PENGARUH Pb-ASETAT DALAM AIR MINUM TERHADAP LEMAK DAN PROTEIN DAGING PUYUH (Coturnix coturnix japonica) FASE GROWER THE EFFECT OF Pb-ACETATE IN DRINKING WATER ON THE FAT AND PROTEIN IN MEAT OF GROWING QUAIL (Coturnix coturnix japonica) Eko Kurniawan1, Diding Latipudin2, dan Andi Mushawwir3 1
Alumni Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran Staff Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran 3 Staff Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia, Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran 1 Email :
[email protected]
2
Abstract A research to determine the effect of Pb-Acetate in the drinking water on fat and protein in meat of growing quail was conducted from 3rd december 2014 until 1st January 2015 at the poultry house, Faculty of Animal Husbandry, Universitas Padjadjaran. The data was analyzed in Laboratory of Animal Physiologi and Biochemistry, Faculty of Animal Husbandry, Universitas Padjadjaran. The purpose of research was to find out about the effect of Pb-acetate in drinking water on concentration of fat and protein in meat of growing quail. This research used an experimental method specifically a Completely Randomized Design (CRD) with three treatment, P0 = 0 ppm (without Pb-acetate in 4 liter drinking water), P1 = 50 ppm (0,36 g Pb in 4 liter drinking water), P2 = 100 ppm (0,73 g Pb in 4 liter drinking water) and eight replications. The results of statistical analysis showed that Pb-Acetat at 0 ppm, 50 ppm, and 100 ppm in drinking water does not influence (P > 0,05) the content of fat and protein in meat of growing quail. Keywords: Japanese quail, Pb, Fat, Protein, Meat Abstrak Penelitian mengenai pengaruh pemberian Pb-Asetat dalam air minum terhadap lemak dan protein daging puyuh fase grower telah dilaksanakan pada tanggal 3 Desember 2014 sampai 1 Januari 2015 di Kandang Kelompok Profesi Ternak Unggas (KPTU), Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran dan telah dianalisis di Laboratorium Fisiologi Ternak dan Biokimia, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian Pb-Asetat dalam air minum terhadap kadar lemak dan protein daging
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
1
puyuh fase grower. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dan analisis statistika Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga macam perlakuan, P0 = 0 ppm (0 gram Pb dalam 4 liter air minum), P1 = 50 ppm (0,36 gram Pb dalam 4 liter air minum), P2 = 100 ppm (0,73 gram Pb dalam 4 liter air minum) dan delapan kali pengulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian PbAsetat dalam air minum memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar lemak dan protein daging puyuh. Kata Kunci : Puyuh Jepang, Pb, Lemak, Protein, Daging Pendahuluan Aktivitas manusia dalam bidang industri, seperti pertambangan batu bara, pemurnian minyak, pembangkit listrik energi minyak,
pengecoran logam,
peleburan besi dan baja, pengabuan sampah, semen, tekstil, pestisida, gelas, dan yang banyak menghasilkan cemaran limbah terutama logam yang mudah menguap dan larut dalam air seperti Pb. Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan menyatakan bahwa bahan pakan tepung ikan mengandung cemaran Pb yang cukup tinggi, demikian pula untuk air tawar yang digunakan sebagai air minum ternak dapat tercemar Pb karena tercampur dengan buangan air limbah, pestisida, dan dari udara secara langsung. Pb merupakan salah satu pencemar yang dipermasalahkan karena bersifat sangat toksik dan tergolong sebagai bahan buangan beracun dan berbahaya (Purnomo dan Muchyiddin, 2007). Pb bisa terkandung di dalam air, makanan, dan udara. Pb di atmosfer berasal dari senyawa hasil pembakaran bensin reguler dan premium yang tidak sempurna (Charlena, 2004). Logam berat Pb bila kadarnya dalam tubuh melebihi ambang batas yang diperbolehkan akan menimbulkan bahaya bagi tubuh, biasanya kadar Pb dalam tanah berkisar 5-25 ppm, dalam air tanah 1-60 ppm dan agak lebih rendah dalam
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
2
air permukaan. Air minum dapat tercemar cukup tinggi oleh Pb karena penggunaan pipa berlapis Pb, cemaran dari penggunaan pestisida merupakan sumber Pb yang lain (Charlena, 2004). Tanaman dapat menyerap Pb pada saat kondisi kesuburan dan kandungan bahan organik tanah rendah. Jika logam lain tidak mampu menghambat keberadaannya, maka akan terjadi serapan Pb oleh akar tanaman. Pb merupakan logam berat yang beracun, dapat dideteksi pada seluruh benda mati di lingkungan dan seluruh sistem biologis. Sejumlah sumber makanan yang berasal dari laut seperti ikan, kerang, serta dari tanaman dan produk turunannya dapat terkontaminasi Pb kemudian memasuki tubuh dan mengakibatkan kerusakan pada jaringan tubuh dengan cara berikatan dengan gugus sulfhidril, sehingga fungsi enzim pada jaringan tubuh akan terganggu kerjanya. Pb juga dapat berikatan dengan enzim pada siklus Krebs, sehingga proses oksidasi fosforilasi tidak terjadi. Namun yang paling berbahaya adalah dengan efek langsung, yaitu
menyebabkan nekrosis pada
lambung dan saluran pencernaan, kerusakan pembuluh darah, perubahan degenerasi pada hati dan ginjal. Tubuh dapat menyerap Pb melalui permukaan kulit dan mukosa, saluran pencernaan dan saluran nafas. Akumulasi pada jaringan tubuh dapat menimbulkan keracunan bagi ternak apabila melebihi batas toleransi (Wardyahyani, 2006). Batas normal penggunaan Pb pada pakan unggas adalah sebesar 1-10 ppm, sedangkan batas ambang tinggi sebesar 20-200 ppm dan batas ambang toksik sebesar lebih dari 200 ppm (Underwood dan Suttle, 1999). Tingkat maksimum pemberian mineral Pb dalam ransum sebesar 30 ppm (National Research Counil (NRC)). Pb yang disuplementasi sebesar 10 ppm dalam bentuk yang larut dalam
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
3
air diberikan pada unggas dalam waktu panjang tidak memberikan pengaruh buruk sedangkan suplementasi sebanyak 100 ppm akan mengakibatkan peningkatan kadar Pb secara nyata dalam jaringan (Piliang, 2000). Konsentrasi Pb yang berlebih dalam tubuh dapat mengganggu kerja enzim oksidase sebagai akibatnya akan menghambat sistem metabolisme sel, yaitu menghambat sintesis protein (Darmono, 1995). Toksisitas Pb mempengaruhi kandungan logam esensial seperti besi (Fe), kalsium (Ca), seng (Zn), selenium (Se), tembaga (Cu), dan khrom (Cr). Pada umumnya, defisiensi mineral esensial tersebut akan dapat meningkatkan absorpsi Pb sehingga dapat menyebabkan keracunan. Sebaliknya bila kelebihan mineral esensial, akan dapat mencegah toksisitas Pb (Darmono, 1999) Secara langsung Pb dapat menghambat kerja enzim, kemudian Pb juga dapat menghambat penyerapan mineral oleh tubuh (Yushui, 2012), selain itu Pb dapat menurunkan kadar antioksidan dan meningkatkan produksi radikal bebas. Ketidakseimbangan antara serangan oksidan dan pertahanan antioksidan pada jaringan dan sel mengarah pada terjadinya kerusakan organ (Wang Lin, 2010).
Materi dan Metode Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Produksi Ternak Unggas dan dianalisis di Laboratorium Fisologi Ternak dan Biokimia Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Kabupaten Sumedang Jawa Barat. Materi Penelitian Ternak yang diamati pada penilitian ini adalah ternak puyuh usia 2 minggu dengan bobot badan relatif sama (koefisien variasi <10%). Puyuh diperoleh dari
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
4
Jua’Jua Quail Farm Kampung Kubangsari Ds. Tenjolaut RT 03 RW 05, Kec. Cikalong Wetan, Kab. Bandung Barat. Puyuh diberikan 3 perlakuan dengan 8 ulangan, dengan cara ditempatkan secara acak ke dalam masing-masing kandang, yang terdiri dari 24 unit kandang dengan masing-masing kandang berisi 5 ekor puyuh. Sehingga jumlah total keseluruhan puyuh adalah 120 ekor. Pemeliharaan puyuh dilakukan selama 31 hari yang terdiri dari 10 hari adaptasi dan 21 hari perlakuan. Rancangan Percobaan Perlakuan dilakukan dengan metode eksperimental. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). Pengujian pengaruh perlakuan digunakan analisis ragam (Uji F) dilanjutkan dengan uji lanjut Orthogonal
Polynomial.
Adapun masing-masing perlakuan
tersebut
adalah
sebagai berikut : P0 = Pemberian ransum + Pemberian air minum P1 = Pemberian ransum + Pemberian Pb asetat 50 ppm dalam air minum P2 = Pemberian ransum + Pemberian Pb asetat 100 ppm dalam air minum Ransum yang Digunakan Ransum yang diberikan adalah konsentrat dengan kode BR-1 berupa crumble yang dibeli dari PT. Shinta Prima Feedmill, dengan komposisi bahanbahan zat makanan terdiri dari Jagung, Dedak, Gluten, Pollard, Tepung Ikan, Bungkil Kedelai, Bungkil Kelapa, Tepung Daging dan Tulang, Bungkil Kacang Tanah, Minyak, Kalsium Fosfat, Kalsium Karbonat, Natrium Klorida, Asam Amino, Trace Mineral, Phospor, Vitamin, Antioksidan. Susunan dan komposisi zat makanan sebagai berikut :
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
5
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Pakan Penelitian Nutrisi Kandungan Ransum Penelitian * EM (KKal/Kg) 2800 PK (%) 21 – 23 Ca (%) 0,9 – 1,2 Phospor (%) 0,7 – 1,0 Serat Kasar 4 Lemak Kasar 4–8
Kebutuhan Puyuh (Fase Grower) ** Min. 2600 Min. 17 0,9 – 1,2 0,6 – 1,0 Maks. 7,00 Maks. 7,00
*Sumber : *PT. Shinta Prima Feedmill ** SNI 01-3906-2006
Hasil dan Pembahasan Pengaruh Pemberian Pb-Asetat dalam Air Minum terhadap Kadar Lemak Daging Puuh Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan lemak daging puyuh dengan pemberian Pb dalam air minum yang diberikan selama 3 minggu adalah sebagai berikut: Tabel 2. Pengaruh Pemberian Pb dalam Air Minum terhadap Kadar Lemak Daging Puyuh Ulangan P0
Kadar Lemak Daging Puyuh P1
Total P2
-------------------- % -------------------1 24,891 20,603 22,481 2 25,188 19,845 21,013 3 21,224 25,160 22,227 4 20,844 25,439 24,833 5 26,270 19,624 23,911 6 20,513 21,571 21,555 7 26,064 25,729 20,421 8 23,473 24,811 24,192 Jumlah 188,467 182,782 180,633 Rataan 23,558 22,848 22,579 Ket: P0 : Tanpa Pb-Asetat dalam air minum. P1 : 50 ppm Pb-Asetat dalam air minum. P2 : 100 ppm Pb-Asetat dalam air minum.
551,882
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
6
Tabel 2 menunjukkan rataan kadar lemak dalam daging puyuh yang diberi Pb-Asetat dalam air minum, yaitu P0 sebesar 23,558 persen, P1 sebesar 22,848 persen dan P2 sebesar 22,579 persen. Rataan kadar lemak daging puyuh tertinggi didapat pada perlakuan P0 yaitu sebesar 23,558 persen sedangkan yang terendah pada perlakuan P2 yaitu 22,579 persen. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa pemberian Pb-Asetat dalam air minum selama 3 minggu pemeliharaan memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05), walau demikian telah terjadi penurunan kadar lemak pada daging. Menurut Hariono (2005) Pb yang terdapat pada makanan dan minuman akan ikut dimetabolisme oleh tubuh dan sebagian lainnya akan diekskresikan melalui ginjal dan usus besar. Dengan kata lain Pb yang dikonsumsi ternak setiap harinya akan terakumulasi dalam tubuh, kemudian didistribusikan ke organ dan jaringan tubuh. Rataan kadar lemak daging diilustrasikan ke dalam sebuah grafik yang tampak seperti pada Ilustrasi 1.
Rataan Kadar Lemak Daging (%)
23,800 23,600 23,400 23,200 23,000 22,800 22,600 22,400 22,200 22,000 0 50 100 Perlakuan Pemberian Pb-Asetat dalam Air Minum (ppm)
Ilustrasi 1. Grafik Persentase Kadar Lemak dalam Daging Puyuh.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
7
Ilustrasi 1 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar lemak dalam daging, hal ini disebabkan oleh terganggunya sistem metabolisme lemak yang terjadi. Berkurangnya daya kerja dari enzim pemecah lemak bisa menjadi salah satu penyebab terjadi penurunan kadar lemak daging, hal tersebut dapat terjadi diantaranya apabila ternak mengalami defisiensi mineral, salah satunya mineral magnesium yang berfungsi untuk mengaktifkan enzim pemecah lemak. Seperti yang dikatakan Darmono (1999) Toksisitas Pb akan mempengaruhi kandungan logam esensial, dimana magnesium merupakan mineral esensial yang sangat diperlukan tubuh sebagai kofaktor dalam metabolisme lemak. Menurut
Wardhayani
(2006)
Pb
mempunyai
kemampuan
untuk
menggantikan gugus logam yang berfungsi sebagai ko-faktor enzim, oleh karena itu ketika ternak mengkonsumsi Pb secara berlebih akan menurunkan absorbsi gugus logam lain yang berperan penting sebagai ko-faktor enzim. Defisiensi mineral juga dapat disebabkan oleh menurunnya absorbsi vitamin, seperti vitamin A, B2, B6, C, dan vitamin D yang berperan penting dalam metabolisme lemak, asam lemak, dan penyerapan mineral-mineral seperti besi, tembaga, kalsium, dan fosfor (Almatsier, 2007). Menurut Lehninger (1995) pada permukaan luar sel-sel lemak terdapat lipoprotein lipase, enzim ini berfungsi untuk menghidrolisis satu atau lebih asam lemak dari triasilgliserol pada kilomikron yang terdapat pada jaringan adiposa. Lipoprotein lipase membebaskan asam lemak bebas yang kemudian diserap dalam adiposit untuk diubah menjadi triasilgliserol untuk disimpan. Pb bila terkonsumsi dalam jumlah banyak akan berikatan dengan protein, dimana protein itu salahsatunya terdiri dari enzim lipase yang berperan penting dalam metabolisme lemak, ketika Pb berikatan dengan enzim tersebut maka kerja enzim tersebut ekan
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
8
terganggu, sehingga berpengaruh terhadap proses pemecahan lemak. Jika lemak yang dihasilkan semakin menurun, maka vitamin larut lemak yang berfungsi dalam penyerapan mineral esensial yang terlibat sebagai kofaktor enzim dalam proses metabolisme lemak akan terganggu juga, hal tersebut akan menurunkan kadar lemak daging ternak. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan kadar lemak pada puyuh yang diberi perlakuan Pb-Asetat dalam air minum, hal ini dapat disebabkan salah satu diantaranya adalah karena masuknya Pb ke dalam tubuh kemudian menggantikan sebagian penyerapan molekul anorganik yang berfungsi sebagai kofaktor enzim lipoprotein lipase, hal ini menyebabkan kerja enzim menjadi tidak optimum dalam menghidrolisis asam lemak dari triasilgliserol pada kilomikron yang
terdapat
pada
jaringan
adiposa,
sehingga
menurunkan
produksi
triasilgliserol. Ternak mengalami penurunan kadar lemak meski penurunan tersebut berbeda tidak nyata. Hal ini juga disebabkan oleh Pb yang terkonsumsi ternak yang ada pada reseptor tertentu telah habis, sehingga reseptor tersebut kembali ke kedudukan normal, hal ini berhubungan erat dengan fungsi homeostasis tubuh ternak, dimana homeostasis ini terjadi apabila ternak mengalami stres dan zona homeostasis terganggu, kemudian tubuh akan berusaha mengembalikan ke kondisi sebelum terjadi karena pengaruh gangguan Pb. Oleh karena itu, pemberian Pb-Asetat pada penelitian ini memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kadar lemak daging puyuh.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
9
Pengaruh Pemberian Pb-Asetat dalam Air Minum terhadap Kadar Protein Daging Puyuh Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan protein daging puyuh dengan pemberian Pb dalam air minum yang diberikan selama 3 minggu adalah sebagai berikut : Tabel 3. Pengaruh Pemberian Pb dalam Air Minum terhadap Kadar Protein Daging Puyuh Ulangan Jum Total lah Protein Daging Puyuh P0 P1 P2 -------------------- % -------------------1 18,20 12,98 2 18,47 17,25 3 17,10 18,51 4 19,76 14,12 5 19,29 12,78 6 18,29 17,42 7 17,04 10,33 8 14,06 18,24 Jumlah 142,21 121,63 Rataan 17,78 15,20 Ket: P0 : Tanpa Pb-Asetat dalam air minum. P1 : 50 ppm Pb-Asetat dalam air minum. P2 : 100 ppm Pb-Asetat dalam air minum.
16,87 16,54 17,39 11,43 16,52 16,55 14,11 16,95 126,36 15,80
390,20
Tabel 3 menunjukkan rataan kadar protein dalam daging puyuh yang diberi Pb-Asetat dalam air minum, yaitu P0 sebesar 17,78 persen, P1 sebesar 15,20 persen dan P2 sebesar 15,80 persen. Rataan kadar lemak daging puyuh tertinggi didapat pada perlakuan P0 yaitu sebesar 17,78 persen sedangkan yang terendah pada perlakuan P1 yaitu 15,20 persen. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian Pb-Asetat dalam air minum selama 3 minggu pemeliharaan memberikan pengaruh tidak nyata (P>0,05), walau demikian telah terjadi penurunan kadar lemak pada daging.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
10
Rataan kadar protein daging diilustrasikan ke dalam sebuah grafik yang
Rataan Kadar Protein Daging (%)
tampak seperti pada Ilustrasi 2. 18,00 17,50 17,00 16,50 16,00 15,50 15,00 14,50 14,00 13,50 0 50 100 Perlakuan Pemberian Pb-Asetat dalam Air Minum (ppm)
Ilustrasi 2. Grafik Persentase Kadar Protein dalam Daging Puyuh Ilustrasi diatas menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar protein dalam daging, hal ini disebabkan oleh terganggunya sistem metabolisme protein yang terjadi. Berkurangnya daya kerja dari enzim pendegradasi asam amino dan pengangkut asam amino yang berhubungan langsung dengan proses sintesis protein ini bisa menjadi salah satu penyebab terjadi penurunan kadar protein daging, hal tersebut dapat terjadi apabila ternak mengalami defisiensi mineral yang disebabkan mineral tersebut berikatan dengan Pb, salah satunya Mg yang berfungsi dalam metabolisme protein terutama sintesis protein. Menurut
Wardhayani
(2006)
Pb
mempunyai
kemampuan
untuk
menggantikan gugus logam yang berfungsi sebagai kofaktor enzim, oleh karena itu ketika ternak mengkonsumsi Pb secara berlebih akan menurunkan absorbsi gugus logam lain yang berperan penting sebagai kofaktor enzim. Defisiensi mineral juga dapat disebabkan oleh menurunnya absorbsi vitamin, seperti vitamin
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
11
A, B2, B6, C, dan vitamin D yang berperan penting dalam metabolisme protein, asam amino, serta penyerapan mineral-mineral seperti besi, tembaga, kalsium, dan fosfor (Almatsier, 2007). Menurut Linder (2006) asam amino bebas masuk ke dalam darah portal untuk didistribusi, dan juga masuk ke dalam hati sebgai prosesor asam amino utama untuk degradasi asam amino berlebih. Ketika Pb telah berikatan dengan protein akan ikut didistribusikan juga ke hati, akumulasi Pb di hati akan menyebabkan nekrosis atau kerusakan sel, hal tersebut akan mengganggu kerja hati dalam dalam melakukan metabolisme protein, hal tersebut akan menurunkan produksi enzim pendegradasi asam amino yang ada dalam hati seperti oksigenasetriptofan dan amino transferase-tirosin, mempunyai respon terhadap asam amino yang masuk dengan jalan berakumulasi sampai level substratnya kembali normal. Asam amino juga merangsang pengeluaran glukagon pankreas. Insulin akan mempercepat pengangkutan asam amino tertentu. Menurut (Abbas, 2009) protein berfungsi sebagai pengatur fungsi-fungsi tubuh diantaranya dalam fisiologis dan metabolisme, salah satunya contohnya karena memiliki zat-zat kekebalan tubuh. Ketika Pb masuk ke dalam tubuh dan beredar sebagai senyawa toksik yang kemudian terlibat dalam proses metabolisme protein, saat itulah protein berfungsi sebagai zat-zat kekebalan tubuh. Ternak dalam penelitian ini mendapat konsumsi protein lebih dari kebutuhan, artinya ternak tidak mengalami kekurangan protein Pb yang masuk ke dalam tubuh akan merusak organ-organ seperti hati dan ginjal, dimana organ-organ tersebut memiliki peranan penting dalam proses metabolisme protein. apabila organ-organ tersebut rusak, maka persentase protein yang terbentuk akan mengalami penurunan, disinilah peran protein sebagai zat-zat
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
12
kekebalan tubuh bekerja, terkait fungsi protein untuk memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Jaringan tubuh yang rusak akan diperbaiki oleh protein yang terkandung dalam tubuh, sebagaimana telah dikatakan bahwa ransum dalam penilitian ini mengandung protein lebih dari yang dibutuhkan oleh ternak pada fase pertumbuhan, protein tersebut dimanfaatkan tubuh untuk memperbaiki jaringan yang rusak yang diakibatkan karena mengkonsumsi Pb-Asetat. Oleh karena itu, pemberian Pb-Asetat pada 0, 50, 100 ppm pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar protein daging puyuh.
Kesimpulan 1. Pemberian Pb Asetat dalam air minum selama 3 minggu pemeliharaan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kadar lemak dan protein daging puyuh. 2. Pemberian tingkat konsentrasi Pb-Asetat sebesar 0, 50, dan 100 ppm dalam air minum selama 3 minggu pemeliharaan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap kadar lemak dan protein daging puyuh.
Daftar Pustaka Abbas, M Hafil. 2009. Fisiologi Pertumbuhan Ternak. Andalas University Press : Padang Almatsier, Sunita. 2007. Penuntun Diet. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Charlena. 2004. Pencemaran logam berat timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) pada sayur sayuran[TRANSLATION: Lead contamination on vegetables in Indonesia] [IN INDONESIAN] Falsafah sains Institute Pertanian Bogor Jawa Barat , Thesis, 30th April 2004, www.rudyct.com/PPS702iPb/09145/charlena.pdf Darmono. 1995. Logam Dalam Sistem Biologi Mahluk Hidu. Universitas Indonesia. Jakarta 63 : 71,
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
13
. 1999. Interaksi Logam Toksik dengan Logam Esensial dalam Sistem Biologik dan Pengaruhnya terhadap Kesehatan Ternak. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Hariono, Bambang. Efek Pemberian Plumbum (Timah Hitam) Anorganik pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus). Bagian Patologik Klinik FKH UGM, 2005. Lehninger, 1995, Dasar-dasar Biokimia, Jilid I, II, dan III diterjemahkan oleh Maggy Thenajaya, Erlangga, Jakarta. Linder, Maria C. 2006, Biokimia Nutrisi dan Metabolisme, Universitas Indonesia, Jakarta. National Reaserch Council (NRC). 1994. Nutrient Requirement of Poultry. 9th Revised Ed. National Academy Press, Washington D. C. Piliang, G. W. 2000. Nutrisi Mineral, Edisi ke-3. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor. SNI 01-3906-2006, Pakan Puyuh Dara (Quail Grower). 2006. Underwood, E.J. dan F.F. Suttle. 1999. The Mineral Nutrition of Livestock. 3rdEdition. CABI Publishing. UK. Yushui M, Fu Da, Liu Zongping, 2012. Effect of lead an apoptosis in cultured rat primary osteoblast.Toxicology and Industrial Health. 28(2) : 136-146. Wang Lin, Wang Zengyong, Liu Jianzhu, 2010. Protective effect of Nacetilcysteine on experimental chronic lead nephrpotoxicity in immature famale rats.Human and Experimental Toxicology. 29(7) : 581-591. Wardhayani, Sutji, 2006. Analisis Risiko Pencemaran Bahan Toksik Timbal (Pb) Pada Sapi Potong Di Tempat Pembuangan Akhir (Tpa) Sampah Jatibarang Semarang. Magister Kesehatan Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Konsentrasi Kesehatan Lingkungan Industri. Semarang.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran
14