UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FORMULASI PATCH NATRIUM DIKLOFENAK BERBASIS POLIMER HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA (HPMC) SEBAGAI SEDIAAN LOKAL PENANGANAN INFLAMASI PADA PENYAKIT PERIODONTAL
SKRIPSI
HISSI FITRIYAH 109102000006
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA JULI 2013
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FORMULASI PATCH NATRIUM DIKLOFENAK BERBASIS POLIMER HIDROKSI PROPIL METIL SELULOSA (HPMC) SEBAGAI SEDIAAN LOKAL PENANGANAN INFLAMASI PADA PENYAKIT PERIODONTAL
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
HISSI FITRIYAH 109102000006
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA JULI 2013
ii
iii
iv
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Hissi Fitriyah : Farmasi : Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) Sebagai Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit Periodontal.
Telah dibuat sediaan mukoadhesif patch yang mengandung natrium diklofenak sebagai sediaan lokal penanganan inflamasi pada penyakit periodontal. Penelitian ini bertujuan untuk memformulasi dan mengkarakterisasi sifat-sifat dari patch natrium diklofenak yang berbasis polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC). Patch dibuat dalam 3 formula A1, A2 dan A3 dengan memvariasikan konsentrasi larutan HPMC sebanyak 1%, 1,5% dan 2%. Patch dibuat dengan metode solvent casting. Patch yang telah dibuat menunjukkan bahwa ketiga patch dapat melekat dipermukaan membran gusi lebih dari 7 jam. Persen kumulatif difusi natrium diklofenak pada jam ke-enam dari patch A1, A2 dan A3 berturut-turut 34%, 21% dan 24%. Lapisan backing yang dibentuk dari etil selulosa diketahui dapat menahan difusi natrium sebesar 97,5%. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa patch yang terbaik ditunjukkan oleh formula A1. Kata kunci : patch, natrium diklofenak, HPMC, Etil selulosa.
v
ABSTRACT
Name Program Study Title
: Hissi Fitriyah : Pharmacy : Formulation of Diclofenac Sodium Patch Based Hydroxy Propyl Methyl Cellulose (HPMC) as Local Administration for The Inflammatory Treatment in Periodontal Disease.
Mucoadhesive patches containing diclofenak sodium have been made as local administration for the inflamatory treatment in periodontal deasease. The objectives of this research were to formulate and to study characteristic of the resulting diclofenac sodium patch based hydroxy propyl methyl cellulose (HPMC). Patches were formulated in three formulas termed A1, A2 and A3 by varying the concentration of hidroxy propyl methyl celullose (HPMC) solution in the formula as much as 1%, 1,5% and 2%. Patches were prepared by solvent casting methode. In vitro residence time showed that all formulas patch can be attachted on the mucosa gingival bovine more than 7 hours. Cumulatif diffusion of diclofenak sodium at sixth hours from A1, A2 and A3 respectively were 34%, 21% and 24%. Backing layer formed from ethyl cellulose can inhibit diffusion of diclofenac sodium as much as 97,5%. From these result, the best diclofenac sodium patch showed by A1.
Keyword : patch, diclofenac sodium, HPMC, ethyl cellulose.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil`alamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Penulisan skripsi yang berjudul “Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (HPMC) Sebagai Sediaan Lokal Penanganan Inflamasi pada Penyakit Periodontal” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada : 1. Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt dan Sabrina, M.Farm., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, waktu, tenaga, saran dan dukungan dalam penelitian ini. 2. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp. And., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Kedua orang tua dan keluarga yang telah memberikan semangat, doa dan dukungan baik moral maupun material hingga terwujudnya skripsi ini. 6. Fanny Putu Saputra atas segala pengertian, semangat dan bantuannya. 7. Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan yang amat besar.
vii
8. Kakak-kakak laboran FKIK, ka Eris, ka lisna, ka Liken, ka Anis, Mba Rani, ka Tiwi dan ka Rachmadi atas dukungan dan kerjasamanya selama kegiatan penelitian. 9. Teman teman seperjuangan farmasi angkatan 2009 atas kebersamaan kita. 10. Serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan hingga terwujudnya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun penulis
berharap
semoga
hasil
penelitian
ini
dapat
bermanfaat
bagi
perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu Farmasi pada khususnya. Amin.
Jakarta, Juli 2013
Penulis
viii
ix
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................... ABSTRAK ................................................................................................... ABSTRACT ................................................................................................. KATA PENGANTAR ................................................................................. HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............ DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR TABEL ....................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
i ii iii iv v vi vii ix x xii xiii xiv
BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang ......................................................................... 1. 2 Perumusan Masalah .................................................................. 1. 3 Hipotesis ................................................................................... 1. 4 Tujuan Penelitian ...................................................................... 1. 5 Manfaat Penelitian ....................................................................
1 3 3 4 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Penyakit Periodontal ................................................................ 2. 2 Natrium Diklofenak .................................................................. 2. 3 Anatomi Mukosa Rongga Mulut .............................................. 2. 4 Mukoadhesif ............................................................................. 2. 5 Patch ......................................................................................... 2. 6 Hidroxypropyl Methylcellulose (HPMC) ................................ 2. 7 Ethyl Cellulose (EC) ................................................................
5 7 9 12 17 20 22
BAB 3 METODE PENELITIAN 3. 1 Alur Penelitian .......................................................................... 3. 2 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 3. 3 Alat dan Bahan Penelitian ........................................................ 3. 4 Prosedur Kerja .......................................................................... 3. 4.1 Formula Patch .............................................................. 3. 4.2 Pembuatan Buffer Fosfat pH 6,8 ................................. 3. 4.3 Pembuatan Kurva Kalibrasi ........................................ 3. 4.4 Evaluasi Cairan Polimer .............................................. 3. 4.5 Evaluasi Patch ............................................................. 3.4.5.1. Organoleptis ................................................... 3.4.5.2. Evaluasi Fisik ................................................. 3.4.5.3. Uji Pelipatan ................................................... 3.4.5.4. Pengukuran pH Permukaan ............................
24 25 25 25 25 27 27 27 28 28 28 28 29 x
3.4.5.5. Uji Pengembangan ......................................... 3.4.5.6. Uji Waktu Tinggal ......................................... 3.4.5.7. Uji Kemampuan Penentrasi Zat aktif ............. 3.4.5.8. Uji Kebocoran Backing ..................................
29 29 29 30
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Karakteristik Cairan Polimer ..................................................... 4. 2 Karakteristik Fisikokimia Patch ............................................... 4. 3 pH Permukaan Patch ................................................................ 4. 4 Waktu Tinggal Patch pada Permukaan Gusi Sapi ................... 4. 5 Derajat Pengembangan ............................................................. 4. 6 Kemampuan Penentrasi Natrium Diklofenak .......................... 4. 7 Kebocoran Backing Membran ..................................................
31 32 37 38 39 41 45
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Kesimpulan ................................................................................ 5. 2 Saran ..........................................................................................
47 47
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
48
xi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Tabel 3.1 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 4.13 Tabel 4.14
Komposisi dan Keberadaan Keratin di Mukosa Mulut ........ Formula Patch Natrium Diklofenak ...................................... Viskositas Larutan Polimer ................................................... Uji Pelipatan Patch ................................................................. Sifat Fisikokimia Patch ......................................................... pH Permukaan Masing-masing Formula Patch .................... Waktu Tinggal Patch pada Permukaan Membran Gusi Sapi Derajat Pengembangan Patch ............................................... Persentase Kumulatif Difusi Zat Aktif ................................. Jumlah Kumulatif Zat Aktif Yang Terdifusi ......................... Analisis Statistik Kruskal-Wallis Test dari Data Persentase Difusi Natrium Diklofenak .................................................... Statistik Persentase Difusi Natrium Diklofenak .................... Fluks Natrium Diklofenak dari Masing-masing Formula .... Pengolahan Data Fluks Secara Statistik Menggunakan ANOVA ................................................................................. Statistik Fluks Natrium Diklofenak ....................................... Persentase Kumulatif Kebocoran Backing .............................
11 26 31 34 35 37 38 39 41 41 43 43 44 45 45 46
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1. Gambar 2.2. Gambar 2.3. Gambar 2.4. Gambar 2.5 Gambar 2.6. Gambar 3.1. Gambar 4.1. Gambar 4.2. Gambar 4.3. Gambar 4.4. Gambar 4.5. Gambar 4.6. Gambar 4.7. Gambar 4.8. Gambar 4.9.
Struktur Kimia Natrium Diklofenak ..................................... Area Rongga Mulut .............................................................. Lapisan Mukosa Mulut ......................................................... Tahap Proses Mukoadhesi .................................................... Struktur Formula HPMC ...................................................... Struktur Formula Etil Selulosa ............................................. Skema dari Franz Diffusion .................................................. Patch dari Masing-masing Formula ..................................... Organoleptis Patch ............................................................... Penampakan Mikroskopis Patch .......................................... Grafik Keragaman Bobot ...................................................... Grafik Ketebalan Patch ........................................................ Grafik Pengembangan Patch ................................................ Grafik Persentase Difusi Zat Aktif Melalui Membran Gusi Sapi dari Masing-masing Formula ............................... Grafik Jumlah Difusi Zat Aktif Melalui Membran Gusi Sapi dari Masing-masing Formula ....................................... Fluks Natrium Diklofenak ....................................................
7 9 10 13 20 22 30 32 33 35 36 37 40 42 42 43
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 3.1 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9
Struktur Kimia Natrium Diklofenak ..................................... Area Rongga Mulut .............................................................. Lapisan Mukosa Mulut ......................................................... Tahap Proses Mukoadhesi .................................................... Struktur Formula HPMC ...................................................... Struktur Formula Etil Selulosa ............................................. Skema dari Franz Diffusion .................................................. Patch dari Masing-masing Formula ..................................... Organoleptis Patch ............................................................... Penampakan Mikroskopis Patch .......................................... Grafik Keragaman Bobot ...................................................... Grafik Ketebalan Patch ........................................................ Grafik Pengembangan Patch ................................................ Grafik Persentase Difusi Zat Aktif Melalui Membran Gusi Sapi dari Masing-masing Formula ............................... Grafik Jumlah Difusi Zat Aktif Melalui Membran Gusi Sapi dari Masing-masing Formula ....................................... Fluks Natrium Diklofenak ....................................................
7 9 10 13 20 22 30 32 33 35 36 36 40 42 42 44
xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang Diklofenak termasuk salah satu obat non-steroid anti-inflamasi drug (NSAID) yang banyak digunakan untuk menangani nyeri dan inflamasi, diklofenak juga digunakan untuk mengatasi nyeri dan inflamasi pada penyakit periodontal. Penelitian mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara produksi prostaglandin lokal dan metabolit lainnya dari asam arakidonat dengan terjadinya resorpsi tulang alveolar pada penyakit periodontal. Penelitian telah menemukan bahwa senyawa yang dapat menghambat produksi prostaglandin seperti obat golongan non steroidal anti-inflamasi drug (NSAID), dapat mempengaruhi tahap kehilangan tulang pada penyakit periodontal (Mohammed et al., 2009). Hampir semua obat golongan NSAID memiliki kecenderungan memiliki efek samping terhadap lambung dan duodenum (Wongso, 1996). Penyebab kematian yang sering akibat dari pemakaian NSAID adalah perdarahan lambung terutama pada pasien usia lanjut (Wongso, 1996). Pemakaian diklofenak selama kehamilan juga tidak dianjurkan (Wilmana dan Sulistia, 2007). Berdasarkan pedoman pelayanan farmasi untuk ibu hamil dan menyusui yang dikeluarkan oleh Depkes RI natrium diklofenak digolongkan pada katagori B dan D untuk wanita hamil dengan usia kehamilan di trimester ketiga dan menjelang kelahiran. Semua obat anti radang non-steroid (NSAID) dapat mengurangi peradangan dengan menghambat sintesis prostaglandin sampai derajat tertentu. Karena prostaglandin memainkan peran yang sangat besar pada perkembangan janin, penghambatan ini menyebabkan berbagai efek pada ibu, janin dan neonatus (Rubin, 1999). Upaya dalam menanggulangi efek samping dan bahaya penggunaan natrium diklofenak bagi ibu hamil dan pasien dengan gangguan pada saluran pencernaan adalah dengan dibuatnya suatu sediaan lokal yang dapat menghantarkan obat langsung ke tempat aksi. Salah satu sediaan yang dapat menghantarkan obat langsung ke tempat aksi adalah sediaan patch. Patch yang
1
UIN Syarif Hidayatullah
2
ideal harus dapat dengan cepat melekat dan memiliki kekuatan melekat yang optimum, tidak mengganggu proses berbicara, makan dan minum, harus dapat memberikan pelepasan obat yang searah menuju lapisan mukosa, tidak menyebabkan infeksi sekunder seperti karies gigi dan harus memiliki ketahanan yang baik akibat adanya pembilasan saliva (Izhar & John, 2012). Patch terdiri dari dua lapisan, dimana lapisan utama mengandung polimer yang adhesif dilapisi dengan lapisan backing yang impermeable (Koyi dan Arsyad, 2013). Polimer mukoadhesif yang ideal memiliki karakteristik tidak toksik dan dapat diabsorpsi pada saluran cerna, tidak menimbulkan iritasi, cocok jika digunakan setiap hari dan polimer tidak menjadi penghalang untuk pelepasan obat (Vimal et al., 2010). Kelompok polimer yang memiliki sifat mukoadhesif antara lain adalah kelompok polimer hidrofilik. Beberapa kelompok polimer hidrofilik dari polisakarida dan turunannnya seperti hidroksi propil metil selulosa (HPMC) telah digunakan dalam penghantaran mukoadhesif (Roy et al., 2009). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Doshi et al., (2011), formulasi film dengan polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC) memiliki sifat bioadhesi yang maksimum dibandingkan dengan film yang mengandung polimer polivinil alkohol (PVA) dan film yang mengandung kombinasi PVA serta polivinil pirolidon (PVP). Selain itu dari penelitian yang dilakukan oleh Lalatendu tahun 2004 menunjukkan bahwa patch Salbutamol sulfat yang mengandung konsentrasi polimer HPMC sebanyak 1,5% memiliki waktu tinggal yang lebih lama, yaitu selama 2,9 ± 0,55 jam jika dibandingkan dengan patch yang mengandung konsentrasi PVA 10% dengan waktu tinggal 2,20 ± 0,98 jam. Lapisan backing dibentuk dari polimer yang bersifat impermeable dengan air sebab fungsi dari lapisan backing adalah untuk mencegah zat aktif terlarut dan tertelan bersama saliva serta untuk memberikan aliran zat aktif secara searah ke lapisan mukosa (Yogananda & Rakesh, 2012). Polimer yang banyak digunakan sebagai pembentuk lapisan backing adalah etil selulosa, poli vinil alkohol (Koyi & Arsyad, 2013). Etil selulosa memiliki karakter tidak larut dan tidak mengembang di air (Murtaza, 2012). Etil selulosa yang dilarutkan dalam pelarut organik atau campuran pelarut organik digunakan untuk UIN Syarif Hidayatullah
3
menghasilkan film yang tidak larut dalam air. Film yang terbentuk memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan memberikan aliran zat aktif yang searah dengan sangat baik (Rowe, Paul and Marian, 2009). Etil selulosa telah digunakan sebagai backing membran pada formulasi sediaan bukal film yang mengandung zat aktif Carvedilol. Pada Penelitian tersebut sebagai backing membran digunakan larutan dengan konsentrasi etil selulosa sebanyak 10 % (w/v) (Viram et al., 2010). Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini akan dibuat suatu sediaan lokal yang berupa mukoadhesif patch. Patch yang akan dibuat merupakan patch yang terdiri dari dua lapisan. Lapisan utama yang mengandung zat aktif dalam matriks polimer HPMC dengan penambahan lapisan
backing
yang
terbentuk
dari
polimer
etil
selulosa.
Selain
memformulasikan dalam penelitian ini juga akan dilakukan evaluasi terhadap sifat fisikokimia patch, waktu tinggal patch pada membran gusi sapi dan difusi natrium diklofenak secara in vitro dengan menggunakan Franz diffusion cell.
1. 2.
Perumusan Masalah a.
Bagaimana sifat adhesivitas patch yang mengandung polimer HPMC pada membran mukosa gusi?
b.
Bagaimana kemampuan difusi natrium diklofenak dari sediaan patch?
c.
Bagaimana kemampuan polimer etil selulosa (EC) dalam mencegah difusi zat aktif ke saliva?
1. 3
Hipotesis a.
Lapisan yang terbentuk dari polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC) yang mengandung zat aktif dapat melekat pada lapisan mukosa gusi.
b.
Lapisan yang terbentuk dari polimer etil selulosa (EC) dapat menjadi backing yang mencegah difusi zat aktif ke saliva.
UIN Syarif Hidayatullah
4
1. 4
Tujuan Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk memformulasi dan mengkarakterisasi sifat-sifat dari patch natrium diklofenak yang berbasis polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC).
1. 5
Manfaat Pada penelitian ini dapat memberikan informasi dalam pengembangan sediaan patch natrium diklofenak yang digunakan secara lokal untuk penanganan inflamasi pada penyakit periodontal.
UIN Syarif Hidayatullah
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Penyakit Periodontal Jaringan periodontal merupakan bagian dari struktur gigi yang tersusun atas bagian jaringan gigi lunak dan keras (terdiri dari gingiva, sementum, ligamen periodontal) serta tulang alveolar yang berfungsi sebagai penyangga gigi (Houwink et al., 1993). Kelainan periodontal disebabkan oleh adanya plak pada gigi yang disebabkan oleh adanya bakteri. Penyebab lainnya penyakit periodontal adalah adanya variasi yang luas dari penyakit pada mukosa mulut yang terkadang berdampak pada gingiva (Cawson & Odell, 2002). Terdapat beberapa tahapan yang penting pada proses terjadinya penyakit periodontal. Yang pertama adalah adanya mekanisme pertahanan yang membentuk inflamasi pada gusi akibat paparan dari plak gigi. Proses peradangan tersebut dikenal dengan gingivitis. Tahap selanjutnya adalah terjadinya kerusakan periodontal, yang menyebabkan hilangnya jaringan penyangga. Apabila kerusakan tersebut tidak ditanggulangi maka tahap selanjutnya adalah hilangnya tulang mandibula, yang mengakibatkan tidak dapat dihindarinya ekstraksi elemen gigi. Klasifikasi penyakit periodontal dibagi atas dua golongan yaitu gingivitis dan periodontitis (Houwink et al., 1993). Gingivitis merupakan suatu peradangan pada periodonsium, yang terbatas pada daerah gingiva dan dianggap reversibel. Gingivitis dianggap sebagai pertahanan terhadap paparan bakteri yang menyebabkan plak pada gigi. Plak yang terdeposit pada daerah gingiva diakibatkan oleh buruknya kebersihan mulut serta tidak efektifnya proses membersihkan gigi. Proses inflamasi pada peradangan gingiva pada awalnya terjadi di daerah sulkus gingiva dan bagian yang terletak dibawah gingiva (Houwink et al., 1993). Pada awal terjadinya gingivitis terdapat kecenderungan untuk terjadinya perdarahan. Perdarahan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dapat dilihat pasien. Perdarahan biasanya timbul pada waktu
5
UIN Syarif Hidayatullah
6
menyikat gigi atau terkadang terjadi perdarahan spontan atau tanpa sebab. Oleh sekelompok besar masyarakat gingiva yang berdarah masih dapat dianggap sebagai proses yang normal dan tidak mengahawatirkan (Houwink et al., 1993). Gejala lainnya adalah terdapatnya perubahan warna pada gingiva. Warna gingiva berubah dengan meningkatnya peradangan, perubahan terjadi dari warna merah muda ke merah tua sampai ungu. Perubahan tersebut diakibatkan oleh adanya dilatasi pembuluh darah dan perubahan pada dinding pembuluh darah yang mengarah pada pengurangan kecepatan aliran darah serta adanya lebih banyak darah pada daerah yang meradang (Houwink et al., 1993). Pembengkakan bentuk gingiva diakibatkan dinding pembuluh darah menjadi lebih permeabel, maka terjadi perubahan keseimbangan osmotik darah dan jaringan interstisial. Perubahan bentuk gingiva terjadi pada stadium lebih lanjut yang diakibatkan oleh pembentukan jaringan granulasi, yang mengandung banyak fibroblas, pembuluh darah dan sedikit serabut kolagen. Pada gingivitis juga terkadang disertai dengan rasa nyeri (Houwink et al., 1993). Gingiva yang mengalami peradangan dapat kehilangan fungsinya, peradangan yang menyebabkan epitel menjadi lebih permeabel dan tidak dapat lagi menjadi penghalang (barier) terhadap pengaruh zat asing yang berasal dari rongga mulut (Houwink et al., 1993). Periodontitis merupakan proses peradangan di dalam periodonsium dimana sudah ada yang hilang dari bagian-bagian yang menghubungkan serat antara elemen gigi dan jaringan sekelilingnya, pada periodontitis juga dapat mengebabkan hilangnya tulang alveolar (Houwink et al., 1993). Periodontitis merupakan salah satu penyebab utama lepasnya gigi pada dewasa dan merupakan penyebab utama lepasnya gigi pada lanjut usia. Periodontitis terjadi jika gingivitis menyebar ke struktur penyangga gigi (Cawson & Odell, 2002). Periodontitis merupakan sebab umum dan poten yang menyebabkan halitosis. Gejala ini tidak dirasakan oleh pasien tetapi dirasakan oleh orang disekeliling pasien (Cawson & Odell, 2002). Kerusakan jaringan dan adanya bekteri yang dapat menibulkan plak merupakan penyebab bau yang sangat
UIN Syarif Hidayatullah
7
tidak enak (kadang-kadang disertai dengan pemebentukan nanah) (Houwink et al., 1993).
2. 2 Natrium Diklofenak Natrium
diklofenak
dichlorophenyl)-amino]
memiliki
nama
phenyl]-acetate,
kimia
dengan
Sodium formula
2-[(2,6molekul
C14H10Cl2NNaO2. Bobot molekul yang dimiliki Natrium diklofenak adalah sebesar 318,1 (Reynold, 1982).
Gambar 2.1. Struktur kimia Natrium diklofenak (Reynold, 1982) Natrium diklofenak praktis tidak berbau, berwarna putih kekuningan, berbentuk bubuk kristal atau serbuk yang sedikit higroskopis dan memiliki pK sekitar 4 (AHFS, 2002). Natrium diklofenak sedikit larut dalam air, larut dalam alkohol, sedikit larut dalam aseton, mudah larut dalam metil alkohol (Reynold, 1982). Seperti NSAID lainnya model aksi dari natrium diklofenak tidak diketahui, kemungkinan karena kemampuannya dalam menghambat sintesis prostaglandin yang berhubungan dengan efek anti-inflamasi (Reynold, 1982). Diklofenak
menghambat
sintesis
prostaglandin
di
jaringan,
dengan
menghambat COX1 dan COX2 (AHFS, 2002). Diklofenak mengalami metabolisme tingkat pertama (first pass effect) sehingga hanya sebanyak 50% yang dapat mencapai sirkulasi sistemik (Reynold, 1982). Diklofenak dimetabolisme menjadi 4-hidroksidiklofenak, 5hidroksidiklofenak, 3-hidroksidiklofenak, dan 4,5- dihidroksidiklofenak. Senyawa hasil metabolisme tersebut ekskresikan dalam bentuk glukoronida dan konjugat sulfat, paling banyak ditemukan dalam urin (60%) tetapi juga dalam empedu (35%) dan sebanyak 1% diekskresikan dalam bentuk lain (Reynold, 1982). UIN Syarif Hidayatullah
8
Diklofenak merupakan turunan asam fenilasetat, diklofenak merupakan golongan analgesik non-narkotik (NSAID). Yang paling banyak digunakan adalah garam natriumnya. Garam natrium diklofenak digunakan untuk penangnan nyeri dan inflamasi di beberapa kondisi, seperti nyeri sendi, rhematoid arthritis, osteoarthritis, natrium diklofenak juga digunakan dalam penanganan nyeri seperti nyeri pada ginjal, gout akut, dysmenorrhoea dan migren (Reynold, 1982). Dosis lazim Natrium diklofenak yang diberikan secara oral dan rektal sebesar 75 hingga 150 mg sehari. Dalam penanganan nyeri akibat terkilir, 1 plaster yang mengandung 1% natrium diklofenak dan diaplikasikan 1 kali dalam sehari dalam 3 hari sedangkan untuk epiconylitis 1 plaster 2 kali dalam sehari selama 14 hari (Reynold, 1982). Efek samping yang banyak dilaporkan dari penggunaan diklofenak adalah efek terhadap saluran cerna. Reaksi yang terjadi antara lain nyeri lambung, mual, muntah dan diare. Kadang-kadang dapat menyebabkan juga tukak lambung (peptic ulcer) dan perdarahan pada saluran cerna dapat terjadi. Diklofenak dapat menjadi penyebab tukak lambung kronik, small bowel perforation dan pseudomembranous colitis. Kerusakan ginjal dan hati dapat terjadi pada pasien yang mengkonsumsi diklofenak. Hepatotoksik akibat penggunaan diklofenak dapat diketahui setelah pemberian selama 6 bulan (Reynold, 1982). Berdasarkan pedoman pelayanan farmasi untuk ibu hamil dan menyusui yang dikeluarkan oleh Depkes RI natrium diklofenak digolongkan pada katagori B dan D untuk wanita hamil dengan usia kehamilan di trimester ketiga dan menjelang kelahiran. Semua obat anti radang non-steroid (NSAID) mengurangi peradangan dengan menghambat sintesis prostaglandin sampai derajat tertentu. Karena prostaglandin memainkan peran yang sangat besar pada perkembangan janin, penghambatan ini menyebabkan berbagai efek pada ibu, janin dan neonatus. Efek samping yang dialami oleh ibu hamil antara lain adalah pemanjangan kehamilan, pemanjangan proses persalinan, kehilangan banyak darah sebelum dan setelah melahirkan, anemia dan pre-eklampsia. Sedangkan efek terhadap janin dan bayi baru lahir antara lain adalah adanya UIN Syarif Hidayatullah
9
kelainan hemostatik, peningkatan insiden perdarahan intrakranial, penutupan prematur duktus arteriosus dan hipertensi paru persisten (Rubin, 1999).
2. 3 Anatomi Mukosa Rongga Mulut Rongga mulut terdiri atas daerah bibir, pipi, lidah, hard palate, soft palate dan daerah dasar mulut (Yogananda & Rakesh, 2012). Rongga mulut dibatasi oleh membran mukosa dengan total area permukaan sebesar 100 cm2 (Kaul et al., 2011), yang meliputi mukosa bukal, sublingual, gingival, palatal dan labial mukosa. Terdapat tiga jenis mukosa yang ditemukan pada lapisan rongga mulut : a. Lapisan mukosa Linning ditemukan dibagian daerah bibir, pipi (bukal), soft palatal dan daerah sublingual. Memiliki ketebalan 500-800 µm dan merupakan 60% dari bagian mukosa oral. b. Lapisan mukosa yang khusus (Specialized mucosa) ditemukan dibagian permukaan dorsal lidah, meliputi 15% dari total mukosa oral. c. Mukosa masticatory, mukosa ini meliputi 25% total mukosa oral dan memiliki ketebalan 100-200 µm, yang ditemukan pada daerah hard palatal dan daerah gingiva (Yogananda & Rakesh, 2012).
Gambar 2.2. Area rongga mulut (Latheeshjla et al., 2012) Terdapat tiga lapisan khas dari rongga mulut, ketiga lapisan tersebut adalah epitel, membran basal, dan jaringan ikat. Rongga mulut dilapisi dengan epitel, yang terletak di bawah membran basal pendukung. Membran basal ini, pada gilirannya didukung oleh jaringan ikat (Kaul et al., 2012). UIN Syarif Hidayatullah
10
Gambar 2.3. Lapisan mukosa mulut (Bhardwaj et al., 2012) Sel epitel, sebagai lapisan pelindung untuk jaringan di bawahnya, dibagi menjadi (a) permukaan non-keratin yang terdapat pada daerah di lapisan mukosa langit-langit lunak, permukaan ventral lidah, dasar mulut, mukosa alveolar, vestibula, bibir dan pipi, dan (b) epitel keratin yang ditemukan di daerah langit-langit keras dan di bagian yang tidak fleksibel dari rongga mulut. Sel-sel epitel, berasal dari sel-sel basal, matang berubah bentuk dan bertambah besar saat bergerak menuju permukaan (Kaul et al., 2012). Keratin merupakan protein yang berbentuk non filamen dengan ukuran molekul 40 – 70 kDa. Jaringan yang mengandung keratin dan jaringan yang tidak berkeratin meliputi 50% dan 30% dari total luas area di mulut. Perbedaan diantara epitel yang mengandung keratin dan epitel yang tidak mengandung keratin adalah perbedaan ukuran dari keratin. Epitel yang tidak mengandung keratin mengandung protein dengan bobot molekul rendah dibandingkan dengan keratin yang menyusun epitel berkeratin. Membran basal membentuk lapisan khas antara jaringan ikat dan epitel. Hal tersebut mengharuskan pelekatan antara epitel dan jaringan ikat di bawahnya, yang berfungsi sebagai pendukung mekanik untuk epitel. Jaringan ikat dibawah epitel memberikan banyak sifat mekanik pada mukosa mulut (Kaul et al., 2012).
UIN Syarif Hidayatullah
11
Tabel 2.1. Komposisi dan Keberadaan Keratin di Mukosa Mulut Jaringan Keberadaan keratin Komposisi Bukal mukosa
Non Keratin
Sedikit
netral,
mengandung Mukosa Sublingual
Non Kerain
lipid
tetapi polar,
terutama kolesterol sulfat dan glukosiceramida
Mukosa gusi
Keratin
Lemak
Palatal
Keratin
ceramida
netral
seperti
Mukus merupakan sekret yang bening dan lengket yang membentuk lapisan tipis, yang berupa lapisan gel yang melekat pada permukaan epitel. Pada manusia ketebalan dari lapisan mukus ini bervariasi antara 50-450 µm. Lapisan mukosa yang terbentuk oleh mukus yang disekresikan oleh lapisan sel goblet atau oleh kelenjar eksokrin khusus dengan mukus sel acini. Komposisi tepat dari lapisan mukus bervariasi tergantung pada spesies, lokasi anatominya serta patofisiologi bagiannya. Secara umum komposisi mukus terdiri dari air dengan konsentrasi 95%, glikoprotein dan lipid sebesar 0,5 – 5%, garam mineral 0,5 – 1% dan protein bebas sebanyak 0,5-1% (Yogananda & Rakesh, 2012). Pada pH fisiologis, lapisan mukus mengandung muatan negatif dikarenakan adanya residu asam sialic dan sulfat dan muatan dengan bobot jenis yang tinggi disebabkan oleh adanya muatan negatif yang berperan pada sifat bioadhesi. Lapisan mukus memiliki beberapa fungsi. Fungsi primer dari lapisan mukus antara lain : 1) Mukus menjadi pelindung karena sifat hidrofobiknya 2) Lapisan mukus berperan sebagai penghalang (barier) dalam proses absorpsi obat dan zat lainnya 3) Mukosa memiliki sifat melekat yang kuat dan dengan kuat terikat pada lapisan permukaan epitel sebagai lapisan gel 4) Peran penting lapisan mukus adalah melapisi membran mukosa dan menjaga kelembaban dari lapisan mukosa tersebut (Akhter et al., 2012).
UIN Syarif Hidayatullah
12
2. 4 Mukoadhesif Adhesi (pelekatan) didefinisikan sebagai keadaaan suatu permukaan yang berikatan bersama melalui daya antarmuka, yang dapat terjadi akibat daya valensi atau aksi saling mengikat atau bahkan keduanya (Kumar et al., 2011). Istilah bioadhesi digunakan untuk mendeskripsikan pelekatan antara 2 bahan yang salah satunya merupakan bahan biologis. Dalam sistem penghantaran bioadhesif merujuk kepada pelekatan antara bahan pembantu dalam formulasi dengan jaringan biologis. Istilah mukoadhesif menunjukkan adanya pelekatan polimer pada permukaan mukosa (Roy et al., 2009). Sistem penghantaran obat dengan mukoadhesif memanfaatkan polimer yang larut dalam air serta dapat melekat. Oleh karena itu dapat digunakan untuk menetapkan sasaran obat pada suatu daerah tertentu di tubuh untuk periode waktu yang lebih lama (Kumar et al., 2011). Agar adhesi (pelekatan) dapat terjadi molekul harus dapat melekat pada suatu permukaan dengan ikatan tertentu. Ikatan yang dapat terjadi antara lain adalah ikatan ionik, ikatan kovalen, ikatan hidrogen, ikatan Vander Wall, ikatan hidrofobik, ikatan yang membentuk jembatan disulfida, daya hidrasi, daya elektrostatik dan daya sterik (Kumar et al., 2011). Ada dua tahap yang dapat menjelaskan proses interaksi antara bahan mukoadhesif dengan membran mukosa (Kaul et al., 2011). Tahap pertama adalah kontak, ditandai dengan terjadinya kontak antara bagian mukoadhesif dengan
membran
mukosa.
Tahap
kedua
adalah
tahap
konsolidasi
(penggabungan), terjadinya berbagai interaksi fisikokimia untuk membentuk suatu gabungan dan memperkuat pelekatan serta untuk memperpanjang pelekatan (Kaul et al., 2011).
UIN Syarif Hidayatullah
13
Gambar 2.4. Tahap proses mukoadhesi (Kaul et al., 2011) Karena mekanisme mukoadhesif itu termasuk rumit, maka proses mukoadhesif tidak dapat dijelaskan oleh satu teori saja (Kaul et al., 2011). Terdapat berbagai teori mengenai adhesi (pelekatan) yang digunakan untuk menjelaskan proses mukoadhesif. Teori teori tersebut antara lain : 1. Teori adsorpsi Teori ini menjelaskan, setelah terjadi kontak antara dua permukaan, bahan akan melekat disebabkan adanya daya permukaan. Ada dua jenis ikatan kimia yang berperan. Yang pertama adalah ikatan kovalen yang tidak diinginkan dalam proses bioadhesi karena ikatan tersebut memiliki daya lekat yang kuat yang dapat menghasilkan ikatan yang permanen. Ikatan yang kedua adalah ikatan kimia yang memiliki gaya tarik menarik yang berbeda, meliputi gaya elektrostatik, gaya Vander Wall, ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik (Kumar et al., 2011). 2. Teori difusi Berdasarkan teori ini, rantai polimer dengan mukus akan bercampur dengan kedalaman yang cukup untuk membentuk suatu ikatan semipermanen. Kedalaman penetrasi keduanya tergantung pada koefisien difusi dan lamanya waktu kontak. Koefisien difusi tergantung pada bobot jenis antara cross-links (Kumar et al., 2011). 3. Teori elektronik Berdasarkan teori ini, transisi elektronik terjadi akibat kontak permukaan pelekat dan karena adanya perbedaan dalam struktur elektronik. Pelekatan terjadi akibat gaya elektrostatik antara glikoprotein mucin dengan bahan
UIN Syarif Hidayatullah
14
bioadhesif. Transfer elektron terjadi antara dua buah pembentukan lapisan ganda dari muatan elektron pada permukaan (Kumar et al., 2011). 4. Teori mekanik Berdasarkan teori ini, pelakatan muncul akibat saling mengikat dari suatu cairan pelekat ke bagian yang tidak teratur pada permukaan kasar pada substrat. Difusi tersebut akan membentuk suatu ikatan bersama pada struktur yang memberikan peningkatan pelekatan (Kumar et al., 2011). 5. Teori pembasahan (Wetting teori) Teori ini menjelaskan bahwa kemampuan melekat dan kontak dari suatu bahan dijelaskan oleh kemampuan suatu cairan atau pasta tersebar dalam sistem biologis. Selain itu teori pembasahan juga menyatakan jika sudut kontak cairan pada permukaan substrat lebih rendah, maka ada afinitas yang lebih besar bagi cairan ke permukaan substrat. Jika dua permukaan substrat tersebut berkontak satu sama lain dengan adanya cairan, cairan dapat bertindak sebagai perekat antara permukaan substrat (Kumar et al., 2011). Berdasarkan teori-teori tersebut, proses bioadhesi secara luas dapat diklasifikasikan menjadi dua katagori. Katagori pertama yaitu proses kimia yang meliputi teori elektronik dan teori adsopsi, katagori kedua adalah proses fisika yang meliputi teori pembasahan dan teori difusi (Roy et al., 2009). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan mukoadhesi, antara lain polimer, lingkungan yang mempengaruhi dan perubahan fisiologis (Vimal et al., 2010). 1. Polimer dan faktor yang mempengaruhinya meliputi bobot molekul polimer, konsentrasi polimer aktif, fleksibilitas dari rantai polimer serta konformasi ruang dari polimer (Vimal et al., 2010). a.
Bobot molekul yang optimum untuk menghasilkan sifat bioadhesi yang maksimum tergantung pada jenis polimer bioadhesif yang digunakan. Secara umum telah diketahui bahwa bobot molekul minimal yang diperlukan untuk menghasilkan sifat bioadhesif yang baik adalah polimer dengan bobot molekul 100.000. Sifat bioadhesif
UIN Syarif Hidayatullah
15
dapat meningkat dengan meningkatnya bobot molekul dari suatu polimer (Vimal et al., 2010). b.
Konsentrasi polimer yang digunakan juga mempengaruhi sifat bioadhesif dari suatu bahan. Terdapat konsentrasi optimum dari penggunaan polimer bioadhesif untuk menghasilkan sifat bioadhesi yang maksimal. Dalam sistem dengan konsentrasi polimer yang tinggi, yang melampaui batas optimal, kekuatan adhesinya akan berkurang secara signifikan dikarenakan molekul yang tergulung menjadi terpisah dari medium sehingga rantai yang tersedia untuk saling berpenetrasi menjadi terbatas (Vimal et al., 2010).
c.
Sifat fleksibilitas dari rantai polimer. Sifat fleksibilitas sangat diperlukan dalam proses saling berpenetrasi serta membentuk gulungan. Polimer yang larut dalam air membentuk ikatan silang, gerakan
dari
masing-masing
rantai
polimer
berkurang dan
menurunkan lengan efektif yang dapat berpenetrasi ke dalam lapisan mukus, sehingga dapat mengurangi kekuatan bioadhesifnya (Vimal et al., 2010). d.
Selain bobot molekul dan panjang rantai dari polimer, konformasi ruang dari polimer juga penting. Walaupun memuliki bobot molekul yang besar contohnya dextran (BM 19.500.000) memiliki kekuatan adhesif yang sama dengan polietilen glikol (PEG) dengan bobot molekul 200.000. Konformasi heliks dari dextran dapat melindungi gugus aktif yang bertanggung jawab terhadap sifat adhesinya, tidak seperti dextran, PEG memiliki konformasi linier (Vimal et al., 2010).
2. Faktor lainnya adalah faktor lingkungan, seperti tempat pelekatan, pH, waktu kontak serta derajat pengembangan (Vimal et al., 2010). a. Lokasi pelekatan dari sistem bioadhesi mempengaruhi kekuatan adhesinya. Kekuatan adhesi meningkat dengan kekuatan saat aplikasi atau dengan durasi pengaplikasiannya hingga optimal. Tekanan awal pengaplikasian pada jaringan mukoadhesif efektif dalam menentukan kedalaman dari saling berpenetrasi. Jika tekanan tinggi diterapkan untuk jangka waktu yang cukup lama, polimer dapat menjadi UIN Syarif Hidayatullah
16
mukoadhesif walaupun polimer tersebut tidak memiliki interaksi yang menarik dengan mukus (Vimal et al., 2010). b. pH dapat mempengaruhi muatan di permukaan mukus, seperti yang telah diketahui beberapa polimer bioadhesi terionisasi pada lapisan tersebut. Mukus akan memiliki perbedaan muatan tergantung pada pH karena adanya pemisahan dari gugus fungsi pada karbohidrat dan asam amino dari rantai polipeptida (Vimal et al., 2010). c. Waktu kontak antara materi bioadhesi dan lapisan mukosa menentukan derajat pengembangan dan saling penetrasi dari rantai bioadhesif. Selain itu, kekuatan bioadhesi meningkat dengan peningkatan waktu kontak awal (Vimal et al., 2010). d. Derajat
pengembangan,
tergantung
pada
konsentrasi
polimer,
konsentrasi ion serta keberadaan air (Vimal et al., 2010). 3. Perubahan fisiologis yang terdiri dari perubahan mucin serta suatu penyakit. a. Perubahan mucin secara normal sangat penting karena dua alasan. Yang pertama, perubahan mucin mengharapkan batasan pelekatan dari bahan mukoadhesif pada lapisan mukus. Walaupun kekuatan adhesi yang besar dari bahan bioadhesi, bahan tersebut dapat terlepas akibat perubahan mucin. Alasan yang kedua, perubahan mucin menghasilkan senyawa antara yang larut dalam molekul mucin. Molekul tersebut berinteraksi dengan bahan mukoadhesi sebelum memberi kesempatan untuk
berinteraksi
dengan
lapisan
mukosa.
Perubahan
mucin
bergantung pada faktor lain seperti makanan (Vimal et al., 2010). b. Fisikokimia dari mukus dipengaruhi oleh berbagai kondisi yang diakibatkan suatu penyakit, seperti flu, tukak lambung, infeksi bakteri dan jamur pada saluran reproduksi wanita (Vimal et al., 2010). Polimer yang digunakan dalam sediaan mukoadhesif merupakan polimer yang larut maupun yang tidak larut dalam air, yang dapat mengembang dan berikatan dengan agen sambung silang. Polimer tesebut harus memiliki polaritas yang optimal untuk memastikan bahwa polimer tersebut memungkinkan untuk terbasahi oleh mukus dan memiliki fluiditas
UIN Syarif Hidayatullah
17
optimal yang memungkinkan untuk saling adsorpsi dan saling berpenetrasi antara polimer dan mukus (Vimal et al., 2010). Polimer mukoadhesif yang melekat pada permukaan epitel mucin secara luas dapat dibagi menjadi 3 kelas, yaitu : a. Polimer yang menjadi lengket ketika berkontak dengan air dan memperlihatkan sifat bioadhesivitasnya. b. Polimer yang melekat secara tidak spesifik, melalui interaksi non kovalen terutama ikatan elektrostatik (seperti, ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik). c. Polimer yang berikatan secara spesifik dengan reseptor di permukaan (Vimal et al., 2010). Polimer mukoadhesif yang ideal memiliki karakteristik berikut ini (Vimal et al., 2010) : a. Polimer dan produk degradasinya harus tidak toksik dan dapat diabsorpsi pada saluran cerna. b. Tidak iritasi terhadap membran mukosa. c. Membentuk ikatan yang non kovalen dengan sel epitel permukaan mucin. d. Cepat melekat di jaringan dan memiliki lokasi yang spesifik. e. Polimer tidak rusak dalam penyimpanan selama waktu tertentu. f. Harganya tidak mahal. g. Cocok jika digunakan setiap hari dan polimer tidak menjadi penghalang untuk pelepasan obat (Vimal et al., 2010).
2. 5 Patch Patch dideskripsikan sebagai sediaan yang terdiri dari dua lapisan, dimana lapisan yang mengandung polimer yang adhesif dilapisi dengan lapisan backing yang impermeable (Koyi & Arsyad, 2013). Lapisan mukoadhesif pada patch dapat melekat pada mukosa oral, daerah di gusi dan lainnya untuk mengontrol pelepasan zat aktif. Patch memiliki sifat fleksibilitas yang baik sehingga lebih dapat ditoleransi oleh pasien dibandingkan dengan sediaan mukoadhesif tablet. Patch juga lebih dapat menjamin keakuratan dosis
UIN Syarif Hidayatullah
18
dibandingkan dengan sediaan gel atau salep (Shravan et al., 2012). Tipe patch ada 2 jenis antara lain : 1. Tipe matriks Patch dengan tipe matriks dirancang agar zat aktif, polimer dan bahan tambahan lainnya dicampur bersama. 2. Tipe reservoir Patch dengan tipe ini dirancang dalam sistem reservoir yang mengandung lubang untuk zat aktif dan bahan tambahan lainnya agar terpisah dari lapisan adhesif. Backing yang impermeable digunakan untuk mengontrol arah pelepasan zat aktif (Shravan et al., 2012). Patch terdiri dari beberapa komponen antara lain : 1. Bahan aktif. Obat yang mengalami first pass effect serta obat bagi pasien dengan kondisi khusus merupakan kandidat terbaik untuk dibuat dalam sediaan patch. Zat aktif dapat ditambahkan sebesar 5-25% w/w dari bobot total polimer (Yogananda & Rakesh, 2012). 2. Polimer (lapisan adhesif) Polimer mukoadhesif digunakan untuk menghantarkan zat aktif ke tempat spesifik dan untuk mengoptimalkan penghantaran obat dikarenakan adanya kontak yang lebih lama. Polimer pada lapisan ini akan berkontak dengan mukosa yang merupakan faktor penting dalam keberhasilan penghantaran obat (Yogananda & Rakesh, 2012). 3. Lapisan Backing Polimer yang bersifat impermeable dengan air dapat digunakan untuk membentuk lapisan backing pada patch. Lapisan backing ini harus memiliki fleksibilitas yang baik, kakuatan tarik yang tinggi serta permeasi air melewati lapisan ini harus rendah. Fungsi utama dari lapisan backing adalah memberikan aliran zat aktif secara searah ke lapisan mukosa. Lapisan backing ini juga dapat mencegah zat aktif terlarut dalam saliva dan mencegah zat aktif tertelan bersama saliva. Bahan yang digunakan dalam pembuatan lapisan backing ini harus inert. Lapisan ini memiliki ketebalan sekitar 75-100 µm (Yogananda & Rakesh, 2012). UIN Syarif Hidayatullah
19
4. Plasticizer Merupakan komponen yang digunakan untuk membentuk film tipis yang halus dan fleksibel dari satu jenis polimer atau campuran polimer. Konsentrasi polimer yang digunakan secara umum berkisar antara 0-20% w/w dari bobot kering polimer. Plasticizer dapat mencegah film pecah, mudah sobek dan mengelupas (Yogananda & Rakesh, 2012). 5. Peningkat Penetrasi Merupakan senyawa yang dapat membantu meningkatkan penetrasi zat aktif. Bahan yang digunakan harus tidak toksik, inert, tidak menimbulakan iritasi dan tidak menyebabkan alergi (Yogananda & Rakesh, 2012). Terdapat beberapa metode yang digunakan dalam proses pembuatan mukoadhesif patch, antara lain metode solvent casting, hot melt extruction dan direct milling (Shravan et al., 2012). 1. Solvent Casting Film oral lebih sering dibuat dengan metode solvent casting, komponen yang larut dalam pelarut dilarutkan untuk menghasilkan larutan kental yang jernih. Zat aktif dan komponen lainnya dilarutkan dalam sejumlah kecil pelarutnya dan dikombinasikan menjadi larutan bulk. Campuran ini ditambahkan
kedalam
larutan
kental.
Udara
yang
terperangkap
dipindahkan dengan vakum. Larutan yang dihasilkan dicetak sebagai film dan dibiarkan mengering, kemudian dipotong-potong menjadi lembaran dengan ukuran yang diinginkan. 2. Hot Melt Extrusion Hot Melt Extrusion (HME) umum digunakan untuk membuat granul, tablet sustained release, sistem penghantaran obat transdermal dan transmukosal. Film yang diproses dengan tehnik ini melibatkan pembentukan polimer menjadi film dengan proses pemanasan. Campuran pembawa obat diisikan ke dalam hopper dan dicampur dan dilelehkan dengan ekstruder. Die akan membentuk lelehan menjadi bentuk film yang diinginkan. HME meliputi pencampuran pembawa obat pada suhu lebih rendah dan waktu tinggal lebih singkat (< 2 menit), ketiadaan pelarut organik, produk buangan
UIN Syarif Hidayatullah
20
minimum, kontrol parameter operasi yang baik, dapat untuk operasi berkelanjutan dan scale up. 3. Direct milling Dalam metode ini, proses pembuatan dilakukan tanpa menggunakan pelarut. Obat dan bahan tambahan lainnya secara mekanik dicampur dengan menggunakan direct milling atau kneading, biasanya tanpa menggunakan larutan sedikitpun. Setelah dicampur, hasilnya digulung di release liner hingga mencapai ketebalan yang diinginkkan. Kemudian dilapisi dengan lapisan backing.
2. 6 Hidroksi Propil Metil Selulosa Hidroksi propil metil selulosa atau dengan nama lain Benecel MHPC; E464; Hidroksi propil metil selulosa; hypermellose; hypromellosum; Methocel; methyl cellulose propylene glycol ether; methyl hydroxypropylcellulose; Metolose; MHPC; Pharmacoat; Tylopur; Tylose MO. Merupakan polimer dengan karakteristik bentuk berupa serbuk granul atau berserat dengan warna putih kecoklatan (krem) dengan tidak memiliki rasa dan bau (Rowe, Paul and Marian, 2009).
Keterangan : R adalah H, CH3 atau CH3CH(OH)CH2
Gambar 2.5 Struktur HPMC (Rowe, Paul and Marian, 2009). HPMC larut dalam air dingin dan membentuk larutan koloid kental, praktis tidak larut dalam air panas, kloroform, etanol (95%) dan eter, tetapi dapat larut dalam campuran etanol dan diklormetan, campuran metanol dan diklormetan serta larutan air dan alkohol. Beberapa grade dari HPMC larut dalam larutan aseton, campuran aseton dan propan-2-ol dan pelarut organik lainnya. Beberapa grade dapat mengembang dalam etanol. HPMC dengan UIN Syarif Hidayatullah
21
konsentrasi 2% dalam larutan air memiliki pH sebesar 5,0–8,0 (Rowe, Paul and Marian, 2009). HPMC tidak bercampur dengan beberapa zat pengoksidasi kuat. HPMC merupakan polimer nonionik, sehingga tidak membentuk kompleks dengan garam logam atau ion organik dan membentuk endapan yang tidak terlarut. Larutan HPMC stabil pada pH 3-11 (Rowe, Paul and Marian, 2009). HPMC digunakan sebagai bahan bioadhesif, pembentuk film, zat penyalut, zat pengontrol pelepasan obat, agen pendispersi, peningkat disolusi, emulgator, stabilizer emulsi, zat peningkat viskositas, pengikat, mukoadhesif dan agen peningkat kelarutan (Rowe, Paul and Marian, 2009). HPMC merupakan salah satu polimer yang paling banyak digunakan dalam penghantaran obat melalui rute bukal. HPMC dikategorikan sebagai polimer hidrofilik yang merupakan polimer yang dapat larut dalam air. Jenis polimer ini akan mengembang ketika ditempatkan dalam media berair yang disertai dengan disolusi matriks. Beberapa kelompok polimer polisakarida dan turunannnya seperti HPMC memiliki permukaan aktif sebagai sifat tambahan dalam kemampuannya membentuk film (Roy at al, 2009). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Doshi et al.,
tahun 2011, diketahui
bahwa film diklofenak yang mengandung polimer HPMC memiliki waktu tinggal yang paling lama dibandingkan dengan film yang mengandung polimer PVA dan kombinasi PVA-PVP. Selain itu penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa film yang mengandung HPMC memiliki kekuatan bioadhesif yang paling tinggi. Selain itu dari penelitian yang dilakukan oleh Lalatendu tahun 2004 menunjukkan bahwa patch Salbutamol sulfat yang mengandung polimer HPMC sebanya 1,5% memiliki waktu tinggal yang lebih lama, yaitu selama 2,9 ± 0,55 jam jika dibandingkan dengan patch yang mengandung PVA 10% dengan waktu tinggal 2,20 ± 0,98 jam (Lalatendu et al., 2004).
UIN Syarif Hidayatullah
22
2. 7 Etil Selulosa (EC) Etil selulosa merupakan selulosa hasil reaksi antara etil klorida dengan alkali selulosa. Etil selulosa mmemiliki nama kimia Cellulose ethyl ether [9004-57-3], selain itu Etil selulosa juga memiliki sinomin antara lain Aquacoat ECD; Aqualon; Ashacel; E462; Ethocel; ethylcellulosum; Surelease. Etil selulosa berfungsi sebagai agen penyalut (coating agent), perasa, pengisi tablet, pengikat tablet dan peningkat viskositas (Rowe, Paul and Marian, 2009).
Gambar 2.6. Struktur Formula Etil selulosa (Rowe, Paul and Marian, 2009)
Etil selulosa berupa bubuk putih, bebas mengalir dan tidak berasa. Etil selulosa praktis tidak larut dalam gliserin, propilen glikol dan air. Etil selulosa yang mengandung kurang dari 46,5% gugus etoksi mudah larut dalam kloroform, metil asetat dan tetrahidrofuran serta campuran hidrokarbon aromatik dengan etanol (95%). Etil selulosa yang mengandung tidak kurang dari 46,5% gugus etoksi mudah larut dalam kloroform, etanol (95%), etil asetat, metanol dan toluen (Rowe, Paul and Marian, 2009). Etil selulosa tidak mengembang dan tidak larut dalam air dikarenakan etil selulosa memiliki kepadatan dan porositas yang merupakan kunci utama dalam pelepasan obat dari bahan yang tidak larut air. Walaupun etil selulosa tidak larut dalam air, etil selulosa dapat menyerap air, dikarenakan ikatan hidrogen antara atom oksigen dan gugus etil pada etil selulosa. Etil selulosa memiliki bobot jenis 0,4 g/cm3 (Rowe, Paul and Marian, 2009). Berdasarkan kandungan gugus etoksi (%), etil selulosa dibagi menjadi tiga kelas, antara lain kelas K, N dan T yang masing masing mengandung gugus etoksi 44-47,9 %, 48-49% dan 49,6-51,0%. Selain itu berdasarkan panjangnya rantai polimerisasi atau jumlah unit anhidroglukosanya, etil selulosa memiliki perbedaan tingkatan viskositasnya (Murtaza, 2012). UIN Syarif Hidayatullah
23
Viskositas etil selulosa yang diukur pada suhu 250C dengan menggunakan 5% etil selulosa yang dilarutkan dalam campuran 80% toluen dengan 20% etanol (w/w), memiliki viskositas yang berbeda antara 7-100 mPa (7-100 cP) (Rowe, Paul and Marian, 2009). Etil selulosa yang dilarutkan dalam pelarut organik atau campuran pelarut organik digunakan untuk menghasilkan film yang tidak larut dalam air. Etil selulosa dengan viskositas yang tinggi dapat menghasilkan film yang kuat dan tahan lama. Film etil selulosa dapat dimodifikasi untuk merubah kelarutannya dengan penambahan Hypermellose atau plasticizer (Rowe, Paul and Marian, 2009). Etil selulosa juga digunakan sebagai backing membran dalam sediaan bukal patch. Membran yang terbentuk memiliki kekuatan tarik yang tinggi dan memberikan aliran zat aktif yang searah dengan sangat baik (Rowe, Paul and Marian, 2009). Etil selulosa telah digunakan sebagai backing membran pada formulasi sediaan bukal film yang mengandung zat aktif Carvedilol. Pada Penelitian tersebut sebagai backing membran digunakan larutan etil selulosa sebanyak 10 % (w/v) yang dilarutkan dalam etanol dan ditambahkan propilen glikol sebagai plasticizer (Viram et al., 2010). Etil selulosa merupakan bahan tambahan yang tidak toksik, tidak menimbulkan alergi serta tidak menimbulkan iritasi. Etil selulosa tidak kompatibel dengan parafin padat dan padatan mikrokristalin (Rowe, Paul and Marian, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah
BAB 3 METODE PENELITIAN
3. 1
Alur Penelitian Pembuatan larutan pembentuk patch
Larutan HPMC 1%, 1,5% dan 2%
Larutan etil selulosa
Evaluasi viskositas
Pembuatan lapisan HPMC yang mengandung Na diklofenak
Organoleptis
Pembuatan lapisan backing
Evaluasi Fisik
Keragaman Bobot Keseragaman Kandungan Keragaman Ketebalan
Pembuatan patch bilayer
Derajat Pengembangan
pH Permukaan
Uji Pelipatan
Uji Waktu
Uji Kemampuan
Uji kebocoran
Tinggal
Difusi Zat Aktif
backing
Analisis Data
Pembahasan
Kesimpulan
24
UIN Syarif Hidayatullah
25
3. 2
Tempat dan Waktu Penelitian Laboratorium Penelitian 2, Laboratorium Penelitian 1 Prodi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Laboratorium Kesehatan Lingkungan (Kesling) Prodi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian berlangsung 5 bulan, dari bulan Maret 2013 hingga Juli 2013.
3. 3
Alat dan Bahan
3. 3.1
Alat Timbangan analitik (AND GH-202), viskotester HAAKE 6R, pengaduk magnetik (WIGGEn HAUSER), mikrometer digital (Mitutoyo, Jepang), cetakan film, mikroskop optik (Olympus IX 71, Jepang), disintegrator (Electrolab ED-2L), desikator, oven (Eyela NDO- 400, Jepang), cutter, gunting, Franz diffusion
cell, spuit, vial, spektrofotometer Uv Visible
(Hitachi U-2910) dan alat-alat gelas yang sering dipakai di laboratorium. 3. 3.2
Bahan Na Diklofenak (PT. Indofarma), Hidroksi propil metil selulosa 50 cPs (ShinEtsu, Japan), etil selulosa N100 (Hercules), aquades, gliserin (Brataco, Indonesia), Propilen glikol (Brataco, Indonesia), Etanol 70%, Etanol 95% (Mallincrkrodt, USA), Kloroform (Merck, Indonesia), Natrium hidroksida (Merck, Indonesia), kalium dihidrogen fosfat (Merck, Indonesia), mukosa gingival sapi, cyanoacrylate adhesive, silika, kertas saring dan pH indikator (Merck, Indonesia).
3. 4
Prosedur Kerja
3. 4.1
Formula Patch Melalui perhitungan, maka tiap 20 gram formula mengandung komponenkomponen seperti yang ada dalam tabel 3.1.
a.
Preparasi lapisan HPMC HPMC ditimbang secara akurat kemudian dilarutkan dalam 15 gram etanol 70% dalam gelas beker dan diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik. Ke dalam larutan polimer tersebut ditambahkan gliserin dan UIN Syarif Hidayatullah
26
diaduk homogen kembali. Dalam beker terpisah, natrium diklofenak dilarutkan dalam 3 gram etanol 70% dan ditambahkan sejumlah propilen glikol sebagai peningkat penetrasi, larutan tersebut kemudian diaduk homogen. Larutan zat aktif tersebut dicampurkan ke dalam larutan polimer dan diaduk hingga homogen dengan bantuan pengaduk magnetik. Terakhir larutan polimer yang telah mengandung zat aktif dicukupkan massanya hingga 20 g. Sebelum dimasukkan dalam cetakan, viskositas larutan polimer diukur terlebih dahulu. Sebanyak 20 gram larutan HPMC (jumlah ini hasil optimasi, menghasilkan ketebalan yang sesuai dengan pengamatan visual) tersebut dituang dalam cetakan dan dikeringkan pada suhu 500C selama 18 jam. Tabel 3.1. Formula patch Natrium diklofenak Bahan
Satuan
A1 LAPISAN HPMC
Formula A2
A3
Natrium diklofenak
gram
0,015
0,015
0,015
HPMC (50 mPa)
gram
0,2
0,3
0,4
Gliserin
gram
0,08
0,12
0,16
Propilen glikol
gram
0,02
0,03
0,04
Etanol (70%)
gram
19,685
19,535
19,385
LAPISAN BACKING
b.
Etil selulosa (100 mPa)
gram
0,480
0,480
0,480
Propilen glikol
gram
0,096
0,096
0,096
Kloroform
ml
10
10
10
Etanol (95%)
ml
5
5
5
Preparasi Pacth Etil selulosa ditimbang dengan tepat sebanyak 0,480 g dan dilarutkan dalam 10 ml kloroform, kemudian kedalam larutan tersebut ditambahkan propilen glikol yang telah ditambahkan 5 ml etanol dan diaduk homogen menggunakan pengaduk magnetik. Pengadukan dilakukan selama 30 menit. Sebelum dimasukkan dalam cetakan, viskositas larutan polimer diukur terlebih dahulu. Larutan polimer etil selulosa tersebut kemudian dituang ke UIN Syarif Hidayatullah
27
dalam cetakan yang telah mengandung lapisan HPMC. Kemudian dikeringkan selama 8 jam dalam suhu 400C. Setelah semua lapisan patch kering, patch dipisahkan dari cetakan. Patch dipotong dengan ukuran 8 x 20 mm2.
3. 4.2
Pembuatan Larutan Buffer Fosfat pH 6,8 Dibuat dengan mencampur sebanyak 250 ml larutan kalium dihidrogen fosfat 0,2 M dengan 112 ml NaOH 0,2 M kemudian dicukupkan volumenya dengan air bebas karbondioksida hingga volumenya 1000 ml.
3. 4.3 a.
Pembuatan Kurva Kalibrasi Penentuan Panjang Gelombang Maksimum (λmaks) Dilakukan scanning panjang gelombang dari larutan standar natrium diklofenak menggunakan spektrofotometer UV-Visibel dengan panjang gelombang 200-300 nm.
b.
Pembuatan Larutan Standar Na Diklofenak Ditimbang secara akurat 5 mg Na diklofenak kemudian dilarutkan dalam 50 ml buffer fosfat pH 6,8 sehingga diperoleh larutan induk standar sebesar 100 µg/ml. Dari larutan induk tersebut diambil sebanyak 200, 400, 600, 800 dan 1000 µl kemudian dicukupkan volumenya hingga 10 ml, sehingga dihasilkan larutan dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 dan 10 ppm. Masing-masing larutan standar natrium diklofenak diambil dan diukur absorbansi larutan tersebut dengan panjang gelombang 275,5 nm (sesuai hasil scanning sebelumnya).
3. 4.4
Evaluasi Cairan Polimer
3.4.4.1. Evaluasi Viskositas Larutan Polimer (Yogananda & Rakesh, 2012) Larutan yang mengandung polimer dan plasticizer disiapkan dengan konsentrasi yang sesuai dengan formula pembuatan patch. Viskositas larutan polimer dan plasticizer tersebut diukur dengan menggunakan Viskometer Brookfield. Menggunakan spindel nomor 2 (R2) dengan kecepatan putar 100 rpm pada temperatur ruang. UIN Syarif Hidayatullah
28
3. 4.5
Evaluasi Patch
3.4.5.1. Organoleptis (Balasubramanian et al., 2012) Meliputi pengamatan secara mikroskopis dan makroskopis terhadap dari fisik patch yang dibuat. Meliputi pengamatan warna patch dan tekstur permukaan patch.
3.4.5.2. Evaluasi Fisik a.
Keragaman bobot (Yogananda & Rakesh, 2012) Pengujian terhadap keragaman bobot patch dilakukan dengan menimbang 10 buah patch dengan ukuran 8 x 20 mm2 secara acak dari setiap batch kemudian dihitung massa rata-ratanya dan dibandingkan dengan massa patch satu per satu kemudian dihitung simpangan bakunya.
b.
Keseragaman kandungan (Doshi, 2011 dan Yogananda & Rakesh, 2012) Diambil patch dari masing-masing formula dengan ukuran 8 x 20 mm2 kemudian dilarutkan dalam 42,5 ml buffer fosfat pH 6,8 dan diaduk dengan menggunakan magnetik stirer selama 2 jam. Larutan tersebut kemudian ditambahkan 7,5 ml etanol 96% dan dilakukan pengadukan kembali hingga 4 jam. Larutan kemudian disaring dan dianalisis dengan menggunakan spektrofotometer Uv-Vis dengan panjang gelombang 275,5 nm. Dengan blangko yang mengandung patch tanpa zat aktif yang telah dilarutkan dalam campuran buffer fosfat pH 6,8 dan etanol 96% dengan perbandingan 85:15.
c.
Keragaman ketebalan (Yogananda & Rakesh, 2012) Ketebalan patch diukur dengan mikrometer di tiga titik pada masing-masing patch, dan kemudian dihitung rata-rata ketebalannya. Ketebalan patch dinyatakan dalam satuan mikrometer (µm).
3.4.5.3. Uji Pelipatan (Bindu et al., 2010) Uji pelipatan ditentukan dengan berulang kali melipat patch di tempat yang sama sampai patch tersebut patah. Pelipatan patch dilakukan maksimal sebanyak 300 kali. Jumlah dari berapa kali patch bisa dilipat di tempat yang sama tanpa berhenti merupakan nilai dari ketahanan lipat patch.
UIN Syarif Hidayatullah
29
3.4.5.3. Pengukuran pH Permukaan (Yogananda & Rakesh, 2012) Diambil patch secara acak, patch dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi 0,5 ml aquades (pH 6) selama 120 menit dalam temperatur ruang dan pH permukaan patch diukur dengan menggunakan pH indikator.
3.4.5.4. Uji Pengembangan (Swelling studies) (Yogananda & Rakesh, 2012) Pengembangan patch diukur dengan menempatkan patch dari masing-masing formula dengan ukuran 1 x 2 cm2 ke dalam beaker glass yang mengandung 20 ml larutan buffer fosfat pH 6,8. Bobot patch ditimbang setiap 5 menit, sebelum ditimbang patch dikeringkan terlebih dahulu dengan tissue. Penimbangan dilakukan hingga menit ke 30. Derajat pengembangan dihitung dengan menggunakan persamaan : % Derajat pengembangan =
x 100
Keterangan : w1 = bobot sebelum (gram), w2 = bobot setelah berkontak dengan larutan buffer (gram).
3.4.5.6. Uji Waktu Tinggal ( in vitro residence time) (Chinna Reddy et al., 2011) Uji
waktu
tinggal
patch
dengan
menggunakan
modifikasi
disintegrator USP. Menggunakan 800 ml larutan buffer fosfat pH 6,8 yang dipertahankan suhunya pada 370C sebagai larutan medium. Mukosa dari gusi sapi segar disiapkan dan direkatkan di atas permukaan kaca dengan bantuan perekat (cyanoacrylate adhesive). Sebelum patch diletakkan di atas mukosa, lapisan mukosa terlebih dahulu dibasahi dengan 50 µl larutan buffer fosfat pH 6,8 dan patch diletakkan di permukaan mukosa dengan sedikit ditekan. Kaca tersebut dimasukkan ke dalam alat disintegrator. Amati waktu yang diperlukan hingga patch terlepas dari permukaan mukosa gusi.
3.4.5.7. Uji Kemampuan Penetrasi Zat Aktif (Koyi dan Arshad, 2012) Menggunakan Franz diffusion cell pada suhu 370C ± 0,20C. Mukosa gusi sapi segar diletakkan di antara kompartemen donor dan reseptor. Patch diletakkan dengan bagian inti menghadap ke arah mukosa. Kompartemen UIN Syarif Hidayatullah
30
reseptor diisi dengan larutan buffer fosfat pH 6,8 dan diaduk secara konstan dengan kecepatan sedang. Pada interval menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300 dan 360 diambil 1 ml larutan buffer dari kompartemen reseptor dan ditambahkan juga sejumlah larutan buffer dengan volume yang sama. Larutan tersebut diencerkan dengan buffer yang sama kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 275,5 nm.
Gambar 3.1. Skema dari Franz Diffusion Cell (Koyi dan Arshad, 2012)
3.4.5.7. Uji Kebocoran Backing Menggunakan Franz diffusion cell pada suhu 370C ± 0,20C. Patch diletakkan dengan bagian backing menghadap ke arah reseptor. Kompartemen reseptor diisi dengan larutan buffer fosfat pH 6,8 dan diaduk secara konstan dengan kecepatan sedang. Pada interval menit ke 0, 15, 30, 45, 60, 90, 120, 180, 240, 300 dan 360 diambil 1 ml larutan buffer dari kompartemen reseptor dan ditambahkan juga sejumlah larutan buffer dengan volume yang sama. Larutan tersebut diencerkan dengan buffer yang sama kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 275,5 nm.
UIN Syarif Hidayatullah
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Karakteristik Cairan Polimer Polimer utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah HPMC, proses pembentukan larutan polimer dilakukan dengan melarutkan HPMC dengan berbagai konsentrasi sesuai formula ke dalam etanol 70%. Pemilihan etanol 70% disebabkan polimer HPMC praktis tidak larut dalam etanol 96% tetapi dapat larut dalam campuran air dan alkohol (Rowe, Paul and Marian, 2009). Penggunaan etanol sebagai pelarut dalam pembuatan larutan polimer HPMC sebagai larutan pembentuk film juga telah dilakukan pada formulasi film
natrium
diklofenak
sebagai
sediaan
mukoadhesif
bukal
(Balasubramanian et al., 2012). Pengamatan secara visual terhadap organoleptis cairan polimer pembentuk lapisan HPMC menunjukkan bahwa semua larutan polimer dengan konsentrasi yang berbeda memiliki kesamaan warna, semua formula memberikan warna larutan yang jernih. Selain dari pengamatan visual, dilakukan juga pengamatan pengaruh perbedaan konsentrasi polimer dari ketiga formula terhadap viskositas larutan. Larutan polimer yang dibentuk memiliki perbedaan viskositas. Hasil pengukuran viskositas larutan polimer tersebut dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1. Viskositas larutan polimer Formula
Viskositas (cPs)
A1
30
A2
44
A3
60
Backing
80
31
UIN Syarif Hidayatullah
32
4. 2 Karakteristik Fisikokimia Patch Patch yang dibuat terdiri dari dua lapisan, lapisan utama merupakan lapisan yang mengandung polimer adhesif dan natrium diklofenak sedangkan lapisan kedua adalah lapisan backing yang berfungsi untuk menahan difusi natrium diklofenak ke saliva serta untuk memberikan arah difusi zat aktif yang searah. Patch dibuat dengan metode solven casting, metode ini memiliki kelebihan pengerjaannya mudah dilakukan. Beberapa penelitian sebelumnya yang memformulasikan patch untuk sediaan oral juga menggunakan metode solven casting, beberapa penelitian tersebut diataranya penelitian yang dilakukan oleh Balasubramanian et al., tahun 2012 yang memformulasikan sediaan film bukal dengan zat aktif natrium diklofenak. Secara visual
patch
dengan formula A1, A2, A3 dan blangko
memiliki bentuk yang penampilan yang serupa. Semua patch berwarna jernih. Seperti yang dilihat pada gambar 4.1.
A1
A2
A3
Gambar 4.1. Patch dari masing-masing formula. Kiri = patch dari satu cetakan. Kanan = patch yang berukuran 8x20 mm2. UIN Syarif Hidayatullah
33
Patch yang terbentuk tidak terlihat adanya pemisahan antara lapisan adhesif yang mengandung polimer HPMC dengan lapisan backing yang mengandung polimer etil selulosa. Pada proses pembentukan patch bilayer lapisan HPMC yang telah terbentuk ditambahkan larutan polimer etil selulosa. Penggabungan ini tidak menyebabkan adanya perubahan bentuk dari lapisan HPMC. Proses pengeringan dilakukan pada suhu 400C selama 8 jam. Pada percobaan pendahuluan pemanasan dilakukan hingga lapisan etil selulosa kering yaitu membutuhkan waktu selama 6 jam, tetapi lapisan kedua polimer tersebut tidak saling bersatu. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 4.2 yang menunjukkan penampakan patch secara mikroskopis dengan perbesaran 100 kali.
Pemisahan
A
B
Gambar 4.2. Organoleptis patch. A = patch bilayer yang dikeringkan selama 6 jam (mengalami pemisahan). B = Patch bilayer yang dikeringkan selama 8 jam (tidak mengalami pemisahan). Patch
yang terbentuk agak kaku, terutama pada lapisan baking.
Untuk mengetahui hal tersebut dilakukan uji pelipatan pada patch, patch dilipat pada lokasi yang sama hingga patch robek. Hasil uji pelipatan jika diambil rata-ratanya menunjukkan bahwa lapisan backing memiliki ketahanan terhadap pelipatan hingga lipatan ke-25, sedangkan lapisan HPMC tidak mengalami kerusakan hingga pelipatan ke-300. Penambahan gliserin sebagai plasticizer sebanyak 40% untuk lapisan HPMC mampu membentuk lapisan polimer yang tidak mudah sobek. Hasil uji pelipatan dapat dilihat pada tabel 4.2.
UIN Syarif Hidayatullah
34
Tabel 4.2. Uji pelipatan patch Formula
Lapisan HPMC
Lapisan Backing
A1
> 300
22
A2
> 300
25
A3
> 300
27
Untuk
memastikan
sediaan
patch
yang
terbentuk
memiliki
organoleptis yang serupa dilakukan pengamatan organoleptis secara mikroskopis. Pengamatan secara mikroskopis juga bertujuan untuk mengetahui apakah natrium diklofenak dalam sediaan tersebut tidak mengalami rekristalisasi. Hasil pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa patch yang mengandung natrium diklofenak sebagai zat aktif dengan patch yang tidak mengandung zat aktif memiliki penampak yang sama di bawah mikroskop. Hasil pengamatan di bawah lensa mikroskop dengan perbesaran 100x menunjukkan bahwa natrium diklofenak yang telah dilarutkan terlebih dahulu dalam etanol dan kemudian ditambahkan pada larutan yang telah mengandung polimer dan plasticizer yang kemudian dilakukan proses pengeringan tidak mengalami rekristalisasi. Natrium diklofenak pada masing-masing formula terdispersi secara molekuler dalam larutan polimer HPMC sehingga hasil pengamatan secara mikroskopis tidak menunjukkan adanya partikel dari natrium diklofenak. Hasil pengamatan secara mikroskopis tersebut dapat dilihat pada gambar. 4.3. Karakteristik fisikokimia patch natrium diklofenak yang berbasis polimer hidroksi propil metil selulosa (HPMC) dapat dilihat pada tabel 4.3.
UIN Syarif Hidayatullah
35
A1
A2
A3
Blangko
Na diklofenak
Gambar 4.3. Penampakan mikroskopis patch. Kiri = gambar mikroskopis bagian permukaan patch. Kanan = gambar mikroskopis penampang melintang.
Formula A1
Tabel 4.3. Sifat fisikokimia patch Ketebalan Kandungan Zat Aktif Bobot (mg) (µm) (µg) 10 ± 1 70 ± 1 814 ± 17
A2
17 ± 0
102 ± 1
851 ± 11
A3
23 ± 2
112 ± 0
800 ± 1
UIN Syarif Hidayatullah
36
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa patch yang dihasilkan memiliki bobot dan ketebalan yang cukup seragam yang dilihat dari simpangan baku yang diperoleh. Peningkatan jumlah polimer pada formula secara langsung menyebabkan peningkatan bobot dan ketebalan patch yang dibentuk. Bobot patch paling rendah diperoleh dari bobot formula A1 dengan konsentrasi larutan polimer HPMC terendah yaitu 1%, sedangkan bobot patch terberat adalah patch dengan formula A3 yang mengandung konsentrasi larutan polimer HPMC terbanyak yaitu 2%.
Gambar 4.4. Grafik keragaman bobot Begitu juga ketebalannya, ketebalan maksimal dihasilkan patch dengan konsentrasi larutan polimer terbesar yaitu 2% sedangkan patch dengan ketebalan minimal dihasilkan oleh formula A1 yang mengandung konsentrasi larutan polimer terendah yaitu 1%.
Gambar 4.5. Grafik ketebalan patch UIN Syarif Hidayatullah
37
Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya seperti yang telah dilakukan oleh Hamabindu tahun 2012. Dari penelitiannya diketahui bahwa peningkatan konsentrasi polimer HPMC pada formulasi patch yang mengandung
Cyproheptadine
Hydrochloride
menunjukkan
adanya
peningkatan bobot dan ketebalan dari patch yang terbentuk (Himabindu, 2012). Adanya keseragaman bobot dan ketebalan pada patch yang dibuat diharapkan memberikan distribusi zat aktif yang seragam, karena zat aktif yang ditambahkan pada proses preparasi patch sudah dalam bentuk terdispersi secara molekuler dalam etanol, sehingga keseragaman distribusi zat aktif
pada sediaan dipengaruhi oleh ketebalan patch. Pengujian
kandungan zat aktif dalam sediaan menunjukkan bahwa jumlah zat aktif dalam sediaan patch yang dibuat sekitar 800-851 µg. Pengujian kandungan zat aktif menggunakan medium campuran antara buffer posfat pH 6,8 – etanol 96% dengan perbandingan 85:15. Penggunaan campuran etanol ini bertujuan untuk meningkatkan kelarutan natrium diklofenak dalam medium air, karena natrium diklofenak memiliki karakteristik agak sukar larut dalam air. Sebelum dilakukan pengujian kandungan natrium diklofenak dalam sediaan patch yang berukuran 8 x 20 mm2 dilakukan pengujian terhadap perolehan kembali dari natrium diklofenak dalam 1 cetakan. Hasil perolehan kembali diketahui sebesar 91,148 %.
4.3 pH Permukaan Patch Tabel 4.4. pH permukaan masing-masing formula patch Formula pH A1
6
A2
6
A3
6
pH permukaan patch diukur dengan menggunakan pH indikator. pH permukaan patch dapat dilihat pada tabel 4.4. Dari tabel tersebut diketahui pH semua formula dihasilkan sebesar 6. Dari hasil pengukuran pH ini diharapkan sediaan patch yang akan diaplikasikan pada mukosa gusi UIN Syarif Hidayatullah
38
diharapkan tidak menimbulkan iritasi pada permukaan mukosa gusi sebab pH permukaan sediaan patch berada pada range pH saliva yaitu 5,6-7 (Kaul, Verma, Rawat & Saini, 2011).
4.4 Waktu Tinggal Patch pada Permukaan Gusi Sapi Pengujian waktu tinggal patch menggunakan membran gusi sapi segar yang diambil dari rumah pemotongan hewan. Pengujian dilakukan menggunakan modifikasi disintegrator USP. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua formula patch dapat melekat pada membran mukosa gusi sapi selama lebih dari 7 jam. Tabel 4.5. Waktu tinggal patch pada permukaan membran gusi sapi Formula
Waktu Tinggal (jam)
A1
>7
A2
>7
A3
>7
Penambahan polimer HPMC pada formula patch tidak mempengaruhi waktu pelekatan sediaan pada membran mukosa gusi. Jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Doshi et al., tahun 2011, waktu tinggal patch yang dibentuk pada penelitian ini memiliki waktu tinggal yang lebih lama pada mukosa gusi. Hasil pengujian waktu tinggal yang telah dilakukan oleh` Doshi et al., tahun 2011, menunjukkan bahwa film diklofenak yang mengandung polimer HPMC sebanyak 1,5% memiliki waktu tinggal yang paling lama sekitar 74 menit dibandingkan dengan film yang mengandung polimer PVA dan kombinasi PVA - PVP. Selain itu penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa film yang mengandung HPMC memiliki kekuatan bioadhesif yang paling tinggi. Selain itu dari penelitian yang dilakukan oleh Lalatendu tahun 2004 menunjukkan bahwa patch Salbutamol sulfat yang mengandung polimer HPMC sebanya 1,5% memiliki waktu tinggal yang lebih lama, yaitu selama 2,9 ± 0,55 jam jika dibandingkan dengan patch yang mengandung PVA 10% dengan waktu tinggal 2,20 ± 0,98 jam (Lalatendu et al., 2004) UIN Syarif Hidayatullah
39
4.5 Derajat Pengembangan Derajat pengembangan
polimer merupakan
titik kritis
dalam
menentukan sifat bioadhesif dari polimer tersebut. Pelekatan (adhesi) terjadi dengan cepat ketika pengembangan polimer dimulai tetapi ikatan yang dibentuk bukan ikatan yang kuat (Doshi, Koliyote & Joshi, 2011).
Tabel 4.6. Derajat pengembangan patch dalam medium buffer fosfat pH 6,8 Formula
Waktu Perendaman (s)
A1
A2
A3
0
0
±
0
0
±
0
5
97
±
20
98
±
10
127 ±
29
15
129 ±
20
±
0
53
138 ±
4
158 ±
48
151 ±
12
21
164 ±
22
168 ±
13
151 ±
31
175 ±
38
182 ±
19
25
100 ±
30
161 ±
20
162 ±
12
30
65
32
116 ±
84
143 ±
11
±
0
Derajat pengembangan dari masing-masing formula patch dapat dilihat pada tabel 4.6. Derajat pengembangan yang diamati pada menit ke-20 menunjukkan bahwa derajat pengembangan terbesar dihasilkan oleh patch dengan formula A3 yang mengandung konsentrasi larutan HPMC sebesar 2% diikuti oleh formula A2 dan yang terendah adalah formula A1. Adanya peningkatan bobot setelah dilakukan perendaman beberapa waktu dalam medium buffer fosfat pH 6,8 diakibatkan adanya absorpsi air. Hasil pengamatan derajat pengembangan pada gambar 4.6, menunjukkan bahwa semakin lama waktu perendaman akan menyebabkan meningkatnya derajat pengembangan patch. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menjelaskan bahwa pada patch dengan komposisi polimer hidrofilik persen derajat pengembangannya akan meningkat bersamaan dengan peningkatan waktu perendaman (Shalini, Kumar & Kothiya, 2012). Penurunan derajat pengembangan pada menit ke 25 dan menit ke 30 disebabkan oleh adanya disolusi matriks HPMC. Polimer HPMC merupakan salah satu dari bagian kelompok polimer hidrofilik, sifat polimer hidrofilik tersebut adalah UIN Syarif Hidayatullah
40
kemampuannya untuk mengembang dengan derajat yang tidak terbatas ketika berkontak dengan air dan dengan cepat akan mengalami disolusi (Vimal., et al, 2010).
Gambar. 4.6. Grafik pengembangan patch dalam medium buffer fosfat pH 6,8 Karakteristik derajat pengembangan ini dapat digunakan untuk meramalkan pelepasan zat aktif dari matriks HPMC. Peningkatan jumlah polimer pada sediaan akan menyebabkan adanya peningkatan penyerapan air ke dalam matriks yang dapat menyebabkan pembentukan lapisan gel pada lapisan yang telah terhidrasi, dengan adanya peningkatan jumlah polimer dalam matriks akan menyebabkan peningkatan ketebalan dari lapisan gel tersebut. Pembentukan lapisan gel ini akan menjadi barier dan dapat menimbulkan penurunan pelepasan zat aktif melalui matriks HPMC (Chandra., et al, 2008).
4.6 Kemampuan Penetrasi Natrium Diklofenak Persentase kumulatif difusi natrium diklofenak melalui membran gusi sapi diuji secara in vitro dengan menggunakan Franz diffusion cell dengan luas area difusi sebesar 2 cm2 dengan volume kompartemen reseptor sebanyak 22,5 ml.
UIN Syarif Hidayatullah
41
Tabel 4.7. Persentase kumulatif difusi zat aktif melewati membran gusi sapi % Kumulatif Difusi Zat Aktif Waktu (s) A1 A2 A3 0 0 ± 0 0 ± 0 0 ± 0 15 18 ± 5 16 ± 2 17 ± 0 30 18 ± 5 17 ± 1 13 ± 0 45 20 ± 5 20 ± 1 12 ± 0 60 22 ± 4 19 ± 3 12 ± 1 90 26 ± 3 19 ± 2 13 ± 1 120 28 ± 8 23 ± 2 15 ± 2 180 31 ± 3 22 ± 0 18 ± 3 240 33 ± 1 22 ± 2 20 ± 1 300 32 ± 1 21 ± 1 22 ± 1 360 34 ± 0 21 ± 0 24 ± 1 Tabel 4.8. Jumlah kumulatif zat aktif yang terdifusi melewati membran gusi sapi Kumulatif Difusi Zat Aktif (µg) Waktu (s) A1 A2 A3 0 0 ± 0 0 ± 0 0 ± 0 15 181 ± 50 175 ± 18 172 ± 4 30 180 ± 55 185 ± 12 125 ± 2 45 202 ± 47 213 ± 14 116 ± 4 60 224 ± 42 206 ± 34 124 ± 13 90 265 ± 34 201 ± 21 129 ± 5 120 283 ± 78 245 ± 20 152 ± 23 180 319 ± 31 232 ± 4 177 ± 32 240 339 ± 6 230 ± 24 203 ± 10 300 328 ± 12 219 ± 10 217 ± 10 360 347 ± 1 222 ± 4 237 ± 10 Dari hasil pengujian tersebut diketahui difusi zat aktif yang terbanyak dihasilkan oleh formula A1 yang diikuti oleh A3 dan difusi terendah diperoleh dari patch dengan formula A2, jika diurutkan maka difusi zat aktif dari masing-masing formula yaitu A1>A3>A2. Persen natrium diklofenak yang terdifusi pada masing-masing formula dapat dilihat pada gambar 4.5, sedangkan gambar 4.6 menunjukkan jumlah zat aktif yang terdifusi.
UIN Syarif Hidayatullah
42
Gambar 4.7. Grafik persentase difusi zat aktif melalui membran gusi sapi dari masing-masing formula
Gambar 4.8. Grafik jumlah difusi zat aktif melalui membran gusi sapi dari masing-masing formula Dari hasil pengamatan persentase difusi natrium diklofenak dari matriks polimer pada formula A1 menunjukkan persentase difusi zat aktif yang terbesar, Sedangkan persentase difusi natrium diklofenak dari formula A2 tidak menunjukkan adanya peningkatan difusi zat aktif selama pengamatan. Persentase difusi natrium diklofenak pada formula A2 menunjukkan persentase difusi yang terendah. Pengolahan data secara statistik dilakukan untuk mengetahui pengaruh formula terhadap persentase difusi natrium diklofenak dapat dilihat dalam tabel 4.9 dan 4.10.
UIN Syarif Hidayatullah
43
Tabel 4.9. Analisis statistik Kruskal-Wallis test dari data persentase difusi natrium diklofenak difusi Chi-Square
17.171
df
2
Asymp. Sig.
.000
Tabel 4.10. Statistik persentase difusi natrium diklofenak (I)
(J)
formula formula A1
A2
A3
95% Confidence Interval
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
A2
.049091
*
.024178
.047
.00078
.09741
A3
.092318
*
.024178
.000
.04400
.14063
A1
-.049091
*
.024178
.047
-.09741
-.00078
A3
.043227
.024178
.079
-.00509
.09154
A1
-.092318
*
.024178
.000
-.14063
-.04400
A2
-.043227
.024178
.079
-.09154
.00509
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Dari hasil pengolahan data menggunakan statistik menunjukkan bahwa hasil uji difusi natrium diklofenak dari masing-masing formula menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan yang dapat diamati dari nilai signifikansi yang dihasilkan pada pengujian. Persentase difusi natrium diklofenak dari formula A2 dan A3 menunjukkan adanya perbedaan tetapi perbedaan yang dihasilkan tidak signifikan. Hasil uji difusi natrium diklofenak melalui membran gusi sapi pada penelitian ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi difusi natrium diklofenak adalah membran gusi yang digunakan dalam pengujian (Martin et al., 1993). Adanya perbedaan ketebalan dari membran yang digunakan dari masing-masing pengujian akan menyebabkan perbedaan laju difusi natrium diklofenak melewati membran sehingga dapat mempengaruhi jumlah zat aktif yang terdifusi. Laju difusi natrium diklofenak dapat dilihat pada tabel 4.11. Hasil pengujian fluks diketahui bahwa nilai fluks natrium diklofenak terbesar dihasilkan oleh UIN Syarif Hidayatullah
44
formula A1 yang mengandung konsentrasi larutan polimer terendah yaitu 1% diikuti oleh A3 yang mengandung konsentrasi larutan polimer 2% dan nilai fluks terkecil ditunjukkan oleh formula A2 yang mengandung konsentrasi larutan HPMC 1,5%. Tingginya nilai fluks natrium diklofenak pada formula A3 dibandingkan dengan formula A2 disebabkan adanya perbedaan ketebalan membran yang digunakan, ketebalan membran yang digunakan pada formula A2 lebih tebal dibandingkan dengan membran yang digunakan pada pengujian formula lainnya. Pengaruh perbedaan ketebalan membran gusi yang digunakan terhadap laju difusi zat aktif dari masing-masing formula dapat dilihat pada tabel 4.11. Tabel 4.11. Fluks natrium diklofenak dari masing-masing formula Formula
Ketebalan (mm)
Fluks (µgcm-2jam-1)
A1
1,78 ± 0,02
28,917 ± 0,094
A2
2,16 ± 0,01
18,468 ± 0,340
A3
1,88 ± 0,00
19,746 ± 0,869
Gambar 4.9. Fluks natrium diklofenak Berdasarkan pengolahan data melalui statistik diketahui bahwa terdapat perbedaan fluks difusi dari masing-masing formula. Hasil ini dapat dilihat pada tabel 4.12. Perbedaan fluks difusi natrium diklofenak dari formula A2 dan A3 terlihat berbeda secara tidak signifikan. Perbedaan fluks dari masing-masing formula dapat dilihat pada tabel 4.13.
UIN Syarif Hidayatullah
45
Tabel 4.12. Pengolahan data fluks secara statistik menggunakan ANOVA
fluks Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
123.809
2
61.904
29.554
6
4.926
153.363
8
Sig.
12.568
.007
Tabel 4.13. Statistik fluks natrium diklofenak (J)
95% Confidence Interval
Mean Difference
(I) patch patch
(I-J)
A1
A2
8.598667
*
1.812132
.003
4.16454
13.03279
A3
6.839333
*
1.812132
.009
2.40521
11.27346
A1
-8.598667
*
1.812132
.003
-13.03279
-4.16454
A3
-1.759333
1.812132
.369
-6.19346
2.67479
A1
-6.839333
*
1.812132
.009
-11.27346
-2.40521
A2
1.759333
1.812132
.369
-2.67479
6.19346
A2
A3
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
4. 7 Kebocoran Backing Membran Untuk meningkatkan jumlah natrium diklofenak yang difusi melalui membran gusi maka sediaan patch diberikan suatu lapisan backing. Lapisan backing
ini tidak hanya berfungsi untuk menghambat difusi natrium
diklofenak ke arah rongga mulut sehingga dapat masuk ke saluran pencernaan fungsi lain dari lapisan backing ini untuk mengoptimalkan difusi natrium diklofenak dengan cara memberikan difusi yang searah (Yogananda & Rakesh, 2012). Lapisan etil selulosa dibuat dengan melarutkan etil selulosa dalam campuran etanol 96% dan kloroform dengan perbandingan 10:15. Penggunaan campuran pelarut organik tersebut mengikuti formula yang telah dicobakan oleh Manoj, Prabhushankar & Sathes tahun 2010. Penelitian tersebut memformulasikan Metronidazol sebagai sediaan film periodontal. Etil selulosa yang dilarutkan dalam pelarut organik atau campuran pelarut organik digunakan untuk menghasilkan film yang tidak larut dalam air UIN Syarif Hidayatullah
46
sehingga diharapkan lapisan tersebut dapat memberikan aliran zat aktif yang searah dengan sangat baik (Rowe, Paul and Marian, 2009). Hasil pengujian kebocoran backing dapat dilihat pada tabel 4.10. Difusi natrium diklofenak dari membran etil selulosa berkisar antara 0 - 2,5%, hal ini menunjukkan bahwa membran etil selulosa dapat menahan difusi zat aktif ke saliva dan memberikan difusi zat aktif yang searah sehingga dapat mengoptilmalkan difusi natrium diklofenak melewati membran.
Tabel 4.14. Persentase Kumulatif Kebocoran backing Waktu (s) 0 15 30 45 60 90 120 180 240 300 360
% Kumulatif Kebocoran Backing 0,00 ± 0 0,65 ± 0 1,14 ± 1 1,37 ± 1 1,67 ± 1 1,82 ± 1 1,89 ± 1 2,10 ± 1 2,51 ± 1 2,27 ± 1 2,16 ± 0
Pengujian kebocoran backing dengan menggunakan Franz diffusion cell ini terdapat kelemahan. Hasil kebocoran yang dapat diamati hanya kebocoran zat aktif dari permukaan atas saja, sedangkan kebocoran zat aktif dari sisi samping patch tidak dapat terukur, sehingga diperlukan metode lain yang dapat mengukur kebocoran zat aktif dari semua sisi sediaan. Penggunaan
etil
selulosa
sebagai
lapisan
backing
memiliki
kelemahan. Pada proses pembentukan lapisan backing dari etil selulosa menggunakan campuran etanol 96% dan kloroform. Penggunaan kloroform dalam formulasi sediaan mukoadhesif dikhawatirkan keamanannya, adanya sisa kloroform dalam sediaan dikhawatirkan dapat menimbulkan efek yang tidak diharapkan seperti hepatotoksik dan reaksi neprotoksik. Produk kesehatan tidak boleh mengandung kloroform lebih dari 0,5% (w/w atau v/v) (Martindal ed 35). Untuk memastikan keamanan dari lapisan backing perlu dilakukannya pengujian residu pelarut dalam sediaan. UIN Syarif Hidayatullah
47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5. 1 Kesimpulan 1.
Semua formula patch dapat melekat di permukaan membran gusi sapi selama lebih dari 7 jam.
2.
Persen kumulatif difusi natrium diklofenak pada jam ke-enam dari matriks HPMC pada formula A1, A2 dan A3 berturut-turut adalah 34 ± 0 %; 21 ± 0%; 24 ± 1%.
3.
Fluks difusi natrium diklofenak pada formula A1, A2 dan A3 berturutturut adalah 28,917 ± 0,094 µgcm-2jam-1; 18,468 ± 0,340 µgcm-2jam-1; 19,746 ± 0,869 µgcm-2jam-1.
4.
Membran backing dapat menahan difusi natrium diklofenak menuju saliva dan memberikan difusi yang searah.
5.
Patch yang terbaik ditunjukkan oleh formula A1.
5. 2 Saran 1.
Diperlukan pengujian kebocoran zat aktif melalui sisi samping dari patch.
2.
Diperlukan pelarut organik yang lebih aman untuk membentuk membran backing.
3.
Diperlukan pengujian sisa pelarut organik dalam sediaan untuk memastikan keamanan sediaan patch.
4.
Diperlukan uji stabilitas patch yang mengandung natrium diklofenak.
5.
Dilakukan uji pelepasan natrium diklofenak dari matriks HPMC.
6.
Diperlukan pengujian aktivitas anti-inflamasi dari patch.
UIN Syarif Hidayatullah
48
DAFTAR PUSTAKA
Akhter, Md Habban, Jeetendra G, Mohiuddin dan Shah F. 2012. A Comprehensive Review on Buccal Drug Delivery Sistem. International Journal of Pharmaceutical Research and Development. Vol 3 (11). Hal: 59 - 77. Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi Ketiga. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan : Jakarta. Hal : 775 Balasubramanian, Narayanan N, Senthil K, Vijaya K, Azhagesh. 2012. Formulation and evaluation of mucoadhesive buccal films of Diclofenac Sodium. Indian J. Innovations Dev, Vol. 1, Hal : 68-73. Bhardwaj, Nishant, Mukhopadhyay S, Tangri P dan Goswami L. 2012. Buccal Mucosa : A Novelistic Route of Drug Delivery. International Journal of Pharmaceutical and Chemical Sciences Vol 1(3). Hal : 837- 849. Bindu, TVL et al., 2010. Preparation and evaluation of ciprofloxacin loaded chitosan-gelatin composite films for wound healing activity. International Journal of Drug Delivery. Hal : 175. Cawson. R. A dan E. W. Odell. 2008. Oral Pathology and Oral Medicine, Eight Edition : Elsevier. Hal : 77- 98 Chandra, Ramesh, Vamshi, Kishan dan Madhsudan. 2008. Developmen of Mucoadhesive Patches for Buccal Administration of Prochlorperazine : Evaluation of In Vitro Release and Mechanical Properties. International Journal of Pharmaceutical Sciences adn Nanotechnology. Volume 1. Hal : 64-70 Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. 2006. Pedoman Pelayanan Farmasi Untuk Ibu Hamil Dan Menyusui. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan : Departemen Kesehatan R.I. Hal : 38 Doshi, Abha, Koliyote S, Joshi B. 2011. Design And Evaluation of Buccal Film of Diclofenac Sodium. International Journal Of Pharmacy And Biological Sciences. Volume 1. Hal : 17-30. Houwink, et al. 1993. Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan.Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Hal : 160-183 Himabindu. S, D. Sathish dan Shayeda. 2012. Formulation and In-vitro Evaluation of Mucoadhesive Buccal Patches of Cyproheptadine Hydrochloride. Journal of Applied Pharmaceutical Science. Volume 2. Hal 196-201 Izhar, Ahmed Syed dan John Paul. 2012. Buccal Mucoadhesive Based Drug Delivery Devices. World Journal of Pharmaceutical Research Vol 1(3). Hal : 548-575.
UIN Syarif Hidayatullah
49
Kaul, Mahima, Surender V, Aruna R dan Sapna S. 2011. An Overview on Buccal Drug Delivery System. International Journal of Pharmaceutical Science Research Vol. 2(6). Hal : 1303-1321. Koyi, Pradeep dan Arshad Bashir Khan. 2013. Buccal Patches: A Review. International Journal of Pharmaceutical Science Research. Vol 4. Hal : 83 – 89. Kumar V, Aggarwal G, Zakir F dan Choudhary A. 2011. Buccal Bioadhesive Drug Delivery- A Novel Technique. International Journal of Pharmacy and Biological Sciences, Hal : 129-144. Lalatendu Panigrahi, Snigdha P dan Saroj K.G. 2004. Design and Characterization of Mucoadhesive Buccal Patches of Salbutamol Sulphate. Acta Poloniae Pharmaceutica – Drug Research. Vol 61 No. 5 Hal : 351 – 360. Latheeshjlal, Sunil M, Vaidya M, G. Swetha dan Phanitejaswini. 2011. Muccoadhesive Drug Delivery System : An Overview. International Journal of PharmTech Research Vol 3(1). Hal : 42-49. Lohani, Alka, Neelima P dan Rajeshwer K. 2011. Formulation and Characterization of Mucoadhesive Buccal Film of Ranitidine Hydrochloride. International Journal of Pharmaceutical Science Research Vol. 2(9). Hal : 2457-2462. Manoj Kumar, G.L Prabhushankar dan P.R. Sathesh babu. 2010. Formulation and In-Vitro Evaluation of Periodontal Films Containing Metronidazole. International Journal of PharmTech Research Vol 2(4). Hal : 2188-2193 Martin, Alfred, James Swarbrick, and Arthur Cammarata. 1993. Farmasi Fisik Jilid 2 Edisi III. Alih Bahasa: Yoshita. UI Press, Jakarta. Hal : 828-844 Mohammed, Gulzar, NM Harish, R Narayan C dan Prabhakar P. 2009. Formulation of Chitosan-Based Ciprofloxacin and Diclofenac Film For Periodontitis Therapy. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 8 (1). Hal : 33-41. Murtaza, Ghulam. 2012. Ethylcellulose Microparticles: A Review. Acta Poloniae Pharmaceutica-Drug Research, Vol. 69 No. 1. Hal : 11- 22. Reynold, James E F. 1982. Martindale The Extra Pharmacopoeia. Twenty Eight Edition (35thEdition). London : The Pharmaceutical press. Rowe, R.C., Paul, J.S., and Marian, E.Q. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipient Sixth Edition. Chicago, London : Pharmaceutical Press. Hal : 262-267 Rowe, R.C., Paul, J.S., and Marian, E.Q. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipient Sixth Edition. Chicago, London : Pharmaceutical Press. Hal : 326-329 Rubin, Peter. 2000. Peresepan Untuk Ibu Hamil edisi 2. Jakarta : Hipokrates. Hal : 65-77
UIN Syarif Hidayatullah
50
Roy, S et al.,2009. Polymers in Mucoadhesive Drug Delivery System: A Brief Note. Designed Monomersand Polymers 12. Hal ; 483-495 Shalini, G Kumar dan P Kothiyal. 2012. Formulation and Evaluation of Buccal Patches of Simvastatin by Using Different Polymers. The Pharma Innovation Vol. 1 No. 7. Hal : 87-92 Shravan, Kumar, Murali K, Nagaraju T, Gowthami R, Rajashekar M. 2012. Comprehensive Review on Buccal Delivery. International Journal of Pharmacy Vol 2(1). Hal : 205-217. Tan Hoan Tjay dan Kirana Raharja. 2007. Obat Obat Penting Edisi ke Enam. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Hal : 321-347 Venkatalakshmi, Yajaman S, Madhuchudana C, Sasikala C dan Mohan V. 2012.Buccal Drug Delivery Using Adhesive Polymeric Patches. International Journal of Pharmaceutical Science Research; Vol. 3(1), Hal : 35-41. Vimal, A.B Gupta, Raj K, Jaideep S dan Brajesh K. 2010. Mucoadhesive Polymers: Means of Improving the Mucoadhesive Properties of Drug Delivery System. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. Vol 2(5). Hal :418-432. Viram, Parmar, et al. 2010. Formulation Development and Evaluation of Buccal Films Of Carvedilol.International Journal of Pharmaceutical Science Research. Vol 1. Hal : 149 – 156. Wilmana, Freddy dan Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi ke Lima. Jakarta : Gaya Baru. Hal : 230-246 Wongso, Sayan. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Hal : 212-219 Yogananda & Rakesh dan Rakesh B. 2012. An Overview on Mucoadhesive Buccal Patches. International Journal of Universal Pharmacy and Life Sciences. Vol 2(2). Hal : 348- 373.
UIN Syarif Hidayatullah
51
LAMPIRAN
UIN Syarif Hidayatullah
52
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Gambar ..........................................................................................
53-55
Lampiran Tabel ...............................................................................................
55-60
Lampiran Perhitungan ......................................................................................
60-62
Lampiran Sertifikat .........................................................................................
63-65
UIN Syarif Hidayatullah
53
Lampiran 1. Gambar Alat-Alat yang Digunakan
HAAKE Viskotester 6R
Mikrometer Digital Mitutoyo
Franz Difusion Cell
Lampiran 2. Patch setelah dilakukan digunakan pengujian
A
B
Keterangan : A = patch setelah digunakan evaluasi persentase derajat pengembangan, B = patch yang belum digunakan untuk pengujian.
UIN Syarif Hidayatullah
54
55
Lampiran 6. Data Bobot Patch
Formula A1
A2
A3
B
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
0 251 247 247 379 380 389 522 532 540 338 340 349
1 230 230 232 347 350 366 477 485 493 327 311 319
Bobot Hari ke- (mg) 2 3 4 227 226 226 226 224 223 225 224 224 342 341 341 350 348 348 356 354 353 471 470 470 476 474 474 479 477 477 309 306 305 308 307 307 313 313 313
7 226 223 224 341 348 353 470 474 477 305 307 313
8 226 223 224 341 348 353 470 474 477 305 307 313
UIN Syarif Hidayatullah
56
Lampiran 7. Data Keragaman Bobot Patch
Bobot (mg) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Bobot ratarata
1
10
8
10
12
9
7
7
11
10
11
9,50
1,716
2
12
10
12
11
12
10
12
13
10
10
11,20
1,135
3
12
9
11
11
10
9
10
11
10
9
10,20
1,033
1
18
18
21
17
18
15
19
15
17
16
17,4
1,838
2
19
16
16
18
18
17
17
16
17
17
17,1
0,994
1
23
21
25
25
27
23
27
23
25
25
24,50
1,958
2
21
26
23
23
24
21
23
26
23
23
23,30
1,703
3
20
19
19
20
20
19
23
23
23
23
20,90
1,853
Formula
A1
SD
A2
A3
Lampiran 8. Ketebalan Patch Ketebalan (µm)
Formula
A1
A2
A3
Rata-rata
SD
68
69,333
1,155
70
72
72,000
2,000
72
70
68
70,000
2,000
1
101
104
102
102,667
1,155
2
101
101
103
101,667
1,155
3
102
100
99
100,333
1,528
1
111
111
112
111,889
0,782
2
113
112
111
112,000
1,000
3
112
112
113
112,333
0,577
1
2
3
1
70
70
2
74
3
UIN Syarif Hidayatullah
57
Lampiran 9. Keseragaman Kandungan Zat Aktif Formula A1
A2
A3
Absorbansi
x
FP
0,123 0,126 0,121 0,127 0,130 0,129 0,121 0,122 0,121
3,253 3,327 3,188 3,355 3,438 3,420 3,197 3,206 3,197
5 5 5 5 5 5 5 5 5
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Zat Aktif (mg) 813,190 831,713 796,990 838,657 859,491 854,861 799,306 801,620 799,306
Rata-rata
SD
814
17
851
11
800
1
Lampiran 10. Derajat Pengembangan Formula A1 Waktu perendaman (s)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
0
0,00
0,00
5
75,37
10
% derajat pengembangan Rata-rata
SD
0,00
0,00
0,0
101,50
114,25
97,04
19,8
98,77
124,30
156,95
126,67
29,2
15
152,51
112,01
121,02
128,51
21,3
20
161,77
115,67
174,31
150,58
30,9
25
69,27
103,30
128,10
100,22
29,5
30
29,47
91,46
73,32
64,75
31,9
Rata-rata
SD
Formula A2 Waktu perendaman (s)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
0
0,00
0,00
0,00
0,00
0,0
5
123,33
132,89
37,39
97,87
52,6
10
101,76
184,83
186,53
157,71
48,5
15
138,74
177,05
175,40
163,73
21,7
20
165,36
217,63
142,71
175,23
38,4
25
141,24
181,93
160,99
161,38
20,3
30
20,51
173,14
155,61
116,42
83,5
% derajat pengembangan
UIN Syarif Hidayatullah
58
Formula A3 Waktu perendaman (s)
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
0
0,00
0,00
5
123,33
10
% derajat pengembangan Rata-rata
SD
0,00
0,00
0,0
132,89
37,39
97,87
52,6
101,76
184,83
186,53
157,71
48,5
15
138,74
177,05
175,40
163,73
21,7
20
165,36
217,63
142,71
175,23
38,4
25
141,24
181,93
160,99
161,38
20,3
30
20,51
173,14
155,61
116,42
83,5
Lampiran 11. Waktu Tinggal Patch Pada Permukaan Membran Gusi Sapi. Waktu Tinggal (menit) Formula
A1
A2
A3
30
60
90
120 180 210 240 270 300 330 360 390 420
1
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
2
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
3
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
1
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
2
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
3
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
1
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
2
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
3
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
UIN Syarif Hidayatullah
59
Lampiran 12. Difusi Natrium Diklofenak Melalui Membran Gusi Sapi % Kumulatif Difusi Natrium Diklofenak Waktu (s)
A1
A2
A3
1
2
Ratarata
SD
1
2
Ratarata
SD
1
2
Ratarata
SD
0
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
15
14,25
21,21
17,73
4,92
15,30
17,65
16,48
1,66
16,91
17,53
17,22
0,44
30
13,86
21,54
17,70
5,43
16,57
18,14
17,36
1,11
12,66
12,37
12,52
0,20
45
16,60
23,07
19,84
4,57
21,00
19,11
20,05
1,34
11,94
11,33
11,63
0,43
60
19,13
24,93
22,03
4,11
21,59
17,10
19,34
3,18
13,35
11,46
12,40
1,34
90
23,68
28,37
26,03
3,32
20,33
17,49
18,91
2,01
13,24
12,52
12,88
0,51
120
22,36
33,15
27,76
7,63
21,75
24,37
23,06
1,86
16,85
13,60
15,23
2,30
180
29,23
33,49
31,36
3,01
21,52
22,03
21,77
0,36
19,98
15,44
17,71
3,21
240
33,71
32,86
33,28
0,60
23,27
20,05
21,66
2,27
21,03
19,64
20,33
0,98
300
31,38
33,07
32,23
1,20
21,29
19,97
20,63
0,93
22,40
20,97
21,69
1,01
360
34,01
34,16
34,09
0,11
21,10
20,56
20,83
0,38
24,43
22,96
23,70
1,04
Lampiran 13. Kebocoran Backing % kumulatif kebocoran Backing Waktu (s) 0 15 30 45 60 90 120 180 240 300 360
Sampel 1
Sampel 2
Sampel 3
Rata-Rata
SD
0,000 0,108 0,529 0,616 0,809 1,186 1,184 1,557 1,671 1,714 1,887
0,000 1,028 1,134 1,487 1,896 1,790 1,724 2,622 3,460 2,760 2,375
0,000 0,822 1,755 1,999 2,307 2,497 2,769 2,130 2,413 2,334 2,209
0,000 0,652 1,139 1,367 1,671 1,824 1,892 2,103 2,515 2,269 2,157
0,00 0,48 0,61 0,70 0,77 0,66 0,81 0,53 0,90 0,53 0,25
UIN Syarif Hidayatullah
60
Lampiran 14. Absorbansi larutan standar Natrium diklofenak Konsentrasi Absorbansi 0 2 4 6 8 10
0,000 0,081 0,151 0,228 0,298 0,359
Lampiran 15. Contoh perhitungan persentase difusi natrium diklofenak dari formula A1. Diketahui :
Ditanya :
Y0
= 0,000
Y15
= 0,046
Y30
= 0,048
y
= 0,0059 + 0,036 x
C0 = ? C15 = ? C30 = ? % difusi zat aktif pada t0 = ? % difusi zat aktif pada t15 =? % difusi zat aktif pada t30 =?
A.
B.
C.
Mencari nilai x pada menit ke-0 y = 0,0059 + 0,036 x 0,000
= 0,0059 + 0,036 x
C0
= 0,000 ppm
Mencari nilai x pada menit ke-15 y = 0,0059 + 0,036 x 0,046
= 0,0059 + 0,036 x
C15
= 1,114 ppm
Mencari nilai x pada menit ke-30 y = 0,0059 + 0,036 x UIN Syarif Hidayatullah
61
D.
0,048
= 0,0059 + 0,036 x
C30
= 1,169 ppm
Zat aktif yang terdifusi pada menit ke 0 Difusi = x0 X Volume (L) X Faktor Pengenceran Difusi
= 0,000 (
Difusi
= 0 mg
)X 0,0225 (L) X 5
% difusi = % difusi =
x 100 x 100
% difusi = E.
Zat aktif yang terdifusi pada menit ke 15 Difusi = (x15 + FK0) X Volume (L) X Faktor Pengenceran
Faktor koreksi t0 = C0 x
Faktor koreksi
= 0,000 x
Difusi = (x15 + FK0) X Volume (L) X Faktor Pengenceran Faktor koreksi
= 0,000
Difusi
= (1,114 (
) + 0,000) X 0,0225 (L) X 5
Difusi
= 0,125 mg % difusi =
% difusi =
x 100
x 100
% difusi =
UIN Syarif Hidayatullah
62
F.
Zat aktif yang terdifusi pada menit ke-30 Difusi = (x30 + FK0 + FK15) X Volume (L) X Faktor Pengenceran
Faktor koreksi t15
= C15 x
Faktor koreksi
= 1,114 x
Faktor koreksi
= 0,050
Difusi = (x30 + FK0 + FK15) X Volume (L) X Faktor Pengenceran Difusi = (1,169 (
) + 0,000 + 0,050) X 0,0225 (L) X 5
Difusi = 0,137 mg
% difusi =
% difusi =
x 100
x 100
% difusi = Lampiran 16. Contoh perhitungan fluks difusi natrium diklofenak dari formula A1. Diketahui :
M
= 347,00 µg
t
= 6 jam
s
= 2 cm2
M
=?
J
=?
J
=
J
=
J
= 28,917 µg cm-2 jam-1
UIN Syarif Hidayatullah
Lampiran 17. Sertifikat analisis natrium diklofenak
UIN Syarif Hidayatullah
64
Lampiran 18. Sertifikat analisis HPMC
UIN Syarif Hidayatullah
65
Lampiran 19. Sertifikat analisis etil selulosa
UIN Syarif Hidayatullah