UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERJALANNYA KEBIJAKAN PENGAWASAN PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DI KOTA BATAM
TESIS
AHMAD RAFQI NPM: 1206337103
FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BERJALANNYA KEBIJAKAN PENGAWASAN PANGAN JAJANAN ANAK SEKOLAH DI KOTA BATAM
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT
AHMAD RAFQI NPM: 1206337103
FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN ASYARAKAT UNIVERSITAS INDONESIA 2015
I
RIWAYAT HIDUP
Nama : Ahmad Rafqi Tempat/Tanggal Lahir : Bukittinggi, 19 Agustus 1968 Alamat : Marbella Residence Blok C2-28 Batam kota, Batam Status Keluarga : Menikah
Riwayat Pendidikan: 1. SD Negeri 25 Bukittinggi , lulus tahun 1981 2. SMP Negeri I Bukittinggi, lulus tahun 1984 3. SMA Negeri 1 Bukittinggi, lulus tahun 1987 4. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Andalas Padang, Jurusan Farmasi, lulus tahun 1993 5. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Andalas Padang, Profesi Apoteker, lulus tahun 1995
Riwayat Pekerjaan. 1. April 1997 – November 2008
: PNS Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Samarinda
2. November 2008 – sekarang
: PNS Balai Pengawas Obat dan Makanan di Batam
V
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah swt, karena atas berkat, rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Magister Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. drh.Wiku Adisasmito, MSc., PhD. selaku pembimbing yang dengan penuh kesabaran membimbing, memberikan masukan dan saran hingga selesainya tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. dr. Anhari Achadi, SKM.DSc, selaku penguji dalam seminar proposal, seminar hasil dan ujian tesis, serta bapak Dr. Pujianto SKM. MKes selaku penguji dalam ujian tesis yang banyak memberikan masukan dalam tesis ini. 2. Dra . Cendikia Sri Murwani Apt. MKM dan Dra. Deksa Presiana Apt. Mkes yang bersedia meluangkan waktu dan tenaga untuk hadir sebagai penguji luar pada ujian tesis penulis dan telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan tesis ini. 3. Seluruh pengajar program pasca sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia yang telah memberikan pendidikan dan pelajaran yang menghantarkan penulis menyelesaikan masa pendidikan ini. 4. Informan di Badan POM RI, Balai POM di Batam, Dinas Kesehatan kota Batam, Dinas Pendidikan kota Batam, Dinas Perindag dan ESDM kota Batam, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar, Koperasi dan UKM kota Batam, Bappeda kota Batam, SD 002 Batam Kota, SD 006 Sekupang, MUI kota Batam, DPRD kota Batam, yang telah menyediakan waktu dan banyak memberikan keterangan dalam penelitian ini. 5. Orang tua, Mertua, Kakak, Adik adik, Ipar, Uncu, Pak gaek dan Tante yang telah banyak memberi dukungan dan doa untuk menyelesaikan pendidikan ini, semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik. 6. Istri tercinta Fowpi Chaira, dan anak anakku tersayang Hanna Nabilla dan Najwa Nur Faizah, terima kasih atas pengorbanan, doa dan dukungannya, semoga Allah memberikan kebahagiaan buat kita semua VI
7. Pimpinan dan rekan-rekan sekantor yang memberikan kesempatan, dukungan moril dan dorongan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. 8. Teman teman seperjuangan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dan pihak lain yang tidak dapat penulis sebut satu per satu, yang telah banyak membantu penyelesaian tesis ini. Akhir kata, penulis
berharap Tuhan Yang Maha Kuasa
berkenan
membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini membawa manfaat.
Depok, Januari 2015
Penulis
VII
ABSTRAK Nama : Ahmad Rafqi Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat Judul : Analisis Faktor faktor yang Mempengaruhi Berjalannya Kebijakan Pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Kota Batam Anak usia sekolah yang sehat merupakan asset pembangunan bangsa. Keberadaan makanan di sekolah sangat penting , karena akan memenuhi 25-36% kebutuhan energi harian anak. Kebiasaan makan yang tidak sehat (kurang gizi) dapat menyebabkan stunting (perlambatan pertumbuhan anak); penyakit kardiovaskuler, kanker, diabetes dan osteoporosis, sementara untuk jangka pendek dapat menyebabkan dental caries, anemia, overwight dan obesitas. Hasil pengujian Badan POM tahun 2008-2010, menunjukkan 40-44% jajanan anak sekolah secara nasional tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Kebijakan Aksi Nasional menuju pangan jajanan anak sekolah (PJAS) yang aman bermutu dan bergizi, merupakan salah satu upaya meningkatkan mutu pangan jajanan anak sekolah dengan cara memberdayakan komunitas sekolah secara mandiri mengawasi pangan jajanan di lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk melihat faktor faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam beserta efektitasnya dengan menggunakan analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan studi dokumen.. Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam sudah terlaksana cukup baik namun tidak berjalan efektif, karena ketidaktepatan dalam menentukan indikator kinerja, tidak ada NSPK terkait peran, tugas dan tanggung jawab kelompok pelaksana, tidak ada strukturisasi pelaksanaan kebijakan tersebut, dan tidak ada dukungan langsung dari DPRD dan Pemerintah kota Batam. Komitmen dari pemerintah daerah kota Batam masih kurang, karena pengawasan pangan jajanan anak sekolah ini belum menjadi prioritas dalam pembangunan kota Batam. Kata kunci : Pangan jajanan anak sekolah, efektifitas, mandiri, Batam
ABSTRACT Name Study Program Title
: Ahmad Rafqi : Public Health : Analysis of Factors Affecting Progress in Food Control Policy Snacks School Children in Batam
Healthy school-age children is a nation-building assets. The presence of food in schools is very important, because it will meet 25-36% of daily energy needs children. Unhealthy eating habits (malnutrition) may cause stunting (slowing the growth of children); cardiovascular disease, cancer, diabetes and osteoporosis, while in the short term can lead to dental caries, anemia, overwight and obesity. Test results of Badan POM RI (National Agency of Drug and Food control) in 2008-2010, showed 40-44% of school children nationwide snacks do not meet food safety requirements. National Action policy toward food snacks schoolchildren (PJAS) quality safe and nutritious, is one effort to improve the quality of food hawker school children by empowering school community independently oversee hawker food in the environment. This study aims to look at the factors that influence the implementation of the National Action policy PJAS in Batam city and along efektitasnya by using analysis of policy implementation Mazmanian and Sabatier. The study was conducted with qualitative methods, data collection is done through in-depth interviews and document .. Results of the study showed that the implementation of the National Action policy PJAS in Batam city has done quite well, but is not effective, because of inaccuracy in determining the performance indicators, no NSPK related roles, duties and responsibilities of the executive, there is no structuring the implementation of the policy, and there is no direct support from the parliament and the Government of the city of Batam. The commitment of the local government of Batam city is still lacking, because the snack food supervision of school children has not been a priority in the development of the city of Batam.
Keywords: Food snacks schoolchildren, effectiveness, independence, Batam
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL …………………………………………………….
i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………… ii LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………… iii SURAT PERNYATAAN ………………………………………………… iv RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………
v
KATA PENGANTAR …………………………………………………… vi LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……………viii ABSTRAK ……………………………………………………………….
ix
ABSTRACT ………………………………………………………………
x
DAFTAR ISI …………………………………………………………….
xi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. xiv DAFTAR TABEL ……………………………………………………….
xv
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………. xvi I
PENDAHULUAN …………………………………………………… 1 1.1. Latar Belakang …………………………………………………… 1 1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………… 10 1.3. Pertanyaan Penelitian …………………………………………… 10 1.4. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 11 1.4.1 Tujuan Umum……………………………………………… 11 1.4.2. Tujuan khusus …………………………………………… 11 1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………………… 11 1.6. Batasan Penelitian ……………………………………………… 12
II
TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 13 2.1. Kebijakan Publik ………………………………………………… 13 2.1.1. Definisi Kebijakan Publik ………………………………
13
2.1.2 Sistem dan Komponen Kebijkan ………………………… 14 2.1.3 Proses Perancangan Kebijakan Publik …………………… 15 2.1.4 Implementasi Kebijakan Publik …………………………
16
2.1.4.1. Teknik Implementasi ……………………………
16
2.1.4.2. Model Implementasi Kebijakan / Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi kebija 19
Universitas Indonesia
2.1.4.3. Permasalahan dalam Proses Implementasi……… 23 2.2. Keamanan Pangan ……………………………………………… 25 2.2.1. Definisi Keamanan Pangan ……………………………… 25 2.2.2 Jenis Bahaya dalam Pangan ……………………..…………25 2.2.3. Determinan Keamanan Pangan …………………………… 26 2.3. Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi (AN-PJAS)……………………28 2.3.1. Latar Belakang …………………………………………… 28 2.3.2. Tujuan Aksi Nasional PJAS ……………………………… 30 2.3.3. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ………………………… 31 2.3.3.1. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Kabupaten / Kota ……………………………………………… 34 2.3.3.2. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Provinsi …… 34 2.3.3.3. Program Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Daerah 35 2.3.3.4. Jenis-jenis Intervensi pada SD/MI ……………… 38 2.4. Kebijakan Pangan Berbasis Sekolah …………...………………
39
2.4.1 Paradigma makanan sekolah ……………………………… 39 2.4.2 Kebijakan Pangan di Sekolah di Negara lain …………...… 40 2.5. Penelitian Kebijakan …………………………………………… 45 2.5.1. Metode Penelitian Kebijakan ……………………………
45
2.5.2. Metode Penelitian Kualitatif ……………………………… 46 2.5.2.1. Sumber dan Jenis Data Penelitian Kualitatif ……
46
2.5.2.2 Teknik Pengumpulan Data ……………………… 47 2.5.2.3. Analisa Data Kualitatif …………………………… 49 2.5.2.4. Pemeriksaan Keabsahan Data …………………… 50 2.6. Hasil Penelitian Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah … 51 III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ………………………………………………………57 3.1. Kerangka Teori ………………………………………………… 57 3.2. Kerangka Konsep …………………………………………………61 3.3. Definisi Operasional …………………………………………… 65 IV METODE PENELITIAN …………………………………………… 69 4.1. Desain Penelitian ………………………………………………… 69
Universitas Indonesia
4.2. Waktu dan lokasi Penelitian ……………………………………
70
4.3. Informan / Narasumber ………………………………………… 70 4.4. Pengumpulan Data ……………………………………………… 72 4.5. Analisis Data …………………………………………………… 73 V. HASIL PENELITIAN ………………………………………………
74
5.1. Keterbatasan Pelaksanaan Penelitian …………………………… 74 5.2. Informan ………………………………………………………… 74 5.3. Aspek Kemampuan Mengendalikan Masalah T ( ractability Proble 75 5.3.1. Kesukaran teknis ………………………………………… 75 5.3.2. Keragaman prilku dari kelompok sasaran ………………… 78 5.3.3. Persentase kelompok sasaran ……………………………
79
5.3.4. Rung lingkup perubahan prilaku ………………………… 80 5.4. Aspek Variabel Statutory (Hukum) ……………………………… 80 5.4.1. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten ……………… 81 5.4.2. Hubungan kausal yang cukup …………………………… 86 5.4.3. Ketepatan alokasi sumber dana. …………………………
87
5.4.4. Keterpaduan hirarki lembaga pelaksana ………………… 88 5.4.5. Peraturan dari badan pelaksana …………..……………… 89 5.4.6 Rekruitmen pejabat pelaksana …………………………… 90 5.4.7. Akses formal pihak pihak luar …………………………… 91 5.5. Aspek Variabel Non-Statutory (Non-Hukum) …………………
91
5.5.1. Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan Politik ……………… 91 5.5.2. Dukungan Publik ………………………………………… 92 5.5.3. Dukugan Badan / Lembaga yang Berwenang ………...…
92
5.5.4. Komitmen dan Kepemimpinan Pejabat Pelaksana ……… 94 5.6. Pencapaian Tujuan Kebijakan …………………………………… 96 VI. PEMBAHASAN ……………………………………………………… 98 VII KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………… 108 7.1. Kesimpulan ………………………………………………………108 7.2. Saran …………………………………………………………… 109 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 111
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. : Hubungan komponen dalam system kebijakan…………… 14 Gambar 2.2.: Strategi Aksi Nasional Pangan Jajanan yang Aman, Bermutu dan Bergizi………………………………………………… 32 Gambar 2.3.: Roadmap pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ……………… 32 Gambar 3.1.: Kerangka Analisis implementasi dari Mazmanian dan Sabatier ……………………………………………… 58 Gambar 3.2.: Kerangka Konsep Analisis Implementasi Kebijakan Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah ………………… 65
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Perbandingan pendekatan Top-down dan Botton-up……… 18 Tabel 2.2. Hasil Pengawasan Badan POM RI terhadap sampel PJAS Tahun 2008 - 2010 …………………………………………29 Tabel 2.3. Program dan Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Kab/Kota … 35 Tabel 3.1.: Definisi operasional variabel independen ………………
65
Tabel 5.1.: Daftar Informan ………………………………………… 74
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Matrik Rangkuman Hasil Wawancara ……………………117 Lampiran 2 : Form Data Informan……………………………………… 121 Lampiran 3 : Pedoman Wawancara …………………………………… 122
Universitas Indonesia
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Keberadaan anak usia sekolah sangat memegang peranan dalam membangun bangsa, untuk menjadi suatu bangsa yang maju, kuat, berjaya dan dihormati, akan bisa dicapai jika generasi penerusnya mempunyai kapasitas mutu yang lebih baik dari generasi sebelumnya (Budiono, 2011). Kebijakakan makanan berbasis sekolah
sangat besar bagi persiapan
generasi mendatang, seperti pada negara-negara miskin (Ashe.L & Sonnino R, 2013), mereka melakukan intervensi kepada makanan sekolah untuk memerangi kelaparan, kekurangan gizi mikro dan meningkatkan akses pedidikan seperti di Bangladesh, Burundi (Bennett,J, 2003) Mali, Jamaika Pakistan dan Kamboja ( Bundy D, et al, 2009), sedangkan pada Negara-negara berkembang seperti Brazil, China, Malaysia, Meksiko Afrika Selatan dan Thailand, menurut Doak.C (2003) memanfaatkan makanan sekolah untuk mengatasi obesitas dan penyakit nutrisi lainnya serta membangun budaya mengkonsumsi makanan sehat ( Ashe.L & Sonnino.R, 2013). Menurut perkiraan World Food Programme (2009), ada 400 juta anakanak kelaparan di dunia saat ini, dengan satu anak meninggal setiap 6 detik karena lapar. Selanjutnya, 146 juta anak di negara-negara berkembang underweight (Chettiparamb, Angelique, 2009). Dalam upaya pengentasan
kemiskinan
internasional, maka dalam Millennium Development Goals (MDGs), makan siang (mid day meal)
, pencapaian pendidikan dasar
secara universal dan
mempromosikan kesetaraan gender, dapat berkontribusi untuk pemberantasan kemiskinan dan kelaparan (Chettiparamb, Angelique , 2009) Pentingnya program makanan disekolah ini tercermin juga dengan kampanye global pemberian makanan di sekolah yang dilakukan oleh World Food Programme pada tahun 2000 untuk mengatasi kemiskinan anak (Chettiparamb, Angelique , 2009). Beberapa negara telah menyediakan makanan
Universitas Indonesia
2
di sekolah seperti
Brazil telah menjamin hak universal untuk memperoleh
makanan sekolah gratis (Sidaner et al, 2013), India juga melaksanakan program “Mid-day Meal” (Chettiparamb, Angelique , 2009), Amerika dengan programnya “Nasional
School
Lunch
Program”
/
NSLP
(Chesser.V.L,
2013
;
http://www.fns.usda.gov/tn/local-school-wellness-policy), dan penyediaan makan siang di sekolah di Korea (Jee-hoon.R et.al , 2011) Pelaksanaan program penyediaan makanan di sekolah sangat tepat, dimana anak anak dan remaja menghabiskan sekitar 6 jam perhari dan makan 1-2 kali disekolah, banyak kebiasaan hidup yang negatif dan positif akan mempengaruhi kesehatan individu selama bertahun tahun di sekolah (Bandura, 2004;. Koplan et al, 2005; Veugelers & Fitzgerald, 2005a; dalam Quintalha.M (2011). Keberadaan makanan di sekolah sangat perlu diperhatikan karena akan memberikan kontribusi energi harian sebesar 25-33% (Anu Devi et.al, 2010) dan menurut Guharja dkk (2004) sebesar 36% (Badan POM a, 2013) dari kebutuhan hariannya. Hasil Uji Badan POM RI tahun 2010, menemukan makanan di sekolah dan sekitarnya mengandung bahan berbahaya ( formalin, boraks, rhodamin B, methanyl yellow dll) sebesar 18%, mengandung bahan tambahan pangan (BTP) melebihi batas maksimal sebesar 23%, dan mengandung cemaran mikroba sebesar 59% (Badan POM, 2011). Indikasi bahaya ini juga terlihat dari data Badan POM RI tahun 2009 tentang Kejadian Luar Biasa (KLB), dimana 16,35% kejadian KLB terjadi di sekolah/kampus. Penelitian Jee-hoon.R et.al (2011) di Korea terhadap makanan siang anak sekolah dasar yang disediakan sekolah , menemukan bahwa 15% makanan yang tidak dipanaskan dan 9% makanan yang dipanaskan, mengandung jumlah koliform 2 kali lipat lebih di atas standar nasional Korea. Disamping itu Damanik,H.D.L, (2010), juga menemukan bahwa 63,3% warung penjual jajanan, dilingkungan sekolah di kota palembang, dikategorikan terkontaminasi E.Coli. Disamping bahaya keamanan makanan, bahaya terhadap kandungan gizi makanan di sekolah perlu diperhatikan. karena kebiasaan makan diwaktu usia sekolah ini akan berpengaruh kepada usia dewasanya seperti obesitas dll. (Scholtens.S et.al, 2010). Kebiasaan makan yang tidak sehat ini (kurang gizi) menurut Jukes, Drake et al, (2008) dapat menyebabkan stunting atau perlambatan
Universitas Indonesia
3
pertumbuhan pada anak
(Nyongani.M.M, (2012); penyakit kardiovaskuler,
kanker, diabetes dan osteoporosis, sementara untuk jangka pendek dapat menyebabkan dental caries, anemia, overwight dan obesitas (Nelson,M& Breda,J, 2013) Prevalensi anak-anak dengan kelebihan berat badan atau obesitas terutama di negara maju sudah menjadi pusat perhatian dan juga akan diikuti oleh negara berkembang. Sebagai contoh, Prevalensinya di Amerika Serikat telah meningkat dua sampai tiga kali selama dua puluh tahun terakhir. Sebuah laporan dari Pusat Pengendalian Penyakit menunjukkan bahwa persentase anak-anak berusia enam hingga sebelas tahun yang obesitas meningkat dari tujuh persen pada tahun 1980 menjadi dua puluh persen pada tahun 2008 (Zainab Rida (2012) Sebuah studi yang dilakukan oleh Whitaker, Wright, Pepe, Seidel, & Dietz, (1997) melaporkan bahwa 55-77% dari anak-anak kelebihan berat badan atau obesitas (usia 6-17) akan menjadi
dewasa yang overweight dan
atau
obesitas (Wall.R.M., 2011). Konsekuensi dari obesitas bertahan sampai dewasa, menurut Reilly & Kelly, (2010) akan memiliki peningkatan risiko yang signifikan dari morbiditas kardiometabolik (Diabetes Melitus type 2, Hypertensi, penyakit jantung iskemik, dan stroke) dalam kehidupan dewasanya ( Wall.R.M, 2011). Melihat dari besarnya pengaruh makanan di sekolah, maka sudah selayaknya ada suatu kebijakan di sekolah untuk menjamin tersedianya makanan yang aman, bermutu dan bergizi di sekolah. Hal ini penting mengingat kebiasaan jajan bagi anak Indonesia sangat tinggi, dan bahkan hampir mendekati angka 100% (BPOM RI a, 2013) serta kebanyakan dari mereka membeli jajanan disekolah tidak memperhatikan keamanan dan nutrisi makanan. Penelitian di salah satu SD di Jakarta memperlihatkan bahwa lebih dari separuh siswa yang jajan, beralasan hanya untuk mengisi perut supaya tidak lapar dan lebih dari sepertiganya membeli chiki, biskuit, wafer, permen, cokelat, dan minuman kemasan gelas aneka rasa (Yuliastuti.R, 2012). Mengkonsumsi produk makanan rendah nutrisi ini juga meresahkan bagi Negara lain, karena dapat memicu obesitas yang akan berimplikasi pada kesehatannya (Scholtens.S, et al, 2010) (Nelson.M & Breda,J, 2013), bahkan pevalensi obesitas ini akan semakin
Universitas Indonesia
4
meningkat pada masyarakat dengan status social ekonomi yang rendah (Nelson.M & Breda,J, 2013,; June M. Tester J.M, et al.,2010). Menurut penelitian yang dilakukan di Cape Town, Afrika Selatan, yang telah menetapkan makanan sehat dan tidak sehat disekolahnya, 70% anak membeli makanan yang tidak sehat, sedangkan 73,2% membeli dua item atau lebih makanan yang tidak sehat. Bahkan 84% mereka mengerti mana makanan yang sehat dan mana yang tidak sehat ( Temple,N.et.al, 2006). Kebiasaan makan di sekolah ini juga akan dipengaruhi oleh keberadaan penjual makanan disekitar sekolah. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan di Canada pada tahun 2009/10, memperlihatkan bahwa ada hubungan yang kuat antara pedagang pengecer disekitar sekolah dengan prilaku makan siang anak sekolah (Seliske et al., 2013), suatu penelitian lain juga menyatakan bahwa keberadaan toko makanan berjarak sampai 800 meter atau 10 menit dari sekolah, berperan dalam kenaikan berat badan siswa dibanding sekolah yang jauh dari toko (Howard et.al, 2011), menurut June M. Tester dkk (2010) hal ini sangat berpengaruh pada saat setelah jam pulang sekolah dan juga berpengaruh pada anak anak yang pulang pergi ke sekolah dengan berjalan kaki (tingkat ekonomi rendah). Kebijakan makanan di sekolah juga sangat berpengaruh kepada kebiasaan makan pada waktu remaja (Vereecken.et.al, 2005) dan juga berpengaruh pada Praktek Keamanan Pangan Penjaja PJAS, kemungkinan penjaja PJAS mempraktekkan keamanan pangan pada kelompok yang ada kebijakan keamanan pangan di sekolah, 68,57 kali dibanding bila tidak ada kebijakan keamanan pangan di sekolah” (Damayanti.S.E., 2014) Sebagai contoh dari kebijakan yang sudah ada diantaranya adalah pelarangan terhadap junk food di Uruguay pada jam makan siang, hal ini dapat mengurangi berat badan pelajar yang obesitas sebanyak 18% (Steve,Smith, 2010); Pemberlakuan Program Makan Siang atau Sarapan di sekolah di Amerika yang dilaksanakan oleh Departemen Pertanian (U.S. Department of Agriculture /USDA) yang sudah harus dilaksanakan sejak tahun ajaran 2006-2007 untuk semua sekolah local, dan biaya ditanggung oleh USDA (http://www.fns.usda.gov/ tn/local-school-wellness-policy); Melaksanakan strategi “Smart Choices” di
Universitas Indonesia
5
Queensland, Australia (Dick.M et.al, 2012). Kebijakan ini dilaksanakan melalui kerjasama antara Departemen Pendidikan dan pelatihan dan Kesehatan Queensland, dan dilaksanakan dengan dukungan
organisasi profesional, dan
organisasi non-pemerintah. Strategi bertujuan untuk memastikan bahwa semua makanan dan minuman yang disediakan di sekolah mengikuti standar diet anakanak dan Remaja di Australia. Kebijakan makanan sekolah lainnya adalah menetapkan makanan “sehat” dan “tidak sehat” (pedoman diet berbasis pangan) di Afrika Selatan oleh Departemen Kesehatan dan wajib dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan (Temple.N et.al, 2006) ; Melaksanakan kebijakan School Nutrien Policies (SNPs) terhadap sekolah di Canada melalui
issue peningkatan kualitas makanan di
sekitar sekolah, akses siswa ke makanan, keamanan pangan, dan pendidikan gizi (Mullaly et al, 2010). Program kebijakan makanan sehat berbasis sekolah ini harus konsisten dengan program kesehatan yang lebih luas, program pertanian untuk pengembangan kesehatan, sistim pangan yang berkelanjutan dan layak secara finansial (Nelson.M,&Breda.J,2013). Pada saat ini, program makanan sekolah tidak saja ditujukan untuk meningkatkan status gizi anak, tapi juga berperan dalam meningkatkan program ketahanan pangan, menghubungkan pertanian dengan program makanan sekolah, seperti penyediaan buah dan sayuran serta pengolahan hasil alam lokal lainnya sehingga meningkatkan peluang pekerjaan, pengelolaan sumberdaya alam yang lebih baik, dan pendapatan yang lebih tinggi (Ashe.L &Sonnino, 2013). Diantara negara yang sudah melaksanakannya adalah Brazil (Sidaner.E.et.al, 2013) dan juga Scotlandia (Ashe.L & Sonnino.R, 2013). Dalam proses implementasi kebijakan makanan di sekolah, terkait dalam usaha mencapai makanan yang aman, bermutu dan bergizi, tentu banyak faktor yang berpengaruh, baik berpengaruh positif (mendukung pelaksanaannya) maupun yang berpengaruh negatif (Faktor penghambat pelaksanaannya). Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan, ditemukan beberapa faktor yang berpengaruh positif dalam implementasi kebijakan makanan di sekolah, seperti : 1) Adanya dukungan yang tinggi dari masyarakat; 2) Kesiapan pemasok makanan ; 3) Dukungan orang tua (Taylor.J et.al, 2011; Dick.M et.al, 2012),;
Universitas Indonesia
6
4). Pemahaman dan komitmen yang tinggi dari komunitas sekolah ( Dick.M et.al, 2012), 5) Adanya kurikulum yang up to date terkait food hygiene dan food safety (Bielby.G.et.al, 2006), 6) Memiliki dampak positif yg dapat diamati (Masse.LC., 2013) 7). Promosi makan sehat di semua domain dari lingkungan sekolah (Dick.M et.al, 2012), 8) Adanya standar gizi dan penggolongan makanan yang sehat (Dick.M et.al, 2012; Anu Devi,et al, 2010), 9). Sekolah dasar memiliki aturan tertulis untuk membatasi konsumsi makanan ringan gurih dan manis, (Vereecken et al, 2005), 10). Adanya peraturan yang dibuat oleh pemerintah / persetujuan legislative (Tester.J.M. 2010), 11) Adanya guideline pelaksanaan kebijakan (Mâsse.L.C,,2013), 12) Tersedianya kantin sekolah, toko makanan dan mesin penjual makanan dan minuman di sekolah (Taylor.J et.al, 2011; Vereecken et al, 2005), 13) Dukungan politik dan dukungan pihak sekolah (Agron P, 2010; McKenna ML, 2003, dalam Mâsse.L.C,,(2013) Sedangkan faktor yang berpengaruh negatif atau menjadi penghalang pelaksanaan kebijakan makanan di sekolah adalah : 1) Kehilangan pendapatan / penerimaan sekolah (Taylor.J et.al, 2011; Mâsse.L.C,,2013; Maira Quintanilha.M, 2011),; 2). Mahalnya harga makanan yang sehat, 3) Tidak adanya kantin disekolah (Taylor.J et.al, 2011), 4). Kurangnya sumber daya (staf, pendanaan, ketersediaan program atau sumber daya pengajaran,; 5). Kurangnya koordinasi, (Mâsse.L.C,,2013), 6). Kurangnya infrastruktur (fasilitas kantin, kemampuan staff kantin) (Anu Devi et al,,2010), 7). Keadaan dan letak geografisnya (Chettiparamb, Angelique , 2009,;
Quintanilha.M, 2011),; 8) Orang tua (terkait tingkat
pendidikan dan income serta cara pandangnya); 9). kurangnya dukungan dari devisi sekolah; 10). Hambatan lain ( seperti lokasi sekolah yang dekat restoran atau toko makanan), (Quintanilha.M, 2011); 11). Masalah manajemen makanan (terkait selera dan keinginan pelanggan, sumber daya) (Quintanilha.M, 2011; Taylor.J et.al, 2011,; Freeze.C, 2007),; 12). Penggunaan makanan sebagai hadiah (Freeze.C, 2007) dan lain-lain. Isu utama kebijakan sekolah ini juga muncul dalam workshop pengembangan evidence base untuk kebijakan berbasis makanan sekolah di London pada Januari 2012, menyatakan bahwa ada 2 (dua) isu utama dalam kebijakan sekolah (Nelson.M, & Breda.J, 2013) :
Universitas Indonesia
7
a. Komitmen seluruh pemerintah ( Nasional, lokal dan internasional jika perlu) untuk memastikan bahwa hasil dari kebijakan dan intervensi benarbenar dapat dievaluasi dampaknya terhadap penyediaan makanan sekolah, pendidikan anak, kesehatan, pertumbuhan dan kesejahteraan b. Isi, waktu dan pendanaan dari program penelitian, monitoring dan evaluasi. Disamping itu ada permasalahan penting lainnya yaitu : Konteks sosial, politik dan budaya dari kebijakan; kebutuhan stakeholder untuk memiliki hasil penelitian yang bisa membantu mereka memahami dampak kebijakan dari perspektif mereka; dan kesediaan untuk menilai kekuatan dan keterbatasan kebijakan sekolah. Pada saat ini, Indonesia sedang melaksanakan kebijakan terhadap pengawasan terhadap mutu dan keamanan makanan di sekolah yaitu kebijakan “Aksi nasional menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan bergizi”. Kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang aman, bermutu dan bergizi ini bertujuan untuk : 1).Memberdayakan komunitas sekolah untuk menjaga keamanan, mutu, dan gizi PJAS, 2) Menguatkan koordinasi dan jejaring kerja lintas sektor di pusat dan daerah untuk meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi, dan 3) Meningkatkan keamanan, mutu dan gizi PJAS di Indonesia. Program ini merupakan salah satu program pengawasan makanan, khususnya terhadap pangan jajanan anak di sekolah oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (Badan POM RI). Program ini telah dicanangkan oleh bapak Wakil Presiden Budiono di Istana Wakil Presiden pada 31 Januari 2011, dimana dalam pengarahannya Wapres menyatakan: “ ini adalah gerakan bersama, tidak mungkin Badan POM sendiri. Oleh sebab itu harus gerakan masyarakat di sini, gerakan yang menyangkut pemerintah. Pemerintah ini artinya pusat dan daerah, daerah harus diikutkan karena merekalah yang di ujung tombak lapangan. Didalam pemerintah sendiri ada instansi-instansi, tidak mungkin POM kita diamkan.” Kebijakan Aksi Nasional Pangan jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan bergizi ( Aksi nasional PJAS),
dilaksanakan sejak tahun 2011
sampai tahun 2014. Sebagai pelaksana dari aksi Nasional
untuk upaya
peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS ini, ditingkat pusat dilaksanakan
Universitas Indonesia
8
oleh Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bappenas dan Badan POM RI dan didukung oleh stakeholder dan lembaga internasional / donor lainnya, serta Lembaga Kemasyarakatan seperti PKK serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sedangkan untuk kegiatan di daerah akan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi atau kabupaten / kota setempat dan bekerjasama dengan pemerintah pusat dan lembaga terkait, dan sebagai pelaksana utamanya adalah Balai POM, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan LSM (Badan POM a, 2011). Aksi Nasional ini tidak akan bisa berhasil tanpa adanya senergisitas diantara lintas sektor terkait lainnya, terutama pada Pemerintah Daerah karena sesuai dengan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana urusan pendidikan dan kesehatan sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah. Hal inipun juga sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Kemanan Mutu dan Gizi Pangan, bahwa Pangan siap saji pengawasan dan pembinaannya ada pada Pemerintah Daerah. Semenjak tahun 2011 sampai tahun 2014, dalam rangka Aksi Nasional PJAS, Balai POM di Batam telah melakukan pengujian PJAS sebanyak 926 sampel PJAS pada 60 Sekolah Dasar (SD) yang tersebar di kota Batam, Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan dan Tanjung Balai Karimun. Dari hasil uji tersebut PJAS tidak memenuhi syarat sebanyak 58 sampel (6,26%), dan yang memenuhi syarat sebanyak 868 (93,74%). Khusus untuk kota Batam, Balai POM di Batam sudah melaksanakan Intervensi A, B dan C pada kurang lebih 215 Sekolah Dasar (87%) dengan tenaga pendamping dari Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan kota Batam. Intervensi A di kota Batam dilakukan pada tahun 2012 di 15 SD , sedangkan tahun berikutnya di kota Tanjung Pinang dan Tanjung Balai Karimun . Dari 15 SD yang diintervensi A tersebut, setelah dilakukan audit oleh BPOM di Batam bersama Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan , hanya 3 SD yang dapat memperoleh Piagam Bintang Keamanan Pangan untuk Kantin Sekolah sebagai
Universitas Indonesia
9
penghargaan atas terlaksananya keamanan pangan di kantin sekolah tersebut (BPOM Batam, 2014). Berdasarkan pertimbangan diatas dan mengingat belum ada penelitian yang menganalisa implementasi dari program Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan bergizi di Indonesia, maka penulis tertarik untuk melakukannya penelitian guna mengetahui keefektifan pelaksanaan kebijakan aksi Nasional PJAS ini dan menemukan faktor faktor yang menjadi penghambat dan mungkin akan menjadi masalah dari implementasi kebijakan ini. Untuk menganalisa implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, bermutu dan Bergizi ini, penulis menggunakan kerangka konsep analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier (1983). Teori ini digunakan karena menurut penulis, beberapa faktor pendukung dan penghalang implementasi kebijakan makanan di sekolah seperti diatas serta beberapa permasalahan dalam implementasi kebijakan publik secara umum, akan bisa dirangkum dalam 16 sub variable yang dikelompokkan kedalam 3 variabel utama dari teori Mazmanian dan Sabatier ini. Menurut Mazamanian dan Sabatier , untuk mengetahui keberhasilan tahap proses
implementasi,
dipengaruhi
oleh
beberapa
faktor/variabel
utama,
diantaranya adalah : 1) Mudah/tidaknya permasalahan implementasi diselesaikan, 2) Kemampuan kebijakan dalam merespon masalah yang akan diselesaikan (statutory variables), diantaranya kejelasan tujuan, dukungan sumber daya, dll 3) Variable non kebijakan (non statutory variables), semakin baik lingkungan kebijakan maka semakin baik keberhasilan implementasi kebijakan (Yongjin Sa, 2013; Wahab.S.A., 2012; Mary Mulhern Kincaid 2011,; Purwanto.E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012). R. Kent Weaver, guru besar public policy mengatakan bahwa kegagalan untuk mengantisipasi masalah implementasi ketika reformasi kebijakan sedang berlaku dapat menyebabkan kegagalan untuk mencapai tujuan program, biaya yang berlebihan, dan bahkan mungkin reaksi politik terhadap organisasi dan pelaksana kebijakan (Gustama.D, 2013).
Universitas Indonesia
10
1.2. Rumusan Masalah Pengawasan terhadap jajanan anak sekolah terutama tingkat Sekolah Dasar belum optimal, hal ini dapat dilihat dari data hasil pengujian Pangan Jajanan Anak Sekolah pada tahun 2008 sampai 2010, secara nasional memperlihatkan bahwa 40-44% Pangan Jajanan tersebut tidak memenuhi syarat kesehatan, khususnya terkait keamanan pangan. Selanjutnya , kecukupan gizi anak usia sekolah juga masih kurang. Data laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menunjukkan bahwa , secara nasional prevalensi anak pendek masih tinggi, yaitu di atas 30%, tertinggi pada kelompok anak 6-12 tahun (35,8%), Status gizi pada kelompok dewasa di atas 18 tahun didominasi dengan masalah obesitas, walaupun masalah kurus juga masih cukup tinggi, dan masalah kekurangan konsumsi energi dan protein terjadi pada semua kelompok umur, terutama pada anak usia sekolah (6–12 tahun), usia pra remaja (13–15 tahun), usia remaja (16–18 tahun). Dengan adanya kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, diharapkan akan dapat mengurangi masalah diatas dengan cara memberdayakan komunitas sekolah dalam mengawasi makanan yang beredar di sekolah dan sekitarnya, agar makanan yang tersedia di sekolah aman, bermutu dan bergizi untuk dikonsumsi siswa. Dalam mengimplementasikan kebijakan itu, tentu akan melewati proses yang kompleks dan panjang, apalagi kebijakan ini juga melibatkan banyak lintas sektor terkait. Dalam perjalanannya tentu ada hal-hal yang berpengaruh dalam proses implementasinya. Untuk itulah penulis mencoba untuk mengidentifikasi variabel mana yang berpengaruh dalam proses implementasi tersebut dengan menggunakan teori analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier. 1.3. Pertanyaan penelitian Faktor-faktor
apakah
yang
mempengaruhi
pelaksanaan
proses
implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi yang dilaksanakan di kota Batam dalam upaya mencapai tujuan formalnya?
Universitas Indonesia
11
1.4. Tujuan penelitian 1.4.1. Tujuan umum Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan proses implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di kota Batam, ditinjau dari konsep analisis implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier 1.4.2. Tujuan Khusus : a. Menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan proses implementasi kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di kota Batam dari Aspek : 1). Kemampuan pengelolaan masalah (tractability problem) 2). Kemampuan kebijakan itu menstrukturkan proses implementasi (Statutory variables / hukum) 3). Variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi ( Non Statutory variables / non hukum) b. Untuk mengetahui komitmen pemerintah daerah dalam mewujudkan pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi di kota Batam 1.5. Manfaat Penelitian a. Bagi Masyarakat Untuk melindungi anak, terutama anak sekolah dari pangan yang tidak memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizi. b. Bagi Pemerintah Pusat Sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi pelaksanaan program Aksi Nasional-PJAS. c. Bagi Pemerintah Daerah Sebagai masukan untuk menindak lanjuti program Aksi NasionalPJAS dan memperkuat komitmen Pemerintah Daerah dalam upaya menyediakan pangan yang aman, bermutu dan bergizi di wilayahnya.
Universitas Indonesia
12
d. Bagi para pengusaha Untuk meningkatkan rasa tanggung jawab pengusaha terhadap apa yang mereka buat dan perdagangkan, sehingga produk mereka aman dikonsumsi anak sekolah dan mampu bersaing, terutama dalam menghadapi era Masyarakat Ekonomi Asean. 1.6. Batasan penelitian Penelitian ini hanya fokus kepada pelaksanaan kebijakan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, di kota Batam.
Universitas Indonesia
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan Publik 2.1.1. Definisi Kebijakan Publik Definsi tentang kebijakan publik sangat beragam, dan sepertinya susah untuk disatukan karena luasnya bidang kajian kebijakan publik itu (Wahab.S.A., 2012). Menurut William Dunn (1994) kebijakan publik adalah suatu rangkaian pilihan pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan seperti pertahanan keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat dan lain-lain. Menurut Thomas R, Dye (1978;1987,1) Kebijakan publik adalah “Whatever governments choose to do or not to do”, Lemieux (1995) merumuskan kebjakan publik sebagai “ The product of activities aimed at the resolution of public problem in the environment by political actors whose relationship are structured. The entire process envolves over time”, (Wahab.S.A., 2012:13) Sementara dalam Nugroho (2006,23), juga ditemukan beberapa definisi seperti dari Harold Laswel dan Abraham Kaplan (1970) mendefinisikan kebijakan publik sebagai a projected program of goal, value, and practise. David Easton (1965) mendefinisikan sebagai the impact of government activity. James Lester dan Robert steward (2000) mendefinisikan sebagai a process or a series or pattern of governmental activities or decisions that are design to remedy some public
problem,
either
real
or
imagined.
Steven
A.Peterson
(2003)
mendefinisikannya sebagai government action to address some problem. B.G.Peter (1993) mendefinisikan sebagai the sum of government activities, wheter acting directly or through agent, as it has an influence on the lives of citizens. Dari beberapa definisi tersebut Nugroho (2006) membuat rumusan tentang ciri- ciri dari kebijakan publik tersebut, yaitu : a. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh administrator Negara atau administrator public b. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, bukan perorangan atau golongan
Universitas Indonesia
14
c. Dikatakan sebagai kebijakan publik apabila manfaat yang diperoleh masyarakat yang bukan pengguna langsung dari produk yang dihasilkan jauh lebih banyak atau lebih besar dari pengguna langsungnya 2.1.2. Sistem dan Komponen Kebijakan Menurut Dunn (1994), Sistem kebijakan (policy system) meliputi tiga unsur/komponen yang saling berkaitan, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Actor / pelaku kebijakan
Lingkungan kebijakan
Gambar 2.1.:
Isi Kebijakan publik
Hubungan komponen dalam sistim kebijakan (Dunn dalam Ayuningtyas.D, 2014)
Segitiga sistem kebijakan diatas memperlihatkan bahwa aktor kebijakan akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan publik, sementara aktor dan kebijakan publik juga mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan kebijakan. Ketiga komponen diatas selanjutnya dikenal dengan sistem kebijakan Lebih jauh komponen kebijakan itu dapat dijelaskan lebih lanjut : 1. Isi kebijakan publik (Policy Content) Isi kebijakan publik ini merupakan respon dari berbagai masalah publik yang meliputi : Kebijakan hak-hak sipil, pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, pertahanan, energi, lingkungan dan lain-lain. (Wahab.S.A, 2012) Secara umum, isi kebijakan itu dibuat dalam bentuk tertulis dan memuat : a). Tujuan dibuatnya kebijakan dan dampak yang diharapkan, b). Ruang lingkup kebijakan, meliputi siapa yang menjadi sasaran kebijakan dan dan tindakan yang dipengaruhi oleh kebijakan, c). Kapan kebijakan diberlakukan, d). Siapa yang bertanggung jawab melaksanakan kebijakan, e). Aturan aturan khusus terhadap perilaku organisasi yang membuat
Universitas Indonesia
15
kebijakan itu, f). Latar belakang pembuatan kebijakan, g). Definisi dari istilah untuk menghindari ambigu ( Ayuningtyas, 2014) 2. Pelaku kebijakan / Pemangku kepentingan kebijakan (Policy stakeholder) Pelaku / aktor atau pemangku kepentingan dari kebijakan ini adalah individu atau kelompok yang berhubungan langsung dengan suatu kebijakan dan dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan tersebut, dapat berupa sekelompok warga, organisasi buruh, pedagang kaki lima, komunitas wartawan, partai politik, lembaga pemerintah dan lainlain (Ayuningtyas, 2014). Beberapa hal dapat berpengaruh pada aktor ini antara lain: bentuk pemerintahan, sistem birokrasi, sistim politik, pola partisipasi, kepentingan, derajat konflik dan watak penguasa (Wahab.S.A, 2012). 3. Lingkungan kebijakan (Policy Environment) Beberapa faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap suatu kebijakan adalah : Kesejahteraan, Urbanisasi, Sitem ekonomi, tingkat pendidikan, pola kebudayaan, komposisi rasial, keragaman agama dan lain-lain (Wahab.S.A, 2012). 2.1.3. Proses Perancangan Kebijakan Publik Menurut Walt (1994), proses perancangan kebijakan merupakan proses linier yang dimulai dari pengenalan masalah sampai dengan aktifitas untuk menyelesaikan masalah. Proses tersebut adalah : 1) Identifikasi masalah / pengenalan isu, 2) Formulasi Kebijakan (perumusan), 3) Implementasi kebijakan dan 4) Evaluasi Kebijakan (Adisasmito.W,2013). Menurut Dunn (1994) proses perancangan kebijakan adalah : 1) Penetapan agenda kebijakan, 2) Adopsi kebijakan, 3) Implementasi kebijakan, 4) Evaluasi kebijakan. Menurut
James Anderson (1979), proses perancangan kebijakan
publik adalah: 1) Formulasi masalah, 2) Formulasi kebijakan, 3) Penentuan kebijakan, 4) Implementasi kebijakan, 5) Evaluasi kebijakan. Sedangkan menurut AG.Subarsono (2004), proses perencanaan kebijakan adalah serangkaian proses yang bersifat politis yang dimulai dari : 1) Penyusunan agenda, 2) Formulasi kebijakan, 3) Adopsi kebijakan, 4) Implementasi kebijakan, dan 5) Evaluasi kebijakan (Pasolong.H, 2013).
Universitas Indonesia
16
2.1.4. Implementasi Kebijakan Publik Implementasi kebijakan merupakan suatu proses untuk mewujudkan tujuan kebijakan. Tahapan ini adalah penting karena tahapan ini merupakan “jembatan” antara dunia konsep dan dunia nyata (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012). Implementasi ini akan melibatkan sebuah proses yang rasional dan emosional yang amat kompleks. Pada proses ini akan memasuki ranah permasalahan konflik, keputusan-keputusan yang pelik, dan isu siapa yang akan memperoleh apa, sehingga implementasi ini merupakan bagian yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Pentingnya implementasi ini juga disampaikan oleh Udoji
dalam
Wahab.S.A, (2012) mengatakan bahwa, pelaksanaan kebijakan itu adalah sesuatu hal penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Dalam
artian
luas,
implementasi
dianggap
sebagai
bentuk
penyelenggaraaan atau pengoperasionalisasian aktivitas yang sudah ditetapkan bersama diantara para pemangku kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi (public atau private), prosedur dan teknik secara sinergis untuk bekerjasama menerapkan kebijakan kearah yang dikehendaki. Menurut Daniel A.Mazmanian dan Paul A.Sabatier dalam Wahab.S.A. (2012), proses implementasi kebijakan itu tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertanggung jawab melaksanakan dan menimbulkan ketaatan pada kelompok sasaran, melainkan juga menyangkut jaringan-jaringan politik, ekonomi dan sosial yang secara langsung ataupun tidak langsung mempengaruhi perilaku pihak yang terlibat. Akhirnya akan berpengaruh kepada dampak, baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan. 2.1.4.1. Teknik Implementasi Ada dua model pendekatan/teknik dalam mengimplementasikan kebijakan (Wahab.S.A, 2012; Agustino, 2008 ; Purwanto E.A &Sulistyastuti.D.R, 2012) :
Universitas Indonesia
17
a. Pendekatan top-down (top down approach) Pendekatan ini sering juga disebut policy centred karena perhatian peneliti hanya terfokus kepada kebijakan dan berusaha untuk memperoleh fakta-fakta, apakah implementasi kebijakan itu mampu atau tidak mencapai tujuannya (Hogwood and Gunn 1984 dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012). Sehingga pendekatan top-down ini sangat cocok untuk menilai efektifitas implementasi suatu kebijakan. P.deLeon and L,deLeon (2002), menyebut pendekatan top-down ini sebagai pendekatan “Command and control” yang berarti memberikan komando dan mengawasi pelaksanaannya. Dalam artian luas
perintah
atasan ini berkaitan dengan kejelasan tujuan. Perintah tersebut akan diterjemahkan detil dalam bentuk instruksi kerja dan atasan juga mampu mengawasi
pelaksanaan
instruksi
tersebut
(Purwanto
E.A
&
Sulistyastuti.D.R, 2012) Pendekatan ini juga disebut dengan pendekatan birokrasi (bureaucratic approach) karena secara umum berbasis kepada mekanisme birokrasi, dan dengan mekanisme yang agak memaksa. Implementasi kebijakannya tersentralisasi dan dimulai dari tingkat pusat, dan keputusan pun diambil di tingkat pusat. Keputusan tersebut dilaksanakan oleh administrator atau birokrat pada level dibawahnya, sesuai
dengan
tujuan
yang
sudah
ditetapkan
ditingkat
pusat.
(Wahab.S.A,2012) b. Pendekatan Bottom-Up (Bottom-up approach) Pendekatan ini dipelopori oleh Elmore (1978), Lipsky (1971), Berman (1978) dan Hjern, Hanf, serta Porter (1978). Pendekatan bottomup ini menekankan pentingnya peranan birokrat pada level bawah ( street level bureaucrate) dan kelompok sasaran kebijakan (target group) dalam implementasi suatu kebijakan. Bahkan mereka juga beranggapan bahwa implementasi akan berhasil jika kelompok sasaran dilibatkan dari awal perencanaan dan implementasinya (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012)
Universitas Indonesia
18
Pendekatan
bottom-up dapat dilaksanakan dengan langkah
langkah sebagai berikut: 1. Memetakan stakeholder (aktor dan organisasi) pada level terbawah yang terlibat dalam implementasi kebijakan 2. Mencari informasi tentang pemahaman aktor tersebut terhadap kebijakan yang mereka implementasikan, dan apa kepentingan mereka di dalamnya. 3. Memetakan keterkaitan aktor pada level bawah dengan aktor pada level atasnya. 4. Peneliti bergerak keatas memetakan aktor yang lebih tinggi dengan mencari informasi yang sama. 5. Pemetaan dilakukan terus sampai level tertinggi (para policy maker) Metode pendekatan bottom-up ini adalah untuk mengetahui jaringan implementasi yang melibatkan banyak aktor dari berbagai level dan memetakan motif ekonomi-politik para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012) Untuk memudahkan dalam memahami perbedaan pendekatan top-down dan bottom-up tersebut, Sabatier (1984) membuat ringkasan sebagai berikut: Tabel 2.1. Perbandingan Pendekatan Top-down dan Bottom-up. Top-down
Bottom-up
Fokus awal
Kebijakan pemerintah (pusat)
Jaringan implementasi pada level paling bawah bawah, yaitu para Identifikasi aktor Dari pusat (atas) dilanjutkan Dari utama yang ke bawah sebagai konsekuensi implementer pada level lokal ke atas terlibat dalam implementasi proses Kriteria evaluasi
Berfokus pada pencapaian Kurang begitu jelas, apa saja yang tujuan formal yang tertulis dianggap peneliti penting dan dalam dokumen kebijakan punya relevansi dengan kebijakan
Fokus secara Bagaimana mekanisme Interaksi strategis antar berbagai keseluruhan implementasi bekerja untuk aktor yang terlibat dalam mencapai tujuan kebijakan implementasi
( sumber: Sabatier 1984, dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012).
Universitas Indonesia
19
2.1.4.2. Model Implementasi Kebijakan / Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi kebijakan. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat dilihat dari proses dan pencapaian tujuan akhir kebijakan (output), hal ini juga didukung oleh Merrile Grindle dalam Agustino (2008) yang mengatakan bahwa “pengukuran keberhasilan implementasi dapat dilihat dari prosesnya dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat kepada action program dari individual project dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai”. Suatu
model
implementasi
kebijakan
merupakan
suatu
upaya
menyederhanakan realitas implementasi kebijakan yang rumit menjadi lebih sederhana yaitu sebagai hubungan sebab akibat antara keberhasilan implementasi dengan faktor yang diduga mempengaruhi keberhasilan implementasi tersebut (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012). Diantara model implementasi kebijakan tersebut adalah : a. Implementasi Kebijakan Publik Model Donal Van Metter dan Carl Van Horn. Kedua pakar ini mencoba menghubungkan antara isu kebijakan dengan implementasi dan membuat suatu model konseptual yang menghubungkan kebijakan dengan kinerja (performance). Kedua ahli ini juga menegaskan bahwa perubahan, kontrol dan kepatuhan bertindak merupakan konsep yang penting dalam prosedur-prosedur implementasi. (Wahab.S.A, 2012). Ada 6 Variable menurut Van Meter dan Van Horn yng mempengaruhi kinerja kebijakan publik : 1. Ukuran dan tujuan kebijakan 2. Sumberdaya 3. Karakteristk agen pelaksana 4. Sikap/kecendrungan (Disposition) para pelaksana 5. Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas Pelaksana 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik b. Implementasi Kebijakan Pulik Model Daniel Mazmanian dan Paul Sabatier Model kebijakan publik yang disampaikan Mazmanian dan Sabatier disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis. Mereka
Universitas Indonesia
20
berpendapat bahwa peran penting dalam implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam mengidentifikasi variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Menurut teori ini ada 16 variable yang dibagi kedalam 3 faktor utama (independen variable) yang dapat berpengaruh pada proses implementasi.: 1.
Mudah atau tidaknya masalah yang akan digarap (tractability), meliputi : a). Kesukaran kesukaran teknis, b). Keberagaman perilaku yang diatur, c). Persentase totalitas penduduk yang tercakup dalam kelompok sasaran, d) Tingkat dan ruang lingkup perubahan perilaku yang dikehendaki.
2.
Kemampuan kebijakan menstruktur proses implementasi secara tepat (Statutory). Para pembuat kebijakan akan menggunakan wewenang yang dimilikinya untuk menstruktur proses implementasi secara tepat melalui beberapa cara : a). Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan dicapai, b). Keterandalan teori kausalitas yang diperlukan, c) Ketepatan alokasi sumber dana, d) Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga atau instansi-instansi pelaksana, e). Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana, f). Kesepakatan para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang, dan g). Akses formal pihakpihak luar
3.
Variabel-variabel
di
luar
Undang-undang
/
kebijakan
yang
mempengaruhi implementasi (Non Statutory), seperti : a).Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi, b). Dukungan publik, c). Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat, d). Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana. c. Implementasi Kebijakan Publik Model George C. Edward III (1980) Edward III menamakan kebijakan publiknya dengan Direct and Indirect Impact on Implementation. Dalam pendekatan ini Edward III mengemukakan
4
variabel
yang
sangat
menentukan
keberhasilan
implementasi suatu kebijakan, yaitu :
Universitas Indonesia
21
1. Komunikasi Terdapat 3 indikator keberhasilan komunikasi ini yaitu : a). Transmisi, b) Kejelasan, dan c). Konsistensi,. 2. Sumberdaya . Menurut Edward III, sumberdaya terdiri dari beberapa elemen yaitu : a) Staf, staf harus mencukupi, memadai dan kompeten dibidangnya, b). Informasi, informasi tentang cara melaksanakan kegitan dan juga informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah , c) Wewenang, kewenangan harus bersifat formal, dan d). Fasilitas (sarana dan prasarana) 3. Disposisi / sikap dari pelaksana kebijakan Pelaksanaan kebijakan publik bisa berjalan efektif, maka para pelaksana kebijakan harus mengetahui apa yang akan dikerjakannya dan harus memiliki kemampuan untuk mengerjakannya, sehingga dalam prakteknya tidak terjadi bias. Hal-hal yang perlu dicermati dalam variable ini menurut Edward III adalah : a) Pengangkatan Birokrat, dan b) Insentif 4. Struktur Birokrasi Menurut Edward III, dua faktor yang dapat menaikkan kinerja struktur birokrasi / organisasi kearah yang lebih baik adalah : a). melakukan
Standard
Operating
Procedures
(SOPs)
dan
b).
melaksanakan Fragmentasi d. Implementasi Kebijakan Publik Model Merilee S. Grindle. Grindle (1980), mengemukakan model implementasi kebijakan yang dikenal dengan Implementation as A Political and Administrative Process. Keberhasilan
implementasi kebijakan publik dapat diukur dari proses
pencapaian hasil akhir (outcomes), pengukuran keberhasilan imlementasi ini dapat dilihat dari 2 hal, yaitu: 1. Dilihat dari prosesnya, apakah pelaksanaan kebijakan itu sesuai dengan yang sudah ditentukan (design), dengan merujuk kepada aksi kebijakannya.
Universitas Indonesia
22
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai?, diukur dengan melihat impack atau efeknya pada masyarakat secara individual ataupun kelompok, dan tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan perubahan yang terjadi. Keberhasilan implementasi menurut Grindle ditentukan oleh tingkat implementability yang terdiri dari Content of policy dan Contex of policy 1) Content of policy menurut Grindle adalah : a). Interest Affected ( kepentingan – kepentingan yang mempengaruhi, b). Type of Benefits (Tipe manfaat), c). Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai), d).Site of Decission Making (letak pengambilan keputusan), e).Program Implementation (Pelaksana program), dan f). Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan). 2) Context of policy menurut Grindle adalah : a). Power, Interest, and Strategy of actor Involved (Kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari actor yang terlibat), b). Institution and Regime Characteristic ( Karakteristik lembaga dan rezim yang berkuasa), dan c). Compliance and Responsivness ( tingkat kepatuhan dan adanya respon pelaksana) Disamping itu dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, (2012) juga ada pendapat dari Sabatier (1986). Sabatier mengatakan ada 6 variable yang dianggap memberikan kontribusi terhadap keberhasian dan kegagalan implementasi kebijakan, yaitu : 1. Tujuan atau sasaran kebijakan harus jelas dan konsisten, 2. Dukungan teory yang kuat dalam merumuskan kebijakan, 3. Proses imlementasi mempunyai dasar hokum yang jelas untuk menjamin kepatuhan petugas dilapangan dan kelompok sasaran, 4. Komitmen dan keahlian para pelaksana kebijakan, 5. Dukungan para stakeholder, 6. Stabilitas kondisi sosial, ekonomi dan politik.
Universitas Indonesia
23
2.1.4.3. Permasalahan Proses Implementasi. a. Ketidaksempurnaan Proses Implementasi. Menurut Hogwood dan Gunn dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, (2012), suatu implementasi yang sangat sempurna (perfect implementation) tidak akan pernah terwujud karena : 1. Ada hambatan Eksternal. Hambatan ini berasal dari luar organisasi seperti krisis moneter, bencana alam, dll.hal ini sulit dikontrol oleh para pembuat kebijakan maupun imlementatornya. 2. Waktu dan sumberdaya tidak tersedia secara memadai 3. Kebijakan tidak didasarkan pada landasan pemikiran (teoritis) yang kuat tentang hubungan kausalitas antara kebijakan dan hasil yang akan dicapai. Akibatnya pembuat kebijakan keliru dalam merumuskan kebijakan untuk mengatasi masalah publik. 4. Hubungan sebab akibat antara kebijakan dan hasilnya, jarang bersifat langsung 5. Lembaga pelaksana jarang yang bisa mandiri, tersebarnya sumber daya pada lembaga lain seperti finansial, teknologi, politik, informasi dan sumberdaya manusia yang berkualitas dll. 6. Jarang ada kesepakatan yang bersifat umum diantara pelaksana tentang tujuan kebijakan dan cara kencapainya. Banyak kebijakan yang dirumuskan, menghendaki struktur implementer multi agencies. 7. Jarang ada suatu kondisi terjadinya komunikasi dan koordinasi yang sempurna. b. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Negara Lain Makinde (2005) dalam (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012) telah mengidentifikasi permasalahan yang timbul dalam proses implementasi, sehingga
menimbulkan
kegagalan,
seperti
penelitiannya
di
Nigeria
mengidentifikasi gagalnya implementasi kebijakan di Nigeria disebabkan oleh : 1) Kelompok sasaran (target beneficiaries) tidak terlibat dalam implementasi program, 2) program yang diimplementasikan tidak memperhitungkan kondisi lingkungan seperti sosial, ekonomi dan politik, 3) Adanya korupsi, 4) Sumber
Universitas Indonesia
24
Daya Manusia yang rendah kualitasnya, 5) Tidak adanya koordinasi dan monitoring. Sementara itu faktor kelangkaan teknologi dan SDM (Sumberdaya Manusia) yang tidak berkapasitas, merupakan temuannya terhadap penyebab kegagalan proses implementasi kebijakan di Ghana. Pada penelitiannya di Pakistan, Makinde juga menemukan beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan proses implementasi kebijakan, yaitu : 1) Ketidakjelasan
tujuan
pemerintahan,
4)
kebijakan,
Sentralisasi
2)
Komitmen
kewenangan,
5)
politik,
3)
Sumberdaya,
Struktur dan
6)
Ketergantungan pada bantuan asing. Sejalan dengan yang ditulis Makinde diatas, Omoniyi Victor Ajulor (2013) juga menuliskan kegagalan implementasi kebijakan dan penurunan kemiskinan di pedesaan di Nigeria. Faktor penyebabnya adalah : 1) Tujuan yang tidak realistis, 2) Korupsi, 3) Politik (dana digunakan untuk politisasi),4) Kurang mempertimbangkan keadaan sosial, politik dan ekonomi dari penerima manfaat sebelum membuat kebijakan (program kemiskinan tidak berbasis lokal), 5) Kurangnya partisipasi kelompok sasaran ( proses kebijakan publiknya selalu top-down dalam konsepsi, desain, perumusan, pelaksanaan dan evaluasi) c. Kegagalan Implementasi Kebijakan Publik di Indonesia Kegagalan implementasi kebijakan di Indonesia hampir sama dengan kegagalan yang ditemukan di Negara lain, setidaknya ada 6 faktor yang menetukan berhasil atau tidaknya proses implementasi (Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012) yaitu : 1. Kualitas kebijakan itu sendiri. Kualitas disini terkait dengan kejelasan tujuan, kejelasan implementer atau penanggung jawab implementasi, dll. 2. Kecukupan input kebijakan (terutama anggaran). Menurut Wildavsky, besarnya anggaran yang dialokasikan terhadap suatu kebijakan atau program, menunjukkan seberapa besar political will / komitmen pemerintah terhadap persoalan yang akan diselesaikan. 3. Ketepatan intrumen yang akan dipakai untuk mencapai tujuan kebijakan. Instrumen tersebut misalnya pemberian layanan gratis, hibah peralatan/barang tertentu, subsidi, dll
Universitas Indonesia
25
4. Kapasitas
implementor
(struktur
organisasi,
dukungan
SDM,
pengawasan, koordinasi, dll). 5. Karakteristik dan dukungan kelompok sasaran ( apakah individu, kelompok, laki atau perempuan, terdidik atau tidak, dll). 6. Kondisi lingkungan geografi, sosial, ekonomi dan politik dimana implementasi tersebut dilakukan. 2.2. Keamanan Pangan Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman (Pemerintah RI, 2012). Pada Konferensi Internasional FAO/WHO tahun 1992 tentang gizi, dideklarasikan bahwa masalah keamanan pangan telah menjadi keprihatinan dunia, ratusan juta manusia di dunia menderita penyakit menular maupun tidak menular karena pangan yang tercemar, dan perlu diingat bahwa “memperoleh pangan yang cukup, bergizi dan aman dikonsumsi adalah hak setiap orang” (Badan POM RI a, 2011). 2.2.1. Definisi Keamanan Pangan Menurut UU No 18 Tahun 2012 tentang pangan, kemanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Menurut FAO/WHO (1997) Keamanan pangan adalah jaminan bahwa pangan tidak akan menyebabkan bahaya bagi konsumen saat disiapkan dan atau dikonsumsi sesuai dengan penggunaannya. Sedangkan
menurut Codex
Alimentarius Commission (CAC), Kemanan pangan adalah semua kondisi dan tindakan yang diperlukan untuk menjamin keamanan dan kelayakan pada semua tahap dalam rantai makanan (Badan POM RI&FKM UI, 2011).
Universitas Indonesia
26
2.2.2. Jenis Bahaya Dalam Pangan Jenis bahaya dalam pangan yang dapat mengancam kesehatan pada manusia secara garis besar dibagi atas 3 golongan, yaitu: 1. Bahaya Fisik Bahaya fisik adalah bahaya yang berasal dari benda-benda yang tidak boleh ada dalam pangan dan tidak layak untuk dimakan seperti rambut, kuku, anak steples, kerikil, pecahan kayu, plastik, serangga mati dan lain-lain. 2. Bahaya Kimia Bahaya kimia adalah bahaya yang ditimbulkan oleh bahan kimia. Bahan kimia berbahaya ini dapat berasal dari : a. Penyalahgunaan bahan berbahaya dalam pengolahan pangan seperti penggunaan boraks untuk pengenyal bakso, pempek, perenyah pada kerupuk; penggunaan formalin untuk pengawet pada ikan, tahu, mie basah; dll.; penggunaan Pewarna bukan untuk makanan seperti Rhodamin B sebagai pewarna merah, methanyi yellow untuk pewarna kuning dll. b. Racun alami yang ada dalam pangan, seperti jamur beracun, ikan buntal yang mengandung tetrodotoksin, singkong yang menangdung Cianida, jengkol yang mengandung asam jengkolat, ikan yang mengandung histamine dll. c. Cemaran kimia yang berasal dari lingkungan, seperti limbah industry yang diserap tanah, sisa pestisida pada buah dan sayur, cat pada peralatan masak, makan dan minum, asap kendaraan bermotor, penggunaan kemasan pangan yang dilarang, dll. d. Pengunaan Bahan Tambahan Pangan yang melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan. Bahan tambahan ini diperlukan pada pangan olahan untuk memperbaiki sifat dan mutu serta daya simpannya. 3. Bahaya Biologi Bahaya ini berasal dari mikroba yang muncul pada pengolahan pangan yang tidak baik, seperti tidak menjaga kebersihan baik dari penjamah makanan sendiri, lingkungan tempat bekerja, peralatan maupun
Universitas Indonesia
27
dari makanan yang kotor.Mikroba bisa berupa bakteri, kapang, khamir ataupun virus. Pertumbuhan mikroba ini sangat dipengaruhi oleh jenis makanannya, suhu penyimpanan, kadar air, tingkat keasaman dan waktu penyimpanan. 2.2.3. Determinan Keamanan Pangan Dalam buku promosi Kemanan Pangan yang disusun oleh Badan POM RI bersama FKM UI (2011), keamanan pangan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : 1. Faktor prilaku (sanitasi dan higiene pangan) Sanitasi Pangan adalah upaya untuk mencegah kemungkinan tumbuhnya jasad renik dan pathogen dalam makanan atau usaha untuk mencegah pencemaran pada pangan.. Sedangkan hygiene pangan adalah kondisi dan tindakan yag diperlukan untuk menjamin pangan tersebut aman dan layak pada semua rantai makanan. Higiene dan sanitasi pangan menyangkut Higiene pribadi , ruangan, pakaian , dan pangan sendiri. Beberapa contoh adalah tidak mencuci tangan, kebiasaan mengobrol dan merokok sambil bekerja, tidak menggunakan masker dan tutup rambut, dll. Faktor prilaku ini juga terkait dengan faktor prilaku dari konsumen, dimana konsumen tidak mengenal bagaimana mengetahui pangan yang aman seperti tidak memperhatikan label, hanya membeli pangan dengan pertimbangan harga murah tanpa memperhatikan kemanannya dan sebagainya. 2. Faktor Lingkungan Untuk mendapatkan pangan yang aman, juga perlu memperhatikan faktor lingkungannya, seperti bangunan beserta konstruksinya, peralatan yang digunakan. Lingkungan yang tidak baik akan cendrung mencemari pangan, seperti pencemaran fisik, kimia dan biologi. 3. Faktor Sosial ekonomi Keamanan pangan juga terkait dengan keadaan sosial ekonomi yang meliputi pengetahuan dan kemauan, pendidikan, pekerjaan, lingkungan sosial dan budaya.
Universitas Indonesia
28
Pengetahuan sangat memegang peranan penting, karena dengan pengetahuan akan bisa memperbaiki sikap dan prilaku. Diantara pengetahuannya adalah bagaimana cara mencuci buah dan sayuran, bagaimana cara mengolah pangan yang baik, cara memilih makanan yang aman, dll. Pendidikan keamanan pangan juga diperlukan bagi konsumen agar kesadaran masyarakat akan keamanan pangan meningkat. Lingkungan sosial seperti sekolah, tempat bekerja dan tempat tinggal, juga akan bisa mempengaruhi kemanan pangan, karena disinilah mereka berkumpul dan dengan berbagai kepentingan. Kebanyakan dari masyarakat kita masih banyak yang permisif, sehingga kurang teliti dalam memilih pangan yang aman untuk dikonsumsi dan tergiur dengan harga yang murah. 2.3. Kebijakan Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi (AN-PJAS) 2.3.1. Latar Belakang Berdasarkan hasil pengawasan rutin yang dilakukan oleh Badan POM tahun 2008 sampai tahun 2010 terhadap pangan jajanan anak sekolah (PJAS) menunjukkan bahwa 40 – 44% Pangan jajanan sekolah tidak memenuhi syarat (TMS) keamanan pangan, diantaranya
mengandung bahan berbahaya yang
digunakan untuk pangan seperti formalin, boraks, zat warna tekstil rhodamin B dan methanyl yellow, mengandung Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang melebihi ketentuan seperti pada pemanis buatan, pengawet dan lain-lain, serta kandungan mikroba yang diluar persyaratan untuk kesehatan akibat buruknya hygiene dan sanitasi pangan. Hasil pengawasan ini dapat dilihat pada table 2.2 dibawah. Tingkat keamanan PJAS yang masih rendah merupakan masalah serius karena terkait dengan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Rendahnya kualitas PJAS dapat memperburuk status gizi anak sekolah akibat terganggunya asupan gizi. Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta
Universitas Indonesia
29
tangkas dan cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik, dan status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah dan kualitas asupan pangan yang dikonsumsi (Bappenas, 2011). Tabel 2.2 : Hasil pengawasan Badan POM RI terhadap sampel PJAS tahun 2008-2010 Sampel MS
Sampel TMS
Sampel Mengan dung BB
Sampel Mengan dung BTP Berlebih
Sampel Mengand ung Cemaran Mikroba
Jumlah Sampel Sekolah Dasar
Tahun
Total Sampe l
2008
2029
1208 (60%)
821 (40 %)
153 (13%)
180 (15%)
847 (72%)
408
2009
2976
1707 (57%)
1269 (43%)
170 (12%)
299 (21%)
950 (67%)
558
2010
3372
1872 (56%)
1500 (44%)
275 (18 %)
337 (23 %)
888 (59%)
585
( Sumber : Badan POM, 2011) Beberapa penelitian di luar negeripun seperti di Hungaria, memperlihatkan bahwa nutrisi yang kurang dari PJAS ini merupakan penyebab menaiknya penderita overweight (obesitas) pada remaja, yang akan berimplikasi kepada penyakit pembuluh darah (cardiovascular) dan juga diabetes mellitus, Gaya hidup anak-anak akan sangat menentukan terhadap kebiasaan yang beresiko (Peter.S,et al, 2007). Selain Badan POM, sejumlah program kegiatan keamanan pangan di sekolah, misalnya program kantin sekolah sehat, telah diinisiasi oleh institusi lain seperti Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta industri pangan swasta. Program peningkatan keamanan pangan di sekolah belum sepenuhnya terstruktur dengan baik.
Keterbatasan sumber daya instansi berwenang dirasa tidak
sebanding dengan jumlah Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) yang perlu diawasi dan dibina keamanan PJAS-nya. Sekitar 143.000 Sekolah Dasar (Data Statistik Sekolah Dasar 2009-2010, Kemdikbud) dan 22.000 Madrasah Ibtidaiyah (Profil Statistik Pendidikan Islam 2009-2010, Kemenag) tersebar hingga seluruh pelosok Indonesia. Oleh karena itu, suatu gerakan bersama secara nasional diharapkan dapat menggalang komitmen dan partisipasi seluruh pihak
Universitas Indonesia
30
serta alokasi sumberdaya dengan lebih baik dalam upaya yang sinergis untuk meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi. Badan POM sebagai ketua tim pelaksana Jejaring Keamanan Pangan Nasional (JKPN) bersama lintas sektor terkait memprakarsai Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bemutu, dan Bergizi. Pencanangan Gerakan ini dilakukan oleh Bapak Wakil Presiden RI Budiono pada tanggal 31 Januari 2011. Implementasi Gerakan ini menjadi satu program unggulan Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT) yang diharapkan melibatkan Pemerintah, produsen, masyarakat, dan elemen masyarakat lainnya. Indikator Kinerja Utama (IKU) yang ingin dicapai melalui Aksi Nasional ini adalah persentase PJAS yang memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizi pada tahun anggaran 2012, 2013 dan 2014 masing-masing 70, 80 dan 90% di SD/MI yang mendapat intervensi. Strategi Aksi Nasional PJAS sebagai realisasi gerakan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1. Secara umum, program Aksi Nasional PJAS ini merupakan program pro rakyat yang hasilnya dapat berkontribusi untuk mencapai Millenium Development Goals (MDGs). Secara khusus, program ini menjadi isu strategis pada pembangunan di daerah, terutama pembangunan SDM anak sekolah. 2.3.2. Tujuan Aksi Nasional PJAS Tujuan yang hendak dicapai dari Aksi Nasional menuju PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi adalah: 1. Memberdayakan komunitas sekolah untuk menjaga keamanan, mutu, dan gizi PJAS 2. Menguatkan koordinasi dan jejaring kerja lintas sektor di pusat dan daerah untuk meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi 3. Meningkatkan keamanan, mutu dan gizi PJAS di Indonesia. Sementara itu luaran yang diharapkan dari Gerakan Nasional PJAS ini adalah : a. Kemandirian komunitas sekolah di daerah untuk mengawasi PJAS di lingkungan sekolahnya b. Komitmen dan koordinasi pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional PJAS di daerah yang sinergis dan komprehensif c. Keamanan, mutu, dan gizi PJAS yang meningkat di daerah
Universitas Indonesia
31
2.3.3. Palaksanaan Aksi Nasional PJAS Gerakan Nasional PJAS ini merupakan salah satu program Badan POM bersama stakeholder terkait dalam Sistem Keamanan Pangan Terpadu (SKPT). Dalam SKPT, peningkatan keamanan pangan dilaksanakan secara kemitraan oleh pemerintah dan dunia usaha/masyarakat (public-private-partnership). Oleh karena itu, komitmen yang kuat dan partisipasi aktif stakeholder merupakan kunci sukses upaya peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS. Sebagai pelaksana utama dari upaya peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS di tingkat nasional adalah Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, Bappenas, dan Badan POM RI, didukung oleh stakeholder kunci dan lembaga internasional/donor lainnya, Lembaga Kemasyarakatan, seperti PKK, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). ( BPOM a, 2011). Sedangkan untuk pelaksanaan di daerah, program peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS akan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota setempat dan bekerjasama dengan pemerintah Pusat dan lembaga terkait. Dalam program PJAS di daerah, stakeholder diharapkan terlibat secara aktif, antara lain Balai Besar/Balai POM, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan LSM. ( BPOM a. 2011) Dalam Pelaksanaan aksi nasional PJAS ini, Ada lima strategi yang dilakukan, yaitu : 1. Mengembangkan program PJAS 2. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang PJAS 3. Mengembangkan Capacity Building, 4. Mengembangkan Fasilitas PJAS 5. Monitoring dan Evaluasi Program PJAS. Kelima strategi ini akan dicapai dengan serangkaian kegiatan dengan strategi sebagaimana yang digambarkan dalam gambar 2.2. Dimana Badan POM adalah penanggung jawab dari Aksi Nasional PJAS ini
Universitas Indonesia
32
Gambar 2.2. : Strategi Aksi Nasional Pangan Jajanan yang Aman, Bermutu dan Bergizi (sumber BPOM,2013) Dalam pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ini akan dilakukan intervensi terhadap 18.000 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) diseluruh Indonesia sampai akhir kegiatannya pada tahun 2014, sebagaimana terlihat pada roadmapnya pada gambar 2.3. di bawah
Gambar 2.3 : Road map pelaksanaan Aksi Nasional PJAS (BPOM RI b,2013) Dengan demikian diharapkan Aksi Nasional PJAS ini akan memberi perlindungan terhadap asumsi sekitar 3 juta anak dari PJAS yang tidak aman, serta peningkatan
Universitas Indonesia
33
kesadaran dan perubahan prilaku 6 juta orang tua siswa, 180.000 orang guru SD/MI, 180.000 orang pedagang PJAS dan 54.000 orang
pengelola kantin
sekolah untuk peningkatan mutu PJAS di seluruh Indonesia (BPOM (2), 2013). Dalam pelaksanaan aksi Nasional PJAS ini diharapkan sejalan dengan Rencana Aksi Nasional Pangan Gizi (RAN-PG) yang dilaksanakan oleh Bappenas untuk tahun 2011-2015. Dalam RAN-PG, kebijakannya akan dicapai dalam 5 strategi. Salah satu strateginya pada poin ke III adalah “Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan” melalui peningkatan pengawasan keamanan pangan yang difokuskan pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi. Badan POM RI ditunjuk sebagai ketua pelaksana dari strategi ke III ini yaitu “Peningkatan Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan”.(Bappenas 2011). Pelaksanaan dari RAN-PG ini sudah ditindak lanjuti dengan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) untuk tingkat daerah, dimana Balai POM di daerah ditunjuk sebagai ketua pelaksana dari strategi peningkatan mutu dan Keamanan Pangan ini. Keberhasilan Aksi Nasional PJAS sangat tergantung pada komitmen dan kontribusi nyata dari seluruh pemangku kepentingan terkait baik di pusat maupun daerah. Kementerian/ lembaga di pusat hingga pemerintah daerah di kabupaten/kota. Instansi daerah dapat membentuk Gugus Tugas Aksi Nasional PJAS di daerah untuk menggalang komitmen, mengembangkan program bersama untuk Aksi Nasional PJAS serta menyinergiskan program kegiatan yang ada untuk berkontribusi pada Aksi Nasional PJAS.
Pemerintah Daerah harus
berkontribusi pada Aksi Nasional PJAS karena program aksi ini, langsung atau tidak langsung, masalah kesehatan, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dan ketahanan pangan sangat terkait erat dengan urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, sebagaimana amanah PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kaupaten/Kota. Partisipasi aktif dan kontribusi nyata Pemerintah Daerah dalam Aksi Nasional PJAS diperlukan untuk pembinaan dan pengawasan keamanan PJAS sekaligus produsen, penjaja, serta konsumen PJAS yang menyeluruh dan terpadu sehingga peningkatan keamanan, mutu, dan gizi PJAS di seluruh Indonesia dapat tercapai.
Universitas Indonesia
34
2.3.3.1. Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Kabupaten/ Kota Dalam Petunjuk teknis Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS untuk kabupaten/Kota tahun 2012, Implementasi Aksi Nasional PJAS di daerah dikoordinir oleh Gugus Tugas PJAS tingkat kab/kota. Gugus tugas ini dapat mengoptimalkan jejaring kerja yang sudah ada di daerah, misalnya Tim Pembina UKS, atau dibentuk baru oleh Pemerintah Daerah setempat dengan melibatkan instansi terkait.
Pemerintah kab/kota dapat berkonsultasi dan berkoordinasi
dengan Balai Besar/ Balai POM di provinsinya terkait dengan pembentukan gugus tugas maupun pelaksanaan dan pelaporan Aksi Nasional PJAS di kab/kota. Gugus tugas Aksi Nasional PJAS di kab/kota ini diminta untuk mengirim laporan pelaksanaannya kepada Balai /Balai Besar POM setempat. Secara garis besar, peranan Gugus Tugas PJAS di Kabupaten/Kota adalah : 1. Mengembangkan masterplan program kegiatan Aksi Nasional PJAS sesuai kebutuhan spesifik lokal di kab/kota serta menyiapkan pedoman yang diperlukannya 2. Memperkuat manajemen pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di kab/kota 3. Menyinergiskan perencanaan dan pelaksanaan program Aksi Nasional PJAS di kab/kota 4. Monitoring, evaluasi, dan pelaporan program Aksi Nasional PJAS di kab/kota 2.3.3.2. Manajemen dan Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Provinsi Dalam Petunjuk teknis Pelaksanaan Aksi Nasional PJAS untuk kabupaten/Kota tahun 2012, diharapkan terbentuknya Gugus Tugas Aksi PJAS di tingkat provinsi difasilitasi oleh Kepala Balai Besar/ Balai POM selaku Ketua Pokja III Mutu dan Keamanan Pangan dalam Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG). Gugus tugas PJAS di provinsi berkoordinasi dengan gugus tugas PJAS di kab/kota untuk sinkronisasi kegiatan dan pembagian tugas dalam pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional PJAS di daerah sesuai kewenangannya masing-masing. Peranan Gugus Tugas PJAS di provinsi adalah : 1. Mengembangkan masterplan program kegiatan Aksi Nasional PJAS sesuai kebutuhan spesifik lokal skala provinsi serta menyiapkan pedoman yang diperlukannya
Universitas Indonesia
35
2. Memperkuat manajemen pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di provinsi 3. Menyinergiskan perencanaan, pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan program Aksi Nasional PJAS di provinsi 4. Mengoordinir hasil monitoring, evaluasi, dan pelaporan program Aksi Nasional PJAS dari kab/kota 2.3.3.3. Program Kegiatan Aksi Nasional PJAS di Daerah
Target utama dari kegitan Aksi Nasonl PJAS ini adalah komunitas sekolah (SD/MI) yang terdiri dari kepala sekolah, guru, komite sekolah (orang tua siswa), siswa, dan pengelola kantin. Diharapkan natinya mereka secara mandiri berperan nyata dalam menyediakan PJAS yang aman, bermutu dan bergizi sekaligus menjaga diri serta mengawasi PJAS yang tidak memenuhi syarat di sekitarnya. Disamping itu juga perlu melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penjaja PJAS di lingkungan sekolah agar mereka hanya menyediakan PJAS yang memenuhi syarat untuk dikonsumsi. Dampak dari intervensi terhadap PJAS ini akan diverifikasi dengan pengujian PJAS melalui sampling dan pengujian terhadap sekolah yang dibina Badan POM telah memberikan beberapa contoh kegiatan yang bisa menjadi acuan bagi pemerintah daerah terkait pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ini sebagaimana pada table 2.3, dan memberikan keluasan bagi daerah untuk mengkoordinasikan diantara institusi mereka yang ada sesuai dengan kempauan masing-masing daerah. Tabel 2.3.: Program dan Kegiatan Aksi Nasional PJAS di kab/kota Program
Contoh Kegiatan
InstansiPelaksana di Daerah
Strategi 1: Perkuatan Program PJAS 1. Peningkatan advokasi komitmen Pemda dalam Aksi Nasional PJAS di daerah
• Sosialisasi program Aksi Nasional PJAS kepada pemangku kepentingan di prov dan kab/kota
Balai Besar/ Balai POM, Dinas Kesehatan, ….
• Pembentukan Gugus Tugas Aksi Nasional PJAS di prov dan kab/kota • Focus Group Discussion Program Aksi Nasional PJAS di prov dan kab/kota
2. Regulasi terkait PJAS di daerah
Penyusunan kebijakan untuk program Aksi Nasional PJAS di daerah (misal Perda, SK Bupati/ Walikota, dsb)
Balai Besar/ Balai POM, Dinas Kesehatan, ….
Universitas Indonesia
36 Program
Contoh Kegiatan
3. Program pengawasan keamanan PJAS
Mengembangkan program pengawasan PJAS spesifik daerah: • pendataan PJAS yang beredar di daerah, pemetaan sarana dan jalur produksi dan distribusi PJAS di daerah, identifikasi potensi masalah PJAS, sampling dan pengujian PJAS dalam rangka pengawasan di kab/kota • pengawasan jalur distribusi bahan berbahaya yang sering disalahgunakan pada PJAS (misal formalin, boraks, pewarna terlarang)agar tidak ‘bocor’ ke jalur produksi PJAS
InstansiPelaksana di Daerah Balai Besar/ Balai POM, Dinkes,Dinas UMKM, …. Balai Besar/ Balai POM, Disperindag, …..
4. Penyediaan rapid test kit
Penyediaan rapid test kituntuk ‘pengawasan’ keamanan PJAS secara mandiri oleh komunitas sekolah atau identifikasi awal pengawasan keamanan PJAS oleh Dinas berwenang di daerah
Disperindag, ….
5. Mobil laboratorium keliling
• Operasionalisasi sarana mobil keliling untuk pengawasan dan pembinaan terkait keamanan, mutu, dan gizi PJAS di daerah
Balai Besar/ Balai POM Dinkes, Din‐UMKM, ….
• Pengembangan pedoman operasionalisasi mobil keliling di daerah • Operasionalisasi mobil keliling di daerah secara terarah dan sistematis Strategi 2: Peningkatan awareness komunitas PJAS 1. Sistem jaringan informasi dan komunikasi
Pertemuan peningkatan akses jaringan Dinas Komunikasi dan informasi dan komunikasi dalam Informatika, … program Aksi Nasional PJAS di daerah
2. Perilaku Hidup Bersih Sehat di sekolah
• Pembinaan tim UKS di sekolah
3. Program pembinaan keamanan, mutu, dan gizi PJAS
• Pencetakan dan distribusi materi promosi dan penyuluhan keamanan, mutu, dan gizi PJAS untuk sekolah di kab/kota
Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Dinas • Penyediaan sumber air bersih di Kementerian Agama, sekolah Dinas Pertanian, …..Dinas PU Balai Besar/ Balai POM, Dinas Pendidikan, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, …..
• Kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) tentang keamanan, mutu, dan gizi PJAS untuk komunitas sekolah dan penjaja PJAS
Universitas Indonesia
37 Program
Contoh Kegiatan
InstansiPelaksana di Daerah
• Lomba kantin sehat sekolah • Pengembangan materi dan penayangan iklan layanan masyarakat di media massa lokal (misalnya koran, televisi, radio) • Talkshow di media massa elektronik (TV lokal, radio lokal) • Pameran keamanan, mutu, dan gizi PJAS di daerah Strategi 3: Peningkatan kapasitas sumber daya PJAS 1. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan
• Mengembangkan program dan kurikulum untuk peningkatan kapasitas komunitas sekolah dan penjaja PJAS dalam meningkatkan keamanan, mutu, dan gizi PJAS
Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, Balai Besar/ Balai POM, …
• Pelatihan: praktek yang baik untuk PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi (misalnya Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik, dsb), pelatihan inspektur cilik, audit internal kantin sekolah dsb 2. Pengelolaan kegiatan Aksi Nasional PJAS oleh komunitas sekolah
Bimbingan teknis untuk komunitas sekolah dalam pelaksanaan kegiatan pengawasan dan peningkatan keamanan, mutu, dan gizi PJAS di sekolah
Balai Besar/ Balai POM, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan, …..
3. Penyuluhan keamanan PJAS
Penyuluhan keamanan pangan untuk komunitas sekolah di kab/kota
Dinas Kesehatan, Balai Besar/ Balai POM, …
Strategi 4: Modeling dan Replikasi Kantin Sekolah 1. Pengembangan pengelolaan kantin sehat sekolah
• Replikasi model kantin sehat sekolah Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas di kab/kota Pengelolaan • Piagam Bintang Keamanan Pangan Persampahan dan Kantin Sekolah Pertamanan, Balai POM, … • Menggalang sumber daya melalui kemitraan dengan sektor lain untuk kantin sehat sekolah • Penyediaan paket bantuan penyediaan atau perbaikan fasilitas kantin sehat sekolah
Strategi 5: Optimalisasi Manajemen Aksi Nasional PJAS 1. Optimalisasi pelaksanaan program Aksi Nasional PJAS
Fasilitasi, koordinasi, dan komunikasi dengan lintas sektor dalam pelaksanaan program Aksi Nasional PJAS di daerah
Dinas Kesehatan, ….
Universitas Indonesia
38 Program
Contoh Kegiatan
InstansiPelaksana di Daerah
• Perencanaan kegiatan dan persiapan Balai Besar/ Balai POM, strategi manajemen Aksi Nasional Bappeda, Dinas Kesehatan, … PJAS di kab/kota
2. Monitoring, evaluasi, dan pelaporan
• Penyusunan kerangka kerja monitoring dan evaluasi kegiatan • Penyusunan laporan kemajuan dan laporan akhir kegiatan Aksi Nasional PJAS di kab/kota • Koordinasi pelaporan Aksi Nasional PJAS di kab/kota kepada koordinator propinsi (Balai Besar/ Balai POM)
(Sumber : Badan POM, 2012) 2.3.3.4. Jenis jenis intervensi pada SD/MI Untuk mencapai tujuan program AN PJAS ini, dilakukan intervensi ke sekolah-sekolah dasar(SD) dan Madarasah Ibtidaiyah (MI) sebagai target kegiatan. Intervensi ini dikelompokkan atas kategori pengawasan, pembinaan dan pengawalan dan dibagi atas 4 jenis : 1. Intervensi A, ( pengawasan), dimana SD/MI mendapatkan : a. Sampling dan pengujian PJAS b. Bimbingan teknis Komunikasi, Informasi dan edukasi (KIE) keamanan PJAS dan KIE lainnya sepeti mobil keliling dan Penyebaran Informasi c. Distribusi informasi keamanan pangan (poster, CD, leaflet, buku, komik, dll) d. Piagam Bintang Keamanan Pangan Kantin Sekolah (PBKP-KS) 2. Intervensi B, ( Pembinaan level 1), Dimana SD/MI akan mendapatkan: a. Kegiatan KIE langsung, tanpa bimbingan teknis. Hanya berupa penyebaran informasi, mobil keliling, roadshow kemanan pangan sekolah, petualangan pompi, dll) b. Distribusi informasi keamanan pangan (poster, CD, leaflet, buku, komik, dll) 3. Intervensi
C,
(Pembinaan
level
2),
Dimana
SD/MI
akan
mendapatkanDistribusi informasi keamanan pangan (poster, CD, leaflet, buku, komik, dll) untuk dimanfaatkan secara mandiri
Universitas Indonesia
39
4. Intervensi D (Pengawalan), intervensi ini berupa pengawalan SD/MI yang telah mendapatkan intervensi pada tahun sebelumnya. 2.4. Kebijakan Pangan Berbasis Sekolah 2.4.1. Paradigma makanan sekolah Ada berbagai paradigma tentang kebijakan makanan di sekolah seperti yang ditulis oleh Ashe.L & Sonnino R (2013), bahwa negara-negara berpenghasilan rendah menggunakan intervensi makan di sekolah sebagai bagian dari jaring pengaman sosial untuk memerangi kelaparan dan kekurangan gizi mikro terkait, dan untuk meningkatkan akses pendidikan . hal ini telah dialami oleh banyak negara seperti Bangladesh, Burundi (Bennett J (2003 ), Mali, Jamaika, Pakistan dan Kamboja (Bundy D et.al,2009) Sementara
itu,
menurut
Doak
berpenghasilan rendah dan menengah, makanan sekolah untuk mengatasi
C
(2002),
pada
negara-negara
mereka menggunakan kebijakan
timbulnya obesitas dan penyakit terkait
nutrisi lainnya terutama melalui pendekatan menyeluruh dan membangun budaya mengkonsumsi makanan sehat, beberapa negara tersebut diantaranya seperti Brazil, Cina, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Afrika Selatan dan Thailand (Ashe.L & Sonnino R, 2013). Pada negara-negara kaya, Ashe.L & Sonnino R, (2013) juga menuliskan bahwa mereka telah menggunakan kebijakan makanan sekolah untuk mengatasi dinamika kerawanan pangan, dan beberapa penelitian-penelitian telah memperlihatkan efektivitas dampaknya seperti tren penurunan kelebihan berat badan (Sanchez-Vaznaugh EV , Sánchez BN , Baek J et al. (2010) dan meningkatnya konsumsi buah-buahan dan sayuran. (Haroun D , Harper C , Wood L et al. (2011) . Dalam konteks ini, upaya upaya dari multi sektor dan multi stakeholder ditujukan untuk mengembangkan
potensi transformasi
perubahan makanan sekolah yang berfokus untuk meningkatkan produksi pertanian lokal. Data menunjukkan bahwa
makanan sekolah berkontribusi
penting untuk menciptakan dan menstimulasi ekonomi lokal. Sebagai contoh East Ayrshire
(Skotlandia),
reformasi pada makanan sekolah telah
menghasilkan Index Investment Return Sosial (SROI) di atas 6 , yang berarti
Universitas Indonesia
40
bahwa, 'untuk setiap £ 1 yang diinvestasikan, lebih dari £ 6 nilai yang dibuat dalam ekonomi, sosial, lingkungan dan lainnya (Footprint Consulting, 2008 ) , Demikian pula, di Albania, pembelian makanan yang diproduksi secara lokal untuk proyek pemberian makanan di sekolah telah meningkatkan penghasilan petani lokal dan tukang roti (Bennett J (2003 ). 2.4.2. Kebijakan pangan di sekolah pada negara lain 1. Amerika Di Amerika, setiap lembaga pendidikan lokal
(local educational
agencies /LEAs) diwajibkan oleh undang-undang berpartisipasi dalam Program Nasional Makan siang di Sekolah atau program Gizi Anak Federal lainnya dan wajib menetapkan kebijakan kesehatan di sekolahnya. Pada tahun 2004, Kongres meloloskan Gizi Anak dan Program Khusus Tambahan Nutrisi untuk Wanita, Bayi dan Anak ( Child Nutrition and WIC Reauthorization Act 2004). Inilah yang menjadi dasar hukum bahwa semua LEA berpartisipasi dalam Program Nasional Makan siang dan/atau sarapan pagi di Sekolah. Ketentuan ini diperkuat lagi dengan Undang-undang Kesehatan, Hunger-Free Kids 2010. Pelaksanaan Makan siang dan atau sarapan pagi sekolah ini sudah harus dilaksananakan pada tahun ajaran 2006-2007 di semua lembaga pendidikan lokal Tanggung jawab untuk pengembangan kebijakan kesehatan sekolah setempat ditempatkan di tingkat lokal sehingga kebutuhan spesifik
dari
masing-masing sekolah di bawah yurisdiksi lembaga pendidikan local (LEA) dapat diatasi. Pengaturan Program Nasional Makan siang (National School Lunch Program/NSLP)
dan
atau
program
sarapan
pagi
(School
Brakfast
Program/SBP) dilaksanakan oleh Departemen Pertanian (U.S. Department of Agriculture /USDA), dan mengacu kepada standard terkini dari Dietary Guidelines for Americans. USDA membayar tunai sekolah umum, sekolah swasta non profit, dan lembaga pengasuhan anak untuk makan dan snack untuk anak-anak pre sekolah sampai kelas 12.
Universitas Indonesia
41
Makanan yang disajikan itu bisa gratis ataupun dengan harga yang dikurangi (subsidi), tergantung dari tingkat pendapatan rumah tangga. Sebagai contoh, anak yang dari keluarga dengan penghasilan dibawah 130% dari level kemiskinan, gratis mendapat makan siang; anak dengan penghasilan keluarga antara 130 %-185% dari level kemiskinan, mendapat pengurangan harga (subsidi)
dan
mereka
membayar
tidak
lebih
dari
40%.
(http://www.fns.usda.gov/tn/local-school-wellness-policy) Disamping itu ada kebijakan untuk pedagang makanan keliling di Amerika, sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Tester et.al,(2010) diantaranya dengan
menganugerahkan “penjaja makanan sehat” terhadap
pedagang
yang
makanan
memenuhi
standar
gizi
oleh
Kesehatannya, sehingga menciptakan kategori pedagang
Departemen
yang memenuhi
syarat dan layak. Syarat untuk makanan sehat ditentukan oleh FDA, seperti untuk 1 porsi makanan memiliki rendah lemak (3g atau kurang) lemak jenuh ( tidak lebih 1g), mengandung Natrium dan kolesterol terbatas, dan menyediakan 10% nilai harian dari Vitamin A, Vitamin C, Besi, kalsiun, protein dan serat (21 CFR 101.65(d)(2) (2008), (Nutritional Labeling: General Guidelines. Crookston, MN: Agricultural Utilization Research Institute; 1996) Pemerintah daerah menetapkan bahwa setiap pedagang makanan keliling harus mempunyai izin. Untuk mendapkan izin, pedagang harus lulus dalam pemeriksaan oleh Departemen Kesehatan atau intansi berwenang lainnya dan ini memerlukan biaya. Dalam hal ini beberapa Pemerintah Daerah dapat mensubsidi, melepaskan atau mengurangi biaya perijinan ini, jika makanan yang mereka jual memenuhi persyaratan gizi (Tester et.al,2010). Pendekatan
lain
adalah
dengan
pengaturan
lokasi
berdagang,
sebagaimana ditulis oleh Tester et.al,(2010), sebagai contoh Phoenix, Arizona; San Antonio, Texas; and San Diego, California, membatasi pedagang keliling yang berjualan dekat sekolah pada jam-jam sekolah, sedangkan San Jose, California, melarang
pedagang makanan keliling berjualan dekat sekolah.
Penjual ''penjaja makanan sehat'' diberi keuntungan lokasi yang lebih baik dibanding penjaja makanan yang kurang bergizi. Di
Kansas City, untuk
pedagang '' sangat sehat'' diberikan izin khusus yang memungkinkan mereka
Universitas Indonesia
42
untuk berjualan di 3 taman bukan hanya 1 taman saja (Kansas City Parks and Recreation Vending Policy, 2010). Kebijakan ini juga diterapkan untuk memberikan keuntungan geografis untuk meningkatkan penjualan makanan bergizi dekat sekolah. 2. Australia Daerah Queensland, Australia telah mengimplementasikan Strategi “Smart Choices” dalam menurunkan obesitas dikalangan siswa di sekolah.. Menurut Abbott R et.a;,(2006) dalam Dick.M,et.al (2012) Pada tahun 2006, 19,4% anak laki-laki dan 22,8% anak perempuan pada usia ini memiliki kelebihan berat badan atau obese . Salah satu penyebab ini adalah karena mereka mengkonsumsi lebih banyak makanan tinggi energy dan miskin gizi (energy-dense nutrient-poor / EDNP) (Bell AC, Swinburn BA.,2005) Menurut Queensland Government (2011), Queensland, Autralia mengembangkan strategi “Smart Choices”
atau pemilihan smart pasokan
makanan dan minuman yang sehat dan diimplementasikan di seluruh Sekolah dasar negeri dan menengah di seluruh negara (Dick.M et al,2012) Menurut Dick.M et.al, (2012), Strategi
Pilihan Smart
pasokan
makanan sehat dan pasokan minuman untuk Sekolah (Smart Choices) ini dikembangkan melalui kerjasama antara Departemen Pendidikan dan pelatihan dan Kesehatan Queensland, dan dilaksanakan dengan dukungan organisasi profesional, dan organisasi non-pemerintah. Strategi bertujuan untuk memastikan bahwa semua makanan dan minuman yang disediakan di sekolah mengikuti standard diet Anak-anak dan Remaja di Australia (National Health and Medical Research Council, 2003) dengan target komunitas sekolah dan lingkungannya secara menyeluruh (Briggs M,et.al,2003 ; J Am Diet Assoc 2003) Pada Queensland Government (2011), “Smart Choices” didasarkan pada pendekatan yang dikembangkan di New South Wales, untuk memisahkan makanan dan minuman ke dalam tiga kategori: 'hijau' (pilihan yang banyak /disarankan); 'Kuning' (pilih dengan hati-hati); dan 'merah' (sesekali). Makanan kategori “hijau” diantaranya adalah produk susu rendah lemak , air putih, buah , sayuran dan makanan gandum . Penentuan makanan tersebut termasuk
Universitas Indonesia
43
kategori “kuning” atau “merah” dengan memperhitungkan jumlah energi, lemak jenuh, sodium dan serat dalam makanan. Pada strategi “smart Choice” ini, memastikan bahwa makanan dan minuman kategori “merah”, dikeluarkan dari makanan sekolah , dan hanya boleh disediakan hanya dua kali , seperti pada perayaan sekolah atau acara penggalangan dana (Dick.M.et al, 2012) Prinsip Smart Choices berlaku untuk semua situasi yang menyediakan makanan dan minuman di lingkungan sekolah, seperti warung makanan, mesin penjual makanan, kunjungan sekolah, acara penggalangan dana, penghargaan kelas, hari olahraga, program sarapan, acara sekolah, pesta kelas, dan lain-lain. Implementasi kebijakan ini wajib dilaksanakan di semua sekolah negeri (1.275 sekolah) di Queensland pada tanggal 1 Januari 2007. Sedangkan untuk sekolah yang tidak dikelola pemerintah tidak diwajibkan (Dick.M et.al, 2012) 3. Brazil Brazil telah memberikan contoh program pemberian makanan di sekolah yang menghubungkan produksi pangan, makanan sekolah dan pendidikan gizi melalui program dan kebijakan yang komprehensif.
Programnya disebut
“Brazilian School Feeding Program (PNAE)”. dan telah menjadi contoh integrasi antara pendidikan, pertanian, kesehatan dan perlindungan sosial untuk meningkatkan program diet sehat di sekolah sekaligus memperkuat pertanian keluarga. Menurut Burlandy L , Rocha C , Maluf R (2010 ), Kepemimpinan pemerintah yang kuat, proses pengambilan keputusan lintas sektoral dan tekanan politik dari organisasi masyarakat sipil merupakan faktor kunci dalam proses ini. Pemerintah memainkan kepemimpinan dan dukungan peran penting dalam mewujudkan tujuan tersebut, khususnya melalui perluasan undangundang dan norma-norma (Sidaner.E.et.al, 2013). Penerapan UU 11,947 pada tahun 2009 (Governo Federal Brasileiro, 2009 ), yang dikenal sebagai “School feeding law”, merupakan tonggak yang melegalkan makanan di sekolah di tingkat federal. Konstitusi 1988 menjamin hak universal untuk makanan sekolah gratis untuk siswa yang terdaftar di sekolah dasar negeri. Peraturan 2009 diperluas untuk semua siswa yang terdaftar di pendidikan dasar dari usia 6 bulan. Agar mencapai semua siswa,
Universitas Indonesia
44
termasuk sekolah pinggiran, sekolah menengah, sekolah adat masyarakat, pendidikan khusus, dan siswa yang mengikuti pendidikan pemuda dan orang dewasa (Sidaner.E.et.al, 2013). Dalam tulisannnya Sidaner.E.et.al, (2013) juga mengatakan bahwa pelaksanaan PNAE sangat diatur. Makanan di sekolah adalah tanggung jawab Dana Nasional untuk Pembangunan Pendidikan (FNDE), yaitu suatu struktur yang terkait dengan Departemen Pendidikan. Resolusi FNDE no. 38/2009 mengatur standar administrasi dan teknis untuk pelaksanaan peraturan pemberian makanan di sekolah (School Feeding) (Ministerio da Educaçaõ Fundo Nacional de Desenvolvimento da Educação, 2009 ), diantaranya spesifikasi rinci gizi makanan sekolah. Makanan sekolah harus memenuhi minimal 20% dari kebutuhan gizi harian siswa yang sekolah paruh waktu di pendidikan dasar bila satu makanan yang ditawarkan; dan minimal 30% dari kebutuhan gizi harian ketika dua atau lebih makanan yang ditawarkan. Jumlah tersebut naik 70% untuk anak-anak terdaftar di pendidikan dasar penuh waktu (full time), selain 4 jam wajib belajar, siswa tetap di sekolah untuk kegiatan pendukung, dengan total 8 jam di sekolah. Sejak adopsi pada tahun 2009, 30% dari sumber daya keuangan yang ditransfer oleh FNDE harus digunakan untuk pengadaan makanan dari keluarga petani dan perusahaan keluarga pedesaan, dengan prioritas diberikan kepada produk organik (Sidaner.E.et.al, 2013). Untuk tahun 2011, anggaran PNAE itu sekitar US$ 1,94 miliar untuk 44, 8 juta siswa setiap hari ( rata-rata US$ 44 per siswa per tahun) (Fundo Nacional de Desenvolvimento da Educação, 2011 ) dan untuk tahun 2010 , anggaran PNAE 11,6% dari anggaran nasional untuk program ketahanan pangan dan gizi (Conselho Nacional de Segurança Alimentar e Nutricional ,2011 ). Sebagai dampak dari kegiatan ini, ketersediaan dan konsumsi buah dan sayuaran meningkat, pada tahun 2004 dari 28% dan 57%, maka tahun 2006 menjadi 62% dan 80%. (Campbell U, 2007 ); persentase rumah tangga yang tinggal di daerah rawan pangan turun mencapai 30,5% tahun 2009 (Ministério do Planejamento, Orçamento e Gestão, Ministério da Saúde, 2010 ) dari 34,8% tahun 2004 (Instituto Brasileiro de Geografia e Estatística (2006 ); Prevalensi
Universitas Indonesia
45
anak stunting didaerah miskin menurun drastis, Di Timur Laut, prevalensi stunting anak turun sepertiga antara tahun 1986 dan 1996 (dari 33,9% menjadi 22, 2%) dan hampir tiga perempat antara tahun 1996 dan 2006 (dari 22,2% menjadi 5,9%) (Sidaner.E.et.al, 2013). 2.5. Penelitian Kebijakan Penelitian kebijakan (policy research) ditujukan untuk pembuat kebijakan dalam menyusun rencana kebijakan dengan cara memberikan informasi atau pendapat yang mereka perlukan dalam memecahkan suatu masalah (Danim,2005), sehingga penelitian kebijakan ini selalu berorientasi kepada tujuan. 2.5.1 Metode Penelitian Kebijakan Dalam melakukan penelitian kebijakan ada beberapa pendekatan metode yang dapat dilakukan (Danim, 2005), yaitu : 1. Sintesis terfokus, yang merupakan penggabungan dari sumber pustaka terbaru, pengalaman peneliti dan hasil-hasil diskusi sehingga dihasilkan rekomendasi untuk kebijakan 2. Analisis data sekunder, yaitu analisis terhadap data-data yang telah diperoleh pihak lain ataupun dokumen (bukan data primer) 3. Eksperimen lapangan, yaitu metode mengumpulkan data primer dengan cara melakukan eksperimen lapangan. Bertujuan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan sebab dan akibat 4. Metode kualitatif, bertujuan untuk mencari data primer (Patton,1980) Ciri dari penelitian kulitatif ini adalah menggunakan setting alami, bersifat deskriptif, menekankan pada proses kerja, menggunakan pendekatan induktif, dan memberikan fokus pada makna. 5. Metode Survai, yaitu metode mengumpulkan data primer baik secara sensus maupun sampling. 6. Penelitian kasus, sering juga disebut penelitian lapangan, yaitu penelitian yang ditujukan untuk mempelajari secara mendalam tentng latar belakang, posisi saat ini dan interaksi lingkungan unit social tertentu (individu, kelompok, institusi atau masyarakat) tujunnya adalah memberikan rekomendasi untuk implementasi kebijakan di masa depan
Universitas Indonesia
46
7. Analisis Biaya Keuntungan (cost benefit analysis), sering disebut analisis untung rugi, yaitu metode yang menbandingkan biaya (cost) dengan keuntungan yang akan didapat oleh masyarakat. 8. Analisis Keefektifan Biaya, yaitu metode yang menghitung biaya yang dikeluarkan untuk implementasi kebijakan. 9. Analisis Kombinasi, yaitu kombinasi antara analisis biaya keuntungan dengan analisis keefektifitas biaya. 10. Penelitian
Tindakan,
mengembangkan
yaitu
penelitian
pendekatan-pendekatan
yang baru
bertujuan
dalam
untuk
memecahkan
masalah. Penelitian ini mengkombinasikan dua sisi yaitu, penelitian yang dilakukan peneliti dan tindakan yang dilakukan oleh pembuat kebijakan untuk mencapai tujuannya. 11. Penelitian Grounded, Merupakan proses pencarian data yang sebanyakbanyaknya, sehingaa akan makan waktu yang lama. 2.5.2. Metode Penelitian Kualitatif Penelitian kualitatif digunakan untuk mencari jawaban atas suatu masalah melalui penggalian terhadap pengalaman orang-orang yang berhubungan dengan masalah itu. Pendekatan ilmiah secara kualitaif ini disebut juga dengan penalaran induktif, dimana peneliti memulai dari proses menyimpulkan hasil hasil penelitiannya yang bersifat khusus, dan dipergunakan untuk mendukung kesimpulan yang lebih umum. (Wibowo, 2014). Dalam penelitian kualitatif ini, peneliti merupakan instrument utamanya, dan berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, menganalisisnya, menafsirkannya dan membuat kesimpulan atas temuannya. 2.5.2.1. Sumber dan Jenis Data Penelitian Kualitatif Menurut Lofland dalam Moleong (2013), sumber data utama untuk penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, sedangkan yang lainnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan itu, Moleong membagi jenis data tersebut atas :
Universitas Indonesia
47
1. Kata-kata dan tindakan Kata-kata dan tindakan orang yang diamati atau diawancarai, merupakan sumber data utama. Sumber data ini dicatat melalui catatan tertulis, alat perekam (tape atau video), atau pengambilan foto. 2. Sumber tertulis Sumber tertulis ini dapat berupa buku, majalah ilmiah, sumber dan arsip, dokumen pribadi ataupun resmi, dan lain-lain. 3. Foto Penggunaan foto dalam melengkapi sumber data sangat bermanfaat, foto menghasilkan data deskriptif yang sangat berharga. Dianjurkan agar foto dianalisis bersama sumber lainnya, dan dibuat catatan khusus tentang keadaan dalam foto. 4. Data Statistik Data statistik dapat membantu memberi gambaran tentang kecenderungan subyek pada latar belakang penelitiannya.
2.5.2.2. Teknik Pengumpulan Data Beberapa teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Wawancara (Interview) Wawancara merupakan teknik pengumpulan data secara langsung dari responden melalui suatu pertemuan atau percakapan. Wawancara dilakukan peneliti untuk melakukan studi pendahuluan untuk mencari masalah penelitian dan juga untuk mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dari responden. Penentuan informan untuk diwawancarai ini bisa mengacu kepada empat kriteria yang dikemukakan oleh Neuman dalam Susilawati.N (2012;70), yaitu : a. The informant who is totally familiar with the culture and is position to witness significant events makes a good informant b. The individual is currently involed in the field
Universitas Indonesia
48
c. The person can spend time with the researcher d. Non analytic individuals make better informants. Sementara itu, menurut Esterberg (2002) dalam Sugiyono (2011), ada beberapa jenis wawancara, yaitu: a. Wawancara terstruktur (structure Interview) Digunakan apabila peneliti sudah mengetahui dengan pasti informasi yang akan diperoleh, peneliti sudah menyiapkan instrument penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis dan alternative jawabannya. Dengan wawancara terstruktur ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama, dan jawabannya dicatat oleh peneliti atau pengumpul data. b. Wawancara Semi tersruktur (Semistructure Interview) Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori In dept Interview,
pelaksanaannya
lebih
bebas
dari
wawancara
terstruktur. Tujuannya adalah untuk menemukan permasalahan dengan lebih terbuka, dimana pihak yang diwawancarai dimintai pendapat dan ide-idenya. c. Wawancara Tidak tersruktur (unstructured Interview) Pada wawancara ini peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap. Dalam wawancara tidak terstruktur ini peneliti belum mengatahui apa yang akan diperoleh, sehingga peneliti lebih banyak mendengar. Berdasarkan analisis dari respondennya, maka peneliti dapat melanjutkan pertanyaan yang lebih terarah pada suatu tujuan. 2. Pengamatan (Observasi) Observasi merupakan suatu prosedur pengumpulan data yang terencana, yang antara lain meliputi melihat, mendengar, dan mencatat sejumlah aktivitas tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang sedang diteliti. Teknik ini digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam dan bila responden tidak terlalu banyak.
Universitas Indonesia
49
Pengamatan oleh peneliti sering dilakukan untuk meyakinkan peneliti dengan keabsahan data yang telah diperoleh Dari segi pelaksanaannya, pengamatan dapat dibedakan atas: a. Pengamatan terlibat ( Participant observation) b. Pengamatan tidak terlibat (Non participant observation) 3. Penggunaan Dokumen Studi Dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawanara. Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, dapat berupa tulisan, gambar, atau karya monumental dari seseorang, biografi, peraturan, kebijakan, dll. 2.5.2.3. Analisis Data Kualitatif Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (1982) adalah upaya yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesakannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang diteliti, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain ( Moleong, 2013). Model analisis data menurut Moleong (2013) : a. Metode perbandingan tetap (constant coparative method) Model ini dikemukakan oleh Glasser & Strauss, pada metode ini secara tetap membandingkan satu data dengan data lain dan kemudian membandingkan kategori dengan kategori lainnya. Secara umum proses analisis datanya meliputi : ¾ Reduksi data ¾ Kategorisasi ¾ Sintesisasi ¾ Menyusun “hypotesa kerja” b. Analisis data Model Spradley Analisis data menurut model ini adalah tidak terlepas dari keseluruhan proses penelitian, meliputi pengamatan deskriptif, analisis domain, pengamatan terfokus, analisis taksonomi, pengamatan terpilih, analisis komponensial, dan diakhiri dengan analisis tema. Hal ini
Universitas Indonesia
50
menunjukkan bahwa penyelenggaraan penelitian dilakukan secara bergantian antara pengumpulan data dengan analisis data sampai masalah penelitian terjawab. c. Analisis data model Miles dan Huberman Analisis ini didasarkan pada pandangan paradigmanya yang positivisme. Sebelum menganalisa data peneliti memetakan terlebih dahulu data dari situs situs yang ada, kemudian dianalisis dengan menggunakan matriks. Dari matriks yang ada, peneliti menganalisis, apakah membandingkan melihat urutan, ataukah menelaah hubungan sebab akibat sekaligus. 2.5.2.4. Pemeriksaan Keabsahan Data Tujuan dari pemeriksaan keabsahan data ini adalah agar temuan-temuan penelitian dapat diterima atau dapat dipertimbangkan. Beberapa teknik pemeriksaan keabsahan data pada penelitian kualitatif (Moleong, 2013), adalah : a. Perpanjangan keikutsertaan, dimana peneliti tinggal
lebih
lama
dilapangan sampai terjadi kejenuhan pengumpulan data. Hal ini berguna untuk mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang mungkin mengotori data serta membangun kepercayaan subyek terhadap peneliti dan menambah kepercayaan diri peneliti. b. Ketekunan pengamatan, berarti mencari interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitannya dengan proses analisis yang konstan. Ketekunan pengamatan ini bermaksud untuk mencari ciri-ciri dan unsurunsur yang relevan dengan persoalan, kemudian memusatkan diri pada temuan itu secara rinci (menyediakan kedalaman makna) c. Triangulasi, merupakan teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan data atau pembanding terhadap data itu. Danzin membedakan triangulasi dalam 4 kelompok, yaitu : 1) Triangulasi dengan sumber, yaitu membandingkan informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda
Universitas Indonesia
51
2).Triangulasi dengan metode, yaitu pengecekan derajat kepercayaan dengan
membandingkan terhadap
hasil penelitian dengan
beberapa metode pengumpulan data. 3).Triangulasi penyidik, yaitu pengecekan data dengan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya. 4).Triangulasi dengan teori, yaitu memeriksa kebenaran data dengan teori lain. Menurut Patton (1987), hal ini dapat dilaksanakan dan dinamakan penjelasan pembanding ( rival explanation) d. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi, dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dengan teman sejawat dalam bentuk diskusi. e. Analisa kasus negatif, dilakukan dengan cara mengumpulkan contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi yang diperoleh dan digunakan sebagai pembanding. f. Pengecekan anggota, dengan melibatkan semua anggota yang ikut dalam pengumpulan data g. Uraian rinci, peneliti dituntut untuk melaporkan hasil penelitiannya secermat mungkin yang menggambarkan konteks tempat penelitian dilaksanakan. h. Auditing, proses ini dapat dilaksanakan apabila ada pencatatan dari seluruh proses dan hasil studi.
2.6. Hasil Penelitian Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah Beberapa hasil penelitian terkait implementasi kebijakan makanan di sekolah ini dapat dikelompokkan dalam 3 kelompok utama, yaitu : 1. Dampak Positif Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah Suatu studi Universitas Nebraska-Lincoln memperlihatkan bahwa dengan keijakan nutrisi disekolah dan pelarangan terhadap junk food pada jam makan siang, telah berhasil menurunkan berat badan 18% pada siswa yang obesitas (McGarvey M.G., 2010) Kebijakan makanan di sekolah sangat penting dan akan berdampak kepada kebiasaan makan diwaktu remaja, sebagaimana temuan dari
Universitas Indonesia
52
CA.Vereecken dkk (2004) di Belgia. Kebijakan makanan di sekolah ini juga akan berpengaruh kepada Praktek Keamanan Pangan Penjaja Jajanan Anak Sekolah (Damayanti.S.E., 2014). Contoh lain adalah dengan diwajibkannya sekolah dasar menerapkan kebijakan nutrisi di sekolah ( School Nutrition Policies/SNP) tahun 2006 di Prince Edward Island/PEI, yang menunjukkan penurunan signifikan secara statistik terhadap
proporsi makanan yang rendah gizi (LNDF) dan
peningkatan proporsi Susu dan Alternatifnya (MA) serta Sayur dan buah (VF) antara 2001/02 dan 2007 (Mullally,M.L,et.al, 2010). 2. Faktor
yang
Menunjang
Keberhasilan
Implementasi
Kebijakan
Makanan di Sekolah a. Adanya dukungan masyarakat Dukungan untuk pelaksanaan pedoman yang diberikan oleh kelompok relawan (dari masyarakat kota) dan pemangku kepentingan (misalnya perwakilan divisi sekolah) memfasilitasi kerja guru, jaringan dan kemitraan di seluruh kota adalah komponen kunci dari membangun dukungan masyarakat. Dukungan ini diberikan melalui kas dan sumbangan makanan, dan melalui kerja sukarela (Quintanilha.M, 2011) b. Adanya dukungan pemerintah Salah satu keberhasilan pelaksanaan program makanan sekolah di Kodungallur, India, tidak terlepas dari peranan subsidi pemerintah pusat, disamping adanya kerjasama yang baik dari tingkat pusat sampai lokal. Pelaksanaan program makan di sekolah diterjemahkan sebagai salah satu yang harus adi secara geografis, target pada daerah yang terpinggir melalui penyediaan langsung, dilaksanakan dengan transparansi dan akuntabilitas, dan sadar preferensi makanan lokal yang mengarah ke produksi lokal dan tenaga kerja dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan (Chettiparamb, Angelique.,2009) Dukungan pemerintah mempertimbangkan, penyusunan, dan pelaksanaan undang-undang pencegahan obesitas adalah dukungan yang signifikan dalam keberhasilan program untuk mengurangi prevalensi obesitas ini. Dengan adanya undang-undang ini akan mendukung Universitas Indonesia
53
penyediaan biaya terkait dengan intervensi kesehatan dalam anggaran sekolah (Katy Lee Cook, 2013). Sebagai contoh Penerapan UU 11,947 pada tahun 2009 (Governo Federal Brasileiro, 2009 ) di Brazil yang dikenal sebagai
“School feeding law”, merupakan tonggak yang
melegalkan makanan di sekolah di tingkat federal. Konstitusi 1988 menjamin hak universal untuk makanan sekolah gratis untuk siswa yang terdaftar di sekolah dasar negeri (Sidaner.E.et.al, 2013). Sebagai contoh lain keterlibatan pemerintah adalah mewajibkan seluruh sekolah dasar di Prince Edward Island/PEI) menerapkan kebijakan nutrisi sekolah ( School Nutrition Policies/SNP) tahun 2006 yang mengacu kepada “PEI School Nutrition Policies/ PEI SNP”. (Mullally,M.L,et.al, 2010) c. Peranan “Working Group” Peranan kelompok pekerja ini sangat besar dalam mampu menjembatani dunia sekolah dengan dunia gizi dengan cara yang memungkinkan pengembangan kebijakan gizi di sekolah (Freeze.C, 2007) d. Dukungan sekolah Dukungan kepala sekolah sangat berperan dalam keberhasilan implementasi kebijakan makanan di sekolah dan dapat bertindak sebagai katalis untuk membantu perubahan serta filosofi pribadi kepala sekolah tentang gizi di sekolah adalah kekuatan yang berpotensi kuat untuk membentuk apa yang mungkin dan apa yang akan terjadi di sekolah (Freeze.C, 2007) Dukungan Guru dan staf sekolah lainnya juga memungkinkan pengembangan kebijakan dengan mendukung keputusan kepala sekolah untuk memperbaiki gizi sekolah melalui tindakan mereka di dalam kelas (Freeze.C, 2007,; Quintanilha.M, 2011). Terkait dengan metode implementasi, maka penggunaan sekolah percontohan dan Pengembangan kebijakan Bottom-up juga dinilai sebagai proses optimal dalam mengembangkan kebijakan gizi di sekolah. (Freeze.C, 2007)
Universitas Indonesia
54
Keberadaan penanggung jawab terhadap gizi secara formal, juga sangat penting di sekolah. Penelitian yang dilakukan oleh Rideout, Karen et.al (2007), terkait pengembangan nutrisi di sekolah di Britis Columbia, menemukan ada sekitar 25% sekolah yang punya kelompok formal yang bertanggung jawab terhadap gizi, dan ini akan memberikan dampak positif terhadap implementasi kebijakan gizi e. "Waktu Tepat" (right timming) Informan kunci percaya bahwa usia anak-anak sekolah menengah memberikan kontribusi terhadap perubahan perilaku siswa, terutama ketika guru terus-menerus berusaha untuk menjadi panutan, dan mendorong
kebiasaan
sehat
melalui
beberapa
inisiatif
mereka
(Quintanilha.M, 2011). f. Adanya manager jasa makanan yang berpengalaman pengalaman manager jasa makanan sebagai Red Seal koki, di samping pelatihan sebelumnya, mendukung peningkatan makanan yang disajikan di kantin sekolah. Latar belakang profesional membuat dia lebih sadar pilihan yang sehat dan lebih berkualitas untuk merencanakan dan menyiapkan makanan seimbang dan sehat (Quintanilha.M, 2011).
3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Makanan di Sekolah a. Kesulitan dalam merubah perilaku Penelitian di Afrika Selatan oleh Temple,Norman dkk (2006), meskipun sudah ditetapkan makanan yang sehat dan tidak sehat di sekolah, namun masih ada 70% siswa tidak membeli makanan yang sehat dan 73,2% membeli dua atau lebih makanan yang tidak sehat. Hal ini sejalan dengan temuan Anu Devi.et.al.(2010) yang mengatakan bahwa
siswa
dalam
mempertimbangkan
menentukan
biaya/harga
dan
pilihan
makanan
kenyamanan
serta
akan sangat
ditentukan oleh pilihan individu. staf dan murid mengkritik inisiatif untuk membatasi makanan yang tidak sehat Kenyataan
lain
memperlihatkan
bahwa
setelah
kebijakan
dijalankan, maka ada beberapa makanan yang masuk kedalam daftar,
Universitas Indonesia
55
tapi tidak disukai oleh kebanyakan siswa, hal ini akan merepotkan bagi penyedia jasa makanan sehat, kondisi ini akan dipersulit lagi dengan kurangnya kualitas dan jumlah staf penyedia jasa (Quintanilha.M, 2011). b. Kendala struktur Kendala infrastruktur seperti sarana dan prasarana kantin yang masih kurang, meningkatnya jumlah murid,
antrian panjang dan
kemampuan staf kantin untuk melayani makanan dengan cepat dan nyaman (Anu Devi.et.al.(2010) dapat juga menjadi kendala bagi berhasilnya implementasi kebijakan makanan di sekolah. c. Kendala finansial Penelitian
di
Malawi
memperlihatkan
bahwa
adanya
ketergantungan pada pendanaan eksternal dan kurangnya struktur dukungan lokal untuk program pemberian makanan di sekolah (Nyongani.M.M, 2012). Sementara itu disisi internal sekolah ada kekhawatiran bahwa mengimplemtasikan
kebijakan
makanan
disekolah
akan
dapat
mengurangi income sekolah, karena berkurangnya jenis makanan yang berkontribusi dalam acara penggalangan dana sekolah (Freeze.C, 2007). Dari sisi penyedia makanan juga ditemukan penurunan pendapatan dan mengatakan bahwa perubahan mendadak yang tidak akan memuaskan konsumen tidak dapat dilakukan karena kantin kecil, dan hilangnya pendapatan substansial dapat mempengaruhi input jasa makanan , Sementara itu faktor biaya / harga makanan sehat lebih mahal daripada makanan tidak sehat (Quintanilha.M, 2011). d. Kehadiran pedagang makanan di sekitar sekolah Seliske.L,et.al (2013) menyimpulkan bahwa ada hubungan yang kuat antara kehadiran penjaja makanan disekitar sekolah dengan perilaku makan siang anak. Hal inipun juga dipertegas oleh hasil penelitian Howard.P.H et.al (2011) yang mengatakan bahwa kehadiran toko yang berjarak 10 menit berjalan kaki dari sekolah akan berpengaruh pada kenaikan berat badan siswa. Ini juga didukung oleh adanya restoran
Universitas Indonesia
56
cepat saji dan toko toko yang menyediakan “junk food” di sekitar sekolah (Quintanilha.M, 2011). e. Pengawasan yang kurang Sebagai contoh pada makanan siang anak sekolah yang disajikan oleh sekolah di Korea, masih ditemukan 15% dari makanan yang tidak dipanaskan dan 9% dari makanan yang dipanaskan mengandung >6% log CFU bakteri aerob per g, serta kehadiran E.Coli O157:H7 pada makanan tersebut. Hal ini menunjukkan pengawasan kemanan yang masih kurang. ( Jee Hoon.R et.al, 2011). f. Menggunakan makanan sebagai hadiah 55% dari responden melaporkan penggunaan makanan sebagai hadiah di sekolah. Ketika makanan ini adalah pilihan yang kurang sehat, ini dapat menciptakan ketidakcocokan antara pelajaran dalam kurikulum yang menginstruksikan anak-anak untuk memilih makanan sehat dan perilaku yang dimodelkan di dalam kelas (Freeze.C, 2007). g. Penolakan orang tua Faktor penghasilan dan tingkat pendidikan orang tua yang rendah akan menghalangi penerapan strategi makan sehat di sekolah-sekolah, disamping sudut pandang orang tua yang beranggapan bahwa dengan mengubah lingkungan makanan sekolah, mereka akan menghilangkan kebebasan siswa untuk memilih dan
membeli makanan dari mesin
penjual otomatis (Quintanilha.M, 2011)
Universitas Indonesia
57
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Teori Dalam melakukan analisa implementasi Kebijakan Badan POM RI dalam pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah, khususnya tentang Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Begizi, penulis menggunakan teori analisa implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier. (1989). O'Toole, (2000); dan Goggin et al, (1990) dalam Yongjin Sa (2013), memasukkan teori implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier (1989) ini kedalam generasi terakhir pada kelompok generasi kedua dari pengelompokan tentang studi implementasi kebijakan. Menurut mereka generasi kedua ini fokus dalam memberikan dan mengembangkan kerangka kerja analitis dan konseptual untuk analisis implementasi kebijakan. Mazmanian dan Sabatier menggunakan 3 (tiga) variable independen utama yang berpengaruh terhadap kelangsungan proses implementasi kebijakan (Wahab, 2012.; Yongjin Sa, 2013; Kincaid.M,2011), yaitu a. Mudah tidaknya masalah yang dihadapi untuk dikendalikan b. Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses implementasinya dan c. Pengaruh langsung barbagai variable politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut. Menurut mereka, peran dari analisis implementasi kebijakan adalah berupaya mengidentifikasi variabel-variabel yang berpengaruh dalam pencapaian tujuan dari proses implementasi kebijakan. Kerangka konsep implementasi ini dapat dilihat pada gambar 3.1. dimana ketiga variabel bebas itu akan memberikan pengaruh pada lima tahap proses implementasi (variabel dependen) yaitu: (1) output kebijakan (keputusan) dari lembaga pelaksana, (2) kepatuhan kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut,
Universitas Indonesia
58
(3) dampak sebenarnya dari keputusan lembaga, (4) dampak yang dirasakan dari keputusan, dan (5) evaluasi sistem politik dari undang-undang dalam hal revisi atau perbaikan isinya.
Mudah/tidaknya masalah dikendalikan Kesukaran-kesukaran teknis Keragaman prilaku kelompok sasaran Presentase kelompok sasaran disbanding jumlah penduduk Ruang lingkup perubahan yang diinginkan
Kemampuan Kebijakan menstrukturkan proses implementasi
Variable di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi
Kejelasan dan konsistensi tujuan Digunakannya teori kausal yg memadai Ketepatan alokasi sumber dana Keterpaduan hirarki dalam dan diantara lembaga pelaksana Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana Rekruitmen pejabat pelaksana Akses formal pihak luar
Kondisi Sosio-ekonomi dan teknologi Dukungan public Sikap dan sumber-sumber yang dimilki kelompok-kelompok Dukungan dari pejabat atasan Komitmen dan kemampuan kepemimpinan pejabat-pejabat pelaksana
Tahap-tahap dalam proses implementasi (variable dependen) Output kebijakan Badanbadan pelaksana
Kesediaan kelompok sasaran dalam mematuhi output kebijakan
Dampak nyata output kebijakan
Dampak output kebijakan sebagai dispersepsi
Perbaikan mendasar dalam undangundang
Gambar 3.1 : Kerangka analisis implementasi dari Mazmanian dan Sabatier (Wahab.SA.,2012)
Keefektifan implementasi suatu kebijakan, menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Kincaid (2011), dapat dilihat dari 6 (enam) kondisi, yaitu:
Universitas Indonesia
59
a. Adanya undang-undang atau legalitas lainnya dari arah kebijaksanaan yang jelas dan konsisten, atau setidaknya memberikan kriteria substantif untuk menyelesaikan permasalahan tujuan. b. Memungkinkan adanya legalitas yang mengidentifikasi prinsip utama dan hubungan kausal (sebab akibat) intervensi yang mempengaruhi tujuan kebijakan dan menerapkan pada kelompok sasaran serta adanya yurisdiksi pejabat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. c. Membuat struktur proses implementasi yang resmi sehingga dapat memaksimalkan pejabat pelaksana dan dan kelompok sasaran untuk berlaku seperti yang diinginkan. d. Para pemimpin badan pelaksana memiliki keterampilan manajerial dan politik yang substansial dan berkomitmen untuk tujuan kebijakan. e. Program secara aktif didukung oleh kelompok konstituen yang terorganisasi dan oleh legislator selama proses implementasi, dengan pengadilan yang netral atau mendukung. f. Konsistensi terhadap tujuan dari waktu ke waktu, tidak dirusak oleh kebijakan yang baru yang bertentangan atau akibat perubahan sosial ekonomi yang melemahkan dukungan politik. Disamping itu menurut Mazmanian dan Sabatier, untuk menguji implementasi kebijakan melalui pendekatan top-down, kita dapat menggunakan 4 pertanyaan kunci (Kincaid, 2011), yaitu: a. Sejauh mana konsistensi pejabat dan kelompok sasaran dalam menjalankan kebijakan (dalam tujuan dan prosedur)? b. Sejauh mana tujuan dari waktu kewaktu tercapai (sejauh mana dampak konsisten dengan tujuan? c. Apa faktor yang mempengaruhi output kebijakan dan dampaknya, baik yang terkait dengan kebiakannya sendiri ataupun politik lainnya? d. Bagaimana kebijakan dirumuskan dari waktu ke waktu berdasarkan pengalaman? Teori dari Mazmanian dan Sabatier sampai saat ini sering digunakan dalam penelitian untuk menganalisa implementasi kebijakan publik, diantaranya oleh Yongjin Sa (2013) yang meneliti tentang implementasi Flex-Working
Universitas Indonesia
60
Programs di Korea Selatan pada sektor publik (Policy Implementation Framework and Family-Friendly Work Policy: Evidence from Flex-Working Programs in South Korea’s Public Sectors). Yongjin Sa dalam penelitiannya mengeksplorasi sejauh mana masing masing variabel independen tersebut berpengaruh dalam pelaksanaan program flex-working di sektor publik di Korea Selatan. Yongjin Sa menyimpulkan bahwa 1) permasalahan flex-working ini sangat rumit dan dan susah untuk dikelola, 2) Kementerian Administrasi Publik dan keamanan ((MOPAS) dan Kementerian tenaga kerja (MOEL) tidak berhasil mengidentifikasi hubungan sebab akibat yang jelas antara input, output atau tujuan jangka panjang dan pendek yang relevan dengan pelaksanaan program flexworking pada instansi pelaksana. Kedua instansi penggagas diatas juga tidak mengerahkan kepemimpinan hirarkis dan wewenang sebagai desaigner kebijakan. 3) Pejabat dalam organisasi publik di Korea Selatan tidak berkomitmen untuk mewujudkan keseimbangan kerja dan keluarga bagi karyawan melalui program flex-working Peneliti lain yang menggunakan kerangka analisis implementasi dari Mazmanian dan Sabatier ini adalah Mary Mulhern Kincaid (2011) yang menggunakan teori dari Mazmanian dan Sabatier ini untuk menganalisa implementasi kebijakan untuk menilai efektifitas kebijakan yang berkaitan dengan gender yang berlaku pada program sektor kesehatan USAID. (Gender Integration Case Study: A Policy Implementation Analysis of USAID Health Sector Programming ) Kincaid meneliti terhadap 3 kebijakan yaitu peraturan administrasi yang berlaku untuk program USAID (ADS/Automatic Directive System), peraturan untuk program HIV (PEPFAR) dan Percy Amandemen UU Bantuan Luar Negeri AS. Data dikumpulkan juga dari wawancara dengan petugas USAID. Hasil penelitiannya bahwa dari segi variabel hukum (Statutory Variables) menunjukkan bahwa peringkat ADS dan Percy Amandemen “rendah” atau ”rendah/moderat”, sedangkan PEPFAR sedikit lebih kuat dengan peringkat “moderat” atau rendah/moderat” . Dari sisi non hukum ( Non statutory variable), menunjukkan bahwa regulasi ADS dan Percy Amandemen mempunyai struktur hukum yang lebih lemah dibanding kebijakan PEPFAR. Dari data tersebut diperkirakan
Universitas Indonesia
61
variable non statutory memainkan peranan utama dalam keberhasilan ADS dan Percy Amandemen dalam mencapai tujuannya, tapi dalam implementasinya akan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan politik. Responden juga khawatir tentang kerentanan PEPFAR terhadap perubahan lingkungan politik, strategi gender PEPFAR telah mendapat manfaat untuk kondisi saat ini, namun bisa berubah sewaktu-waktu (Kincaid.M, 2011).
3.2. Kerangka Konsep Untuk melihat sejauh mana efektifitas kebijakan Badan POM RI dalam pengawasan Makanan Jajanan Anak Sekolah, khususnya efektifitas pelaksanaan program Aksi Nasional menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang aman, bermutu dan bergizi (Aksi Nasional PJAS), dalam penelitian ini digunakan kerangka analisis implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier (1989). Teori Implementasi kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier sangat cocok untuk menilai efektifitas implementasi Aksi Nasional PJAS, disamping itu teori ini banyak dipakai di dunia international untuk menilai keefektifan implementasi suatu kebijakan . Mazmanian dan Sabatier mengemukakan 3 (tiga) variabel independen yang nantinya akan berpengaruh pada variabel dependennya yaitu : 1. Mudah atau tidaknya permasalahan kegiatan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi ini dikelola. Permasalahan ini dapat dilihat dari dimensi : a. Kesukaran-kesukaran teknis yang dihadapi dalam pelaksanaannya, seperti masalah biaya dan dukungan teknologi dll . b. Keragaman prilaku dari kelompok sasaran, semakin beragam perilaku yang akan diatur, semakin beragam pula pelayanan yang akan diberikan, semakin sulit untuk membuat peraturan yang tegas dan jelas. c. Persentase kelompok sasaran dibanding jumlah penduduk / populasi, semakin kecil dan semakin jelas dibedakan dari kelompok lain dari kelompok sasaran yang akan diubah, semakin besar peluang untuk mencapai tujuan kebijakan
Universitas Indonesia
62
d. Ruang lingkup perubahan perilaku yang diinginkan. Semakin besar jumlah perubahan perilaku yang diinginkan, semakin sukar untuk memperoleh keberhasilan implementasinya. 2. Kemampuan Kebijakan program Aksi Nasional PJAS
menstrukturkan
proses implementasi, dll. (Statutory variables) Menurut Mazmanian dan Sabatier, keberhasilan implementasi aksi nasional PJAS apabila ditinjau dari sisi kebijakannya sediri dapat dipengaruhi oleh : a. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten. Kelompok sasaran tahu apa yang diharapkan dari mereka, evaluator tahu apa yang akan diukur dan advokasi
dapat
merujuk
pada
bahasa
kebijakan
yang
tidak
membingungkan. b. Adanya teori kausal yang cukup untuk pejabat pelaksana. Memahami jalur kausal antara intervensi pemerintah dan tujuan kebijakan , dan memastikan pejabat pelaksana punya yurisdiksi yang cukup dalam hubungan itu. Untuk mengubah perilaku, pejabat harus mengetahui faktor yang mempengaruhi tujuan dan bagaimana mereka berinteraksi dan dapat mempengaruhi mereka melalui intervensi. c. Ketepatan alokasi sumber dana dan mencukupi untuk pelaksanaan kebijakan d. Keterpaduan
hirarki
dalam
lingkungan
dan
diantara
lembaga
pelaksana.(adanya kontrol hirarkhis pada instansi pelaksana). Seorang aktor mempunyai kemampuan untuk menghalangi
(memveto)
pencapaian tujuan formal yang sudah ditetapkan, namun penolakan dari pihak-pihak tertentu dapat diatasi jika keputusan kebijakan dibekali dengan wewenang yang cukup untuk memberikan sanksi atau pengaruh-pengaruh tertentu, guna meyakinkan para aktor pelaksana maupun kelompok sasaran untuk merubah perilaku mereka. e. Aturan-aturan keputusan dari badan pelaksana. Proses implementasi juga dapat dipengaruhi oleh adanya aturan-aturan pembuatan keputusan
Universitas Indonesia
63
dari badan-badan pelaksana secara formal yang harus konsisten dengan tujuan formal. f. Rekruitmen pejabat pelaksana yang harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap pencapaian tujuan dari Aksi Nasional PJAS ini. Selain itu, implementasi ini juga dapat ditugaskan kepada badan yang sudah ada yang memiliki orientasi yang sejalan dengan tujuan dari program ini. g. Akses formal pihak-pihak luar. Proses implementasi dari Aksi Nasional PJAS ini juga dapat dipengaruhi oleh partisipasi terbuka bagi para aktor diluar badan / lembaga pelaksana. 3. Variabel di luar kebijakan (Non Statutory variables) yang mempengaruhi proses implementasi Berasarkan pendapat Mazmanian dan Sabatier, variabel non statuory memiliki peran penting dalam mempengaruhi proses pelaksanaan dan pencapaian tujuan Aksi Nasional PJAS ini. Diantara faktor Non Statuory tersebut adalah : a.
Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan politik. Perbedaan kondisi ini dari
masing
masing
wilayah
hukum
pemerintahan
akan
berpengaruh kepada proses implementasi kebijakan secara keseluruhan.
Pergeseran dalam kondisi sosiel ekonomi seperti
resesi, dapat mengubah isu yang ditangani dan mengurangi dukungan politik untuk pendanaan pelaksanannya b. Dukungan Publik. Perhatian publik, sikap kelompok masyarakat dan juga media, akan berpengaruh pada proses implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS ini. c. Dukungan dari Badan-Badan / Lembaga-Lembaga atasan yang berwenang. Lembaga yang dimaksud disini adalah lembaga yang mempunyai wewenang dalam mengontrol terhadap kewenangan hukum dan sumber-sumber keuangan badan pelaksana tersebut. Salah satu kesulitan terbesar dalam implementasi yang melibatkan antar lembaga adalah badan pelaksana bertanggung jawab kepada lembaga atasan yang berbeda, yang masing-masing ingin
Universitas Indonesia
64
melaksanakan kebijakan yang berlainan pula. Cenderung badan pelaksana akan mengikuti atasan yang mempunyai kewenangan hukum dan sumber keuangan mereka. d. Komitmen dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana. Komotmen ini akan berhasil apabila pejabat pelaksana ini menunjukkan
kemampuannya
dalam
memanfaatkan
sumber
sumber yang tersedia untuk mencapainya.
Faktor yang mempengaruhi proses implementasi Aksi Nasional PJAS 1.Tractability masalah (Mudah/tidaknya masalah dikendalikan) 2. Variabel Statutory (Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi) 3. Variabel Non-Statutory (Faktor diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi)
Aksi Nasional menuju PJAS yang aman, bermutu dan bergizi
Tahapan Proses Implementasi Aksi Nasional PJAS
Kemandirian komunitas sekolah dalam mengawasi pangan jajanan di sekolah
Tersedianya PJAS yang aman, bermutu & bergizi
Keterangan :
objek penelitian
Gambar 3.2.: Kerangka Konsep penelitian Analisis Implementasi Kebijakan Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah
Universitas Indonesia
65
3.3. Definisi Operasional Tabel 3.1.: Definisi operasional variable independen No
Variable /sub variable
Definisi operasional
Pengumpu lan data
Hasil
Telaah dokumen dan wawancara mendalam
Mudah/sul it dikelola, dengan penjelasan
Variabel Independen A
Tractability Mudah / tidaknya masalah problem yang timbul dalam implementasi Aksi Nasional PJAS itu dikendalikan /dikelola
1
Kesukaran- Persyaratan teknis yang mempe Dokumen & Ada / tidak, kesukaran ngaruhi pencapaian tujuan kebija Wawancara dengan penjelasan kan termasuk biaya penentuan mendalam teknis indikator, dan pemahaman teori kausal, serta penggunaan teknologi
2.
Keragaman perilaku yang akan diatur
Semakin beragam perilaku yang Dokumen & diatur/ layanan yang diberikan, Wawancara semakin sulit membat peraturan mendalam yang tegas dan jelas.
Banyak/se dikit, dengan penjelasan
3
% kelompok sasaran
Persentase jumlah kelompok Dokumen & sasaran diabanding jumlah Wawancara penduduk. Semakin kecil mendalam jumlahnya semakin mudah dikelola
Besar /sedikit dengan penjelasan
4
Lingkup perubahan
B.
Statutory Variables
1
Tujuan tujuan resmi yang Dokumen & Jelas/tidak kejelasan dan konsis dirumuskan secara cermat dan Wawancara ,dengan
adalah jumlah total orang yg Dokumen & menjadi kelompok sasaran dan Wawancara jumlah perubahan yg dituntut dari mendalam mereka.
Faktor yang mengacu kepada kebijakan itu sendiri seperti kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasinya,
Telaah dokumen dan wawancara mendalam
Bisa/tidak dikelola dengan penjelasan Ada/tidak, dengan penjelasan
Universitas Indonesia
66
tensi tujuan jelas sesuai kepentingannya
urutan mendalam
penjelasan
2.
Hubungan kausal yang memadai
Hubungan timbal balik antara Dokumen & Jelas/tidak intervensi yang dilakukan Wawancara ,dengan pemerintah dengan pencapaian mendalam penjelasan tujuan kebijakan yang dapat dipahami dengan jelas
3
Ketepatan alokasi dana
Keputusan yang menetapkan Dokumen & Tepat/tida tingkat batas ambang penyediaan Wawancara k dengan penjelasan mendalam dana untuk pencapaian tujuan
4.
Keterpadu an hirarki
Kemampuan untuk memadukan Dokumen & Ada/tidak, hirarki badan-badan pelaksana Wawancara dengan (koordinasi) dan wewenang mendalam penjelasan memberikan sanksi
5.
Rekruitmen Pejabat memiliki komitmen yang Dokumen & sesuai/tida tinggi terhadap upaya Wawancara k, dengan pejabat penjelasan mendalam pencapaian tujuan pelaksana
6.
Peraturan badan pelaksana
Menggariskan secara formal Dokumen & Ada/tidak, aturan aturan pembuatan Wawancara dengan keputusan dari badan pelaksana mendalam penjelasan dalam pencapaian tujuan
7
Akses pihak luar
Sejauh mana peluang untuk Dokumen & Ada/tidak, berpartisipasi terbuka bagi para Wawancara dengan penjelasan aktor di luar badan badan mendalam pelaksana mempengaruhi para pendukung tujuan resmi
C.
Non Statutory variables
Faktor di luar kebijakan yang Wawancara dapat mempengaruhi proses mendalam dan telaah implementasi kebijakan dokumen
Berpengar uh/tidak, dengan penjelasan
1
Keadaan sosial, ekonomi, politik Dokumen & Kondisi dan teknologi tempat kebjakan Wawancara Sosiomendalam dilaksanakan ekonomi, politik dan teknologi
Berpengar uh/tidak, dengan penjelasan
2
Dukungan publik
Adanya dukungan publik Dokumen & Ada/tidak terhadap tujuan kebijakan Wawancara , dengan mendalam penjelasan
Universitas Indonesia
67
Perubahan perubahan dalam sum Dokumen & ber dan sikap kelompok masya Wawancara rakat di tempat pelaksanaan kebi mendalam jakan terhadap tujuan kebijakan
Berpengar uh/tidak ,dengan penjelasan
3.
Sikap dan sumber kelompokkelompok
4.
Dukungan Dukungan lembaga yang punya Dokumen & Ada/tidak dari pejabat wewenang kontrol terhadap Wawancara ,dengan kewenangan hukum dan sumber mendalam penjelasan atasan keuangan badan pelaksana
5
Komitmen dan kepemimpi nan pejabat pelaksana
-
Komitmen pejabat badan Dokumen & Ada/tidak, pelaksana untuk mewujudkan Wawancara dengan penjelasan tujuan kebijakan dan mendalam Kemampuan kepemimpinan dalam membina hubungan kerja dengan lembaga lembaga atasan dan meyakinkan kelompok sasaran serta kemampuan manejerialnya
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) adalah semua pangan; baik berupa pangan segar, pangan olahan, maupun pangan siap saji; yang ditemui dan dijual di lingkungan sekolah serta secara rutin dibeli dan dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah
-
Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/ atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan
-
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan
-
Pangan siap saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha atas dasar pesanan
-
Komunitas sekolah adalah kumpulan individu;termasuk kepala sekolah, guru, siswa, orang tua siswa, dokter dan petugas klinik sekolah, pengelola kantin, penjaja PJAS, serta karyawan lain di sekolah; yang secara langsung atau tidak langsung beraktivitas dan berinteraksi di lingkungan sekolah.
Universitas Indonesia
68
-
Kemandirian komunitas dalam mengawasi PJAS dilingkungannya sendiri adalah kemampuan komunitas sekolah untuk mengawasi PJAS di lingkungan sekolahnya sendiri yang mencerminkan kesadaran komunitas sekolah untuk memenuhi kebutuhannya akan PJAS yang aman, bermutu dan Bergizi.
Universitas Indonesia
69
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Desain Penelitian Untuk melihat berjalannya implementasi program Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, digunakan pendekatan penelitian kualitatif. Karena penelitian kualitataif dapat menggali secara dalam apa yang menjadi faktor-faktor yang menghambat terjadinya perubahan perilaku dan alasan mengapa perubahan itu tidak terjadi. Metode kualitatif ini juga sangat berguna dalam melakukan penelitian yang kompleks dan melibatkan banyak institusi. Maira Quintanilha (2011) dalam tesisnya menuliskan bahwa penggunaan desain penelitian kualitatif dapat memberikan peneliti kesempatan unik untuk mengatasi
kompleksitas
memperhitungkan
pedoman
bagaimana
gizi
di
faktor-faktor
lingkungan sosial,
politik
sekolah dan
karena ekonomi
mempengaruhi pengalaman dan perilaku makan orang (Jack, 2006; Ramanathan et al., 2008). Penelitian kualitatif bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian dan berada pada tatanan yang abstrak dan ada dalam fikiran manusia,
misalnya pendapat, kepercayaan, perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah. Dalam hal ini peneliti sendiri sebagai instrumen kunci, analisa data lebih bersifat induktif dan hasil penelitiannya lebih menekankan kepada makna (Sugiyono, 2011). Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah menganalisa faktor faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
implementasi
program Aksi
Nasional Menuju Pangan Jajajan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di Kota Batam ditinjau dari kerangka konsep analisa implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier.. Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara mendalam dengan
informan dan studi literatur / analisa dokumen. Penentuan sumber informasi atau narasumber dilakukan secara purposive dan snowballing, menggunakan pedoman
Universitas Indonesia
70
wawancara, serta berkembang selama proses penelitian. Pedoman wawancara mengacu juga kepada 6 kondisi yang memperlihatkan keefektifan implementasi suatu kebijakan dari Mazmanian dan Sabatier seperti pada BAB III dan juga 4 pertanyaan kunci terhadap kebijakan yang bersifat top-down oleh Mazmanian dan Sabatier juga seperti pada BAB III. Setiap wawancara dilakukan dalam waktu kurang lebih 1 jam. 4.2. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2014 , dengan mengambil lokasi di Jakarta dan Batam pada beberapa intansi pemerintah seperi Badan POM RI (Direktorat Surveilan dan Keamanan Pangan), sebagai penggagas dan pelaksana, kemudian Dinas Pendidikan Kota Batam, Dinas Kesehatan Kota Batam, Dinas perdagangan perindustrian dan ESDM Kota Batam, Balai POM di Batam sebagai kelompok pelaksana dan pada kelompok sasaran yaitu Sekolah Dasar serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Batam sebagai pihak luar, serta DPRD kota Batam 4.3. Informan / Narasumber Untuk memperoleh informasi tentang evaluasi sementara implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS secara Nasional, informasi terkait kebijakannya itu sendiri seperti pengorganisasiannya dan lain lain, digali dari informan kelompok penggagas kebijakan Aksi Nasional PJAS, diantaranya: a. Direktur surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI b. Kasubdit Penyuluhan Pangan Siap Saji dan Industri rumah Tangga, Dir Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM RI. Untuk memperoleh informasi tentang pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di tingkat kota, seperti kendala , koordinasi, penganggaran dan lain-lain diperoleh dari informan pejabat dan pelaksana lapangan dari instansi terkait yang langsung berhubungan dengan kelompok sasaran, Instansi instansi ini sudah tercantum dalam roadmap pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di Daerah, yaitu : a. Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, b. Staf Seksi Farmakmin Dinas Kesehtan Kota Batam c. Kepala Balai Pengawas Obat dan makanan di Batam
Universitas Indonesia
71
d. Staf Seksi Pemeriksaan, Penyidikan, sertifikasi dan Layanan Infomansi Konsumen Balai POM di Batam e. Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam f. Staf bagian Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kota Batam g. Kepala Dinas Perdagangan, perindustrian dan ESDM Kota Batam h. Kasie BIna Usaha dan Produksi, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar, Koperasi dan UKM kota Batam Untuk memperoleh informasi tentang penganggaran terutama terkait dengan Rencana Aksi Daerah Pangan Gizi (RAD-PG) di kota Batam yang juga ada keterkaitan dengan Aksi Nasional PJAS, diperoleh informasi dari Bappeda Kota Batam, atau bagian terkait. Dalam RAD-PG sudah ada sebagian kegiatan yang dirancang pada Pokja III terkait pembinaan terhadap Industri Pangan Rumah Tangga (IRTP) dan peningkatan SDM petugas untuk Pangan Jajanan anak sekolah. Untuk mendapatkan informasi terkait pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di tingkat kelompok sasaran, terkait kendala, kepatuhan, pembinaan, penganggaran dan lain-lain, diperoleh dari sekolah yang sudah mendapatkan intervensi A sebelumnya. Untuk mengetahui output dari Aksi Nasional PJAS ini ditingkat kelompok sasaran dilakukan di 2 sekolah yang diambil secara acak, dan dilakukan wawancara mendalam dengan : a. Kepala Sekolah Dasar No. 006 Sekupang Batam b. Guru Pembina UKS / penanggung jawab keamanan pangan di SD 006 Sekupang, Batam c. Kepala Sekolah Dasar No. 002 Batam d. Guru Pembina UKS / penanggung jawab keamanan pangan di SD 002 Batam Sementara itu, untuk melihat pandangan dan keterlibatan
pihak luar
terkait Implementasi Aksi Nasional PJAS ini, akan diminta informasi dari Ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Batam yang juga memiliki kepedulian dengan keamanan makanan di sekolah ini.
Universitas Indonesia
72
Untuk melihat keterlibatan dan dukungan dari pihak legislative, juga dilakukan wawancara dengan ketua Komisi IV DPRD kota Batam, karena pendidikan dan kesehatan berada pada komisi tersebut. Untuk menggali informasi dan menangkap variasi informasi yang ada, teknik pengambilan data yang digunakan adalah wawancara mendalam (in depth interview), telaah dokumen, dan pengamatan tentang kepatuhan kelompok sasaran terhadap intervensi yang sudah dilakukan. 4.4. Pengumpulan Data Pada Penelitian ini, data-data yang digunakan adalah: a. Data primer, Merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara secara mendalam terhadap
beberapa
informan
yang
terlibat
langsung
dalam
implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS ini dan juga instansi yang menyediakan dana di daerah yang diharapkan mendukung kegiatan tersebut b. Data sekunder, merupakan data yang dikumpulkan dari hasil telaahan dokumen tentang hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan Aksi Nasional PJAS ini seperti roadmap kegiatannya ataupun laporanlaporan kegiatan yang berlangsung dll. Teknik pengumpulan data dilakukan berdasarkan: a. Studi lapangan (field research) Studi ini dilakukan dengan wawancara mendalam (in depth interview), studi dokumentasi dan triangulasi. Jenis wawancara yang akan digunakan adalah wawancara terbuka. Hasil wawancara akan dikonfirmasi melalui studi dokumen dan triangulasi sumber maupun data, serta hasil observasi terhadap kepatuhan sekolah pada pelaksanaan kebijakan Aksi Nasional PJAS ini. b. Studi kepustakaan (Library research) Studi ini dilakukan dengan membaca dan mengumpulkan data dan informasi, baik memalui buku-buku teks, hasil-hasil penelitian, majalah ilmiah, rencana dan laporan-laporan kegiatan dan penelusuran dari internet
Universitas Indonesia
73
dan pustaka untuk mendapatkan data dan informasi yang relevan dengan penelitian ini. 4.5. Analisis Data Analisis data dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan dan setelah selesai di lapangan, sebagaimana diungkapkan oleh Nasution (1988) dalam Sugiono (2011;245) bahwa “Analisa sudah dimulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian
dan pada saat setelah selesai. Pendapat ini juga
didukung oleh Miles dan Huberman dalam Sugiono (2011; 334) . Dalam analisa data dilakukan
reduksi data, mengkategorikan data,
mensintesa data/menarik kesimpulan, dan selanjutnya membuat suatu hypotesa kerja. Peneliti membuat catatan penelitian dalam bentuk transkrip data yang disertai dengan kategorisasi data. Peneliti melakukan reduksi data lapangan sehingga data data yang ada relevan untuk membantu memecahkan masalah penelitian. Data ini akan dikelompokkan kedalam variabel dan sub variabel yang ada dalam teori Mazmanian dan Sabatier. Untuk validasi data, peneliti juga melakukan triangulasi yaitu proses check dan recheck antara satu sumber dengan sumber lainnya,
serta
mencocokkan dengan data dokumentasi yang ada, terkait implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS ini, serta data hasil pengamatan terhadap kepatuhan kelompok sasaran terhadap intervensi yang sudah dilakukan . Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan kutipan-kutipan langsung atau penjelasan dari hasil wawancara dengan informan,dan data observasi pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan.
Universitas Indonesia
74
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1. Keterbatasan Pelaksanaan Penelitian Dalam melaksanakan pengumpulan data dan wawancara terdapat beberapa keterbatasan yang mungkin bisa menyebabkan biasnya hasil yang diperoleh. Hal ini disebabkan oleh : a. Subyektifitas peneliti yang juga pernah ikut sebagai pelaksana kegiatan Aksi Nasional PJAS ini, sehingga dalam melaksanakan wawancara, kadang juga berperan sebagai staf Balai POM, akan tetapi bias ini dapat dikurangi dengan adanya pedoman wawancara. b. Kurang terbukanya informan dalam menyampaikan informasi c. Beberapa informan sudah berganti dan tidak ikut terlibat dalam kegiatan Aksi Nasional PJAS ini pada saat itu. 5.2. Informan Informan yang terlibat dalam penelitian ini berjumlah 17 orang yang berasal dari kelompok penggagas, kelompok pelaksana, dan kelompok sasaran kebijakan Aksi Nasional PJAS di Pusat dan di kota Batam. Informasi ini juga dilengkapi oleh informan dari pihak luar/LSM serta legislatif di kota Batam. Informan yang memberikan informasi mempunyai masa kerja paling rendah 5 tahun dan paling lama 32 tahun. Sedangkan untuk menjaga kerahasiaan identitas informan, maka dalam penulisan identitas informan digunakan nomor ID dari 01 sampai 17. Selengkapnya data Informan yang terlibat dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 5.1. Tabel 5.1 : Data informan penelitian No*)
Jabatan
Lama menjabat 4 tahun
Masa kerja 25 tahun
1.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam
2.
Staf Seksi Farmakmin DinKes Kota Batam
4 tahun
5 tahun
3.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam
7 tahun
27 tahun
4
Staf Dikdas Dinas Pendidikan Kota Batam
4 tahun
26 tahun
Universitas Indonesia
75
5
Ketua MUI Kota Batam
9 tahun
9 tahun
6
Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan ESDM Kota Batam Kasi Bina Usaha dan Produksi, Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Pasar, Koperasi dan UKM Kota Batam Ketua Komisi IV DPRD Kota Batam
2 tahun
17 tahun
5 tahun
24 tahun
4 bulan 6 tahun
10
Kasubdit Penelitian dan Kerjasama Pembangunan, Bappeda Kota Batam Kepala Sekolah SD 002 Batam Kota
5 tahun 4 bulan 14 tahun
2 tahun
25 tahun
11
Guru UKS SD 002 Batam Kota
1 tahun
17 tahun
12
Kepala Sekolah SD 006 Sekupang
3 tahun
24 tahun
13
Penanggung jawab UKS SD 006 Sekupang
18 tahun
30 tahun
14
Kepala Balai POM di Batam
1 tahun 11 bulan 5 tahun
23 tahun 8 bulan 5 tahun
7
8 9.
15
Staf Seksi Pemdik-Serlik Balai POM di Batam 16 2 tahun 21 tahun Kasubdit Penyuluhan Pangan Siap Saji dan Industri Rumah tangga , Badan POM RI, Jakarta 17 Direktur Surveilan dan Penyuluhan 3 tahun 32 tahun Keamanan Pangan Badan POM RI, Jakarta Keterangan : *) No urut tidak menggambarkan nomor ID informan 5.3. Aspek Kemampuan Mengendalikan Masalah (Tractability Problem)
Tractability problem merupakan mudah atau tidaknya masalah masalah yang timbul dalam implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS ini untuk dikendalikan atau dikelola. 5.3.1. Kesukaran teknis Sebagai titik tolak dari kesukaran teknis ini adalah tidak tersedianya ketentuan yang detail mengenai peranan dan tanggung jawab instansi lintas sektor dalam mengimplementasikan pada awal kebijakan Aksi Nasional PJAS ini, serta belum terbentuknya Jejaring Keamanan Pangan Daerah (JKPD) maupun Gugus Tugas PJAS di kota Batam yang bisa diharapkan sebagai tempat berkumpulnya beberapa instansi terkait untuk membicarakan hal hal terkait keamanan PJAS. Hal ini mengakibatkan tidak ikut sertanya beberapa stakeholder terkait, sehingga koordinasi diantara instansi terlibat kurang berjalan dengan baik.
Universitas Indonesia
76
Terdapat beberapa masalah teknis dalam mengimplementasikan kebijakan Aksi Nasional PJAS ini di kota Batam, diantaranya: a. Tidak optimalnya sosialisasi Aksi Nasional ini pada instansi lintas sektor, sehingga ada beberapa stakeholder yang tidak mengetahui kegiatan tersebut. sebagaimana disampaikan informan: “kok di Batam ndak ada gaung?”(12), “Belum pak! waktu saya di Batu Aji pun juga belum.”(10), “Belum pernah! saya malah belum pernah dengar itu”(13), “a…. ini saya belum, belum dengar” (14), a.. itu …, kayaknya belum pernah saya dengar. Kalau mungkin ada, mungkin disekolah lain barangkali”(07), b. Instansi / stakeholder lain tidak mengetahui peranan mereka dalam Aksi Nasional PJAS di Kota Batam ini Ketidak tahuan peranan ini disebabkan karena tidak ada pedoman kerja pelaksanaan aksi nasional untuk lintas sektor (NSPK) ditingkat daerah, terkait peranan dan tangung jawab lintas sektor dalam program ini. meskipun pusat sudah memberikan beberapa usulan kegiatan didaerah seperti pada tabel 2.3 , akan tetapi di kota Batam tidak ada forum seperti JKPD maupun Gugus tugas PJAS sebagai wadah tempat berkumpul dan mengkoordinasikan kegiatan terkait keamanan pangan di daerah. Uraian selengkapnya dapat dilihat pada poin 5.4.2. “Adanya teori kausal yang cukup untuk pejabat pelaksana”. c. Kurangnya koordinasi dalam pelaksanaannya Kurangnya koordinasi ini dikarenakan tidak adanya forum tempat berkumpulnya instansi pelaksana (JKPD maupun Gugus Tugas PJAS) di kota Batam (selanjutnya bisa dilihat pada poin 5.4.4. “Keterpaduan hirarki lembaga pelaksana”) sebagaimana disampaikan oleh informan : “Kendala yang paling tinggi sebenarnya kan bagaimana memberdayakan pemdanya” (01) “kalau yang eksternal, koordinasi dengan Dinkes belum optimal ya, (03)” “Mungkin dalam pelaksannan semuanya harus bekerjasama semua guru gurunya, tidak saya sendiri saja (09)”.
Universitas Indonesia
77
d. Keterbatasan jumlah SDM Keterbatasan SDM akan berpengaruh pada proses implementasi untuk mencapai tujuan kebijakan. Kekurangan ini ditemui pada kelompok pelaksana kebijakan, maupun pada kelompok sasaran dalam melaksanakan kegiatan Aksi Nasonal PJAS ini, sebagaimanan disampaikan informan: “ Kalau dari kita sendiri yaitu terutama ya biasalah SDM terbatas, Serlik tenaganya terbatas”(03). “Sebenarnya harus khusus ada yang ngurus UKS, karena sangat banyak kegiatan”(09). “Memang ini tugas kita dalam pengawasan, tapi tidak mungkin juga, sangat banyak yang diawasi, sementara orang kita terbatas”(17). e. Keterbatasan dana Keterbatasan dana/anggaran juga menjadi masalah bagi beberapa instansi pelaksana daerah maupun kelompok sasaran, namun ada juga instansi yang merasa dana yang ada sudah cukup, terutama instansi Balai POM dan Dinas Pendidikan. Selengkapnya dapat dilihat dibawah pada poin 5.4.3. “Ketepatan alokasi sumber dana”. f. Keterbatasan sarana dan prasarana Sarana dan prasarana yang kurang akan menimbulkan masalah dalam implementasi Aksi Nasional PJAS ini,
diantaranya dalam melakukan
penyuluhan dan dalam penerapan keamanan pangan di sekolah. Hal ini diungkapkan oleh informan : “kesulitan juga dalam mencari sekolah, tertama yang berada di pulau, juga kekurangan dalam prasarana seperti LCD”(04). “Mereka punya kantin tapi tak ada pagar…. (05)”. “….. trus fasilitas cuci tangannya tidak ada”(06). “Nah disini, jangankan ruangan untuk itu pak, pustaka aja, kami ndak punya ruangannya. Makanya terkendalanya kami ya disitu untuk membentuk kantin sehat itu”(10). “Websitenya kadang kadang down pak. Kalau yang klub pompi kadang tidak bisa dibuka, tampilannya itu ituuu aja (04)”. “…untuk UKS itu yang tidak bisa pak, ruangannya nggak ada. Jadi kami kalaupun komite mau bikin, tanahnya itu yang tidak ada pak (10)”.
Universitas Indonesia
78
g. Keberadaan penjual pangan di luar lingkungan sekolah Keberadaan penjual makanan di luar lingkungan sekolah juga menjadi kendala dalam mewujudkan PJAS yang aman, bermutu dan bergizi di sekolah, karena pihak sekolah agak susah mengontrolnya. Pihak sekolah tidak punya kemampuan untuk mengintervensi mereka, karena alasan kemanusiaan / mencari nafkah, sebagaimana disampaikan informan: “Tapi kadang kan yang merusak itu pedagang di luar sekolahnya (06)”. “ Ini juga permasalahan, artinya.., dari segi keamanan pihak sekolah misalkan jajan diluar yang tiba tiba terjadi, kita ndak tau, apakah dia belanja diluar atau didalam, itu akan jadi masalah juga (07)”. “Itulah pak yang jadi boomerang buat kami, kalau kita panggil, kita tegur, alasannya sedikit aja, “saya Cuma mau numpang cari hidup”, ini yang repot, jadi kami kalah secara sosial. (10)”. , “Cuma kalau jajanan yang di luar, itu diluar kemampuan saya, Karena kalau mengontrol makanan yang diluar saya sudah berlawanan dengan hak azazi orang untuk mencari makan, gitu (08)”. “Berpengaruh, kan bebas itu pak,….nggak berani kita pak, kecuali yang kita ini yang didalam kantin yang bisa kita (09)”. . 5.3.2. Keragaman prilaku dari kelompok sasaran, Dalam upaya pencapaian tujuan
Aksi Nasional PJAS ini sangat
diperlukan kesadaaran, kedisiplinan dan komitmen komunitas sekolah. Beberapa dimensi dari sikap ini adalah dengan mewujudkan kantin sehat, diantaranya hidup bersih dan sehat, tidak menggunakan bahan berbahaya dalam pangannya, menutup makanan, memakai japit untuk mengambil makanan , meningkatkan kepedulian kepala sekolah terhadap kemanan PJAS disekolah,
dll. Beberapa
tentang prilaku ini disampaikan oleh informan : “Kalau penggunaan bahan berbahaya kalau saya bilang disini berhasil, karena kita nggak nemu lagikan dari sampling. Tapi program misalnya kantinnya harus lebih bagus, jadi bersih, masih belum menurut saya”(03). ”pada audit surveillance kemaren di SD 8, mereka disekolah itu sudah pakai japit untuk ambil makanannya, sudah ditutup meskipun dengan plastik, penjualnya juga pakai sarung tangan, terus yang di SD 06, sama sekali tidak boleh ada steryfoam pak. Jadi mereka pakainya piring yang dicuci (04)”.
Universitas Indonesia
79
“Tempat sampah dekat dengan kantinnya, terus juga tempat masaknya dikantin itu berminyak kayaknya, trus fasilitas cuci tangannya tidak ada”(06) “Ya, pikiran mereka guru pengen untung dengan melarang anak anak jajan diluar sekolah. Persepsinya dengan melarang anak anak belanja diluar, takut makanan di kantin tidak habis (15)”. “saya hanya minta dua saja, pakai tutup kepala dan celemek, gitu. Mengolah makanan pakai sarung tangan, minimal tangan kiri kan? dan pakai penjepit. Yang itu mereka patuhi, tapi kalau masker, belum! (08)”. “……. Sebenarnya karena kita belum ada kejadian (07)”. “Biasa orang tua yang kelas ekonomi menengah ke bawah kadang kurang faham. Anggapan jajan di luar lebih murah dibandingkan di dalam, saya kira itu masalahnya. Padahal yang murah belum tentu sehat (15)”. “Tidak semua kepala sekolah yang ngeh dengan kantin, kurang lebih 1020% (15)”. 5.3.3. Persentase kelompok sasaran. Berdasarkan rencana awal, jumlah sekolah yang menjadi sasaran adalah 18.000 Sekolah Dasar /Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI). target ini sama dengan 10% jumlah SD/MI di Indonesia. Ini bukanlah target yang sulit sebagaimana disampaikan oleh informan: “Nggak sih menurut saya, Kalau menurut saya sih, itu 18000 ya!?, itupun untuk seluruh Indonesia, (01)”. Untuk kota Batam, berdasarkan sensus tahun 2010, murid SD/MI berjumlah 8,5% dari total penduduk, dengan jumlah SD/MI 247 sekolah. Akan tetapi dalam melaksanakan pengawalan terhadap sekolah yang sudah diintervensi tahun sebelum nya, ada informan mengatakan kewalahan, karena kekurangan SDM dan banyaknya kegiatan lain yang menjadi tanggung jawab mereka. Sekolah yang sudah diintervensi di kota Batam sebanyak 215 SD/MI (87,04% dari SD/MI yang ada), sebagaimana disampaikan informan: “Tahun 2012, 100 SD, tahun 2013, 85 SD, tahun 2014, 30 SD. Tahun 2014 intervensi B, 2013 intervensi B dan C, tahun 2012, intervensi A, B dan C (04)”. “Kalau kita melakukan pengawalan terhadap tiap sekolah susah pak, nanti kerjanya cuma ngawalin SD aja pak! He,he (04)”.
Universitas Indonesia
80
“Mungkin yang dimau dari pusat itu pengawalan dengan kita melihat tingkah laku mereka, tapi nggak begitu bisa juga dengan 40 sekolah dengan kita turun satu satu, kita kekurangan orang pak.(04)”. “Karena sekolah di Batam sangat banyak pak, jadi kalau mereka tidak mandiri, nanti yang ngawasinya yang kesulitan pak (06)”. 5.3.4. Ruang lingkup perubahan perilaku. Ruang lingkup perubahan yang diinginkan adalah memandirikan sekolah dengan cara memberdayakan komunitas sekolah dalam mengawasi pangan jajanan dilingkungannya sendiri. Sebagian besar informan mengatakan bahwa ini bukanlah hal yang sulit untuk dicapai , sebagaimana disampaikan informan “Tidak, karena, terutama tergantung kepala sekolahnya sendiri ya! (05)” “.Mungkin kalau pihak sekolah mau berperan aktif dan Dinas Kesehatn dan Balai POM mau berperan aktif mendidik mereka supaya mandiri, kemungkinan besar kemandirian itu bisa tercapai (06)”. “Ya…. Kalau dibebankan, saya rasa mampu (07)”. “Bisa…, bisa. Nanti kedepan kita akan lebih fokus lagi (08)”. “Sanggup, tapi harus ada daftar makanannya tadi. Harus ada regulasi, ya pedomannya itulah (09)”. “Ini masalah komunikasi, menurut saya ini bisa asal dikomunikaskan. (12)” hanya dua informan yang mengatakan sulit karena harus mengawasi setiap hari dan belum berubahnya kebiasaan puskesmas dalam membina UKS di sekolah. Hal ini diungkapkan informan: “Nggak bisa dicapai pak, itu maunya kemauan, itu kita tugaskan puskesmas dengan program UKS nya, kadang pukesmas belum mantap, masih berkutat dengan imunisasi, lingkungan, itu itu aja tuh (17)”. “Kayaknya berat pak, itu artinya setiap hari kita harus kontrol itu, kalau itu mau kita jalankan, setiap hari kita harus kontrol itu. Kita tidak bisa percaya pada penjual di warung aja (10)”. 5.4. Aspek Variabel Statutory (Hukum) Variabel ini berkaitan dengan kemampuan kebijakan program Aksi Nasional PJAS
menstrukturkan proses implementasinya, dll., sehingga bisa
dilaksanakan dengan baik untuk mencapai tujuannya.
Universitas Indonesia
81
5.4.1. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten. Dari hasil wawancara, beberapa informan
yang terlibat langsung
mengetahui tujuan kebijakan ini, akan tetapi dari penelusuran dokumen, terdapat beberapa penulisan yang berbeda, dengan indikator kinerja utama adalah peningkatan persentase PJAS yang memenuhi syarat. Untuk pelaporan kegiatan dari instansi tekait di kota Batam tidak berjalan seperti yang diharapkan, karena tidak ada petunjuk bagi instansi lintas sektor tersebut, meskipun pelaporan ditingkat pusat berjalan secara rutin. Untuk monitoring dan evaluasi juga tidak dilakukan ditingkat daerah karena kekurangan tenaga (SDM). a. Kejelasan tujuan pelaksanaannya. Beberapa informan menyatakan bahwa mereka cukup jelas dengan tujuan kebijakan Aksi Nasional PJAS ini, sebagaimana disampaikan : “Kalau PJAS menurut saya sudah jelas. Jelas juknisnya….. (03)”. “Jelas, juknisnya ada, (04)”. “Jelas sih pak, kan ada targetnya. Mereka Balai pom sendiri punya target. Apa yang akan dicapai ada tingkat-tingkatnya (06)”. “Ada, ada di petunjuk teknisnya. Yang didapat waktu pelatihan dulu (09)”. Berdasarkan penelusuran dokumen, ada terdapat perbedaan penulisan tujuan kebijakan Aksi Nasional PJAS, diantaranya adalah: a. Pada buku “Rencana Aksi Gerakan menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi” (BPOM, 2011) menyatakan tujuannya adalah : “Meningkatnya PJAS yang Aman, Bermutu, dan
Bergizi”
sedangkan Maksud Aksi Nasional PJAS ini adalah “Memberdayakan komunitas sekolah dalam penyediaan PJAS yang aman, bermutu dan bergizi”. Kerangka kerja logis dari program meliputi indikator kinerja dan rujukan untuk pemantauan, meliputi: • Monitoring kegiatan dengan cara menelusuri pelaksanaan program dan dibandingkan dengan program yang telah direncanakan;
Universitas Indonesia
82
• Indikator
fisik
dari
berbagai
kegiatan
dan
keluaran
yang
terindentifikasi, misalnya laporan, rencana, data dan jumlah orang yang telah dilatih dalam suatu pelatihan b.
Pada Proposal New inisisatif PJAS ini, tujuannya adalah 1) Memberdayakan komunitas sekolah untuk meningkatkan Pangan jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi. 2). Mensinergiskan kegiatan
pengawasan dan pembinaan terkait kemanan PJAS antar
stakeholder di Indonesia, seperti jajaran pemerintah pusat dan daerah, lembaga donor, pihak swasta dan stakeholder kunci lainnya. Dengan Indikator kinerjanya adalah “Peningkatan persentase PJAS yang memenuhi persyaratan kemanan, mutu dan gizi”. c. Pada buku “Disain dan Petunjuk Teknis Kegiatan Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang Aman, Bermutu, dan Bergizi tahun 2013”,
mengatakan
bahwa
tujuan
kegiatan
ini
adalah
:
1)
Memberdayakan komunitas sekolah untuk menjaga keamanan, mutu, dan gizi PJAS, 2). Menguatkan koordinasi dan jejaring kerja lintas sektor di pusat dan daerah untuk meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi, 3). Meningkatkan keamanan, mutu dan gizi PJAS di Indonesia. Dengan Indikator
Kinerja Utama (IKU) yang ingin dicapai yaitu
persentase PJAS yang memenuhi syarat keamanan, mutu dan gizi pada tahun anggaran 2012,2013 dan 2014 masing-masing 70, 80 dan 90%. d. Pada laporan Aksi Nasional Gerakan Menuju PJAS yang aman, bermutu dan bergizi tahun 2013, tercantum tujuan utama Aksi Nasional PJAS adalah “peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS melalui kemandirian komunitas sekolah dalam mengawasi PJAS dilingkungannya.” Dan indikator kinerjanya adalah persentase PJAS yang memenuhi syarat pada tahun 2012, 2013 dan 2014, masing masing 70, 80 dan 90% di SD/MI. b. Pelaporan Ditingkat pusat pelaporan tersebut berjalan secara rutin, sebagaimana disampaikan informan :
Universitas Indonesia
83
“..ada monev tiga bulanan dan 6 bulanan. Kalau pusat dilaporkan ke presiden dan wakil presiden dan ke UKP4 , mereka menagih terus”(01) namun di kota Batam pelaporan ini tidak jalan, hanya Balai POM saja yang membuat laporan ke pusat. “Saya kira untuk beberapa balai berjalan ya, karena datanya ada itu berapa kegiatan yang dilaksanakan oleh instansi, SKPD didaerahnya ada dilaporkan, tapi tidak 100% sih”(01). “Nggak ada pak, kita aja yang lapor (04)”. Ketiadaan laporan di daerah ini dikarenakan kelompok sasaran dan lintas sektor terkait tidak mengetahui pedomannya. sebagaimana disampaikan informan :: “Belum pak, kita juga nggak ada intrumennya, nggak tau, nggak ada petunjuknya.(05)”. “Kalau pelaporannya, kayaknya saya belum pernah lihat pak. Nggak ada bikin pelaporan kayaknya. Formatnya pun saya belum lihat seperti apa. saya belum pernah juga dengar teman teman bikin pak (06)”. “Tidak ada pelaporan kemana mana, hanya saya selalu yang menegur dari hasil pemeriksaan anak anak yang dilaporkan kepada guru UKS nya (08)”. “Nggak ada pak, kita tidak ada ketentuan untuk melapor setiap tahunnya (09)”. c. Monitoring dan Evaluasi kegiatan, Monitoring dan evaluasi tidak dilakukan secara rutin, kegiatan berupa pengawalan pun, tidak dilakukan di kota Batam karena kekurangan SDM yang harus mengawal sekitar 215 SD yang sudah diintervensi, dan juga belum mengertinya petugas tentang pelaksanaan pengawalan tersebut, sebagaimana disampaikan : ”Ndak, tidak didatangi lagi, Kalau kita melakukan pengawalan terhadap tiap sekolah susah pak, nanti kerjanya cuma ngawalin SD aja pak! He,he (04)”. “Makanya pak, pengawalan itu apakah dalam bentuk kita terjun langsung ke sekolahnya itu, atau ooo…. Kalau pengawalan yang kemaren itu kan kita ngasih brosur aja pak, ngasih promosi pak. Mungkin yang dimau dari pusat itu pengawalan dengan kita melihat tingkah laku mereka, tapi nggak begitu bisa juga dengan 40 sekolah dengan kita turun satu satu, kita kekurangan orang pak (04)” Universitas Indonesia
84
“Kalau jajanan anak sekolah itu jarang ya pak, paling sekali sekali ada dengan orang PL karena yang punya reagen orang PL. paling kita koordinasi dan turun bareng (06)”. “Nggak ada,kita pertemuan itu hanya mau audit saja, jadi nggak ada yang rutin pak, (04)”. d. Konsistensi pelaksana dan kepatuhan kelompok sasaran. Sebagai hasil dari kegiatan ini, beberapa dari kelompok sasaran telah melakukan beberapa perubahan, seperti memindahkan kantin ketempat yang lebih baik, menggunakan penjapit makanan, memakai celemek, menutup makanan, pengawasan oleh dokter kecil disekolah, dll. Sebagaimana disampaikannya : “Ada pak, malah mereka menyediakan jepitan, tidak boleh pakai tangan langsung. Makanan makanan basah macam kue itu masuk kemasan, kalau air, tidak anak anak yang langsung ambil, ada petugasnya. Kalau makanan kayak goreng pisang, bakwan dimasukkan dalam wadah tertutup (05)”. “usahanya memindahkan kantin, dan yang tadinya kurang sehat, kita arahkan kesehatannya dan dari segi kebersihannya kami minta kepada kantin itu untuk tidak ada tong sampah dekat makanan (07)”. “Jadi kontrolnya dari pengurus kantin, guru UKS dan anak anak yang ditugaskan oleh bu ida. Jadi ada anak-anak dokter kecil itu ditugaskan oleh bu ida seminggu atau sebulan sekali saya lupa untuk mencatat dan memantau . Nanti mereka akan lapor ke bu ida dan bu ida akan lapor ke saya (08)”. “…. saya hanya minta dua saja, pakai tutup kepala dan celemek, gitu. Mengolah makanan pakai sarung tangan, minimal tangan kiri kan? Dan pakai penjepit. Yang itu mereka patuhi, tapi kalau masker, belum (08)”. “Kalau untuk pengelola kantin saya kasih soal dulu pak, nah ini selama ini yang dilakukan, yang menjual itu harus pakai jilbab, trus pakai celemek, cuci tangan, kan sekarang ibu kantinnya baru pak, yang dulu sudah pindah (09)”. “Banyak manfaatnya, dan saya juga ke bagian kurikulum, memasukkan aja di….., program kan ada, ya dimasukkan aja. Jadi tahulah apa itu PJAS.(09)”. Akan tetapi ada juga kelompok sasaran yang tidak konsisten lagi seperti tidak mengetahui lagi keberadaan buku buku maupun CD dan brosur yang pernah diberikan, bahkan semangatnya menurun seperti yang disampaikan informan: Universitas Indonesia
85
“Itu yang saya kurang tahu pak , hehe . kebetulan saya juga infentaris barang juga, kondisi sekarang ini yang tadinya ruang pustaka dijadikan ruang penjaga sekolah, akirnya pustaka itu berantakan pak, ha ha ha.,(07)”. “……lama kelamaan kamipun ndak bisa kontrol sangat, mau kontrol alasannya itu tadi, “anak yang minta” (10)”. Sehubungan dengan pembentukan tim keamanan pangan di sekolah, yang melibatkan komunitas sekolah sebagai suatu komponen dalam kemandirian sekolah mengawasi PJAS nya, beberapa informan mengatakan belum ada yang terstruktur, walaupun sudah ada melaksanakan fungsinya. Akan tetapi ada juga sekolah yang tidak ada tim keamanan pangannya karena kurangnya perhatian dari kepala sekolah, sebagaimana disampaikan informan: “Masih tetap bagus, Cuma tim keamanan pangannya yang terseok seok pak (04)”. “Selama ini kayaknya belum kami lakukan pak. Karena warung itu tidak kita olah sangat gitu (10)”. “… Hanya ada kerjasama saja dari petugas kantin sekolah bersama petugas koperasi, .. ya kami.. istilahnya memantau se.. sekilas sajalaaahhh (07)”. “Yang ada hanya pembagian tugas, Tapi dari UKS nya jalan pak, saya bisa pastikan, karena komitmennya kuat. Dan anak anak saya lihat masih aktif mengontrol makanannya (08)”. “Ada, ada kawan itu bu des… tidak ada terstruktur.(09)”. Sebagian besar dari kelompok pelaksana kebijakan banyak yang konsistens dengan tujuan kebijakan ini seperti dikatakan : “ bahkan setiap saya sidak kesekolah, pasti yang saya lihat kantin dahulu. Ini tugas saya setiap sabtu, paling tidak 3-4 sekolah saya datangi. Itu program rutin saya (15)”. “…..mengenai jajanan anak sekolah ini. Kemaren kita dan dapat alat kit nya itu kan? Untuk memeriksa makanan di sekolah (17)”. “Beberapa sekolah sekarang kita jadikan kantin sehat, dalam artian setiap orang yang mau membuka jajanan di sekolah, harus ada ijin dari kita dulu, ijin dari dinas pendidikan bekerjasama dengan dinas kesehatan, diantaranya di SMA 3, SMP 20, dan SD 07 tiban (15)”. “Kita kan ada program UKS di sekolah (17)”.
Universitas Indonesia
86
“Tidak efektif pak, kalau hanya sekedar mendampingi sebeberapa lama?, sementara mereka tidak diberi pemahaman tentang itu. harus dilatih! (15)”. Akan tetapi ada juga kelompok pelaksana yang kurang konsisten, seperti disampaikan informan: “Tidak semua kepala sekolah yang ngeh dengan kantin, kurang lebih 1020% (15)” “Pengarahan untuk penjaja makanan belum pak, paling menjaga kesehatan aja pak. Kalau makanan belum deh (06)”. 5.4.2. Hubungan kausal yang cukup. Secara
umum
teori
kausalitas
ini
sudah
ada
dalam
pedoman
pelaksanaannya serta Rencana Aksi Nasional PJAS, pada Grand Design pelaksanaanya. Dalam buku “Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi” juga
memberikan panduan kepada
stakeholder yang terlibat dalam upaya peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS di Indonesia. Diantaranya berisi latar belakang kegiatan, tujuan, strategi pelaksanaan, kegiatan kegiatan yang akan dilaksanakan dll. Akan tetapi ada salah satu kegiatan penting yang belum terlaksana penuh yaitu penyusunan NSPK. NSPK diperlukan untuk memperjelas peran, tugas, tanggungjawab dan target masing-masing unit/instansi dalam rangka pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Gerakan menuju PJAS yang Aman, Bermutu dan Bergizi, agar dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Beberapa petunjuk teknis dan standar sudah diterbitkan, akan tetapi kebanyakan fokus kepada petugas BPOM dan kelompok sasaran saja. Tidak ada NSPK untuk instansi terkait lintas sector ini disampaikan oleh informan : “Ya itu yang belum jelas. dan jadi kendala. Apalagi kepala Balainya yang baru. Itu penting banget panduan itu”(03). “ Yang PJAS sih… nggak ya, kalau pjas itu kan kebijakan yang secara makro, kalau kedaerahnya ya justru malah itu belum ada (02)”. “a.. belum ada, memang kemaren saya minta sama buk wid (05)”.
Universitas Indonesia
87
5.4.3. Ketepatan alokasi sumber dana Secara umum untuk Badan POM dan Balai POM di Batam, pendanaan tidak menjadi masalah, sebagaimana disampaikan informan : “Tidak ada masalah, berlebih malah.(03)”. “Saya kira cukup. Anggaran sebenarnya cukup, tinggal mekanisme kerjanya (01)”. akan tetapi instansi ditingkat daerah dan kelompok sasaran, ketersediaan dana ini masih menjadi masalah, sebagaimana disampaikan informan: “Kalau penganggaran…… untuk ke SD itu belum kayaknya, kalau di kami itu tidak ada (06)”. “Tidak ada pak , karena sekolah ini yang kita kelola dana bos saja pak, dana bos itu tidak ada dialokasikan ke sana (10)”. “kantin itu kan orang luar. Nggak ada anggaran khusus. Sifatnya mereka menyewa, dari sewa itu untuk bayar hutang, karena bangun kantin itu masih hutang pak!(08)”. meskipun ada 1 instansi daerah yang menyatakan anggaran sebenarnya cukup, sebagaimana disampaikan : “Sejauh ini tidak ada masalah, saya kira anggaran cukup (15)”. “Menurut saya bisa (Sharing Anggaran) asal kegiatannya jelas dan diusulkan jauh jauh hari. Kalau program jelas, pasti didukung sih. Kalau di pemko nggak ada masalah (15)”. Pelaksanakan Aksi Nasional PJAS ini, direncanakan juga akan didukung dengan program Rencana Aksi Nasional Pangan Gizi (RAN PG) yang dikoordinasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bersama lintas sektor di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Dalam RAD PG (Rencana Aksi Daerah Pangan Gizi) sebagai tindak lanjut dari RAN PG, sudah dibuatkan beberapa kegiatan terkait keamanan pangan beserta instansi pelaksananya untuk daerah, serta pendanaannya, sebagaimana juga disampaikan informan : “Kita kemaren sudah diikutkan sampai pembuatan RPJM, kita dikasih usulan apa yang mau dimasukkan kesitu, di bagian pendidikan, bagian kesehatan. Dibagian pendidikan kita masukkan kantinnya disitu, di bagian pjas nya, dibagian kesehatan pembentukan PKP dan DFI, membentuk tenaga tenaga itu, kemudian pengawasan IRTP, itu kita diikutkan….(03) Universitas Indonesia
88
“Kita sudah punya RAD PG, RAD PG itu sudah ada kesepakatan nanti untuk melakukan dengan dinas kesehatan sekian-sekian, sudah ada dari Bappenas…..”(01). “Ya satu paket, dan menunya itu AN PJAS (Aksi Nasional PJAS), tenaga PKP (Penyuluh Kemanan Pangan) dan DFI (District Food Inspectur)(01)”. Untuk kota Batam, sampai saat ini masih belum mengadopt pelaksanaan RAD PG tersebut., karena menurut mereka RAD PG ini masih bersifat himbauan, bukan perintah (sesuai dengan laporan pertemun mereka ditingkat propinsi). Sedangkan kegiatan untuk pangan dan gizi sendiri sudah dianggarkan dalam RPJM, walaupun agak kecil. Sebagaimana disampaikan oleh informan : “RAD PG ini masih berbentuk himbauan, kalau RAD nya nggak ada, tapi kalau kegiatannya sudah ada, dibagian Farmakmin dinas kesehatan, Cuma anggarannya memang kecil sekitar 60 jutaan. Belum suatu unggulan”(11) “Belum, belum sampai itu (RAD-PG nya). kita biasanya buat perencanaan itu dari renstra kota, Dinas Propinsi dan Kementerian Kesehatan (17)”. 5.4.4. Keterpaduan hirarki lembaga pelaksana. Secara umum dalam pelaksanaan implementasi Aksi Nasional PJAS di kota Batam tidak ditemukan hirarki pengorganisasiannya, sehingga keterpaduan pengorganisasaiannya masih kurang, meskipun ada juga informan yang mengatakan kerjasamanya baik. hal ini disebabkan oleh instansi daerah belum memahami peranannya, belum ada wadah seperti Jejaring Keamanan Pangan Daerah (JKPD) ataupun Gugus Tugas PJAS di Kota Batam sebagai tempat berkumpulnya instansi dan stakeholder terkait kemanan pangan. Dalam rencana awal Aksi Nasional PJAS ini, pada BAB II poin 2.3.3. sudah digariskan bahwa kegiatan di daerah akan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota setempat dan bekerjasama dengan pemerintah Pusat dan lembaga terkait, dengan hirarki pelaksanaannya dapat dilihat pada BAB II poin 2.3.3.1. Kurangnya keterpaduan ini bisa disebabkan karena tidak adanya tim Jejaring Kemanan Pangan Daerah (JKPD) maupun Gugus Tugas PJAS sebagai wadah tempat berkumpul dan dikoordinirnya kegiatan ini. Ketiadaaan ini
Universitas Indonesia
89
kemungkinan disebabkan oleh karena karena kedudukan Instansi Balai POM di Batam setingkat Eselon III, sedangkan Dinas-dinas terkait (SKPD) di Kota Batam sudah setingkat Eselon II, sementara itu dalam tim ini diharapkan Balai POM yang menjadi ketuanya. Kurangnya keterpaduan hirarkhi pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di kota Batam ini akan mengakibatkan instansi terkait tidak mengetahui peranannya, dan juga menurunkan kepatuhan kelompok sasaran, sebagaimana diungkapkan beberapa informan : “Saya kira Badan POM kan tidak akan memerintahkan. Wadah itu kan kita sudah bangun, kita sudah punya jejaringan keamanan pangan di daerah untuk membahas itu, dari segi anggaran, Gubernur menunjuk Kepala Balai Besar/Balai POM setempat untuk menjadi ketua Pokja III”(01). “Kayaknya nggak ada reward and punishmennya pak, kalau misalnya nggak ada ini, nanti nggak dapatin ini, merekapun nggak dapat piagam bintang juga nggak pa pa, gitu pak! (04)”. “Nggak ada pak (JKPD ataupun Gugus Tugas PJAS). Kayaknya nggak ada lho pak (04)”. “Dari Dinas Pendidikan itu mereka ikut kalau penyuluhan pak, ikut ngantar ke Galang dan ke Belakang Padang juga pak, terus untuk audit mereka datang juga pak Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan (04)”. “kalau yang eksternal, koordinasi dengan Dinkes belum optimal ya, (03)”. akan tetapi ada juga informan yang mengatakan bahwa koordinasi yang terbentuk selama ini sudah baik : “Kerjasamanya baik,(05)”. 5.4.5. Peraturan dari badan pelaksana. Beberapa
peraturan
mendukung
pelaksanaan
Aksi
Nasional
ini,
diantaranya : 1). PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 42 ayat 2 bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana dan prasarana antara lain ruang kantin, 2). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kegiatan Pembinaan Kesiswaan yang menyatakan bahwa melaksanakan pengamanan jajanan anak sekolah, 3). PP No 28 tahun 2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan,
Universitas Indonesia
90
bahwa Pangan siap saji pengawasan dan pembinaannya ada pada Pemerintah Daerah. ”Kalau sesuai PP 28 kan sudah jelas tugas merekakan? Melakukan pengawasan dan pembinaan makanan siap saji. Teman teman kita di kementerian kesehatan juga sudah menyediakan NSPK nya (01)” “….jadi peraturan ini sudah ada lho pak semua!. Aksi Nasional ini kan hanya sebagai trigger aja, ya trigger bagaimana untuk mereka melakukan tugas itu yang selama ini tidak, tapi kalau secara peraturan sudah jelas ini sebagai tugasnya”(01) Akan tetapi peraturan yang spesifik mengatur tentang Jajanan anak sekolah belum ada, sebagaimana disampaikan informan: “Sebenarnya secara spesifik tidak ada regulasi yang mengatur makanan jajanan anak sekolah itu, sepanjang yang saya tahu (13). 5.4.6. Rekruitmen pejabat pelaksana Dalam rencana awal sudah ditentukan instansi yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional ini, sebagaimana tercantum pada BAB II, poin 2.3.3. yang akan dikoordinir oleh Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota setempat dan bekerjasama dengan pemerintah Pusat dan lembaga terkait. Sebagai pejabat pelaksana dari kebijakan Aksi Nasional PJAS ini Balai POM di Batam menugaskan kepada seksi Pemeriksaan ,Penyidikan, Sertifikasi dan Layanan Konsumen, Kepala Dinas Pendidikan Kota Batam menunjuk bagian pendidikan dasar untuk mendukung kegiatan ini, sementara Kepala Dinas Kesehatan menunjuk Seksi Farmasi, Makanan dan Minuman (Farmakmin). Semua pejabat ini dirasa kompeten dan sesuai dengan tupoksinya sehari-hari dan dan diharapkan bisa menampung semua aspirasi dan mengembangkan tujuan Kebijakan Aksi Nasional PJAS ini. Namun yang banyak menjadi masalah adalah jumlah tenaga yang bersangkutan yang masih kurang jumlahnya, sehingga tidak bisa fokus 100% untuk kegiatan Aksi Nasional PJAS ini, sebagaimana diungkapkan informan pada poin 5.3.1.d. diatas.
Universitas Indonesia
91
5.4.7. Akses formal pihak-pihak luar. Dalam implementasi Aksi Nasional PJAS ini juga membuka partisipasi bagi pihak ketiga, ini dapat kita lihat dalam laporan kegiatannya dan juga seperti yang disampaikan informan : “Dari CSR, banyak yang sudah minta dan banyak yang terlibat kan? Industri industry, tapi tidak terkecuali yang tidak terkait pangan pun juga ada yang bantu (01)”. akan tetapi untuk kota Batam, belum ada aksi nyata yang langsung dari pihak ketiga (LSM), namun MUI sering memberikan himbauan terkait pangan jajanan anak sekolah ini. Hal ini diungkapkan oleh informan : ” Nggak ada sih pak (04)”. “Kalau LSM untuk jajanan anak sekolah sendiri belum ada, dan belum ada juga yang nanya nanya kekami (06)”. “Kita minta kebersamaanlah, BPOM punya gebrakan gebrakan seperti ini, kami mendukung sepenuhnya, apalagi Undang Undang halal mau diketok (14)”. “MUI memang ada himbauan kepada kita, pertama makanan halal sangat menjadi prioritas, makanan halal pasti sehat (15)”. 5.5. Aspek Variable Non Statutory (di luar kebijakan/ Non hukum) 5.5.1. Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan politik. Secara umum semua informan mengatakan bahwa perbedaan kondisi sosial ekonomi orang tua maupun sekolah berpengaruh dalam implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS ini. “Saya kira pasti berpengaruh pak (01) “Pasti sih pak, yang menengah keatas, anak anak dan gurunya cepat sadar pak.”(15) “ ….antara anak anak yang berduit dan tidak, daya serapnya akan berbeda pak, dan juga fasilitasnya yang berbeda. Kalau di sekolah sekolah seperti ini air bersihnya tentu tersedia, tapi kalau di sekolah lain mungkin belum tersedia” (01), “Ya pak jelas beda, mungkin kita bisa lihat dari fasilitasnya pak,… penyampaiannya itu enak ditempat yang disediakan aula /ruang khusus, rasa ingin tahunya lebih banyak pada sekolah yang sosial ekonominya
Universitas Indonesia
92
bagus , tapi kalau di SD Negeri yang biasa biasa itu,mereka sudah selesai, ya.. sudah,.. gitu (04)”. akan tetapi perbedaan ini tidak mengurangi penerimaan komunitas sekolah terhadap apa yang dikomunikasikan, mereka tetap antusias. Hal ini sebagaimana diungkapkan informan : “menurut saya materi materinya informative ya, baik untuk high class sama yang biasa. Nggak masalah. Masih bisa diterima semua masyarakat,…. Karena interaksi saat kita memberikan materi cukup antusias mereka, (03)”. Disamping itu juga ada informan yang mengatakan bahwa proses politik terkait dengan mutasi pegawai, juga mempengaruhi kinerja stafnya dalam mendukung implementasi Aksi Nasional PJAS ini: “Sebenarnya tenaga kita cukup pak, cuma dipindah ke puskesmas, lurah, sekretaris lurah, kasi trantib di kelurahan, padahal mereka SDM kesehatan. Itulah kalau politik, susahkan?(17)”. 5.5.2. Dukungan Publik. Perhatian masyarakat cukup besar, diantaranya antusias pemirsa pada dialog interaktif di Batam TV oleh BPOM di Batam, dan dukungan media massa dalam pemberitaan serta pameran pameran yang diikuti oleh BPOM. Tidak ada informan yang menyatakan penolakan dari masyarakat, bahkan dukungan banyak dari pihak sekolah untuk di intervensi, sebagaimana disampaikan oleh informan : “….ada sekolah yang minta kita untuk narasumber memberi materi PJAS , mungkin mereka dapat info sekolah lain dapat penyuluhan tentang PJAS, tapi mereka tidak, gitu (03)”. “Ada sekolah yang minta.. “sekolah kami diperiksa dong buk..tahun kemaren kan sudah, tapi tahun ini belum” “saya bayar nggak papa”katanya (04)”. “Mereka semua mendukung dan senang didatangin. “ ya buk, tolong dilihat apa yang kurang dari kantin kami ini?”. Gitu pak (06)”. 5.5.3. Dukungan Badan / Lembaga yang Berwenang. Salah satu dukungan ditingkat pusat datang dari DPR, dimana DPR turun kedaerah bersama dengan Badan POM RI dan juga melakukan presentasi, sera berencana meningkatkan penganggaran untuk KIE, sebagaimana disampaikan informan:
Universitas Indonesia
93
” Dengan turun kemaren mereka merasakan bahwa tugas Balai POM sangat grass root, sangat merakyat dan salah satu upaya mereka mengatakan itu, itu KIE anggarannya harus ditingkatkan, jadi ada dapat peningkatan anggaran kemaren itu, mereka strik benar dan berharap kegiatan PJAS ini diteruskan”(01). Sementara itu, DPRD Kota Batam selama ini belum terlibat secara langsung, sebagaimana disampaikan informan : “Tidak ada pak.”(04). Hal ini bisa disebabkan tidak adanya komunikasi dengan DPRD, sehingga mereka tidak mengetahui adanya kegiatan Aksi Nasional PJAS ini, sebagaimana diungkapkan informan “Belum pak, sama sekali belum. Karena di mediapun nggak ada kan? Kalau kita mau mengakses, webnya dimana pak?(12)”. “Kalau bisa, kami minta kalau Balai POM mengadakan acara baik yang khusus maupun yang umum ini, tolong undang kami pak, karena mitra kami jarang mengundang kami, mungkin mereka ada, tapi kami tidak pernah ter “up date” masalah ini (12)”. Dari hasil wawancara dengan ketua komisi IV DPRD kota Batam, sebenarnya mereka sangat terbuka dan mendukung kegiatan ini, bahkan merencanakan untuk mengadakan rapid test kit makanan untuk puskesmas, sebagaimana rencana dalam Aksi Nasional PJAS ini. Hal ini terungkap ketika wawancara dan menyampaikan: “Kami pun kalau perlu mungkin kita sama sama kesekolah, paling tidak akan menjadi kampanye daerah barangkali (12)”. “Saya kira ini suatu langkah yang mesti kita dukung di level kebijakan, memang kami harus terlibat disini, anak anak kami juga itu! (12)” ” Berarti di puskesmas perlu test kit. Artinya test kit ini bisa saja jadi inventaris puskesmas dianggaran sekarang, gitu,… dan kami akan menambah lagi puskesmas ini tidak hanya di online kan, ini bisa juga jadi bidikan kita, test kit ini bisa jadi bidikan kami untuk jadi inventaris puskesmas. Terutama untuk puskesmas yang padat daerah pelajarnya (12)”.
Universitas Indonesia
94
5.5.4. Komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana. Secara pribadi, hampir semua pejabat pelaksana komitmennya baik untuk melanjutkan kegiatan ini. Ketika penulis menanyakan apa yang akan dilakukan jika Aksi Nasional PJAS ini berakhir pada tahun 2014 ini? Mereka menjawab : “…., saya akan ambil waktu untuk menindak lanjuti hasil saya dengan BPOM kemaren….. saya selalu sambilkan turun kekantinnya juga., meskipun sekolah itu belum dikunjungi oleh BPOM …. Kami masih berpikiran bahwa dasar anak cerdas itu dari makanan. Itu intinya pak (05)”. “Kalau bisa lanjut ya pak? Jadi yang mandiri itu lebih banyak, gitu, Karena sekolah dibatam sangat banyak pak, jadi kalau mereka tidak mandiri, nanti yang ngawasinya yang kesulitan pak (06)”. “Saya pikir pekerjaan ini belum selesai gitu, kalau ini memang jadi kerja daerah, SKPD apa saja yang terlibat? Memang idealnya pedagang kaki lima ini deregister. Sepertinya pemerintah wajib ambil andil (12)”. “Saya kira kalau itu memang ada arahan , kita akan coba dengan kita pak, kalau perlu kita undang dari Balai POM untuk memberikan penyuluhan kepada anggota kita. Kita siap mengundang itu pak (15)”. “Kita lanjut sendiri, kalau terkait kesehatan, kesehatan yang laksanakan, Kita nanti paling berupa penyuluhan penyuluhan aja kali. Ke sekolah sekolah melalui UKS (17)”. “Bahkan kami sudah berpikir bahwa promotif dan preventif ini tidak mesti Dinas Kesehatan leading sektornya, camat lurah kita beban kan ini, mereka melakukan pembinaan pembinaan ke kader posyandu (12)” ” Kalau memang BPOM mau gandeng majelis ulama,ormas, kami siap! kami lihat tenaganya sangat terbatas sekali (14)”. “ Saya kira dinas perlu lanjut pak. Bangsa kita ini kan kan tidak setahun dua tahun pak, tapi teruuuusss gitu. Kita tidak bisa kata kan 80% sudah, o o tidak saya belum yakin , karena pola pikIr masyarakat kita tidak secepat itu sih. Tidak boleh berhenti pak , merubah main set tidak bisa dalam waktu 4 tahun, apalagi orang orang pulau yang tingkat ekonominya terbatas (15)”. sedangkan ditingkat pusat, mereka berencana untuk mengadakan kegiatan lanjutan untuk SMP dan SMA serta Food Safety Masuk Desa ”Jadi untuk AN PJAS ini kita masukkan dalam satu paket dengan food safety masuk desa pak. jadi nanti SD ini kan ada di desa juga dan ini jadi target kita juga nantinya. Jadi bukannya 2014 selesai, nggak!. Akan
Universitas Indonesia
95
diteruskan dan Badan POM juga sudah mengajukan new inisiatif untuk SMP dan SMA”(01). Akan tetapi komitmen ini belum ditindak lanjuti untuk menjadikan program ini menjadi prioritas pada program kerja SKPD tahun berikutnya. Dalam RPJM kota Batam, keamanan pangan merupakan bagian dari pembangunan dibidang kesehatan, akan tetapi kegiatan ini belum menjadi prioritas, sebagaimana disampaikan informan : “Kita tidak menyatakan belum prioritas, tapi setiap rapat, selalu disampaikan , bahkan setiap saya sidak ke sekolah, pasti yang saya lihat kantin dahulu (15)” “Di RPJM ada prioritas pembangunan Kota Batam, salah satunya kesehatan , cuma didalamnya makanan belum menjadi prioritas (11)”. “RAD PG ini masih berbentuk himbauan, kalau RAD nya nggak ada, tapi kalau kegiatannya sudah ada,di bagian Farmakmin Dinas Kesehatan, Cuma anggarannya memang kecil sekitar 60 jutaan. Belum suatu unggulan”(11) Prioritasnya masih terfokus kepada pembangun fisik seperti puskesmas, Pustu, Polindes, Ambulan, penambahan tenaga kesehatan dll., mengikuti renstranya Pusat dan Renstranya Kota Batam. sebagaimana diungkapkan oleh informan : “Kalau yang makanan itu nggak, paling bagian daripada RPJM . Di renstra kita, kita ngikutin pusat dan juga ngikutin RPJMnya pemko, misalnya membangun puskesmas, postu, polindes, ambulan, pengangkatan tenaga dll. (17)”. “Kita belum bisa memperbesar kebutuhan non fisik ini karena memang kebutuhan membangunnya masih tinggi (12)” “Kalau di Jogja mereka sudah sampai kesitu pak, Bappedanya sudah mengakomodir kebutuhan Dinas Kesehatan untuk PJAS pada tahun 2015. Tapi kalau disini saya kurang tahu kalau di Bappedanya seperti apa gitu (04)” Terkait dengan kepemimpinan pejabat pelaksana, hampir semua informan menyatakan baik, sebagaimana diungkapkan informan : ”Mendukung pak, bagus! (04)”. ” Bagus, beliau tak ada hambatan bagi beliau, itu kita pandang baik, jalan!. Empuk sekali beliau. Kalau untuk pendidikan itu, tidak ada kata tidak untuk beliau (05)”.
Universitas Indonesia
96
” Kalau dari kasi, mereka bilang juga, kalau sekolah kita perlu jamah (06)”. cuma ada 1 informan yang agak ragu-ragu dengan kepemimpinan atasannya / pejabat pelaksana, sebagaimana yang informan sampaikan: “Kalau dari kabid, kalau tidak menyalahiii ini ya silahkan!, kalau kabid kita mah…ehm.ehm…, gimana ya?...... kalau kepala dinas…… yang penting aman,… itu aja intinya (06)”. 5.6. Pencapaian tujuan kebijakan Dari laporan tahunan Balai POM di Batam, Sejak tahun 2011 sampai 2014, BPOM di Batam sudah menguji sampel PJAS sebanyak 926 sampel yang disampling di kota Batam, Tanjung Pinang, kabupaten Karimun dan Bintan dengan jumlah sekolah kurang lebih 62 Sekolah Dasar (SD). Hasil uji memperlihatkan bahwa PJAS yang tidak memenuhi syarat adalah 58 (6,26%) dan yang memenuhi syarat sebanyak 868 sample (93,74%). Berdasarkan laporan laporan Aksi Nasional Gerakan Menuju PJAS yang aman, bermutu dan bergizi tahun 2013, hasil pengujian secara nasional menunjukkan bahwa 12.859 sampel (80,79%) memenuhi syarat, sehingga Indikator kinerja utama untuk tahun 2013 bisa dicapai. Namun beberapa informan mengatakan bahwa pencapaian IKU 80% tersebut belum menggambarkan pencapaian kemandirian pengawasan PJAS oleh komunitas sekolah, sebagaimana diungkapakan informan: ” Jadi kalu untuk target penurunan , 80%, 90% kita capai gitu. Tapi untuk meneruskan ini menjadi satu kegiatan yang memang harusnya dikerjakan oleh pemerintah daerah,kelihatannya harus punya effort yang berbeda lagi gitu (01)”. ”Jadi….. menurut saya kondisi yang di lapangan itu masih jauh. Kantin aja, kita lihat kondisi kantinnya, mungkin ada sekolah sekolah yang kelas internasional, kelas yang di kota, mungkin kebersihannya sudah terjaga, coba kalau di desa desa, di kecamatan kita lihat kondisi kantinnya mereka, hygiene sanitasi mereka…. Menurut saya sih.. belum. (03)”. “Kita tidak bisa kata kan 80% sudah, o.. o.. tidak saya belum yakin , karena pola pikir masyarakat kita tidak secepat itu sih (15)”. meskipun ada 2 informan yang menyatakan sudah sesuai, dan 1 ragu ragu, sebagaimana diungkapkan informan :
Universitas Indonesia
97
“saya ragu ragu juga nih, tapi menurut pantauan saya bagus bagus aja, kenapa? Karena kalau tidak bagus pasti ada laporan, anak sakit perut. Tapi selama ini bagus bagus saja, kita beranggapan kita pernah mengasih penyuluhan kepada guru guruUKS. Itu saja indikatornya (17)”. “Sudah !(05)”. “Kalau untuk didalam kantin sekolahnya sendiri, mungkin iya pak ya? 80% itu tercapai. Tapi kadang kan yang merusak itu pedagang diluaar sekolahnya (06)”. “Nggak bisa dilihat pak, dari 2012 ke 2014 saja sekolahnya sudah beda beda dan kita juga nggak ada kesana lagi (04)”. Untuk kebih memudahkan dalam pemahaman, kesimpulan hasil wawancara tersebut dapat dilihat lampiran 1
Matriks Kesimpulan Hasil
Wawancara.
Universitas Indonesia
98
BAB VI PEMBAHASAN Pelaksanaan “Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi” berlangsung selama tahun 2011 sampai tahun 2014. Tujuan utama Aksi Nasional PJAS adalah peningkatan keamanan, mutu dan gizi PJAS melalui kemandirian komunitas sekolah dalam mengawasi PJAS dilingkungannya. indikator kinerjanya adalah persentase PJAS yang memenuhi syarat pada tahun 2012, 2013 dan 2014, masing masing 70, 80 dan 90% di SD/MI. Untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi Aksi Nasional PJAS ini, digunakan model analisa implementasi kebijakan publik yang disampaikan Mazmanian dan Sabatier disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis Teori dari Mazmanian dan Sabatier merupakan salah satu dari teknik implementasi dengan pendekatan “Top down”. Pada pendekatan ini peneliti terfokus kepada kebijakan dan berusaha untuk memperoleh fakta fakta, apakah implementasi kebijakan itu mampu atau tidak mencapai tujuannya (Hogwood and Gunn 1984 dalam Purwanto E.A & Sulistyastuti.D.R, 2012). Sehingga pendekatan ini sangat cocok untuk menilai efektifitas implementasi suatu kebijakan. Menurut Gibson dkk (1996) efektifitas adalah pencapaian sasaran dari upaya bersama. Derajat pencapaian sasaran menunjukkan derajat efektifitas. Menurut Tjokroamidjojo (1987), mengatakan bahwa efektifitas adalah agar pelaksanaan administrasi lebih mencapai hasil seperti direncanakan, mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dan lebih berdaya hasil (Paselong.H, 2013). Untuk menganalisa proses implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS dalam mencapai tujuannya (efektifitas) di kota Batam, Mazmanian dan Sabatier mengemukakan 6 (enam) faktor / kondisi implementasi yang efektif (Kincaid.M.2011). yaitu : 1. Adanya tujuan yang jelas dan konsisten dalam kebijakan (Incorporating clear and consistent objectives in the policy ) 2. Memahami hubungan kausal (Understanding the causal pathways)
Universitas Indonesia
99
3. Strukturisasi proses implementasi (Structuring the implementation process) 4. Komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana (The level of commitment and leadership skills of top implementing officials) 5. Dukungan yang konsisten dari kelompok konstituen (Consistent support from organized constituency groups) 6. Ketahanan kebijakan untuk perubahan lingkungan eksternal (The resilience of a policy to changes in the external environment) Keenam kondisi ini tersebar dalam 2 variabel besar, 3 (tiga) kondisi pada variable Statutory (hukum) dan 3 kondisi pada variabel non statutory (nonhukum). Dua kondisi ditempatkan sebagai yang lebih penting daripada yang lain, yaitu: a) tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten, b). hubungan kausal, harus dipenuhi (Kincaid.M, 2011). Untuk menemukan fakta fakta terhadap kemampuan implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS mencapai tujuannya (Efektifitas) , akan dibahas sesuai dengan variabel yang dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier, yaitu: A. Kelompok Variabel Statutory (Hukum). Pada variable hukum ini mengacu kepada kebijakannya itu sendiri, seperti bahasa, pemikiran dan struktur pelaksanaannya. Dalam kelompok hukum ini, mencakup 3 variabel/kondisi terkait efektifitas implementasi kebijakan, yaitu : 1. Adanya tujuan yang jelas dan konsisten dalam kebijakan (Incorporating clear and consistent objectives in the policy ) Adanya tujuan yang jelas dan konsisten ini akan meningkatkan keberhasilan pelaksanaan (kelompok sasaran /target akan tahu persis apa yang diharapkan dari mereka), memudahkan dalam evaluasi (evaluator tahu bagaimana mengukurnya), dan mendukung dalam advokasi (petugas akan dapat merujuk pada bahasa yang jelas dan tidak ambigu). Berdasarkan hasil wawancara, tujuan dari Kebijakan Aksi Nasional PJAS ini sudah jelas (03),(04),(05),(06),(09). Akan tetapi dari analisa dokumen, ditemukan ada perbedaan dalam penulisannya seperti dapat dilihat pada BAB V, poin 5.4.1.a. Namun kebanyakan dari tujuan itu ditulis adalah 1) Memberdayakan komunitas sekolah untuk meningkatkan pangan jajanan
Universitas Indonesia
100
anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi, 2) Menguatkan koordinasi dan jejaring kerja lintas sektor di pusat dan daerah untuk meningkatkan PJAS yang aman, bermutu, dan bergizi. Sementara itu indikator kinerjanya adalah “Peningkatan persentase PJAS yang memenuhi persyaratan kemanan, mutu dan gizi” Berdasarkan hasil pengujian PJAS tahun 2013, secara nasional ditemukan 80,79% PJAS sudah memenuhi syarat, berarti IKU untuk tahun 2013 bisa dicapai. Akan tetapi beberapa informan mengatakan bahwa pencapaian PJAS yang memenuhi syarat/IKU 80% tersebut belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya dilapangan termasuk juga kemandirian sekolah dalam mengawasi PJAS nya (01,03,04,15). Data di kota Batam memperlihatkan bahwa beberapa kelompok sasaran sudah melakukan perubahan prilaku sebagai hasil dari program ini, namun jumlahnya masih kecil. Sekolah yang memperoleh intervensi A di kota Batam baru 15 SD (6,07%) dan diantaranya yang dapat piagam bintang satu keamanan pangan kantin sekolah baru 3 SD (1,2%) dari total SD/MI yang ada, sehingga menurut peneliti yang bisa dianggab mandiri baru 1,2%, (karena belum ada indikator yang menentukan sekolah itu sudah mandiri atau belum). Untuk hasil uji PJAS oleh Balai POM di Batam dari tahun 2011 sampai 2014, menunjukkan bahwa 93,74% PJAS tersebut memenuhi syarat keamanan pangan /sudah diatas rata-rata Nasional (Balai POM b, 2014). Dalam lampiran Rencana Aksi Nasional PJAS (RAN PJAS) tentang indikator dan alat verifikasi RAN PJAS, Maksud program ini adalah “Memberdayakan Komunitas Sekolah dalam Penyediaan PJAS yang Aman, Bermutu dan Bergizi” dengan indikatornya ”Diberdayakannya Komunitas Sekolah dalam Penyediaan PJAS yang Aman, Bermutu dan Bergizi”. Akan tetapi indikator ini sepertinya kurang tersosialisasi karena indikator yang banyak muncul dalam dokumen dan laporan laporan kegiatan hanyalah IKU. yaitu peningkatan PJAS yang memenuhi syarat. Akibatnya petugas didaerah tidak mengerti apa ukuran dari pencapaian tujuan Aksi Nasional ini terutama dalam
melakukan
monitoring
dan
evaluasinya,
sebagaimana
juga
Universitas Indonesia
101
diungkapkan oleh informan (04). Sementara itu kebanyakan dokumen lain, menuliskan bahwa ”maksud program” pada Rencana Aksi Nasional PJAS itu sebagai tujuan kegiatannya. Dalam Rencana Aksi Nasional PJAS tahun 2011 ini tujuannya adalah ”Meningkatkan PJAS yang Aman, Bermutu dan Bergizi” dengan indikatornya Meningkatnya PJAS yang Aman, Bermutu dan Bergizi. Dengan demikian bisa diambil suatu kesimpulan bahwa terjadi ketidak konsistenan dalam menuliskan tujuan program, sehingga Indikator kinerja yang terkait dengan pemberdayaan komunitas sekolah tidak ada muncul dalam laporan laporan kegiatan seperti laporan Aksi Nasional PJAS tahun 2013. Untuk menentukan/ mengukur kemandirian sekolah dalam mengawasi PJAS di lingkungannya sebagai output kegiatan ini juga belum ada pedoman yang jelas. Dari sisi pelaporan yang bisa digunakan sebagai kontrol dari pelaksanaan kegiatan, untuk pelaksanaan di tingkat pusat sudah baik, namun untuk tingkat kota Batam, masih lemah, karena kelompok pelaksana maupun kelompok sasaran dari kebijakan ini tidak mengetahui bagaimana teknis dan bentuk pelaporan yang akan mereka sampaikan (05),(06),(08),(09), disamping itu juga tidak ada pertemuan rutin yang dilakukan untuk mengevaluasi kegiatan ini (04). Tidak adanya pelaporan ini bisa juga disebabkan karena belum ada pembagian tugas, peran dan tanggung jawab yang resmi dari masing masing stakeholder terkait kegiatan ini. Sementara ditingkat pusat selalu dilakukan monitoring dan evaluasi, ada yang dibuat per 3 bulan dan per 6 bulan untuk membuat laporan tahunan terkait kegiatan tersebut dan dilaporkan ke presiden, wakil presiden dan UKP4 (01). Petugas penyuluh, khususnya dari Balai POM di Batam sudah dibekali dengan pelatihan pelatihan dan juga dilengkapi dengan sarana dan prasarana lainnya seperti buku terkait juknis, bahan bahan dan alat untuk presentasi, dll untuk menjaga konsistensi penyampaian tujuan kebijakan tersebut. Dari hasil penyuluhan dan pembinaan oleh Balai POM dan Dinas Kesehatan serta Dinas Pendidikan kota Batam,ini sudah ada beberapa
Universitas Indonesia
102
perubahan prilaku dari kelompok sasaran, diantaranya: sudah memindahkan lokasi kantin sekolah ketempat yang lebih baik, sudah memakai jepitan untuk mengambil makanan, tidak menggunakan sterifoam untuk makanan, memakai celemek dan tutup kepala (jilbab) bagi penjual makanan, menutup makanan dll (07), (08),(09). 2. Memahami hubungan kausal (Understanding the causal pathways) Teori/hubungan kausalitas ini mendasari untuk pemahaman bagi kelompok pelaksana menghadapi persoalan yang akan ditanggulangi, sebab sebab timbulnya masalah dan cara pemecahannya, peluang yang tersedia untuk mangatasi masalah, sifat permasalahannya dan apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut (Wahab, S.A.,2012). Secara umum teori kausalitas dalam kebijakan Aksi Nasional PJAS ini sudah ada, dan cukup jelas. Hal ini dapat dilihat dalam dokumendokumen seperti Rencana Aksi Nasional PJAS tahun 2011 yang merupakan panduan bagi instansi dan lintas sektor terkait untuk mengambil bagian dalam Aksi Nasional tersebut, dalam grand design kegiatan Aksi Nasional PJAS dll. Akan tetapi masih ada kegiatan pentig yang belum terlaksana, diantaranya adalah pembuatan NSPK terkait tugas, peran dan tanggung jawab kelompok kelompok pelaksana kebijakan. NSPK terkait Program PJAS Nasional diperlukan oleh Pemerintah Daerah guna melandasi keefektifan pelaksanaan program PJAS (Badan POM, 2011) Dengan tidak tersedianya NSPK ini beberapa instansi dan stakeholder di daerah tidak mengerti peranan mereka dalam Aksi Nasional PJAS ini (02,03,04), sehingga yang banyak mengambil peran aktif adalah Balai POM setempat, sedangkan instansi lain cenderung hanya sebagai pendamping (04). Peranan instansi terkait itu sudah ada dalam aturan yang lebih tinggi yaitu pada PP 28 tahun 2004 tentang Kemanan Mutu dan Gizi Pangan, bahwa Pangan siap saji pengawasan dan pembinaannya ada pada pemerintah daerah (01, 02). Sehingga dalam hal ini program Aksi Nasional PJAS ini hanya merupakan “Trigger” saja dan nantinya akan dilanjutkan
Universitas Indonesia
103
oleh Pemerintah Daerah (01). Untuk pembagian peranan sebenarnya bisa dilakukan dalam wadah Jejaring Kemanan Pangan Daerah (JKPD) (01) maupun Gugus Tugas PJAS di Kabupaten / kota,
namun di Batam
keberadaan wadah ini belum ada (04). Sepertinya ketiadaan NSPK ini bukan sebagai penghalang utama, karena masih ada juga daerah lain seperti Jogja, dimana Bappedanya sudah mengakomidir kebutuhan Dinas Kesehatan untuk PJAS pada tahun 2015 (04). Dari analisis dokumen yang ada, juga terlihat beberapa aturan yang menyatakan bahwa pemerintah daerah punya kewajiban dalam mengawasi pangan jajanan anak sekolah ini, karena sesuai UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana urusan pendidikan dan kesehatan sudah menjadi kewenangan pemerintah daerah, tidak terkecuali Kota Batam. Beberapa aturan terkait keamanan PJAS ini diantaranya : 1). PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 42 ayat 2 bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana dan prasarana antara lain ruang kantin, 2). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kegiatan Pembinaan Kesiswaan yang menyatakan bahwa melaksanakan pengamanan jajanan anak sekolah, dan 3). Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan Mutu dan Gizi Pangan . Disamping itu juga ada Nota Kesepahaman antara Kementerian Diknas dengan Badan POM tentang Program Pembinaan Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah pada tanggal 11 Februari 2010. 3. Strukturisasi proses implementasi (Structuring the implementation process) Strukturisasi proses implementasi yang baik dengan menetapkan tanggung jawab atas kebijakan organisasi / lembaga yang bersimpati kepada masalah, menyediakan dana yang cukup, meminimalkan jumlah titik veto (kesempatan untuk menghambat pelaksanaan), dan termasuk sanksi dan bujukan untuk mengubah perilaku, untuk meningkatkan kemungkinan bahwa audiens target akan melakukan apa yang diharapkan dari kebijakan untuk mereka lakukan merupakan bagian yang penting dalam berhasilnya implementasi suatu kebijakan. Universitas Indonesia
104
Strukturisasi dalam pelaksanaan Kebijakan Aksi Nasional PJAS ini sudah pernah diusulkan pada Rencana Aksi Nasional PJAS tahun 2011, juga sudah dibuatkan acuan kegiatannya, namun kolom untuk Pemerintah Daerah belum diisi dengan pengharapan diisi oleh pemerintah setempat seperti dalam forum JKPD, karena hanya pemerintah setempat yang mengerti apa yang diperlukan untuk daerah mereka. Usulan strukturisasi itu juga ada dalam surat edaran bersama antara Kementerian Pendidikan Nasional dan Badan Pengawas Obat dan Makanan tanggal 24 April 2012, yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan tegas mengharapkan partisipasi aktifnya dalam mendukung kegiatan aksi Nasional PJAS ini, akan tetapi tidak ditindak lanjuti oleh dinas bersangkutan. Surat ini pernah diterima oleh dinas pendidikan di Batam (05), namun mereka hanya menunggu aksi dari Balai POM di Batam. Strukturisasi dan penganggaran ini sudah ditindak lanjuti dalam RAD PG (Rencana Aksi Daerah Pangan Gizi) yang dilaksananakan oleh Bappeda,sebagai tindak lanjut dari Rencana aksi Nasional Pangan Gizi (RAN PG) dari Bappenas, dimana Balai POM ditunjuk sebagai Ketua pada Pokja III. Dalam RAD PG ini sudah diatur peranan dari instansi terkait, kegiatan dan juga penganggarannya.(01),(03). Akan tetapi untuk kota Batam masih belum ada realisasinya. Instansi terkait di kota Batam mengatakan bahwa RAD PG ini bersifat himbauan dan ini didukung oleh laporan pertemuan terakhir di tingkat propinsi pada tanggal 30 Oktober 2014 (11). Tidak adanya sanksi terhadap penyelenggaraan Aksi Nasional PJAS ini juga dirasakan menjadi kendala bagi kelompok pelaksana kebijakan, sehingga kepeduliannya dalam merealisasikan tujuan Aksi Nasional PJAS ini pun juga kurang.(04). Beberapa permasalahan tersebut kemungkinan bisa ditindak lanjuti dengan membuat suatu Peraturan Daerah , sehingga ada dasar hukum bagi sekolah sebagai kelompok sasaran untuk melaksanakannya, dan juga ada dasar yang kuat bagi kelompok pelaksana untuk membuat aturan aturan
Universitas Indonesia
105
terkait upaya mewujudkan PJAS yang aman, bermutu dan bergizi. Hal ini didukung oleh sebagian besar informan B. Kelompok Variabel Non Hukum (Non Statutory) Variabel non hukum merupakan variable / faktor diluar kebijakan itu sendiri, diantaranya terkait dengan komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana, advokat dan kerentanan kebijakan terhadap perubahan lingkungan politik, sosial dan ekonomi. Beberapa hal yang berpengaruh negatif dalam implementasi Aksi Nasional PJAS di kota Batam ini adalah belum menjadi prioritasnya keamanan pangan dalam pembangunan kota Batam karena renstra bidang kesehatan mengikuti renstra Pusat, Propinsi dan RPJM daerah yang sebagian besar masih tertuju pada pembangunan fisik seperti puskesmas ,pustu, ambulan dll.. Kondisi berikutnya dari variable ini adalah kurangnya dukungan dari Legislatif dan Kepala pemerintahan kota Batam. 1. Komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana (The level of commitment and leadership skills of top implementing officials) Komitmen dan keterampilan kepemimpinan pejabat pelaksana adalah penentu variable non-hukum yang paling penting. Pejabat yang mempunyai komitmen dan keterampilan politik serta manajerial yang memadai dapat mempengaruhi kelompok sasaran untuk bertindak sesuai dengan tujuan kebijakan (Wahab.S.A, 2012). Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, dalam hal ini pimpinan instansi dan stakeholder terkait lainnya, secara umum semua mempunyai komitmen yang kuat dalam melaksanakan dan melanjutkan kegiatan untuk mewujudkan pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi. Akan tetapi semangat yang kuat dari pimpinan ini belum dibarengi dengan memasukkan kegiatan keamanan pangan ini dalam prioritas kerjanya serta belum didukung oleh penganggaran tahun berikutnya. Bahkan program keamanan pangan ini belum menjadi prioritas dalam RPJM Kota Batam
Universitas Indonesia
106
(11),(15),(17),(06),(04), Meskipun ada kegiatan untuk pengawasan pangan ini, anggarannya sangat kecil (11). Terkait dengan kepemimpinan dari pejabat pelaksana, hampir semua stafnya mengatakan baik dan mendukung kegiatan ataupun usulan kegiatan terkait dengan pengawasan jajanan anak sekolah ini. 2. Dukungan yang konsisten dari kelompok konstituen (Consistent support from organized constituency groups) Penguasa, seperti legislator atau pemimpin politik lainnya, dapat mempengaruhi pelaksanaan kebijakan melalui tingkat pengawasan yang mereka berikan serta penyediaan sumber daya keuangan untuk lembaga pelaksana (Wahab.S.A., 2012) Untuk pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di kota Batam, dukungan dari legislatif dan penguasa sepertinya secara langsung belum ada (04), karena tidak terbangunnya komunikasi dengan legislatif (DPRD) selama pelaksanaannya sehingga legislatif pun belum mengetahui ada kegiatan tersebut (12). Upaya untuk melibatkan pihak penguasa dalam kegiatan ini sudah dilaksanakan diantaranya pada kegiatan Gebyar PJAS di salah satu Mall di Kota Batam tahun 2013 yang dihadiri oleh Walikota dan beberapa Kepala Dinas terkait.
Dalam kegiatan ini, Walikota meresmikan mobil
laboratorium keliling Balai POM di Batam, disamping kegiatan lain seperti lomba menggambar, pemutaran film Pompi yang merupakan icon untuk PJAS,dll. (03),(04). Disamping pendekatan dengan kepala daerah, Balai POM di Batam juga aktif dalam penyusunan kegiatan Rencana Aksi Daerah Pangan Gizi (RAD PG) di Bappeda tingkat propinsi, terkait penyusunan rencana kegiatan
yang
akan
dilaksanakan
oleh
pemda
propinsi
dan
kabupaten/kota.(03). Upaya dengan legislatif, sepertinya belum dilaksanakan selama ini, karena sewaktu dikonfirmasi di DPRD, mereka malah tidak tahu ada kegiatan Aksi Nasional PJAS ini, termasuk juga kegiatan RAD PG dari Bappenas. Universitas Indonesia
107
c. Ketahanan kebijakan untuk perubahan lingkungan eksternal (The resilience of a policy to changes in the external environment) Ketahanan kebijakan untuk perubahan lingkungan eksternal seperti kondisi sosial ekonomi atau sosial budaya, dapat menjadi faktor kunci dalam menentukan keberhasilan dari waktu ke waktu dan di seluruh lokasi pelaksanaan (Kincaid, 2011) Pergeseran dalam kondisi sosial ekonomi, seperti resesi, dapat mengubah pendapat orang tentang isu ditangani oleh kebijakan dan bisa mengurangi dukungan politik untuk pendanaan pelaksanaannya. Selama kurun waktu pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ini di kota Batam, dari tahun 2011 -2014, tidak ada terjadi pergeseran dalam kondisi kondisi sosial ekonomi maupun sosial budaya yang signifikan. Menurut Mazmanian dan Sabatier, Interaksi dari kedua set variabel di atas akan menentukan output kebijakan. Pelaksanaan kebijakan dengan struktur hukum yang lemah akan sangat bergantung pada variasi dukungan politik dari setiap waktu dengan pengaturan lokal, sedangkan undang-undang yang disusun dapat memberikan arah kebijakan yang memadai dan sumber daya hukum untuk menahan perubahan jangka pendek"(Mazmanian & Kincaid (2011). Dilihat dari variabel kemampuan pengelolaan masalah (tractability problem), bisa disimpulkan bahwa permasalahan implementasi Aksi Nasional Menuju PJAS yang Aman, Bermutu dan Bergizi yang dilaksanakan untuk kota Batam cukup berat dan perlu waktu lebih untuk menyelesaikannya (tidak bisa dikelola dalam waktu pendek). Disamping beberapa faktor diatas, juga ada beberapa faktor teknis yang berpengaruh terhadap proses implementasi kebijakan ini seperti kurang nya SDM di beberapa instansi pelaksana sehingga monitoring, evaluasi dan pengawalan tidak bisa dilaksanakan; kurangnya sarana dan prasarana penunjang untuk melaksanakan kegiatan; keterbatasan anggaran; pengaruh penjual diluar lingkungan sekolah, dan belum mampu untuk menjadikan permasalahan keamanan, mutu dan gizi PJAS ini menjadi isu utama dalam pembangunan kota Batam, sehingga belum menjadi prioritas.
Universitas Indonesia
108
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan 1. Selama Pelaksanaan Aksi Nasional Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi (Aksi Nasional PJAS), Balai POM di Batam telah menguji sampel PJAS sebanyak 926 sampel, dengan hasil memenuhi syarat sebanyak 868 sample ( 93,74%). 2. Untuk kota Batam telah dilakukan Intervensi A, B dan C terhadap 215 sekolah dasar sebagai pelaksanaan aksi Nasional PJAS, dan yang mendapat penghargaan Piagam Bintang Satu Kemaman Pangan untuk Kantin Sekolah sebanyak 3 Sekolah 3. Pelaksanaan Implementasi Kebijakan Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi di kota Batam tidak berjalan secara efektif, karena ada kelemahan dalam variabel hukum (Statutory) dan juga pada variabel non hukum (Non Statutory) dari pelaksanaan kebijakan tersebut. 4. Faktor penghambat pelaksanaan Kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam terkait variabel Statutory ( hukum), diantaranya adalah : a. Tidak ditentukannya indikator kinerja terukur yang langsung berkaitan dengan output kebijakan yaitu kemadirian sekolah dalam mengawasi PJAS di lingkungannya, sehingga sulit untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan kebijakan tersebut. b. Tidak ada NSPK yang resmi untuk daerah terkait tugas, peran dan tanggung jawab instansi terkait dalam mendukung pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ini di daerah. c. Tidak ada strukturisasi proses implementasi Aksi Nasional PJAS di kota Batam dan tidak ada wadah untuk mengkoordinasikannya seperti forum Jejaring Keamanan Pangan Daerah (JKPD) maupun Gugus Tugas PJAS di kota Batam.
Universitas Indonesia
109
5. Faktor yang menjadi kendala pelaksanaan Aksi Nasional PJAS di kota Batam terkait variabel Non Statutory (non hukum) adalah : Tidak adanya dukungan langsung dari Pimpinan Daerah dan DPRD dalam implementasi kebijakan Aksi Nasional PJAS di kota Batam. Hal ini dapat dilihat dari belum menjadi prioritasnya Keamanan pangan
khususnya
Pangan
Jajanan
Anak
Sekolah
dalam
pembangunan daerah kota Batam, 6. Masih kurangnya komitmen pemerintah daerah kota Batam dalam membangun kemanan pangan khususnya mewujudkan pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi. Hal ini terlihat dengan belum menjadi prioritasnya kegiatan ini dalam program kerja mereka, serta dukungan dana yang kecil, meskipun komitmen dari pimpinan pejabat pelaksana cukup baik. 7.2. Saran : 1. Sebelum suatu kebijakan diimplementasikan, diharapkan sejak awal sudah ditentukan tujuan pelaksanaan yang rinci dan konsisten, serta menentukan indikator kinerja yang terukur dan
langsung berkaitan dengan tujuan
tersebut,
dalam
sehingga
memudahkan
pelaksanaan,
mengukur
keberhasilan serta advokasi kebijakan tersebut. 2. Dalam mengimplementasikan suatu kebijakan harus jelas strukturisasi / pengorganisasiannya, terutama dalam kegiatan yang melibatkan banyak instansi atau lintas sektor. 3.
Dalam
mengimplementasikan
suatu
kebijakan,
terutama
untuk
memberdayakan masyarakat dan melibatkan lintas sektor, dukungan Pemerintah Daerah dan Legislatif sangat diperlukan. 4. Sebagai pembanding, sebaiknya dilakukan penelitian serupa di daerah lain yang sudah memasukkan kegiatan pengawasan pangan jajanan anak sekolah ini dalam prioritas kerja mereka seperti Jogjakarta dll,.
Universitas Indonesia
110
5. Agar diberikan pelatihan pelatihan terkait pengawasan PJAS secara mandiri bagi tenaga di instansi lintas sektor terkait, sehingga mereka juga punya kompetensi khusus untuk kegiatan tersebut. 6. Mengingat tingginya harapan dari SKPD dan Stakeholder yang terlibat dalam kegiatan Aksi Nasional PJAS di kota Batam ini, diharapkan DPRD kota Batam bersama Pemerintah Daerah bisa membuat Peraturan Daerah (Perda,) terkait Kemanan pangan, khususnya penyediaan PJAS yang aman, bermutu dan bergizi di sekolah,
Universitas Indonesia
111
DAFTAR PUSTAKA Acosta, Ines (2012, Oct 10), Health : Uruguayan Schools Slowly Say GoodBye to Junk
Food,
Global
Information
Network,
New
York,
http://search.proquest.com/docview/1095572934/48554871DCB44A07PQ /21?accountid=17242, diunduh 7 feb 2014 Adisasmito.W, 2013, Perancangan Naskah Akademik & Kebijakan Kesehatan. Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta Ajulor.O.V.(2013), “Policy Implementation and Rural Poverty Reduction In Nigeria (An Analysis of the National Poverty Eradication Programe (NAPEP) In Ado-Odo Ota Local Gevernment Area, Ogun State)”, Annual International Interdisciplinary Conference, AIIC 2013, 24-26 April, Proceedings , Portugal Agustino.L, (2008), Dasar-Dasar Kebijakan Publik, Alfabeta,Bandung. Ashe, L M & Sonnino.R, 2013, At the crossroads: new paradigms of food security, public health nutrition and school food, Public Health Nutrition Volume: 16 pages 1020-7, United Kingdom, http://search.proquest.com/ docview/1353373130?accountid=17242 Ayuningtyas,D.,(2014), Kebijakan Kesehatan : prinsip dan praktik , RajaGrafindo Persada, Jakarta Badan POM RI a, (2013), Disain dan Petunjuk Teknis Kegiatan Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang Aman, Bermutu, dan Bergizi, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan POM RI, Jakarta Badan POM RI a, (2011), Rencana Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu, dan Bergizi, ___, Jakarta Badan POM RI b, (2013), Laporan Aksi Nasional Gerakan Menuju Pangan Jajajan Anak Sekolah yang Aman, Bermutu dan Bergizi, ___, Jakarta. Badan POM RI dan FKM UI, (2011), Promosi Kemanan Pangan, ____, Jakarta. Badan POM RI, (2012), Surat Edaran Bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Nomor 1801/C/TU/2012 dan HK.05.01.1.54.04.12.2549. Badan POM RI, Jakarta
Universitas Indonesia
112
BPOM Batam, (2014), Laporan Hasil Pengujian Pangan Jajanan Anak Sekolah Tahun 2011-2014,_____, Batam. BPOM Batam b, (2014), Laporan Tahunan Balai POM di Batam tahun 20112013, _____, Batam. Budiono, (2011), Pengarahan Wakil Presiden RI Prof Dr. Budiono Pada saat Pencanangan Gerakan Menuju Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang Aman, Bermutu dan Bergizi dan Satuan Tugas Pemberantasan Obat Illegal di Istana Wakil Presiden RI Jakarta, 31 Januari 2011. Chettiparamb, Angelique, (2009), Policy Build-Up' in Implementation: The Case of
School
Meals
Provision
in
Kodungallur,
Kerala,
India,
http://search.proquest.com/docview/215616813?accountid=17242 Chavez.R,(2003), The Utilization of The Mazmanian and Sabatier Model As A Tool For Implementation Of eGovernment For Fresno County, California, thesis California State University, (httpsearch.proquest.comdocview 305223459accountid=17242) Cullen. Et al, (2009), The Impact of the Texas Public School Nutrition Policy on Student Food Selection and Sales in Texas, American Journal of Public Health 99.4 (Apr.2009):706-12.
http://search.proquest.com/docview/
215085743/60A82A93654F4C63PQ/22?accountid=17242 Damanik, H.D.L, (2010), Faktor Dominan Kontaminasi Escherecia coli Pada Makanan Jajanan di Warung Lingkungan Sekolah Dasar Kota Palembang Tahun 2010, Thesis UI, Jakarta Damayanti.S.E, (2014), Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktek Kemanan Pangan Penjaja pangan Jajanan Anak Sekolah di Sekolah Dasar Negeri di Kota Tangerang Selatan tahun 2013, Thesis UI, Jakarta Danim.S., (2005), Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Ed.III, PT Bumi Aksara, Jakarta Devi.A, Surender.R., and Rayner.M,, (2010), Improving the food environment in UK schools: Policy opportunities and challenges, Journal of Public Health Policy,31,212–226,
httpsearch.proquest.comdocview
366152546A7D519FE08B64805PQ15accountid=17242, diunduh 5 feb 2014
Universitas Indonesia
113
Dick et al, (2012), Evaluation of implementation of a healthy food and drink supply strategy throughout the whole school environment in Queensland state schools, Australia, European Journal of Clinical Nutrition (2012) 66,
1124–1129
&
2012
(httpsearch.proquest.comdocview
1081910568A7D519FE08B64805PQ19accountid=17242, diunduh 5 feb 2014) Freeze.C, (2007), Enabling and Barrier Factors in the Development of Elementary and Consolidated School Nutrition Policies on Prince Edward Island,
Thesis, University of
Prince Edward Island, Canada,
(httpsearch.proquest.comdocview304717115previewPDFFCC0FC78EEC C485FPQ9accountid=17242) Gustama, D, (2013), Fragmenting Values : Exploring Policy Implementation Problems and Solutions, Thesis, Washington DC, (Published by ProQuest LLC (2013) UMI Number: 1536596). Gill.B. et al, (2006), “Food hygiene education in UK primary schools: a nationwide survey of teachers' views”, British Food Journal 108.9 (2006): 721731. http://search.proquest.com/docview/225141014?accountid=17242 Howard et al. (2011), Proximity of food retailers to schools and rates of overweight ninth grade students: an ecological study in California, BMC Public
Health
2011,
11:68
httpsearch.proquest.comdocview
902197508A7D519FE08B64805PQ10accountid=17242 http//batamkota.bps.go.id/publikasi/110?title=Batam-Dalam-Angka-2013 diunduh 22 Maret 2014 Kementerian Kesehatan, (2010), Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, Balai Penelitian dan Pengambangan Kesehatan, _____, Jakarta Kementerian
Perencanaan
Pembangunan
Nasional/
Badan
Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS), (2011), Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, Jakarta. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan POM RI, (2012), Surat Edaran Bersama,___, Jakarta. Kincaid.MM. (2011),Gender Integration Case Study: A Policy Implementation Analysis of USAID Health Sector Programming, UMI Dissertations, The
Universitas Indonesia
114
University
of
North
Carolina
at
Chapel
Hill,
2011,
(http://search.proquest.com/docview/923618435?accountid=17242) Maira Quintanilha.M, (2011), Barriers and facilitators to the implementation of healthy eating strategies in schools in Alberta, Thesis, University of Alberta,
(httpsearch.proquest.comdocview1170759750B4AC
B71565C54BB8PQ38accountid=17242) Masse, Naiman.D, and Naylor P.J, (2013), From policy to practice: implementation of physical activity and food policies in schools, International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity, 10:71 httpsearch.proquest.comdocview1369004803A7D519FE08B64805PQ82ac countid=17242), diunduh 5 feb 2014 Moleong,L.J, (2013), Metodologi Penelitian Kualitatif , ed. Revisi, Remaja Rosdakarya, Bandung Muliani.Y, (2012), Hubungan Antara Promosi Keamanan Pangan dengan Sikap Memilih Pangan Jajanan Anak Sekolah yang Aman, Thesis UI, Jakarta Mullally, et al, (2010), “A Province-wide School Nutrition Policy and Food Consumtion in Elementary School Children in Prince Edward Island”, Canadian Journal of Public Health ,101, 40-3, http://search.proquest.com /docview/232007886?accountid=1724) diunduh 3 April 2014 Nelson, M; Breda,J, (2013), School food research: building the evidence base for policy, Journal Article, Public Health Nutrition Volume: 16 Pages: 95867, Cambridge, United Kingdom, 2013. Nugroho D, ( 2006), Kebijakan Publik Untuk Negara-Negara Berkembang, Jakarta, Gramedia Nyongani.M.M, (2012), Mitigating Negative Axternalities Affecting Access and Equity of education in Low- Resource Countries: A Study Exploring Social Marketting as A Potential Strategy for Planning School Food Programs in Malawi, Dissertation, University of Malawi Parsons,Wayne, (2008), ‘Public Policy: Pengantar Teori & Praktik Analisis Kebijakan’, Ed. 1, Jakarta, Kencana Pasolong.H, (2013), Teori Administrasi Publik, Bandung, Alfabeta.
Universitas Indonesia
115
Pemerintah Republik Indonesia, 2004,’Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004, Jakarta. Pemerintah Republik Indonesia, 2012, ‘Undang-Undang tentang Pangan’, undang-undang nomor 18 Tahun 2012, Jakarta Peter.S. et al, (2007), Lifestyle of School Children: Representative Survey in Metropolitan Elementary Schools – Part One, Ann Nutr Metab 2007;51:448–453, livestyle of school children, httpsearch.proquest. comdocview232111088AE571036CA2A4CE5PQ17accountid=17242, diunduh 8 Feb 2014 Purwanto.E.A & Sulistyastuti.D.R., (2012), Implementasi Kebijakan Publik Konsep dan Aplikasinya Di Indonesia, Gava Media, Yogyakarta. Scholtens.S. et al, (2010), “Differences in school environment, school policy and actions regarding overweight prevention between Dutch schools. A nationwide
survey”,
BMC
Public
Health
2010,
10:42
http://www.biomedcentral.com/1471-2458/10/42 Seliske, et al. (2009), “Association between the food retail environment surrounding schools and overweight in Canadian youth”, Public Health Nutrition12.9 (Sep 2009): 1384-91. http://search.proquest.com/docview/ 223086414/A7D519FE08B64805PQ/9?accountid=17242, diunduh5 feb 2014 Sidaner.E et.al, 2013, “The Brazilian school feeding programme: an example of an integrated programme in support of food and nutrition security”, Public
Health
Nutrition 16.6
(Jun
2013):
989-94.
http://search.proquest.com/docview/1353372754?accountid=17242 Steve Smith , (2010, Oct 28), UNL Study: Schools that Ban Junk Food at Mealtime are 18% Lighter, Targeted News Service , Washington, D.C, http://search.proquest.com/docview/761010148/48554871DCB44A07PQ/ 9?accountid=17242, diunduh 7 feb 2014 Sugiyono, (2011), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta, Bandung. Susilawati.N, (2012), Implementasi Kebijakan Pengeluaran Pada Kawasan Agropolitan Kota Baru, Tesis UI, Jakarta.
Universitas Indonesia
116
Taylor.J.P et al, (2011), “Implementing Elementary School Nutrition Policy: Principals' Perspectives”, Canadian Journal of Dietetic Practice and Research 72.4 (Winter 2011): 176. http://search.proquest.com/docview/ 912207983?accountid=17242 Tester et al, (2010), An Analysis of Public Health Policy and Legal Issues Relevant to Mobile Food Vending American Journal of Public Health 100.11 2038-46. http://search.proquest.com/docview/759010228?accountid=17242 Tester.J.M,Palis.L.C, Laraia.B.A, (2011), “Healthy food availability and participation in WIC (Special Supplemental Nutrition Program for Women, Infants, and Children) in food stores around lower- and higherincome elementary schools”. Public Health Nutrition 14.6 (Jun 2011): 960-4.( http://search.proquest.com/docview/865877942?accountid=17242 Usda
gov,
Team
Nutrition-Local
Shcool
Wellness
Policy,
http://www.fns.usda.gov/tn/local-school-wellness-policy, diunduh 19 April 2014 Vereecken CA, , K Bobelijn1.K, dan L Maes. L. (2005), School food policy at primary and secondary schools in Belgium-Flanders: does it influence young people’s food habits?, European Journal of Clinical Nutrition 59,271–277, httpsearch.proquest.comdocview219664034A7D519FE08B64805PQ1acco untid=17242, diunduh 5 feb 2014 Wahab,S.A, (2012), ‘Analisis Kebijakan : Dari Formulasi ke Penyusunan modelmodel Implementasi Kebijakan Publik’, Bumi Aksara, Jakarta. Yongjin Sa, (2013),
Policy Implementation Framework and Family-Friendly
Work Policy: Evidence from Flex-Working Programs in South Korea’s Public Sectors, Asian Social Science; Vol. 9, No. 15; 2013, (httpsearch.proquest.comdocview1470883473accountid=17242) Yuliastuti.R, (2012), Analisis Karakteristik Siswa, Karakteristik Orang Tua dan Perilaku Konsumsi Jajanan pada Siswa-Siswi SDN Rambutan 04 Pagi Jakarta Timur Tahun 2011, Skripsi UI, Jakarta.
Universitas Indonesia
117
Lampiran 1 :. Matrik Rangkuman Hasil Wawancara Variabel
01 02 03 A. Kemampuan mengendalikan masalah (Tractability Problem) 1. Masalah teknis - tidak mengetahui kegiatan AN-PJAS - Kekurangan SDM + - Kurang koordinasi + + - Tidak ada NSPK terkait lintas sektor + + - Keterbatasan dana - Kurang sarana dan prasarana (keterbatasan LCD, tidak ada pagar sekolah, tidak ada ruang UKS dan pustaka) - Keberadaan penjual di luar sekolah 2. Keragaman prilaku dari kelompok sasaran - Penggunaan bahan berbahaya sudah menurun + + - Kebersihan dan tempat cuci tangan di kantin + masih kurang, dekat tempat sampah. - Penggunaan penjapit makanan, celemek, menutup makanan, - Orang tua kurang paham - Belum diperhatikan karena belum ada kejadian - Kepala sekolah kurang peduli
I n f o r m a n 04
05
06
07
08 09 10
11
12
13
14
15
16
17
+
+
+
+ +
+ + +
+ + +
+ +
+
+
+
+
+
+
+ + +
+ + +
+ +
+ +
Universitas Indonesia
118 Lanjutan lampiran 1 …….
3. . Persentase kelompok sasaran - Bisa dilaksanakan, hanya 10 % dari total SD di Indonesia - Susah mengawalnya, kurang SDM 4. Ruang lingkup perubahan yang diinginkan - Bisa mewujudkan kemandirian di sekolah - Susah untuk memandirikan sekolah B. Variabel Statutory (hukum) 1. Tujuan kebijakan yang jelas dan konsisten - Tujuan pelaksanaan jelas - Pelaporan ditingkat pusat jalan - Pelaporan di tingkat kota Batam tidak ada - Monev di kota Batam tidak dilakukan - Beberapa kelompok sasaran sudah melakukan perubahan prilaku - Memasukkan ke bagian kurikulum - Belum ada tim keamanan pangan di sekolah - Sudah ada, tapi belum terstruktur - Ada konsistensi pejabat pelaksana - Harus ada pelatihan buat tenaga daerah 2. Tersedia teori kausal yang jelas - NSPK tidak ada
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ + + +
+ + +
+ + + +
+
+ + +
+ + + + +
+
+
+
+
+ +
+
Universitas Indonesia
119 Lanjutan lampiran 1 …….
3. Ketepatan alokasi sumber dana - Anggaran kurang / bermasalah - Anggaran cukup / tidak bermasalah - Anggaran dan kegiatan sudah ada di RAD-PG - RAD-PG belum di adopt kota Batam 4. Keterpaduan hirarki pada lembaga pelaksana - Diharapkan adanya JKPD/Gugus tugas PJAS sebagai empat berkoordinasi - Di kota Batam belum ada JKPD - Instansi daerah belum paham peranannya - Kerjasama dalam pelaksanaannya baik 5. Aturan dan keputusan dari badan pelaksana - Sudah ada PP 28/2004 sebagai acuan Pemda, Badan POM sebagai “trigger” saja - Aturan spesifik tentang PJAS tidak ada - Selalu disampaikan disetiap rapat 6. . Akses formal pihak-pihak luar. - Dari CSR - Tidak ada keterlibatan LSM di Batam C. Variabel Non Statutory (non hokum) 1. Kondisi Sosio-Ekonomi budaya dan politik. - Ada pengaruh Sosial ekonomi terhadap
+ +
+ +
+
+
+
+
+ +
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+ +
+
+
Universitas Indonesia
120 Lanjutan lampiran 1 …….
penerimaan informasi - Materinya informative, bisa untuk semua kelas ekonomi dan budaya - Pemindahan SDM karena politik 2. Dukungan Publik. - Banyak dukungan dari sekolah sekolah 3. Dukungan dari Badan / Lembaga atasan yang berwenang - DPR mendukung - Tidak ada dukungan DPRD Kota Batam - Setelah dapat penjelasan, DPRD sangat mendukung - DPRD ingin dilibatkan 4. Komitmen dan kepemimpinan pejabat pelaksana. - Secara pribadi punya komitmen mewujudkan PJAS yang aman dan bermutu - Kegiatan ini belum jadi prioritas di Batam - Kepemimpinan pejabat pelaksana bagus D. Pencapaian tujuan kebijakan - Belum sesuai dengan pencapaian IKU - Sudah sesuai dengan pencapaian IKU - Ragu ragu
+
+
+
+
+
+
+
+ +
+
+ +
+ +
+
+
+
+ +
+ +
+
+
+
+
+ + +
+
+
+
Universitas Indonesia
121
Lampiran 2 : Form Data Informan
Form Wawancara Mendalam Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berjalannya Kebijakan Pengawasan Pangan Jajanan Anak Sekolah di Kota Batam ID Informan: Waktu Pelaksanaan 1. Tanggal Wawancara
: …………………………………………………………………
2. Tempat Wawancara
: …………………………………………………………………
Data Informan 1. Nama
: …………………………………………………………….…………
2. Jenis kelamin
: Laki-laki / perempuan
3. BIdang/ Unit
: ………………………………………………………………………..
4. Jabatan / posisi
: ………………………………………………………………………..
5. Lama menjabat
: …………………………………………………………………………
6. Masa Kerja
: ………………………………………………………………………..
7. No Telp / Hp.
: ………………………………………………………………………..
8. Email
: ………………………………………………………………………..
Informan
ttd
( …………………………………………….)
Universitas Indonesia
122
Lampiran 3 : Pedoman wawancara
PEDOMAN WAWANCARA (Pusat) 1.
Apa permasalahan yang paling berat dalam pelaksanaan AN-PJAS? apakah bisa diatasi ?
2.
Salah satu strategi pada pengembangan keadaran masyarakat adalah Pengembangan Sistem Jaringan Informasi dan Komunikasi. Sistim seperti apakah yang telah dilaksanakan? Apakah terlakasana baik?
3.
Perilaku apa saja yang diharapkan berubah? Bagaimana pelaksanaannya ? (susah/mudah)
4.
Dengan target 10%, apakah ini mudah dicapai? Bagaimana dengan ruang lingkup komunitas sekolah ( guru, siswa, orang tua, penjual makanan dll) bagimana permasalahannya?
5.
Bagaimana kejelasan tujuan (jangka panjang dan jangka pendek/setiap langkah/strategi), Bagaimana dengan juknis untuk aktor pelaksana lainnya?
6.
Bagaimana pengorganisasian pelaksanaa AN PJAS, adakah peraturan peraturan yang mengikat atau NSPK? Bagaimana penentuan keterlibatan Instansi lain? Bagaimana dengan pendanaannya?
7.
Bagaimana peranan pihak ketiga? Bagaimana akses mereka?
8.
Adakah
pengaruh
perbedaan
sosial
ekonomi
daerah
terhadap
implementasinya? 9.
Bagaimana penerimaan masyarakat?
10. Bagaimana pelaporan kegiatan? Apakah rutin dan kemana? 11. Apakah PJAS masih jadi priorotas setelah tahun 2014? 12. Bagaimana pecapaian IKU ? Apakah ini sudah menggambarkan keberhasilan dalam capaian tujuan (kemandirian komunitas sekolah). 13. Apakah semua strategi dalam aksi Nasional PJAs ini bisa terlaksana semua? Tambahan untuk staf / pelaksana 14. Bagaimana pelaporan? Apakah rutin dan kemana? Bagaimana yang dari daerah? 15. Bagaimana managerial pimpinan ( bagaimana hubungannya keluar dan hubungannya kedalam)
Universitas Indonesia
123
PEDOMAN WAWANCARA (intansi daerah) 1.
Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang keamanan dan gizi makanan jajajan anak sekolah saat ini?
2.
Bagaimaa peranan institusi yang bapak/ibu pimpin dalam meningkatkan mutu dan kemanan PJAS ?
3.
Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang kebijakan program Aksi Nasional Gerakan menuju Pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi?, bagaimana pelaksanaannya? Dan keterlibatan instansi bapak/ibu?
4.
Bagaimana menurut bapak/ibu pelaksanaan Aksi Nasional PJAS? Apa yang menjadi penghambat ataupun yang mendukung pelaksanaannya
5.
Bagaimana menurut bapak/ibu, apakah intervensi (A, B dan C) yang dilakukan dapat mencapai tujuan yang diharapkan?
6.
Bagaimana menurut bapak/ibu, apakah ini bisa diterima / dilaksanakan disekolah, ? perilaku seperti apa yang harusnya dirubah?
7.
Bagaimana kerjasama dengan instansi lain / pengorganisasiannya?
8.
Apakah dalam pelaksanaan Aksi Nasional PJAS ada perintah atau petunjuk dari atasan, misalnya dinas propinsi, ataupun pusat ataupun dari pemerintah daerah? Bagaimana perintahnya?
9.
Bagaimana penganggarannya? Pengalokasiannya? Apakah ada bantuan dari instansi atau pihak lain terkait Aksi Nasional PJAS ini?
10. Bagaimana menurut pendapat bapak/ibu, apakah program aksi nasional PJAS ini bisa dilaksanakan untuk semua sekolah dasar, khususnya di kota Batam ini.? (terkait kondisi ekonomi, sosial dan politik). 11. Bagaimana menurut bapak tentang peranan dari pihak luar seperti LSM dll? 12. Program ini akan berakhir tahun ini, bagaimana menurut pendapat bapak/ibu setelah ini, terkait dengan pelaksanaan pengawasan makanan anak sekolah. 13. Bagaiamana pendapat bapak/ibu, kalau untuk pngawasan PJAS ini dibuat dalam bentuk Perda?
Universitas Indonesia
124
PEDOMAN WAWANCARA (sekolah) 1. Bagaimana pendapat bapak/ibu tentang kemanan pangan jajajan anak sekolah saat ini? 2. Apa usaha yang sudah dan akan dilakukan pihak sekolah terhadap permasalahan ini? 3. Apakah bapak pernah mendenganr program Aksi Nasional Gerakan menuju Pangan jajanan anak sekolah yang aman, bermutu dan bergizi?, bagaimana keterlibatan instansi bapak/ibu? 4. Apa yang bapak ketahui dari program aksi nasional PJAS tersebut? 5. Pada tahun-tahun lalu, sekolah bapak/ibu telah diikutkan kegiatan Aksi NAsional PJAS dengan intervensi A ( dapat penyuluhan, bahan bahan promosi, pengujian PJAS dan bimtek kantin sekolah), Apa manfaat yang didapatkan? Apa ada erjadi peningkatan setelah diintrvensi? 6. Siapa yang ditugaslkan untuk melakukan pembinaan dan pengawsan terhadap kantin sekolah? (sebagai ketua dari tim kemanan pangan sekolah) 7. Bagaimana kesiapan SDM ybs dalam menerima tugas tersebut? 8. Menurut bapak, bagaimana SDM yang bapak miliki untuk membina kemanan pangan di sekolah? Apakah sudah memiliki keterampilan, atau masih perlu dilatih? Dalam bidang apa? 9. Apakah dalam melaksanakan tugas, staf yang ditugaskan diberi kewenangan penuh dan dilengkai SK (surat keputusan)? 10. Bagaimana tugas dari tim kemanan pangan sekolah tersebut? 11. Bagaimana penganggaran untuk kegiatan tersebut? 12. Apakah bapak/ibu pernah mendapat pembinaan ataupun pedoman dari pelaksanaan kegiatan Aksi Nasional PJAS itu ? Bagaimana koordinasi dengan lintas sector 13. Apa kendala dalam melaksanakan program Aksi Nasional PJAS ini, mengapa? 14. Bagaiamana pendapat bapak/ibu, kalau untuk pngawasan PJAS ini dibuat dalam bentuk Perda? 15. Program Aksi nasonal ini akan berakhir tahun 2014 ini, bagaimana pendapat bapak/ ibu? Universitas Indonesia
125
PEDOMAN WAWANCARA (Bappeda) 1.
Bagaimana kesiapan bappeda dalam upaya meningkatkan kemanan dan mutu gizi makanan jajanan anak sekolah ?
2.
Bagaimana pelaksanaan RAD-PG? apakah Bappeda kota Batam ikut terlibat?, sejauh mana keterlibatannya?
3.
Bagaimana penganggaran yang dilakukan bappeda dalam melaksanakan RAD PG tersebut.?, sejak kapan penganggaran tersebut dimulai.?
4.
Apakah ada kendala dalam pelaksanaan RAD-PG ?
5.
Bagaimana pengalokasian dana untuk RAD-PG di kota batam?
6.
Bagaimana
pendapat
bapak
dengan
kegiatan
untuk
meningkatkan
kemandirian sekolah dalam mengawasi PJAS di sekolahnya. 7.
Apakah dalam penyusunan RAD-PG, khususnya di kelompok kerja III , ada permintaan dari pusat atau propinsi? Bagaimana intervensinya?
Universitas Indonesia