Seminar Nasional Biologi II tahun 2015
Penentuan Umur Saat Penurunan Kondisi Fisiologis Hati Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) Tyas Rini Saraswati1, Wasmen Manalu2, Damiana Rita Ekastuti2, Nastiti Kusumorini2 1
Jurusn Biologi Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro 2 Mayor Ilmu-ilmu Faal dan khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana , IPB. Alamat e-mail:
[email protected]
ABSTRACT This research was designed to study when the physiological condition of quail’s liver declines, using the parameters of body weight, percentage of liver weight/body weight, hepatocytes diameter, vitellogenin levels, SGPT, SGOT serum, ovarian weight, and weight of the reproductive tract. This research used experimental methods of completely randomized design (CRD) experiment. The experiment used 28 female quails, which were divided into 7 groups of experiment, namely: quail with age of 3 weeks, 6 weeks, 3-4 months, 5-6 months, 7-8 months, 9 - 10 months, 11-12 months, each group consist of four replications. The data obtained were analyzed using analysis of variance (ANOVA), followed by Duncan test with a 95% confidence interval (α = 0.05). Overall analysis used SAS 9.1 software for windows. Based on the results, the study concluded that the decline in quail’s liver function occurs after the age of 7-8 months as evidenced by a decrease in body weight, percentage of liver weight / body weight, hepatocytes diameter, ovarium and reproductive tracts weight, as well as an increase in the levels of SGPT and SGOT serum. Keywords: Japanese quail (Coturnix coturnix japonica), vitelogenin, SGOT, SGPT
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kapan terjadi penurunan kondisi fisiologis hati puyuh, dengan menggunakan parameter bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, diameter hepatosit, kadar vitelogenin, SGPT, SGOT serum, bobot ovarium, dan bobot saluran reproduksi. Penelitian menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL). Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini ialah 28 ekor puyuh jepang betina, yang dibagi ke dalam 7 kelompok percobaan, yaitu: puyuh jepang umur 3 minggu, 6 minggu, 3-4 bulan, 5-6 bulan, 7-8 bulan, 9-10 bulan, dan 11-12 bulan, masing-masing kelompok terdiri atas 4 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05). Analisis keseluruhan dengan menggunakan perangkat lunak software SAS 9.1 for windows. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa penurunan fungsi hati puyuh jepang terjadi setelah umur 7-8 bulan yang dibuktikan dengan penurunan bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, diameter hepatosit, bobot ovarium dan saluran reproduksi, serta terjadi peningkatan kadar SGPT dan SGOT serum. Kata kunci : Puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica), vitelogenin, SGOT, SGPT
1. PENDAHULUAN Puyuh jepang termasuk ternak dengan produktivitas relatif tinggi, mulai bertelur sekitar umur 42 hari (Nixon 2008). Produksi telur saat awal sedikit, dan akan meningkat sesuai bertambahnya umur (Tetty 2002). Bertambahnya umur puyuh setelah puncak produksi menyebabkan terjadinya penurunan kondisi fisiologis. Hal ini dikarenakan terjadi penurunan fungsi organ tubuh akibat dari kerja organ yang terjadi secara terus menerus. Penurunan produksi telur sehubungan dengan penambahan umur erat hubungannya dengan fungsi fisiologis organ hati dan organ reproduksi. Produksi telur secara terus menerus akan meningkatkan kerja hati dalam biosintesis vitelogenin, sehingga menyebabkan penurunan fungsi hati dan dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan antioksidan dalam tubuh, dan dapat menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan oksidatif digunakan sebagai bioindikator penuaan (Ottinger and Lavoie 2007). Adanya Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan 42
Seminar Nasional Biologi II tahun 2015 radikal bebas dalam sel hati ditandai dengan kerusakan seluler antara lain kerusakan enzim, reseptor protein, hilangnya integritas membran lipid dan kerusakan DNA. Kerusakan sel akan menginduksi terjadinya reaksi inflamasi (Watson 2002). Peningkatan aktivitas sel seiring dengan bertambahnya umur ditandai dengan penurunan progresif fungsi selular. Penuaan pada hati berhubungan dengan perubahan morfologi seperti penurunan ukuran diameter sel (Anantharaju et al. 2002). Kerusakan sel hati menyebabkan fungsi hati secara berangsur-angsur menurun dan akan menurunkan produktivitas. Penurunan fungsi hati pada puyuh jepang dapat menurunkan produksi vitelogenin. Bioindikator untuk mengetahui penurunan fungsi hati dapat diketahui dengan peningkatan kadar SGPT dan SGOT dalam darah (Gorman et al. 2008; Bigoniya et al. 2009; Banerjee 2010). Hati dapat dikatakan rusak bila jumlah enzim tersebut dalam plasma lebih besar dari kadar normal (Aggarwal et al. 2006). SGOT dan SGPT dalam darah meningkat seiring bertambahnya umur (Biswas et al. 2010). Bertambahnya umur diikuti dengan perubahan degeneratif organ tubuh, yang disebabkan karena penurunan produksi hormon estrogen. Jumlah reseptor estrogen pada jaringan menurun seiring dengan bertambahnya umur (Beck and Hansen 2004). Pada unggas, kadar estrogen menurun setelah umur 18 minggu ( Biswas et al. 2010). Berkaitan dengan penurunan produksi telur, bertambahnya umur menyebabkan terjadi penurunan kondisi fisiologis organ reproduksi yaitu ovarium dan saluran reproduksi, sehingga menyebabkan produktivitas menurun. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kapan terjadi penurunan kondisi fisiologis puyuh jepang dengan menggunakan parameter bobot badan, bobot hati, prosentase bobot hati/bobot badan, kadar vitelogenin, kadar SGPT dan SGOT serum, diameter hepatosit, dan bobot saluran reproduksi dan ovarium.
2. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Juni 2011 sampai Agustus 2011. Pemeliharaan hewan uji di laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Informatika Universitas Diponegoro, pembuatan preparat histologi hati di laboratorium Balai Besar Veteriner, Wates, Yogyakarta, analisis kadar vitelogenin di laboratorium Biokimia, PAU, Institut Pertanian Bogor, analisis kadar SGPT, dan SGOT serum di Wahana Laboratorium, Semarang. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) betina, pakan puyuh dari PT. Charoen Phokphand Indonesia, kit untuk analisis vitelogenin, SGPT dan SGOT serum, larutan BNF 10% (Bufer Netral Formalin), dan bahan kimia untuk pembuatan preparat histologi hati. Alat yang digunakan adalah timbangan, dissecting set, sentrifuge, spektrofotometer, mikrotom set, oven, dan spektrofotometer serapan atom (AAS). Metode Penelitian Puyuh dikorbankan dengan memotong vena jugularis. Darah ditampung dalam tabung rekasi, dibiarkan dalam keadaan terbuka selama 2 jam. Darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit. Serum didapat untuk analisis kadar vitelogenin, SGPT dan SGOT. Organ hati, ovarium dan saluran reproduksi dipisahkan, ditimbang bobotnya, dan diukur panjang saluran reproduksi, kemudian dimasukkan ke dalam larutan BNF 10%, untuk dibuat preparat histologi. Parameter yang Diamati Parameter yang diamati adalah bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, kadar vitelogenin menggunakan metode stacking gel (Laemmli 1970), kadar SGPT dan SGOT serum menggunakan metode Reitman and Frankel (Bigoniya et al. 2009), diameter hepatosit dengan software Olympus DP2-BSW olympus Corporation 1986-2008, bobot saluran reproduksi dan ovarium. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (7x4). Dua puluh delapan ekor puyuh jepang betina dibagi ke dalam tujuh kelompok percobaan, yaitu: puyuh umur 3 minggu, 6 minggu, 3-4 bulan, 5-6 bulan, 7-8 bulan, 9-10 bulan, dan 11-12 bulan, masing-masing diulang empat kali. Satu satuan percobaan terdiri atas satu ekor puyuh. Data dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) dan dilanjutkan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05), Analisis keseluruhan dengan menggunakan perangkat lunak software SAS 9.1 for windows (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan 43
Seminar Nasional Biologi II tahun 2015
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, bobot hati, diameter hepatosit pada berbagai tingkatan umur puyuh disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur puyuh berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, dan diameter hepatosit. Umur berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot badan. Bobot badan pada berbagai periode waktu mulai dari umur 3 minggu sampai umur 12 bulan menunjukkan perbedaan. Pada umur 3 minggu rataan bobot badan relatif paling rendah yaitu 110 g. Umur 6 minggu bobot badan sudah menunjukkan peningkatan. Pada umur tersebut puyuh sudah mencapai dewasa kelamin terutama alat reproduksi betina sudah tumbuh dan berkembang yang memberi kontribusi pada peningkatan bobot badan. Umur 3-4 bulan bobot badan terus meningkat hingga mencapai 153.33 g. Bobot badan tertinggi terjadi pada umur 5-6 bulan. Pada umur tersebut puyuh mencapai puncak produksi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kaharuddin dkk (2008), bahwa puncak produksi puyuh terjadi pada umur 5 bulan. Umur 7-8 bulan sudah mulai terjadi penurunan bobot badan. Pertambahan bobot badan mempunyai tahap yang cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat-saat sampai dewasa kelamin dan tahap lambat terjadi pada saat-saat kedewasaan tubuh telah tercapai. Tabel 1 Rataan bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, bobot hati, diameter hepatosit puyuh jepang pada berbagai umur Parameter
Bobot badan
Bobot hati
Bobot hati/
Diameter
Umur
(g)
(g)
bobot badan (%)
hepatosit (µm
3 minggu
110 ±0.01
6 minggu
140 ±0.00
3-4 bulan
153.33 ±16.32
5-6 bulan
155 ±5.47
7-8 bulan
150 ±10.95
9-10 bulan
145 ±12.25
11-12 bulan
148.33 ±9.83
c
2.83 ±0.47
b
3.5b ±0.26
ab
c
2.57 ±0.02
d
16.06 ±1.39
c
2.63 ±0.01
4.7 ±0.94
a
3.05 ±0.04
d
17.16 ±2.41
a
20.31 ±2.85
ab
2.73 ±0.13
c
19.87 ±1.84
ab
b
23.76 ±1.67
e
15.84 ±2.21
f
12.54 ±2.29
a
4.2 ±0.91
ab
4.4 ±0.69
2.96 ±0.04
ab
3.58 ±0.43
bc
2.48 ±0.03
bc
2.38 ±0.03
ab
3.53 ±0.7
c
c
b
b
a
c
d
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (tα< 0.05). Umur berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap prosentase bobot hati/bobot badan. Bertambahnya umur puyuh dari umur 3 minggu sampai 4 bulan diikuti dengan peningkatan prosentase bobot hati/bobot badan. Prosentase bobot hati/bobot badan terbesar adalah puyuh umur 3-4 bulan. Umur berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot hati. Bobot hati puyuh berkaitan dengan fungsi hati. Puyuh jepang betina mengalami dewasa kelamin mulai umur 42 hari (Nixon 2008). Pada umur tersebut, puyuh jepang sudah mulai bertelur. Awal siklus reproduksi ditandai dengan sintesis vitelogenin (prekursor kuning telur) oleh sel hati yang dipacu oleh hormon estrogen. Bobot hati terendah pada puyuh umur 3 minggu dimana pada umur tersebut puyuh belum mencapai dewasa kelamin sehingga produksi hormon estrogen masih rendah. Peningkatan bobot hati umur 6 minggu sampai umur 8 bulan diduga karena peningkatan aktivitas sintesis vitelogenin. Setelah umur 8 bulan, aktivitas hati dalam mensintesis vitelogenin mulai menurun dan diikuti dengan penurunan bobot hati. Sejalan dengan perubahan bobot hati, maka diameter hepatosit juga ikut berubah. Peningkatan diameter hepatosit terjadi hingga umur 8 bulan. Pada umur ini peningkatan diameter hepatosit diduga disebabkan adanya akumulasi prekursor kuning telur dalam sitoplasma yang ditunjukkan dengan banyaknya vakuola dalam sitoplasma hepatosit (Gambar 7b-E).
Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan 44
Seminar Nasional Biologi II tahun 2015
A
B
C
D
E
F
G
Gambar 7a. Hati puyuh jepang. H: hati
Gambar 7b. Hepatosit puyuh jepang. Umur 3 minggu (A), Umur 6 minggu (B), Umur 3-4 bulan (C), Umur 5-6 bulan (D), Umur 7-8 bulan (E), Umur 9-10 bulan (F), Umur 11-12 bulan (G), h : Hepatosit, V : Vakuola, n : Nucleus, S : Sinusoid (H&E).
Bertambahnya umur setelah 8 bulan akan diikuti dengan kemunduran fungsi organ yang bersifat irreversibel, karena terjadi akumulasi berbagai perubahan fisiologis di dalam sel, sehingga terjadi penurunan fungsi seluler secara progresif (Anantharaju et al. 2002), akibatnya bobot hati akan menurun. Diameter hepatosit burung puyuh umur 9-10 bulan adalah 15.84 µm, umur 11-12 bulan adalah 12.54 µm, lebih kecil dari diameter hepatosit puyuh umur 3 minggu yaitu 16.06 µm. Hal ini menunjukkan sudah terjadi atrofi pada hepatosit. Sel yang mengalami atrofi ditandai dengan ukuran sel yang mengecil, bentuk tidak teratur, inti piknotik, mitokondia dan organela lainnya mengalami kerusakan, sehingga sel mengalami nekrosis atau mati (Gambar 7a-G). Seiring dengan terjadinya nekrosis pada hepatosit puyuh umur 11-12 bulan, hati terlihat berwarna hitam Bertambahnya umur menyebabkan berkurangnya reseptor estrogen, penurunan masa hati, perubahan dalam sirkulasi darah, metabolisme terganggu, dan terjadi peningkatan kerusakan DNA. Kerusakan tidak hanya terjadi pada sel, tetapi juga pada mitokondria sehingga terjadi penurunan pembentukan ATP yang berakibat terjadi nekrosis sel (Helbock et al. 1998). Rataan kadar vitelogenin, SGPT dan SGOT serum, bobot saluran reproduksi, dan bobot ovarium pada berbagai umur puyuh jepang disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur puyuh berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar vitelogenin, SGPT dan SGOT serum, bobot saluran reproduksi, dan bobot ovarium.
Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan 45
Seminar Nasional Biologi II tahun 2015 Tabel 2 Rataan kadar vitelogenin, SGPT, SGOT, bobot saluran reproduksi dan ovarium berbagai umur
Parameter
Vitelogenin
Umur 3 minggu
(mg/ml) d 2.17 ±1.49
6 minggu
cd
4.57 ±1.13 bc
3-4 minggu
7.18 ±2.61 b
5-6 minggu
8.68 ±2.48 b
7-8 minggu
9.31 ±1.4
9-10 minggu
12.6 ±1.68
a
11-12 minggu
bc
6.29 ±1.68
puyuh jepang pada
SGPT
SGOT
Bobot saluran
Bobot Ovarium
(U/L)
(U/L)
Reproduksi (g)
(g)
c
31.5 ±1.00
30.84 ±2.38
b
0.35 ±0.33
c
0.1 ±0.09
b
5.7 ±0.12
ab
5.4 ±1.15
34.25 ±1.19
c
29.12 ±0.64
37.15 ±1.19
b
31.52 ±1.75
ab
6.35 ±0.99
34.31 ±3.19
c
30.76 ±1.87
b
6.08 ±0.94
b
38.04 ±1.45
a
33.10 ±1.09
6.82 ±1.99
40.98 ±1.83
a
33.68 ±1.21
a
4.77 ±1.06
a
b
d a
ab
4.92 ±1.85
ab
ab
4.2
abc
±1.41
a
4.35
b
2.78 ±1.06
b
abc
±1.61
c
bc
42.88 ±1.88 31.17 ±0.8 4.82 ±1.68 3.2 ±1.99 Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (tα< 0.05) Peningkatan SGPT dan SGOT sejalan dengan peningkatan umur. Peningkatan kadar SGPT dan SGOT serum sebagai akibat dari kerusakan atau kebocoran membran sel. Kadar SGPT normal pada darah itik adalah 136 U/L (Hernawan dan Mushawwir 2009), sedangkan puyuh umur 11-12 bulan kadar SGPT dalam darah mencapai 42.88 U/L. Hasil penelitian terhadap kadar SGOT serum menunjukkan terjadi peningkatan kadar SGOT setelah umur 6 bulan, namun peningkatan kadar SGOT masih pada kisaran normal. Kadar normal SGOT dalam darah adalah 8-40 U/L (Hernawan dan Mushawwir 2009). Kadar SGOT tertinggi pada puyuh umur 9-10 bulan sebesar 33.68 U/L. Bertambahnya umur sampai umur 8 bulan terjadi peningkatan bobot ovarium dan bobot saluran reproduksi. Puyuh jepang umur 6 minggu sudah masak kelamin. Ovarium memberikan respon terhadap peningkatan konsentrasi gonadotropin, sehingga terjadi peningkatan produksi estrogen. Estrogen beredar melalui aliran darah menuju hati dan memasuki jaringan dengan cara difusi dan secara spesifik merangsang sintesis prekursor kuning telur (vitelogenin) (Levi et al. 2009). Vitelogenin diangkut dalam darah menuju lapisan permukaan oosit yang sedang tumbuh, kemudian secara selektif vitelogenin akan ditangkap oleh reseptor dan secara endositosis akan diserap masuk ke dalam oosit dan disimpan sebagai kuning telur (Hiramatsu et al. 2004). Pembesaran oosit disebabkan terutama oleh penimbunan kuning telur. Seiring bertambahnya umur terjadi peningkatan kadar vitelogenin pada serum. Kadar vitelogenin serum tertinggi adalah 12.6 mg/ml pada puyuh umur 9-10 bulan (meskipun parameter yang lain pada umur tersebut sudah menunjukkan terjadi penurunan fungsi fisiologis, yaitu terjadi penurunan bobot badan, bobot hati, diameter hati, bobot saluran reproduksi, bobot ovarium, dan peningkatan kadar SGPT), namun kadar vitelogenin masih tinggi. Tingginya kadar vitelogenin di dalam darah diduga karena vitelogenin yang disekresikan ke dalam darah, belum sempat terdistribusi ke hirarki folikel dengan lancar. Hal ini didukung dengan menurunnya hirarki folikel pada umur 9-10 bulan. Peningkatan bobot ovarium berhubungan dengan perkembangan hirarki folikel pada ovarium. Semakin banyak folikel, maka bobot ovarium semakin besar. Puyuh jepang umur 3 minggu belum terbentuk hirarki folikel. Umur 6 minggu sampai 8 bulan merupakan umur produktif, sehingga perkembangan hirarki folikel cukup tinggi, antara 3-5 folikel. Setelah umur 8 bulan bobot ovarium sudah menurun, hal ini didukung dengan perkembangan folikel yang sudah menurun. Penuaan menyebabkan berkurangnya reseptor estrogen (Chakraborty and Gore 2004; Lebedeva et al. 2010). Selain itu juga terjadi penurunan sekresi estrogen oleh sel teka dan sel granulosa, selanjutnya terjadi penurunan stimulasi produksi prekursor kuning telur oleh hati, akibatnya berkurangnya pengiriman prekursor kuning telur untuk pertumbuhan folikel, sehingga jumlah hirarki folikel akan semakin berkurang. Penambahan umur erat hubungannya dengan fungsi fisiologis saluran reproduksi. Hasil penelitian terhadap bobot saluran reproduksi menunjukkan bahwa dengan bertambahnya umur sampai umur 8 bulan terjadi peningkatan bobot saluran reproduksi. Setelah masak kelamin, sekresi estrogen oleh sel teka dan sel granulose meningkat (Biswas et al. 2010), selanjutnya estrogen akan merangsang perkembangan saluran reproduksi. Semakin banyak folikel yang diovulasikan, saluran reproduksi akan aktif menghasilkan sekret ke lumen untuk menyusun putih telur, membran kerabang dan kerabang telur, sehingga bobot saluran reproduksi meningkat. Setelah umur 8 bulan penurunan aktivitas saluran reproduksi diikuti dengan penurunan secara progresif bobot saluran reproduksi.
Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan 46
Seminar Nasional Biologi II tahun 2015
4. SIMPULAN Penurunan fungsi fisiologis puyuh jepang terjadi setelah umur 7-8 bulan yang ditunjukkan dengan penurunan bobot badan, bobot hati, diameter hepatosit, bobot saluran reproduksi, dan bobot ovarium, serta peningkatan SGPT serum.
REFERENCES [1] Aggarwal BB, Sundaram C, Malani N, Ichikawa H. 2006. Curcumin: The Indian Solid Gold. SVNY-Aggarwal. 16:34. [2] Anantharaju A, Feller A, Chedid A. 2002. Aging liver. A Review. Gerentology. International Journal of Experimental, Clinical Behavioural, Regenerative and Technological Gerontology 48(6):343-353. [3] Banerjee S. 2010. Climate of Estern India and Naturally Infected with Aflatoxins. World Applied Sciences Journal 9 (12): 1383-1386. [4] Beck MM and Hansen KK. 2004. Role of Estrogen in Avian Osteoporosis. Poult Sci 83(2): 200-6. [5] Bigoniya P, Singh CS, Shukla A. 2009. A Comprehensive Review of Different Liver Toxicants Used in Experimental Pharmacology. International Journal of Pharmaceutical Sciences and Drug Research I(3): 124-135. [6] Biswas A, Mohan J,Venkata K, Sastry H. 2010. Age-Dependent Variation in Hormonal Concentration and Biochemical Constituents in Blood Plasma of Indian Native Fowl. Vet Med Int: 737292. [7] Chakraborty TR and Gore AC. 2004. Aging-Related Changes in Ovarian Hormones, Their Receptors, and Neuroendocrine Function. Exp boil Med Vol 229 (10): 977-987. [8] Gorman KB, Esler D, Walzem RL, Williams TD. 2008. Plasma Yolk Precursor Dynamics during Egg Production by Female Greater Scaup (Aythya marila): Characterization and Indices of Reproductive State. Electronically Published 12/31/2008. [9] Helbock HJ, Beckman KB, Shigenaga MK, Walter PB, Woodall AA, Yeo HC, Ames BN. 1998. DNA oxidation matters: the HPLC-electrochemical detection assay of 8-oxo-deoxyguanosine and 8-oxo-guanine. Proc Natl Acad Sci USA. 95:288-293. [10] Hernawan E and Mushawwir A 2009. The Profile of Blood Transaminase Enzyme On Duck (Anas Sp.) Polluted by Lead st (Pb) Textile Waste. The 1 International Seminar on Animal Industry. Bogor. [11] Hiramatsu N, Chapman RW, Lindzey JK, Haynes, MR, and Sullivanm CV. 2004. Molecular Characterization and Expression of Vitellogenin Receptor from White Perch (Morone americana). Biology of Reproduction 70:1720-1730. [12] Kaharuddin D, Kusiyah, dan Deva. 2008. Performance Pertumbuhan Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Putih dan Coklat. Jurnal Sain Peternakan Indonesia 3 (1):1-4. [13] Lebedeva IY, Lebedev VA, Grossmann R, and Parvizi N. 2010. Age-dependent role of Steroid in the Regulation of Growth of Hen Follicular Wall. Reproductive Biology and Endocrinology 8:15.doi:10.11867/1477-7827-8-15. [14] Laemmli U K. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature 227:680685. [15] Levi L, Pekarski I, Gutman E, Fortina P, Hyslop T, Biran J, Levavi B, Lubzens E. 2009. Licensee BioMed Central Ltd.http://www.biomedcentral.com/ 1471-2164/10/141. [16] Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan MINITAB. Ed ke-3. Bogor: IPB Press. [17] Nixon TM. 2008. Sukses Beternak Puyuh. Penerbit Agromedia Nusantara. [18] Ottinger MA and Lavoie A. 2007. Neuroendocrine and Immune Characteristics of Aging in Avian Species. Cytogenet Genome Res. 117(1-4):352-7. [19] Tetty 2002. Puyuh Si Mungil Penuh Potensi. Agro Media Pustaka. Jakarata. [20] Watson RR. 2002. Eggs and Health Promotion. Iowa State Press.
Pemanfaatan Sumberdaya Hayati dan Peningkatan Kualitas Lingkungan 47