PENGARUH PENGGUNAAN ENZIM MANNANASE DALAM RANSUM YANG MENGANDUNG BUNGKIL INTI SAWIT (BIS) TERHADAP KUALITAS TELUR PUYUH (Coturnix coturnix japonica) Disajikan Oleh : Eka Sulistia Ningsih Di bawah Bimbingan Ir.Sestilawarti, MP1) dan Ir.H.Yusrizal, M.Sc,PhD2) Program Studi Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Jambi Jln.Jambi-Ma.Bulian km 15 MendaloDarat Jambi ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan Enzim Mananase di dalam ransum yang mengandung Bungkil Inti Sawit (BIS) terhadap kualitas telur puyuh. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola factorial 3 x 2. Perlakuan terdiri E0R0: Ransum tanpa tambahan BIS dan enzim mannanase, E0R1: Ransum dengan BIS 10% tanpa tambahan enzim mannanase, E0R2: Ransum dengan BIS 20% tanpa tambahan enzim mannanase, E1R0: Ransum dengan enzim mannanase 0,10% tanpa BIS, E1R1: Ransum dengan enzim mannanase 0,10% yang di tambah BIS 10% dan, E1R2: Ransum dengan enzim mannanase 0,10% yang ditambah BIS 20%. Peubah yang diamati berat telur, tebal kerabang, warna kuning telur, indek kuning telur, indek putih telur dan nilai haugh unit. Data dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA), apabila terdapat pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Turkey. Hasil analisis berat telur, tebal kerabang, warna kuning telur, indek kuning telur, indek putih telur dan nilai haugh unit menunjukkan bahwa enzim mannanase dalam ransum yang mengandung bungkil inti sawit tidak berpengaruh nyata terhadap kualitas telur puyuh (P>0,05). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan BIS hingga level 20% dan penggunaan enzim hingga level 0,10% belum dapat meningkatkan kualitas telur. Kata kunci : Enzim Mannanase, Puyuh, BIS Keterangan : 1) Pembimbing Utama 2) Pembimbing Pendamping PENDAHULUAN Bungkil inti sawit adalah salah satu hasil ikutan industri kelapa sawit dimana produksinya cukup melimpah. Karena itu upaya penggunaan limbah ini telah digunakan untuk pakan ternak unggas maupun ruminansia sebagai sumber energi atau protein (Devendra, 1998). Namun demikian bungkil inti sawit dikenal sebagai pakan yang kurang di sukai ternak karena sifatnya yang kering dan kasar seperti pasir, serta bungkil inti sawit memiliki serat kasar yang cukup tinggi (Ravindran dan Blair, 1992). Laboratorium nutrisi pakan ternak unggas Universitas Jambi (2012), menyatakan bahwa adanya kandungan didalam BIS (Bungkil Inti Sawit) adalah
1
sebagai berikut, PK 15,40%, SK 19,26%, LK 6,49%, Ca 0,56%, P 0,64%, dan ME 2446 kkal/kg. Bungkil inti sawit mempunyai serat kasar yang cukup tinggi, yang merupakan salah satu faktor pembatas dalam penggunaannya sebagai pakan ternak non-ruminansia. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memanfaatkan bungkil inti sawit sebagai bahan pakan unggas seperti puyuh. Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan unggas petelur yang sangat produktif. Puyuh betina mulai bertelur pada umur 5-6 minggu, masa produksinya hanya 9-12 bulan, dan produksi telurnya cukup tinggi, yaitu 200-300 butir/ekor/tahun (Nugroho dan Manyun, 1986). Namun pada tenak puyuh memiliki kekurangan pada sistem pencernaannya yang rendah yaitu, tidak dapat mencerna serat kasar yang terlalu tinggi. Oleh karena itu penggunaan bungkil inti sawit untuk pakan unggas seperti puyuh sangat terbatas, karena tingginya kadar serat kasar yang sebagian besar terdiri dari hemiselulosa (mannan dan galaktomanan). Sejauh ini banyak upaya yang telah dilakukan peneliti untuk meningkatkan kecernaan zat gizi dan bahan pakan berserat, diantaranya adalah penggunaan enzim (Meng et.al., 2005). Enzim berfungsi sebagai katalisator untuk mempercepat reaksi pemecah senyawa-senyawa organik yang komplek menjadi sederhana, katalisator akan ikut serta dalam reaksi dan mengalami perubahan fisik selama reaksi, tetapi akan kembali ke keadaan semula jika reaksi telah selesai (Harper et al., 1979). Downie et al., (1994) menyatakan bahwa enzim manannase dapat dimanfaatkan sebagai campuran dalam ransum ternak unggas sehingga meningkatkan nilai gizi dan konversi bahan pakan kaya manan seperti bungkil inti sawit. Penelitian terdahulu melaporkan bahwa enzim komersial dapat mempertahankan kualitas fisik telur ketika ditambah didalam ransum berbasis gandum tetapi ada beberapa efek negatif pada kualitas kerabang dan haugh unit (Roberts et al.,1999). Manfaat penambahan enzim komersial dalam ransum unggas telah diteliti secara luas untuk ayam pedaging (Acamovic, 2001). Namun ada sedikit informasi yang tersedia tentang manfaat menambahkan enzim kedalam ransum ayam petelur (Zhang et al., 2000). METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 2016 sampai dengan 19 Oktober 2016 yang bertempat dikandang percobaan Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Materi dan Peralatan Bahan yang digunakan pada penelitian adalah puyuh petelur sebanyak 168 ekor berumur 3 minggu dengan strain Coturnix coturnix japonica, bahan yang di gunakan dalam ransum dasar adalah, kosentrat, jagung halus, dedak halus, bungkil inti sawit (BIS), dan enzim mannanase.
2
Alat yang di gunakan dalam penelitian ini adalah tempat pakan, tempat minum, lampu pijar, kapur, kuas, pengayak, kandang berbentuk persegi dengan ukuran 30 x 25 x 20 sebanyak 24 unit. timbangan ohaus ( skala terkecil 0,01 gram. Metode Penelitian Langkah pertama siapkan kandang yang telah diberi kapur, kemudian siapkan puyuh yang berumur 3 minggu, lakukan pemeliharaan sampai puyuh bertelur, selama pemeliharaan puyuh diberikan pakan ransum yang mengandung bungkil inti sawit (BIS) yang ditambah dengan enzim mananase, puyuh diberikan pakan 2 kali dalam sehari dan diberikan minum secara adlibitum. Setelah puyuh bertelur dalam setiap kandang dilakukan pengambilan telur pada hari yang sama dilakukan analisis sesuai dengan peubah yang diamati. Rancangan penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola factorial 3 x 2. Perlakuan yang diterapkan adalah sebagai berikut: E0R0: Ransum tanpa tambahan BIS dan enzim mannanase E0R1: Ransum dengan BIS 10% tanpa tambahan enzim mannanase E0R2: Ransum dengan BIS 20% tanpa tambahan enzim mannanase E1R0: Ransum dengan enzim mannanase 0,10% tanpa BIS E1R1: Ransum dengan enzim mannanase 0,10% yang di tambah BIS 10% E1R2: Ransum dengan enzim mannanase 0,10% yang ditambah BIS 20% Peubah yang diamati Berat Telur (gr)Dihitung dengan cara telur puyuh yang di produksi dalam satu hari di timbang satu persatu setiap hari (gr/butir), kemudian di rata-ratakan perminggu. Tebal Kerabang Telur (mm).Telur terlebih dahulu dipecahkan, kemudian diukur tebal kerabangnya dengan alat Dial shell thicknes pada bagian ujung runcing, ujung tumpul dan bagian tengah kemudian di rata-ratakan, dinyatakan dalam satuan mm. Warna Kuning Telur. Nilai warna kuning telur diperoleh dengan cara membandingkan warna kuning telur puyuh dengan Yolk colour fan. Indeks Kuning Telur (mm)Indeks Kuning Telur (IKT) diperoleh dengan cara : tinggi kuning telur IKT = diameter kuning telur Indeks Putih Telur (mm). Indeks Putih Telur (IKT) diperoleh dengan cara : tinggi putih telur IPT = diameter putih telur
3
Nilai Haugh Unit (HU). Nilai Haugh Unit diperoleh dengan cara telur dipecahkan terlebih dahulu untuk dicari tinggi albumennya dengan alat Deepth micrometer. Setelah mendapatkan tinggi albumen selanjutnya dikonversikan dalam satuan HU dengan rumus :HU = 100 log (H + 7,57 – 1,7 . W0,37) Ket : HU = Haugh Unit H = Tinggi albumen HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Telur (Berat telur, tebal kerabang, dan warna kuning) Pengaruh penggunaan enzim manannase dalam ransum yang mengandung BIS terhadap berat telur, tebal kerabang, dan warna kuning telur puyuh dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Rataan berat telur, tebal kerabang, dan warna kuning. Parameter berat telur tebal kerabang Enzim (%) (gr) (mm) 0% 10,06 ± 0,53 0,193 ± 0,02 0,10% 10,21 ± 0,52 0,204 ± 0,02 BIS(%) 0% 10,25 ± 0,52 0,197 ± 0,02 10% 10,22 ± 0,52 0,196 ± 0,02 20% 9,94 ± 0,53 0,202 ± 0,02 Enzim x BIS 0% x 0% 10,06 ± 0,55 0,198 ± 0,02 0% x10% 10,31 ± 0,62 0,186 ± 0,01 0% x 20% 9,81 ± 0,43 0,194 ± 0,02 0,10% x 0% 10,44 ± 0,47 0,195 ± 0,02 0,10% x 10% 10,12 ± 0,48 0,206 ± 0,02 0,10% x 20% 10,06 ± 0,66 0,209 ± 0,01
warna kuning (roche) 6,06 ± 0,56 6,23 ± 0,48 6,25 ± 0,46 6,22 ± 0,47 5,97 ± 0,63 6,12 ± 0,43 6,19 ± 0,55 5,89 ± 0,77 6,37 ± 0,32 6,25 ± 0,46 6,06 ± 1,7
Berat Telur Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penggunaan enzim manannase dan BIS dalam ransum menunjukkan interaksi yang tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap berat telur, begitu juga secara sendiri-sendiri bahwa penggunaan enzim maupun BIS menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05). Artinya pengaruh penggunaan enzim dan BIS dalam ransum tidak memberikan efek negatif terhadap berat telur. Rataan berat telur selama penelitian masih tergolong normal. Rataan berat telur selama penelitian, yaitu berkisar antara 9,81-10,44 gr/butir. Rataan berat telur pada penelitian ini masih sesuai dengan pendapat Listyowati dan Roospitasari (1992) menyatakan bahwa bobot telur puyuh rata-rata 10 gr/butir atau sekitar 8% dari bobot puyuh betina.
4
Tebal Kerabang Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penggunaan enzim manannase dan BIS dalam ransum menunjukkan interaksi yang tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap tebal kerabang, begitu juga secara sendiri-sendiri bahwa penggunaan enzim maupun BIS menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05). Artinya penggunaan enzim dan BIS dalam ransum tidak memberikan efek negatif terhadap tebal kerabang. Kualitas kerabang telur dipengaruhi oleh kandungan kalsium dalam ransum, seperti yang diungkapkan Stadelman dan Cotterill (1995) kualitas kerabang telur ditentukan oleh besarnya kandungan kalsium dalam ransum, hal ini disebabkan karena 94% bagian kerabang telur adalah kalsium karbonat. Rataan nilai kerabang telur selama penelitian, yaitu 0,186-0,209 mm, tebal kerabang selama penelitian ini masih tergolong normal. Menurut Vilchez et.,al (1992), tebal kerabang yang ditambah selaput telur berkisar antara 0,176-0,184 mm. Warna Kuning Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penggunaan enzim manannase dan BIS dalam ransum menunjukkan interaksi yang tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap warna kuning telur, begitu juga secara sendiri-sendiri bahwa penggunaan enzim maupun BIS menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05). Artinya penggunan enzim dan BIS dalam ransum tidak memberikan efek negatif terhadap warna kuning telur. Menurut Castelline et.,al (2006) menyatakan bahwa jagung kuning dapat menyebabkan warna pekat pada kuning telur. Rataan skor warna kuning telur selama penelitian, yaitu 5,87-6,38. Berdasarkan pengamatan Chung (2002), warna kuning telur berpengaruh pada selera konsumen , umumnya yang lebih disukai berkisar dari kuning emas sampai orange. Skor warna kuning telur hasil penelitian Ismawati (2011) yaitu berada pada skor antara 3,6-4,3 dengan warna kuning pucat dan masih dibawah kisaran normal. Menurut Amrullah (2003), warana kuning telur yang bagus adalah yang memiliki skor warna minimal 10.
5
Kualitas Telur (Indeks Kuning, Indeks Putih, dan Haugh Unit) Pengaruh penggunaan enzim manannase dalamransumyang mengandung BIS terhadap indeks kuning, indeks putih, dan haugh unit (HU) pada telur puyuh dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Indeks Kuning, Indeks Putih, dan Haugh Unit (HU) Parameter Enzim (%) indeks kuning indeks putih Haugh Unit (HU) 0% 0,48 ± 0,01 0,092 ± 0,01 63,07 ± 1,99 0,10% 0,47 ± 0,01 0,092 ± 0,01 64,16 ± 1,91 BIS (%) 0% 0,48 ± 0,01 0,093 ± 0,01 62,95 ± 2,08 10% 0,47 ± 0,01 0,092 ± 0,01 64,19 ± 1,64 20% 0,47 ± 0,01 0,091 ± 0,01 63,72 ± 2,24 Enzim x BIS (%) 0% x 0% 0,48 ± 0,013 0,092 ± 0,01 62,45 ± 1,99 0% x10% 0,48 ± 0,0078 0,092 ± 0,01 63,99 ± 1,76 0% x 20% 0,47 ± 0,016 0,091 ± 0,01 62,77 ± 2,38 0,10% x 0% 0,48 ± 0,012 0,093 ± 0,01 63,44 ± 2,35 0,10% x 10% 0,46 ± 0,015 0,092 ± 0,01 64,39 ± 1,76 0,10% x 20% 0,47 ± 0,02 0,09 ± 0,005 64,67 ± 1,90 Indeks Kuning Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penggunaan enzim manannase dan BIS dalam ransum menunjukkan interaksi yang tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap indeks kuning, begitu juga secara sendiri-sendiri bahwa penggunaan enzim maupun BIS menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05). Artinya penggunaan enzim dan BIS tidak memberikan efek negatif terhadap indeks kuning telur. Faktor yang mempengaruhi indeks kuning telur, yaitu lemak, protein, asam amino esensial yang terkandung dalam ransum. Selain faktor tersebut indeks kuning telur juga bisa dipengaruhi oleh lama penyimpanan, suhu tempat penyimpanan, kualitas membran vitelin dan nutrisi pakan. Rataan indeks kuning selama penelitian, yaitu berkisar antara 0,46-0,48. Sesuai dengan pernyataan Anjasari (2010) bahwa telur segar mempunyai indeks kuning 0,33-0,50 dengan rata-rata 0,42. Menurut Suprijatna et.,al (2008) nilai indeks kuning telur puyuh yang diberi pakan dengan protein kasar sebesar 20,1% adalah 0,422. Standar untuk indeks kuning telur adalah sebagai berikut, 0,22 (jelek), 0,39 (rata-rata), dan 0,45 (tinggi) (Anjasari. 2010). Sehingga skor nilai indeks kuning telur selama penelitian termasuk didalam kategori tinggi yaitu 0,46-0,48. Indeks Putih Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penggunaan enzim manannase dan BIS dalam ransum menunjukkan interaksi yang tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap indeks putih, begitu juga secara sendiri-sendiri bahwa
6
penggunaan enzim maupun BIS menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05). Artinya penggunaan enzim dan BIS dalam tidak memberikan efek negatif terhadap indeks putih. Faktor yang mempengaruhi indeks putih, yaitu lama penyimpanan telur dan suhu tempat penyimpanan dapat mempengaruhi atau menurunkan nilai kekentalan pada putih telur. Rataan indeks putih telur selama penelitian, yaitu 0,090-0,093, rataan nilai indeks putih tersebut masih kisaran normal, menurut Hintono (1995) menyatakan bahwa secara normal kisaran indeks putih, yaitu 0,090-0,120. Nilai Haugh Unit (HU) Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penggunaan enzim manannase dan BIS dalam ransum menunjukkan interaksi yang tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai haugh unit (HU), begitu juga secara sendiri-sendiri bahwa penggunaan enzim maupun BIS menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05). Artinya penggunaan enzim dan BIS tidak memberikan efek negatif terhadap nilai haugh unit (HU). Haugh unit (HU) digunakan sebagai parameter kesegaran telur yang dihitung berdasarkan tinggi putih telur dan bobot telur. Ini disebabkan karena nilai haugh unit (HU) merupakan logaritma terhadap tinggi albumen dan kemudian ditransformasikan kedalam nilai koreksi dari fungsi berat telur, sehingga apabila berat telur yang diperoleh berbeda tidak nyata maka dapat menyebabkan nilai haugh unit (HU) berbeda tidak nyata juga, seperti pernyataan Stadelman Cotterill (1995) faktor yang mempengaruhi nilai haugh unit (HU) dalah tinggi putih telur dan berat putih telur. Rataan nilai haugh unit (HU) selama penelitian masih dikategorikan normal, yaitu 62,45-64-67. Menurut Wulan Trilestari et.,al (2016) menyatakan, bahwa nilai haugh unit (HU) telur puyuh yang diberi cahaya monokromatik yaitu 59,2826-62,6446. Sesuai dengan pernyataan Bell dan Weaver (2002) nilai haugh unit (HU) tersebut masih dikategorikan normal sebagai telur berkualitas A. Nilai haugh unit (HU) lebih dari 72 dikategorikan sebagai yang berkualitas AA, nilai haugh unit 60-72 sebagai telur berkualitas A, nilai haugh unit 31-60 sebagai telur berkualitas B, dan nilai haugh unit kurang dari 31 dikategorikan sebagai telur berkualitas C (Bell dan Weaver, 2002). Kesimpulan Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan BIS hingga level 20% dan penggunaan enzim hingga level 0,10% belum dapat meningkatkan kualitas telur. DAFTAR PUSTAKA Acamovic, T. 2001. Commercial application of enzyme technology for poultry production. World’s Poultry Science Journal 57 : 225-242. Adams, C.A., 2000. Enzym Komponen Penting Dalam Pakan Bebas Antibiotik. Amri, M. 2006. Feed particle size : implication on the digestion and performance Ikan Mas (Cyprinus carpio L ). Universitas Bung Hatta. Jakarta.
7
Amrullah IK. 2003. Nutrisi Ayam Petelur. Bogor. Lembaga Satu Gunung Budi. Anggorodi, R. 1979. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia. Jakarta. Anjasari, B. 2010. Pangan Hewani, Fisiologi Pasca Mortem dan Teknologi. Graha Ilmu. Yogyakarta Anonymous. 2013. Statistik Pertanian 2011. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. Kementrian Pertanian, republik Indonesia. Jakarta. Badan Standarisasi Nasional [BSN]. 2008. Telur Ayam Konsumsi, Jakarta. Bell, D.D. Weaver W.D. 2002. Commercial Chicken Production Meat and Egg.5th ed. Massachusetts (US): Kluver Academic. Castelline, C. F. Perella. C. Mugnai. and A. Dal Bosco. 2006. Welfare productivity and quality traits of eggin laying hens reared under diferent rearing systems. National Journal of Animal Science, 54 (2) : 147-155. Chong, C. H., Zulkifli, I. and Blair, R. 2008. Effects of dietary inclclusion of palm kernel cake and palm oil, and enzymes supleementation on performance of laying hens. Asian Aust. J. Anim. Sci. 21;1053-1058. Chung, T. K. 2002. Yellow and Red Carotenoids for Egg Yolk Pigmentation. 10th Anual ASA Southeast Asian Feed Technology and Nutrition Workshop. Merlin Beach Resort, Phuked, Thailand. Devendra, C. 1978. Utilization of Feedingstuff from Plam Oil. P.16. Malaysian Agricultural Research and Development Institute Serdang. Malaysia. Downie, B., H.W.M. hilhorst., and J.D. Bewtey. 1994. A new assay for quantifying endo-β-D-manannase activiying using congo red dye. Phytochemistry 36:829-835. Harper, H. A., V. W. Rodwell, and P. A. Mayes. 1979. Biokimia. Review of hysiological Chemistry. 17 th Ed. Terjemahan: M. Muliawan. Lange Medical Publications. Los Altos, California. Hintono, A. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Telur. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang . Ismawati. B. 2011. Bobot, Komposisi Fisik, dan Kualitas Interior Telur Puyuh (coturnix coturnix japonica) yang diberi suplemen Omega-3. Skripsi Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Listyiowati, E dan K. Roospitasari. 1992. Puyuh tata laksana budidaya secara komersial. Penebar Swadaya. Jakarta. Meng X, Slominski BA, Nyachoti CM, Campbell LD, Guenter W. 2005. Degradation of cell wall polysaccarides by combinations of carbohydrase enzymes and their effect on nutrient utilization and broiler chicken performance. Poult Sci. 84:37-47. Nugroho, E dan I. G. K. Mayun. 1990. Budidaya Burung Puyuh. Eka Offset. Semarang. Rasyaf, M., 1991. Pengelolaan Produksi Telur. Penerbit Knasius. Yogyakarta.
8
Ravindran, V. And R. Blair. 1992. Feed resources for poultry productionin Asia and the Pasific II. Plant Protein Sourrces World’s Poult. Sci. J. 48: 206231. Roberts, J. R., M. Choct and W. Ball. 1999. Effect of different commercial enzymes on egg and egg shell quality in four strains of laying hens. In Proceedings of the Australian Poultry Science Symposium. Sydney (D. J. Farrel. Ed.) 11: 139-142. Sihombing, G., Avivah & S. Prastowo. 2006. Pengaruh penambahan seolit dalam ransum terhadap kualitas telur burung puyuh. J, indon. Trop. Anim. Agric. 31(1):28-31. Stadelman. W. J and O. J Cotteril, 1995. Egg Science and Technology. Fourt Ed. Food Product Press. An Imprint of the Haworth. Press. Inc. New York. London. Sunarno. 2004. Potensi Burung Puyuh. Majalah Poultry Indonesia. Edisi Februari hal.61. Suprijatna, E., S. Kismiati, & N. R. Furi. 2008. Penampilan produksi dan kualitas telur pada puyuh yang memperoleh protein rendah dan disuplementasi enzim komersial. J. Indon. Tropic. Anim. Agric. 33(1):66-71. United States Department of Agriculture (USDA). 2000. Egg Grading Manual. Agricultural Handbook, No. 75, Washington, D.C. Vilchez, C. S. P. Touchburn, E. R. Chavez, and P. C. Laque. 1992. Research note: egg shell quality in japanese quail feed difference fatty acid. Poultry Science 71:1568-1571. Wulan, T. L.dkk. 2016. Indeks Kuning Telur dan Nilai Haugh Unit Telur Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Hasil Pemeliharaan dengan Penambahan Cahaya Monokromatik. Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Matematika. Universitas Diponegoro. 24:42-49. Yuwanta, T. 2007. Telur dan Produksi Telur. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Zhang, Z., R.R. marquardi and W. Guenter. 2000. Evaluating the efficacy of enzyme preparation and predicting the performance of leghorn chicks fed rye-based diets with a dietary viscosity assay. Poultry Science 79: 11581167.
9
10