Pengaruh Islam dalam Bahasa Ritual Nuryani (PBSI/FITK/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) Abstrak Islam memiliki pengaruh yang cukup kuat di beberapa kegiatan di dalam masyarakat. Salah satu yang cukup kuat pengaruhnya adalah pelaksanaan ritual di beberapa tempat. Pelaksanaan ritual selamatan di Pesarean Gunung Kawi, Malang, Jawa timur merupakan salah satu kegiatan yang cukup dipengaruhi oleh Islam, terutama Islam kejawen. Pengaruhnya dapat dilihat dari sisi bahasa yang digunakan dalam kegiatan ritual. Dalam tulisan ini akan melihat pengaruh Islam dalam bahasa ritual. Lokasi yang diambil sebagai studi kasus adalah di Pesarean Gunung Kawi yang terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Adapun bentuk pengaruh Islam cukup terlihat dalam bahasa yang digunakan dalam pelaksanaan ritual. Banyak ditemukan penggunaan bahasa Arab maupun cuplikan dari ayat-ayat Al-Quran dalam mantra atau doa yang disampaikan oleh modin. Modin adalah pemimpin dalam pelaksanaan ritual tersebut. Di samping menggunakan bahasa Arab, dalam pelaksanaan ritual di Pesarean Gunung Kawi juga menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Akan tetapi, fokus dalam tulisan ini adalah pada penggunaan bahasa Arab. Bentuk-bentuk pengaruh Islam yang ditemukan dalam bahasa ritual antara lain penggunaan bahasa Arab, penggunaan cuplikan ayat-ayat Al-Quran, penggunaan kata “amin” yang diminta oleh modin setiap modin selesai menyampaikan permohonan dalam bahasa Indonesia, dan penyebutan “Allah” dan “Muhammad” dalam tuturan yang disampaikan dalam bahasa Jawa.
Kata kunci: pengaruh Islam, bahasa ritual
Pengaruh Islam dalam Bahasa Ritual (Studi Kasus di Pesarean Gunung Kawi)1 Nuryani2 I. Pendahuluan Ritual merupakan kegiatan yang telah akrab sejak lama di masyarakat khususnya di wilayah pulau Jawa. Salah satu pelaksanaan ritual yang cukup dikenal oleh masyarakat luas adalah ritual yang dilaksanakan di Pesarean Gunung Kawi. Gunung Kawi merupakan tempat yang tidak asing lagi bagi masyarakat yang terbiasa mencari ”sesuatu”. Di tengah kebiasaan masyarakat kita yang masih mempercayai hal-hal lain di luar diri kita, dalam kegiatan ritual di Pesarean Gunung Kawi masih terlihat adanya kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya pengunjung yang ikut melaksanakan ritual di tempat tersebut masih dapat dikatakan “beragama”. Agama yang telah dikenal sejak dahulu, yakni Hindu dan kemudian bercampur dengan beragam budaya, yang kemudian oleh Suseno disebut untuk menambah kekuatan-kekuatan gaib3. Gunung Kawi merupakan salah satu gunung yang terletak di kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tidak banyak yang tahu jika di tempat tersebut banyak ditemukan bentuk-bentuk akulturasi budaya. Akulturasi budaya yang terlihat menjadi cerminan keberagaman yang dimiliki oleh masyarakat setempat maupun pengunjung yang datang. Di tengah banyaknya kebudayaan yang dapat dijumpai di tempat tersebut, tidak ditemukan adanya perpecahan maupun bentuk dominasi dari satu budaya dengan budaya yang lain. Untuk itulah,
1
Disajikan dalam Seminar Internasional ICON 2014 di Fakultas Adab dan Humanioran, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
2
Staf pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesi a (PBSI), FITK, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
3
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 32.
akulturasi budaya di tempat ini pada dasarnya dapat digunakan sebagai rujukan untuk menyelesaikan perselisihan yang selama ini masih banyak dijumpai di masyarakat kita. Bentuk akulturasi budaya yang dapat dijumpai di tempat ini cukup beragam. Keberagaman tersebut sedikit banyak memperlihatkan pengaruh Islam dalam beberapa aspek, baik aspek kegiatan yang dilaksanakan maupun bangunan-bangunan yang terlihat. Dari keberagaman bangunan, kegiatan prosesi ritual, dan beragam tempat ibadah sampai pada beragamnya bahasa yang digunakan dalam ritual dapat dijumpai di tempat tersebut. Keberagaman bangunan yang dapat dijumpai di tempat ini antara lain keberadaan tangga dari jalan raya menuju tempat pemakaman (tempat diselenggarakannya ritual), yang memperlihatkan adanya perpaduan antara pengaruh Cina dan Jawa4. Pengaruh Cina dapat dilihat dari ornamentornamen yang menghiasi di sepanjang jalan menuju pemakamakan. Sementara itu, pengaruh Jawa kental terlihat pada gerbang menuju masuk bangunan utama dan juga pada bangunan utama, yakni makam. Gerbang atau gapura menuju bangunan utama dihiasi dengan ukiran Jawa dan huruf Jawa. Sementara itu, bangunan utama dibuat seperti rumah joglo yang merupakan rumah adat Jawa. Kegiatan ritual yang dilaksanakan di tempat ini diikuti oleh pengunjung yang berasal dari beragam daerah, suku,budaya, maupun agama. Banyak di antara pengunjung yang beragama Kristen, Hindu, Islam, Budha, maupun Konghuchu. Sementara itu, dilihat dari latar belakang suku, banyak yang berasal dari etnis Cina, Jawa, Madura, Batak, dan beberaa suku yang lain. Demikian juga latar belakang asal daerah, terdapat pengunjung yang berasal dari Jawa, luar Jawa, bahkan dari luar negeri. Hal tersebut mencerminkan adanya kesamaan tujuan dari orangorang dengan beragam latar belakang. Apapun latar berlakang mereka melakukan kunjungan ke 4
Lebih lengkap baca Disertasi Nuryani “Wacana Ritual: Studi Kasus pada Ritual Selamatan di Pesarean Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur”, (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2013), hlm. 114.
tempat ini, terdapat satu tujuan yang menyatukan, sehingga yang terlihat adalah bentuk akulturasi yang bagus. Perbedaan latar belakang agama yang dianut oleh para pengunjung difasilitasi secara baik di tempat tersebut. Fasilitas yang diberikan salah satunya adalah dengan tersedianya tempat ibadah untuk tiap-tiap agama. Di lokasi tersebut terdapat masjid, pura, sampai pada tempat persembahyangan penganut Konghuchu, yakni patung Dewi Kwan In yang merupakan patung dari perunggu dengan ketinggian mencapai 3 meter. Keberagaman lain yang menarik untuk diamati adalah bahasa yang digunakan dalam pelaksanaan ritual. Terdapat beberapa bahasa yang digunakan dalam kegiatan ritual, yakni bahasa Jawa, Indonesia, dan Arab. Melihat keberagaman yang ditemukan di tempat ini, maka memungkinkan untuk banyak dilakukan penelitian. Akan tetapi, mengingat keterbatasan dan focus penelitian, maka dalam tulisan ini akan menyajikan analisis yang focus pada pengaruh Islam dalam kegiatan ritual. Pengaruh Islam yang dilihat juga tidak meliputi semua aspek, melainkan akan difokuskan pada bahasa yang digunakan dalam kegiatan ritual. Untuk mengawali analisis, dimunculkan beberapa pertanyaan, yakni bagaimana bentuk-bentuk pengaruh dalam bahasa yang digunakan dalam mantra atau doa dalam ritual di Pesarean Gunung Kawi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, akan diawali dengan sajian mengenai sedikit sejarah mengenai keberadaan Pesarean Gunung Kawi. Hal tersebut dilakukan karena dengan melihat sejarahnya akan tergambar mengenai alasan Islam cukup memiliki pengaruh di tempat tersebut. II. Pembahasan Pembahasan dalam tulisan ini akan menyajikan dua hal, yakni mengenai sejarah pesarean Gunung Kawi dan bentuk-bentuk pengaruh Islam dalam bahasa ritual. Sejarah mengenai
pesarean Gunung Kawi disajikan untuk memberikan gambaran kemunculan tempat tersebut sehingga akan tergambar mengenai keberadaan tempat tersebut. Sementara itu, bentuk-bentuk bahasa merupakan focus kajian dalam tulisan ini. Dalam subbab tersebut akan disajikan mengenai bentuk-bentuk pengaruh Islam yang ditemukan dalam bahasa yang digunakan dalam pelaksanaan ritual. A. Sejarah Singkat Pesarean Gunung Kawi Perkembangan Islam di tanah Jawa memang sangat pesat. Keberadaan wali songo telah banyak membawa perubahan dalam dunia keislaman di Jawa. Selain itu, muncul banyak metode yang digunakan untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa. Salah satu metode yang digunakan adalah dengan memasukkan unsur Islam dalam kebudayaan Jawa ataupun dalam kegiatankegiatan kejawen. Hal tersebutlah yang kemudian memunculkan adanya istilah Islam kejawen atau Suseno menyebutnya sebagai Jawa tradisional5. Pada masa perang, juga dikenal adanya pahlawan yang cukup islami. Salah satu yang dikenal cukup islami adalah Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro dikenal sebagai sosok atau tokoh yang memiliki rasa keagamaannya sukup tinggi. Hal tersebut ditularkan kepada para anak buah atau pengikutnya. Salah satu pengikut Pangeran Diponegoro yang dikenal cukup religius adalah Kyai Zakariya. Kyai Zakariya merupakan pengikut setia Pangeran Diponegoro yang melarikan diri kea rah timur setelah pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro terdesak oleh penjajah (baca cerita lengkap dalam buku Pesarean Gunung Kawi yang diterbitkan oleh Yayasan Ngesti Gondo)6.
5
6
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa, (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 32.
Buku tersebut hanya untuk kalangan terbatas. Yayasan Ngesti Gondo adalah yayasan yang didirikan oleh keturunan Eyang Soedjo yang kemudian mengelola Pesarean Gunung Kawi.
Kereligiusan Kyai Zakariya tampak ketika dia sedang melarikan diri kea rah timur dan menemukan tempat peristirahatan di daerah Blitar. Di tempat tersebut Kyai Zakariya mendirikan padepokan yang digunakan untuk tempat pengobatan dan sekaligus sarana untuk menyebarkan Islam. Keberadaan padepokan Kyai Zakariya telah menyebar luas di daerah Blitar dan sekitarnya. Seiring dengan kemasyuran tersebut, datang seorang perempuan keturunan etnis Cina yang meminta diobati oleh Kyai Zakariya. Perempuan tersebut menyampaikan bahwa penyakit yang dideritanya sudah sangat lam dan telah menempuh beragam cara pengobatan. Setelah mendapatkan pengobatan dari Kyai Zakariya, perempuan tersebut mendapatkan kesembuhan. Berawal dari situlah hubungan antara keturunan etnis Cina dengan masyarakat setempat menjadi lebih baik. Oleh karena itu, keturunan etnis Cina memiliki rasa kedekatan emosional dengan Kyai Zakariya dan segala hal tentang Kyai Zakariya. Padepokan yang didirikan oleh Kyai Zakariya telah berkembang dengan pesat dan dikenal oleh masyarakat secara luas. Hal tersebut yang membuat Kyai Zakariya yang kemudian dikenal dengan sebutan Eyang Djoego memutuskan untuk melakukan “babat alas”7. Hal itu dilakukan guna menyebarkan Islam di wilayah timur Blitar. Pada kegiatan “babat alas” yang pertama dipimpin langsung oleh Kyai Zakariya yang diikuti oleh tujuh pengikut. Dalam perjalanan tersebut Eyang Djoego sampai di wilayah yang kemudian dikenal dengan Wonosari. Di tempat itulah Eyang Djoego sakit, yang kemudian meminta salah satu pengikut setianya untuk melanjutkan memimpin kegiatan “babat alas”. Eyang Djoego memiliki banyak pengikut setia, yang salah satunya adalah R.M. Imam Soedjono. R.M. Imam Soedjono kemudian dikenal dengan sebutan Eyang Soedjo, merupakan salah satu pengikut setia Eyang Djoego yang telah dianggap sebagai anaknya sendiri. Kepada 7
Cerita lengkap perjalanan “babat alas” yang dilakukan oleh Eyang Djoego dan pengikutnya tergambar jelas dalam relief patung yang disajikan di pintu masuk tangga menuju pesarean Gunung Kawi.
Eyang Soedjo juga mandat mewakili memimpin perjalanan “babat alas” ditumpukan. Setelah menderita sakit yang cukup lama di tempat tersebut, akhirnya Eyang Djoego meninggal dan dimakamkan di tempat tersebut. Selang beberapa waktu sepeninggal Eyang Djoego, Eyang Soedjo juga meninggal dan dimakamkan di tempat yang sama. Pemakaman mereka berdua itulah yang kemudian dikenal sebagai Pesarean Gunung Kawi. Makam Eyang Djego dan Eyang Soedjo diletakkan di dalam sebuah bangunan rumah yang berbentuk joglo (rumah khas adat Jawa). Kegiatan ritual dilaksanakan di dalam bangunan tersebut. Pengunjung duduk melingkar persis di depan bangunan makam. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pengunjung sebelum mengikuti ritual tersebut. Beberapa persyaratan yang disampaiakn meliputi syarat lahir dan syarat batin. Syarat lahir meliputi duduk rapi, diam, berbusana sopan, dan menyediakan ubo rampe yang dipersyaratkan. Sementara itu, untuk syarat batin melipui bersih diri secara batiniah (tidak boleh berpikiran negatif) dan jika kebutuhan yang diharapkan cukup penting dan mendesak diharapkan puasa terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan ritual. B. Bentuk-Bentuk Pengaruh Islam dalam Bahasa Ritual Ritual yang dilaksanakan di Pesarean Gunung Kawi tidak hanya satu jenis, melainkan terdapat beberapa ritual yang dilaksanakan di sana. Beberapa di antaranya adalah ritual mengelilingi makam pada malam hari tepat pukul 24.00, ritual duduk berdiam diri di depan pohon Dewadaru, ritual minum air dari guci suci, dan yang paling banyak diminati adalah ritual selamatan. Di antara beragam ritual yang dilaksanakan tersebut, ritual selamatan merupakan ritual yang dilakukan dengan persyaratan yang cukup kompleks. Ritual selamatan dipimpin oleh modin yang ditunjuk langsung oleh pemimpin atau pengelola pesarean tersebut.
Pengaruh Islam cukup terlihat dalam pelaksanaan kegiatan ritual selamatan tersebut. Akan tetapi, hal tersebut tidak akan dibahas dalam tulisan ini, melainkan hanya akan difokuskan pada pengaruh Islam yang terdapat dalam bahasa yang digunakan oleh modin dalam memimpin ritual selamatan tersebut. Bahasa yang digunakan oleh modin selama memimpin pelaksanaan ritual ada tiga jenis, yakni bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan bahasa Arab. Ketiga bahasa tersebut digunakan dengan tujuan dan bagian-bagian yang berbeda. Penggunaan bahasa Arab merupakan salah satu bentuk adanya pengaruh Islam dalam bahasa ritual. Akan tetapi, pengaruh Islam tidak hanya terlihat dari penggunaan bahasa Arab saja, melainkan dalam bahasa lain yang digunakan juga ditemukan adanya pengaruh Islam. Seperti dalam penggalan tuturan berikut (tuturan disampaikan oleh Modin dengan menggunakan bahasa Jawa). 1) Mangga sedherek sedaya. ‘Mari saudara semua’. 2) Kula suwun pangestunipun rahayu wilujeng. ‘Saya minta restu selamat sejahtera’. 3) Muginipun ngrencangi ing dedonga wanten wana dhumateng rosululah. ‘Semoga menemani dalam berdoa di hutan kepada Rosulullah’.
Penggalan tuturan di atas merupakan tuturan pembuka dalam pelaksanaan ritual selamatan. Berdasarkan penggalan tuturan tersebut terlihat adanya penyebutan “Rosulullah”, bahkan pada tuturan pembuka pelaksanaan ritual selamatan. Rosulullah merupakan kata yang merujuk kepada nabi umat Islam, yakni nabi Muhammad. Nabi Muhammad merupakan nabi yang hanya dimiliki oleh umat Islam bukan penganut agama lain. Melihat hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa Islam cukup mempengaruhi dalam pelaksanaan ritual selamatan di Pesarean
Gunung Kawi. Hal tersebut terlihat dari penggunaan kata Nabi Muhammad yang merupakan nabi umat Islam. Dalam penggalan tersebut, peserta ritual diminta untuk ikhlas dalam melakukan kegiatan ritual. Kegiatan ritual diawali dengan berdoa di hutan8 dan ditujukan kepada Rosulullah, yang tidak lain adalah nabi umat Islam. Dengan demikian, dapat disampaikan bahwa salah satu bentuk pengaruh Islam dalam bahasa ritual selamatan di Pesarean Gunung Kawi adalah adanya penggunaan kata “Rosulullah” dalam bahasa Jawa. Pada penggalan tuturan berikut juga memperlihatkan adanya pengaruh keagamaan yang kuat dalam bahasa ritual selamatan. 4) Kajawi saking punika, para wayah kala rumiyin reribetan ing penggalih. ‘Kecuali dari itu, para cucu dulu berada dalam kerepotan hati’. 5) Saklebete reribetan ing penggalih, kula nyaiji dhumateng gusti ingkang maha kuwaos, lelantaran Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan. ‘Dalam kerepotan di hati itu, saya memohon kepada Tuhan yang Maha Kuasa dengan perantara kanjeng Eyang Penembahan berdua’. 6) Ugi kagungan wiraos ing dalem sak klimah, saha ugi saget pinaringan, luar sedaya reribetanipun. ‘Juga punya rasa yang disampaikan dalam tutur kata, dan juga bisa mendapatkan kebebasan dari semua kesulitan’.
Pada tuturan 5, terdapat penyebutan dhumateng gusti ingkang maha kuwaos (Tuhan yang Maha Kuasa). Tuhan yang Maha Kuasa merupakan istilah umum yang dapat digunakan oleh seluruh penganut agama yang berbeda. Akan tetapi, melihat penggalan tuturan yang sebelumnya
8
Lokasi pesarean Gunung Kawi terletak di kaki Gunung Kawi yang masih dikelilingi oleh pohon-pohon yang rimbun, sehingga masih dikenal sebagai hutan.
merujuk pada nabi Muhammad, maka penggunaan istilah Tuhan yang Maha Kuasa dapat dimaknai sebagai penggunaan istilah yang merujuk pada kata “Allah” yang merupakan tuhan dalam agama Islam. Berdasarkan tuturan di atas, memperlihatkan masih adanya rasa kepercayaan bahwa segala sesuatu harus dimintakan dan ditujukan kepada Tuhan. Sementara itu, posisi Eyang Djoego dan Eyang Soedjo (Kanjeng Eyang Panembahan sekaliyan) hanya sebagai perantara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegiatan ritual selamatan ini dilaksanakan masih dalam tataran kepercayaan kepada Tuhan. Hanya saja, untuk menuju Tuhan banyak orang meyakini bahwa dibutuhkan “seseorang atau sesuatu” yang memiliki kedekatan dengan Tuhan supaya segala permohonan dapat segera mendapatkan jawaban. Dengan ruh, manusia diantar menuju tujuan non-materi yang tidak bias diukur di laboratorium9. Untuk itulah, dalam kegiatan ritual selamatan ini Eyang Djoego dan Eyang Soedjo dianggap sebagai perantara yang tepat atas segala hajat yang mereka miliki. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penggunaan kata Gusti ingkang Maha Kuwaos menjadi salah satu bentuk pengaruh Islam yang muncul dalam bahasa ritual selamatan. Bentuk pengaruh Islam yang lain terlihat dari penggunaan kata “amin” di setiap akhir permohonan
yang
dibacakan
oleh
modin.
Sebelum
permohonan
dibacakan,
modin
menyampaikan kepada peserta ritual selamatan untuk mengucapkan “amin” pada setiap akhir pembacaan permohonan. Permohonan itu sendiri dibacakan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Berikut contoh penggalan permohonan yang disampaikan. 7) Dari Bapak SS dan Ibu MS di VBRS, sekeluarga mohon selamet, sehat, usahanya lancar dan banyak rejekinya. 9
Nasruddin Anshoriy dan Sudarsono, Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa, (Jakarta: Yayasan Obor, 2008), hlm. xi
8) Dari Bapak EA, di VBRS, sekeluarga mohon sehat, selamet, usahanya mohon lancar banyak rejekinya. 9) Dari Ibu GSS, usahanya PT. JB, di Jl. MH di Toli-Toli, sekeluarga mohon kesehatan, selamet, usahanya mohon lancar dan banyak rejekinya. 10) Dari PT. IKI di desa B di Jl. TS, KM 12 di T, mohon usahanya lancar banya rejeki dan sekeluarga mohon sehat dan selamet.
Pada saat akhir modin menyampaikan atau membacakan permohonan pada tuturan 7, peserta menutupnya dengan menyebut “amin”. Demikian juga dengan setiap akhir membacakan tuturan 8,9,10, dan seterusnya. Melihat hal tersebut, dapat dikatakan bahwa penggunaan kata “amin” menjadi salah satu bentuk pengaruh Islam yang ditemukan dalam bahasa ritual selamatan. Bentuk pengaruh Islam lain yang terdapat dalam bahasa ritual selamatan di Pesarean Gunung Kawi adalah penggunaan bahasa Arab. Penggunaan bahasa Arab ini cukup menonjol karena banyak ditemukan pada beberapa bagian, terutama pada bagian penutu. Bahasa Arab yang digunakan adalah cuplikan-cuplikan ayat-ayat Al-Quran. Berikut tuturan yang menggunakan bahasa Arab.
Audzubillahiminasyitonirrajim.
Bismillahirrahmanirrahim.
Allahummashali’alasayidina
Muhammad, wa’ala alihi sayidina Muhammad. Minal awalina wal akhirina wasalisi warodiyallahuta’ala. Ankuli shahabati rosulillahi ajmain. Alhamdulillahirabbil’alamin. Khamdansyakirin, khamdan na’imin, khamdan yuwafini’amahu, wayukafiumazidatan. Ya Rabbana lakalkhamdu kama yambaghilijalali wajhikal’adzimi sultonik. Allahummasholi wasalim ‘ala sayidina Muhammad wa ‘ala alihi sayidina Muhammad. Allahummaghfirlahum, warkhamhum, wa’afihim, wa’fu’anhum. Allahmumma anzilirahmatan wal maghfirotan.
Khususon almarhum iyang kiyai Zakariya aliyas iyang jugo ‘alamqubur, khususon almarhum iyang raden mas imam sujono ‘ala ahlil quburi, minal muslimina wal muslimat wal mu’minina wal mu’minati wa a’lahumu darojati wadho’if lahumul khasanati wakaffir ‘anhumussayiati wa adkhilhumul jannata ma ’al abai wal ummahati. Ya ayatuhannafsul muthmainatu. Irji’i ila robbika rodhiyatammardiyah, fadkuli fi ‘ibadi wad khuli jannati. Innallaha wa malaikatu yusholluna ‘alannabi, ya ayyu halladina amanu shollu ‘alaihi wassalimu taslima. Allahumma inna nasaluka sallamatan fiddini wa ‘afiyatan fil jasadi wa ziyadatan fil ‘ilmi wa barokatan firrizqi wa taubatan qoblal mauta wa rakhmatan indal mauti wa maghfirota ba’dal mauti. Allahumma hawwin ‘alaina fi sakarotil mauti wannajata minannari, wal ‘afwa indal khisabi. Rabbana latuzigh qulubana ba’da idhadaitana wa hablana minladunka rakhmatan innaka antalwahabu. Rabbana atina fidunya khasanatan, wa fil akhirati khasanatan wa qina’adabanar. Subhana
rabbika
rabbil
‘izati
‘ammayasifun.
Was
alamun
‘alalmursalin.
Walkhadulillahirabbil’alamin.
Penggunaan bahasa Arab dalam bahasa ritual selamatan bukanlah bahasa Arab seperti yang digunakan oleh masyarakat Arab pada umumnya. Bahasa Arab yang digunakan merupakan cuplikan-cuplikan yang diambil dari ayat-ayat Al-Quran. Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam, sehingga di dalamnya mengandung banyak doa yang biasa disampaikan oleh penganut agama Islam. Melihat hal tersebut, dapat dijelaskan bahwa penggunaan cuplikan-cuplikan ayat Al-Quran merupakan salah satu bentuk pengaruh Islam yang ditemukan dalam bahasa yang digunakan dalam ritual selamatan. Hal tersebut karena hanya Islam yang memiliki bacaanbacaan seperti dalam tuturan penutup ritual di atas.
III. Simpulan Berdasarkan analisis dalam pembahasan di atas, maka dapat dituliskan simpulan sebagai berikut. Terdapat pengaruh Islam yang cukup kuat dalam penggunaan bahasa yan dituturkan dalam ritual selamatan di Pesarean Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur. Bentuk-bentuk pengaruh Islam dalam bahasa ritual selamatan meliputi penggunaan bahasa Arab yang merupakan cuplikan ayat-ayat Al-Quran, penyebutan istilah “Rosulullah” yang merujuk pada nabi umat Islam dan “Tuhan yang Maha Kuasa” yang merujuk pada “Allah” yang merupakan Tuhan dalam agama Islam, dan penyebutan kata “amin” dalam setiap akhir pembacaan permohonan.
Daftar Pustaka Anshoriy, Nasruddin dan Sudarsono. Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Obor, 2008.
Suseno, Franz Magnis. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia, 1984. Tim Penyusun Buku Pesarean Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur. Pesarean Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur. Malang: Yayasan Ngesti Gondo, 2005. Nuryani. “Wacana Ritual: Studi Kasus pada Ritual Selamatan di Pesarean Gunung Kawi, Malang, Jawa Timur”. Disertasi . Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2013.