MEMBACA GERAKAN POLITIK NAHDLATUL ULAMA DALAM PARTAI MASYUMI Nilma Yola
(Alumni Jurusan SKI Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol, Email:
[email protected])
Abstract This article is intended to read the pattern of political movement of Nahdlatul Ulama (NU) in Masjumi, starting from the beginning of establishment until the breakaway. In the beginning of the party’s establishment, NU is as one of the organizations that are not only participate pioneered, but also keen to gain support. In the structure of management, NU also gained a strategic position, namely as chairman of the Majelis Shura which was held by KH Wahid Hasyim. Several years escorting Masjumi, NU finally decided to come out. Among the claims raised was that NU did not get the position as minister of religious affairs in the cabinet. This claim tended to consider that NU was pragmatic. Further explored, the issue of ministerial posts just as triggers. Fundamental problems that caused this mass secession is a political movement patterns that are inconsistent among people NU with others. In fact, with a strategic position as chairman of the the shura council, coupled with the support of the nahdhiyin large enough then, NU may take more of a role, be more dominant, and even changed the course of the party. However, NU chose to get out of Masjumi. For this reason, it is important to understand the characteristics and patterns of NU's political movement, especially in relation to the dynamics of Masjumi’s Party. Key Words: political movement, Nahdlatul Ulama, Masyumi
PENDAHULUAN Seminggu setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno mengusulkan pembentukan Komite Nasional yang bertugas membantu presiden, sekaligus menjalankan fungsi partai dan fungsi parlemen. Usulan itu disampaikan pada 23 Agustus 1945. Presiden Soekarno juga mengusulkan pembentukan partai tunggal, yaitu Partai Nasional Indonesia. Usulan Soekarno ini langsung mendapat penolakan dari tokoh-tokoh lain. Syahrir adalah tokoh politik yang paling keras menolak ide Soekarno tersebut. Menurutnya, ide Sokearno hanya akan menyeret Indonesia ke dalam jurang otoritarianisem. Sebagai kelanjutan dari sikap penolakannya, Syahrir pun menggalang dukungan dari anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) untuk menuntut agar Komite Nasional dirombak sehingga memiliki kekuatan legislatif. Syahrir didukung oleh 50 dari 150 anggota Komite Nasional. Soekarno pun akhirnya menyetujui permintaan Syahrir dkk., ditandai dengan diterbitkannya Maklumat Negara Republik Indonesia No. X yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 16 Oktober 1945 (Dhakdae, 1995:206-207). Maklumat itu berisi tentang anjuran pembentukan partai politik agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat yang diagendakan pada Januari 1946. Maklumat tersebut direspon oleh umat Islam dengan mengadakan Kongres Umat Islam Indonesia pada 7-8 November di Jogjakarta. Dalam kesempatan itu hadir sekitar 500 orang
utusan organisasi berbasis agama (Islam), serta tokoh-tokoh keagamaan dan tokoh-tokoh politik. Kongres tersebut akhirnya membuahkan kesepakatan tentang pembentukan partai politik yang dinamakan dengan "Majlis Syuro Muslimin Indonesia" (Masyumi). Gagasan pembentukan partai ini muncul dari tokoh-tokoh pergerakan yang sudah aktif semenjak zaman penjajahan Belanda. Mereka terdiri dari: Agus Salim, Abdul Kahar Muzakir, Abdul Wahid Hasyim, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sukiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Muhammad Mawardi, dan Abu Hanifah (Mahendra, 1999:64). Para penggagas dan peserta kongres menyatakan bahwa Masyumi merupakan satusatunya partai Islam yang akan menyalurkan aspirasi dan kepentingan umat Islam di Indonesia. Keanggotaan "partai tunggal" Islam ini terdiri dari dua unsur, yaitu perorangan (yang disebut anggota biasa) dan organisasi (yang disebut anggota istimewa). Anggota biasa disyaratkan telah berusia minimal 18 tahun dan tidak menjadi anggota dalam partai lain. Adapun anggota istimewa, terdiri dari empat organisasi, yaitu Nahdhatul Ulama (NU), Perikatan Umat Islam, Persatuan Umat Islam (Persis), dan Muhammadiyah. Anggota Istimewa ini kemudian bertambah dengan masuknya Persatuan Islam pada, al-Irsyad, al-Jami'ah al-Washliyah, al-Ittihadiyah, dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) (Noer, 1987:49). Sebagai partai politik yang menghimpun beragam kalangan, tentunya Masyumi tidak terlepas dari dinamika layaknya partai politik lain. Dari beragam dinamika yang terjadi, peristiwa mundurnya Ormas-ormas dan para tokoh yang semula mendukung perjuangan Masyumi, terlihat cukup mengejutkan, mengingat
136
sebelumnya Masyumi dideklarasikan sebagai satu-satunya partai umat Islam di Indonesia. Pada 1947, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) menyatakan diri keluar dari Masyumi. Keputusan ini menyusul sikap politik PSII yang tidak disetujui kalangan petinggi Masyumi. PSII berupaya masuk "menerobos" kabinet Amir Syarifuddin dan berhasil mendapatkan jatah empat kursi menteri, sedangkan PB Masyumi sudah memutuskan untuk tidak bergabung dalam kabinet (Noer, 1987:170). Tidak adanya titik temu antar kedua pandangan, akhirnya PSII memutuskan keluar dari Masyumi. Beberapa tahun setelahnya, NU juga memutuskan keluar dari Masyumi. Keputusan itu disepakati dalam Kongres NU di Palembang pada tahun 1952. Keluarnya NU dari Masyumi berpengaruh secara signifikan pada iklim perpolitikan umat Islam saat itu. NU dikenal sebagai salah satu Ormas besar yang salah satu tokohnya ikut memperjuangkan berdirinya Masyumi sekaligus menjabat Ketua Majlis Syuro pertama, para tokoh NU juga berperan cukup signfikan untuk menggalang dukungan (Anam, 1985:252), lalu tiba-tiba menyatakan diri keluar dari Masyumi. Kemunduran NU tidak saja menyebabkan kegoncangan yang cukup besar pada massa pendukung, tetapi juga memunculkan kompetitor politik baru bagi Masyumi, karena NU mengubah haluannya menjadi partai politik. Dengan demikian, Masyumi tidak lagi menjadi satu-satunya partai politik umat Islam pada saat itu. Keputusan NU untuk keluar dari Masyumi lalu mendeklarasikan diri menjadi partai politik pun memunculkan beragam penilaian, baik dari kalangan Masyumi maupun kalangan umum. Di antara pandangan yang mengemuka tersebut: pertama, pimpinan masyumi didominasi oleh
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2013
kalangan modernis, dan kalangan NU yang tradisionalis tidak mendapatkan tempat yang memadai dalam partai. Iklim modernis-trasionalis ini semakin kentara dirasakan setelah M. Natsir yang berlatar belakang Persis menjabat Ketua Masyumi pada 1949 (sampai 1958). Kedua, posisi para kiai NU sebagai Majlis Syuro yang pada awalnya sangat strategis dan berpengaruh, mulai melemah (atau dilemahkan) semenjak keputusan kongres tahun 1949 dengan menjadikan mereka hanya sebagai dewan penasehat. Ketiga, NU menyadari potensinya yang cukup besar, baik dari segi tokoh maupun massa pendukung. Kondisi ini dinilai cukup "menggoda" NU untuk menjadi partai sendiri. Keempat, terdapat perbedaan pandangan antara kalangan NU dengan elit-elit Masyumi lainnya dalam hal memosisikan diri dalam pemerintahan. Berbeda dengan Masyumi, Partai NU dinilai bersikap lebih akomodatif terhadap pemerintah. Terlepas dari beragam penilaian serta bantahan yang mengiringinya, artikel ini dimaksudkan untuk menangkap pola gerakan politik yang dimainkan oleh NU selama peristiwa tersebut. Menilai NU bersikap pragmatis atas dasar pengunduran dirinya karena menginginkan kursi menteri, adalah penilaian yang terlalu tergesa-gesa. Satu hal yang dapat ditangkap bahwa pandangan politik NU tidak sejalan dengan mayoritas. Meskipun Masyumi dan NU sama-sama mendefinisikan diri sebagai partai yang memperjuangkan umat Islam, namun cara pandang dan cara bersikap yang ditempuh oleh masing-masingnya tidaklah sama. Atas asumsi itu pulalah, perlu dimunculkan pertanyaan: bagaimana gerakan politik NU dalam Partai Masyumi? Untuk menjawabnya, pertanyaan ini terlebih dahulu diturunkan menjadi beberapa pertanyaan: 1) Apa kontribusi NU bagi Partai
Masyumi?; Apa pertimbangan NU memutuskan diri keluar dari Partai Masyumi? Inilah yang hendak diuraikan dalam artikel ini.
DINAMIKA PERPOLITIKAN NU DALAM PARTAI MASYUMI Mundurnya NU dari Partai Masyumi menjadi peristiwa penting dalam perpolitikan tanah air, terutama bagi umat Islam. Dengan dinyatakannya NU menjadi partai politik, Masyumi tidak hanya kehilangan sebagian besar massanya, tetapi juga mendapatkan pesaing baru. Klaim bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik tempat umat Islam menyalurkan aspirasi, kontan tidak berlaku lagi. Terbukti pada dua tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) pada 1955, Masyumi dan NU memperoleh suara kedua dan ketiga terbanyak dari setiap tahapan pemilu. Andai saja NU tidak memisahkan diri, maka Masyumi akan menjadi partai pemenang dalam Pemilu tersebut. Perolehan suara terbanyak dapat dilihat pada dua tabel berikut: Tabel 01: 10 besar perolehan suara pada pemilihan anggota parlemen (diselenggarakan pada 29 September 1955) No
Partai
1
Partai Nasional Indonesia (PNI) Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) Nahdhatul Ulama (NU)
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jumlah Suara 8.434.653 7.903.886
Persentase 22,32 20,92
Jumlah Kursi 57 57
6.955.141
18,41
45
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.179.914
16,36
39
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) Partai Kristen Indonesia (Parkindo) Partai Katolik
1.091.160
2,89
8
1.003.326
2,66
8
770.740
2,04
6
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
753.191
1,99
5
Ikatan Pendukung Kemerdekaan 541.306 Indonesia (IPKI) Persatuan Tarbiyah Islamiyah 483.014 (Perti)
1,43
4
1,28
4
Dari tabel di atas terlihat, walaupun sudah kehilangan sebagaian besar massa pendukungnya
Membaca Gerakan Politik Nahdlatul Ulama dalam Partai Masyumi
137
dengan keluarnya PSII dan NU, namun Masyumi masih masih berhasil memperoleh suara sebanyak 7.903.886 atau sekitar 20,92% dari total suara. Dengan total suara sebanyak itu, Masyumi mendapatkan 57 kursi di parlemen, setara dengan kursi yang diperoleh PNI, walaupun dengan jumlah suara yang berbeda. Demikian juga dengan NU, walaupun pada awalnya menjadi bagian dari Masyumi, lalu kemudian memisahkan diri, namun NU berhasil memperoleh 6.951.141 atau sekitar 18,41% dari total suara. NU menempati posisi ketiga setelah PNI dan Masyumi dari 29 partai peserta Pemilu. Jika saja NU tidak memisahkan diri dan massanya tetap solid pada Masyumi, maka berdasarkan tabel di atas, Masyumi akan menjadi partai pemenang pemilu pada 1955. Jika suara yang diperoleh Masyumi dan NU dijumlahkan, maka akan diperoleh angka 14.855.027 atau sekitar 43% dari total suara yang terkumpul. Dengan penjumlahan suara tersebut, maka Masyumi akan memperoleh 102 kursi di parlemen. Jumlah ini jauh melebihi suara dan kursi yang diperoleh oleh PNI. Kecenderungan yang hampir sama juga terjadi pada Pemilu anggota konstituante sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 02: 10 besar perolehan suara pada pemilihan anggota konstituante (diselenggarakan pada 15 Desember 1955) No 1 2
Partai
Partai Nasional Indonesia (PNI) Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) 3 Nahdhatul Ulama (NU) 4 Partai Komunis Indonesia (PKI) 5 Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) 6 Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 7 Partai Katolik 8 Partai Sosialis Indonesia (PSI) 9 Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 10 Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
138
Jumlah Suara
Persentase
9.070.218 7.789.619
23,97 20,59
Jumlah Kursi 119 112
6.989.333 6.232.512 1.059.922 988.810 748.591 695.932 544.803
18,47 16,47 2,80 2,61 1,99 1,84 1,44
91 80 16 16 10 10 8
465.359
1,23
7
Dari tabel di atas terlihat bahwa peringkat partai dalam pemilihan anggota konstituante berbanding lurus dengan peringkat partai dalam pemilihan anggota parlemen. Dari segi jumlah dan persentase suara, memang terdapat sedikit perbedaan. Hanya saja, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi peringkat partai. PNI tetap menjadi partai pemenang, disusul Masyumi dan NU pada urutan kedua dan ketiga. Dengan pengandaian yang sama pada pemilihan anggota parlemen, jika saja NU tidak memisahkan diri dari Masyumi, maka berdasarkan data di atas, Masyumi akan menjadi partai pemenang dengan perolehan suara jauh melebihi suara yang diperoleh PNI. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa NU merupakan unsur penting bagi keberadaan Masyumi, tidak hanya sebagai salah satu penggagas, tetapi juga menjadi tiang penyangga jalannya partai ke depan. Mundurnya NU berarti menjadi peristiwa penting dalam sejarah perjalanan Masyumi. Kehadiran NU sebagai partai politik tidak hanya menambah pesaing baru bagi Masyumi, tetapi juga membuat suaranya turun secara signifikan. Dengan demikian, masuknya NU sebagai salah satu penggagas berdampak pada penambahan dukungan dan massa bagi Masyumi secara signifikan, dan sebaliknya, mundurnya NU juga berdampak pada pengurangan dukungan dan massa Masyumi secara signifikan. Kiprah NU dalam Partai Masyumi Kepengurusan Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang didirikan pada 7 November 1945 terdiri dari dua unsur, yaitu badan eksekutif dan majlis syura. Ketua badan eksekutif pertama dijabat oleh Sukiman Wirjosandjojo, sedangkan ketua majlis syuro dijabat oleh K.H. Hasyim Asy'ari. Badan eksekutif berwenang
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2013
dalam menangani persoalan politik praktis, sedangkan dewan partai menangani persoalan yang menyangkut masalah agama dan hukum Islam. Badan eksekutif partai banyak diisi oleh para politisi berpengalaman yang rata-rata berasal dari kelompok modernis. Adapun majlis syura lebih banyak diisi oleh para ulama dan kiai. Pada struktur majlis syura inilah para kiai NU mendapatkan tempat, termasuk posisi ketua (Noer, 1987:100-101). Jabatan ketua Majlis Syuro diterima oleh KH. Hasyim Asy'ari tanpa ada protes dari kalangan NU. Keberterimaan K.H. Hasyim Asy'ari pada saat itu dapat diartikan sebagai keberterimaan warga NU secara umum. Wewenang yang dimiliki Majelis Syuro ditegaskan dalam Anggaran Rumah Tangga Masyumi, yaitu: 1) Majelis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang berkaitan dengan politik kepada pimpinan partai; 2) Dalam masalah sosial politik yang berkaitan dengan hukum agama, maka pimpinan partai meminta fatwa kepada Majlis Syuro; 3) Keputusan Majelis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat; 4) Jika Muktamar Dewan Partai berpendapat lain dari keputusan Majelis Syuro, maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusan untuk berunding dengan Majelis Syuro dan hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi (Machfoedz, tt:80). Melihat komposisi kepengurusan serta hak dan wewenang pengurus yang tertuang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD&ART), posisi majlis syuro tampaknya cukup strategis bagi NU saat itu. Majelis Syura berperan sebagai penentu arah politik partai, terlebih dalam hubungannya dengan masalah keagamaan, yang kemudian dituangkan dalam Anggaran Rumah Tangga partai (Sitompul, 2010:93). Seiring itu, dalam kongres NU pada tahun 1946 di
Purwokerto, segenap warga NU diseru agar berpartisipasi aktif dalam Partai Masyumi. NU menyatakan diri siap menjadi tulang punggung Partai Masyumi. Soekaradja (Tjabang NO Banjumas) menulis: “Mukhtamar NU 1946 di Purwokerto memutuskan ‘soepaja anggota-anggota Nahdlatoel Oelama membanjiri Party Politik Masjoemi menoeroet petoenjoek Pengoeroes Besar NO’. Poetoesan-poetoesan Moe’tamar NO ke 16, 23-26 Rabiul Akhir 1365 (26/27-29 Maret 1946) di Poerwokerto” (Haidar, 1998:103).
Dalam perjalanan awal tahun 1945-1947, Partai Masyumi mendapat dukungan besar dari rakyat. Seiring berjalannya waktu, perbedaan pandangan politik antar kelompok dalam Partai Masyumi pun muncul. Persatuan yang semenjak awal kemerdekaan dijadikan sebagai obsesi membesarkan Partai Masyumi ternyata tidak dapat dipertahankan lagi. Pengaruh politik praktis berupa distribusi kekuasaan menjadi ajang perebutan, serta perebutan wilayah-wiilayah strategis lainnya. Konflik juga sangat kentara dirasakan ketika menghadapi Belanda dalam Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville. Dalam buku Sejarah Umat Islam Indonesia dituliskan bahwa: Masa demokrasi parlementer selain diwarnai oleh konflik politik, antar partai Islam sendiri muncul perpecahan. Terbentuknya Masyumi sebagai partai politik pada bulan November 1945 dimaksudkan untuk menggalang persatuan Islam dan menyalurkan aspirasi Islam dan kaitannya dengan negara dan pemerintahan. Akan tetapi, ketika menghadapi masalah-masalah politik praktis dalam pemerintahan, ternyata tidak seluruhnya memegang kesepakatan muktamar (Abdullah, 1991:389)
Dari sudut pandangan kelompok modernis, menempatkan para ulama pada posisi majlis syuro dan para politisi pada posisi dewan eksekutif dinilai sudah cukup adil dan proporsional. Hanya saja, menurut pembacaan Syafi'i Maarif,
Membaca Gerakan Politik Nahdlatul Ulama dalam Partai Masyumi
139
para elit partai di luar NU pada waktu kurang mempertimbangkan aspek sosial dan politik dalam proses perjalanan partai ke depan. Memang pada awalnya para tokoh NU merasa dihormati dengan diberikan posisi Majelis Syuro, tetapi lambat laun para tokoh NU mulai menyadari bahwa kebijakan-kebijakan partai lebih banyak dilakukan oleh eksekutif. Dengan keanggotaan perorangan, Masyumi berhasil menghimpun para intelektual yang tangguh seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Syafrudin Prawiranegara. Ketiga orang ini yang banyak mengarahkan perjalanan partai karena kefasihan mereka merumuskan pemikiran politiknya (Ma’arif, 1985:117-118). Sebagian kelompok pembaru menganggap diri mereka lebih mampu karena latar belakang pengalaman politik dan pendidikan modern yang mereka peroleh. Posisi majlis syura yang pada prinsipnya hanya menjadi dewan penasihat dirasakan oleh kalangan NU sebagai usaha untuk mengenyampingkan pertimbangan-pertimbangan keagamaan dalam putusan dan kebijaksanaan partai. Dalam hal ini, NU menuntut agar Majelis Syuro benar-benar berfungsi sebagai badan yang dipimpin oleh ulama dalam meninjau keputusan dan kebijaksanaan eksekutif partai (Yusuf, 1983:41). Menurut kalangan NU, kalau Masyumi sungguh-sungguh akan menjadi partai Islam, maka peranan ulama harus diakui sebagai pengawas agar partai selalu bekerja sesuai dengan gagasan keislaman. Para pemimpin eksekutif Partai Masyumi mungkin tidak terlalu memperhatikan keberadaan NU dalam jajaran kepengurusan partai, yang sebenarnya memiliki pengaruh yang besar bagi keberlangsungan partai ke depan. Kedudukan ulama yang kuat dan menentukan diperoleh bukan karena gagasan yang gemilang atau karena kepandaian pemikiran politik,
140
melainkan karena statusnya di mata umat sebagai “penggembala umat” (Zuhri, 1980:613). NU keluar dari Partai Masyumi Perbedaan sudut pandang yang terjadi antara kelompok modernis yang diwakili oleh Muhammadiyah dan tokoh intelektual Partai Masyumi lainnya, dengan NU sebagai kelompok tradisionalis menimbulkan kisruh dalam tubuh partai. Kisruh politik yang terjadi antara NU dengan kelompok intelektual muslim di Partai Masyumi, berujung pada keluarnya NU dari Partai Masyumi. Betapapun penting dan strategisnya jabatan Majelis Syuro yang dipegang oleh NU, ternyata tidak mampu menahan keputusannya untuk keluar dari partai. Keputusan itu diambil melalui keputusan kongres ke-19 NU, pada April 1952 di Palembang. NU sebagai salah satu pelopor Partai Masyumi, tiba-tiba memutuskan keluar. Ada pandangan yang mengemuka bahwa keputusan keluarnya NU dipicu kekecewaan karena tidak mendapatkan jabatan dalam kabinet. Penilaian ini sebenarnya telah dibantah oleh para tokoh NU. Pendapat lain mengatakan bahwa pandangan politik NU tidak sejalan dengan pandangan sebagaian besar tokoh Masyumi. Sejak awal berkembangnya Partai Masyumi, kalangan NU sudah merasakan adanya kebijakan yang tidak proporsional dalam internal partai, walaupun hal itu tidak kentara. Ada kemungkinan bahwa tokoh eksekutif Partai Masyumi yang berlatar pendidikan barat berpengalaman dalam politik praktis dan organisasi kepartaian. Tokoh tersebut berpandangan bahwa mereka lebih mengerti dan mampu dalam mengelola Partai Masyumi dibanding tokoh tradisonal NU. Sementara disisi lain, ulama NU mulai merasa tidak nyaman dengan hal itu. Walaupun NU menerima kedudukan di Majelis Syuro, bukan berarti NU menyadari
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2013
efek dari posisi eksekutif partai yang dipegang oleh tokoh-tokoh modernis (pembaru). Melihat perjalanan partai lebih didominasi oleh kalangan modernis, NU mulai merasakan adanya perlakuan tidak adil dari pemimpin eksekutif partai. Seolah ingin mengungkapkan sebuah kekecewaan, Saifudin Zuhri mengatakan: “Soalnya sederhana saja, Nahdhatul Ulama merasa diperlakukan tidak adil oleh dominasi golongan dan perorangan yang kuat kedudukannya lantaran struktur organisasi yang berlaku” (Ma'arif, 1985:117). Ucapan ini ditujukan kepada kelompok pembaharu, bahwa NU diperlakukan tidak adil. Menurut Syafii Maarif, pada waktu itu tampaknya kelompok modernis kekurangan data sosial dalam membaca faktor religius-psikologis yang amat penting ini. Sekiranya waktu itu mereka cukup arif dan bijaksana, sayap pesantren dari umat mungkin tidak menarik diri dari Masyumi, sebab bukankah para kiai ini pula yang menjadi bapak pendiri partai yang dibentuk tiga bulan setelah kemerdekaan RI diproklamasikan. Namun demikian, pendapat Ma’arif dibantah oleh Ali Maschan Moesa bahwa keberadaan ulama dan agama sangatlah penting dalam sebuah pemerintahan Indonesia. Indonesia menjadi hancur dan tidak maju dalam segala bidang juga disebabkan karena negara mengabaikan peran agama dalam kehidupannya. Agama hanya diposisikan sebagai “pelengkap penderita”. Oleh karena itu, peran ulama dalam pemerintahan harus kembali dilaksanakan (Ali, 2007:299). B e rd a s a r k a n u r a i a n d i a t a s , p e r l u dikemukakan beberapa faktor yang menyebabkan NU memutuskan diri untuk keluar dari Partai Masyumi. Pertama, NU merasakan kebijakan internal yang tidak proporsional. Dengan ungkapan lain, NU merasa kecewa terhadap sikap politik para elit partai. Kekecewaan itu dapat
dibaca dari berbagai peristiwa, di antaranya pada peristiwa Perundingan Renville dan Linggarjati oleh tokoh Partai Masyumi yang duduk di kabinet. Semenjak awal, NU menentang ditandatangani Perjanjian Linggarjati pada masa kabinet Syahrir, begitu juga dengan Perjanjian Renville pada masa kabinet Amir Syarifuddin. NU melihat bahwa perjanjian tersebut tidak lebih dari tipu muslihat Belanda terhadap Indonesia. Berlanjut pada penandatanganan perjanjian damai San Fransisco serta rancangan perjanjian keamanan bersama, Mutual Security Act (MSA) dengan Amerika Serikat pada masa kabinet Sukiman, NU kembali menunjukkan sikap tidak sepakat dengan pilihan partai untuk mendukung. Pada 4-5 Januari 1952, dilangsungkan tukar menukar surat perjanjian antara Duta Besar Amerika Serikat, Merle Cochran, dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Mr. Ahmad Subardjo. NU tidak menyetujui politik luar negeri seperti itu, sebab dengan ditandatangani persetujuan bersama MSA, maka politik luar negeri Indonesia sudah memihak blok barat. Demikian berarti, Indonesia tidak lagi memegang prinsip politik bebas dan aktif. Di samping itu, NU melihat bahwa aturan organisasi tidak secara utuh memelihara asas demokrasi, seperti dalam hal sistem keanggotaan. Dalam struktur keanggotaan Masyumi, peranan anggota perorangan dapat mengalahkan anggota istimewa (wakil dari perkumpulan atau organisasi keagamaan). Anggota perseorangan itu membentuk sebuah aliansi untuk mendesak minggir kelompok NU dari percaturan politik. Ketika Muktamar Masyumi IV tanggal 15-19 Desember 1949 di Yogyakarta, aliansi ini berhasil mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD-ART) partai, tepatnya pada pasal yang mengatur tentang Majelis Syuro. Dewan tertinggi yang sejak semula dipegang oleh NU, pada muktamar itu berubah
Membaca Gerakan Politik Nahdlatul Ulama dalam Partai Masyumi
141
status dari dewan pertimbangan menjadi penasehat partai. Dengan begitu, telah berakhir peranan Majelis Syuro yang menjadi kebanggaan NU dan ia tidak dapat memainkan peran lagi dalam partai menentukan kebijakan partai. Kedua, keterwakilan kepengurusan partai dari NU dinilai belum representatif. Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam sejak awal kemerdekaan, mempunyai dua macam keanggotaan: kenggotaan perorangan dan keanggotaan organisasi. NU yang merupakan wakil anggota istimewa Masyumi mempunyai 6 orang pengurus dalam partai, sementara berbagai organisasi dan perorangan di luar NU mempunyai 31 orang pengurus Masyumi. NU memang menempati posisi ketua Majelis Syuro Masyumi, sehingga walaupun memiliki wakil yang minoritas dalam eksekutif, namun mereka tidak terlalu merasa kecewa pada awalnya. Pada 1949, pimpinan Partai Masyumi melakukan reorganisasi yang merubah secara prinsip keseimbangan kepemimpinan politik majelis dewan partai di satu pihak dengan kepemimpinan keagamaan Majelis Syuro. Wewenang Majelis Syuro berganti dari dewan tertinggi menjadi penasehat partai saja. Usaha untuk mengembalikan fungsi Majelis Syuro yang dilakukan NU tidak berhasil. Dalam hal ini, Masyumi yang sebelumnya sempat dicurigai mulai mengarah pada haluan sekular, dengan sikap para elit di eksekutif yang mengabaikan fatwa-fatwa ulama dalam majlis syuro, semakin menguatkan penilaian tersebut. Melihat kondisi ini, NU berupaya agar Partai Masyumi dijadikan federasi di mana semua partai dan organisasi Islam yang masih berada di luar Partai Masyumi dapat dipersatukan kembali, namun semua usaha itu tidak terlaksana (Yusuf, 1983:41).
142
Ketiga, pandangan negatif kaum intelektual terhadap kaum "sarungan". Begitu ketatnya barisan intelektual di Partai Masyumi, membuat kalangan NU merasa kesulitan mendapatkan jabatan, baik dalam internal partai maupun dalam kabinet. Kelompok intelektual Partai Masyumi cenderung mendesak kelompok NU ke pinggir arena percaturan politik. Bukan hanya itu, kaum intelektual Masyumi sering mengatakan bahwa NU tidak pantas berkiprah dalam bidang politik, dan lebih baik aktif di lembaga keagamaan saja. Sebagaimana yang diungkapkan Cholid Mawardi, bahwa NU sering disindir dengan ungkapan: ”Kalau NU memegang peranan politik, maka berarti politik itu jatuh ke tangan kaum ortodoks, dan hal itu akan membahayakan” (Mawardi, tt:30). Ungkapan tersebut juga didukung oleh pendapat dari salah satu tokoh Masyumi, yaitu Mohammad Saleh dalam Kongres Masyumi tahun 1949. Ia mengatakan: ”Ini adalah politik… Politik ini saudara-saudara, tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih, jangan dikira skop-nya politik hanya di sekeliling pondok dan pesantren saja. Dia luas menyebar ke seluruh dunia” (Fadhali, 1969:27).
Dapat dilihat dengan jelas bahwa terdapat beberapa tokoh dari golongan modernis Masyumi yang terang-terangan mengatakan bahwa NU memang tidak seharusnya berkecimpung dalam urusan perpolitikan. Didasari dengan latar belakang pendidikan tradisional, menurut mereka akan lebih baik jika NU tetap bertahan dalam lingkungan kehidupan mereka yang biasa. Ditambah lagi pada saat Masyumi menolak calon yang diajukan oleh NU sebagai menteri agama pada Kabinet Wilopo tahun 1952 melalui pemungutan suara. Hal itu mengantarkan NU mengambil keputusan untuk menyatakan diri keluar dari keanggotaan Masyumi. Seperti yang
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2013
dikatakan oleh Syaifuddin Zuhri, soal menteri agama hanyalah picu peledak saja :
pemerintah terhadap NU, 2) mendapat peluang bisnis, dan 3) menduduki jabatan birokrasi.
“Masalah menteri agama cuma picu peledak dari ketidakpuasan akibat kebijaksanaan-kebijaksanaan partai. Keliru kalau orang-orang melihat itu sebagai masalah pokoknya. Soalnya, bisa dipahami dengan pertanyaan, cukup pantaskan suatu kekuatan besar seperti NU secara terus menerus dikurangi perannya, lalu satu-satunya yang masih dimiliki diambil kembali” (Yusuf, tt:42).
Kelima, melihat kepada pengalaman selama berada dalam keanggotaan partai politik Masyumi, yang kebijakan-kebijakannya lebih banyak dipengaruhi oleh tokoh modernis berfikiran sekuler, NU tidak ingin nantinya Masyumi seutuhnya berubah menjadi partai islamis yang sekuler. Kekhawatiran itu akan bisa di antisipasi dengan menjadikan NU sebagai partai politik islam yang selalu mempertahankan ciri tradisional islaminya. Jika nantinya Masyumi sudah berubah menjadi sekuler, NU tetap akan menjadi bukti bahwa Islam yang murni masih terdapat di Negara Indonesia.
Hemat penulis, adalah wajar kalau NU menuntut gigih kursi menteri agama, mengingat frame yang terbangun dalam pikiran para politisi semenjak awal adalah berpolitik untuk memudahkan penerapan ajaran Islam. NU dari awal menginginkan agar pemberlakuan ajaran Islam di Indonesia (melalui institusi departeman agama) adalah menurut pemahaman, cara, dan tradisi beragama yang berlaku di kalangan mereka selama ini. Keinginan para warga NU ini pada dasarnya sudah dipahami oleh politisi Masyumi semenjak awal, terbukti dengan diserahkannya ketua majlis syuro partai pada tokoh NU. Namun demikian, seiring perjalanan waktu, terdapat perubahan pemahaman terhadap kondisi ini. Keempat, NU mempunyai massa dalam kuantitas yang besar, hal itu disadari sebagai modal politik yang memperkuat posisi tawar NU ketika berhadapan dengan kekuatan politik lain. (Ida, 2004: 67) Dari kutipan tadi, penulis berpendapat bahwa, untuk menghadapi pemilu yang akan diadakan pada tahun 1955 NU sudah mempunyai modal awal untuk memperoleh jabatan dalam pemerintahan sekaligus membuktikan kepada kelompok modernis Masyumi bahwa tokoh NU juga bisa berkecimpung dalam dunia perpolitikan. Hal itu diawali dengan mendirikan Partai NU tahun 1952, yang selanjutnya ikut dalam pemilu tahun 1955. Ditambahkan oleh Greg Fealy, tujuan NU saat menjadi parpol adalah; 1) penyaluran dana
Keenam, berpisah dari Masyumi merupakan peluang baik untuk dekat dengan penguasa serta memperoleh kekuasaan. Dilihat dari kultur NU yang mudah bersosialisasi dan menyatu dengan pemimpin, menjadikan posisi NU lebih baik di hadapan pemimpin nengara masa itu, yakni Soekarno. Jika dibandingkan dengan tokoh Masyumi yang kebanyakan idealis dan tidak mau tunduk begitu saja kepada Soekarno, NU justru berpihak kepada pemerintah saat itu. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya Piagam Waliyyul Amri Ad Dloruri Bissyaukah, yang disampaikan oleh Kiai Wahab di Depan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), mewakili NU (Siraj, 2011:75). Melihat hubungan emosional yang baik antara Soekarno dengan NU, memberikan manfaat terhadap keberadaan NU dalam pemerintahan Indonesia. Terbukti, hingga detik ini NU masih diakui keberadaannya, sedangkan Masyumi yang dahulunya memiliki massa dalam kuantitas yang juga besar dapat dibubarkan oleh Soekarno tahun 1960. Pembubaran Masyumi dikarenakan Masyumi terlalu keras dalam menentang rezim pemerintahan Soekarno yang cenderung kepada partai PKI masa itu.
Membaca Gerakan Politik Nahdlatul Ulama dalam Partai Masyumi
143
Pertimbangan NU ketika memutuskan untuk berdamai dengan PKI adalah untuk mencari posisi “jalan tengah” untuk mengamankan posisinya. Seperti yang diungkapkan oleh Feith, “memilih Masyumi berarti mendatangkan bahaya; oleh karena itu, pilihan yang tepat adalah PNI (atau NU) (Einar, 2010:119). Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa terdapat faktor ekstern dan intern yang menyebabkan NU untuk memisahkan dirinya dari keanggotaan Partai Masyumi. Keberadaan dua faktor tersebut mengharuskan NU untuk berjuang sendiri dalam meraih apa yang dicitacitakan oleh NU dalam panggung politik.
DAFTAR PUSTAKA Anam, Choirul. Pertumbuhan & Perkembangan NU. Surabaya: Duta Aksara Mulia, 2010. Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1987. _____. Sejarah Umat Islam Indonesia, Jakarta: MUI, 1991. Esposito. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 2002. Gani, M.A. Cita Dasar & Pola Penyaringan Syarikat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Haidar, Ali. Nahdlatul Ulama Dan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998. Ida, Laode. NU Muda. Jakarta: Erlangga, 2004. Jansen, G.H. Islam Militan. Bandung: Pustaka, 1980. Karim, M. Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesia “Sebuah Potret Pasang Surut”. Jakarta: Rajawali Press, 1983.
144
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam dan masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985. Machfoedz, Maksoem. Kebangkitan Ulama dan Bangkitnya Ulama. Surabaya: Yayasan Kesatuan Ummat, 1987. Mawardi, Chalid. Praktika Politik NU. Jakarta: Yayasan Pendidikan Praktika, tth Moesa, Ali, Maschan. Nasionalisme KIAI, Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LKiS, 2007. Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1982. _______. Partai Islam di Pentas Nasional. Bandung: Mizan, 2000. _______. Perkembangan Demokrasi Kita. Jakarta: Prisma 2, 1977. PBNU. Hasil-hasil Muktamar Nahdlatul Ulama ke-29. Jakarta : Lajnah Ta’lif wa an-Nasyr, 1996. Sani, M. Abdul Halim. Manifesto Gerakan Intelektual Profetik.Yogyakarta: Samudera Biru, 2011. Siraj Said Aqil. Piagam Perjuangan Kebangsaan. Jakarta: Setjen PBNU-NU Online, 2011. Soekiman. Kewajiban Oemmat Islam Dewasa Ini. Yogyakarta: Pengoeroes Besar Masjoemi, tanpa tahun Yusuf, Slamet Effendi, dkk. Dinamika Kaum Santri. Jakarta: Rajawali Press, 1983. Zada, Khazami, dkk. Nahdlatul Ulama, Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan. Jakarta: Kompas, 2010. Zuhri, Syafuddin. Guruku Orang-Orang dari Pesantren. Bandung: Al-Ma’arif, 1977.
Turãst: Jurnal Penelitian & Pengabdian Vol. 1, No. 2, Juli - Desember 2013