ULAMA DAN PERGERAKAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI) DI BANTEN ABAD KE - 20
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S.Hum)
Oleh: Mardiyah 1112022000067
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H / 2017 M
ABSTRAK
Skripsi ini menghadirkan satu kajian sejarah tentang keterlibatan ulama dan pemberotakan PKI di Banten pada awal abad ke-20. Sebagai elit agama, ulama memiliki peran penting dalam pembentukan kehidupan kaum Muslim, termasuk di bidang politik. Pada abad ke-19 hingga awal abadke-20, ulama mengambil peran sebagai pemimpin pemberontakan melawan pemerintah kolonial, di samping sebagai pemimpin pesantren dan tarekat. Terkait dengan tema kajian skripsi ini, hal yang menarik adalah bahwa ulama bergabung dengan PKI, yang secara tegas memiliki ideologi bersebrangan. Skripsi ini memfokuskan kepada motif ulama bergabung dalam PKI. Dalam hal ini, penulis menemukan bukti kuat bahwa bagi ulama Banten saat itu, nilai dan visi PKI tidak bertentangan dengan tradisi Islam. Dalam kasus pemberotakan PKI ini, ulama menjalin hubungan harmonis dalam memperjuangkan kemerdekaan melawan pemerintah kolonial.
Kata Kunci: Ulama, PKI, Islam, Banten
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, segala puja dan puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT semata yang telah melimpahkan segala macam nikmat dan rahmat-Nya. Shalawat dan salam senantiasa selalu tercurahkan pada muara ilham, lautan ilmu yang tidak pernah larut teruntuk baginda Nabi Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya. Rasa syukur yang mengiringi semangat penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat studi dan mendapat gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul “Ulama dan Pergerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Banten Abad ke-20”. Meskipun penulis menyadari bahwa studi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun penulis memiliki keyakinan bahwa studi ini memberikan tambahan khazanah sejarah khususnya yang berkaitan dengan kajian Banten.
ii
UCAPAN TERIMAKASIH
Layaknya peristiwa sejarah yang penyebabnya tidak tunggal, begitupun halnya dengan perjuangan penulis dalam menyelesaikan skripsi. Banyak pihak yang dengan keikhlasan dan kesabarannya memberikan waktu, tenaga, ilmu, motivasi dan saran hingga akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Rasa terimakasih dan penghargaan yang begitu besar penulis sampaikan kepada: 1. Madnoh dan Saidah selaku orang tua penulis. Terimakasih atas cinta dan pengorbanan yang telah diberikan. 2. Kakak-kakak dan adikku tercinta, Sofiyah, Faisal Abdau, Unilawati dan Masdariyah. Terimakasih telah menjadikan rumah sebagai tempat mengadu hati. 3. Dr. Jajat Burhanudin, MA., selaku dosen pembimbing yang dengan sabar memberikan arahan, masukan dan motivasi bagi penulis. 4. Andini Rachmahlia, Durrotul Mu’azah, Dede Delfia, Diah Nur Afifah, Merindu Fitriani, Fitriana, Agidia Oktavia, Mustaqim dan Nursilam penulis ucapkan terimakasih telah duduk bersama dalam berjuang dan memberikan saran bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga kelak kita dipertemukan dalam keadaan sukses. 5. Sulfi Afriadi. Terimakasih atas semangat dan motifasi yang selalu diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan studi ini. 6. Adik-adik kosan (Iip, Awah dan Tika), terimakasih atas semangat dan waktu yang telah kita gunakan bersama. 7. Mufti Ali, ketua LP2M Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten yang telah berjasa memberikan saran dan informasi sumber yang penulis butuhkan. 8. Kawan-kawan Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (Prastya, teh Ane, Rini dan Febry). Terimakasih atas waktu, dan informasi terkait sumber-sumber yang dibutuhkan penulis. 9. Staff dan Pegawai Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Banten, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Bantenologi, Perpustakaan
iii
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora. 10. Nurhasan, M.A. selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam. 11. Solikhatus Sa’diyah, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam yang telah dengan sabar mengurusi semua administrasi yang penulis butuhkan. 12. Kawan-kawan Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam angkatan 2012. Terimakasih atas waktu yang telah digunakan bersama. 13. Kawan-kawan di HMI KOFAH (Ahmad Nagif, beserta seluruh jajaran pengurus), dan Paket B SEMA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Fina, Faqih, Lava, Afrialiani, Nadya, Uli, dan yang lain). Terimakasih atas pengalaman dan ilmu-ilmunya dalam berorganisasi, berinteraksi dan bersosialisasi.
Ciputat, 23 Mei 2017 Mardiyah
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK ........................................................................................................ i KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii UCAPAN TERIMAKASIH........................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................................... v DAFTAR ISTILAH ...................................................................................... vii DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ ix BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang .......................................................................... 1 B. Identifikasi Masalah .................................................................. 6 C. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................ 6 D. Tujuan Penelitian ...................................................................... 7 E. Manfaat Penelitian .................................................................... 7 F. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 7 G. Kerangka Teori.......................................................................... 9 H. Metodologi Penelitian .............................................................. 9 I. Sistematika Penulisan.............................................................. 12
BAB II : BANTEN: PROFIL SOSIO HISTORIS A. Kondisi Sosial Banten ............................................................ 13 B. Gerakan Sosial Banten ........................................................... 19 BAB III :BANTEN PADA AWAL ABAD KE-20: KONTEKS SOSIALPOLITIK
KETERLIBATAN
ULAMA
DALAM
PEMBERONTAKAN A. Politik Etis dan Perubahan Sosial ............................................ 33
v
B. Kemunduran Sarekat Islam di Banten ..................................... 37 C. PKI sebagai Alternatif pergerakan ......................................... 42 BAB IV :KETERLIBATAN ULAMA DALAM PEMBERONTAKAN PKI A. Masuknya Ulama dalam PKI ................................................. 51 B. Persiapan Pemberontakan ...................................................... 56 C. Pecahnya Pemberontakan ....................................................... 61 D. Pengasingan ke Boven Digul ................................................. 67 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 73 B. Saran........................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 76 LAMPIRAN .................................................................................................... 79
vi
DAFTAR ISTILAH
Afdeling
: Sub divisi Karasidenan, atau sama dengan tingkat Kabupaten
Asisten Residen
: Pejabat
kepagawaian
negeri
Eropa,
biasanya
bertangung jawab atas Afdeling, dan mewakili di kantor pusat Kabupaten, unsur Eropa dalam pemerintahan Controleur
: Pejabat
pemerintah
Belanda
tingkat
rendah,
dihapuskan di Jawa 1922 Bupati (Regentschap)
: Kepala Kabupaten; pejabat yang termasuk tingkatan tertinggi Kepegawaian Negeri Pribumi
Gubernur Jenderal
: Jabatan yang diciptakan pada tahun 1610 oleh para direktur VOC untuk memusatkan kendali VOC terhadap operasi perdagangan di Timur dan untuk mengorganisasi operasi-operasi militernya. Serta bertanggung jawab dalam pelaksanaan hukum di negeri jajahan. Pada masa awal markas besar Gubernur Jendral terletak di Ambon, kemudian pada masa Jan Pieterszoon Coen dipindahkan ke Batavia.
Hoofdgeld
: Pajak perorangan
Pangreh Praja
: Pegawai negeri sipil di Jawa yang dibangun sebagai sebuah institusi sejak masa prakolonial
Priyayi
: Aristokrasi birokratis tradisional Jawa
Ratu Adil
: Mitologi yang mengatakan bahwa akan datang seorang peimpin yang menjadi penyelamat; ia akan membawa
keadilan
rakyatnya.
vii
dan
kesejahteraan
bagi
Residen
: Pejabat Kepegawain Negeri Eropa yang bertanggung jawab
atas
Karasidenan
(gewest),
atau
unit
administratif yang kira-kira serupa luasnya dengan distrik di Hindia Inggris (British Indie) Ulama
: Pengajar dan pemuka agama Islam
Volksraad
: Dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda
Wedana
: Pejabat
Kepegawaian
Negeri
Pribumi
yang
bertanggung jawab atas Kewedanaan, sub divisi Kabupaten
viii
DAFTAR SINGKATAN
BPAD
: Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
CSI
: Central Sarekat Islam
DO
: Dictatorial Organisatie
HBS
: Hogere Burger School
HCS
: Hollandsch Chinese School
HIS
: Hollandsch Indlandsche-School
ISDV
: Indische Sociaal Democratische Vereniging
K.H
: Kyai Haji
PD
: Perang Dingin
PKI
: Partai Komunis Indonesia
SI
: Sarekat Islam
Tb
: Tubagus
VOC
: Vereningde Oost-Indische Compagnie
VSTP
: Vereniging van Spoor en Tramsweg Personeel
SDAP
: Sociaal Democratische Arbeiders Partij
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tradisi Islam, termasuk di Indonesia mengenal suatu kelompok sarjana yang disebut ulama. Kemunculan ulama ini bukanlah semata-mata terkait dengan kekuasaan politik seorang sultan, tetapi lahir dari perkembangan Islam itu sendiri di mana kaum Muslim memandang ulama sebagai kelompok intelektual Islam. Pada masa pemerintah kolonial Belanda, keberadaan ulama termarginalkan secara politik. Namun, pada masa itu pula kita menyaksikan ulama memiliki peran sosial sebagai seorang pelaksana syi’ar atau guru agama, pemimpin informal di desa dan sebagai aktor utama gerakan perlawanan.1 Peran sosial ulama sebagai intelektual Muslim semakin menguat seiring pengalaman belajar Islam di Makkah dan Madinah sebagai dua kota suci Islam, sering juga disebut Haramayn. Ilmu yang diperoleh di Haramyn dipandang lebih tinggi nilainya daripada ilmu yang diperoleh di pusat-pusat keilmuan lainnya. Bagi banyak Muslim, ulama jebolan Haramyn dipandang lebih dihormati daripada mereka yang memperoleh pendidikan di tempat lain dimana pun.2 Makna penting pengalaman di Haramyn didukung oleh sikap orang Jawa yang percaya bahwa mempelajari Islam di pusatnya
mempunyai arti sendiri yang memungkinkan
seseorang memperoleh pengalaman spiritual.3 Oleh karena itu, ulama yang kembali ke Hindia Belanda memunculkan institusi pendidikan pesantren. Pesantren ini kemudian menjadi media yang digunakan ulama untuk memberikan pendidikan dan mensyiarkan agama Islam kepada masyarakat. Dengan demikian, melalui institusi pesantren inilah ulama memainkan peran pentingnya sebagai
1
Asep Muslim, “Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten”, Mimbar, Vol. 31, No. 2 (Desember, 2015), h.461-474. 2 Azyurmardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 51-52. 3 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi - Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2005), h. 42.
1
2
pialang budaya yang berkontribusi pada pembentukan kehidupan sosial dan keagamaan umat Islam.4 Lingkungan pesantren juga memberi kontribusi kepada ulama dalam meningkatkan kedudukannya. Mereka menjadi tempat nasihat pembimbing keagamaan dalam semua aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Muslim. Dengan demikian, situasi sosial dan kultural pesantren tidak hanya membuat ulama sebagai guru agama atau pelaksana syi’ar Islam, tetapi juga sebagai bagian elite pedesaan yang ikut terlibat dalam urusan sosial politik masyarakat, karena peran itu pula ulama menjadi terlibat dalam kemunculan sentimen anti kolonial. Dengan pengalaman Haramyn, ulama dianggap sebagai pemimpin yang sah baik dalam bidang agama maupun sosial-politik. Fenomena ini berkembang dan menonjol yang menandai ulama dalam gerakan sosial abad ke-19 sampai awal abad ke-20 di Hindia Belanda.5 Islam yang berorientasi syari’at pada abad ke-17 dan 18 semakin menguat pada abad ke-19. Dengan perkembangan tersebut, salah satu aspek utama Islam berorientasi syari’at, aktivisme, tumbuh dan mewarnai perkembangan ulama masa itu, memperlihatkan meningkatnya perhatian terhadap perlunya pembaharuan sosio-moral umat Muslim. Dengan aktivisme tersebut, ulama kemudian dengan orientasi syari’atnya melakukan gerakan protes melawan pemerintah kolonial Belanda dengan seruan Jihad.6 Akhmad Khatib adalah salah satu contoh ulama asal Sumatera yang melakukan gerakan protes melawan Belanda dengan konsep Jihad. Ia juga disebut sebagai Haji Merah, karena menganut sebagian ajaran paham komunis yang cocok dengan ajaran Islam, seperti ajaran mengenai sosialisme. Di samping itu, ajaran komunisme yang radikal dianggap cocok untuk dipakai dalam melawan pemerintah kolonial. Pada tahun 1923 ketika didirikan PKI seksi Padang Panjang, ia diangkat sebagai ketua, sekaligus sebagai agen propaganda menyebarkan ajaran komunis.
4
Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan: pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia, (Jakarta: Mizan Publika, 2012), h. 74. 5 Jajat Burhanudin, ..........., h. 140. 6 Jajat Burhanudin, ..........., h. 146.
3
Banten pada awal abad 20 juga merupakan fase bergolaknya menghadapi penjajahan kolonial Belanda. Bahkan hal itu sudah mulai tumbuh sejak kesultanan Banten dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda,7 dimana ketidakpuasan rakyat Banten atas pemerasan kekayaan rakyat dan penindasan terus berlangsung. Kepemimpinan tidak ada di tangan sultan, melainkan diambil alih oleh ulama dan pemimpin rakyat.8 Eksploitasi kolonial yang terjadi sepanjang abad tersebut menciptakan kondisi yang mendorong rakyat melakukan gerakan sosial. Dominasi ekonomi, politik dan budaya yang terus berlangsung menimbulkan disorganisasi di kalangan
masyarakat
tradisional
beserta
lembaga-lembaganya.9
Dalam
menghadapi kekuatan Barat, masyarakat tradisional mempunyai cara sendiri, yaitu dengan jalan melakukan gerakan sosial sebagai bentuk protes sosial. Hal ini terjadi di berbagai tempat di Banten. Karena dalam sistem pemerintahan kolonial tidak terdapat lembaga untuk menyalurkan rasa tidak puas atau pun untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Dalam gerakan sosial yang marak ini peranan ulama menduduki posisi sentral. Pada tanggal 12 November 1926 terjadi pemberontakan komunis di Banten. Banyak kaum ulama yang ikut dalam pemberontakan.10 Tumbuhnya PKI di Banten tidak terlepas dari hadirnya Sarikat Islam (SI) di Indonesia. Pada saat itu di daerah Banten yang terkenal dengan fanatik terhadap ajaran Islam, SI 7
Ketika pemerintahan Sultan Aliudin berakhir, kedudukan beralih ke tangan Pangeran Muhidin. Saat itu juga, tanggal 31 Desember 1799, kompeni (VOC) dibubarkan. Kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah kerajaan Belanda, yang membentuk pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur Jenderal H. W Daenels (1808-1811) adalah gubernur jenderal yang pertama di Hindia Belanda. Ia mendarat di Anyar tanggal 1 Januari 1808, kemudian menuju Batavia, yang dijadikan ibu kota Hindia Belanda. Tanggal 14 Januari 1808 dilakukan terima kekuasaan dari gubernur jenderal VOC Wiese kepada H.W. Deandels. Dalam menjalankan tugasnya di Hindia Belanda, Deandels sangat memperhatikan urusan pemerintahan dan administrasi negara, dengan pemerintahan yang bersifat sentralistik dengan intruksi dari gubernur jendral. H itu dilakukan karena Deandles ingin menjalankan pemerintahan secara langsung (direct rule). Dia ingin memerintah rakyat pribumi secara langsung tanpa perantara sultan atau bupati. Sejalan dengan itu, Deandels melakukan birokrasi di kalangan pemerintah tradisional, para sultan dan bupati dijadikan pegawai pemerintah yang menerima gaji, di bawah pengawasan prefek. Sistem pergantian sultan dan bupati tidak diakui, dan diganti dengan sistem penunjukan. Kekuasaan mereka secara berangsur-angsur dihapus. Lihat, Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah Ulama, Sultan, Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 88-89. 8 Nina Lubis, ..........., h. 98. 9 Djoko Surjo“Serba Keterikatan dan Pergolakan Sosial dalam Perspektif Sejarah”, hasil dari: Colloquium Persoalan Masa Kini dalam Perspektif Sejarah, diselenggarakan oleh LIPIJakarta, Pada tanggal 28-30 Maret 1985, h. 1 10 Nina H. Lubis,.........., h. 142.
4
dengan cepat mendapat sambutan baik. Rakyat Banten memiliki sentimen keagamaan yang cukup tinggi. Hampir semua rakyat dan ulama Banten bergabung dalam persyarikatan. Bagi ulama atau rakyat Banten yang bertampramen keras menghadapi penjajah, kepemimpinan SI itu dianggap kurang berani. Rakyat Banten menghendaki kepemimpinan yang lebih tegas. Kebencian yang mendalam terhadap pemerintah kolonial mendorong semangat keradikalan ulama.11 Kekecewaan rakyat dan ulama tersebut tidak hanya terhadap SI namun juga terhadap Muhamadiyah yang dianggap telah berkolaborasi dengan pemerintah kolonial. Maka sangat wajar jika Muhamadiyah kurang diterima di masyarakat Banten, selain sifat kemordenan yang dimiliki Muhamadiyah dan bertolak belakang dengan pemahaman agama Islam yang fanatik dan kolot.12 Keadaan demikian kemudian dimanfaatkan oleh PKI untuk memperoleh dukungan dari rakyat Banten. Melalui cara infiltrasi ganda keanggotaan PKI mengajak ulama untuk bergabung menjadi anggota, di samping menjadi anggota SI juga menjadi anggota PKI. Misalnya K.H Asnawi Caringin, di samping sebagai ketua SI Cabang Caringin juga menjadi Ketua PKI Cabang Caringin. Setelah tokoh ini meninggal dunia, jabatan rangkap organisasi diserahkan kepada menantunya, K.H. Achmad Chatib.13 K.H Achamad Chatib yang bergabung dalam PKI Oktober 1925, dalam pertemuan PKI mengatakan sebagai berikut: “Layaknya pakaian kotor, ia harus dicuci dengan sabun. Begitupun dunia yang ternodai ia musti dicuci dengan darah”.14
Daya kharismatis Chatib sebagai salah satu elit keagamaan ini membuat PKI di Banten dalam waktu singkat memperoleh dukungan secara masif dari rakyat. Hal ini disebabkan para elit keagamaan dapat mengutarakan kata-kata harapan rakyat biasa, sebab mereka adalah pewaris dari tradisi lisan atau tertulis baik berupa wahyu atau kesaktian. Dan sudah menjadi anggapan umum bahwa 11
Hwany Michrob, et al, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Penerbit “Saudara” Serang, 1993), h. 220. 12 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. vi. 13 Hwany Michrob, ............, h.221. 14 Michael C. William, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten,........, h. 1
5
pimpinan yang berkharisma merupakan bahaya laten bagi para pejabat dalam kekuasaaan, karena kekuatan kharisma pada dasarnya bersifat revolusioner.15 Masuknya ulama ke dalam keanggotaan PKI menjadi pembahasan yang menarik. Ulama sebagai pelaku dan simbol dalam Islam menjadi suatu hal yang tidak wajar. Sudah menjadi pandangan umum bahwa Islam dan komunisme merupakan dua hal yang berbeda, bahkan bertentangan. Islam yang ajarannya dapat diterima dan ditolak berdasarkan iman atau kepercayaan, sedangkan komunisme sebagai suatu teori ilmiah yang diterima atau ditolak berdasarkan penalaran rasional yang objektif. Kebenaran agama bersifat absolut, sedangkan kebenaran teori ilmiah bersifat relatif yang bersifat hipotesis.16 Puncak gerakan PKI yang terjadi pada 12 November 1926 ini memiliki perbedaan dengan gerakan sosial keagamaan yang terjadi sebelumnya. Meski pada dasarnya dari abad ke 19 sampai awal abad ke-20 seluruh proses peralihan dari tradisionalitas ke modernitas ditandai oleh goncangan sosial yang silih berganti,17 namun gerakan PKI ini bersinggungan dengan ideologis yang berbeda. Banten dengan kefanatikan Islamnya, sedangkan PKI memegang ideologi atheis. Karena seperti yang dikatakan Soe Hok Gie bahwa suatu gerakan hanya mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut mempunyai akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh. Ide yang jatuh dari langit tidak mungkin subur tumbuhnya. Hanya ide yang berakar ke bumi yang mungkin tumbuh dengan baik. 18 Perkembangan PKI yang begitu masif dan mencengangkan di Banten pada awal abad ke-20 ini tidak hanya dengan cara infiltrasi ganda keanggotaan PKI dan SI, cita-cita untuk mengusir pemerintah kolonial, tetapi disebabkan karena partai ini tidak menolak tradisi Islam yang berkembang. Maka dapat dikatakan pada masa ini Islam dan komunis pernah harmonis.19 Namun keharmonisan ini
15
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .........., h. vi. 16 http;//historia.id/agama/saat-islam-dan-komunis-harmonis (diakses pada Rabu, 29-122016, jam 15.38 WIB) 17 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Depok: Komunitas Bambu, 2015), h. 1. 18 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999), h. 3. 19 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ........, h. 4.
6
menimbulkan pertanyaan apakah komunis yang menggunakan Islam sebagai alat perjuangan ataukah perjuangan Islam yang mengunakan konsep komunis? Oleh karena itu berdasarkan penjelasan di atas, perlu kiranya ditelisik lebih dalam mengenai latar belakang hadirnya PKI di Banten hingga pecahnya pemberontakan, apa motif ulama bergabung dengan PKI dalam melakukan jihad dan semangat anti kafir, serta apa akibat dari pemberontakan PKI 1926 tersebut. Penggunaan awal abad ke-20 dipilih karena pada awal tersebut komunisme hadir di Banten dan ulama telah memainkan perannya sebagai seorang yang kharismatik dalam memimpin pemberontakan. Akibat dari pemberontakan ini 99 orang dibuang ke Boven Digul, Irian Barat dan ratusan lainnya dipenjarakan untuk massa yang lama.
B. Identifikasi Masalah Hadirnya PKI di Banten sebagai kelanjutan dari ISDV yang dibentuk oleh H J. F. M Sneevliet pada tahun 191320 memiliki rekam jejak hubungan yang baik dengan rakyat dan ulama Banten. Marxisme sebagai ajaran PKI menjadi harmonis dengan Islam ketika hadir di Banten. 12 November 1926 menjadi puncak perlawanan, walau pada akhirnya perlawanan ini dianggap gagal. Terdapat beberapa permasalahan yang penulis berhasil identifikasi dan berpotensi untuk dijadikan kajian terkait ulama di bawah pergerakan PKI di Banten, di antaranya: 1.
Ulama dan kaum tani menjadi sasaran keanggotaan PKI dalam melawan pemerintah kolonial.
2.
PKI tidak menolak tradisi Islam yang berkembang di Banten sebagai sarana perkembangannya di Banten.
3.
Terjadi pengasingan ke Boeven Digul, Irian Barat akibat pemberontakan.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari permasalahan yang berhasil penulis identifikasi, akhirnya penulis membatasi permasalahan dalam skripsi ini pada permasalahan seputar motif bergabungnya ulama ke dalam PKI. Penulis juga akan menelusuri terkait 20
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: PT. Ghia Indonesia, 1992), h. 7.
7
keterlibatan ulama dalam pemberontakan PKI tahun 1926 dan pengasingan yang terjadi ke Boven Digul. Ruang lingkup yang penulis gunakan ialah Banten secara keseluruhan, terutama wilayah yang menjadi basis anggota komunis. Dari permasalahan yang penulis uraikan tersebut, maka penulis merumuskan permasalahan pada penelitian ini, yaitu: 1.
Apa yang melatar belakangi lahirnya PKI di Banten?
2.
Apa motif ulama untuk bergabung ke dalam PKI di Banten?
3.
Bagaimana pengasingan yang terjadi di Boven Digul?
D. Tujuan Penelitian Tujuan dari Penelitian ini adalah: 1.
Menjelaskan latar belakang lahirnya PKI di Banten.
2.
Menjelaskan motif dan alasan ulama untuk bergabung ke dalam PKI di Banten.
3.
Menjelaskan bagaimana pengasingan yang terjadi di Boven Digul.
E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah: 1.
Memberikan gambaran mengenai ulama dan pergerakan PKI di Banten pada abad ke-20.
2.
Menambah khazanah penelitian dan pengkajian tentang ulama dan pergerakan PKI di Banten, setelah sebelumnya pembahasan ini tidak banyak atau belum menjadi sorotan, terutama oleh mahasiswa Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Menjawab permasalahan sejarah yang belum terungkap secara mendetail dengan menggunakan metode sejarah yang ilmiah. Untuk keberlangsungan penelitian ini juga bermaksud untuk melengkapi beberapa karya pengkajian sejarah pada masa kolonial Belanda.
F. Tinjauan Pustaka
8
Berdasarkan pengetahuan penulis yang dimiliki, pembahasan mengenai ulama dan pergerakan PKI di Banten ini sudah terdapat beberapa tulisan di antara tulisan yang dijadikan sebagai tinjauan pustaka adalah sebagai berikut: 1. Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten,21 karya Michael C. Williams. Buku ini membahas tentang bagaimana peranan ulama Banten memainkan peranan yang strategis dalam memberikan nafas revolusi Banten. Dalam penjabaran Williams mengutarakan secara rinci mulai dari latar belakang pemberontakan sampai akibat pemberontakan. Berbeda dengan buku ini, penulis memulai penulisannya dari abad ke-19 sebagai upaya menjelaskan sosiohistoris Banten, dimana ulama memiliki peran sebagai pemimpin gerakan sosial. Selain itu penulis mengutarakan masuknya SI di Banten dan pengasingan ulama ke Boven Digul. 2. Communism, Religion, and Revolt in Banten22, karya Michael C. Williams. Buku ini menjelaskan tentang pemberontakan Banten awal abad ke-20 dan menggali tentang ideologi Islam Komunis. Perbedaan skripsi penulis dengan buku ini terletak pada kajian ulama yang diangkat oleh penulis. Karena dalam buku ini tidak menaruh terhadap pembahasan ulama yang ikut ke dalam pemberontakan. Selain itu buku ini lebih menggali terkait ideologi Islam Komunis. 3.
Di Bawah Lentera Merah,23
karya Soe Hok Gie. Soe Hok Gie dalam
bukunya ini menjelaskan tentang sebab-sebab pemberontakan tahun 1926. Dalam pembahasannya ini ia mengawali dengan penjabaran pergerakan kaum marxis di Indonesia dalam hal ini Sarekat Islam Semarang. Perbedaan pembahasan buku ini dengan skripsi penulis, pertama terletak pada materi pembahasan yaitu penulis tidak menjabarkan terkait Sarekat Islam Semarang secara mendetail sebagai calon berdirinya PKI. Kedua pada temporal waktu, buku ini membatasi pembahasan dari 1917-1920. Tahun 1917 tercatat karena
21
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, (Yogyakarta: Syarikat, 2003). 22 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt, (Athens: Ohio University, 1990). 23 Soe Hok Gie, Di Bawah Lentera Merah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999).
9
mulai tahun itulah tendensi-tendensi sosialistik mulai jelas sedangkan Mei 1920 adalah bulan didirikannya Partai Komunis Indonesia.
G. Kerangka Teori Menurut Miriam Budiarjo, untuk mencapai komunisme, kekerasan dipandang sebagai alat sah yang harus dipakai.24 Kekerasan ini dipakai untuk menghancurkan lawan politikk dan bagi mereka yang menentang atau dianggap musuh. Begitupun dengan PKI yang bersifat radikal dan menggunakan gagasan revolusionernya untuk menentang kolonial Belanda. Hal ini yang kemudian menarik para ulama dan rakyat Banten untuk bergabung sebagai anggota. Oleh karena itu, berdasarkan uraian fakta di atas, penulisan ini ingin mencoba menerapkan teori gerakan sosial dengan pendekatan perubahan sosial yang dikemukan Anthony Giddens. Anthony menyebutkan bahwa, “gerakan sosial adalah suatu upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) di luar lingkup lembaga-lembaga yang mapan”.25 Lahirnya gerakan sosial karena ketidakadilan dan sikap sewenang-wenang yang dialami masyarakat. Secara teoritis gerakn sosial adalah sebuah gerakan yang lahir atas upaya masyarakat menuntut perubahan. Maka dapat diketahui karakter dalam gerakan sosial, yaitu gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan sosial atau mempertahankan suatu kondisi. Telah disebutkan bahwa pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 di Banten terjadi eksploitasi kolonial yang kemudian menciptakan kondisi yang mendorong rakyat melakukan gerakan sosial. Selain itu dalam gerakan sosial ini masyarakat Banten ingin menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional sebagai sebuah pegangan yang telah dihapuskan sejak kehadiran pemerintah kolonial.
H. Metode Penelitian
24 25
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 88. Fadilllah Putra, et.all., Gerakan Sosial, (Malang: Averrors Press, 2006), h. 3.
10
Penelitian ini bersifat analitical history,26 sehingga metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah pada umumnya, yaitu heuristik atau pengumpulan data, kritik sumber baik intern maupun ekstern, interpretasi atau penafsiran dan yang terakhir adalah tahap historiografi atau penulisan sejarah.27 Dalam proses heuristik penulis menggunakan metode library research atau kepustakaan. Penulis menghimpun sumber-umber tertulis baik yang bersifat primer maupun sekunder. Untuk sumber primer, penulis menggunakan surat kabar sezaman yaitu De Banten Bode tahun 1926 dan Koloniaal Verslag.28 Selain sumber primer berupa surat kabar, penulis juga memanfaatkan sumber primer berupa foto-foto. Sumber-sumber tersebut penulis dapatkan dari BPAD (Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah) Provinsi Banten.29 Untuk sumber sekunder penulis menggunakan buku-buku yang membahas terkait pemberontakan komunis di Banten 1926 yang penulis dapatkan dari BPAD provinsi Banten . Buku yang penulis himpun di antaranya Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, Comummunism, Religion and Revolt in Banten. Selebihnya data-data sekunder yang penulis gunakan berupa buku, artikel dan skripsi yang penulis temukan di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Nasional dan beberarapa jurnal ilmiah dari situs internet. Namun, dalam proses heuristik ini penulis menemui hambatan terkait sumber-sumber yang menjelaskan tentang pengasingan ulama ke Boven Digul. Dalam arsip Boven Digul di Arsip Nasional RI, penulis belum menemukan bagaimana kehidupan ulama Banten terutama 26
Analitical History meerupakan jenis penelitian sejarah yang memanfaatkan teori dan metodelogi. Lihat: M. Dien Madjid dan Johan Wahyudi, Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 218. 27 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), h. 89. 28 De Banten Bode, 1926 dan Koloniaal Verslag. Tersedia di BPAD (Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah) Provinsi Banten. 29 BPAD (Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah) provinsi Banten dibentuk pada tahun 2008 berawal dari perubahan SOTK SKPD di lingkungan pemerintah provinsi Banten, dari penggabungan SKPD yang menangani perpustakaan yaitu Kantor Perpustakaan dan SKPD yang menangani data elektronik yaitu Kantor Pusat Data Elektronik dan Arsip Daerah. Kelembagaan yang awalnya merupakan kantor setelah dikeluarkannya Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah maka menjadi sebuah Badan (Lembaga Teknis Daerah), yaitu Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Provinsi Banten. Tugas pokok BPAD adalah melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perpustakaan dan arsip daerah. Lebih lanjut lihat: http;//bpad.bantenprov.go.id
11
A.Chatib sebagai pemimpin pemberontakan selama berada di pengasingan Boven Digul. Tahap berikutnya adalah kritik sumber atau verifikasi. Dalam tahap ini penulis melakukan uji keaslian sumber atau otentifikasi
dan uji kredibilitas
melalui kritik ekstern dan intern. Dalam kritik ekstren penulis mengkritisi secara fisik mengenai sumber-sumber yang penulis dapatkan dari BPAD provinsi Banten. Surat kabar yang ditemukan penulis dari BPAD berupa surat kabar De Banten Bode yang telah difoto copy. Sehingga secara fisik dokumen tersebut tidak dapat dikatakan otentik karena sudah tidak dalam bentuk aslinya, namun bagi penulis sumber tersebut tetap memuat unsur-unsur primer.30 Setelah itu penulis juga menguji kredibilitas sumber dengan menggunakan kritik intern. Dalam kritik intern ini penulis membandingkan sumber-sumber yang penulis himpun. Penulis membandingkan surat kabar De Banten Bode tahun 1926 dengan buku yang merujuk ke surat kabar De Banten Bode, seperti dalam dua buku karangan Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten dan buku Communism, Religion and Revolt in Banten. Hal ini mengingat surat kabar tersebut bukan dalam bentuk asli, sehingga penulis perlu menaruh kecurigaan terhadap kredibilitas sumber tersebut. Sedangkan kritik internal yang penulis lakukan pada sumber sekunder hanya ditemukan perbedaan mengenai waktu sebuah peristiwa terjadi, seperti perbedaan mengenai tahun kedatangan Sneevliet ke Indonesia sebagai penggagas PKI. Tahap selanjutnya yaitu interpretasi atau penafsiran terhadap sumbersumber yang telah penulis himpun untuk memperoleh fakta-fakta terkait permasalahan yang menjadi fokus kajian penulis. Dalam melakukan interpretasi penulis menggunakan metode analisis dan sintesis. Dalam proses analisis atau penguraian, penulis memperoleh beberapa fakta dari sumber-sumber yang telah penulis himpun baik sumber primer maupun sumber sekunder. Seperti tidak adanya penolakan tradisi Islam oleh PKI, pemeran propaganda politik dilakukan oleh para ulama bukan propagandis PKI, PKI bersifat radikal, antara PKI dan ulama yang tergabung mempunyai cita-cita mengusir penjajah kolonial dan yang 30
Lebih jauh mengenai unsur-unsur primer lihat: Louis Gottschk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 2008), h. 45.
12
terakhir masuknya ulama ke tubuh PKI tetap menggunakan ideologi Islam. Kesemua fakta tersebut menunjukkan konsep yang digunakan PKI agar apat berkembang di Banten. Dari beberapa fakta hasil analisis tersebut maka sintesisnya adalah bahwa PKI menggunakan Islam sebagai alat perjuangannya. Tahap terakhir yaitu historiografi, dalam tahap penulis menguraikan faktafakta yang sudah didapat ke dalam penulisan sejarah, dan kemudian menarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan pokok yang menjadi kajian utama penulisan ini.
I. Sistematika Penulisan Secara keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, adapun susunan skripsi inni adalah sebagai berikut: Bab pertama, berisikan pendahuluan yang terdiri atas penjabaran singkat pemasalahan yang menjadi fokus kajian, identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, serta sistematika penulisan. Bab kedua, membahas mengenai sosiohistoris Banten pada abad ke-19. Yang meliputi kondisi sosial masyarakat Banten, dan gerakan sosial yang terjadi. Bab ketiga, membahas mengenai konteks sosial politik keterlibatan ulama dalam pemberontakan PKI di Banten pada awal abad ke-20. Untuk sub babnya meliputi politik etis dan perubahan sosial-politik, SI di Banten dan PKI sebagai alternatif gerakan. Bab
keempat,
membahas
mengenai
keterlibatan
ulama
dalam
pemberontakan PKI 1926, meliputi masuknya ulama ke dalam PKI, persiapan pemberontakan, pecahnya pemberontakan dan terjadinya pengasingan ke Boven Digul. Bab kelima berisi penutup yang terdiri dari atas kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalaha yang menjadi motif awal kajian penulisan ini, dan saran-saran yang menjadi masukan untuk perbaikan penulisan berikutnya.
BAB II BANTEN: PROFIL SOSIO HISTORIS
Pemberontakan PKI di Banten tahun 1926 merupakan kali pertamanya komunis menampakan dirinya dalam bentuk gerakan politik di Indonesia. Meskipun berlangsung singkat, pemberontakan ini menunjukkan fakta bahwa agitasi komunis pada awal abad ke 20 memperoleh dukungan dari ribuan orang di Indonesia.1 Dalam peristiwa itu, kaum komunis dan ulama bekerja sama untuk melawan pemerintah kolonial. Ulama tampil sebagai agen propaganda untuk menarik dukungan dari masyarakat Banten, dan menjadi aktor sentral dalam pemberontakan. Kedudukan ulama yang penting dalam pemberontakan tidak hanya terjadi dalam peristiwa tersebut. Banten pada abad ke-19 telah mengalami berbagai pemberontakan yang dipimpin oleh ulama. Pada bab ini akan dipaparkan terkait beberapa pemberontakan yang terjadi pada abad ke-19 dengan kondisi sosial yang telah mempengaruhinya. Diasumsikan bahwa kondisi sosial yang terjadi pada saat itu memberikan sumbangsih terhadap pergerakan sosial abad ke20 yang akan dibahas pada bab berikutnya.
A. Kondisi Sosial Banten Pemberontakan komunis yang terjadi pada 13 November 1926 tidak lepas dari gerakan sosial yang marak terjadi sebelumnya atau pada abad ke-19. Pada abad ini Banten mengalami dominasi ekonomi, politik dan kultural oleh pemerintah kolonial yang telah mengakibatkan terjadinya disorganisasi di kalangan masyarakat dan lembaga- lembaganya. Dalam bidang ekonomi, pengerahan tenaga dan kondisi kerja bergantung kepada pemerintah kolonial. Sedangkan dalam bidang politik terjadi penetresi sistem administrasi yang bersifat legal rasional yang dikenalkan oleh pemerintah kolonial. Sementara itu, lembagalembaga politik tradisional semakin tertekan. Demikian pula para penguasa tradisional yang kedudukanya di bawah pengawasan pemerintah kolonial. Kondisi 1
Harry J. Benda, “The Communist Rebellions of 1926-1927 in Indonesia”, Pasific Historical Review, (University of California Press, 1995), h. 139.
13
14
demikian mengakibatkan rakyat untuk dapat menghidupkan kembali nilai-nilai tradisional sebagai sebuah pegangan.2 Beberapa gerakan sosial terjadi di tanah partekelir (particuliere landerijen). Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20 gerakan ini terjadi sebagai gejala historis masyarakat petani pribumi. Hampir semua gerakan ini terjadi akibat tingginya pungutan pajak dan beratnya pekerjaan yang diemban petani. Pungutan pajak ini dibayar perseorangan bukan lagi oleh desa secara keseluruhan.3 Gerakan ini bersifat magico religious, yaitu harapan millenaristis atau kejayaan masa silam dan juga bersifat messianistis atau datangnya Ratu Adil.4 Dalam usaha untuk melaksanakan tujuannya tersebut, seringkali ditempuh dengan jalan radikal atau revolusioner. Untuk dapat memahami sebab timbulnya gerakan tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukan tentang asal-usul terbentuknya tanah partekelir dan situasi yang mempengaruhi gerakan. Tanah partikelir adalah tanah milik swasta yang muncul akibat praktikpraktik penjualan oleh Kompeni (VOC 1602-1799). Kebijakan tersebut kemudian dilanjutkan oleh Gubernur Jendral Herman Willem Daendels (1808-1811) dan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816) yang berlanjut sampai tahun 1820-an. Dalam praktik penjualannya yang diserahkan bukan hanya sebidang tanah dengan berbagai jenis tanaman di atasnya, melainkan penyerahan suatu wilayah berikut dengan penduduk yang hidup di atasnya, dengan waktu yang relatif tanpa batas.5 Selain itu, para tuan tanah memiliki hak istimewa seperti hak fiskal dan keamanan (kepolisian setempat). Mereka juga berhak menuntut sebagian hasil produksi tanah garapan para petani dan berhak menuntut penyerahan tenaga kerja bagi keperluan pribadinya, seperti memetik buah, menggarap dan memelihara tanaman, atau mengangkut barang dari satu tempat ke tempat lain.6
2
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Indonesia, Jil. IV, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), h. 397-398. 3 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Indonesia, Jil. IV,......, h. 350. 4 Nina H. Lubis, .........., h. 100. 5 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Indonesia, Jil. IV, ......, h. 401. 6 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Indonesia, Jil. IV, ......, h. 402.
Notosusanto, Sejarah Nasional Notosusanto, Sejarah Nasional
Notosusanto, Sejarah Nasional Notosusanto, Sejarah Nasional
15
Tanah partikelir
timbul sejak awal zaman VOC sampai perempatan
pertama abad ke-19, karena adanya praktik penjualan tanah yang dilakukan oleh orang-orang Belanda. Tanah tersebut terdapat di sekitar Batavia, Bogor, Banten, Karawang, Cirebon, Semarang dan Surabaya. Pada awal kekuasaan VOC, tanah tersebut dihadiahkan kepada penanggung jawab keamanan dan ketentraman di sekitar Batavia. Sedangkan sebagian yang lain diberikan kepada kepala-kepala pribumi. Sementara itu tanah tanah partikelir yang berada di daerah Bogor menjadi milik pribadi Gubernur Jenderal. Para penerima tanah tersebut kemudian bertindak sebagai tuan tanah yang berhak untuk menguasai tanah serta menuntut penyerahan tenaga dan hasil tanahnya, bahkan apa saja yang dikehendaki. Tindakan pemerasan inilah yang kemudian membangkitkan gerakan sosial di tanah partikelir.7 Pada masa Deandels dan Raffles untuk menghilangkan kegelisahan para petani dikeluarkan larangan kepada tuan tanah untuk memperoleh sepersepuluh dari hasil tanah atau menentukan penyerahan tenaga kerja yang berat. Namun karena kontrol pemerintah sangat lemah, pelanggaran terus dilakukan. Akibatnya gerakan-gerakan sosial banyak di terjadi di masyarakat.8 Gerakan sosial sebagai harapan millenaristis atau cita-cita tentang kesultanan atau kejayaan masa silam tersebut dapat dipahami sebagai gagasan yang menyatakan bahwa situasi eksploitasi kolonial dapat berakhir dan tatanan tradisional dapat dipulihkan.9 Dalam hal itu karakteristik millienarisme dapat ditunjukkan dengan jelas, yakni penolakan yang mendalam dan menyeluruh terhadap kondisi yang terjadi. Namun gerakan yang terjadi pada dasarnya tidak tahu mengenai cara untuk memulihkan kesultanan. Selain itu, selama keturunan para sultan masih hidup, pencalonan orang lain dari bangsawan hanya fungsi simbolis dan bukan substansial. Oleh karena itu pemulihan kesultanan tidak mungkin dipahami sebagai tujuan politik yang konkret. Karena hanya sebagai
7
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV,......., h. 401. 8 Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah,........, h.101. 9 E.J. Hobsbawm, Primitive Rebels: Studies in Archaic Form of Social Movement in the 19th and 20th Centuries (Manchester, 1963), h. 57-58.
16
lambang pemersatu. Hal yang dapat diketahui tentang kembalinya kesultanan itu dikaitkan dengan janji untuk menghapuskan pajak.10 Alhasil dengan gagasan millienarisme tersebut menimbulkan sikap militan yang berakar dalam doktrin perang sabil, dimana terjalin hasrat yang menggelora untuk memulihkan kesultanan dan menghapuskan kekuasaan asing. Doktrin tentang perang sabil tersebut adalah kepercayaan laten masyarakat Islam yang disaat-saat penderitaan justru menjadi kekuatan yang ampuh untuk menggerakan massa rakyat.11 Gerakan sosial yang terjadi pada abad ke-19 ditandai dengan meningkatnya pergerakan kebangkitan kembali agama, yang meningkatkan potensi
agresif
rakyat
Banten.
Kebangkitan
kembali
agama
tersebut
memperlihatkan terjadinya peningkatan luar biasa dalam kegiatan agama, seperti melakukan salat, naik haji, memberikan pendidikan Islam tradisional kepada anak-anak muda, mendirikan cabang-cabang tarekat, penyelenggaraan khotbah yang meluas dan sebagainya. Pada akhir 1850-an, para bupati mengeluarkan perintah agar rakyat lebih taat dalam menjalankan ibadah mereka. Beberapa tahun kemudian, revivalisme agama itu terwujud dalam peningkatan jumlah pesantren, orang-orang yang naik haji, dan pembangunan masjid serta mushola. Di daerah yang penduduk muslimnya dominan, rakyat sangat menghormati para haji. Dan dengan prestise haji yang besar, mereka dapat menggunakan pengaruh meraka untuk mendorong rakyat agar lebih menaati kewajiban agama mereka.12 Harus diakui bahwa karena dalam Islam tidak ada perbedaan antara komunitas agama dan dan komunitas politik, sehingga setiap pergerakan protes keagamaan dengan mudah berubah menjadi gerakan politik. Dan persaudaraan religius di banyak daerah di dunia Islam terseret dalam gerakan regio-politik semacam itu. Dalam hubungan ini kaum haji menjadi bahaya yang potensial bagi penguasa kolonial, sejauh mereka dapat memimpin suatu pergerakan. Sedangkan golongan revivalis lain yang dominan di Banten abad ke-19 adalah golongan tarekat. Awalnya tarekat-tarekat itu hanya sebagai pergerakan revivalis agama, tetapi secara berangur-angsur berkembang menjadi badan politik 10
Sartono Kartodirjo, ........, h. 116. Sartono Kartodirjo, ........, h. 116-117. 12 Sartono Kartodirjo, ........, h. 156. 11
17
keagamaan. Mereka membentuk alat-alat kelembagaan untuk kegiatan politik yang ekstrem. Mereka menolak secara keras proses westernisasi dan bertekad untuk mempertahankan lembaga-lembaga tradisional. Didorong oleh xenofobia, mereka menggunakan kekerasan untuk melawan kekuasaan Belanda, serta menentang orang Islam yang bekerja sama dengan Belanda.13 Di antara tarekat yang muncul di Banten itu adalah aliran Kadariah. Aliran ini memasuki masyarakat Banten sebelum abad ke-19, tetapi ketika itu belum tercapai momentum yang vital. Dilihat dari historis ini, perkembangan aliran Kadariah menandai kebangkitan kembali agama Islam. Dalam gerakan keagamaan itu sendiri ada satu hal yang menarik , yaitu perkembangan perpecahan yang merupakan perpanjangan dari apa yang terdapat dalam inti dunia Islam, birokrasi keagamaan dengan pihak yang sudah mempunyai kedudukan sebagai guru agama atau pemimpin perkumpulan agama, persaingan di antara tarekat-tarekat, ataupun pertentangan antar kelompok di dalam tarekat itu sendiri. Berbagai kegiatan revivalis yang dipimpin oleh para pemuka perkumpulan agama diawasi dengan kecurigaan dan permusuhan oleh kaum ulama resmi. Karena kekuatannya terletak pada daya tarik rakyat, perkumpulan agama cenderung menjadi basis persekutuan untuk melancarkan pergerakan protes keagamaan. Untuk membendung perwujudan kegiatan perkumpulan ulama dan melawan arus revivalisme agama tersebut, pemerintah kolonial menciptakan suatu struktur keagamaan institusional yang terdiri dari hierarki pejabat agama profesional dengan fungsi kekuasaan yang diakui secara resmi. Mereka dibujuk untuk membenarkan ide-ide sekuler yang dibawa oleh pemerintah kolonial. Akibatnya, kaum ulama sebagai eksponen utama warisan agama Islam terpecah menjadi golongan sekularisasi dan golongan revivalis. Golongan sekularis diberikan status formal di dalam birokrasi kolonial, sedangkan golongan revivalis diabaikan oleh pemerintah kolonial dan dapat bertahan karena ketaatan dan dukungan penduduk desa.14 Golongan revivalis dalam menghadapi ancaman sekularisasi, terpaksa mengadakan persekutuan di antara perkumpulan agama sebagai bentuk organisasi 13 14
Sartono Kartodirjo, .........,h. 158. Sartono Kartodirjo, .........,h. 160.
18
yang ketat untuk dijadikan alat pergerakan protes dan pemberontakan. Dan sudah dipastikan bahwa golongan revivalis ini akan terus menjadi kekuatan tradisional yang kuat serta berusaha mengembalikan nilai-nilai kebudayaan zaman kesultanan dan merehabilitasi agama. Dalam gerakan revivalis tersebut melahirkan kepemimpinan yang karismatik, pengikut yang militan, pengaturan pencarian anggota baru yang efektif dan ideologi yang bergelora. Semua itu menjadi unsurunsur utama dari pergerakan revolusioner yang kuat. Dan gejolak gerakan sosial dapat diukur berdasarkan ekspresi revivalisme agama. Dalam hubungan ini penetresi weternisasi secara progresif dianggap mempercepat prosesnya. 15 Dalam perkembangannya, elemen yang tergabung dalam gerakan sosial berasal dari berbagai lapisan sosial dan rakyat biasa pedesaan bukan menjadi pelaku tunggal dalam pemberontakan. Elemen tersebut adalah pamong praja, bangsawan, orang-orang dari kalangan agama, pengurus desa, dan orang-orang yang telah bebas dari hukum. Sebagain besar dari mereka tergolong elite-inti dalam tatanan tradisional lama. Hampir semua pemberontakan dipimpin oleh orang-orang yang bukan petani biasa. Mereka memiliki kemampuan untuk mengungkapkan harapan terpendam dari sebagian besar kaum tani dan menyalurkan kekuatan kaum tani yang tidak teratur menjadi tekanan yang efektif. Kaum tani menjadi kekuatan fisik yang utama, dan karena itu merupakan unsur mutlak yang harus ada dalam pemberontakan.16 Gerakan sosial yang terjadi itu umumnya dianggap sebagai gerakan yang bersifat arkais karena organisasinya, programnya serta strategi dan taktiknya masih sederhana jika dibandingkan dengan gerakan sosial yang dilancarkan oleh komunisme dan fasisme. Oleh sebab itu, pemberontakan yang dilakukan mudah ditindas oleh militer kolonial. Pada umumnya gerakan itu berumur pendek, bersifat lokal dan tidak terkait satu sama lain. Selain itu gerakan sosial yang terjadi tidak menunjukkan ciri-ciri modern, seperti organisasi, ideologi-ideologi modern dan agitasi yang meliputi seluruh negeri. Sebagian besar pemberontakan petani bersifat lokal dan tidak terkait satu sama lain. Mereka memiliki keinginan yang samar untuk menggulingkan pemerintah, tetapi tidak menyadri bahwa
15 16
Sartono Kartodirjo, ........., h. 161-162. Sartono Kartodirjo, ........., h. 118.
19
mereka sedang mengambil bagian dalam suatu pergerakan sosial yang revolusioner.17 Dapat ditunjukan bahwa sepanjang abad ke-19 hampir setiap daerah mengenal masa-masa pergolakan yang tercermin dalam gerakan sosial dengan segala perkembangannya. Secara luas gerakan itu dapat digolongkan menjadi empat golongan, sesuai dengan landasan pokok yang mendorong terjadinya gerakan tersebut. Pertama, jenis gerakan melawan keadaan atau peraturan yang tidak adil. Dalam hal ini yang menjadi pendorong adalah adanya rasa dendam terhadap kondisi sosial ekonomi yang menekan. Kedua, adalah jenis gerakan ratu adil, yaitu gerakan yang bersifat mesianistis. Ketiga, adalah gerakan samin. Keempat, adalah jenis-jenis gerakan sekte keagamaan, yang bertujuan agar rakyat lebih rajin menjalankan kewajiban agamanya. Bukti adanya gerakan ini adalah tumbuhnya tarekat Kadariyah pada tahun 1860.18
B. Gerakan Sosial Banten Eksploitasi kolonial yang terjadi pada abad ke 19 di Banten menciptakan kondisi yang mendorong rakyat Banten untuk melakukan pemberontakan. Pemberontakan tersebut menjadikan ulama sebagai posisi sentral. 19 Para ulama Banten dengan semangat jihad, semangat anti kafir bahkan kadang semangat nativisme dan revivalisme, menjadi motor penggerak untuk berbagai gerakan sosial yang marak terjadi. Pemberontakan tersebut ditunjukan bukan hanya kepada pemerintah kolonial, tetapi juga kepada penguasa pribumi yang dianggap sebagai kaki tangan pemerintah kolonial. Di antara gerakan sosial yang terjadi pada abad 19 tersebut adalah: 1. Gerakan di Ciomas Tanah partikelir Ciomas yang terletak di lereng sebelah utara Gunung Salak, merupakan tanah yang dijual oleh Gubernur Jendral Deandels. Tanah ini luasnya 9.000 bau (1 bau = 0,8 hektar) dengan jumlah penduduk kurang lebih 15.000 jiwa. Seperti di tanah partikelir lainnya di daerah Ciomas pun para petani
17
Sartono Kartodirjo, ........., h. 1. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV, ......, h. 399. 19 Nina H. Lubis,........, h. 98. 18
20
dihadapkan dengan kondisi sosial-ekonomi yang menekan. Karena tenaganya dieksploitasi oleh tuan tanah, para pengawas dan petugas tuan tanah lainnya, serta pemungutan pajak (cuke) yang tinggi, sehingga di daerah ini terjadi pemberontakan.20 Terdapat beberapa hal yang menggambarkan kondisi sosialekonomi di partikelir Ciomas sebelum terjadinya pemberontakan adalah sebagai berikut:21 a. Para petani di daerah Ciomas sangat benci terhadap pungutan pajak. Praktik umum yang terjadi yaitu, untuk memanen para petani harus menunggu waktu yang ditentukan oleh tuan tanah. Dalam mengawasi panen itu tuan tanah menunjuk petugas pengawas
dan penjaga yang
ditempatkan di sawah-sawah. Namun karena pengawas tersebut tidak diawasi
oleh
tuan
tanah,
mereka
cenderung
menyalahgunakan
kedudukannya. b. Terjadinya praktik perbudakan. Misalnya, mewajibkan para petani untuk mengangkut hasil panen milik tuan tanah dari sawah-sawah ke lumbunglumbung yang jaraknya 10-12 paal (15-18 km). c. Terjadinya kerja rodi yang dipraktikkan di kebun-kebun kopi atau di pabrik-pabrik kopi. Bagi buruh yang tidak hadir atau datang terlambat akan dikenakan peraturan yang keras. Atau mereka yang mengirimkan wakil untuk menggantikannya maka wakil yang dikirim tersebut di tolak. d. Para petani diwajibkan untuk menyerahkan jenis barang tentu, antara lain penyerahan dua buah butir kelapa untuk setiap pohon, penyerahan sebatang bambu untuk setiap petak sawah, penyerahan seluruh hasil pohon enau atau kopi yang diwajibkan untuk ditanam di kebun petani sampai mencapai jumlah 250 batang. e. Petani dilarang untuk mengekspor padi, kerbau dan hasil bumi lainnya. f. Jika petani tidak dapat membayar hutang, maka tanah, rumah, dan kerbaunya akan disita. g. Perluasan tanah sampai juga pada pengawasan penjualan ternak, rumput, kayu dan penebangan pohon-pohon. 20
Nina H. Lubis,........, h. 105. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV,.........., h. 405. 21
21
h. Perempuan dan anak-anak diwajibkan pula untuk bekerja selama sembilan hari setiap bulannya. Adanya dominasi politik, ekonomi dan sosial terhadap para petani tersebut menimbulkan situasi yang buruk dan akhirnya terjadi pemberontakan. Salah satu akibat terjadinya ekslploitasi tenaga kerja dan pemungutan yang tinggi menjelang pecahnya pemberontakan adalah terjadinya migrasi penduduk dari daerah itu. Mereka yang tidak tahan lagi dan merasa terancam akan kehancuran ekonominya segera melakukan pelarian meninggalkan tanah partikelir Ciomas, pelarian tersebut mencapai jumlah 2.000 orang.22 Termasuk di antara mereka adalah para bujang yang notabene sebagai buruh harian pada gudang-gudang dan perkebunan kopi milik tuan tanah.23 Pemberontakan petani Ciomas terjadi dua kali pada tahun 1886. Pemberontakan pertama terjadi pada bulan Februari 1886 di bawah pimpinan Apan Ba Sa’amah, yang diawali dengan pembunuhan terhadap Camat Ciomas bernama Haji Abdurrakhim, yang datang ke Apan untuk menangkap dirinya di kampung Pasir Angsana, Ciomas. Setelah berhasil membunuh Camat Ciomas, Apan mundur ke kampung Petir, Ciomas, yang berada dekat dengan perbatasan tanah partikelir Ciampea. Di kampung itulah ia bertahan bersama para pengikutnya, hingga akhirnya tewas di tembak serdadu yang datang mengepung rumahnya di bawah pimpinan Residen Bogor. Pemberontakan petani yang kedua terjadi sekitar tiga bulan kemudian, yaitu pada bulan Mei di bawah pimpinan Mohammad Idris. Seperti halnya Apan, pada awalnya Idris merupakan petani biasa yang terikat kontrak kerja dengan tuan tanah Ciomas. Sejak akhir tahun 1885, Idris sudah merasa kecewa dengan pihak tuan tanah, terutama setelah ia tak mampu melunasi hutang-hutangnya dan tanah yang dimiliki disita oleh tuan tanah. Sebagai balasannya ia tidak mau memenuhi kewajiban kerja rodi (kompenian) di kebun kopi milik tuan tanah dan pergi berdagang ke pasar Bogor. Kemudian ia pindah dari kampungnya, Parakan, ke kampung Pepojok, Ciampea, yang tidak jauh dari bukit Pasir Gaok, Ciampea. Di tempat inilah Idris banyak menerima kunjungan dari petani-petani Ciomas yang 22
Nina H. Lubis,........, h. 106. Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV, ......., h. 406. 23
22
merasa senasib dengannya. Semakin lama yang datang kepadanya semakin banyak, termasuk para bujang yang melarikan diri dari perkebunan tuan tanah. Orang yang tergabung dengan Indris sekitar 2.000 orang.24 Untuk melakukan pemberontakan, Idris dan pengikutnya melakukan pertemuan di pondok kecilnya. Sesuai rencana Idris berhasil menduduki Ciomas bagian selatan.25 Pada Selasa malam, 18 Mei 1886, Idris memutuskan untuk menyerang pesta sedekahan bumi yang diselenggarakan di Kampung Taman yang letaknya tidak jauh dari perkebunan kopi Gadok, Ciomas. Pesta tersebut pada dasarnya merupakan pesta tahunan menyambut selesainya panen padi. Menurut kebiasaan, tuan tanah beserta keluarganya menghadiri pesta tersebut. Oleh karena itu, Idris memutuskan untuk menyerang pesta tersebut. Keesokan harinya, sekitar pukul 09.00, Idris bersama sekitar 40 orang pengikutnya, datang menyerang pesta tersebut. Namun keluarga tuan tanah yang menjadi target penyerangan tidak hadir dalam pesta itu. Hanya beberapa orang pancalang dan polisi desa kepercayaan tuan tanah yang hadir di pesta itu, selebihnya hanya penduduk biasa. Setelah mengetahui bahwa yang menjadi target penyerangan tidak hadir, Idris pun menyuruh para pengikutnya untuk kembali ke Pasir Gaok.26 Keesokan harinya, Kamis, 20 Mei 1886, pasukan militer di bawah pimpinan Residen Batavia, datang mengepung Pasir Gaok, Ciampea. Dalam rombongan itu ikut serta Asisten Residen Batavia dan Bogor, polisi desa setempat, dan administratur tanah partikelir Ciomas. Idris sebelumnya telah mengintruksikan kepada para pengikutnya bahwa jika yang datang mengepung adalah tentara atau militer, mereka tidak usah melawan dan memilih menghindar. Akan tetapi jika yang datang adalah orang-orang tuan tanah, atau tentara yang di dalamnya ada orang-orang tuan tanah, maka mereka harus melawan. Akhirnya, sesuai instruksi Idris mereka dan menyoraki. Sehingga Asisten Residen
24
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV, .........., h. 406-407. 25 Nina H. Lubis, ........., h. 106. 26 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV,.........., h. 407.
23
memerintahkan untuk menembaki para pengikut Idris. 27 Dalam pemberontakan tersebut tercatat 40 orang mati dibunuh dan 70 orang lainnya luka-luka.28 Suatu ciri dalam pemberontakan Ciomas adalah waktu yang spontanitas. Pemberontakan yang terjadi pada bulan Mei 1886 terjadi di luar dugaan tuan tanah dan pemerintah. Pengalaman atau rasa senasib karena pungutan pajak tinggi dan beban kerja para petani menjadi modal utama dalam melakukan aksi kolektif melawan tuan tanah. Terdapat pula isu-isu bangkitnya fanatisme agama Islam yang pada umumnya lebih banyak disebabkan oleh sikap islam-fobi yang hidup di kalangan pengusaha maupun penguasa kolonial, sehingga sedikit saja aktivitas umat Islam yang meningkat, seperti meningkatnya jumlah orang yang datang ke masjid atau pengajian yang disebut sebagai adanya gerakan fanatisme agama. 29 Kepemiminan pemberontakan di tanah partikelir Ciomas tidak datang dari luar golongan petani, tetapi dari dalam golongan sosial itu sendiri. Apan Ba’samah yang disebut oleh pihak tuan tanah sebagai Imam Mahdi dan Mohammad Idris yang disebut oleh Sartono Kartodirjo sebagai Panembahan, adalah petani-petani biasa seperti petani lainnya. Kelebihan mereka adalah kharisma yang dimiliki dan kemauan yang melebihi lainnya, umumnya seperti agen perubahan. Oleh karena itulah, ketika ia bergeser ke desa Pepojok yang kemudian pindah ke Pasir Gaok, banyak petani yang bergabung dengannya serta menganggap dirinya sebagai seorang raja. 2. Gerakan di Cilegon Pemberontakan di Cilegon atau yang dikenal dengan pemberontakan petani Banten, pada dasarnya bersifat mesianistis, yaitu gerakan yang mengharapkan datangnya Ratu Adil atau Imam Mahdi. Di samping itu, semangat pemberontakan ini diperkuat oleh perang sabil. Sebagai peran utama untuk menggerakan para pengikutnya yang terdiri atas para guru tarekat. Rasa tidak puas terhadap peraturan pemerintah kolonial telah menciptakan iklim yang baik bagi terhimpunnya pendukung gerakan pemberontakan itu.30
27
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV, .........., h. 408. 28 Nina H. Lubis, ........., h. 107. 29 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV, ......., h. 408-409. 30 Nina H. Lubis, .........., h. 107.
24
Latar belakang pemberontakan ini dapat dilihat dari informasi yang dikumpulkan dari pihak lain atau penyelidikan polisi. Di bawah ini di cantumkan sebuah salinan dari penyelidikan polisi mengenai pengaduan Achmad dari Beji.31 “Pada tanggal 10 bulan Syawal (19 Juni 1888) saya melihat banyak orang dari Medang Bantu dan desa lain mengunjungi Haji Wasid. Saya mendengar bahwa Haji Wasid akan memulai Perang Sabil. Saya ingin mengetahui lebih lanjut tentang desas-desus ini dan Haji Wasid sendiri memberikan konfirmasi dengan menjelaskan, bahwa rombongan besar sudah memutuskan akan mengadakan pemberontakan dengan alasan sebagai berikut : (1) Patih dan jaksa pegawai Cilegon sependapat dengan orang Belanda untuk tidak mengizinkan lagi orang mukmin shalat di dalam masjid, dan mereka berusaha memusnahkan agama bangsa; (2) Patih terlalu tinggi menaikkan beban pajak, walaupun rakyat telah mengajukan permohonan
kepada Bupati Serang, tetapi pegawai ini tetap
menyerahkan persoalan pajak tersebut kepada Patih, akibatnya jumlah pajak tetap dikurangi; (3) Sebab utama pemberontakan ini belom diketahui dengan jelas, tetapi saya mendengar, bahwa pemberontakan ini diakibatkan oleh pajak yang terlalu tinggi, khususnya pajak dagang; (4) Penjaga yang tidak memalukan tugasnya
dengan
baik
dihukum
keras;
(5)
Pegawai
pribumi
banyak
mempergunakan mata-mata, dan mereka terus mencari pelanggaran hukum yang sederhana; (6) Rakyat biasa sangat marah, karena tidak diperlakukan dengan baik; Patih dan jaksa merupakan sasaran utama kebencian rakyat. “Sesudah meletusnya pemberontakan, dan pada waktu semua kepala pemberontak masih mengembara di daerah Gunung Gede, Haji Wasid pernah mengusulkan kepada kelompoknya supaya menulis petisi kepada para kepala di Cilegon, untuk menjelaskan sebab musabab pemberontakan dengan menyebutkan khusus rasa benci terhadap raja patih dan jaksa, yang telah menunjukan penghinaan terhadap agama Islam. “Rakyat hendak menghukum mereka. Tingkah laku mereka jelak sekali dan patih tidak boleh lepas dari pada hukuman. Ketika mereka berada di hutan Panimbang (Caringin). Haji Wasid pernah mengatakan kepada Haji Ismail, bahwa ia memulai pemberontakan karena rakyat mendorongnya. Rakyat sering 31
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 58.
25
mengunjunginya
dan
meminta
supaya
dia
bersedia
menjadi
kepala
pemberontakan, karena mereka benci terhadap pemerintah. Kebencian itu disebabkan hal sebagai berikut: a. Para pedagang dikenakan pajak yang terlalu tinggi, mereka minta pengurangan tapi tidak mendapat jawaban, dan pajak dipertinggi lagi. b. Penjaga yang ditemui waktu malam sedang tidur, langsung didenda satu gulden untuk kali pertama dan sepuluh gulden untuk seterusnya. c. Para pegawai menghina para kyai dan menjelekan agama, terbukti dengan adanya larangan untuk berdoa dengan suara keras dan larangan membangun menara masjid yang tinggi. d. Pada setiap hari pasar semua pembuktian pembayaran pajak dikontrol dan pedagang yang tidak membawa surat dikenakan denda; oleh karena itu rakyat
Banten
dan
termasuk
rakyat
Bogor
setuju
mengadakan
pemberontakan terhadap pemerintah, tetapi rakyat Bogor mengadakan desersi. Akhirnya pada waktu kami lari ke arah selatan ada yang bingung: mengapa wedana, pegawai pajak dan juga penjaga penjara berserta isterinya dan anaknya dari pegawai Eropa dibunuh. Karena kepada permulaan hanya direncanakan membunuh jaksa dan pegawai Eropa serta semua orang yang menentang rencana kami........”.
Berdasarkan laporan dari kaum pemberontak tersebut, dapat diperoleh kesan bahwa: a. Alasan terjadinya pemberontakan ini adalah campuran antara motif agama dan motif ekonomi/sosial. b. Bagi
sebagian
pemberontak,
pengetahuan
tentang
motif-motif
pemberontakan ini sangat terbatas. Mereka tidak mengamati suasana dan problematika seluruh wilayah Indonesia, tetapi hanya mengetahui beberapa perkara di Banten atau di daerah Cilegon saja. c. Tarekat
menjadi
katalisator
untuk
mempersatukan
manusia
dan
memperdalam pemikiran tentang perang sabil. Di dalam pemberontakanpemberontakan tarekat sebenernya tidak memegang peranan yang penting. Sedangkan menurut orang Belanda tarekat dianggap sebagai aliran yang
26
sangat keras; banyak orang-orang tarekat dibuang dan dilakukan pengawasan yang ketat sekali terhadap tarekat ini. Sehingga di beberapa daerah Indonesia tarekat dilarang oleh Kepala Pribumi. Di antara tokoh-tokoh yang mempelopori gerakan pemberontakan di Cilegon tahun 1888 adalah H. Abdul Karim, yang menganut ajaran tarekat Kadariah. Ia seorang guru tarekat terkemuka dan banyak pengikutnya. Kemudian ia lebih dikenal dengan nama Kiai Agung.32 Di antara murid-muridnya adalah H. Sangedeli dari Kaloran, H. Asnawi dari Bendung, Lampuyang, H. Abu Bakar dari Pontang, H. Tubagus Ismail dari Gulacir dan H. Marjuki dari Tanara.33 Kedua, H. Tubagus Ismail salah seorang murid H. Abdul Karim. Ia telah beberapa kali melakukan ibadah haji. Setibanya di kampung halaman, ia mendirikan sekolah agama dan membentuk cabang tarekat Kadariah di tempat kediamannya, Gulacir. Ketiga, H. Marjuki, ia tinggal di Tanara, dan sepulangnya dari Mekkah, ia pernah mengadakan perjalanan ke Banten, Tangerang, Jakarta dan Bogor sambil mempropagandakan ide tentang jihad. Keempat, H. Wasid, ia berasal dari keluarga pemberontak. Ayahnya, Abas, pernah mengambil bagian dalam pemberontakan H. Wakhia pada tahun 1850.34 H. Wasid dilahirkan di Grogol, dan ketika terjadi peristiwa pemberontakan Cilegon ia berusia 45 tahun. 35 Letak kota Cilegon diapit oleh dua buah jalan raya, yaitu jalan raya dari Serang menuju ke Anyer, dan jalan lainnya menuju ke Mancak. Di tengah-tengah kota terdapat alun-alun sebagai pusat keramaian Kota Cilegon. Di bagaian utara alun-alun berdiri sebuah rumah yang dihuni oleh Asisten Residen Gubbels, dan di dekatnya terdapat rumah lain yang dihuni oleh Aspirant Controleur Van Rinsum. Di sana terdapat juga kantor pos. Di sebelah selatan alun-alun terdapat kabupaten dan kompleks penjara, sedangkan di sebelah baratnya berdiri rumah keluarga
32 33
Nina H. Lubis, .........., h. 108. A. Hamid, Tragedi Berdarah di Banten 1888, (Cilegon: Yayasan Kiyai Haji Wasid), h.
31. 34
Pemberontakan H. Wakhia terjadi pada 24 Februari 1850 dengan terbununya Damang Cilegon dan stafnya yang sedang mengadakan inspeksi di Rohjambu. Kerusahan ini dipimpin oleh Raden Bagus Jayakarta, Tubagus Suramaja, Tubagus Mustafa, Tubagus Iskak, Mas Derik, Mas Diad, Satus, Nasid, Asidin, H. Wakhia dan Penghulu Dempol. Di antara mereka H. Wakhia lah yang terkenal perjuangannya , ia sudah sejak tahun 1850 selalu mengadakan huru-hara menentang kolonial Belanda. Lihat, Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten, (Serang: Saudara Serang, 2011), h. 202. 35 Nina H. Lubis, ........, h. 108-109.
27
Bachet, sebagai kepala gudang garam, dan sebuah mesjid. Di sebelah timur alunalun tepat di persimpangan jalan terdapat rumah Groundhout dan pos Cilegon. Di sebelah utara jalan menuju Serang terdapat gardu dan pasar, gudang garam dan rumah Tan Keng Hok. Di sebelah timur dan barat jalan yang menuju Tanjung Kurung masing-masing terdapat rumah keluarga Dumas, jaksa, ajun kolektor, wedana, penjara, penghulu dan rumah H. Ishak.36 Sejak 1884 gagasan mengenai pemberontakan sudah mulai matang, dan pemimpin-pemimpinnya sudah tidak sabar lagi untuk mulai bertindak. Dalam satu pertemuan di rumah H. Wasid di Beji, diputuskan untuk mencari pengikut di kalangan para murid. Kurun waktu antara pertemuan itu sampai meletusnya pemberontakan dilakukan pertemuan-pertemuan yang tiada henti. Pertemuan tidak hanya untuk membangun organisasi komplotan, tetapi juga untuk menyusun rencana-rencana pemberontakan. Pertemuan-pertemuan diadakan di berbagai tempat yang dihadiri oleh sebagian besar pemimpin pemberontakan setempat. Guru-guru tarekat ditugaskan untuk menyebarkan gagasan itu untuk mencari pengikut. Pejabat-pejabat Eropa merasa cemas melihat kegiatan yang sangat meningkat dalam kehidupan keagamaan rakyat, tetapi mereka dapat ditenangkan oleh pejabat-pejabat Banten yang tidak melihat hal-hal membahayakan dalam semua manifestasi keagamaan itu.37 Hal yang dianggap aneh dan tidak biasa bagi pejabat-pejabat Eropa dan dianggap hal yang wajar oleh pejabat-pejabat Banten. Sebagai contoh, menurut pejabat-pejabat Banten adalah hal yang wajar jika rakyat dengan penuh semangat menggunakan masjid-masjid yang telah dipugar atau baru selesai dibangun. Di kemudian hari untuk pertemuan-pertemuan penting di antara anggota-anggota komplotan menggunakan kedok pesta, seperti pesta perkawinan atau pesta sunatan, pertemuan-pertemuan yang lebih kecil menggunakan kedok pertemuan zikir.
Para
pemberontak
sangat
pandai
merahasiakan
rencana-rencana
pemberontakan sehingga selama bertahun-tahun pemerintah kolonial tidak mampu menemukan fakta yang bisa dijadikan alasan untuk menangkap mereka. 38
36
Nina H. Lubis, ........, h. 109. Sartono Kartodirjo, ........, h. 201. 38 Sartono Kartodirjo, ........, h. 201. 37
28
Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan selama tiga bulan terakir pada 1887 sampai dengan pertengahan pertama 1888 ditandai oleh faktor-faktor sebagai berikut: (1) latihan pencak dipergiat; (2) pengumpulan dan pembuatan senjata; (3) propaganda di luar Banten dilanjutkan.39 Kegiatan-kegiatan lain juga dilanjutkan, seperti menghasut rakyat dengan jalan membakar semangat mereka melalui khotbah-khotbah tentang ramalan-ramalan dan ajaran tentang Perang Sabil, serta mendorong mereka untuk memakai jimat dan ikut dalam pertemuanpertemuan
keagamaan.
Hingga
minggu-minggu
sebelum
pecahnya
pemberontakan merupakan pekan yang diliputi kesibukan yang luar biasa, karena dilakukan pertemuan terakhir dan diambil keputusan serta persiapan terakhir pula. Dalam pertemuan yang dilakukan oleh H. Wasid dapat ditentukan menurut ramalan tradisional tentang tanggal yang tepat untuk melakukan pemberontakan, yaitu pada hari Senin, tanggal 29 bulan Syawal, atau 9 Juli 1888. Sementara itu H. Wasid pun merencanakan bahwa di Serang akan terjadi pula pemberontakan dan kemudian bergabung dengan gerakan pemberontakan Cilegon. 40 Pada hari Senin, 9 Juli 1888, pukul 02.00 dini hari sekitar 100 orang serangan pertama diluncurkan yang dipimpin oleh H. Wasid dan H. Tubagus Ismail. Mereka bergerak ke Desa Saneja. Sasaran serangan ini adalah rumah Henri Francois Dumas, seorang juru tulis di kantor asisten residen.41 Dalam serangan itu Dumas sempat melarikan diri ke rumah jaksa. Akan tetapi sebelum sampai ke rumah jaksa, ia ditangkap dan badannya terdapat bekas tusukan dan terkapar di halaman rumah jaksa. Sementara ketika jaksa mendengar ada suara minta tolong dari rumah Dumas, jaksa itu keluar dari rumahnya. Seketika itu juga ia diserang oleh perusuh, dan akhirnya ia mati dibunuh. 42 Isteri Dumas dan anak-anaknya berlindung di rumah ajun kolektor. Anaknya yang paling kecil dan pembantunya Minah ditemukan di tengah sawah dalam keadaan masih hidup, tetapi dalam luka yang parah. Anak kecil itu meninggal pada 24 Juli 1888, sedangkan Minah
39
Sartono Kartodirjo, ........, h. 212. Nina H. Lubis, ........., h. 110. 41 http://historia.id/modern/jalannya-pemberontakan-petani-banten-1888, (diakses pada Jum’at, 27 Januari 2017, jam 22.15 WIB) 42 Nina H. Lubis, ........, h. 110. 40
29
dibawa suaminya, Kamid, ke rumah sakit serang dan dirawat sampai 13 September 1888.43 Pasukan H. Tubagus Ismail menyerang rumah asisten residen, Johan Hendrik Hubert Gubels, yang sedang mendampingi residen mengadakan inspeksi ke Anyer. Mereka mendapati dua anak Gubels, Elly dan Dora dan menghabisinya dengan kejam. Sementara itu pasukan H. Usman menyerang Ulric Bachet, kepala penjualan garam. Bachet bersembunyi di rumah penduduk di belakang rumahnya. Sempat melepaskan tembakan yang menewaskan dua pemberontak, namun akhirnya dia pun dibunuh. Pasukan lain yang dipimpin Lurah Jasim bergerak menuju rumah jaksa dan ajun kolektor, Kertadiningrat yang bisa pencak silat, mengadakan pemberontakan. Dengan senjata limbukan (gada panjang dari kayu yang berat) berhasil melumpuhkan beberapa pemberontak. Namun akhirnya dia dihabisi oleh para pemberontak yang jumlahnya banyak. Sebagian pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim bergerak menuju penjara dan membebaskan sekitar 20 tahanan. Seorang sipir penjara, Mas Kramadimeja, tewas. Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, wedana dan kepala penjara berhasil meloloskan diri menuju ke kepatihan. Para pemberontak mengepung rumah kepatihan untuk mencari Patih Raden Penna, namun tidak di tempat. Pemberontak membunuh seorang pelayan Patih, Sadiman.44 Para pemberontak membawa wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat, jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden Purwadingingrat, ke alun-alun untuk dieksekusi. Bekas tahanan, Kasidin, melampiaskan dendamnya kepada wedana Cilegon yang menjebloskannya ke penjara dengan parangnya. Kemudian para pemberontak membunuh Jacob Groundhout, insinyur pengeboran pada departemen pertambangan di Cilegon, dan isterinya Cecile Wijermans. Para pemberontak juga menghabisi Mas Asidin (magang yang diperbantukan pada asisten wedana Bojenegara), Mas Jayatmaja (mantri ulu atau pegawai pengairan distrik Cilegon), Jamil kepala opas asisten residen Anyer, Jasim (pelayan asisten
43
http://historia.id/modern/jalannya-pemberontakan-petani-banten-1888, (diakses pada Jum’at, 27 Januari 2017, jam 22.15 WIB) 44 http://historia.id/modern/jalannya-pemberontakan-petani-banten-1888, (diakses pada Jum’at, 27 Januari 2017, jam 22.15 WIB)
30
wedana Krapyak Cilegon).45 Sementara itu Gubbels bergegas kembali ke rumahnya di alun-alun Cilegon. Dia lebih baik mati bila anak-anak dan istrinya mati. Dia tewas di dalam rumahnya. Mayatnya kemudian diseret keluar rumah dan disambut dengan pekik kemenangan yang gemuruh. Karena asisten residen, alat utama pemerintah kolonial sudah mati. Mengenai peristiwa tewasnya Gubbels ini termuat dalam sebuah koran.46 “Asisten Resident Gubells lari ke rumah Patih Penna, kursi Patih Penna penuh dengan darah, di tengah rumah dimana terdapat meja tulis kelihatan banyak darah tercecer. Ternyata para pemberontak menyeret assisten residen ke halaman rumahnya. Nyonya assisten diketemukan mati tercincang, putranya mati tergeletak di dekat mayat ibunya”.
Setelah menduduki Cilegon, H. Wasid memimpin para pemberontak menuju Serang untuk merebut ibu kota keresidenan dan menghabisi para pegawainya, baik pribumi maupun Eropa. Sementara itu bupati dan kontrolir Serang serta Letnan van der Star membawa pasukan tentara dengan bersenjatakan 28 senjata api berangkat ke Cilegon. Terjadi pertempuran di Toyomerto. Tentara berhasil memukul para pemberontak dengan menewaskan sembilan orang dan beberapa luka-luka. Para pemberontak tersebut terkejut karena untuk pertama kalinya melihat senapan jenis baru yaitu senapan repetisi yang digunakan oleh tentara pemeritah, bukan lagi senapan achterlader yang digunakan oleh tentara pemerintah saat terjadinya pemberontakan Wakhia pada 1850. Sebagai akibatnya moril kaum pemberontak dapat dikatakan sudah terpatahkan. Dengan terceraiberainya pasukan induk mereka dan pemberontakan mulai surut. Oleh karena itu, kekalahan di Toyomerto dapat dianggap sebagai titik balik dalam jalannya pemberontakan.47 Tersiar desas-desus ke Batavia bahwa pemberontakan berkobar di seluruh Banten dan Serang yang sedang dikepung oleh 5.000 orang pemberontak. Informasi samar-samar itu membuat pemerintah di Batavia mengirimkan kekuatan. Satu batalion mendarat di Pelabuhan Karangantu. Dalam waktu 45
http://historia.id/modern/jalannya-pemberontakan-petani-banten-1888, (diakses pada Jum’at, 27 Januari 2017, jam 22.15 WIB) 46 Nina H. Lubis, .........., h. 112. 47 Sartono Kartodirjo, .........., h. 265.
31
bersamaan, kaveleri juga dalam perjalanan menuju serang. Tentara telah menawan ratusan pemberontak, namun para pemimpin pemberontakan belum juga ditemukan. Kemudian pemerintahpun menjajikan imbalan 1.000 gulden bagi siapa saja yang dapat menangkap pemimpin-pemimpin pemberontak.48 H. Wasid dengan 27 orang pemimpin dan pengikutnya kemudian menyusut menjadi 21 orang dan memutuskan mundur ke belantara Banten Selatan melalui rute sepanjang pantai barat. Rencana ini didasarkan atas janji yang telah diberikan oleh H. Marjuki bahwa dia akan kembali dengan Kiai Agung Abdul Kari dan haji-haji terkemuka lainnya dari Mekkah untuk menggabungkan diri dalam perjuangan apabila mereka dapat melanjutkan jihad selama setahun lagi. Pemimpin lain, H. Madani , H. Jahli dan Agus Suradikaria menolak untuk ikut ke Banten Selatan dan memilih memisahkan diri menuju Cipinang dan bersembunyi di masjid desa itu. Pada 17 Juli 1888 H. Iskak menjadi pemimpin pertama yang tewas setelah menyerang tentara. Beberapa hari kemudian H. Madani, H. Jahli, Agus Suradikaria, H. Nasiman, H. Kasiman dan H. Arbi menenemui ajalnya. 49 Sementara itu H. Wasid dan para pemimpin lain serta pengikutnya melakukan long march ke arah Banten Selatan. Pada 30 Juli 1888, ekspedisi tentara mengakhiri pelarian mereka di daerah Sumur. Para pemberontak memberikan pemberontakan meski pada akhirnya dilumpuhkan. Tentara membawa mayat mereka ke Cilegon dan diidentifikasi sebagai pemberontak yang sedang dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah, termasuk H. Wasid, H. Tubagus Ismail, H. Abdulgani, dan H. Usman. Dan dua mayat telah jatuh ke dalam sungai dan dianggap hilang, sementara dikemudian hari ditemukan lagi satu mayat. Sedangkan H. Jafar, H. Arja, H. Saban, Akhmad, Yahya dan Saliman berhasil meloloskan diri sampai ke Mekkah. Tercatat sebanyak 204 orang telah ditangkap, 94 orang di antaranya kemudian dibebaskan lagi, 89 orang dihukum kerja paksa selama antara 15 dan 20 tahun serta 11 dihukum mati.50 Dengan banyaknya korban yang berjatuhan maka pemberontakan dinyatakan telah dapat ditumpas dalam waktu kurang dari satu bulan.
48
Sartono Kartodirjo, .........., h. 267, 277. Sartono Kartodirjo, ........., h. 279-281. 50 Sartono Kartodirjo, ........., h. 287, 290. 49
32
Pemberontakan besar yang terjadi di Cilegon ini karena Cilegon merupakan tempat tinggal pejabat-pejabat pamong praja Eropa dan pribumi, seperti asisten residen, kontrolir muda, patih wedana, jaksa, asisten wedana, ajun kolektor, kepala penjualan garam, dan pejabat-pejabat lainnya dari tingkat bawah birokrasi kolonial.51 Selain itu, Snouck Hurgronje menyebutkan pemberontakan ini terjadi didasari oleh watak rakyat sendiri, yang berasal dari pembauran para pendatang dan kaum petualang; kemunafikan dan fanatisme agama Islam yang mereka anut yang ditanggapi oleh pihak Belanda dengan sikap acuh tak acuh. Ditambah dengan kepatuhan para murid yang kuat terhadap gurunya. 52 Pemberontakan petani Banten atau yang dikenal dengan peristiwa geger Cilegon sama halnya dengan pemberontakan yang terjadi di daerah partikelir Ciomas. Pemberontakan ini terjadi karena eksploitasi kolonial, tingginya pungutan pajak dan tekanan kerja paksa. Rasa senasib itulah yang mempersatukan mereka. Dalam pemberontakan ini para petani mengharapkan datangnya Ratu Adil atau Imam Mahdi. Hal ini terlihat jelas ketika gerakan H. Wasid sebelum pemberontakan berhasil ditumpas oleh pemerintah kolonial ketika berada di rumah asisten residen, di tempat itu dirayakan kemenangan perangnya dengan sengaja mengadakan pesta dan seluruh pengikut H. Wasid bersuka ria. H. Wasid sendiri mengangkat dirinya sebagai sultan. Sebagai seorang pemimpin pemberontakan, H. Wasid memiliki kharismatik yang dimiliki dan melebihi dari yang lain.53
51
Sartono Kartodirjo, .........., h. 231. C. Snouck Hugronje, Kumpulan Karangan Snouck Hugronje VIII, (Jakarta: INIS, 1993), h. 7. 53 Nina H. Lubis, ........., h. 113. 52
BAB III BANTEN PADA AWAL ABAD KE - 20: KONTEKS SOSIAL - POLITIK KETERLIBATAN ULAMA DALAM PEMBERONTAKAN
A. Politik Etis dan Perubahan Sosial-Politik Pada awal abad ke-20 berbagai sekolah makin berkembang di Pulau Jawa sehingga masyarakat meskipun sangat terbatas, mulai menikmati pendidikan. Meluasnya kesempatan untuk menikmati pendidikan ini sebagai akibat lahirnya Politik Etis. Gagasan garis politik kolonial ini pertama kali diungkapkan oleh Van Dedem sebagai anggota Parlemen Belanda. Dalam pidatonya pada tahun 1891 dikemukan keharusan untuk memisahkan keuangan Indonesia dari Negeri Belanda. Selain itu, harus diperjuangkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat serta ekspansi menuju situasi politik yang konstruktif. Perjuangan untuk melancarkan politik kolonial tersebut diteruskan oleh Van Kol, Van Deventer, dan Brooschoot. Van Kol yang menjadi juru bicara golongan sosialis dan berpengalaman di Hindia Belanda melancarkan kritik terhadap keadaan yang merosot di Hindia Belanda. Ia menyatakan bahwa selama satu abad lebih pemerintah mengambil keuntungan dari penghasilan rakyat, tetapi tidak sepeser pun dikembalikan. 1 Van Deventer seorang liberal yang mendukung politik kolonial baru, pada tahun 1889 menulis sebuah karangan dalam majalah De Gids berjudul “Hutang Kehormatan”. Dalam tulisan itu ia menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa Belanda atas semua kekayaan yang sudah diperas dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayar kembali dengan jalan memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyat Hindia Belanda di dalam kebijakan kolonial.2 Ide-ide politik etis tersebut adalah irigasi, emigrasi dan pendidikan. Pendidikan memiliki skala yang paling penting melihat populasi masyarakat pribumi sehingga mereka berpikir untuk memajukan dan meningkatkan pendidikan masyarakat pribumi. Kebijakan ini mulai diberlakukan sejak
1
Nina H. Lubis, ........., h. 130. M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 328. 2
33
34
diangkatnya Alexander W.F Idenburg sebagai menteri urusan jajahan.3 Politik etis telah mengubah pandangan dalam politik kolonial, sehingga Hindia Belanda tidak lagi sebagai Wingewest (daerah yang menguntungkan), tetapi menjadi daerah yang perlu dikembangkan sehingga dapat memenuhi keperluannya dan budaya rakyatnya ditingkatkan. Oleh sebab itu salah satu cara untuk mencapai tujuan ini adalah dengan jalan memberikan pendidikan Barat secara intensif.4 Sebelum pemerintah Belanda membuka secara umum pendidikan untuk pribumi, pendidikan sudah berlangsung di kalangan masyarakat pribumi. Rakyat dari kalangan bawah memilih untuk menimpa ilmu agama Islam di pesantren, sedangkan untuk para pejabat dan bangsawan memilih untuk memanggil guru privat orang Belanda, seperti dilakukan oleh bupati Serang, bupati Sumedang, bupati Galuh, mereka melangsungkan proses belajar di pendopo. Pelajaran yang diajarkan meliputi menulis dan membaca Melayu (latin dan Arab) dan berhitung.5 Dalam menetapkan pembagian sekolah pribumi, pemerintah kolonial mengeluarkan Indische Staatblad van Nederlandsh-Indie tahun 1893 nomor 125 yang membagi sekolah kelas satu dan sekolah kelas dua.6 Pembagian sekolah tersebut didasarkan pada golongan penduduk menurut golongan kebangsaan yang berlaku saat
itu. Sekolah kelas satu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
pegawai pemerintah, perdagangan dan perusahaan. Pelajaran yang didapatkan adalah membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar dan ilmu ukur tanah dan massa belajar selama lima tahun dengan guru lulusan Kweekschool.7 Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa daerah dan bahasa Melayu. Lain halnya dengan sekolah kelas satu, sekolah kelas dua hanya untuk memenuhi syarat kebutuhan pendidikan rakyat umum dengan massa belajar lima tahun. Mata pelajaran yang diberikan antara lain membaca, menulis, dan berhitung dengan bahasa pengantar bahasa Melayu dan bahasa daerah. Untuk pengajar tidak ada klasifikasi khusus. Pembagian sekolah ini 3
Robert Van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, (Jakarta: Pustaka Jaya. 1984), h.
55. 4
Nina H. Lubis, ........., h. 133. Amalia Rachmadanty, Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Kolonial Terhadap Umat Islam Tahun 1890-1930, (Fakultas Adab dan Humaniora), h. 30. 6 Indische Staatblad van Nederlandsh-Indie tahun 1893, No. 125. 7 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. V,......, h. 28 5
35
terlihat memprihatinkan karena adanya diskriminasi antara rakyat biasa dengan kaum bangsawan.8 Pada tahun 1914 sekolah kelas satu menjadi Sekolah Bumiputra-Belanda atau Hollandsch Indlandsche-School (HIS). Dengan dibukanya HIS memberi peluang lebih besar bagi murid-murid untuk melanjutkan pendidikan dan mempersiapkan diri memasuki sistem pendidikan kolonial karena sekolah kelas satu tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Terlepas dari ketentuan pemerintah, HIS telah membuka kesempatan bagi golongan berpenghasilan rendah dan pihak swasta untuk memperoleh pendidikan dengan sistem kolonial (Barat). Hal ini berarti ada peningkatan pendidikan golongan bumiputra, bahkan lama belajar di HIS pun ditingkatkan menjadi enam tahun, kemudian tujuh tahun.9 Selain membuka sekolah dasar untuk pribumi, pemerintah juga membuka sekolah untuk anak-anak China dan keturunan Asia Timur, Hollandsh Chinese School (HCS) dan Europeesche Lagere School (ELS) untuk anak-anak Eropa.10 Dalam perkembangannya ELS tidak hanya diperuntukan bagi anak Eropa, sejak 1903 anak-anak pribumi dari kalangan ningrat dan warga Tionghoa diberi kesempatan untuk masuk ke ELS. Bupati Serang, Achmad Djajadiningrat beserta adiknya Hasan Djajadiningrat dan Husein Djajadiningrat, murid Snouck Hurgonje yang sangat terkenal dan cemerlang berhasil ditempatkan di sekolah Belanda ELS dan melanjutkan ke sekolah lanjutan Hogere Burger School (HBS), kemudian lanjut ke Universitas Leiden.11 Seperti yang telah disebutkan bahwa tujuan Belanda menyelenggarakan sekolah adalah untuk menyiapkan calon pekerja ambtenar yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Sebagian besar rakyat bumiputra hanya dibutuhkan sebagai pekerja kasar yang tidak memerlukan pengetahuan tinggi. Sementara itu pendidikan Islam yang tersedia yaitu pondok pesantren yang diselenggarakan oleh para kyai dalam kegiatannya mengalami keterbatasan, baik dalam hal sarana, dana, ataupun manajemennya. Ditambah dengan pengawasan ketat oleh
8
Nina H. Lubis, ........., h. 131. Nina H. Lubis, ........., h. 133. 10 Nurcholis Madjid, Indonesia Kita, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 28. 11 Robert van Niel, ........, h. 78. 9
36
pemerintah Hindia Belanda, karena pihak pemerintah beranggapan bahwa kharisma keagamaan yang tersimpan dalam jiwa kyai mengundang semangat anti kafir dan berpeluang terjadinya pemberontakan. Di Banten, keadaan demikan membuat masyarakat gelisah. Oleh karena orang-orang yang baru saja pulang menunaikan ibadah haji atau yang telah bermukim di Makkah untuk menimba ilmu agama menjadi daya tarik masyarakat Banten untuk menjadi solusi kondisi sosial yang berkembang. K.H.E. Moh. Yasin yang baru kembali dari menghadiri rapat yang diselenggarakan di Bogor oleh para ulama dalam rangka mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1908, mendatangi rekan-rekan ulama yang ada di sekitar Menes, antara lain K.H. Tb. Moh. Soleh dari Kampung Kananga dan beberapa orang ulama lainnya yang di ada di sekitar Menes. Pertemuan tersebut kemudian diambil keputusan untuk memanggil pulang seorang pemuda yang sedang belajar kepada Syekh Mohammad Nawawi al-Bantani di Mekah, dia adalah K.H. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal. Abdurrahman lahir pada tahun 1868 di Kampung Janaka, Kecamatan Jiput, Kawedanaan Caringin Kabupaten Pandeglang. 12 Pada tanggal 10 Ramadhan 1334 H, bertepatan dengan tanggal 10 Juli 1916 M, para ulama mengadakan suatu musyawarah untuk membuka sebuah perguruan Islam dalam bentuk madrasah yang kegiatan belajar mengajarnya dimulai pada tanggal 10 Syawal 1334 H/ 9 Agustus 1916 M, yang kemudian diberi nama Mathla’ul Anwar. Sebagai mudir atau direktur adalah K.H. Mas Abdurrahman bin K.H. Mas Jamal dan Presiden Bistirnya adalah K.H. E. Moh. Yasin dari Kampung Kaduhawuk, Menes serta dibantu oleh tokoh masyarakat Menes. Berdirinya Mathla’ul Anwar menandai adanya kebangkitan ulama dalam bidang pendidikan, adapun tujuan Mathla’ul Anwar adalah agar ajaran Islam menjadi dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka disepakati untuk menghimpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam,
mendirikan
12
WIB.
madrasah,
memelihara
pondok
pesantren
dan
http://mathlaulanwar.or.id/sejarah/ diakses pada tanggal 02 Mei 2017, pukul 19.00
37
menyelenggarakan tabligh ke berbagai penjuru tanah air yang saat itu masih dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda.13
B. Kemunduran Sarekat Islam di Banten Sarekat Islam (SI) tumbuh dan berkembang pada tahun 1912 oleh H. Samanhoedi bersama beberapa saudara, teman dan pengikutnya. 14 Latar belakang ekonomis pendirian ini ialah perlawanan terhadap pedagang Cina. Para pendiri SI mendirikan organisasinya tidak semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang Cina, tetapi untuk membuat front perlawanan terhadap semua penghinaan rakyat bumiputra. Ia merupakan reaksi terhadap rencana kresteningspolitiek (politik pengkristenan) dari kaum zending, perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan-penindasan dari pihak ambtenarambtenar bumiputra dan Eropa. Pokok utama perlawanan SI ditujukan terhadap setiap bentuk penindasan dan kesombongan rasial. Berbeda dengan Budi Utomo yang merupakan organisasi dari ambtenar-ambtenar pemerintah, maka SI berhasil sampai pada lapisan masyarakat bawah, yaitu lapisan yang sejak berabad-abad hampir tidak mengalami perubahan dan paling banyak menderita.15 Berbeda dengan partai lainnya, SI tumbuh secara cepat dan meluas di Indonesia, sehingga SI sebagai organisasi masa yang pertama di Indonesia antara tahun 1917-1920 sangat terasa pengaruhnya dalam politik Indonesia.16 Pada akhir 1913, Gunawan dan Notoatmodjo, pemimpin SI di Batavia mengunjungi Banten dan bertemu dengan Achmad Djajadiningrat. Setelah kunjungan Gunawan dan Notoatmojo ke Serang, SI kemudian didirikan di Banten. Pembicaraan mengenai pendirian SI di wilayah ini telah disebarkan oleh dua orang pedagang Serang, Mas Aboeng Chasboellah dan Sjeich Ahmad bin Moehammad Bahasan, yang telah
13
http://mathlaulanwar.or.id/sejarah/ diakses pada tanggal 02 Mei 2017, pukul 19.00
WIB. 14
Takashi Siraishi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1997), h. 55. 15 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV, ......., h. 343. 16 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV, .........., h. 344.
38
bergabung dengan SI saat bekerja di Batavia. Setelah mereka kembali ke Banten, mereka meminta masyarakat Banten untuk ikut terlibat dalam perpolitikan SI.17 Dalam pendirian SI tersebut Ahmad Djajadiningrat tidak ikut bergabung, meski ia bersimpati dengan tujuan-tujuan SI. Hal ini tidak demikian dengan anggota keluarga Djajadingrat yang bergabung dengan organisasi ini termasuk adik Achmad, Hasan Djajadiningrat, yang kemudian menjadi ketua SI Banten. Sepupu sekaligus teman Achmad, Raden Muhammad Isa, penghulu dari Cilegon bergabung dengan SI dan terpilih sebagai penasihat bagian agama. Arah dan kepemimpinan SI di Banten ini sejak awal terbentuk sangat tegas dan berhaluan moderat.18 Para petani dan ulama Banten berbondong-bondong masuk ke dalam SI. Masuknya mereka ke dalam SI dilandasi oleh tujuan SI yang berpihak terhadap kondisi sosial masyarakat Banten. Berbeda dengan organisasi pendahulunya yaitu Budi Utomo dan Indische Partij yang diperuntukan bagi kalangan elit berpendidikan barat, serta organisasi Pirukun sebagai organisasi priyayi Banten yang didirikan oleh Achmad Djajadiningrat pada tahun 1907.19 Dua cabang SI seksi Banten didirikan di Serang dan di Labuan. Organisasi ini pada awalnya tumbuh dengan lambat. Anggota pertama cenderung dari kalangan guru dan karyawan perusahaan pemerintah yang muncul sejak tahun 1900. Terpilihnya Hasan sebagai ketua SI Banten mempengaruhi terhadap pertumbuhan awal organisasi. Hasan yang berpendidikan barat bersimpati kepada para petani yang dianggap bodoh dan percaya terhadap mantra ulama dan jawara. Oleh karena itu, setiap dilakukan kongres maka topik yang dibicarakan adalah pendidikan. Pada April 1914, Hasan terpilih sebagai panitia administrasi (bestuur) dari CSI dan berada di bawah kendali Tjokroaminoto dan Gunawan. Dalam kepemimpinannya, Hasan berusaha untuk menjauhkan SI dari pengaruh ulama dan jawara di masyarakat Banten. Hasan cenderung lebih mengutamakan mereka yang berpandangan moderat, seperti R. Muhammad Isa, dari pada yang berhaluan radikal dan non kompromis, seperti H. Achmad Chatib. Hasan memang berhasil dalam menjalankan aktivitasnya sebagai ketua SI di Banten. Akan tetapi, keberhasilannya itu hanya dalam hal pembersihan organisasi 17
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ........., h. 115. Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, .........., h. 116. 19 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, .........., h. 108. 18
39
dari para jawara yang notabene mempunyai catatan kriminal.20 Di pedesanpedasaan Banten, SI dikenal karena sikap tidak komprominya terhadap perjudian. Sedangkan terhadap para ulama, sikap Hasan tidak jauh berbeda dari orang Belanda dan priyayi. Hasan memuji mereka, seperti K.H. Asnawi dari Caringin, karena pandangannya terhadap isu-isu agama dan mengutuk bagi yang bekerjasama dengan pemerintah karena dianggap haram. Pada saat yang sama, Hasan bertentangan dengan pemerintah karena pembatasan Islam yang terjadi pada saat itu, terutama yang berkaitan dengan ibadah haji dan pesantren. Hasan pun memperoleh dukungan dari beberapa ulama. Namun demikian, banyak juga ulama yang menaruh kecurigaan terhadap SI, terutama mengingat hubungan dekatnya dengan keluarga priyayi yang menonjol di wilayah ini. 21 Pimpinan cabang pertama SI di Banten berada di tangan priyayi atau intelektual lokal. Oleh R.M Isa SI cabang Cilegon didirikan dan di Pandeglang didirikan oleh Tb. H. Setiakoesoema, seorang pensiunan mantri Kabupaten. Pada tahun 1917 SI cabang Rangkasbitung didirikan oleh Mas Astrawidjaja, seorang pensiunan Patih Pandeglang dan H. Kembar, seorang pedagang. Satu-satunya cabang yang tidak mengikuti jejak Hasan adalah di Labuan dan Menes, karena pedagang kecil, ulama dan keluarga bangsawan tua yang menonjol.22 Antara tahun 1916-1919 SI di Banten berkembang dengan pesat. SI cabang Serang pada bulan April 1914 memiliki 3.800 anggota, dan pada bulan Juni 1916 tumbuh menjadi 4.359 anggota; pada tanggal-tanggal terakhir di Rangkasbitung mencapai angka 400 anggota dan di Labuan 1.356 anggota. Pertemuan dengan tokoh nasional menjadi daya tarik tumbuhnya SI di Banten. Pada Februari 1918 diadakan pertemuan di cabang Menes dengan Abdul Muis sebagai pembicara dan sekitar 5.000 orang menghadiri pertemuan itu. Di Cilegon, SI mendirikan sebuah pemakaman umu m dan di Menes asosiasi dibentuk untuk memberikan bantuan biaya yang besar seperti pernikahan, khitanan dan bahkan untuk membangun rumah. Beberapa cabang mencoba untuk mendirikan koperasi, tetapi sebagian mereka berumur pendek karena pembiyaan yang tidak memadai.
20
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ........., h. 10. 21 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, .........., h. 117. 22 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ..........., h. 118.
40
Aktivitas-aktivitas SI yang luas ini menunjukan sebuah kesadaran politik yang terus berkembang.23 Seperti di tempat lain di Jawa, SI di pedesaan Banten ada yang disebut dengan komisioner desa (dessa commisaris). Kelompok SI ini terdiri dari para ulama, sedangkan ditingkatan kota dipimpin oleh mereka yang berintelektual. Akibatnya, para priyayi kehilangan kontrol untuk memegang kekuasaan di pedesaan. Ulama ini berperan sebagai perantara politik di pedasaan terhadap keluhan para petani. Keluhan tersebut dimaksudkan agar pajak daerah dikurangi dan semua sekolah desa harus berafiliasi dengan para ulama 24. Keluhan para petani yang disampaikan oleh para ulama tersebut membawa ulama ke dalam konflik dengan pemerintah kolonial dan khususnya dengan pangreh praja. 25 Ulama sebagai pemegang kekuasaan tradisional menjadi permasalahan bagi pemimpin SI yang berhaluan moderat. Baginya ulama telah mengalihkan fokus dan arah organisasi. Untuk mengatasi kesulitan ini Hasan berusaha memperkuat organisasi dan mengadakan pertemuan pada April 1919. Pertemuan dihadiri oleh SI cabang Serang, Labuan, Menes, Cimanuk, Cadasari, Petir, Pandeglang dan Rangkasbitung. Beberapa cabang dipimpin oleh ulama setempat seperti Cadasari, Petir, Labuan dan Menes dengan mengatakan bahwa haram bekerja untuk pemerintah kafir. Pemimpin SI yang moderat terutama Hasan menanggapi pembicaraan ulama dengan menyebut bahwa pemerintah telah menghormati Islam dengan memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam berupa pendidikan modern.26 Pada kongres SI ketiga di Surabaya pada Oktober 1918, Hasan mengungkapkan bahwa jika SI tidak memiliki hubungan yang erat dengan cabang pedesaan, maka akan jatuh di bawah pengaruh ulama dan jawara terutama di Banten. Untuk memperkuat SI di Banten itu kemudian dibentuk sebuah komite administratif lokal dengan Hasan sebagai ketua, R.M. Isa sebagai sekretaris dan tiga komisaris, H. Kembaar untuk Rangkasbitung, Wangsamihardja untuk Menes dan Entol Ternaja untuk Serang. Sedangkan dari pihak ulama tidak ada yang
23
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ........., h. 119. Neratja, 26 Agustus 1918. 25 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ........., h. 121. 26 Neratja, 10 April 1919. 24
41
mewakili. Dari semua cabang SI di Banten akan diadakan pertemuan setiap tiga bulan. Usaha yang dilakukan Hasan tersebut tidak bertahan lama karena pada tahun 1919 SI memasuki periode kejatuhannya. Selama PD I diperkenalkan sebuah aturan kepada para petani untuk menyerahkan padinya kepada pemerintah. Peraturan ini mengakibatkan memburuknya kehidupan rakyat. H. Hasan di Leles (Garut) adalah seorang petani yang menolak menyerahkan padinya kepada pemerintah. Ketika dilakukan pemeriksaan oleh pemerintah kolonial, H. Hasan melakukan perlawanan dan tewas dalam perlawanannya. Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial itu, ternyata ada petunjuk-petunjuk yang menyatakan adanya organisasi rahasia SI atau yang disebut dengan istilah Afdeling B, tujuan dari organisasi ini adalah mengusir pemerintah kolonial dan Tionghoa dari Indonesia.27 Insiden tersebut memiliki dampak yang luas ketika terungkap bahwa organisasi rahasia ini menyatukan ulama lokal dengan politik radikalnya. Dan ratusan anggota SI ditangkap oleh pihak kolonial. Hal ini menyebabkan SI kehilangan banyak dukungan, khususnya dari kalangan priyayi, pegawai dan guru sekolah seperti yang terjadi di wilayah Lebak, Serang dan Rangkasbitung. Keluarnya anggota SI didukung oleh rumor keberadaan organisasi Afdelling B di Banten. Salah satu surat dari anggota Afdelling B di Garut, H. Soleiman, ditemukan sejumlah nama-nama ulama Banten yang ikut tergabung dalam organisasi itu. Pemerintah kolonial kemudian semakin enggan berkompromi dan mulai menggunakan kekerasan dalam menghadapi SI. 28 Meskipun Hasan telah melakukan upaya-upaya untuk mencegah pertumbuhan organisasi rahasia SI di Banten, kepemimpinan lokal menghadapi kesulitan dari para ulama yang bersifat radikal. Di Labuan, pimpinan SI sudah berpindah ke tangan Kyai Asnawi dari Caringin dan H. A. Chatib. Terlebih pada tahun 1920 ketika Hasan meninggal, kepemimpinan SI di Banten mengalami kevacuman. Tidak ada satu orang pun yang bersedia untuk menggantikan Hasan sebagai ketua. Nama Arga, seorang editor surat kabar Mimbar milik SI Banten
27 28
Soe Hok Gie, ........., h. 48 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 126.
42
sempat diperdebatkan utuk menggantikan Hasan, karena dikhawatirkan SI Banten akan berada di bawah pengaruh marxisme.29 Bagaimanapun pada awal 1920-an secara nasional SI berada dalam kesulitan, pertemuan yang diadakan tingkat nasional atau lokal memiliki tingkat keberhasilan yang kecil dalam menangani keluhan para petani. Bertepatan dengan massa berakhirnya PD I dan mulai surutnya ancaman revolusi sosial Eropa, pemerintah kolonial semakin enggan untuk berkompromi dan mulai menggunakan kekerasan. Dalam menghadapi pemerintah kolonial tersebut, sebagian pemimpin SI memakai agama sebagai haluan organisasi secara sepihak. Pemimpin besar SI, HOS Tjokroaminoto mendukung mereka, begitu juga H. Agus Salim dan H. Fachrudin, seorang ketua organisasi sosial dan pendidikan Muhammadiyah. Mereka inilah yang menyokong purifikasi Islam Indonesia dari tradisi lokal menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Upaya transformasi organisasi itu justru menjadi kutukan dari kalangan tradisionalis atau muslim kolot Banten. 30 Jadi tidak hanya SI yang mencoba menghindari radikalisme, hingga tidak lagi mendapat dukungan di Banten, Muhammadiyah pun mengalami nasib serupa di wilayah dengan basis Islam tradisional itu. Kekecewaan yang terjadi akibat pergeseran haluan perjuangan SI menyebabkan para petani dan ulama berbondong melepaskan diri dari anggota SI. Mereka memandang SI tidak mampu mengobati segala kegelisahan dan penderitaan para petani. Di seluruh wilayah Banten, SI semakin menjadi parah sehingga membuat masyarakat menjadi vacum secara politik yang pada akhirnya kesempatan ini diambil alih oleh PKI untuk mendapatkan dukungan masyarakat Banten.
C. PKI sebagai Alteratif Gerakan Lahirnya PKI dapat dirunut dari kedatangan H.J.F.M Sneevliet yang tiba di Hindia Belanda pada tahun 1913 menjelang Perang Dunia I. Sneevliet adalah seorang aktivis politik yang berhaluan marxis. Sebelumnya Sneevliet adalah seorang pemimpin organisasi buruh angkutan dan anggota Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) di negeri Belanda. Sesampainya di Indonesia, mula29
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 129. Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ............., h. 10. 30
43
mula Sneevliet bekerja sebagai anggota Staff Redaksi Warta Perdagangan Soerabajasche Handelsblad, sebuah surat kabar milik sindikat perusahaanperusahaan gula di Jawa Timur. Kemudian ia bekerja sebagai sekretaris pada Semarangsche Handels Vereniging, menggantikan pejabat lama D.M.G. Koch. Pada saat itu di Semarang telah terdapat organisasi buruh kereta api, Vereniging van Spoor en Tramsweg Personeel (VSTP). 31 Di kemudian hari Sneevliet berhasil menanamkan pengaruhnya ke dalam organisasi VSTP tersebut dan membawa VSTP ke aktivitas-aktivitas radikal dan menjadikan VSTP sebagai media penyebarluasan marxisme di Hindia Belanda, antara lain melalui surat kabar VSTP, De Volharding (Keyakinan). Selanjutnya Sneevliet mengadakan kontak dengan orang-orang Belanda yang berhaluan sosialis yang ada di Hindia Belanda. Pada tanggal 9 Mei 1914 Sneevliet bersama B.J.A Branstender, H.W. Dekker, P. Bergsma dan Semaun mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging.32 Setahun kemudian mereka menerbitkan majalah Het Vrije Woord (Suara Kebebasan) di Surabaya sebagai propaganda marxisme. Selain itu, ISDV juga menerbitkan surat kabar Soeara Mardika dan kemudian Soera Rakjat.33 Tulisan-tulisan yang dimuat dalam majalah dan surat kabar ISDV tersebut bermaksud untuk menyebarluaskan marxisme. Namun pada saat itu baik melalui tulisan atau kegiatan-kegiatan lainnya belum mendapat pengawasan khusus dari pemerintah Hindia Belanda karena belum menjadi ancaman bagi kelangsungan pemerintahan. Pemerintah Hindia Belanda menilai bahwa tulisan-tulisan yang dimuat muncul sebagai akibat dari tumbuhnya ajaran marxisme di Eropa. Selain itu, kemungkinan ISDV dapat menyebarluaskan pengaruhnya di Hindia Belanda masih diragukan, karena hambatan agama sebagai ideologis yang berbeda, bahasa, ras dan suku yang berbeda-beda. Perlunya membangun ikatan dengan massa yang lebih luas, maka ISDV mencoba bersekutu dengan Insulinde, tetapi tujuannya tidak tercapai dan
31
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya, (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1992), h. 7. 32 Wahyu Wirawan, Aksi Partai Komunis Indonesia 1926-1965, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya) h. 3. 33 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, ............., h. 8.
44
kerjasama yang dibangun berakhir.34 ISDV kemudian mulai melihat potensi yang dimiliki oleh SI dengan ratusan ribu pendukung dan melakukan infiltrasi yang dikenal dengan blok di dalam atau block within.35 Cara yang digunakan ISDV adalah dengan menjadikan anggota ISDV menjadi anggota SI dan sebaliknya menjadikan anggota SI menjadi anggota ISDV. Dalam waktu satu tahun ISDV telah mempunyai pengaruh yang kuat di kalangan anggota-anggota SI. Mereka memperkuat pengaruhnya dengan jalan menunggangi keadaan buruk akibat Perang Dunia I dan panen padi yang jelek serta ketidakpuasan buruh perkebunan sebab upah yang rendah dan melambungnya harga-harga. Ada beberapa hal yang menyebabkan berhasilnya ISDV melakukan infiltrasi ke dalam tubuh SI, yaitu: 36 a. Central Sarekat Islam (CSI) sebagai badan koordinasi pusat masih sangat lemah kekuasaannya. Tiap-tiap cabang SI berindak sendiri-sendiri secara bebas. b. Kondisi kepartaian pada masa itu memungkin orang untuk sekaligus menjadi anggota lebih dari satu partai. Hal ini disebabkan pada mulanya organisasi itu didirikan bukan sebagai suatu partai politik melainkan sebagai suatu organisasi untuk mendukung berbagai kepentingan sosial, budaya dan ekonomi. Di kalangan kaum terpelajar menjadi kebiasaan bagi setiap orang untuk memasuki berbagai macam organisasi yang dianggap dapat membantu kepentingannya. Kemudian Sneevliet dan kawan-kawannya berhasil mengambil alih beberapa pemimpin muda SI menjadi pemimpin ISDV, yang terpenting antara lain Semaun dan Darsono yang pada tahun 1916 menjadi anggota SI cabang Semarang. Surabaya pada saat itu menjadi pusat CSI. Tidak lama kemudian Semaun pindah ke Semarang, ketika itu SI Semarang telah mendapat pengaruh kuat dari ISDV. Di bawah ISDV, SI Semarang berhasil menjadi lawan CSI yang dipimpin Tjokroaminoto.37
34
Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid 12, (Jakarta: PT. Cipta Adipustaka, 1990), h. 88. Stephen Suleyman Schwartz, Islam and Communism In the 20th Century An Historical Survey, (USA: Centre for Islamic Pluralism (CIP), 2009), h. 3. 36 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. V, ..............., h. 357. 37 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, Jil. V, ..........., h. 357-358. 35
45
Pada tahun 1918 ketika SDAP di negeri Belanda menjadi Partai Komunis Belanda (CPN), beberapa anggota bangsa Eropa di dalam ISDV mengusulkan untuk mengikuti jejak itu. Sebagai hasil gagasan mereka, pada kongres ISDV ke-7 bulan Mei 1920 dibicarakan usul untuk menggantikan ISDV menjadi Perserikatan Komunis di Hindia Belanda, dengan tujuan untuk membedakan diri dengan kaum sosialis palsu dan untuk mengidentifikasikan diri dengan Komintern. Hingga akhirnya setelah diadakan pemungutan suara, maka pada tanggal 23 Mei 1920 ISDV merubah namanya menjadi Partai Komunis Hindia, yang pada bulan Desember berubah lagi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). 38 ISDV sendiri tidak pernah membuka cabangnya di Banten, walaupun dua orang anggota eksekutifnya tinggal di sana, yaitu Hasan Djajadiningrat dan seorang marxis Belanda, J.C Stam. Keduanya berusaha untuk memenangkan Sarekat Islam di Banten terhadap posisi-posisi radikal yang diajukan oleh kalangan marxis Semarang. Namun, tahun 1919 Hasan Djajadiningrat menyatakan bahwa dirinya adalah seorang pengikut reformis sosialis Jerman, Lessale dan bukannya Karl Marx. Pandangan politik Hasan sendiri moderat dan tidak jauh berbeda dengan kaum reformis Etis Liberal Belanda dan termasuk minoritas reformis di ISDV.39 Berbeda dengan Hasan, Stam adalah seorang revolusioner yang diajukan oleh Sneevliet dan hampir semua pimpinan ISDV. Di Banten, Stam bekerja sebagai seorang guru sekolah dari tahun 1916 sampai 1919, pertama kali Stam tinggal di Serang kemudian pindah ke Rangkasbitung. Ketika PKI dibentuk pada bulan Mei 1920, Stam menjadi anggota dewan eksekutifnya dan kemudian diusulkan oleh partai untuk menjadi kandidat Volksraad (Dewan Rakyat zaman kolonial). Akan tetapi jika dilihat dari pengaruhnya di Banten, tidak banyak mencapai tujuan apa-apa. Ia seringkali menyelenggarakan pertemuan-pertemuan penting di SI untuk membicarakan isu-isu nasional, seperti peristiwa dimejahijaukannya Sneevliet pada bulan september 1917. Lambat laun Stam sadar akan isolasi politik yang terjadi daerah ini. Kemudian Stam mencoba melepaskan diri dengan mendirikan semacam kelompok-kelompok diskusi di Serang dan 38
Soe Hok Gie, .............., h. 55.
39
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ..........., hal, 145.
46
Rangkasbitung. Upayanya ini ternyata menarik para priyayi muda, guru sekolah dan pegawai lokal yang bekerja di jawatan kereta api, pegadaian dan irigasi. Pada bulan November 1919 Stam pindah ke Tuban, di Jawa Tengah dan dua tahun kemudian meninggalkan Indonesia.40 Jika ISDV tidak mendirikan cabangnya di Banten, lain halnya dengan Sarekat Buruh Kereta Api (VSTP). Pada bulan Juli 1922, organisasi ini mengadakan rapat akbar di Labuan dimana pembicara utamanya adalah Semaun. Pada tahun-tahun berikutnya, VSTP melakukan serangkaian aksi pemogokan di seluruh Jawa untuk menuntut perbaikan gerbong dan nasib para pekerjanya. Selama aksi tersebut, rapat-rapat sering dilakukan di Banten dan oleh ketua VSTP, Sugono, beberapa orang diperintahkan untuk melakukan propaganda terhadap masa. Pada tahun 1923, akibat gagalnya pemogokan buruh kereta api kemudian membawa geombang viktimisasi terhadap mereka yang dianggap sebagai aktivis militan oleh pemerintah kolonial. Di antara mereka yang dipecat adalah pegawai Stasiun Kereta Api Tanah Abang, Raden Oesadiningrat yang merupakan kerabat Bupati Serang, Achmad Djajadiningrat. Oesadiningrat kemudian kembali ke asalnya di Pandeglang dan bekerja di VSTP sebagai pengurus harian buruh. Pada saat itu, meskipun belum ada cabang PKI di Banten, Oesadiningrat mengadakan tiga kali rapat akbar dimana tokoh-tokoh PKI terkemuka hadir sebagai pembicara. Pada akhirnya nanti, Oesadiningrat yang notabene sebagai salah satu agen propaganda PKI untuk merekrut massa menjadi seorang mata-mata sekaligus agen polisi pada penumpasan pasca peristiwa 1926.41 Pada tahun 1923 setelah puncak perpecahan antara PKI dan SI terjadi, partai komunis ini membangun organisasi massanya sendiri, yaitu Sarekat Rakyat. Walaupun SI di Banten memusuhi Tjokroaminoto dan kepemimpinan Agus Salim, PKI tidak berupaya membujuk masyarakat SI Banten atau mendirikan cabang-cabang Sarekat Rakyat di daerah ini. Pada bulan Agustus 1924, Oesadiningrat kembali mengadakan rapat di Pandeglang dan duduk sebagai ketua di bawah kendali VSTP. Oesadiningrat bermaksud mendirikan Sarekat Rakyat, 40
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ..........., hal, 146. Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ............., h. 16. 41
47
namun tidak ada satupun tanda mengenai hal itu. Selang dua bulan kemudian, Oesadiningrat mengundang para tokoh PKI seperti Alimin dan Musso sebagai pembicara pada pertemuan yang diadakannya, khususnya pada acara inagurasi para anggota baru sebagai upaya pembentukan cabang Sarekat Rakyat. Pada tanggal 12 Oktober, dua tokoh terkemuka tersebut memberikan orasi politiknya meski peserta yang hadir tidak lebih dari 14 orang. Hari berikutnya, diadakan pertemuan kembali di Kadomas dan yang hadir dalam acara itu sekitar sembilan orang peserta. Tampaknya upaya pembentukan Sarekat Rakyat di daerah tidak mendapat dukungan yang berarti. Kemudian, Oesadiningrat pergi ke Jawa Tengah dan kembali ke Banten pada tahun 1926.42 Keadaan tersebut menunjukkan sebagai awal mula hadirnya PKI di Banten. Meski belum dikatakan cukup, namun pertumbuhannya begitu cepat dan hanya memakan waktu yang singkat. Sebuah laporan pemerintah pada tahun 1924 menyatakan hanya ada dua orang anggota partai komunis di Keresidenan Banten. Akan tetapi setahun kemudian, jumlah anggota PKI telah mencapai angka ribuan dan semakin bertambah pada tahun 1926. Perkembangan tersebut terjadi karena anggota PKI yang merantau telah kembali ke Banten pada tahun 1925. Mereka itulah yang kemudian menjadi agen propaganda untuk mendirikan cabang di Banten. Seorang di antara mereka adalah Tb. Alipan. Alipan lahir pada tahun 1902 di Pandeglang, anak seorang pegawai rendahan dan telah menamatkan sekolahnya di Hollands Indlands School (HIS) di Pandeglang. Pada tahun 1917 merantau ke Jawa Tengah dan kemudian tinggal di Temanggung, tempat Alipan bekerja sebagai buruh cetak dan pada tahun 1921 menjadi anggota PKI. Pada bulan Agustus 1925, Alipan pulang ke Banten bersama dengan Puradisastra. Puradisastra bergabung dengan PKI pada tahun 1923 dan aktif di daerah Jawa Barat dan Bengkulu, tempat dimana orang Banten bekerja sebagai buruh.43 Dalam aktivitas partainya, Puradisastra dan Alipan dibantu oleh Achmad Bassaif. Bassaif lahir di Serang pada tahun 1903 dengan ayah seorang Arab dan ibu asli Banten. Kefasihan Bassaif dalam bahasa Arab serta pengetahuan Islamnya yang mendalam membuat ajaran-ajaran Islam semakin lazim dalam ideologi dan 42 43
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, hal, 148. Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ..............., hal, 150.
48
perjuangan PKI. Menurut Bassaif sebagai upaya untuk mempercepat aktivitasaktivitas PKI di Banten, maka perlu dilakukan perekrutan orang-orang Banten yang tinggal di Batavia kemudian disuruh kembali pulang ke daerah asalnya sebagai agen-agen propaganda. Hal ini seperti yang diutarakan Bassaif :44 “Kunci utama aksi kami adalah agitasi. Di Banten, apapun bisa dilakukan untuk menggalang dukungan rakyat. Di sini kegiatan PKI jelas beda dengan daerah lain. Banten merupakan karesidenan terakhir Jawa dimana partai mendirikan seksinya, hal ini bertepatan dengan Keputusan Prambanan (untuk melancarkan pemberontakan). Demikianlah kondisi di daerah kami, sehingga upaya membangun pusat komunis mesti menyesuaikan dengan persiapan-persiapan matang menuju aksi pemberontakan. Apalagi setelah melewati kendala-kendala psikologi maupun sosial yang ada di masyarakat, hingga dalam perjalanannya, pemimpin PKI lazim jauh lebih menekankan pada proses yang kedua daripada membangun kekuatan kaderisasi komunis.” “Pada umumnya aspek paling penting bagi gerakan kami adalah perekrutan individuindividu yang mempunyai pengaruh besar terhadap massa, yaitu ulama militan dan jawara. Upaya kami itu dilandasi oleh lebarnya jurang antara rakyat dan pemerintah. Sehingga gerakan kami tumbuh pesatnya jauh melampui target yang kami bayangkan sebelumnya.”
Implementasi pelaksanaan ini berada di bawah tanggung jawab Puradisastra dan Bassaif yang kemudian mengangkat Tb. Alipan, Tb. Hilman dan Djarkasih sebagai pelaksana program ini. Selang dua bulan kemudian, mereka bergerak ke Serang dan mulai menjalin ikatan-ikatan dengan aktivis yang ada di sana. Pada masa-masa awal pelaksanaannya, Alipan merasakan sulit untuk mempercepat aktivitas-aktivitas PKI di Banten.45 “Adalah aneh bagi saya kembali ke Banten setelah sekian tahun menghilang. Saya begitu lama menganggap diri saya sebagai komunis dan sudah tidak lagi melaksanakan kewajiban sebagai muslim. Di Jawa pun saya tidak menyandang gelar saya (Tubagus) karena hal itu sangat feodal dan kolot. Di Banten, Basassaif mengukuhkan saya dan Hilman untuk memakai gelar itu. Ia mengatakan, “kamu sangat paham apa arti Tubagus bagi masyarakat Banten, kita mesti menyesuaikan diri dengan cara berfikir masyarakat dan kemudian lihatlah apa yang dapat kita lakukan di sana.”
44
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ............., h. 21. 45 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ............., h. 30.
49
Perekrutan awal dalam PKI Banten datang dari kalangan ortodoks yang sangat mendukung perjuangan partai sayap kiri dan tergabung dalam buruh percetakan De Banten Bode di Serang. Mereka adalah Atmodiharjo, Ishak dan Abdu Rachmat. Mereka bertiga bersama dengan tujuh sampai delapan orang rekan kerjanya seperti Tb. Hilman, Tb. Alipan, Aliarachman, pembantu janda Hasan Djajadiningrat, Lee Eng Hock, seorang pedagang Cina, mengadakan pertemuan rahasia dengan Bassaif dan Puradisastra di toko sepeda milik Djarkasih di Pasar Serang. Di dalam pertemuan itu dibicarakan bagaimana cara untuk dukungan dari orang-orang Banten dalam perjuangan PKI melawan pemerintah kolonial. 46 Dari hasil pertemuan awal tersebut Alipan dan Hilman tidak hanya kembali memakai title feodal, tapi mulai melakukan kontak dengan para keturunan Sultan Banten dan mengajukan petisi kepada Gubernur Jenderal untuk memberi uang pensiun kepada semua penyandang gelar Tubagus dan Ratu. Keberanian dua orang komunis ini bermaksud untuk memberikan hak-hak waris kebangsawanan. Sehingga pada bulan Agustus 1925 tidak kurang dari 200 orang priyayi menandatangani petisi tersebut.47 Setelah peristiwa penandatangan petisi tersebut mendapat banyak dukungan, Tb. Hilman dan Ishak mengumumkan terbentuknya sebuah perkumpulan
rahasia,
yaitu
Rukun
Asli.
Rapat
pertama
asosiasi
ini
diselenggarakan pada tanggal 22 Agustus 1925 yang berlokasi di Kramatwatu yang dihadiri kira-kira 80 orang. Dalam rapat itu Alipan dan Hilman menjadi pembicaranya dan menetapkan H. Achmad Noer sebagai ketua, ia seorang juru tulis di Serang yang secara diam-diam ikut bergabung ke dalam PKI. 48 Anggota yang tergabung dalam perkumpulan itu diharuskan membayar uang pendaftaran yang dapat diangsur selama 10 bulan dengan tujuan untuk mengatasi kesulitan anggota dalam membayar biaya pemakaman keluarga. Pada saat itu, memang diharapkan asosiasi itu dapat memberikan manfaat bagi anggotanya. Sehingga mereka tidak lagi menjual atau menggadaikan harta benda
46
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ............, h. 31. 47 De Banten Bode, 15 Agustus 1925. 48 De Banten Bode, 29 Agustus 1925.
50
yang dimiliki. Menurut Ishak, Rukun Asli tersebut tidak memiliki objektivasi politik dan dan tetap mematuhi hukum yang berlaku. Dan pada dasarnya maksud dan tujuan Rukun Asli sepenuhnya sejalan dengan persepsi agama Islam, yaitu meniru Nabi Muhammad yang dalam kehidupannya tidak membedakan antara orang kaya dan orang miskin. 49 Dalam perkembangannya, dukungan terhadap Rukun Asli datang dari masyarakat luas di Banten, bahkan pemimpin agama menyatakan setuju terhadap keberadaan organisasi ini. De Banten Bode menyebutkan bahwa rapat-rapat Rukun Asli diadakan di desa-desa di Serang yang bertempat di masjid-masjid dan langgar. Pada bulan September 1925 terjadi sebuah bentrokan di Batavia, yang mengakibatkan orang-orang menjadi tunawisma. Sehingga mendesak untuk diadakannya rapat akbar Rukun Asli di Serang yang telah diikuti lebih dari 300 orang.50 Pembicara pada rapat itu adalah Ishak, Ishak menjelaskan bahwa tragedi Batavia menekankan perlunya rakyat untuk bersatu mengatasi kesengsaraan yang tengah terjadi. Saat rapat masih berlanjut kemudian polisi menghentikannya. Polisi menganggap bahwa pembicara membawa muatan politis dalam orasi mereka. Selang dua hari kemudian polisi menggeledah rumah Alipan, Ishak, Atmodiharjo dan Djarkasih.51 Para tokoh lokal PKI setelah itu segera memutuskan bahwa kerahasiaan Rukun Asli bukan menjadi masalah penting lagi dan sudah waktunya untuk mempersiapkan diri bagi tujuan awal PKI. Akhirnya pada tanggal 9 Oktober 1925, diadakan pertemuan besar untuk menyatakan berdirinya PKI Seksi Banten secara terbuka. Dalam pertemuan ini diputuskan bahwa Puradisastra diangkat sebagai Ketua, Tb. Alipan sebagai Sekretaris, dan Bendahara Djarkasih, mereka adalah pengurus PKI Seksi ke-37. Selain itu juga diangkat tiga orang yang menduduki posisi komisaris partai, yaitu H. Alwan, Arman dan Mohammed Ali (Mamak). Kantor PKI kini berlokasi di Pasar Serang, di sebuah milik seorang Cina, Lee Eng Hock, yang juga anggota PKI. 52
49
De Banten Bode, 29 Agustus 1925. De Banten Bode, 12 September 1925. 51 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ..............., h. 34. 52 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ..............., h. 34. 50
BAB IV KETERLIBATAN ULAMA DALAM PEMBERONTAKAN PKI
A. Masuknya Ulama dalam PKI Saat permulaan aktivitas PKI di Banten didapatkan bahwa tekanan pemerintah kolonial semakin mencengkram Hindia Belanda. Namun hal ini tidak menyurutkan dukungan masyarakat untuk PKI di Banten. Sebaliknya, pengurus partai justru kesulitan dalam mengendalikan massa pendukungnya yang antusias ingin menjadi anggota. Melihat kondisi ini, pihak pemerintah kolonial mencoba mencegah meluasnya wabah antusiasme masyarakat yang nyaris tak terkontrol dengan melarang rapat-rapat umum PKI. Meskipun rapat-rapat umum secara resmi dilarang, partai komunis di Banten malah semakin eksis dan berkembang pesat. Rapat-rapat sering digelar di dalam hutan atau dengan pura-pura mengadakan selamatan dan hajatan.1 Di lain tempat pertandingan sepak bola pun digunakan untuk kepentingan propaganda.2
Dan di Labuan ketua PKI, Afif,
membuat sebuah perkumpulan bernama Budi Kemulian, yang seolah memberi dukungan terhadap musik gambus sebagai dunia kesenian daerah itu, padahal kenyataannya hanya dijadikan alat demi kepentingan revolusioner yang sedang diperjuangkan di seluruh pedesaan Banten. Bahkan anggota PKI yang mendekam di penjara Serang juga mengadakan semacam rapat yang dihadiri oleh para tahanan lainnya.3 Kendati para agen propaganda PKI tampak lihai dalam mengadakan pertemuan, namun seringkali pertemuan yang mereka adakan diketahui oleh pihak polisi sehingga berakhir dengan aksi penangkapan. Pada bulan Februari, Tb. Hilman dijatuhi hukuman satu bulan penjara atas tuduhan mengadakan rapat-rapat politik. Di Ciomas, empat belas orang petani ditangkap karena mengikuti pertemuan-pertemuan rahasia PKI, dan masing-masing dihukum sepuluh hari penjara. Mereka yang dipenjara adalah H. Mu’min, Abdulmoeti, Nawawi, Kama,
1
Koloniaal Verslag, 26 Januari 1927 No. 1, h. 22-23. De Banten Bode, 12 Juni 1926. 3 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ................., h. 39. 2
51
52
Rasidi Al Saidi, H. Oemar, Asmail, Srendawiri, Ahmed, Mad Salah, Asnawi, Alikoesim, Ibrahim dan Alioesoep.4 Sampai akhir Februari, dua puluh tujuh anggota PKI ditahan di Serang, termasuk Puradisastra yang mendapat vonis dua bulan kurungan, karena alasan yang sama.5 Di Kabupaten Serang, polisi seringkali sangat keras dalam menangani mereka yang ditangkap, bahkan pemukulan-pemukulan seringkali dilakukan. Meski mendapat perlakukan keras, dukungan terhadap PKI malah semakin meningkat hal inilah yang mengejutkan pihak pimpinan PKI sendiri. Seorang koresponden Banten menulis di surat kabar Njala:6 “Masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa Banten sebagai distrik daerah terakhir dimana komunis berkembang, kenyataannya tidaklah jauh tertinggal. Bila kita melihat perkembangan gerakan di tanah air kita, tidak seorang pun yang akan menyangka bahwa perjuangan politik di Banten dapat berkembang sedemikian pesatnya.”
Sebagian besar pengikut PKI berasal dari kalangan petani. Mereka bergabung dengan PKI karena tertarik terhadap janji-janji PKI, bahwa yang menjadi anggota partai akan dibebaskan dari beban hoofdgeld (pajak kepala/perorangan).7 Pemungutan pajak tersebut sangat memberatkan dan membebani petani, karena meski panen sedang memburuk petani harus tetap membayar pajak. Beban pajak yang menjadi kegelisahan petani ini dimanfaatkan oleh PKI sebagai bahan propaganda untuk merekrut sebanyak mungkin dukungan dari lapisan bawah. Selain itu bagi mereka PKI adalah sebuah pergerakan. Menurut mereka partai komunis lebih nyata perjuangannya dari pada pendahulunya, Sarekat Islam. Sehingga tidak heran jika PKI mendapat dukungan luas dari masyarakat Banten dari pada SI pada masa-masa awal. Para pemimpin partai juga terkesan lebih mampu dan seolah tidak dapat digoyahkan oleh pemerintah kolonial. Tidak seperti di tempat lain, di Banten, tiap anggota PKI memiliki kartu keanggotaan merah yang bersifat rahasia. Para pemimpin PKI
4
De Banten Bode, 20 Februari 1926. De Banten Bode, 27 Februari 1926. 6 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ..............., h. 40. 7 De Banten Bode, 20 Maret 1926. 5
53
disebut promotor yang dibantu oleh para kurir dan mantri (pengurus muda) dan pemimpin senior menempati kedudukan sebagai komisaris.8 Struktur PKI semacam itu nyaris menyerupai struktur pemerintahan pusat. Kerumitannya menjadi daya tarik pergerakan komunis di mata pengikutnya, khususnya bagi para ulama. Alasannya karena posisi mereka telah terpinggirkan oleh pemerintah kolonial akibat perbedaan etos, ditambah para ulama tidak mempunyai pengalaman pendidikan umum di sekolah-sekolah Belanda. Dengan tersusunnya struktur politik komunis, kemungkinan memberikan mereka kesempatan untuk masuk dalam dunia politik dan bisa berpartisipasi dalam pemerintahan yang tentunya akan menyingkirkan para “kafir” Belanda berserta sekutu-sekutunya, yaitu priyayi. PKI juga dianggap sebagai alternatif yang akan menampung segala kekecewaan dan kegelisahan para petani. Sehingga kesan yang muncul adalah paralel dengan tradisi Jawa tentang Ratu Adil ataupun konsep Islam mengenai Jihad atau perang Suci.9 Sebagai penghubung antara kaum komunis dan kaum petani dalam melancarkan aksi pergerakan maka dipegang oleh ulama dan jawara. Meski tidak seluruhnya, sebagian dari mereka adalah figur-figur penting di masyarakat. Sehingga dengan keterlibatan aktif mereka dalam partai, para petani banyak yang ikut bergabung dalam pergerakan revolusioner PKI. 10 Dahulu di bawah Hasan Djajadiningrat, Sarekat Islam telah berupaya keras untuk tidak memasukan para jawara ke dalam organisasinya, sebaliknya PKI justru berani merekrut mereka dan menjadikannya bagian penting dalam pemberontakan.11 Bagi PKI, kekecewaan para ulama kepada pemerintah kolonial dapat dijadikan sebagai alat perjuangan partai. Para agen propaganda membujuk mereka bahwa Islam tidak akan pernah dapat bebas di bawah pemerintah Hindia Belanda. Namun tidak demikian jika Islam berada dalam naungan komunisme, sang pembela rakyat, agama akan dibebaskan bukan untuk dibatasi sebagaimana yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Untuk kepentingan ini, dua orang tokoh
8
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ..............., h. 42-43. 9 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 179. 10 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 180. 11 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ..............., h. 26.
54
dengan latar belakang Islam yang kuat, yakni Achmad Bassaif dan Hasanuddin dari Sumatera, menerangkan bahwa perjuangan revolusioner partai sejalan dengan ajaran Islam dengan merujuk pada dalil atau firman Tuhan yang mendukung pernyataan tersebut. Sehingga dengan demikian memudahkan aksi propaganda dalam menarik dukungan para ulama.12 Seperti yang telah dijelaskan bahwa PKI seringkali menyerukan tentang kepadanan atau persamaan dengan konsep jihad kepada para petani dan ulama, untuk mengesankan cita-cita akan datangnya perjuangan revolusioner dengan keyakinan bahwa perjuangan mereka akan membuahkan kemenangan serta mendapatkan berkah dari Tuhan. Ulama kemudian begitu terkesan dengan citacita dan organisasi PKI yang tampaknya memberikan kepastian bahwa keruntuhan kolonial sudah di depan mata, meski keikutsertaan mereka dalam komunisme penuh dengan keraguan.13 Hubungan antara PKI dan tokoh agama sangat strategis. Bagi kalangan pemimpin komunis Banten, keikutsertaan ulama menandakan PKI akan mendapat lebih banyak lagi para pengikut. Sedangkan bagi ulama dengan menjadi anggota PKI maka seolah memberi pengakuan setelah sebelumnya pemerintah kolonial meminggirkan posisi mereka. Salah seorang ulama yang menjadi PKI adalah H.Tb. Achmad Chatib, mantan Ketua SI Labuan dan sekaligus menantu Kyai H. Asnawi dari Caringin. Chatib menggerakkan para pengikutnya dari daerah Labuan-Caringin termasuk semua anggota awal SI serta para keluarganya untuk bergabung dengan PKI, bahkan putra Kyai Asnawi dan sekaligus kawan akrabnya, yaitu Tb. Emed ikut bergabung. Williams, menyebutkan percakapan ketika Puradisastra menemui Chatib untuk bergabung dengan PKI:14 Puradisastra
: Apa dasar Sarekat Islam?
Chatib
: Islam
Puradisastra
: Saya juga Islam namun sekaligus menjabat pimpinan PKI di Banten.
Chatib
: Organisasi semacam apa PKI itu?
Puradisastra
: Bagian dari organisasi Internasional
12
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ................, h. 13 Koloniaal Verslag, 26 Januari 1927 No. 1, h. 22. 14 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 184.
55
Chatib
: Apa maksud anda dengan Internasional?
Puradisastra
: Internasional adalah organisasi yang tidak memandang perbedaan ras maupun agama. Siapa pun dapat menjadi anggotanya, tidak peduli apakah dia Indonesia, Cina atau Eropa.
Chatib
: Namun apa tujuan organisasi itu?
Puradisastra
: Mewujudkan hubungan sinergis antara masalah-masalah duniawi dan agama. Masing-masing anggota mesti menganggap yang lain sebagai kawan dan saudara.
Chatib
: Bila melindungi agama adalah salah satu tujuan PKI maka saya pun sepakat. Tapi bila berhubungan dengan hal-hal duniawi saya kurang memahami.
Hal penting dari percakapan di atas, bahwa masuknya A. Chatib dan ulama lainnya dalam PKI bukan lantaran kesesuian dengan ideologinya, tetapi karena pilihan strategi yang revolusioner untuk melawan pemerintah kolonial Belanda yang telah menyebabkan terjadinya ketidaksejahteraan rakyat Banten dengan membebankan pajak yang tinggi. Dengan masuknya Chatib dan Tb. Emed dalam PKI kemudian membuat banyak ulama lain mengikuti langkah mereka dan tentu saja dengan para pengikutnya masing-masing. Dari semua ulama yang masuk PKI hanya Chatib yang mempunyai pengalaman politik karena telah bertahun-tahun di SI, apalagi Chatib seorang orator ulung dan kharismatik. Kendati masih berusia 30 tahun, pada 1926, Chatib memiliki madrasah sendiri dan mempunyai pengaruh luas di masyarakat sebab ia adalah menantu Kyai Asnawi. Kyai Moekri dari Labuan bersama dengan Kyai Madoen dan Kyai Tb. Ichyar mengikuti langkah-langkah ulama lain dan membawa pula santri-santrinya untuk bergabung dengan PKI. Di Petir, Kabupten Serang, Kyai Emed dan Kyai Yahya direkrut untuk bergabung dengan partai. Hal serupa dilakukan oleh Kyai Abdul Hadi dari Desa Bangko, deket Menes, ia membawa hampir semua orang sedesanya.
56
B. Persiapan Pemberontakan Keputusan konferensi rahasia di Prambanan pada 25 Desember 1925 memutuskan untuk membentuk DO (Dubble atau Dictatorial Organisatie) sebuah organisasi rahasia dan ilegal untuk mempercepat proses pemberontakan yang akan dilakukan tanggal 18 Juni 1926.15 Kabar mengenai keputusan ini disosialisasikan ke seluruh PKI seksi Banten oleh Sukrawinata, yang saat itu menjabat sebagai pimpinan PKI di Batavia. Sukrawinata menemui seluruh pimpinan PKI seperti Bassaif, Puradisastra, H. Achmad Chatib, Kyai Moekri, dan Entol Enoh. Seksi-seksi diintruksikan untuk segera mendirikan DO dan menggalang dana untuk pembelian senjata. Sambil menunggu perintah dari pemimpin pusat PKI, seksi-seksi lokal sejak tahun 1925 diberi otonomi luas dengan slogan “Sentralisme Federatif”, bukan berarti bebas menentukkan langkahnya sendiri, tetapi diarahkan kepada disiplin organisasi revolusioner.16 Lain halnya dengan Tan Malaka yang pada saat itu dalam pengasingan, menganggap bahwa keputusan Prambanan adalah hasil karya para revolusioner amatiran.17 Ketika seksi-seksi di Banten telah siap mendirikan DO untuk merancang pemberontakan, pemerintah kolonial semakin ketat mengawasi aktivitas partai dengan melancarkan coup de grace berupa dua aturan baru dalam KUHP Belanda, yaitu pasal 153 bis dan ter, yang secara efektif melarang apa pun yang berbau revolusioner dan segala macam organisasinya. Akibatnya semua surat kabar dan jurnal partai dibredel pada tanggal 30 April. Karena mendapat perlakukan keras dari pemerintah kolonial, maka pada rapat pimpinan yang diadakan pada bulan Mei diputuskan untuk memindahkan markas besar PKI ke Bandung.18 Pada mulanya organisasi DO di wilayah Banten telah dipercayakan kepada satu komite yang terdiri dari Puradisastra, Tb. Hilman, Bassaif, H. Chatib, Kyai
15
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ................, h. 37. 16 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ................, h. 61-62. 17 Harry J. Benda, “The Communist Rebellions of 1926-1927 in Indonesia”, Pacific Historical Review, (University of California Press), h. 139. 18 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 194.
57
Moekri, Entol Enoh, Tb. Alipan dan Soleiman. Dua orang dari mereka Entol Enoh dan Soleiman, memiliki hubungan erat dengan para jawara dan sangat berpengaruh kuat dalam pembentukan DO. Dalam bulan Silih Sawal (Mei 1926) berdasarkan hasil rapat di Dalung, para ulama memberikan keputusan untuk mengangkat kepengurusan eksekutif baru PKI Banten dan DO. Keputusan ini terjadi karena Puradisastra dan Achmad Bassaif yang pergi dan menjadi penghubung antara PKI Banten dan Batavia. Ishak sebagai presiden PKI seksi Banten, dengan sekretaris H. Mohammed Noer, dan Arman selaku Bendahara. Sedangkan kepengurusan DO yang baru dikenal juga sebagai golongan jawara, sebagai presiden ditunjuk Hasanudin dan Soleiman adalah wakilnya. Dua komisaris DO juga dipilih yaitu Tb. Hilman dan Alirachman. H. Chatib kemudian ditahtakan sebagai pemimpin golongan ulama dengan gelar Presiden Agama PKI seksi Banten. ` Dalam praktiknya, karena terdapat dua dewan eksekutif baru, yang mana kedudukan DO lebih penting, maka kini aktivitas PKI tak lagi memungkinkan. Meski demikian dewan eksekutif DO menghadapi kesulitan karena para tokoh PKI masih berada dalam penjara. Sehingga pergerakan revolusioner jatuh ke tangan panitia ad-hoc yang dipimpin oleh H. Achmad Chatib dimana hampir seluruh anggotanya adalah ulama dan jawara.19 Sebelum pertemuan Mei yang berlangsung itu PKI Banten telah mulai menggalang dana untuk pembelian senjata. Peggalangan dana tersebut hanya efektif di Kabupaten Serang dan Pandeglang. Prestise Tb. Emed sebagai putra Kyai Asnawi Caringin sangat berpengaruh terhadap kegiatan penggalangan dana di Pandeglang. Dalam kepentingan ini Chatib menyebutkan bahwa Jepang siap mendukung aksi revolusioner tersebut.20 Selain itu, dalam surat kabar De Banten Bode juga disebutkan bahwa uang tersebut akan digunakan untuk mendanai biaya pengiriman pasukan dari Soviet yang akan berlabuh di pantai Banten dengan armada raksasa.21 Agen propaganda PKI menyebar ancaman kepada masyarakat Banten dengan mengatakan bahwa bagi siapa yang tidak menyokong
19
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 196-197. Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 197. 21 De Banten Bode, 5 Juni 1926. 20
58
penggalangan dana revolusioner maka akan dirampok dan dibunuh setelah pemberontakan selesai. Rumor mengenai akan datangnya bantuan dari luar negeri dan intimidasi dari agen propaganda PKI membawa hasil nyata, yaitu kucuran dana yang datang dari rakyat semakin deras. Para petani dengan sukarela menyerahkan uangnya, terkadang ada juga yang menggadaikan pohon kelapa, tanah, dan kerbau miliknya. Bahkan dana uang yang mereka simpan untuk berangkat Haji juga mereka sisihkan untuk kepentingan pemberontakan.22 Tidak hanya dilakukan penggalangan dana untuk pembelian senjata, para anggota DO juga diperintah untuk menjadi tentara partai seperti para dewan eksekutif PKI. Pada bulan Mei, setelah pembentukan DO di Dalung, H. Chatib dan Hasanudin pergi menuju Bandung. Keduanya bermaksud membicarakan perihal pembelian senjata dan berkoordinasi dengan berbagai seksi PKI untuk merancang pemberontakan. Tapi mereka justru melihat pemimpin PKI di Bandung tidak melakukan apa-apa untuk merealisasikan keputusan Prambanan dan bahkan tidak mampu menggalang pengiriman senjata. Karena kecewa dengan kondisi tersebut, maka mereka kembali ke Banten untuk memutuskan langkah selanjutnya. Hasanudin mencoba mencari dukungan persenjataan dari Malaya melalui PKI di Sumatera Barat. Namun sayangnya rencana ini diketahui oleh pemerintah kolonial. Pada tanggal 19 Mei 1926, Residen Banten F.C Putman-Cramer menginformasikan kepada Bupati Pandeglang R.A.A Kartadiningrat bahwa intelijen dari Medan berhasil mengindikasikan akan adanya pengiriman senjata dari Sumatera ke Jawa melalui Labuan dan keluarga Kyai Asnawi terlibat di dalamnya. Kartadiningrat tidak mempercayai terhadap informasi yang diberikan dan bahwa Kyai Asnawi Caringan dan menantunya H. Achmad Chatib tidak ikut terlibat di dalam aktivitas PKI. 23 Mendengar hal ini H. Chatib justru terpacu untuk mempergiat aksi penggalangan dukungan untuk pemberontakan mendatang. Untuk menghindari mata-mata polisi rapat dilakukan di masjid dan dilakukan juga pada malam hari
22
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 69. 23 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 70-71.
59
di dalam hutan dengan menempatkan jawara sebagai pengawasnya. Pada akhir Mei, di Caringin digelar rapat pimpinan DO. Mereka yang hadir dalam rapat tersebut adalah H. Chatib, Tb. Emed, Hasanudin dan Afif, seorang ketua PKI Labuan. Dalam rapat itu diputuskan bahwa PKI seksi Banten harus bekerja sama lebih intens dengan PKI seksi Batavia dan pemberontakan harus dilaksanakan secepat mungkin. Dari mereka mengusulkan agar pemberontakan dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus bertepatan dengan hari ulang tahun Wilhemina. Untuk itu, Afif dan Hasanudin diutus ke Batavia membawa 250 gulden dari Djojopranoto untuk membeli senjata sesuai arahan Bassaif. Kerjasama ini membuahkan hasil, sehingga pada awal Juni Afif dan Hasanudin kembali ke Banten dengan membawa lebih dari 1.865 gulden sebagai dana untuk penggandaan senjata.24 Demi memantapkan rencana pemberontakan tersebut, pemimpin PKI, Sardjono, menggelar rapat di Bandung pada akhir Juni untuk membicarakan proses realisasi keputusan Prambanan itu. Namun sebelum itu ia bergegas ke Banten menemui pemimpin partai. Di Caringin, ia bertemu dengan H. Chatib, Tb. Emed, Soleiman, Hasanuddin, Tb. Hilman dan Ishak. Ketua PKI itu membawa dua misi penting, pertama, ia menekankan agar tidak terjadinya aksi sepihak dengan meyakinkan bahwa kini pimpinan PKI pusat telah sepakat merealisasikan keputusan Prambanan. Kedua, ia ingin mengumpulkan lebih banyak lagi dana untuk PKI pusat. Upaya Sardjono tersebut tidak mengecewakan, karena sekembalinya dari Banten dan membawa lebih dari 1000 gulden.25 Saat PKI seksi Banten telah siap melancarkan pemberontakan di bawah arahan pimpinan pusat, partai justru menghadapai posisi lemah oleh hilangnya satu persatu para tokoh penting mereka baik karena ditahan atau dibuang. Puradisastra melarikan diri ke Garut untuk menghindari penangkapan, sedang Bassaif meninggalkan Banten dan aktif mempersiapkan aksi di Batavia. Pada awal bulan Juli, Hasanuddin yang telah menggantikan posisi kedua tokoh PKI tersebut, ternyata telah berada di dalam buih karena ditangkap oleh polisi
24 25
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 200. Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 201.
60
Batavia.26 Hilangnya tiga pemimpin PKI tersebut merupakan awal melemahnya partai dan penangkapan lebih menggila selama bulan Agustus. Melemahnya aktivitas PKI tidak hanya ditandai dengan ditangkapnya para tokoh-tokoh PKI, tapi ditemukannya juga tempat penimbunan senjata. Di desa Dalung, di rumah H. Mohamed Arif, ditemukan 6 pucuk pistol revolver di balik tembok rumahnya. Di Desa Ciruas, 800 buah golok berhasil ditemukan yang disiapkan untuk pemberontakan. Hal serupa juga terjadi di daerah Pabuaran, Pancur dan Gunungsari, pemerintah kolonial menyita beberapa pucuk pistol jenis Mauser, senapan Beaumot dan tumpukan kain putih. Selain itu ditemukan juga kurang lebih 10.000 gulden yang merupakan dana pembelian senjata untuk pemberontakan.27 Dengan penahan dan penyitaan senjata yang terjadi sampai pertengahan bulan september 1926 membuat pihak kolonial merasa yakin bahwa mereka berhasil mencegah meletusnya pemberontakan besar di Banten.28 Akibat semakin melemahnya kondisi partai di Banten, maka pada awal September, Bassaif dan Sukrawinata, wakil ketua PKI Batavia mengadakan pertemuan dengan H. Chatib, Kyai Moekri, H. Tb. Emed, dan Afif di Caringin. pertemuan mereka membicarakan untuk menyetujui pembentukan komite koordinasi pemberontakan atas inisitif PKI seksi Batavia. Beberapa hari setelah pertemuan itu, Afif ikut ke Batavia bersama Bassaif dan Sukrawinata dengan mengabarkan bahwa situasi partai semakin memburuk akibat penangkapan yang gencar. Dalam pertemuannya bersama para tokoh PKI Batavia di Hotel Borneo, Weltevreden, Afif berjanji bahwa PKI seksi Banten akan memberi dukungan pembentukan komite tersebut asalkan pemberontakan tidak ditunda-tunda lagi. Namun apabila pemberontakan harus menunggu lama, akibatnya para petani akan keluar dan tidak memberi dukungan lagi.29 Segera setelah Afif kembali ke Banten, para pimpinan PKI Batavia membentuk komite koordinasi pemberontakan. Komite tersebut dibentuk pada tanggal 13 September 1926 yang disebut juga sebagai Komite Pemberontak atau
26
De Banten Bode, 10 Juli 1926. De Banten Bode, 25 September 1926. 28 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 77-78. 29 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 80. 27
61
Komite Penggalang Republik Indonesia dan kemudian mengirimkan utusan ke seluruh seksi untuk meminta dukungan dan diakui sebagai komite pelaksana pemberontakan. Meski hanya lima seksi saja yang mendukungnya, yaitu, Padang, Tegal, Priangan, Batavia dan Banten, komite tersebut tetap menetapkan aksi pemberontakan pada tanggal 12 November 1926.30
C. Pecahnya Pemberontakan PKI Hari-hari terakhir sebelum dilakukannya pemberontakan diwarnai dengan ditangkapnya H. Achmad Chatib sebagai tokoh paling penting dalam PKI seksi Banten. Pada tanggal 23 Oktober 1926 satu pasukan Veldpolitie dikirim ke Caringin untuk menangkap Chatib.31 Sementara itu polisi juga telah mendapat informasi dan petunjuk-petunjuk baru tentang keberadaan dan aktivitas PKI bawah tanah Kabupaten Pandeglang. Untuk kepentingan ini seorang opsir Veldpolitie Serang, Mangoendiwiria dan lima orang rekannya dikirim ke Labuan pada bulan November untuk membantu polisi lokal. Setelah ditahannya H. Chatib maka Tb. Emed lah yang gigih mempersiapkan kekuatan menjelang pemberontakan. Pada tanggal 9 November, putra Kyai Asnawi Caringin ini dipanggil polisi ke Serang untuk dilakukan interogasi mengenai keterlibatannya dalam aktivitas PKI. Melihat kondisi yang mengkhawatirkan membuat H. Hasan mengutus tokoh pemberontak lain, H. Saleh untuk membantu persiapan yang selama ini dirintis oleh Tb. Emed. Dedikasi H. Saleh tidak diragukan, kakeknya adalah pejuang revolusioner yang terbunuh dalam peristiwa pemberontakan H. Wachia pada tahun 1850, sedangkan ayahnya tewas dalam peristiwa Geger Cilegon 1888. H. Saleh selanjutnya memetakan rencana revolusioner kepada para pemberontak yaitu mengambil alih berturut-turut Labuan, Pandeglang dan Serang. Untuk mengatasi kelumpuhan PKI Rangkasbitung, Saleh mengirimkan massa ke sana dengan menggunakan kereta api. Semua priyayi dan orang Eropa ditangkap dan mereka yang melawan dibunuh. Seketika itu Banten bebas dari otoritas kolonial, para pemberontak itu 30
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 211. Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 87. 31
62
berkumpul di Caringin sebab Kyai Asnawi berada di sana serta sambil menunggu arahan dari Komite Pemberontak Batavia. Sementara itu Tb. Emed bersikeras untuk tidak mengikuti pemberontakan.32 Pada pagi hari tanggal 12 November, di Pasar Labuan terlihat ramai dengan orang-orang yang bertumpah ruah karena pada saat itu barang dagangan sangat berlimpah. Penjualan garam dan kain putih meningkat beberapa hari terakhir menjelang pemberontakan, dikabarkan pula banyak orang yang berpuasa di daerah itu. Malam itu, ratusan petani yang dipimpin oleh Kyai Moekri dan dan Kyai Ilyas berkumpul di desa Bama. Persenjataan yang telah dikumpulkan langsung dibagikan untuk menggempur Labuan. Pertemuan itu diakhiri dengan sembahyang perang sebelum mereka bergerak menuju Labuan. Hal serupa terjadi juga di Desa Pasar Lama, dekat Caringin, lebih dari 700 orang menghadiri sebuah pertemuan besar. Di bawah pimpinan Kyai Moestapha mereka digerakan untuk menyerbu kediaman Wedana Cening. Sedangkan di Menes para pemberontak dipimpin oleh H. Hasan dan Entol Enoh yang mendapat dukungan penuh dari hampir semua desa wilayah itu. Di Serang dan Pandeglang, meski kesiapan pemberontakan belum matang, massa pemberontakan telah terkumpul dan menunggu intruksi dari pimpinan mereka. Karena kekuatan partai di Serang dan Pandeglang telah mengalami penyusutan akibat semua tokoh PKI yang dipenjara, maka pusat aktivitas pemberontakan dipindah ke Menes dan Labuan.33 Pemberontakan dimulai di Labuan pada lewat tengah malam oleh ratusan orang
bersenjata
dengan
sasaran
pertama
asisten
wedana,
Mas
Wiriadikoesoemah. Akibat serangan itu, Mas Wiriadikoesoemah dan keluarganya berhasil ditawan oleh pemberontak. Seorang polisi pengawalnya terbunuh dan dua orang lainnya terluka parah dalam pemberontakan itu. Kemudian massa terpecah menjadi dua kelompok. Pertama, mengawasi pemindahan Mas Wiriadikoesoemah ke Caringin, sedang yang kedua mencari polisi di jalan-jalan Labuan. Selanjutnya kelompok kedua ini menuju rumah H. Ramal dimana tiga
32
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 90. 33 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 91.
63
orang opsir Veldpolitie Serang ditempatkan menjaga. Ketiga terlibat baku tempak dengan para pemberontak, sehingga dua orang tewas dan satu terluka parah. Para pemberontak juga menyerah rumah Mas Mohammed Dahlan, seorang pegawai pemerintahan yang membocorkan kepada polisi tentang keberadaan organisasi bawah tanah PKI, akibatnya dia terluka parah.34 Di Menes, pada malam yang sama pemberontakan memakan korban yang lebih banyak. Target utama para pemberontak adalah seorang wedana, Raden Partadinata, seorang pengawas kereta api, Benjamins dan polisi. Penyerangan di rumah wedana dimulai pada jam satu malam dengan mengerahkan sekitar 300 sampai 400 pemberontak. Dalam penyerangan wedana itu, seorang polisi pengawalnya berhasil menembak seorang pemberontak hingga tewas. Sementara kelompok lainnya meringkus kediaman Benjamins dan berhasil menguasai stasiun kereta api. Benjamins adalah satu-satunya orang Belanda yang berada di kota itu. Ketika berada di tangan pemberontak, Benjamins berusaha lepas dan mengatakan bahwa ia akan masuk Islam, namun pemberontak memutuskan untuk menghabisi nyawanya. Dua orang polisi juga tewas dan asisten wedana terluka parah oleh pemberontak. Selain itu kediaman pensiunan Patih juga tidak luput dari sasaran para pemberontak pada malam itu.35 Pada saat serangan pertama tersebut dilakukan, para pemberontak hampir selalu menghadapi rintangan dari pihak otoritas kolonial yang seolah selalu mnegetahui rencana aksi revolusioner yang akan dilakukan. Para pemberontak gagal memutus semua kabel telepon di Labuan dan Menes. Akibatnya Bupati Pandeglang mengetahui rencana itu pada jam satu dini hari. Setelah mendengar informasi tersebut, para pemberontak baru memutus kabel-kabel telpon tersebut. Keterlambatan ini membuat pihak Batavia menyiagakan kekuatan militernya dan menjelang pukul 4 dini hari 100 personil di bawah pimpinan Kapten Becking berangkat menuju Banten. Pagi harinya pada tanggal 13 November, Bupati Kartadiningrat bersama dengan komandan Veldpolitie, Martens dan sembilan orang polisi bergerak menuju Menes dan Labuan. Di tengah perjalanan, rombongan ini terlibat
34 35
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h.221-222. Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 222.
64
bentrokan dengan para pemberontak, tetapi berhasil memukul mundur mereka. Setibanya di Menes, bupati mendapati kediaman wedana dilalap api, dan wedana beserta tiga orang polisi tewas di tempat itu. Malam harinya, personil yang berada di bawah komando Kapten Becking tiba di Labuan. 36 Operasi pertama dilakukan di Caringin untuk mencari keberadaan Asisten Wedana Labuan yang telah ditawan oleh pemberontak dan juga menangkap Tb. Emed. Pasukan ini di bawah pimpinan Letnan Van Der Vinne berhasil menemukan Asisten Wedana yang hanya dijaga oleh satu orang saja tidak melakukan perlawanan. Sesampainya di rumah Tb. Emed, mereka disambut dengan tembakan dari arah warung yang ada di sana. Kejadian ini membuat tujuh orang pemberontak tewas tertembak. Pasukan patroli ini terpaksa harus kembali ke Labuan tanpa menangkap Tb. Emed, karena Tb. Emed berhasil meloloskan diri sebelum insiden di Caringin terjadi. 37 Pada pagi hari tanggal 14 November, aktivitas pemberontak terpusat di sebuah Masjid Desa Bama, pinggiran kota Labuan dan siang harinya orang dari desa-desa sekitar telah berkumpul di sana untuk mempersiapkan diri menyerbu posko militer Belanda yang ditempatkan di Kota Labuan. Kyai Moekri dan beberapa ulama lainnya menyatakan bahwa pemberontakan pada hari ini dilancarkan untuk menuntut balas atas tewasnya rekan-rekan mereka dalam pemeberontakan sebelumnya. Kemudian sore harinya, mereka berhasil mencegat brigade Belanda yang akan mencoba masuk ke Labuan dari arah Pandeglang. Terjadilah bentrokan sengit di sana dan para pemberontak berhasil dilumpuhkan, sehingga brigade Belanda berhasil masuk ke Labuan. 38 Pada tanggal 15 November, para pemberontak tiba-tiba disergap oleh pasukan patroli yang dipimpin Kapten Becking, saat para pemberontak akan melakukan koordinasi dengan kelompok yang lain. Mereka semuanya berpakaina putih kecuali mereka yang membawa bendera, berpakaian hitam, yaitu Djapar dari Desa Bama. Kelompok pemberontak hanya mempunyai sedikit senjata api dan tidak sepadan bila dibandingkan dengan tentara Becking. Dengan demikian
36
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 94. 37 De Banten Bode, 14 November 1926. 38 De Banten Bode, 14 November 1926.
65
pasukan Becking dengan mudah menyerang para pemberontak dan terjadi tembak-menembak selama 25 menit.39 Kendati pemberontakan komunis pada bulan November 1926 sebagian besar menyerang Pandeglang, namun para pemberontak tidak begitu saja melupakan Serang. Pada bulan itu terjadi insiden-insiden yang menyebar di Kota itu, meski para tokoh PKI berada di penjara. Insiden paling serius terjadi di Kabupaten Serang tepatnya di Petir pada malam 13 November. Berbeda dengan wilayah Serang lainnya, di daerah ini tokoh-tokoh PKI begitu kuat dan hampir tidak dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan. Tokoh PKI lokal di wilayah ini hampir semuanya adalah ulama, mereka yang terkenal seperti Kyai Emed, H. Soeb, H. Artasik dan H. Sasatra. Pemberontakan di Petir dengan terget Asisten Wedana Petir ini mengalami kegagalan, karena militer Belanda telah disiagakan. Kegagalan pemberontakan ini sekaligus menandai berakhirnya pemberontakan di wilayah Kabupaten Serang.40 Setelah terjadinya pemberontakan pada 15 November di Labuan, maka praktis tidak ada lagi penyerangan serius antara pemberontak dengan pasukan Belanda. Pada hari-hari berikutnya kelompok-kelompok pemberontak sebagian besar masih berkeliaran menghindari penangkapan. Pada tanggal 18 November, empat brigade militer meninggalkan Labuan untuk berpatroli di daerah selatan membersihkan kelompok-kelompok pemberontak yang masih tersisa. Para pemberontak sebagian berhasil di tangkap di sebuah masjid dan sebagian lagi berhasil meloloskan diri. Operasi pembersihan berlanjut di wilayah itu selama dua pekan. Sampai akhir bulan November, masih ada dua kelompok pemberontak yang bertahan, yaitu sebelah barat dan timur jalan Pandeglang-Menes. Pada malam 4 Desember, kelompok pertama berhasil membakar hancur rumah Kepala Desa Cidolas, dekat Caringin dan melukai seorang polisi di Cening. Beberapa waktu sebelumnya, rumah Asisten Wedana dan lurah Desa Pagelaran dibakar
39
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 97-98. 40 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 98-99.
66
musnah ketika tuan rumah sedang pergi keluar desa. Setelah terjadi insiden ini, tidak terjadi lagi pemberontakan di wilayah Banten.41 Hilangnya satu tokoh penting sebelum pemberontakan, H. Chatib, menjadikan alasan lokasi terjadinya pemberontakan begitu terbatas. Penangkapan H. Chatib dan sikap pengecut Tb. Emed, ternyata menjadikan PKI di Banten melemah. Seandainya H. Chatib tidak ikut ditangkap, maka ia akan menyiapkan massa dari Serang untuk ikut bergabung dengan pasukan yang berada di Pandeglang.42 Pemberontakan di Banten tersebut adalah suatu rancangan yang telah disusun oleh PKI untuk melakukan resistensi terhadap pemerintah kolonial di seluruh wilayah Indonesia. Sebelumnya PKI berhasil membangun organisasi bawah tanah begitu luas di Banten, melingkupi Kabupaten Serang, Pandeglang, Rangkasbitung dan Kabupaten Lebak. Dibanding pemberontakan yang terjadi pada abad 19, persebaran organisasi pada pemberontakan 1926 jauh lebih besar. Sebaliknya, pada abad ke 19, organisasi revolusioner hanya terbatas di sebagian daerah. Pecahnya pemberontakan tidak hanya didorong oleh hadirnya PKI, tapi bertepatan dengan rencana pemberontakan yang telah lama dipendam akibat pemberontakan yang terjadi sebelumnya.
“Pergerakan itu dibentuk demi mewujudkan satu cita-cita, yaitu penggulingan kekuasaan kolonial yang kafir, sehingga mengkarakterkan sebuah tradisi millenarian yang dengan jelas mengejewantah dalam ajaran Islam tentang jihad atau perang sabil sebagai langkah awalnya. Pada taraf berikutnya, jihad atau perang sabil menjadi semakin menyebar di kalangan pergerakan revolusioner untuk dijadikan alasan aksi pemberontakan. Kemenangan yang akan dicapai selalu dikaitkan dengan berdirinya sebuah negara Islam yang terkadang dibayangkan seolah akan kembalinya eksistensi Kesultanan Banten yang telah runtuh. Hal itu didukung oleh adanya dua kondisi. Pertama, hampir sejak awal berkembangnya PKI di Banten memang bertepatan dengan rencana pemberontakan para
41
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 101. 42 De Courant, 5 Januari 1927.
67
petani yang telah lama memendam amarah. Kedua, mayoritas tokoh-tokoh sekuler PKI Banten, sebelum pecahnya pemberontakan masih mendekam dalam penjara”. 43
Meskipun kelompok komunis sekuler menjadi perancang berdirinya PKI dan organisasi ilegal DO, namun karena pimpinan kedua organisasi tersebut berada di bawah kendali ulama, pada akhirnya cara-cara tradisional menjadi haluan dalam aksi pemberontakan tersebut. Dengan kenyataan itu, maka para tokoh pemberontakan PKI nyaris sama dengan pemberontakan pada abad ke-19, seorang ulama atau sebagai pemimpin yang kharismatik. Hal yang berbeda karena mereka telah tergabung dalam sebuah organisasi revolusioner yang bukan bentukan mereka.
D. Pengasingan Ke Boven Digul Ketegangan masih menyelimuti Banten dalam minggu-minggu pasca pemberontakan, karena meningkatnya operasi penangkapan oleh pemerintah kolonial serta disulut oleh rumor akan adanya aksi-aksi pemberontakan yang diperkirakan akan pecah pada malam tanggal 6 Desember. Apalagi tersebar isu bahwa wedana dan asistennya tidak mampu lagi membayar serdadu, sehingga mereka akan ditarik secepatnya ke Batavia, dan kesempatan tersebut digunakan untuk melakukan aksi pemberontakan berikutnya.44 Tanggal 13 November, pihak polisi telah melakukan 64 kali penangkapan, 56 di Serang, 5 di Lebak dan 5 di Pandeglang. Antara tanggal 13 November dan 8 Desember, 916 orang ditangkap, yaitu 134 di Serang, 781 di Pandeglang dan satu di Lebak. Itu tidak termasuk dengan ratusan orang yang diinterogasi dan dilepaskan beberapa hari kemudian. Kendati demikan, banyak dari pemberontak yang masih selamat. Mereka adalah anggota yang tidak terlalu penting di PKI yang membantu kawan-kawannya melarikan diri, asalkan posisi mereka tidak diketahui oleh pihak mata-mata atau dibocorkan oleh anggota saat diinterogasi. 43
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 64. 44 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 113.
68
Sedangkan dari para tokoh PKI ada beberapa yang berhasil lolos, salah satunya adalah Kyai Moekri pemimpin pemberontakan di Labuan. Selain Kyai Moekri, ada kira-kira 10 orang yang berhasil mencapai Malaya melalui Palembang dan tinggal di sana bertahun-tahun. Dua orang dari mereka yang paling terkemuka adalah Tje Mamat, ketua PKI subseksi Anyer dan Tb. Alipan. 45 Sementara itu, terdapat tokoh PKI yang mengalami nasib buruk setelah ditangkap polisi. Dari mereka ada yang dipenjara dalam waktu lama sebelum diadili dan bahkan empat diantaranya divonis mati dan eksekusi dilakukan di penjara Pandeglang pada tanggal 16 September 1927, termasuk di antara mereka adalah H. Asikin, Doel Salam, Jamin dan Jas’a.46 Mereka yang kemudian dikenai hukuman penjara sebanyak 700 orang. Dan 99 orang lainnya yang tidak cukup bukti akhirnya menjadi interniran di kamp Boven Digul. Di daerah tersebut tidak ada yang dapat lolos dalam keadaan hidup, sedangkan lainnya harus menunggu selama 20 tahun untuk dapat kembali ke Banten, yaitu pada tahun 1945.47 Boven Digul adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Pulau Papua dikenal juga sebagai tempat pembuangan/ pengasingan/hukuman bagi orang-orang
yang membahayakan pemerintah
kolonial. Kamp Boven Digul yang dibuat oleh Kapten Becking tersebut terletak di hilir tepi sungai Digul dan Kamp dipersiapkan dengan tergesa-gesa untuk mengatasi kebijakan akhir pemerintah kolonial terhadap orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan komunis 1926. Awalnya, pembuangan ini terdapat di luar negeri, tokoh yang dibuang di luar tersebut di antaranya adalah Semaun dan Darsono. 48 Pendirian kamp kosentrasi massal ini diputuskan pasca sebuah pertemuan luar biasa Dewan Hindia Belanda (Raad van Nederlandsch-Indie) yang diadakan pada 18 November 1926, satu minggu sejak pemberontakan komunis di Banten pada 12 November 1926. Pada saat itu pertanyaan muncul dari Gubernur Jenderal de Graeff mengenai tindakan untuk memerangi meningkatnya gerakan komunis. 45
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 114. 46 De Banten Bode, 21 Mei 1927. 47 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 115. 48 I. F. M Chalid Salim, Lima Belas Tahun Digul: Kamp Kosentrasi di Nieuw Guniea Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia, (Bulan Bintang: Jakarta, 1997), h. 100.
69
Dewan Hindia Belanda (Rad van Nederlandsch-Indie) akhirnya memutuskan untuk mengasingkan para tokoh PKI yang ditangkap. Sedangkan mengenai ide munculnya Boven Digul yang dipilih sebagai tempat pembuangan massal terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ide tersebut sudah ada sebelum pemberontakan sejak tahun 1925 agar ada tempat khusus yang didirikan sebagai tempat pembuangan dan dilaksanakan begitu pemberontakan terjadi. Kedua, menurut pertimbangan pemerintah kolonial lebih baik mendirikan satu tempat di Hindia Belanda untuk menampung ribuan massa pemberontakan. Dan pemilihan wilayah Boven Digul berdasarkan usulan dan pertimbangan Gubernur Maluku, karena menurut Gubernur Maluku, Boven Digul itu tempat idel pembuangan karena 100% terisolasi. Jaraknya dari muara Sungai Digul itu 455 km ke hulu, ke pedalaman. Kondisi saat itu semuanya hutan lebat, rawa-rawa yang banyak nyamuk malaria, dan di sungainya banyak buaya. Terlebih saat itu banyak penduduk aslinya yang masih head hunter, atau masih kanibal.49 Pada pemberontakan PKI di Banten tahun 1926, untuk pertama kali terdapat empat orang pimpinan PKI seksi Banten yang dikirim ke Boven Digul, mereka adalah Puradisastra, Tb. Hilman, Agus Soleman dan H. Achmad Chatib. Sedangkan untuk pertama kali yang dikirim ke Boven Digul sebagai penghubung antara PKI seksi Batavia dan seksi Banten adalah Achmad Bassaif. Kelima orang ini kemudian diikuti oleh interniran lain dari Banten dan semuanya berjumlah 99 orang yang mengalami deportasi ke Boven Digul. Mereka semua telah menjadi interniran dan akan ditanya menurut jadwal yang telah ditetapkan oleh kantor jaksa agung. 50 Meski berstatus sebagai tahanan politik, para tawanan diperlakukan seperti penjahat biasa. Setiba di lokasi pengasingan, para tawanan digeledah dan surat pribadi mereka disita. Para tawanan ini sebenernya tidak mengalami penyiksaan fisik.
Namun
Digul
seakan
menjadi
neraka
alam.
Penyiksaan
yang
menghancurkan mereka karena iklim yang buruk, serangan nyamuk malaria, keterasingan dari peradaban manusia dan rasa rindu kepada keluarga. Selain itu,
49
Susanto T. Handoko, “Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional Hingga Otonomi Khusus Papua”, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 2, 2016, h. 83-84. 50 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 250.
70
terdapat ancaman serangan dari suku-suku liar yang menghuni kawasan itu.51 Akibat stres yang berkepanjangan, sejumlah tawanan mengalami gangguan jiwa dan bahkan ada yang berusaha untuk bunuh diri dengan terjun ke dalam sungai yang lebar. Sehingga penjara di Boven Digul ibarat penjara alam tanpa bilik. 52 Mengenai kehidupan di Boven Digul, para interniran hidup berkelompok. Di bagian utara pada tepi sungai terdapat bagian yang dijuluki Kampung Sumatera, yang penghuninya kebanyakan berasal dari Minangkabau, sedang orang Aceh dan orang Lampung berkediaman dengan menyendiri. Orang Jawa termasuk orang Madura, Jawa Tengah dan Sunda biasanya mencari rumah di tengah-tengah kawan sesuku. Sedangkan orang Banten termasuk kelompok interniran yang tertutup dan terpisah.53 Konflik sering terjadi antara orang Jawa dan Sumatera. Orang Sumatera menganggap hal yang bodoh menyaksikan seorang pejabat interni Jawa ketika berpergian selalu diikuti seorang interni yang memayunginya. Mereka juga mengejek seni Jawa, tembang, tandak, wayang dan ketoprak sebagai seni feodal. Namun karena waktu dan semakin banyak interni generasi awal yang dipulangkan, perbedaan etnis menjadi kurang berperan.54 Dalam buku Chalid Salim disebutkan bahwa orang Belanda terkejut terhadap para interniran asal Banten yang patuh melaksanakan ibadah. Selain itu mereka tercengang karena para anggota bekas PKI Banten pergi ke masjid setiap akan melaksanakan ibadah. Hal ini ternyata bahwa bagi para interniran sangat wajar jika antara paham komunis dengan agama bergabung. Bahkan baginya bukankah Nabi Muhammad pun mengajarkan persamaan dan persaudaraan untuk seluruh umat dan menganjurkan sedekah kepada fakir miskin. Mereka pun merujuk kepada keadaan yang serupa di negeri-negeri lain, misalnya di Italia dimana kaum komuis tetap setia kepada gereja Roma.55 Dari daftar 99 orang yang diasingkan ke Boven Digul menunjukan erat kaitannya antara gerakan komunis di Banten dengan agama atau antara agama dan pemberontakan. 11 dari 99 orang yang menjadi interniran adalah guru agama, 51
I. F. M Chalid Salim, ..........., h. 184. I. F. M Chalid Salim, ..........., (Bulan Bintang: Jakarta, 1997), h. 143. 53 I. F. M Chalid Salim, ..............., h. 281. 54 Susanto T. Handoko, “Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional Hingga Otonomi Khusus Papua”, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 2, 2016, h. 85. 55 I. F. M Chalid Salim, .............., h. 291. 52
71
27 orang lainnya atau hampir sepertiganya adalah yang telah melaksanakan haji ke Mekkah, dan ini termasuk jumlah yang besar, karena mengingat dari 1000 orang pertama dari seluruh Indonesia yang dideportasi hanya 59 orang yang telah pergi haji. Relevan dengan 27 orang Banten yang pergi haji, mereka setidaknya tidak kurang dari satu sampai tiga tahun telah menetap di Mekkah. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah H. Achmad Chatib, yang
telah
menghabiskan tiga tahun di Mekkah, H. Abdulhadi (Adung), H. Asgari, H. Artadjaja, H. Emed, H. Sooeb, H. Abdulhadi, H. Achjar, H. Mohammed Arif, H. Mu’min, H. Aliasgar, H. Mardjuk, H. Santani, H. Mustapha, H. Achmad, dan H. Enggus. H. Mustapha telah menetap di Mekkah selama tujuh tahun dan H. Mohammed Arif selama lima tahun. Adik H. Achmad Chatib, H. Abdulhadi (Adung) telah menetap selama dua tahun di Mekkah dan telah menghabiskan satu tahun untuk sekolah di Al-Azhar di Kairo.56 Hampir semua dari 99 orang interniran tersebut, hanya 8 orang yang bukan asli Banten yaitu Puradisastra (Priangan), Hasanudin (Sumatera Barat), Atmodihardjo (Jawa Tengah), Salihun (Batavia), Muhammad Saleh (Purwarejo). Sisanya, 79 orang tertangkap di Serang, 13 di Kabupaten Pandeglang, 5 di Kabupaten Lebak dan 2 orang lainnya di Batavia. Tingginya jumlah mereka yang ditangkap dari Serang karena, pertama, para tokoh PKI yang tertangkap dalam peristiwa Pandeglang banyak memilih diadili di Kota Serang daripada diasingkan. Kedua, karena akibat aksi penangkapan pada bulan Agustus dan September.57 Dalam daftar yang tercatat sebagai interniran, apabila melihat komposisi sosial interniran maka terlihat 9 orang adalah ulama terkemuka yang mempunyai kekariban dengan orang-orang komunis, sedang yang lainnya berprofesi sebagai pekerja atau tukang yang beberapa dari mereka telah bergabung dengan PKI di luar Banten. Kelompok ini terdiri dari 5 pegawai toko, 2 orang buruh percetakan, 1 orang penjahit, 1 orang pembua sepatu, 1 orang tukang batu, 1 orang tukang cukur dan 1 orang juru lelang. Kelompok yang paling banyak adalah petani berjumlah 54 orang dan 13 orang pedagang. Kelompok iniah yang paling mudah
56 57
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 253. Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 254.
72
dijadikan sasaran agitasi PKI. Para petani dengan jumlah yang besar tersebut, ketika diinterogasi dan ditanya mengenai alasan keterlibatannya bergabung dengan PKI, jawaban yang mayoritas keluar adalah karena beban pajak atau hanya ikut-ikutan kawan sedesanya. Para interniran dari Banten seluruhnya adalah kurang berpendidikan layak dan berasal dari kelas menengah ke bawah.58 Lebih lanjut dalam perkembangannya, Boven Digul mengalami penutupan pada tahun 1943. Welter, yang saat itu menjadi menteri urusan koloni pada tahun 1937, mengusulkan metode pembuangan di Boven Digul diganti lebih tradisional dalam waktu dekat. Dengan cara para interniran dibuang secara terpisah dibanyak tempat sehingga mereka tidak lagi berharap dapat membangun pengaruh politik karena perbedaan bahasa dengan penduduk asli. Bahkan kamp konsentrasi Boven Digul harus dihapuskan kecuali bagi mereka yang masuk dalam kategori keras kepala. Akan tetapi pada tahun 1938 diambil keputusan untuk mempertahankan Boven Digul. Selanjutnya pada bulan Juli 1938, 118 interniran dibebaskan. Salah seorang ulama yang dibebaskan adalah Tb. A. Chatib. Sepulang dari Boven Digul, pada masa kependudukan Jepang A. Chatib menjadi Komandan Batalyon (Daidancho) di Batalyon I Labuan. 59 Hingga akhirnya pada tahun 1943, Boven Digul ditutup karena pemerintah Hindia Belanda menjadi ketakutan akan kemungkinan Jepang membebaskan para interniran. Oleh karena itu pemerintah Hindia
Belanda
memutuskan
untuk
menghapuskan
sama
sekali
dan
mengungsikan semua iterniran yang tersisa ke Australia. Evakuasi dilakukan oleh Ch. O. Van der Plas.60
58
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 117-122. 59 Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), hal. 159. 60 Susanto T. Handoko, “Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional Hingga Otonomi Khusus Papua”, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 2, 2016, h. 88.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari berbagai pemaparan hasil penelitian, beberapa pertanyaan terkait rumusan masalah yang menjadi fokus kajian ini bisa dijawab. Berdasarkan faktafakta yang telah penulis himpun dan olah, dapat disimpulkan bahwa lahirnya PKI di Banten pada abad awal ke-20 terjadi karena reaksi terhadap kondisi sosial politik di Banten. Pada awal abad ke-20 ini masyarakat Banten adalah masyarakat yang masih terbelakang karena penindasan yang dilakukan oleh kolonial Belanda. Dalam bidang pendidikan, pemerintah kolonial sudah memberlakukan politik etis, namun dalam realitanya kesempatan pendidikan lebih besar diberikan kepada masyarakat kelas atas. Tidak hanya dalam bidang pendidikan, pungutan pajak yang tinggi dan eksploitasi tenaga kerja ikut memperparah kondisi sosial masyarakat. Sementara itu pada saat yang bersamaan dalam bidang politik tumbuh dan menjamurnya organisasi pergerakan rakyat. Saat itu SI yang telah berkembang lebih dahulu daripada PKI sudah tidak memiliki tempat di hati masyarakat Banten, disebabkan SI menghindari sikap radikal dalam menghadapi pemerintah kolonial. Sikap yang diambil SI tersebut terjadi setelah pecahnya insiden Afdeling B, dimana untuk menekan tumbuhnya organisasi rahasia pemerintah kolonial kemudian menggunakan kekerasan. Selain itu SI mengalami pergeseran haluan perjuangan dari sosial politik, kemudian sebagian pemimpin SI memakai agama sebagai haluan organisasinya secara sepihak. Kondisi demikian kemudian dimanfaatkan oleh PKI untuk dapat berkembang di Banten. Berkembangnya PKI saat itu menarik perhatian ulama untuk ikut terlibat ke dalam partai. Mereka memiliki beberapa alasan sebagai berikut: pertama, karena PKI secara tegas melawan pemerintah kolonial. Hal itu menjadi ide mendasar bagi para ulama untuk bergabung dengan PKI. Kedua, PKI dianggap sebagai alternatif yang akan menampung kekecewaan dan kegelisahan para petani. Beban pajak tinggi yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial terhadap para petani diharapkan dapat berakhir.
Ketiga, mereka berharap diberi
kesempatan masuk dalam dunia politik dan bisa berpartisipasi dalam pemerintah
73
74
yang akan menyingkirkan para kafir Belanda beserta sekutu-sekutunya, yaitu priyayi, karena pada masa pemerintah kolonial para ulama terpinggirkan. Dan keempat, bahwa masuknya ulama dalam PKI bukan lantaran kesesuian dengan ideologi PKI, tetapi karena pilihan strategi yang revolusioner untuk melawan pemerintah
kolonial
Belanda
yang
telah
menyebabkan
terjadinya
ketidaksejahteraan rakyat Banten dengan beban pajak yang tinggi. Hal lain yang juga penting dicatat adalah bahwa ulama dan masyarakat Banten memiliki sejarah yang panjang terkait perlawanan terhadap kolonialisme. Pemberontakan di Cilegon pada abad ke-19 adalah satu peristiwa penting dalam hal ini. Gerakan perlawanan oleh para petani tersebut melibatkan kaum ulama di pesantren dan tarekat. Mereka telah berjasa mengakselerasi gerakan sehingga berlangsung dalam skala yang besar dan secara politik berpengaruh. Bergabungnya para ulama ke dalam partai menjadikan mereka berada di posisi sentral. Pengurus partai memanfatkan posisi mereka yang dekat dengan masyarakat dalam melakukan agitasi. Tidak hanya dijadikan alat agitasi, para ulama inilah yang kemudian memainkan peran penting dalam pemberontakan yang terjadi pada bulan November 1926. Dimulai dengan melakukan beberapa persiapan
menjelang
pemberontakan
sampai
menjadi
pemimpin
dalam
pemberontakan. Karena pemberontakan dipimpin oleh para ulama maka cara-cara tradisional menjadi haluan dalam pemberontakan. Massa yang tergabung dalam pemberontakan kemudian ditangkap dan diadili oleh pemerintah kolonial. Tidak semuanya diadili di Banten. Dari para pemberontak yang ditangkap, 99 orang diasingkan ke Boven Digul termasuk Tb. H. Achmad Chatib. Di Boven Digul mereka menjadi seorang interniran. Para interniran ini sebenernya tidak mengalami penyiksaan fisik. Namun Digul seakan menjadi neraka alam, sehingga penjara di Boven Digul ibarat penjara alam tanpa bilik. pada tahun 1943, Boven Digul ditutup karena pemerintah Hindia Belanda menjadi ketakutan akan kemungkinan Jepang membebaskan para interniran.
75
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan tentang ulama dan pergerakan PKI di Banten abad ke-20, maka terdapat beberapa saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi khazanah peradaban Islam, meliputi: 1. Disarankan bagi peneliti berikutnya yang akan membahas kajian yang sama untuk melakukan riset yang komprehensif baik dari kelengkapan data, metodelogi dan analisis, terutama yang berkaitan dengan pengasingan ulama ke Boven Digul. Selain itu, kajian ini penting secara sosial, bahwa keterlibatan seseorang dalam partai politik tidak semata-mata karena ideologi. Ada banyak variabel lain yang ikut menentukan. 2. Dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan penelitian yang lebih baik, maka perpustakaan dirasa perlu untuk melengkapi koleksinya, khususnya perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan BPAD Banten.
BAB IV KETERLIBATAN ULAMA DALAM PEMBERONTAKAN PKI
A. Masuknya Ulama dalam PKI Saat permulaan aktivitas PKI di Banten didapatkan bahwa tekanan pemerintah kolonial semakin mencengkram Hindia Belanda. Namun hal ini tidak menyurutkan dukungan masyarakat untuk PKI di Banten. Sebaliknya, pengurus partai justru kesulitan dalam mengendalikan massa pendukungnya yang antusias ingin menjadi anggota. Melihat kondisi ini, pihak pemerintah kolonial mencoba mencegah meluasnya wabah antusiasme masyarakat yang nyaris tak terkontrol dengan melarang rapat-rapat umum PKI. Meskipun rapat-rapat umum secara resmi dilarang, partai komunis di Banten malah semakin eksis dan berkembang pesat. Rapat-rapat sering digelar di dalam hutan atau dengan pura-pura mengadakan selamatan dan hajatan. 1 Di lain tempat pertandingan sepak bola pun digunakan untuk kepentingan propaganda.2
Dan di Labuan ketua PKI, Afif,
membuat sebuah perkumpulan bernama Budi Kemulian, yang seolah memberi dukungan terhadap musik gambus sebagai dunia kesenian daerah itu, padahal kenyataannya hanya dijadikan alat demi kepentingan revolusioner yang sedang diperjuangkan di seluruh pedesaan Banten. Bahkan anggota PKI yang mendekam di penjara Serang juga mengadakan semacam rapat yang dihadiri oleh para tahanan lainnya. 3 Kendati para agen propaganda PKI tampak lihai dalam mengadakan pertemuan, namun seringkali pertemuan yang mereka adakan diketahui oleh pihak polisi sehingga berakhir dengan aksi penangkapan. Pada bulan Februari, Tb. Hilman dijatuhi hukuman satu bulan penjara atas tuduhan mengadakan rapat-rapat politik. Di Ciomas, empat belas orang petani ditangkap karena mengikuti pertemuan-pertemuan rahasia PKI, dan masing-masing dihukum sepuluh hari penjara. Mereka yang dipenjara adalah H. Mu’min, Abdulmoeti, Nawawi, Kama,
1
Koloniaal Verslag, 26 Januari 1927 No. 1, h. 22-23. De Banten Bode, 12 Juni 1926. 3 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ................., h. 39. 2
51
52
Rasidi Al Saidi, H. Oemar, Asmail, Srendawiri, Ahmed, Mad Salah, Asnawi, Alikoesim, Ibrahim dan Alioesoep.4 Sampai akhir Februari, dua puluh tujuh anggota PKI ditahan di Serang, termasuk Puradisastra yang mendapat vonis dua bulan kurungan, karena alasan yang sama.5 Di Kabupaten Serang, polisi seringkali sangat keras dalam menangani mereka yang ditangkap, bahkan pemukulan-pemukulan seringkali dilakukan. Meski mendapat perlakukan keras, dukungan terhadap PKI malah semakin meningkat hal inilah yang mengejutkan pihak pimpinan PKI sendiri. Seorang koresponden Banten menulis di surat kabar Njala:6 “Masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa Banten sebagai distrik daerah terakhir dimana komunis berkembang, kenyataannya tidaklah jauh tertinggal. Bila kita melihat perkembangan gerakan di tanah air kita, tidak seorang pun yang akan menyangka bahwa perjuangan politik di Banten dapat berkembang sedemikian pesatnya.”
Sebagian besar pengikut PKI berasal dari kalangan petani. Mereka bergabung dengan PKI karena tertarik terhadap janji-janji PKI, bahwa yang menjadi anggota partai akan dibebaskan dari beban hoofdgeld (pajak kepala/perorangan).7 Pemungutan pajak tersebut sangat memberatkan dan membebani petani, karena meski panen sedang memburuk petani harus tetap membayar pajak. Beban pajak yang menjadi kegelisahan petani ini dimanfaatkan oleh PKI sebagai bahan propaganda untuk merekrut sebanyak mungkin dukungan dari lapisan bawah. Selain itu bagi mereka PKI adalah sebuah pergerakan. Menurut mereka partai komunis lebih nyata perjuangannya dari pada pendahulunya, Sarekat Islam. Sehingga tidak heran jika PKI mendapat dukungan luas dari masyarakat Banten dari pada SI pada masa-masa awal. Para pemimpin partai juga terkesan lebih mampu dan seolah tidak dapat digoyahkan oleh pemerintah kolonial. Tidak seperti di tempat lain, di Banten, tiap anggota PKI memiliki kartu keanggotaan merah yang bersifat rahasia. Para pemimpin PKI
4
De Banten Bode, 20 Februari 1926. De Banten Bode, 27 Februari 1926. 6 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ..............., h. 40. 7 De Banten Bode, 20 Maret 1926. 5
53
disebut promotor yang dibantu oleh para kurir dan mantri (pengurus muda) dan pemimpin senior menempati kedudukan sebagai komisaris. 8 Struktur PKI semacam itu nyaris menyerupai struktur pemerintahan pusat. Kerumitannya menjadi daya tarik pergerakan komunis di mata pengikutnya, khususnya bagi para ulama. Alasannya karena posisi mereka telah terpinggirkan oleh pemerintah kolonial akibat perbedaan etos, ditambah para ulama tidak mempunyai pengalaman pendidikan umum di sekolah-sekolah Belanda. Dengan tersusunnya struktur politik komunis, kemungkinan memberikan mereka kesempatan untuk masuk dalam dunia politik dan bisa berpartisipasi dalam pemerintahan yang tentunya akan menyingkirkan para “kafir” Belanda berserta sekutu-sekutunya, yaitu priyayi. PKI juga dianggap sebagai alternatif yang akan menampung segala kekecewaan dan kegelisahan para petani. Sehingga kesan yang muncul adalah paralel dengan tradisi Jawa tentang Ratu Adil ataupun konsep Islam mengenai Jihad atau perang Suci.9 Sebagai penghubung antara kaum komunis dan kaum petani dalam melancarkan aksi pergerakan maka dipegang oleh ulama dan jawara. Meski tidak seluruhnya, sebagian dari mereka adalah figur-figur penting di masyarakat. Sehingga dengan keterlibatan aktif mereka dalam partai, para petani banyak yang ikut bergabung dalam pergerakan revolusioner PKI.10 Dahulu di bawah Hasan Djajadiningrat, Sarekat Islam telah berupaya keras untuk tidak memasukan para jawara ke dalam organisasinya, sebaliknya PKI justru berani merekrut mereka dan menjadikannya bagian penting dalam pemberontakan. 11 Bagi PKI, kekecewaan para ulama kepada pemerintah kolonial dapat dijadikan sebagai alat perjuangan partai. Para agen propaganda membujuk mereka bahwa Islam tidak akan pernah dapat bebas di bawah pemerintah Hindia Belanda. Namun tidak demikian jika Islam berada dalam naungan komunisme, sang pembela rakyat, agama akan dibebaskan bukan untuk dibatasi sebagaimana yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Untuk kepentingan ini, dua orang tokoh
8
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ..............., h. 42-43. 9 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 179. 10 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 180. 11 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ..............., h. 26.
54
dengan latar belakang Islam yang kuat, yakni Achmad Bassaif dan Hasanuddin dari Sumatera, menerangkan bahwa perjuangan revolusioner partai sejalan dengan ajaran Islam dengan merujuk pada dalil atau firman Tuhan yang mendukung pernyataan tersebut. Sehingga dengan demikian memudahkan aksi propaganda dalam menarik dukungan para ulama.12 Seperti yang telah dijelaskan bahwa PKI seringkali menyerukan tentang kepadanan atau persamaan dengan konsep jihad kepada para petani dan ulama, untuk mengesankan cita-cita akan datangnya perjuangan revolusioner dengan keyakinan bahwa perjuangan mereka akan membuahkan kemenangan serta mendapatkan berkah dari Tuhan. Ulama kemudian begitu terkesan dengan citacita dan organisasi PKI yang tampaknya memberikan kepastian bahwa keruntuhan kolonial sudah di depan mata, meski keikutsertaan mereka dalam komunisme penuh dengan keraguan.13 Hubungan antara PKI dan tokoh agama sangat strategis. Bagi kalangan pemimpin komunis Banten, keikutsertaan ulama menandakan PKI akan mendapat lebih banyak lagi para pengikut. Sedangkan bagi ulama dengan menjadi anggota PKI maka seolah memberi pengakuan setelah sebelumnya pemerintah kolonial meminggirkan posisi mereka. Salah seorang ulama yang menjadi PKI adalah H.Tb. Achmad Chatib, mantan Ketua SI Labuan dan sekaligus menantu Kyai H. Asnawi dari Caringin. Chatib menggerakkan para pengikutnya dari daerah Labuan-Caringin termasuk semua anggota awal SI serta para keluarganya untuk bergabung dengan PKI, bahkan putra Kyai Asnawi dan sekaligus kawan akrabnya, yaitu Tb. Emed ikut bergabung. Williams, menyebutkan percakapan ketika Puradisastra menemui Chatib untuk bergabung dengan PKI:14 Puradisastra
: Apa dasar Sarekat Islam?
Chatib
: Islam
Puradisastra
: Saya juga Islam namun sekaligus menjabat pimpinan PKI di Banten.
Chatib
: Organisasi semacam apa PKI itu?
Puradisastra
: Bagian dari organisasi Internasional
12 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ................, h. 13 Koloniaal Verslag, 26 Januari 1927 No. 1, h. 22. 14 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 184.
55
Chatib
: Apa maksud anda dengan Internasional?
Puradisastra
: Internasional adalah organisasi yang tidak memandang perbedaan ras maupun agama. Siapa pun dapat menjadi anggotanya, tidak peduli apakah dia Indonesia, Cina atau Eropa.
Chatib
: Namun apa tujuan organisasi itu?
Puradisastra
: Mewujudkan hubungan sinergis antara masalah-masalah duniawi dan agama. Masing-masing anggota mesti menganggap yang lain sebagai kawan dan saudara.
Chatib
: Bila melindungi agama adalah salah satu tujuan PKI maka saya pun sepakat. Tapi bila berhubungan dengan hal-hal duniawi saya kurang memahami.
Hal penting dari percakapan di atas, bahwa masuknya A. Chatib dan ulama lainnya dalam PKI bukan lantaran kesesuian dengan ideologinya, tetapi karena pilihan strategi yang revolusioner untuk melawan pemerintah kolonial Belanda yang telah menyebabkan terjadinya ketidaksejahteraan rakyat Banten dengan membebankan pajak yang tinggi. Dengan masuknya Chatib dan Tb. Emed dalam PKI kemudian membuat banyak ulama lain mengikuti langkah mereka dan tentu saja dengan para pengikutnya masing-masing. Dari semua ulama yang masuk PKI hanya Chatib yang mempunyai pengalaman politik karena telah bertahun-tahun di SI, apalagi Chatib seorang orator ulung dan kharismatik. Kendati masih berusia 30 tahun, pada 1926, Chatib memiliki madrasah sendiri dan mempunyai pengaruh luas di masyarakat sebab ia adalah menantu Kyai Asnawi. Kyai Moekri dari Labuan bersama dengan Kyai Madoen dan Kyai Tb. Ichyar mengikuti langkah-langkah ulama lain dan membawa pula santri-santrinya untuk bergabung dengan PKI. Di Petir, Kabupten Serang, Kyai Emed dan Kyai Yahya direkrut untuk bergabung dengan partai. Hal serupa dilakukan oleh Kyai Abdul Hadi dari Desa Bangko, deket Menes, ia membawa hampir semua orang sedesanya.
56
B. Persiapan Pemberontakan Keputusan konferensi rahasia di Prambanan pada 25 Desember 1925 memutuskan untuk membentuk DO (Dubble atau Dictatorial Organisatie) sebuah organisasi rahasia dan ilegal untuk mempercepat proses pemberontakan yang akan dilakukan tanggal 18 Juni 1926.15 Kabar mengenai keputusan ini disosialisasikan ke seluruh PKI seksi Banten oleh Sukrawinata, yang saat itu menjabat sebagai pimpinan PKI di Batavia. Sukrawinata menemui seluruh pimpinan PKI seperti Bassaif, Puradisastra, H. Achmad Chatib, Kyai Moekri, dan Entol Enoh. Seksi-seksi diintruksikan untuk segera mendirikan DO dan menggalang dana untuk pembelian senjata. Sambil menunggu perintah dari pemimpin pusat PKI, seksi-seksi lokal sejak tahun 1925 diberi otonomi luas dengan slogan “Sentralisme Federatif”, bukan berarti bebas menentukkan langkahnya sendiri, tetapi diarahkan kepada disiplin organisasi revolusioner. 16 Lain halnya dengan Tan Malaka yang pada saat itu dalam pengasingan, menganggap bahwa keputusan Prambanan adalah hasil karya para revolusioner amatiran.17 Ketika seksi-seksi di Banten telah siap mendirikan DO untuk merancang pemberontakan, pemerintah kolonial semakin ketat mengawasi aktivitas partai dengan melancarkan coup de grace berupa dua aturan baru dalam KUHP Belanda, yaitu pasal 153 bis dan ter, yang secara efektif melarang apa pun yang berbau revolusioner dan segala macam organisasinya. Akibatnya semua surat kabar dan jurnal partai dibredel pada tanggal 30 April. Karena mendapat perlakukan keras dari pemerintah kolonial, maka pada rapat pimpinan yang diadakan pada bulan Mei diputuskan untuk memindahkan markas besar PKI ke Bandung.18 Pada mulanya organisasi DO di wilayah Banten telah dipercayakan kepada satu komite yang terdiri dari Puradisastra, Tb. Hilman, Bassaif, H. Chatib, Kyai
15
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ................, h. 37. 16 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, ................, h. 61-62. 17 Harry J. Benda, “The Communist Rebellions of 1926-1927 in Indonesia”, Pacific Historical Review, (University of California Press), h. 139. 18 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 194.
57
Moekri, Entol Enoh, Tb. Alipan dan Soleiman. Dua orang dari mereka Entol Enoh dan Soleiman, memiliki hubungan erat dengan para jawara dan sangat berpengaruh kuat dalam pembentukan DO. Dalam bulan Silih Sawal (Mei 1926) berdasarkan hasil rapat di Dalung, para ulama memberikan keputusan untuk mengangkat kepengurusan eksekutif baru PKI Banten dan DO. Keputusan ini terjadi karena Puradisastra dan Achmad Bassaif yang pergi dan menjadi penghubung antara PKI Banten dan Batavia. Ishak sebagai presiden PKI seksi Banten, dengan sekretaris H. Mohammed Noer, dan Arman selaku Bendahara. Sedangkan kepengurusan DO yang baru dikenal juga sebagai golongan jawara, sebagai presiden ditunjuk Hasanudin dan Soleiman adalah wakilnya. Dua komisaris DO juga dipilih yaitu Tb. Hilman dan Alirachman. H. Chatib kemudian ditahtakan sebagai pemimpin golongan ulama dengan gelar Presiden Agama PKI seksi Banten. ` Dalam praktiknya, karena terdapat dua dewan eksekutif baru, yang mana kedudukan DO lebih penting, maka kini aktivitas PKI tak lagi memungkinkan. Meski demikian dewan eksekutif DO menghadapi kesulitan karena para tokoh PKI masih berada dalam penjara. Sehingga pergerakan revolusioner jatuh ke tangan panitia ad-hoc yang dipimpin oleh H. Achmad Chatib dimana hampir seluruh anggotanya adalah ulama dan jawara. 19 Sebelum pertemuan Mei yang berlangsung itu PKI Banten telah mulai menggalang dana untuk pembelian senjata. Peggalangan dana tersebut hanya efektif di Kabupaten Serang dan Pandeglang. Prestise Tb. Emed sebagai putra Kyai Asnawi Caringin sangat berpengaruh terhadap kegiatan penggalangan dana di Pandeglang. Dalam kepentingan ini Chatib menyebutkan bahwa Jepang siap mendukung aksi revolusioner tersebut.20 Selain itu, dalam surat kabar De Banten Bode juga disebutkan bahwa uang tersebut akan digunakan untuk mendanai biaya pengiriman pasukan dari Soviet yang akan berlabuh di pantai Banten dengan armada raksasa.21 Agen propaganda PKI menyebar ancaman kepada masyarakat Banten dengan mengatakan bahwa bagi siapa yang tidak menyokong
19
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 196-197. Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 197. 21 De Banten Bode, 5 Juni 1926. 20
58
penggalangan dana revolusioner maka akan dirampok dan dibunuh setelah pemberontakan selesai. Rumor mengenai akan datangnya bantuan dari luar negeri dan intimidasi dari agen propaganda PKI membawa hasil nyata, yaitu kucuran dana yang datang dari rakyat semakin deras. Para petani dengan sukarela menyerahkan uangnya, terkadang ada juga yang menggadaikan pohon kelapa, tanah, dan kerbau miliknya. Bahkan dana uang yang mereka simpan untuk berangkat Haji juga mereka sisihkan untuk kepentingan pemberontakan. 22 Tidak hanya dilakukan penggalangan dana untuk pembelian senjata, para anggota DO juga diperintah untuk menjadi tentara partai seperti para dewan eksekutif PKI. Pada bulan Mei, setelah pembentukan DO di Dalung, H. Chatib dan Hasanudin pergi menuju Bandung. Keduanya bermaksud membicarakan perihal pembelian senjata dan berkoordinasi dengan berbagai seksi PKI untuk merancang pemberontakan. Tapi mereka justru melihat pemimpin PKI di Bandung tidak melakukan apa-apa untuk merealisasikan keputusan Prambanan dan bahkan tidak mampu menggalang pengiriman senjata. Karena kecewa dengan kondisi tersebut, maka mereka kembali ke Banten untuk memutuskan langkah selanjutnya. Hasanudin mencoba mencari dukungan persenjataan dari Malaya melalui PKI di Sumatera Barat. Namun sayangnya rencana ini diketahui oleh pemerintah kolonial. Pada tanggal 19 Mei 1926, Residen Banten F.C Putman-Cramer menginformasikan kepada Bupati Pandeglang R.A.A Kartadiningrat bahwa intelijen dari Medan berhasil mengindikasikan akan adanya pengiriman senjata dari Sumatera ke Jawa melalui Labuan dan keluarga Kyai Asnawi terlibat di dalamnya. Kartadiningrat tidak mempercayai terhadap informasi yang diberikan dan bahwa Kyai Asnawi Caringan dan menantunya H. Achmad Chatib tidak ikut terlibat di dalam aktivitas PKI. 23 Mendengar hal ini H. Chatib justru terpacu untuk mempergiat aksi penggalangan dukungan untuk pemberontakan mendatang. Untuk menghindari mata-mata polisi rapat dilakukan di masjid dan dilakukan juga pada malam hari
22 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 69. 23 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 70-71.
59
di dalam hutan dengan menempatkan jawara sebagai pengawasnya. Pada akhir Mei, di Caringin digelar rapat pimpinan DO. Mereka yang hadir dalam rapat tersebut adalah H. Chatib, Tb. Emed, Hasanudin dan Afif, seorang ketua PKI Labuan. Dalam rapat itu diputuskan bahwa PKI seksi Banten harus bekerja sama lebih intens dengan PKI seksi Batavia dan pemberontakan harus dilaksanakan secepat mungkin. Dari mereka mengusulkan agar pemberontakan dilaksanakan pada tanggal 31 Agustus bertepatan dengan hari ulang tahun Wilhemina. Untuk itu, Afif dan Hasanudin diutus ke Batavia membawa 250 gulden dari Djojopranoto untuk membeli senjata sesuai arahan Bassaif. Kerjasama ini membuahkan hasil, sehingga pada awal Juni Afif dan Hasanudin kembali ke Banten dengan membawa lebih dari 1.865 gulden sebagai dana untuk penggandaan senjata.24 Demi memantapkan rencana pemberontakan tersebut, pemimpin PKI, Sardjono, menggelar rapat di Bandung pada akhir Juni untuk membicarakan proses realisasi keputusan Prambanan itu. Namun sebelum itu ia bergegas ke Banten menemui pemimpin partai. Di Caringin, ia bertemu dengan H. Chatib, Tb. Emed, Soleiman, Hasanuddin, Tb. Hilman dan Ishak. Ketua PKI itu membawa dua misi penting, pertama, ia menekankan agar tidak terjadinya aksi sepihak dengan meyakinkan bahwa kini pimpinan PKI pusat telah sepakat merealisasikan keputusan Prambanan. Kedua, ia ingin mengumpulkan lebih banyak lagi dana untuk PKI pusat. Upaya Sardjono tersebut tidak mengecewakan, karena sekembalinya dari Banten dan membawa lebih dari 1000 gulden.25 Saat PKI seksi Banten telah siap melancarkan pemberontakan di bawah arahan pimpinan pusat, partai justru menghadapai posisi lemah oleh hilangnya satu persatu para tokoh penting mereka baik karena ditahan atau dibuang. Puradisastra melarikan diri ke Garut untuk menghindari penangkapan, sedang Bassaif meninggalkan Banten dan aktif mempersiapkan aksi di Batavia. Pada awal bulan Juli, Hasanuddin yang telah menggantikan posisi kedua tokoh PKI tersebut, ternyata telah berada di dalam buih karena ditangkap oleh polisi
24 25
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 200. Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 201.
60
Batavia.26 Hilangnya tiga pemimpin PKI tersebut merupakan awal melemahnya partai dan penangkapan lebih menggila selama bulan Agustus. Melemahnya aktivitas PKI tidak hanya ditandai dengan ditangkapnya para tokoh-tokoh PKI, tapi ditemukannya juga tempat penimbunan senjata. Di desa Dalung, di rumah H. Mohamed Arif, ditemukan 6 pucuk pistol revolver di balik tembok rumahnya. Di Desa Ciruas, 800 buah golok berhasil ditemukan yang disiapkan untuk pemberontakan. Hal serupa juga terjadi di daerah Pabuaran, Pancur dan Gunungsari, pemerintah kolonial menyita beberapa pucuk pistol jenis Mauser, senapan Beaumot dan tumpukan kain putih. Selain itu ditemukan juga kurang lebih 10.000 gulden yang merupakan dana pembelian senjata untuk pemberontakan. 27 Dengan penahan dan penyitaan senjata yang terjadi sampai pertengahan bulan september 1926 membuat pihak kolonial merasa yakin bahwa mereka berhasil mencegah meletusnya pemberontakan besar di Banten.28 Akibat semakin melemahnya kondisi partai di Banten, maka pada awal September, Bassaif dan Sukrawinata, wakil ketua PKI Batavia mengadakan pertemuan dengan H. Chatib, Kyai Moekri, H. Tb. Emed, dan Afif di Caringin. pertemuan mereka membicarakan untuk menyetujui pembentukan komite koordinasi pemberontakan atas inisitif PKI seksi Batavia. Beberapa hari setelah pertemuan itu, Afif ikut ke Batavia bersama Bassaif dan Sukrawinata dengan mengabarkan bahwa situasi partai semakin memburuk akibat penangkapan yang gencar. Dalam pertemuannya bersama para tokoh PKI Batavia di Hotel Borneo, Weltevreden, Afif berjanji bahwa PKI seksi Banten akan memberi dukungan pembentukan komite tersebut asalkan pemberontakan tidak ditunda-tunda lagi. Namun apabila pemberontakan harus menunggu lama, akibatnya para petani akan keluar dan tidak memberi dukungan lagi. 29 Segera setelah Afif kembali ke Banten, para pimpinan PKI Batavia membentuk komite koordinasi pemberontakan. Komite tersebut dibentuk pada tanggal 13 September 1926 yang disebut juga sebagai Komite Pemberontak atau
26
De Banten Bode, 10 Juli 1926. De Banten Bode, 25 September 1926. 28 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 77-78. 29 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 80. 27
61
Komite Penggalang Republik Indonesia dan kemudian mengirimkan utusan ke seluruh seksi untuk meminta dukungan dan diakui sebagai komite pelaksana pemberontakan. Meski hanya lima seksi saja yang mendukungnya, yaitu, Padang, Tegal, Priangan, Batavia dan Banten, komite tersebut tetap menetapkan aksi pemberontakan pada tanggal 12 November 1926.30
C. Pecahnya Pemberontakan PKI Hari-hari terakhir sebelum dilakukannya pemberontakan diwarnai dengan ditangkapnya H. Achmad Chatib sebagai tokoh paling penting dalam PKI seksi Banten. Pada tanggal 23 Oktober 1926 satu pasukan Veldpolitie dikirim ke Caringin untuk menangkap Chatib.31 Sementara itu polisi juga telah mendapat informasi dan petunjuk-petunjuk baru tentang keberadaan dan aktivitas PKI bawah tanah Kabupaten Pandeglang. Untuk kepentingan ini seorang opsir Veldpolitie Serang, Mangoendiwiria dan lima orang rekannya dikirim ke Labuan pada bulan November untuk membantu polisi lokal. Setelah ditahannya H. Chatib maka Tb. Emed lah yang gigih mempersiapkan kekuatan menjelang pemberontakan. Pada tanggal 9 November, putra Kyai Asnawi Caringin ini dipanggil polisi ke Serang untuk dilakukan interogasi mengenai keterlibatannya dalam aktivitas PKI. Melihat kondisi yang mengkhawatirkan membuat H. Hasan mengutus tokoh pemberontak lain, H. Saleh untuk membantu persiapan yang selama ini dirintis oleh Tb. Emed. Dedikasi H. Saleh tidak diragukan, kakeknya adalah pejuang revolusioner yang terbunuh dalam peristiwa pemberontakan H. Wachia pada tahun 1850, sedangkan ayahnya tewas dalam peristiwa Geger Cilegon 1888. H. Saleh selanjutnya memetakan rencana revolusioner kepada para pemberontak yaitu mengambil alih berturut-turut Labuan, Pandeglang dan Serang. Untuk mengatasi kelumpuhan PKI Rangkasbitung, Saleh mengirimkan massa ke sana dengan menggunakan kereta api. Semua priyayi dan orang Eropa ditangkap dan mereka yang melawan dibunuh. Seketika itu Banten bebas dari otoritas kolonial, para pemberontak itu 30
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 211. Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 87. 31
62
berkumpul di Caringin sebab Kyai Asnawi berada di sana serta sambil menunggu arahan dari Komite Pemberontak Batavia. Sementara itu Tb. Emed bersikeras untuk tidak mengikuti pemberontakan.32 Pada pagi hari tanggal 12 November, di Pasar Labuan terlihat ramai dengan orang-orang yang bertumpah ruah karena pada saat itu barang dagangan sangat berlimpah. Penjualan garam dan kain putih meningkat beberapa hari terakhir menjelang pemberontakan, dikabarkan pula banyak orang yang berpuasa di daerah itu. Malam itu, ratusan petani yang dipimpin oleh Kyai Moekri dan dan Kyai Ilyas berkumpul di desa Bama. Persenjataan yang telah dikumpulkan langsung dibagikan untuk menggempur Labuan. Pertemuan itu diakhiri dengan sembahyang perang sebelum mereka bergerak menuju Labuan. Hal serupa terjadi juga di Desa Pasar Lama, dekat Caringin, lebih dari 700 orang menghadiri sebuah pertemuan besar. Di bawah pimpinan Kyai Moestapha mereka digerakan untuk menyerbu kediaman Wedana Cening. Sedangkan di Menes para pemberontak dipimpin oleh H. Hasan dan Entol Enoh yang mendapat dukungan penuh dari hampir semua desa wilayah itu. Di Serang dan Pandeglang, meski kesiapan pemberontakan belum matang, massa pemberontakan telah terkumpul dan menunggu intruksi dari pimpinan mereka. Karena kekuatan partai di Serang dan Pandeglang telah mengalami penyusutan akibat semua tokoh PKI yang dipenjara, maka pusat aktivitas pemberontakan dipindah ke Menes dan Labuan.33 Pemberontakan dimulai di Labuan pada lewat tengah malam oleh ratusan orang
bersenjata
dengan
sasaran
pertama
asisten
wedana,
Mas
Wiriadikoesoemah. Akibat serangan itu, Mas Wiriadikoesoemah dan keluarganya berhasil ditawan oleh pemberontak. Seorang polisi pengawalnya terbunuh dan dua orang lainnya terluka parah dalam pemberontakan itu. Kemudian massa terpecah menjadi dua kelompok. Pertama, mengawasi pemindahan Mas Wiriadikoesoemah ke Caringin, sedang yang kedua mencari polisi di jalan-jalan Labuan. Selanjutnya kelompok kedua ini menuju rumah H. Ramal dimana tiga
32 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 90. 33 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 91.
63
orang opsir Veldpolitie Serang ditempatkan menjaga. Ketiga terlibat baku tempak dengan para pemberontak, sehingga dua orang tewas dan satu terluka parah. Para pemberontak juga menyerah rumah Mas Mohammed Dahlan, seorang pegawai pemerintahan yang membocorkan kepada polisi tentang keberadaan organisasi bawah tanah PKI, akibatnya dia terluka parah.34 Di Menes, pada malam yang sama pemberontakan memakan korban yang lebih banyak. Target utama para pemberontak adalah seorang wedana, Raden Partadinata, seorang pengawas kereta api, Benjamins dan polisi. Penyerangan di rumah wedana dimulai pada jam satu malam dengan mengerahkan sekitar 300 sampai 400 pemberontak. Dalam penyerangan wedana itu, seorang polisi pengawalnya berhasil menembak seorang pemberontak hingga tewas. Sementara kelompok lainnya meringkus kediaman Benjamins dan berhasil menguasai stasiun kereta api. Benjamins adalah satu-satunya orang Belanda yang berada di kota itu. Ketika berada di tangan pemberontak, Benjamins berusaha lepas dan mengatakan bahwa ia akan masuk Islam, namun pemberontak memutuskan untuk menghabisi nyawanya. Dua orang polisi juga tewas dan asisten wedana terluka parah oleh pemberontak. Selain itu kediaman pensiunan Patih juga tidak luput dari sasaran para pemberontak pada malam itu.35 Pada saat serangan pertama tersebut dilakukan, para pemberontak hampir selalu menghadapi rintangan dari pihak otoritas kolonial yang seolah selalu mnegetahui rencana aksi revolusioner yang akan dilakukan. Para pemberontak gagal memutus semua kabel telepon di Labuan dan Menes. Akibatnya Bupati Pandeglang mengetahui rencana itu pada jam satu dini hari. Setelah mendengar informasi tersebut, para pemberontak baru memutus kabel-kabel telpon tersebut. Keterlambatan ini membuat pihak Batavia menyiagakan kekuatan militernya dan menjelang pukul 4 dini hari 100 personil di bawah pimpinan Kapten Becking berangkat menuju Banten. Pagi harinya pada tanggal 13 November, Bupati Kartadiningrat bersama dengan komandan Veldpolitie, Martens dan sembilan orang polisi bergerak menuju Menes dan Labuan. Di tengah perjalanan, rombongan ini terlibat
34 35
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h.221-222. Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 222.
64
bentrokan dengan para pemberontak, tetapi berhasil memukul mundur mereka. Setibanya di Menes, bupati mendapati kediaman wedana dilalap api, dan wedana beserta tiga orang polisi tewas di tempat itu. Malam harinya, personil yang berada di bawah komando Kapten Becking tiba di Labuan.36 Operasi pertama dilakukan di Caringin untuk mencari keberadaan Asisten Wedana Labuan yang telah ditawan oleh pemberontak dan juga menangkap Tb. Emed. Pasukan ini di bawah pimpinan Letnan Van Der Vinne berhasil menemukan Asisten Wedana yang hanya dijaga oleh satu orang saja tidak melakukan perlawanan. Sesampainya di rumah Tb. Emed, mereka disambut dengan tembakan dari arah warung yang ada di sana. Kejadian ini membuat tujuh orang pemberontak tewas tertembak. Pasukan patroli ini terpaksa harus kembali ke Labuan tanpa menangkap Tb. Emed, karena Tb. Emed berhasil meloloskan diri sebelum insiden di Caringin terjadi. 37 Pada pagi hari tanggal 14 November, aktivitas pemberontak terpusat di sebuah Masjid Desa Bama, pinggiran kota Labuan dan siang harinya orang dari desa-desa sekitar telah berkumpul di sana untuk mempersiapkan diri menyerbu posko militer Belanda yang ditempatkan di Kota Labuan. Kyai Moekri dan beberapa ulama lainnya menyatakan bahwa pemberontakan pada hari ini dilancarkan untuk menuntut balas atas tewasnya rekan-rekan mereka dalam pemeberontakan sebelumnya. Kemudian sore harinya, mereka berhasil mencegat brigade Belanda yang akan mencoba masuk ke Labuan dari arah Pandeglang. Terjadilah bentrokan sengit di sana dan para pemberontak berhasil dilumpuhkan, sehingga brigade Belanda berhasil masuk ke Labuan.38 Pada tanggal 15 November, para pemberontak tiba-tiba disergap oleh pasukan patroli yang dipimpin Kapten Becking, saat para pemberontak akan melakukan koordinasi dengan kelompok yang lain. Mereka semuanya berpakaina putih kecuali mereka yang membawa bendera, berpakaian hitam, yaitu Djapar dari Desa Bama. Kelompok pemberontak hanya mempunyai sedikit senjata api dan tidak sepadan bila dibandingkan dengan tentara Becking. Dengan demikian
36 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 94. 37 De Banten Bode, 14 November 1926. 38 De Banten Bode, 14 November 1926.
65
pasukan Becking dengan mudah menyerang para pemberontak dan terjadi tembak-menembak selama 25 menit. 39 Kendati pemberontakan komunis pada bulan November 1926 sebagian besar menyerang Pandeglang, namun para pemberontak tidak begitu saja melupakan Serang. Pada bulan itu terjadi insiden-insiden yang menyebar di Kota itu, meski para tokoh PKI berada di penjara. Insiden paling serius terjadi di Kabupaten Serang tepatnya di Petir pada malam 13 November. Berbeda dengan wilayah Serang lainnya, di daerah ini tokoh-tokoh PKI begitu kuat dan hampir tidak dipengaruhi oleh kegiatan penangkapan. Tokoh PKI lokal di wilayah ini hampir semuanya adalah ulama, mereka yang terkenal seperti Kyai Emed, H. Soeb, H. Artasik dan H. Sasatra. Pemberontakan di Petir dengan terget Asisten Wedana Petir ini mengalami kegagalan, karena militer Belanda telah disiagakan. Kegagalan pemberontakan ini sekaligus menandai berakhirnya pemberontakan di wilayah Kabupaten Serang.40 Setelah terjadinya pemberontakan pada 15 November di Labuan, maka praktis tidak ada lagi penyerangan serius antara pemberontak dengan pasukan Belanda. Pada hari-hari berikutnya kelompok-kelompok pemberontak sebagian besar masih berkeliaran menghindari penangkapan. Pada tanggal 18 November, empat brigade militer meninggalkan Labuan untuk berpatroli di daerah selatan membersihkan kelompok-kelompok pemberontak yang masih tersisa. Para pemberontak sebagian berhasil di tangkap di sebuah masjid dan sebagian lagi berhasil meloloskan diri. Operasi pembersihan berlanjut di wilayah itu selama dua pekan. Sampai akhir bulan November, masih ada dua kelompok pemberontak yang bertahan, yaitu sebelah barat dan timur jalan Pandeglang-Menes. Pada malam 4 Desember, kelompok pertama berhasil membakar hancur rumah Kepala Desa Cidolas, dekat Caringin dan melukai seorang polisi di Cening. Beberapa waktu sebelumnya, rumah Asisten Wedana dan lurah Desa Pagelaran dibakar
39 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 97-98. 40 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 98-99.
66
musnah ketika tuan rumah sedang pergi keluar desa. Setelah terjadi insiden ini, tidak terjadi lagi pemberontakan di wilayah Banten. 41 Hilangnya satu tokoh penting sebelum pemberontakan, H. Chatib, menjadikan alasan lokasi terjadinya pemberontakan begitu terbatas. Penangkapan H. Chatib dan sikap pengecut Tb. Emed, ternyata menjadikan PKI di Banten melemah. Seandainya H. Chatib tidak ikut ditangkap, maka ia akan menyiapkan massa dari Serang untuk ikut bergabung dengan pasukan yang berada di Pandeglang.42 Pemberontakan di Banten tersebut adalah suatu rancangan yang telah disusun oleh PKI untuk melakukan resistensi terhadap pemerintah kolonial di seluruh wilayah Indonesia. Sebelumnya PKI berhasil membangun organisasi bawah tanah begitu luas di Banten, melingkupi Kabupaten Serang, Pandeglang, Rangkasbitung dan Kabupaten Lebak. Dibanding pemberontakan yang terjadi pada abad 19, persebaran organisasi pada pemberontakan 1926 jauh lebih besar. Sebaliknya, pada abad ke 19, organisasi revolusioner hanya terbatas di sebagian daerah. Pecahnya pemberontakan tidak hanya didorong oleh hadirnya PKI, tapi bertepatan dengan rencana pemberontakan yang telah lama dipendam akibat pemberontakan yang terjadi sebelumnya.
“Pergerakan itu dibentuk demi mewujudkan satu cita-cita, yaitu penggulingan kekuasaan kolonial yang kafir, sehingga mengkarakterkan sebuah tradisi millenarian yang dengan jelas mengejewantah dalam ajaran Islam tentang jihad atau perang sabil sebagai langkah awalnya. Pada taraf berikutnya, jihad atau perang sabil menjadi semakin menyebar di kalangan pergerakan revolusioner untuk dijadikan alasan aksi pemberontakan. Kemenangan yang akan dicapai selalu dikaitkan dengan berdirinya sebuah negara Islam yang terkadang dibayangkan seolah akan kembalinya eksistensi Kesultanan Banten yang telah runtuh. Hal itu didukung oleh adanya dua kondisi. Pertama, hampir sejak awal berkembangnya PKI di Banten memang bertepatan dengan rencana pemberontakan para
41
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 101. 42 De Courant, 5 Januari 1927.
67
petani yang telah lama memendam amarah. Kedua, mayoritas tokoh-tokoh sekuler PKI Banten, sebelum pecahnya pemberontakan masih mendekam dalam penjara”.43
Meskipun kelompok komunis sekuler menjadi perancang berdirinya PKI dan organisasi ilegal DO, namun karena pimpinan kedua organisasi tersebut berada di bawah kendali ulama, pada akhirnya cara-cara tradisional menjadi haluan dalam aksi pemberontakan tersebut. Dengan kenyataan itu, maka para tokoh pemberontakan PKI nyaris sama dengan pemberontakan pada abad ke-19, seorang ulama atau sebagai pemimpin yang kharismatik. Hal yang berbeda karena mereka telah tergabung dalam sebuah organisasi revolusioner yang bukan bentukan mereka.
D. Pengasingan Ke Boven Digul Ketegangan masih menyelimuti Banten dalam minggu-minggu pasca pemberontakan, karena meningkatnya operasi penangkapan oleh pemerintah kolonial serta disulut oleh rumor akan adanya aksi-aksi pemberontakan yang diperkirakan akan pecah pada malam tanggal 6 Desember. Apalagi tersebar isu bahwa wedana dan asistennya tidak mampu lagi membayar serdadu, sehingga mereka akan ditarik secepatnya ke Batavia, dan kesempatan tersebut digunakan untuk melakukan aksi pemberontakan berikutnya. 44 Tanggal 13 November, pihak polisi telah melakukan 64 kali penangkapan, 56 di Serang, 5 di Lebak dan 5 di Pandeglang. Antara tanggal 13 November dan 8 Desember, 916 orang ditangkap, yaitu 134 di Serang, 781 di Pandeglang dan satu di Lebak. Itu tidak termasuk dengan ratusan orang yang diinterogasi dan dilepaskan beberapa hari kemudian. Kendati demikan, banyak dari pemberontak yang masih selamat. Mereka adalah anggota yang tidak terlalu penting di PKI yang membantu kawan-kawannya melarikan diri, asalkan posisi mereka tidak diketahui oleh pihak mata-mata atau dibocorkan oleh anggota saat diinterogasi. 43 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 64. 44 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 113.
68
Sedangkan dari para tokoh PKI ada beberapa yang berhasil lolos, salah satunya adalah Kyai Moekri pemimpin pemberontakan di Labuan. Selain Kyai Moekri, ada kira-kira 10 orang yang berhasil mencapai Malaya melalui Palembang dan tinggal di sana bertahun-tahun. Dua orang dari mereka yang paling terkemuka adalah Tje Mamat, ketua PKI subseksi Anyer dan Tb. Alipan. 45 Sementara itu, terdapat tokoh PKI yang mengalami nasib buruk setelah ditangkap polisi. Dari mereka ada yang dipenjara dalam waktu lama sebelum diadili dan bahkan empat diantaranya divonis mati dan eksekusi dilakukan di penjara Pandeglang pada tanggal 16 September 1927, termasuk di antara mereka adalah H. Asikin, Doel Salam, Jamin dan Jas’a.46 Mereka yang kemudian dikenai hukuman penjara sebanyak 700 orang. Dan 99 orang lainnya yang tidak cukup bukti akhirnya menjadi interniran di kamp Boven Digul. Di daerah tersebut tidak ada yang dapat lolos dalam keadaan hidup, sedangkan lainnya harus menunggu selama 20 tahun untuk dapat kembali ke Banten, yaitu pada tahun 1945.47 Boven Digul adalah penjara alam yang didirikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Pulau Papua dikenal juga sebagai tempat pembuangan/ pengasingan/hukuman bagi orang-orang
yang membahayakan pemerintah
kolonial. Kamp Boven Digul yang dibuat oleh Kapten Becking tersebut terletak di hilir tepi sungai Digul dan Kamp dipersiapkan dengan tergesa-gesa untuk mengatasi kebijakan akhir pemerintah kolonial terhadap orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan komunis 1926. Awalnya, pembuangan ini terdapat di luar negeri, tokoh yang dibuang di luar tersebut di antaranya adalah Semaun dan Darsono. 48 Pendirian kamp kosentrasi massal ini diputuskan pasca sebuah pertemuan luar biasa Dewan Hindia Belanda (Raad van Nederlandsch-Indie) yang diadakan pada 18 November 1926, satu minggu sejak pemberontakan komunis di Banten pada 12 November 1926. Pada saat itu pertanyaan muncul dari Gubernur Jenderal de Graeff mengenai tindakan untuk memerangi meningkatnya gerakan komunis. 45
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 114. 46 De Banten Bode, 21 Mei 1927. 47 Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 115. 48 I. F. M Chalid Salim, Lima Belas Tahun Digul: Kamp Kosentrasi di Nieuw Guniea Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia, (Bulan Bintang: Jakarta, 1997), h. 100.
69
Dewan Hindia Belanda (Rad van Nederlandsch-Indie) akhirnya memutuskan untuk mengasingkan para tokoh PKI yang ditangkap. Sedangkan mengenai ide munculnya Boven Digul yang dipilih sebagai tempat pembuangan massal terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ide tersebut sudah ada sebelum pemberontakan sejak tahun 1925 agar ada tempat khusus yang didirikan sebagai tempat pembuangan dan dilaksanakan begitu pemberontakan terjadi. Kedua, menurut pertimbangan pemerintah kolonial lebih baik mendirikan satu tempat di Hindia Belanda untuk menampung ribuan massa pemberontakan. Dan pemilihan wilayah Boven Digul berdasarkan usulan dan pertimbangan Gubernur Maluku, karena menurut Gubernur Maluku, Boven Digul itu tempat idel pembuangan karena 100% terisolasi. Jaraknya dari muara Sungai Digul itu 455 km ke hulu, ke pedalaman. Kondisi saat itu semuanya hutan lebat, rawa-rawa yang banyak nyamuk malaria, dan di sungainya banyak buaya. Terlebih saat itu banyak penduduk aslinya yang masih head hunter, atau masih kanibal.49 Pada pemberontakan PKI di Banten tahun 1926, untuk pertama kali terdapat empat orang pimpinan PKI seksi Banten yang dikirim ke Boven Digul, mereka adalah Puradisastra, Tb. Hilman, Agus Soleman dan H. Achmad Chatib. Sedangkan untuk pertama kali yang dikirim ke Boven Digul sebagai penghubung antara PKI seksi Batavia dan seksi Banten adalah Achmad Bassaif. Kelima orang ini kemudian diikuti oleh interniran lain dari Banten dan semuanya berjumlah 99 orang yang mengalami deportasi ke Boven Digul. Mereka semua telah menjadi interniran dan akan ditanya menurut jadwal yang telah ditetapkan oleh kantor jaksa agung. 50 Meski berstatus sebagai tahanan politik, para tawanan diperlakukan seperti penjahat biasa. Setiba di lokasi pengasingan, para tawanan digeledah dan surat pribadi mereka disita. Para tawanan ini sebenernya tidak mengalami penyiksaan fisik.
Namun
Digul
seakan
menjadi
neraka
alam.
Penyiksaan
yang
menghancurkan mereka karena iklim yang buruk, serangan nyamuk malaria, keterasingan dari peradaban manusia dan rasa rindu kepada keluarga. Selain itu,
49 Susanto T. Handoko, “Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional Hingga Otonomi Khusus Papua”, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 2, 2016, h. 83-84. 50 Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 250.
70
terdapat ancaman serangan dari suku-suku liar yang menghuni kawasan itu.51 Akibat stres yang berkepanjangan, sejumlah tawanan mengalami gangguan jiwa dan bahkan ada yang berusaha untuk bunuh diri dengan terjun ke dalam sungai yang lebar. Sehingga penjara di Boven Digul ibarat penjara alam tanpa bilik. 52 Mengenai kehidupan di Boven Digul, para interniran hidup berkelompok. Di bagian utara pada tepi sungai terdapat bagian yang dijuluki Kampung Sumatera,
yang penghuninya kebanyakan berasal dari Minangkabau, sedang
orang Aceh dan orang Lampung berkediaman dengan menyendiri. Orang Jawa termasuk orang Madura, Jawa Tengah dan Sunda biasanya mencari rumah di tengah-tengah kawan sesuku. Sedangkan orang Banten termasuk kelompok interniran yang tertutup dan terpisah.53 Konflik sering terjadi antara orang Jawa dan Sumatera. Orang Sumatera menganggap hal yang bodoh menyaksikan seorang pejabat interni Jawa ketika berpergian selalu diikuti seorang interni yang memayunginya. Mereka juga mengejek seni Jawa, tembang, tandak, wayang dan ketoprak sebagai seni feodal. Namun karena waktu dan semakin banyak interni generasi awal yang dipulangkan, perbedaan etnis menjadi kurang berperan.54 Dalam buku Chalid Salim disebutkan bahwa orang Belanda terkejut terhadap para interniran asal Banten yang patuh melaksanakan ibadah. Selain itu mereka tercengang karena para anggota bekas PKI Banten pergi ke masjid setiap akan melaksanakan ibadah. Hal ini ternyata bahwa bagi para interniran sangat wajar jika antara paham komunis dengan agama bergabung. Bahkan baginya bukankah Nabi Muhammad pun mengajarkan persamaan dan persaudaraan untuk seluruh umat dan menganjurkan sedekah kepada fakir miskin. Mereka pun merujuk kepada keadaan yang serupa di negeri-negeri lain, misalnya di Italia dimana kaum komuis tetap setia kepada gereja Roma.55 Dari daftar 99 orang yang diasingkan ke Boven Digul menunjukan erat kaitannya antara gerakan komunis di Banten dengan agama atau antara agama dan pemberontakan. 11 dari 99 orang yang menjadi interniran adalah guru agama, 51
I. F. M Chalid Salim, ..........., h. 184. I. F. M Chalid Salim, ..........., (Bulan Bintang: Jakarta, 1997), h. 143. 53 I. F. M Chalid Salim, ..............., h. 281. 54 Susanto T. Handoko, “Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional Hingga Otonomi Khusus Papua”, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 2, 2016, h. 85. 55 I. F. M Chalid Salim, .............., h. 291. 52
71
27 orang lainnya atau hampir sepertiganya adalah yang telah melaksanakan haji ke Mekkah, dan ini termasuk jumlah yang besar, karena mengingat dari 1000 orang pertama dari seluruh Indonesia yang dideportasi hanya 59 orang yang telah pergi haji. Relevan dengan 27 orang Banten yang pergi haji, mereka setidaknya tidak kurang dari satu sampai tiga tahun telah menetap di Mekkah. Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah H. Achmad Chatib, yang
telah
menghabiskan tiga tahun di Mekkah, H. Abdulhadi (Adung), H. Asgari, H. Artadjaja, H. Emed, H. Sooeb, H. Abdulhadi, H. Achjar, H. Mohammed Arif, H. Mu’min, H. Aliasgar, H. Mardjuk, H. Santani, H. Mustapha, H. Achmad, dan H. Enggus. H. Mustapha telah menetap di Mekkah selama tujuh tahun dan H. Mohammed Arif selama lima tahun. Adik H. Achmad Chatib, H. Abdulhadi (Adung) telah menetap selama dua tahun di Mekkah dan telah menghabiskan satu tahun untuk sekolah di Al-Azhar di Kairo.56 Hampir semua dari 99 orang interniran tersebut, hanya 8 orang yang bukan asli Banten yaitu Puradisastra (Priangan), Hasanudin (Sumatera Barat), Atmodihardjo (Jawa Tengah), Salihun (Batavia), Muhammad Saleh (Purwarejo). Sisanya, 79 orang tertangkap di Serang, 13 di Kabupaten Pandeglang, 5 di Kabupaten Lebak dan 2 orang lainnya di Batavia. Tingginya jumlah mereka yang ditangkap dari Serang karena, pertama, para tokoh PKI yang tertangkap dalam peristiwa Pandeglang banyak memilih diadili di Kota Serang daripada diasingkan. Kedua, karena akibat aksi penangkapan pada bulan Agustus dan September.57 Dalam daftar yang tercatat sebagai interniran, apabila melihat komposisi sosial interniran maka terlihat 9 orang adalah ulama terkemuka yang mempunyai kekariban dengan orang-orang komunis, sedang yang lainnya berprofesi sebagai pekerja atau tukang yang beberapa dari mereka telah bergabung dengan PKI di luar Banten. Kelompok ini terdiri dari 5 pegawai toko, 2 orang buruh percetakan, 1 orang penjahit, 1 orang pembua sepatu, 1 orang tukang batu, 1 orang tukang cukur dan 1 orang juru lelang. Kelompok yang paling banyak adalah petani berjumlah 54 orang dan 13 orang pedagang. Kelompok iniah yang paling mudah
56 57
Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 253. Michael C. Williams, Communism, Religion and Revolt in Banten, ............, h. 254.
72
dijadikan sasaran agitasi PKI. Para petani dengan jumlah yang besar tersebut, ketika diinterogasi dan ditanya mengenai alasan keterlibatannya bergabung dengan PKI, jawaban yang mayoritas keluar adalah karena beban pajak atau hanya ikut-ikutan kawan sedesanya. Para interniran dari Banten seluruhnya adalah kurang berpendidikan layak dan berasal dari kelas menengah ke bawah.58 Lebih lanjut dalam perkembangannya, Boven Digul mengalami penutupan pada tahun 1943. Welter, yang saat itu menjadi menteri urusan koloni pada tahun 1937, mengusulkan metode pembuangan di Boven Digul diganti lebih tradisional dalam waktu dekat. Dengan cara para interniran dibuang secara terpisah dibanyak tempat sehingga mereka tidak lagi berharap dapat membangun pengaruh politik karena perbedaan bahasa dengan penduduk asli. Bahkan kamp konsentrasi Boven Digul harus dihapuskan kecuali bagi mereka yang masuk dalam kategori keras kepala. Akan tetapi pada tahun 1938 diambil keputusan untuk mempertahankan Boven Digul. Selanjutnya pada bulan Juli 1938, 118 interniran dibebaskan. Salah seorang ulama yang dibebaskan adalah Tb. A. Chatib. Sepulang dari Boven Digul, pada masa kependudukan Jepang A. Chatib menjadi Komandan Batalyon (Daidancho) di Batalyon I Labuan.59 Hingga akhirnya pada tahun 1943, Boven Digul ditutup karena pemerintah Hindia Belanda menjadi ketakutan akan kemungkinan Jepang membebaskan para interniran. Oleh karena itu pemerintah Hindia
Belanda
memutuskan
untuk
menghapuskan
sama
sekali
dan
mengungsikan semua iterniran yang tersisa ke Australia. Evakuasi dilakukan oleh Ch. O. Van der Plas.60
58
Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, .............., h. 117-122. 59 Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2004), hal. 159. 60 Susanto T. Handoko, “Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional Hingga Otonomi Khusus Papua”, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 2, 2016, h. 88.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Steenbrink, Karel. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke19. Jakarta: Bulan Bintang. Azra, Azyurmardi. 2005. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana. Budiarjo, Miriam. 1982. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia. Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan: pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Mizan Publika. C. Ricklefs, M. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. C. Williams, Michael. 1990. Communism, Religion and Revolt. Ohio University. . 2003. Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten.Yogyakarta: Syarikat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 1992. Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia: Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya. Jakarta: PT. Ghia Indonesia. Dien Madjid, M., dan Johan Wahyudi. 2014. Ilmu Sejarah Sebuah Pengantar. Jakarta: Kencana. Djoened Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia, Jil. IV. Jakarta: Balai Pustaka. Djoened Poesponegoro, Marwati dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia, Jil. V. Jakarta: Balai Pustaka. Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid 12. 1990. Jakarta: PT. Cipta Adipustaka. F. M Chid Salim, I.. 1997. Lima Belas Tahun Digul: Kamp Kosentrasi di Nieuw Guniea Tempat Persemaian Kemerdekaan Indonesia. Bulan Bintang: Jakarta. Gottschk, Louis. 2008. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. Hamid, A. Tragedi Berdarah di Banten 1888. Cilegon: Yayasan Kiyai Haji Wasid.
76
77
Hok Gie, Soe. 1999 Di Bawah Lentera Merah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1999. J. Hobsbawm, E. 1963. Primitive Rebels: Studies in Archaic Form of Social Movement in the 19th and 20th Centuries. Manchester. Kartodirjo, Sartono. 2015. Pemberontakan Petani Banten 1888. Depok: Komunitas Bambu. Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. Madjid, Nurcholis. 2004. Indonesia Kita. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Michrob, Hwany. et al., Catatan Masa Lalu Banten. 1993. Serang: Penerbit “Saudara” Serang, 1993. Nina Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah Ulama, Sultan, Jawara, (Jakarta: LP3ES, 2003. Putra, Fadilllah. 2006. et.al., Gerakan Sosial. Malang: Averrors Press. Siraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 19121926. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti. Snouck Hugronje, C. 1993. Kumpulan Karangan Snouck Hugronje VIII. Jakarta: INIS. Van Bruinessen, Martin. 2005. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi Tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 2005. Van Niel, Robert. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
Surat Kabar dan Majalah1 De Banten Bode, 15 Agustus 1925. De Banten Bode, 29 Agustus 1925. De Banten Bode, 12 September 1925. De Banten Bode, 20 Februari 1926. De Banten Bode, 27 Februari 1926. De Banten Bode,20 Maret 1926. 1
Surat kabar dan majalah ini ditemukan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Banten dan Perpustakaan Nasional.
78
De Banten Bode, 5 Juni 1926. De Banten Bode, 12 Juni 192. De Banten Bode, 10 Juli 1926. De Banten Bode, 25 September 1926. De Banten Bode, 14 November 1926. De Banten Bode, 21 Mei 1927. De Courant, 5 Januari 1927. Neratja, 10 April 1919. Neratja, 26 Agustus 1918.
Laporan Tahunan Hindia Belanda2 Kolonial Verslag, 26 Januari 1927 No. 1.
Peraturan Pemerintah Hindia Belanda3
Indische Staatblad van Nederlandsh-Indie tahun 1893 nomor 125.
Jurnal dan Artikel Muslim, Asep. “Dinamika Peran Sosial Politik Ulama dan Jawara di Pandeglang Banten”, Mimbar, Vol. 31, No. 2. Desember, 2015. J. Benda, Harry. 1995. “The Communist Rebellions of 1926-1927 in Indonesia”, Paific Historical Review, University of California Press. T. Handoko, Susanto. 2016. “Boven Digoel dalam Panggung Sejarah Indonesia: Dari Pergerakan Nasional Hingga Otonomi Khusus Papua”, Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 1, No. 2. Wahyu Wirawan. Aksi Partai Komunis Indonesia 1926-1965. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya.
2
Laporan Tahunan Hindia Belanda ini ditemukan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Banten. 3 Peraturan Pemerintah Hindia Belanda ini ditemukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
79
Skripsi Rachmadanty, Amalia. 2017. Kebijakan Politik Asosiasi Pendidikan Kolonial Terhadap Umat Islam Tahun 1890-1930. Fakultas Adab dan Humaniora.
Internet http://historia.id/modern/jalannya-pemberontakan-petani-banten-1888 http://mathlaulanwar.or.id/sejarah/ http://historia.id/agama/saat-islam-dan-komunis-harmonis
LAMPIRAN
Lampiran 1.1 Peta Pertumbuhan PKI di Banten Sumber: Koloniaal Verslag, 26 Januari 1927 No.14
4
Koloniaal Verslag, 26 Januari 1927 No.1 ini ditemukan di Badan Perpustakaan dan Arsip (BPAD) Banten.
80
81
Lampiran 2.1 Data Kriminal di Banten Tahun 1926 Sumber: Koloniaal Verslag, 26 Januari 1927 No.1, h. 37. 5 5
Koloniaal Verslag, 26 Januari 1927 No.1 ini ditemukan di Badan Perpustakaan dan Arsip (BPAD) Banten.
82
Lampiran 2.2 Daftar Orang Banten yang Divonis Seumur Hidup Akibat Pemberontakan Tahun 1926 Sumber: Michael C. Williams, Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten, (Yogyakarta: Syarikat, 2003), h. 163.
83
List of Persons From Banten Exiled to Boven Digul
Ulama No Name 1 Tb. KH. Achmad Chatib 2 Tb. K.H. Abdulhamid (Adung) 3 K.H. Mohammed Gozali 4 Tb. K.H. Abdulhadi 5 K.H. Alijasin
Age Occupation 31 Religious teacher 23 Religious teacher
Place of Birth Gajam, Pandeglang Gajam, Pandeglang
Residence Caringin
38
Religious teacher
Sanding, Pamarayan
Sanding, Pamarayan
39
Religious teacher Religious teacher Religious Teacher Religious Teacher Religious Teacher Religious Teacher Religious Teacher Penghuku (religious official)
Sidangsari, Pamarayan Pabuaran, Ciomas Pancur, Serang
Bangko, Caringin Pabuaran, Ciomas Pancur, Serang
Gunungsari, Ciomas Caringin
Gunungsari, Ciomas Caringin
Petir, Pamarayan Kaujon, Serang
Petir, Pamarayan Pancur, Serang
Babakanlor, Caringin
Babakanlor, Caringin
40
6
Salikin
38
7
H. Asgari
26
8
Tb. H. Emed
30
9
H. Jahja
42
10
K.H. Achmad
46
11
H. Mohammed Salim
30
Non Ulama No Name 1 H. Abdullah 2 H. Mohammed Arif 3 H. Mohammed Jaisin 4 H. Enggus
Cikondang, Pandeglang
Age Occupation Place of Birth 32 Peasant Koranji, Serang 30 Village head Karundang, Serang 35 Peasant Labuan, Anyer
Residence Koranji, Serang Dalung, Serang
48
Trader
Baru, Cilegon Jombangwetan, Cilegon Petir, Pamarayan Pancaregang, Ciomas
Warnasari, Cilegon Kebonsari, Cilegon Petir, Pamarayan Pancaregang, Ciomas
5
H. Santani
25
Tailor
6
H. Soeeb
35
Peasant
7
H. Artadjaja
25
Peasant
Labuan, Anyer
84
8
26
Small trader
Lontar, Serang
Lontar, Serang
9
H. Ayip Achmad Puradisastra
35
Clerk, journalist
Serang
10
Arman
30
Clerk/trader
11
Alirachman
28
Auctioneer
12
Tb. Hilman
27
13
36 40
Peasant
Rancapare, Serang Kepuh, Anyer
Kaujon, Serang
14
(Agus) Soleiman H. Radi
ClerkLandrant Office Clerk
Cisompet, Negara (East Priangan) Karegnen, Serang Karegnen, Serang Mengger, Pandeglang
15
Dulhamid
45
Peasant
16
Mohammed Ali
38
Peasant
17
Sentot
24
Peasant
18
Wajut
32
19 20
Ibing Kasan
30 40
21
30
22
H. Moechamad Noer Daud
Peasant and trader Tailor Pesant, Exvillage head Clerk
23
Abdulmalik
56
Peasant and trader Trader
24
Ibrahim
40
Peasant
25
Dulmuin
45
Pesant
26
Durakim
40
Peasant
27
Soleman
28
Pesant
28
Umar
39
29
Kasiman
23
Pesant, exvillage head Peasant
30
(Mohammed Nur Fas) Nani
35
50
Tobacco stalkeeper
Pabuaran, Ciomas Banjarmasin (Kalimantan) Sudimampir, Anyer Sudimampir, Anyer Murui, Menes Kosambironjok, Anyer Sudimampir, Anyer Petir, Pamarayan Petir, Pamarayan Pancaregang, Ciomas Gunungsari, Ciomas Gunungsari, Ciomas Ciomas Kaduagung, Ciomas Sindangmandi, Ciomas Kagunungan, Serang
Sopeng, Serang Serang Kaujon, Serang
Kasambironjok, Anyer Pabuaran, Ciomas Bandulu, Anyer Sudimampir, Anyer Sudimampir, Anyer Murui, Menes Gunungsih, Anyer Sudimampir, Anyer Petir, Pamarayan Petir, Pamarayan Pancaregang, Ciomas Gunungsari, Ciomas Gunungsari, Ciomas Gunungsari, Ciomas Kaduagung, Ciomas Sindangmandi, Ciomas Kagunungan, Serang
85
31
Tju Tong Hin
35
Trader
32
Sawiri
25
Peasant
33 34
Ali Achmad Ali
36 45
Peasant Peasant
35 36
Tohir Djakaria
20 40
Peasant Peasant
37
Samaden
50
Peasant
38
Moeslik
20
Peasant
39
45
Peasant
40 41
Mohammed Amin H. Usman Djari
50 42
Peasant Trader
42
Afif
27
43
Hasanuddin
26
Village clerk -
44
Tb. H. Arifin
55
Peasant
45
Tb. Moh. Isa
35
Peasant
46
Mohammed Isa
32
Trader
47
Tb. Mardjuk
36
Trader
48
Mad Saleh
35
Peasant
49
Abdullah
35
Peasant
50 51
Dullah Alikasim
35 18
Bricklayer Peasant
52
Mohammed Sis
48
Trader
53
Surabaita
20
Trader
54
Achmad Rifai
20
Clerk
55
Mu’min
35
Peasant
56
Umar
39
Peasant, ex-
Pasar Baru, Batavia Labuan, Anyer Labuan, Anyer Sangiang, Anyer Labuan, Anyer Sigedang, Anyer Sangiang, Anyer Pabuaran, Ciomas Sindangmandi, Ciomas Silebu, Ciruas Jalupang, Ciruas Jombang, Cilegon Maninjau, Sumatera Barat Cikeusal, Pamarayan Petir, Pamarayan Sumerpecing, Serang Cikeusal, Pamarayan Pabuaran, Ciomas Sumerpecing, Serang Batavia Cirangkong, Pamarayan Kaujon, Serang Keboncau, Pandeglang Pandeglang Burugbug, Ciomas Kaduagung,
Ciunjung, Rangkasbitung Waringin, Anyer Labuan, Anyer Sangiang, Anyer Labuan, Anyer Labuan, Anyer Pasirbatang, Anyer Pabuaran, Ciomas Sindangmandi, Ciomas Silebu, Ciruas Pancur, Serang Jombang, Cilegon Jambatan Lima, Batavia Cikeusal, Pamarayan Petir, Pamarayan Sumerpecing, Serang Cikeusal, Pamarayan Pabuaran, Ciomas Sumerpecing, Serang Serang Cirangkong, Pamarayan Ciberang, Pandeglang Keboncau, Pandeglang Sawah Besar, Batavia Burugbug, Ciomas Kaduagung,
86
village head Peasant
57
H. Akjar
28
58
Ishak
26
59 60
Tjondrosaputro Tb. Mohammed Hasjim alias Entjim
40 32
61
Kamim
35
Typesetter, printing worker Trader Agent, Singer Sewing Machine Co Peasant
62
Salihun
35
Shoemaker
63
Sera
35
Peasant
64
H. Mardjuk
36
Peasant
65 66
27 26
Peasant Peasant
23
Trader
68
H. Hasan Ayot, Satriawidjaja Mohammed Toha Tb. Saleh
30
Peasant
69
Entol Enoh
40
70
Nawi
35
Peasant, exvillage head Peasant
71
39
Peasant
72
Mohammed Arif Amir
32
Barber
73
Achmad Bassaif
23
-
74
-
Policeman
75
Mohammed Saleh Atmodiharjo
-
76
Asmail
32
Printing worker, journalist Peasant
77
Karis
29
Peasant
78 79
Aliakbar Rujani
36 28
Laborer Tailor
67
Ciomas Tejamari, Ciomas Pandeglang
Ciomas Tejamari, Ciomas Serang
Jawa Tengah Ciujung, Rangkasbitung
Rangkasbitung Ciujung, Rangkasbitung
Pabuaran, Ciomas Cililitan, Batavia Malangkarsa, Ciruas Silebu, Ciruas
Pabuaran, Ciomas Ciujung, Rangkasbitung Malangkarsa, Ciruas Kubang, Serang Pancur, Serang Kadugadung, Pandeglang Palanjar, Pandeglang Kudahandap, Pandeglang Tegalwangi, Menes Sukalaba, Ciomas Kapandean, Serang Sumerpecung, Serang Batavia
Sajar, Serang Kadugadung, Pandeglang Palanjar, Pandeglang Kudahandap, Pandeglang Nyamplong, Menes Sukalaba, Ciomas Kapandean, Serang Sumerpecung, Serang Kaloran, Serang Purworejo, Jawa Tengah Yogyakarta
Pabuaran, Ciomas Rancapare, Serang Passar, Serang Rancapare,
Serang Serang
Kaduberum, Ciomas Rancapare, Serang Passar, Serang Rancapare,
87
80
H. Aliasgar
36
Peasant
81
Entjang
32
Peasant
82
35
Peasant
83
Mohammed Bakri Abdulkarim
30
Peasant
84
H. Achmed
40
Peasant
85
Andung 35
35
Peasant
86 87
Hardjosuparto Martadjani
22 25
Trader Peasant
88
Mohammed Jusuf
25
Foremen, Public Works Departement
Serang Pancangan, Serang Cilanggawe, Caringin Karunang, Ciomas Pancur, Serang Rancapare, Serang Pabuaran, Ciomas Rangkasbitung Pabuaran, Ciomas Pabuaran, Ciomas
Serang Silebu, Ciruas Cilanggawe, Caringin Karunang, Ciomas Ciliwong, Serang Rancapare, Serang Pabuaran, Ciomas Rangkasbitung Kadubeureum, Ciomas Kadubeureum, Ciomas
Abbreviation: K. – Kiyai H. – Haji Tb. – Tubagus Lampiran 2.3 Daftar Orang-orang Banten yang Dibuang ke Boven Digul Sumber : Michael C. Williams, Communism, Religion, And Revolt in Banten, (Athens: Ohio University, 1990), h. 317-324.
88
Lampiran 3.1 Tentang pembukaan sekolah kelas satu (de scholen de eerste klasse) dan sekolah kelas dua (de scholen de tweede klasse). Sumber : ANRI.6
6
Indische Staatblad van Nederlandsh-Indie tahun 1893 ditemukan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
nomor 125
89
Lampiran 3.2 Kolonial Verslag, 26 Januari 1927 No. 1. Sumber: BPAD Banten7
7
Kolonial Verslag, 26 Januari 1927 No. 1 ini ditemukan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Banten.
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
Lampiran 3.3 De Banten Bode, 15 Agustus 1925 Sumber: BPAD Banten8
8
De Banten Bode, 15 Agustus 1925 ini ditemukan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Banten.
126
127
Lampiran 3.4 De Banten Bode, 29 Agustus 1925 Sumber: BPAD Banten9 9
De Banten Bode, 29 Agustus 1925 ini ditemukan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Banten.
128
129
130
Lampiran 3.5 De Banten Bode, 20 Februari 1926 Sumber: BPAD Banten10
10
De Banten Bode, 20 Februari 1926 ini ditemukan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Banten.
131
Lampiran 3.6 De Banten Bode, 27 Februari 1926 Sumber: BPAD Banten11
11
De Banten Bode, 27 Februari 1926 ini ditemukan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Banten.
132
Lampiran 3.7 De Banten Bode, 20 Maret 1926 Sumber: BPAD Banten12
12
De Banten Bode, 20 Maret 1926 ini ditemukan di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD) Banten.
133
134
Lampiran 4.1 Tentang bergabungnya A. Chatib ke dalam tentara PETA Sumber: Monumen dan Muesum PETA, Bogor