UMUR MASAK KELAMIN DAN KADAR ESTROGEN PUYUH (Coturnix coturnix japonica) SETELAH PEMBERIAN CAHAYA MONOKROMATIK
KASIYATI B151070011
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Umur Masak Kelamin dan Kadar Estrogen Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Setelah Pemberian Cahaya Monokromatik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Kasiyati B151070011
ABSTRACT KASIYATI. Age of Sexual Maturity and Serum Estrogen Concentrations in the Quail (Coturnix coturnix japonica) Exposed to Monochromatic Light. Under the supervisions of NASTITI KUSUMORINI, HERA MAHESHWARI, and WASMEN MANALU. Light plays an important role in the avian life. The present study was designed to evaluate the effects of monochromatic light on age of sexual maturity, serum estrogen, cholesterol, triglyseride concentrations, serum and bone calcium contents, the length and weight of the oviduct, and egg quality in the quail. Two hundred and seventy quails were divided into nine treatments of light, with ten replications and three quails in each replication. The treatments were without light, controls with 15 and 25 W, red, green, and blue lights with intensities of 15 and 25 lux. Control treatment used incandescent bulb. The red, green, and blue lights were provided by light emitting diodes (LED). All lights treatments were given for 14 h daily, started from 17.00 to 07.00. Parameters measured were serum estrogen, cholesterol, triglyseride, and calcium concentrations, weights and lengths of the oviduct on weeks 5, 7, and 9, bone calcium contents on weeks 5 and 7, and egg qualities on weeks 6, 7, and 9. A completely randomize design was used to analyze the data followed by orthogonal contrast test. Age of sexual maturity in female avian is indicated as the first ovulation. The result showed that monochromatic light did not affect sexual maturity (P>0.05). Quails exposed to monochromatic light had higher serum estrogen, cholesterol, and triglyseride concentrations, and bone calcium contents (P<0.05). Conversely, serum calcium concentrations were not significantly different between controls and light-treated quails. Quails exposed to monochromatic light had better shell gland development and Hen day egg production even though without significant effect on egg quality. Blue light could be used to stimulate early sexual maturity, and green light could be used to delay sexual maturity. Key Words: monochromatic light, sexual maturity, estrogen, quail
RINGKASAN KASIYATI. Umur Masak Kelamin dan Kadar Estrogen Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Setelah Pemberian Cahaya Monokromatik. Di bawah bimbingan NASTITI KUSUMORINI, HERA MAHESHWARI, dan WASMEN MANALU. Penelitian ini bertujuan memanfaatkan cahaya monokromatik untuk memodulasi umur masak kelamin pada unggas yang secara langsung berhubungan dengan kualitas dan kuantitas telur. Penelitian berlangsung mulai tanggal 25 Maret sampai 28 Mei 2009 dengan menggunakan 270 ekor DOQ (day old quail) betina. Puyuh percobaan yang berumur 2 minggu dibagi secara acak menjadi sembilan kelompok dengan sepuluh kali ulangan. Perlakuan pertama ialah tanpa pencahayaan, perlakuan kedua dan ketiga ialah pencahayaan bohlam lampu pijar warna kuning 15 dan 25 W, perlakuan keempat dan kelima ialah pencahayaan lampu LED warna merah 15 dan 25 lux, perlakuan keenam dan ketujuh ialah pencahayaan lampu LED warna hijau 15 dan 25 lux, serta perlakuan kedelapan dan kesembilan ialah pencahayaan warna biru 15 dan 25 lux. Perlakuan pencahayaan diberikan selama 14 jam per hari, yang dimulai dari pukul 17.00-07.00. Pengambilan sampel darah dimulai pada pukul 08.00 pada akhir minggu ke-5, ke-7, dan ke-9. Dari setiap kelompok percobaan diambil 3 ekor puyuh secara acak untuk pengukuran kadar estrogen, kolesterol, trigliserida, dan kalsium serum, serta profil saluran reproduksi berupa panjang, bobot, dan gambaran histologi saluran reproduksi. Kadar kalsium tulang diukur pada akhir minggu ke-5 dan ke-7. Kualitas telur diperoleh dengan mengukur kadar lemak dan protein telur yang dihasilkan pada minggu ke-6, ke-7, dan ke-9. Secara umum, pemberian cahaya monokromatik warna biru menyebabkan masak kelamin dini. Puyuh yang menerima cahaya hijau mengalami penundaan umur masak kelamin. Masak kelamin pada unggas betina ditandai dengan ovulasi pertama kali. Pemberian cahaya monokromatik meningkatkan produksi telur, kadar estrogen, kolesterol, dan trigliserida serum, serta kadar kalsium tulang. Profil saluran reproduksi yang meliputi panjang dan bobot saluran telur, serta gambaran histologi saluran telur sangat dipengaruhi oleh pemberian cahaya monokromatik tanpa mengubah kualitas telur. Pertumbuhan dan perkembangan saluran reproduksi diinduksi oleh kehadiran estrogen. Sebaliknya, tidak adanya cahaya menghambat pertumbuhan dan perkembangan saluran telur. Hal ini disebabkan oleh kadar hormon estrogen yang rendah. Kadar kalsium darah tidak menunjukkan adanya perbedaan antara puyuh yang menerima cahaya monokromatik dengan puyuh yang tidak menerima cahaya karena kadar kalsium plasma dipertahankan dalam batas-batas yang konstan. Konsumsi pakan mempengaruhi bobot badan. Bobot badan pada puyuh yang menerima cahaya memiliki rataan yang lebih tinggi dibandingkan dengan puyuh yang tidak menerima cahaya.
Kata kunci: cahaya monokromatik, umur masak kelamin, estrogen, puyuh
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh hasil karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
UMUR MASAK KELAMIN DAN KADAR ESTROGEN PUYUH (Coturnix coturnix japonica) SETELAH PEMBERIAN CAHAYA MONOKROMATIK
KASIYATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Tesis
Nama NRP Program Studi
: Umur Masak Kelamin dan Kadar Estrogen Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Setelah Pemberian Cahaya Monokromatik : Kasiyati : B151070011 : Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
Disetujui
Dr. Nastiti Kusumorini Ketua
Dr. drh. Hera Maheshwari, M.Sc. Anggota
Prof. Ir. Wasmen Manalu, Ph.D. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
Dr. Nastiti Kusumorini
Tanggal Ujian: 18 Agustus 2009
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus:
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah Bapa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada tanggal 25 Maret dan berakhir pada 28 Mei 2009 ini adalah efek cahaya terhadap profil reproduksi puyuh, dengan judul umur masak kelamin dan kadar estrogen puyuh (Coturnix coturnix japonica) setelah pemberian cahaya monokromatik. Ungkapan terima kasih penulis persembahkan kepada Dr. Nastiti Kusumorini, Dr.drh. Hera Maheshwari, M.Sc, dan Prof. Wasmen Manalu, Ph.D yang telah memberikan semangat, bimbingan, saran, petunjuk, dan tuntunan yang tulus selama mengikuti pendidikan, persiapan, dan perencanaan penelitian, serta penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir Sumiati, M.Sc sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada DIRJEN DIKTI atas beasiswa BPPS yang telah diberikan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Drs. Koen Praseno, SU yang telah memberikan izin pemakaian laboratorium selama penelitian berlangsung. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman satu angkatan, Pak Pudji, Pak Andri, Pak Narno, Ibu Heni, dan Ibu Herna serta temanteman IFO 2008. Terima kasih kepada Ibu Ida, Ibu Sri, Pak Wawan, dan Pak Nyono. Terima kasih untuk teman-teman Lab. Biologi Struktur dan Fungsi Hewan, Pak Maryadi, serta Ibu Emilia Sunarti untuk motivasi dan bantuan tenaganya. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Cut, Intan, Adonia, Fika, dan Desly yang telah ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih untuk keluarga besar di Semarang, untuk suamiku terkasih Eko Budi dan putriku tersayang Tya yang selalu menyertai setiap langkah penulis dengan segenap doa, kesabaran, dan ketulusan. Penulis dengan rendah hati mohon maaf atas segala kekurangan dalam tesis ini dan semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2009
Kasiyati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 26 Mei 1977 dari ayah Trimo dan ibu Ngatipah. Penulis merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Sedes Sapientiae Semarang dan pada tahun yang sama penulis menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Diponegoro Semarang, dan lulus pada tahun 2000. Tahun 2005 secara resmi diangkat sebagai staf pengajar di almamaternya. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Mayor Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia melalui Biaya Pendidikan Program Pascasarjana (BPPS).
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………..
x
DAFTAR GAMBAR………………………………………………….
xi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………..
xii
PENDAHULUAN……………………………………………………..
1
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………….
6
A. B. C. D. E. F. G. H. I.
Cahaya Monokromatik………………………………………... Fisiologi Cahaya………………………………………………. Puyuh (Coturnix coturnix japonica)………………………….. Sistem Reproduksi Aves……………………………………… Masak Kelamin Puyuh………………………………………... Estrogen……………………………………………................. Proses Pembentukan Telur……………………………………. Lemak dan Metabolisme Lemak……………………………… Efek Cahaya Monokromatik pada Umur Masak Kelamin serta Hubungannya dengan Kadar Estrogen…………….................
MATERI DAN METODE PENELITIAN……………………………. A. Waktu dan Tempat Penelitian………………………………… B. Materi Penelitian……………………………………………… C. Metode Penelitian……………………………………………...
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………..
6 8 13 16 22 26 28 33 39
43 43 43 44 51
Umur Masak Kelamin…………………………………………. Kadar Estrogen Serum dan Profil Saluran Reproduksi……...... Kadar Kolesterol dan Trigliserida dalam Serum........................ Kadar Kalsium dalam Serum dan Tulang................................... Konsumsi Pakan dan Bobot Tubuh............................................ Produksi dan Kualitas Telur.......................................................
51 56 67 70 74 77
SIMPULAN DAN SARAN…………………………………………...
82
A. Simpulan……………………………………………………… B. Saran…………………………………………………………..
82 82
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….
83
LAMPIRAN……………………………………………………………
89
A. B. C. D. E. F.
DAFTAR TABEL Halaman 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Rataan umur masak kelamin (hari), bobot telur pertama (g), dan bobot tubuh masak kelamin (g) pada masing-masing pemberian cahaya monokromatik……………………………......................
51
Rataan kadar hormon estrogen (pg/ml) dalam serum pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik…………………………………………..……….
56
Perkembangan panjang saluran telur (cm) pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik..........
61
Rataan bobot saluran telur (g) pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik….…………...
63
Rataan kadar kolesterol (mg/dl) dalam serum pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik.….
68
Rataan kadar trigliserida (mg/dl) dalam serum pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik…………………………………………………...
69
Rataan kadar kalsium (mg/dl) dalam serum pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik..........
71
Rataan kadar kalsium (%) dalam tulang pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik.……….
73
Rataan konsumsi pakan (g) per minggu pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik…..….
74
Rataan bobot badan (g) pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik……………………….
77
Rataan produksi telur Hen Day (%) dan bobot telur (g) setelah pemberian cahaya monokromatik.................................................
78
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Karakteristik puyuh betina (A) dan puyuh jantan (B) ...............
16
2. Saluran reproduksi unggas betina secara umum .........................
21
3. Sintesis hormon seks pada ovarium ..………………………….
27
Anatomi telur dilihat dari potongan melintang telur....................
29
saluran telur setelah pemberian cahaya 5. Anatomi monokromatik…………………………………………………...
62
6. Fotomikrografi dinding uterus puyuh pada kelompok yang tidak diberikan pencahayaaan…………………………………………
64
7. Fotomikrografi uterus puyuh pada kelompok kontrol yang diberikan cahaya 15 (A) dan 25 (B) W...……………………….
65
8. Fotomikrografi uterus puyuh pada kelompok cahaya merah 15 (A) dan 25 (B) lux......……………………………………….
65
9. Fotomikrografi uterus puyuh pada kelompok cahaya hijau 15 (A) dan 25 (B) lux..…………………………………………
66
10. Fotomikrografi uterus puyuh pada kelompok cahaya biru 15 (A) dan 25 (B) lux…..………………………………………
66
11. Produksi telur setelah pemberian cahaya monokromatik pada minggu ke-5, 6, 7, 8, dan 9...........................................................
79
12. Kadar protein dan lemak di dalam telur setelah pemberian cahaya monokromatik…………………………………………..
80
4.
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Analisis ragam dan uji lanjut kontras ortogonal pada umur masak kelamin…………………………………………………
89
2.
Analisis ragam pada kadar estrogen…………….……………...
91
3.
Analisis korelasi pada kadar estrogen dan panjang saluran telur pada puyuh umur 7 minggu………………………………..........
92
Lampiran – lampiran
Penguji Luar Komisi: Dr.Ir. Sumiati, M.Sc.
1
PENDAHULUAN Puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) dalam sistem klasifikasi hewan termasuk ordo Galiformes, famili Phasianidae, genus Coturnix, dan spesies japonica (Vali 2008). Puyuh memiliki nilai ekonomi penting karena selain menghasilkan telur, dagingnya pun merupakan sumber diversifikasi protein hewani. Budi daya puyuh sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat. Jenis puyuh yang dipelihara dan dibudidayakan untuk dimanfaatkan telurnya adalah dari jenis Coturnix coturnix japonica karena jenis ini memiliki kemampuan bertelur yang cukup tinggi. Dibandingkan dengan jenis puyuh lainnya, dalam satu tahun puyuh jepang mampu menghasilkan telur sekitar 250 butir telur per ekor. Di samping banyaknya telur yang diproduksi, puyuh betina sudah mulai masak kelamin pada umur 41 hari sehingga dalam satu tahun mampu berproduksi dan menghasilkan generasi baru 3-4 kali (Menegristek 2008). Masak kelamin pada puyuh ditandai dengan keluarnya telur pertama kali. Nilai gizi telur puyuh tidak kalah dengan telur unggas lain sehingga dapat menambah variasi dalam penyediaan sumber protein hewani. Secara umum, kandungan telur puyuh terdiri atas putih telur (albumen) 47,4%; kuning telur (yolk) 31,9%; dan kerabang serta membran kerabang 20,7%. Kandungan protein telur puyuh sekitar 13,1%, sedangkan kandungan lemaknya relatif lebih rendah dibandingkan dengan telur ayam ras dan itik. Kandungan lemak telur puyuh sekitar 11,1%, sedangkan kandungan lemak telur ayam ras dan itik adalah 11,3% dan 14,5%. Telur puyuh banyak dipergunakan untuk diet kolesterol karena dapat mengurangi timbunan lemak, terutama di jantung, sedangkan kebutuhan proteinnya tetap tercukupi. Saat ini, telur puyuh juga telah banyak dimanfaatkan sebagai campuran minum jamu atau anggur karena dipercaya memiliki efikasi menyembuhkan penyakit dan menjadi sumber kekuatan tubuh (Agromedia 2007; Menegristek 2008). Seperti halnya budi daya unggas lain secara intensif, memelihara puyuh dalam skala budi daya memerlukan program pemeliharaan dan tata laksana yang baik untuk memperoleh hasil optimal dan menguntungkan. Salah satu hal yang penting dalam program pemeliharaan puyuh untuk produksi telur adalah tata
2
laksana pencahayaan kandang. Sumber cahaya yang diberikan merupakan penerangan tambahan dan diperoleh dari lampu pijar dengan kekuatan 25-40 W pada siang hari dan 40-60 W pada malam hari. Cahaya mutlak diperlukan karena berfungsi sebagai penghangat, penerangan, dan yang paling penting, pada saat masa produksi, pencahayaan yang baik akan mampu meningkatkan produksi telur hingga 75%. Energi cahaya yang berasal dari alam maupun cahaya artifisial dalam kehidupan hewan merupakan aspek penting yang terlibat di dalam pengaturan bioritme dan secara langsung memberikan efek pada status kesehatan hewan, pertumbuhan, temperatur tubuh, tingkah laku reproduksi, neuroanatomi, neuroendokrin, perubahan fisiologi dalam saluran reproduksi, dan regulasi tingkah laku seksual sehingga hewan siap melakukan proses perkembangbiakan. Warna, intensitas cahaya, dan durasi pencahayaan, khususnya pada aves, sangat berperan dalam pengaturan fungsi biologi, terutama proses metabolisme, homeostasis, reproduksi, serta tingkah laku (Gewehr et al. 2005). Beberapa observasi telah dilakukan pada aves dalam kaitannya dengan warna cahaya. Pemberian cahaya biru menyebabkan aves menjadi tenang, cahaya merah dapat mengurangi kanibalisme, memacu pertumbuhan bulu sayap, dan memacu masak kelamin, serta pemberian cahaya hijau akan menstimulasi pertumbuhan. Cahaya merah dengan panjang gelombang 708-740 nm yang diterima oleh itik jantan dapat meningkatkan respons fotoseksual, yakni bertambah besar ukuran testis yang diikuti oleh peningkatan bobot testis. Cahaya merah yang diterima oleh itik betina akan meningkatkan ukuran dan bobot telur (Lewis dan Moris 2006). Terdapat dua rute yang dilalui cahaya untuk bisa diterima oleh fotoreseptor yang terdapat dalam tubuh aves. Rute pertama, sebagian besar cahaya yang masuk mata akan diterima oleh fotoreseptor retina. Retina memiliki kemampuan untuk mentransmisikan informasi cahaya yang diterima dalam bentuk intensitas dan warna cahaya. Kemudian retina akan meneruskan informasi cahaya melalui dua jalur, yaitu 1). informasi akan diteruskan ke bagian otak yang responsif untuk penglihatan dan 2). Informasi cahaya masuk ke dalam jalur retinohipotalamus, selanjutnya signal elektrik diubah menjadi signal kimia dan diteruskan ke nukleus suprakhiasmatik dalam hipotalamus. Informasi dalam
3
bentuk signal kimia ini kemudian akan diteruskan dari nukleus suprakhiasmatik hipotalamus ke kelenjar pineal dan hipofisis. Rute kedua, cahaya secara langsung melakukan penetrasi ke dalam tulang tengkorak, menembus jaringan kranial, dan otak kemudian akan diterima oleh fotoreseptor yang terdapat pada kelenjar pineal dan fotoreseptor ekstraretina. Rute kedua ini banyak ditempuh oleh cahaya dengan intensitas rendah (Gunturkun 2000; Lewis dan Moris 2006). Informasi cahaya yang diterima oleh hipotalamus juga akan mengontrol sekresi dan pelepasan gonadotropin (GnRH). GnRH selanjutnya ditransport ke dalam hipofisis anterior lewat sistem sirkulasi portal hipofisis. Kehadiran GnRH dalam hipofisis anterior akan merangsang pelepasan LH dan FSH. Kedua hormon inilah yang secara langsung terlibat dalam masak kelamin unggas. FSH akan merangsang perkembangan, pematangan, dan vaskularisasi folikel ovarium serta atresi folikel-folikel kecil. Seiring dengan perkembangan folikel, estrogen mulai diproduksi. Peningkatan konsentrasi estrogen akan merangsang perkembangan oviduk dalam rangka mensekresikan albumin, sintesis protein, dan lemak kuning telur (yolk) dalam hati serta peningkatan absorpsi kalsium, vitamin, dan mineral yang dipergunakan dalam pembentukan telur. Pada tingkat tertentu, pertambahan ukuran folikel akan menurunkan sintesis estrogen dan meningkatkan sintesis progesteron. Progesteron yang disekresikan ke dalam darah merupakan umpan balik positif bagi lepasnya LH dari hipofisis anterior. Terjadinya peningkatan LH dan progesteron akan merangsang proses ovulasi. Masak kelamin pada unggas betina ditandai dengan proses ovulasi pertama kali. Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan salah satu spesies unggas yang sangat responsif dalam menerima energi cahaya. Tingkah laku, masak kelamin, dan bioritme puyuh dapat dimanipulasi dengan pemberian warna cahaya yang spesifik, terutama untuk panjang gelombang cahaya merah, oranye, kuning, hijau, dan biru. Berbagai program pencahayaan diberikan pada puyuh untuk meningkatkan fungsi biologis dan keseimbangan metabolisme dengan tujuan jangka panjang diharapkan produktivitasnya menjadi lebih baik. Namun, tanpa memperhatikan aspek pencahayaan, yaitu panjang gelombang, intensitas cahaya, dan durasi pencahayaan, peningkatan dan perbaikan respons fisiologi yang secara langsung berefek pada produktivitas tidak akan tercapai.
4
Berdasarkan manfaat cahaya yang begitu kompleks dalam kehidupan aves maka dilaksakanlah penelitian tentang pemberian cahaya monokromatik dengan panjang gelombang yang terekspresi dalam warna cahaya merah, hijau, dan biru dengan intensitas cahaya 15 dan 25 lux serta durasi pencahayaan selama 14 jam pada puyuh apakah dapat memodulasi umur masak kelamin yang secara langsung berhubungan dengan kualitas dan kuantitas telur.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memanfaatkan cahaya monokromatik untuk memodulasi umur masak kelamin yang secara langsung berhubungan dengan kualitas dan kuantitas telur.
Manfaat Penelitian Hasil yang diperoleh dari penelitian pemberian cahaya monokromatik dengan warna merah, hijau, dan biru serta intensitas cahaya 15 dan 25 lux selama 14 jam/hari pada puyuh diharapkan dapat menambah informasi tentang kajian fisiologi hormon reproduksi, umur masak kelamin, dan kualitas telur pada unggas secara umum. Dalam jangka panjang pemakaian cahaya monokromatik dengan memperhatikan
aspek
warna
cahaya
serta
intensitas
cahaya
dapat
diimplementasikan untuk mendukung usaha budi daya puyuh.
Hipotesis Hipotesis yang akan diuji adalah cahaya monokromatik dengan warna merah, hijau, dan biru serta intensitas cahaya 15 dan 25 lux memodulasi umur masak kelamin puyuh.
5
Kerangka Pemikiran Berikut disajikan skema kerangka pemikiran respons fisiologis yang muncul karena pemberian cahaya monokromatik : Cahaya Monokromatik
Fotoreseptor Retina
Penetrasi langsung dalam jaringan kulit, tulang tengkorak, dan otak
Kelenjar pineal
Hipotalamus
GnRH Serotonin
Hipofisis Anterior
FSH
Dopamin
Posterior
LH
- menenangkan - konsumsi pakan menurun - pertumbuhan meningkat
Oksitosin
Pertumbuhan, perkembangan & pematangan folikel
Ovulasi
Aktivitas harian meningkat
Oviposisi
1. Estrogen (+) 2. Progesteron Keterangan: No 1 : pertumbuhan folikel meningkatkan sekresi estrogen No 2 : folikel besar dan matang meningkatkan sekresi progesteron, menekan estrogen Tanda (+) : umpan balik positif progesteron terhadap hipofisis untuk mensekresikan LH Tanda (---) : fototransduksi sinyal cahaya dari retina dan penetrasi langsung dalam tulang tengkorak, jaringan kranial, dan otak yang diterima oleh kelanjar pineal
6
TINJAUAN PUSTAKA A.
Cahaya Monokromatik Cahaya merupakan suatu bagian dari fenomena alam yang kompleks yang
disebut sebagai radiasi elektromagnetik. Kompleksitas fenomena alam tersebut meliputi warna cahaya, persepsi terhadap warna cahaya, adaptasi penglihatan, dan sensasi penglihatan akan diterima sebagai suatu informasi yang datang dari lingkungan serta memiliki peran penting dalam kehidupan semua organisme. Terdapat dua teori yang menjelaskan tentang radiasi elektromagnetik alam, yaitu teori Maxwell (1862, sebelum elektron ditemukan) dan teori Planck (1900). Teori Maxwell menyatakan bahwa gelombang cahaya menyebar sebagai listrik dan magnet yang memiliki kecepatan tertentu serta menghasilkan panjang gelombang berbeda. Dalam teori Planck dipostulasikan bahwa radiasi merupakan sejumlah energi yang tidak dapat dibagi yang disebut sebagai quanta dan memiliki panjang gelombang pendek. Postulasi Planck juga mengungkapkan bahwa panjang gelombang yang dimiliki oleh energi cahaya (foton) pada cahaya tampak berhubungan dengan frekuensi radiasi elektromagnetik. Frekuensi radiasi elektromagnetik merupakan siklus setiap detik dari energi elektron (Lewis dan Morris 2006). Radiasi elektromagnetik cahaya dimulai dari sinar kosmik dengan panjang gelombang 10-18 m, sinar gamma, sinar X, dan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 4,0-7,8 x 10-7 m, cahaya tampak dengan panjang gelombang 400-780 nm, sinar inframerah, dan gelombang mikro memiliki panjang gelombang di atas 780 nm serta radar televisi dan radio yang dapat ditransmisikan hingga 6.000 km. Cahaya tampak merupakan porsi kecil dari total spektrum elektromagnetik, dengan panjang gelombang yang berbeda akan menghasilkan persepsi warna yang berbeda pula. Cahaya monokromatik merupakan jenis cahaya tampak dengan frekuensi panjang gelombang tunggal dan jarak antarpanjang gelombang tidak terlalu besar. Sesuai dengan panjang gelombangnya, spektrum elektromagnetik cahaya monokromatik memiliki warna-warna tunggal, yaitu merah (630-760 nm), jingga (590-630 nm), kuning (570-590 nm), hijau (500-570 nm), biru (450-500 nm), dan ungu (400-450 nm). Jika cahaya monokromatik dipakai dengan
7
intensitas yang sangat rendah maka cahaya merah, kuning, serta jingga dapat menghasilkan warna cokelat, sedangkan warna biru akan sangat sulit dibedakan dari warna unggu (Elert 2008). Cahaya monokromatik yang berasal dari alam sering disebut sebagai cahaya natural yang memiliki tiga aspek penting, yakni panjang gelombang, intensitas, dan durasi pencahayaan. Perubahan panjang gelombang dari radiasi elektromagnetik akan menghasilkan persepsi dan sensasi warna cahaya yang berbeda. Cahaya monokromatik yang dikategorikan ke dalam cahaya tampak (visibel) mempunyai frekuensi tunggal dengan kisaran panjang gelombang antara 400-780 nm. Masing-masing warna cahaya mampu menghasilkan efek tingkah laku, pertumbuhan, dan reproduksi yang berbeda dalam kehidupan hewan. Perlakuan pemberian cahaya monokromatik artifisial pada kelompok unggas mampu memberikan respons yang berbeda, misalnya pemberian cahaya biru menyebabkan unggas menjadi lebih tenang, pemberian cahaya merah dapat mengurangi kanibalisme antarindividu, memacu pertumbuhan bulu sayap, dan memacu masak kelamin, serta pemberian cahaya hijau akan menstimulasi pertumbuhan pada periode anak (Gewehr et al. 2005). Cahaya monokromatik biru yang diberikan kepada ayam broiler jantan dapat menstimulasi produksi testosteron dan protein untuk menginduksi pertumbuhan sel-sel otot. Cahaya monokromatik hijau yang juga diberikan pada ayam broiler akan dapat menstimulasi pertumbuhan sejumlah sel-sel otot dan tulang, sedangkan cahaya merah yang diterima oleh ayam broiler akan memacu hipotalamus untuk mensekresikan GnRH, yang
pada tahap selanjutnya kehadiran GnRH akan
merangsang sekresi hormon-hormon reproduksi, seperti FSH, LH, estrogen, dan progesteron, yang pada akhirnya akan merangsang produksi telur dan meningkatan fertilitas. Cahaya monokromatik merah dengan panjang gelombang 708-740 nm yang diterima oleh itik jantan dapat meningkatkan respons fotoseksual, yakni bertambah besar ukuran testis yang diikuti oleh peningkatan bobot testis, sedangkan cahaya merah yang diterima oleh itik betina akan meningkatkan ukuran dan bobot telur (Lewis dan Morris 2006). Intensitas cahaya (iluminasi) merupakan fotometrik kuantitas cahaya yang jatuh pada permukaan suatu area. Pengukuran intensitas cahaya dalam kehidupan
8
hewan merupakan hasil konversi dari pengukuran fotometrik intensitas cahaya yang diterima oleh manusia. Standar unit pengukurannya adalah lux, yang diperoleh dari kalibrasi cahaya tampak yang ekivalen dengan 1 lm/m2 (lumen per meter persegi) atau 0,08 cd/m2 (candela per meter persegi). Durasi pencahayaan untuk cahaya natural menunjukkan periode (jangka waktu) pencahayaan yang berkaitan
dengan
panjang
hari
(daylength/photoperiod).
Panjang
hari
dideskripsikan sebagai periode rotasi bumi selama 24 jam, yang terdiri atas fotoperiode tunggal
sebagai siang dan periode tunggal dalam gelap sebagai
malam (scotoperiod). Efek utama yang muncul dari durasi pencahayaan adalah secara langsung terlibat dalam masak kelamin. Masak kelamin pada unggas betina berkaitan erat dengan pengeluaran telur, sedangkan pada unggas jantan maturasi seksual merupakan tahap dimana testis telah tumbuh dan berkembang serta mampu menghasilkan spermatozoa yang matang (Rodenboorg et al. 2001). B. Fisiologi Cahaya Secara umum energi cahaya dalam kehidupan hewan merupakan aspek penting yang terlibat di dalam pengaturan bioritme. Respons cahaya yang diterima oleh tubuh hewan secara langsung akan memberikan efek fisiologis terhadap status kesehatan hewan, pertumbuhan, neuroanatomi yang terkait dengan neurotransmiter, neuroendokrin, perubahan fisiologi dalam saluran reproduksi, dan regulasi tingkah laku seksual sehingga hewan siap melakukan proses perkembangbiakan. Warna cahaya, intensitas cahaya, dan durasi pencahayaan, khususnya pada unggas, sangat berperan dalam pengaturan fungsi biologi, terutama proses metabolisme, homeostasis, dan reproduksi. Bentuk mata aves merupakan hasil dari kebutuhan ekologi dan fisiologi. Secara umum bentuk mata aves terdiri atas dua jenis, yaitu bentuk mata pipih (flat) dan bentuk mata tabung (tube). Bentuk mata pipih memberikan kemampuan fungsional dalam penglihatan menjadi lebih besar dan meminimalkan bobot serta volume. Lokasi mata ada di sisi kepala, sebelah dekster dan sinester,
yang
menyediakan akses penglihatan sentral binokuler yang lebih kecil, tetapi memberikan efek monokuler bidang pandang yang lebih besar. Jenis mata pipih banyak terdapat pada sebagian besar aves. Bentuk mata tabung banyak dimiliki
9
oleh aves pemangsa seperti burung hantu dan beberapa jenis penguin. Mata terletak di bagian depan kepala seperti mata manusia. Bayangan atau gambar yang dibentuk oleh retina mata lebih besar dan lebih tajam meskipun reseptor pada retina memiliki rasio konvergensi yang sangat rendah. Optimalisasi reseptor pada retina akan ditingkatkan dengan intensitas cahaya yang tinggi dan mengubah resolusinya pada saat menjelang petang (Gunturkun 2000). Mata aves berukuran relatif besar dengan volume yang hampir memenuhi bagian kepala dan bobotnya lebih berat jika dibandingkan dengan otak. Struktur mata aves serupa dengan mata vertebrata yang lain. Cahaya yang datang, masuk, dan diterima oleh retina mata terlebih dahulu harus melalui empat media optik. Keempat media optik tersebut adalah kornea, ruang anterior, lensa, dan badan vitreous dengan struktur transparan serta mampu mentransmisikan panjang gelombang sampai dengan 310 nm (kisaran cahaya ultraviolet). Di dalam retina mata, cahaya akan diterima oleh fotoreseptor yang kemudian akan mengkonversi energi cahaya menjadi impuls listrik melalui proses pemutihan (bleaching) oleh pigmen visual. Retina mata aves merupakan bagian yang cukup sempurna tetapi tidak mempunyai vaskularisasi karena berfungsi mencegah pengaburan bayangan dan pembiasan cahaya. Mata aves dilengkapi dengan pekten, yaitu suatu struktur yang memiliki fungsi nutritif, berpigmen hitam, kaya akan pembuluh darah, dan membentuk lipatan-lipatan dari bagian ventral retina sampai ke arah luar nervus optikus pada bagian lensa mata (Gunturkun 2000). Retina mata aves terdiri atas dua tipe fotoreseptor yang masing-masing memiliki sensitivitas terhadap intensitas cahaya tertentu, yaitu sel batang (rod) dengan pigmen visual rodopsin yang serupa dengan rodopsin mamalia, jumlahnya lebih berlimpah dan memiliki sensitivitas tinggi dengan panjang gelombang maksimum yang dapat diterima adalah 507 nm (cahaya biru-hijau). Sel batang tidak dipakai untuk membedakan warna, namun lebih banyak dipakai pada kondisi gelap (scotopic) dengan intensitas cahaya yang dapat diterima sebesar 4 cd/m2. Tipe fotoreseptor yang kedua adalah sel kerucut (cone), jumlahnya lebih sedikit dan sangat berfungsi untuk penglihatan normal pada siang hari (photopic) dengan panjang gelombang radiasi elektromagnetik antara 400-730 nm. Intensitas
10
cahaya yang dapat diterima oleh sel kerucut adalah 4 cd/m2-44 cd/m2 serta lebih banyak dipakai untuk membedakan warna (Lewis dan Morris 2006). Aves memiliki 4 jenis sel kerucut yang masing-masing diselimuti oleh butiran minyak (oil droplet). Butiran minyak berperan sebagai filter dan penyerap cahaya dengan panjang gelombang tertentu sehingga cahaya dapat ditransmisikan serta melindungi mata dari efek sinar UV. Sensitivitas dari tiga jenis sel kerucut terutama untuk warna-warna dasar sehingga dikenal sebagai sel kerucut biru (450 nm), sel kerucut hijau (550 nm), dan sel kerucut merah (700 nm). Jika ketiga warna dasar tersebut datang dan diterima oleh mata secara bersamaan maka otak akan memberikan persepsi sebagai warna putih. Jenis sel kerucut keempat merupakan sel kerucut yang membedakan dari mata manusia dan hanya dimiliki oleh aves, yaitu sel kerucut untuk mendeteksi sinar UV-A (320-400 nm). Meskipun mata aves memiliki 4 jenis sel kerucut, puncak spektrum elektromagnetik serupa dengan mata manusia, yaitu 545-575 nm. Pemberian cahaya monokromatik artifisial pada ayam menunjukkan adanya sedikit perbedaan terhadap sensitivitas spektrum elektromagnetik
pada panjang
gelombang 400-480 nm dan 580-700 nm, yaitu mata ayam sangat responsif menerima cahaya pada kisaran panjang gelombang tersebut sehingga ayam mampu menerima cahaya artifisial yang lebih terang daripada manusia (Hart et al. 1999). Respons fisiologis dan pengaturan bioritme pada aves akan muncul jika cahaya yang merupakan radiasi elektromagnetik diubah menjadi informasi dalam bentuk signal elektrik dalam retina. Terdapat dua rute yang dilalui cahaya untuk bisa diterima oleh fotoreseptor ekstraretina hipotalamus. Rute pertama, sebagian besar cahaya yang masuk mata akan diterima oleh fotoreseptor retina. Retina memiliki kemampuan untuk mentransmisikan informasi cahaya yang diterima dalam bentuk intensitas dan warna cahaya. Kemudian, retina akan meneruskan informasi cahaya melalui dua jalur, yaitu 1) informasi cahaya akan diteruskan ke bagian otak yang bertanggung jawab atas penglihatan dan 2) Informasi cahaya masuk ke dalam jalur retinohipotalamus, selanjutnya signal elektrik ini diubah menjadi signal kimia dan diteruskan ke nukleus suprakhiasmatik dalam hipotalamus. Informasi dalam bentuk signal kimia dari nukleus suprakhiasmatik
11
hipotalamus akan diteruskan ke hipofisis. Rute kedua, cahaya secara langsung melakukan penetrasi ke dalam tulang tengkorak, menembus jaringan kranial dan otak, kemudian akan diterima oleh fotoreseptor kelenjar pineal yang kemudian juga akan diteruskan ke hipotalamus. Rute kedua ini banyak ditempuh untuk cahaya dengan intensitas rendah (Lewis dan Morris 2006). Masuknya informasi cahaya ke dalam kelenjar pineal akan menstimulasi sintesis, pelepasan, dan metabolisme dopamin. Kehadiran dopamin dalam kelenjar pineal dapat menekan produksi serotonin-N-asetiltransferase, yaitu suatu jenis enzim yang mengkatalisis konversi serotonin menjadi melatonin selama periode ”gelap” malam hari. Serotonin-N-asetiltransferase terdistribusi pada beberapa tempat di dalam tubuh, yaitu otak, hipofisis, retina, traktus gastrointestinalis, dan testis.
Sekresi
serotonin,
serotonin-N-asetiltransferase,
dan
melatonin
berhubungan dengan panjangnya malam. Malam yang lebih panjang menstimulasi durasi sekresi serotonin, serotonin-N-asetiltransferase, dan melatonin menjadi lebih lama (Maywood 2005). Pada manusia dan rodensia, serotonin dan melatonin sangat efektif disekresikan dengan intensitas cahaya kurang dari 30 lux dan panjang gelombang 460-480 nm, sedangkan pada aves dengan intensitas cahaya di bawah 4 lux akan memacu pelepasan dopamin, meskipun hanya beberapa menit dan pada tahap selanjutnya akan terjadi stimulasi sekresi serotonin dan melatonin. Melatonin adalah neurotransmitter yang berperan dalam regulasi bioritme kehidupan aves. Sintesis melatonin pada kelenjar pineal juga dapat ditekan ketika retina menerima radiasi elektromagnetik UV-A. Dopamin dan serotonin juga merupakan neurotransmitter yang memiliki efek saling berlawanan. Dopamin menyebabkan aves menjadi lebih aktif dan mudah terstimulasi, sebaliknya serotonin memacu aves untuk bertingkah laku lebih tenang, terlibat dalam kontrol tidur, dan dapat menekan stres. Siklus harian gelap menjadi terang merupakan faktor lingkungan yang menstimulasi sekresi neurotransmitter dopamin, serotonin, dan melatonin. Pelepasan neurotransmitter menstimulasi terjadinya serangkaian reaksi kimiawi di dalam tubuh yang akhirnya akan terekspresi pada tingkah laku, aktivitas harian, interaksi sosial, ritme makan, dan ritme istirahat (tidur) (Lewis et al. 2001).
12
Kehadiran serotonin dalam sistem sirkulasi traktus gastrointestinalis akan meningkatkan
permeabilitas
dan
aliran
darah
kapiler
gastrointestinalis.
Peningkatan permeabilitas kapiler memudahkan protein dan makromolekul terdistribusi secara merata dalam cairan interstisial dan plasma sel. Jika protein maupun makromolekul yang merupakan substrat metabolisme telah terdistribusi dengan baik maka berbagai proses fisiologis di dalam tubuh akan berjalan lancar dan proses
homeostasis tercapai sehingga pertumbuhan akan meningkat
(Ormsbee dan Fondacaro 2004). Serotonin juga memberikan efek menenangkan bagi hewan, termasuk aves. Dalam kondisi tenang, aktivitas yang melibatkan kerja otot skeletal akan berkurang, termasuk dalam hal pengambilan pakan sehingga energi yang telah terbentuk tidak digunakan untuk aktivitas fisik, namun akan lebih diarahkan untuk proses pemeliharaan dan pertumbuhan. Peningkatan serotonin dan melatonin dalam plasma juga menstimulasi pelepasan hormon kalsitonin dan hormon paratiroid (PTH). Kedua hormon ini terlibat dalam mobilisasi kalsium untuk pembentukan kerabang telur. Sekresi kalsitonin dan PTH mencapai puncaknya pada malam hari sehingga kualitas kerabang telur menjadi lebih baik pada kondisi scotoperiod (kondisi gelap) (Ieda et al. 2000) . Informasi
cahaya
yang
diterima
oleh
nukleus
suprakhiasmatik
hipotalamus baik melalui rute retinohipotalamus maupun penetrasi langsung pada tulang kranial dan jaringan otak akan mengontrol sekresi dan pelepasan gonadotropin (GnRH). Sekresi GnRH akan diterima oleh hipofisis anterior lewat sistem sirkulasi portal hipofisis. Kehadiran GnRH dalam hipofisis anterior menstimulasi pelepasan LH dan FSH. Kedua hormon inilah yang secara langsung terlibat di dalam maturasi seksual aves (Lewis dan Morris 2006). FSH akan menstimulasi perkembangan, pematangan, dan vaskularisasi folikel ovarium serta atresi folikel-folikel kecil. Seiring dengan perkembangan folikel, estrogen mulai disekresikan. Peningkatan konsentrasi estrogen akan menstimulasi perkembangan oviduk, peningkatan absorpsi kalsium, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang dipergunakan dalam pembentukan telur. Bertambah besarnya ukuran folikel akan menurunkan produksi estrogen dan meningkatkan produksi progesteron. Progesteron yang disekresikan ke dalam darah merupakan umpan balik positif bagi lepasnya LH dari hipofisis anterior. Terjadinya peningkatan LH dan
13
progesteron akan menstimulasi proses ovulasi. Peningkatan LH juga memacu sintesis androgen yang berfungsi memacu sekresi albumin dalam oviduk dan mempengaruhi perkembangan tanda-tanda seks sekunder unggas betina (Squires 2003). Pelepasan GnRH dari hipotalamus juga diinduksi oleh gen fos. Ekspresi gen fos pada mediobasal hipotalamus akan mengalami peningkatan ketika terjadi transfer dari hari pendek ke hari panjang. Peningkatan ekspresi gen fos dimulai pada hari ke dua dan paling lama pada hari ke tiga saat pertama kali dimulainya hari panjang (18 jam siang). Aktivitas gen fos pada mediobasal hipotalamus merupakan tanda hipotalamus aves menerima transmisi informasi cahaya sehingga terjadi sekresi GnRH yang dilanjutkan dengan peningkatan pelepasan LH (Meddle dan Follett
1997). Sekresi LH dan FSH yang berperan dalam
maturasi seksual juga dikontrol oleh GnIH (gonadotrophin inhibitory hormone). Sekresi
GnIH
distimulasi
oleh
pembesaran
folikel.
Pertumbuhan
dan
perkembangan folikel aves menghasilkan 4-5 folikel besar, folikel yang besar dan telah mengalami ovulasi akan menstimulasi hipotalamus mensekresikan GnIH. Kehadiran GnIH pada hipofisis menjadi signal bagi hipofisis untuk mengurangi dan menghentikan sekresi FSH dan LH (Ciccone et al. 2004). C. Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Puyuh merupakan jenis aves yang tidak dapat terbang, ukuran tubuhnya relatif kecil, berkaki pendek, dan tersebar di seluruh dunia, sedangkan cara hidupnya yang liar menimbulkan kesan bahwa puyuh sulit dipelihara. Di Amerika Serikat, puyuh yang diternakkan pertama kali pada tahun 1870 berasal dari puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica). Di negara Jepang sendiri, puyuh pertama kali dipelihara sebagai burung ocehan (song bird) dan burung aduan. Seiring dengan tingkat kebutuhan manusia akan protein hewani, puyuh kemudian mulai didomestikasi. Domestikasi puyuh dilakukan pertama kali oleh National Institute of Genetic, Mishima, sedangkan di Indonesia puyuh jepang baru mulai dikenal dan dipelihara pada akhir tahun 1979. Sebenarnya, Indonesia sendiri memiliki berbagai jenis puyuh, tetapi tidak semua dapat dimanfaatkan sebagai penghasil pangan, terutama telur. Puyuh liar yang terdapat di Indonesia sering disebut
14
gemak, termasuk dalam genus turnix yang jauh berbeda dari coturnix; perbedaan jelas adalah pada jari kakinya. Coturnix memiliki 4 jari, tiga menghadap ke depan dan satu ke belakang, sedangkan turnix hanya memiliki 3 jari yang menghadap ke depan. Masyarakat
yang menghendaki produksi telur lebih banyak memilih
puyuh jepang untuk dipelihara dan diambil telurnya. Puyuh juga menjadi semakin populer dan digemari oleh banyak kalangan karena telur dan dagingnya sebagai bahan makanan yang kandungan gizinya tinggi dan rasanya lezat, beberapa tahun terakhir puyuh banyak dimanfaatkan sebagai hewan percobaan untuk berbagai penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan (Kim 2000; Menegristek 2008). Puyuh jepang memiliki kebiasaan hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan habitat alaminya di hutan belantara. Sifat reproduksinya cepat, dalam satu tahun mampu menghasilkan
3-4 generasi, sangat menarik untuk
dipelihara dan diternakkan. Karakteristik dari puyuh jepang adalah sebagai berikut: •
Bentuk badan lebih besar dari jenis puyuh yang lainnya, panjang badan sekitar 19 cm, badan membulat, ekor pendek, paruh pendek, jari kaki empat buah, tiga jari kakinya ke depan, dan satu jari kaki ke arah belakang serta warna kaki kekuning-kuningan.
•
Pertumbuhan bulu menjadi lengkap setelah berumur dua sampai tiga minggu. Kedua jenis kelamin dapat dibedakan berdasarkan warna bulu, suara, dan bobot badannya.
•
Ciri puyuh jantan dewasa dapat dilihat dari warna (Gambar 1B). Pada bagian bulu kepala sampai ke bagian belakang terdapat warna putih yang berbentuk garis melengkung tebal, bulu leher, dan dadanya yang berwarna cokelat muda (cinamon) tanpa ada bercak kehitaman, bulu punggung berwarna campuran cokelat gelap, abu-abu dengan garis putih, bulu sayap seperti bulu punggung dengan belang kehitaman, panjang sayap kira-kira 89 cm. Puyuh jantan muda mulai bersuara atau berkicau pada umur 5-6 minggu. Selama puncak musim kawin, puyuh jantan akan berkicau setiap malam dengan suara keras.
•
Puyuh betina dewasa memiliki warna tubuh yang mirip dengan puyuh jantan, kecuali warna bulu pada kerongkongan dan dada bagian atas
15
puyuh betina berwarna cokelat muda lebih terang (sawo matang) dengan bercak cokelat tua atau kehitam-hitaman (Gambar 1A). •
Puyuh mencapai masak kelamin (dewasa kelamin) pada umur 41-42 hari atau enam minggu. Bobot tubuh puyuh betina dewasa mencapai 143 g/ekor, sedangkan bobot badan puyuh jantan dewasa kira-kira 117 g/ekor.
•
Puyuh betina mampu menghasilkan telur sebanyak 200-300 butir per ekor selama satu tahun, dengan bobot 10 g per butir (kira-kira 8% dari bobot badannya). Kerabang telur berwarna cokelat tua, biru, putih dengan bintik-bintik hitam, biru atau cokelat yang tersebar di seluruh permukaan kerabang. Pigmen kerabang telur berupa ooporpirin dan biliverdin.
•
Lamanya periode pengeraman telur antara 16-18 hari (Randall dan Bolla 2008; Barnette 2009). Sudah sejak 20 tahun yang lalu puyuh jepang dijadikan sebagai hewan
model alternatif pengganti rodensia di laboratorium, dengan pertimbangan siklus hidupnya relatif singkat. Penelitian yang banyak memanfaatkan puyuh sebagai hewan model adalah penelitian yang berkaitan dengan analisis endokrin, neurotransmiter, mekanisme saraf yang mengontrol diferensiasi seksual selama ontogeni hingga dewasa, dan kontrol tingkah laku reproduksi. Aksi hormon dan neurotransmitter puyuh memiliki kemiripan dengan rodensia, terutama dalam mengontrol tingkah laku seksual hewan jantan. Kesamaan inilah yang memacu banyak peneliti memanfaatkan puyuh sebagai hewan model untuk tingkah laku seksual manusia (Balthazart et al. 1998). Seekor puyuh betina terutama puyuh jepang sudah mencapai dewasa kelamin pada umur 42 hari dengan menghasilkan telur. Sifatnya yang mampu menghasilkan keturunan 3-4 generasi per tahun, laju metabolisme yang cukup tinggi dengan pertumbuhan dan perkembangan yang relatif cepat merupakan keunggulan yang cukup menguntungkan untuk menjadikan puyuh sebagai hewan model. Alasan lain pemakaian puyuh sebagai hewan model adalah kebutuhan luas kandang untuk seekor puyuh hanya sekitar 200 cm2 sehingga akan menghemat ruang percobaan. Kebutuhan konsumsi pakan per ekor per harinya juga sangat kecil dibandingkan dengan jenis aves lainnya. Dilihat dari sisi medis, pemakaian puyuh sebagai hewan coba sangat
16
menguntungkan karena luka puyuh akibat pembedahan lebih cepat sembuh (Listiyowati dan Roospitasari 2007). Puyuh merupakan salah satu spesies unggas yang sangat responsif dalam menerima energi cahaya. Tingkah laku, masak kelamin, dan bioritme burung puyuh dapat dimanipulasi dengan pemberian warna cahaya yang spesifik terutama untuk panjang gelombang cahaya merah, jingga, kuning, hijau, dan biru. Pemberian cahaya selama 14-16 jam setiap hari pada burung puyuh sangat dibutuhkan untuk memelihara fertilitas dan produksi telur, sedangkan untuk produksi daging diperlukan pencahayaan selama 8 jam setiap hari (Randall dan Bolla 2008).
A. Puyuh betina
B. Puyuh jantan
Gambar 1. Karakteristik puyuh betina (A) dan puyuh jantan (B) (www.quailsforafrica.com/coturnix.html)
D. Sistem Reproduksi Aves Sistem reproduksi hewan betina secara umum terdiri atas dua ovari yang terletak di sebelah kiri dan di sebelah kanan, tetapi sistem reproduksi pada sebagian besar aves hanya mempunyai satu ovari dan oviduk fungsional, yaitu ovari sebelah kiri. Sebenarnya, semua jenis aves ketika memasuki fase embrional mempunyai ovari dan oviduk sebelah kanan, namun distribusi sel-sel benih (germ cells) primordial dalam ovarium menjadi asimetris pada hari keempat masa inkubasi dan pada hari kesepuluh terjadi regresi ovari serta oviduk kanan yang
17
diinisiasi oleh substansi penghambat Mullerian. Aves yang sampai saat ini masih memiliki ovari dan oviduk sebelah kanan serta berkembang secara fungsional adalah falconiformes dan kiwi, sedangkan burung gereja dan merpati sekitar 5% populasinya memiliki ovari dan oviduk sebelah kanan yang juga berkembang secara fungsional meskipun dengan ukuran yang asimetris (Johnson 2000). 1. Ovari Ovari kiri terletak di dalam rongga abdomen sebelah kiri berdekatan dengan ginjal kiri, yang melekat pada dinding tubuh di bagian ligamen mesovarium. Ovari terbagi dalam dua bagian, yaitu cortex merupakan bagian sebelah luar dan medulla merupakan bagian sebelah dalam. Cortex mengandung folikel dan di dalam folikel terdapat sel-sel telur (ovum). Medulla berisi jaringan konektif, serabut saraf, dan pembuluh darah. Secara luas, ovari menerima inervasi saraf simpatik yang membentuk pleksus adrenal-ovari. Ovari memperoleh suplai darah dari aorta dorsalis yang kemudian membentuk arteri gonadoadrenal. Bahan kimiawi diangkut oleh sistem vaskularisasi ke dalam ovari melalui beberapa lapisan, di antaranya theca layer merupakan lapisan terluar yang bersifat permeabel sehingga memungkinkan cairan plasma bagian dalam menembus jaringan di sekelilingnya. Lapis kedua berupa lamina basalis yang berfungsi sebagai filter untuk menyaring komponen cairan plasma yang lebih besar. Lapis ketiga sebelum sampai pada oosit adalah lapisan perivitellin yang berupa material protein yang bersifat fibrous. Calon folikel (oosit) dalam membran plasma berikatan dengan sejumlah reseptor yang akan membentuk endocitic sehingga terbentuk material penyusun kuning telur (yolk). Sebagian besar material penyusun kuning telur adalah materi granuler berupa HDL (high density lipoprotein) dan lipovitelin. Kedua senyawa tersebut akan berikatan dengan ion dan pada pH tinggi membentuk kompleks fosfoprotein, fosfitin, ion kalsium, dan ion besi. Kompleks fosfoprotein, fosfitin, ion kalsium, dan ion besi kemudian membentuk senyawa vitelogenin, yaitu prekursor protein yang disintesis di dalam hati sebagai respons terhadap estrogen. Komponen vitelogenin lebih mudah larut dalam darah membentuk kompleks lipid kalsium dan besi. Proses pembentukan vitelogenin disebut vitelogenesis atau vitelogeni (Yuwanta 2004).
18
Penyusun utama kuning telur adalah air, lipoprotein, protein, mineral, dan pigmen. Protein kuning telur dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yakni: 1. Livetin, merupakan protein plasma yang terakumulasi pada kuning telur dan disintesis dalam hati, dan komponennya hampir 60% dari total yolk. 2. Fosfitin dan lipoprotein terdiri atas HDL dan LDL (low density lipoprotein) atau disebut pula dengan granuler. HDL dan LDL disintesis dalam hati. Proses sintesisnya dikontrol oleh estrogen. Hasil sintesis bersama-sama dengan ion kalsium, besi, dan seng membentuk molekul kompleks yang mudah larut kemudian masuk ke dalam yolk (Klasing 2006; Yuwanta 2004). Ovum berkembang sejak aves dalam fase embrional. Pada hari kesembilan masa inkubasi, jumlah oosit mencapai 28.000, pada hari ketujuh belas, jumlah oosit meningkat kira–kira 680.000, dan ketika menetas, jumlah menurun menjadi 480.000. Ovari anak aves yang belum mencapai dewasa kelamin terdiri atas sejumlah kecil masa oosit yang berisi sekitar 2.000 oosit yang dapat dilihat dengan mata telanjang dan hanya 250-500 oosit yang mampu berkembang secara sempurna menjadi telur yang mengandung kuning telur setelah aves tersebut dewasa serta mengalami ovulasi sepanjang siklus hidup aves yang didomestikasi, sedangkan aves yang hidup bebas di alam jumlah sel telur matang serta dapat diovulasikan lebih sedikit jumlahnya (Hafez 2000). 2. Oviduk Oviduk sebagian besar aves merupakan saluran paramesonepros kiri yang berkembang sempurna. Oviduk memiliki sistem vaskularisasi yang baik dan dinding ototnya hampir selalu bergerak selama proses pembentukan telur. Pada aves yang belum dewasa, oviduk berukuran kecil, ukurannya akan meningkat ketika aves mulai produktif dan besarnya selalu mengalami perubahan sejalan dengan aktivitasnya. Oviduk terdiri atas lima komponen yang fungsional, yaitu a. Infundibulum (funnel/papilon). Dinding infundibulum sangat tipis dan sempit, mempunyai kelenjar untuk sekresi protein yang mengelilingi membran vitellina sehingga sering dikenal sebagai chalaziferous region yang memberi kontribusi pada pembentukan kalasa. Chalaziferous region juga berfungsi sebagai salah satu tempat menyimpan sperma. Yolk berada
19
dalam infundibulum berkisar antara 15-30 menit baik untuk ayam, kalkun maupun puyuh. Perbatasan antara infundibulum dengan magnum disebut sarang spermatozoa. b. Magnum, berfungsi sebagai tempat sintesis dan sekresi albumen. Magnum tersusun atas kelenjar tubuler yang sangat sensibel. Sebagian besar protein yang menyusun albumin dihasilkan oleh mukosa magnum. Kelenjar tubuler magnum terdiri atas sel-sel goblet yang akan mensekresikan ovalbumin, lisosim, ovotransferin, dan ovomusin serta akan disimpan dalam bentuk granula. Granula akan dilepaskan ketika yolk melewati magnum. Yolk berada di dalam magnum untuk dibungkus dengan albumen (putih telur) selama 2-3 jam pada ayam dan kalkun, sedangkan pada puyuh, yolk akan berada dalam magnum sekitar 2-2,5 jam. c. Isthmus, merupakan bagian oviduk yang pendek. Isthmus berfungsi sebagai tempat untuk membentuk membran kerabang atau selaput telur. Telur berada di bagian isthmus antara 1-1,5 jam baik pada ayam, kalkun maupun puyuh. Isthmus memiliki karakteristik dindingnya sempit dan tipis, bagian depan yang berdekatan dengan magnum berwarna putih, sedangkan 4 cm terakhir dari isthmus mengandung banyak pembuluh darah sehingga memberikan warna merah. d. Uterus (glandula pembentuk kerabang) penuh dengan vaskularisasi. Putih telur yang melewati uterus akan mengalami dehidrasi (plumping) kemudian diteruskan dengan pembentukan kerabang keras. Lama mineralisasi kerabang telur antara 18-21 jam pada ayam, 22-24 jam pada kalkun, sedangkan pada puyuh antara 19-20 jam. Kerabang hampir seluruhnya tersusun oleh deposit kalsium karbonat dalam matriks protein dan mukopolisakarida. Sumber utama kalsium karbonat pembentuk kerabang adalah ion karbonat dalam darah. Karbonat dibentuk dari pencampuran antara karbondioksida dan air dengan bantuan enzim karbonik anhidrase. Transport karbonat secara konstan dan berkelanjutan ke dalam kelenjar kerabang menyebabkan terbentuknya
kristal kalsit.
Oviduk tidak akan mampu menyimpan banyak ion kalsium. Kalsium dalam darah yang dimanfaatkan oleh kelenjar kerabang hanya sekitar 20%.
20
Dari darah kalsium akan ditransport ke dalam permukaan sel-sel epitelium lumen kelenjar kerabang. Pada ayam yang berproduksi tinggi, kalsium yang dapat didepositkan pada kerabang sebutir telur mencapai 2-2,5 g/hari. Deposisi kalsium dikontrol oleh cahaya. Ketika kondisi gelap pada saat asupan pakan dan minum normal akan terjadi deposisi kalsium untuk pembentukan kerabang telur. Untuk kebutuhan pembentukan kerabang telur, biasanya unggas akan menyimpan kalsium pakan secara periodik dalam tulang medula. Penyimpanan kalsium pakan akan diinisiasi oleh peningkatan sekresi estrogen ketika unggas menjelang masak kelamin. Calbindin-D28k
merupakan
protein
intraseluler
yang
memiliki
kemampuan mengikat kalsium dengan afinitas tinggi serta memegang peran penting dalam transport kalsium dalam usus dan kelenjar kerabang. Produksi protein calbindin-D28k diregulasi oleh vitamin D3. Sintesis protein calbindin-D28k dalam kelenjar kerabang distimulasi oleh kehadiran yolk dan adanya aliran kalsium dari darah. Proses akhir dari pembentukan kerabang telur adalah pigmentasi dan pembentukan kutikula. Kutikula akan dibentuk di dalam vagina. Warna kerabang telur berasal dari sel porpirin yang merupakan derivat dari metabolisme hemoglobin. Pada puyuh, pigmen kerabang telur berasal dari oopororpirin (porpirin) dan biliverdin. Deposisi pigmen terjadi dua atau tiga jam sebelum oviposisi yang kemudian diikuti dengan penurunan ooporpirin dalam jaringan kelenjar kerabang. e. Vagina, merupakan bagian oviduk menuju kloaka. Di dalam vagina hampir tidak terjadi sekresi material telur kecuali pembentukan kutikula. Kutikula adalah lapisan penutup kerabang paling luar, berfungsi melindungi telur dari serangan bakteri yang berbahaya dan meminimalkan penguapan air. Telur melewati vagina dengan cepat, yaitu sekitar 3 menit kemudian akan dikeluarkan (oviposisi) dan 30 menit setelah oviposisi akan kembali terjadi ovulasi (Woodard et al. 1973; Hafez 2000; Johnson 2000).
21
tangkai ovari folikel kosong ovari muda infundibulum ovum masak
leher infundibulum
stigma ostium lokasi sekresi albumin
isthmus uterus oviduk kanan rudimenter vagina kloaka
Gambar 2. Saluran reproduksi ungas betina secara umum (www.iacuc.arizona.edu/poultry/species.html)
Sistem reproduksi aves betina dapat berfungsi dengan
baik jika ada
stimulasi hormon FSH (Follicle Stimulating Hormone) dari hipofisis anterior yang menyebabkan terjadinya perkembangan dan pematangan folikel. Sekresi FSH secara normal distimulasi oleh periode pencahayaan. Pada kondisi alamiah, peningkatan sekresi FSH disebabkan oleh bertambah lamanya siang hari. Perkembangan folikel akan menginisiasi sekresi estrogen dan progesteron. Estrogen menyebabkan peningkatan kadar kalsium, protein, lemak, vitamin, dan substansi lainnya dalam darah yang diperlukan untuk pembentukan telur. Estrogen juga menstimulasi perkembangan tulang pubis dan pembesaran vent (bagian paling luar dari kloaka) untuk mempersiapkan aves betina bertelur. Progesteron akan memacu hipofisis anterior untuk mensekresi LH. Kehadiran LH menyebabkan terjadinya ovulasi, yaitu pelepasan yolk yang sudah matang dari ovarium ke dalam infundibulum. Pada saat terjadi ovulasi, jika ada sperma yang membuahi akan dihasilkan telur yang fertil. Sebaliknya, jika tidak ada sperma, produksi telur tetap akan berlangsung, tetapi telur yang dihasilkan adalah steril (infertil) (Siswantoro 2007).
22
E. Masak Kelamin Puyuh Secara umum, masak kelamin didefinisikan sebagai suatu fase perkembangan individu ketika individu tersebut mulai mampu menghasilkan keturunan. Masak kelamin pada aves betina berkaitan erat dengan pengeluaran telur. Tercapainya oviposisi pertama merupakan kriteria yang banyak dipakai sebagai tanda timbulnya umur masak kelamin pada unggas. Kriteria bertelur pertama kali didahului oleh ovulasi, sedangkan pada unggas jantan, masak kelamin merupakan tahap ketika testis telah tumbuh dan berkembang serta mampu menghasilkan spermatozoa yang matang. Tanda-tanda masak kelamin merupakan perpaduan antara perubahan fisiologis dan morfologis yang menghasilkan suatu keadaan sehingga hewan mampu bereproduksi (Tamzil, 1995). Secara umum, terdapat dua faktor yang mempengaruhi umur masak kelamin pada unggas, yaitu faktor internal berupa genetik dan faktor eksternal berupa pembatasan pakan serta periode pencahayaan. Pembatasan pakan, baik dengan pembatasan kuantitas maupun kualitas dapat memperlambat umur masak kelamin. Pembatasan jumlah pakan yang diberikan pada itik lokal dapat menunda umur masak kelamin dan menghasilkan bobot telur pertama lebih berat, sedangkan itik yang mendapat pakan ad libitum mengalami masak kelamin dini (Tamzil 1995). Penelitian yang telah dilakukan mengenai pembatasan pakan pada puyuh umur 14 hari sampai dengan masak kelamin menyebabkan terjadinya penundaan umur masak kelamin, penurunan bobot badan, dan bobot organ reproduksi saat masak kelamin serta penurunan jumlah folikel dan lemak karkas. Periode pencahayaan berkaitan dengan lamanya periode terang atau panjang hari. Pada
puyuh betina yang menerima penerangan konstan sejak umur nol hari
selama 16 jam memberikan peningkatan respons masak kelamin, sedangkan durasi pencahayaan selama 8-12 jam tidak akan meningkatkan respons masak kelamin. Demikian juga pemberian penerangan selama 16 jam pada puyuh jantan akan meningkatkan respons masak kelamin, sedangkan pemberian penerangan selama 8 jam akan menyebabkan regresi testis (Siopes dan Wilson 1980). Pada ayam yang juga mendapat penerangan konstan sejak umur nol sampai 500 hari dengan perpanjangan penerangan dari 6-14 jam menyebabkan masak kelamin
23
lebih dini, namun jika penerangan diperpanjang hingga 18 jam masak kelamin akan diperlambat (Moris 1967). Cahaya memiliki peran yang begitu penting dalam menstimulasi hipotalamus untuk mensekresikan GnRH yang sangat dibutuhkan untuk menstimulasi hipofisis memproduksi LH. Untuk terjadinya ovulasi LH sangat diperlukan, sedangkan pertumbuhan dan pembesaran folikel diperlukan FSH (Johnson 2000). Ketika puyuh mencapai umur masak kelamin, ovarium dan oviduk mengalami perubahan-perubahan sekitar 10-12 hari sebelum puyuh dara bertelur untuk yang pertama kali. Hipofisis anterior akan mensekresikan FSH sehingga terjadi pertumbuhan, perkembangan, dan pemasakan folikel. Ovarium akan mulai mensekresikan estrogen, progesteron, dan testosteron (sex steroid). Konsentrasi estrogen plasma darah yang tinggi memacu perkembangan tulang medular, merangsang sintesis protein kuning telur, dan pembentukan lipoprotein di dalam hati (Woodard et al. 1973). Pada saat yang bersamaan, terjadi pembesaran ukuran oviduk sehingga memungkinkan produksi protein albumin, membran kerabang, kalsium karbonat kerabang, dan kutikula. Yolk pertama menjadi matang karena sebagian bahan yolk di dalam hati dialirkan oleh sistem vaskularisasi langsung ke yolk dalam folikel. Satu atau dua hari kemudian, yolk yang kedua mulai berkembang dan seterusnya sampai pada saat telur pertama dikeluarkan sekitar 5-10 yolk sedang dalam proses perkembangan. Setiap yolk dewasa menjadi matang membutuhkan waktu 10-11 hari. Kemudian yolk matang akan dilepaskan dari ovarium masuk ke dalam oviduk dengan suatu proses yang dikenal sebagai ovulasi. Ovulasi dirangsang oleh kehadiran hormon LH. Sekresi LH dipicu oleh peningkatan kadar progesteron dalam darah. Masak kelamin ditandai dengan ovulasi pertama kali, di mana ovulasi dapat menjadi cepat atau lambat sangat dipengaruhi oleh pembatasan pakan maupun periode pencahayaan (Suprijatna et al. 2005). Folikel-folikel preovulasi sangat potensial dalam menghasilkan steroid lewat jalur steroidogenik. Lapisan granulosa secara dominan akan mensekresikan progesteron sebagai prekursor sintesis androstenedion dan testosteron dalam lapisan teka internal dan sedikit lebih banyak pada sel-sel lapisan granulosa. Progesteron juga merupakan steroid yang dominan dalam menginisiasi gelombang
24
pelepasan LH 4-6 jam sebelum ovulasi terjadi. Estrogen disintesis oleh sel-sel teka eksternal. Produksi steroid oleh sel-sel teka dan granulosa dikontrol oleh aksi LH lewat signal second messenger cAMP (adenil cyclase). Messenger asam ribonukleat (mRNA) merupakan reseptor LH yang tereskpresi pada jaringan granulosa dan teka folikel seluruh hierarki folikel. Peningkatan mRNA sebagai reseptor LH terjadi ketika fase perkembangan folikel baik pada lapisan teka maupun lapisan granulosa, kemudian fase pascaovulasi dan ketika terjadi regeresi folikel. Hierarki folikel merupakan gradasi bobot dan ukuran folikel. Hanya satu folikel, yaitu folikel yang paling besar dan menjadi matang serta diovulasikan dalam waktu satu hari. Segera setelah folikel yang paling besar pecah, yolk mengalami ovulasi kemudian akan diikuti oleh folikel nomor dua terbesar yang akan tumbuh dan menjadi paling besar kembali, demikian seterusnya pembesaran folikel terjadi secara berurutan. Jadi, kontrol aliran hormon gonadotropin pada aves betina sangat berbeda dari mamalia betina. Pada mamalia, aliran gonadotropin hanya cukup menstimulasi matangnya satu folikel (atau beberapa folikel pada betina politokus), sedangkan pada unggas betina, aliran hormon gonadotropik diatur tidak hanya untuk satu folikel yang memiliki ukuran ovulasi pada saat itu, tetapi juga untuk mempertahankan keberadaan hierarki folikel. Induksi cAMP oleh LH akan meningkatkan respons lapisan granulosa folikel pada saat ovulasi berlangsung. Sebaliknya, ikatan FSH pada membran, pembentukan cAMP yang diinduksi oleh FSH, dan steroidogenesis sangat rendah pada hierarki folikel. Jadi, ketika ovulasi, sistem cAMP pada sel teka maupun granulosa memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap LH, namun tidak responsif untuk FSH (Johnson 2000; Nalbandov 1990). Aktivasi diasilgliserol atau protein kinase C sebagai sistem second messenger akan menurunkan produksi steroid yang diinduksi oleh LH pada selsel granulosa dan sel-sel teka folikel. Sejumlah faktor fisiologi potensial akan beraksi lewat protein kinase C yang meliputi faktor pertumbuhan (transforming growth factor α/TGFα maupun transforming growth factor β/TGFβ), faktor pertumbuhan epidermal (epidermal growth factor/EGF), dan prostaglandin. Pada ayam, kehadiran TGFα akan menurunkan produksi steroid yang diinduksi LH di dalam sel–sel granulosa F1 (folikel matang yang paling besar). Terjadinya
25
penurunan atau penghambatan steroid menunjukkan berakhirnya pelepasan progesteron preovulasi. Produksi faktor-faktor pertumbuhan dan reseptornya seperti EGF, TGFα, TGFβ, NGF (nerve growth factor), SCF (stem cell factor) dan IGF-I (insulin growth factor I) ikut terlibat dalam regulasi fungsi ovari, baik sebagai parakrin maupun autokrin (Johnson 2000). Pada puyuh, EGF kurang berperan selama diferensiasi folikel, sedangkan TGFβ merupakan modulator parakrin dan autokrin pada sel-sel granulosa dan oosit yang telah matang (Nassauw et al. 1996). Oviposisi merupakan proses pengeluaran telur dari tubuh aves betina. Proses oviposisi melibatkan relaksasi otot abdominal dan otot sphincter antara uterus dan vagina serta kontraksi otot pada dinding uterus. Mekanisme oviposisi pada puyuh dan aves secara umum dikontrol oleh hormon neurohipofisis, prostaglandin, dan hormon folikel preovulasi maupun pascaovulasi. Hormon neurohipofisis yang terlibat langsung dalam proses oviposisi adalah oksitosin yang dimediasi oleh prostaglandin. Pemberian indomethasin, histamin, dan asetilkolin akan memblokir sintesis oksitosin sehingga menginduksi terjadinya oviposisi prematur. Pada ayam, hormon neurohipofisis yang terlibat dalam oviposisi selain oksitosin adalah arginin vasotoksin. Ayam petelur sangat peka sekali terhadap kedua hormon neurohipofisis ini yang menginduksi kontraksi uterus sehingga menyebabkan terjadinya oviposisi prematur (Johnson 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Saito et al. (1990) menunjukkan bahwa ovari ayam juga merupakan sumber arginin vasotoksin.
Siklus ovulasi-oviposisi
merupakan siklus ovulasi ovum sampai dengan peletakan telur (oviposisi). Siklus ovulasi-oviposisi untuk masing-masing spesies aves cukup bervariasi dengan rentang waktu 24-28 jam. Siklus ovulasi-oviposisi pada ayam, kalkun, dan puyuh sekitar 24 jam, pada itik Khaki Campbell sekitar 23-24 jam, sebaliknya pada merpati siklus ini cukup lama, yaitu sekitar 40-44 jam. Oviposisi pada puyuh terjadi pukul 14.00-19.00, pada ayam pukul 06.00-14.00, dan pada itik pada pukul 02.00-06.00.
Pemberian
pencahayaan
yang
konstan
pada
puyuh
akan
menstimulasi pengeluaran jumlah telur yang relatif seragam pada periode 24 jam secara berurutan, yang dikenal sebagai suatu siklus clutch. Siklus clutch berakhir pada suatu hari tertentu ketika tidak ada telur yang dikeluarkan.
26
Umur masak kelamin sangat dipengaruhi oleh panjang hari (lamanya penerangan). Beberapa puyuh betina akan mulai bertelur pada umur 35 hari, namun sebagian besar puyuh bertelur pertama kali pada umur 41-42 hari dan mencapai puncak produksi telur pada umur 50 hari. Pada kondisi lingkungan yang sesuai, puyuh akan mampu bertelur sebanyak 250 butir per tahun per ekor. Waktu yang dibutuhkan untuk membentuk sebutir telur adalah 24 jam yang diawali dengan keberadaan telur di dalam infundibulum sekitar 15-30 menit, di dalam magnum 2-2,5 jam, di dalam isthmus 1,5-2 jam, dan di dalam uterus 19-20 jam. Ovulasi telur berikutnya akan dimulai lagi 15-30 menit setelah oviposisi. Bobot ovari pada saat bertelur sekitar 6,2 g, sedangkan bobot oviduk 4,9 g. Masak kelamin puyuh jantan dicapai pada umur 36 hari dengan bobot testis 551 mg pada saat menghasilkan spermatozoa pertama kali dan bobotnya akan meningkat sampai 2.500 mg pada puyuh yang produktif. Konsentrasi semen 5,9 juta/mm3 dan volume semen 10 μl/ekor (Woodard et al. 1973). Beberapa perubahan lain yang mengikuti proses masak kelamin pada unggas, termasuk puyuh, yaitu vent menjadi besar dan lembab, tulang pinggul (pubis) menjadi lebih tipis, jarak antartulang pinggul bertambah lebar, jarak antara tulang pinggul dan ujung tulang dada bertambah lebar serta kulit pada tulang tengkorak menjadi lebih tipis (Suprijatna et al. 2005). Pelebaran tulang pinggul (PS: pubic spread) pada puyuh secara cepat terjadi ketika masak kelamin pada umur 38-59 hari dan pertumbuhan optimal tulang pinggul berlangsung pada umur 49-52 hari. Pada puyuh berumur 21-38 hari yang belum masak kelamin (prepubesence), tulang pinggul belum mengalami pelebaran, sedangkan pada puyuh berumur 59-84 hari yang sudah mulai postpubesence sudah tidak terjadi lagi pertumbuhan tulang pinggul (Satterlee dan Marin 2004).
F. Estrogen Estrogen merupakan salah satu anggota dari hormon steroid yang disintesis oleh sel-sel teka eksterna ovari. Semua hormon steroid dibentuk dari kolesterol. Biosintesis estrogen dikontrol dan diatur melalui mekanisme umpan balik negatif sekresi FSH dan LH oleh hipofisis, serta GnRH oleh hipotalamus. Estrogen ovari memiliki berbagai macam fungsi termasuk dalam regulasi
27
metabolisme kalsium untuk pembentukan membran kerabang dan kerabang telur, biosintesis lemak, induksi reseptor oviduk untuk menstimulasi perkembangan oviduk, induksi reseptor progesteron yang terekspresi dalam saluran reproduksi dan ovari, perkembangan tulang pubis serta pertumbuhan bulu (King 2008). Berikut disajikan skema sintesis hormon seks hewan betina di dalam ovarium (Gambar 3).
Kolesterol
Pregnenolon
17-OH Pregnenolon
Progesteron
Dehidroepiandrosteron (DHEA)
17-OH Progesteron
Androstenediol
Androstenedion
Testosteron
Estron
Estradiol
Dihidrotestosteron Gambar 3. Sintesis hormon seks pada ovarium. Hormon seks disintesis dari kolesterol. Konversi androstenedion menjadi testosteron dan estron pada sel-sel teka eksterna folikel ovari menghasilkan estradiol (King 2008)
Secara umum terdapat tiga jenis estrogen yang bermakna di dalam plasma unggas betina, yaitu estradiol-β, estron, dan estriol. Estrogen utama yang disekresi oleh ovarium adalah estradiol-β. Estron disekresi dalam jumlah kecil, namun sebagian besar estron dibentuk dalam jaringan perifer dari androgen yang
28
disekresi oleh korteks ginjal dan oleh sel teka ovari. Estriol adalah estrogen yang lemah, merupakan produk oksidasi baik yang berasal dari estradiol maupun estron. Produk oksidasi ini terutama terjadi di dalam hati. Estradiol-17β dan estrone memiliki konsentrasi tertinggi dalam plasma 4-6 jam sebelum ovulasi, sedangkan peningkatan estrogen dalam plasma tidak begitu konsisten selama 1823 jam menjelang ovulasi, namun pada ayam, 14 hari menjelang ovulasi kadar estrogen meningkat menjadi 355 pg/ml. Setelah proses ovulasi terjadi, kadar estrogen kembali menurun menjadi 183 pg/ml. Folikel preovulasi akan mensekresi estradiol yang akan meningkatkan pembesaran folikel yang paling besar 3-6 jam sebelum ovulasi. Secara keseluruhan, sekresi estrogen berasal dari folikel prehirarki. Estrogen tidak memiliki keterlibatan langsung dalam menginduksi sekresi LH atau ovulasi. Injeksi estradiol pada ayam petelur tidak akan menghambat ovulasi maupun sekresi LH. Estrogen bersama dengan progesteron dibutuhkan oleh hipotalamus dan hipofisis untuk menginisiasi progesteron dalam menginduksi pelepasan LH. Pemberian estradiol pada anak puyuh dan anak ayam betina akan meningkatkan pertumbuhan oviduk, pembentukan kelenjar sekretori tubuler serta diferensiasi epitelium. Lebih jauh, estradiol akan menginduksi sintesis ovalbumin, ovomusin, dan lisosim dalam oviduk serta vitelogenin dalam hati. Karakteristik seks sekunder seperti warna dan bentuk bulu, serta tingkah laku seksual unggas betina di bawah kontrol estrogen. Diferensiasi seksual pada otak unggas betina juga di bawah kontrol estrogen. Pemberian antiestrogen pada embrio puyuh akan
menghasilkan tingkah laku
maskulin (Pageaux et al. 1984; Yuwanta 2004; Johnson 2000).
G. Proses Pembentukan Telur Telur tersusun dari kuning telur (yolk), putih telur (albumen), kerabang tipis, kerabang keras, dan beberapa bagian lain yang cukup kompleks. Pembentukan Kuning Telur (vitelogenin) Pembentukan kuning telur yang disebut juga vitelogenin adalah proses akumulasi kuning telur pada sebuah folikel ovarium. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Proses pembentukan telur dimulai dari saat unggas masih dara dan berakhir beberapa saat sebelum ovulasi. Hampir 2/3 komposisi kuning
29
telur terdiri atas lipoprotein yang kaya akan trigliserida. Bahan penyusun kuning telur disintesis di dalam hati, kemudian dibawa oleh aliran darah untuk diakumulasikan dalam oosit pada ovarium di bawah kontrol hormon estrogen. Proses lipogenesis di hati meningkat antara 15-20 kali ketika unggas mencapai dewasa kelamin.
lapisan dalam dari albumin tipis
blastoderm
nukleus Pander
lapisan luar dari albumin tipis
membran vitelina
lapisan fibrous
rongga udara
kerabang
latebra kalasa yolk pekat yolk putih
membran kerabang lapisan kalasiferous
Gambar 4. Anatomi telur dilihat dari potongan melintang telur (http://chicksope.beckman.uiuc.edu/)
Terdapat tiga fase pembentukan kuning telur, yaitu 1. Fase perkembangan lambat, yang terjadi pada saat anak aves menetas. Oosit yang merupakan calon ovum sudah mulai terbentuk. Ovum mengandung protein granula atau cairan perivitelin yang terbungkus oleh epitelium folikuler, kemudian berkembang sesuai dengan pertumbuhan unggas. Ketika unggas mencapai dewasa kelamin, diameter ovum sudah membentuk oosit yang merupakan akumulasi dari lipid dan protein, kemudian terbentuklah kuning telur yang kaya akan protein. Proses ini terjadi sekitar hari kesepuluh sebelum ovulasi. Pada saat pertumbuhan lambat juga terjadi penambahan kuning telur dengan warna putih (white yolk). 2. Fase menengah. Selama fase menengah berlangsung seleksi awal dari ovum yang baik. Ukuran ovum pada ayam adalah 1-3 mm selama kurang
30
lebih 50 hari, kemudian selama 10 hari terjadi seleksi lagi untuk mendapatkan ukuran kira-kira 35 mm. 3. Fase perkembangan cepat. Pada fase ini mulai dideposisikan lemak dan protein. Terjadi perpindahan beberapa oosit I yang terbentuk selama kedua fase dan juga menyebabkan terbentuknya latebra, yaitu
penghubung
antara inti yolk dengan diskus germinalis, yang berfungsi sebagai pengatur keseimbangan kuning telur selama proses pembentukan telur. Pada fase ini terjadi deposisi yolk pekat (yellow yolk) yang kaya akan xantofil. Penambahan ini selalu berselang seling sehingga memberikan gambaran bahwa kuning telur berlapis-lapis secara konsentris (Suprijatna et al. 2005; Yuwanta 2000; Johnson 2000). Pembelahan oosit I terjadi beberapa saat sebelum ovulasi. Menjelang ovulasi, stigma akan robek dan ovum akan keluar. Robeknya stigma dikontrol oleh hormon LH. Sejumlah darah kadang dilepaskan bersama dengan yolk karena tempat pecahnya tidak selalu tepat pada stigma. Kondisi ini kadang menyebabkan munculnya suatu bintik darah di dalam telur. Kuning telur dibungkus oleh membran vitelin yang kaya akan lemak, terutama lipovitelin sebagai bahan penyusun trigliserida, fosfitin, dan fosfolipid (Yuwanta 2004; Suprijatna et al. 2005).
Ovulasi Satu butir telur terbentuk selama 24-27 jam. Ovulasi kuning telur terjadi 15-45 menit setelah oviposisi (peneluran). Oleh karena itu, ovulasi tidak akan terjadi apabila telur masih berada di dalam oviduk. Kronologi terjadinya ovulasi terdiri atas dua ritme, yaitu pertama karena pengaruh hormon yang dilepaskan hipofisis dan dipengaruhi oleh pengaturan cahaya, kedua bergantung pada ritme pamasakan ovum di dalam ovarium (Etches 1996). LH yang diproduksi oleh hipofisis disekresikan 6 jam sebelum ovulasi di bawah kontrol sekresi progesteron dari granulosa folikel. Produksi progesteron sendiri sebetulnya bergantung pada sekresi LH. Asosiasi antara LH dan perogesteron menyebabkan terjadinya sinkronisasi antara derajad masaknya folikel dan terjadinya ovulasi. Keterlambatan ovulasi dan oviposisi merupakan
31
konsekuensi dari perbedaan antara ritme gelap saat terjadinya sekresi LH dari hipotalamus-hipofisis dan ritme endogen pemasakan folikel selama lebih dari 24 jam. Selama desinkronisasi sudah melewati waktu tersebut maka ovulasi akan terhenti dan pemasakan ovum dilanjutkan pada hari berikutnya sehingga terjadi seri peneluran (Etches 1996).
Pembentukan Putih Telur Putih telur merupakan sumber protein yang diekskresikan serta diakumulasi dalam sel epitelium dan sel kelenjar tubuler. Keberadaan kuning telur dalam magnum merupakan stimulasi dari saluran reproduksi untuk mensekresikan albumen. Sintesis protein terjadi karena konsentrasi RNA dan kecepatan sintesis albumen dari glandula tubuler meningkat pada saat pembentukan telur. Protein albumen berupa ovalbumen, ovotransverin, dan lisosim disintesis dalam kelenjar tubuler, sementara avidin dan ovomusin disintesis oleh sel goblet. Putih telur yang berbentuk kental, berupa gel yang tipis, mengandung kurang lebih 15 g air atau separuh dari jumlah air keseluruhan. Selama berada di dalam magnum, kandungan air akan meningkat dua kali sehingga mencapai 3,5-7 g air setiap gram protein (Yuwanta 2004; Etches 1996). Mekanisme penyerapan air bersama dengan protein di dalam proses pembentukan albumen disebut plumping. Perbedaan struktur albumen telur, tebal tipisnya albumen, terjadinya lapisan albumen tipis, albumen tebal interna, dan eksterna serta kalasa terbentuk saat plumping ini. Kalasa merupakan protein yang terakumulasi akibat adanya rotasi dan tekanan pada saat pembentukan albumen sehingga membebaskan protein dari putih telur. Albumen merupakan sumber protein utama dalam telur yang terdiri atas ovalbumin (protein utama), globulin, lisosom, ovomusin, avidin, flavoprotein, dan ovomukoid. Semua protein telur berbentuk glikoprotein kecuali avidin dan lisosom (Etches 1996).
Pembentukan Kerabang Telur Kerabang telur terdiri atas dua bagian, yakni kerabang tipis (membran kerabang) dan kerabang telur keras. Membran kerabang dihasilkan oleh isthmus, sedangkan kerabang keras dihasilkan oleh uterus (kelenjar kerabang). Membran
32
kerabang telur terdiri atas dua bagian, yaitu bagian luar dan bagian dalam. Membran tersusun atas protein yang berbentuk serat dan berikatan dengan keratin, tetapi juga kolagen yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksilisin serta elastin. Kerabang telur secara umum terdiri atas air, protein, dan bahan kering, terutama CaCO3 dan sisanya berupa MgCO3 serta Ca3(PO4)2. Struktur kerabang telur terdiri atas lapisan-lapisan membran mamiler, cone dasar, membran palisadik, kutikula, dan pigmen kerabang telur. Warna kerabang telur ditentukan oleh beberapa zat, antara lain melanin, karotenoid, dan porpirin. Warna melanin disintesis pada kulit dan migrasi dari melanosit dari lapisan jaringan epidermis kulit. Warna kerabang telur pada aves liar sebenarnya digunakan sebagai pelindung terhadap predator (Yuwanta 2004; Suprijatna et al. 2005). Pembentukan kerabang telur dimulai dari isthmus kira-kira 4,5 jam setelah ovulasi dan berakhir 1,5 jam sebelum peneluran. Lapisan pertama yang dideposisikan adalah membran kerabang tipis bagian luar dan inti mamiler. Mineralisasi kalsium karbonat dilakukan di dalam uterus 10 jam setelah ovulasi, kemudian secara cepat terbentuk lapisan kerucut (cone) yang secara bersamasama dengan lapisan yang berbentuk silindris akan menjadi penyusun lapisan palisade. Kalsifikasi terhenti setelah kalsium karbonat membentuk kristal. Sebelum terjadi kalsifikasi kerabang telur, kalsium tidak disimpan dalam uterus, tetapi terdapat dalam plasma darah dalam bentuk ion kalsium. Deposisi Ca plasma darah pada kerabang telur terjadi sangat cepat, terutama pada saat mineralisasi kerabang telur. Mobilisasi Ca dari tulang medular terjadi apabila kekurangan Ca dalam pakan. Kandungan Ca pakan memegang peran penting pada proses kalsifikasi kerabang telur. Peningkatan sekresi asam dan air melalui proventrikulus akan meningkatkan kelarutan kalsium karbonat pakan dan meningkatkan retensi kalsium intestinum selama kalsifikasi kerabang telur. Kapasitas absorpsi kalsium meningkat enam kali lipat pada aves dewasa. Penetrasi kalsium dalam uterus bersifat aktif. Transfer kalsium kemudian menurun dengan kehadiran ion Na atau enzim karbonik anhidrase yang menyebabkan produksi bikarbonat. Transfer kalsium berasosiasi dengan sintesis protein sitosol calbindin (calcium binding protein). Calbindin ditemukan dalam glandula tubuler yang menjamin terjadinya transpor Ca bersama dengan kehadiran enzim Ca ATP-ase di
33
uterus. Enzim ini merupakan fasilitator dalam absorpsi kalsium dalam cairan uterus (Yuwanta 2004; Etches 1996).
Oviposisi (Peneluran) Keluarnya telur dari oviduk (oviposisi) merupakan hasil kerja sama yang dikoordinasi oleh faktor fisiologis, antara lain kontraksi otot uterus dan relaksasi vagina untuk melepaskan telur. Pada aves, aktivitas kontraksi uterus meningkat setiap terjadi oviposisi, baik oviposisi normal maupun oviposisi prematur. Regulasi oviposisi bergantung pada hormon arginin vasotoksin (oksitosin) yang disekresikan oleh hipofisis posterior dan hormon prostaglandin yang diproduksi oleh ovarium dan uterus. Ovarium berperan penting pada sebelum dan sesudah pemasakan ovum karena ovulasi tidak akan terjadi sebelum oviposisi berlangsung. Hormon arginin vasotoksin bersama dengan prostaglandin menyebabkan kontraksi uterus dan pendorongan telur ke arah luar. Injeksi prostaglandin E dan F menyebabkan kontraksi uterus dan relaksasi vagina sehingga terjadi oviposisi prematur (Etches 1996).
H. Lemak dan Metabolisme Lemak Lemak merupakan kelompok senyawa heterogen yang berkaitan baik secara aktual maupun potensial dengan asam lemak. Lemak dalam bentuk gliserida, terutama trigliserida, merupakan bentuk lemak yang disimpan untuk energi dan merupakan bentuk paling banyak terdapat dalam bahan makanan maupun jaringan. Biosintesis lemak pada hewan tingkat tinggi sangat penting sekali karena kemampuan hewan dalam menyimpan polisakarida sangat terbatas. Lemak dalam jaringan hewan berasal dari lemak ransum yang ditambah dengan lemak yang dibentuk dari asetil ko-A yang diperoleh selama lipogenesis dari karbohidrat atau asam amino tertentu. Glukosa pakan dikonversikan menjadi asam lemak dan trigliserida oleh hati dan jaringan lemak. Trigliserida tersebut dibebaskan ke dalam plasma sebagai lipoprotein berdensitas rendah (very low density lipoprotein: VLDL) yang akan diambil oleh jaringan lemak untuk disimpan (Linder 1992; Tamzil 1995).
34
Lemak dalam pakan aves berperan sebagai suplai energi, asam lemak esensial, dan pigmen. Lemak sebagai sumber energi bagi aves dapat dikonsumsi, dicerna dan dimetabolisme yang memiliki efisiensi tinggi. Lemak juga merupakan komponen pakan yang dideposit pada jaringan dengan sedikit modifikasi atau tanpa modifikasi sekalipun. Simpanan lemak sebagai sumber energi (bahan bakar) akan sangat bermanfaat ketika aves melakukan migrasi dan pada fase perkembangan embrio. Senyawa organik lemak disusun oleh atom, C, H dan O, tetapi jumlah atom-atom tersebut jauh lebih banyak dari karbohidrat. Lemak dibedakan menjadi 2 kelompok besar, yaitu lemak berbasis gliserol (lemak, glikolipid, lesitin, sefalin,dll) dan lemak
yang berbasis nongliserol (wax,
serebrosid, steroid, dan sfingomielin). Secara spesifik lemak merupakan ester asam lemak dan gliserol (Klasing 2006; Martoharsono 2006). Unggas mampu mensintesis asam lemak jenuh secara de novo dan mengoksidasinya menjadi mono dan “diunsaturated fatty acid” (1 dan 2 asam lemak tak jenuh) sampai atom karbon ke sembilan dan diakhiri dengan gugus karboksil ( ∆9). Sel-sel hepatosit aves dapat mensintesis asam stearat (18 karbon) dan mengintroduksi membentuk satu ikatan rangkap pada karbon 8 dan 9 untuk dijadikan asam oleat (C18, 1∆9). Namun, unggas kehilangan kapasitas enzim yang memiliki kemampuan untuk membentuk ikatan rangkap 2 sehingga asam stearat tidak dapat disintesis menjadi asam linoleat (C18, 2A9,12) atau asam α-linolenat (C18, 3∆9,12,15). Hanya enzim-enzim pada tanaman yang mampu menyisipkan ikatan rangkap ∆12 dan ∆15dalam asam lemak C18 sehingga asam lemak linoleat dan asam lemak linolenat merupakan asam lemak esensial. Asam lemak linoleat dan linolenat sejauh ini dapat dimetabolisme oleh enzim-enzim retikulum endoplasmik dalam sel hepatosit unggas. Asam linoleat mengalami desaturasi pada karbon ke 6 dan 7 menjadi asam γ-asam linolenat (C18, 3∆6,9,12), asam ini kemudian akan diperpanjang rantai karbonnya sebanyak 2 karbon serta desaturasi sekali lagi sehingga menjadi asam arakhidonat (C20, 4∆5,8,11,14). Lebih jauh lagi, asam arakhidonat dimetabolisme menjadi asam lemak C22 (prostaglandin). Asam lemak C18, C20, dan C22 PUFAs (polyunsaturated fatty acid: asam lemak rantai panjang tak jenuh) pada aves disimpan dalam bentuk fosfolipid membran sel, yang memberi kontribusi sebagai penyusun struktur membran biologis dan
35
fluiditasnya. Asam lemak PUFAs tersebut juga akan dilepas oleh aktivitas enzim fosfolipase pada saat terjadi komunikasi seluler. Pelepasan PUFAs juga berfungsi sebagai prekursor eikosanoid: prostaglandin, leukotrien, dan tromboksan. Peran eikosanoid bagi unggas adalah sebagai regulator setiap sistem fisiologis, termasuk oviposisi, pertumbuhan, dan perkembangan embrio, imunitas, pertumbuhan tulang, termoregulasi, dan tingkah laku (Klasing 2006). Kebutuhan absolut asam linoleat pada unggas dianggap lebih besar daripada asam α-linolenat. Ukuran seberapa besarnya sulit untuk ditentukan karena sejumlah asam lemak telah dibawa sejak mulai dari telur sampai menetas dan tumbuh menjadi anak, serta akan disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama pada jaringan adiposa dan membran sel. Secara kuantitatif, unggas memerlukan asam lemak esensial sebagai dasar untuk sintesis fosfolipid yang akan diinkorporasi ke dalam membran sel dan yolk. Kebutuhan asam lemak juga ditentukan oleh kecepatan pertumbuhan, produksi telur, dan selama masa reproduksi. Hampir semua pakan alamiah yang tersedia dan dikonsumsi oleh unggas dijadikan sebagai sumber energi, dan kebutuhan 2 jenis asam lemak esensial tersebut terpenuhi. Sangat jarang sekali pakan alamiah defisien asam lemak. Biji-bijian, beberapa jenis buah, dan hewan kaya akan sumber asam lemak. Pakan artifisial aves yang telah dipurifikasi dan diekstraksi, lemaknya sering kali ditambah dengan minyak nabati dan lemak hewan sebagai sumber asam lemak esensial. Penguin yang mengkonsumsi ikan-ikan laut kecil menghadapi masalah dalam reproduksinya, kondisi ini dapat diperbaiki dengan pemberian suplemen minyak jagung (Klasing 2006; Denbow 2000). Defisiensi asam linoleat menyebabkan pertumbuhan terhambat dan terjadi perlemakan di hati. Pada aves jantan, defisien asam lemak linoleat mengakibatkan gagalnya spermatogenesis dan pada aves betina produksi telur akan menurun dengan ukuran telur yang kecil. Jika defisiensi terjadi pada saat fertilisasi, mortalitas embrio akan tinggi. Asam α-linolenat dibutuhkan oleh aves untuk membentuk mielin pada saraf dan otak serta retina mata. Peran fisiologis lemak yang lain adalah sebagai sumber asam-asam lemak esensial, sebagai sumber prostaglandin, sebagai karier vitamin yang larut dalam lemak, dan sebagai sumber energi.
36
Kadar lemak tubuh unggas yang sedang bertelur jauh lebih tinggi dibandingkan dengan unggas yang belum bertelur. Lemak sangat dibutuhkan untuk pembentukan kuning telur. Kuning telur mengandung 66% trigliserida yang kaya akan lipoprotein. Sintesis lemak berlangsung di dalam hati dan lemak ini akan dipindahkan ke dalam ovari. Proses sintesis lemak didukung oleh kerja estrogen, sedangkan pematangan kuning telur dalam folikel distimulasi oleh hormon FSH. Kadar estradiol dan LH pada ayam berkorelasi positif dengan umur. Peningkatan kadar estradiol dan LH terjadi pada umur 10 minggu. Deposisi lemak dalam kuning telur ayam selama satu tahun dapat mencapai 1,4 kg dalam bentuk trigliserida. Kolesterol dalam plasma puyuh tidak menunjukkan terjadinya perubahan pada minggu-minggu menjelang masak kelamin. Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara umur dengan konsentrasi lemak dalam darah ketika puyuh mengalami masak kelamin. Secara lebih jauh, kadar kolesterol sebagai komponen lemak di dalam darah sangat dipengaruhi oleh kondisi musiman, pakan, kondisi kesehatan, dan perbedaan seks. Puyuh betina memiliki kadar kolesterol yang lebih tinggi di dalam plasma darahnya dibandingkan dengan puyuh jantan (Denbow 2000; Blaszczyk et al. 2006).
Trigliserida Energi
disimpan
dalam
jaringan
adiposa
sebagai
trigliserida.
Konsekuensinya, trigliserida akan dimobilisasi untuk menyediakan energi pada saat pakan aves terbatas. Trigliserida juga disimpan di dalam yolk telur sebagai cadangan energi bagi perkembangan embrio dan juga sebagai komponen struktur membran sel. Bobot jaringan adiposa sangat bervariasi pada sejumlah aves. Secara normal jaringan adiposa adalah sekitar 3-50 % dari massa tubuh, bergantung pada spesies, pakan, dan musim. Asam lemak, trigliserida, dan lemak lain yang tidak larut (insolubel) baik dalam plasma darah maupun di dalam cairan jaringan serta asam lemak bebas yang larut dan membentuk ikatan dengan protein di dalam sel akan menjadi albumen dalam cairan tubuh. Trigliserida yang ditransport ke dalam sel berperan sebagai komponen membran sel dan di dalam darah sebagai lipoprotein. Pada aves, lipoprotein diklasifikasikan sebagai portomikron: very low density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein
37
(LDL), dan high density lipoprotein (HDL). Portomikron disintesis selama terjadi absorpsi intestinal lemak pakan, disirkulasi dalam darah, dan dipecah dalam hati. Di dalam hati, lemak akan dikemas ulang. Apolipoprotein B pada permukaan VLDL jaringan perifer merupakan trigliserida yang dapat dipakai sebagai sumber energi. Trigliserida pada sirkulasi VLDL diambil dari jaringan oleh aksi lipase lipoprotein. Enzim ini terikat pada kapiler jaringan dan akan menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol, yang akan berdifusi masuk ke dalam sel. Lipase lipoprotein disintesis oleh sel menggunakan asam lemak. Trigliserida yang disimpan dalam jaringan adiposa akan membebaskan asam lemak bebas (asam lemak yang tidak teresterifikasi) dan akan ditransport ke dalam darah membentuk ikatan dengan albumin. Tingkat asam lemak bebas di dalam darah akan meningkat selama periode pemuasaan atau pada saat terbang (Mabayo et al. 1994; Swenson 1984). Asam lemak dapat dioksidasi secara langsung dari pakan, disintesis secara de novo di dalam hati dan dapat dimobilisasi dari jaringan adiposa (pada saat pemuasaan). Sintesis asam lemak pada puyuh terjadi di hati dan mencapai puncaknya pada umur 7 minggu. Sebagian besar jaringan dapat mengoksidasi asam lemak sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan oleh otot rangka serta otot jantung. Selama proses oksidasi, asam lemak akan diubah menjadi asetil koenzim A serta akan menghasilkan benda-benda keton. Pada aves, β-hidroksibutirat adalah keton yang paling banyak dan asetoasetat relatif lebih sedikit. Badan keton tidak digunakan oleh hati dan akan dilepaskan ke dalam darah. Keton akan larut di dalam air dan dapat ditransport ke jaringan perifer serta dikemas dalam lipoprotein. Otak dan ginjal memiliki kemampuan untuk mengoksidasi keton. Laju metabolisme yang tinggi pada aves dan cadangan glikogen yang rendah mewajibkan aves menggunakan trigliserida, sebagai efek samping maka terbentuk benda keton (Furuse et al. 1994).
Kolesterol Kolesterol adalah suatu sterol hewan yang menyusun 17% bahan kering otak serta terdapat dalam semua sel hewan sehingga tersebar luas dalam tubuh. Kolesterol juga merupakan komponen utama penyusun membran plasma
38
mamalia, yang sangat vital perannya dalam pertumbuhan dan mempertahankan kelangsungan hidup, merupakan prekursor bagi hormon-hormon steroid, sebagai bahan pembentuk ester kolesterol, dan asam empedu, serta merupakan bahan yang sangat vital untuk menjaga keutuhan sel-sel tubuh. Kolesterol dalam darah berasal dari intestinum atau diproduksi oleh jaringan tubuh dari asetat dan dapat dijumpai pada semua fraksi lipid darah (Linder 1992; Martohorsono 2006). Kolesterol disintesis dalam tubuh terutama oleh sel-sel hati, usus halus, dan kelenjar adrenal, meskipun seluruh sel tubuh memiliki kemampuan untuk menghasilkan sterol. Dalam suatu rangkaian reaksi yang rumit, dua karbon fragmen sederhana, yaitu asetil-Ko A akan diubah menjadi 1 atau 2 g kolesterol setiap hari. Di dalam tubuh, sangat sulit untuk dibedakan antara kolesterol yang berasal dari sintesis dalam tubuh (endogen) dan kolesterol yang berasal dari makanan (eksogen). Kolesterol diperlukan untuk sintesis hormon-hormon steroid, garam empedu, dan vitamin D. Kolesterol ditransport di antara jaringan yang terikat pada lipoprotein, terutama kilomikron dan lipoprotein dengan densitas rendah (LDL). Kolesterol yang tidak diperlukan oleh tubuh akan dikeluarkan bersama-sama dengan feses dan kurang lebih setengahnya dalam bentuk garamgaram empedu serta sisanya berupa hormon steroid netral (Linder 1992). Kolesterol dalam tubuh diekskresikan melalui 2 jalur utama, yakni dikonversi menjadi asam empedu dan ekskresi sterol netral dalam feses. Sintesis hormon steroid dari kolesterol dan pembuangan produk degradasinya dalam urin memiliki makna kuantitatif yang kecil. Semua jaringan yang mengandung sel berinti sanggup mensintesis kolesterol, terutama hati, korteks adrenal, kulit, usus, testis, dan aorta. Fraksi mikrosom dan sitosol sel bertanggung jawab atas sintesis kolesterol. Asetil-Ko A adalah sumber semua karbon dalam kolesterol. Sintesis kolesterol berlangsung dalam beberapa tahap, yaitu tahap pertama adalah pembentukan unit isopren dari mevalonat dengan membuang CO2. Unit isopren dapat dipandang sebagai bahan pembangun tidak hanya rangka steroid tetapi juga derivat isopren lain seperti dolikol dan ubiquinon. Enam unit isopren berkondensasi membentuk zat antara skualen, yang selanjutnya menghasilkan steroid induk lanosterol. Kolesterol dibentuk dari lanosterol setelah beberapa
39
langkah selanjutnya, termasuk pembuangan 3 gugus metil (Cheeke 2005; Klasing 2006).
I. Efek Cahaya Monokromatik Pada Umur Masak Kelamin Serta Hubungannya dengan Estrogen Puyuh merupakan salah satu spesies aves yang sangat responsif dalam menerima energi cahaya. Tingkah laku, masak kelamin, dan bioritme puyuh dapat dimanipulasi dengan pemberian warna cahaya yang spesifik, terutama untuk panjang gelombang cahaya merah, oranye, kuning, hijau, dan biru. Berbagai program pencahayaan diberikan pada puyuh untuk meningkatkan fungsi biologis dan keseimbangan metabolisme. Puyuh, seperti juga aves lainnya, menerima stimulasi visual dan auditori lebih dominan untuk kehidupan sosialnya, sedangkan stimulasi olfaktori maupun indera pengecap memiliki peran yang lebih sedikit dalam mengatur kehidupan sosial puyuh. Informasi yang datang dari jalur visual dan auditori berfungsi untuk menginisiasi aktivitas reproduksi, yaitu tingkah laku reproduksi dan masak kelamin. Masak kelamin pada puyuh betina berkaitan dengan periode bertelur, perkembangan folikel serta perubahan yang terjadi dalam ovari, dan oviduk,
sedangkan pada puyuh jantan, masak kelamin berkaitan
dengan perkembangan testis. Aktivitas reproduksi baik tingkah laku reproduksi maupun maturasi seksual sangat dipengaruhi oleh periode pencahayaan (fotoperiode). Secara alamiah, fotoperiode merupakan fenomena
terjadinya
perubahan musim di daerah subtropik, di mana fotoperiode dapat dijadikan signal bagi unggas yang hidup di daerah tersebut untuk menginisiasi proses bertelur dan mengakhiri musim kawin serta menginduksi perubahan harian memasuki waktu ovulasi dan oviposisi (Balthazart et al. 1998). Cahaya natural ataupun cahaya artifisial memiliki beberapa jalur yang ditempuh secara langsung dalam mempengaruhi bioritme serta sistem reproduksi puyuh, yaitu jalur fotoreseptor retina mata dan jalur penetrasi langsung dalam jaringan kulit-tulang tengkorak. Retina mata puyuh kaya akan serabut saraf dan bagian akhir dari serabut saraf retina adalah nukleus suprakhiasmatik yang terletak tepat di bagian anterior hipotalamus. Nukleus suprakhiasmatik sangat penting dalam mengatur mekanisme perubahan dinamis gonad puyuh. Stimulasi
40
cahaya yang diterima oleh nukleus suprakhismatik akan menginisiasi hipotalamus untuk mensintesis GnRH (suatu peptida yang bertindak sebagai hormon) dan melepaskannya dalam sirkulasi portal hipofisis. Dengan kehadiran GnRH, hipofisis anterior menjadi teraktivasi dan akan mensekresikan dua macam hormon gonadotropin, yaitu FSH dan LH. Gonad memiliki kemampuan untuk mendeteksi kehadiran FSH dan LH dalam plasma darah. Sebagai respons terhadap FSH dan LH, gonad akan mensekresikan hormon-hormon seks serta memproduksi gamet. Hormon seks yang disekresi oleh gonad sangat berkaitan dengan reseptor spesifik di dalam tubuh yang pada akhirnya akan dihasilkan transmisi sinaptik serta memunculkan serangkaian perubahan dalam tingkah laku dan fisiologi reproduksi aves. Sebagai contoh, perkembangan area ”bernyanyi” di bagian lain otak atau munculnya aktivitas motorik, yakni dengan menegakkan dan menyebarkan bulubulu ekor untuk menarik lawan jenisnya. Tanda-tanda aktivitas motorik, seperti bernyanyi atau menegakkan bulu, dapat dijadikan sebagai indikasi terjadinya masak kelamin pada aves secara umum. Informasi cahaya yang telah diterima fotoreseptor jaringan kranial kemudian akan dilanjutkan ke kelenjar pineal, yaitu suatu kelenjar yang sangat peka terhadap cahaya dan membentuk area triangular antara hemisfer serebral dan serebelum, yang berfungsi sebagai pengatur bioritme aves. Pengaturan bioritme difasilitasi oleh produksi serotonin dan melatonin. Kelenjar pineal aves secara langsung dan terus menerus dapat mensintesis melatonin dengan stimulasi 24 jam kondisi gelap. Penelitian yang telah dilakukan pada burung puyuh dengan mengkondisikan 12 jam diberikan penerangan dan 12 jam tanpa penerangan (kondisi gelap) menunjukkan sepertiga melatonin disekresi oleh mata dan dua pertiga melatonin disekresi oleh kelenjar pineal (Dawson et al. 2001; Stear 2005). Kualitas cahaya memiliki efek pada pertumbuhan puyuh jantan dan puyuh betina. Puyuh yang dipelihara pada cahaya merah dengan intensitas 10 lux maupun 3 lux menunjukkan stimulasi perkembangan testis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Siopes dan Wilson (1980), puyuh yang dipelihara dan mendapat pencahayaan 8 jam terang dan 16 jam gelap (8 L : 16 D) mengindikasikan terjadinya regresi testis secara total, sedangkan puyuh yang mendapat perlakuan 16 jam terang dan 8 jam gelap menunjukkan terjadinya regresi parsial testis.
41
Berbagai perlakuan pemberian warna cahaya dengan intensitas cahaya tertentu yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian unggas untuk memunculkan efek masak kelamin menunjukkan bahwa secara langsung fotoreseptor hipotalamus (fotoreseptor retinohipotalamus) merupakan salah satu mekanisme yang menginisiasi respons fotoseksual. Dengan intensitas cahaya terang dan panjang gelombang pendek (seperti cahaya hijau) penetrasi cahaya akan mudah terjadi dan lebih efisien terjadi pada bulu, jaringan kranial serta otak menuju hipotalamus daripada dengan panjang gelombang panjang (cahaya merah). Namun, retina juga memegang peran penting sebagai fotoreseptor yang terkait langsung dengan penerimaan terhadap intensitas cahaya. Unggas memiliki kemampuan dalam membedakan dan memilih warna cahaya karena retina mata unggas mempunyai fotoreseptor yang serupa dengan manusia.
Ayam jantan dan betina yang dipelihara dari umur 0-28 hari dan
diberikan penerangan berupa cahaya biru, hijau, merah, dan putih dengan intensitas 30 lux memberikan efek pertumbuhan jaringan otot dan tingkah laku yang berbeda. Tingkah laku ayam yang dipelihara pada cahaya putih menunjukkan ayam lebih aktif dengan indikasinya lebih banyak bergerak dan berjalan. Di bawah kondisi cahaya merah, ayam menjadi lebih agresif, sayap sering dikepakkan dan lebih sering mematuk lantai kandang, sedangkan ayam yang diberikan cahaya biru dan hijau menunjukkan lebih tenang. Ayam yang telah teraklimasi dengan warna cahaya putih, merah, biru, dan hijau akan mampu membedakan dan memilih warna cahaya yang disukainya. Sebagai contoh, setelah aklimasi selama 28 hari pada cahaya merah atau putih, ketika dipindahkan ayam lebih memilih kandang dengan penerangan cahaya biru. Sebaliknya, ayam yang dipelihara pada cahaya biru lebih menyukai warna cahaya hijau. Baik pemberian cahaya biru maupun hijau secara efektif akan menstimulasi sekresi testosteron dan pertumbuhan miofibril yang pada akhirnya akan memacu proses pertumbuhan (Prayitno et al. 2006; Cao et al. 2008). Pemberian cahaya biru-hijau (500 nm) dengan intensitas 1,71 x 1010 foton/m2 pada puyuh yang dikastrasi memperlihatkan peningkatan konsentrasi LH dalam plasma darahnya, dengan pemberian cahaya ungu (470 nm) terjadi peningkatan LH dua kali lebih banyak, dengan cahaya kuning (590 nm)
42
meningkat 5 kali dan dengan cahaya merah meningkat 23 kali. Meningkatnya LH merupakan indikasi bahwa cahaya yang diterima oleh fotoreseptor hipotalamus secara maksimal akan menstimulasi munculnya respons fotoseksual yang terekspresi dengan masak kelamin. Cahaya monokromatik sebagai faktor eksternal dalam proses masak kelamin dapat memberikan efek, jika didahului dengan penerimaan maupun penetrasi oleh fotoreseptor baik yang terdapat pada retina ataupun jaringan kranial di mana pada proses selanjutnya informasi cahaya akan diteruskan ke hipotalamus dan kelenjar pineal. Di dalam hipotalamus, adanya informasi cahaya akan mengontrol sekresi dan pelepasan gonadotropin (GnRH). Sekresi GnRH akan diterima oleh hipofisis anterior lewat sistem sirkulasi portal hipofisis. Kehadiran GnRH dalam hipofisis anterior menstimulasi pelepasan LH dan FSH. FSH berperan dalam pemasakan folikel telur, sedangkan LH berperan dalam robeknya epitelium superfisial pada bagian stigma untuk terjadinya proses ovulasi. Pertumbuhan folikel juga memacu disekresikannya estrogen dari ovarium. Sekresi estrogen sangat penting bagi perkembangan oviduk dalam menerima telur, pengatur keseimbangan kalsium untuk pembentukan kerabang telur, absorpsi berbagai mineral dan vitamin yang dipakai sebagai prekursor pembentukan yolk, serta perkembangan tulang pubis. Berbagai bahan penyusun telur yang telah diabsorpsi dan dimobilisasi untuk pembentukan telur secara nyata diregulasi dan dikontrol oleh estrogen. (Lewis dan Morris 2006; Yuwanta 2004).
43
MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini, berlangsung mulai tanggal 25 Maret sampai 28 Mei 2009 di kandang percobaan Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan, Fakultas MIPA, Universitas Diponegoro, Semarang. Analisis kimiawi darah maupun tulang dilakukan di Laboratorium Growth Center Kopertis Wilayah VI Semarang serta analisis kadar estrogen dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi-Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. B. Materi Penelitian 1. Hewan Coba Jenis puyuh yang dipakai dalam penelitian efek cahaya monokromatik terhadap masak kelamin puyuh adalah puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica). Dalam penelitian ini digunakan 270 ekor DOQ (day old quail) betina. Puyuh percobaan diaklimatisasi selama 2 minggu dalam kandang kolektif dan 1 minggu dalam kandang sangkar (baterai) untuk menyesuaikan dengan kandang percobaan dan manajemen pemeliharaan. Pada awal umur 4 minggu, puyuh diberikan pencahayaan monokromatik dengan intensitas berbeda selama 6 minggu. Puyuh dibagi ke dalam 9 kelompok percobaan dan masing-masing kelompok terdiri atas 30 ekor puyuh, yaitu : -
P01: puyuh yang tidak diberi pencahayaan
-
P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan bohlam lampu pijar 15 dan 25 W
-
P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan lampu LED warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux
-
P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan lampu LED warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux
-
P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan lampu LED warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
44
2. Sistem Pencahayaan Sumber cahaya monokromatik yang dipakai dalam penelitian adalah lampu LED (light emitting diodes) warna merah, hijau, dan biru dengan intensitas yang digunakan adalah 15 dan 25 lux. Intensitas cahaya diukur menggunakan lightmeter. Sumber cahaya untuk puyuh kontrol berupa bohlam lampu pijar 15 dan 25 W warna kuning. Sumber cahaya disusun secara seri dan digantung di bagian atas pada sisi sebelah dalam setiap kandang sangkar. Rangkaian lampu dilengkapi dengan adaptor untuk mengatur voltase, pengatur waktu (timer) untuk mengatur hidup matinya lampu, serta stabilisator yang digunakan untuk menstabilkan arus yang masuk dengan arus yang keluar.
3. Sistem Perkandangan Kandang yang dipakai dalam penelitian ada dua macam, yaitu kandang kolektif yang digunakan pada saat aklimatisasi, memiliki ukuran 80 x 80 x 40 cm, untuk kapasitas 100 ekor puyuh, dan kandang sangkar yang berukuran 30 x 40 x 45 cm. Kandang sangkar dibuat dengan kombinasi kawat ram/kasa dan kayu yang dilengkapi dengan tempat pakan, minum, penampung feses, serta alas yang dibuat miring sehingga telur yang dikeluarkan oleh puyuh akan menggelinding keluar dan terkumpul di satu tempat. Setiap satu unit kandang sangkar terdiri atas 10 buah kotak kandang, dan masing-masing kotak diberi sekat partisi sehingga setiap satu kotak hanya disinari oleh satu jenis warna lampu.
C. Metode Penelitian 1. Pelaksanaan Penelitian Puyuh
percobaan
yang
berumur
2
minggu
ditimbang
untuk
menyeragamkan bobot badan. Puyuh dengan bobot 30,0-40,0 g dipilih sebagai hewan coba, selanjutnya ditempatkan dalam kandang sangkar. Setiap tiga ekor puyuh menempati satu kotak kandang sangkar yang telah dilengkapi dengan sistem pencahayaan. Sanitasi kandang dan perlengkapannya dilakukan sebelum puyuh ditempatkan dalam kandang kolektif maupun kandang sangkar. Tempat pakan, tempat minum, dan kandang dibersihkan secara rutin setiap pagi hari dan sanitasi kandang dilakukan setiap satu minggu sekali, dengan menyemprotkan
45
antisep/rodalon. Selama penelitian puyuh diberi makan dan minum secara ad libitum pada pagi, siang, dan sore hari. Feses dibersihkan setiap dua hari sekali pada pagi hari. Pada masa produksi telur, telur yang dihasilkan dikumpulkan dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Temperatur dan kelembaban lingkungan diukur setiap hari pada pagi (pukul 07.00), siang (pukul 13.00), dan sore (pukul 17.00) hari menggunakan termohigrometer. Pengukuran intensitas cahaya dilakukan setiap satu minggu sekali pada sore (pukul 18.00) dan malam (pukul 22.00) hari. Pakan yang diberikan pada puyuh percobaan adalah pakan komersial standar yang diproduksi oleh PT Cargill Indonesia dan disesuaikan dengan umur pemeliharaan, yaitu pakan pada fase pertumbuhan dan pakan pada fase bertelur. Pakan komersial standar untuk fase pertumbuhan mengandung 2.900 kkal/kg; protein kasar 29,0%; lemak kasar 4,0%; kadar air 11,0%; abu 6,0%; serat kasar 4,0%; kalsium 1,0%; dan fosfor 0,4%; sedangkan pakan komersial standar yang diberikan untuk fase bertelur mengandung 2.700 kkal/kg; protein kasar 22,0%; lemak kasar 5,0%; kadar air 12,0%; abu 7,0%; serat kasar 5,0%; kalsium 4,0%; dan fosfor 0,9%. Perlakuan pencahayaan diberikan mulai dari awal umur 4 minggu sampai 9 minggu selama 14 jam per hari, yang dimulai dari pukul 17.00 sampai 07.00. Pengambilan sampel darah dimulai pada pukul 08.00 pada akhir minggu ke-5, ke7, dan ke-9. Pengambilan sampel darah dilakukan dengan cara memotong vena jugularis pada bagian leher dan darah ditampung dalam tabung reaksi. Isolasi organ reproduksi dan tulang tibia dilakukan setelah puyuh dibedah. Dari setiap kelompok percobaan diambil 3 ekor puyuh secara acak untuk pengukuran kadar estrogen, kolesterol, trigliserida, dan kalsium serum, serta profil saluran reproduksi berupa panjang, bobot, dan gambaran histologi saluran reproduksi. Kadar kalsium tulang diukur pada akhir minggu ke-5 dan ke-7. Kualitas dan kuantitas telur diperoleh setelah puyuh menghasilkan telur. Kualitas telur yang diukur berupa lemak dan protein telur yang dihasilkan pada minggu ke-6, ke-7, dan ke-9. Kuantitas telur yang berupa produksi telur Hen day diperoleh dari telur yang dikumpulkan setiap hari selama penelitian berlangsung. Penimbangan bobot badan dilakukan setiap minggu sekali pada pagi hari (pukul
46
07.00), mulai pada minggu ke-4 sampai ke-9. Satu hari sebelum penimbangan bobot badan, puyuh diberikan vitastres yang dicampurkan dalam air minum.
2. Prosedur Pengukuran Parameter Parameter yang diamati adalah umur masak kelamin, kadar estrogen, kolesterol, trigliserida, dan kalsium serum, kadar kalsium tulang, profil saluran reproduksi yang berupa panjang, bobot, dan gambaran histologi saluran reproduksi, kualitas telur berupa protein dan lemak telur, produksi telur Hen day, bobot badan, dan konsumsi pakan. Prosedur pengukuran parameter adalah sebagai berikut: 1. Umur masak kelamin, merupakan umur mulai bertelur. Umur masak kelamin ditentukan saat puyuh bertelur untuk pertama kalinya. 2. Pengukuran kadar estrogen dalam darah dilakukan dengan menggunakan teknik radioimmunoassay (RIA). Analisis konsentrasi estrogen dalam serum diukur dengan metode RIA teknik fase padat menggunakan kit estrogen. Sampel darah yang telah ditampung dalam tabung reaksi didiamkan sampai menggumpal dan terbentuk serum, selanjutnya disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 3.000 rpm untuk memperoleh serum yang homogen. Kemudian serum diambil dan dipindahkan ke dalam microtube untuk disimpan di dalam freezer sebelum dianalisis di laboratorium. 3. Kadar kolesterol dan trigliserida serum diukur dengan prosedur yang sama. Sampel darah yang telah ditampung dalam tabung reaksi didiamkan sampai menggumpal dan terbentuk serum, selanjutnya disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 3.000 rpm untuk memperoleh serum yang homogen. Tabung reaksi yang telah diberi kode sesuai dengan perlakuan dan ulangan diisi masing-masing dengan 10 μl serum kemudian dicampur dengan reagen kolesterol sehingga menjadi 1.000 μl. Selanjutnya diukur absorbansinya pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm. Pengukuran kadar trigliserida dilakukan dengan prosedur yang sama dengan pengukuran kadar kolesterol. 4. Kadar kalsium serum diukur dengan menggunakan spektrofotometer yang absorbansinya dibaca pada panjang gelombang 570 nm. Prinsip pengukuran
47
kalsium serum adalah terbentuknya suatu kompleks berwarna dari reaksi antara Ca2+ dengan O+ kresol ftalein di dalam larutan alkalis. Sampel darah yang telah ditampung dalam tabung reaksi didiamkan sampai menggumpal dan terbentuk serum, selanjutnya disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 3.000 rpm untuk memperoleh serum yang homogen. Dibuat 3 jenis larutan, yaitu standar, buffer dan kromogen (reagen warna) dan disiapkan juga 3 tabung reaksi, yaitu I untuk blanko, II untuk standar, dan III untuk sampel. Pada tabung reaksi I dimasukkan 1 ml larutan buffer dan 1 ml larutan kromogen dengan perbandingan 1:1, kemudian didiamkan. Pada tabung reaksi II dimasukkan 0,04 ml larutan standar dan 2,0 ml larutan kromogen, dihomogenkan (dikocok). Tabung III diisi dengan 0,05 ml sampel serum, larutan buffer, dan larutan kromogen. Selanjutnya diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 570 nm. 5. Kadar kalsium tulang diukur menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry). Tulang yang diukur kadar kalsiumnya diperoleh dari tulang tibia. Untuk keseragaman dikoleksi tulang tibia sebelah kanan. Tulang tibia diperoleh setelah puyuh dibedah. Tulang dibersihkan dan diawetkan dengan campuran formalin dan air (1:9). Preparasi sampel tulang didahului dengan pengeluaran sumsum tulang dan ekstraksi lemak menggunakan petroleum eter dalam alat sokhlet selama 8-9 jam, dilanjutkan dengan pengeringan dalam oven (105°C) semalam, kemudian ditimbang bobot keringnya. Konsentrasi kalsium dinyatakan dalam satuan gram/100 gram bobot kering tulang tanpa sumsum dan lemak (gram%). Selanjutnya, tulang diabukan dalam tanur pengabu pada temperatur yang secara bertahap dinaikkan sampai temperatur mencapai 800°C selama 50-60 menit. Abu organ berwarna putih dilarutkan dalam HCl pekat dan diuapkan di atas penangas air. Sampel kemudian difiltrasi dengan aquades panas (100°C) sampai volume filtrat mencapai 250 cc. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk menentukan konsentrasi kalsium tulang. Konsentrasi Ca dalam filtrat tulang tibia diobservasi menggunakan AAS dengan stronsium klorida 5% sebagai pelarutnya (AOAC 1990).
48
6. Profil saluran reproduksi diperoleh dengan mengukur panjang saluran telur (oviduct), bobot saluran telur, dan gambaran histologi uterus (shell gland). Panjang saluran telur diukur setelah puyuh dibedah dan saluran reproduksi dikeluarkan dari dalam tubuh. Pengukuran panjang saluran reproduksi mulai dari
infundibulum,
magnum,
isthmus,
uterus,
vagina,
dan
kloaka
menggunakan pita mikrometer. Pengukuran bobot saluran reproduksi dilakukan dengan menimbang saluran reproduksi yang telah diisolasi tersebut. Gambaran histologi uterus diperoleh dengan pembuatan preparat histologi. Preparat histologi dibuat dengan metode parafin dan pewarnaan standar HE (hematoxylin-eosin). 7. Bobot badan diukur dengan menimbang puyuh setiap satu minggu sekali sampai pada akhir penelitian. Penimbangan bobot badan dilakukan pada pagi hari sebelum pemberian pakan. Bobot tubuh masak kelamin diukur dengan menimbang puyuh pada saat bertelur pertama kali. 8. Konsumsi pakan diukur dengan menghitung selisih antara pakan yang diberikan dengan jumlah yang tersisa selama satu minggu pemberian pakan sehingga dapat diperoleh konsumi pakan harian dalam satuan g/ekor/hari. 9. Produksi telur. Produksi telur mingguan dihitung dari setiap ulangan, dimulai pada saat puyuh berumur 6 minggu hingga 9 minggu. Dari produksi telur mingguan dapat diketahui produksi telur (Hen Day) sesudah dibagi 7 hari. Jumlah telur selama satu minggu Produksi telur harian =
x 100% Rataan jumlah puyuh per hari x 7
10. Kualitas telur diperoleh dengan mengukur: a. Bobot telur. Bobot telur diperoleh dengan menimbang telur yang dihasilkan selama penelitian, yaitu pada minggu ke-6 sampai minggu ke9. Bobot telur pertama diperoleh dengan menimbang telur yang pertama kali dihasilkan. b. Kadar lemak kuning telur. Sebelum diukur kadar lemaknya, telur terlebih dahulu dimasukkan dalam freezer. Telur kemudian dipecah untuk memisahkan kuning dengan putih telurnya. Kuning telur yang telah dipisah kemudian dianalisis kandungan lemaknya. Analisis
49
kandungan lemak kuning telur dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: labu lemak dikeringkan dalam alat pengering pada suhu 105110oC selama 1 jam, kemudian didinginkan dalam desikator dan selanjutnya ditimbang. Kira-kira 5 g sampel dibungkus dengan kertas saring, lalu dimasukkan ke dalam alat esktraksi sokhlet yang telah berisi dietil eter. Reflux dilakukan selama 5 jam dan pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya labu lemak yang mengandung lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai bobot tetap dan didinginkan dalam desikator, labu beserta lemak ditimbang. Kadar lemak ditentukan berdasarkan persamaan: Berat lemak kasar x 100 = % Lemak Kasar (ekstrak eter) Berat sampel c. Kadar protein putih telur. Sebelum diukur kadar proteinnya, telur terlebih dahulu dimasukkan ke dalam freezer. Telur kemudian dipecah untuk memisahkan antara putih dengan kuning telur. Putih telur yang telah terpisah dengan kuning telurnya kemudian dianalisis kandungan proteinnya. Kadar protein ditentukan dengan metode Kjeldahl. Sejumlah kecil sampel ditimbang (kira-kira memerlukan 3-10 ml HCl 0,01 N atau 0,02 N). Kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Selanjutnya ditambahkan 1 g K2SO4, 40 mg HgO, dan 20 ml H2SO4. Jika sampel lebih dari 15 mg, ditambahkan 0,1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Beberapa batu didih ditambahkan. Sampel didihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih, kemudian didinginkan. Isi labu Kjeldahl dipindahkan ke dalam alat destilasi. Labu kemudian dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 8-10 ml larutan NaOH Na2S2O3. Erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alhohol dengan 1 bagian metilen blue 0,2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondesor. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam larutan
50
H3BO3. Selanjutnya, dilakukan destilasi sampai diperoleh kira-kira 15 ml destilat dalam erlenmeyer. Tabung kondesor dibilas dengan air dan ditampung dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml, kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Hal yang sama juga dilakukan terhadap blanko. Penentuan kadar protein ditentukan dengan persamaan berikut: % N = (ml sampel – ml blanko) x N Hli x 14,007 x 100% mg sampel % Protein = % N x faktor koreksi (6,25)
3. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan
Acak
Lengkap
(RAL)
dengan
sembilan
perlakuan
dan
masing–masing diulang sebanyak 10 kali serta setiap ulangan terdiri atas tiga satuan percobaan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan uji lanjut kontras ortogonal. Semua analisis data dikerjakan dengan prosedur GLM (general linear model) pada program SAS. Untuk mengetahui hubungan antara masing-masing parameter digunakan regresi sederhana (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Dalam metode analisis ini digunakan model matematik sebagai berikut: Yij
= μ + αi + εij
Yij
= Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
μ
= Rataan umum
αi
= Pengaruh perlakuan ke-i
εij
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
51
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Umur Masak Kelamin Rataan umur masak kelamin dan bobot telur pertama, serta bobot tubuh masak kelamin pada masing-masing pemberian cahaya monokromatik disajikan pada Tabel 1. Bila dibandingkan dengan puyuh kelompok kontrol, umur masak kelamin pada puyuh yang menerima cahaya biru lebih cepat 3,93 hari. Sebaliknya, pemberian cahaya hijau 15 dan 25 lux menunda umur masak kelamin (P<0,05). Tabel 1 Rataan umur masak kelamin (hari), bobot telur pertama (g), dan bobot tubuh masak kelamin (g) pada masing-masing pemberian cahaya monokromatik Pemberian Cahaya P01
Umur Masak Kelamin (hari) 41,25b ± 0,50
Bobot Telur Pertama (g) 8,97a ± 0,47
Bobot Tubuh Masak Kelamin (g) 126,25c ± 10,96
P02
40,50b ± 1,39
8,43a ± 0,44
135,00b ± 14,14
P03
43,41b ± 2,09
8,42a ± 0,69
135,00b ± 7,22
P11
42,46b ± 1,38
8,98a ± 0,83
139,17b ± 12,12
P12
41,55b ± 1,54
8,63a ± 0,75
140,42b ± 12,68
P21
48,0a ± 3,14
8,89a ± 0,66
134,76b ± 12,89
P22
46,67a ± 1,71
9,23a ± 0,96
150,48a ± 13,59
P31
42,54b ± 1,86
8,93a ± 0,95
137,92b ± 14,14
P32
39,48b ± 1,37
9,04a ± 0,57
137,92b ± 13,51
Keterangan: huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) - P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Umur masak kelamin pada puyuh yang menerima cahaya hijau 15 lux tertunda 7,5 hari dan puyuh yang menerima cahaya hijau 25 lux tertunda 3,26 hari. Rataan umur masak kelamin yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 39,48-48,0 hari. Rata-rata umur masak kelamin pada penelitian ini adalah 6 minggu untuk puyuh yang menerima cahaya warna merah, biru serta kontrol
52
maupun puyuh yang tanpa menerima cahaya, sedangkan umur masak kelamin untuk puyuh yang menerima cahaya hijau 15 dan 25 lux adalah 7 minggu. Terdapat indikasi semakin tinggi intensitas cahaya merah, hijau, dan biru yang diberikan dapat mempercepat umur masak kelamin. Umur masak kelamin pada penelitian ini serupa dengan yang dikemukan oleh Kim (2000), Randall dan Bolla (2008), serta Barnette (2009) bahwa puyuh masak kelamin pada umur 6 minggu. Umur masak kelamin pada puyuh yang tidak menerima cahaya adalah 41,25 hari, yang mengindikasikan tidak berbeda dari umur masak kelamin pada puyuh yang diberikan cahaya merah dan biru, serta kontrol 15 dan 25 W. Meskipun umur masak kelamin berada dalam kisaran normal (41-42 hari), pada minggu ke-7 seluruh puyuh yang tidak diberi pencahyaan tidak lagi menghasilkan telur. Hal ini dikuatkan dengan informasi dari isolasi saluran reproduksi dan ovarium diperoleh penurunan ukuran saluran telur dan folikel ovari. Folikelfolikel ovari tidak membentuk hirarki folikel. Hirarki folikel merupakan gradasi bobot dan ukuran folikel. Hanya satu folikel, yaitu folikel paling besar dan telah matang yang diovulasikan dalam waktu satu hari. Cahaya biru 25 lux yang memiliki panjang gelombang pendek (450 nm) disinyalir melakukan penetrasi langsung dan diabsorpsi oleh tulang tengkorak serta jaringan kranial yang kemudian diterima oleh fotoreseptor ekstraretina. Tulang tengkorak unggas memiliki struktur berongga (pneumatik) sehingga mendukung absorpsi cahaya lewat jalur penetrasi langsung. Hal ini mendasari mengapa masak kelamin dini dicapai oleh puyuh yang diberi penerangan cahaya biru 25 lux. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Foster dan Soni (1998) yang memperlihatkan bahwa fotoreseptor ekstraretina pada aves tersebar di bagian basal otak, septum lateral, hipotalamus (deep brain), intrakranial organ pineal, dan cairan serebrospinal yang terhubung dengan neuron (CSF-contacting neuron). Fotoreseptor merupakan sel saraf yang mengalami spesialisasi untuk menerima sinyal cahaya dan mentransduksikan sinyal cahaya tersebut menjadi sinyal elektrokimiawi. Jaringan otak permeabel terhadap cahaya dan cahaya yang diabsorpsi oleh jaringan otak akan difilter kembali oleh jaringan neural, namun sebagian besar cahaya dengan panjang gelombang pendek seperti cahaya biru akan tetap dapat melakukan penetrasi ke bagian dasar otak. Adanya sinyal cahaya
53
yang diterima oleh hipotalamus akan merangsang pelepasan GnRH. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Onagbesan dan Peddie (1988), serta Asem et al. (1985) kehadiran GnRH akan direspons oleh hipofisis untuk mensekresikan FSH maupun LH. Aliran FSH yang diterima oleh ovarium menyebabkan folikel-folikel ovari tumbuh dan berkembang. Seiring dengan perkembangan folikel, ovari terstimulasi untuk mensekresikan estrogen. Kehadiran estrogen akan menginisiasi pertumbuhan dan perkembangan saluran telur, perkembangan tulang pubis, mobilisasi nutrien sebagai bahan pembentuk kuning telur dari hati ke ovari, absorpsi vitamin, sintesis albumin, serta absorpsi kalsium tulang sebagai cadangan pembentuk kerabang telur. Pertumbuhan folikel yang semakin besar akan menekan sekresi estrogen. Beberapa folikel yang berukuran besar akan menstimulasi sekresi progesteron. Kehadiran progesteron akan direspons oleh hipofisis untuk melepaskan LH. Pada saat aliran progesteron dan LH mencapai konsentrasi tertinggi akan memacu proses ovulasi. Ovulasi pertama merupakan tanda bahwa puyuh telah masak kelamin. Masak kelamin dini pada puyuh yang menerima cahaya biru 25 lux bisa terjadi melalui proses seperti yang dikemukan oleh Lewis dan Moris (2006) serta Priel (2007) bahwa hipotalamus aves sangat sensitif terhadap cahaya biru. Cahaya biru juga akan diterima oleh seperempat bagian dari jumlah total sel-sel batang (rod cell) yang ada dalam retina mata aves. Sinyal cahaya biru yang diterima oleh sel batang akan langsung diterima oleh hipotalamus melalui serabut optik. Masak kelamin yang tertunda pada puyuh yang menerima cahaya hijau 15 dan 25 lux diduga kerena sistem reproduksi mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Mengacu pada hasil penelitian Rozenboim dalam Priel (2007) bahwa retina aves sangat sensitif terhadap cahaya hijau. Cahaya yang diterima oleh retina akan menekan proses reproduksi. Lebih lanjut Rozenboim mengemukakan untuk meningkatkan profil reproduksi pada aves, jaringan retina mata akan lebih baik jika dinetralisasi. Pengaruh pemberian cahaya monokromatik terhadap produksi telur dapat diperoleh dengan melakukan penimbangan terhadap telur yang pertama kali dihasilkan. Rataan bobot telur pertama (Tabel 1) diharapkan dapat dipergunakan untuk memprediksi bobot telur pada saat mendatang. Cahaya monokromatik
54
belum dapat mempengaruhi bobot telur pertama (P>0,05). Namun, rataan bobot telur pertama yang dihasilkan dari kelompok cahaya merah, hijau, dan biru memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan telur kontrol 15 dan 25 W, serta telur pada puyuh tanpa pemberian cahaya. Rataan bobot telur tertinggi dihasilkan oleh kelompok puyuh yang diberikan cahaya hijau 25 lux dan diikuti dengan cahaya biru 25 lux. Bobot telur terendah dihasilkan oleh kelompok puyuh kontrol 15 dan 25 W. Bobot telur tertinggi yang dihasilkan oleh puyuh dengan cahaya warna hijau 25 lux dapat diasumsikan bahwa umur masak kelamin yang tertunda menyebabkan nutrisi yang dikonsumsi oleh puyuh dimanfaatkan sepenuhnya dalam proses pertumbuhan yang diikuti dengan pertumbuhan serta perkembangan gonad maupun saluran telur. Setelah saluran telur (oviduct) tumbuh dan berkembang secara normal, aliran nutrisi yang dikonsumsi sepenuhnya dipergunakan dalam proses produksi, yaitu menghasilkan telur sehingga telur yang dihasilkan memiliki bobot yang lebih tinggi dibandingkan dengan telur dari puyuh yang menerima cahaya merah dan biru. Bila bobot telur pertama yang dihasilkan oleh puyuh yang menerima cahaya hijau 25 lux dengan umur masak kelamin 46,67 hari dihubungkan dengan perkembangan saluran telur (Gambar 5) tidak mengindikasikan adanya perbedaan dengan saluran telur pada puyuh kontrol dan puyuh yang menerima cahaya merah serta biru. Didukung juga dengan gambaran histologis kelenjar kerabang pada uterus (Gambar 8 dan 9) puyuh yang menerima cahaya hijau 25 lux tidak berbeda dengan uterus puyuh yang menerima cahaya merah (skor +2). Umur masak kelamin tidak memiliki hubungan linear dengan bobot telur pertama (P>0,05) dengan sumbangan R2 sebesar 7,9%. Artinya tertundanya umur masak kelamin belum dapat meningkatkan bobot telur pertama. Bobot tubuh masak kelamin nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh pemberian cahaya. Puyuh yang tidak menerima cahaya memiliki bobot tubuh masak kelamin paling rendah, yaitu 126,25 g. Pada Tabel 1 terlihat juga bahwa kelompok puyuh yang menerima cahaya biru, serta kontrol 15 dan 25 W memiliki bobot tubuh masak kelamin yang seragam. Cahaya hijau 25 lux yang diterima oleh puyuh nyata (P<0.05) meningkatkan bobot tubuh masak kelamin. Bobot tubuh masak kelamin pada penelitian ini berada pada kisaran 126,25-150,48 g. Bobot tubuh
55
masak kelamin yang berada pada kisaran tersebut sesuai dengan yang dikemukan oleh Kim (2000) bahwa puyuh yang memiliki bobot tubuh antara 120-160 g telah masak kelamin. Bobot tubuh masak kelamin yang tinggi pada puyuh yang tertunda umur masak kelaminnya serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gunes dan Cerit (2000), yaitu puyuh yang mencapai masak kelamin lebih lambat memiliki bobot tubuh yang lebih berat. Hasil regresi antara bobot tubuh masak kelamin dan umur masak kelamin belum menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P>0,05). Artinya bahwa puyuh yang masak kelamin lebih lambat tidak selamanya memiliki bobot tubuh masak kelamin yang lebih tinggi. Kondisi ini didukung oleh puyuh yang menerima cahaya hijau 15 lux memiliki bobot tubuh masak kelamin 134,76 g dengan umur masak kelamin paling tua, yaitu 48 hari. Bobot masak kelamin yang berbeda pada pemberian berbagai warna cahaya diduga karena setiap individu memiliki bobot tubuh masak kelamin yang spesifik, kondisi ini salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan metabolisme yang dimiliki oleh organisme tersebut dan kemampuan yang berbeda dalam menerima sinyal cahaya, walaupun puyuh yang dipakai dalam penelitian ini berasal dari strain yang sama. Rataan bobot masak kelamin pada puyuh yang menerima cahaya merah dan hijau lebih tinggi dibandingkan dengan yang biru dan kontrol. Kondisi dimana bobot tubuh masak kelamin lebih tinggi pada kedua warna cahaya tersebut dapat dijelaskan bahwa retina mata aves sangat sensitif dalam menerima cahaya merah dan hijau. Cahaya merah dan hijau sebelum diterima oleh fotoreseptor retina harus melalui media okular terlebih dahulu, yaitu kornea, aqueos humor, lensa, dan vitreous humor sehingga cahaya tidak langsung ditransmisikan ke hipotalamus, namun akan melalui serangkaian reaksi dari energi cahaya diubah menjadi sinyal elektrokimiawi (fototransduksi). Impuls elektrokimiawi inilah yang kemudian dihantarkan menuju hipotalamus. Di dalam hipotalamus, adanya sinyal cahaya hijau dan merah akan menekan pengaturan sekresi hormon reproduksi. Sebaliknya, sinyal cahaya merah dan hijau yang diterima oleh hipotalamus akan mengaktifkan sekresi hormon-hormon yang berperan dalam pertumbuhan.
56
B. Kadar Estrogen Serum dan Profil Saluran Reproduksi Rataan kadar estrogen serum pada puyuh yang berumur 5, 7, dan 9 minggu disajikan pada Tabel 2. Rataan profil saluran reproduksi yang meliputi panjang serta bobot saluran reproduksi ditampilkan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 2 Rataan kadar estrogen (pg/ml) dalam serum pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik Pemberian Cahaya
Umur 5 minggu a
Umur 7 minggu b
Umur 9 minggu
P01
5,69 ± 0,37
5,97 ± 0,46
14,08c ± 5,20
P02
10,29a ± 3,46
24,83a ± 8,33
63,56a ± 11,09
P03
18,04a ± 6,59
66,90a ± 17,44
18,24a ± 2,31
P11
18,08a ± 9,79
55,06a ± 9,01
44,65a ± 6,93
P12
10,74a ± 4,99
68,43a ± 58,89
61,74a ± 25,93
P21
6,90a ± 1,46
20,44a ± 15,59
61,18a ± 19,40
P22
11,57a ± 4,90
28,36a ± 17,54
33,32b ± 13,99
P31
12,50a ± 5,39
40,93a ± 16,96
74,07a ± 32,46
P32
15,50a ± 9,14
53,24a ± 14,88
74,55a ± 11,04
Keterangan: huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) - P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Kadar estrogen pada puyuh yang berumur 5 minggu belum dipengaruhi oleh pemberian cahaya monokromatik (P>0,05). Estrogen yang disintesis oleh selsel teka eksterna folikel ovari pada puyuh yang berumur 5 minggu relatif seragam. Hal ini diperkuat dengan temuan pada saat dilakukan pengambilan data saluran telur umur 5 minggu, ovari terlihat belum membentuk hirarki folikel. Folikel masih berupa prehirarki folikel, yaitu belum terbentuk gradasi bobot dan ukuran folikel. Sesuai dengan temuan Tsutsui et al. (1998) yang menyatakan kadar estrogen pada puyuh umur 4-6 minggu relatif konstan. Puyuh yang berumur 4 minggu memanfaatkan sinyal cahaya yang diterima untuk proses pertumbuhan dan perkembangan. Sinyal cahaya yang diterima oleh fotoreseptor retinohipotalamus maupun ekstraretina akan diteruskan menuju
57
hipotalamus. Sebagai respons adanya sinyal cahaya, hipotalamus terstimulasi untuk mensekresikan hormon pelepas (releasing hormone) yang memacu proses metabolisme
dan
menginisiasi sintesis bahan organik sehingga terjadi
pertumbuhan tulang yang kemudian diikuti dengan pertumbuhan otot. Pada saat pertumbuhan somatik telah konstan dan homeostasis di dalam tubuh tercapai, selanjutnya terjadi aktivasi sistem reproduksi. Proses reproduksi pada unggas betina diawali oleh pertumbuhan dan perkembangan ovari, serta diikuti oleh perkembangan saluran telur. Jika dicermati lebih lanjut, meskipun rataan kadar estrogen seragam, puyuh yang berumur 5 minggu pada kelompok yang menerima cahaya mempunyai kadar estrogen yang relatif lebih tinggi dibandingkan puyuh yang tidak menerima cahaya. Sinyal cahaya akan meningkatkan sekresi GnRH dari
hipotalamus,
yang
tentunya
akan
merangsang
pelepasan
hormon
gonadotropin FSH dan LH dari hipofisis. Sebaliknya, tidak adanya cahaya dapat menurunkan sekresi GnRH dan menekan produksi FSH maupun LH. Jika FSH rendah maka kemungkinannya adalah kadar estrogen juga menurun. Estrogen sangat dibutuhkan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan saluran telur, biosintesis lemak di hati sebagai bahan baku pembentukan yolk, serta meningkatkan metabolisme kalsium sebagai bahan dasar pembentuk kerabang. Kadar estrogen serum pada puyuh yang berumur 7 minggu menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) antara puyuh yang tidak menerima pencahayaan dengan puyuh yang diberikan cahaya merah, hijau, dan kontrol. Kadar estrogen puyuh yang tidak menerima cahaya, yaitu 5,87 pg/ml, sangat rendah dibandingkan dengan kadar estrogen puyuh yang menerima cahaya, yang berkisar 20,44-68,43 pg/ml. Pada umur 7 dan 9 minggu semua puyuh sudah bertelur, kecuali puyuh yang tidak diberi pencahayaan tidak lagi menghasilkan telur. Meningkatnya kadar estrogen serum pada puyuh umur 7 dan 9 minggu yang diberi cahaya bisa terjadi karena estrogen ovari memiliki berbagai fungsi yang berkaitan dengan reproduksi, yaitu untuk regulasi metabolisme Ca sebagai pembentuk kerabang, induksi reseptor estrogen pada saluran telur (oviduct), dan induksi reseptor progesteron pada ovari. Lebih lanjut seperti yang dikemukan oleh Palmiter (1972), estrogen menginduksi sintesis ovalbumin, conalbumin, ovomusin, dan lisosim dalam oviduct serta vitelogenin di dalam hati. Rendahnya kadar estrogen pada puyuh
58
yang tidak menerima cahaya diduga karena folikel ovari masih berupa prehirarki folikel dan fotoreseptor untuk cahaya berjumlah minimal atau fotoreseptor ada dalam jumlah banyak. Namun, tidak adanya sinyal cahaya yang diterima oleh fotoreseptor menyebabkan kadar hormon reproduksi yang melibatkan stimulasi cahaya menjadi minimal. Jumlah reseptor dalam sel target tidak konstan sebab reseptor yang merupakan protein ini akan rusak dengan sendirinya atau dengan mekanisme pembentukan protein di dalam sel akan terbentuk reseptor baru. Kadar estrogen pada puyuh umur 9 minggu menunjukkan bahwa pemberian cahaya monokromatik tidak menghambat (P>0,05) sekresi estrogen, kecuali pada puyuh kontrol 25 W dan puyuh yang diberi cahaya merah 15 serta 25 lux yang secara nyata menurun. Menurunnya kadar estrogen pada puyuh kontrol 25 W dan puyuh yang diberi cahaya merah 15 serta 25 lux diduga karena folikel yang telah matang memasuki masa ovulasi. Seperti yang dikemukakan oleh Tanabe dan Nakamura (1980), konsentrasi estrogen akan menurun ketika terjadi ovulasi. Konsentrasi estrogen plasma menjadi tinggi 6-4 jam sebelum ovulasi. Estrogen disintesis oleh folikel-folikel prehirarki. Estrogen tidak terlibat langsung dalam ovulasi. Ovulasi tetap terjadi tanpa adanya peningkatan estrogen plasma, namun estrogen bersama dengan progesteron dibutuhkan oleh hipotalamus dan hipofisis sebagai dasar untuk menginduksi pelepasan LH. Proses ovulasi ditandai dengan robeknya stigma sikatriks pada folikel yang telah matang dan ovum akan keluar dari ovari serta diterima oleh oviduct. Kadar estrogen yang relatif rendah pada kelompok cahaya hijau 25 lux diasumsikan untuk menimbulkan respons fotoseksual, cahaya lebih baik diterima oleh hipotalamus lewat jalur penetrasi langsung. Mengacu pada pendapat Mellor (2001) bahwa cahaya hijau tidak disarankan untuk memperbaiki profil reproduksi karena cahaya hijau lebih banyak lewat mata dan sedikit sekali yang bisa diabsorpsi oleh jaringan kranial. Cahaya yang secara langsung melakukan penetrasi ke dalam bulu, tulang tengkorak, dan jaringan kranial akan diabsorpsi oleh fotoreseptor ekstraretina yang tersebar pada cairan serebrospinal yang berkontak dengan sel saraf, bagian basal otak, dan hipotalamus unggas. Untuk sampai pada hipotalamus, sinyal cahaya harus ditransmisikan menjadi sinyal elektrokimiawi yang dikenal dengan fototransduksi. Mekanisme fototransduksi
59
sinyal cahaya seperti yang dikemukakan oleh Foster et al. (1994) serta Underwood dan Groos (1982) adalah sebagai berikut 1) Foton (energi cahaya) yang telah diabsorpsi oleh tulang tengkorak dan jaringan kranial akan dilanjutkan absorpsinya oleh 11-cis retinaldehid (kromofor yang terikat pada opsin dan berperan dalam menyerap cahaya). Akibat penyerapan foton, 11-cis retinaldehid mengalamai fotoisomerisasi menjadi bentuk trans-retinaldehid yang secara langsung akan mengubah konformasi opsin dan selanjutnya menginisiasi kaskade fototransduksi. 2) Molekul opsin yang telah berubah konformasinya akan mengaktifkan molekul penghantar dalam jalur transduksi sinyal, yaitu protein-G yang berada pada membran, yang disebut dengan transdusin. 3) Transdusin kemudian mengaktifkan enzim efektor cGMP (siklik guanosin monofosfat) yang secara kimiawi mengubah second messenger pada sel fotoreseptor, yaitu enzim fosfodiesterase (PDE). 4) PDE kemudian menghidrolisis cGMP menjadi GMP (guanosin monofosfat) sehingga konsentrasi cGMP intrasel berkurang, akibatnya kanal ion Na+ tertutup. Permeabilitas membran terhadap ion Na+ berkurang sehingga ion Na+ tidak dapat masuk ke dalam sel yang dilanjutkan dengan perubahan potensial membran dan sel fotoreseptor dalam kondisi hiperpolarisasi (penutupan kanal Na, muatan di dalam membran lebih negatif). 5) Terjadinya hiperpolarisasi
menghambat
pembebasan
neurotransmiter.
Terhambatnya
pembebasan neurotransmiter memberikan kesempatan sinyal cahaya yang telah berubah menjadi sinyal kimiawi (ditandai dengan perubahan potensial membran) diturunkan pada sel-sel yang memiliki hubungan sinapsis dengan sel fotoreseptor. Penurunan tersebut merupakan pesan bahwa sel fotoreseptor telah terangsang oleh cahaya. Estrogen merupakan kelompok hormon steroid yang mekanisme kerjanya akan mengubah aktivitas sel dengan cara mengaktifkan gen. Hormon steroid sangat spesifik karena larut di dalam lemak sehingga dengan mudah dapat menembus membran sel menuju sel target. Setelah masuk ke dalam sel, hormon steroid berikatan dengan reseptor yang ada di dalam sitoplasma membentuk kompleks hormon-reseptor. Selanjutnya, kompleks hormon-reseptor akan ditranslokasikan ke dalam nukleus dan mengadakan interaksi dengan gen khusus. Gen yang diaktifkan kemudian membentuk enzim yang penting untuk mengubah
60
fungsi sel (McCarthy 2008). Estrogen sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan saluran reproduksi serta proses vitelogeni yang akan dibahas dalam subbab berikut ini. Profil saluran reproduksi dapat diketahui dengan melakukan pengukuran terhadap panjang dan bobot saluran telur, gambaran histologi saluran telur pada puyuh umur 6, 7, 8, 9, dan 10 minggu, serta pengamatan anatomi saluran telur (Gambar 5). Panjang dan bobot saluran telur disajikan dalam Tabel 3 dan 4. Panjang dan bobot saluran telur secara umum meningkat selama periode pemberian cahaya monokromatik. Tidak adanya cahaya yang diterima oleh puyuh akan menghambat (P<0,05) pertumbuhan dan perkembangan saluran telur serta bobot saluran telur. Terdapat kecenderungan puyuh yang tidak menerima cahaya sampai umur 9 minggu baik panjang saluran telur maupun bobotnya tetap rendah. Kondisi ini berhubungan dengan rendahnya kadar estrogen pada puyuh yang tidak menerima cahaya. Perkembangan saluran telur lebih banyak distimulasi oleh estrogen. Dari hasil korelasi antara kadar estrogen dan panjang saluran telur serta bobot saluran telur terlihat adanya tingkat keeratan hubungan antara estrogen dengan panjang dan bobot saluran telur. Dengan koefisien korelasi (r) untuk panjang saluran telur adalah 0,45 dan bobot saluran telur 0,34. Artinya, meningkatnya kadar estrogen akan diikuti dengan pertambahan panjang dan bobot saluran telur. Pertumbuhan dan perkembangan saluran telur berhubungan dengan proses hiperplasia (peningkatan total DNA) dan hipertropi (peningkatan rasio bahan kering/DNA) seluler. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam saluran telur pada saat fase perkembangan, oviposisi (peneluran), dan molting (ganti bulu) meliputi diferensiasi dan formasi, sekresi serta involusi sel-sel kelenjar tubuler. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yu dan Marquardt (1978) menunjukkan rasio protein/DNA dan lipid/DNA relatif konstan pada seluruh siklus reproduksi aves. Sekresi protein putih telur (ovalbumin dan conalbumin) meningkat dengan sangat cepat selama fase perkembangan dan akan segera menurun pada saat molting. Menurut Fairchild (2007) intensitas cahaya yang mengacu pada terangredupnya cahaya sangat berperan penting dalam reproduksi aves, karena cahaya dengan intensitas minimal pun sangat diperlukan untuk menimbulkan respons fotostimulasi.
61
Tabel 3 Perkembangan panjang saluran telur (cm) pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik Pemberian Cahaya
Umur 5 minggu
Umur 7 minggu
Umur 9 minggu
P01
2,41d ± 0,39
2,01c ± 0,30
4,10e ± 1,82
P02
3,88b ± 0,76
5,30a ± 0,32
12,37d ± 5,77
P03
4,25a ± 0,71
4,86ab ± 0,22
22,17c ± 4,53
P11
3,07b ± 0,58
5,59a ± 0,10
30,33ab ± 2,75
P12
3,92b ± 1,17
4,64ab ± 0,44
31,57ab ± 4,78
P21
2,28d ± 0,16
2,28c ± 1,49
34,03a ± 6,57
P22
2,80c ± 0,64
3,84b ± 2,10
11,83d ± 13,14
P31
5,03a ± 0,09
5,09ab ± 0,16
24,63b ± 3,30
P32
4,23a ± 1,52
5,14ab ± 0,32
36,60a ± 5,18
Keterangan: huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) - P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Anatomi saluran telur pada puyuh yang tidak menerima cahaya jelas terlihat adanya regresi, bahkan ovari juga tidak membentuk hirarki folikel. Puyuh yang menerima cahaya merah, biru, hijau 25 lux dan kontrol memperlihatkan pertumbuhan saluran telur yang normal pada umur 7 minggu, sedangkan puyuh yang menerima cahaya hijau 15 lux saluran telur tampak menebal. Penebalan saluran telur pada puyuh yang menerima cahaya hijau diduga berhubungan dengan tertundanya umur masak kelamin, yaitu pada 48,0 hari. Sebaliknya perkembangan saluran telur pada puyuh yang tidak diberikan cahaya mengalami kemunduran bahkan folikel ovari tidak membentuk hirarki folikel. Kondisi ini diasumsikan berkaitan dengan tidak adanya sinyal cahaya sehingga rangsangan terhadap pelepasan GnRH dari hipotalmus mengalami hambatan.
62
P01
P02
P03
P11
P12
P21
P22
P31
P32
Gambar 5. Anatomi saluran telur setelah pemberian cahaya monokromatik. P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan, P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W, P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux, P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux, serta P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
63
Tabel 4 Rataan bobot saluran telur (g) pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik Pemberian Cahaya
Umur 5 minggu
Umur 7 minggu
Umur 9 minggu
P01
0,47c ± 0,16
0,32b ± 0,00
0,32c ± 0,00
P02
0,47c ± 0,16
2,59a ± 0,41
2,18a ± 0,18
P03
1,77b ± 1,06
2,93a ± 0,53
2,62a ± 0,44
P11
1,01b ± 0,11
2,81a ± 0,19
2,44a ± 0,33
P12
1,54b ± 0,90
2,39a ± 0,40
2,80a ± 0,32
P21
0,42c ± 1,18
2,28a ± 1,49
2,93a ± 0,17
P22
0,84c ± 0,66
1,93a ± 1,42
1,30b ± 1,71
P31
2,60a ± 0,58
2,71a ± 0,41
3,15a ± 0,22
P32
1,80a ± 1,10
2,80a ± 0,20
2,87a ± 0,31
Keterangan: huruf superskrip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0,05) - P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Gambaran histologis uterus puyuh ditampilkan pada Gambar 6, 7, 8, 9, dan 10 untuk melengkapi profil saluran reproduksi. Semua histologi uterus diperoleh pada puyuh umur 9 minggu. Profil saluran reproduksi yang diperlihatkan dengan gambaran histologi uterus menunjukkan bahwa puyuh yang menerima cahaya monokromatik sampai dengan umur 9 minggu memiliki gambaran yang berbeda dengan puyuh yang tidak menerima cahaya. Kelenjar tubuler pada puyuh yang tidak menerima cahaya monokromatik (Gambar 6) terlihat seragam dengan lumen lebih lebar. Lumen merupakan tempat sekresi kalsium kerabang telur. Kebutuhan kalsium pada unggas sebagai bahan pembentuk kerabang pada masa produksi telur sangat tinggi. Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar tubuler uterus dipengaruhi oleh estrogen. Puyuh yang tidak diberikan cahaya monokromatik memiliki kadar estrogen yang lebih rendah dibandingkan dengan puyuh yang menerima cahaya. Hal ini mendasari mengapa gambaran histologi uterus kelenjar tubuler memiliki ukuran yang berbeda dibandingkan dengan yang menerima cahaya monokromatik.
64
Gambaran histologis kelenjar tubuler uterus pada puyuh yang menerima cahaya (Gambar 7, 8, 9, dan 10) menunjukkan lumen uterus memiliki jarak relatif lebih sempit dibandingkan dengan lumen pada puyuh yang tidak mendapat perlakuan pencahayaan. Ukuran lebar lumen uterus dan kelenjar tubuler berhubungan dengan produksi telur. Terdapat indikasi bahwa pada puyuh yang menerima cahaya biru 15 dan 25 lux memiliki lumen uterus yang sempit dengan kelenjar tubuler yang seragam dalam hal tinggi maupun lebarnya. Dikaitkan dengan produktivitas telur, puyuh yang menerima cahaya biru 15 dan 25 lux memiliki produksi telur tertinggi selama penelitian, yaitu 87,63% dan 84,46%.
a
b c
e
10 μm (+)
Gambar 6. Fotomikrografi dinding uterus puyuh pada kelompok yang tidak diberikan pencahayaaan (P01). Pewarnaan H & E. Keterangan: a. Epitelium kelenjar tubuler; b. Lumen uterus; dan c. Lapisan muskularis. Diskripsi: tampak kelenjar tubuler yang susunanya tidak terlalu rapat antara kelenjar satu dengan lainnya. Lapisan muskularis terlihat tebal karena disusun oleh sel otot dengan susunan yang kompak.
65
a a b
b
c
c
10 μm
A. (+3)
B. (+4)
Gambar 7. Fotomikrografi uterus puyuh pada kelompok kontrol yang diberikan cahaya 15 (A) dan 25 (B) W. Pewarnaan H & E. Keterangan: a. Epitelium kelenjar tubuler; b. Lumen uterus; dan c. Lapisan muskularis. Diskripsi: tampak kelenjar tubuler uterus yang dilengkapi dengan sel-sel epitelium sekretoris. Lapisan muskularis terlihat kompak. Pada puyuh yang menerima cahaya 25 W lumen uterus lebih sempit dan lebar kelenjar tubuler relatif seragam.
a
a
b
10 μm
c
b
c
A. (+2)
B. (+2) b
Gambar 8. Fotomikrografi uterus puyuh pada kelompok cahaya merah 15 (A) dan 25 (B) lux. Pewarnaan H & E. Keterangan: a. Epitelium kelenjar tubuler; b. Lumen uterus; dan c. Lapisan muskularis. Diskripsi: tampak kelenjar tubuler uterus yang dilengkapi dengan sel-sel epitelium sekretoris tersusun lebih rapat. Lapisan muskularis kelihatan kompak. Kelenjar uterus pada puyuh yang menerima cahaya merah 15 dan 25 lux memiliki tinggi dan lebar yang seragam, serta lumen yang menyempit.
66
a b
a
b
c
c
c
10 μm
A. (+2)
B. (+2)
Gambar 9. Fotomikrografi uterus puyuh pada kelompok cahaya hijau 15 (A) dan 25 (B) lux. Pewarnaan H & E. Keterangan: a. Epitelium kelenjar tubuler; b. Lumen uterus; dan c. Lapisan muskularis. Diskripsi: tampak sel-sel epitelium sekretoris kelenjar uterus puyuh yang diberi cahaya hijau 15 dan 25 lux tersusun rapat sehingga lumen menyempit. Lapisan muskularis kelihatan kompak. Panjang dan lebar kelenjar tubuler tampak seragam.
a
a b
b
c 10 μm
c A. (+4)
B. (+4)
Gambar 10. Fotomikrografi uterus puyuh pada kelompok cahaya biru 15 (A) dan 25 (B) lux. Pewarnaan H & E. Keterangan: a. Epitelium kelenjar tubuler uterus; b. Lumen uterus; dan c. Lapisan muskularis. Diskripsi: tampak kelenjar tubuler uterus (A dan B) yang tersusun rapat, dengan jarak lumen yang sempit. Lapisan muskularis masih terlihat kompak.
67
C. Kadar Kolesterol dan Trigliserida dalam Serum Rataan kadar kolesterol dan trigliserida dalam serum darah disajikan pada Tabel 5 dan 6. Pemberian cahaya monokromatik secara nyata (P<0,05) berpengaruh pada kadar kolesterol darah. Secara umum kadar kolesterol pada puyuh baik yang menerima cahaya monokromatik maupun yang tidak mendapatkan pencahayaan cenderung meningkat dari umur 5 minggu hingga 9 minggu. Jika dicermati lebih lanjut, kadar kolesterol yang paling tinggi terdapat pada kelompok puyuh umur 9 minggu yang tidak menerima cahaya dan kadar kolesterol yang rendah dapat dijumpai pada puyuh yang menerima cahaya biru 15 serta 25 lux. Hal ini berhubungan dengan produktivitas telur. Puyuh yang memiliki produksi telur tinggi, seperti pada puyuh yang menerima cahaya biru memanfaatkan kolesterol sebagai prekursor yolk dan bahan dasar pembentuk hormon steroid. Sebaliknya, puyuh yang tidak diberikan pencahayaan, meskipun kadar kolesterolnya tinggi tidak dipergunakan dalam produksi telur. Kondisi ini diperkuat dengan data pembedahaan pada saat isolasi organ reproduksi, didapatkan jumlah lemak abdominal pada puyuh yang tidak diberikan cahaya lebih banyak dibandingkan dengan puyuh yang menerima cahaya monokromatik. Puyuh yang menerima cahaya biru, merah, dan hijau, serta kontrol di dalam jaringan perifer seperti subkutan maupun abdominal tidak ditemukan adanya penimbunan lemak. Pengukuran kadar trigliserida darah yang ditampilkan pada Tabel 6 nyata (P<0,05) dipengaruhi oleh pemberian cahaya. Trigliserida serum pada puyuh umur 5 minggu baik yang menerima cahaya monokromatik maupun yang tidak menerima cahaya secara umum menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan puyuh kontrol. Diduga bahwa cahaya yang diterima oleh fotoreseptor
retinohipotalamus
maupun
fotoreseptor
ekstraretina
akan
menstimulasi hipotalamus untuk meningkatkan metabolisme. Sebaliknya, puyuh yang tidak menerima cahaya akan mengaktifkan pusat lapar di bagian lateral hipotalamus pada pagi hingga siang hari. Kondisi ini diperkuat dengan pengamatan perilaku makan. Pada pagi dan siang hari ketika tempat pakan penuh, puyuh langsung menuju tempat pakan dan melakukan aktivitas makan. Nutrien yang dikonsumsi oleh puyuh dimanfaatkan untuk mencukupi kebutuhan energi
68
hidup pokok dan pertumbuhan. Energi pertumbuhan dimanfaatkan untuk pertumbuhan organ tubuh yang tumbuh lebih awal, yaitu jaringan saraf, tulang, dan otot. Tabel 5 Rataan kadar kolesterol (mg/dl) dalam serum pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik Pemberian Cahaya
Umur 5 minggu
Umur 7 minggu
Umur 9 minggu
P01
c
109,08 ± 0,11
c
119,76 ± 0,45
130,29a ± 1,76
P02
112,99b ± 0,00
117,13d ± 0,32
122,94b ± 1,67
P03
107,07d ± 0,25
111,19e ± 0,30
115,84c ± 0,95
P11
115,07a ± 0,29
120,91b ± 0,32
117,32c ± 1,02
P12
96,21f ± 0,18
125,40a ± 0,29
121,59b ± 0,87
P21
87,96g ± 0,54
95,25g ± 1,13
117,18c ± 1,82
P22
104,85e ± 0,23
111,09e ± 0,30
121,37b ± 0,86
P31
79,80h ± 0,21
106,07f ± 0,24
114,21d ± 1,24
P32
93,74f ± 0,08
110,63e ± 0,32
114,54d ± 1,14
Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) - P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P0: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Kadar trigliserida dan kolesterol serum pada puyuh umur 7 dan 9 minggu juga dipengaruhi oleh cahaya, hal ini karena sebagian besar energi disimpan dalam bentuk trigliserida. Untuk pertumbuhan normal dan reproduksi memerlukan trigliserida. Trigliserida yang ditransport ke dalam sel merupakan komponen membran sel dan di dalam darah sebagai lipoprotein. Pada proses pembentukan telur, trigliserida merupakan komponen penting bersama dengan fosfolipid. Kolesterol selain sebagai prekursor hormon steroid juga merupakan komponen penyusun yolk.
69
Tabel 6 Rataan kadar trigliserida (mg/dl) dalam serum pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik Pemberian Cahaya
Umur 5 minggu
Umur 7 minggu
Umur 9 minggu
P01
112,52c ± 0,11
114,27c ± 0,04
118,81c ± 0,96
P02
116,89a ± 0,00
117,97b ± 0,59
122,51a ± 1,19
P03
114,08b ± 1,25
120,55a ± 0,17
124,34a ± 0,84
P11
108,88e ± 0,29
114,88c ± 0,50
116,86d ± 0,44
P12
90,48h ± 0,18
97,92g ± 0,23
119,88c ± 0,37
P21
93,83g ± 0,54
102,27e ± 0,52
117,37d ± 0,62
P22
111,29d ± 0,23
106,60d ± 0,07
122,18a ± 1,73
P31
82,26i ± 0,21
94,90h ± 0,36
120,25b ± 1,05
P32
96,48f ± 0,08
100,43f ± 0,18
114,17e ± 1,28
Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) - P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Pemberian cahaya monokromatik meningkatkan kadar estrogen. Kadar estrogen berkorelasi negatif dengan kadar trigliserida dan kolesterol serum. Hal ini menunjukkan estrogen memiliki peran penting dalam pengaturan lemak tubuh pada saat masak kelamin dan produksi telur. Produksi telur membutuhkan sejumlah besar lipid yolk dan terjadi beberapa hari sebelum ovulasi. Lipid dan protein yolk disintesis di dalam hati di bawah kontrol estrogen. Hasil sintesis bahan pembentuk yolk kemudian ditransport melewati aliran darah menuju folikel ovari. Seperti yang dikemukakan oleh Klasing (2006), lipid yang terdapat dalam yolk terdiri atas 2 tipe, yaitu lipoprotein dan vitelogenin. Hati merupakan organ vital dalam proses pembentukan yolk yang berperan dalam membungkus dan mensekresikan trigliserida serta fosfolipid ke dalam yolk target pada ovari sebagai VLDL (VLDLy). VLDLy (very low density lipoprotein yolk) memiliki struktur dan biokimiawi yang unik. Sebagian lipoprotein berukuran normal sebagai VLDL dan apoprotein VLDL II di bagian permukaannya, sebagian kecil VLDLy akan melintasi lamina basal granulosa folikel ovari dan berikatan dengan reseptor
70
apolipoprotein B pada oolema yang kemudian melakukan endositosis masuk ke dalam yolk ovari target. Vitelogenin merupakan protein yang disintesis oleh hati aves betina dan merupakan kompleks fosfolipid dengan kolesterol. Kompleks fosfolipid-kolesterol yang didistribusikan ke ovari akan dipergunakan untuk perkembangan oosit dan dibongkar menjadi fosvitin dan lipovitelin. Sintesis lipoprotein yolk terjadi secara intensif di dalam hati dan kemudian dimobilisasi dari hepatosit menuju ovari. Organ hati pada saat proses pembentukan yolk berlangsung menjadi bertambah dalam hal ukuran dan bobot karena kandungan lipid meningkat serta terjadi perubahan warna menjadi kekuningan. Pada saat proses sintesis yolk ini kadar trigliserida meningkat 2 sampai 10 kali (Furuse et al. 1994; Dalton 2000).
D. Kadar Kalsium dalam Serum dan Tulang Hasil rataan kadar kalsium serum dan tulang pada puyuh setelah pemberian cahaya monokromatik disajikan pada Tabel 7 dan 8. Pemberian cahaya monokromatik pada puyuh umur 5 minggu berpengaruh pada kadar kalsium di dalam serum. Terdapat indikasi puyuh yang berumur 7 dan 9 minggu yang menerima intensitas cahaya lebih rendah, yaitu 15 lux dengan warna merah, hijau, dan biru memiliki kadar kalsium serum yang tidak berbeda (P>0,05) dengan kontrol ataupun antar perlakuan cahaya monokromatik. Puyuh umur 5 minggu yang tidak menerima cahaya memiliki kadar kalsium serum 10,16 mg/dl, sedangkan puyuh yang menerima cahaya memiliki kisaran kadar kalsium 9,23-10,33 mg/dl. Diduga cahaya sangat berpengaruh pada metabolisme kalsium. Metabolisme kalsium yang melibatkan hormon paratiroid kalsitonin, dan 1,25-dihidroksikolekalsiferol (1,25-(OH)2D3) akan lebih efektif pada malam hari atau pada kondisi gelap sehingga rataan kadar kalsium pada puyuh yang tidak menerima cahaya pada malam hari relatif tinggi pada umur 7 dan 9 minggu. Absorpsi kalsium dari dalam intestinum yang dikontrol oleh 1,25-dihidroksikolekalsiferol didahului dengan terbentuknya calbindin. Calbindin inilah yang akan berikatan dengan kalsium dan memfasilitasi kalsium untuk melintasi membran sel epitelium intestinal. Sebaliknya, hormon paratiroid
71
menginisiasi penyerapan kalsium pada tulang. Osteoklas pada tulang keras memiliki reseptor yang spesifik terhadap hormon paratiroid. Rendahnya kadar kalsium dalam serum merupakan sinyal bagi hormon paratiroid untuk mengabsorpsi kalsium dalam tulang, memacu ginjal untuk menyerap kembali kalsium dalam urin, dan mengaktifkan 1,25-(OH)2D3 untuk
menginduksi
terbentuknya calbindin sehingga kalsium dalam intestinum dapat diserap. Seperti yang dikemukakan oleh Klasing (2006) bahwa transport aktif kalsium terdiri atas 4 langkah, yaitu 1) Ketersediaan energi yang akan mengambil Ca2+ menembus enterosit. 2) Ikatan Ca2+ pada calbindin dengan vesikel endosit. 3) Fusi vesikel dengan lisosom, dan 4) Pergerakan lisosom sepanjang mikrotubul dan proses eksositosis pada membran basal lateral. Yang paling penting adalah absorpsi kalsium pada puyuh sangat dipengaruhi oleh ukuran ion tersebut. Tabel 7 Rataan kadar kalsium (mg/dl) dalam serum pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik Pemberian Cahaya
Umur 5 minggu
Umur 7 minggu
Umur 9 minggu
P01
10,16b ± 0,04
10,46c ± 0,06
10,32b ± 0,08
P02
9,49d ± 0,08
10,10d ± 0,02
10,03d ± 0,12
P03
9,92c ± 0,04
10,25d ± 0,06
10,14d ± 0,06
P11
10,18b ± 0,08
10,85a ± 0,08
10,27b ± 0,09
P12
10,33a ± 0,00
10,72b ± 0,05
10,49a ± 0,08
P21
10,23a ± 0,04
10,47c ± 0,10
10,23b ± 0,05
P22
9,82c ± 0,06
10,24d ± 0,09
10,13d ± 0,08
P31
9,23e ± 0,06
10,53c ± 0,09
10,17d ± 0,05
P32
10,13b ± 0,05
10,89a ± 0,04
10,57a ± 0,10
Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) - P01 : puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
72
Cahaya yang diterima oleh puyuh umur 7 dan 9 minggu belum dapat mempengaruhi kadar kalsium dalam darah. Kondisi ini dapat terjadi karena kadar kalsium dalam darah dipertahankan dalam batas-batas yang konstan. Kalsium merupakan salah satu mineral yang aktif dimetabolisme dan metabolismenya diatur sangat ketat. Kalsium di dalam plasma darah berfungsi untuk mengatur komunikasi intraseluler, kontraksi otot, interaksi makromolekul serta pembekuan darah. Puyuh yang menerima cahaya merah, hijau dan biru serta kontrol memiliki kadar kalsium darah pada umur 7 dan 9 minggu yang relatif tinggi karena kalsium dalam plasma diperlukan untuk membentuk kerabang telur. Sebaliknya, puyuh yang tidak menerima cahaya pada umur 7 dan 9 minggu dimana produksi telur berhenti, kadar kalsium dalam darah yang juga meningkat dipergunakan untuk fungsi pemeliharaan. Seperti yang dikemukan oleh Dacke (2000) dan Klasing (2006) 15% kalsium di dalam tubuh aves tetap bersirkulasi dalam darah sebagai Ca2+ bebas serta ditemukan berikatan dengan protein, seperti albumin atau membentuk kompleks dengan sitrat, fosfat atau sulfat. Cahaya berpengaruh nyata (P<0,05) pada kadar kalsium dalam tulang (Tabel 8). Tidak adanya cahaya juga memberikan pengaruh nyata pada kadar kalsium tulang (P<0,05) baik pada puyuh umur 5 maupun 7 minggu. Menjelang masak kelamin pada umur 5 minggu sebagian besar puyuh akan mendeposisikan kalsium di dalam tulang panjang terutama di bagian tulang medular femur dan tibia. Kadar kalsium serum yang dipertahankan konstan dan kadar kalsium tulang yang relatif meningkat selama produksi telur tidak menunjukkan adanya hubungan linier yang nyata antara estrogen dan kadar kalsium serum maupun kalsium tulang. Artinya, periode aktif pembentukan telur pada puyuh yang terjadi pada siang hari lebih banyak menggunakan kalsium dalam pakan sebagai sumber utama pembentuk kerabang. Kalsium di dalam tulang dipergunakan sebagai cadangan pembentuk kerabang, jika kalsium di dalam pakan defisien. Hasil penelitian Baksi dan Kenny (1981) menunjukkan kalsium yang dideposisi di dalam tulang berfungsi sebagai sumber kalsium kerabang telur ketika terjadi defisiensi kalsium pakan. Sebagian besar puyuh mengalami oviposisi pada siang hari dan pakan yang tersedia sudah mencukupi selama periode aktif pembentukan
73
kerabang telur. Namun, tulang medular masih tetap dipergunakan untuk menyediakan kalsium di awal deposisi pembentukan kerabang. Tabel 8 Rataan kadar kalsium (%) dalam tulang pada puyuh umur 5 dan 7 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik Pemberian Cahaya
Umur 5 minggu
Umur 7 minggu
P01
14,04e ± 0,08
13,36g ± 0,13
P02
14,19e ± 0,05
13,69f ± 0,09
P03
14,09e ± 0,04
14,18e ± 0,17
P11
14,91d ± 0,16
15,16b ± 0,13
P12
14,87d ± 0,07
14,60d ± 0,08
P21
15,73b ± 0,18
15,34b ± 0,09
P22
15,30c ± 0,14
15,0c ± 0,17
P31
16,13a ± 0,10
15,63a ± 0,13
P32
15,88a ± 0,11
15,40a ± 0,08
Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) - P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Skeleton aves 98% berupa kalsium dalam bentuk hidroksiapatit, Ca10(PO4)6(OH)2, dan sejumlah kecil kalsium fosfat nonkristal serta kalsium karbonat. Tulang medular dibentuk oleh osteoblast pada permukaan endosteal yang distimulasi oleh pelepasan androgen dan estrogen ketika adanya sinyal folikel ovari telah matang. Femur dan tibiotarsus kaya akan tulang medular. Kalsium yang dimobilisasi oleh tulang dan yang berasal dari absorpsi pakan akan dipergunakan oleh kelenjar kerabang untuk disekresikan dalam cairan lumen kelenjar kerabang serta dipergunakan sebagai bahan pembentuk kerabang. Kemampuan kelenjar kerabang untuk
mengkonsentrasikan kalsium dan
mempertahankan kalsium tetap berada di dalam cairan lumen kelenjar telur merupakan peristiwa yang luar biasa (Klasing 2006; Dacke 2000).
74
E. Konsumsi Pakan dan Bobot Tubuh Rataan konsumsi pakan dan bobot tubuh disajikan pada Tabel 9 dan 10. Secara umum konsumsi pakan dipengaruhi oleh cahaya (P<0,05). Jika dicermati, ternyata konsumsi pakan relatif menurun terutama pada puyuh umur 9 minggu. Penurunan konsumsi pakan merupakan indikasi bahwa keperluan energi dan material organik untuk pertumbuhan, pemeliharaan dan reproduksi di dalam tubuh sudah cukup terpenuhi. Kehadiran cahaya yang direspons oleh puyuh baik yang diterima oleh fotoreseptor retina ataupun yang melakukan penetrasi langsung ke dalam jaringan kranial akan menstimulasi metabolisme. Tabel 9 Rataan konsumsi pakan (g) per minggu pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik Pemberian Cahaya
Umur 5 minggu
Umur 7 minggu
Umur 9 minggu
P01
96,58g ± 5,33
91,17i ± 1,16
89,55h ± 0,52
P02
86,07i ± 5,64
100,00h ± 1,05
92,61f ± 0,35
P03
127,67e ± 1,69
107,89g ± 1,21
128,90b ± 0,66
P11
180,63a ± 5,08
166,16a ± 1,00
134,61a ± 0,56
P12
143,16d ± 0,58
119,44f ± 0,69
93,44d ± 0,38
P21
155,60b ± 0,22
141,45b ± 0,41
92,85e ± 0,17
P22
93,44h ± 1,34
140,52c ± 0,24
83,07i ± 1,11
P31
146,54c ± 1,31
132,72d ± 0,25
104,21c ± 0,40
P32
118,40f ± 2,21
129,64e ± 0,43
91,11g ± 0,84
Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) - P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Konsumsi pakan pada puyuh yang menerima cahaya merah lebih tinggi dibandingkan dengan puyuh yang menerima cahaya hijau maupun cahaya biru pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu. Cahaya merah yang memiliki panjang gelombang yang lebih panjang banyak mengandalkan jalur penerimaan lewat retinohipotalamus. Artinya, cahaya merah sangat sulit melakukan penetrasi
75
langsung ke dalam jaringan kranial. Sinyal cahaya yang diterima oleh fotoreseptor retina akan diteruskan ke nukleus suprakhiasmatik pada hipotalamus dan akan menginduksi pusat rasa lapar di bagian lateral hipotalamus. Ketika pusat rasa lapar terstimulasi maka akan terekspresi dengan perilaku makan. Puyuh yang menerima cahaya merah lebih aktif dan agresif ditandai dengan mematuk-matuk kandang, mengais alas kandang, berjalan mengelilingi kandang, dan meloncat. Aktivitas harian puyuh yang cukup tinggi dipicu oleh neurotranmiter tertentu sehingga puyuh mudah terstimulasi dan menjadi lebih agresif. Meningkatnya aktivitas pada puyuh yang menerima cahaya merah bisa terjadi melalui proses seperti yang dikemukakan oleh Lewis et al. (2001) bahwa masuknya informasi cahaya ke dalam kelenjar pineal akan merangsang sintesis, pelepasan, dan metabolisme dopamin. Kehadiran dopamin menyebabkan unggas menjadi lebih aktif dan mudah terstimulasi. Untuk berbagai aktivitas tersebut diperlukan energi yang cukup sehingga memerlukan asupan nutrien yang tinggi. Seperti yang dipaparkan oleh Lewis dan Moris (2006) bahwa perilaku merupakan respons yang bergantung pada penerimaan cahaya oleh fotoreseptor retina. Puyuh yang tidak menerima cahaya juga menunjukkan konsumsi pakan yang berbeda dengan puyuh yang menerima cahaya. Secara numerik, konsumsi pakan pada kelompok puyuh yang tidak menerima cahaya lebih rendah, terutama pada umur 7 minggu. Diasumsikan bahwa kebutuhan energi untuk berbagai keperluan di dalam tubuh sebagian besar telah terpenuhi dan pada umur 7 minggu puyuh yang tidak menerima cahaya tidak lagi menghasilkan telur. Jadi, pakan yang dikonsumsi lebih banyak dipergunakan untuk fungsi pemeliharaan dan homeostasis. Berdasarkan pengamatan perilaku, puyuh yang tidak menerima cahaya lebih banyak diam (pasif). Dengan aktivitas yang minimal ini maka energi yang dibutuhkan tidak sebanyak pada puyuh yang aktif menghasilkan telur seperti pada puyuh yang menerima cahaya merah, hijau, biru, dan kontrol. Energi yang tersisa akan disimpan sebagai cadangan energi. Pemberian cahaya yang diterima oleh puyuh umur 5 minggu tidak berpengaruh (P>0,05) pada bobot badan (Tabel 10), sedangkan pada puyuh umur 7 dan 9 minggu cahaya berpengaruh (P<0,05) pada bobot badan. Bobot badan berkaitan dengan konsumsi pakan. Jika dilihat dari konsumsi pakan secara umum,
76
cahaya mempengaruhi konsumsi pakan. Bobot badan tidak menunjukkan adanya perbedaan pada puyuh umur 5 minggu diduga bahwa puyuh umur 5 minggu sedang berada pada fase pertumbuhan dipercepat. Individu yang sedang dalam proses pertumbuhan akan mengalami berbagai perubahan, baik aspek kuantitas maupun kualitasnya. Bobot, panjang, dan tinggi individu tersebut akan semakin meningkat dan fungsi organ-organ tubuh juga akan menjadi optimal. Puyuh umur 7 dan 9 minggu yang menerima cahaya memiliki bobot badan yang lebih tinggi dibandingkan dengan puyuh yang tidak diberikan pencahayaan. Seperti yang telah dibahas dalam konsumsi pakan bahwa bobot badan merupakan manifestasi dari pertumbuhan yang melibatkan proses hipertropi dan hiperplasia yang kemudian diikuti oleh penambahan material organik ke dalam sel, misalnya deposisi lemak, glikogen, bahan kartilago dan bahan tulang. Pertumbuhan berkaitan dengan asupan nutrisi yang dikonsumsi. Tidak adanya cahaya akan mengurangi perilaku makan sehingga asupan nurisi menurun sedangkan adanya cahaya akan meningkatkan perilaku makan. Peningkatan bobot badan merupakan suatu proses peningkatan ukuran, bertambah massa suatu jaringan akan mengubah ukuran yang merupakan alternatif dari beberapa hal, yaitu 1) Sintesis protoplasma. Dalam proses sintesis ini diperlukan berbagai bahan organik dan energi. Bahan baku berasal dari pakan. Pertambahan masa dapat terjadi bila aktvitas katabolisme lebih rendah daripada aktivitas anabolisme. 2) Deposisi interseluler. Beberapa bahan organik hasil sintesis akan diekskresikan keluar dan diakumulasi di sekitar sel (deposisi interseluler). Deposisi interseluler akan memperbesar atau memperluas jaringan. Sebagai contoh, deposisi matriks interseluler, fibril dan gelatin. 3) Deposisi intraseluler. Sebagian hasil biosintesis akan tetap diakumulasi di dalam sel, sebagai deposit intraseluler. Contoh bahan organik yang dideposisi intraseluler adalah glikogen, lemak, dan pigmen. Adanya deposit intraseluler akan menambah masa sel tersebut. 4) Proses absorpsi air. Sel memiliki sifat koloid, sifat koloid inilah yang menentukan potensi imbibisi dan hiperplasia. Mobilisasi molekul air dalam sel bergantung pada konsentrsi ion dalam sel tersebut. Imbibisi menyebabkan ukuran sel berubah.
77
Tabel 10
Rataan bobot badan (g) pada puyuh umur 5, 7, dan 9 minggu setelah pemberian cahaya monokromatik
Pemberian Cahaya
Umur 5 minggu
Umur 7 minggu
Umur 9 minggu
P01
115,00a ± 8,20
131,90d ± 10,78
138,00d ± 10,82
P02
117,67a ± 11,04
140,95c ± 10,91
146,67c ± 10,47
P03
114,33a ± 8,58
140,48c ± 12,84
153,33c ± 16,12
P11
121,33a ± 10,42
147,14b ± 12,31
152,33b ± 9,76
P12
118,00a ± 10,31
147,14b ± 11,02
152,00b ± 12,65
P21
118,67a ± 7,76
134,76cd ± 12,89
141,33c ± 18,07
P22
120,00a ± 10,50
150,48a ± 13,59
155,33ab ±13,02
P31
116,67a ± 9,22
149,52a ± 15,64
159,33a ± 8,84
P32
118,00a ± 9,61
153,33a ± 14,61
156,67ab ± 21,93
Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) - P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
F. Produksi dan Kualitas Telur Pengambilan data produksi telur dimulai pada awal bertelur sampai akhir pemeliharaan pada saat puyuh berumur 9 minggu. Produksi telur hen day yang diperoleh selama penelitian disajikan dalam Tabel 11 bersama dengan bobot telur, sedangkan produksi telur minggu ke-5, 6, 7, 8 dan 9 disajikan pada Gambar 11. Kadar protein dan lemak telur disajikan pada Gambar 12. Cahaya merupakan faktor penting dalam proses produksi telur. Produksi telur Hen day sangat dipengaruhi oleh kehadiran cahaya (P<0,05). Puyuh yang menerima cahaya memiliki rataan produksi telur yang relatif tinggi. Puyuh yang tidak menerima cahaya memiliki produktivitas yang rendah karena hanya delapan butir telur saja yang dihasilkan selama penelitian. Rendahnya produksi telur diduga bahwa tidak adanya cahaya akan menekan aliran hormon GnRH sehingga sekresi FSH dan LH mengalami hambatan. Dari data panjang dan bobot saluran telur juga menunjukkan bahwa puyuh yang tanpa diberikan pencahayaan
78
mengalami perkembangan yang sangat lambat. Pada saat mengisolasi saluran telur juga ditemukan bahwa ovari pada puyuh yang tidak menerima cahaya belum membentuk hierarki folikel. Folikel-folikel ovari berukuran kecil seperti layaknya folikel ovari puyuh muda yang berumur 2-3 minggu. Tabel 11. Rataan produksi telur Hen Day (%) dan bobot telur (g) setelah pemberian cahaya monokromatik
-
Pemberian Cahaya P01
Produksi telur (Hen day) 4,76b ± 0,0
Bobot Telur (g) 9,29c ± 0,51
P02
79,38a ± 23,08
9,47b ± 1,00
P03
61,89a ± 14,84
9,53b ± 0,93
P11
72,72a ± 25,93
9,50b ± 1,13
P12
72,18a ± 28,69
9,77a ± 1,20
P21
12,10b ± 4,43
9,05c ± 1,47
P22
52,28a ± 21,86
9,92a ± 0,99
P31
87,63a ± 19,09
9,54b ± 0,78
P32
84,46a ± 15,38
9,76a ± 1,19
Keterangan: huruf superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Puyuh yang menerima cahaya hijau 15 dan 25 lux memiliki produksi telur hen day yang relatif rendah dibandingkan dengan puyuh yang menerima cahaya merah, biru, dan kontrol. Cahaya hijau yang diterima oleh puyuh banyak melewati jalur retinohipotalamus, hanya sebagian kecil saja yang bisa diabsorpsi dan melakukan penetrasi langsung dalam tulang tengkorak serta jaringan kranial untuk mencapai hipotalamus. Respons fotoseksual lebih banyak dimunculkan oleh cahaya yang bisa mencapai hipotalamus secara langsung. Respons fotostimulasi pada puyuh betina berkaitan erat dengan produksi telur. Produksi telur tertinggi dapat dijumpai pada puyuh yang menerima cahaya biru 15 dan 25 lux, yaitu 87,63 dan 84,46%. Sesuai dengan jalur masuknya, cahaya biru lebih banyak diterima
79
oleh fotoreseptor ekstraretina hipotalamus melewati penetrasi langsung dalam jaringan kranial. Untuk menimbulkan respons fotostimulasi, cahaya akan efektif jika melewati jalur penetrasi langsung. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Rozenboim dalam Priel (2007) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan produksi telur dengan pemberian cahaya hijau, maka retina harus dinetralisasi. Begitu juga yang dikemukakan oleh Lewis dan Moris (2006) bahwa cahaya hijau lebih memberikan respons pertumbuhan dan perilaku daripada menimbulkan efek fotoseksual. Untuk meningkatkan respons fotoseksual akan lebih baik jika dipergunakan cahaya merah atau biru. 140
Jumlah Telur (butir)
120 100 80 60 40 20 0 5
P01
-
6
P02
P03
7 Um ur (m inggu)
P11
P12
8
P21
9
P22
P31
P32
Gambar 11. Produksi telur setelah pemberian cahaya monokromatik pada minggu ke-5, 6, 7, 8, dan 9. P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux P31 dan P32 : puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Produksi telur mingguan pada Gambar 11 menunjukkan puyuh yang menerima cahaya biru 15 lux dan kontrol 25 W mengalami penurunan pada minggu ke-9. Sebaliknya, puyuh yang menerima cahaya merah, hijau, biru 25 lux, dan kontrol 15 W pada umur 9 minggu masih memperlihatkan peningkatan produksi telur. Puyuh yang tidak menerima cahaya mengalami penurunan produksi mulai umur 7 minggu. Jika dicermati, ternyata penurunan produksi telur berhubungan dengan menurunnya konsumsi pakan, kadar kolesterol, dan
80
trigliserida serum. Pakan, kolesterol, dan trigliserida serum merupakan sumber energi dan bahan dasar pembentuk telur. Pada minggu ke-9 rata-rata konsumsi pakan pada semua puyuh yang menerima cahaya monokromatik, kontrol, dan yang tidak menerima cahaya mengalami penurunan. Namun, puyuh yang mendapat cahaya merah, hijau, biru, dan kontrol 15 W memiliki kadar kolesterol, trigliserida, serta estrogen serum yang relatif tinggi. Kolesterol dan trigliserida sebagai bahan untuk membentuk telur dan sumber energi, sedangkan peningkatan kolesterol dan trigliserida dalam serum diatur oleh kadar estrogen. Klasing (2006) menyatakan bahwa lemak tubuh pada dasarnya berasal dari lipid pakan ditambah dengan lemak yang dibentuk dari asetil–Ko A yang didapat selama lipogenesis dari karbohidrat dan dari asam-asam amino tertentu. Lemak di dalam darah terdiri atas lemak netral (trigliserida), fosfolipid, ester kolesterol, asam lemak bebas, dan sejumlah campuran lemak yang terlarut. Peningkatan kadar lemak tubuh berhubungan dengan kadar estradiol dalam plasma. Peningkatan kadar estradiol dalam plasma meningkatkan kadar lemak darah.
35 32.06 a
33 a
32.9 a
32.17 a
32.91 a
31.86 a
32.18 a
31.18 a
30.8 a
kadar proteindanlemaktelur (%)
30
25
20
15
10
10.36 a
10.62 a
P01
P02
10.96 a
9.86 a
10.14 a
9.92 a
10.08 a
10.82 a
10.77 a
P31
P32
5
0 P03
P11
P12 perlakuan
P21
P22
protein lamak
Gambar 12. Kadar protein dan lemak di dalam telur setelah pemberian cahaya monokromatik - P01: puyuh tanpa diberi pencahayaan - P02 dan P03: puyuh kontrol yang diberi pencahayaan 15 dan 25 W - P11 dan P12: puyuh yang diberi pencahayaan warna merah dengan intensitas 15 dan 25 lux - P21 dan P22: puyuh yang diberi pencahayaan warna hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux - P31 dan P32: puyuh yang diberi pencahayaan warna biru dengan intensitas 15 dan 25 lux
Pemberian cahaya belum dapat mempengaruhi (P>0,05) kualitas telur baik dalam bobot maupun komponen kimiawi telur seperti kadar protein dan lemak telur. Artinya,
puyuh yang menerima cahaya maupun yang tidak menerima
81
cahaya menghasilkan telur dengan kualitas yang sama. Namun, jika dicermati ternyata bobot telur pada kelompok yang menerima cahaya hijau 25 lux lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan cahaya biru 15 dan 25 lux. Diduga bahwa spektrum cahaya belum menimbulkan efek pada rata-rata bobot telur. Bobot telur lebih banyak dipengaruhi oleh rata-rata produksi telur. Hasil uji statistik menggunakan regresi sederhana juga menunjukkan bahwa umur masak kelamin belum mempengaruhi bobot telur (P>0,05) dengan sumbangan (R2) sebesar 6,7%. Ini berarti bahwa umur masak kelamin baik yang tertunda maupun yang dini belum mampu meningkatkan bobot telur. Hasil uji komposisi kimiawi telur yang berupa kadar lemak dan protein telur tidak berbeda antara kelompok puyuh yang mendapat cahaya maupun yang tidak menerima cahaya. Hal ini diasumsikan bahwa proses pembentukan komponen penyusun yolk dan albumin telur tidak dipengaruhi oleh cahaya. Pembentukan yolk dan albumin sangat bergantung pada ketersediaan nutrien yang akan dipakai sebagai bahan baku, organela-organela sel yang terlibat di dalam pembentukan yolk dan albumin serta aliran hormon. Glandula tubuler pada magnum mengandung organel sel yang mendukung proses pembentukan protein putih telur. Kecepatan sintesis putih telur pada glandula tubuler magnum akan meningkat pada saat terjadi pembentukan telur. Peningkatan ini terjadi karena konsentrasi RNA dalam glanduler tersebut juga berada dalam jumlah yang melimpah.
82
SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Pemberian cahaya biru dengan intensitas 25 lux dapat mempercepat umur masak kelamin dengan profil saluran telur normal, dan telur yang dihasilkan berkualitas baik, sedangkan cahaya hijau dengan intensitas 15 dan 25 lux akan menunda umur masak kelamin.
B. Saran Perlu
dilakukan
penelitian
lanjut
mengenai
mekanisme
monokromatik menimbulkan respons fotostimulasi pada puyuh betina.
cahaya
83
DAFTAR PUSTAKA Agromedia. 2007. Sukses Beternak Puyuh. Jakarta: AgroMedia Pustaka. AOAC. 1990. Official methods of analysis of the AOAC. Virginia: Inc. Arlington Asem E, Marrone BL, Hartelendy F. 1985. Steriodegenesis in ovarian cells of the japanese quail (Coturnix coturnix japonica). J Gen Comp Endocrinol 60(3): 353-360. Baksi SN, Kenny AD. 1981. Vitamin D metabolism in aged japanese quail: dietary calcium and estrogen effects. J Physiol Endocrinol Metab 241: 275-280. Balthazart, Jacques, Ball, Gregory F. 1998. Japanese quail as a model system for the investigation of steroid-cathecolamine interaction mediating appetitive and consumatory aspects of male sexual behaviour. Ann Rev: Sex Research. Barnette A. 2009. About japanese quail. http://lancester.unl.edu/4h/embryology (30 Juni 2009). Blaszczyk B, Tarasewic Z, Udala J, Gaczarzewizc D, Stankiewicz T. 2006. changes in the blood plasma testosterone and cholesterol concentrations during sexual maturation of pharaoh quail. Sci Am 24: 259 – 266. Cao J, Liu Z, Wang D, Xie D, Jia L, Chen Y. 2008. Green and blue monochromatic light promote growth and development of broilers via stimulating testosterone secretion and myofiber growth. J Appl Poult Res 17: 211-218. Cheeke PR. 2005. Applied Animal Nutrition Feed and Feedings. Ed ke-3. Harlow UK: Prentice Hall. Ciccone NA, Dunn IC, Boswell T, Tsutsuni K, UbukaT, Ukena K, Sharp PJ. 2004. Gonadotrophin inhibitory hormone depresses gonadotrophin α and follicle stimulating hormone β subunit expression in the pituitary of domestic chicken. J Neuroendocrinology 16: 999-1006. Dacke CG. 2000. The Paratiroids, Calcitonin, and Vitamin D. In GC Whittow. Sturkie’s Avian Physiology. Ed ke-5. New York: Academic Press. Dalton MN. 2000. Effect of dietary fats on reproductive performance, egg quality. Fatty acid, composition of tissue and yolk and prostaglandin levels of embryonic tissues in japanese quail (Coturnix coturnix japonica) (Thesis). Blacksburg, Virginia: The Faculty of The Virginia Polytechnic and State University.
84
Dawson A, King MV, Bently GC, Ball GF. 2001. Photoperiodic control of seasonality in birds. J Bio Rhythms 16(4): 365-380. Denbow DM. 2000. Gastrointestinal Anatomy and Physiology. In GC Whittow. Sturkie’s Avian Physiology. Ed ke-5. New York: Academic Press. Elert
G. 2008. The nature of light. http://hypertexbook.com/physics/ (20 Pebruari 2008).
Etches RJ. 1996. Reproduction in Poultry. Singapore: CAB International. Fairchild
B. 2007. Lighting programs for backyard egg production. http://www.poultry.uga.edu/index.htm (30 Juni 2009).
Foster RG, Grace MS, Provencio I, Degrip WJ, Jose M, Fernandez G. 1994. Identification of vertebrate deep brain photoreceptors. Neurosci and Biobehav Rev 18(4): 541-546. Foster RG, Soni BG.1998. Extraretinal photoreceptor and their regulation of temporal physiology. J Repro and Fert 3: 145-150. Furuse M, Muari A, Kita K, Okamamura. 1994. Lipogenesis depending on sexual maturation in female japanese quail. Comp Biochem and Physiol 100: 343345. Gewehr CE, Cotta JT, Oliviera AIG, de Freitas HJ. 2005. Effect of lighting programs on the egg production of quails (Coturnix coturnix japonica). Agrotecnologia 29(4): 139-146. Gunes H, Cerit H. 2000. Interrelationships between age of sexual maturity, body weight and egg production in the japanese quail (Coturnix coturnix japonica). Poult Sci 67: 463-469. Gunturkun O. 2000. Sensory Physiology: Vision. In G C Whittow. Sturkie’s Avian Physiology. Ed ke-5. New York: Academic Press. Hafez ESE, Hafez B. 2000. Reproductin in Farm Animals. Edisi ke-7. BaltimorePhiladephia: Lippincott Williams and Wilkins. Hart NS, Partrigde JC, Cuthill IC. 1999. Visual pigments, cone oil droplets, ocular media and predicted spectral sensitivity in the domestic turkey (Melleagris gallapavo). Vision Research 39(20): 3321-3328. http://chickscope.beckman.uiuc.edu/ . 1998. Formation and part of the egg. (20 Pebruari 2008)
85
Ieda T, Takahashi T, Saito N, Yosuoka T, Kawashima M, Shimada K. 2000. Changes in parathyroid hormone-related peptide receptor binding in the shell gland of lying hens (Gallus domesticus) during oviposition Cycle. Gen and Comp Endocrinol. Johnson AL. 2000. Reproduction in Female. In GC Whittow. Sturkie’s Avian Physiology. Ed ke-5. New York: Academic Press. Kim SF. 2000. Coturnix quail: the nutrition and management of japanese (Coturnix) quail in the tropic. http://www.thatquailplace.com/coturnix/ (30 Juli 2009). King MW. 2008. Steroid hormone. www. miking.at.iupui.edu (20 Juni 2008). Klasing KC. 2006. Comparative Avian Nutrition. London: CAB International. Lewis P, Perry GC, Morris T, English J. 2001. Supplemetary dim light differentially influences sexual maturity, oviposistion time, and melatonin rhythms in pullets. Br Poult Sci 80: 1723-1728. Lewis P, Morris T. 2006. Poultry Lighting: The Theory and Practice. Hampshire UK: Northcot. Lewis P, Caston L, Leeson S. 2006. Green light during rearing does not significantly affect the performance of egg-type pullet in the lying phase. Br Poult Sci 78(1): 125-132. Linder CL. 1992. Biokima Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakain Secara Klinis. Alih Bahasa: Amwila AW. Jakarta: UI Press. Listiyowati E, Roospitasari K. 2007. Puyuh Tata Laksana Budi Daya Secara Komersial. Jakarta: Penebar Swadaya. Mabayo RT, Furuse M, Muari A, Okamamura. 1994. Interaction between medium chain and long chain triacylglicerols in lipids and energy metabolims in growing chicks. Lipids 29: 139-144. Martoharsono S. 2006. Biokimia. Jilid 2. Yogyakarta: UGM Press. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Maywood. 2005. Serotonin: the chemistry of well-being. http://pagead2.googlessyndication.com.pagead/ (2 April 2008). McCarthy MM. 2008. Estradiol and the developing brain. Physiol Rev 88: 91-134.
86
Meddle SL, Follet BK. 1997. Photoperiodically driven changes in fos expression within tuberal hypothalamus and median eminence of japanese quail. J Neurosci 17: 8909-8918 Mellor S. 2001. Lighting schedule for broilers. World Poult Sci 17 (1): 33-35. Menegristek. 2008. Budidaya burung puyuh (Coturnix coturnix japonica). http://www.ristek.go.id (15 Januari 2008). Morris TR. 1967. The Effect of light intensity on growing and laying pullets. World’s Poult Sci 23: 245-252. Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: UI Press. Nassauw LV, Schrenens A, Harrison F, Callebaut M. 1996. Localization of EGC and TGF-β in the quail ovary. 6th International Symposium on Avian Endokrinology. Onagbesan OM, Peddie MJ. 1988. Steroid secretion by ovarian cells of the japanese quail (Coturnix coturnix japonica). J Gen Comp Endocrinol 72(2): 272-281. Ormsbee HS, Fondacaro JD. 2004. Action of serotonin on gatrointestinal tract. Experimental Biology and Medicine 178: 248-250. Pageaux JF, Laugier C, Pacheco H. 1984. Developmnent of the oviduct in quail during sexual maturation in relation to plasma concentrations of oestradiol and progesterone. J Endocrinol 63: 167-173. Palmiter RD. 1972. Regulation of protein synthesis in chick oviduct: independent regulation of ovalbumin, conalbumin, ovomuciod and lysosyme induction. J Biol Chem 247: 6450-6461. Prayitno DS, Phillips CJ, Omed H. 2006. The effect color of lightting on behaviour and production of meat chickens. J Appl Poult Res 15: 110-116. Priel A. 2007. Broilers and layers respond differently to coloured light. World poult Sci 23(4): 17. Randall M, Bolla G. 2008. Raising Japanese Quail. Ed ke-2. New South Walles: PrimefactHome. http://www.publish.csiro.au/hid/22/pid/3451.htm/ (17 Maret 2008). Roodenboog H, Noord P, Oost G, Slagharen T. 2001. Sodium, green, blue, cool or warm white light. World Poult Sci 17(12): 128-134.
87
Saito N, Kinzler S, Koike TI. 1990. Arginine vasotocin and mesotocin levels in theca and granulosa layers of ovary during the oviposisition cycle in hen. Gen Comp Endocrinol 79: 54-63. Satterlee DG, Marin RH. 2004. Pubic spread development and first egg lay in japanese quail. Poult Sci 13: 207-212. Siopes TD, Wilson WO. 1980. Participation of the eyes in photosexual response of japanese quail (Coturnix coturnix japonica). J Biol Reproduct 23: 352-357. Siswantoro. 2007. Sistem reproduksi ayam betina. Web Laboratorium Unggas UGM. http://chickaholic.wordpress.com (5 Mei 2008). Squires EJ. 2003. Apllied Animal Endocrinology. Wallingford UK: CABI Publishing. Stear J.
2005. Circadian organization in japanese quail. Circadiana. http://circadiana.blogspot.com (5 Mei 2008).
Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya. Swenson MJ. 1984. Duke’s physiology of domestic animal. Ed ke-10. London: Comstock Publishing Assosiation. Tamzil MH. 1995. Pengaruh pembatasan pakan terhadap umur masak kelamin itik lokal (Tesis). Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Tanabee Y, Nakamura. 1980. Endocrine mechanism in chicken (Gallus domesticus), quail (Coturnix coturnix japonica) and duck (Anas plathyrhynchos domestika). Biological Rythms in Birds. Japan Scientific Societies Press. Tsutsui K, Li D, Ukena K, Kikuchi M, Ishii S. 1998. Developmental changes in galanin receptors in quail oviduct and effect of ovarian sex steroids on galanin receptor induction. J Endocrinol 139(10): 4230-4236. Underwood H, Groos G. 1982. Vertebrate circadian rhythms: retinal and extraretinal photoperception. J Cell and Molec Life Sci 38(9): 1013-1021. Vali N. 2008. The japanese quail: review. J Poult Sci 7(9): 925-931. Woodard AE, Abplanalp H, Wilson WO, Vohra P. 1973. Japanese quail husbandry in the laboratory. www.iacuc.arizona.edu/poultry/species.html. 2008. Learning module: species information chicken and turkeys (10 April 2008).
88
www.quailsforafrica.com.html. 2008. History of the japanese quail (Coturnix coturnix japonica) (10 April 2008). Yu JY, Marquardt RR. 1973. Development, cellular growth, and function of the avian oviduct. J Bio Repro 8: 283-298. Yuwanta T. 2004. Dasar Ternak Unggas. Yogyakarta: Kanisius.
89
Lampiran 1. Analisis ragam dan uji lanjut kontras ortogonal pada umur masak kelamin Anova umur masak kelamin The GLM Procedure Class Levels perlakuan 9
Class Level Information Values P01 P02 P03 P11 P12 P21 P22 P31 P32
Number of Observations Read Number of Observations Used
204 204
Anova umur masak kelamin The GLM Procedure Dependent Variable: respons Source
DF
Model Error Corrected Total
8 195 203
R-Square 0.689293
Sum of Squares 1568.344118 706.950000 2275.294118 Coeff Var 4.421961
Mean Square 196.043015 3.625385
Root MSE 1.904044
F Value
Pr > F
54.08
<.0001
respons Mean 43.05882
Source perlakuan
DF Type I SS 8 1568.344118
Mean Square 196.043015
F Value 54.08
Pr > F <.0001
Source perlakuan
DF Type III SS 8 1568.344118
Mean Square 196.043015
F Value 54.08
Pr > F <.0001
Contrast DF Contrast SS Mean Square p01 vs 1 13.1018564 13.1018564 p02,p03,p11,p12,p21,p22,p31,p32 p02 vs 1 199.5613160 199.5613160 p03,p11,p12,p21,p22,p31,p32 p03 vs p11,p12,p21,p22,p31,p32 1 0.0406757 0.0406757 p11 vs p12,p21,p22,p31,p32 1 28.3253549 28.3253549 p12 vs p21,p22,p31,p32 1 114.9314430 114.9314430 p21 vs p22,p31,p32 1 516.6406368 516.6406368 p22 vs p31 & p32 1 521.3355171 521.3355171 p31 vs p32 1 118.9872004 118.9872004
F Value Pr > F 3.61 0.0588 55.05
<.0001
0.01 7.81 31.70 142.51 143.80 32.82
0.9158 0.0057 <.0001 <.0001 <.0001 <.0001
90
The GLM Procedure Level of perlakuan
N
P01 P02 P03 P11 P12 P21 P22 P31 P32
4 27 27 24 20 27 24 24 27
respons Mean Std Dev 41.2500000 0.50000000 40.5185185 1.39698495 43.4074074 2.09870398 42.4583333 1.38247310 41.5500000 1.53811231 48.0000000 3.13785816 46.6666667 1.71100445 42.5416667 1.86452387 39.4814815 1.36917635
Uji Duncan Duncan's Multiple Range Test for respons Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Harmonic Mean of Cell Sizes Number of Means Critical Range
0.05 48 6.269508 5.141585
2
3
4
5
6
7
8
9
3.140
3.302
3.409
3.486
3.546
3.593
3.631
3.663
Means with the same letter are not significantly different Duncan Grouping A
Mean 46.818
N 11
Perlakuan P21
A B B B B B B B
46.000 42.500 42.000 41.500 41.500 41.000 39.800 39.000
6 8 5 2 8 7 5 5
P22 P31 P11 P01 P03 P12 P02 P32
.
91
Lampiran 2. Analisis ragam pada kadar estrogen Anova kadar estrogen puyuh umur 5 minggu The GLM Procedure Class Level Information Class Levels Values perlakuan 9 P01 P02 P03 P11 P12 P21 P22 P31 P32 Number of Observations Read Number of Observations Used
27 27
Anova kadar hormon estrogen puyuh umur 5 minggu The GLM Procedure Dependent Variable: respons Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model Error Corrected Total
8
9.35383467 10.43441064 19.78824532
1.16922933 0.57968948
2.02
0.1032
18 26
R-Square
Coeff Var
Root MSE
respons Mean
0.472697
22.53684
0.761373
3.378350
Source perlakuan
DF Type I SS 8 9.35383467
Mean Square
F Value
Pr > F
1.16922933
2.02
0.1032
Source perlakuan
DF 8
Type III SS
Mean Square
F Value
Pr > F
9.35383467
1.16922933
2.02
0.1032
The GLM Procedure Level of perlakuan
N
P01 P02 P03 P11 P12 P21 P22 P31 P32
3 3 3 3 3
respons Mean
3 3 3 3
2.38619447 3.17349845 4.19843023 4.15389625 3.22159083 2.61705178 3.35091811 3.47406527 3.82950656
Std Dev 0.07819166 0.56952733 0.78248033 1.11387565 0.73520666 0.27397074 0.73213506 0.79360302 1.11907072
92
Lampiran 3. Analisis korelasi pada kadar estrogen dan panjang saluran telur pada puyuh umur 7 minggu
Analisis korelasi Simple Statistics Variable Panjang oviduct Estrogen
N 27 27
Mean 20.61852 40.46207
Std Dev Sum Minimum Maximum 10.29473 556.70 2.00 32.500 28.74410 1092 5.65300 136.11400
Pearson Correlation Coefficients, N = 27 Prob > |r| under H0: Rho=0
Panjang oviduct Estrogen
Panjang oviduct 1.00000 0.44738 0.0193
Estrogen 0.44738 0.0193 1.00000