Dakwah Kultural, Karya ‘Ulama Indonesia Kajian Untuk Menangkal Radikalisme Agama Muh. Barid Nizaruddin Wajdi STAI Miftahul „Ula Kertosono Nganjuk
[email protected] Diterima : 09 Januari 2015
Direview : 06 Februari 2015
Diterbitkan : 13 Maret 2015
Abstract: It is undeniable that some Indonesian Muslims comprehend Islam in radicalism perspective. They use several ways to spread this radicalism through the organization of cadres, speech in mosques that managed under their control, magazines publishing, booklet and books, and through various websites on internet. Although many people develop tendentious speculation that terrorism originates from fundamentalism and religious radicalism, but not a few who believe that the motives of radicalism and terrorism are not sourced from a single aspect. This article discusses about the propaganda (Dakwah) that is carried out by Muhammad (pbuh), Walisongo and theologian („Ulama). The term of dakwah is often used by Muslims who spread theirbeliefs to others There are some Muslims who engage in dakwah actively. This clearly requires a preacher to adapt the method used, especially in modern era. Such as, the first is dakwah bil kitabah, the method of dakwah by writing, either through books, newspapers or magazines. The second is dakwah bil lisan. Dakwah verbally (linguistic) such as, seminar, symposium, discussion, sermon, opened discussion, chatting etc. The third is dakwah bi al-hal. Dakwah with the act, which is expressed in action to the development of the surrounding environment. Keywords: Dakwah, Method, Islam, Radicalism Pendahuluan “Islam” secara harfiahberasal dari kata bahasa Arab yaitu aslama-yuslimu yang berarti patuh, tunduk, selamat, damai dan sejahtera. Dengan kata lain Islam juga dapat diartikan menyerah penuh, yakni tunduk kepada petunjuk dan peraturan Allah yang disampaikan oleh rasul-Nya.1 Secara istilah, pengertian Islam adalah tunduk dan patuh serta menyerah diri dengan sepenuh hati kepada Allah SWT dengan mengakui kebesaran dan keagungan-Nya disamping melakukan suruhan dan meninggalkan 1
Agus Bustanuddin, Al-Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993), 59. JURNAL LENTERA: Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi Volume 14, Nomor 1, Maret 2016 P-ISSN : 1693-6922/ E-ISSN : 2540-7767
Muh. Barid Nizaruddin Wajdi
larangan-Nya. Selain itu, Islam juga bermaksud suatu cara hidup yang lengkap meliputi setiap aspek kehidupan.2 Sebagai agama samawi, agama Islam merupakan satu sistem agama dengan tiga pedoman kehidupan, yaituaqidah, syari’ah dan akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan manusia, baik secara vertikal maupun horisontal, dalam berbagai hubungan baik dengan Tuhan, manusia dan alam lingkungan.Dalam al-Qur’an Allah SWT telah memberikan tuntunan dakwah yang baik dan benar. Selaras dengan apa yang telah Allah perintahkan tersebut, Rasulullah Muhammad SAW telah memberikan contoh dan gambaran kepada umatnya bagaimana cara berdakwah yang baik dan benar serta praktis dengan memperlihatkan suri teladan yang baik. Sejarah mengungkapkan bahwa masuknya Islam ke Indonesia selalu diidentikkan dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia, ataupun Gujarat. Namun menurut Slamet Mulyana, Islam di Nusantara tidak hanya berasal dari wilayah India dan Timur Tengah, akan tetapi juga dari Cina, tepatnya Yunan. Dipaparkan bermula dalam pergaulan dagang antara muslim Yunan dengan penduduk Nusantara. Pada kesempatan itu terjadilah asimilasi budaya lokal dan agama Islam yang salah satunya berasal dari daratan Cina. Diawali saat armada Tiongkok Dinasti Ming yang pertama kali masuk Nusantara melalui Palembang tahun 1407. Saat itu mereka mengusir perampok-perampok dari Hokkian Cina yang telah lama bersarang disana. Kemudian Laksamana Cheng Ho membentuk kerajaan Islam di Palembang. Kendati Kerajaan Islam di Palembang terbentuk lebih dahulu, namun dalam perjalanannya sejarah Kerajaan Islam Demaklah yang lebih dikenal.3 Kemampuan para Walisongo dalam menyebarkan dakwah tidak lepas dari kecakapan mereka untuk memadukan nilai-nilai agama dengan kearifan budaya lokal. Sehingga masyarakat dapat diajak masuk ke Islam tanpa adanya paksaan. Model dakwah ini dinamakan dakwahkultural. Metode tersebut banyak diadopsi oleh para „ulama masa kini.Pada era 1980an, kita dapat menyaksikan kesegaran dakwah yang mempesona dari KH. Yasin Yusuf al-Blitari, almaghfurlah, KH. Bisri Mustofa dari Rembang dan Nyai Siti Asiyah. Ketiga-tiganya mempunyai daya pikat yang berbeda. Tapi ada benang merah yang dapat ditarik dari para pendakwah ini, yaitu 2 3
Ahmad Zulkifli, Tasawwur Islam, (Perak Malaysia: Pustaka Media Jaya, 2001), 28. Wahyu Illahi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Bandung: Kencana, 2007), 171.
38 | JURNAL LENTERA: Kaji an Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi
Dakwah Kultural, Karya ‘Ulama Indonesia Kajian Menangkal Radikalisme Agama
kemampuannya untuk memainkan “bahasa rakyat”. Mereka memahami betul akan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, seperti dakwah yang komunikatif dan humoris tanpa kehilangan akan pesan-pesan agama yang pokok ditengah gersangnya nilai-nilai spiritual umat Islam. Pada saat ini, dakwah mulai menggunakan berbagai media. Diantaranya media sosial yang mempunyai daya jangkau public yang sangat luas, melampaui batas territorial negeri ini. Dakwah ini tidak lain untuk mengajak umat Islam untuk lebih memahami agama secara kaffah. Dan mengajak non-muslim untuk lebih mengenal Islam dengan lebih baik, tanpa adanya paksaan. Dakwah sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai problematika masyarakat saat ini. Seperti kasus radikalisme yang mengatasnamakan agama. Ada beberapa sebab terjadinya radikalisme atas nama agama, antara lain karena tidak adanya keadilan, rendahnya pemahaman agama, dan adanya intoleransi dalam beragama. Para pelaku radikalisme adalah orang-orang yang saleh ritual secara agama, tapi masih belum saleh sosial. Dakwah kultural menjadi solusi dan alternative utama untuk mengatasi radikalisme agama. Karena tindakan dakwah ini berdasarkan pada nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Pembahasan Dakwah menurut etimologi (bahasa) berasal dari bahasa Arab: da’a-yad’uda’watan yang berarti mengajak, menyeru, dan memanggil.4 Diantara makna dakwah secara bahasa adalah: -
An-Nida artinya memanggil; da’a filanun Ika fulanah, artinya si fulan mengundang fulanah.
-
Menyeru, ad-du’a ila syai’i, artinya menyeru dan mendorong pada sesuatu.5 Dalam dunia dakwah, orang yang berdakwah biasa disebut Da’i atau mubaligh
dan orang yang menerima dakwah atau orang yang didakwahi disebut dengan Mad’u.6 A. Metode Dakwah Rasulullah SAW Awal dakwah Rasulullah SAW berawal dari pendekatan individual (personal approach), mengumpulkan kaum kerabatnya di bukit Shafa. Kemudian berkembang Samsul Munir Amin, Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam, (Jakarta: t.p., 2008), 3. Jum‟ah Amin Abdul Aziz, Fiqih Dakwah: Studi Atas Berbagai Prinsip dan Kaidah yang Harus Dijadikan Acuan dalam Dakwah Islamiah, (Solo: t.p., 2011), 24. 6 Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah, (Jakarta: t.p., 2011), 1. 4 5
Volume 14, Nomor 1, Maret 2016 | 39
Muh. Barid Nizaruddin Wajdi
melalui pendekatan kolektif seperti yang dilakukan ketika berdakwah ke Thaif dan musim haji. Ada yang berpendapat bahwa berdakwah itu hukumnya fardhu kifayah, dengan menisbatkan pada lokasi-lokasi yang didiami para da’i dan muballigh. Artinya, jika pada satu kawasan sudah ada yang melakukan dakwah, maka dakwah ketika itu hukumnya fardhu kifayah. Dengan demikian sebenarnya dakwah merupakan kewajiban setiap individu. Hanya dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi di lapangan. Jadi pada dasarnya setiap muslim wajib melaksanakan dakwahIslamiyah, karena merupakan tugas ubudiyah dan bukti keikhlasan kepada Allah SWT.7 Metode dakwah yang dipergunakan oleh Rasulullah SAW tidak terlepas dari bimbingan wahyu yang disampaikan kepadanya. Pada tahap awalnya metode yang dipergunakan oleh Rasulullah adalah dakwahsirriyahatau sembunyi-sembunyi, kemudian dilanjutkan dengan metode dakwahjahriyah, atau terang-terangan, cara ini dapat digolongkan pada beberapa bagian yaitu: pidato umum (khutbah, ceramah dan lain-lain), diskusi (hal ini biasanya berupa dialog atau perdebatan). Ada pula metode lain yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam berdakwah yaitu metode tanya jawab. Pada saat-saat tertentu Rasulullah SAW juga menggunakan metode peragaan atau praktek langsung, seperti masalah sholat, haji, zakat, dan lain-lainnya. Bila ditinjau dari materi dakwah yang disampaikan, maka metode dakwah Rasulullah SAW berbentuk tabsyir dan tandzir, sedangkan bila ditinjau dari segi subjek dan objeknya maka metode dakwah Rasulullah SAW terbagi menjadi tiga bagian. Sesuai dengan firman Allah SWT yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS an-Nahl [16]:125).8 1. Metode yang pertama hikmah, yang ditujukan kepada orang yang memiliki pemahaman yang tinggi seperti tokoh-tokoh Yahudi, Nasrani maupun para bangsawan. 7 8
Khaidi Khatib Bandaro, Metodologi Dakwah, (Padang: IAIN Press, 1996), 37. Achmad Fah rudin, Al-Quran Digital, Versi 2.0, http://www.alquran-digital.com, Maret 2004.
40 | JURNAL LENTERA: Kaji an Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi
Dakwah Kultural, Karya ‘Ulama Indonesia Kajian Menangkal Radikalisme Agama
2. Metode yang keduamauidhoh hasanah, dengan memberi pelajaran yang baik, yang ditujukan pada orang-orang yang awam serta yang rendah tingkat pemahamannya, seperti menceritakan kisah Nabi atau orang shaleh. 3. Metode yang ketiga Mujadalah, yaitu dengan cara berdiskusi, ditujukan pada orang-orang yang tingkat pemahamannya sedang-sedang saja, yang mana rasa ingin tahunya cukup tinggi. Biasanya mereka suka mempertanyakan sampai mereka paham dari yang mereka pertanyakan, sehingga tidak ada keraguraguan lagi.9 Menurut Shidiqi ada beberapa kunci kesuksesan dakwah Rasulullah SAW dalam memimpin umat. Adapun kunci kesuksesan itu patut untuk diteladani umat Islam dalam membangun sebuah pemerintahan antara lain: Pertama, akhlak Nabi yang terpuji tanpa cela. Beliau sejak muda sebelum diangkat menjadi rasul terkenal lemah lembut berakhlak mulia, jujur dan tidak mementingkan diri sendiri atau sukunya. Karena kejujurannya beliau mendapat julukan al-Amin dan karena kejujurannya pula beliau mendapat kepercayaan dari Siti Khatidjah untuk membawa barang dagangannya. Dan kemudian menjadi istri yang mendukung perjuangan dakwahnya dan karena kejujurannya pula beliau dipercaya dalam masalah meletakkan Hajar al-Aswad pada tempatnya setelah Ka‟bah selesai direnovasi oleh Majlis Hilf al-Fdlul. Dengan kebijaksanaan Rasulullah SAW menyelesaikan tugas dengan baik. Rasulullah SAW adalah orang yang lembut budi pekertinya, tidak bengis, tidak suka mencela dan juga tidak kikir. Kedua, karakter Rasulullah SAW adalah tahan uji, ulet, teguh, sederhana dan semangat berkerja keras walaupun terlahir dalam keadaan yatim dari kalangan suku yang terpandang namun beliau tidak mau mengantungkan hidupnya pada belas kasih orang lain. Beliau adalah orang yang mandiri sejak kecil. ikut menggembala ternak keluarga, membantu pamannya berdagang, satu perjalanan yang sulit dan cukup berbahaya pada waktu itu. Sikap percaya diri dan pengalaman hidup yang penuh perjuangan telah menggembleng dirinya menjadi
9
Moenawar Chalil, Kelengkapan Retorika Nabi Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 76.
Volume 14, Nomor 1, Maret 2016 | 41
Muh. Barid Nizaruddin Wajdi
seorang pemimpin yang tangguh. Selain itu pengalaman hidup yang membuat dirinya matang dan mengenal liku-liku kehidupan seluruh lapisan masyarakat. Ketiga, sistem dakwah Nabi yang menggunakan metode himbauan yang diwarnai oleh hikmah kebijaksanaan dalam menyeru manusia agar beriman dan mencegah kemungkaran, tidak ada unsur paksaan. Allah memerintahkan “Tidak ada paksaan dalam beragama” (La ikraha fi ad-din), Nabi Muhammad SAW tidak pernah
dendam
terhadap
orang-orang
yang
pernah
menyakiti
dan
mencemoohnya, sifat himbauan yang komunikatif serta tanpa paksaan merupakan kebijaksanaan Nabi. Keempat, tujuan perjuangan Nabi yang jelas menuju ke arah menegakkan keadilan dan kebenaran serta menghancurkan yang batil tanpa pamrih kepada harta, kekuasaan, dan kemuliaan duniawi. Nabi menolak tawaran para pemimpin Quraisy jahili untuk menukar gerak perjuangannya dengan harta, tahta dan wanita, Nabi Muhammad SAW tidak akan meninggalkan tugas dakwahnya sampai agama Islam tegak. Dan ketika Nabi telah menduduki jabatan sebagai pemimpin umat yang mempunyai kekuasaan, beliau tidak menggunakan harta baitulmal untuk menumpuk kekayaan baik untuk pribadi maupun untuk anggota keluarganya. Kelima, prinsip persamaan. Rasulullah SAW dalam bergaul tidak pernah membedakan satu dengan yang lain, bersikap sama terhadap semua orang, baik dengan yang kuat maupunyang lemah, yang kaya maupun yang miskin, baik terhadap musuh maupun sahabat. Beliau tidak pernah menghardik yang bersifat menghina dan bermuka masam kepada siapapun. Keenam, prinsip kebersamaan. Rasulullah SAW dalam menggerakkan orang berbuat tidak hanya sekedar memberikan perintah, namun beliau sendiri terjun memberikan contoh. Beliau sendiri ikut terjun menyingsingkan lengan baju dan kaki jubahnya dalam membangun masjid Quba di Madinah, dan beliau selalu ikut terjun langsung dalam setiap pembangunan maupun medan tempur memimpin pasukan. Ketujuh, mendahulukan kepentingan dan keselamatan pengikutnya. Ketika sikap permusuhan orang-orang Quraisy Jahili sudah sampai taraf sadistis, Nabi memerintahkan sebagian kaum muslimin berhijrah ke Abbesynia (Habasyah)
42 | JURNAL LENTERA: Kaji an Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi
Dakwah Kultural, Karya ‘Ulama Indonesia Kajian Menangkal Radikalisme Agama
demi keselamatan iman dan fisik mereka, sedangkan Nabi sendiri beserta beberapa orang sahabat lain; Abu Bakar, Umar dan Ali tetap tinggal di Mekah menghadapi berbagai macam cobaan. Namun resiko ini beliau abaikan demi keselamatan para pengikut. Kedelapan, selain wewenang kerasulan yang hanya diperuntukkan bagi dirinya oleh Allah SWT, maka wewenangnya selaku pemimpin umat dan negara ada sebagian yang didelegasikan kepada pejabat bawahannya. Selain itu Nabi memberikan kebebasan berpendapat dan berkreasi kepada sahabat yang menduduki suatu jabatan. Kesembilan, tipe kepemimpinan kharismatis dan demokratis. Muhammad SAW, memang orang yang terpilih untuk ditugaskan bukanlah kewibawaan sebagai Rasul Allah. Karena itu, kepadanya dikaruniai kharisma yang bukan saja memikat tetapi juga memukau. Gerak dan langkahnya terlihat kharismatis yang beliau peroleh tidak dibangun melalui jalan pengkultusan atau menempuh upayaupaya tertentu. Kewibawaan yang dimilikinya adalah murni yang lahir dari kebenaran dan kemurnian misi yang diembannya. Kepatuhan orang terhadap dirinya bukan karena rasa takut atau terpaksa, tetapi karena rela. Orang patuh kepada perintah atau larangannya yang hampir selauruhnya berasal dari Allah, bukan karena ketika berada didepannya tetapi juga ketika sendirian dan bersembunyi. Kepatuhan orang kepadanya adalah karena suruhan dan larangan objektif dan rasional. Semuanya bisa dicerna dan diterima akal sehat. Perintah agar manusia memelihara amanah, keimanan dan ketaqwaan kepada Allah, tidak mencuri dan perintah atau larangan yang lain agar tindak perbuatannya menyimpang dari syari‟at Islam. Sifat demokrastis kepemimpinan Nabi ini ditunjukkan pula oleh sikap beliau yang terbuka terhadap kritik dan saran orang lain. Sikap mendengar pendapat dan saran orang lain ditunjukkan oleh hadith yang mengatakan: “Terimalah nasehat walaupun datangnya dari seorang budak hitam”. Ini menunjukkan bahwa pada diri Nabi tidak ada sifat keangkuhan intelektual (intellectual snobbish) yang merasa pandai atau serba tahu. Nabi dengan rendah hati menyatakan bahwa beliau tidak mengetahui segalanya. Sejatinya pluralisme memiliki landasan teologis yang cukup kokoh dalam nilai dan ajaran Islam. Dalam dakwah Islam Rasulullah SAW di Madinah merupakan aplikasi faktual dari Volume 14, Nomor 1, Maret 2016 | 43
Muh. Barid Nizaruddin Wajdi
pluralisme toleransi pluralis yang ditampakkan Rasulullah SAW merupakan salah satu karakteristik penyebaran Islam. B. Metode Pengembangan Dakwah Walisongo Sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H/14 M, Penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam, seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra-Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaankerajaan Hindu atau Budha di Nusantara, seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The preaching of Islam mengatakan bahwa, kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkan sebagai Rahmatan lil„alamin. Sementara itu, dalam sejarah penyebaran agama Islam terutama dipulau Jawa banyak ditemukan literatur bahwa pada masa awal da‟i sebagai penyebar agama Islam banyak dipegang peranannya oleh “Wali Sembilan” yang lebih dikenal dengan “Walisongo”. Walisongo merupakan suatu Dewan Dakwah di Kesultanan Demak pada abad ke-15 sampai 16 M. Angka Sanga merupakan angka sembilan yang dianggap “Keramat” bagi orang Jawa. Dan memudahkan bagi Dewan dalam mengambil sebuah fatwa apabila terjadi voting. Adapun Walisongo tersebut yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Metode yang dikembangkan oleh para Wali dalam gerakan dakwahnya adalah lebih banyak melalui media kesenian budaya setempat disamping melalui
44 | JURNAL LENTERA: Kaji an Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi
Dakwah Kultural, Karya ‘Ulama Indonesia Kajian Menangkal Radikalisme Agama
jalur sosial ekonomi. Sebagai contoh adalah dengan media kesenian wayang dan tembang-tembang Jawa yang dimodifikasi dan disesuaikan oleh para Wali dengan konteks dakwah. Dalam menetapkan sasaran mad‟u nya para wali songo terlebih dahulu melakukan perencanaan dan perhitungan yang akurat diimbangi dengan pertimbangan yang rasional dan strategis yakni dengan mempertimbangkan faktor geo-strategis yang disesuaikan dengan kondisi mad‟u yang akan dihadapinya. Sehingga hasil yang dicapainya pun akan maksimal. Proses Islamisasi di pulau Jawa berjalan dengan aman dan damai, tanpa ada pergolakan serta kegoncangan psikologis dan sosial. Hal ini disebabkan para Wali lebih menggunakan pendekatan kultural, yang sarat dengan simbol-simbol kebudayaan lokal, seperti wayang dan gamelan. Akulturasi kebudayaan yang dipelapori Walisongo dilanjutkan oleh para juru dakwah berikutnya, sehingga pengamalan dan praktek Islam di Jawa terasa amat khas. Agama dan budaya berjalan secara selaras, serasi, dan seimbang. Materi dakwah yang diterapkan pada dakwah Walisongo ini adalah akidah, syari‟ah dan mu‟amalah, dimana para Wali menanamkan akidah kepada masyarakat setempat karena mengkhawatirkan penyimpangan akidah akibat tradisi masyarakat Jawa, serta memperhatikan secara khusus kepada kesejahteraan sosial dari fakir miskin, mengorganisir ‘amil zakat dan infak, dan juga mengajarkan ilmu-ilmu agama seperti ilmu fikih, ilmu hadith, serta nahu dan sharaf kepada anak didiknya. Ada beberapa metode yang digunakan para Wali dalam berdakwah yaitu: 1. Metode Ceramah Metode ceramah adalah metode yang digunakan para Wali untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah dengan cara lisan. 2. Metode Tanya Jawab Metode yang digunakan para Wali untuk mengetahui sejauh mana pemahaman muridnya tentang materi dakwah. 3. Metode Konseling Membuat kampung-kampumg percontohan yang dipilih di tengah-tengah dengan tujuan agar menjadi pusat rujukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mereka dalam segala hal. Volume 14, Nomor 1, Maret 2016 | 45
Muh. Barid Nizaruddin Wajdi
4. Metode Keteladanan Para Wali memiliki sifat Mahabbah atau kasih sayang, selalu risau dan sedih apabila melihat kemaksiatan, semangat berkorban harta dan jiwa, selalu istighfar setelah melakukan kebaikan, sabar menjalani kesulitan, memberi kepada semua makhluk tanpa minta bayaran, sehingga banyak masyarakat yang memeluk Islam. 5. Metode Pendidikan Para Wali membuka pendidikan pesantren untuk anak-anak yang ingin belajar ilmu agama. Mereka ditampung dalam satu pesantren. 6. Metode Bi’tsah Sunan Giri megembangkan Islam keluar Jawa, dengan cara mengirim anak muridnya ke pelosok-pelosok Indonesia untuk menyiarkan Islam misalnya, Pulau Madura, Bawean, Kangean bahkan sampai ke Ternate dan Huraku yakni Kepulauan Maluku. 7. Metode Ekspansi Sunan Ampel melebarkan wilayah dakwahnya, yaitu dengan mengutus orang kepercayaannya untuk berdakwah ke wilayah lain, seperti dengan mengutus Maulana Ishak untuk berdakwah ke daerah Blambangan. 8. Metode Kesenian Dalam berdakwah Sunan Muria menciptakan lagu-lagu Jawa-Islam, dan beberapa Wali juga menciptakan tembang-tembang, dan syair lagu-lagu gamelan yang berisi tentang ajaran tauhid dan peribadatan, ada juga tradisi selamatan peninggalan agama Hindu dan Budha didekati dengan acara tahlil, dan masih banyak lagi karya-karya para Wali berdakwah dalam bidang kesenian. 9. Metode Kelembagaan Mendirikan Masjid Agung Demak, dan Masjid inilah yang kemudian dirancang sebagai sentral seluruh aktivitas pemerintahan dan sosial kemasyarakatan. 10. Metode Silaturrahmi (Home Visit) Membangun hubungan silaturahmi dan persaudaraan dengan putra pertiwi (pribumi), yaitu dengan menikahkan dengan putri daerah setempat.
46 | JURNAL LENTERA: Kaji an Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi
Dakwah Kultural, Karya ‘Ulama Indonesia Kajian Menangkal Radikalisme Agama
11. Metode Karya Tulis Para Wali juga mempunyai karya tulis diantaranya, Sunan Muria memiliki karya tulis yang masih digemari sampai saat ini, yaitu tembang sinom dan kinanti, dan Sunan Kalijaga juga pengarang buku-buku wayang yang mengandung cerita dramatis dan berjiwa Islam. 12. Metode Drama Metode ini dilakukan para Wali karena pada saat itu masyarakat Jawa dikenal memiliki kegemaran terhadap seni pewayangan, dan Sunan Kalijaga memasukkan hikayat-hikayat Islam ke dalam permainan wayang. 13. Metode Propaganda Metode ini jelas dilakukan karena para Wali mereka mengajak warga setempat untuk memeluk Islam. 14. Metode Diskusi Metode diskusi biasa dimaksudkan sebagai pertukaran pikiran antara sejumlah orang secara lisan membahas suatu masalah tertentu dan bertujuan untuk memperoleh hasil yang benar.10 Dari metode-metode dakwah para Wali diatas dapat dinyatakan bahwa para Wali yang dalam usahanya mengislamkan masyarakat Jawa ialah dengan berusaha mengubah hal-hal lama yang tidak bersesuaian dengan Islam dengan melalui pendekatan budaya. Dalam hal ini H.J.Benda menegaskan bahwa bila agama Islam yang berasal dari Timur Tengah diterapkan ajaran aslinya di Nusantara (Islam Fiqh), mungkin tidak akan mendapatkan tempat untuk memasuki pulau-pulau Indonesia, lebih-lebih pulau Jawa.11 Ini merupakan cara bagi para Wali dalam memasukkan unsur-unsur keislaman kepada masyarakat Jawa yang pada saat itu sudah memiliki kepercayaan selain kepada Islam, dan dengan cara seperti ini pula para Wali mampu menorehkan tinta emas dalam menyebarkan agama Islam yang sampai saat ini masih tetap berkibar di Bumi Nusantara. Adapun media yang digunakan oleh Walisongo dalam penyebaran dakwah diantaranya adalah: 10 11
Saifullah Moh. Sawi, Sejarah dan Tamadun Islam di Asia Tenggara, (Malaysia: Karisma, 2009), 21. Ibid.
Volume 14, Nomor 1, Maret 2016 | 47
Muh. Barid Nizaruddin Wajdi
1. Masjid Di mana masjid ini digunakan sebagai tempat ibadah, dan masjid Demak juga dijadikan sentral seluruh aktivitas dan sosial kemasyarakatan. 2. Wayang Wayang sesungguhnya merupakan boneka yang terbuat dari kulit kerbau atau sapi, pipih yang memiliki dua tangan yang dapat digerakkan dengan stik dan dimainkan oleh seorang dalang. Oleh karenanya, di dalam cerita wayang itulah terkandung nilai moral dan akhlak perihal keimanan sampai pada thariqah (jalan) menuju ketaqwaan kepada Allah SWT. 3. Pesantren Di mana pesantren ini berfungsi sebagai sarana mengamalkan dan mengabdikan ilmunya kepada masyarakat. Dari pesantren yang telah didirikan lahirlah para Da’i yang memiliki kemampuan tinggi yang tinggi dalam memperjuangkan dakwah selanjutnya. 4. Kitab Kitab yang berbentuk puisi maupun prosa. Kitab inilah yang kemudian dikenal dengan Suluk Sunan Bonang. 5. Gamelan Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tembang atau lagu-lagu Jawa yang bernuansa Islami. Adapun faktor yang menyebabkan kesuksesan dari Para Wali Songo dalam menyebarkan ajaran Islam di Nusantara adalah media kesenian dan jalur sosial-ekonomi. Membangun tempat-tempat pendidikan Islami, dan salah satu terobosan yang luar biasa adalah dengan mempersiapkan kader-kader yang telah dididik dipondok-pondok yang selanjutnya akan diterjunkan ke masyarakat umum untuk mengabdikan ilmunya tersebut. Apa yang telah dicontohkan oleh para Wali setidaknya dapat menjadi bahan pembelajaran bagi umat Islam saat ini.Para da‘i saat ini sebaiknya merancang dakwahsedemikian rupa supaya mudah dan mau diterima oleh masyarakat yang pada umumnya telah dipengaruhi oleh dunia global. Dan tentunya dengan membangun pendidikan yang lebih baik yang berbasis Islami yang pada saatnya akan melahirkan kader-kader Islami menjadikan mereka
48 | JURNAL LENTERA: Kaji an Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi
Dakwah Kultural, Karya ‘Ulama Indonesia Kajian Menangkal Radikalisme Agama
sebagai penggerak dari pada dakwah tersebut, dan tetap berpegang pada al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menyampaikan kebenaran ajaran Islam yang akan selalu relevan sepanjang zaman. C. Metode Pengembangan Dakwah Ulama Sekarang Konsep dalam dakwah kultural dapat dipahami melalui: 1. Dakwah kultural dalam konteks budaya lokal Dakwah dalam konteks budaya lokal berarti mencari bentuk pemahaman dan upaya yang lebih empatik dalam mengapresiasi kebudayaan masyarakat yang akan menjadi sasaran dakwah dan mengaktualisasikan gerakan dakwah Islam dalam realitas kebudayaan masyarakat Indonesia secara terus menerus dan berproses, sehingga nilai-nilai Islam mempengaruhi, membingkai dan membentuk kebudayaan yang Islami khususnya di kalangan umat Islam melalui pendekatan dan strategi yang tepat. 2. Dakwah kultural dalam konteks budaya global Perlu mengkaji secara mendalam pada titik-titik silang antara Islam dan budaya global, baik secara teoritik maupun empirik untuk keberhasilan dakwah, seperti: memperhatikan substansi atau pesan dakwah, memperhatikan pendekatan dan strategi dakwah, memperhatikan media atau wahana dakwah dan memperhatikan pelaku atau subjek dakwah. Maka dari itu
perlu
memperluas khazanah dakwahnya agar sesuai dengan pola perkembangan budaya global. 3. Dakwah kultural melalui apresiasi seni Budaya termasuk seni khususnya adalah ekspresi dari perasaan sosial yang bersifat kolektif sehingga merupakan ungkapan yang sesungguhnya dari hidup dan kehidupan masyarakat, mengembangkan dakwah kultural melalui apresiasi seni, dengan pengembangan seni yang ma’ruf untuk kepentingan dakwah Islam. Adapun untuk seni yang belum ma’ruf maka perlu dilakukan melalui tahap seleksi dan pemilahan secara syar’i, tahap intervensi nilai dan rekayasa isi, tahap penguatan dan pengembangan seni sehingga bisa menjadi seni yang ma’ruf. Maka dakwah kultural
bisa berperan untuk melahirkan
inovasi dan kreasi. Volume 14, Nomor 1, Maret 2016 | 49
Muh. Barid Nizaruddin Wajdi
4. Dakwah kultural melalui multimedia Dakwah melalui multimedia merupakan aktivitas dakwah dengan memanfaatkan berbagai bentuk teknologi informasi dan komunikasi sebagai media atau wahana pencapaian tujuan dakwah. Dakwah lewat multimedia dapat melalui media cetak, media elektronik, media virtual atau internet. Adapun agenda yang perlu dilakukan
menyangkut aspek persepsi atau
wawasan, aspek sumberdaya manusia dan kelembagaan, serta aspek kegiatan atau program. 5. Dakwah kultural gerakan jama’ah dan dakwahjama’ah Dakwah kultural sebenarnya merupakan kelanjutan dari program Gerakan Jama’ah dan DakwahJama’ah. Gerakan Jama’ah dan DakwahJama’ah bisa menjadi media bagi dakwah kultural dengan fokus pemberdayaan dan pengembangan masyarakat melalui pembentukan jama’ah sebagai satuan sosial (komunitas), menjadi penting dan mendesak untuk direalisasikan. 6. Dakwahkultural sebagai alternatif menolak radikalisme agama Apabila dikatakan dakwah Islamiah, maka yang dimaksudkan adalah “Risalah terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai wahyu dari Allah dalam bentuk kitab yang tidak ada kebatilan didalamnya, baik di depan atau belakangnya, dengan kalam-Nya yang bernilai mukjizat, dan yang ditulis di dalam mushaf yang diriwayatkan dari Nabi SAW dengan Sanad yang mutawatir, yang membacanya bernilai ibadah.” Ada beberapa karakteristik dakwah dalam Islam, diantaranya ialah: 1. Rabaniyah, artinya bersumber dari wahyu Allah SWT 2. Wasathiyah, artinya tengah-tengah atau seimbang 3. Ijabiyah, artinya positif dalam memandang alam, manusia, dan kehidupan 4. Waqi’iyah, artinya realistis dalam memperlakukan individu dan masyarakat 5. Akhlaqiyah, artinya sarat dengan nilai kebenaran, baik dalam sarana maupun tujuannya 6. Syumuliyah, artinya utuh dan menyeluruh dalam manhajnya 7. Aamiyah, bersifat mendunia 8. Syuriyah, berpijak di atas prinsip musyawarah dalam menentukan segala sesuatunya
50 | JURNAL LENTERA: Kaji an Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi
Dakwah Kultural, Karya ‘Ulama Indonesia Kajian Menangkal Radikalisme Agama
9. Jihadiyah, artinya terus memerangi siapa saja yang berani menghalang-halangi Islam, dan mencegah tersebarnya dakwah Salafiyah, artinya menjaga orisinalitas dalam pemahaman dan akidah12 Dakwah kultural adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam kultural. Islam kultural adalah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrin yang formal antara Islam dan politk atau Islam dan negara. Dakwah kultural hadir untuk mengukuhkan kearifan-kearifan lokal yang ada pada suatu pola budaya tertentu dengan cara memisahkannya dari unsur-unsur yang bertentangan dengan nilai-nilai. Dakwah kultural tidak menganggap power politik sebagai satu-satunya alat perjuangan dakwah. Dakwah kultural menjelaskan bahwa dakwah itu sejatinya adalah membawa masyarakat agar mengenal kebaikan universal, kebaikan yang diakui oleh semua manusia tanpa mengenal batas ruang dan waktu. Dakwah kultural merupakan upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dakwah kultural mencoba memahami potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya berarti memahami ide-ide, adat istiadat, kebiasaan, nilai-nilai, norma, sistem aktivitas, simbol dan hal-hal fisik yang memiliki makna tertentu dan hidup subur dalam kehidupan masyarakat. Ciri dakwah kultural ini pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, ketika memperlakukan Tsumamah bin Utsal, kepala suku Bani Hanifah. Kreativitas dan inovasi kultural dalam berdakwah juga dilakukan oleh K. H. Ahmad Dahlan, dengan mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan dan lain-lain. Secara substansial misi dakwah kultural adalah upaya melakukan dinamisasi dan purifikasi. Dinamisasi
bermakna sebagai kreasi
budaya yang memiliki
kecenderungan untuk selalu berkembang dan berubah ke arah yang lebih baik dan Islami. Purifikasi diartikan sebagai usaha pemurnian nilai-nilai dalam budaya dengan mencerminkan nilai-nilai tauhid. Aziz, Fiqih Dakwah: Studi Atas Berbagai Prinsip dan Kaidah yang Harus Dij adikan Acuan dalam Dakwah Islamiah, 45-46. 12
Volume 14, Nomor 1, Maret 2016 | 51
Muh. Barid Nizaruddin Wajdi
Dakwah Kultural memiliki peran yang sangat penting dalam kelanjutan misi Islam di Bumi ini. Suatu peran yang tidak diwarisi oleh Islam politik atau struktural yang hanya mengejar kekuasaan yang instan. Oleh karena itu, dakwah kultular harus tetap ada hingga akhir zaman. Menurut Prof. Dr. Said Aqil Siradji, M.A., jika dilihat secara historis dakwah kultural sudah ada sejak zaman Muawiyah yang dipelopori oleh Hasan Bashri (w. 110 H) yaitu dengan mendirikan forum kajian yang nantinya melahirkan para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, hingga kemudian diteruskan oleh para Walisongo, K.H. Hasyim Asy‟ari, KH. Ahmad Dahlan dan lain sebagainya. Dakwah kultural mempunyai dua fungsi utama yaitu fungsi ke atas dan fungsi kebawah. Dalam fungsinya ke lapisan atas antara lain adalah tindakan dakwah yang mengartikulasikan aspirasi rakyat (umat muslim) terhadap kekuasaan. Fungsi ini bertujuan untuk mengekspresikan aspirasi rakyat yang tidak mampu mereka ekspresikan sendiri dan karena ketidakmampuan parlementer untuk mengartikulasi aspirai rakyat. Fungsi ini berbeda dengan pola dakwah struktural karena pada fungsi ini lebih menekankan pada tersalurkannya aspirasi masyarakat bawah pada kalangan penentu kebijakan. Sedangkan fungsi dakwah kultural yang bersifat ke bawah adalah penyelenggaraan dakwah dalam bentuk penerjemahan ide-ide intelektual tingkat atas bagi umat muslim serta rakyat umumnya untuk membawakan transformasi sosial. Hal yang paling utama dalam fungsi ini adalah penerjemahan sumber-sumber agama (Al-Quran dan Sunnah) sebagai way of life. Dalam penyampaiannya, dakwah kultular sangat
mengedepankan
penanaman nilai kesadaran dan kepahaman ideologi dari sasaran dakwah. Dakwah kultular melibatkan kajian antara disiplin ilmu dalam rangka meningkatkan serta memberdayakan masyarakat. Aktivitas dakwah kultural meliputi seluruh aspek kehidupan, baik yang menyangkut aspek sosial budaya, pendidikan, ekonomi, kesehatan, alam sekitar dan lain sebagainya. Keberhasilan dakwah kultural ditandai dengan teraktualisasikan dan terfungsikannya nilai-nilai Islam dalam kehidupan pribadi, rumah tangga, kelompok dan masyarakat. Alasan dakwah kultural harus dilakukan adalah: 1. Betapa kuatnya kultural masyarakat kita 2. Semakin berubahnya tatanan strategi dakwah tradisional
52 | JURNAL LENTERA: Kaji an Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi
Dakwah Kultural, Karya ‘Ulama Indonesia Kajian Menangkal Radikalisme Agama
3. Semakin merebaknya permasalahan sosial kultural di masyarakat 4. Ketidaktegasan pemerintahan terhadap lahirnya aliran-aliran sesat di Indonesia Radikalisme adalah salah satu contoh kenapa dakwah kultural sangat diperlukan. Radikalisme timbul dikarenakan pemahaman yang sepihak, tanpa melibatkan pihak lain. Sehingga menimbulkan gesekan di tengah masyarakat Indonesia yang begitu heterogen. Oleh karena itu, dakwah kultural menjadi alternative untuk mengatasi radikalisme atas nama agama. Penutup Dakwah dapat dilakukan dengan bermacam cara dan berbagai kondisi karena pelaksanaan dakwah tidak hanya dilakukan dengan ceramah.Pola dakwah bahkan harus dipahami dengan beberapa pendekatan diantaranya pendekatan kultural, struktural dan ekonomi. Salah satu karakter dakwah Islam ialah rabbaniyah, artinya bersumber dari wahyu Allah Swt. Dakwah sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai problematika masyarakat saat ini. Seperti kasus radikalisme yang mengatasnamakan agama. Ada beberapa sebab terjadinya radikalisme atas nama agama, yaitu karena tidak adanya keadilan, rendahnya pemahaman agama, dan adanya intoleransi dalam beragama. Para pelaku radikalisme adalah para orang yang saleh ritual secara agama, tapi masih belum saleh sosial. Dakwahkultural menjadi solusi dan alternative utama untuk mengatasi radikalisme agama. Karena tindakan dakwah ini berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat.
Daftar Pustaka Amin, Samsul Munir. Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Islam. Jakarta: t.p., 2008. Aziz, Jum‟ah Amin Abdul. Fiqih Dakwah: Studi Atas Berbagai Prinsip dan Kaidah yang Harus Dijadikan Acuan dalam Dakwah Islamiah. Solo: t.p., 2011. Bandaro, Khaidi Khatib. Metodologi Dakwah. Padang: IAIN Press, 1996.
Volume 14, Nomor 1, Maret 2016 | 53
Muh. Barid Nizaruddin Wajdi
Benda, Harry J. “Kontinuitas dan Perubahan dalam Islam di Indonesia” dalam Taufik Abdullah (Ed). Islam di Indonesia. Jakarta: Tintamas, 1975. Bustanuddin, Agus.Al-Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993. Chalil, Moenawar. Kelengkapan Retorika Nabi Muhammad SAW. Jakarta: Gema Insani, 2001. Enginee (El), Asgar. Asal-usul dan Perkembangan Islam, terj., Imam Baihaqi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Fahrudin, Achmad et. al. Al-Quran Digital, Versi 2.0, http://www.alquran-digital.com. Maret 2004. Illahi, Wahyu dan Harjani Hefni. Pengantar Sejarah Dakwah. Bandung: Kencana, 2007. Saputra, Wahidin. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: t.p., 2011. Sawi, Saifullah Moh. Sejarah dan Tamadun Islam di Asia Tenggara. Malaysia: Karisma, 2009. Sutrisno, Budiono Hadi. Sejarah Wali Songo. Yogjakarta: Media Pustaka, 2007. Zulkifli, Ahmad. Tasawwur Islam. Perak Malaysia: Pustaka Media Jaya, 2001.
54 | JURNAL LENTERA: Kaji an Keagamaan, Keilmuan dan Teknologi