UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEK IMUNOMODULATOR CAMPURAN KOMPONEN MENYIRIH [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2] DENGAN PELARUT AIR TERHADAP KADAR CD19 DALAM DARAH
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
RATNIKA SARI 1112102000089
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN JAKARTA JANUARI 2017
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
UJI EFEK IMUNOMODULATOR CAMPURAN KOMPONEN MENYIRIH [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2] DENGAN PELARUT AIR TERHADAP KADAR CD19 DALAM DARAH
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
RATNIKA SARI 1112102000089
PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN JAKARTA JANUARI 2017
ii
TIALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi adalah benar hasil karya saya sendirio dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
Ratnika Sari
NIM
1112102000089
Tanda tangan
Tanggal
til
11
Januari 2017
EALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama
:
MM
:1112102000089
Program
Judul
Ratnika Sari
Studi : Farmasi
: Uji Efek Imunomodulator
Campuran Komponen Menyirih
lUncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)21 dengan Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah
Disetujui oleh: Pembimbing
Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc.. Apt. NrP. 19560106 198510 1001
II
Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie. Sp.KFR NrP. 19620720 199043 1 402
Mengetahui, Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan IIIN Syarif Hidayatullah lakarta
/uf,
Dr. Nurmeilis- M.Si.. Apt. NIP. 19740730 200501 2 003
tv
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi Nama
Ratnika Sari
NIM
1
Program Studi
Farmasi
Judul Skripsi
I 12102000089
Uji Efek Imuromodulator
Campuran Komponen Menyirih lUncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)21 dengan Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah
Telah berhasil rlipertahankan dihadapan Dewan penguji dan diterima sebagai hagian persyaratan yang diperlukan unfuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
DEWAN PENGUJI
1
:
Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt
Pembimbing I
:
Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, Sp.KFR
Penguji I
: Yardi, Ph.D.,
Penguji 2
: dr.
Pembimbing
Ditetapkan
di
Apt
Alyya Siddiqa, Sp. FK
: Jakarta
Tanggal : 1l Januari 2017
,u^"N,dt\&y&
ABSTRAK
Nama : Ratnika Sari Program Studi : Farmasi Judul : Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)2] dengan Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah
Menyirih merupakan kombinasi tanaman obat yang dipercaya nenek moyang dapat menjaga pertahanan tubuh. Kombinasi campuran menyirih yang paling sederhana terdiri dari gambir, daun sirih, dan kapur sirih. Ketiga bahan dibuat menjadi sediaan kapsul yang berfungsi sebagai imunomodulator dengan metode pencampuran kemudian di freeze dry. Pada penelitian ini dilakukan dilakukan pengembangan sediaan berupa kapsul. Dilakukan evaluasi terhadap sediaan kapsul komponen menyirih meliputi uji keseragaman bobot, uji waktu hancur, dan uji higroskopisitas. Kapsul komponen menyirih diberikan kepada responden sehat dengan dosis 972 mg dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari. Digunakan Imboost® Force sebagai kontrol positif dan tidak ada perlakuan untuk kontrol negatif. Percobaan dilakukan selama 14 hari dengan parameter pengukuran kadar CD19 dalam darah. Pengujian CD19 dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan terhadap responden. Hasil dari evaluasi sediaan untuk uji keseragaman bobot dan uji waktu hancur memenuhi syarat, namun hasil uji higroskopisitas menunjukkan bahwa sediaan bersifat higroskopis. Berdasarkan analisa statistik, hasil pemeriksaan CD19 dalam darah didapatkan nilai ρ > 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa kapsul komponen menyirih tidak memiliki perbedaan secara signifikan terhadap peningkatan kadar CD19 dalam darah.
Kata kunci : Gambir (Uncaria gambir Roxb.), Daun Sirih (Piper betle L.), Kapur Sirih [Ca(OH)2], Imunomodulator, CD19.
vi
ABSTRACT
Name : Ratnika Sari Study Program : Pharmacy Title : Immunomodulatory Effect trial of Mixture Component Chewing [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L. and Ca(OH)2] with water solvent to the levels of CD19 in the blood.
Chewing is a combination of medicinal plants that is believed ancestors to maintain the body's defenses. The combination of chewing simplest mixture consisting of gambir, betel leaf, and slake lime. Three materials are made into a capsule that serves as an immunomodulator with the mixing method then freeze dry. In this research, the development of a capsule dosage form. Capsule evaluation of chewing components include weight uniformity test, disintegration time test, and hygrocopicity test. Capsule chewing components given to healthy respondents with immunomodulatory then tested to healthy respondents with a dose of 972 mg three times a day. Used Imboost® Force as positive control and no treatment for negative control. Experiments were carried out for 14 days with a measurement parameter CD19 levels in the blood. CD19 Tests performed before and after treatment of the respondents. The result of evaluation for weight uniformity test and disintegration time test qualified, but hygroscopicity test showed that preparation is hygroscopic. Based on statistical analysis, the result of CD19 in the blood obtained the value of p > 0,05. These results showed that the capsule chewing components have no significant difference to increased levels of CD19 in the blood.
Keywords : Gambier (Uncaria gambir Roxb.), Betel Leaf (Piper betle L.), Slake Lime [Ca (OH)2], Immunomodulatory, CD19
vii
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L. dan Ca(OH)2] dengan Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah”. Skripsi ini telah diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan program pendidikan tingkat Strata 1 (S1) pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr. M. Yanis Musdja, M.Sc, Apt. dan Dr. dr. Syarief Hasan Lutfie, Sp.KFR selaku pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran, bimbingan serta motivasi kepada penulis selama penelitian 2. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Ibu Dr. Nurmeilis, M.Si., Apt. selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Bapak Yardi, Ph.D., Apt. dan dr. Alyya siddiqa, Sp.FK selaku penguji yang telah memberikan waktu, tenaga, pikiran, bimbingan serta motivasi kepada penulis selama penelitian 5. Ibunda Mawarni dan ayahanda Syamsul Hamid selaku orangtua, saudarasaudara terkasih Edwin Sumarhadi Wijaya, Achmad Mulyadi dan Muhammad Hidayat, serta keluarga besar yang senantiasa memberi dukungan dan tak lupa doa yang senantiasa dipanjatkan dalam setiap langkah penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
viii
6.
Dosen-dosen, staf, karyawan Fakultas Kedokteran dan
Ilmu
Kesehatan,
Universitas Islam Negeri (uIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
7. Para laboran yang telah memberi bantuan kepada penulis selama penelitian 8. Sahabat-sahabat tercinta Siti Nurbaiti, V/eny Zulatha Nasution, Novitasari dan Ulfa Kurniasih. Terima kasih atas doa dan dukungan selama ini
9.
Sahabat-sahabat tersayang Resha Adriana
Putri, Lilis Hermawati, Elsa
Rahmi, Chalila Deli Gayo, Safizah Ummu Harisah, Apriliana Nur, Ayu Nopita, Vesty Anis Triana dan Dwi Putri Rahmawati. Terima kasih untuk bantuan, dukungan, doa", dan motivasi selarna ini 10. J'eman-teman seperjuangan
skripsi Amelia Agustin, Mita Saputri Lestari,
Nur;afniah serta teman-teman Fannasi 2012 tenttairtta kelas BD. Terima kasih atas kebersamaan, ilmu, motivasi, semangat, canda dan tawa yang telah kita
lewati. Semoga silaturahim senantiasa terjaga I 1.
Keluarga besar Santri Ja.di Dokter Sumatera Selatan. Terima kasih
atas
motivasi, doa dan kebersamaan selama ini 12. Serta semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
membantu menyelesaikan skripsi ini Penulis menyadari penelitian dan penulisan skripsi ini terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pernbaca. Semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis dicatat sebagai amal
ibadah dan dibalas oleh Allah
SWT dan penulis berharap
semoga penelitian
dapat bermanfaat bagi masyarakat dan dalain pengembangan ilmu pengetahuan.
Jaka.rta, Jafl:anlQ17
e* Penulis
tx
ini
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN SKRIPSI
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri Jakarta, saya yang bertandatangan di bawah
Nama NIM
: Ratnika Sari
Studi Fakultas Jenis Karya
: F'armasi
ini
(UIN) Syarif Hidayatullah
:
:1112102000089
Program
: Kedokteran dan
Ilmu Kesehatan
: Skripsi
demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetq'ui skripsilkarya ilmiah saya,
denganjudul
:
Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih fUncuriu garubir Roxb., Piper betleL. dan Ca(OH)21 dengan Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah
untuk dipublikasi atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri
Of$
Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pemyataan persetujuan publikasi karya ihniah
ini
saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat
di
: Jakarta
PadaTanggal : 11 Januari}}lT
Yang menyatakan,
(
Ratnika Sari )
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii HALAMAN PENYATAAN ORISINALITAS ..............................................iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iv HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI .......................................................... v ABSTRAK ........................................................................................................ vi ABSTRACT ..................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ....................................................................................viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................... x DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi DAFTAR TABEL ........................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 4 1.3 Hipotesis ............................................................................................ 4 1.4 Tujuan Penelitian............................................................................... 4 1.5 Manfaat Penelitian............................................................................. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 5 2.1 Deskripsi Tanaman Gambir............................................................... 5 2.1.1 Klasifikasi...................................................................................... 5 2.1.2 Nama Daerah ........................................................................... 5 2.1.3 Uraian Tanaman ...................................................................... 6 2.1.4 Morfologi ................................................................................ 6 2.1.5 Kandungan Kimia ................................................................... 7 2.2 Deskripsi Tanaman Sirih ................................................................... 8 2.2.1 Klasifikasi................................................................................ 8 2.2.2 Nama Daerah ........................................................................... 8 2.2.3 Uraian Tanaman ...................................................................... 9 xi
2.2.4 Morfologi ................................................................................ 9 2.2.5 Ekologi dan Penyebaran ........................................................ 10 2.2.6 Kandungan Kimia ................................................................. 10 2.2.7 Khasiat Tanaman ................................................................... 11 2.3 Kapur Sirih ..................................................................................... 11 2.4 Simplisia .......................................................................................... 12 2.4.1 Pengolahan Simplisia ............................................................ 13 2.4.2 Pemeriksaan Mutu Simplisia................................................. 15 2.5 Ekstrak dan Ekstraksi ...................................................................... 15 2.5.1 Definisi .................................................................................. 15 2.5.2 Metode Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut .................. 16 2.5.2.1 Cara Dingin ............................................................... 16 2.5.2.2 Cara Panas ................................................................ 16 2.5.3 Pengeringan Ekstrak dengan Metode Freeze Drying ............ 17 2.6 Kapsul .............................................................................................. 18 2.6.1 Definisi Kapsul ...................................................................... 18 2.6.2 Keuntungan dan Kerugian Kapsul ........................................ 18 2.6.3 Klasifikasi Kapsul ................................................................. 18 2.6.3.1 Kapsul Keras ............................................................. 18 2.6.3.2 Kapsul Lunak ............................................................ 19 2.6.4 Cara Penyimpanan................................................................. 20 2.6.5 Evaluasi Sediaan Kapsul ....................................................... 20 2.7 Sistem Imun ..................................................................................... 22 2.7.1 Respon Imun Non spesifik .................................................... 24 2.7.2 Respon Imun Spesifik ........................................................... 25 2.7.2.1 Respon Imun Selular................................................. 26 2.7.2.2 Respon Imun Humoral .............................................. 27 2.7.3 Limfosit T .............................................................................. 27 2.7.4 Limfosit B ............................................................................. 28 2.8 Imunomodulator ............................................................................... 29 2.8.1 Definisi .................................................................................. 29 2.8.2 Mekanisme Kerja .................................................................. 30 xii
2.8.3 Uji Pemeriksaan Sistem Imun ............................................... 32 2.9 CD19 (Cluster of Differentiation 19) .............................................. 33 2.10 Flowsitometri .................................................................................. 34 2.11 Kontrol Pembanding ....................................................................... 35 2.12 Literatur Review ............................................................................. 36 2.13 Kerangka Teori Penelitian .............................................................. 37 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 38 3.1 Desain Penelitian .............................................................................. 38 3.2 Varibel Penelitian ............................................................................. 38 3.2.1 Variabel Independen ................................................................ 38 3.2.2 Variabel Dependen .................................................................. 38 3.3 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 38 3.4 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................ 39 3.4.1 Alat Penelitian ......................................................................... 39 3.4.2 Bahan Penelitian ...................................................................... 39 3.5 Alur Penelitian ................................................................................. 39 3.5.1 Determinasi Gambir dan Daun Sirih ....................................... 39 3.5.2 Penyiapan Simplisia yang digunakan ...................................... 40 3.5.3 Karakteristik Ekstrak ............................................................... 40 3.5.4 Identifikasi Gambir .................................................................. 41 3.5.5 Identifikasi Cemaran Urea ....................................................... 41 3.5.6 Penapisan Fitokimia ................................................................ 41 3.5.7 Pembuatan Campuran Komponen Menyirih ........................... 44 3.5.8 Penentuan Dosis ...................................................................... 44 3.5.9 Evaluasi Sediaan Kapsul ......................................................... 45 3.5.10 Pemeriksaan CD19 ................................................................ 45 3.5.11 Analisa Data .......................................................................... 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 48 4.1 Hasil ................................................................................................... 48 4.1.1 Hasil Determinasi Gambir dan Daun Sirih .............................. 48 4.1.2 Hasil Karakterisasi Gambir dan Daun Sirih ............................ 48 4.1.3 Hasil Identifikasi Gambir dan Cemaran Urea ......................... 49 xiii
4.1.4 Hasil Penapisan Fitokimia ....................................................... 49 4.1.5 Hasil Pembuatan Campuran Komponen Menyirih .................. 50 4.1.6 Hasil Penentuan Dosis ............................................................. 50 4.1.7 Hasil Evaluasi Sediaan Kapsul ................................................ 50 4.1.8 Hasil Pemeriksaan CD19 ......................................................... 53 4.2 Pembahasan ....................................................................................... 54 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 65 5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 65 5.2 Saran .................................................................................................. 65 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 66 LAMPIRAN ..................................................................................................... 70
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Volume dan Kapasitas Cangkang Kapsul ........................................ 19 Tabel 4.1 Hasil Pengujian Parameter Spesifik Gambir .................................... 48 Tabel 4.2 Hasil Pengujian Parameter Spesifik Daun Sirih ............................... 48 Tabel 4.3 Hasil Pengujian Parameter Non Spesifik Gambir ............................ 49 Tabel 4.4 Hasil Pengujian Parameter Non Spesifik Daun Sirih ....................... 49 Tabel 4.5 Hasil Identifikasi Gambir dan Cemaran Urea .................................. 49 Tabel 4.6 Hasil Penapisan Fitokimia ............................................................... 50 Tabel 4.7 Hasil Uji Keseragaman Bobot .......................................................... 51 Tabel 4.8 Hasil Uji Waktu Hancur ................................................................... 51 Tabel 4.9 Hasil Uji Higroskopisitas ................................................................. 52 Tabel 4.10 Hasil Evaluasi Sediaan Kapsul ....................................................... 52 Tabel 4.11 Karakteristik Responden ................................................................ 53 Tabel 4.12 Persentase CD19 dalam darah ........................................................ 53 Tabel 5.1 Konversi Dosis Hewan ke Dosis Manusia (HED) berdasarkan Luas Permukaan ........................................................... 82
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Tanaman Gambir ........................................................................... 6 Gambar 2.2 Bongkahan Gambir ........................................................................ 7 Gambar 2.3 Daun Sirih ...................................................................................... 9 Gambar 2.4 Kapur Sirih .................................................................................. 12 Gambar 2.5 Diagram Sistem Imun .................................................................. 24 Gambar 2.6 Diagram Asal Sel B dan Sel T ..................................................... 26 Gambar 4.1 Grafik Persentase CD19 dalam Darah ......................................... 54 Gambar 5.1 Hasil Uji Higroskopisitas ............................................................. 85
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur Penelitian ............................................................................ 70 Lampiran 2. Hasil Determinasi Gambir dan Daun Sirih ................................. 71 Lampiran 3. Sertifikat Analisis (COA) Kapur Sirih ....................................... 72 Lampiran 4. Alat dan bahan yang digunakan .................................................. 73 Lampiran 5. Penyiapan Campuran Komponen Menyirih ............................... 75 Lampiran 6. Hasil Pengujian Parameter Non Spesifik .................................... 76 Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia .......................................................... 77 Lampiran 8. Perhitungan Pengujian Parameter Non Spesifik ......................... 78 Lampiran 9. Proses Pembuatan Campuran Komponen Menyirih ................... 80 Lampiran 10. Perhitungan Hasil Freeze Drying ............................................. 81 Lampiran 11. Perhitungan Dosis ..................................................................... 82 Lampiran 12. Perhitungan Pengambilan Sampel ............................................ 84 Lampiran 13. Perhitungan Hasil Evaluasi Kapsul........................................... 85 Lampiran 14. Surat Persetujuan (Inform Concern) ......................................... 86 Lampiran 15. Surat Pengajuan Izin Etik (Ethical Clearance) ........................ 87 Lampiran 16. Hasil Pemeriksaan CD19 .......................................................... 88 Lampiran 17. Hasil Uji Statistik .................................................................... 104
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Menyirih merupakan kombinasi tanaman obat yang banyak digunakan nenek moyang sejak jaman dahulu (Musdja et al., 2011). Menyirih merupakan proses meramu campuran dari bahan-bahan seperti sirih, pinang, kapur, gambir, kemudian dikunyah. (Gandhi et al., 2005). Kebiasaan menyirih dipercaya nenek moyang kita dapat menjaga pertahanan tubuh. Kebiasaan menyirih secara tradisional oleh masyarakat terutama untuk preventif dan terapi penyakit infeksi tetapi sebagian masyarakat meyakini juga menyirih dapat bersifat promotif terhadap sistem pertahanan tubuh. Komposisi menyirih sangat bervariasi dari satu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada umumnya menyirih yang paling sederhana adalah terdiri atas 3 bahan, yakni daun sirih, gambir dan kapur sirih (Kumar et al., 2010). Gambir memiliki khasiat sebagai campuran obat untuk mengobati luka bakar, sakit kepala, diare, disentri, obat kumur, sariawan, serta dapat mengobati sakit kulit (Hariana, 2006). Kandungan utama dari gambir adalah senyawa katekin, yaitu 40-80% (Amos, 2010). Katekin memiliki khasiat sebagai antioksidan (Anggraeni et al., 2011) dan dapat meningkatkan sistem imun (Dewi, 2012). Selain katekin, terdapat senyawa lain yaitu eugenol. Senyawa eugenol dapat digunakan sebagai antioksidan, antifungi, aromatik, dan stimulant (Juminar, 2012). Daun sirih memiliki khasiat sebagai anti sariawan, anti batuk, adstringen, antiseptik (Depkes RI, 1980) dan imunomodulator (Dalimartha, 2006). Daun sirih juga memperlihatkan efek antioksidan (Jaiswal et al., 2014) Daun sirih memiliki kandungan kimia diantaranya hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metil eugenol, karvakrol, terpinen, seskuiterpen, fenilpropan dan tannin (Depkes RI,1980). Kapur sirih atau Ca(OH)2 merupakan senyawa atau bahan oksida, hidroksida, dan karbonat dari kalsium (Ca). Secara umum, kalsium merupakan mineral yang amat penting bagi manusia terutama sebagai
1
2
pembentuk massa tulang. Ca2+ pada kapur sirih telah terbukti merupakan agen pembangkit imun dan pembentukan antibodi (Musdja et al., 2011). Kapur sirih bisa digunakan sebagai obat bersamaan dengan bahan lain, seperti untuk mengatasi gusi bengkak, bisul, masalah haid, digigit serangga serta penyakit kulit misalnya panu, kurap, dan kutil (Perpustakaan Negeri Malaysia, 2001). Kapur sirih atau kalsium hidroksida ini juga telah diuji dalam pengobatan radang pada pulpa anjing (Hendry et al., 2005), serta kapur sirih memiliki sifat sebagai imunomodulator (Putrisa, 2010). Ekstrak gambir dapat berkhasiat sebagai imunomodulator secara in-vivo diketahui ekstrak etanol gambir efektif pada dosis 400mg/kgBB untuk hewan (Amalia, 2009), sedangkan untuk ekstrak daun sirih memiliki efek imunomodulator secara in-vivo dari ekstrak etanol 70% daun sirih pada dosis 125, 250, 500 mg/kgBB yang dapat dilihat dari peningkatan terhadap aktivitas fagositosis (Dian, 2009). Komponen campuran menyirih dengan bahan gambir, daun sirih dan kapur sirih terbukti memiliki efek imunomodulator pada mencit. Masing-masing bahan terdiri dari daun sirih, gambir, kapur sirih sebanyak 421 : 70 : 9 gram. Ekstrak air dari campuran daun sirih, gambir dan kapur sirih berkhasiat sebagai imunomodulator pada dosis 200 mg/kgBB menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dosis 100 atau 400 mg/kgBB (Musdja et al., 2011). Efek yang paling baik diberikan oleh campuran bahan menyirih dosis sedang (200 mg/kg BB) (Musdja et al., 2011). Telah dilakukan juga penelitian mengenai nilai LD50 (letal dose) gambir dan daun sirih. Batas maksimum penggunaan gambir dan daun sirih sebesar 13,99 g/kgBB (Sari, 2006) dan termasuk ke dalam kategori praktis tidak toksik. Tanaman yang memiliki efek imunomodulator pada umumnya memiliki aktivitas merangsang imunitas spesifik dan non spesifik (Wagner and Proksh, 1985). Beberapa diantara tanaman tersebut merangsang imunitas humoral maupun selular, sedang yang lainnya hanya mengaktifkan komponen seluler dari sistem imun, misalnya seperti fungsi fagositosis tanpa berpengaruh pada imunitas humoral maupun selular (Bafna dan Missha, 2004). Imunomodulator adalah obat atau substansi yang dapat mengembalikan dan memperbaiki
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan (Baratawidjaja, 2002). Sistem imun merupakan sebuah mekanisme dalam tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya benda asing atau antigen (Baratawidjaja, 2009). Mekanisme pertahanan kekebalan tubuh melibatkan aksi sel darah putih atau leukosit. Sistem pertahanan tubuh ada yang alamiah dan juga sistem pertahanan tubuh yang didapat. Sistem pertahanan tubuh yang didapat dalam hal ini berupa antibodi, memegang peranan utama (Raven et al., 2001) dalam mengambil alih
kerja imunomodulator sebagai
imunostimulasi. Dalam mengenal
molekul asing yang masuk ke dalam tubuh reseptor dibentuk dengan cara menyatukan beberapa segmen dari gen sehingga terbentuk suatu reseptor yang spesifik untuk molekul tertentu (Handojo, 2003). Molekul yang bertanggungjawab dalam proses pembentukan antibodi adalah limfosit B dengan molekul penanda berupa CD19. Berdasarkan inilah CD19 dipilih sebagai salah satu parameter pengukuran kerja imunomodulator sebagai imunostimulan. Masyarakat umumnya masih menyirih dengan cara yang tergolong kurang praktis. Cara tersebut kurang diminati hampir semua kalangan usia produktif sehingga perlu dilakukan inovasi baru untuk memudahkan saat penggunaan dan menarik minat kalangan usia produktif yang selama ini beranggapan menyirih itu hanya untuk kalangan lansia (lanjut usia). Penelitian ini dilakukan dengan mencampurkan ketiga komponen tersebut dengan air sebagai pelarut. Pelarut air dipilih karena mengacu pada penggunaan masyarakat, terdapat kandungan air dalam daun sirih dan kapur sirih. Komponen menyirih diekstraksi dengan metode freeze drying kemudian dikemas dalam sediaan kapsul. Pemilihan sediaan kapsul bertujuan untuk menutupi rasa (Hadisoewignyo, 2013) dari ketiga bahan komponen menyirih yang cenderung kurang nyaman saat dikonsumsi. Berdasarkan uraian inilah dilakukan penelitian untuk mengetahui manfaat campuran komponen menyirih, yaitu daun sirih (Piper betle L.), gambir (Uncaria gambir Roxb.), dan kapur sirih [Ca(OH)2] yang diharapkan memberi efek sinergis sebagai imunomodulator terhadap manusia.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
4
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah campuran komponen menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2] dengan pelarut air dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah?
1.3 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah campuran komponen menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2] dengan pelarut air dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah.
1.4 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah komponen menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2] dengan pelarut air dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah.
1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh campuran komponen menyirih sebagai imunomodulator dalam sediaan kapsul sehingga nantinya dapat bermanfaat bagi pengembangan penelitian dan dunia kesehatan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Tanaman Gambir 2.1.1 Klasifikasi Kingdom
: Plantae
Sub Kingdom
: Tracheobionta
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Asteridae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Uncaria
Spesies
: Uncaria gambir Roxb
Sinonim
: Ourouparia gambir Roxb. Nauclea gambir (Hariana, 2004).
2.1.2 Nama Daerah Sumatera
: Gambe, gani (Aceh), kacu (Gayo), sontang (Batak), gambe (Nias), gambie (Minangkabau), pengilom, sepelet (Lampung).
Jawa
: Santun, Gambir (Jawa), ghambhir (Madura).
Kalimantan
: Kelare (Dayak), abi (Kayan).
Sulawesi
: Gambere (Sangir), gambele (Gorontalo), gambere (Makassar), gaber (Majene).
Nusa Tenggara : Tagambe (Bima), gamur (Sumba), gabi (Sawu), gambe (Flores), nggame (Roti) (Depkes RI, 1989). Maluku
: Kampir, kambir, ngamir, gaamer, tagabere, gambe.
Halmahera
: Gabi, gagabere (Hariana, 2004).
5 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
2.1.3 Uraian Tanaman Gambir merupakan ekstrak yang dihasilkan dari daun dan ranting tanaman gambir yang dipanen atau dipangkas setelah tanaman berumur 1,5 tahun dan dilakukan 2-3 kali setahun dengan selang waktu 4-6 bulan. Pangkasan daun dan ranting harus segera diolah karena jika pengolahan ini ditunda lebih dari 24 jam, volume getahnya akan berkurang (Hayani, 2003). Gambir berasal dari tumbuhan perdu yang membelit dan memiliki batang keras. Tinggi 1-3 cm. Batang tegak, bulat, percabangan simpodial warna cokelat pucat. Daun tunggal, berhadapan, bentuk elips, tepi bergerigi, pangkal bulat, ujung meruncing, panjang 8-13 cm, lebar 4-7 cm, warna hijau. Bunga majemuk, bentuk lonceng, di ketiak daun, panjang lebih kurang 5 cm, mahkota 5 helai berbentuk lonceng, tongkol-bulat, terdiri dari bunga kecil-kecil yang berwarna putih. Buah berbentuk bulat telur, panjang lebih kurang 1,5 cm berwarna hitam (Haryanto, 2009).
2.1.4 Morfologi Gambir (Uncaria gambir Roxb.) merupakan salah satu tanaman yang telah lama ada di Indonesia. Tanaman ini termasuk salah satu tanaman atau obat tradisional yang sering digunakan oleh orang jaman dahulu. Tetapi masih banyak yang belum mengetahui apa itu gambir. Gambir adalah sari getah yang diekstraksi dari daun tanamannya dengan cara pengepresan. Tanaman ini banyak tumbuh di Indonesia terutama Sumatera Barat yang merupakan penghasil gambir terbesar di dunia (Amos, 2004).
Gambar 2.1 Tanaman Gambir (Sumber : Rindit Pambayun, 2013)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
Gambar 2.2 Bongkahan gambir (Sumber : dokumentasi pribadi)
Salah satu tumbuhan asal Indonesia yang telah digunakan sebagai obat tradisional yaitu Gambir (Uncaria gambir Roxb.). Manfaat gambir adalah sebagai campuran obat, seperti luka bakar, sakit kepala, diare, disentri, obat sariawan, serta obat sakit kulit. Selain itu juga gambir digunakan sebagai pelengkap untuk mengkonsumsi sirih. Saat ini penggunaan gambir berkembang menjadi bahan kebutuhan berbagai jenis industri, seperti industri farmasi, kosmetik, batik, cat, penyamak kulit, biopestisida, hormon pertumbuhan, pigmen dan sebagai bahan campuran pelengkap makanan (Ermiati, 2004).
2.1.5 Kandungan Kimia Menurut Thorpe dan Whiteley, senyawa utama yang terkandung dalam gambir adalah pseudotanin katekin dan phlobatanin asam katekutanat dengan persentase masing masing yaitu 7-30% dan 22-55%. Adanya perbedaan kadar katekin pada gambir dipengaruhi oleh kondisi daun yang diekstrak. Daun gambir muda memiliki rendemen ekstrak lebih tinggi daripada daun tua. Komponen yang terdapat dalam gambir yaitu katekin 733%, asam katekutanat 20-55%, pyrocathecol 20-30%, gambir fluoresensi 1-3%, red catechu 3-5%, quersetin 2-4%, fixed oil 1-2%, lilin 1-2% dan sedikit alkaloid (Amos, 2010).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
2.2
Deskripsi Daun Sirih
2.2.1 Klasifikasi Klasifikasi ilmiah atau taksonomi dari daun sirih adalah sebagai berikut. Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Piperales
Divisi
: Magnoliophyta
Suku
: Piperaceae
Marga
: Piper
Jenis
: Piper betle L.
Sinonim
: Chavica auriculata Miq. Artanthe hixagona (Haryanto, 2009).
2.2.2 Nama Daerah Sumatera
: furu kuwe (enggano); ranub (Aceh); blo, sereh (Gayo); belo (Batak Karo); demban (Batak Toba); burangir (Angkola Mandailing); tawuo (Nias); cabai (Mentawai); sirieh, sirih, suruh (Palembang, Minangkabau); canbai (Lampung).
Jawa
: seureuh (Sunda); sedah, suruh (Jawa); sere (Madura).
Bali
: base, sedah
Nusa Tenggara
: nahi (Bima); kuta (Sumba); mota (Flores); oreangi (Ende); taa (Sikka); malu (Solor); mokeh (Alor).
Kalimantan
: uwit (Dayak); buyu (Bulungan); uduh sifat (Kenya); sirih (Sampit); uruesipa (Seputan).
Sulawesi
: ganjang, gapura (Bugis); baulu (Bare); buya, dondili (Buol); bolu (Parigi); komba (Selayar); lalama, sangi (Talaud).
Maluku
: ani-ani (Hok); papek, raunge, rambika (Alfuru); nein (Bonfia); kakina (Waru); amu (Rumakai, Elpaputi,Ambon, Ulias); garmo (Buru); bido (Bacan).
Irian
: reman (Wendebi); Manaw (Makimi); namuera (Saberi); eouwon (Armahi); nai wadok (Saarmi); mera (Sewan);
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
mirtan (Berik); afo (Sentani); wangi (Sawe); freedor (Awija); dedami (Marind) (Depkes RI, 1980). 2.2.3 Uraian Tanaman Saat ini telah banyak dilakukan penelitian mengenai bahan alam yang dimanfaatkan dalam mencegah dan mengatasi penyakit. Tanaman sirih merupakan salah satu tanaman herbal yang berhubungan erat dengan pengendalian karies, penyakit periodontal dan mengontrol halitosis. Daun sirih juga menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus aurens (Nalina 2007, Moeljanto 2003). 2.2.4 Morfologi Daun sirih (Piper betle L.) merupakan tanaman merambat yang bisa mencapai tinggi 5-15 m. Batang sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas, dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya berseling atau tersebar,helaian daun bulat telur sampai memanjang, dengan pangkal daun berbentuk jantung atau pangkal miring dan ujung meruncing. Panjang daunnya sekitar 5-8 cm dan lebar 2-5 cm. Bunga berkelamin 1, bulir berdiri sendiri, di ujung dan berhadapan dengan daun, daun pelindung ± 1 mm berbentuk bulat telur terbalik atau bulat memanjang. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5-3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 2,5-6 cm dan terdapat kepala putik 3 -5. Buah buni dengan ujung bebas dan berbentuk bulat, berwarna hijau kebau-abuan dan tebalnya 1-1,5 cm. Akarnya tunggang, bulat dan berwarna coklat kekuningan, biji berbentuk lingkaran (Van Steenis, 2008). Daun sirih memiliki warna yang bervariasi yaitu kuning, hijau sampai hijau tua dan berbau aromatis (Moeljanto, 2003).
Gambar 2.3 Daun Sirih (Sumber : Musdja et al., 2011)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
2.2.5 Ekologi dan Penyebaran Sirih ditemukan dibagian timur
pantai Afrika, di sekitar Pulau
Zanzibar, daerah sekitar sungai Indus ke Timur menelusuri sungai Yang Tse Kiang, Kepulauan Bonin, Kepulauan Fijji, dan Kepulauan Indonesia. Sirih tersebar di Nusantara dalam skala yang tidak terlalu luas. Di Jawa tumbuh liar di hutan jati atau hutan hujan sampai ketinggian 300 m diatas permukaan laut (Depkes RI, 1980).
2.2.6 Kandungan Kimia Daun sirih mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri 1-4,2%, air, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, fosfor, vitamin A, B, C, yodium, gula dan pati. Dari berbagai kandungan tersebut, dalam minyak atsiri terdapat fenol alam yang mempunyai daya antiseptik 5 kali lebih kuat dibandingkan fenol biasa (Bakterisid dan Fungisid) tetapi tidak sporasid. Minyak atsiri merupakan minyak yang mudah menguap dan mengandung aroma atau wangi yang khas. Minyak atsiri dari daun sirih mengandung 30% fenol dan beberapa derivatnya. Minyak atsiri terdiri dari hidroksi kavikol, kavibetol, estragol, eugenol, metileugenol, karbakrol, terpen, seskuiterpen, fenilpropan, dan tannin. Kavikol merupakan komponen paling banyak dalam minyak atsiri yang memberi bau khas pada sirih. Kavikol bersifat mudah teroksidasi dan dapat menyebabkan perubahan warna (Moeljanto, 2003). Mekanisme fenol sebagai agen anti bakteri berperan sebagai toksin dalam protoplasma, merusak dan menembus dinding serta mengendapkan protein
sel
bakteri.
Senyawa
fenolik
bermolekul
besar
mampu
menginaktifkan enzim essensial di dalam sel bakteri meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Fenol dapat menyebabkan kerusakan padasel bakteri, denaturasi protein, menginaktifkan enzim dan menyebabkan kebocoran sel (Heyne, 1987). Daun sirih juga mengandung karvakrol, diastase, tiamin, riboflavin, vitamin C, gula pati, dan asam amino (Dalimartha, 2006).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
2.2.7 Khasiat Tumbuhan Daun sirih berkhasiat sebagai antiradang, antiseptik, antibakteri, penghenti perdarahan (hemostatis), pereda batuk, mencegah infeksi cacing, menghilangkan gatal dan penenang (Dalimartha, 2006). Juga memiliki khasiat sebagai antisariawan, anti batuk dan adstringen (Depkes RI, 1980). Ekstraknya dapat digunakan, baik secara internal maupun eksternal untuk varises serta mencegah radang gusi dan radang tenggorokan (Moeljanto, 2003).
2.3
Kapur Sirih Kapur dalam arti luas adalah senyawa atau bahan oksida, hidroksida, dan karbonat dari kalsium (Ca). Kapur atau cunam (kapur mati) berwarna putih likat seperti krim yang dihasilkan dari cangkang siput laut yang telah dibakar. Hasil dari debu cangkang tersebut perlu dicampurkan dengan air untuk mempermudah pengolesan ke atas daun sirih. Selain dari cangkang siput, kapur dapat diperoleh dengan membakar batu kapur (kalsium karbonat/CaCO₃). Apabila dibakar dengan suhu tertentu CaCO₃ dapat mengeluarkan gas yang disebut dengan karbondioksida (CO₂) dan menjadi kalsium oksida (CaO). Kalsium oksida kemudian dicampur dengan sedikit air yang menyebabkan CaO mengembang dan menghasilkan panas serta menjadi serbuk kapur yang dikenal sebagai kalsium hidroksida [Ca(OH)₂]. Proses tersebut disebut dengan slaking dan serbuk kapur adalah kapur terhidrat. Serbuk kapur akan menjadi cair jika campuran airnya berlebihan. Serbuk kapur jika didiamkan terlalu lama, kandungan airnya akan hilang dan mengikat karbondioksida di udara sehingga kembali menjadi kalsium karbonat seperti semula (Perpustakaan Negeri Malaysia, 2001). Kapur sirih mempunyai rumus kimia Ca (OH)₂ sehingga kandungan utama dari kapur sirih adalah kalsium. Secara umum, kalsium merupakan mineral yang amat penting bagi manusia terutama sebagai pembentuk massa tulang. Kapur sirih bisa digunakan sebagai obat bersamaan dengan bahan lain, seperti untuk mengatasi gusi bengkak, bisul, masalah haid, digigit serangga serta penyakit kulit misalnya panu, kurap, dan kutil (Perpustakaan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
Negeri Malaysia, 2001). Kapur sirih atau kalsium hidroksida ini juga telah diuji dalam pengobatan radang pada pulpa anjing (Hendry et al., 2005).
Gambar 2.4 Kapur sirih (Sumber : dokumentasi pribadi)
2.4
Simplisia Keberadaan simplisia atau sumber bahan baku obat tradisional di Indonesia cukup melimpah di setiap daerah tumbuh tanaman obat. Pemilihan simplisia yang mutunya baik merupakan langkah awal yang harus diperhatikan untuk menjamin mutu suatu obat tradisional. Masing-masing industri obat tradisional hendaknya mempunyai standar minimal untuk simplisia yang digunakan untuk memberi keyakinan akan kebenaran dan kualitas simplisia yang diperoleh (Depkes RI, 1999). Simplisia ada yang lunak seperti rimpang, daun, dan akar kelembak. Ada yang keras seperti biji, kulit kayu, kulit akar. Simplisia yang lunak mudah ditembus oleh cairan penyari, oleh karena itu pada penyarian tidak perlu diserbuk sampai halus. Sebaliknya pada simplisia yang keras perlu dihaluskan terlebih dahulu sebelum dilakukan penyarian. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut. Zat aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam alkaloid, glikosida, flavonoid dan lain-lain. Struktur kimia yang berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan serta stabilitas senyawa terhadap pemanasan, logam berat, udara, cahaya dan derajat keasaman. Dengan diketahuinya zat aktif yang dikandung simplisia
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan cara penyarian yang tepat (Depkes RI, 1999).
2.4.1 Pengelolaan Simplisia a. Pengumpulan Bahan Baku Tahapan pengumpulan bahan baku sangat menentukan kualitas bahan baku. Faktor yang paling berperan dalam tahapan ini adalah masa panen. Berdasarkan garis besar pedoman panen, pengambilan bahan baku tanaman dilakukan sebagai berikut (Gunawan, 2004) :
Daun dan Ranting Panen daun atau herba dilakukan pada saat proses fotosintesis berlangsung maksimal, yaitu ditandai dengan saat-saat tanaman mulai berbunga atau buah mulai masak. Untuk pengambilan pucuk daun, dianjurkan dipungut pada saat warna pucuk daun berubah menjadi daun tua.
b. Sortasi Basah Sortasi basah adalah proses pemilahan hasil panen ketika tanaman masih segar yang dilakukan terhadap tanah, kerikil, rumput-rumputan, bahan tanaman lain atau bagian lain dari tanaman yang tidak digunakan, dan bagian tanaman yang rusak yang terdapat dalam simplisia. Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan asing lainnya dari bahan simplisia. c. Pencucian Pencucian simplisia dilakukan untuk membersihkan kotoran yang melekat, terutama bahan-bahan yang berasal dari dalam tanah dan juga bahan-bahan yang tercemar pestisida. Pencucian bisa dilakukan dengan menggunakan air yang berasal dari mata air, sumur dan PAM. Pencucian yang dilakukan dengan mata air harus memperhatikan kemungkinan pencemaran yang diakibatkan oleh adanya mikroba dan pestisida. Pencucian yang dilakukan dengan air sumur perlu memperhatikan pencemaran yang mungkin timbul akibat mikroba dan air limbah buangan rumah tangga. Pencucian yang dilakukan dengan air PAM (ledeng) sering tercemar oleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
kapur klor (Cl). Sebelum pencucian terkadang diperlukan proses pengupasan kulit luar, terutama untuk simplisia yang berasal dari kulit batang, kayu, buah, biji, rimpang dan bulbus. d. Pengubahan bentuk Tujuan pengubahan bentuk simplisia adalah untuk memperluas permukaan bahan baku. Semakin luas permukaan bahan baku, maka akan semakin cepat kering. Proses pengubahan bentuk meliputi perajangan untuk rimpang, daun dan herba; pengupasan untuk buah, kayu, kulit kayu, dan biji-bijian ukuran besar; pemiprilan untuk biji-bijian; pemotongan untuk akar, batang, kayu, kulit kayu dan ranting; dan penyerutan untuk kayu. e. Pengeringan Tujuan proses pengeringan simplisia, yaitu untuk menurunkan kadar air agar simplisia tidak mudah ditumbuhi kapang dan bakteri, untuk menghilangkan aktivitas enzim yang dapat mengurai lebih lanjut kandungan zat aktif, dan memudahkan pengelolaan proses selanjutnya dalam hal mudah disimpan dan lebih tahan lama. Hal-hal yang perlu diperhatikan selama proses pengeringan adalah suhu pengeringan, kelembapan udara, aliran udara, waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan. f. Sortasi kering Sortasi kering adalah pemilihan bahan setelah mengalami proses pengeringan. Pemilihan dilakukan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bahan-bahan yang rusak, benda-benda asing yang tertinggal atau dari kotoran-kotoran. g. Penyimpanan Setelah mengalami proses pengeringan dan sortasi kering, maka simplisia perlu ditempatkan dalam suatu wadah tersendiri agar tidak saling bercampur antara simplisia satu dengan yang lainnya. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam proses penyimpanan simplisia, yaitu cahaya, oksigen atau sirkulasi udara, reaksi kimia yang mungkin terjadi antara kandungan zat aktif tanaman dengan wadah, kemungkinan terjadinya dehidrasi, dan pengotoran atau pencemaran baik yang disebabkan oleh serangga, kapang atau hewan lain.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
Untuk persyaratan wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia adalah harus inert, artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan lain, tidak beracun, mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, serangga, penguapan kandungan aktif serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air.
2.4.2 Pemeriksaan Mutu Simplisia Dapat
dilakukan
dengan
cara
pemeriksaan
organoleptik
(makroskopik), pemeriksaan mikroskopik (anatomi histologi simplisia), memisahkan bahan organik lain, pemeriksaan cemaran mikroba, cemaran jamur dan cemaran pestisida. Faktor-faktor yang harus diperhatikan sehubungan dengan pemeriksaan mutu simplisia, yaitu simplisia harus memenuhi persyaratan umum dari pustaka resmi, tersedia contoh sebagai simplisia pembanding dalam jangka waktu tertentu, harus dilakukan pemeriksaan mutu lengkap dan fisik simplisia. Untuk memperoleh prosedur baku ketersediaan dan pengerjaan bahan yang memenuhi persyaratan umum maka harus didapat dari sumber-sumber resmi yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI (Gunawan, 2004).
2.5
Ekstrak dan Ekstraksi
2.5.1 Definisi Ekstrak adalah sediaan cair yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukakn sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995). Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang akan diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut dan mempunyai struktur kimia yang berbeda-beda yang dapat mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa-
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
senyawa tersebut terhadap suhu, udara, cahaya, dan logam berat (Depkes RI, 2000).
2.5.2 Metode Ekstraksi dengan Menggunakan Pelarut (Depkes RI, 2000) 2.5.2.1 Cara dingin a) Maserasi Suatu metode ekstrak menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinyu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya. b) Perkolasi Proses ekstraksi dengan pelarut yang baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bertahan. 2.5.2.2 Cara panas a) Refluks Proses ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. b) Soxhlet Proses ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
c) Digesti Proses maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40–50°C. d) Infus Proses ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C selama waktu tertentu (15-20 menit). e) Dekok Proses infus pada waktu yang lebih lama ≥30 menit dan temperatur sampai titik didih air.
2.5.3 Ekstrak dengan Metode Freeze Drying Pengeringan secara umum bermaksud untuk menghilangkan pelarut dari material yang akan dikeringkan. Salah satu tipe pengeringan yaitu freeze drying. Pengeringan-beku atau lyophilization adalah proses pengeringan di mana pelarut dan atau media suspensi yang mengkristal pada temperatur rendah dan sesudahnya mensublimasi dari padat langsung ke fase uap. Pengeringan-beku lebih banyak dilakukan dengan air sebagai pelarut. Pengeringan mengubah es atau air dalam fase amorf menjadi uap. Karena tekanan uap es rendah, volume uap menjadi besar. Tujuan pengeringan-beku adalah untuk memproduksi suatu substansi dengan stabilitas yang baik dan tidak berubah setelah rekonstitusi dengan air. Meskipun hal ini sangat tergantung juga pada langkah terakhir proses pengemasan dan kondisi penyimpanan. Keuntungan proses pengeringanbeku adalah sebagai berikut : 1. Pengeringan pada suhu rendah dapat mengurangi penurunan produk sensitif – panas 2. Produk cair dapat secara akurat terdosiskan 3. Kandungan air dari produk akhir dapat dikontrol selama proses 4. Produk obat dapat memiliki bentuk fisik yang menarik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
5. Produk obat dengan luas permukaan spesifik yang tinggi dengan cepat kembali (Oetjen & Haseley, 2004).
2.6
Kapsul (Hadisoewignyo, 2013)
2.6.1 Definisi Kapsul Sediaan kapsul, menurut Farmakope Indonesia IV, 1995 adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, bisa juga dari pati atau bahan lain yang sesuai. 2.6.2 Keuntungan dan Kerugian Kapsul Ada beberapa keuntungan dari sediaan kapsul, antara lain dapat meningkatkan stabilitas dan menutup rasa dan bau yang tidak enak, efek cepat (dibanding dengan tablet), mudah penggunaannya (dibandingkan dengan serbuk), dapat mengubah obat bentuk cair menjadi bentuk padat, dapat dilakukan pengaturan pelepasan obat, dan cocok untuk peracikan extemporaneous, dosis dan komposis obat mudah dikombinasi sesuai keperluan pasien. Sedangkan keterbatasan bentuk kapsul adalah kesukaran untuk menelan pada beberapa pasien, tidak dapat digunakan untuk bahanbahan yang bersifat effervescent (kapsul akan menjadi lunak) dan deliquescent (kapsul akan rapuh dan mudah pecah).
2.6.3 Klasifikasi Kapsul Klasifikasi kapsul berdasarkan pada konsistensi, dibedakan menjadi hard capsule (kapsul keras) dan soft capsule (kapsul lunak), sedangkan berdasarkan cara pemakaian, dibedakan menjadi kapsul yang dilakukan peroral, per-rektal, per-vaginal, dan topikal. 2.6.3.1 Kapsul Keras (hard capsule) Kapsul keras adalah kapsul yang terbuat dari cangkang keras yang umumnya dibuat dari gelatin, dengan bahan obat dan bahan tambahan di dalamnya. Kapsul
keras
memeiliki
keuntungan,
antara
lain
memiliki
bioavailabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan tablet, memungkinkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
untuk pelepasan yang cepat, mudah diformulasi, multiple filling sehingga memungkinkan
untuk
mencegah
terjadinya
inkompatibilitas
dan
memudahkan untuk kontrol pelepasan, dan cangkang kapsul keras merupakan barrier yang baik terhadap oksigen di atmosfer. Keterbatasan kapsul keras, adalah harga relatif mahal, serbuk yang terlalu banyak (very bulky material) dapat menimbulkan masalah, perlu perhatian terhadap kelembapan dari cangkang (kelembapan yang baik untuk cangkang : 13-15%), jika terlalu kering cangkang akan rapuh, dan jika terlalu basah maka cangkang akan melunak dan lengket satu sama lain, menyebabkan kesukaran pada waktu menelan, pada beberapa pasien. Cangkang kapsul keras terdapat dalam berbagai ukuran. Ada 8 macam ukuran cangkang seperti yang terlihat pada tabel berikut. Tabel 2.1 Volume (ml) dan kapasitas (mg) cangkang kapsul Ukuran Vol. (ml) Kapasitas (mg), p = 0,8 g/ml
000 1,37 1096
00 0,95 728
0 0,68 544
1 0,50 400
2 0,37 296
3 0,30 240
4 0,21 168
5 0,13 104
2.6.3.2 Kapsul Lunak (soft capsule) Keuntungan kapsul lunak adalah sesuai untuk obat bentuk cair, obat mudah menguap. obat dalam bentuk larutan atau suspensi; dengan pelepasan yang cepat dapat memperbaiki bioavailabilitasnya, dapat ditutup kedap udara sehingga sesuai untuk obat yang yang mudah teroksidasi, mengurangi debu dalam pembuatannya, memungkinkan untuk mengurangi iritasi lambung (dibandingkan dengan tablet dan kapsul keras), tersedia dalam banyak bentuk dan ukuran (tube form dan bead form), penampilan lebih elegan, dan mudah untuk ditelan. Kerugian kapsul lunak, adalah lebih mahal dibandingkan tablet dan kapsul keras, karena memerlukan mesin pengisian khusus dan keahlian khusus dan meningkatkan kemungkinan interaksi antara isi dan cangkang.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
2.6.4 Cara Penyimpanan Kapsul Gelatin bersifat stabil di udara bila dalam keadaan kering akan tetapi mudah mengalami peruraian oleh mikroba bila menjadi lembab atau bila disimpan dalam larutan berair. Oleh karena itu, kapsul gelatin yang lunak pada pembuatannya ditambahkan bahan pengawet untuk mencegah timbulnya jamur dalam cangkang kapsul. Bila mana di simpan dalam lingkungan dengan kelembaban yang tinggi, penambahan uap air akan di absorpsi (diserap) oleh cangkang kapsul dan kapsul tersebut akan mengalami kerusakan dari bentuk dan kekerasannya (Ansel, 1989). Cangkang kapsul kelihatannya keras, tetapi sebenarnya masih mengandung air dengan kadar 10-15% menurut Farmakope Indonesia edisi IV dan 12-16% menurut literatur dari Syamsuni 2006. Jika disimpan di tempat yang lembab, kapsul akan menjadi lunak dan melengket satu sama lain serta sukar dibuka karena kapsul itu dapat menyerap air dari udara yang lembab. Sebaliknya, jika disimpan di tempat yang terlalu kering, kapsul itu akan kehilangan airnya sehingga menjadi rapuh dan mudah pecah. (Syamsuni, 2006). Oleh karena itu, menurut Syamsuni (2006), penyimpanan kapsul sebaiknya dalam tempat atau ruangan yang : 1. tidak terlalu lembab atau dingin dan kering 2. terbuat dari botol-gelas, tertutup rapat, dan diberi bahan pengering (silika gel) 3. terbuat dari aluminium-foil dalam blister atau strip.
2.6.5 Evaluasi Sediaan Kapsul a. Uji Keseragaman Bobot Uji ini dilakukan untuk mengetahui kesesuaian keseragaman bobot sediaan kapsul yang dihasilkan dengan persyaratan keseragaman bobot dari Farmakope Indonesia edisi III (Depkes, 1979). Perbedaan dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot rata-rata isi kapsul tidak boleh lebih dari yang ditetapkan kolom A dan untuk setiap 2 kapsul tidak lebih dari yang ditetapkan kolom B.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
Bobot rata-rata
Perbedaan bobot isi kapsul dalam %
isi kapsul
A
B
120 mg atau lebih
± 10%
± 20%
Lebih dari 120 mg
± 7,5%
± 15%
b. Uji Waktu Hancur Uji ini dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang tertera dalam masing-masing monografi, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet atau kapsul digunakan sebagai tablet isap atau dikunyah atau dirancang untuk pelepasan kandungan obat secara bertahap dalam jangka waktu tertentu atau melepaskan obat dalam dua periode berbeda atau lebih dengan jarak waktu yang jelas di antara periode pelepasan tersebut. Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlarut sempurna. Sediaan dinyatakan hancur sempurna bila sisa sediaan, yang tertinggal pada kasa alat uji merupakan masa lunak yang tidak mempunyai inti yang jelas, kecuali bagian dari penyalut atau cangkang kapsul yang tidak larut (Roselyndiar, 2012). Persyaratan uji waktu hancur untuk kapsul adalah kecuali dinyatakan lain tidak lebih dari 15 menit (Depkes, 1979). c. Uji Higroskopisitas Suatu sediaan dikatakan stabil secara fisik apabila tidak menunjukkan
perubahan-perubahan
sifat
fisik
selama
masa
penyimpanan. Salah satu sifat fisik yang perlu diamati adalah sifat higroskopisitas sediaan. Uji higroskopisitas merupakan cara menguji kemampuan bahan obat untuk menyerap uap dari udara setelah dibiarkan dalam suatu kondisi dan satuan waktu yang diamati. Sejumlah kapsul ditempatkan perlakuan pengaturan kelembaban tertentu dan pada temperatur kamar. Masing-masing perlakuan diamati setiap hari dalam seminggu dan tiap minggu selama satu bulan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
Pengamatan dilakukan terhadap perubahan bobot kasul, betuk kapsul, dan isi kapsul (Roselyndiar, 2012).
2.7
Sistem Imun Sistem imun adalah suatu sistem dalam tubuh, baik manusia maupun hewan, yang mempunyai kemampuan mengenal suatu benda asing terhadap tubuh dan selanjutnya tubuh akan memberikan respon dalam bentuk netralisasi, melenyapkan atau memasukkan dalam proses metabolisme dengan akibat dapat menguntungkan dirinya atau menimbulkan kerusakan bagi jaringan tubuhnya (Subowo, 1993). Semua makhluk hidup vertebrata mampu memberikan tanggapan dan menolak benda-benda atau konfigurasi yang dianggap asing oleh tubuhnya. Kemampuan ini disebabkan oleh sel-sel khusus yang mampu mengenali dan membedakan konfigurasi asing (non-self) dari konfigurasi yang berasal dari tubuhnya sendiri (self). Sel khusus tersebut adalah limfosit yang merupakan sel imunokompeten dalam sistem imun. Konfigurasi asing tersebut dinamakan antigen atau imunogen, sedangkan proses serta fenomena yang menyertainya dinamakan respon imun (Subowo, 1993). Mekanisme pertahanan tubuh dibagi atas 3 fase, yaitu : 1.
Immediate phase, ditandai oleh terdapatnya komponen sistim imun kongenital (makrofag dan neutrofil), yang beraksi langsung terhadap patogen tanpa diinduksi. Jika mikroorganisme memiliki molekul permukaan yang dikenali oleh fagosit (makrofag dan neutrofil) sebagai benda asing, akan diserang atau dihancurkan secara langsung. Bila m.o dikenali sebagai antibodi, maka protein komplemen yang sesuai yang berada diplasma akan berikatan dengan mikroorganisme, kompleks ini kemudian dikenal sebagai benda asing oleh fagosit dan kemudian diserang atau dihancurkan.
2.
Acute-phase proteins atau early phase, muncul beberapa jam kemudian, diinduksi, tetapi masih bersifat nonspesifik, timbul bila fagosit gagal mengenal mikroorganisme melalui jalur diatas. Mikroorganisme akan terpapar terhadap acute-phase proteins (APPs) yang diproduksi oleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
hepatosit dan kemudian dikenali oleh protein komplemen. Kompleks mikroorganisme, APPs, dan protein komplemen kemudian dikenali oleh fagosit dan diserang serta dihancurkan. 3.
Late phase, merupakan respon imun didapat timbul 4 hari setelah infeksi pertama, ditandai oleh clonal selection limfosit spesifik. Pada fase ini dibentuk molekul dan sel efektor pertama (Flachsmann, 2001). Mekanisme pertahanan kekebalan tubuh melibatkan aksi sel darah
putih atau leukosit. Leukosit ini mencakup neutrofil, eosinofil, basofil, dan monosit, yang semuanya fagositik dan terlibat dalam garis pertahanan kedua, serta dua jenis limfosit (sel T dan sel B), yang tidak fagositik tetapi sangat penting untuk respon imun spesifik (Raven et al., 2001). Sistem imun dibagi atas dua jenis, yaitu sistem imun kongenital atau non spesifik dan sistem imun didapat atau adaptive atau spesifik. Mekanisme pertahanan tubuh oleh sistem imun kongenital bersifat spontan, tidak spesifik, dan tidak berubah baik secara kualitas maupun kuantitas bahkan setelah paparan berulang dengan patogen yang sama. Sedangkan sistem imun didapat muncul setelah proses mengenal oleh limfosit (clonal selection), yang tergantung pada paparan terhadap patogen sebelumnya. Adanya sistem imun kongenital memungkinkan respon imun dini untuk melindungi tubuh selama 4-5 hari, yang merupakan waktu yang diperlukan untuk mengaktivasi limfosit (imunitas didapat). Tahap awal mekanisme tubuh dalam mengenal molekul asing adalah tahap pengenalan. Ada dua sistem pertahanan tubuh yang berperan dalam hal ini, yaitu: 1. Sistem pertahanan tubuh alamiah (innate immune system), yang dibawa sejak lahir. Komplemen memegang peranan penting dalam mengenal
jasad
mikroorganisme
tertentu
dan
segera
menghancurkannya. 2. Sistem pertahanan tubuh yang didapat (adaptive immune system), dalam hal ini antibodi memegang peranan utama. Dalam mengenal molekul asing yang masuk ke dalam tubuh reseptor dibentuk dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
cara menyatukan beberapa segmen dari gen sehingga terbentuk suatu reseptor yang spesifik untuk molekul tertentu (Handojo, 2003). Bila sistem imun bekerja pada zat yang diangap asing, maka ada dua jenis respon imun yang mungkin terjadi, yaitu respon imun nonspesifik dan respon imun spesifik (Kresno, 2001).
Sistem Imun Nonspesifik
Fisis/ mekanis
-
Kulit Selaput lendir Silia Batuk Bersin
Larut
Spesifik
Selular
Biokimia Asam lambung Lisosixim Laktoferin Asam neurominik
Fagosit Mononuklear (monosit dan makrofag) Polimorfonuklear (eusinofil dan Neutrofil)
Humoral Komplemen Interferon C Reactive protein (CPR)
Sel Nol Natural Killer Cells (NK cells) Interferon C Reactive Protein (CPR)
Humoral
Selular
Sel B
Sel T
Sel Plasma
-
Sel Th (Th1 dan Th2) Sel Ts Sel Tc
Antibodi
Sel Mediator Basofil dan Matosit Trombosit
Gambar 2.5 Diagram Sistem Imun (Baratawidjaja, 2001)
2.7.1 Respon Imun Non spesifik Respon imun nonspesifik pada umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), artinya bahwa respon terhadap zat asing yang masuk ke dalam tubuh dapat terjadi walaupun tubuh belum pernah terpapar pada zat tersebut (Kresno, 2001). Respon imun nonspesifik dapat mendeteksi adanya zat asing dan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya, tetapi tidak mampu mengenali dan mengingat zat asing tersebut.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
Komponen-komponen utama respon imun nonspesifik adalah pertahanan fisik dan kimiawi. Pertahanan ini meliputi epitel dan zat-zat antimikroba yang dihasilkan dipermukaannya, berbagai jenis protein dalam darah termasuk komplemen-komplemen sistem komplemen, mediator inflamasi lainnya dan berbagai sitokin, sel-sel fagosit yaitu sel-sel polimorfonuklear, makrofag dan sel natural killer (NK) (Kresno, 2001). 2.7.2 Respon Imun Spesifik Respon imun spesifik merupakan imunitas yang didapat (adaptive immunity) dimulai dari pengenalan zat asing hingga penghancuran zat asing tersebut dengan berbagai mekanisme (Subowo, 1993). Dalam respon imun spesifik, limfosit merupakan sel yang memainkan peranan penting karena sel ini mampu mengenali setiap antigen yang masuk ke dalam tubuh, baik yang terdapat intraseluler maupun ekstraseluler. Secara umum, limfosit dibedakan menjadi dua jenis yaitu limfosit T dan limfosit B. Respon imun spesifik dapat dibagi dalam 3 golongan, yaitu respon imun seluler, respon imun humoral dan interaksi antara respon imun selular dengan respon imun humoral (Kresno, 2001). Limfosit T dan B (sel T dan B) berasal dari sel induk yang sama yaitu di sumsum tulang belakang. Pada masa janin dan anak-anak, limfosit imatur bermigrasi ke timus dan mengalami pengolahan lebih lanjut menjadi limfosit T. Limfosit yang matang di tempat lain selain timus akan menjadi limfosit B. Sel darah merah Trombosit Monosit Granulosit
Sumsum tulang Sel prekursor Hemopoetik
Limfosit sumsum
Timus s
Sel B
Sel T
Jaringan Limfoid Perifer
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
Invasi asing
Sel B
Sel T
Respon Imun Humoral
Respon Imun Selular
Gambar 2.6 Diagram Asal Sel B dan Sel T (Sherwood, 2001)
Sel B berasal dari limfosit yang matang dan berdiferensiasi di sumsum tulang, sedangkan sel T berasal dari limfosit yang berasal dari sumsum tulang tetapi matang di timus. Sel T dan B yang matang mengalir melalui darah dan berdiam di jaringan limfoid perifer dan membentuk koloni. Kedua sel ini akan berproliferasi setelah mendapat stimulasi dengan adanya invasi asing (Sherwood, 2001). 2.7.2.1 Respon Imun Selular Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Imunitas selular berfungsi untuk mengorganisasi respons inflamasi non spesifik dengan mengaktivasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan bakterisid, serta sel fagosit lainnya; selain itu juga mengadakan proses sitolitik atau sitotoksik spesifik terhadap sasaran yang mengandung antigen. Imunitas selular berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B untuk memproduksi antibodi, juga meningkatkan fungsi subpopulasi limfosit T baik sel Th/penginduksi maupun sel Tc/sel supresor. Fungsi lainnya adalah untuk meregulasi respons imun dengan mengadakan regulasi negatif dan regulasi positif terhadap respons imun (Abbas et al., 1991). Adanya antigen akan menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali antigen pada permukaan sel makrofag atau sel yang terinfeksi
melalui
T-cell
receptors
(TCR)
dan
molekul
major
histocompatibility complex (MHC) kelas-II. Sinyal yang diberikan oleh sel terinfeksi akan menginduksi limfosit untuk memproduksi berbagai jenis limfokin
yang
dapat
membantu
menghancurkan
antigen
tersebut.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
Subpopulasi sel T lain yang disebut sel T-cytotoxic (Tc) akan menghancurkan antigen melalui MHC kelas-I dengan cara kontak langsung dengan sel (cell to cell contact). Selain itu, sel Tc memproduksi γ-interferon yang mencegah penyebaran antigen lebih jauh (Kresno, 2001). 2.7.2.2 Respon Imun Humoral Limfosit B adalah satu-satunya sel yang mampu memproduksi antibodi, mengenali antigen ekstraseluler dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi, berfungsi sebagai perantara imunitas humoral. Fungsi terpenting antibodi adalah mencegah mikroba yang ada di permukaan mukosal dan dalam darah, agar tidak masuk dan berkolonisasi dalam sel inang dan jaringan-jaringannya sehingga antibodi ini mencegah terjadinya infeksi tetap (Abbas et al., Abbas Lichtman, 2011). Respon imun humoral dilakukan oleh sel B dan produknya, yaitu antibodi. Respon ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi suatu populasi sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah. Diferensiasi sel B dibantu oleh sel Th2. Adanya sinyal yang diberikan oleh makrofag, sel Th2 akan merangsang sel B untuk memproduksi antibodi. Sel T-supresor juga ikut berperan dalam pengaturan produksi antibodi agar seimbang dan sesuai dengan kebutuhan. Antibodi yang terbentuk akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks antigen-antibodi yang akan mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan hancurnya antigen tersebut. Pada respon imun humoral juga terjadi respon primer yang membentuk populasi sel B memory (Kresno, 2001).
2.7.3 Limfosit T Limfosit T atau sel T adalah sel yang bertanggung jawab dalam respon imun selular. Sel T dapat dibedakan sebagai berikut : a. Sel Thelper (Sel Th) Sel Th adalah sel yang membantu meningkatkan perkembangan sel B aktif menjadi sel plasma, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T supresor yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag. Sel Th dapat dibedakan menjadi sel Th1 dan Th2. Sel Th1 berperan sebagai limfosit
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
yang akan melepaskan sitokin yang bersifat proinflamasi, sedangkan sel Th2 berperan dalam memproduksi antibodi dengan menstimulasi sel B menjadi sel plasma. b. Sel Tsuppresor (Sel Ts) Sel Ts adalah sel yang berperan dalam membatasi reaksi imun melalui mekanisme “check and balance” dengan limfosit yang lain. Sel Ts menekan akitivitas sel T lainnya dan sel B. Sel Th dan sel Ts akan berinteraksi dengan adanya metode umpan balik. Sel Th membantu sel Ts beraksi dan sel Ts akan menekan sel T lainnya. Dengan demikian sel Ts dapat menghambat respon imun yang berlebihan dan bersifat antiinflamasi. c. Sel Tcytotoxic (Sel Tc) Sel Tc adalah sel yang mampu menghancurkan sel cangkokan dan sel yang terinfeksi virus (Sherwood, 2001).
2.7.4 Limfosit B Limfosit B atau sel B tidak melakukan perjalanan ke timus; sel ini menyelesaikan pematangan di sumsum tulang. Dari sumsum tulang, sel B dilepaskan bersirkulasi dalam darah dan getah bening. Sel B individual, seperti sel-sel T, yang khusus untuk mengenali antigen asing tertentu. Ketika sel B bertemu dengan antigen yang ditargetkan, sel B mulai membelah dengan cepat, dan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Setiap sel plasma adalah pabrik yang memproduksi antibodi yang menempel seperti bendera untuk antigen, menandai setiap sel membawa antigen untuk dihancurkan. Sel B merupakan prekursor sel plasma; khusus untuk mengenali antigen asing tertentu. Sel B juga merespons helper sel T diaktifkan oleh interleukin-1. Seperti sel T sitotoksik, sel B memiliki protein reseptor pada permukaannya, satu jenis reseptor untuk setiap jenis sel B. Sel B mengenali mikroba sebanyak sel T sitotoksik mengenali sel yang terinfeksi, tetapi tidak seperti sel T sitotoksik, sel B tidak meyerang diri sendiri. Sebaliknya, mereka menandai patogen untuk dihancurkan oleh mekanisme yang tidak memiliki
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
"ID cek" sistem sel B sendiri. Di awal respon imun, marker ditempatkan oleh B sel protein komplemen peringatan untuk menyerang sel-sel yang membawa mereka. Cara sel-sel B melakukan penandaan sederhana dan sangat mudah. Berbeda dengan reseptor pada sel T, yang mengikat hanya untuk antigenMHC kompleks protein pada sel antigen-presenting (APC), reseptor sel B dapat mengikat bebas sehingga antigen belum diproses. Ketika sel B bertemu antigen, partikel antigen akan masuk ke dalam sel B oleh endositosis dan diproses. Sel Thelper yang mampu mengenali antigen spesifik akan mengikat kompleks protein antigen-MHC pada sel B dan melepaskan interleukin-2, yang merangsang sel B membelah. Di samping bersifat bebas, antigen yang belum diproses menempel antibodi pada permukaan sel B. Paparan antigen ini memicu lebih banyak lagi B proliferasi sel. Sel B membelah untuk menghasilkan sel-sel memori B berumur panjang dan sel plasma yang berfungsi pabrik antibodi sebagai berumur pendek. Antibodi yang dilepaskan ke dalam plasma darah, getah bening, dan cairan ekstraselular lainnya (Raven et al., 2001). Limfosit B menanggapi antigen dengan memproduksi protein yang disebut antibodi. Antibodi protein yang dihasilkan disekresikan ke dalam darah dan tubuh lainnya cairan dan dengan demikian memberikan kekebalan humoral. (Humor istilah di sini digunakan dalam arti kuno, mengacu pada cairan tubuh). Limfosit lainnya yang disebut sel T tidak mengeluarkan antibodi melainkan langsung menyerang sel-sel yang membawa antigen spesifik. Sel-sel ini sehingga digambarkan sebagai menghasilkan imunitas seluler. (Raven et al., 2001).
2.8
Imunomodulator
2.8.1 Definisi Imunomodulator adalah obat yang dapat mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan yang fungsinya berlebihan (Baratawidjaja, 2002).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
2.8.2 Mekanisme Kerja (Baratawidjaja, 2002). Obat golongan imunomodulator bekerja menurut 3 cara, yaitu melalui : a. Imunorestorasi b. Imunostimulasi c. Imunosupresi Imunorestorasi dan imunostimulasi disebut imunopotensiasi atau up regulation, sedangkan imunosupresi disebut down regulation. a. Imunorestorasi Imunorestorasi ialah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, sepertI immunoglobulin dalam bentuk Immune Serum Globulin (ISG), Hyperimmune
Serum
Globulin
(HSG),
plasma,
plasmapheresis,
leukopheresis, transplantasi sumsum tulang, hati dan timus. 1. ISG dan HSG Diberikan untuk memperbaiki fungsi sistem imun pada penderita dengan defisiensi imun humoral, baik primer maupun sekunder. ISG dapat diberikan secara intravena dengan aman. Defisiensi imunoglobulin sekunder dapat terjadi bila tubuh kehilangan Ig dalam jumlah besar, misalnya pada sindrom nefrotik, limfangiektasi intestinal, dermatitis eksfoliatif dan luka bakar. 2. Plasma Infus plasma segar telah diberikan sejak tahun 1960 dalam usaha memperbaiki sistem imun. Keuntungan pemberian plasma adalah semua jenis imunoglobulin dapat diberikan dalam jumlah besar tanpa menimbulkan rasa sakit. 3. Plasmapheresis Plasmapheresis (pemisahan sel darah dari plasma) digunakan untuk memisahkan plasma yang mengandung banyak antibodi yang merusak jaringan atau sel, seperti pada penyakit miastenia gravis, sindroma goodpasture dan anemia hemolitik autoimun.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
4. Leukopheresis Pemisahan leukosit secara selektif dari penderita telah dilakukan dalam usaha terapi artritis b. Imunostimulasi Imunostimulasi yang disebut juga imunopotensiasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Biological Response Modifier (BRM) adalah bahan-bahan yang dapat merubah respons imun, biasanya meningkatkan. BRM ada yang berupa biologik, yakni :
Hormon timus Sel epitel timus memproduksi beberapa jenis homon yang berfungsi dalam pematangan sel T dan modulasi fungsi sel T yang sudah matang. Ada 4 jenis hormon timus, yaitu timosin alfa, timolin, timopoietin dan faktor humoral timus. Semuanya berfungsi untuk memperbaiki gangguan fungsi imun (imunostimulasi non-spesifik) pada usia lanjut, kanker, autoimunitas dan pada defek sistem imun (imunosupresi) akibat pengobatan. Pemberian bahan-bahan tersebut jelas menunjukkan peningkatan jumlah, fungsi dan reseptor sel T dan beberapa aspek imunitas seluler. Efek sampingnya berupa reaksi alergi lokal atau sistemik.
Limfokin Disebut juga interleukin atau sitokin yang diproduksi oleh limfosit yang diaktifkan. Contohnya ialah Macrophage Activating Factor (MAF), Macrophage Growth Factor (MGF), T-cell Growth Factor atau Interleukin-2 (IL-2), Colony Stimulating Factor (CSF) dan interferon gama (IFN-γ). Gangguan sintetis IL-2 ditemukan pada kanker, penderita AIDS, usia lanjut dan autoimunitas.
Interferon Ada tiga jenis interferon yaitu alfa, beta dan gama. INF-α dibentuk oleh leukosit, INF-β dibentuk oleh sel fibroblas yang bukan limfosit dan IFN-γ dibentuk oleh sel T yang diaktifkan. Semua interferon dapat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
menghambat replikasi virus DNA dan RNA, sel normal dan sel ganas serta memodulasi sistem imun.
Antibodi monoklonal Diperoleh dari fusi dua sel yaitu sel yang dapat membentuk antibodi dan sel yang dapat hidup terus menerus dalam biakan sehingga antibodi tersebut dapat dihasilkan dalam jumlah yang besar. Antibodi tersebut dapat mengikat komplemen, membunuh sel tumor manusia dan tikus in vivo.
c. Imunosupresi Merupakan
suatu
tindakan
untuk
menekan
respons
imun.
Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi untuk mencegah reaksi penolakan dan pada berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan atau gejala sistemik, seperti autoimun atau auto-inflamasi.
2.8.3
Uji Pemeriksaan Sistem Imun (Rahma, 2011) Terdapat beberapa uji untuk menilai sistem imun, antara lain : a. Titer Antibodi Uji titer antibodi ini berdasarkan uji hemaglutinasi. Hemaglutinasi merupakan cara untuk menemukan antibodi atas dasar aglutinasi sel darah merah. Sebagai antigen dapat di gunakan sel darah merah sendiri atau antigen yang mensensitisasi sel darah merah. Antibodi adalah imunoglobulin yang merupakan golongan protein yang dibentuk oleh sel plasma dan berasal dari proliferasi sel B akibat adanya kontak dengan antigen. Titer antibodi yang tinggi menunjukkan bahwa sediaan uji dapat meningkatkan sistem imun (Hargono, Winarno, dan Werawati, 2000). b. Uji Proliferasi Limfosit Uji proliferasi limfosit dilakukan untuk mengetahui apakah sel T dapat memberikan respon terhadap antigen. Sel yang berproliferasi akan memberikan peningkatakan jumlah limfosit setalah beberapa jam disuntikkan antigen berulang (Wagner and Jurcic, 1991).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
c. Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas tipe lambat, Cell Mediated Immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberkulin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tersensitisasi dengan
2.9 CD19 (Cluster of Differentiation 19) Respon imun spesifik meliputi aktivasi dan maturasi sel T, sel mediator dan sel B untuk memproduksi antibodi yang cukup untuk melawan antigen (Kresno, 1996). Pada hakikatnya respon imun spesifik merupakan interaksi antara berbagai komponen dalam sistem imun secara bersama-sama. Respon imun spesifik terdiri dari respon imun seluler (cell-mediated immunity) dan respon imun humoral. Perbedaan kedua respon imun tersebut terletak pada molekul yang berperan dalam melawan agen infektif, namun tujuan utamanya sama yaitu untuk menghilangkan antigen (Benjamini et al., 2000). Respon imun selular merupakan fungsi dari limfosit T. Antigen akan menyebabkan proliferasi dan diferensiasi sel T menjadi beberapa subpopulasi. Subpopulasi sel T yang disebut sel T-helper (Th) akan mengenali antigen pada permukaan sel makrofag atau sel yang terinfeksi melalui T-cell receptors (TCR) dan molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas-II (Kresno, 2001). Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral yang akan menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum darah, berasal dari sel B yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma. Fungsi utama antibodi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya (Baratawidjaya, 2006). Sel B memiliki reseptor yang spesifik untuk tiap-tiap molekul antigen dan dapat dideteksi melalui metode tertentu melalui marker seperti CD19, CD21 dan MHC II (Abbas et.al., 2007). CD19 merupakan molekul penanda dari sel B atau limfosit B. CD19 memiliki nama lain, yaitu B4. CD19 bekerja dengan cara berinteraksi dengan reseptor antigen dan membentuk kompleks pada limfosit B yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
menghasilkan antibodi. Antigen dapat berupa molekul yang berada di permukaan unsur patogen maupun toksin yang diproduksi oleh antigen yang bersangkutan (http://bdbiosciensces.com). Cluster of Diferentiation (kluster diferensiasi) adalah protokol yang digunakan untuk identifikasi dan investigasi molekul yang terdapat pada permukaan sel, khususnya sel darah putih. Molekul CD mempunyai beberapa fungsi, misalnya sebagai reseptor atau ligan, atau pada adhesi sel. Manusia dilengkapi sedikitnya 350 buah molekul CD (Zola et.al., 2005) Nomenklatur CD dikembangkan HLDA (Human Leukocyte Antigen Diferensiasi). Tujuannya adalah untuk memberikan standarisasi antibodi monoklonal terhadap antigen manusia di laboratorium. Nomenklatur CD tergantung pada selnya. Untuk sel T, molekul penanda pada manusia berupa CD3, CD4,CD8; sel NK berupa CD56; dan sel B berupa CD19; dan lain-lain (http://bdbiosciensces.com).
2.10 Flowsitometri Flow cytometry adalah teknik untuk menganalisis dan menghitung partikel secara mikroskopis yang tersuspensi dalam aliran fluida (Ningrum, 2010). Alat yang digunakan untuk metode ini dinamakan flow cytometer. Flow cytometer adalah instrumen untuk menghitung jumlah sel dalam sekali analisis, instrumen ini dilakukan secara otomatis, waktunya relatif singkat yaitu kurang dari satu menit. Instrumen ini mampu mengukur ukuran sel, jumlah komponen seperti jumlah total DNA, DNA yang baru disintesis, ekspresi gen pada jumlah mRNA (messenger Ribonucleic acid), jumlah reseptor spesifik, dan jumlah protein intraseluler (Martz, 2003). Menurut Rowley (2013), flow cytometer digunakan untuk aplikasi dalam analisis ekspresi green fluorescent protein (GFP), analisis DNA, diagnosis kanker, penemuan obat, dan mikrobiologi. Secara umum, flow cytometer adalah mikroskop fluoresensi yang digunakan untuk analisis perpindahan partikel dalam suspensi, dilihat dengan sinar UV atau laser dan pada saatnya akan memancarkan epi-fluoresensi melalui cermin dichroic. Epi-fluoresensi terhadap jumlah sel yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
dipancarkan akan dikonversikan menjadi sebuah grafik dengan suatu program yang ada pada flow cytometer. Flow cytometer terdiri dari fluidik, optik dan elektronik (Robinson, 2006). Flow cytometry bersifat preparatif, yaitu sel-sel yang hidup diurutkan ke dalam tempat yang terpisah berdasarkan sifat dari masing-masing sel (Martz, 2003). Keuntungan dari metode flow cytometry yaitu waktu yang dibutuhkan untuk analisis sangat singkat, hasil yang didapat juga cepat, dapat memroses hingga 100.000 partikel per detik, dapat memisahkan partikel tunggal dari campuran populasi, dan adanya komputer yang modern dapat melakukan analisis multiparameter. Sedangkan kekurangan dari metode ini lebih mahal daripada radioimunoassay, lebih lambat dibandingkan dengan sistem otomatis imageprocessing (Robinson, 2004).
2.11 Kontrol Pembanding IM® mengandung Echinacea purpurea 250 mg, ekstrak Black eldelberry 400 mg, dan Zinc picolinate 5 mg, dikemas dalam sediaan kaplet. IM®membantu memperbaiki daya tahan tubuh atau respon imun tubuh, juga digunakan sebagai terapi pendamping untuk infeksi yang akut dan kronis, terutama untuk infeksi saluran pernafasan dan genitalia seperti kandidadiasis dan vaginitis. Echinacea adalah tumbuhan pertama yang dibuktikan secara ilmiah khasiat stimulasinya terhadap sistem imun (Tjay et al., 2002). Mekanisme Echinacea yang bekerja dengan cara menginduksi sitokin, sedangkan Zn picolinate mengaktivasi membran sel imun pada saat proses transkripsi, sehingga kombinasi Echinaceadan Zn picolinate merupakan kombinasi yang ideal untuk meningkatkan respon imun terutama pada keadaan infeksi (Anonim, 2006). Telah terbukti bahwa Echinacea merupakan imunostimulan non spesifik, dengan kata lain Echinacea tidak mempunyai hubungan antigenik dengan patogen-patogen spesifik. Hal ini merupakan hasil dari stimulasi respon imun seluler seperti fagositosis dan pelepasan sitokin serta faktorfaktor serum lainnya. Fagositosis (proses ingesti atau menghancurkan mikroorganisme,
sel
dan
partikel)
oleh
sel-sel
pada
sistem
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
retikuloendotelial,
telah
digunakan
sebagai
indikator
aktifitas
imunostimulan dari Echinacea (Bradley, 2006).
2.12 Literatur Review
Telah dilakukan penelitian oleh Musdja (2011) tentang uji efek imunomodulator ekstrak air campuran daun sirih (Piper betle Linn.), gambir (Uncaria gambir Roxb.), dan kapur sirih pada sel fagositosis mencit, pada dosis sedang 200 mg/kgBB terbukti memberikan efek imunomodulator.
Penelitian Fatimah (2010) pada uji pendahuluan tablet hisap campuran daun sirih dan gambir dengan perbandingan 0,636 : 0,333 gr yang diberikan kepada 6 orang relawan selama 7 hari. Hasil pengukuran CD4 relawan sebelum pemberian dan sesudah pemberian 7 hari tablet hisap, diperoleh hasil uji T berbeda secara bermakna dibandingkan dengan control normal. Penelitian ini menunjukkan bahwa tablet hisap daun sirih dan gambir juga memiliki potensi untuk melawan virus, yaitu dengan meningkatkan kadar CD4 pada relawan.
Penelitian Nurnabila (2011) pada uji pendahuluan tablet hisap campuran daun sirih dan kapur sirih (CaCO3) dengan mengambil darah 8 orang panelis masing-masing sebanyak 3 ml, dengan 6 orang diberikan tablet hisap ekstrak sirih dan kapur sirih, 1 orang kontrol positif yang diberikan Imboost Force, dan 1 orang kontrol negatif yang tidak berikan perlakuan selama 5 hari berturut-turut menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna antara data sebelum dan sesudah perlakuan terhadap kontrol positif dan terdapat perbedaan bermakna terhadap kontrol negatif
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
2.13 Kerangka Teori Penelitian
Piper betle L.
Eugenol
Antioksidan dan Immunomodulator
Meningkatkan aktifitas fagositosit & Meningkatkan kapasitas fagositosit serta menetralisir radikal bebas di dalam tubuh
Uncaria gambir Roxb.
Ca(OH)2
Ca2+
Katekin
Antioksidan
Imunomodulator
Menetralisir radikal bebas di dalam tubuh
Membentuk antibodi dan aksi antagonis pada sel poliferasi & sel diferensiasi
Campuran Komponen Menyirih
Imunomodulator
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Desain Penelitian Metode
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
quasi
experimental research dengan non randomized control group pretest postest design. Desain penelitian ini menggunakan kelompok pembanding (kontrol), tetapi tidak berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabelvaeriabel luar yang mempengaruhi penelitian. Penelitian ini menggunakan kelompok uji dan kelompok kontrol yang tidak dipilih secara random. Penelitian ini dilakukan dengan melihat perbedaan pretest (sebelum) dan postest (sesudah) diberi perlakuan. Kelompok uji dan kelompok kontrol yang tidak dipilih secara random. Untuk kelompok kontrol terbagi menjadi kontrol positif dan kontrol negatif. Kelompok kontrol positif diberikan Imboost® Force Kaplet Salut Selaput, sedangkan kelompok kontrol negatif tidak diberikan perlakuan.
3.2
Variabel Penelitian
3.2.1 Variabel Independen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kapsul ekstrak air komponen menyirih. Dosis yang digunakan adalah 972 mg sekali pakai. Intervensi dilakukan selama 14 hari. 3.2.2 Variabel Dependen Variabel independen dalam penelitian ini adalah jumlah kadar CD19 pada responden sehat sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan atau intervensi.
3.3
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Laboratorium
Fitokimia
dan
Farmakognosi (PNA), Laboratorium Penelitian 1 (PDR), Laboratorium Kimia Obat (PMC), dan Laboratorium Penelitian 2 (PBB) Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
38 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Penelitian ini berlangsung mulai dari bulan MeiOktober 2016.
3.4
Alat dan Bahan Penelitian
3.4.1 Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan terdiri dari alu,timbangan analitik, kertas saring, kertas perkamen, gelas beker, batang pengaduk, gelas ukur, kain flannel, tabung reaksi, pipet tetes, spatula, kaca arloji, kapas, cawan penguap, aluminium foil, corong, lemari asam, blender, freeze drier, disintegration tester, sysmex pouch 100i dan FACSCalibur. 3.4.2 Bahan Penelitian a. Bahan Tanaman Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak air kering gambir (Uncaria gambir Roxb.) yang diperoleh dari PayakumbuhSumatra Barat, daun sirih (Piper betle L.) dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (BALITRO) dan kapur sirih [Ca(OH)2] diperoleh dari CV. Total Equipment Pharmacy Semarang. b. Bahan Pereaksi Bahan-bahan yang digunakan yaitu : aquadest, etanol 96%, asam sulfat pekat, asam sulfat 10 N, natrium hidroksi 5%, ammonia 10%, amonia 25%, FeCl₃ 5%, asam nitrat pekat, HCl, lempeng Mg, HCl pekat, eter, asam asetat anhidrat, serbuk natrium asetat, NaOH 1 N, kloroform; pereaksi Stiasny, Dragendorf, Meyer, Buchard dan Liebermann-Buchard, reagen BD Tritest CD19 dan BD DACS lysing solution. c. Bahan lain Imboost® Force Kaplet Salut Selaput dan cangkang kapsul ukuran 00.
3.5
Alur Penelitian
3.5.1 Determinasi Gambir dan Daun Sirih Sebelum dilakukan penelitian terhadap tumbuhan, terlebih dahulu dideterminasi masing-masing gambir dan daun sirih untuk mengidentifikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
jenis simplisia. Determinasi dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, Jawa Barat. 3.5.2 Penyiapan Simplisia yang Digunakan Penyiapan gambir yaitu dengan cara membersihkannya dari pengotor, gambir yang digunakan yaitu berupa bongkahan gambir yang diperoleh dari Payakumbuh-Sumatera Barat. Bongkahan gambir kemudian dihaluskan sampai menjadi serbuk. Serbuk gambir tersebut diidentifikasi dan skrining fitokimia, sedangkan daun sirih sudah diperoleh dalam bentuk serbuk kering, kemudian diidentifikasi dan dilakukan juga skrining fitokimia. 3.5.3 Karakterisasi Ekstrak a. Parameter Spesifik Parameter yang diamati berupa organoleptis, yaitu meliputi bentuk, warna, bau, dan rasa ekstrak yang dibuat (Anonim, 2000). b. Parameter Non spesifik 1.
Susut Pengeringan Ekstrak ditimbang dengan seksama sebanyak 1 gram sampai 2 gram dan dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 105oC selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, ekstrak diratakan dalam botol timbang dengan menggoyang-goyangkan botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih kurang 5 mm sampai 10 mm, kemudian dimasukan ke dalam oven, dibuka tutupnya. Pengeringan dilakukan pada suhu 105oC hingga diperoleh bobot tetap lalu ditimbang. Sebelum setiap pengeringan, botol dibiarkan dalam keadaan tertutup mendingin dalam eksikator hingga mencapai suhu kamar. Kekurangan bobot dari sebelum pengeringan dengan sesudah pengeringan dihitung sebagai susut pengeringan (Depkes RI, 2000). % 𝑆𝑢𝑠𝑢𝑡 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 =
2.
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑤𝑎𝑙 −𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑤𝑎𝑙
𝑥 100%
Kadar Air Masukkan lebih kurang 10 gram simplisia/ekstrak dan timbang seksama dalam wadah yang telah ditara. Keringkan pada suhu 105 oC selama 5 jam, dan ditimbang. Pengeringan dilanjutkan dan ditimbang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
pada jarak 1 jam sampai perbedaan antara dua penimbangan berturutturut tidak lebih dari 0,25% (FI IV, 1995). 3.
Kadar Abu Sebanyak 2 gram ekstrak yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukan kedalam krus platina atau krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, lalu ekstrak diratakan. Dipijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, didinginkan, ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap berat ekstrak dan dinyatakan dalam % b/b (Depkes RI, 2000). % 𝐾𝑎𝑑𝑎𝑟 𝐴𝑏𝑢 =
𝑐−𝑎 𝑏−𝑎
𝑥 100%
Dimana : a = berat ekstrak + wadah awal (gram) b = berat ekstrak + wadah akhir (gram) c = berat ekstrak (gram)
3.5.4 Identifikasi Gambir a. Sebanyak 2 mg serbuk gambir ditambahkan 5 tetes asam sulfat P akan menghasilkan warna coklat merah b. Sebanyak 2 mg serbuk gambir ditambahkan asam sulfat 10 N akan menghasilkan warna coklat muda c. Sebanyak 2 mg serbuk gambir ditambahkan 5 tetes Na hidroksida 5% dalam etanol menghasilkan warna coklat merah d. Sebanyak 2 mg serbuk gambir ditambahkan 5 tetes ammonia 25% akan menghasilkan warna coklat merah e. Sebanyak 2 mg serbuk gambir ditambahkan 5 tetes larutan FeCl3 5% akan menghasilkan coklat kehitaman (Depkes RI, 1989). 3.5.5 Identifikasi Cemaran Urea Melarutkan 100 mg dalam 1 ml air, tambahkan 1 ml asam nitrat P; terbentuk endapan hablur putih (Depkes, 1979). 3.5.6 Penapisan Fitokimia (Fransworth, 1969) a. Identifikasi golongan Alkaloid Sebanyak 2 gram sampel ditambahkan 5 ml ammonia 25%, digerus dalam mortir, kemudian ditambahkan 20 ml etil asetat dan digerus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
kembali dengan kuat, kemudian disaring. Filtrat berupa larutan organik diambil (sebagai larutan A), sebagian dari larutan A (10 ml) diekstraksi dengan 10ml larutan HCl 1:10 dengan pengocokan dalam tabung reaksi, diambil larutan bagian atasnya (larutan B). Larutan A diteteskan beberapa tetes pada kertas saring dan ditetesi dengan pereaksi Dragendorf. Jika terbentuk warna merah atau jingga pada kertas saring maka hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan alkaloid dalam sampel. Larutan B dibagi dalam dua tabung reaksi, masing-masing ditambahkan pereaksi Dragendorf dan Mayer. Jika terbentuk endapan merah bata dengan pereaksi Dragendorf dan endapan putih dengan pereaksi Mayer maka menunjukkan adanya senyawa golongan alkaloid. b. Identifikasi golongan Flavonoid Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan 50 ml air panas, dididihkan 5 menit dan disaring, filtrat yang akan digunakan sebagai larutan percobaan. Ke dalam 5 ml larutan percobaan (dalam tabung reaksi) ditambahkan serbuk atau lempeng magnesium secukupnya dan 1 ml HCl pekat, serta 5 ml butanol, dikocok dengan kuat lalu dibiarkan hingga memisah. Jika terbentuk warna pada lapisan butanol (lapisan atas) maka hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan flavonoid. c. Identifikasi golongan Saponin Sebanyak 10 ml larutan percobaan yang diperoleh dari percobaan b (identifikasi golongan flavonoid), dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dikocok secara vertikal selama 10 detik, kemudian dibiarkan selama 10 menit. Jika dalam tabung reaksi terbentuk busa yang stabil dan jika ditambahkan 1 tetes HCl 1% busa tetap stabil maka hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan saponin. d.
Identifikasi golongan Steroid dan Triterpenoid Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan dengan 20 ml eter, dibiarkan selama 2 jam dalam wadah dengan penutup rapat lalu disaring dan diambil filtratnya. 5 ml dari filtrat tersebut diuapkan dalam cawan penguap hingga diperoleh residu. Ke dalam residu ditambahkan 2 tetes
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi LibermannBurchard). Jika terbentuk warna hijau atau merah maka hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan steroid dan triterpenoid dalam simplisia tersebut. e. Identifikasi golongan Tannin Sebanyak 2 gram sampel ditambahkan 100 ml air, dididihkan selama 15 menit lalu didinginkan dan disaring dengan kertas saring, filtrat yang diperoleh dibagi menjadi dua bagian. Ke dalam filtrat pertama ditambahkan 10 ml larutan FeCl3 1%, jika terbentuk warna biru tua atau hijau kehitaman maka hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan tanin. Ke dalam filtrat yang kedua ditambahkan 15 ml pereaksi Stiasny (formaldehid 30% : HCl pekat = 2:1), lalu dipanaskan di atas penangas air sambil digoyang-goyangkan. Jika terbentuk endapan warna merah muda menunjukkan adanya tanin katekuat. Selanjutnya endapan disaring, filtrat dijenuhkan dengan serbuk natrium asetat, ditambahkan beberapa tetes larutan FeCl3 1%, jika terbentuk warna biru tinta maka menunjukkan adanya tanin galat. f.
Identifikasi golongan Kuinon Sebanyak 5 ml larutan percobaan dari percobaan b (identifikasi golongan flavonoid), lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan beberapa tetes larutan NaOH 1 N. Jika terbentuk warna merah maka hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan kuinon.
g. Identifikasi golongan Minyak Atsiri Sejumlah 2 gram sampel dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml pelarut petroleum eter dan dipasang corong (yang diberi lapisan kapas yang telah dibasahi dengan air) pada mulut tabung, dipanaskan selama 10 menit di atas penangas air dan didinginkan lalu disaring dengan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diuapkan dalam cawan penguap hingga diperoleh residu. Residu dilarutkan dengan pelarut alkohol sebanyak 5 ml lalu disaring dengan kertas saring. Filtratnya diuapkan dalam cawan penguap, jika residu berbau aromatik/menyenangkan maka hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan minyak atsiri.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
h. Identifikasi golongan Kumarin Sebanyak 2 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml pelarut kloroform dan dipasang corong (yang diberi lapisan kapas yang telah dibasahi dengan air) pada mulut tabung, dipanaskan selama 10 menit di atas penangas air dan didinginkan lalu disaring dengan kertas saring. Filtrat yang diperoleh diuapkan dalam cawan penguap hingga diperoleh residu. Residu ditambahkan air panas sebanyak 10 ml lalu didinginkan. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 0,5 ml larutan ammonia (NH4OH) 10 %. Lalu diamati di bawah sinar lampu ultraviolet pada panjang gelombang 365 nm. Jika terjadi fluoresensi warna biru atau hijau maka hal itu menunjukkan adanya senyawa golongan kumarin, 3.5.7 Pembuatan Campuran Komponen Menyirih Pembuatan ekstrak dilakukan dengan mencampurkan semua bahan komponen
menyirih. Sebanyak
421 gram daun sirih, 70 gram serbuk
ekstrak gambir dan 9 gram kapur sirih dicampurkan dengan penambahan dengan pelarut air (aquades) hingga 1000 ml dengan cara diblender. Hasilnya dikeringkan dengan freeze drier untuk menarik sisa kandungan air yang masih terdapat di dalam ekstrak (Musdja et al., 2011). Selanjutnya didapatkan hasil freeze drying berupa ekstrak kering dari campuran ketiga bahan. Kemudian dihitung persen hasil yang didapat dengan rumus sebagai berikut : % =
Bobot ekstrak yang didapat x 100% Bobot serbuk simplisia yang diekstraksi
3.5.8 Penentuan Dosis Dosis bahan uji yang digunakan yaitu berdasarkan pada jurnal penelitian sebelumnya sebagai imunomodulator pada mencit sebesar 200 mg/kg BB, kemudian dikonversikan menjadi dosis untuk manusia.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
3.5.9 Evaluasi Sediaan Kapsul a. Uji Keseragaman Bobot Timbang 20 kapsul. Timbang lagi kapsul satu per satu. Keluarkan isi semua kapsul, timbang seluruh bagian cangkang kapsul. Hitung bobot isi kapsul dan bobot rata-rata isi kapsul (Depkes RI, 1979). b. Uji Waktu Hancur Uji dilakukan dengan 6 kapsul, masukkan ke dalam alat disintegrator yang berisi media air dengan suhu 37º C. Amati waktu hancurnya sampai tidak didapatkan kapsul yang tertinggal pada keranjang alat disintegrator (Depkes RI, 1995). c. Uji Higroskopisitas Sejumlah 3 kapsul ditempatkan pada botol coklat disimpan dalam desikator. Masing-masing perlakuan diamati setiap hari selama tujuh hari dan setiap minggu selama sebulan. Pengamatan dilakukan terhadap perubahan bobot kapsul, bentuk kapsul dan isi kapsul (Augsburger, 2000). 3.5.10 Pemeriksaan CD19 a. Perlakuan terhadap Responden Untuk pengujian kadar CD19, tiap responden masing-masing diambil darahnya sebanyak 3 ml, dengan jumlah responden sebanyak 8 orang. Dengan 6 orang sebagai kelompok uji yang diberikan kapsul komponen menyirih, 1 orang kontrol positif yang diberikan Imboost® Force, dan 1 orang kontrol negatif yang tidak diberikan perlakuan. Pada penelitian ini menggunakan non randomized control group pretest postest design sehingga pengambilan darah dilakukan sebanyak 2 kali yaitu sebelum diberikan perlakuan dan sesudah diberikan perlakuan. Perlakuan
Jumlah Sampel
Kontrol (+)
1 orang
Uji
6 orang
Jenis Perlakuan Imboost Force Kaplet Salut Selaput Kapsul Komponen Menyirih
Aturan Pakai 3 x 1 kaplet per hari sesudah makan (MIMS) 3 x 3 kapsul per hari sesudah makan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
Kontrol (-)
1 orang
-
-
Keterangan : tanda (-) = tidak diberikan perlakuan
b. Kriteria Responden Pada penelitian ini, besar sampel yang digunakan ditentukan menggunakan rumus Federer untuk uji eksperimental (Federer, 1967) yaitu : T (n-1) ≥ 15 Keterangan : T = jumlah perlakuan n = jumlah pengulangan
Responden harus memenuhi beberapa persyaratan sesuai kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti. Kriteria Inklusi :
Responden memiliki rentang usia produktif
Responden memiliki Indeks Massa Tubuh normal (18,5-22,9 kg/m2)
Responden dalam kondisi sehat dan tidak mengkonsumsi obat apapun selama penelitian berlangsung
Bersedia ikut dalam penelitian dan mengikuti prosedur yang ditetapkan (inform concern).
Kriteria Eklusi :
Adanya efek samping terhadap obat yang diberikan pada masingmasing kelompok perlakuan, menyebabkan kondisi subjek memburuk, sehingga pengobatan harus dihentikan sebelum waktunya
Adanya gangguan fungsi hati, ginjal dan jantung berat yang diketahui dengan pemeriksaan fisik diagnostik dan laboratorium
Mengundurkan diri dari penelitian.
c. Prosedur Pengambilan darah Alat dan bahan yang dibutuhkan dipersiapkan kemudian lengan pasien dalam posisi lurus dan mengepalkan tangannya, tourniquet dipasang dan dicari vena mediana kubiti atau sefalika, kemudian kulit
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
pada bagian yang akan diambil darahnya dibersihkan dengan alkohol 70%, setelah itu bagian vena ditusuk dengan lubang jarum menghadap ke atas, dengan sudut kemiringan 15-30 derajat, setelah volume darah dianggap cukup, tourniquet dilepaskan dan pasien diminta membuka kepalan tangan, kemudian jarum dilepaskan dan segera diberi kapas alkohol 70% untuk menekan bagian tusukan tersbut selama 2 menit, setelah darah berhenti plaster pada bagian bekas penusukan. d. Pengujian CD19 Sampel darah yang telah diambil dari responden segera diukur kadar limfosit CD19 dengan alat Sysmex Pouch 100i. Sebanyak 25-30 µl sampel darah dimasukkan ke dalam tabung reaksi bertutup dan ditambahkan reagen BD Tritest™ sebanyak 10 µl sambil tabung digoyangkan secara perlahan. Tabung reaksi tersebut kemudian diinkubasi di ruang gelap selama 20 menit pada suhu ruangan, dan ditambahkan 450 µl lsying solution ke dalamnya lalu dihomogenkan. Tabung reaksi berisi sampel tersebut kemudian diinkubasi kembali di lemari pendingin pada suhu 4,8° selama 30 menit, selanjutnya dimasukkan ke dalam alat flowsitometri BD FACSCalibur dan diperoleh nilai CD19 dalam darah. 3.5.11 Analisa Data Data hasil uji efek imunomodulator yang diperoleh, dianalisa dengan menggunakan program pengolahan data statistik SPSS 16 dengan metode Paired Sample T-test. Uji ini dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan (paired), sampel yang berpasangan diartikan sebagai sebuah sampel dengan subyek yang sama, namun mengalami dua perlakuan atau pengukuran yang berbeda, subyek A akan mendapat perlakuan I kemudian perlakuan II. Pengambilan Keputusan : Jika probabilitas > 0,05, maka Ho diterima Jika probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
4.1.1 Hasil Determinasi Gambir dan Daun Sirih Determinasi gambir telah dilakukan di laboratorium Herbarium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, Jawa Barat. Hasil determinasi menunjukan bahwa gambir yang digunakan adalah Uncaria gambir Roxb. dari famili Rubiaceae dan daun sirih yang digunakan adalah Piper betle L. dari famili Piperaceae (lampiran 2).
4.1.2 Hasil Karakterisasi Gambir dan Daun Sirih Hasil karakterisasi ekstrak berupa pengujian parameter spesifik dan non spesifik terhadap gambir dan daun sirih dapat dilihat pada tabel berikut. Hasil pengujian parameter spesifik berupa pemeriksaan organoleptis dibandingkan dengan persyaratan pada Vademikum Bahan Obat Alam. Untuk hasil pengujian parameter non spesifik dibandingkan dengan pesyaratan pada Buku Standar Acuan Simplisia Bahan Obat Alam. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Organoleptis Gambir (Depkes, 1989). Jenis Pemeriksaan Bentuk Warna Bau Rasa
Hasil Pemeriksaan Silinder/kubus tidak beraturan Kuning kecolatan Khas Sepat
Tertera dalam VBOA Silinder/kubus tidak beraturan Kuning kecoklatan Khas Sepat
Tabel 4.2 Hasil Pengujian Parameter Spesifik Daun Sirih (Depkes, 1989). Jenis Pemeriksaan Bentuk Warna Bau Rasa
Hasil Pemeriksaan Pipih menyerupai jantung Hijau cerah Khas Pedas
Tertera dalam VBOA Pipih menyerupai jantung Hijau cerah Pedas Pedas
48 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Tabel 4.3 Hasil Pengujian Parameter Non spesifik Gambir (lampiran 8) Pengujian Susut Pengeringan Kadar Air Kadar Abu
Hasil 7%
Persyaratan < 10% (SNI 01-3391-1994)
4,24% 3,62%
< 14,5% (BPOM RI, 2006) < 4% (SNI 01-3391-1994)
Tabel 4.4 Hasil Pengujian Parameter Non spesifik Daun Sirih (lampiran 8) Pengujian Susut Pengeringan Kadar Air
Hasil 4,77%
Persyaratan < 10% (Depkes, 2000)
2,92%
Kadar Abu
11,4%
<8% (Standart Herbal Medicine, 1993) <14% (Standart Herbal Medicine, 1993)
4.1.3 Hasil Identifikasi Gambir dan Cemaran Urea Bongkahan gambir yang telah diperoleh dilakukan identifikasi dengan menggunakan H2SO4 P, H2SO410 N, NaOH 5 %, ammonia 25 %, dan FeCl3 5 % (Depkes, 1989) dan untuk uji cemaran urea dilarutkan dengan air dan ditambahkan asam nitrat P (Depkes, 1979). Hasil dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.5 Identifikasi Gambir dan Cemaran Urea Pengujian
Syarat
Hasil
Serbuk + H₂SO₄ P
Coklat merah
+
Serbuk + H₂SO₄ 10 N
Coklat muda
+
Serbuk + NaOH 5%
Coklat merah
+
Serbuk + Ammonia 25%
Coklat merah
+
Serbuk + FeCl₃
Coklat kehitaman
+
Cemaran Urea
Negatif
-
Keterangan : (+) = ada, (-) = tidak ada
4.1.4 Hasil Penapisan Fitokimia Berdasarkan hasil penapisan fitokimia yang telah dilakukan pada gambir (Uncaria gambir Roxb.) dan daun sirih (Piper betle L.), diperoleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
beberapa golongan senyawa kimia yang hasilnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 4.6 Hasil Penapisan Fitokimia No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Golongan Senyawa Alkaloid Flavonoid Saponin Steroid Triterpenoid Tanin Kuinon Kumarin Minyak Atsiri
Gambir + + + + + -
Daun Sirih + + + + + + +
Keterangan : (+) = ada, (-) = tidak ada
4.1.5 Hasil Pembuatan Campuran Komponen Menyirih Pembuatan
campuran
komponen
menyirih
dilakukan
dengan
menggunakan metode freeze dry (kering beku). Proses ini dilakukan di laboratorium bidang Mikrobiologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) Cibinong, Jawa Barat. Dari 500 gr kombinasi gambir (70,2 gr), daun sirih (421,051 gr), dan kapur sirih (9,07 gr) yang dicampurkan diperoleh ekstrak kering sebesar 73,21 % yaitu 366,05 gr (lampiran 10).
4.1.6 Penentuan Dosis Dosis yang digunakan berdasarkan penelitian sebelumnya, yaitu 200 mg/kgBB pada mencit. Dosis ini kemudian dikonversi ke dosis manusia. Dosis yang digunakan adalah 972 mg untuk sekali pakai pada manusia (lampiran 11).
4.1.7 Hasil Evaluasi Sediaan Kapsul Evaluasi sediaan kapsul yang dilakukan meliputi uji keseragaman bobot, waktu hancur dan higroskopisitas. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
Tabel 4.7 Hasil Uji Keseragaman Bobot Kapsul 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata
Netto(mg) 291,5 329,8 312,8 320,4 302,1 298,5 315,5 324,6 316,3 331,0 331,9 318,2 330,6 283,9 313,0 316,0 321,6 318,4 324,2 324,4 316,2
% Penyimpangan 7,81 4,30 1,07 1,32 4,45 5,59 0,22 2,65 0,03 4,68 4,95 0,63 4,55 10,2 1,01 0,06 1,71 0,69 2,53 2,59
Dari hasil tabel di atas, dihitung persentase penyimpangan dari tiap kapsul dan didapatkan dua kapsul menyimpang dari persyaratan kolom A (± 7,5%) dan untuk setiap 2 kapsul memenuhi persyaratan kolom B (± 15%) (lampiran 13).
Tabel 4.8 Hasil Uji Waktu Hancur No.
Hasil Waktu Hancur
1
4 menit 28 detik
2
4 menit 10 detik
3
4 menit 43 detik
4
4 menit 9 detik
5
4 menit
6
4 menit 20 detik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
Dari tabel di atas, didapatkan rata-rata hasil waktu hancur sediaan kapsul, yaitu 4 menit 18 detik.
Tabel 4.9 Hasil Uji Higroskopisitas No. 1.
1 0,4519±0,0094
Bobot Minggu ke- (gr) 2 3 0,4519±0,0094 0,4521±0,0096
4 0,4528±0,0092
2.
0,4674±0,0094
0,4674±0,0094
0,4675±0,0096
0,4679±0,0092
3.
0,4494±0,0094
0,4494±0,0094
0,4496±0,0096
0,451±0,0092
Hasil uji higroskopisitas menunjukkan kestabilan secara fisik pada minggu ke-1 hingga minggu ke-3, sedangkan pada minggu ke-4 terlihat perubahan secara fisik (lampiran 13).
Tabel 4.10 Hasil Evaluasi Sediaan Kapsul Jenis Evaluasi Keseragaman Bobot
Waktu Hancur Higroskopisitas
Hasil
Nilai berdasarkan Literatur 2 kapsul melebihi Kapsul dengan bobot ratapersyaratan pada rata lebih dari 120 mg tidak kolom A dan tidak ada boleh memiliki perbedaan satupun kapsul yang dalam persen bobot isi tiap melibihi persyaratan kapsul terhadap bobot ratakolom B rata isi kapsul pada kolom A (± 7,5%) dan untuk setiap 2 kapsul tidak lebih dari persyaratan pada kolom B (± 15%) (Depkes RI, 1979). 4 menit 18 detik Dibawah 15 menit (Depkes RI, 1995) Minggu ke-4 terjadi perubahan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
4.1.8 Hasil Pemeriksaan CD19 Tabel 4.11 Karakteristik Responden Responden 1 2 3 4 5 6 Kontrol positif Kontrol negatif
IMT 22,22 22,89 22,65 22,89 21,09 21,71 20,7 22,43
Umur 23 tahun 22 tahun 38 tahun 22 tahun 22 tahun 25 tahun 22 tahun 22 tahun
Jenis Kelamin PR PR PR PR PR LK PR PR
Keterangan : PR = Perempuan, LK = Laki-laki
Tabel 4.12 Persentase CD19 dalam darah % CD19 dalam darah Responden Sebelum
Sesudah
1
15
13
2
13
13
3
19
19
4
14
13
5
14
15
6
13
12
Kontrol (+)
18
20
Kontrol (-)
17
18
Rentang Persentase CD19 Normal
6-25%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
Persentase Kadar CD19 25
% CD19
20 15 10
% CD19 dalam darah Sebelum
5
% CD19 dalam darah Sesudah
0
Responden
Gambar 4.1 Grafik Persentase CD19 dalam Darah
4.2 Pembahasan Pada penelitian uji efek imunomodulator ini digunakan ekstrak air campuran serbuk daun sirih kering, bongkahan gambir, dan kapur sirih yang merupakan komponen menyirih dengan perbandingan 421 : 70 : 9 (daun sirih : gambir : kapur sirih) yang telah digunakan dalam penelitian sebelumnya. Daun Sirih (Piper betle L.) yang digunakan diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan variasi kandungan kimia karena variabel tempat tumbuh dan iklim (Depkes, 2000). Kemudian dilakukan determinasi simplisia untuk memastikan kebenaran simplisia. Hasil determinasi menunjukkan bahwa simplisia yang digunakan adalah sirih (Piper betle L.) dari famili Piperaceae (lampiran 2). Bongkahan gambir (ekstrak air gambir) diperoleh dari kabupaten Payakumbuh, Sumatera Barat yang dikenal sebagai daerah penghasil gambir. Bongkahan gambir juga dilakukan determinasi dan hasilnya menunjukkan gambir yang digunakan merupakan gambir (Uncaria gambir Roxb.) dengan famili Rubiaceae (lampiran 2).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
Kapur sirih yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ca(OH)2 yang merupakan kapur sirih dalam bentuk basah atau tidak kering. Kapur sirih ini diperoleh dari CV. Total Equipment Pharmacy Semarang. Kapur sirih yang diperoleh memiliki Certificate of Analysis (COA) untuk memastikan bahwa kapur sirih tersebut aman digunakan atau dengan kata lain tidak mengandung cemaran logam berbahaya (lampiran 3). Gambir dan daun sirih distandarisasi dengan karakterisasi ekstrak dengan pengujian parameter spesifik dan non spesifik. Parameter spesifik yang dilakukan adalah pemeriksaan organoleptik. Berdasarkan hasil karakterisasi yang telah dilakukan diperoleh bahwa gambir dan daun sirih yang digunakan pada penelitian ini memenuhi syarat yang tertera pada literatur. Selain pengujian parameter spesifik, dilakukan juga parameter non spesifik terhadap gambir dan daun sirih. Parameter non spesifik dilakukan dengan mengukur susut pengeringan, kadar air dan kadar abu. Penetapan susut pengeringan bertujuan untuk memberikan batasan maksimal besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan. Syarat untuk susut pengeringan jika tidak dinyatakan lain adalah tidak lebih dari 10% untuk gambir maupun daun sirih (Depkes RI, 2000 dan SNI 01-3391-1994). Hasil pengukuran susut pengeringan pada gambir adalah 7% dan pada daun sirih adalah 4,77%, kedua nilai ini memenuhi syarat sehingga dapat dikatakan bahwa tidak banyak senyawa yang hilang saat proses pengeringan. Selanjutnya penetapan kadar air. Penetapan kadar air pada ekstrak bertujuan untuk memberikan batas maksimal besarnya kandungan air dalam ekstrak. Pada gambir, syarat kadar air jika tidak dinyatakan dengan lain adalah tidak lebih dari 14,5% (BPOM RI, 2006), sedangkan pada daun sirih adalah tidak lebih dari 8% (Standart Herbal Medicine, 1993). Hasil dari pengukuran kadar air pada gambir adalah sebesar 4,24%, sedangkan pada daun sirih diperoleh sebesar 2,92%. Nilai ini menunjukkan bahwa kadar air yang terkandung dalam ekstrak keduanya masih memenuhi persyaratan. Kemudian dilakukan penetapan kadar abu. Penetapan kadar abu dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai kandungan mineral internal maupun eksternal yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
berasal dari peoses awal sampai terbentuknya ekstrak. Pada gambir, syarat kadar abu jika tidak dinyatakan dengan lain kurang dari 4% (SNI 01-33911994), sedangkan pada daun sirih adalah kurang dari 14% (Standart Herbal Medicine, 1993). Hasil dari pengukuran kadar abu pada gambir adalah sebesar 3,62%, sedangkan pada daun sirih adalah sebesar 11,4%. Nilai ini menunjukkan bahwa kadar abu keduanya memenuhi persyaratan. Kemudian dilakukan identifikasi gambir dan cemaran urea. Identifikasi ini dilakukan untuk memastikan bahwa bahan yang identifikasi adalah gambir. Hasil identifikasi yang dilakukan menunjukkan bahwa bahan yang digunakan adalah gambir. Selanjutnya adalah pengujian cemaran urea terhadap gambir. Pengujian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui apakah bahan yang digunakan mengandung cemaran urea yang berbahaya. Hasil pengujian cemaran urea terhadap gambir menunjukkan bahwa gambir yang digunakan tidak mengandung cemaran urea. Tahap selanjutnya adalah penapisan fitokimia. Hasil penapisan fitokimia yang dilakukan pada gambir positif mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, dan kuinon, sedangkan pada daun sirih positif mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, steroid dan triterpenoid, tanin, kumarin, dan minyak atsiri. Penapisan ini dilakukan untuk mengetahui berbagai macam zat kandungan yang terdapat di dalam jaringan tanaman (Depkes, 1987). Kemudian dilakukan pembuatan campuran komponen menyirih. Proses pembuatan campuran komponen menyirih dengan cara memblender kombinasi ketiga bahan yaitu daun sirih, serbuk bongkahan gambir, dan kapur sirih [Ca(OH)2]. Metode ini digunakan karena merupakan metode yang sederhana, mudah dilakukan dan baik untuk senyawa-senyawa yang tidak tahan panas serta disesuaikan dengan cara menyirih (Puspitasari, 2012). Sedangkan pemilihan pelarut air karena mengacu pada penggunaan masyarakat, terdapat kandungan air dalam daun sirih dan kapur sirih (Puspitasari, 2012). Selanjutnya campuran ketiga bahan di freeze drying untuk mendapatkan senyawa yang ada termasuk senyawa yang tidak stabil. Proses freeze drying dilakukan di laboratorium bidang Mikrobiologi Lembaga
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
57
Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) Cibinong, Jawa Barat. Proses ini berlangsung selama 8 hari. Hasil freeze drying yang didapat berupa ekstrak kering sebanyak 73,21 % dari 500 gr campuran komponen menyirih (lampiran 9). Dosis yang digunakan pada penelitian ini adalah dosis pada mencit yang dikonversikan ke dosis manusia, yaitu 972 mg (lampiran 10). Dosis ini adalah hasil konversi dari kebiasaan menyirih dengan menggunakan daun sirih untuk dosis sedang yaitu daun sirih 8 helai, gambir 800 mg dan kapur sirih 110 mg per hari. Pada penelitian ini juga dilakukan peningkatan dosis 972 mg dengan frekuensi pemberian 3 kali sehari. Peningkatan dosis ini bertujuan untuk meningkatkan efek sediaan uji pada responden. Dosis yang digunakan masih dalam batas aman, mengacu pada penelitian sebelumnya mengenai batas maksimum penggunaan daun sirih dan gambir yaitu 67,9914 gr (lampiran 10). Frekuensi
menyirih yang umumnya dilakukan oleh
masyarakat antara 3 kali sampai dengan 10 kali sehari (Musdja et al., 2011). Tahapan selanjutnya adalah pengemasan hasil freeze drying dari campuran komponen menyirih ke dalam kapsul. Sediaan kapsul dipilih karena praktis, dapat menutupi obat yang memiliki rasa atau bau yang tidak enak, mudah ditelan, cepat hancur atau larut dalam lambung sehingga obat cepat diabsorpsi, kapsul tidak memerlukan bahan zat tambahan atau penolong seperti pada pembuatan bentuk sediaan lainnya (Syamsuni, 2006) serta efek cepat (dibanding dengan tablet), dosis dan komposis obat mudah dikombinasi sesuai keperluan pasien (Hadisoewignyo, 2013). Ekstrak kering hasil freeze drying dimasukkan kedalam cangkang kapsul. Ukuran cangkang kapsul yang digunakan dalam penelitian ini adalah ukuran 00 dengan kapasitas 728 mg (massa jenis = 0,8gr/ml). Untuk dosis 972 mg digunakan 3 kapsul masingmasing ± 324 mg ekstrak dimasukkan ke dalam cangkang kapsul. Kemudian, dilakukan evaluasi terhadap sediaan kapsul ekstrak komponen menyirih. Evaluasi tersebut meliputi uji keseragaman bobot, uji waktu hancur dan uji higroskopisitas Uji keseragaman bobot dilakukan bertujuan untuk memastikan bahwa bobot yang terdapat di dalam kapsul pada suatu formula memiliki jumlah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
yang sama dan zat aktif yang sama dengan anggapan serbuk formula terdistribusi homogen. Berdasarkan persyaratan Farmakope Indonesia edisi III bahwa kapsul dengan bobot rata-rata lebih dari 120 mg tidak boleh memiliki perbedaan dalam persen bobot isi tiap kapsul terhadap bobot ratarata isi kapsul ± 7,5% dan untuk setiap 2 kapsul tidak lebih dari ± 15%. Berdasarkan uji keseragaman bobot, didapatkan hasil untuk persyaratan tiap kapsul terdapat dua kapsul yang menyimpang lebih dari persyaratan pada kolom A (± 7,5%) dan tidak ada satupun kapsul yang menyimpang untuk persyaratan kolom B (± 15%). Hal ini menunjukkan bahwa sediaan kapsul tersebut memenuhi kriteria untuk keseragaman bobot. Uji waktu hancur dilakukan bertujuan untuk mengetahui waktu hancur sediaan tablet atau kapsul. Untuk memberikan efek terapi, tablet harus hancur terlebih dahulu hancur menjadi partukel yang lebih kecil, begitu pula untuk kapsul agar isi kapsul dapat terabsorpsi pada saluran cerna. Uji waktu hancur untuk sediaan kapsul ekstrak komponen menyirih menunjukkan waktu hancur rata-rata ± 4 menit 18 detik. Hasil uji waktu hancur menunjukkan bahwa sediaan kapsul komponen menyirih memenuhi syarat uji waktu hancur kapsul Farmakope Indonesia edisi IV yaitu waktu hancur dibawah 15 menit. Uji higroskopisitas bertujuan untuk menguji kemampuan bahan obat untuk menyerap uap dari udara setelah dibiarkan dalam kondisi tertentu selama beberapa waktu. Pengujian dilakukan dengan mengamati perubahan bobot dan warna dari isi sediaan kapsul. Perubahan bobot kapsul dan warna isi kapsul setiap waktunya dapat menggambarkan perubahan kadar air yang terdapat dalam sediaan. Pengujian tersebut diamati bobotnya setiap minggu selama 4 minggu. Berdasarkan hasil uji higroskopisitas, pada minggu ke-1,2 dan 3 menunjukkan sediaan kapsul komponen menyirih relatif stabil karena tidak terjadi perubahan bentuk kapsul dan warna isi serbuk. Pada minggu ke3 terjadi peningkatan bobot kapsul komponen menyirih. Namun, pada minggu ke-4 terjadi perubahan bentuk dan bobot kapsul komponen menyirih serta tidak terjadi perubahan pada warna isi kapsul (lampiran 12). Hal ini menunjukkan bahwa sediaan kapsul komponen menyirih bersifat higroskopis kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti kurang tepatnya
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
pemilihan kapasitas cangkang kapsul yang digunakan sehingga masih terdapat rongga udara di dalam kapsul yang mungkin bisa mempengaruhi stabilitas senyawa maupun cangkang kapsul; dan kemungkinan karena tidak diberi zat pengering seperti silica gel saat penyimpanan yang bisa digunakan untuk mempertahankan kestabilan sediaan. Pada penelitian ini dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok uji, kelompok kontrol positif dan kelompok kontrol. Kelompok uji diberikan kapsul komponen menyirih (campuran ekstrak gambir, daun sirih dan kapur sirih). Kelompok uji diberikan 972 mg campuran ekstrak komponen menyirih, yang terbagi dalam 3 kapsul. Kelompok kontrol positif diberikan Imboost® Force yang beredar di pasaran. Pada penelitian ini digunakan 8 responden berdasarkan perhitungan rumus federer (lampiran 11). Responden tsb terdiri dari 6 orang sebagai kelompok uji, dan masing-masing 1 orang untuk kontrol positif maupun negatif. Kelompok kontrol positif dan kelompok uji diberikan perlakuan dengan frekuensi sebanyak 3 kali sehari, mengacu pada aturan pakai kontrol positif yaitu Imboost® Force, sedangkan kontrol
negatif
tidak
diberikan
perlakuan.
Sebelumnya
dilakukan
pemeriksaan terhadap responden terkait kriteria inklusi yang ditetapkan oleh peneliti. Hasil pemeriksaan kriteri inklusi dapat dilihat pada tabel 4.11. Hasil yang didapatkan adalah semua responden memenuhi kriteria inklusi yang ditetapkan oleh peneliti baik dari segi umur, IMT, maupun kondisi kesehatan yang terlihat secara fisik. Sebelum dilaksanakan intervensi terhadap responden, peneliti meminta persetujuan dari responden di awal. Persetujuan tersebut berupa inform concern (lampiran 13). Setelah semua responden memenuhi kriteria inklusi, peneliti menyampaikan informasi terkait alur penelitian yang akan dilakukan mulai dari pemeriksaan laboratorium yang dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan intervensi, lama pemberian sediaan, jadwal mengkonsumsi sediaan, cara penyimpanan sediaan, dan halhal yang harus dihindari seperti mengkonsumsi obat, vitamin, dan sejenisnya selama penelitian berlangsung. Pemantauan terhadap responden dilakukan setiap hari oleh penelitian yang bertujuan untuk meminimalisir kesalahankesalahan yang mungkin bisa berpengaruh pada hasil akhir.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
Pada penelitian ini, dosis pada kelompok uji ditingkatkan dari 972 mg menjadi 972 mg 3 kali sehari. Peningkatan dosis ini bertujuan untuk meningkatkan efek sediaan uji pada responden. Dosis yang digunakan masih dalam batas aman, mengacu pada penelitian sebelumnya mengenai batas maksimum penggunaan daun sirih dan gambir yaitu 67,9914 gr. Hal ini bertujuan
untuk
meningkatkan
efek
imunomodulator,
tetapi
tetap
mempertimbangkan keamanan dosis yakni tidak melebihi dosis maksimum. Pengujian ini dilakukan selama 14 hari berturut-turut mengacu pada penelitian yang dilakuan oleh Musdja (2011) menunjukkan bahwa pemberian ekstrak komponen menyirih dari hari pertama sampai hari 14 memperkuat sistem pertahanan tubuh mencit sehingga lebih baik dalam melakukan aktivitas dan kapasitas fagositosis terhadap S. epidermis dengan pemberian dosis 200mg/kg BB. Kontrol positif yang digunakan sebagai pembanding pada penelitian ini adalah Imboost® Force Kaplet Salut Selaput. Pemilihan Imboost Force sebagai kontrol positif mengacu pada bahan yang digunakan terdiri dari 3 bahan, yaitu ekstrak kering Echinaceae purpurea, Black elderberry dan Zn Picolinate. Selain itu juga, Imboost Force merupakan salah satu sediaan fitofarmaka yang telah beredar di Indonesia. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi (BPOM, 2005). Fitofarmaka ini merupakan salah satu fitofarmaka yang banyak digunakan masyarakat untuk meningkatkan sistem imun tubuh atau sebagai imunomodulator yang telah beredar di Indonesia. Metode yang digunakan untuk uji efek imunomodulator pada penelitian ini adalah uji titer antibodi. Metode ini dipilih karena merupakan metode yang mudah, cepat, dan relatif murah. Pemilihan CD19 dalam pengujian efek imunomodulator ini karena kadar CD19 dapat dideteksi dalam sel darah merah dan menunjukkan kadar limfosit B sebagai penghasil antibodi. CD19 (Cluster of Differentiation 19) merupakan sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih, terutama sel-sel limfosit B. Limfosit B menanggapi antigen dengan memproduksi protein
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
yang disebut antibodi. Antibodi protein yang disekresikan ke dalam darah dan tubuh lainnya cairan dan dengan demikian memberikan kekebalan humoral (istilah humor disini digunakan dalam arti kuno, mengacu pada cairan tubuh). Limfosit lainnya yang disebut sel T tidak mengeluarkan antibodi melainkan langsung menyerang sel-sel yang membawa antigen spesifik sehingga sel-sel ini digambarkan sebagai menghasilkan imunitas seluler. Berbeda dengan antibodi, mereka tidak membunuh patogen secara langsung melainkan menyebabkan kerusakan patogen dengan mengaktifkan sistem komplemen dan dengan menargetkan patogen serangan oleh sel fagositik (Raven et al., 2001). Limfosit B atau sel B tidak melakukan perjalanan ke timus; sel ini menyelesaikan pematangan di sumsum tulang. Dari sumsum tulang, sel B dilepaskan bersirkulasi dalam darah dan getah bening. Sel B individual, seperti sel-sel T, yang khusus untuk mengenali antigen asing tertentu. Ketika sel B bertemu dengan antigen yang ditargetkan, sel B mulai membelah dengan cepat, dan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan sel memori. Setiap sel plasma adalah pabrik yang memproduksi antibodi yang menempel seperti bendera untuk antigen, menandai setiap sel membawa antigen untuk dihancurkan. Sel B merupakan
prekursor sel plasma; khusus untuk
mengenali antigen asing tertentu. Sel B juga merespons helper sel T diaktifkan oleh interleukin-1. Seperti sel T sitotoksik, sel B memiliki protein reseptor pada permukaannya, satu jenis reseptor untuk setiap jenis sel B. Sel B mengenali mikroba sebanyak sel T sitotoksik mengenali sel yang terinfeksi, tetapi tidak seperti sel T sitotoksik, sel B tidak meyerang diri sendiri. Sebaliknya, mereka menandai patogen untuk dihancurkan oleh mekanisme yang tidak memiliki "ID cek" sistem sel B sendiri. Di awal respon imun, marker ditempatkan oleh B sel protein komplemen peringatan untuk menyerang sel-sel yang membawa mereka. Cara sel-sel B melakukan penandaan sederhana dan sangat mudah. Berbeda dengan reseptor pada sel T, yang mengikat hanya untuk antigenMHC kompleks protein pada sel antigen-presenting (APC), reseptor sel B dapat mengikat bebas sehingga antigen belum diproses. Ketika sel B bertemu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
antigen, partikel antigen akan masuk ke dalam sel B oleh endositosis dan diproses. Sel Thelper yang mampu mengenali antigen spesifik akan mengikat kompleks protein antigen-MHC pada sel B dan melepaskan interleukin-2, yang merangsang sel B membelah. Di samping bersifat bebas, antigen yang belum diproses menempel antibodi pada permukaan sel B. Paparan antigen ini memicu lebih banyak lagi B proliferasi sel. Sel B membelah untuk menghasilkan sel-sel memori B berumur panjang dan sel plasma yang berfungsi pabrik antibodi sebagai berumur pendek. Molekul yang bertanggungjawab dalam proses pembentukan antibodi adalah limfosit B dengan molekul penanda berupa CD19. Limfosit B berasal dari limfosit yang matang dan berdiferensiasi di sumsum tulang. Limfosit B yang matang mengalir melalui darah dan berdiam di jaringan limfoid perifer dan membentuk koloni. Limfosit ini akan berproliferasi setelah mendapat stimulasi dengan adanya invasi asing (Sherwood, 2001). Limfosit B menanggapi antigen dengan memproduksi protein yang disebut antibodi. Proses ini diawali dengan diferensiasi limfosit B menjadi suatu populasi sel plasma yang memproduksi dan melepaskan antibodi spesifik ke dalam darah (Kresno, 2001). Molekul yang disintesis oleh sel B terdapat dua molekul dengan fungsi yang berbeda, yaitu sebagai reseptor permukaan (untuk mengikat antigen) dan sebagai antibodi yang disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler. Molekul yang berperan sebagai reseptor permukaan adalah sel B memori yang berfungsi mengingat sedangkan molekul yang disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler berupa sel plasma. Antibodi yang dilepaskan ke dalam plasma darah, getah bening, dan cairan ekstraselular lainnya (Raven et al., 2001). Oleh karena itu, pengujian CD19 bisa dideteksi melalui pengambilan darah. Pengujian CD19 dilakukan sebanyak dua kali, yaitu sehari sebelum responden diberi perlakuan dan setelah 14 hari pengujian yaitu pada hari ke 15. Pengujian CD19 ini dilakukan di Laboratorium Terpadu FKUI. Penelitian ini belum memiliki ethical clearance karena penelitian ini merupakan uji pendahuluan (trial). Penelitian ini juga menggunakan jumlah reponden yang belum representatif jika dibandingkan dengan uji klinis fase 1 yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
sebenarnya, salah satunya karena keterbatasan biaya. Selama penelitian berlangsung, tidak ditemukan adanya efek samping pada responden. Sama seperti pengujian CD4 dan CD8, pengujian CD19 juga dapat berubah-ubah yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain waktu pengambilan darah, faktor fisik pasien, maupun faktor kondisi kejiwaan pasien. Oleh karena itu, darah yang diambil pada jam yang sama dan dilakukan di laboratorium yang sama untuk meminimalisir faktor kesalahan (Nurnabila, 2011). Hasil pemeriksaaan CD19 sebelum dan sesudah responden diberi perlakuan bisa dilihat pada tabel 4.12. Persentase CD19 normal memiliki rasio antara 5-25% atau 90-660 cells/μL (lampiran 15). Hasil ini diinterpretasikan dalam bentuk tabel dan grafik yang bisa dilihat pada bab hasil. Data hasil laboratorium kemudian dianalisa dengan menggunakan program pengolahan data statistik SPSS 16 dengan metode Paired T-test. Sebelumnya data di uji normalitas, hasilnya menunjukkan data tidak terdistribusi normal sehingga menggunakan uji Wilcoxon. Berdasarkan analisa data didapatkan nilai p > 0,05, Ho berarti diterima. Data ini menunjukkan bahwa kapsul komponen menyirih tidak memiliki perbedaan secara bermakna, dengan kata lain kapsul campuran komponen menyirih tidak dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah secara bermakna. Hal ini bisa disebabkan karena kurang representatifnya jumlah sampel yang diuji antara kelompok uji dengan kelompok kontrol, seharusnya jumlah sampel yang digunakan adalah sama, baik kelompok uji maupun kelompok kontrol. Selain itu, bisa disebabkan karena kurang tepatnya pemberian dosis dan lama waktu frekuensi pemberian sehingga senyawa yang diharapkan dapat memberikan efek belum bekerja secara maksimal. Kondisi responden yang sehat kemungkinan juga menjadi salah satu penyebab tidak terlihatnya peningkatan yang signifikan pada kadar CD19 dalam darah. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tidak adanya paparan antigen yang bisa mengaktivasi kerja dari CD19 sehingga tidak terlihat jelas hasil interpretasi dari kerja CD19 pada saat pemeriksaan laboratorium. Selain itu juga, kemungkinan disebabkan sifat senyawa imunomodulator yang tidak akan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
menimbulkan sistem fungsi imun yang berlebihan. Sistem imun akan berhenti bekerja meningkatkan kekebalan tubuh jika kondisi tubuh telah kembali normal (Djauzi, 2003 dan Heru, 2001). Untuk mengetahui kadar obat atau senyawa dalam darah bisa dilakukan pengujian farmakokinetik untuk mengetahui proses perjalanan obat, berupa proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Tetapi proses tersebut tidak menjadi tahapan yang dilakukan pada penelitian ini.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan 1. Dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap sediaan, kapsul campuran komponen menyirih memenuhi syarat dari hasil evaluasi uji waktu hancur, namun untuk hasil uji keseragaman bobot tidak memenuhi sayarat serta uji higroskopisitas menunjukkan bahwa sediaan bersifat higroskopis pada minggu ke-4. 2. Berdasarkan analisa data yang dilakukan, didapatkan nilai p > 0,05, Ho berarti diterima. Data ini menunjukkan bahwa kapsul campuran komponen menyirih tidak dapat meningkatkan kadar CD19 dalam darah secara bermakna.
5.2 Saran 1. Perlu dilakukan variasi terkait dosis, frekuensi dan lama waktu pemberian agar lebih terlihat jelas pengaruh campuran komponen menyirih terhadap fungsinya sebagai imunomodulator. 2. Perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut terhadap sediaan. 3. Perlu dilakukan evaluasi terkait jumlah responden yang representatif.
65 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology. Philadelphia: WE Saunders Company, 1991. Abbas A, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology. 5th ed. Philadelphia : Elsevier-Saunders; 2005 Amos, I. Zainuddin, A. Triputranto, B.Rusmandana, dan S. Ngudiwaluyo. 2004. Teknologi Pasca Panen Gambir. Jakarta : BPPT Press Amos. 2010. Kandungan Katekin Gambir Sentra Produksi di Indonesia. Pusat Pengkajian Teknologi Agroindustri Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jurnal Standardisasi Vol. 12, No. 3 Anggraini, T., Tai, T., Yoshino, T and Itani, T. 2011. Antioxidative activity and catechin content of four kinds of Uncaria gambir extracts from West Sumatra, Indonesia. African Journal of Biochemistry Research. Vol. 5 (1): 33- 38 Ansel, H. C., Allen, L. V., and Popovich, N. G,. 2005. Ansel’s Pharmaceutical Dosage Form and Drug Delivery System, Eight Edition. Lippincott Williams and Wilkins a wotters Kluver Company. Philadelphia. Anonim. 2006. Echinacea Imunoterapi Penyakit Saluran Pernapasan. Diambil dari http://www.tempo.co.id Augsburger, L. L. 2000. Modern Pharmaceutics : Hard and Soft Gelatin Capsules Ed 2. New York : Mercel Dekker Baratawidjaja, G.K., dan Rengganis, I. 2010. Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. BPOM. 2005. http://sireka.pom.go.id diakses tanggal 26 Desember 2016 Bradley. Peter. 2006. British Herbal Compendium Vol 2. British Herbal Medicine Association (BHMA), Great Britain : 129-141 Dalimartha, Setiawan. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jakarta : Puspa Swara. Departemen Kesehatan RI. 1980. Materia Medika Indonesia Jilid IV. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta
66 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta Departemen Kesehatan RI. 1999. Cara Pengelolaan Simplisia yang Baik. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standard Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta Dewi, May malia. 2012. Formulasi Sediaan Tablet Hisap Katekin Gambir (Uncaria gambir Roxb.) sebagai Imunomodulator dengan Metode Granulasi Basah. FKIK UIN Jakarta Ermiati. 2004. Budidaya, Pengolahan Hasil dan Kelayakan Usaha Tani Gambir (Uncaria gambir Roxb.) di Kabupaten 50 Kota. Buletin TRO. Flachsmann. Echinacea purpurea Nonclonal Immuno Strategies and its modulations. Phyto Novum 2001. Gandhi G, Kaur R, Sharma S. 2005. Chewing pan
masala and/or betel quid-fashionable attributes and/or cancer menaces. Journal of Human Ecology Gunawan, Didik & Mulyani, Sri. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi) Jilid 1. Penebar Swadaya, Jakarta Hadisoewignyo, Lannie. 2013. Sediaan Solida. Pustaka Pelajar Hariana, H. Arief. 2004. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya seri 1. Penebar Swadaya, Jakarta Hariana, Drs. H. Arief. 2006. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya seri 3. Penebar Swadaya, Jakarta Handojo, I. 2003. Pengantar Imunoasai Dasar. Surabaya : Airlangga University Press Haryanto, Sugeng. 2009. Ensiklopedi Tanaman Obat Indonesia. Pallmal, Yogyakarta Hayani, E. 2003. Analisis Kadar Catechin dari Gambir dengan Berbagai Metode. Buletin Teknik Pertanian Vol. 8, No. 1. Hendry, John A., Jeansonne, Billie G., Dummett, Clifton O., dan Burrell, William. Comparison of Calcium Hydroxide and Zinc Oxide and Eugenol Pulpectomies in Primary Teeth of Dogs. Oral Patology, Vol 54, 2005
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
nd
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. 2 ed. Jakarta : Departemen Kehutanan Juminar, St Ratna. 2012. Formulasi Granul Kombinasi Katekin Gambir (Uncaria gambir Roxb) dan Eugenol Sebagai Imunomodulator Dengan Metode Granulasi Basah. Jakarta : FKIK UIN Syarif Hidayatullah Kresno, B.S. (2001). Imunologi : Diagnosis dan Proses Laboratorium Edisi Kelima. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Martz,
E.
2003.
What
Is
Flow
Cytometry?
dari
http://www.bio.umass.edu/micro/immunology/facs542/facswhat.html diakses pada 21 Desember 2016 Moeljanto, Rini Damayanti. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab dari masa ke masa. Jakarta : Agromedia Pustaka. Musdja, Muhammad Yanis, Amir Syarif, Ernie Hernawati Poerwaningsih, Andria Agusta. 2011. Modulation of Macrophage Immune Responses of Extract Mixture of Betel Leaf (Piper betle, L), Gambier (Uncaria gambier, Roxb) and Calcium Hydroxide on Phagocytic Cells of Mice. Jakarta : Islamic State University Nalina T, Rahim ZHA. The crude aqueous extract of piper betel L and its antibacterial affect towards streptococcus mutans. Am J Biochem & Biotech 2007 Ningrum, I. P. 2010. Sitotoksisitas Ekstrak Spons Laut Aaptos suberitoides Terhadap Siklus Sel Kanker HeLa. Fakultas Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Oetjen, Georg-Wilhem & Haseley, Peter. 2004. Frezz-Drying. From Germany : WILEY-VCH Verlag Gmbh & Co.KGaA Pambayun, Rindit. 2013. Herbal Tradisional dengan Gambir (Uncaria gambir Roxb) dan Pengembangannya untuk Pelayanan Kesehatan. Universitas Sriwijaya Palembang Perpustakaan
Negeri
Malaysia.
2001.
Sirih
http://www.pnm.my/sirihpinang/sp-kapur.html
Pinang.
From
diakses pada tanggal 10
Maret 2016
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
Raven, Peter H. George B. Johnson. 2001. Biology sixth edition. McGraw-Hill education. Roselyndiar, 2012. Formulasi Kapsul Kombinasi Ekstrak Herba Seledri (Aoium graveolens L. dan Daun Tempuyung (Sonchus arvenis L.). Universitas Indonesia Rowley,
T.
2013
Flow
Cytometry
-
A
Survey
and
the
Basics,
http://www.labome.com/method/Flow-Cytometry-A-Survey-and-theBasics.html diakses pada 21 Desember 2016 Robinson, J.P. 2006. Introduction to Flow Cytometry : Flow cytometry talks, Purdue
University
Cytometry
http://www.cyto.purdue.edu/flowcyt/educated/pptslide.htm
Laboratories, diakses pada
21 Desember 2016 Robinson, J.P. 2004. Flow Cytometry : Encyclopedia of Biomaterials and Biomedical Engineering. Sari, Retno dan Dewi Isadiartuti. 2006. Studi Efektivitas Sediaan Gel Antiseptik Tangan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn.). Majalah Farmasi Indonesia 17 (4) Sherwood L. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Subowo. 1993. Imunobiologi. Bandung : Penerbit Angkasa Sudirman. 2010. Pemanfaatan Kapur Sirih Sebagai Deodoran Alternatif Pencegah Terjadinya Bau Badan (Bromhidrosis). Universitas Negeri Malang, Malang Syamsuni, H. A., 2006. Ilmu Resep. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. PT Elex Media Komputindo, Jakarta Van Steenis, C. G. G. J. 2008. Flora. PT Pradriya Paramita, Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur Penelitian
Komponen Menyirih
Gambir (Uncaria gambir Roxb)
Daun Sirih (Piper betle L.)
Kapur Sirih [Ca(OH)2]
Dideterminasi Hasil determinasi Penapisan fitokimia
Karakterisasi ekstrak (pengujian parameter spesifik dan non spesifik) Ditimbang Diblender Ekstrak basah Freeze drying Ekstrak kering
Responden
Uji efek Imunomodulator
Pengukuran Kadar CD19
Kontrol (+) : Imboost® Force Kontrol (-) : tidak diberikan perlakuan Analisa Data
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
Lampiran 2. Hasil Determinasi Gambir dan Daun Sirih
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
Lampiran 3. Sertifikat Analisis (COA) Kapur Sirih
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
Lampiran 4. Alat dan Bahan yang digunakan
Freeze Drier (EYELA FDU-1200)
Disintegration Tester (ERWEKA)
Oven
FACS Canto II
Sysmex Pouch 100i
Tanur
Timbangan Analitik
Blender
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
Botol Gelap
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
Lampiran 5. Penyiapan Campuran Komponen Menyirih
Bongkahan Gambir
Kapur Sirih
Daun Sirih kering
Dihaluskan Serbuk kering
Ditimbang 70 gram
Ditimbang 421 gram
Ditimbang 9 gram
Dicampur Diblender Freeze drying
Ekstrak kering
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
Lampiran 6. Hasil Pengujian Parameter Non spesifik
Hasil Susut Pengeringan Gambir
Hasil Susut Pengeringan Daun Sirih
Hasil Kadar Air Gambir
Hasil Kadar Air Daun Sirih
Hasil Kadar Abu Gambir
Hasil Kadar Abu Daun Sirih
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
Lampiran 7. Hasil Penapisan Fitokimia
Gambir
Saponin
Alkaloid
Kuinon
Flavonoid
Daun sirih
Alkaloid
Flavonoid
Steroid
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
Lampiran 8. Perhitungan Pengujian Parameter Non spesifik
Gambir 1. Susut Pengeringan W1 = berat awal
= 43,545 gr
W2 = berat akhir
= 43,466 gr
Berat ekstrak
= 1,043 W1 − W2 x 100% berat ekstrak 43,545 − 43,466 = x 100% 1,043
% 𝑠𝑢𝑠𝑢𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 =
= 7,57%
2. Kadar Air Berat ekstrak + wadah awal (a)
= 54,2255 gr
Berat ekstrak + wadah akhir (b)
= 54,182 gr
Berat simplisia (c)
= 1,0255 gr
Berat wadah kosong
= 53,2 gram
a−b x 100% c 54,2255 − 54,182 = x 100% 1,0255
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 =
= 4,24%
3. Kadar Abu Berat ekstrak + wadah awal (a)
= 39,664 gr
Berat ekstrak + wadah akhir (b)
= 39,6 gr
Berat simplisia (c)
= 1,104 gr
Berat wadah kosong
= 58,56 gram
a−b x 100% c 39,6 − 38,56 = x 100% 1,104
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 =
= 3,62%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
Daun Sirih
1. Susut Pengeringan W1 = berat awal
= 31,056 gr
W2 = berat akhir
= 31,007 gr
Berat ekstrak
= 1,026 gr W1 − W2 x 100% berat ekstrak 31,056 − 31,007 = x 100% 1,026
% 𝑠𝑢𝑠𝑢𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔𝑎𝑛 =
= 4,77%
2. Kadar Air Berat ekstrak + wadah awal (a)
= 55,725gr
Berat ekstrak + wadah akhir (b)
= 55,695gr
Berat simplisia (c)
= 1,025 gr
Berat wadah kosong
= 54,7 gram
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 = =
a−b x 100% c
55,725 − 55,695 1,025
x 100%
= 2,92%
3. Kadar Abu
Berat ekstrak + wadah awal
= 38,767 gr
Berat ekstrak + wadah akhir (a)
= 37,882 gr
Berat simplisia (c)
= 1,067 gr
Berat wadah kosong (b)
= 37,7 gram
a−b x 100% c 37,822 − 37,7 = x 100% 1,067
% 𝑘𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑖𝑟 =
= 11,4%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
Lampiran 9. Proses Pembuatan Campuran Komponen Menyirih
Komponen Menyirih hasil freeze dry
Proses pengemasan hasil freeze dry ke dalam Kapsul
Penimbangan Hasil freeze dry
Komponen Menyirih dalam kapsul
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
Lampiran 10. Perhitungan Hasil Freeze drying
% =
Bobot ekstrak yang didapat x 100% Bobot serbuk simplisia yang diekstraksi
Berat serbuk yang diekstraksi (a) = 500 gr Berat ekstrak kering yang didapat (b) = 366,05 gr
%
= =
𝑏 𝑎
x 100%
366,05 gr 500 gr
x 100%
=73,21%
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
Lampiran 11. Perhitungan Dosis
Dosis yang digunakan adalah dosis pada penelitian sebelumnya yaitu 200 mg/kgBB pada mencit. Kemudian dosis tersebut dikonversi ke dosis manusia. Dosis harus dikonversi berdasarkan perhitungan menggunakan luas permukaan tubuh yang berasal dari U.S. Departement of Health and Human Services, Food and Drug Administration, Center for Drug Evaluation (Shaw et al., 2007).
Tabel 5.1 Konversi Dosis Hewan ke Dosis Manusia (HED) berdasarkan Luas Permukaan (Shaw et al., 2007)
Spesies
Bobot (kg)
Luas Permukaan Tubuh (m2)
Faktor Km
Manusia
Dewasa
60
1,6
37
Anak-anak
20
0,8
25
Baboon
12
0,6
20
Anjing
10
0,5
20
Monyet
3
0,24
12
Kelinci
1,8
0,15
12
Guinea pig
0,4
0,05
8
Tikus
0,15
0,025
6
Hmaster
0,08
0,02
5
Mencit
0,02
0,007
3
HED = Animal dose x
Animal Km Human Km
= 200 mg/kgBB
x
3 37
= 16,2 mg/kgBB x 60 kg = 972 mg
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
Untuk letal dose atau LD50 yang digunakan, merujuk pada penelitian sebelumnya yaitu 13,99g /kgBB pada mencit. Kemudian dikonversikan ke LD50 pada manusia
LD50 = 13,99 g/kg/BB x
3 37
= 13,99 g/kgBB x 0,081 = 1,13319 g/kgBB x 60 kg = 67,9914 g = 67991,14 mg
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
Lampiran 12. Perhitungan Pengambilan Sampel
Rumus Federer : t (n-1)
≥ 15
(n-1) (3-1)
≥ 15
(n-1) (2)
≥ 15
2n - 2
≥ 15
n
≥ 8,5 ≈ 8
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
Lampiran 13. Perhitungan Hasil Evaluasi Kapsul
Perhitungan nilai persen penyimpangan pada Uji Keseragaman Bobot 𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑖𝑠𝑖 𝑝𝑒𝑟 𝑘𝑎𝑝𝑠𝑢𝑙−𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎2 𝑘𝑎𝑝𝑠𝑢𝑙
% Penyimpangan = |
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑎−𝑟𝑎𝑡𝑎 𝑘𝑎𝑝𝑠𝑢𝑙
| × 100%
Uji Higroskopisitas
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5.1 . Hasil Uji Higroskopisitas, (a) minggu ke-1, (b) minggu ke2, (c) minggu ke-3, (d) minggu ke-4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
Lampiran 14. Surat Persetujuan (Inform Concern)
Sehubungan dengan penelitian ini, saya sebagai responden menyatakan sebagai berikut.
Nama
:
Alamat
:
No.telp/HP
:
Setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti, saya menyatakan (bersedia / tidak bersedia*) menjadi responden penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa jurusan Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas nama Ratnika Sari dengan judul “Uji Efek Imunomodulator Campuran Komponen Menyirih [Uncaria gambir Roxb., Piper betle L., dan Ca(OH)2]” dengan Pelarut Air terhadap Kadar CD19 dalam Darah.
Demikian surat persetujuan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan dan tekanan dari pihak manapun.
Jakarta,
Oktober 2016
Responden
(…..…………………….) Nama Terang
*) Coret salah satu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
Lampiran 15. Surat Pengajuan Ethical Clearance
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
Lampiran 16. Hasil Pemeriksaan CD19
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
91
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
92
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
93
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
94
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
95
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
96
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
97
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
98
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
99
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
100
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
101
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
102
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
103
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
104
Lampiran 17. Hasil Uji Statistik
Uji Normalitas Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
CD19before
.283
6
.144
.771
6
.032
CD19after
.342
6
.027
.780
6
.039
a. Lilliefors Significance Correction
Ket :
Jika probabilitas > 0,05, data terdistribusi normal Jika probabilitas < 0,05, data tidak terdistribusi normal
Uji Wilcoxon Descriptive Statistics N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
Sebelum
8
15.38
2.326
13
19
Sesudah
8
15.38
3.159
12
20
Ranks N Sesudah - Sebelum
Mean Rank
Sum of Ranks
Negative Ranks
3a
3.50
10.50
Positive Ranks
3b
3.50
10.50
Ties
2c
Total
8
a. Sesudah < Sebelum b. Sesudah > Sebelum c. Sesudah = Sebelum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
105
Test Statisticsb Sesudah Sebelum Z
.000a
Asymp. Sig. (2-tailed)
1.000
a. The sum of negative ranks equals the sum of positive ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta