Fanatisme dan Radikalisme Agama
Oleh : Dinda Ayu Kusumaningtyas
(11.12.5780)
Dosen : Mohammad Idris .P,DRS, MM
JURUSAN SISTEM INFORMASI SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA 2011
i
Abstraksi Fanatisme dan radikalisme dalam agama tentu tidak akan pernah ada habisnya. Dari waktu ke waktu selalu ada kasus yang terjadi akibat penyimpangan yang bermula dari sikap fanatisme dan radikalisme tersebut. Pembahasan mengenai hal tersebut cukuplah penting dilakukan. Karena masyarakat saat ini dituntut untuk selalu cerdas, waspada, dan mengerti akan dampak-dampak buruk yang dapat menimpa dirinya maupun orang lain jika salah dalam mengambil langkah. Untuk itu, perlu adanya pemahaman dan pengertian akan hal-hal negatif yang dapat merugikan, serta di kemudian hari agar
mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata untuk
menghindari hal-hal negatif tersebut. Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan terhadap fanatisme dan radikalisme agama terutama untuk mengetahui lebih dalam mengenai pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dari sikap-sikap akibat kedua hal tersebut. Dari sini akan dijabarkan mulai dari pengertian dari Fanatisme dan Radikalisme, contoh kasus dari fanatisme dalam agama yang terjadi di Indonesia, sejarah mengenai Voltaire dan fanatisme, faktor-faktor penyulut radikalisme agama, serta dampak apa saja dari adanya fanatisme dan radikalisme bagi Indonesia. Indonesia ditengah kemajemukan budaya dan kepercayaan atau identik dengan
perbedaan
dalam
keberagaman
sudah
seharusnya
menyemai
dan
memanamkan tolerasi serta memupuk rasa kasih sayang terhadap sesama guna memetik buah kebersamaan demi terciptanya kemajuan bangsa yang di cita-citakan. Fanatisme perlu ditekan bahkan dibasmi yang dianggap sebagai suatu virus yang bisa berdampak luas, dengan masyarakt tetap memegang prinsip-prisip yang subtansi dan esesi yang hakiki.
i
DAFTAR ISI Abstraksi ................................................................................................................... i Daftar Isi .................................................................................................................. ii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .............................................................................................. 1 B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 2 BAB II Pendekatan & Pembahasan A. Pendekatan .................................................................................................... 3 1. Historis...................................................................................................... 3 2. Sosiologis.................................................................................................. 3 3. Yuridis ...................................................................................................... 4 B. Pembahasan................................................................................................... 5 Pengertian Fanatisme dan Radikalisme ........................................................ 5 Fanatisme dan Radikalisme Secara Nyata Di Lingkungan Kita................... 5 Sejarah Voltaire dan Fanatisme .................................................................... 7 Faktor Penyulut Radikalisme...................................................................... 14 Dampak Fanatisme dan Radikalisme di Indonesia ...................................... 19 BAB III Kesimpulan .............................................................................................. 22 Daftar Pustaka........................................................................................................ 24
ii
BAB I PENDAHULUAN A. L ATAR B ELAKANG Indonesia merupakan sebuah Negara yang cukup besar dengan jumlah penduduk mencapai 200 juta jiwa dan jumlah pulau sebanyak 17.514. Dengan sejarah Indonesia yang sejak dahulu terbuka dalam menyerap pemikiran-pemikiran dari luar, menjadikan keberagaman di Indonesia makin berlimpah. Keberagaman tersebut saat ini dapat kita lihat dari sisi bahasa, budaya, suku, kondisi alam dan agama. Untuk hal yang terakhir yaitu agama, di Indonesia terdapat banyak agama diantaranya: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu, Budha. Menurut data statistic, Islam merupakan agama yang paling banyak dianut di Indonesia. Keberagaman agama yang ada di Indonesia ini terkadang menimbulkan beberapa ketegangan bahkan permasalahan. Hal ini disebabkan karena pemikiran dan sikap yang dimiliki umat beragama di Indonesia masih pada tingkat eksklusivisme yang melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Sikap eksklusivisme tersebut muncul hingga akhirnya mengarah kepada fanatisme, dan kemudian agama lain dipandang sesat dan wajib dikikis. Akhir-akhir ini kembali muncul fanatisme dan radikalisme agama di Indonesia. Bahkan tak jarang akibat pemikiran sempit tersebut terjadilah permasalahan yang menggunakan kekerasan dalam menyikapi perbedaan. Selain itu, tindakan-tindakan penyimpangan dalam beragama ini tak ayal menimbulkan adu domba terhadap masyarakat pemeluk agama yang sama maupun pemeluk agama lain. Dalam segi pelanggaran norma-norma Pancasila, fanatisme agama ini bahkan hampir melanggar seluruh sila pada Pancasila. Dari pelanggaran dalam beragama hingga pelanggaran sosial. Banyak pihak yang menjadi korban dalam tindakan kekerasan yang sering terjadi. Tindakan yang berawal dari pemikiran sempit yang mengatas namakan agama. Dan pada akhirnya penyimpangan tersebut tentu dapat membawa pengaruh-pengaruh buruk lainnya jika tidak segera ditangani. Hal tersebut seharusnya membuat masyarakat mawas diri dalam menjaga sikap dan toleransi terhadap lingkungan sekitar. Masyarakat seyogyanya mengerti dan memahami tentang fanatisme dan radikalisme serta dampak-dampak yang akan terjadi.
1
B. R UMUSAN M ASALAH Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan pokok-pokok masalah sebagai berikut : 1. Apakah pengertian dari fanatisme dan radikalisme? 2. Apa contoh kasus dari fanatisme dalam agama yang terjadi di Indonesia? 3. Bagaimana sejarah mengenai Voltaire dan fanatisme? 4. Apa faktor-faktor penyulut radikalisme agama? 5. Apa dampak dari adanya fanatisme dan radikalisme?
2
BAB II PENDEKATAN & PEMBAHASAN A. PENDEKATAN 1. HISTORIS Fanatisme dan radikalisme dalam agama terkadang melahirkan terorisme di berbagai tempat. Dilihat dari histori atau sejarahnya, hal ini sudah terjadi bahkan sejak berabad lalu. Tujuannya tentu agar segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari ajaran yang mereka anut dapat dihilangkan. Fanatisme dan radikalisme pada abadabad lampau dapat dicontohkan ketika pembantaian besar-besaran terhadap umat muslim di Spanyol oleh tentara salib pada tahun 1487. Mereka yang terlalu fanatik terhadap kepercayaan yang mereka anut serta menghendaki agar adanya perubahan besar-besaran yang kemudian melakukan pembantaian untuk memusnahkan kaum muslim sebagai upaya perwujudannya. Bahkan hingga akhir-akhir ini pun fanatisme dan radikalisme agama masih saja terus terjadi. Salah satu contohnya adalah pengeboman Masjid Adz-Dzikro, Markas Polresta Cirebon, 14 April 2011. Pengeboman lain juga terjadi dalam rentang waktu yang tidak terlalu lama yaitu pengeboman Gereja Kepunton di Solo Jawa Tengah 25 September 2011. Kedua aksi pengeboman ini ternyata dilakukan oleh dalang yang masih saling berhubungan. Dan hal-hal tersebut dilakukan karena keinginan mereka akan adanya perubahan sesuai yang mereka inginkan, dengan mengatasnamakan jihad.
2. SOSIOLOGIS Begitu banyak dampak buruk bagi masyarakat luas akibat adanya pelanggaran akibat fanatisme dan radikalisme yang mengatasnamakan agama sebagai landasannya. Sebagai contoh kasus yang terjadi akibat fanatisme ini adalah kasus pengeboman yang terjadi di Solo dan Cirebon. Para pelaku tentu melakukan tindakan-tindakan tersebut karena telah terdoktrin bahwa kelompok merekalah yang paling benar. Dengan demikian mereka menginginkan segala sesuatu yang sesuai dengan pemikiran dan tujuan mereka tanpa memikirkan aspek sosial kemasyarakatan. Bahkan mereka mengesampingkan
pemahaman
bahwa
tindakan
yang
dilakukan
tersebut
sesungguhnya menyimpang dari norma-norma agama, padahal keagamaanlah yang mereka tuju. Negara Islam lah yang ingin mereka bangun. Dengan pengetahuan yang 3
terpatok pemikiran bahwa kelompoknyalah yang paling benar membuat mereka bersikukuh untuk menghiraukan suara disikitar mereka. Padahal jika ditelaah menggunakan akal sehat saja, jelas-jelas tindakan fanatisme kelompok yang menjadikan agama sebagai landasan ini tentu salah besar. Hingga pemikiran sempit ini pada akhirnya hanya menimbulkan korban-korban dan merusak lingkungan sosial.
3. YURIDIS Semua kasus penyimpangan yang menimbulkan dampak buruk pastilah termasuk tindakan melanggar yang hukum. Termasuk penyimpangan-penyimpangan akibat fanatisme dan radikalisme agama. Meski hanya dilihat sepintas saja, tindakan fanatisme agama yang mengakibatkan jatuhnya korban seperti yang terjadi di Cirebon dan Solo beberapa waktu yang lalu tentu telah melanggar beberapa sila pancasila. Seperti pelanggaran terhadap Ketuhanan yang Maha Esa dan Persatuan Indonesia. Kita lihat contoh tindakan fanatisme meskipun yang hanya berupa ancaman atau terorisme yang berupa pengeboman, yang masih sering terjadi. Tentu hal tersebut langsung menyangkut pada undang-undang, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
4
B. PEMBAHASAN Pengertian Fanatisme dan Radikalisme Menurut Prof. Dr. Achmad Mubarok MA, fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatip, pandangan mana tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen rationilpun susah digunakan untuk meluruskannya. Fanatisme dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam; berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu, dalam berfikir dan memutuskan, dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan dalam merasa. Secara semantik, radikalisme ialah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, cet. th. 1995, Balai Pustaka). Dalam Ensiklopedi Indonesia (Ikhtiar Baru – Van Hoeve, cet. 1984) diterangkan bahwa “radikalisme” adalah semua aliran politik, yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideologi yang mereka anut. Dalam dua definisi ini “radikalisme” adalah upaya perubahan dengan cara kekerasan, drastis dan ekstrim. Adapun dalam Kamus Ilmiyah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (penerbit Arkola Surabaya, cet. th. 1994) diterangkan bahwa “radikalisme” ialah faham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan. Dalam definisi terakhir ini “radikalisme” cenderung bermakna perubahan positif. Fanatisme dan radikalisme secara nyata di lingkungan kita Dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan, suasana berbangsa dan bernegara kita dipenuhi polutan fanatisme dan radikalisme agama yang tak jarang menggunakan kekerasaan sebagai cara dalam menyikapi perbedaan. Hasil penelitian Setara Institute selama tahun 2010 menunjukkan, kerukunan umat beragama di Indonesia menurun sekaligus terjadi peningkatan tindakan pelanggaran kebebasan beragama pada 2007 2009. Parahnya, pelanggaran dan ketegangan sosial yang
5
diakibatkan atas nama agama ini sebagian besar terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Jakarta. Laporan akhir tahun 2009 Setara Institute melansir Jawa Barat (73 peristiwa) menempati urutan pertama atas segala bentuk pelanggaran kebebasan beragam dan berkeyakinan di Indonesia. Di urutan berikutnya, Sumatra Barat (56 peristiwa), dan ketiga Jakarta (45 peristiwa). Ke-265 peristiwa itu menghasilkan 376 tindak pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Terorisme dan radikalisme masih akan berada di sekitar kita hingga hari-hari nanti, entah sampai kapan. Radikalisme dan terorisme cenderung kian meruyak: menampilkan jaringan dan sel-sel baru lebih kecil yang tampak bergerak terpisah seolah-olah tanpa komando pemimpin puncak jaringan atau inti sel lebih besar yang sudah terekam dalam berkas Polri. Ini terlihat dari indikasi Muhammad Syarif, pelaku bom bunuh diri saat shalat Jumat di Masjid Adz-Dzikro, Markas Polresta Cirebon, 14 April 2011. Bom yang meledak di masjid Polresta Cirebon, Jawa Barat, membuat bingung Tim Pengacara Muslim (TPM). Selama ini tersangka terorisme yang ditangani TPM tidak pernah menjadikan tempat ibadah umat Islam sebagai sasaran. Kemudian diyakini bahwa pelaku bom bukan jaringan teroris selama ini. Aksi teroris yang selama ini terjadi mirip dengan pola bom Bali I, kelompok ini menghindari tempat ibadah Islam, menghindari jatuhnya korban dari muslim dan menghindari korban dari wanita dan anak-anak. Kasus bom bunuh diri juga terjadi di tempat peribadatan lain, yaitu di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Solo. Solo dikenal sebagai Kota Budaya, karena terdapat beraneka ragam seni budaya yang berkembang di tengah masyarakat di wilayah itu. Kota yang dikenal masyarakatnya santun dan berbudaya tersebut, sehingga berbagai seni budayanya sering dipertontonkan dalam even-even lokal maupun internasional. Namun, hal tersebut terusik dengan terjadinya peristiwa ledakan bom bunuh diri di Gereja Kepunton, Kota Surakarta, Minggu (25/9), sekira pukul 10.55 WIB yang menyebabkan korban tewas satu orang dan 22 lainnya berat dan ringan. Korban luka mayoritas para jemaat yang selesai menjalani kebaktian di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo, Jawa Tengah, pada setiap hari Minggu itu. Bom
6
tersebut telah menewaskan pelakunya yang kondisi tubuhnya sangat mengenaskan. Sedangkan jemaat yang sedang bubaran itu, banyak yang menjadi korban terutama mereka yang sudah keluar dari ruangan. Peristiwa ledakan bom di GBIS Kepunton Solo, banyak memunculkan protes di antaranya, Uskup Agung Semarang Mgr. Johanes Pujasumarta prihatin yang mengecam terhadap peristiwa bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Kepunton, Solo, Minggu. Pihaknya mengecam tindakan kekerasan yang meneror umat saat sedang beribadah. Tindak kekerasan tidak boleh dijadikan sebagai solusi untuk memecahkan permasalahan. Peristiwa bom bunuh diri itu, tentu merusak ketenangan yang selama ini dirasakan oleh masyarakat Kota Solo. Oleh karena itu, dia mendukung langkah-langkah yang diambi oleh pihak kepolisian untuk tetap sigap menjamin keamanan dan melindungi masyarakat dari berbagai ancaman terorisme. Bom bunuh diri di Cirebon dan Solo sama-sama diledakkan di sebuah tempat ibadah. Bom bunuh diri tersebut dinilai tidak lagi mengarah kepada terorisme, tapi lebih ke separatis. Hal ini disebabkan antara lain karena fanatisme terhadap agama yang sudah berlebihan. Fanatisme agama merupakan "pembunuh nomor satu" dialog antaragama karena kaum fanatik tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin dialog. Sejarah Voltaire dan Fanatisme Indonesia merupakan negara yang sungguh sangat kaya. Selain kaya dalam sumber daya alam—yang seharusnya tidak perlu takut pada siapapun dan negara manapun kecuali Tuhan—tapi juga negara yang kaya akan kebudayaan, suku, bahkan aliran kepercayaan baik yang datang dari langit (berdasarkan wahyu dan nabi) maupun yang dari bumi (berdasarkan pemikiran dan pengalaman). Kekayaan yang sedemikianlah membuat Indonesia sangat rentan terjadi perselisihan atau konflik antar suku maupun agama. Suku atau agama
selalu menjadi kutub yang menjadi objek dalam
perselisihan, ini disebabkan oleh karena suku dan agama memiliki rasa solideritas yang sangat tinggi. Apalagi ditambah dengan para tokoh masyarakat dan pemuka agama yang menjual kepentingan dan ayat-ayat suci dengan harga yang sangat murah. Dengan janji mendapat kehidupan yang lebih baik, syahid ataupun martir. Sehingga lahirlah sebuah fanatisme berlebihan terhadap suatu kumpulan atau kepercayaan yang
7
mereka yakini. fanatisme yang berlebihan perlu dihindari dan percerdasan masyarakt perlu dilakukan. Supaya energi masyarakat bisa diberdayakan secara optimal bukan malah terserap secara tidak efektif pada masalah-masalah yang ditunggangi oleh sekelompok oknum yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu ditengah keberagaman yang seperti ini perlu adanya disemainya bibit tolerasi yang dipupuk dengan baik oleh para tokoh masyarakat dan pemuka agama. Di dunia ini terdapat banyak tokoh yang memiliki pemilkiran tentang kebebasan dan anti fanatisme, salah satunya adalah Voltaire. Pada 21 November 1694 di Paris lahirlah seorang jabang bayi laki-laki yang sangat benci pada kefanatikan. Orang lebih mengenalnya bernama Voltaire. Voltaire sebenarnya adalah nama samaran, nama yang diberikan bapaknya ketika diseret keluar oleh bidan adalah François-Marie Arouet.
Siapapun panggilanya, yang jelas dia tokoh
terkemuka pembaru Perancis. Voltaire merupakan seorang penyair, penulis drama, penulis esai, penulis cerita pendek, ahli sejarah, dan filosof. Dia betul-betul juru bicaranya para pemikir bebas liberal. Voltaire senantiasa punya kepercayaan teguh terhadap toleransi beragama. Tatkala usianya 60-an, terjadi sejumlah peristiwa yang mendirikan bulu roma perihal pengejaran dan pelabrakan terhadap orang-orang protestan di Prancis. Tergugah dan marah besar, Voltaire mengabdikan dirinya ke dalam “jihad intelktuil” melawan fanatisme agama. Kesemua surat-suratnya senantiasa ditutup dengan kalimat “Ecrasez l’inflame” yang maknanya “Ganyang Barang Brengsek Itu!” Yang dimaksud Voltaire “barang brengsek” adalah kejumudan dan fanatisme. Atau menurun refensi lain “Ecrasons l’inflame”, yang diartikan, “Mari Kita Basmi Kefanatikan”. Semboyan lain yang menjadi trademarknya adalah . Il faut cultiver notre jardin. Le travail éloigne de nous trois grands maux: le vice, l’ennui et le besoin (“Kita harus mengerjakan ladang kita: pekerjaan menjauhkan kita dari dosa, kebosanan, dan kemiskinan”). Semboyan itu menunjukkan bahwa penulis ini adalah juga seorang yang praktis. Sepanjang hidupnya ia selalu menyumbangkan pikiran dan tenaganya untuk membela korban ketidakadilan dan berusaha meningkatkan kesejahteraan orang di sekitarnya dengan bekerja secara konkret.
8
Selama hidupnya yang panjang, 84 tahun (1694-1778) Voltaire telah menghasilkan sejumlah besar karya, baik yang berbentuk karya filsafat (Essais sur les Moeurs, 1756, Lettres Philosophiques, 1734,Traités sur la tolérance, 1763, dll.), karya sejarah (Histoire de Charles XII, 1732, Le Siècle de Louis XIV, 1752) yang didasari atas penelitian dan dokumen otentik, sekitar 40 drama (antara lain Zaïre, 1732, Le Fanatisme ou Mahomet le Prophète, 1753, Irène, 1778), kritik sastra, pamlet-pamlet yang
berisi
kritikan
politik,
26
dongeng
ilosois
(Zadig, 1747, Candide,
1759, L’Ingénu, 1767), dan sekitar 20 ribuan surat pribadi yang berisi gagasangagasan tentang berbagai masalah aktual bahkan juga polemiknya dengan pengarang Jean-Jacques Rousseau. Meskipun banyak karya tulisnya, yang lebih penting sebetulnya gagasan pokok yang dikemukan sepanjang hidupnya. Salah satu pendiriannya yang tergigih adalah mutlak menjamin kebebasan bicara dan kebebasan pers. Kalimat masyhur yang sering dihubungkan Voltaire adalah yang berbunyi “Je ne suis pas d’accord avec ce que vous dites, mais je me battrai jusqu’à la mort pour que vous ayez le droit de le dire” (“Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tetapi saya akan berjuang sampai mati agar Anda tetap berhak mengatakannya.”) Menurut Voltaire, pada dasarnya semua orang memuja “Sang Pencipta”, bukan makhluk atau benda yang diciptakan-Nya, maka semua malapetaka yang dipicu fanatisme agama adalah sesuatu yang tidak rasional dan bertentangan dengan akal sehat. Selain dalam esai-esai dan dramanya, deismenya diungkapkan dengan baik dan secara sederhana dalam dongeng-dongengnya, misalnya dalam Zadig ou La Destinée (judul terjemahan dalam bahasa Indonesia “Suratan Takdir”, 1747/1989, 136 hlm.) “Di Babylonia ada perselisihan sengit yang telah berlangsung sejak seribu lima ratus tahun lamanya dan yang membagi kekaisaran menjadi dua sekte yang fanatik: yang pertama beranggapan bahwa orang hanya boleh masuk ke dalam kuil Mithra dengan kaki kiri, yang lain sangat membenci kebiasaan itu dan melangkah masuk ke dalam kuil dengan kaki kanan. [.....] Seluruh negeri memusatkan pandang pada kedua kaki Zadig (Perdana Menteri) dan seluruh kota resah dan menunggu dengan tidak sabar. Zadig masuk ke dalam kuil sambil melompat dan membuktikan dengan pidatonya yang fasih dan enak didengar bahwa Tuhan Penguasa Langit dan
9
Bumi tidak pilih kasih, tidak memberikan penilaian lebih tinggi kepada kaki kiri daripada kepada kaki kanan [.....]“ (Hlm. 42-43) Pada abad ke XVIII perkemabangan saintifik yang baru, serta perubahan yang sejalan dengan itu dalam filosfi sains, menghasilkan suatu abad yang kemudian dikenal dengan sebutan Abad Pencerahan, Abad Akal, Abad Kritik dan Abad Filsafat. Abad ini juga menciptakan anggapan bahwa akal manusia mampu memahami semua bisa dipahami dalam dunia yang bekerja dengan tertib, tanpa perlu campur tangan sihir maupun supernatural. Seperti pemikir kunci lainnya selama Pencerahan Eropa, Voltaire menganggap dirinya seorang deis, mengekspresikan ide: “Apakah iman? Apakah untuk percaya bahwa yang jelas? Tidak Sangat jelas dalam pikiran saya bahwa ada yang perlu, yang kekal, tertinggi, dan cerdas. Ini bukan masalah iman, tetapi alasan. “ Karya sastra dijadikan “wadah” atau “tempat persembunyian” untuk menyampaikan sindiran atau kritikan tajam tentang Prancis dan orang Prancis. Pengarang mencari tempat yang jauh, tokoh tak dikenal, suasana asing, agar pembaca terkecoh dan tidak mencurigai tujuan sesungguhnya. Kritikan yang lebih terbuka terhadap pastor dan Gereja Katolik dapat dibaca dalam dongengnya L’Ingénu (judul Indonesia, Si Lugu, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 1989). Jadi, pada abad ke XVIII, tepatnya pada tahun 1736, munculnya Le Fanatisme ou Mahomet le Prophète (LFMP) di Prancis yang masih sepenuhnya Katolik itu merupakan hal yang wajar saja. Penonjolan sisi negatif serta kritikan tentang Islam yang masa itu belum begitu dikenal merupakan tema yang banyak dibahas karya lain pada zaman itu, dan disambut dengan gembira oleh para penonton/pembaca yang Katolik. Islam merupakan bagian dari suatu “kerajaan antah berantah”, yang dengan wajar dijadikan “selubung” untuk menyembunyikan maksud yang sesungguhnya. Malahan, dengan cerdik dan juga “nakal”, Voltaire telah mengirimkan sebuah eksemplar bukunya kepada Paus Benoît XIV yang menerimanya dengan baik dan memberi pujian kepada penulisnya. Kisah LFMP yang terjadi di Mekah pada tahun 630, mendapat inspirasi dari perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. Yang kembali ke Mekah dari pengasingan di Medinah, dan perkawinannya dengan Zainab binti Jahsy bin Rayyab, mantan istri
10
Zaid binti Haritsah, anak angkat Nabi (S.S. Al-Mubarakfuri 1997: 564). Dalam karya ciptaan Voltaire itu, selain Mahomet le Prophète, tokoh terpenting lainnya adalah: Zopire(salah satu pemimpin kaum Quraisy, dalam riwayat Nabi bernama Abu Sufyan), Séide (dalam kenyataan sebenarnya Zaid), dan Palmire (dalam kenyataan sebenarnya gabungan dua istri Nabi: Zainab yang istri Zaid dan Habibah, putri Abu Sufyan) (Vérain 2006). Penggabungan gambaran kedua perempuan itu menjadi satu dilakukan agar lebih cocok dengan jalan cerita. Kisah sejati atau kisah yang didasari fakta sejarah itu diolah Voltaire sesuai dengan imajinasinya dan pakem drama Prancis masa itu lengkap dengan tema klise: Séide, anak angkat Mahomet yang mantan budak, diperintah oleh Mahomet untuk membunuh Zopire, kepala suku di Mekah. Séide yang fanatik dan patuh kepada ayah angkatnya serta mencintai Palmire pun pergi ke Mekah. Namun, kedua orang budak yang saling mencinta (Séide dan Palmire) itu ternyata adalah dua kakak beradik, sedangkan Zopire yang harus dibunuh oleh Séide (dengan imbalan boleh mengawini Palmire) ternyata ayah mereka sendiri. Zopire baru diberi tahu pada menit terakhir bahwa kedua orang itu adalah anaknya yang hilang diculik semasa kecil. Séide juga diberi tahu pada saat terakhir tentang adik dan ayah yang sebenarnya serta kejahatan ayah angkatnya. Maka ia berusaha membunuh sang ayah angkat tetapi tidak berhasil karena terlanjur meninggal, sebab sebelumnya, tanpa setahunya, ia telah diracun oleh sang ayah angkat berhubung orang tua itu juga mencintai Palmire. Tinggallah Palmire yang menerima pernyataan cinta sang ayah angkat. Palmire menolak mentah-mentah dan bunuh diri. Sang tokoh utama merana kehilangan cinta sejati. Sungguh dramatis! Yang dapat membuat umat Islam marah adalah gambaran bahwa betapa Séide, seorang pemuda baik-baik, atas perintah Mahomet, dibutakan oleh fanatisme dan bersedia membunuh Zopire yang bersikap baik terhadapnya, karena ia musuh agama Islam. Kefanatikan itu diperkuat dengan kesetiaannya kepada Mahomet dan keinginan untuk menikahi kekasihnya, Palmire. Tokoh Mahomet digambarkan sebagai orang tua yang jahat, licik, fanatik, penuh nafsu birahi, dan memanfaatkan kesetiaan pengikutnya untuk kepentingan sendiri. Bahkan, tujuan dari semua intrik itu tak lain dari maksud Mahomet untuk
11
mempersunting Palmire, tetapi cintanya tidak berbalas. Tetapi itu adalah bagian dari imajinasi Voltaire. Mungkin satu-satunya kritikan serius Voltaire terhadap Mahomet adalah karena ia menyebarkan agama dengan jalan perang dan, menurut yang diketahuinya sampai saat itu, memaksa kepada musuh yang kalah untuk “masuk Islam atau mati” : [...] Quiconque fait la guerre à son pays et ose le faire au nom de Dieu, n’est-il pas capable de les armes à la main…. Tous?[.....] Mahomet n’est ici autre chose que Tartuffe (“Barangsiapa memerangi negerinya sendiri serta berani melakukannya dengan mengatasnamakan Tuhan, bukankah ia akan mampu berbuat apa saja? [....] Mahomet di sini tidak lebih dari Tartuffe dengan senjata di tangan…”) Mengenai kekejian itu, Voltaire telah menulis juga kepada Frédéric II: On pourra me reprocher que, donnant trop à mon zèle, je fais commettre dans cette pièce un crime à Mahomet, dont en effet il ne fut point coupable [....] (LFMP, hlm. 17) (“Mungkin saya akan dipersalahkan karena terlalu bersemangat, dalam drama itu saya membuat
Mahomet
melakukan
kejahatan
yang
sebetulnya
tidak
pernah
dilakukannya.”) Pengakuannya diperkuat lagi lebih jauh dengan pernyataan: Je sais que Mahomet n’a pas tramé précisément l’espèce de trahison qui fait le sujet de cette tragédie. (“Saya tahu bahwa Mahomet tidak pernah melakukan jenis pengkhianatan yang merupakan tema tragedi itu”.) Tulisan itu merupakan pengakuan Voltaire bahwa LFMP adalah karya fiksi. Apa yang terjadi dalam kisahnya hanyalah rekaan penulisnya belaka. Dan selain itu, pembaca dituntut memahami yang tersirat di balik yang tersurat. Seperti telah dikatakan di bagian terdahulu, LFMP telah dilarang dipertunjukkan setelah pertunjukan ketiga di Paris (1742), karena para pemuka agama Katolik sadar bahwa sebetulnya Gereja Katoliklah yang menjadi sasaran kritikan dalam drama itu, bukan agama Islam. Kemudian, dalam rentang waktu lebih dari 200 tahun, masyarakat Prancis sudah mengalami perubahan besar. Islam sudah menjadi agama terbesar kedua di negeri itu. Sebetulnya pemanggungan LFMP pada abad ke-20 (1993) dan 21 (tahun 2005) merupakan anakronisme karena situasinya sudah lain. Islam yang bagi Voltaire merupakan “selubung” atau “tameng” atau “sesuatu yang jauh,” pada abad ini, setelah agama itu menjadi bagian masyarakat Prancis, berubah menjadi sasaran karena sudah tidak akurat lagi untuk dijadikan selubung.
12
Masuk akal apabila pertunjukan itu menimbulkan protes keras dari pihak Islam serta polemik berkepanjangan di dunia maya (internet). Judulnya yang gamblang saja sudah merupakan penghinaan bagi orang Islam, apalagi isinya yang menampilkan Nabi Muhammad secara konkret, yang merupakan suatu hal tabu bagi umat Islam, telah membuat orang Islam lebih berang lagi. Voltaire dicaci-maki, dihujat sebagai penghina Islam. Perspektif dan sudut pandangnya tentang Islam pun berangsur-angsur berubah walaupun tetap ada yang positif dan negatif. Pendapat positif Voltaire tentang islam terlihat
pada
istilah
yang
dipakainya
untuk
menyebut
golongan
Islam: “Musulman” yang mengacu pada dogma “soumission” penyerahan diri’, dan bukan “Mahometans” yang mengacu semata-mata pada keanggotaan dalam suatu agama. Pujian terhadap Islam dapat disimpulkan dalam salah satu pernyataannya dalam salah satu suratnya untuk Raja Frédéric II: “Perubahan terbesar yang pernah mengubah dunia adalah pembentukan agama Muhammad. Dalam waktu kurang dari satu abad, orang Islam telah menaklukkan wilayah lebih besar daripada kekaisar-an Romawi [.....] Pastilah ia orang besar yang istimewa, yang telah membina orangorang besar lain. Tentulah ia seorang martir atau penakluk, tidak setengah-setengah. Ia selalu menang, dan semua kemenangannya direbut oleh pasukannya yang kecil dari tangan pasukan musuh yang besar. Ia adalah penakluk, ahli hukum, pemimpin, serta agama-wan, dan di mata orang biasa, ia memainkan sekaligus semua peranan terhebat yang mungkin dipegang orang di muka bumi ini.” Voltaire sangat terkesan oleh monoteisme Islam yang lebih dekat dengan ideal ketuhanannya. Menurut pendapatnya deinisi Tuhan menurut Islam sangat agung “Tuhan yang Maha Esa, yang tidak berputra dan bukan putra siapa pun, dan tidak ada makhluk lain yang menyerupai-Nya”. Ia membantah gambaran yang telah diberikan para sejarawan Eropa dan para ilmuwan lain sebelumnya tentang Islam: “Tak ada agama lain yang memerintahkan zakat. Agama Islam adalah satu-satunya yang telah memasukkannya dalam suatu konsep hukum, positif dan tak dapat ditinggalkan. AlQur’an memerintahkan agar orang menyerahkan dua setengah persen penghasilannya, dalam bentuk uang ataupun bahan mentah. Larangan berjudi mungkin merupakan satu-satunya yang tidak ditemukan dalam agama mana pun juga. Semua hukum itu,
13
termasuk poligami, ketat sekali. Doktrinnya yang sederhana menimbulkan hormat dan kepercayaan orang terhadap agama itu.” Masa 1768-1772 merupakan periode terakhir dalam studi Voltaire tentang Islam. Walaupun tetap menganut deisme, ia sering membela agama Islam yang menurutnya bijak, ketat, dan manusiawi: bijak karena Tuhannya tidak mempunyai sekutu dan tidak merupakan misteri; ketat karena melarang berjudi, minum anggur dan minuman keras, serta memerintahkan sembahyang lima kali sehari. Manusiawi karena agama itu memerintahkan zakat, yang lebih wajib daripada berziarah ke Mekah. Ia juga melihat bahwa perempuan jauh lebih dilindungi dibanding pada zaman sebelumnya. Pendapat Voltaire tentang Islam sampai akhir hayatnya tetap ambigu, artinya ada yang positif dan ada yang negatif. Walaupun sering membela Islam, ia tetap menganut deisme serta membenci kefanatikan dan dogma-dogma agama yang tidak masuk akal. Dalam artikel tentang “fanatisme” dalam Dictionnaire Philosophique, Voltaire menulis: Lorsqu’une fois le fanatisme a gangrené un cerveau, la maladie est presque incurable (“Tatkala fanatisme telah membusukkan otak, penyakit itu tak akan dapat disembuhkan”). Gagasan itu mendorongnya melancarkan “pertempuran” politik dan ilosois melawan kemunaikan, kepicikan, atau fanatisme, serta memperjuangkan toleransi antaragama dan antarbangsa, tindakan rasional dan kesejahteraan manusia. Sebelum meninggal, ia sempat berkata kepada sekretarisnya Je meurs en adorant Dieu, en aimant mes amis, en ne haissant pas mes ennemies, et en détestant la superstition (Saya mati sambil memuja Tuhan, menyayangi teman-teman, tanpa membenci musuh-musuh, tetapi sangat membenci takhayul [fanatisme]”). Faktor Penyulut Radikalisme I. Faktor Pemikiran: Merebaknya dua trend paham yang ada dalam masyarakat Islam, yang pertama menganggap bahwa agama merupakan penyebab kemunduran ummat Islam. Sehingga jika ummat ingin unggul dalam mengejar ketertinggalannya maka ia harus melepaskan baju agama yang ia miliki saat ini. Pemikiran ini merupakan produk sekularisme yang secara pilosofi anti terhadap agama. 14
Sedang pemikiran yang kedua adalah mereflesikan penentangannya terhadap alam relaitas yang dianggapnya sudah tidak dapat ditolerir lagi, dunia saat ini dipandanganya tidak lagi akan mendatangkan keberkahan dari Allah Swt, penuh dengan kenistaan, sehingga satu-satunya jalan selamat hanyalah kembali kepada agama. Namun jalan menuju kepada agama itu dilakukan dengan cara-cara yang sempit, keras, kaku dan memusuhi segala hal yang berbau modernitas. Pemikiran ini merupakan anak kandung dari pada paham fundamentalisme. Kedua corak pemikiran inilah yang jika tumbuh subur dimasyarakat akan melahirkan tindakan-tindakan yang kontra produktif bagi bangsa bahkan agama yang dianutnya. Kedua trend pemikiran yang satunya menolak agama dan yang kedua mengajak kepada paham agama yang keras, justru akan melahirkan reaksi yang bertentangan dengan misi diciptakannya manusia oleh Allah Swt di semesta ini sebagai mahluk yang seharusnya mendatangkan kemakmuran dunia. Di samping itu, banyaknya sekelompok orang yang lebih memilih memperdalami agama, namun tidak berdasarkan sumber yang otentik, ataupun ulama yang benarbenar memiliki pemahaman agama yang luas dan benar (rusukh). Terkadang sumber bacaannya adalah buku-buku terjemahan yang kurang dapat dipertangungjawabkan, menerima ilmu dari orang yang pemahaman agamanya sangat dangkal. Ahli kimia berbicara al-Qur’an, ahli kedokteran berbicara tafsir, ahli teknik bom berbicara fiqh jihad. Apa jadinya kesimpulan yang mereka keluarkan. Padahal al-Quran, tafsir, dan fiqh jihad memiliki karakteristik dan syarat-syarat yang sangat teliti dan khusus dan harus tepat sesuai fungsi dan kegunaannya. Hal itu sama saja, dengan apa jadinya jika seorang ahli agama berbicara kedokteran, berbicara pertanian, teknik mesin dan lainlain. Maka memahami sesuatu ilmu termasuk agama harus berdasarkan dari sumber dan ahlinya yang otentik, jika tidak penyelewengan-penyelewengan kesimpulan yang dijelmakan
melalui
aksi
akan
berakibat fatal
bagi
manusia
itu
sendiri.
II. Faktor Ekonomi : William Nock pengarang buku “Perwajahan Dunia Baru” mengatakan: Terorisme yang belakangan ini marak muncul merupakan reaksi dari kesenjangan ekonomi yang terjadi di dunia”. Liberalisme ekonomi yang mengakibatkan perputaran modal hanya 15
bergulir dan dirasakan bagi yang kaya saja, mengakibatkan jurang yang sangat tajam kepada yang miskin. Jika pola ekonomi seperti itu terus berlangsung pada tingkat global, maka yang terjadi reaksinya adalah terorisme internasional. Namun jika pola ekonomi seperti ini diterapkan pada tingkat Negara tertentu, maka akan memicu tindakan terorisme nasional. Karena boleh jadi problem kemiskinan, pengangguran dan keterjepitan ekonomi dapat mengubah pola pikir seseorang dari yang sebelumnya baik, menjadi orang yang sangat kejam dan dapat melakukan apa saja, termasuk melakukan terror. Sangat tepat jika kita renungkan hadits nabi yang mengatakan, “Kaada al-Faqru an yakuuna Kufran”. Hampir-hampir saja suatu kefakiran dapat meyeret orangnya kepda tindakan kekufuran”. Bukankan tindakan membunuh, melukai, meledakkan diri, meneror suatu tindakan yang dekat dengan kekufuran.?
III. Faktor Politik: Stabilitas politik yang diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan bagi rakyat adalah cita-cita semua Negara. Kehadiran para pemimpin yang adil, berpihak pada rakyat, tidak semata hobi bertengkar dan menjamin kebebasan dan hak-hak rakyat, tentu akan melahirkan kebanggaan dari ada anak negeri untuk selalu membela dan memperjuangkan negaranya. Mereka akan sayang dan menjaga kehormatan negaranya baik dari dalam maupun dar luar. Namun sebaliknya jika politik yang dijalankan adalah politik kotor, politik yang hanya berpihak pada pemilik modal, kekuatan-kekuatan asing, bahkan politik pembodohan rakyat, maka kondisi ini lambat laun akan melahirkan tindakan skeptis masyarakat. Akan mudah muncul kelompok-kelompok atas nama yang berbeda baik politik, agama ataupun sosial yang mudah saling menghancurkan satu sama lainnya. Bukankan kita pernah membaca sejarah lahirnya garakan khawarij pada masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib RA. yang merupakan mascot gerakan terorisme masa lalu yang juga disebabkan oleh munculnya stigma ketidakstabilan dan ketidakadilan politik pada waktu itu. Sehingga munculah kelompok-kelompok yang saling mengklaim paling benar, bahkan saling mengkafirkan satu sama lainnya. Tentu kita tidak ingin sejarah itu terulang kembali saat ini.
16
IV. Faktor Sosial: Diantara faktor munculnya pemahaman yang menyimpang adalah adanya kondisi konflik yang sering terjadi di dalam masyarakat. Banyaknya perkara-perkara yang menyedot perhatian massa yang berhujung pada tindakan-tindakan anarkis, pada akhirnya melahirkan antipati sekelompok orang untuk bersikap bercerai dengan masyarakat. Pada awalnya sikap berpisah dengan masyarakat ini diniatkan untuk menghindari kekacauan yang terjai. Namun lama kelamaan sikap ini berubah menjadi sikap antipati dan memusuhi masyarakat itu sendiri. Jika sekolompok orang ini berkumpul menjadi satu atau sengaja dikumpulkan, maka akan sangat mudah dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam gerakan agama sempalan, biasanya mereka lebih memilih menjadikan pandangan tokoh atau ulama yang keras dan kritis terhadap pemerintah. Karena mereka beranggapan, kelompok ulama yang memiliki pandangan moderat telah terkooptasi dan bersekongkol dengan penguasa. Sehingga ajaran Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin itu tidak mereka ambil bahkan dijauhkan dan mereka lebih memilih pemahaman yang keras dari ulama yang yang kritis tersebut. Dari sinilah lalu, maka pemikiran garis keras Islam sesungguhnya sangat kecil, dan tidak mencerminkan wajah Islam yang sebenarnya. Namun gerakan dan tindakannya yang nekat dan tidak terkontrol, menjadikan wajah Islam yang moderat dan mayoriats itu seolah tertutup dan hilang. Maka tugas kita adalah mengembalikan fungsi ulama sebagai pengawal masyarakat dari penyimpangan-penyimpangan pemahanan dan akidah, serta mengembalikan lagi kepercayaan ummat yang putus asa dengan kondisi sosial yang ada, untuk tidak lebih tergelincir jauh kepada kelompok yang cenderung menghalalkan segala cara untuk melakukan proses perubahan sosial yang berlandaskan pada ajaran agama. Dalam hal ini kelompok moderat Islam harus lebih disuport dan dibantu, ketimbang energi kita hanya dikuras untuk menghabisi kelompok-kelompok radikal saja.
V. Faktor Psikologis: Faktor ini sangat terkait dengan pengalaman hidup individual seseorang. Pengalamannya dengan kepahitan hidupnya, linkungannya, kegaggalan dalam karir dan kerjanya, dapat saja mendorong sesorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan anarkis. Perasaan yang menggunung akibat kegagalan hidup
17
yang dideranya, mengakibatkan perasaan diri terisolasi dari masyarakat. Jika hal ini terus berlangsung tanpa adanya pembinaan dan bimbingan yang tepat. Orang tersebut akan melakukan perbuatan yang mengejutkan sebagai reaksi untuk sekedar menampakkan eksistensi dirinya. Dr. Abdurrahman al-Mathrudi pernah menulis, bahwa sebagian besar orang yang bergabung kepada kelompok garis keras adalah mereka yang secara pribadi mengalami kegagalan dalam hidup dan pendidikannya. Mereka inilah yang harus kita bina, dan kita perhatikan. Maka hendaknnya kita tidak selalu meremehkan mereka yang secara ekonomi dan nasib kurang beruntung. Sebab mereka ini sangat rentan dimanfaatkan dan dibrain washing oleh kelompok yang memiliki target terorisme tertentu.
VI. Faktor Pendidikan: Sekalipun pendidikan bukanlah faktor langsung yang dapat menyebabkan munculnya gerakan terorisme, akan tetapi dampak yang dihasilkan dari suatu pendidikan yang keliru juga sangat berbahaya. Pendidikan agama khususnya yang harus lebih diperhatikan. Ajaran agama yang mengajarkan toleransi, kesantunan, keramahan, membenci pengrusakan, dan menganjurkan persatuan tidak sering didengungkan. Retorika pendidikan yang disuguhkan kepada ummat lebih sering bernada mengejek daripada mengajak, lebih sering memukul daripada merangkul, lebih sering menghardik daripada mendidik. Maka lahirnya generasi umat yang merasa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar sementara yang lain salah maka harus diperangi, adalah akibat dari sistem pendidikan kita yang salah. Sekolah-sekolah agama dipaksa untuk memasukkan kurikulum-kurikulum umum, sememtara sekolah umum alergi memasukan kurikulum agama. Dan tidak sedikit orang-orang yang terlibat dalam aksi terorisme justru dari kalangan yang berlatar pendidikan umum, seperti dokter, insinyur, ahli teknik, ahli sains, namun hanya mempelajari agama sedikit dari luar sekolah, yang kebenaran pemahamananya belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Atau dididik oleh kelompok Islam yang keras dan memiliki pemahaman agama yang serabutan.
18
Dampak Radikalisme dan Fanatisme yang Nyatadi Indonesia Radikalisasi dalam beragama muncul di tengah panggung politik secara global. Demikian pula Indonesia dalam proses berdemokrasi memiliki problem yang berat menghadapi masalah ini. Maraknya kekerasan atas nama agama, teror bom yang terjadi belakangan, merupakan bukti bahwa ada ancaman yang serius dalam kehidupan berdemokrasi bangsa ini. Bukan barang baru. Dapat dimafahami bahwa kekerasan yang mengatasnamakan nama agama ini memang bukan barang baru dalam sejarah peradaban (kebiadaban) manusia. Kekerasan atas nama agama seringkali muncul dari perbedaan dalam memahami kitab suci, Tuhan, dan agama itu sendiri. Pebedaan-perbedaan pemahaman kemudian melahirkan fanatisme-fanatisme sektarian dan semakin melembaga. Fanatisme dan ketiadaan pemahaman tentang esensi beragama dan ber-Tuhan pada level akar rumput inilah, yang membuat pemeluk agama melihat agama lain dari kacamata kepicikan yang sempit, sehingga cenderung merendahkan agama lain, atau tafsiran agama dari kelompok agama yang berbeda dengan mereka. Bagi mereka, tindakan kekerasan atas nama agama tidak pernah salah, karena Tuhan dan kebenaran adalah monopoli mereka. Pelaku tindakan kekerasan atas nama agama memang merasa paling beriman di muka bumi. Karena menganggap diri sebagai makhluk agung di antara manusia, mereka mengangkat dirinya sebagai orang yang paling dekat dengan Tuhan. Mereka memandang dirinya berhak memonopoli kebenaran, seakanakan mereka telah menjadi wakil Tuhan yang sah untuk mengatur dunia ini berdasarkan tafsiran monolitik mereka terhadap teks suci. Perkara pihak lain akan mati, terancam, binasa, dan babak belur akibat perbuatan anarkis mereka, sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Inilah jenis manusia yang punya hobi “membuat kebinasaan di muka bumi”, tetapi merasa telah berbuat baik. Padahal semua agama tidak pernah mengajarkan kekerasan dan tidak pernah membenarkan adanya kekerasan. Bangkitnya gerakan radikalisme agama dewasa ini, secara historis sulit dilepaskan dari reaksi negatif atas gelombang modernitas yang membanjiri negara-negara Muslim pada awal abad ke-20. Pengaruh modernitas ini bukan hanya pada dimensi kultural, tetapi juga dimensi struktural-institusional, seperti sains dan teknologi serta instrumen modern lainnya, khususnya pandangan mengenai kesadaran kebangsaan yang melahirkan konstruksi negara-bangsa modern. 19
Tidak seperti di negara-negara Eropa Barat di mana kesadaran nasional berakar, tumbuh, dan berkembang dari perlawanan terhadap kekuasaan feodal dan negara absolut, gelombang nasionalisme di Asia, Afrika, dan negara-negara Muslim di Semenanjung Arab, Timur Tengah, lahir justru dari perlawanan terhadap kolonialisme Eropa. Situasi itu tentu saja membawa dampak traumatis sehingga hadirnya ideologi nasionalisme di negara-negara Muslim mengalami ketegangan yang tajam, bahkan perlawanan dari unsur-unsur pembentuknya. Di samping realitas masyarakatnya yang sangat plural, dipertentangkannya konsepsi negara-bangsa sekuler modern dengan universalisme tatanan berdasar agama, telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan. Akibatnya, konstruk negara-bangsa modern di negara-negara Muslim umumnya mengalami delegitimasi dan ancaman terus-menerus. Dan, kondisi ini diperparah oleh krisis yang dialami negara-bangsa sendiri berikut kelemahan-kelemahannya yang mendasar, serta kenyataan akan minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat. Dalam perspektif historis, radikalisme agama di Tanah Air adalah warisan dari ketidakmampuan sebagian kelompok Islam menegosiasikan dogma dan doktrin keagamaannya dengan realitas sosial dan kebutuhan masyarakat tentang pentingnya wawasan kebangsaan sebagai entitas yang menjamin pluralisme. Antagonisme politik dan ideologis antara Islam dan negara ini, dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elite politik terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Kendati ada upaya mencari jalan keluar dari ketegangan ini pada awal tahun 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik, dan simbolistik masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa pertama pemerintahan Orde Baru. (Bahtiar Effendy, 2001) Namun demikian, tanpa mengabaikan arus transformasi intelektualisme baru Islam dewasa ini, proses “reproduksi” Islam radikal pun terlihat tidak pernah surut. Hal ini terutama tampak pada tema-tema ideologis yang diusung kalangan Islam radikal yang “lebih vulgar”, yang memfokuskan gerakannya pada empat agenda utama: mendirikan
20
negara Islam dan menegakkan syariah, seraya menolak demokrasi dan kepemimpinan perempuan. Hebatnya, gerakan para aktivis Islam radikal ini telah memasuki ruang beberapa partai-partai politik Islam di Tanah Air.(Lihat penelitian Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-ormas Islam Garis Keras di Indonesia, 2002) Di sini tampak jelas bahwa sebagian kalangan Islam masih memosisikan secara dikotomis dan antagonistik antara Islam dan kebangsaan, dan menolak sintesis yang memungkinkan antara agama dan negara dalam kehidupan politik. Selain itu, akibat dari pemahaman keagamaan yang simbolistik ini, nilai-nilai universal demokrasi, seperti: kebebasan, kesetaraan, pluralisme, dan hak asasi manusia belum dipahami sebagai bagian inheren dari pesan-pesan profetis agama. Sebagaimana hal ini ditunjukkan secara tegas dari upaya mereka menuntut formalisasi syariah dalam hukum dan perundang-undangan negara. Agama mengajarkan manusia untuk menerima segala perbedaan sebagai rahmat atau anugerah Tuhan, mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha mengajarkan kesederhanaan, Kristen mengajarkan cinta kasih, Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam.
21
BAB II KESIMPULAN Bagaimana mungkin kehidupan kerukunan beragama kita bisa harmonis seperti yang dikonsepsikan pancasila bahwa ketuhanan kita adalah ketuhanan yang berkebudayaan yakni ketuhanan yang saling menghargai meskipun berbeda-beda keyakinan. Jika saja pemerintah tidak bertindak tegas kepada organisasi-organisasi yang belakangan ini menggunakan kekerasaan terhadap kelompok minoritas dalam beribadat memeluk kepercayaannya. Padahal sudah jelas, negara ini di merdekakan bukan hanya untuk satu golongan saja tapi semua untuk semua, itulah semangat para pendiri republik ini. Cita-cita kebangsaan kita sudah jelas yakni Pancasila. Ke depan tinggal bagaimana pemimpin republik ini bisa memberi keteladanan kepada rakyatnya. Tanpa itu, Pancasila hanya akan kita jadikan slogan belaka dan kita adalah bagian yang membuatnya kabur dan usang. Indonesia ditengah kemajemukan budaya dan kepercayaan atau identik dengan
perbedaan
dalam
keberagaman
sudah
seharusnya
menyemai
dan
memanamkan tolerasi serta memupuk rasa kasih sayang terhadap sesama guna memetik buah kebersamaan demi terciptanya kemajuan bangsa yang di cita-citakan. Fanatisme perlu ditekan bahkan dibasmi yang dianggap sebagai suatu virus yang bisa berdampak luas, dengan masyarakt tetap memegang prinsip-prisip yang subtansi dan esesi yang hakiki. Indonesia damai, aman, dan sejahtera tentulah merupakan cita-cita semua warga bangsa. Oleh karena itu, marilah satukan keinginan dan bulatkan tekad untuk terus berusaha menciptakan kedamaian dengan “membumikan” sikap toleransi dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Sudah saatnya semua pihak melakukan berbagai upaya secara lebih komprehensif dan terarah untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang toleran dan damai di bumi Indonesia. Jika tidak, maka kekerasan atas nama agama, akan menjadi “bom waktu” yang siap meledak setiap saat, bukan hanya menghancurkan umat beragama, tetapi juga bangsa Indonesia tercinta ini.
22
Agama mengajarkan manusia untuk menerima segala perbedaan sebagai rahmat atau anugerah Tuhan, mengajarkan kebaikan dan kedamaian hidup manusia. Buddha
mengajarkan
kesederhanaan,
Kristen
mengajarkan
cinta
kasih,
Konfusianisme mengajarkan kebijaksanaan, dan Islam mengajarkan kasih sayang bagi seluruh alam. Semoga tulisan ini mampu membangkitkan toleransi dan rasa cinta kasih sesama manusia tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras ataupun golongan. “tiada yang salah dengan perbedaandan segala yang kita punya, yang salah hanyalah sudut pandang kita yang membuat kita terpisah, karena tak seharusnya perbedaan menjadi jurang. Bukankah kita diciptakan untuk dapat saling melengkapi mengapa ini yang terjadi.” (Mengapa Ini yang Terjadi–Tere feat Valent)
23
DAFTAR PUSTAKA Bilik Sukma, 2010, Voltaire, Fanatisme dan Islam, (Online), (http://filsafat.kompasiana.com/2010/08/26/voltaire-fanatisme-dan-islam/, diakses tanggal 18 Oktober 2011) Iin Yumiyanti, 2011, Sasar Masjid, Pelaku Bom Cirebon Diduga Kelompok Teroris Baru, (Online), (http://www.detiknews.com/read/2011/04/15/154251/1618365/10/sasar-masjidpelaku-bom-cirebon-diduga-kelompok-teroris-baru, diakses tanggal 18 Oktober 2011) Ardinanda Sinulingga , 2011, Pancasila Hanya Dijadikan Slogan, (Online), (http://kampus.okezone.com/read/2011/06/01/95/463337/pancasila-hanya-dijadikanslogan, diakses tanggal 18 Oktober 2011) Jodhi Yudono, 2011, Solo Diusik Ledakan Bom, (Online), (http://oase.kompas.com/read/2011/09/26/15024190/Solo.Diusik.Ledakan.Bom, diakses tanggal 18 Oktober 2011) Febrina Ayu Scottiati, 2011, Mardigu: Bom Bunuh Diri Lebih ke Arah Separatis Bukan Teroris, (Online), (http://www.detiknews.com/read/2011/09/28/163018/1732547/10/mardigu-bombunuh-diri-lebih-ke-arah-separatis-bukan-teroris, diakses tanggal 18 Oktober 2011) Parlin Nainggolan, 2011, Fanatisme Agama yang berlebihan bangsa Indonesia, (Online), (http://agama.kompasiana.com/2010/09/14/fanatisme-agama-yangberlebihan-bangsa-indonesia/, diakses tanggal 18 Oktober 2011) Syamsulkurniawan, 2011, Stop Kekerasan atas Nama Agama, (Online), (http://sosbud.kompasiana.com/2011/10/02/stop-kekerasan-atas-nama-agama/, diakses tanggal 18 Oktober 2011) Ustadz Muladi Mughni, 2011, Faktor-faktor Penyulut Radikalisme Agama, (Online), (http://www.pesantrenvirtual.com/, diakses tanggal 18 Oktober 2011) Prof. Dr. Achmad Mubarok MA , 2006, Psikologi Fanatik, (Online), (http://mubarokinstitute.blogspot.com/2006/08/psikologi-fanatik.html, diakses tanggal 18 Oktober 2011)
24