Estimasi Nilai Ripitabilitas Sifat Kanibalisme pada Puyuh (Coturnix coturnix japonica) V.M. Ani Nurgiartiningsih, Gatot Ciptadi, DESS. dan Muharlin Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Malang, Jl. Veteran 65145 Malang Korespondensi: Dr. Ir. V.M. Ani Nurgiartiningsih, MSc. Telp. 0341462873, email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi nilai Ripitabilitas sifat kanibalisme pada puyuh. Materi yang digunakan adalah 50 ekor puyuh jantan dan 200 ekor puyuh betina sebagai populasi dasar. Identifikasi frekuensi pematukan dilakukan untuk mengelompokkan pematuk bulu tinggi (HFP) dan rendah (LFP). Empat model perkawinan single pair mating dibentuk serta pengamatan performan produksi tiap pasangan perkawinan dilakukan. Data dianalisis dengan software GenStat. Rataan frekuensi pematukan pada puyuh jantan dan betina masing-masing sebesar 10,99 dan 7,98 patukan. Frekuensi pematukan antar individu menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada puyuh jantan dan perbedaan nyata pada puyuh betina. Nilai ripitabilitas frekuensi pematukan pada puyuh jantan sebesar 0,38 -0,79; pada puyuh betina 0,06 - 0,21. Rataan produksi telur bulanan pada periode I berkisar 23,8 – 29,4 butir dan pada periode pengukuran II 24,8 – 28,4 butir. Berdasarkan hasil analisis disimpulkan bahwa model perkawinan tidak memberikan pengaruh pada produksi telur, namun terdapat perbedaan nilai rataan produksi telur masingmasing model perkawinan. Pada ke dua periode tampak adanya kecenderungan betina LFP mempunyai produksi telur bulanan lebih tinggi dibandingkan betina HFP, baik berpasangan dengan jantan HFP maupun LFP. Rataan produksi telur antar pasangan perkawinan (15,00 - 29,50 butir) berbeda sangat nyata (P < 0,01). Kata kunci: ripitabilitas, Kanibalisme Estimation of Repeatability Value on Cannibalism in Coturnix coturnix japonica V.M. Ani Nurgiartiningsih, Gatot Ciptadi, DESS. and Muharlin Animal Husbandry Faculty, Brawijaya Universitas Malang, Jl. Veteran 65145 Malang Correspondence: Dr. Ir. V.M. Ani Nurgiartiningsih, MSc. Telp. 0341462873, email:
[email protected]
ABSTRACT Research was conducted to estimate Repeatability cannibalism value. Material used were 50 male and 200 female quai. High feather pecking (HFP) and low feather pecking (LFP) were identified. Four models of single pair mating were performed and observation on productivity was done. Data was analysed using GenStat. Mean of pecking frequency in was 10,99 and 7,98 for male and female quail, respectively. Pecking frequency between individual quail showed high significantly difference (P < 0,01) in male quail and significantly difference (P < 0,05) in female quail. Repeatability value for pecking frequency ranged between 0,38 - 0,79 in male and 0,06 hingga 0,21 in female. Mean of monthly egg production (30 hari) during 2 periods were 23,8 – 29,4 eggs in first period and 24,8 – 28,4 eggs in second period. Although mating model didn’t affect egg production in first and also in second period, mean of monthly egg production showed different values. In both period, monthly egg production in LFP female tended to be higher than those in HFP female. Monthly egg production between mating paired (15,00 - 29,50 eggs) was significantly different (P < 0,01). Fenotypic correlation between monthly egg production of first period and second period was high (0,63). Key words: repeatability, canibalism
_________________________________________________________________________________ Jurnal Ilmu Ilmu Hayati (Life Science), 2008, Vol. 20, No. 1. ISSN: 1410-413X
1
PENDAHULUAN Sifat genetik khas dari burung puyuh berupa tingginya tingkah laku mematuk menjadi salah satu kendala utama bagi peningkatan produktivitas puyuh. Kanibalisme ditengarai dengan tingkah laku mematuk serius pada puyuh merupakan penyebab utama tingginya mortalitas yang berakibat pada turunnya produksi telur. Keadaan ini tidak hanya menggambarkan problem kenyamanan ternak tapi juga meningkatkan kebutuhan energi sehingga mempengaruhi produktivitas (Faure et al., 2003). Informasi ilmiah tentang seleksi berdasarkan tingkah laku kanibalisme pada ayam telah dilakukan dan hasilnya dilaporkan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan produksi dan penurunan mortalitas. Pada ayam telah dilaporkan bahwa seleksi melawan kanibalisme dapat menurunkan angka mortalitas dari 68% menjadi 9% (Muir, 1996). Cukup tingginya angka pewarisan sifat mematuk pada ayam menggambarkan bahwa perbedaan antar individu dalam sifat mematuk sebagian disebabkan oleh faktor genetik yang bersifat menurun. Program perkawinan antar dan dalam kelompok HFP dengan LFP dilakukan untuk mempelajari pola pewarisan sifat kanibalisme dari tetua sampai keturunan ke dua (F2). Pembuktian secara molekuler dilakukan untuk memastikan ada tidaknya perbedaan profil DNA dari dua kelompok HFP dan LFP. Analisis polimerisme DNA pada gen penyandi hormon corticosteron dari kelompok puyuh HFP dan LFP dan bagaimana hubungannya dengan sifat kanibalisme perlu dilakukan sebagai dasar pemahaman terhadap pola pewarisan sifat kanibalisme yang sangat berpengaruh pada produktivitas puyuh. Pola pewarisan sifat kanibalisme pada puyuh secara kuantitatif telah diestimasi bahwa sifat mematuk mempunyai angka pewarisan cukup tinggi. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa terdapat keragaman genetik yang cukup tinggi untuk mengembangkan program seleksi yang bertujuan untuk menghapus sifat pematukan bulu yang dapat mengarah ke kanibalisme (Faure et al., 2003). Pembentukan kelompok puyuh dengan sifat mematuk tinggi (High Feather Pecking = HFP) dan sifat mematuk rendah (Low Feather Pecking = LFP) dilakukan untuk mengidentifikasi faktor genetik dan pola pewarisan sifat kanibalisme pada puyuh. Dalam jangka panjang produktivitas, level stres dan profil DNA masing-masing kelompok akan dievaluasi serta pola pewarisan sifat kanibalisme dianalisis. Secara kuantitatif akan dianalisis parameter genetik (heritabilitas dan korelasi genetik) sifat produksi dan sifat kanibalisme pada puyuh. Hasil penelitian (Korte et al., 2000) menyimpulkan ada pengaruh yang signifikan dari mekanisme endokrin seperti level plasma corticosteron pada peningkatan tingkah laku mematuk dan adaptasi terhadap stress pada ayam. Sampai saat ini informasi tentang faktor genetik dan pola pewarisan sifat mematuk dan kanibalisme pada puyuh dirasa masih kurang. Perhatian terhadap tingkah laku ini sangat penting dan relevan dengan faktor kenyamanan yang berpengaruh pada produktivitas. Penelitian tahap pertama ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi puyuh ke dalam kelompok pematuk tinggi (High Feather Pecking = HFP) dan (Low Feather Pecking = LFP). Selanjutnya dilakukan estimasi nilai parameter genetik (Ripitabilitas) sifat-sifat produksi dan kanibalisme pada puyuh serta mengidentifikasi pola tingkah laku mematuk pada puyuh, hubungannya dengan produktivitas.
METODE PENELITIAN Identifikasi puyuh pematuk bulu tinggi (HFP) dan rendah (LFP) melalui recording frekuensi mematuk
_________________________________________________________________________________ Jurnal Ilmu Ilmu Hayati (Life Science), 2008, Vol. 20, No. 1. ISSN: 1410-413X
2
a. Materi Penelitian: Populasi dasar puyuh terdiri dari 50 ekor puyuh jantan dan 200 ekor puyuh betina. Dari populasi dasar diambil secara acak 10 kelompok puyuh jantan yang masingmasing terdiri dari 4 ekor per kelompok dan 10 kelompok puyuh betina yang masingmasing terdiri dari 7 ekor per kelompok. b. Metode Penelitian: b.1. Pengelompokan puyuh secara acak dengan kepadatan kandang 45 cm2 tiap ekor (Camci dan Erensayin, 2004) b.2. Pengamatan dan recording frekuensi munculnya tingkah laku mematuk bulu dengan metode pengamatan langsung pada masing-masing kandang kelompok. Metode pengamatan yang akan diterapkan adalah modifikasi dari metode yang dipakai oleh Craig dan Muir (1993) yang mengamati frekuensi pematukan secara langsung selama 3 jam terus menerus. Pada penelitian ini, pengamatan dilakukan 1 jam terus menerus sebanyak 4 periode yaitu dua kali pada pagi hari dan dua kali pada siang hari). Level pematukan diukur dengan frekuensi pematukan tiap individu (Kjaer, 1997). b.3. Identifikasi kelompok HFP dan LFP Individu yang mempunyai frekuensi mematuk tertinggi dan terendah dipilih masingmasing satu ekor dari masing-masing kelompok/kandang
Program Perkawinan dan Rekording Performan Produksi tiap pasangan perkawinan a. Materi penelitian: Puyuh kelompok HFP (20 ekor: 10 jantan dan 10 betina) dan LFP (20 ekor: 10 jantan dan 10 betina), sampel darah puyuh b. Metode Penelitian b.1. Program perkawinan dengan sistem single pair mating (1 jantan : 1 betina) dengan disain sbb.: - ♂ HFP X ♀ HFP (5 pasang) - ♂ HFP X ♀ LFP (5 pasang) - ♂ LFP X ♀ HFP (5 pasang) - ♂ LFP X ♀ LFP (5 pasang) b.2. Rekording performan produksi telur Percobaan 3. Pembentukan kelompok keturunan pertama (F1) a. Materi penelitian: 20 ekor pasangan perkawinan dari percobaan 2 b. Metode Penelitian: b.1. Koleksi telur tetas masing-masing pasangan perkawinan selama 7 hari dilakukan sebanyak 2 periode pengumpulan b.2. Program penetasan 3.a. Metode analisis frekuensi pematukan Data hasil pengamatan terhadap frekuensi pematukan dan performan produksi dianalisis dengan Analisis Ragam menggunakan software GenStat Discovery Edition 2 (VSN International Ltd). 3.b. Estimasi nilai Ripitabilitas Nilai Heritabilitas didekati dengan menggunakan nilai Ripitabilitas untuk performan produksi puyuh. Ripitabilitas diestimasi dengan proporsi komponen ragam total yang disebabkan oleh komponen ragam genetik aditip dan ragam lingkungan yang bersifat permanen (Cameron, 1997), dirumuskan sbb.:
_________________________________________________________________________________ Jurnal Ilmu Ilmu Hayati (Life Science), 2008, Vol. 20, No. 1. ISSN: 1410-413X
3
R
a2 ep2 a2 ep2 et2
dimana R adalah nilai Ritabilitas atau angka pewarisan, a2 adalah ragam genetik aditip, ep2 adalah ragam lingkungan permanen dan et2 adalah ragam lingkungan temporer. Nilai Ripitabilitas dihitung dengan metode korelasi antara dua periode pengukuran menggunakan software GenStat Discovery Edition 2 (VSN International Ltd) dengan rumus sbb:
R
Cov p1 p 2
p1 p 2
Dimana: Cov p1 p 2 = peragam periode pertama dan sifat ke dua; p1 = simpangan baku periode pertama; p2 2 = simpangan baku periode ke dua. 3.c. Estimasi nilai korelasi Korelasi genetik didekati dengan koefisien korelasi yang diestimasi dengan membandingkan peragam antara sifat produksi dan sifat kanibal dengan hasil kali simpangan baku ke dua sifat yang berkorelasi sesuai dengan yang dirumuskan oleh Cameron (1997) sbb.:
Cov xy
Cov xy
x y
Dimana: Cov xy = peragam sifat pertama dan ke dua; x = simpangan baku sifat pertama; y = simpangan baku sifta ke dua. HASIL DAN PEMBAHASAN Frekuensi Pematukan Berdasarkan hasil analisis statistik disimpulkan bahwa kandang dan waktu pengamatan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap frekuensi pematukan. Sebaliknya frekuensi pematukan antar individu menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P < 0,01) pada puyuh jantan dan menunjukkan perbedaan nyata (P < 0,05) pada puyuh betina. Rataan frekuensi pematukan pada puyuh jantan adalah sebesar 10,99 patukan dengan simpangan baku dari rataan sebesar 10,13, sedangkan frekuensi pematukan pada puyuh betina adalah sebesar 7,98 patukan dengan simpangan baku dari rataan sebesar 10,06. Simpangan baku dari rataan yang cukup besar kemungkinan disebabkan oleh keragaman yang terlalu tinggi pada frekuensi pematukan antar individu dalam masing-masing waktu pengamatan yang berbeda yang berkisar antara 0 hingga 225 pada puyuh jantan dan 0 hingga 183 pematukan pada puyuh betina. Ragam frekuensi pematukan antar individu yang cukup tinggi menjadi dasar yang sangat kuat untuk melakukan evaluasi ke arah kemampuan genetik masing-masing individu puyuh dalam mengekspresikan tingkah laku mematuk. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil-hasil penelitian terdahulu tentang
_________________________________________________________________________________ Jurnal Ilmu Ilmu Hayati (Life Science), 2008, Vol. 20, No. 1. ISSN: 1410-413X
4
tingkah laku mematuk pada ayam yang dilaporkan mempunyai ragam genetik tinggi (Buitenhuis et al., 2003; Bessei, 1984; Kjaer dan Sorensen, 1997; Cuthbertson, 1980). Ripitabilitas Tingkah Laku Mematuk Berikut ini disajikan ripitabilitas yang diukur dengan metode korelasi antara dua pengukuran pengamatan pematukan: Tabel 1. Ripitabilitas frekuensi pematukan pada puyuh jantan (di atas garis diagonal) dan pada puyuh betina (di bawah diagonal) P1 P2 P3 P4 P1 0,59 0,79 0,38 P2 0,17 0,47 0,46 P3 0,21 0,10 0,46 P4 0,13 0,06 0,13 P1: Pengamatan pagi periode I; P2: Pengamatan siang periode I; P3: Pengamatan pagi periode II; P4: Pengamatan siang periode II Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai estimasi ripitabilitas frekuensi pematukan pada puyuh jantan tergolong sedang sampai tinggi yaitu berkisar antara 0,38 sampai 0,79. Pada puyuh betina nilai ripitabilitas yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan pada puyuh jantan yaitu berkisar antara 0,06 hingga 0,21. Nilai estimasi ini tergolong rendah sampai dengan sedang. Tingginya nilai ripitabilitas menggambarkan bahwa keragaman antar individu dalam tingkah laku mematuk yang diukur dengan frekuensi pematukan disebabkan sebagian besar oleh faktor genetik dan lingkungan yang bersifat permanen. Nilai ini menjadi ukuran yang sangat penting untuk memprediksi ragam genetik sebagai penyebab munculnya tingkah laku mematuk karena ripitabilitas merupakan batas atas dari heritabilitas (Falconer, 1984; Warwick et al., 1984). Perbedaan nilai ripitabilitas frekuensi pematukan yang ditunjukkan pada kelompok puyuh jantan dan betina kemungkinan disebabkan oleh ekspresi tingkah laku mematuk lebih nampak pada kelompok puyuh jantan dibandingkan kelompok puyuh betina. Lebih tingginya nilai ripitabilitas frekuensi pematukan pada puyuh jantan menunjukkan bahwa pada kelompok jantan tingkah laku mematuk mempunyai peluang yang lebih tinggi untuk diwariskan ke keturunannya. Hal ini berdampak positif karena seleksi pada jantan lebih efektif dibandingkan pada betina karena pada umumnya proporsi jantan yang diseleksi lebih sedikit sehingga intensitas seleksi jantan lebih tinggi. Produksi Telur Tiap Model Perkawinan Produksi telur bulanan (30 hari) selama 2 periode pengukuran disajikan pada Tabel berikut ini: Tabel 2. Data produksi telur bulanan pada masing-masing model perkawinan No Model Perkawinan Produksi Telur (butir) Periode I Periode II Rataan SD CV Rataan SD CV 1 ♂ HFP X♀ HFP 23,8 8,26 34,70 24,8 7,16 28,85 2 ♂ HFP X ♀ LFP 28.0 2,00 7,14 27,0 2,92 10,80 3 ♂ LFP X ♀ HFP 24.2 8,84 36,54 25,0 4,53 18,11 4 ♂ LFP X ♀ LFP 29.4 0,89 3,04 28,4 0,98 3,15 Berdasarkan hasil analisis statistik disimpulkan bahwa model perkawinan tidak memberikan pengaruh pada produksi telur puyuh baik pada periode pertama maupun ke dua. Meskipun tidak berbeda nyata secara statistik, rataan produksi telur masing-masing model perkawinan _________________________________________________________________________________ Jurnal Ilmu Ilmu Hayati (Life Science), 2008, Vol. 20, No. 1. ISSN: 1410-413X
5
menunjukkan nilai yang berbeda. Pada ke dua periode tampak bahwa terdapat pola nilai rataan produksi telur bulanan yang sama, dimana betina LFP cenderung mempunyai produksi telur bulanan lebih tinggi dibandingkan betina HFP, baik berpasangan dengan jantan HFP maupun LFP. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Buitenhuis et al., (2003) bahwa kelompok pematuk tinggi pada ayam mempunyai aktivitas hormonal yang berbeda dengan pematuk rendah. Hasil yang menarik diperoleh pada masing-masing pasangan perkawinan yang menunjukkan perbedaan produksi telur yang sangat nyata (P<0,01). Rataan produksi telur pasangan perkawinan adalah sebesar 26,32 dengan simpangan baku dari nilai rataan adalah sebesar 2,35. Rataan produksi telur bulanan masing-masing pasangan perkawinan disajikan pada Tabel 3 yang berkisar antara 15,00 hingga 29,50 butir. Hal ini menggambarkan bahwa kemungkinan keragaman performan produksi telur antar pasangan perkawinan disebabkan sebagian oleh faktor genetik individu puyuh yang digunakan sebagai materi penelitian. Tabel 3. Rataan produksi telur bulanan masing-masing pasangan perkawinan Ps. 1 2 3 4 5 6 7 8 Perkawinan Rataan 29.50 29.00 16.50 29.50 29.00 29.50 24.50 26.50 Produksi Ps. 11 12 13 14 15 16 17 18 Perkawinan Rataan 15.00 23.00 25.50 30.00 29.50 29.00 29.50 27.50 Produksi
9
10
29.00
28.00
19
20
17.00
29.50
Korelasi Antara Pengukuran Pertama dan Kedua pada Produksi Telur Bulanan Hubungan fenotipik antara produksi telur periode pertama dengan periode ke dua tergolong tinggi yang ditunjukkan dengan koefisien korelasi sebesar 0,63. Koefisien tinggi menggandung arti bahwa bila terjadi peningkatan pada periode pertama maka akan terjadi pula peningkatan pada periode ke dua. Tingginya hubungan ini menggambarkan adanya konsistensi masing-masing individu dalam berproduksi. Pendugaan performan produksi untuk kepentingan seleksi yang lebih awal dapat didasarkan pada nilai korelasi genetik. Ukuran korelasi fenotip sangat berguna untuk memprediksi ada tidaknya faktor genetik yang berperan dalam hubungan dua variabel pengamatan. Tingginya nilai korelasi fenotip hasil penelitian menunjukkan ada kecenderungan sebagian dari hubungan produksi telur periode pertama dan ke dua disebabkan oleh faktor genetik.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian Tahap I dapat disimpulkan bahwa: 1. Frekuensi pematukan antar individu jantan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata, sedangkan antar individu betina menunjukkan perbedaan yang nyata 2. Nilai ripitabilitas frekuensi pematukan pada puyuh jantan tergolong sedang sampai tinggi yaitu berkisar antara 0,38 sampai 0,79 3. Nilai ripitabilitas frekuensi pematukan pada puyuh betina tergolong rendah yaitu berkisar antara 0,06 hingga 0,21 4. Produksi telur bulanan menunjukkan pola yang sama, dimana betina LFP cenderung lebih tinggi dibandingkan betina HFP
_________________________________________________________________________________ Jurnal Ilmu Ilmu Hayati (Life Science), 2008, Vol. 20, No. 1. ISSN: 1410-413X
6
5. Masing-masing pasangan perkawinan menunjukkan perbedaan produksi telur yang sangat nyata 6. Hubungan fenotipik antara produksi telur periode pertama dengan periode ke dua tergolong tinggi (koefisien korelasi sebesar 0,63) SARAN Berdasarkan hasil analisis pola tingkah laku kanibal yang diestimasi dengan frekuensi pematukan dan hubungannya dengan produksi telur puyuh kelompok tetua, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengestimasi faktor genetik sifat mematuk pada puyuh secara kuantitatif dan molekuler. DAFTAR PUSTAKA Albentosa, M.J., J.B. Kjaer, C.J. Nicol. 2002. Strain and age differences in behaviour, fear response and pecking tendency in laying hens. British Poultry Science. Bessei, W. 1984. Untersuchungen zur Heritabilitaet des Federpickverhalten bei Junghennen. Archiv fuer Gefluegelkunde 48: 224-231. Bessei, W., K. Reiter, T. Bley dan F. Zeeb. 1999. Measuring pecking of a bunch of feathers in individually housed hens, First result of genetic studies and feeding related reactions. Lohmann Information 22: 27-31. Boonyanuwat, K., S. Morathop and S. Trimanee. 2003. Influences of Genes which Control Stress Characteristics by Molecular Genetic Technique in Thai Chicken Buitenhuis, A.J., T.B. Rodenburg, Y.M. van Hierden, B. Ask, M. Siwek, S.J.B. Cornelissen, M.G.B. Nieuwland, H. Vos, P. de Groot, S.M. Korte, P. Koene, Bovenhuis dan J.J. van der Poel. 2002. Feather pecking behaviour and stress response in laying hens: A QTL-analysis. 7th World Congress on Genetics applied to Livestock Production, Montpellier, France. Camci, Ö dan C. Erensayin, 2004. Effect of srocking density during early growth ohase on fattening performance of japanese quail (Coturnix coturnix japonica). Archive Geflügelkunde 68(2):94-96. Cameron, N.D. 1997. Selection indices and prediction of genetic merit in animal breeding. CAB International. Cloutier, S., R.C. Newberry, C.T. foster dan K.M. Girsberger. 2000. Does pecking at inanimate stimuli predict cannibalistic behaviour in domestic fowl? Applied Animal Behaviour Science 66: 119-133. Craig, J.V dan Muir, W.M. 1993. Selection for reduction of beak-inflicted injuries among caged hens. Poultry Sci. 72:411-420. Craig, J.V dan Muir, W. M. 1996. Group selection for adaptation to multiple-hen cages, beak related mortality, feathering and body weight response. Poultry Science 75:294-302. Cuthbertson, G.J. 1980. Genetic variation in feather-pecking behaviour. British Poultry Science 21:447-450. Falconer, D.S. 1984. Introduction to Quantitative Genetics. Longmann, Haelow, Essex. Faure, J.M., W. Bessei dan R.B. Jones, 2003. Direct selection for improvment of animal wellbeing. In: Poultry genetics, breeding and biotechnology (Ed: W.M. Muir dan S.E. Aggrey), CABI pubh. UK. Groeneveld, E. 1989. PEST user’s manual. Institut of Anmal Husbandry and Naimal Behaviour Federal Agric Research Centre Mariense, Germany. Groeneveld, E. 2004. VCE5 user’s manual. Institut of Anmal Husbandry and Naimal Behaviour Federal Agric Research Centre Mariense, Germany. Gruszczynska, J., E. Michalska dan K. Sobierrajska. 2004. Microsatellite polymorphisme selecting loci in a Japanese Quail (Coturnix japonica) population. Dept. Of Animal Genetic, Warsawa Agricultural University, Poland. _________________________________________________________________________________ Jurnal Ilmu Ilmu Hayati (Life Science), 2008, Vol. 20, No. 1. ISSN: 1410-413X
7
Keeling, L. Dan M. Wilhemson. 1998. Selection based on dierct observations of feather pecking behaviour in adult laying hens. Proc. 5th symposium on Poultry Welfare, Wageningen: 7779. Kjaer, J.B. 2002. Recording of feather pecking and selection against feather pecking. In: Poultry genetics, breeding and biotechnology (Ed: W.M. Muir dan S.E. Aggrey), CABI pubh. UK. Kjaer, J.P dan Sorensen, P. 2002. Feather pecking and cannibalism as affected genotype, level of dietary methionine, light intensity and age at access to the range area in laying hens. Applied Animal Behaviour Science.
Korte, S.M., Yvonne M. Van Hierden dan H.J. Blokhuis, 2002. Neuroendocrine mechanism involved in feather pecking. Archiv fuer Gefluegelkunde (European Poultry Science) Vol. 66. (Special Edition). McAdie, T.M. dan L.J. Keeling. 1999. Effect of manipulating feathers of laying hens on the incidence of feather pecking and cannibalism. Proceeding of the Nordic ISAE Winter meeting, Flaemslaett, Sweden. Mrode, R.A. 2000. Linear models for prediction of animal breeding values. CAB International. Muir, W.M. 1996. Group selection for adaptation to multiple-hen cages, selection program and direct responses. Poultry Sci. 75:447-458. F. M. Odeh, G. G. Cadd, and D.G. Satterlee. 2003. Genetic Characterization of Stress Responsiveness in Japanese Quail. 2. Analyses of Maternal Effects, Additive Sex Linkage Effects, Heterosis, and Heritability by Diallel Crosses. J. Animal Sci. Vol 82. Ott, J. 1992. Strategies for characterizing highly polymorphic markers in human gene mapping. American Journal of Human Genetics. 51: 283-290. Primarck, I.G., P. Dewyanto, T.D. Sitepu. 1997. Biologi konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Savory, C.J. dan J. S. Mann. 1997. Behavioural development in groups of pen-housed pullets in relation to genetic strain, age and food form. British Poultry Sci. 38: 38-47. Schueler, L., H. Swalve, K.U. Goetz. 2001. Grundlagen der Quantitativen Genetik. Verlag Ulmer, Stuttgart. Ugrankar, R. B. 2001. DNA sequence of melanocortin 1-receptor gene in Coturnix japonica: correlation with three E lokus alleles, E, E+ and ERH. Department of Poultry Sci. Queller, D.C., J.E. Strasmann and C.R. Hughes. 1993. Microsatellite and kinship. Tree 8: 285288.
_________________________________________________________________________________ Jurnal Ilmu Ilmu Hayati (Life Science), 2008, Vol. 20, No. 1. ISSN: 1410-413X
8