PENDIDIKAN AGAMA BERBASIS MULTIKULTURAL (Upaya Strategis Menghindari Radikalisme)
Oleh Edi Susanto (Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Tarbiyah STAIN Pamekasan dan peserta program Doktor Studi Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya)
Abstrak: Tulisan ini secara deskriptif analitis berusaha memotret signifikansi dan urgensi pendidikan agama berbasis multikultural pada era kontemporer mutakhir yang ditandai dengan pluralitas dalam segala dimensinya. Ditegaskan bahwa pendidikan agama berbasis multikultural memiliki visi dan bermissi untuk menampilkan agama pada sisi yang lebih santun, dialogis, apresiatif terhadap pluralitas dan peduli terhadap persoalan hidup yang komunal transformatif. Kata kunci: pendidikan agama berbasis multikultural, inklusivistik
Pendahuluan Sejarah bangsa Indonesia belakangan ini seringkali diwarnai kekerasan atas nama agama1. Fenomena ini dapat Menyatakan faktor agama sebagai faktor dominan bagi terwujudnya kekerasan dan kerusuhan di berbagai wilayah tanah air ini, sampai batas tertentu merupakan sesuatu yang sangat distortif, sebab sebagaimana diakui oleh M. Amin Abdullah, faktor pemicunya sedemikian kompleks. Periksa Majalah Berita Ummat, No. 14 Tahun I, 8 Januari 1996/17 Sya’ban 1416 H., hlm. 34. Namun demikian, tidak menjadikan agama sebagai salah satu sentimen faktor pemicu konflik juga merupakan sesuatu yang tidak faktual, sebab agama --sebagaimana ditegaskan Burhanuddin Daya--, mempunyai fungsi ganda yakni sebagai kekuatan pengikat ke dalam yang luar biasa dan semangat yang keras menyalakan pertentangan keluar (power of internal integrity and power of external conflict). Periksa Burhanuddin Daya, “Hubungan Antar Agama di Indonesia”, dalam Ulumul Qur’an Nomor 4 Vol. IV, Th. 1993. Annimarie Schimmel, sebagaimana dikutip Abd Rohim Ghazali, menegaskan hal yang sama dengan Burhanuddin Daya yang menyatakan
dilihat dari berbagai peristiwa kerusuhan seperti di Poso yang terjadi sampai kini, kerusuhan Ambon dan beberapa aksi pengeboman di berbagai wilayah tanah air2.
1
bahwa dalam aras historis, missi agama tidak selalu artikulatif, sebab dalam perjalanan sejarahnya, selain sebagai alat pemersatu sosial, agama juga dapat menjadi unsur konflik. Periksa Abd. Rohim Ghazali, “Inklusivitas Kebenaran Agama”, Kompas 23 Agustus 1996. 2 Pengeboman itu dilakukan antara lain oleh mereka yang mengaku sebagai jebolan pesantren. Seperti tokoh Bom Bali I (2002) yang dilakukan oleh Trio bersaudara, Muchlas, Ali Ghufron dan Amrozi, asli Lamongan, yang dalam hidup kesehariannya sedemikian akrab dengan nuansa keislaman, bahkan alasan mereka melakukan pengeboman tersebut didasari oleh semangat jihad fi sabilillah. Tokoh Bom Hotel JW Marriot (2003) dan Bom Bali 2 adalah juga diidentifikasi polisi sebagai santri pondok pesantren di Surakarta, tepatnya di Ngruki, yang diasuh oleh seorang tokoh Islam garis keras, Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar. Siapa kedua tokoh ini dan
Pendidikan Agama Berbasis Multikultural Edi Susanto
Semuanya ini, jelas menunjukkan betapa pemahaman agama masyarakat kita masih diwarnai oleh watak intoleran dan eksklusif3, yang bisa saja disampaikan dalam ruang publik, semisal sekolah, madrasah, pesantren4 bahkan di perguruan tinggi. Dapat dibayangkan, betapa pandangan mereka yang sejak dini sudah didoktrin dengan pandangan-pandangan profetis ideologis5 dalam meresponsi dan menghayati bagaimana aktivitas kedua tokoh ini, periksa Jamhari dan Jajang Jahroni (penyunting), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 47-84. 3 Watak intoleran dan eksklusif ini biasanya terwujud dari respon profetis ideologis seseorang kepada agamanya. Tendensi beragama dengan model demikian, ditandai dengan tensi misi sosial keagamaan dengan menggalang solidaritas dan kekuatan, sehingga kegiatan penyebaran agama dengan tujuan untuk menambah pengikut dinilai memiliki keutamaan teologis dan memperkuat kekuatan ideologis. Puncak kebaikan beragama adalah berlakunya hukum-hukum agama dalam perilaku dan tatanan sosial. Kategori iman dan kafir, orang luar dan orang dalam lalu dieksplisitkan dengan menggunakan kategori normatif dan ideologis. Sebagai konsekuensi berikutnya, kecenderungan keberagamaan semacam ini sangat sadar untuk menggunakan aset politik dan ekonomi untuk merealisasikan komitmen imannya dalam pelataran praksis sosial, terutama kekuasaan politik. Periksa Komaruddin Hidayat, “Agama Untuk Kemanusiaan”, Kompas, 26 Januari 1994. 4 Sudah tentu, tidak semua pondok pesantren mengajarkan hal semacam itu. Namun patut dicatat, di pesantren Ngruki Surakarta, milik Abu Bakar Ba’asyir, sikap dan pandangan keagamaan yang lebih menekankan pada pemberlakuan syari’at Islam menjadi isu utama dari materi pelajaran yang diberikan. Untuk mata pelajaran akidah misalnya, tekanan tidak diberikan tidak hanya pada keesaan Tuhan (tawhid) dan penjelasan tentang rukun iman yang lain, tetapi yang terpenting adalah penolakan atas berbagai pandangan dan institusi kenegaraan yang dinilai tidak berdasarkan atas ajaran Islam. Syari’at Islam harus diberlakukan tidak hanya pada tataran individu, tetapi juga ditingkat sistem dan institusi kenegaraan. Periksa Jamhari dan Jahroni, Gerakan Salafi, hlm. 61-62. 5 Pandangan terhadap ajaran agama, secara kategorikal, dapat diklasifikasikan pada tiga tipe, yakni
agama, sehingga--dalam pandangan penulis--merupakan suatu kewajaran jika mereka berperilaku hitam putih, benar salah, komunitas kita-mereka dan berbagai kategori pandangan yang bersifat dual-recisprocal sedemikian 6 tertanam kuat. Eksklusivisme: Akar Masalah Dalam konteks ini, terdapat problem serius yang masih menghinggapi semangat pendidikan agama di Indonesia, dimana hal tersebut dapat dilihat dari visi, tujuan, kurikulum, guru, literatur dan penyikapan terhadap kemajemukan yang masih banyak menyisakan beragam persoalan7. Tidak type mistikal (solitary), tipe profetik-ideologis dan tipe humanis fungsional. Tipe mistik ditandai dengan penekanannya pada penghayatan individual terhadap kehadiran Tuhan. Apa yang disebut dengan kondisi mystical union dipandang sebagai prestasi keberagamaan yang amat membahagiakan dan –oleh karenanya—sangat didambakan. Puncak kebahagiaan hidup –dalam pandangan model ini, disamping mystical union—ialah apabila seseorang telah berhasil menghilangkan segala kotoran hati dan pikiran sehingga antara dia dan Tuhan terjalin hubungan yang intim yang dijalin dengan cinta kasih. Sedangkan tipe profetis ideologis dapat dilihat pada catatan kaki nomor 3 di atas. Adapun tipe humanis fungsional memandang bahwa kebijakan hidup beragama adalah bila seseorang telah beriman kepada Tuhan dan kemudian berbuat baik kepada sesamanya, tanpa pandang bulu, sehingga sikap toleran dan eklestisisme pemikiran beragama adalah karakteristik utama model ini. 6 Diakui oleh Abdullah Hanif, peneliti pada Institute for the Study of Religion and Democracy (IRD) Jakarta, bahwa pangkal mengentalnya konflik dan disintegrasi adalah pendidikan agama yang selama ini bersifat eksklusif dan indoktrinasi, dimana para siswa hanya dijejali pengetahuan tanpa berusaha untuk lebih memahami, apalagi menghayati. Periksa Abdullah Hanif, “Redifinisi Pendidikan Agama: Menggagas Kurikulum Pendidikan Agama Inklusif”, Inovasi Kurikulum, Edisi III Th. 2003: 36. 7 Beragam persoalan itu antara lain misalnya terletak pada masih belum jelasnya epistemologi ilmu-ilmu agama, materi yang diberikan sangat bernuansa
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
783
Pendidikan Agama Berbasis Multikultural Edi Susanto
berlebihan, jika siswa banyak dan sering memperoleh pengetahuan agama yang berbasis eksklusivisme8, seperti saling mengkafirkan, menyalahkan agama lain, saling memurtadkan dan berbagai hal lainnya. Karena itu kehadiran aliran – bahkan apa lagi, agama—lain dianggap sebagai ancaman. Akibatnya benih-benih konflik terus tertanam dalam pengalaman beragama dan kognisi agama yang diyakini siswa. Inilah yang -pada gilirannya—sering menjadi pemicu violence atas nama agama ketika kesadaran beragama eksklusif muncul di tengah-tengah masyarakat. Dalam konteks ini, patut kita renungkan sinyalemen filsuf Berntrand sektarian dan fiqh oriented, kurikulum yang masih tumpang tindih, serta pola yang masih berkutat pada eksklusivisme, dalam arti bersikap alergi terhadap kemajemukan paham, apalagi kemajemukan agama. Lebih konkret, dalam konteks pluralitas agama, Amin Abdullah menyatakan krisis epistemologi tersebut yakni apakah pendidikan agama telah cukup memberikan bekal kepada terdidik ketika mereka harus berhadapan dengan realitas aktual tentang keragaman agama yang dipeluk masyarakat. Dalam pandangannya, Abdullah yakin bahwa guru agama dan dosen agama hingga sekarang memang belum secara sadar dan terencana membekali diri dengan isuisu aktual, hidup dan konkret semacam tersebut dalam upaya transformasi pendidikan agama kepada terdidik. Periksa M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius. (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, 2005), hlm. 135-136. 8 Pandangan eksklusivisme ini berimplikasi pada terbentuknya sikap dan pandangan hidup yang menegaskan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama lain dipandang sesat dan wajib dikikis atau pemeluknya perlu untuk dikonversi karena baik agama maupun pemeluknya dipandang sebagai terkutuk dalam pandangan Tuhan. Lebih jauh Armahedi Mahzar memandang bahwa sikap eksklusif merupakan “penyakit” yang biasanya akan melahirkan absolutisme, fanatisme, ekstremisme bahkan kemudian agresivisme. Periksa Armahedi Mahzar, “Kata Pengantar”, dalam R. Garaudy, Islam Fundamentalis dan Fundamentalis Lainnya. Ter. Afif Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1993), hlm. ix.
Russel dalam Education and Social Order yang dengan tegas menyatakan “sejauh pendidikan dipengaruhi oleh agama, maka pendidikan yang dipengaruhi oleh agama institusionallah yang memiliki arti politik yang besar. Karena arti politik yang begitu besar dalam pendidikan agama, tidak heran jika doktrin yang berkembang adalah doktrin yang eksklusif, superior dan truth claim”9. Pendidikan agama yang dikemas demikian, sampai batas tertentu akan mematikan hubungan harmonis dan menumpulkan sikap terbuka terhadap agama-agama lain. Dus, agama hanya dijadikan sebagai ideologi politik yang sangat kental dengan aroma konflik dan pertikaian antar sesama umat beragama10. Pada sisi lain, strategi politik yang ditempuh oleh rezim pemerintah Indonesia sebelum era reformasi ini – yakni era orde Baru-- selalu mencurigai kelompok-kelompok Islam11 melalui Berntrand Russel, Education in Social Order. (New York: Menthor Book, 1994), hlm. 12. 10 Simbiosis antara agama dengan politik sampai batas tertentu memang banyak melahirkan tragedi dan nestapa kemanusiaan, sehingga para tokoh pemikir sekuler secara massif berusaha untuk melepaskan agama dalam keterkaitan organiknya dengan proses dan aktivitas politik, sekecil apa pun, dan berusaha meletakkan agama pada posisi yang sedemikian privat (individual, pribadi) sehingga dikenallah dengan diktum sekularisme dan sekularisasi. 11 Kelompok Islam yang dicurigai adalah kelompok Islam politik, yakni eks aktivis Masyumi yang sedemikian getol memperjuangkan negara Islam. Tingginya resistensi dan kontrol pemerintah terhadap proses politik dan reintensifikasi ideologi politik Islam, sampai batas tertentu telah melahirkan bipolarisasi perilaku politik umat Islam, yakni apa yang disebut dengan politik garam dan politik bendera. Politik garam, sering pula disebut dengan gerakan Islamisasi kultural banyak diperankan oleh kalangan Muslim terpelajar dan terjaring dalam birokrasi pemerintahan orde Baru. Sedangkan politik bendera, sering pula disebut gerakan Islamisasi secara struktural, banyak ditempuh oleh 9
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
784
Pendidikan Agama Berbasis Multikultural Edi Susanto
khutbah, dakwah dan pendidikan. Kecurigaan tersebut –sampai batas tertentu—telah menciptakan kesadaran permusuhan dan pertentangan dari kelompok-kelompok Islam, yang –untuk mudahnya sebut saja, Islam garis keras12. Akibatnya, muncul radikalisasi13 umat, kalangan Islam garis keras, yang karena kuatnya kontrol birokrasi Orde Baru yang didukung oleh kekuatan Militer, tidak memungkinkan tokohtokohnya untuk bergerak dengan leluasa, bahkan ada diantara tokohnya yang melarikan ke luar negeri, seperti misalnya Abu Bakar Ba’asyir. Bahasan menarik tentang hal ini baca M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru. (Jakarta: Paramadina, 1995). 12 Gerakan Islam garis keras ini muncul di Indonesia didasari oleh --paling tidak—beberapa faktor. Pertama, berkaitan dengan reformulasi ideologi salafi. Ideologi Salaf yang pada awalnya menekankan pada pemurnian akidah, pada abad ke 20 ini mengalami metamorfosis. Ia tidak hanya gerakan purifikasi keagamaan semata, tetapi menjadi ideologi perlawanan terhadap berbagai paham yang –dinilai—tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Paham-paham yangh dilawan oleh gerakan salafisme adalah hegemoni modernisme, sekularisme dan hegemoni Barat atas dunia Islam, sehingga dapat ditegaskan bahwa gerakan salafi radikal pada dasarnya merupakan protes terhadap lingkungan sekitar yang tidak berpihak padanya. Kedua, berkaitan dengan respon terhadap buruknya pelayanan negara terhadap masyarakat, namun gerakan ini jelas tidak mungkin muncul pada masa Soeharto karena kuatnya kontrol dan dominasi negara terhadap masyarakat, akan tetapi benih-benih gerakan ini telah disemai sejak dekade 1980-an dalam wujud menegakkan syari’at Islam dan – bahkan—mendirikan negara Islam. Periksa Jamhari, Gerakan Salafi Radikal, hlm. viii. 13 Istilah radikalisme keagamaan sesungguhnya telah ada semenjak dahulu dan sampai kapan pun jua. Banyak istilah lain yang digunakan untuk mendeskripsikan fenomena ini seperti ekstremisme, fundamentalisme, hard liners, militanisme dan pada puncaknya terorisme. Perilaku kekerasan dengan basis sektarianisme keagamaan sering kita saksikan di berbagai belahan dunia dan dalam berbagai agama. Konflik Katolik dan Protestan di Irlandia, Muslim Sunni dan Syi’ah di Irak dan sebagainya mengingatkan orang pada sejarah perang agama yang mendorong orang untuk memisahkan agama dengan negara. Gerakan radikalisme keagamaan ini pada dasarnya merupakan gerakan politik yang diselubungi
yang imbasnya telah mewujudkan sikap keberagamaan yang sangat rigid dan rentan konflik. Pendidikan Agama Berbasis Multikultural Dalam konteks ini, pendidikan agama sebagai media penyadaran umat dihadapkan pada problem bagaimana mengembangkan pola keberagamaan berbasis inklusivisme, pluralis dan multikultural, sehingga pada akhirnya dalam kehidupan masyarakat tumbuh pemahaman keagamaan yang toleran, inklusif dan berwawasan multikultur, sebab dengan tertanamnya kesadaran demikian, sampai batas tertentu akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanief. Ini semua mesti dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan agama dalam paradigma yang toleran dan inklusif. Filosofi pendidikan agama yang hanya membenarkan agamanya sendiri, tanpa mau menerima kebenaran agama lain, perlu dikritisi untuk selanjutnya dibenahi dan dilakukan reorientasi14. Konsep iman-kafir, muslim non-muslim, dan truth claim yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang masyarakat pada agama lain, semestinya “dibongkar” agar oleh keyakinan agama. Periksa Karen Amstrong, A History of God: The 4000 Year Quest of Judaism, Christianity and Islam. (New York: Alfred A. Ilnopst, 1993), hlm. 390-391. Bandingkan Amin Abdullah, Pendidikan Agama, hlm. 28. 14 Benih-benih dan akar, pada tahapan sangat awal dan bentuk paling dini dari munculnya violence dengan motif agama adalah imbas dari pemahaman keagamaan yang bercorak literal-skriptural dan derivasinya yaitu sikap sosial yang bersifat eksklusif dan apologetik. Lebih lanjut periksa Charles J Adams, “Islamic Religious Tradition”, dalam Leonard Binder, The Studyof The Middle Est: Research and Schoolarship in The Humanitis and The Social Sciences. (New York: John Willey and Sons, 1976), hlm. 35-41
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
785
Pendidikan Agama Berbasis Multikultural Edi Susanto
umat tidak lagi menganggap agama lain sebagai agama yang salah dan bukan jalan memperoleh keselamatan. Jika ini yang terjadi, tanpa ragu lagi dan pasti akan merusak harmonisasi agama dan menghilangkan sikap saling menghargai, sehingga pada gilirannya sangat rentan konflik. Demikian pula, guru-guru agama di sekolah, sebagai ujung tombak pendidikan agama dari Taman KanakKanak sampai dengan SLTA –bahkan perguruan tinggi—nyaris tidak tersentuh oleh gelombang pergumulan dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama15. Pada hal guru-guru inilah yang menjadi mediator pertama untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi, pluralisme dan multikultural pada siswa, yang pada tahapan selanjutnya ikut berperan aktif dalam mentransformasikan kesadaran toleran secara lebih intens.16 Amin Abdullah, Pendidikan Agama, h. 131-132. Hal demikian terjadi karena adanya anggapan bahwa para guru agama tersebut tidak terlalu penting, tidak punya nilai jual, terlalu rendah atau tidak sederajat untuk diajak duduk bersama-sama berdialog mendiskusikan pluralitas agama, tidak memiliki terlalu banyak umat, atau –dianggap—tidak mempunyai peran yang strategis dalam mensosialisasikan ide-ide baru. Dailog antar umat beragam hanya melibatkan tokoh yang sedemikian terbatas dan dipandang sebagai elit agama. 16 Lebih jelas, pemimpin dan elit agama, --termasuk didalamnya orang tua, guru, dosen kiai, da’i, pemimpin gerakan mahasiswa, pemimpin organisasi keagamaan dan pimpinan partai politik berbasis agama—memegang kunci penting kemana layar akan berkembang dan kemana biduk agama akan dibawa, ke arah konsensus dan kompromi yang mengarah pada kesejukan dan perdamaian atau ke arah pertentangan, mutual distrust, konflik dan kekerasan, karena pada dasarnya agama [atau lebih tepatnya pemeluk agama] bersikap mendua (ambivalent), bisa sejuk dan bisa beringas, bisa lunak dan bisa juga keras. Bisa damai namun bisa juga perang. Karena sifatnya yang demikian, para elit keagamaan perlu hati-hati dan 15
Karena itu, dengan meminjam filsafat pendidikan yang dikembangkan Paolo Freire yang menegaskan bahwa pendidikan harus difungsikan untuk pembebasan (liberation) dan bukan penguasaan (domination). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan domestikasi dan bukan penjinakan sosial budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia sehingga secara metodologis bertumpu pada prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk mengubah realitas yang menindas sekaligus secara bersamaan dan terus-menerus berusaha menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk mengubah kenyataan yang menindas tersebut17. Dengan perspektif ini, maka kini kita mesti melakukan pembebasan terhadap pendidikan agama yang selama ini dilakukan, dengan memberi warna yang lebih menekankan dimensi inklusivitas. Dalam kondisi demikian, yang perlu dilakukan adalah melakukan reorientasi visi pendidikan agama yang berbasis eksklusif-monolitis ke arah penguatan visi inklusif multikulturalis. Hal ini dilakukan karena telah terjadi kegagalan dalam mengembangkan semangat toleransi dan pluralitas dalam pendidikan agama, yang pada gilirannya telah menumbuhsuburkan gerakan benar-benar waspada. Tingkah laku, akhlak sosial politik, solah bowo, muna muni dan fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh pimpinan agama akan sangat membentuk corak perilaku agresif atau non agresif dari umatnya. Periksa Abdullah, Pendidikan Agama. hlm. 19-20. Bandingkan David J. Bromley & J. Gordon Melton, ed. Cults, Religion & Violence. (Cambridge: The University of Cambridge, 2002). 17 Periksa Paolo Freire, Deschooling Society. (New Jersey: Penguin Books, 1986).
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
786
Pendidikan Agama Berbasis Multikultural Edi Susanto
radikalisme agama. Hal inilah yang mesti kita renungkan bersama agar pendidikan agama kita tidak menyumbangkan benih-benih konflik antar agama. Karena itu, kebijakan pendidikan yang mengeliminasi arti signifikan keanekaragaman dan kemajemukan agama, perlu diantisipasi bersama, sehingga dalam merancang sistem pendidikan tidak hanya mengandalkan basis kognisi, tetapi juga bagaimana membentuk kesadaran beragama dalam tata pergaulan masyarakat yang damai dan sejahtera. Merancang sistem pendidikan agama justru menampung nilai-nilai luhur yang mendasari kehidupan masyarakat secara lebih substansial. Dengan logika pendidikan agama seperti itulah, kita dapat berharap tercipta tata kehidupan yang menghargai pluralitas, toleran dan mengupayakan kehidupan damai di tengah-tengah masyarakat. Pro-existence Kurikulum dan Guru Agama Inklusif Untuk melakukan reorientasi pendidikan agama menuju basis inklusifmultikultural-pluralis, pendidikan agama --mau tidak mau-- harus dikembangkan ke arah yang mampu melahirkan para pemeluk agama yang dapat menghargai perbedaan dan mampu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan universal. Pendidikan agama –apa saja bentuk formal agamanya—mesti diusahakan agar mampu menumbuhkan kesadaran bahwa martabat manusia bersumber dari keterciptaannya, bukan pada etnis dan agama yang dimilikinya. Dalam konteks inilah, di sekolah misalnya, siswa diusahakan secara
gradual untuk dibebaskan dari sekat-sekat primordial dengan menekankan pendidikan agama yang berbasis pada pluralitas dan kebersamaan, sehingga metode pembelajaran yang dikembangkan bukan lagi indoktrinasi melainkan suasana dialogis. Siswa diajak “berekreasi” terhadap realitas pluralitas sekaligus menggali nilai humanitas serta ditradisikan membangun kebersamaan dengan sesama. Dengan kata lain, kurikulum pendidikan agama mesti digagas dengan frame inklusivisme,18 yakni –meminjam bahasa Amin Abdullah—memperteguh dimensi kontrak sosial keagamaan dalam 19 pendidikan agama. Pendidikan agama berbasis inklusivistik-multikultural mesti hijrah dari moralitas individual ke moralitas publik;20 berusaha Pendidikan agama, selama ini lebih mencerminkan sifatnya yang terlalu menekankan pada doktrin “keselamatan” yang didasarkan pada kebaikan hubungan antara diri “seorang individu” dengan “Tuhannya” dan kurang begitu memberikan tekanan yang baik antara “diri individu dengan individuindividu sesamanya. Perbedaan asumsi dasar dan filosofi cara memperoleh keselamatan antara kedua model tersebut besar sekali implikasi dan konsekuensinya dalam usaha menyusun muatan materi pendidikan agama. Pendidikan agama yang semata-mata menekankan keselamatan individu dan kelompoknya sendiri menjadikan anak didik kurang begitu sensitif terhadap nasib, penderitaan dan kesulitan yang dialami oleh sesama, yang kebetulan memeluk agama lain, dimana hal demikian bisa saja terjadi karena adanya keyakinan yang tertanam kuat bahwa orang atau kelompok yang tidak seiman adalah “lawan” secara akidah. 19 Amin Abdullah, Pendidikan Agama, hlm. 138. 20 Yakni berusaha untuk lebih mengaksentuasikan pada terbentuknya moralitas publik, dalam wujud kesadaran dan kesalehan sosial. Khazanah pendidikan agama selama ini masih didominasi pola pemahaman moralitas keagamaan yang bersifat personal, dan belum berkembang pada kesadaran komunalitas. Buktinya secara sosiologis, sering terlihat umat lebih peka terhadap kasus pelanggaran moral yang bersifat personal dan domestikal, seperti pornografi dan 18
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
787
Pendidikan Agama Berbasis Multikultural Edi Susanto
memutasikan Tuhan dari konsep utopismetafisis menuju landing to the earth21 dan berusaha melakukan lokalisasi akidah dan desentralisasi fiqh22. Dengan demikian, penonjolan segisegi persamaan dalam setiap agama, pengubahan orientasi pendidikan agama dari yang menekankan aspek sektoral fiqhiyah ke arah orientasi pengembangan aspek universal-rabbaniyah, penekanan atensi pada nilai-nilai kemanusiaan dengan tanpa memandang atribut-atribut sosio-religius serta ikhtiar menghindari sikap egoisme dalam beragama sehingga tidak terjadi klaim diri sebagai yang paling benar23 merupakan karakteristik
sebagainya, tetapi ketika ada kasus pada wilayah moralitas publik semacam penyalahgunaan wewenang, penindasan terhadap buruh, umat kelihatan adem ayem saja. Pendidikan berbasis multikultural berlawanan secara diametral dengan konsep tersebut. 21 Artinya pendidikan agama dalam menyajikan konsep ketuhanan, mesti berpihak dan berpindah dari pemahaman yang bersifat elitis dan hanya cocok untuk senam otak, seperti pemahaman tentang sifat Allah yang 20 menuju konsep yang lebih praksis, populis dan konkret, semisal konsep asma’ al-Husna. 22 Lokalisasi akidah adalah beralih dari model pemahaman akidah yang idealistik-rasionalistik ke arah pemahaman yang lebih empirik transformatif; dari akidah yang dikotomik konfrontatif ke arah akidah yang lebih apresiatif-dialogis, kompromistik dan akomodatif dengan tanpa terjebak pada sinkretisme. Sedangkan maksud desentralisasi fiqh merupakan suatu pendekatan pembelajaran fiqh yang tidak terlalu bertendensi white or black, sekaligus tidak cenderung hanya menampulkan pemahaman yang sentralistik, monolitik, paternalistik, dikotomik bahkan konfrontatif, tetapi lebih menekankan proses dialogue and sharing ideas. Bahasan lebih elaboratif tentang ini periksa Muhammad Azhar, “Otonomi Keberagamaan Di Era Multikultural”, dalam Zakiyuddin Baidhawy dan M. Thoyibi, ed. Reinvensi Islam Multikultural. (Surakarta: PusatStudi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005), hlm. 109114. 23 Dadang Kahmad, Sosiologi Agama. (Bandung: Remadja Rosdakarya, 2000), hlm. 151-152.
substantif pendidikan berbasis multikultural. Pendidikan agama dengan model demikian dapat terlaksana dengan baik jika didukung oleh tenaga guru yang berpengalaman dan berwawasan 24 inklusivis-multikultural . Guru agama – dalam konteks ini—berperan sebagai agen rekonsiliasi, sehingga –mau tidak mau—guru agama (dari semua tingkatan pendidikan) mesti berwawasan demikian. Dengan wawasan tersebut, dapat dimasukkan praktik kebersamaan lintas suku, agama dan strata sosial, sehingga dengan pengalaman hidup dalam komunitas plural, siswa dapat belajar dan melihat kemanusiaan pada diri orang lain secara manusiawi lepas dari identifikasi etnis dan ideologi. Hanya dengan cara seperti ini, memori siswa yang selama ini serba tunggal, monolitik, monologis dan dikotomik akan mengalami metamorfosis dan transformasi. Dari wawasan
Bahkan Amin Abdullah menegaskan bahwa guru agama –dalam semua tingkatan pendidikan—berperan sebagai garda terdepan dan ujung tombak yang masih sangat berwibawa –sehingga sangat signifikan—untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan yang kondusif, sehingga mau tidak mau, mereka mesti diberi informasi yang benar dan dilibatkan dalam proses dialog, yang selama ini hanya terbatas dan dibatasi pada elit agama. Jika saja mereka (guru agama) dilibatkan dan memperoleh akses, input dan informasi akurat dan tepat mengenai kepelikan dan kompleksitas kehidupan beragama dalam era kemajemukan dan kemudian mampu memberikan alternatif-alternatif pemecahan yang menyejukkan, lebih-lebih jika dapat mengemas ulang pesan-pesan dan nilai-nilai agama yang dipeluk dalam era pluralitas, maka terdidik sejak dini sudah dapat diantarkan untuk memahami perbedaan, menghargai dan menghormati kepercayaan dan agama yang dianut orang lain, sehingga pada saatnya nanti, mereka dapat lebih apresiatif dalam menghadapi pluralitas agama, budaya, ras, suku dan golongan secara lebih arif, santun, matang dan dewasa. Periksa Abdullah, Pendidikan Agama, hlm. 133. 24
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
788
Pendidikan Agama Berbasis Multikultural Edi Susanto
demikian, siswa diharapkan dapat menghayati spiritualitas yang pada gilirannya akan mampu mematahkan potensi rantai kekerasan dan permusuhan menjadi perdamaian, toleran dan pro keadilan. Penutup Pendidikan agama berbasis multikultural merupakan proses penyadaran yang bersendikan toleransi yang ditujukan sebagai usaha komprehensif dalam mencegah terjadinya konflik antar agama, mencegah terjadinya radikalisme agama, sekaligus pada saat yang sama memupuk terwujudnya sikap yang apresiatif positif terhadap pluralitas, dalam dimensi dan perspektif apa pun. Pendidikan agama berbasis multikultural bukan –dan jangan diidentifikasi—sebagai ikhtiar mendorong siswa untuk menjalankan agama dengan “seenaknya”, akan tetapi justru berusaha mengajarkan untuk taat beragama, dengan tanpa menghilangkan identitas keagamaan masing-masing, sehingga –dengan demikian—wajah keberagamaan yang ditampilkan oleh pendidikan agama multikultural adalah identitas agama yang lebih menampilkan sisi moderat dan toleran.25 Dengan demikian, titik tumpu pendidikan agama multikultural-inklusivistik ini sesungguhnya terletak pada adanya pemahaman dan ikhtiar mujahadah untuk
hidup bersama dalam konteks perbedaan agama dan budaya; pemahaman terhadap nilai-nilai bersama (common values) serta upaya kolaboratif mengatasi masalah-masalah bersama, sehingga – atas dasar itu—pendidikan agama multikultural tidak hanya sekedar untuk memahami keberbagaian agama (religious diversity), akan tetapi juga berusaha memahami nilai-nilai bersama yang dapat di-sharing sebagai dasar untuk hidup bersama (vivre ensemble). Wa Allāh a’lam bi al-sawāb
Diantara kontribusi signifikan pendidikan agama berbasis inklusivistik multikultural adalah adanya asumsi bahwa semua agama dapat mengkontribusikan sesuatu, bukannya satu dapat menyelesaikan semua. Melalui pola demikian, agama-agama diharapkan dapat memberikan kontribusi bermakna terhadap pembangunan bangsa menuju terwujudnya masyarakat yang toleran berkeadilan dan saling menghormati. 25
KARSA, Vol. IX No. 1 April 2006
789