Perhajian Abad-19 … Urgensi Di Pendidikan
F.J.
Monks (et.al), Psikologi Perkembangan Berbagai - Bagiannya, Gajah Mada Yogyakarta, 2001
Pengantar dalam University Press,
Hamdani Ihsan dan A. Fuad Ihsan, Filsafat Pendidikan Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1988 Hunainin, Pendidikan Keimanan Bagi Anak Menurut Pemikiran Abdullah Nashih Ulwan, dalamm kitab Tarbiyah Al-Aulad fi al-Islam : Tujuan, Materi, dan Metode, Pustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, t.t. Yuni Karyati, Anakku Sayang Ibumu Ingin Bicara,Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1999 Yusron Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta, 1993 Khatib
Citra Niaga Raja Wali Press,
Ahmad Santhut, Menumbuh Sikap Sosial, Moral, dan Spritual Anak Dalam Keluarga Muslim, Terjemhan Ibnu Muerdah, Mitra Pustaka, Yogyakarta, 1998
Mahmud Yunus, Metodik Khusus PT.Hidakarya Agung, Jakarta, t.t.,
Pendidikan
Agama,
Muhamad Abduh, Risalah Tauhid, Terjemahan Firdaus , Bulan Bintang, Jakarta, 1979 Umar Hasyim, Anak Shaleh : Cara Mendidik Anak Dalam Usia 2 Tahun, PT. Bina Ilmu, Suarabaya, 1983 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama,BulanBintang, Jakarta, 1970
113
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
PERHAJIAN DI ABAD-19 DAN AWAL ABAD-20 SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA1 Zulfa Ahmad
Abstrak Menunaikan ibadah haji bagi umat Islam Hindia Belanda di abad19 dan awal abad-20 bukan hanya sekedar berfungsi untuk melaksanakan kewajiban rukun Islam kelima, melainkan juga sebagai sarana menuntut ilmu terutama bagi para “koloni Jawa” yaitu mereka yang pergi ke Mekah bukan untuk sekedar ibadah tapi jugamemperpanjang masa tinggal utnuk mendalami ilmu agama. Apalagi menuntut ilmu di Mekah dan Medinah dipandang lebih afdhal daripada menuntut ilmu di tempat lain. Jumlah jema’ah haji yang terus meningkat dari Hidia Belanda sangat mengkhawatirkan pemerintah kolonial Belanda, sehingga mereka mengeluarkan berbagai peraturan yang pada prinsipnya untuk mempersulit orang Indonesia naik haji.Sarana perhajian kemudian ternyata berfungsi sebagai saluran masuknya ide-ide pembaharuan pendidikan Islam ke Indonesia Kata Kunci : Perhajian, Kebijakan Pendidikan Islam
Pemerintah
Kolonial,
dan
I. Pendahuluan Sulit untuk mengetahui secara pasti, kapan sebenarnya orang Indonesia pertama sekali naik haji. Meskipun demikian, Hurgronje berpendapat bahwa di Timur Jauh, perhatian untuk naik haji sudah sama tuanya dengan masuknya Islam,2 dan bahkan menurut Azra, sejak abad ke-16, Muslim Indonesia-Melayu semakin banyak melakukan perjalanan ke Haramyn, ketika hubungan politik dan perdagangan di antara Nusantara dan Timur Tengah memperoleh momentum. Yang 1
Tulisan ini semula adalah makalah penulis dalam mata kuliah Sejarah Sosial Pendidikan Islam yang diasuh oleh DR. Azyumardi Azra dalam rangka perkuliahan S3 di IAIN Jakarta pada tahun 1996. Pada tahun 2012 tulisan ini penulis sempurnakan dan revisi dengan menambahkan berbagai iformasi di berbagai tempat. 2 Snouck C. Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, jilid IX, (terjemahan Sutan Maimun dan Rahayu S. Hidayat), Jakarta : INIS, 1994, h. 163
114
Perhajian Di Abad-19 …
jelas sejak awal abad ke-19 semakin banyak orang Indonesia yang pergi ke tanah suci untuk menunaikan ibadah haji.3 Vredenbregt sebagaimana dikutip oleh Bruinessen menyatakan bahwa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, jumlah haji Indonesia berkisar antara 10 dan 20 persen dari seluruh jumlah jemaah haji asing, dan bahkan pada dasa warsa 1920an, sekitar 40% dari seluruh jemaah haji berasal dari Indonesia.4 Dari bahan-bahan resmi dapat disimpulkan bahwa antara 1852-1858, setiap tahun rata-rata 2.000 jemaah berangkat dari Hindia Belanda. Bahkan pada tahun 1927 terjadi lonjakan tertingi, di mana jumlah jemaah haji dari Hindia Belanda berjumlah 52.412 dibanding dengan 123.052 orang jemaah secara keseluruhan.5 Jumlah jemaah haji yang terus meningkat ini sangat mengkhawatirkan pemerintah kolonial Belanda, karena mereka beranggapan bahwa para haji inilah yang menjadi penyebab beredarnya fanatisme di kalangan pribumi. Ketakutan pihak pemerintah kolonial ini telah mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk mengeluarkan berbagai peraturan dengan maksud untuk mempersulit penduduk untuk naik haji, dengan harapan jumlah jemaah haji bisa ditekan. Ternyata jumlah jemaah haji ke Mekah tidak dapat ditekan dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan sebaliknya jumlah penduduk yang menunaikan ibadah haji cenderung meningkat. Tulisan sederhana ini akan membahas masalah perhajian pada abad 19 dan awal abad 20, serta pengaruhnya terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Untuk melihat hal tersebut, penulis akan menggunakan kerangka pikir yang diajukan Taufik Abdullah yang menyatakan bahwa adanya jurang antara pesan teologis, yaitu sesuatu yang dihayati, dengan kenyataan sosial, yaitu sesuatu yang dirasakan, dapat mendorong munculnya kesadaran akan keharusan adanya kebangkitan atau pembaharuan. Suasana penjajahan sebagaimana yang dialami oleh masyarakat Islam di wilayah kekuasaan kolonial Belanda, menuntut keharusan adanya jawaban terhadap pertanyaan “mengapa umat yang dekat pada Tuhan harus berlutut pada kekuasaan asing dan kafir? Menurut Taufik Abdullah ”jika masalah ini dirumuskan dengan pertanyaan “mengapa manusia demikian kejam?”, akan menuju kepada jawaban yang bersumber pada independensi muthlak manusia, dan jika 3
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung : Mizan, 1994, h. 73 4 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung : Mizan, 1994, h. 41 5 Snouck C. Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje…., jilid IX, h. 163 ; juga Akib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakrta : LP3ES, 1985, h. 223
115
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
rumusan pertanyaannya “ mengapa Tuhan membiarkan umat tersiksa?”, akan menuju kepada pengakuan serba dominannya Tuhan. Dalam hal inilah aspek fungsional agama dari sudut sosiologis ditemukan, di mana agama diperteguh sebagai sumber legitimasi dari sistem perbuatan, sementara kemerdekaan manusia untuk berbuat bagi nasib dirinya tidak ditumbangkan, karena kemerdekaan sesuai dengan cita tentang fitrah manusia, baru menemukan bentuknya dengan dan karena Allah.6 II. Perhajian pada Abad 19 dan Awal Abad 20 Pada tanggal 31 Desember 1799 Vereenigde Oost-Indiche Compagny (VOC) dibubarkan, yang diikuti dengan penghapusan monopoli dagang. Sebagai konsekuensinya adalah bahwa semua hak milik dan hutang-hutang VOC diambil alih oleh pemerintah Belanda. Itu berarti pula bahwa karir kolonial Belanda di Indonesia dimulai. Dalam menjalankan karir baru ini, pemerintah Belanda pada mulanya masih memberlakukan peraturan yang dibuat di zaman VOC, lantaran kerajaan Belanda belum mampu untuk melakukan reorganisasi secara besarbesaran yang disebabkan oleh situasi dan suasana Eropa yang sedang dilanda revolusi. 1. Sikap Pemerintah Kolonial Terhadap Jemaah Haji Di zaman VOC pada umumnya jemaah haji dilarang untuk ikut kapal dagang VOC, dan sering kali para haji yang baru datang dari Mekah juga dilarang masuk di Batavia, meskipun sikap ini tidak konsisten, sebab sering pula diberi pengecualian dalam rangka memperoleh simpati raja Mataram. Konsekuensinya adalah bahwa warga pribumi yang akan menunaikan ibaah haji berangkat ke Mekah melalui Aceh “Serambi Mekah” tidak mendapat halangan. Pada tahun 1810, Gubernur Jendral Daendels mulai mengarahkan perhatiannya kepada para haji yang disebutnya sebagai “Mohammedaansche Priesters”, dan dengan dalih demi “rust en orde” (keamanan dan ketertiban), mengeluarkan ketetapan bahwa para haji harus memakai pas jalan kalau mereka mau pergi dari suatu tempat di Jawa ke tempat lain.7 Menurut G.F. Pijper dalam Baudet dan Brugmans bahwa politik Islam pemerintah Hindia Belanda dapat dibagi dua, yaitu : pertama, politik yang didasarkan pada rasa takut terhadap ungkapan-ungkapan apa yang disebut dengan fanatisme Islam, sehingga mendorong untuk pengambilan tindakan dalam rangka menekan timbulnya ungkapan tersebut, dan menjauhkan diri dari urusan mengenai Islam. Periode ini terjadi pada masa sebelum Snouck Hurgronje menjabat sebagai 6
Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, Jakarta : LP3ES, 1987, h. 89-97 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta : Bulan Bintang, 1984 7
116
Perhajian Di Abad-19 …
Adviseur voor Inlandsche Zaken (Penasehat Pemerintah Hindia Belanda dalam Urusan Pribumi, 1889-1936). Kedua, adalah periode setelah Snouck Hurgronje, di mana politik Islam Hindia Belanda mengambil jalan lurus yang diasarkan pada kajian dan pengamatan yang cermat, dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa Indonesia.8 Meskipun demikian, periode yang disebut oleh Pijper sebagai periode di mana pemerintah kolonial, yang lantaran takut pada fanatisme Islam, lalu mejauhkan diri dari urusan Islam, jika dikaitkan dengan masalah perhajian, ternyata pemerintah kolonial bukan menghindar dari campur tangan, melainkan mengatur begitu rupa perjalanan haji dengan dalih rust en orde, yang pada dasarnya bertujuan untuk menekan jumlah jemaah haji, dan masuknya pengaruh Pan Islam melalui para jemaah haji ini. Hal tersebut dapat dilihat dari serangkaian peraturan pemerintah kolonial dalam tahun 1825 dan 1859 yang memiliki jangkauan untuk membatasi perjalanan haji ke Mekah. Memang benar, bahwa peraturan ini kemudian banyak mengalami perubahan, terutama setelah mendapat saran-saran dan nasehat dari Snouck, lantaran ia sendiri melihat para haji bukanlah sebagai kelompok yang homogen, yaitu orang-orang yang semata-mata hanya ingin menunaikan ibadah haji, tetapi di antara mereka ada sekelompok kecil yang datang ke Mekah bukan untuk ibadah haji semata, melainkan untuk belajar, di mana mereka tinggal bertahun-tahun dalam kelompok yang disebut “Koloni Jawa”. Kelompok kedua inilah yang menurutnya berbahaya, sebab disinilah terletak jantung dari kehidupan agama di Nusantara, dan merupakan saluran untuk memompakan darah segar dari daerah ini dengan kecepatan tinggi kepada seluruh penduduk Islam di Indonesia.9 Meskipun demikian, kekhawatiran terhadap haji ini cukup beralasan, sebab bukankah Perang Paderi (1919-1932)10 diawali dengan kembalinya tiga orang haji dari Mekkah pada tahun 1803? Demikian pula berbagai peristiwa dan kerusuhan yang terjadi dipimpin oleh para ulama dan haji, seperti pada kasus Pemberontakan Cilegon pada tahun 1988.
8
G.F. Peijper, Politik Islam Hindia Belanda, dalam H. Baudet an Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, Jakarta : Yayasan obor Indonesia, 1989, h. 238-240 9 th Snouck C. Hurgronje, Mekka in The Latter Part of 19 Century, (terj. J.H. Monahan, Leiden : E.J. Brill, 1931, h. 291 10 Menurut versi Sartono Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900, Jilid I, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1993, h. 377 ; Menurut Muhammad Rajab seperti dikutip Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Sejarah Islam di Indonesia, Jakarta : Bulan Bintang, 1984, h. 33, Perang Paderi berlangsung dari tahun 1803-1838
117
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
2. Prosedur dan Peraturan Naik Haji Perjalanan ke tanah suci pada mulanya bukanlah merupakan perjalanan yang mudah, bahkan sangat sukar. Berkenaan dengan hal ini Snouck menyatakan bahwa pada bagian pertama abad ke-19, kesulitan dalam perjalanan haji cukup besar, di mana waktu yang dibutuhkan untuk perjalanan tersebut pulang pergi adalah tiga tahun, meskipun tanpa memperpanjang masa tinggal di Mekkah dan Medinah. Banyak di anatara para jemaah yang meninggal karena kelelahan, atau tidak pulang lantaran kekurangan sarana. Meskipun demikian, jumlah penduduk yang pergi naik haji tetap saja meningkat, sehingga antara 1852- 1858, rata-rata ada 2000 orang jamaah yang berangkat setiap tahun.11 Apa yang dikatakan Snouck ini memberikan gambaran bahwa kesulitan dalam melaksanakan ibadah haji tidak mengurangi semangat penduduk untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Apalagi sejak ditemukannya kapal uap pada paruh kedua abad ke-19, yang berarti berkurang pula kesulitan yang bakal dijumpai dalam perjalanan. Hal ini terlihat dari jumlah jemaah haji yang terus meningkat, sehingga pada tahun 1886 tercatat sebanyak 5000 orang jemaah. Pada tahun 1890 meningkat menjadi 7000 orang, dan antara 1899 dan 1909 juml;ah ratarata jemaah sebanyak 7.300 orang per tahun.12 Peningkatan inilah yang sangat mengkhawatirkan pemerintah kolonial Belanda, sehingga mendorong mereka untuk mengeluarkan berbagai peraturan yang pada dasarnya bertujuan untuk mempersulit prosedur naik haji, dan penggunaan gelar haji. Dua hal ini dianggap dapat mengurangi jumlah jemaah haji yang di tengah masyarakat mendapat kedudukan yang tinggi. Vredenbregt sebagaimana dikutip oleh Steenbrink menyatakan bahwa Gubernur Jenderal Daendels pada tahun 1810 telah mengeluarkan ketentuan mengenai keharusan para haji memakai pas jalan jika ingin bepergian dari suatu tempat di Jawa ke tempat lain, demi keamanan dan ketertiban.13 Tampaknya peraturan ini bukanlah untuk keamanan dan ketertiban atau sekedar untuk mempersulit naik haji, melainkan juga untuk mengantisipasi pengaruh haji terhadap penduduk Indonesia. Kekhawatiran tersebut terus berlanjut. Hal itu dapat dilihat dari laporan Residen Batavia pada tahun 1825 yang merasa cemas dengan 11
Snouck C. Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jilid IX, Jakarta : INIS, 1994, h.163 12 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, Jakarta : LP3ES, 1973, h. 30 ; juga C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jilid IX, Jakarta : INIS, 1994, h. 168 13 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesai abad ke 19, Jakarta : Bulan Bintang, 1984, h. 235
118
Perhajian Di Abad-19 …
meningkatnya jumlah haji di wilayahnya, dan mengusulkan pada Gubernur Jenderal agar mempersulit prosedur naik haji. Usul ini diterima dengan instruksi rahasia bahwa setiap calon haji harus membayar sebanyak f. 110,- untuk pas jalan. Para haji yang tidak memiliki pas jalan, dikenakan denda sebesar f. 1000,- Ternyata jumlah denda tersebut dianggap terlalu tinggi, dan tidak ada orang yang mampu membayarnya. Karena itu pada tahun 1831 denda tersebut diturunkan menjadi dua kali lipat harga pas jalan, yaitu f. 220,- Peratruran yang berlaku untuk Jawa dan Madura ini, tidak diumumkan secara resmi di dalam Staatsblad.14 Peraturan naik haji tahun 1825 yang disempurnakan pada tahun 1831 ini meskipun tidak pernah diumumkan secara resmi dalam staatsblad, berlaku dalam waktu yang cukup lama yaitu hingga tahun 1852, ketika pada tahun tersebut peraturan baru dikeluarkan. Dalam konsideran peraturan tahun 1852 dinyatakan bahwa peraturan 1825 dan 1831 ternyata tidak berhasil membendung jumlah jemaah haji yang terus bertambah. Bahkan pada suatu pengadilan di Surabaya, ternyata H. Abd. Salam tidak bersedia membayar denda sebesar f. 220,- itu. Karena itu, peraturan 1852 ini menetapkan bahwa pas jalan tetap diwajibkan, tapi diberikan secara gratis, sedangkan denda dihapuskan sama sekali. Peraturan ini ditetapkan pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal Duymaer van Twist, seorang yang liberal dan progresif.15 Duymaer van Twist digantikan oleh Charles Ferdinand Pahud, seorang konservatif yang lebih senang mengambil tindakan dan mengatur kelompok yang diannggap akan menimbulkan kesulitan. Sikap ini tampak jelas dalam peraturan naik haji tahun 1859, yang pada prinsipnya berisi tiga ketentuan, yaitu : 1. calon haji harus minta pas jalan pada bupati, tanpa onkgkos resmi, 2. calon haji harus membuktikan bahwa dia mempunyai uang yang cukup banyak untuk biaya pulang dan pergi ke Mekah, dan biaya hidup keluarganya yang tinggal, dan 3. setelah pulang dari Mekah, para haji harus diuji oleh Bupati, atau orang yang ditunjuk oleh Bupati, dalam rangka menetapkan apakah seseorang berhak memakai gelar dan pakaian haji.16 Menurut Hurgronje, melalui peraturan 1859 ini pemerintah ingin mencegah dua macam penyalahgunaan : pertama, terhadap pribumi yang pergi naik haji tanpa menjamin keluarga yang ditinggalkan…, 14
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek….h. 235 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek….h. 236 16 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek….h. 237 ; juga Deliar Noer, Gerakan Modern….h. 32 15
119
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
kedua, terhadap tipuan pihak lain, yang karena kekurangan biaya perjalanan tidak mencapai tujuan,…17 Secara sepintas tampak bahwa peraturan ini memang demi rust en orde, sebagaimana selalu dikumandangkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Jika kita perhatikan secara mendalam, tampak pula bahwa ketentuan pertama agaknya memang bagus, sehingga dengan demikian semua warga Nusantara yang pergi naik haji dapat tercatat dengan baik, sehingga apapun persoalan yang dihadapi jamaah di tanah suci, pemerintah kolonial dapat dengan segera membantu. Tapi apakah mereka betul-betul membantu ketika para jamaah haji mengalami kesulitan? Begitu pula ketentuan kedua, sepintas sangat sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Islam, yaitu berkenaan syarat istitha’ah bagi para calon haji yang akan menunaikan iabadah haji.. Namun demikian, ketentuan ini sebenarnya memuat tujuan terselubung dari pemerintah kolonial Belanda untuk mempersulit penduduk menunaikan ibadah haji. Dalam prakteknya, pemeriksaan oleh Bupati dilakukan di tempat tingal calon haji, atau di atas kapal yang akan membawanya ke Mekkah, dengan menunjukkan uang minimal f. 500,-, sebagai syarat untuk memperoleh pas jalan. Menurut Hurgronje, peraturan yang dikeluarkan pada tahun 1852 ini adalah peraturan yang gila dan tidak masuk akal, sebab melakukan pemeriksaan terhadap sejumlah besar jamaah oleh petugas yang terbatas adalah suatu yang tidak mungkin, di samping membawa peluang untuk tidak jujur dan ketidakamanan calon haji. Dan suatu yang aneh pula bahwa para haji itu diuji oleh Bupati yang belum pernah ke Mekkah.18 Peraturan naik haji tahun 1859 yang dianggap gila dan tidak masuk akal oleh Snouck ini ternyata sanggup bertahan hampiri 50 tahun. Melalui peraturan tahun 1902, ketentuan ujian bagi para jamaah haji sehingga mereka berhak untuk menggunakan gelar dan baju haji, dihapuskan. Sedangkan keharusan calon haji untuk membuktikan kemampuan keuangan mereka dihapuskan melalui peraturan tahun 1905. Upaya pemerintah kolonial Belanda untuk menekan jumlah jamaah haji dan mengantisipasi berbagai pengaruh yang mungkin ditimbulkannya, tidaklah sebatas mengeluarkan berbagai peraturan yang dapat mempersulit proses naik haji, tapi juga dengan mengangkat Konsul Jenderal Belanda di Jeddah pada tahun 1872, dan mengirim Snouck Hurgronje pada tahun 1885 untuk tujuan “mengenal lebih dekat kehidupan sehari-hari orang Mekkah, dan ribuan Muslim yang tinggal di
17 18
120
C. Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan…., jilid IX, h. 171 Snouck C. Hurgronje, Kumpulan Karangan…., jilid IX, h. 171-176
Perhajian Di Abad-19 …
Mekkah, yang datang dari segala penjuru dunia, terutama orang-orang Indonesia yang disebut sebagai “Koloni Jawa”. Konsul Jenderal Belanda mempunyai tugas antara lain mengawasi para haji, khususnya para muqīmīn. Dalam menjalankan tugasnya, konsul Jenderal Belanda mempunyai seorang wakil yang bertempat tinggal di Mekkah. Dia harus memenuhi syarat tertentu, yaitu mahir berbahasa Arab, tidak menentang Belanda, dan tidak punya energi untuk selalu menghormati pegawai Arab dan Turki.19 Sedangkan Snouck yang masuk Mekkah dengan menyamar sebagai muslim bernama Abdul Ghaffar, bertugas meneliti dan mengamati situasi dan kondisi koloni Jawa di sana. Dengan penyamaran itu, dia dapat dengan leluasa “sebagai orang dalam” membicarakan masalah Islam dengan para ulama Mekkah. Dari hasil penelitian dan pengamatannya ia berkesimpulan bahwa di Mekkah lah terletak urat nadi kehidupan umat Islam yang akan mempengaruhi seluruh umat muslim, termasuk yang berada di Hindia Belanda. Pengetahuannya ini kemudian menjadi dasar baginya dalam merumuskan kebijakan politik Islam Hindia Belanda yang berbeda dengan politik Islam yang ditempuh sebelum Snouck menjabat sebagai Adviseur voor Inlandsche Zaken. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan dalih rust en orde, dirasakan oleh bangsa Indonesia sebagai suatu yang mempersulit mereka dalam melakukan ketaatan pada ajaran agama yang mereka yakini kebenarannya. Apalagi kecurigaan pemerintah kolonial Belanda kepada para haji dan ulama telah menyebabkan perburuan terhadap para guru agama di pulau Jawa. Perburuan itu dihentikan setelah Snouck, ternyata dapat menetralisir keadaan. Meskipun berbagai peraturan telah dikeluarkan dengan maksud untuk menekan jumlah dan pengaruh yang dibawa jamaah haji, namun kenyataan menunjukkan hal yang lain sama sekali dari yang diharapkan. Pada tahun 1927, jumlah jamaah haji dari Hindia Belanda mengalami lonjakan yang begitu tinggi, yang merupakan jamaah terbesar dibanding dengan jumlah jamaah dari negar-negara lain. Keadaan ini telah melatarbelakangi lahirnya Ordonansi Haji Tahun 1927. Menurut Suminto, meledaknya jumlah jamaah haji ini bisa dikaitkan dengan daya tarik kemenangan Ibnu Saud di Mekkah dan kemungkinan larinya agitator politik pribumi ke luar negeri dengan dalih naik haji.20
19 20
Lihat catatan kaki pada Aqib Suminto, Politik Islam Hindia…., h. 97 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia…., h. 204
121
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
III. Pengaruh Haji Terhadap Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia. Hurgronye dalam berbagai tulisannya menjelaskan bahwa meskipun jumlah jemaah haji dari Hindia Belanda selalu mengalami peningkatan jumlah, tapi mereka itu banyak yang kembali pulang sebagaimana mereka pergi dulu, kecuali sebagian kecil yang mungkin berbahaya, yaitu koloni Jawa, yang disebabakan oleh pergaulan selama bertahun-tahun, telah menciptakan kesadaran yang lebih tinggi tentang persatuan Muslim se dunia, dibandingkan dengan pengaruh yang diterima oleh para haji dalam waktu pendek.21 Koloni Jawa yang dimaksud oleh Hurgronye adalah tipe ulama dan murid pengembara dalam kategori Voll sebagaimana dikutip Azra.22 Di sisi lain Poensen sebagimana dikutip Noer menyatakan bahwa Tanah Arab bukan hanya tempat berkumpul dan pusat untuk menyatukan para haji yang taat, tetapi juga pusat untuk menyatukan para politisi dan para pemimpin berbagai bangsa Muslim yang berkumpul di sana, dan yang memancarkan berbagai kepentingan dan rencana politik. Di Tanah Arab ini pula para jemaah haji ini tukar menukar pendapat, dan jemaah yang pulang pun dibekali dengan berbagai kitab yang dapat meningkatkan perasaan agama dan kesadaran beragama.23 Apa yang dikatakan Poensen ini sebenarnya adalah pandangan missionaris. Apa yang terjadi agaknya tidaklah sejauh yang digambarkan oleh Poensen ini. Namun suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa ibadah haji yang berciri kosmopolit memang merupakan saluran komunikasi dan informasi yang penting, yang menurut Bruinessen telah mendorong rasa persatuan di Nusantara serta merangsang munculnya rasa anti kolonialisme, di mana masyarakat Jawa Mukim punya peranan penting sebagai perantara antara orang Nusantara dan gerakan agama maupun politik di bagian dunia Islam lainnya.24 Rasa anti Barat ini, kemudian telah memunculkan berbagai gerakan protes atas kehadiran penguasa asing, dan menginginkan agar pemerintahan mereka dihapuskan. Dan ketika penetrasi Belanda telah sampai ke tingkat di mana penguasa pribumi tersingkir secara perlahan, dan digantikan oleh sistem pemerintahn kolonial, pemberontakan di hampir seluruh wilayah Indonsia dimulai yang dipimpin – hampir 21
Snouck Hurgronye, Mekka in The Latter Part of the 19th Century, (Terj. J. H. Monahan), E. J. Brill, Leiden, 1931, h. 256 22 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994, h. 74 23 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1973, h. 31 24 Martin van Bruinessen, Kitab Kuniong, Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, 1994, h. 52
122
Perhajian Di Abad-19 …
seluruhnya – oleh kalangan ulama, guru ngaji, haji, dan lain sebaginya.25 Sikap memberontak itu ditopang pula oleh semangat keagaman yang merupakan proses sosial, di mana hal ini sangat erat berkaitan dengan tersingkirnya ulama dari kehidupan politik.26 Pengaruh dan campur tangan Belanda yang semakin lebar dan dalam atas kehidupan pribumi telah mengakibatkan terbaginya para ulama ke dalam dua kelompok, yaitu ulama yang dapat bekerja sama dengan Belanda, meskipun sebatas sebagai pegawai pemerintah dengan pangkat penghulu atau kadi, dan di piahk lain ulama yang tidak menjadi pegawai pemerintah, tapi menjadi ulama independen yang bekerja sebagai muballigh, guru ngaji yang memiliki kehidupan yang saleh.27 Ulama independen menurut Steenbrink merupakan inti dari gerakan keagamaan.28 Pengaruh perhajian terhadap perkembangan Islam di Indonesia pada abad ke-19 dan ke-20 pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari hubungan dan pengaruh ynag sudah ada sejak abad ke-16. Seperti diungkapkan oleh Azra, bahwa pada abad ke-17 dan ke-18 para ulama Melayu-Indonesia yang terlibat dalam jaringan ulama kosmopolit yang berpusat di Haramayn, memainkan peranan menentukan dalam menyiarkan gagasan pembaharuan, baik melalui pengajaran maupun karya tulis. Pembaharuan ini segera diterjemahkan di Nusantara, sehingga Islam di wilayah Melayu-Indonesia, yang semula didominasi mistis, segera beralih pada Islam yang berorientasi pada tasauf dan syariat (hukum). Para ulama Melayu-Indonesia yang telah belajar di Haramayn pada paruh kedua abad ke-17, setelah pulang berusaha dengan sadar untuk menyebarluaskan neo-sufisme, di mana doktrindoktrin mistisisme filosofis tertentu dipertahankan karena sangat penting bagi setiap jenis tasauf, sekaligus juga memberi tekanan yang lebih besar pada kepatuhan total para penganutnya kepada syariat, serta mengajarkan aktifisme, sebab permasalahan duniawi dianggap sebagai salah satu langkah penting menuju pemenuhan cita-cita mistis. Hubungan terus berlanjut, di mana para ulama Melayu-Indonesia yang semakin banyak datang ke Haramayn, juga tidak lupa mencurahkana perhatiannya kepada berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia. Abd al-Shomad al-Palimbani umpamanya, tetap mempunyai perhatian 25
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesai Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, h. 65-67 26 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani BantenTahun 1988 : Kebangkitan Kembali Agama, dalam Ibrahim et. al, Islam di Asia Tengara, LP3ES, Jakarta, 1989, h. 218 27 Qoyim, Ulama Indonesia pada Akhir Abad XIX dan Abad XX, dalam Sejarah, no. 3, 1993, 27 28 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, h. 213-233
123
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
terhadap nasib muslimin Nusantara yang tengah menghadapi ekspansi Belanda, sehingga satu persatu kerajaan Islam jatuh ke bawah kekuasaan mereka. Perhatian tersebut ditunjukkan melalui anjuran untuk jihad yang ditulisnya di dalam bukunya Nashihah al-Muslimin wa Tadzkirah al-Mukminin fi Fadhail al-Jihad fi Sabil Allah, serta surat-surat yang dikirimkannya kepada raja-raja Jawa yang berisikan desakan untuk melakukan perang suci melawan penguasa kafir. Bahkan Daud al-Fatani telah meletakkan konsep Dar al-Islam dan Dar al-Kufr dalam ajarannya tentang jihad.29 Seruan jihad seperti yang disampaikan oleh al-Palimbani dan alFatani agaknya adalah warna baru perkembangan Islam abad ke-18. Seruan ini mulai menampakkan aktivitas dan pengaruh yang nyata pada abad ke-19, ketika dominasi Belanda dirasakan sudah semakin jauh menggeser kekuasaan elit pribumi, dan ketika umat Islam merasakan bahwa ruang gerak mereka semakin sempit, yang diikuti oleh kecurigaan yang berlebihan dari pihak kolonial Belanda terhadap berbagai aktivitas mereka. Hal tersebut telah menimbulkan berbagai peristiwa kekerasan, yang menurut Qoyim dan Kartodirjo merupakan gejala umum yang menampakkan diri di seluruh wilayah Indonesia pada abad ke-19, sejak dari Perang Paderi (1921-1937) hinga Perang Aceh (1872-1904), di mana hampir semua perlawanan itu dipimpin oleh kalangan ulama, guru ngaji, haji, dan lain sebagainya.30 Diawali dengan kepulangan tiga orang haji dari Mekkah ke Minangkabau, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang pada awal abad ke-19 (1803), semangat revolusioner yang dimiliki oleh Tuanku nan Renceh, yang kurang setuju dengan sikap gurunya, Tuanku nan Tuo, yang dianggapnya menjalankan pembaharuan secara kecilkecilan, menyala kembali. Perjalanan haji ketiga orang tersebut terdahulu bersamaan waktunya dengan dikuasainya Mekkah oleh kaum Wahabi, sehingga gerakan yang dilancarkan oleh ketiga orang haji bersama dengan Tuanku nan Renceh juga dilaksanakan secara keras, dalam rangka memberantas bid’ah. Pembaharuan yang dilakukan ini mendapat tantangan dari kaum adat ini menelan korban, yang kemudian mendorong kaum adat untuk meminta bantuan kepada pihak Belanda. Permintaan ini tentu disambut dengan tangan terbuka oleh pihak Belanda, karena itu berarti mereka dapat melakukan politik adu domba antara kaum agama dan kaum adat. Dengan demikian menurut Azra, pembahruan yang dilancarkan di awal abad ke-19 ini, yang membawa 29
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. III, Mizan, Bandung, 1995, h. 266-288 30 Qoyim, Ulama Indonesia pada Akhir Abad XIX dan Abad XX, dalam Sejarah, no. 3, 1993, h. 26 ; juga Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani BantenTahun 1988 : Kebangkitan Kembali Agama, dalam Ibrahim et. al, Islam di Asia Tengara, LP3ES, Jakarta, 1989, h. 212
124
Perhajian Di Abad-19 …
kepada konflik internal masyarakat Minangkabau telah dimasuki unsur asing, pada saat mana babak baru gerakan Padri (1821) dimulai, yaitu gerakan melawan penguasa asing.31 Gambaran terdahulu telah memperlihatkan bahwa para haji yang kembali ke Minagkabau di awal abad ke-19 yang telah terpengaruh oleh sikap radikal gerakan Wahabi, terdorong untuk melakukan gerkan sejenis dalam rangka memberantas bid’ah. Azra menjelaskan bahwa ketegangan antara gerakan Paderi dengan kaum adat memuncak, karena gerakan ini menolak rumusan yang ditawarkan kaum adat bahwa adat bersendi syara’, syara’ bersendi adat, dan ketika gerakan Paderi ini berakhir pada tahun 1837 jelas meraka berhasil memperkuat dan memperbesar pengaruh agama dalam sistem kemasyarakatan Minangkabau, yang dapat dilihat dari perumusan baru kerangka kehidupan beragama orang Minagkabau, yaitu adat bersendi syara’, syara’ bersendi Kitabullah”. Dengan mengutip Taufik Abdullah, Azra menyatakan bahwa konsekuensi lanjut dari slogan ini adalah kedudukan ulama dan guru agama semakin kuat dan sekolah-sekolah agama semakin banyak didirikan.32 Penetrasi Belanda memperlihatkan diri dengan jelas di Kesulthanan Banten, ketika di perempatan pertama abad ke-19, Belanda menggabungkan seluruh Banten ke dalam struktur administratif pemerintah kolonial. Itu berarti perlucutan kekuasaan Sulthan, sehingga ia menjadi penguasa tanpa kekuasaan. Tahun 1832 penetrasi kekuasaan Belanda semakin jauh, di mana sulthan terakhir dibuang ke Surabaya. Sementara itu, jabatan Pakih Najamuddin (qadhi) dihapuskan pada tahun 1859, dan diganti dengan jabatan penghulu yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial Belanda.33 Kartodirjo menjelaskan selanjutnya bahwa permusuhan yang sangat mendalam terhadap segala yang berbau asing dan kebencian terhadap dominasi Balanda yang menmdasari keresahan umum, menemukan jalan keluar berupa persekutuan dengan gerakan-gerakan keagamaan yang ekstrim, yang mengakibatkan tidak saja kuatnya gerakan-gerakan tersebut, tapi juag memperoleh sarana kelembagaan yang lebih efektif, yaitu tarekat.34
31
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara ………., Cet. III, Mizan, Bandung, 1995, h. 291-292 ; juga Taufik Abdullah, Islam dan …….., Jakarta : LP3ES, 1987, h. 117-118 32 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. II, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000, h. 128-129 33 Martin van Bruinessen, Kitab Kuniong, ………, Mizan, Bandung, 1994, h. 257 34 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani BantenTahun 1988 : Kebangkitan Kembali Agama, dalam Ibrahim et. al, Islam di Asia…….., LP3ES, Jakarta, 1989, h. 218-219
125
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
Tarekat inilah yang sangat ditakuti oleh Be;landa, di mana para haji berkumpul, dan dapat digunakan sebagai basis kekuatan untuk memberontak yang akan menggoyahkan sendi-sendi kekuasaan pemerintah kolonial. Selain itu, tarekat juga dianggap dapat menyediakan jaringan komunikasi yang dapat berfungsi sebagai matarantai yang memungkinkan mobilisasi massa. Tarekat yang didokumentasikan oleh Sartono Kartodirjo adalah Tarekat Qadiryah yang masuk di Banten pada paruh kedua abad ke-19, dan menjelang akhir abad abad ke- 19 dengan jelas menunjukkan kebangkitan dalam arti yang sebenarnya.35 Menurut Bruinessen, tarekat tersebut adalah Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang merupakan tarekat baru yang menggabungkan unsur-unsur dari berbagai tarekat lain. Tarekat yang didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas, seorang ulama Kalimantan Barat yang mengajar di Mekah pada perempatan ketiga abad ke-19 ini, dengan cepat menyebar ke Indonesia, khususnya di Banten, setelah orang-orang Indonesia lebih mudah dan lebih banyak mengerjakan ibadah haji, lantaran ditemukannya kapal bertenaga uap dan terusan Suez.36 Organisasi tarekat ini kemudian dibubarkan oleh Belanda dan sebagian pemimpinnya dibunuh atau disingkirkan, setelah gerakan protes petani Banten pada tahun 1888. Seperti telah dijelaskan terdahulu bahwa sebagai akibat dari kebijaksanaan politik Belanda yang merangkul sebagian ulama dan melepaskan sebagian lainnya, maka muncullah apa yang disebut dengan ulama independen. Ulama dari kelompok ini sebenarnya juga tidak senang dengan dominasi Belanda yang telah begitu jauh pengaruhnya sehingga telah mengakibatkan tersingkirnya elit pribumi. Ketidaksediaan mereka bekerjasama dengan pihak pemerintah kolonial telah mendorong mereka untuk mengambil jarak dengan pihak penguasa dan mengkonsentrasikan diri dengan pendidikan pesantren. Pesantren seperti dikatakan Bruinessen adalah gejala yang relatif baru, yang muncul pada abad ke-18 dan baru berkembang pesat pada paruh kedua abad ke-19.37 Hubungan yang semakin mudah ke Tanah Suci dan meningkatnya jumlah jemaah haji dari Indonesia serta jumlah muqimin di Mekah, telah banyak memberikan kemudahan masuknya berbagai informasi dari dunia luar, terutama Mekah dan Kairo ke Indonesia. Gerakan 35
Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani BantenTahun 1988 : Kebangkitan Kembali Agama, dalam Ibrahim et. al, Islam di Asia ……., LP3ES, Jakarta, 1989, h. 224-225 36 Martin van Bruinessen, Kitab Kuniong, Pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung, 1994, h. 275 37 Martin van Bruinessen, Kitab Kuniong, ………, Mizan, Bandung, 1994, h. 258
126
Perhajian Di Abad-19 …
pembaharuan yang ditiupkan al-Afghani dan muridnya Muhammad Abduh dari Kairo, dan yang disebarluaskan melalui al-‘Urwah al-Wustqa, telah ikut mempertinggi kesadaran orang Indonesia tentang arti penjajahan. Begitu pula majalah al-Manar yang diterbitkan oleh Rasyid Ridha, seorang murid Muhammad Abduh, banyak mempengaruhi pemikiran oang Indonesia. Pengaruh yang masuk melalui saluran ibadah haji ini segera menimbulkan gelombang pembaharuan di Indonesia, yang menurut Noer dimotori oleh para murid Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yaitu Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Abdul Karim Amrullah,dan Haji Abdullah Ahmad di Minangkabau, Kyai Haji Ahmad Dahlan di Jawa.38 Suminto dengan menguti pendapat Robert van Niel menyebutkan bahwa tujuan pembaharuan itu adalah : 1) meremajakan Islam sehingga tidak kalah dengan kemajuan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan pendidikan. Doktrin dasar Islam perlu dipelajari kembali, juga interpretasinya, agar memungkinkan menuju arah baru. Mereka yakin bahwa tidak ada pertentangan antara ilmu pengetahuan modern dengan iman yang benar, 2) memurnikan Islam dan meningkatkan semanagat pemeluknya. Menghimbau agar meninggalkan mistik dan pelbagai praktek pra Islam yang begitu kuat melibatkan orang-orang Indonesia.39 Dari uraian terdahulu terlihat bahwa kemudahan informasi dan komunikasi dengan Timur Tengah, baik melalui ibadah haji maupun para muqimin di Mekah yang juga mendapat pengaruh dari gelombang pembaharuan dari Kairo, Mesir telah menimbulkan gerakan pembaharuan pemikiran yang berusaha untuk membebaskan Islam dari pengaruh sinkretisme dan tarekat, menyelaraskan Islam dengan tuntutan dunia modern, sehingga memiliki vitalitas baru, sebagaimana yang dikatakan Suminto dengan mengutip Harry J. Benda. Suatu hal yang agaknya juga tidak boleh dilupakan bahwa Politik Etis yang diberlakukan pemerintah kolonial sejak awal abad ke-20, telah ikut pula memberikan pengaruh pada gerakan pembaharuan di Indonesia, yang tampak nyata dalam pemunculan dengan sistem pandidikan Barat. Berbagai usaha pembaharuan yang telah dilaksanakan sejak awal abad ke-19 yang terus meningkat sejak semakin mudahnya orang-orang Indonesia untuk melakukan ibadah haji merupakan kelanjutan yang tidak dapat dipisahkan dengan pembaharuan yang telah dilaksanakn pada abad ke-17 oleh al-Raniri, al-Sinkili dan al-Maqassari.
38
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam…………2, LP3ES, Jakarta, 1973, h.
38-40
39
Akib Suminto, Politik Islam…….., Jakrta : LP3ES, 1985, h. 93
127
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
IV. Penutup Dari uraian terdahulu dapatlah disimpulkan sebagai berikut : 1. Jumlah jemaah haji dari Hindia Belanda yang terus meningkat terutama sejak ditemukannya kapal uap pada pertengahan abad ke19 telah menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan dari pihak pemerintah kolonial akan fanatisme dan semangat Pan Islamisme yang dibawa para haji ini. Kekhawatiran tersebut telah menyebabkan para haji, ulama dan para guru ngaji dikejar-kejar, serta dikeluarkannya berbagai peraturan berkenaan dengan perjalanan haji dengan dalih demi ketertiban dan keamanan. Hal ini dirasakan muslim Indonesia sebagai suatu yang menghalangi mereka untuk menjalankan ibadah, yang kemudian bersama-sama dengan sebab lain yang menyertai penetrasi Belanda yang semakin jauh, telah menimbulkan kebencian dan permusuhan terhadap penguasa Belanda yang kafir. 2. Perasaan benci terhadap pemerintahan Belanda yang kafir menyadarkan mereka akan adanya ketimpangan antara penghayatan mereka bahwa umat Islam adalah khairu ummah, dengan kemyataan yang menunjukkan bahwa ummat terjajah. Semua ini mendorong mereka untuk berupaya menyelaraskan realita dengan penghayatan, melalui berbagai perjuangan. 3. Upaya tersebut telah dimulai di awal abad ke-19 melalui gerakan pemurnian yang dilakukan dalam rangka memerangi bid’ah dan khurafat yang banyak terjadi di tengah masyarakat. Gerakan ini adalah gerakan Paderi yang diawali dengan kepulangan tiga orang haji dari Mekah, yang kemudian memunculkan perang saudara di kalangan masyarakat Minagkabau, dan yang kemudian berlanjut menjadi perang melawan pemerintah kolonial Belanda. Gerakan ini berhasil meletakkan tatanan kehidupan masyarakat Minangkabau di bawah slogan adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah. 4. Penetrasi Belanda yang semakin jauh dan tersingkirnya elit pribumi telah meimbulkan berbagai gerakan protes yang bersekutu dengan gerakan kegamaan yang ekstrim, yang memperoleh sarana kelembagaan yang efektif, yaitu tarekat yang dapat menyediakan jaringan komunikasi yang dapat berfungsi sebagai matarantai yang dapat memobilisasi massa. Karena itu, pemerintah kolonial Belanda sangat takut dengan gerakan tarekat ini, sehingga setelah gerakan protes petani Banten pada tahun 1888, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang berkembang di Banten ketika itu dibubarkan. 5. Gerakan Paderi dan gerakan Petani Banten adalah gerakn keagamaan yang bersifat radikal. Selain itu, ulama independen yang tidak bersedia bekeja sama dengan pemerintah kolonial Belanda terus mengkonsentrasikan diri di pedesaan dengan pendidikan pesantren, yang juga terus memperoleh informasi pembahruan dari 128
Perhajian Di Abad-19 …
Timur Tengah yang dibawa melalui saluran komunikasi ibadah haji. Pengaruh reformasi yang berlangsung di Timur Tengah bersamasama dengan pengaruh Politik Etis pemerintah kolonial Belanda telah mendorong umat Islam untuk memodernisir pendidikan Islam dan meningkatkan semangat pemeluk Islam untuk meninggalkan pengaruh negatif sinkretisme dan tarekat, sera menyelaraskan Islam dengan tuntutan dunia modern. DAFTAR PUSTAKA Aqib Suminto, Politik Islam Hindioa Belanda, LP3ES, Jakarta, 1985 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. III, Mizan, Bandung, 1995 _____________, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. II, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 2000 ______________, Surau di Tengah Krisis : Pesantren dalam Perspektif Masyarakat, dalam Dawam Raharjo, Pergulatan Dunia Pesantren, P3M, Jakarta, 1985 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia, 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1973 Hurgronye, Ch. Snouck, Politik Haji 1899, dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronye, VIII, INIS, Jakarta, 1993 _______________, Pemerintah Jajahan Belanda dan Sistem Islam, dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronye, X, INIS, Jakarta, 1994 _______________, Mengenai Gerkan Ibadah Haji di Hindia Belanda, dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronye, X, INIS, Jakarta, 1994 _______________, Politik Haji Pemerintah Hindia Belanda, dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronye, IX, INIS, Jakarta, 1994 _______________, Nasehat-Nasehat C. Snouck Hurgronye Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936,Seri Khusus INIS VIII, Jakarta, 1993 _______________, Mekka in The Latter Part of the 19th Century, (terj. J. H. Monahan), E. J. Brill, Leiden, 1931 Ibnu Qoyim, Ulama Indonesia pada Akhir Abad XIX dan Abad XX, dalam Sejarah, nomor 3, 1993 129
AT-TA’LIM; Vol. 3, Tahun 2012
Pijper, G. F. Beberapa Studi Tentang Islam di Indonesia Abad ke XX, (terj.), UI-Press, 1987 _______________, Politik Islam Hindia Belanda, da;lam H. Baudet dan Brugmans, Politik Etis dan dan Revolusi Kemerdekaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1989 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888 : Kebangkitan Kembali Agama, dalam Ibrahim et. al., Islam di Asia Tenggara, LP3ES, Jakarta, 1989 _____________, Respons-Respons pada Penjajahan Belanda di Jawa : Mitos dan Kenyataan, dalam Prisma, nomor 11, 1984 Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984 Stoddart, L., Dunia Baru Islam, (terj.), Tanpa Penerbit, Jakarta, 1966 Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, LP3ES, Jakarta, 1987
130