UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL UMBI TALAS JEPANG (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TERBUKA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY
SKRIPSI
NURHAYATI NASUTION 1111102000125
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI AKTIVITAS EKSTRAK ETANOL UMBI TALAS JEPANG (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA TERBUKA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR SPRAGUE DAWLEY
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
NURHAYATI NASUTION 1111102000125
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JULI 2015
ABSTRAK
Nama
: Nurhayati Nasution
Program Studi
: Farmasi
Judul
:Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia
esculenta
(L.)
Schott
var.
antiquorum)
terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley
Luka terbuka yang tidak diobati berpotensi mengalami infeksi yang dapat menyebabkan kelumpuhan, infeksi kronik bahkan kematian. Umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, polifenol, triterpenoid, saponin, tarin, Zn, vitamin C dan A yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak etanol umbi talas jepang terhadap kecepatan penyembuhan luka. Hewan uji terdiri dari 20 ekor tikus galur Sprague Dawley yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan krim Lanakeloid-E®, kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim, kelompok uji yang diberikan krim ekstrak umbi talas jepang dengan 3 konsentrasi yang berbeda (1%, 5% dan 25%). Luka terbuka dibuat dengan metode Morton pada bagian dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus. Pemberian ekstrak dan pengamatan penyembuhan luka dilakukan selama 14 hari. Parameter yang diamati meliputi luas luka, persentase penyembuhan luka, waktu penyembuhan luka, keberadaan sel radang dan fibroblas, neokapilerisasi, kerapatan kolagen. Data luas luka dianalisa menggunakan Paired Sample T-Test. Hasil penelitian menunjukkan luas luka kelompok uji I berbeda signifikan pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (p 0,05), luas luka kelompok uji II dan III berbeda signifikan pada hari ke-6, 9 dan 12 (p 0,05), luas luka kelompok kontrol negatif berbeda signifikan hanya pada hari ke-6, 9 dan 12 (p 0,05), sedangkan luas luka kelompok kontrol positif berbeda signifikan pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (p 0,05). Hasil pengamatan mikroskopik menunjukkan neokapilerisasi, fibroblas dan kerapatan kolagen yang lebih tinggi terjadi pada kelompok uji I, II dan III, dibandingkan kelompok kontrol negatif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol umbi talas jepang dapat mempercepat penyembuhan luka dan aktivitas penyembuhan luka terbesar terjadi pada konsentrasi ekstrak 1%.
Kata Kunci : Umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum), luas luka, persentase penyembuhan luka, kecepatan penyembuhan luka.
v
ABSTRACT
Name
: Nurhayati Nasution
Program Study
: Pharmacy
Title
: Study of Effect of Ethanolic Extracts of Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum Tuber on the Open Wound Healing in Rats (Rattus norvegicus) Male Sprague-Dawley Strain
Untreated open wounds potentially causes infection that can lead to paralysis, chronic infection and even death. Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum tuber contain alkaloids, flavonoids, tannins, polyphenols, triterpenoids, saponins, tarin, Zn, vitamin C and A that can accelerate the wound healing process. The aim of this study is to evaluate the effect of ethanolic extract of taro tuber to the wound healing. Twenty Sprague Dawley rats were used as experimental animals which were divied into 5 groups; the control positive group that was treated with the Lanakeloid-E cream, the control negative group that was treated with the cream base, and three other groups were treated with the japanese taro tuber extract cream using 3 different concentrations (1%, 5% and 25%). Open wounds were made by using the Morton method on the dorsal part that was about 3 cm from the auricular rats. Treatments and observations of wound healing were conducted during 14 days. The parameters observed in this study included wounds area, the percentage of wound healing, wound healing time, the presence of inflammatory cells and fibroblasts, new formed capillaries and collagen density. Wounds area data were analyzed using the Paired Sample T-Test. The result showed that the area of the 1st trial group indicated significant differences on the 3rd, 6th, 9th, and 12th day (p ≤ 0.05), wounds area of the 2nd and 3rdtrial groups showed a significant difference on the 6th, 9th and 12th day (p ≤ 0, 05), wound area of the negative control group showed a significant difference on the 6th, 9th and 12th day (p ≤ 0.05), while the wound area of the positive control group differed significantly on the 3rd, 6th,9th and 12th(p ≤ 0.05 ). The result of microscopic observations showed that new formed capillaries, fibroblasts and collagen density were higher in the 1st, 2nd and the 3rdtrial groups than the negative control group. It can be concluded that the ethanolic extract of taro tuber can accelerate wound healing and the best wound healing activity occurred using the extract with 1% concentration.
Keywords: Taro tuber (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum), wounds area, the percentage of wound healing, and wound healing rate.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang tak pernah lelah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari lembah kegelapan menuju jalan yang terang benderang. Skripsi yang berjudul “Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley” disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Dr. Azrifitria, M. Si., Apt dan Bapak Syaikhul Aziz, M. Si., Apt, selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan arahan serta meluangkan waktu, tenaga, dan juga pikiran dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. 2. Bapak Drs.Umar Mansur, M.Sc., Apt dan Ibu Eka Putri,M.Si.,Apt selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan evaluasi dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Dr. Arief Sumantri, SKM.,M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Yardi, M. Si., Ph. D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Kedua orang tua tercinta, Bapak Khaidir Nasution dan Ibu Nuraimah Lubis, yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil, serta kasih sayang dan do’a tiada henti. Kepada kedua adikku tercinta, Adelia Nasution, dan Khairunnisak Nasution, yang selalu menghibur dan memberikan semangat serta do’a. 6. Keluarga besar yang selalu memberikan dukungan dan semangat. vii
7. Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 8. Para staf karyawan dan laboran Program Studi Farmasi yang telah banyak membantu berlangsungnya penelitian ini. 9. Sahabat-sahabatku di CSS Mora yang sama-sama berjuang dan mengemban tanggung jawab sebelum maupun setelah menyelesaikan pendidikan ini. 10. Sahabat-sahabatku Puspita, Nanda, Herlina, Ni’mah, Wina, Kiki Rambe, Bilqis, Fifi, Erlin, Mufidah,Qurry yang telah memberikan semangat dan pengalaman yang indah selama kuliah. 11. Teman yang berjuang bersama dalam berlangsungnya penelitian ini, Titis Mawarsari. 12. Teman-teman
Farmasi
angkatan
2011
yang
sama-sama
berjuang
menyelesaikan pendidikan ini. 13. Teman-teman Farmasi 2011 AC yang tidak membuat penulis menyesal telah menjadi bagian dari kalian. 14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian ini.
Ciputat, 6 Juli 2015
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ................................................................................... HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...................................... LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .................................................... ABSTRAK ................................................................................................... ABSTRACT ................................................................................................. KATA PENGANTAR ................................................................................. HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI................ DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR TABEL ....................................................................................... DAFTAR GAMBAR ................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.4 Hipotesis......................................................................................... 1.5 Manfaat Penelitian ......................................................................... BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 2.1.Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum .......................... 2.1.1 Klasifikasi Tanaman ............................................................. 2.1.2 Sinonim ................................................................................. 2.1.3 Morfologi Tanaman .............................................................. 2.1.4 Habitat Tanaman ................................................................... 2.1.5 Kandungan Kimia ................................................................. 2.1.6 Aktivitas Biologi ................................................................... 2.2.Ekstraksi ......................................................................................... 2.3.Tinjauan Hewan Percobaan............................................................ 2.3.1 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) ......................... 2.3.2 Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus) ............................. 2.4.Kulit ............................................................................................... 2.4.1 Anatomi Kulit ....................................................................... 2.4.1.1 Epidermis ................................................................... 2.4.1.2 Dermis........................................................................ 2.4.1.3 Subkutis ..................................................................... 2.4.2 Fisiologi Kulit ....................................................................... 2.4.2.1 Proteksi ...................................................................... 2.4.2.2 Sensasi ....................................................................... 2.4.2.3 Regulasi Suhu ............................................................ 2.4.2.4 Penyimpanan.............................................................. 2.4.2.5 Ekskresi...................................................................... 2.4.2.6 Sintesis Vitamin D ..................................................... 2.5.Luka................................................................................................ 2.5.1 Definisi Luka ......................................................................... x
i ii iii iv v vi vii ix x xiii xv xvi 1 1 3 4 4 5 6 6 7 7 7 8 8 9 10 12 12 12 14 14 14 15 15 16 16 16 16 17 17 17 17 17
2.5.2 Jenis-jenis luka ...................................................................... 2.5.3 Penyembuhan Luka ............................................................... 2.5.3.1 Prinsip Penyembuhan Luka ....................................... 2.5.3.2 Faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka ........ 2.5.3.3 Komplikasi penyembuhan luka ................................. 2.6.Krim ............................................................................................... 2.6.1 Pembuatan Krim.................................................................... 2.6.2 Formula Sediaan Krim .......................................................... BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................... 3.1 Tempat dan Waktu penelitian ........................................................ 3.2 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................. 3.2.1 Alat Penelitian ....................................................................... 3.2.2 Bahan Uji ............................................................................... 3.2.3 Bahan Kimia .......................................................................... 3.2.4 Hewan Uji .............................................................................. 3.3 Rancangan Penelitian ..................................................................... 3.4 Kegiatan Penelitian ........................................................................ 3.4.1 Pemeriksaan Simplisia (Determinasi) ................................... 3.4.2 Penyiapan Simplisia .............................................................. 3.4.3 Pembuatan Ekstrak ................................................................ 3.4.4 Standarisasi Ekstrak............................................................... 3.4.4.1 Penentuan Parameter Non Spesifik .............................. 3.4.4.2 Penentuan Parameter Spesifik ...................................... 3.4.5 Pembuatan Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ........... 3.4.6 Evaluasi Sediaan Krim .......................................................... 3.4.6.1 Uji Organoleptik........................................................... 3.4.6.2 Uji Homogenitas .......................................................... 3.4.7 Persiapan Hewan uji .............................................................. 3.4.8 Pemberian Perlakuan ............................................................. 3.4.8.1 Pembuatan Luka ........................................................... 3.4.8.2 Pemberian Bahan Uji ................................................... 3.4.9 Pengamatan Penyembuhan Luka ........................................... 3.4.10 Eksisi Jaringan Kulit Tikus ................................................. 3.4.11 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus .... 3.4.12 Pengamatan Preparat Histopatologi .................................... 3.4.13 Rencana Analisa Data ......................................................... BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 4.1 Hasil Penelitian .............................................................................. 4.1.1. Determinasi Tanaman ............................................................ 4.1.2. Ekstraksi ................................................................................ 4.1.3. Hasil Penapisan Fitokimia ..................................................... 4.1.4. Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik ......... 4.1.5. Hasil Evaluasi Sediaan Krim ................................................. 4.1.6. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus.................................... 4.1.7. Hasil Pengukuran Luas dan Persentase Penyembuhan Luka 4.1.8. Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi ............................. 4.2 Pembahasan ....................................................................................
xi
17 20 26 30 33 34 35 35 40 40 40 40 40 40 41 41 42 42 42 42 43 43 44 47 48 48 48 48 48 48 49 49 50 50 51 51 52 52 52 52 52 53 53 54 55 56 58
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 5.2 Saran ............................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
xii
69 69 69 70
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Data Biologis Tikus ...................................................................... Tabel 2. Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Perlakuan........... Tabel 3. Formula Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ....................... Tabel 4. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang .... Tabel 5. Hasil Penetuan Parameter Spesifik dan Parameter Non Spesifik . Tabel 6. Hasil Evaluasi Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang ............. Tabel 7. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus ........................................... Tabel 8. Rata-rata Luas Luka Tiap Kelompok ............................................ Tabel 9. Rata-rata Persentase Penyembuhan Luka Tiap Kelompok ........... Tabel 10. Hasil Pengamatan Parameter Histopatologi .................................. Tabel 11. Hasil Penapisan Fitokimia ............................................................ Tabel 12. Foto Luka Tikus Mulai Hari ke-0 Hingga Hari ke-14 .................. Tabel 13. Diameter, Luas dan Persentase Penyembuhan Luka Tiap Kelompok........................ ....................................................... ...... Tabel 14. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-0 dan 3 ............................................................................. Tabel 15. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-3 dan 6 ............................................................................. Tabel 16. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-6 dan 9 ............................................................................. Tabel 17. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-9 dan 12 ........................................................................... Tabel 18. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-0 dan 3 ............................................................................. Tabel 19. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-3 dan 6 ............................................................................. Tabel 20. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-6 dan 9 ............................................................................. Tabel 21. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-9 dan 12 ........................................................................... Tabel 22. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-0 dan 3 ... Tabel 23. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-3 dan 6 ... Tabel 24. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-6 dan 9 ... Tabel 25. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-9 dan 12 . Tabel 26. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-12 dan 14 Tabel 27. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-0 dan 3 .. Tabel 28. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-3 dan 6 .. Tabel 29. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-6 dan 9 .. Tabel 30. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-9 dan 12 Tabel 31. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-12 dan 14 ......................................................................... Tabel 32. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-0 dan 3 . Tabel 33. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-3 dan 6 Tabel 34. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-6 dan 9
xiii
13 41 47 52 53 53 54 55 55 56 84 90 93 95 95 96 96 96 97 97 97 98 98 98 99 99 100 100 100 101 101 102 102 102
Tabel 35. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-9 dan 12 .......................................................................... Tabel 36. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-12 dan 14 .........................................................................
xiv
103 103
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) ......
8
Gambar 2. Anatomi kulit......................................................................................
16
Gambar 3. Fase inflamasi pada penyembuhan luka .............................................
22
Gambar 4. Fase proliferasi pada penyembuhan luka ...........................................
23
Gambar 5. Fase remodelling pada penyembuhan luka ........................................
26
Gambar 6. Grafik rata-rata berat badan tikus tiap kelompok ..............................
54
Gambar 7. Grafik rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok ..........
55
Gambar 8. Botol Maserasi ..................................................................................
78
Gambar 9. Vacuum Rotary Evaporator ..............................................................
78
Gambar 10. Timbangan Analitik ........................................................................
78
Gambar 11. Tanur tinggi .....................................................................................
78
Gambar 12. Desikator .........................................................................................
78
Gambar 13. Ekstrak kental ..................................................................................
78
Gambar 14. Oven (Memmert) .............................................................................
78
Gambar 15. Umbi Talas Jepang ..........................................................................
78
Gambar 16. Pelarut Etanol 96% ..........................................................................
78
Gambar 17. Oven Vakum ...................................................................................
79
Gambar 18. Hot Plate .........................................................................................
79
Gambar 19. Alat Bedah .......................................................................................
79
Gambar 20. Krim Bahan Uji ...............................................................................
79
Gambar 21. Reagen Penapisan Fitokimia ...........................................................
79
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Alat dan Bahan ......................................................................... Lampiran 2. Prosedur kerja ........................................................................... Lampiran 3. Determinasi Tanaman Colocasia esculenta (L.) Schott ........... Lampiran 4. Skema Pembuatan Krim Ekstrak Umbi Talas Jepang .............. Lampiran 5. Alur Penelitian .......................................................................... Lampiran 6. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang Lampiran 7. Tahapan Pengukuran Diameter Luka dengan Aplikasi ImageJ Lampiran 8. Pemeriksaan Parameter Ekstrak ............................................... Lampiran 9. Luka Tikus Mulai Hari Ke-0 Hingga Hari ke-14 ..................... Lampiran 10.Diameter luka seluruh kelompok hewan uji ............................ Lampiran 11.Hasil Analisa Statistik Luas Luka ...........................................
xvi
78 80 81 82 83 84 87 89 90 93 95
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Luka adalah kerusakan fisik akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit
yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori & Solanki, 2011). Luka juga didefinisikan sebagai keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh yang dapat disebabkan trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan sengatan listrik atau gigitan hewan (R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong, 2005). Ketika terjadi perlukaan pada jaringan kulit, proses kesembuhan dan regenerasi sel terjadi secara otomatis sebagai respon fisiologis tubuh melalui tiga fase proses penyembuhan, yaitu fase inflamatori, fase proliferatif dan fase remodelling. Komponen yang berperan penting dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen, angiogenesis dan granulasi (Ferdinandez et al, 2013). Kecepatan penyembuhan luka tergantung dari luas dan kedalaman luka, serta ada tidaknya komplikasi yang mengganggu proses penyembuhan luka yang alami seperti pada orang yang berusia lanjut, pengobatan dengan steroid, dan yang menderita penyakit diabetes dan kanker (Gurtner et al, 2008). Luka terbuka yang tidak diobati memiliki potensi untuk mengalami infeksi seperti gangren dan tetanus. Jika infeksi dibiarkan, akan menyebabkan kelumpuhan, infeksi kronik, infeksi tulang, bahkan kematian. Oleh karena itu, penanganan yang tepat diperlukan untuk mengurangi terjadinya infeksi pada suatu luka. Luka infeksi merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada negara berkembang karena kebersihan yang buruk. Ketersediaan obat yang dapat mempercepat proses penyembuhan luka masih terbatas meskipun perkembangan industri obat sudah sangat maju (Meenakshi et al. 2012). Data infeksi luka pasca pembedahan pada 5 tahun terakhir (1995-2010) mencapai 1,2-23,6% di negara berpenghasilan rendah hingga menengah, sedangkan negara maju sekitar 1,2-5,2% dan Indonesia mencapai 7,1% (WHO, 2011). Infeksi menyebabkan 10.000 kematian setiap tahun terutama di asia dan
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
afrika (WHO, 2014) dan lebih dari 10.000 kasus tetanus terjadi di dunia pada tahun 2013 (WHO, 2014). Tujuan dari manajemen luka adalah menurunkan kejadian luka yang terinfeksi, penyembuhan luka dalam waktu sesingkat mungkin, dengan rasa sakit, ketidaknyamanan, dan luka parut yang minimal pada pasien (Soni & Akhlesh, 2012). Saat ini tidak ada substansi yang sangat efektif untuk mempercepat proses penyembuhan luka, sehingga perhatian meningkat dalam menemukan ekstrak tanaman
untuk
meningkatkan
regenerasi
penyembuhan
luka,
meskipun
penggunaan dari ekstrak tanaman untuk pengobatan luka umumnya baru merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat tradisional (Mathivanan et al, 2006). Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum termasuk dalam keluarga araceae yang umumnya dikenal sebagai talas satoimo/taro. Daun dan umbi tanaman ini umumnya digunakan sebagai makanan di beberapa negara seperti Jepang, Cina, India, Philippines dan lainnya (Wang, 1983). Umbi Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung alkaloid, steroid, lemak, fixed oil, flavonoid, tanin, protein dan karbohidrat, serat, kalsium, fosfor, zat bes, vitamin C, tiamin, riboflavin, niacin (Subhash et al, 2012). Jenis talas satoimo saat ini sedang gencar dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia karena potensi pasar ekspor untuk talas ini sangat besar, terutama di negara Jepang sebagai makanan pokok (Pudjiatmoko, 2008). Akan tetapi, penelitian terhadap potensi tanaman ini masih sedikit dilakukan di Indonesia. Penelitian terdahulu menggunakan ekstrak air daun Colocasia esculenta (L.) Schott menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mengandung senyawa polifenol yang berperan dalam penyembuhan luka. Senyawa polifenol memiliki aktivitas antioksidan yang dapat menekan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS) dan menghambat hyaluronidase sehingga melindungi sel-sel kulit dari kerusakan oksidatif dan mempercepat pemulihan luka pada tahap inflamasi (Girish & Kemparaju, 2007). Penelitian yang menggunakan ekstrak metanol daun Colocasia esculenta (L.) Schott menunjukkan bahwa ekstrak tersebut dapat meningkatkan aktivitas proliferasi sel NB1-RGB (normal human skin fibroblast cells) lebih dari 10% dan meningkatkan sintesis kolagen (Takahashi et al, 2012).
2
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Penelitian lainnya yang menggunakan ekstrak etanol tangkai daun Colocasia esculenta (L.) Schott menyimpulkan bahwa ekstrak tangkai daun talas berpotensi sebagai alternatif obat luka sayatan pada kulit kelinci. Tangkai daun Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung metabolit sekunder berupa saponin, flavonoid, tanin, alkaloid dan steroid yang berperan dalam menyembuhkan luka (Wijaya et al, 2014). Subhash et al (2012) menyimpulkan bahwa umbi Colocasia esculenta positif mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, fenol, triterpenoid, dan saponin. Kandungan metabolit sekunder ini kemungkinan berperan dalam penyembuhan luka seperti pada tangkai daunnya. Umbi Colocasia esculenta mengandung tarin yang merupakan protein lektin yang memiliki aktivitas proteolitik (Rao et al, 2010; Roxas, 2013). Menurut Priosoeryanto et al., (2006) lektin berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel kulit. Tarin diduga dapat mempercepat penyembuhan luka karena aktivitas proteolitiknya seperti papain yang efektif meluruhkan jaringan nekrotik, mencegah infeksi dan menstimulasi pembentukan jaringan granulasi pada luka melalui aktivitas enzim proteolitik yang dapat mengangkat jaringan mati tanpa merusak sel hidup (Roxas, 2013; Sidik & Salmah, 2005). Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa kandungan berbagai senyawa dalam umbi Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum dapat mempercepat penyembuhan luka. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh ekstrak Colocasia esculenta (L.) Schott terhadap kecepatan penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley dengan metode Morton selama 14 hari. Parameter yang akan dinilai dalam luka adalah luas luka, persentase penyembuhan luka, waktu penyembuhan luka dan parameter histopatologi seperti neokapilerisasi, keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen secara deskriptif.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian latar belakang, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah : 1. Apakah pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) mempengaruhi luas luka, persentase
3
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penyembuhan luka dan lamanya penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley? 2. Apakah pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) mempengaruhi neokapilerisasi, keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen pada penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley ?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menguji pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap luas luka, persentase penyembuhan luka dan lamanya penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley 2. Menguji pengaruh pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott
var. antiquorum) terhadap
neokapilerisasi,
keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen pada penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.
1.4
Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah 1. Pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dapat mengurangi luas luka, meningkatkan persentase penyembuhan luka dan mempersingkat waktu penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley 2. Pemberian ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dapat mengurangi keberadaan sel radang, meningkatkan neokapilerisasi, fibroblas dan kerapatan kolagen pada penyembuhan luka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
1.5
Manfaat Penelitian Memberikan informasi kepada masyarakat luas mengenai khasiat ekstrak
umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) yang mempercepat penyembuhan luka dan memberikan informasi yang dapat digunakan dalam pengobatan luka setelah pembedahan.
5
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum Talas (Colocasia esculenta L.Schott) merupakan tanaman herba yang
termasuk dalam famili Araceae Colocasia esculenta yang dikelompokkan menjadi 2 varietas, yaitu Colocasia esculenta var. esculenta (dasheen) dan Colocasia esculenta var. antiquorum (eddoe). Talas dasheen memiliki umbi tengah yang besar, sedangkan talas eddoe atau sering disebut talas satoimo memiliki umbi tengah yang kecil dengan banyak anak umbi di sekitarnya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa talas berasal dari daerah di Asia Selatan (India) atau Asia Tenggara (Malaysia), lalu menyebar ke Cina, Jepang, daerah Asia Tenggara lainnya, Kepulauan Pasifik, Afrika Barat, dan beberapa daerah di kawasan Caribia melalui migrasi penduduk (Onwueme, 1999). Menurut Purseglove (1992), talas eddoe terbentuk setelah mengalami perkembangan dan seleksi saat ditanam di Cina dan Jepang. Di Indonesia talas dapat dijumpai di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan, baik liar maupun budidaya (Fitriani, 2013). Jenis talas satoimo saat ini sedang gencar dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia karena potensi pasar ekspor untuk talas ini sangat besar, terutama di Jepang yang setengah dari jumlah penduduknya mengkonsumsi talas satoimo sebagai makanan pokok (Pudjiatmoko, 2008). Sifat umum talas-talasan adalah rasanya yang menggigit dan getahnya yang menyebabkan iritasi. Rasa menggigit disebabkan oleh adanya rasa membakar atau pahit yang diakibatkan oleh senyawa yang masih belum diketahui, yang mungkin berupa glukosida atau protein dan adanya getah iritan. Getah iritan adalah senyawa yang mengandung struktur kalsium oksalat halus berbentuk serupa jarum yang dihasilkan oleh sel khusus dan jika dikonsumsi akan menusuk dan melukai jaringan mulut dan lidah. Hal ini juga menyebabkan sensasi yang sama saat terkena kulit (Wang, 1983). Rasa
menggigit
dapat
dihilangkan
dengan
proses
denaturasi
(pemasakan/pemanasan) umbi sebelum dikonsumsi, dimana dengan proses
6
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
denaturasi tersebut akan dapat menonaktifkan penghambat tripsin yang dikandung oleh umbi talas (Rubatzky & Yamaguchi, 1995).
2.1.1
Klasifikasi Tanaman (Koawara, 2013) Dalam taksonomi, kedudukan Colocasia esculenta (L.) Schott dapat
diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Arales
Famili
: Araceae
Genus
: Colocasia
Species
: Colocasia esculenta (L.) Schott
2.1.2
Sinonim Talas memiliki berbagai nama umum di seluruh dunia, yaitu taro
(English); alavi, patarveliya (Gujarati); arvi, kachalu (Hindi); alu (Marathi); alupam, alukam (Sanskrit); dan sempu (Tamil) (Prajapati, 2011), Old cocoyam, Abalong, Taioba, Keladi, Satoimo, Tayoba, dan Yu-tao (Koawara, 2013).
2.1.3
Morfologi Tanaman Tanaman talas mempunyai sistem perakaran serabut, liar dan pendek.
Umbi mempunyai jenis bermacam-macam. Umbi dapat mencapai 4 kg atau lebih, berbentuk silinder atau bulat, berwarna coklat. Daunnya berbentuk perisai atau hati, lembaran daunnya 20-50 cm panjangnya, dengan tangkai mencapai 1 m panjangnya, warna pelepah bermacam-macam. Pembungaan terdiri atas tongkol, seludang dan tangkai. Bunga jantan dan bunga betina terpisah berada di bawah, bunga jantan di bagian atasnya dan pada puncaknya terdapat bunga mandul. Bunga bertipe buah buni, bijinya banyak, berbentuk bulat telur dan panjangnya 2 mm (Telaumbanua, 2005).
7
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 1. Talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) (Sumber : Deo, 2009)
2.1.4
Habitat Tanaman Tanaman talas dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai
dataran tinggi yang berketinggian ± 1300 meter dpl (diatas permukaan laut). Lingkungan tumbuh yang idealuntuk tanaman talas bersuhu 21-27C dengan kelembaban udara 50-90%, mendapat sinar matahari langsung dan bercurah hujan 240 mm/tahun. Di daerah yang berketinggian ± 250 meter dpl. Dan beriklim basah sehingga dapat berproduksi dengan baik dan berkualitas prima (Rukmana, 1998).
2.1.5
Kandungan Kimia Daun Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung senyawa fenol, tanin,
saponin, steroid, quinon, selulosa, terpenoid, glikosida dan alkaloid (Dhanraj, 2013), mineral dan vitamin seperti kalsium, fosfor, zat bes, vitamin C, tiamin, riboflavin dan niacin (Sharma et al, 2001). Tangkai daun Colocasia esculenta (L.) Schott mengandung metabolit sekunder berupa saponin, flavonoid, tanin, alkaloid dan steroid (Wijaya et al, 2014). Umbi Colocasia esculenta (L.) Schott memiliki kandungan flavonoid, triterpenoid, tanin, saponin, alkaloid, tarin, protein, rosmarinic acid, 1-O-feruloylD-glucoside,
1-O-caffeoyl-D-glucoside, Zn, vitamin C dan A (Okeke & Iweala,
2007; Rukmana’ 2002; Fasuyi 2005). Flavonoid yang terkandung dalam Colocasia esculenta (L.) Schott adalah orientin, isoorientin, vitexin, isovitexin, luteolin-7-O-glucoside, dan luteolin-7-O-rutinoside (Li et al, 2014). 8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Umbi taro (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) mengandung kalsium 0,013%, fosfat 0,032%, besi 0,0015%, lemak 0,07%, karbohidrat 15, 34%, serat 0,63%, kadar air 81,4% (Chung, 1929), protein 1,44% (Derstine & Rada, 1952), riboflavin (B2) 0,17 µg/g, thiamin (B1) 0,84 µg/g, niacin (B3) 6,4 µg/g (Bauer et al. 1951), antosianin, kalsium oksalat, dan alkaloid (Arditti et al. 1979 ; Strauss et al. 1980). Umbi Colocasia esculenta mengandung tarin yang merupakan protein utama yang terkandung dalam umbi taro sekitar 40% dari total protein umbi (Rao et al, 2010; Roxas, 2013). Umbi talas jepang mengandung beberapa mineral terutama natrium (740 mg/100g), magnesium (79-122 mg/100g), kalsium (24.7-47.8 mg/100g) dan kalsium (42mg/100g) serta mengandung Zn (3,05 mg/100g) dan Besi (2,07 mg/100g) (McEwan, 2008)
2.1.6
Aktivitas Biologi Colocasia esculenta (L.) Schott memiliki aktivitas antifungi, antikanker,
efek hipoglikemik dan hipolipidemia, anti inflamasi (Prajapati, 2011), antidiabetes, antimikroba, antihepatotoksik, antioksidan (Halligudi, 2013), dan efektif terhadap bakteri gram positif seperti Streptococcusmutans, Bacillus subtilis, bakteri gram negatif seperti Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas fragi dan fungi seperti Aspergillus niger dan Candida albicans (Halligudi, 2013). Daun Colocasia esculenta (L.) Schott efektif terhadap Salmonella typhi, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, Bacillus subtilis, Proteus vulgaris dan E.coli, hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun tanaman ini dapat digunakan untuk mengobati typhoid, Pneumonia, Otitis, infeksi saluran kemih dan diare (Dhanraj et al, 2013). Dalam suatu penelitian terhadap daun Colocasia esculenta, Girish & Kemparaju menjelaskan bahwa ekstrak daun Colocasia esculenta berpotensi menginhibisi hyaluronidase, yang merupakan enzim yang berperan dalam homeostasis tubuh. Pada jaringan yang dapat berfungsi normal, keseimbangan antara sintesis dan degradasi asam hialuronat (HA) memiliki peran penting. Asam hialuronat dengan berat molekul tinggi terdegradasi secara ekstraseluler oleh HAse. Secara non enzimatik, HA terdegradasi oleh oksigen reaktif (ROS).
9
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Hyaluronidase merupakan endoglukosaminidase, sedangkan ROS mendegrasi HA melalui ikatan glikosidik internal (Gonçalves et al, 2013). Menurut Mio & Stern, dalam proses penyembuhan luka yang tidak seimbang, terjadi peningkatan inflamasi akibat akumulasi fragmen HA, maka inhibitor hialuronidase sangat penting untuk mencegah akumulasi fragmen asam hialuronat dengan berat molekul tinggi (LMWHA) dan kondisi inflamasi yang berkepanjangan (Gonçalves et al, 2013). Kandungan tarin dalam umbi taro merupakan protein lektin yang memiliki aktivitas proteolitik seperti papain pada Carica papaya dan bromelin pada Ananas Comusus. Menurut Priosoeryanto et al., (2006) kandungan lektin dalam getah pelepah pisang berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel kulit.
2.2
Ekstraksi Menurut Ditjen POM (2000), ekstraksi adalah kegiatan penarikan
kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lainlain (Ditjen POM, 2000). Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 2000). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut, yaitu (Ditjen POM, 2000) : a. Cara dingin 1.
Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi yang dilakukan pengadukan secara terus-menerus disebut maserasi kinetik sedangkan yang dilakukan pengulangan panambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan terhadap maserat pertama dan seterusnya disebut remaserasi.
10
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.
Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pelembaman bahan, tahap perendaman antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) terus-menerus sampai diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
b. Cara panas 1.
Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
2.
Digesti Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada temperatur 40-50°C.
3.
Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga menjadi ekstraksi kontinu dengan pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
4.
Infusa Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.
5.
Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.
Faktor yang berpengaruh pada mutu ekstrak adalah (Depkes RI, 2000) : 1. Faktor biologi, mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat), dipandang secara khusus dari segi biologi yaitu identitas jenis, lokasi tumbuhan asal, periode pemanenan, penyimpanan bahan, umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.
11
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Faktor kimia, mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat), dipandang secara khusus dari kandungan kimia, yaitu : a.
Faktor internal, seperti jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, kadar total rata-rata senyawa aktif.
b.
Faktor eksternal, seperti metode ekstraksi perbandingan ukuran alat ekstraksi, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam berat, ukuran kekerasan, dan kekeringan bahan.
2.3
Tinjauan Hewan Percobaan
2.3.1
Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Menurut Krinke (2000) klasifikasi Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah
sebagai berikut : Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Class
: Mammalia
Order
: Rodentia
Family
: Muridae
Genus
: Rattus
Species
: Rattus norvegicus
2.3.2
Biologis Tikus Putih (Rattus norvegicus) Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pangamatan laboratorium. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding dengan mamalia lainnya Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama reproduksi 1 tahun. Kelompok tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika Serikat antara tahun 1877 dan 1893. Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus
12
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran cukup besar sehingga memudahkan pengamatan. Secara umum, berat badan tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35-40 g, dan berat dewasa rata-rata 200-250 g, tetapi bervariasi tergantung pada galur. Galur Sprague Dawley merupakan galur yang paling besar diantara galur yang lain. Terdapat beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-galur tersebut antara lain : Wistar, Sprague Dawley, Long Evans, dan Holdzman. Dalam penelitian ini digunakan galur Sprague Dawley dengan ciri-ciri berwarna putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988). Tikus ini pertama kali diproduksi oleh peternakan Sprague Dawley. Tikus Sprague Dawley merupakan jenis outbred tikus albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya. Adapun data biologis tikus sebagai berikut : Tabel 1. Data Biologis Tikus (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988) Lama hidup Lama produksi ekonomis Lama bunting Umur dewasa Umur dikawinkan Siklus kelamin Siklus estrus (berahi Lama estrus Perkawinan Ovulasi Ferilisasi Implantasi Berat dewasa Suhu (rektal) Pernapasan Denyut jantung
2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun 1 tahun 20-22 hari 40-60 hari 8-10 minggu (jantan dan betina) Poliestrus 4-5 hari 9-20 jam Pada waktu estrus 8- 11 jam sesudah timbul estrus, spontan 7-10 jam sesudah kawin 5-6 hari sesudah fertilisasi 300-400 g jantan; 250-300 g betina 36-39oC (rata-rata 37,5oC) 65-115/menit, turun menjadi 50 dengan anestesi, naik sampai 150 dalam stress 330-480/menit, turun menjadi 250 dengan 13
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tekanan Darah Konsumsi oksigen Sel darah merah Sel darah putih SGPT SGOT Kromosom Aktivitas Konsumsi makanan Konsumsi minuman 2.4
Kulit
2.4.1
Anatomi Kulit
anestesi, naik sampai 550 dalam stress 90-180 sistol, 60-145 diastol, turun menjadi 80 sistol, 55 diastol dengan anestesi 1,29-2,68 ml/g/jam 7,2-9,6 x 106/mm3 5,0-13 0 x 103/mm3 17,5-30,2 lU/liter 45,7-80,8 IU/liter 2n=42 nokturnal (malam) 15-30 g/hari (dewasa) 20-45 ml/hari (dewasa)
Kulit adalah organ tubuh terbesar yang membentuk 15% berat badan total. (Gibson, 2002) Kulit terdiri dari tiga lapisan yang masing-masing terdiri dari berbagai jenis sel dan memiliki fungsi yang bermacam-macam. Ketiga lapisan tersebut adalah epidermis, dermis, dan subkutis (Wasiatmadja & Syarif, 2007).
2.4.1.1 Epidermis Epidermis merupakan lapisan terluar terutama terdiri dari epitel skuamosa bertingkat. Sel-sel yang menyusunnya secara berkesinambungan dibentuk oleh lapisan germinal dalam epitel silindris dan mendatar ketika didorong oleh sel-sel baru ke arah permukaan, tempat kulit terkikis oleh gesekan. Lapisan luar mengandung keratin, protein bertanduk, hanya sedikit darinya pada permukaan tubuh yang terpajan untuk terpakai dan terkikis, seperti pada permukaan dalam lengan, paha dan lebih banyak lagi pada permukaan ektensor, lapisan ini terutama tebal pada kaki (Gibson, 2002). Lapisan ini terdiri atas: a. Stratum corneum (lapisan tanduk) Terdiri atas beberapa lapis sel yang pipih, mati, tidak memiliki inti, tidak mengalami proses metabolisme, tidak berwarna dan sangat sedikit mengandung air. Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin, yaitu jenis protein yang tidak larut dalam air dan sangat resisten terhadap bahan-
14
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bahan kimia. Hal ini berkaitan dengan fungsi kulit untuk memproteksi tubuh dari pengaruh luar. b. Stratum lucidum (lapisan jernih) Berada tepat di bawah stratum corneum. Merupakan lapisan yang tipis, jernih. Lapisan ini tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki. c. Stratum granulosum (lapisan berbutir-butir) Tersusun oleh sel-sel keratinosit yang berbentuk poligonal, berbutir kasar, berinti mengkerut. d. Stratum spinosum (lapisan malphigi) Sel berbentuk kubus dan seperti berduri, intinya besar dan oval. Setiap sel berisi filamen-filamen kecil yang terdiri atas serabut protein. e. Stratum germinativum (lapisan basal) Adalah lapisan terbawah epidermis. Di lapisan ini juga terdapat sel-sel melanosit yaitu sel yang membentuk pigmen melanin.
2.4.1.2 Dermis Dermis adalah lapisan yang terdiri dari kolagen, jaringan fibrosa dan elastin. Lapisan superfisial menonjol ke dalam epidermis berupa sejumlah papila kecil. Lapisan yang lebih dalam terletak pada jaringan subkutan. Lapisan ini mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf (Gibson, 2002).
2.4.1.3 Subkutis Lapisan subkutis kulit terletak dibawah dermis. Lapisan ini terdiri dari lemak dan jaringan ikat dan berfungsi sebagai peredam kejut dan insulator panas. Lapisan subkutis adalah tempat penyimpanan kalori. Di lapisan ini terdapat ujungujung saraf tepi, pembuluh darah dan saluran getah bening (Wasiatmaja & Syarif, 2007).
15
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2. Anatomi kulit (Sumber : Kolarsick, 2011)
2.4.2
Fisiologi Kulit
2.4.2.1 Proteksi Kulit merupakan barrier fisik antara jaringan di bawahnya dan lingkungan luar. Kulit memberikan perlindungan dari abrasi, dehidrasi, radiasi ultraviolet, dan invasi mikroorganisme (Gunstream, 2000). Sebagian besar mikroorganisme mengalami kesulitan untuk menembus kulit yang utuh tetapi dapat masuk melalui kulit yang luka dan lecet. Selain proteksi yang diberikan oleh lapisan tanduk, proteksi tambahan diberikan oleh keasaman keringat dan adanya asam lemak dalam sebum, yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme (Gibson, 2002).
2.4.2.2 Sensasi Kulit terdiri dari ujung saraf dan reseptor yang dapat mendeteksi stimulus yang berhubungan dengan sentuhan, tekanan, temperatur dan nyeri. (Gunstream, 2000). Sensasi raba, nyeri, perubahan suhu dan tekanan pada kulit dan jaringan subkutan, ditransmisikan melalui saraf sensorik menuju medula spinalis dan otak (Gibson, 2002).
2.4.2.3 Regulasi Suhu Selama periode kelebihan produksi panas oleh tubuh, sekresi keringat dan evaporasi melalui permukaan tubuh membantu menurunkan temperatur tubuh (Gunstream, 2000). 16
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.4.2.4 Penyimpanan Kulit bekerja sebagai tempat penyimpanan air dan lemak, yang dapat ditarik berdasarkan kebutuhan (Gibson, 2002).
2.4.2.5 Ekskresi Produksi keringat oleh kelenjar keringat menghilangkan sisa-sisa metabolisme dalam jumlah kecil seperti garam, air, dan senyawa organik (Gunstream, 2000).
2.4.2.6 Sintesis vitamin D Pajanan terhadap radiasi ultraviolet dapat mengkonversi molekul prekursor (7-dihidroksi kolesterol) dalam kulit menjadi vitamin D. Namun, hal tersebut tidak dapat menyediakan vitamin D secara keseluruhan bagi tubuh, sehingga pemberian vitamin D secara sistemik masih diperlukan (Gunstream, 2000; Wasiatmaja & Syarif, 2007).
2.5
Luka
2.5.1
Definisi Luka Luka adalah rusak dan hilangnya sebagian jaringan kulit yang terjadi
akibat gangguan secara fisik. Luka diklasifikasikan dalam dua kategori umum yaitu akut dan kronis. Luka akut proses perbaikannya terjadi secara rapi, tepat waktu dan terus-menerus sebagai hasil pemulihan anatomi dan fungsional kulit. Luka kronis merupakan luka yang proses penyembuhannya lama terjadi karena adanya kegagalan dalam proses penyembuhan misalnya luka pada diabetes dan ulkus vena (Schwartz and Daly, 1999).
2.5.2
Jenis-jenis luka Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana terjadinya luka dan
menunjukkan derajat luka. 1. Berdasarkan tingkat kontaminasi (Prabakti, 2005) a.
Clean Wounds (Luka bersih), yaitu luka bedah tak terinfeksi, tidak terjadi proses
peradangan
17
(inflamasi).
Luka bersih
biasanya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
menghasilkan luka yang tertutup. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%. b.
Clean-contamined Wounds (Luka bersih terkontaminasi), merupakan luka pembedahan dimana saluran respirasi, pencernaan, genital atau perkemihan dalamkondisi terkontrol, kontaminasi tidak selalu terjadi, kemungkinan timbulnya infeksiluka adalah 3% - 11%.
c.
Contamined Wounds (Luka terkontaminasi), termasuk luka terbuka, fresh, luka akibat kecelakaan dan operasi dengan kerusakan besar dengan teknik aseptik atau kontaminasi dari saluran cerna; pada kategori ini juga termasuk insisi akut, inflamasi nonpurulen. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
d.
Dirty or Infected Wounds (Luka kotor atau infeksi), yaitu terdapatnya mikroorganisme pada luka.
2. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka (Prabakti, 2005) a.
Stadium I : Luka “Superfisial” (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis kulit.
b.
Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan bagian atas dari dermis, adanya tanda klinis seperti lubang yang dangkal.
c.
Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Luka sampai pada lapisan epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
d.
Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan adanya kerusakan yang luas.
3. Berdasarkan waktu penyembuhan luka (Prabakti, 2005) a.
Luka akut: luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan yang telah disepakati. Kriteria luka akut adalah luka baru, mendadak dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan, contoh: luka sayat, luka bakar, luka tusuk.
18
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b.
Luka kronis: luka yang mengalami kegagalan dalam penyembuhan, dapat terjadi karena faktor endogen dan eksogen. Pada luka kronik gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon baik terhadap terapi dan punya tendensi timbul kembali, contoh: ulkus dekubitus, ulkus diabetik, ulkus venous dan lain-lain.
4. Berdasarkan Penyebab (Taylor,1997) a.
Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.
b.
Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur.
c.
Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.
d.
Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
e.
Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
f.
Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan
19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa. 5. Berdasarkan mekanisme terjadinya luka (Prabakti, 2005) a.
Luka insisi (Incised wounds), terjadi karena teriris oleh instrumen yang tajam. Misalnya yang terjadi akibat pembedahan. Luka bersih (aseptik) biasanya tertutup oleh sutura setelah seluruh pembuluh darah yang luka diikat.
b.
Luka memar (Contusion Wound), terjadi akibat benturan oleh suatu tekanan dan dikarakteristikkan oleh cedera pada jaringan lunak, perdarahan dan bengkak.
c.
Luka lecet (Abraded Wound), terjadi akibat kulit bergesekan dengan benda lain yang biasanya dengan benda yang tidak tajam.
d.
Luka tusuk (Punctured Wound), terjadi akibat adanya benda, seperti peluru atau pisau yang masuk kedalam kulit dengan diameter yang kecil.
e.
Luka gores (Lacerated Wound), terjadi akibat benda yang tajam seperti oleh kaca atau oleh kawat.
f.
Luka tembus (Penetrating Wound), yaitu luka yang menembus organ tubuh biasanya pada bagian awal luka masuk diameternya kecil tetapi pada bagian ujung biasanya luka akan melebar.
g.
Luka Bakar (Combustio).
h.
Luka gigitan hewan, disebabkan karena adanya gigitan dari hewan liar atau hewan piaraan. Hewan liar yang biasanya mengigit adalah hewan yang ganas dan pemakan daging, yaitu dalam usaha untuk membela diri. Luka gigitan dapat hanya berupa luka tusuk kecil atau luka compang camping luas yang berat.
i.
Luka Eksisi (Excised wound), luka yang diakibatkan terpotongnya jaringan oleh goresan benda tajam (Partogi, 2008).
2.5.3
Penyembuhan Luka Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan
mamulihkan
dirinya.
Peningkatan
aliran
20
darah
kedaerah
yang
rusak,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
membersihkan sel dan benda asing serta perkembangan awal seluluer bagian dari proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area luka yang bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan,dapat membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan (Taylor,1997). Penyembuhan luka didefinisikan oleh Wound Healing Society (WHS) sebagai suatu yang kompleks dan dinamis sebagai akibat dari pengembalian kontinitas dan fungsi anatomi. Berdasarkan WHS suatu penyembuhan luka yang ideal adalah kembali normalnya struktur , fungsi dan anatomi kulit. Batas waktu penyembuhan luka ditentukan oleh tipe luka dan lingkungan instrinsik maupun ekstrinsik. Penyembuhan luka bisa berlangsung cepat. Pada luka bedah dapat diketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari kelima sampai ketujuh post operasi (Black & Jacobs, 1997). Proses penyembuhan luka yang alami (Kozier, 1995 & Taylor, 1997) : a)
Fase inflamasi atau lag Phase Proses penyembuhan terjadi sejak awal pada saat terjadi luka, fase inflamasi terjadi pada hari 0-5. Luka trauma atau luka pembedahan mengakibatkan kerusakan pada struktur jaringan dan mengakibatkan perdarahan.
Trombosit
dan
sel-sel
radang
ikut
keluar.
Trombosit
mengeluarkan prostaglandin, tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino tertentu yang mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah dan kemotaksis terhadap leukosit. Terjadi vasokonstriksi dan proses penghentian darah. Sel redang keluar dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis.
Sel
mast
mengeluarkan
serotonin
dan
histamin
yang
meningkatkan permeabilitas kapiler, hal ini meyebabkan terjadi eksudasi cairan edema dan kemudian menimbulkan pembengkakan dan nyeri pada awal terjadinya luka. Dengan demikian timbul tanda-tanda radang. Leukosit, limfosit dan monosit menghancurkan dan memakan kotoran maupun kuman (proses pagositosis).
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Leukosit PMN adalah sel pertama yang menuju ketempat luka . Jumlahnya meningkat cepat dan mencapai puncaknya pada 24-48 jam. Fungsi utamanya adalah melakukan fagositosis bakteri yang masuk. Pada penyembuhan luka normal kehadiran sel-sel ini tidak begitu penting. Adanya sel ini menunjukkan bahwa luka terkontaminasi bakteri. Bila tidak terjadi infeksi PMN berumur pendek dan jumlahnya menurun cepat setelah hari ketiga (Mulyata, 2002). Makrofag merupakan komponen imun seluler yang muncul pada tahap selanjutnya. Makrofag muncul pertama 48-96 jam setelah terjadinya luka dan mencapai puncak pada hari ke-3. Dibandingkan dengan leukosit PMN makrofag berumur lebih panjang dan tetap ada didalam luka sampai proses penyembuhan luka berjalan sempurna. Setelah makrofag akan muncul limfosit T dengan jumlah bermakna pada hari ke-5 dan mencapai puncaknya pada hari ke-7. Berbeda dengan sel PMN, makrofag dan limfosit T penting keberadaannya pada penyembuhan luka normal. Sama halnya dengan neutrofil, makrofag melakukan fagositosis dan mencerna organismeorganisme patologis dan jaringan sisa. Disamping itu makrofag juga melepaskan faktor pertumbuhan dan sitokin
yang mengawali
dan
mempercepat formasi jaringan granulasi (Contran et al, 1999). Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka sehingga di sebut fase tertinggal (lag phase).
Gambar 3. Fase inflamasi pada penyembuhan luka (Sumber : Gurtner, 2007)
b) Fase proliferasi atau fibroblast Fase ini terjadi pada hari ke 3-14. Bila tidak ada kontaminasi atau infeksi yang bermakna, fase inflamasi akan berlangsung pendek. Terjadi
22
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
proses proliferasi dan pembentukan fibroblas (menghubungkan sel-sel) yang berasal dari sel-sel mesenkim. Fibroblas muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-7. Fibroblas menghasilkan mukopolisakarida dan serat kolangen yang terdiri
dari
asam-asam
amino
glisin,
prolin
dan
hidroksiprolin.
Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-serat kolangen yang akan mempertautkan tepi luka. Fibroblas memproduksi kolagen dalam jumlah yang besar, kolagen ini berupa glikoprotein berantai tripel, unsur utama matriks luka ekstraseluler yang sangat berguna untuk membentuk kekuatan pada jaringan parut. Kolagen pertama kali terdeteksi pada hari ke-3 setelah luka, meningkat terus sampai minggu ke-3. Pada awalnya penumpukan kolagen terjadi berlebihan kemudian fibril kolagen mengalami reorganisasi sehingga terbentuk jaringan reguler sepanjang luka. Fibroblas juga menyebabkan matriks fibronektin, asam hialuronik dan glikos aminoglikan (Contran et al, 1999). Serat-serat baru dibentuk, diatur, mengkerut, yang tak diperlukan dihancurkan, dengan demikian luka mengkerut/mengecil. Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru, membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi. Proses revaskularisasi luka terjadi secara bersamaan dengan fibroplasia. Tunas-tunas kapiler tumbuh dari pembuluh darah yang berdekatan dengan luka, tunas- tunas kapiler ini bercabang di ujung kemudian bersatu membentuk lengkung kapiler dimana darah kemudian mengalir. Tunas-tunas baru akan muncul dari lengkung kapiler membentuk pleksus kapiler. Faktor-faktor terlarut yang menyebabkan angiogenesis belum diketahui sepenuhnya. Diperkirakan proses ini terjadi dari kombinasi proses proliferasi dan migrasi. Mediator terbentuknya sel pertumbuhan ini dan kemotaksis termasuk sitokin yang dihasilkan trombosit , makrofag dan limfosit pada luka. Tekanan oksigen yang rendah, terbentuknya asam laktat dan amin biogenik merupakan stimulan potensial terbentuknya sitokin dan growth factor seperti platelet – derived growth factor ( PDGF ), endothelin,
23
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
vascular endothelial growth factor ( VEGF ), FGF. Beberapa sitokin yang dilepaskan oleh makrofag serta terlibat dalam proses penyembuhan yaitu : TNF , IL 1, IL 6, IL 8 dan TGF β. Peran TGF β dalam proses penyembuhan luka adalah meningkatkan matrik ekstra seluler ( ECM ) dan meningkatkan kolagenasi. Proses yang telah diuraikan sebelumnya merupakan proses pada fase proliferasi didalam luka, sementara itu pada permukaan luka juga akan terjadi restorasi integrasi epitel. Reepitelisasi terjadi beberapa jam setelah luka. Pada tepi luka epidermis segera mendekati tepi luka dan menebal. Sel marginal basalis mulai mengalami migrasi sepanjang serat-serat fibrin dan berhenti ketika tepi luka sudah kontak. Pada tingkat seluler seluruh luka telah mengalami epitelisasi pada kurang dari 48 jam. Stimulator reepitelisasi sampai saat ini belum diketahui secara lengkap. Faktor-faktor yang diduga berperan adalah EGF, TGF
, bFGF, PDGF dan IGF. Proses epitelisasi terus
berulang ketika permukaan epitel sudah menebal. Fibroblas akan muncul pada bagian dalam luka, selanjutnya diproduksi kolagen (Contran et al, 1999). Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya dan pindah menutupi dasar luka, tempat diisi hasil mitosis sel lain. Proses migrasi epitel hanya berjalan kepermukaan yang rata atau lebih rendah dan tidak dapat naik, pembentukan jaringan granulasi berhenti setelah seluruh permukaan luka tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan penyembuhan luka, terjadi penyatuhan kembali, penyerapan yang berlebih.
Gambar 4. Fase proliferasi pada penyembuhan luka (Sumber : Gurtner, 2007)
24
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
c)
Fase remondelling atau fase maturasi Fase ini berlangsung dari hari ke -7 sampai dengan 1 tahun. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit maupun gatal. Berlangsung dengan sintesis kolagen oleh fibroblas hingga struktur luka menjadi utuh. Setelah matriks ekstra sel terbentuk, dimulailah reorganisasi. Matriks ekstra sel pada mulanya kaya akan fibronektin. Hal ini tidak hanya menghasilkan migrasi sel substratum dan pertumbuhan sel ke dalam tetapi juga menyebabkan penumpukan kolagen oleh fibroblas. Terbentuknya asam hialuronidase dan proteoglikan dengan berat molekul besar berperan pada pembentukan matriks ekstraseluler dengan konsistensi seperti gel dan membantu infiltrasi seluler. Kolagen selanjutnya berkembang cepat menjadi faktor utama yang membentuk matriks. Pada awalnya serabut kolagen terdistribusi secara acak membentuk persilangan dan beragregasi menjadi serabut fibril secara perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan meningkatkan kekakuan serta kekuatan ketegangan luka. Setelah 5 hari periode jeda, pada saat ini bersesuaian dengan pembentukan jaringan granulasi awal dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin dan asam hialuronidase, selanjutnya akan terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka karena proses fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat. Setelah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20 % dari kekuatan akhir (Contran et al, 1999; Mulyata, 2002). Proses pengembalian ketegangan berjalan perlahan karena deposisi jaringan kolagen terus-menerus, remodeling serabut kolagen membentuk serabut-serabut kolagen lebih besar dan perubahan dari cross linking inter molekuler. Remodeling kolagen selama pembentukan jaringan parut tergantung
pada
proses
sintesis
dan
katabolisme
kolagen
yang
berkesinambungan. Degradasi kolagen pada luka dikendalikan oleh enzim kolagenase. Kecepatan sintesis kolagen yang tinggi mengembalikan luka ke jaringan normal dalam waktu 6 bulan sampai 1 tahun (Contran et al, 1999). Penyembuhan luka yang ideal adalah struktur, fungsi dan penampilan anatomi kulit kembali normal. Batas waktu penyembuhan luka di tentukan
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
oleh tipe luka dan lingkungan ekstrinsik maupun intrinsik (Wound Healing Society). Pada luka bedah dapat di ketahui adanya sintesis kolagen dengan melihat adanya jembatan penyembuhan dibawah jahitan yang mulai menyatu. Jembatan penyembuhan ini muncul pada hari ke : 5-7 pasca operasi (Black & Jacob’s , 1997).
Gambar 5. Fase remodelling pada penyembuhan luka (Sumber : Gurtner, 2007)
2.5.3.1 Prinsip Penyembuhan Luka Prinsip penyembuhan luka mengikuti fase penyembuhan luka menurut Schwatz (2000) yaitu : a.
Koagulasi Terjadinya luka, baik yang bersifat traumatik atau yang terbentuk pada pembedahan menyebabkan perdarahan dari pembuluh darah yang rusak. Vasokonstriksi segera terjadi sebagai akibat dilepaskannya katekolamin kedalam lingkungan cedera. Brakinin, serotonin, dan histamine merupakan senyawa vasoaktif lain yang dilepas oleh sel mast kejaringan sekitar. Senyawa-senyawa ini mengawali peristiwa diapedesis yaitu keluarnya sel-sel intravascular kedalam ruang ekstravaskular yang rusak. Suatu bekuan darah terbentuk dari trombosit yang dikeluarkan dari ekstravasasi darah. Faktor-faktor
pembekuan
yang
dilepaskan
dari
trombosit
menghasilkan fibrin yang bersifat hemostatik dan membentuk suatu jaringan yang akan menampung migrasi lebih lanjut sel-sel inflamasi dan fibroblas. Fibrin merupakan produk akhir dari aliran proses pembekuan. Tanpa kerja fibrin ini maka kekuatan akhir dari suatu luka akan berkurang. Trombosit
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
juga penting dalam menghasilkan sitokin esensial yang dapat mempengaruhi peristiwa penyembuhan luka. b.
Inflamasi Fase inflamasi dimulai dengan migrasi leukosit kedalam luka. Leukosit polimorfonuklear akan mendominasi luka dalam 24 jam pertama, diikuti oleh makrofag dalam jumlah yang banyak, dan kemudian limfosit. Sel-sel radang ini mengatur perbaikan matriks jaringan ikat dengan melepaskan berbagai macam sitokin, yang sebelumnya dikenal sebagai “faktor pertumbuhan”.
c.
Fibroplasia Fibroplasia adalah fase penyembuhan luka yang ditandai oleh sintesis kolagen. Sintesis kolagen dimulai 24 jam pertama setelah cedera, namun tidak akan mencapai puncak hingga 5 hari kemudian. Setelah 7 hari sintesi kolagen akan berkurang secara perlahan-lahan. Remodeling luka mengacu pada keseimbangan antara sintesis kolagen dan degradasi kolagen. Pada saat serabut kolagen tua diuraikan oleh kolagenase jaringan, serabut baru dibentuk dengan kepadatan pengerutan yang makin bertambah. Proses ini akan meningkatkan kekuatan potensial dari jaringan parut.
d.
Sitokin Sitokin memungkinkan berjalannya seluruh interaksi antar sel. Mereka juga berperan penting dalam penatalaksanaan penyembuhan luka. Contohnya sitokin ikut mengatur peranan dan pengaturan fibrosis, penyembuhan luka kronik, cangkokan kulit, vaskularisasi, peningkatan kekuatan tendon dan tulang setelah perbaikan.
e.
Metabolisme matriks ekstraseluler Matriks ekstraseluler merupakan suatu struktur yang kompleks, dimana berbagai jenis sel dan komponen berinteraksi. Kolagen merupakan komponen utama dari matriks ekstraseluler, dari semua jaringan lunak, tendon, ligament dan matriks tulang.
f.
Sintesis kolagen Sintesis kolagen dimulai dengan transkrip DNA menjadi mRNA. Translasi mRNA berlangsung pada ribosom di reticulum endoplasma yang
27
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kasar. Kolagen berbeda dengan protein lain karena kolagen akan mengalami beberapa modifikasi jika telah mencapai lingkungan ekstraseluler. Disini terjadi pengerutan kolagen untuk membentuk fibril dan serabut kolagen. Lisil oksidase merupakan enzim yang diperlukan untuk pengerutan kolagen. Jadi pada sintesis kolagen terjadi sintesa protein tingkat tinggi, sehingga tubuh memerlukan asupan protein yang banyak dalam makanan yang dimakan. g.
Degradasi kolagen Degradasi kolagen atau penguraian kolagen diawali oleh enzim-enzim yang sangat spesifik yang disebut kolagenase jaringan yang dihasilkan oleh berbagai sel, termasuk sel radang, fibroblas dan sel epitel. Kolagenase masih dalam bentuk tidak aktif dan harus diaktifkan oleh protein seperti plasmin. Setelah
kolagenase
menjadi
aktif,
enzim
dapat
dihambat
dengan
menggabungkannya dengan protein plasma dan jaringan yaitu makroglobulin alfa-2. h.
Substansi dasar Substansi dasar terdiri dari proteoglikan dan glikosaminoglikan. Kombinasi kartilago dan proteoglikan berfungsi sebagai peredam syok molekuler. Keduanya juga berperan menjaga kelembapan dan mengeluarkan sitokin.
Asam
hialuronat
memberikan
linkungan
yang
cair
untuk
mempermudah gerakan sel yang cepat dan diferensiasi sel. Asam ini timbul dini dan bertahan untuk sementara waktu setelah cedera pada orang dewasa, namun bertahan lebih lama pada kulit dan luka di janin. i.
Kontraksi luka Kontraksi luka merupakan salah satu tenaga mekanis tubuh yang paling kuat. Pada luka terbuka ditemukan sel-sel mirip fibroblas yang berkontraksi. Sel-sel ini memiliki komponen otot polos dalam sitoplasmanya serta memiliki sifat-sifat fibroblas lainnya.
j.
Epitelisasi Sel epitel berfungsi untuk menutupi semua permukaan kulit yang terpapar dengan lingkungan luar. Kulit merupakan suatu contoh dari proses epitelisasi tetapi mekanisme perbaikan epitel adalah sama diseluruh tubuh. Lapisan luar kulit yaitu epidermis terdiri dari epitel berlapis gepeng yang
28
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
melindungi kulit dari kehilangan cairan, invasi bakteri dan trauma. Luka dengan ketebalan partial akan sembuh melalui proses epitelisasi. Terdapat dua fenomena utama dalam proses epitelisasi yaitu : migrasi dan mitosis. Setelah epitel rusak akan terbentuk bekuan darah. Keropeng merupakan bekuan darah yang mengering yang melindungi dermis dibawahnya. Migrasi sel epitel mengawali proses perbaikan dan tidak bergantung pada mitosis epitel. Sel-sel yang bermigrasi berasal dari tepi luka dan polikel rambut serta kelenjar sebasea didasar luka. Luka superficial dan tidak melewati membrane basalis akan sembuh dengan regenerasi yang cepat. Luka yang menembus membrane basalis seperti luka bakar akan sembuh melalui proses epitelisasi tapi lama dan hasilnya seringkali memuaskan. Proses migrasi selalu dimulai dari stratum basalis dari epitel dan kelenjar sebasea serta folikel rambut yang terletak lebih dalam. Sel-sel akan memipih dan membentuk tonjolan-tonjolan kesekitarnya. Sel ini akan kehilangan perlekatan dengan sel basal disekitarnya dan mulai bermigrasi. Beberapa hari setelah migrasi dimulai, sel akan istirahat dan membelah diri. Setelah permukaan kulit ditutupi oleh sel-sel epitel, sel-sel ini akan kembali ke fenotipik yang normal. Epetelisasi yang berhasil, diperluas dengan mempertahankan permukaan kulit agar tetap lembab dan tidak kering. Keropeng alami mungkin cukup baik untuk tujuan ini, bahan penutup yang tidak lengket sangat baik untuk mempertahankan permukaan kulit tetap lembab dan dapat meningkatkan proses epitelisasi secara bermakna. k.
Nutrisi Nutrisi yang tidak adekuat dapat mengganggu proses penyembuhan. Misalnya penghambatan respon imun dan opsonisasi bakteri. Defisiensi asam askorbat merupakan penyebab gangguan penyembuhan luka yang paling sering. Asam askorbat merupakan suatu kofaktor dalam hidroksilasi prolin menjadi asam aminohidroksi prolin pada sintesis kolagen dalam penambahan molekul oksigen. Jaringan parut lama, memiliki aktifitas kolagenase yang lebih tinggi dari pada kulit normal. Oleh sebab itu pada pasien skorbut, jaringan parut akan retak lebih dahulu dibandingkan kulit normal. Terapi
29
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penggantian vitamin c secara agresif harus segera dilakukan setelah tauma mayor unutk mencegah komplikasi penyembuhan luka. Selain berperan dalam sintesis kolagen, vitamin C juga berperan meningkatkan fungsi neutrofil dan angiogenesis. Karbohidrat dan protein merupakan sumber energi terpenting yang diperlukan dalam sintesis kolagen. Bahan mineral, yaitu seng berperan dalam sintesis kolagen dan proses epitelisasi (Mun’im et al, 2012). Zat besi merupakan unsur yang penting untuk penyembuhan luka yang sesuai. Besi juga diperlukan untuk berlangsungnya hidroksilasi reisdu prolin. Kalsium dan magnesium dibutuhkan untuk aktivasi kolagenase dan sintesis protein secara umum. Faktor esensial lain untuk penyembuhan luka adalah suplai oksigen yang adekuat. Kebanyakan penyembuhan luka yang kronik dapat diatasi secara efektif dengan meningkatkan oksigenisasi jaringan (Schwatz, 2000).
2.5.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka a. Faktor yang mempercepat penyembuhan luka terdiri dari (Kozier, 1995 & Taylor,1997) : 1) Pertimbangan perkembangan Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepat penyembuhan luka daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah (Kozier, 1995). 2) Nutrisi Penyembuhan
menempatkan
penambahan
pemakaian
metabolisme pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya Protein, Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan Miniral (Fe, Zn) Bila kurang nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekwat (Taylor, 1997).
30
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3) Infeksi Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah bakteri. Dengan adanya infeksi maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan terhambat. 4) Sirkulasi dan Oksigenasi Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Saat kondisi fisik lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel tidak berjalan lancar. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi jaringan sel. Pada orang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah Infeksi dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa yang mederita gangguan pembuluh darah prifer, hipertensi atau DM. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernafasan kronik pada perokok. 5) Keadaan luka Kedaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu
dengan
cepat.
Misalnya
luka
kotor
akan
lambat
penyembuhannya dibanding dengan luka bersih. 6) Obat Obat
heparin
dan
anti
neoplasmik
mempengaruhi
penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka. Dengan demikian pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lebih lama.
31
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
b. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka Tidak adanya penyembuhan luka akibat dari kerusakan pada satu atau lebih dari proses penyembuhan normal. Proses ini diklasifikasikan menjadi faktor Intrinsik dan ekstrinsik (Black & Jacob’s, 1997). 1) Faktor Intrinsik Ketika luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung lama dan penyembuhan luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada infeksi. Infeksi dapat berkembang saat pertahanan tubuh lemah. Diagnosa dari infeksi jika nilai kultur luka melebihi nilai normal. Kultur memerlukan waktu 24-48 jam dan selama menunggu pasien di beri antibiotika spektrum luas. Kadang-kadang benda asing dalam luka adalah sumber infeksi. Suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap aspek penyembuhan. Suplai darah dapat terbatas karena kerusakan pada pembulu darah jantung/paru. Hipoksia mengganggu aliran oksigen dan nutrisi pada luka, serta aktifitas dari sel pertumbuhan tubuh. Neutropil memerlukan oksigen untuk menghasilkan oksigen peroksida untuk membunuh patogen. Demikian juga fibroblas dan fagositosis terbentuk lambat. Satu-satunya aspek yang dapat meningkatkan penyembuhan luka pada keadaan hipoksia adalah angiogenesis. 2) Faktor ekstrinsik Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi malnutrisi, perubahan usia dan penyakit seperti diabetes melitus. Malnutrisi dapat mempengaruhi beberapa area dari proses penyembuhan. Kekurangan protein menurunkan sintesa dari kolagen dan leukosit. Kekurangan lemak dan karbonhidrat memperlambat semua fase penyembuhan luka karena protein dirubah menjadi energi selama malnutrisi. Kekurangan Vitamin menyebabkan terlambatnya produksi dari kolagen, respon imun dan respon koagulasi. Pasien tua yang mengalami penurunan respon inflamatori yang memperlambat
proses
penyembuhan.
Usia
tua
menyebabkan
penurunan sirkulasi migrasi sel darah putih pada sisa luka dan
32
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
fagositasis terlambat. Ditambah pula kemungkinan Pasien mengalami gangguan yang secara bersamaan menghambat penyembuhan luka seperti diabetes melitus. Diabetes melitus adalah gangguan yang menyebabkan banyak pasien mengalami kesulitan dalam proses penyembuhan karena gangguan sintesa kolagen, angiogenesis dan fagositosis. Peningkatan kadar glukosa mengganggu transport asam askorbat kedalaman bermacam sel termasuk fibroblas dan leukosit. Hiperglikemi juga menurunkan
leukosit
kemotaktis,
arterosklerosis,
khususnya
pembuluh darah kecil, juga pada gangguan suplai oksigen jaringan. Neurapati diabetik merupakan gangguan penyembuhan lebih lanjut dengan mengganggu komponen neurologis dari penyembuhan. Kontrol dari gulu darah setelah operasi memudahkan penyembuhan luka secara normal. Merokok adalah gangguan vasokontriksi dan hipoksia karena kadar CO2 dalam rokok serta membatasi suplai oksigen ke jaringan. Merokok meningkatkan arteri sklerosis dan platelet agregasi. Lebih lanjut kondisi ini membatasi jumlah oksigen dalam luka. Penggunaan steroid memperlambat penyembuhan dengan menghambat kologen sintesis, Pasien yang minum steroid mengalami penurunan strenght luka, menghambat kontraksi dan menghalangi epitilisasi. Untungnya Vitamin A ada untuk meningkatkan penyembuhan luka yang terhambat karena gangguan atau penggunaan steroid.
2.5.3.3 Komplikasi Penyembuhan Luka Meliputi Infeksi, pendarahan, dehiscence dan evicerasi (Kozier, 1995, Taylor, 1997). a. Infeksi Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan. Gejala dari Infeksi sering muncul dalam 27 hari setelah pembedahan.gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent,
33
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
peningkatan drainage, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan leukosit. b. Pendarahan Dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan, infeksi atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti darain). Hipovolemia mungkin tidak cepat tampak, sehingga balutan jika mungkin harus sering di lihat selama 48 jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika terjadi perdarahan yang berlegihan, penambahan tekanan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian cairan & intervensi pembedahan mungkin diperlukan. c. Dehiscence dan Eviscerasi Dehiscence dan Eviscerasi adalah komplikasi pos-operasi yang serius. Dehiscence yaitu terbukanya lapisan luka partial. Eviscerasi yaitu keluarnya pembulu kapiler melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi ; kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, bentuk yang berlebihan, muntah dan dehidrasi dapat mempertinggi resiko klien mengalami dehiscence luka. Ketika dehiscence & eviscerasi terjadi luka, harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar kompres dengan normal saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.
2.6
Krim Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau
lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair yang diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air atau lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika (Depkes RI, 1995). Krim adalah sediaan setengah padat, berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan untuk pemakaiaan luar (Depkes RI, 1979).
34
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ditinjau dari sifat fisiknya, krim dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: a) Emulsi air dalam minyak atau emulsi W/O b) Emulsi minyak dalam air atau emulsi O/W Krim digunakan sebagai (Anief, 2000) : a) Bahan pembawa obat untuk pengobatan kulit b) Bahan pelembut kulit c) Pelindung kulit yaitu mencegah kontak permukaan kulit dengan larutan berair dan merangsang kulit Krim dapat digunakan pada kulit dengan luka yang basah, karena bahan pembawa minyak dalam air cenderung untuk menyerap cairan yang diproduksi luka tersebut. Basis yang dapat dicuci dengan dengan air akan membentuk suatu lapisan tipis yang semi permiabel, setelah air menguap dari tempat yang digunakan. Dipihak lain, emulsi air di dalam minyak dari sediaan semipadat cenderung membentuk lapisan hidrofobik pada kulit (Lachman, dkk., 1994).
2.6.1
Pembuatan Krim Pembuatan krim dari formula dengan tipe emulsi minyak dalam air (m/a),
metode pembuatan secara umum meliputi proses peleburan, emulsifikasi, dan saponifikasi. Komponen yang tidak bercampur dengan air seperti minyak dan lilin dicairkan bersama di penangas air pada temperatur sekitar 70C sampai 75C. Semua komponen yang larut dalam air dilarutkan dalam air panas. Lalu larutan berair secara perlahan-lahan ditambahkan kedalam campuran lemak cair sambil diaduk, temperatur dipertahankan selama 5-10 menit, untuk menjaga kristalisasi dari lilin dan kemudian campuran perlahan-lahan didinginkan dengan pengadukan yang terus menerus sampai campuran membeku/mengental (Ansel, 1989).
2.6.2
Formula Sediaan Krim
Profil dari bahan-bahan yang digunakan dalam formula krim pada penelitian ini adalah sebagai berikut (Rowe, 2006) : 1. Paraffin liquidum Pemerian
tidak berwarna, cairan berminyak, transparan, kental, tidak berasa dan berbau saat dingin dan berbau lemah seperti minyak 35
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
bumi saat dipanaskan. Titik didih
> 360C
Kelarutan
praktis tidak larut dalam etanol (95%), gliserin, dan air; larut dalam aseton, benzena, kloroform, karbon disulfida, eter, dan petroleum eter. Larut dengan minyak atsiri dan fixed oil, kecuali minyak jarak.
Stabilitas dan
Mengalami oksidasi akibat pemanasan dan cahaya, dapat
penyimpanan
ditambahkan stabilisator untuk menghambat oksidasi seperti butylated hydroxyanisole, butylated hydroxytoluene, alpha tocopherol, dan antioksidan lain yang umum digunakan. Parafin liquidum dapat disterilisasi dengan metode panas kering dan harus disimpan dalam wadah kedap udara, terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas inkompatibel dengan oksidator kuat. Fungsi
Emolien, fase minyak dalam basis krim.
Konsentrasi
1-32% (emulsi topikal)
2. Asam stearat Pemerian
serbuk putih atau sedikit kuning, sedikit mengkilat, kristal putih atau kekuningan, memiliki bau dan rasa seperti lemak.
Titik leleh
54C
Kelarutan
mudah larut dalam benzena, karbon tetraklorida, kloroform, dan eter; larut dalam etanol (95%), heksana, dan propilen glikol; praktis tidak larut dalam air.
Stabilitas dan
merupakan bahan yang stabil, antioksidan dapat ditambahkan
penyimpanan
ke dalamnya, harus disimpan dalam wadah yang tertutup di tempat yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas asam stearat tidak kompatibel dengan logam hidroksida dan oksidator. Basis salep yang mengandung asam stearat akan akan mengering akibat penambahan garam kalsium atau zink. Fungsi
Emulsifying agent
36
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Triethanolamin (TEA) Pemerian
cairan kental tidak berwarna hingga berwarna kuning jernih, memiliki sedikit bau amonia.
Titik leleh
20–21C
Kelarutan
Larut dalam aseton, karbon tetrakloida, metanol dan air, mudah larut dalam benzena (1:24), etil eter (1:63).
Stabilitas dan
TEA dapat berubah menjadi cokelat jika terpapar udara dan
penyimpanan
cahaya. Triethanolamin harus disimpan dalam wadah kedap udara terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas Triethanolamin akan bereaksi dengan asam mineral membentuk garam kristal dan ester. Dengan asam lemak lebih tinggi, trietanolamina membentuk garam yang larut dalam air dan memiliki karakteristik sabun. Triethanolamin juga bereaksi dengan tembaga membentuk garam kompleks. Perubahan warna dan pengendapan dapat terjadi dengan adanya garam logam berat. Triethanolamin dapat bereaksi dengan reagen seperti klorida tionil menghasilkan produk yang sangat beracun, menyerupai mustard nitrogen lainnya. Fungsi
emulsifying agent
4. Adeps lanae Pemerian
berwarna kuning, zat lilin berwarna pucat, bau khas lemah, jika meleleh berupa cairan kuning jernih.
Titik leleh
38-44C
Kelarutan
mudah larut dalam benzena, kloroform, eter, dan petroleum spirit, sedikit larut dalam etanol dingin (95%), lebih mudah larut dalam etanol (95%) mendidih; praktis tidak larut dalam air.
Stabilitas dan
Paparan pemanasan yang berlebihan atau berkepanjangan dapat
penyimpanan
menyebabkan waran menggelap dan berbau tengik. Namun adeps lanae dapat disterilkan dengan metode panas kering pada suhu 150C. Adeps lanae harus disimpan dalam wadah tertutup 37
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
baik terlindung dari cahaya, di tempat yang sejuk dan kering. Penyimpanan normal dapat mencapai 2 tahun. Inkompatibilitas Adeps lanae mungkin mengandung prooxidan, yang dapat mempengaruhi stabilitas obat aktif tertentu. Fungsi
Emulsifying agent, fase minyak dalam basis krim
5. Methyl paraben (Nipagin) Pemerian
Kristal atau serbuk Kristal warna putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, rasa sedikit terbakar.
Titik leleh
125-128C
Kelarutan
Sukar larut air (1:400), benzen, minyak kacang (1:200) dan CCl4. Agak sukar larut dalam gliserin (1:60), Air suhu 50C (1:50). Mudah larut dalam EtOH (1:2), EtOH 95% (1:3), EtOH 50% (1:6), propilen glikol (1:5), Air suhu 100C (1:30) dan eter (1:10). Praktis tidak larut dalam minyak mineral.
Stabilitas dan
Pada pH 3-6, larutan metil paraben stabil hingga 4 tahun pada
penyimpanan
suhu kamar, sedangkan pada pH 8 dapat terhidrolisis dengan cepat (10% atau lebih hingga 60 hari pada suhu kamar). Metil paraben harus disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas Inkompatibel dengan surfaktan non-ionik, bentonite, Mg Trisilikat, talcum, tragakan, Na Alginat, minyak esensial, sorbitol dan atropine. Berekasi dengan adanya berbagai macam gula dan gula alcohol. Warna berubah menjadi hitam dengan adanya besi. Fungsi
pengawet antimikroba
Konsentrasi
0,02-0,3% (sediaan topikal)
6. Propyl paraben (Nipasol) Pemerian
kristal, putih, tidak berbau, dan serbuk tidak berasa.
Titik leleh
295C
Kelarutan
sukar larut air pada 15C (1:4350), air pada 20C (1:2500), air 38
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 80C (1:225), minyak mineral (1:330), gliserin (1:250), propilen glikol 50% (1:110). Agak sukar larut dalam peanut oil (1:70). Mudah larut dalam EtOH 95% (1:1,1), EtOH 50% (1:5,6), propilen glikol (1:3,9), aseton dan eter. Stabilitas dan
Pada pH 3-6, larutan propilparaben stabil hingga 4 tahun pada
penyimpanan
suhu kamar, sedangkan pada pH 8 dapat terhidrolisis dengan cepat (10% atau lebih hingga 60 hari pada suhu kamar). Propyl paraben harus disimpan dalam wadah tertutup baik di tempat yang sejuk dan kering.
Inkompatibilitas Inkompatibel dengan surfaktan nonionik akibat miselisasi. Magnesium aluminum silicate, magnesium trisilicate, yellow iron oxide, dan ultramarine blue dapat mengabsorpsi propyl paraben sehingga mengurangi efektivitas pengawet. Propyl paraben berubah warna dengan adanya besi dan terhidrolisis oleh basa lemah dan asam kuat. Fungsi
pengawet antimikroba
Konsentrasi
0.01–0.6% (sediaan topikal)
39
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian 1 dan 2, Laboratorium
Kimia Obat, Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia serta Animal House Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian berlangsung pada bulan Mei 2015 hingga Juni 2015.
3.2
Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1
Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Timbangan analitik
(AND GH-202 dan Wiggen Hauser), beaker glass, batang pengaduk, spatula, kertas saring, kapas, tabung reaksi, kaca objek dan penutupnya, cawan penguap, botol timbang, krus silikat, lumpang, alu, gelas ukur, corong, erlenmeyer, hot plate, kaca arloji, rotary evaporator, pipet tetes, oven (Memmert), tanur (Thermo Scientific), termometer, alumunium foil, timbangan hewan (Ohauss), kandang tikus beserta tempat makanan dan minum, spuit 1 cc, pinset, gunting bedah, alcohol swab, wadah pembiusan, logam berdiameter 1 cm, pH meter dan mikroskop cahaya (Olympus SZ61).
3.2.2
Bahan Uji Bahan uji yang digunakan adalah ekstrak etanol umbi talas jepang
(Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum). Umbi Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum diperoleh dari CV. Agro Lawu Intenational, Magetan, Jawa Timur dan dideterminasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46, Cibinong.
3.2.3
Bahan Kimia Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pakan tikus
berupa pellet, akuades, alkohol 70%, krim ekstrak pegagan (Lanakeloid-E®),
40
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
cairan injeksi ketamin 50 mg/ml, Veet®, ammoniak, larutan HCl, kloroform, pereaksi Dragendroff, pereaksi Mayer, serbuk Mg, amil alkohol, larutan NaOH, FeCl3, petroleum eter, larutan Hematoxylin-Eosin, eter, formalin buffer 10%, asam stearat, trietanolamin, adeps lanae, parafin liquid, nipagin dan nipasol.
3.2.4
Hewan Uji Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
jantan galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan 150-50 gram yang diperoleh dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), Institut Pertanian Bogor.
3.3
Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan eksperimen murni dengan rancangan acak
lengkap (RAL) dengan beberapa kondisi perlakuan. Perlakuan dikelompokkan menjadi 5 bagian dengan jumlah total tikus yang di gunakan 30 ekor dimana 5 ekor tikus di gunakan untuk pengamatan luas luka serta persentase penyembuhan luka dan 2 ekor dari masing-masing kelompok diambil untuk pengamatan histopatologis. Lima kelompok tersebut terdiri dari kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim, kelompok perlakuan yang diberikan krim ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dengan 3 konsentrasi yang berbeda dan kelompok kontrol positif yang diberikan krim Lanakeloid-E®. Tabel 2. Pembagian Kelompok Hewan Uji Berdasarkan Perlakuan Kelompok
Jumlah Tikus
KP (Kontrol positif)
6
KN (Kontrol negatif)
6
KU I (Kelompok Uji I)
6
Lama Perlakuan
Perlakuan Kelompok V, daerah dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus dilukai dan dioleskan Lanakeloid-E® (2xsehari) Kelompok I, daerah dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus dilukai dan dioleskan basis krim tanpa ekstrak umbi talas jepang (2xsehari) Kelompok II, daerah dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus dilukai dan dioleskan krim ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dengan konsentrasi 1% (2xsehari) 41
14 Hari
Bagian yang Digunakan Dorsal sekitar 3 cm dari auricula
14 Hari
Dorsal sekitar 3 cm dari auricula
14 Hari
Dorsal sekitar 3 cm dari auricula
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kelompok
Jumlah Tikus
KU II (Kelompok Uji II)
6
KU III (Kelompok Uji III)
6
Perlakuan Kelompok III, daerah dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus dilukai dan dioleskan krim ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dengan konsentrasi 5% (2xsehari) Kelompok IV, daerah dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus dilukai dan dioleskan krim ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dengan konsentrasi 25% (2xsehari)
3.4
Kegiatan Penelitian
3.4.1
Pemeriksaan Simplisia (Determinasi)
Lama Perlakuan
Bagian yang Digunakan
14 Hari
Dorsal sekitar 3 cm dari auricula
14 Hari
Dorsal sekitar 3 cm dari auricula
Sebelum dilakukan penelitian, Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum terlebih dahulu di determinasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor untuk memastikan kebenaran simplisia.
3.4.2
Penyiapan Simplisia Umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum)
diperoleh dari CV. Agro Lawu Intenational, Magetan Jawa Timur. Selanjutnya pencucian, sortasi basah, perajangan, pengeringan, sortasi kering dan penyerbukan umbi talas jepang dilakukan di Balai Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO). Pengeringan dilakukan dengan menggunakan oven selama 5 hari pada suhu 4050C. Serbuk simplisia disimpan dalam wadah yang kering, tertutup rapat dan terlindung dari cahaya.
3.4.3
Pembuatan Ekstrak Pada pembuatan ekstrak umbi talas jepang digunakan metode ekstraksi
cara dingin dengan maserasi dan menggunakan etanol 96% sebagai pelarut. Serbuk simplisa ditimbang kemudian dimaserasi dengan pelarut etanol 96% hingga sampel terendam. Pelarut diganti setiap hari dan hasil maserasi disaring sehingga diperoleh filtrat. Proses maserasi dilakukan hingga larutan mendekati 42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental yang dihasilkan kemudian dikeringkan menggunakan oven vakum selama 9 hari. Ekstrak yang diperoleh ditimbang dan dicatat beratnya, selanjutnya disimpan dalam lemari pendingin atau freezer dan digunakan untuk perlakuan.
3.4.4
Standarisasi Ekstrak
3.4.4.1 Penentuan Parameter Non Spesifik 1.
Penetapan Kadar Air 1 gram ekstrak ditimbang saksama dalam wadah yang telah ditara. Ekstrak dikeringkan pada suhu 105C selama 5 jam dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara 2 penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25% (Depkes RI, 2000). Kadar air
x 100%
Keterangan : W0 = Bobot wadah kosong yang telah ditara W1 = Bobot ekstrak + wadah sebelum pemanasan W2 = Bobot ekstrak + wadah setelah pemanasan 2.
Penetapan Kadar Abu Total Sebanyak 2 gram ekstrak ditimbang seksama (W1) dimasukkan dalam krus silikat yang sebelumnya telah dipijarkan dan ditimbang (W0). Setelah itu ekstrak dipijar dengan menggunakan tanur secara perlahanlahan (dengan suhu dinaikkan secara bertahap hingga 600 ± 25C (Depkes RI, 1980 dalam Arifin et al, 2006) hingga arang habis. Kemudian ditimbang hingga bobot tetap (W2). Kadar Abu Total
x 100%
Keterangan : W0 = bobot cawan kosong (gram) W1 = bobot ekstrak awal (gram) W2 = bobot cawan + ekstrak setelah diabukan (gram)
43
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.4.2 Penentuan Parameter Spesifik 1.
Identitas Deskripsi tata nama
2.
3.
a.
Nama ekstrak.
b.
Nama lain tumbuhan (sistematika botani).
c.
Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, dsb).
d.
Nama Indonesia tumbuhan.
Organoleptik a.
Bentuk
: padat, serbuk-kering, kental, cair.
b.
Warna
: kuning, coklat, dll.
c.
Bau
: aromatik, tidak berbau, dll.
d.
Rasa
: pahit, manis, kelat, dll.
Skrining Fitokimia a.
Identifikasi Alkaloid Uji Alkaloid dilakukan dengan metode Mayer,Wagner dan Dragendorff. Sampel sebanyak 3 gram diletakkan dalam cawan porselin kemudian ditambahkan 5 mL HCl 2 M , diaduk dan kemudian didinginkan pada temperatur ruangan. Setelah sampel dingin ditambahkan 0,5 gram NaCl lalu diaduk dan disaring. Filtrat yang diperoleh ditambahkan HCl 2 M sebanyak 3 tetes , kemudian dipisahkan menjadi 4 bagian A, B, C, D. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditambah pereaksi Mayer, filtrat C ditambah pereaksi Wagner, sedangkan filtrat D digunakan untuk uji penegasan. Apabila terbentuk endapan pada penambahan pereaksi Mayer dan Wagner maka identifikasi menunjukkan adanya alkaloid. Uji penegasan dilakukan dengan menambahkan amonia 25% pada filtrat D hingga pH 8-9. Kemudian ditambahkan
kloroform,
dan
diuapkan
diatas
waterbath.
Selanjutnya ditambahkan HCl 2M, diaduk dan disaring. Filtratnya dibagi menjadi 3 bagian. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B diuji dengan pereaksi Mayer, sedangkan filtrat C diuji dengan pereaksi
44
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dragendorff.
Terbentuknya
endapan
menunjukkan
adanya
alkaloid (Marliana et al, 2005). b. Identifikasi Flavonoid Sebanyak 3 gram sampel diuapkan, dicuci dengan heksana sampai jernih. Residu dilarutkan dalam 20 mL etanol kemudian disaring. Filtrat dibagi 3 bagian A, B, dan C. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditambahkan 0,5 mL HCl pekat kemudian dipanaskan pada penangas air, jika terjadi perubahan warna merah tua sampai ungu menunjukkan hasil yang positif (metode Bate SmithMetchalf). Filtrat C ditambahkan 0,5 mL HCl dan logam Mg kemudian diamati perubahan warna yang terjadi (metode Wilstater). Warna merah sampai jingga diberikan oleh senyawa flavon, warna merah tua diberikan oleh flavonol atau flavonon, warna hijau sampai biru diberikan oleh aglikon atau glikosida (Marliana et al, 2005). c.
Identifikasi Saponin Uji Saponin dilakukan dengan metode Forth yaitu dengan cara memasukkan 2 gram ekstrak kedalam tabung reaksi kemudian ditambahkan 10 mL akuades lalu dikocok selama 30 detik, diamati perubahan yang terjadi. Apabila terbentuk busa yang mantap (tidak hilang selama 30 detik) maka identifikasi menunjukkan adanya saponin. Uji penegasan saponin dilakukan dengan menguapkan sampel sampai kering kemudian mencucinya dengan heksana sampai filtrat jernih. Residu yang tertinggal ditambahkan kloroform, diaduk 5 menit, kemudian ditambahkan Na2SO4 anhidrat dan disaring. Filtrat dibagi menjadi menjadi 2 bagian, A dan B. Filtrat A sebagai blangko, filtrat B ditetesi anhidrat asetat, diaduk perlahan, kemudian ditambah H2SO4 pekat dan diaduk kembali. Terbentuknya cincin merah sampai coklat menunjukkan adanya saponin (Marliana et al, 2005).
45
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
d. Identifikasi Terpenoid Sebanyak 3 gram ekstrak dicampurkan dengan 2 ml kloroform. Kemudian ditambahkan 3 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati. Terbentuknya warna coklat kemerahan pada antarmuka dalam larutan, menunjukkan adanya terpenoid (Edeoga et al, 2005). e.
Identifikasi Steroid Sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambahkan 2 ml asam
asetat
anhidrat. Kemudian ditambahkan 2 ml H2SO4 pekat. Adanya steroid ditandai dengan perubahan warna dari violet menjadi biru atau hijau (Edeoga et al, 2005). f.
Identifikasi Tanin dan Polifenol Sebanyak 3 gram sampel diekstraksi akuades panas kemudian didinginkan. Setelah itu ditambahkan 5 tetes NaCl 10% dan disaring. Filtrat dibagi 2 bagian A, dan B, dan C. Filtrat A digunakan sebagai blangko, ke dalam filtrat B ditambahkan 3 tetes pereaksi FeCl3, dan ke dalam filtrat C ditambah garam gelatin. Kemudian diamati perubahan yang terjadi (Marliana et al, 2005).
g.
Identifikasi Glikosida Jantung Uji glikosida jantung dilakukan dengan metode Keller Kelliani yaitu sebanyak 1 gram ekstrak dicuci dengan heksana sampai heksana jernih. Residu yang tertinggal dipanaskan diatas penangas air kemudian ditambahkan 3 mL pereaksi FeCl3 dan 1 mL H2SO4 pekat. Jika terlihat cincin merah bata menjadi
biru
atau
ungu
maka
identifikasi menunjukkan
adanya glikosida jantung (Marliana et al, 2005).
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.5
Pembuatan Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang
Formula basis krim yang digunakan adalah (Wijaya et al, 2013) : R/
Asam stearat
14,5 gram
Trietanolamin (TEA)
1,5 mL
Adeps lanae
3 gram
Paraffin liquidum
5 mL
Nipagin
0,1 gram
Nipasol
0,05 gram
Aquadest ad
100 mL
Pembuatan basis krim dilakukan dengan cara semua bahan yang diperlukan ditimbang, kemudian fase minyak dipindahkan dalam cawan penguap, dipanaskan diatas water bath dengan suhu 60-70C sampai lebur. Fase air dipanaskan di atas water bath pada suhu 60-70C sampai lebur. Fase minyak dipindahkan kedalam lumpang dan ditambahkan fase air, pencampuran dilakukan pada suhu (60-70C), digerus sampai dingin dan terbentuk krim yang homogen. Sediaan krim yang akan digunakan dalam penelitian ini mengandung konsentrasi ekstrak talas jepang 1%, 5% dan 25% yang masing-masing dibuat sebanyak 20 gram. Tabel 3. Formula Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang Bahan Ekstrak etanol umbi talas jepang Basis krim ad Ket : KN KU I KU II KU III
Formula Krim KU I KU II
KN
KU III
-
1%
5%
25%
20 gram
20 gram
20 gram
20 gram
: Formula krim tanpa ekstrak etanol umbi talas jepang (kontrol negatif) : Formula krim dengan konsentrasi ekstrak etanol umbi talas jepang 1% : Formula krim dengan konsentrasi ekstrak etanol umbi talas jepang 5% : Formula krim dengan konsentrasi ekstrak etanol umbi talas jepang 25%
Pembuatan krim dengan 3 konsentrasi yang berbeda dilakukan dengan cara ekstrak etanol umbi talas jepang dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan basis krim untuk masing-masing formula sedikit demi sedikit hingga 20 gram. Kemudian campuran digerus hingga homogen dan masing-masing formula disimpan dalam wadah krim.
47
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.6
Evaluasi Sediaan Krim
3.4.6.1 Uji Organoleptik Pemeriksaan organoleptik sediaan krim yang diamati secara visual meliputi bentuk, warna dan bau krim. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui krim yang dibuat sesuai dengan warna dan bau ekstrak yang digunakan.
3.4.6.2 Uji Homogenitas Pemeriksaan homogenitas dilakukan dengan cara 1 gram sediaan ditimbang dan kemudiaan dioleskan di atas kaca objek dan dikatupkan dengan kaca objek lain, selanjutnya homogenitas krim diamati. Krim harus menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya bintik-bintik.
3.4.7
Persiapan Hewan Uji Hewan uji yang di gunakan adalah tikus putih jantan Sprague Dawley
berumur 2-3 bulan dengan berat badan 100-150 gram di adaptasi selama satu minggu agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya. Selama proses adaptasi, dilakukan pengamatan kondisi umum dan penimbangan berat badan.
3.4.8
Pemberian Perlakuan
3.4.8.1 Pembuatan Luka Pembuatan luka dilakukan menurut metode Morton, yaitu masing-masing tikus dianastesi menggunakan sediaan injeksi ketamin dengan dosis 40 mg/kg. Rambut tikus dibagian dorsal digunting, kemudian dioleskan dengan krim depilatori (krim Veet®) selama 3-5 menit dan dicukur. Daerah dorsal yang telah dicukur lalu dibersihkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya dibuat luka berbentuk lingkaran dengan diameter ±1 cm pada bagian dorsal sekitar 3 cm dari auricula tikus, dengan cara kulit tikus diangkat dengan pinset, kemudian digunting dengan gunting bedah hingga bagian subkutis yang ditandai dengan lapisan lemak yang berwarna putih (Yenti et al, 2011).
48
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.8.2 Pemberian Bahan Uji Sejumlah 30 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley digunakan dalam penelitian dan diberikan 5 perlakuan yang berbeda. Masing-masing perlakuan terdiri atas 6 ekor tikus putih jantan yaitu kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim tanpa kandungan ekstrak umbi talas jepang, kelompok perlakuan yang diberikan krim ekstrak umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dengan 3 konsentrasi yang berbeda (1%, 5%, 10%) dan kelompok kontrol positif yang diberikan Lanakeloid-E®. Krim dioleskan pada luka sebanyak ±1 gram menutupi keseluruhan bagian luka di daerah dorsal tikus dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore hari selama 14 hari setelah pembuatan luka sesuai dengan periode fase proliferasi selama penyembuhan luka.
3.4.9
Pengamatan Penyembuhan Luka Pengamatan dilakukan terhadap luas luka dan persentase penyembuhan
luka. Luas luka diamati dengan cara mengukur rata-rata diameter luka pada arah vertikal, horizontal dan kedua diagonal (Kusmiati et al, 2006). Diameter luka diukur dengan aplika ImageJ. Cara penilaian luka : Diameter rata-rata
: 2
Luas luka yang dinilai adalah : π x r
: π x (½ d)2 : ¼ π d2 : 0,7854 d2 Persentase penyembuhan luka dihitung dengan rumus : Dimana : d = diameter rata-rata d0 = diameter luka setelah pembuatan luka dx = diameter luka pada hari dilakukan pengamatan Bahan uji diberikan setelah pembuatan luka (hari ke-0) dan pengamatan pertama luka dilakukan 24 jam setelah pembuatan luka (hari ke-1). Pengamatan persentase penyembuhan luka dilakukan dari hari ke-1 hingga hari ke-14. 49
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.10 Eksisi Jaringan Kulit Tikus Pengambilan sampel jaringan kulit dilakukan pada hari ke-7 dari kelima kelompok diambil masing-masing 1 ekor tikus, pengambilan dilakukan setelah tikus dikorbankan dengan larutan eter secara inhalasi. Daerah dorsal yang akan diambil jaringan kulitnya dibersihkan dari bulu yang mulai tumbuh kembali, jaringan kulit digunting dengan ketebalan ±3 mm hingga lapisan subkutis dan sekitar ±2 cm dari tepi luka. Jaringan kulit yang diperoleh kemudian difiksasi dengan larutan formalin 10% dan disimpan.
3.4.11 Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Kulit Tikus Jaringan kulit yang diperoleh kemudian dibuat preparat histopatologi dengan pewarna Hematoxyllin-Eosin yang dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pembuatan preparat dilakukan dengan cara : jaringan kulit yang telah difiksasi menggunakan larutan Formalin 10% lalu dilakukan trimming organ dan dimasukkan ke dalam cassette tissue dari plastik. Tahap selanjutnya dilakukan proses dehidrasi alkohol menggunakan konsentrasi alkohol yang bertingkat yaitu alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut I, alkohol absolut II, kemudian dilakukan penjernihan (clearing) menggunakan xylol I dan xylol II. Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan menggunakan parafin I dan parafin II. Sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak yang berisi parafin setengah volume dan sedian diletakkan ke arah vertikal dan horizontal sehingga potongan melintang melekat pada dasar parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan sampai parafin mengeras. Blok-blok parafin kemudian dipotong tipis setebal 5 mikrometer dengan menggunakan mikrotom. Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon) tersebut dibentangkan di atas air hangat yang bersuhu 46C dan langsung diangkat yang berguna
untuk
meregangkan
potongan
agar
tidak
berlipat
atau
menghilangkan lipatan akibat dari pemotongan. Sediaan tersebut kemudian diangkat dan diletakkan di atas gelas objek dan dikeringkan semalaman dalam inkubator bersuhu 60C. Kemudian diwarnai dengan pewarnaan HematoxyllinEosin (HE) untuk pemeriksaan mikroskopik (Balqis et al, 2014).
50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.4.12 Pengamatan Preparat Histopatologi Pengamatan secara histopatologi dilakukan pada preparat jaringan kulit. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) secara deskriptif pada perbesaran 20x. Pengamatan ini meliputi parameter-parameter yang berperan dalam penyembuhan luka seperti neokapilerisasi, keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen.
3.4.13 Rencana Analisa Data Data hasil pengujian dianalisis menggunakan software pengolah data dan disajikan dalam bentuk mean dan standar deviasi (SD) dari masing-masing kelompok. Data dianalisis dengan uji Paired Sample T-Test. Data statistik signifikan pada nilai P < 0,05.
51
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Determinasi Tanaman Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman ini adalah tanaman talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott) famili Araceae.
4.1.2. Ekstraksi Sebanyak 1500 gram serbuk umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dimaserasi dengan pelarut etanol 96% sampai larutan mendekati tidak berwarna. Filtrat yang diperoleh kemudian dikentalkan dengan vacuum rotary evaporator dan didapatkan ekstrak kental sejumlah 168,859 gram. Rendemen yang didapatkan ialah 10,554%.
4.1.3. Hasil Penapisan Fitokimia Kandungan metabolit sekunder pada ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) diidentifikasi dengan cara penapisan fitokimia. Kandungan senyawa metabolit sekunder yang diuji antara lain golongan alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid, tanin dan polifenol, serta glikosida jantung. Hasil penapisan fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak etanol umbi talas jepang dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 4. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang Golongan Senyawa
Hasil Penapisan Fitokimia
Alkaloid
+
Flavonoid
+
Saponin Terpenoid
+ +
Steroid Tanin dan Polifenol Glikosida Jantung Ket : (+) memberikan hasil positif, (-) memberikan hasil negatif
+ + +
52
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.4. Hasil Penentuan Parameter Spesifik dan Non Spesifik Uji parameter spesifik dan non spesifik pada ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dilakukan setelah uji penapisan fitokimia. Hasil uji parameter spesifik dan parameter non spesifik ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 5. Hasil Penetuan Parameter Spesifik dan Parameter Non Spesifik Karakteristik
Identitas
Organoleptis
Kadar Air Kadar Abu
Hasil
Uji Parameter Spesifik Nama ekstrak Ekstrak etanol umbi talas jepang Colocasia esculenta (L.) Schott var. Nama lain tumbuhan antiquorum Bagian tumbuhan yang Umbi (tuber) digunakan Nama Indonesia tumbuhan Talas jepang atau satoimo Warna Coklat tua Bau Bau khas ekstrak Rasa Pahit Bentuk Kental Uji Parameter Non Spesifik 17,105% 3,753%
4.1.5. Hasil Evaluasi Sediaan Krim Evaluasi krim ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) meliputi uji organoleptik dan uji homogenitas. Hasil evaluasi krim ekstak etanol umbi talas jepang dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 6. Hasil Evaluasi Krim Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang Ekstrak 1%
Hasil Ekstrak 5%
Ekstrak 25%
Warna
Putih Kecoklatan
Putih Kecoklatan
Coklat
Bentuk
Setengah Padat
Setengah Padat
Setengah Padat
Aroma khas ekstrak
Aroma khas ekstrak
Aroma khas ekstrak
Homogen
Homogen
Tidak homogen
Karakteristik
Organoleptis Krim
Bau Homogenitas Krim
53
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.6. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus Hasil pengukuran berat badan tikus baik pada kelompok kontrol positif (KKP), kelompok kontrol negatif (KKN), kelompok uji I (KU I), kelompok uji II (KU II) dan kelompok uji III (KU III) dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 7. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus No.
05 Juni 2015 08 Juni 2015 11 Juni 2015 14 Juni 2015 17 Juni 2015 20 Juni 2015
Rata-rata Berat Badan Tikus Tiap Kelompok (gram) KP 114,333 117,5 123,167 132,2 145,8 155,4
KN 103,167 110,5 119,167 128,8 145,8 152,2
KU I 120,167 131,833 136,833 144,167 161,4 171,2
KU II 129,833 136,167 142,833 156,333 165 175
KU III 122 135,667 136,333 146,5 162,4 177,2
200 180
Berat Badan (gram)
1 2 3 4 5 6
Tanggal
160 140 120
KP
100
KN
80
KU I
60 40
KU II
20
KU III
0
Hari Pengamatan Ket : KP KN KU I KU II KU III
: Kontrol Positif : Kontrol Negatif : Kelompok Uji I (Ekstrak 1%) : Kelompok Uji II (Ekstrak 5%) : Kelompok Uji III (Ekstrak 25%)
Gambar 6. Grafik rata-rata berat badan tikus tiap kelompok
54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.7. Hasil Pengukuran Luas dan Persentase Penyembuhan Luka Data perubahan rata-rata luas luka dan persentase penyembuhan luka pada setiap kelompok dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 8. Rata-rata Luas Luka Tiap Kelompok
KP KN
Hari ke-0 0,80±0,17 0,69±0,10
Rata-rata Luas Luka (cm2) Tiap Kelompok ± SD Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 0,58±0,10 0,33±0,10 0,04±0,02 0,00 0,88±0,23 0,76±0,77 0,27±0,46 0,20±0,44
KU I (1%) KU II (5%) KU III(25%)
0,90±0,10 0,85±0,11 0,90±0,15
0,88±0,09 0,85±0,15 0,87±0,07
Kelompok
0,36±0,09 0,48±0,10 0,50±0,22
0,07±0,05 0,08±0,05 0,10±0,07
0,01±0,01 0,01±0,01 0,03±0,04
Hari ke-14 0,00 0,12±0,27 0,00 0,00 0,01±0,06
Tabel 9. Rata-rata Persentase Penyembuhan Luka Tiap Kelompok Kelompok KP KN KU I (1%) KU II (5%) KU III(25%)
Rata-rata Persentase Penyembuhan Luka (%) Tiap Kelompok ± SD Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 Hari ke-14 14,32±4,68* 36,00±7,57* 79,77±7,55* 100* 100 * * * -12,17±16,48 5,33±52,79 51,33±49,48 74,31±57,44 79,99±44,75 1,34±5,36* 36,62±9,73* 76,57±14,52* 94,40±7,75* 100 -0,02±11,01 25,13±7,97* 70,91±8,15* 94,27±7,85* 100 0,69±9,87 26,13±14,39* 69,50±15,31* 88,75±17,42* 97,38±5,86
Keterangan : Angka yang diikuti tanda * menunjukkan berbeda bermakna terhadap persentase penyembuhan luka pada hari sebelumnya (p < 0,05) pada taraf kepercayaan 95%.
Persentase Penyembuhan Luka (%)
120,00 100,00 KP (Kontrol Positif)
80,00
KN (Kontrol Negatif) 60,00
KU I (Kelompok Uji I)
KU II (Kelompok Uji II)
40,00
KU III (Kelompok Uji III)
20,00 0,00 Hari ke-3 Hari ke-6 Hari ke-9 Hari ke-12 Hari ke-14 -20,00
Hari Pengamatan
Gambar 7. Grafik rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok
55
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.1.8. Hasil Pengamatan Preparat Histopatologi Hasil pengamatan preparat histopatologi yang dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) secara deskriptif pada perbesaran 10x, 20x dan 40x dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 10. Hasil Pengamatan Parameter Histopatologi Kelomp ok
Perbesaran 10x
20x
40x
KP
KN
KU I
KU II
56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KU III
Ket : KP KN KU I KU II KU III
: Kontrol Positif : Kontrol Negatif : Kelompok Uji I (Ekstrak 1%) : Kelompok Uji II (Ekstrak 5%) : Kelompok Uji III (Ekstrak 25%)
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4.2. Pembahasan Uji aktivitas penyembuhan luka dalam penelitian ini didasarkan pada pengaruh ekstrak etanol umbi talas jepang terhadap luas luka, persentase penyembuhan luka, waktu penyembuhan luka dan parameter histopatologi (neokapilerisasi, keberadaan sel radang dan fibroblas serta kerapatan kolagen). Talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) merupakan tanaman yang sedang gencar dibudidayakan diberbagai daerah di Indonesia. Bagian daun dan umbi tanaman ini umumnya digunakan sebagai makanan di beberapa negara. Potensi daun tanaman ini dalam pengobatan telah banyak diteliti. Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi talas jepang yang diperoleh dari CV. Agro Lawu Intenational, Magetan, Jawa Timur. Sebelum digunakan dalam penelitian, dilakukan determinasi tanaman untuk memastikan kebenaran jenis tanaman ini yaitu Colocasia esculenta (L.) Schott dari famili Araceae. Ekstrak etanol umbi talas jepang diperoleh dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk umbi talas jepang dengan pelarut etanol selama satu hari pada temperatur kamar. Maserasi dipilih karena baik untuk senyawa-senyawa yang tidak tahan terhadap panas dan memiliki beberapa keuntungan diantaranya peralatan yang sederhana dan proses pengerjaannya yang mudah. Penggunaan etanol sebagai pelarut karena mempunyai sifat selektif, dapat bercampur dengan air dengan segala perbandingan, ekonomis, mampu mengekstrak sebagian besar senyawa kimia yang terkandung dalam simplisia seperti alkaloid, minyak atsiri, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, damar dan klorofil. Sedangkan lemak, malam, tanin dan saponin, hanya sedikit larut (Depkes RI, 1986). Iswanti, 2009 menjelaskan bahwa pelarut etanol dapat menyari hampir keseluruhan kandungan simplisia, baik polar, semi polar maupun non polar, sehingga diharapkan dapat menarik kandungan berbagai senyawa pada sampel yang diprediksi berkhasiat dalam penyembuhan luka. Filtrat yang diperoleh dari hasil maserasi diuapkan menggunakan vacuum rotary evaporator dengan tujuan untuk menghilangkan pelarut sehingga didapatkan ekstrak kental. Kemudian ekstrak kental yang diperoleh dikeringkan
58
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam oven vacuum selama 9 hari untuk mengurangi kadar air dan residu pelarut pada ekstrak. Dari 1600 gram serbuk umbi talas jepang, diperoleh 168,859 gram ekstrak kental. Rendemen yang diperoleh adalah 10,554%. Parameter non-spesifik merupakan suatu aspek yang berfokus pada aspek kimia, mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan stabilitas. Standarisasi parameter non-spesifik yang dilakukan pada penelitian ini ialah uji kadar abu dan uji kadar air. Tujuan dari uji kadar abu untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal dalam ekstrak. Persentase kadar abu total tidak boleh lebih dari 16,6% (Depkes RI, 2000). Pada pengujian ini diperoleh hasil kadar abu total sebesar 3,753% yang sesuai dengan persyaratan tidak lebih dari 16,6%. Umbi talas jepang mengandung beberapa mineral terutama natrium (740 mg/100g), magnesium (79-122 mg/100g), kalsium (24.7- 47.8 mg/100g) dan kalsium (42mg/100g) serta mengandung Zn (3,05 mg/100g) dan Besi (2,07 mg/100g) (McEwan, 2008). Sedangkan uji kadar air bertujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan (Depkes RI, 2000). Uji kadar air ekstrak etanol umbi talas jepang dilakukan dengan metode gravimetri dan diperoleh hasil kadar air sebesar 17,105%. Hasil ini telah sesuai dengan persyaratan batas kadar air yang diperbolehkan untuk jenis ekstrak kental adalah antara 5-30%. Sementara untuk ekstrak cair lebih besar dari 30% dan ekstrak kering lebih kecil dari 5%. Penentuan kadar air juga terkait dengan kemurnian ekstrak. Semakin sedikit kadar air pada ekstrak maka semakin sedikit kemungkinan ekstrak terkontaminasi oleh pertumbuhan jamur (Saifudin et al., 2011 dalam Haryani et al, 2013). Perhitungan uji parameter esktrak dapat dilihat pada lampiran 8. Kemudian dilakukan penapisan fitokimia pada ekstrak etanol umbi talas jepang. Hasil penapisan fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etanol umbi talas jepang mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid, steroid, tanin, polifenol dan glikosida jantung. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Subhash et al (2012) yang menggunakan ekstrak umbi Colocasia esculenta dengan enam pelarut berbeda (petroleum eter, benzen, kloroform, metanol, etanol dan air) diketahui positif mengandung alkaloid, steroid, flavonoid, tanin, fenol, triterpenoid, saponin dan glikosida.
59
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ekstrak
umbi
talas
jepang
yang
telah
distandarisasi
kemudian
didispersikan dalam basis krim untuk diaplikasikan pada luka. Sediaan krim dipilih karena mempunyai keuntungan yaitu bentuknya menarik, sederhana dalam pembuatannya, mudah dalam penggunaan, daya menyerap yang baik dan memberikan rasa dingin pada kulit, krim dapat digunakan pada kulit dengan luka yang basah, dan terdistribusi merata (Depkes RI, 1995; Wijaya, 2013). Lachman et al (1994) menjelaskan bahwa sediaan krim memiliki sifat umum mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu cukup lama sebelum sediaan tersebut dicuci atau dihilangkan, dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan waktu kontak ekstrak pada luka sehingga dapat mempercepat penyembuhan luka. Selanjutnya dilakukan evaluasi krim meliputi uji organoleptik dan homogenitas krim. Pengujian organoleptik meliputi bentuk, warna, dan bau. Krim yang dihasilkan memiliki bentuk setengah padat yang merupakan karateristik dari krim itu sendiri. Warna yang kecoklatan berasal dari warna ekstrak umbi talas jepang. Hal ini tampak dari perubahan warna basis krim yang semula berwarna putih menjadi coklat. Semakin tinggi konsentransi ekstrak yang terkandung maka warnanya akan semakin coklat. Begitu pula halnya dengan aroma khas ekstrak umbi talas jepang yang tercium dari krim dengan konsentransi 1%, 5% dan 25%. Semakin tinggi konsentransi ekstrak, maka semakin tercium aroma khas ekstrak umbi talas jepang. Pengujian homogenitas merupakan pengujian terhadap ketercampuran bahan-bahan dalam sediaan krim yang menunjukkan susunan yang homogen. Pengujian dikakukan terhadap basis krim dan juga krim dengan konsentransi 1%, 5% dan 25%. Uji I yang mengandung ekstrak 1% dan uji II yang mengandung ekstrak 5% menunjukkan susunan yang homogen dan tidak terlihat adanya butiran halus. Uji III yang mengandung ekstrak 25% terlihat tidak homogen yang ditandai adanya butiran halus. Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah 30 ekor tikus jantan galur Sprague Dawley berusia 8 minggu. Tikus yang digunakan merupakan tikus yang sehat dengan bobot sekitar 100-150 gram. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kelompok kontrol positif yang diberikan krim lanakeloid-E, kontrol negatif
60
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang diberikan basis krim dan 3 kelompok uji yang diberikan perlakuan dengan konsentrasi ekstrak yang berdeda (1%, 5% dan 25%). Hewan uji kemudian diaklimatisasi selama 1 minggu agar dapat menyesuaikan diri dalam kondisi lingkungan yang baru. Setiap kelompok tikus jantan ditempatkan pada kandang yang berbeda dengan kepadatan kandang masing-masing 1 ekor. Selama aklimatisasi dilakukan pengamatan kondisi umum serta penimbangan berat badan. Mayoritas dari hewan uji mengalami peningkatan berat badan. Grafik kenaikan berat badan tikus dapat dilihat pada gambar 6. Adanya peningkatan berat badan menunjukkan bahwa tikus telah mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan. Sedangkan adanya penurunan berat badan pada beberapa tikus dikarenakan factor-faktor tertentu yang bersifat relatif pada tikus tertentu, seperti kondisi kesehatan, kondisi organ tubuh, imunitas, dan beberapa faktor relatif lain. Pembuatan luka pada masing-masing kelompok hewan uji dilakukan dengan metode Morton setelah aklimatisasi. Luka yang dihasilkan berbentuk sirkular dengan diameter ±1 cm pada bagian dorsal 3 cm dari auricula tikus. Krim ekstrak etanol umbi talas jepang dioleskan pada luka sebanyak ±1 gram menutupi keseluruhan bagian luka dua kali sehari, yaitu di pagi dan sore hari selama 14 hari setelah pembuatan luka sesuai dengan periode fase proliferasi selama penyembuhan luka. Pada hari ke-7, tikus dibunuh dengan cara dibius dengan eter kemudian jaringan kulit diambil untuk pembuatan preparat histopatologi. Pengamatan preparat jaringan kulit dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus SZ61) secara deskriptif pada perbesaran 20x untuk menilai parameter histopatologi (keberadaan sel radang dan fibrolas, neokapilerisasi, dan kerapatan kolagen) yang berperan dalam penyembuhan luka. Pengamatan penyembuhan luka dilakukan dari hari ke-1 hingga hari ke-14 untuk melihat perkembangan luka selama penelitian. Sedangkan pengukuran diameter luka dilakukan dalam interval waktu 3 hari. Pengukuran diameter luka dilakukan pada arah vertikal, horizontal dan kedua diagonal dengan software ImageJ, kemudian dihitung rata-rata diameter luka. Dari hasil rata-rata diameter luka, selanjutnya ditentukan luas luka dan persentase penyembuhan luka masingmasing kelompok. Data persentase penyembuhan luka yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan uji Paired Sample T-Test. Sebagai data tambahan, data
61
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
berat badan tikus diambil tanpa dilakukan uji normalitas dan homogenitas maupun uji ANOVA. Data rata-rata luas luka dan persentase penyembuhan luka pada setiap kelompok hewan uji dapat dilihat pada tabel 8 dan table 9. Berdasarkan data tersebut rata-rata luas luka terkecil pada hari ke14 pengamatan adalah 0,00 (KP, KU I, KU II), 0,01±0,060 (KU III) dan 0,12±0,27 (KN), sedangkan data persentase penyembuhan luka tertinggi yaitu 100 (KP, KU I, KU II), 97,38 (KU III) dan 79,99 (KN). Berdasarkan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada dari hari ke-0 hingga hari ke-14, nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok kontrol positif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok lainnya, sedangkan nilai rata-rata persentase
penyembuhan
luka
kelompok
kontrol
negatif
lebih
rendah
dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji I, II dan III. Perbandingan antara nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji I, II dan III menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase penyembuhan luka dari yang tertinggi adalah kelompok uji I,III dan II. Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada hari ke-6 menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok kontrol positif lebih tinggi dari nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji II, dan III, tetapi tidak jauh berbeda dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka pada kelompok uji I, sedangkan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok kontrol negatif lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok lainnya. Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada hari ke-9 menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok kontrol positif lebih tinggi dari nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji I, II, dan III, sedangkan nilai rata-rata luas persentase penyembuhan luka kelompok kontrol negatif lebih rendah dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok lainnya. Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji I lebih tinggi dibandingkan kelompok uji II dan III.
62
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada hari ke12 menunjukkan bahwa nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok kontrol positif telah mencapai 100% yang menunjukkan telah terjadi kesembuhan pada luka. Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok kontrol negatif lebih kecil dibandingkan dengan nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok lainnya. Perbandingan antara nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji I, II dan III menunjukkan bahwa nilai yang terkecil adalah kelompok uji II, I dan III. Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka tiap kelompok pada hari ke14 menunjukkan bahwa kelompok kontrol positif, kelompok uji I dan II telah mengalami kesembuhan, sedangkan pada kelompok uji III dan kelompok kontrol negatif masih terlihat adanya luka tetapi nilai rata-rata persentase penyembuhan luka kelompok uji III lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol negatif. Berdasarkan nilai rata-rata luas luka pada kelompok kontrol negatif terdapat nilai standar deviasi (SD) yang lebih inggi dari nilai rata-rata (mean) luas luka pada hari ke-6, 9, 12 dan 14. Tingginya nilai SD diakibatkan adanya nilai ekstrim pada data rata-rata luas luka karena terjadinya infeksi pada salah satu hewan uji yang kemungkinan terkontaminasi mikroba akibat kondisi lingkungan yang tidak steril. Nilai rata-rata persentase penyembuhan luka pada seluruh kelompok hewan uji juga menunjukkan nilai SD yang tinggi yang diakibatkan ketidak homogenan data persentase penyembuhan luka pada masing-masing kelompok. Ketidak homogenan ini kemungkinan juga diakibatkan adanya kontaminasi mikroba pada luka karena kondisi lingkungan yang tidak steril, tetapi nilai ratarata persentase penyembuhan luka menunjukkan terjadi peningkatan setiap harinya karena adanya peningkatan imunitas tubuh dan aktivitas penyembuhan luka dari ekstrak yang diberikan. Analisa data persentase penyembuhan luka selanjutnya adalah Paired Sample T-Test yang bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan dari rata-rata persentase penyembuhan luka antara dua kelompok sampel yang berpasangan (berhubungan). Hasil analisa data persentase penyembuhan luka dengan Paired Sample T-Test menunjukkan bahwa persentase
63
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
penyembuhan luka kelompok kontrol positif pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 berbeda signifikan (p
0,05), sedangkan hari ke-12 hingga hari ke-14 luka telah sembuh
sehingga tidak menunjukkan perbedaan. Persentase penyembuhan luka kelompok kontrol negatif menunjukkan perbedaan signifikan terjadi pada hari ke-6, 9 dan 12 (p
0,05), persentase penyembuhan luka kelompok uji II dan III menunjukkan
perbedaan signifikan pada hari ke-6, 9 dan 12, sedangkan persentase penyembuhan luka kelompok uji I menunjukkan perbedaan signifikan pada hari ke-3, 6, 9 dan 12 (p
0,05).
Berdasarkan pengamatan makroskopik, jaringan granulasi telah terbentuk pada hari ke-1 dan keropeng pada hari ke-2 pada seluruh kelompok hewan uji. Pembentukan keropeng menunjukkan proses penyembuhan luka memasuki fase proliferasi tahap awal (agustina, 2011). Pada fase ini luka diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru, membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi, fase ini terjadi pada hari ke 3-14 (Kozier, 1995 & Taylor, 1997). Keropeng yang terbentuk diatas permukaan membentuk homeostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah keropeng, sel epitel berpindah dari luka ke tepi. Kecepatan terbentuknya keropeng dikelima kelompok perlakuan menandakan kecepatan dari penyembuhan luka (Aponno et al, 2014). Kecepatan terbentuknya keropeng
dikelima
kelompok
perlakuan
menandakan
kecepatan
dari
penyembuhan luka. Lepasnya keropeng pada kelompok kontrol positif terjadi pada hari ke-6. Pada hari ke-7, lepasnya keropeng pada kelompok uji I dan II terjadi di pagi hari dan kelompok uji III serta kelompok kontrol negatif terjadi di sore hari. Proses lepasnya keropeng ini bersamaan dengan proses keringnya luka. Hal ini menandakan sudah terjadinya pertumbuhan sel-sel baru pada kulit sehingga membantu mempercepat lepasnya keropeng dan merapatnya tepi luka. Keropeng terlepas karena jaringan dibawahnya sudah kering dan tepi-tepi luka mulai tertarik ke tengah. (Aponno et al, 2014). Pada penelitian ini fase proliferasi terjadi lebih cepat dari penyembuhan luka normal. Hasil pengamatan parameter histopatologi pada tabel 10 menunjukkan terjadinya pembentukan kapiler baru (neokapilerisasi) yang lebih banyak pada 64
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
kelompok kontrol positif, kelompok uji I, II dan III dibandingkan kelompok kontrol negatif. Penyembuhan luka sangat ditunjang oleh suplai darah ke daerah luka. Pembentukkan pembuluh darah baru akan membantu mempercepat proses regenerasi sel dan normalisasi jaringan (Mayasari, 2003). Pembentukkan neokapiler adalah akibat aktivitas mitosis sel-sel endotel pembuluh darah yang sudah diikuti oleh migrasi ke daerah luka. Pembentukan neokapiler berfungsi untuk menyuplai vitamin, mineral, glukosa, dan asam amino ke fibroblast untuk memaksimalkan pembentukkan kolagen serta membebaskan jaringan dari nekrosis, benda asing, dan infeksi sehingga mempercepat penyembuhan luka (Pavletic, 1992 dalam Hapsari, 2006). Pembentukan neokapilerisasi yang lebih tinggi akan mempercepat penyembuhan luka karena dapat meningkatkan penyaluran suplai darah. Suplai darah diperlukan dalam metabolisme aktif sel sehingga mempercepat terjadinya regenerasi jaringan. Kapiler-kapiler pada jaringan parut muda sangat diperlukan karena proliferasi sel memerlukan banyak energi dan bahan yang berasal dari darah (Rukmono, 1996). Pengamatan mikroskopik juga menunjukkan terjadinya pembentukan serat kolagen pada seluruh kelompok hewan uji. Serat kolagen pada kelompok kontrol positif terlihat lebih rapat dari kelompok lainnya. Perbandingan kerapatan kolagen pada tiga kelompok uji dan kelompok kontrol negatif menunjukkan kerapatan kolagen tertinggi dimulai dari kelompok uji I, II, III dan kontrol negatif. Kolagen disintesis oleh sel fibroblas. Kolagen pertama kali terdeteksi pada hari ke-3 setelah luka, meningkat terus sampai minggu ke-3. Fibroblas muncul pertama kali secara bermakna pada hari ke-3 dan mencapai puncak pada hari ke-7 (Kozier, 1995). Fibroblas-fibroblas ini membentuk kolagen hingga terjadi jaringan ikat yang menghubungkan dengan erat tepi-tepi luka. Jaringan ini dinamakan jaringan parut (Rukmono, 1996). Pengamatan keberadaan sel radang menunjukkan pada kelompok kontrol negatif terlihat lebih banyak terdapat sel radang yang kemungkinan merupakan neutrofil dan sedikit makrofag dibanding kelompok uji I, II dan III. Perbandingan antara tiga kelompok uji secara deskriptif menunjukkan jumlah sel radang yang (makrofag dan limfosit T) terbanyak dimulai dari kelompok uji I, II dan III. Sel radang menunjukkan adanya fagositosis dari bakteri dan sel-sel yang rusak. Sel
65
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
radang yang sangat berperan selama proses penyembuhan luka adalah sel neutrofil, makrofag dan limfosit. Menurut Guyton dan Hall (1997), keberadaan sel makrofag dan sel neutrofil saling berhubungan dalam proses persembuhan luka. Sel neutrofil merupakan pertahanan seluler pertama yang jumlahnya akan meningkat pada awal pasca perlukaan dimana sel neutrofil akan memakan (memfagositosis) benda-benda asing. Benda-benda asing dan luruhan sel radang yang tidak terfagositosis oleh sel neutrofil akan diteruskan oleh sel makrofag sebagai sel pertahanan seluler kedua. Makrofag mempunyai kemampuan fagositosis yang lebih hebat dari neutrofil, bahkan mampu memfagosit 100 bakteri. Dengan demikian, banyaknya jumlah sel makrofag dan limfosit T dibanding jumlah sel neutrofil pada kelompok uji I, II dan III menunjukkan fase inflamasi terjadi lebih cepat, karena jumlah sel neutrofil meningkat pada awal perlukaan sedangkan makrofag muncul setelah terbentuknya neutrofil sebagai pertahanan seluler kedua. Berdasarkan hasil uji Paired Sample T-Test, luka pada kelompok uji I yang diberi perlakuan dengan ekstrak 1% mengalami penurunan luas luka lebih baik ditinjau dari persentase penyembuhan luka yang berbeda signifikan pada hari ke-3, 6, 9 dan 12, dibandingkan kelompok kontrol negatif, kelompok uji II dan III, serta menunjukkan perbedaan signifikansi yang sama dengan kelompok kontrol positif. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ekstrak etanol umbi talas jepang dapat mempercepat penyembuhan luka dan dari ketiga konsentrasi ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var antiquorum) yang diberikan (1%, 5% dan 25%), kecepatan penyembuhan luka, penurunan diameter luka dan peningkatan persentase penyembuhan luka terbesar terjadi pada konsentrasi ekstrak 1%, sedangkan konsentrasi ekstrak 5% dan 25% menunjukkan nilai persentase penyembuhan yang lebih rendah. Hal ini diakibatkan konsistensi krim yang berbeda pada masing-masing formula. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak, maka semakin tinggi konsistensi krim yang terbentuk. Konsistensi krim yang tinggi mengakibatkan sulitnya pelepasan zat aktif dari basis krim sehingga menghambat zat aktif mencapai target terapi. Aktivitas ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dalam menyembuhkan luka disebabkan kandungan berbagai
66
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
senyawa dalam umbi tanaman. Umbi talas jepang memiliki kandungan flavonoid, triterpenoid, tanin, saponin, alkaloid, tarin, protein, Zn, vitamin C dan A yang diduga dapat mendukung regenerasi sel-sel epitel dan jaringan ikat (Okeke & Iweala, 2007; Rukmana’ 2002; Fasuyi 2005). Flavonoid diketahui memiliki antiskorbut yang berperan melindungi asam askorbat dari oksidasi sehingga proses sintesis kolagen dapat berjalan dengan baik. Flavonoid juga dapat bertindak melindungi lipid membran terhadap agen yang merusak (Robinson, 1995). Diduga aksi ini yang menjaga membran sel tidak mudah dirusak bakteri dan tetap berfungsi dengan baik untuk melakukan perbaikan selama proses penyembuhan luka. Saponin selama ini diketahui dapat bekerja sebagai antibakteri. Ketika berinteraksi dengan sel bakteri, saponin dapat meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga terjadi hemolisis sel bakteri (Robinson, 1995). Adanya saponin dalam ekstrak diduga dapat mendukung proses penyembuhan luka lebih cepat dengan meminimalisir kontaminasi bakteri sehingga epitel dapat bermitosis dan berproliferasi dengan baik (Nisa et al, 2013). Vitamin C diduga sangat membantu pada fase proliferasi, yaitu saat sintesis kolagen. Pembentukan kolagen melalui proses hidroksilasi lisin menjadi hidroksilisin dan prolin menjadi hidroksiprolin (Robbins & Kumar, 2007). Proses hidroksilasi ini memerlukan enzim prolyl-α-hydroksilase dan enzim lisilhydroksilase dalam bentuk aktif. Pengaktifan enzim prolyl-α-hydroksilase memerlukan katalisator berupa ion Fe2+. Peran vitamin C adalah mengubah ion Fe3+ menjadi ion Fe2+ sehingga enzim prolyl-α-hydroksilase menjadi aktif. Sedangkan pengaktifan enzim lisil-hydroksilase dibutuhkan katalisator ion Cu+. Vitamin C berperan mengubah ion Cu2+ di dalam tubuh menjadi ion Cu+ (Yendriwati, 2006). Vitamin A berperan dalam penyembuhan luka dengan mempercepat fase inflamasi pada penyembuhan luka, meningkatkan taut silang (cross-linkage) pada kolagen, mendukung diferensiasi sel epitel, meningkatkan dan menstimulasi respon imun. Zn merupakan mineral esensial yang dibutuhkan untuk sintesis DNA, pembelahan sel dan sintesis protein, semua proses ini dibutuhkan untuk regenerasi dan perbaikan jaringan (MacKay & Alan, 2003). Tanin dan triterpenoid diketahui memiliki aktivitas antioksidan pada beberapa tanaman obat (Robinson, 1995). Antioksidan berperan menangkap
67
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
radikal bebas yang dapat menyebabkan kerusakan membran sel. Cedera pada membran sel tersebut kemudian mengaktifkan histamin yang nantinya menjadi mediator sel radang (Price & Wilson, 2005). Antioksidan di dalam tanin dan triterpenoid diduga dapat mengurangi adanya radikal bebas yang dapat merusak membran sel dan mengurangi pelepasan mediator sel radang. yang berarti dapat mempercepat fase selanjutnya untuk melakukan perbaikan jaringan dalam proses penyembuhan luka (Nisa et al, 2013). Tanin juga berfungsi sebagai adstringen yang dapat menyebabkan penciutan pori-pori kulit, menghentikan eksudat dan pendarahan ringan (Anief, 1997). Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme yang diduga adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson, 1995). Kandungan tarin dalam umbi talas jepang juga diduga berperan dalam penyembuhan luka. Tarin merupakan protein lektin yang memiliki aktivitas proteolitik seperti papain pada Carica papaya dan bromelin pada Ananas Comusus. Tarin diduga dapat mempercepat penyembuhan luka karena aktivitas proteolitiknya seperti papain yang efektif meluruhkan jaringan nekrotik, mencegah infeksi dan menstimulasi pembentukan jaringan granulasi pada luka melalui aktivitas enzim proteolitik yang dapat mengangkat jaringan mati tanpa merusak sel hidup (Roxas, 2013; Sidik & Salmah, 2005). Menurut Priosoeryanto et al., (2006) kandungan lektin dalam getah pelepah pisang berfungsi untuk menstimulasi pertumbuhan sel kulit, oleh karena itu tarin yang merupakan protein lektin diduga dapat mempercepat penyembuhan luka. Kelompok kontrol negatif yang diberikan basis krim tanpa bahan atau zat yang berkhasiat mengalami pelebaran luka pada empat hewan uji dan pada salah satu hewan uji tersebut mengalami luka terinfeksi (infected wound) ditandai dengan adanya edema pada bagian sekitar luka dan timbulnya abses bernanah (Paputungan et al, 2014). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa basis krim yang diberikan pada hewan uji sebagai kontrol negatif tidak mempengaruhi penyembuhan luka pada hewan uji.
68
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian uji aktivitas ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia Esculenta (L.) Schott var. antiquorum) terhadap penyembuhan luka terbuka pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia Esculenta (L.) Schott var. antiquorum) pada seluruh konsentrasi (1%, 5% dan 25%) terbukti dapat mempercepat penyembuhan luka 2. Ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia Esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dapat meningkatkan neokapilerisasi, kerapatan kolagen dan mempercepat fase inflamasi pada penyembuhan luka 3. Dari ketiga konsentrasi ekstrak etanol umbi talas jepang (1%, 5% dan 25%) yang diberikan, penurunan luas luka yang bermakna terjadi pada konsentrasi ekstrak 1% yaitu pada hari ke-3, 6, 9 dan 12.
5.2 Saran Adapun saran untuk penelitian lebih lanjut adalah : 1. Perlu dilakukan pengamatan histopatologi pada beberapa interval waktu yang mewakili periode fase inflamasi, fase proliferasi dan fase remodelling. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan konsentrasi ekstrak yang lebih bervariasi untuk mengetahui konsentrasi ekstrak optimal yang dapat mempercepat penyembuhan luka. 3. Perlu dilakukan uji toksisitas terhadap ekstrak etanol umbi talas jepang untuk mengetahui batasan konsentrasi yang aman untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya. 4. Kondisi lingkungan selama perlakuan harus dijaga tetap steril untuk menghindari terjadinya kontaminasi mikroba selama proses penyembuhan luka.
69
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, Ria., Revi Yenti, Rahmi Utami. 2013. Pengamatan Kerapatan Kolagen Pada Punggung Mencit Putih Jantan Setelah Pemberian Ekstrak Etanol Daun Kirinyuh (Eupatorium odoratum L.). Scientia 2 (3), 56-50. Agustina, Dian Reni. 2011. Pengaruh Pemberian Secara Topikal Kombinasi Rebusan Daun Sirih Merah (Piper ef. fragile, Benth.) dan Rebusan Herba Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) Terhadap Penyembuhan Luka Tikus Putih Jantan yang Dibuat Diabetes. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program Sarjana Farmasi Universitas Indonesia. Alam, Gulzar, Manjul Pratap Singh, and Anita Singh. 2011. Wound Healing Potential of some medical plants. International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and Research 1(9), 136-145. Anief. M. 2000. Farmasetika. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 110, 119-120. Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 492,502-506. Aponno, Jeanly V., Paulina V. Y. Yamlean., Hamidah S. Supriati. 2014. Uji Efektivitas Sediaan Gel Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji (Psidium guajava Linn) Terhadap Penyembuhan Luka yang Terinfeksi Bakteri Staphylococcus Aureus Pada Kelinci (Orytolagus cuniculus). PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi-UNSRAT 3 (3) : 2302-2493. Arditti, J., G. C. Stephens, and M. S. Strauss. 1979. Evidence for genetic variation in two seedling populations of taro, Colocasia esculenta (L.) Schott. Int. Found. for Sci. (Stockholm), 245-257. Arifini, H., Anggraini, N., Handayani, D., Rasyid, R., 2006, Standarisasi Ekstrak Etanol Daun Eugenia cumini Merr.,J. Sains Tek. Far., 11(2). Backer C.A. & Bakhuizen v.d. Brink, R.C., 1965. Flora of Java, Vol. II, N.V.P, Noordhoff, Groningen. Balqis, Ummu., Rasmaidar., dan Marwiyah. 2014. Gambaran Histopatologis Penyembuhan Luka Bakar Menggunakan Daun Kedondong (Spondias dulcis F.) dan Minyak Kelapa pada Tikus Putih (Rattus norvegicus). Jurnal Medika Veterinaria, 8 (1), 31-36. Black, JM dan Jacob’s, EM. 1997. Medical Surgical Nursing Clinical Manajement For Contincity For Care. 5th ed. WB Sounders Company, 426-447. Black, Joyce M and Hawks, Jane. 2009. Medical Surgical Nursing: Clinical Management for Positive Outcomes 8th Edition. USA: Elsevier, 308. Chung, H. L. 1929. Utilization and composition of oriental vegetables in Hawaii. Hawaii Agr. Exp. Sta. Bull, 60. Cotran RS, V. Kumar, T. Collins. 1999. Pathology Basic of Disease. 6 th ed. W B SaundersCo. Philadelphia, 21 -201. De la Pena, R. S. 1967. Effects of different levels of N, P, and K fertilization on the growth and yield of upland and lowland taro (Colocasia esculenta [L.) Schott, var. Lehua). Ph.D. diss., Univ. of Hawaii . 70
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Deo, Pradeep C. and Tyagi, Anand P. and Taylor, Mary and Becker, Douglas K. and Harding, Robert M. 2009. Improving taro (Colocasia esculenta var. esculenta) production using biotechnological approaches. South Pacific Journal of Natural Science, 27, 6-13 Depkes RI. 1985. Formularium Kosmetika Indonesia (Cetakan I). Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 33. Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. P.7, 1036-1043. Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta : Departemen Kesehatan RI, 33. Depkes RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta : Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, 14-17. Derstine, V., and E. L. Rada. 1952. Some dietetic factors influencing the market for poi in Hawaii. Univ. Hawaii Agr. Econ. Bull, 3. Dhanraj, Nakade., Mahesh S. Kadam, Kiran N. Patil and Vinayak S. Mane. 2013. Phytochemical screening and Antibacterial Activity of Western Region wild leaf Colocasia esculenta. International Reseach Journal of Biological Science 2(10), 18-21. Ditjen POM. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Departemen Kesehatan RI. Jakarta, 10-12. Djamaludin, Andre Mahesa. 2009. Pemanfaatan Khitosan dari Limbah Krustasea Untuk Penyembuhan Luka pada Mencit (Mus musculucalbinus). Skripsi. Program Studi Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam-IPB. Edeoga, H.O., D. E. Okwu and B.O Mbaebie. 2005. Phytochemical constituents of some Nigerian medicinal plants. African Journal of Biotechnology, 4 (7), 685-688. Fasuyi, Ayodeji O. 2005. Nutrient Composition and Processing Effects on Cassava Leaf (Manihot esculenta, Crantz) Antinutrients. Pakistan Journal of Nutrition. 4 (1): 37-42 Faure, D. 2002. The family-3 glycoside hydrolises: from housekeeping function to host-microbe interction. Appled and Environmental Microbiology 64(4), 1485-1490. Ferdinandez, Mariana Kresty, I Ketut Anom Dada dan I made Damriyasa. 2013. Bioaktivitas Ekstrak Daun Tapak Dara (Catharantus roseus) Terhadap Kecepatan Angiogenesis dalam Proses Penyembuhan Luka pada Tikus Wistar. Indonesia Medicus Veterinus 2 (2), 180-190. Fitriani, Hani dan Pramesti D. Aryaningrum. 2013. Respon Pertumbuhan Tunas In Vitro Talas Satoimo (Colocasia esculenta var. antiquorum) pada Berbagai Jenis Pemadat Agar. Seminar Nasional Riset Pangan, ObatObatan dan Lingkungan Untuk Kesehatan. Fitzpatrick, R.E. and Mehta, R.C. 2009. Endogenous Growth Factors as Cosmeceutical. In : Draelos, Z.D., Dover, J.S., Alam, M., editors. Cosmeceutical. Second edition. Saunders Elsevier, 138-140. 71
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ganjali, Amin; Amir Sotoudeh; Amirali Jahanshahi; Mohammad Ashrafzadeh Takhtfooladi; Ali Bazzazan; Nasim Roodbari; Maryam Pourramezani Harati. 2013. Otostegia persica Extraction on Healing Process of Burn Wounds. Acta Cirurgica Brasileira Vol. 28 (6) – 407. Ghosal, M. & Mandal, P. 2012. Phytochemical Screening And Antioxidant Activities Of Two Selected ‘Bihi’ Fruits Used As Vegetables In Darjeeling Himalaya. International Journal Of Pharmacy And Pharmaceutical Sciences. ISSN.4(2), 975-1491. Gibson, John. 2002. Fisiologi dan Anatomi Modern untuk Perawat (Sugiarto, Bertha, penerjemah). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran, 479. Girish, K. S., & Kemparaju, K. (2007). The magic glue hyaluronan and its eraser hyaluronidase: A biological overview. Life Sciences, 80, 1921–1943. Gonçalves, Rui F; Artur M S Silva; Ana Margarida Silva; Patrícia Valentão; Federico Ferreres; Angel Gil Izquierdo; João B Silva; Delfim Santos; Paula B Andrade. 2013. Influence of taro (Colocasia esculenta L. Shott) growth conditions on the phenolic composition and biological properties. Food Chemistry 141, 3480-3485. Gunstream, Stanley E. 2000. Anatomy and Physiology. Boston: Mc Graw Hill. Gurtner, Geoffrey C. 2008. Wound repair and regeneration. Nature 453, 314-321. Gurtner, G.C. 2007. Wound Healing Normal and Abnormal. Grabb and Smith’s Plastic Surgery. Sixth edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. Guyton A. C., Hall J. E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta : EGC Halligudi, Nirmala. 2013. Pharmacological Potential of Calocasia An Edible Plant. Journal of Drug Discovery and Therapeutic 1(2), 5-9. Hanani, E., A. Mun’im, & R. Sekarini. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian, 2(3), 127-133. Hapsari NM. 2006. Aktivitas ekstrak etanol kulit batang singkong (Manihot esculenta Crantz) dalam proses persembuhan luka pada mencit (Mus musculus albinus). skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hartono, Elda Arini. 2011. Efek Ekstrak Etanol Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) Dalam Mempercepat Durasi Penyembuhan Luka Sayat Pada Mencit Swiss Webster Jantan. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha. Bandung. Haryani Yuli., Siti Muthmainah., Saryono Sikumbang. 2013. Uji Parameter Non Spesifik dan Aktivitas Antibakteri Ekstrak Metanol dari Umbi Tanaman Dahlia (Dahlia variabilis). Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia 1(2) : 4346. Henry Tarcisius. 2007. Perbedaan derajat infeksi dan hitung kuman antara mesh monofilament dan multifilament makropori serta pure tissue repair. Tesis. Semarang : Universitas Diponogoro Semarang. Isgianto, W. A. 2005. Pengaruh Vitamin C Terhadap Jumlah Neutrofil PMN pada Proses Penyembuhan Luka pada Gingiva Tikus (Rattus norvegiccus)”. Skripsi. Jember: Universitas Jember Fakultas Kedokteran Gigi.
72
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Iswanti, D.A. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi N-Heksan, Fraksi Etil Asetat, Dan Fraksi Etanol 96% Daun Ekor Kucing (Acalypha Hispida Burm. F)Terhadap Bakteri Staphylococcus Aureusatcc 25923 Secara Dilusi. [Skripsi] Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi Surakarta. Jones, W. P. & A. D. Kinghorn. 2006. Extraction of Plant Secondary Metabolites. In: Sarker, S. D., Latif, Z. and Gray, A. I., eds. Natural Products Isolation. 2nd Ed. New Jersey: Humana Press, 341-342. Katili, Abubakar Sidik. 2009. Struktur dan Fungsi Protein Kolagen. Jurnal Pelangi Ilmu 5 (2), 19-29. Kasote, Deepak M. 2011. Antioxidant and Alpha-Amylase Inhibitory Activity of Methanol Extract of Colocasia esculenta Corm. Pharmacologyonline 2, 715-721. Kiessoun K., Souza A., Meda N.T.R., Coulibaly A.Y., Kiendrebeogo M., LamienMeda A., Lamidi M., Millogo Rasolodimby J., Nacoulma O.G., 2010, Polyphenol Contents, Antioxidant and Anti-Inflammatory Activities of Six Malvaceae Species Traditionally used to Treat Hepatitis B in Burkina Faso. European Journal of Scientific Research, 44(4), 570-580. Koawara, sutrisno. 2013. Teknologi Pengolahan Umbi-umbian. Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center Reseach and Community Service Institution, IPB. Kolarsick, Paul A. J., Kolarsick M. A., Goodwin C. 2011. Anatomy and Physiology of the Skin. Journal of the Dermatology Nurse’s Association, 3 (4), 203-213. Kozier, B. gtal. 1995. Fundamental of Nursing, Concops, Proccss and Practice. 4thedition. Addison Wesle. Publishing company Inc. hal 1359-1367. Krinke, G. J. 2000. The Laboratory Rat. San Diego, CA: Academic Press. Hal, 150-152. Kumar B; M. Vijayakumar; R. Govindarajan; P. Pushpangadan. 2007. Ethnopharmacological approaches to wound healing exploring medicinal plants of India. Journal of Ethnopharmacology 114 (2), 103-113. Kusmiati., Fitria Rachmawati., Syafrida Siregar., Sukma Nuswantara., Amarila Malik. 2006. Produksi Beta-1,3 Glukan dari Agrobacterium dan Aktivitas Penyembuhan Luka Terbuka Pada Tikus Putih. Makara, Sains 1(10), 2429. Lachman, L., Lieberman, H.A., dan Kanig, J.L. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi Industri. Terjemahan Siti Suyatmi. Edisi ketiga. Jakarta: penerbit Universitas Indonesia, 1081-1117. Li, Hong Mei., Seung Hwan Hwang., Beom Goo Kang., Jae Seung Hong., Soon Sung Lim. 2014. Inhibitory Effects of Colocasia esculenta (L.) Schott Constituents on Aldose Reductase. Molecules (19) : 13212-13224. Marliana, Soerya Dewi., Venty Suryanti., Suyono. 2005. Skrining Fitokimia dan Analisis Kromatografi Lapis Tipis Komponen Kimia Buah Labu Siam (Sechium edule Jacq. Swartz.) dalam Ekstrak Etanol. ISSN: 1693-2242, Biofarmasi 3 (1), 26-31. Mathivanan, N., Surendiran, G., Srinivasan, K., Malarvizhi, K. 2006. Morinda pubescens J.E. Smith (Morinda tinctoria Roxb.) Fruit Extract Accelerates Wound Healing in Rats. Journal of Medicinal Food 9 (4), 591-593.
73
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Mayasari.2003. Sambiloto sebagai Bahan Antibakterial. Universitas Gajah Mada : Yogyakarta. McEwan, Ronalda. 2008. Anti-Nutritional Constituent of Colocasia esculenta (Amadumbe) a Traditional Crop Food in Kwazulu-Natal. Thesis. Department of Biochemistry and Microbiology, Faculty of Science University of ZuluJand. Mc Kay and Miller. (2003). Review: Nutritional Support for Wound Healing. Alternative Medicine Review 8(4), 359-377. Meenakshi, V.K; S. Senthamarai; M. Paripoorana Selvi; S. Gomathy; D. Shanmuga Priya and K. P. Chamundeswari. 2012. Antibacterial Activity Of Simple Ascidian Ascidia sydneiensis (Family: Ascidiidae) Against Human Pathogens. Journal of Microbiology and Biotechnology Research, 2 (6), 894-899. Mirzal Tawi Rangkang. “Proses Penyembuhan Luka”. Jan 25, 2015. Morton, J. J. P., Malone M. H. 1972. Evaluation of Vulnerary by An Open Wound Procedure in Rats. Archive Int Pharmacodyn, 117-128. Mun’im, Abdul; Azizahwati; dan Ayu Fimani. 2012. Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sirih Merah (Piper cf.fragile, Benth) Secara Topikal Terhadap Penyembuhan Luka Pada Tikus Putih Diabet. Departemn Farmasi FMIPA UI. Mojab, F., Kamalinejad, M., Ghaderi, N., & Vahidipour, H. R. 2003. Phytochemical Screening Of Some Species Of Iranian Plants. Iranian Journal Of Pharmaceutical Research, 77-82. Mulyata S. 2002. Analisis Imunohistokimia TGF β Indikasi Hambatan Kesembuhan Luka Operasi Episiotomi pada Tikus Sprague Dawley ; 1st Indonesian symposium on obstetric anesthesia. Bandung. Nagori, B.D. and Solanki, R. 2011. Role of Medicinal Plants in Wound Healing. Research Journal of Medicinal Plant 5 (4), 392-405. Nayak, B.S., Sandiford, S., Maxwell, A. 2007. Evaluation of the Wound-healing Activity of Ethanolic Extract of Morinda citrifolia L.Leaf. Evid Based Complement Alternative Medicine; 6 (3), 351-356. Nisa, Vina M., Zahara Meilawaty, Pudji Astuti. 2013. Efek Pemberian Ekstrak Daun Singkong (Manihot esculenta) Terhadap Proses Penyembuhan Luka Gingiva Tikus (Rattus norvegicus). Artikel Ilmiah Hasil Penelitian Mahasiswa. Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Jember (UNEJ). O’leary. 1996. The Physiologic Basic of Surgery 2 th Edition. Philadelphia: Williams and Wilkins, 118. Okeke C. U. dan Iweala E. 2007. Antioxidant Profile of Dioscorea rotundata, Manihot esculenta, Ipoemea batatas, Vernonia amygdalina and Aloe vera. J Med Res Technol (4) : 4-10. Onwueme, I.C. 1999. Taro Cultivation in Asia and Pacific (FAO-RAP Publication No. 1999/16). Paputungan, Fachrial., Paulina V. Y. Yamlean., Gayatri Citraningtyas. 2014. Uji Efektifitas Salep Ekstrak Etanol Daun Bakau HItam (Rhizophora mucronata Lamk) dan Pengujian terhadap Proses Penyembuhan Luka Punggung Kelinci yang Diinfeksi Bakteri Staphylococcus aureus. Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT. 3 (1) : 2302 - 2493.
74
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Partogi, Donna. 2008. Tehnik Eksisi. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik/RS. Dr. Pirngadi Medan. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3404/ 1/08E00850.pdf Patil, M.V.K., Kandhare, A.D., Bhise, S.D. 2012. Pharmacological evaluation of ethanolic extract of Daucus carota Linn root formulated cream on wound healing using excision and incision wound model. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine, 646-655. Prabakti, Y. 2005. Perbedaan Jumlah Fibroblas Di Sekitar Luka Insisi Pada Tikus Yang Diberi Infiltrasi Nyeri Levobupivakain dan Yang Tidak Diberi Levobupivakain. Semarang: UNDIP, 25. Prajapati, Rakesh. 2011. Colocasia esculenta: A Potent Indigenous Plant. International Journal of Nutrition, Pharmacology, Neurological Diseases 2 (1), 90-96. Price, S. A. dan Wilson, L. M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1. Edisi 6. Alih bahasa oleh Brahm U. Pendit, et al. 2005. Jakarta: EGC. Pudjiatmoko. 2008. Talas Jepang Satoimo. http://atanitokyo.blogspot.com/2008/04/talas-jepang-satoimo.html., diakses tanggal 23 Maret 2015. Purseglove, J. W. 1992. Tropical Crops: Monocotyledons. Longman Group, Singapore. Rahayu F, Ade WFW, Rahayu W. 2013. Pengaruh Pemberian Topikal Gel Lidah Buaya (Aloe chinensis Baker ) terhadap Reepitelisasi Epidermis pada Luka Sayat Kulit Mencit (Mus Musculus). Jurnal Kesehatan : 1-2. Rao, R. Ramanatha., P. J. Matthews., P. B. Eyzaguirre., D. Hunter. 2010. The Global Diversity of Taro: Ethnobotany and Conservation. Roma : Bioversity International Rasal, V.P., Sinnathambi, A., Ashok, P., Yeshmaina, S. 2008. Wound Healing and Antioxidant Activities of Morinda citrifolia Leaf Extract in Rats. Iranian Journal of Pharmacology & Therapeutics 1 (7), 49-52. Reddy, G.A.K., Priyanka, B., Saranya, Ch.S., Kumar, C.K.A. 2012. Wound Healing Potential Of Indian Medicinal Plants. International Journal of Pharmacy Review & Research 2, 75-78. Robbins, S. L., Cotran, R. S. dan Kumar, V. 2007. Buku Ajar Patologi Penyakit. Edisi 7. Alih bahasa oleh Muhammad Asroruddin, Huriawati Hartanto dan Nurwany Darmaniyah.Jakarta: EGC. Robinson. T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Penerjemah : Padmawinata, K. Penerbit ITB : Bandung Rowe, R. C., Sheskey, P. J., Owen, S. C., 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients, 5th edition. London : Pharmaceutical Press. Roxas, Lilibeth A. 2013. Efficacy of Tarin from Colocasia esculenta (L.) Schott on the Histological Changes of Buffalo Meat (Bubalus bubalis L). Journal of Arts, Science & Commerce. 4 (3) : 110-116. R. Sjamsuhidajat dan Wim de Jong. 2004. Luka. Dalam : Buku-ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: EGC: 67-8,70-1. Rubatzky, V. C., and M. Yamaguchi., 1995. Sayuran Dunia I. Prinsip Produksi dan Gizi. ITB. Bandung. 75
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rukmana. 1998. Budidaya Talas. Kanisius : Yogyakarta. Rukmana, Rahmat.2002. Ubi Kayu, Budi Daya dan Pascapanen. Cetakan 6. Kanisius : Yogyakarta. Rukmono. 1996. Patologi. Kumpulan Kuliah Patologi. Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
Sarma & Babu. 2011. Pharmacognostic and Phytochemical Studies of Ocimum americanum. J. Chem. Pharm. Res., 3(3), 337 – 347. Schwart, spencer. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Badah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Schwartz, Shires S., & Daly F. G. 1999. Principles of Surgery. ( 7th Ed.). Volume 1. USA : Mc-Graw Hill, 263-278. Shahwar D., Shafiq-ur-Rehman, Ahmad N., Ullah S., Raza M.A., 2010, Antioxidant Activities of the Selected Plants from the Family Euphorbiaceae, Lauraceae, Malvaceae and Balsaminaceae. African Journal of Biotechnology, 9(7), 1086-1096. Sharma P.C., Yelne M.B. and Dennis T.J. 2001. Database on Medicinal Plants Used in Ayurveda, 369-377. Sheeba M; S Emmanuel; K Revathi; S Ignacimuthu. 2009. Wound healing activity of Cassia occidentalis L. in albino Wistar rats. International Journal of Integrative Biology (IJIB) 1 (8), 1-6. Sidik, Mahmood, A.A.,K & I. Salmah. 2005. Wound Healing Activity of Carica papaya L Aqueous Leaf Extract in Rats. International Journal of Moleculer Medicine and Advance Sciences 1 (4) : 398-401 Soni, Himesh and Akhlesh Kumar Singhai. 2012. A Recent Update of Botanicals for Wound. Healing Activity. International Research Journal of Pharmacy (IRJP), 7 (3) : 1-7. Srivastava, SK. (1992). Modern Consepts in Surgery. New Delhi: Mc Graw Hill, 455-456. Strauss, M. S.; J. D. Michaud; and J. Arditti. 1979. Seed storage and germination and seedling proliferation in taro, Colocasia esculenta (L.) Schott. Ann. Bot. 43, 603-612 Subhash, Chandra; Saklani Sarla; and Jaybardhan. 2012. Phytochemical Screening of Garhwal Himalaya Wild Edible Tuber Colocasia esculenta. International Reseach Journal of Pharmacy 3 (3), 181-186. Takahashi, Makoto; Yonathan Asikin; Kensaku Takara and Koji Wada. 2012. Screening of Medical and Edible Plants In Okinawa, Japan, for Enhanced Proliferative and Collagen Synthesis Activities in NB1RGB Human Skin Fibroblast Cells. Bioscience, Biotechnology, Biochemistry 76 (12), 23172320. Taylor, C., Lilis C., LeMone. P. 1997. Fundemental of Nursing The Art and science of Nursing care. 4th edition. Philadelpia : JB Lippincoff. 699-705. Telaumbanua, Eka Setiawan Karsa. 2005. Pemanfaatan Tepung Umbi Talas (Colocasia esculenta L.) dan Solid Dekanter dalam Ransum Terhadap Performans Itik Peking Umur 1 Hari-84 Hari. Skripsi. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Thakur, R., Jain, N., Pathak, R., Sandhu, S.S. 2011. Practices in Wound Healing Studies of Plants. Review Article Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 1-15. 76
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tranggono, R.I., F. Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta : Gramedia. Ugochukwu, Solomon Charles., Arukwe Uche and Onuoha Ifeanyi. 2013. Preliminary phytochemical screening of different solvent extracts of stem bark and roots of Dennetia tripetala G. Baker. Asian Journal of Plant Science and Research, 3(3), 10-13 Wang, Jaw-Kai. 1983. Taro, a review of Colocasia esculenta and its potentials. University of Hawaii Press : United States of America. Wasiatmadja & Syarif. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: UI Press, 3-8. Wei, Lee Seong, et al. 2011. Antimicrobial, antioxidant, anticancer property and chemical composition of different parts (corm, stem and leave) of Colocasia esculenta extract. Medical University in Lublin 24 (3), 9-16. WHO. 2011. Report on the Burden of Endemic Health Care-Associated Infection Worldwide.http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/80135/1/97892415015 07_eng.pdf?ua=1, diakses tanggal 22 April 2015. WHO. 2014. Rabies. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs099/en/#, diakses tanggal 22 April 2015. WHO. 5 Juli 2014. Immunization, Vaccines and Biologicals. http://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/sur veillance_type/passive/tetanus/en/, diakses tanggal 22 April 2015. Wijaya, Bryan Alfonsius., Gayatri Citraningtyas., dan Frenly Wehantouw. 2014. Potensi Ekstrak Etanol Tangkai Daun Talas (Colocasia esculenta [L]) Sebagai Alternatif Obat Luka Pada Kulit Kelinci (Oryctolagus cuniculus). Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT 3 (3), 2302-2493. Wijaya, Rizky Aris., Latifah., dan Winarni Pratjojo. 2013. Formulasi Krim Ekstrak Lidah Buaya (Aloe vera) Sebagai Alternatif Penyembuhan Luka Bakar. Indonesian Journal of Chemical Science 2 (3). Yendriwati. 2006. Kebutuhan Vitamin C dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan Tubuh dan Rongga Mulut. Dentika Dental Journal 2 (1): 78-83 Yenti, Revi., Ria Afrianti., Linda Afriani. 2011. Formulasi Krim Ekstrak Etanol Daun Kirinyuh (Euphatorium odoratum. L) untuk Penyembuhan Luka. Pharma Medika, 3 (1), 227-230.
77
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1. Alat dan Bahan
Gambar 8. Botol Maserasi
Gambar 11. Tanur tinggi
Gambar 14. Oven (Memmert)
Gambar 9. Vacuum Rotary Evaporator
Gambar 10. Timbangan Analitik
Gambar 12. Desikator
Gambar 13. Ekstrak kental
Gambar 15. Umbi Talas Jepang
78
Gambar 16. Pelarut Etanol 96%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 17. Oven Vakum
Gambar 19. Alat Bedah
Gambar 18. Hot Plate
Gambar 20. Krim Bahan Uji
79
Gambar 21. Reagen Penapisan Fitokimia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 2. Prosedur kerja
Gambar 23. Proses Maserasi
Gambar 24. Proses Penyaringan
Gambar 25. Proses Pengentalan Ekstrak
Gambar 26. Proses Pengeringan ekstrak
Gambar 27. Pembuatan Krim Bahan Uji
Gambar 28. Pembuatan Luka
Gambar 29. Pengolesan Krim Bahan Uji
Gambar 30. Eksisi Jaringan Kulit
Gambar 31. Pengamatan Preparat Histopatologi
80
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 3. Determinasi Tanaman Colocasia esculenta (L.) Schott
81
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 4. Skema Pembuatan Krim Ekstrak Umbi Talas Jepang
Tanaman talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) dideterminasi di Herbarium Bogoriense-LIPI Pencucian, sortasi basah, perajangan, pengeringan, sortasi kering dan penyerbukan umbi talas jepang Serbuk umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) Ekstraksi Residu
- Maserasi dengan etanol 96% - Disaring dengan kapas dan kertas saring
Maserat - Identitas
Pengeringan ekstrak dengan oven vakum
Penguapan dengan rotary evaporator Ekstrak kental
- Skrining fitokimia
Standarisasi ekstrak
Pembuatan krim ekstrak etanol umbi talas jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) KN (basis krim tanpa ekstrak/kontrol negatif)
- Organoleptik
Parameter spesifik
KU I (krim dengan konsentrasi ekstrak 1%)
Uji organoleptik
Parameter non spesifik
KU II (krim dengan konsentrasi ekstrak 5%)
- Kadar air - Kadar abu
KU III (krim dengan konsentrasi ekstrak 25%)
Uji Homogenitas
82
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 5. Alur Penelitian
Hewan uji tikus jantan galur Sprague Dawley Aklitimasi selama 1 minggu Pengelompokan tikus secara acak (@6 ekor)
Pembuatan luka Pemberian krim ekstrak etanol umbi talas jepang pada tikus selama 14 hari
KP (kontrol positif/ krim Lanakeloid-E®)
KN (kontrol negatif)
KU I (ekstrak 1%)
Pengamatan diameter luka selama 14 hari
KU II (ekstrak 5%)
KU III (ekstrak 25%)
Pada hari ke-7, tikus dikorbankan dan dilakukan eksisi jaringan kulit tikus
Analisa data
Pembuatan preparat histopatologi Pengamatan preparat histopatologi Keberadaan sel radang dan fibrolas
83
Neokapilerisasi
Kerapatan kolagen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 6. Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang Tabel 11. Hasil Penapisan Fitokimia Hasil penapisan fitokimia
Metode
Hasil
Ket
Metode Mayer : Ekstrak + 5 mL HCl 2 M + 0,5 gram NaCl, disaring + 3 tetes HCl 2 M + pereaksi Mayer
Endapan
+
Metode Wagner : Ekstrak + 5 mL HCl 2 M + 0,5 gram NaCl, disaring + 3 tetes HCl 2 M + pereaksi Wagner
Endapan
+
Ekstrak + amonia 25% hingga pH 89 + kloroform, diuapkan + HCl 2M, disaring + pereaksi Mayer
Endapan
+
Ekstrak + amonia 25% hingga pH 89 + kloroform, diuapkan + HCl 2M, disaring + pereaksi Dragendorff
Endapan
+
Perubahan warna merah tua sampai ungu
+
Identifikasi Alkaloid
Uji Penegasan
Identifikasi Flavonoid
Metode Bate Smith-Metchalf : Ekstrak + heksana Residu + 20 mL etanol + 0,5 mL HCl pekat dipanaskan
84
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Metode Wilstater : Ekstrak + heksana Residu + 20 mL etanol + logam Mg
Perubahan warna
+
Terbentuknya busa yang mantap (tidak hilang selama 30 detik)
+
Terbentuknya cincin merah sampai coklat
+
Terbentuknya warna coklat kemerahan pada antarmuka dalam larutan
+
perubahan warna dari violet menjadi biru atau hijau
+
Identifikasi Saponin
Metode Forth : Ekstrak + 10 mL akuades dikocok selama 30 detik
Uji Penegasan Ekstrak + heksana residu + kloroform diaduk 5 menit + Na2SO4 anhidrat disaring + ditetesi anhidrat asetat + H2SO4 pekat diaduk Identifikasi Terpenoid
Ekstrak + 2 ml kloroform + 3 ml H2SO4 pekat dengan hati-hati
Identifikasi Steroid
Ekstrak + 2 ml asam asetat anhidrat + 2 ml H2SO4 pekat
Identifikasi Tanin dan Polifenol
Ekstrak + akuades panas didinginkan + 5 tetes NaCl 10% disaring + 3 tetes FeCl3
85
Perubahan warna
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
+
Ekstrak + akuades panas didinginkan + 5 tetes NaCl 10% disaring + garam gelatin
Perubahan warna
-
cincin merah bata menjadi biru atau ungu
+
Identifikasi Glikosida Jantung Metode Keller Kelliani : Ekstrak + heksana Residu dipanaskan + 3 mL FeCl3 + 1 mL H2SO4 P
86
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 7. Tahapan Pengukuran Diameter Luka dengan Aplikasi ImageJ
b) Pilih foto yang digunakan
a) Buka aplikasi ImageJ, klik “File” dan “Open” pada menubar
c) Klik “Straight” pada menu toolbar dan buat garis lurus sepanjang 1 cm pada penggaris
d) Klik “Analyse” dan “Set Scale” pada menubar
e) Ketik ukuran panjang penggaris pada kolom “ Known Distance”, dalam penelitian ini adalah 1, kemudian satuannya dalam kolom “ Unit of Length” dalam penelitian ini adalah cm dan klik “Ok”
f) Buat garis lurus sepanjang diameter luka
87
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
g) Klik “Analyse” kemudian klik “Measure” pada menubar
h) Muncul halaman baru “Result” dan data yang digunakan terdapat pada kolom “Length”
i) Lakukan langkah “a” sampai”h” untuk mengukur diameter luka hewan uji lainnya, halaman “Result” dapat disimpan dengan cara klik “File” kemudian klik “Save”
88
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 8. Pemeriksaan Parameter Ekstrak 1. Perhitungan Randemen % Randemen= % Randemen=
Bobot Ekstrak yang didapat
bobot serbuk simplisia yang diekstraksi
168,859 g 1600 g
× 100%
× 100%
% Randemen= 10,554%
2. Pemeriksaan Kadar Air Bobot wadah kosong (W0) = 20,474 g Bobot ekstrak + wadah sebelum pemanasan (W1) = 21,538 g Bobot ekstrak + wadah setelah pemanasan (W2) = 21,356 g 21,538 g−21,356 g
%Kadar air = 21,538 g−20,474 g x 100% 0,182
%Kadar air = 1,064 x 100% %Kadar air = 17,105%
3. Pemeriksaan Kadar abu Berat krus kosong (W0) = 60,815 g Berat krus kosong + berat ekstrak sebelum dikeringkan (W1) = 63,053 g Berat krus kosong + berat ekstrak setelah dikeringkan (W2) = 60,899 g W2−W0
%Kadar Abu = W1−W0 x 100% 60,899 g−60,815 g
%Kadar Abu = 63,053 g−60,815 g x 100% 0,084
%Kadar Abu = 2,238 x 100% %Kadar Abu = 3,753%
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
Lampiran 9. Luka Tikus Mulai Hari Ke-0 Hingga Hari ke-14 Tabel 12. Foto Luka Tikus Mulai Hari ke-0 Hingga Hari ke-14 No
Kelompok Hewan Uji
Hari ke-0
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Pengamatan Penyembuhan Luka Hari Hari Hari Hari Hari ke-5 ke-6 ke-7 ke-8 ke-9
Hari ke-10
Hari ke-11
Hari ke-12
Hari ke-13
1 2
1
Kelompok Kontrol Positif
3 4 5
2
Kelompok Kontrol Negatif
6
Pembuatan Preparat Histopatologi
1
Pembuatan Preparat Histopatologi
2
3
Hari ke-14
91
4 5 6 1
2
3
Kelompok Uji I (ekstrak 1%)
3
4
5
6
4
Kelompok Uji II (Ekstrak 5%)
1 2
Pembuatan Preparat Histopatologi
92
3 4 5 6 Pembuatan Preparat Histopatologi 1
2
5
3 Kelompok Uji III (Ekstrak 4 25%) 5 Pembuatan Preparat Histopatologi 6
93
Lampiran 10. Diameter luka seluruh kelompok hewan uji Tabel 13. Diameter, Luas dan Persentase Penyembuhan Luka Tiap Kelompok Diameter Luka Kelompok Hewan Uji (cm) Kontrol Positif
Pengamatan
Kontrol Negatif
1
2
3
4
5
d1
0,96
1,00
0,89
1,21
1,10
d2
1,01
1,09
0,81
1,08
d3
1,01
0,99
0,86
d4 Diameter rata-rata
0,85
1,17
0,95
Luas luka
Hari ke-0
1
2
3
1,14
1,03
1,06
1,04
0,97
0,96
1,11
1,01
1,04
0,81
1,10
1,01
1,06
0,84
1,13
Kelompok Uji I (1) 4
Kelompok Uji II (5)
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
0,92
1,03
1,15
1,12
1,16
1,05
1,13
1,08
1,03
1,16
1,04
0,81
0,89
0,97
1,15
0,93
1,06
1,05
1,11
0,95
1,12
1,12
0,93
0,83
0,86
0,88
1,15
1,05
1,10
0,94
1,10
0,96
0,95
1,01
0,92
0,85
0,84
0,85
1,15
0,95
1,03
1,03
1,02
0,97
1,04
1,04
0,96
0,89
0,87
0,93
1,15
1,01
1,09
1,02
1,09
Kelompok Uji III (25) 5
1
2
1,06
1,23
1,21
1,09
0,90
1,06
1,11
1,11
0,93
1,04
1,09
1,09
0,99
1,03
1,12
3
4
5
0,92
1,14
1,28
1,13
0,96
1,15
0,93
1,08
1,05
0,90
1,01
1,09
0,98
1,06
1,15
0,85
1,08
1,09
1,08
0,97
1,11
1,14
0,91
1,09
1,09
0,72
0,89
0,56
0,99
0,85
0,85
0,72
0,62
0,60
0,68
1,04
0,81
0,93
0,81
0,93
0,77
0,84
0,99
0,92
0,73
0,96
1,01
0,65
0,94
0,94
d1
0,83
0,78
0,69
1,10
1,00
1,28
0,83
1,07
1,59
0,96
1,14
0,97
1,09
1,16
1,25
0,93
0,99
1,19
1,11
1,25
1,22
1,07
1,18
1,10
0,97
d2
1,02
1,03
0,74
0,80
0,79
1,21
0,88
0,90
0,92
1,12
1,08
1,01
1,08
1,06
0,96
1,11
0,79
1,07
1,08
1,08
1,04
1,02
1,01
1,04
0,96
d3
0,87
0,96
0,73
0,87
0,86
1,10
0,96
1,00
1,19
0,98
1,08
0,98
1,04
1,07
0,97
0,93
0,92
1,03
1,02
1,04
1,10
1,03
1,00
1,05
0,92
d4 Diameter rata-rata
0,85
0,82
0,74
0,89
0,81
1,13
0,86
0,86
1,12
1,03
1,10
0,92
1,11
1,11
0,97
0,99
0,86
1,08
1,12
1,15
1,05
1,18
1,02
1,08
1,08
0,89
0,90
0,72
0,91
0,86
1,18
0,88
0,96
1,20
1,02
1,10
0,97
1,08
1,10
1,04
0,99
0,89
1,09
1,08
1,13
1,10
1,07
1,05
1,07
0,98
Luas luka
0,62
0,63
0,41
0,66
0,59
1,10
0,61
0,72
1,14
0,82
0,95
0,74
0,91
0,95
0,84
0,77
0,62
0,93
0,92
1,00
0,95
0,90
0,87
0,90
0,75
% penyembuhan
6,57
15,49
13,94
18,69
16,92
-13,56
7,99
-7,83
-37,72
-9,75
4,20
4,24
1,13
-7,88
5,00
-0,28
13,99
2,74
0,23
-16,79
0,61
5,59
-15,67
2,49
10,42
d1
0,90
0,73
0,53
0,75
0,81
0,99
0,72
0,62
2,17
1,00
0,66
0,64
0,82
0,83
0,78
0,85
0,82
0,95
1,03
0,86
0,90
1,28
0,82
0,82
0,65
d2
0,42
0,50
0,47
0,69
0,80
0,81
0,41
0,41
1,07
0,62
0,51
0,63
0,72
0,67
0,51
0,49
0,96
0,57
0,65
0,70
0,67
0,82
0,65
0,59
0,63
d3
0,62
0,60
0,48
0,60
0,73
0,86
0,75
0,61
1,70
0,89
0,49
0,64
0,77
0,76
0,64
0,77
0,91
0,74
0,87
0,67
0,72
1,14
0,76
0,79
0,67
d4 Diameter rata-rata
0,63
0,73
0,48
0,58
0,81
0,88
0,52
0,57
1,60
0,81
0,64
0,72
0,73
0,78
0,59
0,64
0,90
0,69
0,73
0,72
0,67
1,03
0,81
0,73
0,62
0,64
0,64
0,49
0,65
0,79
0,88
0,60
0,55
1,64
0,83
0,57
0,66
0,76
0,76
0,63
0,69
0,90
0,74
0,82
0,74
0,74
1,07
0,76
0,73
0,64
Luas luka
0,32
0,32
0,19
0,33
0,49
0,61
0,28
0,24
2,10
0,54
0,26
0,34
0,45
0,45
0,31
0,37
0,63
0,43
0,53
0,43
0,43
0,89
0,45
0,42
0,32
Hari ke-3
Hari ke-6
94
% penyembuhan
Hari ke-9
32,61
39,56
41,53
42,02
24,25
27,63
37,57
37,63
-87,07
10,88
50
35,27
0,17
0,45
0
0,44
0,33
0,35
0,26
0,56
0,48
0,34
0,24
0,12
0,61
0,53
0,31
0,46
0,15
0,33
0
0,45
0,12
0,23
0,21
0,31
0,19
0,16
0,17
0,16
0,45
0,32
0,11
0,38
0,28
0
0,37
0,24
0,27
0,31
0,40
0,36
0,23
0,24
0,11
0,41
0,40
0,20
0,36
0
0,43
0,20
0,31
0,24
0,43
0,47
0,24
0,22
0,12
0,46
0,41
0,15
0,36
0,42
0,22
0,29
0,26
0,43
0,37
0,24
0,22
0,12
0,48
0,41
0,19
0,39
d1
0,40
0,30
0,13
0,28
0,21
0,67
0,25
0,25
1,72
d2
0,22
0,21
0,09
0,10
0,19
0,40
0,23
0,16
0,73
d3
0,33
0,21
0,10
0,18
0,18
0,49
0,20
0,20
1,12
0,15
30,17
25,44
42,21
30,41
13,12
34,05
24,39
23,69
33,21
6,18
16,50
33,23
41,54
d4 Diameter rata-rata
0,29
0,21
0,09
0,16
0,20
0,44
0,18
0,18
1,13
0,14
0,32
0,31
0,23
0,10
0,18
0,20
0,50
0,21
0,20
1,18
0,15
0,35
Luas luka
0,07
0,04
0,01
0,03
0,03
0,19
0,04
0,03
1,09
0,02
0,09
0
0,14
0,04
0,07
0,05
0,14
0,11
0,05
0,04
0,01
0,18
0,13
0,03
0,12
% penyembuhan
67,78
78,23
87,66
83,96
81,23
52,09
77,66
77,69
-34,46
83,64
69,96
100
61,17
78,32
73,38
73,99
58,75
66,58
77,85
77,37
88,83
57,50
54,49
82,42
64,24
d1
0
0
0
0
0
0
0
0
1,68
0
0
0
0,16
0
0,21
0,19
0,15
0
0
0
0
0,30
0,56
0
0
d2
0
0
0
0
0
0
0
0
0,62
0
0
0
0,14
0
0,10
0,09
0,15
0
0
0
0
0,12
0,21
0
0
d3
0
0
0
0
0
0
0
0
0,95
0
0
0
0,12
0
0,19
0,15
0,13
0
0
0
0
0,16
0,34
0
0
d4 Diameter rata-rata
0
0
0
0
0
0
0
0
1,25
0
0
0
0,12
0
0,17
0,14
0,15
0
0
0
0
0,18
0,32
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1,12
0
0
0
0,14
0
0,17
0,14
0,15
0
0
0
0
0,19
0,36
0
0
Luas luka
Hari ke-12
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,99
0
0
0
0,01
0
0,02
0,02
0,02
0
0
0
0
0,03
0,10
0
0
% penyembuhan
100
100
100
100
100
100
100
100
-28,45
100
100
100
87,53
100
84,46
85,49
85,84
100
100
100
100
83,35
60,39
100
100
d1
0
0
0
0
0
0
0
0
1,37
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,21
0
0
d2
0
0
0
0
0
0
0
0
0,48
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,07
0
0
d3
0
0
0
0
0
0
0
0
0,90
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,11
0
0
d4 Diameter rata-rata
0
0
0
0
0
0
0
0
0,75
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,09
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,87
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,12
0
0
Luas luka
0
0
0
0
0
0
0
0
0,60
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,01
0
0
100
100
100
100
100
100
100
100
-0,06
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
86,89
100
100
Hari ke-14
% penyembuhan
Lampiran 11. Hasil Analisa Statistik Persentase penyembuhan luka Paired Sample T-Test Tujuan : untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan dari rata-rata persentase penyembuhan luka antara dua kelompok sampel yang berpasangan (berhubungan) Hipotesis : Ho = Data persentase penyembuhan luka tidak berbeda signifikan Ha = Data persentase penyembuhan luka berbeda signifikan Pengambilan keputusan : Jika nilai signifikansi > 0,05 berarti Ho diterima Jika nilai signifikansi 0,05 berarti Ho ditolak Kelompok Kontrol Positif a.
Hari ke-0 dan hari ke-3
Tabel 14. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-0 dan 3 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kontrol_positif_0 kontrol_positif_3
-1.43212E1
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference
4.67240
2.08956
Lower
Upper
-20.12275
-8.51965
t
df
-6.854
4
Sig. (2tailed)
.002
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol positif pada hari ke-0 dan ke-3 berbeda signifikan. b.
Hari ke-3 dan hari ke-6
Tabel 15. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-3 dan 6 Paired Differences 95% Confidence Mean
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference Lower
Pair 1
kontrol_positif_3 kontrol_positif_6
-2.16738E1 8.18511
95
3.66049
t
df
-5.921
4
Sig. (2tailed)
Upper
-31.83696 -11.51064
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
.004
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol positif pada hari ke-3 dan ke-6 berbeda signifikan. c.
Hari ke-6 dan hari ke-9
Tabel 16. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-6 dan 9 Paired Differences 95% Confidence Mean
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference Lower
Pair 1
kontrol_positif_6 kontrol_positif_9
-4.37780E1
8.41605
3.76377
t
df
Sig. (2tailed)
Upper
-54.22790 -33.32810 -11.631
4
.000
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol positif pada hari ke-6 dan ke-9 berbeda signifikan. d.
Hari ke-9 dan hari ke-12
Tabel 17. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Positif Hari ke-9 dan 12 Paired Differences 95% Confidence Mean
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference Lower
Pair 1
kontrol_positif_9 kontrol_positif_12
-2.02270E1
7.54976
3.37635
t
df
-5.991
4
Sig. (2tailed)
Upper
-29.60126 -10.85274
.004
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol positif pada hari ke-9 dan ke-12 berbeda signifikan. Kelompok Kontrol Negatif a.
Hari ke-0 dan hari ke-3
Tabel 18. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-0 dan 3 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kontrol_negatif_0 kontrol_negatif_3
-1.59860
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference
3.57458
96
1.59860
Lower
Upper
-6.03703
2.83983
t
df
-1.000
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sig. (2tailed)
.374
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol negatif pada hari ke-0 dan ke-3 tidak berbeda signifikan. b.
Hari ke-3 dan hari ke-6
Tabel 19. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-3 dan 6 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kontrol_negatif_3 kontrol_negatif_6
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference
-2.11428E1 15.30923
6.84650
Lower
Upper
-40.15173
-2.13387
t
df
-3.088
4
Sig. (2tailed)
.037
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol negatif pada hari ke-3 dan ke-6 berbeda signifikan. c.
Hari ke-6 dan hari ke-9
Tabel 20. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-6 dan 9
Paired Differences 95% Confidence Interval of the
Mean Pair 1 kontrol_negatif_6 kontrol_negatif_9
Std.
Std. Error
Deviation
Mean
-3.54756E1 26.51654
11.85856
Difference Lower -68.40024
Upper -2.55096
Sig. (2t
df
-2.992
tailed) 4
.040
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol negatif pada hari ke-6 dan ke-9 berbeda signifikan. d.
Hari ke-9 dan hari ke-12
Tabel 21. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Kontrol Negatif Hari ke-9 dan 12 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kontrol_negatif_9 kontrol_negatif_12
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference
-2.17830E1 17.22704
97
7.70417
Lower
Upper
-43.17319
-.39281
t
df
-2.827
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sig. (2tailed)
.047
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok kontrol negatif pada hari ke-9 dan ke-12 berbeda signifikan. Kelompok Uji I (ekstrak 1%) a.
Hari ke-0 dan hari ke-3
Tabel 22. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-0 dan 3 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kelompok_uji_I_0 kelompok_uji_I_3
-2.91280
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference
2.20509
.98614
Lower
Upper
-5.65078
-.17482
t
df
-2.954
4
Sig. (2tailed)
.042
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji I (ekstrak 1%) pada hari ke-0 dan ke-3 berbeda signifikan. b.
Hari ke-3 dan hari ke-6
Tabel 23. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-3 dan 6 Paired Differences 95% Confidence Mean
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference Lower
Pair 1
kelompok_uji_I_3 kelompok_uji_I_6
-3.37042E1
7.99605
3.57594
t
df
-9.425
4
Sig. (2tailed)
Upper
-43.63260 -23.77580
.001
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji I (ekstrak 1%) pada hari ke-3 dan ke-6 berbeda signifikan. c.
Hari ke-6 dan hari ke-9
Tabel 24. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-6 dan 9 Paired Differences 95% Confidence Mean
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference Lower
Pair 1
kelompok_uji_I_6 kelompok_uji_I_9
-3.99504E1 18.28848
98
8.17886
t
df
-4.885
4
Sig. (2tailed)
Upper
-62.65855 -17.24225
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
.008
Keputusan :Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji I (ekstrak 1%) pada hari ke-6 dan ke-9 berbeda signifikan. d.
Hari ke-9 dan hari ke-12
Tabel 25. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-9 dan 12 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kelompok_uji_I_9 kelompok_uji_I_12
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference
-1.78304E1 12.24968
5.47822
Lower
Upper
-33.04038
-2.62042
t
df
-3.255
4
Sig. (2tailed)
.031
Keputusan :Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji I (ekstrak 1%) pada hari ke-9 dan ke-12 berbeda signifikan. e.
Hari ke-12 dan hari ke-14
Tabel 26. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji I Hari ke-12 dan 14 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kelompok_uji_I_12 kelompok_uji_I_14
-5.60220
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference
7.74778
3.46491
Lower
Upper
-15.22234
4.01794
t
df
-1.617
4
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji I (ekstrak 1%) pada hari ke-12 dan ke-14 tidak berbeda signifikan.
99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sig. (2tailed)
.181
Kelompok Uji II (ekstrak 5%) a.
Hari ke-0 dan hari ke-3 Tabel 27. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-0 dan 3 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kelompok_uji_II_0 kelompok_uji_II_3
-3.39340
Std. Deviation
6.03703
Std. Error
Interval of the
Mean
Difference
2.69984
Lower
Upper
-10.88937
4.10257
t
df
-1.257
4
Sig. (2tailed)
.277
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji II (ekstrak 5%) pada hari ke-3 dan ke-6 tidak berbeda signifikan. b.
Hari ke-3 dan hari ke-6
Tabel 28. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-3 dan 6 Paired Differences 95% Confidence Mean
Std. Deviation
Std. Error
Interval of the
Mean
Difference Lower
Pair 1
kelompok_uji_II_3 kelompok_uji_II_6
-2.17396E1 13.11058
5.86323
t
Sig. (2-
df
tailed)
Upper
-38.01853 -5.46067 -3.708
4
.021
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji II (ekstrak 5%) pada hari ke-3 dan ke-6 berbeda signifikan. c.
Hari ke-6 dan hari ke-9
Tabel 29. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-6 dan 9 Paired Differences 95% Confidence Mean
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference Lower
Pair 1
kelompok_uji_II_6 kelompok_uji_II_9
-4.57740E1
8.68509
100
3.88409
t
df
Sig. (2tailed)
Upper
-56.55797 -34.99003 -11.785
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
.000
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji II (ekstrak 5%) pada hari ke-6 dan ke-9 berbeda signifikan. d.
Hari ke-9 dan hari ke-12 Tabel 30. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-9 dan 12 Paired Differences 95% Confidence Mean
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference Lower
Pair 1
kelompok_uji_II_9 kelompok_uji_II_12
-2.33588E1
8.02975
3.59101
t
df
-6.505
4
Sig. (2tailed)
Upper
-33.32905 -13.38855
.003
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji II (ekstrak 5%) pada hari ke-9 dan ke-12 berbeda signifikan. e.
Hari ke-12 dan hari ke-14 Tabel 31. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji II Hari ke-12 dan 14 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kelompok_uji_II_12 kelompok_uji_II_14
-5.73420
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference
7.85285
3.51190
Lower
Upper
-15.48480
4.01640
t
df
-1.633
4
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji II (ekstrak 5%) pada hari ke-12 dan ke-14 tidak berbeda signifikan.
101
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sig. (2tailed)
.178
Kelompok Uji III (ekstrak 25%) a.
Hari ke-0 dan hari ke-3
Tabel 32. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-0 dan 3 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kelompok_uji_III_0 kelompok_uji_III_3
-3.82060
Std. Deviation
4.28166
Std. Error
Interval of the
Mean
Difference
1.91482
Lower
Upper
-9.13698
1.49578
t
df
-1.995
4
Sig. (2tailed)
.117
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji III (ekstrak 25%) pada hari ke-0 dan ke-3 tidak berbeda signifikan. b.
Hari ke-3 dan hari ke-6
Tabel 33. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-3 dan 6 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kelompok_uji_III_3 kelompok_uji_III_6
Std. Deviation
-2.23092E1 13.78156
Std. Error
Interval of the
Mean
Difference
6.16330
Lower
Upper
-39.42126
-5.19714
t
df
-3.620
4
Sig. (2tailed)
.022
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji III (ekstrak 25%) pada hari ke-3 dan ke-6 berbeda signifikan. c.
Hari ke-6 dan hari ke-9
Tabel 34. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-6 dan 9 Paired Differences 95% Confidence Mean
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference Lower
Pair 1
kelompok_uji_III_6 kelompok_uji_III_9
-4.33658E1 13.25652
102
5.92849
t
df
-7.315
4
Sig. (2tailed)
Upper
-59.82594 -26.90566
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
.002
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji III (ekstrak 25%) pada hari ke-6 dan ke-9 berbeda signifikan. d.
Hari ke-9 dan hari ke-12
Tabel 35. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-9 dan 12 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kelompok_uji_III_9 kelompok_uji_III_12
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference
-1.92512E1 11.85603
5.30218
Lower
Upper
-33.97241
-4.52999
t
df
-3.631
4
Sig. (2tailed)
.022
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji III (ekstrak 25%) pada hari ke-9 dan ke-12 berbeda signifikan. e.
Hari ke-12 dan hari ke-14
Tabel 36. Hasil Uji Paired Sample Test Kelompok Uji III Hari ke-12 dan 14 Paired Differences 95% Confidence Mean
Pair 1
kelompok_uji_III_12 kelompok_uji_III_14
-8.63120
Std.
Std. Error
Interval of the
Deviation
Mean
Difference
12.32135
5.51028
Lower
Upper
-23.93018
6.66778
t
df
-1.566
4
Keputusan : Data persentase penyembuhan luka untuk kelompok uji III (ekstrak 25%) pada hari ke-12 dan ke-14 tidak berbeda signifikan.
103
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Sig. (2tailed)
.192