PEMBERIAN RELAKSASI BENSON TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN TN. W DENGAN PASCA BEDAH BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA DI RUANG MAWAR II RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
DI SUSUN OLEH:
ULFAH APRILIYANA P12.117
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2015
i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulisan panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN RELAKSASI BENSON TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN TN.W DENGAN PASCA BEDAH BENIGNA PROSTAT HYPERPLASIA DI RUANG MAWAR II RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA” Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulisan banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulisan ini penulisan mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1. Atiek Murharyati, S,Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Ketua Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns.,M.Kep, selaku Sekertaris Program Studi DIII Keperawatan yang telah memberi kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta dan selaku dosen penguji I yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan inspirasi perasaan nyaman dalam bimbingan serta mefasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 3. Fakhrudin Nasrul Sani, S.Kep, Ns., M.Kep sebagai dosen pembimbing yang telah membimbing dengan cermat serta member masukan, inspiransi, dengan perasaan yang nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
v
4. Diyah Ekarini, S.Kep,. Ns selaku dosen penguji I yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan inspirasi perasaan nyaman dalam bimbingan serta mefasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 5. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermafaat. 6. Kedua orang tua saya, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 7. Teman-teman mahasiswa Program Studi DIII keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan dan spiritual.
Semoga laporan studi ini bermafaat untuk perkrmbangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta,
Penulis
vi
Mei 2015
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL …………………………………………………............
i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ......................................
ii
LEMBAR PESETUJUAN …………………………………………………..
iii
HALAMAN PENEGESAHAN ……………………………………………..
iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………………
v
DAFTAR ISI ………………………………………………………………...
vii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………..
ix
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….
x
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………………….
1
B. Tujuan Penulisan …………………………………………..
4
C. Manfaat Penulisan …………………………………………
5
TINJUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori
BAB III
1. Benigna Prostat Hiperplasy …………………………..
6
2. Nyeri …………...……………………………………...
19
3. Relaksai benson…………………………………….....
24
B. Kerangka Teori ……………………………………………
27
C. Kerangka Konsep …………………………………………
28
METODE PENYUSUNAN KTI APLIKASI RISET A. Subjek Aplikasi Riset …………………………………….. 29 B. Tempat dan Waktu ……………………………………….. 29 C. Media dan Alat yang digunakan ………………………… 29 D. Prosedur Tindakan berdasarkan Aplikasi Riset …………. 29 E. Alat Ukur Evaluasi tindakan Aplikasi Riset ……………... 30
vii
BAB IV
LAPORAN KASUS A. Identitas pasien …………………………………………… 31 B. Pengkajian ………………………………………………... 31 C. Perumusan masalah keperawatan ………………………… 38 D. Perencanaan ………………………………………………. 39 E. Implementasi ……………………………………………... 41 F. Evaluasi …………………………………………………... 45
BAB V
PEMBAHASAN A. Pengkajian ……………………………………………….. 48 B. Perumusan masalah keperawatan ………………………... 54 C. Perencanaan ……………………………………………… 57 D. Implementasi …………………………………………….. 61 E. Evaluasi ………………………………………………….. 64
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……………………………………………… 67 B. Saran …………………………………………………….. 70
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman 2.1 Gambar Skala Analog Visual ………………………………………… 20 2.2 Gambar Skala Numerik Rating Scale ……………………………….... 21 2.3 Gambar Skala Deskritif ………………………………………………. 21 2.4 Gambar Kerangka Teori ……………………………………………… 27 2.5 Gambar Kerangka konsep ……………………………………………. 28 4.1 Gambar Genogram ………………………………………………….... 33
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Format Pendelegasian Pasien
Lampiran 2
Log Book
Lampiran 3
Lembar Konsultasi Karya Ilmiah
Lampiran 4
Asuhan Keperawatan
Lampiran 5
Jurnal
Lampiran 6
Daftar Riwayat Hidup
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Beniga Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra (Schwartz, 2009). Menurut Giddens (2004), mengatakan bahwa BPH merupakan penyebab ganguan dan sumbatan aliran kemih yang paling banyak banyak dijumpai pada pria lanjut usia. Data rekam medis sebuah Rumah Sakit di Jakarta dari bulan OktoberDesember 2007 menunjukkan pasien BPH berjumlah 41 kasus diantaranya pada 30 kasus (73%) di lakukan bedah TUR Prostat. Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan pengobatan untuk prostat hyperplasia, yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan umur. Data dari rekam medic Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta pada tahum 2013 terdapat 360 pasien, tahun 2014 terdapat 453 pasien, dan pada tahun 2015 terdapat 80 pasien yang mengalami Benigna Prostat Hiperplasia (Rekam Medik RS. Dr. Moewardi, 20150. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik
yang
kemudian
1
bermanifestasi
menjadi
kelainan
2
makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik. Beberapa pasien BPH mengalami penyakit ini ketika berusia diatas 50 tahun dan lebih dari 80% yang mengalami penyakit ini pada usia diatas 80 tahun (Lewis, Heitkemper, & Dirsken 2004). Penatalaksanaan jangka panjang yang terbaik pada pasien BPH adalah dengan pembedahan, karena pemberian obat-obata terapi non invasive lainnya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk melihat keberhasilan. Salah satu tindakan pembedahan yang paling banyak dilakukan pada pasien Beniga Prostat Hiperplasia (BPH) adalah pembedahan Transuretal Resection of The Prostate (TUR Prostat) (Purnomo, 2007). Tur Prostat merupakan prosedur pembedahan dengan memasukkan resektoskopi melalui uretra untuk mengeksisi dan mengkauterisasi atau mereksesi kelenjar prostat yang obstruksi. Prosedur pembedahan Tur Prostat menimbulkan luka bedah yang akan mengeluarkan mediator nyeri dan menimbulkan nyeri pasca bedah (Purnomo, 2007). Penatalaksanaan nyeri pasca bedah yang tidak tepat dan akurat akan meningkatkan
resiko
komplikasi,
menambah
biaya
perawatan,
memperpanjang hari rawat, memperlambat proses penyembuhan (Vaughn, Wichowwski, & Bosworth, 2007). Intervensi keperawatan yang dilakukan perawat untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri pasca bedah dilakukan pendekatan farmakologis dan non farmakologis. Intervensi non farmakologis merupakan terapi paling lengkap untuk mengurangi nyeri
3
pasca bedah dan bukan sebagai pengganti utama terapi analgesik yang telah diberikan. The Agency for Health Care Policy and Rsearch (AHCPR) merekomundasikan bahwa kombinasi intervensi farmakologis dan non farmakologis merupakan cara terbaik untuk mengontrol nyeri pasca bedah (Roykulcharoen, 2003). Salah satu intervensi non farmakologis yang dilakukan oleh perawat untuk mengurangi nyeri dengan relaksasi benson. Relaksasi benson merupakan salah satu intervensi nonfarmakologis yang digunakan untuk mengurangi nyeri pasca bedah. Relaksasi benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi dengan melibatkan faktor kenyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan yang internal sehingga dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan kesejahteraan lebih tinggi (Benson & Proctor, 2002). Hasil penelitian Datak dkk (2008), menyatakan bahwa relaksasi benson efektif untuk mengurangi nyeri pasca bedah. Relaksasi Benson dikembangkan dari metode respons relaksasi dengan melibatkan faktor keyakinan (faith factor). Pasien melakukan relaksasi dengan mengulang kata atau kalimat yang sesuai dengan keyakinan responden sehingga menghambat impuls noxius pada system kontrol descending (gate control theory) dan meningkatkan kontrol terhadap nyeri. Berdasarkan pengkajian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan aplikasi jurnal dalam asuhan keperawatan yang tertuang dalam Karya Tulis Ilmiah “Pemberian relaksasi benson terhadap penurunan nyeri pada asuhan
4
keperawatan Tn. W dengan pasca operasi Benigna Prostat Hyperplasia di ruang Mawar II RSUD Moewardi Surakarta
B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Mengaplikasikan tindakan pemberian relaksasi benson terhadap penurunan nyeri pasca bedah pada Tn. W dengan Benigna Prostat Hiperplasia di Rumah Sakit Dr. Moewardi di Surakarta. 2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia. b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia. c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia. d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia. e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada pasien dengan Benigna Prostat Hiperplasia. f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian relaksasi benson terhadap penurunan nyeri pasca bedah pada Tn. W dengan Benigna Prostat Hiperplasia.
5
C. Manfaat Penulis 1. Bagi Penulis Penulis dapat meningkatkan kemampuan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien nyeri pasca bedah TUR prostat serta melengkapi pengetahuan penulis dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah. 1. Bagi Institusi a. Rumah Sakit Karya tulis ini diharapkan dapat digunakan sebagai asuhan dalam melakukan asuhan keperawatan khususnya bagi pasien dengan nyeri pasca bedah TUR prostat. b. Instansi Akademik Digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan dalam pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang, tentang Penurunan nyeri pasca bedah pada pasien TUR prostat melalui relaksasi benson. c. Bagi Pasien dan Keluarga Pasien dan keluarga mendapatkan informasi dan pengetahuan tentang cara mengontrol penurunan nyeri pasca bedah TUR prostat. 2. Bagi Pembaca Sebagai sumber informasi bagi pembaca tentang penyakit dan cara perawatan pasien dengan nyeri pasca bedah TUR prostat.
BAB II TINJUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori 1. Benigna Prostat Hiperplasy a. Definisi Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria usia lebih dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretal dan pembatasan aliran urinarius (Elin, 2009). Hipertrofi
prostat
merupakan
kelainan
yang
sering
ditemukan pada laki-laki usia lebih dari 50 tahun. Hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi sebenarnya hyperplasia kelenjar periuretral yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). b. Etiologi Bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan testosterone estrogen karena produksi testosterone menurun dan terjadi konversi testosterone menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Perubahan mikroskopik ini terus berkembang, akan terjadi patologik anatomik. Pada lelaki usia 50 tahun, angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada
6
7
usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan dan tanda klinis. Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan, efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan. Pembesaran prostat terjadi pada tahap awal, resistensi pada leher vesika dan daerah prostat meningkat, dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trabekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat detrusor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula, sedangkan yang besar disebut divertikum. Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding. Apabila keadaan berlanjut, detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terajdi retensi urin (Sjamsuhidajat dan Jong, 2005). c. Patofisiologi Prostat yang besar akan menekan uretra sehingga timbul obstruksi urine, yang juga mengakibatkan hipertrofi otot-otot vesika urina sebagai kompensasi. Hipertrofi otot membentuk kantong yang berisi urin. Tidak semua urine yang ada dalam kantong ini dapat dikeluarkan ketika pasien berkemih (retensi urine dalam kantong). Makin lama tonus otot-otot vesika urinaria menjadi jelek. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka
8
ada statis urine. Karena statis, urine menjadi alkalin dan bisa menjadi medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Obstruksi urin berkembang secara perlahan. Aliran urin tidak banyak dan tidak deras. Sesudah berkemih, masih ada urine yang menetes. Pasien juga merasa bahwa vesika urinari tidak menjadi kosong setelah berkemih. Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urine. Vesika urinaria mengalami iritasi dari urine yang tertahan di dalamnya. Pasien ini juga mengalami nokturia, disuria, urgensi, dan sering berkemih. Hematuria bisa timbul karena ruptur pembuluh darah. Refluks dari urine bisa menyebabkan masalah ginjal seperti hidronefrosis dan piolonefritis (Baradero dkk, 2007) d. Manifestasi Klinis Secara lebih detail tanda dan gejala penyakit BPH menurut (Elin, 2009): 1) Kelenjar prostat membesar dan menjadi lebih nodular. 2) Mengejan ketika berkemih. 3) Anyang-anyangan ketika mulai berkemih 4) Penuruan derasnya urin. 5) Urin masih menetes sesudah berkemih. 6) Nokturia. 7) Disuria. 8) Hematuria. 9) Urgensi.
9
Jenis penanganan pada pasien dengan tumor prostat tergantung pada berat gejala kliniknya. Berat derajat klinik dibagi menjadi empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Seperti yang tercantum dalam bagan berikut ini: a) Derajat I Colok dubur: penonjolan prostat, atas atas mudah diraba. Sisa volume urin: <50ml. b) Derajat II Colok dubur: penonjolan prostat jelas, batas atas mudah dicapai. Sisa volume urin: 50-100ml. c) Derajat III Colok dubur: batas atas prostat,tidak dapat di raba. Sisa volume urin: >100ml. d) Derajat IV Colok dubur: batas atas prostat, tidak dapat diraba Sisa volume: retensi urin total. e. Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pasien Benigna Prostat Hiperplasia terdiri dari penatalaksanaan medis, penatalaksanaan keperawatan dan penatalaksanaan diit (Yakobus, 2007):
10
1) Penatalaksanaan medis a) Pemberian obat-obatan antara lain Alfa 1-blocker seperti : doxazosin, prazosin tamsulosin dan terazosin. Obat-obat tersebut menyebabkan pengenduran otot-otot pada kandung kemih sehingga penderita lebih mudah berkemih. Finasterid, obat ini menyebabkan meningkatnya laju aliran kemih dan mengurangi gejala. Efek samping dari obat ini adalah berkurangnya gairah seksual. Untuk prostatitis kronis diberikan antibiotik. b) Pembedahan (1) Trans urethral reseksi prostat (TUR atau TURP) prosedur pembedahan yang dilakukan melalui endoskopi TUR dilaksanakan bila pembesaran terjadi pada lobus tengah yang langsung melingkari uretra. Jaringan yang mengalami reseksi sehingga pendarahan yang besar dapat dicegah dan kebutuhan waktu untuk bedah tidak terlalu lama. Restoskop sejenis instrumen hampir serupa dengan cystoscope tapi dilengkapi dengan alat pemotong dan couter yang disambungkan dengan arus listrik dimasukan lewat uretra. Kandung kemih dibilas terus menerus selama prosedur berjalan. Pasien mendapat alat untuk masa terhadap shock listrik dengan lempeng logam yang diberi pelumas yang ditempatkan pada
11
bawah paha. Kepingan jaringan yang halus dibuang dengan irisan dan tempat tempat pendarahan dihentikan dengan couterisasi. TUR dipasang folley kateter tiga saluran ( three way cateter ) ukuran 24 Fr yang dilengkapi
balon
30-40
ml.
Balon
kateter
dikembangkan, kateter ditarik kebawah sehingga balon berada pada fosa prostat yang bekerja sebagai hemostat. Kemudian
ditraksi
pada
kateter
folley
untuk
meningkatkan tekanan pada daerah operasi sehingga dapat mengendalikan pendarahan. Ukuran kateter yang besar
dipasang
untuk
memperlancar
membuang
gumpalan darah dari kandung kemih. (2) Prostatektomi suprapubis adalah salah satu metode mengangkat kelenjar prostat dari uretra melalui kandung kemih. (3) Prostatektomi perineal adalah mengangkat kelenjar prostat melalui suatu insisi dalam perineum yaitu diantara skrotum dan rektum. (4) Prostatektomi
retropubik
adalah
insisi
abdomen
mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih.
12
(5) Insisi prostat transuretral (TUIP) adalah prosedur pembedahan dengan cara memasukkan instrumen melalui uretra. (6) Trans Uretral Needle Ablation ( TUNA ), alat yang dimasukkan melalui uretra yang apabila posisi sudah diatur, dapat mengeluarkan 2 jarum yang dapat menusuk adenoma dan
mengalirkan panas sehingga terjadi
koagulasi sepanjang jarum yang menancap dijaringan prostat. 2) Penatalaksanaan keperawatan: a) Mandi air hangat. b) Segera berkemih pada saat keinginan untuk berkemih muncul. c) Menghindari minuman beralkohol. d) Menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam hari. e) Untuk mengurangi nokturia, sebaiknya kurangi asupan cairan beberapa jam sebelum tidur. 3) Penatalaksanaan diit: Klien dengan BPH dianjurkan untuk menghindari minuman beralkohol, kopi, teh, coklat, cola, dan makanan yang terlalu berbumbu serta menghindari asupan cairan yang berlebihan terutama pada malam hari.
13
f. Komplikasi Menurut Arifiyanto (2008), komplikasi yang dapat terjadi pada BPH adalah: 1. Retensi kronik dapat menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal. 2. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi pada waktu miksi. 3. Karena selalu terdapat sisa urin sehingga menyebabkan terbentuknya batu. 4. Hematuria. 5. Disfungsi seksual. g. Asuhan Keperawatan 1) Pengkajian Beberapa hasil kajian pada pasien BPH menurut Elin (2007) yaitu: a) Sebagian besar pasien datang dengan keluhan hematuria tanpa nyeri. b) Disuria, yaitu peningkatan frekuensi pada kandung kemih. c) Gejala frekuensi dan urgensi pada urinasi. d) Penurunan berat badan. e) Nyeri tulang. f) Inkontensia urin. g) Nyeri abdomen.
14
h) Fatigue. Pada pemeriksaan kandung kemih, perhatikan adanya benjolan atau masa di suprafisis. Masa di daerah suprasifis karena kandung kemih terisi penuh dari suatu retensi urine. Palpasi dan perkusi kandung kemih untuk menentukan batas kandung kemih dan adanya nyeri tekan pada area suprasifis (Muttaqin & Sari, 2009). 2) Menurut Nurarif & Kusuma (2013), diagnosa yang dilakukan kepada klien yaitu: a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. b) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering. c) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal. d) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik. e) Resiko tinggi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. 3) Menurut Nurarif & Kusuma (2013), intervensi keperawatan yang dilakukan kepada klien yaitu: a) Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik.
15
(1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi. (2) Ajarkan tentang teknik non farmakologis. (3) Kontrol lingkungan yang dapat dipengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan. (4) Kalaborasi pemberian analgetik. b) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih sering. (1) Observasi luka pasca operasi. (2) Lakukan medikasi pada luka. (3) Ajarkan pada pasien atau keluarga untuk teknik perawatan luka. (4) Kalaborasi pemberian obat antibiotic. c) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal. (1) monitoring vital sign sebelum atau sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan. (2) Latih pasien dalam pemenuhan ADLS secara mandiri sesuai kebutuhan. (3) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika di perlukan.
16
(4) Konsultasi dengan terapi fisik tentang ambulasi sesuai dengan kebutuhan. d) Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan obstruksi anatomik. (1) Lakukan irigasi kateter secara berkala atau terusmenerus dengan teknik steril (2) Atur posisi selang kateter dan urin bag sesuai gravitasi dalam keadaan tertutup (3) Observasi
adanya
tanda-tanda
shock/hemoragi
(hematuria, dingin, kulit lembab, takikardi, dispnea) (4) Mempertahankan kesterilan sistem drainage cuci tangan sebelum dan sesudah menggunakan alat dan observasi aliran urin serta adanya bekuan darah atau jaringan. e) Resiko tinggi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (1) Monitor tanda-tanda vital. (2) Pertahankan catatan intake dan output. (3) Dorong masukan oral. (4) Kalaborasi cairan intravena.
2. Nyeri a. Definisi Nyeri merupakan bentuk ketidaknyamanan yang dapat dialami oleh setiap orang. Rasa nyeri dapat menjadi peringatan terhadap
17
adanya ancaman yang bersifat aktual maupun potensial, namun nyeri bersifat subyektif dan sangat individual. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, budaya dan lain sebagainya (Andarmoyo, 2013). Nyeri merupakan cara tubuh untuk memberitahu kita bahwa terjadi sesuatu yang salah, nyeri bekerja sebagai suatu system alam yang merupakan sinyal yang memberitahukan kita untuk berhenti melakukan sesuatu yang mungkin menyakitkan kita, dengan cara ini melindungi kita dari keadaan yang berbahaya. Alasan ini nyeri seharusnya ditangani secara serius (Guide, 2007). b. Klasifikasi Nyeri Menurut Andarmoyo (2013), klasifikasi nyeri dibedakan menjadi dua yaitu: 1) Nyeri akut Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cidera akut penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat. Untuk tujuan definisi, nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung dari beberapa detik hingga enam bulan. Fungsi nyeri akut ialah member peringatan akan suatu cidera atau penyakit yang akan datang.
18
Nyeri akut akan berhenti dengan sendirinya (self-limiting) dan akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang terjadi kerusakan. Nyeri akut berdurasi singkat (kurang dari 6 bulan), memiliki omset yang tiba-tiba dan berlokalisasi. Nyeri ini biasanya disebabkan trauma bedah atau inflamasi. Kebanyakan orang pernah mengalami nyeri sejenis ini, seperti pada saat sakit kepala, sakit gigi, terbakar, tertusuk duri, persalinan, pasca pembedahan dan lain sebagainya. Nyeri akut terkadang desertai oleh aktifitas system saraf simpatis yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, diaphoresis, dan dilatasi pupil. Secara verbal pasien yang mengalami nyeri yang melaporkan adanya ketidaknyamanan berkaitan dengan nyeri yang dirasakan. Pasien yang mengalami nyeri akut biasanya juga akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan, mengerutkan wajah, atau menyeringai. a) Nyeri kronik McCaffery (1986) dalam Potter & Perry (2006) nyeri kronik adalah nyeri konstan atau interminten yang menetap suatu panjang waktu. Nyeri kronik berlangsung lebih dari 6 bulan. Nyeri kronik tidak dapat mempunyai awitan yang
19
ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronik dibagi menjadi dua, yaitu nyeri kronik nonmalignan dan malignan (Potter & Perry, 2006). Shceman (2009) dalam Potter & Perry (2006) nyeri kronik nonmalignan merupakan nyeri yang timbul akibat cidera jaringan yang progresif atau yang menyembuh, biasa timbul tanpa penyebab yang jelas misalnya nyeri pinggang bawah, nyeri
yang didasari
atas
kondisi
kronis,
misalnya
osteoporosis. Portenoy (2007) dalam Potter & Perry (2006). Nyeri kronik malignan yang disebut juga nyeri kanker memiliki penyebab nyeri yang dapat diidenfikasi yaitu terjadi akibat perubahan pada syaraf. Perubahan ini terjadi biasa karena penekanan pada syaraf akibat mestastasis selsel kanker maupun pengaruh zat-zat kimia maupun pengaruh zat-zat kimia yang dihasilkan oleh kanker itu sendiri. c. Penilaian Respon Intensitas Nyeri Menurut Tamsuri (2007) dalam intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual serta kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
20
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri. Penilaian Intensitas nyeri dapat dilakukan dengan skala sebagai berikut: 1) Skala Analog Visual
Gambar 2.1 Skala Analog Visual Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) adalah suatu garis lurus / horizontal sepanjang 10cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini member pasien kebebasan penuh untuk mengidenfikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitive karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada di paksa memilih satu kata atau angka (Potter & Perry, 2006). 2) Skala Numerik Rating Scale
Gambar 2.2 Skala Numerik Rating Scale
21
Skala penelian numerik (Numerical Rating Scale, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata (Maryunani, 2013). Dalam hal ini pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik (Potter & Perry, 2006). 3) Skala Deskritif
Gambar 2.3 Skala Deskritif Keterangan: 0
: Tidak nyeri
1-3
: Nyeri ringan Secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6
: Nyeri sedang Secara obyektif pesien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan
lokasi
nyeri,
dapat
mendiskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
22
7-9
: Nyeri berat Secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat. Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul. d. Respon Fisiologis Terhadap Nyeri Perubahan atau respon fisiologis dianggap sebagai indikator nyeri yang lebih akurat dibandingkan laporan verbal pasien. Respon fisiologis harus digunakan sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak sadar dan jangan digunakan untuk mencoba memvalidasi laporan verbal dari nyeri individu. Respon fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju ke batang otak dan hipotalamus, system saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari respon stress. Stimulasi pada cabang simpatis pada system saraf otonom menghasilkan respon fisiologis. Apabila nyeri terus menerus, berat, dalam dan melibatkan organorgan dalam atau viseral maka system saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi (Smeltzer & Bare, 2002).
23
e. Tujuan strategi penatalaksanaan nyeri. Menurut Andarmoyo (2013), dalam dunia keperawatan manajemen nyeri dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1) Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri. 2) Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri kronis yang persisten. 3) Mengurangi
penderita
dan
atau
ketidakmampuan
atau
ketidakberdayaan akibat nyeri. 4) Meminimalkan reaksi yang tak diinginakan atau intoleransi terhadap terapi nyeri. 5) Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien untuk menjalankan aktifitas pasien seharihari. f. Karakteristik Nyeri Menurut Andarmoyo (2013), untuk membantu pasien dalam mengutarakan masalah atau keluhannya secara lengkap, pengkajian yang
dilakukan
untuk
mengkaji
karakteristik
nyeri
bisa
menggunakan pendekatan analisis symptom. Komponen pengkajian analisis symptom meliputi (PQRST): P (Paliatif/Profocatif = yang menyebabkan timbulnya masalah), Q (Quantity/Quality = Kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan), R (Region = Lokasi nyeri), S (Severity = keparahan), T (Time = waktu).
24
3. Relaksasi Benson a. Definisi Relaksasi adalah sebuah keadaan dimana seseorang terbebas dari tekanan dan kecemasan atau kembalinya keseimbangan (equilibrium) setelah terjadi gangguan (Candra, 2013). Teknik relaksasi menghasilakan respon fisiologis yang terintegrasi dan juga mengganggu bagian dari kesadaran yang dikenal sebagai “respon relaksasi benson” (Trianto, 2014). Relaksasi benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat membantu pasien mencapi kesehatan dan kesejahteraan lebih tinggi (Benson & Proctor, 2006). b. Macam-macam teknik relaksasi benson. 1) Relaksasi otot, relaksasi ini bertujuan untuk mengurangi nyeri ketegangan dan kecemasan dengan cara melemaskan otot-otot badan, dimulai dari otot ibu jari kaki sampai kepala. 2) Relaksasi kesadaran indra dalam kondisi rileks, pasien diberi perintah-perintah dan diminta untuk merasakan pertanyaan yang membuat
rileks,
dengan
menciptakan ketenangan.
membayangkan
hal-hal
yang
25
3) Relaksasi meditasi, relaksasi yang memakai ritual keagamaan atau sejenisnya, sebagai sarana pencarian tempat bersandar demi terjadinya kedekatan antara manusia dengan tuhan. c. Teknik relaksasi benson Setyawati (2005), menyatakan bahwa teknik relaksasi nafas dalam dilakukan oleh pasien dengan memejamkan mata dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi “hirup, dua, tiga” dan ekshalasi “hembuskan, dua, tiga (sambil mengucap dengan nama Tuhan). Perawat mengajarkan teknik ini, akan sangat membantu bila menghitung dengan keras bersama pasien pada awalnya pasien terampil dalam melakukan teknik relaksasi pasien harus sering berlatih. d. Langkah-langkah teknik relaksasi benson Langkah-langkah teknik relaksasi benson menurut Setyawati (2005) yaitu, tidur tenang dalam posisi nyaman dan rileks, memejamkan mata dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi “hirup, dua, tiga” dan ekshalasi “hembuskan, dua, tiga (sambil mengucap dengan nama Tuhan), lakukan selama 15 menit. Kemudian, bukalah mata secara perlahan, lakukan kegiatan ini minimal satu kali sehari.
26
B. Kerangka teori
Hormon esterogen & testosteron tidak seimbang
Faktor usia
Sel stroma pertumbuhan berpacu
Sel prostat umur panjang
Prolikerasi abnormal sel sterm
Sel yang mati kurang
Produksi stroma dan epitel berlebihan
Prostat membesar
Penyempitan Resiko perdarahan lumen ureter prostatika relaksasi benson Iritasi Pemasangan Obstruksi mukosa DC kandung kencing terputusnya Retensi urin Nyeri akut jaringan
TURP
Kurangnya informasi terhadap pembedahan
Ansietas Hidro ureter
Hidronetitis
Gangguan eliminasi urin
Rangsangan syaraf diameter kecil
Luka
Tempat masuknya organisme Gate kontrol Terbuka
Resiko ketidak efektifan Perfusi ginjal
Gambar 2.4 Kerangka Teori
Resiko Infeksi
27
C. Kerangka konsep
Nyeri pasca bedah TUR Prstat
Relaksai benson
Nyeri teratasi
Gambar 2.4 Kerangka Teori
BAB III METODE PENELITIAN
A. Subjek Aplikasi Riset Subyek dari aplikasi riset adalah penurunan nyeri pasca bedah pasien TUR Prostat melalui relaksasi benson. B. Tempat dan Waktu Aplikasi riset ini direncanakan akan dilakukan di ruang Mawar II Rumah Sakit Dr. Moewardi pada tanggal 10-11 Maret 2015. C. Media dan Alat yang digunakan Dalam aplikasi riset ini media dan alat yang digunakan: Skala NRS (Numeric Rating Scale) dan lembar observasi. D. Prosedur Tindakan Prosedur tindakan yang akan dilakukan pada aplikasi riset tentang pengaruh terapi relaksasi benson adalah: Langkah-langkah teknik relaksasi benson menurut Setyawati (2005) yaitu, tidur tenang dalam posisi nyaman dan rileks, memejamkan mata dan bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi “hirup, dua, tiga” dan ekshalasi “hembuskan, dua, tiga (sambil mengucap dengan nama Tuhan), lakukan selama 15 menit. Kemudian, bukalah mata secara perlahan, lakukan kegiatan ini minimal satu kali sehari. E. Alat ukur
28
29
NRS (Numerical Ranting Scale)
0
1
2
3
Tidak Nyeri Ringan Nyeri
4
5
6
Nyeri Sedang
Keterangan: 0
: Tidak nyeri.
1-3
: Nyeri ringan.
7
8
9
Nyeri Berat Terkontrol
10 Nyeri Berat Tidak Terkontrol
Secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6
: Nyeri sedang. Secara obyektif pesien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendiskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9
: Nyeri berat. Secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan
lokasi
nyeri,
tidak
dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi. 10
: Nyeri sangat berat. Pasien memukul.
sudah
tidak
mampu
lagi
berkomunikasi,
BAB IV LAPORAN KASUS
Bab ini menjelaskan tentang Asuhan Keperawatan nyeri pada Tn. W dengan benigna prostat hyperplasia yang dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 2015 sampai 11 Maret 2015. Asuhan Keperawatan yang terdiri dari identitas klien, pengkajian, perumusan masalah keperawatan, perencanaan keperawatan, implementasi dan evaluasi keperawatan.
A. Identitas Klien Pengkajian pada tanggal 10 maret 2015 jam 09:00 WIB, didapatkan hasil identitas pasien, bahwa bernama Tn. W, umur 59 tahun, agama islam, pendidikan terakhir SD, bekerja sebagai petani, alamat wuryantoro wonogiri. Penanggung jawab Tn. W, adalah Ny. M, umur 34 tahun, alamat wuryantoro wonogiri, dan hubungan dengan pasien adalah sebagai anak.
B. Pengkajian Pengkajian pada tanggal 10 maret 2015 jam 09:00 WIB, pada kasus ini diperoleh dengan cara autonamnesa dan alloanamnesa, mengadakan pengamatan atau observasi langsung, pemeriksaan fisik, menelaah catatan medis, dan catatan perawat. Data pengkajian tersebut didapatkan hasil, keluhan utama yang dirasakan pasien saat dikaji adalah merasakan nyeri abdomen kiri bawah. Riwayat penyakit sekarang, pasien mengatakan 8 jam sebelum masuk
30
31
rumah sakit mengeluhkan tidak bisa buang air kecil (BAK), awalnya BAK hanya sedikit-sedikit. Pasien dibawa ke Rumah Sakit Medika Mulya Wonogiri pada tanggal 27 Februari 2015 jam 07.45 WIB. Rumah sakit tersebut pasien dianjurkan untuk rujuk dan kemudian pasien dibawa keluarga rujuk ke rumah sakit Dr. Moewardi. Pasien dibawa dari IGD rumah sakit Dr. Moewardi pada tanggal 27 Februari 2015 jam 13.00 WIB. Didapatkan hasil observasi tekanan darah 190/100 mmHg, frekuensi nadi 88 kali per menit, suhu 37.6˚C, frekuensi pernafasan 20 kali per menit, kemudian pasien mendapatkan terapi infuse ringer laktat 20 tetes per menit, dan pasien nampak meringis menahan sakit, kemudian pasien pada tanggal 27 Februari 2015 jam 19.00 WIB dibawa keruang mawar II untuk pemeriksaan lebih lanjut, dokter mendiagnosa pasien menderita benigna prostat hyperplasia dan pasien dilakukan pembedahan post Sache TUR prostat di stiktur uretra pada tanggal 09 Maret 2015 jam 10.00 WIB. Riwayat penyakit dahulu pasien mengatakan pernah rawat jalan kurang lebih satu tahun yang lalu dengan diagnosa Benigna Prostat Hiperplasia, pasien mempunyai riwayat hipertensi, pasien tidak mempunyai riwayat alergi baik obat-obatan maupun makanan. Kebiasaan pasien apabila sakit sering dibawa ke puskesmas dan Rumah Sakit Medika Mulya Wonogiri. Riwayat kesehatan keluarga pasien mengatakan dikeluarganya tidak ada yang menderita penyakit seperti Tn. W.
32
Gambar 4.1 Genogram Keterangan: atau
: pasien meninggal : pasien perempuan : pasien laki-laki
----------
: hidup dalam satu rumah : Pasien
Riwayat kesehatan lingkungan pasien mengatakan rumahnya bersih. Jauh dari pabrik, selokan rumah bersih, rumah ada ventilasi, rumah mempunyai sarana MCK yang memadai, air dari sumur, wilayah desa sehat. Hasil pengkajian pola gordon, pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien bahwa sehat itu penting, pasien menjaga kesehatan keluarganya dengan cara selalu sarapan pagi dan makan tepat waktu. Saat ada keluarga yang sakit selalu dibawa ke pusat pelayanan kesehatan terdekat seperti puskesmas.
33
Pola nutrisi dan metabolisme didapatkan hasil sebelum sakit pasien mengatakan jenis makanan yang dikonsumsi nasi, sayur, lauk, air putih, makan 3 kali sehari, 1 porsi habis, tidak ada keluhan, selama sakit pasien mengatakan jenis makanan yang dikonsumsi nasi, sayur, lauk, air putih, makan 3 kali sehari, 1 porsi habis, tidak ada keluhan. Pada pola eliminasi, sebelum sakit BAK pasien 6-7 kali per hari dengan warna kuning, jumlah kurang lebih 45cc setiap BAK, dan ada keluhan nyeri saat BAK, selama sakit BAK pasien terpasang dower cateter (DC) dengan warna kuning sedikit ada darah, jumlah kurang lebih 30cc setiap BAK, dan tidak ada keluhan saat BAK. Pasien mengatakan sebelum sakit BAB sehari 1-2 kali sehari dengan konsistensi lunak, warna kuning kecoklatan dan juga tidak ada keluhan, selama sakit pasien belum BAB sama sekali. Pola aktivitas dan latihan, sebelum sakit pola aktivitas pasien seluruhnya secara mandiri, sedangkan selama sakit pasien mengatakan badannya lemas. Makan minum dibantu oleh keluarga, toileting dibantu dengan alat dan orang lain, berpakaian dibantu oleh keluarga, mobilitas di tempat tidur dibantu oleh keluarga, berpindah dan ambulasi atau ROM dibantu oleh keluarga. Pola istirahat dan tidur, sebelum sakit pasien mengatakan tidur teratur, tidur siang 23 jam dan tidur malam 7-8 jam, tidak menggunakan obat dan tidak ada gangguan tidur. selama sakit pasien mengatakan tidur siang 1 jam dan tidur malam 5-6 jam, tidak menggunakan obat dan tidak ada gangguan tidur. Pola kognitif perceptual, sebelum sakit pasien mengatakan indra penglihatan, perciuman, peraba dan pendengaran baik. Selama sakit pasien
34
mengatakan tidak ada perubahan untuk fungsi panca indra yaitu indra penglihatan, penciuman, peraba dan pendengaran baik. Pengkajian nyeri pada pasien, mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 5 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Pola persepsi konsep diri didapatkan hasil ideal diri pasien mengatakan hubungan dengan orang lain baik, pada identitas diri pasien mengatakan sebagai seorang ayah dari 2 orang anak, peran diri pasien sebagai ayah dan seorang petani, harga diri pasien mengatakan menerima dan mensyukuri semua keadaan dirinya. Gambaran diri pasien mengatakan seorang pekerja keras. Pola hubungan peran, pasien mengatakan memiliki hubungan baik dengan keluarga dan orang lain. Pasien mengatakan pada saat di Rumah Sakit hubungan dengan pasien lain juga baik dan tidak ada masalah. Pola seksualitas reproduksi, pasien mengatakan sudah menikah dan memiliki 2 orang anak. Pola mekanisme koping, sebelum sakit pasien mengatakan apabila mendapatkan atau memiliki masalah kesehatan selalu bercerita kepada keluarga dan teman, selama sakit pasien mengatakan tidak memiliki masalah dengan orang lain dan menerima sakit dengan ikhlas. Pola nilai dan keyakinan, sebelum sakit pasien mengtakan beragama islam, melakukan sholat dan berdoa, selama sakit pasien mengtakan beragama islam, melakukan sholat dan berdoa. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan hasil, kesadaran pasien composmentis, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/ menit dengan irama
35
teratur dan kuat. Frekuensi pernafasan 22x/menit dengan irama kuat dan suhu 36,5˚Celcius. Bentuk kepala mesochepal, kulit kepala bersih sedikit ada ketombe, rambut hitam dan sedikit beruban. Palpebra tidak ada oedem, konjungtiva tidak anemis, skelera tidak anemis, pupil isokor kanan kiri, mata kanan kiri simetris, tidak menggunankan alat bantu penglihatan. Hidung pasien bersih, tidak ada septum divisiasi, tidak ada secret pada hidung, tidak ada nafas cuping hidung. Bentuk bibir simetris, tidak ada sianosis pada bibir, tidak ada gangguan pengecapan lidah, tidak ada stomatitis, gigi bersih dan ada karies gigi. Bentuk telinga simetris kanan kiri, bersih, tidak ada serumen, tidak ada gangguan pendengaran. Leher pasien tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada kaku kuduk. Pada genetalia terpasang kateter 24 FR. Pada pemeriksaan paru-paru didapatkan hasil inspeksi bentuk dada kanan kiri sama, ekspansi dada kanan kiri sama, tidak menggunakan alat bantu nafas, palpasi vocal premitus kanan kiri sama, perkusi terdengar suara sonor disemua lapang paru dan auskultasi vesikuler diseluruh lapang paru. Pemeriksaan jantung inspeksi ictus cordis tidak tampak, palpasi ictus cordis di ICS V mid klafikula sinistra, teraba kuat bawah jantung, ictus cordis II dibatas atas jantung, ictus cordis II kiri (dekat sternum) batas kanan jantung, ictus cordis IV kiri (dekat lengan) batas kiri jantung, auskultasi bunyi jantung I dan II murni. Abdomen inspeksi bentuk simetris, terlihat luka bersih pada kuadran kiri bawah, auskultasi bising usus 15 kali per menit, palpasi ada nyeri tekan pada abdomen, perkusi tympani di kuadran 2, 3, 4, redup di kuadran I.
36
Pemeriksaan ekstermitas atas di dapatkan hasil kekuatan otot kanan 4 dan kiri kekuatan otot penuh , ROM kanan dan kiri aktif, capillary refile < 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang, perubahan akral hangat dan tidak ada oedem. Pemeriksaan ekstermitas bawah di dapatkan hasil kekuatan otot kanan dan kiri kekuatan penuh, ROM kanan dan kiri aktif, capillary refile < 2 detik, tidak ada perubahan bentuk tulang, perubahan akral hangat dan tidak ada oedem. Pemeriksaan penunjang pada tanggal 09 Maret 2015, hemoglobin 12.4 g/dl dengan nilai normal 13.5-17.5 g/dl, hematokrit 37% dengan nilai normal 3345%, leokosit 18.2 ribu/µl dengan nilai normal 4.5-11.0 ribu/µl, trombosit 381 dengan nilai normal 150-450 ribu/µl, eritrosit 4.74 juta/ µl dengan nilai normal 4.50-5.90 juta/µl, natrium darah 137 mmol/L dengan nilai normal 136-145 mmol/L, kalium darah 3.8 mmol/L dengan nilai normal 3.3-5.1 mmol/L, chloride darah 99 mmol/L dengan nilai normal 98-106 mmol/L. Terapi yang diberikan kepada Tn. W pada hari selasa tanggal 10 Maret 2015 dan 11 Maret 2015 yaitu Ranitidine dengan dosis 50mg/8jam golongan dan kandungan obat saluran cerna, fungsinya untuk menyembuhkan tukak lambung, Kalnek dengan dosis 500mg/8jam golongan dan kandungan hemostatik, fungsinya untuk fibrinolisis & epistaksis lokal dan prostaktomi, Antrain dengan dosis 500mg/8jam golongan dan kandungan analgesic non narkotik, fungsinya untuk meredakan nyeri, Ketorolac 500mg/8jam golongan dan kandungan analgesic non narkotik, fungsinya untuk pengobatan jangka pendek nyeri akut sedang sampai berat pasca operasi. Infuse RL (Ringer Laktat) dengan dosis 20 tetes per menit.
37
C. Perumusan Masalah Keperawatan Tanggal 10 Maret 2015 data subyektif pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah. Pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 5 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Data obyekktif pasien tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,5˚Celcius, maka penulis merumuskan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Tanggal 10 Maret 2015 data subyektif pasien mengatakan ada luka pasca operasi. Data obyektif pasien tampak terjadi tanda-tanda infeksi (dolor, rubor, kalor dan fungsiolesa), leokosit 18.2 ribu/µl, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,5˚Celcius, maka penulis merumuskan diagnosa keperawatan resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pasca bedah). Tanggal 10 maret 2015 data subyektif pasien mengatakan aktivitas di bantu orang lain. Data obyektif pasien tampak badannya lemas. Makan minum dibantu oleh keluarga, toileting dibantu dengan alat dan orang lain, berpakaian dibantu oleh keluarga, mobilitas di tempat tidur dibantu oleh keluarga, berpindah dan ambulasi atau ROM dibantu oleh keluarga, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,5˚Celcius, maka
38
penulis merumuskan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal.
D. Intervensi Keperawatan Berdasarkan diagnosa nyeri akutberhubungan dengan agen cidera fisik maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawan selama 2x24 jam nyeri berkurang atau hilang, dengan kriteria hasil mampu mengontrol nyeri (menggunakan teknik non famakologi), pasien tampak nyaman, tanda-tanda vital dalam batas normal, pasien tidak menangis kesakitan menahan nyeri, skala nyeri 2. Intervensi yang dilakukan adalah observasi karakteristik nyeri dengan rasional mempengaruhi pilihan untuk keefektifan intervensi, berikan posisi yang nyaman (semi fowler) dengan rasional menghilangkan nyeri dan kerusakan kulit, ajarkan teknik relaksasi benson dengan rasional merilekskan otot-otot dan mengalihkan pusat perhatian nyeri, kalaborasi pemberian analgesik sesuai advis dokter dengan rasional mencegah terjadinya nyeri sehubungan dengan ketegangan otot. Berdasarkan diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pasca bedah) maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawan selama 2x24 jam infeksi tidak terjadi dengan kriteria hasil leokosit dalam batas normal (4,5-11,00/mm³), tidak terjadi tanda-tanda infeksi (rubor, kalor, dolor, fungsiolesa), luka sembuh sempurna dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Intervensi yang dilakukan yaitu observasi luka pasca operasi dengan rasional mengetahui keadaan luka, lakukan
39
medikasi pada luka dengan rasional menjaga kebersihan dan mencegah infeksi, berikan pendidikan kesehatan pasien atau keluarga untuk teknik pemberian perawatan luka dengan rasional mencegah terjadinya infeksi, kalaborasi dengan dokter pemberian antibiotic dengan rasional mencegah terjadinya infeksi. Berdasarkan diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawan selama
2x24 jam aktifitas
dilakukan mandiri dengan kriteria hasil meningkat dalam aktifitas fisik, mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas, memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan, tanda-tanda vital dalam batas normal dan kemampuan berpindah.
Intervensi
yang
dilakukan
yaitu
monitoring
vital
sign
sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan dengan rasional memantau tanda-tanda vital sign, latih pasien dalam pemenuhan ADLS secara mandiri sesuai kebutuhan dengan rasional mengetahui perkembangan mobilisasi pasien, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika di perlukan dengan rasional mengetahui kekuatan dan kemampuan berpindah, kosultasi dengan terapi fisik tentang ambulasi sesuai dengan kebutuhan dengan rasional guna program latihan.
E. Implementasi Keperawatan Implementasi pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik hari selasa tanggal 10 Maret 2015 jam 09.45 WIB yaitu mengobservasi karakteristik nyeri pasien (PQRST) didapatkan data subyektif pasien
40
mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 5 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik, data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,5˚Celcius. Pukul 10.15 WIB memberikan terapi obat injeksi ranitidine 50mg, injeksi kalnek 500mg, injeksi antrain 500mg, injeksi ketorolac 30mg, didapatkan data subyektif pasien mengatakan bersedia diberi obat obat injeksi ranitidine 50mg, injeksi kalnek 500mg, injeksi antrain 500mg, injeksi ketorolac 30mg, data obyektif obat sudah masuk melalui intravena. Pukul 12.15 WIB mengajarkan teknik relaksasi benson didapatkan data subyektif pasien mengatakan bersedia melakukan terapi relaksasi benson, data obyektif pasien terlihat antusias dan masih terlihat menahan nyeri. Kemudian pada pukul 12.30 WIB mengobservasi karakteristik nyeri pasien (PQRST) didapatkan data subyektif pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 4 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik, data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 86 kali per menit, pernafasan 20 kali per menit dan suhu 36,3˚Celcius.
41
Implementasi pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik hari Rabu tanggal 11 Maret 2015 jam 08.20 WIB yaitu mengobservasi karakteristik nyeri pasien (PQRST) didapatkan data subyektif pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 3 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik, data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 90 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,2˚Celcius. Pukul 08.30 WIB memberikan terapi obat injeksi ranitidine 50mg, injeksi kalnek 500mg, injeksi antrain 500mg, injeksi ketorolac 30mg, didapatkan data subyektif pasien mengatakan bersedia diberi obat obat injeksi ranitidine 50mg, injeksi kalnek 500mg, injeksi antrain 500mg, injeksi ketorolac 30mg, data obyektif obat sudah masuk melalui intravena. Pukul 10.25 WIB mengajarkan teknik relaksasi benson didapatkan data subyektif pasien mengatakan bersedia melakukan terapi relaksasi benson, data obyektif pasien terlihat antusias, skala nyeri 3 dan masih terlihat menahan nyeri. Pukul 10.40 WIB mengobservasi karakteristik nyeri pasien (PQRST) didapatkan data subyektif pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 2 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik, data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah,
42
tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 84 kali per menit, pernafasan 20 kali per menit dan suhu 36,5˚Celcius. Implementasi pada diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif atau pasca bedah pada hari Selasa tanggal 10 Maret 2015 pukul 13.10 WIB mengobservasi keadaan luka pada pasien dan didapatkan data subyektif pasien mengatakan bersedia lukanya boleh dilihat, data obyektif luka pada abdomen kiri bawah, keadan luka bersih dan tertutup perban, terlihat luka operasi kurang lebih 9 centimeter. Pukul 13.15 WIB mengajarkan pasien atau keluarga tentang teknik perawan luka, didapatkan data subyektif pasien atau kelurga antusias ingin mengetahui cara perawatan luka dan data obyektif keluarga ataupun pasien kooperatif. Implementasi pada diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif atau pasca bedah pada hari Rabu tanggal 11 Maret 2015 pukul 10.15 WIB mengobservasi keadaan luka pada pasien dan didapatkan data subyektif pasien mengatakan bersedia lukanya boleh dilihat, data obyektif luka pada abdomen kiri bawah, keadan luka bersih dan tertutup perban, terlihat luka operasi kurang lebih 9 centimeter. Pada pukul 10.55 WIB melakukan medikasi pada luka dan data subyektif pasien mengtakan bersedia lukanya dibersihkan, data obyektif luka bersih. Pukul 11.25 WIB mengajarkan pasien atau keluarga tentang teknik perawan luka, didapatkan data subyektif pasien atau kelurga antusias ingin mengetahui cara perawatan luka dan data obyektif keluarga ataupun pasien kooperatif.
43
Implementasi pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal hari Selasa 10 Maret 2015 pukul 13.25 WIB, mengobservasi aktivitas yang dilakukan oleh pasien dan didapatkan data subyektif pasien mengatakan aktivitas dibantu, data obyektif makan minum dibantu oleh keluarga, toileting dibantu dengan alat dan orang lain, berpakaian dibantu oleh keluarga, mobilitas di tempat tidur dibantu oleh keluarga, berpindah dan ambulasi atau ROM dibantu oleh keluarga. Pukul 13.45 WIB mengajarkan pasien merubah posisi didapatkan data subyektif pasien mengatakan bersedia dirubah posisinya, data obyektif pasien kooperatif. Implementasi pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal hari Selasa 11 Maret 2015 pukul 12.00 WIB, mengobservasi aktivitas yang dilakukan oleh pasien dan didapatkan data subyektif pasien mengatakan aktivitas sudah mandiri, data obyektif makan atau minum, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dilakukan dengan mandiri dan toileting masih menggunakan alat dan dibantu orang.
F. Evaluasi Keperawatan Selasa 10 Maret 2015 jam 14.00 pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik didapatkan hasil evaluasi data subyektif pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 4 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak
44
tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 86 kali per menit, pernafasan 20 kali per menit dan suhu 36,3˚Celcius, masalah belum teratasi dan lanjutkan intervensi yaitu observasi karakteristik nyeri (PQRST), anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi benson, berikan posisi yang nyaman dan lakukan pemberian analgesik. Rabu 11 Maret 2015 jam 14.00 pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik didapatkan hasil evaluasi pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 2 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 84 kali per menit, pernafasan 20 kali per menit dan suhu 36,5˚Celcius, masalah teratasi sebagian dan intervensi dihentikan. Selasa 10 Maret 2015 jam 14.05 WIB pada diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive atau pasca bedah pasien mengatakan bersedia lukanya boleh dilihat, data obyektif luka pada abdomen kiri bawah, keadan luka bersih dan tertutup perban, terlihat luka operasi kurang lebih 9 centimeter leokosit 18.2 ribu/µl, masalah belum teratasi dan lanjutkan intervensi observasi luka pasca bedah, lakukan medikasi pada luka, ajarkan pada pasien atau keluarga untuk pemberian perawatan luka dirumah, kalaborasi dengan dokter pemberian antibiotic.
45
Rabu 11 Maret 2015 jam 14.05 WIB pada diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive atau pasca bedah pasien mengatakan bersedia lukanya boleh dilihat, data obyektif luka pada abdomen kiri bawah, keadan luka bersih dan tertutup perban, terlihat luka operasi kurang lebih 9 centimeter leokosit 18.2 ribu/µl, masalah teratasi sebagian dan intervensi dihentikan. Selasa 10 Maret 2015 jam 14.10 WIB pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal pasien aktivitas dibantu, data obyektif makan minum dibantu oleh keluarga, toileting dibantu dengan alat dan orang lain, berpakaian dibantu oleh keluarga, mobilitas di tempat tidur dibantu oleh keluarga, berpindah dan ambulasi atau ROM dibantu oleh keluarga, masalah belum teratasi, intervensi dilanjutkan pantau tanda-tanda vital, ajarkan pasien merubah posisi. Rabu 11 Maret 2015 jam 14.10 WIB pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal pasien aktivitas sudah mandiri, data obyektif makan atau minum, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dilakukan dengan mandiri dan toileting masih menggunakan alat dan dibantu orang, masalah teratasi sebagian, intervensi dihentikan.
BAB V PEMBAHASAN
46
Pada bab ini penulis akan membahas tentang pemberian relaksasi benson terhadap penurunan nyeri pasca bedah pada asuhan keperawatan Tn. W dengan Benigna Prostat Hyperplasia di ruang Mawar II RSUD Dr. Moewardi. Disamping itu penulis akan membahas tentang faktor pendukung dan kesenjangan-kesenjangan yang terjadi antar teori dengan kenyataan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, dan evaluasi. A. Pengkajian Pengkajiaan terhadap Tn. W penulis menggunakan metode wawancara, observasi, serta catatan rekam medis. Pengkajian adalah proses pengumpulan data relevan yang kontinue tentang respon manusia, kekuatan dan masalah pasien (Dermawan, 2012). Keluhan utama yang dirasakan yaitu pasien mengatakan nyeri pada abdomen kiri bawah. Nyeri merupakan bentuk ketidaknyamanan yang dapat dialami oleh setiap orang. Rasa nyeri dapat menjadi peringatan terhadap adanya ancaman yang bersifat aktual maupun potensial, namun nyeri bersifat subyektif dan sangat individual. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin, budaya dan lain sebagainya (Andarmoyo, 2013). Nyeri yang terjadi pada Tn. W saat ditekan dikarenakan Tn. W usai menjalani pembedahan dengan memasukkan resektoskopi melalui uretra untuk mengeksisi dan mengkauterisasi atau mereksesi kelenjar prostat yang obstruksi. Prosedur pembedahan Tur Prostat menimbulkan luka bedah yang akan mengeluarkan mediator nyeri dan menimbulkan nyeri pasca bedah (Purnomo, 2007).
47
Pengkajian riwayat sekarang pasien mengatakan sebelum melakukan pembedahan, ketika pasien berkemih tidak bisa dan hanya keluar sedikit-sedikit. Pengkajian pola eliminasi pada Tn. W juga didapatkan data selama sakit urine Tn. W sedikit bercampur darah atau bisa disebut hematuria. Hematuria dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang berasal didalam maupun diluar system urogenitalia. Kelainan-kelainan yang berasal dari luar system urogenitalia adalah kelainan pembekuan darah dan kelainan sistem hematologik yang lain, disebabkan oleh berbagai kelainan pada saluran kemih mulai dari infeksi hingga keganasan saluran kemih. Kemungkinan adanya penyakit yang paling berat yaitu keganasan saluran kemih, terutama hematuria yang tidak disertai dengan nyeri (Purnomo, 2007). Pola aktivitas pasien saat sakit dibantu oleh keluarga dan alat. Makan dan minum dibantu oleh keluarga, toileting dibantu dengan alat dan orang lain, berpakaian dibantu oleh keluarga, mobilitas di tempat tidur dibantu oleh keluarga, berpindah dan ambulasi atau ROM dibantu oleh keluarga. Hal ini sesuai dengan teori Andarmoyo (2013), bahwa pasien mengalami nyeri kurang mampu berpartisipasi dalam aktivitas rutin seperti makan minum, toileting berpakaian dan sebagainya. Kemampuan individu dalam bekerja juga terancam karena nyeri yang dirasakan. Aktivitas fisik yang banyak semakin besar juga resiko ketidaknyamanan yang dirasakan. Pola kognitif dan perceptual sebelum dan selama sakit pasien tidak mengalami perubahan dalam penglihatan, pendengaran maupun penciuman, akan tetapi selama sakit pasien terlihat meringis menahan nyeri, gelisah, dan
48
melindungi area nyeri. Hal ini sesuai dengan teori Andarmoyo (2013), bahwa respon nyeri pada pasien adalah pasien meringis, gelisah, imobilisasi dan gerakan melindungi area tubuh. Pengkajian pola kognitif dan perceptual juga didapatkan data mengenai karakteristik nyeri yang dirasakan oleh pasien. Menurut Andarmoyo (2013), untuk membantu pasien dalam mengutarakan masalah atau keluhannya secara lengkap, pengkajian yang dilakukan untuk mengkaji karakteristik nyeri bisa menggunakan pendekatan analisis symptom. Komponen pengkajian analisis symptom meliputi (PQRST): P (Paliatif/Profocatif = yang menyebabkan timbulnya masalah), Q (Quantity/Quality = Kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan), R (Region = Lokasi nyeri), S (Severity = keparahan), T (Time = waktu). Paliatif atau yang menyebabkan timbulnya masalah pada Tn. W yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 5 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Skala nyeri yang digunakan oleh penulis yaitu skala intensitas nyeri Numerical Ranting Scale (NRS), NRS digunakan untuk menilai intensitas atau keparahan nyeri dan memberi kebebasan penuh pasien untuk mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry, 2006). Skala penilaian NRS digunakan sebagai penganti alat pendeskripsi kata Maryunani (2013), dalam hal ini pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.
49
Hasil
pemeriksaan
fisik
didapatkan
data
tekanan
darah
pasien
110/80mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi pernafasan 22x/menit dan suhu 36,5˚C. Hal ini sesuai dengan teori Andarmoyo (2013), bahwa beberapa respon fisiologis terhadap nyeri yaitu peningkatan frekuensi pernafasan, peningkatan ketegangan otot, peningkatan kadar glukosa darah dan peningkatan tekanan darah. Hasil pemeriksaan fisik pada genetalia pasien terpasang kateter 3 way 24 FR. Kateterisasi atau pemasangan kateter dapat menjadi tindakan yang menyelamatkan jiwa khususnya bila pasien tidak dapat melakukan urinasi. Kateter juga dapat digunakan dengan indikasi lain yaitu untuk menentukan perubahan urine sisa dalam kandung kemih setelah pasien buang air kecil, untuk memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urine, untuk menghasilkan drainase pasca operatif pada kandung kemih, atau bisa digunakan untuk memantau pengeluaran urin setiap jam pada pasien yang sakit berat (Brunner & Suddart, 2002). Dari teori tersebut sesuai masalah pasien, dimana pada kasus Tn. W dilakukan pemasangan kateter post sache. Pemeriksaan abdomen yang dilakukan yaitu inspeksi, auskultasi, perkusi dan papalsi. Pada pemeriksaan inspeksi bentuk simetris, terlihat luka bersih pada kuadran kiri bawah, auskultasi bising usus 15x/menit, palpasi ada nyeri tekan pada abdomen, perkusi tympani di kuadran 2, 3, 4 dan redup kuadran 1. Nyeri yang bisa terjadi pada pasien dengan pasca operasi dirasakan sebagai perasaan kurang nyaman di daerah suprapubik (Purnomo, 2011).
50
Pemeriksaan ekstermitas bawah pasien menunjukkan nilai 5. Teori pengukuran kekuatan otot dilakukan ROM (Range of Motion) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas atau besarnya gerakan sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan ataupun untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal (Muttaqin, 2008). Adapun penilaiannya yaitu derajat 0: paralisis total atau tidak ditemukan kontraksi otot, 1: kontraksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan tonus otot yang dapat tidak diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakkan sendi, 2: otot hanya mampu menggerakkan persendian, tetapi kekuatan tidak dapat melawan pengaruh gravitasi, 3: di samping dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh gravitasi, tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan oleh pemeriksa, 4: kekuatan otot seperti pada derajat 3 desertai dengan kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan, 5: kekuatan otot normal (Muttaqin, 2008). Pada Tn. W kekuatan otot ekstermitas bawah normal (kanan 5 dan kiri 5). Hal ini terjadi karena tirah baring pasca bedah dapat menurunkan kondisi pada sistem musculoskeletal. Selain itu, dapat juga terjadi penurunan massa dan kekuatan otot (Sjamsuhidayat, 2005). Pada pemeriksaan hasil laboratorium tanggal 09 Maret 2015 pasien dilakukan pemeriksaan penunjang hemoglobin 12.4 g/dl dengan nilai normal 13.5-17.5 g/dl, hematokrit 37% dengan nilai normal 33-45%, leokosit 18.2 ribu/µl dengan nilai normal 4.5-11.0 ribu/µl, trombosit 381 dengan nilai normal 150-450 ribu/µl, eritrosit 4.74 juta/ µl dengan nilai normal 4.50-5.90 juta/µl, natrium darah 137 mmol/L dengan nilai normal 136-145 mmol/L, kalium darah
51
3.8 mmol/L dengan nilai normal 3.3-5.1 mmol/L, chloride darah 99 mmol/L dengan nilai normal 98-106 mmol/L. Menurut Bararah dan Jauhar (2013), kadar penurunan hemoglobin dapat dijumpai sebagai tanda adanya perdarahan. Pasien juga mengalami peningkatan nilai leokosit dari nilai normal 4.5-11.0 ribu/µl menjadi 18.2 ribu/µl. Peningkatan leokosit sebagai respon terhadap peradangan (Andarmoyo, 2013). Terapi yang diberikan kepada Tn. W pada hari selasa tanggal 10 Maret 2015 dan 11 Maret 2015 yaitu ranitidine dengan dosis 50mg/8jam. Ranitidine merupakan golongan
dan kandungan obat saluran cerna, fungsinya untuk
menyembuhkan tukak lambung, tukak pasca operasi, keadaan hipersekresi patologis (Rachadian, 2012). Kalnek dengan dosis 500mg/8jam golongan dan kandungan hemostatik, fungsinya untuk fibrinolisis & epistaksis lokal dan prostaktomi, antrain dengan dosis 500mg/8jam golongan dan kandungan analgesic non narkotik, fungsinya untuk meredakan nyeri. Terapi selanjutnya yaitu ketorolac 500mg/8jam golongan dan kandungan analgesic non narkotik. Analgesik merupakan obat pereda nyeri. Terdapat 2 klasifikasi nyeri yaitu nyeri akut dan nyeri kronis. Menurut Andarmoyo (2013), nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cidera akut penyakit, atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu singkat sedangkan nyeri kronis adalah nyeri konstan atau interminten yang menetap suatu panjang waktu. Ketorolak berfungsi untuk pengobatan jangka pendek nyeri akut sedang sampai berat paska operasi. Nyeri yang dialami oleh Tn. W termasuk klasifikasi nyeri
52
akut. Terapi yang terakhir yaitu Ringger Laktat 20 tetes per menit menurut Rachadian (2012), termasuk golongan larutan elektrolit nutrisi berfungsi mengembalikan keseimbangan elektrolit. B. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang diambil oleh penulis adalah nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, yang telah disesuaikan dengan diagnosa keperawatan NANDA. Pada kasus Tn. W terjadi nyeri akut. Menurut Herman (2012), pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa (International Association for the Study of Pain) awitan tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung kurang dari 6 bulan. Nyeri yang terjadi pada Tn. W berkaitan dengan trauma pembedahan yang diakibatkan oleh prosedur pembedahan yang diakibatkan oleh prosedur pembedahan dan sering dengan berkurangnya pengaruh anestesi juga balutan dan renggangan otot akibat posisi ketika pasien berada diatas meja operasi menyebabkan pasien merasa tidak nyaman (Muttaqin, 2008). Penulis memilih diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik karena sesuai teori menurut Purnomo (2011), mengemukakan bahwa salah satu diagnosa keperawatan dari BPH adalah nyeri akut. Nyeri akut yang terjadi pada Tn. W akibat pembedahan TUR Prostat.
53
Tanggal 10 Maret 2015 data subyektif pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah. Pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 5 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Data obyekktif pasien tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,5˚C, maka penulis merumuskan diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik. Batasan karakteristik nyeri akut menurut Herman (2012) yaitu perubahan selera makan, perubahan pada tanda-tanda vital, laporan isyarat, perilaku distraksi, mengekspresikan perilaku (gelisah, merengkek, menangis), masker wajah (mata kurang bercahaya, meringis), sikap melindungi area nyeri, indikasi nyeri dapat diamati, perubahan posisi untuk menghindari nyeri, sikap tubuh melindungi, melaporkan nyeri secara verbal. Diagnosa kedua resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive atau pasca bedah. Hal ini sesuai pendapat Herman (2012), bahwa resiko infeksi merupakan akibat peningkatan terserangnya organisme patogenik. Tanggal 10 Maret 2015 data subyektif pasien mengatakan ada luka pasca operasi. Data obyektif pasien tampak terjadi tanda-tanda infeksi (dolor, rubor, kalor dan fungsiolesa), leokosit 18.2 ribu/µl, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,5˚C,
54
maka penulis merumuskan diagnosa keperawatan resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pasca bedah). Batasan karakteristik resiko infeksi menurut Herman (2012) yaitu penyakit kronis, pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (misalnya integritas kulit tidak utuh, jaringan yang mengalami trauma, penurunan kerja siliraris, perubahan sekresi pH, penurunan respon inflamasi). Penulis menegakkan diagnosa yang ketiga adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskoloskeletal. Hambatan mobilitas fisik adalah keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh atau satu atau lebih ekstermitas secara mandiri dan terarah dan adapun batasan karakteristik yaitu kesulitan membolak-balik
posisi,
keterbatasan
kemampuan
untuk
melakukan
keterampilan motorik kasar, keterbatasan kemampuan untuk melakukan keterampilan motorik halus (Herman, 2012). Tanggal 10 maret 2015 data subyektif pasien mengatakan aktivitas di bantu orang lain. Data obyektif pasien tampak badannya lemas. Makan minum dibantu oleh keluarga, toileting dibantu dengan alat dan orang lain, berpakaian dibantu oleh keluarga, mobilitas di tempat tidur dibantu oleh keluarga, berpindah dan ambulasi atau ROM dibantu oleh keluarga, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,5˚C, maka penulis merumuskan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal.
55
C. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan dituliskan sesuai rencana dan kriteria hasil berdasarkan NIC (Nursing Intervension Clasification) dan NOC (Nursing Outcome Clasivication). Intervensi keperawatan disesuaikan dengan kondisi pasien dan fasilitas yang ada, sehingga rencana keperawatan dapat diselesaikan dengan Spesifik (jelas atau khusus). Berdasarkan diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam nyeri dapat berkurang dengan kriteria hasil pasien mampu mengontrol nyeri (menggunakan teknik non farmakologi). Metode pereda nyeri non farmakologi biasanya memiliki resiko yang sangat rendah, tindakan tersebut diperlukan untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung (Brunner & Suddart, 2002). Kriteria hasil yang diharapkan dari diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik yaitu skala nyeri 2. Menurut Andarmoyo (2013), skala nyeri menentukan seberapa berat nyeri yang dirasakan oleh pasien, skala juga dapat menjelaskan tingkat keparahan nyeri yaitu dengan melihat intensitas skala nyeri, untuk intensitas skala nyeri 0 menunjukkan tidak ada nyeri, skala nyeri 1-3 menunjukkan nyeri ringan, skala nyeri 7-9 menunjukkan nyeri hebat dan skala nyeri menunjukkan nyeri paling hebat. Kriteria hasil yang selanjutnya pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik adalah pasien menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang. Ketika nyeri sudah berkurang belum tentu pasien sudah merasa
56
nyaman, dan kriteria hasil selanjutnya adalah tanda-tanda vital dalam batas normal. Peningkatan tekanan darah, nadi, nafas, dan suhu memperanguhi tingkat nyeri pada pasien. Kriteria hasil yang disusun penulis sesuai dengan teori Nurarif dan Kusuma (2013). Intervensi pertama pada diagnosa nyeri akut berhungan dengan agen cidera fisik yaitu observasi nyeri (PQRST) dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik nyeri. Menurut Andarmoyo (2013), observasi nyeri dilakukan untuk membantu pasien dalam mengutarakan masalah atau keluhannya secara lengkap, pengkajian yang bisa dilakukan untuk mengkaji karakteristik nyeri bisa menggunakan analisis symptom. Komponen pengkajian analisis symptom meliputi (PQRST): P (Paliatif/Profocatif = yang menyebabkan timbulnya masalah), Q (Quantity/Quality = Kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan), R (Region = Lokasi nyeri), S (Severity = keparahan), T (Time = waktu). Intervensi yang kedua yaitu berikan posisi semi fowler dengan tujuan agar pasien dapat beristirahat dengan nyaman. Lingkungan yang asing, tingkat kebisingan yang tinggi, pencahayaan, dan aktivitas yang tinggi di lingkungan tersebut dapat memperberat nyeri (Mubarak & Chayatin, 2008). Intervensi yang ketiga yaitu berikan relaksasi benson dengan tujuan untuk mengurangi nyeri dengan teknik non farmakologis. Sesuai dengan teori menurut Brunner & suddart (2002) bahwa salah satu penatalaksanaan nyeri secara non farmakologis adalah teknik relaksasi. Relaksasi merupakan tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari ketegangan dan stress sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri (Andarmoyo, 2013).
57
Menurut Benson & Proctor (2006), relaksasi benson merupakan pengembangan metode respon relaksasi dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehingga dapat membantu pasien mencapi kesehatan dan kesejahteraan lebih tinggi. Latihan relaksasi benson dapat meningkatan suplai oksigen ke otak dan dapat menurunkan metabolism otak sehingga kebutuhan oksigen ke otak menurun. Salah satu respon fisiologis nyeri menurut Andarmoyo (2013), yaitu terjadi peningkatan frekuensi pernafasan pada pasien. Untuk menjaga kestabilan oksigen ke otak diperlukan keseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan oksigen pada otak (Setyawati, 2005). Intevensi selanjutnya pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik yaitu kalaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgesik. Menurut Andarmoyo (2013), analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi nyeri. Hasilnya keduanya mengalami penurunan nyeri akan tetapi yang diberikan relaksasi benson lebih menurunkan tingkat intensitas nyeri. Berdasarkan diagnosa kedua dengan resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pasca bedah) maka penulis menyusun rencana keperawatan dengan tujuan setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tidak terjadi infeksi dengan kriteria hasil leokosit dalam batas normal (4,511,00/mm³), tidak ada tanda-tanda infeksi (rubor, kalor, dolor, fungsiolesa), luka sembuh sempurna dan tanda-tanda vital dalam batas normal. Kriteria hasil yang disusun penulis sesuai dengan teori Nurarif dan kusuma (2013).
58
Intervensi yang dilakukan untuk resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pasca bedah) yaitu observasi luka pasca operasi dengan tujuan untuk mengetahui keadaan luka. Lakukan medikasi pada luka dengan tujuan untuk menjaga kebersihan dan mencegah infeksi. Ajarkan pada pasien atau keluarga untuk teknik pemberian perawatan luka dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi. Kalaborasi dengan dokter pemberian antibiotik dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi (Nurarif & kusuma, 2013). Berdasarkan diagnosa ketiga dengan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal adalah setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan aktifitas dilakukan mandiri. Kriteria hasil meningkat dalam aktifitas fisik, mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas, memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan, tandatanda vital dalam batas normal dan kemampuan berpindah (Nurarif & kusuma, 2013). Intervensi yang dilakukan untuk diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal yaitu monitoring vital sign sebelum atau sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan dengan tujuan untuk memantau tanda-tanda vital sign. Latih pasien dalam pemenuhan ADLS secara
mandiri
sesuai
kebutuhan
dengan
tujuan
untuk
mengetahui
perkembangan mobilisasi pasien. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika di perlukan dengan tujuan untuk mengetahui kekuatan dan kemampuan berpindah. Konsultasi dengan terapi fisik tentang ambulasi sesuai
59
dengan kebutuhan dengan tujuan untuk guna program latihan (Nuratif & Kusuma, 2013). D. Implementasi Keperawatan Tindakan keperawatan yang dilakukan pada Tn. W sesuai dengan yang ada pada diagnosa pertama nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik yaitu mengobservasi karakteristik nyeri, pada tanggal 10 Maret 2015 jam 09.45 WIB dalam mengobservasi nyeri pasien didapatkan respon pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 5 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,5˚C. Respon perilaku nyeri yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam, yaitu mengaduh, menangis, mendengkur, meringis, mengerutkan dahi, gelisah, gerakkan melindungi bagian tubuh, ketegangan otot dan juga mengalami penurunan rentang perhatian apabila sedang berkomunikasi (Andarmoyo, 2013). Pukul 10.15 WIB memberikan terapi obat injeksi ranitidine 50mg, injeksi kalnek 500mg, injeksi antrain 500mg, injeksi ketorolac 30mg, didapatkan data subyektif pasien mengatakan bersedia diberi obat obat injeksi ranitidine 50mg, injeksi kalnek 500mg, injeksi antrain 500mg, injeksi ketorolac 30mg, data obyektif obat sudah masuk melalui intravena.
60
Pukul 10.45 WIB memberikan terapi relaksasi benson, data obyektif pasien terlihat antusias dan masih terlihat menahan nyeri. Relaksasi benson merupakan pengembangan metode respon dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehungga dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan kesejahteraan lebih tinggi (Datak dkk, 2008). Pukul 13.00 WIB mengobservasi karakteristik nyeri pasien (PQRST) di dapatkan data subyektif pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 4 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik, data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 86 kali per menit, pernafasan 20 kali per menit dan suhu 36,3˚C. Dalam pemberian relaksasi benson pada Tn. W, penulis menerapkan sesuai jurnal yang memberikan relaksasi benson dengan nyeri akut selama 15 menit. Pemberian dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah keperawatan. Hal ini disesuaikan dengan teori menurut Rosyidi (2013). Tanggal 11 Maret 2015 jam 08.20 WIB dalam mengobservasi nyeri pasien didapatkan respon pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 3 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di
61
kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,5˚Celcius. Respon perilaku nyeri yang ditunjukkan oleh pasien sangat beragam, yaitu mengaduh, menangis, mendengkur, meringis, mengerutkan dahi, gelisah, gerakkan melindungi bagian tubuh, ketegangan otot dan juga mengalami penurunan rentang perhatian apabila sedang berkomunikasi (Andarmoyo, 2013). Pukul 10.15 WIB memberikan terapi obat injeksi ranitidine 50mg, injeksi kalnek 500mg, injeksi antrain 500mg, injeksi ketorolac 30mg, didapatkan data subyektif pasien mengatakan bersedia diberi obat obat injeksi ranitidine 50mg, injeksi kalnek 500mg, injeksi antrain 500mg, injeksi ketorolac 30mg, data obyektif obat sudah masuk melalui intravena. Pada pukul 10.45 WIB memberikan terapi relaksasi benson, data obyektif pasien terlihat antusias dan masih terlihat menahan nyeri. Relaksasi benson merupakan pengembangan metode respon dengan melibatkan faktor keyakinan pasien, yang dapat menciptakan suatu lingkungan internal sehungga dapat membantu pasien mencapai kondisi kesehatan dan kesejahteraan lebih tinggi (Datak dkk, 2008). Pukul 13.00 WIB mengobservasi karakteristik nyeri pasien (PQRST) di dapatkan data subyektif pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 2 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik, data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca
62
operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 86 kali per menit, pernafasan 20 kali per menit dan suhu 36,3˚Celcius. Dalam pemberian relaksasi benson pada Tn. W, penulis menerapkan sesuai jurnal yang memberikan relaksasi benson dengan nyeri akut selama 15 menit. Pemberian dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah keperawatan. Hal ini disesuaikan dengan teori menurut Rosyidi (2013).
E. Evaluasi Keperawatan Hasil evaluasi yang dilakukan penulis pada hari Senin 10 maret 2015, pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik didapatkan hasil evaluasi pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 4 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 86 kali per menit, pernafasan 20 kali per menit dan suhu 36,3˚C, masalah belum teratasi dan lanjutkan intervensi yaitu observasi karakteristik nyeri (PQRST), anjurkan pasien melakukan teknik relaksasi benson, berikan posisi yang nyaman dan lakukan pemberian analgesik. Rabu 11 Maret 2015 jam 14.00 pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik didapatkan hasil evaluasi pasien mengatakan nyeri pada abdomen bawah, pencetus nyeri yaitu mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah
63
dengan skala nyeri 2 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Data obyektif tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 84 kali per menit, pernafasan 20 kali per menit dan suhu 36,5˚Celcius, masalah teratasi sebagian dan intervensi dihentikan. Hasil evaluasi yang didapatkan oleh penulis yaitu pasien masih terlihat melindungi area nyeri dengan skala 2. Intervensi yang harus dilakukan agar pasien merasa nyaman dan tidak terdapat gangguan rasa nyaman pada pasien. Akan tetapi sudah ada penurunan intensitas nyeri dari hari pertama dan kedua yaitu skala 5 menjadi 2. Hasil evaluasi yang lebih dilakukan pada Tn. W nyeri sudah berkurang atau menurun akan tetapi pasien masih terlihat meringis menahan nyeri, pasien terlihat melindungi area nyeri dan masalah belum teratasi hal ini dikarenakan adanya keterbatasan penulis pemberian relaksasi benson dan juga diberikan pertama kali pada Tn. W belum terlalu memahami cara melakukan relaksasi dengan baik dan benar, untuk itu perlu dilakukan beberapa kali lagi untuk memenuhi kriteria hasil pada masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik Tn. W. Hasil evaluasi yang dilakukan penulis pada hari Senin 10 maret 2015 pada diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive atau pasca bedah pasien mengatakan bersedia lukanya boleh dilihat, data obyektif luka pada abdomen kiri bawah, keadan luka bersih dan tertutup perban, terlihat luka operasi kurang lebih 9 centimeter leokosit 18.2 ribu/µl, masalah belum teratasi dan lanjutkan intervensi observasi luka pasca bedah, lakukan medikasi pada
64
luka, ajarkan pada pasien atau keluarga untuk pemberian perawatan luka dirumah, kalaborasi dengan dokter pemberian antibiotik. Rabu 11 Maret 2015 pada diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive atau pasca bedah pasien mengatakan bersedia lukanya boleh dilihat, data obyektif luka pada abdomen kiri bawah, keadan luka bersih dan tertutup perban, terlihat luka operasi kurang lebih 9 centimeter leokosit 18.2 ribu/µl, masalah teratasi sebagian dan intervensi dihentikan Hasil evaluasi yang dilakukan penulis pada hari Senin 10 maret 2015 pada diagnosa
hambatan
mobilitas
fisik
berhubungan
dengan
gangguan
musculoskeletal pasien aktivitas dibantu, data obyektif makan minum dibantu oleh keluarga, toileting dibantu dengan alat dan orang lain, berpakaian dibantu oleh keluarga, mobilitas di tempat tidur dibantu oleh keluarga, berpindah dan ambulasi atau ROM dibantu oleh keluarga, masalah belum teratasi, intervensi dilanjutkan pantau tanda-tanda vital, ajarkan pasien merubah posisi. Rabu 11 Maret 2015 pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal pasien aktivitas sudah mandiri, data obyektif makan atau minum, mobilitas ditempat tidur, berpindah, ambulasi ROM dilakukan dengan mandiri dan toileting masih menggunakan alat dan dibantu orang, masalah teratasi sebagian, intervensi dihentikan (kateter dibawa pasien pulang).
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah penulis melakukan pengkajian, analisa data, penentuan diagnosa, implementasi, dan evaluasi tentang pemberian relaksai Benson terhadap penurunan nyeri pada asuhan keperawatan Tn. W dengan pasca operasi Benigna Prostat Hiperplasia diruang Mawar RSUD. Dr Moewardi Surakarta secara metode studi kasus, maka dapat ditarik kesimpulan: A. Kesimpulan 1. Pengkajian terhadap masalah nyeri akut pada Tn. W telah dilakukan secara komprehensif dan diperoleh hasil yaitu dengan keluhan utama nyeri pada abdomen bagian bawah, mengatakan nyeri saat ditekan, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, letak nyeri berada pada abdomen bagian kiri bawah dengan skala nyeri 5 dan nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Pasien tampak meringis kesakitan menahan nyeri, tampak tidak nyaman, terdapat luka pasca operasi di kuadran kiri bawah, tekanan darah pasien 110/80 mmHg, nadi 88 kali per menit, pernafasan 22 kali per menit dan suhu 36,5˚Celcius. Pasien mengatakan ada luka pasca operasi dan pasien tampak terjadi tandatanda infeksi (dolor, rubor, kalor dan fungsiolesa), leokosit 18.2 ribu/µl. Pasien mengatakan aktivitas di bantu orang lain, pasien tampak badannya lemas. Makan minum dibantu oleh keluarga, toileting dibantu dengan alat dan orang lain, berpakaian dibantu oleh keluarga, mobilitas di tempat tidur
65
66
dibantu oleh keluarga, berpindah dan ambulasi atau ROM dibantu oleh keluarga. 2. Diagnosa yang muncul pada Tn. W yang pertama yaitu nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik, resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pasca bedah), dan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal. 3. Rencana keperawatan yang disusun untuk diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik yaitu observasi karakteristik nyeri, berikan posisi yang nyaman (semi fowler), ajarkan teknik relaksasi benson, kalaborasi pemberian analgesik sesuai advis dokter. Pada diagnosa resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pasca bedah) yaitu observasi luka pasca operasi, lakukan medikasi pada luka, ajarkan pada pasien atau keluarga untuk teknik pemberian perawatan luka, kalaborasi dengan dokter pemberian antibiotik. Pada diagnosa hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal yaitu monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan, latih pasien dalam pemenuhan ADLS secara mandiri sesuai kebutuhan, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan, konsultasi dengan terapi fisik tentang ambulasi sesuai dengan kebutuhan. 4. Tindakan keperawatan yang dilakukan merupakan implementasi dari rencana keperawatan yang telah disusun. Tindakan yang dilakukan pada pasien BPH adalah dengan diagnosa nyeri akut adalah melakukan teknik relaksasi benson selain itu dengan mengkaji
67
nyeri, mengajarkan pasien untuk teknik relaksasi benson selama 15 menit dalam satu hari satu kali dan menkalaborasikan pemberian obat analgesic sesuai dokter. Tindakan untuk diagnosa kedua yaitu resiko infeksi adalah observasi luka pasca operasi, lakukan medikasi pada luka, berikan pendidikan kesehatan pasien atau keluarga untuk teknik pemberian perawatan luka, kalaborasi dengan dokter pemberian antibiotik. Tindakan untuk diagnose ketiga yaitu hambatan mobilitas fisik adalah monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan, latih pasien dalam pemenuhan ADLS secara mandiri sesuai kebutuhan, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika di perlukan, kosultasi dengan terapi fisik tentang ambulasi sesuai dengan kebutuhan 5. Evaluasi keperawatan yang dilakukan selama dua hari sudah dilakukan secara komprehensif dengan acuan Rencana Asuhan Keperawatan (Nurarif & Kusuma, 2011) serta setelah berkalaborasi dengan tim kesehatan lainnya didapatkan hasil evaluasi keadaan klien dengan kriteria hasil belum tercapai, maka nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik pada Tn. W teratasi sebagian intervensi dilanjutkan pendegelegasian kepada perawat ruangan dengan observasi ulang nyeri, ajarkan teknik relaksasi benson, kalaborasi dengan pemberian analgesik. Pada resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasive (pasca bedah) hasil evaluasi pasien dengan kriteria hasil belum tercapai, maka resiko infeksi pada Tn. W teratasi sebagian dan
68
intervensi dilanjutkan dengan pendelegasian kepada perawat ruangan dengan observasi luka pasca operasi, lakukan medikasi pada luka, kalaborasi dengan dokter pemberian antibiotik. Pada hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal hasil evaluasi pasien dengan kriteria hasil belum tercapai, maka hambatan mobilitas fisik pada Tn. W teratasi sebagian dan intervensi dilanjutkan dengan pendelegasian kepada perawat ruangan dengan monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan lihat respon pasien saat latihan, latih pasien dalam pemenuhan ADLS secara mandiri sesuai kebutuhan, ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika di perlukan. 6. Hasil analisa kondisi Tn. W pasca operasi Benigna Prostat Hiperplasia mengatakan nyeri berkurang dari skala 5 menjadi 2 setelah diberikan tindakan relaksasi benson selama 2 hari dengan durasi waktu 15 menit sebanyak 2 kali, dengan paliatif nyeri saat ditekan, quality nyeri seperti tertusuk-tusuk, region nyeri bagian berada pada abdomen bagian kiri bawah, scale dengan skala nyeri 5 dan time nyeri hilang timbul kurang lebih 5 detik. Sesuai dengan penelitian dengan pemberian relaksasi benson dapat menurunkan nyeri karena relaksasi benson merupakan tindakan yang dilakukan secara sadar dengan cara nafas dalam dan lambat. Nafas dalam dan lambat menstimulasi respon saraf otonom, yaitu dengan menggunakan respon saraf simpatis dan meningkatkan parasimpatis. Stimulasi saraf simpatis meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respon parasimpatis lebih banyak menurunkan aktivitas tubuh sehingga dapat menurunkan aktivitas.
69
B. Saran Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan nyeri akut penulis akan memberikan usulan dan memasukan yang positif khususnya dibidang kesehatan antara lain: 1. Bagi Intitusi Pelayanan Kesehatan (Rumah Sakit). Hal ini diharapkan rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan kerja sama baik antara tim kesehatan maupun pasien. Sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada umumnya dan pasien pasca bedah BPH khususnya dan diharapkan rumah sakit mampu menyediakan fasilitas serta sarana dan prasarana yang dapat mendukung kesembuhan pasien. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Khususnya Perawat Diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien agar lebih maksimal, khususnya pada pasien pasca bedah BPH. Perawat diharapkan dapat memberikan pelayanan professional dan komprehensif. 3. Bagi Institusi Pendidikan Dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan lebih berkualitas dan professional, terampil, inovatif, dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh berdasarkan kode etik keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA Arifiyanto. (2008). Patient satisfaction with acute pain management. Diperoleh dari http://proquest.umi.com. Andarmoyo Sulistyo, 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Ar-Ruzz Media. Jakarta Baradero. M. 2007. Gangguan system reproduksi & seksualitas. Buku Kedokteran. EGC Benson, H., & Proctor, W. (2002). Dasar-dasar respon relaksasi: bagaimana menggabungkan respon relaksasi dengan keyakinan pribadi anda (alih bahasa oleh Nurhasan). Bandung: Kaifa Dermawan Deden. 2012. Proses Keperawatan Penerapan dan Kerangka Kerja. Gosyen Publising: Yogyakarta Gad Datak. 2008. Penurunan nyeri pasca bedah TUR Prostat melalui relaksasi benson. Jurnal Keperawatan Indonesia Giddens, J.F. (2004). Nursing Management: Male reproductive problems, dalam Lewis, S. M., Heitkemper, M.M., Dirsken, S.R (2004). Medical surgical nursing: Assessment & management of clinical problems (volume 2, 6th edition). Green dan Setyawati. (2005). Seri Buku Kecil Terapi Altenatif. Yayasan Spiritia. Yogyakarta. Guide, Simple. 2007. Nyeri Punggung. Erlangga: Jakarta Pastatik Candra Kristanto. 2013. Efektifitas Teknik Relaksasi Benson Terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien Post Operasi di Irina D Blu RSUP Prof. Dr. Kandaou Manado. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/article/download/2169/ 19 Maret 2015 Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Keperawatan Fundamental. Buku Kedokteran EGC. Jakarta Purnomo Basuki B. 2007. Dasar-dasar Urologi. Anggota IKAPI. Malang Rosyidi Kholid Mn. 2013. Buku Prosedur Praktik Keperwatan. Tim. Jakarta
Roykulcharoen, V. (2003). The effect of systemic relaxtion technique on postoperative pain in Thailand. Diperoleh dari http://proquest.umi.com Schwartz. (2009). Nursing management of postoperative pain: Use of relaction techniques Sjamjuhidajat, R & Jong Wim de. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC Smeltzer, S.C., & Bare,. (2002). Buku ajar keperawatan medical bedah Brunner & suddarth (Vol 1, Edisi 8, Alih bahasa Agung Waluyo, et al). Jakarta: EGC Tamsuri, A. 2007. Konsep & Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta EGC Tarwoto. 2012. Pengaruh Latihan Relaksasi Benson terhadap Intensitas Nyeri. Jakarta Trianto Endang. 2014. Pelayanan Keperawatan bagi Penderita Hipertensi Secara Terpadu. Graha Ilmu. Yogyakarta Vaughn, F., Wichowski, H,. & Bosworth, G. (2007). Does preoperative anxiety level predict postoperative pain. AORN Journal, 85 (3), 589-604. Yakobus. M. 2007. Gangguan system reproduksi & seksualitas. Buku Kedokteran. EGC Yuliana elin, Andrajat Retnosari, dkk. ISO Farmakoterapi, ISFI. Jakarta. 2009.