PENGARUH PEMBERIAN TINGKAT PROTEIN RANSUM PADA FASE GROWER TERHADAP PERTUMBUHAN PUYUH (Coturnix coturnix japonica) INFLUENCE GRANTING OF LEVEL PROTEIN RATIONS AT PHASE GROWER IN THE GROWTH OF QUAIL (Coturnix coturnix japonica) Aulia Radhitya Universitas Padjadjaran
Fakultas Peternakan UNPAD Tahun 2015 e-mail :
[email protected]
PENGARUH PEMBERIAN TINGKAT PROTEIN RANSUM PADA FASE GROWER TERHADAP PERTUMBUHAN PUYUH (Coturnix coturnix japonica) AULIA RADHITYA
ABSTRAK Protein merupakan struktur yang sangat penting untuk jaringan-jaringan lunak di dalam tubuh hewan seperti urat daging, tenunan pengikat, kolagen, kulit, rambut, kuku dan di dalam tubuh unggas untuk bulu, kuku, dan bagian paruh. Penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian tingkat protein ransum pada fase grower terhadap pertumbuhan Puyuh (Coturnix coturnix japonica)”, telah dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Juli 2014 di Breeding center puyuh Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tingkat protein terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum. Metode eksperimental dengan Rancangan Acak lengkap (RAL), tiga perlakuan tingkat protein yang terdiri atas (R1 = 19%, R2 = 21%, dan R3 = 23%) dengan enam ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan (23%) protein memberikan perbedaan yang nyata terhadap konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan. Pemberian tingkat protein 23% merupakan nilai yang optimal untuk pertumbuhan puyuh pada fase grower. Kata Kunci : Protein, Puyuh, Pertambahan bobot badan, konsumsi ransum.
INFLUENCE GRANTING OF LEVEL PROTEIN RATIONS AT PHASE GROWER IN THE GROWTH OF QUAIL (Coturnix coturnix japonica) AULIA RADHITYA
ABSTRACT
Protein is very important for the structure of the soft tissues in animals such as tendons, woven binder, collagen, skin, hair, nails and in the body of the quail to coat, nails, and the beak. The title of research "Influence Granting of Level Protein Rations at Phase Grower in The Growth of Quail (Coturnix coturnix japonica)", has been implemented in June to July of 2014 in the Breeding center of quail Husbandry Faculty of the University of Padjajaran. The research aims to determine the effect of dietary protein level on feed consumption, body weight gain and feed conversion.The methods complete with Random Design (RAL). There are three treatment protein levels consists of (R1 = 19%, R2 = 21%, and R3 = 23%) with six repetitions. The results showed that the intake of protein up to (23%) showed significant of the feed consumtion and body weight gain. By giving 23% of protein is an optimal value for the growth of quail in the grower phase. Keywords: Protein, quail, body weight gain, feed consumtion.
Pendahuluan Puyuh sebagai salah satu ternak unggas cocok diusahakan baik sebagai usaha sambilan maupun komersial, sebab telur dan dagingnya semakin populer dan dibutuhkan sebagai salah satu sumber protein hewani yang cukup penting. Nilai gizi telur dan daging puyuh tidak kalah dengan telur dan daging unggas lainnya, sehingga dengan tersedianya telur dan daging puyuh di pasaran dapat menambah variasi dalam penyediaan sumber protein hewani, Puyuh merupakan unggas yang memiliki siklus hidup yang relatif pendek dengan laju metabolisme tinggi, dan pertumbuhan serta perkembangannya yang sangat cepat. Puyuh Jepang atau Cortunix coturnix japonica dapat menghasilkan telur sebanyak 250–300 butir per ekor per tahun. Kelebihan dari coturnix, seperti kemampuannya untuk menghasilkan 3-4 generasi per tahun, membuat unggas ini menarik perhatian sebagai ternak percobaan dalam penelitian. Burung puyuh mempunyai dua fase pemeliharaan, yaitu fase pertumbuhan dan fase produksi. Pada fase pertumbuhan terbagi lagi mejadi 2, yaitu fase starter (umur 0-3 minggu) dan grower (umur 3-6 minggu).
Perbedaan fase ini membawa resiko pada perbedaan
kebutuhan zat pakan. Selain dari faktor manajemen dan bibit, faktor terpenting untuk menentukan produktivitas puyuh adalah faktor pakan (nutrisi). Protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, dan air mutlak dalam jumlah yang cukup.
Kekurangan salah satu
kandungan pakan tersebut akan mengakibatkan gangguan kesehatan dan menurunkan produktivitas puyuh. Konsumsi dan kandungan nutrisi ransum merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan produktivitas puyuh. Dalam ransum terdapat unsur nutrisi yang harus tersedia sesuai kebutuhan puyuh, karena apabila kandungan nutrisi ransum tidak sesuai dengan kebutuhan nutrisi puyuh, akan menyebabkan penurunan produktivitas. Protein merupakan
kandungan zat makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, hidup pokok dan produksi telur.
Protein juga merupakan salah satu unsur yang sangat penting sebagai penentu
produktivitas pada puyuh Cortunix cortunix japonica pada umur 3 minggu. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh tingkat pemberian protein ransum pada fase grower terhadap pertumbuhan puyuh (Coturnix coturnix japonica). Bahan dan Metode Penelitian menggunakan 180 ekor puyuh betina fase grower pada umur 3 minggu yang mempunyai bobot badan relatif sama. Dalam penelitian puyuh diberikan 3 perlakuan dan 6 kali ulangan. Setiap perlakuan dalam percobaan adalah 60 ekor burung puyuh dengan masing-masing 10 ekor untuk setiap ulangan. Nilai rata-rata koefisien variasi (KV) Puyuh yang diperoleh ialah 5,40 gram. Selama penelitian kandang yang digunakan adalah kandang dengan sistem koloni cage dengan kerangka kandang terbuat dari kayu berukuran 80x60 cm untuk 10 ekor puyuh. Alat yang digunakan adalah timbangan kapasitas 20kg, pipa paralon tempat ransum dan air minum, kertas label dan ember plastik. Ransum yang digunakan dalam percobaan adalah formulasi menggunakan bahan pakan jagung kuning, bungkil kedelai, tepung ikan, dedak, grit, mineral, dan premiks. Kandungan bahan baku, komposisi dan kandungan zat-zat makanan dalam ransum dapat dilihat pada Tabel 4. Ransum percobaan di susun 3 macam : 1. R1 dengan kandungan 19% protein 2. R2 dengan kandungan 21% protein 3. R3 dengan kandungan 23% protein
Tabel 4. Kandungan Energi Metabolis dan Zat-zat Makanan Bahan Pakan Penyusun Ransum Penelitian Bahan pakan
EM (kkal)
Pk
L
Kandungan Zat Makanan (%) Sk Ca P
Lis
Jagung kuning 3370 8,60 3,90 2,00 0,02 0,21 0,2 Bungkil kedelai 2400 48,80 0,90 6,00 0,32 0,29 2,9 Tepung ikan 3080 58,00 4,00 1,00 4,00 2,60 0,40 Dedak 2200 12,00 13,00 12,00 0,12 1,50 0,00 Grit 0,00 0,00 0,00 38,00 0,00 0,00 Mineral 0,00 0,00 0,00 38,00 14,00 0,00 Premiks 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,30 Keterangan : Hasil Analisa Lab: Nutrisi Ruminansia dan Kimia Makanan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Tahun 2010.
Met+ Cys 0,36 1,28 2,20 0,00 0,00 0,00 0,30 Ternak
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, dengan menggunakan metode Rancangan Acal Lengkap (RAL), dengan tiga perlakuan dan enam ulangan. Dihitung dengan analisis sidik ragam dan apabila hasilnya signifikan dilakukan Uji Jarak Berganda Duncan (Gaspersz, 1995). Pengambilan data dilakukan pada puyuh dengan cara pengamatan langsung di lapangan. Proses pengumpulan data diambil hasil pengukuran langsung terhadap puyuh betina setiap harinya dengan peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum. Hasil dan Pembahasan Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Hasil penelitian pengaruh pemberian protein yang berbeda dalam ransum terhadap konsumsi ransum disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Perlakuan (gram/minggu/ekor) R1 R2 R3 Ulangan 1 137,61 131,81 130,88 2 136,63 132,69 130,87 3 137,04 132,05 130,98 4 137,41 132,14 131,31 5 137,54 131,48 131,10 6 137,26 130,87 131,19 Rata-rata 137,25 131,84 131,05 Ket: R1 : ransum dengan kandungan protein 19% R2 : ransum dengan kandungan protein 21% R3 : ransum dengan kandungan protein 23%
Tabel 8. terlihat bahwa rataan konsumsi ransum yang dicapai oleh perlakuan dengan kandungan protein ransum 19% R1 (137,25 gram), cenderung lebih banyak dari pada R2 (131,84 gram) dan R3 (131,05 gram). Konsumsi meningkat bukan karena energi tetapi dari protein ransum. Sehingga diduga kandungan protein ransum yang tinggi mengakibatkan penurunan konsumsi ransum. Guna mengetahui pengaruh perlakuan terhadap konsumsi ransum maka dilakukan analisis statistik dalam sidik ragam yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan hasil analisis statistik Lampiran 3. menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum. Selanjutnya untuk mengetahui besarnya pengaruh pemberian protein yang berbeda dalam ransum dilakukan uji Duncan yang disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Uji Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Perlakuan R1 R2 R3
Rataan Konsumsi Ransum 137,25 131,84 131,05
Signifikansi 0,05 a b c
Pada Tabel 9. didapatkan hasil bahwa rataan konsumsi ransum pada perlakuan R1 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan konsumsi ransum R2 dan R3. Hal ini diduga karena pada perlakun R1 memiliki kandungan protein yang rendah dari perlakuan lainnya maka menyebabkan meningkatnya jumlah ransum yang dikonsumsi, sesuai dengan pernyataan (NRC, 1977) semakin tinggi tingkat protein dalam ransum dapat menurunkan konsumsi ransum seperti pada perlakuan R2 dan R3. Konsumsi ransum diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak dan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok serta produksi ternak tersebut (Tillman dkk, 1991). Faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum pada unggas ada dua, yaitu faktor dominan dan faktor minor. Faktor dominan yang berpengaruh adalah kandungan energi ransum dan suhu lingkungan, sedangkan faktor minor yang berpengaruh adalah strain, bobot tubuh, bobot telur harian, pertumbuhan bulu, tingkat stress dan aktivitas unggas (North dan Bell, 1990).
Berdasarkan data jumlah konsumsi ransum maka dapat dihitung jumlah konsumsi protein per hari pada puyuh yaitu, pada R1 konsumsi protein sebesar 3,73 gr/ekor/hari, sedangkan pada R2 konsumsi protein sebesar 3,96 gr/ekor/hari dan pada R3 konsumsi protein sebesar 4,30 gr/ekor/hari lebih besar dibandingkan dengan R1 dan R2. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat protein dalam ransum semakin tinggi pula protein yang dikonsumsi oleh puyuh sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup pokok dan pertumbuhan. Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Bobot badan Hasil penelitian pengaruh pemberian kandungan protein yang berbeda dalam ransum terhadap pertambahan bobot badan disajikan pada Tabel 10 . Tabel 10. Pengaruh Perlakuan Terhadap Rataan Pertambahan bobot badan
Ulangan 1 2 3 4 5 6 Rata-rata
R1 20,30 20,47 20,13 20,57 19,80 20,17 20,24
Perlakuan (gram/minggu/ekor) R2 20,30 20,39 20,81 20,15 20,07 19,76 20,25
R3 20,92 21,46 20,83 21,10 20,89 20,97 21,03
Tabel 10. terlihat bahwa rataan pertambahan bobot badan tertinggi hingga terendah berturut-turut pada R3 (21,03 g), R2 (20,25 g), dan R1 (20,24 g). Guna mengetahui pengaruh ransum dengan perbedaan kandungan protein, maka dilakukan analisis ragam yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 4. Pemberian ransum dengan berbagai kandungan protein memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan. Selanjutnya untuk mengetahui besarnya pengaruh pemberian protein yang berbeda dalam ransum dilakukan uji Duncan yang disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Uji Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Bobot Badan Perlakuan R3 R2 R1
Rataan Pertambahan Bobot Badan 21,03 20,25 20,24
Signifikansi 0,05 a b b
Hasil uji Duncan menyatakan bahwa rataan pertambahan bobot badan pada perlakuan R1 dan R2 nyata lebih rendah dibandingkan dengan rataan pertambahan bobot badan R3. Sementara rataan pertambahan bobot badan antara perlakuan R1 dan R2 tidak berpengaruh nyata. Hal ini disebabkan perlakuan R1 dan R2 mengandung protein yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan R3. Pada perlakuan R3 konsumsi ransum lebih rendah dari pada perlakuan lainnya, tetapi dalam intake protein menyerap kandungan protein yang tinggi sehingga dapat menaikan pertambahan bobot badan yang pesat. Kandungan protein yang lebih tinggi akan menghasilkan pertumbuhan bobot badan yang lebih tinggi pula. Menurut (Morrison, 1967) bahwa kualitas dan kuantitas protein merupakan hal yang penting dalam pemeliharaan unggas. Kandungan protein akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan. Penelitian ini sejalan dengan Card dan Nesheim (1972) bahwa kandungan protein dan asam amino yang seimbang akan meningkatkan pertumbuhan bobot badan. Pemberian ransum dengan tingkat protein 23% nyata meningkatkan PBB jika dibandingkan dengan pemberian protein 19% dan 21%. Pemberian protein yang lebih rendah pada level protein 19% dan 21% memberikan respon terhadap PBB puyuh yang sama. Pada penelitian ini ransum dengan tingkatan protein sebesar 23% merupakan ransum yang optimal untuk pertambahan bobot badan. Sejalan dengan pernyataan (Gleves dan Dewan, 1971) yang menyatakan bahwa semakin tinggi protein maka semakin besar pertambahan bobot hidupnya. kenyataan ini disebabkan oleh umur puyuh yang digunakan dalam penelitian berumur empat minggu. Pertambahan bobot hidup cenderung naik pada tiga minggu pertama sedangkan minggu berikutnya bervariasi. Konsumsi protein pada puyuh
umur empat minggu tidak lagi untuk pertambahan bobot badan saja akan tetapi juga untuk persiapan produksi, karena puyuh mulai berproduksi pada umur sekitar enam minggu. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum Hasil penelitian pengaruh pemberian Kandungan protein yang berbeda dalam ransum terhadap konversi ransum disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Pengaruh Perlakuan Terhadap Rataan Konversi Ransum
Ulangan 1 2 3 4 5 6 Rata-rata
R1 6,78 6,67 6,81 6,68 6,95 6,81 6,78
Perlakuan R2 6,49 6,51 6,34 6,56 6,55 6,62 6,51
R3 6,26 6,10 6,29 6,22 6,28 6,26 6,23
Pada Tabel 12. menunjukan bahwa rataan konversi ransum yang dicapai oleh R1 dan R2 lebih tinggi dibandingkan dengan ransum R3, sedangkan nilai konversi ransum terkecil terdapat pada ransum yang mengandung kandungan protein 23% R3 sebesar 6,23. Konversi ransum merupakan salah satu faktor untuk menilai kemampuan ternak merubah konsumsi ransum menjadi bentuk yang lebih berguna. Semakin kecil nilai yang dihasilkan berarti ransum yang digunakan semakin baik sehingga ternak lebih efisien dalam menggunakan ransum. Guna mengetahui ada tidaknya pengaruh ransum dengan penambahan berbagai kandungan protein, maka dilakukan analisis ragam yang hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 6. Pemberian ransum dengan berbagai kandungan protein memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap konversi ransum. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi ransum adalah komposisi ransum, kadar protein dan energi ransum, besar tubuh dan tersedianya zat gizi dalam ransum, selanjutnya untuk mengetahui besarnya pengaruh
pemberian protein yang berbeda dalam ransum dilakukan uji Duncan yang disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Hasil Uji Duncan Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Ransum Perlakuan R1 R2 R3
Rataan Konversi Ransum 6,78 6,51 6,23
Signifikansi 0,05 a b c
Hasil uji Duncan menyatakan bahwa rataan konversi ransum pada perlakuan R1 nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan rataan konversi ransum R3. Sementara rataan konversi ransum antara perlakuan R1 dengan R2 dan R3 berpengaruh nyata. pada perlakuan R3 memberikan hasil konversi ransum puyuh yang baik. Hal ini disebabkan pada perlakuan R3 dengan kandungan protein 23% puyuh mengkonsumsi ransum sebanyak (131,05 gram/minggu/ekor) dapat menghasilkan pertambahan bobot badan (21,03), sehingga nilai konversi ransum yang didapat (6,23). Angka konversi ransum yang rendah menandakan effisiensi ransum tinggi, sebaliknya angka konversi ransum yang tinggi menunjukkan nilai manfaat biologis yang rendah. Hasil uji Duncan tersebut menunjukan bahwa perlakuan R3 lebih baik dari perlakuan lainnya, akan tetapi dilihat dari segi effisiensi dan ekonomis pada perlakuan R2 sudah memenuhi kebutuhan Protein Puyuh. Hal ini sejalan dengan penelitian Surini (1984), bahwa tingkatan kandungan protein 19 – 21% cukup untuk menghasilkan konversi ransum yang baik pada puyuh masa Grower. Semakin kecil angka konversi ransum maka effisiensi ransum semakin baik dan menguntungkan (Rasyaf, 1999). Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1. Pemberian tingkat protein ransum yang berbeda memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan puyuh fase grower. 2. Pemberian 23% protein (R3) merupakan level optimal untuk meningkatkan pertumbuhan puyuh pada fase grower (Coturnix-coturnix Japonica).
Daftar Pustaka Card, L. E. and M. C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 7th Ed. Lea and Febringer, Philadelphia. Gaspersz, Vincent. 1995, Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan, Jilid 1 dan 2, Tarsito, Bandung Gleaves, E.W. and S. Dewan. 1971, The influence of dietary an environmental factor upon feed consumption and production respons in laying chicks. Poultry Scie. 46=55 Morrison, F.B. 1967. Feed and Feeding. The Morrison Publishing Co. Clinton, Iowa, USA. North, M.O. And D,D. Bell. 1990. Commercial Chicken Production Manual. 4th Ed. Van Nostrand Reinhold. New York. N.R.C (National Research Council), 1977. Nutruent Requirement of Poultry. USA. Rasyaf, M., 1999. Bahan Makanan Unggas di Indonesia. Kanisius, Yogyakarta. Tillman, A.D., Hartadi H., Reksohadiprojo S., Prawirokusumo S., dan Lebdosoekojo S., 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. UGM-Press, Yogyakarta.