UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PREPARASI DAN KARAKTERISASI FILM SAMBUNG SILANG HIDROGEL PVA(POLY(VINYL-ALCOHOL)) DAN NATRIUM ALGINAT DENGAN METODE FREEZE-THAWING DAN METRONIDAZOLE SEBAGAI MODEL ZAT AKTIF
SKRIPSI
NURUL HIKMAH TANJUNG 1111102000005
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA OKTOBER 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PREPARASI DAN KARAKTERISASI FILM SAMBUNG SILANG HIDROGEL PVA (POLY(VINYLALCOHOL))DAN NATRIUM ALGINAT DENGAN METODE FREEZE-THAWING DAN METRONIDAZOL SEBAGAI MODEL ZAT AKTIF
SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi
NURUL HIKMAH TANJUNG 1111102000005
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA OKTOBER 2015 i
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ABSTRAK
Nama NIM Program Studi Judul Skripsi
: : : :
Nurul Hikmah Tanjung 1111102000005 Farmasi Preparasi dan Karakterisasi Film Sabung Silang Hidrogel PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan Natrium Alginat dengan Metode Freeze-thawing dan Metronidazol sebagai model zat aktif
Telah dibuat sediaan film sambung silang PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan natrium alginat yang mengandung metronidazol. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi film PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan (NA) natrium alginat yang disambung silang, membandingkan karakteristik film sambung silang dengan film yang tidak disambung silang, dan untuk mengetahui pengaruh sambung silang terhadap karakteristik film. Film dibuat dengan empat formula A, B, C dan D dengan memvariasikan adanya natrium alginat dan metode sambung silang. Sambung. silang dilakukan dengan menggunakan metode fisik yaitu metode freeze-thawing. Film yang dihasilkan dikarakterisasi meliputi evaluasi organoleptis, ketebalan, kadar air, sifat mekanik, daya mengembang, dan profil pelepasan metronidazol dari film. Karakteristik film sambung silang yang dihasilkan dibandingkan dengan film yang tidak disambung silang. Hasilnya menunukkan bahwa film PVA-NA yang disambung silang, film PVA yang disambung silang, film PVA-NA yang tidak disambung silang dan film PVA yang tidak disambug silang memiliki karakteristik : persen kadar air berturut-turut64,97 ± 4,22%, 52,2 ± 5,89, 61,77±3,58% dan 32,53 ± 6,473%; persen kekuatan tarikberturut-turut52,86±7,43%, 100,55 ± 9,98%, 69,02 ± 2,38% dan 54,89 ± 5,01%; persen elongasiberturut-turut266,67 ± 5,77%, 423,33 ± 45,09%, 366,67 ± 11,55% dan 246,67 ± 46,19, persen pelepasan zat aktif dari dalam film pada jam ke 24 berturut-turut102,7 ± 8,06%, 164,11 ± 1,12%, 102,01 ± 2,67, dan 152,00 ± 11,02. Berdasarkan data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa proses sambung silang mempengaruhi karakteristik film. Sambung silang yang dilakukan pada PVA-NA menyebabkan peningkatan kadar air sehingga menurunkan persen kekuatan tarik dan meningkatkan persen elongasi. Persentase kekuatan tarik terendah dan elongasi tertinggi dihasilkan oleh film sambung silang PVA-NA, persentase pelepasan obat metronidazol terendah dihasikan oleh film sambung silang PVA-NA. Kata kunci : film hidrogel, PVA, natrium alginat, metode sambung silang, freezethawing.
v
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ABSTRACK
Name Major Title
: Nurul Hikmah Tanjung : Pharmacy : Preparation and Characterization of Crosslinked PVA (Poly(vinyl alcohol)) and Sodium Alginate Hydrogel Film with Freeze Thawing Method and Metronidazole as Active Pharmaceutical Ingredient Model
A Crosslink of PVA (Poly(vinyl-alcohol)) Hydrogel Film and Sodium Alginate dosage form that contain Metronidazole has been made. The purpose of this study was to characterize PVA (Poly(vinyl-alcohol)) and Sodium Alginate that were crosslinked, compare the characteristics of crossedlinked film with uncrossedlinked and to understand the effect of crosslink to the film. The film was formulated A, B, C and D. where varying the presence of sodium alginate and crosslink method in the film. Crosslink was done by using a physics method which was freeze thawing. The film that was resulted was characterized by their organoleptic, thickness, weight uniformity , water content, mechanical properties, swelling ratio, release profile of metronidazole from the film. The crosslink film characteristics resulted were being compared to the film that was not crosslinked. The result showed that PVA-NA crosslinked film, PVA crosslinked film, PVANA un crosslinked film and PVA uncrosslinked film had characteristics of : water content percentage 64,97 ± 4,22%, 52,2 ± 5,89, 61, 77 ± 3,58% and 32,53 ± 6,473% respectively; tensile strength percentage 52,86 ± 7,43%, 100,55 ± 9,98%, 69,02 ± 2,38% and 54,89 ± 5,01% respectively; elongation break percentage 266,67 ± 5,77%, 423,33 ± 45,09%, 366,67 ± 11,55% dan 246,67 ± 46,19, 102,01 ± 2,67, and 152,00 ± 11,02 respectively ; active pharmaceutical ingredient release from the film at hour 24 percentage 102,7 ± 8,06%, 164,11 ± 1,12%, respectively. Based on the results, it can be concluded that crosslink process affected the film characteristics. Crosslink that was done to PVA-NA caused ater content increase that the percentage of tensile strength was decreasing and elongation break percentage was increasing. The lowest tensile strength and the highest elongation break were resulted by PVA-NA crosslinked film, the lowest metronidazole release percentage was resulted by PVA-NA crosslinked film. Keywords : Hydrogel film, PVA, sodium alginate, crosslinked, freeze-thawing
vi
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil`alamiin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini hingga selesai. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat serta kita sebagai umatnya. Penulisan skripsi yang berjudul “Preparasi dan Karakterisasi Film Sabung Silang Hidrogel PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan Natrium Alginat dengan Metode Freeze-thaing dan Metronidazol sebagai model zat aktif” bertujuan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1.
Nelly Suryani, Ph.D., Apt dan Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt sebagai dosen pembimbing yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan, ilmu, bimbingan, waktu, tenaga, dan dukungan kepada penulis.
2.
Prof. Dr. Arif Sumantri, S.KM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Yardi, Ph.D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Seluruh dosen di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta atas ilmu pengetahuan yang telah diberikan kepada saya.
5.
Kedua orang tua, ayahanda Syafi’i Koto dan ibunda tercinta Sarifah Hanum yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dan doa yang tidak pernah putus dan dukungan baik moril maupun materil. Sungguh besar jasa beliau, tidak ada apapun di dunia ini yang mampu membalas kebaikan Ayah dan Mama. Maafkan anakmu ini yang memiliki banyak kesalahan, semoga Allah senantiasa melindungi Ayah dan Mama. vii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
6.
Kakak dan abang saya yang tercinta Lina Khairani, Lili Suhaini, Arman Syahputra, Lisa Afriani dan Liza Tanzil serta abang dan kakak ipar saya tercinta Basir, M. Ridwan, Ardila, Riko Sihombing, dan Zulfan Efendi Arwalembun yang telah memberikan kasih sayang, doa, semangat,dan dukungan baik moril maupun materil sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan lancar.
7.
Keponakan-keponakan
saya
tersayang
Sari
Rahmadani,
Hafiza
Khairunnisa, M. Fajar Shiddiq, Prima Aji, Farhan Kholik, Sri Annisa, Jasmin, Batara Yuda, Indra Yana, M. Barkah Alzizian, Sahira Nafisa dan Doni Darmawan terima kasih karena selalu menjadi penyemangat dan penghibur ibu selama ini. 8.
Kakek dan Nenek saya tersayang Alm. ungku Tapar, Alm.ungku Buyung, Almh. Nenek Norma semoga kalian diberi tempat terbaik disisi Allah swt dan Nenek Mariatun semoga selalu diberikan kesehatan dan umur panjang. Terimakasih telah telah menyayangi dan mendoakan kesuksesan cucumu ini.
9.
Seluruh keluarga besar saya tercinta terima kasih atas doa dan dukungan baik secara moral dan materil.
10. Seluruh keluarga besar Prodi Farmasi FKIK yang telah memberikan kesempatan dan kemudahan untuk melakukan penelitian serta dukungan yang amat besar. 11. Laboran-laboran Farmasi FKIK, Kak Rahmadi,Kak Eris, Kak Lisna, Kak Liken, Mba Rani, Kak Tiwi, Kak Yaenap, Kak Walid dan Mba Anis terima kasih atas dukungan serta kerjasamanya selama kegiatan penelitian. 12. Sahabat-sahabat
seperjuanganku
tercinta
Mazaya
Fadhila,
Meri
Rahmawati, Novila Tari, Mida Fahmi, Wina Oktaviana, Yulia Nurbaiti Raihana, Jemia, Firda Khanifah, Fitri Rachmadani, Dini Fauzana, Philia Permaiswari Pratiwi, Khairunnisa Robbani, Henny Pradika Nigrum, Miyadah Samiyah, Dana Yusshiammanti Fitria, Qurry Mawaddana, Gina Kholisoh, Nicky Annisiana Fortunita, Rika Chaerunnisa, Dhenny Arman Siregar, Resky Yuliandari dan Muhammad Fahmi Salafuddin, atas kebersaaman, persaudaraan, bantuan, semangat, pengertian, motivasi dan viii
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
dukungan sejak awal perkuliahan sampai saat ini. 13. Teman-teman Farmasi 2011 kel as
A -C
atas persaudaraan dan
kebersamaan kita selama kita di bangku perkuliahan. 14. Sahabat-sahabatku tercinta Intan Kurnia, Nabilah Fitri, Tengku Zahra Diba Johan, Nurul Arifah Batubara, Tengku Sofia Andriani Johan, Hanifah Sembiring, Dinda Afdilla Sarra, Nur Rizqi Handayani, Bebi Ayu Meilani, Nur Mawaddah Sari, dan Irawati Basuki, Muarifah, Harry Santoso dan Raudhatul Fuad terima kasih atas doa dan dukungan kalian selama ini. 15. Teman-teman “Tabletters” Umniyati Mufidah, Herlina Pratiwi, Ichsana Eskha Widya, Rizka Nurbaiti, Wardah Annajiah dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu dan memberikan banyak masukan dalam penelitian ini. 16. Teman-teman “1001” Ailla Tiara Putri, Tiara Arliani, Anggita Cahya Utami, Nadiya Hilmi, Tri Wahyuni, Dila Taruli, Laila Khotimah dan teman-teman lainnya terima kasih atas doa dan dukungan kalian selama ini. 17. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu saran serta kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu saya dalam penelitian ini. Amiin Ya Rabbal’alamiin. Ciputat, Oktober2015
Penulis
ix
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................ HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... ABSTRAK ......................................................................................................... ABSTRACK ...................................................................................................... KATA PENGANTAR ....................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................... DAFTAR ISI ...................................................................................................... DAFTAR TABEL ............................................................................................. DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1.2 Batasan dan Rumusan Masalah ..................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 2.1 Kulit ............................................................................................... 2.2 Luka ............................................................................................... 2.2.1 Jenis-Jenis Luka ................................................................. 2.2.1.1 Luka Berdasarkan Derajat Kontaminan ............... 2.2.1.2 Luka Berdasarkan Penyebab ................................ 2.2.2 Fase Penyembuhan Luka ................................................... 2.2.2.1 Fase Awal (Hemostasis dan Inflamasi)................ 2.2.2.2 Fase Intermediate (Proliferasi) ............................. 2.2.2.3 Fase Akhir (Remodelling) ................................... 2.2.3 Gangguan Proses Penyembuhan Luka ............................... 2.2.3.1 Jaringan Parut Hipertrofik dan Keloid ................. 2.2.3.2 Luka Kronis ......................................................... 2.3 Obat Luka dalam Sejarah Iskandar Dzulqarnain ........................... 2.4 Wound Dressing (Pembalut Luka) ................................................ 2.5 Hidrogel ......................................................................................... 2.6 PVA(Poly(vinyl alkohol)) .............................................................. 2.7 Natrium Alginat ............................................................................. 2.8 Sambung Silang ............................................................................. 2.9 Sambung Silang PVA ................................................................... 2.10 Gliserin........................................................................................... 2.11 Metronidazol .................................................................................. BAB III METODE PENELITIAN .................................................................. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 3.2 Alat dan Bahan............................................................................... 3.2.1 Alat..................................................................................... 3.2.2 Bahan ................................................................................. 3.2. Prosedur Kerja ............................................................................... xi
i ii iii iv v vi vii x xi xiii xiv xv 1 1 3 3 3 4 4 4 5 5 6 7 8 10 12 12 13 13 14 17 18 19 20 22 23 24 24 26 26 26 26 26 27
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
3.3.1
Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film ...................................................................... 3.3.2 Preparasi Film Sambung Silang ......................................... 3.3.3 Karakterisasi Cairan Pembentuk Film ............................... 3.3.3.1 Evaluasi Organoleptis .......................................... 3.3.3.2 Evaluasi Viskositas .............................................. 3.3.4 Karakterisasi Film .............................................................. 3.3.4.1 Evaluasi Organoleptis .......................................... 3.3.4.2 Pengukuran Ketebalan Film................................. 3.3.4.3 Analisa Daya Mengembang ................................. 3.3.4.4 Analisa Kadar Air ................................................ 3.3.4.5 Uji Sifat Mekanik Film ........................................ 3.3.4.6 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva Kalibrasi Metronidazole ......... 3.3.4.7 Penetapan Kadar Metronidazole dalam Film ....... 3.3.4.8 Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film ........................ BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 4.1 Pembuatan Sediaan Film ............................................................... 4.1.1 Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film ...................................................................... 4.1.2 Preparasi Film Sambung Silang ......................................... 4.2 Karakterisasi Cairan Pembentuk Film ........................................... 4.2.1 Evaluasi Organoleptis ........................................................ 4.2.2 Evaluasi Viskositas ............................................................ 4.3 Karaktersasi Film ........................................................................... 4.3.1 Evaluasi Organoleptis ........................................................ 4.3.2 Pengukuran Ketebalan Film............................................... 4.3.3 Analisa Daya Mengembang ............................................... 4.3.4 Analisa Kadar Air .............................................................. 4.3.5 Uji Sifat Mekanik Film ...................................................... 4.3.6 Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film ...................................... 4.3.7 Penetapan Kadar Metronidazole dalam Film..................... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 5.2 Saran .............................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ LAMPIRAN .......................................................................................................
xii
27 28 29 29 29 29 29 29 30 30 30
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
31 31 31 32 32 32 33 34 34 34 35 35 36 37 38 39 40 41 43 43 43 44 49
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8
Variasi NA dalam Formula Film Sambung Silang .......................... Variasi Jenis Film ............................................................................. Karakteristik Film Hasil Optimasi ................................................... Ketebalan Film ................................................................................. Daya Mengembang Film .................................................................. Kadar Air .......................................................................................... Uji Mekanik Film ............................................................................. Persen Kumulatif Pelepasan Metronidazole dari Film ..................... Hasil Optimasi Waktu Ekstraksi Metronidazole dari Film .............. Kadar Metronidazole dalam Film ....................................................
xiii
27 28 32 36 37 39 39 40 41 42
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Rumus Struktur Poly(vinyl alcohol) ............................................ 20 Gambar 2.2 Struktur Alginat ........................................................................... 21 Gambar 2.3 Struktur Jaringan Tiga Dimensi PVA yang Disambung Silang dengan Metode Freeze Thawing ................................................. 23 Gambar 2.4 Rumus Struktur Metronidazol ..................................................... 24 Gambar 4.1 Larutan CPF PVA-NA (A), Larutan CPF PVA (B) .................... 34 Gambar 4.2 Gambar Makroskopik Keempat Formula Film A (A), Film B (B), Film C (C), dan Film D (D) ......................................................... 35 Gambar 4.3 Grafik Daya Mengembang Film .................................................. 37 Gambar 4.4 Kurva Sifat Mekanik Film ........................................................... 39 Gambar 4.5 Grafik Persentase Kumulatif Pelepasan Metronidazole .............. 41
xiv
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7.
Alur Penelitian ............................................................................ Gambar Alat dan Bahan ............................................................. Pembuatan Koloid PVA 6% ....................................................... Pembuatan Koloid NA 0,9% ...................................................... Pembuatan Larutan Metronidazol .............................................. Pembuatan Larutan Metronidazol Standar ................................. Data Standar Absorbansi dan Kurva Kalibrasi Metronidazol dalam Aquabidestilasi ............................................................... Lampiran 8. Kadar Air .................................................................................... Lampiran 9. Ketebalan Film ........................................................................... Lampiran 10. Uji Mekanik ................................................................................ Lampiran 11. Keseragaman Kandungan ........................................................... Lampiran 12. Presentase Kumulatif Pelepasan Metronidazol dari Film ........... Lampiran 13. Hasil Optimas Pelepasan Metronidazol ...................................... Lampiran 14. Penetapan Kadar Metronidazol dari Film ................................... Lampiran 15. Uji Daya Mengembang ............................................................... Lampiran 16. Data Statistik Uji Mekanik Kekuatan Tarik ............................... Lampiran 17. Data Statistik Uji Mekanik Elongasi .......................................... Lampiran 18. Data Statistik Uji Daya Mengembang ........................................ Lampiran 19. Contoh Perhitungan Optimasi Pelepasan Metronidazol ............. Lampiran 20. Contoh Perhitungan Kadar Metronidazol ................................... Lampiran 21. Sertifikat Analisis PVA .............................................................. Lampiran 22. Sertifikat Analisis Metronidazol ................................................. Lampiran 23. Sertifikat Analisis Natrium Alginat ............................................
xv
49 50 51 51 51 51
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
52 52 53 53 54 54 54 55 56 57 58 60 66 67 68 69 70
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada saat ini, sediaan penutup luka menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehata. Banyaknya korban yang menderita luka akibat kecelakaan industri, lalu lintas, penyakit diabetes, kebakaran dan sebagainya menjadi faktor pertimbangan khusus dalam penelitian obat penutup luka. Sediaan penutup luka sangat diharapkan memiliki mekanisme kerja yang cepat dan efektif untuk mempercepat penyembuhan. Produk hidrogel merupakan kelompok yang terdiri dari material polimer, struktur hidrofiliknya mengakibatkan produk ini mampu menjerap air dalam jumlah besar dalam jaringan tiga dimensinya (Ahmed, 2013). Sifat lain dari hidrogel yaitu dapat memberikan lingkungan yang lembab untuk migrasi sel dan menyerap beberapa eksudat serta debridemen autolitik tanpa membahayakan granulasi atau sel-sel epitel serta memberikan efek dingin dan efek menenangkan pada kulit (Weller dan Summan, 2006). Keuntungan-keuntungan hidrogel tersebut merupakan dasar pemilihan hidrogel sebagai basis film yang akan digunakan. Dalam aplikasi pengobatan penutup luka, PVA merupakan produk hidrogel sintetik yang paling lama dan memiliki biokompatibel yang baik (Komoun et al.,2014 ). Tetapi PVA memiliki kekurangan yaitu tidak cukup elastis, membrannya kaku dan sifat hidrofilisitasnya yang terbatas jika digunakan sendiri sehingga membutuhkan modifikasi seperti menggabungkan PVA dengan hidrogel natural ataupun sintetik lain (Kamoun et al., 2014). Serangkaian campuran PVA (poly(vinyl alcohol) dan polimer hidrogel lain yang memiliki karakteristik yang baik telah direview menggunakan metode sambung silang yang berbeda untuk mendapatkan bahan pembalut luka yang tepat. Yaitu pembalut luka yang memiliki biokompatibilitas dan sifat mekanik yang memuaskan. Dalam jurnal review yang dilakukan oleh (Komoun et al., 2014) para peneliti lain menyatakan bahwa penggabungan PVA dengan menggunakan 1 1
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2
natrium alginat (NA) dengan metode freeze-thawing akan meningkatkan sifat film seperti meningkatkan elastisitas, dan stabilitas suhu dan daya mengembang yang berdampak pada kelembaban lingkungan luka. NA memiliki sifat hidrofilisitas yang tinggi, biokompatibilitas yang baik dan relatif ekonomis dan telah banyak diaplikasikan dalam pengobatan biomedis seperti wound dressing. NA merupakan polimer hidrogel yang paling umum diaplikasikan untuk wound dressing yang digabungkan dengan PVA baik sebagai komponen utama ataupun tambahan. (Kamoun et al., 2014). Pada penelitian ini akan dibuat film hidrogel yang terdiri dari 4 jenis film yang berbeda pada formula dan proses sambung silang. Film A terdiri dari polimer PVA dan NA yang disambung silang, film B terdiri dari polimer PVA yang disambung silang, film C terdiri dari polimer PVA dan NA yang tidak disambung silang dan film D terdiri dari polimer PVA yang tidak disambung silang. Semua film dibuat dengan penambahan gliserin sebagai plasticizer dan metronidazol sebagai model zat aktif. Penambahan plastisizer diharapkan mampu meningkatkan efektivitas pembentukan film. Sambung silang merupakan salah satu metode untuk menghubungkan antara rantai polimer satu dengan yang lainnya sehingga terbentuk suatu bangunan tiga dimensi yang saling berkesinambungan (Sugita et al., 2009). Ikatan yang terbentuk ini dapat mempengaruhi karakteristik dari suatu polimer dimana akan meningkatkan daya mengembang, sifat mekanik dan pelepasan obat (Komoun et al., 2013) Hidrogel akan disambung silang dengan metode freeze-thawing dalam upaya untuk memperbaiki sifat film. Bahan kimia yang digunakan dalam metode sambung silang secara kimia tidak hanya merupakan senyawa beracun dimana dapat terlepas atau sering diisolasi dari penyiapan gel sebelum diaplikasikan, tetapi juga dapat mempengaruhi substansi alami yang terjerap (misalnya protein, obat-obatan, dan sel-sel). Oleh karena itu, metode sambung silang fisik lebih dipilih dan disukai dibandingkan dengan ikatan silang kimia. Sehingga digunakan metode fisik yaitu freeze-thawing yang lebih mudah dan paling aman digunakan (Kamoun et al., 2014)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
3
Diharapkan, penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi penelitian selanjutkan dalam menentukan film yang akan digunakan sebagai pembawa bioaktif untuk sediaan penutup luka agar pengobatan pada luka mendapatkan efek terapi yang maksimal.
1.2 Batasan dan Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah 1. Bagaimanakah karakteristik dari setiap film yang akan dibuat dengan metode sambung silang freeze--thawing? 2. Formulasi manakah yang akan memberikan karakteristik yang paling baik diantara formulasi yang telah dirancang? 3. Bagaimanakah pengaruh penambahan plastisizer pada pembentukan film ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Mengkarakterisasi film PVA (Poly(vinyl-alcohol)) dan (NA) natrium alginat yang disambung silang dan yang tidak disambung silang. 2. Membandingkan karakteristik film sambung silang dengan film yang tidak disambung silang, dan untuk mengetahui pengaruh sambung silang terhadap karakteristik film 3. Mempelajari karakteristik film dari setiap formulasi baik film yang disambung silang dengan metode freeze-thawing maupun film yang tidak disambung silang.
1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitan ini adalah untuk meningkatkan efektifitas penggunaan film hidrogel pada sediaan penutup luka sehingga dapat memaksimalkan efek terapi pada pengobatan dan untuk membantu penelitian selanjutnya .
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kulit Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 2 m2 dengan berat kira-kira 16% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital vserta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitifitas bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh (Tortora dan Derrickson, 2009). Kulit mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai perlindung, pengantar haba, penyerap, indera perasa, dan fungsi pergetahan (Setiabudi, 2008). Warna kulit berbeda-beda, dari kulit yang berwarna terang, pirang dan hitam, warna merah muda pada telapak kaki dan tangan bayi, serta warna hitam kecoklatan pada genitalia orang dewasa (Djuanda dan Sri, 2003). Demikian pula kulit bervariasi mengenai lembut, tipis dan tebalnya; kulit yang elastis dan longgar terdapat pada palpebra, bibir dan preputium, kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa.Kulit yang tipis terdapat pada muka, yang berambut kasar terdapat pada kepala (Djuanda dan Sri, 2003). Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak (Tortora dan Derrickson, 2009).
2.2 Luka Luka adalah rusak atau hilangnya jaringan tubuh yang terjadi karena adanya suatu faktor yang mengganggu sistem perlindungan tubuh. Faktor tersebut seperti trauma, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Bentuk dari luka berbeda tergantung penyebabnya, ada yang terbuka dan tertutup. Salah satu contoh luka terbuka adalah insisi dimana terdapat robekan linier pada kulit dan jaringan di bawahnya. Salah satu contoh luka UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 4
5
tertutup adalah hematoma dimana pembuluh darah yang pecah menyebabkan berkumpulnya darah di bawah kulit (Pusponegoro, 2005) Tubuh
memiliki
respon
fisiologis
terhadap
luka
yakni
proses
penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka terdiri dari berbagai proses yang kompleks untuk mengembalikan integritas jaringan. Selama proses ini terjadi pembekuan darah, respon inflamasi akut dan kronis, neovaskularisasi, proliferasi sel hingga apoptosis. Proses ini dimediasi oleh berbagai sel, sitokin, matriks, dan growth factor. Disregulasi dari proses tersebut bisa menyebabkan komplikasi atau abnormalitas luka yaitu luka hipertrofik dan keloid. Penyembuhan luka kulit tanpa pertolongan dari luar berjalan secara alami namun terkadang diperlukan penanganan khusus pada luka untuk membantu proses tersebut. Oleh karena itu penting untuk dipahami mengenai proses penyembuhan luka (Pusponegoro, 2005). Luka memberikan angka morbiditas yang cukup besar di seluruh dunia terutama luka kronis karena mengganggu fungsional jaringan dan dilihat dari nilai
estetikanya.
Luka
akut
yang mengalami
penyulit
dalam
proses
penyembuhannya dapat berprogres imenjadi luka kronis. Contoh dari luka kronis yang sering dan menyebabkan komplikasi adalah ulkus diabetikus.Melihat permasalahan tersebut, luka perlu mendapat penanganan yang baik untuk mengurangi angka morbiditasnya (Lawrence, 2002).
2.2.1
Jenis-Jenis Luka Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka
itu dan menunjukan derajat luka (Taylor,1997).
2.2.1.1 Luka Berdasarkan Derajat Kontaminasi a. Luka Bersih Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%. UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
6
b. Luka Bersih Terkontaminasi Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%. c. Luka Terkontaminasi Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%. d. Luka Kotor Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama.
2.2.1.2 Luka Berdasarkan Penyebab a. Vulnus Ekskoriasi Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupu n benturan benda tajam ataupun tumpul. b. Vulnus Scissum Vulnus scissum atau luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam (seng, kaca), dimana bentuk luka teratur. c. Vulnus Laseratum Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang-camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
7
bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot. d. Vulnus Punctum Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar. e. Vulnus Morsum Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut. f. Vulnus Combutio Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa
2.2.2 Fase Penyembuhan Luka Tubuh mempunyai pelindung dalam menahan perubahan lingkungan yaitu kulit. Apabila faktor dari luar tidak mampu ditahan oleh pelindung tersebut maka terjadilah luka. Dalam merespon luka tersebut, tubuh memiliki fungsi fisiologis penyembuhan luka. Proses penyembuhan ini terdiri dari fase awal intermediate dan fase lanjut. Masing-masing fase memiliki proses biologis dan peranan sel yang berbeda. Pada fase awal terjad hemostasis dimana pembuluh darah yang terputus pada luka akan dihentikan dengan terjadinya reaksi vasokonstriksi untuk memulihkan aliran darah serta inflamasi untuk membuang jaringan rusak dan mencegah infeksi bakteri. Pada fase intermediate, terjadi proliferasi sel mesenkim, epitelialisasi dan angiogenesis. Selain itu terjadi pula kontraksi luka dan sintesis kolagen pada fase ini. Sedangkan untuk fase akhir, terjadi pembentukan luka/remodelling (Pusponegoro, 2005 dan Leong et al., 2012)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
8
2.2.2.1 Fase Awal (Hemostasis dan Inflamasi) Pada luka yang menembus epidermis akan merusak pembuluh darah menyebabkan pendarahan. Untuk mengatasinya terjadilah proses hemostasis. Proses ini memerlukan peranan platelet dan fibrin. Pada pembuluh darah normal, terdapat produk endotel seperti prostacyclin untuk menghambat pembentukan bekuan darah. Ketika pembuluh darah pecah, proses pembekuan dimulai dari rangsangan collagen terhadap platelet. Platelet menempel dengan platelet lainnya dimediasi oleh protein fibrinogen dan faktor von Willebrand. Agregasi platelet bersama dengan eritrosit akan menutup kapiler untuk menghentikan pendarahan (Leong et a.l, 2012) Saat platelet teraktivasi, membran fosfolipid berikatan dengan faktor pezmbekuan V, dan berinteraksi dengan faktor pembekuan X. Aktivitas protrombinase dimulai, memproduksi trombin secara eksponensial. Trombin kembali mengaktifkan platelet lain dan mengkatalisasi pembentukan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin berlekatan dengan sel darah merah membentuk bekuan darah dan menutup luka. Fibrin menjadi rangka untuk sel endotel, sel inflamasi dan fibroblast (Gurtner, 2007) Fibronectin bersama dengan fibrin sebagai salah satu komponen rangka tersebut dihasilkan fibroblast dan sel epitel. Fibronectin berperan dalam membantu perlekatan sel dan mengatur perpindahan berbagai sel ke dalam luka. Rangka fibrin-fibronectin juga mengikat sitokin yang dihasilkan pada saat luka dan
bertindak
sebagai
penyimpan
faktor–faktor
tersebut
untuk
proses
penyembuhan (Leong et a.l, 2012) Reaksi inflamasi adalah respon fisiologis normal tubuh dalam mengatasi luka. Inflamasi ditandai oleh rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), calor (hangat), dan dolor (nyeri). Tujuan dari reaksi inflamasi ini adalah untuk membunuh bakteri yang mengkontaminasi luka (Gurtner, 2007 dan Schultz, 2007) Pada awal terjadinya luka terjadi vasokonstriksi lokal pada arteri dan kapiler untuk membantu menghentikan pendarahan. Proses ini dimediasi oleh epinephrin, norepinephrin dan prostaglandin yang dikeluarkan oleh sel yang cedera. Setelah 10-15 menit pembuluh darah akan mengalami vasodilatasi yang dimediasi oleh seotonin, histamin, kinin, prostaglandin, leukotriene dan produk UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
9
endotel. Pp ini yang menyebabkan lokasi luka tampak merah dan hangat (bster et a.l, 2012 dan Leong et a.l, 2012) Sel mast yang terdapat pada permukaan endotel mengeluarkan histamin dan serotonin yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler.
Pp
ini
mengakibatkan
plasma
keluar
dari
intravaskuler
ke
ekstravaskuler. Leukosit berpindah ke jaringan yang luka melalui proses aktif yaitu diapedesis. Proses ini dimulai dengan leukosit menempel pada sel endotel yang melapisi kapiler dimediasi oleh selectin. Kemudian leukosit semakin melekat akibat integrin yang terdapat pada permukaan leukosit dengan intercellular adhesion moleculer (ICAM) pada sel endotel. Leukosit kemudian berpindah secara aktif dari sel endotel ke jaringan yang luka (Leong et a.l, 2012) Agen kemotaktik seperti produk bakteri, complement factor, histamin, PGE2, leukotriene dan platelet derived growth factor (PDGF) menstimulasi leukosit untuk berpindah dari sel endotel. Leukosit yang terdapat pada luka di dua hari pertama adalah neutrofil. Sel ini membuang jaringan mati dan bakteri dengan fagositosis. Netrofil juga mengeluarkan protease untuk mendegradasi matriks ekstraseluler yang tersisa. Setelah melaksanakan fungsi fagositosis, neutrofil akan difagositosis oleh makrofag atau mati. Meskipun neutrofil memiliki peran dalam mencegah infeksi, keberadaan neutrofil yang persisten pada luka dapat menyebabkan luka sulit untuk mengalami proses penyembuhan. Pp ini bisa menyebabkan luka akut berprogresi menjadi luka kronis (Pusponegoro, 2005 dan Lawrence, 2002) Pada hari kedua/ketiga luka, monosit/makrofag masuk ke dalam luka melalui mediasi monocyte chemoattractant protein 1 (MCP-1). Makrofag sebagai sel yang sangat penting dalam penyembuhan luka memiliki fungsi fagositosis bakteri dan jaringan mati. Makrofag mensekresi proteinase untuk mendegradasi matriks ekstraseluler (ECM) dan penting untuk membuang material asing, merangsang pergerakan sel, dan mengatur pergantian ECM. Makrofag merupakan penghasil sitokin dan growth factor yang menstimulasi proliferasi fibroblast, produksi kolagen, pembentukan pembuluh darah baru, dan proses penyembuhan lainnya (Leong et a.l, 2012 dan Schultz, 2007)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
10
Limfosit T muncul secara signifikan pada hari kelima luka sampai hari ketujuh. Limfosit mempengaruhi fibroblast dengan menghasilkan sitokin, seperti IL-2 dan fibroblast activating factor. Limfosit T juga menghasilkan interferon-γ (IFN- γ), yang menstimulasi makrofag untuk mengeluarkan sitokin seperti IL-1 dan TNF-α. Sel T memiliki peran dalam penyembuhan luka kronis (Gurtner, 2007)
2.2.2.2 Fase Intermediate (Proliferasi) Pada fase ini terjadi penurunan jumlah sel-sel inflamasi, tanda-tanda radang berkurang, munculnya sel fibroblast yang berproliferasi, pembentukan pembuluh darah baru, epitelialisasi dan kontraksi luka. Matriks fibrin yang dipenuhi platelet dan makrofag mengeluarkan growth factor yang mengaktivasi fibroblast. Fibroblast bermigrasi ke daerah luka dan mulai berproliferasi hingga jumlahnya lebih dominan dibandingkan sel radang pada daerah tersebut. Fase ini terjadi pada hari ketiga sampai hari kelima (Leong et a.l, 2012). Dalam melakukan migrasi, fibroblast mengeluarkan matriks MPP (mettaloproteinase) untuk memecah matriks yang mengppangi migrasi. Fungsi utama dari fibroblast adalah sintesis kolagen sebagai komponen utama ECM. Kolagen tipe I dan III adalah kolagen utama pembentuk ECM dan normalnya ada pada dermis manusia. Kolagen tipe III dan fibronectin dihasilkan fibroblast pada minggu pertama dan kemudian kolagen tipe III digantikan dengan tipe I. Kolagen tersebut akan bertambah banyak dan menggantikan fibrin sebagai penyusun matriks utama pada luka (Leong et a.l, 2012 dan Galiano et a.l, 2007). Pembentukan pembuluh darah baru/angiogenesis adalah proses yang dirangsang oleh kebutuhan energi yang tinggi untuk proliferasi sel. Selain itu angiogenesis juga dierlukan untuk mengatur vaskularisasi yang rusak akibat luka dan distimulasi kondisi laktat yang tinggi, kadar pH yang asam, dan penurunan tekanan oksigen di jaringan (Gurtner, 2007 dan Schultz. 2007). Setelah trauma, sel endotel yang aktif karena terekspos berbagai substansi akan mendegradasi membran basal dari vena postkapiler, sehingga migrasi sel dapat terjadi antara celah tersebut. Migrasi sel endotel ke dalam luka diatur oleh fibroblast growth factor (FGF), platelet-derived growth factor (PDGF), dan UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
11
transforming growth factor-β (TGF-β). Pembelahan dari sel endotel ini akan membentuk lumen. Kemudian deposisi dari membran basal akan menghasilkan maturasi kapiler (Lawrence, 2002) Angiogenesis distimulasi dan diatur oleh berbagai sitokin yang ebanyakan dihasilkan oleh makrofag dan platelet. Tumor necrosis factor-α (TNF-α) yang dihasilkan makrofag merangsang angiogenesis dimulai dari akhir fase inflamasi. Heparin, yang bisa menstimulasi migrasi sel endotel kapiler, berikatan dengan berbagai faktor angiogenik lainnya. Vascular endothelial growth factor (VEGF) sebagai faktor angiogenik yang poten dihasilkan oleh keratinosit, makrofag dan fibroblast selama proses penyembuhan (Leong et al., 2012). Pada fase ini terjadi pula epitelialisasi yaitu proses pembentukan kembali lapisan kulit yang rusak. Pada tepi luka, keratinosit akan berproliferasi setelah kontak dengan ECM dan kemudian bermigrasi dari membran basal ke permukaan yang baru terbentuk. Ketika bermigrasi, keratinosis akan menjadi pipih dan panjang dan juga membentuk tonjolan sitoplasma yang panjang. Pada ECM, mereka akan berikatan dengan kolagen tipe I dan bermigrasi menggunakan reseptor spesifik integrin. Kolagenase yang dikeluarkan keratinosit akan mendisosiasi sel dari matriks dermis dan membantu pergerakan dari matriks awal. Keratinosit juga mensintesis dan mensekresi MMP lainnya ketika bermigrasi (Galiano et al., 2007) Matriks fibrin awal akan digantikan oleh jaringan granulasi. Jaringan granulasi akan berperan sebagai perantara sel-sel untuk melakukan migrasi. Jaringan ini terdiri dari tiga sel yang berperan penting yaitu : fibroblast, makrofag dan sel endotel. Sel-sel ini akan menghasilkan ECM dan pembuluh darah baru sebagai sumber energi jaringan granulasi. Jaringan ini muncul pada hari keempat setelah luka.Fibroblast akan bekerja menghasilkan ECM untuk mengisi celah yang terjadi akibat luka dan sebagai perantara migrasi keratinosit. Matriks ini akan tampak jelas pada luka Makrofag akan menghasilkan growth factor yang merangsang fibroblast berproliferasi. Makrofag juga akan merangsang sel endotel untuk membentuk pembuluh darah baru (Schultz, 2007) Kontraksi luka adalah gerakan centripetal dari tepi luka menuju arah tengah luka. Kontraksi luka maksimal berlanjut sampai hari ke-12 atau ke-15 tapi UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
12
juga bisa berlanjut apabila luka tetap terbuka. Luka bergerak ke arah tengah dengan rata-rata 0,6 sampai 0,75 mm/hari. Kontraksi juga tergantung dari jaringan kulit sekitar yang longgar. Sel yang banyak ditemukan pada kontraksi luka adalah myofibroblast. Sel ini berasal dari fibroblast normal tapi mengandung mikrofilamen di sitoplasmanya (Leong et al., 2012 dan Gurtner, 2007)
2.2.2.3 Fase Akhir (Remodelling) Fase remodeling jaringan parut adalah fase terlama dari proses penyembuhan Proses ini dimulai sekitar hari ke-21 hingga satu tahun. Pembentukan kolagen akan mulai menurun dan stabil. Meskipun jumlah kolagen sudah maksimal, kekuatan tahanan luka hanya 15 % dari kulit normal. Proses remodelling akan meningkatkan kekuatan tahanan luka secara drastis. Proses ini didasari pergantian dari kolagen tipe III menjadi kolagen tipe I. Peningkatan kekuatan terjadi secara signifikan pada minggu ketiga hingga minggu keenam setelah luka. Kekuatan tahanan luka maksimal akan mencapai 90% dari kekuatan kulit normal (Leong et al, 2012).
2.2.3 Gangguan Proses Penyembuhan Luka Proses fisiologis yang kompleks dari penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu fase yang berkepanjangan dapat mempengaruhi hasil dari penyembuhan luka yaitu jaringan parut yang terbentuk. Penyembuhan luka dapat terganggu oleh penyebab dari dalam tubuh (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen), penyebab tersebut antara kontaminasi atau benda asing, kekebalan tubuh yang lemah, ganguan koagulasi, obat-obatan penekan sistem iun, paparan radiasi, dan beberapa faktor lain. Suplai darah juga mempengaruhi proses penyembuhan, dimana suplai darah pada ekstremitas bawah adalah yang paling sedikit pada tubuh dan suplai darah pada wajah serta tangan cukup tinggi. Usia pasien yang tua juga memperpanjang proses penyembuhan (Pusponegoro, 2005., Lawrence, 2002 dan Gurtner, 2007)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
13
2.2.2.1. Jaringan Parut Hipertrofik dan Keloid Jaringan parut yang terbentuk sebagai hasil akhir proses penyembuhan bergantung pada kolagen terbentuk. Normalnya pada fase remodelling akan terjadi keseimbangan antara pembentukan kolagen dan pemecahannya oleh enzim. Apabila kolagen yang terbentuk melebihi degradasinya akan terjadi jaringan parut hipertrofik atau keloid, sedangkan apabila pemecahan lebih tinggi dari pembentukan akan terjadijaringan parut hipotrofik (Lawrence, 2002 dan Schultz, 2007) Jaringan parut dengan proliferasi kolagen yang berlebihan adalah jaringan parut hipertrofik dan keloid. Keloid adalah jaringan parut yang tumbuh melebihi batas awal luka, biasanya tidak mengalami regresi. Keloid ini lebih sering terjadi pada pasien dengan kulit gelap dan juga ada predisposisi genetik (Gurtner, 2007 dan Galiano et a.l, 2007) Jaringan parut hipertrofik adalah jaringan parut yang tumbuh tapi masih dalam batas luka awal dan biasanya sembuh secara spontan. Jaringan parut hipertrofik ini biasanya dapat dicegah, contohnya pada kasus luka bakar. Pada luka bakar, akan terjadi perpanjangan fase inflamasi yang menyebabkan terjadinya proliferasi berlebih akibat aktivasi fibroblast yang tinggi. Sehingga usaha utama untuk melakukan pencegahan adalah dengan membantu fase inflamasi agar berlangsung lebih singkat. Pembentukan luka yang perpendikular juga akan tampak rata, sempit dengan pembentukan kolagen yang lebih sedikit dibandingkan luka yang paralel dengan serat otot (Gurtner, 2007)
2.2.2.2. Luka Kronis Abnormalitas
dari
fase-fase
pada
proses
penyembuhan
dapat
mempengaruhi masa penyembuhan luka. Luka kronis didefinisikan sebagai luka akut yang disertai gangguan proses penyembuhan. Pada penelitian tentang luka kronis didapatkan bahwa aktivitas TNF-α dan IL-1 mengalami peningkatan. Pada penyembuhan luka diperlukan adanya keseimbangan degradasi proteolitik dari ECM dan restrukturisasi ECM untuk mengijinkan perlekatan sel dan pembentukan membran basal. Apabila proses ini terganggu, ECM akan
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
14
mengalami kerusakan kemudian mencegah migrasi dan perlekatan keratinosit, dan merusak jaringan yang terbentuk (Brain et al, 2007) Salah satu contoh dari luka kronis adalah pressure ulcers menunjukkan peningkatan MMP, terutama MMP-1, -2, -8 dan -9, dan penurunan kadar tissue inhibitors of mettaloproteinase (TIMP). Pp ini membuktikan bahwa pada luka kronis terjadi ketidakseimbangan antara degradasi dan restrukturisasi ECM. Proteolisis yang berlebihan juga menyebabkan pemecahan jaringan ikat dan mengeluarkan produk yang merangsang sel inflamasi kembali aktif. Inflamasi yang berkepanjangan juga menambah kecenderungan penyembuhan luka menjadi lama (Gurtner, 2007 dan Brain et al, 2007)
2.3 Obat Luka dalam Sejarah Iskandar Dzulqarnain Dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 83-98 dikatakan : Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Zulkarnain. Katakanlah: "Aku akan
bacakan
kepadamu
cerita
tentangnya."
Sungguh,
Kami
telah
menempatkannya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan (untuk mencapai) segala sesuatu, maka diapun mengikuti suatu jalan. Hingga ketika dia telah sampai ketempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ suatu kaum. Kami berkata: "Wahai Zulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka. Berkata Zulkarnain: "Adapun orang yang zalim, maka kelak kami akan menyiksanya, kemudian dia dikembalikan kepada Tuhannya, lalu Tuhan mengazabnya dengan azab yang sangat keras. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh, maka baginya pahala yang baik sebagai balasan, dan akan kami titahkan kepadanya (perintah) yang mudah dari perintah-perintah kami." Kemudian Zulkarnain mengikuti jalan. Hingga tatkala dia sampai ke tempat terbit matahari, dia mendapati matahari itu menyinari suatu kaum yang Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindunginya dari (cahaya) matahari itu, demikianlah, dan sesungguhnya Kami mengetahui segala sesuatu yang ada pada Zulkarnain. Kemudian dia mengikuti jalan (yang lain lagi). Hingga apabila dia telah sampai diantara dua gunung, dia mendapati suatu UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
15
kaum yang hampir tidak mengerti pembicaraan. Mereka berkata: "Hai Zulkarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat penutup/penghalang antara kami dan mereka?" Zulkarnain berkata: "Apa yang telah dianugerahkan kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding/penghalang antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi!” Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua (puncak) gunung itu, berkatalah Zulkarnain: "Tiuplah!" Hingga apabila dia (Zulkarnain) menjadikannya api, diapun berkata: "Berilah aku leburan tembaga agar aku tuangkan ke atasnya." Maka mereka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak bisa mendakinya dan mereka tidak bisa (pula) melubanginya. Zulkarnain berkata: "Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh; dan janji Tuhanku itu adalah benar." Dzulqarnain adalah seorang raja saleh yang diberi kekuasaan yang besar pada kesempatan yang luar biasa dan, kekuasaannya mencakup ke seluruh penjuru dunia di sekitar terbit dan terbenamnya matahari. Dalam keadaan demikian, Dzulqarnain tetap dalam kesalehan dan istiqamahnya tidak berubah, jika kita bayangkan pemimpin kita ada yang seperti beliau. Dengan berbagai keistimewaan dan kekuasaannya, beliau tidak pernah lupa kepada Tuhan yang memberikan segalanya (Taufik, 2009). Beliau dikurniakan Allah otak yang pintar, fikiran yang panjang dan berbagai-bagai ilmu pengetahuan: Ilmu Perang, Ilmu Politik dan Ilmu Teknik dan Kimia. Dari semenjak dia masih kecil, hatinya sudah tidak enak melihat perang yang selalu timbul antara Timur (Kerajaan Persia) dengan Barat (Kerajaan Rum). Perang yang tidak henti-hentinya dari tahun ke tahun, malah dari abad ke abad, yang telah menewaskan ribuan manusia dan merusakkan bumi, menghancurkan banyak harta benda. Untuk menghindarkan perang antaraTimur dengan Barat yang sudah bertradisi ini, dia ingin mendirikan sebuah kerajaan besar yang meliputi Timur dan Barat (Taufik, 2009).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
16
Padanya terdapat segala syarat untuk menyampaikan maksud dan tujuan hidupnya yang maha besar itu. Selain dia seorang yang baik, berakhlak yang tinggi, berilmu pengetahuan tentang ketenteraan, tentang pemerintahan dan teknik, akan dapat membawa dia sampai dipantai cita-citanya. Mula-mula sekali dengan tenteranya yang lengkap kuat, dia menuju ke Barat (Maghribi atau Moroko), tempat terbenamnya matahari. Disitu dilihatnya matahari itu terbenam dimata air yang bertambah hitam,yaitu Lautan Atlantik sekarang ini. Disitu didapatinya satu bangsa yang terlalu ingkar dan kafir, hebat sekali kerusakan dan kejahatan yang ditimbulkan bangsa itu. Bukan saja merusakkan permukaan bumi dan mengacaukannya, tetapi juga sudah menjadi tabiat mereka suka membunuh orang-orang yang tidak bersalah sekalipun. Sebelum melakukan tindakan, terlebih dahulu Dzulkarnain menadahkan tangannya ke langit, memohon petunjuk kepada Allah, tindakan apa sebaiknya yang harus dilakukan terhadap bangsa yang begitu kejam. Apakah bangsa itu akan digempurnya habis-habisan atau akan dibiarkan begitu saja? (Taufik, 2009). Tuhan menyuruh Dzulkarnain membuat pilihan salah satu diantara dua tindakan: Digempur habis-habisan sebagai balasan atas kekejaman mereka selama ini atau diajar dan dididik dengan propaganda, agar mereka kembali kepada kebenaran
dan
meninggalkan
segala
kejahatan.
Akhirnya
Dzulkarnain
memutuskan akan menggempur mereka yang durhaka dan jahat sehebat-hebatnya dan membiarkan serta melindungi orang-orang yang baik diantara mereka. Pada bangsa itu, Dzulkarnain lalu mengucapkan kata-katanya yang ringkas: Siapa yang aniaya, akan kami siksa dan dikembalikan kepada Tuhan agar Tuhan memberi siksa yang lebih hebat lagi. Adapun orang-orang yang saleh dan baik, akan kami lindungi serta diberi ganjaran-ganjaran dan kepadanya kami hanya akan perintahkan kewajiban-kewajiban yang ringan saja (Taufik, 2009). Dalam
beberapa
penelitian
banyak
disebutkan
dalam
perjalanan
Dzulqarnain selalu membawa lidah buaya dalam setiap peperangan sebagai obat luka bagi para prajuritnya. Dalam buku Martindale edisi 34 tahun 2005 , ekstrak kering dari Aloe Barbadensis berisi tidak lebih dari 28 % derivat hydoxyanthracene sebagai barbaloin. Massa yang berwarna coklat gelap sedikit mengkilat berbentuk pecahan atau bubuk coklat. Sedikit larut dalam air mendidih, UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
17
larut dalam alkohol. Jus Aloe Capensis kering dari Aloe berisi 18 % derivat anthtracene sebagai barbaloin. Latex ( getah ) kering dari daun Aloe Barbadensis dikenal dalam perdagangan sebagai Curacao Aloe atau dari Aloe Ferox .dikenal dalam perdagangan dengan Cape Aloe. Menghasilkan tidak kurang 50 % ekstrak yang larut dalam air (IAI, 2008).
2.4 Wound Dressing (Pembalut Luka) Dressing adalah bahan yang digunakan secara topikal pada luka untuk melindungi luka, dan membantu penyembuhan luka. Dressing akan mengalami kontak langsung terhadap luka dan dibedakan dengan plester sebagai penahan dressing. Dressing berdasarkan aktivitasnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu Inert/Passive Dressings dan Interactive/Bioactive Dressings (Weller dan Sussman, 2006). Tujuan utama pada luka bersih yang akan ditutup atau dibiarkan bergranulasi adalah menyediakan lingkungan penyembuhan yang lembap untuk memfasilitasi migrasi sel serta mencegah luka mengering. Pemilihan dressing tergantung dari jumlah dan tipe eksudat yang terdapat pada luka. Dressing hidrogel, film, komposit baik digunakan untuk luka dengan jumlah eksudat sedikit. Untuk luka dengan jumlah eksudat sedang digunakan hidrokoloid dan untuk luka dengan jumlah eksudat banyak digunakan alginate, foam dan NPWT. Luka dengan jaringan nekrosis yang besar harus dilakukan debridement terlebih dahulu sebelum memasang dressing (Lawrence, 2002., Gurtner, 2007 dan Brain et al, 2007). NPWT atau penutupan luka dengan vakum menggunakan spons pada luka, ditutup dengan dressing ketat kedap udara, dimana kemudian vakum dipasang. NPWT bisa digunakan untuk luka dengan kebocoran limfa yang besar dan fistula. Mekanisme utama NPWT adalah untuk menghilangkan edema, NPWT menghilangkan cairan darah atau limfa yang berada pada interstitial, sehingga meningkatkan difusi interstitial oksigen ke
dalam sel. NPWT juga
menghilangkan enzim-enzim kolagenase dan MMP yang kadarnya meningkat pada luka kronis (Lawrence, 2002 dan Brain et al, 2007).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
18
Pembalut luka yang paling ideal adalah kulit alami sehingga dalam pengembangannya dalam pengembangannya penutup luka dibuat agar memiliki karakteristik yang mirir dengan kulit. Dengan demikian dapat tinggal lebih lama didaerah luka tanpa memberikan gangguan dan mampu mempercepat proses penyembuhan luka. Supaya memiliki karakteristik tersebut, maka suatu pembalut luka perlu memenuhi beberapa syarat berikut ini (Lloyd et al., 1998 dalam Anggraeni, 2012) 1. Mampu memelihara kelembaban yang tinggi pada antarmuka luka dan pembalut sekaligus mampu membuang eksudat luka berlebih dan senyawasenyawa toksik melalui absorpsi. 2. Memungkinkan pertukaran udara sekaligus memelihara lapisan yang tidak permeabel terhadap mikroorganisme. 3. Dapat mengisolasi termal. 4. Bersifat biokompartibel dan tidak merangsang reaksi alergi selama kontak dengan jaringan. 5. Memiliki daya lekat yang minimal terhadap permukaan luka sehingga saat dilepaskan dari luka tidak memberikan rasa sakit. 6. Secara fisik kuat bahkan pada saat basah. 7. Dapat dibuat dalam bentuk steril. Jika kriteria ini dapat dipenuhi maka lingkungan penyembuhan luka yang optimum dapat dipelihara dan proses penyembuhan dapat dipercepat ((Lloyd et al., 1998 dalam Anggraeni, 2012)
2.5 Hidrogel Dressing hidrogel sebagaimana namanya, dirancang untuk melembabkan luka, rehidrasi bekas luka dan membantu dalam debridemen autolitik. Hidrogel adalah polimer larut yang mengembangkan dalam air dan tersedia dalam bentuk lembaran, gel berbentuk amorf atau lembaran hidrogel dressing penyerap (Weller dan Summan, 2006) Dressing hidrogel memberikan lingkungan yang lembab untuk migrasi sel dan menyerap beberapa eksudat serta debridemen autolitik tanpa membahayakan granulasi atau sel-sel epitel adalah keuntungan lain dari dressing hidrogel. UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
19
Hidrogel telah dapat memberikan efek dingin dan efek menenangkan pada kulit, pp ini sangat penting pada luka bakar dan luka yang menyakitkan. Viskositas dressing hidrogel bervariasi (Weller dan Summan, 2006). Hidrogel amorf diaplikasikan secara bebas ke atau ke dalam luka dan ditutupi dengan selaput sekunder seperti busa atau film.Hidrogel bisa tetap tinggal pada luka selama tiga hari hari.Dressing hidrogel mudah dihapus dari luka.Selain penggunaannya dalam luka hidrogel tipis membantu dalam pengelolaan lesi seperti cacar air dan herpes zoster (Weller dan Summan, 2006).
2.6 PVA(Poly(vinyl alkohol)) PVA adalah salah satu dari sedikit polimer yang bersifatdapat larut dalam air.Sifat kimia dan fisika dari polivinil alkohol membuat polimer ini memiliki andil penting dalam dunia perindustrian sehingga diproduksi secara luas di dunia.Polivinil alkohol pertama kali ditemukan oleh Haehnel dan Herrman melalui reaksi adisi alkali pada larutan bening alkohol polivinil asetat yang kemudian menghasilkan larutan berwarna cokelat muda yang kemudian diketahui merupakan polivinil alkohol. Polivinil alkohol kemudian diperkenalkan pertama kali secara komersial pada tahun 1927 (Kirk dan Othmer, 1982). Berbeda dari senyawa polimer pada umumnya yang diproduksi melalui reaksi polimerisasi, PVA diproduksi secara komersial melalui hidrolisis PVA dengan alkohol karena monomer dari vinil alkohol tidak dapat dipolimerisasi secara alami menjadi PVA (Kirk dan Othmer, 1982) Poly(vinyl alcohol) memiliki rumus kimia (C2H4O)n dengan berat molekul 20.000-200.00. polivinil alkohol merupakan polimer sintetik larut air. Poly(vinyl alcohol) tidak berbau, serbuk granul berwarna putih hingga cream. pH Poly(vinyl alcohol) 4.5-8.0, titik leleh 228oC untuk nilai hidrolisis penuh. Poly(vinyl alcohol) larut dalam air, sedikit larut dalam etanol 95%; tidak larut dalam pelarut organik. Pelarutan membutuhkan dispersi (pembasahan) dari bentuk padat dalam air pada suhu ruang diikuti dengan pemanasan pada saat mencampur pada suhu 90oC sekitar 5 menit.Pencampuran kemudian dilanjutkan ketika larutan panas menjadi dingin pada suhu ruang (Rowe et a.l, 2009).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
20
Gambar 2.1 Rumus Struktur Poly(vinyl alcohol)
Dalam aplikasinya poly(vinyl alcohol) digunakan dalam formulasi sediaan topikal(2.5% w/v) dan optalmik. Poly(vinyl alcohol) digunakan sebagai agen penstabil untuk emulsi (0.5% w/v). poly(vinyl alcohol) juga digunakan sebagaiagen peningkat viskositas untuk formulasi kental seperti produk optalmik (0.25-3.0% w/v). poly(vinyl alcohol) juga digunakan sebagai airmata buatan dan sebagai lubrikan pada cairan kontak lens, dan digunakan dalam formulasi susteined-release untuk sediaan oral dan patch transdermal. (Rowe et a.l, 2009)
2.7 Natrium Alginat Asam alginat tidak berasa, praktis tidak berbau, berwarna putih kekuningan, dan merupakan serbuk berserat (Rowe et al, 2009). Alginat (kalsium atau kalsium/natrium) bersifat sangat menyerap, merupakan
dressing yang
bersifat biodegradable yang berasal dari rumput laut coklat (Phaeophyceae) (Weller dan Summan, 2006). Pertukaran ion aktif dari ion kalsium menjadi ion natrium pada luka membentuk natrium alginat larut gel yang menyediakan lingkungan lembab pada permukaan luka. Sehingga dressing kalsium membutuhkan kelembaban/eksudat dari luka, karena itu mereka tidak cocok untuk kering luka atau luka dengan eschar mengeras (Weller dan Summan, 2006). Molekul asam alginat berbentuk polisakarida anionik yang linier dan disusun oleh kurang lebih 700-1000 residu rantai asam 1,4-ß-D- manuronat (M) dan 1,4-α-Lguluronat (G). Asam D-manuronat memiliki ikatan diekuatorial 4C1 sedangkan asam guluronat memiliki ikatan diaksial 1C4 (Komoun, 2013 dan Wandrey, 2005). Rantai yang terdiri atas 3 segmen polimer yang berbeda.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
21
Gambar 2.2 Struktur Alginat Sifat alginat yang berserat dapat meninggalkan serat sisa dalam luka apabila tidak terdapat cukup eksudat pada luka. Pp ini mungkin memicu reaksi inflamasi karena merangsang zat asing dan menghasilkan respon tubuh. Perlu diperhatikan apabila menggunakan dressing alginat pada luka di sinus yang sangat dalam atau sempit, maka penghapusan dapat sulit dilakukan (Weller dan Summan, 2006). Alginat
merupakan
polimer
yang
bersifat
biokompatibel
dan
biodegradable, polimerlarut dalam air, sifat mekanik lemah, kesulitan dalam penanganan, penyimpanandalam larutan, dan sterilisasi (Kamoun, 2014) Telah banyak penelitian yang mempromosikan beberapa dressing alginat karena dapat membantu proses hemostasis dalam perdarahan luka yang disebabkan karena pelepasan aktif ion kalsium yang membantu mekanisme pembekuan. Dressing alginat tersedia dalam lembaran, pita atau bentuk tali dalam berbagai ukuran dan memerlukan selaput sekunder (Weller dan Summan, 2006). Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pada pH dibawah 3 terjadi pengendapan. Secara umum, alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (McHugh, 2003). Alginat tidak stabil terhadap panas, oksigen, ion logam dan sebagainya. Dalam
keadaan
demikian,
alginat
akan
mengalami
degradasi.
Selama
penyimpanan alginat cepat mengalami degradasi dengan adanya oksigen terutama dengan naiknya kelembaban udara .Alginat komersial mudah terdegradasi oleh mikroorganisme yang terdapat diudara, karena bahan tersebut mengandung
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
22
partikel alga dan zat bernitrogen. Semua larutan alginat akan mengalami depolimerisasi dengan kenaikan suhu (Zhanjiang ,1990).
2.8 Sambung Silang Sambung silang merupakan ikatan yang menghubungkan rantai polimer satu dengan lainnya sehingga terbentuk suatu bangunan tiga dimensi yang berkesimbunga di mana proses pembentukannya dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu secara kimia dan secara fisik. Proses secara kimia dibentuk dengan ikatan kovalen yang bersifat irreversible, sedangkan proses secara kimia dibentuk oleh ikatan reversible. Pada proses secara fisik terjadi interaksi secara ionic seperti sambung silang ionic dan kompleks polielektrolit. Pembentukan ikatan silang dilakukan dengan penambahan suatu agen sambung sialng ke dalam larutan bahan yang akan dimodifikasi. Agen yang digunakan merupakan molekul yang memiliki bobot molekul yang lebih rendah daripada bobot molekul kedua rantai polimer yang akan disambung silang (Sugita et al., 2009). Sambung silang terjadi ketika agen sambung silang membuat jembatan intermolekular atau yang lebih dikenal dengan tahap sambung silang. Agen sambung silang dapat berinteraksi dengan rantai linier makromolekul (tahap sambung silang) dan/atau dirinya sendiri (tahap polimerisasi) pada medium basa. Sambung silang secara drastis menurunkan mobilitas polimer dan sejumlah rantai yang terhubung oleh pembentukan dari keterkaitan antar rantai yang baru. Jaringan tiga dimensi kemudian terbentuk. Jika derajat retikulasi memiliki efisiensi yang tinggi, matriks dari polimer menjadi tidak larut dalam air (tetapi mengembang di dalam air) dan di pelarut organik (Shweta et al., 2013). Metode sambung silang secara fisik banyak dianggap sebagai metode sambung silang yang tepat dan telah banyak di aplikasikan untuk biomedis dan aaplikasi farmasetik. Penggunaan metode ini memiliki beberapa keuntungan yaitu tidak toksik, bebas pelarut dan biokompatibel (Komoun et al., 2013)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
23
2.9 Sambung Silang PVA Peppas
dan
Merrill
(1977) mengungkapkan
upaya
awal
dalam
mempertimbangkan hidrogel PVA sebagai polimer biomaterial. Biasanya, hidrogel diperoleh dengan proses sambung silang dari polimer, yang mungkin dilakukan oleh reaksi kimia (misalnya polimerisasi radikal bebas, reaksi kimia dari kelompok pelengkap, menggunakan iradiasi energi tinggi, ataureaksi enzimatik) atau denganreaksi fisik(misalnya kristalisasi ion interaksi rantai polimer, hidrogen ikatan antara rantai, interaksi protein, atau desain kopolimer graft) (Kamoun et al., 2014). Dalam beberapa dekade terakhir, kebutuhandari gel sambung silang secara fisik mengalami peningkatan untuk menghindari penggunaan zat pengikat kimia tradisional dan reagen. Bahan kimia ini tidak hanya merupakan senyawaberacun dimana dapat terlepas atau sering diisolasi dari penyiapan gel sebelum diaplikasikan, tetapi juga dapat mempengaruhi substansi alami yang terjerap (misalnya protein, obat-obatan, dansel-sel). Oleh karena itu, metode sambung silang fisik lebih dipilih dan disukai dibandingkan dengan ikatan silang kimia (Kamoun et al., 2014).
[Sumber : Hassan dan Peppas, 2000]
Gambar 2.3 Struktur Jaringan Tiga Dimensi PVA yang Disambung Silang dengan Metode Freeze Thawing Beberapa upaya telah dilakukan oleh peniliti telah untuk penyiapan sambung silang PVA-basis hidrogel diantaranya yaitu radiation crosslinking oleh Park and Chang, 2003, chemical reaction with glyoxal oleh Teramoto et al., 2001, bifunctional reagents with glutaraldehyde oleh Dai and Barbari, 1999, juga UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
24
reaction with borates oleh Korsmeyer and Peppas, 1981. Meskipun, larutan hidrogel PVA dapat terbentuk dengan kekuatan rendah setelah terpapar penyimpanan dalam waktu yang sangat panjang pada suhu kamar, tetapi metode ini tidak memenuhi persyaratan aplikasi, di mana sifat mekanik adalah karakter yang paling penting dalam hidrogel, jauh lebih lemah (Kamoun et al., 2014).
2.10 Gliserin Gliserin dalam pemeriannya berbentuk cairan jernih yang kental tidak berwarna, tidak berbau, memiliki rasa manis dan besifat higroskopis (Rowe et a.l, 2009). Dalam penggunanya, gliserin banyak digunakan pada sediaan farmasi antara lain sebagai humektan, emolien, kosolven dan pelarut pada sediaan cair dan setengah padat. Sedangkan pada produksi kapsul gelatin lunak biasanya gliserin digunakan sebagai zat pemberi sifat plastis (plastisizer) (Rowe et a.l, 2009). Berdasarkan sifat gliserin sebagai pemberi sifat plastis, maka akan digunakan glisein akan digunakan dalam penelitian ini untuk membantu meningkatkan sifat plastis dari film yang akan dibentuk sehingga akan meningkatkan penampilan film secara fisik.
2.11 Metronidazol
[Sumber : www.dailymed.nlm.nih.gov] Gambar 2.4 Rumus Struktur Metronidazol
Nama kimia : 2-metil-5-nitroimidazol-1-etanol Rumus molekul : C6H9N3O3 Berat molekul : 171,16 P
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
25
Pemeriaan : Hablur atau serbuk habllur, putih hingga kuning pucat; tidak berbau; stabil di udara; tetapi lebih gelap bila terpapar oleh cahaya. Kelarutan : Sukar larut dalam eter; agak sukar larut dalam air, dalam etanol dan dalam kloroform. Metronidazol merupakan obat yang bersifat hidrofilik, efektif untuk menghambat infeksi mikroorganisme anaerob dan protozoa. Obat ini digunakan untuk banyak terapi, termasuk infeksi vaginal dan peridontal. Obat ini termasuk obat yang banyak digunakan pada berbagai bsistem penghantaran obat seperti tablet untuk terapi ulkus peptikum, mikrosfer untuk terapi penyakit yang berhubungan dengan kolon dan mukosa lambung, partikel gel alginat untuk terapi lambung dan untuk terapi peridontal. Metronidazol adalah anggota kelas imidazol dengan konsentrasi 0,75% untuk sediaan gel intravaginal (Shifrovitch et al., 2009 dan USP, ).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
26
BAB III METODE PENELITIAN
3.1Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Formulasi Sediaan Padat, Laboratorium Penelitian II, Laboratorium Farmakologi Laboratorium Kesehatan Lingkungan, dan Laboratorium Formulasi Sediaan Steril Program Studi Farmasi Kedokteran Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah dan P3TIR BATAN, Pasar Jum’at.Penelitian dimulai pada bulan Maret hingga September 2015.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Timbangan analitik (AND GH-202, Jepang), stand up stirrer (IKA RW 20 Digital), pengaduk magnetik (Advantec SRS710HA), oven (Eyela NDO400,Jepang), pH meter (Horiba F-52,Jepang), lemari pendingin dan freezer (Sanyo, Indonesia), termometer, deksikator, mikrometer digital (Mitutoyo, Jepang), tensile tester Strograph-R1 (Toyoseiki, Jepang), alat potong dumb bell (Saitama, Jepang), cawan penguap, spektrofotometer UV-VIS (Hitachi U-2910, Jepang), mikroskop (OlympusIX-71, Jepang), cetakan akrilik film 8x4x4 cm, gunting, spuit, mikropipet, membran siringe filter, pipet volumetrik, gunting,dan alat-alat gelas yang biasa digunakan di laboratorium seperti beaker glass, labu erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes, kaca arloji, cawan penguap, lumpang alu, spatel, batang pengaduk, pinset, labu ukur, dan lain-lain. 3.2.1. Bahan PVA (poly(vinyl-alcohol) tipe Pharmaceutical Grade (Shadong BioTechnologi, Cina), natrium alginat (Shadong Bio-Technologi, Cina), metronidazol (PT.Indofarma, Indonesia) aquades, gliserin (Teknis), etanol 96% (Teknis), aquabides, akrilik, kertas saring, silica blue,tissue, alumunium foil dan plastik wrap.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 26
27
3.3. Prosedur Kerja 3.3.1
Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film Optimasi ini dilakukan untuk memperoleh sediaan film yang memiliki
organoleptis yang homogen secara visual, dan elastis. Dibuat cairan pembentuk film sambung silang PVA dan NA dengan formulasi sebagai berikut : Tabel 3.1 Variasi NA dalam Formula Film Sambung Silang Kode Formula
PVA (%) NA (%) Gliserin (%)
Aquades (%)
F1
6
1,2
2
add 100
F2
6
0,9
2
add 100
F3
6
0,6
2
add 100
Larutan dibuat dengan mendispersikan PVA pada aquades (1 bagian PVA dalam 5 bagian air), pendispersian dilakukan dengan bantuan pemanasan pada suhu 90oC selama 5 menit diatas pengaduk magnetik dan diaduk hingga terbentuk koloid (Rowe et al., 2009). Konsentrasi PVA digunakan berdasarkan studi literatur pada penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Kamoun (2013). Dalam penelitian tersebut digunakan PVA dan NA sebagai polimer pembentuk film dengan konsentrasi 10:2. Namun dalam penelitian ini konsentrasi dimodifikasi menjadi 5:1. Natrium alginat didispersikan dalam aquades (1 bagian NA dalam 5 bagian air) dengan menggunakan lumpang yang dihangatkan kemudian digerus hingga terbentuk koloid (Kamoun et al., 2013). Koloid yang terbentuk dari PVA dan NA diamati homogenitasnya untuk kemudian dicampurkan secara perlahan dan aquades yang tersisa ditambahkan kedalam campuran. Gliserin ditambahkan ke dalam campuran sebagai plasticizer dengan konsentrasi 2%. Konsentrasi ini didapatkan dari hasil studi literatur yang dilakukan oleh Saarai (2011) .Campuran selanjutnya diaduk dengan stand up stirrer kecepatan 800 rpm selama 1 jam, campuran yang dihasilkan untuk selanjutnya disebut sebagai Cairan Pembentuk Film (CPF). CPF didiamkan UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
28
selama 24 jam kemudian dikeringkan dalam oven 50oC selama 24 jam. Film yang dihasilkan kemudian diamati karakteristiknya, dimana film yang memenuhi karakteristik kemudian dipilih sebagai formula yang akan dievaluasi. 3.3.2 Preparasi Film Sambung Silang Berdasarkan hasil optimasi film yang diambil sebagai formula akhir yaitu F2. Film yang dibuat terdiri dari 2 jenis CPF yang berbeda yaitu CPF yang terdiri dari kombinasi PVA-NA (CPF A) dan CPF yang hanya terdiri dari PVA (CPF B). Kedua CPF masing-masing akan dibagi menjadi dua jenis film yang dibedakan berdasarkan film yang disambung silang dan film yang tidak disambung silang, berikut tabel variasi jenis film yang akan dibuat : Tabel 3.2 Variasi Jenis Film Formula
Kode Formula
Metode PVA (%)
NA (%)
Gliserin (%)
Metronidazol (%)
A
6
0,9
2
0,75
Sambung Silang
B
6
0
2
0,75
Sambung Silang
C
6
0,9
2
075,
Tidak Sambung Silang
D
6
0
2
0,75
Tidak Sambung Silang
*Film A (terdiri dari PVA dan NA yang disambung silang); Film B (terdiri dari PVA yang disambung silang); Film C (terdiri dari PVA dan NA yang dibentuk dengan pemanasan biasa tanpa disambung silang); Film D (terdiri dari PVA yang dibentuk dengan pemanasan biasa tanpa disambung silang).
Film hidrogel dibuat dengan cara mendispersikan 6% PVA dalam aquades (1 bagian PVA dalam 5 bagian air5), pendispersian dilakukan dengan pemanasan pada suhu 90oC selama 5 menit diatas pengaduk magnetik dan diaduk hingga homogen. Natrium alginat sebanyak 0,9% didispersikan dalam aquades (1 bagian NA dalam 5 bagian air) dengan menggunakan lumpang yang dihangatkan lalu digerus hingga terbentuk koloid yang homogen. Kemudian 0,075% metronidazol didispersikan dalam aquades (1 bagian metronidazol dalam 50 bagian air) diaduk hingga homogen. Larutan natrium alginat dan larutan metronidazol dicampurkan UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
29
sedikit demi sedikit kedalam wadah berisi larutan PVA dan digenapkan menjadi 100%, kemudian campuran diaduk dengan menggunakan stand up stirrer dengan kecepatan 800 rpm selama 1 jam. Gliserin sebanyak 2% dicampurkan sedikit demi sedikit ke dalam CPF.CPF dibiarkan selama 24 jam dalam suhu ruang. CPF ditimbang seksama sebanyak 10 gram dimasukkan ke dalam cetakan akrilik ukuran 8x4x4 cm. Film A dan B disiapkan sebagai film sambung silang dengan metode freeze-thawing dengan cara membekukan film pada suhu -20oC selama 8 jam kemudian dileburkan pada suhu 25oC selama 6 jam, proses ini dlakukan berulang selama 3 siklus kemudian dikeringkan bersama dengan film C dan D dalam oven pada suhu 50oC selama 24 jam. Film yang sudah kering kemudian dikeluarkan dari dalam oven untuk selanjutnya dilakukan karakterisasi dan evaluasi pada film (Kamoun et al., 2013 dengan modifikasi).
3.3.3 Karakterisasi Cairan Pembentuk Film 3.3.3.1 Evaluasi Organoleptis Pengamatan makroskopik secara visual fisik CPF meliputi warna, kekeruhan, jenis CPF, dan permukaan (J. Balasubramanian et al., 2012)
3.3.3.2 Evaluasi Viskositas Pengujian dilakukan menggunakan viskotester HAAKE 6R terhadap setiap CPF sesuai formula menggunakan spindel R2 dengan kecepatan putar 30 rpm pada suhu ruang (R. Yogananda & Bulugondla, 2012 dalam Ginting, 2014 dengan modifikasi)
3.3.4 Karakterisasi Film 3.3.4.1 Evaluasi Organoleptis Pengamatan makroskopik secara visual fisik film meliputi warna dan tekstur permukaan (J. Balasubramanian et al., 2012) 3.3.4.2 Pengukuran Ketebalan Film Ketebalan film diukur dengan mikrometer digital (Mitutoyo, Jepang) di 9 titik berbeda pada masing-masing film, kemudian dihitung rata-rata ketebalannya
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
30
dan dinyatakan dalam satuan mikrometer (μm) (Satesh et al, 2010 dengan modifikasi).
3.3.4.3 Analisa Daya Mengembang Untuk menghitung daya mengembang dari film PVA-NA, sampel film dipotong menjadi 2 cm x 2 cm dan direndam dalam aquades 25 ml. Bobot awal sediaan ditimbang (We). Sampel kering kemudian direndam dengan aquades, bobot sampel ditimbang pada interval waktu tertentu hingga bobot sampel konstan. Waktu yang diambil yaitu pada menit ke 1, 5, 10, 30, 60, 90, dan 120. Bobot sampel basah ditimbang (Ws). Ambilan air dari sampel dihitung menggunakan persamaan (Kamoun et al, 2013 dengan modifikasi) Daya Mengembang (%) =
3.3.4.4 Analisa Kadar Air Analisis
kadar
air
dilakukan
dengan
menggunakan
metode
thermogravimetri. Film dipotong menjadi 2 cm x 2 cm dan ditimbang terlebih dahulu (Wo). Film diletakkan di dalam cawan penguap dan dioven pada suhu 105oC selama 1 jam.Film kemudian didinginkan dalam deksikator selama 15 menit dan ditimbang (Wt).Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang konstan (AOAC, 2005 dalam Eskha, 2015). Kadar Air (%) =
3.3.4.5 Uji Sifat Mekanik Film Kekuatan tarikan dan elongasi maksimum dianalisa menggunakan tensile tester Strograph-R1 (Toyoseiki, Jepang) dengan gaya 100 kg. Film dipotong dengan alat dumb bell Astm-D-1822-L Crosshead (kecepatan 25 mm/min). Kekuatan tarik dan elongasi diukur sampai film sobek. Data yang dihasilkan kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 (Kamoun et al, 2013 dengan modifikasi)
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
31
3.3.4.6 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Pembuatan Kurva Kalibrasi Metronidazol Kurva kalibrasi metronidazol diukur dengan melarutkan 12,5 mg metronidazol dalam 25 mL aquabides sehingga didapatkan larutan induk dengan konsentrasi 500 ppm. Larutan kemudian diencerkan untuk membuat seri konsentrasi 4, 8, 12, 16, 20, 24, 28 ppm. Untuk penentuan panjang gelombang maksimum, pengukuran serapan dilakukan dengan menggunakan larutan konsentrasi 10 ppm yang diukur pada panjang gelombang 200-1100 nm (Satesh et al, 2012 dengan modifikasi).
3.3.4.7 Penetapan Kadar Metronidazol dalam Film Film ukuran 2 cm x 2 cm dipotong kecil-kecil dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 mL yang mengandung 100 mL aquabides. Medium diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan 800 rpm selama 8 jam dan didiamkan selama 16 jam. Sebanyak 1 mL larutan diambil dan disaring dengan menggunakan saringan membran 0,45 μm. Larutan dianalisis dengan spektrofotometer-UV pada panjang gelombang maksimal yaitu 319 nm (Kumar et al., 2010 dengan modifikasi).
3.3.4.8 Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film Film ukuran 2 cm x 2 cm dan dimasukkan ke dalam gelas beaker 250 mL yang mengandung 100 mL aquabides. Medium diaduk dengan menggunakan pengaduk magnetik dengan kecepatan 800 rpm. Sebanyak 1 mL larutan diambil dandisaring dengan menggunakan saringan membran 0,45 μm pada beberapa interval waktu dan langsung diganti dengan medium baru. Larutan dianalisis dengan spektrofotometer-UV pada panjang gelombang maksimal yaitu 319 nm (Kumar et al., 2010 dengan modifikasi).
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pembuatan Film 4.1.1 Optimasi Konsentrasi Natrium Alginat dalam Sediaan Film Pada penelitian ini dibuat film sambung silang PVA dengan kombinasi NA dengan menggunakan metode freeze thawing. Metode freeze thawing merupakan suatu metode pembuatan film dengan melalui proses pembekuan (20oC) dan peleburan (25oC) yang dilakukan dalam beberapa siklus kemudian pelarut yang digunakan untuk melarutkan semua polimertermasuk obat dikeringkan sehingga terbentuk massa film (Hassan dan Peppas, 2000). Tabel 4.1 Karakteristik Film Hasil Optimasi Kode Formula Konsentrasi PVA (%) Konsentrasi NA (%) Konsentrasi Gliserin (%)
F1
F2
F3
6
6
6
1,2
0,9
0,6
2
2
2
Koloidal, agak keruh Bentuk CPF
tanpa terlihat bentuk partikelnya, berwarna
Koloidal, agak keruh tanpa terlihat bentuk partikelnya, berwarna kuning
kuning kecoklatan Homogenitas CPF
Homogen
Homogen
Ujung film melengkung,
Tekstur Film
Koloidal, agak keruh tanpa terlihat bentuk partikelnya, berwarna kuning Homogen Tebal 0,18 mm,
tebal 0,23 mm,
Tebal 0,20 mm, permukaan
permukaan tidak rata,
permukaan rata, kaku
rata, dan elastis, film
dan elastis, film
dibanding film lain, film
transparan
transparan, film
tidak transparan
melengkung
Penampakan Film
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 32
33
Pada penelitian pendahuluan dibuat film yang terdiri dari PVA dan NA dengan konsentrasi awal yaitu 5:1. Film ini dibuat dengan variasi konsentrasi dari NA dengan pemanasan 50oC selama 24 jam dan bobot film yang dicetak sebanyak 10 gr. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan hasil yang berbeda-beda pada setiap formula seperti yang tertera pada tabel di atas. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan konsentrasi NA yang digunakan dalam film. Dari ketiga formula uji, F2 dianggap memiliki karakteristik yang palik baik, oleh karena itu pengujian akan dilanjutkan dengan menggunakan F2 sebagai formula film yang akan dievaluasi dan akan menggunakan metronidazol sebagai model zat aktif.
4.1.2 Preparasi Film Sambung Silang Film dibuat mengandung obat metronidazol dengan dosis sebesar 0,75%, dosis tersebut merupakan dosis untuk sediaan topikal yang tertera pada USP. Dosis yang digunakan merupakan dosis zat aktif yang akan dimasukkan dalam sediaan yang akan dibuat. Sehingga dilakukan uji evaluasi untuk melihat kadar akhir metronidazol dalam film. Sediaan film ini dibuat dengan menggunakan pelarut aquades dan juga menggunakan plasticizer yaitu gliserin sebanyak 2%. Penggunaan gliserin pada sediaan film ini adalah hasil optimasi dimana pada uji pendahuluan film dibuat tanpa penambahan plasticizer menghasilkan film yang keras dan kaku. Pengunaan plasticizer di dalam formula sangat berkaitan dengan peningkat elastisitas dan sifat plastis dari film (Rudyardjo, 2014). Untuk membuat larutan cairan pembentuk film (CPF), masing-masing bahan terlebih dahulu harus didispersikan pada aquades. Pendispersian tersebut bertujuan untuk memastikan semua bahan terdispersi dengan sempurna sehingga ketika semua bahan dicampur bahan-bahan tersebut akan homogen. Setelah proses pembuatan, CPF didiamkan selama 24 jam pada suhu ruang untuk menghilangkan gelembung udara yang terjerat di dalam CPF saat proses pembuatan. Gelembung udara yang terjerap dapat menyebabkan film yang terbentuk akan memiliki permukaan yang tidak merata.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
34
4.2 Karakterisasi Cairan Pembentuk Film 4.2.1 Evaluasi Organoleptis Pengamatan secara visual terhadap organoleptis CPF menunjukkan bahwa terdapat adanya NA di dalam formula menyebabkan perbedaan yang signifikan pada penampakan visual CPF. CPF A (PVAA-NA) merupakan koloid yang homogen, keruh, berwarna putih kekuningan, dan sedikit berbau amis, sedangkan CPF B (PVA) merupakan koloid yang homogen, jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Perbedaan ini disebabkan karena CPF A membentuk koloidal yang lebih besar karena polimer PVA dikombinasi dengan NA.
A
B
Gambar 4.1 Larutan CPF PVA-NA (A), Larutan CPF PVA (B)
4.2.2 Evaluasi Viskositas Uji viskositas cairan pembentuk film (CPF) menggunakan alat viskotester HAAKE 6R spindel R2 pada kecepatan 30 rpm. Kedua CPF memiliki perbedaan viskositas yang cukup besar. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas CPF A memiliki nilai viskositas 1077 cPs dan CPF B memiliki nilai viskositas 265 cPs. Hal ini disebabkan karena NA jika didispersikan dari dalam air membentuk koloid yang lebih kental dibandingkan PVA yang kemudian mempengaruhi nilai viskositas CPF PVA-NA menjadi lebih besar.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
35
4.3 Karaktersasi Film 4.3.1
Evaluasi Organoleptis Berdasarkan pengamatan secara visual film A berwarna putih kekuningan,
sedikit berbau amis, bengkok, dan lebih tebal dibandingkan dengan film yang lain. Film B berwarna putih, tidak berbau, dan bengkok. Film C berwarna putih kuningan, sedikit berbau amis, dan permukaan film kasar. Film D berwarna putih, mengkilap seperti plastik dan tidak berbau.
A
B
C
D
A
A
Gambar 4.2 Gambar Makroskopik Keempat Formula Film A (A), Film B (B), Film C (C), dan Film D (D) Film A dan B pada saat di sambung silang mengalami pengkerutan seperti gambar diatas. Diduga Hal ini terjadi karena pada saat proses sambung silang freeze thawing CPF mengalami sineresis yaitu proses keluarnya cairan dari dalam gel yang menyebabkan gel menjadi mengkerut. Sineresis diperkirakan terjadi akibat struktur serabut gel yang terus-menerus mengasar pada proses pembekuan sehingga menimbulkan suatu efek penekanan keluar. (Martin et al., 2011). Film C dan D tidak mengalami proses sambung silang sehingga film yang terbentuk tetap mengikuti bentuk cetakannya.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
36
4.3.2
Pengukuran Ketebalan Film Berdasarkan pengujian yang dilakukan ketebalan pada setiap film
sambung silang bervariasi baik pada film A, B, C maupun film D. Meskipun sudah menggunakan cetakan yang terbuat dari bahan akrilik yang memiliki permukaan yang rata, ketebalan film tetap bervariasi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan perbedaan ini terjadi. Ketebalan yang bervariasi ini dapat disebabkan oleh ukuran cetakan yang terlalu sempit yang menyebabkan film dapat tertarik ketengah pada saat pengeringan sehingga film pada posisi tengah cetakan lebih besar daripada bagian pinggir cetakan. Proses sambung silang juga sangat berpengaruh seperti pada film A, Hal ini sudah dijelaskan pada evaluasi organoleptis. Ketebalan film sambung silang akan meningkat secara signifikan dengan adanya natrium alginat dan penambahan metronidazol juga dapat meningkatkan ketebalan film (Sarheed et al., 2015). Tabel 4.2 Ketebalan Film Formula
Ketebalan (mm)
A
1,24 ±0,03
B
0,44±0,04
C
0,20±0,02
D
0,22±0,01
Berdasarkan data hasil pengujian, terlihat bahwa ketebalan yang dimiliki film D lebih besar dibandingkan dengan film C. Hal ini tidak sesuai jika didasarkan pada polimer yang terkandung di dalam masing-masing film. Film C mengandung polimer yang lebih banyak dibandingkan film D di mana film C terdiri dari polimer PVA dan NA sedangkan film D hanya terdiri dari PVA. Oleh sebab itu film C seharusnya memiliki ketebalan yang lebih besar dibandingkan film D. Hal ini dapat terjadi diduga karena pada saat pengujian titik uji yang diambil tidak mewakili ketebalan film secara keseluruhan. Di mana titik uji yang diambil yaitu pada 9 titik meliputi 3 titik pada setiap bagian atas, tengah dan bawah film. Pada organoleptis makroskopis dapat dilihat bahwa terdapat daerah yang terlihat bening dibagian pinggir film sedangkan pada bagian tengah film UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
37
terlihat tidak bening. Daerah yang bening memiliki ketebalan yang lebih kecil dibandingkan daerah yang tidak bening sehingga seharusnya pengujian dilakukan dengan mengambil lebih banyak titik uji sehingga dapat mewakili seluruh film. Ketebalan film memilki efek yang signifikan terhadap kemampuan mengembang suatu film karena dapat menentukan konsentrasi dan ukuran penetrasi molekul pelarut yang dapat masuk ke dalam film (Sarheed et al., 2015).
4.3.3
Analisa Daya Mengembang Tabel 4.3 Daya Mengembang Film % Daya Mengembang Film
Waktu (menit)
A
B
C
D
0
0
0
0
0
5
41,70 ± 9,95
75,41 ± 3,54
92,28 ± 14,47
70,01 ± 1,41
10
86,29 ± 43,26
95,76 ± 7,05
96,26 ± 6,56
82,54 ± 4,04
15
126,4 ± 51,22
115,89 ± 19,36
100,44 ± 18,23
84, 75 ± 2,81
30
193,41 ± 55,31
135,6 ± 15,32
94,13 ± 4,01
85,55 ± 2,28
60
224,20,± 43,35
143,61 ± 14,42
86,41 ± 7,70
81,98 ± 1,85
90
250,81 ± 19,05
136,21 ± 10,34
79,37 ± 5,27
86,91 ± 8,93
120
260,37 ± 14,11
145,04 ± 14,35
83,64 ± 8,25
64,70 ± 9,75
Gambar 4.4 Grafik Daya Mengembang Film UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
38
Pengujian daya mengembang merupakan karakterisasi yang penting, dimana pengujiam ini dilakukan untuk melihat gambaran kemampuan film untuk dapat menyerap eksudat luka. Film dengan modifikasi penambahan NA biasanya ditujukan untuk luka terbuka dengan eksudat yang banyak (Sarheed et al., 2015 dan Kamoun et al., 2014). Nilai daya mengembang suatu film sangat berkaitan dengan waktu perendaman sehingga pengamatan dilakukan dari beberapa interval waktu (Sarheed et al., 2015). Berdasarkan tabel dan grafik hasil pengujian, film yang memiliki persentase daya mengembang paling tinggi yaitu film A yang merupakan film sambug silang PVA-NA dibandingkan film B, C, dan D. Nilai daya mengembang semua film meningkat pada menit ke-5 namun waktu penurunan nilai daya mengembang masing-masing film berbeda. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa penambahan NA dalam film PVA akan meningkatkan daya mengembang film yang disebabkan sifat hidrofilisitas NA yang tingga. Berdasarkan hasil pengujian, Film A dan C meskipun sama-sama mengandung NA namun memiliki kemampuan mengembang yang berbeda secara bermakna. Hal ini dikarenakan proses sambung silang yang dilakukan terhadap film A menyebabkan kedua polimer (PVA dan NA) mengalami ikatan antar ujung molekul yang bersifat rreversible. Ikatan tersebut membentuk sudut kontak yang lebih besar antar polimer dengan pelarut sehingga memungkinkan pelarut terjerat lebih banyak (Martin et al.,1993). Oleh karena itu film A lebih banyak mengikat air meskipun keduanya mengandung NA.
4.3.4
Analisa Kadar Air
Berdasarkan hasil pengujian, didapatkan hasil bahwa kadar air pada film A yang merupakan film sambung silang PVA-NA paling besar dibandingkan dengan ketiga film B, C dan D. Hasil ini sesuai dengan teori bahwa film PVA apabila dikombinasikan dengan NA serta dilakukan proses sambung silang akan meningkatkan kemampuan menjerap air lebih banyak daripada film yang tidak disambung silang. Namun tingginya kadar air di dalam film juga memiliki kekurangan yaitu menurunnya
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
39
kepadatan dari film sambung tersebut sehingga film tersebut memiliki sifat mekanik yang buruk ( Rosiak et al., 2001). Tabel 4.4 Kadar Air
4.3.5
Formula
Kadar Air (%)
A
64,97 ± 4,222
B
52,20 ± 5,89
C
61,77 ± 3,58
D
32,53 ± 6,473
Uji Sifat Mekanik Film Sifat mekanik film yang diuji adalah kekuatan tarik (tensile strengt) dan
perpanjangan saat putus (elongation break). Pengujian ini berfungsi untuk mengetahui seberapa besar gaya yang dibutuhkan untuk membuat film putus dan seberapa besar nilai perpanjangan film tersebut sebelum putus. Tabel 4.5 Uji Mekanik Film Kode Formula
Tensile Strength (Kg/cm2)
Elongation Break (%)
A
52,86 ± 7,43
266,67 ± 5,77
B
100,55 ± 9,98
423,33 ± 45,09
C
69,02 ± 2,38
366,67 ± 11,55
D
54,89 ± 5,01
246,67 ± 46,19
500 400 300
Tensile Strength (Kg/cm2) Elongation Break (%)
200 100 0
A
B
C Jenis Film
D
Gambar 4.4 Kurva Sifat Mekanik Film UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
40
Berdasarkan hasil uji mekanik, film B memiliki nilai kekuatan tarik dan perpanjangan saat putus yang paling besar dibandingkan dengan film A, C dan D. Berdasarkan hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS 16 menunjukkan bahwa hasil uji kekuatan tarik dan perpanjangan saat putus pada sediaan film A, B, C dan D berbeda secara bermakna. Film yang memiliki daya sambung silang tinggi akan menghasilkan nilai kekuatan tarik yang tinggi dan nilai elongasi yang rendah karena film sambung silang yang dihasilkan lebih kuat (Chinta et al., 2013). Meskipun begitu kadar air yang bervariasi pada setiap film merupakan Hal yang penting diperhatikan karena dapat mempengaruhi hasil uji mekanik. Kekuatan tarik dan perpanjangan saat putus. Pada film sambung silang PVA-NA semakin menurun dengan peningkatan konsentrasi NA. Hal ini dapat terjadi karena penambahan NA ke dalam hidrogel PVA dapat membuat ketidakstabilan dan mempercepat pemutusan hidrogel, di mana hasil tersebut dapat menurunkan dan menyebabkan dekonstruksi pada film. Hal ini juga sesuai dengan sifat mekanik NA yang merupakan polimer yang memiliki sifat hidrofilisitas yang tinggi. Sifat ini memungkinkan kadar air yang besar dapat menyebabkan film memiliki sifat mekanik yang lemah sehingga mudah putus (Kamoun et al., 2013).
4.3.6
Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film Tabel 4.6 Persen Kumulatif Pelepasan Metronidazol dari Film Waktu (Jam)
A
B
C
D
0 1 2 4 8 12 24
0 1.69 10.73 45.72 60.42 68.67 102.74
0 36.48 104.89 128.89 143.64 153.11 164.11
0 8,05 45,96 51,05 82,68 97,57 102,01
0 21,76 105,29 112,53 122,85 129,59 152,00
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
41
Gambar 4.5 Grafik Persentase Kumulatif Pelepasan Metronidazol Berdasarkan hasil pengujian, dapat dilihat bahwa persentase kumulatif pelepasan metronidazol yang paling besar dimiliki oleh film B dan D yaitu sebesar 164,11% dan 152,00%. Sedangkan persentase kumulatif pelepasan metronidazol yang paling kecil yaitu film A dan C 102.74% dan 152,00%. Adanya NA pada membran hidrogel PVA diduga mempengaruhi pelepasan metronidazol dari dalam film karena adanya gugus COO- dari NA yang berikatan dengan gugus NH3+ dari metronidazol. Ikatan yang terjadi berpotensi menurunkan dan mengganggu pelepasan metronidazol (Kamoun et al., 2013)
4.3.7
Penetapan Kadar Metronidazol dalam Film Film diuji dengan metode perendaman selama 24 jam. Optimasi ini
menggunakan film yang berukuran 4 cm x 8 cm yang direndam dalam 100 ml aquabides. Pengukuran dilakukan pada jam ke 24. Tabel 4.7 Hasil Optimasi Waktu Ekstraksi Metronidazol dari Film Formula A B C D
Kadar Obat yang Terekstraksi (mg) 72.88 82.13 74.09 79.12
Kadar Obat yang Terekstraksi (%) 97.17 109.5 98.79 105.5
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
42
Tabel 4.8 Kadar Metronidazol dalam Film Formula
Kadar Metronidazol dalam Film (mg)
A
17,43 ± 4,05
B
5,44 ± 0,51
C
10,81 ± 1,02
D
15,28 ± 1,43
Kadar diatas merupakan kadar aktual yang didapatkan berdasarkan hasil pengujian penetapan kadar. Pengujian ini dilakukan secara triplo dimana dalam setiap pengujian semua film memiliki luas 4 cm2 namun memiliki bobot yang berbeda-beda. Secara teori, kadar metronidazol di dalam film berukuran 2 cm x 2 cm adalah 9,38 mg yang dihitung. Keseragaman film sangat penting pada pengujian ini dimana pada pengujian ini bobot film yang digunakan berbada-beda baik dalam satu formula maupun antarformula. Selain itu posisi film yang diambil untuk pengujian juga mempengaruhi besarnya kadarmetronidazol karena berdasarkan hasil pengujian setiap posisi film memiliki ketebalan yang berbeda. Sehingga kemungkinan besar film yang memiliki bobot dan ketebalan yang lebih besar lebih banyak mengandung metronidazol. Oleh karena itu kadar aktual dan kadar teori tersebut memiliki perbedaan yang cukup besar.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
43
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Film A, B, C dan D memiliki karakteristik yaitu persen kadar air berturutturut 6 4,97 ± 4,22%, 52,2 ± 5,89, 61,77±3,58% dan 32,53 ± 6,473%; persen kekuatan tarik berturut-turut 52,86±7,43%, 100,55 ± 9,98%, 69,02 ± 2,38% dan 54,89 ± 5,01%; persen elongasi berturut-turut 266,67 ± 5,77%, 423,33 ± 45,09%, 366,67 ± 11,55% dan 246,67 ± 46,19, persen pelepasan zat aktif dari dalam film pada jam ke 24 berturut-turut 102,7 ± 8,06%, 164,11 ± 1,12%, 102,01 ± 2,67, dan 152,00 ± 11,02. 2. Metode sambung silang sangat mempengaruhi karakteristik film, dimana film memiliki karakteristik yang lebih baik daripada film yang tidak disambung silang. Namun karakteristik tersebut bergantung pada sifat polimer yang digunakan dalam modifikasi. 3. Penambahan NA dalam film sambung silang PVA sangat mempengaruhi karakteristik film yaitu peningkatan elastisitasitas dan daya mengembang. Namun beberapa karakteristik juga mengalami penurunan seperti sifat mekanik film.
5.2 Saran 1. Diperlukannya optimasi metode sambung silang yang cocok dengan metode pembentukan film agar menghasilkan fim dengan karakteristik yang baik. 2. Diperlukannya pengujian pengaruh zat aktif terhadap karakteristik film yang dihasilkan. 3. Diperlukannya penggunaan posisi film yang sama pada setiap pengujian, agar data yang dihasilkan lebih homogen dan mewakili keseluruhan film.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 43
44
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Enas M. 2013. Hydrogel: Preparation, characterization, and applications. Journal of Advanced Research. Anggaraeni, Yuni. 2012. Preparasi dan Karakterisasi Film Sambung Silang Kitosan-Tripolifosfat yang mengandung Asiatikosia sebagai Pembalut Bioaktif untuk Luka. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia. Brain, Wilksman L, Solomonik I, Spira R, Tennenbaum T. 2007. Novel Insights into Wound Healing Sequence of Events. Toxicol Pathol; 35:767-79. Djuanda dan Sri, S., dan Sri A. S. 2003. Dermatitis. Dalam: Djuanda dan Sri, A. et al., ed. 3 Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 126-131. Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi Ke III. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. Hal. 144.
Eslami, A., Gallant-Behm CL, Hart DA, Wiebe C, Honardoust D, Gardner H, 2009. Expression of Integrin αvβ6 and TGF-β in Scarless vs Scar-forming Wound Healing. J Histochem Cytochem; 57:543–57. Galiano RD, Mustoe TA. 2007. Wound Care. Dalam: Thorne CH, penyunting. Grabb and Smith’s Plastic Surgery. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; pp. 23-32. Gurtner GC. 2007. Wound Healing: Normal and Abnormal. Dalam: Thorne CH, penyunting. Grabb and Smith’s Plastic Surgery.Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; pp. 15-22. Ginting, Delvina. 2014. Formulasi Patch Natrium Diklofenak Berbasis Polimer Hidroksi Propil Metil Selulosa (Hpmc) Dan Natrium Karboksi Metil UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
45
Selulosa (Na CMC) Sebagai Antiinflamasi Lokal Pada Penyakit Periodontal. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Program Studi Farmasi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hom DB, Linzie BM, Huang TC. 2007. The Healing Effects of Autologous Platelet Gel on Acute Human Skin Wounds. Arch Facial Plast Surg; 9:17483. Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). 2008. Mengenal Lidah Buaya Sebagai Salah Satu Tanaman Toga. http://www.ikatanapotekerindonesia.net/articles/32pharmaceutical-information/339-mengenal-lidah-buaya-sebagai-salah-satutanaman-toga.html (Accessed 28 Oktober 2015) J. Balasubramanian, Narayanan N, Senthil Kumar M, Vijaya Kumar N, dan Azhagesh Raj K. 2012. Formulation and evaluation of mucoadhesive buccal films of diclofenac sodium. Indian J. Innovations Dev; pp 70. Kamoun, A. Elbadaw,. Kenawy, El-Refaie S., Tamer, Tamer M., El-Maligy, Mahmoud A., Eldin, Mohamed S. Mohy. 2013. Poly (vinyl alcohol)alginate physically crosslinked hydrogel membranes for wound dressing applications: Characterization and bio-evaluation. Arabian Journal of Chemistry; 8:1–14 Kamoun, A. Elbadawy. Chen, Xin,. Eldin, Mohamed S. Mohy,. Kenawy, ElRefaie S. 2014. Crosslinked poly(viny l alcohol) hydrogels for wound dressing application s: A review of remarkab ly blended polymers. Arabian Journal of Chemistry; 8:38-47 Kermany, Bahador Poorahmary. 2010. Carbopol Hydrogels For Topical Administration: Treatement Of Wounds. Drug Transport And Delivery Research Group. Department Of Pharmacy Faculty Of Health Sciences University Of Tromsø
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
46
Kumar, Manoj., Prabushankar, G.L., Babu, P.R Satesh. 2010. Formulation And In-Vitro Evaluation Of Peridontal Film Containg
Metronidazol.
International Journal Of PharmTech Research; 2(4):2188-2193 Lausanne, Materials Science and Engineering. 37.Webster J, Scuffham P, Sherriff KL, Stankiewicz M, Chaboyer WP, 2012. Negative pressure wound therapy for skingrafts and surgical wounds healing by primary intention. Cochrane Database of Systematic Reviews;4:1-45.
Lawrence, WT. 2002. Wound Healing Biology and Its Application to Wound Management. Dalam: O’Leary P, penyunting. The Physiologic Basis of Surgery. Edisi ke-3. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; h. 10732. Leong M, Phillips LG. 2012. Wound Healing. Dalam: Sabiston Textbook of Surgery. Edisi ke-19. Amsterdam: Elsevier Saunders Martin, Alfred., Swarbrick, James., Cammarata, Arthur. 1993. Farmasi Fisik: Edisi 3. Jakarta. UI Press
McHugh, D.J. 2003. A Guide to Seaweed Industry. Food and Agric. Org. of the UN. Rome
Nugent, J.D Michael., Hanley, Austin., Tomkins, T. Paul., Higginbotham, L. Clement., 2005. Investigation Of A Novel Freeze-Thawing Procces For the production of drug delivery hydrogels. Journal Of Material Science: Material In Medicine; 16:1149-1158 Pusponegoro, AD. 2005. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, De Jong W, penyunting. Buku Ajar Ilmu Bedah.Edisi ke-2. Jakarta: EGC, pp. 66-88. Rosiak, M.T., Darmawan, D., Zainuddin. S. 2001. Irradiation Of
Polyvinyl
Alcohol And Polyvinyl Pyrrolidone Blended Hydrogel For Wound Dressing. Rhadiat. Phys. Chem; 62:107-113 UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
47
Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Quinn, ME. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipient Sixth Edition. London: Pharmaceutical Press Saarheed, Omar., Rasool, Abdul, K. Bazigha., Abu-Garbieh, Eman., Aziz, Uday Sajad., 2015. An Investigation And Characterization On Alginate Hydrogel Dressing Loaded With Metronidazol Prepared By Combined Intropic Gelatin And Freeze-Thawing Cycles For Controlled Realese. AAPS PharmSciTech; 16(3) Saarai, A., Kasparkova, V., Saha, Sedlacek P. 2011. A Comparative Study of Crosslinked Sodium Alginate/Gelatin Hydrogels for Wound Dressing .Polymer Centre, Department of Fat, Surfactant and Cosmetics Technology Centre of Polymer Systems Tomas Bata University in Zlin. Czech Republic Schultz GS, 2007.The Physiology of Wound Bed Preparation. Dalam: Granick MS, Gamelli RL, penyunting Surgical Wound Healing and Management. Switzerland: Informa Healthcare; pp 1-16. Setiabudi, 2008. Referensi Kesehatan-Diabetes Melitus. Available from: http://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/diabetes-melitus/ [Accessed 10 April 2010] Shifrovicth, yael. Binderman, itzhak. Bahar, hila. Berdicevsky, israela. Zilberman, meital. 2009. Metronidazol-loaded bioabsorbable films as local antibacterial treatment of infected periodontal pockets. Technion-israel institute of technology, Haifa, Israel; 80(2)
Shweta, Aggarwal., Pahuja, Sonia. 2013. Pharmaceutical Relevance of Crosslinked Chitosan In Microparticel Drug Delivery. International Research Journal Of Pharmacy: 4(2) Martin, Alfred. 2011. Farmasi Fisika & Ilmu Farmasetika Martin Edisi 5 / penulis Patrick J. Sinko. Jakarta : EGC Sugita, P. (2009), Kitosan : Sumber Biomaterial Masa Depan, IPB Press. Bogor UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
48
Taufik. 2009. Dzulkarnain Dalam Al-Qur’an. Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Taylor L, La Mone. (1997). Fundamentals of nursing: the art and science of nursing care B. Third Edition. Philadhelpia: Lippincott The United State Pharmacopeial Convention. (2006).
The United States
Pharmacopeia (USP). 30th Edition. United States
Tortora, G.J., dan Derrickson, B.H., 2009. Principles of Anatomy and Physiology. 12th ed. Asia: John Wiley and Sons, Inc: 620-628 USP 32: United States Pharmacopeia Convention. 2009. United States Pharmacopeia and the national Formulary (USP 32-NF 27). The United States Pharmacopeia Convention. Rockville (MD). Wandrey, C., 2005. Polielectrolytes and Biopolymers. Polytechnique Federale De. Weller, Carolina., Sussman, Geoff. 2006. Wound Dressings Update. Journal of Pharmacy Practice and Research Volume 36. Zhanjiang, F., 1990. Training Manual of Gracilaria Culture and Processing In China. Regional Seafarming Development and Demonstration Project China
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
49
Lampiran 1. Alur Penelitian Optimasi Pembuatan Sediaan Film
Pemilihan Formula Yang Akan Disambung Silang dan Dikarakterisasi
Preparasi Film Sambung Silang
Evaluasi Organoleptis Karakterisasi Cairan Pembentuk Film Evaluasi Viskositas
Evaluasi Organoleptis Karakteristik Film Sambung Silang
Pengukuran Ketebalan
Analisa Daya Mengembang Analisa Kadar Air Uji Sifat Mekanik Film Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Penentuan Kurva Kalibrasi Metronidazol
Uji Pelepasan Zat Aktif dari Film Penetapan Kadar Metronidazol
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
50
Lampiran 2. Gambar Bahan dan Alat
PVA
Freezer
Tensile Tester
Natrium Alginat
Metronidazol
Mikrometer Digital Spektrofotometer-UV
Timbangan Analitik
Mikroskop
Stand Up Stirrer
Oven
Hot Plate Stirrer
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
51
Lampiran 3.Pembuatan Koloid PVA 6% Untuk membuat CPF sebanyak 10 gram. Cara pembuatan koloid PVA 6% adalah ditimbang PVA sebanyak 0,6 gram kemudian didsperdikan ke dalam air (1 bagian PVA dalam 5 bagian air) dengan cara diaduk di atas pengaduk magnetik dengan bantuan pemanasan
pada suhu 90oC selama 5 menit kemudian suhu
diturunkan dan diaduk kembali hingga terbentuk koloid yang homogen.
Lampiran 4.Pembuatan Koloid NA 0,9% Untuk membuat CPF sebanyak 10 gram. Cara pembuatan koloid NA 0.9% adalah ditimbang NA sebanyak 0,09 gram kemudian didispersikan ke dalam air (1 bagian NA dalam 5 bagian air) dengan menggunakan lumpang alu yang dihangatkan kemuadian digerus hingga terbentuk koloid yang homogen.
Lampiran 5. Pembuatan Larutan Metronidazol Untuk membuat CPF sebanyak 10 gram. Cara pembuatan larutan Metronidazol 0,75% adalah ditimbang metronidazol sebanyak 0,075 gram kemudian didispersikan ke dalam air (1 bagian dalam 50 bagian air) dengan menggunakan pengaduk magnetik diaduk hingga terdispersi homogen.
Lampiran 6. Pembuatan Larutan Metronidazol Standar Untuk membuat metronidazol 500 ppm, ditimbang metronidazol sebanyak 12,5 mg kemudian didispersikan ke dalam air dengan menggunakan pengaduk magnetik diaduk hingga terdispersi homogen lalu digenapkan menjadi 25 ml di dalam labu ukur. Kemuadian larutan diencerkan menjadi beberapa seri konsentrasi untuk diukur panjang gelombang maksimumnya.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
52
Lampiran 7. Data Standar Absorbansi dan Kurva Kalibrasi Metronidazol dalam Aquabidestilasi Konsentrasi (ppm)
Absorbansi
0
0.000
4
0.199
8
0.399
12
0.607
16 20
0.792 0.981
Lampiran 8. Kadar Air Fomula A
B
C
D
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Bobot Awal (mg)
Bobot Akhir (mg)
454,9 289,0 289,7 171,5 183,5 156,0 280,4 236,5 234,5 93,3 97,4 98,0
137,2 106,6 110 88,0 75,1 79,5 95,6 95,1 94,5 68,6 59,1 66,7
% Kadar Air 69,8 63,1 62,0 48,6 59,0 49,0 65,9 59,7 59,7 26,4 39,3 31,9
Rata-Rata
SD
64,97
4,22
52,20
5,89
61,77
3,58
32,53
6,47
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
53
Lampiran 9. Ketebalan Film Ketebalan Film (mm) Formula
A
B
C
D
3
4
2
1
1,78
1,66
1,63 1,28 1,41 1,07 0,95 0,99 0,79
1,29
0,36
2
1,43
1,33
0,57
1,67 0,62 1,46 1,31 1,02
1,20
0,38
3
1,3
1,14
1,43 1,06 1,83 1,39 0,72 1,32 1,01
1,24
0,31
1
0,5
0,38
0,41
0,44 0,51
0,43
0,06
2
0,51
0,5
0,33 0,31 0,40 0,33 0,53 0,42 0,44
0,42
0,08
3
0,33
0,33
0,4
0,41 0,37 0,36 0,72 0,56 0,62
0,45
0,14
1
0,13
0,17
0,11 0,39 0,41 0,13 0,17 0,14 0,13
0,20
0,12
2
0,15
0,19
0,13 0,25 0,42 0,16 0,13 0,16 0,13
0,19
0,09
3
0,29
0,31
0,2
0,22
0,08
1
0,1
0,22
0,24 0,33 0,29 0,18
0,19 0,24
0,21
0,08
2
0,16
0,27
0,23 0,33 0,29 0,21 0,14 0,19 0,23
0,23
0,06
3
0,24
0,2
0,13 0,35 0,27 0,18 0,26 0,24 0,14
0,22
0,07
0,4
6
0,33 0,43
7
8
0,5
9
SD
1
1,4
5
RataRata
0,25 0,35 0,18 0,15 0,17 0,13 0,1
RataRata
SD
1,24
0,04
0,44
0,04
0,2
0,02
0,22
0,01
Lampiran 10. Uji Mekanik Kode Formula A
B
C
D
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Tebal Film (mm) 0,59 0,64 0,41 0,37 0,40 0,39 0,29 0,29 0,28 0,24 0,26 0,22
Kekuatan Tarik Kg Kg/cm2 0,94 53,107 0,87 45,313 0,74 60,163 1,24 111,71 1,11 92,50 1,14 97,436 0,60 68,966 0,58 66,667 0,60 71,429 0,38 52,778 0,40 51,282 0,40 60,606
Rata-Rata (Kg/cm2)
SD
52,86
7,43
100,55
9,98
69,02
2,38
54,89
5,01
Perpanjangan Putus (%) 270 260 270 470 420 380 380 360 360 220 220 300
RataRata (%)
SD
266,67
5,77
423,33
45,09
366,67
11,55
246,67
46,19
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
54
Lampiran 11. Keseragaman Kandungan
Kode Formula 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Keseragaman Kandungan Bobot Film Kadar (ppm) Kadar (mg) A 0,3078 220,7 22,07 0,1796 148,3 14,83 0,1881 153,9 15,39 B 0,1303 99,8 9,98 0,1571 104,6 10,46 0,1293 110 11 C 0,1378 105,9 10,59 0,1398 119,3 11,93 0,1343 99,2 9,92 D 0,1159 91,5 9,15 0,1271 110,8 11,08 0,1324 119,5 11,95
Rata-Rata (mg)
SD
17,43
4,03
10,48
0,51
10,81
1,02 3
10,73
1,43
Lampiran12. Persentase Kumulatif Pelepasan Metronidazol dari Film Waktu (Jam)
A
B
C
D
0 1 2 4 8 12 24
0 1.69 10.73 45.72 60.42 68.67 102.74
0 36.48 104.89 128.89 143.64 153.11 164.11
0 8,05 45,96 51,05 82,68 97,57 102,01
0 21,76 105,29 112,53 122,85 129,59 152,00
Lampiran 13. Hasil Optimasi Pelepasan Metronidazol dalam Satu Film Formula A B C D
Kadar Obat yang Terekstraksi (mg) 72.88 82.13 74.09 79.12
Kadar Obat yang Terekstraksi (%) 97.17 109.5 98.79 105.5
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
55
Lampiran 14. Penetapan Kadar Metronidazol dari Film Formula
Kadar Metronidazol dalam Film (mg)
A
17,43 ± 4,05
B
5,44 ± 0,51
C
10,81 ± 1,02
D
15,28 ± 1,43
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
56
Waktu (menit)
0
1
2
5
10
15
30
60
90
120
Bobot (mg)
We Ws %SR We Ws %SR We Ws %SR We Ws %SR We Ws %SR We Ws %SR We Ws %SR We Ws %SR We Ws %SR We Ws %SR
Formula A 1
2
3
378 378 0 378 423 11.9 378 449 18.8 378 499 32 378 597 57.9 378 679 79.7 378 974 158 378 1152 205 378 1329 252 378 1278 238
213.9 213.9 0 213.9 262.7 22.81 213.9 312.7 46.19 213.9 312.7 46.19 213.9 517.6 142 213.9 598.9 180 213.9 780.2 264.7 213.9 815.3 281.2 213.9 810 278.7 213.9 802.6 275.2
289 289 0 289 293 1.56 289 350 21.1 289 436 51.1 289 526 82.2 289 716 148 289 830 187 289 888 208 289 1034 258 289 1009 249
Formula B RataRata 294 294 0 294 326 11.2 294 370 26.2 294 416 41.7 294 547 86.3 294 665 126 294 861 193 294 952 224 294 1058 260 294 1030 251
SD
1
2
3
82 82 0 82 85 11 82 70 15 82 95 10 82 44 43 82 60 51 82 100 55 82 177 43 82 260 14 82 238 19
148 148 0 148 186 26 148 218 47.9 148 257 74 148 282 91.4 148 299 103 148 328 122 148 344 133 148 346 135 148 336 127
138 138 0 138 162 17 138 199 45 138 237 73 138 263 91 138 283 106 138 318 131 138 326 137 138 327 138 138 320 133
156 156 0 156 188 21 156 229 47 156 279 79 156 317 104 156 369 138 156 392 152 156 404 160 156 406 161 156 385 147
Formula C RataRata 147 147 0 147 178 21 147 216 47 147 258 75 147 287 96 147 317 116 147 346 136 147 358 144 147 360 145 147 347 136
SD
1
2
3
9 9 0 9 15 4 9 15 2 9 21 4 9 27 7 9 46 19 9 40 15 9 41 14 9 41 14 9 34 10
118 118 0 118 164 38.8 118 202 71.3 118 237 101 118 241 104 118 231 95.5 118 233 97.1 118 228 92.9 118 218 84.6 118 222 88.3
123 123 0 123 188 51.9 123 226 82.7 123 248 101 123 237 92.1 123 229 85.4 123 234 89.6 123 220 78 123 215 74.1 123 215 74.2
119.7 119.7 0 119.7 158.1 32.08 119.7 178.2 48.87 119.7 210.1 75.52 119.7 231 92.98 119.7 264.3 120.8 119.7 234.4 95.82 119.7 225.9 88.72 119.7 215.1 79.7 119.7 225.9 88.72
Formula D RataRata 120 120 0 120 170 41.1 120 202 67.8 120 232 92.3 120 236 96.3 120 241 100 120 234 94.1 120 224 86.4 120 216 79.4 120 221 83.6
SD
1
2
3
3 3 0 3 16 10 3 24 17 3 19 14 3 5 7 3 20 18 3 1 4 3 4 8 3 2 5 3 6 8
98 98 0 98 139 42 98 158 62 98 164 69 98 175 79 98 177 82 98 178 83 98 176 80 98 182 87 98 158 62
88 88 0 88 128 45 88 144 63 88 151 71 88 159 81 88 164 86 88 165 87 88 162 84 88 173 96 88 155 76
100 100 0 100 126 26 100 153 53 100 171 70 100 187 87 100 187 87 100 187 87 100 182 82 100 179 79 100 158 58
RataRata 95 95 0 95 131 37 95 151 59 95 162 70 95 174 83 95 176 85 95 177 86 95 173 82 95 178 87 95 157 65
SD 6.4 6.4 0 6.4 6.9 10 6.4 7.1 5.6 6.4 10 1.4 6.4 14 4 6.4 11 2.8 6.4 11 2.3 6.4 10 1.9 6.4 4.6 8.9 6.4 1.5 9.7
Lampiran 15. Uji Daya Mengembang
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
57
Lampiran 16. Data Statistik Uji Mekanik Kekuatan Tarik One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Kekuatan_Tarik N
12
Normal Parameters
a
Mean
68.8333
Std. Deviation Most Extreme Differences
20.66544
Absolute
.208
Positive
.208
Negative
-.124
Kolmogorov-Smirnov Z
.721
Asymp. Sig. (2-tailed)
.675
a. Test distribution is Normal.
Test of Homogeneity of Variances Kekuatan_Tarik Levene Statistic 1.719
df1
df2 3
Sig. 8
.240
ANOVA Kekuatan_Tarik Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
4329.667
3
1443.222
368.000
8
46.000
4697.667
11
F 31.374
Sig. .000
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
58
Multiple Comparisons Kekuatan_Tarik LSD (I)
(J)
95% Confidence Interval
Kode_F Kode_F Mean Difference ormula ormula
(I-J)
A
B
-47.33333
*
5.53775
.000
-60.1034
-34.5633
C
-15.66667
*
5.53775
.022
-28.4367
-2.8966
D
-1.66667
5.53775
.771
-14.4367
11.1034
A
47.33333
*
5.53775
.000
34.5633
60.1034
C
31.66667
*
5.53775
.000
18.8966
44.4367
D
45.66667
*
5.53775
.000
32.8966
58.4367
A
15.66667
*
5.53775
.022
2.8966
28.4367
B
-31.66667
*
5.53775
.000
-44.4367
-18.8966
D
14.00000
*
5.53775
.035
1.2299
26.7701
A
1.66667
5.53775
.771
-11.1034
14.4367
B
-45.66667
*
5.53775
.000
-58.4367
-32.8966
C
-14.00000
*
5.53775
.035
-26.7701
-1.2299
B
C
D
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
Lampiran 17. Data Statistik Uji Mekanik Elongasi One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Elongasi N Normal Parameters
12 a
Mean Std. Deviation
Most Extreme Differences
3.2583E2 8.06179E1
Absolute
.172
Positive
.172
Negative
-.164
Kolmogorov-Smirnov Z
.597
Asymp. Sig. (2-tailed)
.868
a. Test distribution is Normal.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
59
Test of Homogeneity of Variances Elongasi Levene Statistic 3.493
df1
df2 3
Sig. 8
.070
ANOVA Elongasi Sum of Squares Between Groups
Mean Square
F
62825.000
3
20941.667
8666.667
8
1083.333
71491.667
11
Within Groups Total
df
19.331
Sig. .001
Multiple Comparisons Elongasi LSD (I)
(J)
95% Confidence Interval
kode_fo kode_fo Mean Difference rmula
rmula
A
B
-156.66667
*
26.87419
.000
-218.6387
-94.6947
C
-100.00000
*
26.87419
.006
-161.9720
-38.0280
D
20.00000
26.87419
.478
-41.9720
81.9720
A
156.66667
*
26.87419
.000
94.6947
218.6387
C
56.66667
26.87419
.068
-5.3053
118.6387
D
176.66667
*
26.87419
.000
114.6947
238.6387
A
100.00000
*
26.87419
.006
38.0280
161.9720
B
-56.66667
26.87419
.068
-118.6387
5.3053
D
120.00000
*
26.87419
.002
58.0280
181.9720
A
-20.00000
26.87419
.478
-81.9720
41.9720
B
-176.66667
*
26.87419
.000
-238.6387
-114.6947
-120.00000
*
26.87419
.002
-181.9720
-58.0280
B
C
D
C
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
60
Lampiran 18. Data Statistik Uji Daya Mengembang One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test MENIT MENIT MENIT MENIT MENIT MENIT MENIT MENIT _1 N
_5 12
Normal Parameter
Mean
_10 12
_15
12
12
_30 12
_60
_90
12
12
_120 12
28.008 70.162 92.082 109.12 128.18 135.71 143.54 134.75 0
Std.
5
1
42
18
72
84
37
1.4634 1.9962 19.865 31.528 54.003 65.838 77.190 77.722
Deviation
0E1
6E1
17
17
29
73
84
35
Absolute
.137
.217
.232
.212
.217
.242
.229
.224
Positive
.137
.157
.232
.212
.217
.242
.229
.224
Negative
-.103
-.217
-.178
-.175
-.201
-.190
-.184
-.161
Kolmogorov-Smirnov Z
.475
.752
.803
.735
.753
.839
.793
.774
Asymp. Sig. (2-tailed)
.978
.624
.539
.653
.622
.482
.555
.586
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal.
Test of Homogeneity of Variances Levene Statistic
df1
df2
Sig.
MENIT_1
.780
3
8
.538
MENIT_5
6.056
3
8
.019
MENIT_10
6.480
3
8
.016
MENIT_15
4.203
3
8
.046
MENIT_30
7.798
3
8
.009
MENIT_60
9.800
3
8
.005
MENIT_90
1.709
3
8
.242
MENIT_120
1.336
3
8
.329
Ranks KODE_FORMULA MENIT_5
N
Mean Rank
A
3
2.00
B
3
8.33
C
3
10.67
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
61
D
3
Total MENIT_10
12
A
3
5.67
B
3
7.67
C
3
9.33
D
3
3.33
Total MENIT_15
12
A
3
8.00
B
3
8.33
C
3
6.00
D
3
3.67
Total MENIT_30
12
A
3
11.00
B
3
8.00
C
3
5.00
D
3
2.00
Total MENIT_60
5.00
12
A
3
11.00
B
3
8.00
C
3
4.00
D
3
3.00
Total
12
a,b
Test Statistics MENIT_5 Chi-Square df Asymp. Sig.
MENIT_10
MENIT_15
MENIT_30
MENIT_60
9.974
4.641
3.205
10.385
9.462
3
3
3
3
3
.019
.200
.361
.016
.024
a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: KODE_FORMULA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
62
ANOVA Sum of Squares MENIT_1
Between Groups
556.453
686.344
8
85.793
Total
2355.703
11
Between Groups
3737.771
3
1245.924
645.794
8
80.724
4383.565
11
379.570
3
126.523
Within Groups
3961.303
8
495.163
Total
4340.873
11
Between Groups
4258.296
3
1419.432
Within Groups
6675.983
8
834.498
Total
10934.278
11
Between Groups
25829.675
3
8609.892
6250.231
8
781.279
Total
32079.905
11
Between Groups
43382.889
3
14460.963
4299.233
8
537.404
Total
47682.122
11
Between Groups
64518.879
3
21506.293
1023.805
8
127.976
Total
65542.684
11
Between Groups
65183.227
3
21727.742
1265.176
8
158.147
66448.402
11
Total
MENIT_15
MENIT_30
Between Groups
Within Groups
MENIT_60
Within Groups
MENIT_90
Within Groups
MENIT_120
F
3
Within Groups
MENIT_10
Mean Square
1669.359
Within Groups
MENIT_5
df
Within Groups Total
(I)
(J)
Sig. 6.486
.016
15.434
.001
.256
.855
1.701
.244
11.020
.003
26.909
.000
168.050
.000
137.390
.000
95% Confidence Interval
KODE_F KODE_F Dependent
ORMUL ORMUL
Mean Difference
Variable
A
A
MENIT_1
A
B
-9.27573
7.56276
.255
-26.7155
8.1640
C
-28.83382*
7.56276
.005
-46.2736
-11.3941
(I-J)
Std. Error
Sig.
Lower Bound
Upper Bound
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
63
B
C
D
MENIT_5
A
B
C
D
MENIT_10
A
B
C
D
D
-25.51657*
7.56276
.010
-42.9563
-8.0768
A
9.27573
7.56276
.255
-8.1640
26.7155
C
-19.55809*
7.56276
.032
-36.9978
-2.1183
D
-16.24083
7.56276
.064
-33.6806
1.1989
A
28.83382*
7.56276
.005
11.3941
46.2736
B
19.55809*
7.56276
.032
2.1183
36.9978
D
3.31725
7.56276
.673
-14.1225
20.7570
A
25.51657*
7.56276
.010
8.0768
42.9563
B
16.24083
7.56276
.064
-1.1989
33.6806
C
-3.31725
7.56276
.673
-20.7570
14.1225
B
-32.18910*
7.33595
.002
-49.1058
-15.2724
C
-49.13630*
7.33595
.000
-66.0530
-32.2196
D
-26.96051*
7.33595
.006
-43.8772
-10.0438
A
32.18910*
7.33595
.002
15.2724
49.1058
C
-16.94720*
7.33595
.050
-33.8639
-.0305
D
5.22860
7.33595
.496
-11.6881
22.1453
A
49.13630*
7.33595
.000
32.2196
66.0530
B
16.94720*
7.33595
.050
.0305
33.8639
D
22.17579*
7.33595
.016
5.2591
39.0925
A
26.96051*
7.33595
.006
10.0438
43.8772
B
-5.22860
7.33595
.496
-22.1453
11.6881
C
-22.17579*
7.33595
.016
-39.0925
-5.2591
B
-1.48873
18.16889
.937
-43.3863
40.4088
C
-2.31223
18.16889
.902
-44.2098
39.5853
D
11.57961
18.16889
.542
-30.3179
53.4771
A
1.48873
18.16889
.937
-40.4088
43.3863
C
-.82350
18.16889
.965
-42.7210
41.0740
D
13.06834
18.16889
.492
-28.8292
54.9659
A
2.31223
18.16889
.902
-39.5853
44.2098
B
.82350
18.16889
.965
-41.0740
42.7210
D
13.89184
18.16889
.466
-28.0057
55.7894
A
-11.57961
18.16889
.542
-53.4771
30.3179
B
-13.06834
18.16889
.492
-54.9659
28.8292
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
64
MENIT_15
A
B
C
D
MENIT_30
A
B
C
D
MENIT_60
A
B
C
C
-13.89184
18.16889
.466
-55.7894
28.0057
B
20.61442
23.58669
.408
-33.7766
75.0054
C
35.30437
23.58669
.173
-19.0866
89.6954
D
51.10256
23.58669
.062
-3.2884
105.4936
A
-20.61442
23.58669
.408
-75.0054
33.7766
C
14.68995
23.58669
.551
-39.7011
69.0809
D
30.48813
23.58669
.232
-23.9029
84.8791
A
-35.30437
23.58669
.173
-89.6954
19.0866
B
-14.68995
23.58669
.551
-69.0809
39.7011
D
15.79818
23.58669
.522
-38.5928
70.1892
A
-51.10256
23.58669
.062
-105.4936
3.2884
B
-30.48813
23.58669
.232
-84.8791
23.9029
C
-15.79818
23.58669
.522
-70.1892
38.5928
B
73.59612*
22.82219
.012
20.9680
126.2242
C
109.08016*
22.82219
.001
56.4521
161.7082
D
117.67897*
22.82219
.001
65.0509
170.3070
A
-73.59612*
22.82219
.012
-126.2242
-20.9680
C
35.48405
22.82219
.159
-17.1440
88.1121
D
44.08286
22.82219
.090
-8.5452
96.7109
A
-109.08016*
22.82219
.001
-161.7082
-56.4521
B
-35.48405
22.82219
.159
-88.1121
17.1440
D
8.59881
22.82219
.716
-44.0293
61.2269
A
-117.67897*
22.82219
.001
-170.3070
-65.0509
B
-44.08286
22.82219
.090
-96.7109
8.5452
C
-8.59881
22.82219
.716
-61.2269
44.0293
B
87.97298*
18.92801
.002
44.3249
131.6210
C
144.61412*
18.92801
.000
100.9661
188.2622
D
149.08998*
18.92801
.000
105.4419
192.7380
A
-87.97298*
18.92801
.002
-131.6210
-44.3249
C
56.64114*
18.92801
.017
12.9931
100.2892
D
61.11700*
18.92801
.012
17.4689
104.7651
A
-144.61412*
18.92801
.000
-188.2622
-100.9661
B
-56.64114*
18.92801
.017
-100.2892
-12.9931
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
65
D
MENIT_90
A
B
C
D
MENIT_120
A
B
C
D
D
4.47586
18.92801
.819
-39.1722
48.1239
A
-149.08998*
18.92801
.000
-192.7380
-105.4419
B
-61.11700*
18.92801
.012
-104.7651
-17.4689
C
-4.47586
18.92801
.819
-48.1239
39.1722
B
118.25542*
9.23672
.000
96.9555
139.5553
C
183.39724*
9.23672
.000
162.0973
204.6972
D
175.55172*
9.23672
.000
154.2518
196.8516
A
-118.25542*
9.23672
.000
-139.5553
-96.9555
C
65.14182*
9.23672
.000
43.8419
86.4417
D
57.29629*
9.23672
.000
35.9964
78.5962
A
-183.39724*
9.23672
.000
-204.6972
-162.0973
B
-65.14182*
9.23672
.000
-86.4417
-43.8419
D
-7.84552
9.23672
.420
-29.1454
13.4544
A
-175.55172*
9.23672
.000
-196.8516
-154.2518
B
-57.29629*
9.23672
.000
-78.5962
-35.9964
C
7.84552
9.23672
.420
-13.4544
29.1454
B
118.30090*
10.26797
.000
94.6229
141.9789
C
170.50591*
10.26797
.000
146.8279
194.1839
D
189.10211*
10.26797
.000
165.4241
212.7801
A
-118.30090*
10.26797
.000
-141.9789
-94.6229
C
52.20501*
10.26797
.001
28.5270
75.8830
D
70.80121*
10.26797
.000
47.1232
94.4792
A
-170.50591*
10.26797
.000
-194.1839
-146.8279
B
-52.20501*
10.26797
.001
-75.8830
-28.5270
D
18.59620
10.26797
.108
-5.0818
42.2742
A
-189.10211*
10.26797
.000
-212.7801
-165.4241
B
-70.80121*
10.26797
.000
-94.4792
-47.1232
C
-18.59620
10.26797
.108
-42.2742
5.0818
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
66
Lampiran 19. Contoh Perhitungan Optimasi Pelepasan Metronidazol Diketahui : C1 : 9,857 ppm C2 : 15,593 ppm Faktor pengenceran : 50 Zat aktif yang dimasukkan : 240 mg Ditanya : a) Kadar obat yang terekstraksi (N1) pada waktu t1? b) Kadar obat yang terekstraksi (N2) pada waktu t2? c) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t1? d) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t2? Jawaban : a) Mencari kadar obat yang terekstraksi pada jam ke-1? N1 = C1 x FP x 100 ml = 9,857 ppm x 50 x 100 ml N1 = 49,28 mg
b) Mencari kadar obat yang terekstraksi pada jam ke-2? Faktor Koreksi = C1 x FP x 100 ml = 9,857 ppm x 50 x 5 ml = 2,464 mg N2 = (C1 x FP x 100 ml) + Faktor Koreksi t1 = (15,593 ppm x 50 x 100 ml) + 2,464 mg N2 = 80,429 mg
c) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t1? % Kadar = (N1/240 mg) x 100 = 20,53%
d) Persen kadar obat yang terekstraksi pada waktu t2 ? % Kadar = (N2/240 mg) x 100 = 33,51%
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
67
Lampiran 20. Contoh Perhitungan Kadar Metronidazol Diketahui : C : 17,233 ppm Faktor pengenceran : 50 Bobot Film : 254,7 mg Ditanya : a) Kadar ? b) % Kadar? Jawaban : a) Mencari kandungan zat aktif pada jam ke-1? N1 = C x FP x 100 ml = 17,233 ppm x 50 x 100 ml N1 = 86,165 mg
b) % Kadar = (N1/Bobot Film) x 100 = 33,82%
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
68
Lampiran 21. Sertifikat Analisis PVA
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
69
Lampiran 22. Sertifikat Analisis Metronidazol
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
70
Lampiran 23. Sertifikat Analisis Natrium Alginat
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA