UJI PATOLOGI DAN PERBAIKAN KINERJA Spodoptera exigua NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (SeNPV)
SAMSUDIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Uji Patologi dan Perbaikan Kinerja Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus (SeNPV) adalah karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan di dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir dari setiap topik disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
SAMSUDIN NIM A461060061
ABSTRACT SAMSUDIN. Pathological Assay and Performance Improvement of Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus (SeNPV). Under Supervision of TEGUH SANTOSO, AUNU RAUF and YAYI MUNARA KUSUMAH.
Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) is an entomophathogenic virus of onion caterpillar S. exigua (Lepidoptera: Noctuidae) larvae commonly used as bioinsecticide. The major limitations of SeNPV for biocontrol of onion caterpillar is it requires long time for the virus to kill the insect host and its sensitivity to ultraviolet (UV) degradation. This research was aimed to 1) study the signs and symptoms of SeNPV infection on host larvae 2) find out the optimum inoculum concentrations and harvest times of SeNPV for mass productions, 3) find out the phagostimulant that can improve the SeNPV virulence, 4) determine the boric acid concentrations to enhance the SeNPV virulence, and 5) find out the ultraviolet protectant to maintain the SeNPV infectivity. Infection of SeNPV on the S. exigua inhibited molting process, changed the body colors and caused reduction of feeding activity. For mass propagation of the virus in the laboratory, the optimum polyhedra concentration suggested was 5.88 x 106 POB/ ml, and the optimal harvesting time was 5 days after inoculation. Soybean sauces 5% and sucrose 5% increased S. exigua consumption on artificial diets and enhanced viral activity. When mixed with polyhedra of SeNPV, 1% to 5% sucrose significantly increased S. exigua consumption and increased the virulence of SeNPV, while 10% sucrose tended to decrease the feeding activity of S. exigua. Boric acid concentrations enhanced the SeNPV virulence. The LT50 of SeNPV was decreased by adding of boric acids. Addition of 1% of coconut shell charcoal, lampblack, husk charcoal, yam flour, molasses, yam filtrate, turmeric filtrate and green tea filtrate to the SeNPVsuspension were found to be effective as UV protectant. All materials tested are considered potential as natural UV protectant in the formulation of SeNPV-based biopesticides. Yam bean filtrate is recommended as natural UV protectant, as it provided nearly 100% UV protection for SeNPV. Keywords: Spodoptera exigua, SeNPV, phagostimulant, enhancer, UV protectant
RINGKASAN SAMSUDIN. Uji Patologi dan Perbaikan Kinerja Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus (SeNPV). Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO, AUNU RAUF dan YAYI MUNARA KUSUMAH. Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) merupakan hama utama tanaman bawang merah dan bawang daun di Indonesia, sehingga hama ini lebih dikenal sebagai ulatgrayak bawang (UGB). Pengendalian UGB sampai saat ini bertumpu pada penggunaan insektisida kimia. Dampak negatif penggunaan insektisida kimia sintetik, antara lain: resistensi, resurjensi, terbunuhnya musuh alami, meningkatnya residu pada hasil, mencemari lingkungan dan gangguan kesehatan bagi pengguna. Untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan insektisida kimia tersebut, saat ini dikembangkan penggunaan virus patogen UGB Indonesia yang diidentifikasi sebagai S. exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV). Hasil pengujian di lapangan pada tanaman bawang merah, SeNPV ini mampu menurunkan populasi S. exigua dan meningkatkan hasil yang sangat nyata dibandingkan dengan penggunaan insektisida kimia. Kelemahan SeNPV adalah: 1) membutuhkan waktu relatif lama untuk membunuh inangnya, dan 2) cepat menjadi tidak aktif di lapangan akibat sinar ultraviolet (UV). Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui karakteristik tanda dan gejala infeksi SeNPV pada serangga inang, 2) memperoleh konsentrasi inokulum dan waktu panen yang optimum untuk perbanyakan masal, 3) mendapatkan bahan perangsang makan (phagostimulant) yang efektif meningkatkan virulensi SeNPV, 4) memperoleh konsentrasi asam borat sebagai enhancer yang efektif meningkatkan virulensi SeNPV, dan 5) mendapatkan bahan pelindung alami terhadap sinar ultraviolet matahari untuk mempertahankan infektifitas SeNPV. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Maret 2011 di Laboratorium Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Bogor. Infeksi SeNPV pada UGB menghambat proses ganti kulit, mengakibatkan perubahan warna tubuh dan nafsu makan. SeNPV sangat patogenik di laboratorium dengan nilai Lethal Concentration 50% (LC50) terhadap UGB instar 3 sebesar 6,65 x 105 POB/ml. Untuk keperluan perbanyakan massal di laboratorium dengan memperhatikan tingkat mortalitas, LT50, produksi polihedra per larva, dan proporsi mortalitas UGB, maka konsentrasi inokulum yang digunakan adalah 5,88 x 106 POB/ml. Waktu pemanenan yang optimum adalah 5 hari setelah inokulasi, yaitu pada saat itu sebagian besar serangga yang terinfeksi telah mati dan belum hancur. Infektifitas SeNPV terhadap UGB yang diberi pakan daun bawang merah, bawang daun dan pakan buatan tidak berbeda nyata. Pakan buatan yang digunakan dinilai cocok untuk perbanyakan massal dan pengujian SeNPV di laboratorium. Kecap 5% dan sukrosa 5% mampu meningkatkan konsumsi UGB dan virulensi SeNPV. Hasil pengujian lanjutan menunjukkan bahwa penambahan sukrosa pada pakan buatan yang efektif sebagai phagostimulant adalah 1% sampai 5%. Penambahan asam borat pada suspensi SeNPV efektif mempercepat kematian UGB. Semakin tinggi konsentrasi asam borat yang digunakan, semakin rendah nilai LT50.
Hal ini diduga karena asam borat yang tertelan dalam makanan mampu mendegradasi matrik peritrofik UGB, sehingga mengurangi proteksinya dari infeksi patogen. Sinar matahari berpengaruh terhadap infektifitas SeNPV, semakin lama waktu penyinaran semakin menurun infektifitasnya. Penambahan masing-masing 1% arang tempurung kelapa, jelaga, arang sekam, tepung bengkuang, molase, filtrat bengkuang, filtrat kunyit dan filtrat teh hijau mampu mempertahankan infektifitas SeNPV. Penambahan bahan-bahan tersebut mampu menghambat penurunan kinerja SeNPV akibat penjemuran di bawah sinar matahari selama 30 menit. Filtrat bengkuang merupakan pelindung terhadap UV alami potensial yang efektif mempertahankan infektifitas SeNPV. Penggunaan SeNPV dalam implementasi pengendalian hama terpadu (PHT) UGB pada tanaman bawang merah dan bawang daun merupakan pilihan yang paling tepat. Penggunaan SeNPV sebaiknya dikombinasikan dengan teknologi pengendalian lainnya, seperti: penggunaan pestisida nabati dan pemanfaatan musuh alami. Secara praktis pada tingkat petani, konsentrasi anjuran sebesar 5,88 x 106 POB/ml atau 5,88 x 109 POB/liter hasil penelitian ini dapat disetarakan dengan 36.720 - 41.310 ekor larva mati untuk keperluan 1 hektar. Hasil dari serangkaian penelitian ini diharapkan menjadi panduan perbanyakan massal SeNPV di laboratorium dan mampu mengurangi kelemahan-kelemahan dari aplikasi SeNPV untuk mengendalikan UGB di lapangan.
Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
UJI PATOLOGI DAN PERBAIKAN KINERJA Spodoptera exigua NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (SeNPV)
SAMSUDIN Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Entomologi dan Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. (Ris.) Dr. Ir. Muhammad Arifin, M.S. 2. Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. (Ris.) Dr. Ir. Sumarno, M.Sc. 2. Dr. Ir. Anas D. Susila, M.Sc.
Judul Disertasi
:
UJI PATOLOGI DAN PERBAIKAN KINERJA Spodoptera exigua NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (SeNPV)
Nama
:
SAMSUDIN
NIM
:
A461060061
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Yayi Munara Kusumah, M.Si Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Entomologi dan Fitopatologi
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc
Tanggal Ujian : 14 Juli 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus : 10 Agustus 2011
PRAKATA Segala puji bagi Allah yang telah mengajari manusia apa yang mereka tidak ketahui. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, shohabat dan pengikutnya hingga akhir zaman. Disertasi yang berjudul “Uji Patologi dan Perbaikan Kinerja Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus (SeNPV)” merupakan tugas akhir penulis dalam menyelesaikan studi pada Program Doktoral Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA, Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc dan Dr. Ir. R. Yayi Munara Kusumah, M.Si sebagai Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan dan kritikan selama proses penelitian sampai penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Kepala Badan Litbang Pertanian dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri) yang telah memberi kepercayaan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di IPB. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Entomologi-Fitopatologi beserta seluruh staf pengajar dan tenaga administrasi yang telah membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan pendidikan di IPB. Penulis menyampaikan penghargaan kepada Direksi Dompet Dhuafa (DD) dan Manajemen beserta karyawan Lembaga Pertanian Sehat (LPS) yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan Program Doktor. Kepada seluruh pengurus Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Sehat, Kelompok Tani (KT) Sehat, petani peserta Program Pengembangan Pertanian Sehat LPS, penulis mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada jama’ah pengajian di beberapa mesjid di Bogor dan murid-murid kajian islam, serta para ustadz atas do’a yang disampaikan untuk kebaikan bagi penulis. Penulis menyampaikan do’a untuk kedua orang tua, yaitu: Bapak Sukatmaja (alm) dan Ibu Jariyah (almh) serta bapak mertua Bapak H. Ahmad Firdaus (alm) semoga Allah menempatkan mereka pada tempat yang mulia di alam barzah, sebagai balasan terbaik atas kebaikan dan pengorbanan yang mereka curahkan untuk menghantarkan penulis meraih pendidikan formal tertinggi. Penulis menghaturkan salam hormat kepada Ibu mertua Hj. Nurhayati yang selalu mengiringi langkah penulis dengan do’anya. Salam sayang dan peluk cinta penulis sampaikan kepada isteri tercinta Teti Purwasih, S.Si dan anak-anak tersayang Fathia Arifa Hasanah, Faqih Nadiya Umam, Fadlil Nafidza Ahsan, Faiz Harisa Ihsan dan Fakhrina Amila Mumtazah yang selalu menjadi inspirasi bagi penulis untuk terus belajar dan berkarya. Penulis mempersembahkan karya kecil ini kepada para peminat ilmu, para praktisi pertanian dan para petani khususnya petani bawang merah di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah.
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Brebes, Jawa Tengah pada tanggal 6 Mei 1968, putera ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Sukatmaja (alm.) dan Ibu Jariyah (almh.). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Wanoja 1 tahun 1982, kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Cibingbin dan lulus tahun 1985. Lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) I Brebes tahun 1988. Pada tahun 1992 lulus dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Jurusan Hama dan Penyakit Tanaman dan pada tahun 1999 menyelesaikan pendidikan Magister (S2) Program Studi Bioteknologi di Perguruan Tinggi yang sama. Sejak tahun 2006 mendapat tugas belajar pada program doktor (S3) Program Studi Entomologi Sekolah Pascasarjana IPB dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementrian Pertanian. Pada tahun 2000 penulis mengikuti training ”Plant Genetic Resources” di Tsukuba Jepang selama 10 bulan. Karir peneliti dimulai sejak tahun 1995 ketika dipercaya oleh Balai Penelitian Bioteknologi (Balitbio) Bogor untuk menjadi Research Associate pada The Clemson University Palawija Integrated Pest Management Project. Kemudian pada tahun 1997 sampai tahun 2000 diserahi tugas untuk melaksanakan penelitian pada FAO Vegetable Integrated Pest Management Programe in Indonesia khusus pada bidang Biological Control. Di samping itu, sejak tahun 1999 sampai sekarang penulis mendapat amanah dari Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa Republika (DD Republika) untuk mengembangkan teknologi tepat guna yang dapat diadopsi dan dirasakan langsung manfaatnya oleh petani melalui Lembaga Pertanian Sehat (LPS). Saat ini penulis merupakan staf peneliti di Kelompok Peneliti Entomologi dan Fitopatologi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri) Kementrian Pertanian. Penulis menikah dengan Teti Purwasih, SSi pada tahun 1993 dan telah dikarunia 5 orang putera/puteri, yaitu: Fathia Arifa Hasanah (Tia), Faqih Nadiya Umam (Faqih), Fadlil Nafidza Ahsan (Fadlil), Faiz Harisa Ihsan (Faiz) dan Fakhrina Amila Mumtazah (Fakhrin).
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………….…….…
xiv
DAFTAR GAMBAR ………………………………..………………….….…
xv
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................... Latar Belakang .............................................................................. Tujuan Penelitian ........................................................................... Manfaat Penelitian .........................................................................
1 1 4 4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ Ulat Bawang Spodoptera exigua (Hbn.) (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi nucleopolyhedrovirus (NPV) ........................................... 1. Morfotipe NPV .................................................................. 2. Siklus Hidup NPV .............................................................. 3. Tanda dan Gejala Infeksi NPV ........................................... Pemanfaatan Nucleopolyhedrovirus (NPV) Sebagai Bioinsektisida Upaya untuk Meningkatkan Kinerja NPV Sebagai Bioinsektisida Upaya untuk Meningkatkan Virulensi NPV ................................... Upaya Mempertahankan Persistensi NPV ......................................
5 5 6 6 8 10 12 13 14 15
BAB III
UJI PATOLOGI Spodoptera exigua NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (SeNPV) PADA ULAT BAWANG Spodoptera exigua (LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE) Abstrak ……………………………………………………………. Abstract ………………………………………………………….. Pendahuluan ………………………………………………………. Bahan dan Metode ………………………………………………… Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. Kesimpulan ………………………………………………………... Daftar Pustaka ……………………………………………………..
17 17 18 18 20 24 35 36
BAB IV
BAB V
PENINGKATAN VIRULENSI Spodoptera exigua NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (SeNPV) ………………………. Abstrak ……………………………………………………………. Abstract ……………………………………………………………. Pendahuluan ………………………………………………………. Bahan dan Metode ………………………………………………… Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. Kesimpulan ………………………………………………………... Daftar Pustaka ……………………………………………………..
41 41 42 42 44 48 58 58
KEEFEKTIFAN BAHAN PELINDUNG ALAMI DALAM MEMPERTAHANKAN INFEKTIFITAS Spodoptera exigua NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (SeNPV)……………………….. Abstrak ……………………………………………………………. Abstract ……………………………………………………………. Pendahuluan ………………………………………………………. Bahan dan Metode ………………………………………………… Hasil dan Pembahasan …………………………………………….. Kesimpulan ………………………………………………………... Daftar Pustaka ……………………………………………………..
63 63 64 64 66 71 83 83
BAB VI PEMBAHASAN UMUM ………………………………………...
88
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………… Kesimpulan ………………………………………………………... Saran ……………………………………………………………….
95 95 96
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
97
DAFTAR TABEL
No.
Teks
3.1
Deskripsi gejala infeksi SeNPV pada UGB di Laboratorium ...
24
3.2
Mortalitas UGB instar 3 pada pengamatan hari ke-6 setelah perlakuan SeNPV pada beberapa konsentrasi ………………...
30
Akumulasi mortalitas UGB instar 3, nilai LT50, produksi polihedra per larva dan produksi polihedra per 100 larva pada pengamatan hari ke-6 setelah perlakuan SeNPV ……………..
31
Produksi polihedra berdasarkan konsentrasi inokulum dan waktu panen ………………………………………………….
33
Persentase mortalitas UGB terinfeksi SeNPV pada berbagai jenis pakan …………………………………………………….
49
Akumulasi rata-rata persentase mortalitas UGB setelah perlakuan phagostimulant……………………………………..
51
Nilai peningkatan kinerja relatif (PKR), ER dan IFS dari bahan-bahan phagostimulant ………………………………….
52
Pengaruh perlakuan sukrosa terhadap mortalias UGB terinfeksi SeNPV…..…………………………………………..
55
Nilai peningkatan kinerja relatif (PKR), ER dan IFS dari perlakuan sukrosa.……………………………………………..
55
Pengaruh penambahan asam borat terhadap akumulasi mortalitas UGB terinfeksi SeNPV ……………………………
56
4.7
Nilai LT50 dan aktifitas relative (AR) asam borat pada SeNPV
57
5.1
Pengaruh waktu penjemuran terhadap virulensi SeNPV ……...
74
5.2
Rata-rata persentase mortalitas S. exigua terkoreksi setelah perlakuan bahan pelindung terhadap UV berbentuk tepung..….
75
3.3
3.4
4.1
4.2
4.3
4.4
4.5
4.6
Halaman
5.3
5.4
5.5
5.6
Nilai OAR dan ER bahan-bahan pelindung terhadap UV berbentuk tepung …………………………………………….
76
Rata-rata persentase mortalitas S. exigua setelah perlakuan pelindung terhadap UV berbentuk cair.………………………..
77
Efesiensi aktifitas bahan-bahan pelindung terhadap UV berbentuk cair dalam melindungi SeNPV .……………………
77
Keefektifan filtrat bengkuang dalam melindungi SeNPV terhadap paparan UV matahari ……………………………….
82
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Halaman
2.1
Siklus hidup UGB Spodoptera exigua ………………………..
7
2.2
Badan oklusi Spodoptera litura NPV ……………………….…
8
2.3
Skematik mekanisme infeksi NPV pada sel inang secara umum
10
2.4
Gejala larva terinfeksi NPV pada S. litura dan S. exigua .........
11
3.1
Gejala infeksi SeNPV pada UGB (A) larva sehat (B) larva terinfeksi ………………………………………………………
26
3.2
3.3
Gejala infeksi SeNPV pada pupa UGB (A) pupa sehat ventral (B) pupa sehat dorsal (C) pupa terinfeksi ventral (D) pupa terinfeksi dorsal ……………………………………………….
26
Pengaruh infeksi SeNPV terhadap bobot feses yang dikeluarkan UGB …………………………………………………………….
27
Pengaruh infeksi SeNPV terhadap pertumbuhan UGB menjadi pupa …………………………………………………………….
28
Persamaan regresi hubungan konsentrasi dengan mortalitas UGB instar 3 di laboratorium …………………………………
30
Rata-rata UGB terinfeksi SeNPV sampai 6 HSP pada beberapa konsentrasi polihedra …………………………………………..
34
Pengaruh penambahan bahan phagostimulan terhadap bobot feses yang dikeluarkan UGB………………………………….
53
Rata-rata intensitas sinar UV dari sinar matahari saat udara cerah di Bogor ………………………………………………….
72
5.2
Pengaruh lama penjemuran terhadap virulensi SeNPV ………..
73
5.3
Pengaruh bahan pelindung UV terhadap aktifitas makan UGB ..
80
6.1
Siklus infeksi SeNPV pada UGB S. exigua ……………………
90
3.4
3.5
3.6
4.1
5.1
DAFTAR LAMPIRAN No.
Teks
1
Prosedur perbanyakan larva Spodoptera exigua .......................
108
2
Bahan dan prosedur membuat pakan buatan larva Spodoptera exigua ........................................................................................
109
Halaman
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum L.) dan bawang daun (A. fistulosum) merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan termasuk dalam komoditas penting di Indonesia (Limbongan & Maskar 2003; Badan Litbang Pertanian 2005). Salah satu faktor yang dapat menurunkan produktifitas tanaman bawang adalah serangan ulatgrayak bawang (UGB) Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) (Kalshoven 1981; Sastrosiswojo 1994; Shepard et al. 1997; Rauf 1999). Pada tanaman bawang merah kerusakan yang diakibatkan serangan hama ini mencapai 32% - 54% (Sutarya 1996), sedangkan pada tanaman bawang daun mencapai rata-rata 57% (Satrosiswojo 1994). Bahkan serangan yang terjadi pada musim kemarau pada tanaman bawang merah dapat mengakibatkan gagal panen (Shepard et al. 1997). Pengendalian hama UGB umumnya menggunakan insektisida kimia sintetik secara intensif dengan frekuensi dan konsentrasi tinggi. Di daerah sentra produksi bawang merah, Brebes, Jawa Tengah, biasanya petani menyemprot tanamannya dengan 32 - 45 liter/ha dengan frekuensi 20 – 30 kali dalam semusim (Untung 1989). Dampak negatif penggunaan insektisida kimia sintetik, antara lain: resistensi hama sasaran (Endo et al. 1988; Oka 2005), resurjensi hama (Armes et al. 1995), terbunuhnya musuh alami (Tengkano et al. 1992), meningkatnya residu pada hasil, mencemari lingkungan, gangguan kesehatan bagi pengguna (Schumutterer 1995; Oka 2005), dan memerlukan biaya yang mahal (Bedjo 2003). Oleh karena itu dibutuhkan cara pengendalian alternatif yang lebih ramah lingkungan, baik dengan menggunakan agens hayati seperti predator, parasitoid dan patogen serangga ataupun dengan insektisida botani. Menurut Lacey et al. (2001) patogen serangga merupakan salah satu faktor penting yang dapat mengatur populasi serangga di alam. Di antara patogen UGB yang
berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida ramah lingkungan adalah NPV. Smits (1987), Bianchi et al. (2000), Lasa et al. (2007b, 2007c) melaporkan bahwa virus UGB Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) efektif mengendalikan hama S. exigua khususnya di rumah kaca. NPV secara umum berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens hayati karena sifatnya yang spesifik inang, efektif untuk hama-hama yang sudah resisten terhadap insektisida, persisten pada tanaman dan tanah serta umumnya dapat dipadukan dengan teknologi pengendalian yang lainnya (Adams & Bonami 1991; Barrett et al. 2002; Takatsuka & Kunimi 2002; Williams 2009). NPV dapat diperbanyak secara in vivo dan diformulasikan sebagai bioinsektisida seperti yang disampaikan oleh Okada (1977), Cough & Ignoffo (1981), Tanada & Kaya (1993), dan Federici dalam Hall & Julius (1999). Saat ini SeNPV telah dikembangkan sebagai biopestisida di beberapa negara, antara lain: Belanda (Smits & Vlak 1988), Cina (Kao et al. 1991), Thailand (Jones et al. 1994) dan Amerika Serikat (Kolodny-Hirsch et al. 1997). Bioinsektisida SeNPV secara komersial pertama kali diproduksi di Amerika Serikat dengan merk Spod-X® (Kolodny-Hirsch et al. 1993; Bianchi et al. 2000). Pemanfaatan SeNPV untuk mengendalikan UGB di Indonesia masih sangat terbatas (Israwan 1998). Saat ini telah ditemukan isolat SeNPV lokal yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida (Shepard et al. 1996). Samsudin (1999) menyatakan bahwa isolat SeNPV lokal tersebut sangat patogenik terhadap larva S. exigua di laboratorium. Hasil pengujian di lapangan yang diaplikasikan satu kali dalam seminggu pada pertanaman bawang daun, mampu menurunkan populasi S. exigua sampai 90% (Clemson Univ. IPM Palawija Project 1995), sedangkan aplikasi pada bawang merah dengan frekuensi dua kali seminggu dapat meningkatkan hasil yang sangat nyata dibandingkan dengan penggunaan insektisida kimia (Shepard et al. 1997). Israwan (1998) menyatakan bahwa SeNPV isolat lokal ini mampu persisten pada pertanaman bawang merah selama 72 jam (3 hari) setelah aplikasi, sementara itu Shanti (2004) melaporkan bahwa isolat SeNPV ini mampu persisten di lahan pertanaman bawang daun sampai 7 hari setelah aplikasi.
Sebagaimana agens hayati lainnya, untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida, SeNPV memiliki beberapa kelemahan yang harus diatasi. Lasa et al. (2008) menyatakan bahwa hampir semua bioinsektisida baculovirus yang diperdagangkan merupakan hasil produksi secara in vivo menggunakan larva serangga inang aslinya. Masalah teknis yang sering muncul dalam produksi NPV secara in vivo adalah adanya kontaminasi mikrob saprofit (Young 1989; Hunter-Fujita et al. 1998; Lasa et al. 2008) dan keterlambatan waktu panen (Grzywacz et al. 1998). Kontaminasi mikrob saprofit akan menurunkan kerja NPV (Lasa et al. 2008) dan menimbulkan bau busuk (Grzywacz et al. 2000). Sedangkan keterlambatan waktu panen menurut Grzywacz et al. (1998) akan menyulitkan dalam proses pemanenannya karena tubuh larva yang terinfeksi hancur. Keefektifan SeNPV di lapangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: konsentrasi polihedra yang digunakan, kerentanan serangga inang dan residu virus pada permukaan tanaman (Lasa et al. 2007b). Berkurangnya keefektifan SeNPV kemungkinan disebabkan oleg jumlah polihedra yang termakan serangga inang sedikit, sehingga kinerjanya lambat (Arifin 1988; Bonning & Hammock 1996; Williams et al. 1999; Dushoff & Greg 2001; Armenta et al. 2003) atau polihedra terdegradasi akibat sinar ultra violet (UV) matahari (Ignoffo et al. 1991; Koul & Dhaliwal 2002; Monobrullah 2003; McIntosh et al. 2004; Mondragon et al. 2007; Mehrvar et al. 2008). Upaya memperbaiki kinerja SeNPV dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menambahkan perangsang makan (phagostimulant) untuk meningkatkan jumlah inokulum yang dimakan UGB atau menggunakan bahan yang mampu meningkatkan kerja (enhancer) SeNPV (Suhas et al. 2009). Untuk mempertahankan virulensinya dilakukan dengan menambahkan bahan yang mampu melindungi partikel SeNPV terhadap ultraviolet matahari (Federici dalam Hall & Julius 1999). Hasil uji patologi SeNPV pada UGB di laboratorium akan menjadi landasan ilmiah untuk merakit teknologi perbanyakan massal SeNPV yang efesien. Sementara itu penemuan bahan yang berfungsi sebagai perangsang makan (phagostimulant), pemicu kerja (enhancer) dan pelindung terhadap sinar ultraviolet matahari diharapkan dapat mengatasi atau mengurangi kelemahan kinerja SeNPV di lapangan.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui karakteristik gejala (symptom) dan tanda (sign) infeksi SeNPV pada ulatgrayak bawang (UGB), 2) memperoleh konsentrasi inokulum dan waktu pemanenan SeNPV yang optimal untuk perbanyakan massal, 3) mendapatkan bahan perangsang makan (phagostimulant) yang mampu meningkatkan virulensi SeNPV di laboratorium, 4) memperoleh konsentrasi asam borat sebagai pemicu kerja (enhancer) yang efektif meningkatkan virulensi SeNPV dan aman terhadap lingkungan, dan 5) mendapatkan bahan pelindung alami terhadap sinar ultraviolet matahari yang dapat mempertahankan virulensi SeNPV. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini digunakan sabagai acuan dalam perbanyakan massal SeNPV di laboratorium dan dasar pembuatan formulasi bioinsektisida SeNPV yang efektif mengendalikan hama ulat bawang S. exigua.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Ulatgrayak Bawang Spodoptera exigua (Hübner) (Lepidoptera: Noctuidae) S. exigua merupakan hama polifag yang menyerang berbagai jenis tanaman budidaya di Eropa, Asia, Afrika, Australia dan Amerika Utara terutama di wilayah yang beriklim hangat (CAB 2000; Jakubowska et al. 2005; Lasa et al. 2007a). Inang utama dari hama ini adalah bawang merah (Allium ascalonicum), jagung (Zea mays), jutes (Corchorus sp.), kapas (Gossypium sp.), kubis-kubisan (Brassica), bawang daun (Allium fistulosum), kacang (Pisum sativum), padi (Oryza sativa), kentang (Solanum tuberosum), bit gula (Beta vulgaris var. saccharifera) dan tomat (Lycopersicon esculentum) (Amaldoss & Hsue 1989; CAB 2000; Jakubowska et al. 2005; Lasa et al. 2007a). Hama ini dikenal dengan beberapa sebutan, antara lain: beet armyworm, lesser armyworm, asparagus fern caterpillar, lesser cottonworm, pigweed caterpillar, berseem armyworm, lucerne armyworm, onion armyworm, onion caterpillar, cottonworm, lesser sugarbeet armyworm, small mottled willow moth dan inchworm (CAB 2000). Di Indonesia hama ini lebih dikenal sebagai ulat bawang (onion caterpillar) (Kalshoven 1981) atau ulatgrayak bawang (UGB) (Rauf 1999), karena memiliki inang utama terbatas pada jenis bawang-bawangan terutama bawang merah dan bawang daun. Imago S. exigua berupa ngengat berwarna putih gelap atau kelabu dengan titik kuning pada sayap depan. Telurnya berwarna hijau atau kuning terang diletakkan pada malam hari pada daun bawah dalam bentuk kluster yang masing-masing terdiri dari 50-150 butir telur yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna putih atau putih kekuning-kuningan (Capinera 1999; Samsudin 1999; CAB 2000; Sparks et al. 2008). Telur menetas dalam waktu 2-5 hari. Instar pertama dan kedua biasanya makan secara berkelompok (gregariously) pada bagian dalam daun muda dengan membentuk gejala khas berupa membran putih transparan atau lubang masuk (windowing) (Kalshoven 1981; CAB 2000). Larva terdiri atas 5 instar, dengan stadium larva berlangsung
antara 9–14 hari, dengan rata-rata 12 hari (Rauf 1999; Capinera 1999). Larva berbentuk bulat panjang dengan ukuran instar akhir antara 2.5-3.0 cm, memiliki variasi warna yang sangat banyak (polymorfisme) dari berwarna hijau sampai hitam pekat, dengan ciri khas berupa garis memanjang (longitudinal stripes). Menurut Sparks et al. (2008) dalam kondisi alami, larva berwarna hijau sampai kuning pada instar 1 dan 2, kemudian cenderung hijau terang sampai hijau gelap. Terjadinya polimorfisme menurut Rauf (1999) dipengaruhi oleh tingkat populasi di lapangan, pada saat populasi rendah, larva umumnya berwarna hijau terang, sedangkan pada saat terjadi ledakan populasi kebanyakan larva berwarna gelap. Pupa berwarna coklat terang atau coklat gelap berada di dalam tanah di bawah tanaman yang terserang (Sastrosiswojo et al. 1995; Capinera 1999), dengan lama stadium pupa rata-rata 8-12 hari (Amaldoss & Hsue 1989; Rauf 1999). Satu ekor imago betina dalam kondisi laboratorium dengan pakan alami bawang daun di Bogor mampu meletakkan telur kurang lebih 1000 butir (Kalshoven 1981) dan pada pakan buatan rata-rata 1062 butir (Samsudin 1999). Sedangkan di Lembang dengan pakan daun bawang daun rata-rata 500-600 butir (Sastrosiswojo et al. 1995). Waktu yang dibutuhkan untuk siklus hidup satu generasi dari telur sampai imago bertelur lagi di laboratorium rata-rata 23 hari (Gambar 2.1) (Kalshoven 1981; Amaldoss & Hsue 1989; Sparks et al. 2008).
Biologi Nucleopolyhedrovirus (NPV) Morfotipe NPV NPV merupakan salah satu anggota genus Baculovirus, famili Baculoviridae. Berdasarkan tipe morfologi luar baculoviridae terdiri atas 3 subgroup yaitu: nuclear polyhedrosis virus atau nucleopolyhedrovirus (NPV), granulosis virus atau granulovirus (GV) dan non-occluded baculovirus (NOB) yang tidak memiliki kristal protein (Matthew 1982; Adam & McClintock dalam Adam & Bonami 1991; Tanada & Kaya 1993; Shepard 1994; Murphy et al. 1995; Federici dalam Hall & Julius 1999; Koul & Dhaliwal 2002; Narayanan 2004). Kristal protein dari NPV berbentuk segi banyak
(polyhedral) dengan diameter 0.2 – 20.0 μm yang biasanya dapat dilihat di bawah mikroskop cahaya biasa, dan umumnya mengandung lebih dari satu virion (Pionar & Thomas 1984).
Imago (2-4 hari)
Telur (2-5 hari)
Pupa (8-12 hari)
Larva (9-14 hari)
2.5 - 3 cm
Gambar 2.1. Siklus hidup UGB Spodoptera exigua (Gambar: koleksi pribadi)
Menurut Tinsley & Kelly (1985) ciri khas NPV adalah adanya nukleokapsid berbentuk batang yang mengandung untaian ganda asam deoksiribonukleat (DNA) yang panjangnya 250 – 400 nm dan lebar 40 – 70 nm. Berdasarkan jumlah nukleokapsid, NPV dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu single nukleokapsid (SNPV) dan multi nucleokapsid (MNPV) (Washburn et al. 2003; Inceoglu et al. 2006). Pada SNPV tiap envelope berisi satu nuckleokapsid, sedangkan pada MNPV berisi lebih dari satu sampai 39 nukleokapsid (Tanada & Kaya 1993; Kalmakoff & Ward 2003). Pada umumnya SNPV mempunyai inang yang lebih spesifik dibandingkan dengan MNPV (Ignoffo & Couch 1981). Beberapa ciri khas lainnya dari NPV partikel virus atau virionnya terbungkus dalam protein kristalin berupa
badan oklusi (occlusion bodies) yang disebut dengan polihedra dan replikasi virus terjadi hanya pada inti sel (nucleus) sel serangga inang yang terinfeksi (Tanada & Kaya 1993). Gambar 2.2 menunjukkan bentuk badan oklusi dari NPV.
0.4 um
Gambar 2.2.
Badan oklusi Spodoptera litura NPV (Sumber: Adams & McClintock dalam Adam & Bonami 1991)
Siklus Hidup NPV NPV dilaporkan telah ditemukan pada lebih dari 600 spesies serangga (Beard et al. 1989; Woo et al. 2007), terutama pada ordo Lepidoptera sebanyak 150 spesies (Tanada & Hess dalam Adam & Bonami 1991). Umumnya NPV menginfeksi stadia larva Lepidoptera, sedikit sekali laporan yang menyebutkan bahwa NPV dapat menginfeksi pupa dan imago (Barrett et al. dalam Koul & Dhaliwal 2002). Sebagian besar NPV bersifat spesifik inang, oleh sebab itu maka penamaan NPV disesuaikan dengan nama inang dimana pertama kali diisolasi dan diidentifikasi (CAB 2000). NPV memperbanyak diri di dalam inti sel (nucleus) serangga inangnya. Agar NPV dapat menginfeksi sel serangga inang, maka polihedra harus tertelan bersama dengan pakan yang dikonsumsinya melalui alat mulut, kemudian pada saluran pencernaan bagian tengah (mesenteron) NPV mulai menginfeksi inti sel inang (Adams & McClintock dalam Adam & Bonami 1991). Proses infeksi NPV pada sel
inang melalui dua tahap. Pada tahap pertama (primer) NPV menyerang saluran pencernaan tengah (mesenteron), kemudian pada tahap selanjutnya (sekunder) akan menyerang sel-sel dari organ tubuh yang lain (Ignoffo & Couch 1981; Deacon 1983). Proses infeksi primer terjadi karena pada kondisi alkalin pada mesenteron badan oklusi akan terdegradasi dan virion lepas dari selubung protein (Koul & Dhaliwal (2002); Etebari et al. 2007). Virion-virion tersebut kemudian akan menembus matrik peritrofik dan akan menginfeksi sel-sel kolumnar dan goblet. Kemudian pada infeksi sekunder, virion-virion yang baru terbentuk akan menginfeksi seluruh sel jaringan serangga. Larva akan mati setelah sebagian besar jaringan tubuhnya terinfeksi NPV (Smits 1987; Bonning & Hammock 1996). Pembentukan badan oklusi (polihedra) terjadi sebagai hasil infeksi sekunder pada jaringan sel hemolimf, trakea, hypodermis, dan badan lemak. Sangat jarang terjadi pembentukan badan oklusi pada sel saluran pencernaan (Kalmakoff & Ward 2003). Menurut Li & Blissard (2009) gen gp64 yang terdapat pada badan oklusi NPV memegang peranan penting sebagai reseptor pengikat sel serangga inang yang kinerjanya dimediasi oleh kondisi pH rendah dan masuk ke dalam sel inang melalui proses endositosis. Kalmakoff & Ward (2003) menyatakan bahwa, NPV umumnya menginfeksi semua tipe jaringan utama dari serangga inangnya, mulai dari sel saluran pencernaan (midgut) kemudian keluar menginfeksi hemolimfa, badan lemak, epidermis dan matrik trakea. Pada Gambar 2.3 diilustrasikan mekanisme infeksi NPV pada sel-sel serangga inang dan proses penyebaran di alam.
BV
Infeksi sekunder Infeksi primer ODV
BV Infeksi sekunder
POB
Gambar 2.3. Siklus hidup NPV; A) polyhedra occlusion bodies (POB) termakan inang, occluded derived virion (ODV) menginfeksi sel epitelium, B) buded virion (BV) keluar sel dan menginfeksi sel baru, C) awal infeksi menghasilkan BV, D) akhir infeksi membentuk POB yang dilepas ke lingkungan. (Sumber: Rohrmann 2011).
Tanda dan Gejala Infeksi NPV Larva serangga inang yang terinfeksi NPV akan mengalami abnormalitas secara morfologi, fisiologi dan perilakunya (Pionar & Thomas 1984). Hoffmann & Frodsham (1993) menyatakan bahwa virus yang berbeda akan menimbulkan tanda dan gejala yang berbeda pula. Menurut Adam & McClintock dalam Adam & Bonami (1991) di lapang kematian larva akibat terinfeksi NPV sering ditemukan dengan tanda tubuh larva menggantung dengan kedua tungkai semu bagian abdomen menempel pada daun atau ranting tanaman membentuk huruf “V” terbalik. Akan tetapi ada juga
larva mati yang posisinya tidak seperti huruf “V” terbalik melainkan terkulai pada helaian daun. Oleh karena itu Hoffmann & Frodsham (1993) menyatakan bahwa penyakit yang diakibatkan oleh infeksi NPV sering disebut dengan penyakit layu ulat (caterpillar wilt) atau penyakit ulat ujung pohon (tree top) (Gambar 2.4).
A
B
Gambar 2.4. Tanda larva terinfeksi NPV pada (A) S. litura dan (B) S. exigua (Gambar: koleksi pribadi) Kematian larva terjadi pada 3 – 7 hari setelah terinfeksi NPV (Hoffman & Frodsham 1993). Masa infeksi NPV sampai larva yang terserang mati dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya umur larva, suhu, dan banyaknya polihedra yang tertelan. Isolat-isolat virus yang lebih virulen dapat mematikan larva dalam waktu 2 – 5 hari, tetapi isolat yang kurang virulen membutuhkan 2 – 3 minggu untuk mematikan inangnya (Granados & William 1986). Menurut Narayanan (2004) infeksi juga dapat terjadi pada larva instar awal akibat kontaminasi pada telur. Hal ini karena larva yang keluar dari telur akan memakan korion untuk membuat lubang. Apabila korion yang mengandung NPV masuk ke dalam tubuh larva dan menginfeksi organorgan tubuhnya maka kematian akan terjadi 1 – 2 hari kemudian.
Pemanfaatan Nucleopolyhedrovirus (NPV) Sebagai Bioinsektisida Pemanfaatan virus patogen serangga untuk mengendalikan hama tanaman pertama kali diketahui pada awal tahun 1900-an. Pada saat itu beberapa jenis baculovirus telah mulai digunakan untuk mengendalikan beberapa hama kelompok hymenoptera, lepidoptera dan coleoptera pada tanaman kelapa, kapas dan kubis (Bonning & Hammock 1996). Pada tahun 1943 populasi sawfly (Gilpinia hercyniae) hama tumbuhan hutan berkurang sampai 90% dikendalikan dengan NPV (Cunningham & Entwistle 1981). Pada pertengahan tahun 1960an ditemukan nonoccluded baculovirus yang merupakan patogen kumbang badak Oryctes rhinoceros dari Malaysia (Huger 1966). Virus tersebut telah digunakan untuk mengendalikan kumbang kelapa di Kepulauan Fiji, dan berhasil mengurangi populasi antara 40 90%, sehingga 4 - 6 tahun kemudian kerusakan tanaman kelapa di seluruh kepulauan tersebut selalu dibawah 20% (Bedford 1981). Beberapa keunggulan penggunaan virus patogen serangga NPV untuk mengendalikan hama tanaman dibandingkan dengan insektisida kimia, antara lain: efektif mengendalikan hama sasaran, spesifik inang sehingga tidak berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup musuh alami dan serangga berguna lainnya dan dihasilkan inokulum yang dapat mengendalikan populasi hama selanjutnya (Young 1989; Lacey et al. 2001). Sebaliknya pengendalian hama dengan insektisida kimia yang memiliki spektrum inang luas (broad spectrum) dapat mengakibatkan terjadinya gejala resurjensi hama (Armes et al. 1995), terbunuhnya musuh alami (Tengkano et al. 1992), meningkatnya residu pada hasil, mencemari lingkungan dan gangguan kesehatan bagi pengguna (Schumutterer 1995; Oka 2005). NPV di beberapa negara telah berhasil diproduksi secara massal dengan menggunakan teknologi tinggi, akan tetapi harga produk biopestisida NPV sangat mahal karena tingginya biaya produksi dan registrasinya (Stair & Fraser 1981; Bull et al. 1979; Federici dalam Hall & Julius 1999). Bukti-bukti kesuksesan NPV sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama tanaman ini belum diikuti dengan upaya komersialisasi besar-besaran. Young (1989) dan Federici dalam Hall & Julius (1999) mengemukakan beberapa masalah yang berkaitan dengan produksi dan pemanfaatan
biopestisida berbahan virus, antara lain: permintaan pasar yang masih kecil, regulasi dari pemerintah belum ada, biaya produksi mahal, belum ada standarisasi produk dan teknologi aplikasinya yang masih terbatas. Dalam upaya kemersialisasi NPV menjadi bioinsektisida dalam skala industri, William et al. (1999) menyarankan untuk mengurangi biaya produksinya dengan cara mencari bahan mentah pakan serangga yang murah dan melakukan efesiensi dalam biaya tenaga kerja. Oleh karena itu Federici dalam Hall & Julius (1999) dan Barrett et al. dalam Koul & Dhaliwal (2002) menyatakan bahwa bioinsektisida NPV ini sangat ideal untuk dikembangkan dalam skala kecil di negara-negara berkembang, mengingat banyak dan murahnya tenaga kerja.
Upaya untuk Meningkatkan Kinerja NPV Sebagai Bioinsektisida Kelemahan NPV untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida adalah 1) membutuhkan waktu relatif lama untuk membunuh inangnya, sehingga serangga yang terinfeksi masih makan dan menimbulkan kerugian (Bonning & Hammock 1996; Dushoff & Dwyer 2001), 2) memiliki inang yang spesifik, sehingga terlalu mahal untuk dikembangkan dalam skala industri (McCutchen et. al. 1991) dan kurang efektif jika tanaman terserang oleh beberapa jenis hama (CAB, 2000) dan 3) cepat menjadi tidak aktif di lapangan akibat sinar ultra violet (UV) matahari (Ignoffo et al. 1991; Koul & Dhaliwal 2002; Monobrullah 2003; McIntosh et al. 2004; Mondragon et al. 2007; Mehrvar et al. 2008). Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja NPV sebagai bioinsektisida antara lain dengan menambahkan bahan perekat (sticker), perangsang makan (phagostimulant), pemicu kinerja (enhancer), pelindung dari sinar ultraviolet dan perata (Federici dalam Hall & Julius 1999; CAB 2000). Sejalan dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan tentang biologi molekuler NPV, maka upaya peningkatan kinerja NPV saat ini sudah ditekankan pada upaya rekayasa genetik.
Upaya untuk Meningkatkan Virulensi NPV Perkembangan bioteknologi pada NPV dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi biologi molekuler telah berkembang pesat. Treacy (1999) menyatakan bahwa untuk mengatasi kelemahan kinerja NPV secara bioteknologi telah dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu dengan menghilangkan gen (gene deletion) tertentu dari genom virus dan menyisipkan gen (gene insertion) yang mengekspresikan protein yang bersifat racun pada genom virus. Rekayasa genetik pada Autographa californica nucleopolyhedrovirus (AcNPV) dengan membuang gen EGT ternyata dapat mengurangi aktifitas makan dari S. frugiperda yang terinfeksi virus rekombinan tersebut dan mematikan 30% lebih cepat dari larva yang terinfeksi wild-type AcNPV (O’Reilly & Miller 1991), sedangkan Lymantria dispar NPV (LdNPV) yang dibuang gen EGT dilaporkan mematikan larva L. dispar rata-rata 20% lebih cepat dibandingkan yang terinfeksi LdNPV asalnya (Treacy 1999). Carbonell et. al. (1988) melaporkan keberhasilan mereka menyisipkan gen A 112-bp (BeIt) yang mengkode toksin serangga (insectotoxin-1) kalajengking Buthus eupeus pada genom AcNPV. Virus rekombinan (rAcNPV) tersebut mampu mengekspresikan toksin kalajengking di dalam sel inang yang terinfeksi, akan tetapi kecepatan membunuhnya masih sama dengan AcNPV asalnya. Rekombinan AcNPV yang mengandung gen pengkode racun syaraf (neurotoxin) kalajengking Androctonus australis (AaIT) (rAcNPV-AaIT) dapat membunuh serangga lepidoptera kurang dari setengah waktu yang dibutuhkan oleh AcNPV asalnya (McCutchen et. al. 1991; Treacy & All 1996) dan mampu menghentikan makan 8-10 jam sebelum mati (McCutchen et. al. 1991). Virus rekombinan Bombyx mori NPV (rBmNPV) yang mengekspresikan hormon diuretik Manduca sexta dapat mematikan ulat sutera ratarata 20% lebih cepat daripada yang terinfeksi BmNPV asalnya (Maeda 1989). Gen yang mengkodekan enzim juvenil hormone esterase (JHE) telah berhasil disisipkan pada genom AcNPV dan rekombinan AcNPV-JHE ini mampu menurunkan makan sampai 66% dan mematikan larva T. ni 20% - 30% lebih cepat dibandingkan dengan AcNPV asalnya (Hammock et. al. 1990; Bonning & Hammock 1996).
Beberapa gen yang menentukan kisaran inang saat ini telah berhasil diidentifikasi dan diisolasi. Salah satunya adalah gen host range factor 1 (hrf-1) yang bertanggung jawab dalam menentukan kisaran inang diisolasi dari LdNPV. Rekombinan AcNPV-hrf-1 mampu menormalkan sintesis protein dan meningkatkan keberhasilan replikasi virus pada kultur sel line Ld652Y dan pada larva L. dispar. Hasil ini menunjukan bahwa hrf-1 berperan dalam keberhasilan replikasi dalam kultur sel dan dapat memperluas kisaran inang AcNPV (Ishikawa et al. 2004). Spenger et. al. (2002) melaporkan bahwa protein pembungkus GP64 pada AcNPV menentukan aktifitas permukaan partikel virus terikat pada sel inang dan sangat penting dalam proses masuknya virus pada sel inang. Upaya rekayasa genetik pada gen gp64 pada AcNPV ini ternyata dapat meningkatkan kemampuan aktifitas permukaan partikel AcNPV terhadap sel inangnya. Penyisipan gen gp64 rekombinan ini pada beberapa baculovirus diharapkan akan memperluas kisaran inangnya dan meningkatkan daya tahan partikel baculovirus terhadap sinar ultra violet di lapang.
Upaya Mempertahankan Persistensi NPV Salah satu kelemahan NPV sebagai biopestisida adalah mudah terdegradasi oleh sinar ultra violet (UV) matahari (Ignoffo et al.
1991; Koul & Dhaliwal 2002;
McIntosh et al. 2004; Mondragon et al. 2007; Mehrvar et al. 2008), sehingga upaya untuk menambahkan pelindung terhadap UV ke dalam formulasi biopestisida NPV menjadi objek penelitian yang menarik (Shapiro et al. 2008). Beberapa bahan telah diuji untuk mempertahankan persistensi NPV terhadap paparan sinar ultraviolet (UV), antara lain: penambahan pencerah fluorescen (fluorescent brightener) pada Spodoptera frugiperda nucleopolyhedrovirus (SfNPV) (Hamm et al. 1994; Martinez et al. 2003; Mondragon et al. 2007), Lymantria dispar NPV (LdNPV) (Dougherty et al. 2006), S. exigua NPV (SeNPV) (Kao et al. 1991; Murillo et al. 2003; Lasa et al. 2007b), penambahan Titanium dioksida (TiO2) pada Helicoverpa zea nucleopolyhedrovirus (HzNPV) (Farrar et al. 2004), penambahan oksida besi pada Homona magnanima granulovirus (HomaGV) (Asano 2005), penambahan Congo red dan Tinopal LPW pada L. dispar NPV (LdMNPV) (Shapiro
& Shepard 2008), penambahan adjuvan pada H. armigera NPV (HaNPV) (Mehrvar et al. 2008), penambahan ekstrak teh hijau pada S. exigua NPV (SeNPV) (Shapiro et al. 2008) dan penambahan ekstrak teh hitam dan lignin pada SeNPV (El Salamouny et al. 2009). Martinez et al. (2003) melaporkan bahwa dari 10 pencerah optik (optical brightener) yang diuji diperoleh 5 jenis yaitu: Blankophor BBH, Calcoflour M2R, Leucophor AP, Leucophor SAC dan Leucophor UO yang dapat meningkatkan kematian larva antara 87.7 – 100%. Sedangkan Lasa et al. (2007b) melaporkan bahwa penambahan 0.1% Leucophor AP pada formulasi SeNPV yang diaplikasikan di dalam rumah kaca, secara nyata meningkatkan mortalitas larva S. exigua pada 2 hari setelah aplikasi. Hasil penelitian Asano (2005) menunjukkan bahwa penambahan oksida besi (iron oxide) 1-4 mg/ml pada produk granulovirus (GV) dapat mengurangi inaktivasi GV akibat penyinaran UV dengan perbandingan 1/6 sampai 1/18 dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Farrar et al. (2004) menyatakan bahwa Titanium dioksida (TiO2) dapat memantulkan cahaya UV dan dapat meningkatkan persistensi polihedra Helicoverpa zea nucleopolyhedrovirus (HzNPV) di lapangan. Shapiro & Shepard (2008) melaporkan bahwa penambahan Congo red dan Tinopal LPW dapat mengurangi nilai LC50 dari Lymantria dispar NPV (LdMNPV) masing-masing 26 dan 360 kali lipat daripada kontrol. Penambahan bahan-bahan pelindung UV kimia seperti pencerah optik pada konsentrasi rendah (< 0,1%) umumnya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, akan tetapi pada konsentrasi tinggi (> 0,1%) diketahui dapat menurunkan rata-rata tinggi tanaman, jumlah daun per pohon dan bobot keringnya (Goulson et al. 2003). Sehingga upaya pemanfaatan bahan pencerah ini dalam konsentrasi rendah (< 0,1%) untuk meningkatkan kinerja bioinsektisida NPV sangat menguntungkan jika dikembangkan (Martinez et al. 2000).
BAB III UJI PATOLOGI Spodoptera exigua NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (SeNPV) PADA ULATGRAYAK BAWANG Spodoptera exigua (LEPIDOPTERA: NOCTUIDAE) Pathological assay of Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) on the onion caterpillar Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae)
Abstrak Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) merupakan salah satu patogen ulatgrayak bawang (UGB) yang sangat potensial untuk dijadikan bioinsektisida. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui tanda dan gejala infeksi SeNPV pada pertumbuhan, perubahan warna dan tekstur tubuh dan aktifitas makan UGB di laboratorium, 2) mengetahui virulensi SeNPV terhadap UGB instar 3 pada pakan buatan, dan 3) memperoleh konsentrasi polihedra yang digunakan dalam proses perbanyakan massal dan waktu pemanenan yang optimal. Infeksi SeNPV pada UGB menghambat proses ganti kulit, sehingga proses pertumbuhannya terganggu. UGB yang terinfeksi SeNPV menunjukkan perubahan warna tubuh secara gradual dari cerah menjadi gelap, dan pada akhir infeksi UGB akan mati dengan integumen yang rapuh dan hancur. Infeksi SeNPV mengakibatkan penurunan aktifitas makan UGB. LC50 SeNPV terhadap UGB instar 3 di laboratorium adalah 6,65 x 105 POB/ml. Konsentrasi polihedra yang digunakan untuk perbanyakan adalah 5,88 x 106 POB/ml. Waktu pemanenan yang optimal adalah 5 hari setelah inokulasi, yaitu pada saat itu sebagian besar serangga yang terinfeksi telah mati dan belum hancur.
Kata kunci: gejala, virulensi, Spodoptera exigua, SeNPV
Abstract Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) is an entomophathogenic virus of onion caterpillar S. exigua larvae commonly used as bioinsecticide. This research was aimed to 1) study the signs and the symptoms of SeNPV infection on the S. exigua larvae in the laboratory, 2) examine the virulence of SeNPV on the 3rd instar of S. exigua, and (3) find out the optimal concentration of polyhedra and harvesting time. Infection of SeNPV on the S. exigua inhibited molting process and disturbing larval growth. The color of infected larvae gradually changed become more dark, and at the end of infection, larvae died with fragile and broken integument. Infected larvae showed reduction in feeding activity. The LC50 of SeNPV on 3rd instar larvae in the laboratory was estimated 6.65 x 105 POB/ml. The polyhedra concentration used for virus propagation was 5.88 x 106 POB/ml. The optimal harvesting time was 5 days after inoculation, where most of the infected larvae had died but the body still intact. Keywords: sign, symptom, virulence, Spodoptera exigua, SeNPV
Pendahuluan
Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera: Noctuidae) merupakan hama utama tanaman bawang merah dan bawang daun di Indonesia (Sastrosiswojo 1994; Kalshoven 1981), sehingga hama ini lebih dikenal sebagai ulat bawang (onion caterpillar) (Kalshoven 1981) atau ulatgrayak bawang (UGB) (Rauf 1999). Pengendalian UGB sampai saat ini tertumpu pada penggunaan insektisida kimia (Untung 1989; Rauf 1999). Di beberapa daerah sentral produksi bawang merah, seperti Cirebon, Brebes dan Tegal telah terdeteksi adanya gejala resistensi serangga ini terhadap sebagian besar insektisida yang dipasarkan (Moekasan & Basuki 2007). Untuk mengurangi dampak negatif dari penggunaan insektisida kimia tersebut, saat ini telah ditemukan virus patogen UGB Indonesia (Shepard et al. 1996). Hasil karakterisasi yang dilakukan oleh Samsudin (1999) menunjukkan bahwa isolat virus lokal tersebut sebagai Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV). Di luar negeri SeNPV ini telah digunakan untuk mengendalikan UGB S. exigua, khususnya di rumah kaca (Smits 1987; Bianchi et al. 2000; Lasa et al. 2007b, 2007c).
SeNPV merupakan patogen UGB yang spesifik spesies, hanya dapat menginfeksi dan berkembang dalam sel hidup inangnya saja. Oleh karena itu, untuk dapat dikembangkan sebagai bioinsektisida, diperlukan teknologi produksi massal yang efesien. Menurut Elvira et al. (2010) efesiensi dalam perbanyakan massal di laboratorium ini merupakan kunci utama produksi virus secara komersial. Meskipun teknologi perbanyakan massal NPV dapat dilakukan pada kultur sel (in vitro), akan tetapi perbanyakan secara in vivo tetap lebih murah (Jokubowska & Ziemnicka 2005). Masalah teknis yang sering terjadi dalam perbanyakan secara in vivo adalah adanya kontaminasi mikrob saprofit (Young 1989; Hunter-Fujita et al. 1998; Lasa et al. 2008). Beberapa mikrob kontaminan yang sering ditemukan adalah Enterococcus spp., yeasts, Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus (Lasa et al. 2008). Adanya kontaminasi mikrob saprofit ini akan menurunkan kinerja NPV (Lasa et al. 2008), mengurangi produksi partikel virus per larva (Young 1989) dan menimbulkan bau busuk (Grzywacz et al. 2000). Oleh sebab itu Kitajima (1989) menyarankan untuk memastikan gejala disebabkan oleh infeksi NPV harus dilakukan pengamatan baik dengan mata telanjang atau mikroskop binokuler terhadap adanya gejala perubahan anatomi serangga inang (symptomatology). Faktor utama yang menentukan keefektifan NPV setelah diaplikasikan di lapangan adalah konsentrasi polihedra (Felix et al. 2000; Lasa et al. 2007a) dan virulensi polihedra yang digunakan (Takatsuka et al. 2007). Virulensi adalah kemampuan mikroorganisme untuk menghasilkan penyakit yang diekspresikan dalam bentuk nilai konsentrasi yang mematikan 50% populasi serangga inang (Lethal Concentration) yang disingkat dengan LC50 dan waktu yang dibutuhkan untuk mematikan 50% serangga inang (Lethal Time) yang disingkat dengan LT50 (Tanada & Kaya 1993; Escribano et al. 1999). Sementara itu, kuantitas dan kualitas virus yang dihasilkan dalam perbanyakan masal ditentukan oleh waktu pemanenan SeNPV. Menurut Grzywacz et al. (1998) waktu pemanenan memegang peranan penting dalam upaya memaksimalkan hasil partikel virus dan produksi NPV per larva serta menghindari kehilangan akibat hancurnya larva. Sedangkan secara kualitas menurut Takatsuka et al. (2007) polihedra yang dipanen dari larva yang masih hidup kurang
infektif dibandingkan dengan polihedra yang dipanen dari larva yang telah mati. Ignofo & Shapiro (1978) menyatakan bahwa aktivitas HaNPV yang dihasilkan dari bangkai inang 7-9 kali lebih virulen daripada yang berasal dari inang yang masih hidup. Demikian juga yang dilaporkan Shapiro & Bell (1981) aktivitas biologi LpNPV yang berasal dari bangkai larva Lymantria dispar 7 kali lipat lebih virulen dibandingkan yang berasal dari serangga hidup. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui tanda dan gejala infeksi SeNPV yang meliputi perubahan warna, tekstur tubuh dan aktifitas makan UGB di laboratorium, 2) mengetahui virulensi SeNPV terhadap UGB instar 3 pada pakan buatan, dan 3) memperoleh konsentrasi polihedra untuk perbanyakan massal dan waktu pemanenan yang optimal.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan mulai bulan September 2009 sampai dengan bulan Mei 2010. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Bogor.
Perbanyakan Larva S. exigua
Larva S. exigua dikoleksi dari lahan pertanaman bawang daun di Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, kemudian dipelihara pada pakan buatan (Shepard 1994) (lampiran 1) sampai menjadi pupa di laboratorium. Pupa yang diperoleh dimasukkan ke dalam wadah plastik dengan tinggi 15 cm dan diameter 14 cm untuk dipelihara sampai menjadi serangga dewasa. Pada bagian pinggir wadah plastik tersebut dilapisi kertas HVS sebagai tempat peneluran dan dimasukkan juga ke dalamnya larutan madu dalam kapas untuk pakan imago. Telur dipanen dan ditempatkan pada wadah plastik terpisah yang diberi pakan buatan dan dibiarkan sampai menetas. Setelah berganti kulit menjadi instar 2, larva dipindahkan secara individual ke dalam wadah plastik yang telah diisi dengan pakan buatan.
Penyiapan dan Pemurnian Virus
Isolat SeNPV yang digunakan adalah isolat lokal Indonesia, hasil perbanyakan di laboratorium Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Bogor. Metode untuk penyiapan dan pemurnian partikel virus mengikuti metode Shepard (1994) yang telah dimodifikasi oleh Samsudin (1999). Kurang lebih 10 gram bangkai larva S. exigua yang mati terinfeksi SeNPV (cadaver) digerus dalam 0.1% sodium dodecyl sulfat (SDS) dengan rasio 1 gram larva per 10 ml SDS kemudian diblender selama 3 menit. Campuran tersebut disaring dengan saringan teh kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3.500 rpm selama 30 menit. Pelet yang dihasilkan dicampur kembali dengan 0.1 % SDS dan disentrifugasi lagi dengan kecepatan 5.000 rpm selama 1 jam dalam 35-60% (w/v) continuous sucrose gradient pada suhu 50C. Lapisan polihedra murni yang terlihat pada larutan gradien sukrosa diambil dan disuspensikan dalam air steril serta disimpan di dalam refrigerator suhu -20oC sebagai suspensi “stock”.
Identifikasi Gejala Infeksi SeNPV pada UGB S. exigua Konsentrasi SeNPV yang digunakan 1,13 x 108 polyhedra occlusion bodies per mililiter (POB/ml). Konsentrasi ini didasarkan pada nilai LC90 SeNPV isolat Puncak terhadap UGB instar 3 hasil penelitian Samsudin (1999) yaitu 1,3 x 108 POB/ml. Aplikasi suspensi virus dilakukan dengan cara diteteskan pada permukaan pakan buatan (Hunter-Fujita et al. 1998). Setelah diberi perlakuan dimasukan ke dalam masing-masing wadah tersebut 1 ekor larva S. exigua instar 3. Masing-masing perlakuan menggunakan 30 ekor larva dan diulang sebanyak 4 kali. Variabel yang diamati adalah pertumbuhan, perubahan warna dan tekstur tubuh serangga uji serta bobot feses yang dihasilkan. Pengamatan dilakukan sampai semua serangga uji mati atau menjadi pupa.
Virulensi SeNPV terhadap UGB Instar 3 di Laboratorium
Penelitian dilakukan di laboratorium menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan masing-masing perlakuan menggunakan 30 ekor UGB instar 3 dan diulang 4 kali. Stock virus hasil pemurnian diambil sebanyak 1 ml kemudian diencerkan dalam 9 ml aquades steril (pengenceran 10-1) dan diaduk secara merata, kemudian dibuat seri pengenceran persepuluhan sebanyak 7 kali sehingga diperoleh suspensi dengan tingkat pengenceran: 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, 10-5, 10-6 dan 10-7. Virus pada pengenceran 10-4 dihitung dengan Improved Neubauer Haemocytometer di bawah mikroskop cahaya perbesaran 400 kali. Perlakuan konsentrasi yang digunakan adalah: 1,13 x (104 – 1010) POB/ml dan kontrol. Perlakuan menggunakan metode kontaminasi pakan (Hunter-Fujita et al. 1998). Suspensi virus sesuai pengenceran diteteskan dengan menggunakan pipet kecil di atas permukaan pakan buatan (masing-masing 10 ml) dalam wadah plastik. Setelah diberi perlakuan dimasukan ke dalam masing-masing wadah tersebut 1 ekor larva S. exigua instar 3. Variabel yang diamati adalah jumlah serangga uji yang mati terinfeksi SeNPV (mortalitas) sampai semua serangga uji pada kontrol menjadi
pupa.
Persentase mortalitas dikoreksi berdasarkan rumus Abbott (1925), yaitu : Pt = Po – Pk x 100% 100 – Pk Ket: Po Pt Pk
: Persentase kematian larva yang diamati : Persentase kematian larva terkoreksi : Persentase kematian larva pada kontrol.
Virulensi SeNPV ditentukan berdasarkan konsentrasi polihedra yang mematikan 50% populasi serangga uji (LC50) dengan menggunakan probit analisis.
Penentuan Konsentrasi Polihedra dan Waktu Pemanenan
Perlakuan untuk menentukan konsentrasi polihedra dan waktu pemanenan SeNPV di laboratorium menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan metode kontaminasi pakan (Hunter-Fujita et al. 1998). Konsentrasi SeNPV yang digunakan adalah: 5,88 x (109, 108, 107, 106,
105 dan 104) POB/ml dan kontrol, yang
diaplikasikan dengan cara meneteskan suspensi virus ke atas permukaan pakan buatan. Setelah diberi perlakuan dimasukan ke dalam masing-masing wadah tersebut 1 ekor larva S. exigua instar 3. Masing-masing perlakuan menggunakan 30 ekor larva dan diulang sebanyak 3 kali. Pengamatan dilakukan setiap hari sampai semua serangga uji pada kontrol menjadi pupa. Larva yang mati terinfeksi SeNPV dipanen, dimasukan ke dalam tabung reaksi dan diencerkan dengan 10 ml aquades, kemudian disentrifugasi pada kecepatan 3.500 rpm selama 30 menit. Pelet diencerkan kembali dengan aquades dan dihitung di bawah mikroskop cahaya perbesaran 400x menggunakan Improved Neubauer Haemocytometer. Variabel yang diamati adalah jumlah polihedra per larva, mortalitas, dan waktu kematian serangga uji. Jumlah polihedra per larva dan produktifitas ditentukan berdasarkan rumus : Hasil per larva (POB)
= Σ Polihedra/ml x volume suspensi (ml) Total jumlah larva terinfeksi SeNPV
Produktifitas (POB/100 larva) = Hasil per larva (POB) x Mortalitas terkoreksi (%)
Hasil dan Pembahasan Tanda dan Gejala Infeksi SeNPV pada UGB di Laboratorium Adams & Bonami (1989) menyatakan bahwa untuk mendiagnosa penyakit pada invertebrata termasuk serangga digunakan istilah tanda (sign) yang merujuk pada adanya beberapa perubahan pada fisik atau manifestasi adanya penyakit yang diindikasikan dengan perubahan pada struktur. Poinar & Thomas (1984) menyatakan bahwa serangga yang terinfeksi virus akan memperlihatkan gejala (symptom) secara fisiologi dan perilaku (behavior). Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan serangga uji menunjukkan bahwa pada hari ke-2 setelah infeksi, larva instar 3 yang terinfeksi SeNPV mengalami proses ganti kulit menjadi instar 4 dan pada hari ke-4 menjadi instar 5. Tetapi kemudian pada hari ke-5 tidak mengalami ganti kulit lagi menjadi prapupa. Padahal larva yang sehat (kontrol) pada hari ke-5 setelah perlakuan, sebagian besar berganti kulit menjadi prapupa yang kemudian pada hari ke-6 menjadi pupa (Tabel 3.1).
Tabel 3.1. Deskripsi tanda dan gejala infeksi SeNPV pada UGB instar 3
Hari ke-
Variabel Warna
Pertumbuhan
Makan
Terinfeksi
Sehat
Terinfeksi
Sehat
Terinfeksi
Sehat
1
instar 3
instar 3
hijau muda
hijau muda
aktif
Aktif
2
instar 4
instar 4
hijau tua
hijau tua
aktif
Aktif
3
instar 4
instar 4
hijau pucat
hijau tua
pasif
Aktif
4
instar 5
instar 5
abu-abu
hijau tua
pasif
Pasif
5
instar 5
pra pupa
abu-abu
hijau tua
mati
Pasif
6
instar 5
Pupa
Hitam
coklat
-
-
Larva yang terinfeksi virus tidak dapat berganti kulit sehingga tidak dapat tumbuh menjadi prapupa dan pupa. Hal ini disebabkan adanya fungsi gen ecdysteroidglucosyl-transferase (egt) yang dimiliki oleh NPV (Toprak et al. 2005; Etebari et al. 2007) yang berfungsi menonaktifkan hormon ecdysteroid serangga inang (O’Reilly & Miller 1989; Bianchi et al. 2000; Barret et al. dalam Koul & Dhaliwal 2002.). Regulasi hormonal yang mengatur proses ekdisi dari larva yang terinfeksi NPV dihambat oleh adanya ekspresi dari gen egt tersebut (Etebari et al. 2007). Maka dari itu stadia larva dari serangga yang terinfeksi virus akan semakin panjang (Barrett et al. dalam Koul & Dhaliwal 2002). Perubahan warna tubuh UGB yang terinfeksi virus terjadi mulai hari ke-3 setelah perlakuan (Tabel 3.1). Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Tanada & Kaya (1993) dan Koul & Dhaliwal (2002) yang menyatakan bahwa sebagian besar larva yang terinfeksi NPV tidak menunjukkan gejala (symptom) sampai 2 hari setelah virus tersebut termakan. Terjadi perubahan warna tubuh UGB secara gradual pada hari ke-3 yang cenderung semakin cerah dan mengkilap (glossiness) dan kemudian pada hari ke-4 berubah menjadi bertambah gelap (darkness). Pada hari ke-6 setelah perlakuan terlihat bahwa integumen dari larva yang terinfeksi menjadi rapuh (Gambar 3.1). Gejala ini sejalan dengan pemaparan Poinar & Thomas (1978), Kitajima (1989), Tanada & Kaya (1993) dan Toprak et al. (2005) yang menyatakan bahwa gejala infeksi virus pada serangga akan menunjukkan adanya perubahan secara gradual dalam warna integumen yang semakin bertambah gelap, milkiness dan glossiness. Kutikula larva yang terinfeksi NPV menipis dan menjadi rapuh akibat kinerja gen cathepsin dan kitinase yang terdapat dalam genom baculovirus (Toprak et al. 2005). Menurut Kalmakoff & Ward (2003) gen tersebut membantu baculovirus dalam merusak matrik peritrofik untuk memulai infeksi awal. Pengamatan lanjutan pada pupa yang berhasil tumbuh dari larva UGB yang diinfeksi SeNPV menunjukkan adanya perubahan warna tubuh pupa menjadi kehitaman dengan tekstur tubuh rapuh dan mengeluarkan cairan (hemolimfa) yang berwarna keruh (Gambar 3.2).
A
B
Gambar 3.1. Tanda infeksi SeNPV pada UGB (A) sehat (kontrol), dan (B) terinfeksi SeNPV pada pengamatan hari ke-6.
A
C
B
D
Gambar 3.2. Tanda infeksi SeNPV pada pupa UGB (A) pupa sehat ventral (B) pupa sehat dorsal (C) pupa terinfeksi ventral (D) pupa terinfeksi dorsal
Larva yang terinfeksi SeNPV menjadi kurang aktif dan kehilangan nafsu makan mulai pada hari ke-3 setelah perlakuan (Tabel 1). Pada awalnya terlihat bahwa UGB yang terinfeksi SeNPV mengeluarkan feses relatif lebih banyak daripada UGB sehat. Tetapi kemudian menurun drastis setelah hari ke-2, sedangkan UGB yang sehat justru cenderung meningkat (Gambar 3.3). Kecenderungan tersebut berkaitan dengan proses pertumbuhan UGB, yang akan cenderung aktif makan setelah ganti kulit (molting) kemudian menurun aktifitas makannya menjelang ganti kulit. Adam & McClintock dalam Adam & Bonami (1991) menyatakan bahwa salah satu gejala larva yang terinfeksi NPV adalah kehilangan nafsu makan (loss of appetite). Menurut Tanada & Kaya (1993) larva yang terinfeksi virus biasanya menjadi kurang aktif dan kehilangan nafsu makan tetapi mungkin masih terus makan sampai beberapa hari sebelum mati. Sedangkan menurut Barrett et al. dalam Koul & Dhaliwal (2002) larva terinfeksi pada mulanya makan normal, tetapi kemudian berangsur-angsur berkurang. Toprak et al. (2005) menyatakan bahwa larva yang terinfeksi NPV menjadi pasif
Rata-rata bobot feses (mg)
disebabkan infeksi pada sistem syaraf pusat dan sel-sel otot. Terinfeksi SeNPV
130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
0
1
2
3
4
Sehat
5
6
Hari setelah perlakuan Gambar 3.3. Pengaruh infeksi SeNPV terhadap bobot feses yang dikeluarkan UGB
Akumulasi jumlah larva UGB instar 3 sehat (kontrol) yang tumbuh menjadi pupa pada hari ke-6 setelah perlakuan mencapai 85,40% berbeda jauh dengan yang
Persentasi menjadi pupa (%)
terinfeksi SeNPV yang hanya 24,65% (Gambar 3.4). 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Terinfeksi SeNPV
1
Tanpa perlakuan
2
3
4
5
6
Hari setelah perlakuan
Gambar 3.4. Pengaruh infeksi SeNPV terhadap pertumbuhan UGB menjadi pupa
Terjadinya perubahan pada morfologi, pertumbuhan dan perilaku larva UGB akibat infeksi SeNPV tidak lepas dari adanya gangguan pada fisiologi dan metabolisme serangga inangnya. Akibat terjadinya infeksi, maka penggunaan oksigen akan
meningkat
secara
drastis,
yang mengindikasikan
adanya
percepatan
metabolisme sel inang, dan protein hemolimfa akan mengalami fluktuasi sesuai dengan intensitas infeksi, yang kemudian akan menurun sejalan dengan perkembangan infeksi (Tanada & Kaya 1993). Penurunan protein hemolimfa total disebabkan terjadinya penurunan sintesis protein (Etebari et al. 2007). Boctor (1980) menyatakan bahwa asam amino total dari ulat pemakan daun kapas Spodoptera littoralis menurun akibat terinfeksi virus, akan tetapi asam amino utamanya seperti prolin, lisin, asam aspartat dan histidin justru meningkat di dalam hemolimfa.
Virulensi SeNPV terhadap UGB Instar 3 di Laboratorium Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi polihedra SeNPV semakin tinggi persentasi mortalitas (Tabel 3.2). Akumulasi rata-rata persentasi mortalitas UGB pada hari ke-6 setelah perlakuan SeNPV konsentrasi 1,13 x (1010 – 104) POB/ml, berturut-turut sebagai berikut: 100% , 97.11%, 85.59%, 73.83 %, 63.91%, 50.52% dan 29.85%. Hasil perlakuan konsentrasi 1,13 x 1010 dan 1,13 x 109 POB/ml menunjukkan tidak berbeda nyata. Hasil perhitungan menggunakan metode probit analisis diperoleh persamaan regresi: Y = 0,57 x + 1,68 (Gambar 3.5), dan nilai LC50 pada konsentrasi 6,65 x 105 POB/ml. Hasil ini mengindikasikan bahwa di laboratorium SeNPV isolat lokal masih efektif mematikan UGB instar 3 lebih dari 50% populasi serangga uji sampai pengenceran 1 juta kali dari suspensi virus murninya. Sedangkan di lapangan nilai LC50 SeNPV ini lebih besar, sebagaimana yang dilaporkan oleh Israwan (1998) yaitu 3,0 x 109 POB/liter atau setara 3,0 x 106 POB/ml. Hal ini disebabkan adanya pengaruh beberapa faktor lingkungan yang dapat menurunkan virulensi SeNPV, antara lain: sinar UV dari matahari (Mishra 1998; Koul & Dhaliwal 2002; McIntosh et al. 2004; Mondragon et al. 2007; Mehrvar et al. 2008) dan temperatur (Takatsuka et al. 2007; Volkman 2008). Di samping faktor lingkungan tersebut, menurut Lasa et al. (2007c) struktur stadia dan kerentanan serangga inang di lapangan juga lebih bervariasi. Sethuraman & Narayanan (2010) menyatakan bahwa persentase mortalitas larva akan meningkat dengan peningkatan konsentrasi POB, tetapi berkorelasi negatif dengan peningkatan umur serangga.
Tabel 3.2. Mortalitas UGB instar 3 pada pengamatan hari ke-6 setelah perlakuan SeNPV pada beberapa konsentrasi. Ulangan
1 2 3 4 Rataan* SD *
Mortalitas larva setelah perlakuan konsentrasi (1,13 x .. POB/ml) (%) 1010
109
108
107
106
105
104
100 100 100 100
95,14 100 95,62 97,67
89,64 83,91 86,93 81,90
76,12 71,92 73,93 73,33
66,63 59,52 65,24 64,46
57,13 56,00 47,83 41,11
28,64 32,00 30,44 28,33
100 a 0
97,11 a 2,22
85,60 b 3,40
73,83 c 1,75
63,96 d 3,09
50,52 e 7,52
29,85 f 1,71
Rataan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05).
Persentasi mortalitas (probit)
9 8 7 6 5 4 3 2 Y = 0,57x + 1,68; R² = 0,92
1 0 4,12
5,12
6,12
7,12
8,12
9,12
10,12
Log konsentrasi (polihedra/ml)
Gambar 3.5. Persamaan regresi hubungan konsentrasi polihedra (x) dengan mortalitas UGB instar 3 (y) di laboratorium.
Penentuan Konsentrasi Polihedra dan Waktu Panen Waktu kematian (lethal time) yang sering disamakan dengan waktu bertahan (survival time) serangga S. exigua terhadap SeNPV sangat dipengaruhi oleh kondisi saat perlakuan. Waktu kematian inang yang terinfeksi virus berbanding lurus dengan
stadia, semakin besar stadia larva, semakin lama waktu kematiannya (Escribano et al. 1999; Takatsuka & Kunimi 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kematian UGB instar 3 yang diinfeksi SeNPV dengan konsentrasi 5,88 x (109, 108, 107, 106, 105 dan 104) POB/ml berturut-turut : 97,67 + 2,52; 81,90 + 3,29; 73,33 + 5,77; 64,26 + 7,38; 41,11 + 8,39; dan 18,89 + 1,92. Nilai LT50 dicapai mulai perlakuan 5,88 x 106 POB/ml dengan nilai berturut-turut: 5,59; 4,47; 4,29 dan 3,61 hari setelah perlakuan (HSP). Sedangkan perlakuan 5,88 x 104 dan 5,88 x 105 POB/ml total mortalitas kurang dari 50% (Tabel 3.3). Tabel 3.3. Akumulasi mortalitas UGB instar 3, nilai LT50, produksi polihedra per larva dan produksi polihedra per 100 larva pada pengamatan hari ke-6 setelah perlakuan SeNPV. Konsentrasi polihedra (5,88 x ..POB/ml)
Mortalitas (%)*
LT50 (HSP)
Rata-rata produksi per larva (POB)
Produksi per 100 larva (POB)
104
18,89 + 1,92
-
6,85 x 107
1,71 x 109
105 106 107 108 109
41,11 + 8,39 64,26 + 7,38 73,33 + 5,77 81,90 + 3,29 97,67 + 2,52
5,59 4,47 4,29 3,61
7,67 x 107 1,03 x 108 7,33 x 107 6,54 x 107 7,43 x 107
2,83 x 109 1,16 x 1010 5,02 x 109 5,42 x 109 7,68 x 109
Rata-rata produksi polihedra per larva ditentukan oleh ukuran serangga inang saat mati, bukan ditentukan oleh konsentrasi polihedra yang digunakan. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa rata-rata produksi polihedra per larva dan persentase produksi tertinggi dihasilkan dari perlakuan konsentrasi 5,88 x 106 POB/ml atau pengenceran 100.000 kali, yaitu : 1,03 x 108 POB per larva dan 1,16 x 1010 POB per 100 larva. Sedangkan perlakuan konsentrasi 5,88 x (107 – 109) POB/ml, meskipun rata-rata mortalitasnya lebih besar dari perlakuan konsentrasi 5,88 x 106 POB/ml, akan tetapi total produksi per 100 larvanya lebih kecil (Tabel 3.3). Hal itu disebabkan oleh proporsi ukuran serangga inang yang mati terinfeksi SeNPV pada konsentrasi
5,88 x (107 – 109) POB/ml lebih banyak yang berukuran kecil. Semakin tinggi konsentrasi polihedra yang digunakan semakin cepat kematian serangga inang atau semakin kecil nilai LT50. Semakin kecil nilai LT50 berarti semakin besar proporsi serangga inang yang mati berukuran kecil. Gupta et al. (2007) menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi polihedra yang digunakan akan meningkatkan mortalitas serangga inang, tetapi polihedra yang dihasilkan per larva akan menurun. Hasil penelitian terhadap waktu pemanenan polihedra diketahui, bahwa pemanenan virus yang optimum dilakukan pada saat 5 hari setelah perlakuan (HSP). Hasil pemanenan pada 5 HSP diperoleh jumlah rata-rata polihedra per larva tertinggi pada semua perlakuan konsentrasi polihedra yang digunakan (Tabel 3.4). Hal itu disebabkan karena rata-rata ukuran tubuh serangga inang yang mati pada hari ke-5 paling besar, dan dapat dipanen dalam keadaan utuh. Gambar 3.6. memperlihatkan proporsi mortalitas UGB instar 3 setelah perlakuan dengan konsentrasi polihedra yang berbeda. Berdasarkan gambar tersebut dapat diketahui bahwa pemanenan pada 5 HSP adalah yang paling baik. Sebab pada saat itu sebagian besar serangga yang terinfeksi telah mati dan belum hancur, serta larva yang masih hidup sudah tidak aktif lagi dan akan mati pada hari berikutnya. Hal ini sesuai dengan rekomendasi dari Grzywacz et al. (1998), Kumar et al. (2005) dan (Gupta et al. 2007) yang merekomendasikan agar pemanenan polihedra dilakukan ketika serangga inang telah mati (cadaver), tetapi sebelum hancur. Koul & Dhaliwal (2002) menyatakan bahwa penentuan waktu pemanenan polihedra sangat penting, sebab serangga yang terinfeksi virus seluruh selnya akan lisis dan kutikulanya menjadi rapuh, sehingga apabila telat memanennya akan kehilangan hasil akibat tubuh serangga terdisintegrasi.
Tabel 3.4. Produksi polihedra berdasarkan konsentrasi inokulum dan waktu panen Konsentrasi perlakuan (5,88 x …POB/ml) 104
Waktu Akumulasi panen (HSI) Mortalitas (%)
Hasil/larva (POB)
Hasil per 100 larva (POB)
3 4 5
0 4,17 + 7,22 15,56 + 5,09
0 2,73 x 107 1,25 x 108
0 1,14 x 108 1,42 x 109
6
18,89 + 1,92
5,32 x 107
1,77 x 108
105
3 4 5 6
0 20,74 + 1,28 31,11 + 8,39 41,11 + 8,39
0 4,25 x 107 1,70 x 108 1,76 x 107
0 8,81 x 108 1,78 x 109 1,76 x 108
106
3 4 5
0 13,70 + 5,48 60,93 + 6,44
0 5,50 x 107 2,28 x 108
0 7,54 x 108 1,08 x 1010
6
64,26 + 7,38
2,45 x 107
8,16 x 107
107
3 4 5 6
13,33 + 5,77 46,67 + 5,77 66,67 + 5,77 73,33 + 5,77
1,75 x 106 5,00 x 107 1,65 x 108 5,00 x 106
2,33 x 107 1,67 x 109 3,30 x 109 3,33 x 107
108
3
22,86 + 4,95
2,13 x 106
4,87 x 107
4
39,52 + 0,83
4,50 x 107
7,50 x 108
5 6
70,48 + 4,31 81,90 + 3,29
1,48 x 108 3,21 x 106
4,58 x 109 3,67 x 107
3
16,67 + 5,77
1,40 x 107
2,33 x 108
4 5 6
63,33 + 5,77 93,33 + 2,89 97,67 + 2,52
5,00 x 107 1,70 x 108 2,75 x 106
2,33 x 109 5,10 x 109 1,19 x 107
109
UGB terinfeksi SeNPV (%)
60
50
50
40
40
30
11,389
20
30
3,333
10
0
0
0
2
A
3
4
5
40 30 13,704
20
3,333
10 0
0 2
3
4
5
6
Waktu panen (HSP)
UGB terinfeksi SeNPV (%)
60
0
1
2
3
4
5
6
Waktu panen (HSP)
50 33,333 40 30 20
13,333 20
6,667
10 0
0
D
1
2
3
4
30,953 22,857
30
16,667
30
40
11,428
30
16,667
20
20
10
10 0
0
1
2
0 3
4
Waktu panen (HSP)
5
6
46,667
50
40
5
Waktu panen (HSP) 60
50
E
0
0 1
C
0 0
60
UGB terinfeksi SeNPV (%)
50
0
10
B
47,222
60
UGB terinfeksi SeNPV (%)
6
Waktu panen (HSP)
0
10,443
10
0 1
20,741
20
4,167
UGB terinfeksi SeNPV (%)
UGB terinfeksi SeNPV (%)
60
6 F
4,333 0
0
1
2
0 3
4
5
Waktu panen (HSP)
Gambar 3.6. Rata-rata UGB terinfeksi SeNPV sampai 6 hari setelah perlakuan (HSP) setelah perlakuan konsentrasi polihedra: 5,88 x (A) 104, (B) 105, (C) 106, (D) 107, (E) 108 dan (F) 109 POB/ml.
6
Memperhatikan tingkat mortalitas, LT50, produksi polihedra per 100 larva seperti pada Tabel 3.3, produksi polihedra per larva dan total produksi larva per 100 larva seperti pada Tabel 3.4, dan proporsi mortalitas UGB seperti pada Gambar 3.6, maka konsentrasi inokulum yang ideal untuk perbanyakan massal adalah 5,88 x 106 POB/ml dan waktu pemanenan 5 HSP.
Kesimpulan
Infeksi SeNPV menghambat proses ganti kulit UGB. UGB yang terinfeksi virus mengalami perubahan warna secara gradual dari cerah dan mengkilap pada awal infeksi, kemudian pada akhir infeksi menjadi gelap. Tanda yang khas dari infeksi SeNPV adalah larva mati dengan integumen rapuh dan hancur dengan mengeluarkan cairan. UGB yang terinfeksi SeNPV menjadi kurang aktif dan kehilangan nafsu makan. LC50 SeNPV terhadap UGB instar 3 di laboratorium adalah 6,65 x 105 POB/ml. Sementara itu untuk keperluan perbanyakan massal di laboratorium dengan memperhatikan tingkat mortalitas, LT50, produksi polihedra per larva, dan proporsi mortalitas UGB, konsentrasi inokulum yang digunakan adalah 5,88 x 106 POB/ml. Waktu pemanenan yang optimum adalah 5 hari setelah inokulasi, yaitu pada saat itu sebagian besar serangga yang terinfeksi telah mati dan belum hancur.
Daftar Pustaka Abbott WS. 1925. A method of computing the effectiveness of insecticide. J Econ Entomol 18; 265-267. Adams JR, McClintock TJ. 1991. Baculoviridae. nuclear polyhedrosis virus. Part I Nuclear polyhedrosis of insects. In Adam JR & Bonami JR (Eds.) Atlas of Invertebrate Viruses. CRC Press: Boca Raton, Florida. 87-204. Adams JR, Bonami JR. 1991. Atlas of Invertebrata Viruses. CRC Press: Boca Raton, Florida. 684 p. Barret JW, Primavera M, Retnakaran A, Arif B, Palli SR. 2002. Aspects of nucleopolyhedrovirus pathogenesis in lepidopteran larvae In Koul O and Dhaliwal GS. Microbial Biopesticides. Taylor & Francis. London and New York. 205- 238. Bianchi FJJA, Snoeijing I, Van der Werf W, Mans RMW, Smits PH, Vlak JM. 2000. Biological activity of SeMNPV, AcMNPV, and three AcMNPV deletion mutans against Spodoptera exigua larva (Lepidoptera: Noctuidae). J Invertebr Pathol 75: 28-35. Boctor IZ. 1980. Free amino acids of the haemolymph of the cotton leaf-worm Spodoptera littoralis biosduval full-grown larvae, infected with nuclear polyhedrosis virus. Experimentia 36: 638-639. Elvira S, Gorria N, Munoz D, Williams T, Caballero P. 2010. A simplified low-cost diet for rearing Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) and its effect on S. exigua nucleopolyhedrovirus production. J Econ Entomol 103;1: 17-24. Escribano A, Williams T, Goulson D, Cave RD, Chapman JW, Caballero P. 1999. Selection of a nucleopolyhedrovirus for control of Spodoptera frugiperda (Lepidoptera: Noctuidae): structural, genetic, and biological comparison of four isolates from the Americas. J Econ Entomol 92;5:1079-1085. Etebari K, Matindoost L, Mirhoseini SZ, Turnbull MW. 2007. The effect of BmNPV infection on protein metabolism in silkworm (Bombyx mori) larva. ISJ 4: 1317. Felix JJ, Bianchi A, Snoeijing I, van der Werf W, Mans RMW, Smits PH, Vlak JM. 2000. Biological activity of SeMNPV, AcMNPV, and three AcMNPV deletion mutants against Spodoptera exigua larvae (Lepidoptera: Noctuidae). J Invert Pathol 75;1: 28-35.
Grzywacz D, Jones KA, Moawad G, Cherry A. 1998. The in vivo production of Spodoptera littoralis nuclear polyhedrosis virus. J Virol Meth 71;1: 115-122. Grzywacz D, Rabindra RJ, Brown M, Jones KA, Parnell M. 2000. The Helicoverpa armigera production manual. http://www.fao.org/docs/eims/upload/agrotech/ [akses Oktober 2009]. Gupta RK, Raina JC, Monobrullah MD. 2007. Optimization of in vivo production of nucleopolyhedrovirus in homologus host larvae of Helicoverpa armigera. J Entomol 4: 279-288. Hunter-Fujita FR, Entwistle RF, Evans HF, Crook NE. 1998. Insect Viruses and Pest Management. John Wiley & Sons, Inc., 605 Third Avenue, New York, USA. 620 p. Ignofo CM, Shapiro M. 1978. Characteristics of baculovirus preparations processed from living and dead larvae. J Econ Entomol 71: 186-188. Israwan ID. 1998. Kajian dan penggunaan SeNPV untuk pengendalian Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) di pertanaman bawang merah. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Jokubowska A, Vlak JM, Ziemnicka J. 2005. Characterization of a nucleopolyhedrovirus isolated from the laboratory rearing of the beet armyworm Spodoptera exigua (Hbn.) in Poland. J Plant Protection Research 45;4: 279-286. Kalmakoff, Ward. 2003. Baculoviruses. Univerdity of Otago, Dunedin, New Zealand. http://www.microbiologybytes.com/virology. [Desember 2008]. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesie (Revised and Translated by van der Laan PA). PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta. Kitajima EW. 1989. Classification, identification and characterization of insect viruses. Mem Inst Oswaldo Cruz 84;3:9-15. Koul O, Dhaliwal GS. 2002. Microbial Biopesticides. Taylor & Francis. London and New York. Kumar CMS, Sathiah N, Rabindra RJ. 2005. Optimizing the time of harvest of nucleopolyhedrovirus infected Spodoptera litura (Fabricius) larvae under in vivo production systems. Current Sci 88; 10: 1682-1684.
Lasa R, Caballero P, William T. 2007a. Juvenile hormone analogs greatly increase the production of a nucleopolyhedrovirus. Biol Cont 41: 389-396. Lasa R, Ruiz-Portero C, Alcazar MD, Belda JE, Caballero P, William T. 2007b. Efficacy of optical brightener formulations of Spodoptera exigua multiple nucleopolyhedrovirus (SeMNPV) as a biological in greenhouse of Southern Spain. Biol Cont 40: 89-96. Lasa R, Pagola I, Ibanez I, Belida JE, William T, Caballero P. 2007c. Efficacy of Spodoptera exigua multiple nucleopolyhedrovirus as a biological insecticide for beet armyworm control in greenhouse of Southern Spain. Biocont Sci Tech 17:3: 221-232. Lasa R, William T, Caballero P. 2008. Insecticidal properties and microbial contaminants in Spodoptera exigua multiple nucleopolyhedrovirus (Baculoviridae) formulation stored at different temperatures. J Econ Entomol 101;1: 42-49. McIntosh AH, Grasela JJ, Lua L, Braunagel SC. 2004. Demonstration of the effects of fluorescent proteins in baculoviruses exposed to ultraviolet light inactivation. J Insect Sci 4:31. 9 pp. Mehrvar A, Rabindra RJ, Veenakumari K, Narabenchi GB. 2008. Evaluation of adjuvants for increased of HearNPV against Helicoverpa armigera (Hubner) using suntest machine. J Biol Sci 1-8. Mishra S. 1998. Baculoviruses as biopesticides. http://www.ias.ac.in/currsci/ nov251998/articles18.htm. [ Desember 2009] Moekasan TK, Basuki RS. 2007. Status resistensi Spodoptera exigua Hubn. Pada tanaman bawang merah asal Kabupaten Cirebon, Brebes, dan Tegal terhadap insektisida yang umum digunakan petani di daerah tersebut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. http://hortikultura.litbang.deptan.go.id/. [Desember 2009]. Mondragon G, Pineda S, Martinez A, Martinez AM. 2007. Optical brightener Tinopal C1101 as an ultraviolet protectant for a nucleopolyhedrovirus. Commun Agric Appl Biol Sci 72;3: 543-547. O’Reilly DR, Miller LK. 1989. A baculovirus bloks insect molting by producing ecdysteroid UDP-glucosyltransferase. Sci 245: 1110-1112. Pionar OG Jr, Thomas GM. 1984. Laboratory Guide to Insect Pathogens and Parasites. Plenum Press, New York. 392 p.
Rauf A. 1999. Dinamika populasi Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) pada tanaman bawang merah di dataran rendah. Bul HPT 11;2: 3947. Samsudin. 1999. Karakterisasi virus patogen dari ulat bawang Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) isolat indonesia. Tesis Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 56 h. Sastrosiswojo S. 1994. Development, implementation and adoption of integrated pest management for major vegetable pests in Indonesia. Lembang Horticultural Research Institute. Lembang-Bandung. Sethuraman V, Narayanan K. 2010. Biology activity of nucleopolyhedrovirus isolated from Chilo partellus (Swinhoe) (Lepidoptera: Pyralidae) in India. Asian J Exp Biol Sci 1;2: 325-330. Shapiro M, Bell RA. 1981. Biological activity of Lymantria dispar nuclear polyhedrosis virus from living and virus killed larvae. Ann Entomol Soc Am 74: 27-28. Shepard EF, Shepard BM, Rauf A. 1996. Virus of Spodoptera exigua. Palawija/ Vegetable IPM Newsletter 1;1 : 2-3. Smits PH. 1987. Nuclear Polyhedrosis Virus as Biological Control Agent of Spodoptera exigua. Ph.D Dissertation, Wageningen University. Unpublished. 127 p. Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. Academic Press. San Diego. California. p. 78-98. Takatsuka J, Kunimi Y. 2002. Lethal effects of Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus isolated in Shiga Prefecture, Japan, on larvae of the beet armyworm, Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae). Appl Entomol Zool 37;1: 93–101. Takatsuka J, Okuno S, Ishii T, Nakai M, Kunimi Y. 2007. Productivity and quality of poluhedral occlusion bodies of nucleopolyhedrovirus harvested from Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) larvae. Appl Entomol Zool 42;1: 21–26. Toprak U, Bayram S, Gurkan MO. 2005. Gross pathology of SpliNPVs and alterations in Spodoptera littoralis Boisd. (Lepidoptera: Noctuidae) morphology due to baculoviral infection. Tarim Bilimleri Dergisi 11;1: 65-71.
Untung K. 1989. Penerapan pengelolaan hama terpadu di Indonesia. Seminar Nasional Aplikasi dan Konsekuensi Lingkungan Agrokimia. Bogor. Volkman LE. 2008. Baculoviruses: Pathogenesis. Encyclopedia of Virology (Third Edition) p. 265-272. Young SY. 1989. Problems associated with the production and use of viral pesticides. Mem Inst Oswaldo Cruz 84; III: 67-73.
BAB IV PENINGKATAN VIRULENSI Spodoptera exigua NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (SeNPV) Increasing the virulence of Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) Abstrak
Salah satu kelemahan Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) untuk dijadikan agens hayati pengendali ulatgrayak bawang (UGB) adalah membutuhkan waktu relatif lama untuk mematikan serangga inangnya. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui pengaruh pakan serangga inang terhadap virulensi SeNPV, 2) mendapatkan bahan perangsang makan (phagostimulant) yang efektif meningkatkan virulensi SeNPV, dan 3) memperoleh konsentrasi asam borat yang optimal sebagai enhancer SeNPV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa virulensi SeNPV terhadap UGB yang diberi pakan daun bawang merah, daun bawang daun dan pakan buatan tidak berbeda nyata. Pakan buatan yang digunakan dinilai cocok untuk perbanyakan dan produksi SeNPV. Dari lima jenis bahan yang diduga sebagai phagostimulant, kecap 5% dan sukrosa 5% secara signifikan meningkatkan konsumsi UGB pada pakan buatan dan meningkatkan mortalitas larva yang terinfeksi SeNPV. Penggunaan sukrosa 1 sampai 5% dinilai efektif meningkatkan konsumsi UGB dan virulensi SeNPV di laboratorium. Sedangkan konsentrasi sukrosa 10% cenderung menurunkan aktifitas makan UGB. Asam borat terbukti dapat meningkatkan virulensi SeNPV. Semakin tinggi konsentrasi asam borat yang digunakan, semakin rendah nilai LT50 UGB terinfeksi SeNPV. Akan tetapi penggunaannya harus dibatasi maksimal 5%, untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan. Kata kunci : phagostimulant, enhancer, UGB, SeNPV, virulensi
Abstract
Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) is an entomophathogenic virus of onion caterpillar S. exigua larvae commonly used as bioinsecticide. The major limitations of SeNPV for biocontrol of onion caterpillar is it requires long time for the virus to kill the insect host. This research was aimed to: (1) investigate the effect of insect diets on the virulence of SeNPV, (2) find out the material as phagostimulant to increase SeNPV virulence, and (3) determine the optimum boric acid concentration as an enhancer for SeNPV. The results showed that the infectivity of the SeNPV to the larvae that feeding on shallot, leek and artificial diets was not significantly different. This result indicated that artificial diet used was considered suitable for the propagation and production of SeNPV. Soybean sauces 5% and sucrose 5% increased S. exigua consumption on artificial diets and enhanced viral activity. When mixed with polyhedra of SeNPV, 1% to 5% sucrose significantly increased S. exigua consumption and increased the virulence of SeNPV, while 10% sucrose tended to decrease the feeding activity of S. exigua. Boric acid concentrations enhanced the SeNPV virulence. The LT50 of SeNPV was decreased as the concentration of boric acids increased. However, the increase of boric acid concentration should be restricted maximum 5%, for avoiding the negative impacts on the environment. Keywords: phagostimulant, enhancers, UGB, SeNPV, virulence
Pendahuluan
Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) adalah virus patogen serangga
(entomophatogen)
yang
potensial
untuk
dikembangkan
sebagai
bioinsektisida pengendali ulatgrayak bawang (UGB) S. exigua yang ramah lingkungan. Beberapa keunggulan penggunaan NPV dibandingkan dengan insektisida kimia, antara lain: tidak membunuh organisme bukan sasaran, memperbanyak diri dalam tubuh inang dan menyebar melalui transmisi sekunder sehingga dapat mengendalikan hama sasaran berikutnya, tidak mengakibatkan resistensi hama sasaran, tidak meninggalkan residu berbahaya pada makanan, membantu upaya pelestarian musuh alami dan dapat meningkatkan biodiversitas (Young 1989; Lacey et al. 2001; Armenta et al. 2003).
Akan tetapi kinerja NPV dalam mematikan
inangnya di lapangan masih membutuhkan waktu relatif lama, sehingga serangga yang terinfeksi masih makan dan menimbulkan kerugian (Arifin 1988; Bonning &
Hammock 1996; Dushoff & Greg 2001; Trang & Chaudhari 2002). Salah satu penyebab lambatnya kinerja NPV tersebut disebabkan oleh sedikitnya jumlah polihedra yang termakan oleh serangga inang (Cisneros et al. 2002; Castillejos et al. 2002). Masalah tersebut dapat diatasi dengan dua pendekatan, yaitu: menambahkan perangsang makan (phagostimulant) untuk meningkatkan jumlah inokulum yang dimakan serangga inang, atau menggunakan bahan yang dapat meningkatkan virulensi NPV (Suhas et al. 2009). NPV dapat menginfeksi serangga inang hanya apabila polihedra termakan oleh serangga inang melalui pakan yang terkontaminasi (Vasconcelos et al. 2002). Salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah polihedra yang dikonsumsi adalah dengan menambahkan bahan-bahan yang dapat merangsang makan (phagostimulant) (Farrar et al. 2005; Genc 2006). Menurut Genc (2006) phagostimulant adalah bahan kimia yang memiliki pengaruh pada aktivitas makan serangga. Mcfarlane (1985) menyatakan bahwa, beberapa bahan kimia seperti asam amino, gula, asam lemak, sterol dan vitamin, dapat merangsang makan bagi serangga. Hasil penelitian Ahmad et al. (2001) menunjukkan bahwa komposisi bahan pakan terutama protein dan karbohidrat sangat berpengaruh pada performan larva S. exempta. Lebih lanjut Ahmad & Kamal (2001) menyatakan bahwa diantara jenis karbohidrat, sukrosa memiliki pengaruh yang lebih baik terhadap pertumbuhan larva S. exempta daripada glukosa, fruktosa, mannitol dan maltosa. Hasil penelitian Genc (2006) menegaskan bahwa gula heksosa dan sukrosa merupakan bahan nutrisi utama serangga dan berfungsi sebagai phagostimulant bagi serangga pemakan daun. Upaya untuk meningkatkan virulensi NPV dapat dilakukan beberapa cara, antara lain menambahkan bahan pemicu kinerja (enhancer) (Lacey et al. 2001), mengkombinasikan dengan bahan yang bekerja secara sinergis (Dodin 2001; Samsudin 2001; Arifin 2006; Shapiro & Shepard 2006) atau melalui rekayasa genetik (Treacy 1999). Di antara ketiga cara tersebut yang paling efektif dan efesien untuk dilakukan adalah dengan menambahkan bahan pemicu kinerja (enhancer). Salah satu bahan yang berpotensi sebagai bahan enhancer adalah asam borat (boric acid) (Shapiro & Bell 1982; Chaudhari 1992). Hasil penelitian Morales et al. (1997)
menunjukkan bahwa penambahan asam borat pada Anticarsia gemmatalis NPV (AgNPV) dapat meningkatkan mortalitas larva A. gemmatalis dan memperpendek waktu kematiannya. Sedangkan Cisneros et al. (2002) melaporkan bahwa penambahan 0.5% dan 1% asam borat secara signifikan dapat meningkatkan kematian larva S. frugiferda yang SfNPV. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui pengaruh pakan serangga inang terhadap virulensi SeNPV, 2) mendapatkan bahan phagostimulant yang efektif meningkatkan virulensi SeNPV dan 3) memperoleh konsentrasi asam borat yang optimal sebagai enhancer SeNPV.
Bahan dan Metode
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Agustus 2009 sampai Januari 2010 di laboratorium Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Bogor
Pengaruh Jenis Pakan UGB terhadap Virulensi SeNPV
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan jenis pakan yaitu 1) daun bawang daun (Allium fistulosum), 2) daun bawang merah (A. ascalonicum L.) dan 3) pakan buatan (lampiran 2). Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali menggunakan 30 ekor larva UGB instar 3. Serangga uji yang digunakan adalah larva S. exigua instar 3 hasil perbanyakan di laboratorium. Isolat SeNPV yang digunakan adalah suspensi virus murni yang telah diencerkan dengan konsentrasi 1,13 x 108 POB/ml. Perlakuan menggunakan metode kontaminasi pakan (Hunter-Fujita et al. 1998). Bahan pakan yang diuji disiapkan terlebih dahulu masing-masing seberat 2 gram per wadah. Perlakuan pakan alami menggunakan cawan petri plastik diameter 13 cm yang telah diberi lubang kecil pada bagian tutupnya, sedangkan untuk pakan buatan menggunakan cawan plastik. Aplikasi suspensi virus dilakukan dengan metode pencelupan untuk bahan pakan alami dan diteteskan sebanyak 3 tetes per
wadah untuk pakan buatan. Setelah pakan alami ditiriskan selama 1 jam, pakan tersebut dimasukan ke dalam wadah. Setiap hari dicatat jumlah serangga uji yang mati terinfeksi virus sampai semua serangga uji mati atau menjadi pupa. Persentase mortalitas dihitung berdasarkan rumus Abbott (1925). Pt = Ket: Po Pt Pk
Po – Pk x 100% 100 – Pk
: Persentase kematian larva yang diamati : Persentase kematian larva terkoreksi : Persentase kematian larva pada kontrol.
Pengujian Bahan Perangsang Makan (phagostimulant) Penelitian dilakukan di laboratorium dengan menggunakan pakan buatan. Bahan yang diduga sebagai perangsang makan yang digunakan adalah: 1) sukrosa (5%), 2) gula putih (5%), 3) molase (5%), 4) kecap (5%), 5) filtrat kunyit (5%), 6) hanya virus (kontrol positif) dan 7) air steril (kontrol pengoreksi). Suspensi virus dengan konsentrasi 1.13 x 108 POB/ml diteteskan ke dalam pakan buatan dalam wadah plastik, kemudian dimasukkan ke dalamnya masing-masing 1 larva instar 3. Setiap perlakuan menggunakan 30 ekor larva dan diulang sebanyak 3 kali. Peubah yang diamati yaitu; 1) jumlah serangga uji yang mati terinfeksi virus, 2) bobot feses larva, dan 3) waktu kematian larva. Persentase mortalitas dihitung berdasarkan rumus Abbott (1925) dan untuk menganalisis aktifitas makan dilihat dari bobot feses yang dikeluarkan larva (Idris & Emelia 2001). Untuk mengetahui adanya peningkatan kinerja SeNPV akibat dari penambahan bahan-bahan yang diduga sebagai phagostimulant digunakan rumus Peningkatan Kinerja Relatif (PKR), yaitu: PKR(%) = % mortalitas perlakuan - % mortalitas kontrol positif X 100 % % mortalitas kontrol positif Untuk menilai efesiensi bahan-bahan yang diuji dalam meningkatkan kinerja SeNPV dihitung dengan menggunakan rumus efesiensi relatif (ER) (Mehrvar et al. 2008), yaitu:
ER =
Mortalitas perlakuan Mortalitas kontrol positif
Kinerja bahan yang diduga sebagai phagostimulant terhadap perilaku makan dinilai dengan menggunakan indeks feeding stimulant (IFS) ( Matsuda et al. 1998) dengan rumus: IFS = Bobot feses perlakuan – bobot feses kontrol positif x 100% Bobot feses perlakuan + bobot feses kontrol positif
Penentuan Konsentrasi Sukrosa yang Efektif Meningkatkan Virulensi SeNPV. Penelitian dilakukan di laboratorium menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan metode kontaminasi pakan (Hunter-Fujita et al. 1998). Konsentrasi sukrosa yang digunakan adalah: 0% (kontrol), 1%, 5%, dan 10% dari suspensi yang berisi polihedra dengan konsentrasi 1,13 x 108 POB/ml. Perlakuan dilakukan dengan cara kontaminasi pada permukaan pakan buatan dalam wadah plastik. Setelah diberi perlakuan dimasukan ke dalam masing-masing wadah tersebut 1 ekor larva S. exigua instar 3. Masing-masing perlakuan menggunakan 30 ekor larva dan diulang sebanyak 3 kali. Variabel yang diamati adalah jumlah dan waktu mortalitas serangga uji. Pengamatan dilakukan sampai semua serangga uji pada kontrol pengoreksi menjadi pupa. Untuk mengetahui adanya peningkatan kinerja SeNPV akibat dari penambahan sukrosa digunakan rumus Peningkatan Kinerja Relatif (PKR), sedangkan untuk menilai efesiensi sukrosa dalam meningkatkan kinerja SeNPV dihitung dengan menggunakan rumus efesiensi relative (ER) (Mehrvar et al. 2008).
Pengujian Asam Borat sebagai Pemicu Kinerja (Enhancer) SeNPV
Pengujian asam borat sebagai enhancer dilaksanakan di laboratorium dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan metode kontaminasi pakan (Hunter-Fujita et al. 1998). Konsentrasi asam borat yang digunakan adalah: 0% (kontrol), 0,1%, 1%, 5%, dan 10% dari suspensi yang berisi polihedra dengan konsentrasi 1,13 x 108 POB/ml. Setelah diberi perlakuan, dimasukan ke dalam masing-masing wadah tersebut 1 ekor larva S. exigua instar 3. Masing-masing perlakuan menggunakan 30 ekor larva dan diulang sebanyak 3 kali. Variabel yang diamati adalah mortalitas dan waktu kematian serangga uji. Pengamatan dilakukan sampai semua serangga uji pada kontrol negatif menjadi pupa. Persentase mortalitas dikoreksi berdasarkan rumus Abbott (1925). Untuk menentukan virulensi SeNPV berupa LT50 dihitung dengan menggunakan probit analisis. Untuk mengetahui adanya peningkatan kinerja SeNPV akibat penambahan bahan enhancer digunakan rumus Peningkatan Kinerja Relatif (PKR), dan untuk menilai efesiensi asam borat dalam meningkatkan kinerja SeNPV dihitung dengan menggunakan rumus efesiensi relatif (ER) (Mehrvar et al. 2008).
Analisis Data Semua data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SAS. Apabila terdapat perbedaan diantara perlakuan maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata α = 0,05.
Hasil dan Pembahasan
Pengaruh Jenis Pakan terhadap Virulensi SeNPV pada S. exigua
Hasil pengujian terhadap tiga jenis pakan UGB, yaitu: daun bawang merah, daun bawang daun dan pakan buatan di laboratorium menunjukkan bahwa pengaruh ketiga jenis pakan tersebut sama (Tabel 4.1). Meskipun pada pengamatan hari ke-4 setelah inokulasi menunjukkan bahwa mortalitas pada pakan buatan lebih tinggi (17,78%) dibandingkan dengan daun bawang merah (7,87%) dan bawang daun (3,70%), akan tetapi mortalita pada pengamatan hari terakhir tidak berbeda nyata. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga jenis pakan yang digunakan merupakan pakan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan UGB. Daun bawang merah dan bawang daun merupakan pakan alami utama dari S. exigua di lapangan, sedangkan pakan buatan yang diuji adalah pakan buatan yang digunakan untuk perbanyakan reguler di laboratorium LPS. Dari ketiga jenis pakan tersebut, pakan buatan merupakan jenis yang paling mudah penanganannya dan dapat digunakan untuk menguji bahan-bahan perangsang makan (phagostimulant). Hasil penelitian sebelumnya mengindikasikan bahwa aktifitas virus patogen serangga dipengaruhi oleh pakan serangga inangnya. Hasil penelitian Farrar & Ridgway (2000), menunjukkan bahwa aktifitas Anagrapha falcifera MNPV (AfMNPV) terhadap S. exigua dan Heliverpoa zea dipengaruhi oleh pakan. Aktifitas AfMNPV terhadap S. exigua paling
tinggi ketika serangga tersebut diberi pakan tomat
(Lycopersicon esculentum) kemudian tanaman kol (Brassica oleracea) dan paling rendah tanaman kapas (Gossypium hirsutum). Aktifitas AfMNPV pada Heliverpoa zea paling tinggi pada pakan jagung (Zea mays), kemudian pada tanaman kacang hijau (Phaseolus vulgaris) dan paling rendah pada tanaman kapas (Gossypium hirsutum). Kandungan nutrisi dari pakan serangga inang mempengaruhi tingkat prevalensi infeksi virus. Review hasil penelitian yang dilakukan oleh Tanada & Kaya (1993) menunjukkan bahwa kandungan nutrisi pakan, yaitu air, nitrogen dan sukrosa
dapat mempengaruhi prevalensi infeksi virus. Semakin tinggi kandungan nitrogen semakin tinggi prevalensi infeksi virus. Sebaliknya penurunan kandungan air dan sukrosa pada pakan buatan akan meningkatkan mortalitas larva yang terinfeksi virus.
Tabel 4.1. Persentase mortalitas UGB terinfeksi SeNPV pada berbagai jenis pakan Perlakuan 4
Mortalitas (%)a Hari setelah inokulasi 5
6
Daun bawang merah
7,87 + 6,85 ab
37,74 + 4,15 a
58,33 + 8,97 a
Daun bawang daun
3,70 + 6,42 b
31,03 + 19,91 a
60,69 + 8,36 a
17,78 + 5,88 a
39,66 + 7,47 a
60,13 + 4,99 a
Pakan buatan a
Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05).
Waktu kematian UGB terinfeksi SeNPV pada 3 jenis pakan yang digunakan juga tidak berbeda nyata. Sampai hari ke-3 setelah perlakuan belum ada UGB yang mati terinfeksi SeNPV. Hasil ini mengindikasikan bahwa, ketiga jenis pakan yang digunakan tidak berkontribusi dalam mempercepat kinerja SeNPV dalam mematikan UGB di Laboratorium. Goulson et al. (1995) menyatakan bahwa kecepatan virulensi NPV dipengaruhi oleh ukuran serangga bukan dari jumlah konsumsi pakannya. Serangga instar 2 lebih cepat mati daripada instar 3, dan instar 3 lebih cepat dari instar 4, meskipun jumlah konsumsi pakan sebaliknya. Pertumbuhan UGB pada ketiga jenis pakan yang diuji tidak menunjukkan perbedaan. Hal itu menurut Azidah & Sofian-Azirun (2006) disebabkan ketiga jenis pakan tersebut cocok untuk S. exigua. Sebab umumnya perkembangan, lama hidup dan keperidian serangga pemakan daun, akan dipengaruhi oleh tanaman inangnya.
Pengaruh Perangsang Makan (phagostimulant) terhadap Virulensi SeNPV Menurut Sutherland (1977) secara umum phagostimulant dibagi menjadi 2 kategori, yaitu bahan nutrisi dan metabolit sekunder. Menurutnya metabolit sekunder yang terdapat dalam tanaman bukan sebagai makanan, tetapi hanya menjadi perangsang bagi serangga sehingga dapat memilih dan menemukan makanan yang cocok atau tanaman inangnya. Farrar & Ridgway (2000) menyatakan bahwa bagian tanaman utuh, juice, ekstrak dan bahan kimia hasil pemurnian dari tanaman dapat mempengaruhi aktifitas patogen terhadap serangga inang. Bahan-bahan dari tanaman tersebut dapat berfungsi sebagai perangsang (enhancer), penghambat (inhibitor) atau tidak berpengaruh. Sampai pengamatan hari ke-4 setelah perlakuan tidak ditemukan perbedaan yang nyata pada akumulasi rata-rata persentase mortalitas UGB antara perlakuan dengan kontrol. Perbedaan yang signifikan terjadi mulai hari ke-5, penambahan kecap 5% secara nyata meningkatkan mortalitas UGB terinfeksi SeNPV yaitu 51,21% dibandingkan dengan kontrol positif 31,91%. Pada pengamatan hari ke-6, penambahan sukrosa 5% juga dapat meningkatkan kinerja SeNPV dengan mortalitas rata-rata sebesar 57,17% dibandingkan dengan kontrol sebesar 42,74%. Sementara itu penambahan gula putih, molase dan filtrat kunyit masing-masing 5% sampai hari ke6 setelah perlakuan pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 4.2). Akan tetapi pada penelitian lapangan yang dilakukan oleh Arifin & Nuzullianti (1999), penambahan molase 20% efektif meningkatkan virulensi Spodoptera litura NPV (SlNPV).
Tabel 4.2. Akumulasi rata-rata persentase mortalitas UGB setelah perlakuan Mortalitas (%)a Hari setelah inokulasi
Perlakuan 3
4
5
6
Sukrosa 5%
6,20 + 7,42 a
19,38 + 14,92 a
34,99 + 9,73 b
57,17 + 5,77 ab
Gula putih 5%
5,57 + 7,31 a
14,17 + 8,46 a
31,51 + 8,12 b
47,07 + 4,79 c
Molase 5%
4,55 + 5,62 a
13,47 + 10,98 a
34,95 + 10,70 b
52,96 + 3,67 bc
Kecap 5%
7,69 + 15,95 a
24,12 + 9,15 a
51,21 + 13,31 a
64,20 + 8,05 a
Filtrat kunyit 5%
5,36 + 6,19 a
13,91 + 7,26 a
25,84 + 7,83 b
44,31 + 6,65 c
Hanya virus
2,67 + 3,42 a
18,98 + 11,63 a
31,91 + 8,54 b
42,74 + 8,08 c
a
Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05).
Nilai peningkatan kinerja relatif (PKR) dari bahan yang diuji menunjukkan bahwa, kecap dan sukrosa masing-masing 5% dapat meningkatkan kinerja SeNPV berturut-turut 50,21% dan 33,76%. Sementara itu 5% molase, gula dan filtrat kunyit dapat meningkatkan kinerja SeNPV sebesar masing-masing 23,91%, 10,13% dan 3,67% (Tabel 4.3). Meskipun semua bahan yang digunakan dapat meningkatkan kinerja dari SeNPV terhadap UGB, akan tetapi peningkatan yang berbeda nyata secara statistik dengan kontrol terjadi pada nilai PKP lebih dari 30%. Demikian pula dengan nilai efesiensi relatif (ER) meskipun semua nilainya di atas 1, akan tetapi yang berbeda nyata secara statistik apabila nilai ER lebih dari 1,30 (Tabel 4.3). Hasil penelitian Mehrvar et al. (2008) menunjukkan bahwa molase dan gula dapat berfungsi sebagai phagostimulant, sehingga dapat meningkatkan jumlah virus yang termakan dan meningkatkan mortalitas larva.
Tabel 4.3. Nilai peningkatan kinerja relatif (PKR), efesiensi relatif (ER) dan indeks feeding stimulant (IFS) dari bahan-bahan yang diuji Perlakuan Sukrosa 5% Gula putih 5% Molase 5% Kecap 5% Filtrat kunyit 5% Hanya virus
PKR (%)*
ER**
IFS***
33,76 10,13 23,91 50,21 3,67 0,00
1,34 1,10 1,24 1,50 1,04 1,00
0,37 2,00 3,24 8,97 - 4,67 0,00
*
Nilai PKR positif menunjukkan adanya peningkatan kinerja Nilai ER lebih dari 1 menunjukkan peningkatan kinerja *** Nilai positif menunjukkan kinerja feeding stimulant sedangkan nilai negative menunjukkan kinerja antifeedant
**
Secara teoritis persentasi mortalitas UGB terinfeksi virus berkorelasi positif dengan tingkat konsumsi pakan. Semakin tinggi tingkat konsumsi pakan serangga inang, maka akan semakin tinggi mortalitasnya. Dari lima jenis bahan yang diuji, hanya kecap 5% yang secara signifikan meningkatkan tingkat konsumsi UGB pada pakan buatan. Rata-rata bobot feses yang dikeluarkan oleh UGB selama tiga hari adalah 322 mg yang berbeda nyata dengan kontrol negatif (hanya air) 288 mg. UGB pada perlakuan sukrosa, gula putih dan molase rata-rata mengeluarkan feses masingmasing: 271, 280 dan 287 mg dan tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol negatif yaitu 288 mg. Sementara itu UGB yang diberi perlakuan filtrat kunyit 5% rata-rata mengeluarkan feses seberat 245 mg dibawah kontrol negatif 288 mg dan kontrol positif 269 mg (Gambar 4.1). Berdasarkan nilai indeks feeding stimulant (IFS) diketahui bahwa sukrosa, gula putih, molase dan kecap memiliki nilai IFS lebih besar dari nol (positif). Hal ini mengindikasikan bahwa keempat bahan tersebut berpotensi sebagai bahan feeding stimulant. Sementara itu filtrate kunyit 5% memiliki nilai IFS dibawah nol (- 4,67) yang mengindikasikan bahwa bahan tersebut berpotensi sebagai antifeedant.
350 300
a bc
bc
b
b c
Bobot feses (mg)
d
250 200 150
271
280
287
322 245
269
288
100 50 0
Gambar 4.1. Pengaruh penambahan bahan yang diduga phagostimulant terhadap bobot feses yang dikeluarkan UGB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecap 5% dapat meningkatkan konsumsi UGB pada pakan buatan sekaligus meningkatkan virulensi SeNPV terhadap UGB instar 3. Sementara itu sukrosa 5% dan molase 5%, meskipun pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi UGB tidak berbeda nyata dengan kontrol, akan tetapi mampu meningkatkan virulensi SeNPV. Sedangkan gula putih 5% tidak dapat meningkatkan konsumsi UGB juga tidak dapat meningkatkan virulensi SeNPV. Sebaliknya filtrat kunyit 5% dapat menurunkan tingkat konsumsi UGB, akan tetapi tidak menurunkan virulensi SeNPV. Kecap merupakan bahan penyedap makanan yang terbuat dari kedelai. Hasil penelitian Lasa et al. (2009) menunjukkan bahwa tepung kedelai 1% berpotensi sebagai feeding stimulant bagi larva S. exigua pada pakan buatan. Sementara itu sukrosa dikenal sebagai nutrisi utama dari serangga pemakan daun. Chapman (1998) dan Genc (2006) mengemukakan bahwa gula heksosa dan sukrosa merupakan nutrisi utama dan sebagai perangsang makan (phagostimulant) bagi sebagian besar serangga
pemakan daun. Dari hasil penelitian ini terbukti bahwa bahan phagostimulant dapat meningkatkan virulensi SeNPV. Hasil penelitian Meade & Hare (1993) menunjukkan bahwa jika jenis pakan yang dimakan oleh S. exigua lebih banyak, maka mortalitas akibat B. thuringiensis juga semakin tinggi. Bahan-bahan alami yang murah dan mudah memperolehnya apabila terbukti mampu meningkatkan tingkat konsumsi UGB pada tanaman inang dan meningkatkan virulensi SeNPV terhadap UGB, maka akan mengurangi biaya aplikasi bioinsektisida SeNPV. Menurut Castillejos et al. (2002) penambahan bahan-bahan phagostimulant dalam formulasi bioinsektisida virus di samping akan meningkatkan keefektifannya juga dapat mengendalikan hama dengan konsentrasi polihedra rendah dan menghemat biaya aplikasi.
Pengaruh Konsentrasi Sukrosa terhadap Peningkatan Virulensi SeNPV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan sukrosa 1% dan 5% dapat meningkatkan mortalitas UGB secara signifikan dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan penambahan sukrosa 0,10% dan 10% pengaruhnya tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (Tabel 4.4). Penambahan sukrosa 10% tidak dapat meningkatkan mortalitas UGB, hal itu disebabkan karena ada sebagian larva yang tidak mengkonsumsi pakan. Hal itu mengindikasikan bahwa kesesuaian pakan serangga memerlukan komposisi yang tepat. Ahmad et al. (2001) menyatakan bahwa, komposisi bahan pakan terutama protein dan karbohidrat sangat berpengaruh pada aktifitas larva Spodoptera exempta.
\
Tabel 4.4. Pengaruh perlakuan sukrosa terhadap mortalitas UGB terinfeksi SeNPV Mortalitas (%)b Hari setelah inokulasi 4 5
a
SeNPV + Sukrosa (%)
a b
3
6
0
1,19 + 2,06 b
15,72 + 11,72 a
33,22 + 6,62 ab
44,73 + 6,50 b
0,1
2,38 + 2,07 b
2,60 + 2,05 b
28,33 + 5,95 b
52,69 + 3,21 ab
1
9,57 + 2,33 a
17,54 + 5,31 a
40,63 + 3,04 ab
57,16 + 3,36 a
5
5,11 + 5,17 ab
11,36 + 6,44 ab
42,31 + 10,28 a
63,18 + 1,90 a
10
1,11 + 1,93 b
7,58 + 3,18 ab
27,48 + 7,19 b
46,12 + 9,30 b
Konsentrasi SeNPV yang digunakan 1,13 x 107 POB/ml Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05).
Nilai peningkatan kinerja relative (PKR) dari penambahan larutan sukrosa 0,10%, 1%, 5% dan 10% masing-masing sebesar: 17,81%, 27,79%, 41,24% dan 3,09%. Sementara itu nilai efesiensi relative (ER) dari semua perlakuan konsentrasi sukrosa lebih dari 1. Akan tetapi nilai indeks feeding stimulant (IFS) dari perlakuan konsentrasi sukrosa 10% bernilai negatif yang mengindikasikan bekerja sebagai antifeedant (Tabel 4.5). Data ini mengindikasikan bahwa konsentrasi sukrosa yang direkomendasikan berkisar antara 1 sampai 5%.
Tabel 4.5. Nilai peningkatan kinerja relatif (PKR), efesiensi relatif (ER) dan indeks feeding stimulant (IFS) dari perlakuan sukrosa
a
SeNPVa + Sukrosa (%)
PKR (%)b
ERc
IFSd
0
0
1,00
0
0,1
17,809
1,18
0,388
1
27,788
1,28
2,652
5
41,239
1,41
9,825
10
3,094
1,03
-6,418
7
Konsentrasi SeNPV yang digunakan 1,13 x 10 POB/ml Nilai PKR positif menunjukkan adanya peningkatan kinerja c Nilai ER lebih dari 1 menunjukkan peningkatan kinerja d Nilai positif menunjukkan kinerja phagostimulant sedangkan nilai negative menunjukkan kinerja antifeedant b
Pengujian Asam Borat sebagai Pemicu Kinerja (Enhancer) SeNPV Asam borat atau boric acid (H3BO3) merupakan senyawa kimia turunan dari logam berat boron (B) yang biasa digunakan untuk pembersih, pengawet, antiseptik dan insektisida. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penambahan asam borat sampai 5% tidak berbeda nyata pengaruhnya pada tingkat mortalitas UGB. Peningkatan mortalitas yang berbeda nyata baru terlihat pada perlakuan asam borat 10% (Tabel 4.6). Cisneros et al. (2002) mengemukakan bahwa, perlakuan asam borat saja tidak mengakibatkan kematian pada serangga uji, tetapi akan meningkatkan prevalensi kematian serangga yang terinfeksi virus. Tabel 4.6. Pengaruh penambahan asam borat terhadap akumulasi mortalitas UGB terinfeksi SeNPV SeNPVa + Asam borat (%)
a b
2 0c
0
Mortalitas (%)b Hari setelah inokulasi 4 5
3
6
15,00 + 8,66 a
25,47 + 8,88 c
52,12 + 5,24 c
67,73 + 9,19 b
0,1
6,87 + 0,19 b
15,82 + 8,76 a
31,86 + 2,33 bc
51,30 + 7,66 c
70,69 + 8,00 ab
1
5,84 + 2,10 b
26,54 + 8,75 a
45,39 + 5,91 a
64,06 + 3,56 b
74,23 + 10,98 ab
5
8,29 + 2,81 ab
28,21 + 10,01 a
44,27 + 10,13 ab
66,54 + 4,95 b
74,02 + 7,66 ab
10
11,23 + 1,83 a
23,56 + 8,69 a
50,54 + 5,37 a
78,34 + 1,46 a
86,48 + 3,62 a
7
Konsentrasi SeNPV yang digunakan 1,13 x 10 POB/ml Rataan mortalitas terkoreksi (Abort), angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05).
Virulensi adalah kemampuan mikroorganisme untuk menghasilkan penyakit yang diekspresikan dalam bentuk median waktu yang dibutuhkan untuk mematikan inang (LT50) atau median konsentrasi yang mematikan (LC50/LD50)(Tanada & Kaya 1993; Hodgson et al. 2001). Nilai LT50 pada perlakuan 1%, 5% dan 10% masingmasing 4,39, 4,33 dan 3,94 hari setelah perlakuan (HSP) berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol 5,12 HSP. Hasil ini mengindikasikan bahwa asam borat dapat meningkatkan virulensi SeNPV, semakin tinggi konsentrasi asam borat yang digunakan, semakin tinggi nilai aktifitas relatifnya (AR) (Tabel 4.7). Hasil ini sama dengan penelitian pada Anticarsia gemmatalis NPV (AgNPV) (Morales et al. 1997),
Spodoptera frugiferda NPV (SfNPV) (Cisneros et al. 2002) dan Autographa californica MNPV (AcMNPV) (Jinn et al. 2004). Tabel 4.7. Nilai LT50 dan aktifitas relatif (AR) asam borat pada SeNPV SeNPVa + Asam borat (%)
LT50 (hari)
Persamaan regresi
ARb
0
5,12 + 0,14 a
y = 14,44x - 23,82
1,00
0,1
4,95 + 0,34 a
y = 14,36x - 20,85
1,03
1
4,39 + 0,39 b
y = 16,13x - 20,45
1,17
5
4,33 + 0,27 b
y = 16,02x - 19,20
1,18
10
3,94 + 0,17 b
y = 18,87x - 24,37
1,30
a b
Konsentrasi SeNPV yang digunakan 1,13 x 107 POB/ml Nilai aktifitas relatif (AR) adalah LT50 kontrol dibagi LT50 perlakuan
Da Silva-Cruz et al. (2010) menyatakan bahwa asam borat dapat menginduksi proses kematian sel-sel mesenteron serangga. Hasil penelitian Kilani-Morakchi et al. (2009) menunjukkan bahwa asam borat yang tertelan dapat mengganggu struktur mesenteron kecoa. Sehingga menurut See et al. (2010) asam borat merupakan “racun perut” yang biasa digunakan untuk mengendalikan serangga urban, seperti kecoa, semut dan rayap. Oleh karena itu, pengaruh asam borat dalam meningkatkan virulensi SeNPV diduga karena bahan ini mampu mendegradasi matrik peritrofik saluran pencernaan bagian tengah (midgut) serangga, sehingga mengurangi proteksi serangga dari infeksi patogen.
Apabila matrik peritrofik hancur, maka virion yang telah
terlepas dari badan oklusi akan mudah masuk menginfeksi sel epithelium mesenteron yang kemudian menginfeksi hemolimf dan sel-sel inang lainnya. Guo et al. (2007) melaporkan bahwa aktifitas biologi NPV meningkat ketika dipadukan dengan insektisida chlorfluazuron yang diketahui dapat menghancurkan matrik peritrofik. Meskipun asam borat secara alami merupakan salah satu nutrisi penting bagi makhluk hidup, akan tetapi pada konsentrasi tinggi dapat bersifat toksik ( Gentz & Grace 2006). Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi pada konsentrasi yang tidak berdampak negatif pada lingkungan dan organisme bukan sasaran. Dari
penelitian ini, konsentrasi asam borat yang dianjurkan adalah antara 1 sampai 5% saja, sebab hasil review yang dilakukan oleh Eisler (1990) menunjukkan bahwa penggunaan asam borat pada konsentrasi lebih dari 10% dapat mematikan lebih dari 40% kecoa (Blatella germanica), 50% lebah madu (Apis mellifera), lebih dari 50% lalat rumah (Musca domestica).
Kesimpulan
Ketiga jenis pakan yang digunakan tidak berpengaruh terhadap kinerja SeNPV dalam mematikan UGB di laboratorium. Kecap dan sukrosa masing-masing 5% berfungsi sebagai phagostimulant yang efektif dapat meningkatkan virulensi SeNPV. Penambahan asam borat pada suspensi SeNPV mempercepat kematian UGB. Untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan asam borat, maka konsentrasi asam borat yang dianjurkan adalah antara 1 sampai 5%.
Daftar Pustaka Abbott WS. 1925. A method of computing the effectiveness of insecticide. J Econ Entomol 18; 265-267. Ahmad I, Heriyadi S and Anggraeni T. 2001. Nutrient self selection by the armuworm Spodoptera exempta Walker (Lepidoptera: Noctuidae) larvae. Pakistan J. Biol Sci. 4;6: 684-687. Ahmad I, Kamal M. 2001. Consumption and utilization of complete defined diets covarious carbohydrates by Spodoptera exempta (Lepidoptera; Noctuidae). Biota 6;3: 99-104. Arifin M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume nuclear polyhidrosis virus terhadap kematian ulatgrayak kedelai (Spodoptera litura). J Penelitian Pertanian 8;1. Arifin M, Nuzullianti D. 1999. Effectivity of nuclear-polyhedrosis virus (NPV) bioinsecticide on various feeding stimulant concentrations to soybean cutworm (Spodoptera litura (F.). Seminar Nasional Pertanian Organik, Palembang (Indonesia), 30 Oct 1999.
Arifin M. 2006. Kompatibilitas SlNPV dengan HaNPV dalam pengendalian ulatgrayak dan ulat pemakan polong kedelai. Pengaruh konsentrasi dan volume nuclear polyhidrosis virus terhadap kematian ulatgrayak kedelai (Spolian doptera litura). J Penelitian Pertanian 8;1. Armenta R, Mertinez AM, Chapman JW, Magallanes R, Goulson D, Caballero P, Cave RD, Cisneros J, Valle J, Castillejos V, Penagos DI, Garcia LF, William T. 2003. Impact of a nucleopolyhedrovirus bioinsecticide and selected synthetic insecticides on the abundance of insect natural enemies on maize in Southern Mexico. J Econ Entomol 96;3: 649-661. Azidah AA, Sofian-Azirun M. 2006. Fecundity study of Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) on various host plants. J Entomol 3;3: 261-266. Bonning BC, Hammock BD. 1996. Development of recombinant baculoviruses for insect control. Annu Rev Entomol 41: 191-210. Castillejos V, Trujillo J, Ortega LD, Santizo JA, Cisneros J, Penagos DI, Valle J, Williams T. 2002. Granular phagostimulant nucleopolyhedrovirus formulations for control of Spodoptera frugiperda in maize. Biol Contr 24: 300-310. Chaudhari S. 1992. Formulation of nuclear polyhedrosis virus of Spodoptera litura with boric acid. Ind J Entomol 54: 202-206. Chapman RF. 1998. The Insects: Structure and Function. 4th Edition. Cambridge University Press. UK. 770 pp. Cisneros J, Perez JA, Penagos DI, Ruiz J, Goulson D, Caballero P, Cave RD, Williams T. 2002. Formulation of a nucleopolyhedrovirus with boric acid for control of Spodoptera frugiperda (Lepidoptera: Noctuidae) in maize. Biol Cont 23: 87-95. Da Silva-Cruz A, da Silva-Zacarin ECM, Bueno OC, Malaspina O. 2010. Morphological alterations induced by boric acid and fipronil in the midgut of worker honeybee (Apis mellifera L.) larvae. http://bee-life.eu/en/doc/32/. [akses Januari 2011]. Dodin K, Arifin M dan Harnoto. 2001. Kompatibiltas SlNPV dengan ekstrak biji mimba untuk mengendalikan ulatgrayak pada kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. 343-347. Dushoff J, Greg D. 2001. Evaluating the risks of engineered viruses: modeling pathogen competition. Ecol Appl 11;6: 1602 – 1609.
Eisler R. 1990. Boron hazards to fish, wildlife and invertebrates: a synoptic review. US Fish Wildl. Serv. Biol Rep 85 (1.20). Farrar RR Jr, Ridgway RL. 2000. Host plant effects on the activity of selected nuclear polyhedrosis viruses against the corn earworm and beet armyworm (Lepidoptera: Noctuidae). Environ Entomol 29;1: 108-115. Farrar RR Jr, Shapiro M, Shepard BM. 2005. Enhanced activity of the nucleopolyhedrovirus of the fall armyworm (Lepidoptera: Noctuidae) on Bttransgenic and nontransgenic sweet corn with a fluorescent brightener and a feeding stimulant. Environ Entomol 34;4: 825-832. Genc H. 2006. General principles of insect nutritional ecology. Trakya Univ J Sci 7;1: 53-57. Gentz MC, Grace JK. 2006. A review of boron toxicity in insects with an emphasis on termites. J Agric Urban Entomol 23;4: 201-207. Goulson D, Hail RS, Williams T, Hirst ML, Vasconcelos SD, Green BM, Carty TM, Cory JS. 1995. Transmission dynamics of a virus in a stage-structured insect population. Ecol 76;2: 392-401. Guo HF, Fang JC, Liu BS, Wang JP, Zhong WF, Wan FH. 2007. Enhancement of the biological activity of nucleopolyhedrovirus through disruption of the peritrophic matrix of insect larvae by chlorfluazuron. Pest Manag Sci 63: 6874. Hodgson DJ, Vanbergen AJ, Watt AD, Hails RS, Cory JS. 2001. Phenotypic variation between naturally co-existing genotypes of a lepidopteran baculovirus. Evolut Ecol Research 3:687-701. Hunter-Fujita FR, Entwistle RF, Evans HF, Crook NE. 1998. Insect Viruses and Pest Management. John Wiley & Sons, Inc., 605 Third Avenue, New York, USA. 620 p. Idris AB, Emelia O. 2001. Development and feeding behaviour of Spodoptera exigua L. (Lepidoptera: Noctuidae) on different food plants. J Biol Sci 1;12: 11611164. Jinn TR, Kao SS, Liu CI, Tseng HY, Wu TY. 2004. Boric acid as a synergist of Spodoptera exigua and Anagrapha californica nuclear polyhedrosis virus. Formosan Entomol 24: 173-184.
Kilani-Morakchi S, Aribi N, Soltani N. 2009. Activity of boric acid on German cockroaches: analysis of residues and effects on reproduction. African J Biotech 8;4: 703-708. Lacey LA, Frutos R, Kaya HK, Vail P. 2001. Insect pathogens as biological control agents: do they have a future?. Biol Cont 21: 230-248. Lasa R, Williams T, Caballero P. 2009. The attractiveness of phagostimulant formulations of a nucleopolyhedrovirus-based insecticide depends on prior insect diet. J Pest Sci 82: 247-250. Matsuda K, Kaneko M, Kusaka K, Shishido T, Tamaki Y. 1998. Soyasaponins as feeding stimulants to the oriental clouded yellow larva, Coliaserate poliographus (Lepidoptera: Pieridae). Appl Entomol Zool 33;2: 255-258. Mcfarlane JE. 1985. Nutrition and digestive organs. In. Blum MS. Fundamentals of Insect Physiology Edited. John Wiley & Sons, Inc. 598 p. Meade T, Hare JD. 1993. Effects of differential host plant consumption by Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) on Bacillus thuringiensis efficacy. Environ Entomol 22;2: 432-437. Mehrvar A, Rabindra RJ, Veenakumari K, Narabenchi GB. 2008. Evaluation of adjuvants for increased of HearNPV against Helicoverpa armigera (Hubner) using suntest machine. J Biol Sci 1-8. Morales L, Moscardi F, Sosa-Gomez DR, Paro FE, Soldorio IL. 1997. Enhanced activity of Anticarsia gemmatalis Hub. (Lepidoptera: Noctuidae) nuclear polyhedrosis virus by boric acid in the laboratory. An. Soc. Entomol. Brasil 26:1; 115-120. Samsudin. 2001. Keefektifan kombinasi Anagrapha falcifera NPV (AfNPV) dengan Spodoptera litura NPV (SlNPV) untuk mengendalikan ulatgrayak pada kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. 348-351. See AS, Salleh AB, Bakar FA, Yusof NA, Abdulamir AS, Heng LY. 2010. Risk and health effect of boric acid. American J Appl Sci 7;5: 620-627. Shapiro M, Bell RA. 1982. Enhanced effectiveness of Lymantria dispar (Lepidoptera; Lymantriidae) nuclear polyhedrosis virus formulated with boric acid. Ann Entomol Soc Am 75: 346-349.
Shapiro M, Shepard BM. 2006. The gypsy moth (Lepidoptera: Lymantriidae) nucleopolyhedrovirus as a synergist for baculoviruses against beet armyworm, fall armyworm and corn earworm (Lepidoptera: Noctuidae). J Agric Urban Entomol 23;4: 243-251. Suhas Y, Gopali JB, Patil BV, Lingappa S. 2009. Effect of different adjuvants in enhancing the efficacy of HaNPV against Helicoperva armigera (Hubner) in pigeonpea. Karnataka J Agric Sci 22;3: 502-503. Sutherland ORW. 1977. Plant chemicals influencing insect behaviour. The New Zealand Entomol 6;3: 222-228. Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. Academic Press. San Diego. California. p. 78-98. Trang TTK, Chaudhari S. 2002. Bioassay of nuclear polyhedrosis virus (npv) and in combination with insecticide on Spodoptera litura (Fab). Omonrice 10: 45-53. Treacy MF. 1999. Recombinant baculoviruses. In Hall FR & Julius JM. 1999. Biopesticides Use and Delivery. Humana Press. Totowa, New Jersey. 321 – 340. Vasconcelos SD, Cory JS, Speight MR, Williams T. 2002. Host range structure and baculovirus transmission in Mamestra brassicae L. (Lepidoptera: Noctuidae) larvae: a laboratory examination of small scale epizootics. Neotrop Entomol 31; 3:391-396. Young SY. 1989. Problems associated with the production and use of viral pesticides. Mem Inst Oswaldo Cruz 84; III: 67-73.
BAB V KEEFEKTIFAN BAHAN PELINDUNG ALAMI DALAM MEMPERTAHANKAN VIRULENSI Spodoptera exigua NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (SeNPV) The Effectiveness of Natural Protectant to Maintain the Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus (SeNPV) Infectivity Abstrak Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) merupakan patogen ulatgrayak bawang (UGB) yang sangat potensial untuk dijadikan bioinsektisida. Salah satu kelemahan dari SeNPV dalam mengendalikan UGB di lapangan adalah mudah terdegradasi oleh paparan ultraviolet (UV). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penyinaran sinar matahari terhadap virulensi SeNPV dan mendapatkan bahan pelindung alami terhadap UV matahari yang mampu mempertahankan virulensi SeNPV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama penyinaran sinar matahari mempengaruhi virulensi SeNPV. Penambahan 1 % arang tempurung kelapa, jelaga, arang sekam, tepung bengkuang, molase, filtrat bengkuang, filtrat kunyit dan filtrat teh hijau mampu melindungi partikel SeNPV dari paparan sinar UV matahari. Filtrat bengkuang direkomendasikan menjadi pelindung alami SeNPV, sebab penambahan 5% atau lebih mampu mempertahankan virulensi SeNPV dengan baik.
Kata Kunci : Spodoptera exigua, S. exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV), UV protektan, virulensi
Abstract
Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) is an entomophathogenic virus of onion caterpillar. One of the major constraint to the use of Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) for biocontrol of onion caterpillar is its sensitivity to ultraviolet (UV) degradation. The purposes of this research were to determine the effect of sunlight exposure on the virulence of SeNPV and to find out the effective natural UV protectant to maintain the SeNPV virulence. The results showed that the sunlight radiation affects the SeNPV infectivity. Addition of 1% of coconut shell charcoal, lampblack, husk charcoal, yam flour, molasses, yam filtrate, turmeric filtrate and green tea filtrate to the SeNPV suspension were found to be effective as UV protectant. All materials tested are considered potential as natural UV protectant in the formulation of SeNPV-based biopesticides. Yam bean filtrate is recommended as natural UV protectant, as it provided nearly 100% UV protection for SeNPV.
Keywords: Spodoptera exigua, S. exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV), UV protectant, infectivity
Pendahuluan
Nucleopolyhedrovirus (NPV) telah lama digunakan sebagai agens hayati untuk mengendalikan berbagai jenis hama tanaman (Federici dalam Hall & Julius 1999; Monobrullah 2003; Goulson et al. 2003; Martinez et al. 2004; Mondragon et al. 2007). Virus yang tergolong Baculovirus ini memiliki beberapa keunggulan, yaitu spesifik inang, ramah lingkungan, efektif untuk mengendalikan hama yang sudah resisten terhadap pestisida, persisten pada tanaman dan tanah serta dapat dipadukan dengan teknologi pengendalian yang lainnya (Young 1989; Adams & Bonami 1991; Lacey et al. 2001; Barrett et al. dalam Koul & Dhaliwal 2002; Takatsuka & Kunimi 2002; Armenta et al. 2003). Akan tetapi di samping beberapa keunggulan tersebut, Baculovirus juga memiliki beberapa kelemahan. Salah satu kelemahan utama yang berpengaruh dalam upaya pengembangan virus ini menjadi bioinsektisida adalah mudah terdegradasi oleh sinar ultraviolet (UV) dari matahari (Greigo et al. 1985;
Mishra 1998; Koul & Dhaliwal 2002; McIntosh et al. 2004; Mondragon et al. 2007; Mehrvar et al. 2008). Penelitian untuk mempertahankan persistensi virus patogen serangga terhadap paparan sinar ultraviolet (UV) telah dilakukan, antara lain: penambahan pencerah flourescen pada Spodoptera frugiperda nucleopolyhedrovirus (SfNPV) (Hamm et al. 1994; Martinez et al. 2003; Mondragon et al. 2007), Lymantria dispar NPV (LdNPV) (Dougherty et al. 1996), S. exigua NPV (SeNPV) (Kao et al. 1991; Murillo et al. 2003; Lasa et al. 2007), penambahan Titanium dioksida (TiO2) pada Helicoverpa zea nucleopolyhedrovirus (HzNPV) ( Farrar et al. 2004), penambahan oksida besi (iron oxide) pada Homona magnanima granulovirus (HomaGV) (Asano 2005), penambahan Congo red dan Tinopal LPW pada L. dispar NPV (LdMNPV) (Shapiro & Shepard 2008), penambahan adjuvan pada H. armigera NPV (HaNPV) (Mehrvar et al. 2008), penambahan ekstrak teh hijau pada S. exigua NPV (SeNPV) (Shapiro et al. 2008) dan penambahan ekstrak teh hitam, lignin, kopi dan coklat pada SeNPV (El Salamouny et al. 2009a, 2009b). Di antara bahan-bahan yang telah diketahui efektif dapat melindungi partikel virus dari paparan sinar UV, pencerah optik merupakan bahan yang paling intensif diteliti dan telah digunakan dalam formulasi bioinsektisida NPV. Monobrullah (2003) melaporkan bahwa penggunaan pencerah optik tidak hanya dapat melindungi partikel virus dari paparan sinar UV matahari sehingga dapat mencegah terjadinya inaktifasi, tetapi juga dapat meningkatkan mortalitas larva (menurunkan nilai LC50) dan dapat mempercepat kematian larva (menurunkan nilai LT50). Hasil penelitian laboratorium oleh Martinez et al. (2000) menunjukkan bahwa
Tinopal LPW (1%) dapat
menurunkan nilai LC50 dari S. frugiperda NPV terhadap larva instar 2 dari 82,1 POB/mm2 menjadi 0,71 POBs/mm2. Sementara itu Shapiro (2000) menyatakan bahwa penambahan Tinopal LPW (1%) dapat mengurangi 130 kali lipat LC50 dari SeMNPV pada S. exigua dan AcMNPV pada Autographa californica, bahkan dapat menurunkan sampai 300 kali lipat LC50 dari AfMNPV pada Anagrapha fakcifera. Demikian juga Lasa et al. (2007) melaporkan bahwa penggunaan leucophor AP 0.1%
dan 1% dapat secara signifikan meningkatkan prevalensi larva S. exigua yang terinfeksi SeMNPV dengan nilai potensi relatif berturut-turut 25,02 dan 5.731. Penggunaan UV protektan kimia sintetik ini meskipun telah terbukti dapat mempertahankan virulensi virus patogen serangga, akan tetapi diketahui ada indikasi berdampak negatif terhadap serangga berguna, pertumbuhan tanaman dan menjadi cemaran lingkungan (Goulson et al. 2000; Goulson et al. 2003). Tinopal CBS (0,1% dan 1%) dapat menurunkan populasi polinator dan lebah penyerbuk (Goulson et al. 2000), dan Tinopal CBS 5% dapat menurunkan pertumbuhan tanaman jagung hingga 25%, bahkan Tinopal CBS 1% dapat menurunkan pertumbuhan tanaman barley antara 30-40% (Goulson et al. 2003). Di samping itu menurut Martinez et al. (2000) penggunaan Tinopal LPW 1% akan menambah biaya pengendalian hama yang signifikan dibandingkan dengan penggunaan insektisida kimia. Oleh karena pengaruh radiasi UV dari sinar matahari ini sangat besar terhadap penurunan keefektifan SeNPV di lapangan, sementara bahan-bahan protektan kimiawi berpotensi menimbulkan dampak negatif, maka perlu dicari bahan protektan alami yang lebih ramah lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh lama penyinaran sinar matahari terhadap virulensi S. exigua NPV (SeNPV) dan mendapatkan bahan-bahan pelindung (UV protectant) alami yang efektif mampu mempertahankan virulensi SeNPV.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan mulai bulan April 2010 sampai Maret 2011 di Laboratorium Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Bogor.
Pengaruh Lama Penyinaran Sinar Matahari Terhadap Virulensi SeNPV
Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan pakan buatan pada wadah plastik. Perlakuan yang diujikan adalah penyinaran sinar matahari selama 15, 30, 60, 90 dan 120 menit. Dalam penelitian ini dibuat 2 jenis kontrol, yaitu kontrol positif berupa perlakuan SeNPV tanpa penjemuran dan kontrol negatif (pengoreksi) yaitu tanpa perlakuan SeNPV dan tanpa penjemuran. Perlakuan menggunakan metode kontaminasi pakan (Hunter-Fujita et al. 1998). Suspensi dengan konsentrasi 1,13 x 108 POB/ml diteteskan dengan menggunakan pipet kecil pada permukaan pakan buatan, kemudian dijemur di bawah sinar matahari langsung yang dimulai sejak pukul 10.00 pagi (rata-rata intensitas sinar UV di atas 2.000 μW/cm2) dengan lama penyinaran sesuai perlakuan. Setelah diberi perlakuan dimasukan ke dalam masing-masing wadah tersebut 1 ekor larva S. exigua instar 3 hasil perbanyakan di laboratorium. Masing-masing perlakuan menggunakan 30 ekor larva dan diulang sebanyak 3 kali. Variabel yang diamati adalah kematian serangga uji yang terinfeksi virus sampai semua serangga uji pada kontrol negatif menjadi pupa. Persentase mortalitas dihitung berdasarkan rumus Abbott (1925), yaitu : Pt = Po – Pk x 100% 100 – Pk Dimana Pt Po Pk
: Persentase kematian larva terkoreksi : Persentase kematian larva yang diamati : Persentase kematian larva pada kontrol.
Untuk menilai pengaruh lama penyinaran terhadap virulensi SeNPV digunakan rumus persentase aktivitas tersisa dari asalnya (percent original activity remaining/ OAR) (Kao et al. 1991; Mehrvar et al. 2009) dengan rumus: OAR (%) = % Mortalitas inang setelah penyinaran x 100 % Mortalitas inang tanpa penyinaran
Pengujian Bahan Pelindung Alami Berbentuk Tepung
Bahan pelindung terhadap UV alami berbentuk tepung yang digunakan adalah 1) arang sekam, 2) arang tempurung kelapa, 3) jelaga, 4) talk dan 5) aci bengkuang (Pachyrrhizus erosus); kontrol yang digunakan adalah 1) hanya SeNPV dengan penjemuran (kontrol negatif), 2) hanya SeNPV tanpa penjemuran (kontrol positif) dan 3) Aquades (kontrol pengoreksi). Masing-masing 1 gram bahan pelindung alami berbentuk tepung yang diuji dibuat suspensi dalam 10 ml aquades dengan cara pengadukan (w/v). Kemudian suspensi tersebut diambil sebanyak 1 ml dan ditambahkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi dengan masing-masing 9 ml suspensi virus dengan konsentrasi 1.13 x 108 POB/ml, sehingga konsentrasi bahan dalam suspensi menjadi 1%. Campuran tersebut diaduk dengan baik sehingga semua bahan dipastikan bercampur secara merata. Suspensi kemudian diteteskan dengan menggunakan pipet kecil pada permukaan pakan buatan dalam wadah.
Kemudian dijemur selama 30 menit di
bawah sinar matahari langsung pada pukul 12.30 – 13.00 ( intensitas UV berkisar antara 3.000 – 4.000 μM/cm2). Setiap perlakuan masing-masing digunakan 30 wadah plastik dan diulang sebanyak 4 kali. Setelah dijemur, kemudian dimasukan pada masing-masing wadah tersebut larva instar 3 secara individual dan ditempatkan pada tempat yang terlindung sinar matahari langsung. Variabel yang diamati adalah 1) mortalitas serangga uji dari waktu perlakuan sampai 6 hari setelah perlakuan (HSP), 2) waktu kematian serangga uji, dan 3) aktifitas makan serangga uji. Persentase mortalitas terkoreksi dihitung berdasarkan rumus Abbott (1925), sedangkan keefektifan bahan-bahan yang diuji dalam melindungi partikel virus dari paparan sinar UV dihitung dengan menggunakan rumus efesiensi relatif (ER) (Mehrvar et al. 2008). Untuk menilai pengaruh penyinaran terhadap virulensi SeNPV digunakan rumus original activity remaining (OAR%) (Kao et al. 1991; Mehrvar et al. 2009).
Pengujian Bahan Pelindung Alami Berbentuk Cair
Bahan pelindung alami cair yang digunakan adalah: (1) molase, (2) filtrat teh hijau, (3) filtrat kunyit dan (4) filtrat bengkuang; kontrol yang digunakan adalah: (1) hanya SeNPV dengan penjemuran (kontrol negatif), (2) hanya SeNPV tanpa penjemuran (kontrol positif) dan (3) Aquades (kontrol pengoreksi). Masing-masing 1 ml molase, air rebusan teh hijau, air perasan kunyit dan air perasan umbi bengkuang diencerkan 10 kali dengan aquades (v/v). Kemudian larutan tersebut diambil sebanyak 1 ml dan ditambahkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi dengan masing-masing 9 ml suspensi virus dengan konsentrasi 1.13 x 108 POB/ml,
sehingga konsentrasi bahan dalam suspensi menjadi 1%. Campuran
tersebut diaduk dengan baik sehingga semua bahan dipastikan bercampur secara merata. Suspensi kemudian diiteteskan dengan menggunakan pipet kecil pada permukaan pakan buatan dalam wadah plastik. Kemudian dijemur selama 30 menit di bawah sinar matahari langsung pada pukul 12.30 – 13.00 (intensitas UV berkisar antara 3.000 – 4.000 μM/cm2). Setiap perlakuan masing-masing digunakan 30 wadah plastik (30 ekor larva instar 3) dan diulang sebanyak 4 kali.
Setelah dijemur,
kemudian dimasukan pada masing-masing wadah tersebut larva instar 3 secara individual dan ditempatkan pada tempat yang terlindung sinar matahari langsung. Variabel yang diamati adalah; (1) mortalitas serangga uji dari waktu perlakuan sampai 6 hari setelah perlakuan (HSP), (2) waktu kematian serangga uji, dan (3) aktifitas makan serangga uji. Persentase mortalitas terkoreksi dihitung berdasarkan rumus Abbott (1925) dan keefektifan bahan-bahan pelindung dihitung dengan menggunakan rumus efesiensi relative (ER) (Mehrvar et al. 2008). Untuk menilai pengaruh penyinaran terhadap virulensi SeNPV digunakan rumus original activity remaining (OAR%) (Kao et al. 1991; Mehrvar et al. 2009).
Pengaruh Bahan Pelindung terhadap UV terhadap Aktifitas Makan UGB
Penelitian untuk mengetahui pengaruh pelindung terhadap UV alami terhadap aktifitas makan UGB menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan menggunakan pakan buatan pada wadah plastik. Bahan yang digunakan adalah 1) arang sekam, 2) arang tempurung kelapa, 3) jelaga, 4) talk dan 5) aci bengkuang, 6) molase, 7) filtrat teh hijau, 8) filtrat kunyit dan 9) filtrat bengkuang, 10) hanya SeNPV, dan 11) Aquades. Masing-masing 9 ml suspensi SeNPV dengan konsentrasi 1.13 x 108 POB/ml ditambah dengan masing-masing 1 ml larutan atau suspensi bahan yang akan diujikan sehingga konsentrasi bahan dalam larutan menjadi 1%. Pengujian dilakukan dengan metode kontaminasi pakan (Hunter-Fujita et al. 1998). Setiap perlakuan menggunakan 30 larva instar 3 dan diulang 3 kali. Variabel yang diamati adalah jumlah UGB yang aktif makan.
Penentuan Konsentrasi Filtrat Bengkuang sebagai Pelindung Alami SeNPV
Perlakuan untuk menentukan konsentrasi filtrat bengkuang yang efesien melindungi SeNPV dari paparan sinar ultraviolet matahati menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan metode kontaminasi pakan (Hunter-Fujita et al. 1998). Konsentrasi filtrat bengkuang yang digunakan adalah: 1%, 5%, 10%, 15% dan 20% dari larutan total yang berisi polihedra SeNPV hasil pemurnian. Kontrol yang digunakan adalah: (1) hanya SeNPV dengan penjemuran (kontrol negatif), (2) hanya SeNPV tanpa penjemuran (kontrol positif) dan (3) Aquades (pengoreksi). Masing-masing 10 ml suspensi virus dengan konsentrasi 1.13 x 108 POB/ml ditambah dengan masing-masing 0, 0.1, 0.5, 1, 1,5 dan 2 ml filtrat bengkuang sehingga konsentrasi bahan dalam suspensi menjadi 1%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Campuran tersebut diaduk dengan baik sehingga semua bahan dipastikan bercampur secara merata. Suspensi kemudian diteteskan dengan menggunakan pipet kecil pada permukaan pakan buatan dalam wadah plastik. Kemudian dijemur selama 30 menit di bawah sinar matahari langsung pada pukul 11.30 – 12.00 (intensitas UV berkisar
antara 2.000 – 3.000 μM/cm2). Setiap perlakuan masing-masing digunakan 30 wadah plastik dan diulang sebanyak 3 kali. Setelah dijemur, kemudian dimasukan pada masing-masing wadah tersebut larva UGB instar 3 secara individual dan ditempatkan pada tempat yang terlindung sinar matahari langsung. Variabel yang diamati adalah mortalitas serangga uji dari waktu perlakuan sampai 6 hari setelah perlakuan (HSP) dan waktu kematian serangga uji. Persentase mortalitas terkoreksi dihitung berdasarkan rumus Abbott (1925) dan keefektifan filtrat bengkuang dalam melindungi partikel virus dari paparan sinar UV dihitung dengan menggunakan rumus efesiensi relative (ER) (Mehrvar et al. 2008). Untuk menilai pengaruh penyinaran terhadap virulensi SeNPV digunakan rumus original activity remaining (OAR%) (Kao et al. 1991; Mehrvar et al. 2009).
Analisis Data
Semua data yang diperoleh dianalisis menggunakan program SAS. Apabila terdapat perbedaan diantara perlakuan maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata α = 0,05.
Hasil dan Pembahasan
Pengaruh Lama Penyinaran Sinar Matahari Terhadap Virulensi SeNPV
Hasil pengukuran terhadap intensitas sinar ultraviolet (UV) menggunakan pengukur UV 290 – 390 nm (UV 340 Lutron) saat udara cerah dan cahaya matahari terik di Bogor pada 10 hari selama bulan Februari 2011, diperoleh data seperti pada Gambar 5.1. Mulai pukul 09.00 sampai dengan pukul 14.00 intensitas cahaya UV dari sinar matahari dinilai tinggi, karena rata-rata lebih besar dari 2000 μW/cm2, dan tertinggi terjadi antara pukul 11.00 sampai 12.00. Hunter-Fujita et al. (1998) menyatakan bahwa sebagian besar sinar UV mengenai permukaan bumi antara pukul 09.00 – 15.00 waktu lokal.
Intensitas sinar UV (μW/cm2 )
5000 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 08.00 08.15 08.30 08.45 09.00 09.15 09.30 09.45 10.00 10.15 10.30 10.45 11.00 11.15 11.30 11.45 12.00 12.15 12.30 12.45 13.00 13.15 13.30 13.45 14.00
0
Waktu (WIB)
Gambar 5.1. Rata-rata intensitas sinar UV dari sinar matahari saat udara cerah di Bogor Semakin lama waktu penjemuran, semakin sedikit persentase UGB yang mati terinfeksi virus (Gambar 5.2). Rata-rata persentase mortalitas UGB yang terinfeksi SeNPV setelah penjemuran selama 15 sampai 120 menit berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 5.1). Akan tetapi pengaruh antar perlakuan penjemuran selama 15, 30 dan 60 menit, yang ditunjukkan dengan persentase mortalitas berturut-turut 46.49%, 42.49% dan 38.33%, ketiganya tidak berbeda nyata. Penurunan virulensi SeNPV akibat
paparan sinar matahari diukur dengan nilai aktifitas sisa dari aktifitas aslinya atau original activity remaining (OAR). Dengan kata lain penurunan aktifitas SeNPV adalah nilai OAR kontrol dikurangi nilai OAR perlakuan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa penjemuran selama 15, 30, 60, 90 dan 120 menit dapat menurunkan aktifitas SeNPV berturut-turut sebesar 21,85%, 28,58%, 35,57%, 50,97% dan 77,98%.
Mortalitas UGB instar 3 (%)
70 Tanpa penjemuran 60 50
15 menit 30 menit 60 menit
40 30
90 menit 120 menit
20 10 0 1
2
3
4
5
6
Hari setelah inokulasi
Gambar 5.2. Pengaruh lama penjemuran terhadap virulensi SeNPV Sinar matahari terdiri dari UV-C (200-280 nm), UV-B (280-320 nm) UV-A (320-390 nm), sinar tampak (390-780 nm) dan infra merah (lebih dari 780 nm) (Hunter-Fujita et al. 1998; Asmaa et al. 2009). Terjadinya penurunan aktifitas SeNPV setelah penjemuran langsung di bawah sinar matahari disebabkan oleh radiasi sinar ultraviolet (UV) (Young 2000), terutama UV-B (280-320 nm) dan UV-A (320-400 nm) (Griego et al. 1985; Martignoni & Iwai 1985). Menurut Hunter-Fujita et al. (1998) radiasi sinar UV dari sinar matahari dapat menginduksi perubahan molekuler pada DNA yang berakibat pada penghambatan sintesis DNA normal dan terjadinya mutasi. Tingkat penurunan virulensi SeNPV dipengaruhi oleh berapa lama partikel virus terpapar sinar matahari dan berapa banyak intensitas sinar UV mengenai partikel tersebut. Hasil penelitian Mehrvar et al. (2008) yang menguji pengaruh waktu dan konsentrasi intensitas sinar matahari terhadap aktifitas Helicoverpa armigera NPV (HaNPV) menunjukkan bahwa semakin lama penyinaran dan semakin tinggi konsentrasi intensitas sinar matahari yang digunakan, maka semakin cepat HaNPV menjadi tidak aktif. Hasil penelitian Trizelia (2005) menunjukkan bahwa penyinaran sinar UV selama 15 menit menurunkan daya kecambah konidia Beauveria bassiana secara nyata dan waktu penyinaran 45 menit menyebabkan daya kecambah semua isolat B. bassiana hilang.
Tabel 5.1. Pengaruh waktu penjemuran terhadap virulensi SeNPV Penjemuran (menit)
Mortalitas (%) a,b
OAR (%)c
0 15 30 60 90 120
59,49 + 6,54 a 46,49 + 7,86 b 42,49 + 6,62 b 38,33 + 1,44 bc 29,17 + 7,22 cd 16,67 + 6,45 d
100 78,15 71,42 64,43 49,03 28,02
a
Mortalitas terkoreksi pada pengamatan hari ke-6 setelah perlakuan Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05). c Persentasi Original activity remaining b
Keefektifan Bahan Pelindung Alami terhadap UV Berbentuk Tepung
Sampai pengamatan hari ke-4 setelah perlakuan (HSP), pengaruh bahan pelindung alami terhadap UV berbentuk tepung yang diuji yaitu: arang sekam, arang tempurung kelapa, jelaga, talk dan tepung bengkuang tidak berbeda nyata dengan perlakuan SeNPV dijemur (kontrol negatif). Akan tetapi hasil akhir dari penelitian ini menunjukkan bahwa 4 jenis dari bahan pelindung alami terhadap UV berbentuk tepung yang diuji dapat melindungi sebagian partikel SeNPV dari paparan UV matahari (Tabel 5.2). Pada pengamatan hari ke-5 dan ke-6 setelah perlakuan terlihat bahwa arang sekam dan jelaga efektif melindungi partikel virus dari paparan sinar UV, dengan rata-rata mortalitas, masing-masing: arang sekam (48,55% dan 55,92%) dan jelaga (47,37% dan 56,48%) yang secara statistik berbeda nyata dengan kontrol negatif (34,63% dan 38,47%). Arang tempurung dan aci bengkuang juga memiliki potensi sebagai pelindung alami terhadap UV dengan persentase mortalitas larva S. exigua masing-masing sebesar 57,47 % dan 49,65% yang berbeda nyata dengan kontrol negatif yaitu 38,47%. Sedangkan talk tidak dapat melindungi partikel virus dari paparan sinar UV, karena selama pengamatan pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif.
Tabel 5.2. Rata-rata persentase mortalitas S. exigua terkoreksi setelah perlakuan pelindung terhadap UV berbentuk tepung Perlakuan 3
Mortalitas kumulatif (%)a Hari setelah inokulasi 4 5
6
Arang sekam
5,46 + 5,73 b
18,28 + 10,85 b
48,55 + 6,43 b
55,92 + 6,15 b
Arang tempurung
15,88 + 2,41 a
18,76 + 2,77 b
35,44 + 8,48 c
57,47 + 8,68 b
Jelaga
9,14 + 3,25 ab
18,27 + 8,58 b
47,37 + 7,19 b
56,48 + 6,81 b
10,58 + 0,19 ab
10,58 + 7,10 b
33,94 + 5,15 c
44,69 + 5,74 cd
7,53 + 6,49 b
9,20 + 4,85 b
32,73 + 2,86 c
49,65 + 2,79 bc
Kontrol negative
11,51 + 5,41 ab
16,04 + 4,54 b
34,63 + 9,74 c
38,47 + 5,19 d
Kontrol positif
10,14 + 3,99 ab
38,46 + 7,92 a
65,73 + 7,92 a
71,13 + 6,68 a
Talk Tepung bengkuang
a
Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05).
Dari nilai original activity remaining (OAR) pada Tabel 5.3 terlihat bahwa perlakuan penjemuran selama 30 menit dapat menurunkan virulensi SeNPV hampir separuhnya. Perlakuan bahan-bahan pelindung alami terhadap UV ternyata dapat menghambat penurunan kinerja SeNPV. Efesiensi relatif (ER) dari bahan-bahan tersebut ditunjukkan pada Tabel 5.3: arang tempurung, jelaga, arang sekam dan tepung bengkuang nilai efesiensinya berturut-turut 1,49, 1,47, 1,45 dan 1,29 yang berbeda nyata dengan kontrol negatif. Hanya satu bahan yang memiliki nilai ER tidak berbeda nyata dengan kontrol negatif, yaitu talk. Di antara 5 jenis bahan yang diuji, jelaga lampu (1%) telah diteliti sebelumnya oleh Mehrvar et al. (2008). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa jelaga lampu (1%) memiliki nilai ER sebesar 1.6 yang hampir sama dengan hasil penelitian ini yaitu 1.47. Arang tempurung, jelaga dan arang sekam merupakan bahan karbon aktif yang dapat menyerap sinar UV. Menurut Hunter-Fujita et al. (1998) beberapa material berwarna hitam seperti karbon aktif dapat menyerap cahaya (absorbant) mulai dari inframerah sampai UV. Hasil penelitian Ignoffo et al. (1991) diketahui bahwa karbon aktif merupakan bahan yang dapat memberikan perlindungan paling baik terhadap HzSNPV dari paparan sinar UV. Semua bahan UV protektan alami
berbentuk tepung yang diuji terbukti mampu melindungi partikel SeNPV dari paparan sinar UV.
Tabel 5.3. Nilai OAR dan ER bahan pelindung terhadap UV berbentuk tepung Perlakuan Kontrol negatif Talk Tepung bengkuang Arang sekam Jelaga Arang tempurung Kontrol positif a
OAR (%) 54,08 62,83 69,80 78,62 79,40 80,79 100,00
Efesiensi Relatif (ER)a 1,00 1,16 1,29 1,45 1,47 1,49 1,85
d cd bc b b b a
Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05).
Keefektifan Bahan Pelindung Berbentuk Cair
Semua bahan pelindung alami berbentuk cair yang diuji berpotensi sebagai pelindung terhadap UV (Tabel 5.4). Rata-rata mortalitas UGB pada perlakuan semua bahan yang diuji berbeda nyata dengan kontrol negatif pada hari ke-5 dan ke-6 setelah perlakuan. Bahkan rata-rata mortalitas serangga uji pada hari ke-5 dan ke-6 untuk perlakuan filtrat bengkuang (52,27 % dan 57,85 %) dan molase (51,44% dan 57,91%), keduanya tidak berbeda nyata secara statistik dengan kontrol positif yaitu (60,55% dan 67,13%). Sementara itu mortalitas serangga uji setelah perlakuan filtrat kunyit pada pengamatan hari ke-5 dan ke-6 adalah 43,65% dan 49,64% serta filtrat teh hijau sebesar 38,44% dan 41,44%, berbeda nyata dengan kontrol negatif yaitu 26,54 % dan 29,42%. Dari nilai OAR terlihat bahwa, penjemuran selama 30 menit pada penelitian ini menurunkan virulensi SeNPV lebih dari separuhnya. Akan tetapi bahan-bahan yang diuji ternyata mampu melindungi partikel virus terhadap paparan sinar UV matahari dan mempertahankan virulensinya. Berdasarkan nilai ER seperti terlihat
pada Tabel 5.5 dapat diketahui bahwa molase, filtrat bengkuang, filtrat kunyit dan filtrat teh hijau secara efesien dapat melindungi partikel SeNPV dari paparan sinar UV matahari. Hal itu terlihat dari nilai ER yang berbeda nyata dengan kontrol negatif. Tabel 5.4. Rata-rata persentase mortalitas S. exigua setelah perlakuan pelindung terhadap UV berbentuk cair Perlakuan 3
Mortalitas kumulatif (%)a Hari setelah inokulasi 4 5
6 57,91 + 10,45 ab
Molase
6,67 + 4,71 a
24,17 + 14,24 a 51,44 + 7,16 ab
Filtrat teh hijau
3,33 + 0,00 a
15,83 + 1,67 a
38,44 + 8,59 bc
41,44 + 10,08 c
Filtrat kunyit
9,17 + 7,39 a
23,33 + 9,43 a
43,65 + 7,35 b
49,64 + 5,77 bc
Filtrat bengkuang
8,33 + 7,93 a
27,50 + 15,00 a 52,27 + 8,48 ab
57,85 + 4,82 ab
Kontrol negatif
2,50 + 3,19 a
16,67 + 11,86 a
26,54 + 9,70 c
29,42 + 7,57 d
Kontrol positif
10,83 + 7,39 a
36,67 + 23,73 a
60,55 + 7,89 a
67,13 + 6,66 a
a
Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05).
Tabel 5.5. Efisiensi bahan-bahan pelindung terhadap UV berbentuk cair Perlakuan Kontrol negatif Filtrat teh hijau Filtrat kunyit Filtrat bengkuang Molase Kontrol positif a
OAR (%) 42,83 61,73 73,94 86,18 86,27 100,00
ERa 1,00 d 1,41 c 1,69 bc 1,97 ab 1,97 ab 2,28 a
Nilai pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05).
Hasil penelitian Mehrvar et al. (2008) menunjukkan bahwa molase 5% dan turmeric 2% memiliki nilai ER berturut-turut sebesar 1,8 dan 1.6. Sedangkan Shapiro et al. (2008) melaporkan bahwa filtrat teh hijau Camellia sinensis (1%) yang
ditambahkan pada Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeMNPV) dapat melindungi virus dari paparan sinar UVB selama 30 menit di Laboratorium. Berdasarkan standar Mehrvar et al. (2008), keempat bahan yang diuji terkategori baik untuk dijadikan sebagai UV protektan alami karena memiliki nilai ER sekitar 1.5 atau lebih. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa tanaman bengkuang, baik dalam bentuk tepung umbi maupun filtratnya sangat baik untuk dijadikan bahan pelindung terhadap UV bagi SeNPV. Tarigan et al. (2008) melaporkan bahwa tanaman bengkuang mengandung alkaloid dan saponin. Menurut Vickery & Vickery (1981) saponin memiliki ciri khas yaitu menjadi busa jika bercampur air sehingga dapat berfungsi sebagai bahan penurun tegangan permukaan. Cara kerja bahan dari bengkuang ini diduga mirip dengan deterjen dan pencerah optik yang telah dikaji secara intensif sebagai UV protektan. Menurut Hunter-Fujita et al. (1998) pencerah optik seperti Blancophor BBH, Leucophor BS dan Tinopal bekerja sebagai pemantul cahaya (reflectant). Bahan lain yang potensial untuk dijadikan sebagai UV protektan alami adalah filtrat kunyit yang biasa dijadikan bahan pewarna dan perekat alami. Berdasarkan hasil analisis Tarigan et al. (2008) diketahui bahwa tanaman kunyit mengandung flavonoid disamping alkaloid, triterpenoid dan tanin. Metabolit sekunder yang dominan berperan dalam melindungi partikel virus dari paparan sinar UV adalah flavonoid. Hal tersebut didasarkan pada fungsi flavonoid komplek yang terkandung dalam bahan tanaman yang telah diketahui sebagai bahan ketahanan terhadap ultraviolet B (UV-B, radiasi 280 – 315 nm) (Katagiri et al. 2002) dan mampu menyerap sinar UV (UV absorber) (Martin et al. 2003). Hasil penelitian Kootstra (1994) menunjukkan bahwa flavonoid yang diekstrak dari kulit apel dapat melindungi DNA dari kerusakan yang diinduksi oleh sinar UV. Selain flavonoid, curcumin (C2H2OO6) juga merupakan bagian yang paling penting untuk melakukan aktifitas biologi kunyit (Naz et al. 2010). Dari beberapa hasil penelitian terhadap curcumin diketahui bahwa bahan tersebut dapat melindungi kerusakan sel akibat sinar ultraviolet (Im & Maliakel 2007). Fleisher (2009)
melaporkan bahwa curcumin juga memiliki kemampuan untuk mencegah kerusakan kulit akibat cahaya matahari. Lebih lanjut Araujo et al. (1999) dan Pandey & Katiyar (2010) mengemukakan bahwa curcumin memiliki berbagai fungsi, antara lain: antiinflammatory, antioksidan, anti karsinogenik, anti mutagenik, anti koagulan, anti fertilitas, anti bakteri dan anti fungi. Bahan yang dapat menahan atau menyerap sinar UV dapat mempertahankan persistensi virus setelah diaplikasikan di lapangan. Hal itu sangat penting agar virus yang diaplikasikan pada daun dapat terjaga virulensinya dalam mengendalikan hama inang (Mehrvar et al. 2008).
Pengaruh Bahan Pelindung terhadap UV pada Aktifitas Makan UGB
Hasil penelitian terhadap pengaruh penambahan bahan pelindung alami terhadap UV pada aktifitas makan UGB di laboratorium terlihat dalam Gambar 5.3. Bahan-bahan pelindung terhadap UV yang diujikan ternyata tidak mempengaruhi perilaku makan UGB sama sekali. Hal tersebut ditunjukkan dengan persentase larva UGB aktif makan pada pakan buatan yang telah ditambah dengan 1% bahan yang diuji, semuanya tidak berbeda nyata dengan kontrol pengoreksi (air).
Gambar 5. 3. Pengaruh bahan pelindung alami terhadap aktifitas makan UGB
Penentuan Konsentrasi Filtrat Bengkuang Protektan Alami SeNPV Penambahan filtrat bengkuang secara signifikan dapat mempertahankan virulensi SeNPV. Hal itu terlihat dari persentasi mortalitas UGB terinfeksi SeNPV pada semua perlakuan konsentrasi filtrat bengkuang berbeda nyata dengan kontrol negatif (SeNPV dengan penjemuran). Bahkan akibat penambahan filtrat bengkuang 5% atau lebih, mortalitas UGB tidak berbeda nyata dengan kontrol positif (SeNPV tanpa penjemuran) (Tabel 5.6). Keefektifan filtrat bengkuang dalam mempertahankan virulensi SeNPV dapat dilihat dari nilai original activity remaining (OAR). Penurunan aktifitas SeNPV akibat penjemuran selama 30 menit adalah nilai OAR kontrol positif dikurangi nilai OAR kontrol negatif, yaitu sebesar 42,83%. Penurunan virulensi tersebut semakin kecil dengan semakin besarnya konsentrasi filtrat bengkuang yang ditambahkan, masing-masing menjadi 25,31% pada perlakuan 1%, dan hanya berkurang berturut-
turut 7,07%, 4,09%, 6,6% dan 3,51% pada penambahan 5%, 10%, 15% dan 20%. Nilai efisiensi relatif (ER) perlakuan filtrat bengkuang semuanya > 1, hal ini mengindikasikan bahwa filtrat bengkuang berpotensi sebagai pelindung terhadap UV. Tabel 5.6. juga menunjukkan bahwa penambahan filtrat bengkuang 5% atau lebih mampu mempertahankan virulensi SeNPV secara penuh. Persentase akumulasi mortalitas UGB terinfeksi SeNPV sampai hari ke-5 dan ke-6 pengamatan berkisar antara 70% sampai 80% dan tidak berbeda nyata dengan kontrol positif. Oleh karena itu konsentrasi 5% filtrat bengkuang dinilai sudah cukup untuk digunakan sebagai UV protektan alami SeNPV.
Tabel 5.6. Keefektifan filtrat bengkuang dalam melindungi SeNPV dari paparan UV matahari Mortalitas (%)2,3 hari ke4 5
OAR4 (%)
Perlakuan
Filtrat bengkuang (%)
3
SeNPV dijemur
0
4,64 + 1,96 bc
24,60 + 8,70 ab
43,45 + 6,76 b
45,76 + 8,36 c
57,17
1,00
1
1,11 + 1,92 c
8,66 + 3,29 b
47,41 + 7,13 b
59,78 + 7,15 b
74,69
1,31
5
7,38 + 3,55 abc
32,06 + 16,05 ab
63,94 + 11,24 a
74,38 + 5,33 a
92,93
1,63
1
SeNPV tidak dijemur
6
ER5
10
10,79 + 5,60 ab
31,68 + 13,35 ab
63,57 + 4,68 a
76,77 + 6,23 a
95,91
1,68
15
14,74 + 6,62 a
37,70 + 11,99 a
63,39 + 3,76 a
74,76 + 1,95 a
93,40
1,63
20
12,77 + 1,78 ab
46,34 + 15,92 a
68,62 + 4,68 a
77,23 + 3,43 a
96,49
1,69
0
14,21 + 7,02 a
43,46 + 20,91 a
72,46 + 5,25 a
80,04 + 4,29 a
100
1,75
Keterangan : 1. Konsentrasi SeNPV 1,13 x 109 POB/ml; penjemuran selama 30 menit pada pukul 11.00 – 11.30; intensitas sinar UV antara 2.000 – 3.000 μW/cm2 2. Rataan mortalitas terkoreksi + standar deviasi 3. Rataan pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata (Uji Duncan, α = 0,05) 4. 5.
Aktifitas tersisa (Original activity remaining) Eficiency relative
Kesimpulan
Penyinaran matahari berpengaruh terhadap virulensi SeNPV. Semakin lama waktu penyinaran semakin menurun virulensinya. Penambahan arang tempurung, jelaga, arang sekam, tepung bengkuang, molase, filtrat bengkuang, filtrat kunyit dan filtrat teh hijau masing-masing 1% mampu mempertahankan virulensi SeNPV. Filtrat bengkuang merupakan kandidat pelindung SeNPV terhadap UV matahari yang efektif mempertahankan virulensinya.
Daftar Pustaka Abbott WS. 1925. A method of computing the effectiveness of insecticide. J Econ Entomol 18; 265-267. Adams JR and JR Bonami. 1991. Atlas of Invertebrata Viruses. CRC Press: Boca Raton, Florida. 684 p. Araujo MCP, da Lus Diaz F, Kronka SN, Takahashi CS. 1999. Effects of turmeric and its active principle, curcumin, on bleomycin-induced chromosome aberrations in Chinese hamster ovary cells. Gen Mol Biol 22;3: 407-413. Armenta R, Mertinez AM, Chapman JW, Magallanes R, Goulson D, Caballero P, Cave RD, Cisneros J, Valle J, Castillejos V, Penagos DI, Garcia LF, William T. 2003. Impact of a nucleopolyhedrovirus bioinsecticide and selected synthetic insecticides on the abundance of insect natural enemies on maize in Southern Mexico. J Econ Entomol 96;3: 649-661. Asano S. 2005. Ultraviolet protection of a granulovirus product using iron oxide. Appl Entomol Zool 40;2: 359-364. Asmaa Z, El-Sharkawey, Rageei M, Sabbour MM, Afaf AA, Abdel-Latif H, Muhamed A, Samy R. 2009. Laboratory evaluation of antioxidants as UVprotectants for Bacillus thuringiensis against potato tuber moth larvae. Australian J Basic Appl Sci 3;2: 358-370. Barret JW, Primavera M, Retnakaran A, Arif B, Palli SR. 2002. Aspects of nucleopolyhedrovirus pathogenesis in lepidopteran larvae In Koul O and Dhaliwal GS. Microbial Biopesticides. Taylor & Francis. London and New York. 205- 238.
Dougherty EM, Guthrie KP, Shapiro M. 1996. Optical brighteners provide baculovirus activity enhancement and UV radiation protection. Biocon 7;4: 71-74. El Salamouny S, Shapiro M, Ling K, Shepard BM. 2009a. Black tea and lignin as ultraviolet protectants for the beet armyworm nucleopolyhedrovirus. J Entomol Sci 44;1:50-58. El Salamouny S, Ranwala D, Shapiro M, Shepard BM, Farrar BR. 2009b. Tea, coffee, and cocoa as ultraviolet radiation protectants for the beet armyworm nucleopolyhedrovirus. J Econ Entomol 102;5:1767-1773. Farrar RR Jr, Shapiro M, javaid I. 2004. Photostabilized titanium dioxide and a fluorescent brightener as adjuvants for a nucleopolyhedrovirus. BioControl 48;4: 543-560. Federici BA. 1999. Naturally occurring baculoviruses for insect pest control. In Hall FR, Julius JM. 1998. Biopesticides Use and Delivery. Humana Press. Totowa, New Jersey. Fleisher M. 2009. Nutritional support for ultraviolet protection, aging skin, rosacea and other dermatological concerns. http://cpmedical.net/articles.aspx. [27 Januari 2010] Goulson D, Martinez AM, Huges WHO, Williams T. 2000. Effect of optical brighteners used in biopesticide formulations on the behavior of pollinators. Biol Cont 19;3: 232-236. Goulson D, Derwent LC, Penagos DI, Williams T. 2003. Effect of optical brighteners included in biopesticide formulations on the growth of crops. Agric Ecos Environ 93: 235-240. Griego VM, Martignoni ME, Claycomb AE. 1985. Inactivation of nuclear polyhedrosis virus (baculovirus subgroup A) by monochromatic UV radiation. Appl Environ Microbiol 49;3: 709-710. Hamm JJ, Chandler LD, Sumner HR. 1994. Field tests with fluorescent brightener to enhance infectivity of fall armyworm (Lepidoptera: Noctuidae) nuclear polyhedrosis virus. Florida Entomologist 77;4: 425-434. Hunter-Fujita FR, Entwistle RF, Evans HF, Crook NE. 1998. Insect Viruses and Pest Management. John Wiley & Sons, Inc., 605 Third Avenue, New York, USA. 620 p.
Ignoffo CM, Shasha BS, Shapiro. 1991. Sunlight ultraviolet protection of Heliothis nuclear polyhedrosis virus through starch-encapsulation technology. J Invert Pathol 57: 134-136. Im KK, Maliakel BP. 2007. Curcumin: a natural yellow pigment with great potential. AgroFOOD industry hi-tech Anno 18;5. Kao SS, Hsia WT, Huang LH. 1991. Effectiveness of adjuvants for nuclear polyhedrosis virus against the beet armyworm, Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae). Chinese J Entomol 11;4:330-334. Katagiri Y, Hashidoko Y, Tahara S. 2002. Localization of flavanoids in the yellow lupin seedlings and their UV-B-absorbing potential. Z. Naturforsch 57c: 811816. Kootstra A. 1994. Protection from UV-B-induced DNA damage by flavanoids. Plant Mol Biol 26: 771-774. Koul O, Dhaliwal GS. 2002. Microbial Biopesticides. Taylor & Francis. London and New York. Lacey LA, Frutos R, Kaya HK, Vail P. 2001. Insect pathogens as biological control agents: do they have a future?. Biol Cont 21: 230-248. Lasa R, Ruiz-Portero C, Alcazar MD, Belda JE, Caballero P, William T. 2007. Efficacy of optical brightener formulations of Spodoptera exigua multiple nucleopolyhedrovirus (SeMNPV) as a biological in greenhouse of Southern Spain. Biol Cont 40: 89-96. Martin HD, Beutner S, Frixel S, Bloedorn B, Blanco H, Mayer B, Galvez AP, Ruck C, Schmidt M, Sell S, Hoffmann T, Noack P, Schuelke I, Kiesendahl N, Scherrers R, Sies H, Stahl W, Ernst H, Haremza S, Walsh R. 2003. Modified flavanoids aa strong photoprotecting UV-absorbers and antioxidants. Chemische Vereniging 1: 288-291. Martignoni ME, Iwai PJ. 1985. Laboratory evaluation of new ultraviolet absorbers for protection of Douglas-fir Tussock moth (Lepidoptera: Lymantriidae) baculovirus. J Econ Entomol 78: 982-987. Martinez AM, Goulson D, Chapman JW, Caballero P, Cave RD, Williams T. 2000. Is it feasible to use optical brightener technology with a baculovirus bioinsecticide for resource-poor maize farmers in Mesoamerica? Bio Cont 17: 174-181.
Martinez AM, Simon O, Williams T, Caballero P. 2003. Effect of optical brighteners on the insecticidal activity of a nucleopolyhedrovirus in three instars of Spodoptera frugiperda. Ent Exp App 109: 139-146. Martinez AM, Caballero P, Williams T. 2004. Effect of an optical brightener on the development, body weight and sex ratio of Spodoptera frugiperda (Lepidoptera: Noctuidae). Biocon Sci Tech 14; 2: 193-200. McIntosh AH, Grasela JJ, Lua L, Braunagel SC. 2004. Demonstration of the effects of fluorescent proteins in baculoviruses exposed to ultraviolet light inactivation. J Insect Sci 4:31. 9 pp. Mehrvar A, Rabindra RJ, Veenakumari K, Narabenchi GB. 2008. Evaluation of adjuvants for increased of HearNPV against Helicoverpa armigera (Hubner) using suntest machine. J Biol Sci 1-8. Mehrvar A. 2009. Persistence of different geographical isolates of Helicoverpa armigera nucleopolyhedrovirus in two types of soils under different conditions. J Biol Sci 9;3: 264-267. Mishra S. 1998. Baculoviruses as biopesticides. http://www.ias.ac.in/currsci/ nov251998/articles18.htm. [ Desember 2009] Mondragon G, Pineda S, Martinez A, Martinez AM. 2007. Optical brightener Tinopal C1101 as an ultraviolet protectant for a nucleopolyhedrovirus. Commun Agric Appl Biol Sci 72;3: 543-547. Monobrullah Md. 2003. Optical brighteners-pathogenicity entomopathogenic viruses. Current Sci 84;5 :640 – 645.
enhancers
of
Murillo R, Lasa R, Goulson D, Williams T, Munoz D, Caballero P. 2003. Effect of tinopal LPW on the insecticidal properties and genetic stability of the nucleopolyhedrovirus of Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae). J Econ Entomol 96;6 : 841-846. Naz S, Jabeen S, Ilyas S, Manzoor F, Aslam F, Ali A. 2010 Antibacterial activity of Curcuma longa varieties against different strains of bacteria. Pak J Bot 42;1: 455-462. Pandey A, Katiyar SK. 2010. Determination and comparison of the curcuminoid pigments in tumeric genotipes (Curcuma domestica Val) by high-performance liquid chromatography. Int J Pharm Pharm Sci 2;4: 125-127.
Shapiro M. 2000. Enhancement in activity of homologous and heterologous baculoviruses infectious to beet armyworm (Lepidoptera: Noctuidae) by an optical brightener. J Econ Entomol 93;3: 572-576. Shapiro M, Salamouny SE, Shepard BM. 2008. Green tea extracts as ultraviolet protectants for the beet armyworm, Spodoptera exigua, nucleopolyhedrovirus. Biocon Sci Tech 18: 591-603. Shapiro M, Shepard BM. 2008. Relative efficacies of congo red and tinopal LPW on the activity of the gypsy moth (Lepidoptera: Lymantriidae) nucleopolyhedrovirus and cypovirus. J Agric Urban Entomol 25;4: 233-243. Takatsuka J, Kunimi Y. 2002. Lethal effects of Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus isolated in Shiga Prefecture, Japan, on larvae of the beet armyworm, Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae). Appl Entomol Zool 37;1: 93–101. Tarigan J Br, Zuhro CF, Sihotang H. 2008. Skrining fitokimia tumbuhan yang digunakan oleh pedagang jamu gendong untuk merawat kulit wajah di Kecamatan Medan Baru. J Biol Sumatera 3: 1-6. Trizelia. 2005. Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina: Hyphomycetes): keragaman genetic, karakterisasi fisiologis, dan virulensinya terhadap Croccidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. 125 h. Vickery ML, Vickery B. 1981. Secondary Plant Metabolism. The Macmillan Press. 335 p. Young SY. 1989. Problems associated with the production and use of viral pesticides. Mem Inst Oswaldo Cruz 84; III: 67-73. Young SY. 2000. Persistanceof viruses in the environment. www.agctr.lsu.edu/s265/ young.htm.
BAB VI PEMBAHASAN UMUM Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) isolat Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida pengendali ulatgrayak bawang (UGB) yang ramah lingkungan. Isolat SeNPV lokal ini memiliki patogenisitas tinggi dan terbukti dapat mengendalikan UGB di lapangan (Clemson Univ. IPM Palawija Project 1995; Shepard et al. 1997; Israwan 1998; Samsudin 1999; Shanti 2004). Untuk dapat dikembangkan sebagai bioinsektisida, diperlukan teknologi produksi massal yang efesien. Menurut Elvira et al. (2010) efesiensi dalam perbanyakan massal di laboratorium ini merupakan kunci utama produksi virus secara komersial. SeNPV merupakan parasit obligat yang spesifik spesies, hanya dapat menginfeksi dan berkembang dalam sel hidup inangnya saja. Di samping itu SeNPV ini tidak menghasilkan antibiotik yang dapat menghambat tumbuhnya mikroba lain. Oleh karena itu masalah utama yang sering terjadi dalam perbanyakan secara in vivo adalah adanya kontaminasi mikroba saprofit (Young 1989; Hunter-Fujita et al. 1998; Lasa et al. 2008). Gejala infeksi SeNPV pada fisiologi dan tanda infeksi pada morfologi UGB sangat berbeda dengan gejala dan tanda infeksi mikroba kontaminan. Hasil penelitian terhadap gejala dan tanda infeksi SeNPV pada UGB S. exigua instar 3 (BAB III) diketahui bahwa infeksi SeNPV menghambat proses ganti kulit (molting), karena gen ecdysteroidglucosyl-transferase (egt) yang dimiliki oleh SeNPV dapat menonaktifkan hormon ecdysteroid UGB, sehingga stadia pradewasa dari UGB yang terinfeksi SeNPV akan semakin panjang. Tanda UGB yang terinfeksi SeNPV mengalami perubahan warna tubuh UGB secara gradual dari cenderung semakin cerah dan mengkilap (glossiness) pada awal infeksi, kemudian pada akhir infeksi berubah menjadi gelap (darkness). Tanda akhir yang sangat khas dari infeksi SeNPV adalah UGB mati dengan integumen rapuh dan hancur dengan mengeluarkan cairan. Di lapangan tanda infeksi SeNPV yang sering dijumpai adalah tubuh larva menggantung dengan kedua tungkai semu menempel pada daun atau ranting tanaman membentuk
huruf “V” terbalik atau terkulai pada helaian daun. Oleh karena itu Hoffmann & Frodsham (1993) menyatakan bahwa penyakit yang diakibatkan oleh infeksi NPV sering disebut dengan penyakit layu ulat (caterpillar wilt) atau penyakit ulat ujung pohon (tree top). SeNPV isolat lokal memiliki tingkat virulensi yang sangat tinggi terhadap UGB di laboratorium. Hal itu ditunjukan dengan nilai LC50 yang sangat rendah yaitu pada konsentrasi 6,65 x 105 POB/ml, yang berarti bahwa dengan pengenceran 1 juta kali dari suspensi hasil pemurnian, SeNPV isolat lokal efektif mematikan UGB instar 3 lebih dari 50% populasi. Sementara itu untuk keperluan perbanyakan massal di Laboratorium, dari hasil penelitian ini dapat disimulasikan sebagai berikut: (1)
Konsentrasi polihedra yang optimal digunakan adalah 5,88 x 106 POB/ml, setiap ml suspensi digunakan untuk rata-rata 20 ekor UGB instar 3, maka kebutuhan inokulum untuk 100 ekor larva hanya 5 ml suspensi.
(2)
Konsentrasi rekomendasi tersebut mampu mematikan 64,26% UGB instar 3 dengan proporsi kematian pada hari ke-4, ke-5 dan ke-6 berturut-turut: 13,70%, 47,22% dan 3,33%, dengan produktifitas polihedra per larva yang dipanen per hari masing-masing sebesar 5,50 x 107, 2,28 x 108 dan 2,45 x 107 POB, maka dengan 5 ml inokulum dan 100 ekor UGB instar 3 akan dihasilkan 1,08 x 1010 POB.
(3)
Waktu pemanenan yang direkomendasikan adalah 5 hari setelah inokulasi, sebab pada saat itu sebagian besar serangga yang terinfeksi telah mati dan belum hancur. Maka dalam satu bulan dapat dilakukan 5 sampai 6 kali siklus produksi. Pada Gambar 6.1. ditunjukkan siklus infeksi SeNPV pada UGB instar 3,
dengan waktu pemanenan dilakukan pada saat kematian awal terinfeksi, sebelum larva hancur.
Terinfeksi
Proses infeksi
Terinfeksi lanjut
Larva sehat
Polihedra
Gambar 6.1. Siklus infeksi SeNPV pada UGB S. exigua Keefektifan SeNPV mengendalikan UGB di lapangan tergantung dari beberapa faktor, antara lain: konsentrasi polihedra yang digunakan, kerentanan serangga inang dan virulensi partikel virus pada permukaan tanaman (Lasa et al. 2007b). Menurunnya virulensi SeNPV setalah diaplikasikan di lapangan disebabkan oleh 2 kemungkinan, yaitu: jumlah partikel virus yang termakan serangga inang sedikit atau partikel virus terdegradasi akibat sinar ultraviolet matahari (McIntosh et al. 2004; Mondragon et al. 2007; Mehrvar et al. 2008). Upaya untuk meningkatkan virulensi SeNPV dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: menambahkan perangsang makan (phagostimulant) untuk meningkatkan jumlah inokulum yang dimakan UGB dan menggunakan bahan yang dapat meningkatkan virulensi (enhancer) SeNPV (Suhas et
al. 2009).
Sedangkan untuk mempertahankan virulensinya dilakukan dengan
menambahkan bahan yang mampu melindungi SeNPV terhadap ultraviolet matahari. Hasil pengujian terhadap beberapa bahan perangsang makan (phagostimulant) (BAB IV) menunjukkan bahwa kecap 5% dapat meningkatkan konsumsi UGB pada pakan buatan sekaligus meningkatkan virulensi SeNPV terhadap UGB instar 3. Sementara itu sukrosa 5% dan molase 5%, meskipun pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi UGB tidak berbeda nyata dengan kontrol, akan tetapi mampu meningkatkan virulensi SeNPV. Hasil penelitian lanjutan diketahui bahwa konsentrasi sukrosa yang direkomendasikan untuk ditambahkan pada pakan buatan sebagai phagostimulant hanya berkisar antara 1 sampai 5%. Sementara itu hasil pengujian terhadap asam borat sebagai enhancer untuk meningkatkan virulensi SeNPV diketahui bahwa
penambahan asam borat 1%, 5% dan 10% pada suspensi SeNPV mempercepat kematian UGB. Semakin tinggi konsentrasi asam borat yang digunakan, semakin tinggi nilai aktifitas relatifnya (AR). Akan tetapi untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan asam borat, maka konsentrasi asam borat yang dianjurkan adalah antara 1 sampai 5%. Hasil pengujian beberapa bahan pelindung alami terhadap UV matahari (BAB V) menunjukkan bahwa bahan berbentuk tepung, yaitu: arang tempurung kelapa, jelaga, arang sekam dan tepung bengkuang dan berbentuk cair yaitu: molase, filtrat bengkuang, filtrat kunyit dan filtrat teh hijau, masing-masing 1% mampu melindungi partikel SeNPV terhadap paparan sinar UV matahari. Arang tempurung kelapa, jelaga dan arang sekam merupakan karbon aktif yang mampu menyerap sinar UV. Filtrat bengkuang mengandung saponin dan mampu melindungi partikel SeNPV sebagai reflektan. Sedangkan molase, filtrat kunyit dan filtrat teh hijau mengandung flavonoid yang berfungsi sebagai pelindung partikel virus dan penyerap sinar UV. Dari hasil penelitian lanjutan terhadap filtrat bengkuang, diketahui bahwa filtrat bengkuang sangat baik untuk dijadikan bahan pelindung alami terhadap UV matahari. Bahan aktif yang berfungsi sebagai pelindung terhadap UV pada tanaman bengkuang adalah saponin yang memiliki ciri khas yaitu menjadi busa jika bercampur air sehingga dapat berfungsi sebagai bahan penurun tegangan permukaan. Cara kerja bahan dari
bengkuang ini diduga mirip dengan deterjen dan pencerah optik yang telah dikaji secara intensif sebagai pelindung terhadap UV. Dari serangkaian penelitian untuk meningkatkan kinerja SeNPV ini dapat dirancang kandidat formulasi bioinsektisida SeNPV dalam bentuk tepung dengan komposisi sebagai berikut: (1) SeNPV pengenceran 1.000 kali dari larutan murni, atau setara dengan konsentrasi 108 POB/ml (BAB III). (2) Talk dijadikan sebagai bahan pembawa, sebab bahan tersebut sudah umum dijadikan sebagai bahan pembawa pestisida dan tidak berpengaruh terhadap virulensi SeNPV dan perilaku makan UGB (BAB V). (3) Molase 5% dijadikan sebagai bahan tambahan yang berfungsi sebagai UV protektan alami dan phagostimulan alami (BAB V dan BAB IV). (4) Filtrat bengkuang 5% dijadikan bahan campuran air sebagai pelarut SeNPV dan menjadi UV protektan alami (BAB V). (5) Filtrat kunyit 1% digunakan sebagai bahan perekat alami, UV protektan alami dan pelindung formula dari kontaminasi mikroba saprofit (BAB V). (6) Sukrosa 5% digunakan sebagai phagostimulan alami (BAB IV) Hasil penelitian Koster (1990), Buurma & Nurmalinda (1994), Basuki (1996), dan Rauf & Sastrosiswojo (1996) menunjukkan bahwa untuk mengendalikan UGB S. exigua pada bawang merah, umumnya petani menggunakan insektisida kimia secara campuran, dengan konsentrasi yang tinggi dan interval penyemprotan 2 sampai 3 x / minggu (2-3 hari sekali). Pengendalian hama dengan mengandalkan insektisida kimia sintetik dengan sistem pertanian intensif telah menimbulkan permasalahan besar, yaitu pencemaran lingkungan, resistensi hama, resurgensi, dan hancurnya habitat bagi banyak spesies (DeBach & Rose 1977; Clarke et al. 1992). Didasarkan pada besarnya ancaman penggunaan pestisida dalam usaha budidaya tanaman secara intensif, sementara itu ancaman organisme pengganggu tanaman (OPT) terhadap kualitas dan kuantitas produksi pertanian semakin tinggi, maka harus dicari cara pengendalian alternatif yang ramah lingkungan. PHT merupakan sistem yang mendukung dalam pengambilan keputusan untuk memilih
dan menggunakan taktik pengendalian hama, satu cara atau lebih yang dikoordinasi secara harmonis dalam satu strategi manajemen, dengan dasar analisis biaya dan keuntungan yang berpatokan pada kepentingan produsen, masyarakat dan lingkungan (Kogan 1998). Engler & Rogoff (1976) menyatakan bahwa dalam upaya pengendalian hama terpadu (PHT) penggunaan patogen serangga sangat dianjurkan untuk menanggulangi resistensi hama terhadap insektisida kimia. Dalam kontek PHT UGB pada tanaman bawang merah dan bawang daun tersebut, maka penggunaan bioinsektisida SeNPV merupakan pilihan yang paling tepat. Beberapa keuntungan dari penggunaan bioinsektisida SeNPV, antara lain: tidak mengganggu organisme bukan sasaran, memperbanyak diri dalam tubuh inang dan menyebar melalui transmisi sekunder sehingga dapat mengendalikan hama sasaran berikutnya, tidak mengakibatkan resistensi hama sasaran, mengurangi residu pestisida kimia pada makanan, pelestarian musuh alami, meningkatkan biodiversitas (Young 1989; Lacey et al. 2001; Armenta et al. 2003), dan dapat dikombinasikan dengan teknologi pengendalian lainnya (Gothama et al. 1996; Dodin et al. 2001; Castillejos et al. 2001). Kelemahan SeNPV untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida selama ini adalah 1) membutuhkan waktu relatif lama untuk membunuh inangnya, sehingga serangga yang terinfeksi masih makan dan menimbulkan kerugian (Bonning & Hammock 1996; Dushoff & Greg 2001), 2) memiliki inang yang spesifik, sehingga terlalu mahal untuk dikembangkan dalam skala industri (McCutchen et. al. 1991) dan kurang efektif jika tanaman terserang oleh beberapa jenis hama (CAB, 2000) dan 3) cepat menjadi tidak aktif di lapangan akibat sinar ultra violet (UV)(Monobrullah 2003). Hasil dari serangkaian penelitian ini diharapkan akan mampu mengatasi atau mengurangi kelemahan-kelemahan dari aplikasi SeNPV tersebut. Penggunaan SeNPV dalam implementasi PHT UGB pada pertanaman bawang di lapangan dianjurkan untuk dikombinasikan dengan teknologi pengendalian lain, seperti penggunaan pestisida nabati, pemanfaatan musuh alami dan penggunaan nematoda patogen serangga. Dodin et al. (2001) melaporkan bahwa SlNPV bersifat sinergis dengan ekstrak biji mimba (Azadirachta indica) dalam mengendalikan
ulatgrayak kedelai S. litura. Sedangkan Gothama et al. (1996) mengemukakan bahwa kombinasi dari nematoda Steinernema carpocapsae dan SeNPV dapat meningkatkan efikasi secara nyata terhadap larva S. exigua pada tanaman kedelai, dibandingkan dengan aplikasi sendiri-sendiri. Bahkan Castillejos et al. (2001) menyatakan bahwa musuh alami lain seperti predator dan parasitoid berpotensi menjadi agen penyebaran NPV di lapangan. Rauf (1999) menyatakan bahwa komponen utama pengendalian UGB dalam sistem PHT bawang merah bagi petani yang rata-rata memiliki lahan sempit selama ini adalah pengumpulan kelompok telur dan larva. Teknologi sederhana tersebut akan lebih efektif apabila dipadukan dengan penggunaan SeNPV, sebab larva yang dikumpulkan dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk perbanyakan SeNPV secara in vivo. Secara praktis pada tingkat petani, konsentrasi anjuran hasil penelitian ini perlu disetarakan dengan jumlah larva mati. Apabila konsentrasi anjuran hasil penelitian (BAB III) sebesar 5,88 x 106 POB/ml atau 5,88 x 109 POB/liter dengan produksi polihedra per larva rata-rata 1,08 x 108 POB, maka untuk 1 liter suspensi dibutuhkan 54 ekor larva instar 3. Kebutuhan rata-rata per hektar adalah 40 – 45 tangki semprot dengan volume 17 liter, maka volume semprot yang dibutuhkan sebanyak 680 - 765 liter. Dengan menggunakan dasar perhitungan di atas, maka kebutuhan larva instar 3 untuk 1 hektar lahan sebanyak 36.720 - 41.310 ekor.
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tanda dan gejala infeksi SeNPV pada ulatgrayak bawang (UGB) (Spodoptera exigua) dapat terlihat dari proses pertumbuhan, perubahan warna dan tektur tubuh dan daya makan UGB di laboratorium. Infeksi SeNPV menghambat proses ganti kulit UGB. UGB yang terinfeksi virus mengalami perubahan warna secara gradual dari cerah dan mengkilap pada awal infeksi, kemudian pada akhir infeksi menjadi gelap. Gejala akhir yang khas dari infeksi SeNPV adalah larva mati dengan integumen rapuh dan hancur dengan mengeluarkan cairan. UGB yang terinfeksi SeNPV menjadi kurang aktif dan kehilangan nafsu makan. LC50 SeNPV terhadap UGB instar 3 adalah 6,65 x 105 POB/ml. Untuk keperluan perbanyakan massal di Laboratorium dengan memperhatikan tingkat mortalitas, LT50, produksi polihedra per larva, dan proporsi mortalitas UGB, maka konsentrasi inokulum yang dianjurkan adalah 5,88 x 106 POB/ml. Waktu pemanenan yang optimum adalah 5 hari setelah inokulasi, yaitu pada saat sebagian besar serangga yang terinfeksi telah mati dan belum hancur. Mortalitas dan waktu kematian UGB terinfeksi SeNPV pada 3 jenis pakan yang digunakan tidak berbeda nyata. Dari lima jenis bahan phagostimulant yang diuji, kecap dan sukrosa masing-masing 5% dapat meningkatkan virulensi SeNPV di laboratorium. Penambahan larutan sukrosa 1% dan 5% dapat meningkatkan virulensi SeNPV, sedangkan konsentrasi sukrosa 10% mengindikasikan sebagai antifeedant. Penambahan asam borat pada suspensi SeNPV mempercepat kematian UGB. Semakin tinggi konsentrasi asam borat yang digunakan, semakin tinggi nilai aktifitas relatifnya (AR). Untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan asam borat, maka konsentrasi yang dianjurkan adalah antara 1 sampai 5%. Sinar matahari berpengaruh terhadap virulensi SeNPV. Penambahan bahanbahan pelindung alami terhadap UV dapat menghambat penurunan kinerja SeNPV.
Efisiensi relatif (ER) dari arang tempurung, jelaga, arang sekam, tepung bengkuang, molase, filtrat bengkuang, filtrat kunyit dan filtrat teh hijau berbeda nyata dengan kontrol. Arang tempurung kelapa, jelaga dan arang sekam merupakan karbon aktif yang mampu menyerap sinar UV. Sedangkan bahan-bahan alami yang berasal dari tanaman diduga mengandung metabolit sekunder yang mampu mempertahankan virulensi SeNPV. Filtrat bengkuang merupakan kandidat pelindung terhadap UV alami yang dapat mempertahankan virulensi SeNPV secara penuh.
Saran Eksplorasi isolat-isolat SeNPV baru perlu dilakukan untuk mendapatkan isolat-isolat yang lebih virulen. Bahan-bahan pelindung terhadap UV dan phagostimulant alami yang dihasilkan dalam penelitian ini harus dikaji lebih lanjut untuk mendapatkan formulasi bioinsektisida berbahan SeNPV yang efektif dan efesien. Pengujian SeNPV sebagai pengendali UGB pada tingkat lapang masih perlu dilakukan, sebab stabilisasi dan virulensi SeNPV dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Perlu penelitian lanjutan untuk merakit teknologi produksi bioinsektisida SeNPV dalam skala home indsutri.
DAFTAR PUSTAKA Adams JR, McClintock TJ. 1991. Baculoviridae. Nuclear polyhedrosis virus. Part I. Nuclear polyhedrosis viruses of insects. In Adam JR & Bonami JR (Eds.) Atlas of Invertebrate Viruses. CRC Press: Boca Raton, Florida. 87-204. Adams JR, Bonami JR. 1991. Atlas of Invertebrata Viruses. CRC Press: Boca Raton, Florida. 684 p. Amaldoss G, Hsue NC. 1989. The biology and the reproductive morphology of beet armyworm Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae). Chinese J Entomol 9;2: 239-250. Arifin M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan volume nuclear polyhidrosis virus terhadap kematian ulatgrayak kedelai (Spodoptera litura). Penel Pert Tan Pan 25;1:6570. Armes NJ, Jadhav DR, Lonergan PA. 1995. Insecticide resistance in Helicoverpa (Hubner): status and prospects for its management in India. In Constable GA, Forrester NW (Eds.) Challenging the future: Proceedings of the World Cotton Conference I, Brisbane, Australia, February 14- 17 1994. CSIRO, Melbourne. 522- 533. Armenta R, Mertinez AM, Chapman JW, Magallanes R, Goulson D, Caballero P, Cave RD, Cisneros J, Valle J, Castillejos V, Penagos DI, Garcia LF, William T. 2003. Impact of a nucleopolyhedrovirus bioinsecticide and selected synthetic insecticides on the abundance of insect natural enemies on maize in Southern Mexico. J Econ Entomol 96;3: 649-661. Asano S. 2005. Ultraviolet protection of a granulovirus product using iron oxide. Appl Entomol Zool 40;2: 359-364. Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan arah pengembangan agribisnis bawang merah. RPPK Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Barret JW, Primavera M, Retnakaran A, Arif B, Palli SR. 2002. Aspects of nucleopolyhedrovirus pathogenesis in lepidopteran larvae In Koul O and Dhaliwal GS. Microbial Biopesticides. Taylor & Francis. London and New York. 205- 238. Basuki, R.S. 1996. Survei pengetahuan, sikap dan tindakan petani bawang merah dalam pengendalian hama-penyakit. Makalah Temu Teknologi dan Persiapan Pemasyarakatan PHT. Lembang 27-29 Mei 1996. 35 h.
Beard CB, Butler JF, Muriniak JE. 1989. A Baculovirus in the flea, Pulex simulans. J Invert Pathol 54:128-131. Bedford GO. 1981. Control of Rhinoceros beetle by baculovirus In HD Burges (Eds.) Microbial Control of Pest and Plant Diseases 1970-1980. Academic Press, New York. 409-426. Bedjo. 2003. Pemanfaatan Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus (SlNPV) untuk pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura F.) pada tanaman kedelai. Lokakarya pemanfaatan nuclear polyhedrosis virus (NPV) sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama pemakan daun kedelai Spodoptera litura F. 4 Nopember, Balitkabi. 16 p. Bianchi FJJA, Snoeijing I, Van der Werf W, Mans RMW, Smits PH, Vlak JM. 2000. Biological activity of SeMNPV, AcMNPV, and three AcMNPV deletion mutans against Spodoptera exigua larva (Lepidoptera: Noctuidae). J Invertebr Pathol 75: 28-35. Blissard GW, Rohrmann GF. 1990. Baculovirus diversity and molecular biology. Annu Rev Entomol 35: 127-155. Bonning BC, Hammock BD. 1996. Development of recombinant baculoviruses for insect control. Annu Rev Entomol 41: 191-210. Bull DL, House VS, Ables JR, Morrison RK. 1979. Selective methods for managing insect pests of cotton. J Econ Entomol 72:841-846. Buurma, Nurmalinda. 1994. Patterns in pesticide use in shallots in Brebes. Indonesia J Plant Protec in the Tropics. 14 pp. CAB INTERNATIONAL. 2000. Crop Protection Compendium. Wallingford, UK. Capinera JL. 1999. Beet armyworm Spodoptera exigua (Hubner) (Insecta: Lepidoptera: Noctuidae). http://edis.ifas.ufl.edu. [3 September 2008]. Carbonell LF, Hodge MR, Tomalski MD, Miller LK. 1988. Synthesis of a gene coding for an insect-specific scorpion neurotoxin and attempts to express it using baculovirus vectors. Gene 73: 409 – 418. Castillejos V, Trujillo J, Ortega LD, Santizo JA, Cisneros J, Penagos DI, Valle J, Williams T. 2002. Granular phagostimulant nucleopolyhedrovirus formulations for control of Spodoptera frugiperda in maize. Biol Contr 24: 300-310.
Clarke SR, Negron JF, Debarr GL. 1992. Effects of four pyrethroids on scale insect (Homoptera) populations and their natural enemies in loblolly and shortleaf pine seed orchards. J. Econ. Entomol. 85:1246-1252. Clemson University IPM Palawija Project. 1995. Integrated pest management research, development and training activities for palawija crops in Indonesia. Annual Report October, 1994 – October, 1995. Cough TL, Ignoffo CM. 1981. Formulation of insect pathogens, p. 621-634. In H.D. Burges (Ed.) Microbial Control of Pest and Plant Diseases 1970-1980. Academic Press, New York. Cunningham JC, Entwistle PF. 1981. Control of Sawfly by Baculovirus, p. 379-407. In Burges HD. (Eds.) Microbial Control of Pest and Plant Diseases 1970 - 1980. Academic Press, New York. Deacon JW. 1983. Microbial Control of Plant dan Diseases. Van Rostrana Reinhold (UK) Co.Ltd. Berskire, England. 88 p. DeBach P, Rose M. 1977. Environmental upsets caused by chemical eradication. Calif. Agric. 31:8-10. Dodin K, Arifin M dan Harnoto. 2001. Kompatibiltas SlNPV dengan ekstrak biji mimba untuk mengendalikan ulatgrayak pada kedelai. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. 343-347. Dougherty EM, Guthrie KP, Shapiro M. 1996. Optical brighteners provide baculovirus activity enhancement and UV radiation protection. Biocon 7;4: 71-74. Dushoff J, Dwyer G. 2001. Evaluating the risks of engineered viruses: modeling pathogen competition. Ecol Appl 11;6: 1602 – 1609. El Salamouny S, Shapiro M, Ling K, Shepard BM. 2009. Black tea and lignin as ultraviolet protectants for the beet armyworm nucleopolyhedrovirus. J Entomol Sci 44;1:50-58. Elvira S, Gorria N, Munoz D, Williams T, Caballero P. 2010. A simplified low-cost diet for rearing Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) and its effect on S. exigua nucleopolyhedrovirus production. J Econ Entomol 103;1: 17-24. Endo S, Sutrisno, Samudra IM, Nugraha A, Soejitno J, Okada T. 1988. Insecticide susceptibility of Spodoptera litura F. collected from three location in Indonesia. Seminar BORIF, 24 June 1988. 18 p.
Engler R, Rogoff MH. 1976. Entomopathogens: ecological manipulation of natural associations. Environ Health Persp 14: 153-159. Etebari K, Matindoost L, Mirhoseini SZ, Turnbull MW. 2007. The effect of BmNPV infection on protein metabolism in silkworm (Bombyx mori) larva. ISJ 4: 1317. Farrar RR Jr, Shapiro M, javaid I. 2004. Photostabilized titanium dioxide and a fluorescent brightener as adjuvants for a nucleopolyhedrovirus. BioControl 48;4: 543-560. Federici BA. 1999. Naturally occurring baculoviruses for insect pest control. In Hall FR, Julius JM. Biopesticides Use and Delivery. Humana Press. Totowa, New Jersey. 301-320. Gothama AAA, Lawrence GW, Sikorowski PP. 1996. Activity and persistence of Steinernema carpocapsae and Spodoptera exigua nuclear polyhedrosis virus against S. exigua larvae on soybean. J Nematol 28;1: 68-74. Granados RR, William BK. 1986. In Vivo Infection and Replication of Baculviruses in The Biology of Baculoviruses. CRC Press. Boca Raton, Florida. p 90-104. Grzywacz D, Jones KA, Moawad G, Cherry A. 1998. The in vivo production of Spodoptera littoralis nuclear polyhedrosis virus. J Virol Meth 71;1: 115-122. Grzywacz D, Rabindra RJ, Brown M, Jones KA, Parnell M. 2000. The Helicoverpa armigera production manual. http://www.fao.org/docs/eims/upload/agrotech/ [akses Oktober 2009]. Goulson D, Derwent LC, Penagos DI, Williams T. 2003. Effect of optical brighteners included in biopesticide formulations on the growth of crops. Agric Ecos Environ 93: 235-240. Hamm JJ, Chandler LD, Sumner HR. 1994. Field tests with fluorescent brightener to enhance infectivity of fall armyworm (Lepidoptera: Noctuidae) nuclear polyhedrosis virus. Florida Entomologist 77;4: 425-434. Hammock BD, Bonning BC, Possee RD, Hanzlik TN, Maeda S. 1990. Expression and effects of juvenile hormone esterase in a baculovirus vector. Nature 344: 458 – 461. Hoffmann MP, Frodsham AC. 1993. Natural Enemies of Vegetable Insect Pest. Cooperative Extention. Cornell University. Ithaca. New York. 63 p.
Huger AM. 1966. A virus disease of the Indian rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros (L.) caused by a new type of insect virus, Rhabdionvirus oryctes gen. J Invert Pathol. 8, 38-51. Hunter-Fujita FR, Entwistle RF, Evans HF, Crook NE. 1998. Insect Viruses and Pest Management. John Wiley & Sons, Inc., 605 Third Avenue, New York, USA. 620 p. Ignoffo CM, Cough TL. 1981. The Nucleopolyhedrosis virus of Heliothis spp. as a microbial insecticide In Burges HP (Ed.) Microbial Control of Pest dan Plant Diseases 1970-1980. Academic Press London dan New York, NY. 29-362. Ignoffo CM, Shasha BS, Shapiro. 1991. Sunlight ultraviolet protection of Heliothis nuclear polyhedrosis virus through starch-encapsulation technology. J Invert Pathol 57: 134-136. Inceoglu AB, Kamita SG, Hammock BD. 2006. Genetically modified baculoviruses: a historical overview and future outlook. Adven Vir Res 68: 323- 326. Ishikawa H, Ikeda M, Alves CAF, Theim SM, Kobayashi M. 2004. Host range factor 1 from Lymantria dispar nucleopolyhedrovirus (NPV) is an essential viral factor required for productive infection of NPVs in IPLB-Ld652Y cells derived from L. dispar. J Virol 78;22: 12703 – 12708. Israwan ID. 1998. Kajian dan penggunaan SeNPV untuk pengendalian Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) di pertanaman bawang merah. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Jokubowska A, Vlak JM, Ziemnicka J. 2005. Characterization of a nucleopolyhedrovirus isolated from the laboratory rearing of the beet armyworm Spodoptera exigua (Hbn.) in Poland. J Plant Protec Res 45;4: 279-286. Jones KA, Ketunuti U, Grzywacz D. 1994. Production and use of nuclear polyhedrosis virus to control Helicoverpa armigera and Spodoptera exigua in Thailand. 6th International Colloquium on Invertebrate Pathology and Microbial Control, Montpellier, France, August-September 1994. Kalmakoff, Ward. 2003. Baculoviruses. Univerdity of Otago, Dunedin, New Zealand. http://www.microbiologybytes.com/virology. [Desember 2008]. Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesie (Revised and Translated by van der Laan PA). PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Jakarta. 701 p.
Kao SS, Hsia WT, Huang LH. 1991. Effectiveness of adjuvants for nuclear polyhedrosis virus against the beet armyworm Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae). Chinese J Entomol 11: 330-334. Kogan M. 1998. Integrated pest management: historical perspectives and contemporary developments. Ann Rev Entomol 43: 243-270. Kolodny-Hirsch DM, Warkentin DL, Alvarado-Rodriguez B, Kirkland R. 1993. Spodoptera exigua nuclear polyhedrosis virus as a candidate viral insecticide for the beet armyworm (Lepidoptera: Noctuidae). J Econ Entomol 86;2:314321. Koster WG. 1990. Exploratory survey on shallots in rice based cropping systems in Brebes. Bul Penel Horti 18;1: 19-30. Koul O, Dhaliwal GS. 2002. Microbial Biopesticides. Taylor & Francis. London and New York. 340 p. Lacey LA, Frutos R, Kaya HK, Vail P. 2001. Insect pathogens as biological control agents: do they have a future?. Biol Cont 21: 230-248. Lasa R, Caballero P, William T. 2007a. Juvenile hormone analogs greatly increase the production of a nucleopolyhedrovirus. Biol Cont 41: 389-396. Lasa R, Ruiz-Portero C, Alcazar MD, Belda JE, Caballero P, William T. 2007b. Efficacy of optical brightener formulations of Spodoptera exigua multiple nucleopolyhedrovirus (SeMNPV) as a biological in greenhouse of Southern Spain. Biol Cont 40: 89-96. Lasa R, Pagola I, Ibanez I, Belida JE, William T, Caballero P. 2007c. Efficacy of Spodoptera exigua multiple nucleopolyhedrovirus as a biological insecticide for beet armyworm control in greenhouse of Southern Spain. Biocont Sci Tech 17:3: 221-232. Lasa R, William T, Caballero P. 2008. Insecticidal properties and microbial contaminants in Spodoptera exigua multiple nucleopolyhedrovirus (Baculoviridae) formulation stored at different temperatures. J Econ Entomol 101;1: 42-49. Li
Z,
Blissard GW. 2009. The Autographa californica multicapsid nucleopolyhedrovirus GP64 protein: Analysis of transmembrane domain length and sequence requirements. J Virol 89;9 :4447-4461.
Limbongan J, Maskar. 2003. Potensi pengembangan dan ketersediaan teknologi bawang merah Palu di Sulawesi Tengah. J Litbang Pertanian 22;3: 103-108. Maeda S. 1989. Increased insecticidal effect of a recombinant baculovirus carrying a synthetic diuretic hormone. Biochem Biophys Res Comm 165: 1177 – 1183. Martinez AM, Simon O, Williams T, Caballero P. 2003. Effect of optical brighteners on the insecticidal activity of a nucleopolyhedrovirus in three instars of Spodoptera frugiperda. Ent Exp App 109: 139-146. Mathew REF. 1982. Classification and nomenclatur of viruses. Intervirol 17: 1-99. McCutchen BF, Choudary PV, Crenshaw R, Maddox DW, Majima K, Hammock BD, Fowler E. 1991. Insecticidal effects of an insect-specific neurotoxin expressed by recombinant baculovirus. Virol 184: 777 – 780. McIntosh AH, Grasela JJ, Lua L, Braunagel SC. 2004. Demonstration of the effects of fluorescent proteins in baculoviruses exposed to ultraviolet light inactivation. J Insect Sci 4:31. 9 pp. Mehrvar A, Rabindra RJ, Veenakumari K, Narabenchi GB. 2008. Evaluation of adjuvants for increased of HearNPV against Helicoverpa armigera (Hubner) using suntest machine. J Biol Sci 1-8. Mondragon G, Pineda S, Martinez A, Martinez AM. 2007. Optical brightener Tinopal C1101 as an ultraviolet protectant for a nucleopolyhedrovirus. Commun Agric Appl Biol Sci 72;3: 543-547. Monobrullah Md. 2003. Optical brighteners-pathogenicity entomopathogenic viruses. Current Sci 84;5 :640 – 645.
enhancers
of
Murillo R, Lasa R, Goulson D, Williams T, Munoz D, Caballero P. 2003. Effect of tinopal LPW on the insecticidal properties and genetic stability of the nucleopolyhedrovirus of Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae). J Econ Entomol 96;6 : 841-846. Murphy FA, Fauquet CM, Bishop DHL, Ghabrial SA, Jarvis AW, Martelli GP, Mayo MA, Summers MD. 1995. Virus Taxonomy; Classification and Nomenclature of Viruses. Sixth report of the international committee on taxonomy of viruses. Wien Springer Verlag. New York. NY. 568 p. Narayanan K. 2004. Insect defence: its impact on microbial control of insect pests. Current Sci 86;6 : 800-814.
Okada. 1977. Studies on the utilization dan mass production of Spodoptera litura nuclear polyhedrosis virus for control of the tobacco cutworm, Spodoptera litura F. Rev PIant Protec Res 10:102-128. Oka IN. 2005. Pengendalian Hama Terpadu dan Implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 255 h. O’Reilly DR, Miller LK. 1991. Improvement of a baculovirus pesticide by deletion of the egt gene. Bio/Technology 9, pp. 1086-1089. Pionar OG Jr, Thomas GM. 1984. Laboratory Guide to Insect Pathogens and Parasites. Plenum Press, New York. 392 p. Rauf A, Sastrosiswojo S. 1996. Perkembangan populasi dan serangan hama Spodoptera exigua saat terjadi ledakan dan upaya pengendaliannya pada pertanaman bawang merah. Makalah pada Temu Teknologi dan Persiapan Pemasyarakatan PHT. Lembang 27-29 Mei 1996. 17 h. Rauf A. 1999. Dinamika populasi Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) pada tanaman bawang merah di dataran rendah. Bul HPT 11;2: 3947. Rohrmann GF. 2011. Baculovirus Molecular Biology. Bethesda (MD): National Library of Medicine (US), National Center for Biotechnology Information. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/bookshelf/ [Februari 2011]. Samsudin. 1999. Karakterisasi virus patogen dari ulat bawang Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) isolat Indonesia. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sastrosiswojo S. 1994. Development and implementation of integrated pest management in some vegetable crops. Lembang Horticultural Research Institute. Lembang-Bandung. 22 p Sastrosiswojo S, Moekasan TK, Setiowati W. 1995. Petunjuk Studi Lapangan PHTSayuran. Balittsa dan Program Nasional PHT, Departemen Pertanian. Lembang-Bandung. 184 h. Schumutterer H. 1995. The Neem Tree, Source of Unique Natural Product for Integrated Pest Management, Medicine Industrial Other Purpose. VCH Verlagsgesellschaft, Vanheim. Federal Republic of Germany. p 9.
Shanti K. 2004. Persistensi SeNPV (Spodoptera exigua nuclear polyhedrosis virus) isolat Puncak terhadap ulat bawang Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) pada tanaman bawang daun (Allium fistulosum) di lapangan. [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Pakuan. Shapiro M. 2000. Enhancement in activity of homologous and heterologous baculoviruses infectious to beet armyworm (Lepidoptera: Noctuidae) by an optical brightener. J Econ Entomol 93;3: 572-576. Shapiro M, Shepard BM. 2008. Relative efficacies of congo red and tinopal LPW on the activity of the gypsy moth (Lepidoptera: Lymantriidae) nucleopolyhedrovirus and cypovirus. J Agric Urban Entomol 25;4: 233-243. Shepard EF. 1994. Characterization of Chinese and Korean Isolates of a Granulosis Virus of the Diamonback Moth, Plutella xylostella (L.) (Lepidoptera: Yponomeutidae). A Dissertation Presented to the Graduate School of Clemson University, USA. 119 p. Shepard EF, Shepard BM, Rauf A. 1996. Virus of Spodoptera exigua. Palawija/ Vegetable IPM Newsletter 1;1 : 2-3. Shepar BM., Shepard EF, Carner GR, Hamming MD, Rauf A, Turnipseed SG, Samsudin. 1997. Prospects for IPM in secondary food crops. Presentation Made at the Kongres V dan Simposium Entomologi, PEI. Bandung, June 2426, 1997. 31 p. Smits PH. 1987. Nuclear Polyhedrosis Virus as Biological Control Agent of Spodoptera exigua. Ph.D Dissertation, Wageningen University. Unpublished. 127 p. Smits PH, Vlak JM. 1988. Biological activity of Spodoptera exigua nuclear polyhedrosis virus against S. exigua larvae. J Invert Pathol 51;2:107-114. Sparks Jr. A, Riley DG, Robert P, Guillebeau P. 2008. Spodoptera exigua. http//wiki.bugwood.org/Spodoptera exigua. [Desember 2009]. Spenger AR, Grabherr, Tollner L, Katinger H, Ernst W. 2002. Altering the surface properties of baculovirus Autographa californica NPV by insertional mutagenesis of envelope protein gp64. Eur. J. Biochem 269: 4458 – 4467. Stairs GR, Fraser T. 1981. Changes in growth dan virulence of nuclear polyhedrosis virus. J Inver Pathol 35:230-235.
Suhas Y, Gopali JB, Patil BV, Lingappa S. 2009. Effect of different adjuvants in enhancing the efficacy of HaNPV against Helicoperva armigera (Hubner) in pigeonpea. Karnataka J Agric Sci 22;3: 502-503. Sutarya R. 1996. Hama ulat Spodoptera pada bawang merah dan strategi pengendaliannya. J Litbang Pertanian 15;2: 41-46. Tanada Y, Hess RT. 1991. Baculoviridae. Granulosis viruses. In Adam JR, Bonami JR (Eds.). Atlas of Invertebrate Viruses. CRC Press: Boca Raton, Florida. 227 – 257. Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. Academic Press. San Diego. California. p. 78-98. Takatsuka J, Kunimi Y. 2002. Lethal effects of Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus isolated in Shiga Prefecture, Japan, on larvae of the beet armyworm, Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae). Appl Entomol Zool 37;1: 93–101. Tengkano W, Harnoto, Taufik M, Iman M. 1992. Dampak negatif insektisida terhadap musuh alami pengisap polong. Seminar Hasil Penelitian Pendukung Pengendalian Hama Terpadu. Kerjasama Program Nasional PHT, BAPPENAS dengan Faperta-IPB. 29 p. Tinsley TW, Kelly DC. 1985. Taxonomy and Nomenclatures of Insect Pathogenic Viruses. p. 3-26. In Maramorosch K, KE Sherman (Eds.). Viral Insectisides for Biological Control. Academic Press. London. Treacy MF, All JN. 1996. Impact of insect-specific AaHIT gene insertion on inherent bioactivity of baculovirus againt tobacco budworm, Heliothis virescen, and cabbage looper Trichoplusia ni, in Proceeding, Beltwide Cotton Conferences (Duggar, P. and Richter, D.A., eds). National Cotton Council, Memphis, TN, pp. 911-917. Treacy MF. 1999. Recombinant baculoviruses. In Hall FR & Julius JM. 1999. Biopesticides Use and Delivery. Humana Press. Totowa, New Jersey. 321 – 340. Untung K. 1989. Penerapan pengelolaan hama terpadu di Indonesia. Seminar Nasional Aplikasi dan Konsekuensi Lingkungan Agrokimia. Bogor.
Washburn JO, Trudeau D, Wong JF, Volkman LE 2003. Early pathogenesis of Autographa californica multiple nucleopolyhedrovirus and Helicoverpa zea single nucleopolyhedrovirus in Heliothis virescens: a comparison of the ‘M’ and ‘S’ strategies for establishing fatal infection. J Gen Virol 84: 343-351. Williams T, Goulson D, Caballero P, Cisneros J, Martinez AM, Chapman JW, Roman DX, Cave RD. 1999. Evaluation of baculovirus bioinsecticide for small-scale maize growers in Latin America. Biol Cont 14: 67-75. William T. 2009. Virus insecticides. http://www.trevorwilliams.info/virus_ insecticides.htm. [12 Desember 2009]. Woo SD, Roh JY, Choi JY, Jin BR. 2007. Propagation of Bombyx mori nucleopolyhedrovirus in nonpermissive insect cell lines. J Microbiol 45; 2:133-138. Young SY. 1989. Problems associated with the production and use of viral pesticides. Mem Inst Oswaldo Cruz 84; III: 67-73.
Lampiran 1: Prosedur Perbanyakan Larva Spodoptera exigua 1. Koleksi ulat bawang S. exigua instar ke-4 atau ke-5 dari lahan pertanaman bawang daun. 2. Pelihara ulat-ulat tersebut secara individual di dalam cup plastik khusus menggunakan pakan buatan sampai menjadi pupa di Laboratorium. 3. Masukkan pupa yang diperoleh ke dalam toples plastik dengan tinggi 15 cm dan diameter 14 cm untuk dipelihara sampai menjadi serangga dewasa. 4. Lapisi pada bagian pinggir toples plastik tersebut dengan kertas HVS atau kertas koran sebagai tempat peneluran dan dimasukkan juga ke dalamnya larutan madu dalam kapas untuk pakan imago. 5. Masukkan imago ke dalam toples dengan perbandingan jantan : betina (1 : 2) dan pelihara sampai bertelur. 6. Panen telur yang diperoleh dengan cara memotong-motong bagian kertas yang diteluri. 7. Pindahkan kelompok telur tersebut pada toples plastik terpisah yang telah diberi pakan buatan dan dibiarkan sampai menetas. 8. Pindahkan larva instar ke-3 secara individual ke dalam ”cup” plastik. 9. Larva tersebut telah siap untuk dijadikan serangga uji dalam penelitian.
Lampiran 2
Bahan dan Prosedur Membuat Pakan Buatan Larva Spodoptera exigua Bahan : 1. Kacang merah 2. Agar-agar 3. Formula A : - Wheat germ - Casein - Yeast (Permifam) - Asam askorbat - Methyl paraben 4. Formula B: - Vitamin - Tetracyclin 5. Aquades : - Untuk agar - Untuk kacang merah
250 gram 48 gram 200 gram 100 gram 125 gram 12 gram 10 gram 20 gram 250 miligram 1200 ml 2000 ml
Prosedur: 1. Siapkan cup plastik secara berderet sebanyak 300 buah. 2. Rendam 250 gram kacang merah dalam air selama 1 malam, kemudian tiriskan pada saringan agar airnya kering. 3. Panaskan 48 gram agar dalam 1200 ml aquades sampai suhu 95oC. Kemudian dinginkan sampai 65-75 oC. 4. Tambahkan aquades sebanyak 1000 ml pada kacang merah yang sudah ditiriskan, kemudian diblender selama 2 menit. 5. Secara terpisah campurkan formula B (bahan no. 4) dalam 100 ml air secara merata. 6. Campurkan formula A (bahan no. 3) dengan menggunakan mixer dalam 900 ml aquades sampai merata, kemudian tambahkan ke dalamnya kacang merah yang sudah diblender. 7. Panaskan campuran tersebut selama 2 menit. 8. Tambahkan ke dalam campuran tersebut larutan agar yang sudah didinginkan sampai 65 – 75 oC, kemudian aduk sampai bercampur secara merata. 9. Tambahkan formula B ke dalam adonan tersebut dan panaskan selama 2 menit sambil diaduk secara merata. 10. Matikan api dan tuangkan adonan pakan buatan tersebut dalam keadaan panas ke dalam cup plastik masing-masing kurang lebih 2 gram. 11. Biarkan beberapa saat sampai pakan tersebut memadat. 12. Pakan siap digunakan setelah dingin.