PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI INDONESIA 1945-1960
Oleh :
NOOR ISHAK NIM: 204033203130
JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M/1430 H
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi berjudul “PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI INDONESIA 1945-1960”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Januari 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 26 Juni 2008 Sidang Munaqosyah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A NIP. 150 232 921
Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 150 282 120 Anggota,
Penguji I,
Penguji II,
Dra. Haniah Hanafi, M. Si NIP. 150 299 932
Dra. Hermawati, M.A NIP. 150 227 408 Pembimbing,
Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 262 447
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI INDONESIA 1945-1960”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Januari 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam. Jakarta, 26 Juni 2008 Sidang Munaqosyah Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A NIP. 150 232 921
Drs. Rifqi Muchtar, M.A NIP. 150 282 120 Anggota,
Penguji I,
Penguji II,
Dra. Haniah Hanafi, M. Si NIP. 150 299 932
Dra. Hermawati, M.A NIP. 150 227 408 Pembimbing,
Drs. Agus Nugraha, M. Si NIP. 150 262 447
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 22 Januari 2009
Noor Ishak
KATA PENGANTAR
Limpahan nikmat, barakah dan kasih sayank yang sangat besar telah menggetarkan hati dan menggerakkan lisan penulis untuk senantiasa mengukir rasa syukur ke hadirat Illahi Rabbi –Allah SWT–, atas semua yang telah kita lewati. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan nabi besar Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya serta para pengikutnya, yang telah memberi banyak pelajaran hidup kepada kita. Jika air mata ini harus tertumpah, jika raga ini harus tersungkur, dan jika jiwa ini harus berhimpun, maka semua itu adalah ungkapan rasa syukur yang paling dalam kepada Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan atas terselesaikannya skripsi yang penulis beri judul “ Pergerakan Parati Masyumi 1945-1960.” Sebagai sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa, apabila di dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya haturkan sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku Ketua dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Agus Nugraha, M.Si selaku Dosen Pembimbing. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua dedikasi dan perhatian dalam memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 5. Ibu Dra. Haniah Hanafi, M.Si selaku dosen penguji I, terima kasih atas perhatian, masukan, dan kritikan serta arahan yang beliau berikan kepada saya. penulis haturkan banyak-banyak terima kasih. 6. Ibu Dra. Hermawati, M.A, selaku dosen penguji II, saya hanya bisa bersyukur dan berterima kasih kepada beliau, sehingga saya mampu menyelesaikan dan menuangkan revisi tulisan ini. 7. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik Islam ( PPI ) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan. 8. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo ( Fakultas FISIP UI ), dan Perpustakaan LIPI ( Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ) yang banyak memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh literatur yang tersedia dan juga yang rela “menunggu” penulis hingga larut. 9. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada kedua orangtua, Ayahanda Chalimi (alm) dan Ibunda tercinta Zama’inah, Kakanda Ali Asrori beserta keluarga, Kakanda Zulianti beserta keluarga, Adinda Syamsul Arief beserta keluarga, dan Adinda Siti May Syaroh. Serta seluruh Keluarga Besar: Mbah Ahmad (alm), yang selalu memberi
semangat bagi penulis, Paman Hamzah beserta keluarga, Soelaiman, Salamun, Rohimin, dan Soekarwie, beserta keluarga masing-masing. Bibik, Ruhamah, Sri Aini dan Soekandar, Zainal Anwar, Beserta keluarga, Nufus Nitami dan Iray Agusti. Seluruh keluarga besar yang berada di Kudus. Mereka semua tak pernah lelah memotivasi penulis untuk menjadi lebih baik, terima kasih atas bantuan moral dan financial selama penulis menempuh study S1 di Ibu Kota. Dan mereka semua layak mendapat balasan surga dari Allah SWT. Amien 10. Kepada Kakanda yang terhormat Ali Asrori dan seluruh keluarga besar Istri Ali Asrori, terimakasih atas segala curahan perhatian dan dorongannya baik moral maupun spiritual kepada penulis. Semoga Allah senantiasa memberikan kesabaran dan kemanfaatan dalam setiap jejak langkah yang akan ditempuhnya. 11. Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Non-Reguler, Nufus Nitami (Psikologi), Ayu Sartika, Estria (Guru Bahasa Indonesia) Ade Nissa ( Ekonomi ), Sofyan (V.Onk), Tsani ( Kak Asep ), Yusuf Fadli ( Ucup ), Muhsin, Hudori, Zulfikar, Indra, Tya/Maulidia ( Sosiologi Agama ), Isti, Buhari, Tohid, Sa’di, Aziz, Fadil, Galo, Agus ( Awe ), Iin Solihin, Asep Muharuddin, Lia ( SA ), Surono, Saiman, Iray Agusti ( medan ), dr. Ricardo, Mas Harris, dan lain-lain. Keyakinan dan kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis. 12. Teman-teman yang tergabung dalam mengajar di SMA Yayasan Pendidikan Dharma Karya, Ibu Suparmi, Spd selaku Kepala Sekolah SMA, Kepala Bidang Pendidikan, Pengurus OSIS, dan teman-teman lain
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semangat perjuangan dan bantuan mereka selalu memberi inspirasi dan semangat bagi penulis. 13. Teman-teman yang tergabung dalam mengajar di SMP N 250 Jakarta, Kepala Sekolah SMPN 250, Pak Tumardi, Pak Tri, Pak Paryono, Bu Kristi, Bu Suyani, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas motivasi dan dukungannya. 14. Teman-Teman yang tergabung dalam mengajar di Yayasan Kesejahteraan BKUI Jakarta, Ibu Dra. Tutik selaku ketua Yayasan, Pak Andhi Alfian, Pak Rahmatullah, Ibu Hetty Novianti, beserta teman-teman yang lain tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas do’a restunya sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi dan wisuda sarjana. 15. Heningnya suasana malam, dan terangnya gemintang, rembulan, lampulampu jalan, hembusan angin, dan balutan semesta malam yang selalu setia menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Program NonReguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat. Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan kita sebagai manusia sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini, yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua. Jakarta, Mei 2009
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN .........................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii KATA PENGANTAR.................................................................................... iv DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah..........................................................
1
B. Sistematika Penelitian............................................................. 13 C. Tujuan Penelitian .................................................................... 13 D. Metodologi Penelitian............................................................. 14 E. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................... 15
BAB II
MASYUMI A. ..........................................................................................Aw al Berdirinya Masyumi............................................................ 16 B............................................................................................Asa s Partai Masyumi ................................................................... 23 C............................................................................................Sus unan Organisasi Masyumi ...................................................... 25 D. ..........................................................................................Ke anggotaan Masyumi ............................................................... 29
BAB III
DINAMIKA
PERGERAKAN
MASYUMI
DALAM
PERPOLITIKAN DI INDONESIA A. Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan politik Islam (1945-1947) ............................................................................ 38 B. Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948)............. 44 C. Masyumi dan Kabinet Hatta (1948-1949)................................ 52
BAB IV
MASYUMI DAN DEMOKRASI PARLEMENTER A. ..........................................................................................Ma syumi dan Kabinet Natsir (1950-1951).................................... 67 B............................................................................................Ma syumi dan Kainet Soekiman (1951-1952 )............................... 76 C............................................................................................Ma syumi dan Kabine Burhanuddin (1955-1956) .......................... 82 D. ..........................................................................................Ma syumi dan Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (1956-1957) ........... 84
BAB V
PENUTUP A. Saran ...................................................................................... 90 B. Kesimpulan............................................................................. 93
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 95
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah Wacana mengenai Pergerakan Masyumi 1945-4960 dalam diskursus perpolitikan di Indonesia sejak dahulu memang tidak pernah habis untuk di bahas. Perdebatanya dalam kaitan ini secara umum mengacu pada gagasan dan sentiment yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang sering hadir bersamaan dengan identits yang lain, seperti: agama, suku, bahasa, teretorial dan kelas. Oleh karena itu, pergerakan Masyumi adalah faham yang meyakini kebenaran dan pikiran, bahwa setiap bangsa seharusnya bersatu dalam komunitas politik yang dikelola dalam kehidupan bernegara. Benturan ideologi peran partai Masyumi belum berahir, tidak sedikit orang menilai bahwa peran Partai Masyumi dari beberapa Kabinet tidak bertahan lama, kaena mosi tidak percaya dari bebrapa anggota parlemen menjatuhkan kabinet-kabinet tersebut. Peran partai Masyumi sebagai kabinet tidak bisa hidup secara berdampingan secara harmonis. Walaupun sebagian umat muslim lain menganggap tidak ada sebuah pertentangan diantara keduanya. Pro-kontar tidak hanya berhenti disini saja, belum kita bahas lebih dalam, pertikaian ternayta bukan saja berlanjut dalam aspek politik, ekonomi, soasial, dan budaya, akan tetapi sampai keranah sejarah. Hitam-putihnya sejarah tidak lepas dari siapa yang berkuasa (membuat)
Meskipun partai Masyumi mendapat kesempatan memimpin kabinet, bukan berarti Masyumi memonopoli dalam menetukan anggota-anggota kabinetnya. Contoh kabinet Natsir merangkul berbagi partai antara lain dari: Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parinda, Katholik, Parkindo, dan Partai Syarekat Islam Indonesia. 1 Banyak literatur barat, mencatat sejarah kebangkitan nasionalsime sering kali dikaitkan dengan kebangkitan para pemimpin sekuler, termasuk Budi Utomo dan Partai Nasional Indonesia-nya Soekarno. Nasionalisme diyakini sebagai sebuah barang Impor dari Barat, dan para pemimpin di didik secara sekuler untuk memperkenalkan konsep tersebut di Negara Indonesia. Disinilah letak sejarah berkemabangnya sebuah Negara, tidak heran apabila banyak masyarakat yang menentang. Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Idonesia memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau
aktual
bersama-sama
untuk
mencapai,
mempertahankan,
dan
mengabadikan identitas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa tersebut. Pemahaman nasionalisme dari penulis adalah sebuah upaya untuk memperjuangkan dan mewujudkan sebuah negara-bangsa (nation state). Orientasi kenegaraan nasional dari konsep nasionalisme merupakan gerakan kemerdekaan dari dominasi kolonial, kemudian sebagai gerakan demokrasi. Oleh karena itu nasionalisme memiliki dua dimensi yang saling berkaitan, 1
. Haniah Hanafi, Partai-Partai Islam di Indonesia, (Hasil Penelitian FUF-UIN Jakarta, 2005). H. 44
yaitu dimensi internal dan eksternal. Dimensi internal merujuk pada kemampuan domestik untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi pembangunan nasional, terutama konsensus nasional untuk memperkecil bahkan meniadakan konflik-konflik internal itu yang lebih penting. Kemudian dimensi ekstrenal adalah mencerminkan kemampuan nasional suatu negarabangsa dalam menjalankan hubungan luar negerinya dengan berbagai aktor negara-negara tetangga. Dengan demikian nasionalisme merupakan faktor determinan dalam politik luar negeri suatu negara yang akan memepengaruhi efektifitas perpolitikan luar negeri.2 Pemikiran dan pergerakan nasionalisme maupun Islam bisa dilihat dari kebangkitan nasiomalisme dan Islam di Indonesia pada abad ke-20. sebagai mana sejarah mencatat bangkitnya pergerakan di Indonesia awal abad kedua puluh ditandai dengan perubahan kesadaran politik yang tumbuh dengan subur, yang tepatnya pada tahun 1920-1930, terjadi pergolakan pemikiran untuk mencari nilai dasar atau ideologi untuk memperjuangkan kemerdekaan atau
dalam bahasa Taufik Abdullah sebagai “dasawarsa ideologi” dalam
sejarah pergerakan di Indonesia.3 Nasionalisme berasal dari kata Nation yang dipadankan dengan bangsa. Dalam bahasa Indonesia, bangsa mempunyai dua pengertian yaitu pengertian antropologis-sosiologis, dan pengertian politis. Dalam pengertian antropologis dan sosiologis bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan
2 Ali Mahsan Musa, Nasionalisme Kiai kontruksi social berbasis agama, (Yogyakarta, PT. Lkis Pelangi Aksara, 2007) h. 32 3 Adihiyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme, (Jakarta, PT.Pustaka Al-kKausar. 2005), cet- 1. h.36.
suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing angggota merasa sebagai satu kesatuan Ras, Bahasa, Agama, Sejarah, dan Adat Istiadat. Sedangkan yang dimaksud bangsa dalam politik adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi, baik keluar maupun kedalam. Gelombang nasionalisme pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang melanda negara-negara Islam, telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perpolitikan umat Islam. Dalam kaitan ini, secara umum istilah nasionalisme mengacu kepada gagasan yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional yang hadir bersama identitas lain seperti, Agama, bahasa, suku, teritorial, dan kelas. Sehingga negara bangsa (nation state) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari umat Islam4. Oleh karena itu, nasionalisme atau kebangsaan adalah faham dan meyakini kebenaran, bahwa kebenaran setiap bangsa harus bersatu padu dalam komunitas politik yang dikelola secara rasional dalam kehidupan bernegara. Memasuki abad-21, serbuan globalisasi mengguncang sendi-sendi identitas nasional. Proses globalisasi yang berlangsung cepat, cendrung melenyapkan batas-batas negara dan nasionalisme. Bentuk perubahan sosial yang menyertai Era globalisasi tersebut, mempengruhi cara pandang masyarakat terhadap kehidupan dan semesta. Tatanan globalisasi ini semakin menjauhkan manusia dari kepastian moral dan nilai luhur yang telah dipegang-teguh sebelumnya. 4
Hans Kohn, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terj), (Jakarta: PT. Pembangunan dan Penerbit Erlangga,1984),h. 108
Jadi benarkah nasionalisme telah telah tiada? Dalam karya klasik Daniel Bell, The End of Ideology, nasionalisme adalah ideologi intelektual lama abad ke-19, dan ketika ideologi marxisme telah lumpuh (exhausted) dalam masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika, ideologi-ideologi baru semacam ini, seperti industrialisasi, modernisasi, Pan-Arabisme, warna kulit (etnisitas), dan nasionalisme justru menemukan momentum, kesadaran dan pemberdayaan menurut keperluan yang dihadapi, khususnya di negaranegara yang baru bangkit di Asia Afrika seusai perang dunia II. Jadi, nasionalisme memang surut di negara-negara maju, namun yang jelas nasionalisme tidak mati. 5 Pada dewasa ini di Indonesia, ada isu mengenai nasionalisme yang semakin memudar, indikasi seperti ini bisa dilihat dari fenomena yang berkembang pada tataran masyarakat (grass root) terutama pada generasi muda sedikit sekali dari salah satu mereka yang mengerti makna nasionalisme, terlebih mengaplikasikan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan keseharian dalam bingkai kebangsaan. Komposisi Indonesia sebagai bangsa yang sangat besar, baik dari segi luas wilayah negara (teritorial), ragam Agama, multi kultural dan multi etnis, yang meniscayakan terbangunnya nasionalisme secara kokoh. Kondisi yang sangat rentan tersebut di perparah dengan adanya mekanisme globalisasi dunia, yang membuat jarak geografis antara negara yang semakin tipis atau mengecil. Jika hal tersebut tidak dihindari atau diwaspadai dan diambil 5
Azyumardi Azra,Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000), h. 105.
tindakan preventif sedini mungkin, maka dapat berimbas hilangnya identitas suatu masyarakat bahkan negara. Salah satu hal penting yang dilakukan dalam pergerakan nasional adalah munculnya pencarian yang dilakukan oleh sekian banyak warga yang terdidik dari berbagai daerah yang berbeda, namun dalam lingkup wilayah yang sama yaitu Indonesia, dari Sabang sampai Meraoke. Pencarian identitas seperti ini ditopang oleh kecerdasan serta keberanian yang kuat. Hal seperti ini ditandai oleh berdirinya Masyumi, Karena organisasi ini berkaitan dengan tingkah laku dan kebudayaan, serta tujuannya adalah untuk memersatukan, dan menegakkan kedulatan republik Indonesia yang berlandaskan agama Islam serta memberikan pendidikan kepada warga negara
dan anak-anak
bangsa. Cara pandang terhadap sejarah sebuah pergerakan, baik bersifat sosial, pendidikan, maupun politik, dengan melihat motif atau tujuan dan latar belakang sosio-ideologis-politis, gerakan tersebut adalah sangat penting. Dengan begitu, maka akan diketahui secara jelas bagaimana paradigma, asumsi nilai, pemikiran dan ideologi untuk mencapai tujuan yang diinginkan, dengan gerakan tersebut dibangun oleh tokoh pendiri atau pengambil inisiatif, dalam konteks ini, kata kunci nasionalisme adalah supreme loyality terhadap bangsa. Kesetiaan itu muncul karena adanya kesadaran akan identitas yang berbeda dengan yang lain. Signifikansi nasionalisme dewasa ini pada dasarnya terletak pada kenyatan bahwa di dalam sebuah negara terdapat berbagai
kelompok yang berbeda. Nasionalisme dipandang sebagai kekuatan perekat agar negara tidak bercerai berai. Dapat kita lihat dalam organisasi yang berkaitan dengan tingkah laku dan kebudayaan, warga yang terdidik dapat menggerakkan perpolitik dengan tujuan untuk kemerdekaan, dan membebaskan dari penjajahan demi warga dan negara Indonesia. Dengan adanyan nasionalisme masyarakat Indonesia pada masa penjajahan yang perlu diperhatikan adalah politiknya, yang terpusat pada tercapainya kemerdekaan, dan yang lebih komitmen adalah kepada ajaran Islam.6 Sehingga ahirnya Masyumi dilahirkan, karena adanya pengumuman pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 yang menghendaki agar rakyat mendirikan partai. Terjadilah perbedaan pendapat, ketika akan melahirkan Masyumi, akhirnya pada tannggal 7 dan 8 November 1945 diadakan Muktamar Islam Indonesia di Yokyakarta yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai organisasi Islam dari masa sebelum perang sampai masa kependudukan Jepang. Ahirnya muktamar memutuskan mendirikan Majlis Syuro pusat bagi umat Islam Indonesia dan Masyumi dianggap sebagi satu-satunya partai politik bagi umat Islam. Politik dan agama sudah meluas di Dunia muslim lainnya, kemudian Islam menjadi salah satu kekuatan dalam peta kekuatan politik. Sehingga perkembangan politik pun pararel dengan kebangkitan reformisme Islam, yang
6
Herbert Feith, Lance Caslest, Pemikiran Politik Indonesia, 1945-1965, ( Jakarta, LP3S, 1988), h. 137.
di lahirkan dalam perputaran keanggotaan agar Peran partai Masyumi dapat dilihat sebagai wakil uamt, tanpa ada yang merasa tidak terwakili. Salah satu faktor yang berkaitan dengan persoalan politik umat Islam, adalah pandangan umum seperti pendapat Oliver Roy, (political Imagination) imaginasi politik dalam pengertian cakrawala, baik oleh sebagian besar komunitas Islam maupun non-Islam. Imaginasi politik tersebut berujung pada tumbuhnya suatu keyakinan akan ketidakterpisahan antara, Wilayah Agama, Hukum, dan Politik. Yang ditegaskan oleh Oliver Roy dan para pengamat politik Islam lainnya adalah memiliki elemen-elemen yang tidak sepenuhnya bisa direkonsiliasikan dengan pembangunan politik modern. Politik modern yang dimaksud adalah sebuah struktur, sistem, tatanan, atau konstruksi politik yang berjalan diatas logikanya sendiri. Tesis “berjalan diatas logikanya sendiri” antara lain ditandai oleh dianutnya ideologi negara-bangsa (nationstate) sebagai sebuah struktur, sistem, tatanan atau konstruksi politik yang sekuler. Imajinasi politik diatas adalah kenyataan kehidupan politik yang berjalan menurut logikanya sendiri sehingga menimbulkan gesekan yang tidak mudah untuk disintesiskan.7 Indonesia merupakan panggung politik yang cukup baik untuk menggambarkan tingkat sintesis antara Islam dan nasionalisme dalam politik modern. Tiga priodisasi politik Indonesia dengan jelas mencerminkan gesekan-gesekan yang masih belum terselesaikan secara baik, sehubungan dengan politik umat Islam Vis a Vis kehidupan politik nasional Indonesia. 7
Abdullah Nata, Azyumardi Azra, Problematika Politik Islam di Indonesia, ( Jakarta, P.T. Grasindo bekerja sama dengan UIN Jakarta pers 2002 ). hal. 155-158.
Upaya seperti ini hendaknya tidak dilihat sebagai “pemolitikan agama” yaitu menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh kekuasaan dan semacamnya, akan tetapi lebih pada “pengamanan politik” yaitu menjadikan agama sebagai pengawas para pelaku politik, agar tidak terjebak dalam politik Machiavelinisme, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Hal inilah yang menjadi acuan penulis untuk membahas tentang Pergerakan Masyumi di Indonesia 1945-1960. Masyumi merupakan partai politik yang mempunyai Tiga lapangan perjuangan yaitu: Pertama, memperluas pengetahuan dan percakapan umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Kedua, memperkokoh barisan umat Islam untuk berjuang mempertahankan agama, dan kedaulatan negara. Dan yang Ketiga adalah melaksanakan kehidupan masyarakat berdasarkan Iman dan Taqwa yang berprikemanusiaan, persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam. Priode pertama mencakup pengalaman 1945-1947 yaitu gesekan ideologis dan politis. Hal ini membawa akibat terpinggirnya peran politik umat Islam. Yang bergilir sejak awal kemerdekaan bersifat Inimical (bermusuhan dengan konstruksi ideologi nasional) oleh karena itu, keabsahan nasionalisme menemukan alasan yang bersifat kualitatif dengan adanya prinsip kewarganegaraan. Prinsip seperti ini memiliki daya reduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas atas persamaan. Dalam perkembangannya, prinsip kewarganegaraan mengalami proses pertumbuhan yang luar biasa sehingga dimaknai sebagai jantung dari konsep nasionalisme.
Priode kedua 1947-1948 adalah transformasi pemikiran dan praktek politik umat Islam terjadi dalam situasi kehidupan politik nasional besifat tidak kompetitif. Karena itu tranformasi hanya terjadi sebagian pemikir dan pelaku politik. Adapun ranah struktur, adalah ketidak adanya persetujuan perundingan tentang renvill, yang sering kali dipahami sebagai bentuk perpolitikan, atau strategi politik. Dalam pengertian ini, Partai Masyumi merupakan bagian dari fenomena politik. Oleh karena itu politik selalu berkaitan dengan kekuasaan, bahwa kekuasaan selalu berkaitan dengan persoalan pengendalian negara, maka partai Masyumi selalu berkenaan dengan bagaimana meperoleh dan menggunakan kekuasaan tersebut. Priode ketiga 1950-1951 yaitu dimulainya demokrasi parlementer berdasarkan UUDS 1950, massa yang kemudian sering di asosiasiakan dengan priode kehidupan demokrasi ini membuat kehidupan sosial-budaya, ekonomipolitik, hingga Agama, menjadi kompetitif (persaingan). Situasi seperti ini seolah-olah apa saja dapat dilakukan. Semangat inilah yang kemudian melahirkan reformalisasi politik Islam. Dengan itu, formalisasi pertama mengambil bentuk menjadikan Islam sebagai simbol dan asas partai. Islam dalam perkembangan ini tidak lagi bertahan sebagai identitas kultural, namun bersamaan dengan munculnya rasa nasionalisme yang membara, Islam menjadi ide politik yang terbuka untuk kemerdekaan bangsa. Oleh karena itu hubungan Islam telah menjadi kesadaran politik yang sangat kuat. Di Indonesia yang notabennya adalah penduduknya mayoritas Islam, mempunyai harapan yang sangat tinggi, dalam mengisi kemerdekaan dengan
rakyat yang sejahtera, hal seperti ini masuk akal karena kaum muslim dimanamana menghadapi kemiskinan.8 Sampai sekarang pergerakan Masyumi 1945-1960 akan terus menjadi wacana politik umat Islam di tengah-tengah modernisasi dan globaisasi yang hampir meruntuhkan identitas-identitas negara dan budaya nasional. Atas dasar inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengambil tema, “PERGERAKAN PARTAI MASYUMI 1945-1960” sebagai judul skripsi. Dalam berbagai skripsi yang berjudul tentang Masyumi, baik dari pembentukan, program kerjanya maupun yang lain sudah ada disebutkan, maka penulis lebih mengarahkannya kepada Pergerakan. Sebagai salah satu rujukan penulis adalah dari matarantai sejarah, “keputusan politik” yang mengenai titik kebangkitan nasional yang masih dan pasti memunculkan pendapat lain, suara-suara beda yang harus di dengar dan dipertimbangkan. Karena kejujuran suatu sejarah akan sangat tergantung sejauhmana kita bersedia menghiraukan dan membahas tentang
kenyataan-kenyataan lain
yang lebih mungkin. Selama beberapa tahun silam memang perbincangan masalah pergerakan Masyumi dalam persepektif Islam merupakan hal yang sangat umum kita dengar maupun kita baca, akibatnya banyak para aktifis Islam yang membuat jarak terhadap permasalahan ini. Sehingga konstribusi penulis memahami gerakan Islam dan Masyumi masih harus ditelusuri, apa yang menyebabkan berbeda dengan dari gerakan-gerakan tersebut. 8
Moeslim Abdurrahman, Islam yang Memihak, (Jogjakarta, P.T. LKiS Pelangi Aksara, 2005) h. 28
Dengan demikian, tidak kecil kemungkinan maknanya dalam sejarah Indonesia, adanya Masyumi yang sebelumnya tidak dipahami seperti ini, sekarang banyak kalangan Mahasiswa, maupun kalangan-kalangan umum, yang mempunyai kepedulian yang sangat besar, dan rela berkorban dengan harta, nyawa, ilmu, waktu, dan apa saja demi kemajuan bangsa. Tulisan ini adalah salah satu bentuk yang mengingatkan, bukan berarti gangguan bagi sifat kebangsaan dan gerakan-gerakan Masyumi. Berangkat dari etos kebangkitan nasionalisme (kebangsaan) Indonesia, maka penulis menyusun dengan sederhana dan keterbatasan, namun dengan harapan semoga menjadi bahan penyumbang penyadaran bagi mahasisiwa yang masih aktif di perkuliahan, demi menyongsong era kebangkitan nasional yang baru. Tentu sangat sederhana, tulisan penulis ini hadir dihadapan khalayak pembaca. Akan tetapi besar manfaatnya bila kita sama-sama memberi respon positif atas sekripsi yang penulis uraikan, dengan judul “Pergerakan Partai Masyumi di Indonesia 1945-1960” Insya Allah memberikan manfaat besar untuk kemajuan bersama.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Mengingat
kompleksitas
masalah
yang
akan
diteliti
dan
keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, maka masalah yang akan dibahas hanya akan dibatasi kepada perdebatan mengenai Pergerakan Partai Masyumi 1945-1960, dalam lingkup Partai Masyumi pada masa awal
Kemerdekaan Indonesia 1945. Pembatasan ini akan bermaksud untuk mempermudah dalam penulisan skripsi bagi penulis, agar skripsi ini lebih terfokus dan terarah.
2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas maka permasalahan ini dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana Pergeraka Partai Masyumi 1945-1960 yang mempunyai peran dan aktifitas perpolitikan di Indonesia serta mengatur sebuah negara yang berkulturkan Islam yang beberapa kali berganti-ganti kabinet?
C. Tujuan dan Manfaaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pergerakan Partai Masyumi di Indonesia 1945-1960
2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar memberikan manfaat, antara lain: a. Secara teoritis maupun akademis, diharapkan oleh penulis agar dapat memperkaya khazanah kepustakan perpolitikan
b. Secara praktis agar dapat memberikan masukan kepada mahasiswa yang lain agar bisa menilai dan merespon tentang kebaikan dan kejelekan yang menyangkut Pergerakan Partai Masyumi pada masa itu.
D. Metodologi Penelitian Tipe Penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan yang dibahas dengan menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, dan majalah, Analisa data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat eksploratif dengan menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah metode yang analitis. Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007.
E.Sistematika Penelitian Dalam sistematika penulisan dan penelitian ini, penulis membagi dalam Lima
bab. Yang masing-masing bab terdiri dari sub bab secara
sistematis. Hal seperti ini penulis bermaksud untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai uraian diatas, sehingga dapat memudahkan para pembaca dalam memahami penulisan ini: Bab I
Adalah pendahuluan yang berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Perumusan Masalah, Metode Penelitian dan Sistematik Penulisan.
Bab II
Pembahasan dalam bab ini adalah mengenai Awal berdirinya Masyumi, Asas Partai Masyumi, dan Keanggotaan Masyumi
Bab III
Pembahasan pada bab ini akan membahas tentang, Dinamika Pergerakan Masyumi dalam Perpolitikan di Indonesia, Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan Politik Islam, Masyumi dan Kabinet Syahrir (1945-1947), Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948), serta Masyumi dan Kabinet Hatta (1948-1949).
Bab VI
Pembahasan pada bab ini, akan membahas tentang Masyumi dan Demokrasi Parlementer, yang isinya Peran Masyumi dalam Kabinet Nasir (1950-1951), Masyumi dan Kabinet Soekiman (1951-1952), Masyumi dan Kabinet Boerhanuddin (1955-1956), Serta Masyumi dan Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (1956-1957).
BAB V
Bab ini adalah penutup atau bagian terahir dari penulisan skripsi, yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.
BAB II MASYUMI
A. Awal Berdirinya Masyumi Tumbuh dan berkembangnya partai-partai politik di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan adalah setelah dikeluarkannya maklumat pemerintah tanggal 4 November 1945. Maklumat tersebut berisikan bahwa pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik yang teratur dan difahami oleh masyarakat. Sejak keluarnya maklumat, maka berdirilah partai-partai politik, pada umumnya partai politik yang didirikan adalah kelanjutan dari organisasiorganisasi sosial dan partai politik yang sudah terbentuk pada masa kekuasaan kolonial belanda dan kekuasaan pendudukan Jepang. Antara lain adalah partai Masyumi, PNI, PKI, dan PSI. Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif sejarah sebuah gerakan, yang bersifat sosial, pendidikan, dan politik. Partai Masyumi lahir 7 November 1945 yang berdasarkan keputusan kongres Muslimin Indonesia di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Muhammadiyah adalah salah satu organ yang turut mensponsori berdirinya partai Masyumi.
9
dalam
pembentukan partai-partai politik, tampak jelas dalam pengorganisasian partai-partai politik, yang terpengaruh oleh ikatan primordial, seperti Agama, suku, dan kedaerahan. Dalam hal ini sangat kentara pada waktu pemilihan umum 1955. Pada waktu paska kemerdekaan Indonesia merupkan perwujudan 9
Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik Muhammadiyah dari ahmad Dahlan hingga Syafi’i Ma’arif, edisi Perdana, Vol. 1, mei 2003
dari aliran pemikiran yang ada dalam masyarakat politik Indonesia. Masyumi, Muhammadiyah dan NU merupakan perwujudan aliran pemikiran Islam, PNI merupakan perwujudan aliran nasionalisme Radikal, PKI merupakan perwujudan aliran Komunis, dan PSI merupakan perwujudan aliran sosialisme-Demokrat. 10 Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak satu kesatuan dalam kemerdekaan Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah (an historical accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah (an historical necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia. Dalam pembahasan seperti ini, penulis akan meluruskan kembali tentang Islam, Nasionalisme, dan Masyumi. Utamanya dalam rangka untuk mengantisipasi impact (dampak) yang sangat buruk untuk pertikaian ideologi kebangsaan yang terus berkembang di Indonesia, Indonesia adalah sebuah negara yang sebagian besar penduduknya adalah beragama Islam, mempunyai berbagai pembahasan hubungan antara Islam dan nasionalisme dalam konteks Indonesia kembali akan menyita banyak perhatian bagi akademisi dan banyak kalangan lain. Dalam persoalan aspek sosial, politik dan kemanusiaan, Islam mengakui aspek plural sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Berkaitan dengan persoalan nasionalisme, Masyumi berpandangan untuk menegaskan bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam baik dari segi ajaran maupun sejarahnya. 10
Herbert Feith dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta, P.T. LPES, 1988) h. 34
Inisiatif pembentukan Masyumi adalah inisiatif para tokoh partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman pergerakan, seperti Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasim, Muhammad Nasir, Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. SoekimanWirosandjojo, Kibagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah. Keputusan pembentukan Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam tersebut tidak hanya sekedar keputusan, akan tetapi sebuah keputusan dari seluruh umat Islam melalui wakil-wakilnya. Penilaian seperti ini cukup beralasan apabila Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang merupakan sebuah cerminan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam tersebut. 11 Secara eksplisit sistematika politik yang disusun Masyumi, adalah sebagai politik yang tidak terlepas dari fungsi-fungsi lain, seperti artikulasi kepentingan, seleksi kepentingan, dan komunikasi politik. Secara implisit upaya pendidikan politik Masyumi adalah usaha untuk mencapai tujuan, yang dengan cara menginsafkan dan memperluas pengetahuan kecakapan umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Perjuang politik Masyumi yang sangat kuat adalah perjuangan ideologi untuk menghadapi komunis yang diperjuangkan oleh PKI berdasarkan “teori-teori Marx, Engles Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung. Keyakinan Masyumi sebagai propaganda ideologi yang bisa menyesatkan adalah PKI, yang disebar luaskan melalui media cetak sepeti buku-buku tentang Marxise.
11
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press, 2004) h.9-10
Untuk
mengantisipasi
propaganda
tersebut
Partai
Masyumi
mengeluarkan sebuah kebijakan bagi para anggotanya, kebijakan itu adalah buku-buku yang bertemakan “sosialisme-religius” atau lebih dikenal dengan buku-buku bacaan keluaga Masyumi.12 Pilihan Islam sebagai ideologi partai Masyumi adalah sejalan dengan latar belakang pembentukan Masyumi. Karena cita-cita Islam sebagai ideologi Masyumi sudah tampak jelas, dalam rumusan tujuan yang pertama kali diputuskan dalam kongres umat Islam di Yogyakarta, pada tanggal 7-8 November 1945, pada pasal II ayat I, yang berbunyi kedaulatan Rebuklik Indonesia dan Agama Islam, adalah melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan ketatanegaraan. Dengan demikian, menegakkan Islam tidak dapat dipisahkan dari Masyarakat, Negara, dan kemerdekaan. Apabila dihubungkan dengan situasi tahun 1945, maka pembentukan Masyumi adalah dalam rangka menyalurkan aspirasi politik umat sebagai cerminan dari potensi yang sangat besar dan konkret. Pada masa itu, masa konkrit adalah masa yang tanpa pimpinan politik yang berasaskan Islam. Dapat dipahami pula bahwa munculnya masyumi pada tahun 1945 dipandang sebagi jawaban positif umat, terhadap manifiesto politik yang mendorong partai-partai, dan direspon oleh pihak-pihak lain. Sehingga umat Islam-pun merespon kesempatan tersebut dengan mendirikan partai yang berasaskan Islam, yang diberi nama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik yang berasaskan Islam di Indonesia pada waktu itu. 12
h. 96-97
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004)
Pada awalnya pendukung Masyumi terdiri dari empat organisasi yaitu Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Perserikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Dalam perkembengan Masyumi hampir semua organisasi Islam bergabung menjadi anggota. Ketua umum partai Masyumi yang pertama adalah DR. Soekiman, dia adalah pemimpin muslim yang terkenal dari Syarikat Islam, dan dia dibantu oleh pemikir-pemikir intelektual muslim muda, seperti Syarifuddin Prawiranegara, Muhmmad Roem, Mr. Kasman Singodimedja, Yusuf Wibisana, Abu Hanifah dan Mohammad Nasir. Dalam perkembangan berikutnya terdapat tiga kelompok dalam partai Masyumi yaitu, konserfatif, moderat, dan sosialis religius. Kelompok Konserfatif adalah terdiri dari pemimpin agama Islam, kelompok Moderat yang terdiri dari Mohammad Nasir, Syarifuddin dan Muhammada Roem, sedangkan kelompok Sosialis Religius, lebih berfikir secara kebaratan, seperti DR. Soekiman, Yusuf Wibisono, dan Abu Hanifah. Pada awal pembentukan partai Masyumi secara formal pernah mengalami kejayaan, yang berhasil mempersatukan umat Islam. Akan tetapi lima belas tahun kemudian nasib partai Masyumi sangat memprihatinkan. Karna Masyumi belum berhasil melakukan konsolidasi politik yang berkaitan dengan pengkaderan. Sehingga konsep dan pemikiran partai Masyumi belum menjadi semangat para tokoh yang terkait, hal seperti ini disebabkan adanya perbedaan yang mendasar tentang pola fakir para tokoh yang telah terkotak-kotak sebagaiman kita telah ketahui.
Dilihat dari pertumbuhan partai Masyumi yang secara sepontan dan para tokoh idealisnya yang berfariasi dapat diprediksi bahwa partai Masyumi akan menghadapi banyak kendala dalam mewujudkan misinya. Hal seperti ini dapat dibuktikan ketika Masyumi dihadapkan kepada pembahasan struktur yang tidak kunjung pernah selesai sebagaimana diungkapkan oleh M. Fahry. “Masyumi mengalami berbagi macam persoalan internal”, diantara persoalan internal tersebut, semenjak berdirinya sampai menjelang dibubarkan (1960), ini adalah persoalan struktural organisasi partai yang tidak pernah tertuntaskan.
Dari konggres ke
konggres
persoalan tersebut selalu
diperbincangkan, termasuk juga masalah keanggotaannya. Dari penuturan M. Fahri tersebut dapat digambarkan bahwa partai Masyumi adalah partai Islam yang belum berhasil membawa umat Islam dari hambatan yang dialaminya, baik dari dalam maupun dari luar. Keberadaan para tokoh yang irasionalnya masih belum cukup handal untuk menangkal pengaruh-pengaruh yang datang. Mekanisme Syura yang ada belum dapat memberikan solusi dari permasalahan yang diajukan, semua bertumpu pada integritas partai yang pada dasarnya melambangkan eksistensi Ukhuwah Islamiyah yang belum mantap.13 Konsep dan pemikiran (Visi dan Misi) partai Masyumi, adalah menegakkan kedaulatan Negara Republik Indonesia dan Agama Islam, dan yang kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan, sedangkan dalam anggaran dasar anggaran rumah tangga partai Masyumi yang tertuang dalam pasal III diungkapkan untuk:
13
Form, desertasi UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta, PPS 392, h. 90-97
1. Menginsafkan serta memperluas pengetahuan serta kecakapan umat islam indonesia dalam perjuangan politik 2. Menyusun dan memperkokoh barisan umat islam untuk berjuang dan mempertahankan agama dan kedaulatan negara 3. Melaksanakan kehidupan rakyat berdasarkan iman dan taqwa, pri kemanusiaan persaudaraan, dan persamaan hak menurut agama islam 4. Bekerja sama dengan golongan lain dalam lapangan perjuangan menegakkan kedaulatan negara. Dilihat dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagaimana tercantum diatas partai Masyumi adalah sangat toleran artinya, Masyumi ingin mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, (toyyibatun warobbun ghofur), dengan demikian Masyumi tidak meniggalkan kelompok minoritas selain Islam di Negara Republik Indonesia. Mereka diajak bersamasama berjuang untuk kepentinagn Negara dengan tidak mencampuri urusan peribadatan mereka sedikitpun, bahkan mereka diajak kerja sama untuk menegakkan kedaulatan negara. Pemimpin-pemimpin partai Masyumi menafsirkan konsep Syura dalam Al-qur’an dengan demokrasi parlementer sebagaimana yang telah berkembang di Barat, meski tidak selalu pararel dengan partai Masyumi, sikap Masyumi seperti ini memberikan kesan bahwa Masyumi benar-benar partai Islam yang konsisten dengan visi dan misinya benar-benar Islami. Dari uraian tentang visi misi secara umum tampaknya Masyumi cukup idealis dan moderat dalam konsep, namun dilihat dari perjalanan partai terdapat kondisi kemandegan, ini
berarti keempat macam tujuan usaha yang diungkapkan pada anggaran dasar yang begitu ideal tidak terimplementasikan dengan baik. Pada kegiatan partai selama Lima Belas tahun nampak ada kelemahan dalam pelaksanaan programprogramnya. Mungkin penyebabnya adalah lemahnya sistem menejerial keorganisasian anggota yang banyak tidak ditangani dengan sugguh-sungguh.
B. Asas Partai Masyumi Partai Masyumi adalah partai yang berasaskan Islam, yang tujuannya adalah agar terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan negara di republik Indonesia, untuk menuju keridhaan Ilahi. Pemilihan Islam sebagai asas Partai Masyumi adalah sejalan dengan pembentukannya, cita-cita Islam sebagai ideologi Masyumi sudah nampak dari rumusan yang pertama kali diputuskan oleh Konggres Umat Islam di Jogjakart, tanggal 7-8 November 1945, yaitu pasal II, yang berbunyi (1) menegakkan
kedaulatan
Republik
Indonesia
dan
Agam
Islam
(2)
melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan ketatanegaraan. 14 Asas tersebut mengemukakan agar semua hukum dan peraturan negara sesuai dengan hukum dan peraturan Islam. Hal ini tidak akan merugikan bagi yang berlainan agama karena ini tidak merugikan dan tidak ada prinsip Islam yang berlawanan dengan ajaran-ajaran agama-agama lain. Menurut Masyumi asas Islam, merupakan cita-cita yang bisa tumbuh dalam ketertiban dan keamanan, kekacauan akan memboroskan tenaga, harta dan jiwa,. Kekacauan 14
1951) h. 6
Prawoto Mangkusasmito, Memperingati enam tahun Masyumi, (Jakarta, P.T. Hikmah,
akan meruntuhkan segala usaha dan ihtiar. Oleh karena itu partai menolak setiap usaha dari pihak manapun yang mengakibatkan kekacauan dan kelumpuhan negara serta alat-alatnya. 15 Tafsir asas yang menimbulkan pendirian partai Masyumi secara dasar terumuskan pada tahun 1952 pada konggres ke-6 bulan Agustus. Ini merupakan tonggak sejarah dalam pertumbuhan Masyumi sehingga pertikaian dapat dikembalikan pada partainya. Tafsir asas ini bermula dengan uraian entang keadaan International. Perkembangan terjadi dengan dua kekuatan dan analogi yang dibuat dengan membandingkan cerita-cerita dalam al-Quran. Yaitu Kapitalis dan Matrealisme yang menghasilkan falsafah perebutan hidup. (struggle for life) dan kejayaan sikuat yang mengalahakan si lemah, sehingga mengakibatkan permusuhan antara majikan dan bueruh. Dengan demikian damai tidak akan muncul karena masyarakat terpecah dalam golongan yang bermusuhan tanpa berniat untuk mengutamakan kepentingan bersama. Komunisme
tidak
jauh
dengan
pernyataan
ini,
dalam
komunisme
kesewenangan diperbaharui, hak-hak rakyat ditindas, dan dunia juga ingin direbut. 16
15 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-1965, (Jakarta, P.T. Temprint, 1987), h. 138 16 Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Politik, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987), h. 138.
C. Susunan Organisasi Masyumi Cara pandang terhadap sejarah sebuah gerakan, baik bersifat sosial, pendidikan, maupun politik, maka harus melihat motif atau tujuan kondisi sosio-ideologis-politis gerakan tersebut adalah sangat dianjurkan. Maka akan mengetahui secara jelas bagaimana paradigma asumsi nilai, pemikiran, dan ideologi untuk mencapai tujuan gerakan yang akan dijalankan. Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif dan faktorfaktor yang melatarinya, suasana revolusi dan persaingan berbagi kelompok ideologi di Indonesia pasca kemerdekaan, serta peran tokoh-tokoh yang mengambil inisiatif ikut mewarnai pembentukan Masyumi. “Partai Politik Islam Indonesia Masyumi” didirikan dan di ikrarkan sebagai satu-satunya partai politik Islam pada 7 November 1945, yang berdasarkan keputusan konggres umat Islam di Jogjakarta. Inisiatif pembentukan ini berasal dari tokoh partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman pergerakan, seperti: Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Nastir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. Soekiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah. Keputusan membentuk Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam itu tidak sekedar sebagai keputusan tokoh-tokoh tesebut, tetapi keputusan dari seluruh umat Islam melalui utusan wakil-wakil mereka. Penilaian ini cukup beralasan apabila Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang mencerminkan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagmaan Islam sebagai berikut:
1. Majlis Syura (Dewan Partai) a. Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asj’ari (NU), Ketua Umum b. Ki Bagus Hadikusuma (Muhammadiyah), Ketua Muda I c. K.H. Wahid Hasjim (NU), Ketua Muda II d. Mr. Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), Ketua Muda III Anggota: a. R.H.M. Adnan (Persatuan Penghulu dan Pegawainya, PPDP) b. H. Agoes Salim (Penjadar) c. K.H. Abdul Wahab (NU) d. K.H. Sanusi (PUI) e. K.H. Abdul Halim (PUI) f. Syeh Djamil Djambek (Majlis Tinggi, MIT) 2. Pengurus Besar a. Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Partai Islam Indonesia, PII), Ketua Umum b. Mr. Muhammad Roem Wakil Ketua I c. Mr. Syamsudin Wakil Ketua II d. Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Ketua Muda I e. Wali Alfatah (PII) Ketua Muda II f. Harsono Tjokroaminoto (PSII), Sekretaris I g. Prawoto Magkusasmito (Muhammadiyah), Sekretaris II h. Mr. R.A. Kasmat (PII), Bendahara.
3. Pimpinan Bagian Penerangan a. Wiwoho Purbohadidjojo, (Menteri Penerangan) b. K.H. Wahid Hasyim, (Menteri Agama) 4. Utusan Luar Negeri a. Mr, Syamsudin, (Duta Besar Indonesia di Mesir) b. H. Dahlan Abdullah, (Duta Besar Indonesaia di Irak) c. Mohammad Roem, (Komisaris Tinggi Indonesia di Negeri Belanda) 5. Bagian Barisan Sabilillah dan Hizbullah: a. K.H. Masykur (NU) b. W. Wondoamiseno (PSII) c. Hasyim (Muhammadiyah) d. Sulio Hadikusumo (Jong Islamiten Bond, JIB) 6. Bagian Keuangan: a. Mr. R.A. Kasmat (PII) b. R. Prawiro Juwono (Muhammadiyah) c. H. Hamid BKN (Muhammadiyah) d. Harsono Tjokroaminoto (PSII) 7. Anggota-anggota: a. K.H. Dahlan (NU) b. Ki Bagus Hadikusumo c. H.M. Farid Ma’ruf (Muhammadiyah) d. Junus Anis (Muhammadiyah) e. K.H. Fathurrahman (NU)
f. Dr. Abu Hanifah g. Mohammad Natsir (Persis) h. S.M. Kartosuwiryo (PSII Baru) i. Anwar Cokro Aminoto (PSII) j. Dr. Syamsuddin (Muhammadiyah) k. Mr. Muhammad Roem (Penjadar) l. Mr. Syafruddin Prawiranegara Keterwakilan tokoh-tokoh berbagai organisasi Islam dalam Masyumi menceminkan sifat pluralisme sebagai “partai tunggal Islam” yang menghimpun semua potensi kekuatan politik Islam. Motif itu, menurut Yusril Ihza Mahendra didorong oleh pandangan-pandangan dasa modernisme yang positif dan optimis dalam memandang pluralisme. Perbedaan pandangan sebagai ramat Tuhan, karena perbedaan itu tidak bersifat fundamental, akan tetapi hanya berhubungan dengan masalah furu’iyah (perkara-perkara kecil). Tidaklah mengherankan apabila pada akhirnya para tokoh tersebut mengambil keputusan dalam pembentukan partai Masyumi guna menyatukan golongangolongan Islam kedalam satu partai politik yang kuat. Perakara-perkara besar yang dipandang perlu dan mendesak dilakukan menurut para tokoh pembentuk Masyumi adalah menyikapi suasana “revolusi Indonesia” dan persaingan berbagai ideologi politik dalam masyarakat Indonesia. Suasana revolusi sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Suasana tersebut tampak mempengaruhi rumusan tujuan dan program Masyumi yang
kelihatan sangat patriotik dan nasionalistik. Inilah yang perlu di garis bawahi, sebagai kemantapan judul sekripsi yang penulis uraikan. Tujuan Masyumi pada kongres Umat Islam itu adalah “menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam”, dengan senantiasa melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan. Pencapaian tujuan itu kemudian merumuskan program kerja sebagaimana terbaca pada paparan berikut:
D. Keanggotaan Partai Masyumi Keanggotaan partai Masyumi dibagi menjadi dua macam: 1. Perorangan: untuk menjadi anggota perorangan harus berumur 18 tahun atau sudah berkeluarga, tidak boleh merangkap anggota partai lain, dan setiap anggota mempunyai hak suara. 2. Organisasi (anggota Istimewa): anggota ini berdasarkan organisasiorganisasi, mempunyai hak nasehat atau saran. 17 Adanya
dua
macam
keanggotaan
ini
dengan
alasan
untuk
memperbanyak anggota dan agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat, tanpa tidak ada yang merasa terwaili. Pada mulanya yang menjadi anggota istimewa Partai Masyumi adalah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, Perserikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam, ahirnya bersatu menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia yang bersifat tradisional dalam bidang agama, tetapi modern dalam bidang keduniaan, sehingga memudahkan mereka untuk bekerja sama dengan kalangan modernis. 17
Dra. Haniah Hanafi, M.si, Partai-Partai Islam di Indonesia, (Hasil Penlitian FUF-UIN Jakarta, 2005)
Selain keempat organisasi tersebut, keanggotaan Masyumi mulai bertambah dengan masuknya Persisi (Bandung) pada tahun 1948 dan AlIrsyad Jakarta pada tahun 1950. dari Sumatra Utara ikut pula bergabung, yaitu Al-Jamiatul Wasliyah dan Al-Ittihadiyah dari Aceh, serta PUSA ikut bergabung pada tahun 1949-1953. orgaisasi-organisasi Islam didaerah pendudukan juga ikut bergabung dengan menjadi cabang Masyumi di daerah. Pada awalnya Masyumi kelihatan solid dan terkenal dengan integritas pribadi yang dimiliki oleh para pengurus Masyumi, namun ketika terjadi konflik antara Masyumi dengan Soekarno masalah Pemberontakan Pemerintah Revolusioner RI, maka para anggota istimewa Masyumi melepaskan ikatan dengan Masyumi. Selain anggota perorangan dan istimewa sebagai pendudung partai ini, Masyumi mencoba menggalang dukungan melalui “anak organisasi” 17 yang didirikan, seperti Muslimat, Persatuan Dagang Islam Indonesia, Persatuan Tani Indonesia, yang didirikan masa revolusi. Persatuan Nelayan Islam Indonesia, Persatuan Buruh Islam Indonesia didirikan pada tahun 1950-an. 18 Partai Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada tahun 1960 dapat dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai Masyumi juga mengemukakan dialog yang produktif antara Islam dan demokrasi, sejarah partai ini dapat dilihat dari kegiatan maupun programprogramnya mengenai identitas Islam dihadapan pluralisme politik. Selama massa begejolak yang dialami Indonesia, partai Masyumi menyusun dan
18
Haniah Hanafi, Partai-Partai Islam di Indonesia, 32-34
mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan subtitusi dari pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar Negara Islam didirikan di Indonesia. 19 Pemilu 1955, adalah pemilihan umum yang pertama kali dilaksanakan semenjak Indonesia merdeka, pada awalnya pemilu direncanakan pada tahun 1946, enam bulan setelah kemerdekaan. Nemun situasi yang tidak memungkinkan karena adanya perang kemerdekaan akibat agresi Belanda I dan II, jadi pelaksanaan pemilu tertunda. Pada saat memasuki demokrasi parlementer, setiap kabinet dalam programnya mencantumkan pelaksanaan pemilu. Namun hal ini tidak terjadi karena perebutan kekuasaan yang mengakibatkan kabinet jatuh-bangun, sehingga menimbulkan dampak tidak terlaksananya program pelaksanaan pemilu. Kabinet Hatta (Desember 1949-Agustus 1951) pada mulanya berencana untuk menyelenggarakan pemilu sebagai program kerjanya, sehingga suatu dewan konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah Negara RI, mengambil bentuk suatu Negara Federal atau Negara Kesatuan. Namun dorongan kuat dari rakyat Indonesia untuk Negara kesatuan melalui Mosi Integrasi Nastir, ahirnya membatalkan pemilu. Kabinet Nastir (September 1950-Maret 1951) adalah menerusakan kebijakan, sebelumnya serta mengajukan suatu RUU pemilihan atas dasar pemilihan tidak langsung. Namun kabinet Nastir keburu jatuh sebelum RUU diajukan keparlemen. Kabinet Soekiman (April 1951-Februari 1952) adalah 19
Ahmad Syafi’I Ma’arif, (DKK) lslam dan Nilai-Nilai Universal, ( Jakarta, International Center for Islam and Plularism ICIP), cet 1, Juli 2008, h. 60
meneruskan kebijakan kabinet sebelumnya, yaitu mengajukan RUU, namun ditolak juga oleh parlemen, karena parlemen menghendaki adanya pemilihan umum secara langsung. Menurut Herbert Feith, adanya penundaan-penundaan, pemilu di Indonesia adalah, pertama, banyaknya anggota parlemen yang mendapatkan kursi namun keadaannya belum normal. Karna itu mereka sadar bahwa apabila pemilu dilaksanakan akan di copot dari jabatannya. Kedua adanya kehawatiran pemilu akan menggeser Negara yang ber-ideologi islam. Pemilu bisa terlaksana pada kabinet Burhanuddin Harahap (salah satu ketua dari Masyumi), pada tanggal 29 September 1955, pemilu dilaksanakan guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR dan konstituante. Dalam pemilu ini tidak kurang dari 28 partai politik peserta pemilu, dengan menganut sistem proporsional. Yang secara garis besar dilihat dari segi ideologi, dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, Islam, Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme.
20
Namun ketiga aliran dasar itu
muncul kedalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan mereka mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas dan demokratis. Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama Masyumi dan PNI, yang sebelumnya mempunyai harapan besar akan menang (Masyumi) yang hanya memperoleh kursi 75, dalam parlemen dari jumlah total 257 kursi yang diperebutkan. Sedangkan NU mendapatkan kursi 45, dan 20
h. 46-47
Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004),
PKI, 39. dan partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Hasil perolehan yang hampir sama dengan kekuatan nasionalis, maka akan sukar bagi golongan Islam untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante. Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai pemenang pemilu tersebut dapat dilihat bahwa semua umat Islam yang mayoritas, untuk memilih partai-partai Islam. Bahkan sebagian diantara mereka memilih partai-partai sekuler dan partai atheis, (PKI). Hal ini memang umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam. Karena Islam di Indonesia terdiri atas Islam Santri dan Islam Abangan. Pemilihan umum bagi Masyumi telah menjadi perhatian khusus sejak Muktamar ke-III di Kediri tahun 1947, dan termasuk sebagai urgensi program Masyumi adalah revolusi untuk memperahankan kemerdekaan dari penjajahan oleh Belanda, sejak penyerahan kedaulatan Masyumi dikasih kesemepatan untuk memimpin pemerintahan, dan pemilu menjadi hal penting dalam tiaptiap Kabinet sampai dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. UU ini berhasil diterapkan oleh kabinet Wilopo, dan Muhammad Roem (Masyumi) menjabat sebagai Menteri dalam Negeri yang bersama-sama dengan Menteri Kehakiman bertanggung jawab atas terselenggaranya Pemilu. 21 Masyumi sebagai partai politik terbesar,
tentunya
mempunyai
karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat 21
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, h. 75.
Islam keseluruhan di Indonesia. Dalam wadah partai Masyumi berhasil menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia sehingga menjadi bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada waktu itu memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsat, sehingga umat Islam berada dalam satu pimpinan. Masyumi bekerja sama dengan partai-partai Islam lain untuk memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara republik Indoneisa dalam konstituante. Ini merupakan konsekwensi dan cita-cita Masyumi untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ada hal lain yang perlu dipahami, bahwa memperjuangkan cita-cita Negara berdasarkan Islam melalui musyawarah dalam konstituante hasil pemilu betapapun tidak bertentangan dengan undang-undang yang sudah di bentuk pemerintah sebelumnya dan sudah berlaku. Secara umum dapat dikatakan bahwa prilaku politik Masyumi selama priode kritis pada waktu itu memang tidak ada cacat sedikitpun, karena Masyumi keperpihakannya terhadap martabat Negara Republik Indonesia begitu jelas, penuh konsisten dan penuh dengan perhitungan. Dengan rumusan serta tujuan yang hendak diperjuangkan oleh Masyumi adalah menciptakan Indonesia yang bercoraka Islam, namun memberikan kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan aspirasi politik sesuai dengan ideologinya masing-masing. 22
22
Ahmad Syafi’I Ma’arif, islam dan politik Indonesia Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, (Jogjakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988), h. 33
Masyumi melibatkan diri sebagai peranan penting dalam kancah politik demokrasi parlementer pada tahun 1950 dan 1957 adalah menginginkan sebuah Negara Islam, dan ingin membentuk pemerintahan yang berpandangan pragmatis, serta ingin berkoalisi dengan partai-partai sekuler dan Kristen. Pada awal demokrasi parlementer, Masyumi mengalami ketimpangan dalam pembagian kekuasaan pemerintahan yang terkesan kurang adil, sehingga Masyumi tidak terlalu banyak andil dalam Kabinet. Akan tetapi Masyumi lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada mempersoalkan kepentingan partainya sendiri, oleh karena itu Masyumi tidak setuju dengan adanya perubahan sistem kabinet presidensil ke kabinet parlementer.23 Masyumi dan pemerintahan pada Massa 1955-1960 adalah priode pemilihan umum yang ditandai dengan munculnya empat partai besar, yaitu Masyumi PNI, NU dan PKI. Pada bulan Maret 1956-1957 terbentuk kabinet Sastroamidjojo II dan aktifnya Soekarno sebagai Presiden Konstitusional menurut undang-undang dasar sementra 1950 kedalam persoalan politik praktis. Pada posisi cabinet ini Masyumi mewakili kedudukan sebagai Perdana Menteri dalam kepemerintahan. Dalam priode 1956-1957 Presiden Soekarno mengumumkan konsepnya yang terkenal dngan nama Demokrasi Terpimpin, dengan pernyataan in Masyumi menghadapi perubahan-perubahan. Sementara wakil-wakilnya di konstituante dengan gigih memperjuangkan terciptanya sebuah konstituante 23
Jajang Muttaqin, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah PRESS, 2004), h. 51-52.
yang mencerminkan aspirasi-aspirasi Islam, yang berhubungan dengan ideologi Negara.
Dalam priode ini juga terjadinya peristiwa PRRI yang
melibatkan sejumlah tokoh penting Masyumi yang dan dikeluarkannya dekrit Presiden serta terbentuknya Kabinet Djuanda. Sedangkan pada tahun 1959 dan 1960 merupakan tahun yang menimbulkan ketegangan bagi kalangan Masyumi baik didalam pemerintahan maupun didalam partainya, karena pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan Presiden (Penpres) No. 7 / 1959 yang mengatur kehidupan partai politik dan pembubaran partai. Penetapan tersebut memberikan hak kepada Presiden untuk menindak partai-partai yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar Negara, atau pula pemimipinya terlibat dalam pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan. Setelah penetapan tersebut, tepatnya pada tahun 1960 dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 / 1960 yang secara resmi memerintahkan pembubaran partai Masyumi. Tepatnya pada jam 05.20 pada tanggal 17 Agustus 1960, dimana pemimpin pusat Masyumi menerima surat dari direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal keputusan, pemimpin partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Dan pembubarannya harus diberitahukan oleh Presiden, kalaupun tidak partai Masyumi akan di umumkan sebagi partai terlarang.
Apa yang saya tulis sebagai skripsi ini adalah salah satu karya cemerlang dari karir politik Masyumi, karya politik itu adalah prestasi partai dalam membela bangsa dan Negara. Karena pembelaan itu memang dituntut pada setiap patriot Indonesia. Prestasi politik yang cemerlang perlu kita menengok lebih dekat “dapur Masyumi” yang di huni berbagai kecendrungn keagamaan dan politik yang sulit dipersatukan. Fenomena subkelompok dalam Masyumi tersebut berdasarkan kategori yang dibuat oleh Wahid Hasyim, yaitu saling bertabrakan untuk memahami masalah sengketa di dalam partai.
BAB III DINAMIKA PERGERAKAN MASYUMI DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA
E. Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan Politik Islam Pendeknya usia piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme Indonesia tidak mengendorkan semangat perjuangan politik umat Islam di alam kemerdekaan. Bila selama ini kesatuan gerak politik di kalang organisasi dan partai-partai Islam yang dirasakan tidak memadai sebagai wahana perjuangan, maka dipandang sudah sangat mendesak agar umat merapatkan barisan dalam satu partai politik. Partai politik itu ialah Masyumi, tapi bukan Masyumi buatan Jepang, “seperti yang dibentuk pada 1943, atas kebaikan” penguasa Jepang di Indonesia. Masyumi yang berdiri pada tanggal 7-8 November 1945 sepenuhnya merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin umat Islam dalam sebuah konggres yang bertempat di gedung Madrasah Muallimin Muhammadiyah Jogjakarta. Dilihat dari data sosiologis umat, pendukung utama partai Masyumi adalah Muhammadiyah dan NU. Jadi jelas secara ideologis, Masyumi adalah kelanjutan dari MIAMI, tapi kali ini menghususkan perjuangan dibidang p[olitik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Selain Muhammadiyah dan NU, hampir semua organisasi Islam di Indonesia kecuali Perti, mendukung kehadiran Masyumi sebagai satu-satunya
partai umat Islam di Indonesia. Kemudian Masyumi tampil sebagai pembela demokrasi yang tangguh dalam negara demokrasi Indonesia. Dalam konggres November itu, tercatat sebagai ketua panitia adalah Mohammad Natsir dengan anggota-anggota: Soekiman Wirjosendjoyo, Abikusno Tjokrodjujoso, A. Wahid Hasyim, Wali Al-fatah, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII dan A. Gaffar Ismail. Dalam konggres diputuskan bahwa Satu, Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, Dua, Masyumilah yang akan memmpejuangkan nasib (politik) uamt Islam Indonesia. Dengan ikrar ini, berati eksistensi partai Islam yang lain tidak diakui lagi. Masyumi priode awal terdiri dari Majlis Syura yang diketuai oleh K.H. Hasyim Asyari, dan pengurus besar (Badan Eksekutif) yang diketuai oleh Soekiman Wirdjosenjojo. Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif sejarah sebuah gerakan, yang bersifat sosial, pendidikan, dan politik. Partai Masyumi lahir 7 November 1945 yang berdasarkan keputusan kongres Muslimin Indonesia di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Muhammadiyah adalah salah satu organisasi yang turut mensponsori berdirinya partai Masyumi.
24
dalam pembentukan partai-partai politik, tampak jelas dalam pengorganisasian partai-partai politik, yang terpengaruh oleh ikatan primordial, seperti Agama, suku, dan kedaerahan. Dalam hal ini sangat kentara pada waktu pemilihan umum 1955. Pada waktu paska kemerdekaan Indonesia merupkan perwujudan dari aliran pemikiran yang ada dalam masyarakat politik Indonesia. Masyumi, 24
Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik Muhammadiyah dari ahmad Dahlan hingga Syafi’i Ma’arif, edisi Perdana, Vol. 1, mei 2003
Muhammadiyah dan NU merupakan perwujudan aliran pemikiran Islam, PNI merupakan perwujudan aliran nasionalisme Radikal, PKI merupakan perwujudan aliran Komunis, dan PSI merupakan perwujudan aliran sosialisme-Demokrat. 25 Kekuatan sekaligus kelemahan Masyumi menurut analisis, yaitu terletak pada sifatnya yang federatif. Menurut A.R. Bawesdan (1909-1986) salah seorang pemimpin penting Masyumi dan mantan pendiri PAI (Partai Arab Indonesia). Masyumi, berhasil menarik hampir semua organisasi Islam Indonesia, sedangkan mereka tetap mempunyai otonomi dalam kegiatan sosiokeagamaan mereka. Kelemahan Masyumi juga terletak pada semangat golongan mereka yang selalu lebih dominan dalam partai ketimbang semangat persatuan. Kenyataan seperti inilah yang sering menempatkan Masyumi pada posisi yang sulit dalam menyusun badan eksekutif yang kuat dan handal. Kegagalan dalam mengarahkan dan mengteluarkan semangat golongan yang hedrogen telah membawa partai Masyumi berhadapan dengan masalahmasalah intern yang serius. Apalagi posisi-posisi politik formal dalam negara yang baru merdeka tidak jarang mempunyai daya tarik tersendiri bagi pemimpin-pemimpin partai yang berasal dari berbagai golongan umat. Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak satu kesatuan dalam kemerdekaan Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah (an historical accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan
25
Herbert Feith dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta, P.T. LPES, 1988) h. 34
panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah (an historical necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia. Inisiatif pembentukan Masyumi adalah inisiatif para tokoh partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman pergerakan, seperti Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasim, Muhammad Nasir, Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. SoekimanWirosandjojo, Kibagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah. Keputusan pembentukan Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam tersebut tidak hanya sekedar keputusan, akan tetapi sebuah keputusan dari seluruh umat Islam melalui wakil-wakilnya. Penilaian seperti ini cukup beralasan apabila Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang merupakan sebuah cerminan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam tersebut. 26 Secara eksplisit sistematika politik yang disusun Masyumi, adalah sebagai politik yang tidak terlepas dari fungsi-fungsi lain, seperti artikulasi kepentingan, seleksi kepentingan, dan komunikasi politik. Secara implisit upaya pendidikan politik Masyumi adalah usaha untuk mencapai tujuan, yang dengan cara menginsafkan dan memperluas pengetahuan kecakapan umat Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Perjuang politik Masyumi yang sangat kuat adalah perjuangan ideologi untuk menghadapi komunis yang diperjuangkan oleh PKI berdasarkan “teori-teori Marx, Engles Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung. Keyakinan Masyumi sebagai propaganda ideologi yang
26
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press, 2004) h.9-10
bisa menyesatkan adalah PKI, yang disebar luaskan melalui media cetak sepeti buku-buku tentang Marxise. Untuk
mengantisipasi
propaganda
tersebut
Partai
Masyumi
mengeluarkan sebuah kebijakan bagi para anggotanya, kebijakan itu adalah buku-buku yang bertemakan “sosialisme-religius” atau lebih dikenal dengan buku-buku bacaan keluaga Masyumi.27 Pada awalnya pendukung Masyumi terdiri dari empat organisasi yaitu Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Perserikatan Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam. Dalam perkembengan Masyumi hampir semua organisasi Islam bergabung menjadi anggota. Ketua umum partai Masyumi yang pertama adalah DR. Soekiman, dia adalah pemimpin muslim yang terkenal dari Syarikat Islam, dan dia dibantu oleh pemikir-pemikir intelektual muslim muda, seperti Syarifuddin Prawiranegara, Muhmmad Roem, Mr. Kasman Singodimedja, Yusuf Wibisana, Abu Hanifah dan Mohammad Nasir. Dilihat dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagaimana tercantum diatas partai Masyumi adalah sangat toleran artinya, Masyumi ingin mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, (toyyibatun warobbun ghofur), dengan demikian Masyumi tidak meniggalkan kelompok minoritas selain Islam di Negara Republik Indonesia. Mereka diajak bersamasama berjuang untuk kepentinagn Negara dengan tidak mencampuri urusan peribadatan mereka sedikitpun, bahkan mereka diajak kerja sama untuk menegakkan kedaulatan negara. 27
h. 96-97
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Syafira Insani Press, 2004)
Pemimpin-pemimpin partai Masyumi menafsirkan konsep Syura dalam Al-qur’an dengan demokrasi parlementer sebagaimana yang telah berkembang di Barat, meski tidak selalu pararel dengan partai Masyumi, sikap Masyumi seperti ini memberikan kesan bahwa Masyumi benar-benar partai Islam yang konsisten dengan visi dan misinya benar-benar Islami. Dari uraian tentang visi misi secara umum tampaknya Masyumi cukup idealis dan moderat dalam konsep, namun dilihat dari perjalanan partai terdapat kondisi kemandegan, ini berarti keempat macam tujuan usaha yang diungkapkan pada anggaran dasar yang begitu ideal tidak terimplementasikan dengan baik. Pada kegiatan partai selama lima belas tahun nampak ada kelemahan dalam pelaksanaan programprogramnya. Mungkin penyebabnya adalah lemahnya sistem menejerial keorganisasian anggota yang banyak tidak ditangani dengan sugguh-sungguh. Masyumi telah merumuskan tujuan jangka panjang yang hendak diraihnya dalam perjuangan politik. Dalam anggaran dasar tujuan itu dirumuskan
secara
terbuka
sebagai
berikut:
“tujuan
partai
adalah
terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang, masyarakat, dan negara Republik Indonesia, menuju Keridhaan Ilahi. Dengan rumusan ini, Masyumi melalui cara-cara dan saluran-saluran demokratis yang ingin menciptakan Indonesai yang bercorak Islam. Akan tetapi memberikan kebebasan
penuh
kepada
golongan-golongan
lain
untuk
berbuat
memperjuangkan inspirasi politik sesuai dengan agama dan ideologinya masing-masing. Hak bebas bagi golongan-golongan lain ditegaskan dalam tafsiran anggaran dasar partai. Dalam perjalanan sejarahnya orang memang
meragukan kejujuran Masyumi dalam membela dan mempertahankan prinsipprinsip demokrasi dalam suatu pluralisme ideologi, sekalipun umat Islam secara kuantitatif merupakan mayoritas mutlak dari penduduk Indonesia. Mayoritas tidak berarti seluruhnya menjadikan Islam sebagai ideologi politik. Secara ideologis, hanya partai-partai saja yang di kategorikan sebagai wakil Islam pada waktu itu, karena ideologi itu telah mempersempit ruang gerak Islam.
F. Masyumi dan Kabinet Syahrir (1945-1947) Walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, seperti yang sudah dikatakan diatas, kedudukan uamt Islam pada masa permulaan revolusi itu tidak dapat disebut kuat. Hal ini tercermin dalam kabinet dan ,KNIP. Hanya dua orang menteri yang mewwakili mereka dalam kabinet presidensiil, yang dibentuk pada bulan Agustus 1945 dan hanya 20 dari 137 anggota KNIP. Kedua menteri itu adalah Abikusno Tjokrosujoso (Pekerja Umum) dan K.H. A. Wahid Hasyim (Menteri Negara) dalam badan pekerja KNIP yang jumlahnya 15 orang dan dibentuk oktober 1945, hanya dua orang yang mewakili umat islam duduk diparlemen yaitu Wahid Hasyim dan Syarifuddin Prawiranegara,
namun
setelah
perombakan
bulan
berikutnya
yaitu
Syarifuddin, Jusuf Wibisono dan Muhammad Natsir, dari 17 orang ketika keanggotaan badan pekerja diperluas menjadi 26 pada bulan Desember denagn maksud memasukkan juga wakil-wakil daerah hanya 4 orang yang mewakili umat (yang keempat adalah Muhammad Zein Djambek). Dengan demikian,
Masyumi yang merupakan satu-satunay partai Islam ketika itu, dan merasa pembagian sedemikian kuarang adil, tidak mendesakkan tuntutan perubahan apapun. Partai ini sungguh mengharapkan porsi yang lebih besar, lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada mempersoalkan kepentingan diri. Oleh karena itu juga, partai ini tidak setuju dengan perubahan sistem kabinet presidensiil ke kabinet parlementer. Dalam kabinet ini hanya seorang anggota Masyumi yang duduk, yaitu H.M. Rasyidi, yang bertugas menghadapi persoala-persoalan agama. Pada tanggal 3 Januari 1946 Muhammad Natsir dari Masyumi diangkat sebagai menteri penerangan, dan ketika Departemen Agama diadakan H,M. Rasyidi sebagai Menterinya. Tetapi baik Natsir maupun Rasyidi turut serta dalam kabinet sebagai perseorangan bukan sebagai wakil partai. 28 Kekecewaan Masyumi tentang perubahan sistem
kabinet telah
dikemukakan oleh Natsir dalam sidang KNIP dengan sebuah manifesto. Karena partai Masyumi menekankan pendapat bahwa presidensiiilakan lebih menjamion stabilitas pemerintahan, bahwa perubahan melanggar UndangUndang Dasar. Alasan perubahan yaitu untuk “membersihkan kalangan pemerintah dari orang-orang yang telah bekerja sama dengan jepang” dalam masa pendudukan, tidak dapat diterima. Menurut Masyumi, sebagian besar dari anggota Kabinet Syahrir merupakan orang-orang yang bekerja sama dengan Jepang, dimasa pendudukan, dan dengan Belanda pada masa penjajahan. Partai Masyumi berpendapat bahwa segala perubahan, baik yang 28
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987). H. 154
berkenaan dengan Undang-Undang Dasar maupun yang mengenai kabinet dapat dilakukan seterlah diadakan pemilihan umum. Tabel Kabinet Syahrir 1945-1946 Perdana Menteri
Sutan Sjahrir
Menteri Luar Negeri
Sutan Syarir
Menteri Dalam Negeri
Sutan Syahrir
Wakil Menteri Dalam Negeri
Mr. Harmani
Menteri Keamanan Rakyat
Mr. Amir Syarifuddin
Wakil Menteri Keamanan Rakyat
Abdul Murad
Menteri Kehakiman
Mr. Soewardi
Menteri Penerangan
Mr. Amir Syarifuddin
Menteri Keuangan
Mr. Sunarjo Kolopaking
Menteri Kemakmuran
Ir. Darmawan Mangunkusumo
Menteri Perhubungan
Ir. Abdul Karim
Menteri Pekerjaan Umum
Ir. Putu Hena
Menteri Sosial
Dr. Adji Darmo Tjokronegoro
Menteri Pengajaran
Mr. Dr. T.S.G. Mulia
Menteri Kesehatan
Dr. Darma Setiawan
Menteri Negara
H. Rasjidi
Cara pandang terhadap sejarah sebuah gerakan, baik bersifat sosial, pendidikan, maupun politik, maka harus melihat motif atau tujuan kondisi sosio-ideologis-politis gerakan tersebut adalah sangat dianjurkan. Maka akan
di ketahui secara jelas bagaimana paradigma asumsi nilai, pemikiran, dan ideologi untuk mencapai tujuan gerakan yang akan dijalankan. Pada tanggal 2 Oktober 1946 keadaan mulai berangsur damai, kekuasaan pemerintah diserahkan kembali oleh presiden kepada kabinet Syahrier. Yang terdiri dari 30 anggota ddan bersifat nasional. Yang termasuk didalamnya enam anggota Masyumi, yaitu Muhammad Roem (Menteri Dalam Negeri), Jusuf Wibisono (Menteri Muda Kemakmuran), Syarifuddin Prawironegoro (Menteri Keuangan), Muhammad Natsir (Menteri Penerangan), dan Wahid Hasyim (Menteri Agama). Seperti halnya kabinet-kabinet sebelumnya, partisipasi mereka dalam kabinet bersifat perseorangan, bukan atas nama partai. Partai Masyumi sendiri tidak keberatan atas hal ini. Soekiman selaku ketua umum partai, ketika ditemui oleh Syahrir pada bulan September, telah memberi nama-nama anggota Masyumi yang tidak ditolak oleh partai apabila diangkat menjadi menteri. Akan tetapi pada pertemuan dengan Syahrir itu Soekiman menekankan bahwa menurut Masyumi, suatu kabinet koalisi merupakan kabinet yang paling dapat diterima dan dapat menyelesaikan kesulitan yang dihadapi negara. Kabinet Syahrir berhasil mengadakan persetujuan dengan pihak Belanda yang dikenal dengan nama persetujuan Linggarjati. Kedua perutusan Indonesia dan Belanda ditadatangani di Cirebon, pada tanggal 15 November 1946. tetapi persetrujaun tersebut diterima dengan permusuhan oleh partaipartai pada umumnya, termasuk Masyumi. Kebanyakan anggota Masyumi yang beranggapan bahwa banyak bagian persetujuan itu menimbulkan
keraguan, oleh sebab itu bisa menyebabkan tafsiran yang bebeda oleh kedua puhak. Termasuk juga Muhammad Roem, salah satu anggota inti dalam delegasi indonesia da seorang tokoh Masyumi yang mulai menanjak karirnya melihat persetujuan tersebut sebagai pengakuan de fakto atas Republik Indonesia atas Belanda. Suatu sidang pleno Masyumi di Jogjakarta tanggal 2021 November, dan yang dihadiri oleh berbagai ketua departemen partai, serta mewakili Musliat, Sabilillah, Hizbullah, Majlis Syuro, dan anggota Istimewa Muhammadiayah, NU, dan PUI. Menolak untuk menerima persetujuan tersebut. Melihat kemungkinan gagalnya persetujuan linggarjati, pada tanggal 6 Juni 1947 Masyumi mengeluarkan manifesto politik, yang tam[paknya memberi maksud penerangan kepada masyarakat serta dunia luar tentang apa yang ia tempuh bila sekiranya dipercaya memimpin kabinet. Manifesto lebih menekankan pada kekuatan diri dalam berhadapan dengan Belanda, bahkan sebaliknuya Syahrir dilihat sebagai menggantungkan diri pada kemauan baik belanda serta dunia internasional. Tekanan pada kekuatan diri itu bisa diartikan bahwa pada ahirnya kekrasan turut berbicara. Masyumi benar-benar menolak kebijaksanaan kabinet Syahrir, apalagi setelah lebih banyak konsesi diberikan kepada pihak Belanda. Pendirian yang sama dari banyak partai lain menyebabkan Syahrir menyerahkan mandatnya tanggal 27 Juni 1947.
G. Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin 1947-1948
Pembentukan kabinet berikutnya menyebabkan perpecahan didalam Masyumi, pada tanggal 30 Juni 1947 presiden memberi mandat kepada Amir Syarifuddin (sosialis), Sukiman (Masyumi), A.K. Gani (PNI), dan Setiadjit, untuk membentuk suatu kabinet koalisi. Usaha keempat mereka ini gagal karena Masyumi menuntuk kursi perdana menteri dan menteri-menteri pertahanan, luar negeri dan dalam negeri. Kemudian tanggal 2 Juli, tiga orang formatir ditunjuk yaitu Amir Syarifudin, A.K. Gani, dan Setiadjit, berhasil membentuk kabinet nasional. Amir yang menjadi perdana menteri, mengumumkan kabinetnya tanggal 3 Juli, yang menyebutnya kembali berdirinya PSII. Partai ini diusahakan kembali oleh Arudji Kartawinata serta Wondoamiseno yang juga duduk dalam kabinet, masing-masing menjadi menteri muda pertahanan dan menter dalam negeri, yang didampingi oleh Syahbuddin Latif (Penerangan) dan SukosonWirjosaputro (Menteri Muda Soial). Hal ini merupakan pukulan besar bagi Masyumi yang merasa yakin bahwa Amir Syarifuddin akan gagal membentuk kabinet tanpa Masyumi. Kalangan PSII dituduh oportunistis dan merugikan perjuangan Islam. Sebaliknya, PSII merasa ingin memainkan peranan yang lebih berarti, mungkinjuga hubungan mereka yang kurang mesra dengan berbagai tokoh Masyumi dari masa sebelum perang mendorong perpecahan. Tabel Kabinet Amir Syarifuddin 1947-1948 Perdana Menteri Mr. Amir Syarifuddin Wakil perdana Menteri I Samsuddin Wakil Perdana Menteri II Wondoamiseno
Menteri Luar Negeri
H. Agus Salim
Menteri Muda Luar Negeri
Mr. Tamsil
Menteri Dalam Negeri
Mr. Muhammad Roem
Menteri Muda Dlam Negeri Mr. Abdul Madjid Djojohadikusumo Menteri Peratahanan
Arudji Kartawinata
Menteri Muda pertahanan
Mr. Kasman Singodimedjo
Menteri Penerangan
Sjahbuddin Latif
Menteri Muda Penerangan
Ir. Setiadi
Menteri Keuangan
Mr. A.A. Maramis
Menteri Kemakmuran
Dr. A.A. Gani
Menteri Muda Kemakmuran II Dr. A. Tjondronegoro Menteri Perhubungan
Ir. Juanda
Menteri Pekerjaan Umum
Ir. H. Laoh
Menteri Perburuhan
S.K. Trimurti
Menteri Agama
K.H. Masykur
Menteri Sosial
Soepardjo
Meneteri Kesehatan
Dr. J. Leimena
Menteri Pengajaran
Mr. Sastroamidjoyo
Menteri Negara
Hamengkubuwono IX
Menteri Negara Urusan Pemuda Wikana Menteri Negara Urusan Makanan Sujas Menteri Negara Urusan Kepolisian Mr. Hendromartono
Kabinet Amier terdiri atas 34 orang anggota, yang termasuk 5 0rang dari sosialis yang jumlahnya sama dengan dari PSII. Masyumi mempunyai alasan mengapa dia berposisi menolak terhadap Amir, karena dia adalah Tokoh sosialis yang dianggap kurang dapat dipercaya, sebab Amir lahir sebagai muslim, masuk Kristen ketika umur 24 tahun. Pada masa sebelum perang ia memimpin partai Gerinda, sebuah partai kebangsaan yang masuk rasdikal menentang menentang pihak Belanda walaupun ia menjalankan politik Koprasi. Bahkan Masyumi berpendapat bahwa Amir sebagai menteri pertahanan telah menyalahgunakan kekuasaan yang ada, untuk kepentingan suatu kelompok, yaitu golongan sosialis dan mungkin komunis. Pada masa ia dalam kabinet Syahrir ia menjabat menteri perthanan, biro perjuangan dalam inspektorat biro perjuangan di kemnenterian tersebut didominasi oleh golongan kiri. Masyumi juga menuduh Inspektorat telah mengorganisasikan sebagai latihan untuk kelompok-kelompok perjuangan bersenjata yang juga memperoleh senacam indoktrinasi suatu ideologi politik tertentu yaitu sosialisme. Pandanagn Amir lebih banyak negatifnya, ketika perundingan dengan pihak Belanda akan dimuali, pihak Masyumi masih bersedia membentu pemerintah. Perundingan dengan Belanda diadakan atas saran dan pengawasan komosi Jasa-Jasa baik Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang lebih dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara. Masyumi bersedia masuk pada tanggal 13 November 1947 dengan memperoleh 4 kursi, yaitu Wakil Perdana Menteri I Samsudin. Menteri Dalam Negeri Muhammad Roem, Menteri Agama K.H.
Masykur, dan Menteri Muda Kehakiman Kasman Singodimedjo. Amir memang berhasil menandatangai perjanjian renville dengan belanda, tetapi umumnya orang berpendapat bahwa perjanjian ini kurang menguntungkan dibandingkan dengan persetujuan Linggarjati. Pada tanggal 16 Januari 1948 Masyumi langsung menarik menteri-menterinya dari kabinet Amir, sehari sebelum penandatanganan persetujuan renville dengan pihak Belanda. Penolakan Masyumi terhadap persetujuan Renville didasarkan pada dua alasan. Pertama, isi persetujuan lebih menguntungkan pihak Belanda. Kedua sikap ketua delegasi Indonesia yaitu Perdana Menteri Amier Syarifuddin yang tidak menolak tuntutan Belanda dalam perundingan padahal penolakan ini keputusan kabinet. Penolakan ini harus segera disampaikan kepihak Belanda dan Komisi Tiga Negara hal ini tidak dilakukan oleh Amir. Kemudian kesempatan untuk menolak lewat, karena komisi tiga negara mengemukakan usul perubahan terhadap tuntutan Belanda. Sedangkan kabinet menerima usul tersebut, sedangkan Masyumi tetap menolak.
H. Masyumi dan Kabinet Hatta1948-1949 Dengan ditinggalkan oleh para pendukungnya, yaitu Masyumi, PNI, dan golongan Syahrir, Amir menyerahkan mandatnya kepada kepala negara tanggal 23 Januari 1948. persoalannya menjadi ruwet karna kabinet berikut harus memikul konsekwensi persetujuan renville. Dapat dipahami mengapa Masyumi, dan partai-partai lain, kurang bersemangat untuk memimpin kabinet. Keadaan ruwet ini diselesaikan presiden dengan menunujuk wakilnya
yaitu Mohammad Hatta sebagi formatir. Gagl membuat kompromi antara pengikut Amir disatu pihak dan lawan mereka dipihak lain. Hattas lebih banyak memilih para tokoh dari lawan Amir yaitu Masyumi dan PNI, masing masing
mendapat 4
Wirjosandjojo (Kemakmuran),
kursi.
(Menteri K.H.
Tokoh-tokoh Masyumi
Dalam
Negeri),
Masykur
(Agama),
Sjafruddin dan
yaitu
Soekiman
Prawiranegoro
Mohammada
Natsir
(Penerangan). Kabinet terlama dimasa revolusi ini, dengan dipimpin oleh Muhammad Hatta, bekerja sampai pada penyerahan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949- dengan resaffle bualn Agustus 1949. dal;am kabinet ini Sukiman bersedia duduk, sikap yang berbeda dan sikap yang diperlihatkan terhadap Syahrir dan Amir Syarifuddin. Hubungan Sukiman dengan Hatta memang rapat, pada waktu mereka belajar di negeri Belanda. Selama pemerintahan Hatta ada tiga persoalan yang merupakan faktor penentu dalam perkembangan di Indonesia poada umumnya, dan Masyumi hususnya. Yang Pertama adalah munculnya gerakan darul Islam, Kedua adalah munculnya pemberontakan PKI pada tahun 1948, Ketiga peranan Masyumi atau tokoh-tokohnya dalam penyelesaian revolusi. Gerakan darul Islam merupakan akibat persetujuan Renvile, persetujuan ini antara lain menciptakan apa yang disebut garis status quo Van Mook, yang menetapkan bahwa semua kekuatan bersenjata Republik Indonesia termasuk seperti laskar seperti Hizbullah, harus ditarik dari daerah-daerah kantung dibelakang garis pertahahnan Belanda, dan dikirimkan kedaerah yang diakui sebagai daerah Republik Indonesia.
Tabel Kabinet Hatta 1948-1949 Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta Menteri Dalam Negeri
Dr. Soekiman
Menteri Luar Negeri
H. Agus Salim
Menteri Pertahanan
Mohammad Hatta
Menteri Penerangan
Mohammada Natir
Menteri Keuangan
Mr. A.A. Maramis
Menteru Persediaan Makanan Rakyat I.J. Kasimo Menteri Kemakmuran
Mr. Syarifuddin Prawironegoro
Menteri Perhubungan
Ir. Juanda
Menteri Pekerjaam Umum
Ir. Juanda
Menteri Perburuhan/sosial
Kusna
Menteri Pembangunan/Pemuda
Supeno
Menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan Mr. Ali sastroamidjoyo Menteri Agama
K.H. Masykur
Menteri Kesehatan
Dr. J. Leimena
Menteri Negara
Hamengkubuwono IX
Pada tanggal 14 Agustus 1947 Karto Soewirjo mengemukakan jihad terhadap pihak Belanda. Hal ini dapat dilihat sebagai cerminan sikap fanatik Kartosoewirjo, yang tidak lagi berhubungan dengan sepak terjang dengan kalangan Islan lainnya. Pada bulan Februari 1948 ia mendirikan suatu majlis Umat Islam di Tasikmalaya untuk koordinasi semua organissasi umat Islam di Jawa Barat, dengan bual berikutnya ia putuskan agara kegiatan Masyumi dan
kelompok-kelompok lain di Jawa Barat semua diberhentikan. Dan ia juga mendirikan Tantara Islam Indonesia yang sebagian terdiri dari para anggota Hizbullah dan Sabilillah yang tidak ingin hijrah keluar dari “garis Van Mook” Disini jelas sekali perbedaan pandangan Kartosoewirjo disatu pihak dan Masyumi dipihak lain. Seperti telah diketahui, pemerintah Darurat Republik Indonesia, yang didirikan setelah Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh lainnya dalam pemerintah di Yogya ditangkap Belanda, diketuai oleh Syarifuddin Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi, dan perundingan dengan pihak Belanda kemudian dilakukan dengan dipimpin oleh ketua delegasi yaitu Mohammad Roem, juga dari Masyumi. Kartosoewirjo malah menyebut kegiatan Roem sebagai wakil Masyumi dan wakil umat Islam, memalukan sekali!! . Pandangan Kartosoewirjo tentang pemerintah Republik Indonesia seperti diatas menyebabakan ia melihat kedatangan TNI ke Jawa Barat sebagai kedatangan satu angkatan yang tidak dibenarkan, oleh karena itu, ia melihat Jawa Barat sebagi daerah yang ia pertahankan. Sebaliknya para Pemimpn Indonesia, yang telah merasa tidak teriakt lagi dengan persetujuan renville dengan aksi militer itu, kembali mengirimkan TNI menyusup kedaerah berbeda dalam kekuasaan Belanda, termasuk Jawa Barat ini terjadilah perang yang dikenal dengan perang segitiga, yaitu antara TNI, Tentara DI (TII), dan tentara Belanda. Alasan lain bagi Kartosoewirjo dalam menentang masuknya TNI ke Jawa Barat adalah anggapan bahwa angkatan bersenjata Republik Indonesia telah
dimasuki oleh kaum Komunis. Walaupun pemberontakan kaum komunis di Madiun dalam bulan September telah ditumpas oleh Pemerintah Republik Indonesia, kartosoewirjo tampak tidak melihat bahwa pemerintah serta tentara Republik Indonesia bersih dari anasir komunis. Maka ia pun menyebut tentara Republik Indonesia yang masuk kedaerah Jawa Barat setelah aksi militer kedua Belanda itu sebagai angkatan dari Republik Indonesia darurat dan komunis gadungan. Pemberontakan PKI pada tahun 1948, salah satu perkembangan yang sangat mempengaruhi hubungan sebangsa adalah pemberontakan PKI di Madiun pada tanggal 18 September 1948, sepanjang tahun 1947 sebelum Kabinet Amir Syarifuddin terbentuk, sudah nampak bahwa partai sosialis akan pecah. Perpechan itu terbuka dengan terbentuknya Kabinrt Amir yang menggantikan Kabinet Syahrir pada tahun 1947. ketika perdana menteri Amir mengadakan perundigan dengan pihak Belanda, kelompok Syahrir secara terbuka mengcamnya. Fraksi sosialis dalam badan pekerja KNIP juga mencerminkan pertentangan dua kelompok ini, ahirnya Syahrir dan kawankawan yang sepaham menarik diri dari partai sosialis dan mendirikan partai PSI. Dari pihak Indonesia persetujuan ini tentu bukan pekerjaan ketua delegasi atau delegasi saja. Tanpa mengecilakn peranan Mohammad Roem, ia harus berkonsultasi denag Soekarno dan Hatta serta para pemimpin lainnya yang diketahui oleh Belanda di pulau Bangka. Serta para pemimpin lain yang ditahan Belanda. Dalam pidatonya tanggal 7 Mei Roem sengaja menyebutkan
bahwa ia mendapat mandat dari Soekarno dan Hatta untuk mengikat janji guna bekerja sama dengan Belanda denagn mengusakan penyelesaian. Pada waktu itu Roem tidak melihat persetujuan yang dicapainya dengan Van Royen itu mempunyai arti besar. Ia juga sadr bahwa semua orang Indonesia menganggap perswetujuan yang tersebut sebagai suatu hasil yang cemerlanga, malah ada diantaranya tidak mengakui sama sekali atau menganggap persetujuan itu sebagai suatu kegagalan , mereka dengan sendirinya menyalahkan dan menyesali tokoh Masyumi ini. Peneilaian ini, disebabkan antara lain, Pertama, pendapat keyakinan bahwa persetujuan Van Royen itu tercapai pada saat para para pejuang bersenjata kita, baik TNI maupun Laskar, sudah menempati posisi yang memungkinkan mereka mengambil prakarsa untuk menyapu bersih kekuatan militer Belanda. Kedua, persetujuan tersebut mengandung penerimaan bentuk federasi bagi negar Indonesia, dalam bentuk Republik akan hanya merupakan negara bagian, yang memp[unyai kedudukan yang sama dengan negara-negar bagian lain ciptaan Belanda. Ketiga, Roem sebagai ketua delegasi Indonesia mendapat mandat ahnya dari Sokarno dan Hatta yang tidak berfungsi lagi sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia karena memang berada dalam tahanan Belanda. Ketigas pendapat ini lebih dapat menerima persetujuan bila Roem juga memperoleh mandat dari Syarifuddin Prawiranegara, kepala Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Alasan ini menyebabkan M. Natsir berhenti sebagai penasehat delegasi, kemudian sebagai menteri penerangan. Karna ia terdorong pleh simpati dan loyalitas kepada Syarifuddin, yang telah menjalin hubungan erat dengannya
selama revolusi. Bahkan ia berpendapat bahwa hasil Roem-Royen tersebut hendaklah dirundingkan terlebih dahulu dengan Sarifuddin. Disamping itu, perundingan dianggap terlalu cepat diselesaikan. Menurut natsir keinginan Soekarno lebih didorong oleh pertimbangan pribadi dan bukan pertimbangan negara. Natsir dapat berkata demikian karena ia berturut ditahan bersama pemimpin-pemimpin lain di Banka, oleh sebab itu mempunyai penilain tersendiri terhadap tiap-tiap pemimpin. Sementara itu Natasir merasa tidak sanggup mempertanggung jawabkan hasil persetujuan Roem-Royen kepada partainya yaitu Masyumi, bahkan ia merasakan beban tantangan terlalu berat, oleh karena itu ia berhenti sebagai penasehat delegasi, dan demikian juga sebagai menteri. Sedangkan
partai Masyumi
sendiri
terlebih
dahulu
memberikan
persetujuan terhadap Roem-Royen, yaitu pada tanggal 28 Mei 1948. rapat yang dilakukan untuk mencatat suatu perdebatan antara yang pro dan kontra, Pertama adalah dipimpin oleh Roem, yang kedua dipmpin oleh Natsir. Roem berpendapat bahwa persetujuan yang dibuat adalah membuka pintu yang lebih lebar bagi Indonesia kemudian untuk terus diperjuangkan demi kepentinagn bersama. Bahkan ia menyarankan kepada rekan-rekannya untuk tidak melihat suatu persetujuan sebagi final, karena perjuangan belu berahir, malah tiap perjuangan tidak akan ada yang selesai.tetapi Roem yakin bahwa kembalinya pemerintah ke Yogyakarta akan menuju kepada pengakuan dari segenap dunia terhadap eksistensi Republik Indonesia. Ini termasuk pihak Belanda yang selama ini ingin mengahapus negara baru dari permukaan bumi. Menurut
Roem pengakuan ini Rewpublik Indonesia dapat melanjutkan perjuangan lagi. Secara Internasional kedudukan Republik Indonesia bertambah kuat dibandigkan dengan sebelumnay. Kedudukan yang lebih kuat inilah yang perlu dimanfaatkan dalam perudingan denagn p[ihak Belanda. Masyumi juga kurang mempersoalkan kedudukannya dalam kabinet di-resaflle setelah kedudukan pemerintah kembali ke Yogyakarta, karena kabinet tetap dipimpin Hatta yang sangat dipercaya oleh Masyumi. Melihat adanya pro dan kontra, dikalangan Islam berpendapat bahwa tokoh-tokoh mereka telah memberikan saham yang besar dalam perjuangan kemerdekaan baik dimasa sebelum revolusi. Baik dimeja perundingan maupun di medan perang, yang ahirnya diikuti oleh ribuan dan jutaan umat. Memang persetujuan Roem-Royen membuka jalan bagi pulihnya kekuasaan selama masa revolusi itu uamt Islam banyak memberikan sahamnya, baik korban harta dan jiwa tidak akan dapat dihitung. Bekal rohaniah terbesar mereka pinjamkan kepada tiap pejuang, kumandang Allahu Akbar bergema dimanamana. Dari semula memang tampak jelas keihlasan, adakalanya dengan kerugian mereka sendiri. Apalagi karena perjuanagan bukan semata-mata disertai oalh segenap pihak dengan keihlasan, keihlaasn perjuanagn umat dimas revolusi kurang membuat perhitungan, perhitunagn tersebut dikaji dalam tahun 1950-an
I. Dinamika Masyumi Dalam Perpolitikan Indonesia
Partai Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada tahun 1960 dapat dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai Masyumi juga mengemukakan dialog yang produktif antara Islam dan demokrasi, sejarah partai ini dapat dilihat dari kegiatan maupun programprogramnya mengenai identitas Islam dihadapan pluralisme politik. Selama massa begejolak yang dialami Indonesia, partai Masyumi menyusun dan mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan subtitusi dari pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar Negara Islam didirikan di Indonesia. 29 Pemilu 1955, adalah pemilihan umum yang pertama kali dilaksanakan semenjak Indonesia merdeka, pada awalnya pemilu direncanakan pada tahun 1946, enam bulan setelah kemerdekaan. Nemun situasi yang tidak memungkinkan karena adanya perang kemerdekaan akibat agresi Belanda I dan II, jadi pelaksanaan pemilu tertunda. Pada saat memasuki demokrasi parlementer, setiap kabinet dalam programnya mencantumkan pelaksanaan pemilu. Namun hal ini tidak terjadi karena perebutan kekuasaan yang mengakibatkan kabinet jatuh-bangun, sehingga menimbulkan dampak tidak terlaksananya program pelaksanaan pemilu. Kabinet Hatta (Desember 1949-Agustus 1951) pada mulanya berencana untuk menyelenggarakan pemilu sebagai program kerjanya, sehingga suatu dewan konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah Negara RI, mengambil bentuk suatu Negara Federal atau Negara Kesatuan. Namun 29
Ahmad Syafi’I Ma’arif, (DKK) lslam dan Nilai-Nilai Universal, ( Jakarta, International Center for Islam and Plularism ICIP), cet 1, Juli 2008, h. 60
dorongan kuat dari rakyat Indonesia untuk Negara kesatuan melalui Mosi Integrasi Nastir, ahirnya membatalkan pemilu. Kabinet Nastir (September 1950-Maret 1951) adalah menerusakan kebijakan, sebelumnya serta mengajukan suatu RUU pemilihan atas dasar pemilihan tidak langsung. Namun kabinet Nastir keburu jatuh sebelum RUU diajukan keparlemen. Kabinet Soekiman (April 1951-Februari 1952) adalah meneruskan kebijakan kabinet sebelumnya, yaitu mengajukan RUU, namun ditolak juga oleh parlemen, karena parlemen menghendaki adanya pemilihan umum secara langsung. Menurut Herbert Feith, adanya penundaan-penundaan, pemilu di Indonesia adalah, pertama, banyaknya anggota parlemen yang mendapatkan kursi namun keadaannya belum normal. Karna itu mereka sadar bahwa apabila pemilu dilaksanakan akan di copot dari jabatannya. Kedua adanya kehawatiran pemilu akan menggeser Negara yang ber-ideologi islam. Pemilu bisa terlaksana pada kabinet Burhanuddin Harahap (salah satu ketua dari Masyumi), pada tanggal 29 September 1955, pemilu dilaksanakan guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR dan konstituante. Dalam pemilu ini tidak kurang dari 28 partai politik peserta pemilu, dengan menganut sistem proporsional. Yang secara garis besar dilihat dari segi ideologi, dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, Islam, Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme.
30
Namun ketiga aliran dasar itu
muncul kedalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan mereka 30
h. 46-47
Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004),
mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas dan demokratis. Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama Masyumi dan PNI, yang sebelumnya mempunyai harapan besar akan menang (Masyumi) yang hanya memperoleh kursi 75, dalam parlemen dari jumlah total 257 kursi yang diperebutkan. Sedangkan NU mendapatkan kursi 45, dan PKI, 39. dan partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Hasil perolehan yang hampir sama dengan kekuatan nasionalis, maka akan sukar bagi golongan Islam untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante. Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai pemenang pemilu tersebut dapat dilihat bahwa semua umat Islam yang mayoritas, untuk memilih partai-partai Islam. Bahkan sebagian diantara mereka memilih partai-partai sekuler dan partai atheis, (PKI). Hal ini memang umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam. Karena Islam di Indonesia terdiri atas Islam Santri dan Islam Abangan. Pemilihan umum bagi Masyumi telah menjadi perhatian khusus sejak Muktamar ke-III di Kediri tahun 1947, dan termasuk sebagai urgensi program Masyumi adalah revolusi untuk memperahankan kemerdekaan dari penjajahan oleh Belanda, sejak penyerahan kedaulatan Masyumi dikasih kesemepatan untuk memimpin pemerintahan, dan pemilu menjadi hal penting dalam tiaptiap Kabinet sampai dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. UU ini berhasil diterapkan oleh kabinet Wilopo, dan Muhammad Roem (Masyumi) menjabat sebagai
Menteri dalam Negeri yang bersama-sama dengan Menteri Kehakiman bertanggung jawab atas terselenggaranya Pemilu. 31 Masyumi sebagai partai politik terbesar,
tentunya
mempunyai
karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat Islam keseluruhan di Indonesia. Dalam wadah partai Masyumi berhasil menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia sehingga menjadi bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada waktu itu memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsat, sehingga umat Islam berada dalam satu pimpinan. Masyumi bekerja sama dengan partai-partai Islam lain untuk memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara republik Indoneisa dalam konstituante. Ini merupakan konsekwensi dan cita-cita Masyumi untuk memperjuangkan berlakunya ajaran Islam secara menyeluruh dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ada hal lain yang perlu dipahami, bahwa memperjuangkan cita-cita Negara berdasarkan Islam melalui musyawarah dalam konstituante hasil pemilu betapapun tidak bertentangan dengan undang-undang yang sudah di bentuk pemerintah sebelumnya dan sudah berlaku. Secara umum dapat dikatakan bahwa prilaku politik Masyumi selama priode kritis pada waktu itu memang tidak ada cacat sedikitpun, karena
31
Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, h. 75.
Masyumi keperpihakannya terhadap martabat Negara Republik Indonesia begitu jelas, penuh konsisten dan penuh dengan perhitungan. Dengan rumusan serta tujuan yang hendak diperjuangkan oleh Masyumi adalah menciptakan Indonesia yang bercoraka Islam, namun memberikan kebebasan penuh kepada golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan aspirasi politik sesuai dengan ideologinya masing-masing. 32 Masyumi melibatkan diri sebagai peranan penting dalam kancah politik demokrasi parlementer pada tahun 1950 dan 1957 adalah menginginkan sebuah Negara Islam, dan ingin membentuk pemerintahan yang berpandangan pragmatis, serta ingin berkoalisi dengan partai-partai sekuler dan Kristen. Pada awal demokrasi parlementer, Masyumi mengalami ketimpangan dalam pembagian kekuasaan pemerintahan yang terkesan kurang adil, sehingga Masyumi tidak terlalu banyak andil dalam Kabinet. Akan tetapi Masyumi lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada mempersoalkan kepentingan partainya sendiri, oleh karena itu Masyumi tidak setuju dengan adanya perubahan sistem kabinet presidensil ke kabinet parlementer.33 Masyumi dan pemerintahan pada Massa 1955-1960 adalah priode pemilihan umum yang ditandai dengan munculnya empat partai besar, yaitu Masyumi PNI, NU dan PKI. Pada bulan Maret 1956-1957 terbentuk kabinet Sastroamidjojo II dan aktifnya Soekarno sebagai Presiden Konstitusional
32 Ahmad Syafi’I Ma’arif, islam dan politik Indonesia Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965, (Jogjakarta: IAIN Sunan Kali Jaga Press, 1988), h. 33 33 Jajang Muttaqin, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah PRESS, 2004), h. 51-52.
menurut undang-undang dasar sementara 1950 kedalam persoalan politik praktis. Pada posisi kabinet ini Masyumi mewakili kedudukan sebagai Perdana Menteri dalam kepemerintahan. Dalam priode 1956-1957 Presiden Soekarno mengumumkan konsepnya yang terkenal dengan nama Demokrasi Terpimpin, dengan pernyataan ini Masyumi menghadapi perubahan-perubahan. Sementara wakil-wakilnya di konstituante dengan gigih memperjuangkan terciptanya sebuah konstituante yang mencerminkan aspirasi-aspirasi Islam, yang berhubungan dengan ideologi Negara.
Dalam priode ini juga terjadinya peristiwa PRRI yang
melibatkan sejumlah tokoh penting Masyumi dan dikeluarkannya dekrit Presiden serta terbentuknya Kabinet Djuanda. Sedangkan pada tahun 1959 dan 1960 merupakan tahun yang menimbulkan ketegangan bagi kalangan Masyumi baik didalam pemerintahan maupun didalam partainya, karena pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan Presiden (Penpres) No. 7 / 1959 yang mengatur kehidupan partai politik dan pembubaran partai. Penetapan tersebut memberikan hak kepada Presiden untuk menindak partai-partai yang anggaran dasarnya bertentangan dengan dasar Negara, atau pula pemimipinya terlibat dalam pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya yang terlibat dalam pemberontakan. Setelah penetapan tersebut, tepatnya pada tahun 1960 dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 / 1960 yang secara resmi memerintahkan pembubaran partai Masyumi. Tepatnya pada jam 05.20 pada
tanggal 17 Agustus 1960, dimana pemimpin pusat Masyumi menerima surat dari direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa dalam waktu tiga puluh hari sesudah tanggal keputusan, pemimpin partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Dan pembubarannya harus diberitahukan oleh Presiden, kalaupun tidak partai Masyumi akan di umumkan sebagi partai terlarang. Apa yang saya tulis sebagai skripsi ini adalah salah satu karya cemerlang dari karir politik Masyumi, karya politik itu adalah prestasi partai dalam membela bangsa dan Negara. Karena pembelaan itu memang dituntut pada setiap patriot Indonesia. Prestasi politik yang cemerlang perlu kita menengok lebih dekat “dapur Masyumi” yang di huni berbagai kecendrungn keagamaan dan politik yang sulit dipersatukan. Fenomena subkelompok dalam Masyumi tersebut berdasarkan kategori yang dibuat oleh Wahid Hasyim, yaitu saling bertabrakan untuk memahami masalah sengketa di dalam partai.
BAB IV MASYUMI DAN DEMOKRASI PARLEMENTER
A. Peran Masyumi dan Kabinet Muhammad Natsir 1950-1951 Indonesia adalah salah satu negara yang pluralis di dunia, dan mayoritas rakyatnya adalah Muslim, Islam merupakan sumber dalam formasi nilai, norma dan perilaku masyarakatnya, sehingga Islam memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, politik dan kultur di negeri ini. Dengan 17.000 Pulau yang ada di wilayahnya, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang di huni maupun tidak, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di Dunia dan Negara dengan latar belakang yang beraneka ragam. Dengan sekitar 200 kelompok etnis dan bahasa yang ada di bawah naungannya, Indonesia juga sebuah Negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. 34 Kabinet parlementer seperti yang dibentuk oleh UUD 1950 hanya mungkin terbentuk dengan koalisi partai, terutama karena komposisi parlemen tidak memungkinkan pembentukan kabinet oleh satu dua partai saja. Dalam rangka ini pola yang ideal adalah bila Masyumi dan PSI berasama-sama duduk dalam kabinet, sehingga lebih mendorong partai-partai lain berada dalam posisi tambahan, dan bukan posisi yang melaga keduanya. Dalam kabinet dimasa revolusi yang dipimpin mohammad Hatta dan juga dalam kabinet RIS, peran Masyumi dan PNI menyebabkan hal lain yang terjadi. 34
Herdi Syahrasad, Islamisme Nasionalisme Globalisme: Jejak-Jejak Ideologi Terkoyak, (Jakarta, P.T. Melibas, 2005). Cet, 1. h. 401-405.
Formatir Masyumi tidak semudah untuk mengajak PNI dalam kabinetnya, malah PNI merasa sekali gagal dalam mengikutsertakan, kegagalannya mengundang kritik dari banyak pihak termasuk dari kalangan Masyumi sendiri. Diangkat sebagai formatir tanggal 20 Agustus, Natsir bermaksud membentuk kabinet dengan dukungan yang sebanyak mungkin agar kabinetnya mencerminkan sifat nasional serta dengan dukungan terbesar akan dapat dipertanggung jawabkan. Namun ia mengahadapi kesulitan dengan PNI karena soal kursi yang tidak dapat sesuai antara PNI dan Masyumi, Natsir yang dalam pembentukan Kabinet dibantu aleh Syarifuddin Prawiranegoro dan Wahid Hasyim, mereka berpendapat bahwa partainya lebih banyak hak dibandingkan dengan partai lainnya. Sebaliknya PNI menuntut hak yang sama dengan Masyumi, bukan saja dalam hal kursi, melainkan juga dalam menentukan kursi-kursi yang hendak dibagi antara Masyumi dan PNI. Natsir merasa kesulitan dalam usahanya, terutama mengahadapi PNI. Dua kali ia mau mengembalikan mandatnya kepada Presiden karena kegagalannya dalam mengajak PNI berkompromi, namun Presiden mendesak agar berusah terus dengan instruksi baru agar mempersempit dasar dukungan dari partai-partai. Menurut Natsir Presiden berpendapat bahwa kabinet yang akan dibentuk hendaknya suatu kabinet parlementer yang tidak terlalu terikat dengan keinginan dan tuntutan partai. Bahkan Natisr berpendapat pula bahwa kegagalan pembentukan kabinet hendaknya dites dalam parlemen, dengan umpamanya penolakan program dan keterangan pemerintah oleh Parlemen. Masyumi sependapat pula dengan Natsir tentang hal ini.
Kabinet yang dipimpin partai Masyumi pertama kali terbentuk pada tahun 1950 adalah dibawah pimpinan M. Natsir sampai dengan tahun 1951. kejatuhan kabinet ini karena Mosi tidak percaya yang dilancarkan oleh Hadikusumo. Mosi tersebut menuntut agar peraturan pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang pemilihan anggota-anggota lembaga perwakilan daerah dicabut. Kemudian dilanjutkan dengan pengunduran diri para menteri dari PIR, ahirnya M. Natsir mengembalikan mandat yang diembannya kepada Presiden. Meskipun partai Masyumi mendapat kesempatan memimpin kabinet, tetapi bukan berarti partai Masyumi memonopoli dalam menetukan anggotaanggota kabinetnya. Kabinet Natsir merangkul berbagai partai antara lain berasal dari Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parindra, Katolik, Parkindo dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Dalam kabinet ini, partai Masyumi menduduki Empat kursi yaitu Perdana Menteri yang di ketuai oleh M. Natsir, Menteri Luar Negeri dipegang oleh Muhammad Roem, Menteri Keuangan oleh M. Syarifuddin Prawiranegara, dan Menteri Agama oleh K.H.A. Wahid Hasyim. Sedangkan PSII sendiri menduduki posisi Menteri Negara yang diserahkan kepada Harsono Tjokroaminoto. Negara keadilan, barang kali itulah harapan dan impian masyarakat setelah proklamasi kemerdekaan diartikulasikan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, atas nama Bangsa Indonesia bersatu. Disini penulis meminjam wacana Soekarno, semangat nasionalisme merupakan semangat kelompok manusia yang hendak membangun suatu bangsa yang mandiri, dan dilandasi satu jiwa dengan kesetiakawanan yang
besar, mempunyai kehendak untuk bersatu secara terus menerus dan ditingkatkan untuk bersatu, guna untuk menciptakan keadilan serta kebersamaan. Karena hasrat hidup bersama itu merupakan solidaritas yang agung. Nasionalisme ini membentuk persepsi dan konsepsi solidaritas sosial kaum pergerakan Indonesia sebagai sebuah kekuatan politik yang tidak bisa dinegasikan oleh penguasa kolonial. Tujuan nasionalsime adalah pembebasan dari penjajahan dan menciptakan masayarakat atau negara yang adil. Agar tidak adalagi penindasan manusia oleh manusia.35 Dengan mengikuti berbagai pendapat diatas, maka jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan bangsa adalah tidak terlepas dari pada persamaan keturunan ras, atau
persamaan agama, akan tetapi mereka mempunyai
persamaan hidup dalam satu wilayah tertentu, seperti halnya Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, daerah, agama, dan adat istiadat. Namun bertekat satu seperti tercermin dalam satu kesatuan yang kokoh dan kuat, di dalam satu naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan RI pada tahun 1945 telah memberikan kesempatan kepada berbagai aliran politik di indonesia, guna untuk bebas membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi seperti yang dinyatakan oleh Pasal 28 UUD 1945. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ummat Islam. Maka pada tanggal 7 November 1945, melalui sebuah kongres umat Islam di Yogyakarta maka terbentuklah sebuah partai politik Islam 35
Herdi Syahrasad, Islamisme Nasionalisme Globalisme: Jejak-Jejak Ideologi Terkoyak, (Jakarta, P.T. Melibas, 2005). Cet, 1. h. 401-405.
dengan nama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Sebagaimana telah diperkirakan sejak awal dibentuk, partai ini mendapatkan sambutan yang luar biasa hapir semua gerakan Islam pra-Perang Dunia II, baik nasional maupun lokal, baik politik maupun sosio-keagamaan. 36 Masyumi pada priode pembentukan benar-benar merupakan massa kongret, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Natsir, salah seorang pemimpin partai baru yang sangat berpengaruh di dalam Masyumi. Ungkapan yang disampaikan Natsir adalah menyalurkan aspirasi poitik ummat sebagai cerminan dari potensi yang sangat besar dan kongkret. Pengamatan pada masa itu, suatu masa kongkret tanpa pimpinan partai politik yang berasaskan Islam akan mudah jatuh ketangan Belanda yang sudah sejak semula menentang implementasi Syari’ah dalam kehidupan bernegara pada paska kemerdekaan Indonesia. 37 Munculnya Partai Masyumi pada tahun 1945 dapat dikatakan sebagai jawaban yang positif oleh umat Islam di Indonesia terhadap manifesto politik Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 1 November 1945 yang mendorong pembentukan partai-partai.sehingga para pemimpin-pemimpin umat telah memanfaatkan kesempatan baik ini, seperti golongan-golongan lain yang berbuat serupa. Dalam kepengurusan Masyumi terlihat mencakup berbagai golongan dalam umat Islam. Hal ini telah terlihat dalam susunan Majlis Syuro dan
36 Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Pancasila Sebagia Dasar Negara, (Jakarta, P.T. Pustaka LP3ES 2006), cet.1 h. 112 37 Syafa’at Mintorejo, Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, (Jakarta, P.T. t.p. 1973) h. 24
Pengurus Besar. Dalam Majlis Syuro, yang di Ketuai oleh K.H. Hasyim Asy’ari (NU) dan Wakil Ketua I adalah K.H. Wahid Hasyim (NU), Wakil Ketua II adalah Agus Salim (PSII), dan Wakil Ketua III adalah Syekh Djamil Djambek (Pembaharuan dari Sumatra Barat). Sedangkan dalam kepengurusan besar terdiri dari para politisi karir, seperti Soekiman, Abikoesno, Muhammad Natsir, M. Roem, dan S.M. Kartosoewirjo. 38 Pada masa Orde Lama, Mohammad Nasir sempat dekat dengan Soekarno. Dan dia pula yang menuliskan naskah pidato Presiden pertama RI. Serta Soekarno pula yang menyingkirkan Natsir, bahkan memenjarakan dan membubarkan partainya, (Masyumi). Stigma (pandangan) sebagai tokoh garis keras, (radikal) dilontarkan kepada Natsir. Setelah tahun 1958-1961, Natsir terlibat dalam gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) meskipun ini merupakan ucapan ketidak-puasan terhadap kebijakan pemerintah pusat yang menyepakati perubahan bentuk negara dari Negara Kesatuan (NKRI) ke negara Indonesia Serikat (RIS). Tahun 1962-1964 menyingkirkan Natsir kedalam karantina politik di Batu, Jawa Timur. Pada tahun 1964-1966 Natsir di penjarakan di Tahanan Militer di Jakarta. Lebih dari itu Natsir bahkan terhapus dari buku-buku sejarah disekolah, dalam dua periode yaitu Orde Lama dan Orde Baru namanya tidak tertulis disana. Namun bagaimanapun, Natsir tetaplah orang besar, didalam negeri yang disingkirkan, tetapi kebesarannya tetap memancar sampai keluar negeri. Banyak pengamat Indonesia mengakui peran besar Natsir dalam sejarah
38
B.J. Boland, Pergolakan Islam di Indonesia, (Jakarta: P.T. Grafiti Pers, 1985). H. 45
perjalanan bangsa. Pengakuan yang tidak kalah besarnya adalah Yang dikemukakan oleh mantan Perdana Meneteri Jepang, Takeo Fukuda. Ketika cendikiawan Muslim ini wafat pada 6 Februari 1993, Fukuda mengatakan, “berita duka terasa lebih dahsat dari jatuhnya bom atom di Hirosima”, karena kita kehilangan pemimpin dunia dan pemikir besar dunia Islam”. 39 Nastir mulai melibatkan diri dalam polemik tentang Islam dan kebangsaan pada tahun 1931, ketika berusia 23 tahun. Dan Nastir juga menulis artikel berjudul, “Indonesisch Nasionalisme” di majalah Pembela Islam No. 36, Oktober 1931. lebih lajut lagi Natsir menegaskan pendiriannya yaitu: pergerakan Islam-lah yang lebih dahulu membuka jalan politik kemerdekaan di tanah air ini, yang menyingkirkan sifat ke-Kepulauan dan ke-Provinsian, yang pada mulanya menanam persaudaraan dengan kaum yang senasib di luar batas Indonesia, dengan tali ke-Islaman. Merujuk kepada Bung Tomo yang selalu menggelorakan pidatonya dengan mengucapkan Allahu Akbar, Natsir mencatat bahwa Bung Tomo bukan saja berani tampil kemuka memimpin perjuangan, akan tetapi ia juga mempunyai pengetahuan yang sering kali banyak orang tidak mengetahuinya, yaitu pengetahuan dimana terletaknya kunci dari pada kekuatan bangsa kita ini. Di bukanya hati umat yang banyak itu dengan perkatan Allahu Akbar, tahu bahwa ia mencari teman, dan tahu pula siapa-siapa teman yang dapat membangunkan tenaga dan menggelorakan tenaga itu.
39
Hery Sucipto, Menegakkan Indonesia: Pemikiran dan Konstribusi 50 Tokoh Bangsa Berpengaruh, (Jakarta, P.T. Grafindo, 2004) cet.1. h. 401-402
Dengan sudut pandang demikian, Partai Masyumi tidak melihat ada masalah antara Islam dan kebangsaan, ia mengungkapkan bahwasannya kita dapat menjadi muslim yang taat, dan dipandang dengan riang gembira dengan menyanyikan lagu Indonesia tanah airku.40 Baik kekuatan maupun kelemahan Masyumi terletak pada watak federasi, yaitu perserikatan, penggabungan beberapa kumpulan atau badan perkumpulan dengan maksud kerja sama untuk membangun sebuah negara di Indonesia dengan alat perjuangan dan aspirasi umat Islam Indonesia. Bagi Natsir yang menjadi persoalan adalah hendak di isi dengan apa negara kita ini, dan bagaimana pula mengisi kemerdekaannya. Pertanyaan-pertanyaan demikian menurut Natsir harus dijawab demi kepentingan bagi generasi kemudian. Setelah menguraikan dari tokoh Islam yaitu Natsir, sekarang penulis membahas, S.M. Kartosoewirjo dalam kancah gerakan nasionalisme Indonesia yang pada tahun 1926 ia memulai terlibat banyaknya aktifitas tentang organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Hindia-Belanda. Untuk melihat kiprah dan pemikiran. Kartosoewirjo yang dipengaruhi oleh berbagai ideologi ketika itu, maka terlebih dahulu penulis memahami konteks sosialpolitik kota Surabaya tahun 1920-an, yang pada waktu itu juga Kartosoewirjo, tinggal dirumah H.O.S. Tjokroaminoto bersama Soekarno dan Semaun 41 Surabaya pada tahun 1920 sudah banyak bermunculan gerakan-gerakan kaum nasionalis dengan berbagai bentuk organisasi tempat mereka berkumpul 40
Evi Linda Astuti, (skripsi) Nasionalisme Dalam Pandangan Mohammad Natsir: Studi Pemikiran Moh. Natsir Tentang Nasionalisme, (Jakarta, UIN Syahid, 2005). h. 62-65 41 Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.. Kartosoewirjo, (Jakarta P.T. Darul Falah 2000) h. 24
dan berdebat tentang cita-cita bagaimana Indonesia di masa mendatang. Kemudian para intelektual mulai memikirkan tentang sistem negara, ideologi atau haluan politik, dan bentuk perjuangan, yang semuanya mengambil konsep modern dari Barat. Pada bulan Juni 1946, Masyumi daerah Jawa Barat tepatnya di Priangan mengadakan konfrensi untuk memilih Pengurus yang baru. Dalam konfrensi tersebut Kartosoewiryo menunjuk K.H. Muhtar sebagai ketua umum dan Wakilnya adalah Kartosoewiryo sendiri. Sanusi Partowijoyo menjadi sekretaris badan pengurus, Isa Ansori dan K.H. Toha memimpin bidang informasi. Dalam konfensi tersebut Kartosoewiryo menyampaikan pidato tentang haluan politik Islam yang berisi pertanyaan mengenai siapa yang berkuasa di Indonesia, dengan memahamkan dirinya kepada ajaran Islam yang hanif, Kartosoewiryo mengajukan persatuan dalam cita-cita perjuangan. Ia memperingatkan para pendengarnya yang sekaligus sebagi pendukungnya, bahwa konflik antara sesama bangsa Indonesia sendiri hanyalah akan menguntungkan Belanda, dan ia mendesak menghentikan perbedaanperbedaan ideologi. Setelah tercapainya kemerdekaan, perbedaan-perbedaan ini dapat dicari akar penyelesaiannya secara demokratis, menurut kedaulatan rakyat.
42
Persaingan antar ideologi politik mendapat ruang geraknya, terutama setelah maklumat pemerintah yang di tandatangani oleh Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta. Melalui maklumat itu lahir partai42
Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.. Kartosoewirjo, (Jakarta P.T. Darul Falah 2000) h. 66
partai politik yang tumbuh di masyarakat. Bahaya persaingan politik ini dirasakan juga oleh Masyumi, sehingga dalam manifest (membuktikan) politik 1947 perlu ditegaskan menambah tersebarnya ideologi Islam dikalangan masyarakat Indonesia, dengan tidak menghalangi pihak lain yang sejalan memperkokoh sendi ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Dan membentengi jiwa umat Islam dari infiltrasi (pembebasan) ideologi-ideologi yang bertentangan dengan agama Islam, dengan tekat fisabilillah. Kemudian para pemimpin kaum pemuda baik dari perkotaan dan pemuda-pemuda pedesaan bergabung secara resmi dengan tokoh-tokoh Hokokai yang dipimpin oleh Soekarno. Pada bulan Desember 1945 Masyumi juga diperbolehkan memiliki sayap Militer yang bernama Hisbullah (Pasukan Tuhan), yang memulai latihannya pada bulan Februari 1946 dan mempunyai 50.000 orang anggota pada masa ahir perang. Kepemimpinan ini, di dominasi oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah dan anggota-anggota kelompok PSII dari masa sebelum perang yang bersifat koopratif ( secara bersama-sama) yang dipimpin oleh Agus Salim. Kemudia para politisi penting Islam dari masa sebelum perang yang bersifat non-koopratif dilangkahi.
B. Masyumi dan Kabinet Soekiman 1951-1952 Setelah M. Natsir mengundurkan diri, maka kabinet Sukiman tahun 19511952 menggantikan posisi Natsir. Kini terlihat Partai Masyumi masih memainkan peranannya sebagai orang nomor satu. Namun nasib sukiman sama dengan Natsir, karna dianggap kabinetnya tidak bertahan lama. Jatuhnya
kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya perjanjian “san fransisco” 21 yang dianggap cenderung berpihak kepada luar negeri hususnya Amerika, hal ini berarti meninggalkan politik luar negeri bebas aktif, yang telah menjadi komitmen sejak tahun 1945. Sebagaimana kabinet Natsir, kabinet Sukiman-pun menggandeng partaipartai lain untuk duduk didalam kabinetnya. Partai-partai tersebut berasal dari partai Masyumi sendiri, Partai Nasional Indonesia (PNI), PIR, Katholik, Buruh, Parkindo, Demokrat dan Parindra. Dalam kabinet Sukiman posisi Perdana Menteri dipegang oleh Sukiman Sendiri, Menteri Luar Negeri oleh Mr. Ahmad Soebardjo, Menteri Keuangan dipimpin oleh Mr. Jusuf Wibisono, Menteri Sosial oleh Dr. Samsuddin dan Menteri Agama oleh K.H. Wahid Hasyim, putra Hasyim Asy’ari yang kesemuanya berasal dari partai Masyumi. Tampak posisi vital seperti Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan tetap diduduki oleh partai dari partai Masyumi. Pimpinan pusat Masyumi juga tampak tidak merasa selesai dengan terbentuknya Kabinet Soekiman, bukan karena hal-hal dalam kebijakan dikeluarkan Sukiman yang menyebabkan jatuhnya kabinet sendiri. Akan tetapi masalahnya bersangkutan masalah dengan politik luar negeri dan merupakan klimaks perbedaan antara Masyumi dan kabinet, terutama dalam kedua kelompok dalam pimpinan Masyumi, yaitu Perjanjian San Fransisco dan Persetujuan dalam rangka MSA (Mutual Scurity Act-undang-undang Keamanan Bersama, dari Amerika Serikat), dan keduanya ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Subardjo.
Pada pertengahan tahun 1951 Indonesia diundang untuk menghadiri Konprensi San Fransisco tentang perjajian perdamaian dengan Jepang. Kabinet Soekiman bersedia untuk memenuhi undangan itu, dan sebuah delegasi dikirim dengan dipimpin oleh Menteri Subardjo. Tanggal 7 September kabinet memutuskan dengan sepuluh suara agar perjanjian tersebut ditandatangani . sepuluh suara tersebut termasuk juga suara para Menteri Masyumi. Hal ini menimbulkan kembali pertikaian dalam kepemimpinan Masyumi. Sukiman berhasil memperoleh persetujaun Dewan Partai tentang persetujuan San Fransisco. Bahkan Sukiman juga berhasil memperoleh keyakianan rekanrekannya untuk meyakinkan perlunya perjanjian itu ditandatangani. Akan tetapi mengenai hal yang kedua, yairu bantuan Amerika Serikat melalui MSA, Sukiman tidak beruntung sehingga menyebabkan ia jatuh dalam memimpin Kabinet. Pangkal penolakan pihak Natsir terhadap hal ini sebenarnya sejalan dengan pandangan pihak-pihak lain yang menolak persetujuan itu, bahwa Natsir dengan demkian telah meniggalkan politik bebas aktif dengan politik bebas aktif yang memang semenjak 1945 diusahakan menegakkannaya. Tetapi pandangan Sukiman dalam hal ini memang berbeda, Sukiman dalam masa revolusi melihat Indonesia berada dalam daerah pengaruh Amerika Serikat. Oleh karena itu, menjalankan poitik luar negeri yang bebas aktif, ia tidak dapat melepaskan kecenderungan untuk berpihak ke-Amerika Serikat. Dalam
hubungan
dengan
persoalan
kabinet,
Masyumi
menolak
kebijaksanaan Subardjo, tidak bermaksud menarik para menterinya dari
kabinet. Tetapi ketika partai-partai lain mulai keluar kabinet, tidak ada jalan lain bagi Sukiman selain menyerahkan mandatnya kepada Presiden, yaitu pada tanggal 23 Februari 1952. Setelah kabinet Sukiman berahir, maka mandat diberikan kepada PNI dengan Wilopo, sebagai perdana Menteri pada tahun 1952-1953. dalam Kabinet Wilopo, partai Masyumi juga diberikan jatah empat kursi, yaitu posisi sebagi wakil Perdana Menteri oleh Prawoto Mangkusasmita, Menteri Dalam Negeri oleh Mr. M. Roem, Menteri Pertanian oleh M. Sardjan dan Menteri Agama oleh K.H. fakih Usman. Setelah Wilopo dijatuhkan, mandat tetap masih berada ditangan PNI, kali ini PNI menampilkan Sastroamidjojo I. Dalam kabinet ini, Masyumi tidak dilibatkan. Hanya NU dan Partai Syarikat Islam Indonesia yang mendapatkan kursi, karena NU telah memisahkan diri dari partai Masyumi dengan mendirikan partai sendiri. NU mendapat tiga kursi yaitu Wakil Perdana Menteri II, Menteri Agama, dan Menteri Negara menangani masalah Agraria. Sedangakan PSII mendapatkan dua kursi, yaitu Menteri Perhubungan dan Menteri Negara yang menangani masalah Kesejahteraan Negara. Umat Islam di Indonesia pada tahun-tahun sesudah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sudah mencoba merumuskan sebuah corak masyarakat dan cita-cita politik yang hendak mereka ciptakan dalam rangka mengisi kemerdekaan nasional. Dalam kaitan umat Islam akan selalu dikaitkan dengan Syariat dalam kehidupan individual dan kehidupan kolektif. Konsep umat Islam tersebut menggambarkan suatu masyarakat beriman yang
bercorak universal. Jadi setiap Muslim harus sadar bahwa ia adalah anggota masyarakat yang keterikatan spiritualitas dengan persaudaraan. 43 Sepanjang sejarah, Selama Syari’at tidak pernah diselewengkan, disalah pahami, dan digambarkan secara keliru sedemikian parah melebihi zaman sekarang. Syariat telah dimanfaatkan untuk menjustifikasikan penindasan, kelaliman, ketidak-adilan dan penyelewengan kekuasaan. Islam berisikukuh pada kesataraan manusia secara total tanpa mengenal perbedaan bahasa, budaya, dan ras. Sedangkan Nasionalisme merupakan suprioritas bahasa, budaya, dan ras, nasionalisme menurut loyalitas mutlak rakyat terhadap bangsanya adalah negaranya. Sedangkan Islam menurut loyalitas dan ketundukan hanya kepada Tuhan Dengan kata lain yang disebut dengan sekuler, dimata seorang Muslim, tidak dapat dilepaskan dari persoalan Iman. Dari sudut pandang ini, cita-cita kekuasaan (politik) menyatu dengan wawasan moral sebagai pancaran Iman seorang Muslim. Sedangkan politik tidak bisa dilepaskan dari ajaran etika yang bersumber dari wahyu, bahkan kekuasaan politik merupakan kendaraan untuk merealisasikan pesan-pesan wahyu. Dilihat dari fenomena lain, umat Islam Indonesia adalah terpengaruh oleh cita-cita politik barat (sekuler), yang berpandangan bahwa kegiatan politik semata-mata kegiatan duniawi, sedangkan agama merupakan persoalan pribadi yang tidak perlu dikaitkan dengan masalah politik.
43
DR. Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (Jakarta, P.T. Gema Insani Press, 1996) h. 10
Menurut data sosiologis, pendukung utama partai Masyumi adalah Muhammadiyah dan NU. Jelas secara ideologi, Masyumi adalah kelanjutan dari MIAMI (Majlis A’la Muslimin Indonesia), yang mengkhususkan perjuangan di bidang politik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Kehadiran partai Masyumi merupakan satusatunya partai politik umat Islam di Indonesia, kemudian tampil sebagai pembela demokrasi yang tangguh dalam negara republik Indonesia. Dalam kongresnya bulan November tahun 1945, yang tercatat sebagai ketua panitia adalah Muhammad Nastir dengan anggota-anggota: Soekiman Wirjosendjojo, Abikoesno Tjokrosujoso, A. Wahid Hasyim, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VIII, dan A. Gaffara Ismail. Dalam kongres diputuskan dengan dua prenyataan sikap. Pertama, Masyumi adalah satu-satunya partai poltik Islam di Indonesia. Dua, Masyumi yang akan memperjuangkan politik umat Partai Masyumi yang di dirikan tahun 1945 dan terpaksa bubar pada tahun 1960 dapat dikatakan sebagai partai Islam terbesar di dunia. Partai ini juga mengemukana dialog yang produktif antara Islam dan demokrasi. Sejarah partai itu, dilihat dari kegiatan maupun programnya, yang membawakan kita pada suatu pertanyaan yang sulit namun menarik mengenai identitas Islam dihadapan hal yang merangkap jabatan, bahwa realitas terdiri dari banyak subtansi. Selama massa penuh gejolak yang di alami di Indonesia, partai Masyumi menyusun dan mempertahankan suatu ideal demokrasi Islam yang merupakan pergantian dari pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar negara Islam didirikan.
C. Masyumi dan Kabinet Burhanuddin Harahap 1955-1956. Setelah kabinet Ali Sastroamidjojo I dari Partai Nasional Indonesia PNI, kini parta Masyumi tampil dalam menggantikan posisi PNI yang berturut-turut memegang posisi utama. Partai Masyumi diwakili oleh Burhanuddin Harahap memgang kabinet tahun 1955-1956. Kabinet Burhanuddin juga menggandeng partai-partai lain untuk menduduki posisi menteri-menteri, seperti Menteri Pertahanan dirangkap oleh Burhanuddin sendiri, Menter Pertanian oleh M. Sardjan. Sedangkan NU menduduki posisi Menteri Dalam Negeri yang diketuai oleh Mr. Sunardjo dan Menteri Agama oleh K.H. Ilyas, serta PSII menduduki posisi Wakil Perdana Menteri II yang diserahan kepada Harsono Tjokroaminoto dan Menteri Sosial oleh Soedibjo.44 Pada masa inilah Partai Masyumi menunjukkan prestasi yang dapat dibanggakan,
karena
pada
masa
ini
kabinet
Burhanuddin
dapat
menyelanggarakan Konferensi Asia Afrika di Bandung. Dengan demikian kabinet ini dianggap kabinet yang berhasil dari partai Masyumi. Semangat dalam kabinet ini cukup tinggi untuk memulai tugasnya yaitu dalam mengembalikan kewibawaan moral pemerintah. Kabinet segera mengambil tindakan terhadap mereka yang disangka terlibat korupsi selama kabinet Ali Sastroamidjojo
dengan menahan mereka
dan membawanya
mereka
kepengadilan. Kabinet berhasil menempatkan kedudukan Indonesia pada 44
Dra. Haniah Hanafi, Partai-Partai Islam di Indonesia, (Hasil Penelitian FUF-UIN Jakarta, 2005). H. 46
trempast yang lebih menguntungkan dari pada sebelumnya. Beberapa diantara masalah itu menyebabkan kembalinya perpecahan dalam lingkungan Masyumi serta
antara
partai-partai
Islam
lainnya,
sehingga
permulaan
yang
menguntungkan bagi mereka pada saat kabinet mulai bekerja tidak dapat diteruskan. Kelompok Sukiman dan kelompok Natsir memperlihatkan kembali hubungan yang tidak serasi, seperti tercermin dalam berbagai pernyataan. Pertikaian antara partai Islam terutama antara partai Masyumi dengan partai Islam lain yang bersangkutan dengan soal hubungan dengan negeri Belanda. Dalam priode kabinet Burhanuddin Presiden Soekarno mulai ikut campur tangan secara mendalam dalam pemerintahan serta partai. Kabinet Burhauddin adalah kabinet yang bertugas husus, yaitu menyelenggarakan pemilihan umum. Dari ini dapat dialksanakan karena ia juga masih ingin menyelesaikan masalah antara hubungan dengan negeri Belanda. Oleh sebab itu permulaan tahun 1956, setelah pemilu pertama diselenggarakan, perhatian kabinet ditujukan tentang cara pemutusannya. Lagi-lagi Masyumi menolak usulan seperti ini karena melihat bahwa usulan tersebut tidak dapat menyelesaikan masalah, malah akan menambah persoalan. Masyumi juga bependapat bahwa tiap partai besaryang tiga itu (Masyumi, PNI, dan NU) apakah didalam atau diluar kabinet, sehingga mempunyai tanggung jawab untuk menciptakan harmoni antar partai. Sementar itu karena pertikaian tentang soal hubungan indonesia dengan negeri Belanda, NU dan PSII pada bulan Januari 1956 menarik diri dari kabinet.
Pemilu berhasil dilaksanakan secara demokratis dengan menghasilkan empat partai besar pemenag suara, yaitu PNI, Partai Masyumi, NU dan PKI. Pada masa itu NU mulai mengikuti pemilu secara tersendiri, karena telah memisahkan diri dari partai Masyumi sejak tahun 1952. dan dapat meraih posisi ketiga setelah PNI dan Partai Masyumi. Kabinet Burahnuddin bubar pada tanggal 3 Maret 1956, sesuai dengan maksudnya yaitu setelah hasil pemilu diresmiakn. Pada tanggal 1 Maret pimpinan partai Masyumi mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa waktunya telah tiba bagi kabinet untuk mengembalikan mandat kepada kepala negara. Hasil pemilihan umum segera di resmikan, sehingga perimbangan kekuatan organisasi dan partai politik yang telah terpilih sudah resmi diketahui. Oleh sebab itu, formatir baru dapat ditunjuk oleh Presiden berdasarkan komposisi baru dalam parlemen.
D. Masyumi dan Kabinet Ali Sastroamidojo II 1956-1957 Setelan Pemilu tahun 1955, muncul kabinet koalisi yang dibentuk sesuai dengan hasil pemilu. Kabinet tersebut dinamakan kabinet Ali Sastroamidjojo II dengan komposisi Ali-Roem-Idham. (PNI-Masyumi-NU), dalam kabinet ini NU mampu menunjukkan kemandirian dan kekuatan dukungan yang sangat luas, sehingga mampu mendapatkan suara yang banyak dengan menduduki posisi ketiga. Karena semula Nahdhotul Ulama yang bergabung dengan partai Masyumi. Pada periode inilah partai Masyumi yang semula wakil umat Islam
terahir kali memainkan peran politiknya dan tidak dapat lagi mengatakan satusatunya wakil umat Islam. Wakil umat Islam diwakili oleh Masyumi, Partai NU, PSII, dan Perti dalam kabinet. Partai Masyumi memegang empat posisi dengan menduduki Menteri I oleh Mr. M. Roem, Menteri Keuangan oleh Mr. Jusuf Wibisono, Menteri Kehakiman oleh Mr. Mulyatno, dan Menteri Pekerjaan Umum oleh Ir. Pangeran M. Noer. Sedangkan NU memegang lima kursi, yaitu Wakil Perdana Menteri II diserahkan oleh K.H. Idham Khalid, Menteri Dalam Negeri kepada Mr. Sunarjo, Menteri Perekonomian dipegang oleh Mr. Burhanuddin, Menteri Sosial dipegang oleh K.H. Fatah Jassin, dan Menteri Agama dipegang oleh K.H. Ilyas. PSII memegang dua kursi, yaitu Wakil Menteri Pertanian diserahkan kepada Syeh Marhaban dan Menteri Penerangan oleh Sudibjo. Sedangkan Perti mendapat satu Kursi yaitu Menteri Negara oleh H. Rusli A. Wahid. Kabinet koalisi ini menghasilkan perjanjian Roem-Royen dengan pemerintah Belanda yang dilaksanakan oleh M. Roem dari partai Masyumi. Ternyata kabinet koalisi terahir dari pemerintahan demokrasi Parlementer yang melibatkan Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Parkindo, Katholik, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), IPKI, dan Perti, karena tak lama kemudian dihentikan oleh presiden dengan turunnya Dekrit 5 Juli 1959. Penurunan dekrit Presiden 1959 berisi agar membubarkan Majllis Konstituante dan kembali ke UUD 1945, karena menganggap Majlis
Konstituante tidak mampu menyelesaikan tugasnya. Padahal menurut Syafi’i Ma’arif 22 Majlis Konstituante telah merampungkan tugasnya menyelesaikan masalah dasar negara dan telah selesai 90%. Ketidak puasan terhadap Dewan Konstituante hanya salah satu alasan, tetapi alasan yang lain, dikarenakan Soekarno sebagai Presiden tidak dilibatkan dalam pemerintahan, hanya sebagai kepala negara, demikian pula dengan TNI dan partai Komunis. Sehingga Soekarno merasa bahwa Demokrasi yang ada tidak cocok dan perlu membuat suatu konsep demokrasi yang memungkinkan Soekarno terlibat didalamnya. Syafi’i Ma’arif 23 mengatakan bahwa Soekarno tidak mau menjadi tukang setempel lagi. Dengan diturunkannya dekrit, maka berahirlah Demokrasi Parlementer. Erat kaitannya dengan fenomena di atas adalah kenyataan bahwa dalam dewan eksekutif sendiri umumnya terdiri dari kelompok modernis yang terdapat kelompok-kelompok, dan mempunyai orientasi ideologi politik yang berbeda. Misalkan yang pernah di tulis oleh Abu Hanifah menggambarkan fenomena sebagai berikut: Ketua Masyumi Pertama adalah pemimpin muslim yang terkenal dari syarekat Islam lama yaitu Dr. Soekiman, kelompok pemikirannya terdiri dari pemimpin-pemimpin
Intelektual
muslim
muda,
seperti
Syarifuddin
Prawiranegara, Muhammad Roem, Kasman, Jusuf Wibisano, dan Abu Hanifah. Kelompok ini termasuk dalam golongan sosialis ‘religius’, yang jalan pemikirannya berbeda dengan pemikiran kelompok pemimipin muda muslim seperti Mohammad Nasir dan Muhammmad Roem. Sedangkan
kelompok moderat secara politis lebih dekat kepada Syahrir, dan kelompok konservatif dan sosialis religius lebih sering berdampingan. Kegagalan untuk mengarahkan dan menangani secara bijak dalam perbedaan-perbedaan pendapat dan kecendrungan ideologi tersebut kearah persamaan sikap yang wajar, hal ini telah mengarahkan Partai Masyumi keproblem-problem yang serius. Sehingga timbullah sebuah pertanyaan untuk apa partai Masyumi didirikan? Atau apakah tujuan partai ini? Secara jelas telah di gambarkan lewat Anggaran Dasar Masyumi, tujuannya adalah terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Dimana negara melakukan kekuasaannya atas dasar musyawarah dengan perantara wakil-wakil rakyat yang dipilih. Dimana kaidah kedaulatan rakyat, kemerdekaan, persamaan, keadilan sosial yang di ajarkan Islam dapat terlaksakan dengan sepenuhnya. Dengan ajaran dan hukum-hukum Islam, sebagai mana yang tercantum di dalam Al-qur’an dan Sunah, dimana golongan keagamaan non-Islam memilih kemerdekaan
untuk
menganut
dan
mengamalkan
agamanya.
Serta
mengembangkan kebudayaannya bagi keseluruh penduduk dari segenap lapisan agar dapat hidup atas dasar keragaman.45 Sesungguhnya dengan di terapkannya sistem parlementer sejak awal kemerdekaan yang di teruskan oleh konstitusi RIS dan UUDS’ 50 Soekarno selaku presiden sama sekali tidak memilki hak untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan. Hal ini jelas membuat Soekarno tidak merasa senang. 45
Ahmad Syafi’I Ma’arif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Jakarta P.T. Pustaka LP3S, 2006). H. 114-115
Sebab segala obsesi untuk mengatur Negara berada di luar kewenangannya. Karena itu sejak waktu sebelum dekrit Soekarno telah mengkampanyekan perlunya Indonesia menerapkan sistem demokrasi terpimpin dan sekalighus membuang jauh-jauh sistem demokrasi Parlementer atau demokrasi Liberal. Ide ini sejak awal mula sudah banyak yang menanggapinya secara negatif diantra partai-partai yang lantang untuk menentang di laksanakan demokrasi Terpimpin adalah Partai Masyumi dan PSI. Demokrasi terpimpin yang di idam-idamkan oleh Soekarno ahirnya berubah maknanya. Dr. Miriam Budiardjo menyatakan bahwa demokrasi Terpimpin memiliki ciri yang khas, yaitu pembatasan peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial politik. Demikian juga demokrasi terpimpin telah menggeser tentang pengertian kedaulatan rakyat ke pengertian kedaulatan Negara, atau kearah kedaulatan pemerintah beserta alat-alatnya. Dalam masa awal pelaksanaan
demokrasi terpimpin mengakibatkan
terjadinya
berbagai
pergolakan daerah, antara lain pegolakan daerah yang terkenal dengan sebutan PRRI di Sumatra Barat dan Permesta yang muncul di Sulawesi Utara. Dalam perkembangannya beberapa tokoh Masyumi dan PSI bergabung dalam pergolakan PRRI, seperti Muhammad Nasir, Syarifudin Prawironegara, Sumitro Djojokusumo dsb. Sehingga Masyumi tidak mampu bertangguh lagi dan pada tanggal 9 Januari 1957 ia menarik para Menterinya dari Kabinet. Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan partai kemudian, dikatakan bahwa langkahlangakah pemerintah tidak memberi keyakinan kepada Masyumi bahwa ia
menuju kesejahteraan rakyat dan negara. Keterangan tersebut menambah bahwa Masyumi sering mengeluarkan peringatan kepada pemerintah menegnai keadaan yang memburuk serta disentegrasi pemerintah. Tetapi kabinet tidak memberi tanggapan yang memberi harapan karena pemimpin kabinet mempunayi penilaian yang lain. Menurut Masyumi, langkah-langkah pemerintah tidak memulihkan pergeseran dan perpecahan dalam kalangan bangsa. Malah mungkin ia berahir menjadi
antagonis dan perpecahan
sebenar-benarnya, yang tidak dapat dielakkan lagi. 46 Beralasannya keterlibatan partai Masyumi merupakan partai oposisi sejak awal tidak mensetujui di laksanakan demokrasi terpimpin, dan menolak ajakan Presiden Soekarno untuk duduk dalam kabinet, hal ini adalah alasan yang di gunakan oleh PKI, untuk memukul mundur agar Masyumi di bubarkan dalam perpolitikan. Bujukan untuk membubarkan ahirnya di terima oleh Soekarno, dengan alasan karena tokoh-tokoh partai terlibat dalam pemberontakan PRRI (Pemerintah Refolusioner Republik Indonesia) maka keluarlah surat keputusan Presiden nomor 200 tahun 1960 yang di umumkan pada tanggal 17 Agustus 1960, yang isinya Pemerintah membubarkan Partai Islam Masyumi, termasuk bagian-bagiannya, cabang-cabang, dan rantingrantingnya diseluruh Negara Republik Indonesia, dengan ketentuan bahwa dalam waktu tiga puluh hari, terhitung mulai tanggal berlakunya keputusan tersebut. Pemimpin Partai Masyumi diharuskan menyatakan partianya bubar dengan memberitahukan kepada Presiden Soekarno ketika itu juga.
46
Deliar Noer, Partai Islam Di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987). H. 255
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemahaman tentang Pergerakan Partai Msyumi 1945-1960 serta unsurunsurnya yang dilihat dari perspektif pemikiran Masyumi 1945, terletak pada bab-bab sebelumnya, maka berakhirlah semua penulisan ini dalam sebuah kesimpulan mengenai “Pergerakan Partai Masyumi 1945-1960 ” yang akan penulis uraikan dalam bab terakhir ini. Kiranya kesimpulan ini dapat merepresentasikan pemikiran tentang Pergerakan Masyumi 1945-1960, serta susunan-susunan Kabinet yang ada pada Partai Masyumi secara konprehensif. Dilihat dari sejarah kebangkitan Partai Masyumi di Indonesia tidak bisa terlepaskan dari kemunculan ruang politik (public asphere). Ruang publik dipandang penting karena merupakan lokasi tempat wacana-wacana yang diekspresikan dan merupakan ruang tempat kegiatan-kegiatan intelektual politik. Dalam konteks Masyumi, nasionalisme adalah komunitas epistemik dan pergerakan Islam yang berperan penting dalam meluaskan ruang publik keluar dari lingkaran priyai. Dengan demikian pergerakan nasionalsime keluar dari kesempitan elitisme menuju keluasan khalayak ramai, hal ini adalah memberi fondasi yang kuat bagi gerakan kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia. Memahami seputar Partai Masyumi di Indonesia kita akan menemukan urgensi ketika gejala di sentegrasi muncul di mana-mana. Dari ujung Sabang sampai Meroke. Yang mempunyai keinginan-keinginan untuk memisahkan diri dari pemerintahan yang dianggap kurang loyal terhadap masyarakat. Dan diperparah lagi ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan demikian, masyarakat yang kecewa adanya rasa krisis ingin memiliki identitaas kebangsaan yang disepakati oleh semua pihak. Dalam pembahasan seperti ini, penulis akan meluruskan kembali tentang Islam,
dan
pergerakan
Masyumi.
Utamanya
dalam
rangka
untuk
mengantisipasi impact (pengaruh) yang buruk pertikaian ideologi kebangsaan yang terus berkembang, karena Indonesia adalah sebagai Negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, pembahasan hubungan antara Islam dan Masyumi dalam konteks Indonesia kembali akan menyita banyak perhatian bagi akademisi dan banyak kalangan lain. Sebetulnya bisa di bilang, sudah lama dan tuanya dengan usia kemerdekaan Indonesia. Bahkan, pembahasan ini sudah di mulai sebelum Indonesia diproklamasikan sebagi negara yang merdeka. Bila ditelusuri sejarahnya, Masyumi berasal dari kata “Majlis Syuro Muslimin Indonesia” yang berarti sebagai penghimpun kekuatan-kekuatan Umat Islam untuk membangun negara yang sesuai dengan hukum-hukum Islam yang diridhoi oleh Allah. Tampilnya Masyumi sebagai partai politik Islam yang bercorak satu kesatuan di Indonesia bukanlah suatu kebetulan dalam sejarah. Akan tetapi dilatarbelakangi atas kesadaran yang panjang oleh para wakil-wakil umat Islam Indonesia. Benturan ideologi dalam susunan dikalangan Masyumi belum menemukan titik temu, tidak sedikit orang menilai anatara kabinet yang satu
dengan
kabinet
yang
lain
selalu
berbeda
argumen
dalam
kepemimpinannya, sehingga tidak bisa hidup secara berdampingan yang
harmonis. Meski sebagian muslim lain menganggap tidak ada sebuah pertentangan diantara keduanya.47 Barang kali perlu dicatat juga dalam hubungan ini betapa NU, yang nomor tiga dalam pemilu tahun 1955, menduduki posisi yang menentukan. Kabinet manapun sesudah 1956 tidak mungkin terbentuk bila NU bertahan. Pada tahun 1953 terdengan santer jaminan NU bahwa ia tidak akan ikut dalam kabinet bila Masyumi turut serta. Kabinet itu (Ali I 1953-1955) memang jatuh dengan pengunduran diri NU. Kabinet Djuanda (1957) tidak akan terbentuk bila NU tidak bersedia masuk didalamnya. Sejarah politik Islam Indonesia sejak dulu sampai sekarang merupakan khazanah perbandingan yang cukup lumayan dibandingkan dengan pemikiranpemikiran politik ke-Islaman yang pernah dikembangkan di kawasan Timur Tengah atau dunia muslim lainnya. Sepajang sejarah yang sudah berumur setengah abad lebih, politik Islam berkembang dalam batas-batas tertentu. Pada tahun 1940-an sampai dengan awal tahun 1960-an, ekspresi, artikulasi, dan detil pemikirannya yang berbeda kubu “golongan agama” dan “golongan nasionalis”. Seperti yang ditampilkan dalam sidang dewan konstitunte pada ahir tahun 1950-an, sehingga kompromi dan negosiasi yang di harapkan melahirkan jalan tengah tidak terjadi, malahan menimbulkan setigma sejarah dalam soal kaitan antara Islam dan politik atau Islam dan Negara. 48
47 Opini, Khoiril Mahfud, Mengahiri Benturan Ideologi, Islam dengan Nasionalisme, (Maarif Vol.3, No. 2 Mei 2008), h. 43-44 48
Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta, P.T. Serambi Ilmu Semesta, 1996), h.VII
B. Saran-Saran Berahirnya dari beberapa poin skripsi yang penulis uraikan, ada kiranya dipenghujung bab ini akan saya cantumkan saran-saran sebagai bahan masukan bagi semua pihak yang mempunyai rasa memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam skripsi ini, saran-saran yang ingin saya ajukan adalah sebagai berikut: 1. Dalam Anggaran Dasar Partai Masumi, telah di rumuskan secara terbuka yang bertujuan agar terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat, dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Illahi. Dalam sejarahnya, tidak diragukan lagi kejujuran Masyumi dalam membela dan mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi dalam suatu pluralisme ideologi. Disinilah letak pergolakan antara Islam dan nasionalisme yang ada pada perpolitikan Partai Masyumi. 2. Dalam Pergerakan Politik ini, antara Islam dan Masyumi memunculkan pertanyaan yang bisa di sederhanakan dengan Dua jawaban, menolak atau menerima. Sehingga tidak ada sebuah perselisihan, 3. Sebagian karya yang sangat cemerlang dalam karir Partai Politik Masyumi, adalah sebuah prestasi partai dalam membela kedaulatan Bangsa dan Negara. Seperti membentuk Barisan Hisbullah para pemuda dan pemudi Islam di Indonesia, mendukung usaha demokrasi di Indonesia, untuk mewujudkan suasana negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dan masyarakat berdasarkan keadilan menurut ajaran Islam. Perwujudan kedaulatan rakyat itu dengan adanya hak pilih dan dipilih secara umum
dan langsung. Dan partai Masyumi juga berupaya agar pemerintah Indonesia menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, agar manisfesto politik Islam dapat menempatkan negara republik Indonesia berdampingan dengan negara-negara demokrasi, terutama yang berkuasa dan berpengaruh di Asia Pasifik. 4. Dilingkungan Masyumi pada umumnya berhati-hati dalam menerima lulusan Barat sebagai pemimpin mereka. Usaha Sukiman (ketua Partai 1945-1949), Presiden partai 1949-52, dan kemudia wakil ketua partai 1952-1960, untuk menarik beberapa lulusan pendidikan Barat ini kedalam partai kurang memperoleh simpati. Karena sebelumnya orang-orang ini belum dikenal ikatan ke-Islamanya. Siakap ini kurang memberikan kesempatan kepada para lulusan Barat untuk memperlihatkan kebolehan mereka dalam hubungan dengan kegiatan partai Islam, dalam rangka ini rasa golongan kalangan partai Islam agak menyempit.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan, Teologi Kiri landasan Gerakan Membela kaum Mustadl’afin, (Jogjakarta, P.T. Kreasi Wacana, 2002). Abdurrahman, Islam yang Memihak, (Jogjakarta, P.T. LKiS Pelangi Aksara, 2005) Adam, Ian, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik dan Masa Depan. (Jogjakarta, C.V. Qalam, 1993) Astuti, Linda E, (skripsi) Nasionalisme Dalam Pandangan Mohammad Natsir: Studi Pemikiran Moh. Natsir Tentang Nasionalisme, (Jakarta, UIN Syahid, 2005). Azra, Azyumardi, Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000) Black, Antoni, Pemikiran Politik Islam, dari masa nabi hingga masa kini, (Jakarta, P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2001) Bukhari, Manan, Menyikap Tabir Orientalisme, (Jakarta, P.T. Amzah 2006), Chaidar, Al, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, (Jakarta, P.T. Darul Falah, 1993) Dault, Adhiyaksa, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Al-Kautsar) Damami, Muhammad, Akar Gerakan Muhammadiyah, (Jogjakarta, P.T. Adipura, 2000) Effendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam, (Jogjakarta, P.T. Galang Press, 2001) Feith, Herbert dan Lance castle, pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, (Jakarta, P.T. LPES, 1988) Form, Desertasi UIN Sayarif Hidayatullah (Jakarta, PPS 392, 2004)
Sazali, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani, (Jakarta, P.T. PSAP (pusat setudi agama dan peradaban) Muhammadiyah, 2005. Jurnal Pemikiran Agama dan Peradaban / TANWIR, Perjalanan Politik Muhammadiyah dari ahmad Dahlan hingga Syafi’i Ma’arif, edisi Perdana, Vol. 1, mei 2003 Kamal, Mustafa, Pasha, B.Ed, Dkk, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, (Yogyakarta, P.T. Citra Karsa Mandiri, 2005) Opini,
Khoiril Mahfud, Mengahiri Benturan Ideologi, Nasionalisme, (Maarif Vol.3, No. 2 Mei 2008)
Islam
dengan
Kohn, Hans, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya (terj), (Jakarta: PT. Pembangunan dan Penerbit Erlangga,1984) Ma’arif, Syafi’i A, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Jakarta P.T. Pustaka LP3S, 2006). Ma’arif, Syafi’i A, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (Jakarta, P.T. Gema Insani Press, 1996) Muttaqin, Jajang, Masyumi dalam pergolakan Politik Islam Indonesia, (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah PRESS, 2004) Media Ma’arif (Artikel), Yudi Latief, Ph.d. Islam dan Awal Kebangkitan Nasionalisme di Indonesia, (Ma’arif Edisi Vol. 3, No.2 Mei 2008) Nata, Abdullah, Azyumardi Azra, Problematika Politik Islam di Indonesia, ( Jakarta, P.T. Grasindo bekerja sama dengan UIN Jakarta pers 2002 ). Sasono, Adi, Rakyat Bangkit Bangun Martabat, (Jakarta, P.T. Pustaka Alvabet, 2008) Syam, Firdaus, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra Dipentas Politik Indonesia Modern, (Jakrta, P.T. Kaherul Bayan, 2003) Syahrasad, Herdi, Islamisme Nasionalisme Globalisme: Jejak-Jejak Ideologi Terkoyak, (Jakarta, P.T. Melibas, 2005) Sucipto, Heri, Menegakkan Indonesia: Pemikiran dan Konstribusi 50 Tokoh Bangsa Berpengaruh, (Jakarta, P.T. Grafindo, 2004)
Ramlan, Surbakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta, P.T. Gramedia Media Sarana, 1992) Roy, Oliverd, Gagalnya Islam Politik, (Jakarta, P.T. Serambi Ilmu Semesta, 1996) Samsuri, Politik Islam Anti Komunis, (Jogjakarta, P.T. Safira Insani Press, 2004) Sardar, Zainuddin, Kembali ke Masa Depan, (Jakarta, P.T. serambi Ilmu Semesta, 2003) Lily Ramli, Islam Yes Partai Islam Yes, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik, 2004) Hamka, Muhammadiyah-Masyumi, (Jakarta, P.T. Masyarakat Islam, 1959) Hatington, Samuel. P, Tertib Politik, (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2004 ) Noer, Deliar, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta, P.T. Pustaka Utama Grafiti, 1987). H. 154