UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH VARIASI PERLAKUAN BAHAN BAKU DAN KONSENTRASI ASAM TERHADAP EKSTRAKSI DAN KARAKTERISTIK PEKTIN DARI LIMBAH KULIT PISANG KEPOK KUNING (Musa balbisiana BBB)
SKRIPSI
QADRINA SUFY 1111102000030
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
PENGARUH VARIASI PERLAKUAN BAHAN BAKU DAN KONSENTRASI ASAM TERHADAP EKSTRAKSI DAN KARAKTERISTIK PEKTIN DARI LIMBAH KULIT PISANG KEPOK KUNING (Musa balbisiana BBB)
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
QADRINA SUFY 1111102000030
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JUNI 2015
ABSTRAK
Nama Program Studi Judul
: Qadrina Sufy : Farmasi : Pengaruh Variasi Perlakuan Bahan Baku dan Konsentrasi Asam Terhadap Ekstraksi dan Karakteristik Pektin dari Limbah Kulit Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana BBB)
Pektin merupakan polimer alam dari kelompok polisakarida yang terdapat dalam jaringan tanaman, tersusun atas unit asam D-galakturonat yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik α(1-4). Pektin telah digunakan selama bertahun-tahun dalam industri farmasi, makanan, dan minuman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variasi perlakuan bahan baku dan konsentrasi asam terhadap karakteristik pektin hasil ekstraksi dari limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB). Penelitian dilakukan dengan metode ekstraksi menggunakan pelarut HCl, lalu dilakukan pengendapan pektin dengan menambahkan aseton ke dalam filtrat hasil ekstraksi, kemudian endapan dicuci dengan etanol 96%, dan dikeringkan dalam oven suhu 400C untuk mendapatkan pektin kering. Variabel tetap dalam penelitian ini adalah suhu ekstraksi 900C selama 80 menit. Sedangkan variabel berubahnya adalah perlakuan bahan baku, yaitu bahan segar dan kering serta konsentrasi HCl 0,025 N; 0,05 N; dan 0,075 N. Karakteristik yang dianalisa adalah jumlah pektin yang dihasilkan, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat, derajat esterifikasi, dan viskositas larutan pektin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi optimum untuk menghasilkan pektin terbanyak dari masing-masing perlakuan bahan baku yaitu 10,3610 gram untuk bahan segar dan 8,0290 gram untuk bahan kering, diperoleh dengan ekstraksi menggunakan pelarut HCl 0,075 N, dengan karakteristik berturut-turut : kadar air 9,3165% dan 10,3501%; kadar abu 1,3592% dan 2,4770%; berat ekivalen 4752,7974 dan 4874,1837; kadar metoksil 3,8166% dan 3,7524%; kadar galakturonat 101,1200% dan 99,6591%; derajat esterifikasi 21,4284% dan 21,3770%; dan viskositas larutan pektin 1% 15,00 cPs dan 15,50 cPs. Kata Kunci
: Kulit pisang kepok, pektin, ekstraksi, karakteristik
vi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
ABSTRACT
Name Program Study Title
: Qadrina Sufy : Pharmacy : Effect of Variations in The Raw Materials Treatment and Acid Concentration to The Extraction and Characteristics of Pectin from Yellow Banana Peel Waste (Musa balbisiana BBB)
Pectin is a natural polymer of polysaccharides present in plant tissue, composed of D-galacturonic acid units linked by glycosidic bond α(1-4). It has been used successfully for many years in the food and beverage industry. This research was aimed to investigate the effect of variations in the raw materials treatment and acid concentration on the characteristics of pectin extracted from yellow banana peel waste (Musa balbisiana BBB). The research used an extraction method by using HCl solvent, pectin was precipitated by adding acetone into the filtrate extracted, then the precipitate was washed with ethanol 96%, and dried in oven at 400C to obtain a dry pectin. The fix variables which were used in this research were extraction temperature of 900C during 80 minute. Extraction process by carried out by the raw materials treatment which were fresh and dried, and the HCl solvent concentration of 0,025 N; 0,05 N; and 0,075 N. Characteristics analyzed were yield of pectin, moisture content, ash content, equivalent weight, methoxyl content, galacturonic content, degree of esterification, and viscosity of pectin solution. The results showed that the optimum conditions to produce most of pectin from each raw material treatment i.e. 10,3610 gram of fresh material and 8,0290 gram of dry material, obtained by HCl 0,075 N with the characteristics respectively : 9,3165% and 10,3501% of moisture content, 1,3592% and 2,4770% of ash content, 4752,7974 and 4874,1837 of equivalent weight, 3,8166% and 3,7524% of methoxyl content; 101,1200% and 99,6591% of galacturonic content, 21,4284% and 21,3770% of degree of esterification, and 15,00 cPs and 15,50 cPs of viscosity of 1% pectin solution. Keywords
: Banana peel, pectin, extraction, characteristics
vii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’aalamiin, segala puji dan syukur selalu terpanjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa cahaya petunjuk dan menjadi suri tauladan bagi umat manusia, semoga kelak kita semua mendapat syafaat beliau. Aamiin yaa rabbal’aalamiin. Skripsi dengan judul, “Pengaruh Variasi Perlakuan Bahan Baku dan Konsentrasi Asam Terhadap Ekstraksi dan Karakteristik Pektin dari Limbah Kulit Pisang Kepok Kuning (Musa balbisiana BBB)” ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat menempuh ujian akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari begitu banyak bantuan dari berbagai pihak yang telah meluangkan waktunya, mendidik, dan membimbing dari masa perkuliahan sampai pada proses penelitian dan penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Bapak Dr. Arif Sumantri, S. KM., M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Yardi, M. Si., Ph. D., Apt., selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Ibu Eka Putri, M. Si., Apt. dan Bapak Supandi, M. Si., Apt., sebagai Pembimbing I dan Pembimbing II yang dengan sabar senantiasa meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing, mendidik, memberikan saran, dan dukungan kepada penulis hingga skripsi ini selesai.
4.
Seluruh dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
viii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5.
Ayahanda Husni El Fuad dan Ibunda Nurhidayati, kedua orang tercinta yang senantiasa mendoakan tiada pernah terputus, selalu memberikan cinta dan kasih sayang, semangat, dan dukungan baik moril maupun materiil yang tak akan pernah mampu penulis membalas itu semua. Semoga Allah selalu memberikan limpahan rezeki, keberkahan, dan keselamatan bagi Ayahanda dan Ibunda tercinta baik di dunia maupun di akhirat. Aamiin.
6.
Adikku tersayang Muhammad Maksum yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan keceriaan dalam hidup penulis, serta untuk keluarga besar yang senantiasa memberikan doa dan semangat kepada penulis.
7.
Teman-teman seperjuangan Farmasi angkatan 2011 yang telah menjadi keluarga kedua bagi penulis, yang selalu memberikan warna baru dalam hidup penulis. Terima kasih atas kebersamaan kita selama ini yang begitu indah, semoga silaturrahim kita dapat tetap selalu terjaga.
8.
Kak Lisna, Kak Tiwi, Kak Eris, Kak Liken, Mba Rani, dan Kak Rahmadi yang telah banyak membantu penulis selama penelitian di laboratorium.
9.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak
kelemahan dan kekurangan serta jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya. Dengan segala kerendahan hati, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik membangun agar skripsi ini lebih sempurna. Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT mencatat dan memberikan balasan yang berlipat ganda atas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Jakarta, 12 Juni 2015
Penulis
ix
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ..................................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................ iii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iv HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... v ABSTRAK ..................................................................................................... vi ABSTRACT ................................................................................................... vii KATA PENGANTAR ................................................................................... viii HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK ..................................... x DAFTAR ISI .................................................................................................. xi DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................... 1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................
1 1 2 2 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 2.1 Tanaman Pisang ....................................................................... 2.1.1 Uraian Umum Pisang .................................................... 2.1.2 Kandungan Kimia Kulit Pisang .................................... 2.1.3 Pisang Kepok (Musa balbisiana) ................................. 2.2 Pektin ....................................................................................... 2.2.1 Pengertian dan Sumber Pektin ...................................... 2.2.2 Struktur, Komposisi Kimia, dan Jenis Pektin ............... 2.2.3 Sifat-sifat Pektin ........................................................... 2.2.4 Produksi Pektin ............................................................. 2.2.5 Karakterisasi Pektin ...................................................... 2.2.6 Aplikasi Pektin ............................................................. 2.3 Asam Klorida ........................................................................... 2.4 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red) .................
4 4 4 5 6 7 7 8 12 14 18 21 23 23
BAB 3 METODE PENELITIAN .............................................................. 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................. 3.2 Alat dan Bahan .........................................................................
25 25 25
xi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3.3
3.4 3.5 3.6 3.7
3.2.1 Alat ............................................................................... 3.2.2 Bahan ............................................................................ Prosedur Penelitian ................................................................... 3.3.1 Persiapan Bahan Baku .................................................. 3.3.2 Produksi Pektin ............................................................. Identifikasi Kualitatif Pektin .................................................... Karakteristik Pektin .................................................................. Perbandingan Spektrum FTIR ................................................. Perbandingan Pektin Hasil Penelitian terhadap Pektin Komersial ......................................................................
25 25 26 26 27 28 28 31 31
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... 32 4.1 Penentuan Bahan Baku ............................................................ 32 4.2 Determinasi Tanaman Bahan Baku .......................................... 32 4.3 Persiapan Bahan Baku .............................................................. 33 4.4 Produksi Pektin ........................................................................ 34 4.5 Identifikasi Kualitatif Pektin .................................................... 37 4.6 Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi ........................................ 40 4.7 Perbandingan Spektrum FTIR ................................................. 51 4.8 Perbandingan Pektin Hasil Penelitian terhadap Pektin Komersial ...................................................................... 54 BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 5.1 Kesimpulan .............................................................................. 5.2 Saran .........................................................................................
57 57 57
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... LAMPIRAN ...................................................................................................
58 66
xii
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Tabel 2.2 Tabel 2.3 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6
Komposisi Pektin pada berbagai Sayuran dan Buah-buahan ... Spesifikasi Standar Mutu Pektin ............................................... Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope ............................. Bahan Baku ............................................................................... Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi ............................................... Identifikasi Pektin Hasil Ekstraksi ........................................... Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi ......................................... Data Spektrum FTIR Pektin Komersial dan Hasil Ekstraksi ... Perbandingan sifat fisikokimia pektin hasil penelitian terhadap pektin komersial .........................................................
xiii
12 19 19 34 37 38 40 52 56
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 2.4 Gambar 2.5 Gambar 2.6 Gambar 2.7 Gambar 2.8 Gambar 2.9 Gambar 4.1 Gambar 4.2 Gambar 4.3 Gambar 4.4 Gambar 4.5 Gambar 4.6 Gambar 4.7 Gambar 4.8 Gambar 4.9 Gambar 4.10 Gambar 4.11
Pisang Kepok ............................................................................ Struktur Dinding Sel Tanaman ................................................. Rumus Molekul Pektin .............................................................. Struktur Kimia α-Galakturonat ................................................. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat .................................... Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi ......................................... Molekul Pektin Bermetoksil Rendah ........................................ Molekul Pektin yang Teramidasi .............................................. Skema Perubahan Protopektin menjadi Pektin dan Asam Pektat ............................................................................... Jumlah pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi ..................... Kadar air pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi .................. Kadar abu pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi ................ Berat ekivalen pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi .......... Kadar metoksil pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi ........ Kadar galakturonat pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi .. Derajat esterifikasi pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi ... Reaksi Deesterifikasi Pektin ..................................................... Viskositas larutan pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi .... Struktur Pektin .......................................................................... Perbandingan warna pektin hasil penelitian dan pektin komersial .......................................................................
xiv
6 8 9 9 10 11 11 11 16 41 43 44 45 47 48 49 50 51 53 54
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tanaman ..................................................... Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana BBB) ............................................................ Lampiran 3. Alur Kerja Penelitian ................................................................ Lampiran 4. Diagram Alir Persiapan Bahan Baku Segar ............................. Lampiran 5. Diagram Alir Persiapan Bahan Baku Kering ........................... Lampiran 6. Jumlah Pektin Hasil Ekstraksi .................................................. Lampiran 7. Kadar Air Pektin ....................................................................... Lampiran 8. Kadar Abu Pektin ..................................................................... Lampiran 9. Pembakuan Larutan Titran NaOH 0,1027 N ............................ Lampiran 10. Berat Ekivalen Pektin ............................................................... Lampiran 11. Kadar Metoksil Pektin .............................................................. Lampiran 12. Kadar Galakturonat Pektin ....................................................... Lampiran 13. Derajat Esterifikasi Pektin ........................................................ Lampiran 14. Viskositas Larutan Pektin ......................................................... Lampiran 15. Contoh Perhitungan Kadar Air Pektin Hasil Ekstraksi ............ Lampiran 16. Contoh Perhitungan Kadar Abu Pektin Hasil Ekstraksi ........... Lampiran 17. Contoh Perhitungan Berat Ekivalen Pektin Hasil Ekstraksi ..... Lampiran 18. Contoh Perhitungan Kadar Metoksil Pektin Hasil Ekstraksi .... Lampiran 19. Contoh Perhitungan mEk .......................................................... Lampiran 20. Contoh Perhitungan Kadar Galakturonat Pektin Hasil Ekstraksi .......................................................................... Lampiran 21. Contoh Perhitungan Derajat Esterifikasi Pektin Hasil Ekstraksi .......................................................................... Lampiran 22. Hasil Spektrum FTIR Pektin Komersial dan Hasil Ekstraksi ... Lampiran 23. Sertifikat Analisis Pektin Carigill® ........................................... Lampiran 24. Sertifikat Analisis Pektin Danisco® .......................................... Lampiran 25. Dokumentasi Proses Ekstraksi Pektin ...................................... Lampiran 26. Gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian .................
xv
66 67 68 69 70 71 71 72 73 74 75 76 77 77 78 78 78 79 79 81 82 83 87 88 89 90
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Polimer alam merupakan polisakarida yang penting secara farmasetik dengan berbagai aplikasi seperti agen pengental, pengikat, penghancur, pensuspensi, pengemulsi, penstabil, dan pembentuk gel. Polimer alam lebih disukai daripada sintetik karena tidak toksik, biaya rendah, bersifat emolien, dan tidak mengiritasi (Malviya, et. al., 2011). Pektin termasuk kelompok polisakarida yang terdapat di antara dinding sel sekunder tanaman termasuk xilem dan serat sel yang merupakan konstituen penting dalam pertumbuhan awal dan proses pematangan buah, di mana komponen utamanya terdiri dari unit asam D-galakturonat yang terikat dengan ikatan glikosidik α(1-4) (Bansal, et. al., 2014). Di berbagai negara, pektin telah dikenal dan diizinkan penggunaannya sebagai bahan dasar dalam berbagai industri, baik pangan maupun non pangan, seperti industri farmasi dan kosmetik, karena kemampuannya dalam mengubah sifat fungsional produk seperti kekentalan, emulsi, dan gel (Nurviani, 2014). Hingga tahun 2012, seluruh pektin yang digunakan di industri-industri Indonesia merupakan barang impor dengan data terakhir pada Januari sampai November 2012 mencapai 2.276.742 kg yang bernilai sebesar US $ 2.132.966. Biaya impor pektin yang sangat mahal akan berdampak terhadap penggunaan devisa Negara (Badan Pusat Statistik, 2012). Indonesia merupakan salah satu negara penghasil pisang terbesar di Asia. Pisang (Musaceae sp.) adalah tanaman buah-buahan tropis berupa hortikultura yang banyak dihasilkan dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia serta berbuah sepanjang tahun tanpa mengenal musim, di mana produksi buahnya menduduki peringkat pertama hasil pertanian hortikultura yaitu mencapai 6.279.290 ton pada tahun 2013 (Satria dan Ahda, 2009; Sofia, 2008; Badan Pusat Statistik, 2014).
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
Pemanfaatan buah pisang untuk berbagai jenis makanan akan menghasilkan limbah kulit pisang yang merupakan limbah organik yang masih mengandung karbohidrat dan nutrisi lain. Volume limbah yang besar dan terbuang merupakan pemborosan sumber daya karena limbah ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber pektin yang dapat diproduksi dengan teknik ekstraksi menggunakan asam mineral panas atau asam organik (May, 1990; Baker, 1994; Sofia, 2008). Hasil penelitian Hanum, et. al. (2012), pektin dengan karakteristik terbaik hasil ekstraksi dari kulit pisang kepok kering menggunakan pelarut air yang diasamkan dengan HCl diperoleh pada pH 1,5 dan suhu 900C selama 80 menit dengan perolehan rendemen tertinggi sebesar 5,21 gram, kadar air 11,88%, kadar abu 0,98%, dan kadar metoksil 3,72%. Berdasarkan uraian di atas, kulit pisang diketahui berpotensi sebagai sumber pektin, maka dalam penelitian ini dilakukan pengembangan ekstraksi pektin dengan memanfaatkan limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB), dengan melihat pengaruh dari variasi perlakuan bahan baku segar dan kering yang diekstraksi menggunakan pelarut HCl dengan berbagai konsentrasi terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan. Pelarut HCl dipilih karena tergolong asam mineral yang cenderung murah dan mudah didapatkan serta pada pH rendah dapat menghasilkan rendemen pektin yang lebih tinggi dibandingkan asam organik (Kertesz, 1951; Rouse dan Crandal, 1978). 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan pustaka, ekstraksi pektin dari kulit pisang kepok menggunakan pelarut HCl sudah diteliti. Akan tetapi, belum diketahuinya karakteristik pektin hasil ekstraksi dengan memanfaatkan limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) yang dipengaruhi variasi perlakuan bahan baku dan konsentrasi pelarut HCl.
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sumber pektin baru dengan memanfaatkan limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
BBB) dan mengetahui pengaruh variasi perlakuan bahan baku dan konsentrasi pelarut HCl terhadap karakteristik pektin yang dihasilkan. 1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi dan dapat dijadikan sebagai landasan ilmiah pemanfaatan limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) untuk pengembangan sumber produksi
pektin
dalam
upaya
untuk
peningkatan
kesehatan
dan
pemanfaatannya di bidang industri farmasi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tanaman Pisang
2.1.1 Uraian Umum Pisang Pisang adalah tanaman herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman buah ini kemudian menyebar luas ke kawasan Afrika (Madagaskar), Amerika Selatan, dan Amerika Tengah. Penyebaran tanaman ini selanjutnya hampir merata ke seluruh dunia, yakni meliputi daerah tropik dan subtropik, dimulai dari Asia Tenggara ke timur melalui Lautan Teduh sampai ke Hawai. Selain itu tanaman pisang menyebar ke barat melalui Samudera Atlantik, Kepulauan Kenari sampai Benua Amerika (Suyanti dan Supriyadi, 2008). Pisang adalah buah terbesar kedua setelah jeruk yang tumbuh di daerah tropis yang paling banyak ditanam dan dihasilkan, serta telah dibudidayakan di lebih dari 130 negara, kontribusinya mencapai 16% dari produksi buah total dunia (Mohapatra, et. al., 2010). Indonesia, Filipina, dan Thailand merupakan negara penghasil pisang nomor satu di kawasan Asia Tenggara (Verheij dan Coronel, 1992). Pisang merupakan tumbuhan basah yang besar, biasanya mempunyai batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah daun, tangkai daun jelas beralur pada sisi atasnya, helaian daun lebar, bangun jorong memanjang, dengan ibu tulang yang nyata dan tulang-tulang cabang yang menyirip dan kecil-kecil. Bunga dalam suatu bunga majemuk dengan daun-daun pelindung yang besar dan berwarna merah, di mana masing-masing mempunyai tenda bunga yang menyerupai mahkota atau kelopak dan mahkota yang biasanya berlekatan, zigomorf, terdapat 6 benang sari di mana yang 5 fertil dan satu staminoidal. Bakal buah tenggelam, beruang 3 dengan 1 bakal biji dalam tiap ruang, tangkai putik berbelah 3-6, buahnya buah buni atau buah kendaga dengan biji bersalut, endosperm, dan juga perisperm (Tjitrosoepomo, 1994).
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
Pemanfaatan pisang telah meluas di kalangan masyarakat, baik dari mulai daun, batang, bunga, buah hingga kulitnya. Pisang sangat bergizi dan mudah dicerna daripada buah-buahan lainnya, waktu penghancuran atau digesti dari buah pisang kurang dari 105 menit dibandingkan apel, yaitu 210 menit. Pisang memiliki karakteristik yang khas pada aroma, bentuk, dan mudah dikupas serta dimakan. Selain itu, buah pisang juga rendah sodium dan kaya akan kalsium dan kalium, sehingga dapat membantu mengatasi stress yang memacu gangguan sulit tidur dengan cara menurunkan tekanan darah dan melancarkan aliran darah yang tersumbat dalam pembuluh darah (Apriadji, 2007; Mohapatra, et. al., 2010). Berdasarkan penelitian dari Taiwan diketahui bahwa kulit pisang mengandung vitamin B6 dan serotonin yang dapat diekstrak dan dimanfaatkan untuk kesehatan mata (Suyanti dan Supriyadi, 2008). Kulit pisang juga dapat digunakan untuk membuat minuman anggur, produksi etanol, sebagai substrat untuk produksi biogas, sebagai bahan dasar untuk produksi pektin, dan pengolahan air limbah di pabrik. Abu kulit pisang dapat digunakan sebagai pupuk untuk tanaman pisang dan sebagai sumber alkali untuk produksi sabun, ekstrak etanol kulit pisang (Musa sapientum) dapat digunakan penghambat korosi untuk baja ringan. (Mohapatra, et. al., 2010). 2.1.2 Kandungan Kimia Kulit Pisang Kulit pisang merupakan sumber yang kaya pati (3%), protein kasar (6-9%), lemak kasar (3,8-11%), serat makanan total (43,2-49,7%), dan asam lemak ganda tak jenuh (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA), terutama asam linoleat dan α-linolenat, asam amino esensial (leusin, valin, fenilalanin, dan treonin), dan mikronutrien (K, P, Ca, Mg), selain itu juga merupakan sumber yang baik dari lignin (6-12%), pektin (10-21%), selulosa (7,6-9,6%), hemiselulosa (6,4-9,4%), dan asam galakturonat. Pektin yang diekstrak dari kulit pisang juga mengandung glukosa, galaktosa, arabinosa, rhamnosa, dan xilosa. Mikronutrien (Fe dan Zn) ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada kulit dibandingkan pada pulp (daging buah),
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
sehingga kulitnya bisa menjadi bahan pakan yang baik untuk ternak dan unggas (Mohapatra, et al., 2010). Menurut hasil penelitian dari Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, tanaman pisang mengandung berbagai macam senyawa seperti air, gula pereduksi, sukrosa, pati, protein
kasar, pektin, protopektin,
lemak kasar, serat kasar, dan abu. Sedangkan di dalam kulitnya mengandung senyawa pektin yang cukup besar, dapat diekstraksi dengan cara sederhana, biaya yang tidak mahal, dan dapat diterapkan dalam skala kecil (Satria dan Ahda, 2009). 2.1.3 Pisang Kepok (Musa balbisiana) Berdasarkan Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (2015), klasifikasi dari pisang kepok (Musa balbisiana) sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Musaceae
Genus
: Musa
Spesies
: Musa balbisiana
Gambar 2.1. Pisang Kepok [Sumber : Koleksi Pribadi]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
Berikut ini merupakan klasifikasi dari pisang kepok berdasarkan Herbarium Bogoriense (2014) : Jenis
: Musa balbisiana BBB
Famili
: Musaceae
Pisang kepok (Musa balbisiana) tersebar dari India termasuk Kepulauan Andam hingga Myanmar utara (Burma), Thailand, dan Indocina ke China Selatan dan Filipina. Musa balbisiana merupakan salah satu spesies yang berasal dari Indocina (OECD, 2010). Di Indonesia, pisang kepok memiliki banyak jenis, namun yang terkenal adalah pisang kepok kuning dengan daging buahnya berwarna kuning dan pisang kepok putih dengan daging buahnya berwarna putih. Pisang kepok kuning memiliki rasa yang lebih manis dan enak dibandingkan kepok putih. Pisang kepok memiliki daging buah yang bertekstur agak keras dengan buahnya tidak beraroma harum, kulit buahnya sangat tebal, dan pada buah yang sudah masak berwarna hijau kekuningan. Dalam satu tandan bisa terdapat hingga 16 sisir dan pada setiap sisirnya terdapat hingga 20 pisang, berat setiap tandannya sekitar 14-22 kg. Buah pisang kepok cocok untuk disantap dalam bentuk olahan (Cahyono, 2009). 2.2
Pektin
2.2.1 Pengertian dan Sumber Pektin Pektin merupakan kompleks polisakarida yang bersifat asam dengan bobot molekul tinggi sebesar 30.000-100.000, konstituen dalam tanaman menyerupai karbohidrat yang terdistribusi luas dalam jaringan, terdiri dari unit rantai asam D-galakturonat yang terikat dengan ikatan glikosidik α(1,4) (Rowe, et. al., 2009). Gugus asam sepanjang rantai sebagian besar teresterifikasi membentuk kelompok metoksil dengan kadar yang bervariasi tergantung pada derajat metilasi (Madhav dan Pushpalatha, 2002), selain itu juga bisa dalam bentuk asam bebas, metil ester, garam sodium, kalium, kalsium atau ammonium, dan dalam beberapa kelompok pektin amida (IPPA, 2003).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
Umumnya pektin terdapat di dalam dinding sel primer, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa, yang berfungsi sebagai bahan perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lainnya (Hasbullah, 2001). Pektin yang dimanfaatkan untuk makanan merupakan suatu polimer dengan sedikitnya mengandung 65% unit asam galakturonat (IPPA, 2003).
Gambar 2.2. Struktur Dinding Sel Tanaman [Sumber : IPPA, 2003]
Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat di dalam buah sangat bervariasi tergantung pada derajat kematangan buah, di mana umumnya protopektin yang tidak larut lebih banyak terdapat pada buah-buahan yang belum matang (Winarno dan Aman, 2002). Pada buah-buahan yang masih muda, sel-sel yang satu dengan yang lainnya masih dipersatukan dengan kuat oleh protopektin, tetapi jika buah semakin tua, maka sebagian dari protopektin mengalami penguraian menjadi pektin karena adanya enzim protopektinase sehingga mengakibatkan terlepasnya sel-sel satu dari yang lain, sehingga buah menjadi lunak. Selanjutnya enzim pektinase meneruskan pengubahan pektin menjadi asam pektat, di mana menyebabkan buah menjadi matang (Dwidjoseputro, 1983). Beberapa gula juga ikut dalam pembentukan pektin, di antaranya adalah rhamnosa, galaktosa, dan xilosa (Winarno dan Aman, 2002). 2.2.2 Struktur, Komposisi Kimia, dan Jenis Pektin Pada tahun 1924, Smolenski adalah yang pertama kali berasumsi bahwa pektin merupakan polimer asam galakturonat. Pada tahun 1930, Meyer dan Mark menemukan formasi rantai dari molekul pektin, dan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
Schneider dan Bock pada tahun 1937 membentuk formula tersebut (Herbstreith dan Fox, 2005).
Gambar 2.3. Rumus Molekul Pektin [Sumber : Koleksi Pribadi]
Senyawa pektin adalah asam pektat, asam pektinat, dan protopektin yaitu sebagai berikut : 1. Asam Pektat Asam pektat adalah senyawa asam galakturonat yang bersifat koloid dan pada dasarnya bebas dari kandungan metil ester (Winarno dan Aman, 2002). 2. Asam Pektinat Asam pektinat adalah asam poligalakturonat yang bersifat koloid dan mengandung sejumlah metil ester. Pektin merupakan asam pektinat dengan kandungan metil ester dan derajat netralisasi yang berbeda-beda (Winarno dan Aman, 2002). 3. Protopektin Protopektin adalah substansi pektat yang tidak larut dalam air, terdapat dalam tanaman, jika dipisahkan secara hidrolisis akan menghasilkan asam pektinat (Klavons, et. al., 1995).
Gambar 2.4. Struktur Kimia Asam α-Galakturonat [Sumber : Koleksi Pribadi]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Pektin terdiri dari monomer asam galakturonat yang berbentuk suatu rantai molekul panjang, di mana setiap rantai utamanya diselingi oleh kelompok rhamnosa dengan rantai cabang menyusun gula netral (arabinosa, galaktosa). Dalam suatu molekul pektin terdapat 300-1000 cincin yang merupakan suatu molekul dari asam galakturonat yang dihubungkan dengan suatu rantai linier (Hoejgaard, 2004 dalam Hanum, et. al., 2012). Kelompok karboksil (kelompok asam) dari asam galakturonat dapat diesterifikasi atau diamidasi (IPPA, 2003). Selain asam D-galakturonat sebagai komponen utama, pektin juga memiliki D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa dalam jumlah yang bervariasi. Komposisi kimia pektin sangat bervariasi tergantung pada sumber dan kondisi yang dipakai dalam isolasinya (Willats, et. al., 2006).
Gambar 2.5. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat [Sumber : Koleksi Pribadi]
Berdasarkan kandungan metoksil dan derajat esterifikasi (DE), pektin dibedakan menjadi dua golongan, yaitu pektin bermetoksil tinggi (High Methoxyl Pectin) dengan kandungan metoksil minimal 7% dan derajat esterifikasi lebih dari 50%, dan pektin bermetoksil rendah (Low Methoxyl Pectin) dengan kandungan metoksil maksimal 7% dan derajat esterifikasi berkisar kurang dari 50% (Guichard, et. al., 1991; Hui, 2006). Pektin bermetoksil tinggi memerlukan sejumlah minimum padatan terlarut (biasanya gula, minimal 55%) dan pH dalam kisaran yang sempit sekitar 3,0 untuk membentuk gel, bersifat termal reversibel, dan secara umum larut terhadap air panas serta seringkali mengandung zat terdispersi seperti dekstrosa untuk mencegah penggumpalan. Pektin bermetoksil rendah menghasilkan pembentukan gel yang tidak tergantung dengan kadar gula dan tidak sensitif terhadap pH serta memerlukan adanya sejumlah kalsium atau kation divalen lainnya untuk pembentukan gel
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
(Sriamornsak, 2003; Hui, 2006). Pengaruh terbesar pada sifat pektin adalah derajat esterifikasi yang akan menentukan tingkat reaktivitas dengan kalsium dan kation lainnya (IPPA, 2003). Pektin yang diekstraksi biasanya memiliki lebih dari 50% unit asam yang teresterifikasi sehingga disebut pektin bermetoksil tinggi. Sedangkan modifikasi proses ekstraksi atau dengan perlakuan lebih lanjut akan menghasilkan pektin bermetoksil rendah dengan kurang dari 50% grup metil ester (IPPA, 2003).
Gambar 2.6. Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi [Sumber : Koleksi Pribadi]
Gambar 2.7. Molekul Pektin Bermetoksil Rendah [Sumber : Koleksi Pribadi]
Beberapa pektin dalam proses produksinya dapat diekstraksi dengan menggunakan ammonia untuk menghasilkan pektin yang teramidasi dan memiliki beberapa keunggulan tertentu dalam beberapa aplikasinya (IPPA, 2003).
Gambar 2.8. Molekul Pektin yang Teramidasi [Sumber : Koleksi Pribadi]
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
2.2.3 Sifat-sifat Pektin Pektin banyak dijumpai pada buah-buahan dan sayur-sayuran serta dalam jumlah kecil ditemukan pada serealia (Kertesz, 1951). Kandungan pektin dari beberapa sayuran dan buah-buahan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 2.1. Komposisi Pektin pada berbagai Sayuran dan Buah-buahan Jenis Bahan Apel : Kulit Daging buah Jeruk (Grape Fruit) Albedo Flavedo Jambu biji Terong Bawang bombay Tomat Hijau Kuning Merah Kubis Wortel Bayam Pisang
Kandungan Pektin (% berat) 17,44 17,63 16,4 14,2 3,4 11 4,8 3,43 4,65 4,63 4,57 7,14 11,58 22,4
[Sumber : Kertesz, 1951]
Pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau, dan mempunyai rasa musilago, hampir larut sempurna dalam 20 bagian air, membentuk cairan kental, opalesen, larutan koloidal yang mudah dituang dan bersifat asam, praktis tidak larut dalam etanol atau pelarut organik lainnya, larut dalam air lebih cepat jika permukaannya dibasahi dengan etanol, dengan gliserin, atau dengan sirup simpleks, atau jika permukaannya dicampur dengan tiga bagian atau lebih sukrosa (Farmakope Indonesia Edisi V, 2014). Pektin merupakan zat berbentuk serbuk kasar hingga halus, berwarna putih, kekuningan, kelabu, atau kecokelatan dan banyak terdapat pada
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
buah-buahan dan sayuran matang (Food Chemicals Codex, 2004) dengan sifat-sfat
fisikanya
seperti
kelarutan,
viskositas,
dan
kemampuan
membentuk gel tergantung dari karakteristik kimia pektin itu sendiri, seperti kadar metoksil, derajat esterifikasi, dan berat molekul (Prasetyowati, 2009). Pektin merupakan asam poligalakturonat yang bermuatan negatif, bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif, di mana pembentukan gel dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi ini dapat dihambat dengan penambahan garam (May, 1990). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu meliputi suhu, pH, konsentrasi pektin, gula, dan keberadaan ion seperti Ca2+. Kekentalan larutan pektin mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung pada konsentrasi pektin, garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat (Chang dan Miyamoto, 1992; Rolin, 1993). Pembentukan gel pektin bermetoksil tinggi terjadi melalui ikatan hidrogen di antara gugus karboksil bebas dan gugus hidroksil, yang dipengaruhi oleh konsentrasi pektin, persentase gula, dan pH, di mana semakin besar konsentrasi pektin, semakin keras gel yang terbentuk. Konsentrasi pektin kurang dari 1% telah menghasilkan kekerasan yang cukup baik. Gula yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 65% agar dapat mencegah terbentuknya kristal-kristal di permukaan gel (Rolin, 1993; Sundar Raj, et. al., 2012). Berbeda halnya dengan pektin bermetoksil rendah yang mana kemampuan membentuk gelnya akan hilang dengan adanya gula dan asam, tetapi mampu membentuk gel dengan adanya sejumlah ion kalsium atau kation divalen lainnya yang dapat bereaksi dengan gugusgugus karboksil dari dua molekul asam pektat dan membetuk suatu jembatan, sehingga tidak diperlukan gula dan viskositas gel yang terbentuk kurang kental (Rolin, 1993; Guichard, et. al., 1991). Meskipun pektin umumnya terkandung di sebagian besar jaringan tanaman, namun sumber yang dapat digunakan untuk pembuatan pektin komersial sangat terbatas. Hal demikian dikarenakan kemampuan pektin untuk membentuk gel tergantung pada ukuran molekul dan derajat esterifikasi. Pektin dari sumber yang berbeda memiliki kemampuan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
membentuk
gel
yang
tidak
sama
karena
adanya
variasi
dalam
karakteristiknya (Sriamornsak, 2003). Rouse (1977) di dalam Hariyati (2006) mengungkapkan bahwa degradasi dan dekomposisi pektin dapat disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi yang dipengaruhi suhu, pH, dan konsentrasi agen pengoksidasi. 2.2.4 Produksi Pektin a. Ekstraksi Pektin Ekstraksi pektin dari buah-buahan didasarkan pada sifat pektin yang dapat larut dalam air, sedangkan sebagian besar polisakarida lain, seperti selulosa dan hemiselulosa yang bersama-sama pektin menyusun dinding sel tanaman, bersifat tidak larut air (Prasetyowati, 2009). Faktor-faktor yang berpengaruh dalam ekstraksi pektin antara lain sebagai berikut : 1) Derajat keasaman larutan ekstraksi (pH) Kandungan
ion
hidrogen
berpengaruh
karena
dapat
mensubstitusi kalsium dan magnesium dari molekul protopektin sehingga menyebabkan protopektin terhidrolisis menghasilkan pektin yang larut dalam air (Prasetyowati, 2009). 2) Waktu kontak antara bahan baku dengan pelarut Waktu kontak atau lama ekstraksi berpengaruh terhadap banyaknya ion hidrogen yang berhasil mensubstitusi kalsium dan magnesium dari protopektin sehingga akan menentukan jumlah pektin yang dapat terlarut dalam air (Prasetyowati, 2009). 3) Ukuran partikel yang diekstraksi Ukuran partikel akan berpengaruh terhadap luas permukaan sentuhan antara solvent dan solute sehingga akan mempengaruhi jumlah pektin yang terlarut dalam air (Prasetyowati, 2009). 4) Suhu ekstraksi Suhu ekstraksi akan mempengaruhi ikatan antar molekul protopektin, di mana suhu yang tinggi menyebabkan ikatan antara molekul-molekul protopektin tersebut mudah terlepas dan larut dalam air (Prasetyowati, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
5) Rasio pelarut dan bahan ekstraksi Rasio antara pelarut dan bahan ekstraksi berpengaruh terhadap jumlah pektin karena umumnya pelarut memiliki keterbatasan untuk mengikat molekul-molekul pektin (Prasetyowati, 2009). 6) Jenis pelarut Keberhasilan proses ekstraksi juga dipengaruhi oleh pemilihan pelarut yang tepat dengan kriteria seperti selektivitas, kelarutan, kemampuan tidak saling bercampur, reaktivitas, titik didih, dan kriteria-kriteria pendukung lainnya, seperti murah, tersedia dalam jumlah besar, tidak beracun, tidak dapat terbakar, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak korosif, memiliki viskositas yang rendah, serta stabil secara kimia dan termis (Prasetyowati, 2009). 7) Jenis bahan yang diekstraksi Jika bahan yang diekstraksi memiliki struktur yang lunak maka ekstraksi dapat berlangsung lebih cepat dan banyak molekul yang akan terlarut, tetapi jika bahan yang diekstraksi memiliki struktur yang keras maka diperlukan perlakuan khusus agar bahan tersebut mudah diekstraksi (Prasetyowati, 2009). Pemisahan pektin dari jaringan tanaman dapat dilakukan dengan cara ekstraksi menggunakan beberapa macam pelarut seperti air, beberapa senyawa organik, senyawa alkalis, dan asam. Dalam ekstraksi pektin terjadi perubahan senyawa pektin yang disebabkan oleh proses hidrolisis sehingga menyebabkan protopektin berubah menjadi pektinat (pektin) dengan adanya pemanasan dalam asam pada suhu dan lama ekstraksi tertentu. Apabila proses hidrolisis dilanjutkan senyawa pektin akan berubah menjadi asam pektat (Muhidin, 2001 dalam Satria dan Ahda, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
Gambar 2.9. Skema Perubahan Protopektin menjadi Pektin dan Asam Pektat [Sumber : Koleksi pribadi]
Pada umumnya ekstraksi pektin dilakukan dengan ekstraksi asam yang menggunakan beberapa jenis asam seperti asam tartrat, asam malat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam fosfat tetapi terdapat kecenderungan untuk menggunakan asam mineral yang murah seperti asam sulfat, asam klorida, dan asam nitrat (Kertesz, 1951). Beberapa artikel saat ini, menyarankan untuk menggunakan asam klorida (Kalapathy dan Proctor, 2001; Hwang, et. al., 1998; Dinu, 2001) dan asam nitrat (Pagán, et. al., 2001). Ekstraksi menggunakan asam mineral menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam organik. Asam mineral pada pH rendah lebih baik daripada pH tinggi untuk menghasilkan pektin (Rouse dan Crandal, 1978). Peranan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk memisahkan ion polivalen, memutus ikatan antara asam pektinat dengan selulosa, menghidrolisa protopektin menjadi molekul yang lebih kecil, dan menghidrolisa gugus metil ester pektin (Kertesz, 1951). Suhu ekstraksi yang tinggi dapat meningkatkan rendemen pektin, di mana akan membantu difusi pelarut ke dalam jaringan tanaman dan dapat meningkatkan aktivitas pelarut dalam menghidrolisis pektin yang umumnya terdapat di dalam sel primer tanaman, khususnya pada lamella tengah (Towle dan Christensen, 1973). Suhu ekstraksi yang terlalu tinggi akan menghasilkan pektin yang tidak jernih sehingga gel yang diperoleh akan keruh dan kekuatan gel berkurang (Kertesz, 1951). Pektin
dalam
jaringan
tumbuhan
banyak
dalam
bentuk
protopektin yang tidak larut dalam air, dengan adanya asam, kondisi larutan pada pH rendah akan menghidrolisis protopektin menjadi pektin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
yang lebih mudah larut. Ekstraksi pektin dari sayur-sayuran dan buah-buahan dilakukan pada kisaran pH 1,5-3,0 dengan suhu pemanasan 60-1000C selama 30-90 menit (Towle dan Christensen, 1973). Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya hidrolisis pektin menjadi asam galakturonat. Pada kondisi asam, ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat (Smit dan Bryant, 1986). b.
Pengendapan Pektin Proses pengendapan pektin merupakan suatu proses pemisahan pektin dari larutannya. Pektin adalah koloid hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik seperti kebanyakan kolod hidrofilik, lebih utama distabilkan oleh hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya, sehingga dengan penambahan alkohol dapat mendehidrasi pektin sehingga mengganggu stabilitas larutan koloidalnya sehingga pektin akan terkoagulasi (Rouse, 1977 dalam Hariyati, 2006). Menurut Prasetyowati
(2009),
pengendapan
pektin
dilakukan
dengan
penambahan alkohol yang bersifat sebagai pendehidroksi dengan bobot molekul yang rendah, sehingga akan bercampur sempurna dengan air melalui ikatan hidrogen dan akan mengurangi jumlah ion atau molekul air yang mengelilingi pektin, sehingga keseimbangan antara pektin dengan air akan terganggu dan pektin akan mengendap. Pengendapan pektin dapat dilakukan dengan alkohol 95% yang mengandung 2 mL asam klorida setiap satu liter. Pengendapan secara komersial biasa digunakan alkohol dan garam metal seperti alumunium hidroksida, kalium sulfat, atau alumunium sulfat (Ranganna, 1977 dalam Hariyati, 2006). Pengendapan dengan aseton lebih disukai karena dapat membentuk endapan yang tegar sehingga mudah dipisahkan dari asetonnya, sedangkan pengendapan dengan etanol menghasilkan pektin yang kurang murni karena tidak hanya mengendapkan pektin tetapi juga senyawa lain seperti dekstrin dan hemiselulosa (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
c.
Pencucian Pektin Koh, et. al. (2014) melakukan pencucian pektin dengan etanol 70% sebanyak dua kali dilanjutkan dengan etanol 95% hingga filtrat bekas pencucian tidak berwarna. Maulidiyah, et. al. (2014) melakukan pencucian pektin dengan menambahkan etanol 96% sambil diaduk yang dilakukan beberapa kali hingga pektin tidak bereaksi dengan asam. Susilowati,
et.
al.
(2013)
juga
melakukan
pencucian
pektin
menggunakan alkohol hingga pH netral dan menghasilkan pektin dengan warna yang lebih bersih dan putih. d.
Pengeringan Pektin Tahap akhir dari produksi pektin adalah pengeringan endapan pektin, di mana dianjurkan dilakukan pada tekanan yang rendah agar pektin tidak terdegradasi. Hanum, et. al. (2012) melakukan pengeringan pektin dalam oven pada suhu 400C selama 8 jam. Azad, et. al. (2014) menggunakan cabinet drier untuk mengeringkan pektin dengan suhu 400C selama 24 jam. Koubala, et. al. (2008) mengeringkan pektin dengan vacuum-drying pada suhu 500C selama satu malam.
2.2.5 Karakterisasi Pektin Pektin komersial harus memenuhi syarat mutu International Pectin Producers Association (IPPA) dan Food Chemicals Codex serta spesifikasi seperti dalam farmakope. Karakteristik pektin tergantung dari kondisi ekstraksi pektin, di mana hasil ekstraksi terbaik biasanya diperbandingkan dengan pektin komersial. Hal ini dilakukan karena jika diaplikasikan pada industri, kebutuhan energi untuk peningkatan suhu dan lama ekstraksi akan meningkatkan biaya produksi. Apabila perlakuan suhu terendah dan waktu paling cepat dapat memberikan hasil yang masih dapat diperbolehkan oleh IPPA, Food Chemicals Codex, dan Farmakope, maka hal ini akan sangat menguntungkan jika diaplikasikan (Fitriani, 2003). Berikut adalah standar mutu dan spesifikasi pektin berdasarkan IPPA (2003), Food Chemicals Codex (2004), dan Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th Edition (2009) :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
Tabel 2.2. Spesifikasi Standar Mutu Pektin Karakteristik Kadar air (maksimum) Kadar abu (maksimum) Berat ekivalen Kandungan metoksil : Pektin bermetoksil tinggi Pektin bermetoksil rendah Kandungan asam galakturonat (minimum) Derajat esterifikasi untuk Pektin ester tinggi (minimum) Pektin ester rendah (maksimal)
Nilai 12% 10% 600 – 800 > 7,12% 2,5 – 7,12% 65% 50% 50%
Tabel 2.3. Spesifikasi Pektin Berdasarkan Farmakope Tes Identifikasi Susut pengeringan Arsenik Timah Gula dan asam organik Batas mikroba Uji kadar : Grup metoksil Asam galakturonat
USP 28 + < 10,0% < 3 ppm < 5 µg/g + + < 6,7% < 74,0%
a. Kadar Air Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang menentukan daya tahan suatu produk, terkait dengan aktivitas mikroorganisme selama penyimpanan dan berpengaruh terhadap masa simpan. Produk dengan kadar air rendah relatif lebih stabil dalam penyimpanan jangka panjang daripada produk dengan kadar air tinggi yang rentan terhadap aktivitas mikroba (Pardede, et. al., 2013). Kadar air ditentukan dengan pengukuran kandungan air yang berada di dalam produk (Departemen Kesehatan, 2000). b. Kadar Abu Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari residu atau sisa pembakaran bahan organik yang akan berpengaruh pada tingkat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
kemurnian pektin. Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, maka kadar abu akan semakin rendah (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Prinsip penetapan kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur di mana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap, sehingga yang tertinggal hanya unsur mineral dan anorganik (Departemen Kesehatan, 2000). c. Berat Ekivalen Ranganna (1977) di dalam Hariyati (2006) menjelaskan bahwa berat ekivalen adalah kandungan gugus asam galakturonat bebas yang tidak teresterifikasi dalam rantai molekul pektin. Asam pektat murni merupakan
zat
pektat
yang
seluruhnya
tersusun
dari
asam
poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin akan menyebabkan berat ekivalen semakin rendah. d. Kadar Metoksil Kadar metoksil merupakan jumlah mol etanol yang terdapat di dalam 100 mol asam galakturonat yang memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin (Constenla dan Lozano, 2003). e. Kadar Galakturonat Perhitungan
kandungan
galakturonat
sangat
penting
untuk
mengetahui kemurnian pektin. Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur serta tekstur dari gel pektin (Sofiana, et. al., 2012). f. Derajat Esterifikasi (DE) Derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Semakin tinggi suhu dan lama proses ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksilat oleh adanya asam. Ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat, jika ekstraksi dilakukan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
21
terlalu lama, pektin akan berubah menjadi asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). g. Kekuatan Gel Konsentrasi pektin berpengaruh terhadap pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008). Grade pektin didefinisikan sebagai jumlah gula yang dibutuhkan oleh satu bagian pektin untuk membentuk gel yang diinginkan pada kondisi yang sesuai, di mana menjadi indikasi penting yang menggambarkan mutu pektin. Pektin yang mempunyai grade 100 dapat membentuk gel yang baik dengan 100 gram gula. Penentuan grade pektin biasanya menggunakan metode International Food Technologist (IFT), yaitu dengan membuat gel dengan konsentrasi gula 65% pada pH 2,2 - 2,4 yang disimpan selama 18-24 jam dan kemudian diuji dengan alat Ridgelimeter (Meilina dan Silah, 2013). 2.2.6 Aplikasi Pektin Pektin adalah produk alami yang dapat ditemukan dalam dinding sel dari semua tanaman tingkat tinggi, umumnya digunakan sebagai agen pembentuk gel, pengental, dan penstabil. Saat ini pektin merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari berbagai macam produk baik dalam industri makanan, seperti untuk produksi selai, gula-gula, pasta, dan produk susu. Pektin juga dapat dimanfaatkan dalam industri non-pangan, seperti dalam farmasi dan kosmetik. Beberapa tahun terakhir manfaat pektin semakin penting dan dibutuhkan oleh konsumen (IPPA, 2003). Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi glukosa dan kolesterol (Baker, 1994). Dalam industri makanan dan minuman, pektin dapat digunakan sebagai bahan pemberi tekstur yang baik pada roti dan keju, bahan pengental, dan stabilizer pada minuman sari buah.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
Selain itu, pektin juga berperan sebagai bahan pokok pembuatan jelly, jam, dan marmalades (Herbstreith dan Fox, 2005). Pektin dengan sendirinya atau dengan sifat pembentuk gelnya memiliki potensi yang baik dalam bidang farmasi. Pektin digunakan untuk mengatasi konstipasi, sebagai salah satu bahan utama yang digunakan dalam kaopektat bersama dengan kaolinit, pelega tenggorokan (demulcent), sumber serat, dan komponen propilaktit alami untuk melawan keracunan kation toksik (Malviya, 2011). Pektin melalui pembuluh darah dapat memperpendek waktu koagulasi darah yang berguna untuk mengendalikan pendarahan. Pada industri farmasi, pektin digunakan sebagai polimer mukoadhesif, gelling agent, pengental, pengikat air, stabilator, emulsifier bagi preparat cair dan sirup, obat diare pada bayi dan anak-anak, obat penawar racun logam, dan bahan penyusut kecepatan absorpsi berbagai macam obat. Selain itu, pektin juga berfungsi sebagai bahan kombinasi untuk memperpanjang kerja hormon dan antibiotik, bahan pelapis perban (pembalut luka) untuk menyerap kotoran dan jaringan rusak, serta bahan injeksi untuk mencegah pendarahan (Towle dan Christensen, 1973, 2006; Malviya, 2011). Pektin merupakan salah satu tipe serat pangan yang bersifat larut dalam air karena merupakan serat yang berbentuk gel, dapat memperbaiki otot pencernaan, dan mendorong sisa makanan pada saluran pembuangan. Dalam usus besar, mikroorganisme mendegradasi pektin dan membebaskan rantai pendek asam lemak yang memiliki pengaruh positif pada kesehatan atau dikenal sebagai efek prebiotik. Pektin juga dikenal sebagai antikolesterol karena dapat mengikat asam empedu yang merupakan hasil akhir metabolisme kolesterol. Semakin banyak asam empedu yang berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, semakin banyak kolesterol yang dimetabolisme
sehingga
menurunkan
jumlah
kolesterol
tubuh.
Selain itu, pektin juga dapat menyerap kelebihan air dalam usus, memperlunak feses, serta mengikat dan menghilangkan racun dari usus (Ide, 2009; Malviya, 2011).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
Pektin merupakan senyawa yang menarik dalam bidang farmasi karena berpotensi sebagai carrier atau pembawa obat dalam formulasi pelepasan terkontrol dan dalam penargetan situs spesifik misalnya untuk penghantaran obat ke saluran pencernaan seperti matriks tablet, gel beads, dan film coated. Banyak teknik yang telah digunakan untuk memproduksi pektin berbasis sistem penghantaran, terutama ionotropik gelasi atau gel coating. Dengan teknik sederhana dan dengan profil toksisitas yang sangat aman, membuat pektin sebagai eksipien menarik dan menjanjikan dalam industri farmasi untuk aplikasi masa kini dan masa mendatang (Sriamornsak, 2003; Malviya, 2011). 2.3
Asam Klorida Asam Klorida (HCl) memiliki sinonim acidum hydrochloridum concentratum; chlorohydric acid; concentrated hydrochloric acid; E507. Asam klorida berfungsi sebagai acidifying agent atau agen pengasam berupa larutan jernih, tidak berwarna, yang berasap dengan bau yang menyengat, memiliki titik didih sebesar 1100C pada pemanasan konstan dari 20,24% b/b HCl, dapat bercampur dengan air, larut dalam dietil eter, etanol 95%, dan metanol (Rowe, et. al., 2009). Asam klorida sebaiknya disimpan dalam wadah yang tertutup dengan baik, dalam wadah gelas atau wadah inert lainnya pada temperatur di bawah 300C dan harus terhindar dari senyawa alkali, logam, dan sianida karena dapat bereaksi dengan senyawa tersebut dengan menimbulkan sejumlah panas (Rowe, et. al., 2009).
2.4
Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red) Analisa spektroskopi inframerah mencakup beberapa metode yang berdasarkan atas absorbsi atau refleksi dari radiasi elektromagnetik (Rousessac dan Rousessac, 2000). Spektrum inframerah berada di antara daerah sinar tampak dan daerah microwave. Daerah spektrum yang paling baik digunakan untuk berbagai keperluan praktis dalam kimia organik adalah antara 4000-400 cm-1. Rentang bilangan gelombang inframerah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
dibagi dalam tiga daerah, inframerah jauh (200-10 cm-1), inframerah tengah (4000-200 cm-1) dan inframerah dekat (12500-4000 cm-1) (Watson, 2009). Dua jenis instrumen yang biasa digunakan untuk memperoleh spektrum inframerah yaitu instrumen dispersi dengan menggunakan suatu monokromator untuk memilih masing-masing bilangan gelombang secara berurutan untuk memantau intensitasnya setelah radiasi telah melewati sampel, dan instrumen transformasi Fourier dengan menggunakan suatu interferometer yang menghasilkan sumber radiasi dengan masing-masing bilangan gelombang dapat dipantau dalam + 1 detik pulsa radiasi tanpa memerlukan dispersi. Dalam suatu instrumen inframerah transformasi Fourier
(Fourier
Transform
Infrared,
FTIR),
prinsipnya
adalah
monokromator digantikan oleh suatu interferometer yang menggunakan cermin bergerak untuk memindahkan bagian radiasi yang dihasilkan oleh satu sumber, sehingga menghasilkan suatu interferogram yang dapat diubah dengan menggunakan suatu persamaan yang disebut “Transformasi Fourier‟ untuk mengekstraksi spektrum dari suatu seri frekuensi yang bertumpang tindih (Watson, 2009). Spektroskopi
FTIR
memiliki
banyak
keunggulan
dibanding
spektroskopi inframerah diantaranya yaitu lebih cepat karena pengukuran dilakukan secara serentak (simultan), serta mekanik optik lebih sederhana dengan sedikit komponen yang bergerak (Suseno dan Firdausi, 2008). Jika sinar inframerah dilewatkan melalui sampel senyawa organik, maka terdapat sejumlah frekuensi yang diserap dan ada yang diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap. Serapan cahaya oleh molekul tergantung pada struktur pada struktur elektronik dari molekul tersebut. Molekul yang menyerap energi tersebut terjadi perubahan energi vibrasi dan perubahan tingkat energi rotasi. Pada suhu kamar, molekul senyawa organik dalam keadaan diam, setiap ikatan mempunyai frekuensi yang karakteristik untuk terjadinya vibrasi ulur (stretching vibrations) dan vibrasi tekuk (bending vibrations) di mana sinar inframerah dapat diserap pada frekuensi tersebut (Suseno dan Firdausi, 2008).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di laboratorium Penelitian 1, laboratorium Penelitian 2, dan laboratorium Kimia Obat, Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Waktu penelitian dimulai pada bulan November 2014 hingga April 2015.
3.2
Alat dan Bahan
3.2.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat-alat gelas seperti erlenmeyer (Schott Duran), gelas beaker (Schott Duran), gelas ukur (Schott Duran), labu ukur, tabung reaksi, pipet tetes, pipet volumetrik, batang pengaduk, kaca arloji, labu Buchner, corong, botol timbang, dan buret. Adapun alat-alat lain di antaranya timbangan analitik, mikropipet, spatula, corong Buchner, hot plate stirrer, magnetic stirrer, grinder, oven, tanur, krustang, krus porselen dan tutup, bulp, cawan porselen, desikator, statif dan klem, termometer, pH meter (HORBA), pH indikator universal, Spektroskopi IRPrestige-21 Shimadzu, dan viskotester HAAKE 6R. 3.2.2 Bahan Bahan baku tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) dari buah yang masih mentah, diperoleh dari limbah pengolahan kripik pisang kepok yang ada di daerah Ciputat di mana pisangnya disuplai dari Cilawu, Garut, yang terlebih dahulu dideterminasi di Laboratorium Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Bogor, Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain aquadest, HCl 0,025 N, HCl 0,05 N, HCl 0,075 N, HCl 3 N, NaOH 0,1 N, NaOH 2 N,
25
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26
NaCl, aseton teknis, etanol 96%, etanol absolut, asam oksalat 0,1027 N, pektin Cargill®, pektin Danisco®, indikator phenolptalein (PP), indikator metil merah, dan serbuk KBr. 3.3
Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan Bahan Baku Bahan baku limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) disortasi basah terlebih dahulu (dipisahkan antara kulit pisang yang bagus dengan yang busuk), dipilih kulitnya yang berwarna hijau atau kekuningan, bagian pucuk dan tangkai kulit pisang tidak diambil. Kemudian dicuci dengan menggunakan air mengalir untuk membersihkan kulit pisang dari kotoran-kotoran yang menempel. Setelah bersih, dilakukan perajangan kecil-kecil dan selanjutnya bahan baku disiapkan dengan perlakuan yang berbeda, yaitu bahan segar dan kering. a.
Pembuatan bubur kulit pisang (bahan segar) Bahan baku kulit pisang kepok segar yang telah dirajang, diambil sebanyak 300 gram, lalu dihancurkan menggunakan blender dengan penambahan aquadest sebanyak 150 mL (perbandingan 2 : 1) sampai kulit pisang tersebut dapat diblender hingga menjadi bubur kulit pisang (Ekasari, 2013; Utami, 2014; dengan modifikasi).
b.
Pembuatan serbuk kulit pisang (bahan kering) Bahan baku kulit pisang kepok segar yang telah dirajang diambil sebanyak 5 kg dan dikeringkan dengan cara dikering anginkan di bawah sinar matahari, kemudian dikeringkan menggunakan blower pada suhu 500C selama 5 hari. Kulit pisang yang telah kering dihaluskan menggunakan grinder untuk memperkecil ukuran partikel dan diayak dengan ayakan mesh 100 (ukuran partikel 105 µm) sehingga didapatkan serbuk kering kulit pisang kepok yang kemudian diukur kadar airnya. Kadar air yang diperbolehkan tidak lebih dari 10% (Hanum, et. al., 2012; Fitria, 2013; Rofikah, 2014).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
3.3.2 Produksi Pektin 1.
Ekstraksi Pektin Bahan segar ditimbang sebanyak 300 gram dan bahan kering 42 gram, masing-masing dimasukkan ke dalam erlenmeyer 2000 mL dan ditambahkan pelarut HCl sejumlah volume tertentu, bahan segar dengan perbandingan (b/v) 1 : 2 (300 gram dalam 600 mL) dan bahan kering 1 : 20 (42 gram dalam 840 mL) dengan variasi konsentrasi pelarut HCl yaitu 0,025 N; 0,05 N; dan 0,075 N. Masing-masing campuran tersebut dipanaskan di atas hot plate stirrer dengan pengaturan suhu 900C disertai pengadukan konstan menggunakan magnetic stirrer selama 80 menit. Penghitungan waktu ekstraksi dimulai saat tercapainya kondisi operasi percobaan. Setelah dipanaskan, selanjutnya dilakukan penyaringan filtrat hasil ekstraksi menggunakan kertas saring dengan bantuan vacuum Buchner untuk memisahkan filtrat dari residunya, dan filtrat didinginkan pada suhu ruang. Filtrat yang didapatkan disebut dengan filtrat pektin (Hanum et. al., 2012; Utami, 2014 dengan modifikasi).
2.
Pengendapan Pektin Filtrat hasil ekstraksi yang telah dingin diendapkan menggunakan aseton dengan perbandingan tiap 1 liter filtrat ditambahkan dengan 1,5 liter aseton, kemudian didiamkan selama satu malam (18 jam). Endapan pektin yang terbentuk dipisahkan dari filtratnya menggunakan kertas saring dengan bantuan vacuum Buchner (Fitria, 2013).
3.
Pencucian Pektin Endapan pektin yang terbentuk dicuci dengan etanol 96% sambil dilakukan pengadukan. Pemisahan endapan pektin dengan etanol 96% bekas pencucian dilakukan menggunakan kertas saring dengan bantuan vacuum Buchner. Hal ini dilakukan beberapa kali hingga pektin bebas aseton, asam, dan klorida. Pektin yang telah bebas asam adalah pektin yang berwarna kuning saat ditetesi dengan indikator metil merah, adapun pektin yang telah bebas klorida yaitu apabila tidak terbentuk endapan putih (AgCl) pada larutan bekas pencucian pektin dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
etanol 96% yang ditambahkan dengan beberapa tetes larutan perak nitrat (AgNO3) (Hariyati, 2006; Fitria, 2013). 4.
Pengeringan pektin Pektin basah hasil pengendapan yang telah dicuci dan bebas aseton, asam, dan klorida selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 400C selama kurang lebih 8 jam. Hasil yang diperoleh disebut dengan pektin kering (Hanum, et. al., 2012).
3.4
Identifikasi Kualitatif Pektin a.
Larutan pektin 1% (1 gram dalam 100 mL), diambil 5 mL, lalu ditambahkan etanol P dengan volume yang sama, akan terbentuk endapan bening seperti gelatin (perbedaan dari kebanyakan gom).
b.
5 mL larutan pektin 1% ditambahkan 1 mL NaOH 2 N, dibiarkan pada suhu ruang selama 15 menit, akan terbentuk gel atau semigel (perbedaan dari tragakan).
c.
Gel yang diperoleh dari pengujian B diasamkan dengan HCl 3 N, lalu dikocok, akan terbentuk endapan seperti gelatin, tidak berwarna, yang menjadi putih dan bergumpal bila dididihkan (asam pektat).
(Farmakope Indonesia Edisi V, 2014 dengan modifikasi) 3.5
Karakteristik Pektin a. Jumlah Pektin Jumlah pektin adalah banyaknya pektin dalam gram yang dihasilkan dari ekstraksi kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) pada masing-masing perlakuan, yaitu menggunakan bahan segar dan kering yang diekstraksi dengan pelarut HCl pada berbagai konsentrasi (0,025 N; 0,05 N; dan 0,075 N). b. Penentuan Kadar Air Botol timbang dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang dan dicatat bobotnya. Kemudian sebanyak 0,300 gram serbuk pektin ditimbang dan dimasukkan ke dalam botol timbang yang telah diketahui bobot konstannya, lalu dipanaskan dalam oven pada suhu
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
1050C selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang dan dicatat bobotnya. Pemanasan diulangi kembali dan ditimbang hingga diperoleh bobot yang konstan. Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :
Keterangan : Wa
= Bobot sebelum dikeringkan (gram)
Wb
= Bobot akhir setelah dikeringkan (gram)
(SNI 01-2891-1992) c. Penentuan Kadar Abu Krus porselen dikeringkan di dalam tanur pada suhu 5500C kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot wadah. Selanjutnya sebanyak 0,300 gram sampel pektin ditimbang dan dimasukkan dalam krus porselen yang telah diketahui bobotnya, lalu dimasukkan dalam tanur pada suhu 5500C sampai pengabuan sempurna. Residu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus :
Keterangan : W
= Bobot sampel awal (gram)
W1
= Bobot wadah + sampel setelah pemanasan (gram)
W2
= Bobot wadah kosong (gram)
(SNI 01-2891-1992) d. Penentuan Berat Ekivalen Nilai
berat
ekivalen
digunakan
untuk
perhitungan
kadar
galakturonat dan derajat esterifikasi. Berat ekivalen ditentukan dengan menimbang sampel pektin sebanyak 0,500 gram dimasukkan dalam erlenmeyer 250 mL, lalu dilembabkan dengan 2 mL etanol absolut dan dilarutkan dalam 100,0 mL air suling bebas CO2 yang berisi 1,0 gram
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
NaCl serta ditambahkan 6 tetes indikator phenoftalein sebagai indikator. Campuran tersebut kemudian diaduk dengan cepat untuk memastikan bahwa semua substansi pektin telah terlarut dan tidak ada gumpalan yang menempel pada sisi erlenmeyer. Titrasi dilakukan perlahan-lahan dengan titran standar NaOH 0,1027 N sampai warna campuran berubah menjadi merah muda dan tetap bertahan selama setidaknya 30 detik.
(Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013) e. Kadar Metoksil Penentuan kadar metoksil dilakukan dengan menambahkan 25,0 mL NaOH 0,25 N ke dalam larutan netral dari penentuan BE kemudian dikocok dengan benar dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar dalam erlenmeyer tertutup. Selanjutnya ditambahkan 25,0 mL HCl 0,25 N dan 6 tetes indikator phenoftalein kemudian dititrasi dengan titran NaOH 0,1027 N hingga larutan berubah menjadi merah muda.
Keterangan : Nilai 31 didapatkan dari bobot molekul metoksil yang berupa CH3O. (Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013) f. Kadar Galakturonat Kadar galakturonat dihitung dari mEk (miliekivalen) NaOH yang diperoleh dari penentuan BE dan kandungan metoksil.
Keterangan : *
= Diperoleh dari mEk NaOH untuk asam bebas pada penentuan BE
**
= Diperoleh dari mEk NaOH pada penentuan metoksil
Nilai 176 diperoleh dari berat ekivalen terendah asam pektat. (Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
g. Derajat Esterifikasi Derajat esterifikasi dihitung dari kadar metoksil dan kadar galakturonat yang telah diperoleh.
(Owen, et. al., 1952 dalam Nazaruddin, et. al., 2013) h. Viskositas Larutan Pektin Pengujian viskositas dilakukan menggunakan viskotester HAAKE 6R terhadap setiap larutan pektin 1% dari masing-masing kondisi ekstraksi menggunakan spindel R2 dengan kecepatan putar 60 rpm pada suhu ruang. Nilai viskositas dalam satuan centipoises (cPs) (Goycoolea dan Adriana, 2003). 3.6
Perbandingan Spektrum FTIR Perbandingan spektrum FTIR pektin hasil ekstraksi dengan pektin standar dilakukan dengan menggunakan Spektroskopi IRPrestige-21 Shimadzu pada daerah 400-4000 cm-1 dengan resolusi 2 cm-1 dan 16 scan. Sampel uji dibuat dengan mencampurkan 20 mg serbuk pektin dengan 100 mg KBr untuk membuat pellet. Setelah didapatkan spektrum masing-masing, selanjutnya dibandingkan tiap serapan gugus fungsionalnya antara pektin hasil ekstraksi dengan pektin komersial yang dibeli dari Cargill® dan Danisco® yang digunakan sebagai standar (Gopi, et. al., 2014 dengan modifikasi).
3.7
Perbandingan Pektin Hasil Penelitian terhadap Pektin Komersial Karakterstik pektin hasil penelitian selanjutnya dibandingkan dengan pektin komersial (pektin Cargill® dan Danisco®) yang digunakan sebagai standar. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kualitas pektin hasil penelitian dengan merujuk pada standar mutu yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia Edisi V (2014), Food Chemical Codex (2004), dan IPPA (2003).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Penentuan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini berupa limbah kulit pisang kepok kuning yang diperoleh dari pengolahan kripik pisang di daerah Ciputat di mana buah pisangnya disuplai dari Cilawu, Garut. Buah pisang kepok sering dimanfaatkan untuk diolah menjadi berbagai jenis makanan seperti kripik pisang, sehingga akan menyisakan kulit pisang yang kurang pemanfaatannya dan umumnya dibuang sebagai limbah. Pemilihan limbah kulit pisang kepok ini adalah untuk memanfaatkan limbah terbuang yang sudah tidak digunakan menjadi suatu bahan baku produksi pektin yang bernilai ekonomis. Cahyono (2009) mengungkapkan bahwa pektin terdistribusi secara luas dalam jaringan tanaman dan umumnya terdapat pada dinding sel. Pisang kepok memiliki kulit buah yang cukup tebal dengan kandungan pektin di dalamnya berkisar 10-21% (Mohapatra, et. al., 2010). Pemilihan bahan baku kulit pisang kepok memiliki kelebihan yaitu diperoleh dengan tidak mengeluarkan biaya karena berupa limbah organik yang dibuang begitu saja, sehingga dapat menekan biaya produksi pektin, dan diharapkan dapat menghasilkan pektin dalam jumlah besar dan ekonomis tanpa mengurangi kualitas pektin yang dihasilkan.
4.2
Determinasi Tanaman Bahan Baku Determinasi tanaman bahan baku terlebih dahulu dilakukan untuk mengetahui identitas tanaman yang digunakan dan untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pemilihannya. Determinasi tanaman dilakukan di Herbarium Bogoriense, Pusat Penelitian Biologi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), Cibinong, Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa bahan baku yang digunakan adalah benar tanaman pisang kepok (Musa balbisiana BBB) dari famili Musaceae. Sertifikat hasil determinasi dapat dilihat pada Lampiran 1.
32
UN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
4.3
Persiapan Bahan Baku Bahan baku yang digunakan berupa limbah kulit pisang kepok kuning yang masih mentah yang mana kulitnya keras, bergetah, dan berwarna hijau atau kekuningan. Bahan baku diambil dari pengolahan kripik pisang yang umumnya menggunakan buah pisang yang masih mentah. Pemilihan kulit pisang dari buah yang masih mentah berdasarkan pendapat Sambeganarko (2008), di mana protopektin banyak terdapat pada buah mentah dengan sifat tidak larut air yang dapat dihidrolisis menggunakan asam atau secara enzimatis untuk menghasilkan pektin yang mudah larut dalam air (Hanum, et. al., 2012). Dalam penelitian ini bahan baku disiapkan dalam dua perlakuan yang berbeda yaitu bahan segar dan bahan kering. Hal pertama yang dilakukan adalah melakukan sortasi basah terhadap limbah kulit pisang kepok yang diperoleh dengan dipisahkan dari tangkai dan ujungnya kemudian dibersihkan dengan dicuci menggunakan air mengalir hingga terbebas dari kotoran yang menempel dan dirajang kecil-kecil. Bahan segar disiapkan dengan cara menghancurkan kulit pisang kepok segar menggunakan blender dengan penambahan aquadest (2 : 1 b/v) sehingga terbentuk bubur kulit pisang. Sedangkan bahan kering disiapkan dari 5 kg kulit pisang kepok segar yang telah disortasi basah, dicuci, dirajang, lalu dikering-anginkan selama satu malam yang selanjutnya dikeringkan menggunakan blower pada suhu 500C selama 5 hari yang dilakukan di BALITTRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik), Cimanggu, Bogor. Kulit pisang kepok yang telah kering selanjutnya dihaluskan menjadi serbuk menggunakan grinder dan diayak dengan ayakan mesh 100 (ukuran partikel 105 μm). Fellow (2002) di dalam Perina, et. al. (2007) mengungkapkan bahwa pemotongan dan pembelahan bahan-bahan yang akan diekstraksi membantu pengontakan antara padatan dengan pelarut karena pecahnya sel-sel yang mengandung solut. Semakin kecil ukuran partikel maka semakin luas permukaan yang kontak antara padatan dan pelarut serta semakin pendek jarak difusi solut sehingga kecepatan ekstraksi menjadi lebih besar.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
Setelah pengeringan dan penghalusan, dari 5 kg kulit pisang kepok segar menghasilkan 691 gram serbuk kulit pisang kepok kering. Serbuk kulit pisang kepok yang dihasilkan tergolong sedikit dikarenakan kandungan air yang cukup tinggi dalam limbah kulit pisang segar, sehingga untuk menghasilkan serbuk kulit pisang kepok yang banyak diperlukan bahan baku limbah kulit pisang yang banyak pula. Tabel 4.1. Bahan Baku No. 1 2 3 4
Bahan Baku Bobot kulit pisang kepok awal untuk dikeringkan Bobot serbuk kulit pisang kepok setelah pengeringan Kadar air serbuk kulit pisang kepok Kadar air kulit pisang kepok segar
Hasil 5 kg 691 gram 8,90% 85,3868%
Selanjutnya dilakukan penentuan kadar air terhadap kedua bahan baku (bahan segar dan kering) tersebut guna mengetahui kadar air awal dari bahan baku yang digunakan sebelum dilakukan ekstraksi pektin, karena kandungan air yang terkandung dapat mempengaruhi proses ekstraksi. Penentuan kadar air awal bahan baku dilakukan dengan menggunakan prinsip gravimetri. Hasil yang diperoleh menunjukkan kadar air awal bahan segar (kulit pisang kepok segar) sebesar 85,3868% dan bahan kering (serbuk kulit pisang kepok) sebesar 8,90%. Kadar air untuk bahan kering adalah 8,90% di mana kadar air ini tidak lebih dari yang diperbolehkan untuk bahan kering yaitu kurang dari 10% (Hanum et. al., 2012). Pemeriksaan kadar air untuk bahan segar dilakukan di laboratorium Kimia Obat, Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sedangkan untuk bahan kering dilakukan di BALITTRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik), Cimanggu, Bogor. 4.4
Produksi Pektin Produksi pektin dilakukan melalui proses ekstraksi menggunakan limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) dengan variasi perlakuan bahan baku (bahan segar dan kering) menggunakan pelarut HCl dengan variasi konsentrasi (0,025 N; 0,05 N; dan 0,075 N) pada suhu 900C
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
selama 80 menit. Waktu dan suhu ekstraksi dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hanum et. al. (2012) yang menyatakan bahwa rendemen tertinggi yang diperoleh dari hasil ekstraksi kulit pisang kepok menggunakan pelarut asam klorida adalah pada suhu 900C selama 80 menit. Ekstraksi pektin dilakukan menggunakan metode konvensional yakni secara pemanasan langsung. Srivastava dan Malviya (2011) menyatakan bahwa ada dua metode ekstraksi pektin yang biasa dilakukan, yaitu pemanasan langsung dan pemanasan menggunakan microwave. Hanum, et. al. (2012) mengungkapkan bahwa ekstraksi pektin dapat dilakukan dengan hidrolisis asam atau secara enzimatis. Pada penelitian ini, ekstraksi pektin dilakukan dengan hidrolisis asam yaitu menggunakan pelarut HCl dengan variasi konsentrasi yang digunakan untuk merombak protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang mudah larut. Penggunaan pelarut HCl di dasarkan pada pernyataan Kertesz (1951) bahwa selain asam organik, ekstraksi pektin memiliki kecenderungan untuk menggunakan asam mineral yang murah seperti asam klorida, asam sulfat, dan asam nitrat. Beberapa artikel saat ini menyarankan untuk ekstraksi menggunakan asam klorida (Kalapathy dan Proctor, 2001; Dinu, 2001; Hwang, et. al., 1998) Dalam proses ekstraksi pektin digunakan bahan baku dengan dua perlakuan yang berbeda yaitu bahan segar dan kering. Sebanyak 300 gram bahan segar dan 42 gram bahan kering masing-masing dimasukkan ke dalam erlenmeyer 2000 mL, lalu ditambahkan larutan HCl 600 mL (1 : 2 ) untuk bahan segar dan 840 mL (1 : 20) untuk bahan kering. Selanjutnya ke dalam erlenmeyer tersebut dimasukkan magnetic stirrer dan pada leher erlenmeyer ditutup dengan sumbat kapas. Proses ekstraksi dilakukan dengan pemanasan di atas hot plate pada suhu 900C selama 80 menit yang selalu dikontrol menggunakan termometer agar suhunya tetap. Pengadukan otomatis dilakukan menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 10 (+ 600 rpm). Menurut Perina, et. al. (2007), pengadukan dalam ekstraksi penting dilakukan karena dapat meningkatkan perpindahan solut dari permukaan partikel ke cairan pelarut dan mencegah pengendapan padatan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
dan memperluas kontak partikel dengan pelarutnya. Setelah proses ekstraksi selesai, campuran didinginkan terlebih dahulu yang selanjutnya dilakukan proses penyaringan untuk memisahkan antara filtrat dengan residunya menggunakan kertas saring dengan bantuan vacuum Buchner sehingga proses penyaringan dapat berjalan lebih cepat. Setelah disaring, filtrat yang diperoleh dipindahkan ke dalam wadah kaca lain, lalu dilakukan pengendapan pektin dengan penambahan aseton. Aseton dipilih sebagai agen pengendap dikarenakan aseton lebih disukai karena kemampuannya membentuk endapan yang tegar sehingga mudah dipisahkan dari asetonnya dibandingkan dengan etanol yang menghasilkan pektin yang kurang murni karena tidak hanya mengendapkan pektin tetapi juga senyawa lain seperti dekstrin dan hemiselulosa (Akhmalludin dan Kurniawan, 2009). Penambahan aseton ke dalam filtrat hasil ekstraksi dilakukan secara perlahan sambil diaduk sehingga terbentuk endapan, yang kemudian didiamkan selama satu malam (18 jam) agar proses pengendapan berlangsung sempurna. Setelah 18 jam, endapan tersebut disaring untuk memisahkan endapan dari filtratnya, kemudian endapan dicuci beberapa kali menggunakan etanol 96% hingga bebas dari residu aseton, asam, dan klorida. Pencucian dengan etanol 96% dipilih karena dapat menghasilkan warna pektin yang jauh lebih bersih dan putih dibandingkan dengan pencucian tanpa alkohol (Susilowati, 2013). Pektin yang telah bebas asam adalah pektin yang berwarna kuning saat ditetesi dengan indikator metil merah dan memberikan warna netral pada pH indikator universal ketika dicelupkan ke dalam larutan bekas pencucian, adapun pektin yang telah bebas klorida yaitu apabila tidak terbentuk endapan putih (AgCl) pada larutan bekas pencucian pektin yang ditambahkan dengan beberapa tetes larutan perak nitrat (AgNO3) (Hariyati, 2006; Fitria, 2013) Setelah pencucian pektin, selanjutnya dilakukan penekanan terhadap endapan pektin dalam kertas saring sehingga endapan tidak terlalu basah dengan etanol 96%, lalu pektin dikeringkan dalam oven selama kurang lebih 8 jam dengan suhu pengeringan rendah, yaitu 400C untuk memperkecil kemungkinan terjadinya degradasi pektin. Pektin yang telah kering
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
dihaluskan menjadi serbuk dengan digerus menggunakan lumpang dan alu, lalu dihitung bobotnya dan dilakukan karakterisasi untuk menentukan kualitas dari pektin yang dihasilkan, meliputi penentuan kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat, dan derajat esterifikasi. Hasil karakterisasi tersebut dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan dalam literatur seperti Farmakope Indonesia Edisi V (2014), Food Chemicals Codec (2004), dan IPPA (2003). 4.5
Identifikasi Kualitatif Pektin Pemerian pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini cenderung sama pada tiap kondisi ekstraksi yang dipengaruhi perlakuan bahan baku dan konsentrasi HCl. Seluruh pektin hasil ekstraksi memberikan warna putih kecuali pada kondisi ekstraksi dari bahan kering dengan konsentrasi HCl 0,025 N yang menghasilkan pemerian yang berwarna putih kekuningan. Tabel 4.2. Pemerian Pektin Hasil Ekstraksi No.
1
2
3
4
Kondisi ekstraksi Bahan segar; HCl 0,025 N
Bahan segar; HCl 0,05 N
Bahan segar; HCl 0,075 N
Bahan kering; HCl 0,025 N
Pemerian Serbuk halus, putih, tidak berbau
Serbuk halus, putih, tidak berbau
Serbuk halus, putih, tidak berbau
Serbuk halus, putih kekuningan, tidak berbau
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
Bahan kering;
5
Serbuk halus, putih, tidak berbau
HCl 0,05 N
Bahan kering;
6
Serbuk halus, tidak berbau
HCl 0,075 N
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi V (2014), pemerian pektin berupa serbuk kasar atau halus, berwarna putih kekuningan, hampir tidak berbau, dan mempunyai rasa musilago. Menurut Food Chemicals Codex (2004) pemerian pektin berupa serbuk kasar hingga halus, berwarna putih, kekuningan, kelabu, atau kecokelatan. Pektin hasil ekstraksi pada penelitian ini memberikan pemerian yang sesuai dengan literatur yang telah disebutkan di atas. Tabel 4.3. Identifikasi Pektin Hasil Ekstraksi No. 1
2
Kondisi ekstraksi Bahan segar; HCl 0,025 N
Bahan segar; HCl 0,05 N
A Terbentuk endapan bening, seperti gelatin
Terbentuk endapan bening, seperti gelatin
Identifikasi Pektin B C Terbentuk Terbentuk endapan seperti gelatin, semigel tidak berwarna, menjadi putih dan bergumpal bila didihkan
Terbentuk gel
Terbentuk endapan seperti gelatin, tidak berwarna, menjadi putih dan bergumpal bila didihkan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
3
Bahan segar; HCl 0,075 N
Terbentuk endapan bening, seperti gelatin
Terbentuk gel
Terbentuk endapan seperti gelatin, tidak berwarna, menjadi putih dan bergumpal bila didihkan
4
Bahan kering; HCl 0,025 N
Terbentuk endapan bening, seperti gelatin
Terbentuk semigel
Terbentuk endapan seperti gelatin, tidak berwarna, menjadi putih dan bergumpal bila didihkan
5
Bahan kering; HCl 0,05 N
Terbentuk endapan bening, seperti gelatin
Terbentuk semigel
Terbentuk endapan seperti gelatin, tidak berwarna, menjadi putih dan bergumpal bila didihkan
6
Bahan kering; HCl 0,075 N
Terbentuk endapan bening, seperti gelatin
Terbentuk gel
Terbentuk endapan seperti gelatin, tidak berwarna, menjadi putih dan bergumpal bila didihkan
Identifikasi pektin dilakukan untuk memastikan secara kualitatif bahwa serbuk yang diperoleh dari hasil ekstraksi adalah benar pektin. Identifikasi pektin dilakukan sesuai dengan prosedur yang tertera dalam Farmakope Indonesia Edisi V tahun 2014 dengan sedikit modifikasi. Identifikasi pektin pertama (A), yaitu membuat larutan pektin 1% dalam aquadest sebanyak 100 mL, lalu diambil 5 mL, kemudian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
ditambahkan etanol P dengan volume yang sama. Jika hasil ekstraksi adalah benar pektin maka akan terbentuk endapan bening, seperti gelatin yang membedakan pektin dari kebanyakan gom. Identifikasi pektin kedua (B), yaitu dengan mengambil sebanyak 5 mL dari larutan pektin 1% yang telah dibuat sebelumnya, lalu ditambahkan 1 mL NaOH 2 N, kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 15 menit. Jika hasil ekstraksi adalah benar pektin, maka akan terbentuk gel atau semi gel yang membedakannya dari tragakan. Identifikasi pektin ketiga (C), yaitu dengan mengasamkan gel atau semi gel yang terbentuk pada identifikasi B dengan HCl 3 N, kemudian dikocok. Jika hasil ekstraksi adalah benar pektin, maka akan terbentuk endapan seperti gelatin yang tidak berwarna, yang menjadi putih dan bergumpal bila dididihkan (asam pektat). Hasil identifikasi pektin secara kualitatif menunjukkan bahwa serbuk yang diperoleh dari hasil ekstraksi pada penelitian ini adalah benar pektin. 4.6
Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi Tabel 4.4. Karakteristik Pektin Hasil Ekstraksi
No.
1 2 3 4 5 6
7 8
Karakteristik Jumlah pektin (gram) Kadar air (%) Kadar abu (%) Berat ekivalen Kadar metoksil (%) Kadar galakturonat (%) Derajat esterifikasi (%) Viskositas
Segar; 0,025 N
Kondisi ekstraksi (perlakuan bahan baku, konsentrasi pelarut HCl) Segar; Segar; Kering; Kering; 0,05 N 0,075 N 0,025 N 0,05 N
Kering; 0,075 N
8,7640
9,4380
10,3610
6,5170
7,6530
8,0290
8,2390
9,1605
9,3165
10,0342
10,1947
10,3501
0,4654
0,7069
1,3592
0,7708
1,2252
2,4770
8119,1172
6100,6978
4725,7974
6974,0808
5414,1873
4874,1837
2,7363
3,3241
3,8166
2,6459
3,0537
3,7524
70,8116
87,0271
101,1200
70,1839
82,3494
99,6591
21,9387
21,6849
21,4284
21,4030
21,0531
21,3770
20,00
18,50
15,00
19,50
16,00
15,50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
41
a. Jumlah Pektin Jumlah pektin adalah banyaknya pektin dalam gram yang dihasilkan dari ekstraksi kulit pisang kepok pada masing-masing perlakuan, yaitu menggunakan bahan segar dan kering dengan berbagai konsentrasi pelarut HCl. Bobot pektin hasil ekstraksi berkisar 6,517010,3610 gram, bobot tertinggi diperoleh dari ekstraksi bahan segar dengan konsentrasi HCl 0,075 N dan bobot terendah diperoleh dari ekstraksi bahan kering dengan konsentrasi HCl 0,025 N.
Gambar 4.1. Jumlah pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi Gambar 4.1 menunjukkan bahwa jumlah pektin dalam gram yang dihasilkan mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya konsentrasi HCl, baik dengan bahan segar maupun kering. Bahan segar menghasilkan bobot pektin, yaitu 8,7640 gram untuk HCl 0,025 N; 9,4380 gram untuk HCl 0,05 N; dan 10,3610 gram untuk HCl 0,075 N, dengan rata-rata sebanyak 9,5210 gram. Bahan kering menghasilkan pektin dengan bobot, yaitu 6,5170 gram untuk HCl 0,025 N; 7,6530 gram untuk HCl 0,05 N; dan 8,0290 gram untuk HCl 0,075 N, dengan rata-rata sebanyak 7,3997 gram. Menurut Nainggolan (1994) di dalam Hanum (2012), prinsip ekstraksi pektin adalah perombakan protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang mudah larut yang dapat dilakukan dengan hidrolisis asam atau enzimatis. Pelarut HCl merupakan asam yang berperan sebagai katalis untuk mempercepat reaksi hidrolisis protopektin menjadi pektin. Semakin tinggi konsentrasi HCl menyebabkan semakin banyak ion hidrogen yang mensubstitusi kalsium dan magnesium dari protopektin,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
42
proses hidrolisis protopektin menjadi pektin lebih cepat, sehingga dapat menghasilkan pektin yang lebih banyak. Jadi dengan konsentrasi HCl yang tinggi, rendemen pektin akan terus meningkat hingga mencapai keadaan maksimum di mana protopektin telah habis terhidrolisis (Fitria, 2013). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam maka semakin banyak pektin yang dihasilkan, dibuktikan dengan bobot pektin tertinggi diperoleh pada konsentrasi HCl 0,075 N dan bobot terendah diperoleh pada konsentrasi HCl 0,025 N, baik untuk bahan baku kulit pisang kepok segar maupun kering. Ekstraksi pektin dengan bahan segar maupun kering, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Bahan segar memiliki kelebihan yaitu tidak memerlukan proses pengeringan, dapat langsung dilakukan proses ekstraksi, dan bobot pektin yang dihasilkan lebih banyak, sedangkan kekurangannya yaitu bahan tidak dapat disimpan untuk waktu lama dan harus segera dilakukan proses ekstraksi karena kulit pisang kepok mengandung antioksidan yang tinggi sehingga proses pembusukan menjadi lebih cepat serta memerlukan pelarut pengendap pektin yang lebih banyak karena bahan segar memiliki kandungan air yang cukup besar. Bahan kering memiliki kelebihan yaitu dapat disimpan untuk waktu yang lebih lama sehingga proses ekstraksi dapat dilakukan kapan saja sesuai dengan kebutuhan, sedangkan kekurangannya adalah memerlukan waktu cukup lama untuk proses pengeringan bahan baku awal karena kandungan air awal bahan yang cukup besar. Penggunaan bahan segar ataupun kering dari kulit pisang kepok untuk ekstraksi pektin dapat disesuaikan dengan kebutuhan suatu industri dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya masingmasing. b. Kadar Air Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang menentukan daya tahan produk pangan dan terkait dengan aktivitas mikroorganisme selama penyimpanan. Produk yang mempunyai kadar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
air tinggi lebih mudah rusak karena dapat menjadi media yang kondusif bagi pertumbuhan mikroorganisme. Dalam upaya memperpanjang masa simpan produk, dilakukan pengeringan sampai dengan batas kadar air tertentu, karena produk dengan kadar air rendah relatif lebih stabil dalam penyimpanan jangka panjang daripada produk dengan kadar air yang tinggi (Pardede, et. al., 2013). Kadar air awal limbah kulit pisang segar yang telah dianalisis adalah 85,3868% dan kadar air awal limbah kulit pisang kering adalah 8,90%.
Gambar 4.2. Kadar air pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi Pada penelitan ini, pengeringan pektin dilakukan dalam oven suhu 400C selama 8 jam (Hanum, et. al., 2012). Gambar 4.2 menunjukkan bahwa kadar air pektin kulit pisang kepok berkisar 8,2390-10,3501%, dengan rata-rata 9,5492%. Kadar air pektin tertinggi diperoleh dari hasil ekstraksi bahan kering pada konsentrasi HCl 0,075 N, sedangkan kadar air terendah diperoleh dari hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N. Syarat kadar air maksimum untuk pektin kering menurut IPPA (International Pectin Producers Association) (2003) adalah tidak lebih dari 12%, dengan demikian kadar air pektin hasil penelitian ini masih di bawah syarat maksimum yang telah ditetapkan. Menurut Utami (2014), tingginya kadar air pektin yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh derajat pengeringan pektin yang tidak maksimal sehingga air yang dikandung bahan tidak teruapkan secara sempurna. Fitria (2013) menjelaskan bahwa kondisi penyimpanan pektin sebelum dilakukan uji kadar air juga akan mempengaruhi hasil pengujian. Penyimpanan pada tempat lembab dan wadah yang tidak kedap udara
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
akan menyebabkan kerentanan pektin terpapar oleh udara luar, sehingga pektin menjadi lembab kembali. c. Kadar Abu Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari residu atau sisa pembakaran bahan organik. Kandungan mineral suatu bahan dapat diketahui dari kadar abu yang dimiliki oleh suatu bahan yang juga berpengaruh
pada
tingkat
kemurnian
pektin
(Budiyanto
dan
Yulianingsih, 2008). Semakin tinggi tingkat kemurnian pektin, maka kadar abu dalam pektin akan semakin rendah dan sebaliknya. Kadar abu dalam pektin dipengaruhi oleh adanya residu bahan anorganik yang terkandung dalam bahan baku, metode ekstraksi, dan isolasi (Kalapathy dan Proctor, 2001).
Gambar 4.3. Kadar abu pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi Hasil analisis kadar abu menunjukkan bahwa kadar abu pektin kulit pisang kepok berkisar 0,4654-2,4770%, dengan rata-rata 1,1674%. Kadar abu pektin tertinggi diperoleh dari hasil ekstraksi bahan kering pada konsentrasi HCl 0,075 N, sedangkan kadar abu terendah diperoleh dari hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025N. Batas maksimum kadar abu pektin dalam IPPA (2003) adalah tidak lebih dari 10%, dengan demikian kadar abu hasil penelitian ini masih di bawah syarat maksimum yang telah ditetapkan. Gambar 4.3 menunjukkan bahwa kadar abu pektin yang dihasilkan semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi pelarut HCl. Menurut Meyer (1985) dalam Hanum, et. al. (2012), dalam buah-buahan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
dan sayuran, protopektin terdapat dalam bentuk kalsium-magnesium pektat, perlakuan dengan asam mengakibatkan terhidrolisisnya pektin dari ikatan kalsium dan magnesiumnya. Peningkatan reaksi hidrolisis protopektin mengakibatkan bertambahnya komponen Ca2+ dan Mg2+ yang terlarut dalam larutan ekstrak dan ikut mengendap pada saat pengendapan pektin, sehingga semakin banyak mineral berupa kalsium dan magnesium, maka akan semakin banyak kadar abu pektin tersebut. Kadar abu dalam pektin semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asam, suhu, dan waktu ekstraksi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang diekstrak yang semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asam, suhu, dan waktu ekstraksi. Mineral yang terlarut akan ikut mengendap bercampur dengan pektin pada saat pengendapan dengan alkohol (Kalapathy dan Proctor, 2001). Hasil pengukuran kadar abu pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan di atas, di mana pada konsentrasi pelarut HCl tertinggi menghasilkan kadar abu tertinggi dan sebaliknya. d. Berat Ekivalen Berat ekivalen merupakan kandungan gugus asam galakturonat bebas yang tidak terseterifikasi dalam rantai molekul pektin. Asam pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Semakin rendah kadar pektin menyebabkan berat ekivalen semakin rendah (Ranganna, 1977 dalam Hanum, 2012).
Gambar 4.4. Berat ekivalen pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
46
Berat ekivalen pektin yang dihasilkan dari penelitian ini berkisar 4725,7974 – 8119,1172 dengan rata-rata 6034,6774. Berat ekivalen tertinggi sebesar 8119,1172 diperoleh dari ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N, sedangkan berat ekivalen terendah sebesar 4725,7974 diperoleh dari ekstraksi bahan segar dengan konsentrasi HCl 0,075 N. Gambar 4.4 menunjukkan bahwa berat ekivalen pektin pada perlakuan bahan segar dan kering akan semakin menurun dengan peningkatan konsentrasi pelarut HCl. Hal ini sesuai dengan penelitian Utami (2014), di mana semakin tinggi konsentrasi pelarut asam yang digunakan, semakin rendah pH medium ekstraksi, maka semakin rendah berat ekivalen pektin yang dihasilkan. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi HCl akan memperbesar kemungkinan terjadinya depolimerisasi pektin sehingga memiliki berat ekivalen yang semakin rendah. Selain itu, konsentrasi asam yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya deesterifikasi pektin menjadi asam pektat, di mana jumlah gugus asam bebas semakin banyak sehingga berat ekivalen semakin rendah. Berat ekivalen pektin berdasarkan standar IPPA (2003) yakni berkisar antara 600-800. Pada penelitian ini pektin yang dihasilkan memiliki berat ekivalen yang tidak memenuhi standar IPPA (2003). Hasil penelitian ini serupa dengan yang diperoleh oleh Fitria (2013), di mana menghasilkan pektin hasil ekstraksi dari kulit pisang kepok dengan berat ekivalen lebih tinggi dari standar IPPA (2003), yaitu berkisar antara 4094,47 - 9534,71. Bobot molekul pektin tergantung pada jenis tanaman, kualitas bahan baku, metode ekstraksi, dan perlakuan pada proses ekstraksi. Kemungkinan besar hal yang mempengaruhi nilai berat ekivalen adalah sifat pektin hasil ekstraksi itu sendiri, serta proses titrasi yang dilakukan (Fitria, 2013). Hasil titrasi untuk perhitungan berat ekivalen akan mempengaruhi perhitungan selanjutnya seperti kadar metoksil, kadar galaktronat, dan derajat esterifikasi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
e. Kadar Metoksil Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah metanol yang terdapat di dalam pektin yang dapat menentukan sifat fungsional larutan pektin dan mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk. Pektin disebut bermetoksil tinggi jika kadar metoksil sama dengan atau lebih dari 7%, dan disebut bermetoksil rendah jika kadar metoksil kurang dari 7% (Goycoolea dan Adriana, 2003).
Gambar 4.5. Kadar metoksil pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi Penelitian ini menghasilkan pektin dengan kadar metoksil berkisar 2,6459-3,8166% dengan rata-rata 3,2215%. Kadar metoksil tertinggi diperoleh dari ekstraksi bahan segar pada konsentrasi pelarut HCl 0,075 N sebesar 3,8166%, sedangkan kadar metoksil terendah diperoleh dari ekstraksi bahan kering pada konsentrasi pelarut HCl 0,025 N sebesar 2,6459%. Dalam Food Chemicals Codex (2004), pektin bermetoksil rendah berkisar antara 2,5–7,2%, sehingga pektin yang dihasilkan pada penelitian ini termasuk dalam kategori pektin bermetoksil rendah. Pada gambar 4.5 menunjukkan bahwa kadar metoksil pektin pada perlakuan bahan segar dan kering akan semakin tinggi dengan meningkatnya konsentrasi asam. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh gugus karboksil bebas yang teresterifikasi semakin meningkat. Penelitian ini menghasilkan pektin bermetoksil rendah yang mampu membentuk gel dengan adanya kation polivalen seperti kalsium, di mana lebih menguntungkan karena dapat langsung diproduksi tanpa melalui proses demetilasi pektin bermetoksil tinggi menjadi bermetoksil rendah (Fitria, 2013).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
f. Kadar Galakturonat Kadar galakturonat serta muatan molekul pektin berperan penting dalam penentuan sifat fungsional larutan pektin dan mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin yang terbentuk (Constenla dan Lozano, 2006).
Gambar 4.6. Kadar galakturonat pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi Kadar galakturonat pektin pada penelitian ini berkisar 70,1839101,1200% dengan rata-rata 85,1919%. Berdasarkan IPPA (2003), kadar galakturonat minimum yang diizinkan adalah 65%. Dengan demikian kadar galakturonat pektin hasil penelitian ini memenuhi persyaratan mutu pektin yang telah ditetapkan. Kadar galakturonat tertinggi sebesar 101,1200% diperoleh dari ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,075 N, dan kadar terendah 10,1839% diperoleh dari ekstraksi bahan kering pada konsentrasi HCl 0,025 N. Dari gambar 4.6 menunjukkan bahwa, semakin tinggi konsentrasi pelarut HCl, maka semakin tinggi kadar galakturonat, baik pada bahan segar maupun kering. Hal ini dapat disebabkan semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan, maka kinetika reaksi hidrolisis pektin semakin meningkat, sehingga kadar galakturonat pektin yang dihasilkan juga akan semakin meningkat. Selain itu, peningkatan kadar galakturonat juga dapat terjadi karena putusnya ikatan komponen galakturonat pektin dengan senyawa-senyawa lain seperti hemiselulosa (Rasyid, 1986). Dengan putusnya ikatan tersebut maka senyawa-senyawa lain tidak ikut terendapkan pada proses pengendapan pektin oleh aseton. Semakin tinggi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
konsentrasi asam, maka semakin besar ikatan yang dapat diputuskan. Hal ini dapat meningkatkan persentase galakturonat, sehingga kemurnian pektin yang diperoleh semakin besar dan akan mempengaruhi mutu pektin yang dihasilkan. Kadar galakturonat pektin dapat dipengaruhi oleh sumber bahan baku, pelarut, dan metode ekstraksi yang digunakan (Fitria, 2013). Menurut Nelson, et. al., (1977) dan Towle (1973) di dalam Fitriani (2003), selain asam galakturonat, pektin juga mengandung senyawasenyawa lain yaitu gula netral seperti D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-ramnosa, dan jenis gula lainnya. Senyawa-senyawa non uronat tersebut dapat terbawa pada saat proses penggumpalan pektin, yang dapat mempengaruhi komposisi senyawa pektin. Metode ekstraksi yang digunakan juga dapat mempengaruhi komposisi senyawa pektin yang berpengaruh terhadap kadar galakturonat. Beberapa senyawa non uronat dapat dihilangkan melalui pelarutan kembali pektin dalam air dan penggumpalan, tetapi tidak dapat menghilangkan semua senyawa uronat (Fitria, 2013). g. Derajat Esterifikasi Derajat esterifikasi merupakan persentase gugus karboksil yang teresterifikasi, di mana pektin dengan derajat esterifikasi di atas 50% dinamakan pektin bermetokil tinggi dan derajat esterifikasi di bawah 50% dinamakan pektin bermetoksil rendah (Siamornsak, 2003). Derajat esterifikasi pektin diperoleh dari perbandingan antara kadar metoksil dan kadar galakturonat (Fennema, 1996).
Gambar 4.7. Derajat esterifikasi pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Nilai derajat esterifikasi pektin hasil penelitian ini berkisar 21,0531-21,9387% dengan rata-rata 21,4809%. Dari gambar 4.7 menunjukkan bahwa pada perlakuan bahan segar dan kering, derajat esterifikasi pektin semakin menurun dengan peningkatan konsentrasi HCl. Namun terdapat pengecualian pada perlakuan bahan kering yang derajat esterifikasinya meningkat pada konsentrasi HCl 0,075 N. Menurut standar mutu pektin dalam IPPA (2003), pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini termasuk pektin berester rendah karena memiliki derajat esterifikasi di bawah 50%, sehingga dapat dikelompokkan ke dalam pektin bermetoksil rendah. Asam dalam ekstraksi pektin akan menghidrolisis ikatan hidrogen. Ikatan glikosidik metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat (Kertesz, 1951). Apabila konsentrasi asam yang digunakan tinggi maka pektin akan berubah menjadi asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi (Budiyanto dan Yulianingsih, 2008).
+ H2O
+ CH3OH
Gambar 4.8. Reaksi Deesterifikasi Pektin h. Viskositas Larutan Pektin Uji viskositas dilakukan menggunakan alat viskotester HAAKE 6R spindel R2 dengan kecepatan 60 rpm terhadap larutan pektin 1% hasil penelitian pada masing-masing kondisi ekstraksi. Uji viskositas dilakukan untuk mengetahui kekentalan dari larutan pektin yang dihasilkan pada penelitian ini. Dalam industri makanan atau farmasi, pektin digunakan secara luas sebagai agen pengental. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji viskositas untuk mengetahui kekentalan pektin yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
51
dihasilkan guna mengetahui kemampuan pektin tersebut sebagai agen pengental sehingga dapat diaplikasikan secara luas dalam bidang industri.
Gambar 4.9. Viskositas larutan pektin kulit pisang kepok hasil ekstraksi Larutan pektin yang terbentuk memiliki perbedaan viskositas. Berdasarkan hasil pengukuran pada gambar 4.9 diketahui bahwa viskositas larutan pektin hasil ekstraksi berkisar antara 15,00-20,00 cPs dengan rata-rata sebesar 17,42 cPs, di mana semakin tinggi konsentrasi HCl maka semakin menurun viskositasnya, baik pada perlakuan bahan segar maupun kering. Hal ini diduga dengan semakin tinggi konsentrasi HCl akan memperbesar kemungkinan terjadinya reaksi depolimerisasi yang akan memperkecil nilai viskositas larutan pektin yang dihasilkan. Nilai viskositas tertinggi diperoleh dari larutan pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N yaitu sebesar 20,00 cPs, sedangkan nilai viskositas terendah diperoleh dari larutan pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,075 N. Constenla dan Lozano (2006) menjelaskan bahwa viskositas pektin juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik seperti suhu, konsentrasi larutan, pH, dan keberadaan garam. 4.7
Perbandingan Spektrum FTIR Hasil pengukuran spektrum FTIR menunjukkan kelompok gugus fungsi dan memberikan informasi struktural pektin hasil ekstraksi dari bahan baku limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB) dan larutan pengekstraksi berupa pelarut HCl dengan variasi perlakuan bahan baku dan konsentrasi HCl. Penentuan spektrum FTIR dilakukan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
52
menggunakan alat spektroskopi IRPrestige-21 Shimadzu. Spektrum FTIR pektin hasil ekstraksi dibandingkan terhadap spektrum pektin komersial Cargill® dan Danisco® yang digunakan sebagai standar. Rentang panjang gelombang yang digunakan adalah 4000-400 cm-1. Gugus fungsional utama pada pektin terletak pada area panjang gelombang 1000-2000 cm-1 (Kalapathy dan Proctor, 2001). Ikatan karboksil berada pada 1630-1650 cm-1 untuk kelompok karboksil bebas dan 17401760 cm-1 untuk kelompok karboksil teresterifikasi (Gnanasambandam, 1999). Peningkatan derajat esterifikasi juga akan meningkatkan intensitas dan luas area dari kelompok karboksil teresterifikasi. Kemungkinan dapat digunakan untuk membandingkan jenis pektin dari sumber yang berbeda. Pada panjang gelombang antara 1100 cm-1 dan 1200 cm-1 menunjukkan ikatan eter (R-O-R) dan ikatan C-C siklik dalam struktur cincin dari molekul pektin. Spektrum melebar pada 2400-3600 cm-1 merupakan lembab dalam pektin yang terserap. Tabel 4.5. Data Spektrum FTIR Pektin Komersial dan Hasil Ekstraksi Pektin Danisco® Cargill® Bahan Segar; HCl 0,025 N Bahan Segar; HCl 0,05 N Bahan Segar; HCl 0,075 N Bahan Kering; HCl 0,025 N Bahan Kering; HCl 0,05 N Bahan Kering; HCl 0,075 N
–OH 3366,89 3340,85
Keterangan Area (bilangan gelombang) (cm-1) Tekuk Ulur Ulur –CH3 –C=O –C–H –C–H 2939,64 1665,60 1441,85 1371,45 2936,75 1616,42 1433,17 1365,66
–O– (eter) 1010,74 1143,84
3454,66
2942,53
1625,10
1434,14
1331,90
1152,52
3470,09
2894,31
1658,85
1437,03
1369,52
1152,52
3423,80
2936,75
1630,88
1437,99
1369,52
1151,55
3412,22
2936,75
1641,49
1427,39
1338,66
1147,69
3426,69
2935,78
1639,56
1421,60
1351,19
1146,73
3319,63
2904,92
1647,28
1414,85
1340,58
1151,55
Pada tabel 4.5 terlihat adanya perbedaan data spektrum FTIR dari serapan masing-masing gugus fungsional dari pektin komersial dan pektin hasil ekstraksi. Spektrum menunjukkan puncak serapan lebar yang khas pada panjang gelombang 3366,89 cm-1 untuk pektin komersial Danisco®; 3340,85 cm-1 untuk pektin komersial Cargill®; dan berkisar antara 3319,63 –
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
53
3470,09 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi, mengindikasikan adanya serapan dari gugus hidroksil. Pada daerah panjang gelombang 2939,64 cm-1 menunjukkan adanya serapan dari ulur –CH3 untuk pektin Danisco®; 2936,75 cm-1 untuk pektin Cargill®; dan berkisar 2894,31–2942,53 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi. Pada daerah panjang gelombang 1665,60 cm-1 menunjukkan adanya serapan dari gugus karboksil (–C=O) untuk pektin Danisco®; 1616,42 cm-1 untuk pektin Cargill®; dan berkisar antara 1625,10–1658,85 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi. Vibrasi dari tekuk –C–H dapat ditemukan pada daerah panjang gelombang 1441,85 cm-1 untuk pektin Danisco®; 1433,17 cm-1 untuk pektin Cargill®; dan berkisar 1414,85–1437,99 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi. Vibrasi dari ulur –C–H dapat terlihat pada daerah panjang gelombang 1371,45 cm-1 untuk pektin Danisco®; 1365,66 cm-1 untuk pektin Cargill®; dan berkisar 1331,90–1369,52 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi. Terdapat serapan dari eter (–O–) pada daerah panjang gelombang 1010,74 cm-1 untuk pektin Danisco®; 1143,84 cm-1 untuk pektin Cargill®; dan berkisar antara 1146,73–1152,55 cm-1 untuk pektin hasil ekstraksi.
Gambar 4.10. Struktur Pektin [Sumber : Koleksi Pribadi]
Pada struktur pektin di atas memperlihatkan bahwa gugus fungsional yang terukur oleh spektroskopi FTIR dengan masing-masing serapan pada daerah panjang gelombang tertentu menunjukkan kesesuaian dengan struktur pektin. Hal tersebut ditandai dengan terdapatnya vibrasi OH, ikatan –CH3 pada cabang metoksil (COOCH3), ikatan –C–H, gugus karbonil (–C=O), dan gugus eter (–O–).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
54
4.8
Perbandingan Pektin Hasil Penelitian terhadap Pektin Komersial Perbandingan antara pektin hasil penelitian dengan pektin komersial bertujuan untuk membandingkan kualitas dari pektin hasil ekstraksi dengan pektin yang telah dijual luas di pasaran. Pektin komersial yang digunakan sebagai pembanding yaitu pektin Cargill® yang diimpor dari Jerman dan pektin Danisco® yang diimpor dari Amerika. Umumnya pektin komersial diperoleh dengan cara ekstraksi asam-panas menggunakan bahan baku kulit jeruk atau apple pomace serta metode pengendapan dan pemurnian yang sangat bervariasi. Parameter pektin hasil penelitian yang dibandingkan dengan pektin komersial adalah merujuk pada standar mutu pektin yang ditetapkan dalam IPPA (2003), meliputi pemerian, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, derajat esterifikasi, kadar galakturonat, dan kadar metoksil. Pemerian pektin hasil penelitian secara umum berupa serbuk halus berwarna putih (gambar 4.11) yang mana warnanya sama dengan pektin komersial Cargill®, sedangkan pektin komersial Danisco® berwarna putih kekuningan.
Pektin hasil penelitian (bahan segar)
Pektin hasil penelitian (bahan kering)
Pektin komersial Cargill®
Pektin komersial Danisco®
Gambar 4.11. Perbandingan warna pektin hasil penelitian dan pektin komersial Pektin hasil ekstraksi baik dari bahan segar maupun kering memiliki rata-rata kadar air yang lebih tinggi dari kedua pektin komersial tersebut. Namun, kadar air pektin hasil penelitian dan pektin komersial memiliki nilai
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
55
yang memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh IPPA (2003) yaitu kurang dari 12% (tabel 4.6). Pektin hasil ekstraksi baik dari bahan segar maupun kering memiliki rata-rata kadar abu yang lebih tinggi dari kedua pektin komersial tersebut. Akan tetapi, kadar abu pektin hasil penelitian dan pektin komersial masih memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh IPPA (2003) yaitu kurang dari 10% (tabel 4.6). Rata-rata Berat ekivalen pektin hasil penelitian baik dari bahan segar maupun kering lebih tinggi dari petin komersial. Berat ekivalen pektin Cargill® memiliki nilai yang memenuhi standar IPPA (2003). Sedangkan pektin Danisco® dan pektin hasil penelitian memiliki nilai berat ekivalen yang lebih tinggi dari standar IPPA (2003) (tabel 4.6). Nilai berat ekivalen yang tinggi diduga dipengaruhi oleh jenis tanaman, kualitas bahan baku, metode ekstraksi, dan perlakuan pada proses ekstraksi. Berdasarkan IPPA (2003), rata-rata pektin hasil penelitian baik dari bahan segar maupun kering dan pektin Danisco® termasuk pektin bermetoksil rendah karena kadar metoksilnya berada di antara 2,5-7,12%. Sedangkan pektin Cargill® termasuk pektin bermetoksil tinggi karena kadar metoksilnya lebih tinggi dari 7,12% (tabel 4.6). Pektin hasil penelitian memiliki rata-rata kadar galakturonat yang lebih tinggi dari pektin Cargill®, namun lebih rendah dari pektin Danisco®. Kadar galakturonat pektin hasil penelitian dan pektin komersial memenuhi standar yang ditetapkan oleh IPPA (2003), yaitu minimal 65% (tabel 4.6). Derajat esterifikasi rata-rata yang dihasilkan dari pektin hasil penelitian memiliki nilai yang lebih rendah dari kedua pektin komersial. Menurut standar mutu pektin yang ditetapkan IPPA (2003), pektin hasil penelitian dan pektin Danisco® termasuk pektin ester rendah karena derajat esterifikasinya kurang dari 50%. Sedangkan pektin Cargill® termasuk pektin ester tinggi karena memiliki derajat esterifikasi di atas 50% (tabel 4.6). Rata-rata viskositas larutan pektin hasil penelitian lebih rendah dari pektin komersial. Berdasarkan parameter-parameter tersebut di atas, secara umum, baik pektin Cargill®, pektin Danisco®, maupun pektin hasil
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
56
penelitian memliki mutu yang baik karena memenuhi nilai standar mutu yang dipersyaratkan dalam IPPA (2003). Tabel 4.6. Perbandingan sifat fisikokimia pektin hasil penelitian terhadap pektin komersial
Parameter
Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Berat Ekivalen Kadar Metoksil (%) - Pektin metoksil tinggi - Pektin metoksil rendah Kadar Galakturonat (%) Derajat Esterifikasi (%) - DE rendah - DE tinggi Viskositas larutan pektin (cPs) *
:
**
:
Pektin Hasil Penelitian Bahan Segar* 8,9053 0,8438 6315,2041
Pektin Hasil Penelitian Bahan Kering* 10,1930 1,4910 5754,1506
> 7,12 % 2,5 -7,12 %
3,2923
> 65%
Nilai Standar IPPA (2003)
Pektin Komersial Cargill®**
Pektin Komersial Danisco®**
8,5719 0,7483 749,9064
8,1517 0,5324 1624,6890
3,1507
9,5397
3,4981
86,3196
84,0641
75,5893
122,7722
< 50% > 50%
21,6840
21,2777
71,6512
16,1766
-
17,83
17,00
18,50
23,50
< 12% < 10% 600-800
Rata-rata hasil yang diperoleh dari tiap perlakuan bahan baku dari ketiga konsentrasi HCl (0,025 N; 0,05 N; dan 0,075 N) Diperoleh dari analisis pektin komersial pada laboratorium Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Jakarta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan Limbah kulit pisang kepok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam pembuatan pektin. Pektin hasil ekstraksi dengan variasi perlakuan bahan baku dan konsentrasi HCl menunjukkan pemerian yang sesuai dalam Farmakope Indonesia Edisi V (2014), yaitu serbuk berwarna putih, kekuningan, atau kecokelatan, dan tidak berbau. Kondisi optimum hasil ekstraksi pektin dari bahan segar dan kering dilihat dari banyaknya jumlah pektin yang dihasilkan dan karakteristik yang sesuai dengan standar mutu IPPA (2003), diperoleh pada konsentrasi HCl 0,075 N sebanyak 10,3610 gram dan 8,0290 gram dengan karakteristik berturut-turut yaitu kadar air 9,3165% dan 10,3501%, kadar abu 1,3592% dan 2,4770%, berat ekivalen 4725,7974 dan 4874,1837, kadar metoksil 3,8166% dan 3,7524%, kadar galakturonat 101,1200% dan 99,6591%, derajat esterifikasi 21,4284% dan 21,3770%, serta nilai viskositas 15,00 cPs dan 15,50 cPs. Bahan segar dan kering dari kulit pisang kepok, keduanya dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku untuk mengekstraksi pektin di mana penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan, tentunya dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
5.2
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang aplikasi pektin yang dihasilkan, baik dari segi teknologi sediaan farmasi maupun farmakologinya secara in vitro dan in vivo.
57
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
58
DAFTAR PUSTAKA
Akhmalludin dan Arie Kurniawan. 2009. Pembuatan Pektin dari Kulit Cokelat dengan Cara Ekstraksi. Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang. Apriadji, W. Harry. 2007. Good Mood Food. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Azad, A. K. M., M. A. Ali, Mst. Sorifa Akter, Md. Jiaur Rahman, dan Maruf Ahmed. 2014. Isolation and Characterization of Pectin Extracted from Lemon Pomace During Ripening. Journal of Food and Nutrition Sciences, 2 (2) : 30 - 35. Badan Pusat statistik. 2012. Data Ekspor-Impor. Jakarta. http://bps.go.id/eximframe.php?kat=2 (diakses tanggal 2 Desember 2014 pukul 22.34 WIB). Badan Pusat statistik. 2014. Produksi Tanaman Pisang Seluruh Provinsi Indonesia. Jakarta. http://www.bps.go.id/menutab.php?kat=3&tabel=1&id_ subyek=55 (diakses tanggal 6 Februari 2015 pukul 02.55 WIB). Baker, Robert A. 1997. Reassessment of Some Fruit and Vegetable Pectin Levels. Journal of Food Science, Vol. 62, No. 2 : 225 – 229. Bansal, Jharna, Rishabha Malviya, Tanya Malaviya, Vinit Bhardwaj, dan Pramod Kumar Sharma. 2014. Evaluation of Banana Peel Pectin as Excipient in Solid Oral Dosage Form. Global Journal of Pharmacology, 8 (2) : 275 - 278. ISSN 1992-0075. Budiyanto, Agus dan Yulianingsih. 2008. Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi terhadap Karakter Pektin dari Ampas Jeruk Siam (Citrus nobilis L.). Jurnal Pascapanen, 5 (2) : 37 - 44. Cahyono, Bambang. 2009. Pisang Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen Revisi Kedua. Yogyakarta : Kanisius. ISBN : 978-979-21-2037-0. Chang, K. C. dan Miyamoto A. 1992. Gelling Characteristics of Pectin from Sunflower Head Residues. Journal of Food Science, Vol. 57, No. 6. Committee on Food Chemicals Codex. 2004. Food Chemicals Codex : Food and Nutrition Board, 5th Edition. Washington, D. C. : The National Academies Press. Constenla, D. dan J. E. Lozano. 2003. Kinetic Model of Pectin Demethylation. Latin American Applied Research, 33 : 91 - 96.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
59
Departemen Kesehatan RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta : Departemen Kesehatan. Hal 14 - 17. Dinu, D. 2001. Extraction and Characterization of Pectins from Wheat Bran. Roumanian Biotechnology Letter, 6 : 37-43. Dwidjoseputro. 1983. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta : Gramedia. Ekasari, Kartika. 2013. Desorpsi Logam Pb dari Kerang Darah (Anadara granosa) menggunakan Ekstrak Air dan Pektin Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca). Skripsi. Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fennema, Owen R.1996. Food Chemistry, 3th Edition. New York : Marcel Dekker, Inc. Fitria, Vita. 2013. Karakterisasi Pektin Hasil Ekstraksi dari Limbah Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana ABB). Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Fitriani, Vina. 2003. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon (Citrus medica var Lemon). Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Glicksman. 1969. Gum Technology in The Food Industry : Food Science and Technological Monograph. New York : Academic Press. Gnanasambandam, R., dan A. Proctor. 1999. Determination of Pectin Degree of Esterification by Diffuse Reflectance Fourier Transform Infrared Spectroscopy. Journal Food Chemistry, 68 : 327 - 332. ISSN 0308-8146. Gopi, D., K. Kanimozhi, N. Bhuvaneshwari, J. Indira, dan L. Kavitha. 2014. Novel Banana Peel Pectin Mediated Green Route for The Synthesis of Hydroxyapatite Nanoparticles and Their Spectral Characterization. Spectrochimica Acta Part A : Molecular and Biomolecular Spectroscopy, 118 (2014) 589 - 597. ISSN 1386-1425. Goycoolea, F. M. dan Adriana Cardenas. 2003. Pectin from Opuntia Spp. : A Short Review. J. PACD, pp. 17 - 29. Guichard, E., S. Issanchou, A. Descourvieres, dan P. Etievant. 1991. Pectin Concentration, Molecular Weight, and Degree of Esterification : Influence on Volatile Composition and Sensory Characteristics of Strawberry Jam. Journal of Food Science, Vol. 56, No. 6 : 1621 - 1627.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
60
Hanum, Farida, Martha Angelina Tarigan, dan Irza Menka Deviliany Kaban. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Raja (Musa sapientum). Jurnal Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara, Vol. 1, No. 2 : 21 - 26. Hanum, Farida, Martha Angelina Tarigan, dan Irza Menka Deviliany Kaban. 2012. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Pisang Kepok (Musa paradisiaca). Jurnal Teknik Kimia, Universitas Sumatera Utara, Vol. 1, No. 2 : 49 - 53. Hariyati, Mauliyah Nur. 2006. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah Proses Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Hasbullah. 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatera Barat Pektin Jeruk. Jakarta : Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Industri Sumatera Barat. Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. 2015. Klasifikasi Tumbuhan Musa balbisiana. Bandung : Institut Teknologi Bandung. http://www.sith.itb.ac.id/herbarium/index.php?c=herbs&view=detail&spid= 198162 (diakses tanggal 9 Juni 2015 pukul 02.13 WIB). Herbstreith, K., dan G. Fox. 2005. Pectin. http://www.herbstreithfox.de/pektin/ forschung und entwicklung/forschung_entwicklung04a.htm (diakses tanggal 6 Desember 2014 pukul 21.30 WIB). Hoejgaard, S. 2004. Pectin Chemistry, Functionality, and Applications. Hui, Y. H. 2006. Handbook of Food Science, Technology, and Engineering. New York : CRC Press. ISBN 978-1-57444-551-0. Vol. 1 : 1 - 20. Hwang, Jae-Kwan, Kim Chul-Jin, dan Kim Chong-Tai. 1998. Extrusion of Apple Pomace Facilitates Pectin Extraction. Journal of Food Science, Vol. 63, No. 5 : 841-844. Ide, Pangkalan. 2009. Health Secret of Dragon Fruit : Menguak Keajaiban si Kaktus Eksotis dalam Penyembuhan Penyakit. Jakarta : Anggota IKAPI PT. Elex Media Komputindo. Hal. 59. IPPA (International Pectins Producers Association). 2003. What is Pectin. http://www.ippa.info/history_of_pectin.htm (diakses tanggal 6 Desember 2014 pukul 19.27 WIB). Ismail, Norazelina Sah Mohd., Nazaruddin Ramli, Norziah Mohd. Hani, dan Zainudin Meon. 2012. Extraction and Characterization of Pectin from Dragon Fruit (Hylocereus polyrhizus) using Various Extraction Condition. Sains Malaysiana, 41 (1) (2012) : 41 - 45.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
61
Kalapathy, U. dan A. Proctor. 2001. Effect of Acid Extraction and Alcohol Precipitation Conditions on The Yield and Purity of Soy Hull Pectin. Journal Food Chemistry, 73 : 393 – 396. Kementerian Kesehatan RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. ISBN 978-602-235-463-5. Hal 990 - 991. Kertesz, Z. I. 1951. The Pectin Substances. New York : Interscience Pub. Inc. Journal of Food Science, Vol. 62 No. 2. Klavons, Jerome A., Raymond D. Bennett, dan Sadie H. Vannier. 1994. Physical/Chemical Nature of Pectin Associated with Commercial Orange Juice Cloud. Journal of Food Science, Vol. 59, No. 2 : 399 - 401. Koh, P. C., C. M. Leong, dan M. A. Noranizan. 2014. Microwave-Assisted Extraction of Pectin from Jackfruit Rinds Using Different Power Levels. International Food Research Journal, 21 (5) : 2091-2097. ISSN 2091-2097. Koubala, B. B., L. I. Mbome, G. Kansci, F. Tchouanguep Mbiapo, M. J. Crepeau, J. F. Thibault, dan M. C. Ralet. Physicochemical Properties of Pectins from Ambarella Peels (Spondias cytherea) Obtained Using Different Extraction Conditions. Journal Food Chemistry, 106 : 1202 -1207. ISSN 0308-8146. Madhav, Apsara dan P. B. Pushpalatha. 2002. Characterization of Pectin Extracted from Different Fruit Wastes. Journal of Tropical Agriculture, 40 (2002) : 53 - 55. Malviya, R., Pranati Srivastava, dan G.T. Kulkarni, 2011. Application of Mucilages in Drug Delivery – A Review. Advances in Biological Research, 5 (1) : 01 - 07. ISSN 1992-0067. Maulidiyah, Halimatussadiyah, Fitri Susanti, Muhammad Nurdin, dan Ansharullah. 2014. Isolasi Pektin dari Kulit Buah Kakao (Theobroma cacao L.) dan Uji Daya Serapnya terhadap Logam Tembaga (Cu) dan Logam Seng (Zn). Jurnal Agroteknos, Vol. 4, No. 2 : 112 - 118. ISSN 2087-7706. May, Colin D. 1990. Industrial Pectins : Sources, Production, and Applications. Carbohydrate Polymer, 12 : 79-84. ISSN 0144-8617. Meilina, Hesti dan Illah Sailah. 2003. Produksi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon (Citrus medica). Prosiding Simposium Nasional Polimer V : 117 - 126. ISSN 1410-8720. Meyer, L. H. 1978. Food Chemistry. The AVI Publishing Company Inc, Westport, Connecticut.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
62
Mohapatra, D., Mishra, S., Sutar, N. 2010. Banana and Its By-Product Utilisation: An Overview. Journal of Scientific and Industrial Research, Vol. 69, pp. 323-329. Muhidin, Dudung. 2001. Papain dan Pektin. Jakarta : Penerbit Swadaya. Nainggolan, Rona Joharni. 1994. Pengaruh pH dan Lama Ekstraksi terhadap Rendemen dan Mutu Pektin dari Kulit Pisang. Universitas Sumatera Utara, Medan. Nazaruddin, R., A. A. Noor Baiti, S. C. Foo, Y. N. Tan, dan M. K. Ayob. 2013. Comparative Chemical Characteristics of Hydrochloric Acid and Ammonium Oxalate Extracted Pectin from Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) Calyces. International Food Research Journal, 20 (1) : 281 - 284. Nelson, D. B., dan R. L. Wiles. 1977. Commercially Important Pectic Substances. Di dalam H. D. Graham (ed.) Food Colloids. The AVI Publishing Company Inc, Westport, Connecticut. Nurviani, Syaiful Bahri, dan Ni Ketut Sumarni. 2014. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin Kulit Buah Pepaya (Carica papaya L.) Varietas Cibinong, Jinggo, dan Semangka. Online Journal of Natural Science, Vol. 3 (3) : 322-330. ISSN 2338-0950. OECD. 2010. Safety Assessment of Transgenic Organisms. OECD Consensus Documents, Vol. 4. Spanyol : OECD Publishing. Owens, H. S., R. M. McCready, A. D. Shepard, T. H. Schultz, E. L. Pippen, H. A. Swenson, J. C. Miers, R. F. Erlandsen, dan W. D. Maclay. 1952. Methods Used at Western Regional Research Laboratory for Extraction of Pectic Materials. Washington DC : USDA Bureau of Agricultural and Industrial Chemistry. pp 9. Pagán, J., A. Ibarz, M. Llorca, A. Págan, G. V. Barbosa-Cánovas.
Extraction and Characterization of Pectin from Stored Peach Pomace. Food Research International, 34 : 605-612. ISSN 0963-9969. Pardede, A., Devi R., Agus MHP. 2013. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Kemiri (Alleurites mollucana Willd). Media Sains, Vol. 5, No. 1 : 66 – 71. ISSN 2085-3548. Perina, I., Satiruiani, Felycia Adi Soetaredjo, Herman Hindarso. 2007. Ekstraksi Pektin dari Berbagai Macam Kulit Jeruk. Widya Teknik, Vol. 6, No. 1 : 1 - 10.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
63
Prasetyowati, Karina Permata Sari, dan Healty Pesantri. 2009. Ekstraksi Pektin dari Kulit Mangga. Jurnal Teknik Kimia, No. 4, Vol. 16 : 42 - 49. Universitas Sriwijaya, Sumatera Selatan. Ranganna, S. 1977. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Product. New Delhi : McGraw Hill. Rasyid, H. A. 1986. Ekstraksi Pektin dari Pulp Kopi. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rofikah, Winarni Pratjojo, dan Woro Sumarni. 2014. Pemanfaatan Pektin Kulit Pisang Kepok (Musa paradisiaca Linn.) untuk Pembuatan Edible Film. Indonesian Journal of Chemical Science, 3 (1) : 17 - 21. ISSSN 2252-6951. Rolin, Claus. 1993. Pectin. in Industrial Gums : Polysaccharides and Their Derivatives, 3th Edition (Roy L. Whistler and James N. BeMiller). New York : Academic Press. Rouse, A. H. 1977. Pectin : Distribution, Significance. Di dalam Nagy, S., P. E. Shaw dan M.K. Veldhuis (eds). Citrus Science and Technology Volume 1. The AVI Publishing Company Inc, Westport, Connecticut. Rouse, A. H. dan P. G. Crandal. 1978. Pectin Content of Lime and Lemon Peel as Extracted by Nitric Acid. Journal of Food Science, Vol. 43 : 72 - 73. Rowe, Raymond C., Paul J. Sheskey, dan Marian E. Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients, 6th Edition. London : Pharmaceutical Press. Sambeganarko, Anggun. 2008. Pengaruh Aplikasi KMnO4, Ethylene Block, Larutan CaCl2, dan CaO terhadap Kualitas dan Umur Simpan Pisang (Musa paradisiaca L.) Varietas Raja Bulu. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Satria H., Berry dan Yusuf Ahda. 2009. Pengolahan Limbah Kulit Pisang menjadi Pektin dengan Metode Ekstraksi. Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang. Smit, Christian J. B. dan Edwin F. Bryant. 1967. Properties of Pectin Fractions Separated on Diethylaminoethyl-cellulose Columns. Journal of Food Science, Vol. 32 : 197 - 199. Sofia, Irwan. 2008. Produksi Pektinase dari Kulit Pisang dengan Jamur Aspergillus niger. Tesis. Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung, Bandung.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
64
Sofiana, H., Khrista Triaswuri, dan Setia Budi Sasongko. 2012. Pengambilan Pektin dari Kulit Pepaya dengan Cara Ekstraksi. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri, Vol. 1, No. 1 : 482 - 486. Sriamornsak, Pornsark. 2003. Chemistry of Pectin and Its Pharmaceutical Uses : A Review. International Journal, Vol. 3, 206 - 228. Silpakorn University. Srivastava, Pranati dan Malviya, Rishabha. 2011. Sources of Pectin, Extraction, and Its Applications in Pharmaceutical Industry - An Overview. Indian Journal of Natural Products and Resources, Vol. 2 (1) : 10 - 18. Standar Nasional Indonesia (SNI). 01-2891-1992. Cara Uji Makanan dan Minuman. Badan Standarisasi Nasional. Sundar Raj, A. A., S. Rubila, R. Jayabalan, dan T. V. Ranganathan. 2012. A Review on Pectin : Chemistry due to General Properties of Pectin and Its Pharmaceutical Uses. Department of Food Processing and Engineering, Karunya University, India. Vol. 1, Issue 12 : 1 - 4. Suseno, Jatmiko E. dan K. Sofjan Firdausi. 2008. Rancang Bangun Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infrared) untuk Penentuan Kualitas Susu Sapi. Berkala Fisika, Vol. 11, No. 1 : 23 - 28. ISSN : 1410-9662. Susilowati, Siswanto Munandar, Luluk Edahwati, dan Tutuk Harsini. 2013. Ekstraksi Pektin dari Kulit Buah Coklat dengan Pelarut Asam Sitrat. Fakultas Teknologi Industri, UPN, Jawa Timur. Vol 11, No. 1 : 27 - 30. Suyanti dan Ahmad Supriyadi. 2008. Pisang, Budidaya, Pengolahan, dan Prospek Pasar. Jakarta : Penebar Swadaya. Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada. Towle, Gordon A. dan O. Christensen. 1973. Pectin. Industrial Gums : Polysaccharides and Their Derivatives, 2th Edition (Roy L. Whistler and James N. BeMiller, eds.). New York : Academic Press. Utami, Rizki. 2014. Ekstraksi Pektin dari Kulit Kakao dengan Pelarut Ammonium Oksalat. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. Verheij, E. W. M. dan R. E. Coronel. 1991. Plant Resources of South-East Asia No. 2. Edible Fruits and Nuts. Pudoc Wageningen. ISBN 90-220-0986-6. Watson, David G. 2009. Analisis Farmasi : Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi dan Praktisi Kimia Farmasi, Edisi 2. Jakarta : EGC Penerbit Buku Kedokteran.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
65
Whistler, R. L., dan J. R. Daniel.1985. Industrial Gums : Polysaccharides and Their Derivatives, 2th Edition. New York : Academic Press. Willats, W. G. T., Paul Knox, dan Jorn D. M. 2006. Pectin : New Insights Into An Old Polymer Are Starting To Gel. Trends in Food Science and Technology, 17 : 97 - 104. Winarno, F.G. dan M. Aman. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. Jakarta : Sastra Hudaya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
66
Lampiran 1. Hasil Determinasi Tanaman
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
67
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Kadar Air Serbuk Kulit Pisang Kepok (Musa balbisiana BBB)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
68
Lampiran 3. Alur Kerja Penelitian Penentuan bahan baku
Limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB)
Kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB)
Determinasi Tanaman
Persiapan bahan baku
Bahan segar dan kering
Ekstraksi pektin pada suhu 900C selama 80 menit
Variasi perlakuan bahan baku dan konsentrasi pelarut HCl
Penyaringan filtrat
Residu
Pengendapan pektin
Penambahan aseton 1,5 kali volume filrat
Penyaringan endapan pektin
Pencucian endapan pektin
Pengeringan pektin
Menggunakan etanol 96% secara berulang kali hingga bebas residu aseton, asam, dan klorida Dalam oven, suhu 400C selama + 8 jam
Penghalusan pektin
Serbuk pektin
Identifikasi
Karakterisasi
Perbandingan Spektrum FTIR
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
69
Lampiran 4. Diagram Alir Persiapan Bahan Baku Segar Limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB)
Kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB)
Sortasi basah
Pencucian
Perajangan
Penghancuran (menggunakan blender) dengan aquadest (2 : 1)
Bahan baku segar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
70
Lampiran 5. Diagram Alir Persiapan Bahan Baku Kering Limbah kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB)
Kulit pisang kepok kuning (Musa balbisiana BBB)
Sortasi basah
Pencucian
Perajangan Dikering-anginkan selama satu malam Dikeringkan menggunakan blower pada suhu 500C selama 5 hari
Penghancuran (menggunakan grinder) Pengayakan (menggunakan mesh 100) Bahan baku kering
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
71
Lampiran 6. Jumlah Pektin Hasil Ekstraksi Bobot bahan baku
Bobot pektin hasil ekstraksi
(gram)
(gram)
Bahan segar; HCl 0,025 N
300,2450
8,7640
Bahan segar; HCl 0,05 N
300,1570
9,4380
Bahan segar; HCl 0,075 N
300,1690
10,3610
Bahan kering; HCl 0,025 N
42,2390
6,5170
Bahan kering; HCl 0,05 N
42,1360
7,6530
Bahan kering; HCl 0,075 N
42,1430
8,0290
Kondisi ekstraksi
Lampiran 7. Kadar Air Pektin Kondisi ekstraksi Pektin Cargill®
Pektin Danisco®
Bahan segar; HCl 0,025 N
Bahan segar; HCl 0,05 N
Bahan segar; HCl 0,075 N
Bahan kering; HCl 0,025 N
Ket.
Ulangan I
II
W
0,3003
0,3005
Wa
19,3981
19,3983
Wb
19,3724
19,3725
W
0,3004
0,3004
Wa
22,4558
22,4555
Wb
22,4313
22,4310
W
0,3002
0,3006
Wa
29,9132
29,9136
Wb
29,8887
29,8886
W
0,3013
0,3035
Wa
24,4579
24,4601
Wb
24,4299
24,4327
W
0,3016
0,3038
Wa
22,7199
22,7221
Wb
22,6915
22,6941
W
0,3023
0,3036
Wa
22,4574
22,4587
Wb
22,4277
22,4276
Kadar air (%) I
II
Rerata
SD
8,5581
8,5857
8,5719
0,0195
8,1477
8,1558
8,1517
0,0058
8,1612
8,3167
8,2390
0,1099
9,2931
9,0280
9,1605
0,1874
9,4164
9,2166
9,3165
0,1413
9,8247
10,2437 10,0342 0,2963
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
72
Bahan kering; HCl 0,05 N
Bahan kering; HCl 0,075 N
W
0,3042
0,3090
Wa
19,4020
19,4068
Wb
19,3701
19,3762
W
0,3060
0,3036
Wa
23,4553
23,4529
Wb
23,4229
23,4222
10,4865
9,9029
10,1947 0,4127
10,5882 10,1120 10,3501 0,3368
*Syarat kadar air pektin berdasarkan IPPA (2003), yaitu < 12%
Keterangan :
W
= Bobot pektin awal (gram)
Wa
= Bobot wadah + pektin sebelum pemanasan (gram)
Wb
= Bobot wadah + pektin setelah pemanasan (gram)
Lampiran 8. Kadar Abu Pektin Kondisi ekstraksi Pektin Cargill
Ket. ®
Pektin Danisco®
Bahan segar; HCl 0,025 N Bahan segar; HCl 0,05 N Bahan segar; HCl 0,075 N Bahan kering; HCl 0,025 N
W W1 W2 W W1 W2 W W1 W2 W W1 W2 W W1 W2 W W1 W2
Ulangan I 0,3009 24,7945 24,7923 0,30032 53,1278 53,1262 0,3006 53,0672 53,0659 0,3025 24,7681 24,7660 0,3063 24,7695 24,7659 0,3074 24,7687 24,7662
II 0,3005 25,6532 25,6509 0,3008 49,5814 49,5798 0,3010 49,9306 49,9291 0,3057 25,2235 25,2213 0,3046 25,2256 25,2209 0,3021 25,2249 25,2227
I
Kadar abu (%) II Rerata
SD
0,7311
0,7654
0,7483 0,0242
0,5328
0,5319
0,5324 0,0006
0,4325
0,4983
0,4654 0,0466
0,6942
0,7197
0,7069 0,0180
1,1753
1,5430
1,3592 0,2600
0,8133
0,7282
0,7708 0,0601
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
73
Bahan kering; HCl 0,05 N Bahan kering; HCl 0,075 N
W W1 W2 W W1 W2
0,3018 53,0695 53,0657 0,3008 53,0712 53,0645
0,3022 49,9329 49,9293 0,3044 49,9368 49,9285
1,2591
1,1913
1,2252 0,0480
2,2274
2,7267
2,4770 0,3530
*Syarat kadar abu pektin berdasarkan IPPA (2003), yaitu < 10%
Keterangan :
W
= Bobot pektin awal (gram)
W1
= Bobot wadah + sampel setelah pemanasan (gram)
W2
= Bobot wadah kosong (gram)
Lampiran 9. Pembakuan Larutan Titran NaOH 0,1027 N Perhitungan pembakuan larutan titran NaOH 0,1027 N menggunakan larutan baku standar asam oksalat 0,1 N Normalitas larutan asam oksalat (C2H2O4.2H2O)
= 0,1 N
Volume larutan asam oksalat
= 25 mL
Volume larutan NaOH yang terpakai : V1 : 24 mL V2 : 23 mL
Rerata : 24,3333 mL
V3 : 25 mL Sehingga,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
74
Lampiran 10. Berat Ekivalen Pektin Kondisi ekstraksi
Bobot Pektin (mg)
Volume NaOH (mL)
Berat Ekivalen
I
II
III
Rerata
I
II
III
Rerata
I
II
III
Rerata
Pektin Cargill®
500,6
500,5
500,7
500,6
6,5
6,5
6,5
6,5
749,9064
749,7566
750,0562
749,9064
Pektin Danisco®
500,4
500,7
500,6
500,6
3,0
3,0
3,0
4,0
1624,1480
1625,1217
1624,7971
1624,6890
500,1
500,5
500,3
500,3
0,6
0,6
0,6
0,6
8115,8715
8122,3629
8119,1172
8119,1172
501,2
501,5
501,0
501,2
0,8
0,8
0,8
0,8
6100,2921
6103,9435
6097,8578
6100,6978
500,7
500,5
500,3
500,5
1,0
1,0
1,1
1,0333
4875,3651
4873,4177
4428,6094
4725,7974
501,7
501,1
501,3
501,4
0,7
0,7
0,7
0,3333
6978,7175
6970,3714
6973,1534
6974,0808
500,6
500,2
500,5
500,4
0,9
0,9
0,9
0,7
5415,9905
5411,6629
5414,9086
5414,1873
500,4
500,7
500,6
500,6
1,0
1,0
1,0
1,0
4872,7945
4875,3651
4874,3914
4874,1837
Bahan segar; HCl 0,025 N Bahan segar; HCl 0,05 N Bahan segar; HCl 0,075 N Bahan kering; HCl 0,025 N Bahan kering; HCl 0,05 N Bahan kering; HCl 0,075 N Keterangan :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
75
Lampiran 11. Kadar Metoksil Pektin Kondisi ekstraksi
Bobot Pektin (mg)
Volume NaOH (mL)
Kadar Metoksil (%)
I
II
III
Rerata
I
II
III
Rerata
I
II
III
Rerata
SD
Pektin Cargill®
500,6
500,5
500,7
500,6
15,0
15,0
15,0
15,0
9,5397
9,5416
9,5377
9,5397
0,0019
Pektin Danisco® Bahan segar; HCl 0,025 N Bahan segar; HCl 0,05 N Bahan segar; HCl 0,075 N Bahan kering; HCl 0,025 N Bahan kering; HCl 0,05 N Bahan kering; HCl 0,075 N
500,4
500,7
500,6
500,6
5,5
5,5
5,5
5,5
3,4993
3,4972
3,4979
3,4981
0,0011
500,1
500,5
500,3
500,3
4,3
4,3
4,3
4,3
2,7374
2,7352
2,7363
2,7363
0,0011
501,2
501,5
501,0
501,2
5,2
5,3
5,2
5,2333
3,3031
3,3646
3,3044
3,3241
0,0351
500,7
500,5
500,3
500,5
6,0
6,0
6,0
6,0
3,8151
3,8166
3,8181
3,8166
0,0015
501,7
501,1
501,3
501,4
4,1
4,2
4,2
4,1667
2,6018
2,6684
2,6674
2,6459
0,0382
500,6
500,2
500,5
500,4
4,8
4,8
4,8
4,8
3,0527
3,0551
3,0533
3,0537
0,0013
500,4
500,7
500,6
500,6
5,9
5,9
5,9
5,9
3,7535
3,7515
3,7523
3,7524
0,0010
*Syarat kadar metoksil pektin berdasarkan IPPA (2003), yaitu :
2,5 – 7,12% untuk pektin bermetoksil rendah > 7,12% untuk pektin bermetoksil tinggi
Keterangan :
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
76
Lampiran 12. Kadar Galakturonat Pektin Kondisi ekstraksi
mEk NaOH untuk asam bebas pada penentuan Berat Ekivalen I II III Rerata
mEk NaOH pada penentuan kadar metoksil I II III Rerata
Kadar Asam Galakturonat (%) I
II
III
Rerata
SD
Pektin Cargill®
0,6676
0,6676
0,6676
0,6676
1,5405
1,5405
1,5405
1,5405
75,5893
75,6044
75,5742
75,5893
0,0151
Pektin Danisco®
1,2324
1,2324
1,2324
1,2324
2,2594
2,2594
2,2594
2,2594
122,8131
122,7395
122,7640
122,7722
0,0375
0,2465
0,2465
0,2645
0,2645
1,7664
1,7664
1,7664
1,7664
70,8399
70,7833
70,8116
70,8116
0,0283
0,3286
0,3286
0,3286
0,3286
2,1362
2,1772
2,1362
2,1499
86,5532
87,9403
86,5878
87,0271
0,7911
0,4108
0,4108
0,4519
0,4245
2,4648
2,4648
2,4648
2,4648
101,0796
101,1200
101,1604
101,1200
0,0404
0,2876
0,2876
0,2876
0,2876
1,6843
1,7254
1,7254
1,7117
69,1757
70,7021
70,6738
70,1839
0,8732
0,3697
0,3697
0,3697
0,3697
1,9718
1,9718
1,9718
1,9718
82,3220
82,3878
82,3385
82,3494
0,0343
0,4108
0,4108
0,4108
0,4108
2,4237
2,4237
2,4237
2,4237
99,6875
99,6349
99,6548
99,6591
0,0265
Bahan segar; HCl 0,025 N Bahan segar; HCl 0,05 N Bahan segar; HCl 0,075 N Bahan kering; HCl 0,025 N Bahan kering; HCl 0,05 N Bahan kering; HCl 0,075 N
*Syarat kadar galakturonat pektin berdasarkan IPPA (2003), yaitu > 65%
Keterangan :
*
= Diperoleh dari mEk NaOH untuk asam bebas pada penentuan BE
**
= Diperoleh dari mEk NaOH pada penentuan metoksil
Nilai 176 diperoleh dari berat ekivalen terendah asam pektat. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
77
Lampiran 13. Derajat Esterifikasi Pektin Derajat Esterifikasi (%)
Kondisi ekstraksi
I
II
III
Rerata
SD
Pektin Cargill®
71,6512
71,6512
71,6512
71,6512
0,0000
Pektin Danisco®
16,1766
16,1766
16,1766
16,1766
0,0000
Bahan segar; HCl 0,025 N
21,9387
21,9386
21,9387
21,9387
0,0001
Bahan segar; HCl 0,05 N
21,6665
21,7218
21,6664
21,6849
0,0320
Bahan segar; HCl 0,075 N
21,4286
21,4284
21,4283
21,4284
0,0001
Bahan kering; HCl 0,025 N
21,3536
21,4274
21,4280
21,4030
0,0428
Bahan kering; HCl 0,05 N
21,0533
21,0530
21,0532
21,0531
0,0001
Bahan kering; HCl 0,075 N
21,3770
21,3769
21,3772
21,3770
0,0001
*Syarat derajat esterifikasi pektin berdasarkan IPPA (2003), yaitu : < 50% untuk pektin berester rendah > 50% untuk pektin berester tinggi
Keterangan :
Lampiran 14. Viskositas Larutan Pektin Kondisi ekstraksi
Viskositas (cPs) I
II
Rerata
Pektin Cargill®
18,00
19,00
18,50
Pektin Danisco®
24,00
23,00
23,50
Bahan segar; HCl 0,025 N
20,00
20,00
20,00
Bahan segar; HCl 0,05 N
18,00
19,00
18,50
Bahan segar; HCl 0,075 N
15,00
15,00
15,00
Bahan kering; HCl 0,025 N
20,00
19,00
19,50
Bahan kering; HCl 0,05 N
16,00
16,00
16,00
Bahan kering; HCl 0,075 N
15,00
16,00
15,50
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
78
Lampiran 15. Contoh Perhitungan Kadar Air Pektin Hasil Ekstraksi Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N Diketahui : W
=
0,3002 gram
Wa =
29,9132 gram
Wb =
29,8887 gram
Ditanya
: Kadar air pektin = ?
Jawab
:
Lampiran 16. Contoh Perhitungan Kadar Abu Pektin Hasil Ekstraksi Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N Diketahui : W
=
0,3002 gram
Wa =
29,9132 gram
Wb =
29,8887 gram
Ditanya
: Kadar abu pektin = ?
Jawab
:
Lampiran 17. Contoh Perhitungan Berat Ekivalen Pektin Hasil Ekstraksi Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N Diketahui : Bobot pektin
Ditanya
=
500,1 mg
V NaOH
=
0,6 mL
N NaOH
=
0,1027 N
: Berat ekivalen pektin = ?
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
79
Jawab
:
Lampiran 18. Contoh Perhitungan Kadar Metoksil Pektin Hasil Ekstraksi Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N Diketahui : Bobot pektin
=
500,1 mg
V NaOH
=
4,3 mL
N NaOH
=
0,1027 N
Ditanya
: Kadar metoksil pektin = ?
Jawab
:
Lampiran 19. Contoh Perhitungan mEk Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N 1.
Perhitungan mEk NaOH untuk asam bebas pada penentuan berat ekivalen V NaOH yang terpakai pada titrasi
= 0,6 mL
N NaOH
= 0,1027 N
a. Bobot NaOH (mg) yang terpakai
gram = 2,4648 mg b. Perhitungan berat ion Na+
=
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
80
= O2-
= =
H+
1,4173
0,9860
= =
0,0616
c. Perhitungan mEk Na+
= =
O2-
= =
H+
0,0616
0,1233
= =
mEk NaOH
0,0616 = mEk Na+
+
mEk O2-
+
mEk H+
= 0,0616
+
0,1233
+
0,0616
= 0,2465 2.
Perhitungan mEk NaOH pada penentuan kadar metoksil V NaOH yang terpakai pada titrasi
= 4,3 mL
N NaOH
= 0,1027 N
a. Bobot NaOH (mg) yang terpakai
gram = 17,6644 mg b. Perhitungan berat ion Na+
= =
O2-
10,1570
= =
7,0658
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
81
H+
= =
0,4416
c. Perhitungan mEk Na+
= =
O2-
0,4416
= =
H+
0,8832
= =
mEk NaOH
0,4416 = mEk Na+
+
mEk O2-
+
mEk H+
= 0,4416
+
0,8832
+
0,4416
= 1,7664
Lampiran 20. Contoh Perhitungan Kadar Galakturonat Pektin Hasil Ekstraksi Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N Diketahui : Bobot pektin
=
500,1 mg
mEk NaOH dari BE
=
0,2465 mEk
mEk NaOH dari metoksil
=
1,7664 mEk
Ditanya
: Kadar metoksil pektin = ?
Jawab
:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
82
Lampiran 21. Contoh Perhitungan Derajat Esterifikasi Pektin Hasil Ekstraksi Pektin hasil ekstraksi bahan segar pada konsentrasi HCl 0,025 N Diketahui : % metoksil % galakturonat
=
2,7374%
=
70,8399%
Ditanya
: Derajat esterifikasi pektin = ?
Jawab
:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
83
Lampiran 22. Hasil Spektrum FTIR Pektin Komersial dan Hasil Ekstraksi Spektrum FTIR Pektin Komersial (Cargill®)
1. 82.5
%T 75
67.5
60
1101.40
1016.53
1232.57
1143.84
1433.17
1365.66 1329.01
1739.87
3340.85
45
1616.42
2936.75
52.5
37.5 4000 3500 pektin (kom)
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
750
500 1/cm
Spektrum FTIR Pektin Komersial (Danisco®)
2. 105 %T 97.5
1010.74
1236.42
1371.45
1441.85
1582.66
1741.80
82.5
1665.60
90
75
2939.64
67.5
3366.89
60
4000 3500 pektin-standard
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
84
3.
Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Segar; HCl 0,025 N
100 %T 95
90
1005.92
1151.55
80
1359.87
2895.28
1638.60
1712.86
85
3450.80
75
70 4000 3500 3000 pektin-isolatsegarHCL0,025N(new)
4.
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Segar; HCl 0,05 N
105
%T
97.5
1005.92
1152.52
1658.85
82.5
1369.52 1329.01
1437.03
90
2894.31
75
60
3470.09
67.5
4000 3500 3000 pektin-isolatsegarHCL0,05N
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
85
5.
Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Segar; HCl 0,075 N
100
%T
1009.78
1151.55
1369.52 1329.01
1630.88
1437.99
80
1242.21
1740.83
90
2936.75
70
3423.80
60
50 4000 3500 3000 pektin-isolatsegarHCL0,075N
6.
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Kering; HCl 0,025 N
97.5 %T 90
1427.39
1242.21
3412.22
1004.96
1147.69
2936.75
67.5
60
1741.80
75
1338.66
1641.49
82.5
52.5
4000 3500 3000 pektin-isolatkeringHCL0,025N(new)
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
86
7.
Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Kering; HCl 0,05 N
105
%T
97.5
1146.73
1003.99
1421.60
82.5
1351.19
1639.56
1736.97
90
2935.78
75
3426.69
67.5
4000 3500 3000 pektin-isolatkeringHCl0,05N
8.
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Spektrum FTIR Pektin Hasil Ekstraksi Bahan Kering; HCl 0,075 N
105
%T 97.5
1735.04
90
1151.55
1414.85 2904.92
75
1340.58
1647.28
82.5
60
3319.63
1004.96
67.5
4000 3500 3000 pektin-isolatkeringHCl0,075N-2
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
87
Lampiran 23. Sertifikat Analisis Pektin Cargill®
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
88
Lampiran 24. Sertifikat Analisis Pektin Danisco®
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
89
Lampiran 25. Dokumentasi Proses Ekstraksi Pektin
Bahan baku limbah kulit pisang kepok
Serbuk kering kulit pisang kepok
Ekstraksi pektin
Pengendapan pektin
Pencucian endapan pektin
Penyaringan endapan pektin
Endapan pektin basah
Penghalusan pektin
Serbuk pektin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
90
Lampiran 26. Gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian
Grinder
Timbangan analitik
Hot plate stirrer
Corong + labu Buchner dan vakum
Desikator
Oven
Krus porselen
Tanur
pH meter
Buret, statif, dan klem
IRPrestige-21 Shimadzu
Viskotester HAAKE 6R
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta