) di Arab Saudi yang mengasumsikan dirinya sebagai “wakil Tuhan”. Mereka merasa berhak untuk menolak dan menyeleksi pelbagai produk hukum yang hadir di luar hasil fatwa mereka, sembari memaksa fatwa hukum mereka dengan memberikan alasan bahwa Tuhan telah menghendaki demikian.Kedua, umat Islam tidak boleh melampaui wewenang teks-teks suci Al-Qur’an. Ketiga, menolak fatwa yang dikemukakan ulama wahabi yang menafikan adanya unsur yang berubah dalam Islam atau Al-Qur’an. Mereka menempatkan keseluruhannya ke dalam unsur yang tetap, sedang yang tetap adalah apa yang mereka fatwakan. Jika ada pemahaman komunitas interpretasi lain yang berbeda dengan mereka tentang Al-Qur’an atau hukum Islam, dengan sendirinya mereka bakal dipandang merubah apa yang seharusnya tetap dan itu berarti melanggar kehendak Tuhan. Hal penting lainnya yang perlu dipertimbangkan dalam memahami hukum Islam adalah kejujuran, kesungguhan, menyeluruh, rasionalitas, dan pengendalian diri. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan Gerakan Islam garis keras, pendirian Negara Islam Indonesia (NII),70 penolakan Pancasila sebagai ideologi Negara, pembentukan pemerintahan Khilafah,71 dan simbol-simbol Islam lainnya adalah sederet gagasan untuk merubah Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Alasan munculnya gerakan ini bervariasi mulai dari permurnian tauhid, gerakan dakwah, jihad hingga persoalan politik, eonomi, sosial, dan budaya. Sesungguhnya, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah harga mati yang tidak bisa ditawarkan sebagai pilar kebangsaan. Bagaimana pun juga, Seperti yang diungkapkan Nurcholish Madjid, dibolak-balik pun Indonesia tetap Islam.72 Apalagi nilai-nilai luhur pada kelima sila Pancasila, seperti dikemukakan Yudi Latif, mengandung makna “Ketuhanan yang berkebudayaan, kemanusiaan universal, persatuan dalam kebhinnekaan, demokrasi permusyawaratan, dan keasilan sosial73 dan sekaligus berkaitan erat dengan ketakwaan kepada Allah, bersikap adil (`adl), terbuka, dan demokratis (tasāmuh) itu adalah manifestasi dari ajaran Islam yang mengintegrasik dua aspek, yakni hablum min Allah (hubungan vertikal dengan Allah) dan hablum min al-nas (hubungan horizontal dengan sesama manusia).74 Kekerasan yang dilakukan umat Islam atas nama agama tidak seiring dengan tipologi beragamanya Rasulullah Saw. Sebab beliau menerapkan humanis, toleran, dan lemah lembuh 70
Sebagai mana juga tahun 2003, pers nasional lagi ramai mengangkat fenomena munculnya kembali apa yang disebut sebagai Negara Islam Indonesia (NII). Beberapa orang tua dan bebarapa kampus di tanah air melaporkan kehilangan anak dan mahasiswanya, karena direkrut oleh NII. Kedaulatan Rakyat, 23 April 2011. Pendalaman secara teoritik mengenai Political Islam , mahasiswa perguruan tinggi agama perlu membaca buku yang diedit oleh Ibarahim M. Abu-Rabi’ (Ed.), The Contemporary Arab Reader on Political Islam,New York: Pluto Press, 2010. 71 Untuk lebih jelasnya lihat ED Husein, Matinya Semangat Jihad: Catatan Perjalanan Seorang Islamis (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007) 72 Lihat Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi (Jakarta: Paramadina, 2002). 73 Lihat Yudi Latif Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011). 74 M. Yunan Yusuf, Internaslisasi Etika Islam ke Dalam Etika Nasional: Agenda Pemikiran Islam Menuju Indonesia Baru dalam Pramono U. Tanthowi (ed.), Begawan Muhammadiyah: Bunga Rampai Pidato Pengukuhan Guru Besar Tokoh Muhammadiyah (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), 44-45.
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
45
dalam menyampaikan pesan-pesan agama. Bahkan di medan perang beliau tidak membunuh musuh yang telah menyerah, namun mengambil harta rampasan perang saja. Beliau juga berperang (jihad) ketika berada di wilayah perang (dar al-harb). Sebaliknya, beliau tidak berperang (jihad) di wilayah damai (dar al-Islam). Komaruddin Hidayat menyarankan agar peran aktif kedua organisasi besar Islam, Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah tetap menjaga independensinya sebagai kekuatan moral, sosial, dan intelektual agar ketika terjadi gerakan radikalisme keagamaan dan konflik sosial keduanya mampu berfungsi sebagai peredam, wasit, dan pemberi solusi yang cerdas dan berwibawa.75 Faktor terpenting keutuhan bangsa Indonesia sejak dahulu hingga sekarang adalah kesetiaan pada elit dan anak-anak bangsa pada warisan budaya Indonesia sendiri, dan berbagai keragaman dan kesamaan menjadi fakta yang diterima dan dihargai. Pada hakekatnya, tradisi dan budaya Indonesia mengandung pesan-pesan luhur berbagai agama. Namun bukan berarti menghasilkan agama baru, melainkan menyerapkan pesan luhur yang terkandung dalam semua agama yang dianut bangsa Indonesia. Karena itu, kesamaan ini menjadi perekat keutuhan bangsa, sementara perbedaan yang ada menjadi kekayaan dan tidak dipertentangkan. Umat Islam Indonesia hendaknya senantiasa menjadi Islam moderat. Islam moderat dapat diklasifikasikan individu moderat dan organisasi moderat. Pertama, individu moderat yaitu individu yang menerima dan menghargai pandangan dan keyakinan yang berbeda sebagai fitrah; tidak mau memaksakan kebenaran yang diyakininya kepada orang lain, baik secara langsung maupun melalui pemerintah; menolak cara-cara kekerasan atas nama agama dalam bentuk apa pun; menolak berbagai bentuk pelarangan untuk menganut pandangan pada keyakinan yang berbeda sebagai bentuk kebebasan beragama yang dijamin oleh Konstitusi negara kita; Menerima Dasar Negara Pancasila sebagai landasan hidup bersama dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai konsensus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang melindungi perbedaan dan keragaman yang ada di tanah air. Kedua, organisasi moderat adalah kelompok yang memiliki karakteristik seperti yang tercermin dalam karakteristik individu moderat, ditambah dengan visi dan misi organisasi yang menerima Dasar Negara Pancasila sebagai landasan hidup bersama bangsa Indonesia dan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai konsensus final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.76 Hubungan Islam, keindonesiaan, dan kemanusiaan harus ditempatkan dalam satu napas. Dilihat dari persprektif sejarah awal Islam, Islam sebagai pesan langit terakhir dalam rentang waktu yang relatif singkat telah berhasil mendapatkan bumi yang beragama suku, agama, ras, dan golongannya. Maka tugas selanjutnya adalah mengisi Pancasila dengan nilai-nilai kenabian yang sangat kaya dalam masalah moral, etika, sumber hukum, dan doktrin eskatologis yang tidak mungkin diberikan filsafat ciptaan manusia.77 Wacana kemasyarakatan kita pada era reformasi ini, yang kemudian masuk dalam rumusan Ketetapan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat 1998, adalah munculnya istilah Masyarakat Madani (civil society/masyarakat sipil). Masyarakatan madani pertama-tama adalah masyarakat berperadaban, masyarakat civility. Yakni masyarakat yang adil, terbuka, dan demokratis dengan landasan takwa kepada Allah Swt., Tuhan Yang Maha Esa, serta taat kepada ajaran-Nya. Sayangnya, di kalangan Muslim radikal, nilai-nilai universal yang dituangkan dalam konvensi-konvensi internasional oleh Persyarikatan Bangsa-bangsa (PBB), seringkali bertaut 75
Komaruddin Hidayat, Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009), 33-34. Wahid (ed.), Ilusi Negara Islam, 46-47. 77 79Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (Bandung: PT. Mizan Pustaka dan MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2009), 315 76
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
46
dengan ‘trauma sejarah dan psikologi’ era as-salaf as-salih masa lalu yang menimbulkan apriori dan ketegangan yang pada puncaknya menciptakan tasadum al-aqidah atau ‘class of theology.Rongrongan korupsi, kolusi dan nepotisme juga memperkeruh nilai-nilai subtansif demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan universal.78 Akibatnya, agama yang semula menjadi jangkar spiritualberubah menjadi alat untuk melampiaskan rasa frustasi dan apatisme kolektif tersebut. Alih-alih membangkitkan kesadaran moralitas lintas budaya (cross-cultural morality) sebagai cara untuk menguatkan nilai-nilai universal, gerakan revivalisme agama terjebak dalam ekstrimisme dan politisasi agama yang justru mengabaikan nilai-nilai fundamental agama untuk menciptakan perdamaian (peace) dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan (human dignity).79 Penutup Munculnya berbagai masalah sosial pasca-kemerdekaan negara-negara Asia Tenggara, terutama di Indonesia menguatkan kerisauan Geertz dan Hefner bahwa fondasi etniskeagamaan dapat menjadi sangat rapuh manakala terkait dengan persaingan perebutan kendali negara dalam membagi kue keadilan dan kesejahteraan kepada rakyat banyak. Dominasi suatu kelompok ethno-religiousakan mengoyak upaya untuk membangun suatu negara bangsa, baik secara internal maupun eksternal sebagaimana terjadi pasca reformasi tahun 1998. Fondasi negara bangsa dipertanyakan kembali manakala terjadi konflik dan kekerasan pada level masyarakat sipil. Seperti Bhikhu Parekh, Hefner menawarkan suatu konsep tentang kewarganegaraan yang multikultural (multicultural citizenship). Tawaran tersebut mengandaikan bahwa masyarakat sipil mempunyai peran lebih besar dalam mengelola keberagaman berbasis budaya, agama, etnisitas, gender dan ideologi sosial lain agar dapat menjadi modal sosial dan modal kultural bagi terwujudnya demokrasi Indonesia menuju baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Daftar Rujukan Abu-Rabi`, Ibarahim M. (Ed.),The Contemporary Arab Reader on Political Islam, New York: Pluto Press, 2010. Abu-Rabi`, Ibarahim M., “A Post-September 11 Critical Assessment of Modern Islamic History” dalam Ian Markham dan Ibrahim M. Abu-Rabi’ (eds.), 11 September: Religious Perspective on The Causes and Consequences, Oxford: Oneworld Publications, 2002. al-Jābirī, Muhammad ‘Abid, “al-turā Tharīqunā al-Wahīd ila al-‘Ashr” dalam Muhammad ‘Abid al-Jābirī dan Hasan Hanafi, Hiwār al-Masyriq wa al-Maghrib, Beirut: al Muassah al-‘Arabiyyah Li al-Dirāsāt wal-Nasyr, 1990. Almond, Ian,The New Orientalis: Postmodern Representations of Islam from Foucault to Baudrillard, London: I.B. Tauris and Co. Ltd, 2007. Al-Sid, Muhammad ‘Ata, Sejarah Kalam Tuhan, terj. Ilham B. Saenong, Bandung: Teraju, 2004. Amstrong, Karen, Perang Suci: Dari Perang Salib hingga Perang Teluk, Jakarta: PT. Serambi Ilmu semesta, 2007. 78
Pengalaman rakyat dan bangsa Indonesia ketika menumbangkan rejim orde baru pada tahun 1998, yang telah berkuasa lebih dari 30 tahun, juga akhirnya mengangkat problem kebangsaan dan kenegaraan yang mendasar, yang kemudian dikenal dengan akronim KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sebagai penyakit sosial-politik yang melanggar prinsip meritokrasi dalam era demokrasi. 79 Basam Tibi. The Challenge of Fundamentalism: Political Islam dan The New World DisorderLondon: University of California Press, 2002. Juga Khaled Abou El-Fadl,The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (San Fransisco, Harper Collins, 2005).
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
47
Amstrong, Karen, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh OrangOrang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun, terj. Zaimul Am, cet. ke-6, Bandung: Mizan, 2002. Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS, 1994. Arkoun, Mohammed, Rethinking Islam: Common Question, Uncommon Answer, trans. Robert D. Lee, Boulder: Westview Press, 1994. Arkoun, Mohammed,The Unthought in Contemporary Islamic Thought, London: Saqi, 2002. Assyaukanie, Luthfi Islam Benar versus Islam Salah, Depok: KataKita, 2007. Asy-Syarastani, Almilal wa al-Nihal, terj. Asywadie Syukur, Surabaya: Bina Ilmu, 2006. Azra, Azyumardi , Jejak-Jejak Kaum Muslim: Dari Australia hingga Timur Tengah, Jakarta: PT. Mizan Publika, 2007. Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. Bagir, Haidar, “Membumikan Tasawuf, dalam”, Hasan M. Noer (ed.), Agama di Tengah Kemelut, Jakarta: Mediacita, 2001. Dirks, Jerald F, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, terj. Satrio Wahono, cet. ke-2 (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006). Dirks, Jerald F., Abrahamic Faths: Titik Temu dan Titik Seteru antara Islam, Kristen, dan Yahudi, terj. Santi Indra Astuti, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006. Effendi, Djohan,, “Kedewasaan Beragama”, dalam Hasan M. Noer (ed.), Agama di Tengah Kemelut, Jakarta: Mediacita, 2001. El Fadl, Khaled Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terj. Helmi Mustofa, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006. El Fadl, Khaled Abou,, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004. Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis AlQur’an, Depok: KataKita, 2009. Hanafi, Hasan dalam al-Turā wa al-Tajdīd, mauqifunā min al-turā al-Qadīm, Kairo: alMuassah al-Jāmi’iyyah, 1992. Hanafi, Hasan, , Al- Turā wal tajdīd, Kairo: Al-markaz al-΄Arabī lil baths wal nasyr, 1980. Hanafi, Hasan, Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita Terhadap Tradisi Lama, terj. Asep Usman Ismail, Suadi Putro, dan Abdul Rouf, Jakarta: Paramadina, 2003. Hardiman, F. Budi, Memahami Negativitas: Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma, Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara, 2005. Hidayat, Komaruddin, Memaknai Jejak-Jejak Kehidupan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2009. Hidayat, Komaruddin, Psikologi Agama Menjadikan Hidup Lebih Nyaman dan Santun, Jakarta: Hikmah, 2007. Hidayat, Komaruddin, Politik Panjat Pinang: Di mana Peran Agama?, cet. ke-1, Jakarta:Kompas, 2006. Hidayat, Komaruddin, Psikologi Ibadah: Menyibak Arti Menjadi Hamba dan Mitra Allah di Bumi, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008. Huntington, Samuel P.,The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, New York: Simon and Schuster, 1996. Husein, ED, Matinya Semangat Jihad: Catatan Perjalanan Seorang Islamis, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2007. Idahram, Syaikh, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Ulama, cet. ke-7, Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2011. AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
48
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2008. Latif, Yudi, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2011. Leaman, Oliver, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan Keindahan, terj. Irfan Abubakar, Bandung: Mizan, 2005. Lee, Robert D., Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritik Arkoun, terj. Ahmad Baiquni, cet. ke-2, Bandung: Mizan, 2000. Maarif, Ahmad Syafii, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, Bandung: PT. Mizan Pustaka dan MAARIF Institute for Culture and Humanity, 2009. Madjid, Nurcholish Madjid, Umrah dan Haji Perjalanan Religius, cet. ke-3, Jakarta: Paramadina, 2008. Madjid, Nurcholish, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, cet. ke-2, Jakarta: Paramadina, 2003. Madjid, Nurcholish, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, Jakarta: Paramadina, 2002. Manzhur, Abu al-Fadhi Muhammad ibnu, Qamus Lisan al-Arab, cet. ke-1, Jilid VI, Beirut, Lebanon: Dar as-Shadir, 1410 H. Muhammad ‘Abid al-Jābirī, Al-Turā wa al-Hadatsah, Dirasah wa Munaqasah, Beirut: alMarkaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991. Muhammad ‘Abid al-Jābirī, Post Tradisionalisme Islam,terj. Ahmad. Baso, Yogyakarta: LKiS, 2000. Muthahari, Murtadha dan Syekh Tosun Bayrak, Energi Ibadah: Selami Makna, Raih Kematangan Batin, terj. Asy’ari Khatib, Jakarta: Serambi, 2007. Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, cet. ke-14, Jakarta: Bulan Bintang, 2003. Rakhmat, Jalaluddin, Islam danj Pluralisme Akhlak Al-Quran Menyikapi Perbedaan, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003. Rakhmat, Jalaluddin, Membuka Tirai Kegaiban: Renungan-Renungan Sufistik, Bandung: Mizan, 2008. Ramadhan, Tariq, Western Muslims and The Future of Islam, New York: Oxford University Press, 2005. Reza, Raheel, “Calling for Islamic Reformation” Scholar is Critical of Fellow Muslims Status of Woman Needs Examinition,” http://scholarofthehouse.stores.yahoo.net/caltorstar11.html, diunduh 25 Juli 20012. Ricard, Jihād From Qur’an to bin Laden, Great Britain: Antony Rowe Ltd, Chippenham and Eastbourne, 2004. Ruslani, dalam kata pengantar Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, terj. Ruslani, cet. ke-2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Schimmel, Annemarie, Islam Interpretatif: Upaya Menyelami Islam dari Inti Ajaran, AliranAliran sampai Realitas Modernnya, terj. M. Chairul Annam, Depok: Inisiasi Press, 2003. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. ke-26, Bandung: Mizan, 2003. Siraj, Said Agil, Kata Pengantar dalam Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik: Episode Kebohongan Publik Sekte Salafi Wahabi, cet. ke-2, Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang, 2011.
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013
49
Sirry, Mun’im A., “Kata Pengantar,” dalam, Robert Spencer, Islam Ditelanjangi: PertanyaanPertanyaan Subversif Seputar Doktrin dan Tradisi Kaum Muslim, terj. Mun’im A. Sirry, Jakarta: Paramadina, 2004. Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006. Syariati, Ali, Makna Haji, terj. Burhan Wirasubrata, Jakarta: Zahra, 2007. Tariq Ramadhan, Teologi Dialog Islam-Barat Pergumulan Muslim Eropa, terj. Abdullah Ali, Bandung: Mizan, 2002. Tibi, Basam, The Challenge of Fundamentalism: Political Islam dan The New World Disorder London: University of California Press, 2002. Khaled Abou El-Fadl,The Great Theft:Wrestling Islam from the Extremists, San Fransisco, Harper Collins, 2005. Tradisi, Nurcholish, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, cet. ke-1, Jakarta: Paramadina, 1997. Ul-Huda, Qomar, “Tradisi-Tradisi Yang Plural”, dalam Khaled Abou El Fadl, Toleransi Islam, terj. Komunitas Eam, Yogyakarta: CV. Arindo Nusa Media, 2006. Wahid, Abdurrahman, (ed.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia Jakarta: PT. Desantara Utama Media, 2009. Watanabe, Teresa “Battling Islamic Puritans,” dalamLos Angeles Times, 2 Januari 2002. Yusuf, M. Yunan, Internaslisasi Etika Islam ke Dalam Etika Nasional: Agenda Pemikiran Islam Menuju Indonesia Baru dalam Pramono U. Tanthowi (ed.), Begawan Muhammadiyah: Bunga Rampai Pidato Pengukuhan Guru Besar Tokoh Muhammadiyah, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005
AKADEMIKA, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013